Jurnal Merokok dan Alkohol Sebagai Faktor Risiko Kanker Laring

17
ASAP ROKOK DAN KONSUMSI ALKOHOL SEBAGAI FAKTOR RISIKO UNTUK KARSINOMA SEL SKUAMOSA LARING PADA RUMAH SAKIT NASIONAL KENYATTA, KENYA Pyeko Menach, Herbert O. Oburra and Asmeeta Patel ABSTRAK Karsinoma sel skuamosa (KSS) laring sangat erat kaitannya dengan asap rokok. Diperkirakan sebanyak lebih dari 70% KSS laring dan lebih dari 89% kombinasinya dengan alkohol. Diharapkan konsumsi rokok dan alkohol diantara pasien-pasien dengan karsinoma sel skuamosa laring dan dapat menunjukan perkiraan risiko pada perokok dan peminum alkohol. Lima puluh kelompok percobaan dan lima puluh kelompok kontrol sudah direkrut sesuai dengan umur, jenis kelamin dan daerah tempat tinggal. Riwayat merokok dan asupan alkohol telah didata dan dianalisa untuk ditaksir seberapa kuat paparan dari rokok dan alkohol. Berhenti merokok dapat mengurangi risiko dari KSS. Perokok dapat meningkatkan risiko terkena kanker glottis lebih tinggi. Merokok dan meminum alkohol dapat meningkatkan risiko kanker supragolttis. Perokok mula-mula atau sudah lama dalam merokok dapat menjadi faktor risiko dari KSS laring. PENDAHULUAN Dalam sejarah manusia, menghirup tembakau sudah ada sejak 5000 tahun sebelum masehi yang pada saat itu digunakan dalam upacara keagamaan, pengobatan, rekreasi, walaupun secara spesifik

description

merupakan terjemahan jurnal internasional bidang Telinga Hidung dan Tenggorokan

Transcript of Jurnal Merokok dan Alkohol Sebagai Faktor Risiko Kanker Laring

Page 1: Jurnal Merokok dan Alkohol Sebagai Faktor Risiko Kanker Laring

ASAP ROKOK DAN KONSUMSI ALKOHOL SEBAGAI FAKTOR RISIKO UNTUK

KARSINOMA SEL SKUAMOSA LARING PADA RUMAH SAKIT NASIONAL

KENYATTA, KENYA

Pyeko Menach, Herbert O. Oburra and Asmeeta Patel

ABSTRAK

Karsinoma sel skuamosa (KSS) laring sangat erat kaitannya dengan asap rokok.

Diperkirakan sebanyak lebih dari 70% KSS laring dan lebih dari 89% kombinasinya dengan

alkohol. Diharapkan konsumsi rokok dan alkohol diantara pasien-pasien dengan karsinoma sel

skuamosa laring dan dapat menunjukan perkiraan risiko pada perokok dan peminum alkohol.

Lima puluh kelompok percobaan dan lima puluh kelompok kontrol sudah direkrut sesuai dengan

umur, jenis kelamin dan daerah tempat tinggal. Riwayat merokok dan asupan alkohol telah

didata dan dianalisa untuk ditaksir seberapa kuat paparan dari rokok dan alkohol. Berhenti

merokok dapat mengurangi risiko dari KSS. Perokok dapat meningkatkan risiko terkena kanker

glottis lebih tinggi. Merokok dan meminum alkohol dapat meningkatkan risiko kanker

supragolttis. Perokok mula-mula atau sudah lama dalam merokok dapat menjadi faktor risiko

dari KSS laring.

PENDAHULUAN

Dalam sejarah manusia, menghirup tembakau sudah ada sejak 5000 tahun sebelum

masehi yang pada saat itu digunakan dalam upacara keagamaan, pengobatan, rekreasi, walaupun

secara spesifik tidak disebutkan didalam Alkitab. Bentuk yang paling banyak dari menghirup

tembakau adalah merokok. Pada risalah International Agency for Research on Cancer (IARC),

disimpulkan bahwa terdapat bukti yang cukup tentang kebiasaan merokok bukan hanya

menyebabkan kanker paru, tapi juga menyebabkan kanker traktus aerodigestif bagian atas

termasuk laring, faring, dan esophagus bagian atas.

Di Kenya, kanker adalah penyakit peringkat ketiga sebagai penyebab kematian setelah

infeksi dan penyakit kardiovaskuler. Sekarang ini Kenya tidak memiliki data kanker yang tepat

dan ketersediaan data sangat sedikit dan juga berdasarkan Rumah Sakit utama. Dilaporkan pada

tahun 2005, kira-kira 18.000 kematian akibat kanker, dengan korban terbanyaknya adalah umur

dibawah 70 tahun. Mutuma dan kolega, menemukan bahwa kanker bagian kepala dan leher,

Page 2: Jurnal Merokok dan Alkohol Sebagai Faktor Risiko Kanker Laring

dimana kanker laring merupakan yang paling banyak dan memimpin kanker pada pria sebanyak

14,8% di Kenya, dan merupakan kanker terbanyak ketiga pada perempuan setelah kanker

payudara dan kanker serviks. Selanjutnya terus meningkat insiden kanker bagian kepala dan

leher, sebagai bukti yang terdokumentasi oleh Mutuma dan kolega. Onyango dan kolega,

melaporkan sebanyak 39% prevalensi kanker laring dari pasien kanker bagian kepala dan leher

(n=793) diikuti dengan kanker lidah, mulut dan nasofaring. Perbedaan lain ditunjukan oleh

laporan dini dari Rumah Sakit Nasional Kenyatta pada pasien rawat inap menunjukan bahwa

kanker laring menempati urutan ketiga setelah kanker mulut dan laring. Akan tetapi, Nyandusi

dalam penelitian disertasinya (Universitas Nairobi 2007) pada Rumah Sakit yang sama

menunjukan bahwa kanker laring merupakan tumor yang paling banyak pada bagian kepala dan

leher diikuti nasofaring, hipofaring dan mulut. Tidak dijelaskan secara rinci mengenai jumlah,

tipe dan lama merokok yang terkait dengan kanker laring. Penelitian ini tidak memiliki

kelompok kontrol dan tidak ada uji statistik.

Selama menghisap tembakau, partikel-partikel besar yang utama tersimpan pada mukosa

laring sewaktu inspirasi. Partikel yang halus dan sangat halus yang terlihat disimpan selama

aliran yang kedua oleh turbulensi yang terbuat dari daerah silang yang berkurang (reduced cross

sectional area) dan topografi anatomi yang sulit dari laring manusia. Pernyataan selanjutnya

yaitu terjadi selama fase ekshalasi pada waktu merokok, khususnya pada partikel yang halus dan

sangat halus. Martonen dan kolega, menunjukan deposisi dari asap rokok mempengaruhi

tingginya insidens dari kanker apabila dibandingkan dengan area lainnya dari jalur pernapasan.

Hal ini didukung oleh penelitian dari Yang yang menunjukan 3000 kesempatan terpapar kanker.

Dengan adanya aliran berlapis dari asap rokok pada semua bagian pernapasan dari laring yang

sempit yang dipikirkan akan meningkatkan risiko ini.

Paparan yang parah pada epitel jalur pernapasan bagian atas terhadap asap tembakau

dapat merangsang perubahan morfologi premalignant. Perubahan ini diiringi oleh meningkatnya

kerusakan kromosom dan diikuti oleh pembentukan sel epitel metaplastik. Kemudian ditemukan

makrofag alveolar paru yang mengaktifasi asap rokok untuk memproduksi superoxid dan

hidrogen perioxid yang menyebabkan kerusakan oksidasi DNA dan RNA dan juga menambah

risiko karsinogenesis.

Risiko ini berhubungan dengan asap rokok dan juga dapat dimodifikasi oleh gaya hidup

yang mengkonsumsi alkohol. Konsumsi alkohol dapat meningkatkan risiko kanker dengan

Page 3: Jurnal Merokok dan Alkohol Sebagai Faktor Risiko Kanker Laring

meningkatnya absorbsi topikal dan karsinogen tembakau dan merangsang enzim mikrosomal

yang mengarah pada meningkatnya karsinogen tembakau yang berikatan dengan DNA. Akibat

interaksi ini, asap rokok harus diuji bersama dengan konsumsi alkohol.

Bila dilihat dari fakta yang ada kanker laring sekarang ini merupakan kanker bagian leher

dan kepala yang paling banyak di Kenya, kami berpikir untuk menilai asap rokok yang diketahui

sebagai faktor risiko terpenting dari KSS laring. Kekurangan dari data lokal mengindikasi bahwa

kurang adanya penelitian. Penilaian faktor risiko tidak bisa dianalisis dengan kanker bagian

kepala dan leher. Paper ini merupakan format dasar untuk strategi perencanaan kedepan yang

bertujuan untuk mengurangi penderitaan kanker melalui reduksi asap rokok.

METODOLOGI

Rumah Sakit ini merupakan Rumah Sakit untuk penelitian kontrol – kasus yang

diselenggarakan dari Maret 2011 sampai Mei 2011 di Rumah Sakit Nasional Kenyatta (RSNK).

Pasien semua umur KSS laring yang direkrut dalam penelitian ini pada Departemen Bedah THT

– KL dan Departemen Radiasi Onkologi di RSNK telah dibuktikan dengan pemeriksaan

histology. Total pasien kelompok uji coba adalah 39 pasien dari Departemen THT – KL

sedangkan 11 pasien direkrut dari Departemen Radiasi Onkologi. Delapan pasien dieksklusi

dalam penelitian ini; dua pasien merupakan karsinoma verukosa sedangkan 4 pasien memiliki

karsinoma sel spindle. Dua pasien menolak untuk berpartisipasi.

Kontrol telah dilakukan pada pasien-pasien yang direkrut di Departemen Ortopedik dan

sesuai dengan usia (dalam 5 tahun), jenis kelamin, dan daerah dari kelompok uji coba untuk

faktor cofounding. Total pasien yang direkrut sebanyak 50 orang. Tiga puluh enam orang

direkrut dari pasien rawat inap di bangsal Ortopedik sedangkan 14 orang direkrut dari klinik

Ortopedik. Diantara kelompok kontrol, tiga pasien ditemukan suara parau dan leher

membengkak. Oleh karena itu mereka dirujuk ke klinik THT – KL untuk dievaluasi selanjutnya.

Enam puluh dua persen kelompok kontrol didiagnosa dengan trauma ortopedik (fraktur dan

dislokasi), 25% kondisi non trauma (terutama nyeri punggung dan gangguan diskus), sementara

13% sisanya adalah osteoarthritis dan infeksi akut (sebagai contoh arthritis septik dan selulitis).

Informed concent sudah diperoleh dari semua pasien dan angka penelitian telah dicatat. Data

demografi sudah dimasukan dalam kuesioner.

Page 4: Jurnal Merokok dan Alkohol Sebagai Faktor Risiko Kanker Laring

Riwayat medis dengan fokus primer pada malignan laring telah didapatkan termasuk

onset dan gejala, keparahan, durasi dan keterkaitan daerah laring pada kelompok kontrol.

Laringoskopi indirek digunakan pada semua pasien pada kelompok kontrol. Ditemukan lesi

laring yang kemungkinan menjadi maligna telah diekslusi dari penelitian dan dirujuk untuk

evaluasi lanjutan.

Riwayat merokok kemudian didapatkan apakah pasien ini merupakan perokok baru,

berapa lama sudah berhenti merokok apabila pasien bekas perokok, umur onset perokok, durasi

dan jenis (rokok filter atau non filter), dan jumlah batang per bungkus dalam setahun.

Riwayat konsumsi alkohol telah didapatkan termasuk apakah pasien ini mengkonsumsi

alkohol atau tidak, umur onset konsumsi alkohol, durasi, berapa banyak mengkonsumsi alkohol

per minggu dan jenis alkohol. Responden diklasifikasikan menjadi bukan peminum, peminum

ringan, peminum sedang, peminum berat dan peminum sangat berat menurut National Institute

on Alcohol Abuse and Alcoholism (NIAAA). Etika telah diakui dan diperoleh dari Rumah Sakit

Nasional Kenyatta/Komite Etik Penelitian Universitas Nairobi, nomor P8/01/2011. Informed

concent telah diperoleh dari semua pasien penelitian.

Manajemen Data dan Analisis

Semua informasi telah direkam dalam bentuk kumpulan data dan kemudian dimasukkan

dalam bentuk software komputer dan dianalisis dengan menggunakan software statistik SPSS

17,0.

HASIL

Distribusi Umur dan Rasio Jenis Kelamin

Diantara kelompok uji coba dan kelompok kontrol, rasio laki-laki terhadap perempuan

adalah 24:1. Jarak umur yaitu antara 42 tahun sampai 84 tahun dengan rata-rata yaitu 61

(61±11,7 tahun) untuk pasien kelompok uji coba dan 63 tahun (63,7±10,58 tahun) untuk

kelompok kontrol (P=0,297) dengan umur puncak yaitu 55 tahun sampai 69 tahun (59,6%).

Riwayat Perokok

Tiga puluh tiga (66%) dari pasien kelompok uji coba memiliki riwayat perokok baru

yang positif bila dibandingkan dengan kelompok kontrol (6%). Menjadi perokok baru dapat

Page 5: Jurnal Merokok dan Alkohol Sebagai Faktor Risiko Kanker Laring

meningkatkan risiko kanker laring dengan selisih rasio (odds ratio – OR) yaitu 30,4

(P#0,0001;95% CI:8,2-112,2).

Durasi sejak berhenti merokok diantara kelompok kontrol ditemukan lebih lama (rata-rata

24,57±12,3 tahun) daripada durasi diantara kelompok uji coba (rata-rata 12,13±16,1 tahun);

P#0,029. Mereka yang berhenti merokok selama 10 tahun dapat mengurangi risiko KSS laring

dengan selisih rasio 19,9 (95% CI:2,0-190,9) bila dibandingkan dengan kelompok kontorl. Hal

ini sangat berbeda bila dibandingkan dengan perokok baru.

Pasien kelompok uji coba memulai merokok pada umur awal (rata-rata 20,18±8,6 tahun)

bila dibandingkan dengan kelompok kontrol (rata-rata 25±5,7 tahun); P#0,004. Mereka yang

memulai merokok sebelum umur 20 tahun memiliki risiko yang tinggi dalam KSS laring dengan

selisih rasio 31, sedangkan onset merokok lebih dari pada itu dapat berkaitan dengan risiko yang

minimal bila dibandingkan dengan kelompok kontrol (tabel 1).

Tabel 1. Risiko yang berkaitan dengan awal pertama kali merokok.

Umur Pertama Kali

Merokok

B Nilai P OR 95% CI

Dibawah Diatas

Tidak pernah merokok 0,000

20 tahun 3,457 0,001 31,733 8,754 115,040

21-40 tahun 2,045 0,001 7,727 2,409 24,787

40 tahun 22,937 1,000 9,154E+09 0,000 -

Catatan: B = Nilai Beta; Nilai P = Nilai Kemungkinan; OR = Selisih Rasio; 95% CI = Interval Kepercayaan

Terdapat perbedaan yang signifikan dalam rata-rata angka total bungkus rokok per tahun

diantara kelompok pasien uji coba (31,4±23 bungkus per tahun) dibandingkan dengan kelompok

kontrol (5,4±6,5 bungkus per tahun) dengan selisih rasio 21,3:P# 0,0001 (95% CI:2,6-176,1) bila

dibandingkan dengan kelompok kontrol. Hal ini menunjukan kaitan yang kuat antara semua

perokok dengan KSS laring.

Rata-rata durasi merokok lebih lama pada pasien kelompok uji coba (38±15 tahun) bila

dibandingkan dengan kelompok kontrol (14,8±9,4 tahun); P# 0,0001, dengan selisih rasio 12,7

(95% CI: 3,4-47,5). Tercatat bahwa 92% kelompok kontrol adalah bekas perokok yang berhenti

merokok pada waktu yang beragam sebelum pasien direkrut untuk penelitian ini.

Page 6: Jurnal Merokok dan Alkohol Sebagai Faktor Risiko Kanker Laring

Diantara pasien kelompok uji coba yang merokok, 69,8% yang merokok rokok filter

sedangkan 30,20% merokok rokok non filter (P# 0,2). Hal ini tidak memiliki efek statistik yang

signifikan pada KSS laring.

Konsumsi Alkohol

Diantara pasien kelompok uji coba yang direkrut, 38 (76%) memberikan riwayat

mengkonsumsi alkohol yang positif bila dibandingkan dengan kelompok kontrol, diantara

kelompok kontrol 29 dari 50 yang mengkonsumsi alkohol sebanyak 58%; P 0,05, dengan selisih

rasio 2,3 (95% CI: 1,0-5,4), menunjukan alkohol meningkatkan risiko KSS laring. Ketika dibagi

kedalam beberapa kategori mengkonsumsi alkohol berdasarkan NIAAA, hanya peminum sangat

berat yang dapat meningkatkan risiko KSS laring; P# 0,002, dengan selisih rasio 6,0 (85% CI:

11,957-18,398).

Perokok

Diantara pasien-pasien yang merokok dan tidak mengkonsumsi alkohol, 4 (20%)

memiliki kanker glottis (P=0,001) dengan selisih rasio 19,75 (2,069-188,552). Bagian laring

lainnya tidak memiliki pasien yang merokok dan tidak mengkonsumsi alkohol. Hal ini

seharusnya tidak terlalu disoroti pada responden yang terpapar asap rokok saja karena sedikit.

Perokok dan Konsumsi Alkohol

Apabila dibandingkan dengan kelompok kontrol, kombinasi konsumsi rokok dan alkohol

memiliki efek yang signifikan pada risiko KSS supraglotis, glotis dan transglotis. Risiko yang

tertinggi pada KSS supraglotis dengan selisih rasio 10,5 (P# 0,0001; 95% CI:2,6-41,7) diikuti

oleh KSS transglotis dengan selisih rasio 4,8 (P# 0,002, 95% CI:1,7-13,5) dan yang terakhir KSS

glottis dengan selisih rasio 2,8 (P# 0,004 95% CI:1,025-7,7).

Merokok seumur hidup memiliki hubungan positif dalam KSS laring. Risiko tertinggi

dicatat yaitu KSS supraglotis dengan selisih rasio 6,7778 (P# 0,003, 95% CI: 1,7-27,021) diikuti

oleh glottis dengan selisih rasio 6,151 (P# 0,0001, 95% CI: 2,1-18,023) dan yang terakhir KSS

transglotis dengan selisih rasio 3,5 (P# 0,012, 95% CI: 1,269-9,652).

Page 7: Jurnal Merokok dan Alkohol Sebagai Faktor Risiko Kanker Laring

Sebuah angka yang baik pada pasien kelompok uji coba yang dilaporkan telah berhenti

merokok setelah didiagnosis dan karenanya memiliki risiko yang lebih tinggi daripada yang

merokok dan mengkonsumsi alkohol, jadi penemuan ini harus diinterpretasi.

Analisis Multivarian

Ketika regresi logistik multivarian dijalankan, hanya dua variabel yang tidak terikat bila

dikaitkan dengan peningkatan risiko KSS laring. Hal ini terjadi pada perokok baru dengan selisih

rasio 14,576 (P# 0,002, 95% CI: 2,624-80,979) dan durasi merokok dengan selisih rasio 7,312

(P# 0,01, 95% CI: 1,619-33,024). Menjadi perokok baru dan menjadi perokok lama sangat

penting sebagai faktor kontribusi yang menyebabkan KSS laring.

Akhirnya, berdasarkan prevalensi merokok diantara pasien kelompok uji coba dan

kelompok kontrol, risiko yang berkaitan dengan merokok ditemukan sebanyak 62%.

Perbandingan ini yang menyebabkan KSS laring harus dikurangi apabila perokok dapat

dikurangi juga.

PEMBAHASAN

KSS laring adalah kanker bagian kepala dan leher yang paling banyak diantara para pria

di Kenya dan urutan ketiga paling banyak di Kenya diatara para wanita bila dilihat pada

departemen THT – KL dan departemen radiasi onkologi di Rumah Sakit Nasional Kenyatta.

Akan tetapi, KSS laring predominan merupakan penyakit pria, karena kemungkinan berdasarkan

fakta bahwa pria lebih mengkonsumsi alkohol dan rokok daripada wanita, dan hal ini ditemukan

di seluruh belahan dunia.

Perbandingan pria dan wanita yaitu 24:1, dikonfirmasi dengan kaitan yang kuat risiko

jenis kelamin, dan temuan yang sama oleh Oburra dan kolega, pada publikasi awal di daerah ini.

Hal ini dibandingkan dengan apa yang telah ditemukan di seluruh dunia. Tentu saja, beberapa

penelitian sistematis yang dibawa oleh Farhad dan kolega, menunjukan 100% prevalensi pria

sedangkan sisanya menunjukan wanita predominan. Perbandingan jarak pria dan wanita dari 9:1

menjadi 25:1, khususnya penelitian di Amerika Utara, beberapa bagian di Eropa Selatan dan

Asia. Alasan penyebaran ini yang dikutip yaitu pada tingkat penyalahgunaan rokok dan alkohol

pada pria bila dibandingkan dengan wanita, sama pada kesimpulan dari survei KDHS tahun

2009. Hipotesis ini selanjutnya didukung oleh kelompok kontrol kasus yang dibawa oleh

Page 8: Jurnal Merokok dan Alkohol Sebagai Faktor Risiko Kanker Laring

penelitian Sylvano dan kolega, pada pasien wanita yang didiagnosa dengan KSS laring (n=68),

yang menunjukan rokok merupakan faktor risiko paling penting pada KSS laring diikuti oleh

konsumsi alkohol. Beliau juga menemukan bahwa faktor hormon dan reproduksi tidak terlalu

berkaitan dengan meningkatnya risiko tumor laring.

Pada 50 pasien kelompok uji coba di penelitian ini, 33 dari mereka (66%) nerupakan

perokok yang baru apabila dibandingkan dengan kelompok kontrol hanya 3 (6%). Pasien yang

merupakan perokok baru memiliki risiko signifikan pada KSS laring secara umum bila

dibandingkan dengan kelompok kontrol (selisih rasio=30,4) pada konsumsi alkohol. Hasil ini

dibandingkan dengan yang ditemukan oleh Francheschi dan kolega, di Italia Utara, dimana jarak

selisih rasio dari 2 ke 15,6 untuk yang paling kecil sampai yang durasinya paling besar. Analisis

meta dibawa oleh Hashibe di Eropa Tengah menunjukan penemuan yang sama dengan selisih

rasio 12,83 hanya pada perokok saja dan selisih rasio 36,7 pada mereka yang juga

mengkonsumsi alkohol. Hal ini dapat dijelaskan dengan fakta dari survei KDHS (Kenya

Demographic and Health Survey) dengan jarak maksimum yaitu 45-49 tahun, sedangkan usia

rata-rata kelompok kontrol pada penelitian ini yaitu 61 tahun. Selanjutnya, kelompok kontrol

yang berbasis rumah sakit dan karena karakteristik mereka mungkin tidak sebanding dengan

kelompok populasi, kelompok ini telah dididik dengan efek bahaya merokok dan alkohol selama

kunjungan klinik. Sebagian besar pasien pada penelitian ini merokok rokok filter, yang dapat

ditemukan diseluruh dunia, walaupun tidak dapat diperoleh bagaimana untuk menyembuhkan

kecanduan rokok.

Beberapa penelitian yang telah dilakukan sebelumnya mendemonstrasikan penurunan

risiko KSS laring setelah berhenti dari merokok, walaupun derajat penurunan risiko sangat besar

dipengaruhi oleh umur dan waktu setelah berhenti. Bosetti dan kolega menujukan bahwa apabila

berhenti dari merokok sebelum umur 35 tahun atau berhenti merokok lebih dari 20 tahun tidak

mengurangi risiko tinggi. Hasil dari penelitian ini menunjukan bahwa risiko progresif menurun

setelah berhenti merokok, bahkan telah berhenti selama 10 tahun (selisih rasio = 19,5) dan hal ini

sama dengan penelitian-penelitian yang sebelumnya.

Maier dan kolega di Heidelberg pada penelitian kontrol kasus menemukan bahwa mereka

yang mulai merokok pada usia muda dan merokok lebih lama dapat meningkatkan risiko dari

KSS laring (selisih rasio = 9,7). Risiko positif ini berkaitan dengan temuan penelitian dimana

selisih rasio 31,7 untuk mereka yang memulai merokok pada umur 20 tahun. Mereka yang

Page 9: Jurnal Merokok dan Alkohol Sebagai Faktor Risiko Kanker Laring

memulai merokok diantara umur 21 sampai 40 tahun memiliki selisih rasio 7,7 (95% CI: 2,409-

24,787). Risiko ini lebih tinggi dari yang dipublikasikan oleh Francheschi dan kolega yang juga

menemukan peningkatan risiko pada daerah lain di kepala dan leher ketika merokok. Wiencke

dan kolega mempublikasikan fakta epidemiologi molekuler yang menunjukan bahwa onset umur

yang lebih muda dapat membuat perubahan biologi yang rentan terhadap efek karsinogen rokok

di jalur napas. Mereka menunjukan diantara KSS pasien kelompok uji coba, terdapat keterlibatan

yang kuat dalam meningkatnya 3p21 loss of heterozygosity (LOH) dengan meningkatnya level

DNA hidrokarbon aromatic polinuklear (P=0,03) sebagaimana meningkatnya prevalensi

hilangnya heterozigot (LOH) dengan umur yang muda pada saat merokok (P=0,02). Penelitian

ini sama-sama menunjukan faktor risiko onset umur awal yang dapat menyebabkan KSS laring.

Disisi lain, terdapat sedikit risiko positif yang rendah diantara yang merokok setelah 40 tahun,

walaupun tidak terlalu berarti.

Terdapat peningkatan faktor risiko dari KSS laring dengan merokok per bungkus dalam

setahun. Dosemeci dan kolega menemukan selisih rasio 6,0 (n=197) pada yang merokok 21

bungkus per tahun mengingat Hashibe menemukan selisih rasio yang lebih rendah yaitu 12,8

untuk urutan rata-rata bungkus per tahun. Penelitian ini tidak menyediakan selisih rasio untuk

merokok per bungkus lebih dari 30, tapi dikelompokan sebagai 20 tahun. Hal ini dapat

menjelaskan perkiraan lebih tinggi dalam penelitian ini (selisih rasio = 21,3) dan

dipertimbangkan sebagai risiko dosis respon untuk KSS laring yang diperlihatkan pada berbagai

penelitian.

Beberapa penelitian menunjukan durasi merokok sebagai salah satu faktor risiko penting

untuk KSS laring. Stratifikasi tertinggi dari durasi merokok adalah 40 tahun yang menunjukan

risiko terkena KSS laring lebih besar 15,6 seperti yang dilihat pada penelitian Francheschi

sedangkan durasi yang kurang (20 tahun) menunjukan selisih rasio yang rendah 2,12 yang

terlihat pada penelitian Lee. Penelitian baru-baru ini menunjukan penemuan yang sama,

khususnya bagi yang merokok berumur 20 tahun (selisih rasio = 12,7). Mayoritas (92%)

kelompok kontrol yang merokok telah berhenti merokok pada interval waktu selama penelitian,

dan hal ini dapat memberikan kontribusi dalam meningkatnya rasio risiko.

Konsumsi alkohol dapat secara positif berkaitan dengan KSS laring terutama sebagai

kofaktor. Pada penelitian ini secara keseluruhan KSS laring dengan selisih rasio 2,1 (P# 0,005

95% CI: 1,0-5,4). Rata-rata minum per minggu selama penelitian ini adalah 58, dimana berkaitan

Page 10: Jurnal Merokok dan Alkohol Sebagai Faktor Risiko Kanker Laring

dengan penelitian di Italia. Penelitian lain menunjukan hal yang sama di Eropa. Disisi lain,

stigma dan pandangan sosial yang berbeda pada masing-masing negara dan dapat mengubah

partisipan. Pada penelitian baru-baru ini, mereka yang merupakan peminum sangat berat

ditemukan risiko terhadap KSS laring bila dibandingkan dengan kelompok kontrol yaitu dengan

selisih rasio 6,0 (P# 0,002, 95% CI: 1,957-18,398).

Penyebaran kanker laring yang telah ditunjukan oleh adanya faktor risiko yang terpisah.

Berbagai macam penelitian menunjukan bahwa meningkatnya risiko kanker glotis pada pasien

yang merokok sedangkan yang merokok dan mengkonsumsi alkohol terkena kanker supraglotis.

Oleh karena itu Hashibe dan kolega menemukan risiko yang sama antara kanker glotis dan

kanker supraglotis. Penelitian sekarang ini sama dengan penelititan sebelumnya yang

menunjukan risiko yang kuat dari kanker glotis pada pasien-pasien yang merokok tetapi tidak

mengkonsumsi alkohol secara rutin pada kelompok kontrol.

Selanjutnya, hasil penelitian ini ditemukan bahwa bekas perokok memiliki risiko positif

menderita KSS laring pada semua daerah di laring, yang paling tinggi yaitu kanker supraglotis

(selisih rasio = 6,7), yang dibandingkan dengan KSS glotis (selisih rasio = 6,1) bila dibandingkan

dengan kelompok kontrol. Lewis dan kolega dan penulis lainnya mendemonstrasikan anatomi

glotis yang merupakan batas bagian atas jalur napas, oleh karena itu lebih rentan ditemukan

bahan karsinogen yang terinhalasi disitu. Daerah anatomi ini juga memperbolehkan transisi dari

epitel skuamos menjadi epitel kolumna pseudostratifikasi. Hal ini juga merupakan risiko besar

dalam terjadinya metaplasia yang mengarah pada displasia dan secepatnya menjadi karsinoma

invasif yang terpapar sewaktu inhalasi dan karsinogen tertelan, yang ditunjukan oleh Renne dan

kolega.

Beberapa penulis memiliki penelitian yang menggabungkan efek merokok dan

mengkonsumsi alkohol dan banyak yang menunjukan efek multiplikatif dan aditif bila

dibandingkan dengan kelompok kontrol, dan merupakan bentuk multiplikatif atau aditif.

Penelitian ini menunjukan risiko (selisih rasio = 10,476) untuk kanker supraglotis pada mereka

yang mengkonsumsi rokok dan alkohol. Supraglotis merupakan bagian laring yang unik karena

secara konsisten terpapar dengan agen baik itu diinhalasi atau ditelan. Seperti yang diketahui dari

penelitian sebelumnya, alkohol adalah pelarut mukosa topikal yang karsinogen dari asap rokok,

maka dapat meningkatkan penyerapan mereka. Terdapat risiko peningkatan secara keseluruhan

pada semua bagian laring ketika alkohol dan rokok dikonsumsi bersamaan. Pada penelitian ini,

Page 11: Jurnal Merokok dan Alkohol Sebagai Faktor Risiko Kanker Laring

jelas terlihat durasi merokok dan perokok baru atau lama dapat menunjukan hubungan dari

munculnya KSS laring. Mereka yang berhenti merokok dapat mengurangi risiko munculnya KSS

laring, walaupun bekas perokok dan konsumsi alkohol tetap merupakan risiko tinggi bila

dibandingkan dengan kelompok kontrol. Terdapat risiko yang tinggi pada mereka yang merokok

dan mengkonsumsi alkohol pada semua bagian di laring. Risiko yang timbul dari populasi yang

merokok ditemukan sebanyak 62%, menegaskan kembali fakta bahwa kanker ini dapat dikurangi

dengan kurangnya inhalasi rokok.

Akhirnya, ini adalah penelitian berbasis rumah sakit dan oleh karena itu tidak

mencerminkan gambaran yang sebenarnya dari populasi umum, bila dibandingkan dengan

pilihan Berksonian yang berbasis rumah sakit cenderung berpartisipasi lebih mudah dalam

proyek penelitian dibandingkan dengan kelompok kontrol.