jurnal peternakan

download jurnal peternakan

of 9

description

jurnal makalah

Transcript of jurnal peternakan

  • Lokakarya Nasional Ketersediaan IPTEK dalam Pengendalian Penyakit Stategis pada Ternak Ruminansia Besar

    122

    GAMBARAN AGEN PARASIT PADA TERNAK SAPI POTONG DI SALAH SATU PETERNAKAN DI SUKABUMI

    TOLIBIN ISKANDAR

    Balai Besar Penelitian Veteriner, PO Box 151, Bogor 16114

    ABSTRAK

    Pertumbuhan sapi sangat dipengaruhi oleh lingkungan dimana ternak dikembang-biakan. Pemerintah tidak lagi membuka impor sapi bakalan yang siap digemukkan untuk memenuhi kebutuhan akan daging. Sapi bakalan dan kerbau didatangkan dari Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur oleh Peternakan sapi potong di Cicurug, Sukabumi dengan tujuan penggemukan dan mengantisipasi kekurangan daging di Jawa Barat dan DKI Jakarta. Karena sering terjadi kasus kematian sapi bakalan dan sapi dewasa. Maka pada bulan September 2005 telah diambil sampel ulas darah dari 40 ekor sapi secara random dan 10 sampel feses dari sapi klinis diare. Sampel diperiksa di Kelti Parasitologi Balai Besar Penelitian Veteriner Bogor. Hasil pemeriksaan darah menunjukkan hasil satu ekor positif Trypanosoma evansi (2,5%), dan 17 ekor positif Theileria sp (42,5%). Sementara itu, hasil pemeriksaan feses positif mengandung Fasciola gigantica, Mecistocirrus digitatus dan Coccidia. Penyakit akibat parasit dapat menyebabkan kematian hospes apabila jumlah investasi banyak kematian hospes dapat pula terjadi akibat stres.

    Kata kunci: Sapi potong, T. evansi, Theileria sp, F. gigantica, M. digitatus, Coccidia

    PENDAHULUAN

    Peningkatan jumlah penduduk, pendapatan per kapita dan masyarakat Indonesia berpengaruh terhadap kebutuhan akan sandang, pangan dan papan. Kesadaran akan gizi asal ternak mendorong meningkatnya permintaan akan produk-produk peternakan salah satu diantaranya yaitu daging sapi. Kebutuhan daging sapi untuk kosumsi penduduk Indonesia semakin meningkat setiap tahun sesuai dengan kenaikan jumlah penduduk, tetapi dilain pihak pengadaan daging sapi setiap saat menurun.

    Pemerintah membuka impor sapi-sapi bakalan yang siap digemukkan untuk memenuhi akan daging. Sapi yang diimpor dari Australia adalah Australia Commercial Crosses yang berdasarkan darah tetuanya menjadi Brahman Cross (BX) dan Shorthorn Cross (SX) (TURNER, 1977; BRAHMANTIYO, 2001). Potensi pertumbuhan dalam periode pertumbuhan setelah disapih dipengaruhi oleh faktor bangsa, heterosis dan jenis kelamin. Sementara itu, pola pertumbuhannya tergantung pada sistem manajemen yang dipakai, tingkat nutrisi pakan yang tersedia, kesehatan dan iklim (COLE, 1982). Dalam penggemukan sapi pedaging, pertumbuhan yang cepat dan pertambahan bobot badan yang

    tinggi adalah yang dikehendaki dan peningkatan kecepatan pertumbuhan menyebabkan waktu yang diperlukan untuk mencapai bobot potong tertentu menjadi lebih singkat (BOWKER et al., 1978). Kendala mengimpor sapi dari luar negeri yaitu penyakit eksotik yang menular, untuk mengantisipasi penyakit tersebut maka pemerintah dewasa ini melarang mengimpor sapi.

    Salah satu peternakan di Cicurug, Sukabumi mendatangkan sapi bakalan dan kerbau dari Nusa Tenggara Timur (NTT) dan Nusa Tenggara Barat (NTB) dengan tujuan penggemukan untuk mengantisipasi kekurangan daging di Jawa Barat dan DKI Jakarta. Ternak yang didatangkan yaitu bangsa sapi Peranakan Ongole (PO), sapi Bali dan kerbau Lumpur. Ternak, khususnya sapi merupakan tulang punggung perekonomian Nusa Tenggara Timur dimana setiap tahunnya sekitar 60.000 70.000 ekor sapi dikeluarkan dari daerah ini (NULIK et al., 2004). Walaupun ternak sapi perkembangannya cukup baik di NTT namun produktivitasnya yang dicapai belum optimal karena masih tinggi angka kematian anak sapi yang dapat mencapai 30 50% (WIRDAHAYATI et al., 1999). Disamping itu kehilangan bobot tubuh yang cukup mencolok selama musim kemarau karena

  • Lokakarya Nasional Ketersediaan IPTEK dalam Pengendalian Penyakit Stategis pada Ternak Ruminansia Besar

    123

    kekurangan pakan baik dalam kualitas maupun kuantitas terutama selama (8 9 bulan) (NULIK et al., 2004). Sekitar bulan September 2005 di peternakan sapi Cicurug, Sukabumi sering terjadi kematian mendadak dengan gejala klinis diare, telah diperiksa 40 sampel darah dan 10 sampel feses dari sapi-sapi yang digemukkan di salah satu peternakan di Cicurug, Sukabumi terutama agen parasit.

    Menurut keputusan Direktorat Jenderal Peternakan Tahun 1997 yang termasuk penyakit strategis secara nasional yang penyebabnya parasit yaitu Trypanosomiasis menduduki urutan ke-12 setelah Infectious Bursal Disease (Gumboro). Pada makalah ini bertujuan untuk melaporkan penyakit-penyakit yang disebabkan agen parasit yang perlu ditanggulangi, walaupun tidak menimbulkan kematian mendadak tetapi bisa mengakibatkan kekurusan, penurunan bobot badan, kerusakan hati, diare, bisa menimbulkan kematian kalau investasinya terlalu banyak.

    MATERI DAN METODE

    Darah perifer diambil dari vena telinga atau ujung ekor sapi dengan cara menusuk dengan jarum steril dan tekan sampai darahnya menetes, kemudian dibuat preparat ulas lalu dikeringkan dan segera difiksir menggunakan metanol absolut selama 2 menit kemudian diwarnai Giemsa selama 30 menit. Periksa di bawah mikroskop menggunakan objektif 100 x dan minyak imersi.

    Sampel feses diambil 3 g dimasukkan ke dalam kontainer 100 ml dengan diameter mulut 4 cm lalu ditambahkan 17 ml air kran, kemudian diaduk dengan menggunakan pengaduk elektrik sampai hancur. Setelah itu ditambahkan 40 ml larutan gula Sheater.

    Selanjutnya disentrifus dan diambil cairan supernatan tersebut (sekitar 0,5 ml) untuk diperiksa dan dihitung jumlah telur cacing atau ookista di dalam cairan tersebut. Penghitungan dengan menggunakan Whitlock chamber dan diperiksa di bawah mikroskop cahaya dengan pembesaran 200 x. Untuk mendiagnosa telur Trematoda dengan metode sedimentasi.

    HASIL DAN PEMBAHASAN

    Hasil Pemeriksaan Darah

    Dari hasil pemeriksaan darah sebanyak 40 sampel ditemukan seekor positif T. evansi (2,5%) berarti perlu dipertimbangkan terhadap penyakit surra. Penyakit ini pada kuda dan anjing dipastikan bersifat fatal, jika tidak mendapat pengobatan. Pada sapi dan kerbau biasanya tidak patogen, akan tetapi dapat menyebabkan kerugian yang sangat besar jika terjadi wabah. Wabah surra dapat terjadi ketika T. evansi dibawa oleh hewan carrier yang memasuki daerah baru atau terjadi pada hewan yang berasal dari daerah bebas surra yang dipindahkan ke daerah endemik (SUKANTO, 1994). Penyakit ini dilaporkan (PARTOUTOMO, 1983, tidak dipublikasi) dalam (PARTOUTOMO, 2004) pada kasus kematian pada sapi perah di Sukabumi. Gejala klinis kekurusan mungkin dapat terjadi pada sapi/kerbau yang diinfeksi dengan T. evansi di Tuban anak kerbau yang kerdil dan kulitnya penuh skabies pada darahnya pasti positif T. evansi, diduga kejadian infeksi ganda antara T. evansi dan skabies karena terjadinya fenomena imunosupresi oleh T. evansi atau skabies (PARTOUTOMO, 1995). Hasil pemeriksaan darah lihat pada Tabel 1.

    Tabel 1. Hasil pemeriksaan darah sapi di peternakan Cicurug, Sukabumi

    Hasil Pemeriksaan Sampel

    T. evansi Theleria sp A. marginale Jumlah ulas darah positif 1 17 0 Jumlah ulas darah negatif 39 23 40 Total 40 40 40

  • Lokakarya Nasional Ketersediaan IPTEK dalam Pengendalian Penyakit Stategis pada Ternak Ruminansia Besar

    124

    Pemeriksaan dengan haematocrit centrifugation technique (HCT)

    Sebanyak 0,2 ml darah diambil langsung dari vena telinga dengan menggunakan tabung mikrohematokrit yang dilapisi heparin. Setelah darah masuk ke dalam tabung ditutup dengan penutup (plastisin). Kapiler kemudian disimpan di dalam termos es dan dibawa ke laboratorium, tabung disentrifus dengan kecepatan kira-kira 8.000 rpm selama 3 5 menit. Dengan menggunakan reader khusus pada PCV dapat diukur, dan parasit dapat ditemukan pada lapisan buffy coat dengan menggunakan mikroskop dengan pembesaran 400 x. Hasil pemeriksaan ditemukan T. evansi.

    Penyebaran Penyakit Surra

    Surra adalah penyakit yang disebabkan oleh parasit darah T. evansi yang merupakan salah satu penyakit utama pada ternak sapi, kerbau dan kuda. Surra dapat menyebabkan turunnya produksi daging (PAYNE et al., 1991a, b), keguguran (PARTOUTOMO et al., 1995) dan berkurangnya tenaga kerja (PAYNE et al., 1990; PAYNE et al., 1991b). Penyebarannya diduga berkaitan erat dengan penyebaran dan tingginya populasi lalat pengisap darah Tabanus sp. Yang merupakan vektor utama penyebaran penyakit surra di Indonesia. Selain Tabanus sp., bisa juga beberapa vektor lainnya seperti Chrysops sp.. Haematopota sp., Stomoxys sp., Musca sp., dan Stegomya sp. Agen penyakit T. evansi dapat pula disebarluaskan secara mekanis melalui jarum suntik bekas vaksinasi atau pengobatan yang terkontaminasi oleh ternak terinfeksi surra. Disamping itu, penyebaran penyakit ini juga didukung oleh tingginya tingkat mobilitas dan impor ternak di Indonesia (PARTOUTOMO et al., 1995)

    Berdasarkan penelitian tim BALITVET/ODA di sebelas provinsi (Aceh, Sumatra Utara, Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Selatan, Sulawesi Utara dan Selatan, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur) adalah endemik. Kejadian infeksi diketemukan di setiap lokasi pengambilan sampel (SUKANTO, 1994). Menurut penelitian tersebut, derajat prevalensi antibodi pada kerbau lebih tingi

    daripada sapi yang berasal dari daerah yang sama, sementara pada kuda jauh lebih rendah daripada sapi dan kerbau. Derajat prevalensi yang tertinggi diketemukan pada hewan-hewan yang berumur lebih dari 2 tahun. Dilain pihak, sebagian besar anak-anak sapi dan kerbau yang dilahirkan di daerah endemik di Jawa Barat sudah mendapatkan antibodi terhadap tripanosomiasis yang mana antibodi ini dianggap berasal dari kolostrum induknya. Daya kebal tubuh atau antibodi ini menetap sampai hewan berumur 12 bulan dan dianggap dapat meningkatkan respon terhadap infeksi T. evansi, tetapi, daya lindung antibodi yang berasal dari kolostrum ini masih belum diketahui (SUKANTO, 1994).

    Hasil-hasil penelitian tersebut sepakat dengan pandangan bahwa infeksi T. evansi tersebar luas di kebanyakan daerah penghasil ternak di Indonesia. Kenyataan bahwa kurangnya kejadian penyakit akibat infeksi T. evansi pada hewan-hewan yang diambil contoh darah dan serum mencerminkan bahwa suatu bentuk stabilitas muncul di kebanyakan daerah endemik, yang dapat memperbaiki pengaruh dari T. evansi dan mempunyai dasar imunologi yang berhubungan dengan perubahan antigenik yang terbatas dari parasit. Kepentingan parasit ini lebih berarti pada hewan-hewan impor daripada hewan lokal, walau pada keadaan tertentu wabah dapat terjadi pada hewan lokal seperti yang terjadi pada hewan lokal seperti yang terjadi di Madura dan beberapa daerah lain di Jawa Timur pada tahun 1988 (PARTOUTOMO et al., 1995).

    Gejala Klinis Surra

    Gejala klinis surra akut tidak ditemukan baik pada kerbau, sapi FH maupun sapi PO yang diinfeksi dengan T. evansi (PARTOUTOMO et al., 1995). Hasil yang sama telah dilaporkan bahwa pada sapi dan kerbau yang mendapat infeksi secara alam dan diamati selama 2 tahun lebih tidak ada yang menunjukkan gejala klinis akut (PARTOUTOMO et al., 1994). Hasil ini menunjukkan bahwa pada sapi dan kerbau, tripanosomiasis akut tidak pernah diketemukan baik pada infeksi buatan maupun infeksi alam (PARTOUTOMO et al., 1995). Berbeda dengan tripanosomiasis pada kuda dan pada anjing. Pada kuda dapat bersifat kronis, akut atu sub

  • Lokakarya Nasional Ketersediaan IPTEK dalam Pengendalian Penyakit Stategis pada Ternak Ruminansia Besar

    125

    akut. Bila akut, gejala yang sering dijumpai adalah kenaikan suhu tubuh, urtikaria, edema, ikterus, pembengkakan kelenjar getah bening, lemah sampai paralisis (NG dan VANCELOW, 1978). Pada anjing, infeksi T. evansi biasanya berakhir dengan kematian dengan gejala-gejala antara lain demam selang-seling, anemia, bobot badan menurun, anoreksia, kekeruhan kornea unilateral atau bilateral yang diakhiri dengan kebutaan (HUSEIN et al., 1995). Perubahan patologi anatomi pada anjing antara lain berupa anemia, kurus, kornea keruh, hati kuning, limpa bengkak, ptekia pada limpa dan otot daging jantung, dan kadang-kadang terdapat ulkus ventrikuli (DAMAYANTI et al., 1995). Perubahan patologi anatomi yang mencolok pada anak sapi dan anak kerbau yang mati karena infeksi T. evansi adalah kekurusan (emaciation) disertai dengan edema berbagai organ (DAMAYANTI, 1991).

    Pengendalian Penyakit

    Pengendalian penyakit surra berdasarkan diagnosa dan pengobatan. Obat T. evansi yang terdapat di Indonesia adalah Suramin (Naganol, Bayer) dan Isometamidium chloride (Trypamidium, Specia). Suramin masih merupakan obat yang paling efektif untuk mengobati surra karena Isometamidium tidak efektif untuk pengobatan surra di sebagian besar wilayah di Indonesia (SUKANTO, 1994).

    Pengobatan dengan Suramin pada sapi dan kerbau diberikan dengan dosis 10 mg/kg dalam larutan 10% secara intravena dan dosis pencegahan adalah 3 mg/kg.

    Hewan-hewan yang peka terhadap penyakit terutama hewan impor, harus diobati pada saat mereka baru datang di daerah endemik untuk mengurangi keganasan penyakit sewaktu mereka memperoleh infeksi awal.

    Hasil Pemeriksaan darah yang ke dua diketemukan Theileria sp (42,5%)

    Theileriasis ialah penyakit darah tenang dan menahun yang disertai demam, diarre dan pembengkakan kelenjar-kelenjar limfe. Penyebaran penyakit ini tersebar secara luas di daerah-daerah panas (Afrika beriklim sedang, Eropah Selatan, Asia, antara lain di Indonesia).

    Juga di Inggris dan China parasit ini ditemukan pada sapi (HIGNETT, 1953: QI et al., 1997).

    Pada anak-anak sapi penyakit biasanya berjalan lebih menahun dengan angka mortalitas rendah. Diantara babesiosis dan theileriosis tidak ada kekebalan timbal balik dan kekebalannya bersifat labil.

    Diagnosa. Diagnosa klinis sulit dibedakan dengan penyakit darah lainnya. Dianjurkan untuk melakukan pungsi limpa atau kelenjar limfe pada sapi hidup. Untuk keperluan ini orientasi kelenjar limfe praskapuler atau limpa (biasanya diantara tulang rusuk 11 dan 12, setinggi tuber coxae) ditusuk dengan jarum suntik panjang, kemudian sedikit material disedot dan diwarnai Giemsa, parasit-parasit akan ditemukan di eritrosit (QI et al., 1979).

    Parasit-parasit terlihat sebagai bentuk menyerupai batang halus, cincin, koma atau keping di dalam eritrosit.

    Perubahan pascamati. Semua kelenjar-kelenjar limfe membengkak, basah dan perdarahan, demikian pula daun-daun Peyer dan follikel soliter menebal (RESSANG, 1984). Sapi-sapi yang mati biasanya tidak kurus benar. Disamping anemi yang ringan dan ikterus. Selaput lendir lambung dan kelenjar usus hemorragik. Limpa membengkak.

    Pengobatan pada sapi menggunakan oxytetracyline 200 mg/ml intra-muskular (KANHAI et al., 1997).

    Hasil Pemeriksaan feses diketemukan telur Fasciola gicantica dengan metode sedimentasi dapat dilihat pada Tabel 2. Hasil pemeriksaan tinja dari 10 ekor yang klinis diare ditemukan 4 ekor positif fascioliasis.

    Fascioliasis (Distomatosis, Liver fluke disease, Liver rot, Penyakit cacing hati) Fascioliasis atau penyakit cacing hati merupakan penyakit yang berlangsung akut, subakut, atau kronik, disebabkan oleh trematoda genus Fasciola, Fascioloides, dan Dicrocoelium (SUBRONTO dan TJAHAJATI, 2001). Pada umunya fascioliasis digunakan untuk menggambarkan, atau untuk menentukan diagnosis, penyakit cacingan yang menyerang ternak sapi, kerbau, kambing, domba, unta, dan spesies lainnya yang disebabkan cacing trematoda genus Fasciola. Selain di jaringan hati, cacing dapat bertumbuh dan berkembang di jaringan lain, misalnya paru-paru, otak dan limpa.

  • Lokakarya Nasional Ketersediaan IPTEK dalam Pengendalian Penyakit Stategis pada Ternak Ruminansia Besar

    126

    Tabel 2. Hasil pemeriksaan tinja pada sapi klinis diare di salah satu peternakan di Sukabumi

    Hasil Pemeriksaan

    F. gigantica M. digitatus Paramphistomum Oocyst Tinja positif 4 3 - 6 Tinja negatif 6 7 10 4 Total 10 10 10 10

    Patogenesis Fasciolosis pada sapi, kerbau, domba dan kambing dapat berlangsung akut maupun kronik. Yang akut biasanya karena invasi cacing muda berlangsung secara masif dalam waktu pendek, dan merusak parenkim hati, hingga fungsi hati sangat terganggu, serta terjadinya perdarahan ke dalam rongga peritonium. Meskipun cacing muda hidup di jaringan hati, tidak mustahil juga mengisap darah, seperti yang dewasa, dan menyebabkan anemia. Diperkirakan 10 ekor cacing dewasa menyebabkan kehilangan darah sebanyak 2 ml/hari (SUBRONTO dan TJAHAJATI, 2001).

    Fascioliasis juga sering disertai diare, yang mungkin disebabkan oleh enjima yang terdapat di dalam cacing yang merangsang selaput lendir usus, hingga terjadi enteritis. Kurangnya produksi empedu juga menyebabkan metabolisme lemak terganggu, dan juga mendorong terjadinya diare (alimentaris). Infeksi oleh cacing F. gigantica menyebabkan keruksakan hati serius dalam bentuk fibrosis, dan anemia pada sapi, kerbau, dan domba maupun kambing. Invasi campuran fasciola dan nematoda dapat mengakibatkan cacingan akut pada domba dan kambing (SUBRONTO dan TJAHAJATI, 2001).

    Fascioliasis akut mungkin juga dialami oleh sapi-sapi impor yang di wilayah asalnya tidak terdapat fasciola. Kematian juga dipercepat bila selain invasi cacing hewan juga terinfeksi oleh agen noksius lain, misalnya penyakit surra, anaplasma dan piroplasma. Fascioliasis kronik banyak dijumpai pada sapi-sapi yang dipelihara dengan pakan ternak segar yang dipetik dari daerah basah. Batang padi dari daerah basah sampai ketinggian dua per tiga panjang batang terbukti banyak mengandung kista cacing. Gambaran berupa kekurusan, kelemahan umum, kachexia, anoreksia, anemia, sampai tidak mampu bangun banyak dijumpai di lapangan. Oedema

    submandibular hanya dijumpai pada keadaan tertentu.

    Kerugian ekonomi akibat penyakit ini diperkirakan sekitar 513,6 milyar setiap tahun (ANONYMOUS, 1990), berupa kerusakan hati, yang harus diafkir, kekurusan dan penurunan tenaga untuk membajak sawah. Prevalensi fasciolosis antara 60 90% (EDNEY dan MUCHLISH, 1962; SUHARDONO et al., 1991)

    Diagnosa. Diagnosis fasciolosis pada umumnya berdasarkan penemuan telur cacing dalam feses hewan yang terinfeksi (BORAY, 1985). Akan tetapi jumlah telur cacing yang terlalu sedikit dalam feses akan mengalami kesulitan dalam mendiagnosa, dan telur tidak akan ditemukan sampai cacing hati mulai produksi telur biasanya antara minggu ke 10-14 setelah hewan diinfeksi F. hepatica (GANDAHUSADA et al., 2003) dan F. gigantica pada minggu ke 12-18 setelah infeksi. Pendekatan alternatif untuk diagnosa fasciolosis adalah dengan pemeriksaan serologi untuk deteksi antibodi terhadap Fasciola spp dengan menggunakan antigen spesifik (HILLYER et al., 1992; HILLYER, 1993) yang umumnya dengan uji ELISA. Antibodi F. hepatica dengan uji ELISA dapat dideteksi antara minggu ke-3 sampai minggu ke-6 setelah infeksi pada saat larva cacing migrasi ke hati (MARIN, 1992). Namun uji ini masih ada kekurangannya, karena titer antibodi yang tinggi hanya bisa untuk menunjukkan bahwa hewan tersebut sedang terinfeksi oleh Fasciola (infeksi aktif). Selanjutnya, hewan yang sudah diberi obatpun tetap menunjukkan titer yang tinggi terhadap Fasciola (IBARRA et al., 1998).

    Maka dari itu perlu dikembangkan teknik diagnosa fasciolosis yang bisa mendeteksi adanya infeksi aktif. Salah satu teknik tersebut adalah dengan capture ELISA untuk deteksi coproantigen merupakan diagnosa Fasciola dengan memberikan hasil yang sensitif, spesifik dan cepat (ESTUNINGSIH., et al., 2004).

  • Lokakarya Nasional Ketersediaan IPTEK dalam Pengendalian Penyakit Stategis pada Ternak Ruminansia Besar

    127

    Patologi anatomi dan patologi klinis

    Gambaran patologi anatomi fascioliasis akut dan subakut tidak banyak mengalami kelainan, kecuali pada hatinya yang berupa radang akut disertai perdarahan, serta terjadinya dehidrasi yang ditandai dengan kekeringan jaringan subkutan.

    Pada penyakit kronik pada sapi terlihat turgor kulit yang menurun, begitu juga pada jaringan otot perifer dan organ vital jantung, paru-paru, genital, usus dan limpa. Semuanya tampak pucat, dan kadang ikterik. Warna kuning yang meningkat sering dijumpai pada jaringan bantalan lemak. Oedem dijumpai di daerah submandibular, kelenjar susu atau kantong pelir, dan mungkin jaringan subkutan di daerah perut sebelah ventral. Hati mengeras dalam rabaan, tepi dan permukaannya tidak rata, dan dalam sayatan segera diketahui adanya fibrosis jaringan. Saluran empedu menebal, meradang, dan mengalami perkapuran. Di dalam saluran maupun kantong empedu dijumpai banyak cacing hati dewasa. Secara mikroskopik jaringan hati mengalami degenerasi, lobuli kehilangan canali centralis, serta banyak vasa yang terbuka. Saluran empedu menebal disertai pengapuran. Potongan cacing dari berbagai umur juga dapat dijumpai.

    Distribusi geografik. Di daerah tropik, termasuk Indonesia fascioliasis disebabkan F. gigantica, yang diserang ternak sapi, kerbau, kambing, domba dan babi. Penyakit ini banyak diderita oleh ternak ruminansia di bagian bumi lain, Australia, Amerika, Eropa penyebabnya cacing trematoda F. hepatica disamping menyerang rumunansia juga menyerang manusia (GANDAHUSADA et al., 2003).

    Terapi. Keberhasilan pengobatan fasciolosis tergantung efektifitas obat terhadap stadia perkembangan cacing, pada fase migrasi atau pada fase menetap di hati, dan sifat toksi dari obat harus rendah. 1. Karbon tetraklorida (CCl4) obat ini sudah

    lama ditinggalkan, kecuali di beberapa negara berkembang, karena tingkat ke efeftifitas yang tidak stabil. Bila disuntikan CCl4 menyebabkan nekrosis otot di tempat suntikan, dan menyebabkan penolakan daging pada saat pemotongan. Waktu 3 bulan setelah disuntik hewan tidak boleh dipotong. Air susu sapi

    berubah warna selama beberapa hari pasca pengobatan. Obat ini hanya efektif untuk cacing dewasa umur 6 8 minggu. Dosis untuk sapi 4-5 ml/100 kg, aplikasi SC, IM maksimal 20 ml. SC, disuntik di leher di 3 tempat yang berbeda. IM untuk sapi perah.

    2. Hexachlorethan, Aulotane, Perchloroethan, Fasciolin. Selain efektif terhadap cacing dewasa juga efektif untuk hemonchosis dan trichostrongylosis. Jika sapi kurus dosis harus dikurangi. Pedet 10 g/50 kg tidak lebih dari 30 g per oral. Sapi dewasa tidak melebihi 60 g.

    3. Clioxanide. Sangat efektif untuk fasciolosis domba, dan membunuh cacing dewasa umur 6 minggu atau lebih. Dosis 20 40 mg/kg per oral.

    4. Nitroxynil, Trodax, Dovenic. Obat yang mampu membunuh fasciolosis (bersifat flukicidal). Dosis untuk sapi 10 mg/kg disuntikkan sc.

    5. Derivat benzimidazol, terutama albendazole, triclabendazole dan probendazole febantel. Dosis untuk sapi 10 15 mg/kg.

    Hasil pemeriksaan tinja ditemukan telur cacing Mecistocirrus digitatus. Cacing ini termasuk nematoda gastrointestinal pada sapi menyebabkan banyak kerugian, diantaranya meliputi penurunan produksi daging. Susu dan tenaga kerja serta kematian. Cacing M. digitatus sering menginfeksi abomasum sapi, kerbau, zebu, lambung babi dan pernah dilaporkan pada manusia di Amerika Tengah (SOULSBY, 1986; ROBERTS, 1990). Menurut DUNN (1978) M. digitatus banyak dijumpai di abomasum sapi dan kerbau di daerah tropis, sedangkan di daerah beriklim sedang di abomasum sapi banyak dijumpai Haemonchus sp.

    Morfologi M. digitatus mirip dengan Haemonchus sp., pada cacing betina dijumpai bentuk bentukan barbers pole yakni warna selang seling merah putih. Panjang cacing betina 29,7 1,5 mm dan jarak vulva dari ujung posterior 0,57 0,23 mm, sedangkan panjang cacing jantan 21,2 0,9 mm (HALIMAH, 2001a). Cacing jantan mempunyai bursa kopulatrik, dengan lobus lateralis simetris dan lobus dorsalis terletak di tengah, dilengkapi spikula yang langsing dan panjang. Secara makroskopis morfologi M. digitatus dan

  • Lokakarya Nasional Ketersediaan IPTEK dalam Pengendalian Penyakit Stategis pada Ternak Ruminansia Besar

    128

    Haemonchus sp. Memiliki kemiripan, demikian juga patogenesa dan gejala klinisnya. Secara ultrastruktur dengan scanning electron microscop kedua spesies tersebut mempunyai perbedaan pada synlophe-nya, Haemonchus sp. Memiliki synlophe longitudinal tajam atau tumpul. Sedangkan M. digitatus synlophenya sirkuler dan tumpul (HALIMAH, 2001b). Perbedaan ultrastruktur karena perbedaan-perbedaan profil protein dan menyebabkan perbedaan imunegenitas di dalam memicu terbentuknya antibodi (HALIMAH et al., 2004).

    Penyebaran mecistocirrusis pada umumnya melalui rumput atau pakan hijauan yang terkontaminasi oleh larva infektil (L3). Di dalam lambung L3 akan mengalami ekdisis menjadi L4, pada stadium L4 dimulai periode parasitik (mulai mengisap darah induk semang) di dalam abomasum induk semang tahap L4 cukup lama yaitu dari hari ke-9 sampai hari ke 28 pasca infeksi (KUSUMAMIHARDJA, 1993). Periode prepaten dicapai selama 59 82 hari (DUNN, 1978), sedangkan menurut SOULSBY (1986) dan KUSUMAMIHARDJA (1993) 60 hari, dan menurut URQUHART et al (1994) 60 80 hari.

    Pengobatan mecitocirrusis umumnya single dosis Albendazol untuk sapi dosis 7,5 10 mg/kg, Fenbendazol untuk sapi 7,5 mg/kg, Febantel untuk sapi 7,5 mg/kg.

    Hasil pemeriksaan tinja ditemukan Coccidia setelah di sporulasikan ternyata Eimeria zurnii.

    Patogenesitas dan gejala klinis. Tidak semua faktor penentu patogenisitas Eimeria diketahui, namun faktor-faktor penentu yang penting adalah: 1. Jumlah ookista yang termakan. 2. Jumlah merozoit yang terbentuk selama

    masing-masing stadium skizogoni. Hasil perkembangan ini sangat menentukan jumlah sel dan jaringan induk semang yang rusak oleh setiap infeksi ookista (SOULSBY, 1986).

    3. Lokasi parasit di dalam jaringan dan sel induk semang.

    4. Tingkat kekebalan induk semang baik secara alami maupun perolehan.

    Koksidiosis pada sapi memperlihatkan gejala klinis dehidrasi, anemia, diare. Pengobatan penyakit koksidiosis pada sapi menggunakan koksidiostat. Dalam pemilihan

    kosidiostat perlu dipertimbangkan beberapa faktor antara lain: 1. Obat mampu merangsang kenaikan nilai

    terapeutik. 2. Obat memiliki batas keselamatan yang

    layak kepada pasien 3. Obat harus mudah diaplikasikan. 4. Manakala penggunaan dicampur dengan

    pakan atau dengan air minum, maka obat harus tetap sesuai dan stabil.

    5. Logis secara ekonomis.

    Koksidiostat yang mula-mula digunakan di peternakan adalah Sulfonamide dan derivatnya (BRANDER, 1979). Kemudian berkembang dengan pemakaian preparat-preparat medis yang lain seperti: Amprolium produksi CORIDR aplikasi pada air minum atau dicekok dosis pencegahan pada sapi 5 mg/kg selama 21 hari untuk pengobatan 10 mg/kg selama 5 hari (FITZGERALD, 1999). Sulfamonomethoxaline 150 mg/kg selama 10 hari berturut-turut bisa sebagai pengobatan koksidiosis pada sapi, juga Levomycitin 0,03 g/kg selama 10 hari bisa untuk pencegahan pada sapi (ARNASTAUSHENE, 1985).

    KESIMPULAN DAN SARAN

    Hasil pemeriksaan sampel dari salah satu peternakan di Kabupaten Sukabumi ditemukan penyebab penyakit surra, penyakit theleria, penyakit cacing hati, mecitocirrus dan kosidiosis pada sapi.

    Untuk kemajuan peternakan tersebut agar secepatnya diantisipasi penyakit tersebut di atas. Walaupun tidak menutup kemungkinan penyakit karena virus, bakteri dan agen lainnya menginfeksi secara bersamaan sehingga menimbulkan kematian.

    DAFTAR PUSTAKA

    ANONYMOUS, 1990. Data ekonomi akibat penyakit. Direktorat jenderal Peternakan, Jakarta.

    ARNASTAUSHENE. 1985. Coccidia and Coccidia of Domestic and Wild Animal and Terapeutic in Lithuania. Vet. Bull. 56: 1649 1656.

    BORAY, J.C. 1985. Flukes of domestic animals. In: Gaafar, S.M., HOWARD, W.E. and MARSH, R.E. (Eds), Parasites, Pest and Predactors. Elsevier, New York, pp. 179 218.

  • Lokakarya Nasional Ketersediaan IPTEK dalam Pengendalian Penyakit Stategis pada Ternak Ruminansia Besar

    129

    BRAHMANTIYO, B. 2001. Karekteristik Produksi sapi Brahman Cross, Angus dan Murray Grey: Pertumbuhan dan Karkas. Widyariset. 3: 69 76.

    BOWKER, W.A.T., R.G. DUMSDAY, J.E. FRISH, R.A. SWAN and N.M. TULLOH, 1978. Beef Cattle Management and Economic. Academic Press Ltd.

    COLE, V.G., 1982. Beef Cattle Production Guide. NSWUP ed. Mc Athur Press, Parramatta, New South Wales.

    DAMAYANTI, R. 1991. Studies of Pathology of Trypanosoma evansi in the Buffalo (Bubalis bubalis). Thesis untuk MSc pada Graduate School of Trop. Vet. Science and Agric. James Cook University of North Queensland. Australia.

    DAMAYANTI, R., A. HUSEIN, S. PARTOUTOMO, dan M. PEARCE. 1995. Aspek patologis dari anjing yang diinfeksi secara buatan dengan Trypanosoma evansi Pros. Seminar Nasional Teknologi Veteriner Untuk Meningkatkan Kesehatan Hewan dan Pengamanan Bahan Pangan Asal Ternak. Cisarua-Bogor 22 24 Maret 1994. Balitvet, Bogor.

    DUNN, A.M. 1978. Veterinary Helminthology. WILLIAM HEINEMANN medical Books. London. 2nd. Ed. p. 25 30.

    EDNEY, J.M. and A. MUCHLIS 1962. Fascioliasis in Indonesian Livestock. Com Vet., 6: 49 52.

    ESTUNINGSIH, S.E., G. ADIWINATA, S. WIDJAJANTI dan S. PARTOUTOMO. 2004. Kasus kejadian fasciolosis di Rumah Potong Hewan Jakarta. Pros. Seminar Nasional Teknologi Peternakan Dan Veteriner Ciawi Bogor, 30 September 1 Oktober 2003. Puslitbang Peternakan, Bogor.

    FITZGERALD, P.R. 1999. Effect of bovine coccidiosis on certain blood component, feed consumption, and body weigth changes of calves. Am. J. Vet. Res. 33(7): 1391 1397.

    GANDAHUSADA, S., H.H.D. ILAHUDE dan W. PRIBADI. 2003. Parasitologi Kedokteran, Fakultas Kedokteran Indonesia, Jakarta.

    HALIMAH, P. 2001a. Profil Morfologi cacing Haemonchus sp. Dan Mecistocirrus digitatus dengan Pewarnaan Carmine dan Scanning Electron Microscope (SEM). Tesis Pascasarjana Universitas Airlangga.

    HALIMAH, P. 2001b. Cacing Mecitocirrus digitatus dan Haemonchus sp. pada sapi Madura dan Peranakan Ongole (PO) di RPH Pegirian-Surabaya. Med Ked. Hew. 17(1): 41 44.

    HALIMAH, P., S. SUBEKTI dan MUFARISIN. 2004. Profil Protein Intestin Cacing Mecitocirrus digitatus dewasa. Med. Ked. Hew. 20(3): 97 100.

    HIGNETT, P.G. 1953. Theileria mutans detected in British cattle. Vet. Rec. 65:893 894.

    HILLYER, G.M., M.S. DEGALANES, J.R. PEREZ, J. BJORLAND, S.R. GUZMAN, R.T. BRYAN. 1992. Use of the falcon assay screening test-enzyme-linked immunosorbent assay (FAST-ELISA) and the enzyme-linked immunoelectrotransfer blot (EITB) to determine the prevalence of human of fascioliasis in the Bolivian Altiplano. Am. J. Trop. Med. Hyg. 46: 603 609.

    HILLYER, G.V. 1993. Serological diagnosis of Fasciola hepatica. Parasitol. Al dia. 17: 130 136.

    HUSSEIN, A., S. PRAWIRADISASTRA, R. DAMAYANTI, S. PARTOUTOMO, dan M. PEARCE. 1995. Gambaran klinis dan darah anjing yang diinfeksi Trypanosoma evansi. Pros. Seminar Nasional Tekeknologi Veteteriner Untuk Meningkatkan Kesehatan Hewan dan Pengamanan Bahan Pangan Asal Ternak. Cisarua Bogor 22 24 Maret 1994. Balitvet, Bogor

    IBARRA, F., N. MONTENEGRO, Y. VERA, C. BOULARD, H. QUIROZ, J. FLORES and P. OCHOA. 1998. Comparison of three ELISA test for sero-epidemiology of bovine. Vet. Parasitol., 77: 229 236.

    KANHAI, G.K., R.G. PEGRAM, S.K. HARGREAVES, T. HOVE, and T.T. DOLAN. 1997. Immunisation of cattle in Zimbabwe using Theileria parva without concurrent Tetracycline therapy. Trop. Anim. Hlth Prod. 29: 92 98.

    MARIN, M.S. 1992. Epizootiologia de la fasciolosis bovine Asturias Identification y expresion de un antigeno unitario. Tesis Doctoral Facultat de Biologia, Universidad de Oviedo.

    NG, B.K.Y., and B. VANCELOW. 1978. Outbreak of surra in horses and the pathogenesis of anemia. Kajian Vet. 10(2): 88 98.

    NULIK, J., D. KANA, P.T.H. FERNADEZ dan S. RATNAWATI. 2004. Adaptasi beberapa Leucaena species di Pulau Timor dan Sumba, Nusa Tenggara Timur. Pros. Seminar Nasional Teknologi Peternakan Dan Veteriner 2004. Bogor 4 5 Agustus 2004.

    PARTOUTOMO, S. 1987. Patogenesis dan serologi Trypasoma evansi pada sapi dan kerbau. Maj. Parasitol. Ind. 1(1): 9 14.

  • Lokakarya Nasional Ketersediaan IPTEK dalam Pengendalian Penyakit Stategis pada Ternak Ruminansia Besar

    130

    PARTOUTOMO, S. 1995.Study on the epidemiology of T. evansi in Java. PhD thesis. Dept. Biomedical and Tropical Vet. Scien. James Cook Univ. Australia.

    PARTOUTOMO, S., M. SOLEH, F. POLITEDY, A. DAY, P. STEVENSON, A. J. WILSON, D.B. COPEMAN, and L. OWEN. 1994. The epidemiology of Trypanosoma evansi and Trypanosoma theileri in cattle and buffalo in small hoder farms in Java. Peny. Hewan. 26(48):41-46.

    PAYNE, R.C., I.P. SUKANTO, R. GRAYDON, H. SAROSA dan S.H. YUSUF. 1990. An Outbreak of Trypanosomiasis caused by Trypanosoma evansi on the Island of Madura, Indonesia. Trop. Med. Parasitol. 41: 445 446.

    PAYNE, R.C., D.W. TOEWS, D. DJAUHARI and T. W. JONES. 1991a. Trypanosoma evansi Infection in Swamp Buffalo Imported into Central Java. Prepentive Veterinary Medicine. 11: 105 114.

    PAYNE, R.C., I.P. SUKANTO, D. DJAUHARI, S. PARTOUTOMO, A.J. WILSON, T.W. JONES, R. BOID and A.G. LUCKINS. 1991b. Trypanosoma evansi Infection in Cattle, Buffaloes and HORSES In Indonesia. Vet Parasitol. 38: 109 119.

    QI, B., L. GUANGYUAN and H. GENFENG. 1997. An unidentified species of Theileria sp for cattle discovered in China. Trop. Anim. Hlth Prod. 29: 435 478.

    RESSANG, A.A. 1984. Patologi Khusus Veteriner. Edisi Kedua. darah pada ruminansia

    ROBERTS, J.A., and S. T. FERNANDO. 1990. The Significance of the gastrointestinal parasites of Asian Buffalo in Sri Lanka. Vet. Res. Commun. 14(6): 481

    SOULSBY, E.J.L. 1986. Helminths, Arthropods and Protozoa of Domesticated Animal. English Language Book Service Bailliere Tindall. 7th.Ed. p 231 257.

    SUHARDONO, S. WIDJAJANTI, P. STEVENSON and I.H. CARMICHAEL. 1991. Control of Fasciola gigantica with Triclabendazole in Indonesian Cattle.Trop. Anim. Health and Production, 23: 217 220.

    SUBRONTO dan IDA TJAHAJATI. 2001. Ilmu Penyakit Ternak II. Gadjah Mada University Press.

    SUHARDONO, S. WIDJAJANTI, P. STEVENSON and I.H. CARMICHAEL. 1991. Control of Fasciola gigantica with triclabendazole in Indonesia cattle. Trop. Anim. Health and Production, 23: 217 220.

    SUKANTO, I.P. 1994. Petunjuk diagnosa parasit darah Trypanosoma, Babesia dan Anaplasma dan Ringkasan hasil seminar penelitian parasit besar di Indonesia. Bogor, 12 Mei 1992.

    TURNER, H.L., 1977. The tropical adaption of beef cattle an Australian study. In animal breeding; Selected articles from the World Animal Review. FAO Animal Production and Healts Paper 1: 92.

    URQUHART, G.M., J. ARMOUR, J.L. DUNCAN, and A.M. DUNN. 1994. Veterinary Parasitology. Longman Scientic & Technical. Singapore.

    WIRDAHAYATI, R.B., B.M. CHRISTIE, A. MUTHALIB dan K.F. DOWSET. 1999. Productivity of beef cattle in Nusa Tenggara. CHAPS, Book A. Final Seminar of the cattle Health and Productivity Survey (CHAPS). Heald at the Disease Investigation Centre, Denpasar-Bali. May 15 17, 1999. p. 170 176.