Jurnal Reading (Agustina Purnomo 10-099)

36
BAB I PENDAHULUAN Pola perdarahan uterus abnormal ( PUA ) adalah salah satu gejala ginekologis yang sering membawa perempuan mencari pelayanan medis. Prevalensi dari perdarahan uterus yang berat dan irregular telah meningkat. Sebagian besar terkait peningkatan prevalensi obesitas dan sindrom polistik ovarium dan disfungsi ovulatori. Pada perempuan dengan perdarahan uterus abnormal yang mengalami kegagalan terapi medis, manajemen bedah terbatas pada ablasi endometrium dan histerektomi. 1

description

perdarah uterus abnormal

Transcript of Jurnal Reading (Agustina Purnomo 10-099)

BAB IPENDAHULUANPola perdarahan uterus abnormal ( PUA ) adalah salah satu gejala ginekologis yang sering membawa perempuan mencari pelayanan medis. Prevalensi dari perdarahan uterus yang berat dan irregular telah meningkat. Sebagian besar terkait peningkatan prevalensi obesitas dan sindrom polistik ovarium dan disfungsi ovulatori. Pada perempuan dengan perdarahan uterus abnormal yang mengalami kegagalan terapi medis, manajemen bedah terbatas pada ablasi endometrium dan histerektomi.

BAB IIISIPerdarahan Uterus AbnormalPerdarahan uterus abnormal pada wanita tidak hamil di usia reproduktif memiliki patologi yang sangat luas. Ada banyak sekali terminologi yang digunakan baik untuk mendeskripsikan gejala maupun mengenai gangguannya sendiri sehingga dirasa cukup membingungkan dalam manajemen klinis dan dalam menerjemahkan sebuat riset dan uji klinis. Perdarahan uterus abnormal meliputi semua kelainan haid baik dalam hal jumlah maupun lamanya. Manifestasi klinis dapat berupa perdarahan banyak, sedikit, siklus haid yang memanjang atau tidak beraturan. Terminologi menoragia saat ini diganti dengan perdarahan haid banyak atau heavy menstrual bleeding sedangkan perdarahan uterus abnormal yang disebabkan oleh faktor koagulopati, gangguan hemostasis lokal endometrium dan gangguan ovulasi merupakan kelainan yang sebelumnya termasuk dalam perdarahan uterus disfungsional (PUD).3,4,5Perdarahan uterus abnormal terbagi menjadi:61. Perdarahan uterus abnormal akut didefinisikan sebagai perdarahan haid yang banyak sehingga perlu dilakukan penanganan yang cepat untuk mencegah kehilangan darah. Perdarahan uterus abnormal akut dapat terjadi pada kondisi PUA kronik atau tanpa riwayat sebelumnya.2. Perdarhan uterus abnormal kronik merupakan terminologi untuk perdarahan uterus abnormal yang telah terjadi lebih dari 3 bulan. Kondisi ini biasanya tidak memerlukan penanganan yang cepat dibandingkan dengan PUA akut.3. Perdarahan tengah (intermenstrual bleeding) merupakan perdarahan haid yang terjadi diantara 2 siklus haid yang teratur. Perdarahan dapat terjadi kapan saja atau dapat juga terjadi di waktu yang sama setiap siklus. Istilah ini ditujukan untuk mengganti terminlogi metroragia. 2

Pola Perdarahan Uterus Disfungsional8A. Perdarahan uterus abnormal yang terjadi tanpa kelainan pada saluran reproduksi, penyakit medis tertentu atau kehamilan. Diagnosis PUD ditegakkan perekslusionam.B. Perdarahan akut dan banyak merupakan perdarahan menstruasi dengan jumlah darah haid > 1 tampon per jam dan atau disertai dengan gangguan hipovolemik.C. Perdarahan ireguler meliputi metroragia, menometroragia, oligomenore, perdarahan haid yang lama (> 12 hari), perdarahan antara 2 siklus haid dan pola perdarahan lain yang ireguler. Pasien usia perimenars yang mengalami gangguan haid tidak dimasukkan dalam kelompok ini karena kelainan ini terjadi akibat belum matangnya poros hipothalamus hipofisis ovarium.D. Menoragia merupakan perdarahan menstruasi dengan jumlah darah haid > 80 cc atau lamanya > 7 hari pada siklus yang teratur. Bila perdarahannya terjadi > 12 hari harus dipertimbangkan termasuk dalam perdarahan ireguler.

Sistem klasifikasi PALM COEINBerdasarkan International Federation of Gynecology and Obstetrics (FIGO), terdapat 9 kategori utama disusun sesuai dengan akronim PALM COEIN yakni: polip, adenomiosis, leiomioma, malignancy dan hiperplasia, coagulopathy, ovulatory dysfunction, endometrial, iatrogenik, dan not yet classified.3Kelompok PALM merupakan kelainan struktur yang dapat dinilai dengan berbagai teknik pencitraan dan atau pemeriksaan histopatologi. Kelompok COEIN merupakan kelinan non strruktural yang tidak dapat dinilai dengan teknik pencitraan atau histopatologi. Sistem klasifikasi tersebut disusun berdasarkan pertimbangan bahwa seorang pasien dapat memiliki satu atau lebih faktor penyebab PUA.

A. Polip (PUA-P)Terdapat sedikit kontroversi dalam pencantuman endometrial atau endocervical polipDefinisi : Pertumbuhan lesi lunak pada lapisan endometrium uterus, baik bertangkai maupun tidak, berupa pertumbuhan berlebih dari stroma dan kelenjar endometrium dan dilapisi oleh epitel endometriumGejala : Polip biasanya bersifat asimptomatik, tetapi dapat pula menyebabkan PUA. Lesi umumnya jinak, namun sebagian kecil atipik atau ganas.Diagnostik : Diagnosis polip ditegakkan berdasarkan pemeriksaan USG dan atau histeroskopi, dengan atau tanpa hasil histopatologi. Histopatologi pertumbuhan eksesif lokal dari kelenjar dan stroma endometrium yang memiliki vaskularisasi dan dilapisiolehepitel endometrium.2,3

Hasil USG2

Histopatologi2

Histerektomi2B. Adenomiosis (PUA-A)Definisi : Dijumpai jaringan stroma dan kelenjar endometrium ektopik pada lapisan miometriumGejala : Nyeri haid, nyeri saat snggama, nyeri menjelang atau sesudah haid, nyeri saat buang air besar, atau nyeri pelvik kronik Gejala nyeri tersebut diatas dapat disertai dengan perdarahan uterus abnormal.Diagnostik : Kriteria adenomiosis ditentukan berdasarkan kedalaman jaringan endometrium pada hasil histopatologi Adenomiosis dimasukkan ke dalam sistem klasifikasi berdasarkan pemeriksaan MRI dan USG Mengingat terbatasnya fasilitas MRI, pemeriksaan USG cukup untuk mendiagnosis adenomiosis Hasil USG menunjukkan jaringan endometrium heterotopik pada miometrium dan sebagian berhubungan dengan adanya hipertrofi miometrium. Hasil histopatologi menunjukkan dijumpainya kelenjar dan stroma endometrium ektopikpadajaringan miometrium.3

C. Leiomioma (PUA-L)Tumor jinak fibromuskular dari myometrium dikenal denganbeberapa nama yaitu leiomyoma, mioma, dan sering digunakan nama fibroid. Prevalensi dari mioma adalah 70% pada wanita kaukasian, dan 80% pada wanita keturunan Africa.Definisi : Pertumbuhan jinak otot polos uterus pada lapisan miometriumGejala : Perdarahan uterus abnormal Penekanan terhadap organ sekitar uterus, atau benjolan dinding abdomenDiagnostik : Mioma uteri umumnya tidak memberikan gejala dan biasanya bukan penyebab tunggal PUA Pertimbangan dalam membuat sistem klasifikasi mioma uteri yakni hubungan mioma uteri denga endometrium dan serosa lokasi, ukuran, serta jumlkah mioma uteri.Berikut adalah klasifikasi mioma uteri :a. Primer : ada atau tidaknya satu atau lebih mioma uterib. Sekunder : membedakan mioma uteri yang melibatkan endometrium (mioma uteri submukosum) dengan jenis mioma uteri lainnya.c. Tersier : Klasifikasi untuk mioma uteri submukosum, intramural dan subserosum.2,3

D. Malignancy and hyperplasia (PUA-M)Definisi : Pertumbuhan hiperplastik atau pertumbuhan ganas dari lapisan endometriumGejala : Perdarahan uterus abnormalDiagnostik : Meskipun jarang ditemukan, namun hiperplasia atipik dan keganasan merupakan penyebab penting PUA Klasifikasi keganasan dan hiperplasia menggunakan sistem klasifikasi FIGO dan WHO Diagnostik pasti ditegakkan berdarkan pemeriksaan histopatologi. Ketika premalignant hyperplasia atau malignancy telah diidentifikasi pada wanita dengan perdarahan uterus abnormal pada usia reproduksi, maka diklasifikasikan dalam PUA-M dan di subklasifikasikan lagi berdasarkan sistem klasifikasi FIGO atau WHO.2,3 E. Coagulopathy (PUA-C)Definisi : Gangguan hemostatis sistemik yang berdampak terhadap perdarahan uterusGejala : Perdarahan uterus abnormalDiagnostik : Terminologi koagulopati digunakan untuk kelainan hemostatis sistemik yang terkait dengan PUA Tiga belas persen perempuan dengan perdarahan haid banyak memiliki kelainan hemostatis sistemik, dan yang paling sering ditemukan adalahpenyakit von Willebrand.3

F. Ovulatory dysfunction (PUA-O)Definisi : Kegagalan ovulasi yang menyebabkan terjadinya perdarahan uterusGejala : Perdarahan uterus abnormalDiagnostik : Gangguan ovulasi merupakan salah satu penyebab PUA dengan manifestasi perdarahan yang sulit diramalkan dan jumlah darah yang bervariasi Dahulu termasuk dalam kriteria Perdarahan uterus disfungsional (PUD) Gejala bervariasi mulai dari amenorea, perdarahan ringan dan jarang, hingga perdarahan haid banyak Gangguan ovulasi dapat disebabkan oleh sindrom ovarioum polikistik, hiperprolaktenemia, hipotiroid, obesitas, penurunan berat badan, anoreksia atau olahragaberat yang berlebihan.3

G. Endometrial (PUA-E)Definisi : Gangguan hemostatis lokal endometrium yang memiliki kaitan erat dengan terjadinya perdarahan uterus.Gejala : Perdarahan uterus abnormalDiagnostik : Perdarahan uterus abnormal yang terjadi pada perempuan dengan siklus haid teratur Penyebab perdarahan pada kelompok ini adalah gangguan hemostatis lokal endometrium

Adanya penurunan produksi faktor yang terkait vasokonstriksi seperti endothelin-1 dan prostaglandin F2 serta peningkatan aktifitas fibrinolitik Gejala lain kelompok ini adalah perdarahan tengah atau perdarahan yang berlanjut akibat gangguan hemostasis lokal endometrium Diagnosis PUA-E ditegakkan setelah menyingkirkan gangguan lain pada siklushaid yang berovulasi.3

H. Iatrogenik (PUA-I) Perdarahan uterus abnormal yang berhubungan dengan intervensi medis seperti penggunaan estrogen, progestin, AKDR. Perdarahan haid diluar jadwal yang terjadi akibat penggunaan estrogen atau progestin dimasukkan dalam istilah perdarahan sela atau breakthrough bleeding. Perdarahan sela terjadi karena rendahnya konsentrasi estrogen dalam sirkulasi yang disebabkan oleh sebagai berikut : Pasien lupa atau terlambat minum pil kontrasepsi Pemakaian obat tertentu seperti rifampisin Perdarahan haid banyak yang terjadi pada perempuan pengguna anti koagulan ( warfarin, heparin, dan low molecular weight heparin) dimasukkan kedalamklasifikasi PUA-C.3

I. Not yet classified (PUA-N) Kategori not yet classified dibuat untuk penyebab lain yang jarang atau sulit dimasukkan dalam klasifikasi Kelainan yang termasuk dalam kelompok ini adalah endometritis kronik atau malformasi arteri-vena Kelainan tersebut masih belum jelas kaitannya dengan kejadian PUA.3

Manifestasi KlinisPerdarahan uterus abnormal akut :3a. Jika perdarahan aktif dan banyak disertai dengan gangguan hemodinamik dan atau Hb < 10 g/dl perlu dilakukan rawat inapb. Jika hemodinamik stabil, cukup rawat jalan (kemudian ke langkah D)c. Pasien rawat inap, berikan infus cairan kristaloid, oksigen 2 liter/menit dan transfusi darah jika Hb < 7 g/dl, untuk perbaikan hemodinamikd. Stop perdarahan dengan estrogen ekuin konjugasi (EEK) 2-5 mg (rek b) per oral setiap 4-6 jam, ditambah prometasin 25 mg per oral atau injeksi IM setiap 4-6 jam (untuk mengatasi mual). Asam traneksamat 3x1 gr (rek A) atau anti inflamasi non steroid 3x500 mg diberikan bersama dengan EEK. Untuk pasien dirawat, dapat dipasang balon kateter foley no 10 ke dalam uterus dan diisi cairan kurang lebih 15 ml, dipertahankan 12-24 jam.e. Jika perdarahan tidak berhenti dalam 12-24 jam alkukan dilatasi dan kuretase. f. Jika perdarahan berhenti dalam 24 jam, lanjutkan dengan kontrasepsi oral kombinasi (KOK) 4x1 tablet perhari (4 hari), 3x1 tablet perhari (3 hari), 2x1 tablet perhari (2 hari) dan 1x 1 tablet (3 minggu) kemudian stop 1 minggu, dilanjutkan KOK siklik 3 minggu dengan jeda 1 minggi selama 3 siklus atau LNG-IUS.g. Jika terdapat kontraindikasi KOK, berikan medroksi progesteron asetat (MPA) 10 mg perhari (7 hari) siklik selama 3 bulanh. Untuk riwayat perdarahan berulang sebelumnya injeksi gonadotropin releasing hormone (GnRH) agonis dapat diberikan bersamaan dengan pemberian KOK untuk stop perdarahan (langkah D). GnRH diberikan 2-3 siklus dengan interval 4 minggu.i. Ketika hemodinamik pasien stabil, perlu upaya diagnostik untuk mencari penyebab perdarahan. Lakukan pemeriksaan USG transvaginal/ transrektal , periksa darah perifer lengkap (DPL) , hitung trombosit , prothrombin time (PT) , activated partial thromboplastin time (aPTT) dan thyroid stimulating hormone (TSH). Saline Infused Sonohysterogram (SIS) dapat dilakukan jika endometrium yang terlihat tebal, untuk melihat adanya polip endometrium atau mioma submukosim.j. Jika terapi medika mentosa tidak berhasil atau ada kelainan organik, maka dapat dilakukan terapi pembedahan seperti ablasi endometrium , miomektomi, polipektomi, histerektomi. 3

Panduan Investigasi Perdarahan Uterus Abnormal Akut dan Banyak5

Perdarahan uterus abnormal kronik1a. Jika dari anamnesa yang terstruktur ditemukan bahwa pasien mengalami satu atau lebih kondisi perdarahan yang lama dan tidak dapat diramalkan dalam 3 bulan terakhir.b. Pemeriksaan fisik berikut dengan evaluasi rahim, pemeriksaan darah perifer lengkap wajib dilakukan.c. Pastikan fungsi ovulasi dari pasien tersebut.d. Tanyakan pada pasien adakah penggunaan obat tertentu yang dapat memicu PUA dan lakukan juga pemeriksaan koagulopati bawaan jika terdapat indikasie. Pastikan apakah pasien masih ingin menginginkan keturunanf. Anamnesis dilakukan untuk menilai ovulasi, kelainan sistemik, dan penggunaan yang mempengaruhi kejadian PUA. Keinginan pasien untuk memiliki keturunan dapat menetuka penanganan selanjutnya. Pemeriksaan tambahan meliputi pemeriksaan darah perifer lengkap, pemeriksaan untuk menilai gangguan ovulasi (fungsi tiroid, prolaktin, dan androgen serum) serta pemeriksaan hemostasis.3

Panduan Investigasi Perdarahan Uterus Abnormal Kronik5

Panduan Investigasi Evaluasi Uterus5

Tatalaksana AUB-O dan AUB-E:1,7,8

A. Ovulatory dysfunction Gangguan ovulasi merupakan salah satu penyebab PUA dengan manifestasi klinik perdarahan yang sulit diramalkan dan jumlah darah yang bervariasi Pemeriksaan hormon tiroid dan prolaktin perlu dilakukan terutama pada keadaan oligomenorea bila dijumpai hiperprolaktinemia yang disebabkan oleh hipotiroid maka kondisi ini harus diterapi Pada perempuan umur > 45 tahun atau dengan risiko tinggi keganasan endometrium perlu dilakukan pemeriksaan USG transvaginal dan pengambilan sampel endometrium Bila tidak dijumpai faktor resiko untuk keganasan endometrium lakukan penilaian apakah pasien menginginkan kehamilan atau tidak Bila menginginkan kehamilan dapat langsung mengikuti prosedur tatalaksana infertilitas Bila pasien tidak menginginkan kehamilan dapat diberikan terapi hormonal dengan menilai ada atau tidaknya kontraindikasi terhadap PKK Bila tidak dijumpai kontraindikasi dapat diberikan PKK selama 3 bulan (rekomendasi A) Bila dijumpai kontraindikasi pemberian PKK dapat diberikan preparat progestin selama 14 hari, kemudian stop 14 hari. Hal ini diulang sampai 3x siklus Setelah 3 bulan lakukan evaluasi untuk menilai hasil pengobatan Bila keluhan pasien berkurang pengobatan hormonal dapat dilanjutkan atau di stop sesuai keinginan pasien Bila keluhan tidak berkurang lakukan pemberian PKK atau progestin dosis tinggi (naikkan dosis setiap 2 hari sampai perdarahan berhenti atau dosis maksimal). Perhatian terhadap kemungkinan munculnya efek samping sepert sindrom pra haid. Lakukan pemeriksaan ulang dengan USG TV atau SIS untuk menyingkirkan kemungkinan adanya polip endometrium atau mioma uteri. Pertimbangkan tindakan kuretase untuk menyingkirkan keganasan endometrium. Bila pengobatan medikamentosa gagal, dapat dilakukan ablasi endometrium, reseksi mioma dengan histeroskopi dan histerektomi. Tindakan ablasi endometrium pada perdarahan uterus yang banyak dapat ditawarkan setelah memberikan informed consent yang jelas pada pasien. Pada uterus dengan ukuran < 10 minggu.

Penanganan ovulatory dysfunction5

B. Endometrial Perdarahan uterus abnormal yang terjadi pada perempuan dengan siklus haid yang teratur Pemeriksaan fungsi tiroid dilakukan bila didapatkan gejala dan tanda hipotiroid atau hipertiroid pada anamnesis dan pemeriksaan fisik. Pemeriksaan USG transvaginal dan SIS terutama dapat dilakukan untuk menilai kavum uteri Jika pasien memerlukan kontrasepsi lanjutkan ke G, jika tidak lanjutkan ke point 4 Asam traneksamat 3x1 g dan asam mefenamat 3x500mg merupaka pilihan lini pertama dalam tatalaksana menoragia Lakukan observasi selama 3 sillus menstruasi Jika respon pengobatan tidak adekuat lanjutkan ke point 7 Nilai apakah terdapat kontraindikasi pemberian PKK PKK mampu mengurangi jumlah perdarahan dengan menekan pertumbuhan endometrium. Dapat dimulai pada hari apa saja, selanjutnya pada hari pertama siklus menstruasi Jika pasien memiliki kontraindikasi terhadap PKK maka dapat diberikan preparat progestin siklik selama 14 hari diikuti dengan 14 hari tanpa obat. Kemudian diulang selama 3 siklus. Dapat ditawarkan penggunaan LNG-IUS Jika setelah 3 bulan, respon pengobatan tidak adekuat dapat dilakukan penilaian USG transvaginal atau SIS untuk menilai kavum uteri Jika dengan USG TV atau SIS didapatkan polip atau mioma submukosum segera pertimbangkan untuk melakukan reseksi dengan histeroskopi Jika hasil USG TV atau SIS didapatkan ketebalan endometrium > 10 mm, lakukan pengambilan sampel endometrium untuk menyingkirkan kemungkinan hiperplasia Jika terdapat adenomiosis dapat dilakukan pemeriksaan MRI, terapi dengan progestin, LNG IUS, GnRH atau histerektomi Jika hasil pemeriksaan USG TV atau SIS menunjukkan hasil normal atau terdapat kelainan tetapi tidak dapat dilakukan terapi konservatif maka dilakukan evaluasi terhadap funsi reproduksinya Jika pasien sudah tidak menginginkan fungsi reproduksi dapat dilakukan ablasi endometrium atau histerektomi. Jika pasien masih ingin mempertahankuan fungsi reproduksi anjurkan pasien untuk mencatat siklus haidnya dengan baik dan memantau kadar HB

Penanganan Endometrial5

ABLASI ENDOMETRIAL

Teknik ablasi endometrial merupakan terapi alternatif dari histerektomi. Teknik ablasi endometrial merupakan suatu prosedur yang secara permanen menghancurkan endometrium untuk menghentikan atau mengurangi perdarahan menstruasi. Definisi ablasi endometrium adalah tindakan melepaskan dan mengeluarkan (destruksi) seluruh jaringan endometrium dan kadang-kadang sampai jaringan dibawahnya (miometrium) dari kavum uteri. Prinsip tindakan ini adalah kuretase dan hemostasis dengan cara refleksi perhisteroskopi memakai kauterisasi, laser atau termal. Ablasi endometrium tidak menjamin terjadinya amenorea sehingga kadang-kadang diperlukan therapy medis untuk menekan pertumbuhan endometrium karena ablasi endometrium akan lebih berhasil jika endometrium tipis.Beberapa teknik ablasi endometrium digolongkan menjadi generasi pertama dan generasi kedua. Generasi pertama diperkenalkan pertama kali pada awal tahun 1980, menggunakan energi listrik, suhu dan laser. Teknik ablasi endometrium generasi pertama yang paling sering dan luas digunakan adalah trancervical resection of endometrium (TCRE) yang menggunakan loop diathermy electrode dan Roller-ball ablation (RB) menggunakan elektroda dengan bola yang bergerak atau silinder. Semua teknik ini memerlukan tenaga yang sudah terlatih dan visualisasi dari endometrium dengan menggunakan hysteroscope dan keberhasilanya tergantung dari keterampilan serta pengalaman operator. Efek samping EA generasi pertama berupa electrosurgical burn , perforasi uterus, perdarahan, infeksi dan overload cairan. Terjadinya histerektomi emergensi akibat efek samping EA generasi pertama dilaporkan 6,6 per 1000 prosedur dan mortalitas 0,2 per 1000. Sejak tahun 1990, generasi kedua mulai dikembangkan dengan tujuan mendapatkan tehnik yang lebih mudah, cepat dan efektif dibandingkan generasi pertama untuk terapi menorrhagia.1 Yang termasuk generasi kedua adalah Thermal Balloon endometrial ablation (TBEA), Microwave endometrial ablation (MEA), Radiofrequency dan cryotherapy serta fotodinamik therapy. Teknik AE generasi kedua yang sering digunakan adalah TBEA dan MEA. Teknik ini tidak memerlukan visualisasi kavum uteri secara langsung dan dapat dilakukan dengan anestesi lokal.

PEMBAHASAN JURNAL

Pola Perdarahan Uterin Pre Operasi dan Resiko Kegagalan Ablasi Endometrial9Objektif : objektif dari penelitian ini adalah untuk membandingkan antara wanita yang menderita resiko ablasi endometrial dari kegagalan terapi dan prosedur ginekologis subsekuen antara wanita dengan perdarahan uterin berat yang regular dan irregular dan menentukan karakteristik lain yang beraitan dengan resiko kegagalan terapiDesain Penelitian : Penelitian ini adalah kohort retrospektif dari 968 wanita yang telah menjalani ablasi endometrial antara Januari 2007 dan juli 2009. Pola perdarahan preoperative dikategorikan sebagai regular atau irregular. Kegagalan terapi didefinisikan sebagai reablasi atau histerektomi. Prosedur ginekologis subsekuen termasuk biopsi endometrial, dliatasi dan kuretase, histeroskopi, reablasi atau histerektomi. Kami menghitung rasio kegagalan terapi dan prosedur ginekologis menggunakan regresi logistic multipleHasil : Pola perdarahan sebelum ablasi adalah berat dan regular pada 30% ( n = 293 ), berat dan irregular pada 36% ( n = 352 ) dan tidak spesifik pada 30% ( n = 286 ). Kami menemukan tidak ada perbedaan pada kegagalan terapi ( 13 % vs 12 %, P = .9) atau prosedur subsekuen ( 16% vs 18%, P = .7) di antara wanita dengan perdarahan regular dan irregular. Dibandingkan wanita dengan perdarahan regular, wanita dengan perdarahan irregular tidak meningkatkan rasio kegagalan terapi atau prosedur subsekuen ( odds ratio [OR], 1.07; tingkat kepercayaan 95% [CI], 0.65 1.74 dan OR, 1.17; 95% CI, 0.76 1.80, masing masing). Faktor yang berkaitan dengan peningkatan rasio kegagalan terapi dan prosedur subsekuen termasuk liasi tuba ( OR, 1.94; 95% CI, 1.30 2.91 dan OR, 1.71; 95% CI, 1.20 2.43, masing masing); dismenorrhea (OR, 2.42; 95% CI, 1.44 4.06 dan OR, 1.93; 95% CI, 1.20 3.13, masing masing) dan obesitas ( OR, 1.82; 95% CI, 1.21 2.73 dan OR, 1.75; 95% CI, 1.22 2.50, masing masing)

Kesimpulan : Pola perdarahan preoperative nampaknya tidak mempengaruhi angka kegagalan atau kebutuhan prosedur ginekologis setelah ablasi endometrial. Faktor resiko lain dari kegagalan ablasi yang teridentifikasi meliputi dismenorrhea preoperative, ligasi tuba sebelumya dan obesitas.

Komentar

Dalam penelitian retrospektif kami membandingkan wanita dengan perdarahan berat tidak teratur dengan wanita dengan perdarahan berat regular yang menjalani ablasi endometrium , kami tidak menemukan perbedaan dalam kejadian kegagalan pengobatan atau prosedur ginekologi di periode 3 tahun setelah ablasi endometrium dilakukan. Selain itu, kami menemukan bahwa riwayat ligasi tuba, nyeri panggul atau dismenore, dan obesitas adalah faktor risiko kegagalan pengobatan dan prosedur ginekologi tambahan.

Tujuan dari prosedur ablasi endometrium adalah untuk menghancurkan endometrium hingga lapisan basalis. Ablasi endometrium tidak membahas patologi yang mendasari AUB-O, yaitu disfungsi ovulasi yang mengarah ke gangguan proliferasi endometrium, yang pada gilirannya menyebabkan pola perdarahan tidak teratur. Karena itu, akan masuk akal bahwa pasien dengan perdarahan uterus berat dan tidak teratur mungkin kurang puas dan dengan demikian lebih mungkin untuk mencari pengobatan alternatif. Namun, kami tidak menemukan perbedaan kegagalan pengobatan antara wanita dengan perdarahan tidak teratur dan wanita dengan pola perdarahan regular.

Ada beberapa penjelasan yang mungkin mengapa kita tidak menemukan perbedaan antara perempuan dengan perdarahan berat dan regular dan wanita dengan perdarahan berat dan tidak teratur. Penjelasan pertama adalah bahwa tidak ada perbedaan yang nampak, bahwa perdarahan menjadi lebih ringan setelah ablasi, bahkan jika tidak teratur dalam hal prediktabilitas dan waktu, merupakan hasil yang memuaskan bagi wanita yang mengalami perdarahan yang berat dan tidak teratur sebelum mereka melakukan ablasi.

Penjelasan alternatif untuk kegagalan menemukan perbedaan adalah bahwa wanita dengan perdarahan tidak teratur dalam penelitian kohort retrospektif mungkin telah secara hati-hati dipilih sebagai calon untuk ablasi oleh dokter mereka didasarkan pada penilaian klinis bahwa pasien akan cenderung memiliki tingkat keberhasilan prosedur yang tinggi. Ada kemungkinan bahwa wanita dengan perdarahan yang tidak teratur, menurut pendapat dokter mereka dianggap masih memiliki risiko kegagalan yang tinggi, mungkin telah menasihati tentang risiko ini dan memilih untuk tidak menjalani ablasi endometrium. Angka kegagalan kita 12% di 3 tahun sedikit lebih rendah dari tingkat kegagalan 16-40% setelah 3-5 tahun yang ditemukan dalam penelitian sebelumnya.

Mirip dengan studi sebelumnya, kami menemukan bahwa riwayat ligasi tuba dan rasa sakit di panggul atau dismenore merupakan faktor risiko kegagalan pengobatan dan prosedur ginekologi tambahan. Ligasi tuba merupakan faktor risiko mapan untuk histerektomi setelah ablasi endometrium sekunder untuk sindroma sterilisasi tuba postablasi. Sindrom ini adalah diduga hasil dari retrograde menstruasi menjadi obstruksi di tuba Fallopi.

Juga, nyeri pra operasi yang disebabkan oleh endometriosis, leiomyoma, atau sumber di luar saluran reproduksi tidak dapat diatasi dengan ablasi, dan studi sebelumnya telah mengidentifikasi nyeri panggul pra operasi sebagai faktor risiko untuk histerektomi setelah ablasi endometrium. Kami memilih untuk mempertimbangkan histerektomi untuk indikasi jinak setelah kinerja ablasi endometrium dianggap gagal.

Definisi kita tentang kegagalan pengobatan tidak identik dengan ketidakpuasan dengan perdarahan uterus atau perdarahan uterus abnormal yang terus berlangsung. Di dalampenelitian, pasien dengan rasa sakit panggul yang sudah ada sebelumnya atau ligasi tuba yang menjalani histerektomi mungkin telah benar-benar puas dengan terhentinya perdarahan mereka meskipun merasa tidak puas dengan nyeri panggul setelah ablasi. Kami masih menganggap kasus ini sebagai kegagalan pengobatan karena ablasi endometrium gagal memungkinkan pasien untuk menghindari histerektomi dan bukan prosedur definitive akhir. Hal ini menunjukkan bahwa untuk pasien dengan AUB dan nyeri panggul atau dismenore yang dilanjutkan dengan histerektomi sebagai intervensi bedah awal pada populasi ini dapat membuktikan pemanfaatan sumber daya kesehatan yang lebih baik.

Berbeda dengan penelitian lain, kami menemukan faktor obesitas yang signifikan terkait dengan kegagalan pengobatan. Sebuah penelitian kohort retrospektif dari 666 wanita, termasuk 263 wanita gemuk, tidak menemukan perbedaan dalam kegagalan pengobatan antara wanita obesitas dan non obesitas. Sebuah penelitian retrospektif kecil dari 66 wanita ditemukan tren non signifikan terhadap kegagalan pengobatn pada wanita dengan indeks massa tubuh yang lebih besar dari 34 kg / m2. Populasi penelitian kami yang lebih besar telah memungkinkan deteksi perbedaan dalam kegagalan pengobatan antara wanita obesitas dan non obesitas. Meskipun penelitian sebelumnya mengidentifikasi usia saat ablasi dan paritas sebagai faktor risiko untuk kegagalan, faktor factor ini tidak terkait dengan kegagalan pengobatan dalam penelitian kami.

Kekuatan utama dari penelitian ini adalah ukuran sampel yang besar dan investigasi situasi klinis yang biasa ditemui yang belum dipelajari secara adekuat. Kami mampu melihat kegagalan pengobatan dan prosedur ginekologi berikutnya dalam kohort retrospektif di lembaga kami karena populasi klinis kami sangat stabil:

Data sensus telah menunjukkan bahwa lebih dari 85% dari penduduk Rhode Island tinggal di rumah yang sama dari tahun ke tahun. Keterbatasan penelitian ini adalah bahwa dengan desain kohort retrospektif, kami terbatas pada dokumentasi oleh dokter dalam rekam medis. Untuk menghindari bias kesalahan klasifikasi, yang bisa mengarah pada temuan palsu tidak ada hubungan antar kelompok, kami mendirikan kriteria standar yang ketat untuk klasifikasi pola perdarahan, dan pola perdarahan ditentukan hanya oleh peneliti utama. Seleksi bias ini dihindari dengan mengumpulkan data pada semua ablasi endometrium yang dilakukan di lembaga kami selama periode waktu, dan kita menghindari bias pemastian baik dengan memnentukan pola perdarahan sebelum mengumpulkan data intervensi ginekologi berikutnya atau memiliki resensi terpisah untuk klasifikasi dari variabel independen dan variabel dependen.

Kami tidak dapat menilai kepuasan pasien dan kualitas hidup setelah ablasi dengan desain penelitian ini. Rekam medis tidak memiliki detail yang cukup untuk mengklasifikasikan pola pendarahan untuk sejumlah besar pasien (33%); Namun, mengingat bahwa kita meninjau sejumlah besar catatan medis, kami memiliki kekuatan yang cukup untuk membandingkan wanita dengan perdarahan berat dan teratur dan pola perdarahan berat dan tidak teratur.

Kami juga tidak mengumpulkan data tentang penggunaan terapi medis selanjutnya (Yaitu, agen hormonal oral atau alat kontrasepsi levonorgestrel) untuk pengobatan perdarahan atau nyeri, yang juga menunjukkan kegagalan ablasi. Akhirnya, karena 99,3% dari ablasi kami dilakukan dengan menggunakan ablasi endometrium radio frekuensi bipolar, temuan kami mungkin tidak dapat digeneralisasikan dengan jenis ablasi endometrium lainnya.Masalah yang muncul bahwa melakukan ablasi endometrium pada wanita dengan AUB-O tidak hanya dapat menghasilkan hasil yang kurang memuaskan, tetapi juga bisa membuat sulit untuk mengevaluasi perkembangan hiperplasia endometrium dan kanker bagi perempuan-perempuan setelah ablasi. Paparan estrogen jangka panjang, yang dapat terjadi pada obesitas, sindrom polikistik ovarium, dan mungkin AUB-O kronis menempatkan pasien pada risiko hyperplasia endometrium di masa depan dan kanker. Satu studi besar oleh Dood et al yang menangani masalah klinis spesifik ini gagal untuk menunjukkan perbedaan dalam kejadian kanker endometrium dan interval dari tindakan pengobatan hingga diagnosis kanker antara wanita dengan AUB yang menjalani ablasi dan diperlakukan dengan terapi medis. Namun demikian, tantangan dalam mengevaluasi AUB setelah ablasi dan risiko hiperplasia tetap menjadi perhatian untuk wanita dengan AUB-O.

Hasil penelitian ini tidak menyarankan bahwa ablasi endometrium adalah pilihan yang baik untuk semua pasien dengan AUB-O melainkan bahwa mungkin merupakan pilihan yang masuk akal untuk populasi yang dipilih dan konseling dengan wanita AUB-O. American College of Obstetricians dan Gynecologists menyatakan bahwa "wanita dengan perdarahan uterus anovulasi adalah kandidat untuk ablasi endometrium jika mereka telah gagal dalam terapi medis dan telah melahirkan anak mereka. " Seperti kita sebutkan sebelumnya sangat mungkin, terutama mengingat rendahnya angka kegagalan pengobatan kami, bahwa pasien AUB O kohort kami dan berbagai faktor risiko untuk hiperplasia endometrium diarahkan untuk pilihan pengobatan lain selain ablasi.

Sebagai kesimpulan, kami menemukan tingkat kegagalan pengobatan yang sama setelah ablasi endometrium pada wanita dengan perdarahan uterus berat dan teratur dan wanita dengan perdarahan uterus berat dan tidak teratur. Wanita dengan riwayat ligasi tuba, nyeri panggul, dan obesitas meningkatkan peluang kegagalan pengobatan. Hasil kami mendukung bahwa ablasi endometrium menjadi pengobatan yang sesuai untuk wanita dengan perdarahan berat dan tidak teratur (AUB-O) yang telah gagal atau tidak menerima pengobatan medis dan ingin menghindari peningkatan morbiditas histerektomi. Pemahaman lebih baik pada faktor yang terkait dengan kegagalan pengobatan dan kebutuhan prosedur ginekologi selanjutnya setelah ablasi endometrium akan memberikan informasi lebih baik dalam hal konseling populasi wanita yang mencari pengobatan untuk AUB

KESIMPULAN

PALM COEIN adalah suatu sistem klasifikasi untuk etiologi dari perdarahan uterus abnormal. PALM COEIN terdiri dari Polip, Adenomiosis, Leiomyoma, Maligancy and Hyperplasia, Coagulopathy, Ovulatory dysfunction, Endometrial, Iatrogenik, dan Not yet classified. Perdarahan uterus Abnormal terbagi menjadi 3 yaitu akut, kronik, dan intermenstrual bleeding yang digunakan untuk menggantikan terminologi metroragia.Teknik ablasi endometrial merupakan salah satu tatalaksana untuk perdarahan uterine abnormal. Teknik ablasi endometrial merupakan suatu prosedur yang secara permanen menghancurkan endometrium untuk menghentikan atau mengurangi perdarahan menstruasi. Hasil penelitian mendukung bahwa pola perdarahan preoperative nampaknya tidak mempengaruhi angka kegagalan atau kebutuhan prosedur ginekologis setelah ablasi endometrial. Faktor resiko lain dari kegagalan ablasi yang teridentifikasi meliputi dismenorrhea preoperative, ligasi tuba sebelumya dan obesitas.

Daftar Pustaka

1. Baziad, Ali; Hestiantoro, Andon; Wiweko, Budi. Panduan Tatalaksana Perdarahan Uterus Abnormal. Himpunan Endokrinologi Reproduksi dan Fertilitas Indonesia. Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia. Jakarta. 2011.2. Munro, malcom; Hilary O.D. Critchley, Michael S Broder, Ian S Fraser. 2011. FIGO Classification System (PALM-COEIN) for Causes of Abnormal Uterine Bleeding in Nongravid Women of Reproductive Age. Diunduh dari http://gineteca.com/app/download/5784622793/FIGO+classification+system+(PALM-COEIN)+for+causes+of+abnormal+uterine+bleeding.pdf. Diakses pada: 5 April 2014.3. Callahan, TL, and Cughey, AB. Obstetric dan Gynecology 5th ed. Lippincott Williams and Wilkins, Philadelphia, 2009.4. Mansjoer Arif dkk. Kapita Selekta Kedokteran Jilid I. Media Aesculaplus. Jakarta. 2001.5. Prawirohardjo, Sarwono. Ilmu Kandungan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka. 1999.6. Benson, RC dan Pemoll, ML. Buku Saku Obstetri dan Ginekologi Edisi 9. McGraw-Hill Education Asia dan Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta. 1994.7. Achadiat, CM. Prosedur Tepat Obstetri dan Ginekologi. Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta. 2003.8. Karkata Kornia Made, et al. Perdarahan Uterus Disfungsional dalam Pedoman Diagnosis Terapi dan Bagan Alir Pelayanan Pasien. 2003: 68-71.9. Smithling Katelyn, et al. Preoperative uterine bleeding pattern and risk of endometrial ablation failure. 2014. Diunduh dari: www.ajog.org diakses tanggal: 27 Maret 2015.- 25 -