JURUSAN AQIDAH FILSAFAT FAKULTAS USHULUDDIN DAN...
Transcript of JURUSAN AQIDAH FILSAFAT FAKULTAS USHULUDDIN DAN...
Konsep Manusia Menurut Ibn al-‘Arabi dan Ranggawarsita
(Studi Perbandingan)
Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat
Guna Memenuhi Syarat Mencapai Gelar Sarjana Filsafat Islam
Oleh :
Amriluddin NIM: 202033101131
JURUSAN AQIDAH FILSAFAT FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA 1428 H/2007 M
Konsep Manusia Menurut Ibn al-‘Arabi dan Ranggawarsita
(Studi Perbandingan)
Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat
Guna Memenuhi Syarat Mencapai Gelar Sarjana Filsafat Islam
Oleh :
Amriluddin NIM: 202033101131
Dibawah Bimbingan,
Dr. Suwarno Imam S
NIP: 150 033 254
JURUSAN AQIDAH FILSAFAT FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA 1428 H/2007 M
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi yang berjudul “Konsep Manusia Menurut Ibn al-‘Arabi dan
Ranggawarsita ” (Studi Perbandingan). telah diujikan dalam sidang munaqasyah
Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta pada tanggal 9 Maret 2007. Skripsi telah diterima sebagai salah satu syarat
untuk memperoleh gelar sarjana Program Strata 1 (S1) pada Jurusan Aqidah Filsafat.
Jakarta, 9 Maret 2007
Sidang Munaqasyah
Ketua Merangkap Anggota Sekretaris Merangkap Anggota
Drs. Harun Rasyid, MA Suzanti Ikhlas, A.Md NIP. 150 232 921 NIP. 150 286 874
Anggota
Penguji I Penguji II
Drs. Hamid Nasuhi, MA Drs. Agus Darmaji, M.Fils NIP. 150 241 817 NIP. 150 262 447
Pembimbing
Dr. Suwarno Imam S NIP. 150 033 254
KATA PENGANTAR
Segala puji hanya milik Allah swt. Kepada-Nya semua makhluk tunduk atas
keperkasaan kuasa-Nya, dan semua hamba saleh mengabdikan diri di hadapan
keagungan kehendak-Nya. Salawat dan salam semoga terus tercurah bagi baginda
Muhammad saw., para keluarga, segenap sahabat, dan semua pengikutnya yang setia.
Dengan rahmat dan inayah-Nya, akhirnya penulisan skripsi ini dapat
dirampungkan, meski jalan yang ditempuh begitu panjang, yang kadang menikung
dan mendaki, bahkan tak jarang berbalik arah dan berhenti. astaghfirullâhal-‘azhîm.
Penulis menyadari, skripsi ini tak mungkin terwujud tanpa bantuan dan
dukungan dari berbagai pihak. Karena itu, dalam kesempatan ini, penulis ingin
mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah
menanamkan jasa dan kebaikan budi kepada penulis.
Pertama, Bapak Prof. Dr. Amsal Bakhtiar, MA, selaku Dekan fakultas
Ushuluddin Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Kedua, Bapak Dr. Suwarno Imam S, yang telah membimbing dan mengarahkan
penulisan skripsi ini. Keindahan akhlak dan keteguhan prinsip yang beliau tunjukkan
kepada penulis selama ini telah menanamkan benih-benih kebajikan dan kesabaran
serta menyuburkannya. Sungguh!
Ketiga, Bapak Drs. Harun Rasyid, MA, selaku Direktur Program Fakultas
Ushuluddin dan Filsafat Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Selanjutnya, penulis layak menyampaikan salam hormat dan takzim kepada
Bapak, Ibu dan para dosen Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta, atas semua pengajaran, bimbingan, pelayanan, dan
kemudahan yang mereka berikan kepada penulis selama menempuh studi S1 pada
jurusan Aqidah Filsafat. Rasa terima kasih juga penulis sampaikan kepada
Perpustakaan Utama Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta,
Perpustakaan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Perpustakaan Utama Universitas
Indonesia, dan lembaga-lembaga lain yang telah meminjamkan berbagai referensi
yang penulis butuhkan demi kelancaran penyusunan skripsi ini.
Secara khusus, ungkapan syukur dan salam takzim wajib penulis haturkan
kepada ayahanda Moch. Hariri dan ibunda Siti Masrifah. Merekalah yang telah
mendidik dan menghaluskan budi penulis melalui sikap, ajaran, dan nasihat yang
bijak. Penulis berdoa: semoga pendidikan budi pekerti yang mereka tanamkan kepada
penulis sejak kecil hingga dewasa akan berbalas rahmat Allah di sisi-Nya kelak.
Kepada Aa Oleh dan Mba Nuni. Terima kasih dan salam maaf untuk ‘maret’ ini.
Mereka dengan ikhlas telah memecahkan konsentrasi pemikirannya untuk
keberhasilan penyusunan skripsi ini, di tengah rencana menghiasi hubungan dengan
ijab qabul. Semoga “kang cinipta dadi, kang sinedya ana, kang kinarsan teka, saka
parmaning kang kawasa”. Hormat dan terima kasih penulis kepada Aa Iyan dan Mba
Yeti, yang telah mengorbankan segala sesuatunya untuk penulis. Semoga Allah
membalas budi baik mereka dengan rahmat-Nya. Kepada Ade Masruri (adik), “kamu
harus lebih baik dari yang telah ada”. Serta seluruh keluarga besar Mbah Kuseri.
“makasih atas doa dan suntikan spiritnya”, Meski tak disebut pertama kali, untuk
“gadis sempurnaku” neng Euis Nurmalisa yang selalu mengingatkan penulis untuk
segera menyelesaikan skripsi ini. Terima kasih atas semua kasih sayang dan
perhatiannya yang tulus kepada penulis. I love you tentunya!
Kepada semua dermawan dan “sahabat sempurna” yang telah membantu
penyelesaian skripsi ini, penulis tak lupa mengucapkan terima kasih yang sebesar-
besarnya. Kholid Basyaroh (Angel From Demak), “thank’s for everythink”, Fadli,
Syaumi, CK, Erwin, Ajay, Rohman, Zaenal, Ozy, Asri. (“Friend Will Be Friend”).
“Gadis-gadis sempurna” AE, Alexandria, Ni’mah, Iik, Musse, Ariesta, Hamdah,
Anni, Vega, Luna, dan banyak lagi yang tak bisa disebutkan satu per satu. Serta tidak
lupa kepada teman-teman seangkatan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Jurusan
Aqidah Filsafat, Tafsir Hadist, Sosiologi Agama, PPI, kenangan indah dan
kebersamaan kita tak akan terlupakan. Dan kepada semua yang belum sempat tertulis,
terima kasih banyak.
Jakarta, 15 Shafar 1428 H. 5 Maret 2007 M.
Salam takzim,
Amriluddin
DAFTAR ISI
Halaman
PEDOMAN TRANSLITERASI .......................................................................... i
KATA PENGANTAR ......................................................................................... iv
DAFTAR ISI ....................................................................................................... vii
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................. 1
A. Latar Belakang Masalah .................................................................... 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ................................................ 5
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ......................................................... 6
D. Metodologi Penelitan ....................................................................... 7
E. Sistematika Penulisan ....................................................................... 8
BAB II KONSEP MANUSIA MENURUT IBN AL-‘ARABI ...................... 10
A. Riwayat Hidup dan Karya-karya Ibn al-‘Arabi ............................... 10
B. Konsep Ibn al-‘Arabi Tentang Manusia .......................................... 17
1. Penciptaan Manusia .................................................................. 17
2. Insan kamil ................................................................................ 24
BAB III KONSEP MANUSIA MENURUT RANGGAWARSITA ............... 31
A. Riwayat Hidup dan Karya-karya Ranggawarsita............................. 31
B. Konsep Ranggawarsita Tentang Manusia........................................ 36
1. Penciptaan Manusia .................................................................. 36
2. Insan kamil ................................................................................ 47
BAB IV KONSEP MANUSIA MENURUT IBN AL-‘ARABI DAN
RANGGAWARSITA : STUDI PERBANDINGAN ........................ 52
1. Penciptaan Manusia .................................................................. 54
2. Insan kamil ................................................................................ 57
BAB V KESIMPULAN..................................................................................... 62
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 65
PEDOMAN TRANSLITERASI
Skripsi ini menggunakan transliterasi yang bersumber dari pedoman Akademik
Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2006/2007,
sebagaimana dijelaskan di bawah:
I. Konsonan Tunggal
Huruf Arab Huruf Latin Keterangan
tidak dilambangkan … ا
b be ب
t te ت
ts te dan es ث
j je ج
h h dengan bawah ح
kh ka dan ha خ
d de د
dz de dan ye ذ
r er ر
z zet ز
s es س
sy es dan ye ش
s es dengangaris bawah ص
d de dengangaris bawah ض
t te dengangaris bawah ط
z zet dengangaris bawah ظ
koma terbalik di atas, menghadap ke kanan ‘ ع
gh ge dan ha غ
f ef ف
q ki ق
k ka ك
l el ل
m em م
n en ن
w we و
h ha ه
apostrof ‘ ء
y ye ي
Vokal
Vocal dalam bahasa Arab, seperti vocal bahasa Indonesia, terdiri dari vocal
tunggal atau monoftong dan vocal rangkap atau diftong. Untuk vocal tunggal,
ketentuan alih aksaranya adalah sebagai berikut :
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
a fathah ـــــَ
i kasrah ـــــِ
u dammah ـــــُ
Adapun untuk vokal rangkap, ketentuan alih aksaranya sebagai berikut :
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
ai a dan i ـــــَ ي
au a dan u و ـــــُ
Vokal panjang (Madd)
Ketentuan alih aksara vokal panjang (madd), yang dalam bahasa Arab
dilambangkan dengan harkat dan huruf, adalah sebagai berikut :
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
â a dengan topi di atas ــَـا
î i dengan topi di atas ـِــْي
û u dengan topi di atas ـُــْو
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan yang menjadi bahan pembicaraan
banyak kalangan. Manusia merupakan makhluk satu wujud dua dimensi yang terdiri
dari jasmani dan rohani. Di dalam dirinya ditanamkan sifat mengakui adanya Tuhan
dan keesaan-Nya, memiliki kebebasan, terpercaya (amanah), tanggung jawab, dan
kecenderungan ke arah kebaikan. Oleh karena itu sebagai kenyataan fisik-material
terdiri atas bagian-bagian yang membentuk suatu komposisi yang menunjukkan
eksistensinya secara fisik dan biologis.1
Untuk itu Allah menciptakan manusia dengan disertai dua dimensi. Dimensi
lahir dan dimensi batin. Dimensi lahir, termanifestasikan pada raga, mulai dari kepala
hingga ke kaki. Sedangkan dimensi yang kedua adalah batin. Dimensi ini
termanifestasikan pada jiwa. Jiwa inilah aspek substansi pada kejadian manusia,
karena jiwa adalah pengendali dari semua gerak gerik dan tingkah laku manusia,
sedangkan raga adalah sarana untuk menggerakkan tingkah laku itu.
1 Bayraktar Bayrakli, Eksistensi Manusia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), h. 13
Jiwa yang sengaja diciptakan Allah untuk manusia yang bertujuan untuk
merealisasikan suatu beban amanah dari Allah sebagai pengemban tugas khalifah,
karena manusia diciptakan Allah sebagai wakil-Nya di bumi untuk mengelola dan
menjaga stabilitas alam. Selain itu juga manusia diciptakan sebagai pengemban
amanah untuk melaksanakan tugas sebagai hamba.
Dari keistimewaannya manusia diberikan karakter semi samawi-duniawi yang
di dalamnya ditanamkan sifat mengakui Tuhan dan keesaan-Nya, memiliki
kebebasan, terpercaya, rasa tanggung jawab, juga dibekali dengan kecenderungan ke
arah kebaikan dan kejahatan.2 Namun kesempurnaan manusia tidak dimiliki oleh
semua orang, tetapi hanya mereka yang memenuhi kriteria tertentu saja, yaitu orang-
orang yang bertakwa kepada Allah. Sedangkan orang-orang yang bertakwa ialah
orang-orang yang banyak menyerap sifat-sifat ketuhanan. Karena mereka berakhlak
dengan akhlak Tuhan, maka merekapun memiliki citra ilahi pada jati diri mereka.
Sedangkan bagi orang-orang yang tidak menyerap dan mencerminkan akhlak Tuhan,
maka mereka akan diturunkan derajatnya ke tempat yang serendah-rendahnya.
Karena mereka orang-orang yang mementingkan ego dibanding amanah yang telah
dibebankannya dari Tuhannya. Namun tempat serendah-rendahnya juga bukanlah
suatu hal yang ilahi bagi orang-orang yang ingin menempati tempat yang sempurna di
sisi-Nya. Karena untuk mencapai tempat kesempurnaan orang harus menempuh jalan
ilahi, yaitu jalan yang digariskan dalam suatu tatanan iman dan amal saleh. Maka,
2 Mustofa, Ahmad. Akhlak Tasawuf, (Bandung: Pustaka Setia, 1999), Cet. Ke-2, h.14
terciptalah dalam hal ini relasi Tuhan dan manusia. Relasi ini bersifat bilateral, dalam
pengertian timbal balik.
Dengan adanya relasi Tuhan dan manusia, menjadikan manusia sebagai satu-
satunya makhluk yang dapat berhubungan dan memiliki derajat sempurna. Inilah
makna tujuan dan kesempurnaan manusia sebagai khalifah Allah. Untuk menuju
kepada kesempurnaan manusia diperlukan jalan untuk dekat dengan Tuhan yang
disebut mistisisme atau tasawuf (sufisme).
Sufisme dalam Islam adalah sebuah penyerahan diri yang bertujuan untuk
mendekatkan diri dengan sedekat-dekatnya kepada Tuhan melalui penyucian jiwa
dari segala kotoran rohani. Sebagaimana mistisisme (sufisme) dalam Islam mistik
juga terdapat dalam aliran kebatinan.
Kebatinan adalah yang di dalam, yang sulit, yang tersembunyi. Batin itu
dipakai untuk menunjukkan sifat, dengan sifat batin itu manusia merasa dirinya lepas
dari segala yang semu. Batin juga dipergunakan sebagai sifat keunggulan terhadap
perbuatan lahir.3 Untuk mencapai kesatuan dengan Zat Hidup, manusia harus
mengatasi segi-segi badaniahnya. Aliran kebatinan justru mengajarkan bagaimana hal
itu dapat dilakukan. Kebatinan menjadi pengetahuan tentang "alam atas", suatu ilmu
yang mempelajari kenyataan bahwa manusia batin dapat langsung berhubungan
dengan Tuhan. Berdasarkan teori kebatinan tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa
3 Suwarno Imam S, Konsep Tuhan, Manusia, Mistik Dalam Berbagai Kebatinan jawa,
(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005), h. 84.
kebatinan tak lain adalah mistik murni yang membuka pengetahuan dan pengalaman
individual langsung dengan Tuhan. Oleh karena itu, pada dasarnya kebatinan itu
mistik.4
Masuknya Islam ke Jawa, tidak akan terlepas dari pembicaraan mistik, karena
dengan unsur mistik, Islam dapat diterima dan berkembang dengan pesat di Jawa.
Sementara masyarakat Jawa adalah masyarakat yang memiliki pola pikir dan tingkah
laku Animisme dan Dinamisme. Pola pikir dan tingkah laku ini begitu mengakar dan
sulit untuk digantikan dengan pola pikir yang baru.
Mistisisme dalam Islam telah melahirkan sejumlah tokoh, antara lain seperti
pada sufisme diwakili Ibn al-‘Arabi dan kebatinan diwakili Ranggawarsita. Kedua
tokoh ini pada dasarnya memiliki perbedaan dan kesamaan pemikiran dalam konsep
manusia. Ibn al-‘Arabi misalnya, lebih menonjolkan pemikirannya pada nuansa
falsafi, karena memang ia memiliki latar belakang pendidikan filsafat, selain ilmu-
ilmu yang lain, pada masa pencarian ilmunya. Sedangkan Ranggawarsita
menonjolkan ajaran kebatinan Jawa, karena memang pemikirannya adalah
representasi kalangan kebatinan Jawa yang bernuansa mitologis.
Adapun Ibn al-‘Arabi, sebagai tokoh sufi telah mencetuskan wahdatul wujud
sebagai pangkal dari konsep manusianya. Konsep ini tentu memiliki nuansa mistis
falsafi yang selanjutnya dikembangkan oleh para pendukungnya, seperti al-Jili (1365-
4 Suwarno Imam S, Konsep Tuhan, Manusia, Mistik, h. 88.
1366 M.) dan al-Burhanpuri yang pada perkembangannya ajaran ini banyak dipelajari
oleh para ulama sufi di Nusantara.
Ajaran martabat tujuh yang berkembang di Jawa, tampak jelas pengaruhnya di
dalam Serat Centini dan Wirid Hidayat Jati karya Ranggawarsita. Ajaran martabat
tujuh sebenarnya berasal dari kitab al-Tuhfah al-mursalah ila ruh al-nabi karya Ibn
al-Fadlillah al- Burhanpuri (w. 1620 M) seorang sufi India. Pada Akhir abad ke-16
sampai pertengahan pertama abad ke-17, di Sumatra bagian utara terdapat dua orang
tokoh sufi yang terkenal, penganut paham wujudiyah, yaitu Hamzah Fansuri (wafat
sebelum 1607 M) dan Syamsuddin Sumatrani atau Syamsuddin Pasai (wafat 1630
M). Meskipun ajaran martabat tujuh termasuk ajaran wujudiyah, tetapi berbeda
dengan ajaran wujudiyah yang di anut Hamzah Fansuri. Ajaran wujudiyah Hamzah
Fansuri berkaitan dengan ajaran sufi Arab dan Persia, terutama Bayazid al-Bustani
dan al-Hallaj juga Ibn al-‘Arabi. Berbeda dengan ajaran wujudiyah dalam martabat
tujuh yang ditimbulkan oleh al-Burhanpuri yang ke dalamnya masuk pengaruh India.5
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Skripsi ini berjudul “Konsep Manusia Menurut Ibn Al-‘Arabi Dan
Ranggawarsita” (Studi Perbandingan). Ibn al-'Arabi adalah seorang mistikus,
sehingga ia bisa memfilsafatkan pengalaman batinnya ke dalam suatu pandangan
dunia metafisis maha besar sebagaimana terlihat dalam berbagai karyanya, di
antaranya: Futûhât al-Makkiyah, Fusûs al-Hikam, akan terlihat bahwa pemikirannya
5 Suwarno Imam S, Konsep Tuhan, Manusia, Mistik, h.177-178.
banyak mempengaruhi para sufi dan menjalar kemana-mana dan menjadi dominan
dalam perkembangan Sufisme di seluruh dunia Islam.
Ranggawarsita adalah seorang pujangga yang banyak menyusun karya-karya
yang berbentuk prosa, di antaranya: Serat Wirid Hidayat Jati, Paramayoga, Pustaka
Raja, Serat Makrifat. Dari karya-karya Ranggawarsita, akan terlihat bahwa
pemikirannya banyak dipengaruhi oleh paham Islam kejawen, dan tradisi Hindu-
Jawa. Pembahasan dan pemikirannya terpusat untuk merumuskan kembali pokok-
pokok pemikiran yang terdapat dalam pembendaharaan kepustakaan Islam kejawen
yaitu ajaran islam yang diterapkan dengan budaya Jawa, sehingga karya-karya
Ranggawarsita pada umumnya mencerminkan perpaduan antara alam pikiran dan
tradisi Hindu-Jawa dengan ajaran Islam kejawen. Karena itu, batasan masalah dalam
skripsi ini hanya memfokuskan pada konsep manusia menurut Ibn al-'Arabi dan
Ranggawarsita. Berdasarkan dasar tersebut masalahnya dapat dirumuskan sebagai
berikut; Bagaimanakah konsep manusia menurut Ibn al-'Arabi dan Ranggawarsita?.
C. Tujuan Penelitian
Penulisan skripsi ini dimaksudkan untuk melakukan suatu kajian yang
komperhensif mengenai konsep manusia menurut pemikiran Ibn al-‘Arabi dan
pemikiran Ranggawarsita. Adapun tujuan yang hendak dicapai melalui studi
perbandingan ini tentang konsep manusia menurut Ibn al-‘Arabi dan Ranggawarsita,
adalah untuk mengetahui persamaan dan perbedaan antara paham kedua tokoh
tersebut.
D. Metodologi Penelitian
Skripsi ini didasarkan pada informasi-informasi dan data-data akurat. Untuk
mendapatkan data-data tersebut, penulis melakukan penelitian kepustakaan (Library
research), sumber yang didapatkan dalam skripsi ini berupa sumber primer maupun
sekunder.6 Sumber primer dalam skripsi ini adalah literatur mengenai pandangan
tentang manusia Ibn al-‘Arabi dan Ranggawarsita seperti: Ibn al-‘Arabi, al-Futuhat
al-Makkiyah, jilid I, ed. Osmar Yahya, (Kairo: al-Hai,at al-Mishiriyyat al-‘Ammah Li
al-Kitab, 1972) dan Ibn al-‘Arabi, Fusus al-Hikam, jilid I, ed. A. Afifi, (Beirut: Dar
al-Kutub al-‘Arabi,1946) dan Ranggawarsita, Wirid Hidayat Jati, terj. Simuh,
(surakarta: Administrasi Jawi Kandha,1908). Maupun yang bersifat sekunder seperti
buku: Kautsar Azhari, Wahdat al-Wujud dalam Perdebatan, (Jakarta: Paramadina,
1995), Yunasril, Ali, Manusia Citra Illahi, (Jakarta: Paramadina,1997), Nasution,
Harun, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1999), Imam S
Suwarno, Konsep Tuhan, Manusia, Mistik Dalam Berbagai Kebatinan jawa, Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada, 2005. Simuh, Mistik Islam Kejawen Raden Ngabehi
Ranggawarsita, Jakarta: UI Press,1988, dan lain-lain sebagai sumber penunjang.
Dalam pembahasan skripsi ini, penulis menggunakan metode analitis kritis,
yaitu suatu metode yang digunakan untuk meneliti gagasan atau produk pemikiran
manusia yang terdapat dalam sumber primer maupun sekunder, yang dimaksudkan
untuk mendeskripsikan objek dan permasalahan yang menjadi fokus penelitian dalam
6 Mastuhu dan Ridwan M, Deden, Tradisi Baru Penelitian Agama Islam Tinjauan Antara
Disiplin Ilmu, (Bandung: Penerbit Nuansa, 1998), cet. 1, H. 53.
skripsi ini secara jelas.7 Selanjutnya penulis melakukan studi analitik dalam bentuk
perbandingan terhadap konsep manusia menurut pemikiran Ibn al-’Arabi dan
Ranggawarsita, sehingga dapat ditemukan persamaan dan perbedaan konsep manusia
menurut keduanya.
Adapun tehnik penulisan skripsi ini berpedoman pada buku Pedoman
Akademik Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta 2006/2007.
E. Sistematika Penulisan
Untuk lebih mempermudah pembahasan dan penulisan pada skripsi ini, maka
Penulis membagi tulisan ini dalam beberapa bab, dengan sistematika sebagai berikut :
BAB I Merupakan pendahuluan, yang terdiri dari latar belakang masalah,
pembatasan dan perumusan masalah , tujuan penelitian, metodologi penelitian, dan
sistematika penulisan.
Bab II adalah konsep Ibn al- ‘arabi tentang manusia yang meliputi, riwayat
hidup, karya-karya dan konsep tentang manusia.
Bab III adalah konsep Ranggawarsita tentang manusia yang berisi, riwayat
hidup, karya-karya dan konsep tentang manusia.
7 Mastuhu dan Ridwan M, Deden, Tradisi Baru Penelitian Agama Islam Tinjauan Antara
Disiplin Ilmu, (Bandung: Penerbit Nuansa, 1998), cet. 1, H. 46
Bab IV adalah bagian akhir dari pembahasan yang berisi perbandingan antara
konsep manusia dalam pandangan Ibn al-‘Arabi dan konsep manusia dalam
pandangan Ranggawarsita.
Bab V adalah penutup yang berupa kesimpulan dan saran penulis.
BAB II
KONSEP MANUSIA MENURUT IBN AL-‘ARABI
A. Riwayat Hidup dan Karya-karyanya
Muhammad ibn ‘Ali ibn Muhammad ibn al-‘Arabi al-Ta’i al-Hatimi seorang
sufi termasyhur dari Andalusia. Ia dilahirkan pada 17 Ramadhan 560 H, bertepatan
dengan 28 Juli 1165 M, di Mursia, Spanyol bagian Tenggara. Pada waktu
kelahirannya Mursia diperintah oleh Muhammad ibn Sa’id ibn Mardanisy.8
Sufi ini adalah seorang keturunan suku Arab kuno Tayy. Ia lebih dikenal
dengan nama ibn al-‘Arabi (dengan al-), atau Ibn ‘Arabi (tanpa al-) untuk
membedakannya dengan ibn al-‘Arabi yang lain. Dua gelarnya yang paling masyhur
ialah Muhyi al-Din (“Penghidup Agama”) dan al-Syaikh al-Akbar (“Syaikh
Terbesar”); gelar terakhir tampaknya lebih terkenal daripada gelar yang pertama.
Keluarganya sangat taat beragama. Ayahnya dan tiga orang pamannya adalah sufi.9
Ketika dinasti al-Muwahhidin menaklukkan Mursia pada tahun 567 H/1172
M, Ibn al-‘Arabi dan keluarganya pindah ke Seville, tempat ayahnya diberi pekerjaan
pada dinas pemerintahan atas kebaikan Abu Ya’kub Yusuf penguasa Daulat al-
8 Kautsar Azhari, Ibn al-‘Arabi Wahdat al-Wujud dalam Perdebatan, (Jakarta: Paramadina, 1995), cet.I, h. 17.
9 Stephen Hirtenstein, Dari Keberagaman Ke Kesatuan Wujud: Ajaran-ajaran dan Kehidupan Spiritual Syaikh al-Akbar Ibn ‘Arabi, terj. Tri Wibowo Santoso, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001), h. 43-44.
Muwahhidin pada saat itu. Sejak menetap di Seville ketika berusia delapan tahun, Ibn
al-‘Arabi memulai pendidikan formalnya. Di kota pusat ilmu pengetahuan itu, di
bawah bimbingan sarjana-sarjana terkenal ia mempelajari al-Qur’an dan tafsirnya,
hadits, fiqih, teologi dan filsafat skolastik. Keberhasilan Ibn al-‘Arabi dalam
pendidikannya mengantarnya kepada kedudukan sebagai sekertaris Gubernur Seville.
Pada periode itu ia menikahi seorang wanita muda yang saleh, bernama Maryam.10
Suasana kehidupan guru-guru sufi dan keikut sertaan isterinya itu dalam
keinginannya mengikuti jalan sufi adalah faktor kondusif yang mempercepat
pembentukan diri Ibn al-‘Arabi menjadi seorang sufi.11
Selama menetap di Seville, Ibn al-‘Arabi muda sering melakukan perjalanan
ke berbagai tempat di Spanyol dan Afrika Utara. Kesempatan itu dimanfaatkannya
untuk mengunjungi para sufi dan sarjana terkemuka. Salah satu kunjungannya yang
sangat mengesankan ialah ketika berjumpa dengan Ibn Rusyd di Kordova.
Percakapannya dengan filsuf besar ini membuktikan kecemerlangannya yang luar
biasa dalam wawasan spiritual dan intelektual.12
Ibn al-‘Arabi adalah seorang mistikus yang sekaligus seorang guru filsafat
peripatetik, sehingga ia telah memfilsafatkan pengalaman spiritual batinnya ke dalam
suatu pandangan dunia metafisis terbesar sebagaimana terlihat dalam hubungan
dengan struktur metafisiknya dalam wahdat al-wujud.
10 Kautsar Azhari, Wahdat al-Wujud dalam Perdebatan, h. 18
11 A. E. Afifi. Filsafat Mistis Ibnu ‘Arabi, terj. Sjahrir Mawi dan Nandi Rahman, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1989) h. 15. 12 Tafsazani, Sufi dari Zaman Ke Zaman, terj. Ahmad Rofi’ utsmani, (Bandung: Pustaka, 1985) Cet. Ke-1, h. 14.
Situasi religio-politis menyebabkan Ibn al-‘Arabi meninggalkan negeri
kelahirannya, Spanyol, dan Afrika Utara. Di Afrika Utara, para penguasa al-
Muwahhidin mengancam akan menyiksa para sufi karena mereka dicurigai
menggerakkan tarekat-tarekat, mengadakan perlawanan terhadap rezim yang
berkuasa. Maka, pada 598 H/1201 M bersama Muhammad al-Hasar ia melanjutkan
perjalanannya dari Tunis ke Mesir, kemudian pada tahun itu juga Ibn al-‘Arabi
melanjutkan perjalanannya sendirian ke Makkah. Keberangkatan Ibn al-‘Arabi ke
Makkah mengakhiri fase pertama kehidupannya, yang merupakan fase persiapan dan
sekaligus pembentukan dirinya sebagai sufi. Hampir seperdua umurnya dihabiskan
dalam fase itu. Kepindahannya ke kota suci pertama umat Islam ini menandai
permulaan fase kedua. Fase kedua adalah fase peningkatan dan berlangsung sejak 598
H/1201 M sampai 620 H/1223 M. Pada fase kedua ini ia melakukan pengembaraan
ke berbagai tempat di Timur Dekat.13
Ibn al-‘Arabi sampai di Makkah di penghujung tahun 598 H pertengahan 1202
M. Di kota suci ini, kemasyhurannya tersebar dengan cepat. Ia disambut dan diterima
dengan kehormatan oleh warga paling berpengaruh dan terpelajar di kota ini. Yang
paling besar perhatiannya pada Ibn al-‘Arabi ialah Abu Syaja Zahir ibn Rustam dan
putrinya, Nizam. Bagi Ibn al-‘Arabi Nizam laksana Beatrice bagi Dance sebagai
manifestasi duniawi, tokoh teofanik, dari Sophia aeterna. Perempuan itu telah
13 Stephen Hirtenstein, Dari Keberagaman Ke Kesatuan Wujud, h. 46
mengilhami Ibn al-‘Arabi untuk menulis sekumpulan puisi yang sangat indah,
Turjuman al-Asywaq.14
Selama menetap di Makkah, Ibn al-‘Arabi mempergunakan banyak waktu
untuk belajar dan menulis. Pada masa itu, ia mulai menulis karya ensiklopedi
monumentalnya al-Futuhat al-Makkiyyah. Ia juga menyelesaikan empat karyanya
yang lebih pendek: Misykatal-Anwar, Hilyat al-Abdal, Taj al-Rasa’il, dan Ruh al-
Quds.15
Dari tahun 601 H/1204 M sampai 604 H/1207 M, Ibn al-‘Arabi mengunjungi
kota Madinah, Yerusalem, Baghdad, Mosul, Konya, Damaskus, Hebron, dan Kairo.
Pada umumnya ia tinggal tidak lama di kota-kota yang dikunjunginya, kecuali di
Mosul ia tinggal selama satu tahun, ia menulis al-Tanazzulat al-Mawsiliyyah. Dan di
Kairo ia tinggal selama satu tahun pula.16
Pada tahun 607 H/1210 M ia pergi ke Asia Kecil melalui Alepo, ia sampai di
Konya atau Quniyah. Pengaruhnya menyebar dengan cepat di kalangan para sufi dan
menjalar ke mana-mana dan menjadi dominan dalam perkembangan Sufisme di
seluruh dunia Islam sampai hari ini. Dari Konya ia meneruskan perjalanannya ke arah
Timur menuju Armenia dan ke arah Selatan ke lembah Eufrat dan sampai Baghdad
pada tahun 608 H/1211 M.
14 Kautsar Azhari, Wahdat al-Wujud dalam Perdebatan, h. 20 15 Kautsar Azhari, Wahdat al-Wujud dalam Perdebatan, h. 21 16 Kautsar Azhari, Wahdat al-Wujud dalam Perdebatan, h. 22
Akhirnya Ibn al-‘Arabi memutuskan untuk memilih Damaskus sebagai tempat
menetap sampai akhir hayatnya. Keputusannya itu diambilnya untuk memanfaatkan
ajakan penguasa Damaskus saat itu, al-Malik al-‘adil (w. 625 H/1227 M), untuk
tinggal di kota itu. Raja tersebut dan anaknya, al-malik al-Asyraf, sangat
menghormati Ibn al-‘Arabi. Ia mulai menetap di Damaskus pada tahun 620 H/1223
M. sejak tahun itu fase ketiga dan terakhir kehidupannya mulai dan berlangsung
selama delapanbelas tahun menurut perhitungan tahun lunar, atau tujuhbelas tahun
menurut perhitungan tahun solar. Fase terakhir itu adalah fase kematangan kehidupan
spiritual dan intelektualnya sebagai seorang sufi.17
Ibn al-‘Arabi wafat pada 22 Rabi’al-Tsani 638 H/ November 1240 M di
Damaskus. Kadi kepala Ibn al-Zaki dan dua muridnya ikut melaksanakan upacara
pemakamannya. Ia dimakamkan di Salihiyyah, di kaki Bukit Qasiyun di bagian Utara
kota Damaskus, di tempat yang sering dikunjungi kaum muslim karena mereka
menganggap tempat itu disucikan semua nabi, khususnya al-Khadir.18 Sejak Syaikh
terbesar ini dimakamkan di sana, tempat itu makin sering dikunjungi orang.
17 A. E. Afifi. Filsafat Mistis, h. 2-3 18 Stephen Hirtenstein, Dari Keberagaman Ke Kesatuan Wujud, h. 47
Karya-karya Ibn al-’Arabi
Para ahli sejarah berbeda pendapat tentang berapa banyak karya tulis Ibn al-
’Arabi. Tetapi, umumnya mereka sependapat bahwa Ibn al-’Arabi telah
meninggalkan ratusan karya tulis. Sebagian karya tulisnya sudah hilang, yang masih
tinggal, sebagian masih berbentuk manuskrip,19 bertebaran di berbagai perpustakaan
dunia Islam dan Eropa. Hanya sebagian kecil di antara manuskrip yang sudah diedit
dan diterbitkan. Karya-karya Ibn al-’Arabi ditulis dalam bentuk artikel-artikel, buku-
buku kecil, risalah-risalah yang terdiri dari beberapa halaman, ada pula yang berupa
ensiklopedia.20 C. Brockelmann mencatat tidak kurang dari 239 karya. Osman Yahia,
dalam karya bibliografisnya yang sangat berharga, menyebut 846 judul dan
menyimpulkan bahwa di antaranya hanya sekitar 700 yang asli, dan dari yang asli itu
hanya 400 yang masih ada. Ibn al-’Arabi sendiri pernah menyebutkan 289 judul.21
Yang kecil ditulis dalam sebuah buku tulis, yang besar lebih dari seratus jilid, yang
lainnya di antara keduanya. Abdur Rahman Jami’, pengarang kitab Nafahat al-Ins,
menyebutkan bahwa Ibn al-’Arabi telah menulis sebanyak 500 buah kitab dan risalah.
Al-Sha’rani, di dalam kitabnya al-Yawaqit wa al-Jawahir, menyebutkan 400 buah
kitab.22
19A. E. Afifi,. Filsafat Mistis , h. 3 20 Zainun Kamal, ”Ibn Arabi dan Paham Wahdat al-Wujud”, dalam: Refleksi Jurnal Kajian
Agama dan Filsafat, (Jakarta: Fakultas Ushuluddin IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 1998), vol. I, no 1, h. 45.
21 Kautsar Azhari, Wahdat al-Wujud dalam Perdebatan, h. 17. 22 Kautsar Azhari, Wahdat al-Wujud dalam Perdebatan, h. 48.
Dua karya Ibn al-’Arabi yang paling penting dan paling termasyhur ialah al-
Futuhatu al-Makkiyyah dan Fusus al-Hikam. Ia mengaku bahwa kitab al-Futuhatu al-
Makkiyah didiktekan Tuhan melalui malaikat yang menyampaikan ilham. Karya ini
mulai disusun di Makkah pada tahun 598 H/1202 M, dan selesai di Damaskus pada
tahun 629 H/1231 M. Karya yang terdiri dari 560 bab ini mengandung uraian-uraian
tentang prinsip-prinsip metafisika, berbagai ilmu keagamaan dan juga penglaman-
pengalaman spiritual Ibn al-’Arabi. Kitab Fusus al-Hikam, adalah karya Ibn al-’Arabi
yang paling banyak dibaca, paling berpengaruh dan paling termasyhur. karya ini
disusunnya pada tahun 627 H/1230 M, sepuluh tahun sebelum wafat. Menurut
pengakuannya karya ini diterimanya dari Nabi saw, tanpa adanya pengurangan dan
penambahan sedikitpun, yang menyuruh agar ia menyebarkannya kepada umat
manusia supaya mereka mengambil manfaat darinya. Karya ini mengandung
duapuluh tujuh bab, setiap bab memakai nama seorang Nabi untuk judulnya sesuai
dengan bentuk kebijaksanaan (hikmah).23
Kitab-kitab lain yang tidak diketahui secara pasti tempat penulisannya,
karena Ibn al-’Arabi banyak berkelana, antara lain: Musyahadah al-Asrar (Melihat
Rahasia-Rahasia), al-Misbah Fi al-Jami’ bain al-Sihah Fi al-Hadis (Penerang Untuk
Mengumpulkan Hadis-Hadis Sahih), al-Jam’u wa al-Tafsil Asraru Ma’ani al-Tanzil
(Koleksi dan Uraian-Uraian Rahasia-Rahasia yang Dikandung Al-Qur’an), al-
Futuhat al-Madaniyyah (Penaklukan Madinah), Al- Tadbirat al-Ilahiyyah
(Pengaturan Tuhan), Tafsir al-Syaikh al-Akbar (Tafsir Simbolis al-Qur’an, versi 23 Kautsar Azhari, Wahdat al-Wujud dalam Perdebatan, h. 25-26
sufi), Sirr Asma’ Allah al-Husna (Rahasia Dalam Asma’ul Husna), Asrar al-Qulub
al-’Arifin (Rahasia-Rahasia Dalam Kalbu Orang-Orang Yang Arif), al-Hikmah al-
Ilahiyyah (Hikmah Tuhan), al-Jadwat al-Muqtabisat (Anugerah Yang Diperoleh),
al—Isra’ Ila maqam al-Asra (Perjalanan Ke Tempat Yang Mulia), dan Fada’il ’Abd
al-a Aziz al-Mahdawi (Kelebihan-Kelebihan Abdul Aziz al-Mahdawai).24
B. Konsep tentang Manusia
1. Penciptaan Manusia
Ibn al-‘Arabi mengawali pembicaraan manusia dengan penciptaan Tuhan
terhadap alam. Menurutnya Allah menciptakan alam disebabkan oleh kesendirian-
Nya. Sendiri di dalam Zat-Nya Yang Mulia. Dalam kesendirian-Nya Ia melihat diri-
Nya Yang Maha Sempurna, sehingga Ia mencintai diri-Nya sendiri, maka Ia ingin
dikenal oleh selain-Nya. Keadaan seperti ini merupakan keadaan kesedihan Tuhan.
Kesedihan dimana Ia rindu untuk disingkapkan dalam bentuk manifestasi terhadap
diri-Nya.25 Istilah seperti ini sering disebut dengan tajalli. (menampakkan,
mengejawantah, manifestasi).
Kata tajalli merupakan sinonim dari kata ”emanasi” dalam istilah yang
digunakan oleh Plotinus. Tetapi ”emanasi” Ibn al-’Arabi berbeda dengan ”emanasi”
Plotinus, yang mengajarkan bahwa Yang Esa melimpahkan sesuatu, yang selanjutnya
melimpahkan sesuatu yang lain, dan seterusnya dalam bentuk suatu rangkaian.
24 Rahardjo, Dawam, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Houve, 1999), h. 150. 25 Henry Corbin, Imajinasi Kreatif Sufisme Ibn ‘Arabi, (New Jersey: Princetion University
Press, 1997), h. 184.
”Emanasi” bagi Ibn al-’Arabi berarti tajalli, penampakan al-Haqq dalam bentuk yang
berbeda-beda, dari yang kurang kongkrit kepada yang lebih kongkrit. Realitas yang
satu dan sama menampakkan diri-Nya secara langsung dalam bentuk-bentuk segala
sesuatu yang berbeda-beda.26
Adapun tajalli Tuhan dalam pandangan Ibn al-‘Arabi melalui dua cara: cara
pertama mengambil bentuk tajalli ghaib atau tajalli dzati, yang berbentuk penciptaan
potensi, dan kedua tajalli syuhudi (penampakkan diri secara nyata), yang mengambil
bentuk penampakkan diri dalam citra tertentu. Tajalli dalam bentuk pertama, secara
intrinsik, hanya terjadi di dalam esensi Tuhan sendiri. Oleh karena itu, wujudnya
tidak berbeda dengan esensi Tuhan itu sendiri, karena ia tidak lebih dari suatu proses
ilmu Tuhan dalam esensi-Nya sendiri. Sedangkan tajalli dalam bentuk kedua ialah
ketika potensi-potensi yang ada di dalam esensi mengambil bentuk aktual dalam
berbagai fenomena dan alam semesta.27
Tuhan menciptakan manusia melalui beberapa tahap tajalli dan martabat.
Sedangkan penciptaan manusia merupakan tujuan dari diciptakannya makhluk,
karena Tuhan menciptakan makhluk untuk mengetahui dan untuk dikenalnya diri-
Nya oleh selain-Nya. Makhluk yang bisa mengenal-Nya dengan baik, bisa
berhubungan dengan baik dan bisa bercinta kasih dengan baik adalah insan kamil
(manusia sempurna), dan insan kamil adalah citra Tuhan yang paling sempurna.
Untuk itu Tuhan dapat melihat citra diri-Nya dengan sempurna melalui insan kamil
(manusia sempurna). Dengan kata lain, insan kamil (manusia sempurna) adalah
26 Kautsar Azhari Noer, Wahdat al-Wujud dalam Perdebatan, h. 61. 27 Yunasril Ali, Manusia Citra Illahi, h. 60
cermin dari Tuhan yang paling bening. Jadi tujuan diciptakannya alam adalah untuk
menciptakan manusia dalam hal ini manusia sempurna (insan kamil).28
Manusia adalah makhluk Tuhan yang memiliki eksistensi. Mulai dari
eksistensi yang paling terang benderang hingga yang paling gelap gulita. Mereka
diciptakan dari ruh Tuhan yang bersinar, kemudian ditiupkan pada tanah dunia yang
gelap. Ruh Tuhan yang ditiupkan pada manusia memiliki sifat kemalaikatan, seperti
pencahayaan, kelembutan, kesadaran dan kesatuan.29 Untuk itulah manusia yang
pantas menjadi makhluk yang paling sempurna, bukannya makhluk lain. Maka,
Tuhan pun menciptakannya menurut bentuk-Nya, maka, Ia menciptakannya sesuai
dengan semua nama-nama-Nya. Inilah salah satu interpretasi atas ayat al-Qur’an yang
mengatakan, bahwa Tuhan mengajari Adam semua nama-nama. “Wa allama adama
al-asmaa kullaha…”30. Jika Adam diciptakan tidak menurut semua nama-nama
Tuhan, hanya salah satunya saja, maka manusia hanya bisa bersifat salah satu dari
nama jalal atau jamal-Nya saja.
Manusia merupakan makhluk Tuhan yang diciptakan dari ruh Tuhan yang
ditiupkan pada tanah yang gelap,31 sehingga mereka adalah perpaduan antara cahaya
eksistensi yang intens dan kesadaran dengan kegelapan debu yang rendah. Ruh Tuhan
yang ditiupkan pada manusia memiliki sifat kemalaikatan, seperti pencahayaan,
kelembutan, kesadaran dan kesatuan. Untuk itulah manusia pantas menjadi makhluk
28 Yunasril Ali, Manusia Citra Illahi, h. 56-57.
29 William, C. Chittick Tuhan Sejati dan Tuhan-Tuhan Palsu, terj. Ahmad Nidjam, et.al., (Yogyakarta: Penerbit Qalam, 2001) h. 17.
30 Lihat Q. S. 2:31 31 Lihat Q. S. 15: 28-29
yang paling sempurna dibanding makhluk lain. Maka, Tuhan pun menciptakannya
menurut bentuk-Nya, “Inna allaha khalaqa adama ‘ala suratihi”.32 Allah
menciptakan Adam menurut bentuk-Nya. Oleh karena itu, Ia menciptakan Adam
(manusia) sesuai dengan nama Tuhan. Inilah salah satu interpretasi atas ayat al-
Qur’an yang mengatakan, bahwa Tuhan mengajari Adam semua nama-nama. Akan
tetapi, dari semua nama yang telah diberikan kepada manusia, semuanya hanya
bersifat potensial, atau fitrah secara kejadiannya. Untuk itu banyak di antara manusia
yang justru tidak mengenal asma-asma-Nya. Sebab Tuhan menciptakan manusia
berdasarkan dua unsur. Unsur yang bersifat baik dan buruk.
Adapun manusia diciptakan dengan dua unsur, yakni unsur baik dan jahat. Ibn
al-‘Arabi pernah mengatakan:
" مامنعك أن تسجد لما خلقت بيدى؟: "فما جمع اهللا آلدم بين يد يه إالتشر يفا ولهذا قال إلبليس إبن . (وهما يدا الحق, لم وصورة الحقصورة العا: وما هو إالعين جمعة بين الصورتين
33)العربي
Allah menyatukan kedua tangan-Nya untuk (penciptaan) Adam semata-mata sebagai kehormatan baginya. Karena alasan ini Dia berkata kepada Iblis:”Apa yang mencegahmu melakukan sujud kepada apa yang Aku ciptakan dengan kedua tangan-Ku? Apa yang mencegahnya adalah fakta sesungguhnya bahwa Adam menyatukan dua bentuk, bentuk alam dan bentuk al-Haqq; dan keduanya adalah dua tangan al-Haqq.34
32 Imam al-Nawawi, Shahih Muslim bi Syarh al-Nawawi, (Beirut: Dar al-Ihya al-Turas al-‘Arabi, 1984), jilid 16, h. 166. 33 Ibn ‘Arabi, Fusus al-Hikam, ed. A. Afifi, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Arabi, 1946), jilid I, h. 52
34 Kautsar Azhari , Wahdat al-Wujud dalam Perdebatan, h. 129
Menurut Ibn al-‘Arabi kalimat “kedua tangan” Tuhan memiliki arti nama-
nama Tuhan yang berlawanan. Nama-nama semisal al-Lathif (Yang Maha Halus)
berlawanan dengan al’Qahhar (Yang Maha Penindas), al-Nafi’,(Yang Member
Manfaat) berlawanan dengan al-Darr, (Yang Mendatangkan Bahaya) dan lain-
lainnya. Dua macam nama Tuhan ini saling berlawanan dengan memiliki arti
keterpaksaan, yaitu sifat yang menjuruskan pada ketidak baikan. Sedangkan arti yang
memiliki kepemurahan, yaitu sifat yang menjuruskan pada kebaikan.35
Ibn al-‘Arabi juga mengatakan:
ورآب عنصره من الخير , فانهم جعلت طينتهم من الظلمة والنور, واما ادم وبنوهفأى جوهرغلب عليه نسب .وجعلت ذاته قابلة للمعرفة والنكرة, والنفوالضر, والشر
ى وظهرت روحانيت فقد فضل عل, اليه فان عال جوهرنوره على جوهر الظلمةوظهرت جسمانيته , وان غلب جوهرظلمتة على جوهرنوره.وعال على الفلك, الملك
36)يابن العرب. (فقد فضل على الشيطان, على روحانيته Sementara itu Adam dan anak cucunya diciptakan dari tanah liat (at-
Thin) yang terdiri dari kegelapan dan cahaya. Sehingga unsurnya terdiri dari kebaikan dan keburukan serta manfaat dan bahaya. Sedangkan zat (subyek) nya diciptakan untuk sanggup menerima pengetahuan dan ketidaktahuan. Jauhar atau esensi mana yang sanggup mendominasi dalam diri manusia, maka ia akan masuk dalam kelompok tersebut. Kalau yang menang adalah jauhar cahayanya dan muncul spiritualnya (ruhaniyyah) untuk mengalahkan jasmaniyah (mental)-nya, maka ia akan sanggup mengungguli para malaikat dan akan melambung tinggi di atas orbit. Akan tetapi bila yang mendominasi dalam diri manusia adalah jauhar kegelapan, sementara jauhar cahayanya kalah dan mentalnya lebih menonjol daripada spiritualnya, maka ia masih lebih baik dari pada setan.37
35 Kautsar Azhari , Wahdat al-Wujud dalam Perdebatan, h. 130
36 Ibn ‘Arabi, Fusus al-Hikam, jilid I, h. 23 37 Kautsar Azhari, Wahdat al-Wujud dalam Perdebatan, h. 126
Allah menciptakan manusia dengan dua macam nama-nama-Nya. Nama-nama
yang berkonotasi jalal (maha perkasa) dan jamal (maha indah). Dua macam nama ini
dari segi sifatnya saling berlawanan. Sifat-sifat jalal memiliki arti sebagai penguasa
absolut, seperti al-Qahhar (Yang Maha Penindas), al-Darr (Yang Mendatangkan
Bahaya), sedangkan sifat-sifat jamal memiliki arti sebagai keindahan dan
kepemurahan seperti al-Lathif (Yang Maha Halus), al-Nafi’ (Yang Memberi
Manfaat). Untuk itu manusia yang sanggup menggunakan nama-nama Tuhan secara
proporsional, dia adalah manusia yang berhasil menggunakan nama-nama Tuhan
seperti Tuhan menggunakan nama-nama-Nya. Manusia seperti inilah yang berhasil
menjadi manusia sempurna (insan kamil). Sedangkan manusia yang tidak dapat
menggunakan nama-nama-Nya seperti Tuhan menggunakan nama-nama-Nya, maka,
ia adalah manusia yang tidak berhasil menjadi manusia sempurna. Dia telah terglincir
dalam unsur kegelapan. Sementara unsur cahayanya tidak ia gunakan. Ia lebih
dominan pada nama-nama jalal saja. Ia tidak menggunakannya secara proporsional,
dan lebih dominan pada unsur kegelapan dibanding unsur cahayanya. Jika demikian
adanya ia lebih rendah dibanding makhluk lain.38
Ibn al-‘Arabi membagi manusia ke dalam dua macam. Pertama, manusia
yang termasuk pada golongan “hamba Tuan” yang dikenal dengan ‘arif. Ia
merupakan manusia yang memiliki jiwa yang bersih dari hawa nafsu dan ikatan
badaniah. Dia pun dapat mengetahui realitas-realitas segala sesuatu. Dia pun
38 Yunasril Ali, Manusia Citra Illahi, h. 82-83
mengetahui Allah dari segi tajalli-Nya kepadanya, bukan dari segi nalar rasionalnya.
Ia mengetahui Allah dengan penyingkapan intuitif (kasyf) dan rasa (dzawq), bukan
dengan akal(‘aql). Kedua, manusia golongan “hamba nalar” Ia adalah manusia yang
selalu tergantung pada hawa nafsunya. Ia tidak mengenal realitas segala sesuatu yang
selalu terhijab dengan hijab yang tebal. Ia hanya mengetahui Tuhan dengan nalarnya
saja. Ia pun menundukkan hukum dengan akal. Manusia seperti inilah yang tidak bisa
membebaskan dirinya dari belenggu akal.39
Dua golongan di atas menurut Ibn al-‘Arabi memiliki istilah khusus untuk
memanggilnya. Istilah yang dipakai untuk “hamba Tuan” (‘arif) adalah al-insan al-
kamil (manusia sempurna). Sedangkan istilah yang digunakan untuk “hamba nalar”
adalah al-insan al-hayawan (manusia binatang).40
Dengan demikian manusia yang benar-benar memiliki derajat tertinggi adalah
manusia sempurna (insan kamil). Ia merupakan pengejawantahan nama-nama Tuhan
secara sejati. Manusia kategori inilah yang disandangkan oleh para rasul, nabi dan
wali. Dan semua manusia pada dasarnya memiliki potensi untuk masuk dalam
kategori ini. Minimal hanya Tuhan saja yang menentukan, dan tidak berdasarkan
usaha manusia. Sedangkan untuk menjadi seorang wali semua manusia memiliki
potensi dan kesempatan untuk itu, tentunya melalui usaha yang tidak mudah.
39 Kautsar Azhari, Wahdat al-Wujud dalam Perdebatan, h. 136.
40 Kautsar Azhari, Wahdat al-Wujud dalam Perdebatan, h. 137.
Kesempurnaan manusia dipandang sebagai realisasi setiap kualitas dari wujud
yang tersembunyi di dalam bentuk nama-nama keTuhanan. Oleh karena itu manusia
dipandang sebagai pengesahan penuh atas perwujudan nama-nama ketuhanan, yaitu
jamal dan jalal. Dengan demikian semua kualitas wujud secara manusiawi mewujud
dalam keseimbangan dan harmoni yang sempurna.41 Oleh karena itu manusia adalah
ciptaan Tuhan yang memiliki kesempurnaan tersendiri. Ia adalah satu-satunya cermin
Tuhan yang paling bening, karena kejadiannya terdiri dari semua nama-Nya. Ia
adalah baru sekaligus azali. Baru ditinjau dari aspek badaniahnya yang berupa jasad,
dan azali ditinjau dari aspek ilahiahnya berupa ruh.
Alam diciptakan Tuhan agar Ia diketahui atau dikenal melaluinya. Ini
merupakan tujuan penciptaannya. Tetapi, tujuan tersebut tidak akan tercapai, kecuali
melalui penciptaan manusia, dalam arti, manusia adalah penyebab bagi adanya alam.
2. Insan Kamil
Konsep insan kamil dalam pandangan Ibn al-'Arabi bertolak pada
pandangannya bahwa alam semesta merupakan cermin bagi Tuhan. Tuhan adalah esa,
tetapi bentuk gambaran dari diri-Nya yang tercermin pada alam semesta banyak
jumlahnya, sebanyak pencerminan alam semesta itu sendiri terhadap bentuk dan
gambar-Nya. Cermin paling sempurna bagi Tuhan adalah insan kamil, ia
41 William C. Chittick, Tuhan Sejati dan Tuhan-Tuhan Palsu, h. 58
memantulkan semua nama dan sifat Tuhan, sedangkan makhluk-makhluk lain hanya
memantulkan sebagian nama dan sifat itu.
Pandangan tersebut sesuai dengan teori Ibn al-'Arabi tentang tafadhul, yaitu
keadaan bahwa sebagian makhluk melebihi sebagian yang lain. Tafadhul
menunjukkan adanya hierarki, baik pada nama-nama Tuhan, maupun pada makhluk-
makhluk-Nya. Intensitas penampakan nama-nama Tuhan pada masing-masing
makhluk untuk menerima penampakan itu, dan manusia adalah makhluk yang
memiliki 'kesiapan' paling besar dibandingkan dengan makhluk-makhluk lainnya
untuk menerima penampakan nama-nama Tuhan.42
Oleh karena itu, insan kamil merupakan miniatur dari realitas ketuhanan
dalam tajalli-Nya pada alam semesta. Berdasarkan hal tersebut, Ibn al-'Arabi
menyebutnya sebagai al-'alam al-kabir (makrokosmos). Esensi insan kamil
merupakan cermin dari esensi Tuhan; jiwanya sebagai gambaran dari al-nafs al-
kulliyah (jiwa universal); tubuhnya mencerminkan arasy; pengetahuannya
mencerminkan pengetahuan Tuhan; hatinya berhubungan dengan bayt al-ma'mur;
kemampuan mental spiritualnya terkait dengan malaikat; daya ingatnya terkait
dengan saturnus (zuhal); daya inteleknya terkait dengan Jupiter (al-musytari); dan
lain sebagainya.43
42 Kautsar Azhari, Wahdat al-Wujud dalam Perdebatan, h. 126-127 43 Yunasril Ali, Manusia Citra Illahi, (Jakarta: Paramadina, 1997), cet. I, h. 56
Insan kamil merupakan sosok manusia yang berfisik-biologis sama dengan
manusia pada umumnya, tetapi memiliki kualitas rohaniah yang unggul dan paling
sempurna dibanding manusia pada umumnya. Keunggulan rohaniah ini karena ia
dibekali pengetahuan esoterik yang unggul. Pengetahuan ini dinamakan dengan ‘ilm
al-asrar (pengetahuan rahasia) atau ‘ilm al-ladunni (pengetahuan kudus), atau sering
juga disebut ‘ilm al-ghayb (ilmu gaib). Pengetahuan ini merupakan bentuk dari
pengetahuan yang ditiupkan Ruh Kudus ke dalam hati para Nabi dan Wali. Mereka
adalah manusia yang memiliki jiwa yang bersih dari hawa nafsu dan ikatan badaniah.
Mereka pun dapat mengetahui realitas-realitas segala sesuatu. Mereka juga
mengetahui Allah dari segi tajalli-Nya kepadanya, bukan dari segi nalar rasionalnya.
Mereka mengetahui Allah dengan menyingkap intuitif (kasyf) dan rasa (dzawq),
bukan dengan akal (‘aql) semata.44
Menurut Ibn al-‘Arabi insan kamil dijadikan makhluk yang tertinggi dan
paling dihormati. Ia dijadikan sebab bagi terciptanya alam dan ia pun dijadikan
sebagai wakil (khalifah) Tuhan untuk memelihara, menguasai, mengawetkan, dan
mempertahankan alam sebagai suatu prinsip kosmos.45
44 Sumanta, Insan Kamil dalam Perspektif Tasawuf Ibn al-‘Arabi, (Tesis S2 Fakultas Filsafat Universitas Indonesia, Jakarta, 2003), h. 21.
45 A. E. Afifi,. Filsafat Mistis Ibnu ‘Arabit, h. 121.
Ibn al-‘Arabi menyatakan:
ولكون اال نسا ن الكا مل علي الصوة الكاملة صحت له الخال فة والنيـــا بة عـن اهللا تعلى في العا لم فلنبين في هذا المترل نشــاة هذا الخليفة ومتز لته وصورته على ما
هي عليه ولسنا نريد اإل نســان بما هو إنســان حيوان فقط بل بما هو اإلنســان يه والخالفة صحت له الصورة علي الكامل وما آل إنسان خليفة وخليفة و باإلنسان
46) إبن العر بي(فإن اإلنسان الحيوان ليس بخليفة عند نا
Karena wujud manusia sempurna adalah menurut gambar (Tuhan), maka ia berhak menerima khalifah dan kewakilan dari Allah ta’ala di alam. Mari kita teruskan pada bagian ini timbulnya khalifah, kedudukannya, dan gambar hakikatnya. Kita tidak mengartikan hanya manusia binatang belaka, tapi dengan manusia dan khlifah. Dengan kemanusiaan dan khalifah, ia berhak menerima gambar dan kesempurnaan. Setiap manusia bukanlah khalifah, manusia binatang benar-benar bukanlah khalifah.47
Manusia yang dapat memantulkan gambar Tuhan adalah insan kamil. Untuk
itu ia dijadikan khalifah oleh Tuhan. Manusia yang tidak dapat memantulkan gambar
Tuhan bukanlah manusia sempurna. Dan mereka tidak dapat dijadikan khalifah
Tuhan. Khalifah yang dimaksudkan Ibn al-‘Arabi adalah tidak semata-mata
pemimpin yang menduduki suatu kekuasaan (khalifah zahiriah), tetapi ia merupakan
manifestasi nama-nama dan sifat-sifat Allah yang diaplikasikan pada kehidupan di
dunia secara nyata (khalifah bathiniyah). Tujuan mutlak insan kamil adalah sebagai
wadah tajalli Tuhan secara sempurna.48
Al-Jili dan Ibn al-’Arabi mempunyai kesamaan pandangan tentang kedudukan
insan kamil sebagai khalifah Tuhan yang menjadi asas, penyebab, dan pelestari
46 Ibn 'Arabi, Fusus al-Hikam, h. 199.
47 Kautsar Azhari, Wahdat al-Wujud dalam Perdebatan, h. 133. 48 Kautsar Azhari, Wahdat al-Wujud dalam Perdebatan, h. 130.
eksistensi alam semesta. Lebih jauh, al-Jili menguatkan kedudukan itu dengan
mengemukakan alasan bahwa hanya pada diri manusia terdapat tujuh daya rohaniah
yang dapat membuat alam ini menjadi eksis dan lestari. ketujuh daya itu merupakan
aspek-aspek dari nur Muhammad. Daya-daya ruhaniah itu adalah: hati (qalb), akal
(’aql), estimasi (wahm), meditasi (himmah), pikiran (fikr), fantasi (khayal), dan jiwa
(nafs). Dengan tujuh daya ruhaniah itu insan kamil yang merupakan identifikasi
hakikat Muhammad menjadikan alam ini tetap eksis dan lestari.49
Insan kamil memiliki posisi yang sangat penting pada konsep tajalli Tuhan,
karena dengan insan kamil Tuhan dapat memanifestasikan semua nama-nama-Nya. Ia
dapat melihat citra diri-Nya secara sempurna. Ia pun dapat memelihara, melestarikan,
dan menyayangi alam melalui insan kamil yang dijadikan khalifah (pengganti)
Tuhan.
Bagi alam, manusia sempurna adalah penghubung dengan Tuhan, karena satu-
satunya makhluk yang dapat berhubungan secara sempurna adalah manusia. Ia dapat
berkasih sayang, bercinta dan meminta kepada-Nya, karena ia diberi pengetahuan
yang tidak dimiliki oleh makhluk lain, baik pengetahuan zhahir maupun pengetahuan
batin. Baik pengetahuan eksoterik maupun pengetahuan esoterik. Inilah yang
dijadikan modal bagi al-insan al-kamil untuk menjadikan khalifah guna menguasai,
melestarikan, melindungi, dan merawat alam, serta berhubungan, bercinta kasih, dan
meminta kepada Tuhan-Nya.
49 Yunasril Ali, Manusia Citra Illahi, h. 155.
Menurut al-Ghazali insan kamil (manusia paripurna) adalah manusia yang
bisa mencapai tujuan hidupnya, yaitu ma’rifahila Allah. Tujuan hidup manusia adalah
kesempurnaan jiwanya, yang bisa mengantarkan pada ma’rifah. Dengan demikian
kesempurnaan manusia terkait dengan substansi esensialnya, yaitu al-nafs (jiwa).
Karena jiwa mempunyai sifat dasar mengetahui yang bisa mencapai puncak
pengetahuan tertingginya, ma’rifah kepada Tuhan.50
Insan kamil adalah manusia yang memiliki pengetahuan yang pasti dan
meyakinkan. Ia menerima dari Tuhan dengan cahaya illahi-Nya melalui jalan yang
diridai-Nya, karena pengetahuan ini adalah bentuk dari karunia-Nya yang diperoleh
melalui penyucian rohani. Maka, mereka diberikan derajat oleh Allah sebagai wali,
dan mereka diberikan kedudukan yang spesial oleh Allah dengan sebutan “quthb”
(poros), karena ia adalah poros dan sumber pengetahuan esoterik yang tidak habis-
habisnya. Kedudukan itu semua secara potensial dapat dicapai oleh seorang manusia
dengan melalui jalan yang sangat berat dan susah payah, karena untuk mencapai
insan kamil seorang manusia harus berusaha dan selalu konsekuen dengan jalan yang
ditempuh dan jalan itu dilaksanakan melalui cara berakhlak dengan akhlak Allah.
Akhlak yang baik adalah semua yang telah diajarkan Rasulullah berupa syari’at yang
telah diturunkan kepadanya, maka kewajiban seorang manusia untuk mencapai insan
kamil adalah dengan menjalankan syari’at, karena menurut Ibn al-‘Arabi syari’at
adalah timbangan dan pemimpin. Untuk itu syari’at merupakan jalan kebahagiaan. Ia
50 M. Yasir Nasution, Manusia Menurut Al-Ghazali, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996) h.82.
adalah petunjuk dari Allah untuk dijadikan jalan bagi para penempuh kebenaran dan
kebahagiaan sejati.
Untuk mencapai derajat insan kamil pada perjalanan selanjutnya adalah
mengembangkan aktifitas syar’iyyah, dan mengintensifkan amalan-amalan wajib,
sunnah dan meninggalkan bentuk keharaman, makruh dan syubhat. Ini merupakan
suatu bentuk ritualitas yang harus selalu dilakukan untuk mencapai ridlo dan cinta
Tuhan. Ritual-ritual tersebut terlaksana melalui beberapa maqam (station) yang
diartikan sebagai usaha dan mendapatkan anugerah berupa hal.
BAB III
KONSEP MANUSIA MENURUT RANGGAWARSITA
A. Riwayat Hidup dan Karya-karyanya
Raden Ngabei Ranggawarsita lahir pada tahun 1802, nama aslinya adalah
Bagus Burham. Ibunya berasal dari desa Palar kurang lebih sebelas kilometer sebelah
Timur kota Klaten. Ranggawarsita ketika meninggal juga dimakamkan di desa Palar.
Ayah Ranggawarsita usianya tidak panjang, ia meninggal ketika berusia 17 tahun.
Kemudian Bagus Burhan ikut kakeknya Yasadipura II yang mendidiknya dalam
bidang kesusastraan. Ranggawarsita hidup pada zaman Paku Buwono IV, dan yang
menjabat sebagai pujangga keraton adalah buyutnya, Yasadipura I. Sejak ibukota
Mataram dipindahkan dari Kartasura ke Surakarta pada tahun 1744, Yasadipura I
juga ikut pindah ke Kedhung Kol, sebuah kampung di daerah Pasar Kliwon di
sebelah timur benteng Keraton Surakarta. Putranya, Yasadipura II juga tinggal di
tempat yang sama. Kemudian disebut kampung Yasadipura. Begitu juga
Rangawarsita juga tinggal dan dibesarkan di kampung Yasadipura.51
Bagus Burhan di samping dibesarkan dan dididik dalam lingkungan pujangga
dan kesusastraan Jawa, seperti halnya kebanyakan para priyayi Jawa juga dikirim
secara khusus ke Pesantren Tegalsari, di Ponorogo. Pada waktu itu Pesantren
Tegalsari diasuh oleh seorang guru agama yang kenamaan, yaitu Kiai Ageng Kasan
51 Suwarno Imam S. Konsep Tuhan, Manusia, Mistik, dalam Berbagai Kebatinan Jawa, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005), h. 163.
Besari. Di samping guru agama, ia juga merupakan ahli kebatinan yang masih darah
priyayi. Maka, tidak heran bila pesantren semacam ini menghasilkan tokoh-tokoh
priyayi dan negarawan.
Semenjak Bagus Burhan mengaji di pesantren Tegalsari ini, cerita tentang
wahyu kepujanggaan telah dihubungkan dengannya. Dalam Serat Babad
Lelampahanipun Raden Ngabehi Ranggawarsita yang disusun oleh Padmawadagda
dan Honggopradoto, wahyu kepujanggaan dihubungkan dengan makan ikan wader
yang dikatakan ajaib. Diceritakan bahwa Ranggawarsita adalah pemuda yang nakal,
enggan mengaji dan tidak mau belajar, bahkan suka berjudi, hidup semau hatinya.
Akhirnya Bagus Burhan dimarahai dan dihardik Imam Besari. Lantaran merasa malu,
kemudian ia sadar, dan melakukan tapa brata, merendam diri dalam sungai Watu
selama empat puluh malam. Setiap hari hanya makan pisang klutuk sebutir. Pada
malam terakhir, Tanujaya menanak nasi untuk berbuka bagi Bagus Burhan. Tiba-tiba
Tanujaya terkejut, karena melihat benda bersinar sebesar bola (andaru) masuk ke
dalam periuk. Sesudah nasinya masak, ternyata di dalamnya terdapat ikan wader yang
sudah masak pula. Selesai Bagus Burham makan nasi beserta ikan wader tersebut,
diceritakan bahwa Bagus Burhan kemudian menjadi anak yang pandai, dapat mengaji
tanpa belajar, dan lebih pandai daripada santri-santri yang lain. Bagus Burhan juga
fasih membaca Qur’an, dan pandai menafsirkannya dengan baik.52
52 Simuh, Mistik Islam Kejawen Raden Ngabehi Ranggawarsita, (Jakarta: UI Press,1988),
h.38.
Sesudah selesai belajar di pesantren Tegalsari, Bagus Burhan pergi
mengembara dalam usaha memperluas ilmunya. Di samping untuk memperluas ilmu,
Bagus Burham juga mencoba mendiskusikan kepandaiannya di berbagai tempat
dengan beberapa guru yang kenamaan. Dalam pengembaraan untuk memperluas
ilmunya, Bagus Burhan berjalan sampai menyeberang ke pulau Bali.
Setelah kembali dari pengembaraan, pulang ke Surakarta, dan bekerja sebagai
jurutulis di kantor Kadipaten-anom. Di samping memiliki kecerdasan, Bagus Burham
juga rajin belajar untuk menguasai segala pengetahuan kesustraan Jawa. Tetapi
kemudian dia meninggalkan pekerjaannya, untuk mengembara lagi. Bagus Burham
meninggalkan pekerjaannya karena kecewa, harapannya untuk segera dinaikkan
pangkat tidak terpenuhi.
Adapun jenjang kepangkatan (jabatan) yang pernah dilalui Ranggawarsita
adalah menjadi carik (jurutulis) Kadipaten Anom, dengan gelar Mas Rangga
Pajanganom (tahun 1819). Lalu dinaikkan menjadi mantri carik dengan gelar Mas
Ngabehi Sarataka (1822). Kemudian menggantikan jabatan ayahnya sebagai Kliwon-
carik dengan gelar raden.53 Setelah pengembaraan yang terakhir, Bagus Burham
kembali ke Sala. Kemudian pada tahun 1845 beliau diangkat menjadi Kliwon
Kadipaten Anom, dan dinobatkan menjadi pujangga istana Surakarta oleh Paku
Buwana VII.54
53 Simuh, Mistik Islam Kejawen, h. 40. 54 Simuh, Mistik Islam Kejawen, h. 42.
Ranggawarsita wafat pada tahun 1873, dimakamkan di Palar, kecamatan
Trucuk, kabupaten Klaten, berjajaran dengan makam keluarga ibunya. Ranggawarsita
juga mendapat penghargaan dari para pecinta kepustakaan Jawa. Penghargaan ini
demikian besar sehingga Ranggawarsita dipandang sebagai pujangga penutup.55
Karya-karya Ranggawarsita
Menurut Tanaya, buku-buku hasil karya Ranggawarsita sebenarnya banyak
sekali. Yang sudah diterbitkan belum seberapa jumlahnya. Ranggawarsita seorang
pujangga istana, tugas pokoknya adalah menyusun karya-karya sastra.56 Di samping
karya-karya yang ditulis dalam bentuk sekar macapat (puisi), beliau juga banyak
menyusun karya-karya yang berbentuk jarwa (prosa), seperti Paramayoga, Pustaka
Raja, dan sebagainya. Karya-karya itu semua dalam bentuk aksara carik (tulisan
tangan). Karena Ranggawarsita menjabat sebagai pujangga istana, maka karya-
karyanya banyak yang dipersembahkan kepada raja. Di samping itu banyak pula yang
beredar dalam lingkungan Ranggawarsita. Karena Ranggawarsita adalah pujangga
yang banyak dikagumi para pecinta kepustakaan Jawa, maka banyak pula yang
menyebar di tengah-tengah masyarakat. Dalam perpustakaan museum Sanabudaya
Yogyakarta; banyak terdapat hasil karya Ranggawarsita.
55 Simuh, Mistik Islam Kejawen, h. 48. 56 Simuh, Mistik Islam Kejawen, h. 51.
Karkono Partokusumo dalam bukunya Zaman Edan, mencatat sebanyak 50
judul karya Ranggawarsita. Anjar Any dalam bukunya Raden Ngabehi
Ranggawarsita Apa Yang Terjadi? Menyebutkan 56 macam judul karya
Ranggawarsita, dan tiga judul gubahan dari karya orang lain.57
Di antara karya-karya tersebut ialah: Serat Wirid Hidayat Jati (the true
Guidance)58 , Serat Makrifat, Serat Witaradya, Pustaka Raja Purwa, Suluk
Supanalaya, Candra Rini, Aji Pamasa, Saloka pari basa, Serat Cenporet, Cariosipun
Ulam Kutuk, Paramayoga, Niti Sruti, Suluk Saloka Jiwa, Serat Pamoring Kawula
Gusti, Suluk Suksma Lelana, Kalatidha, Jaka Lodang dan Sabdajati, Serat Kidungan,
Bausastra Kawi Jarwa, Serat Sengkalan Lomba lan Memet, Sabda Pranawa Jaka
Lodhang Kalatidha, Wirid Ma’lumat Jati.
Dari karya-karya Ranggawarsita, akan terlihat bahwa pemikirannya banyak
dipengaruhi oleh kepustakaan Islam kejawen, tradisi dan Kepustakaan Jawa.
Pembahasan dan pemikirannya terpusat untuk merumuskan kembali pokok-pokok
pemikiran yang terdapat dalam pembendaharaan kepustakaan Jawa dan Islam
kejawen, sehingga karya-karya Ranggawarsita pada umumnya mencerminkan
perpaduan anatara alam pikiran Jawa dengan ajaran Islam kejawen.
57 Simuh, Mistik Islam Kejawen, h. 51 58 Abdullah Ciptoprawiro, Filsafat Jawa, (Jakarta: Balai Pustaka, 2000) cet. 2, h. 45.
B. Konsep tentang Manusia
1. Penciptaan Manusia
Ranggawarsita memulai pembicaraannya tentang manusia diawali dengan
proses tajalli Tuhan. Istilah tajalli ini sama dengan istilah tajalli yang digunakan oleh
Ibn al-’Arabi. Menurut Ranggawarsita Tuhan ber-tajalli pada manusia melewati tujuh
martabat, Syajaratul yakin, Nur Muhammad, Miratul hayati, Roh idlofi, Kandil,
Dharroh, dan Kijab. Syajaratul yakin adalah wadah tajalli Tuhan yang tercipta
dalam alam adam makdum yang sunyi senyap azali abadi, artinya tidak ada satu
makhluk pun yang tercipta sebelum adanya Syajaratul yakin. Oleh karena itu ia
disebut sebagai hayyu (hidup) atau atma. Ini merupakan pengejawantahan nama
Tuhan “Yang Maha Hidup” dan Dzat Yang Maha Terdahulu (Baqa’)59
Dalam proses tajalli Syajaratul yakin memiliki martabat yang dinamakan
Ahadiyat.60 Tajalli dalam martabat ini mengambil bentuk dalam essensi Dzat Tuhan
sendiri, sehingga tidak bisa digambarkan secara nalar rasio. Syajaratul yakin adalah
pohon kehidupan yang darinya merambat dan terlahir berbagai ciptaan serta tajalli-
Nya.
59 Simuh, Mistik Islam Kejawen, h. 234. 60 Simuh, Mistik Islam Kejawen, h. 235.
Tuhan bertajalli dalam Nur Muhammad. Nur ini adalah cahaya terpuji sebagai
bentuk pengejawantahan nama Tuhan Yang Maha Terpuji. Ia berada dalam permata
putih yang membentuk burung merak. Keberadaannya sebagai sifat atma yang
menjadi nukat gaib. Tajalli ini berada pada tingkat martabat Wahdat.61
Kemudian Tuhan bertajalli pada martabat Wahidiyat. Pada martabat ini Tuhan
bertajalli dalam bentuk Miratul hayati, yaitu kaca wirai yang berada di depan Nur
Muhammad. Ia adalah hakikat pramana yang diakui rahsa Dzat, sebagai asma
atma.62 Adapun pramana adalah pengendali wujud. Apabila pramana terpisah dari
wujud, maka wujud tidak berdaya.63
Setelah itu Tuhan bertajalli pada martabat keempat, dalam bentuk Roh idlofi.
Ruh ini adalah nyawa bersih yang asalnya dari Nur Muhammad, dan ia adalah hakikat
suksma yang diakui keadaan Dzat. Ia merupakan af’al atma dan menjadi alam arwah.
Martabat ini juga dinamakan martabat alam arwah. Selanjutnya Tuhan bertajalli
dalam bentuk kandil. Kandil adalah lampu tanpa api yang bersinar dan tergantung
tanpa pengait. Kandil adalah perwujudan dari alam mitsal. Martabat ini dinamakan
juga martabat alam mitsal. Kemudian Tuhan bertajalli dalam bentuk dharroh, yaitu
bentuk permata. Ia memiliki aneka ragam warna yang kesemuanya ditempati
malaikat. Ia merupakan hakikat budi. Tajalli dalam bentuk ini membentuk alam
ajsam. Martabat ini dinamakan juga martabat alam ajsam.64
61 Simuh, Mistik Islam Kejawen, h. 234. 62 Simuh, Mistik Islam Kejawen, h. 234 63 Simuh, Mistik Islam Kejawen, h. 310 64 Simuh, Mistik Islam Kejawen, h. 235
Pada tahap terakhir, Tuhan bertajalli pada martabat ketujuh dalam bentuk
kijab. Kijab juga disebut sebagai dinding jalal atau tabir agung. Ia timbul dari permata
yang beraneka warna pada waktu gerak menimbulkan buih, asap, dan air, sehingga
membentuk jasad yang menciptakan alam insan kamil.65 Pada martabat ini Tuhan
memenuhi tujuannya mencipta, untuk bertajalli dalam bentuk manusia. Maka,
martabat ini dinamakan martabat insan kamil. Insan kamil dalam tajalli Tuhan disini
diartikan sebagai manusia yang tercipta dan terlahir secara utuh.
Konsep Manusia menurut Ranggawarsita merupakan satu kesatuan dengan
tujuh unsur; jasad, budi, nafsu, roh, sir (rahsa), nur dan hayyu (hidup) yang saling
berhubungan yang diaplikasikan pada gerak gerik badan yang dipengaruhi oleh budi.
Budi dipengaruhi oleh nafsu, nafsu dipengaruhi oleh roh atau suksma. Suksma
mendapat pengaruh dari rahsa. Rahsa mendapat pengaruh dari nur. Sedangkan nur
mendapat pengaruh dari hayyu dan hayyu merupakan pelaksana dari af’al Dzat, yaitu
tajalli Dzat. Dengan demikian manusia adalah pengejawantahan dari pelaksanaan
iradat Tuhan, dalam arti, terdapat titik kesamaan antara manusia dengan Tuhan.
inilah yang dinamakan kawula gusti.66
65 Simuh, Mistik Islam Kejawen, h. 235 66 Simuh, Mistik Islam Kejawen, h. 310
Adapun tentang penciptaan manusia, Wirid Hidayat Jati menerangkan:
Pratelanipun kadosta: ing nalika ingkang MahaSuci karsa amujadaken sipatipun winastah adam, asal saking anasir kawan prakaning siti, latu, angina, toya, punika kahananipun kasebut wonten ing dalil kaping tiga, saking pakandikaning pengeran ing kang Mahasuci, makaten jarwanipun. Menggah dunungipun makaten: medah punika dating kawula, wajah punika dating Gusti ingkang asipatilanggeng, kacariyos ing kadis panjingjing mudah gangsal prakawis wau, wiwit saking penjingjing embun-embunan, kandel wonten ing utek-utek, lajeng temurun datheng netra, lajeng temurun datheng karma, lajeng temurun datheng grana, lajeng temurun datheng lesan, lajeng temurun datheng jaja, lajeng sumrambah ing jasad sadaya, sangkepipun jumeneng insan kamil.67
Terjemahannya:
Sewaktu Tuhan berkehendak mewujudkan sifat-Nya yang dinamakan Adam, berasal dari anasir empat perkara: tanah, api, angin dan air…sabda Tuhan yang maha suci menerangkan:”sesungguhnya aku menciptakan Adam berasal dari unsur empat macam, tanah, api, angin, dan air. Menjadi perwujudan sifat-Ku. Aku memasukkan mudah lima macam: nur, rahsa, roh, nafsu dan budi. Menjadi penutup wajah-Ku yang maha suci.”jelasnya demikian mudah dzat hamba wajah dzat gusti yang bersifat kekal. Dalam hadits diceritakan, masuknya mudah lima macam: bermula dari ubun-ubun berhenti ditolak turun kemata, turun ketelinga, turun kehidung, turun kemulut, turun kedada, dan tersebar keseluruh tubuh, sempurna sebagai insan kamil.68
Menurut Ranggawarsita kejadian manusia tersusun atas tujuh unsur
sebagaimana adanya tujuh martabat, yakni hayyu (hidup), disebut juga atma yang
dibungkus oleh jasad atau badan yang terdiri dari empat anasir, yakni tanah, api, air
dan udara. Selanjutnya Tuhan memasukan lima unsur rohani yang disebut: Nur
(cahaya, letaknya diluar hayyu), Budi (keadaan pranawa, menarik kejelasan
kehendak, menjadi pangkal pembicara), Nafsu (keadaan hawa, menarik kejelasan
67 Simuh, Mistik Islam Kejawen, h. 184
68 Simuh, Mistik Islam Kejawen, h. 312
suara, menjadi pangkal pendengaran), Suksma (keadaan nyawa, menarik kejelasan
cipta, menjadi pangkal perasaan), Rahsa (Keadaan atma, menarik kejelasan kuasa,
menjadi pangkal perasaan).69
Penciptaan manusia yang memiliki unsur pokok diri berupa hayyu adalah
penjelasan bahwa hidup manusia tidak akan terpisahkan dengan dzat Tuhan, karena
hayyu adalah sifat hayat Tuhan. Hayyu adalah tajalli dari nama Yang Maha Hidup,
sehingga manusia memiliki hubungan yang sangat dekat dengan Tuhan, karena
manusia adalah makhluk yang diliputi oleh tujuh unsur, yaitu jasad, budi, nafsu, roh,
sir (rahsa), nur, dan hayyu. Unsur-unsur ini selanjutnya saling berhubungan.
Selain itu manusia juga makhluk yang memiliki pengendali, yakni roh atau
sukma yang selalu menggerakkan badan. Suksma mendapat pengaruh dari rahsa.
Rahsa menerima pengaruh dari nur. Nur menerima pengaruh dari hayyu. Hayyu
adalah pelaksana dari af’al dzat dan ia adalah tajalli dzat. Maka, manusia dan Tuhan
adalah sebuah hubungan yang saling membutuhkan. Manusia membutuhkan Tuhan,
agar ia bisa bergerak, beramal, dan menjadi sebuah keridlaan Tuhan. Sedangkan
Tuhan membutuhkan manusia, agar ia dikenal dan dapat melihat citra diri-Nya
dengan sempurna. Dia dapat dinamakan Tuhan karena adanya makhluk. Sedangkan
makhluk tidak bisa berbuat apa-apa tanpa kehendak-Nya.
Manusia terlahir ke dunia melalui ibu selama sembilan bulan. Masa
perkembangan setiap martabat diaplikasikan pada setiap bulannya. Sehingga setelah
tujuh bulan sempurna menjadi tujuh martabat dan menjadi insan kamil. Lalu
69 Simuh, Mistik Islam Kejawen, h. 313
ditambah dua bulan lagi untuk membesarkannya.70 Ketika manusia terlahir ke dunia ia
memiliki kejadian yang paling baik dibanding makhluk lain, karena manusia
memiliki dua dimensi pada struktur kejadian dirinya yang dimulai dari kepala sampai
kemaluannya.
Struktur manusia menurut Ranggawarsita sebagai berikut.
Sajatine ing-sun anata malige ana sajroning Betal makmur, iku omah enggoning parameyening-sun, jumeneng ana siraning Adam, kang ana sajroning sirah iku dimak, iya iku utek, kang ana ing antaraning utek iku manik, sjroning manik iku budi, sajroning budi iku napsu, sajroning napsu iku suksma, sajroning suksma iku rahsa, sajroning rahsa iku ingsun, ora ana Pangeran anging ingsun dzat kang anglimputi ing kahanan jati.71
Terjemahannya:
Sesungguhnya Aku mengatur mahligai dalam Baitul Makmur, adalah rumah tempat keramaian-Ku berada di kepala adam. Yang ada didalam kepala dimak, yakni otak. Yang ada diantara otak manik. Dalam manik budi, dalam budi nafsu, dalam nafsu suksma, dalam suksma rahsa, dalam rahsa adalah Aku, tidak ada Tuhan kecuali Aku Dzat yang meliputi semua keadaan.72
Dalam kutipan di atas terdapat ajaran martabat tujuh di dalam Baitul Makmur,
berada di kepala manusia, yaitu kepala, otak, manik, budi, nafsu, suksma, dan
rahsa.73
70 Simuh, Mistik Islam Kejawen, h . 332 71 Ranggawarsita, Wirid Hidayat Jati, terj. Simuh, (Surakarta: Administrasi Jawi Kandha,
1908) h. 23 72 Hadiwijono. Harun, Kebatinan dan Injil, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1977), h. 18.
73 Suwarno Imam S. Konsep Tuhan, Manusia, Mistik, h. 191.
Selanjutnya tentang susunan di dalam mahligai Baitul Muharram menurut
Ranggawarsita sebagai berikut.
Sajatine ingsun anata malige ana sajroning Betal Muharram. Iku omah enggoning lalaranganing-Sun, jemeneng ana dadane Adam kang ana sajroning dada iku ati, kang ana sajroning ati iku jantung, sajroning jantung iku budi, kang ana sajroning budi iku jinem, iya iku angan-angan, sajroning angan-angan iku suksma, sajroning suksma iku rahsa, sajroning rahsa iku ingsun. Ora ana Pangeran among ingsun Dzat Kang Nglimpiti Jati.74
Terjemahannya:
Sesungguhnya Aku mengatur mahligai dalam Baitul Muharram, rumah tempat larangan-Ku, berada di dada Adam, yang ada di dada hati, yang ada di hati jantung, dalam jantung budi, dalam budi jinem, yaitu angan-angan, dalam angan-angan suksma rahsa, dalam rahsa Aku, Zat yang meliputi semua keadaan.75
Dalam kutipan di atas juga terdapat ajaran martabat tujuh di dalam Baitul
Muharram, berada di dada manusia, yaitu dada, hati, jantung, budi, jinem, (angan-
angan), suksma dan rahsa.76
Selanjutnya tentang susunan di dalam mahligai Baitul Mukaddas menurut
Ranggawarsita sebagai berikut.
Sajatine ingsun anata malige ana sajroning Betal Muqaddas, iku omah enggoning pasueening-Sun, jumeneng ana ing khontoling Adam. Kang ana sajroning konthol iku pringsilan kang ana antaraning pringsilan iku nuthfah iya iku mani, sajroning mani iku madi, sajroning madi iku wadi, sajroning wadi iku manikem, sajroning manikem iku rahsa, sajroning rahsa iku ingsun. Ora ana pangeran ananing-Sun. Dat kang anglimputi ingkahanan Jati. Jumeneng nukat gaib, tumurun dadi johar awal, ing kono ananing alam ahadiyat, ngalam arwah, ngalam missal, ngalam ajasm, ngalam insane kamil, dadaning manungsa kang sampurna, iya iku sajatining sipating-Sun.77
Terjemahannya: 74 Simuh, Mistik Islam Kejawen, h . 175. 75 Simuh, Mistik Islam Kejawen, h . 228. 76 Suwarno Imam S. Konsep Tuhan, Manusia, Mistik, h. 191. 77 Simuh, Mistik Islam Kejawen, h . 175.
Sesungguhnya aku mengatur Baitul Mukaddas rumah tempat kesucian-Ku, berada di dalam pelir Adam, yang ada di dalam pelir Adam, yang ada di pelir buah pelir, yang ada di dalam buah pelir nuthfah, yaitu mani, di dalam mani madi, di dalam madi wadi, dalam wadi manikem, dalam manikem rahsa, dalam rahsa Aku, tiada Tuhan kecuali Aku. Zat yang meliputi semua keadaan berada dalam nukat gaib, turun menjadi jauhar awal di situlah berada alam ahadiyat, wahdat, wahidiyat, alam arwah, alam mitsal, alam ajasm, dan alam insan kamil, terjadinya manusia sempurna, adalah sifat-Ku.78
Dalam kutipan di atas juga terdapat ajaran martabat tujuh di dalam Baitul
Mukaddas, berada di pelir manusia, yaitu pelir, buah pelir, mani, madi, wadi,
Manikem, dan rahsa. Juga disebutkan bahwa manusia sempurna adalah sifat-Ku.79
Dengan demikian struktur tubuh manusia menjadikan manusia berpotensi
untuk “manunggaling kawula gusti” maka ia dapat berhubungan, bercinta kasih, dan
menghayati penyatuan dengan Tuhan. bila ini terjadi ia adalah pengejawantahan
(tajalli) Tuhan secara sempurna yaitu menjadi manusia pilihan, yang semua gerak-
geriknya dan wujud kejadiannya adalah iradat Tuhan.
Selanjutnya tubuh manusia diberi roh oleh Tuhan. roh diberikan kepada
manusia sebagai pelapisannya. Ia diletakkan di luar sirr (rahsa), dan di dalam nafsu.
Sirr adalah rahsa yaitu sesuatu yang rahasia dan yang tersembunyi. Ia menguasai roh.
Berarti ia adalah kehidupan roh. Sirr ini juga yang dalam susunan martabat tajalli
Tuhan dinamakan kaca Wira’i yaitu hakikat pramana, yang letaknya di muka Nur
Muhammad.
78 Hadiwijono. Harun, Kebatinan dan Injil, h. 19.
79 Suwarno Imam S. Konsep Tuhan, Manusia, Mistik, h. 192.
Selanjutnya Tuhan memberikan nafsu kepada manusia. Nafsu ini ada empat
macam, yaitu: Nafsu lawwamah: berarti angangsa menimbulkan dahaga, kantuk,
lapar, dan sebagainya. Tempatnya dalam perut, lahirnya dari mulut, diibaratkan
sebagai hati yang bersinar hitam. Nafsu amarah: artinya garang, memiliki watak
angkara murka, iri, pemarah, dan sebagainya. Bersumber dari empedu, timbul dari
telinga, ibarat hati bersinar merah. Nafsu sufiyah: artinya birahi, menimbulkan rasa
rindu, membangkitkan keinginan, kesenangan, dan sebagainya. Bersumber dari
limpa, timbul dari mata, ibarat hati bersinar kuning. Nafsu muthmainnah: artinya
ketentraman, punya watak loba akan kebaikan, keutamaan dan keluhuran, misalnya
berpuasa atau tapa brata, tanpa mengenal batas kemampuan. Sumbernya dari tulang,
timbul dari hidung, ibarat hati bersinar putih.80
Nafsu yang diberikan oleh Tuhan kepada manusia merupakan suatu opsi
dalam kehidupan manusia apakah ia akan memilih jalan baik atau buruk. Semuanya
diberi fasilitas oleh Tuhan dengan macam-macam nafsu tersebut, dan untuk mengatur
nafsu yang ada dalam diri manusia supaya mengikuti jalan yang baik, manusia
melakukan tuntutan. Oleh karena itu Tuhan memberikan budi yang terdapat dalam
martabat penciptaan manusia. Budi juga disebut darrah yaitu permata yang bersinar
beraneka ragam warna: budi bermakna akal, pada hakekatnya hanya satu,, tetapi
diberi lima nama yaitu: Budi Maknawi, Budi Sanubari, Budi Suweda, Budi Fu’ad
Budi Sirri.81
80 Simuh, Mistik Islam Kejawen, h . 340
81 Ranggawarsita, Wirid Hidayat Jati, h. 34
Manusia adalah tajalli dzat Tuhan. Ia berpotensi untuk menjadi manusia yang
baik atau buruk. Jika ia menjadi manusia yang baik, maka ia berhasil menjadi wujud
dan kejadiannya sebagai manusia pilihan, yaitu pelaksana iradat Tuhan, dan ia
mampu menguasai nafsu dengan menggunakan budi serta mampu mengalahkan
potensi untuk berbuat buruk, sehingga tidak menjadi manusia yang buruk. Di sini
Ranggawarsita bermaksud menerangkan bahwa manusia adalah penjelmaan (tajalli)
Tuhan, dan kehidupannya manunggal dengan-Nya.
Manusia merupakan potensi kebaikan dan keburukan. Dua potensi ini yang
menjadikan manusia sebagai makhluk yang tinggi atau rendah, menghayati atau tidak
menghayati kemanunggalan dengan Tuhan. berdasarkan prinsip sangkan paraning
dumadi, manusia berasal dari Tuhan dan akan kembali kepada Tuhan. Untuk itu
tujuan kehidupannya di dunia adalah menemukan kebenaran hakiki, dan untuk
menemukan hakekat hidupnya manusia harus selalu memanfaatkan budinya. Dengan
budi itu ia dapat diantarkan kepada hakikat kehidupan atau kembali kepada Tuhan.
Selanjutnya untuk menemukan kebenaran sejati dan mencapai penghayatan
kesatuan dengan Tuhan masing-masing manusia memiliki perbedaan dalam proses
perjalanannya. Untuk itu menurut Wirid Hidayat Jati manusia yang ingin mencapai
penghayatan kesatuan dengan Tuhan memiliki dua kategori, yaitu khawas dan
awam.82
Kategori pertama adalah mukmin khawas. Ia merupakan manusia yang
memiliki ilmu yang tinggi dibanding mukmin awam. Orang yang termasuk mukmin
82 Simuh, Mistik Islam Kejawen, h. 360
khawas, akan mudah untuk dekat dan bersatu dengan Tuhannya, dan yang termasuk
dalam kategori ini adalah orang-orang pilihan seperti sunan Kalijaga dan para wali
yang lain.83 Orang-orang pilihan yang menjadi kategori pertama selalu melatih diri
dengan banyak riyadhah dan selalu mendekatkan diri kepada Tuhan. Ia akan selalu
menjauhkan dirinya dari segala macam yang berbau maksiat. Ia akan selalu
menjalankan perintah-Nya serta memanfaatkan budi untuk menguasai nafsu. Melalui
latihan ritual riyadhah yang dilakukan setiap hari, ia menjadi terbiasa hidup dalam
naungan iradat Tuhan.
Kategori kedua adalah mukmin awam. Manusia kategori ini adalah manusia
biasa, yang tidak memiliki cukup ilmu. Untuk itu ia akan menghadapi banyak
tantangan dan cobaan dalam perjalanannya menuju Tuhan.
Sedangkan bagi orang yang termasuk dalam kategori kedua, ia akan
menemukan banyak hambatan dan ujian dalam menemui Tuhannya, karena ia tidak
terbiasa dengan suasana kehidupan dalam pikirannya, untuk dinanungi dalam iradat
Tuhan, dan kurang menjalankan riyadhah serta kurang melatih untuk menjauhkan
dari segala hal selain Tuhan. Maka, jaraknya dengan Tuhan tidak sedekat kategori
manusia kedua.
83 Simuh, Mistik Islam Kejawen, h. 360
2. Insan Kamil
Ranggawarsita mengatakan bahwa insan kamil adalah manusia yang
sempurna kejadiannya yang terdiri dari tujuh unsur yaitu, hayyu (atma), nur,
pramana, suksma, angan-angan, budi dan jasad. Dan terdiri dari empat anasir yaitu,
api, air, angin, dan tanah. Ranggawarsita mendifinisikan insan kamil dengan orientasi
pada kesempurnaan dimensi lahir manusia yang terlahir ke dunia melalui tujuh unsur
yang masuk padanya sesuai dengan tujuh martabat tajalli Tuhan. Ranggawarsita
mengistilahkannya dengan manusia pilihan. Manusia pilihan adalah salah satu dari
dua kategori tersebut di atas yang disebut khawas.
Manusia kategori Khawas adalah manusia yang dapat berhadapan dengan
Tuhan secara lancar tanpa banyak menemui kesulitan dan ujian. Manusia tersebut
adalah manusia pilihan, yaitu orang yang menghayati kemanunggalannya dengan
Tuhan, mencapai pada iradat kesatuan dengan Tuhan. Ia menjadi sakti dan berkuasa
laksana Tuhan. seperti kata-kata, “kang cinipta dadi kang sinedya ana, kang kinarsan
teka, saka parmaning kang kawasa” (yang dicipta terjadi, yang diingini ada seketika,
yang dikehendaki datang, dari anugerah Tuhan).
Menurut Ranggawarsita manusia pilihan (khawas) adalah manusia yang sakti
yang memiliki ilmu ma’rifat. Ilmu ini dinamakan juga dengan ilmu kasunyatan dan
ilmu kesempurnaan. Ilmu ini hanya dapat diajarkan kepada orang yang mumpuni
dengan memperhatikan beberapa hal: Nistha papa: maksudnya, barang siapa berbuat
hina, pasti akan menjadi melarat. Dora sangsara: maksudnya, barang siapa berbuat
dusta pasti akan sengsara. Dhusta lara: maksudnya, barang siapa yang jahat pasti
sakit. Nihayah pati: maksudnya, barang siapa bertindak aniaya, maka akan menjadi
celaka.84
Manusia yang ingin menjadi manusia pilihan (Khawas), berdasarkan konsep
sangkan paraning dhumadi ia harus mengenal asal usulnya (sangkan paran), setelah
itu ia harus mencapai penghayatan kemanunggalan dengan Tuhan, dengan mantra
tertentu. Apabila ritual menekungnya diterima oleh Tuhan berarti ia berhasil menjadi
manusia pilihan (khawas) dan ia akan mengalami penghayatan gaib sebanyak tujuh
martabat ; yang awalnya tertampak olehnya alam ruhiyah,lalu alam sirriyah, alam
nuriyah satu, alam nuriyah dua, alam uluhiyah satu, alam uluhiyah dua, dan alam
uluhiyah tiga.85
Ketika tertampak olehnya alam ruhiyah ia melihat adanya lautan yang tidak
memiliki batas dan arah. Ditengah lautan itu ia melihat duriyat mancamaya yakni
disebut muka sifat. Ketika tertampak olehnya alam sirriyah ia melihat empat macam
cahaya yang turun, yakni hitam, merah, kuning dan putih. Warna-warna ini
merupakan simbol dari empat jenis nafsu, yakni lawwamah, ammarah, sufiyah dan
muthmainnah.86
Pada alam nuriyah kesatu ia melihat lima macam cahaya yaitu hitam, merah,
kuning, putih dan hijau. Warna-warna ini adalah simbol dari panca indera. Dalam
alam nuriyah kedua ia melihat sebuah sinar yang memiliki delapan warna yaitu hitam,
merah, kuning, putih, hijau, biru, ungu, dan dadu. Warna-warna itu adalah simbol dari
84 Purwadi. Tasawuf Jawa, (Magelang: Tamboer Press, 2002) h. 16.
85 Simuh, Mistik Islam Kejawen, h. 265. 86 Simuh, Mistik Islam Kejawen, h. 267.
pramana. Dalam alam uluhiyah kesatu dia melihat lebah yang sedang mendengung.
Ini berarti ia masuk ke dalam maqam fana. Dalam uluhiyah kedua ia melihat golek
gading. Ini berarti ia masuk ke dalam maqam baqa’. Dalam alam uluhiyah ketiga ia
melihat cahaya yang tidak pernah terpikirkan, yang bersinar gemerlap dan terang
benderang. Sinar itu adalah dzat atma yang manunggal dengan cahaya Dzat yang
bersifat Esa. Maka jika ia sudah mengalami hal demikian, berarti ia telah mencapai
penghayatan manunggal dengan Tuhan. jadilah ia manusia pilihan (khos) yang
sempurna kejadiannya, kelakuannya, alam pikirannya dan penghayatan
kemanunggalannya.87
Adapun tuntunan budi luhur yang harus dilakukan seseorang untuk mencapai
kesempurnaan kemanunggalannya adalah dengan melakukan tapa brata dan zakat
bagi orang hidup, dengan cara sebagai berikut: Badan, tapanya berlaku sopan
santun, zakatnya rajin ataugemar berbuat kebaikan. Hati atau budi, tapanya rela dan
sabar, zakatnya bersih dari prasangka buruk. Nafsu, tapanya berhati ikhlas, zakatnya
tabah menghadapi cobaan dalam sengsara dan mengampuni kesalahan. Nyawa (roh),
tapanya berlaku jujur, zakatnya tidak menggangu orang lain dan tidak mencela.
Rahsa, tapanya berlaku utama, zakatnya suka diam dan menyesali kesalahan (tobat).
Cahaya (nur), tapanya berlaku suci, zakatnya berhati bening. Atma (hayyu), tapanya
berlaku suci, zakatnya berhati selalu ingat.88
87 Simuh, Mistik Islam Kejawen, h. 268-269. 88 Simuh, Mistik Islam Kejawen, h. 344.
Setelah diajarkan beberapa nilai dalam tapa brata, selanjutnya diajarkan cara
bagaimana melakukan tapa brata sebagai berikut : Mata, tapanya mengurangi tidur,
zakatnya tidak menginginkan kepunyaan orang lain. Telinga, tapanya mencegah hawa
nafsu, zakatnya menghindari mendengar perbantahan. Hidung, tapanya mengurangi
minum, zakatnya tidak suka mencela keburukan orang lain. Lisan, tapanya
mengurangi makan, zakatnya menghindari memperkatakan keburukan orang lain.
Aurat, tapanya menahan syahwat, zakatnya menghindari perbuatan zina. Tangan,
tapanya mencegah perbuatan mencuri, zakatnya tidak suka memukul orang (lumuh
mara tangan). Kaki, tapanya tidak untuk berjalan berbuat keburukan, zakatnya
menyukai berjalan untuk bertirakat.89
Tuntunan budi luhur di atas, mengajarkan kesucian hati dan budi pekerti
seperti tidak tamak akan keduniaan, berhati suci, andap asor (rendah hati), hidup
prihatin dan sebagainya. Semua itu adalah syarat yang diperlukan untuk menjadi suci
dan murni batinnya. Ini adalah jalan yang mengantar ke arah peningkatan rohani dan
kemampuan untuk berkonsentrasi dalam manekung. Dengan hati yang suci anugerah
Tuhan akan diperolehnya dan hakekat Tuhan akan terbuka. Jadi Wirid Hidayat Jati
memiliki prinsip kebatinan yang mengatakan “sepi ing pamrih” yaitu mengutamakan
kesucian batin tanpa mengharap pamrih dari selain Tuhan agar pribadi dibina untuk
bersih hatinya, rendah hatinya, luhur budi bahasanya, suka mengalah, hidup
sederhana dan senang ber-tapa brata.
89 Simuh, Mistik Islam Kejawen, h. 345.
Semua cara yang dilakukan dalam manekung (tafakur) pada intinya adalah
memusatkan pikiran kepada Tuhan dan memutuskan hubungan dengan dunia luar
(mati raga anutupi babahan hawa sanga). Cara ini mempunyai maksud untuk
mencapai penghayatan manunggal dengan Tuhan. Diharapkan bagi orang yang
sedang menjalani manekung, ia mendapat anugerah penghayatan gaib, penghayatan
yang diharapkan memuncak dan berakhir pada penghayatan kemanunggalan dengan
Tuhan. Penghayatan kemanunggalan dengan Tuhan adalah ciri khusus dari manusia
pilihan (khawas).
BAB IV
KONSEP MANUSIA MENURUT IBN AL-‘ARABI DAN RANGGAWARSITA
(STUDI PERBANDINGAN)
Dalam dunia sufisme Ibn al-‘Arabi adalah tokoh besar yang memiliki
pemikiran brilian. Dia memiliki segudang ilmu yang tidak semua orang dapat
memilikinya. Di Seville adalah tempat awal ia mendapatkan pendidikan formal. Ia
mempelajari al-Qur’an beserta tafsirnya, hadits, fiqh, teologi, dan filsafat skolastik.
Sementara dalam sejarah pemikiran Islam ia adalah tokoh kontroversial. Ia dikenal
karena pahamnya yang disebut wahdat al-wujud. Banyak pihak yang menentangnya,
hingga ia dikafirkan. Tetapi banyak pula pihak yang bersimpati kepadanya dan
menjadi pengikutnya. Sebagian besar mereka adalah kaum sufi, sehingga Ibn al-
‘Arabi diberikan laqab oleh para pengikutnya sebagai Syaikh al-Akbar (Guru Yang
Terbesar).90
Adapun Ranggawarsita adalah pujangga istana yang dididik dan dibesarkan
dalam lingkungan kepujanggaan dan kesusastraan Jawa. Pada usia 12 tahun ia
bergabung pada sebuah pondok pesantren di daerah Gebang Tinatar, Tegalsari,
Ponorogo. Ia berguru pada Kyai Kasan Imam Besari. Pada tahun 1815 M, Bagus
Burhan (nama kecil Ranggawarsita) diserahkan kepada Gusti Pangeran Harya
Buminata. Di sana ia diberi pelajaran tentang ilmu jaya kawijayan, kadigdayaan, dan
90 Kautsar Azhari Noer, Ibn al-‘Arabi Wahdat al-Wujud dalam Perdebatan, (Jakarta: Paramadina, 1995), cet.I, h. 17.
kanuragan. Dalam perkembangannya, Bagus Burhan kemudian diserahkan oleh Gusti
Pangeran Harya Buminata untuk mengabdi kepada Sunan Pakubuwana IV sebagai
pujangga istana.
Dalam pemikiran filsafat, kedua tokoh ini telah melahirkan berbagai konsep,
khususnya konsep tentang manusia. Ibn al-’Arabi mengakui pemikirannya dihasilkan
dari pengalaman batiniah dan pengetahuan intuitif (ma’rifat) dari Allah SWT.
Pernyataan semacam ini dapat dilihat dalam karyanya Fusus al-Hikam. Menurutnya
Fusus al-Hikam adalah hasil perintah dari Nabi Muhammad saw., yang telah bertemu
dengannya dan diperintahkan untuk menyebarkan ajaran yang ada dalam kitab ini
kepada umat manusia agar mereka dapat mengambil manfaat darinya. Demikian pula
karyanya al-Futuhat al-Makkiyah (Ketersingkapan Mekkah) adalah karya yang
merupakan ilham samawi Allah kepadanya sacara langsung.91
Sementara Ranggawarsita dalam melahirkan berbagai konsep pemikirannya,
merupakan perkembangan pemikiran ajaran Islam kejawen. Salah satu di antara
karyanya ialah Wirid Hidayat Jati. Menurutnya ajaran yang tertuang di dalamnya
merupakan ajaran Walisongo yang diajarkan secara turun-temurun kepada murid-
murid mereka dengan cara rahasia. Kemudian ia berusaha mempublikasikan ajaran
Walisongo ini dalam kitab Wirid Haidayat Jati.92 Akan tetapi pernyataan seperti ini
merupakan pernyataan untuk mendapatkan legitimasi dari masyarakat Jawa, karena
91 William, C. Chittick, Tuhan Sejati dan Tuhan-Tuhan Palsu, terj. Ahmad Nidjam, et.al.,
(Yogyakarta: Penerbit Qalam 2001) h. 8. 92 Simuh. Mistik Islam Kejawen Raden Ngabehi Ranggawarsita, (Jakarta: UI Press,1988), h.
223.
sejarah mengatakan Walisongo tidak pernah mengajarkan ajaran seperti yang telah
dihasilkan Ranggawarsita.
Kedua tokoh ini pada dasarnya memiliki perbedaan dan kesamaan pemikiran.
Ibn al-’Arabi yang lebih menonjolkan pemikirannya pada nuansa falsafi, karena
memang ia memiliki latar belakang pendidikan filsafat, selain ilmu-ilmu yang lain,
pada masa pencarian ilmunya. Sedangkan Ranggawarsita menonjolkan ajaran Islam
kejawen atau kebatinan Jawa, karena memang pemikirannya adalah representasi
kalangan kebatinan Jawa yang bernuansa mitologis.
1. Penciptaan Manusia
Ibn al-’Arabi dan Ranggawarsita memulai pembicaraannya tentang manusia
diawali dengan proses tajalli Tuhan. Istliah tajalli merupakan sinonim dari kata
”emanasi” dalam istilah yang digunakan oleh Plotinus.
Adapun tajalli Tuhan dalam pandangan Ibn al-‘Arabi melalui dua cara: cara
pertama mengambil bentuk tajalli ghaib atau tajalli dzati, yang berbentuk penciptaan
potensi, dan kedua tajalli syuhudi (penampakkan diri secara nyata), yang mengambil
bentuk penampakkan diri dalam citra tertentu. Tajalli dalam bentuk pertama, secara
intrinsik, hanya terjadi di dalam esensi Tuhan sendiri. Oleh karena itu, wujudnya
tidak berbeda dengan esensi Tuhan itu sendiri, karena ia tidak lebih dari suatu proses
ilmu Tuhan dalam esensi-Nya sendiri. Sedangkan tajalli dalam bentuk kedua ialah
ketika potensi-potensi yang ada di dalam esensi mengambil bentuk aktual dalam
berbagai fenomena dan alam semesta.93
Pada konsep tajalli Tuhan menurut Ranggawarsita Tuhan ber-tajalli pada
manusia melewati tujuh martabat, pertama tajalli Syajaratul yakin, memiliki
martabat yang dinamakan Ahadiyat. Kedua Nur Muhammad, tajalli ini berada pada
tingkat martabat Wahdat. Ketiga Tuhan bertajalli pada martabat Wahidiyat dalam
bentuk Miratul hayai. Setelah itu Tuhan bertajalli pada martabat keempat dalam
bentuk Roh idlofi, memiliki martabat yang dinamakan alam arwah. Selanjutnya
Tuhan bertajalli dalam bentuk Kandil, memiliki martabat yang dinamakan alam
mitsal. Kemudian Tuhan bertajalli dalam bentuk Dharroh, memiliki martabat yang
dinamakan alam ajsam. Pada tahap terakhir, Tuhan bertajalli pada martabat ketujuh
dalam bentuk Kijab, pada martabat ini Tuhan memenuhi tujuanNya mencipta, untuk
bertajalli dalam bentuk manusia. Maka, martabat ini dinamakan martabat insan
kamil. Insan kamil dalam tajalli Tuhan disini diartikan sebagai manusia yang tercipta
dan lahir secara utuh.94
Menurut Ibn al-’Arabi manusia diciptakan atas nama-nama Tuhan, yaitu sifat-
sifat jamal dan jalal-Nya, sehingga manusia merupakan makhluk yang paling
sempurna, yaitu makhluk yang dapat menyatukan kedua kategori nama Tuhan.95
Menurut Ranggawarsita, yang menjadikan manusia sebagai makhluk yang
sempurna, karena manusia tersusun atas hayyu (hidup) yang disebut atma, dan dibalut
93 Yunasril Ali, Manusia Citra Illahi, h. 60 94 Simuh. Mistik Islam Kejawen, h. 234-235. 95 Yunasril Ali, Manusia Citra Illahi, h. 82-83.
oleh tubuh atau jasad, yang tersusun dari empat anasir (tanah, api, air dan udara).
Kemudian dimasukkan ke dalam lima unsur rohani yang disebut mudah (baru).
Yakni: nur, rahsa, roh (suksma), nafsu dan budi.96
Kedua tokoh ini membagi manusia dalam dua golongan. Tetapi keduanya
memiliki perbedaan dalam pembagian golongan tersebut. Ibn al-’Arabi membagi
manusia dalam dua macam, yaitu insan kamil dan insan hayawan. Insan kamil adalah
manusia yang dapat mengaktualisasikan akhlak Allah sehingga nama-nama-Nya
termanifestasi padanya. Ia disebut sebagai ’arif, yaitu orang yang dapat mengetahui
esensi alam berdasarkan pengetahuan intuitif (kasyf) atau makrifat. Ia juga disebut
hamba tuan. Sedangkan insan hayawan (manusia hewan) adalah manusia yang tidak
dapat mengaktualisasikan nama-nama Tuhan dan dia tidak bisa berakhlak dengan
akhlak Tuhan. Ia juga disebut hewan yang dapat berpikir (al-hayawan al-natiq) atau
hamba nalar.97
Tetapi di lain kesempatan Ibn al-’Arabi membagi manusia dalam tiga bagian.
Pertama manusia ’arif, yaitu manusia seperti yang telah dijelaskan di atas. Kedua,
manusia yang memiliki kategori ahli iman atau muslim mu’min. Ketiga, manusia
yang memiliki kategori pemilik pikiran.98 Sebenarnya ketiga bagian ini tidak
mengandung makna yang berbeda dengan dua bagian yang telah dikategorikan Ibn al-
’Arabi terdahulu. Hanya ia menambahkan satu macam di antara macam pertama dan
96 Simuh. Mistik Islam Kejawen, h. 234-235. 97 Kautsar Azhari, Wahdat al-Wujud dalam Perdebatan, h. 137. 98 Kautsar Azhari, Wahdat al-Wujud dalam Perdebatan, h. 136.
terakhir, sehingga terdapat pilihan lain yang dapat mempresentasikan manusia yang
tidak termasuk pada golongan yang pertama atau kedua.
Ranggawarsita membagi manusia dalam dua golongan juga, yaitu golongan
khawas dan awam. Golongan khawas adalah orang-orang yang memiliki ilmu tinggi
dan ia akan mudah untuk menemukan dan menyatu dengan Tuhannya. Orang-orang
yang termasuk dalam golongan ini adalah orang-orang pilihan seperti Sunan Kalijaga
dan para wali lainnya.99 Mereka diberi kesaktian oleh Tuhan. Adapun yang dimaksud
dengan Mu’min awam adalah manusia biasa yang tidak memiliki cukup ilmu.
Karenanya ia akan menghadapi banyak tantangan dan cobaan dalam perjalanannya
menuju kepada Tuhan.
2. Insan Kamil
Ibn al-’Arabi dan Ranggawarsita sama-sama memiliki konsep insan kamil,
tetapi masing-masing berbeda dalam mengartikannya. Ibn al-’Arabi misalnya
mengatakan, bahwa insan kamil adalah manusia sempurna yang memiliki asma’-
asma’ dan sifat Tuhan, dan setiap manusia memiliki potensi untuk itu. Jadi tidak
semua manusia dinamakan insan kamil.100
Sementara Ranggawarsita mengatakan bahwa insan kamil adalah manusia
yang sempurna kejadiannya yang terdiri dari tujuh unsur yaitu, hayyu (atma), nur,
pramana, suksma, angan-angan, budi dan jasad. Dan terdiri dari empat anasir yaitu,
99 Simuh. Mistik Islam Kejawen, h. 360. 100 Kautsar Azhari, Wahdat al-Wujud dalam Perdebatan, h. 130.
api, air, angin, dan tanah. Ranggawarsita mendifinisikan insan kamil dengan orientasi
pada kesempurnaan manusia yang terlahir ke dunia melalui tujuh unsur yang masuk
padanya sesuai dengan tujuh martabat tajalli Tuhan.
Apabila insan kamil didefinisikan seperti yang dimaksudkan oleh Ibn al-
’Arabi tersebut di atas, maka Ranggawarsita menggunakan istilah manusia pilihan.
Manusia pilihan menurut Ranggawarsita, adalah manusia khas (khawas). Manusia
khas (khawas) adalah orang yang dapat menghayati kemanunggalannya dengan
Tuhan dan mencapai iradat kesatuan dengan Tuhan. Mereka menjadi saksi dan
berkuasa laksana Tuhan. Dalam istilah bahasa Jawa, seperti kata-kata, ”kang cinipta
dadi, kang sinedya ana, kang kinarsan teka, saka parmaning kang kuasa” (yang
dicipta terjadi, yang diingini ada seketika, yang dikehendaki datang, dari anugerah
Tuhan).
Ibn al-’Arabi menjelaskan, bahwa manusia memiliki dimensi lahir dan
dimensi batin. Dimensi lahir termanifestasi pada bentuk raga, sedangkan dimensi
batin termanifestasi pada bentuk raga. Insan kamil merupakan sosok manusia yang
berfisik-biologis sama dengan manusia pada umumnya, tetapi memiliki kualitas
rohaniah yang unggul dan paling sempurna dibanding manusia pada umumnya.
Keunggulan rohaniah ini karena ia dibekali pengetahuan esoterik yang unggul.
Adapun dimensi batinnya menunjukkan, bahwa manusia adalah makhluk terpuji,
seperti arti dari kata Muhammad, dan kata Muhammad adalah lambang dari
kesempurnaan, maka dari itu manusia diciptakan dengan nama Muhammad yang
berarti makhluk yang sempurna.
Konsep ini berbeda dengan yang diterangkan oleh Ranggawarsita. Ia tidak
menerangkan makna di balik bentuk raga manusia, tetapi justru dia menerangkan
proses masuknya tujuh unsur ke dalam raga manusia ketika dalam kandungan hingga
lahir. Manusia pilihan adalah manusia yang dapat berhadapan dengan Tuhan secara
lancar tanpa banyak menemui kesulitan dan ujian, yaitu orang yang menghayati
kemanunggalannya dengan Tuhan, mencapai pada iradat kesatuan dengan Tuhan. Ia
menjadi sakti dan berkuasa laksana Tuhan. Dengan demikian pemikiran Ibn al-’Arabi
dan Ranggawarsita memiliki perbedaan yang mendasar dalam mendefinisikan insan
kamil. Ibn al-’Arabi mendefinisikan insan kamil dengan orientasi pada kesempurnaan
manusia yang dapat mengetahui esensi kehidupan dan wujud segala sesuatu.
Sementara Ranggawarsita mendefinisikan insan kamil dengan orientasi pada
kesempurnaan manusia yang terlahir ke dunia melalui tujuh unsur dan empat anasir
yaitu, api, air angin dan tanah.
Insan kamil dalam konsep Ibn al-’Arabi hanya dapat dicapai seseorang
melalui perjalanan syari’at secara kaffah. Ia harus menjalankan semua perintah dan
meninggalkan semua larangan Tuhan sebagai aplikasi dari ketundukannya. Ia juga
harus melaksanakan semua amalan sunah secara intensif dan konsekuen sebagai
aplikasi dari kecintaannya. Karena, menurut Ibn al-’Arabi syari’at adalah timbangan
dan pemimpin. Dengan demikian seseorang yang ingin mencapai derajat insan kamil
harus melaksanakan pendekatan diri kepada Tuhan secara intensif dengan melakukan
berbagai ritual yang dapat mendekatkan dirinya kepada Tuhan, seperti riyadhah. Dan
seseorang akan mengalami berbagai anugerah psikis (kejiwaan) berupa ahwal yang
sebelumnya melewati beberapa maqamat psikologis.
Menurut Ranggawarsita, bagi seseorang yang ingin mencapai derajat insan
kamil atau manusia pilihan, ia harus memiliki ilmu makrifat yang disebut ilmu
kasunyatan dan ilmu kasampurnan. Dengan memenuhi beberapa syarat di antaranya
menghindari perbuatan hina (nistha papa), menghindari perbuatan dusta (dhora
sangsara), menghindarai perbuatan jahat (dhusta lara) dan menghindari perbuatan
aniaya (nuhayah pati).101
Selain itu, ia juga harus melakukan ritual khusus berupa tuntunan budi luhur
dan manekung untuk menghayati kemanunggalan dengan Tuhan. Ketika seseorang
telah mencapai penghayatan kemanunggalan dengan Tuhan ia akan ditampakkan oleh
Tuhan berupa alam ruhiah, alam sirriyah, alam nuriyah, alam uluhiah, dan
manunggal dengan cahaya Dzat yang bersifat kuasa.102 Semuanya itu dalam konsep
Ibn al-’Arabi sama dengan proses pendapatan maqamat dan akhwal.
Ajaran-ajaran Ibn al-’Arabi sendiri telah dikenal di Jawa sejak pada abad
keenam belas. Dengan masuknya ajaran Ibn al-’Arabi yang bertemu dengan ajaran
kejawen telah menghasilkan pemikiran Ranggawarsita mengenai manusia yang
tertuang dalam salah satu karyanya Wirid Hidayat Jati. Dengan demikian pemikiran
Ranggawarsita memiliki banyak kesamaan dengan pemikiran Ibn al-’Arabi
khususnya dalam konsep manusia.
101 Purwadi. Tasawuf Jawa, (Magelang: Tamboer Press, 2002) h. 16. 102 Simuh. Mistik Islam Kejawen, h. 265
Kesamaan konsep manusia antara keduanya adalah hasil dari pengaruh
pemikiran Ibn al-‘Arabi terhadap Ranggawarsita. Sedangkan perbedaannya, masing-
masing tokoh mempresentasikan pola pikir alirannya masing-masing. Ibn al-’Arabi
mewakili pemikiran sufisme/tasawuf, sementara Ranggawarsita mewakili pemikiran
Islam kejawen atau kebatinan Jawa.
BAB V
KESIMPULAN
Ibn al-’Arabi dan Ranggawarsita mempunyai persamaan dalam memulai
pembicaraannya tentang manusia dengan diawali proses tajalli Tuhan. Hanya pada
saat menjelaskan proses tajalli Tuhan keduanya mempunyai perbedaan. Ibn al-‘Arabi
menjelaskan proses tajalli Tuhan melalui dua cara: pertama mengambil bentuk tajalli
ghaib dan cara kedua mengambil bentuk tajalli dzati. Sementara Ranggawarsita
menjelaskan proses tajalli Tuhan pada manusia melewati tujuh martabat, yaitu
Syajaratul yakin, Nur Muhammad, Wahidiyat, Roh idlofi, Kandil, Dharroh Kijab.
Kedua tokoh ini membagi manusia dalam dua golongan. Tetapi keduanya
memiliki perbedaan dalam pembagian golongan tersebut. Ibn al-’Arabi membagi
manusia dalam dua macam, yaitu insan kamil dan insan hayawan. Ranggawarsita
membagi manusia dalam dua golongan juga, yaitu golongan khawas dan awam.
Ibn al-’Arabi menjelaskan, bahwa manusia diciptakan atas nama-nama Tuhan,
yaitu sifat-sifat jamal dan jalal-Nya. Makhluk yang paling sempurna menurutnya,
adalah makhluk yang dapat menyatukan kedua kategori nama Tuhan tersebut.
Berbeda dengan Ranggawarsita, ia menjelaskan yang menjadikan manusia sebagai
makhluk yang sempurna, karena manusia tersusun atas hayyu (hidup) yang disebut
atma, dan dibalut oleh tubuh atau jasad, yang tersusun dari empat anasir, kemudian
dimasukkan ke dalam lima unsur rohani yang disebut mudah (baru).
Ibn al-’Arabi dan Ranggawarsita sama-sama memiliki konsep insan kamil,
tetapi masing-masing berbeda dalam mengartikannya. Menurut Ibn al-’Arabi insan
kamil adalah manusia sempurna yang memiliki asma’-asma’ dan sifat Tuhan, dan
setiap manusia memiliki potensi untuk itu. Jadi tidak semua manusia dinamakan
insan kamil. Sementara Ranggawarsita mengatakan bahwa insan kamil adalah
manusia yang sempurna kejadiannya yang terdiri dari tujuh unsur dan terdiri dari
empat anasir. Ranggawarsita mendifinisikan insan kamil dengan orientasi pada
kesempurnaan manusia yang terlahir ke dunia melalui tujuh unsur yang masuk
padanya sesuai dengan tujuh martabat tajalli Tuhan.
Insan kamil yang didefinisikan oleh Ibn al-’Arabi tersebut di atas, diistilahkan
oleh Ranggawarsita dengan istilah manusia pilihan atau manusia khas (khawas). Ibn
al-’Arabi menjelaskan, bahwa manusia memiliki dimensi lahir dan dimensi batin.
Dimensi lahir termanifestasi pada bentuk raga, sedangkan dimensi batin
termanifestasi pada bentuk roh. Konsep ini berbeda dengan yang diterangkan oleh
Ranggawarsita. Ia tidak menerangkan makna dibalik bentuk raga manusia, tetapi
justru dia menerangkan proses masuknya tujuh unsur ke dalam raga manusia ketika
dalam kandungan hingga lahir.
Insan kamil dalam konsep Ibn al-’Arabi hanya dapat dicapai seseorang
melalui perjalanan syari’at secara kaffah. Ia harus menjalankan semua perintah dan
meninggalkan semua larangan Tuhan, dan harus melaksanakan pendekatan diri
kepada Tuhan secara intensif dengan melakukan riyadhah. Sementara menurut
Ranggawarsita, seseorang yang ingin mencapai derajat insan kamil, ia harus memiliki
ilmu makrifat yang disebut ilmu kasunyatan (Ilmu hakekat Tuhan) dan ilmu
kasampurnan (ilmu keTuhanan), juga harus melakukan ritual khusus berupa tuntunan
budi luhur dan manekung untuk menghayati kemanunggalan dengan Tuhan.
,
DAFTAR PUSTAKA
Afifi, A. E, Filsafat Mistis Ibnu ‘Arabi, terj. Sjahrir Mawi dan Nandi Rahman,
jakarta: Gaya Media Pratama, 1989.
Ali, Yunasril, Manusia Citra Illahi, Jakarta: Paramadina, 1997, cet. I.
Al-Nawawi, Imam, Shahih Muslim bi Syarh al-Nawawi, Beirut: Dar al-Ihya al-Turas
al-‘Arabi, 1984, jilid 16.
‘Arabi, Ibn, al-Futuhat al-Makkiyah, ed. Osmar Yahya, Kairo: al-Hai,at al-
Mishiriyyat al-‘Ammah Li al-Kitab, 1972, jilid I.
------- Fusus al-Hikam, ed. A. Afifi, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Arabi, 1946,
jilid I.
Bayraktar Bayrakli, Eksistensi Manusia, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996.
C. Chittick, William, Tuhan Sejati dan Tuhan-Tuhan Palsu, terj. Ahmad Nidjam,
et.al., Yogyakarta: Penerbit Qalam, 2001.
Ciptoprawiro,Abdullah, Filsafat Jawa, Jakarta: Balai Pustaka, 2000, cet. 2.
Corbin, Henry, Imajinasi Kreatif Sufisme Ibn ‘Arabi, New Jersey: Princetion
University Press, 1997.
Departemen Agama Republik Indonesia, Al-qur’an dan Terjemahannya, Jakarta:
Dana Badan Waqaf, 1995.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta:
Balai Pustaka, 1988.
Hadiwijono. Harun, Kebatinan dan Injil, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1977.
Hirtenstein, Stephen, Dari Keberagaman Ke Kesatuan Wujud: Ajaran-ajaran dan
Kehidupan Spiritual Syaikh al-Akbar Ibn ‘Arabi, terj. Tri Wibowo Santoso,
Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001.
Imam S Suwarno, Konsep Tuhan, Manusia, Mistik Dalam Berbagai Kebatinan jawa,
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005.
Kamal, Zainun, ”Ibn Arabi dan Paham Wahdat al-Wujud”, dalam: Refleksi Jurnal
Kajian Agama dan Filsafat, Jakarta: Fakultas Ushuluddin IAIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, 1998, vol. I, no 1.
Kautsar Azhari Noer, Ibn al-‘Arabi Wahdat al-Wujud dalam Perdebatan, Jakarta:
Paramadina, 1995, cet.I.
Mastuhu dan Ridwan M, Deden, Tradisi Baru Penelitian Agama Islam Tinjauan
Antara Disiplin Ilmu, Bandung: Penerbit Nuansa, 1998, cet. 1.
Mustofa, Ahmad, Akhlak Tasawuf, Bandung: Pustaka Setia, 1999, Cet. Ke-2.
Nasution, M. Yasir, Manusia Menurut Al-Ghazali, Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 1996.
Purwadi. Tasawuf Jawa, Magelang: Tamboer Press, 2002.
Rahardjo Dawam, Ensiklopedi Islam, Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Houve, 1999.
Ranggawarsita, Wirid Hidayat Jati, terj. Simuh, Surakarta: Administrasi Jawi
Kandha, 1908.
Simuh, Mistik Islam Kejawen Raden Ngabehi Ranggawarsita, Jakarta: UI Press,1988.
Sumanta, Insan Kamil dalam Perspektif Tasawuf Ibn al-‘Arabi, Tesis S2 Fakultas
Filsafat Universitas Indonesia, Jakarta, 2003.
Tafsazani, Sufi dari Zaman Ke Zaman, terj. Ahmad Rofi’ utsmani, Bandung: Pustaka,
Cet. Ke-1.