Veronika Hertania Putri Riandono 141224102 · 2018-11-15 · cuplikan-cuplikan tuturan percakapan...
Transcript of Veronika Hertania Putri Riandono 141224102 · 2018-11-15 · cuplikan-cuplikan tuturan percakapan...
i
KESANTUNAN BERBAHASA ANTARGURU
DALAM SITUASI INFORMAL DI SMA NEGERI 11
YOGYAKARTA
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
Program Studi Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia
Oleh:
Veronika Hertania Putri Riandono
141224102
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA SASTRA INDONESIA
JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2018
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
ii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
iii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
iv
HALAMAN PERSEMBAHAN
Segala Puji, hormat, serta syukur kepada Tuhan Yesus Kristus yang telah memberikan berkat, kasih, kekuatan, dan restunya hingga saat ini saya dapat
menyelesaikan tugas akhir. Karya ini saya persembahkan bagi:
Secara Khusus bagi kedua orang tua, Bapak Cyrillus Robandono dan Ibu Maria Esti Setyorini yang tentunya selalu setia dan tak hentinya
memberikan dukungan doa, kasih sayang, moril, dan tentunya materi selama proses belajar dan penyelesaian tugas akhir ini.
Kakak dan adik saya, Valentina Anike Putri Riandono dan Yohanes Bagus Prasetyo Riandono. Terima kasih karena selalu memberikan
semangat selama proses belajar dan penyelesaian tugas akhir ini.
Kekasih saya, Christian Adven Saputra yang selalu setia menemani dan membantu saya melewati masa-masa sulit selama proses belajar dan
penyelesaian tugas akhir ini. Bersama dirinya, saya belajar menjadi pribadi yang selalu bersyukur dan percaya diri.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
v
MOTTO
Philippians 4:13
“I can do everything through him who gives
me strength.”
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
vi
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA
Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis tidak
memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam
kutipan atau daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.
Yogyakarta, 28 September 2018
Peneliti
Veronika Hertania Putri Riandono
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
vii
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN
PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma:
Nama : Veronika Hertania Putri Riandono
Nomor Mahasiswa : 141224102
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan
Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul:
KESANTUNAN BERBAHASA ANTARGURU
DALAM SITUASI INFORMAL DI SMA NEGERI 11 YOGYAKARTA
Dengan demikian, saya memberikan kepada perpustakaan Universitas Sanata
Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain,
mengelolanya dalam bentuk pangkalan, mendistribusikan secara terbatas, dan
mempublikasikannya di internet atau media lain untuk kepentingan akademis
tanpa perlu meminta izin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya
selama tetap mencantumkan nama saya sebagai peneliti. Demikian pernyataan ini
saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di Yogyakarta
Pada tanggal: 28 September 2018
Yang menyatakan
Veronika Hertania Putri Riandono
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
viii
ABSTRAK
Riandono, Veronika Hertania Putri. 2018. Kesantunan Berbahasa Antarguru
dalam Situasi Informal di SMA Negeri 11 Yogyakarta. Skripsi. Yogyakarta:
Program Studi Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia, Fakultas Keguruan dan
Ilmu Pendidikan, Universitas Sanata Dharma.
Penelitian ini mengkaji tentang wujud dan maksud kesantunan berbahasa
antarguru dalam situasi informal di SMA Negeri 11 Yogyakarta. Dalam penelitian
terkait wujud dan maksud kesantunan berbahasa antarguru, peneliti mengkaji
percakapan di luar proses belajar mengajar. Artinya, percakapan yang dilakukan
di luar kegiatan pembelajaran meliputi obrolan santai di kantin, di perpustakaan,
ruang guru, ruang UKS, lobi sekolah, dan lingkungan sekolah lainnya. Tujuan
dari penelitian ini adalah mendeskripsikan wujud dan maksud tuturan antarguru
dalam situasi informal di SMA Negeri 11 Yogyakarta.
Sumber data dalam penelitian ini ada dua. Pertama, sumber data lokasional
yakni guru-guru di SMA Negeri 11 Yogyakarta dan kedua, sumber data substantif
yakni adalah tuturan antarguru dalam situasi informal. Data penelitian berupa
cuplikan-cuplikan tuturan percakapan guru SMA Negeri 11 Yogyakarta dalam
situasi informal yang di dalamnya terdapat unsur kesantunan. Objek penelitiannya
adalah kalimat yang dituturkan oleh guru-guru.
Kesimpulan dari penelitian ini adalah jumlah data tuturan total berjumlah
tujuh puluh empat (74) data. Data tersebut diklasifikasikan menjadi enam (6)
penanda kesantunan yaitu penanda tolong, penanda ayo, penanda coba, penanda
biar, penanda mari, dan penanda silahkan. Selanjutnya, ketujuh puluh empat (74)
data, dianalisis berdasarkan wujud dan maksud tuturan. Wujud tuturan ada tiga (3)
yaitu wujud deklaratif, wujud interogatif, dan wujud imperatif. Maksud dalam
data tuturan yang ditemukan ada tujuh belas (17) yaitu maksud menyuruh,
maksud meminta, maksud memberi saran, maksud mengritik, maksud menyindir,
maksud mengingatkan, maksud menyatakan, maksud merayu, maksud
memastikan, maksud permohonan izin, maksud menyapa, maksud memberi tahu,
maksud mengajak, maksud menawar, maksud menyerukan, maksud mendesak,
dan maksud mengagumi.
Kata kunci: kesantunan berbahasa, guru, informal informal, konteks.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
ix
ABSTRACT
Riandono, Veronika Hertania Putri. 2018. Politeness in Speaking Between
Teachers in Informal Situations in 11 Yogyakarta State High School.
Thesis. Yogyakarta: Indonesian Language and Literature Education Study
Program. Faculty of Teachers Training and Education. Sanata Dharma
University.
This study examines the form and purpose of inter-teacher speaking
politeness in informal situations in 11 Yogyakarta High School. In research
related to the form and purpose of inter-teacher language politeness, researchers
examine conversations outside the teaching and learning process. That is,
conversations conducted outside of learning activities include casual chat in the
canteen, in the library, the teacher's room, the UKS room, the school lobby, and
other school environments. The purpose of this study is to describe the form and
purpose of inter-teacher speech in an informal situation at SMA Negeri 11
Yogyakarta.
There are two sources of data in this study. First, locational data sources,
namely the teachers in SMA Negeri 11 Yogyakarta and secondly, the substantive
data sources, namely the inter-teacher speech in informal situations. The research
data in the form of excerpts from the conversation speech of the teacher of SMA
Negeri 11 Yogyakarta in an informal situation in which there is an element of
politeness. The object of the research is the sentence spoken by the teachers.
The conclusion of this study is the total number of speech data totaling
seventy four (74) data. The data is classified into six (6) politeness markers,
namely markers of help, markers, markers, markers, let, markers, and markers
please. Furthermore, the seventy-four (74) data are analyzed based on the form
and purpose of speech. The form of speech is three (3), namely declarative form,
interrogative form, and imperative form. The purpose of the speech data found is
seventeen (17), namely the intention of telling, the intention of asking, the
intention of giving advice, the intention of criticizing, the intention of insinuating,
the purpose of reminding, the intention of saying, the intention of seducing, the
intention of ensuring, the purpose of the request for permission know, the
intention is to invite, the intention to bid, the intention is to call, the intention is
urgent, and the intention is to admire.
Keywords: language politeness, teacher, informal informal, context.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
x
KATA PENGANTAR
Puji syukur peneliti haturkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala berkat
dan penyertaanNya sehingga peneliti dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul
KESANTUNAN BERBAHASA ANTARGURU DALAM SITUASI
INFORMAL DI SMA NEGERI 11 YOGYAKARTA dengan baik dan lancar.
Sebagaimana disyaratkan dalam Kurikulum Program Studi Pendidikan Bahasa
Sastra Indonesia (PBSI), Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP),
Universitas Sanata Dharma (USD) Yogyakarta, penyelesaian skripsi ini guna
memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Program Studi
Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia.
Kelancaran dan keberhasilan proses pelaksanaan dalam penyusunan skripsi
ini, tentunya tidak terlepas dari bantuan, bimbingan, dan dukungan dari
berbagai pihak. Oleh karena itu, peneliti menghaturkan banyak terima kasih
kepada:
1. Allah Bapa dan Tuhan Yesus Kristus, yang selalu melimpahkan berkat,
rahmat, kesehatan serta penyertaan untuk peneliti dalam menyelesaikan
skripsi ini.
2. Dr. Yohanes Harsoyo, S.Pd., M.Si. selaku Dekan Fakultas Keguruan dan
Ilmu Pendidikan, Universitas Sanata Dharma.
3. Rishe Purnama Dewi, S.Pd., M.Hum., selaku Ketua Program Studi
Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia dan semua dosen penguji, atas semua
saran dan masukan yang berguna demi penyempurnaan skripsi ini.
4. Dr. R. Kunjana Rahardi, M.Hum. selaku dosen pembimbing tunggal yang
dengan penuh ketelitian telah mendampingi, memotivasi, dan memberikan
berbagai masukan yang sangat berharga bagi peneliti. Mulai dari proses
awal hingga akhirnya peneliti dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.
5. Prof. Dr. Pranowo, M.Pd. yang bersedia meluangkan waktu untuk menjadi
triangulator.
6. Segenap dosen Prodi PBSI, dosen MKU, dosen MKK, yang telah mendidik
dan membimbing peneliti selama mengikuti perkuliahan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xi
7. Theresia Rusmiyati sebagai karyawan sekretariat PBSI yang selalu sabar
memberikan pelayanan demi kelancaran peneliti dalam menyelesaikan
kuliah di PBSI sampai penyusunan skripsi ini.
8. Orang tua, yaitu Bapak dan Ibu saya, Cyrillus Robandono dan Maria Esti
Setyorini, terima kasih atas dukungan doa, moral, dan materi yang
senantiasa diberikan kepada saya serta kakak dan adik tercinta Valentina
Anike Putri Riandono, Yohanes Timbul Joko Wahono, dan Yohanes Bagus
Prasetyo Riandono yang selalu memberi semangat.
9. Keluarga Besar Eyang Petrus Sutanto dan Eyang Cipto Wijiyono, terima
kasih atas dukungan doa, semangat, moral, dan materi yang juga senantiasa
diberikan kepada saya.
10. Christian Adven Saputra, S.Pd. kekasih yang senantiasa menemani dan
memotivasi.
11. Sahabat terkasih sekaligus rekan diskusi, Melisa Deresta, S.Pd., Maria
Goretti Stefani, Dorotea Supadmi Maria Goran Sura, S.Pd., Stefanus
Candra, S.Pd., Cosmas Krisna, S.Pd., Septian Purnomo Aji, S.Pd.
12. Rekan-rekan mahasiswa PBSI 2014 A dan B, khususnya kelas B terima
kasih atas dukungan dan semangat kepada peneliti.
13. Semua pihak yang telah memberikan bantuan dan dukungan sehingga
peneliti dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.
Peneliti menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam skripsi ini. Oleh
karena itu, peneliti mengharapkan saran dan kritik dari pembaca. Akhir kata,
peneliti ucapkan terima kasih dan semoga skripsi ini dapat bermanfaat khususnya
bagi peneliti sendiri dan bagi pembaca pada umumnya.
Yogyakarta, 28 September 2018
Peneliti,
Veronika Hertania Putri Riandono
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ............................................................................................ i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ............................................... ii
HALAMAN PENGESAHAN ............................................................................ iii
HALAMAN PERSEMBAHAN ........................................................................ iv
HALAMAN MOTTO ......................................................................................... v
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ............................................................ vi
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ......................... vii
ABSTRAK ........................................................................................................ viii
ABSTRACT ......................................................................................................... ix
KATA PENGANTAR ......................................................................................... x
DAFTAR ISI ......................................................................................................xii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ................................................................................................ 1
1.2 Rumusan Masalah ........................................................................................... 4
1.3 Tujuan Penelitian ............................................................................................ 4
1.4 Manfaat Penelitian .......................................................................................... 5
1.5 Batasan Istilah ................................................................................................. 6
1.6 Sistematika Penulisan ..................................................................................... 7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Penelitian Terdahulu yang Relevan ................................................................ 8
2.2 Landasan Teori ..............................................................................................10
2.2.1 Pragmatik ..........................................................................................10
2.2.2 Fenomena Pragmatik ........................................................................11
a. Deiksis ..........................................................................................11
b. Implikatur .....................................................................................14
c. Kesantunan ...................................................................................16
d. Ketidaksantunan ...........................................................................17
e. Kefatisan .......................................................................................19
2.2.3 Kesantunan Sebagai Fenomena Pragmatik .......................................22
a. Teori Kesantunan Berbahasa Leech .............................................23
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xiii
b. Teori Kesantunan Berbahasa Fraser .............................................28
c. Teori Kesantunan Berbahasa Lakoff ............................................30
d. Teori Kesantunan Berbahasa Pranowo ........................................31
d. Teori Kesantunan Berbahasa Rahardi ..........................................34
2.2.4 Faktor Penentu Kesantunan ..............................................................37
2.2.5 Konteks .............................................................................................40
a. Konteks Sosial ..............................................................................41
b. Konteks Sosietal ...........................................................................41
c. Konteks Budaya............................................................................42
d. Konteks Situasi .............................................................................42
2.2.6 Situasi Informal ................................................................................43
2.2.7 Wujud Tuturan ..................................................................................44
a. Kalimat Berita (Kalimat Deklaratif) .............................................44
b. Kalimat Tanya (Kalimat Interogatif)............................................45
c. Kalimat Perintah (Kalimat Imperatif) ..........................................46
2.2.8 Makna dan Maksud...........................................................................46
a. Makna ...........................................................................................47
b. Maksud .........................................................................................47
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Jenis Penelitian ..............................................................................................49
3.2 Sumber Data dan Data ..................................................................................50
3.3 Metode dan Teknik Pengumpulan Data ........................................................50
3.3.1 Teknik Simak Bebas Libat Cakap (SLBC) .......................................51
3.3.2 Rekaman ...........................................................................................51
3.4 Instrumen Penelitian......................................................................................52
3.5 Teknik Analisis Data .....................................................................................52
3.5.1 Identifikasi ........................................................................................53
3.5.2 Klasifikasi .........................................................................................54
3.5.3 Interpretasi/Pemaknaan.....................................................................54
3.6 Triangulasi Data ............................................................................................55
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xiv
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1 Deskripsi Data ...............................................................................................56
4.2 Hasil Penelitian .............................................................................................59
4.2.1 Wujud Tuturan dan Penanda Kesantunan Antarguru dalam Situasi
Informal .....................................................................................................60
4.2.1.1 Kesantunan dengan Penanda “Tulung” ................................60
4.2.1.2 Kesantunan dengan Penanda “Ayo” ....................................64
4.2.1.3 Kesantunan dengan Penanda “Coba” ...................................67
4.2.1.4 Kesantunan dengan Penanda “Ben” .....................................70
4.2.1.5 Kesantunan dengan Penanda “Monggo” (Mari) ..................73
4.2.1.6 Kesantunan dengan Penanda “Monggo” (Silahkan) ............75
4.2.2 Maksud Tuturan dan Penanda Kesantunan Antarguru dalam Situasi
Informal .....................................................................................................79
4.2.2.1 Kesantunan dengan Maksud “Menyuruh” ...........................79
4.2.2.2 Kesantunan dengan Maksud “Meminta”..............................81
4.2.2.3 Kesantunan dengan Maksud “Memberi Saran” ...................83
4.2.2.4 Kesantunan dengan Maksud “Mengritik” ............................85
4.2.2.5 Kesantunan dengan Maksud “Menyindir” ...........................87
4.2.2.6 Kesantunan dengan Maksud “Memberi Tahu” ....................90
4.2.2.7 Kesantunan dengan Maksud “Menyatakan” ........................92
4.2.2.8 Kesantunan dengan Maksud “Merayu”................................94
4.2.2.9 Kesantunan dengan Maksud “Mengingatkan” .................. ..96
4.2.2.10 Kesantunan dengan Maksud “Permohonan Izin” ........... ..98
4.2.2.11 Kesantunan dengan Maksud “Menyapa” ........................ 100
4.2.2.12 Kesantunan dengan Maksud “Memastikan” ................... 102
4.2.2.13 Kesantunan dengan Maksud “Mengajak” ....................... 104
4.2.2.14 Kesantunan dengan Maksud “Menyerukan” ................... 106
4.2.2.15 Kesantunan dengan Maksud “Menawar” ........................ 108
4.2.2.16 Kesantunan dengan Maksud “Mendesak”....................... 110
4.2.2.17 Kesantunan dengan Maksud “Mengagumi” .................... 111
4.3 Pembahasan Hasil Penelitian ..................................................................... 112
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xv
BAB V PENUTUP
5.1 Simpulan .................................................................................................... 121
5.2 Saran ........................................................................................................... 122
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 123
LAMPIRAN .................................................................................................... 126
BIOGRAFI PENULIS ................................................................................... 163
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xvi
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran Surat Izin Pengambilan Data ..............................................................126
Lampiran Balikan Pengambilan Data .................................................................127
Lampiran Surat Izin Triangulasi .........................................................................128
Lampiran Lembar Triangulasi.............................................................................129
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Manusia sebagai makhluk sosial menjalin hubungan melalui interaksi
antarmanusia dan lingkungannya. Manusia berinteraksi untuk menyampaikan baik
pesan verbal maupun nonverbal. Pesan verbal yang diungkapkan manusia
mengandung makna atau pun konteks. Pesan verbal juga biasanya diungkapkan
melalui tuturan, tuturan yang baik menggunakan strategi yang baik pula. Strategi
bertutur merupakan cara bertutur untuk menghasilkan tuturan yang dapat
menyelamatkan muka lawan tutur agar tidak terjadi kesalahpahaman dalam
berkomunikasi ( Yule, 2006:114-115). Misalnya, dengan menggunakan ungkapan
kesantunan. Strategi tersebut dilakukan oleh pembicara dan lawan bicara agar
proses komunikasi berjalan baik. Penggunaan kesantunan ditujukan untuk
menyampaikan pesan tanpa merusak hubungan sosial dan memperoleh kesan
yang mendalam, misalnya, kesan santun.
Salah satu kajian dalam ilmu pragmatik mengkaji tentang kesantunan
berbahasa (politeness in language) (Abdurrahman, 2006: 125). Kesantunan
berbahasa Lakoff (dalam Syahrul, 2008: 15), “Kesantunan merupakan suatu
sistem hubungan interpersonal yang dirancang untuk mempermudah interaksi
dengan memperkecil potensi konflik dan konfrontasi yang selalu terjadi dalam
pergaulan manusia”. Lakoff (dalam Gunarwan 1994: 87) berpendapat bahwa ada
tiga kaidah yang perlu dipatuhi agar ujaran kita terdengar santun oleh pendengar
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
2
yaitu (Fasold 1984) formalitas (formality), ketaktegasan (hesitancy) dan
persamaan atau kesekawanan (equality or camaraderie). Yule (2006:104)
mengatakan bahwa kesantunan dalam suatu interaksi dapat didefinisikan sebagai
alat yang digunakan untuk menunjukkan kesadaran tentang muka orang lain.
Kedua pakar di atas melihat bahwa kesantunan dalam hubungan manusia
digunakan untuk mempermudah interaksi agar tidak terjadi konflik. Melihat
kesamaan dua pakar di atas, peneliti mengambil kesimpulan bahwa kesantunan
diartikan sebagai alat yang digunakan dalam hubungan sosial manusia untuk
mempermudah interaksi agar tetap terjalin hubungan yang baik.
Kesantunan bahasa bisa terjadi di lingkungan sekolah, misalnya saja
interaksi antarguru. Interaksi antargurulah yang akan disoroti. Guru merupakan
seorang pendidik atau pengajar yang harus memiliki kesantunan berbahasa dalam
setiap tuturan di sekolah. Guru berperan sebagai panutan rekan sesama guru dan
peserta didik. Maka dari itu, kesantunan berbahasa dalam tuturan guru sangat
penting untuk dikaji. Selain itu, agar siswa bisa santun berbahasa, tentu terlebih
dahulu guru sebagai panutan juga harus santun dalam berbahasa.
Berdasarkan observasi peneliti di SMA Negeri 11 Yogyakarta, masih
banyak ditemukan tindak bahasa atau tuturan dari guru-guru yang perlu
meningkatkan kesantunan dalam berbahasa. Faktor kedekatan antarguru menjadi
salah satu penyebab komunikasi antarguru menjadi kurang santun. Misalnya
“duh..wegah aku pak” atau “ya, aku pesen siji”. Contoh kalimat tersebut adalah
perkataan yang diungkapan guru muda kepada guru yang lebih senior. Dalam
contoh perkataan tersebut juga terdapat kata dalam bahasa Jawa dan kurang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
3
santun digunakan, meskipun konteksnya adalah kegiatan di luar pembelajaran
atau secara informal. Padahal sejatinya, seorang guru harus memberi contoh
kepada siswa dimulai dari kesantunan berbahasa.
Bertolak dari permasalahan tersebut, peneliti ingin meneliti tentang wujud
dan maksud kesantunan berbahasa antarguru dalam situasi informal di SMA
Negeri 11 Yogyakarta. Dalam penelitian ini, peneliti meneliti terkait wujud dan
maksud kesantunan berbahasa guru-guru apa saja yang ada di SMA tersebut di
luar proses belajar mengajar. Artinya, percakapan yang dilakukan oleh guru ketika
dalam situasi di luar pembelajaran meliputi obrolan santai di kantin, di
perpustakaan, ruang guru, ruang UKS, lobi sekolah, dan lingkungan sekolah
lainnya. Melalui situasi tersebut, peneliti akan mengobservasi tuturan-tuturan guru
di sekolah. Dengan demikian, penelitian ini adalah penelitian dengan
menggunakan kualitatif deskriptif yang mengkaji tuturan antarguru dalam situasi
santai di kantin, di perpustakaan, ruang guru, ruang UKS, lobi sekolah, dan
lingkungan sekolah lainnya. Maka dari itu, judul penelitian ini adalah Kesantunan
Berbahasa Antarguru dalam Situasi Informal di SMA Negeri 11 Yogyakarta.
Peneliti berharap dengan adanya penjelasan terkait wujud dan maksud
kesantunan berbahasa yang dilakukan oleh guru dalam berkomunikasi, dapat
membangkitkan kesadaran kita sebagai calon guru untuk lebih memperhatikan
tuturan agar santun.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
4
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, rumusan masalah utama dalam
penelitian ini adalah bagaimana kesantunan berbahasa antarguru dalam situasi
informal di SMA Negeri 11 Yogyakarta?
Berdasarkan rumusan masalah utama di atas, penelitian ini juga menemukan
beberapa submasalah tersebut akan diuraikan di bawah ini.
a. Apa sajakah wujud kesantunan berbahasa berdasarkan penanda kesantunan
dalam tuturan guru dalam situasi informal di luar situasi akademik?
b. Apa sajakah maksud tuturan yang terdapat dalam tuturan guru di situasi
informal?
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah diatas terdapat rumuan masalah utama dan
submasalah. Tujuan penelitian dari rumusan masalah utama adalah
mendeskripsikan kesantunan berbahasa antarguru dalam situasi informal di SMA
Negeri 11 Yogyakarta. Pada sub-sub masalah yang telah dipaparkan diatas tujuan
penelitiannya sebagai berikut.
a. Mendeskripsikan wujud kesantunan berbahasa berdasarkan penanda
kesantunan dalam tuturan guru dalam situasi informal di luar situasi
akademik.
b. Mendeskripsikan maksud tuturan yang terdapat dalam tuturan guru di situasi
informal.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
5
1.4 Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat menambah informasi mengenai wujud dan
maksud kesantunan berbahasa dalam suatu lingkungan atau situasi informal
seperti dalam situasi santai di luar pembelajaran meliputi di kantin, di
perpustakaan, ruang guru, ruang UKS, lobi sekolah, dan lingkungan sekolah
lainnya.
a. Manfaat Teoretis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat mendalami pengembangan pragmatik
khususnya yang berkaitan dengan kesantunan berbahasa sebagai fenomena
pragmatik. Selanjutnya, penelitian ini, juga dapat digunakan untuk menambah
wawasan dan khasanah pengetahuan serta memperluas kajian wujud dan maksud
mengenai kesantunan berbahasa.
b. Manfaat Praktis
Penelitian tingkat kesantunan berbahasa ini juga diharapkan dapat
memberikan masukan bagi sekolah terutama guru-guru dalam berkomunikasi
untuk senantiasa menerapkan kesantunan di mana pun berada dalam setiap
perkataanya. Demikian pula, penelitian ini akan memberikan masukan kepada
para praktisi dalam bidang pendidikan terutama bagi dosen, guru, mahasiswa,
siswa, dan tenaga kependidikan untuk mempertimbangkan adanya
ketidaksantunan berbahasa dalam berkomunikasi yang harus dihindari. Penelitian
ini mempunyai manfaat bagi pembaca agar pembaca mengetahui bentuk-bentuk
apa saja dan maksud kesantunan yang harus dipegang teguh agar proses
komunikasi berjalan dengan baik.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
6
1.5 Batasan Istilah
Istilah-istilah yang digunakan dalam penelitian ini adalah pragmatik,
kesantunan, dan komunikasi.
a. Pragmatik
Pragmatik dalam skripsi yang berjudul “Ketidaksantunan Linguistik dan
Pragmatik Berbahasa Antara Guru dan Siswa di SMA Stella Duce 2 Yogyakarta
Tahun Ajaran 2012/2013” merupakan studi tentang makna yang disampaikan oleh
penutur (atau penulis) dan ditafsirkan oleh pendengar (atau pembaca) (Yule,
2006:3).
b. Kesantunan
Kesantunan merupakan ekspresi penutur untuk mengurangi ancaman muka pada
mitra tutur (Brown dan Levinson, 1987) dalam skripsi yang berjudul “Kesantunan
Berbahasa Anak Remaja dengan Orangtua di Perumahan Griya Tamansari II”.
c. Komunikasi
Dalam artikel jurnal dengan judul “Hakikat Komunikasi Organisasi” menjelaskan
secara sederhana bahwa komunikasi merupakan kegiatan penyampaian pesan
dengan tujuan menyamakan makna dari seseorang/lembaga (komunikator) kepada
orang lain/audiens (komunikan).
d. Konteks
konteks adalah konstruksi skematik yang artinya pencapaian makna pragmatis
adalah masalah pencocokan elemen linguistik kode dengan elemen skematis dari
konteksnya. "(H.G. Widdowson, 2000, p.126).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
7
e. Maksud
Yule (2006: 3) menjelaskan bahwa pragmatik adalah studi tentang maksud
penutur. Maksud sama halnya dengan makna pragmatik.
1.6 Sistematika Penelitian
Penelitian ini akan dijabarkan dalam lima bab yang diuraikan secara
sistematis sebagai berikut:
Bab I berisi tentang (1) latar belakang masalah, (2) rumusan masalah, (3)
tujuan penelitian, (4) manfaat penelitian, (5) batasan istilah, dan (6) sistematika
penelitian.
Bab II ialah bab mengenai landasan teori yang akan digunakan untuk
menganalisis masalah-masalah yang diteliti. Bab II berisi (1) penelitian yang
relevan, (2) pragmatik, (3) fenomena pragmatik, (4) pragmatik sebagai fenomena
kesantunan, (5) faktor penentu kesantunan, (6) konteks, (7) situasi informal, dan
(8) makna dan maksud.
Bab III mengenai metode penelitian yang memuat tentang cara dan
prosedur yang akan digunakan oleh peneliti untuk memperoleh data. Dalam bab
III akan diuraikan (1) jenis penelitian, (2) sumber dan data penelitian, (3) metode
dan teknik pengumpulan data, (4) jenis data (5) instrumen penelitian, (6) teknik
analisis data, dan (7) triangulasi data.
Bab IV berisi pembahasan yang berkaitan dengan data, terdiri atas (1)
deskripsi data, (2) hasil analisis data penelitian dan pembahasannya. Bab V adalah
bab terakhir dalam penelitian ini yang berisi kesimpulan terkait data yang sudah
diolah disertai dengan implikasi dan saran.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Bab ini akan menguraikan penelitian yang relevan, landasan teori, dan
kerangka berpikir. Penelitian yang relevan berisi tentang tinjauan terhadap topik-
topik sejenis yang dilakukan oleh peneliti-peneliti yang lain. Landasan teori berisi
tentang teori-teori yang digunakan sebagai landasan analisis dari penelitian ini
yang terdiri atas teori pragmatik, fenomena pragmatik, kesantunan sebagai
fenomena pragmatik, faktor penentu kesantunan, konteks, situasi informal, dan
makna dan maksud.
2.1 Penelitian Terdahulu Yang Relevan
Penelitian Sri Puji Astuti (Pranowo, 2015:220) menghasilkan prinsip-prinsip
apa saja yang digunakan di dalam sebuah fakultas seperti pemilihan kata,
ungkapan-ungkapan santun dan struktur kalimat yang benar. Simpulan dari
penelitian yang diambil adalah interaksi dosen, mahasiswa dan karyawan di
Fakultas Ilmu Budaya Undip menerapkan keenam prinsip kesantunan. Namun,
dalam berinteraksi prinsip-prinsip tersebut tidak selalu diterapkan. Seandainya
keenam prinsip tersebut selalu diterapkan dalam bertutur, suasana menjadi
kondusif karena tidak ada perselisihan. Kemudian, simpulan menurut peneliti
adalah kesantunan sangat dibutuhkan dalam komunikasi dengan seseorang agar
harkat dan martabat tetap terjaga terlebih dalam hal ini di lingkungan akademik.
Penelitian Brigita Yuni (Pranowo, 2015:289) menghasilkan kesantunan
tindak tutur pada sekolah dasar negeri Sempu lebih tinggi dari pada sekolah dasar
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
9
Tritihkulon. Ada pun perbedaan tingkat kesantunan dipengaruhi oleh panjang
pendeknya sebuah tuturan. Simpulan dari penelitian yang dilakukan adalah ada
perbedaan antara tingkat kesantunan tindak tutur surat izin sekolah negeri
Tritihkulon dan surat ijin sekolah dasar negeri Sempu. Surat izin sekolah dasar
negeri Sempu memiliki tingkat kesantunan lebih tinggi jika dibandingkan surat
ijin sekolah dasar negeri Tritihkulon, adapun perbedaan tingkat kesantunan
dipengaruhi oleh panjang pendeknya sebuah tuturan. Dalam penelitian ini, peneliti
melihat bahwa kesantunan dalam tindak tutur seseorang yang diekspresikan dalam
bentuk tulis yaitu dalam surat izin sekolah penting adanya.
Fendi Eko Prabowo (dalam skripsi berjudul “Kesantunan Berbahasa dalam
Kegiatan Diskusi Kelas Mahasiswa PBSI Universitas Sanata Dharma Angkatan
2014”) menjelaskan bentuk tuturan santun adalah tuturan yang mematuhi prinsip
kesantunan, yakni 22 pematuhan terhadap maksim Leech, dengan rincian 8
tuturan pada maksim kebijaksanaan, 5 tuturan pada maksim kedermawanan, 6
tuturan pada maksim pujian dan 3 tuturan pada maksim kesepakatan, dalam setiap
pematuhan tersebut juga telah mematuhi strategi kesantunan Brown dan Levinson,
dengan 21 tuturan mematuhi kesantunan positif dan 1 tuturan kesantunan negatif.
Penutur bisa beranggapan bahwa tuturannya sudah santun, padahal bagi mitra
tutur belum tentu tuturan itu santun. Kasus – kasus seperti inilah yang membuat
kesantunan berbahasa menjadi penting untuk dikaji dan diketahui agar
komunikasi berjalan lancar dan tidak menimbulkan kesalahpahaman. Penelitian
ini juga mengkaji tentang bentuk-bentuk kesantunan dalam tuturan yang sesuai
dengan prinsip kesantunan Leech.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
10
Berdasarkan apa yang telah dipaparkan di atas, dapat terlihat bahwa adanya
kesamaan maupun perbedaan yang terdapat pada ketiga penelitian terdahulu
dengan penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti saat ini. Persamaan antara
penelitian terdahulu dengan penelitian saat ini adalah sama-sama membahas
kesantunan yang terdapat dalam ranah akademik. Perbedaannya adalah pada
penelitian terdahulu masih membahas kesantunan berbahasa yang dilakukan oleh
pembelajarnya saja, tetapi pada penelitian saat ini mengkaji kesantunan berbahasa
yang dilakukan oleh pengajarnya atau guru yang mengajar saat berada di luar jam
pembelajaran atau dalam situasi informal dan nantinya akan dijelaskan wujud dan
maksud kesantunan dari tuturan tersebut. Dalam hal ini peneliti secara khusus
akan mengkaji tentang wujud dan maksud kesantunan berbahasa antarguru dalam
situasi informal di SMA Negeri 11 Yogyakarta.
2.2 Landasan Teori
2.2.1 Pragmatik
Istilah pragmatik sebagaimana kita kenal saat ini diperkenalkan oleh
seorang filosof yang bernama Charless Morris tahun 1938. Ketika ia
membicarakan bentuk umum ilmu tanda (semiotic). Ia menjelaskan (dalam Nadar,
2009: 2) bahwa semiotik memiliki tiga bidang kajian, yaitu sintaksis (syintax),
semantik (semantics), dan pragmatik (pragmatics).
Yule (2006:3) pragmatik adalah ilmu yang mempelajari tentang makna atau
maksud yang disampaikan penutur (atau penulis) dan ditafsirkan oleh pendengar
(atau pembaca). Pragmatik melibatkan penafsiran tentang apa yang dimaksud
orang dalam suatu konteks khusus dan bagaimana konteks itu berpengaruh
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
11
terhadap apa yang dikatakan, dengan demikian dalam memaknai maksud penutur
mitra tutur harus memperhatikan konteks pembicaraan bagaimana penutur
mengatur apa yang ingin dikatakan, dimana, kapan, dan dalam keadaan apa.
Levinson (1983: 27 dalam Rahardi, 2003) mengatakan bahwa pragmatik
adalah penelitian tentang perhubungan antara bahasa dan konteks yang
ditatabahasakan, atau yang dikodekan di struktur bahasa. Lebih lanjut, Rahardi
(2003) mengatakan bahwa pragmatik merupakan ilmu yang mengkaji maksud
penutur di dalam konteks situasi dan lingkungan sosial-budaya. Makna yang
dikaji dalam pragmatik terkait konteks. Selanjutnya, Levinson (1983 dalam
Rahardi, 2003: 13) mendefinisikan sosok pragmatik sebagai studi perihal ilmu
bahasa yang mempelajari relasi-relasi antara bahasa dengan konteks tuturannya.
2.2.2 Fenomena Pragmatik
Rahardi (2017: 84) mengatakan fenomena pragmatik terdiri atas: implikatur,
deiksis, praanggapan, entailment, kesantunan berbahasa, ketidaksantunan
berbahasa, dan kefatisan. Praanggapan, tindak tutur, dan entailment merupakan
fenomena linguistik. Deiksis, implikatur, kesantunan, ketidaksantunan, dan
kefatisan merupakan fenomena pragmatik. Dari fenomena pragmatik di atas,
fenomena ketidaksantunan berbahasa dan kefatisan merupakan fenomena baru
yang masih diteliti. Berikut penjelasan mengenai fenomena pragmatik.
a. Deiksis
Deiksis adalah istilah teknis (dari bahasa Yunani) untuk salah satu hal
mendasar yang kita lakukan dengan tuturan. Deiksis berarti ‘penunjukkan’
melalui bahasa (Yule, 2006: 13). Deiksis merupakan kata atau sekumpulan kata
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
12
yang rujukkannya tidak tetap dan dapat berpindah dari satu maujud ke maujud
lain. Kata-kata yang dimaksud deiksis ini adalah kata-kata yang menyatakan
waktu, menyatakan tempat, dan yang berupa kata ganti (Chaer, 2010: 31). Jadi
dapat disimpulkan bahwa deiksis merupakan kata-kata yang referensinya belum
jelas karena bisa berpindah-pindah wujud sesuai dengan konteks.
Deiksis terbagi lima macam yakni deiksis persona, deiksis tempat, deiksis
waktu, deiksis wacana, dan deiksis sosial. Hal tersebutakan dipaparkan sebagai
berikut.
1) Deiksis Persona, yakni menentukan suatu ujaran yang dipengaruhi oleh
peran peserta dalam peristiwa berbahasa. Peran peserta berbahasa terbagi menjadi
tiga. Pertama ialah orang pertama, yaitu kategori rujukan pembicara kepada
dirinya atau kelompok yang melibatkan dirinya, misalnya saya, kita, dan kami.
Kedua ialah orang kedua,yaitu kategori rujukan pembicara kepada seorang
pendengar atau lebih yang hadir bersama orang pertama, misalnya kamu, kalian,
saudara. Ketiga ialah orang ketiga, yaitu kategori rujukan kepada orang yang
bukan pembicara atau pendengar ujaran itu, baik hadir maupun tidak, misalnya
dia dan mereka.
2) Deiksis Tempat ialah pemberian bentuk pada lokasi menurut peserta
dalam peristiwa bahasa. Semua bahasa -termasuk bahasa Indonesiamembedakan
antara “yang dekat kepada pembicara” (di sini) dan “yang bukan dekat kepada
pembicara” (termasuk yang dekat kepada pendengar -di situ) (Nababan, 1984:
41).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
13
3) Deiksis Waktu ialah pemberian bentuk pada rentang waktu seperti yang
dimaksudkan penutur dalam peristiwa bahasa. Deiksis waktu juga ditujukan pada
partisipan dalam wacana. Dalam banyak bahasa, deiksis (rujukan) waktu ini
diungkapkan dalam bentuk “kala” (Inggris: tense) (Nababan, 1984: 41).
4) Deiksis Wacana ialah rujukan pada bagian-bagian tertentu dalam wacana
yang telah diberikan atau sedang dikembangkan (Nababan, 1984: 42). Deiksis
wacana mencakup anafora dan katafora. Anafora ialah penunjukan kembali
kepada sesuatu yang telah disebutkan sebelumnya dalam wacana dengan
pengulangan atau substitusi. Katafora ialah penunjukan ke sesuatu yang disebut
kemudian. Bentukbentuk yang dipakai untuk mengungkapkan deiksis wacana itu
adalah kata/frasa ini, itu, yang terdahulu, yang berikut, yang pertama disebut,
begitulah, dan sebagainya.
5) Deiksis Sosial ialah rujukan yang dinyatakan berdasarkan perbedaan
kemasyarakatan yang mempengaruhi peran pembicara dan pendengar. Perbedaan
itu dapat ditunjukkan dalam pemilihan kata. Dalam beberapa bahasa, perbedaan
tingkat sosial antara pembicara dengan pendengar yang diwujudkan dalam seleksi
kata dan/atau sistem morfologi katakata tertentu (Nababan, 1984: 42).
Sebagai contoh simak tuturan berikut.
(1) Sebagai saksi dia akan diperiksa besok.
(2) (percakapan telepon antara A di Rawamangun dan B di Kebayoran)
A: Saya tidak jadi pergi karena di sini hujan lebat dan banjir.
B: Wah, di sini tidak ada hujan.
Kata besok pada kalimat (1) adalah deiksis karena kalau sekarang hari Senin
maka besok berarti hari Selasa, kalau sekarang hari Selasa maka besok berarti hari
Rabu, dan seterusnya. Untuk menghindari deiksis maka kata besok, lebih-lebih
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
14
untuk bahasa tulis, sebaiknya jangan di gunakan. Lebih tepat jika disebutkan
nama hari dan tanggalnya.
Kata di sini pada kalimat (2) juga deiksis, sebab pada A di sini berarti di
Rawamangun dan pada B berarti di Kebayoran.
b. Implikatur
Yule (2006: 62) implikatur adalah contoh utama dari banyaknya informasi
yang disampaikan dari pada yang dikatakan. Rahardi (2003: 85) menjelaskan di
dalam pertuturan yang sesungguhnya, penutur dan mitra tutur dapat secara lancar
berkomunikasi karena mereka berdua memiliki semacam kesamaan latar belakang
pengetahuan tentang sesuatu yang dipertuturkan itu. Juga, di antara penutur dan
mitra tutur terdapat semacam kontrak percakapan yang tidak tertulis, bahwa apa
yang sedang dipertuturkan itu sudah saling dimengerti dan dipahami. Grice (1975
dalam Rahardi 2003) dalam artikelnya yang berjudul “Logic and Conversation”
menyatakan bahwa sebuah tuturan dapat mengimplikasikan proposisi yang bukan
bagian dari tuturan tersebut. Proposisi yang diimplikasikan semacam itu disebut
implikatur percakapan. Bertolak dari penjelasan di atas implikatur dijelaskan
sebagai bentuk keterkaitan informasi antara penutur dengan mitra tutur. Simak
tuturan berikut (3) sebagai contoh, antara A seorang ibu rumah tangga dengan B
seorang ibu rumah tangga lain.
(3) A: Bapak X tetangga kita yang baru itu mobilnya sering ganti-ganti ya.
B: Tentu saja karena dia bekerja di kantor pajak.
Bisakah dipahami keterkaitan antara “sering ganti-ganti mobil” dengan
“bekerja di kantor pajak”? Secara literal tidak bisa dipahami karena tidak
disebutkan dalam pertuturan itu, tetapi secara tersirat bisa dipahami karena
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
15
sekarang ini kita tahu bahwa ekonomi seorang pegawai kantor pajak lebih
makmur daripada tidak bekerja di kantor pajak. Oleh karena itu bisa berganti-
ganti mobil.
Menurut Yule (2006: 69–80) implikatur dibedakan menjadi lima macam
sebagai berikut.
1) Implikatur percakapan
Penutur yang menyampaikan makna lewat implikatur dan pendengarlah
yang mengenali makna-makna yang disampaikan lewat inferensi. Kesimpulan
yang sudah dipilih ialah kesimpulan yang mempertahankan asumsi kerja sama.
2) Implikatur percakapan umum
Jika pengetahuan khusus tidak dipersyaratkan untuk memperhitungkan
makna tambahan yang disampaikan, hal ini disebut implikatur percakapan umum.
3) Implikatur berskala
Informasi tertentu yang selau disampaikan dengan memilih sebuah kata
yang menyatakan suatu nilai dari suatu skala nilai. Ini secara khusus tampak jelas
dalam istilah-istilah untuk mengungkapkan kuantitas, seperti yang ditunjukkan
dalam skala (semua, sebagian besar, banyak, beberapa, sedikit) dan (selalu, sering,
kadang-kadang), dimana istilah-istilah itu didaftar dari skala nilai tertinggi ke nilai
terendah. Dasar implikatur berskala adalah bahwa semua bentuk negatif dari skala
yang lebih tinggi dilibatkan apabila bentuk apapun dalam skala itu dinyatakan.
4) Implikatur percakapan khusus
Percakapan sering terjadi dalam konteks yang sangat khusus di mana kita
mengasumsikan informasi yang kita ketahui secara lokal. Inferensi-inferensi yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
16
sedemikian dipersyaratkan untuk menentukan maksud yang disampaikan
menghasilkan amplikatur percakapan khusus.
5) Implikatur konvensional
Kebalikan dari seluruh implikatur percakapan yang dibahas sejauh ini,
implikatur konvensional tidak didasarkan pada prinsip kerja sama atau maksim-
maksim. Implikatur konvensional tidak harus terjadi dalam percakapan, dan tidak
bergantung pada konteks khusus untuk menginterpretasikannya. Seperti halnya
presupposisi leksikal, implikatur konvensional diasosiasikan dengan kata-kata
khusus dan menghasilkan maksud tambahan yang disampaikan apabila kata-kata
tersebut digunakan. Kata yang memiliki implikatur konvensional adalah kata
‘bahkan’ dan ‘tetapi’.
c. Kesantunan
Kesantunan dalam suatu interaksi dapat didefinisikan sebagai alat yang
digunakan untuk menunjukkan kesadaran tentang wajah orang lain (Yule, 2006:
104). Lakoff (dalam Gunarwan 1994: 87) berpendapat bahwa ada tiga kaidah
yang perlu dipatuhi agar ujaran kita terdengar santun oleh pendengar yaitu
formalitas (formality), ketaktegasan (hesitancy) dan persamaan atau kesekawanan
(equality or camaraderie). Ketiga kaidah di atas bila dijabarkan, maka formalitas
berarti jangan memaksa atau angkuh, ketidaktegasan berarti buatlah sedemikian
rupa sehingga lawan tutur dapat menentukan pilihan, dan ketiga persamaan atau
kesekawanan berarti seolah-olah penutur dan lawan tutur menjadi sama. Contoh:
(4) Kami mohon bantuan Anda untuk turut membiayai anak-anak yatim itu.
(5) Mari kita sama-sama membantu membiayai anak-anak yatim itu.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
17
Menurut Lakoff, sebuah tuturan dikatakan santun apabila ia tidak terdengar
memaksa, memberikan pilihan kepada lawan tutur, dan lawan tutur merasa
tenang. Kesimpulan dari penjelasan di atas adalah kesantunan digunakan dalam
pertuturan agar pertuturan itu berjalan dengan baik.
d. Ketidaksantunan
Ketidaksantunan merupakan bentuk pertentangan dari kesantunan
berbahasa. Ketidaksantunan dalam berbahasa baru mulai muncul setelah
diterbitkannya buku yang dapat dianggap sebagai batu pijakan dalam studi
ketidaksantunan berbahasa yang berjudul Impoliteness in Language yang ditulis
oleh Bousfield et al. (Eds.) pada tahun 2008 (Rahardi, 2013: 59). Lebih lanjut,
Locher (2008 dalam Rahardi 2013: 59) juga dengan tegas mencatat bahwa studi
ketidaksantunan berbahasa baru dilakukan oleh Culpeper (1996, 1998), Bousfield
(2008), Terkourafi (2008), dan Locher and Whatts (2008). Rahardi (2013: 59)
menyatakan bahwa ketidaksantunan belum menjadi fenomena pragmatik karena
hampir semua buku pragmatik yang beredar di lapangan, entah yang terbitan asing
ataupun dalam negeri, ihwal ketidaksantunan berbahasa sama sekali tidak pernah
dimunculkan sebagai pokok bahasa. Maka wajar jika terdapat kenyataan
ketidakseimbangan atau ketimpangan studi yang besar sekali antara studi
kesantunan berbahasa dan studi ketidaksantunan berbahasa dalam wahana
pragmatik. Teori-terori yang mendasari ketidaksantunan berbahasa adalah sebagai
berikut.
Locher berpandangan bahwa ketidaksantunan dalam berbahasa dapat
dipahami sebagai berikut, ...behaviour that is face-anggravatting in a particular
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
18
context. Jadi, ketidaksantunan berbahasa merupakan perilaku berbahasa yang
melecehkan muka. Perilaku berbahasa yang demikian ini lebih dari sekadar
perilaku yang mengancam muka. Akibat yang ditimbulkan oleh perilaku yang
melecehkan muka juga sangat berbeda daripada perilaku yang mengancam muka.
Berikut tuturan yang mengandung ketidaksantunan yang diucapkan oleh umat
agama Islam.
(6) Umat 1: “Hari ini ceramahnya tentang dunia lain”
Umat 2: “Iya, pasti setan yang dimaksud mukanya sepertimu”
Adapun latar belakang situasinya adalah:
Tuturan tersebut diucapkan oleh seorang umat setelah selesai mengikuti
ceramah keagamaan atau pesantren. Berdasarkan contoh tersebut dapat kita lihat
umat 2 menunjukkan ketidaksantunan perilaku melecehkan muka.
Sejalan dengan Locher, pandangan Bousfield tentang ketidaksantunan
dalam praktiknya adalah: ‘The issuing of intentionally gratuitous and conflictive
face-threatening acts (FTAs) that are purposefully performed.’ Artinya,
ketidaksantunan berbahasa adalah kegiatan menyampaikan tindakan mengancam
muka yang dilakukan secara sembrono, dan kesembronoan itu dapat memicu
pertentangan atau konflik. Dalam pendangan Bousfield ketidaksantunan yang
mengancam muka dilakukan secara sengaja. Adapun contoh tuturan sebagai
berikut.
(7) X: “Kamu punya pacar nggak mbak?”
Y: “Ya tergantung
X: “Kalau ‘tergantung’ kenapa tidak diambil mbak? Kasian pacarnya
‘tergantung’.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
19
Percakapan terjadi di ruang seminar, USD, oleh karyawan perempuan
dengan mahasiswa. Konteksnya, penutur sedang menjelaskan public speaking,
penutur menanyakan kepada mitra tutur terkait pacar yang dimilikinya, dan mitra
tutur menjawab dengan jawaban yang membuat penutur aneh.
Dari pandangan ketidaksantunan yang dipaparkan oleh para ahli, dapat
disimpulkan bahwa ketidaksantunan merupakan perilaku yang merusak
komunikasi karena melecehkan muka lawan tutur.
e. Kefatisan
Salah satu nilai kebijaksanaan sebagai wujud dari kearifan lokal dalam
masyarakat Indonesia dengan berbagai latar belakang kulturnya adalah fenomena
basa-basi berbahasa. Dari studi yang dilakukan, basa-basi dalam berbahasa adalah
salah satu manifestasi kefatisan yang dalam referensi terdahulu disebut sebagai
komunikasi fatis (bdk. Rahardi, 2015a dalam Rahardi, dkk., 2016: 2). Untuk
maksud menjalin kerja sama dan menjamin kelangsungan berkomunikasi
antarmanusia sangat diperlukan kefatisan. Kefatisan juga dapat diklaim sebagai
fenomena kebahasaan universal. Dikatakan universal karena sebenarnya
fenomena ini muncul dalam setiap bahasa kendatipun dalam wujud, jenis, dan
gradasi berbeda-beda.
Penelitian dalam rangka Hibah Kompetensi dengan DRPM, Ditjen
Penguatan Risbang Kemenristek DIKTI yang dilakukan penulis dan dimulai pada
tatrun 2016 tentang kefatisan dalam bahasa Indonesia ini dapat pula dianggap
sebagai salah satu wilayah kajian ekolinguistik metaforis. Penelitian kefatisan
tersebut ancangan pragmatik, tetapi sebagaimana dinyatakan Einar Haugen dalam
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
20
Rahardi (2016), ekolinguistik merupakan perkembangan natural (natural
development) dari bidang-bidang kajian linguistik interdisipliner mauprm
multidisipliner. Berikut adalah contoh cuplikan percakapan (Rahardi, dkk., 2016:
3).
(8) PT : Jadi tuh...
MT : Ntar dulu, passwordnya Indonesia Raya, Bos.
PT : Kalau misalkan gurunya memberi contoh kalimat A tapi
muridnya masih salah nanti diulang-ulang terus sampai muridnya bener.
Intinya begitu kalau metode audiolingual.
Konteks: Penutur merupakan seorang mahasiswi berumur 19 tahun; Mitra tutur
adalah seorang mahasiswi berumur 20 tahun; Saat tuturan terjadi mitra tutur
sedang mengetik password wifi di sebuah rumah makan.
Bentuk 'ntar dulu' yang tentu saja lengkapnya adalah 'sebentar dahulu'
pada cuplikan di atas dapat dianggap sebagai penanda kefatisan. Maksud tuturan
tersebut bukanlah murni bahwa mitra tutur diminta menunggu sebentar karena
dirinya sedang mengetikkan sandi dalam laptopnya, tetapi sekadar sebagai
ungkapan sopan-santun kepada mita tutur.
Kridalaksana (1986: 111) mengartikan fatis sebagai kategori yang bertugas
melalui, mempertahankan, atau mengkukuhkan pembicaraan antara pembicara
dan lawan bicara. Sebagian besar kategori fatis merupakan ciri ragam lisan.
Ragam lisan pada umumnya merupakan ragam non-standar, maka kebanyakan
kategori fatis terdapat dalam kalimat-kalimat non-standar yang banyak
mengandung unsur-unsur daerah atau dialek regional. Berikut adalah bentuk-
bentuk dari kata fatis (Kridalaksana, 1986: 113–116).
1) ah menekankan rasa penolakan atau acuh tak acuh.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
21
2) ayo menekankan ajakan.
3) deh menekankan pemksaan dengan membujuk, pemberian persetujuan,
pemberian garansi, sekedar penekanan.
4) dong digunakan untuk menghaluskan perintah, menekankan kesalahan
kawan bicara.
5) ding menekankan pengakuan kesalahan pembicara.
6) halo digunakan untuk memulai dan mengukuhkan pembicaraan di telepon,
serta menyalami kawan bicara yang dianggap akrab.
7) kan apabila terletak pada akhir kalimat atau awal kalimat, maka kan
merupakan kependekan dari kata bukan atau bukanlah, dan tugasnya ialah
menekankan pembuktian. Apabila kan terletak di tengah kalimat maka kan
juga bersifat menekankan pembuktian atau bantahan.
8) kek mempunyai tugas menekankan pemerincian, menekankan perintah, dan
menggantikan kata saja.
9) kok menekankan alasan dan pengingkaran. Kok dapat juga bertugas sebagai
pengganti kata tanya mengapa atau kenapa bila diletakkan di awal kalimat.
10) -lah menekankan kalimat imperatif dan penguat sebutan dalam kalimat.
11) lho bila terletak di awal kalimat bersifat seperti interjeksi yang menyatakan
kekagetan. Bila terletak di tengah atau di akhir kalimat, maka lho bertugas
menekankan kepastian.
12) mari menekankan ajakan.
13) nah selalu terletak pada awal kalimat dan bertugas untuk minta supaya
kawan bicara mengalihkan perhatian ke hal lain.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
22
14) pun selalu terletak pada ujung konstituen pertama kalimat dan bertugas
menonjolkan bagian tersebut.
15) selamat diucapkan kepada kawan bicara yang mendapatkan atau mengalami
sesuatu yang baik.
16) sih memiliki tugas menggantikan tugas –tah dan –kah, sebagai makna
‘memang’ atau ‘sebenarnya’, dan menekankan alasan.
17) toh bertugas menguatkan maksud; adakalanya memiliki arti yang sama
dengan tetapi.
18) ya bertugas mengukuhkan atau membenarkan apa yang ditanyakan kawan
bicara, bila dipakai pada awal ujaran dan meminta persetujuan atau
pendapat kawan bicara bila dipakai pada akhir ujaran.
19) yah digunakan pada awal atau di tengah-tengah ujaran, tetapi tidak pernah
pada akhir ujaran, untuk mengungkapkan keraguraguan atau ketidakpastian
terhadap apa yang diungkapkan oleh kawan bicara atau yang tersebut dalam
kalimat sebelumnya, bila dipakai pada awal ujaran; atau keragu-raguan atau
ketidakpastian atas isi konstituen ujaran yang mendahuluinya, bila di tengah
ujaran.
2.2.3 Kesantunan sebagai Fenomena Pragmatik
Bahasa yang santun adalah struktur bahasa yang disusun sedemikian rupa
oleh penutur/penulis agar apa yang disampaikan/tuliskan tidak menyinggung
perasaan pendengar atau pembaca. Ketika menggunakan bahasa dalam
bersosialisasi, penutur harus memperhatikan kaidah berbicara dengan baik dan
benar. Bahasa yang benar adalah bahasa yang dipakai sesuai dengan kaidah yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
23
berlaku. Begitu juga ketika seseorang sedang menulis cerpen, mereka
menggunakan kaidah bahasa sesuai dengan peran tokoh yang sedang diperankan.
Namun, kedua hal tersebut tidaklah cukup. Masih ada satu kaidah lagi yang perlu
diperhatikan, yaitu kesantunan (Pranowo, 2009: 4−5). Berikut adalah teori-teori
kesantunan berbahasa menurut para ahli.
a. Teori kesantunan berbahasa Leech
Leech (1993: 126-127) menjelaskan bahwa dalam bertutur hendaknya
memperhatikan kesantunan karena kesantunan tidak bisa dianggap remeh. Untuk
itu, Leech mengemukakan prinsip kesantunan sebagai pengendali atau pengontrol
tuturan untuk mengurangi akibat yang kurang menyenangkan yang dapat
mengakibatkan konflik karena kesalahpahaman antara penutur dan mitra tutur.
Leech mengusulkan untuk melengkapi prinsip koperasi Grice dengan prinsip
kesantunan. Prinsip kesantunan lebih menekankan pada aspek sosial psikologis
antara penutur dan mitra tutur.
Untuk menjaga kesantunan tersebut Leech mengemukakan enam maksim
dalam prinsip kesantunan yaitu maksim kebijaksanaan, maksim kemurahan hati,
maksim penerimaan, maksim kerendahan hati, maksim kecocokan, dan maksim
simpati. Maksim ini berfungsi untuk menjaga kesantunan sebuah tuturan.
1) Maksim Kebijaksanaan
Rahardi (2005: 60) mengungkapkan gagasan dasar dalam maksim
kebijaksanaan dalam prinsip kesantunan adalah bahwa para peserta pertuturan
hendaknya berpegang pada prinsip untuk selalu mengurangi keuntungan dirinya
sendiri dan memaksimalkan keuntungan pihak lain dalam kegiatan bertutur.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
24
Orang bertutur yang berpegang dan melaksanakan maksim kebijaksanaan akan
dapat dikatakan sebagai orang santun. Wijana (1996: 56) menambahkan bahwa
semakin panjang tutz uran seseorang semakin besar pula keinginan orang itu
untuk bersikap sopan kepada lawan bicaranya. Demikian pula tuturan yang
diutarakan secara tidak langsung lazimnya lebih sopan dibandingkan dengan
tuturan yang diutarakan secara langsung. Dalam maksim kebijaksanaan ini, Leech
(1993: 206) menggunakan istilah maksim kearifan. Silahkan bandingkan
pertuturan (9) yang mematuhi maksim kebijaksanaan dan pertuturan (10) yang
melanggarnya.
(9) A: “Mari saya bawakan tas bapak!”
B: “Jangan, tidak usah!”
(10) A: “Mari saya bawakan tas Bapak!”
B: “Ini, begitu dong jadi mahasiswa!”
2) Maksim Kedermawanan
Menurut Leech (1993: 209) maksud dari maksim kedermawanan ini adalah
buatlah keuntungan diri sendiri sekecil mungkin; buatlah kerugian diri sendiri
sebesar mungkin. Rahardi (2005: 61) mengatakan bahwa dengan maksim
kedermawanan atau maksim kemurahan hati, para peserta pertuturan diharapkan
dapat menghormati orang lain. Penghormatan terhadap orang lain akan terjadi
apabila orang dapat mengurangi keuntungan bagi dirinya sendiri dan
memaksimalkan keuntungan bagi pihak lain. Chaer (2010: 60) menggunakan
istilah maksim penerimaan untuk maksim kedermawanan Leech. Sebagai contoh
lihat tuturan (11) yang dipandang kurang santun bila dibandingkan tuturan (12).
(11) “Pinjami saya uang seratus ribu rupiah!”
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
25
(12) “Saya akan meminjami Anda uang seratus ribu rupiah.”
Tuturan (11) serasa kurang santun karena penutur berusaha memaksimalkan
keuntungan untuk dirinya sendiri, sedangkan tuturan (12) sebaliknya yang lebih
santun karena berusaha memaksimalkan kerugian diri sendiri.
3) Maksim Penghargaan
Wijana (1996: 57) menjelaskan maksim penghargaan ini diutarakan dengan
kalimat ekspresif dan kalimat asertif. Nadar (2009: 30) memberikan contoh
tuturan ekspresif yakni mengucapkan selamat, mengucapkan terima kasih,
memuji, dan mengungkapkan bela sungkawa. Dalam maksim ini menuntut setiap
peserta pertuturan untuk memaksimalkan rasa hormat kepada orang lain, dan
meminimalkan rasa tidak hormat kepada orang lain. Rahardi (2005:63)
menambahkan, dalam maksim penghargaan dijelaskan bahwa orang akan dapat
dianggap santun apabila dalam bertutur selalu berusaha memberikan penghargaan
kepada pihak lain. Dengan maksim ini, diharapkan agar para peserta pertuturan
tidak saling mengejek, saling mencaci, atau saling merendahkan pihak lain.
Dalam maksim ini Chaer menggunakan istilah lain, yakni maksim kemurahan.
Simak pertuturan (13) dan (14) berikut.
(13) A: “Sepatumu bagus sekali!”
B: “Wah, ini sepatu bekas; belinya juga di pasar loak.”
(14) A: “Sepatumu bagus sekali!”
B: “Tentu dong, ini sepatu mahal; belinya juga di Singapura!”
Penutur A pada (13) dan (14) bersikap santun karena berusaha
memaksimalkan keuntungan pada B lawan tuturnya. Lalu, lawan tutur pada (13)
juga berupaya santun dengan meminimalkan penghargaan diri sendiri, tetapi B
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
26
pada (14) melanggar kesantunan dengan berusaha memaksimalkan keuntungan
diri sendiri.
4) Maksim Kesederhanaan
Rahardi (2005: 63) mengatakan bahwa di dalam maksim kesederhanaan
atau maksim kerendahan hati, peserta tutur diharapkan dapat bersikap rendah hati
dengan cara mengurangi pujian terhadap dirinya sendiri. Dalam masyarakat
bahasa dan budaya Indonesia, kesederhanaan dan kerendahan hati banyak
digunakan sebagai parameter penilaian kesantunan seseorang. Wijana (1996: 58)
mengatakan maksim kerendahan hati ini diungkapkan dengan kalimat ekspresif
dan asertif. Bila maksim kemurahan atau penghargaan berpusat pada orang lain,
maksim kerendahan hati berpusat pada diri sendiri. Maksim ini menuntut setiap
peserta pertuturan untuk memaksimalkan ketidakhormatan pada diri sendiri, dan
meminimalkan rasa hormat pada diri sendiri. Simak contoh (15) dan (16) berikut.
(15) A: “Mereka sangat baik kepada kita.”
B: “Ya, memang sangat baik bukan?”
(16) A: “Kamu sangat baik pada kami.”
B: “Ya, memang sangat baik, bukan?”
Pertuturan (15) mematuhi prinsip kesantunan karena penutur A memuji
kebaikan pihak lain dan respons yang diberikan lawan tutur B juga memuji orang
yang dibicarakan. Berbeda dengan pertuturan (16) yang di dalamnya ada bagian
yang melanggar kesantunan. Pada tuturan (16) itu, lawan tutur B tidak mematuhi
maksim kesederhanaan karena memaksimalkan rasa hormat pada diri sendiri.
5) Maksim Permufakatan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
27
Rahardi (2005: 64) dalam maksim ini, ditekankan agar para peserta tutur
dapat saling membina kecocokan atau kemufakatan di dalam kegiatan bertutur.
Apabila terdapat kemufakatan atau kecocokan antara diri penutur dan mitra tutur
dalam kegiatan bertutur, masing-masing dari mereka akan dapat dikatakan
bersikap santun. Wijana (1996: 59) menggunakan istilah maksim kecocokan
dalam maksim permufakatan ini. Maksim kecocokan ini diungkapkan dengan
kalimat ekspresif dan asertif. Maksim kecocokan menggariskan setiap penutur dan
lawan tutur untuk memaksimalkan kecocokan di antara mereka, dan
meminimalkan ketidakcocokan di antara mereka. Simak pertuturan (17) dan (18).
(17) A: “Kericuhan dalam Sidang Umum DPR itu sangat memalukan.”
B: “Ya, memang!”
(18) A: “Kericuhan dalam Sidang Umum DPR itu sangat memalukan.”
B: “Ah, tidak apa-apa. Itulah dinamikanya demokrasi.”
Tuturan B pada (17) lebih santun dibandingkan dengan tuturan B pada (18),
mengapa? Karena pada (18), B memaksimalkan ketidaksetujuan dengan
pernyataan A. Namun, bukan berarti orang harus senantiasa setuju dengan
pendapat atau pernyataan lawan tuturnya. Dalam hal ia tidak setuju dengan
pernyataan lawan tuturnya, dia dapat membuat pernyataan mengandung
ketidaksetujuan parsial (tidak terkesan sombong).
6) Maksim Kesimpatian
Leech (1993: 207) mengatakan di dalam maksim ini diharapkan agar para
peserta tutur dapat memaksimalkan sikap simpati antara pihak yang satu dengan
pihak lainnya. Sikap antipati terhadap salah seorang peserta tutur akan dianggap
sebagai tindakan tidak santun. Orang yang bersikap antipati terhadap orang lain,
apalagi sampai bersikap sinis terhadap pihak lain, akan dianggap sebagai orang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
28
yang tidak tahu sopan santun di dalam masyarakat (Rahardi, 2005: 5). Menurut
Wijana (1996: 60), jika lawan tutur mendapatkan kesuksesan atau kebahagiaan,
penutur wajib memberikan ucapan selamat. Bila lawan tutur mendapatkan
kesusahan, atau musibah, penutur layak turut berduka, atau mengutarakan ucapan
bela sungkawa sebagai tanda kesimpatian. Simak pertuturan (19) dan (20) yang
cukup santun karena si penutur mematuhi maksim kesimpatian, yakni
memaksimalkan rasa simpati kepada lawan tuturnya yang mendapatkan
kebahagiaan pada (19) dan kedukaan pada (20).
(19) A: “Bukuku yang kedua puluh sudah terbit.”
B: “Selamat ya, Anda memang orang hebat.”
(20) A: “Aku tidak terpilih jadi anggota legislatif; padahal uangku sudah
banyak keluar.”
B: “Oh, aku ikut prihatin, tetapi bisa dicoba lagi dalam pemilu
mendatang.”
b. Teori kesantunan berbahasa Fraser
Dalam Jurnal Hartini, dkk berjudul Kesantunan Berbahasa Dalam
Komentar Caption Instagram, Fraser membahas kesantunan bukan atas kaidah
melainkan atas dasar strategi, tetapi kesantunan itu tidak disebutkan oleh Fraser.
Fraser hanya membedakan kesantunan (politeness) dari penghormatan. Fraser
Menjelaskan (dalam Chaer, 2010: 47) kesantunan adalah “property associated
with neither exceeded any right nor failed to fullfill any obligation”. Dengan kata
lain kesantunan adalah properti yang diasosiasikan dengan tuturan dan didalam
hal ini menurut pendapat si pendengar, si penutur tidak melampaui hak-haknya
atau tidak mengingkari memenuhi kewajibannya. Kesantunan adalah bagian dari
aktivitas yang berfungsi sebagai sarana simbolis untuk menyatakan penghargaan
secara reguler. Fraser (dalam Gunarwan: 1994) menjelaskan kesantunan yaitu
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
29
menunjukkan rasa hormat kepada mitra tutur, misalnya di dalam masyarakat tutur
Jawa jika seseorang mengguakana bahasa Jawa Krama Inggil kepada lawan
bicaranya. Fraser menambahkan bahwa berprilaku hormat belum tentu berprilaku
santun karena kesantunan adalah masalah lain. Dari penjelasan Fraser mengenai
definisi kesantunan tersebut, disimpulkan yaitu pertama, kesantunan itu adalah
properti atau bagian dari ujaran; jadi bukan ujaran itu sendiri. Kedua, pendapat
pendengarlah yang menentukan apakah kesantunan itu ada pada suatu ujaran.
Mungkin saja sebuah ujaran dimaksudkan sebagai ujaran yang santun oleh si
penutur, tetapi di telinga si pendengar ujaran itu ternyata tidak terdengar santun,
dan demikian pula sebaliknya. Ketiga, kesantunan itu dikaitkan dengan hak dan
kewajiban penyerta interaksi.
Fraser (1990 dalam Rahardi 2003: 76) menunjukkan bahwa sedikitnya
terdapat empat macam pandangan yang dapat digunakan untuk mengkaji masalah
kesantunan secara pragmatik di dalam aktivitas bertutur yang sesungguhnya di
dalam sebuah masyarakat bahasa. Keempat pandangan kesantunan tersebut satu
demi satu dapat diuraikan sebagai berikut.
Pertama, pandangan kesantunan yang berkaitan dengan norma-norma sosial
(the social-norma view). Di dalam pandangan norma-norma sosial ini, kesantunan
di dalam bertutur akan banyak ditentukan berdasarkan norma-norma sosial dan
aturan kultural yang ada dan benar-benar berlaku di dalam masyarakat bahasa
tertentu. Apa yang dimaksud dengan santun di dalam aktivitas bertutur, menurut
pandangan norma-norma sosial ini, dapat disejajarkan dengan etiket di dalam
aktivitas berbahasa (language etiquette).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
30
Kedua, pandangan yang melihat kesantunan sebagai sebuah maksim
percakapan (conversational maxim), dan sebagai sebuah penyelamatan muka
(face-saving). Di samping itu, dalam pandangan maksim percakapan ini
kesantunan di dalam bertutur juga dapat dianggap sebagai kontrak percakapan
(conversational contract). Pandangan kesantunan sebagai maksim percakapan ini
menganggap prinsip kesantunan (politeness principle) hanyalah sebagai
pelengkap dari prinsip kerja sama Grice (cooprative principle) saja.
Ketiga, melihat kesantunan berbahasa sebagai tindakan untuk memenuhi
persyaratan agar terpenuhinya sebuah fakta kontrak percakapan. Keempat, sangat
erat kaitannya dengan penelitian sosiolinguistik.
c. Teori kesantunan berbahasa Lakoff
Lakoff (dalam Purwo, 1994: 87) kesantunan dikembangkan oleh masyarakat
guna mengurangi friksi (perbedaan pendapat/perpecahan) dalam interasi pribadi".
Menurutnya, ada tiga buah kaidah yang harus dipatuhi untuk menerapkan
kesantunan, yaitu formalitas (formality), ketidaktegasan (hesitancy), dan
kesamaan atau kesekawanan (equality atau cameraderie).
1. Formalitas berarti jangan terdengar memaksa atau angkuh (aloof);
2. Ketidaktegasan berarti berarti berbuatlah sedemikian rupa sehingga mitra tutur
dapat menentukan pilihan (option);
3. Persamaan atau kesekawanan berarti bertindaklah seolah-olah Anda dan mitra
tutur menjadi sama atau dengan kata lain buatlah mitra tutur merasa senang.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
31
d. Teori kesantunan berbahasa Pranowo
Pranowo (2009: 14−15) menyatakan ada tiga alasan berbahasa secara santun
dalam interaksi penutur dan mitra tutur. Pertama, mitra tutur diharapkan dapat
memahami maksud yang disampaikan oleh penutur. Kedua, setelah mitra tutur
memahami maksud penutur, mitra tutur akan mencari aspek tuturan yang lain.
Ketiga, tuturan penutur kadang-kadang juga disimak oleh orang lain (orang
ketiga) yang sebenarnya tidak berkaitan langsung dengan komunikasi antara
penutur dan mitra tutur. Lebih lanjut, Pranowo menjelaskan bahwa perilaku
seseorang akan baik, benar, dan santun sehingga kepribadiannya halus,
memperhatikan beberapa hal ketika berkomunikasi, seperti (a) penutur berbahasa
secara wajar dengan menggunakan akal sehat, (b) penutur selalu mengedepankan
pokok masalah yang diungkapkan, (c) penutur selalu berprasangka baik kepada
mitra tutur, (d) penutur jujur, bersikap terbuka dan tidak pernah menyakiti hati
mitra tutur dalam setiap tuturannya. Sebaliknya, penutur akan menjadi kasar dan
tidak santun sehingga memiliki kepribadian yang buruk., seperti (a) selalu
didorong rasa emosi ketika bertutur, (b) selalu ingin memojokkan mitra tutur
dalam setiap tuturannya, (c) selalu berprasangka buruk kepada mitra tutur, (d)
selalu bersikap protektif terhadap pendapatnya, dan sebagainya.
Terlepas dari tuturan santun atau tidak santun, keduanya adalah tindak
komunikasi, dan tindak komunikasi menggunakan bahasa sebagai sarananya.
Bahasa yang digunakan oleh seseorang merupakan cerminan dari dirinya sendiri.
Bahasa dapat menilai harkat dan martabat seseorang dimata orang lain.
Kemampuan berbahasa secara santun menunjukkan kepribadian yang santun pula.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
32
Inilah salah satu alasan memperhatikan kesantunan dalam berbahasa menjadi
suatu hal terpenting dalam berkomunikasi dengan lingkungan sosial. Ada
beberapa hal dapat dijadikan acuan dalam tuturan seseorang sehingga mampu
dikategorikan santun atau tidak santun.
a. Santun tidaknya pemakaian bahasa dapat dilihat setidaknya dari dua hal,
yaitu pilihan kata (diksi) dan gaya bahasa.
1) Pilihan kata yang dimaksud adalah ketepatan pemakaian kata untuk
mengungkapkan makna dan maksud dalam konteks tertentu sehingga
menimbulkan efek tertentu pada mitra tutur. Setiap kata, di samping
memiliki makna tertentu juga memiliki daya (kekuatan) tertentu. Jika
pilihan kata yang digunakan menimbulkan daya bahasa tertentu dan daya
bahasa yang timbul menjadikan mitra tutur tidak berkenan, penutur akan
dipersepsi sebagai orang yang tidak santun. Sebaliknya, jika pilihan kata
menimbulkan daya bahasa yang menjadikan mitra tutur berkenan, penutur
akan dipersepsi sebagai orang yang santun.
2) Gaya bahasa bukan sekadar mengefektifkan maksud pemakaian bahasa,
tetapi juga memperlihatkan keindahan tuturan dan kehalusan budi bahasa
penutur. Beberapa gaya bahasa untuk melihat santun tidaknya pemakaian
bahasa dalam bertutur yakni: majas hiperbola, majas perumpamaan, majas
metafora, dan majas eufemisme.
b. Untuk menanamkan perilaku berbahasa secara santun, dapat menggunakan
teori-teori yang bisa dijadikan acuan. Pertama, prinsip kerja sama dari Grice
(1983), yaitu prinsip kualitas, prinsip kuantitas, prinsip relevansi, dan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
33
prinsip cara. Kedua, maksim dari Leech (1983), yaitu (a) maksim
kebijaksanaan, (b) maksim kedermawanan, (c) maksim pujian, (d) maksim
kerendahan hati, (e) maksim kesetujuan, (f) maksim simpati, dan (g)
maksim pertimbangan. Ketiga, Austin (1978), yaitu perhatikan (a) tindak
lokusi berupa ujaran yang dihasilkan oleh seorang penutur, (b) tindak
ilokusi berupa maksud yang terkandung dalam ujaran, dan (c) tindak
perlokusi berupa efek yang ditimbulkan oleh ujaran.
c. Penutur perlu memperhatikan strategi berkomunikasi. Strategi
berkomunikasi yan baik, antara lain (a) harus ada pokok masalah yang
dibicarakan, (b) harus memilih cara penyampaian dengan mengenali level
sosial mitra tutur, dan (c) mengapa pokok masalah tertentu harus
disampaikan.
d. Jika dirasa teori di atas belum mencukupi, penutur jangan segan membawa
nilai-nilai etnis tertentu yang dinilai positif. Misalnya, ketika berkomunikasi
harus mahir angon rasa, angon wayah, adu rasa, empan papan, tepa selira,
andhap asor, selalu hormat pada mitra tutur.
e. Gejala penutur dikatakan santun, yakni (a) bicara secara wajar dengan
menggunakan akal sehat, (b) mengedepankan pokok masalah yang
diungkapkan, (c) selalu berprasangka baik kepada mitra tutur, (d) penutur
bersikap terbuka dan menyampaikan kritik secara umum, (e) menggunakan
bentuk lugas, atau bentuk pembelaan diri secara lugas sambil menyindir,
dan (f) mampu membedakan situasi bercanda dengan situasi serius.
Sebaliknya, gejala penutur yang bertutur secara tidak santun, yakni (a)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
34
menyampaikan kritik secara langsung (menohok mitra tutur) dengan kata
atau frasa kasar, (b) di dorong rasa emosi ketika bertutur, (c) protektif
terhadap pendapatnya, (d) sengaja ingin memojokkan mitra tutur dalam
bertutur, (e) menyampaikan tuduhan atas dasar kecurigaan terhadap mitra
tutur.
f. Faktor penentu kesantunan adalah segala hal yang dapat memengaruhi
pemakaian bahasa menjadi santun atau tidak santun. Faktor penentu
kesantunan dapat dilihat dari beberapa aspek, yaitu
1) Aspek kebahasaan, seperti intonasi, nada, pilihan kata, gerak gerik anggota
tubuh, kerlingan mata, gelengan kepala, acungan tangan, kepalan tangan,
tangan berkacak pinggang, dan sebagainya,; panjang pendeknya struktur
kalimat, ungkapan, dan gaya bahasa.
2) Aspek non kebahasaan berupa pranata sosial budaya masyarakat dan pranata
adat.
g. Indikator adalah penanda yang dapat dijadikan penentu apakah pemakaian
bahasa Indonesia si penutur itu santun atau tidak. Indikator kesantunan yang
dimaksud terdiri atas: indikator kesantunan menurut Dell Hymes, indikator
kesantunan menurut Grice, indikator kesantunan menurut Leech, dan
indikator kesantunan menurut Pranowo.
e. Teori kesantunan berbahasa Rahardi
Rahardi (2005: 118), ciri kesantunan berbahasa meliputi wujud kesantunan
yang menyangkut ciri linguistik yang selanjutnya mewujudkan kesantunan
linguistik dan wujud kesantunan yang menyangkut ciri nonlinguistik yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
35
selanjutnya mewujudkan kesantunan pragmatik. Kesantunan linguistik mencakup
(1) panjang-pendek tuturan, (2) urutan tutur, (3) intonasi tuturan dan isyarat-
isyarat kinesik, dan (4)pemakaian ungkapan penanda kesantunan.
Rahardi (2005: 119) menjelakan panjang-pendek tuturan yang dimaksudkan
bahwa di dalam kegiatan bertutur, seseorang tidak diperbolehkan secara langsung
mengungkapkan maksud tuturannya. Secara umum dapat dikatakan bahwa
semakin panjang tuturan yang digunakan, akan semakin santunlah tuturan itu.
Dikatakan demikian karena panjangpendeknya tuturan berhubungan sangat erat
dengan masalah kelangsungan dan ketidaklangsungan dalam bertutur.
Selain itu, Rahardi (2005: 121), urutan tuturan juga menjadi sebagai ciri
kesantunan linguistik tuturan. Urutan tutur pada sebuah tuturan sangat
berpengaruh besar terhadap tinggi-rendahnya peringkat kesantunan tuturan yang
digunakan pada saat bertutur. Sebagai ilustrasi, dapat disampaikan bahwa dalam
masyarakat tutur Jawa, seseorang akan mengetuk pintu dan mengatakan
kulonuwun atau permisi terlebih dahulu pada saat bertamu, baru kemudian orang
itu masuk rumah dan duduk di kursi setelah dipersilahkan oleh si tuan rumah.
Urutan yang demikian sangatmenentukan penilaian seseorang terhadap perilaku
kesantunan orang tersebut.
Berikutnya, Rahardi (2005: 122), intonasi dan isyarat-isyarat kinesik
menjadi salah satu ciri kesantunan linguistik tuturan. Intonasi memiliki peranan
besar dalam menentukan tinggi-rendahnya peringkat kesantunan sebuah tuturan.
sebagai contoh, ketika kita berkata dengan orang tua dengan intonasi yang tinggi
untuk meminta uang, maka dapat dikatakan bahwa seseorang tersebut tidak santun
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
36
dalam berbahasa. Di samping intonasi, kesantunan dipengaruhi juga oleh
isyarataisyarat kinesik yang dimunculkan lewat bagian-bagian tubuh penutur.
Rahardi (2005: 123), sistem paralinguistik yang bersifat kinesik itu dapat
disebutkan di antaranya sebagai berikut: (1) ekspresi wajah, (2) sikap tubuh, (3)
gerakan jari-jemari, (4) gerakan tangan, (5) ayunan lengan, (6) gerakan pundak,
(7) giyangan pinggul, dan (8) gelengan kepala.
Selanjutnya, Rahardi (2005: 125), ungkapan-ungkapan penanda kesantunan
menjadi sebagai ciri-ciri kesantunan. Kesantunan berbahasa dalam pemakaian
tuturan imperatif misalnya, ditentukan oleh muncul atau tidak munculnya
ungkapan-ungkapan penanda kesantunan seperti; tolong, mohon, silakan, mari,
ayo, biar, coba, harap, hendaknya, sudi kiranya dan sudi apalah kiranya. Penanda
– penanda kesantunan ini menentukan tinggi-rendahnya peringkat kesantunan
berbahasa seseorang ketika berkomunikasi.
Berdasarkan penjelasan para ahli di atas tentang kesantunan sebagai
fenomena pragmatik, maka simpulannya adalah. (1) Leech mengemukakan bahwa
kesantunan digunakan sebagai pengendali atau pengontrol dalam berkomunikasi,
dan lebih menekankan pada aspek sosial psikologis antara penutur dan mitra tutur.
Leech menggunakan enam maksim dalam prinsip kesantunan dalam menjaga
kesantunan itu. (2) Fraser membahas kesantunan bukan atas kaidah melainkan
atas dasar strategi, tetapi kesantunan itu tidak disebutkan oleh Fraser. Fraser
hanya membedakan kesantunan (politeness) dari penghormatan. Fraser
menjelaskan kesantunan yaitu menunjukkan rasa hormat kepada mitra tutur dan
sedikitnya terdapat empat macam pandangan yang dapat digunakan untuk
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
37
mengkaji masalah kesantunan secara pragmatik di dalam aktivitas bertutur yang
sesungguhnya di dalam sebuah masyarakat bahasa. (3) Lakoff menyebutkan ada
tiga buah kaidah yang harus dipatuhi untuk menerapkan kesantunan, yaitu
formalitas (formality), ketidaktegasan (hesitancy), dan kesamaan atau
kesekawanan (equality atau cameraderie). (4) Pranowo tidak memberikan teori
mengenai kesantunan berbahasa, melainkan memberi pedoman bagaimana
berbicara secara santun. Terakhir, (5) Rahardi memberikan ciri kesantunan
berbahasa meliputi wujud kesantunan yang menyangkut ciri linguistik yang
selanjutnya mewujudkan kesantunan linguistik dan wujud kesantunan yang
menyangkut ciri nonlinguistik yang selanjutnya mewujudkan kesantunan
pragmatik.
Bertolak dari penjelasan di atas, peneliti memilih teori kesantunan leech
yang digunakan untuk landasan analisis data penelitian. Alasan dipilihnya teori
kesantunan leech karena rumusan prinsip kesantunan leech lah yang sampai saat
ini dianggap paling lengkap dan paling komprehensif. Prinsip kesantunan itulah
yang tertuang dalam enam maksim. Tak hanya itu, peneliti juga menggunakan
penanda kesantunan Rahardi sebagai penjelas dalam menentukan tuturan
kesantunan.
2.2.4 Faktor Penentu Kesantunan
Faktor penentu kesantunan adalah segala hal yang dapat memengaruhi
pemakaian bahasa menjadi santun atau tidak santun (Pranowo, 2009: 76). Faktor
penentu kesantunan dari aspek kebahasaan dapat diidentifikasi sebagai berikut.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
38
Aspek penentu kesantunan dalam bahasa verbal lisan, antara lain aspek
intonasi (keras lembutnya intonasi ketika seseorang berbicara), aspek nada bicara
(berkaitan dengan suasana emosi penutur; nada resmi, nada bercanda atau
bergurau, nada mengejek, nada menyindir), faktor pilihan kata, dan faktor struktur
kalimat.
Aspek intonasi dalam bahasa lisan sangat menentukkan santun tidaknya
pemakaian bahasa. Ketika penutur menyampaikan maksud kepada mitra tutur
dengan menggunakan intonasi keras, padahal mitra tutur berada pada jarak yang
sangat dekat dengan penutur, sementara mitra tutur tidak tuli, penutur akan dinilai
tidak santun. Sebaliknya, jika penutur menyampaikan maksud dengan intonasi
lembut, penutur akan dinilai sebagai orang yang santun. Namun, intonasi kadang-
kadang dipengaruhi oleh latar belakang budaya masyarakat. Lembutnya intonasi
orang Jawa berbeda dengan orang Batak.
Aspek nada dalam bertutur lisan memengaruhi kesantunan berbahasa
seseorang. Nada adalah naik turunnya ujaran yang menggambarkan suasana hati
penutur ketika sedang bertutur. Jika suasana hati sedang senang, nada bicara
penutur menaik dengan ceria sehingga terasa menyenangkan. Jika suasana hati
sedang sedih, nada bicara penutur menurun dengan datar sehingga terasa
menyedihkan. Jika suasana hati sedang marah, emosi, nada bicara penutur menaik
dengan keras, kasar sehingga terasa menakutkan. Nada bicara tidak dapat
disembunyikan dari tuturan. Dengan kata lain, nada bicara penutur selalu
berkaitan dengan suasana hati penuturnya. Namun, bagi penutur yang ingin
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
39
bertutur secara santun, hendaknya dapat mengendalikan diri agar suasana hati
yang negatif tidak terbawa dalam bertutur kepada mitra tutur.
Pilihan kata merupakan salah satu penentu kesantunan dalam bahasa lisan
maupun dalam bahasa tulis. Ketika seorang sedang bertutur, kata-kata yang
digunakan dipiih sesuai dengan topik yang dibicarakan, konteks pembicaraan,
suasana mitra tutur, dan pesan yang disampaikan.
Dalam bahasa lisan, kesantunan juga dipengaruhi oleh faktor bahasa
nonverbal, seperti gerak gerak gerik anggota tubuh, kerlingan mata, gelengan
kepala, acungan tangan, kepalan tangan, tangan berkacak pinggang, dan
sebagainya.
Faktor penentu kesantunan yang dapat diidentifikasi dari bahasa verbal tulis,
seperti pilihan kata yang berkaitan dengan nilai rasa, panjang pendeknya struktur
kalimat, ungkapan, dan gaya bahasa. Seorang penutur ketika berkomunikasi
menggunakan kata-kata berkadar santun dengan harapan mitra tutur juga memberi
respon berkadar santun juga. Penutur menggunakan bahasa yang sangat santun
karena penutur menghormati mitra tutur. Sebaliknya, mitra tutur juga diharapkan
dapat memberi respon yang santun kepada mitra tutur. Ungkapan mitra tutur
sebagai respon dapat dilakukan dengan berbagai cara, misalnya dengan
menggunakan kata-kata halus, kata-kata pujian, kata-kata yang dapat
memperlihatkan bahwa apa yang diberikan oleh penutur benar-benar yang
dikehendaki mitra tutur.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
40
2.2.5 Konteks
Ahli bahasa yang berbeda berusaha untuk mendefinisikan konteks dari sudut
pandang yang berbeda untuk menjawab pertanyaan yang dihadapi di bidang
mereka sendiri, dan untuk mendukung gagasan dan teori mereka sendiri.
Dalam jurnal Licho Song berjudul The Role of Context in Discourse
Analysis menyebutkan pengertian konteks menurut beberapa ahli. HG
Widdowson, ketika memfokuskan studinya tentang makna bahasa, menganggap
"konteks" sebagai "aspek-aspek dari keadaan penggunaan bahasa aktual yang
dianggap relevan dengan makna." Dia lebih jauh menunjukkan, "dengan kata lain,
konteks adalah konstruksi skematik yang artinya pencapaian makna pragmatis
adalah masalah pencocokan elemen linguistik kode dengan elemen skematis dari
konteksnya. "(H.G. Widdowson, 2000, p.126).
Saat mempelajari referensi dan kesimpulan, George Yule juga
mempertimbangkan "konteks". Dia memberi kita definisi yang agak umum,
"Konteks adalah lingkungan fisik di mana sebuah kata digunakan." (Yule, 2000:
128).
Meskipun mereka dilihat dari sudut pandang yang berbeda untuk tujuan
yang berbeda, definisi ini memiliki satu kesamaan yang penting: satu titik utama
dari konteksnya adalah lingkungan (keadaan atau faktor oleh beberapa ilmuwan
lainnya) di mana wacana terjadi. Pendapat tentang bagaimana mengklasifikasikan
konteks bervariasi dari satu ke yang lain. Beberapa ahli bahasa membagi konteks
menjadi dua kelompok, sementara beberapa orang bersikeras mendiskusikan
konteks dari tiga, empat, atau bahkan enam dimensi.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
41
Menurut keadaan yang berbeda yang disebutkan dalam definisi di atas, Song
dalam artikel miliknya dengan judul The Role of Context in Discourse Analysis
ingin membagi konteks ke dalam konteks linguistik, konteks situasional dan
konteks budaya.
Pakar lain, Wijana (1996) mendefinisikan pragmatik sebagai studi
kebahasaan yang terikat konteks. Artinya, pragmatik sebagai studi bahasa
mempelajari kondisi penggunaan bahasa manusia yang ditentukan oleh konteks
yang mewadahi dan melatarbelakangi bahasa itu. Konteks tersebut meliputi
konteks yang bersifat sosial dan sosietal. Kedua pakar di atas mengklasifikasikan
konteks berbeda-beda. Bertolak klasifikasi di atas, peneliti akan memaparkan
konteks yang berhubungan dengan pragmatik, meliputi konteks sosial, konteks
sosietal, konteks budaya, dan konteks situasi.
a. Konteks Sosial
Wijana (1996) menyatakan konteks sosial merupakan konteks yang timbul
sebagai akibat dari munculnya interaksi antaranggota masyarakat dalam suatu
masyarakat tutur atau sosial dan budaya tertentu. Dasar dari konteks sosial adalah
adanya solidaritas (solidarity).
b. Konteks Sosietal
Wijana (1996) menyatakan konteks sosietal dibangun oleh kedudukan
anggota masyarakat dalam institusi-institusi sosial yang ada di dalam masyarakat
dan budaya tertentu. Dasar munculnya konteks sosietal adalah adanya kekuasaan
(power).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
42
c. Konteks Budaya
Konteks budaya mengacu pada budaya, adat istiadat dan latar belakang
zaman dalam komunitas bahasa tempat para pembicara berpartisipasi. Bahasa
adalah fenomena sosial, dan sangat terkait erat dengan struktur sosial dan sistem
nilai masyarakat. Oleh karena itu, bahasa tidak dapat menghindari dipengaruhi
oleh semua faktor seperti peran sosial, status sosial, jenis kelamin dan usia, dll.
Peran sosial adalah fungsi khusus budaya, dilembagakan dalam masyarakat
dan diakui oleh anggotanya. Dengan status sosial, berarti kedudukan sosial relatif
peserta. Setiap peserta dalam acara bahasa harus tahu, atau membuat asumsi
tentang statusnya dalam hubungan dengan yang lain, dan dalam banyak situasi,
status juga akan menjadi faktor penting dalam penentuan siapa yang harus
memulai percakapan. Seks dan usia sering menjadi penentu atau berinteraksi
dengan status sosial. Istilah alamat yang dipekerjakan oleh seseorang dari satu
jenis kelamin yang berbicara kepada orang yang lebih tua, mungkin berbeda dari
orang-orang yang dipekerjakan dalam situasi yang sama oleh orang-orang dari
jenis kelamin yang sama atau seumuran.
d. Konteks Situasi
Leech (1993, dalam Rahardi, 2003: 18) memaparkan konteks situasi tuturan
adalah aneka macam kemungkinan latar belakang pengetahuan (background
knowledge) yang muncul dan dimiliki bersama-sama baik oleh penutur maupun
oleh mitra tutur, serta aspek-aspek non-kebahasaan lainnya yang menyertai,
mewadahi, serta melatarbelakangi hadirnya sebuah pertuturan tertentu. Latar
belakang pengetahuan yang dimaksudkan adalah segala aspek yang melingkupi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
43
baik itu aspek sosial, budaya, ekonomi maupun politik yang dimiliki oleh
partisipan (pembicara dan pendengar) dalam bertutur demi tercapainya makna
dalam pertuturan. Sejalan dengan hal itu, Tarigan (1989: 35) menyatakan bahwa
konteks situasi adalah latar belakang pengetahuan yang diperkirakan dimiliki dan
disetujui bersama oleh pembicara atau penulis dan penyimak atau pembaca, serta
yang menunjang intepretasi penyimak atau pembaca terhadap sesuatu yang
dimaksud pembicara atau penulis dengan suatu ucapan tertentu.
Akan tetapi dalam penelitian ini, peneliti hanya menggunakan satu konteks
sebagai acuan dalam mengidentifikasi tuturan dalam penelitian, yakni konteks
situasi.
2.2.6 Situasi Informal
Komunikasi informal menurut Mulyana (2005) dalam artikel Adhi Iman
Sulaiman berjudul Model Komunikasi Formal Dan Informal Dalam Proses
Kegiatan Pemberdayaan Masyarakat merupakan komunikasi yang tidak
tergantung pada struktur organisasi. Artinya dalam situasi informal komunikasi
dilakukan dengan cara santai tidak terikat organisasi.
Dalam artikel jurnal Furqon yang berjudul “Hakikat Komunikasi
Organisasi” dijelaskan tentang komunikasi secara informal. Menurut Pace &
Faules (2001: 199) bila anggota organisasi berkomunikasi dengan yang lainnya
tanpa memperhatikan posisi mereka dalam organisasi, pengarahan arus informasi
bersifat pribadi, disebut jaringan komunikasi informal. Pengertian tersebut
mengisyaratkan ada dua faktor dalam jaringan komunikasi informal, yaitu sifat
hubungan atau format interaksi dan arah aliran informasi. Untuk sifat hubungan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
44
adalah hubungan pribadi yang termasuk hubungan antar persona, dan arah aliran
informasi bersifat pribadi yang muncul dari interaksi di antara orang-orang dan
mengalir ke seluruh organisasi tanpa dapat diperkirakan, dikenal dengan desas-
desus (grapevine) atau kabar angin. Jelasnya adalah komunikasi yang dilakukan
secara informal hanya melibatkan hubungan pribadi atau orang per orang.
Penelitian yang dilakukan peneliti berkaitan dengan situasi informal, maka
dalam pengambilan data peneliti mengacu pada penjelasan tentang situasi
informal yakni situasi yang tidak terikat dengan organisasi. Situasi informal yang
dimaksud adalah situasi santai di kantin, di perpustakaan, ruang guru, ruang UKS,
lobi sekolah, dan lingkungan sekolah lainnya.
2.2.7 Wujud Tuturan
Wujud tuturan yaitu bentuk tuturan yang digunakan penutur untuk
menyampaikan pesan kepada lawan tutur. Putrayasa (2009: 19) wujud tuturan
berdasarkan modus (isi atau amanat) yang ingin disampaikan dibedakan menjadi
tiga, yaitu kalimat berita, kalimat tanya, dan kalimat perintah.
a. Kalimat Berita (Kalimat Deklaratif)
Kalimat berita dikenal dengan kalimat deklaratif. Kalimat berita yaitu
kalimat yang isinya menyatakan berita atau pernyataan untuk diketahui oleh orang
lain (pendengar atau pembaca). Kalimat berita berfungsi memberitahukan sesuatu
kepada orang lain. Kridalaksana (2008: 104) menyatakan bahwa kalimat berita
yaitu kalimat yang mengandung makna menyatakan atau memberitahukan
sesuatu, dalam ragam tulis biasanya diberi tanda titik (.) atau tidak diberi tanda
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
45
apa-apa pada bagian akhirnya. Bentuk kalimat berita dapat dilihat pada contoh
berikut.
(21) A: Rabu esuk Bapak karo Ibu arep tindak Bandung.
B: ‘Rabu pagi Bapak dan Ibu akan pergi ke Bandung.’
b. Kalimat Tanya (Kalimat Interogatif)
Kalimat tanya dikenal dengan kalimat interogatif. Kalimat tanya yaitu
kalimat yang isinya mengharapkan reaksi atau jawaban dari pendengar atau
pembaca. Kridalaksana (2008: 104) menambahkan bahwa kalimat tanya dalam
ragam tulis biasanya ditandai oleh tanda tanya (?). Kalimat tanya berfungsi untuk
menanyakan sesuatu dan biasanya diikuti oleh kata tanya apa, bagaimana, kapan,
di mana, siapa, mengapa, berapa, dan sebagainya sesuai dengan tujuan atau
sesuatu yang ingin ditanyakan (Rohmadi, 2004: 43 dalam Putrayasa, 2009).
Sitindaon, 1984: 123 (dalam Putrayasa, 2009) menyatakan bahwa
berdasarkan isinya, kalimat tanya dibedakan menjadi tiga, yaitu: (a) kalimat tanya
biasa, (b) kalimat tanya retoris, dan (c) kalimat tanya menguji. Kalimat tanya
biasa yaitu kalimat pertanyaan yang si penanya benar-benar menghendaki
jawaban atas apa yang ditanyakan. Kalimat tanya retoris yaitu kalimat pertanyaan
yang sebenarnya tidak menginginkan jawaban, sebab jawabannya sudah tersimpul
pada kalimat tanya tersebut atau jawabannya sudah diketahui oleh pendengar.
Biasannya dipakai dalam percakapan atau pidato untuk mempengaruhi pikiran
dan pendapat pendengar. Kalimat tanya menguji yaitu kalimat tanya yang
digunakan untuk menguji orang yang diberikan pertanyaan, seperti guru bertanya
terhadap murid.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
46
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa kalimat tanya
merupakan kalimat yang digunakan oleh penutur untuk menanyakan sesuatu
dengan harapan bahwa lawan tutur tersebut akan memberikan reaksi atau jawaban
kepada penutur. Berdasarkan isinya kalimat tanya dibedakan menjadi kalimat
tanya biasa, kalimat tanya retoris, dan kalimat tanya menguji. Bentuk kalimat
tanya dapat dilihat pada contoh berikut.
(22) A: Pak guru basa Jawa sing anyar kuwi asmane sapa?
B: ‘Pak guru bahasa Jawa yang baru itu namanya siapa?’
c. Kalimat Perintah (Kalimat Imperatif)
Kalimat perintah atau kalimat suruh juga dikenal dengan kalimat imperatif.
Kridalaksana (2008: 104 dalam Putrayasa, 2009) menyatakan bahwa kalimat
perintah yaitu kalimat yang mengandung intonasi imperatif dan pada umumnya
mengandung makna perintah atau larangan, dalam ragam tulis ditandai oleh tanda
titik (.) atau tanda seru (!). Kalimat perintah berfungsi untuk menyuruh atau
memerintah, meminta, mengajak, dan melarang agar lawan tutur melakukan
sesuatu seperti yang diinginkan oleh penutur. Bentuk kalimat perintah dapat
dilihat pada contoh berikut.
(23) A: Aja rame-rame Simbah lagi sare.
B: ‘Jangan ramai-ramai Simbah sedang tidur’.
2.2.8 Makna dan Maksud
Setiap tuturan yang diutarakan oleh penutur pasti mengandung makna dan
maksud. Makna dan maksud dalam tiap-tiap tuturan itu berbeda-beda. Dalam
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
47
memahami makna dan maksud disetiap tuturan, ada baiknya jika memahami
definisi makna dan maksud. Berikut akan dipaparkan terkait makna dan maksud.
a. Makna
Makna adalah bagian yang tidak terpisahkan dari semantik dan selalu
melekat dari apa saja yang kita tuturkan. Pengertian dari makna sendiri sangatlah
beragam. Mansoer Pateda (2001: 79) mengemukakan bahwa istilah makna
merupakan kata-kata dan istilah yang membingungkan. Makna tersebut selalu
menyatu pada tuturan kata maupun kalimat. Menurut Ullman (dalam Pateda,
2001: 82) mengemukakan bahwa makna adalah hubungan antara makna dengan
pengertian. Dalam hal ini Ferdinand de Saussure (dalam Chaer, 1994: 286)
mengungkapkan pengertian makna sebagai pengertian atau konsep yang dimiliki
atau terdapat pada suatu tanda linguistik. Jadi makna bersifat linear atau semantis
yang berkaitan langsung dengan kata, frasa, klausa, atau kalimat itu sendiri.
b. Maksud
Yule (2006: 3) menjelaskan bahwa pragmatik adalah studi tentang maksud
penutur. Maksud sama halnya dengan makna pragmatis. Pragmatik melibatkan
penafsiran tentang apa yang dimaksudkan orang di dalam suatu konteks khusus
dan bagaimana konteks itu berpengaruh terhadap apa yang dikatakan. Senada
dengan hal itu, Wijana dan Rohmadi (2009: 215) menjelaskan bahwa pada
hakikatnya setiap tuturan yang disampaikan penutur kepada lawan tuturnya
mempunyai maksud dan tujuan tertentu. Maksud yang diutarakan oleh seorang
penutur tidak selamanya diutarakan secara langsung atau tersurat, akan tetapi ada
kalanya diutarakan secara tidak langsung atau tersirat. Putrayasa (2014: 24)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
48
menjelaskan bahwa untuk memahami maksud pemakaian bahasa seseorang
dituntut harus memahami pula konteks yang mewadahi pemakaian bahasa
tersebut. Wijana dan Rohmadi (2011: 10) menjelaskan bahwa maksud adalah
elemen luar bahasa yang bersumber dari pembicara. Maksud bersifat subyektif.
Sejalan dengan hal itu, Chaer (2009: 35) menjelaskan maksud dapat dilihat
dari segi si pengujar, orang yang berbicara, atau pihak subjeknya. Di sini orang
yang berbicara itu mengujarkan seuatu ujaran entah berupa kalimat maupun frase,
tetapi yang dimaksudkannya tidak sama dengan makna lahiriah ujaran itu sendiri.
Contohnya ada beberapa mahasiswa sedang mengerjakan tugas bersama di dalam
rumah saat itu hari mulai petang, kemudian ada seorang mahasiswa yang berkata
“Wah kita mengerjakan tugas ditemani cahaya rembulan”. Maksud dari tuturan
mahasiswa tersebut adalah memerintahkan salah satu temannya untuk
menghidupkan lampu.
Tuturan di atas menjelaskan bahwa maksud banyak digunakan dalam
bentuk-bentuk ujaran yang disebut metafora, ironi, litotes, dan bentuk bentuk gaya
bahasa lain. Selama masih menyangkut isi bahasa maka maksud itu masih dapat
disebut sebagai persoalan bahasa. Hal tersebut jika dirasa sudah terlalu jauh dan
tidak berkaitan lagi dengan bahasa maka sudah tidak dapat lagi disebut sebagai
persoalan bahasa. Mungkin termasuk persoalan bidang studi lain, entah filsafat,
antropologi, atau psikologi.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
49
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
Pada bab ini peneliti akan membahas mengenai jenis penelitian, sumber data
dan data, metode dan teknik pengumpulan data, jenis data, instrumen penelitian,
teknik analisis data, dan triangulasi data.
3.1 Jenis Penelitian
Penelitian “kesantunan berbahasa antarguru dalam situasi informal di SMA
Negeri 11 Yogyakarta” ini termasuk jenis penelitian deskripstif kualitatif.
Penelitian deskriptif menurut Azwar (2012: 6) adalah menganalisis dan
menyajikan fakta secara sistematik sehingga dapat lebih mudah untuk dipahami
dan disimpulkan. Sejalan dengan itu, Bogdan dan Biklen 2008: 4-5 (dalam Emzir
2014: 3) menjelaskan penelitian kualitatif adalah deskriptif. Data yang
dikumpulkan lebih mengambil bentuk kata-kata atau gambar daripada angka-
angka. Mencoba menganalisis data dengan segala kekayaannya sedapat dan
sedekat mungkin dengan bentuk rekaman dan transkripnya.
Kekhasan penelitian yang dilakukan peneliti adalah melihat bahwa di dunia
pendidikan khususnya pendidik itu sendiri masih belum memperhatikan
kesantunan dalam tuturannya. Artinya dalam setiap percakapan guru dengan guru
kurang diperhatikan kesan santun dalam tuturan yang diujarkan. Masing-masing
guru hanya memperhatikan faktor kedekatan dengan guru lain yang bersangkutan.
Misalnya saja ketika jam istirahat, seorang guru menyuruh untuk mengambilkan
makanan oleh guru lain dengan santainya tanpa adanya rasa sungkan karena
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
50
menganggap sudah dekat, padahl guru yang meminta tolong lebih muda. Melalui
contoh kasus tersebut, peneliti ingin melakukan penelitian kesantunan berbahasa
antarguru dalam situasi informal.
3.2 Sumber Data dan Data
Sumber data dalam penelitian ini ada dua. Pertama, sumber data lokasional
yakni guru-guru di SMA Negeri 11 Yogyakarta dan kedua, sumber data substantif
yakni adalah tuturan atau percakapan yang terjadi antarguru dalam situasi
informal. Data penelitian berupa cuplikan-cuplikan tuturan percakapan guru SMA
Negeri 11 Yogyakarta dalam situasi informal yang di dalamnya terdapat unsur
kesantunan. Objek penelitiannya adalah kalimat yang dituturkan oleh guru-guru.
3.3 Metode dan Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini untuk mendapatkan data yang diperlukan digunakan
metode dan teknik pengumpulan data. Noor (2011: 138), teknik pengumpulan
data adalah cara yang dilakukan oleh peneliti untuk mengumpulkan data yang
dibutuhkan untuk menjawab rumusan masalah penelitian. Metode yang dapat
digunakan dalam upaya menemukan kaidah dalam tahap analisis data ada dua,
yakni metode padan dan metode agih. Metode padan, alat penentunya di luar,
terlepas, dan tidak menjadi bagian dari bahasa yang bersangkutan. Metode agih
itu alat penentunya justru bagian dari bahasa yang bersangkutan itu sendiri.
Sebagaimana dijelaskan definisi metode dan teknik, dalam hal ini metode
penyediaan data dikenal pada prinsipnya ada dua yakni “metode simak” dan
“metode cakap”; dan tekniknya pun sebagai penjabaran dibedakan berdasarkan
tahap pemakaiannya, yaitu “teknik dasar” dan “teknik lanjutan” (Sudaryanto,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
51
2015: 202-201). Peneliti menggunakan metode simak sebagai proses
pengumpulan data. Peneliti menyimak tuturan-tuturan antarguru. Hal ini
dilakukan agar peneliti memahami maksud tuturan guru tersebut. Metode simak
mempunyai teknik dasar yang berwujud teknik sadap. Teknik sadap disebut
sebagai teknik dasar dalam metode simak karena pada hakikatnya penyimakan
diwujudkan dengan penyadapan (Mahsun, 2007: 92). Peneliti menyadap
penggunaan bahasa antarguru dalam sebuah percakapan.
Dalam praktiknya, peneliti menggunakan teknik simak bebas libat cakap
(SBLC) dan rekaman. Berikut pemaparan terkait teknik lanjutan berdasarkan
tahap penggunaan menurut Sudaryanto (2015: 203-205).
a. Teknik Simak Bebas Libat Cakap (SLBC)
Dalam teknik ini peneliti hanya berperan sebagai pengamat penggunaan
bahasa oleh para informannya. Dia tidak terlibat dalam peristiwa pertuturan yang
bahasanya sedang di teliti. Si peneliti tidak terlibat dalam dialog, konversasi atau
imbal-wicara. Jadi, tidak ikut serta dalam proses pembicara orang-orang yang
saling berbicara.
b. Rekaman
Teknik Rekaman dalam penelitian ini dilakukan menggunakan voice
recorder yang aplikasinya terdapat pada telepon genggam. Namun, teknik
rekaman ini juga dapat dilakukan menggunakan kamera atau handycam.
Perpaduan penggunaan media rekam diharapkan mampu menghasilkan data yang
lebih jelas, baik dari verbal maupun non-verbal.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
52
3.4 Instrumen Penelitian
Instrumen dalam penelitian adalah alat ukur, yaitu dengan instrumen
penelitian ini, dapat dikumpulkan data sebagai alat untuk menyatakan besaran
atau presentase serta lebih kurangnya dalam bentuk kualitatif atau kuantitatif
Mardalis (2008: 60). Adapun instrumen yang akan digunakan peneliti dalam
melakukan penelitian ini adalah peneliti sendiri dengan berbekal pengetahuan
pragmatik dan kesantunan berbahasa. Peneliti sebagai penutur bahasa Indonesia
dan ahli dalam bidang pragmatik dan kesantunan berbahasa memiliki bekal
intelektual maupun intuitif yang cukup memadai untuk mendapatkan data
penelitian yang sesuai dengan yang dibutuhkan. Sebagai bekal pengumpulan data,
peneliti melengkapi diri dengan format pengumpulan data sebagai berikut:
1. Data tuturan kesantunan berbahasa dalam situasi di luar pembelajaran
meliputi di kantin, di perpustakaan, ruang guru, ruang UKS, lobi sekolah,
dan lingkungan sekolah lainnya.
Data tuturan:
…………………………………………………………………
Konteks tuturan:
…………………………………………………………………
Analisis:
…………………………………………………………………
3.5 Teknik Analisis Data
Analisis data adalah proses pelacakan dan pengaturan secara sistematis
transkrip wawancara, catatan lapangan, dan bahan-bahan lain yang dikumpulkan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
53
untuk meningkatkan pemahaman terhadap bahan-bahan agar dapat
dipresentasikan semuanya kepada orang lain (Bogdan & Biklen, 1982).
Sebagaimana penjelasan di atas, penelitian ini menggunakan metode padan.
Metode padan ini dibedakan dalam dua jenis, namun yang digunakan dalam
penelitian ini adalah metode pragmatis. Metode pragmatis adalah metode yang
alat penentunya adalah mitra wicara (bicara). Apabila orang yang sampai kepada
penentuan bahwa kalimat perintah atau kalimat imperatif ialah kalimat yang bila
diucapkan menimbulkan reaksi tindakan tertentu dari mitra wicaranya maka orang
yang bersangkutanberada dalam jalur kerja metode padan sub jenis kelima, yaitu
dengan alat penentu mitra wicara atau mitra tutur (Sudaryanto, 2015: 15).
Setelah mengetahui metode analisis, selanjutnya akan dipaparkan teknik
analisis yang digunakan oleh peneliti. Berikut merupakan langkah-langkah
analisis data menurut Furchan 1982: 475 (dalam Tugas Akhir Elu 2018).
a. Identifikasi
Keberhasilan seorang peneliti adalah ketika ia mampu mengidentifikasi
berdasarkan data yang ada dan teori yang relevan yang telah ia kemukakan.
Misalnya saja saat peneliti menemukan kata dalam data yang sekiranya sesuai
dengan teori yang relevan sehingga ia mendapatkan ciri penanda yang terdapat
dalam kata tersebut maka identifikasi itu juga baik untuk diterapkan. Identifikasi
akan dilihat dari hasil analisis kebutuhan,hasil tes objektif, dan hasil kuisioner
yang lainnya untuk melihat frekuensi membaca pemahaman dan menarasikan
hasil wawancara.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
54
b. Klasifikasi
Klasifikasi dilakukan terhadap semua hasil instrumen berdasarkan kriteria
tertentu. Dalam klasifikasi ini maka hasil data yang diperoleh akan disusun secara
bersistem dalam kelompok atau kaidah yang telah ditetapkan. Dengan adanya
klasifikasi ini, pengolahan dan analisis data menjadi lebih mudah dilakukan.
Klasifikasi juga dapat digunakan untuk mendeskripsikan hasil data yang diperoleh
saat penelitian berlangsung. Mendeskripsikan data berarti memberikan gambaran
berdasarkan data yang digunakan untuk memperoleh bentuk nyata dari responden.
Hal ini dilakukan agar penelitian ini lebih mudah dipahami oleh peneliti itu
sendiri atau pun orang lain yang telah tertarik dengan penelitian ini.
Penggambaran data harus disesuaikan dengan sumber dan data yang diperoleh.
Deskripsi data dalam penelitian ini akan digambarkan dengan cara
mengelompokkan data yang ada dan mengkajinya berdasarkan teori yang relevan
serta sejauh mana tingkat kesantunan itu terdapat atau tidak terdapat dalam data
yang telah ditemukan dari subjek penelitian.
c. Interpretasi/Pemaknaan
Dalam hal ini, peneliti harus memaknai data yang ia peroleh sebelumnya
yang bersumber dari catatan lapangan, dokumen ataupun yang lainnya.
Pemaknaan data ini digunakan untuk menganalisis data yang telah ditemukan.
Tindak lanjut yang akan dilakukan setelah menafsirkan data adalah pengecekkan
keabsahan data. Dalam membuktikan keabsahan data, peneliti akan
memanfaatkan berbagai data yang telah diperoleh dari lapangan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
55
3.6 Triangulasi Data
Moleong (2006: 330) mengatakan bahwa triangulasi adalah teknik
pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain. Triangulasi
data dilakukan untuk me-recheck temuan dengan jalan membandingkannya
dengan berbagai sumber, metode, atau teori. Triangulasi yang digunakan pada
penelitian ini adalah triangulasi penyidik. Triangulasi penyidik adalah triangulasi
yang dilakukan dengan cara memanfaatkan peneliti lainnya untuk keperluan
pengecekan kembali derajat kepercayaan data (Moleong, 2006: 331).
Peneliti meminta bantuan ahli untuk mengecek keabsahan data dan hasil
analisis data. Peneliti memilih ahli pragmatik Prof. Dr. Pranowo, M. Pd. sebagai
triangulator, karena beliau merupakan ahli bahasa khususnya dalam bidang
pragmatik. Selain itu, peneliti mempercayai beliau sebagai triangulator karena
pengalaman dan kompetennya.
Ada beberapa tahapan yang harus dilakukan dalam proses triangulasi hasil
analisis data. Pertama, peneliti menyerahkan hasil analisis data kepada
triangulator. Kedua, triangulator memeriksa hasil analisis data dengan mengisi
kolom setuju atau tidak setuju pada tabulasi yang dibuat peneliti. Ketiga, apabila
triangulator tidak setuju atas analisis data, peneliti harus melakukan perbaikan
hingga tidak ada data yang tidak disetujui. Keempat, peneliti menyerahkan hasil
perbaikan kepada triangulator. Kelima, apabila triangulator sudah menyatakan
keabsahan data, maka hasil tersebut akan digunakan peneliti sebagai acuan dalam
menusun bab IV.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
56
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1 Deskripsi Data
Data penelitian ini berupa tuturan yang dihasilkan oleh guru-guru yang
mengandung kesantunan berbahasa dalam situasi informal. Data diperoleh dalam
rentang waktu dua bulan yaitu bulan April – Mei 2018. Jumlah data yang
dianalisis sebanyak tujuh puluh empat (74) tuturan yang mengandung kesantunan
berbahasa. Data tersebut diklasifikasikan menggunakan teori wujud percakapan
menurut Putrayasa (2009) dan maksud. Kemudian, data tersebut akan dianalisis
dari sudut kesantunan berbahasa berdasarkan teori beberapa pakar prinsip
kesantunan, wujud dan maksud, serta penanda kesantunan Rahardi (2005) dan
faktor kesantunan Pranowo.
Berdasarkan 74 data yang telah dianalisis, peneliti menemukan pemakaian
campuran bahasa antara bahasa Jawa dan bahasa Indonesia. Hal ini terjadi karena
lingkungan terjadinya komunikasi berada di Jawa khususnya Yogyakarta, dengan
begitu bahasa ibu atau bahasa pertama mereka adalah bahasa Jawa. Bahasa Jawa
akan dituturkan oleh para guru kepada mitra tutur yang memiliki kesamaan
budaya dengan si penutur. Lain halnya dengan bahasa Indonesia digunakan untuk
berkomunikasi dengan mitra tutur yaitu yang berasal dari luar Yogyakarta atau
pulau Jawa. Bahasa Indonesia merupakan bahasa pemersatu yang dapat digunakan
untuk berkomunikasi terlepas dari banyaknya budaya di Indonesia.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
57
Maka dari itu, peneliti menggunakan prinsip kesantunan dari beberapa ahli
sebagai dasar pengklasifikasian data juga deskripsi karena peneliti menemukan
kecocokan teori yang dapat digunakan sebagai pedoman kesantunan ketika
bertutur. Akan tetapi sebelumnya, peneliti telah mengklasifikasikan tuturan
berdasarkan wujudnya menggunakan teori dari Putrayasa dan wujud, disertai
penanda kesantunan. Pada setiap analisis data yang akan dilakukan, peneliti
menggunakan beberapa teori dari beberapa ahli tersebut. Menurut peneliti teori-
teori tersebut telah sesuai dengan data yang diperoleh. Tabel di bawah ini
menjelaskan terkait klasifikasi data dalam penelitian.
Peneliti menganalisis sebanyak tujuh puluh empat (74) tuturan (lihat
lampiran). Data tuturan tersebut dianalisis berdasarkan wujud (Putrayasa, 2009:
19) dan maksud tuturan yang telah diklasifikasikan menggunakan prinsip
kesantunan. Dari analisis yang telah dilakukan, peneliti membagi wujud tuturan
ke dalam tiga wujud (deklaratif, imperatif, interogatif) dan beberapa maksud
tuturan. Salah satu wujud dan maksud tuturan akan muncul dan mendeskripsikan
masing-masing tuturan percakapan yang telah diklasifikasikan sebelumnya.
Adapun wujud tuturan sebagai dasar pengklasifikasian data yakni wujud
deklaratif, wujud imperatif, dan wujud interogatif. Selain itu, maksud yang akan
muncul diantaranya adalah mengingatkan, memberi tahu, memberi saran, dan
menyapa. Data yang sudah diklasifikasi akan dianalisis berdasarkan penanda
kesantunannya. Berikut jumlah data yang sudah diklasifikasikan sesuai penanda
kesantunan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
58
Tabel 4.1 : Jumlah Penanda Kesantunan Berbahasa
No. Penanda Kesantunan Jumlah Data
1. Tolong 7
2. Ayo 4
3. Mari 2
4. Coba 9
5. Silahkan 3
6. Biar 2
Tabel 4.2 : Jumlah Maksud Tuturan Kesantunan
No. Maksud Jumla Data
1. Menyuruh 5
2. Meminta 9
3. Memberi saran 4
4. Mengritik 3
5. Menyindir 4
6. Memberi tahu 7
7. Menyatakan 3
8. Merayu 4
9. Mengingatkan 7
10. Permohonan izin 2
11. Menyapa 5
12. Memastikan 7
13. Mengajak 6
14. Menyerukan 2
15. Menawar 3
16. Mendesak 2
17. Mengagumi 1
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
59
Tabel di atas menunjukkan klasifikasi yang telah dilakukan peneliti.
Sebanyak tujuh puluh empat (74) data telah diklasifikasikan ke dalam enam
penanda kesantunan dalam wujud dan tujuh belas maksud. Data di atas yang telah
diklasifikasikan, akan dianalisis sesuai teori wujud dan maksud serta penanda
kesantunan yang melekat di dalamnya.
4.2 Hasil Penelitian
Hasil penelitian ini akan dilaporkan dengan model pelaporan sebagai berikut
: (a) jenis temuan, (b) data tuturan, (c) konteks tuturan, (d) wujud/maksud tuturan
dan penanda kesantunan, (f) prinsip kesantunan. Adapun hasil dari analisis data
yang dilakukan sebagai berikut.
a. Terdapat enam jenis penggolongan berdasarkan penanda kesantunan
bertolak dari wujud tuturan dalam tuturan antarguru dalam situasi informal di
SMA Negeri 11 Yogyakarta. Penanda kesantunan tersebut adalah tolong, coba,
biar, mari, ayo, dan silahkan. Setelah diklasifikasikan berdasarkan penanda
kesantunan, tuturan akan dianalisis berdasarkan wujud dan prinsip kesantunan.
Adapun wujud tuturan yang ditemukan ada tiga wujud menurut Putrayasa (2009)
yaitu, bentuk deklaratif, bentuk interogatif, dan bentuk imperatif.
b. Tuturan yang diucapkan oleh para guru masing-masing memiliki maksud
yang berbeda pula. Adapun maksud tuturan yang ditunjukkan seperti, mendesak,
merayu, memastikan, dan sebagainya. Berdasarkan hasil temuan atau analisis
tersebut, akan dijelaskan secara rinci mengenai masing-masing hal di atas.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
60
4.2.1 Wujud Tuturan dan Penanda Kesantunan Antarguru dalam Situasi
Informal
Berdasarkan hasil analisis terhadap data yang ada, dapat ditemukan tiga
jenis wujud tuturan dalam tuturan antarguru di SMA Negeri 11 Yogyakarta.
Ketiga wujud tuturan tersebut adalah wujud deklaratif, wujud interogatif, dan
wujud imperatif. Setiap data tuturan yang telah dianalisis berdasarkan wujud
tuturan, diantaranya memiliki penanda kesantunan. Ada enam penanda
kesantunan yang ditemukan dalam 74 data tersebut, yakni penanda tolong, ayo,
coba, mari, biar, dan silahkan. Di bawah ini akan diuraikan tuturan kesantunan
dengan penandanya, dan dianalisis berdasarkan wujud tuturan serta prinsip
kesantunan dari pakar untuk memperkuat analisis.
4.2.1.1 Kesantunan dengan Penanda “Tulung”
Leech (1993: 126-127) menjelaskan bahwa dalam bertutur hendaknya
memperhatikan kesantunan karena kesantunan tidak bisa dianggap remeh. Leech
mengemukakan prinsip kesantunan sebagai pengendali atau pengontrol tuturan
untuk mengurangi akibat yang kurang menyenangkan yang dapat mengakibatkan
konflik karena kesalahpahaman antara penutur dan mitra tutur. Leech
mengusulkan untuk melengkapi prinsip koperasi Grice dengan prinsip
kesantunan, ditnjukkan melalui adanya maksim. Selain itu, Rahardi (2005: 125)
menjelaskan ungkapan-ungkapan penanda kesantunan menjadi ciri-ciri
kesantunan. Kesantunan berbahasa dalam pemakaian tuturan imperatif misalnya,
ditentukan oleh muncul atau tidak munculnya ungkapan-ungkapan penanda
kesantunan seperti; tolong, mohon, silahkan, mari, ayo, biar, coba, harap,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
61
hendaknya, sudi kiranya dan sudi apalah kiranya. Penanda – penanda kesantunan
ini menentukan tinggi-rendahnya peringkat kesantunan berbahasa seseorang
ketika berkomunikasi. Contohnya:
(1) Guru 1: Ndik, tulung delengen. Iki opo hayo? Iki uyah .
(Ndik, tolong lihatlah. Ini apa hayo?)
Guru 2: Alah rak penting.
(Alah tidak penting.) (sambil mengayunkan tangan) (DT7)
Konteks: Tuturan dilakukan oleh seorang guru laki-laki dan seorang guru
perempuan di kantin sekolah dan sedang makan. Kedua guru tersebut
tampak seusia. Guru satu sedang mengambil garam untuk ditambahkan
dalam soto miliknya. Melihat guru dua makan dengan lahap, tiba-tiba guru
satu menggoda guru dua dengan melontarkan pertanyaan. Guru dua
bertanya sesuatu yang sedang dipegangnya, padahal sudah jelas bahwa yang
dipegang adalah garam.
(2) Guru 1: Eh, hpku mau nandi yo, Ndik? Tulung goleke.
(Eh, hpku tadi di mana ya, Ndik? Tolong carikan.)
Guru 2: Kae lho (itu lho.)
(menunjuk ke arah meja) (DT9)
Konteks: Tuturan dilakukan oleh seorang guru perempuan dan guru laki-laki
di kantin sekolah saat keduanya sarapan. Kedua guru tersebut tampak
seusia. Kondisinya mereka duduk bersebelahan di teras kantin. Tiba-tiba
guru satu celingukan mencari hp-nya. Kemudian, guru satu meminta
pertolongan guru dua untuk ikut menemukan hp milikinya.
(3) Guru 1: AC-ne wes teko apa durung, pak? Tulung dicek.
(AC-nya sudah sampai apa belum, pak? Tolong diperiksa.)
Guru 2: 41 to? Yo, uwes.
(41 an? Iya, sudah.) (DT11)
Konteks: Tuturan dilakukan oleh dua guru laki-laki yang tampak seusia dan
merupakan guru senior. Tuturan terjadi di depan kantor guru. Situasinya
guru laki-laki satu memanggil sambil berteriak kepada guru laki-laki yang
lewat di depan kantor guru. Guru satu adalah waka kesiswaan dan
sebelumnya telah memesan AC. Guru satu memanggil guru dua sebagi
anggota dari sarana prasarana sekolah untuk memastikan apakah AC yang
dipesan sudah datang atau belum.
Data tuturan (1) dituturkan oleh seorang guru laki-laki dan seorang guru
perempuan. Data tuturan (1) ini ingin menginformasikan bahwa guru satu sedang
mengambil garam untuk ditambahkan dalam soto miliknya. Melihat guru dua
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
62
makan dengan lahap, tiba-tiba guru satu menggoda guru dua dengan melontarkan
pertanyaan. Guru dua bertanya sesuatu yang sedang dipegangnya, padahal sudah
jelas bahwa yang dipegang adalah garam. Dalam hal ini, guru satu lebih memilih
menggunakan kalimat interogatif untuk menggoda guru dua agar mau merespon
pertanyaan guru satu. Kalimat interogatif tersebut diutarakan untuk memberi tahu
guru dua bahwa yang dipegang guru satu adalah garam. Dilihat dari kalimatnya,
wujud tuturan ini adalah wujud interogatif. Hal ini selain untuk menunjukkan
kesantunan berbahasanya juga untuk menghindari rasa tersinggung guru dua
terhadap guru satu. Selain itu tuturan tersebut juga didukung dengan adanya
pemilihan kata “tulung” untuk menunjukkan kesantunan penutur. Kata “tulung”
dalam bahasa Indonesia artinya tolong, maka penanda kesantunan yang terdapat
dalam tuturan adalah penanda tolong.
Selanjutnya, data tuturan (2) Tuturan dilakukan oleh seorang guru
perempuan dan guru laki-laki di kantin sekolah saat keduanya sarapan. Kedua
guru tersebut tampak seusia. Data tuturan (2) ini ingin menginformasikan bahwa
kedua guru tersebut sedang sarapan bersama dan duduk bersebelahan di teras
kantin. Saat sedang menikmati makanan, tiba-tiba guru satu teringat dengan hp
miliknya dan celingukan mencari hp-nya. Dalam hal ini, guru satu lebih memilih
menggunakan kalimat deklaratif untuk meminta pertolongan guru dua untuk ikut
menemukan hp milikinya. Kalimat deklaratif tersebut diutarakan guna meminta
kesediaan guru dua untuk membantu. Dilihat dari kalimatnya, wujud tuturan ini
adalah wujud deklaratif. Hal ini selain untuk menunjukkan kesantunan
berbahasanya juga untuk memperlihatkan kedekatan antara guru satu dengan guru
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
63
dua. Selain itu tuturan tersebut juga didukung dengan adanya pemilihan kata
“tulung”. Kata “tulung” dalam bahasa Indonesia artinya tolong, maka penanda
kesantunan yang terdapat dalam tuturan adalah penanda tolong.
Data tuturan (3) dituturkan oleh dua guru laki-laki di depan kantor guru.
Data tuturan (3) ini ingin menginformasikan bahwa guru laki-laki satu memanggil
sambil berteriak kepada guru laki-laki yang lewat di depan kantor guru. Guru satu
adalah wakil kepala sekolah bidang kesiswaan dan sebelumnya telah memesan
AC. Guru satu memanggil guru dua sebagi anggota dari sarana prasarana sekolah
untuk memastikan apakah AC yang dipesan sudah datang atau belum. Dalam hal
ini, guru satu lebih memilih menggunakan kalimat interogatif untuk memastikan
informasi tentang AC. Kalimat interogatif tersebut diutarakan untuk
mengingatkan guru dua agar tidak lupa dengan AC yang telah dipesan dan supaya
tidak terlambat datang. Dilihat dari kalimatnya, wujud tuturan ini adalah wujud
interogatif. Hal ini selain untuk menunjukkan kesantunan berbahasanya juga agar
tuturan berkenan di hati guru dua. Selain itu tuturan tersebut juga didukung
dengan adanya pemilihan kata “tulung”. Sama halnya dengan data tuturan satu
dan dua, kata “tulung” dalam bahasa Indonesia artinya tolong, maka penanda
kesantunan yang terdapat dalam tuturan adalah penanda tolong.
Ketiga data tuturan diatas dapat dikatakan santun karena memenuhi prinsip
kesantunan, kemudian telah menggunakan faktor penentu kesantunan yaitu
intonasi lembut dan nada bicara yang tidak terkesan emosi marah atau menuntut.
Selain itu, ketiga data tuturan di atas juga memiliki penanda kesantunan yakni
tolong.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
64
4.2.1.2 Kesantunan dengan Penanda “Ayo”
Leech (1993: 126-127) menjelaskan bahwa dalam bertutur hendaknya
memperhatikan kesantunan karena kesantunan tidak bisa dianggap remeh. Leech
mengemukakan prinsip kesantunan sebagai pengendali atau pengontrol tuturan
untuk mengurangi akibat yang kurang menyenangkan yang dapat mengakibatkan
konflik karena kesalahpahaman antara penutur dan mitra tutur. Leech
mengusulkan untuk melengkapi prinsip koperasi Grice dengan prinsip
kesantunan, ditnjukkan melalui adanya maksim. Selain itu, Rahardi (2005: 125)
menjelaskan ungkapan-ungkapan penanda kesantunan menjadi ciri-ciri
kesantunan. Kesantunan berbahasa dalam pemakaian tuturan imperatif misalnya,
ditentukan oleh muncul atau tidak munculnya ungkapan-ungkapan penanda
kesantunan seperti; tolong, mohon, silakan, mari, ayo, biar, coba, harap,
hendaknya, sudi kiranya dan sudi apalah kiranya. Penanda – penanda kesantunan
ini menentukan tinggi-rendahnya peringkat kesantunan berbahasa seseorang
ketika berkomunikasi. Contohnya:
(4) Guru 1: Ayo kono kowe melu ujian!
(Ayo sana kamu ikut ujian!) (cekikikan)
Guru 2: Alah ujian hidup wae wes cukup kok.
(Ah, ujian hidup saja sudah cukup kok.) (DT2)
Konteks: Tuturan dilakukan oleh seorang guru laki-laki dan seorang guru
perempuan di kantin sekolah. Guru tersebut tampak sama usianya. Kedua
guru tersebut sedang asyik bercanda. Melihat situasi sedang berlangsung
ujian nasional, tiba-tiba guru satu nyeletuk untuk menggoda guru dua agar
ikut ujian.
(5) Guru 1: Pak Edi, heh, goleki Bu Eri. Ayo gek.
(Pak Edi, heh, dicari Bu Eri. Ayo buruan.)
Guru 2: Ha? Sapa?
(Ha? Siapa?) (sambil tetap berjalan) (DT12)
Konteks: Tuturan dilakukan oleh guru laki-laki dan guru perempuan di
depan ruang wakil kepala sekolah. Situasinya guru perempuan satu tampak
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
65
tergesa-gesa dan panik mencari guru laki-laki. Guru laki-laki yang dicari
berjalan keluar ruang guru menuju ruang wakil kepala sekolah. Melihat guru
yang sedang dicari lewat, maka guru satu memanggil guru dua tersebut.
(6) Guru 1: Ayo Pak Tik, Pak Wah.
Guru 2: Yo. (Ya.)
Guru 3: (Mengangguk.) (DT33)
Konteks: Tuturan dilakukan oleh guru laki-laki dan guru perempuan di
kantin sekolah. Situasinya guru satu ingin meninggalkan kantin setelah
membungkus makanan dan berpamitan. Guru satu sebelum benar-benar
meninggalkan kantin, menyapa guru yang bernama Pak Tik dan Pak Wah.
Guru satu melakukan hal itu untuk menghormati dua guru laki-laki tersebut.
Data tuturan (4) dituturkan oleh oleh seorang guru laki-laki dan seorang
guru perempuan di kantin sekolah. Guru tersebut tampak sama usianya. Data
tuturan (4) ini ingin menginformasikan bahwa kedua guru tersebut sedang asyik
bercanda saat situasi sedang berlangsung ujian nasional. Tiba-tiba guru satu
nyeletuk untuk menggoda guru dua agar ikut ujian. Dalam hal ini, guru satu lebih
memilih menggunakan kalimat imperatif agar terkesan serius saat mengatakan
kalimat tersebut kepada guru dua. Kalimat imperatif tersebut diutarakan untuk
meyakinkan mitra tutur agar melakukan yang diminta penutur. Dilihat dari
kalimatnya, wujud tuturan ini adalah wujud imperatif. Hal ini untuk menunjukkan
kesantunan berbahasanya juga untuk menghindari rasa tersinggung guru dua
terhadap guru satu. Selain itu tuturan tersebut juga didukung dengan adanya
pemilihan kata “ayo” untuk menggoda mitra tutur.
Selanjutnya, data tuturan (5) Tuturan dilakukan oleh guru laki-laki dan guru
perempuan di depan ruang wakil kepala sekolah. Data tuturan (5) ini ingin
menginformasikan bahwa guru perempuan satu tampak tergesa-gesa dan panik
mencari seorang guru laki-laki. Guru laki-laki yang dicari berjalan keluar ruang
guru menuju ruang wakil kepala sekolah. Melihat guru yang sedang dicari lewat,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
66
maka guru satu memanggil guru dua tersebut. Dalam hal ini, guru satu lebih
memilih menggunakan kalimat deklaratif agar guru dua berhenti dan mendengar
ucapan guru satu. Kalimat deklaratif tersebut diutarakan untuk memberi tahu
bahwa guru dua sedang dicari oleh guru lain yang diketahui guru satu. Dilihat dari
kalimatnya, wujud tuturan ini adalah wujud deklaratif. Hal ini selain untuk
menunjukkan kesantunan berbahasanya juga untuk memperjelas maksud bahwa
penutur menginginkan guru yang bernama Pak Edi untuk menemui guru yang
bernama Bu Eri. Selain itu tuturan tersebut juga didukung dengan adanya
pemilihan kata “ayo”, hal itu menunjukkan penegasan kesantunan penutur.
Data tuturan (6) dituturkan oleh guru laki-laki dan guru perempuan di kantin
sekolah. Data tuturan (6) ini ingin menginformasikan bahwa guru satu ingin
meninggalkan kantin setelah membungkus makanan dan ingin berpamitan. Guru
satu ketika benar-benar ingin meninggalkan kantin, menyapa guru yang bernama
Pak Tik dan Pak Wah. Dalam hal ini, guru satu lebih memilih menggunakan
kalimat deklaratif untuk menyapa dua guru laki-laki. Kalimat deklaratif tersebut
diutarakan untuk menghormati dua guru laki-laki tersebut. Dilihat dari
kalimatnya, wujud tuturan ini adalah wujud deklaratif. Hal ini selain untuk
menunjukkan kesantunan berbahasanya juga supaya guru dua merasa dihormati.
Selain itu tuturan tersebut juga didukung dengan adanya pemilihan kata “ayo”
untuk menandai kedekatan antara penutur dan mitra tutur.
Ketiga data tuturan diatas dapat dikatakan santun karena memenuhi prinsip
kesantunan, kemudian telah menggunakan faktor penentu kesantunan yaitu
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
67
intonasi lembut dan nada bicara yang santun. Selain itu, ketiga data tuturan di atas
juga memiliki penanda kesantunan yakni ayo.
4.2.1.3 Kesantunan dengan Penanda “Coba”
Leech (1993: 126-127) menjelaskan bahwa dalam bertutur hendaknya
memperhatikan kesantunan karena kesantunan tidak bisa dianggap remeh. Leech
mengemukakan prinsip kesantunan sebagai pengendali atau pengontrol tuturan
untuk mengurangi akibat yang kurang menyenangkan yang dapat mengakibatkan
konflik karena kesalahpahaman antara penutur dan mitra tutur. Leech
mengusulkan untuk melengkapi prinsip koperasi Grice dengan prinsip
kesantunan, ditnjukkan melalui adanya maksim. Selain itu, Rahardi (2005: 125)
menjelaskan ungkapan-ungkapan penanda kesantunan menjadi ciri-ciri
kesantunan. Kesantunan berbahasa dalam pemakaian tuturan imperatif misalnya,
ditentukan oleh muncul atau tidak munculnya ungkapan-ungkapan penanda
kesantunan seperti; tolong, mohon, silakan, mari, ayo, biar, coba, harap,
hendaknya, sudi kiranya dan sudi apalah kiranya. Penanda – penanda kesantunan
ini menentukan tinggi-rendahnya peringkat kesantunan berbahasa seseorang
ketika berkomunikasi. Contohnya:
(7) Guru 1: Tambah nasi mboten, pak?
(Tambah nasi tidak, pak?)
Guru 2: Ora usah nggo sego.
(Tidak perlu menggunakan nasi.)
Guru 2: dicoba wae pak.
(dicoba saja pak) (DT1)
Konteks: Tuturan dilakukan oleh dua orang guru laki-laki yang berbeda
usia. Situasinya guru dua sedang memesan sarapan saat jam istirahat di
kantin sekolah. Guru satu melihat makanan yang dipesan guru dua terlihat
kurang sesuai jika tidak pakai nasi. Melihat hal demikian, guru satu
mencoba meyakinkan guru dua untuk menambahkan nasi dalam makanan
yang dipesan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
68
(8) Guru 1: ning samping Kridosono kae lho keno. Coba wae enak jare mas.
(di samping Kridosana itu lho. Coba saja enak katanya mas.)
Guru 2: (tersenyum) (DT4)
Konteks: Tuturan dilakukan oleh guru laki-laki dan guru perempuan di
kantin sekolah. Guru perempuan merupakan guru senior tetapi lebih muda.
Situasinya guru perempuan sebagai guru satu mendengarkan percakapan
guru yang sebelumnya membicarakan mie ayam. Guru satu bermaksud
untuk merekomendasikan warung mie ayam yang enak menurut dirinya
kepada guru dua.
(9) Guru 1: Lha iki sido nggo uyah ora, pak?
(Lha ini jadi pakai garam tidak, pak?)
Guru 2: Ora usah, ra wani aku.
(Tidak perlu, tidak berani saya.)
Guru 1: Ora enak ra nggo uyah ki. Coba wae sithik.
(Tidak enak kalau tidak pakai garam. Coba saja sedikit.)
Guru 2: Yowes, sitik wae.
(Ya sudah, sedikit saja.) (DT25)
Konteks: Tuturan dilakukan oleh guru laki-laki dan guru perempuan di
kantin sekolah saat jam istirahat. Situasinya kedua guru tersebut sedang
memesan makanan kepada ibu penjual makanan di kantin. Guru dua
memiliki tekanan darah tinggi sehingga memesan soto tanpa garam. Melihat
hal demikian, guru satu merasa kurang nikmat jika mengetahui makanan
tanpa garam karenan akan hambar. Lalu guru satu menyarankan kepada
guru dua untuk menambahkan garam dalam soto milik guru dua.
Data tuturan (7) dituturkan oleh dua orang guru laki-laki yang berbeda usia.
Data tuturan (7) ini ingin menginformasikan bahwa guru dua sedang memesan
sarapan saat jam istirahat di kantin sekolah. Guru satu melihat makanan yang
dipesan guru dua terlihat kurang sesuai jika tidak pakai nasi. Melihat hal
demikian, guru satu mencoba meyakinkan guru dua untuk menambahkan nasi
dalam makanan yang dipesan. Dalam hal ini, guru satu lebih memilih
menggunakan kalimat deklaratif untuk meyakinkan guru dua. Kalimat deklaratif
tersebut diutarakan agar guru dua mau menambahkan nasi dalam makanan
miliknya. Dilihat dari kalimatnya, wujud tuturan ini adalah wujud deklaratif. Hal
ini selain untuk menunjukkan kesantunan berbahasanya juga supaya guru dua
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
69
berkenan dengan saran guru satu. Selain itu tuturan tersebut juga didukung dengan
adanya pemilihan kata “coba” untuk menambah kesantunan juga menandai
kedekatan antara penutur dan mitra tutur.
Selanjutnya, data tuturan (8) Tuturan dilakukan oleh guru laki-laki dan guru
perempuan di kantin sekolah. Guru perempuan merupakan guru senior tetapi lebih
muda. Data tuturan (8) ini ingin menginformasikan bahwa guru perempuan
sebagai guru satu mendengarkan percakapan guru yang sebelumnya
membicarakan mie ayam. Guru satu tersebut kemudian menyarankan untuk
mencoba mie ayam yang berada di dekat stadion Kridosono. Dalam hal ini, guru
satu lebih memilih menggunakan kalimat deklaratif untuk menginformasikan mie
ayam yang enak di dekat stadion Kridosono. Kalimat deklaratif tersebut
diutarakan agar guru dua datang ke warung mie ayam di sana dan mencobanya.
Dilihat dari kalimatnya, wujud tuturan ini adalah wujud deklaratif. Hal ini selain
untuk menunjukkan kesantunan berbahasanya juga supaya guru dua berkenan
dengan saran guru satu. Selain itu tuturan tersebut juga didukung dengan adanya
pemilihan kata “coba” untuk menambah kesantunan juga menandai kedekatan
antara penutur dan mitra tutur.
Data tuturan (9) dituturkan oleh oleh guru perempuan kepada guru laki-laki
di kantin sekolah. Data tuturan (9) ini ingin menginformasikan bahwa kedua guru
tersebut sedang memesan makanan kepada ibu penjual makanan di kantin. Guru
dua memiliki tekanan darah tinggi sehingga memesan soto tanpa garam. Melihat
hal demikian, guru satu merasa kurang nikmat jika mengetahui makanan tanpa
garam karenan akan hambar. Lalu guru satu menyarankan kepada guru dua untuk
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
70
menambahkan garam dalam soto milik guru dua. Dalam hal ini, guru satu lebih
memilih menggunakan kalimat deklaratif untuk merayu guru dua. Kalimat
deklaratif tersebut diutarakan untuk memastikan keyakinan guru dua bahwa
makanannya akan hambar jika tidak menambahkan garam ke dalam soto
miliknya. Dilihat dari kalimatnya, wujud tuturan ini adalah wujud deklaratif. Hal
ini selain untuk menunjukkan kesantunan berbahasanya juga agar guru dua tidak
salah paham dengan saran dari guru satu. Selain itu tuturan tersebut juga didukung
dengan adanya pemilihan kata “coba” yang semakin meyakinkan mitra tutur agar
menambahkan garam dalam makanannya.
Ketiga data tuturan diatas dapat dikatakan santun karena memenuhi prinsip
kesantunan, kemudian telah menggunakan faktor penentu kesantunan yaitu
intonasi lembut dan nada bicara merayu. Selain itu, ketiga data tuturan di atas juga
memiliki penanda kesantunan yakni coba.
4.2.1.4 Kesantunan dengan Penanda “Ben”
Leech (1993: 126-127) menjelaskan bahwa dalam bertutur hendaknya
memperhatikan kesantunan karena kesantunan tidak bisa dianggap remeh. Leech
mengemukakan prinsip kesantunan sebagai pengendali atau pengontrol tuturan
untuk mengurangi akibat yang kurang menyenangkan yang dapat mengakibatkan
konflik karena kesalahpahaman antara penutur dan mitra tutur. Leech
mengusulkan untuk melengkapi prinsip koperasi Grice dengan prinsip
kesantunan, ditnjukkan melalui adanya maksim. Selain itu, Rahardi (2005: 125)
menjelaskan ungkapan-ungkapan penanda kesantunan menjadi ciri-ciri
kesantunan. Kesantunan berbahasa dalam pemakaian tuturan imperatif misalnya,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
71
ditentukan oleh muncul atau tidak munculnya ungkapan-ungkapan penanda
kesantunan seperti; tolong, mohon, silakan, mari, ayo, biar, coba, harap,
hendaknya, sudi kiranya dan sudi apalah kiranya. Penanda – penanda kesantunan
ini menentukan tinggi-rendahnya peringkat kesantunan berbahasa seseorang
ketika berkomunikasi. Contohnya:
(10) Guru 1: Duh aku kawanen.
(Duh aku kesiangan.)
Guru 2: Sesuk tak tangi jam papat ben ra kawanen.
(Besok bangun jam empat biar tidak kesiangan.)
Guru 1: Yo jane, ning aku mumet wes rong dina iki.
(Ya harusnya, tapi aku pusing sudah dua hari ini.) (DT27)
Konteks: Tuturan dilakukan oleh dua guru laki-laki di depan ruang guru.
Dua guru tersebut sesama guru senior. Situasinya guru satu mengeluhkan
kedatangannya yang terlambat karena sakit yang dirasakan. Guru dua
kemudian memberi saran supaya bangun lebih awal.
(11) Guru 1: Pak, iki ditutupi ora?
(Pak, ini ditutupi tidak?)
Guru 2: Rasah ditutupi, ben cepet adem, bu!
(tidak perlu ditutup biar cepat dingin, bu!)
Guru 1: hmm (bergumam). (DT37)
Konteks: Tuturan dilakukan oleh guru perempuan dan guru laki-laki di
ruang guru. Guru perempuan sedikit lebih muda dari guru laki-laki.
Situasinya guru dua ingin menutupi teh di atas meja guru satu agar tidak
kena debu tetapi guru dua menolak, karena menginginkan seperti itu saja.
Data tuturan (10) dituturkan oleh dua guru laki-laki di depan ruang guru.
Data tuturan (10) ini ingin menginformasikan bahwa guru satu mengeluhkan
kedatangannya yang terlambat karena sakit yang dirasakan. Guru dua kemudian
memberi saran supaya bangun lebih awal. Dalam hal ini, guru satu lebih memilih
menggunakan kalimat deklaratif untuk menarik simpati guru dua. Kalimat
deklaratif tersebut diutarakan untuk memberi tahu secara tidak langsung alasan
guru satu datang siang ke sekolah. Dilihat dari kalimatnya, wujud tuturan ini
adalah wujud deklaratif. Hal ini selain untuk menunjukkan kesantunan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
72
berbahasanya juga agar guru dua memahami maksud guru satu. Selain itu tuturan
tersebut juga didukung dengan adanya pemilihan kata “ben” yang digunakan
penutur untuk memberikan saran kepada mitra tutur. Kata “ben” dalam bahasa
Indonesia artinya biar, maka penanda kesantunan yang terdapat dalam tuturan
adalah penanda biar.
Selanjutnya data tuturan (11) dituturkan oleh guru perempuan dan guru laki-
laki di ruang guru. Guru perempuan sedikit lebih muda dari guru laki-laki. Data
tuturan (11) ini ingin menginformasikan bahwa guru dua ingin menutupi teh di
atas meja guru satu agar tidak kena debu tetapi guru dua menolak, karena
menginginkan seperti itu saja. Dalam hal ini, guru dua lebih memilih
menggunakan kalimat imperatif untuk menolak inisiatif guru satu. Kalimat
imperatif tersebut diutarakan untuk menolak tehnya ditutupi oleh guru satu.
Dilihat dari kalimatnya, wujud tuturan ini adalah wujud imperatif. Hal ini terjadi
untuk menunjukkan kesantunan berbahasanya. Selain itu tuturan tersebut juga
didukung dengan adanya pemilihan kata “ben”, itu menandakan bahwa guru dua
menginginkan teh miliknyan lekas dingin. Begitu juga data tuturan (11), kata
“ben” dalam bahasa Indonesia artinya biar, maka penanda kesantunan yang
terdapat dalam tuturan adalah penanda biar.
Kedua data tuturan diatas dapat dikatakan santun karena memenuhi prinsip
kesantunan, kemudian telah menggunakan faktor penentu kesantunan yaitu
intonasi lembut dan nada bicara tepat. Selain itu, kedua data tuturan di atas juga
memiliki penanda kesantunan yakni biar.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
73
4.2.1.5 Kesantunan dengan Penanda “Monggo” (Mari)
Leech (1993: 126-127) menjelaskan bahwa dalam bertutur hendaknya
memperhatikan kesantunan karena kesantunan tidak bisa dianggap remeh. Leech
mengemukakan prinsip kesantunan sebagai pengendali atau pengontrol tuturan
untuk mengurangi akibat yang kurang menyenangkan yang dapat mengakibatkan
konflik karena kesalahpahaman antara penutur dan mitra tutur. Leech
mengusulkan untuk melengkapi prinsip koperasi Grice dengan prinsip
kesantunan, ditnjukkan melalui adanya maksim. Selain itu, Rahardi (2005: 125)
menjelaskan ungkapan-ungkapan penanda kesantunan menjadi ciri-ciri
kesantunan. Kesantunan berbahasa dalam pemakaian tuturan imperatif misalnya,
ditentukan oleh muncul atau tidak munculnya ungkapan-ungkapan penanda
kesantunan seperti; tolong, mohon, silakan, mari, ayo, biar, coba, harap,
hendaknya, sudi kiranya dan sudi apalah kiranya. Penanda – penanda kesantunan
ini menentukan tinggi-rendahnya peringkat kesantunan berbahasa seseorang
ketika berkomunikasi. Contohnya:
(12) Guru 1: Monggo… monggo…
(Mari..mari..)
Guru 2: Nggih.
(Ya.) (DT34)
Konteks: Tuturan dilakukan oleh dua guru perempuan di halaman sekolah.
Situasinya guru satu buru-buru pulang saat jam pulang sekolah. Tidak ingin
tidak sopan dengan guru yang ada di depannya, maka guru satu tersebut
menyapa dengan mengatakan monggo yang artinya mari.
(13) Guru 1: Aku tak mrana sek, monggo.
(Aku ke sana dulu, mari.)
Guru 2: Siap pak.
(Siap pak) (DT42)
Konteks: Tuturan dilakukan oleh dua guru laki-laki di kantin sekolah.
Situasinya guru satu hanya melewati kantin. Melihat ada salah seorang guru,
guru satu kemudian menyapa guru dua untuk sekedar basa-basi.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
74
Data tuturan (12) dituturkan oleh dua guru perempuan di halaman sekolah.
Data tuturan (12) ini ingin menginformasikan bahwa guru satu buru-buru pulang
saat jam pulang sekolah. Tidak ingin tidak sopan dengan guru yang ada di
depannya, maka guru satu tersebut menyapa dengan mengatakan monggo yang
artinya mari. Dalam hal ini, guru satu lebih memilih menggunakan kalimat
deklaratif untuk menyapa guru dua. Kalimat deklaratif tersebut diutarakan untuk
menghormati guru yang ingin didului oleh guru satu. Dilihat dari kalimatnya,
wujud tuturan ini adalah wujud deklaratif. Hal ini selain untuk menunjukkan
kesantunan berbahasanya juga agar tuturan berkenan di hati guru dua. Selain itu
tuturan tersebut juga didukung dengan adanya pemilihan kata “monggo”, untuk
menandai kedekatan antara penutur dan mitra tutur. Kata “monggo” dalam
bahasa Indonesia artinya mari, maka penanda kesantunan yang terdapat dalam
tuturan adalah penanda mari.
Selanjutnya data tuturan (13) dituturkan oleh dua guru laki-laki di kantin
sekolah. Data tuturan (13) ini ingin menginformasikan bahwa guru satu hanya
melewati kantin. Melihat ada salah seorang guru, guru satu kemudian menyapa
guru dua untuk sekedar basa-basi. Dalam hal ini, guru satu lebih memilih
menggunakan kalimat deklaratif untuk menyapa guru dua. Kalimat deklaratif
tersebut diutarakan untuk memberi tahu bahwa guru satu tidak bisa menghampiri
guru dua dan bergabung di kantin, sehingga hanya menyapa. Dilihat dari
kalimatnya, wujud tuturan ini adalah wujud deklaratif. Hal ini selain untuk
menunjukkan kesantunan berbahasanya juga agar tuturan berkenan di hati guru
dua. Selain itu tuturan tersebut juga didukung dengan adanya pemilihan kata
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
75
“monggo” yang digunakan penutur untuk meyakinkan mitra tutur bahwa penutur
hanya sekedar lewat. Begitu juga data tuturan ini, kata “monggo” dalam bahasa
Indonesia artinya mari, maka penanda kesantunan yang terdapat dalam tuturan
adalah penanda mari.
Kedua data tuturan diatas dapat dikatakan santun karena memenuhi prinsip
kesantunan, kemudian telah menggunakan faktor penentu kesantunan yaitu
intonasi lembut dan nada bicara tepat, ramah, dan ditujukan untuk menyapa
seseorang. Selain itu, kedua data tuturan di atas juga memiliki penanda
kesantunan yakni mari.
4.2.1.6 Kesantunan dengan Penanda “Monggo” (Silahkan)
Leech (1993: 126-127) menjelaskan bahwa dalam bertutur hendaknya
memperhatikan kesantunan karena kesantunan tidak bisa dianggap remeh. Leech
mengemukakan prinsip kesantunan sebagai pengendali atau pengontrol tuturan
untuk mengurangi akibat yang kurang menyenangkan yang dapat mengakibatkan
konflik karena kesalahpahaman antara penutur dan mitra tutur. Leech
mengusulkan untuk melengkapi prinsip koperasi Grice dengan prinsip
kesantunan, ditnjukkan melalui adanya maksim. Selain itu, Rahardi (2005: 125)
menjelaskan ungkapan-ungkapan penanda kesantunan menjadi ciri-ciri
kesantunan. Kesantunan berbahasa dalam pemakaian tuturan imperatif misalnya,
ditentukan oleh muncul atau tidak munculnya ungkapan-ungkapan penanda
kesantunan seperti; tolong, mohon, silakan, mari, ayo, biar, coba, harap,
hendaknya, sudi kiranya dan sudi apalah kiranya. Penanda – penanda kesantunan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
76
ini menentukan tinggi-rendahnya peringkat kesantunan berbahasa seseorang
ketika berkomunikasi. Contohnya:
(14) Guru 1: Lha ndi bocahe?
(Lha di mana anaknya?)
Guru 2: Enten trouble makane ditinggal. Monggo lho, bu.
(Ada trouble makanya ditinggal. Silahkan lho, bu) (DT10)
Konteks: Tuturan dilakukan oleh dua guru perempuan dan salah satu guru
perempuan yang lebih senior. Tuturan terjadi di kantin sekolah saat jam
istirahat. Situasinya guru senior ingin duduk di sebelah guru muda. Guru
senior sebagai guru satu mendengar percakapan antara guru muda dan guru
senior yang lain tentang makanan di atas meja. Bermaksud ingin duduk
disebelah, maka guru satu menanyakan kemana perginya orang disamping
guru dua.
(15) Guru 1: Pak Wi, aku melu layat sek.
(Pak Wi, aku ikut melayat dulu.)
Guru 2: Ning sapa to?
(di tempat siapa to?)
Guru 1: Wong tuane bocah IPS.
(Orang tua anak IPS.)
Guru 2: Monggo.
(Silahkan) (DT16)
Konteks: Tuturan dilakukan oleh dua guru laki-laki di lorong sekolah tepat
di depan ruang UKS. Situasinya guru laki-laki satu berpamitan sambil
berlalu meninggalkan lorong, ditangannya sudah memegang jaket. Guru dua
berada dibelakang guru yang berpamitan. Guru satu tidak ingin seperti
meninggalkan pekerjaan, jadi ketika melihat guru dua, guru satu memohon
izin untuk bisa meninggalkan sekolah sebentar.
(16) Guru 1: Sarapan Pak Burhan!
Guru 2: Nggih, monggo.
(Iya, silahkan.) (DT29)
Konteks: Tuturan dilakukan oleh guru perempuan dan guru laki-laki di
kantin sekolah saat jam istirahat. Keduanya sesama guru senior, tetapi satu
lebih muda. Situasinya guru satu baru datang ke kantin untuk makan ketika
guru dua sudah habis setengah dari makanan di piringnya. Guru satu
menyapa guru dua dengan basa-basi menawari sarapan.
Data tuturan (14) dituturkan oleh dua guru perempuan dan salah satu guru
perempuan yang lebih senior. Tuturan terjadi di kantin sekolah saat jam istirahat.
Data tuturan (14) ini ingin menginformasikan bahwa guru senior ingin duduk di
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
77
sebelah guru muda. Guru senior sebagai guru satu sebelumnya mendengar
percakapan antara guru muda dan guru senior yang lain tentang makanan di atas
meja. Bermaksud ingin duduk disebelah, maka guru satu menanyakan kemana
perginya orang disamping guru dua supaya diperbolehkan duduk. Dalam hal ini,
guru satu lebih memilih menggunakan kalimat interogatif untuk merayu guru dua.
Kalimat interogatif tersebut diutarakan untuk melihat respon guru dua, akankah
guru dua memiliki kepekaan untuk mempersilakan guru satu duduk atau tidak.
Dilihat dari kalimatnya, wujud tuturan ini adalah wujud interogatif. Hal ini selain
untuk menunjukkan kesantunan berbahasanya juga untuk menarik simpati tanpa
menyinggung perasaan mitra tutur. Selain itu tuturan tersebut juga didukung
dengan adanya pemilihan kata “monggo” untuk menunjukkan rasa sopan mitra
tutur. Kata “monggo” dalam bahasa Indonesia bisa juga diartikan sebagai
silahkan, tergantung konteksnya, maka penanda kesantunan yang terdapat dalam
tuturan adalah penanda silahkan.
Selanjutnya data tuturan (15) dituturkan oleh dua guru laki-laki di lorong
sekolah tepat di depan ruang UKS. Data tuturan (15) ini ingin menginformasikan
bahwa guru laki-laki satu berpamitan sambil berlalu meninggalkan lorong,
ditangannya sudah memegang jaket. Guru dua berada dibelakang guru yang
berpamitan. Guru satu tidak ingin seperti meninggalkan pekerjaan, jadi ketika
melihat guru dua, guru satu memohon izin untuk bisa meninggalkan sekolah
sebentar. Dalam hal ini, guru satu lebih memilih menggunakan kalimat deklaratif
untuk memohon izin layat. Kalimat deklaratif tersebut diutarakan untuk memberi
tahu guru dua, bawa guru satu ingin pergi melayat. Dilihat dari kalimatnya, wujud
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
78
tuturan ini adalah wujud deklaratif. Hal ini selain untuk menunjukkan kesantunan
berbahasanya juga agar guru dua tidak salah paham dengan ucapan dari guru satu.
Selain itu tuturan tersebut juga didukung dengan adanya pemilihan kata
“monggo” dari guru dua untuk memperbolehkan guru satu melayat. Kata
“monggo” dalam bahasa Indonesia bisa juga diartikan sebagai silahkan,
tergantung konteksnya, maka penanda kesantunan yang terdapat dalam tuturan
adalah penanda silahkan.
Data tuturan (16) dituturkan oleh guru perempuan dan guru laki-laki di
kantin sekolah saat jam istirahat. Keduanya sesama guru senior, tetapi satu lebih
muda. Data tuturan (16) ini ingin menginformasikan bahwa guru satu baru datang
ke kantin untuk makan ketika guru dua sudah habis setengah dari makanan di
piringnya. Guru satu menyapa guru dua dengan basa-basi menawari sarapan.
Dalam hal ini, guru satu lebih memilih menggunakan kalimat deklaratif untuk
menyapa guru dua. Kalimat deklaratif tersebut diutarakan untuk menghormati
guru dua yang baru datang dengan basa-basi menawari makanan. Dilihat dari
kalimatnya, wujud tuturan ini adalah wujud deklaratif. Hal ini selain untuk
menunjukkan kesantunan berbahasanya juga agar guru dua tidak salah paham
dengan saran dari guru satu. Selain itu tuturan tersebut juga didukung dengan
adanya pemilihan kata “monggo” yang menunjukkan respon baik guru dua
terhadap tawaran guru satu. Sebagaimana data tuturan sebelumnya, kata
“monggo” dalam bahasa Indonesia bisa juga diartikan sebagai silahkan,
tergantung konteksnya, maka penanda kesantunan yang terdapat dalam tuturan
adalah penanda silahkan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
79
Ketiga data tuturan diatas dapat dikatakan santun karena memenuhi prinsip
kesantunan, kemudian telah menggunakan faktor penentu kesantunan yaitu
intonasi lembut dan nada bicara tepat. Selain itu, ketiga data tuturan di atas juga
memiliki penanda kesantunan yakni silahkan.
4.2.2 Maksud Tuturan dan Penanda Kesantunan Antarguru dalam Situasi
Informal
Pada bagian hasil penelitian di atas sudah dijelaskan wujud disertai faktor
kesantunan dalam tuturan antarguru dalam situasi informal di SMA Negeri 11
Yogyakarta berdasarkan klasifikasi penanda kesantunan. Dalam sub bab ini akan
dipaparkan pula hasil temuan berupa maksud tuturan yang terdapat dalam tuturan
antarguru.
Dari hasil analisis data, peneliti menemukan maksud tuturan yang
dituturkan guru kepada guru lain. Hal itu membuktikan, jika dalam bertutur
seorang guru memiliki maksud beragam meskipun dituturkan secara santun.
Untuk lebih memahami maksud kesantunan tuturan, dapat diperjelas sebagai
berikut.
4.2.2.1 Kesantunan dengan Maksud “Menyuruh”
Berdasarkan landasan teori sebelumnya, Yule (2006: 3) menjelaskan bahwa
pragmatik adalah studi tentang maksud penutur. Maksud sama halnya dengan
makna pragmatis. Pragmatik melibatkan penafsiran tentang apa yang
dimaksudkan orang di dalam suatu konteks khusus dan bagaimana konteks itu
berpengaruh terhadap apa yang dikatakan. Senada dengan hal itu, Wijana dan
Rohmadi (2009: 215) menjelaskan bahwa pada hakikatnya setiap tuturan yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
80
disampaikan penutur kepada lawan tuturnya mempunyai maksud dan tujuan
tertentu. Maksud yang diutarakan oleh seorang penutur tidak selamanya
diutarakan secara langsung atau tersurat, akan tetapi ada kalanya diutarakan secara
tidak langsung atau tersirat. Contohnya:
(17) Guru 1: Ayo kono kowe melu ujian!
(Ayo sana kamu ikut ujian!) (cekikikan)
Guru 2: Alah ujian hidup wae wes cukup kok.
(Ah, ujian hidup saja sudah cukup kok.) (DT2)
Konteks: Tuturan dilakukan oleh guru laki-laki dan satu perempuan di
kantin sekolah. Guru tersebut tampak sama usianya. Situasi sedang
berlangsungnya ujian nasional. Ketika berlangsung ujian nasional, kedua
guru tersebut sedang makan siang. Tiba-tiba guru satu menggoda guru dua
dengan mengatakan hal tersebut.
(18) Guru 1: Pak Edi, heh, goleki Bu Eri. Ayo gek.
(Pak Edi, heh, dicari Bu Eri. Ayo buruan.)
Guru 2: Ha? Sapa?
(Ha? Siapa?) (sambil tetap berjalan) (DT12)
Konteks: Tuturan dilakukan oleh guru laki-laki dan guru perempuan di
depan ruang wakil kepala sekolah. Situasinya guru perempuan satu tampak
tergesa-gesa dan panik mencari guru laki-laki. Guru laki-laki yang dicari
berjalan keluar ruang guru menuju ruang wakil kepala sekolah. Melihat guru
yang sedang dicari lewat, maka guru satu memanggil guru dua tersebut.
(19) Guru 1: Pak, iki diseleh ndi ya?
(Pak, ini diletakkan di mana ya?)
Guru 2: Tulung seleh kono wae, penting angger ditulisi.
(tolong letakkan di situ saja, yang penting ditulisi.) (DT36)
Konteks: Tuturan dilakukan oleh dua guru laki-laki di ruang guru.
Situasinya guru satu membawa titipan fotocopy guru lain. Guru dua
mengenali fotocopy-an yang dimaksud guru satu. Guru dua meminta guru
satu untuk meletakkan di meja saja.
Tuturan pada data (17) yaitu penutur memiliki maksud menyuruh guru dua
untuk mengikuti ujian nasional. Tuturan tersebut hanya berupa candaan sesama
rekan guru karena situasinya sedang berlangung ujian nasional. Data tuturan (17)
dapat dikatakan santun karena penutur hanya menggoda mitra tutur dan mitra
tutur berkenan dengan merespon perkataan penutur.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
81
Selanjutnya, tuturan pada data (18) yaitu penutur memiliki maksud
menyuruh guru dua untuk segera menemui guru yang bernama Bu Eri. Data
tuturan (18) dapat dikatakan santun karena guru satu mencoba memberikan
informasi bahwa guru dua sedang dicari oleh guru lain. Selain itu, guru dua juga
merespon perkataan guru satu dengan memastikan informasi tersebut, lalu segera
menemui guru yang bersangkutan.
Tuturan pada data (19) lain halnya dengan tuturan lain karena yang
memiliki maksud adalah mitra tutur. Mitra tutur memiliki maksud menyuruh guru
satu meletakkan fotocopy yang dibawanya untuk diletakkan di atas meja. Data
tuturan (19) dapat dikatakan santun karena mitra tutur mencoba merespon
pertanyaan penutur. Mitra tutur juga mengatakan ‘tolong’ kepada penutur.
Ketiga data tuturan tersebut memenuhi prinsip kesantunan dan dianggap
santun karena sikap guru yang mengedepankan kesantunan tuturan dan
memberikan perhatian dengan lawan tuturnya.
4.2.2.2 Kesantunan dengan Maksud “Meminta”
Berdasarkan landasan teori sebelumnya, Yule (2006: 3) menjelaskan bahwa
pragmatik adalah studi tentang maksud penutur. Maksud sama halnya dengan
makna pragmatis. Pragmatik melibatkan penafsiran tentang apa yang
dimaksudkan orang di dalam suatu konteks khusus dan bagaimana konteks itu
berpengaruh terhadap apa yang dikatakan. Senada dengan hal itu, Wijana dan
Rohmadi (2009: 215) menjelaskan bahwa pada hakikatnya setiap tuturan yang
disampaikan penutur kepada lawan tuturnya mempunyai maksud dan tujuan
tertentu. Maksud yang diutarakan oleh seorang penutur tidak selamanya
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
82
diutarakan secara langsung atau tersurat, akan tetapi ada kalanya diutarakan secara
tidak langsung atau tersirat. Contohnya:
(20) Guru 1: Wes tau nyoba mie ayam ndi wae?
(Sudah pernah mencoba mie ayam di mana saja?)
Guru 2: Wah, macem macem, pak.
(Wah, macam-macam, pak.) (DT3)
Konteks: Tuturan dilakukan oleh dua orang guru laki-laki yang berbeda
usia di kantin sekolah. Situasinya guru satu sedang ingin makan mie ayam.
Merasa tidak tau mie ayam yang enak dimana, guru satu meminta
pendapat dari guru dua.
(21) Guru 1: Pak Yus ana ning kene?
(Pak Yus ada di sini?)
Guru 2: (menggelengkan kepala) (DT15)
Konteks: Tuturan dilakukan oleh dua guru laki-laki di ruang guru. Satu guru
lebih senior dibanding yang lainnya. Situasinya guru satu sedang mencari
guru yang bernama Pak Yus. Guru dua yang berada di dalam ruang guru
tepat di samping pintu masuk menjawab dengan menggelengkan kepala
setelah ikut mencari di sekeliling ruangan bahwa Pak Yus tidak ada.
(22) Guru 1: Sing mati deretan ndi?
(yang mati deretan mana?)
Guru 2: Sebelah kene.
(Sebelah sini.) (sambil menggambarkan lokasi komputer)
(DT19)
Konteks: Tuturan dilakukan oleh dua guru laki-laki tampak seusia dan
muda. Situasinya guru laki-laki satu keluar laboratorium komputer,
menghampiri guru laki-laki lain yang duduk di kursi kantin sekolah dan
menepuk pundaknya. Guru laki-laki satu ingin memastikan bahwa komputer
yang dibenahi karena mati tadi sudah pas dengan aduan guru lain dengan
meminta kepastian.
Tuturan pada data (20) yaitu penutur memiliki maksud meminta informasi
tentang mie ayam yang enak di Yogyakarta karena guru satu sedang ingin makan
mie ayam. Data tuturan (20) dapat dikatakan santun karena penutur mencoba
bertanya dengan sopan tentang keingintahuan tentang warung mie ayam yang
enak di Yogyakarta. Mitra tutur juga merespon perkataan penutur dengan baik,
sehingga bisa dikatakan santun.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
83
Selanjutnya, tuturan pada data (21) yaitu penutur meminta guru dua sebagai
mitra tutur untuk memberikan informasi tentang guru yang bernama Pak Yus
yang sedang dicari oleh guru satu. Data tuturan (21) dapat dikatakan santun
karena penutur mengatakan dengan bertanya tidak langsung meminta dan mitra
tutur berkenan merespon perkataan penutur.
Tuturan pada data (22) yaitu penutur memiliki maksud meminta kepastian
bahwa komputer yang dibenahi karena mati tadi sudah pas dengan aduan guru
lain. Tuturan data (22) dapat dikatakan santun karena penutur tidak berusaha
menyombongkan diri karena sudah berhasil membenahi komputer, tetapi
memastikan kembali dengan guru lain.
Ketiga data tuturan tersebut memenuhi prinsip kesantunan dan dianggap
santun karena sikap penutur yang mengedepankan tuturan kesantunan. Ini
dibuktikan dari respon mitra tutur yang berkenan menjawab perkataan pentur.
4.2.2.3 Kesantunan dengan Maksud “Memberi Saran”
Berdasarkan landasan teori sebelumnya, Yule (2006: 3) menjelaskan bahwa
pragmatik adalah studi tentang maksud penutur. Maksud sama halnya dengan
makna pragmatis. Pragmatik melibatkan penafsiran tentang apa yang
dimaksudkan orang di dalam suatu konteks khusus dan bagaimana konteks itu
berpengaruh terhadap apa yang dikatakan. Senada dengan hal itu, Wijana dan
Rohmadi (2009: 215) menjelaskan bahwa pada hakikatnya setiap tuturan yang
disampaikan penutur kepada lawan tuturnya mempunyai maksud dan tujuan
tertentu. Maksud yang diutarakan oleh seorang penutur tidak selamanya
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
84
diutarakan secara langsung atau tersurat, akan tetapi ada kalanya diutarakan secara
tidak langsung atau tersirat. Contohnya:
(23) Guru 1: ning samping Kridosono kae lho keno. Coba wae enak jare
mas.
(di samping Kridosana itu lho. Coba saja enak katanya mas.)
Guru 2: (tersenyum) (DT4)
Konteks: Tuturan dilakukan oleh guru laki-laki dan guru perempuan di
kantin sekolah. Guru perempuan merupakan guru senior tetapi lebih
muda. Situasinya guru perempuan sebagai guru satu mendengarkan
percakapan guru yang sebelumnya membicarakan mie ayam. Guru satu
bermaksud untuk merekomendasikan warung mie ayam yang enak
menurut dirinya kepada guru dua.
(24) Guru 1: Pak, jenengan dhuwur po?
(Pak, bapak tinggi kah?)
Guru 2: Iyo e.
(Iya nih.)
Guru 1: Kae lho, cobo nggo garam diet.
(Itu lho, coba pakai garam diet.)
Guru 3: Alah, nek masak disisihke ndisik wae.
(Alah, kalau masak disisihkan dulu saja.) (DT26)
Konteks: Tuturan dilakukan oleh guru laki-laki dan dua guru perempuan di
kantin sekolah. Ketiga guru tersebut adalah sesama guru senior. Situasinya
guru-guru sedang sarapan. Ketika sedang sarapan, guru dua tidak
menggunakan garam dalam sotonya. Guru satu dan tiga memberi saran
kepada guru dua yang tensi darahnya sedang naik (tinggi). Mereka
menyarankan untuk menggunakan garam diet.
(25) Guru 1: Duh aku kawanen.
(Duh aku kesiangan.)
Guru 2: Sesuk tak tangi jam papat ben ra kawanen.
(Besok bangun jam empat biar tidak kesiangan.)
Guru 1: Yo jane, ning aku mumet wes rong dina iki.
(Ya harusnya, tapi aku pusing sudah dua hari ini.) (DT27)
Konteks: Tuturan dilakukan oleh dua guru laki-laki di depan ruang guru.
Dua guru tersebut sesama guru senior. Situasinya guru satu mengeluhkan
kedatangannya yang terlambat karena sakit yang dirasakan. Guru dua
kemudian memberi saran supaya bangun lebih awal.
Tuturan pada data (23) yaitu penutur memiliki maksud memberi saran
kepada guru dua yang sebelumnya menanyakan tentang warung mie ayam. Data
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
85
tuturan (23) dikatakan santun karena guru satu memberikan informasi yang
diminta oleh guru dua tentang warung mie ayam yang enak.
Selanjutnya, tuturan pada data (24) yaitu penutur memiliki maksud memberi
saran kepada guru dua yang memiliki tekanan dara tinggi. Data tuturan (24)
dikatakan santun karena guru satu dan tiga memberi saran kepada guru agar bisa
tetap menikmati rasa asin dengan merekomendasikan garam diet untuk
dikonsumsi. Guru dua berkenan dengan hal tersebut, sehingga dikatakan santun.
Tuturan pada data (25) yaitu mitra tutur memiliki maksud memberi saran
kepada guru satu supaya tidak bangun kesiangan. Tuturan data (25) dapat
dikatakan santun karena penutur menyadari bahwa dirinya melakukan kesalahan
karena terlambat bangun, kemudian guru dua sebagai mitra tutur menyarankan
untuk bangun jam empat pagi.
Ketiga data tuturan tersebut memenuhi prinsip kesantunan dan dianggap
santun karena sikap penutur dan mitra tutur yang berkomunikasi dengan baik. Hal
itu terbukti dari tuturan dan respon yang diberikan, sehingga tidak ada yang
tersinggung.
4.2.2.4 Kesantunan dengan Maksud “Mengritik”
Berdasarkan landasan teori sebelumnya, Yule (2006: 3) menjelaskan bahwa
pragmatik adalah studi tentang maksud penutur. Maksud sama halnya dengan
makna pragmatis. Pragmatik melibatkan penafsiran tentang apa yang
dimaksudkan orang di dalam suatu konteks khusus dan bagaimana konteks itu
berpengaruh terhadap apa yang dikatakan. Senada dengan hal itu, Wijana dan
Rohmadi (2009: 215) menjelaskan bahwa pada hakikatnya setiap tuturan yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
86
disampaikan penutur kepada lawan tuturnya mempunyai maksud dan tujuan
tertentu. Maksud yang diutarakan oleh seorang penutur tidak selamanya
diutarakan secara langsung atau tersurat, akan tetapi ada kalanya diutarakan secara
tidak langsung atau tersirat. Contohnya:
(26) Guru 1: Weh, kui ngapa ee wira-wiri wae?
(Weh, itu kenapa mondar-mandiri saja?) (menatap seseorang
dengan kepala sedikit terangkat.)
Guru 2: Kui ki saka dinas e.
(Itu tuh dari dinas.) (DT5)
Konteks: Tuturan dilakukan oleh guru laki-laki dan guru perempuan di teras
laboratorium. Situasinya kedua guru tersebut sedang membicarakan
seseorang yang dari tadi mondar-mandir dari laboratorium satu ke
laboratorium yang lain. Guru satu merasa heran melihat ada seseorang yang
sedari tadi mondar-mandir di lingkungan laboratorium, lalu mengritik
dengan nada bertanya kepada guru dua yang sedari tadi bersamanya. Ini
terjadi saat persiapan ujian paket C.
(27) Guru 1: La ngapa karo Hotman?
(Lha kenapa dengan Hotman?)
Guru 2: Teka’e arep nikah siri.
(Sepertinya mau nikah siri.)
Guru 1: Weh iyo po?
(Weh, iya pa?)
Guru 2: Jarene, aku yo ora dong. Kok gelem yo.
(Katanya, aku ya tidak paham. Kok mau ya.) (mata menyipit)
(DT65)
Konteks: Tuturan dilakukan oleh dua guru perempuan di kantin sekolah saat
jam istirahat. Situasinya kedua guru tersebut membaca berita online tentang
Nafa Urbach dan Hotman Paris. Guru satu memberitahu kepada guru dua
tentang isu rencana nikah siri Hotman Paris dan mengritik mengapa Nafa
mau dengan Hotman Paris.
(28) Guru 1: Kae lho, jal delok kae rupane.
(Itu lho, coba lihat itu mukanya.)
Guru 2: Ngapa to?
(Kenapa sih?)
Guru 1: Kluwus
(Lusuh) (tertawa) (DT72)
Konteks: Tuturan dilakukan oleh dua guru laki-laki di kantin sekolah saat
jam istirahat. Situasinya kedua guru tersebut memperhatikan guru yang
dimaksud. Guru satu mengejek guru lainnya sambil bercanda.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
87
Tuturan pada data (26) yaitu penutur memiliki maksud mengritik seseorang
yang sedari tadi mondar-mandir di sekitar laboratorium sekola saat persiapan
ujian paket C. Data tuturan (26) dapat dikatakan santun karena penutur mengritik
orang lain dengan menanyakan siapa yang mondar-mandir dari tadi kepada guru
dua. Guru dua sebagai mitra tutur berkenan dengan perkataan penutur, terlihat dari
respon mitra tutur.
Selanjutnya, tuturan data (27) yaitu penutur memiliki mengritik artis yang
bernama Hotman Paris. Tuturan data (27) dapat dikatakan santun karena penutur
mempertanyakan berita yang beredar kepada guru dua. Guru dua terlihat berkenan
dengan menanggapi perkataan penutur dan menambahkan informasi tentang artis
yang dimaksud.
Tuturan pada data (28) yaitu penutur memiliki mengritik guru yang sedari
tadi berdiri dengan mengatakan mukanya kluwus yang artinya lusuh. Tuturan data
(28) dapat dikatakan santun karena penutur mengatakan dengan bercanda dan
guru dua tidak keberatan dengan perkataan tersebut.
Ketiga data tuturan tersebut memenuhi prinsip kesantunan dan dianggap
santun karena komunikasi antarguru tidak menyinggung satu sama lain. Hal ini
disebabkan perkataan tersebut tidak sertamerta ditujukan kepada lawan tuturnya
tetapi orang yang diperbincangkan oleh penutur dan mitra tutur.
4.2.2.5 Kesantunan dengan Maksud “Menyindir”
Berdasarkan landasan teori sebelumnya, Yule (2006: 3) menjelaskan bahwa
pragmatik adalah studi tentang maksud penutur. Maksud sama halnya dengan
makna pragmatis. Pragmatik melibatkan penafsiran tentang apa yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
88
dimaksudkan orang di dalam suatu konteks khusus dan bagaimana konteks itu
berpengaruh terhadap apa yang dikatakan. Senada dengan hal itu, Wijana dan
Rohmadi (2009: 215) menjelaskan bahwa pada hakikatnya setiap tuturan yang
disampaikan penutur kepada lawan tuturnya mempunyai maksud dan tujuan
tertentu. Maksud yang diutarakan oleh seorang penutur tidak selamanya
diutarakan secara langsung atau tersurat, akan tetapi ada kalanya diutarakan secara
tidak langsung atau tersirat. Contohnya:
(29) Guru 1: Eh pak… kok tumben, biasane mruput?
(Eh pak.. kok tumben, biasanya berangkat lebih awal?)
Guru 2: Ah jare sapa, jam 7 wes metangkring ning kene kok.
(Ah kata siapa, jam 7 sudah ada di sini kok.) (bergaya)
(DT24)
Konteks: Tuturan dilakukan oleh guru laki-laki dan guru perempuan di
kantin sekolah saat jam istirahat. Situasinya guru dua baru saja datang ke
kantin, sedangkan guru satu sudah lebih dulu tiba. Guru satu heran kepada
guru dua karena merasa baru melihat guru dua di sekolah pada siang hari.
(30) Guru 1: Welah kok do ning kene?
(Weh kok pada di sini?) (kaget)
Guru 2: Kene ngelih awet mau isuk e.
(Kami lapar dari tadi pagi soalnya.) (DT30)
Konteks: Tuturan dilakukan oleh dua guru perempuan di kantin sekolah saat
jam pelajaran berlangsung, tetapi beberapa guru tidak ada jadwal mengajar.
Situasinya guru satu lewat di depan kantin, dan guru dua sudah menikmati
makanannya. Guru satu kaget mengapa guru dua masih di kantin padahal
jam pelajaran berlangsung.
(31) Guru 1: Sapa kae sing jaga?
(Siapa itu yang jaga?) (menatap dengan kepala sedikit
terangkat)
Guru 2: Mbak Dian kok sing isuk.
(Mbak Dian kok yang pagi.) (DT68)
Konteks: Tuturan dilakukan oleh guru perempuan dan guru laki-laki di
kantin sekolah saat jam istirahat. Guru satu adalah guru senior. Situasinya
sedang berlangsung ujian paket C. Guru dua adalah pengawas ujian paket C.
Guru satu menyindir guru dua mengapa masih di kantin saja.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
89
Tuturan pada data (29) yaitu penutur memiliki maksud menyindir rekan
gurunya yang menjadi mitra tutur karena sepertinya datang ke sekolah pada siang
hari. Tuturan data (29) dapat dikatakan santun karena penutur menyindir dengan
cara menanyakan kehadiran sehingga terkesan tidak menyinggung mitra tutur.
Guru dua pun menjawab dengan santai sambil bergaya, menandakan bahwa tidak
tersinggung.
Selanjutnya, tuturan pada data (30) yaitu penutur memiliki maksud
menyindir rekan sesama guru yang masi berada di kantin untuk makan padaal jam
pelajaran sudah berlangsung. Tuturan data (30) dapat dikatakan santun karena
ketika penutur mengatakan hal tersebut, mitra tutur berkenan menjawab.
Perkataan penutur juga diutarakan dalam bentuk pertanyaan sehingga tidak
menyinggung.
Tuturan pada data (31) yaitu penutur memiliki maksud menyindir guru dua
yang makan di kantin dan tidak menjalankan tugasnya untuk menjaga
laboratorium saat ujian paket C berlangsung. Tuturan data (31) dapat dikatakan
santun karena penutur menyindir dengan menanyakan siapa yang menjaga ruang
ujian. Mitra tutur tidak merasa tersinggung karena memang dirinya tidak lalai
dengan tugas untuk menjaga ruang ujian.
Ketiga data tuturan tersebut memenuhi prinsip kesantunan dan dianggap
santun karena sikap penutur dan mitra tutur meskipun terdapat ketidakcocokan
tetap bersikap santun. Keduanya juga selalu bertutur dengan santun meskipun
dalam keadaan menyindir.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
90
4.2.2.6 Kesantunan dengan Maksud “Memberi Tahu”
Berdasarkan landasan teori sebelumnya, Yule (2006: 3) menjelaskan bahwa
pragmatik adalah studi tentang maksud penutur. Maksud sama halnya dengan
makna pragmatis. Pragmatik melibatkan penafsiran tentang apa yang
dimaksudkan orang di dalam suatu konteks khusus dan bagaimana konteks itu
berpengaruh terhadap apa yang dikatakan. Senada dengan hal itu, Wijana dan
Rohmadi (2009: 215) menjelaskan bahwa pada hakikatnya setiap tuturan yang
disampaikan penutur kepada lawan tuturnya mempunyai maksud dan tujuan
tertentu. Maksud yang diutarakan oleh seorang penutur tidak selamanya
diutarakan secara langsung atau tersurat, akan tetapi ada kalanya diutarakan secara
tidak langsung atau tersirat. Contohnya:
(32) Guru 1: Ndik, tulung delengen. Iki opo hayo? Iki uyah
(Ndik, tolong lihatlah. Ini apa hayo?)
Guru 2: Alah rak penting.
(Alah tidak penting.) (sambil mengayunkan tangan) (DT7)
Konteks: Tuturan dilakukan oleh seorang guru laki-laki dan seorang guru
perempuan di kantin sekolah dan sedang makan. Kedua guru tersebut
tampak seusia. Guru satu sedang mengambil garam untuk ditambahkan
dalam soto miliknya. Melihat guru dua makan dengan lahap, tiba-tiba guru
satu menggoda guru dua dengan melontarkan pertanyaan. Guru dua
bertanya sesuatu yang sedang dipegangnya, padahal sudah jelas bahwa yang
dipegang adalah garam.
(33) Guru 1: Pak, wingi ana puting!
(Pak, kemarin ada puting!)
Guru 2: Lha yo makane kui.
(Lha iya maka dari itu.) (DT21)
Konteks: Tuturan dilakukan oleh guru laki-laki dan guru perempuan. Duduk
bersebelahan di kantin sekolah. Guru laki-laki dan guru perempuan tersebut
adalah guru senior. Guru satu memberitahu kepada guru dua bahwa kemarin
ada puting beliung di daerah Yogyakarta.
(34) Guru 1: Hey kursine ketemu.
(Hey kursinya ketemu.)
Guru 2: Ning ndi?
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
91
(di mana?)
Guru 1: Kae lho kursine 12 IPS 5 mbiyen kan mung 24 to, saiki okeh.
(Itu lho kursinya 12 IPS 5 dulu kan cuma 24, sekarang
banyak.)
Guru 2: Lha kok iso?
(Lha kok bisa?)
Guru 1: Dingo kelas’e pokoke.
(dipakai kelasnya pokoknya.)
Guru 2: Terima kasih ya, bu. (DT54)
Konteks: Tuturan dilakukan oleh dua guru perempuan di halaman sekolah.
Topik bahasan kedua guru tersebut adalah kursi kelas yang hilang. Kursi
kelas yang dicari guru dua sudah ditemukan guru satu. Guru satu memberi
tahu dengan menunjuk kesalah satu kelas.
Tuturan pada data (32) yaitu penutur memiliki maksud memberi tahu
sesuatu yang dipegangnya adalah garam. Tuturan data (32) dapat dikatakan santun
karena penutur hanya menggoda guru dua agar mau merespon pertanyaan guru
satu. Guru dua sebagai mitra tutur juga berkenan dengan perkataan guru satu,
terlihat dari jawaban yang diberikan bahwa tidak terkesan tersinggung.
Selanjutnya, tuturan data (33) yaitu penutur memiliki maksud memberi tahu
bahwa kemarin terjadi bencana angin puting beliung. Tuturan data (33) dapat
dikatakan santun karena ketika penutur mengatakan hal tersebut, mendapat respon
baik dari mitra tutur. Guru dua juga terlihat berkenan dengan perkataan guru satu
dan membenarkan argumen guru satu.
Tuturan pada data (34) yaitu penutur memiliki maksud memberi tahu rekan
sesama guru yakni mitra tutur bahwa kursi yang selama ini dicari sudah
ditemukan. Tuturan data (34) dapat dikatakan santun karena penutur menolong
mitra tutur dengan memberi tahu di mana kursi yang dicari mitra tutur ditemukan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
92
Ketiga data tuturan tersebut memenuhi prinsip kesantunan dan dianggap
santun karena sikap penutur menaruh simpati kepada mitra tutur. Itu dilakukan
dengan cara bercanda, memberikan informasi, dan menolong mitra tutur.
4.2.2.7 Kesantunan dengan Maksud “Menyatakan”
Berdasarkan landasan teori sebelumnya, Yule (2006: 3) menjelaskan bahwa
pragmatik adalah studi tentang maksud penutur. Maksud sama halnya dengan
makna pragmatis. Pragmatik melibatkan penafsiran tentang apa yang
dimaksudkan orang di dalam suatu konteks khusus dan bagaimana konteks itu
berpengaruh terhadap apa yang dikatakan. Senada dengan hal itu, Wijana dan
Rohmadi (2009: 215) menjelaskan bahwa pada hakikatnya setiap tuturan yang
disampaikan penutur kepada lawan tuturnya mempunyai maksud dan tujuan
tertentu. Maksud yang diutarakan oleh seorang penutur tidak selamanya
diutarakan secara langsung atau tersurat, akan tetapi ada kalanya diutarakan secara
tidak langsung atau tersirat. Contohnya:
(35) Guru 1: Coba delengen iki maem’e sopo? (melirik bangku kosong)
(Coba lihat ini makanannya siapa?)
Guru 2: Andi, bu.
Guru 1: (mulut membentuk bulatan huruf o) (DT8)
Konteks: Tuturan dilakukan oleh dua orang guru perempuan di kantin
sekolah saat jam istirahat. Guru perempuan satu lebih senior dibandingkan
guru dua. Situasinya guru senior ingin duduk di kursi teras kantin, tetapi
tidak jadi karena mengetahui ada makanan di atas meja tersebut. Guru satu
mengharapkan guru dua untuk menyingkirkan makanan temannya lebih
dulu, di meja yang kosong agar guru satu bisa duduk bersebelahan. Tetapi,
tidak muncul kepekaan pada guru dua.
(36) Guru 1: Padahal nggonku yo jane rodo cedak.
(Padahal tempatku ya lumayan dekat sebenarnya.)
Guru 2: Yo ora lah mbak. Jumjumen ora keno.
(Ya tidak lah mbak.)
Guru 1: Yo kui, alhamdullilah.
(Ya itu, alhamdullilah.) (DT23)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
93
Konteks: Tuturan dilakukan oleh dua guru perempuan di kantin sekolah
pada jam istirahat. Kedua guru tersebut berbeda usia. Guru dua
menghampiri guru satu yang sedang sarapan. Mereka masih
membicarakan tentang puting beliung yang belum lama ini terjadi. Guru
satu mengharapkan simpati guru dua dengan ikut menceritakan bahwa
rumahnya juga dekat dengan kejadian.
(37) Guru 1: Pak Jendro belum masuk, pak?
Guru 2: Belum, lha arep ngapa?
(Belum, mau ngapain?)
Guru 1: lha kemarin disuruh nemuin. (DT31)
Konteks: Tuturan dilakukan oleh guru laki-laki dan guru perempan di ruang
guru. Tuturan berlangsung pagi hari selesai afeksi. Guru laki-laki
merupakan senior dan guru perempuan merupakan guru muda. Guru satu
sedang mencari Pak Jendro di ruang guru dan berharap beliau di sana.
Tuturan pada data (35) yaitu penutur memiliki maksud menyatakan kepada
guru dua sebagai mitra tutur untuk mempersilakan guru satu duduk disampingnya.
Data tuturan (35) dapat dikatakan santun karena penutur bertanya terlebih dulu
kepada guru dua tentang makanan di atas meja. Guru satu tidak serta-merta duduk
saja di samping guru dua, tetapi melihat kepekaan guru dua dengan cara bertanya.
Selanjutnya, tuturan pada data (36) yaitu penutur memiliki maksud
menyatakan maksud supaya perhatian kepada guru dua akibat bencana puting
beliung. Data tuturan (36) dapat dikatakan santun karena penutur tidak memaksa
mitra tutur yakni guru dua untuk peduli kepadanya. Guru satu hanya menceritakan
bahwa tempat tinggalnya tidak jauh dari lokasi kejadian, kemudian mendapat
respon positif dari guru dua.
Tuturan pada data (37) yaitu penutur memiliki maksud menyatakan tujuan
supaya mendapat jawaban yang sesuai keinginannya dari guru dua yakni
mengetahui keberadaan guru yang ingin ditemui. Data tuturan (37) dapat
dikatakan santun karena penutur tidak memaksa mitra tutur memberikan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
94
informasi yang diinginkan yakni mengetahui di mana guru yang dicari berada,
tetapi hanya bertanya. Tuturan guru satu berkenan dihati guru dua, dan guru dua
membalas dengan peduli dengan maksud guru satu terhadap guru yang bernama
Pak Jendro.
Ketiga data tuturan tersebut memenuhi prinsip kesantunan dan dianggap
santun karena sikap penutur tidak memaksa mitra tutur untuk memenuhi setiap
keinginannya. Pentur selalu mengedepankan kesan santun dalam setiap
tuturannya.
4.2.2.8 Kesantunan dengan Maksud “Merayu”
Berdasarkan landasan teori sebelumnya, Yule (2006: 3) menjelaskan bahwa
pragmatik adalah studi tentang maksud penutur. Maksud sama halnya dengan
makna pragmatis. Pragmatik melibatkan penafsiran tentang apa yang
dimaksudkan orang di dalam suatu konteks khusus dan bagaimana konteks itu
berpengaruh terhadap apa yang dikatakan. Senada dengan hal itu, Wijana dan
Rohmadi (2009: 215) menjelaskan bahwa pada hakikatnya setiap tuturan yang
disampaikan penutur kepada lawan tuturnya mempunyai maksud dan tujuan
tertentu. Maksud yang diutarakan oleh seorang penutur tidak selamanya
diutarakan secara langsung atau tersurat, akan tetapi ada kalanya diutarakan secara
tidak langsung atau tersirat. Contohnya:
(38) Guru 1: Tambah nasi mboten, pak?
(Tambah nasi tidak, pak?)
Guru 2: Ora usah nggo sego.
(Tidak perlu menggunakan nasi.)
Guru 1: dicoba wae pak. (dicoba saja pak) (DT1)
Konteks: Tuturan dilakukan oleh dua orang guru laki-laki yang berbeda usia
saat jam istirahat di kantin sekolah. Situasinya guru sedang memesan
sarapan. Guru satu melihat makanan yang dipesan guru dua terlihat kurang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
95
sesuai jika tidak pakai nasi. Guru satu merayu guru dua untuk
menambahkan nasi dalam makanannya.
(39) Guru 1: Lha ndi bocahe?
(Lha di mana anaknya?)
Guru 2: Enten trouble makane ditinggal. Monggo lho, bu.
(Ada trouble makanya ditinggal. Silahkan lho, bu) (DT10)
Konteks: Tuturan dilakukan oleh dua guru perempuan dan salah satu guru
perempuan yang lebih senior. Tuturan terjadi di kantin sekolah saat jam
istirahat. Situasinya guru senior ingin duduk di sebelah guru muda. Guru
senior sebagai guru satu mendengar percakapan antara guru muda dan guru
senior yang lain tentang makanan di atas meja. Bermaksud ingin duduk
disebelah, maka guru satu menanyakan kemana perginya orang disamping
guru dua.
(40) Guru 1: Lha iki sido nggo uyah ora, pak?
(Lha ini jadi pakai garam tidak, pak?)
Guru 2: Ora usah, ra wani aku.
(Tidak perlu, tidak berani saya.)
Guru 1: Ora enak ra nggo uyah ki. Coba wae sithik.
(tidak enak kalau tidak pakai garam. Coba saja sedikit.)
Guru 2: Yowes, sitik wae.
(Ya sudah, sedikit saja.) (DT25)
Konteks: Tuturan dilakukan oleh guru laki-laki dan guru perempuan di
kantin sekolah saat jam istirahat. Situasinya kedua guru tersebut sedang
memesan makanan kepada ibu penjual makanan di kantin. Guru dua
memiliki tekanan darah tinggi sehingga memesan soto tanpa garam. Melihat
hal demikian, guru satu merasa kurang nikmat jika mengetahui makanan
tanpa garam karenan akan hambar. Lalu guru satu menyarankan kepada
guru dua untuk menambahkan garam dalam soto milik guru dua.
Tuturan pada data (38) yaitu penutur memiliki maksud merayu guru dua
agar mau menambahkan nasi dalam makanan yang dipesan. Data tuturan (38)
dapat dikatakan santun karena penutur merayu guru dua, tidak memaksakan
kehendak. Tuturan tersebut berkenan dihati guru dua, terbukti dari respon guru
dua yang mau menambahkan nasi dalam makanan yang dipesannya.
Selanjutnya, tuturan pada data (39) yaitu penutur memiliki maksud merayu
guru dua supaya diperbolehkan duduk di kursi bersebelahan dengan guru satu
sebagai penutur. Tuturan data (39) dapat dikatakan santun karena penutur
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
96
bertanya terlebih dulu makanan siapa yang ditinggal begitu saja, dengan begitu
guru dua mempersilahkan guru satu untuk duduk disebelahnya. Tuturan tersebut
berkenan di hati guru dua, sehingga guru satu mendapatkan yang diinginkan tanpa
menyinggung perasaan guru dua.
Tuturan pada data (40) yaitu penutur memiliki maksud merayu guru dua
supaya mau menambahkan garam dalam soto yang dipesannya. Tuturan data (40)
dapat dikatakan santun karena penutur tidak memaksakan kehendak supaya mitra
tutur mau menambahkan garam, tetapi penutur bertanya telebih dulu kemudian
memberi saran. Tuturan tersebut berkenan di hati guru dua, terbukti dari respon
yang diberikan dan mau menambahkan garam dalam soto miliknya.
Ketiga data tuturan tersebut memenuhi prinsip kesantunan dan dianggap
santun karena sikap penutur yang tidak memaksakan kehendak supaya dilakukan
oleh mitra tutur. Penutur merayu mitra tutur dengan lembut dan santun supaya
menerima perkataan penutur.
4.2.2.9 Kesantunan dengan Maksud “Mengingatkan”
Berdasarkan landasan teori sebelumnya, Yule (2006: 3) menjelaskan bahwa
pragmatik adalah studi tentang maksud penutur. Maksud sama halnya dengan
makna pragmatis. Pragmatik melibatkan penafsiran tentang apa yang
dimaksudkan orang di dalam suatu konteks khusus dan bagaimana konteks itu
berpengaruh terhadap apa yang dikatakan. Senada dengan hal itu, Wijana dan
Rohmadi (2009: 215) menjelaskan bahwa pada hakikatnya setiap tuturan yang
disampaikan penutur kepada lawan tuturnya mempunyai maksud dan tujuan
tertentu. Maksud yang diutarakan oleh seorang penutur tidak selamanya
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
97
diutarakan secara langsung atau tersurat, akan tetapi ada kalanya diutarakan secara
tidak langsung atau tersirat. Contohnya:
(41) Guru 1: AC-ne wes teko apa durung, pak? Tulung dicek.
(AC-nya sudah sampai apa belum, pak? Tolong diperiksa.)
Guru 2: 41 to? Yo, uwes.
(41 an? Iya, sudah.) (DT11)
Konteks: Tuturan dilakukan oleh dua guru laki-laki yang tampak seusia dan
merupakan guru senior. Tuturan terjadi di depan kantor guru. Situasinya
guru laki-laki satu memanggil sambil berteriak kepada guru laki-laki yang
lewat di depan kantor guru. Guru satu adalah waka kesiswaan dan
sebelumnya telah memesan AC. Guru satu memanggil guru dua sebagi
anggota dari sarana prasarana sekolah untuk memastikan apakah AC yang
dipesan sudah datang atau belum.
(42) Guru 1: Eh, nggon tempat wisata wes podo ditutup?
(Eh, di tempat wisata sudah pada ditutup).
Guru 2: Iyolah mestine wes.
(Iyalah mestinya sudah).
Guru 1: Piro jarake? Ojo mrana lho.
(Berapa jaraknya? Jangan ke sana lho.)
Guru 2: 30 meter jare (30 meter katanya.)
Guru 1: Weh..dhuwur yo. (Weh... tinggi ya.) (DT53)
Konteks: Tuturan dilakukan oleh dua guru laki-laki. Situasinya kedua guru
tersebt mendengar guru disebelahnya bercerita tentang Merapi, lalu
berbicara dengan guru yang ada di sebelahnya. Guru satu khawatir dengan
keadaan yang baru saja terjadi, lalu mengingatkan kepada guru dua untuk
tidak ke tempat wisata merapi terlebih dulu.
(43) Guru 1: Pak, piye wes sido tuku garam diet?
(Pak, gimana sudah jadi beli garam diet?)
Guru 2: Durung yo, lah apa jenenge?
(Belum ya, lah apa namanya?)
Guru 1: Lali aku (lupa aku) (sambil berlalu) (DT71)
Konteks: Tuturan dilakukan oleh guru perempuan dan guru laki-laki saat
jam istirahat. Kedua guru tersebut tampak seusia. Situasinya kedua guru
berpapasan di halaman sekolah. Guru satu dulu pernah menyarankan guru
dua untuk membeli garam diet. Saat bertemu guru satu menanyakan tentang
garam diet apakah sudah dibeli atau belum oleh guru dua.
Tuturan pada data (41) yaitu penutur memiliki maksud mengingatkan guru
dua untuk memeriksa apakah AC yang dipesan sudah datang atau belum. Data
tuturan (41) dapat dikatakan santun karena penutur mengingatkan kepada mitra
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
98
tutur yakni guru dua untuk memerika, dan ditandai dengan kata ‘tolong’. Tuturan
tersebut berkenan di hati guru dua karena guru dua merespon dengan baik dan
akan memeriksa AC yang datang.
Selanjutnya, tuturan pada data (42) yaitu penutur memiliki mengingatkan
mitra tutur yakni guru dua untuk tidak ke tempat wisata Merapi terlebih dulu
mengingat erupsi yang terjadi. Tuturan data (42) dapat dikatakan santun karena
ketika penutur mengatakan hal tersebut, mendapat respon baik dari mitra tutur.
Guru dua juga terlihat berkenan dengan perkataan guru satu dan membenarkan
argumen guru satu.
Tuturan pada data (43) yaitu penutur memiliki maksud mengingatkan guru
dua sebagai mitra tutur apakah garam diet yang dulu pernah disarankan sudah
dibeli atau belum. Data tuturan (43) dapat dikatakan santun karena penutur
mengingatkan hal baik yang dibutuhkan oleh mitra tutur. Guru dua juga merasa
berterima kasih sudah diingatkan.
Ketiga data tuturan tersebut memenuhi prinsip kesantunan dan dianggap
santun karena sikap penutur menaruh perhatian kepada mitra tutur dengan
mengingatkan hal-hal dibutuhkan mitra tutur. Itu terlihat dari cara mitra tutur
merespon perkataan penutur. Komunikasi juga berjalan baik diantara keduanya,
sehingga tidak ada yang tersinggung.
4.2.2.10 Kesantunan dengan Maksud “Permohonan Izin”
Berdasarkan landasan teori sebelumnya, Yule (2006: 3) menjelaskan bahwa
pragmatik adalah studi tentang maksud penutur. Maksud sama halnya dengan
makna pragmatis. Pragmatik melibatkan penafsiran tentang apa yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
99
dimaksudkan orang di dalam suatu konteks khusus dan bagaimana konteks itu
berpengaruh terhadap apa yang dikatakan. Senada dengan hal itu, Wijana dan
Rohmadi (2009: 215) menjelaskan bahwa pada hakikatnya setiap tuturan yang
disampaikan penutur kepada lawan tuturnya mempunyai maksud dan tujuan
tertentu. Maksud yang diutarakan oleh seorang penutur tidak selamanya
diutarakan secara langsung atau tersurat, akan tetapi ada kalanya diutarakan secara
tidak langsung atau tersirat. Contohnya:
(44) Guru 1: Pak Wi, aku melu layat sek.
(Pak Wi, aku ikut melayat dulu.)
Guru 2: Ning sapa to?
(di tempat siapa to?)
Guru 1: Wong tuane bocah IPS.
(Orang tua anak IPS.)
Guru 2: Monggo.
(silahkan) (DT16)
Konteks: Tuturan dilakukan oleh dua guru laki-laki di lorong sekolah tepat
di depan ruang UKS. Situasinya guru laki-laki satu berpamitan sambil
berlalu meninggalkan lorong, ditangannya sudah memegang jaket. Guru dua
berada dibelakang guru yang berpamitan. Guru satu tidak ingin seperti
meninggalkan pekerjaan, jadi ketika melihat guru dua, guru satu memohon
izin untuk bisa meninggalkan sekolah sebentar.
(45) Guru 1: Aku tak mrana sek, monggo.
(Aku ke sana dulu, mari.)
Guru 2: Siap pak.
(Siap pak) (DT42)
Konteks: Tuturan dilakukan oleh dua guru laki-laki di kantin sekolah.
Situasinya guru satu hanya melewati kantin. Melihat ada salah seorang guru,
guru satu kemudian menyapa guru dua untuk sekedar basa-basi.
Tuturan pada data (44) yaitu penutur memiliki mengajukan permohonan izin
kepada guru dua karena akan meninggalkan sekolah untuk melayat. Data tuturan
(44) dapat dikatakan santun karena penutur tetap menghormati mitra tutur dengan
tetap memohon izin. Guru dua merasa tidak nyaman jika meninggalkan sekola
tanpa keterangan apa pun.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
100
Selanjutnya, tuturan pada data (45) yaitu penutur memiliki maksud
mengajukan permohonan izin diri untuk langsung pergi tanpa mampir terlebih
dulu. Data tuturan (45) dapat dikatakan santun karena ketika penutur mengatakan
hal tersebut, mitra tutur menjawab dengan baik. Guru dua sebagai mitra tutur
menyetujui perkataan penutur dan membiarkan guru satu pergi.
Kedua data tuturan tersebut memenuhi prinsip kesantunan dan dianggap
santun karena sikap penutur menghormati mitra tutur meskipun sesama guru
tetapi tetap memohon izin jika pergi. Komunikasi diantara keduanya juga berjalan
baik dan tidak ada yang tersinggung.
4.2.2.11 Kesantunan dengan Maksud “Menyapa”
Berdasarkan landasan teori sebelumnya, Yule (2006: 3) menjelaskan bahwa
pragmatik adalah studi tentang maksud penutur. Maksud sama halnya dengan
makna pragmatis. Pragmatik melibatkan penafsiran tentang apa yang
dimaksudkan orang di dalam suatu konteks khusus dan bagaimana konteks itu
berpengaruh terhadap apa yang dikatakan. Senada dengan hal itu, Wijana dan
Rohmadi (2009: 215) menjelaskan bahwa pada hakikatnya setiap tuturan yang
disampaikan penutur kepada lawan tuturnya mempunyai maksud dan tujuan
tertentu. Maksud yang diutarakan oleh seorang penutur tidak selamanya
diutarakan secara langsung atau tersurat, akan tetapi ada kalanya diutarakan secara
tidak langsung atau tersirat. Contohnya:
(46) Guru 1: Halo
Guru 2: Halo pak. (DT18)
Konteks: Tuturan dilakukan oleh dua guru laki-laki. Guru laki-laki yang
satu lebih tua dari yang lainya. Tuturan terjadi di kantin sekolah. Situasinya
guru laki-laki senior duduk di kursi pinggir dekat jalan masuk kantin dan
guru muda baru datang ke kantin. Guru laki-laki satu bermaksud hanya
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
101
menyapa guru laki-laki yang duduk di kursi yang lebih dulu berada di kantin
sekolah.
(47) Guru 1: Ayo Pak Tik, Pak Wah.
Guru 2: Yo. (ya.)
Guru 3: (mengangguk.) (DT33)
Konteks: Tuturan dilakukan oleh guru laki-laki dan guru perempuan di
kantin sekolah. Situasinya guru satu ingin meninggalkan kantin setelah
membungkus makanan dan berpamitan. Guru satu sebelum benar-benar
meninggalkan kantin, menyapa guru yang bernama Pak Tik dan Pak Wah.
Guru satu melakukan hal itu untuk menghormati dua guru laki-laki tersebut.
(48) Guru 1: Monggo… monggo…
(Mari..mari..)
Guru 2: Nggih.
(Ya.) (DT34)
Konteks: Tuturan dilakukan oleh dua guru perempuan di halaman sekolah.
Situasinya guru satu buru-buru pulang saat jam pulang sekolah. Tidak ingin
tidak sopan dengan guru yang ada di depannya, maka guru satu tersebut
menyapa dengan mengatakan monggo yang artinya mari.
Tuturan pada data (46) yaitu penutur memiliki maksud menyapa guru dua
yakni sebagai mitra tutur yang berada terlebih dulu di kantin. Data tuturan (46)
dapat dikatakan santun karena penutur tidak menghiraukan guru dua yang sudah
lebih dulu di kantin, tetapi menyapa guru dua dengan mengatakan ‘halo’. Tuturan
juga berkenan di hati guru dua sehingga merespon hal yang sama dengan
menjawab ‘halo pak’.
Selanjutnya, tuturan pada data (47) yaitu penutur memiliki maksud menyapa
guru yang ada di dekatnya saat di kantin sebagai mitra tutur. Sama halnya dengan
tuturan pada data 49, guru satu sebagai penutur tidak menghiraukan begitu saja
guru yang ada di dekatnya. Data tuturan (47) dapat dikatakan santun karena
penutur menghormati mitra tutur dengan menyapa terlebih dulu saat berpamitan
untuk meninggalkan kantin.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
102
Tuturan pada data (48) yaitu penutur memiliki maksud menyapa guru yang
berada di depannya saat ingin mendahului pada jam pulang sekolah. Data tuturan
(48) dapat dikatakan santun karena penutur menghormati guru yang ada di
depannya dan tidak menghiraukan begitu saja saat ingin mendahului. Tuturan
tersebut berkenan di hati mitra tutur karena mitra tutur merespon penutur.
Ketiga data tuturan tersebut memenuhi prinsip kesantunan dan dianggap
santun karena sikap penutur menghormati guru lain sebagai mitra tuturnya. Mitra
tutur baik lebih tua maupun masih muda tetap disapa terlebih dulu oleh penutur.
4.2.2.12 Kesantunan dengan Maksud “Memastikan”
Berdasarkan landasan teori sebelumnya, Yule (2006: 3) menjelaskan bahwa
pragmatik adalah studi tentang maksud penutur. Maksud sama halnya dengan
makna pragmatis. Pragmatik melibatkan penafsiran tentang apa yang
dimaksudkan orang di dalam suatu konteks khusus dan bagaimana konteks itu
berpengaruh terhadap apa yang dikatakan. Senada dengan hal itu, Wijana dan
Rohmadi (2009: 215) menjelaskan bahwa pada hakikatnya setiap tuturan yang
disampaikan penutur kepada lawan tuturnya mempunyai maksud dan tujuan
tertentu. Maksud yang diutarakan oleh seorang penutur tidak selamanya
diutarakan secara langsung atau tersurat, akan tetapi ada kalanya diutarakan secara
tidak langsung atau tersirat. Contohnya:
(49) Guru 1: Mas Pri mrene jam piro mbak?
(Mas Pri ke sini jam berapa mbak?)
Guru 2: Jam setunggal paling, bu. (Jam satu mungkin, bu.) (DT28)
Konteks: Tuturan dilakukan oleh dua guru perempuan di ruang guru. Kedua
guru tersebut adalah sesama guru senior. Mas Pri merupakan guru dan
suami dari guru kedua. Situasinya guru satu sedang mencari guru yang
bernama Mas Pri dan menanyakan kepada guru dua tentang kedatangan Mas
Pri karena sudah siang.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
103
(50) Guru 1: Do ngomongne apa to?
(Pada ngomingin apa sih?)
Guru 2: Makanan remaja.
Guru 1: Alah- alah (geleng-geleng kepala) (tertawa) (DT47)
Konteks: Tuturan dilakukan oleh sekumpulan guru-guru di kantin sekolah
saat jam istirahat. Satu guru laki-laki baru datang ke kantin. Guru-guru
tersebut sedang membicarakan snack kekinian. Guru satu yang baru datang
merasa heran kenapa guru-guru lain bercerita penuh semangat dan berisik
sekali.
(51) Guru 1: Eh lha piye sidane?
(Eh lha gimana jadinya?)
Guru 2: Ngangge panggung pak.
(Pakai panggung pak.)
Guru 1: Cukup to?
(Cukup kan?)
Guru 2: Saged kok ketoke.
(Bisa kok kelihatannya.)
Guru 1: Yowes nek cukup, dipersiapke wae.
(Ya sudah kalau cukup, dipersiapkan saja.)
Guru 2: Nggeh, mangke pak.
(Iya, nanti pak.) (DT56)
Konteks: Tuturan dilakukan oleh guru laki-laki dan guru perempuan di
lobby sekolah. Situasinya sedang dilakukan persiapan wisuda kelas dua
belas. Guru satu memastikan persiapan wisuda kelas dua belas kepada guru
dua sampai dimana. Guru satu datang menghampiri dan menanyakan hal
tersebut.
Tuturan pada data (49) yaitu penutur memiliki maksud memastikan
kedatangan suami guru dua yaitu yang bernama Mas Pri karena memiliki
keperluan dengan guru yang bersangkutan. Data tuturan (49) dapat dikatakan
santun karena penutur tidak memaksa mitra tuturnya untuk segera mendatangkan
suaminya supaya bisa ditemui oleh guru satu. Tuturan juga berkenan di hati guru
dua karena berkenan menjawab terlebih menggunakan bahasa Jawa krama.
Selanjutnya, tuturan pada data (50) yaitu penutur memiliki maksud
memastikan obrolan guru yang sedang berkumpul di kantin mengapa begitu
bersemangat. Data tuturan (50) dapat dikatakan santun karena penutur
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
104
mengatakan dengan bercanda. Tuturan tersebut juga berkenan di hati mitra tutur
karena mitra tutur berkenan menjawab pertanyaan penutur.
Tuturan pada data (51) yaitu penutur memiliki maksud memastikan
kebutuhan guru dua untuk persiapan wisuda kelas dua belas. Data tuturan (51)
dapat dikatakan santun karena penutur memberikan perhatian kepada mitra tutur
apa saja yang dibutuhkan dan menanyai kesiapan guru dua dalam memberikan
penampilan. Tuturan tersebut berkenan di hati guru dua, terlihat dari cara
merespon yang senang ketika ditanya.
Ketiga data tuturan tersebut memenuhi prinsip kesantunan dan dianggap
santun karena sikap penutur memberi perhatian kepada mitra tutur. Komunikasi
yang dijalin antara penutur dan mitra tutur juga berjalan baik. Terlihat dari cara
merespon tidak ada yang tersinggung.
4.2.2.13 Kesantunan dengan Maksud “Mengajak”
Berdasarkan landasan teori sebelumnya, Yule (2006: 3) menjelaskan bahwa
pragmatik adalah studi tentang maksud penutur. Maksud sama halnya dengan
makna pragmatis. Pragmatik melibatkan penafsiran tentang apa yang
dimaksudkan orang di dalam suatu konteks khusus dan bagaimana konteks itu
berpengaruh terhadap apa yang dikatakan. Senada dengan hal itu, Wijana dan
Rohmadi (2009: 215) menjelaskan bahwa pada hakikatnya setiap tuturan yang
disampaikan penutur kepada lawan tuturnya mempunyai maksud dan tujuan
tertentu. Maksud yang diutarakan oleh seorang penutur tidak selamanya
diutarakan secara langsung atau tersurat, akan tetapi ada kalanya diutarakan secara
tidak langsung atau tersirat. Contohnya:
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
105
(52) Guru 1: Ayo madhang… madhang… (makan..makan..)
Guru 2: Sek, tak pipis.
(Sebentar, kencing dulu.) (DT35)
Konteks: Tuturan dilakukan oleh dua guru perempuan di kantin sekolah.
Situasinya guru satu mengajak guru dua makan di kantin tetapi guru dua
ingin kencing terlebih dulu.
(53) Guru 1: Sarapan Pak Burhan!
Guru 2: Nggih, monggo.
(Iya, silahkan.) (DT29)
Konteks: Tuturan dilakukan oleh guru perempuan dan guru laki-laki di
kantin sekolah saat jam istirahat. Keduanya sesama guru senior, tetapi satu
lebih muda. Situasinya guru satu baru datang ke kantin untuk makan ketika
guru dua sudah habis setengah dari makanan di piringnya. Guru satu
menyapa guru dua dengan basa-basi menawari sarapan.
(54) Guru 1: Weh pak, sehat pak!
(Weh pak, sehat pak!)
Guru 2: Sehat.
Guru 1: Madhang... madhang... riyin mriki lho pak.
(Makan... makan dulu sini lho pak.)
Guru 2: (menganggukkan kepala) (DT66)
Konteks: Tuturan dilakukan oleh dua guru laki-laki senior di kantin sekolah
saat jam istirahat. Situasinya guru satu sedang makan ketika guru dua tiba.
Guru satu menanyakan kondisi guru dua dan mengajak untuk makan
bersama.
Tuturan pada data (52) yaitu penutur memiliki maksud mengajak mitra
tuturnya yakni guru dua untuk makan bersama di kantin. Data tuturan (52) dapat
dikatakan santun karena penutur mencoba mengakrabkan diri dengan penutur
dengan cara mengajak makan bersama. Tuturan tersebut berkenan di hati mitra
tutur terlihat dari cara merespon.
Selanjutnya, tuturan pada data (53) yaitu penutur memiliki mengajak untuk
makan bersama ketika mitra tutur baru datang ke kantin. Data tuturan (53) dapat
dikatakan santun karena ketika penutur mengatakan hal tersebut, mendapat respon
baik dari mitra tutur. Guru dua juga terlihat berkenan dengan perkataan guru satu
dan merespon dengan mempersilahkan guru satu melanjutkan makanan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
106
Tuturan pada data (54) yaitu penutur memiliki maksud mengajak untuk
makan bersama di kantin. Data tuturan (54) dapat dikatakan santun karena penutur
menanyakan keadaan mitra tutur terlebih dulu dan mengakrabkan diri dengan
mengajak makan bersama. Tuturan tersebut juga berkenan di hati mitra tutur
karena membalas dengan anggukan kepala.
Ketiga data tuturan tersebut memenuhi prinsip kesantunan dan dianggap
santun karena sikap penutur mencoba mengakrabkan diri dengan mitra tutur.
Komunikasi keduanya juga berjalan dengan baik. Terbukti dari respon yang
diberikan dan tidak ada yang tersinggung.
4.2.2.14 Kesantunan dengan Maksud “Menyerukan”
Berdasarkan landasan teori sebelumnya, Yule (2006: 3) menjelaskan bahwa
pragmatik adalah studi tentang maksud penutur. Maksud sama halnya dengan
makna pragmatis. Pragmatik melibatkan penafsiran tentang apa yang
dimaksudkan orang di dalam suatu konteks khusus dan bagaimana konteks itu
berpengaruh terhadap apa yang dikatakan. Senada dengan hal itu, Wijana dan
Rohmadi (2009: 215) menjelaskan bahwa pada hakikatnya setiap tuturan yang
disampaikan penutur kepada lawan tuturnya mempunyai maksud dan tujuan
tertentu. Maksud yang diutarakan oleh seorang penutur tidak selamanya
diutarakan secara langsung atau tersurat, akan tetapi ada kalanya diutarakan secara
tidak langsung atau tersirat. Contohnya:
(55) Guru 1: Nafa Urbach ki sapa?
(Nafa Urbach itu siapa?)
Guru 2: Ojek keliling.
Guru 1: Ndi jal delok fotone?
(Mana coba lihat fotonya?)
Guru 2: (memperlihatkan foto yang ada di hpnya)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
107
Guru 3: Halah kuwi tau tak ceraki biyen.
(Ah itu pernah aku dekati dulu.) (DT45)
Konteks: Tuturan dilakukan oleh dua guru perempuan dan satu guru laki-
laki di kantin sekolah. Situasinya kedua guru tersebut duduk dalam satu
meja yang sama. Guru satu bertanya kepada guru dua tentang Nafa Urbach,
kemudian guru tiga berseru seolah-olah mengenal Nafa Urbach padahal
tidak, karena dia adalah artis.
(56) Guru 1: La iki lho, Nafa saiki wes karo pengacara. Sapa kae?
(Lha ini lho, Nafa sekarang sudah dengan pengacara. Siapa
itu?)
Guru 2: Hotman to.
Guru 1: Iyo, Hotman sapa kae? Hutapea?
(Iya, Hotman siapa itu? Hutapea?)
Guru 2: Hudu, sapa sih kae? Paris
(Bukan, siapa sih itu? Paris.)
Guru 1: nah, iyo Hotman Paris. (nah, iya Hotman Paris.) (DT64)
Konteks: Tuturan dilakukan oleh dua guru perempuan di kantin sekolah saat
jam istirahat. Situasinya guru satu sedang membaca berita online. Guru satu
memberitahu kepada guru dua tentang gosip terakhir Nafa Urbach dengan
Hotman Paris dengan suara lantang.
Tuturan pada data (55) yaitu guru dua dan tiga sebagai mitra tutur memiliki
maksud menyerukan bahwa dirinya mengenal Nafa Urbach. Data tuturan (55)
dapat dikatakan santun karena komunikasi yang terjalin di antara ketiga guru
sebagai bentuk mengakrabkan diri. Terbukti dari ketiga guru yang saling
bercanda.
Selanjutnya, tuturan pada data (56) yaitu penutur memiliki maksud
menyerukan informasi yang diketahui kepada guru dua tentang isu yang menerpa
Nafa Urbach. Data tuturan (56) dapat dikatakan santun karena penutur memberi
informasi yang menghibur dan terbukti dari respon yang diberikan membenarkan
argumen.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
108
Kedua data tuturan tersebut memenuhi prinsip kesantunan dan dianggap
santun karena sikap penutur mengakrabkan diri dengan rekan guru lain.
Komunikasi di antara keduanya juga berjalan baik.
4.2.2.15 Kesantunan dengan Maksud “Menawar”
Berdasarkan landasan teori sebelumnya, Yule (2006: 3) menjelaskan bahwa
pragmatik adalah studi tentang maksud penutur. Maksud sama halnya dengan
makna pragmatis. Pragmatik melibatkan penafsiran tentang apa yang
dimaksudkan orang di dalam suatu konteks khusus dan bagaimana konteks itu
berpengaruh terhadap apa yang dikatakan. Senada dengan hal itu, Wijana dan
Rohmadi (2009: 215) menjelaskan bahwa pada hakikatnya setiap tuturan yang
disampaikan penutur kepada lawan tuturnya mempunyai maksud dan tujuan
tertentu. Maksud yang diutarakan oleh seorang penutur tidak selamanya
diutarakan secara langsung atau tersurat, akan tetapi ada kalanya diutarakan secara
tidak langsung atau tersirat. Contohnya:
(57) Guru 1:Heh, wolong ewu entuk apa?
(Heh, delapan ribu dapat apa?)
Guru 2: Macem-macem yo.
(Macam-macam ya.)
Guru 3: Iso nggo tuku slondok, dan lain-lain pak, okeh.
(Bisa tidak beli slondok, dan lain-lain pak, banyak.) (DT46)
Konteks: Tuturan dilakukan oleh dua guru perempuan dan satu guru laki-
laki di kantin sekolah. Situasinya guru satu sedang memegang uang delapan
ribu. Guru satu bertanya kepada guru dua dan tiga, kira-kira apa saja yang
bisa dibeli dengan uang delapan ribu.
(58) Guru 1: Lha tapi maksimal jam 6 ee.
(Lha tapi maksimal jam 6.)
Guru 2: Ah yo ora pak. Bebas arep teka jam piro.
(Ah ya tidak pak. Bebas mau sampai jam berapa.) (DT57)
Konteks: Tuturan dilakukan oleh dua guru laki-laki di halaman sekolah.
Situasinya sedang persiapan perpisahan kelas 12. Kedua guru tersebut
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
109
sedang membahasan kedatangan tamu. Guru satu menanyakan kepada guru
dua tentang waktu kedatangan tamu-tamu supaya tidak terlalu sore.
(59) Guru 1: Nek iki kira-kira 53 nek ora 54.
(Kalau ini kira-kira lima tiga kalau tidak lima empat.)
Guru 2: Ora yo, ngarang.
(Tidak ya, mengada.)
Guru 1: Weh mosok to?
(Wah apa iya to?)
Guru 2: Tenan. (Benar) (DT59)
Konteks: Tuturan dilakukan oleh guru laki-laki dan guru perempuan. Guru
perempuan waktu itu sedang lewat. Kemudian, guru perempuan mendengar
percakapan dua guru laki-laki di lobby sekolah saat jam istirahat. Guru satu
menggoda salah satu guru laki-laki dengan mengira-ngira dan mengatakan
usianya tua. Guru perempuan berkomentar sambil berlalu.
Tuturan pada data (57) yaitu penutur memiliki maksud menawar apakah
delapan ribu bisa untuk membeli apa saja ata tidak kepada guru dua. Data tuturan
(57) dapat dikatakan santun karena penutur mempertimbangkan saran yang
diberikan oleh rekan guru sebagai mitra tuturnya. Tuturan tersebut juga berkenan
di hati mitra tutur karena mitra tutur berkenan menjawab dan memberi saran.
Selanjutnya, tuturan pada data (58) yaitu penutur memiliki maksud
menawar batas waktu kedatangan tamu kepada mitra tutur yakni guru dua. Data
tuturan (58) dapat dikatakan santun karena penutur mengusulkan hal baik kepada
mitra tutur. Akan tetapi mitra tutur kurang menerima masukan karena tidak enak
jika ada pembatasan waktu untuk tamu undangan.
Tuturan pada data (59) yaitu penutur memiliki maksud menawar usia dari
mitra tutur yakni guru dua. Data tuturan (59) dapat dikatakan santun karena
penutur hanya bercanda saja dengan mitra tutur dengan menggodanya. Tuturan
tersebut berkenan di hati mitra tutur terlihat dari respon yang diberikan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
110
Ketiga data tuturan tersebut memenuhi prinsip kesantunan dan dianggap
santun karena sikap penutur tidak bermaksud menyinggung perasaan mitra tutur.
Penutur hanya ingin menghargai keberadaan mitra tutur dengan meminta
pendapatnya. Komunikasi di antara keduanya juga berjalan baik.
4.2.2.16 Kesantunan dengan Maksud “Mendesak”
Berdasarkan landasan teori sebelumnya, Yule (2006: 3) menjelaskan bahwa
pragmatik adalah studi tentang maksud penutur. Maksud sama halnya dengan
makna pragmatis. Pragmatik melibatkan penafsiran tentang apa yang
dimaksudkan orang di dalam suatu konteks khusus dan bagaimana konteks itu
berpengaruh terhadap apa yang dikatakan. Senada dengan hal itu, Wijana dan
Rohmadi (2009: 215) menjelaskan bahwa pada hakikatnya setiap tuturan yang
disampaikan penutur kepada lawan tuturnya mempunyai maksud dan tujuan
tertentu. Maksud yang diutarakan oleh seorang penutur tidak selamanya
diutarakan secara langsung atau tersurat, akan tetapi ada kalanya diutarakan secara
tidak langsung atau tersirat. Contohnya:
(60) Guru 1: Kae lho, wes do di enteni cah IPS.
(Itu lho, sudah pada ditunggu anak IPS.)
Guru 2: Apa uwes do kumpul?
(Apa sudah pada kumpul?)
Guru 1: Wes yo, awet mau.
(Sudah ya, daritadi.) (DT50)
Konteks: Tuturan dilakukan oleh dua guru perempuan di halaman sekolah.
Situasinya sedang membahas persiapan wisuda kelas dua belas. Guru dua
adalah wali kelas 12 IPS 1. Guru satu menyuruh guru dua untuk segera
menghampiri kelas dua belas IPS.
(61) Guru 1: Eh..eh bu, aku iso nyela?
(Eh..eh bu, aku bisa meminta waktu?) (menghampiri)
Guru 2: Sek, aku selak masuk kelas.
(Sebentar, aku keburu masuk kelas) (DT61)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
111
Konteks: Tuturan dilakukan oleh dua guru perempuan. Situasinya guru satu
memiliki keperluan dengan guru dua. Keduanya berpapasan di halaman
sekolah. Situasinya guru satu mendesak agar guru dua segera menyelesaikan
tugasnya dan bisa menemui guru satu.
Tuturan pada data (60) yaitu penutur memiliki maksud mendesak agar guru
dua sebagai mitra tutur segera menemui siswa kelas IPS karena guru dua adalah
wali kelas. Data tuturan (60) dapat dikatakan santun karena penutur memberi tahu
hal baik kepada mitra tutur untuk segera menangani persiapan wisuda untuk kelas
IPS. Tuturan tersebut berkenan di hati mitra tutur, terlihat dari cara merespon.
Selanjutnya, tuturan pada data (61) yaitu penutur memiliki maksud
mendesak guru dua agar bisa meluangkan waktu dengan guru satu. Data tuturan
(61) dapat dikatakan santun karena penutur meminta dengan sopan dan direspon
oleh guru dua untuk menunggu sebentar.
Kedua data tuturan tersebut memenuhi prinsip kesantunan dan dianggap
santun karena sikap penutur memberi perhatian kepada mitra tutur. Hal itu
ditunjukkan dari cara mengingatkan. Komunikasi antar keduanya juga berjalan
baik.
4.2.2.17 Kesantunan dengan Maksud “Mengagumi”
Berdasarkan landasan teori sebelumnya, Yule (2006: 3) menjelaskan bahwa
pragmatik adalah studi tentang maksud penutur. Maksud sama halnya dengan
makna pragmatis. Pragmatik melibatkan penafsiran tentang apa yang
dimaksudkan orang di dalam suatu konteks khusus dan bagaimana konteks itu
berpengaruh terhadap apa yang dikatakan. Senada dengan hal itu, Wijana dan
Rohmadi (2009: 215) menjelaskan bahwa pada hakikatnya setiap tuturan yang
disampaikan penutur kepada lawan tuturnya mempunyai maksud dan tujuan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
112
tertentu. Maksud yang diutarakan oleh seorang penutur tidak selamanya
diutarakan secara langsung atau tersurat, akan tetapi ada kalanya diutarakan secara
tidak langsung atau tersirat. Contohnya:
(62) Guru 1: Oh berarti gitu ya pak kalau di atas 50 tahun.
(manggut manggut)
Guru 2: Ah yo ora.
(Ah ya tidak.)
Guru 1: Lah nyatane.
(Lah kenyataannya)
Guru 2: Yo mergo pengalaman to, okeh pengalaman.
(Ya karena pengalaman, banyak pengalaman.) (DT62)
Konteks: Tuturan dilakukan oleh dua guru laki-laki di lobby sekolah saat
jam istirahat. Salah satu guru lebih senior. Situasinya guru satu kagum
dengan gaya pemikiran guru senior laki-laki di depannya.
Tuturan pada data (62) yaitu penutur memiliki maksud mengagumi gaya
bicara dan pemikiran mitra tuturnya. Data tuturan (62) dapat dikatakan santun
karena penutur memuji pemikiran mitra tutur. Tuturan tersebut juga berkenan di
hati mitra tutur terlihat dari cara merespon.
Satu data tuturan tersebut memenuhi prinsip kesantunan dan dianggap
santun karena sikap penutur menghargai pribadi mitra tutur.
4.3 Pembahasan Hasil Penelitian
Pada sub bab ini, peneliti akan menjelaskan temuan data-data hasil
penelitian yang secara keseluruhan diambil dari proses analisis data sebelumnya.
Penjelasan dalam sub bab ini berhubungan dengan temuan data-data hasil
penelitian yang sudah sesuai dengan teori-teori yang dipaparkan peneliti.
Kesesuaian teori dengan temuan data-data hasil penelitian tersebut berhubungan
dengan klasifikasi penanda kesantunan Rahardi (2005), wujud tuturan menurut
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
113
Putrayasa (2009) disertai faktor penentu kesantunan Pranowo, serta maksud dari
Yule juga Wijana dan Rohmadi terhadap tuturan antarguru dalam situasi informal
di SMA Negeri 11 Yogyakarta.
Beberapa teori yang digunakan peneliti dalam sub bab pembahasan ini,
dapat dirinci sebagai berikut. Pertama teori penanda kesantunan menurut Rahardi
disertai faktor penentu kesantunan menurut Pranowo yaitu aspek intonasi (keras
lembutnya intonasi ketika seseorang berbicara), aspek nada bicara (berkaitan
dengan suasana emosi penutur: nada resmi, nada bercanda atau bergurau, nada
mengejek, dan nada menyindir), faktor pilihan kata dan faktor struktur kalimat.
Kedua wujud tuturan menurut Putrayasa yaitu wujud deklaratif, wujud imperatif,
dan wujud interogatif. Ketiga pembahasan tentang maksud didasari definisi oleh
Yule dan Putrayasa.
Selanjutnya, pembahasan akan didasarkan pada dua pokok rumusan masalah
yang diangkat dalam penelitian ini untuk melihat kesesuaian teori yang sudah
dipaparkan di atas dengan hasil temuan data-data hasil penelitian. Kedua rumusan
masalah tersebut meliputi wujud kesantunan berbahasa antarguru di SMA Negeri
11 Yogyakarta dan maksud tuturan kesantunan antarguru di SMA Negeri 11
Yogyakarta. Pembahasan kedua rumusan tersebut dalam setiap kategori adalah
sebagai berikut.
Seperti yang dijelaskan sebelumnya, bahwa wujud tuturan yaitu bentuk
tuturan yang digunakan penutur untuk menyampaikan pesan kepada lawan tutur.
Menurut Putrayasa (2009: 19) wujud tuturan berdasarkan modus (isi atau amanat)
yang ingin disampaikan dibedakan menjadi tiga, yaitu kalimat berita, kalimat
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
114
tanya, dan kalimat perintah. Kalimat berita dikenal dengan kalimat deklaratif.
Kalimat berita yaitu kalimat yang isinya menyatakan berita atau pernyataan untuk
diketahui oleh orang lain (pendengar atau pembaca). Kalimat berita berfungsi
memberitahukan sesuatu kepada orang lain. Kridalaksana (2008: 104)
menyatakan bahwa kalimat berita yaitu kalimat yang mengandung makna
menyatakan atau memberitahukan sesuatu, dalam ragam tulis biasanya diberi
tanda titik (.) atau tidak diberi tanda apa-apa pada bagian akhirnya. Kalimat tanya
dikenal dengan kalimat interogatif. Kalimat tanya yaitu kalimat yang isinya
mengharapkan reaksi atau jawaban dari pendengar atau pembaca. Kridalaksana
(2008: 104) menambahkan bahwa kalimat tanya dalam ragam tulis biasanya
ditandai oleh tanda tanya (?). Kalimat perintah atau kalimat suruh juga dikenal
dengan kalimat imperatif. Kridalaksana (2008: 104 dalam Putrayasa, 2009)
menyatakan bahwa kalimat perintah yaitu kalimat yang mengandung intonasi
imperatif dan pada umumnya mengandung makna perintah atau larangan, dalam
ragam tulis ditandai oleh tanda titik (.) atau tanda seru (!). Dari ketujuh puluh
empat (74) data tuturan yang telah diklasifikasikan berdasarkan wujudnya
diperoleh hasil sebagai berikut. Wujud tuturan deklaratif berjumlah tiga puluh
(30) tuturan, wujud tuturan interogatif berjumlah tiga puluh tiga (33), dan wujud
tuturan imperatif berjumlah sebelas (11).
Penjelasan tentang wujud di atas menjadi salah satu dasar peneliti dalam
mengklasifikasikan data tuturan. Selanjutnya dalam analisis, peneliti
mengklasifikasikan data tuturan berjumlah tujuh puluh empat (74) ke dalam enam
wujud. Dalam setiap wujud, akan dijabarkan teori-teori pakar yang sesuai dengan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
115
keenam wujud tersebut. Kemudian disetiap analisis akan dilengkapi oleh teori
penanda kesantunan Rahardi (2005) dan faktor penentu kesantunan Pranowo
(2009: 76) yaitu dan yang meliputi aspek intonasi, dan aspek nada bicara. Berikut
pembahasan data tuturan berdasarkan analisis yang telah dipaparkan peneliti
dalam sub bab sebelumnya.
Analisis pertama berdasarkan klasifikasi penanda kesantunan tulung/tolong.
Peneliti menemukan sekurang-kurangnya tujuh (7) penanda kesantunan dalam
wujud tuturan antarguru dalam situasi informal di SMA Negeri 11 Yogyakarta.
Ketujuh penanda dalam wujud tuturan tersebut dinyatakan sesuai dengan dengan
prinsip kesantunan yaitu dapat mendukung kesantunan berbahasa lisan. Dalam
tujuh penanda kesantunan terdapat data tuturan sesuai dengan wujud tuturannya
yang juga dianggap santun karena menggunakan intonasi yang lembut serta nada
bicara yang sopan, sehingga melengkapi kesantunan tuturan antarguru.
Adapun wujud yang ditemukan dalam klasifikasi penanda kesantunan
tolong adalah sebagai berikut. Tuturan (1) memiliki wujud tuturan interogatif.
Tuturan interogatif dimaksudkan agar mitra tutur tidak tersinggung dengan
maksud penutur. Selanjutnya, tuturan (2) memiliki wujud tuturan deklaratif.
Tuturan deklaratif dalam tuturan dua dimaksudkan agar mitra tutur berkenan
menolong penutur. Tuturan (3) memiliki wujud tuturan interogatif. Tuturan
interogatif dimaksudkan agar mitra tutur berkenan memeriksa pesanan penutur.
Analisis kedua berdasarkan klasifikasi penanda kesantunan ayo. Peneliti
menemukan sekurang-kurangnya empat (4) penanda kesantunan dalam wujud
tuturan antarguru dalam situasi informal di SMA Negeri 11 Yogyakarta. Keempat
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
116
penanda dalam wujud tuturan tersebut dinyatakan sesuai dengan dengan prinsip
kesantunan yaitu dapat mendukung kesantunan berbahasa lisan. Dalam empat
penanda kesantunan terdapat data tuturan sesuai dengan wujud tuturannya yang
juga dianggap santun karena menggunakan intonasi tepat serta nada bicara yang
sopan, sehingga melengkapi kesantunan tuturan antarguru.
Adapun wujud yang ditemukan dalam klasifikasi penanda kesantunan ayo
adalah sebagai berikut. Tuturan (4) memiliki wujud tuturan imperatif. Tuturan
imperatif dimaksudkan menggoda mitra tutur agar mencairkan suasana.
Selanjutnya, tuturan (5) memiliki wujud tuturan imperatif. Tuturan imperatif
dalam tuturan lima dimaksudkan agar mitra tutur segera menemui guru yang
bersangkutan. Tuturan (6) memiliki wujud tuturan deklaratif. Tuturan deklaratif
dimaksudkan agar mitra tutur berkenan membalas perkataan penutur.
Analisis ketiga berdasarkan klasifikasi penanda kesantunan coba. Peneliti
menemukan sekurang-kurangnya sembilan (9) penanda kesantunan dalam wujud
tuturan antarguru dalam situasi informal di SMA Negeri 11 Yogyakarta.
Kesembilan penanda dalam wujud tuturan tersebut dinyatakan sesuai dengan
dengan prinsip kesantunan yaitu dapat mendukung kesantunan berbahasa lisan.
Dalam sembilan penanda kesantunan terdapat data tuturan sesuai dengan wujud
tuturannya yang juga dianggap santun karena menggunakan intonasi tepat serta
nada bicara yang sopan, sehingga melengkapi kesantunan tuturan antarguru.
Adapun wujud yang ditemukan dalam klasifikasi penanda kesantunan coba
adalah sebagai berikut. Tuturan (7) memiliki wujud tuturan deklaratif. Tuturan
deklaratif dimaksudkan merayu mitra tutur agar menambahkan nasi dalam
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
117
makanannya. Selanjutnya, tuturan (8) memiliki wujud tuturan deklaratif. Tuturan
deklaratif dalam tuturan delapan dimaksudkan agar mitra tutur menerima usulan
penutur. Tuturan (9) memiliki wujud tuturan deklaratif. Tuturan deklaratif
dimaksudkan agar mitra tutur berkenan menerima saran penutur.
Analisis keempat berdasarkan klasifikasi penanda kesantunan ben/biar.
Peneliti menemukan sekurang-kurangnya dua (2) penanda kesantunan dalam
wujud tuturan antarguru dalam situasi informal di SMA Negeri 11 Yogyakarta.
Kedua penanda dalam wujud tuturan tersebut dinyatakan sesuai dengan dengan
prinsip kesantunan yaitu dapat mendukung kesantunan berbahasa lisan. Dalam
dua penanda kesantunan terdapat data tuturan sesuai dengan wujud tuturannya
yang juga dianggap santun karena menggunakan intonasi tepat serta nada bicara
yang sopan, sehingga melengkapi kesantunan tuturan antarguru.
Adapun wujud yang ditemukan dalam klasifikasi penanda kesantunan biar
adalah sebagai berikut. Tuturan (10) memiliki wujud tuturan deklaratif. Tuturan
deklaratif dimaksudkan menarik perhatian mitra tutur. Selanjutnya, tuturan (11)
memiliki wujud tuturan imperatif. Tuturan imperatif dalam tuturan sebelas
dimaksudkan agar mitra tutur melakukan keinginan penutur.
Analisis kelima berdasarkan klasifikasi penanda kesantunan monggo/mari.
Peneliti menemukan sekurang-kurangnya dua (2) penanda kesantunan dalam
wujud tuturan antarguru dalam situasi informal di SMA Negeri 11 Yogyakarta.
Kedua penanda dalam wujud tuturan tersebut dinyatakan sesuai dengan dengan
prinsip kesantunan yaitu dapat mendukung kesantunan berbahasa lisan. Dalam
dua penanda kesantunan terdapat data tuturan sesuai dengan wujud tuturannya
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
118
yang juga dianggap santun karena menggunakan intonasi tepat serta nada bicara
yang sopan, sehingga melengkapi kesantunan tuturan antarguru.
Adapun wujud yang ditemukan dalam klasifikasi penanda kesantunan mari
adalah sebagai berikut. Tuturan (12) memiliki wujud tuturan deklaratif. Tuturan
deklaratif dimaksudkan menyapa mitra tutur. Selanjutnya, tuturan (13) memiliki
wujud tuturan deklaratif. Tuturan deklaratif dalam tuturan tiga belas
dimaksudkan agar mitra tutur memahami maksud mitra tutur.
Analisis keenam berdasarkan klasifikasi penanda kesantunan
monggo/silahkan. Peneliti menemukan sekurang-kurangnya empat (4) penanda
kesantunan dalam wujud tuturan antarguru dalam situasi informal di SMA Negeri
11 Yogyakarta. Keempat penanda dalam wujud tuturan tersebut dinyatakan sesuai
dengan dengan prinsip kesantunan yaitu dapat mendukung kesantunan berbahasa
lisan. Dalam empat penanda kesantunan terdapat data tuturan sesuai dengan
wujud tuturannya yang juga dianggap santun karena menggunakan intonasi tepat
serta nada bicara yang sopan, sehingga melengkapi kesantunan tuturan antarguru.
Adapun wujud yang ditemukan dalam klasifikasi penanda kesantunan
silahkan adalah sebagai berikut. Tuturan (14) memiliki wujud tuturan interogatif.
Tuturan interogatif dimaksudkan merayu mitra tutur agar menawari tempat duduk
kosong. Selanjutnya, tuturan (15) memiliki wujud tuturan deklaratif. Tuturan
deklaratif dalam tuturan lima belas dimaksudkan agar mitra tutur mengetahui
tujuan pergi penutur. Tuturan (16) memiliki wujud tuturan imperatif. Tuturan
imperatif dimaksudkan agar mitra tutur menerima ajakan penutur.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
119
Adapun analisis data dalam tuturan antarguru di SMA Negeri 11
Yogyakarta, tidak semua memiliki penanda kesantunan. Tuturan yang tidak
memiliki penanda juga dituturkan dengan santun dan sesuai dengan prinsip
kesantunan. Beberapa diantaranya juga menggunakan Bahasa Jawa Krama untuk
menghormati mitra tutur yang diajak bicara. Jadi, meskipun tidak memiliki
penanda kesantunan bukan berarti tidak santun. Kesantunan dimunculkan dari
mimik, gesture, dan nada bicara yang sopan.
Selanjutnya berdasarkan hasil analisis data tuturan, peneliti menemukan
maksud dari masing-masing tuturan yang dituturkan antarguru. Dalam landasan
teori sudah dijelaskan bahwa bahwa pragmatik adalah studi tentang maksud
penutur. Maksud sama halnya dengan makna pragmatis. Pragmatik melibatkan
penafsiran tentang apa yang dimaksudkan orang di dalam suatu konteks khusus
dan bagaimana konteks itu berpengaruh terhadap apa yang dikatakan, Yule (2006:
3). Senada dengan hal itu, Wijana dan Rohmadi (2009: 215) menjelaskan bahwa
pada hakikatnya setiap tuturan yang disampaikan penutur kepada lawan tuturnya
mempunyai maksud dan tujuan tertentu. Maksud yang diutarakan oleh seorang
penutur tidak selamanya diutarakan secara langsung atau tersurat, akan tetapi ada
kalanya diutarakan secara tidak langsung atau tersirat.
Maksud memiliki arti berbeda dengan makna dan informasi, makna adalah
gejala dalam ujaran dan informasi yaitu gejala-luar-ujaran. Selain informasi
sebagai sesuatu yang luar ujaran ada lagi istilah yang disebut dengan maksud.
Informasi dan maksud sama-sama sesuatu luar-ujaran. Hanya bedanya kalau
informasi itu merupakan sesuatu luar-ujaran dilihat dari segi objeknya atau yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
120
dibicarakan, sedangkan maksud dilihat dari segi si pengujar, orang yang
berbicara, atau pihak subjeknya (Chaer, 2009: 35). Di sini orang yang berbicara
itu mengujarkan sesuatu ujaran entah berupa kalimat maupun frase, tetapi yang
dimaksudkannya tidak sama dengan makna lahiriah ujaran itu sendiri.
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan peneliti menemukan tujuh
belas (17) macam maksud yaitu maksud menyuruh, maksud meminta, maksud
memberi saran, maksud mengritik, maksud menyindir, maksud mengingatkan,
maksud menyatakan maksud merayu, maksud memastikan, maksud permohonan
izin, maksud menyapa, maksud memberi tahu, maksud mengajak, maksud
menawar, maksud menyerukan, maksud mendesak, dan maksud mengagumi.
Ketujuh belas maksud tersebut terkandung dalam tuturan kesantunan berbahasa
antarguru di SMA Negeri 11 Yogyakarta.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
121
BAB V
PENUTUP
5.1 Simpulan
Berdasarkan hasil analisis wujud dan maksud tuturan antarguru dalam
situasi informal di SMA Negeri 11 Yogyakarta, diperoleh kesimpulan sebagai
berikut. Jumlah data tuturan total berjumlah tujuh puluh empat (74) data. Data
tersebut diklasifikasikan dalam enam penanda kesantunan, yakni penanda tolong,
penanda ayo, penanda coba, penanda biar, penanda mari, dan penanda silahkan.
Selanjutnya, ketujuh puluh empat (74) data, dianalisis berdasarkan wujud dan
maksud tuturan.
Berdasarkan modus (isi atau amanat) yang ingin disampaikan, wujud
tuturan dibedakan menjadi tiga, yaitu kalimat berita, kalimat tanya, dan kalimat
perintah. Tujuh puluh empat (74) data tersebut setelah dianalisis, hasilnya terdapat
tiga puluh (30) wujud tuturan deklaratif, tiga puluh tiga (33) wujud tuturan
interogatif, dan sebelas (11) wujud tuturan imperatif. Selanjutnya, setelah
dianalisis berdasarkan maksud tuturan, terdapat tujuh belas (17) macam maksud
yaitu maksud menyuruh, maksud meminta, maksud memberi saran, maksud
mengritik, maksud menyindir, maksud mengingatkan, maksud mengharap,
maksud merayu, maksud memastikan, maksud permohonan izin, maksud
menyapa, maksud memberi tahu, maksud mengajak, maksud menawar, maksud
menyerukan, maksud mendesak, dan maksud mengagumi. Kedelapan belas
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
122
maksud tersebut terkandung dalam tuturan kesantunan berbahasa antarguru di
SMA Negeri 11 Yogyakarta.
Adapun analisis data dalam tuturan antarguru di SMA Negeri 11
Yogyakarta, tidak semua memiliki penanda kesantunan. Tuturan yang tidak
memiliki penanda juga dituturkan dengan santun dan sesuai dengan prinsip
kesantunan. Beberapa diantaranya juga menggunakan Bahasa Jawa Krama untuk
menghormati mitra tutur yang diajak bicara. Jadi, meskipun tidak memiliki
penanda kesantunan bukan berarti tidak santun. Kesantunan dimunculkan dari
mimik, gesture, dan nada bicara yang sopan.
5.2 Saran
Berdasarkan kesimpulan yang sudah dipaparkan sebelumnya, ada beberapa
saran yang peneliti berikan yaitu:
1) Bagi peneliti selanjutnya
Peneliti lain dapat meneliti maupun mengembangkan penelitian sejenis
dengan menggunakan objek yang lebih baru. Selain itu, nantinya teori
wujud dan maksud dapat semakin diperdalam.
2) Bagi pembaca
Penelitian ini diharapkan dapat membantu dalam memahami wujud dan
maksud tuturan yang tepat agar tidak terjadi kesalahan dalam mengartikan
tuturan yang disampaikan setiap orang.
3) Bagi pendidik
Semoga para pendidik semakin meningkatkan kesantunan dalam bertutur
guna menjadi contoh bagi siswa-siswi di sekolah.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
123
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman. 2006. “Pragmatik: Konsep Dalam Memahami Konteks Tuturan” dalam Lingua Jurnal Ilmu Bahasa dan Sastra, Volume 1, Nomor 2. Fakultas
Humaniora dan Budaya. Universitas Islam Negeri (UIN) Malang.
Azwar, Saifuddin. 2012. Metode Penelitian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Chaer, Abdul. 1994. Pengantar Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta: Rineka
Cipta.
Chaer, Abdul. 2009. Pengantar Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta: Rineka
Cipta.
Chaer, Abdul. 2010. Kesantunan Berbahasa. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Elu, Priscila Felicia. 2018. Kajian Elemen dan Fungsi Konteks Sosio-Kultural
Dalam Menentukan Maksud Berbahasa Para Mahasiswa Berlatar Belakang
Kultur Jawa Prodi PBSI Universitas Sanata Dharma Yogyakarta Pada
Semester Gasal Tahun Akademik 2017/2018. Skripsi. Tidak diterbitkan.
Universitas Sanata Dharma: Yogyakarta.
Emzir. 2014. Metodologi Penelitian Kualitatif: Analisis Data. Jakarta: Rajawali
Pers.
Furqon, Chairul. Hakikat Komunikasi Organisasi. Universitas Pendidikan
Indonesia. file.upi.edu/Direktori/FPEB/PRODI.../Artikel-
Organizational_Communication.pdf. Diakses 4 November 2017 pukul
09.28WIB.
Gunarwan, Asim. 1994. “Kesantunan Negatif di Kalangan Dwibahasawan
Indonesia-Jawa di Jakarta: Kajian Sosiopragmatik” dalam PELLBA 7: 81-
111.
Hartini, Henny Isnaini, dkk. 2017. “Kesantunan Berbahasa Dalam Komentar
Caption Instagram” dalam Jurnal Online Mahasiswa, Volume 4, Nomor 2.
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan. Universitas Riau.
Kridalaksana, Harimurti. 1986. Kelas Kata dalam Bahasa Indonesia. Jakarta:
Gramedia.
Kridalaksana, Harimurti. 2008. Kamus Linguistik. Jakarta: Gramedia Pustaka
Media.
Leech, Geoffrey. 1993. Prinsip-prinsip Pragmatik. Oka, M. D. D. 2015. Jakarta:
Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
124
Mahsun. 2007. Metode Penelitian Bahasa. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Mardalis. 2008. Metode Penelitian: Suatu Pendekatan Proposal. Jakarta: Bumi
Aksara.
Moleong, J. Lexy. 2008. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja
Rosdakarya.
Nababan. 1984. Sosiolinguistik: Suatu Pengantar. Jakarta: Gramedia.
Nadar, F.X. 2009. Pragmatik dan Penelitian Pragmatik. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Noor, Juliansah. 2011. Metodologi Penelitian. Jakarta: Prenada Media Group.
Pateda, Mansoer. 2001. Semantik Leksikal. Jakarta: Rineka Cipta.
Prabowo, Fendi Eko. 2016. Kesantunan Berbahasa dalam Kegiatan Diskusi Kelas
Mahasiswa Pbsi Universitas Sanata Dharma Angkatan 2014. Skripsi. Tidak
diterbitkan. Universitas Sanata Dharma: Yogyakarta.
Pranowo. 2009. Berbahasa Secara Santun. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Purwo, BK. 1990. Pragmatik dan Pengajaran Bahasa. Yogyakarta: Kanisius.
Putrayasa, IB. 2014. Pragmatik. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Rahardi, Kunjana. 2003. Berkenalan dengan Ilmu Bahasa Pragmatik. Malang:
Dioma.
Rahardi, Kunjana. 2005. Pragmatik Kesantunan Imperatif Bahasa Indonesia.
Jakarta: Penerbit Erlangga.
Rahardi, Kunjana. 2013. “Reinterpretasi Ketidaksantunan Pragmatik” dalam
jurnal Kajian Linguistik dan Sastra, Volume 25, Nomor 1 (hlm.58-70).
Surakarta. Muhammadiyah University Press.
Rahardi, Kunjana. 2017. “Pragmatic Phenomena Constellation In Specific
Culture Dimension Language Study” dalam International Journal of
Humanity Studies, Volume 1, Nomor 1, (pp. 84-92). Universitas Sanata
Dharma Yogyakarta.
Rahardi, dkk. 2015. “Prosiding Seminar Nasional PIBSI XXXVII: Optimalisasai
Fungsi Bahasa Indonesia Sebagai Wahana Pembentukan Mental dan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
125
Karakter Bangsa di Era Globalisasi Menuju Indonesia Emas 2045”.
Yogyakarta: Sanata Dharma University Press.
Rahardi, Kunjana, dkk. 2016. “Kefatisan Berbahasa dalam Perspektif Linguistik
Ekologi Metaforis” dalam Seminar Tahunan Linguistik. Universitas
Pendidikan Indonesia (SETALI).
R, Syahrul. 2008. Pragmatik Kesantunan Berbahasa: Menyibak Fenomena
Berbahasa Indonesia Guru dan Siswa. Padang: UNP Press.
Song, Lichao. 2010. “The Role Of Context In Discourse Analysis” dalam Journal
of Language Teaching and Research, Vol. 1, No. 6, pp. 876-879, November
2010. Qingdao University of Science and Technology, Qingdao, China.
ACADEMY PUBLISHER Manufactured in Finland.
Sudaryanto. 2015. Metode dan Aneka Teknik Analisis Kebahasaan: Pengantar
Penelitian Wahana Kebudayaan secara Linguistik. Yogyakarta: Sanata
Dharma University Press.
Sulaiman, Adhi Iman. 2013. “Model Komunikasi Formal dan Informal Dalam
Proses Kegiatan Pemberdayaan Masyarakat” dalam jurnal Penelitian
Komunikasi, Volume 16, Nomor 2 (hlm.173-1880). Purwokerto: Universitas
Jenderal Soedirman.
Tarigan, Guntur Henry. 1989. Kedudukan dan Fungsi Bahasa. Bandung:
Angkasa.
Wijana, I Dewa Putu. 1996. Dasar-dasar Pragmatik. Yogyakarta: Andi Ofset.
Wijana, I Dewa Putu dan Muhammad Rohmadi. 2009. Analisis Wacana
Pragmatik: Kajian Teori dan Analisis. Surakarta: Yuma Pustaka.
Yule, George. 2006. Pragmatik. Yogyakarta: Pustaka Belajar.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
129
KESANTUNAN BERBAHASA ANTARGURU DALAM SITUASI INFORMAL DI SMA NEGERI 11 YOGYAKARTA
TAHUN AJARAN 2017/2018
Oleh: Veronika Hertania Putri Riandono
Pembimbing: Dr. R. Kunjana Rahardi, M.Hum.
Petunjuk pengisian:
1. Triangulator dimohon untuk memberikan tanda centang (√) pada kolom setuju, apabila triangulator setuju bahwa data wujud
verbal sudah sesuai dengan teori yang ada. Berilah tanda silang (√) pada kolom tidak setuju, apabila triangulator tidak setuju
terhadap data wujud verbal yang tidak sesuai dengan teori.
2. Triangulator dimohon untuk memberikan catatan pada kolom komentar berupa kritik ataupun saran.
No. Data Wujud Tuturan Maksud Tuturan
Persetujuan
Triangulator Komentar
Ya Tidak
1.
Guru 1: tambah nasi mboten, pak? (tambah
nasi tidak, pak?)
Guru 2: ora usah nggo sego. (tidak perlu
menggunakan nasi.)
Guru 1: dicoba wae pak. (dicoba saja pak)
Konteks:
a. Jam istirahat di kantin sekolah.
b. Guru sedang memesan sarapan.
Deklaratif
Penanda: Adanya pilihan
kata ‘coba’ yang menyaran
pada seseorang.
Merayu
guru satu merayu
guru dua untuk
menambahkan nasi
dalam makanannya.
√
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
130
c. Guru satu melihat makanan yang dipesan
guru dua terlihat kurang sesuai jika tidak
pakai nasi.
d. Dua orang guru laki-laki yang berbeda usia.
2.
Guru 1: Ayo kono kowe melu ujian! (Ayo
sana kamu ikut ujian!) (cekikikan)
Guru 2: alah ujian hidup wae wes cukup kok.
(ah, ujian hidup saja sudah cukup kok.)
Konteks:
a. Tuturan terjadi di kantin sekolah.
b. Guru laki-laki dan satu perempuan.
c. Guru tersebut tampak sama usianya.
d. Situasi sedang berlangsungnya ujian
nasional.
Imperatif
Penanda: Guru satu
menggoda guru dua
dengan menggunakan
pilihan kata ‘ayo’ untuk
menyuruh guru dua.
Menyuruh
guru satu menyuruh
guru dua untuk ikut
serta mengikuti
ujian, tetapi guru dua
menolak. Guru satu
menyuruh dengan
nada bercanda.
√
3.
Guru 1: wes tau nyoba mie ayam ndi wae?
(sudah pernah mencoba mie ayam di mana
saja?)
Guru 2: wah, macem macem, pak. (wah,
macam-macam, pak.)
Konteks:
a. Dua orang guru laki-laki.
b. Berbeda usia.
c. Tuturan terjadi di kantin sekolah.
d. Guru satu sedang ingin makan mie ayam.
Interogatif
Penanda: Terdapat kata
‘mencoba’ yang berarti
menanyakan
keingintahuan.
Meminta
guru satu bertanya
kepada guru dua
untuk memberitahu
dimana saja mie
ayam yang enak di
Yogyakarta.
√
4. Guru 1: ning samping Kridosono kae lho
keno. Coba wae enak jare mas. (di samping Deklaratif
Penanda: Nada memberi Memberi saran
Guru satu memberi √
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
131
Kridosana itu lho. Coba saja enak katanya
mas.)
Guru 2: (tersenyum)
Konteks:
a. Guru laki-laki dan guru perempuan.
b. di kantin sekolah.
c. Guru perempuan sebagai guru satu
mendengarkan percakapan guru yang
sebelumnya membicarakan mie ayam.
d. Guru perempuan merupakan guru senior
tetapi lebih muda.
tahu. Terdapat kata ‘coba’,
ditujukan kepada
seseorang.
tahu mie ayam yang
enak. Mie ayam
tersebut dijual di
dekat stadion
Kridosono.
5.
Guru 1: weh, kui ngapa ee wira-wiri wae?
(weh, itu kenapa mondar-mandiri saja?)
(menatap seseorang dengan kepala sedikit
terangkat.)
Guru 2: kui ki saka dinas e. (itu tuh dari
dinas.)
Konteks:
a. Guru laki-laki dan guru perempuan.
b. di teras laboratorium.
c. Membicarakan seseorang yang dari tadi
mondar-mandir dari lab. satu ke lab. yang
lain.
d. Saat persiapan ujian paket C.
Interogatif
Penanda: Tidak memiliki
penanda kesantunan, tetapi
diucapkan dengan nada
rendah.
Mengritik
Guru satu merasa
heran melihat ada
seseorang yang
sedari tadi mondar-
mandir di
lingkungan
laboratorium, lalu
mengritik dengan
nada bertanya
kepada guru dua
yang sedari tadi
bersamanya.
√
6. Guru 1: mosok ngono saka dinas, pak?
(masak begitu dari dinas, pak?) (mengerutkan Interogatif
Penanda: Tidak terdapat Menyindir
Guru satu tidak √
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
132
dahi dan menatap seseorang.)
Guru 2: (menganggukkan kepala)
Konteks:
a. di teras laboratorium.
b. antara dua orang guru laki-laki.
c. Guru laki-laki kebetulan lewat dan
mendengar percakapan antara guru laki-laki
dan guru perempuan sebelumnya.
penanda kesantunan, tetapi
menyebut panggila ‘pak’.
yakin bahwa
seseorang yang
mondar-mandir itu
dari dinas karena
pakaiannya biasa
saja.
7.
Guru 1: Ndik, tulung delengen. Iki opo hayo?
Iki uyah (Ndik, lihatlah. Ini apa hayo?)
Guru 2: alah rak penting (alah tidak penting.)
(sambil mengayunkan tangan)
Konteks:
a. Guru laki-laki dan guru perempuan.
b. di kantin sekolah dan sedang makan.
c. Tampak seusia.
Interogatif
Penanda: Terdapat pilihan
kata ‘tolong’ yang
diucapkan guru satu.
Memberi tahu
Guru satu menggoda
guru dua dengan
memberi tahu bahwa
yang dipegang guru
satu adalah garam.
√
8.
Guru 1: Coba delengen iki maem’e sopo?
(Coba lihat ini makanannya siapa?)
Guru 2: Andi, bu.
Guru 1: (mulut membentuk bulatan huruf o)
Konteks:
a. Dua orang guru perempuan. Guru
perempuan satu lebih senior dibandingkan
guru dua.
b. di kantin sekolah saat jam istirahat.
Interogatif
Penanda: Guru satu
bertanya dengan
menggunakan pilihan kata
‘coba’, sekaligus untuk
memastikan.
Menyatakan
Guru satu
menyatakan harapan
kepada guru dua
untuk
menyingkirkan
makanan temannya
lebih dulu, di meja
yang kosong agar
guru satu bisa duduk
√
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
133
c. Guru senior ingin duduk di kursi teras
kantin, tetapi tidak jadi karena mengetahui
ada makanan di atas meja tersebut.
d. Guru muda menjawab sambil melanjutkan
makan.
bersebelahan.
9.
Guru 1: eh, hpku mau nandi yo, Ndik? Tulung
goleke. (eh, hpku tadi di mana ya, Ndik?
Tolong carikan.)
Guru 2: kae lho (itu lho.) (menunjuk ke arah
meja)
Konteks:
a. Guru perempuan dan guru laki-laki yang
tampak seusia.
b. di kantin sekolah saat keduanya sarapan.
c. Mereka duduk bersebelahan di teras kantin.
d. guru satu celingukan mencari hp-nya.
Deklaratif
Penanda: terdapat kata
‘tolong’ yang diutarakan
guru satu kepada guru dua.
Meminta
Guru perempuan
bertanya kepada
guru laki-laki di
mana hpnya berada
karena lupa
meletakkan hp saat
di kantin. Guru satu
memintan guru dua
agar membantu
mencari hp-nya.
√
10.
Guru 1: lha ndi bocahe? (lha di mana
anaknya?)
Guru 2: enten trouble makane ditinggal.
Monggo lho, bu. (ada trouble makanya
ditinggal. silahkan lho, bu)
Konteks:
a. Dua guru perempuan dan salah satu guru
perempuan yang lebih senior.
b. Guru senior ingin duduk di sebelah guru
muda.
Interogatif
Penanda: terdapat kata
‘monggo’ yang diutarakan
guru dua untuk
menanggapi guru satu.
Merayu
Guru satu merayu
guru dua agar
diperbolehkan duduk
disebelahnya dengan
bertanya kemana
perginya guru laki-
laki yang
meninggalkan
makanan itu.
√
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
134
c. Guru senior mendengar percakapan antara
guru muda dan guru senior yang lain
tentang makanan di atas meja.
d. Tuturan terjadi di kantin sekolah saat jam
istirahat.
11.
Guru 1: AC-ne wes teko apa durung, pak?
Tulung dicek. (AC-nya sudah sampai apa
belum, pak? Tolong diperiksa.)
Guru 2: 41 to? Yo, uwes. (41 kan? Iya,
sudah.)
Konteks:
a. Dua guru laki-laki.
b. Tampak seusia dan merupakan guru senior.
c. Tuturan terjadi di depan kantor guru.
d. Guru laki-laki satu memanggil sambil
berteriak guru laki-laki yang lewat di depan
kantor guru.
e. Guru satu waka kesiswaan sebelumnya telah
memesan AC.
Interogatif
Penanda: terdapat pilihan
kata ‘tolong’.
Mengingatkan
Guru laki-laki satu
ingin memastikan
apakah AC yang
dipesan kemarin
sudah sampai di
sekolah atau belum.
√
12.
Guru 1: Pak Edi, heh, goleki Bu Eri. Ayo gek.
(Pak Edi, heh, dicari Bu Eri. Ayo buruan.)
Guru 2: Ha? Sapa? (Ha? Siapa?) (sambil tetap
berjalan)
Konteks:
a. Guru laki-laki dan guru perempuan.
b. di depan ruang wakil kepala sekolah.
Imperatif
Penanda: Terdapat pilihan
kata ‘ayo’ yang diucapkan
guru satu kepada guru dua.
Menyuruh
Guru satu menyuruh
guru dua untuk
menemui Bu Eri
dengan cara
memberi tahu bahwa
Bu Eri mencarinya.
√
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
135
c. Guru perempuan satu tampak tergesa-gesa
dan panik mencari guru laki-laki.
d. Guru laki-laki yang dicari berjalan keluar
ruang guru menuju ruang wakil kepala
sekolah.
13.
Guru 1: Bu Lastri, dicari. Tulung gek mrika
nggeh. (Bu Lastri, dicari. Tolong segera ke
sana ya.)
Guru 2: siapa?
Guru 1: Pak Edi.
Konteks:
a. Dua guru perempuan.
b. Keduanya berpapasan di halaman sekolah.
c. Guru satu dari arah ruang wakil kepala
sekolah dan satunya dari arah lobby sekolah.
Deklaratif
Penanda: Terdapat pilihan
kata ‘tolong’ yang
diutarakan guru satu
kepada guru dua.
Menyuruh
Guru satu
mengetahui bahwa
Bu lastri sedang
dicari Pak Edi,
sehingga ketika
bertemu Bu Lastri,
Beliau memberi tahu
Bu Lastri agar
menemui Pak Edi.
√
14.
Guru 1: wes lego apa durung? Tolong kabari
ya. (sudah punya waktu apa belum? Tolong
kabari ya.)
Guru 2: sek sek, mengko sek (iya, sebentar
ya.)
Konteks:
a. Dua guru perempuan yang sama-sama
senior.
b. di sekitar taman sekolah.
c. Guru yang satu menjawab sambil berlari
meninggalkan.
Interogatif
Penanda: terdapat kata
‘tolong’ dari guru satu
kepada guru dua.
Meminta
Guru satu meminta
agar guru dua
memberi tahu
dirinya bahwa
pekerjaannya sudah
selesai dan bisa
menemui guru satu.
√
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
136
d. guru satu memiliki keperluan dengan guru
dua dan ingin mengobrol.
15.
Guru 1: Pak Yus ana ning kene? (Pak Yus ada
di sini?)
Guru 2: (menggelengkan kepala)
Konteks:
a. Dua guru laki-laki. Satu guru lebih senior
dibanding yang lainnya.
b. di ruang guru.
c. Guru laki-laki yang bertanya berada di
depan pintu masuk ruang guru.
d. guru dua ikut mencari Pak Yus.
Interogatif
Penanda: Tidak terdapat
penanda kesantunan, tetapi
menyebut seseorang
dengan panggilan ‘pak’.
Meminta
Guru satu sedang
mencari guru yang
bernama Pak Yus.
Guru dua yang
berada di dalam
ruang guru tepat di
samping pintu
masuk menjawab
dengan
menggelengkan
kepala setelah ikut
mencari di sekeliling
ruangan bahwa Pak
Yus tidak ada.
√
16.
Guru 1: Pak Wi, aku melu layat sek. (Pak Wi,
aku ikut melayat dulu.)
Guru 2: Ning sapa to? (di tempat siapa to?)
Guru 1: Wong tuane bocah IPS. (Orang tua
anak IPS.)
Guru 2: Monggo. (silahkan)
Konteks:
a. Dua guru laki-laki.
b. di lorong sekolah tepat di depan ruang UKS.
c. Guru laki-laki satu berpamitan sambil
Deklaratif
Penanda: Terdapat pilihan
kata ‘monggo’.
Permohonan izin
Guru satu ingin pergi
melayat dan
berpamitan dengan
guru laki-laki
lainnya. Guru laki-
laki yang berpamitan
merupakan staf
wakil kepala
sekolah.
√
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
137
berlalu meninggalkan lorong, ditangannya
sudah memegang jaket.
d. Guru satunya berada dibelakang guru yang
berpamitan.
17.
Guru 1: Ndik, listrike mati! Tulung ya. (Ndik,
listriknya mati. Tolong ya.)
Guru 3: kae lho gek. (sana lho buruan.)
Guru 2: (berdiri dan berlari)
Konteks:
a. Dua guru perempuan dan seorang guru laki-
laki.
b. Guru laki-laki dan guru perempuan sedang
makan di kantin sekolah.
c. Guru perempuan yang lain berada di
laboratorium komputer tepat di samping
kantin sekolah.
d. Ketika ujian untuk paket C sedang
berlangsung, tiba-tiba listrik laboratorium
mati.
Imperatif
Penanda: Terdapat pilihan
kata ‘tolong’.
Meminta
Guru perempuan
yang berada di
laboratorium
bermaksud meminta
pertolongan agar
guru laki-laki segera
menghidupkan
listrik.
√
18.
Guru 1: halo
Guru 2: halo pak.
Konteks:
a. Tuturan terjadi di kantin sekolah.
b. Dua guru laki-laki. Guru laki-laki yang satu
lebih tua dari yang lainya.
c. Guru laki-laki senior duduk di kursi pinggir
Deklaratif
Penanda: tidak terdapat
penanda kesantunan, tetapi
guru satu dan guru dua
saling menyapa.
Menyapa
Guru laki-laki satu
bermaksud hanya
menyapa guru laki-
laki yang duduk di
kursi yang lebih dulu
berada di kantin
sekolah.
√
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
138
dekat jalan masuk kantin dan guru muda
baru datang ke kantin.
19.
Guru 1: sing mati deretan ndi? (yang mati
deretan mana?)
Guru 2: sebelah kene. (sebelah sini.) (sambil
menggambarkan lokasi komputer)
Konteks:
a. Dua guru laki-laki tampak seusia dan muda.
b. Guru laki-laki satu keluar laboratorium
komputer, menghampiri guru laki-laki lain
yang duduk di kursi kantin sekolah dan
menepuk pundaknya.
c. Guru laki-laki yang bertanya berdiri di
samping guru laki-laki lain.
Interogatif
Penanda: tidak terdapat
penanda kesantunan, tetapi
bertanya dengan sopan
guru satu terhadap guru
dua.
Meminta
Guru laki-laki satu
ingin memastikan
bahwa komputer
yang dibenahi
karena mati tadi
sudah pas dengan
aduan guru lain
dengan meminta
kepastian.
√
20.
Guru 1: sing mati sebelah kiri? Deretan kiri
komputere? Kabeh? (yang mati sebelah kiri?
Deretan kiri komputernya? Semua?)
Guru 2: yo ora, beberapa tok. (ya tidak,
beberapa saja.)
Konteks:
a. Guru laki-laki dan guru perempuan yang
sebelumnya terlibat percakapan.
b. Guru perempuan datang menghampiri guru
laki-laki yang tadi dimintai tolong
membenahi komputer yang mati.
c. di depan laboratorium komputer.
Interogatif
Penanda: tidak terdapat
penanda kesantunan, tetapi
bertanya dengan sopan dan
membungkuk.
Meminta
Guru satu meminta
penjelasan komputer
mana saja yang mati.
√
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
139
21.
Guru 1: pak, wingi ana puting! (pak, kemarin
ada puting!)
Guru 2: lha yo makane kui. (lha iya maka dari
itu.)
Konteks:
a. Guru laki-laki dan guru perempuan.
b. Duduk bersebelahan di kantin sekolah.
c. Guru laki-laki dan guru perempuan tersebut
adalah guru senior.
Deklaratif
Penanda: tidak terdapat
penanda kesantunan, tetapi
memberi tahu dengan
seksama.
Memberi tahu
Guru satu
memberitahu kepada
guru dua bahwa
kemarin ada puting
beliung di daerah
Yogyakarta.
√
22.
Guru 1: aku ki untunge wis ning omah bar
bayar pajak. (aku nih untungnya sudah di
rumah selesai membayar pajak.)
Guru 2: Sing keno omahe lor UPN. (yang
kena rumah utara UPN.)
Konteks:
a. Dua guru perempuan.
b. Di kantin sekolah saat jam istirahat.
c. Guru perempuan dua mendengar
percakapan guru laki-laki dan guru
perempuan sebelumnya.
Deklaratif
Penanda: tidak terdapat
penanda kesantunan, tetapi
membagi informasi
dengan baik.
Memberi tahu
Guru satu
melanjutkan
percakapan dengan
guru dua
sebelumnya. Guru
satu menambah
informasi.
√
23.
Guru 1: padahal nggonku yo jane rodo cedak.
(padahal tempatku ya lumayan dekat
sebenarnya.)
Guru 2: yo ora lah mbak. Jumjumen ora keno.
(ya tidak lah mbak.)
Guru 1: yo kui, alhamdullilah. (ya itu,
Deklaratif
Penanda: tidak terdapat
penanda kesantunan, tetapi
guru satu dan guru dua
saling berempati.
Menyatakan
Guru satu
menyatakan
informasi supaya
mendapat simpati
guru dua dengan ikut
√
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
140
alhamdullilah.)
Konteks:
a. Dua guru perempuan.
b. di kantin sekolah saat jam istirahat.
c. Guru dua menghampiri guru satu yang
sedang sarapan.
d. Masih membicarakan tentang puting
beliung.
menceritakan bahwa
rumahnya juga dekat
dengan kejadian.
24.
Guru 1: eh pak… kok tumben, biasane
mruput? (eh pak.. kok tumben, biasanya
berangkat lebih awal?)
Guru 2: ah jare sapa, jam 7 wes metangkring
ning kene kok. (ah kata siapa, jam 7 sudah
ada di sini kok.) (bergaya)
Konteks:
a. Guru laki-laki dan guru perempuan.
b. di kantin sekolah saat jam istirahat.
c. Guru dua baru saja datang ke kantin,
sedangkan guru satu sudah lebih dulu tiba.
Interogatif
Penanda: tidak terdapat
penanda kesantunan, tetapi
guru satu berkata dengan
nada sopan.
Menyindir
Guru satu heran
kepada guru dua
karena merasa baru
melihat guru dua di
sekolah pada siang
hari.
√
25.
Guru 1: lha iki sido nggo uyah ora, pak? (lha
ini jadi pakai garam tidak, pak?)
Guru 2: ora usah, ra wani aku. (tidak perlu,
tidak berani saya.)
Guru 1: ora enak ra nggo uyah ki. Coba wae
sithik. (tidak enak kalau tidak pakai garam.
Coba saja sedikit.)
Guru 2: yowes, sitik wae. (ya sudah, sedikit
Deklaratif
Penanda: Terdapat pilihan
kata ‘coba’.
Merayu
Guru satu merayu
agar makanan guru
dua diberi tambahan
garam agar enak.
√
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
141
saja.)
Konteks:
a. di kantin sekolah saat jam istirahat.
b. Guru laki-laki dan guru perempuan.
c. Memesan makanan kepada ibu penjual
makanan di kantin.
26.
Guru 1: pak, jenengan dhuwur po? (pak,
bapak tinggi kah?)
Guru 2: iyo e. (iya nih.)
Guru 1: kae lho, cobo nggo garam diet. (itu
lho, coba pakai garam diet.)
Guru 3: alah, nek masak disisihke ndisik wae.
(alah, kalau masak disisihkan dulu saja.)
Konteks:
a. Guru laki-laki dan dua guru perempuan.
b. di kantin sekolah.
c. Guru-guru sedang sarapan.
d. Sesama guru senior.
Interogatif
Penanda: Terdapat pilihan
kata ‘coba’, untuk
menyarankan guru dua
agar menggunakan garam
diet.
Memberi saran
Guru satu dan tiga
memberi saran
kepada guru dua
yang tensi darahnya
sedang naik (tinggi).
Mereka
menyarankan untuk
menggunakan garam
diet.
√
27.
Guru 1: duh aku kawanen. (duh aku
kesiangan.)
Guru 2: sesuk tak tangi jam papat ben ra
kawanen. (besok bangun jam empat biar tidak
kesiangan.)
Guru 1: yo jane, ning aku mumet wes rong
dina iki. (ya harusnya, tapi aku pusing sudah
dua hari ini.)
Deklaratif
Penanda: Terdapat pilihan
kata ‘ben’.
Memberi saran
Guru dua memberi
saran kepada guru
satu agar bangun
lebih awal.
√
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
142
Konteks:
a. Dua guru laki-laki.
b. Guru satu mengeluhkan kedatangannya
yang terlambat.
c. di depan ruang guru.
d. Sesama guru senior.
28.
Guru 1: Mas Pri mrene jam piro mbak? (Mas
Pri ke sini jam berapa mbak?)
Guru 2: jam setunggal paling, bu. (jam satu
mungkin, bu.)
Konteks:
a. di ruang guru.
b. Sesama guru senior.
c. Mas Pri merupakan guru dan suami dari
guru kedua.
d. Dua guru perempuan.
Interogatif
Penanda: tidak terdapat
penanda kesantunan, tetapi
bertanya dengan sopan.
Memastikan
Guru satu
menanyakan kepada
guru dua tentang
kedatangan Mas Pri
karena sudah siang.
√
29.
Guru 1: sarapan Pak Burhan!
Guru 2: nggih, monggo. (iya, silahkan.)
Konteks:
a. Sesama guru senior, tetapi satu lebih muda.
b. di kantin sekolah saat jam istirahat.
c. Guru perempuan dan guru laki-laki.
d. Guru satu baru datang ke kantin untuk
makan.
Imperatif
Penanda: Terdapat pilihan
kata ‘monggo’.
Mengajak
Guru satu basa-basi
untuk mengajak guru
dua untuk ikut
makan.
√
30. Guru 1: welah kok do ning kene? (weh kok
pada di sini?) (kaget) Interogatif
Penanda: tidak terdapat Menyindir
Guru satu kaget √
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
143
Guru 2: kene ngelih awet mau isuk e. (kami
lapar dari tadi pagi soalnya.)
Konteks:
a. Dua guru perempuan.
b. di kantin sekolah saat jam pelajaran
berlangsung, tetapi guru tidak ada jadwal
mengajar.
c. Guru satu lewat di depan kantin, dan guru
dua sudah menikmati makanannya.
penanda kesantunan, tetapi
mengatakan dengan nada
sopan.
mengapa guru dua
masih di kantin
padahal jam
pelajaran
berlangsung.
31.
Guru 1: Pak Jendro belum masuk, pak?
Guru 2: belum, lha arep ngapa? (belum, mau
ngapain?)
Guru 1: lha kemarin disuruh nemuin.
Konteks:
a. Guru laki-laki senior dan guru perempuan
muda.
b. di ruang guru.
c. Pagi hari selesai afeksi.
Interogatif
Penanda: tidak terdapat
penanda kesantunan, tetapi
diutarakan dengan sopan.
Menyatakan
Guru satu mencari
Pak Jendro di ruang
guru dan berharap
beliau di sana.
32.
Guru 1: tak kon ngebosi malah lunga. (tak
suruh mentraktir malah pergi.)
Guru 2: sapa pak? (siapa pak?)
Guru 1: yo kowe. (ya kamu.)
Guru 2: (tersenyum)
Konteks:
a. di kantin sekolah saat jam istirahat.
Imperatif
Penanda: tidak terdapat
penanda kesantunan, tetapi
diutarakan hanya untuk
menggoda.
Merayu
Guru satu merayu
guru dua supaya
ditraktir makan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
144
b. Dua guru laki-laki, salah satunya lebih
muda.
c. Guru dua sudah selesai makan dan ingin
pergi ketika guru satu datang.
33.
Guru 1: ayo Pak Tik, Pak Wah.
Guru 2: yo. (ya.)
Guru 3: mengangguk.
Konteks:
a. Guru laki-laki dan guru perempuan.
b. di kantin sekolah.
c. Guru satu ingin meninggalkan kantin
setelah membungkus makanan.
d. Berpamitan.
Deklaratif
Penanda: Terdapat pilihan
kata ‘ayo’.
Menyapa
Guru satu
berpamitan dengan
dua guru yang ada
laki-laki yang ada di
kantin.
34.
Guru 1: monggo… monggo… (mari..mari..)
Guru 2: nggih. (ya.)
Konteks:
a. di halaman sekolah.
b. Dua guru perempuan.
c. Guru satu buru-buru pulang.
d. Jam pulang sekolah.
Deklaratif
Penanda: Terdapat pilihan
kata ‘monggo’.
Menyapa
Guru satu
mendahului guru
dua. Ia berpamitan
dan menyapa guru
dua.
35.
Guru 1: ayo madhang… madhang…
(makan..makan..)
Guru 2: sek, tak pipis. (sebentar, kencing
dulu.)
Imperatif
Penanda: Terdapat pilihan
kata ‘ayo’.
Mengajak
Guru satu mengajak
makan di kantin guru
dua. Tetapi guru dua
ingin kencing
terlebih dulu.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
145
Konteks:
a. di kantin sekolah.
b. Dua guru perempuan.
c. Guru satu mengajak guru dua makan di
kantin.
d. Guru dua ingin kencing terlebih dulu.
36.
Guru 1: Pak, iki diseleh ndi ya? (Pak, ini
diletakkan di mana ya?)
Guru 2: tulung seleh kono wae, penting
angger ditulisi. (tolong letakkan di situ saja,
yang penting ditulisi.)
Konteks:
a. Dua guru laki-laki.
b. di ruang guru.
c. Guru dua membawa fotocopy-an titipan
guru lain.
Imperatif
Penanda: Terdapat pilihan
kata ‘tolong’.
Menyuruh
Guru satu membawa
fotocopy-an titipan
guru dua. Guru dua
yang melihat itu,
meminta agar
diletakkan saja di
atas meja dengan
catatan di atasnya.
37.
Guru 1: Pak, iki ditutupi ora? (Pak, ini
ditutupi tidak?)
Guru 2: rasah ditutupi, ben cepet adem, bu!
(tidak perlu ditutup biar cepat dingin, bu!)
Guru 1: hmm (bergumam).
Konteks:
a. di ruang guru.
b. Guru perempuan dan guru laki-laki. Guru
perempuan sedikit lebih muda dari guru
laki-laki.
Imperatif
Penanda: Terdapat pilian
kata ‘ben’.
Meminta
Guru satu tidak mau
teh miliknya diberi
tutup dan meminta
kepada guru dua
untuk tidak
melakukannya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
146
c. Guru dua ingin menutupi teh di atas meja
guru satu agar tidak kena debu.
38.
Guru 1: nek poso dodolan wae mbak (kalau
puasa jualan saja mbak)
Guru 2: yo rapapa to, nyediani sing ora poso.
(ya tidak masalah, menyediai yang tidak
puasa.)
Konteks:
a. di kantin sekolah.
b. Dua guru perempuan.
c. Guru satu berbicara kepada penjual di
kantin, tetapi yang menjawab guru dua.
Deklaratif
Penanda: tidak terdapat
penanda kesantunan, tetapi
diutarakan dengan nada
saran.
Memberi saran
Guru satu
menanyakan apakah
penjual di kantin
akan berjualan atau
tidak saat puasa.
39.
Guru 1: hai bu.
Guru 2: hai.
Konteks:
a. Dua guru perempuan.
b. di halaman sekolah.
c. Keduanya berpapasan.
Deklaratif
Penanda: tidak terdapat
penanda kesantunan, tetapi
kedua guru saling
menyapa.
Menyapa
Dua guru tersebut
saling menyapa.
40.
Guru 1: eh, Si Kevin metu. (eh, Si Kevin
keluar.)
Guru 2: Kevin sapa? (Kevin siapa?)
Guru 1: Indonesian Idol.
Konteks:
a. Dua guru perempuan, salah satunya lebih
muda.
Deklaratif
Penanda: tidak terdapat
penanda kesantunan, tetapi
diutarakan dengan
keceriaan.
Mengajak
Guru satu terkejut
melihat Kevin keluar
dari laboratorium
komputer. Guru satu
berseru agar guru
lain juga ikut melihat
Kevin.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
147
b. di kantin sekolah.
c. Ujian nasional paket C.
41.
Guru 1: Kevin ki sing ndi to? (Kevin itu yang
mana sih?)
Guru 2: kae lho bu, sing nggo topi. De’e melu
Indonesian Idol taun wingi. (Itu lho bu, yang
pakai topi. Dia ikut Indonesian Idol tahun
kemarin.)
Konteks:
a. di kantin sekolah.
b. Dua guru perempuan.
Deklaratif
Penanda: tidak terdapat
penanda kesantunan, tetapi
diutarakan dengan nada
memberi tahu.
Memberi tahu
Guru satu
mendengar
percakapan sesama
guru perempuan
sebelumnya dan
menanyakan
siapakah Kevin itu,
lalu guru dua
menanggapi
pertanyaan tersebut
dengan
mendeskripsikan
Kevin.
√
42.
Guru 1: aku tak mrana sek, monggo. (Aku ke
sana dulu, mari.)
Guru 2: siap pak. (Siap pak)
Konteks:
a. di kantin sekolah.
b. Dua guru laki-laki.
c. Guru satu hanya melewati kantin.
Deklaratif Penanda: Terdapat pilihan
kata ‘monggo’.
Permohonan izin
Guru satu meminta
izin untuk pergi
terlebih dulu.
√
43.
Guru 1: pak, kersa sarapan, pak? (Pak, mau
sarapan, pak?)
Guru 2: yo penakke, tapi ketoke mau wes lho.
(Ya, silahkan, tapi kelihatannya tadi udah
Interogatif
Penanda: Terdapat pilihan
kata ‘monggo’.
Mengajak
Guru perempuan
menawari bapak
kepala sekolah untuk
√
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
148
lho.)
Guru 3: yo tahap kedua pak. (Ya tahap kedua
pak.)
Guru 2: makane, elok tenan. (Makanya, bagus
sekali.)
Guru 1: haha (tertawa).
Konteks:
a. di kantin sekolah.
b. Dua guru perempuan dan bapak kepala
sekolah.
c. Bapak kepala sekolah lewat di dekat kantin
ketika dua guru perempuan sedang makan.
makan di kantin.
44.
Guru 1: kui ki sing menang lomba ya, bu?
Wah, koyo njenengan ayune (Itu tuh yang
menang lomba ya, bu? Wah, cantiknya seperti
kamu)
Guru 2: iyo po? (Iya apa?)
Konteks:
a. Dua guru perempuan
b. di halaman sekolah.
c. Persiapan wisuda kelas dua belas.
Interogatif
Penanda: tidak terdapat
penanda kesantunan, tetapi
diutarakan untuk memuji.
Memastikan
Guru satu bertanya
kepada guru dua
tentang siswa
tersebut.
√
45.
Guru 1: Nafa Urbach ki sapa? (Nafa Urbach
itu siapa?)
Guru 2: ojek keliling. (Ojek keliling.)
Guru 1: ndi jal delok fotone? (Mana coba
lihat fotonya?)
Interogatif
Penanda: Terdapat pilihan
kata ‘coba’.
Menyerukan
Guru satu bertanya
kepada guru dua
tentang Nafa
Urbach, kemudian
√
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
149
Guru 2: (memperlihatkan foto yang ada di
hpnya)
Guru 3: halah kuwi tau tak ceraki biyen. (Ah
itu pernah aku dekati dulu.)
Konteks:
a. di kantin sekolah.
b. Duduk dalam satu meja yang sama.
c. Dua guru perempuan dan satu guru laki-
laki.
d. Melihat foto Nafa Urbach di hp guru
perempuan.
guru tiga berseru
seolah-olah
mengenal Nafa
Urbach padahal
tidak, karena dia
adalah artis.
46.
Guru 1: heh, wolong ewu entuk apa? (Heh,
delapan ribu dapat apa?)
Guru 2: macem-macem yo. (Macam-macam
ya.)
Guru 3: iso nggo tuku slondok, dan lain-lain
pak, okeh. (Bisa tidak beli slondok, dan lain-
lain pak, banyak.)
Konteks:
a. di kantin sekolah
b. Dua guru perempuan dan satu guru laki-
laki.
c. Memegang uang delapan ribu.
Interogatif
Penanda: tidak terdapat
penanda kesantunan, tetapi
diungkapkan dengan
santun dan menjalin
keakraban.
Menawar
Guru satu bertanya
kepada guru dua dan
tiga, kira-kira apa
saja yang bisa dibeli
dengan uang delapan
ribu.
√
47. Guru 1: do ngomongne apa to? (Pada
ngomingin apa sih?)
Guru 2: makanan remaja (Makanan remaja)
Interogatif
Penanda: tidak terdapat
penanda kesantunan, tetapi
Memastikan
Guru satu yang baru
datang merasa heran
√
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
150
Guru 1: alah- alah (geleng-geleng kepala)
(tertawa)
Konteks:
a. Sekumpulan guru-guru.
b. Satu guru laki-laki baru datang ke kantin.
c. Di kantin sekolah jam istirahat.
d. Topik bahasan snack kekinian.
diungkapkan dengan
santun
kenapa guru-guru
lain bercerita penuh
semangat dan berisik
sekali.
48.
Guru 1: sapa kui ning foto? Kok ayu! (Siapa
itu di foto? Kok ayu!)
Guru 2: gelem ora? (Mau tidak?) (tertawa)
Guru 3: halah, modus pancenan kowe ki, sok
ganteng! (Ah, modus memang kamu ini, sok
ganteng!)
Guru 2: yo ora. (Ya tidak.)
Konteks:
a. Dua guru perempuan dan seorang guru
laki-laki berbeda usia sedang asyik
bercerita.
b. Satu guru laki-laki datang menghampiri.
c. di kantin sekolah.
d. Dua guru tersebut melihat foto-foto di hp.
e. bercanda
f. modus= modal dusta, suka mencari muka
di depan wanita.
Interogatif
Penanda: tidak terdapat
penanda kesantunan, tetapi
dingkapankan dengan
santun hanya untuk
menayapa guru lain.
Memastikan
Guru satu bertanya
kepada guru lain,
tetang wanita yang
ada dalam foto.
√
49. Guru 1: weh, kok isih do ning kene? (Wah,
kok masih pada di sini?) Interogatif
Penanda: tidak terdapat Mengingatkan
Mengingatkan √
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
151
Guru 2: mengko sek. (nanti dulu.)
Konteks:
a. Beberapa guru masih berkumpul di
perpustakaan.
b. Satu guru perempuan datang.
c. guru satu kaget melihat teman sesama
guru masih di perpustakaan.
penanda kesantunan, tetapi
diungkapkan tujuannya
untuk mengingatkan guru
lain.
kepada guru-guru
lain untuk segera
melanjutkan tugas
lainnya.
50.
Guru 1: kae lho, wes do di enteni cah IPS. (itu
lho, sudah pada ditunggu anak IPS.)
Guru 2: apa uwes do kumpul? (apa sudah
pada kumpul?)
Guru 1: wes yo, awet mau. (sudah ya,
daritadi.)
Konteks:
a. Dua guru perempuan.
b. di halaman sekolah.
c. Topik bahasan persipan wisuda kelas dua
belas.
d. guru dua adalah wali kelas 12 IPS 1.
e. Sesama guru senior.
Imperatif
Penanda: tidak terdapat
penanda kesantunan, tetapi
diungkapkan untuk
mengingatkan guru lain.
Mendesak
Menyuruh guru dua
untuk segera
menghampiri kelas
dua belas IPS
√
51.
Guru 1: hih merapine pak! (hih Merapinya
pak!)
Guru 2: iyo ee aku lagi ndelok setengah pitu.
(iya aku lagi lihat setengah pintu.)
Guru 1: aku awet mau isuk ndelok merapi.
(aku dari tadi pagi lihat Merapi.)
Deklaratif
Penanda: tidak terdapat
penanda kesantunan, tetapi
diutarakan dengan santun.
Mengingatkan
Guru satu bercerita
tentang kejadian
erupsi merapi tadi
pagi yang membuat
khawatir.
√
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
152
Konteks:
a. Guru laki-laki dan guru perempuan.
b. di kantin sekolah.
c. Mendengar berita pagi tadi tentag erupsi
Merapi.
d. guru-guru ketakutan.
52.
Guru 1: sing daerah kono malah udan awu.
(yang daerah sana malah hujan abu)
Guru 2: ah ora yo adoh. (ah tidak ya jauh.)
Konteks:
a. Satu guru laki-laki datang ke kantin.
b. Guru laki-laki itu mendengar percakapan
tentang Merapi.
c. Menunjuk kesalahsatu arah mata angin.
d. Guru laki-lai lebih gencar.
Deklaratif
Penanda: tidak terdapat
penanda kesantunan, tetapi
diungkapkan dengan
santun untuk memberi
tahu.
Mengingatkan
Guru laki-laki
memberitahu
dampak hujan abu
karena erupsi
merapi.
√
53.
Guru 1: eh, nggon tempat wisata wes podo
ditutup? (eh, di tempat wisata sudah pada
ditutup).
Guru 2: iyolah mestine wes. (iyalah mestinya
sudah).
Guru 1: piro jarake? ojo mrana lho. (berapa
jaraknya? jangan ke sana lho.)
Guru 2: 30 meter jare (30 meter katanya.)
Guru 1: weh..dhuwur yo. (weh... tinggi ya.)
Konteks:
a. Dua guru laki-laki.
Interogatif
Penanda: tidak terdapat
penanda kesantunan, tetapi
diutarakan dengan santun.
Mengingatkan
Guru satu
mengingatkan
kepada guru dua
untuk tidak ke
tempat wisata
merapi terlebih dulu.
√
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
153
b. Mendengar guru disebelahnya bercerita
tentang Merapi, lalu berbicara dengan
guru yang ada di sebelahnya.
c. guru satu khawatir.
54.
Guru 1: hey kursine ketemu. (hey kursinya
ketemu.)
Guru 2: ning ndi? (di mana?)
Guru 1: kae lho kursine 12 IPS 5 mbiyen kan
mung 24 to, saiki okeh. (itu lho kursinya 12
IPS 5 dulu kan cuma 24, sekarang banyak.)
Guru 2: lha kok iso? (lha kok bisa?)
Guru 1: dingo kelas’e pokoke. (dipakai
kelasnya pokoknya.)
Guru 2: terima kasih ya, bu.
Konteks:
a. Dua guru perempuan.
b. Menunjuk kesalah satu kelas.
c. Topik bahasan kursi kelas yang hilang.
d. di halaman sekolah.
Deklaratif
Penanda: tidak terdapat
penanda kesantunan, tetapi
diutarakan dengan santun
dan mendapat balikan
terima kasih.
Memberi tahu
Kursi kelas yang
dicari guru dua
sudah ditemukan
guru satu.
√
55.
Guru 1: Omahe Bu Wulan daerah ngulon to?
(rumahnya Bu Wulan daerah ke barat kan?)
Guru 2: ora yo, Tempel. (tidak ya, Tempel.)
Konteks:
a. Dua guru perempuan senior.
b. di kantin sekolah dan sedang makan.
c. Membicarakan salah satu guru yang
Interogatif
Penanda: tidak terdapat
penanda kesantunan, tetapi
diungkapkan dengan
santun.
Meminta
Guru satu ingin tahu
rumah Bu Wulan
yang tepat.
√
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
154
bernama Bu Wulan.
56.
Guru 1: Eh lha piye sidane? (eh lha gimana
jadinya?)
Guru 2: Ngangge panggung pak. (pakai
panggung pak.)
Guru 1: cukup to? (cukup kan?)
Guru 2: saged kok ketoke. (bisa kok
kelihatannya.)
Guru 1: yowes nek cukup, dipersiapke wae.
(ya sudah kalau cukup, dipersiapkan saja.)
Guru 2: nggeh, mangke pak. (iya, nanti pak.)
Konteks:
a. Guru laki-laki dan guru perempuan.
b. di lobby sekolah.
c. Persiapan wisuda kelas 12.
d. Guru laki-laki lebih senior.
Interogatif
Penanda: tidak terdapat
penanda kesantunan, tetapi
diungkapkan dengan
santun dan memberi
perhatian.
Memastikan
Guru satu
memastikan
persiapan wisuda
kelas 12 kepada guru
dua sampai dimana.
√
57.
Guru 1: lha tapi maksimal jam 6 ee. (lha tapi
maksimal jam 6.)
Guru 2: ah yo ora pak. Bebas arep teka jam
piro. (ah ya tidak pak. Bebas mau sampai jam
berapa.)
Konteks:
a. Dua guru laki-laki.
b. di halaman sekolah.
c. Persiapan perpisahan kelas 12.
d. Topik bahasan kedatangan tamu.
Deklaratif
Penanda: tidak terdapat
penanda kesantunan, tetapi
diungkapkan dengan
santun.
Menawar
Guru satu
menanyakan kepada
guru dua tentang
waktu kedatangan
tamu-tamu supaya
tidak terlalu sore.
√
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
155
58.
Guru 1: umur’e njenengan pinten pak?
(usianya bapak berapa pak?)
Guru 2: seket loro. (lima dua)
Guru 1: lha berarti sak ngisore aku. (lha
berarti bawahnya aku.)
Guru 2: iyo, wong aku iseh enom kok. (iya,
lha aku masih muda kok.)
Konteks:
a. Dua guru laki-laki, salah satu lebih senior.
b. di lobby sekolah.
c. Jam istirahat.
d. Topik bahasan membicarakan usia.
Interogatif
Penanda: tidak terdapat
penanda kesantunan, tetapi
diungkapkan dengan
santun.
Memastikan
Guru satu tidak
menyangka bahwa
usianya di atas guru
dua.
√
59.
Guru 1: nek iki kira-kira 53 nek ora 54. (kalau
ini kira-kira lima tiga kalau tidak lima empat.)
Guru 2: ora yo, ngarang. (tidak ya, mengada.)
Guru 1: weh mosok to? (wah apa iya to?)
Guru 2: tenan. (benar)
Konteks:
a. Satu guru perempuan lewat.
b. Guru perempuan mendengar percakapan
dua guru laki-laki.
c. di lobby sekolah.
d. Jam istirahat.
e. Guru perempuan berkomentar sambil
berlalu.
Deklaratif
Penanda: tidak terdapat
penanda kesantunan, tetapi
diungkapkan dengan
santun dengan nada
bercanda.
Menawar
Menggoda salah satu
guru laki-laki
dengan mengira-
ngira dan
mengatakan usianya
tua.
√
60. Guru 1: dari mana bu? (dari mana bu?) Interogatif Menyapa
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
156
Guru 2: dari depan. (dari depan)
Konteks:
a. Guru laki-laki dan guru perempuan.
b. di halaman sekolah.
c. berpapasan
Penanda: tidak terdapat
penanda kesantunan, tetapi
diungkapkan dengan
santun.
Guru laki-laki
menyapa guru
perempuan dengan
bertanya dari mana
guru dua dari arah
lobby sekolah.
61.
Guru 1: eh..eh bu, aku iso nyela? (eh..eh bu,
aku bisa meminta waktu?) (menghampiri)
Guru 2: sek, aku selak masuk kelas. (sebentar,
aku keburu masuk kelas)
Konteks:
a. Dua guru perempuan.
b. di halaman sekolah.
c. Guru satu memiliki keperluan dengan guru
dua.
d. Berpapasan di halaman sekolah.
Imperatif
Penanda: tidak terdapat
penanda kesantunan, tetapi
diungkapkan dengan
santun.
Mendesak
Guru satu mendesak
agar guru dua segera
menyelesaikan
tugasnya dan bisa
menemui guru satu.
√
62.
Guru 1: oh berarti gitu ya pak kalau di atas 50
tahun. (manggut manggut)
Guru 2: ah yo ora. (ah ya tidak.)
Guru 1: lah nyatane. (lah kenyataannya)
Guru 2: yo mergo pengalaman to, okeh
pengalaman. (ya karena pengalaman, banyak
pengalaman.)
Konteks:
a. Dua guru laki-laki.
b. di lobby sekolah.
Deklaratif
Penanda: tidak terdapat
penanda kesantunan, tetapi
diungkapkan dengan
santun.
Mengagumi
Kagum dengan gaya
pemikiran guru
senior laki-laki di
depannya.
√
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
157
c. Jam istirahat.
d. Salah satu guru lebih senior.
63.
Guru 1: Bu Utami, menika wonten tamu,
(menghampiri) (Bu Utami, itu ada tamu.)
Guru 2: sapa? (siapa?)
Guru 1: mboten ngertos bu, tiyang tiga.
Wonten perpus menika (tidak tau bu, tiga
orang. Ada di perpus)
Guru 2: oh ya ya, terima kasih.
Konteks:
a. Dua guru perempuan.
b. di lobby sekolah.
c. Jam istirahat.
d. guru dua lebih senior.
e. guru satu mengarahkan tamu untuk
menunggu di perpustakaan.
Deklaratif
Penanda: tidak terdapat
penanda kesantunan, tetapi
diutarakan dengan santun
dan bahasa Jawa krama.
Memberi tahu
Memberitahu kepada
guru satu bahwa ada
tamu yang
menunggu.
√
64.
Guru 1: la iki lho, Nafa saiki wes karo
pengacara. Sapa kae? (lha ini lho, Nafa
sekarang sudah dengan pengacara. Siapa itu?)
Guru 2: Hotman to. (Hotman)
Guru 1: iyo, Hotman sapa kae? Hutapea? (iya,
Hotman siapa itu? Hutapea?)
Guru 2: Hudu, sapa sih kae? Paris (bukan,
siapa sih itu? Paris.)
Guru 1: nah, iyo Hotman Paris. (nah, iya
Hotman Paris.)
Interogatif
Penanda: tidak terdapat
penanda kesantunan, tetapi
diungkapan dengan nada
bercanda.
Menyerukan
Guru satu
memberitahu kepada
guru dua tentang
gosip terakhir Nafa
Urbach dengan
Hotman Paris.
√
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
158
Konteks:
a. Dua guru perempuan.
b. di kantin sekolah.
c. Jam istirahat.
d. Membaca berita online.
65.
Guru 1: La ngapa karo Hotman? (lha kenapa
dengan Hotman?)
Guru 2: Teka’e arep nikah siri. (Sepertinya
mau nikah siri.)
Guru 1: weh iyo po? (weh, iya pa?)
Guru 2: jarene, aku yo ora dong. kok gelem
yo (katanya, aku ya tidak paham. kok mau
ya.) (mata menyipit)
Konteks:
a. Dua guru perempuan.
b. di kantin sekolah.
c. Jam istirahat.
d. Membaca berita online tentang Nafa
Urbach dan Hotman Paris.
Interogatif
Penanda: tidak terdapat
penanda kesantunan, tetapi
diungkapkan dengan
santun.
Mengritik
Guru satu
memberitahu kepada
guru dua tentang isu
rencana nikah siri
Hotman Paris dan
mengritik mengapa
Nafa mau dengan
Hotman Paris.
√
66.
Guru 1: weh pak, sehat pak! (weh pak, sehat
pak!)
Guru 2: sehat. (sehat)
Guru 1: madhang... madhang... riyin mriki lho
pak. (makan... makan dulu sini lho pak.)
Guru 2: (menganggukkan kepala).
Deklaratif
Penanda: tidak terdapat
penanda kesantunan, tetapi
diungkapkan dengan
santun dan menggunakan
bahasa Jawa krama.
Mengajak
Guru satu
menanyakan kondisi
guru dua dan
mengajak untuk
makan bersama.
√
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
159
Konteks:
a. Dua guru laki-laki senior.
b. di kantin sekolah.
c. Jam istirahat.
d. Guru satu sedang makan ketika guru dua
tiba.
67.
Guru 1: iki pak nggonanmu. (ini pak
pumyamu)
Guru 2: iyo seleh kono wae ora papa. (iya
taruh sana saja tidak apa-apa.)
Konteks:
a. Dua guru laki-laki.
b. di kantin sekolah.
c. Jam istirahat.
d. Guru dua memesan minuman dan guru
satu mengambilkannya.
Imperatif
Penanda: tidak terdapat
penanda kesantunan, tetapi
diungkapkan dengan
santun dan dalam bentuk
perhatian.
Menyuruh
Guru dua meminta
guru satu untuk
meletakkan
minuman yang
dipesan di atas meja.
√
68.
Guru 1: sapa kae sing jaga? (siapa itu yang
jaga?) (menatap dengan kepala sedikit
terangkat)
Guru 2: Mbak Dian kok sing isuk. (Mbak
Dian kok yang pagi.)
Konteks:
a. Satu guru perempuan dan satu guru laki-
laki.
b. Guru satu perempuan senior.
c. di kantin sekolah.
Interogatif
Penanda: tidak terdapat
penanda kesantunan, tetapi
diungkapkan dengan
santun.
Menyindir
Guru satu menyindir
guru dua mengapa
masih di kantin saja.
√
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
160
d. Jam istirahat.
e. ujian paket C
f. Guru dua adalah pengawas ujian paket C.
69.
Guru 1: aku ngelih. (aku lapar) (lesu)
Guru 2: podo aku yo iyo. (sama aku ya iya.)
Guru 1: entuk snack kan? (dapat snack kan?)
Guru 2: iyo, tapi snack’e awan. (tertawa) (iya,
tapi snacknya siang)
Konteks:
a. Dua guru laki-laki.
b. di lobby sekolah.
c. Jam istirahat.
d. Tugas piket.
Deklaratif
Penanda: tidak terdapat
penanda kesantunan, tetapi
diungkapkan dengan
santun.
Memastikan
Guru satu
menanyakan jatah
makan kepada guru
dua, karena merasa
sangat lapar.
√
70.
Guru 1: sesuk iso turu awan ki. (besok bisa
tidur siang nih)
Guru 2: wah iyo, asyik. (wah iya, asyik)
Konteks:
a. Dua guru perempuan.
b. di kantin sekolah.
c. Jam istirahat.
d. besok adalah hari libur karena sekolah
menerapkan lima hari kerja.
Deklaratif
Penanda: tidak terdapat
penanda kesantunan, tetapi
diungkapkan dengan nada
santun.
Memberi tahu
Menginfokan bahwa
besok hari sabtu dan
merupakan hari libur
sekolah.
√
71.
Guru 1: pak, piye wes sido tuku garam diet?
(pak, gimana sudah jadi beli garam diet?)
Guru 2: durung yo, lah apa jenenge? (belum
ya, lah apa namanya?)
Interogatif
Penanda: tidak terdapat
penanda kesantunan, tetapi
diungkapkan dengan nada
Mengingatkan
Menanyakan tentang
garam diet apakah
sudah dibeli atau
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
161
Guru 1: lali aku (lupa aku) (sambil berlalu)
Konteks:
a. Satu guru perempuan dan satu guru laki-
laki.
b. Seumuran.
c. Berpapasan di halaman sekolah.
d. Jam istirahat.
santun dan penuh
perhatian.
belum.
72.
Guru 1: kae lho, jal delok kae rupane. (itu lho,
coba lihat itu mukanya.)
Guru 2: ngapa to? (kenapa sih?)
Guru 1: kluwus (lusuh) (tertawa)
Konteks:
a. Dua guru laki-laki.
b. di kantin sekolah.
c. Jam istirahat.
d. Memperhatikan guru yang dimaksud.
Deklaratif
Penanda: Terdapat pilihan
kata ‘coba’.
Mengritik
Guru satu mengejek
guru lainnya sambil
bercanda.
√
73.
Guru 1: piye sido ora mengko? (gimana jadi
tidak nanti?)
Guru 2: lah neng ndi? (lah di mana?)
Guru 1: yo kono kae. (ya sana itu)
Guru 2: oh yo. (oh ya)
Konteks:
a. Dua guru laki-laki muda.
b. di lobby sekolah.
c. Tugas piket.
d. guru satu sudah memiliki janji dengan
Interogatif
Penanda: tidak terdapat
penanda kesantunan, tetapi
diungkapkan dengan
santun.
Mengingatkan
Guru satu
memastikan rencana
pergi bersama guru
dua.
√
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
162
guru dua untuk pergi bersama.
74.
Guru 1: pak, coba delok mrene. Iki buku cah
PPL kae. Apik yo. (pak, coba lihat sini. Ini
buku anak PPL itu. Bagus ya.)
Guru 2: iya bu, bagus, lengkap kok. (iya bu,
bagus, lengkap kok)
Konteks:
a. Satu guru perempuan dan satu guru laki-
laki.
b. di ruang guru.
c. Jam istirahat.
d. Memperhatikan buku.
Deklaratif
Penanda: Terdapat pilihan
kata ‘coba’.
Mengajak
Guru satu
menunjukkan buku
anak PPL kepada
guru dua dan
mengajak untuk
melihat bersama.
√
Yogyakarta, 7 Juni 2018
Menyetujui,
Dosen Triangulator
Prof. Dr. Pranowo, M. Pd.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
163
BIOGRAFI PENULIS
Veronika Hertania Putri Riandono lahir di Kudus tanggal 12
April 1996. Ia pada tahun ajaran 2007/2008 menyelesaikan
pendidikan dasar di SD Negeri 2 Getas Pejaten, Kudus,
kemudian pada tahun ajaran 2010/2011 menyelesaikan
pendidikan menengah pertama di SMP Negeri 1 Jati, Kudus,
dan pada tahun ajaran 2013/2014 menyelesaikan pendidikan
menengah atas di SMA Negeri 1 Weleri, Kendal. Tahun 2014, peneliti
melanjutkan studi di Program Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia, Fakultas
Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sanata Dharma. Selama menjadi
mahasiswa PBSI, penulis aktif mengikuti dan terlibat aktif di berbagai kegiatan
baik di dalam prodi maupun di luar prodi.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI