Jurnal Masyarakat Epidemiologi Vol 2. No. 2

download Jurnal Masyarakat Epidemiologi Vol 2. No. 2

of 76

description

jurnal

Transcript of Jurnal Masyarakat Epidemiologi Vol 2. No. 2

JURNAL I N D O N E S I AMASYARAKAT EPIDEMIOLOGI

PENGARUH SENAM TAI CHI DAN SENAM BIASA TERHADAP REDUKSI NYERI OSTEOARTRITIS LUTUT PADA LANSIA DI PANTI SOSIAL TRESNA WERDHA GAU MABAJI GOWA TAHUN 2013

Dita Arundhati1, A. Zulkifli Abdullah2, Noer Bahri Noor2,

1Alumni Program Magister Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin 2Bagian Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin3Bagian Manajemen Rumah Sakit Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin

ABSTRACT

This study aimed to analyze the effect of Tai Chi and regular exercise to reduce osteoarthritis knee pain of elderly in Panti Sosial Tresna Werdha Gau Mabaji Gowa, 2013. This is a quasi experiment research nonrandomized pretest-posttest control group design. Samples were 21 elderly consisting of tai chi group, regular exercisers group and control group. Sampling is collected by purposive sampling, consider of inclusion and exclusion criteria. The data was collected using check lists, questionnaires and Lequesne index as a instrument to measure pain responders. Data were analyzed using Wilcoxon test, Mann-Whitney test and the Kruskall Wallis. The results showed that there was no significant difference (p = 0.221) of osteoarthritis knee pain reduction after and before doing Tai Chi. Regular exercise also showed no significant difference (p = 0.705) of osteoarthritis knee pain reduction after and before doing intervention. Mean difference osteoarthritis knee pain reduction of Tai Chi and regular exercise was not statistically significant (0.85).

Keywords: Tai Chi, Elderly, Osteoarthritis

PENDAHULUANDi seluruh dunia, osteoartritis (OA) diperkirakan menjadi penyebab utama keempat kecacatan. Osteoartritis terjadi pada lebih dari 27 juta penduduk amerika (Helmick et al, 2008). Di Inggris dan Wales sekitar 1,3 hingga 1,75 juta orang menderita simptom osteoartritis. Di Amerika, 1 dari 7 penduduk menderita osteoartritis. Dimana, Badan Kesehatan Dunia (WHO), penduduk yang mengalami Osteoartritis tercatat 8,1% dari penduduk total. Pravelansi mencapai 5% pada usia 0,05)), melakukan senam Tai Chi dengan yang melakukan senam biasa. Tidak ada perbedaan penurunan nyeri lutut pada responden sebelum (p = 0,805 (p>0,05)) dan sesudah (p = 0,620 (p>0,05)), melakukan senam Tai Chi dengan kelompok kontrol. Tidak ada perbedaan penurunan nyeri lutut pada responden sebelum (p = 0,383 (p>0,05)) dan sesudah (p = 0,383 (p>0,05)), melakukan senam biasa dengan kelompok kontrol.

Tabel 2.Perbedaan Penurunan Nyeri Lutut Responden Pada Masing-masing Kelompok Perlakuan dan Kontrol Sebelum dan Setelah Intervensi

KelompokSebelumSesudah

nMean RankPvaluenMean RankPvalue

Senam Tai ChiSenam Biasa777,717,290,902*777,077,930,710*

Senam Tai ChiKontrol777,217,790,805*776,868,140,620*

Senam BiasaKontrol776,438,570,383*776,438,570,383*

Data Primer*) Uji Mann WithneyTabel 3 menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan penurunan nyeri lutut sebelum dengan sesudah melakukan senam Tai Chi (p = 0,221 (p>0,05)), tidak ada perbedaan yang signifikan penurunan nyeri lutut sebelum dengan sesudah melakukan senam biasa (p = 0,705 (p > 0,05)), dan tidak ada perbedaan yang signifikan penurunan nyeri lutut sebelum dengan sesudah pada kelompok control (p = 0,157 (p > 0,05)).

Tabel 3.Rerata Nyeri Lutut Responden Pada Masing-masing Kelompok Perlakuan dan Kontrol Sebelum dan Setelah Intervensi

KelompoknMean RankPvalue

Senam Tai ChiPretestPosttest144,001,500,221

Senam BiasaPretestPosttest144,002,000,705

KontrolPretestPosttest14001,500,157

Data Primer*) Uji Wilcoxon

Tabel 4 menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan terhadap penurunan nyeri lutut pada responden yang melakukan senam Tai Chi, senam biasa dan kelompok kontrol, baik sebelum (p=0,727), maupun sesudah (p=0,663) dilakukan intervensi.

Tabel 4.Distribusi Rata-rata Nyeri Lutut Responden pada masing-masing kelompok perlakuan dan kontrol

KelompoknPretestPosttest

Mean RankPvalueMean RankPvalue

Senam Tai ChiSenam BiasaKontrol2110,939,7112,360,727*99,310,3612,710,663*

Data Primer *) Uji Kruskall Wallis PEMBAHASANHasil penelitian menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan signifikan pada penurunan nyeri lutut sebelum dan sesudah dilakukan intervensi senam Tai Chi. Penelitian ini sejalan dengan yang dilakukan Hall et all (2009) yakni suatu studi meta analisis yang menilai delapan penelitian randomized control trial ternyata Tai Chi hanya mempunyai nilai positif yang kecil untuk mengurangi nyeri pada lutut. Peneliti menduga, tidak adanya penurunan nyeri lutut sebelum dan sesudah dilakukan intervensi ini disebabkan karena selama enam minggu intervensi senam Tai Chi hanya dilakukan dua belas kali atau dengan kata lain senam hanya dilakukan dua kali dalam seminggu, sedangkan untuk mendapatkan hasil yang efektif senam Tai Chi harus dilakukan setiap hari selama dua belas minggu sebagaimana penelitian yang dilakukan Wang (2009). Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada kelompok senam Tai Chi rata-rata mengalami penurunan nyeri lutut yang lebih besar dibanding dengan kelompok senam biasa. Bila dibandingkan antara kelompok senam tai chi dan senam biasa, maka intervensi untuk penurunan nyeri lutut dengan senam tai chi jauh lebih baik bila dibandingkan dengan hanya melakukan senam biasa.Senam Tai Chi yang dilakukan secara teratur dapat meningkatkan tonus otot dan memperkuat otot-otot yang lemah sehingga otot sendi lebih fleksibel dan orang akan merasakan kenyamanan dan rasa nyeri akan lebih banyak berkurang. Penelitian Lam dan Horstman (2002), yang melakukan intervensi dengan modifikasi gaya Tai Chi Excersice for Arthritis (TCEA) pada lansia menunjukan bahwa ada peningkatan kekuatan otot, keseimbangan, kelenturan atau fleksibilitas dan mampu meningkatkan ambang nyeri, serta memperbaiki quality of life secara keseluruhan.Hal ini juga didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Chenchen Wang et all (2009) pada 20 orang lansia yang menilai efektifitas senam tai chi terhadap penurunan osteoarthritis menunjukan bahwa selam dua minggu perlakuan ternyata senam tai chi dapat mengurangi rasa nyeri, depresi, dan meningkatkan fungsi fisik, kemampuan diri dan kesehatan.

KESIMPULAN DAN SARANBerdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan rerata penurunan nyeri penderita Osteoartritis lutut sebelum dan sesudah dilakukan senam Tai Chi maupun senam biasa pada lansia. Selain itu, perbedaan rerata penurunan nyeri penderita Osteoartritis lutut pada senam Tai Chi dengan senam biasa tidak signifikan secara statistik.Penelitian ini dapat menjadi pertimbangan penerapan latihan senam Tai Chi untuk meningkatkan kualitas pernafasan pada orang tua yang berusia diatas 50 tahun, dimana dengan gerakannya yang halus dan lembut sangat cocok untuk kondisi fisik orang tua. Diharapkan pula adanya penelitian lebih lanjut dengan jumlah sampel yg lebih besar, kelompok umur yang berbeda, dan waktu yang lebih lama untuk mengetahui efek lain dari senam Tai Chi ini.

DAFTAR PUSTAKAAyu, D. A. (2012. Pemberian Intervensi Senam Lansia pada Lansia dengan Nyeri Lutut. Jurnal Nursing Studies. 1 (1) : 60-65.Hall, A. dkk. (2009). The Effectiveness of Tai Chi for Chronic Musculoskeletal Pain Condition : A systematic Review and Meta-Analysis. Arthritis & Rheumatism (Arthritis Care & Research) Vol. 61, No. 6, pp 717-724. Helmick, dkk. (2008). Estimates of the Prevalence of Arthritis and Other Rheumatic Conditions in the United States. DOI Vol. 58, No. 1, pp 1525.Lam, P. & Horstman, J. (2002). Overcoming Arthritis. New York: DK Publishing, Inc.Wang, dkk. (2009). Tai Chi is Effective in Treating Knee Osteoarthritis: A Randomized Controlled Trial. NIH Public Access, 61(11): 15451553. doi:10.1002/art.24832.

HUBUNGAN KADAR FLUOR AIR MINUM TERHADAP KARIES GIGI PADA ANAK SEKOLAH DASAR DI KECAMATAN LANDONO KABUPATEN KONAWE SELATAN PROVINSI SULAWESI TENGGARAErni Sunubi

Dinas Kesehatan Kab. Konawe Selatan Provinsi Sulawesi Tenggara

ABSTRACT

The aim of the study was to discover the correlation between potable water fluor and dental caries of elementary school children in Landono district, South Konawe regency, Southeast Sulawesi province. The study was cross sectional. The number of samples was 144 six graders elementary school children aged 12 years selected by proportional stratified random sampling. The water samples were collected from water resources consumed by the children. The dental examination was conducted at their respective schools and the water sample examination was done at the Health Laboratory of Southeast Sulawesi province in March 2008. The results of the study indicate that the damage level of dental caries (DMF-T) is on the average 3,29 with the percentage of free caries (DMF-T = 0) 18,8% and the percentage of caries thickness (C1-C4) is 81,2% (n = 144). The highest fluor level is 0,42 ppm and the lowest one is 0,09 ppm. The average water fluor before boiling is 0,214 ppm and after boiling 0,212 ppm . The Spearman Rank correlation analysis indicates that the water fluor before boiling (p = 0,018) and after boiling (p = 0,022) correlates with the damage level of dental caries (DMF-T) with the weakest correlation (r = - 0,197 and r = -0,191). This means that the higher the fluor level, the lower level the DMF-T value.

Key words : fluor level, dental caries damage level (DMF-T), dental caries thickness level

PENDAHULUANPada tahun 1999 karies gigi menyerang 4,6 juta penduduk dunia atau sekitar 0,3 % penduduk dunia terkena karies gigi dengan 2,3 juta pada laki- laki dan 2,28 juta pada perempuan. Persentase karies gigi anak sekolah dasar di Arkansas, Amerika Serikat pada tahun 2001 hingga tahun 2003 mencapai 72,2% (Wang, dkk., 2004).Di Indonesia penyakit karies gigi serta penyakit jaringan gusi masih tinggi, kurang lebih mencapai 80% dari jumlah penduduk. Tingginya prevalensi karies gigi dan penyakit periodontal, serta belum berhasil usaha untuk mengatasinya. Hal ini mungkin disebabkan oleh faktor-faktor distribusi penduduk, faktor lingkungan, faktor perilaku dan faktor pelayanan kesehatan yang berbeda-beda pada masyarakat Indonesia (Suwelo, dkk., 1994). Pada umumnya manusia membutuhkan air untuk keperluan hidup sehari-hari. Adanya fluor dalam air minum akan sangat berpengaruh terhadap intake fluor yang diterima oleh orang tersebut disamping itu makan makanan dan minuman yang mengandung banyak fluor seperti teh dan ikan laut. Kandungan fluor air minum ditiap-tiap tempat berbeda. Keadaan ini disebabkan karena penduduk mendapat sumber air yang berbeda-beda. Keadaan yang berbeda tersebut diduga akan mengakibatkan perbedaan frekuensi karies gigi bahkan dapat terjadi fluorosis atau hipoplasia email (Sutadi, dkk., 1990). Penelitian yang dilakukan oleh Monang Panjaitan 2003 mengenai pengalaman karies pada anak usia 12 sampai 15 tahun yang minum air sumur bor dan air leding di kampung nelayan dan uni kampung belawan menunjukkan bahwa pengalaman karies gigi tetap anak yang minum air sumur bor lebih kecil dibanding anak yang minum air leding dan secara statistik bermakna. Dengan demikian fluoride yang terkandung dalam air sumur bor mempunyai pangaruh terhadap prevalensi karies. Menurut Organisasi Kesehatan Sedunia (WHO), indikator derajat kesehatan gigi dan mulut anak usia 12 tahun pada tahun 2000 dengan nilai skor DMF-T 3 dengan prevalensi karies aktif 63% (Kristianti, dkk., 2002). Data 10 penyakit terbanyak di Kabupaten Konawe Selatan tahun 2007, penyakit gigi dan mulut menempati rangking 5 sebanyak 4.593 (7,93%) dari jumlah penduduk 242.929 jiwa. Data dari Sistem Pencatatan dan Pelaporan Tingkat Puskesmas (SP2TP) dalam Profil Kesehatan Kabupaten Konawe Selatan tahun 2007 menunjukkan bahwa untuk Kabupaten Konawe Selatan jumlah murid sekolah dasar sebanyak 31.294 orang, yang membutuhkan perawatan sebanyak 20.317 orang (64,9%) dan yang telah mendapat perawatan sebanyak 3.194 orang (15,7%), sedangkan untuk Kecamatan Landono tahun 2006 jumlah sekolah dasar sebanyak 15 buah dengan jumlah murid sekolah dasar sebanyak 1.488 orang, yang membutuhkan perawatan sebanyak 1.037 orang (69,6%) dan yang telah mendapat perawatan sebanyak 286 orang (27,5%). Tingginya prevalensi karies gigi pada anak sekolah dasar dan keadaan geografi Kecamatan Landono serta belum tersedianya data tentang kadar fluor di Kabupaten Konawe Selatan dan khususnya Kecamatan Landono mendorong dilakukannya penelitian mengenai hubungan kadar fluor air minum terhadap karies gigi pada anak sekolah dasar, dimana anak-anak tersebut dilahirkan dan bertempat tinggal di wilayah Kecamatan Landono hingga penelitian dilakukan.BAHAN DAN METODERancangan dan Lokasi PenelitianJenis penelitian ini adalah observasional dengan menggunakan pendekatan cross sectional study. Penelitian dilakukan di Kecamatan Landono Kabupaten Konawe Selatan Provinsi Sulawesi Tenggara. Waktu penelitian selama 2 bulan, mulai bulan Maret sampai April 2008.Populasi dan SampelPopulasi dalam penelitian ini adalah seluruh anak sekolah dasar kelas VI di Kecamatan Landono, berdasarkan survei pendahuluan sebanyak 224 orang. Sampel pada penelitian ini adalah anak sekolah dasar berusia 12 tahun yang lahir dan bertempat tinggal di daerah penelitian sampai dilakukannya penelitian. Pengambilan sampel dilakukan secara Proportional Stratified Random Sampling dan besar sampel 144 orang. Adapun sampel air minum ditentukan berdasarkan tempat tinggal anak-anak sekolah dasar berusia 12 tahun yang telah diperiksa karies giginya.Analisa data Untuk variabel tingkat pendidikan orang tua, pekerjaan orang tua, pola/frekuensi menyikat gigi dan frekuensi mengkonsumsi permen, serta pH saliva. Uji statistik yang digunakan adalah Korelasi Spearman Rank untuk variabel kadar fluor dalam air minum dan tingkat keparahan karies gigi (DMF-T).

HASIL DAN PEMBAHASANTingkat Keparahan Karies Gigi (DMF-T) Tabel 1 menunjukkan bahwa DMF-T = 0 (bebas karies) paling banyak yaitu 27orang (18,8%), kemudian pada DMFT = 3 sebanyak 24 orang (18,7%), dan DMF-T = 1 dan 8 sebanyak 3 orang (2,1%) paling rendah sebanyak 1 serta 3 orang yang mempunyai pengalaman karies sebanyak 8.

Tabel 1. Distribusi responden berdasarkan tingkat keparahan karies (DMF-T) di Kecamatan Landono Kabupaten Konawe Selatan Provinsi Sulawesi Tenggara Tahun 2008

DMF-TJumlahPersen

02718,8

132,1

22316,0

32416,7

42215,3

52013,9

6139,0

796,3

832,1

Jumlah144100,0

Data Primer

Tingkat Keparahan Karies (DMF-T) Rata-rataTabel 2 menunjukkan bahwa jumlah D (Decay) atau banyak gigi yang berlubang tertinggi yaitu 382 gigi dengan rata rata 2,65, kemudian M ( Missing) atau banyaknya gigi yang hilang sebanyak 92 gigi atau rata-rata 0,64 dan F (Filling) atau gigi dengan tambalan 0, artinya dari 144 responden (474 gigi) yang telah diperiksa ditemukan paling banyak gigi berlubang karena karies, kemudian gigi yang hilang karena karies atau indikasi pencabutan dan tidak ditemukan gigi yang mempunyai tambalan, sehingga didapatkan nilai DMF-T rata-rata 3,29.

Tabel 2. Distribusi responden berdasarkan tingkat keparahan karies (DMF-T) rata-rata di Kecamatan Landono Kabupaten Konawe Selatan Provinsi Sulawesi Tenggara Tahun 2008Karies gigiJumlah gigiRata rata

D3822.65

M920.64

F00

Jumah4743,29

Data Primer

Karies Gigi Tabel 3 menunjukkan bahwa dari 144 responden yang telah diperiksa, ada 27 responden yang tidak karies (18,8%), sedangkan yang menderita karies gigi mulai dari kedalaman pada email sampai pada akar gigi sebanyak 117 orang (81,2%).

Tabel 3. Distribusi responden berdasarkan tingkat kedalaman karies (CO-C4) di Kecamatan Landono Kabupaten Konawe Selatan Provinsi Sulawesi Tenggara Tahun 2008Karies gigiJumlahPersen

C0 (Tidak ada karies) 2718,8

C1 C4 (Ada karies) 11781,2

Jumlah144100,0

Data Primer

Analisis MultivariatKaries gigi dengan kadar fluor sebelum dididihkan Berdasarkan hasil pemeriksaan karies gigi dan hasil pengukuran kadar fluor air sebelum dididihkan, maka didapatkan hasil sebagai berikut:

Tabel 5. Distribusi karies gigi dengan kadar fluor sebelum dididihkan di Kecamatan Landono Kabupaten Konawe Selatan Provinsi Sulawesi Tenggara Tahun 2008

Sebelumdididihkan (Fluor 1)Karies GigiJumlah

KariesTidak Karies

n%n%n%

Sangat rendah < 0,38183,51616,597100,0

Rendah 0,3 0,73676,61123,447100,0

Jumlah11781.32718.8144100.0

Data Primer

Karies gigi dengan kadar fluor setelah dididihkan Berdasarkan hasil pemeriksaan karies gigi dan hasil pengukuran kadar fluor setelah dididihkan, maka didapatkan hasil sebagai berikut :

Tabel 6. Distribusi karies gigi dengan kadar fluor setelah dididihkan di Kecamatan Landono Kabupaten Konawe Selatan Provinsi Sulawesi Tenggara Tahun 2008Setelah dididihkan(Flour 2)Karies GigiJumlah

KariesTidak karies

n%n%n%

Sangat rendah < 0,38183,51616,597100,0

Rendah 0,3 0,73676,61123,447100,0

Jumlah11781.32718.8144100.0

Data Primer

Tabel 5 dan 6 menunjukkan bahwa responden yang mempunyai karies gigi lebih banyak mengkonsumsi kadar fluor yang sangat rendah (83,5%) dan rendah (76,6%) adalah sama sebelum dididihkan dan setelah dididihkan (83,5%). Demikian pula dengan responden yang tidak mempunyai karies gigi lebih banyak mengkonsumsi kadar fluor yang rendah (23,4%) dan sangat rendah (16,5%) adalah sama sebelum dan setelah dididihkan. Artinya kadar fluor tetap memberikan kontribusi untuk terjadinya karies gigi, namun menurut (Roth, dkk., 1981) secara klinik untuk perkembangan karies gigi membutuhkan waktu yang lama rata-rata 12-24 bulan.

Kadar fluor terhadap keparahan karies gigi (DMF-T)Tabel 7 menunjukkan bahwa responden yang mempunyai DMF-T sangat rendah mempunyai sumber air minum yang lebih banyak mengandung kadar fluor rendah yaitu (23,4%). Responden yang mempunyai DMF-T sangat tinggi mempunyai sumber air minum yang lebih banyak mengandung kadar fluor sangat rendah yaitu (10,3%).

Tabel 7. Kadar fluor terhadap keparahan karies gigi (DMF-T) anak SD di Kecamatan Landono Kabupaten Konawe Selatan Provinsi Sulawesi Tenggara Tahun 2008

kadar FluorKeparahan Karies gigi (DMF-T)Jumlah

Sangat rendah< 1,2Rendah1,2 2,6Sedang2,7 4,4Tinggi4,5 6,6Sangat tinggi>6,6

n%n%n%n%n%n%

Sangat rendah 34113927203113927203

Pendidikan Ibu

Tidak Tamat SDSDSMPSMADIPS181428301648142830164

Pekerjaan Suami

TaniBuruhSopirPNS/SwastaDagang42181019114218101911

Jumlah100100

Data Primer

Tabel 1 memperlihatkan bahwa sebagian besar (39%) ibu hamil berumur 20 - 24 tahun. Hal ini menunjukan bahwa responden masih berada pada rentan usia yang aman secara produktif untuk melahirkan (tidak berisiko tinggi). Distribusi responden berdasarkan tingkat pendidikan yaitu sebagian besar (30%) responden dengan tingkat pendidikan tamat SLTA. Berdasarkan pekerjaan suami yaitu sebagian besar (42%) bekerja sebagai Tani. Analisis Variabel Independen

Tabel 2. Distribusi Variabel Independen di Wilayah Kerja Puskesmas Kabila Kabupaten Bone Bolango

Variabel JumlahPersentase

Realibility (Kehandalan) Kualitas Pelayanan

Tidak sesuaiSesuai40604060

Assurance (Jaminan) Kualitas Pelayanan

Tidak sesuaiSesuai35653565

Tangible ( Bukti Fisik) Kualitas Pelayanan

Tidak sesuaiSesuai36643664

Empathy (Kemampuan memahami) Kualitas Pelayanan

Tidak sesuaiSesuai39613961

Responsiveness Kualitas Pelayanan

Tidak sesuaiSesuai46544654

Jumlah100100

Data Primer

Tabel 2 menunjukkan bahwa sebanyak 40 (40%) ibu hamil di Wilayah Kerja Puskesmas Kabila Kabupaten Bone Bolango menyatakan tidak sesuai atas dimensi Realibility (Kehandalan) kualitas pelayanan antenatal care. Sebanyak 35 (35%) ibu hamil di Wilayah Kerja Puskesmas Kabila Kabupaten Bone Bolango menyatakan tidak sesuai atas dimensi Assurance (Jaminan) kualitas pelayanan antenatal care. Sebanyak 36 (36%) ibu hamil di Wilayah Kerja Puskesmas Kabila Kabupaten Bone Bolango menyatakan tidak sesuai atas dimensi tangible (Bukti Fisik) kualitas pelayanan antenatal care. Sebanyak 39 (39%) ibu hamil di Wilayah Kerja Puskesmas Kabila Kabupaten Bone Bolango menyatakan tidak sesuai atas dimensi Empaty (Kemampuan Memahami) kualitas pelayanan antenatal care. Sebanyak 46 (46%) ibu hamil di Wilayah Kerja Puskesmas Kabila Kabupaten Bone Bolango menyatakan tidak sesuai atas dimensi Responsiveness (Daya Tanggap) kualitas pelayanan antenatal care.

Analisis Bivariat

Tabel 3. Hubungan Variabel Penelitian dengan kualitas pelayanan ANC di Wilayah Kerja Puskesmas Kabila Kabupaten Bone Bolango Tahun 2010

Variabel PenelitianKualitas PelayananJumlahUji Statistik

Tidak BerkualitasBerkualitas

n%n%n%

ReliabilityX = 6.791(0.009)

Tidak sesuai1640.02460.040100

Sesuai1016.75083.360100

AssuranceX = 7.953(0.005)

Tidak sesuai1542.92057.135100

Sesuai1116.95483.165100

TangibleX = 9.946(0.002)

Tidak sesuai1644.42055.636100

Sesuai1015.65484.464100

EmpathyX = 5.160(0.023)

Tidak sesuai1538.52461.539100

Sesuai1118508261100

ResponsivenessX = 5.315(0.021)

Tidak sesuai1737296346100

Sesuai916.74583.354100

Data Primer

ReliabilityTabel 3 menunjukkan sebanyak 40 ibu hamil yang menyatakan tidak sesuai atas dimensi reliability (Bukti Fisik) terdapat 16 (40.0%) dengan pelayanan tidak berkualitas dan 24 (55.6%) dengan pelayanan berkualitas. Sedangkan dari 60 ibu hamil yang menyatakan sesuai terdapat 10 (16.7%) yang menyatakan tidak berkualitas dan sisanya yaitu sebanyak 50 (83.3%) menyatakan berkualitas. Hasil uji statistic menunjukkan hubungan (p=0.009 < 0,05). Hasil wawancara menunjukkan bahwa sebagian besar ibu hamil merasa sesuai dengan pelayanan bidan di puskesmas, sebagaimana seperti diungkapkan oleh responden berikut :..kita suka sekali periksa di sini karena tidak lama mo batunggu.... (Ny. SS, 34 th).depe bidan perhatian sekali.kalo kita rasa sakit, dia so langsung kase vitamin. (Ny. RB, 27 th)AssuranceSebanyak 35 ibu hamil yang menyatakan tidak sesuai atas dimensi Assurance (Jaminan), terdapat 15 (42.9%) menyatakan pelayanan tidak berkualitas dan 20 (57.1%) menyatakan pelayanan berkualitas. Sedangkan dari 65 ibu hamil yang menyatakan sesuai terdapat 11 (16.9%) yang menyatakan tidak berkualitas dan sisanya yaitu sebanyak 54 (83.1%) menyatakan berkualitas. Hasil uji statistic menunjukkan hubungan (p=0.005 < 0,05). Hasil wawancara menunjukkan bahwa ibu hamil merasakan akan kemampuan bidan, sebagaimana terungkap pada hasil wawancara berikut :.. kalo datang, kita slalu di suruh timbang badan.trus mo priksa samua. (Ny. SD, 24 th) depe bidan baek, tidak suka marah-marah biar kita banyak batanya. (Ny. RD, 31 th)TangibleTabel 3 menunjukkan sebanyak 36 ibu hamil yang menyatakan tidak sesuai atas dimensi tangible (Bukti Fisik), terdapat 16 (44.4%) dengan pelayanan tidak berkualitas dan 20 (55.6%) dengan pelayanan berkualitas. Sedangkan dari 64 ibu hamil yang menyatakan sesuai terdapat 10 (15.6%) yang menyatakan tidak berkualitas dan sisanya yaitu sebanyak 54 (84.4%) menyatakan berkualitas. Hasil uji statistic menunjukkan hubungan dimana (p=0.002 < 0,05).Sebagian besar ibu hamil merasakan bahwa penampilan bidan serta sarana dan prasarana puskesmas sudah sesuai, sebagaimana terungkap dalam hasil wawancara berikut : bu bidan itu cantik depe orang, trus salalu rapi. (Ny. RD, 31 th) Kita suka periksa disini karena depe ruang tunggu basar, jadi tidak baku ruju. (Ny. SD, 24 th)EmpathyTabel 3 menunjukkan sebanyak 39 ibu hamil yang menyatakan tidak sesuai atas dimensi Assurance (Jaminan), terdapat 15 (38.5%) menyatakan pelayanan tidak berkualitas dan 24 (61.5%) menyatakan pelayanan berkualitas. Sedangkan dari 61 ibu hamil yang menyatakan sesuai terdapat 11 (18%) yang menyatakan tidak berkualitas dan sisanya yaitu sebanyak 54 (82%) menyatakan berkualitas. Hasil uji statistic menunjukkan hubungan (p=0.005 < 0,05). Hasil wawancara menunjukkan bahwa sebagian besar ibu hamil merasakan perhatian bidan di puskesmas, sebagaimana seperti diungkapkan oleh responden berikut : kita suka sekali dengan depe bidan, karena tidak bapilih-pilih orang. Samua orang mo dia pariksa. ( Ny. RL, 26 th).ResponsivenessTabel 4.13 menunjukkan sebanyak 46 ibu hamil yang menyatakan tidak sesuai atas dimensi Responsiveness (Daya Tanggap), terdapat 17 (40.%) menyatakan dengan pelayanan tidak berkualitas dan 29 (63%) menyatakan dengan pelayanan berkualitas. Sedangkan dari 54 ibu hamil yang menyatakan sesuai terdapat 9 (16.7%) yang menyatakan tidak berkualitas dan sisanya yaitu sebanyak 45 (83.3%)menyatakan berkualitas. Hasil uji statistic menunjukkan hubungan (p=0.021 < 0,05) Hasil wawancara menunjukkan bahwa sebagian besar ibu hamil berpendapat bidan cepat dan tanggap dalam melayani pasien di puskesmas, sebagaimana seperti diungkapkan oleh responden berikut : kalo kita datang bu bidan so langsunhg bapariksa, biar taliat sibuk (Ny. SD, 24 th).

Analisis Multivariat

Tabel 4. Hubungan Antara Dimensi Reliability, Assurance, Tangible, Empathy dan Responsivennes Dengan Kualitas Pelayanan Antenatal Care Oleh Bidan Di Wilayah Kerja Puskesmas Kabila Kabupaten Bone Bolango Tahun 2010

VariabelBWalddfSigExp(B)

TangibleReliabilityResponsivenesAssuranceEmpathyConstant-21.688-749-1.19420.378.340.485.000.0005.284.000.0001.0741111111.0001.000.0221.0001.000.300.000.473.3037.0781.4061.642

Data Primer Berdasarkan analisa multivariat menggunakan uji regresi logistic, variable yang paling berhubungan adalah variable responsiveness dimana nilai p = 0.022.PEMBAHASANHubungan Dimensi Reliability (Kehandalan) Dengan Kualitas Pelayanan Terhadap Peningkatan Cakupan Antenatal Care.Dimensi reliability (kehandalan) dalam penelitian ini adalah kemampuan bidan untuk melaksanakan jasa sesuai dengan yang dijanjikan. Dengan indicator penerimaan ibu hamil yang cepat dan tepat, prosedur pelayanan tidak menyusahkan ibu hamil, pelayanan cepat dan tepat waktu, petugas memberikan perhatian yang tulus untuk menangani setiap keluhan ibu hamil, bidan memberi pelayanan bebas dari tekanan.Hasil penelitian pada tabel 3 dapat dilihat bahwa tanggapan responden terhadap kualitas dimensi Reliability yang menyatakan sesuai dan berkualitas sebanyak 50 responden (83.3%), namun masih ada juga responden yang menyatakan pada dimensi reliability tidak sesuai dan tidak berkualitas sebanyak 16 responden (40%). Hal ini menunjukkan bahwa ibu sudah merasa sesuai dengan kecepatan dan ketepatan bidan dalam menanggapi kebutuhan ibu hamil dalam hal menangani setiap keluhan ibu hamil, bidan memberi pelayanan secara teratur, dimana pelayanan bagi ibu hamil di khususkan setiap hari seninHasil analisis hipotesis penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Nilawaty Uly (2010), dimana hasil yang diperoleh ada hubungan antara dimensi realibility dengan kualitas pelayanan kesehatan. Sesuai dengan pendapat Supranto (2006) yang menyatakan bahwa realibility merupakan salah satu dari lima criteria penentu kualitas pelayanan. Senada dengan penelitian Bery, Parasuraman dan Zeithml (Supranto, 2006) menemukan ada beberapa yang dapat dijadikan sebagai kriteria penentu kepuasan, salah satu diantaranya yaitu reliability (kehandalan).Wijono (1999), mengemukakan bahwa reliability (kehandalan) adalah kemungkinan dari suatu produk tampil tanpa cacat dalam prinsipnya pada suatu produk tertentu. Menurut Parasuraman, dkk. (Supranto, 2006) berpendapat kehandalan (reliability) yaitu kemampuan perusahaan untuk memberikan pelayanan seusai dengan apa yang dijanjikan secara akurat dan terpercaya. Kinerja harus sesuai dengan harapan pelanggan yang berarti ketepatan waktu, pelayanan yang sama untuk semua pelanggan tanpa kesalahan, sikap yang simpatik, dan dengan akurasi yang tinggi.

Hubungan dimensi Assurance (jaminan) dengan Kualitas terhadap Peningkatan Cakupan Antenatal Care.Dimensi Assurance (jaminan) dalam hal ini yaitu kemampuan bidan dalam memberikan jaminan kepastian pelayanan yang aman dan dapat dipercaya. Dengan indicator pengetahuan dan kemampuan bidan untuk melakukan anamnesa dan mendiagnosa, pelayanan bidan memberi rasa aman kepada ibu hamil, bidan sopan dan ramah dalam memberikan pelayanan, bidan mampu dan mau memberikan jawaban yang tepat terhadap pertanyaan serta keluhan pasien.Hasil penelitian pada table 3 dapat dilihat bahwa tanggapan responden terhadap kualitas dimensi Assurance yang menyatakan sesuai dan berkualitas sebanyak 54 responden (83.1%), walaupun masih ada responden yang menyatakan tidak sesuai dan tidak berkualitas yaitu sebanyak 15 responden (42.9%). Jaminan merupakan faktor yang menentukan dalam kualitas pelayanan karena dengan jaminan pasien merasakan aman pada saat melakukan pemeriksaan dan pasien merasa puas. Menurut Azwar dalam Syafrudin (2011), kualitas pelayanan kesehatan mengacu pada tingkat kesempurnaan pelayanan kesehatan yang disatu pihak menimbulkan kepuasan pasien. Hal ini juga sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Solikhah (2008), dimana terciptanya kualitas pelayanan akan menciptakan kepuasan pasien, sehingga pasien kembali memanfaatkan pelayanan tersebut.Menurut Bery, Parasuraman, dan Zeithml (Supranto, 2006) menemukan ada beberapa yang dapat dijadikan sebagai kriteria penentu kepuasan, salah satu diantaranya yaitu Assurance (jaminan) adalah sebagai suatu kegiatan menjaga kepastian suatu pelayanan atau indikasi yang menimbulkan rasa kepercayaan (garansi/jaminan).Kualitas pelayanan yang berkaitan dengan kemampuan bidan ini dapat terpenuhi jika bidan mendapatkan pelatihan. Pelatihan pelayanan antenatal penting dilaksanakan untuk meningkatkan kompetensi bidan dalam melayani kesehatan masyarakat. Hubungan dimensi Tangible (Bukti Fisik) dengan kualitas terhadap peningkatan cakupan Antenatal Care.Tangible (Bukti Fisik) Adalah berupa pelayanan fisik, dari sarana dan prasarana puskesmas. Dengan indicator puskesmas bersih dan rapi, kebersihan dan keindahan pekarangan puskesmas dan kenyamanan ruangan, peralatan lengkap, bersih dan siap pakai. Hasil penelitian pada table 3 dapat dilihat bahwa tanggapan responden terhadap kualitas dimensi Tangible yang menyatakan sesuai dan berkualitas sebanyak 54 responden (84.4%), walaupun masih ada responden yang menyatakan tidak sesuai dan tidak berkualitas yaitu sebanyak 16 responden (44.4%). Hal ini karena belum adanya saran rawat inap, sehingga belum dapat menerima pasien untuk melahirkan di puskesmas. Dimana menurut Syafrudin (2011) unsure lingkungan sekitar akan mempengaruhi penyelenggaraan pelayanan kesehatan. Sejalan dengan hasil penelitian Widyawaty (2003) yang menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara kelengkapan sarana, kualitas pelayanan ANC dengan cakupan K4.Hal ini menunjukan bahwa untuk sarana dan prasarana yang menunjang pelayanan antenatal sudah lengkap dan sesuai standar, jadi tidak ada alasan bagi bidan untuk tidak melakukan pelayanan antenatal yang berkualitas. Hubungan dimensi Empathy (perhatian) dengan Kualitas terhadap Peningkatan Cakupan Antenatal Care.Empathy (perhatian) adalah dimana bidan memahami dan menempatkan diri pada keadaan yang dihadapi atau dialami oleh pasien. Dengan indicator bidan memberikan perhatian khusus kepada setiap ibu hamil, perhatian bidan pada keluhan pasien, tidak membeda-bedakan ibu hamil, bidan bersikap sabar dan telaten dalam menghadapi ibu hamil dan senantiasa memperlakukan pasien dengan baik.Hasil penelitian pada table 3 dapat dilihat bahwa tanggapan responden terhadap kualitas dimensi Empathy yang menyatakan sesuai dan berkualitas sebanyak 50 responden (82%), walaupun masih ada responden yang menyatakan tidak sesuai dan tidak berkualitas yaitu sebanyak 15 responden (38.5%). Menurut Wiyono (dalam Syafrudin, 2011) bahwa pasien butuh akan empati dan respek sesuai dengan kebutuhan mereka dan diberikan dengan cara yang ramah waktu mereka berkunjung.Periode antenatal adalah suatu kondisi yang dipersiapkan secara fisik dan psikologis untuk kelahiran. Segalan perubahan baik fisik maupun psikologis akan dialami oleh wanita selama hamil berhubungan dengan beberapa system yang disebabkan oleh efek khusus dari hormone (Case dan Waterhaouse, dalam Salmah, 2006) Ibu yang hamil membutuhkan dukungan karena stress, sehingga ibu hamil akan lebih sensitive. Oleh karena itu bidan harus memahami apa yang dialami oleh ibu hamil. Bidan harus bersikap sabar dan telaten dalam menghadapi ibu hamil. Dalam penelitian Bery, Parasuman, dan Zeithml (Supranto, 2006) empathy (perhatian) adalah harapan pasien yang dimiliki berdasarkan kemampuan petugas dalam memahami dan menempatkan diri dari keadaan yang dihadapi oleh pasien. Sikap bidan sabar dan telaten yang memiliki rasa hormat dan bersahabat, memahami keadaan yang dialami pasien, memperlakukan pasien dengan baik itu merupakan harapan para pelanggan atau pasien.Hubungan Dimensi Responsiveness (ketanggapan) dengan Kualitas terhadap Peningkatan Cakupan Antenatal Care.Responsiveness (ketanggapan) Adalah kecepatan dan ketanggapan bidan dalam memberikan jasa. Dengan indicator dimana bidan cepat dan tanggap melayani keluhan ibu hamil, dengan memberikan pemeriksaan baik fisik maupun kebidanan, serta memberikan pemeriksaan laboratorium atas indikasi tertentu serta indikasi dasar dan khusus yang bertujuan untuk menyelamatkan ibu agar kehamilan dan persalinannya.Tabel 4. dapat dilihat bahwa tanggapan responden terhadap kualitas dimensi responsiveness yang menyatakan sesuai dan berkualitas sebanyak 45 responden (83.3%), walaupun masih ada responden yang menyatakan tidak sesuai dan tidak berkualitas yaitu sebanyak 17 responden (37%). Menurut Nurmawati (2010) hubungan antar manusia yang baik akan menimbulkan kemitraan, saling percaya, saling menghormati dan keterbukaan.Kecepatan dan ketanggapan bidan dalam memberikan jasa ini berkaitan dengan pengetahuan tentang tujuan dan manfaat pelayanan antenatal yang baik. Dari hasil pengamatan dan wawancara bidan mengetahui apa tujuan dan manfaat dari pelayanan antenatal.

KESIMPULAN DAN SARANHasil analisis statistik dapat dijelaskan bahwa realibility sangat menentukan keberhasilan bidan dalam peningkatan kualitas pelayanan Antenatal Care, namun secara kualitatif masih terdapat kelemahan, terutama dalam hal tepat waktu. Disarankan bagi Puskesmas Kabila Kabupaten Bone Bolango untuk dapat lebih meningkatkan kualitas pelayanan antenatal care dari seluruh dimensi, terutama pada dimensi reability, Bagi Dinas Kesehatan Bone Bolango agar memberikan pelatihan tentang pelayanan antenatal care secara rutin, serta memfasilitasi puskesmas yang memiliki pelayanan PONED.

DAFTAR PUSTAKAAnwar, Choiroel. (2005). Hubungan Kualitas Pemeriksaan ANC Dengan Kematian Perinatal Tahun 2004. Dinkes Kabupaten Bone Bolango. (2010). Profil Kesehatan. GorontaloMuninjaya. (2004). Manajemen Kesehatan, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.Nasriwaty. (2010). Analisis Kualitas Pelayanan Di Puskesmas Sulili Kabupaten Pinrang, Tesis Program Pascasarjanan Universitas Hasanuddin Makasar.Solikhah. (2008). Hubungan Kepuasan Pasien Dengan Minat Pasien Dalam Pemanfaatan Ulang Pelayanan Pengobatan. Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 11, No. 4 Desember 2008. (diakses 5 April 2011)Thomas, Salamuk dan Kusnanto Hari. (2007). Evaluasi Kinerja BidanPuskesmas Dalam Pelayanan Antenatal di Kabupaten Puncak Jaya.Jurnal KMPK, Program Magister Universitas Gajahmada, No. 08 April 2007 (diakses 5 April 2011)Widowati, Christina dan Hakimi. H.M. (2006). Manajemen Pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak Dan Kualitas Antenatal Care di Puskesmas Keacamatan Semarang Barat. Jurnal KMPK, Program Magister Universitas Gajahmada, No. 17 April 2006 (diakses 5 April 2011)PEMETAAN DAN FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGANKEJADIAN HIV DAN AIDS DI PROVINSI SULAWESI SELATAN TAHUN 2013

Hasrati Husfahsari Ramadhani1, Ridwan Aminudin2, Burhanuddin Bahar3

1Alumni Program Magister Epidemiologi Fakultas Kesehatan MasyarakatUniversitas Hasanuddin2 Bagian Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin3Bagian Gizi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin

ABSTRACT

HIV and AIDS disease progression show trends that are increasingly concerned about both the quantitative and qualitative.This study aims to analyze the relationship between population density, regional characteristics, classification of the city, drug users, and users of condoms on the incidence of HIV and AIDS as well as to map the incidence of HIV and AIDS in South Sulawesi province in 2013.The study was observational with cross sectional study. This study uses Geographic Information Systems (GIS) to visualize and explore spatial data. Samples taken as many as 24 districts/cities in South Sulawesi who are categorized by endemicity status on the incidence of HIV and AIDS.Bivariate analysis using Chi-square test and multivariate logistic regression.The results showed that factors associated with the incidence of HIV and AIDS in South Sulawesi Province is characteristic of the region (p=0.019), drug users (p=0.011), and condom users (p=0.001). While the population density (p=0.076) and the city classification (p=0.348) was not associated with the incidence of HIV and AIDS. Results of multivariate logistic regression test was found that the characteristics of the region is the most influential factor on the incidence of HIV and AIDS (Wald=4.902, p=0.027).

Keywords: mapping, factor, HIV and AIDS

PENDAHULUANHuman Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh. Perjalanan infeksi HIV di dalam tubuh menyerang sel Cluster of Differentiation 4 (CD4) sehingga terjadi penurunan sistem pertahanan tubuh. Replikasi virus yang terus menerus mengakibatkan semakin berat kerusakan sistem kekebalan tubuh dan semakin rentan terhadap infeksi oportunistik (IO) sehingga akan berakhir dengan kematian (Bruner, 2002).Data WHO (World Health Organization, 2009) menyatakan 33,3 juta orang hidup dengan HIV dan 1,8 juta orang meninggal karenanya. Diperkirakan jumlah ini masih jauh lebih banyak lagi karena masih banyaknya kasus-kasus yang tidak terdeteksi. HIV dan AIDS sudah menjadi global effect dengan kecepatan penularan penyebaran yang sangat pesat, diperkirakan 1 menit 5 orang tertular di seluruh dunia (UNAIDS, 2006).Sejak kasus AIDS pertama kali dilaporkan di Indonesia pada tahun 1987 di Bali, jumlah kasus bertambah secara perlahan menjadi 225 kasus di tahun 2000.Sejak itu kasus AIDS bertambah cepat dipacu oleh penggunaan NAPZA suntik. Pada tahun 2006, sudah terdapat 8.194 kasus AIDS. Pada akhir tahun 2009 dilaporkan sebesar 17.699 kasus AIDS, 15.608 kasus diantaranya dalam golongan usia produktif 25-49 tahun (88%). Dari laporan Ditjen PP dan PL Depkes RI juga dapat dilihat jumlah kumulatif kasus AIDS di Indonesia sampai dengan akhir Juni 2011 sebanyak 26.483 kasus. (Kurniasih, 2006).Jumlah kasus AIDS secara kumulatif di Indonesia yang dilaporkan sebanyak 22.726 kasus tersebar di 32 provinsi. Kasus tertinggi di dominasi usia produktif yaitu usia 20-29 tahun (47,8%), diikuti kelompok umur30-39 tahun (30,9%), dan kelompok umur 40-49 tahun (9,1%). Dari jumlah tersebut 4.250 kasus atau 18,7% diantaranya meninggal dunia.Kawasan Timur Indonesia, Sulawesi Selatan adalah provinsi terbesar kedua setelah Papua dalam hal tingkat pandemik HIV dan AIDS. Semua wilayah kabupaten/kota di dalam wilayah propinsi Sulawesi Selatan telah ditemukan kasus HIV dan AIDS. Tiga diantaranya yang tertinggi adalah Makassar, Parepare, dan Bulukumba(Depkes, 2010).Dampak HIV dan AIDS sangat mengkhawatirkan. Sindrom ini telah menyebabkan peningkatan angka kesakitan dan kematian penduduk di usia produktif. Epidemi ini tumbuh seiring dengan penggunaan narkoba baik narkoba suntik (Injection Drug Users) yang tidak steril maupun narkoba hisap.Hubungan seks berisiko dengan tidak menggunakan kondom juga merupakan penyebab tingginya angka kejadian HIV dan AIDS. Distribusi penggunaan kondom di Provinsi Sulawesi Selatan pada tahun 2010 sebesar 49.522, tahun 2011 mengalami peningkatan sebesar 50. 234 dan tahun 2012 mengalami penurunan sebesar 50.182 (BKKBN Provinsi Sul-Sel, 2012).Sistem Informasi Geografis (SIG) adalah Suatu komponen yang terdiridari perangkat keras, perangkat lunak, data geografis dan sumberdaya manusia yang bekerja bersama secara efektif untuk memasukan, menyimpan, memperbaiki, memperbaharui, mengelola, memanipulasi, mengintegrasikan, menganalisa dan menampilkandata dalam suatu informasi berbasis geografis (Hartoyo dkk, 2010). Sampai saat ini belum diketahui pola spasial yang terinci mengenai distribusi kasus HIV dan AIDS di Provinsi Sulawesi Selatan.Maka dari itu penelitian ini bertujuan untuk menganalisis distribusi spasial kasus HIV dan AIDS di Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2012. Gambaran spasial kasus HIV dan AIDS diharapkan mengidentifikasi faktor-faktor risiko terhadap penyebaran HIV dan AIDS.

BAHAN DAN METODERancangan dan Lokasi PenelitianJenis Penelitian adalah observasional dengan desain studi cross sectional. Penelitian dilaksanakan di Provinsi Sulawesi SelatanPopulasi dan SampelPopulasi penelitian adalahkejadian HIV dan AIDS pada setiap Kabupaten/Kota di Provinsi Sulawesi Selatan.Sampel dalam penelitian ini adalahkejadian HIV dan AIDSyang lengkap data-datanya pada Kabupaten/Kota di Provinsi Sulawesi Selatan dengan status endemis dan non-endemis terhadap kejadian HIV dan AIDS tahun 2010-2012.Penarikan sampel yang digunakan adalah nonprobability sampling yang dilakukan dengan cara Exhautive Sampling, yaitu kejadian HIV dan AIDSyang lengkap data-datanya pada Kabupaten/Kota di Provinsi Sulawesi Selatan akan dijadikan sebagai sampel penelitian.Metode Pengumpulan DataPengumpulan data yang dilakukan berupa data sekunderyang diperoleh dari beberapa instansi terkait yaitu: Data kasus HIV dan AIDS diperoleh dari hasil pencatatan Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Selatantahun 2010 2012, Data kepadatan penduduk, klasifikasi kota dan karakteristik wilayah untuk Kabupaten/Kota se-Provinsi Sulawesi Selatan diperoleh dari hasil pencatatan Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Sulawesi Selatan, Data Pengguna narkoba diperoleh dari Badan Narkotika Nasional (BNN) Provinsi Sulawesi Selatan tahun 2010 -2012, Data Penggunaan kondom diperoleh dari Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Provinsi Sulawesi Selatan tahun 2010 2012, Peta Dasar daerah penelitian dan data-data yang terkait dengan penelitian didapatkan dari instansi terkait seperti Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (Bakosurtanal), Dinas Tata Ruang dan Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah (Bappeda) Provinsi Sulawesi Selatan dalam bentuk softcopy untuk selanjutnya dianalisis.Analisis DataData diolah dengan menggunakan SPSS dan kemudian dilakukan analisis univariat, analisis bivariat untuk melihat hubungan yang meliputi variabel independen dan variabel dependen. Uji statistik pada analisis ini menggunakan Chi-square test.Dari analisis ini diperoleh variabel independen yang berhubungan atau tidak berhubungan secara bermakna dengan variabel dependen.Variabel independen ini selanjutnya di sebut faktor risiko serta analisis multivariat dimana Variabel-variabel hasil analisis bivariat yang terbukti berhubungan secara signifikan atau yang telah ditetapkan sebagai faktor risiko, dianalisis lanjut dengan analisis multivariatdengan menggunakan Uji Regresi Logistik.untukmengetahui variabel dependen yang paling besar pengaruhnyaterhadap variabel independen.

HASILAnalisis UnivariatTabel 1 menunjukkan bahwa jumlah kabupaten yang endemis di Provinsi Sulawesi Selatan mengalami peningkatan sejak tahun 2010 sampai 2012.Pada tahun 2012 masih terdapat 22(91,7%) kabupaten/kota di Provinsi Sulawesi Selatan tergolong endemis HIV dan AIDS, yaitu terdapat kasus HIV dan AIDS selama tiga tahun berturut-turut dan hanya terdapat 2 (8,3%) kabupaten/kota yang tergolong non-endemis, yaitu Kabupaten Barru dan Luwu.

Tabel 1.Status Endemisitas Kejadian HIV dan AIDSProvinsi Sulawesi Selatan Tahun 2010-2012

TahunKabupaten EndemisKabupaten Non-EndemisTotal

n%n%n%

2010201120121819227579,291,76522520,88,3242424100,0100,0100,0

Data Primer

Tabel 2 menunjukkan bahwa rata-rata kepadatan penduduk di Provinsi Sulawesi Selatan meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 2010 sebesar 589,46 jiwa/km2, tahun 2011 sebesar 595,44 jiwa/km2 dan tahun 2012sebesar 592,38 jiwa/km2. Secara keseluruhan dari tahun 2010 sampai dengan tahun 2012, kepadatan penduduk di Provinsi Sulawesi Selatan sebesar1777,29 jiwa/km2, dengan kepadatan penduduk terendah 10,89 jiwa/km2 dan kepadatan penduduk tertinggi sebesar 7786,63 jiwa/km2.Selain itu pengguna narkoba di Provinsi Sulawesi Selatan meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 2010 sebesar 5073,88%, tahun 2011 sebesar 4794,00% dan tahun 2012 sebesar 5466,67%. Secara keseluruhan dari tahun 2010 sampai dengan tahun 2012, pengguna narkoba di Provinsi Sulawesi Selatan sebesar 5643,55%, dengan pengguna narkoba terendah 2016% dan kepadatan penduduk tertinggi sebesar 12974%.Sedangkan pengguna kondom di Provinsi Sulawesi Selatan meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 2010 sebesar 111,96%, tahun 2011 sebesar 139,21% dan tahun 2012 sebesar 86,96%. Secara keseluruhan dari tahun 2010 sampai dengan tahun 2012, pengguna kondom di Provinsi Sulawesi Selatan sebesar 338,126%, dengan pengguna narkoba terendah 1% dan kepadatan penduduk tertinggi sebesar 985%.

Tabel 2. Hasil Analisis Univariat Kepadatan Penduduk Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2010-2012

Tahunn(Kabupaten)Nilai Min(Jiwa/km2)Nilai Maks (Jiwa/km2)Mean(Jiwa/km2)Standar Deviasi

Kepadatan Penduduk20102011201224242435,0035,3510,89 7615,997695,077786,63589,46595,44592,381520,551536,341558,17

Pengguna Narkoba2010201120122424242019201622321263211538129745073,884794,005466,672025,8851895,6112028,329

Penggunaan Kondom201020112012242424111975985833111,96139,2186,96287,915317,123232,712

Data Primer

Analisis BivariatHasil analisis pada tabel 3 menunjukkan variabel yang berhubungan yaitu karakteristik wilayah dengan nilai p sebesar 0,019 (p0,05), maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara kepadatan penduduk dengan kejadian HIV dan AIDS.Hasil penelitian menunjukkan bahwa hubungan antara karakteristik wilayah dengan kejadian HIV dan AIDS diperoleh bahwa terdapat 80,0% wilayah dengan karakteristik wilayah yang tergolong wilayah pariwisata berstatus endemis dan sebesar 77,8% wilayah dengan karakteristik wilayah yang tergolong non-pariwisata berstatus non-endemis terhadap kejadian HIV dan AIDS di Provinsi Sulawesi Selatan. Hasil uji statistik didapatkan nilai p sebesar 0,019 (p 0,05 pada 95% CI Lower Limit = 0,682, Upper Limit = 2,776.Hasil uji odds ratio diperoleh nilai OR=1,207 yang berarti pengendara bentor yang mabuk mempunyai risiko 1,207 kali untuk mengalami kecelakaan dibandingkan dengan pengendara yang tidak mabuk. Dari hasil analisis bivariat lebih lanjut bahwa pengendara yang mabuk merupakan faktor risiko yang tidak bermakna terhadap status kecelakaan lalu lintas pada bentor di Polres Limboto berdasarkan nilai p = 0,478 > 0,05 pada 95% CI Lower Limit = 0,641, Upper Limit = 2,584.Hasil uji odds ratio terhadap variable kecepatan kenderaan diperoleh nilai OR=1,796 yang berarti pengendara bentor dengan kecepatan 50 km/Jam mempunyai risiko 1,796 kali untuk mengalami kecelakaan dibandingkan dengan pengendara dengan kecepatan < 50 km/Jam. Dari hasil analisis bivariat lebih lanjut bahwa kecepatan kenderaan 50 km/Jam merupakan faktor risiko yang tidak bermakna terhadap status kecelakaan lalu lintas pada bentor di Polres Limboto berdasarkan nilai p = 0,155 > 0,05 pada 95% CI Lower Limit = 0,797, Upper Limit = 4,051.Hasil uji odds ratio terhadap variable sistem setoran diperoleh nilai OR=1,800 yang berarti sistem setoran Rp.25.000/hr mempunyai risiko 1,800 kali untuk mengalami kecelakaan dibandingkan dengan sistem setoran < Rp. 25.000/hr . Dari hasil analisis bivariat lebih lanjut bahwa sistem setoran Rp.25.000/hr merupakan faktor risiko yang tidak signifikan terhadap status kecelakaan lalu lintas pada bentor di Polres Limboto berdasarkan nilai p = 0,088 > 0,05 pada 95% CI Lower Limit = 0,914, Upper Limit = 3,542.

PEMBAHASANFaktor risiko perilaku pengendara terhadap kecelakaan lalu lintas pada bentor tidak signifikan. OR=1,503 yang berarti bahwa perilaku pengendara ngebut, menyalip, tidak menjaga jarak dan melanggar rambu lalu lintas mempunyai risiko 1,503 kali terhadap kecelakaan lalu lintas pada bentor dibandingkan perilaku pengendara baik. Selain faktor diatas, perilaku setiap orang sangat kompleks yang merupakan salah satu faktor yang terkait dengan faktor pengemudi. Menurut Sembiring (2000) dalam laporannya bahwa kecelakaan lalu lintas akibat faktor pengemudi diidentifikasi karena kurang hati-hati. Hal tersebut mungkin terjadi karena lalu lintas dikota kecil seperti Kabupaten Gorontalo tidak memiliki masalah sekompleks di kota besar. Masyarakat yang cenderung homogen dan jumlah penduduk yang sedikit membuat suasana lalu lintas di daerah cenderung terlihat lebih manusiawi dibandingkan dikota besar, meskipun demikian bukan berarti keadaan selalu baik baik saja ada juga sejumlah insiden terkait lalu lintas dan angkutan jalan.Faktor umur merupakan faktor risiko terhadap kecelakaan lalu lintas pada bentor. terhadap kecelakaan lalu lintas pada bentor tidak signifikan. OR=1,208 yang berarti bahwa umur < 20 atau > 55 tahun mempunyai risiko 1,208 kali terhadap kecelakaan lalu lintas pada bentor dibandingkan umur 20-55 tahun. Pada fase regresif dimulai pada umur 50 tahun keatas dimana mekanisme tubuh lebih berat kearah kemunduran yang dimulai dalam sel sebagai komponen terkecil dalam tubuh manusia pada jaringan atau organ tubuh yang pada akhirnya mempengaruhi keadaan fungsi dan kemampuan tubuh secara keseluruhan. Hasil wawancara menunjukkan bahwa kecelakaan banyak terjadi pada umur < 20 tahun akibat emosi responden yang belum stabil akibatnya mengendarai bentor ugal-ugalan, sedangkan pada usia > 55 tahun akibat daya konsentrasi dan kemampuan penglihatan berkurang serta stamina yang mulai menurun sehingga tidak dapat mengendalikan kendaraan Faktor risiko kondisi pengendara tidak sehat, ngantuk dan letih mempunyai risiko 1,376 kali terhadap kecelakaan lalu lintas pada bentor dibandingkan kondisi pengendara yang baik. Hasil penelitian Nurul Kusuma yang dilakukan di Kota Makassar tahun 2010 menunjukan bahwa kondisi pengendara merupakan faktor risiko terhadap kecelakaan lalu lintas. Hal ini didukung oleh Pendapat Aris Buditomo (2002) bahwa kecelakaan banyak terjadi karena pengemudi mengantuk dan bila mengemudi 3-4 jam sehari akan mengakibatkan kondisi pengendara menjadi lelah. Hal ini bisa saja terjadi mengingat bahwa sampel dalam penelitian ini baik untuk kelompok kasus maupun kelompok kontrolnya mempunyai ciri dan karakter suatu peristiwa yang sama, sehingga perbedaan yang diharapkan terlihat tidak terlalu jelas.Hasil wawancara dengan responden menunjukkan bahwa kecelakaan terjadi pada responden yang tidak sehat akibat berkurangnya kemampuan fisik, mengantuk sehingga menyebabkan daya konsentrasi berkurang dan pada saat kondisi letih akibat aktifitas yang dilakukan dari pagi hingga larut malam. Untuk menghilangkan rasa ngantuk biasa pengendara bentor mendengarkan musik lewat headset ponsel hal dapat mengurangi daya konsentrasi dan pendengaran sehingga mengurangi reaksi saat terjadi hal hal tak terduga.Faktor risiko mengkonsumsi alkohol sampai mabuk mempunyai risiko 1,207 kali terhadap kecelakaan lalu lintas pada bentor dibandingkan yang tidak mabuk. Hasil wawancara dan observasi didapatkan kebiasaan mengkonsumsi alkohol sering pengendara bentor minum bersama dipangkalan sambil menunggu penumpang. Kecelakaan banyak terjadi pada responden mabuk karena banyak mengkonsumsi alkohol, akibatnya konsentrasi menurun, jarak pandang terganggu sehingga bentor yang dikemudikan tidak dapat dikontrol dan dikendalikan dengan sempurna.Faktor risiko kecepatan pengendara > 50 km/jam mempunyai risiko 1,796 kali terhadap kecelakaan lalu lintas pada bentor dibandingkan kecepatan pengendara < 50 km/jam. Kecepatan kendaraan merupakan salah satu faktor pengendara yang terkait erat dengan pengemudi. (Menurut harian Algemeen Dagblad, 1999). Bahwa separuh dari kecelakaan lalu lintas di Belanda terjadi di jalan-jalan dengan kecepatan maksimum 50 kilometer perjam. Hal ini mendukung pernyataan yang dimuat harian Algemeen Dagblad tentang Kecelakaan Lalu lintas dilaporkan bahwa separuh dari kecelakaan lalu lintas terjadi di jalan-jalan dengan kecepatan lebih dari 50 km perjam. Hasil wawancara dengan responden menunjukkan bahwa kecelakaan banyak terjadi pada responden yang mengemudikan bentor dengan kecepatan > 50 km/jam, hal ini akibat bentor pada kecepatan tinggi tidak dapat dikendalikan secara sempurna, terutama pada`saat jalan licin atau tikungan ditambah lagi sistem pengereman bentor hanya menggunakan 1 (satu) rem yaitu di roda belakang.Berdasarkan hasil penelitian,yang dilakukan oleh Conor CO Reynolds, dkk (Journal Environmental Health) tahun 2009, semakin cepat kenderaan kita semakin jauh jarak yang dibutuhkan untuk melakukan pengereman agar kenderaan dapat berhenti total. Kecepatan 40 km/jam saja butuh jarak sekitar 20-100 meter untuk berhenti secara optimal, bergantung pada kondisi cuaca dan jalan, maka jarak yang dibutuhkan untuk berhenti jadi makin panjang.Faktor risiko sistem setoran > Rp. 25.000/hari mempunyai risiko 1,800 kali terhadap kecelakaan lalu lintas pada bentor dibandingkan sistem setoran < Rp. 25.000/hari.Sebagian besar angkutan umum di Indonesia menggunakan sistem setoran. Sistem setoran adalah suatu sistem yang mengharuskan pengemudi memenuhi sejumlah uang tertentu per hari agar bisa mendapatkan penghasilan dan disetorkan ke pemilik kenderaan (majikan), jika tidak terpenuhi sang sopir / pengemudi harus menutupi kekurangan itu (Kusmagi, 2010). Sistem seperti ini membuat para pengemudi bentor menjadi kurang hati-hati, lebih mementingkan mengejar penghasilan dan menomorduakan keselamatan, mereka berkejar-kejaran, berebut penumpang sehingga menyebabkan terjadinya kecelakaan. Hasil wawancara dengan responden menunjukkan bahwa kecelakaan banyak terjadi pada responden dengan sistem setoran > Rp. 25.000/hari, hal ini diakibatkan pengemudi bentor berburu waktu untuk mencukupi setoran dengan ngebut untuk mengejar setoran. Dilokasi penelitian ini sangat mudah ditemukan pelanggaran yang dilakukan para pengendara bentor, salah satunya daya angkut bentor melebihi kapasitas yang seharusnya hanya dua orang penumpang, dapat diisi empat sampai lima penumpang sehingga bentor sulit untuk dikendalikan dan mudah terbalik, sedangkan di sisi lain produksi bentor tidak terkendali sehingga jumlah bentor semakin banyak.

KESIMPULAN DAN SARANFaktor risiko perilaku pengendara bentor, umur pengendara, kondisi pengendara, mengkonsumsi alkohol, kecepatan pengendara, sistem setoran merupakan faktor risiko terhadap kejadian kecelakaan lalu lintas pada bentor di Polres Limboto Kabupaten Gorontalo tahun 2007-2009.Disarankan perlunya penegakkan disiplin berkendara dan razia yang dilakukan petugas yang berwenang secara berkala dan berkelanjutan bagi pengemudi bentor dengan memberlakukan aturan berlalu lintas. Perlunya pengemudi bentor cadangan untuk mencegah keletihan sebagai faktor risiko kecelakaan. Perlunya pemberlakuan sistem setoran yang sama sehingga tidak terjadi persaingan antar pengemudi bentor yang memaksa mereka mengejar setoran. Perlunya adanya penelitian yang lebih lanjut untuk menganalisis faktor risiko kejadian kecelakaan lalu lintas pada bentor di Polres Limboto Kabupaten Gorontalo dengan melihat variable lainnya

DAFTAR PUSTAKADinas Kesehatan Kabupaten Gorontalo. (2008). Profil Kesehatan Kabupaten Gorontalo, Promkes Dikes Kab. Gorontalo.Di Bortolomeo, et al. (2009). A Case-crossover study of alcohol consumption, meals and the risk of road traffic crashes, (Online), (http://www.biomedcentral.com/1471-2458/316, diakses 28 Januari 2010)Ismiati. (2009). Faktor Risiko Cidera Akibat Kecelakaan Lalu Lintas di Polres Boalemo. Tesis tidak diterbitkan,Makassar : Program Pascasarjana. FKM-UNHASIciawati. (2006). Analisis Faktor Risiko Terjadinya Kecelakaan Lalu Lintas di Rumah sakit Labuang Baji, Tesis tidak diterbitkan,Makassar : Program Pascasarjana. FKM-UNHAS.Kusmagi Marye Agung. (2010). Selamat Berkendara di Jalan Raya, Raih Asa Sukses, JakartaLulie dan Hatmoko. (2005). Perilaku Agresif Menyebabkan Resiko Kecelakaan Saat Mengemudi, Buletin Kesehatan, Volume 6 No.1Undang-Undang Republik Indonesia No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas Angkutan Jalan. (2010). Jakarta. Tim Kreatif Nusa Media, Bandung

PENGARUH PELATIHAN DENGAN METODE PROBLEM BASED LEARNING DAN KONVENSIONAL TERHADAP PERILAKU KADER POSYANDU DI KABUPATEN KONAWE SELATAN

Jummu Huwriyati1, A. Zulkifli Abdullah2, Mappeaty Nyorong 3

1Bagian Epidemiologi STIK AVICENNA Kendari2Bagian Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin3Bagian Promosi Kesehatan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin

ABSTRACT

PBL method can improve the skills of cadres so as to increase the performance of IHC and impact on improving the health status of mothers and children. This study aimed to determine the effect of problem based learning method for knowledge, attitudes and actions in the district Konawe posyandu South. This type of research is a quasi experimental design with non-randomized control group pretest-posttest design. These samples as many as 80 cadres were selected at random sampling.Pengumpulan data is conducted through interviews using a questionnaire. Analysis of the influence of PBL and conventional methods by posyandu on knowledge, attitudes and actions performed by paired sample t test test and test kolmogrov-Smirnov test for normal distribution seen in PBL and conventional groups. The results showed that based on bivariate analysis showed the average value of the knowledge, attitudes and actions cadres given greater influence PBL method compared with the control group using conventional methods, with a mean value of pre test and post test for knowledge of the PBL group (12:28 to 17:03 ), attitude (5:48 to 8:43) and actions (13.68-9.48), while for the control group using conventional methods mean value of pre test and post test for knowledge (12:43 to 14:03), attitude (5.10-6.63) and action (9.00-10.98 ) so that there is an influence disimpulakan PBL method on knowledge, attitudes and actions cadre posyandu.Penelitian reflikasi study recommends the PBL method in improving behavior posyandu.

Keywords: PBL,conventional, knowledge, attitudes, actions.

PENDAHULUANPosyandu adalah kegiatan kesehatan dasar yang diselenggarakan dari, oleh dan untuk masyarakat yang dibantu oleh petugas kesehatan di suatu wilayah kerja Puskesmas, dimana program ini dapat dilaksanakan dibalai dusun, balai kelurahan, maupun tempat-tempat lain yang mudah didatangi oleh masyarakat. Posyandu merupakan langkah yang cukup strategis dalam rangka pengembangan kualitas sumber daya manusia bangsa Indonesia agar dapat membangun dan menolong dirinya sendiri, sehingga perlu ditingkatkan pembinaannya (Ismawati, 2010).Kader posyandu merupakan kelompok yang paling sering berinteraksi dengan masyarakat sekitarnya. Kader sebagai tumpuan pemberdayaan masyarakat dan keluarga perlu dibekali pengetahuan yang cukup. Salah satu bentuk operasional yang sangat layak untuk dilaksanakan adalah pelatihan dan penyegaran kader Posyandu (Saripawan, 2007). Pengetahuan adalah hasil tahu dan ini terjadi setelah orang melakukan pengindraan terhadap suatu obyek tertentu. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang (Overt Behavior) (Notoatmodjo, 1997).Selama ini kader telah memperoleh pelatihan dasar dan penyegaran tentang kegiatan pelayanan di Posyandu. Pendekatan yang digunakan dalam pelatihan dasar dan penyegaran kader tersebut adalah pendekatan Konvensional, yaitu pelatihan yang diberikan secara ceramah dan Tanya jawab. Salah satu kelemahan dari metode Konvensional adalah hanya meningkatkan pengetahuan, tetapi tidak meningkatkan keterampilan peserta latih (Balai Pelatihan Kesehatan Salaman, 1997 ).Menurut Sanusi (1991), metode problem based learning atau pelatihan Belajar Berdasarkan Masalah (BBM) merupakan salah satu alternatif yang dapat dipergunakan mengatasi kelemahan metode pelatihan Konvensional. Karena metode BBM adalah suatu konsep pendekatan proses belajar mengajar yang bermula dari masalah. Burhn (1992) dan Sanusi (1991) menunjukkan bahwa pemilihan masalah dalam metode BBM merupakan masalah yang dihadapi dalam melaksanakan tugas para peserta, sehingga peserta dapat mandiri untuk mencari pemecahan masalahnya. Di samping itu metode BBM mempergunakan modul sebagai cara penyampaian materi. Materi disusun sedemikian rupa sehingga peserta aktif dalam mempelajarinya. Pelatih hanya memberikan pengarahan pada awal pengajaran, dan selanjutnya pelatih berfungsi sebagai nara sumber (Harsono, dkk., 1996 ).World Health Organization (WHO) memperkirakan di seluruh dunia Program Posyandu yang dicanangkan pada tahun 1986 secara dunia jumlahnya tercatat sebanyak 67.986 posyandu dan pada tahun 2004 meningkat menjadi 238.699 Posyandu. Namun bila ditinjau dari segi kualitas, masih ditemukan banyak masalah antara lain kelengkapan sarana dan keterampilan kader yang belum memadai (WHO, 2008).Di Indonesia secara kuantitas perkembangan jumlah posyandu sangat mengembirakan karena banyak desa ditemukan 2 sampai 3 unit posyandu. Sebagai gambaran pada tahun 1986 jumlah posyandu secara nasional tercatat sebanyak 25.000 unit, namun pada tahun 2004 meningkat menjadi 245.154. Jika setiap Posyandu ditangani rata-rata 5 kader,,maka jumlah kader posyandu di Indonesia berjumlah 1.228.770 orang, dengan jumlah kader posyandu tercatat Kader aktif 823.275 orang (67,2 %) dan kader yang tidak aktif tercatat 405.495 orang (32,8%). (Depkes, 2008). Laporan Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Tenggara bahwa pada tahun 2009 jumlah posyandu sebanyak 2.822 unit di seluruh wilayah Sulawesi Tenggara, dengan strata Posyandu Pratama 28,1 %, Posyandu Madya 36,6 %, Posyandu Purnama 28,1 % dan Posyandu Mandiri 6,0 %. Pada tahun 2010 jumlah Posyandu tercatat 2.845 unit dengan kategori strata Posyandu Pratama 25,2 %, Posyandu Madya 32,3 %, Posyandu Purnama 29,4 % dan Posyandu Mandiri 7,8 % (Dinkes Sultra, 2010). Setiap Posyandu ditangani rata-rata 5 kader, maka jumlah kader posyandu di Propinsi Sulawesi Tenggara berjumlah 14.225 orang, dengan jumlah kader posyandu tercatat Kader aktif 8.108 orang (57,7 %) dan kader yang tidak aktif tercatat 6.117 orang (42,3 %). Data tersebut masih menunjukkan rendahnya kinerja kader posyandu. (Dinkes Sultra, 2010).Maka dari itu penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk melakukan pelatihan dengan metode problem based learning yang dihadapi oleh kader posyandu guna melihat seberapa besar pengaruhnya dalam peningkatan perilaku kader dalam mengelola kegiatan posyandu.

BAHAN DAN METODERancangan dan Lokasi PenelitianJenis Penelitian adalah penelitian quasy experimental dengan desain penelitian non-randomized control group pretest postest design. Penelitian dilaksanakan di Provinsi Sulawesi Tenggara. Populasi dan SampelPopulasi penelitian adalah seluruh kader posyandu yang tercatat dalam register Dinas Kesehatan kabupaten Konawe Selatan tahun 2012 sebanyak 510 orang yang berada di Kabupaten Konawe Selatan. Penarikan sampel yang digunakan adalah simpel random sampling yakni dengan menggunakan pengundian unsur-unsur penelitian. Dimana tiap anggota populasi berkesempatan untuk menjadi sampel dalam penelitian ini.Metode Pengumpulan DataPengumpulan data yang dilakukan berupa data primer yang diperoleh dari hasil wawancara langsung dengan responden yang terpilih sebagai sampel baik kelompok yang diberikan penyuluhan problem based learning ataupun kelompok yang diberikan dengan metode konvensional dengan menggunakan pertanyaan yang telah di sediakan. Data sekundcer diperoleh dari catatan pada petugas Jurim dan data dari Puskesmas Induk, tentang kader pada setiap Posyandu yang berada di Kabupaten Konawe Selatan.Analisis DataData diolah dengan menggunakan SPSS dan kemudian dilakukan analisis univariat, analisis bivariat untuk melihat Guna melihat pengaruh intervensi terhadap variabel dependen digunakan uji t berpasangan (paired sampel t tes) adapun untuk melihat perbedaan nilai hasil pre test maupun post test di gunakan uji t tidak berpasangan (unpaired t test).

HASILAnalisis Univariat

Tabel 1. Distribusi Karakteristik Responden di Wilayah Kerja Puskesmas Konda Kabupaten Konawe Selatan Propinsi Sulawesi Tenggara Tahun 2013

Karakteristik Responden

PBLKonventional

n%n%

Umur (Tahun)

20 292050.02460.0

30 402050.01640.0

Total4010040100

Tingkat Pendidikan

SDN512.5922.5

SLTP1742.52050.0

SLTA1845.01127.5

Total4010040100

Status Perkawinan

Kawin3075.03177.5

Belum kawin1025.0922.5

Total4010040100

Data Primer

Tabel 1 menunjukkan bahwa responden umur 20-29 tahun pada kelompok PBL sebesar 20 (50.0%) responden dan pada kelompok konventional sebesar 24 (60.0%) responden, sedangkan responden umur 30-40 tahun pada kelompok PBL sebesar 20 (50.0%) responden dan pada kelompok konventional sebesar 16 (40.0%) responden. responden terdistribusi paling banyak pada kelompok PBL yaitu pada tingkat pendidikan SLTA sebanyak 18 (45.0%) responden sedangkan pada kelompok konvensional yang terdistribusi paling banyak pada tingkat pendidikan SLTP sebanyak 20 (50.0%) responden. responden terdisribusi paling banyak pada kelompok PBL yaitu responden yang telah kawin sebanyak 30 (75,0 %) responden sedangkan pada kelompok konvensional yang terdistribusi paling banyak yaitu responden yang telah kawin sebanyak 31 (77.5%) responden. status pekerjaan pada kelompok PBL yang terdistribusi paling banyak yaitu yang tidak bekerja sebesar 24 ( 60.0%) responden sedangkan pada kelompok konventional yang terdistribusi paling banyak juga yaitu pada kelompok yang tidak bekerja sebesar 26 (65.0%) responden.

Analisis BivariatTabel 2 menunjukkan bahwa rata-rata nilai pengetahuan tentang kegiatan posyandu kelompok PBL pada pre tes adalah 12.28 dengan standar deviasi 1.90 sedangkan pada saat post test menjadi 17.03 dengan standar deviasi 1.25 yang berarti terjadi peningkatan sebesar 4.75. Nilai pengetahuan terendah pada pre test adalah 8 dan tertinggi adalah 16, sedangkan pada post test nilai terendah adalah 15 dan tertinggi adalah 19.

Tabel 2 Gambaran rata-rata nilai pengetahuan, sikap dan tindakan kader posyandu kelompok PBL dan Konventioanal pada pre tes dan post tes di Wilayah Kerja Puskesmas Konda Kabupaten Konawe Selatan Propinsi Sulawesi Tenggara Tahun 2013

VariabelPBL(n=40)Konventional(n =40) Selisih rerata PBL dan Kon

RerataSDRerataSD

PengetahuanPre TesPost TesBeda Rata-rata12.2817.031.901.2512.4314.032.431.92

3.15

4.751.60

SikapPre TesPost TesBeda Rata-rata5.488.431.240.635.106.630.770.58

1.42

2.951.53

TindakanPre TesPost TesBeda Rata-rata9.4813.681.450.889.0010.981.261.20

2.22

4.201.98

Data Primer

PEMBAHASANPenelitian ini menunjukkan bahwa ada pengaruh pelatihan problem baced learning terhadap pengetahuan, sikap dan tindakan kader dalam pelaksanaan kegiatan posyandu. Metode pelatihan dengan problem based learning (PBL) atau belajar berdasarkan masalah adalah salah satu metode yang sampai saat ini masih tergolong baru. Keuntungan lain dari metode PBL adalah lebih meningkatkan penyerapan materi dari sasaran serta dimungkinkan pengembangan materi semaksimal mungkin sesuai dengan bahan ajaran yang tersedia. Kelemahan metode PBL adalah apabila peserta tidak mampu untuk mengembangkan bahan ajaran, maka proses belajar menjadi tidak menarik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata nilai pengetahuan tentang kegiatan posyandu kelompok PBL pada pre tes adalah 12.28 dengan standar deviasi 1.90 sedangkan pada saat post test menjadi 17.03 dengan standar deviasi 1.25 yang berarti terjadi peningkatan sebesar 4.75. Nilai pengetahuan terendah pada pre test adalah 8 dan tertinggi adalah 16, sedangkan pada post test nilai terendah adalah 15 dan tertinggi adalah 19. Sedangkan pada kelompok control menunjukkan bahwa rata-rata nilai pengetahuan tentang kegiatan posyandu kelompok Konventional pada pre tes adalah 12.43 dengan standar deviasi 2.43 sedangkan pada saat post test menjadi 14.03 dengan standar deviasi 1.92 yang berarti terjadi peningkatan sebesar 1.6 Nilai pengetahuan terendah pada pre test adalah 7 dan tertinggi adalah 17, sedangkan pada post test nilai terendah adalah 9 dan tertinggi adalah 19.Perbandingan rerata masing-masing menunjukkan bahwa rata-rata nilai pengetahuan pada pre tes tertinggi pada kelompok konventional dan terendah pada kelompok PBL namun pada post test rata-rata nilai pengetahuan tertinggi pada kelompok PBL dan terendah pada kelompok conventional. Hasil uji statistic menunjukkan pada saat pre test didapatkan nilai p = 0,126 (p< 0,05) yang menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan signifikan rata-rata skor pengetahuan responden antara kelompok PBL dan conventional , namun pada saat post test didapatkan nilai p = 0,000 (p < 0,05) yang menunjukkan bahwa ada perbedaan signifikan rata-rata skor pengetahuan responden setelah pelaksanaan intervensi pada kedua kelompok penelitian.Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata nilai sikap tentang kegiatan posyandu kelompok PBL pada pre tes adalah 5.48 dengan standar deviasi 1.24 sedangkan pada saat post test menjadi 8.43 dengan standar deviasi 0.88 yang berarti terjadi peningkatan sebesar 2.95. Nilai sikap terendah pada pre test adalah 4 dan tertinggi adalah 8, sedangkan pada post test nilai terendah adalah 4 dan tertinggi adalah 9. Sedangkan pada kelompok control menunjukkan bahwa rata-rata nilai sikap tentang kegiatan posyandu kelompok Konventional pada pre tes adalah 5.10 dengan standar deviasi 0.77 sedangkan pada saat post test menjadi 6.63 dengan standar deviasi 0.58 yang berarti terjadi peningkatan sebesar 1.42 Nilai pengetahuan terendah pada pre test adalah 4 dan tertinggi adalah 7, sedangkan pada post test nilai terendah adalah 4 dan tertinggi adalah 8. Perbandingan rerata masing-masing menunjukkan bahwa rata-rata nilai sikap terhadap pelaksanaan kegiatan posyandu pada pre test tertinggi pada kelompok PBL dan terendah pada kelompok konventional . Pada post test rata-rata nilai sikap tertinggi masih pada kelompok PBL dan terendah pada kelompok konventional. Perubahan sikap antara sebelum dan sesudah pelatihan dengan nilai beda rerata ke duanya ialah 1.42 ini menunjukan terjadinya peningkatan sikap kader setelah di berikan intervensi. Hasil uji statistic menunjukkan pada saat pre test didapatkan nilai p = 0,103 (p< 0,05) yang menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan signifikan rata-rata skor sikap responden antara kelompok PBL dan konventional , namun pada saat post test didapatkan nilai p = 0,006 (p < 0,05) yang menunjukkan bahwa ada perbedaan signifikan rata-rata skor sikap responden setelah pelaksanaan intervensi pada kedua kelompok penelitian.Hasil analisis tersebut menunjukkan adanya pengaruh bermakna proses belajar dengan menggunakan metode PBL terhadap sikap kader . hasil ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan mukti (2006) dimana menyebutkan metode PBL dapat meningkatkan sikap bidan di desa dari aspek , klinis, umum dan social. Sama dengan hasil temuan widodo ( 2009) bahwa pelatihan dengan metode diskusi dalam pemecahan masalah kelompok meningkatkan sikap kader usaha kesehatan Gigi Masyarakat desa (UKGMD) . Di perkuat juga dengan temuan Kurrachman (2003) bahwa pelatihan dengan metode ceramah yang disertai dengan diskusi ,simulasi dan praktek meningkatkan sikap mahasiswa dalam kegiatan penimbangan balita di Posyandu.Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata nilai tindakan tentang kegiatan posyandu pada kelompok PBL pada pre tes adalah 9,48 dengan standar deviasi 1.450 sedangkan pada post test menjadi 13,68 dengan standar deviasi 0.88 yang berarti terjadi peningkatan sebesar 4.20 Nilai tindakan terendah pada pre test adalah 7 dan tertinggi adalah 13 sedangkan pada post test nilai terendah adalah 11 dan tertinggi adalah 15.Sedangkan pada kelompok control menunjukkan bahwa rata-rata nilai tindakan tentang kegiatan posyandu pada kelompok konventional pada pre tes adalah 9,00 dengan standar deviasi 1.261 sedangkan pada post test menjadi 10.98 dengan standar deviasi 1.209 yang berarti terjadi peningkatan sebesar 2.22 . Nilai tindakan terendah pada pre test adalah 7 dan tertinggi adalah 12 sedangkan pada post test nilai terendah adalah 8 dan tertinggi adalah 13.Perbandingan rerata masing-masing menunjukkan bahwa rata-rata nilai tidakan terhadap pelaksanaan kegiatan posyandu pada pre test tertinggi pada kelompok PBL dan terendah pada kelompok konventional . Pada post test rata-rata nilai tindakan tertinggi masih pada kelompok PBL dan terendah pada kelompok conventional.Perubahan tindakan antara sebelum dan sesudah pelatihan dengan nilai beda rerata ke duanya ialah 2.22 ini menunjukan terjadinya peningkatan tindakan kader setelah di berikan intervensi.Hasil uji statistik pada saat pre test didapatkan nilai p = 0,281 (p< 0,05) yang menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan signifikan rata-rata skor tindakan responden antara kelompok PBL dan konventional , namun pada saat post test didapatkan nilai p = 0,000 (p < 0,05) yang menunjukkan bahwa ada perbedaan signifikan rata-rata skor tindakan responden setelah pelaksanaan intervensi pada kedua kelompok penelitian.Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian parida (2010) yang menyimpulkan bahwa sebagian besar responden memiliki skor rendah pada praktik/tindakan tentang keterampilan diposyandu sebelum intervensi, dan setelah intervensi program pelatihan penyegaran kader kesehatan dengan hasil post test menunjukkan nilai responden pada kelompok eksperimen membaik sebagai dampak program, dan hasilnya signifikan pada berbagai aspek

KESIMPULAN DAN SARANBerdasarkan hasil penelitian dan uji statistik, Ada pengaruh metode pelatihan dengan PBL terhadap pengetahuan, sikap dan tindakan kader dalam pelaksanaan kegiatan posyandu di Kabupaten Konawe selatan, artinya metode pelatihan dengan PBL efektif dalam meningkatkan pengetahuan, sikap dan tindakan kader posyandu dalam pelaksanaan kegiatan posyandu dibandingkan metode konventional. Disarankan Pelatihan kepada kader posyandu dengan menggunakan metode PBL dapat dijadikan pilihan dalam meningkatkan perilaku kader dalam pelaksanaan kegiatan posyandu di Kabupaten Konawe Selatan. Pelatihan kepada kader posyandu dengan menggunakan metode PBL perlu diberikan secara berkala pada setiap kader sebagai bagian dalam penyegaran. Perlu adanya reflikasi penelitian menggunakan metode pelatihan PBL terhadap peningkatan pengetahuan, sikap dan tindakan kader dalam mengukur kinerja para kader.

DAFTAR PUSTAKABruhn, J.G. (1992) Problem Based Learning : an approach toward reformning allied health education. J Allied Health, 21, 161.Balai Pelatihan Kesehatan Salaman, (1997).pelatihan kader posyandu. Jakarta Depkes. (2008), Ditjen Depdagri, Ditjen Binkesmas Depkes, Unicef. 1999. Panduan Pelatihan Kader Posyandu, Jakarta. 120 Harson (2006). Problem Based Learning for Training Health Care Managers in Developing Countries, Med Educ, 27, 266 273.Ismawati. (2010). Konsep Penerapan Belajar Berdasarkan Masalah (BBM) di Fakultas Kedokteran Universitas Andalas Suimatera Utara Medan, Buletin Pendidikan : 1, Medan. Mukti. (2006). A Comparison of Assessment Practices and Their Effects on Learning and Motivation in a Student- Centered Learning Environment. Journal of Educational Multimedia and Hypermedia, 13 (3),pp.283-307 (http:// www.wikipedia.org/diakses pada 25-12-2011).Notoatmodjo, S. (2001). Metodologi Penelitian Kesehatan, Penerbit Rineka Cipta, Jakarta, 163 164..Parida. (2010). Pengaruh Pelatihan Partisipatif Terhadap Peningkatan Pengetahuan, Sikap dan Keterampilan Kader Dalam Monitoring Tekanan Darah Usia Lanjut Di Kabupaten Sleman, Tesis tidak diterbitkan, Yogyakarta : Universitas Gadjah Mada.Sanusi.(1991). Growth Data from Posyandu in Indonesia dan problem based learnig Precision, Accuracy, Reliability and Utilization. Jakarta : Gizi Indonesia. 2002, 26: 17-23. (http:// www. Gizi net/diakses pada 14-08-06).Saripawan. (2007). Education. The Journal of Experiential Education, 27 (2),pp141-161 http:// www.wikipedia.org/diakses pada 25-12-2011).Widodo. (2009), Faktor-faktor Positif Untuk Meningkatkan Potensi Kader Posyandu Dalam Upaya Mencapai Keluarga Sadar Gizi (Kadarzi), Penelitian Gizi dan Makanan, Vol. 26 No. 2, Puslitbang Gizi dan Makanan, Bogor.World Health Organization. (2008). Kader Kesehatan Masyarakat (alih bahasa oleh Adi Heru S), Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN DEMAM TYPOID DI RUMAH SAKIT UMUM SALEWANGEN

Masriadi dan Susniati

Bagian Epidemiologi Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Tamalatea Makassar

ABSTRACT

The typhoid fever still represents the disease caused by salmonella enteric bacterium, particularly salmonella typhi primarily attacks the digestion duct part. The typhoid fever represents the endemic disease and it is necessary to get attention because the high sickness figures with the incidence of 800 patients among 100,000 inhabitants. The total cases reported were much smaller than the actual total cases. The research aimed to investigate the factors related to the typhoid fever incident. This was an observational research with the cross sectional study approach population in the research was all the typhoid fever patients based on the medical record seport of Salewangan Regional General Hospital Maros in 2012 as many as 218 people samples were as many as 52 respondent the samples were taken by the purposive sampling technique.The research result indicates that the social economy represents the factor related to the typhoid fever incident (p = 0.007,0 mmol (126 mg/dl) atau glukosa darah 2 jam setelah puasa adalah >11,1 mmol (200 mg/dl). Diabetes melitus dapat menjadi serius dan menyebabkan kondisi kronik yang membahayakan apabila tidak diobati. Akibat dari hiperglikemi dapat terjadi komplikasi metabolik akut seperti Ketoasidosis Diabetik (KAD) dan keadaan hiperglikemi dalam jangka waktu yang lama berkontribusi terhadap komplikasi kronik pada kardiovaskuler, ginjal, penyakit mata dan komplikasi neuropatik. Diabetes mellitus juga berhubungan dengan peningkatan kejadian penyakit makrovaskuler seperti MCI dan stroke (Smeltzer et. al, 2008).Menurut WHO (2006), penderita diabetes berisiko mengalami kerusakan mikrovaskuler seperti retinopati, nefropati dan neuropati. Hal ini akan memberikan efek terhadap kualitas hidup pasien. Penurunan kualitas hidup mempunyai hubungan yang signifikan terhadap angka kesakitan dan kematian, serta mempengaruhi usia harapan hidup pasien DM. Untuk mencegah terjadinya komplikasi dari diabetes mellitus, maka diperlukan pengotrolan yang terapeutik dan teratur melalui perubahan gaya hidup pasien DM yang tepat, tegas dan permanen. Pengotrolan diabetes mellitus diantaranya adalah pembatasan diet, peningkatan aktivitas fisik, regimen pengobatan yang tepat, kontrol medis teratur dan pengontrolan metabolik secara teratur melalui pemeriksaan labor (Golien et al dalam Yusra, 2011). Terkait dengan pengelolaan diabetes melitus, ada tiga tingkat pencegahan diabetes, yaitu pertama pencegahan primer; pencegahan ini mencakup kegiatan yang bertujuan agar diabetes tidak terjadi pada seseorang yang rentan terkena diabetes, dengan melakukan modifikasi faktor-faktor risiko atau penentu lingkungan atau perilaku. Kedua pencegahan sekunder; yaitu pencegahan ini meliputi kegiatan deteksi dini untuk menemukan kasus yang belum terdiagnosis diabetes, serta penanganan segera untuk memperbaiki atau menghentikan agar diabetes tidak memburuk. Dan ketiga pencegahan tersier; yaitu pencegahan ini dilakukan untuk mencegah atau memperlambat komplikasi pada seseorang yang telah terkena diabetes (Hasanat dkk, 2010).Strategi yang dapat dilakukan dalam pencegahan ini adalah salah satunya dengan mengatur pola makan yaitu dengan melakukan konseling gizi dan gaya hidup. Metode ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran penderita DM agar mengubah pola makan dan gaya hidup menjadi sehat sehingga dapat memperbaiki kadar glukosa darah sewaktu (Octa, 2011). Dengan perubahan gaya hidup yang lebih sehat maka akan membantu menurunkan indeks massa tubuh seiring dengan turunnya kadar glukosa dalam darah pada penderita diabetes 2, seperti dalam penelitian Davis menyatakan bahwa dengan diet rendah karbohidrat pada penderita DM tipe 2 memiliki efek pada berat badan yang berpengaruh besar pada HDL kolesterol sama terlihat jika dengan diet rendah lemak (Davis et.al. 2009). Selain itu, kebiasaan aktivitas fisik yang kurang baik secara signifikan berhubungan dengan kualitas hidup (Gautam et. al, 2009). Pada penelitian Gillies, menyatakan bahwa intervensi gaya hidup dan farmakologis mengurangi laju perkembangan kadar glukosa darah pada penderita diabetes mellitus tipe 2 (Gillies et.al. 2007). Maka dari itu, dianggap perlunya dilakukan penelitian ini dengan tujuan untuk Mengetahui pengaruh konseling gizi dan gaya hidup terhadap kadar glukosa darah dan indeks massa tubuh (IMT) pada penderita diabetes tipe 2 di wilayah kerja Puskesmas Minasa Upa Tahun 2013.

BAHAN DAN METODERancangan dan Lokasi PenelitianJenis Penelitian adalah Quasi Eksperimental (Eksperimen Semu) dengan rancangan The Nonrandomized Control Group Pretest Postest Design. Penelitian ini dilaksanakan di setiap rumah penderita DM tipe 2, di wilayah kerja Puskesmas Minasa Upa Kota Makassar selama 2 bulan yang dimulai pada bulan April sampai Mei. Populasi dan SampelPopulasi penelitian adalah Populasi pada penelitian ini adalah seluruh penderita DM tipe 2 yang tercatat mulai bulan Januari - Februari Tahun 2013 di Puskesmas Minasa Upa Kota Makassar yaitu sebanyak 69 orang. Penentuan jumlah sampel pada penelitian ini adalah secara non randomisasi yaitu purposive sampling dengan kriteria inklusi: (1) Penderita DM tipe 2 yang tercatat di Puskesmas Minasa Upa, (2)Mempunyai alamat yang lengkap yang tercatat di Puskesmas, (4)Penderita DM tipe 2 yang tinggal menetap di wilayah kerja Puskesmas, (5)Bersedia untuk ikut serta dalam penelitian ini. Sedangkan kriteria Eksklusi: Meninggalkan wilayah kerja puskesmas Minasa Upa pada saat penelitian berlangsung.Metode Pengumpulan DataProses pendataan awal hanya dilakukan oleh peneliti yang mana hanya mendata jumlah populasi penderita DM tipe 2 yang tercatat di rekam medik Puskesmas Minasa Upa Makassar. Setelah penderita DM tipe 2 dinyatakan bahwa ingin mengikuti proses konseling tersebut dan memenuhi kriteria penelitian dan menandatangani lembar persetujuan (informed consent), maka dilakukan pengukuran oleh petugas lapangan dengan memeriksa kadar glukosa darah dan indeks massa tubuh (IMT) awalnya dengan menggunakan glukometer dan alat ukur berat dan tinggi badan berdasarkan daft konseling yang dikembangkan oleh peneliti dan telah diuji coba sebelumnya.Analisis DataData diolah dengan menggunakan SPSS dan kemudian dilakukan analisis univariat analisis univariat dilakukan untuk memperoleh gambaran umum mengenai karakteristik responden dan memperoleh pemaparan secara deskriptif variabel penelitian. Selain itu, juga dilakukan analisis bivariat dilakukan untuk melihat apakah ada efek intervensi setelah melakukan pemberian konseling gizi dan gaya hidup dengan cara membandingkan kadar glukosa darah dan Indeks Massa Tubuh (IMT) sebelum dan setelah dilakukan intervensi tersebut dengan menggunakan uji t berpasangan. Selain itu untuk melihat hubungan antara variabel independen dan dependennya dilakukan uji t tidak berpasangan.HASILTabel 1 menunjukkan bahwa rata-rata kadar glukosa kelompok intervensi pada saat pre test adalah 244,13 mg/dl dengan standar deviasi 66,65 sedangkan pada saat post test menjadi 256,50 mg/dl dengan standar deviasi 77,79 yang berarti terjadi peningkatan sebesar 5,07% dengan p = 0,426 (p 0,05) yang artinya tidak ada perbedaan yang signifikan rata-rata kadar glukosa darah sebelum dan setelah intervensi. Sedangkan pada kelompok kontrol rata-rata kadar glukosa pada saat pre test adalah 240,63 mg/dl dengan standar deviasi 116,41 dan pada saat post test menjadi 276,81 mg/dl dengan standar deviasi 107,42 yang terjadi peningkatan sebesar 15,03% dengan p = 0,009 (p 0,05) yang artinya ada perbedaan yang signifikan rata-rata kadar glukosa darah sebelum dan setelah intervensi. Pada tabel tersebut juga menunjukkan rata-rata IMT kelompok intervensi pada saat pre test adalah 25,82 kg/m2 dengan standar deviasi 3,15 sedangkan pada saat post test rata-rata IMT menjadi 25,65 kg/m2 dengan standar deviasi 2,81 yang berarti ada penurunan sebesar 0,66% dengan p = 0,552 (p 0,05) yang artinya tidak ada perbedaan yang signifikan rata-rata IMT sebelum dan setelah intervensi. Dan pada kelompok kontrol rata-rata IMT pada saat pre test adalah 24,21 kg/m2 dengan standar deviasi 4,15 sedangkan pada saat post test rata-rata IMT adalah 24,58 kg/m2 dengan standar deviasi 4,27 yang berarti ada peningkatan sebesar 1,52% dengan p = 0,036 (p 0,05) yang artinya ada perbedaan yang signifikan rata-rata IMT sebelum dan setelah intervensi.

Tabel 1. Gambaran rata-rata kadar glukosa darah dan indeks massa tubuh (IMT) pada penderita DM tipe 2 pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol di Wilayah Kerja Puskesmas Minasa Upa Tahun 2013

VariabelIntervensi(n=16)Kontrol(n=16)

RerataSDRerataSD

Kadar Glukosa1. Pre Test1. Post TestBeda rata-ratap value244,13256,5066,6577,79240,63276,81116,41107,42

12,3736,18

0,4260,009

IMT1. Pre Test1. Post TestBeda rata-ratap value25,8225,653,152,8124,2124,584,154,27

0,170,37

0,5520,036

Data Primer

Tabel 2. Perbandingan rata-rata kadar glukosa darah penderita DM pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol di Wilayah Puskesmas Minasa Upa Kota Makassar Tahun 2013

Nilai StatistikPre TestPost Test

IntervensiKontrolIntervensiKontrol

nMean Rank1617,381615,631616,221616,78

p value0,5980,865

Data Primer

Tabel 2 menunjukkan bahwa hasil uji statistik saat pre test didapatkan nilai p = 0,598 (p > 0,05) yang menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan signifikan rata-rata kadar glukosa darah responden antara kelompok intervensi dengan kelompok kontrol. Begitu pula pada post test nilai p = 0,865 (p > 0,05) yang menunjukkan tidak ada perbedaan signifikan rata-rata kadar glukosa darah responden setelah pelaksanaan intervensi pada kedua kelompok penelitian

Tabel 3. Perbandingan rata-rata indeks massa tubuh (IMT) penderita DM pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol di Wilayah Puskesmas Minasa Upa Kota Makassar Tahun 2013

Nilai StatistikPre TestPost Test

IntervensiKontrolIntervensiKontrol

nMean SDSE1625,823,160,771624,214,141,031625,652,810,701624,574,271,07

p value0,2250,405

Data Primer

Pada tabel 3 menunjukkan bahwa hasil uji statistik pada saat pre test didapatkan p = 0,225 (p > 0,05) yang berati bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan rata-rata IMT responden antara kelompok intervensi dan kelompok kontrol. Begitu pula pada saat post test didapatkan p = 0,405 (p > 0,05) yang berati bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan rata-rata IMT antara kelompok intervensi dan kelompok kontrol.

PEMBAHASANHasil penelitian menunjukkan bahwa ada peningkatan kadar glukosa darah responden pada kelompok intervensi dan hasil yang didapatkan adalah selisih rata-rata kadar glukosa darah yang telah diukur dari pre test sampai ke post tesnya yaitu 12,37 mg/dl dengan p = 0,426 (p 0,05) yang artinya tidak ada perbedaan yang signifikan kadar glukosa darah sebelum dan setelah konseling, namun jika dibandingkan pada kelompok kontrol hasil yang didapatkan adalah selisi antara pre test dan post testnya yaitu sebesar 38,18 mg/dl dengan p = 0,009 (p 0,05) yang artinya ada perbedaan yang signifikan pada saat pre test hingga post test, tetapi perbedaan tersebut mengarah pada hal yang negatif karena kadar glukosa darah pada kelompk kontrol cenderung meningkat lebih tinggi dari pada kelompok intervensi. Jadi dapat dikatakan bahwa konseling gizi dan gaya hidup yang telah dilakukan sedikit berhasil walaupun masih jauh dari yang diharapkan.Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Hanifa (2011) yang menyatakan bahwa belum ada responden yang mengatur makanan menurut jumlah energi, jenis makanan dan jadwal makan sesuai dengan anjuran. Hal tersebut yang bisa didapatkan dari hasil konseling gizi. Hal tersebut dapat disebabkan karena faktor umur seperti dalam penelitian Indra (2010) bahwa diagnosis maupun tata laksana DM pada lansia tidak berbeda dengan populasi lainnya. Rekomendasi tata laksana DM yang banyak digunak