Jurnal Merokok dan Alkohol Sebagai Faktor Risiko Kanker Laring
-
Upload
azzumi-evolet-uryuu -
Category
Documents
-
view
46 -
download
5
description
Transcript of Jurnal Merokok dan Alkohol Sebagai Faktor Risiko Kanker Laring
ASAP ROKOK DAN KONSUMSI ALKOHOL SEBAGAI FAKTOR RISIKO UNTUK
KARSINOMA SEL SKUAMOSA LARING PADA RUMAH SAKIT NASIONAL
KENYATTA, KENYA
Pyeko Menach, Herbert O. Oburra and Asmeeta Patel
ABSTRAK
Karsinoma sel skuamosa (KSS) laring sangat erat kaitannya dengan asap rokok.
Diperkirakan sebanyak lebih dari 70% KSS laring dan lebih dari 89% kombinasinya dengan
alkohol. Diharapkan konsumsi rokok dan alkohol diantara pasien-pasien dengan karsinoma sel
skuamosa laring dan dapat menunjukan perkiraan risiko pada perokok dan peminum alkohol.
Lima puluh kelompok percobaan dan lima puluh kelompok kontrol sudah direkrut sesuai dengan
umur, jenis kelamin dan daerah tempat tinggal. Riwayat merokok dan asupan alkohol telah
didata dan dianalisa untuk ditaksir seberapa kuat paparan dari rokok dan alkohol. Berhenti
merokok dapat mengurangi risiko dari KSS. Perokok dapat meningkatkan risiko terkena kanker
glottis lebih tinggi. Merokok dan meminum alkohol dapat meningkatkan risiko kanker
supragolttis. Perokok mula-mula atau sudah lama dalam merokok dapat menjadi faktor risiko
dari KSS laring.
PENDAHULUAN
Dalam sejarah manusia, menghirup tembakau sudah ada sejak 5000 tahun sebelum
masehi yang pada saat itu digunakan dalam upacara keagamaan, pengobatan, rekreasi, walaupun
secara spesifik tidak disebutkan didalam Alkitab. Bentuk yang paling banyak dari menghirup
tembakau adalah merokok. Pada risalah International Agency for Research on Cancer (IARC),
disimpulkan bahwa terdapat bukti yang cukup tentang kebiasaan merokok bukan hanya
menyebabkan kanker paru, tapi juga menyebabkan kanker traktus aerodigestif bagian atas
termasuk laring, faring, dan esophagus bagian atas.
Di Kenya, kanker adalah penyakit peringkat ketiga sebagai penyebab kematian setelah
infeksi dan penyakit kardiovaskuler. Sekarang ini Kenya tidak memiliki data kanker yang tepat
dan ketersediaan data sangat sedikit dan juga berdasarkan Rumah Sakit utama. Dilaporkan pada
tahun 2005, kira-kira 18.000 kematian akibat kanker, dengan korban terbanyaknya adalah umur
dibawah 70 tahun. Mutuma dan kolega, menemukan bahwa kanker bagian kepala dan leher,
dimana kanker laring merupakan yang paling banyak dan memimpin kanker pada pria sebanyak
14,8% di Kenya, dan merupakan kanker terbanyak ketiga pada perempuan setelah kanker
payudara dan kanker serviks. Selanjutnya terus meningkat insiden kanker bagian kepala dan
leher, sebagai bukti yang terdokumentasi oleh Mutuma dan kolega. Onyango dan kolega,
melaporkan sebanyak 39% prevalensi kanker laring dari pasien kanker bagian kepala dan leher
(n=793) diikuti dengan kanker lidah, mulut dan nasofaring. Perbedaan lain ditunjukan oleh
laporan dini dari Rumah Sakit Nasional Kenyatta pada pasien rawat inap menunjukan bahwa
kanker laring menempati urutan ketiga setelah kanker mulut dan laring. Akan tetapi, Nyandusi
dalam penelitian disertasinya (Universitas Nairobi 2007) pada Rumah Sakit yang sama
menunjukan bahwa kanker laring merupakan tumor yang paling banyak pada bagian kepala dan
leher diikuti nasofaring, hipofaring dan mulut. Tidak dijelaskan secara rinci mengenai jumlah,
tipe dan lama merokok yang terkait dengan kanker laring. Penelitian ini tidak memiliki
kelompok kontrol dan tidak ada uji statistik.
Selama menghisap tembakau, partikel-partikel besar yang utama tersimpan pada mukosa
laring sewaktu inspirasi. Partikel yang halus dan sangat halus yang terlihat disimpan selama
aliran yang kedua oleh turbulensi yang terbuat dari daerah silang yang berkurang (reduced cross
sectional area) dan topografi anatomi yang sulit dari laring manusia. Pernyataan selanjutnya
yaitu terjadi selama fase ekshalasi pada waktu merokok, khususnya pada partikel yang halus dan
sangat halus. Martonen dan kolega, menunjukan deposisi dari asap rokok mempengaruhi
tingginya insidens dari kanker apabila dibandingkan dengan area lainnya dari jalur pernapasan.
Hal ini didukung oleh penelitian dari Yang yang menunjukan 3000 kesempatan terpapar kanker.
Dengan adanya aliran berlapis dari asap rokok pada semua bagian pernapasan dari laring yang
sempit yang dipikirkan akan meningkatkan risiko ini.
Paparan yang parah pada epitel jalur pernapasan bagian atas terhadap asap tembakau
dapat merangsang perubahan morfologi premalignant. Perubahan ini diiringi oleh meningkatnya
kerusakan kromosom dan diikuti oleh pembentukan sel epitel metaplastik. Kemudian ditemukan
makrofag alveolar paru yang mengaktifasi asap rokok untuk memproduksi superoxid dan
hidrogen perioxid yang menyebabkan kerusakan oksidasi DNA dan RNA dan juga menambah
risiko karsinogenesis.
Risiko ini berhubungan dengan asap rokok dan juga dapat dimodifikasi oleh gaya hidup
yang mengkonsumsi alkohol. Konsumsi alkohol dapat meningkatkan risiko kanker dengan
meningkatnya absorbsi topikal dan karsinogen tembakau dan merangsang enzim mikrosomal
yang mengarah pada meningkatnya karsinogen tembakau yang berikatan dengan DNA. Akibat
interaksi ini, asap rokok harus diuji bersama dengan konsumsi alkohol.
Bila dilihat dari fakta yang ada kanker laring sekarang ini merupakan kanker bagian leher
dan kepala yang paling banyak di Kenya, kami berpikir untuk menilai asap rokok yang diketahui
sebagai faktor risiko terpenting dari KSS laring. Kekurangan dari data lokal mengindikasi bahwa
kurang adanya penelitian. Penilaian faktor risiko tidak bisa dianalisis dengan kanker bagian
kepala dan leher. Paper ini merupakan format dasar untuk strategi perencanaan kedepan yang
bertujuan untuk mengurangi penderitaan kanker melalui reduksi asap rokok.
METODOLOGI
Rumah Sakit ini merupakan Rumah Sakit untuk penelitian kontrol – kasus yang
diselenggarakan dari Maret 2011 sampai Mei 2011 di Rumah Sakit Nasional Kenyatta (RSNK).
Pasien semua umur KSS laring yang direkrut dalam penelitian ini pada Departemen Bedah THT
– KL dan Departemen Radiasi Onkologi di RSNK telah dibuktikan dengan pemeriksaan
histology. Total pasien kelompok uji coba adalah 39 pasien dari Departemen THT – KL
sedangkan 11 pasien direkrut dari Departemen Radiasi Onkologi. Delapan pasien dieksklusi
dalam penelitian ini; dua pasien merupakan karsinoma verukosa sedangkan 4 pasien memiliki
karsinoma sel spindle. Dua pasien menolak untuk berpartisipasi.
Kontrol telah dilakukan pada pasien-pasien yang direkrut di Departemen Ortopedik dan
sesuai dengan usia (dalam 5 tahun), jenis kelamin, dan daerah dari kelompok uji coba untuk
faktor cofounding. Total pasien yang direkrut sebanyak 50 orang. Tiga puluh enam orang
direkrut dari pasien rawat inap di bangsal Ortopedik sedangkan 14 orang direkrut dari klinik
Ortopedik. Diantara kelompok kontrol, tiga pasien ditemukan suara parau dan leher
membengkak. Oleh karena itu mereka dirujuk ke klinik THT – KL untuk dievaluasi selanjutnya.
Enam puluh dua persen kelompok kontrol didiagnosa dengan trauma ortopedik (fraktur dan
dislokasi), 25% kondisi non trauma (terutama nyeri punggung dan gangguan diskus), sementara
13% sisanya adalah osteoarthritis dan infeksi akut (sebagai contoh arthritis septik dan selulitis).
Informed concent sudah diperoleh dari semua pasien dan angka penelitian telah dicatat. Data
demografi sudah dimasukan dalam kuesioner.
Riwayat medis dengan fokus primer pada malignan laring telah didapatkan termasuk
onset dan gejala, keparahan, durasi dan keterkaitan daerah laring pada kelompok kontrol.
Laringoskopi indirek digunakan pada semua pasien pada kelompok kontrol. Ditemukan lesi
laring yang kemungkinan menjadi maligna telah diekslusi dari penelitian dan dirujuk untuk
evaluasi lanjutan.
Riwayat merokok kemudian didapatkan apakah pasien ini merupakan perokok baru,
berapa lama sudah berhenti merokok apabila pasien bekas perokok, umur onset perokok, durasi
dan jenis (rokok filter atau non filter), dan jumlah batang per bungkus dalam setahun.
Riwayat konsumsi alkohol telah didapatkan termasuk apakah pasien ini mengkonsumsi
alkohol atau tidak, umur onset konsumsi alkohol, durasi, berapa banyak mengkonsumsi alkohol
per minggu dan jenis alkohol. Responden diklasifikasikan menjadi bukan peminum, peminum
ringan, peminum sedang, peminum berat dan peminum sangat berat menurut National Institute
on Alcohol Abuse and Alcoholism (NIAAA). Etika telah diakui dan diperoleh dari Rumah Sakit
Nasional Kenyatta/Komite Etik Penelitian Universitas Nairobi, nomor P8/01/2011. Informed
concent telah diperoleh dari semua pasien penelitian.
Manajemen Data dan Analisis
Semua informasi telah direkam dalam bentuk kumpulan data dan kemudian dimasukkan
dalam bentuk software komputer dan dianalisis dengan menggunakan software statistik SPSS
17,0.
HASIL
Distribusi Umur dan Rasio Jenis Kelamin
Diantara kelompok uji coba dan kelompok kontrol, rasio laki-laki terhadap perempuan
adalah 24:1. Jarak umur yaitu antara 42 tahun sampai 84 tahun dengan rata-rata yaitu 61
(61±11,7 tahun) untuk pasien kelompok uji coba dan 63 tahun (63,7±10,58 tahun) untuk
kelompok kontrol (P=0,297) dengan umur puncak yaitu 55 tahun sampai 69 tahun (59,6%).
Riwayat Perokok
Tiga puluh tiga (66%) dari pasien kelompok uji coba memiliki riwayat perokok baru
yang positif bila dibandingkan dengan kelompok kontrol (6%). Menjadi perokok baru dapat
meningkatkan risiko kanker laring dengan selisih rasio (odds ratio – OR) yaitu 30,4
(P#0,0001;95% CI:8,2-112,2).
Durasi sejak berhenti merokok diantara kelompok kontrol ditemukan lebih lama (rata-rata
24,57±12,3 tahun) daripada durasi diantara kelompok uji coba (rata-rata 12,13±16,1 tahun);
P#0,029. Mereka yang berhenti merokok selama 10 tahun dapat mengurangi risiko KSS laring
dengan selisih rasio 19,9 (95% CI:2,0-190,9) bila dibandingkan dengan kelompok kontorl. Hal
ini sangat berbeda bila dibandingkan dengan perokok baru.
Pasien kelompok uji coba memulai merokok pada umur awal (rata-rata 20,18±8,6 tahun)
bila dibandingkan dengan kelompok kontrol (rata-rata 25±5,7 tahun); P#0,004. Mereka yang
memulai merokok sebelum umur 20 tahun memiliki risiko yang tinggi dalam KSS laring dengan
selisih rasio 31, sedangkan onset merokok lebih dari pada itu dapat berkaitan dengan risiko yang
minimal bila dibandingkan dengan kelompok kontrol (tabel 1).
Tabel 1. Risiko yang berkaitan dengan awal pertama kali merokok.
Umur Pertama Kali
Merokok
B Nilai P OR 95% CI
Dibawah Diatas
Tidak pernah merokok 0,000
20 tahun 3,457 0,001 31,733 8,754 115,040
21-40 tahun 2,045 0,001 7,727 2,409 24,787
40 tahun 22,937 1,000 9,154E+09 0,000 -
Catatan: B = Nilai Beta; Nilai P = Nilai Kemungkinan; OR = Selisih Rasio; 95% CI = Interval Kepercayaan
Terdapat perbedaan yang signifikan dalam rata-rata angka total bungkus rokok per tahun
diantara kelompok pasien uji coba (31,4±23 bungkus per tahun) dibandingkan dengan kelompok
kontrol (5,4±6,5 bungkus per tahun) dengan selisih rasio 21,3:P# 0,0001 (95% CI:2,6-176,1) bila
dibandingkan dengan kelompok kontrol. Hal ini menunjukan kaitan yang kuat antara semua
perokok dengan KSS laring.
Rata-rata durasi merokok lebih lama pada pasien kelompok uji coba (38±15 tahun) bila
dibandingkan dengan kelompok kontrol (14,8±9,4 tahun); P# 0,0001, dengan selisih rasio 12,7
(95% CI: 3,4-47,5). Tercatat bahwa 92% kelompok kontrol adalah bekas perokok yang berhenti
merokok pada waktu yang beragam sebelum pasien direkrut untuk penelitian ini.
Diantara pasien kelompok uji coba yang merokok, 69,8% yang merokok rokok filter
sedangkan 30,20% merokok rokok non filter (P# 0,2). Hal ini tidak memiliki efek statistik yang
signifikan pada KSS laring.
Konsumsi Alkohol
Diantara pasien kelompok uji coba yang direkrut, 38 (76%) memberikan riwayat
mengkonsumsi alkohol yang positif bila dibandingkan dengan kelompok kontrol, diantara
kelompok kontrol 29 dari 50 yang mengkonsumsi alkohol sebanyak 58%; P 0,05, dengan selisih
rasio 2,3 (95% CI: 1,0-5,4), menunjukan alkohol meningkatkan risiko KSS laring. Ketika dibagi
kedalam beberapa kategori mengkonsumsi alkohol berdasarkan NIAAA, hanya peminum sangat
berat yang dapat meningkatkan risiko KSS laring; P# 0,002, dengan selisih rasio 6,0 (85% CI:
11,957-18,398).
Perokok
Diantara pasien-pasien yang merokok dan tidak mengkonsumsi alkohol, 4 (20%)
memiliki kanker glottis (P=0,001) dengan selisih rasio 19,75 (2,069-188,552). Bagian laring
lainnya tidak memiliki pasien yang merokok dan tidak mengkonsumsi alkohol. Hal ini
seharusnya tidak terlalu disoroti pada responden yang terpapar asap rokok saja karena sedikit.
Perokok dan Konsumsi Alkohol
Apabila dibandingkan dengan kelompok kontrol, kombinasi konsumsi rokok dan alkohol
memiliki efek yang signifikan pada risiko KSS supraglotis, glotis dan transglotis. Risiko yang
tertinggi pada KSS supraglotis dengan selisih rasio 10,5 (P# 0,0001; 95% CI:2,6-41,7) diikuti
oleh KSS transglotis dengan selisih rasio 4,8 (P# 0,002, 95% CI:1,7-13,5) dan yang terakhir KSS
glottis dengan selisih rasio 2,8 (P# 0,004 95% CI:1,025-7,7).
Merokok seumur hidup memiliki hubungan positif dalam KSS laring. Risiko tertinggi
dicatat yaitu KSS supraglotis dengan selisih rasio 6,7778 (P# 0,003, 95% CI: 1,7-27,021) diikuti
oleh glottis dengan selisih rasio 6,151 (P# 0,0001, 95% CI: 2,1-18,023) dan yang terakhir KSS
transglotis dengan selisih rasio 3,5 (P# 0,012, 95% CI: 1,269-9,652).
Sebuah angka yang baik pada pasien kelompok uji coba yang dilaporkan telah berhenti
merokok setelah didiagnosis dan karenanya memiliki risiko yang lebih tinggi daripada yang
merokok dan mengkonsumsi alkohol, jadi penemuan ini harus diinterpretasi.
Analisis Multivarian
Ketika regresi logistik multivarian dijalankan, hanya dua variabel yang tidak terikat bila
dikaitkan dengan peningkatan risiko KSS laring. Hal ini terjadi pada perokok baru dengan selisih
rasio 14,576 (P# 0,002, 95% CI: 2,624-80,979) dan durasi merokok dengan selisih rasio 7,312
(P# 0,01, 95% CI: 1,619-33,024). Menjadi perokok baru dan menjadi perokok lama sangat
penting sebagai faktor kontribusi yang menyebabkan KSS laring.
Akhirnya, berdasarkan prevalensi merokok diantara pasien kelompok uji coba dan
kelompok kontrol, risiko yang berkaitan dengan merokok ditemukan sebanyak 62%.
Perbandingan ini yang menyebabkan KSS laring harus dikurangi apabila perokok dapat
dikurangi juga.
PEMBAHASAN
KSS laring adalah kanker bagian kepala dan leher yang paling banyak diantara para pria
di Kenya dan urutan ketiga paling banyak di Kenya diatara para wanita bila dilihat pada
departemen THT – KL dan departemen radiasi onkologi di Rumah Sakit Nasional Kenyatta.
Akan tetapi, KSS laring predominan merupakan penyakit pria, karena kemungkinan berdasarkan
fakta bahwa pria lebih mengkonsumsi alkohol dan rokok daripada wanita, dan hal ini ditemukan
di seluruh belahan dunia.
Perbandingan pria dan wanita yaitu 24:1, dikonfirmasi dengan kaitan yang kuat risiko
jenis kelamin, dan temuan yang sama oleh Oburra dan kolega, pada publikasi awal di daerah ini.
Hal ini dibandingkan dengan apa yang telah ditemukan di seluruh dunia. Tentu saja, beberapa
penelitian sistematis yang dibawa oleh Farhad dan kolega, menunjukan 100% prevalensi pria
sedangkan sisanya menunjukan wanita predominan. Perbandingan jarak pria dan wanita dari 9:1
menjadi 25:1, khususnya penelitian di Amerika Utara, beberapa bagian di Eropa Selatan dan
Asia. Alasan penyebaran ini yang dikutip yaitu pada tingkat penyalahgunaan rokok dan alkohol
pada pria bila dibandingkan dengan wanita, sama pada kesimpulan dari survei KDHS tahun
2009. Hipotesis ini selanjutnya didukung oleh kelompok kontrol kasus yang dibawa oleh
penelitian Sylvano dan kolega, pada pasien wanita yang didiagnosa dengan KSS laring (n=68),
yang menunjukan rokok merupakan faktor risiko paling penting pada KSS laring diikuti oleh
konsumsi alkohol. Beliau juga menemukan bahwa faktor hormon dan reproduksi tidak terlalu
berkaitan dengan meningkatnya risiko tumor laring.
Pada 50 pasien kelompok uji coba di penelitian ini, 33 dari mereka (66%) nerupakan
perokok yang baru apabila dibandingkan dengan kelompok kontrol hanya 3 (6%). Pasien yang
merupakan perokok baru memiliki risiko signifikan pada KSS laring secara umum bila
dibandingkan dengan kelompok kontrol (selisih rasio=30,4) pada konsumsi alkohol. Hasil ini
dibandingkan dengan yang ditemukan oleh Francheschi dan kolega, di Italia Utara, dimana jarak
selisih rasio dari 2 ke 15,6 untuk yang paling kecil sampai yang durasinya paling besar. Analisis
meta dibawa oleh Hashibe di Eropa Tengah menunjukan penemuan yang sama dengan selisih
rasio 12,83 hanya pada perokok saja dan selisih rasio 36,7 pada mereka yang juga
mengkonsumsi alkohol. Hal ini dapat dijelaskan dengan fakta dari survei KDHS (Kenya
Demographic and Health Survey) dengan jarak maksimum yaitu 45-49 tahun, sedangkan usia
rata-rata kelompok kontrol pada penelitian ini yaitu 61 tahun. Selanjutnya, kelompok kontrol
yang berbasis rumah sakit dan karena karakteristik mereka mungkin tidak sebanding dengan
kelompok populasi, kelompok ini telah dididik dengan efek bahaya merokok dan alkohol selama
kunjungan klinik. Sebagian besar pasien pada penelitian ini merokok rokok filter, yang dapat
ditemukan diseluruh dunia, walaupun tidak dapat diperoleh bagaimana untuk menyembuhkan
kecanduan rokok.
Beberapa penelitian yang telah dilakukan sebelumnya mendemonstrasikan penurunan
risiko KSS laring setelah berhenti dari merokok, walaupun derajat penurunan risiko sangat besar
dipengaruhi oleh umur dan waktu setelah berhenti. Bosetti dan kolega menujukan bahwa apabila
berhenti dari merokok sebelum umur 35 tahun atau berhenti merokok lebih dari 20 tahun tidak
mengurangi risiko tinggi. Hasil dari penelitian ini menunjukan bahwa risiko progresif menurun
setelah berhenti merokok, bahkan telah berhenti selama 10 tahun (selisih rasio = 19,5) dan hal ini
sama dengan penelitian-penelitian yang sebelumnya.
Maier dan kolega di Heidelberg pada penelitian kontrol kasus menemukan bahwa mereka
yang mulai merokok pada usia muda dan merokok lebih lama dapat meningkatkan risiko dari
KSS laring (selisih rasio = 9,7). Risiko positif ini berkaitan dengan temuan penelitian dimana
selisih rasio 31,7 untuk mereka yang memulai merokok pada umur 20 tahun. Mereka yang
memulai merokok diantara umur 21 sampai 40 tahun memiliki selisih rasio 7,7 (95% CI: 2,409-
24,787). Risiko ini lebih tinggi dari yang dipublikasikan oleh Francheschi dan kolega yang juga
menemukan peningkatan risiko pada daerah lain di kepala dan leher ketika merokok. Wiencke
dan kolega mempublikasikan fakta epidemiologi molekuler yang menunjukan bahwa onset umur
yang lebih muda dapat membuat perubahan biologi yang rentan terhadap efek karsinogen rokok
di jalur napas. Mereka menunjukan diantara KSS pasien kelompok uji coba, terdapat keterlibatan
yang kuat dalam meningkatnya 3p21 loss of heterozygosity (LOH) dengan meningkatnya level
DNA hidrokarbon aromatic polinuklear (P=0,03) sebagaimana meningkatnya prevalensi
hilangnya heterozigot (LOH) dengan umur yang muda pada saat merokok (P=0,02). Penelitian
ini sama-sama menunjukan faktor risiko onset umur awal yang dapat menyebabkan KSS laring.
Disisi lain, terdapat sedikit risiko positif yang rendah diantara yang merokok setelah 40 tahun,
walaupun tidak terlalu berarti.
Terdapat peningkatan faktor risiko dari KSS laring dengan merokok per bungkus dalam
setahun. Dosemeci dan kolega menemukan selisih rasio 6,0 (n=197) pada yang merokok 21
bungkus per tahun mengingat Hashibe menemukan selisih rasio yang lebih rendah yaitu 12,8
untuk urutan rata-rata bungkus per tahun. Penelitian ini tidak menyediakan selisih rasio untuk
merokok per bungkus lebih dari 30, tapi dikelompokan sebagai 20 tahun. Hal ini dapat
menjelaskan perkiraan lebih tinggi dalam penelitian ini (selisih rasio = 21,3) dan
dipertimbangkan sebagai risiko dosis respon untuk KSS laring yang diperlihatkan pada berbagai
penelitian.
Beberapa penelitian menunjukan durasi merokok sebagai salah satu faktor risiko penting
untuk KSS laring. Stratifikasi tertinggi dari durasi merokok adalah 40 tahun yang menunjukan
risiko terkena KSS laring lebih besar 15,6 seperti yang dilihat pada penelitian Francheschi
sedangkan durasi yang kurang (20 tahun) menunjukan selisih rasio yang rendah 2,12 yang
terlihat pada penelitian Lee. Penelitian baru-baru ini menunjukan penemuan yang sama,
khususnya bagi yang merokok berumur 20 tahun (selisih rasio = 12,7). Mayoritas (92%)
kelompok kontrol yang merokok telah berhenti merokok pada interval waktu selama penelitian,
dan hal ini dapat memberikan kontribusi dalam meningkatnya rasio risiko.
Konsumsi alkohol dapat secara positif berkaitan dengan KSS laring terutama sebagai
kofaktor. Pada penelitian ini secara keseluruhan KSS laring dengan selisih rasio 2,1 (P# 0,005
95% CI: 1,0-5,4). Rata-rata minum per minggu selama penelitian ini adalah 58, dimana berkaitan
dengan penelitian di Italia. Penelitian lain menunjukan hal yang sama di Eropa. Disisi lain,
stigma dan pandangan sosial yang berbeda pada masing-masing negara dan dapat mengubah
partisipan. Pada penelitian baru-baru ini, mereka yang merupakan peminum sangat berat
ditemukan risiko terhadap KSS laring bila dibandingkan dengan kelompok kontrol yaitu dengan
selisih rasio 6,0 (P# 0,002, 95% CI: 1,957-18,398).
Penyebaran kanker laring yang telah ditunjukan oleh adanya faktor risiko yang terpisah.
Berbagai macam penelitian menunjukan bahwa meningkatnya risiko kanker glotis pada pasien
yang merokok sedangkan yang merokok dan mengkonsumsi alkohol terkena kanker supraglotis.
Oleh karena itu Hashibe dan kolega menemukan risiko yang sama antara kanker glotis dan
kanker supraglotis. Penelitian sekarang ini sama dengan penelititan sebelumnya yang
menunjukan risiko yang kuat dari kanker glotis pada pasien-pasien yang merokok tetapi tidak
mengkonsumsi alkohol secara rutin pada kelompok kontrol.
Selanjutnya, hasil penelitian ini ditemukan bahwa bekas perokok memiliki risiko positif
menderita KSS laring pada semua daerah di laring, yang paling tinggi yaitu kanker supraglotis
(selisih rasio = 6,7), yang dibandingkan dengan KSS glotis (selisih rasio = 6,1) bila dibandingkan
dengan kelompok kontrol. Lewis dan kolega dan penulis lainnya mendemonstrasikan anatomi
glotis yang merupakan batas bagian atas jalur napas, oleh karena itu lebih rentan ditemukan
bahan karsinogen yang terinhalasi disitu. Daerah anatomi ini juga memperbolehkan transisi dari
epitel skuamos menjadi epitel kolumna pseudostratifikasi. Hal ini juga merupakan risiko besar
dalam terjadinya metaplasia yang mengarah pada displasia dan secepatnya menjadi karsinoma
invasif yang terpapar sewaktu inhalasi dan karsinogen tertelan, yang ditunjukan oleh Renne dan
kolega.
Beberapa penulis memiliki penelitian yang menggabungkan efek merokok dan
mengkonsumsi alkohol dan banyak yang menunjukan efek multiplikatif dan aditif bila
dibandingkan dengan kelompok kontrol, dan merupakan bentuk multiplikatif atau aditif.
Penelitian ini menunjukan risiko (selisih rasio = 10,476) untuk kanker supraglotis pada mereka
yang mengkonsumsi rokok dan alkohol. Supraglotis merupakan bagian laring yang unik karena
secara konsisten terpapar dengan agen baik itu diinhalasi atau ditelan. Seperti yang diketahui dari
penelitian sebelumnya, alkohol adalah pelarut mukosa topikal yang karsinogen dari asap rokok,
maka dapat meningkatkan penyerapan mereka. Terdapat risiko peningkatan secara keseluruhan
pada semua bagian laring ketika alkohol dan rokok dikonsumsi bersamaan. Pada penelitian ini,
jelas terlihat durasi merokok dan perokok baru atau lama dapat menunjukan hubungan dari
munculnya KSS laring. Mereka yang berhenti merokok dapat mengurangi risiko munculnya KSS
laring, walaupun bekas perokok dan konsumsi alkohol tetap merupakan risiko tinggi bila
dibandingkan dengan kelompok kontrol. Terdapat risiko yang tinggi pada mereka yang merokok
dan mengkonsumsi alkohol pada semua bagian di laring. Risiko yang timbul dari populasi yang
merokok ditemukan sebanyak 62%, menegaskan kembali fakta bahwa kanker ini dapat dikurangi
dengan kurangnya inhalasi rokok.
Akhirnya, ini adalah penelitian berbasis rumah sakit dan oleh karena itu tidak
mencerminkan gambaran yang sebenarnya dari populasi umum, bila dibandingkan dengan
pilihan Berksonian yang berbasis rumah sakit cenderung berpartisipasi lebih mudah dalam
proyek penelitian dibandingkan dengan kelompok kontrol.