Jurnal Maret 2017 PPM

62
Diterbitkan oleh : POLTEKKES KEMENKES YOGYAKARTA Jl. Tata Bumi 3, Banyuraden, Gamping, Sleman, Yogyakarta 55293 Telp./Fax. (0274) 617601 Jurnal Teknologi Kesehatan Volume 13 Nomor 1 Halaman 1-57 Yogyakarta Maret, 2017 ISSN 0216-4981 ISSN 0216-4981 JURNAL TEKNOLOGI KESEHATAN J o u r n a l o f H e a l t h T e c h n o l o g y HUBUNGAN OKSIGENASI DENGAN KEJADIAN SHIVERING PASIEN SPINAL ANESTESI DI RSUD PROF.DR. MARGONO SOEKARJO PURWOKERTO Uji Sigit Prasetyo, Sugeng, Ana Ratnawati PEMBERDAYAAN KADER DALAM PENANGGULANGAN MASALAH KESEHATAN INTELEGENSIA PADA LANSIA AKIBAT GANGGUAN DEGENERATIF DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS GAMPING I, SLEMAN Wahyu Ratna, Ida Mardalena, Induniasih SIFOEDT (SIMPLE FOOT ELEVATOR FOR DIABETIC ULCER TREATMENT) Abdul Majid, Agus Sarwo Prayogi, Surantono, Sri Hendarsih PENGARUH KEIKUTSERTAAN DALAM KELAS IBU HAMIL TERHADAP RENTANG WAKTU PENGGUNAAN KONTRASEPSI DI PUSKESMAS UMBULHARJO I, YOGYAKARTA TAHUN 2016 Riska Ismawati Hakim, Dyah Noviawati Setya Arum, Tri Maryani MEDIA AGAR TEPUNG KACANG HIJAU, KACANG MERAH, KACANG TUNGGAK, KACANG KEDELAI SEBAGAI MEDIA KULTUR JAMUR ASPERGILLUS FLAVUS Anik Nuryati, Sujono HUBUNGAN JENIS PERSALINAN DENGAN WAKTU PENGELUARAN KOLOSTRUM PADA IBU BERSALIN KALA IV DI KOTA YOGYAKARTA TAHUN 2016 Almas Azifah Dina, Sumarah, Ana Kurniati PENDIDIKAN KESEHATAN MENGGUNAKAN MEDIA LEAFLET MENURUNKAN KECEMASAN PADA PASIEN PRE ANESTESI DENGAN TEKNIK SPINAL ANESTESI DI RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO PURWOKERTO Puji Rizky Affandi, Harmilah, Budhy Ernawan PERBEDAAN KADAR KREATININ PADA SERUM LIPEMIK YANG DIOLAH DENGAN POLYETHYLENE GLYCOL 6000 8% DAN HIGH SPEED SENTRIFUGASI Wheny Mufita Sari, Ni Ratih Hardisari, Sujono TINJAUAN SIFAT FISIK, ORGANOLEPTIK, KADAR PROTEIN DAN KADAR KALSIUM PADA VARIASI PENCAMPURAN GETUK KACANG TOLO (Vigna unguiculata) Dwi Ratna Ningsih, Elza Ismail, Waluyo PENGARUH STIMULASI MEDIA GAMBAR KARTUN INDONESIA TERHADAP KARAKTER BUILDING KEDISIPLINAN MEMILAH SAMPAH PADA ANAK USIA DINI USIA 4-6 TAHUN DI PAUD KECAMATAN GAMPING KABUPATEN SLEMAN Yustiana Olfah, Ni Ketut Mendri, Bambang Suwerda Volume 13, Nomor 1, Maret 2017

Transcript of Jurnal Maret 2017 PPM

Diterbitkan oleh :

POLTEKKES KEMENKES YOGYAKARTAJl. Tata Bumi 3, Banyuraden, Gamping, Sleman, Yogyakarta 55293 Telp./Fax. (0274) 617601

Jurnal Teknologi Kesehatan

Volume 13

Nomor 1

Halaman 1-57

Yogyakarta Maret, 2017

ISSN 0216-4981

ISSN 0216-4981

J U R N A L

TEKNOLOGI KESEHATANJ o u r n a l o f H e a l t h T e c h n o l o g y

HUBUNGAN OKSIGENASI DENGAN KEJADIAN SHIVERING PASIEN SPINAL ANESTESI DI RSUD PROF.DR. MARGONO SOEKARJO PURWOKERTO Uji Sigit Prasetyo, Sugeng, Ana Ratnawati

PEMBERDAYAAN KADER DALAM PENANGGULANGAN MASALAH KESEHATAN INTELEGENSIA PADA

LANSIA AKIBAT GANGGUAN DEGENERATIF DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS GAMPING I, SLEMAN

Wahyu Ratna, Ida Mardalena, Induniasih

SIFOEDT (SIMPLE FOOT ELEVATOR FOR DIABETIC ULCER TREATMENT)

Abdul Majid, Agus Sarwo Prayogi, Surantono, Sri Hendarsih

PENGARUH KEIKUTSERTAAN DALAM KELAS IBU HAMIL TERHADAP RENTANG WAKTU PENGGUNAAN KONTRASEPSI DI PUSKESMAS UMBULHARJO I, YOGYAKARTA TAHUN 2016 Riska Ismawati Hakim, Dyah Noviawati Setya Arum, Tri Maryani

MEDIA AGAR TEPUNG KACANG HIJAU, KACANG MERAH, KACANG TUNGGAK, KACANG KEDELAI

SEBAGAI MEDIA KULTUR JAMUR ASPERGILLUS FLAVUS

Anik Nuryati, Sujono

HUBUNGAN JENIS PERSALINAN DENGAN WAKTU PENGELUARAN KOLOSTRUM PADA IBU BERSALIN

KALA IV DI KOTA YOGYAKARTA TAHUN 2016

Almas Azifah Dina, Sumarah, Ana Kurniati

PENDIDIKAN KESEHATAN MENGGUNAKAN MEDIA LEAFLET MENURUNKAN KECEMASAN PADA PASIEN PRE ANESTESI DENGAN TEKNIK SPINAL ANESTESI DI RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJOPURWOKERTO Puji Rizky Affandi, Harmilah, Budhy Ernawan

PERBEDAAN KADAR KREATININ PADA SERUM LIPEMIK YANG DIOLAH DENGAN POLYETHYLENE GLYCOL 6000 8% DAN HIGH SPEED SENTRIFUGASI Wheny Mufita Sari, Ni Ratih Hardisari, Sujono

TINJAUAN SIFAT FISIK, ORGANOLEPTIK, KADAR PROTEIN DAN KADAR KALSIUM PADA VARIASI PENCAMPURAN GETUK KACANG TOLO (Vigna unguiculata)

Dwi Ratna Ningsih, Elza Ismail, Waluyo

PENGARUH STIMULASI MEDIA GAMBAR KARTUN INDONESIA TERHADAP KARAKTER BUILDING KEDISIPLINAN MEMILAH SAMPAH PADA ANAK USIA DINI USIA 4-6 TAHUN DI PAUD KECAMATAN GAMPING KABUPATEN SLEMAN

Yustiana Olfah, Ni Ketut Mendri, Bambang Suwerda

Volume 13, Nomor 1, Maret 2017

Jurnal Teknologi Kesehatan

Volume 13

Nomor 1

Halaman 1-57

Yogyakarta Maret, 2017

ISSN 0216-4981

J U R N A L

TEKNOLOGI KESEHATAN

ISSN 0216-4981

J o u r n a l o f H e a l t h T e c h n o l o g y

Volume 13, Nomor 1, Maret 2017

Diterbitkan oleh :

POLTEKKES KEMENKES YOGYAKARTAJl. Tata Bumi 3, Banyuraden, Gamping, Sleman, Yogyakarta 55293 Telp./Fax. (0274) 617601

1 - 4

5 - 11

12 - 16

HUBUNGAN OKSIGENASI DENGAN KEJADIAN SHIVERING PASIEN SPINAL ANESTESI DI RSUD PROF.DR. MARGONO SOEKARJO PURWOKERTO

Uji Sigit Prasetyo, Sugeng, Ana Ratnawati

PEMBERDAYAAN KADER DALAM PENANGGULANGAN MASALAH KESEHATAN INTELEGENSIA PADA LANSIA AKIBAT GANGGUAN DEGENERATIF DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS GAMPING I, SLEMAN

Wahyu Ratna, Ida Mardalena, Induniasih

SIFOEDT (SIMPLE FOOT ELEVATOR FOR DIABETIC ULCER TREATMENT)

Abdul Majid, Agus Sarwo Prayogi, Surantono, Sri Hendarsih

PENGARUH KEIKUTSERTAAN DALAM KELAS IBU HAMIL TERHADAP RENTANG WAKTU PENGGUNAAN KONTRASEPSI DI PUSKESMAS UMBULHARJO I, YOGYAKARTA TAHUN 2016

Riska Ismawati Hakim, Dyah Noviawati Setya Arum, Tri Maryani

MEDIA AGAR TEPUNG KACANG HIJAU, KACANG MERAH, KACANG TUNGGAK, KACANG KEDELAI SEBAGAI MEDIA KULTUR JAMUR ASPERGILLUS FLAVUS

Anik Nuryati, Sujono

HUBUNGAN JENIS PERSALINAN DENGAN WAKTU PENGELUARAN KOLOSTRUM PADA IBU BERSALIN KALA IV DI KOTA YOGYAKARTA TAHUN 2016

Almas Azifah Dina, Sumarah, Ana Kurniati

PENDIDIKAN KESEHATAN MENGGUNAKAN MEDIA LEAFLET MENURUNKAN KECEMASAN PADA PASIEN PRE ANESTESI DENGAN TEKNIK SPINAL ANESTESI DI RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO PURWOKERTO

Puji Rizky Affandi, Harmilah, Budhy Ernawan

PERBEDAAN KADAR KREATININ PADA SERUM LIPEMIK YANG DIOLAH DENGAN POLYETHYLENE GLYCOL 6000 8% DAN HIGH SPEED SENTRIFUGASI

Wheny Mufita Sari, Ni Ratih Hardisari, Sujono

TINJAUAN SIFAT FISIK, ORGANOLEPTIK, KADAR PROTEIN DAN KADAR KALSIUM PADA VARIASI PENCAMPURAN GETUK KACANG TOLO (Vigna unguiculata)

Dwi Ratna Ningsih, Elza Ismail, Waluyo

PENGARUH STIMULASI MEDIA GAMBAR KARTUN INDONESIA TERHADAP KARAKTER BUILDING KEDISIPLINAN MEMILAH SAMPAH PADA ANAK USIA DINI USIA 4-6 TAHUNDI PAUD KECAMATAN GAMPING KABUPATEN SLEMAN

Yustiana Olfah, Ni Ketut Mendri, Bambang Suwerda

17 - 22

23 - 32

33 - 37

38 - 44

45 - 49

50 - 54

55 - 57

ABSTRACT

The incidence of shivering varies between 5% – 65 %. Shivering causes adverse physiological effects such as peripheral vasoconstriction, compensation of increasing oxygen requirement up to 5 times will increase carbon dioxide production, lowering arterial oxygen saturation, decreasing drug metabolism, disturbing blood coagulation factor, lowering immune response, impairing wound healing, increasing protein breakdown, and ischemic of heart muscle. This study aims to determine relationship between oxygenation with shivering incidence among spinal anaesthesia patients at Prof. Dr. Margono Soekarjo Hospital, Purwokerto. This research was an analytic observational research with cross sectional approach. Population in this study was all patients with spinal anesthesia at Dr. Margono Soekarjo Hospital, Purwokerto, with the total of 50 patients. Sampling method using purposive sample, obtained 45 respondents. Data were analyzed using chi-square test. Most of patients under spinal anesthesia at Dr. Margono Soekarjo Hospital, Purwokerto were giving oxygenation more than 2 lt/min

as many as 25 patients (55.6%). Most of patients under spinal anesthesia were not experience shivering incidence as many as 33 patients (73.3%). There is a relationship between oxygenation and shivering incidence among patients under spinal anaesthesia at Dr. Margono Soekarjo Hospital, Purwokerto (p value = 0.000).

Keywords : Oxygenation, shivering, Spinal Anaesthesia

ABSTRAK

Angka kejadian shivering sangat bervariasi antara 5% sampai dengan 65%. Shivering menyebabkan efek fisiologi yang sangat merugikan seperti vasokontriksi perifer, kompensasi kebutuhan oksigen yang meningkat sampai 5 kali meningkatkan produksi karbon dioksida, menurunkan oksigen saturasi arteri, metabolisme obat menurun, mengganggu terbentuknya faktor pembekuan, menurunnya respon imun, gangguan penyembuhan luka, meningkatnya pemecahan protein dan iskemik otot jantung. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan pemberian oksigen dengan kejadian shivering pasien spinal anestesi di RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto. Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan pendekatan waktu cross sectional. Populasi dalam penelitian adalah semua pasien dengan spinal anestesi yang ada di RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto, berjumlah 50 pasien. Pengambilan sampel dengan cara purposive sampling didapatkan 45 orang. Analisa data menggunakan uji chi square. Sebagian besar pada pasien spinal anestesi di RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto diberi oksigen lebih dari 2 L/menit yaitu 25 orang (55,6%). Sebagian besar pada pasien spinal anestesi tidak mengalami kejadian shivering yaitu 33 orang (73,3%). Ada hubungan antara pemberian oksigen dengan kejadian shivering di RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto (p value = 0,000).

Kata kunci : Oksigenasi, shivering, spinal anestesi

HUBUNGAN OKSIGENASI DENGAN KEJADIAN SHIVERING PASIEN SPINAL ANESTESI DI RSUD PROF.DR. MARGONO SOEKARJO PURWOKERTO

1 2 2*Uji Sigit Prasetyo , Sugeng , Ana Ratnawati

1RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto2Jurusan Keperawatan Poltekkes Kemenkes Yogyakarta

*Email: [email protected]

PENDAHULUAN

Shivering merupakan masalah yang sering dijumpai sehubungan dengan tindakan anestesi, baik anestesi regional maupun anestesi umum. Setelah pemberian anestesi spinal, shivering biasanya terjadi pada periode intra operasi sampai dengan masa pasca operasi. Angka kejadiannya sangat bervariasi antara 5% sampai dengan 65%, pada shivering menyebabkan efek fisiologi yang sangat merugikan seperti vasokontriksi perifer, kompensasi kebutuhan oksigen yang meningkat sampai 5 kali meningkatkan produksi karbon dioksida, menurunkan oksigen saturasi arteri, metabolisme obat menurun, mengganggu terbentuknya faktor pembekuan, menurunnya respon imun, gangguan penyembuhan luka, meningkatnya pemecahan protein dan iskemik

1otot jantung .

Keadaan shivering membuat tidak nyaman bagi pasien, karena tubuh akan berusaha beradaptasi keadaan tersebut dengan cara meningkatkan metabolisme sampai 200-500%, peningkatan konsumsi oksigen yang signifikan (sampai 400%), peningkatan produksi CO , meningkatkan hipoksemia 2

arteri, asidosis laktat, meningkatkan tekanan intra okuler, meningkatkan tekanan intrakranial , m e n y e b a b k a n a r t e f a k p a d a m o n i t o r d a n meningkatnya nyeri pasca bedah akibat tarikan luka operasi. Hipoksemia paska operasi terjadi karena adanya penurunan tekanan oksigen arterial pada anestesi umum, hal ini terjadi setelah anestesi

2berlangsung lebih dari 20 menit .

Menurut laporan bulanan Instalasi Anestesi Terapi Intensif (IATI) RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo pada bulan Januari sampai dengan Juli 2016, insiden

Sumber : Data Primer 2016

Tabel 1. memperlihatkan sebagian besar responden berumur 31-40 tahun yaitu 12 orang (26,7%), laki-laki yaitu 30 orang (66,7%), status ASA II yaitu 44 orang (97,8%), belum pernah menjalani operasi yaitu 44 orang (97,8%), suku Jawa yaitu 44 orang (97,8%), tingkat pendidikan SD dan SMA yaitu masing-masing 15 orang (33,3%) bekerja sebagai tani yaitu 11 orang (24,4%).

2. Pemberian Oksigenasi pada pasien dengan spinal anestesi di RSUD Prof Dr Margono Soekarjo Purwokerto

Tabel 2.Distribusi Frekuensi Pemberian Oksigenasi Pada Pasien dengan Spinal Anestesi di RSUD Prof.

Dr. Margono Soekarjo Purwokerto

terjadinya shivering pasca anestesi umum dilaporkan antara 5-35%, sedang pada spinal anestesi berkisar 30-40 %, sedang rata-rata kejadian shivering paska spinal anestesi terdapat 31 kasus, dari rata-rata 100 pasien dengan regional anestesi perbulan. Kasus shivering paska anestesi merupakan salah satu kompensasi otonom untuk mempertahankan core temperatur normal. Dari data-data yang penulis dapatkan di RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto mendorong penuli suntuk meneliti “Apakah terdapat hubungan pemberian oksigenasi dengan kejadian shivering paska spinal anestesi?“.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan pemberian oksigenasi dengan kejadian shivering intra operasi dengan spinal anestesi di RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto.

METODE

Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan pendekatan waktu cross sectional. Pengambilan data dilaksanakan pada bulan November 2016. Responden sebanyak 45 orang diambil dengan teknik purposive sampling. Analisa data menggunakan uji statistik chi square.

HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Karaktertistik Responden

Tabel 1.Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo

Purwokerto

No.Pemberian Oksigenasi

F %

1. < 2L/mnt 20 44.4

2. >2L/mnt 25 55.6

Jumlah 45 100

Tabel 2. memperlihatkan bahwa sebagian besar responden diberikan oksigen lebih dari 2 L/menit yaitu 25 orang (55,6%) dan 20 orang (44,4%) diberi oksigen kurang atau sama dengan 2 L/menit.

Anestesi regional menurunkan produksi panas, sementara panas yang hilang sangat besar pada pasien yang menjalani operasi besar, lama dan berada pada kamar operasi yang dingin. Menggigil merupakan respon terhadap hipotermia selama pembedahan antara suhu darah dan kulit dengan

3suhu inti tubuh .

Penurunan suhu tubuh saat operasi menyebabkan efek fisiologi yang sangat merugikan sepert i vasokontr iks i per i fer, kompensasi kebutuhan oksigen yang meningkat sampai 5 kali meningkatkan produksi karbon dioksida, menurunkan oksigen saturasi arteri, metabolisme obat menurun, mengganggu terbentuknya faktor pembekuan, menurunnya respon imun, gangguan penyembuhan luka, meningkatnya pemecahan protein dan iskemik

1otot jantung .

Pemberian oksigen lebih dari 2 L/menit menunjukkan bahwa pasien operasi mempunyai risiko lebih besar mengalami penurunan suhu tubuh selama menjalani operasi. Kondisi tersebut didukung dengan kenyataan bahwa suhu ruang operasi lebih rendah dibandingkan dengan suhu

Oruang yang normal yaitu 25 C. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian pasien menjalani

ooperasi dengan suhu kamar 19 C sebagaimana diperlihatkan tabel 4. yang menyebutkan 37 pasien (82,2%) menjalani operasi dengan suhu kamar

o19 C. Suhu kamar operasi yang lebih rendah dari suhu ruang normal dapat menjadi faktor

Sumber : Data Primer 2016

2 Jurnal Teknologi Kesehatan, Volume 13, Nomor 1, Maret 2017, hlm.1-4

pendukung terjadi penurunan suhu tubuh pasien yang menjalani operasi. Kamar operasi dengan temperatur kurang dari 20ºC dapat menyebabkan penurunan temperatur tubuh. Pada suhu 24-26ºC akan lebih mempertahankan suhu inti tubuh, jika lebih besar temperatur suhu tubuh maka radiasi akan meningkatkan panas tubuh, begitu juga sebaliknya jika temperatur ruangan kurang dari

4temperatur tubuh .

Penelitian ini juga menunjukkan bahwa sebagian responden mendapatkan kurang atau sama dengan 2 L/menit. Pemberian oksigen kurang atau sama dengan 2 L/menit dilakukan karena suhu tubuh responden sebelum dilakukan anestesi dalam keadaan normal sebagaimana disebutkan dalam tabel 4.4. yang menyebutkan bahwa 13 orang (28,9%) responden suhu

otubuhnya 36,5 C. Suhu normal preoperasi pada pasien adalah 36,6-37,5ºC makin rendah suhu preoperasi (<36,6ºC), maka makin meningkatkan perubahan suhu tubuh selama spinal analgesi. Hal ini terjadi karena inhibisi simpatis yang disebabkan peningkatan suhu regional. Pada efek puncak 30-60 menit pertama menyebabkan penurunan suhu tubuh 1-2ºC tergantung dari luasnya blok sensorik. Sedangkan pada suhu lebih 37,5ºC akan memicu terjadinya hipertermi maligna yang dapat m e n g g a n g g u p u s a t p e n g a t u r p a n a s

5(hipotalamus) .

3. Kejadian Shivering pada Pasien dengan Spinal Anestesi di RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto

Tabel 3. Distribusi Frekuensi Kejadian Shivering Pada Pasien dengan Spinal Anestesi di RSUD Prof.

Dr. Margono Soekarjo Purwokerto

Sumber : Data Primer 2016

Tabel 3. memperlihatkan bahwa sebagian besar responden tidak mengalami kejadian shivering yaitu 33 orang (73,3%) dan responden yang mengalami kejadian shivering ada 20 orang (26,7%).

Shivering adalah aktifitas otot yang bersifat i n v o l u n t e r a t a u b e r u l a n g - u l a n g u n t u k meningkatkan produksi metabolisme panas. Responden yang tidak mengalami shivering dapat disebabkan karena responden tidak mengalami hipotensi atau penurunan suhu tubuh setelah mendapatkan anestesi spinal . Hipotensi merupakan salah satu efek dari penggunaan obat anestesi. Menggigil terjadi jika suhu di daerah preoptik hipotalamus lebih rendah dari suhu permukaan tubuh. Peningkatan tonus otot yang yang te r jad i d idaerah fo rmas i re t icu la r mesenfalitik, dorsolateral pons dan formasi reticular medulla. Menggigil dapat terjadi akibat hipotermi operatif, nyeri pasca operatif, pengaruh langsung obat anestesi, hipercapni atau alkolosis respiratori, adanya pirogen, hipoksia, pemulihan awal dari aktivitas reflek spinal dan overaktivitas

1simpatis .

Penelitian ini juga menyebutkan bahwa, terdapat 20 orang (26,7%) yang mengalami shivering. Penyebab terjadinya Shivering intra operasi karena obat anestesi dapat menginhibisi pusat termoregulasi sehingga terjadi perubahan mekanisme termoregulasi tubuh terhadap

1penurunan suhu inti tubuh berupa shivering .

Faktor yang menyebabkan shivering sampai saat ini belum diketahui secara pasti, shivering intra operasi diduga akan menurunkan ambang menggigil sampai suhu inti yang mengakibatkan hipotermi pada jam pertama atau setelah dilakukan spinal analgesi makin tinggi blokade dilakukan maka makin besar suhu inti tubuh dipengaruhi ambang suhu inti tubuh ini menurun

40,15ºC untuk setiap dermatom yang berubah .

4. Hubungan Oksigenasi dengan Kejadian Shivering di RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto

Tabel 4. Distribusi Frekuensi Hubungan oksigenasi dengan Kejadian shivering di RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto bulan November 2016

No.Kejadian shivering

Oksigenasi Ya Tidak Chi square

f % F % X2 p

1. < 2L/mnt 11 24,4 9 20 14,778 0,0002. >2L/mnt 1 2,2 24 53,3

Jumlah 12 26,7 33 73,3

Tabel 4. memperlihatkan bahwa sebagian besar responden mendapatkan oksigenasi lebih dari 2 liter per menit dan tidak mengalami kejadian shivering yaitu 24 orang (53,3%) dan sebagian kecil responden mendapatkan oksigenasi lebih dari 2 liter per menit dan mengalami kejadian shivering yaitu 1 orang (2,2%). Hasil uji chi square

2didapatkan nilai X sebesar 14,778 dengan

signifikansi (p) 0,000 sehingga dapat disimpulkan bahwa ada hubungan antara oksigenasi dengan kejadian shivering di RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto.

Hasil penelitian ini memberikan gambaran bahwa responden yang mendapatkan oksigenasi lebih dari 2 liter per menit dan tidak mengalami kejadian shivering. Shivering adalah aktifitas otot

3Uji Sigit Prasetyo, dkk, Hubungan Oksigenasi Dengan Kejadian....

intrakranial, menyebabkan artefak pada monitor dan meningkatnya nyeri pasca bedah akibat tarikan luka operasi. Hipoksemia paska operasi terjadi karena adanya penurunan tekanan oksigen arterial pada anestesi umum, hal ini terjadi setelah

2anestesi berlangsung lebih dari 20 menit .

KESIMPULAN

1. Pemberian oksigen pada pasien spinal anestesi di RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto sebagian besar lebih dari 2 L/menit yaitu 25 orang (55,6%).

2. Kejadian shivering pada pasien spinal anestesi di RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto sebagian besar tidak mengalami yaitu 33 orang (73,3%).

3. Ada hubungan antara pemberian oksigen dengan kejadian shivering di RSUD Prof Dr Margono Soekarjo Purwokerto (p value = 0,000).

SARAN

Bagi Rumah Sakit, Hasil penelitian ini diharapkan menjadi bahan masukan untuk RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto untuk meningkatkan pelayanan, dan sebagai bahan acuan pembuatan

SOP pencegahan terjadinya shivering.

DAFTAR PUSTAKA

1. Alfonsi, P. 2009. Post Anaesthethic Shivering Epidemiology Pathofisiologi and Approaches Management in Drugs : Minerva Anestesiol 2009; 69 :438-441

2. Lunn JN. 2009. Farmakologi Terapan Anestesi Umum. Catatan Kuliah Anestesi. Edisi 4. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.

3. Putzu, M., Casati, A., Betty, M. 2007. Clinical Complications, Monitoring and Management of Perioperative Mild Hypothermia: Anesthesiological features. Acta Biomed., 78 : 163-169.

4. Frank, S.M. 2008. Predictor of Hypothermia During Spinal Anesthesia. Anesthesiology, 92 (5) : 1330-1334.

5. Majid, A., dkk., 2011. Keperawatan Perioperatif 1st Ed. Yogyakarta : Gosyen.

6. Stoelting, R.K., 2009. Opioid Agonist and Antagonist. Pharmacology and Phisiology in Anesthetic Practice Third Ed. Lippincott. P : 259-279 Morgan, G.E., Mikhail, M.S., Murray, M.J. 2006. Clinical Anesthesiology, Fourth edition. USA.

yang bersifat involunter atau berulang-ulang untuk meningkatkan produksi metabolisme panas. Menggigil dapat terjadi akibat kekurangan oksigen pada organ dan jaringan tubuh disertai suhu di daerah preoptik hipotalamus lebih rendah dari suhu permukaan tubuh. Peningkatan tonus otot yang ter jadi d i daerah formasi ret icular mesenfalitik, dorsolateral pons dan formasi

1reticular medulla .

Responden yang tidak mengalami shivering disebabkan karena responden mendapatkan suplay oksigen yang cukup selama menjalani operasi. Menghirup oksigen 100% selama 5 menit dapat mempertahankan saturasi oxyhemogloblin sebesar 90% selama sekitar 6 menit, atau dengan cara lain untuk menghirup oksigen selama 5 menit, pasien mungkin mengambil empat napas kapasitas vital oksigen lebih dari 30 detik (atau delapan napas kapasitas vital lebih dari 60 detik). Selama periode apnea karbon dioksida alveolar

6meningkat hal ini tidak tergantung preoksigenasi . Terapi oksigen diberikan untuk mempertahankan penyediaan oksigen dalam darah, misal pada tindakan bronkhoskopi, perlu tambahan oksigen pada inspirasinya, atau pada kondisi yang menyebabkan peningkatkan konsumsi oksigen

7seperti pada infeksi berat, shivering .

Peneli t ian ini juga menunjukkan 2,2% responden mendapatkan oksigenasi lebih dari 2 liter per menit dan mengalami kejadian shivering. Responden yang mengalami shivering meskipun telah mendapatkan oksigenasi lebih dari 2 lite/menit dapat disebabkan karena responden menjalani operasi lebih dari 60 menit. Tabel 4.4. memperlihatkan bahwa sebanyak 15 orang (33,3%) responden yang menjalani operasi lebih dari 60 menit. Anestesi regional menurunkan produksi panas, sementara panas yang hilang sangat besar pada pasien yang menjalani operasi besar, lama dan berada pada kamar operasi yang dingin. Menggigil merupakan respon terhadap hipotermia selama pembedahan antara suhu

3darah dan kulit dengan suhu inti tubuh .

Keadaan shiveringmembuat tidak nyaman bagi pasien, karena tubuh akan berusaha beradaptasi keadaan tersebut dengan cara meningkatkan metabolisme sampai 200-500%, peningkatan konsumsi oksigen yang signifikan (sampai 400%), peningkatan produksi CO , meningkatkan 2

hipoksemia arteri, asidosis laktat, meningkatkan tekanan intra okuler, meningkatkan tekanan

4 Jurnal Teknologi Kesehatan, Volume 13, Nomor 1, Maret 2017, hlm.1-4

PEMBERDAYAAN KADER DALAM PENANGGULANGAN MASALAH KESEHATAN INTELEGENSIA PADA LANSIA AKIBAT GANGGUAN DEGENERATIF

DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS GAMPING I, SLEMAN

Wahyu Ratna, Ida Mardalena, Induniasih

Jurusan Keperawatan Poltekkes Kemenkes Yogyakarta*Email: [email protected]

ABSTRACT

One of the most feared man when he began to ripen is becoming senile and difficulty remembering recent memory. Someone who has dementia, there will be a decrease in intellectual function that causes the deterioration cognition and functional, resulting in impaired function of thesocial, work and daily activities, therefore their social activities will also be affected. Activities to increase the intelligence of the elderly can be done in Posyandu and at home. Posyandu kader are trained to conduct simple screening and intervention for at Posyandu and can be continued at home. During these elderly who come to Posyandu only get a health screening and supplementary feeding alone. This study aims to look at the role of Posyandu kader in improving intelligence elderly. The study is a quasi experiment, pre- post with control design. Samples taken as many as 32 elderly people from each of posyandu Gejawan Kulon as the intervention group and posyandu Gejawan Wetan as the control group. The results showed that the characteristics of the most respondents are aged 60-69 as much as 38,7% in intervention group and 71,9% in control group, female 100% in intervention group and 78,1% in control group, as housewives 50% in intervention group and 59,4% in the control group. And has last education in elementary school 50% in intervention group and 43,7% in control group, level of intelligence on the second assessment 62,5% normal-light in intervention group and balanced between normal-light and moderate in control group. And the number of eldery who have intelegensia reduction decreased by 0,3 from the current first assessment based on the T-Test as result 1,4 from 1,7. The Conclusion is the influence in intelligence enhancement training kader to increased intelligence eldery evidenced by the decline in the number of eldery who experience a decrease in intelligence in the control group.

Keywords : The Role of Kader, Posyandu, Intelligence Elderly

ABSTRAK

Salah satu yang paling di khawatirkan saat menjadi lansia adalah menjadi pikun dan sulit mengingat memori baru. Seseorang yang menderita demensia, akan ada penurunan fungsi intelektual yang menyebabkan kognisi dan fungsionalitas memburuk, sehingga mengakibatkan gangguan fungsi sosial, kerja dan aktivitas sehari-hari, oleh karena itu aktivitas sosial mereka juga akan terpengaruh. Kegiatan untuk meningkatkan kecerdasan orang tua bisa dilakukan di Posyandu dan di rumah. Kader Posyandu dilatih untuk melakukan skrining dan intervensi sederhana di Posyandu dan dapat dilanjutkan di rumah. Selama ini lansia yang datang ke Posyandu hanya mendapatkan pemeriksaan kesehatan dan pemberian makanan tambahan saja. Penelitian ini bertujuan untuk melihat peran kader Posyandu dalam mempertahankan intelegensia lansia. Penelitian ini merupakan kuasi ekperimen, pre-post dengan kontrol desain. Sampel diambil sebanyak 32 lansia dari masing-masing posyandu Gejawan Kulon sebagai kelompok intervensi dan posyandu Gejawan Wetan sebagai kelompok kontrol. Hasil penelitian menunjukkan bahwa karakteristik responden terbanyak adalah usia 60-69 sebanyak 38,7% pada kelompok intervensi dan 71,9% pada kelompok kontrol, kelompok intervensi 100% perempuan dan 78,1% pada kelompok kontrol, ibu rumah tangga 50% pada kelompok intervensi dan 59,4% pada kelompok kontrol. Dan memiliki pendidikan terakhir di sekolah dasar 50% pada kelompok intervensi dan 43,7% pada kelompok kontrol, Tingkat intelegensia pada penilaian kedua 62,5% dalam status normal pada kelompok intervensi dan adanya seimbang antara kelompok kontrol normal dan ringan pada kelompok kontrol. Dan jumlah lansia yang mengalami penurunan intelegensia turun sebesar 0,3 dari penilaian pertama saat ini berdasarkan Uji-T sebagai hasil 1,4 dari 1,7. Kesimpulannya adalah pengaruh kader pelatihan peningkatan kecerdasan terhadap peningkatan kecerdasan lansia yang dibuktikan dengan menurunnya jumlah lansia yang mengalami penurunan kecerdasan pada kelompok kontrol.

Kata Kunci : Peran Kader, Posyandu, Intelegensia Lansia

PENDAHULUAN

World Health Organization (WHO) memperkirakan di tahun 2010 saja ada 20,7 juta lansia di Indonesia dan diperkirakan di tahun 2050 nanti secara global proporsi lansia akan lebih besar dari proporsi anak usia di bawah 14 tahun. Usia Harapan Hidup (UHH) di DIY tertinggi di Indonesia, yaitu 72 tahun laki-laki dan 76 tahun untuk perempuan. Hal ini pada akhirnya

1)mengakibatkan peningkatan jumlah usia lanjut . Umur harapan hidup di kabupaten Sleman untuk laki-

2) laki 73,80 dan perempuan 77,13. Berbagai dampak dari peningkatan jumlah usia lanjut antara lain adalah masalah penyakit degeneratif yang sering menyertai para usia lanjut, pembuluh darah, penyakit gangguan sendi dan gangguan yang berkaitan dengan masalah intelegensia akibat penurunan fungsi otak. Gangguan

Dari tabel 1 diatas diketahui bahwa usia kader lansia di Posyandu Gejawan Wetan maupun Gejawan Kulon sebagian besar antara usia 41 sampai dengan 50 tahun. Sedangkan usia yang lebih dari 51 tahun lebih banyak di posyandu Gejawan Wetan dibanding Posyandu Gejawan Kulon. Kemudian data karakteristik kader posyandu lansia berdasarkan pendidikan adalah sebagai berikut:

Tabel 2. Data Karakteristik berdasarkan Tingkat Pendidikan Kader Posyandu Gejawan Kulon dan

Gejawan Wetan

HASIL DAN PEMBAHASAN

Tabel 1. Data Karakteristik berdasarkan Usia Kader Posyandu Gejawan Kulon dan Gejawan Wetan

pada berbagai macam fungsi in te legensia berpengaruh terhadap seluruh aktifitas individu dalam kehidupan bermasyarakat sehari-hari baik di keluarga, lingkungan, pekerjaan, dan lainnya. Dampaknya dapat dipastikan akan menyebabkan penurunan kualitas hidup pada lanjut usia. Public Health Problem memberikan gambaran mengenai t e rganggunya ak t i v i t as keh idupan sos ia l menyebabkan problem kesehatan masyarakat dan tingginya biaya yang harus ditanggung oleh keluarga, masyarakat, pemerintah untuk menanggulangi masalah tersebut dalam jangka waktu yang panjang (economic health problem). Penurunan fungsi intelegensia pada umumnya berbentuk penurunan fungsi dengan gejala satu atau lebih ganggunan atau penurunan persepsi, atensi, konsentrasi, gangguan bahasa , memor i , dan emos i .Kader dapa t diberdayakan untuk ikut serta secara akt i f menanggulangi gangguan intelegensia akibat penyakit degeneratif. Melalui pelatihan yang sederhana dan peran serta kader lansia melalui pemantauan yang sederhana diharapkan kader dapat membantu melatih memori lansia, dan memantau kegiatan lansia bersama keluarga, sehingga dapat mengurangi kepikunan serta dapat menekan angka kesakitan dan kecelakaan karena kepikunan. Sehingga kegiatan lansia yang dilakukan rutin tersebut dapat bermanfaat untuk menstimulasi otak dan memperlambat terjadinya kemunduran fungsi

3) otak. Puskesmas Gamping I merupakan Puskesmas dengan layanan santun lansia yang telah dilengkapi sarana maupun prasarana bagu pelayanan lansia. Puskesmas Gamping I juga telah memberikan pelatihan kepada kader lanjut usia tentang penurunan fungsi intelegensia pada lanjut usia pada tahun 2014. Berdasarkan data kunjungan lansia dari tahun ke tahun di Puskesmas Gamping I mengalami kenaikan, yaitu th 2012 sebanyak 1815, tahun 2013 sebanyak

4)2432, dan tahun 2014 sebanyak 3050 kunjungan.

METODE

Jenis penelitian ini adalah quasi eksperimen, dimana perlakuan yang diberikan adalah memberikan pemeriksaaan tingkat intelegensia lansia dengan menggunakan test in te legensia, kemudian memberikan pelatihan stimulasi otak dengan Pre-Post Group with control design. Sebagai pelaku penilaian dan intervensi adalah kader kesehatan posyandu lansia yang sebelumnya sudah mendapat pelatihan tentang deteksi tingkat intelegensia lansia serta memberikan intervensi pelatihan stimulasi intelegensia kepada lansia. Sampel dari masing masing posyandu adalah dengan menggunakan rumus Lemeshow 1990, didapat jumlahnya 29 orang ditambah 10% menjadi 32 orang lansi dangan kriteria eklusi tidak dalam keadaan stroke, dan tidak dapat berkomunikasi atau mengalami dimensia berat.

Berdasarkan tabel 2 diatas, diketahui bahwa kedua posyandu baik Gejawan Wetan maupun Gejawan Kulon mempunyai karakteristik pendidikan sama yaitu tingkat SMP 37,5% dan tingkat SMU 62,5%.

Data Karakteristik lamanya menjadi kader di posyandu Gejawan Kulon dan Gejawan Wetan adalah sebagai berikut:

Tabel 3. Data Karakteristik berdasarkan Lamanya menjadi Kader Posyandu di Gejawan Kulon dan

Gejawan Wetan

PosyanduLamanya menjadi Kader Posyandu

<5 th 5-10 th > 10th Jumlah Gejawan

Kulon6(75%) 1(12,5%) 1(12,5%) 8(100%)

Gejawan Wetan

1(12,5%) 2(25%) 5(62,5%) 8(100%)

Berdasarkan tabel 3 diatas, pada posyandu Gejawan Kulon pengalaman menjadi kader lebih banyak yang masih baru atau kurang dari 5 tahun yaitu sebanyak 75%, tetapi untk Gejawan Wetan justru banyak yang pengalaman menjadi kadernya lebih dari 10 tahun bahkan sampai 20 tahun lebih yaitu sebanyak 5 orang atau 62,5%.

Selanjutnya karakteristik kader berdasarkan keikut sertaan pelatihan selama menjadi kader adalah sebagai berikut.

6 Jurnal Teknologi Kesehatan, Volume 13, Nomor 1, Maret 2017, hlm.5-11

Posyandu

Keikut Sertaan Pelathan Kader

Jumlah Belum pernah

1-2 pelatih

an

3-5 pelatih

an

>6 pelatihan

Gejawan Kulon

5(75%)

3(37,5%)

0 08

(100%)Gejawan Wetan

3(37,5%)

1(12,5%)

1(12,5%)

3(37,5%)

8(100%)

Dari tabel 4 diatas dapat diketahui bahwa keikut sertaan pelatihan kader lebih banyak pada kader di Gejawan Wetan menunjukkan 5 orang atau 60% kader telah mengikuti pelatihan pelatihan, sementara kader di posyandu Gejawan Kulon ada 3 orang (37%), sementara lainnya belum pernah mengikuti pelatihan pelatihan.

Selanjutnya karakteristik responden baik dari posyandu Gejawan Kulon maupun posyandu Gejawan Wetan adalah sebagai berikut:

Tabel 5. Karakteristik Responden berdasarkan Umur Posyandu Gejawan Kulon dan Posyandu Gejawan

Wetan

Kelompok Umur

Posyandu

Gejawan Kulon

Gejawan Wetan

<59 8(25,8%) 1(3,4%)

60-69 12(38,7%) 23(71,9%)

>70 12(38,7%) 8(26,7%)

JUMLAH 32(100%) 32(100%)

Berdasarkan tabel 5 diatas, baik Gejawan Kulon maupun Gejawan Wetan sebagian besar usia responden berkisar pada usia 60-69 tahun yaitu sekitar 35,48% dan 70% untuk Gejawan Wetan. Meskipun di Gejawan Kulon ternyata terbanyak adalah usia diatas 70 tahun yaitu 12 orang atau (38,7%).

Tabel 6 Karakteristik Responden berdasarkan Jenis Kelamin Posyandu Gejawan Kulon dan Posyandu

Gejawan Wetan

Jenis Kelamin

Posyandu

Gejawan Kulon

Gejawan Wetan

Perempuan 32(100%) 25(78,1)

Laki-laki 0(0%) 7(22,9)

Jumlah 32(100%) 32(100%)

Berdasarkan tabel 6 diatas, baik Gejawan Kulon maupun Gejawan Wetan sebagian besar responden berjenis kelamin perempuan yaitu 32 orang (100,0%) untuk Gejawan Kulon dan 25 orang (78,1%) untuk Gejawan Wetan.

Tabel 4. Data Karakteristik Kader berdasarkan Keikutsertaan Pelatihan-Pelatihan di Posyandu

Gejawan Kulon dan Gejawan Wetan

Tabel 7 Karakteristik Responden berdasarkan Pendidikan Posyandu Gejawan Kulon dan

Posyandu Gejawan Wetan

Berdasarkan tabel 7 diatas, baik Gejawan Kulon maupun Gejawan Wetan tingkat pendidikan responden paling banyak adalah SD yaitu 50,0% dan 43,7% untuk Gejawan Wetan.

Tabel 8 Karakteristik Responden berdasarkan Pekerjaan Posyandu Gejawan Kulon dan Posyandu

Gejawan Wetan

Pekerjaan

Posyandu

Gejawan Kulon

Gejawan Wetan

IRT 16 (50,0%) 19 (59,4%)

Pedagang 2 (6,2%) 2 (6,2%)PNS/pensiun 1 (3,1%) 2 (6,2%)

Petani 2 (6,2%) 4 (12,5%)

Buruh 0 (0%) 1 (3,1%)

Swasta 0 (0%) 1 (3,1%)

Sopir 0 (0%) 1 (3,1%)

Tidak kerja 11 (34,3%) 2 (6,2%)

Jumlah 32(100%) 32(100%)

Berdasarkan tabel 8 diatas, baik Gejawan Kulon maupun Gejawan Wetan paling banyak adalah responden yang memiliki pekerjaan sebagai ibu rumah tangga yaitu 50,0% untuk Gejawan Kulon dan 59,4% untuk Gejawan Wetan.

Berikut hasil pemeriksaan status intelegensia lansia sebelum dilakukan intervensi yang dilakukan oleh kader posyandu Gejawan Kulon dan Gejawan Wetan.

Tabel 9 Status Responden Sebelum dan Setelah Intervensi di Posyandu Gejawan Kulon dan

Posyandu Gejawan Wetan

7Wahyu Ratna, dkk, Pemberdayaan Kader Dalam Penanggulangan Masalah....

Kategori

Posyandu

Gejawan Kulon

Gejawan Wetan

Tidak 1 (3,1%) 3 (9,4%)

Ya 31 (96,9%) 29 (90,6%)

Jumlah 32(100%) 32(100%)

Berdasarkan Tabel 9 diatas, bahwa status intelegensia lansia di Posyandu Gejawan Kulon sebelum diberi perlakuan sebagian besar ada pada status Sedang yaitu 65,6% dan kemudian mengalami mengalami kenaikan setelah diberi perlakuan pada status normal-ringan yaitu 62,5%. Sedangkan untuk Posyandu Gejawan Wetan pada penialain pertama didominasi oleh lansia dengan status intelegensia normal-ringan dengan 53,1% dan pada penilaian kedua mengalami penurunan pada status normal-ringan menjadi 50,0%.

Berikut ini adalah tabel kegiatan setelah diberikan perlakuan berupa kegiatan fisik, sosial, dan agama.

Tabel 10 Hasil Kegiatan Responden Setelah Intervensi di Posyandu Gejawan Kulon dan

Posyandu Gejawan Wetan

Berdasarkan Tabel 10 diatas, hasil kegiatan responden setelah intervensi sebagian besar melakukan kegiatan social dan keagamaan, baik di Posyandu Gejawan Wetan maupun Gejawan Kulon.

PEMBAHASAN

1. Karakteristik Responden

Hasil penelitian terhadap 64 responden di Posyandu Gejawan Wetan dan Gejawan Kulon menunjukkan bahwa karakteristik responden berdasarkan jenis kelamin lebih banyak berjenis kelamin perempuan. Hal ini sesuai dengan komposisi penduduk lansia di Indonesia yang menunjukkan bahwa proporsi penduduk lansia

5perempuan lebih banyak dibandingkan laki-laki.

Karakterisik lansia berdasarkan kelompok umur paling banyak adalah lansia dengan kelompok umur lanjut usia yaitu usia 60-69 tahun. Penelitian ini sesuai dengan data BPS (2014) yang menunjukkan bahwa jumlah lansia paling banyak adalah lansia dengan rentang umur 60-69 tahun yaitu 60,93%.

Hasil peneltitian yang dilakukan, pendidikan lansia di Posyandu Gejawan Wetan dan Gejawan Kulon yang paling besar yaitu lansia yang tamat SD. Hal tersebut dikarenakan pada zaman dahulu sewaktu para lansia muda mereka dilarang untuk sekolah, sehingga para lansia terpaksa tidak sekolah.

Berdasarkan hasi l penel i t ian di atas,

menunjukkan bahwa paling banyak responden memiliki pekerjaan sebagai ibu rumah tangga (IRT). Hal ini dikarenakan sebagian besar responden berjenis kelamin perempuan, sehingga pekerjaan yang dominan adalah IRT.

2. Tingkat intelegensia lansia

Tingkat intelegensia pada lanjut usia ini dipengaruhi oleh beberapa hal, antara lain adalah jenis kelamin. Angka terjadinya demensia cenderung lebih tinggi pada wanita daripada pria di

6semua kelompok umur. Kemungkinan prevalensi wanita lebih berisiko mengalami demensia karena usia harapan hidup wanita lebih lama daripada

7pria. Sejatinya diagnostic gangguan mental adalah sama untuk semua jenis kelamin, namun perempuan lebih rentan terkena gangguan mental karena disebabkan oleh perubahan hormonal dan perbedaan karakteriristik antara laki-laki dan perempuan, selain perubahan hormonal, k a r a k t e r i s t i k p e r e m p u a n y a n g l e b i h mengedepankan emosional daripada rasional juga berperan . Ke t i ka menghadap i masa lah

8perempuan cenderung menggunakan perasaan .

Ha l la in yang mempengaruh i t ingkat intelegensia lansia adalah usia. Individu yang berusia lebih tua akan lebih cenderung mengalami

6demensia. Usia yang paling banyak menderita depresi adalah lansia yang berumur lebih tua atau ≥70 tahun, dikarenakan semakin tua usia seseorang maka akan semakin lemah, baik kondisi fisik maupun mentalnya sehingga akan lebih mudah terjadi gangguan mental emosional dan

8penyakit-penyakit lainnya.

Ditinjau dari tingkat pendidikannya, lebih banyak responden yang tamat SD. Manusia memiliki kemampuan belajar seumur hidup (long study), sehingga lansia yang memiliki pengalaman belajar lebih tinggi akan memiliki banyak pengetahuan

9tentang kesehatan. Seseorang yang memiliki tingkat pengetahuan tinggi memiliki factor pelindung dari demensia, tetapi hanya untuk menunda onset manifestasi klinisnya saja. Hal ini disebabkan karena edukasi berhubungan erat dengan tingkat pendidikan yang tinggi.

Dilihat dari pekerjaannya, pekerjaan yang menekankan kemampuan berpikir memiliki pengaruh yang besar terhadap neuropatologi gangguan fungsi kognitif dibandingkan pekerjaan

10yang menekankan kekuatan otot.

3. Pengaruh Pelatihan Peningkatan Intelegensia oleh Kader Terhadap Peningkatan Intelegensia Lansia.

Kelompok kontrol dan kelompok perlakuan yang digunakan merupakan dua posyandu yang berasal dari dua daerah yang berdekatan dan masih dalam satu naungan Puskesmas yang

8 Jurnal Teknologi Kesehatan, Volume 13, Nomor 1, Maret 2017, hlm.5-11

Tabel 11 Paired Samples Statistics

Mean NStd.

DeviationStd. Error Mean

Pair 1

Pre 1.4688 32 .50701 .08963

Post 1.5000 32 .50800 .08980

Dari tabel 11 diketahui bahwa ada perbedaan pada hasil penilaian pertama dan kedua, namun tidak signifikan yaitu 1,4 menjadi 1,5 dengan kata lain mengalami kenaikan dengan index 0,1. Sama halnya dengan hasil T-Test berikut

sama, dan kegiatan yang dilakukan sudah mencakup sistim 5 meja, namun kader dari kelompok kontrol (Posyandu Gejawan Wetan) memiliki pengalaman menjadi kader yang lebih lama dan memiliki pengalaman pelatihan yang lebih banyak dibandingkan kelompok perlakuan (Posyandu Gejawan Kulon). Kader dalam posyandu lansia memiliki peranan yang sangat penting dalam mengupayakan cakupan dalam kegiatan promosi kesehatan bagi lansia dan berpengaruh pada kesehatan biologis, psikologis,

11social dan lingkungan.

Distr ibusi hasi l pelat ihan peningkatan intelegensia oleh kader terhadap peningkatan intelegensia lansia di Posyandu Gejawan Wetan

sebagai kelompok Kontrol dan Posyandu Gejawan Kulon sebagai Kelompok Perlakuan.

a. Kelompok Kontrol (Posyandu Gejawan Wetan)

Paired Differences

t DfSig. (2-

tailed)MeanStd.

Deviation

Std. Error Mean

95% Confidence Interval of the

Difference

Lower Upper

Pair 1 pre –post wetan

-.03125 .59484 .10515 -.24571 .18321 -.297 31 .768

Tabel 12 Paired Samples Test (T Test)

Dari tabel 12 diketahui bahawa tidak ada perbedaan signifikan pada penilaian pertama dan kedua dibuktikan dengan hasil 0,768.

b. Kelompok Perlakuan (Posyandu Gejawan Kulon)

Mean NStd.

Deviation

Std. Error

Mean

Pair 1pre kulon 1.7188 32 .52267 .09240

post kulon 1.4062 32 .55992 .09898

Tabel 13 Paired Samples Statistics

Dari tabel 13 diketahui terdapat perbedaan pada hasil penilaian pertama dan kedua yaitu dari 1,7 menjadi 1,4 dengan kata lain mengalami penurunan dengan index 0,3 hal ini juga dibuktikan dengan hasil T-Test berikut :

Paired Differences

t dfSig. (2-tailed)Mean

Std. Deviatio

n

Std. Error Mean

95% Confidence Interval of the

Difference

Lower Upper

Pair 1

pre kulon - post kulon

.31250 .47093 .08325 .14271 .48229 3.754 31 .001

Tabel 14 Paired Samples Test

Tabel 14 menunjukkan bahwa terdapat perbedaan pada penilaian pertama dan kedua yaitu dengan hasil 0,001

9Wahyu Ratna, dkk, Pemberdayaan Kader Dalam Penanggulangan Masalah....

Tabel 15 Independent Samples Test

Levene's Test for Equality of

Variancest-test for Equality of Means

F Sig. T dfSig. (2-tailed)

Mean Differenc

e

Std. Error Difference

95% Confidence Interval of the

Difference

Lower Upper

VAR00001

Equal variances assumed

1.158 .286 1.942 62 .057 .25000 .12872 -.00732 .50732

Equal variances

not assumed1.942 61.943 .057 .25000 .12872 -.00732 .50732

c. Perbedaan Varian antara kelompok Kontrol dan kelompok perlakuan

Dari tabel 15 diketahui perbandingan varian antara 2 kelompok yaitu kelompok kontrol dan kelompok perlakuan 0,28 dimana varian dari kedua kelompok dalam kondisi yang berbeda.

Dari hasil uji T-Test (tabel 12 dan 14) dapat diketahui bahwa pada kelompok perlakuan mengalami perbedaan antara sebelum dan sesudah, hal ini menunjukkan bahwa pelatihan peningkatan intelegensia oleh kader berpengaruh terhadap peningkatan status intelegensia lansia. Hal tersebut dikarenakan pelatihan dapat menstimulasi otak lansia, Senam otak yang dilakukan seminggu tiga kali dapat memperbaiki fungsi memori dan kemampuan bahasa tetap bagus. Kegiatan atau pelatihan yang dapat dilakukan pada lansia untuk menstimulasi otak antara lain aktifitas fisik, social, spiritual, otak. Aktifitas-aktifitas ini dapat menstimulasi fungsi kognitif dan memper lambat te r jad inya kep ikunan, menurunkan depresi dan stress. Hal ini didukung oleh hasil dari tabel 11 yang menunjukkan bahwa pada kelompok perlakuan memiliki presentase melakukan kegiatan social dan keagamaan yang di lingkungan

3lebih besar dibandingkan kelompok kontrol.

Aktifitas fisik juga berpengaruh dalam peningkatan intelegensi lansia Senam lansia atau aktifitas fisik mampu menghindari penurunan daya otot yang bermanfaat pada perbaikan fungsi organ tubuh serta dapat menstimulasi rasa senang dan bugar yang lebih

12cepat.

Ada hubungan antara fungsi kognitif dengan kemampuan interaksi sosial dia menunjukkan bahwa responden yang mempunyai fungsi kognitif baik dengan kemampuan interaksi sosial baik cenderung lebih banyak dibandingkan dengan yang lainnya. Seseorang yang berpartisipasi secara aktif dalam berinteraksi sosial dengan baik seperti kontak mata dan mempunyai keterikatan emosional dengan teman dekat atau ikut serta dalam meberikan respon terhadap suatu situasi yang santai atau mempunyai fungsi kognitif yang baik. Sedangkan seseorang yang tidak mau berinteraksi sosial dengan baik dan tidak

mampu beradaptasi dengan perubahan sosial akan menimbulkan reaksi setres dimulai dengan meningkatnya produksi glukokortikoid dan ini berpengaruh terhadap hipotalamus dan secara perlahan akan mempengaruhi fungsi kognitifnya. Dalam hal ini responden melakukan kegiatan sosial di Desa bersama dengan kader, kader tersebut berasal dari warga sekitar yang merupakan teman dan tetangga, sehingga interaksi sosial dapat berjalan baik seperti bermain congklak bersama sama dengan

13senang.

KESIMPULAN

1. Karakteristik lansia yaitu umur baik pada kelompok posyandu Gejawan Kulon maupun Wetan sebagian besar pada kelompok umur antara 60 sampai dengan 69 tahun. Paling banyak adalah perempuan pekerjaan IRT dan berpendidikan SD.

2. Tingkat intelegensia para lansia pada penilaian kedua di kelompok perlakuan lebih banyak yang normal-ringan sedangkan kelompok kontrol hasilnya sama antara normal-ringan dan sedang.

3. Pengaruh pelatihan peningkatan intelegensia oleh kader terhadap peningkatan intelegensia lansia mengalami penurunan pada jumlah lansia yang mengalami penurunan intelegensi di kelompok perlakuan dan peningkatan jumlah lansia yang mengalami penurunan intlegensi pada kelompok kontrol.

SARAN

1. Bagi perawat Puskesmas

Dapat memberikan pelayanan kepada lansia dengan melatih kader kader lansia yang lebih banyak lagi tentang peningkatan memori lansia secara sederhana.

2. Bagi Kader

Kader posyandu lansia dapat terus melakukan deteksi dini dan memberikan latihan sederhana kepada lansia agar mampu berlatih sendiri di rumah.

3. Bagi Puskesmas

10 Jurnal Teknologi Kesehatan, Volume 13, Nomor 1, Maret 2017, hlm.5-11

7. J a p a r d i . 2 0 0 2 . P e n y a k i t A l z h e i m e r . http:// l ibrary.usu.ac.id/download/fk/bedah-iskandar%20japardi38.pdf.

8. Marini. (2008). Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kejadian depresi pada usia lanjut di poli geriatri RSU Ciptomangunkusumo tahun 2006-2008. Tesis. lib.fkm.ui.ac.id/file?file=pdf/metadata-65063.pdf

9. Rini, M. 2002. Pendekatan-Pendekatan dalam K a t e g o r i L a n j u t U s i a . h t t p : / / e -psikologi.com/epsi/lanjutusia_detail.asp?id=179

10. Mongisidi, Rachel. 2012. Profil Penurunan Fungsi Kognitif Pada Lansia Di Yayasan-Yayasan Manula D i K e c a m a t a n K a w a n g k o a n . S k r i p s i . http://ejournal.unsrat.ac.id./index.php/eclinic/article/download/3297/2840

11. Setyoadi, Ahsan, Abidin. 2013. Hubungan Peran Kader Kesehatan Dengan Tingkat Kualitas Hidup Lanjut Usia .Skripsi. Malang: Universitas Brawijaya.

12. Aisah,Siti. 2014. Pengaruh Senam Lansia Terhadap Aktifitas Sehari-hari pada Lansia di Desa Mi jen Ungaran Ke lu rahan Gedanganak Kecamatan Ungaran Timur. Skripsi. Ungaran : STIKES Ngudi Waluyo Ungaran.

13. Rosita, dwi. 2012 Hubungan Antara Fungsi Kognitif dengan Kemampuan Interaksi Sosial pada Lansia di Kelurahan Mandan Wilayah Kerja Puskesmas Sukoharjo. Skripsi. Surakarta: Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Pimpinana Puskesmas dapat memberikan pelayanan yang lebih kepada lansia terutama menangani masalah intelegensianya, misalnya melalui anggaran untuk membeli alat permainan sederhana .

4. Bagi Lansia

Untuk lebih mandiri selalu melakukan pelatihan memori di rumah.

DAFTAR PUSTAKA

1. Dinas Kesehatan DIY. 2013. Profil Kesehatan DIY. Yogyakarta.

2. Dinas Kesehatan Kabupaten Sleman, 2014, Profil Kesehatan Kabupaten Sleman Tahun 2014. Sleman.

3. Turana.Y. 2013. Stimulasi Otak Pada Kelompok Lansia di Komunitas. Buletin Jendela Data & Informasi Kesehatan. Kemenkes RI. Semester I, Jakarta.

4. Rimbawani A, 2014. Pemberdayaan Kader Dalam P e n a n g g u l a n g a n M a s a l a h K e s e h a t a n Intelegensia pada Lansia akibat Gangguan Degeneratif, Laporan Perawat Puskesmas Berprestasi Puskesmas Gamping I, Sleman 2014.

5. BPS. (2014). Statistik Penduduk Lanjut Usia 2014 Hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional. Jakarta : Badan Pusat Statistik.

6. Rocca. 2004 dalam Adnan. 2010. Gambaran Demensia pada Lansia di Panti Sosial Tresna Werdha Budi Luhur Kasongan Bantul. KTI. Yogyakarta: Poltekkes Kemenkes Yogyakarta.

11Wahyu Ratna, dkk, Pemberdayaan Kader Dalam Penanggulangan Masalah....

SIFOEDT (SIMPLE FOOT ELEVATOR FOR DIABETIC ULCER TREATMENT)

Abdul Majid*, Agus Sarwo Prayogi, Surantono, Sri Hendarsih

Jurusan Keperawatan Poltekkes Kemenkes Yogyakarta*Email : [email protected]

ABSTRACK

In the world, the number of people with diabetes is estimated to 171 million people and is predicted to reach 366 million in 2025. The increase in DM patients, the diabetic ulcer complications have also increased, which is about 15% suffer from ulcers in the legs, and 12-14% including foot ulcers require amputation. The results of field studies showed that treatment of diabetic ulcers in hospitals prior to this innovation is to drape the foot side of the bed; stuck in bed with the coated; placed on crooked, and there are propped up with plastic basin. This causes the treatment time becomes longer, discomfort, fatigue and difficult during treatment of diabetic ulcers. Objective: Creating a tool that can be used for treatment of diabetic ulcers more effectively and efficiently, that is SIFOEDT (Simple Foot Elevator for Diabetic Ulcer Treatment). Methods: Quasi-experimental, with pre and post test without control group design, with a sample size of 30 respondents consisting of 15 respondents at Sleman District Hospital and 15 respondents at Panembahan Senopati Hospital, Bantul. Sampling Technique used consecutive sampling. Results: Mean of ulcer treatment before using Sifoedt was 18.09 minutes, and after using Sifoedt was 12.62 minutes. Before using Sifoedt, majority (80%) said less comfortable, while after using Sifoedt majority (90%) said comfortable. The level of fatigue patients before using Sifoedt showed majority (86.7 %%) said fatigue, while after using Sifoedt majority (93.3%) said no fatigue. Conclusions: There are significant differences of diabetic ulcer treatment time before and after using Sifoedt (p = 0.000). There are significant differences in comfort of patients before and after using Sifoedt (p = 0.000). And there are significant differences in fatigue before and after using Sifoedt (p = 0.000).

Keywords : Sifoedt, Diabetic Ulcers, Care And Comfort

ABSTRAK

Di dunia, jumlah penderita DM diperkirakan 171 juta jiwa dan diprediksi akan tmeningkat mencapai 366 juta jiwa Tahun 2025. Peningkatan penderita DM, maka komplikasi ulkus diabetikum juga semakin meningkat, yaitu sekitar 15% menderita ulkus di kaki, dan 12-14% ulkus di kaki diantaranya memerlukan amputasi. Hasil kajian lapangan menunjukan bahwa perawatan ulkus diabetik di beberapa rumah sakit sebelum adanya inovasi ini adalah dengan menggantungkan kaki disisi tempat tidur; menempel ditempat tidur dengan dilapisi pengalas; ditempatkan di atas bengkok, serta ada yang diganjal dengan baskom plastik. Hal ini menyebabkan waktu perawatan menjadi lebih lama, tidak nyaman, kelelahan dan kesulitan saat melakukan perawatan ulkus diabetik. Tujuan dari penelitian ini adalah Menciptakan alat yang dapat digunakan untuk melakukan perawatan ulkus diabetik supaya lebih efektif dan efisien yang diberi nama SIFOEDT (Simple Foot Elevator for Diabetic Ulcer Treatment). Metode penelitian ini adalah Quasi eksperimen dengan rancangan Pre and Post Test Without Control Design, dengan besar sampel 30 responden yang terdiri dari 15 responden di RSUD Sleman dan 15 Responden di RSUD Panembahan Senopati Bantul. Pengambilan sampel secara consecutive sampling. Hasil penelitian ini diketahui rata-rata perawatan ulkus sebelum menggunakan Sifoedt 18,09 menit, dan sesudah menggunakan Sifoedt menjadi 12,62 menit. Kenyamanan pasien sebelum menggunakan Sifoedt sebagian besar (80%) mengatakan kurang nyaman, sedangkan setelah menggunakan Sifoedt mayoritas (90%) mengatakan nyaman. Tingkat kelelahan pasien sebelum menggunakan Sifoedt sebagian besar (86,7%%) mengatakan kelelahan, sedangkan sesudah menggunakan Sifoedt sebagian besar (93,3%) mengatakan tidak kelelahan. Kesimpulan dari penelitian ini adalah terdapat perbedaan yang signifikan waktu perawatan ulkus diabetik sebelum dan sesudah menggunakan Sifoedt (p=0,000). terdapat perbedaan yang signifikan kenyamanan pasien sebelum dan sesudah menggunakan Sifoedt (p=0,000). Dan terdapat perbedaan yang signifikan tingkat kelelahan pasien sebelum dan sesudah menggunakan Sifoedt (p=0,000).

Kata Kunci : Sifoedt, Ulkus Diabetik, Perawatan dan Kenyamanan.

PENDAHULUAN

Diabetes Melitus (DM) adalah suatu sindroma klinis kelainan metabolik, ditandai oleh adanya hiperglikemik yang disebabkan oleh defek sekresi

insulin, defek kerja insulin atau keduanya. Di dunia, jumlah penderita DM diperkirakan sebanyak 171 juta jiwa dan keadaan ini diprediksi akan terus meningkat

1 mencapai 366 juta jiwa pada tahun 2025 . DM sering disertai berbagai komplikasi jangka pendek maupun

panjang, komplikasi ini menyebabkan meningkatnya angka morbiditas, mortalitas, dan penurunan kualitas

2hidup.

Menurut American Diabetes Associat ion , diperkirakan 16 juta orang Amerika Serikat diketahui menderita diabetes, dan jutaan diantaranya beresiko

2untuk menderita diabetes . Dari keseluruhan penderita diabetes, 15% menderita ulkus di kaki, dan 12-14% dari yang menderita ulkus di kaki memerlukan

kasus baru dimana pasien ulkus diabetik dengan infeksi baru pertama kali diperiksa, maka perawatan ulkus diabetik membutuhkan waktu antara 60 menit sampai 90 menit. Alat yang digunakan untuk membantu perawatan ulkus diabetik sebagai ganjal kaki menggunakan baskom yang dibalik.

Salah satu tindakan yang dapat dilakukan perawat di lapangan adalah melakukan tindakan elevasi ekstremitas bawah pada pasien diabetes melitus dengan ulkus setiap kali pasien mobilsiasi >15 menit. Elevasi dapat dilakukan dengan alat khusus elevasi ekstremitas bawah atau menggunaan sumber daya yang ada seperti tumpukan bantal atau selimut untuk

6menopang pangkal paha.

Tujuan dari penelitian ini adalah unutk membuat inovasi alat yang dapat digunakan untuk melakukan perawatan ulkus diabetik supaya lebih efektif dan efisien yang diberi nama SIFOEDT (Simple Foot Elevator for Diabetic Ulcer Treatment). Tujuan khusus dari penelitian ini adalah untuk membuktikan bahwa SIFOEDT (Simple Foot Elevator for Diabetic Ulcer Treatment) dapat mempercepat waktu perawatan ulkus diabetik; kenyamanan kepada pasien saat dilakukan perawatan ulkus diabetik, mengurangi tingkat kelelahan pasien saat dilakukan perawatan ulkus diabetik dan memberikan kemudahan kepada perawat saat melakukan perawatan ulkus diabetik.

METODE

Jenis penelitian ini adalah quasi eksperimen, dengan rancangan Pre and Post Test Without Control Design. Besar sampel sebanyak 30 responden dengan kriteria inklusi yaitu pasien DM dengan komplikasi ulkus diabetik di area ekstremitas bawah yang dilakukan perawatan ulkus diabetik baik di Poliklinik bedah yang terdiri dari 15 responden di RSUD Sleman dan 15 Responden di RSUD Panembahan Senopati Bantul. Teknik ngambilan sampel dengan teknik consecutive sampling.

Analisis data menggunakan analisis uji t sampel terikat atau paired t-test untuk data numerik dan Wilcoxon untuk data kategorik, dengan tingkat kemaknaan (α=0,05) atau CI=95%.

Tabel 1. Distribusi Responden berdasarkan Umur, Jenis Kelamin, Pekerjaan dan Pendidikan (n=30)

amputasi. Insiden ulkus diabetik 2-3% dan prevalensi 4-10%, pria lebih sering dari wanita. Distribusi usia jarang dijumpai pada usia 40-49 tahun dan terbanyak pada usia di atas 60 tahun.

Seiring dengan peningkatan jumlah penderita DM, maka komplikasi yang terjadi juga semakin meningkat, satu diantaranya adalah ulserasi yang mengenai tungkai bawah, dengan atau tanpa infeksi dan menyebabkan kerusakan jaringan di bawahnya

3yang selanjutnya disebut dengan kaki diabetes (KD).

Kaki diabetik merupakan masalah yang kompleks dan menjadi alasan utama mengapa penderita DM menjalani perawatan di rumah sakit yang selama rawatan membutuhkan biaya sangat mahal dan sering tidak terjangkau oleh kebanyakan masyarakat

4umum.

Penderita DM akan mengalami ulkus pada kaki kurang lebih 15%. Kejadian diabetik dari berbagai populasi berkisar 2-10%. Neuropati, kelainan bentuk tekanan pada kaki yang terlalu tinggi, rendahnya kontrol glukosa darah, lama menderita DM merupakan faktor-faktor penyebab terjadinya ulkus

4diabetik.

Polineuropati distal adalah salah satu prediktor yang paling penting terjadinya ulkus diabetik dan amputasi. Perkembangan neuropati dapat ditunda secara signifikan dengan mempertahankan kadar glikemik sampai mendekati normal, dan berhenti merokok untuk mengurangi risiko komplikasi penyakit

5pembuluh darah.

Hasil kajian lapangan menunjukan bahwa perawatan ulkus diabetik yang dilakukan oleh perawat di beberapa rumah sakit sebelum adanya inovasi ini diantaranya adalah kaki yang mengalami ulkus diupayakan menggantung disisi tempat tidur; atau tetap menempel menempel ditempat tidur dengan dilapisi pengalas; atau ditempatkan di atas bengkok, serta ada yang diganjal dengan baskom plastik dan sebagainya. Hasil wawancara dengan perawat yang bekerja di unit perawatan ulkus diabetik RSUP DR. Sard j i t o , un tuk pe rawatan u l kus d iabe t i k menghabiskan waktu cukup lama yaitu antara 20 – 60 menit untuk setiap pasiennya, bahkan untuk kasus-

HASIL DAN PEMBAHASAN

13Abdul Majid, dkk, SuraSifoedt (simple Foot Elevator For Diabetic Ulcer Treatment)

Tabel 2. Rata-Rata Lama Waktu Perawatan Ulkus Diabetik Sebelum dan Sesudah Menggunakan SIFOEDT

Tabel 3. Tingkat Kenyamanan Pasien dalam Perawatan Ulkus Diabetik Sebelum dan Sesudah Menggunakan SIFOEDT

Tabel 4. Tingkat Kelelahan Pasien Saat Dilakukan Perawatan Ulkus Diabetik Sebelum dan Sesudah Menggunakan SIFOEDT

Tabel 5. Tingkat Kemudahan Perawat dalam Perawatan Ulkus Diabetik Sebelum dan Sesudah Menggunakan Sifoedt (N=6)

1. Tingkat kenyamanan

Berdasarkan tabel 3, sebelum menggunakan sifoedt, sebagian besar mengatakan kurang nyaman yaitu sebanyak 80%. Sedangkan setelah menggunakan sifoedt sebagian besar responden mengatakan nyaman yaitu 90%. Hasil uji statistik diperoleh nilai p=0,000, yang artinya terdapat pengaruh yang signifikan penggunaan sifoedt sebelum dan sesudah perawatan ulkus diabetik.

Kenyamanan responden muncul oleh karena alat ini dibuat ergonomis dan permukaan halus, sehingga nyaman untuk digunakan. Disamping itu, kenyamanan ini dipengaruhi juga oleh waktu perawatan dimana rata-rata perawatan ulkus diabetik sebelum menggunakan sifoedt adalah 18,07 menit dan sesudah menggunakan sifoedt cukup memerlukan waktu 12,63 menit. Hal ini sesuai dengan teori dari Seeley, bahwa meninggikan (elevasi) kaki sedikit lebih tinggi dari jantung dapat meningkatkan dan melancarkan

6aliran darah balik sehingga tidak terjadi edema .

Waktu perawatan ulkus yang lebih cepat dapat mengurangi kelelahan pasien, sehingga pasien merasa nyaman. Rasa kelelahan menyebabkan sensasi nyeri semakin intensif dan menurunkan kemampuan koping sehingga meningkatkan

8persepsi nyeri.

Tindakan lain yang dapat mendukung yaitu sebaiknya dilakukan elevasi ekstremitas bawah. Elevasi ektremitas bawah merupakan salah satu tindakan manajemen perawatan ulkus diabetik. Elevasi ekstrimitas bawah bertujuan melancarkan aliran darah sehingga dapat menuju ke perifer pada daerah ulkus diabetik dan agar tidak terjadi penumpukkan di daerah distal ulkus. Perfusi jaringan perifer yang maksimal akan mempercepat penyembuhan ulkus. Hasil penelitian Sulistyowati, menunjukkan elevasi ektremitas bawah lebih efektif terhadap proses penyembuhan ulkus diabetik dibandingkan dengan yang tidak

8melakukan elevasi ekstrimitas bawah.

Kenyamanan pas ien saa t d i l akukan

14 Jurnal Teknologi Kesehatan, Volume 13, Nomor 1, Maret 2017, hlm. 12-16

12mendatar.

Berdasarkan hasil penelit ian, rata-rata perawatan ulkus diabetik sebelum menggunakan sifoedt adalah 18,07 menit dan sesudah menggunakan sifoedt cukup memerlukan waktu 12,63 menit, sehingga relatif lebih cepat dengan menggunakan Sifoedt. Apalagi terdapat 40% responden berusia 60 tahun atau lebih. Menurut Muchinsky, selain karena waktu yang lebih lama, faktor penyebab kelelahan adalah faktor usia, dimana kebutuhan zat tenaga terus meningkat

9sampai akhirnya menurun pada usia 40 tahun . Berkurangnya kebutuhan zat tenaga tersebut dikarenakan telah menurunnya kekuatan fisik sehingga kegiatan yang bisa dilakukan biasanya

9juga berkurang dan lebih lamban.

Kelelahan dapat disebabkan oleh banyak faktor salah satunya adalah faktor ergonomi. Dalam melakukan pekerjaan diperlukan posisi kerja yang tepat untuk mengurangi kelelahan dan mencegah terjadinya cedera di dalam bekerja. Salah satu kelelahan yang dapat muncul adalah kelelahan otot, dimana kelelahan otot merupakan kelelahan yang disebabkan akibat aktivitas fisik yang terlalu

10lama dan banyak.

D a l a m h a l i n i p o s i s i k a k i s e b e l u m menggunakan Sifoedt, dimana posisi pasien berbaring dengan posisi kaki lurus, ujungnya diganjal dengan bengkok atau waskom yang dibalik merupakan posisi perawatan ulkus yang kurang tepat dan menambah resiko cedera. Menurut Wijaya, sikap atau posisi kerja yang kurang tepat, canggung dan diluar kebiasaan akan menambah resiko cidera pada bagian muskulo

11skeletal . Sikap kerja yang sering dilakukan oleh manusia dalam melakukan pekerjaan antara lain berdiri, duduk, membungkuk, jongkok, berjalan dan lain-lain. Jika kondisi sistem kerjanya yang tidak sehat akan menyebabkan kecelakaan kerja, karena pekerja melakukan pekerjaan yang tidak aman. Sikap kerja yang salah, canggung dan diluar kebiasaan akan menambah resiko cidera pada

12bagian muskuloskeletal.

Oleh karena itu, dengan perawatan ulkus diabetik dengan menggunakan Sifoedt sebagai upaya penerapan prinsip-prinsip ergonomi dalam bekerja yang bertujuan dan manfaat dari penerapan ergonomi adalah upaya untuk mencegah cedera akibat kerja, menurunkan beban kerja fisik dan mental, mengurangi kelelahan setelah bekerja.

3. Tingkat kemudahan dalam perawatan ulkus diabetik

Berdasarkan hasil penelitian pada perawat yang melakukan perawatan ulkus diabetik, dari 6 orang perawat setelah melakukan perawatan

perawatan ulkus diabetik dapat disebabkan oleh sifat ergonomi dari Sifoedt, dimana dapat mengurangi beban kerja dan kelelahan kerja. Dengan menggunakan prinsip ergonomi, dapat berperan dalam memaksimalkan kenyamanan,

10keamanan dan efisiensi dalam pekerjaan.

Posisi ergonomis panjang kaki yang dimaksud adalah dimana Sifoedt didesain atau dirancang menyesuaikan dengan posisi kaki dan tinggi permukaan tubuh, sehingga kaki dapat terentang sedikit elevasi dengan ketinggian permukaan 10 cm meningkat sampai ketinggian permukaan bagian belakang 15 cm. Dengan demikian .dapat memberikan alas kaki yang berfungsi sebagai bantalan atau penahan.

Ergonomi sebagai ilmu yang mempelajari perilaku manusia dalam kaitannya dengan pekerjaan dan dapat dikatakan sebagai ergonomik yaitu penyesuaian tugas pekerjaan dengan kondisi tubuh untuk menurunkan stress yang akan d ihadapi . Upayanya antara la in berupa menyesuaikan ukuran tempat kerja dengan dimensi tubuh agar tidak melelahkan dan sesuai dengan kebu tuhan manus ia . E rgonomi merupakan praktek dalam mendesain peralatan dan rincian pekerjaan sesuai dengan kemampuan pekerja yang bertujuan untuk mencegah cidera

11pada pekerja atau pasien.

Elevasi ekstremitas bawah bertujuan agar sirkulasi perifer tidak menumpuk di area distal

4ulkus sirkulasi dapat dipertahankan.

Elevasi ekstremitas bawah dilakukan setelah pasien beraktivitas atau turun dari tempat tidur. Saat turun dari tempat tidur, walaupun kaki tidak dijadikan sebagai tumpuan, namun akibat efek gravitasi menyebabkan aliran darah akan cenderung menuju perifer terutama kaki yang mengalami ulkus. Elevasi ekstremitas bawah

4dilakukan untuk mengatasi efek tersebut.

2. Tingkat kelelahan

Tingkat kelelahan responden dipengaruhi oleh lamanya waktu. Lamanya waktu perawatan dipengaruhi oleh tingkat kesulitan dan kondisi luka.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa 86,7% responden mengalami kelelahan saat dilakukan perawatan sebelum menggunakan Sifoedt sedangkan sesudah menggunakan Sifoedt sebagian besar mengatakan tidak mengalami kelelahan (93,3%). Kelelahan ini bersifat akut dengan tipe kelelahan mental yang terjadi pada a k t i fi t a s t u b u h t e r u t a m a y a n g b a n y a k menggunakan otot. Hal ini disebabkan karena saat pasien dilakukan perawatan ulkus, suatu organ atau seluruh tubuh bekerja secara terus menerus dan berlebihan karena aktivitas yang monoton dengan tidur terlentang dengan posisi kaki

15Abdul Majid, dkk, SuraSifoedt (simple Foot Elevator For Diabetic Ulcer Treatment)

DAFTAR PUSTAKA

1. Smeltzer, S. & Bare, B, 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Vol 2. Edisi 8. Jakarta : EGC.

2. American Diabetes Association, 2007. Diagnosis and classification of diabetes mellitus. Diabetes Care

3. Apelqvist J, Bakker K, van Houtum WH, Schaper NC, 2008. Practical guidelines on the management and prevention of the diabetic foot: based upon the International Consensus on the Diabetic Foot. Prepared by the International Working Group on the Diabetic Foot. Diabetes Metab Res Rev.

4. Frykberg RG, et al. 2006. Diabetic foot disorders: a clinical practice guideline. J Foot Ankle Surg 45(Suppl. 5):S1–S66, 2006 [ ]PubMed

5. Amer i can D iabe tes Assoc ia t i on . 2003 . Preventative foot care in people with diabetes. Diabetes Care 26 (Suppl. 1):S78–S79.

6. Wulandari, I., Yetti, K, dan Hayati, T.S. 2010. Pengaruh Elevasi Ekstremitas Bawah Terhadap Proses Penyembuhan Ulkus Diabetik. Jakarta.

7. Seeley, T.D. D.R. Tarpy, S.R. Griffin, A. Carcione, and D.A. Delaney. 2015. A survivor population of wild colonies of European honeybees in the northeastern United States: investigating its genetic structure. Apidologie 46:654-666.

8. Pot ter, P.A, Perry, A.G.2005. Buku Ajar Fundamental Keperawatan : Konsep, Proses, Dan Praktik.Edisi 4.Volume 1.Alih Bahasa : Yasmin Asih, dkk. Jakarta : EGC.

9. Sulistyowati, D. A. 2015. Efektivitas Elevasi Ektrimitas Bawah Terhadap Proses Penyembuhan Ulkus Diabetik di Ruang Melati RSUD Dr. Moewardi Tahun 2014. Kosala, 3(1): 83-88

10. Muchinsky, 2000. Emotions in the workplace: the neglect of organizational behavior. First published: 28 November 2000 . DOI: Full publication history10.1002/1099-79 (200011) 21:7<801.

11. OSHA. 2002. Ergonomic : The Study of work. US Departement of Labor Occupational Safety and Health Administration. OSHA 3125.

12. Wijaya, A. 2008. Analisa Postur Kerja dan Perancangan Alat Bantu Untuk Aktivitas Manual Material Handling Industri Kecil. Universitas Muhamadiyah Surakarta.

13. Bridger, R.S. 1995. Introduction to The Ergonomic, International Edition. McGraw-Hill. New York.

ulkus diabetik terhadap 26 pasien, mengatakan, sebelum menggunakan sifoedt sebanyak 6 orang (100%), adalah tidak mudah, dan setelah menggunakan sifoedt. sebanyak 6 orang (100%) mengatakan mengatakan perawatan ulkus diabetik menjadi mudah. Kemudahan ini timbul karena, sifoedt didesain untuk menopang kaki, sehingga kaki yang mengalami ulkus mudah untuk dilakukan perawatan khususnya ulkus yang mengenai bagian bawah kaki, yang sebelumnya menempel di bed, bengkok atau lainnya menyebabkan kurang ulkus kurang terekspose. Kondisi ini memerlukan memindahkan posisi ulkus atau dengan istilah membolak-balikan kaki, supaya lebih mudah dilakukan perawatan.

KESIMPULAN

1. Sifoedt dapat digunakan untuk melakukan perawatan pasien penderita Diabetes Mellitus dengan komplikasi ulkus diabetik secara efektif dan efisien.

2. SIFOEDT (Simple Foot Elevator for Diabetic Ulcer Treatment) terbukti dapat mempercepat waktu perawatan ulkus diabetik.

3. SIFOEDT (Simple Foot Elevator for Diabetic Ulcer Trea tmen t ) te rbuk t i dapa t member i kan kenyamanan pasien saat dilakukan perawatan ulkus diabetik.

4. SIFOEDT (Simple Foot Elevator for Diabetic Ulcer T r e a t m e n t ) d a p a t m e n g u r a n g i a t a u menghilangkan kelelahan pasien saat dilakukan perawatan ulkus diabetik.

5. SIFOEDT (Simple Foot Elevator for Diabetic Ulcer Treatment) dapat memberikan kemudahan saat melakukan perawatan ulkus diabetik

SARAN

1. Bagi perawat atau tenaga medis diharapkan dapat menggunakan sifoedt sebagai alat untuk melengkapi pada saat melakukan perawatan pasien diabetes mellitus dengan komplikasi ulkus diabetik.

2. Penggunaan Sifoedt untuk perawatan ulkus diabetik dapat digunakan di rumah sakit, puskesmas, dan pusat pelayanan kesehatan lainnya serta dapat digunakan pada saat melakukan perawatan di rumah (home care).

16 Jurnal Teknologi Kesehatan, Volume 13, Nomor 1, Maret 2017, hlm. 12-16

PENGARUH KEIKUTSERTAAN DALAM KELAS IBU HAMIL TERHADAP RENTANG WAKTU PENGGUNAAN KONTRASEPSI DI PUSKESMAS UMBULHARJO I,

YOGYAKARTA TAHUN 2016

*Riska Ismawati Hakim, Dyah Noviawati Setya Arum, Tri Maryani

Jurusan Kebidanan Poltekkes Kemenkes Yogyakarta *Email : [email protected]

ABSTRACT

Contraceptive use is a problem that may contributes to maternal mortality. The rate of unmeet-need according to the 2012 Demographic Health Survey of Indonesia is 8.5%. The high unmeet-need for family planning services will likely lead to the incidence of unwanted pregnancy. Unwanted pregnancy in post-partum mothers will lead to a very short pregnancy spacing and likely lead to abortion complications. Yogyakarta City is an area with the least new and active family planning participants in the province of Yogyakarta Special Region, with the lowest percentage is in Umbulharjo I Primary Healthcare Centre by 1.63% and 72.49%. Meanwhile, antenatal class program in which one of the materials contains postpartum birth control has been implemented in all public health centers in Yogyakarta city, one of which is in Umbulharjo I Primary Healthcare Centre, in accordance with the guidelines for the implementation of the antenatal class. This research aims to identify the effects of participation in antenatal class on the time range of contraceptive use. It belongs to an observational analytical research with cross sectional design to 173 respondents taken using purposive sampling and analyzed using Chi-Square Test. Of the 173 respondents, it was found out that the majority of participation in pregnant women class did not meet the standard, numbering 109 mothers (63%) and the time range of contraceptive use was not according to the standard (> 42 days), numbering 96 mothers (55.5%). The results of analysis using Chi-Square test indicated p-value = 0.04 (p = <0.05). This research concludes that there is an effect of participation in antenatal class on the time range of contraceptive use at Umbulharjo I Primary Healthcare Centre of Yogyakarta in 2016.

Keywords: Antenatal Class, Contraceptive Users, Time Range of Contraceptive Use

ABSTRAK

Penggunaan kontrasepsi merupakan masalah yang berkontribusi dalam kematian ibu. Angka unmeet-need menurut SDKI 2012 sebesar 8,5%. Tingginya unmeet-need pelayanan KB berpotensi besar untuk terjadinya kehamilan tidak diinginkan (KTD). KTD pada ibu pasca bersalin akan dihadapkan pada jarak kehamilan yang sangat dekat bila diteruskan dan berpeluang terjadi komplikasi aborsi bila diakhiri. Kota Yogyakarta merupakan daerah dengan peserta KB baru dan aktif paling sedikit di Provinsi DIY dengan presentase terendah terdapat di Puskesmas Umbulharjo I, yaitu 1.63% dan 72.49%. Sementara itu, program kelas ibu hamil yang salah satu materinya berisi tentang KB pasca persalinan sudah dilaksanakan di seluruh puskesmas di Kota Yogyakarta sesuai dengan pedoman pelaksanaan kelas ibu hamil, termasuk salah satunya yaitu di Puskesmas Umbulharjo I. Tujuan penelitian ini mengetahui pengaruh keikutsertaan dalam Kelas Ibu Hamil (KIH) terhadap rentang waktu penggunaan kontrasepsi. Jenis penelitian observasional analitik dengan desain cross sectional kepada 173 responden secara purposive sampling dan menggunakan Uji Chi-Square. Dari 173 responden diketahui bahwa mayoritas keikutsertaan dalam kelas ibu hamil tidak sesuai dengan standar, yaitu sebanyak 109 ibu (63%) dan rentang waktu penggunaan kontrasepsi yang tidak sesuai standar (>42 hari) yaitu sebanyak 96 ibu (55,5%). Hasil uji analisis Chi-Square diperoleh nilai p = 0,04 (p = <0,05). Kesimpulan dalam penelitian ini adalah ada pengaruh keikutsertaan dalam Kelas Ibu

Hamil (KIH) terhadap rentang waktu penggunaan kontrasepsi di Puskesmas Umbulharjo I, Yogyakarta tahun 2016.

Kata kunci : Kelas Ibu Hamil (KIH), Akseptor KB, Rentang Waktu Penggunaan Kontrasepsi

sampai dengan SDKI 2007. Gambaran ini meningkat 2pada SDKI 2012 yaitu 359 per kelahiran hidup .

Salah satu upaya pemerintah untuk mencapai tujuan pembangunan kesehatan nasional yakni penurunan AKI dan AKB adalah dengan penggunaan Buku KIA. Buku KIA diharapkan dapat meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan ibu dan anak. Buku KIA dapat pula dipakai sebagai alat pemantau kesehatan ibu dan anak, serta pendidikan dan penyuluhan

1kesehatan bagi masyarakat khususnya ibu-ibu .

Kelas ibu hamil adalah kelompok belajar ibu-ibu hamil dengan umur kehamilan antara 4 minggu sampai dengan 36 minggu dengan jumlah peserta maksimal 10 orang. Metode pembelajaran kelas ibu hamil

PENDAHULUAN

Pembangunan kesehatan adalah penye-lenggaraan upaya kesehatan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya. Program pembangunan kesehatan di Indonesia dewasa ini masih diprioritaskan pada upaya peningkatan derajat kesehatan ibu dan anak, terutama pada kelompokyang paling rentan kesehatan yaitu ibu hamil, bersalin dan bayi pada masa perinatal. Hal ini ditandai dengan tingginya Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka

1Kematian Bayi (AKB) . Analisis tren rasio kematian maternal menunjukkan penurunan dari SDKI 1994

hubungan antara variabel bebas (faktor risiko) dan variabel tergantung (efek) dengan melakukan pengukuran sesaat. Faktor risiko serta efek tersebut diukur menurut keadaan atau statusnya pada waktu

7dilakukan observasi . Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh ibu akseptor KB di Puskesmas Umbulharjo I, Yogyakarta tahun 2016. Sampel yang digunakan yaitu ibu akseptor KB di Puskesmas Umbulharjo I, Yogyakarta tahun 2016 yang memenuhi kriteria inklusi dan ekslusi sebesar 173 responden. Teknik sampling dalam penelitian ini menggunakan purposive sampling yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Penelitian ini dilakukan di Puskesmas Umbulharjo I, Yogyakarta pada 14 – 30 November 2016. Variabel independen dalam penelitian ini adalah keikutsertaan dalam kelas ibu hamil dan variabe

dependen adalah rentang waktu penggunaan kontrasepsi.

Data dalam penelitian ini meliputi data karakteristik responden (usia ibu, pendidikan ibu, pekerjaan ibu, penghasilan, paritas ibu), keikutsertaan dalam kelas ibu hamil, rentang waktu penggunaan kontrasepsi dan jenis kontrasepsi yang digunakan setelah persalinan. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah dengan wawancara di puskesmas, posyandu dan mendatangi rumah akseptor dan observasi data responden yang ada di puskemas.

Analisis data secara univariat menggunakan presentase dan penyajiannya dalam bentuk tabel dan distribusi frekuensi. Analisis bivariabel dengan Chi-Square dan Relative Risk (RR). Hubungan dua variabel bermakna apabila faktor peluang kurang dari 5% atau p-value < 0,056. Besar pengaruh diketahui dengan mencari besaran Relative Risk (RR).

adalah pembahasan materi yang ada di dalam Buku KIA. Kelas ibu hamil merupakan suatu program untuk sarana belajar bersama tentang kesehatan bagi ibu hamil, dalam bentuk tatap muka dalam kelompok yang bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan ibu-ibu mengenai kehamilan, perawatan kehamilan, persalinan, perawatan nifas, perawatan bayi baru lahir, mitos, penyakit menular dan akte kelahiran. Pertemuan kelas ibu hamil dilakukan minimal 3 kali pertemuan selama hamil dengam materi yang disampaikan materi pokok, salah satunya

1materi tentang Keluarga Berencana (KB) pasca salin .

Penggunaan kontrasepsi merupakan masalah lain yang berkontribusi dalam kematian ibu selain penyebab langsung dan tidak langsung. Menurut data

3SDKI tahun 2012, angka unmet-need sebesar 8,5% . Masih jauhnya target kedua indikator program KB ini patut diduga berkontribusi terhadap landainya penurunan AKI dimana program KB merupakan salah

2satu upaya penurunan AKI dibagian hulu .

Tingginya unmet need pelayanan KB akan berpotensi besar untuk terjadinya kehamilan yang tidak diinginkan (KTD). KTD pada ibu pasca bersalin, akan dihadapkan pada dua hal yang berisiko. Pertama, jika kehamilan diteruskan maka akan berjarak sangat dekat dengan kehamilan sebelumnya dan kedua, jika kehamilan diakhiri maka berpeluang untuk terjadinya komplikasi aborsi yang juga dapat berkontribusi terhadap kematian ibu.

Penerapan KB pasca persalinan sangat penting karena kembalinya kesuburan pada seorang ibu setelah melahirkan tidak dapat diprediksi dan dapat terjadi sebelum datangnya siklus haid, bahkan pada wanita menyusui. Kontrasepsi seharusnya sudah digunakan sebelum aktifitas seksual dimulai. Oleh karena itu sangat strategis untuk memulai kontrasepsi

4seawal mungkin setelah persalinan .

Kota Yogyakarta merupakan wilayah di Provinsi DIY dengan angka peserta KB baru dan aktif paling sedikit, yaitu 4,2% dan 75,5%. Di Kota Yogyakarta, presentase jumlah peserta KB baru dan KB aktif

5paling rendah terdapat di Puskesmas Umbulharjo I . Sementara itu, program kelas ibu hamil yang salah satu materinya berisi tentang KB pasca persalinan sudah dilaksanakan di seluruh puskesmas di Kota Yogyakarta sesuai dengan pedoman pelaksanaan kelas ibu hamil, termasuk salah satunya yaitu di Puskesmas Umbulharjo I. Penelitian ini untuk mengetahui pengaruh keikutsertaan dalam kelas ibu hamil terhadap rentang waktu penggunaan kontrasepsi di Puskesmas Umbulharjo I, Yogyakarta tahun 2016.

METODE

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian 6survei analitik . Penelitian dilaksanakan dengan

pendekatan cross sectional yang mempelajari

Tabel 1. Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden di Puskesmas Umbulharjo I,

Yogyakarta Tahun 2016

18 Jurnal Teknologi Kesehatan, Volume 13, Nomor 1, Maret 2017, hlm. 17-22

HASIL DAN PEMBAHASAN

Berdasarakan tabel karakteristik responden, diketahui bahwa usia ibu mayoritas 20-35 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar responden dalam penelitian ini masih tergolong dalam usia reproduksi sehat, mempunyai organ reproduksi yang masih berfungsi dengan baik, sehingga lebih mudah untuk mendapatkan kehamilan.

Karakteristik subjek dilihat dari tingkat pendidikan yaitu sebagian besar kategori menengah. Semakin tinggi pendidikan akan semakin mudah untuk menerima informasi dan pada akhirnya makin banyak pula pengetahuan yang dimiliki. Orang yang berpendidikan tinggi akan lebih memahami tentang kontrasepsi dan memiliki keinginan lebih untuk

8mengatur kesuburannya .

Pekerjaan ibu mayoritas adalah IRT/tidak bekerja. Wanita yang memil iki pekerjaan cenderung mengalami unmet need lebih rendah dibandingkan dengan wanita tidak bekerja. Wanita yang bekerja memiliki motivasi yang lebih untuk memenuhi kebutuhan KB mereka, sehinga kemungkinan mereka

9untuk mengalami unmet need akan lebih kecil .

Karakteristik subjek penelitian pendapatan keluarga responden yaitu lebih dari UMK Kota Yogyakarta tahun 2016. Ekonomi seseorang mempengaruhi tersedianya fasilitas yang menunjang untuk mendapatkan informasi sehingga dapat

8mempengaruhi pengetahuan seseorang .

Paritas responden dalam penelitian ini paling banyak adalah ≤2, ini menunjukkan bahwa mayoritas ibu akseptor KB yang ada di wilayah Puskesmas Umbulharjo I termasuk dalam paritas yang tidak beresiko tinggi. Terdapat hubungan yang bermakna antara jumlah anak dengan kebutuhan keluarga berencana yang tidak terpenuhi (unmet need). Wanita yang memiliki 3-4 anak berisiko 5,4 kali lebih besar untuk mengalami unmet need KB dibandingkan

10dengan yang memiliki 1-2 anak .

Tabel 2. Distribusi Frekuensi Jenis Kontrasepsi Pasca Persalinan di Puskesmas Umbulharjo I,

Yogyakarta Tahun 2016

Jenis Kontrasepsi n %AlamiahKondom 15 8,7Metode Amenore Laktasi 52 30,1Kalender 7 4,0HormonalPil 14 8,1Suntik 42 24,3Implan 12 6,9Non HormonalIUD 30 17,3Kontrasepsi MantapMOW/MOP 1 0,6Jumlah 173 100,0

Tabel 3. Distribusi Frekuensi Keikutsertaan dalam

Kelas Ibu Hamil di Puskesmas

Keikutsertaan KIH n %Tidak sesuai standar 109 63Sesuai standar 64 37Jumlah 173 100

Kriteria keikutsertaan dalam kelas ibu hamil yang sesuai standar yaitu jika kehadiran minimal tiga kali pertemuan. Berdasarkan tabel 3 diketahui bahwa sebagian besar keikutsertaan dalam kelas ibu hamil yang sesuai standar masih rendah. Karakteristik responden yang mayoritas tergolong dalam usia reproduksi sehat, tingkat pendidikan menengah, tidak bekerja, dan penghasilan dalam keluarga setiap bulan lebih dari UMK ini tidak berbanding lurus dengan keikutsertaan dalam kelas ibu hamil. Dalam penelitian sebelumnya disebutkan bahwa ibu hamil yang tidak ikutserta dalam kelas ibu hamil cenderung berusia dibawah 25 tahun, belum menyelesaikan pendidikan

12menengah dan berpenghasilan rendah .

Rendahnya cakupan keikutsertaan dalam kelas ibu hamil disebabkan oleh kesadaran dan upaya pemaksimalan dalam pelayanan kelas ibu hamil yang belum terlaksana. Hal tersebut bisa dikarenakan kendala pada klien atau konsumen dan kendala pada provider. Kendala pada klien yang kurang terpuaskan terhadap harapan, kebutuhan yang tidak terpenuhi dan motivasi ibu dalam mengikuti kelas ibu hamil. Untuk kendala pada provider atau penyelenggara menyangkut kekurangan staf, pembatasan anggaran, situasi dan kondisi mengajar, kesiapan provider dalam penyampaian materi atau ilmu, dan kurangnya pelatihan menjadi instruktur dalam kelas ibu hamil serta penempatan prioritas pendidikan untuk orang

13tua yang tidak diutamakan .

Penelitian lain menunjukkan bahwa pengetahuan ibu hamil akan mempengaruhi motivasi ibu hamil

14tersebut untuk mengikuti kelas ibu hamil (p= 0,0001) . Sejalan dengan penelitian oleh Historyati (2011) yang menyatakan bahwa ada hubungan yang signifikan ditemukan antara variabel pengetahuan, sikap

15dengan partisipasi dalam kelas ibu hamil .

Tabel 4. Distribusi Frekuensi Rentang Waktu Penggunaan Kontrasepsi di Puskesmas Umbulharjo

I, Yogyakarta Tahun 2016

Berdasarkan data yang diperoleh mengenai jenis kontrasepsi pasca persalinan, mayoritas responden memilih menggunakan MAL. Banyak faktor yang mempengaruhi ibu di wilayah Puskesmas Umbulharjo

I ini dalam pemilihan jenis kontrasepsi, diantaranya umur ibu, tingkat pendidikan, pengetahuan atau informasi dan paritas. Sesuai dengan penelitian yang menyebutkan bahwa umur istri, jumlah anak dan tingkat pendidikan mempengaruhi pemilihan jenis

11kontrasepsi yang digunakan pada PUS .

Rentang Waktu Mulai KB

n %

Tidak sesuai standar (>42 hari)

96 55,5

Sesuai standar (=42 hari)

77 44,5

Jumlah 173 100,0

19Riska Ismawati Hakim, dkk, Pengaruh Keikutsertaan Dalam Kelas Ibu Hamil....

Tabel 5. Tabel Silang Keikutsertaan dalam Kelas Ibu Hamil dengan Rentang Waktu Penggunaan Kontrasepsi di Puskesmas Umbulharjo I, Yogyakarta Tahun 2016

Berdasarkan tabel 5 dapat diketahui bahwa ibu yang keikutsertaannya dalam kelas ibu hamil tidak sesuai standar mayoritas mulai menggunakan kontrasepsi lebih lambat atau tidak sesuai dengan standar KB pasca persalinan (>42 hari), sementara itu ibu yang mengikuti kelas ibu hamil sesuai dengan standar mayoritas mulai menggunakan kontrasepsi sesuai standar KB pasca persalinan (≤42 hari).

Berdasarkan uji bivariabel pada pengaruh keikutsertaan dalam kelas ibu hamil terhadap rentang waktu penggunaan kontrasepsi didapatkan hasil p-value sebesar 0,04, angka ini menunjukkan adanya pengaruh yang bermakna antara keikutsertaan dalam kelas ibu hamil terhadap rentang waktu penggunaan kontrasepsi. Hasil ini sesuai dengan penelitian yang menyatakan bahwa pelayanan antenatal dan early postnatal dibutuhkan untuk mempertimbangkan penerimaan KB pasca persalinan . Hal ini didukung 17

pula oleh penelitian Stoll dan Wendy (2012) yang menyebutkan bahwa ibu yang mengikuti kelas antental secara bermakna lebih mungkin untuk menyusui setelah melahirkan hingga tiga bulan pasca melahirkan .18

Informasi merupakan sumber utama untuk memperoleh pengetahuan . Tingkat pendidikan 8

responden di Puskesmas Umbulharjo I yang mayoritas menengah akan memudahkan responden untuk menerima informasi, baik yang diperoleh dari orang lain maupun dari media massa. Semakin banyak informasi yang diperoleh, maka semakin banyak juga pengetahuan tentang kesehatan karena banyak informasi yang ditemukan serta banyak hal yang te lah di lakukan sehingga menambah pengetahuannya tentang kontrasepsi pasca persalinan.

Theory of Planned BehaviorMedia dalam merupakan salah satu faktor latar belakang yang dapat mempengaruhi perilaku seseorang . Kelas ibu 19

hamil merupakan suatu media untuk meningkatkan pengetahuan ibu tentang kesehatan ibu dan anak, dimana salah satu materi yang dibahas adalah KB pasca persalinan. Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa ibu yang mengikuti kelas ibu hamil s e s u a i d e n g a n s t a n d a r m a y o r i t a s m u l a i menggunakan kontrasepsi sesuai dengan standar KB pasca persalinan (≤42 hari) dibandingkan dengan responden yang keikutsertaannya dalam kelas ibu

hamil tidak sesuai dengan standar. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian oleh Rutaremwa, et.al (2015) yang menyebutkan bahwa paparan media secara bermakna berkaitan dengan penggunaan KB pasca persalinan . 20

Penelitian lain yang mendukung oleh Ali (2013) menyebutkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara pengetahuan dengan penggunaan kontrasepsi pada pasangan usia subur . Pengetahuan akseptor 21

menjadi lebih baik karena banyaknya informasi yang diperoleh baik dari petugas kesehatan maupun dari media. Penerimaan perilaku baru didasari oleh pengetahuan, kesadaran dan sikap yang positif maka perilaku itu akan berlangsung lama, tetapi apabila perilaku tidak didasari oleh pengetahuan dan kesadaran maka tidak akan langgeng.

Hasil ini memperkuat teori adanya pengaruh atau hubungan pemberian edukasi dengan peningkatan pengetahuan dan sikap yang menjadi determinan sebuah perilaku. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang (over behavior). Peri laku kesehatan dipengaruhi oleh faktor predisposisi ( ). Faktor ini predisposing factormencakup pengetahuan dan sikap masyarakat terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kesehatan, tingkat pendidikan, tingkat sosial ekonomi dan sebagainya .8

Relative RiskHasil perhitungan dalam penelitian ini didapatkan hasil lebih dari satu, maka dapat disebutkan bahwa faktor yang diteliti tersebut menyebabkan efek . Faktor yang dimaksud dalam 7

pernyataan tersebut adalah keikutsertaan dalam kelas ibu hamil, sehingga mengartikan bahwa ibu yang keikutsertaannya dalam kelas ibu hamil sesuai dengan standar berpeluang 1,92 kali lebih besar untuk mulai menggunakan kontrasepsi sesuai dengan standar KB pasca persalinan (≤42 hari) dibandingkan dengan ibu yang keikutsertaannya dalam kelas ibu hamil tidak sesuai dengan standar.

KESIMPULAN

Karakteristik responden dalam penelitian ini mayoritas adalah wanita dalam usia reproduksi sehat, tingkat pendidikan menengah, tidak bekerja, penghasilan dalam keluarga setiap bulan lebih dari

20 Jurnal Teknologi Kesehatan, Volume 13, Nomor 1, Maret 2017, hlm. 17-22

9. Juliaan, F. (2009). Analisis DKI : Unmet Need dan Kebutuhan Pelayanan KB di Indonesia. Jakarta : Penerbit KB dan Kespro BKKBN

10.Katulistiwa, R. (2013). Determinan Unmet Need KB pada Wanita Menikah di Kecamatan Klabang Kabupaten Bondowoso. Jember : Fakultas Kesmas Universitas Jember

11.Kusumaningrum, Radita. 2009. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pemilihan Jenis Kontrasepsi yang Digunakan Pada Pasangan Usia Subur. Semarang : Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro

12.Lumley, J dan Brown S. 1993. Attenders And Nonattenders At Childbirth Education Classes In Australia : How Do They And Their Birth Differ? D i u n d u h p a d a 1 5 D e s e m b e r 2 0 1 6 darihttps://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/8240618

13.Schott, Judith dan Judy Priest. 2009. Kelas Antenatal Edisi 2. Jakarta : EGC

14.Uswatun. 2012. Hubungan Pengetahuan Ibu Hamil Tentang Kelas Ibu Hamil dengan Motivasi Mengikuti Kelas Ibu Hamil di Puskesmas 2 Mandiraja Kabupaten Banjarnegara. Purwokerto : Prodi D3 Keperawatan Poltekkes Semarang

15.Historyati , Dyah. 2003. Tesis Hubungan Pengetahuan dan Sikap Ibu Hamil Tentang Kelas Ibu Hamil dengan Partisipasi dalam Kelas Ibu Hamil di Wilayah Kerja Puskesmas Tembelang. Solo : UNS

16.Sitopu, S.D. 2012. Hubungan Pengetahuan Aksep to r Ke lua rga Be rencana dengan Penggunaan Alat Kontrasepsi di Puskesmas Helvetia Medan. Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Darma Agung Medan. Medan

17.Eliason, et.al. 2013. Factors influencing the intention of women in rural Ghana to adopt postpartum family planning. Diunduh pada 30 Juni 2 0 1 6 d a r i h t t p : / / r e p r o d u c t i v e - h e a l t h -journal.biomedcentral.com/articles/10.1186/174 2-4755-10-34

18.Stoll, Kathrin.H dan Wendy Hall. 2012. Childbirth Education and Obstetric Interventions Among Low Risk Canadian Women. Diunduh pada 22 D e s e m b e r 2 0 1 6 d a r i https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3489119/

19.Glanz, Karen., Rimer Barbara K., dan Viswanath K. 2008. Health Behavior and Health Education. San Fransisko. Jossey Bass A Wiley Imprint. Diunduh p a d a 8 A g u s t u s 2 0 1 6 d a r i http://www.sanjeshp.ir/phd/phd_91/Pages/Refrences/health%20education%20and%20promotion/%5BKaren_Glanz,_Barbara_K._Rimer,_K._Viswanath%5D_Heal%28BookFi.or.pdf

20.Rutaremwa, et.al.2015. Predictors of modern contraceptive use during the postpartum period

UMK Kota Yogyakarta tahun 2016, dan tergolong paritas yang tidak berisiko tinggi. Keikutsertaan dalam kelas ibu hamil mayoritas tidak sesuai dengan standar. Rentang waktu penggunaan kontrasepsi sebagian besar tidak sesuai dengan standar KB pasca persalinan (>42 hari sejak persalinan terakhir).

Ada pengaruh keikutsertaan dalam kelas ibu hamil terhadap rentang waktu penggunaan kontrasepsi di Puskesmas Umbulharjo I, Yogyakarta. Ibu yang keikutsertaannya dalam kelas ibu hamil sesuai dengan standar berpeluang hampir dua kali lebih besar untuk mulai menggunakan kontrasepsi sesuai standar KB pasca persalinan (≤42 hari) dibandingkan dengan ibu yang keikutsertaannya dalam kelas ibu hamil tidak sesuai dengan standar.

SARAN

Bagi pengambil keputusan di Puskesmas Umbulharjo I, diharapkan untuk terus berupaya menggalakkan pelaksanaan kelas ibu hamil agar keikutsertaan dalam kelas ibu hamil yang sesuai dengan standar meningkat dan rentang waktu penggunaan kontrasepsi pasca persalinan semakin cepat. Bagi bidan diharapkan untuk berperan aktif dan s e n a n t i a s a m e m p e r b a r u i i l m u t e r k a i t penyelenggaraan kelas ibu hamil agar keikutsertaan dalam kelas ibu hamil meningkat dan KB pasca persalinan terlaksana sesuai pedoman.

Bagi peneliti selanjutnya, dapat melakukan pengembangan ilmu tentang pengaruh keikutsertaan dalam kelas ibu hamil terhadap rentang waktu penggunaan kon t raseps i dengan ana l i s i s multivariabel dan dengan desain penelitian prospektif.

DAFTAR PUSTAKA

1. Kemenkes RI. 2011. Pedoman Pelaksanaan Kelas Ibu Hamil. Jakarta : Kementerian Kesehatan Republik Indonesia

2. Kemenkes RI. 2013. Buletin Jendela Data dan Informasi Kesehatan Semester II, 2013. Jakarta : Kementerian Kesehatan Republik Indonesia

3. Kemenkes RI. 2012. Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia Tahun 2012. Jakarta : Kementerian Kesehatan Republik Indonesia

4. Kemenkes RI. 2012. Pedoman Pelayanan Keluarga Pasca Persalinan di Fasilitas Kesehatan. Jakarta : Kementerian Kesehatan Republik Indonesia

5. Dinas Kesehatan DIY. 2015. Profil Kesehatan Provinsi DIY. Yogyakarta: Dinas Kesehatan DIY.

6. Notoatmodjo. 2010. Metodologi Penenlitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta

7. Sastroasmoro, S. 2011. Dasar-Dasar Metodologi Penelitian Klinis. Jakarta: Sagung Seto

8. Notoatmodjo, S. 2007. Kesehatan Masyarakat Ilmu dan Seni. Jakarta: Rineka Cipta

21Riska Ismawati Hakim, dkk, Pengaruh Keikutsertaan Dalam Kelas Ibu Hamil....

dengan Penggunaan Alat Kontrasepsi pada Pasangan Usia Subur di Wilayah Puskesmas Bahu Kabupaten Gorontalo. Jember : Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Jember

among women in Uganda. Diunduh pada 24 Juni 2016 dari http://bmcpublichealth.biomedcentral. com/articles /10.1186/s12889-015-1611-y

21.Ali. 2013. Faktor-Faktor yang Berhubungan

22 Jurnal Teknologi Kesehatan, Volume 13, Nomor 1, Maret 2017, hlm. 17-22

MEDIA AGAR TEPUNG KACANG HIJAU, KACANG MERAH, KACANG TUNGGAK, KACANG KEDELAI SEBAGAI MEDIA KULTUR JAMUR ASPERGILLUS FLAVUS

*Anik Nuryati , Sujono

Analis Kesehatan Poltekkes Kemenkes Yogyakarta*Email : [email protected]

ABSTRACT

Sabouraud Dextrose Agar (SDA) is a medium for the growth of fungi, ready to use, packaged in 500 gr, expensive, hard to find and takes a long time to obtain so it needs alternative media. SDA contains 4% glucose. The use of mung bean, red bean, cowpea and soy bean flour as culture media has never been done. The material contains high protein and high vegetable oil, allowing Aspergillusflavus to grow in it. The research aimed to know whether mung bean , red bean, cowpea, soy bean flour agar media may be used as culture media on the growth of Aspergillus flavus, and to know the diameter and color of colonies. Subjects were Aspergillusflavus fungus, inoculated in SDA media with incubation time 24 hours. Macroscopic shape: filamentous colonies, clear. Microscopic: insulated hyphae, branching, there are vesicles with conidia arranged like a fan. The object of the research are mung bean, red bean, cowpea, and soybean flour obtained from the manufacture of good quality peanut flour, whole seeds, not rancid, not wormy. Method: This research is an experimental study. The treatment was given to the independent variable and then measures the dependent variable. The result shows that mung bean, red bean, cowpea, soy bean flour agar media can be used as culture media on the growth of Aspergillusflavus fungus. Diameter of colony growth to five days on soybean flour agar medium was 7.1 cm, it was greater than red beans media 6.1 cm, mung bean media 6.7 cm and SDA 6.5 cm. Colony color on all media are white, turns yellow and then green and dark green until the end. It can be concluded that Aspergillus flavus fungus can grow on mung bean, red bean, cowpea, soy bean flour agar media with various diameters.

Keywords : Nuts Media, Aspergillus flavus, Fungus Growth

ABSTRAK

Media Sabouraud Dextrose Agar (SDA) merupakan media untuk pertumbuhan jamur, siap pakai, dikemas dalam bentuk paking 500 gram, mahal, sulit didapat, pengadaannya membutuhkan waktu lama sehingga diperlukan adanya media pengganti. SDA mengandung 4% glukosa. Penggunaan Tepung kacang hijau, kacang merah, kacang tunggak, dan kacang kedelai sebagai media kultur belum pernah dilakukan. Tepung kacang hijau, kacang merah, kacang tunggak, dan kacang kedelai mengandung protein tinggi dan minyak nabati tinggi, dan dimungkinkan sebagai media pertumbuhan jamur Aspergillus flavus.Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah media agar tepung kacang hijau, merah, tunggak, kedelai dapat digunakan sebagai media pertumbuhan Aspergillus flavus. Subyek penelitian adalah jamur Aspergillus flavus yang diinokulasi dalam media SDA dengan waktu inkubasi 24 Jam. Obyek penelitian adalah tepung kacang hijau, merah, tonggak, kedelai yang diperoleh dari hasil pembuatan tepung kacang yang berkualitas baik, biji utuh, tidak tengik, tidak berulat. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen, dengan memberi perlakuan terhadap variable bebas kemudian mengukur akibat perlakuan tersebut pada variable terikat. Hasil Penelitian: Media agar tepung kacang hijau, merah, tunggak dan kedelai dapat menjadi media pertumbuhan jamur Aspergillus flavus. Diameter koloni pertumbuhan hari ke lima pada media agar dari tepung kacang kedelai 7.1 cm lebih besar dibanding media kacang merah 6.1 cm, kacang hijau 6.7 cm dan SDA 6.5 cm. Koloni pada semua media berwarna putih, berubah kuning kemudian hijau muda dan hijau tua. Kesimpulan dari penelitian ini adalah jamur Aspergillus flavu dapat tumbuh pada media agar tepung kacang hijau, merah, tunggak, dan kedelai dengan diameter bervariasi.

Kata Kunci : Media Kacang, Aspergillus flavus, Pertumbuhan Jamur

PENDAHULUAN

Fungi atau kapang adalah mikroorganisme yang sel-selnya berinti sejati (eukariotik), berbentuk benang, bercabang-cabang, tidak berkhlorofil, dinding selnya mengandung kitin, selulosa atau

1keduanya . Keuntungan fungi bagi manusia adalah memperoleh aneka enzim, vitamin, senyawa asam amino, antibiotik, alkohol, biomassa cendawan dan khamir, makanan dan minuman fermentasi dalam

2. industri farmasi dan industri pangan Kerugiannya

jamur dapat tumbuh pada hasil pertanian sebelum dan setelah dipanen. Bahan makanan yang m e n g a l a m i k e r u s a k a n o l e h j a m u r d a p a t menyebabkan bau busuk dan bernoda warna

3tertentu .

Jamur yang mengkontaminasi makanan biasa di temukan di udara antara lain Aspergillus flavus, yaitu jamur multiseluler bersifat opportunisti. Jamur penghasil aflatoksin yaitu suatu senyawa yang dapat menyebabkan kanker pada manusia. Aflatoksin

kacang hijau, merah, tunggak, kedelai dapat menjadi media alternatif pada pertumbuhan jamur Aspergillus flavus.

METODE

Metode Penelitian yang digunakan eksperimen dengan desain penelitian ini adalah post test with control group. Subyek penelitian jamur Aspergillus flavus usia 24 Jam. Obyek penelitian tepung kacang hijau, merah, tonggak, kedelai yang diperoleh dari pembuatan tepung kacang yang berkualitas baik, biji utuh, tidak tengik, tidak berulat.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Penelitian dengan judul “Agar Tepung Kacang Hijau, Kacang Merah, Kacang Tunggak Sebagai Alternatif Media Kultur Pertumbuhan Jamur Aspergillus Flavus” yang dialakukan di laboratorium Jurusan Analis Kesehatan, Politeknis Kesehatan Yogyakarta. Penelitian ini memanfaatkan bahan dari tepung kacang hijau, kacang merah, kacang tunggak dan kacang kedelai sebagai media pertumbuhan jamur Aspergillus Flavus, didapatkan hasil sebagai berikut:

1. Pertumbuhan jamur Aspergillus flavus pada media Sabouraud Dexstrose Agar (SDA). Hasi l pengukuran diameter koloni jamur Aspergillus flavus pada 12 sampai 120 jam penanaman di SDA pada tabel 1.

berpotensi karsinogenik, mutagenik, teratogenik dan 4,5bersifat imunosupresif . Jamur ini juga dapat

mengkontaminasi media jamur.

Jamur Aspergillus flavus biasa di perbanyak pada media mengandung 4% glukosa. Media yang biasa digunakan salah satunya adalah Sabouraud Dextrose Agar (SDA), pada media ini mengandung 4% glukosa

2sudah memberikan pertumbuhan fungi yang baik .

SDA adalah media subkultur jamur, yang diperkaya untuk meningkatkan sporulasi khas dan memberikan

6morfologi koloni lebih karakteristik . Media SDA di produksi oleh pabrik atau perusahaan tertentu, sehingga media tersebut dipasarkan dalam keadaan siap pakai, tetapi karena harganya yang mahal dan sulit didapat. Hasil survey pada karyawan Balai Laboratorium Kesehatan Provinsi Papua untuk mendapatkan media SDA sangat sul i t atau membutuhkan waktu yang lama, sehingga memperlambat diagnosis jamur. Hal ini sering menjadi permasalahan, oleh karena itu perlu dibuat media alternatif sebagai bahan pengganti untuk media pertumbuhan jamur, diantaranya menggunakan bahan kacang hijau, kacang tunggak, kacang merah, kacang kedelai sebagai media alternatif pertumbuhan jamur. Bahan kedelai banyak mengandung sumber protein tinggi dan minyak nabati tinggi, yang memungkinkan jamur dapat tumbuh didalamnya. Karena jamur membutuhkan protein sebagai bahan

2,7,8makanan untuk tumbuh .

Berdasarkan dari latar belakang tersebut, penulis meneliti apakah media dengan bahan baku utama biji

Tabel 1. Data Hasil Pengukuran Diameter Pertumbuhan Jamur 5 Aspergillus flavus Pengenceran 10 pada Media SDA

Waktu

Diameter Koloni Jamur Aspergillus flavus pengenceran 105

Pengulangan

1 2 3 Rerata

12 Jam BT BT BT24 Jam 1.7 + 2,1 + 1,9 + 1,936 Jam 3.3, +1 2.9 , +1 3.1, +1 3,148 Jam 4.0, +2 3.5, +2 3.8, +2 3,860 Jam 4.3, +2 4.0, .+2 4.2 +2 4,272 Jam 4.8, +2 4.9 , +2 4.8 +2 4,884 Jam 5.0, +2 5.5, +2 5.3 +2 5,396 Jam 5.2, +2 5.8, +2 5.5 +2 5,5

108 Jam 5.8, +2 6.6, +2 6.2 +2 6,2120 Jam 6.3, +2 6.7, +2 6.5 +2 6,5

Keterangan :BT : Belum Tumbuh+ : Bening, belum ada warna+1 : Bagian pinggir koloni warna putih, Ditengah koloni warna hijau muda+2 : Bagian pinggir koloni putih, lalu warna hijau muda dan ditengah koloni warna hijau tua

Tabel 1 menunjukkan pertumbuhan koloni jamur Aspergillus flavus pada SDA tumbuh setelah 24 jam penanaman dengan diameter koloni 1,9 cm, diameter koloni menjadi 6,5 cm setelah 120 jam kemudian.

Pertumbuhan koloni pada 24 jam pertama berwarna bening, berubah menjadi hijau muda dengan bagian tepi berwarna putih setelah 36 jam, dan menjadi warna hijau tua setelah 48 jam.

24 Jurnal Teknologi Kesehatan, Volume 13, Nomor 1, Maret 2017, hlm. 23-32

5Tabel 2. Diameter Koloni Jamur Aspergillus flavus pengenceran 10 pada media Agar Tepung Kacang Hijau

Waktu

Diameter Koloni Jamur Aspergillus flavus Pengenceran 105

Pengulangan

1 2 3 4 Rerata

12 Jam BT BT BT BT

24 Jam 1,2 + 1,8 + 2,0 + 2,3 + 2,0

36 Jam 2,0 +1 3,0 +1 3,4 +1 3,2 +1 3,2

48 Jam 3,0 +2 3,6 +2 4,1 +2 3,7 +2 3,8

60 Jam 3,8 +2 4,0 +2 4,5 +2 4,5 +2 4,3

72 Jam 4,3 +2 4,4 +2 4,9 +2 4,7 +2 4.7

84 Jam 4,7 +2 4,7 +2 5,5 +2 5,2 +2 5,1

96 Jam 5,4 +2 5,5 +2 6,1 +2 6,0 +2 5,9

108 Jam 5,9 +2 6,0 +2 6,7 +2 6,4 +2 6,4

120 Jam 6,1 +2 6,3 +2 6,9 +2 6,8 +2 6,7

Keterangan :BT : Belum Tumbuh+ : Bening, belum ada warna+1 : Bagian pinggir koloni warna putih, Ditengah koloni warna hijau muda+2 : Pinggir koloni putih, warna hijau muda dan ditengah koloni hijau tua

3. Pertumbuhan Jamur Aspergillus Flavus Pada Media Agar Tepung Kacang Merah

Hasi l pengukuran diameter koloni jamur Aspergillus flavus pada 12 sampai 120 jam penanaman di media dari kacang merah pada

3tabel .

Tabel 3. menunjukkan pertumbuhan koloni jamur Aspergillus flavus pada media agar tepung kacang merah,tumbuh setelah 24 jam penanaman dengan diameter koloni 2,4 cm, diameter coloni menjadi 6,1 cm setelah 120 jam kemudian. Pertumbuhan koloni pada 24 jam pertama berwarna bening, berubah menjadi hijau muda dengan bagian tepi berwarna putih setelah 36 jam, dan menjadi warna hijau tua setelah 48 jam.

4. Pertumbuhan Jamur Pada Media Agar Tepung Kacang Tonggak

Hasi l pengukuran diameter koloni jamur Aspergillus flavus pada 12 sampai 120 jam penanaman di media dari kacang tonggak pada tabel 4.

Tabel 4 menunjukkan pertumbuhan koloni jamur Aspergillus flavus pada media agar tepung kacang tonggak, tumbuh setelah 24 jam penanaman dengan diameter koloni 1,8 cm, diameter coloni menjadi 5,4 cm setelah 120 jam kemudian. Pertumbuhan koloni pada 24 jam pertama

berwarna bening, berubah menjadi hijau muda dengan bagian tepi berwarna putih setelah 48 jam, dan menjadi warna hijau tua setelah 60 jam.

5. Pertumbuhan Jamur Pada Media Agar Tepung Kacang Kedelai

Hasi l pengukuran diameter koloni jamur Aspergillus flavus pada 12 sampai 120 jam penanaman di media dari kacang tonggak pada tabel 5.

Tabel 5 menunjukkan pertumbuhan koloni jamur Aspergillus flavus pada media agar tepung kacang hijau,tumbuh setelah 24 jam penanaman dengan diameter koloni 2,2 cm, diameter coloni menjadi 7,1 cm setelah 120 jam kemudian. Pertumbuhan koloni pada 24 jam pertama berwarna bening, berubah menjadi hijau muda dengan bagian tepi berwarna putih setelah 48 jam, dan menjadi warna hijau tua setelah 60 jam.

Berdasarkan diskriptip pertumbuhan jamur Aspergillus flavus pada media tersebut dapat ditentukan media agar tepung yang baik untuk digunakan sebagai media pertumbuhan jamur. Berikut grafik perbandingan pertumbuhan jamur pada media SDA, media agar tepung kacang merah, kacang hijau, kacang tunggak dan kacang kedelai pada gambar 1.

kacang hijau,tumbuh setelah 24 jam penanaman dengan diameter koloni 2,0 cm, diameter koloni menjadi 6,7 cm setelah 120 jam kemudian. Pertumbuhan koloni pada 24 jam pertama berwarna bening, berubah menjadi hijau muda dengan bagian tepi berwarna putih setelah 36 jam, dan menjadi warna hijau tua setelah 48 jam.

2. Pertumbuhan Jamur Aspergillus flavuspada Media Agar Tepung Kacang Hijau

Hasil pengukuran diameter koloni jamur Aspergillus flavus pada 12 sampai 120 jam penanaman di media dari tepung kacang hijau pada tabel 2.

Tabel 2 menunjukkan pertumbuhan koloni jamur Aspergillus flavus pada media agar tepung

25Anik Nuryati, dkk, Media Agar Tepung Kacang Hijau, Kacang Merah, Kacang...

Tabel 4. Diameter Koloni Jamur Aspergillus flavus Pengenceran 105 pada Media Agar Tepung Kacang Tonggak

Keterangan :BT : Belum Tumbuh+ : Bening, belum ada warna+1 : Bagian pinggir koloni warna putih, Ditengah koloni warna hijau muda+2 : Bagian pinggir koloni putih, lalu warna hijau muda dan ditengah koloni warna hijau tua

Tabel 5. Diameter Koloni Jamur Aspergillus flavus Pengenceran 105 pada Media Agar Tepuing Kacang Kedelai (Glycine max L. Merill)

Keterangan :BT : Belum Tumbuh+ : Bening, belum ada warna+1 : Bagian pinggir koloni warna putih, Ditengah koloni warna hijau muda+2 : Bagian pinggir koloni putih, lalu warna hijau muda dan ditengah koloni warna hijau tua

Tabel 3. Data Hasil Pengukuran Diameter Pertumbuhan Jamur Aspergillus flavus Pengenceran 105di Media Agar Tepung Kacang Merah (Phaseolus vulgaris L.)

Waktu

Diameter Koloni Jamur Aspergillus flavus Pengenceran 105

Pengulangan

1 2 3 4 Rerata

12 Jam BT BT BT BT

24 Jam 2,0 + 2,5 + 2,3 + 2,3 + 2,4

36 Jam 3,1 +1 3,5 +1 3,3 +1 3,0 +1 3,3

48 Jam 3,8 +2 4,0 +2 3,7 +2 3,5 +2 3.760 Jam 4,2 +2 4,7 +2 4,0 +2 4,1 +2 4.3

72 Jam 4,3 +2 5,1 +2 4,1 +2 4,3 +2 4.5

84 Jam 5,0 +2 5,5 +2 4,2 +2 5,0 +2 4.9

96 Jam 5,6 +2 6,2 +2 4,2 +2 5,7 +2 5.4

108 Jam 6,0 +2 7,1 +2 4,3 +2 6,2 +2 5.9

120 Jam 6,5 +2 7,2 +2 4,3 +2 6,9 +2 6.1

Keterangan :BT : Belum Tumbuh+ : Bening, belum ada warna+1 : Bagian pinggir koloni warna putih, Ditengah koloni warna hijau muda+2 : Bagian pinggir koloni putih, lalu warna hijau muda dan ditengah koloni warna hijau tua

26 Jurnal Teknologi Kesehatan, Volume 13, Nomor 1, Maret 2017, hlm. 23-32

Gambar 1. Grafik Pertumbuhan Koloni Jamur Aspergillus flavus Pada Berbagai Media

Gambar diatas secara diskriptip menunjukkan jamur Aspergillus flavus tumbuh pada semua media, semakin lama penanaman semakin besar diameter koloni. Koloni yang terbesar mulai 24 jam penanaman dari media kacang merah sampai 60 jam , semakin lama beralih koloni yang terbesar dari media kacang kedelai.

PEMBAHASAN

1. Kacang Hijau

Hasil penelitian membuktikan bahwa kacang hijau dapat digunakan sebagai media kultur terhadap pertumbuhan jamur Aspergillus flavus. Penanaman jamur Aspergillus flavus pada media agar tepung kacang hijau yang diinkubasi pada

0temperatur kamar (25 C) dalam waktu 24 jam memperlihatkan adanya pertumbuhan dengan ditandai terbentuknya koloni. Semakin lama waktu inkubasi maka diameter koloni akan semakin bertambah. Hal ini sesuai dengan pernyataan Ganjar yang menyatakan bahwa salah satu parameter pertumbuhan adalah pertambahan volume sel, karena adanya pertambahan protoplasma dan senyawa asam nukleat yang

2melibatkan sintesis DNA dan pembelahan mitosis .

Volume sel bertambah adalah irreversibel, artinya tidak dapat kembali ke volume semula. Pada umumnya koloni digunakan sebagai kriteria terjadinya pertumbuhan, karena massa sel berasal dari satu sel, berupa spora atau konidia jamur, menjadi miselium atau koloni yang dapat dilihat. Jika konidia atau spora jamur ditanam di atas agar dalam cawan petri, maka setelah satu atau dua hari akan terlihat struktur berupa benang-benang pada permukaan agar, pemeriksaan mikroskopis membuktikan bahwa yang tumbuh adalah koloni jamur. Ganjar, menyatakan bahwa kandungan yang kompleks dalam media kacang hijau menyebabkan jamur Asperg i l l us flavus membu tuhkan wak tu l eb ih l ama un tuk menguraikannya menjadi komponen-komponen

sederhana yang dapat diserap sel dan digunakan 2untuk sintesis sel dan energi .

Moore-Landecker menegaskan bahwa pada fase lag dimana sel-sel menyesuaikan dengan lingkungan dan pembentukan enzim-enzim untuk

9mengurai subrat lebih lama . Komposisi media SDA mengandung glukosa 4% dan pepton 1%, kandungan tersebut sangat sederhana sehingga jamur lebih mudah mencerna nutrisi sehingga pertumbuhannya lebih cepat.

Hasil penelitian yang telah dilakukan media kacang hijau memiliki pertumbuhan diameter koloni jamur Aspergillus flavus yang lebih besar dari pada pertumbuhan diameter koloni pada media SDA. Selisih rerata diameter koloni jamur Aspergillus flavus pada media kacang hijau dan media SDA memiliki selisih yang fluktuatif karena adanya pertumbuhan diameter yang bervariasi setiap 12 jam oleh pengaruh suhu dan kelembaban lingkungan. Suhu yang berubah-ubah dalam 12 jam menyebabkan pertumbuhan jamur yang bervariasi.

Jamur Aspergillus flavus dapat tumbuh baik pada media SDA karena media SDA merupakan media buatan pabrik yang selektif untuk isolasi jamur sehingga dijadikan media pembanding pada penelitian ini. Kandungan SDA yang sudah diformulasikan lebih sederhana memudahkan jamur untuk cepat mencerna nutrisi. Komposisi Media SDA per liter adalah peptone 10,0 gr,

10dextrose 40,0 gr dan agar 15,0 gr .

Jamur Aspergillus flavus dapat tumbuh dan berkembang baik pada media kacang hijau agak lama karena nutrisi kacang hijau memiliki komposisi yang lengkap berdasarkan Persatuan Gizi Indonesia dalam 100 gr kacang hijau mengandung karbohidrat 67,22 gr, protein 27,1 gr, lemak 1,78 gr, serat 8,88 mg, kalsium 263,91 mg, vitamin C 11,83 mg, kalori 345 kkal, dan air 15,5

11gr .

Pe r tumbuhan d iamete r ko lon i j amur

27Anik Nuryati, dkk, Media Agar Tepung Kacang Hijau, Kacang Merah, Kacang...

sebagai media alternatif terhadap pertumbuhan jamur Aspergillus fumigatus menunjukkan hasil bahwa nutrisi pada ekstrak kacang hijau dengan konsentrasi 10% dan diinkubasi selama 72 jam memperlihatkan diameter koloni jamur yang

14hampir sama dengan kontrol . Penelitian yang sama dengan memanfaatkan kandungan nutrisi kacang hijau sebagai pertumbuhan jamur dan mengukur besar diameter, pada penelitian ini dengan media tepung kacang hijau dengan berbagai konsentrasi menunjukkan hasil diameter koloni jamur Aspergillus flavus yang lebih besar daripada media SDA sebagai pembanding.

2. Kacang Merah

Hasil pertumbuhan koloni jamur Aspergillus flavus pada media agar dari tepung kacang merah lebih besar dari diameter koloni jamur pada media SDA pada usia 36 jam, selebihnya jam tersebut besar koloni dari SDA. Pertumbuhan jamur dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya adalah nutrisi. Nutrisi berperan penting dalam pertumbuhan jamur adalah karbohidrat dan protein, sesuai dengan pernyataan yang menyatakan, “Karbohidrat merupakan substrat utama untuk metabolisme karbon, jamur diketahui memiliki kemampuan menguraikan protein dilingkungannya dan menggunakan sebagai

2sumber nitrogen maupun karbon” . Kadar karbohidrat dan protein yang cukup tinggi pada kacang merah sebesar 61,9 gram dan 23,1 gram dalam 100 gram kacang menjadi faktor yang menunjang pertumbuhan jamur. Karbohidrat dalam kacang merah tersusun atas kumpulan polisakarida yang memiliki atom karbon yang banyak sehingga energi yang terbentuk cukup banyak. Karbohidrat berperan sebagai sumber energi dalam pembentukan sel jamur. karbohidrat yang tersedia dioksidasi menjadi energi kimia dan dipergunakan oleh sel dalam bentuk ATP. Protein pada kacang merah memiliki susunan asam amino yang cukup lengkap. Jamur Aspergillus flavus menguraikan protein tersebut menjadi asam-asam amino yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber karbon dan nitrogen untuk membangun sel-selnya. Kandungan nutrisi yang kompleks selain karbohidrat dan protein pada kacang merah dimanfaatkan oleh jamur Aspergillus flavus untuk

2tumbuh dan berkembang .

D iamete r pe r tumbuhan ko lon i j amur Aspergillus flavus pada media agar tepung kacang merah dapat dipengaruhi oleh suhu dan kelembahan yang tidak stabil selama penelitian berlangsung. Sehingga menunjukkan selisih yang bervariasi antara media SDA dan media agar tepung kacang merah pada setiap pengukuran 12 jam.

Aspergillus flavus lebih besar pada media tepung kacang hijau daripada media SDA mulai jam 96 karena nutrisi pada kacang hijau lebih besar dibandingkan pada media SDA. Karbohidrat pada media kacang hijau yaitu 67,22 gr sedangkan pada media SDA adalah 40 gr. Protein pada media kacang hijau yaitu 27,1 gr sedangkan pada media SDA adalah 10 gr.

Pengamatan dilakukan selama 5 hari setiap 12 jam dimana diameter koloni hampir memenuhi cawan petri. Pengamatan makroskopis maupun m ik roskop i s pada med ia kacang h i j au menunjukkan hasil yang sama dengan media SDA. Pengamatan makroskop is te r jad i pertambahan diameter serta perubahan warna koloni Aspergillus flavus. Koloni berwarna putih pada waktu inkubasi 24 jam kemudian berwarna kuning setelah diinkubasi selama 36 jam. Warna hijau muda terbentuk setelah diinkubasi selama 48 jam dan berwarna hijau tua menetap dari waktu

12inkubasi 60 jam sampai 120 jam .

Penelitian berlangsung sebanyak empat kali karena adanya kendala kurang steril lingkungan, media, serta peralatan penelitian. Sterilitas yang kurang baik dapat menyebabkan tumbuhnya jamur yang tidak diharapkan atau jamur kontaminan. Kontaminasi jamur selain Aspergillus flavus akan menyebabkan terhambatnya pertumbuhan jamur Aspergillus flavus karena nutrisi yang seharusnya digunakan oleh jamur Aspergillus flavus akan digunakan oleh jamur kontaminan.

Faktor lain yang menyebabkan tidak valid hasil penelitian adalah suhu dan kelembaban inkubator. Aspergillus flavus dapat tumbuh optimal pada suhu 25 – 37 ºC dengan kelembaban 70 – 75 %. Suhu inkubasi yang terlalu tinggi dapat mencairkan media sehingga kandungan air pada media akan berkurang dan dapat mempengaruhi pertumbuhan jamur. Hal ini sesuai dengan pernyataan Pelczar dan Chan, bahwa suhu dan kelembaban inkubasi yang sesuai merupakan persyaratan yang harus dipenuhi untuk menciptakan keadaan lingkungan yang tepat secara sintetis sebagai pengganti keadaan alam, agar jamur dapat tumbuh dan

1 3berkembang dengan baik dalam media . Pencatatan suhu dan kelembaban setiap pengamatan diperlukan untuk mengetahui

13pengaruhnya terhadap pertumbuhan jamur .

Penelitian ini telah menjawab pertanyaan peneliti bahwa tepung kacang hijau (Phaseolus radiatus L.) dapat digunakan sebagai media kultur terhadap pertumbuhan jamur Aspergillus flavus dan dapat digunakan sebagai alternative pengganti, jika media SDA tidak ada.

Penelitian ini sesuai dengan yang dilakukan oleh Ningrum mengenai ekstrak kacang hijau

28 Jurnal Teknologi Kesehatan, Volume 13, Nomor 1, Maret 2017, hlm. 23-32

digunakan sebagai media kultur terhadap pertumbuhan jamur Aspergillus flavus. Faktor yang mempengaruhi pertumbuhan jamur pada media agar tepung kacang kedelai adalah komposisi nutrisi yang terdapat dalam kacang. Media agar tepung kacang kedelai memiliki rerata diameter pertumbuhan koloni jamur yang lebih tinggi daripada rerata diameter pertumbuhan ko lon i jamur pada med ia SDA. Ha l in i menunjukkan komposisi nutrisi dalam kacang kedelai dapat mencukupi kebutuhan nutrisi yang digunakan oleh jamur Aspergillus flavus untuk pertumbuhannya.

Kacang kedelai memiliki kadar protein yang tinggi (lengkap) jika dibandingkan dengan kacang-kacang jenis lainnya yaitu sebesar 40,4 g / 100 gr kacang. Protein yang terkandung dalam kacang kedelai memiliki susunan 8 asam amino yang lengkap. Jamur Aspergillus flavus mampu menguraikan protein tersebut menjadi asam-asam amino dan memanfaatkannya sebagai sumber

13karbon dan nutrisi untuk membangun sel-sel nya .

Karbohidrat adalah molekul-molekul gula atau gabungan dari molekul gula yang memiliki banyak jenis. Berdasarkan gula penyusunnya, karbohidrat digolongkan menjadi monosakarida, disakarida, oligosakarida dan polisakarida. Dekstrosa dalam media SDA merupakan golongan monosakarida dengan rumus molekul C H O yang berarti 6 12 6

memiliki enam atom karbon sedangkan jenis karbohidrat dalam kacang kedelai adalah pati atau amilum yang digolongkan sebagai polisakarida dan umumnya merupakan materi cadangan pada tubuh tumbuhan. Polisakarida merupakan gabungan puluhan bahkan ribuan glukosa yang berikatan melalui ikatan glikosidik dengan rumus molekul (C H O ) yang berarti pati memiliki 6 10 5 n

15banyak atom karbon . Kandungan karbon yang banyak dalam kacang kedelai inilah yang menyebabkan Aspergillus flavus dapat tumbuh melebihi pertumbuhan pada media Sabouraud

15Dextrose Agar .

Hasil rerata diameter pertumbuhan koloni Aspergillus flavus pada media agar tepung kacang k e d e l a i d a n m e d i a S D A m e n u n j u k k a n penambahan diameter yang tidak sama pada setiap pengukuran 12 jam. Hal tersebut dapat dipengaruhi oleh banyak faktor. Salah satu faktor y a n g d a p a t m e m p e n g a r u h i p e r b e d a a n penambahan diameter koloni jamur Aspergillus flavus adalah faktor suhu dan kelembahan yang tidak stabil selama penelitian berlangsung.

Pengamatan makroskopis dan mikroskopis untuk melihat morfologi jamur Aspergillus flavusyang tumbuh pada media agar tepung kacang kedelai dengan jamur yang tumbuh pada media

Morfologi koloni pada media agar tepung kacang merah dan media SDA diketahui dengan p e n g a m a t a n s e c a r a m a k r o s k o p i s d a n mikroskopis. Hasil pengamatan koloni jamur Asperg i l l us flavus seca ra makroskop is memperlihatkan hasil yang sama dengan media SDA. Perubahan warna koloni yang terjadi dari warna putih berubah menjadi kuning kemudian warna hijau muda dan menetap menjadi warna hijau tua hingga akhir pengamatan. Morfologi jamur Aspergillus flavus tersebut berbentuk seperti pohon atau kipas, dengan hifa bersepta, bentuk kepala konidia radial atau berbentuk bola.

Hasil penelitian ini menjawab pertanyaan penelitian bahwa media agar tepung kacang merah dapat digunakan sebagai media kultur terhadap pertumbuhan jamur Aspergillus flavus pengganti media SDA. Kendala yang ditemui adalah sterilitas media maupun peralatan yang kurang baik.

Faktor kesesuaian suhu dan kelembaban ruang selama inkubasi merupakan faktor lain yang penting dalam memaksimalkan pertumbuhan dan perkembangan jamur. Sesuai dengan pernyataan Pelczar dan Chan, “Suhu dan kelembaban inkubasi yang sesuai merupakan persyaratan yang harus dipenuhi untuk menciptakan keadaan lingkungan yang tepat secara sintetis sebagai pengganti keadaan alam supaya jamur dapat tumbuh dan berkembang dengan baik dalam

13media” . Jamur tidak dapat tumbuh maksimal pada suhu dan kelembahan yang tidak sesuai. Jamur Aspergillus flavus dapat tumbuh optimal pada kisaran suhu 25 – 37 ºC dengan kelembaban 70 – 75 %. Suhu inkubasi yang terlalu tinggi juga dapat mempengaruhi media yang dipergunakan untuk isolasi jamur. Suhu yang terlalu tinggi dapat mencairkan media agar sehingga kandungan air pada media akan berkurang. Kondisi ini dapat berakibat pada pertumbuhan dan perkembangan

13pada jamur .

Penelitian serupa ekstrak kacang hijau sebagai media alternatif terhadap pertumbuhan jamur Aspergillus fumigatus yang dilakukan oleh Ningrum dengan hasil media ekstrak kacang hijau konsentrasi 10% dengan inkubasi selama 72 jam memperlihatkan diameter koloni jamur yang

14hampir sama dengan kontrol . Pada penelitian ini, media agar tepung kacang merah dengan konsentrasi protein yang sama dengan media SDA memperlihatkan diameter koloni jamur Aspergillus flavus yang lebih besar dari media SDA sebagai pembanding yang mulai terlihat pada inkubasi 24 jam.

3. Kacang Kedelai

Hasil peneli t ian kacang kedelai dapat

29Anik Nuryati, dkk, Media Agar Tepung Kacang Hijau, Kacang Merah, Kacang...

SDA. Pada pengamatan secara makroskopis tidak terjadi perbedaan antara koloni yang tumbuh pada media agar tepung kacang kedelai dengan media SDA, perubahan warna koloni Aspergillus flavusyang terjadi yaitu dari warna putih lalu berubah menjadi kuning kemudian warna hijau muda dan menetap menjadi warna hijau tua hingga akhir pengamatan. Morfologi tersebut adalah jamur Aspergillus flavus berbentuk seperti pohon atau kipas, dengan hifa bersepta, bentuk kepala konidia radial atau berbentuk bola.

Huwaina Penelitian ini setara dengan penelitian tentang efektivitas berbagai konsentrasi kacang kedelai sebagai media alternatif terhadap pertumbuhan jamur Candida . Hasil dari 16 albicanspenelitian tersebut menyebutkan bahwa kacang kedelai dengan konsentrasi 2% mampu dijadikan sebagai media alternatif terhadap pertumbuhan jamur , setara dengan penelitian Candida albicansini yaitu kacang kedelai mampu dijadikan sebagai media alternatif terhadap pertumbuhan jamur Aspergillus flavus.

Penelitian mengenai ekstrak kacang hijau sebagai media alternatif terhadap pertumbuhan jamur yang dilakukan oleh Aspergillus fumigatus Ningrum menunjukkan hasil bahwa media ekstrak kacang hijau pada konsentrasi 10% dengan inkubasi selama 72 jam memperlihatkan diameter koloni jamur yang hampir sama dengan kontrol . 14

Sedangkan pada penelitian ini, media agar tepung kacang kedelai dengan konsentrasi protein yang disamakan dengan media SDA memperlihatkan diameter koloni jamur yang lebih Aspergillus flavusbesar daripada media SDA sebagai pembanding.

4. Kacang Tunggak

Berdasarkan penelitian media agar tepung kacang tunggak dapat digunakan sebagai media kultur terhadap jamur . Aspergillus flavusPertumbuhan jamur pada media dipengaruhi oleh beberapa faktor. Karbohidrat merupakan nutrisi utama yang dipergunakan dalam metabolisme karbon pada jamur. Pernyataan Gandjar, “Karbohidrat merupakan substrat utama untuk metabolisme karbon, jamur juga diketahui memiliki k e m a m p u a n m e n g u r a i k a n p r o t e i n dilingkungannya dan menggunakannya sebagai

2sumber nitrogen maupun karbon” . Karbohidrat berperan sebagai sumber energi dalam pembentukan sel jamur. karbohidrat yang tersedia dioksidasi menjadi energi kimia dan dipergunakan oleh sel dalam bentuk ATP. Kandungan nutrisi y a n g k o m p l e k s p a d a k a c a n g t u n g g a k dimanfaatkan oleh jamur untuk Aspergillus flavus tumbuh dan berkembang.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbandingan diameter koloni jamur Aspergillus

flavus pada media agar tepung kacang tunggak dan media SDA. Berdasarkan penelitian media kacang tunggak memiliki pertumbuhan diameter koloni jamur lebih kecil dari media SDA. Hal ini menunjukkan bahwa komposisi nutrisi yang terdapat dalam kacang tunggak belum dapat mencukupi kebutuhan nutrisi yang digunakan oleh jamur Aspergillus flavus dalam pertumbuhan dibanding media SDA.

Kacang tunggak memiliki kadar karbohidrat dan protein yang cukup tinggi yaitu 56,6 gram dan

1124,4 gram dalam 100 gram kacang tunggak . Karbohidrat dalam kacang tunggak tersusun atas kumpulan polisakarida yang memiliki atom karbon yang banyak sehingga energi yang terbentuk cukup banyak. Protein pada tunggak memiliki susunan asam amino yang cukup lengkap. Jamur Aspergillus flavus protein tersebut menjadi asam-asam amino yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber karbon dan nitrogen untuk membangun

2sel-selnya . Hasil retata diameter pertumbuhan koloni pada media agar tepung kacang tunggak menunjukkan penambahan diameter yang tidak sama pada setiap pengukuran 12 jam. Hasil ini dipengaruhi oleh banyak faktor. Salah satu faktor y a n g d a p a t m e m p e n g a r u h i p e r b e d a a n penambahan diameter koloni jamur Aspergillus flavus adalah faktor suhu dan kelembahan yang tidak stabil selama penelitian berlangsung. Sehingga menunjukkan selisih yang bervariasi antara media SDA dan media agar tepung pada setiap pengukuran 12 jam.

Hasil pengamatan koloni jamur Aspergillus flavus secara makroskopis memperlihatkan hasil yang sama dengan media SDA. Perubahan warna koloni dari warna putih lalu berubah menjadi kuning kemudian warna hujau muda dan menetap menjadi warna hijau tua hingga akhir pengamatan. Has i l pengamatan seca ra m ik roskop i s menggunakan selotip yang ditempelkan pada koloni dan ditempelkan pada kaca obyek k e m u d i a n d i a m a t i d e n g a n m i k r o s k o p menunjukkan koloni Aspergillus flavus pada media agar tepung kacang tunggak tidak menunjukkan adanya perbedaan morfologi dengan jamur Aspergillus flavus yang diisolasi pada media SDA. Morfologi jamur Aspergillus flavus tersebut berbentuk seperti pohon atau kipas, dengan hifa bersepta, bentuk kepala konidia radial atau berbentuk bola.

Penelitian ini mengalami kendala sterilitas ruangan, media maupun peralatan yang kurang baik. Karena kendala ini maka penelitian harus dilakukan sebanyak 4 kali. Faktor sterilitas merupakan kunci keberhasilan penelitian ini. Oleh karena itu, kondisi yang aseptis selama penelitian

30 Jurnal Teknologi Kesehatan, Volume 13, Nomor 1, Maret 2017, hlm. 23-32

jamur Aspergillus flavus dalam pertumbuhannya.

Penelitian mengenai ekstrak kacang hijau sebagai media alternative terhadap pertumbuhan jamur Aspergillus fumigatus yang dilakukan oleh Ningrum menunjukkan hasil bahwa media ekstrak kacang hijau pada konsentrasi 10% dengan inkubasi selama 72 jam memperlihatkan diameter

14koloni jamur yang hampir sama dengan kontrol . Sedangkan pada penelitian ini, media agar tepung kacang tunggak dengan konsentrasi yang sama dengan media SDA memperlihatkan diameter koloni jamur Aspergillus flavus yang hampir sama dengan media SDA sebagai pembanding. Hal ini menunjukkan bahwa kacang tunggak memiliki kandungan nutrisi yang hampir sama dengan kacang hijau pada media alternatif untuk pertumbuhan jamur yang sama yaitu jamur Aspergillus sp. Warna koloni Aspergillus flavus pada media SDA dan berbagai media agar tepung secara keseluruhan dapat di rangkum pada tabel 6 berikut :

sangat diperlukan. Sterilitas yang kurang baik dapat memicu pertumbuhan jamur lain yang tidak diinginkan. Kontaminasi jamur lain mempengaruhi per tumbuhan Asperg i l lus flavus karena berhubungan dengan penggunaan nutrisi yang terdapat dalam media SDA maupun media agar tepung kacang tunggak. Hal ini menjadi salah satu pemicu ketidak valitan hasil penelitian.

Penelitian serupa dilakukan Huwaina mengenai kacang kedelai sebagai media alternatif terhadap pertumbuhan jamur Candida albicans dengan perlakuan berbagai konsentrasi kacang kedelai yaitu 2%, 4%, 6% dan 8% menunjukkan hasil bahwa 2 % cukup efektif menumbuhkan jamur dan

164%, 6%, 8% sangat efektif . Penelitian ini menggunakan media agar tepung kacang tunggak tidak diberikan perlakuan hanya menyamakan konsentrasi seperti media SDA, karena kacang kedelai dan kacang tunggak memiliki nutrisi yang hampir sama. Hal ini menunjukkan bahwa komposisi nutrisi dalam kacang tunggak dapat mencukupi kebutuhan nutrisi yang digunakan oleh

Tabel 6. Warna Koloni Aspergillus flavus pada Media SDA dan Berbagai AgarTepung dari 24 Sampai 120 Jam Penanaman

Media

SDA

Kacang Merah

Kacang Hijau

Kacang Tunggak

Kacang Kedelai

Warna Media

Coklat

Coklat Kemerahan

Coklat Hijau

Coklat Muda

Coklat Muda

24 Jam

Putih

Putih

Putih

Putih

Putih

48 Jam

A

A

A

A

A

72 Jam

B

B

B

B

C

96 Jam

B

B

B

B

C

120 Jam

B

D

D

B

E

Waktu Penanaman (Jam)

KeteranganA= Tengah hijau kekuningan pinggir putihB= Tengah hijau tua pinggir putihC= Tengah hijau muda pinggir putih

D= Tengah hijau tua pinggir putih buremE= Tengah hijau muda pinggir putih tidak jelas

Warna koloni jamur pada prinsipnya hampir sama di media SDA atau media kacang yang lain, dimana yang membedakan karena pengaruh warna dasar dari bahan baku tepung, misalnya kacang merah berwarna merah tua, setelah dibuat menjadi media agar warna media juga berwarna merah, sehingga warna koloni agak dipengaruhi pendaran warna media yang semula bening sampai hijau tua dipengaruhi warna merah menjadi putih burem sampai hijau tua dan burem atau tidak jelas.

KESIMPULAN

Kesimpulan pada penelitian ini adalah :

1. Media agar dari tepung kacang hijau, kacang merah, kacang tunggak dan kacang kedelai dapat digunakan sebagai media kultur terhadap pertumbuhan jamur Aspergillus flavus.

2. Diameter pertumbuhan koloni jamur Aspergillus flavus hari ke lima pada media agar dari tepung kacang kedelai (7.1 Cm) lebih besar dibanding

media kacang merah (6.1), kacang hijau (6.7), kacang tonggak (5.4 Cm) dan SDA (6.5cm). Warna koloni pada semua media adalah warna putih lalu berubah menjadi kuning kemudian warna hijau muda dan menjadi warna hijau tua hingga akhir.

SARAN

Saran yang disampaikan :

1. Bagi ilmu pengetahuan dapat memanfaatkan kacang merah, hijau, tunggak dan kedelai sebagai media kultur terhadap pertumbuhan Aspergillus flavus untuk selanjutnya perlu diteliti lebih lanjut spesifik jamur tertentu.

2. Bagi tenaga analis yang berada di daerah pedalaman dapat pembuatan media kultur untuk mendiagnosa jamur Aspergillus flavus dengan menggunakan bahan baku seperti kacang merah, hijau,tunggak dan kedelai.

31Anik Nuryati, dkk, Media Agar Tepung Kacang Hijau, Kacang Merah, Kacang...

edition. Prentice Hall International, Inc., New Jersey, pp 576.

10.Bridson. 2006. Oxoid Microbiology. England : Oxoid limited.

11.Persatuan Ahli Gizi Indonesia. 2009. Tabel Komposisi Pangan Indonesia. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo

12.Barton, R. C. 2013. Laboratory Diagnosis of Invasive Aspergillosis: From Diagnosis to Prediction of Outcome. Jurnal. Amerika : Department of Microbiology.

13.Pelczar, M.J., Chan, E.C.S. 2007. Dasar-dasar mikrobiologi. Jilid ke-1. Hadioetomo, R. S. , Imas, T., Tjitrosomo, S. S., Angka, S. L., penerjemah. Jakarta: UI Press. Terjemahan dari: Elements of Microbiology.

14.Ningrum, N. R. 2013. Analisis Pertumbuhan Jamur Aspergillus fumigatus dalam Media Kacang Hijau (Phaseolus radiatus L.). Karya Tulis Ilmiah. Yogyakarta : Jurusan Analis Kesehatan Stikes Jenderal Achmad Yani.

15.Panji. 2014. Jenis Karbohidrat Brdasarkan Jumlah Molekul Gulanya. Diunduh tanggal 26 Juni 2015 dari .http://edubio.info

16.Huwaina, A. D. 2015. Efektivitas Berbagai Konsentrasi Kacang Kedelai (Glycine max (L.) Merill) Sebagai Media Alternatif Terhadap Pertumbuhan Jamur Candida albicans. Karya Tulis Ilmiah. Yogyakarta : Jurusan Analis Kesehatan Poltekkes Kemenkes Yogyakarta.

DAFTAR PUSTAKA

1. Nurhayati. 2011. Penggunaan Jamur dan Bakteri dalam Pengendalian Penyakit Tanaman secara Hayati yang Ramah Lingkungan, Skripsi. Sumatera Selatan : Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian Universitas Sriwijaya Kampus Unsri,

2. Gandjar, Indrawati., Wellyzar Sjamsuridzal., Ariyani Oetari. 2006. Mikologi Dasar dan Terapan. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.

3. Tournas, V., M.E. Stack, P.B. Mislivec, and H.A. Koch. 2001. Yeast, Molds, and Mycotoxins. Washington :D.C Press.

4. Maryam, R. 2002. Mewaspadai Bahaya Kontaminasi Mikotoksin Pada Makanan. Falsafah Sains. Bogor : Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

5. Handajani, N.S, dan R. Setyaningsih.2006. Identifikasi Jamur dan Deteksi Aflatoksin B 1

terhadap Petis Udang Komersial. Jakarta. Biodiversitas.

6. Koneman, E.W , Lippincott Williams , Wilkins.2006. Koneman's Color Atlas and Textbook of Diagnostic Microbiology. Washington : Val Oduenyi Press.

7. Gandahusada, Srisasi, H. Herry D.Ilahude, Gita Pribadi. 2006.Parasitologi Kedokteran. Edisi 3. Jakarta: BalaiPenerbit FKUI.

8. Syarief, R., Ega, L., Nurwitri, C.,Mikotoksin Bahan Pangan,IPB Press, Bogor, 2003

9. Moore-Landecker, E. 1996. Fundamentals of the fungi. , E. 1996. Fundamentals of the fungi. 4th

32 Jurnal Teknologi Kesehatan, Volume 13, Nomor 1, Maret 2017, hlm. 23-32

HUBUNGAN JENIS PERSALINAN DENGAN WAKTU PENGELUARAN KOLOSTRUM PADA IBU BERSALIN KALA IV DI KOTA YOGYAKARTA TAHUN 2016

*Almas Azifah Dina , Sumarah, Ana Kurniati

Jurusan Kebidanan Poltekkes Kemenkes Yogyakarta *Email: [email protected]

ABSTRACT

Expressing colostrum is influenced by several factors, one of them is the type of maternal childbirth. Natural (vaginal) birth and Caesarean Section (C-Section) lead to psychological changes in women, pain, and are associated with the provision of drugs in the mother that can affect colostrum expression soon after birth. The percentage of deliveries by C-Section in Yogyakarta city is 28.6%, the figure is the highest proportion of cesarean delivery in the province. Coverage of exclusive breastfeeding in Yogyakarta city is the lowest in the province that is equal to 54.9%. The purpose of this research is knowing the relation of childbirth types and colostrums expression time on 4th stage of childbirth mothers in Yogyakarta in 2016. This research was an analytic observational study with a prospective cohort design. The study sample consisted of 35 respondents in the group without risk factors and 35 respondents with risk factors conducted from November, 1 to December 21, 2016. Data were collected by interview and observation. The data were analyzed using Chi-Square. Characteristics of mothers in this study were age, parity, nutritional status, and maternal education. The results of the bivariate analysis showed that SC increases the time for expressing colostrum > 120 minutes with the total number of 1.75 (p = 0.031; 95% CI; 1.028 to 2.981). it can be concluded that C-Section can increase the time of colostrum expression by > 120 min.

Keywords : Type of childbirth, Colostrum Expression Time

ABSTRAK

Pengeluaran kolostrum dipengaruhi oleh beberapa faktor salah satunya adalah jenis persalinan ibu. Persalinan normal maupun Sectio Caesarea (SC) mengakibatkan perubahan psikologis ibu, nyeri, dan berhubungan dengan pemberian obat-obatan pada ibu yang dapat mempengaruhi pengeluaran kolostrum segera setelah persalinan. Persentase persalinan secara SC di Kota Yogyakarta sebanyak 28,6%, angka tersebut merupakan proporsi bedah sesar tertinggi di Provinsi DIY. Sedangkan cakupan ASI eksklusif di Kota Yogyakarta merupakan yang terendah di Provinsi DIY yaitu sebesar 54,9%. Tujuan dari penelitian ini yaitu diketahuinya hubungan jenis persalinan dengan waktu peneluaran kolostrum pada ibu bersalin kala IV di Kota Yogyakarta tahun 2016. Jenis penelitian observasional analitik dengan desain kohor prospektif. Sampel penelitian terdiri dari 35 responden pada kelompok tanpa faktor risiko dan 35 responden dengan faktor risiko. Penelitian ini dimulai pada bulan November hingga Desember 2016. Pengumpulan data dilakukan dengan cara wawancara dan observasi. Analisis data menggunakan Chi-Square. Karakteristik ibu dalam penelitian ini adalah umur, paritas, status gizi, dan pendidikan ibu. Hasil analisis bivariat menunjukkan bahwa jenis persalinan SC memperlambat pengeluaran kolostrum hingga waktu > 120 menit sebanyak 1,75 (p=0,031; CI 95%; 1,028-2,981). Kesimpulan penelitian jenis persalinan SC dapat memperlambat waktu pengeluaran kolostrum hingga > 120 menit.

Kata Kunci: Jenis Persalinan, Waktu Pengeluaran Kolostrum

PENDAHULUAN

Kesehatan anak ditujukan untuk mempersiapkan generasi yang akan datang yang sehat, cerdas, dan berkualitas serta untuk menurunkan angka kematian anak. Hal tersebut merupakan salah satu tujuan penting dalam Sustainable Development Goals (SDGs).1 AKN dan AKB dapat diturunkan dengan berbagai cara, salah satunya adalah perbaikan dalam bidang gizi. Perbaikan gizi pada awal kehidupan tentu sangat berpengaruh terhadap kualitas hidup pada waktu yang akan datang.2 Renstra tahun 2015-2019 menyebutkan bahwa salah satu indikator pencapaian sasaran kegiatan pembinaan perbaikan gizi masyarakat adalah persentase bayi baru lahir mendapat kolostrum melaluiInisiasi Menyusui Dini (IMD). Air Susu Ibu (ASI) adalah makanan pertama bayi dan merupakan merupakan makanan yang paling cocok dari semua susu yang tersedia untuk

3bayi.

ASI dalam produksinya dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu psikologis ibu yang akan berakibat pada perubahan sistem hormonal setelah melahirkan, jenis persalinan, status perdarahan ibu setelah melahirkan, umur, paritas yang berpengaruh terhadap pemberian ASI, anastesi, dan isapan bayi segera setelah dilahirkan, sedangkan status nutrisi ibu akan

4 , 5, 6, 7, 8, 9 berpengaruh terhadap mutu ASI.

Pemberian kolostrum dalam 30 menit pertama setelah melahirkan pada ibu pascasalin dengan seksio sesarea sebesar 3,6%, angka ini jauh lebih rendah dibandingkan dengan ibu bersalin secara pervaginam yaitu 43%.7 Sedangkan pada penelitian yang dilakukan di China jumlah ibu post partum dengan pengeluaran kolostrum lebih dari 2 hari mencapai 49,3%. Angka tersebut menggambarkan kurangnya pemberian kolostrum pada 30 menit

pertama kelahiran, dimana pemberian kolostrum tersebut memiliki manfaat untuk sistem kekebalan tubuh bayi. Penelitian di RS St. Carolus pada 276 bayi yang dilakukan Inisiasi Menyusu Dini (IMD), didapatkan angka keberhasilannya adalah 75% (209 bayi). Angka keberhasilan IMD pada kelahiran spontan sebesar 82% sedangkan dengan bantuan alat (ekstraksi vakum) sebesar 44%. Keberhasilan IMD pada operasi bedah sesar sebesar 59%.

Angka Inisiasi Menyusu Dini (IMD) nasional pada tahun 2014 sebanyak 35%, angka ini masih jauh dari target Renstra 2015 yaitu sebesar 50% pada tahun 2019.3 Di Kota Yogyakarta sendiri cakupan ASI eksklusif merupakan yang terendah di Provinsi DIY yaitu sebesar 54,9%.2 Pemberian Kolostrum pada 30 d a n 1 2 0 m e n i t s e t e l a h p e r s a l i n a n a k a n mempengaruhi pemberian ASI eksklusif pada 4 bulan

.7dan 6 bulan pertama kehidupan

Prevalensi persalinan dengan seksio sesarea di negara maju seperti Amerika Serikat saat ini telah berkurang (21%), mengingat banyaknya informasi, berita, laporan, penemuan, dan tinjauan ilmiah yang tersebar melalui internet tentang efek dari persalinan sesar. Di Indonesia, angka persalinan sesar semakin meningkat, saat ini dilaporkan prevalensi persalinan sesar antara 10-40% dari seluruh kelahiran. Data dari rumah sakit swasta dari kota-kota besar di Indonesia menunjukkan persentase kejadian bedah sesar

10berkisar antara 30-80%. Hasil studi pendahuluan di RSUD Yogyakarta menunjukkan, jumlah persalinan pada tahun 2015 adalah 1.139 dengan jumlah persalinan pervaginam sebanyak 758 persalinan, 345 d iantaranya merupakan persal inan normal sedangakan persalinan dengan sectio caesarea sebanyak 381 persalinan.

METODE

Jenis penelitian observasional analitik, dengan desain cohort Prospective. Penelitian ini dilakukan di RSUD Kota Yogyakarta dan BPM Pipih Herianti pada 1 November 2016-21 Desember 2016. Populasi dalam penelitian ini adalah ibu bersalin. Teknik pengambilan sampel menggunakan purposive sampling. Subjek penelitian terdiri dari kelompok dengan faktor risiko (ibu bersalin SC) dan kelompok tanpa faktor risiko (ibu bersalin normal). Perhitungan besar sampel menggunakan rumus Lameshow sehingga sampel minimal adalah 35. Kriteria inklusi adalah ibu dengan kehamilan tunggal, anak lahir hidup, usia kehamilan aterm. Kriteria eksklusi adalah ibu yang memiliki penyakit penyerta selama kehamilan, terjadi perdarahan post partum, riwayat merokok, BBLR, penggunaan general anastesi saat persalinan, ibu yang mengalami gangguan stres berat. Pengumpulan data diambil wawancara dan observasi pada ibu bersalin yang telah memenuhi

kriteria. Data yang dikumpulkan adalah Jenis persalinan ibu, waktu pengeluaran kolostrum, umur, paritas, status gizi, dan pendidikan ibu. Teknik pengolahan data dilakukan dengan editing, coding, t rans fer r ing dan tabu la t ing . Ana l i s is da ta menggunakan chi-square, Risk Ratio, regresi logistic pada tingkat kepercayaan 95%.

Waktu pengeluaran

kolostrumn %

= 120 menit 33 47,1>120 menit 37 52,9Total 70 100,0

Tabel 1 menunjukkan klasifikasi waktu pengeluaran kolostrum pada Ibu bersalin kala I V ≤ 1 2 0 m e n i t y a i t u s e b e s a r 4 7 , 1 % , dan pengeluaran kolostrum pada Ibu bersalin kala IV > 120 menit yaitu sebesar 52,9%.

Tabel 1. Waktu Pengeluaran Kolostrum pada Ibu Bersalin Kala IV di Kota Yogyakarta

Tahun 2016

Tabel 2. Karakteristik ibu bersalin di Kota Yogyakarta tahun 2016

Tabel 2 menunjukkan bahwa responden dengan umur >30 tahun sebanyak 47,1%, persentase responden dengan umur ≤30 tahun lebih tinggi yaitu sebesar 52,9%. Responden dengan paritas lebih dari 1 (multipara) lebih banyak yaitu sebesar 71,4%, sedangkan responden yang merupakan primipara sebesar 28,6%. Status gizi pada hamil diukur dengan lingkar lengan atas (Lila). Ibu dengan Lila ≥23,5 cm sebesar 80% sedangkan Ibu dengan Lila <23,5 cm sebesar 20%. Tingkat pendidikan dasar responden sebesar 11,4%, tingkat pendidikan menengah sebesar 80% sedangkan tingkat pendidika tinggi sebesar 8,6%.

Analisis Bivariat

Hubungan Jenis Persalinan dengan Waktu Pengeluaran Kolostrum

34 Jurnal Teknologi Kesehatan, Volume 13, Nomor 1, Maret 2017, hlm. 33-37

Tabel 3. Tabel Hubungan Jenis Persalinan dengan Waktu Pengeluaran Kolostrum di Kota Yogyakarta Tahun 2016

Telah dilakukan penelitian terhadap ibu bersalin sebanyak 35 ibu bersalin normal dan 35 ibu bersalin secara sectio caesarea (SC). Ibu bersalin normal yang kolostrumnya telah keluar dalam waktu ≤ 120 menit sebanyak 21 responden (60%) sedangkan ibu bersalin SC yang waktu pengeluaran kolostrum ≤ 120 menit sebanyak 12 responden (34,3%). Ibu bersalin normal yang mengeluarkan kolostrum dalam waktu > 120 menit sebanyak 14 responden (40%) sedangkan ibu bersalin secara SC yang mengeluarkan kolostrum dalam waktu >120 menit sebanyak 37 responden (52,9%).

Waktu pengeluaran kolostrum ≤120 menit pada ibu bersalin normal sebanyak 60%, lebih besar jika dibandingkan dengan ibu bersalin secara SC yaitu 34,3%. Hasil uji statistik menggunakan chi square dengan α = 0,05 didapatkan p = 0,031, dimana p value < α maka Ho ditolak dan Ha diterima, artinya ada hubungan yang signifikan antara jenis persalinan dengan waktu pengeluaran koloatrum pada Ibu bersalin.

PEMBAHASAN

Hasil penelitian yang diperoleh dari RSUD Kota Yogyakarta dan BPM Pipin Heriyanti Amd,Keb dari tanggal 1 November sampai dengan 21 Desember 2016 diperoleh 35 kelompok Ibu dengan kelompok tanpa faktor risiko dan 35 Ibu pada kelompok dengan faktor risiko. Analisis data dilakukan pada kedua kelompok yang telah memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Karakteristik pada kedua kelompok tersebut yaitu sebesar 52,9% ibu dengan usia ≤30 tahun, sedangkan usia ibu >30 tahun sebesar 47,1%, dan sebanyak 71,4% merupakan multipara sedangkan 28,6% merupakan primipara. Pada status gizi ibu dinilai dengan mengukur Lila Ibu dengan hasil sebesar 80% responden dengan Lila ≥23,5 cm dan Lila <23,5 cm sebesar 20%. Karakteristik tingkat pendidikan yaitu sebesar 11,4% dengan pendidikan dasar, 80% dengan pendidikan menengah, dan 8,6% dengan pendidikan perguruan tinggi.

Kolostrum adalah cairan yang berwarna kekuningan yang keluar dari payudara pada beberapa jam pertama kehidupan seringkali dianggap sebagai cairan yang tidak cocok untuk bayi, padahal sesungguhnya kolostrum kaya akan sekretori imunnoglobulin A (sIg A) yang berfungsi melapisi

saluran cerna agar kuman tidak bisa masuk ke dalam aliran darah dan akan melindungi bayi sampai sistem

11imunnya berfungsi dengan baik. Dalam sebuah penelitian oleh Nakao (2008), pemberian kolostrum dalam waktu kurang dari 120 menit setelah persalinan berpengaruh terhadap pemberian ASI eksklusif pada 4 bulan pertama. Apabila keterlambatan pengeluaran ASI tidak diatasi dengan baik, maka pemberian laktasi yang t idak mencukupi akan berujung pada berkurangnya berat badan bayi, dehidrasi dan masalah-masalah serius yang lainnya termasuk

.7kematian

Hormon yang paling banyak berperan dalam pengeluaran air susu ibu (termasuk kolostrum) yaitu hormon prolaktin dan hormon oksitosin. Prolaktin yang memicu pembentukan air susu dan oksitosin yang berperan dalam sekresi air susu.8 Prolaktin adalah hormon yang terdiri dari 198 asam amino yang disintesis dan disekresi dari laktotrof kelenjar hipofisis anterior. Prolaktin merangsang laktasi pada masa nifas. Selama kehamilan sekresi prolaktin meningkat bersamaan dengan hormon lainnya (esterogen, p r o g e s t e r o n , h P L , i n s u l i n , d a n k o r t i s o l ) mempengaruhi pertumbuhan payudara untuk persiapan produksi ASI. Selama kehamilan, esterogen meningkatkan pertumbuhan payudara tetapi menghalangi kerja prolaktin pada laktasi. Pengaturan hipotalamus terhadap sekresi prolaktin terutama menghambat, dan dopamin merupakan faktor penghambat terpenting. Respon emosional seperti rasa tidak percaya diri, konsentrasi yang terlalu tinggi serta rasa cemas akan meningkatkan

12produksi dopamin.

Produksi kolostrum pada ibu sudah dimulai saat kehamilan, namun tidak disekresikan sampai saat setelah persalinan, hal ini disebabkan karena masih tingginya kadar hormon esterogen yang menghambat proses pengeluaran kolostrum. Pengeluaran kolostrum sendiri dipengaruhi oleh beberapa hal, yaitu jen is persal inan yang juga mempengaruhi pengeluaran darah post partum, paritas, isapan bayi segera setelah lahir, status nutrisi ibu, pemberian

4 ,5, 6 ,7, 8 ,9anastesi saat persalinan.

Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah responden yang mengalami pengeluaran kolostrum cepat (≤120 menit) yaitu sebanyak 33 responden (47,1%), 21 responden dengan

35Almas Azifah Dina, dkk, Hubungan Jenis Persalinan Dengan Waktu....

Anastesi pada setiap keadaan membawa masalah tersendiri sesuai dengan kondisi pasien sebab obat-obatan anastesi bersifat mendepresan kerja organ-organ vital. Aspek farmakologik anastesi yang dapat mempengaruhi pengeluaran kolostrum yaitu narkotik dan analgesik, sedaptif hipotonik dan neuroleptik, relaksasi otot-otot, vasokonstriktor dan vasopresor. Anastesi epidural pada ibu bersalin secara SC menyebabkan bayi cenderung megantuk dan mengalami kesulitan dalam menyusui. Selain itu pemberian anastesi epidural dalam persalinan juga mengakibatkan penurunan kapasitas neurologis dan

14adaptasi pada ibu.

Hal tersebut sesuai dengan penelitian yang menyatakan bahwa metode persalinan yang digunakan mempengaruhi pemberian kolostrum pada bayi dalam 30 menit dan 120 menit setelah persalinan dengan Odd Ratio (OR) 1,29.7 Tordvaldsen dalam jurnal yang berjudul “Intrapartum epidural analgesia and breastfeeding: a prospective” pada tahun 2006 juga menjelaskan bahwa ibu dengan pemberian anastesi epidural pada persalinan SC mempengaruhi dalam menyusui dalam 24 jam post partum dengan HR 2,07.14 Penelitian dalam thesis pada tahun 2015 dengan judul “Onset Laktasi pada Persalinan Seksio Sesarea” juga menjelaskan adanya hubungan antara metode persalinan dengan onset laktasi pada ibu post

13partum.

Keterlambatan pengeluaran kolostrum pada ibu tidak hanya dipengaruhi oleh jenis persalinan, beberapa faktor lain seperti umur, status gizi, paritas, dan pendidikan. Usia Ibu yang >30 tahun secara signifikan dapat menyebabkan keterlambatan permulaan laktasi. Umur yang lebih tua memiliki faktor risiko intolerans terhadap karbohidrat selama kehamilan sehingga menyebabkan berat badan ibu cenderung meningkat. Ibu dengan berat badan berlebihan akan menyebabkan peningkatan kadar progesteron yang juga akan menghambat pengeluaran ASI. Secara mekanis ibu dengan berat badan berlebih sulit untuk menyusui dengan posisi laktasi yang baik, yang kemudian menyebabkan rendahnya rangsangan terhadap pengeluaran prolaktin. Secara fisiologis juga ditemukan adanya perkembangan abnormal dari kelenjar payudara

13akibat deposit lemak di sel-sel alveolar.

Status gizi yang kurang juga memiliki dampak negatif terhadap pengeluaran kolostrum. Efisisensi metabolik meningkat pada wanita yang menyusui sehingga mereka mampu menghemat energi dan menurunkan produksi kolostrum. Kinerja laktasi pada wanita benar-benar terganggu j ika mereka mengalami gizi buruk, tetapi hal ini terjadi hanya pada

15wanita yang kelaparan atau hampir kelaparan.

Faktor paritas menjadi salah satu penyebab keterlambatan laktasi. Faktor primipara berkaitan

persalinan normal dan 12 dengan persalinan SC, sebanyak 37 (52,9%) ibu yang melahirkan mengeluarkan kolostrum dengan waktu >120 menit. Indikasi persalinan SC dalam kasus ini adalah riwayat SC pada persalinan sebelumnya, ketuban pecah dini (KPD), disproporsi kepala pelvik (DKP), kala 1 memanjang, letak lintang, letak sungsang, lilitan tali pusat, dan kehamilan lewat bulan.

Pada persalinan normal umumnya terjadi penurunan kadar esterogen dan progesteron secara drastis segera setelah plasenta lahir, hal ini memicu pengeluaran kolostrum. Kontak ibu dengan bayi segera setelah lahir (skin to skin contact) berpengaruh terhadap psikologis ibu untuk menyusui bayinya, hal ini umumnya tidak dilakukan pada persalinan secara

9 bedah sesar.

Setelah pelahiran plasenta pada ibu bersalin normal, sejumlah perubahan maternal terjadi pada saat stres fisik dan emosional akibat persalinan dan kelahiran mereda dan ibu memasuki penyembuhan pasca partum dan bounding. Pada saat ini bayi dapat disusukan pada ibu, isapan bayi pada puting susu ibu akan merangsang produksi oksitosin yang berfungsi meningkatkan kontraksi uterus dan pengeluaran

9kolostrum.

Pengeluaran kolostrum dipengaruhi oleh faktor sosial dan biologis. Mekanisme penghambat pengeluaran kolostrum terletak pada nyeri dan kecemasan ibu, obat-obatan yang diberikan, baik i nduks i ope ras i maupun ana lges ia se r t a keterlambatan pemberian ASI yang pertama karena ibu memerlukan waktu lebih lama dalam pemulihan pasca melahirkan dibandingkan dengan persalinan normal.

Pada persalinan SC, stres pada ibu dapat disebabkan oleh rasa nyeri setelah efek anastesi menghilang. Stress pada ibu post partum akan disertai peningkatan sekresi Adrenokortikotropik Hormon (ACTH) oleh kelenjar hipofisis anterior yang di ikuti dengan peningkatan sekresi hormon adrenokortikal berupa kortisol dalam waktu beberapa menit. Sekresi kortisol yang tinggi dapat menghambat transportasi hormon oksitosin dalam sekresinya, sehingga dapat menghambat pengeluaran produk

9ASI (kolostrum, ASI transisi, ASI matur).

Pengaruh stres dalam persalinan SC juga akan menyebabkan terjadinya blokade terhadap refleks let down. Ini disebabkan adanya pelepasan epinefrin yang akan menyebabkan vasokontriksi pembuluh darah alveoli, sehingga oksitosin mengalami hambatan untuk mencapai organ target d i mioepitelium. Apabila hal ini terjadi terus menerus dapat menurunkan produksi air susu melalui

13penghambatan terhadap pengosongan payudara.

Pemberian anastesi pada saat persalinan SC juga memberikan efek negatif terhadap proses laktasi.

36 Jurnal Teknologi Kesehatan, Volume 13, Nomor 1, Maret 2017, hlm. 33-37

dukungan psikologis pada ibu dalam memberikan ASI pada anaknya.

DAFTAR PUSTAKA

1. Kemenkes RI. 2015. Profil Kesehatan Indonesia 2014. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.

2. Dinkes DIY. 2015. Profil Kesehatan DIY Tahun 2015.

3. Kemenkes RI . 2014. Rencana St ra teg i Pembangunan Indonesia. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI

4. Almatsier. S, dkk. 2011. Gizi Seimbang dalam Daur Kehidupan. Jakarta. Gramedia Pustaka Utama.

5. Dewi. P. 2015. Hubungan Tingkat Kecemasan dengan Onset Laktasi pada Ibu Post Parum Di RS PKU Muhamadiyah Yogyakarta.

6. Gomez. H, at al. 2015. Retrospective Study Of The Association Between Epidural Analgesia During Labour And Complications For The Newborn.

7. Nakao Y. At al. 2008. Initiation of breastfeeding within 120 minutes after birth is associated with breastfeeding at four months among Japanese women: A self administered questionnaire survey.

8. Nasihah. M dan Mahaijiran D. 2010. Hubungan Antara Paritas Dan Pemberian Kolostrum Pada Ibu Post Partum.

9. Varney. H, at.al. 2008. Buku Ajar Asuhan Kebidanan. Jakarta. EGC.

10.Dewi. K. 2007. Evaluasi Penggunaan Obat Pada Pasien Pasca bedah Sesar Di Bangsal Bakung Timur Rumah Sakit Sanglah Denpasar Periode Februari 2007.

11.Suradi. S,dkk. 2010. Indonesia Menyusui. IDAI.

12.Greenspan. F. 2000. Endokrinologi Dasar dan Klinik. Jakarta. EGC

13.Baskara. L. 2015. Onset Laktasi pada Bedah Sesar. Yogyakarta

14.Tordvalsen S. 2006. Intrapartum epidural analgesia and breastfeeding: a prospective cohort study.

15.Fraser. D dan Cooper. M. 2011. Myles Buku Ajar Bidan. Jakarta. EGC.

16.Riordan. J and Wambach.K. 2011. Breastfeeding and Human Lactation. LLC

17.Archaya. P and Khanal.V. 2015. The Effesct Of Mother's Educational Status On Early Initiation Of Breastfeeding: Further Analysis Of Three Consecutive Nepal Demographic And Health Surveys.

18.Reeder.S, at.al. Keperawatan Maternitas .volume 2. Jakarta. EGC.

19.Mochtar.R. 2013. Sinopsis obstetri. Jakarta. EGC.

dengan reseptor prolaktin yang masih sedikit dan mengakibatkan produksi susu lebih sedikit. Ibu primipara dengan sedikit pengalaman secara nyata dapat meningkatkan stres dan rasa cemas. Rasa nyeri dan kelelahan setelah persalinan pada primipara lebih kuat jika dibandingkan dengan multipara.16

Status pendidikan yang tinggi juga meningkatkan pemberian ASI pada jam pertama setelah persalinan. Ibu dengan pengetahuan yang kurang cenderung membuang kolostrum pertama yang memiliki banyak manfaat bagi bayi. Menyusui dini pada jam pertama setelah persalinan saling berpengaruh dengan

17pengeluaran kolostrum.

KESIMPULAN

Proporsi ibu bersalin secara SC yang mengalami pengeluaran kolostrum > 120 menit sebesar 52,9%. Proporsi bu bersalin secara SC yang mengalami pengeluaran kolostrum ≤ 120 menit sebesar 34,3%. Prporsi ibu bersalin secara normal yang mengalami pengeluaran kolostrum >120 menit sebesar 40%. Proporsi ibu bersalin secara normal yang mengalami pengeluaran kolostrum ≤ 120 menit sebanyak 60%. Ada hubungan yang signifikan antara jenis persalinan dengan waktu pengeluaran kolostrum pada ibu bersalin dengan p value 0,031. Relative Risk (RR) jenis persalinan dengan waktu pengeluaran k`olostrum sebesar 1,75 ( CI 95% 1,028-2,981) yang berarti ibu dengan persalinan SC berpeluang 1,75 kali lebih besar mengalami pengeluaran kolostrum > 120 menit setelah persalinan dibandingkan dengan ibu dengan persalinan normal.

SARAN

Bidan diharapkan dapat memberikan asuhan yang lebih baik dengan memberikan informasi dan edukasi kepada ibu, serta dapat memberikan asuhan yang lebih baik terutama dalam memotivasi ibu post partum agar dapat menyusui bayinya sesegera mungkin. Pemberian leaflet tentang ASI dan stimulasi produksi ASI sangat penting. Peneliti selanjutnya diharapkan dapat melakukan pengembangan ilmu tentang pengeluaran kolostrum dan mengatasi masalah yang menyebabkan keterlambatan dalam pengeluaran kolostrum pada ibu bersalin maupun ibu post partum. Peneliti selanjutnya diharapkan dapat memprediksi waktu penelitian sehingga waktu yang diperlukan untuk memenuhi jumlah sampel dalam penelitian sebading. Pemangku kebi jakan sebaiknya member ikan keb i jakan ten tang iz in un tuk mendampingi Ibu bersalin dan nifas. Adanya pendamping ibu saat bersalin ataupun nifas, baik suami ataupun keluarga lainnya dapat memberikan

37Almas Azifah Dina, dkk, Hubungan Jenis Persalinan Dengan Waktu....

PENDIDIKAN KESEHATAN MENGGUNAKAN MEDIA LEAFLET MENURUNKAN KECEMASAN PADA PASIEN PRE ANESTESI DENGAN TEKNIK SPINAL

ANESTESI DI RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO PURWOKERTO

Puji Rizky Affandi, Harmilah*, Budhy Ernawan

Jurusan Keperawatan Poltekkes KemenkesYogyakarta*Email: [email protected]

ABSTRACT

Spinal anesthesia makes the patient remain conscious. 99% of people who will undergo anesthesia or surgery will experience pre anesthesia and surgery anxiety. Anxiety emerges because of several reasons, one of which is less information. By giving education through leaflet media, pateients are supposed to be more prepared to undergo the anesthesia process and get optimum results. The purpose of this research is to know the influence of health education by using leaflet media towards anxiety in pre anestesia patients with spinal anesthesia technique. This research method is using experimental quasi with two groups of intervention (leaflet) and control (visit only). The results of the research showed that pre-test anxiety in the intervention group was dominated by severe anxiety as many as 31 responden (86.11%), Medium anxiety was only one respondent (2.75%) and panic anxiety were 4 responden (11.11%), while the results of post-test in the intervention group experienced the decrease of anxiety on mild anxiety, namely 22 respondents (61.11%), Medium anxiety were 14 respondens (38.89%). From Mann Whitney statistical test with computer programs, it is obtained the output value of Asymp Sig. (2-tailed): 0,001 means that there is an influence on the use of leaflet media towards the decrease of anxiety in patients with spinal anesthesia in Prof. dr. Margono Soekarjo Hospital, Purwokerto.

Keywords : Spinal Anesthesia, Leaflet Media, Anxiety

ABSTRAK

Anestesi spinalmenjadikan pasien tetap sadar. Setiap orang dalam menghadapi anestesi atau pembedahan, terdapat 99% berpotensi terjadinya kecemasan pre anestesi dan operasi. Kecemasan karena beberapa penyebab salah satu yaitu kurang informasi, dengan diberikan pendidikan dengan media leaflet diharapkan pasien dapat berubah menjadi lebih siap dalam menghadapi proses anestesi dan mendapatkan hasil optimal. Tujuan dari penelitian ini adalah diketahui Pendidikan Kesehatan Menggunakan Media Leaflet dapat menurunkan Kecemasan Pada Pasien Pre anestesi dengan Teknik Spinal Anestesi.Metode penelitian ini menggunakan quasi ekperimen dengan dua kelompok intervensi (leaflet)dan kontrol (kunjungan saja).Hasil penelitian didapatkan kecemasan sebelum diberikan pendidikan kesehatan dengan leaflet pada kelompok intervensi sebagian besar responden mengalami kecemasan berat yaitu sebanyak 31 orang (86,11%), kecemasan sedang sebanyak 1 orang (2,75%) dan kecemasan panik 4 orang (11,11%)sedangkan hasilnilaipada post tes kelompok intervensi terjadi penurunan kecemasan pada kecemasan ringan yaitu 22 responden (61,11 %), kecemasan sedangyaitu 14 orang (38,89%). Berdasarkan hasil uji Mann Whitney didapatkan secara signifikan ada penurunan kecemasan pada pasien dengan spinal anestesi setelah diberikan pendidikan kesehatan dengan menggunakan media leaflet. Kesimpulan : Ada penurunan kecemasan pada pasien dengan spinal anestesi setelah diberikan pendidikan kesehatan dengan menggunakan media leaflet diRSUD Prof dr. Margono Soekarjo.

Kata kunci : Anestesi spinal, Media leaflet, Kecemasan

sadar saat operasi. Dengan kondisi ini maka dokter anestesi memberikan obat sedasi sehingga pasien tertidur dan ini sangat merugikan bagi pasien maupun rumah sakit, jika pasien yag seharusnya selesai operasi bisa langsung makan minum harus menunggu sampai sadar juga secara keuangan maka ada biaya tambahan jika harus memberi obat tambahan karena pasien cemas. Pengertian spinal anestesi sendiri yaitu tindakan penyuntikan obat anestesi lokal kedalam ruang subarahnoid. Anestesi sp ina l / suba rahno id d i sebu t j uga sebaga i

1analgesik/blok spinal intradural atau blok intratekal .

PENDAHULUAN

Fenomena yang ditemukan di tatanan klinis yaitu pasien sering bertanya kepada perawat kenapa mereka masih tersadar padahal sudah di anestesi saat menjalani tindakan operasi dengan pembiusan spinal anestesi. Dengan demikian pasien dapat mengetahui jalannya operasi, meski tidak holistik. Padaha l Kurang pengetahuan / in formas i menyebabkan pasien menjadi cemas karena tidak ada informasi sebelumnya bahwa pasien akan d i l a k u k a n t e k n i k s p i n a l a n e s t e s i d a n kondisi/kesadaran pasien masih tetapdalam keadaan

karenanya manajemen jalan nafas dan ventilasi tidak diperlukan. Teknik ini juga memiliki lebih sedikit efek samping sistemik, karenanya lebih aman digunakan pasien dengan komorbiditas. Indikasi tindakan untuk prosedur dibawah umbilikus catatan teknik ini tidak digunakan pada prosedur pembedahan diatas umbilikus karena kesulitan mempertahankan ventilasi spontan, sekaligus mencegah stimulasi nyeri dari

8traksi pada peritonium dan tekanan pada diafragma .

Berdasarkan fenomena dan beberapa teori kecemasan pada pasien yang akan melakukan operasi dan anestesi mengalami kecemasan karena beberapa hal yaitu : lingkungan yang asing, keh i langan kemandi r ian dapat mengalami ketergantungan dan memerlukan bantuan orang lain, berpisah dengan pasangan dan keluarga, masalah biaya, kurang informasi, ancaman akan penyakit yang

9lebih parah dan masalah pengobatan .

Pre anestesi merupakan langkah lanjut dari hasil evaluasi pre operasi khususnya anestesi untuk mempersiapkan pasien, baik psikis maupun fisik pasien agar pasien siap dan optimal untuk menjalani prosedur anestesi dan diagnostik atau pembedahan

10yang akan direncanakan . Fungsi utama dari informasi adalah menyampaikan pesan atau menyebarluaskan informasi kepada orang lain, artinya diharapkan dari penyebarluasan informasi itu, para penerima informasi akan mengetahui sesuatu yang ingin diketahui. Berdasarkan fungsinya sebagai penyalur pesan tersebut, media informasi dibagi menjadi tiga yakni media cetak, elektronik dan

11papan .

Pesan yang hanya menggunakan kata-kata saja sangat kurang efektif atau rendah intensitasnya. Media / alat bantu cetak dapat digunakan dalam membantu penyampaian informasi, sehingga dapat meningkatkan persepsi penerima pesan. Tujuan penggunaan alat bantu atau media cetak adalah menimbulkan perhatian terhadap masalah yang dijelaskan, untuk mengingatkan suatu pesan atau informasi menjelaskan prosedur tindakan serta membantu penyampaian materi lebih sistematis. Beberapa media cetak yang digunakan dalam penyampaian informasi yaitu booklet, leaflet, flip

12chart, flayer, rubrik, poster dan foto . Peneliti menggunakan media leaflet karena media ini menyajikan tulisan dan gambar yang mudah dimengerti oleh pasien dan secara biaya lebih murah dan bisa dibawa kemana-mana.

Berdasarkan catatan dari rekam medis RSUD Prof. DR. Margono Soekarjo Purwokerto dari bulan Januari - Agustus tahun 2016, jumlah pasien yang menghadapi spinal anestesi sebanyak rata – rata 78 orang. Data kejadian kecemasan menghadapi Spinal Anestesi tidak diketahui secara empiris, hal ini dikarenakan belum pernah dilakukannya penelitian di

Pengertian operasi adalah semua tindakan pengobatan yang menggunakan cara invasif dengan membuka atau menampilkan bagian tubuh yang akan di tangani. Pembukaan tubuh ini umumnya dilakukan dengan membuat sayatan. Setelah bagian yang akan ditangani ditampilkan dilakukan tindakan perbaikan yang akan diakhiri dengan penutupan dan penjahitan

2luka . Kondisi pasien yang menghadapi prosedur operasi dan anestesi ini mempunyai masalah kecemasan yang perlu penatalaksanaan yang optimal salah satunya pemberian informasi.

Menurut internasional Obstetric Anaesthesia Guidelines merekomendasikan teknik anestesi spinal dibandingkan dengan anestesi umum untuk sebagian besar seksio sesarea. Di Amerika Serikat pada tahun 1992, anestesi spinal digunakan lebih dari 80% pada

3operasi secar . Di Indonesia khususnya RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto didapatkan data bahwa tindakan spinal anestesi pada bulan Januari-

4Agustus 2016 berjumlah rata - rata 78 pasien / bulan .

Anestesi spinal beberapa tahun terakhir telah mendapat penerimaan luas dari dunia medis dikarenakan efek fisiologisnya yang menjadi alasan para petugas medis untuk mengharapkan keluaran yang lebih baik dengan teknik anestesi ini. Anestesi spinal relatif mudah dan praktis dilakukan, dengan potensi toksisitas sistemik yang jauh lebih rendah sehingga lebih aman, efek anestesi yang sangat baik. Disisi lain, beberapa alasan pemilihan blokade regional diantaranya, pada anestesi umum terdapat res iko gagalnya in tubas i endot rakea l dan perpanjangan masa penyembuhan, mual dan muntah yang dapat menyebabkan aspirasi isi lambung ke paru-paru pada pasien yang menjalani anestesi umum. Terdapat insidensi mortalitas akibat aspirasi sebesar 10% pada pasien yang menjalani anestesi

5umum .

Setiap pasien yang akan menjalani perencanaan anestesi dan operasi akan mengalami perasaan cemas dan takut. Pada pasien dewasa dengan operasi dan anestesi akan menyebabkan kecemasan yang meningkat, karena pada pasien dewasa sebagian besar dari mereka memiliki tanggung jawab, baik tanggung jawab keluarga, maupun pekerjaan. Masalah psikososial khususnya perasaan takut dan cemas selalu dialami setiap orang dalam menghadapi anestesi atau pembedahan, dimana 99% akan berpotensi terjadinya kecemasan pre anestesi dan

6operasi .

Kecemasan pada saat pasien dikirim kekamar operasi. Penyebabnya kecemasan dapat berbeda-beda rasa takut keadaan penyakit, operasi, anestesi dan nyeri. Hubungan yang baik dikembangkan antara pasien dan ahli anestesi dapat menumbuhkan

7keyakinan untuk meniadakan berbagai rasa takut ini . Anestesi spinal membuat pasien tetap sadar, oleh

39Puji Rizky Affandi, dkk, Pendidikan Kesehatan Menggunakan Media Leaflet....

13operasi . Populasi penelitian, semua pasien yang menjalani anestesi spinal yang memenuhi kriteria inklusi yaitu :Pasien dengan kriteria Asa I dan Asa II, Kecemasan dalam score APAIS lebih dari 7, Pasien dengan operasi elektif, Teknik anestesi spinal posisi miring atau duduk, bisa diajak berkomunikasi,bisa membaca dan menulis, bersedia menjadi responden, Pemberian premedikasi yang sama.Kriteria eksklusi yaitu pasien yang diberikan obat narkotik dan sedative,pasien neonatus, anak atau dewasa dengan tuna netra dan tuna rungu.

Pengambilan sampel dengan cara concecutive 20sampling dengan jumlah 72 responden dibagi

menjadi du kelompok 36 kelompok intervensi dan 36 kelompok kontrol. Kriteria sampel penelitian berdasarkan kriteria inklusi dan eksklusi. Pengukuran kecemasan menggunakanThe Amsterdam Pre Operative Anxiety And Information Scale (APAIS). Instrumen ini sudah tidak di uji validasi karena sudah

20dilakukan uji validasi sesuai penelitian . Data responden untuk kelompok berpasangan kurang dari 50 maka uji kenormalan data menggunakan Shapiro Wolk dengan hasil p 0,157 dan 0,002 karena data tidak terdistribusi normal maka menggunakan uji Wilcoxon. Pada kelompok tak berpasangan karena data lebih 50 maka uji normalitas menggunakan Kolmogorov Smirnovdan hasil p 0,003 (p>0,005) maka data tidak terdistribusi normal sehingga uji kemaknaan dengan uji Mann Whitney.

HASIL PENELITIAN

1. Pengaruh Pendidikan Kesehatan Menggunakan Media Leaflet terhadap Kecemasan Pasien dengan Spinal Anestesi Tenaga medis di ruang Instalasi Anestesi Terapi Intensif (IATI) berjumlah 31 orang dengan rincian dokter spesialis anestesi 8 orang, perawat anestesi 21 orang dan tenaga administrasi 2 orang. Jumlah kamar operasi di ruang Instalasi Anestesi Terapi Intensif (IATI) ada 16 buah di ruang bedah sentral, 4 buah di kamar operasi emergensi dan 4 buah di paviliun VIP. Jumlah tindakan operasi setiap hari yang dilakukan adalah 8 kasus untuk operasi emergensi dan 50 kasus untuk operasi elektif. Tindak anoperasi di VIP berjumlah 6 kasus per hari.

2. Karaktertistik Responden

Total responden yang menjadi subjek penelitian adalah 72 responden, yang terbagi dari 36 responden untuk intervensi dan 36 responden untuk kontrol.Hasil penelit ian yang telah dilaksanakan menghasilkan data karakteristik responden dalam penelitian ini meliputi umur, jenis kelamin, jenis pendidikan, biaya dan ASA. Gambaran karakterist ik responden dapat diperlihatkan pada tabel 1:

RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto. Tempat penelitian di RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto diketahui telah lulus paripurna akreditasi. Berdasarkan wawancara dengan perawat anestesi di rumah sakit RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto membenarkan tidak adanya media dalam pendidikan kesehatan preoperasi oleh perawat anestesi. Berdasarkan fenomena yang ada, peneliti tertarik untuk meneliti tentang Pengaruh Pendidikan Kesehatan Menggunakan Media Leaflet Terhadap Kecemasan Pada Pasien Pre anestesi dengan Teknik Spinal Anestesi di RSUD Prof. DR. Margono Soekarjo Purwokerto.

Berlandaskan fenomena tersebut, penulis merasa tertarik untuk melakukan penelitian dengan rumusan masalah “Bagaimanakah Pengaruh Pendidikan kesehatan menggunakan media leaflet terhadap kecemasan pada pasien dengan spinal anestesi di RSUD Prof Dr Margono Soekarjo”. Pada penelitian ini, peneliti mencoba dengan melakukan observasipre dan post tes pada dua kelompok yaitu kelompok intervensi dengan menggunakan leaflet dan kelompok kontrol dengan hanya kunjungan saja.

Adapun tujuan dilakukan penelitian. Diketahui Pengaruh Pendidikan Kesehatan Menggunakan Media Leaflet Terhadap Kecemasan Pada Pasien Pre anestesi dengan Teknik Spinal Anestesi. Manfaat Penelitian yaitu secara teoritis dari hasil penelitian diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan dibidang anestesi terutama pengaruh pendidikan kesehatan menggunakan media leaflet dalam menurunkan kecemasan pasien dengan spinal anestesi. Secara praktis bagi RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto hasil penelitian ini dapat memberikan masukan kepada pihak rumah sakit RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto ten tang Pengaruh Pend id i kan Keseha tan Menggunakan Media Leaflet Terhadap Kecemasan Pasien Pre anestesi dengan Teknik Spinal Anestesi. Bagi penel i t i d iharapkan dapat menambah pengetahuan yang lebih luas dalam bidang anestesi khususnya pengaruh Pendidikan Kesehatan Menggunakan Media Leaflet Terhadap Kecemasan Pasien Pre anestesi denganTeknik Spinal Anestesi.

METODE PENELITIAN

Penelit ian ini menggunakan metodequasi eksperiment dengan desain pre dan post tes pada kelompok intervensi dan kelompok kontroldengan cara sebelumnya di pre tes kecemasanya jika nilai lebih dari 7 maka masuk kriteria kemudian sehari sebelum operasi kelompok intervensi diberikan pendidikan kesehatan menggunakan media leaflet sedangkan kelompok kontrol pendidikan kesehatan tanpa media d i ruang perawatan kemudian pengukuran post tes dilakukan diruang tunggu

40 Jurnal Teknologi Kesehatan, Volume 13, Nomor 1, Maret 2017, hlm. 38-44

Berdasarkan tabel 1 pada kelompok intervensi menunjukkan bahwa berdasarkan umur sebagian besar responden berumur 46-65 tahun yaitu 14 responden (38,89%) sedangkan pada kelompok kontrol berumur 26-45 sebanyak 16 responden (44,44%). Berdasarkan jenis kelamin pada kelompok intervensi sebagian besar responden adalah laki-laki yaitu 23 responden (63,89 %) sedangkan pada kelompok kontrol responden juga perempuan 21 responden (58,33%). Pada kelompok intervensi biaya yang digunakan responden sebagian besar menggunakan BPJS yaitu 35 responden (97,22 %) sedangkan pada kelompok kontrol juga BPJS yaitu 32 responden (88,89). Pada kelompok intervensi berdasarkan status ASA sebagian besar pasien status ASA II yaitu sebanyak 33 responden (91,67 %) sedangkan pada kelompok kontrol juga ASA II yaitu sebesar 21 responden (58,33%). Pada kelompok intervensi berdasarkan jenis pendidikan sebagian besar responden berpendidikan SLTA yaitu 15 responden (41,67 %) sedangkan pada kelompok kontrol yaitu SLTA 18 responden (50%).

Proses analisa data diawali dengan uji kenormalan data pada kelompok berpasangan intervensi dan kontrol karena data numerik dan kurang dari 50 maka menggunakan menggunakan Shapiro Wilk. Hasil uji kenormalan data didapatkan data tak terdistribusi normal maka uji kemaknaan perbedaan kecemasan sebelum dan setelah pada kelompok yang diberikan pendidikan kesehatan menggunakan media leaflet dan kelompok yang hanya kunjungan saja menggunakan Wilcoxon. Sebelum dilakukan uji beda kelompok yang

diber ikan pendidikan kesehatan dengan menggunakan media leaflet dengan kelompok yang dilakukan kunjungan saja dilakukan uji normalitas menggunakan Kolmogorov Smirnov dengan hasil data tidak terdistribusi normal sehingga uji signifikansi menggunakan Mann Whitney.

3. Gambaran Kecemasan Kelompok Intervensi dan Kelompok Kontrol Pada Pasien Spinal Anestesi di RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto

Nilai kecemasan pre tes dan post tes pada kelompok intervensi dan kontrol pada pasien spinal anestesi di RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto 2017 dapat dilihat pada tabel 2 berikut ini.

Tabel 2. Nilai Kecemasan Pre Tes dan Post Tes pada Kelompok Intervensi dan Kontrol pada

Pasien Spinal Anestesi di RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto 2017

KelompokJenis

CemasPre(f)

%Post

(f)%

P value

Intervensi

Ringan 0 0 22 61,1

Sedang 1 2,8 14 38,9 0,000Berat 31 86,1 0 0panik 4 11,1 0 0

KelompokJenis

CemasPre % post %

P value

Kontrol Ringan 0 0 1 2,8

Sedang 7 19,4 34 94,4

Berat 27 75 1 2,8 0,000

panik 2 5,56 0 0

Tabel 2 menunjukkan bahwa nilai kecemasan pre tes pada kelompok intervensi responden sebagian besar oleh kecemasan berat yaitu sebanyak 31 responden (86,11%) dan padakecemasan post tes terjadi penurunan terbanyak pada kecemasan ringan yaitu 22 responden (61,11 %). Pada uji Wilcoxon dihasilkan nilai pada kelompok yang diberikan pendidikan kesehatan menggunakan media leaflet didapatkan yaitu nilai p 0,000 (p<0,005) artinya ada perbedaan kecemasan pada kelompok yang diberikan pendidikan kesehatan menggunakan media leaflet dengan kelompok yang hanya kunjungan saja.

Tabel 2 menunjukkan bahwa nilai kecemasan pre tes pada kelompok kontrol responden sebagian besar kecemasan berat yaitu sebanyak 27 responden (75%) dan setelah di lakukan pendidikan kesehatan tanpa media atau kunjungan saja nilai kecemasan mengalami penurunan kecemasan pada kecemasan sedang sebanyak 94,44 %. Pada uji Wilcoxon dihasilkan nilai pada kelompok yang hanya kunjungan saja didapatkan nilai yaitu p 0,000 ( p<0,005) ada perbedaan pendidikan kesehatan kunjungan saja (tanpa media) dengan penurunan kecemasan

Tabel 1. Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden

41Puji Rizky Affandi, dkk, Pendidikan Kesehatan Menggunakan Media Leaflet....

VariabelKecemasan

P Value

Berkurang TetapF % F %

Intervensi 35 97,2 1 2,8 0,001Kontrol36 36 100

Berdasarkan tabel 3 diatas ada 1 responden yang te tap/ t idak menga lami perubahan kecemasan.Hasil uji statistik menggunakan Mann Whitney sig/p 0,001 maka Ha diterima dan Ho ditolak artinya ada perbedaan penurunan kecemasan yang signifikan setelah pemberian pendidikan kesehatan dengan menggunakan media leaflet pada pasien dengan spinal anestesi di RSUD Prof Dr Margono Soekarjo Purwokerto.

PEMBAHASAN

1. Kecemasan Pada Pasien dengan Teknik Spinal Anestesi Sebelum Pendidikan Kesehatan pada Kelompok Intervensi dan Kontrol

Dari hasil pengolahan data didapatkan data bahwa nilai kecemasan pre tes pada kelompok intervensi sebanyak 31 responden (86,11%), kecemasan panik 4 responden (11,11%) dan ada 1 responden (2,78%) sedangkan nilai kecemasan pre tes pada kelompok kontrol sebanyak 27 responden mengalami kecemasan berat sebanyak 27 pasien (75%), ada 7 responden (19,44%) dengan kecemasan sedang dan ada 2 responden (5,56%) dengan kecemasan panik.

Berdasarkan nilai kecemasan sebelum diberikan pendidikan kesehatan menggunakan media leaflet dapat dilihat bahwa responden mengalami kecemasan sebelum anestesi. Penyebab kecemasan pada pasien pre anestesi meliputi lingkungan yang asing, kehilangan kemandirian sehingga mengalami ketergantungan dan memerlukan bantuan orang lain, berpisah dengan pasangan dan keluarga, masalah biaya, kurang informasi, ancaman akan penyakit yang

9lebih parah dan masalah pengobatan . Kurang informasi menjadi sa lah satu penyebab kecemasan seseorang khususnya pasien yang akan menjalani anestesi dengan spinal anestesi karena teknik ini pasien akan tetap sadar saat dilakukan operasi sehingga informasi yang optimal akan mengurangi kecemasan.

Anestesi regional membuat pasien tetap 8sadar . Kurangnya informasi pada pasien tentang

pelaksanaan pembiusan dengan teknik spinal

anestesi karena pasien dalam kondisi sadar dalam proses operasi sehingga perlu informasi yang optimal dari perawat khususnya perawat anestesi sehingga individu dapat lebih r i leks dan kecemasan dapat berkurang. Sesuai dengan

14jurnal yang dikemukakan mengatakan bahwa Informasi yang baik tentang proses bedah mengurangi tingkat kecemasan.

Pemberian informasi dapat menurunkan kecemasan ada pasien yang akan melakukan tindakan pembiusan khususnya pada pasien dengan spinal anestesi. Kondisi ini juga diperkuat

15oleh hasil penelitian mengatakan bahwa ada perbedaan tingkat kecemasan sebelum dan sesudah penyuluhan kesehatan pada pasien yang akan dilakukan tindakan spinal anestesi.

2. Kecemasan pada Pasien dengan Spinal Anestesi Sesudah dilakukan Pendidikan Kesehatan pada Kelompok Intervensi Maupun Kelompok Kontrol

Dari hasil pengolahan data didapatkan data bahwa nilai kecemasan post tes kelompok intervensi sebanyak 22 responden (61,11%) mengalami kecemasan ringan dan ada 14 responden yang dengan kecemasan sedang dan t idak ada yang mengalami cemas berat. Sedangkan pada nilai kecemasan post tes kelompok kontrol responden mengalami kecemasan sedang sebanyak 34 responden (94,44%), masih ada 1 responden (2,78%) mengalami cemas berat dan 1 responden (2,78%) masih mengalami cemas ringan.

Pemberian informasi/pendidikan kesehatan kepada pasien dapat meningkatkan pengetahuan pasien yang akan menjadi lebih siap dalam menghadapi proses anestesi dan mendapatkan

1 6has i l op t ima l .Manus ia ada lah mah luk biopsikososial yang unik dan menerapkan sistem terbuka serta saling berinteraksi.Manusia selalu berusaha untuk mempertahankan keseimbangan hidupnya kondisi ini disebut sehat dan jika gagal menyeimbangkan maka disebut sakit. Pasien masuk rumah sakit dan dirawat mengalami stress fisik dan mental baik dari diri sendiri, lingkungan maupun keluarga. Perlunya informasi sehingga pasien bisa menyesuaikan dengan kondisi yang sedang dialami dengan memberikan pendidikan kesehatan.

Penggunaan media leaflet sangat membantu pasien dalam menerima informasi sesuai dengan

17teori yang menyatakan leaflet merupakan bentuk penyampaian informasi kesehatan melalui lembaran yang dilipat. Keuntungan menggunakan med ia i n i an ta ra l a i n : sasa ran dapa t menyesuaikan dan belajar mandiri serta praktis karena mengurangi kebutuhan mencatat, sasaran dapat melihat isinya disaat santai dan sangat

pasien yang akan dilakukan spinal anestesi.

4. Perbedaan Penurunan kecemasan pada kelompok intervensi dan kontrol

Tabel 3. Perbedaan Penurunan Kecemasan p ada Kelompok Intervensi dan Kontrol pada Pasien Spinal

Anestesi di RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto 2017

42 Jurnal Teknologi Kesehatan, Volume 13, Nomor 1, Maret 2017, hlm. 38-44

nilai mean -12,6111. Untuk mengetahui kelompok mana yang lebih signifikan maka dilakukan uji tes Mann Whitney didapatkan nilai p 0,001 maka p <0,005 ada pengaruh pendidikan kesehatan menggunakan media leaflet terhadap kecemasan pada pasien spinal. Berdasarkan hasil tersebut dapat dikatakan bahwa kecemasan setelah pemberian informasi terdapat perbedaan penurunan kecemasan dengan menggunakan media leaflet lebih dapat menurunkan kecemasan dibanding tidak menggunakan media sesuai dengan penelitian lain bahwa penggunaan leaflet sebagai media sangat efektif mempengaruhi pengetahuan dengan kemaknaan 5 % diketahui bahwa media leaflet dapat mempengaruhi perubahan pengetahuan dan lebih banyak

19menurunkan kecemasan .

Pendidikan kesehatan berpengaruh terhadap penurunan kecemasan apalagi ditambah media leiflet karena media ini memiliki berbagai kelebihan seperti mudah dibawa, ekonomis, bisa dibaca sewaktu-waktu dan tulisan dan gambar yang mudah dipahami yang akan menambah daya tarik dan minat sehingga pasien mudah dalam penyampaina informasi dan pasien akan lebih mudah menerima informasi.

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa berdasarkan hasil uji signifikansi data pada dua kelompok intervensi dan kontrol menggunakan Mann Whitney didapatkan jika nilai p value 0,001 dapat disimpulkan ada signifikan pendidikan kesehatan menggunakan media leaflet dapatmenurunkan kecemasan pada pasien spinal di RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto.

SARAN

1. Bagi Rumah Sakit RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto.

a. Pembuat kebijakan

Supaya menjadi bahan pertimbangan pada pembuatan SOP pendidikan kesehatan menggunakan media leflet untuk menurunkan kecemasan terutama pasien dengan teknik spinal anestesi.

b. Bagi Perawat anestesi di IBS

Supaya perawat anestesi dalam memberikan pendidikan kesehatan menggunakan media leaflet untuk menurunkan kecemasan pasien dengan teknik spinal anestesi.

2. Bagi peneliti selanjutnya

Perlunya penelitian lanjutan pendidikan kesehatan menggunakan leaflet untuk menurunkan kecemasan dengan menambahkan variabel faktor-faktor yang mempengaruhi kecemasan.

ekonomis, berbagai informasi dapat diberikan atau dibaca. Leaflet memeiliki kelebihan yang membuat pasien bisa membaca setiap saat dan mudah dibawa kemana-mana.

Penggunaan media juga sangat membantu reponden dalam memahami suatu informasi

12sesuai teori menyatakan pesan yang hanya menggunakan kata-kata saja sangat kurang efektif atau rendah intensitasnya. Media/alat bantu cetak dapat digunakan dalam membantu penyampaian informasi, sehingga dapat meningkatkan persepsi penerima pesan. Tujuan penggunaan alat bantu atau media cetak adalah menimbulkan perhatian terhadap masalah yang dijelaskan, untuk mengingatkan suatu pesan atau informasi menjelaskan prosedur tindakan serta membantu penyampaian materi lebih sistematis. Beberapa media cetak yang digunakan dalam penyampaian informasi yaitu booklet, leaflet, flip chart, flayer, rubrik, poster dan foto.

Penggunaan media leaflet juga sangat membantu pasien dalam menerima informasi untuk meningkatkan pengetahuanya karena dengan adanya media pasien akan lebih mudah mener ima in formasi dan d iperkuat o leh teori17Pengetahuan merupakan hasil tahu dan ini terjadi setelah responden melakukan pengindraan terhadap suatu objek tertentu. Pengetahuan tentang kesehatan akan berpengaruh kepada perilaku selanjutnya perilaku kesehatan akan berpengaruh pada meningkatnya indikator kesehatan masyarakat sebagai keluaran pendidikan kesehatan.

3. Penurunan Kecemasan pada Kelompok Intervensi dan Kontrol

Pada kelompok intervensi ada 35 responden (97,2%) yang berkurang kecemasannya dan 1 responden yang tetap/tidak mengalami perubahan kecemasan dikarenakan responden berjenis kelamin perempuan dan status ASA II sehingga pasien tidak terjadi perubahan kecemasan sesuai dengan teori yaitu beberapa faktor yang mempengaruhi tingkat kecemasan pasien yang akan dilakukan tindakan operasi dan anestesi : usia, jenis kelamin, kondisi medis (status ASA), tingkat pendidikan, jenis tindakan, tingkat sosial

17ekonomi, akses informasi . Kecemasan juga dipengaruhi faktor pendidikan sesuai dengan hasil penelitian18 menyatakan fakto-faktor yang mempengaruhi kecemasan pasien pre operasi yaitu faktor pendidikan. Responden ini diketahui berpend id ikan seko lah dasar seh ingga mempengaruhi kecemasanya.

Pada kelompok kontrol terdapat 36 responden (100%) atau keseluruhan responden berkurang kecemasan . Penurunan pada kelompok intervensi lebih tinggi dibandingkan kelompok kontrol dengan

43Puji Rizky Affandi, dkk, Pendidikan Kesehatan Menggunakan Media Leaflet....

13. Sugiyono. (2010).Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R & D, Bandung : Alfabeta

14.Romeo and Muniesa. (2014). Effects of using an information leaflet in reducing perioperative anxiety and pain in patients undergoing urological surgery, jurnal, Dipublikasikan Epub 2014 Feb 2014.

15.Oktavia. R. (2014). Perbedaan tingkat kecemasan sebelum dan setelah pemberian penyuluhan pada pasien preoperasi sectio cesaria dengan spinal anestesi di RSUD Dr Sobirin Kabupaten Musi Rawas. Skripsi. Dipublikasikan poltekkes kemenkes jogjakarta.

16.Yuningsih,Y dan Subekti, N.B. (2007), Praktik Keperawatan ProfesionalEdisi 4, Jakarta : EGC.

17.Notoatmodjo. (2012). Promosi Kesehatan dan ilmu perilaku. Jakarta : rineka cipta.

18.Wandini , S. (2011). Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kecemasan pada Pasien Pre Operasi di Ruang Instalasi Bedah Sentral RSUD Kraton Pekalongan. Skr ipsi . Universi tas Muhammadiyah Semarang, Semarang.Di pulikasikan Desember 2011.

19.Syamsiyah. N. (2013). Pengaruh Media L e a fl e t Terhadap Perubahan Pengetahuan dan Intensi Pemberian ASI Eklsusif pada Ibu Hamil Diwilayah PUSKESMAS Kecamatan Pesanggrahan Jakarta Selatan. Skripsi. Dipublikasikan 27 Agustus 2013.

20.Nursalam. (2010).Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan, Jakarta : Salemba Medika.

21.Perdana,A.Firdaus,M.F.Kapuangan,C dan Khamella. 2015.Uji Validasi Konstruksi dan Re l i ab i l i t as I ns t rumen The Ams te rdam Preoperative Anxiety and Information Scale (APAIS) Versi Indonesia, Jurnal,Anesthesia & Critical Care Vol. 31 No. 1, Februari 2015.

DAFTAR PUSTAKA

1. Manjoer,A. Suprohaita. Wardhani.W.I dan Setiowulan.W. (2008). Kapita Selecta Kedokteran. Jakarta : Media Aesculapius

2. Sjamsuhidajat. (2010). Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi III. Jakarta : EGC

3. Flora, L. (2014).Perbandingan Efek Anestesi Spinal dengan Anestesi Umum terhadap Kejadian Hipotensi dan Nilai APGAR Bayi pada Seksio Sesarea,UNDIP.Diunduh pada tanggal 23 september 2016.

4. Rekam medik RSUD Prof. DR. Margono Soekarjo Purwokerto, (2016), yang diakses tanggal 29 september 2016.

5. Criatiana dan Bisri. (2015). Perbandingan antara Anestesi Umum dengan Anestesi Spinal untuk Seksio Sesarea terhadap Skor APGAR. Rumah Sak i t I bu dan Anak Me l i nda Bandung . Dipublikasikan Anesthesia & Critical Care Vol. 33 No. 2 Juni 2015.

6. Stuart and Sundeens. (2007). Keperawatan Jiwa. Edisi 3. Jakarta: EGC.

7. Nileshwar, A. (2014). Instant Access Anestesiologi. Jakarta: Bina rupa Aksara.

8. Keat.S, Bate.s.t,Bown.A and Lanham. (2013). Anaesthesia on the move. Jakarta : indeks.

9. Tarwoto dan Wartonah, (2006), Kebutuhan Dasar Manusia Dan Proses Keperawatan, Jakarta : Salemba Medika.

10.Mangku, G dan Senapathi, T. (2010). Buku Ajar Ilmu Anestesia Dan Reanimasi. Jakarta : PT Indeks.

11.Notoatmodjo.(2010). Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta : Rineka cipta.

12.Notoatmodjo. (2007)Kesehatan masyarakat ilmu dan seni. Jakarta: Rineka Cipta.

44 Jurnal Teknologi Kesehatan, Volume 13, Nomor 1, Maret 2017, hlm. 38-44

PERBEDAAN KADAR KREATININ PADA SERUM LIPEMIK YANG DIOLAH DENGAN POLYETHYLENE GLYCOL HIGH SPEED 6000 8% DAN SENTRIFUGASI

Wheny Mufita Sari, Ni Ratih Hardisari, Sujono

Jurusan Analis Kesehatan Poltekkes Kemenkes Yogyakarta

Email : [email protected]

ABSTRACT

Lipemic serum is a turbid serum caused by enhancement of lipoprotein consentration mainly chylomicron and very low density lipoprotein (VLDL). It can cause interference of physics and chemistry, spectrofotometri, not homogen sample and volume displacement effect that make the result of the laboratory test inacurate, including creatinin test. The method that can be used to clear up lipid on the lipemic serum is centrifugation, extraction with polar solvent, dilution, and precipitation with Polyethylene Glycol 6000 8%. The aim of the study is to know creatinine level defference of lipemic serum using Polyethylene Glycol 6000 8% in creatinine test. This research was a true experiment with Pretest Postest Control Group Design. This research was conducted in October – November 2016 at Pathology Clinic of Panembahan Senopati Hospital, Bantul. The result of creatinine scores before treatments was 0,98 mg/dL, after being added with Polyethylene Glycol 6000 8% it became 0,98 mg/dL, and after being processed using High Speed Centrifugation, it was 1,11 mg/dL. The result of statistic test using Independent Sample T-Test obtained the Asymp sig value of 0,003 (p<0,05) which means there is no difference of creatinine scores in lipemic serum processed by adding Polyethylene Glycol 6000 8% and High Speed Centrifugation.

Keywords : Lipemic Serum, Polyethylene Glycol, Creatinine

ABSTRAK

Serum lipemik adalah serum keruh yang disebabkan oleh peningkatan konsentrasi lipoprotein terutama kilomikron dan Very Low Density Lipoprotein (VLDL). Kekeruhan ini dapat menyebabkan gangguan fisika dan kimia, spektrofotometri, sampel menjadi tidak homogen dan memberi efek penggantian volume sehingga hasil pemeriksaan laboratorium menjadi tidak akurat, tidak terkecuali pemeriksaan kreatinin. Metode yang dapat digunakan untuk menghilangkan lemak pada serum lipemik antara lain metode sentrifugasi, ekstrasi dengan pelarut polar, pengenceran, dan presipitasi dengan Polyethylene Glycol 6000 8%. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan kadar kreatinin pada serum lipemik yang diolah dengan Polyethylene Glycol 6000 8% dan High Speed Sentrifugasi. Jenis penelitian ini adalah eksperimen murni dengan menggunakan rancangan penelitian Pretest Postest Control Group Design. Waktu penelitian dilakukan bulan Oktober – November 2016. Tempat penelitian dilakukan di Laboratorium Patologi Klinik RSUD Panembahan Senopati Bantul. Hasil pengukuran kadar kreatinin sebelum dilakukan perlakuan adalah 1,05 mg/dL, setelah diberi perlakuan dengan penambahan Polyethylene Glycol 6000 8% adalah 0,98 mg/dL, dan setelah dilakukan High Speed Sentrifugasi adalah 1,11 mg/dL. Hasil uji statistik dengan menggunakan Independent Sample T-Test didapat nilai Asym.sig sebesar 0,003 (p<0,050) yang artinya ada perbedaan yang bermakna kadar kreatinin serum lipemik yang diolah dengan Polyethylene glycol 6000 8% dan dengan High Speed Sentrifugasi.

Kata Kunci : Serum Lipemik, Polyethylene Glycol, Kreatinin

PENDAHULUAN

Serum lipemik adalah serum yang mengalami kekeruhan disebabkan oleh peningkatan konsentrasi

1l ipoprotein dan dapat terlihat dengan mata . Kekeruhan serum ini disebabkan oleh akumulasi partikel lipoprotein. Tidak semua jenis lipoprotein menyebabkan terjadinya kekeruhan. Partikel terbesar yaitu kilomikron dengan ukuran 70 – 1000 nm yang merupakan penyebab utama kekeruhan serum. Akumulasi partikel – partikel kecil, High Density Lipoprotein (HDL), Low Density Lipoprotein (LDL)

2tidak menghasilkan serum lipemik .

Lipemik mengganggu hampir semua pengukuran s p e k t r o f o t o m e t r i d e n g a n m e n y e r a p d a n menghamburkan cahaya. Lipoprotein t inggi trigliserida dalam konsentrasi besar juga memiliki efek

deplesi volume, dimana konsentrasi analit menurun karena lipoprotein menggantikan volume air yang seharusnya. Dengan kata lain, volume yang tergantikan oleh lipoprotein terhitung sebagai

3konsentrasi analit .

Metode yang dapat digunakan untuk menjernihkan serum lipemik antara lain dengan cara sentrifugasi,

1pengenceran, ekstraksi dan presipitasi . Metode sentrifugasi dengan ultrasentrifugasi merupakan gold standard untuk menghilangkan lipemik pada serum.

Presipitasi untuk menjernihkan serum lipemik dapat d i lakukan dengan menggunakan α-siklodekstrin dan Polyethylene glycol yang dapat mengikat lemak. Setelah lemak diikat dilakukan sentrifugasi agar lemak mengendap dan serum menjadi jernih. Penelitian telah mengungkapkan

Penelitian dilakukan di Instalasi Laboratorium Klinik RSUD Panembahan Senopati Bantul pada bulan September – November 2016. Obyek penelitian ini adalah serum lipemik sejumlah 30 serum yang berasal dari Laboratorium Klinik di Rumah Sakit Panembahan Senopati Bantul dan Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta. Kriteria inklusi obyek penelitian adalah serum lipemik dengan 3 tingkatan kekeruhan yaitu rendah, sedang, dan tinggi yang dilihat secara visual; semua umur; laki – laki dan perempuan. Kriteria eksklusi obyek penelitian adalah serum hemolisa, serum ikterik, serum dengan volume kurang dari 1 ml, dan serum bergumpal – gumpal.

Variabel bebas dari penelit ian ini adalah pengolahan serum lipemik. Serum lipemik dilakukan pengolah dengan dua macam cara yaitu dengan penambahan Polyethylene Glycol 6000 8% 1 : 1 dengan serum (200 µl serum : 200 µl Polyethylene Glycol 6000 8%) kemudian diinkubasi selam 30 menit

0pada suhu 4 C, lalu dilakukan sentrifugasi selama 10 menit dengan kecepatan 3000 rpm dan dengan High Speed Sentrifugasi dengan kecepatan 12.000 rpm atau setara dengan 10.195 x g selama 10 menit. Variabel terikat penelitian ini adalah kadar kreatinin.

Data dianalisis secara deskriptif kemudian dilakukan uji statistik. Analisis statistik dilakukan dengan uji normalitas data, kemudian dilakukan uji Paired Sampel Test untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan kadar kreatinin pada serum lipemik sebelum dan sesudah diberi perlakuan dan uji Independent Sampel Test untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan kadar kreatinin pada serum l ipemik setelah diber i penanganan dengan penambahan PEG 6000 8% dan dilakukukan High Speed Sentrifugasi. Analisis statistik dilakukan dengan bantuan perangkat lunak pengolah data

6SPSS 16 for Windows dengan taraf signifikansi 5% .

bahwa hasil dari 20 unsur serum tidak dipengaruhi dengan pengendapan lipoprotein menggunakan α-

1siklodekstrin . Polyethylene glycol (PEG) sebagai agen presipitasi fraksi tertentu merupakan zat kimia yang tidak berbahaya dan harganya relatif murah. Penambahan Polyethylene glycol 6000 8% pada serum lipemik dapat digunakan dalam penanganan serum lipemik akan tetapi perlu dibuktikan terlebih dahulu apakah agen pada pengukuran dengan

1metode ini mengganggu pemeriksaan atau tidak .

Kreatinin merupakan salah satu pemeriksaan kimia darah yang bertujuan untuk mengetahui fungsi ginjal. Kreatinin serum dianggap lebih sensitif dan merupakan indikator khusus pada pemeriksaan fungsi ginjal. Kreatinin serum sangat berguna untuk

4mengevaluasi fungsi glomerulus . Nilai normal pemeriksaan kreatinin adalah 0,6 smpai 1,3 mg/dL untuk laki – laki dan 0,5 sampai 1,0 mg/dL untuk

5perempuan . Nilai yang sangat kecil tersebut sangat berpotensi menimbulkan interpretasi yang salah apabila cara yang dilakukan dalam pemeriksaan salah.

Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan dua metode dalam penanganan serum lipemik yaitu dengan Polyethylene glycol 6000 8% dan High Speed Sentrifugasi. Dengan demikian dapat ditentukan kebijakan penanganan serum lipemik dalam pemeriksaan kreatinin.

METODE

Jenis penelitian ini merupakan rancangan eksperimen murni dengan rancangan penelitian Pretest Posttest Control Group Design. Dalam desain ini terdapat dua kelompok yang masing – msing dipilih secara acak, kemudian diberi pretest untuk mengetahui keadaan awal adakah perbedaan antara

[6]kelompok eksperimen dan kelompok kontrol .

HASIL PENELITIAN

Tabel 1. Indeks Lipemik dan Kadar Trigliserida Sampel Penelitian

Tabel 2. Kadar Kreatinin dengan berbagai pengolahan

46 Jurnal Teknologi Kesehatan, Volume 13, Nomor 1, Maret 2017, hlm. 45-49

Tabel 3. Perubahan Kadar Kreatinin Setelah Dilakukan Perlakuan

Tabel 4. Uji Normalitas Data Serum Lipemik Sebelum dan Sesudah Diolah

Tabel 5. Uji Statistik Serum Lipemik Sebelum dan Sesudah Diolah

Tabel 6. Uji Statistik Serum Lipemik Sebelum dan Sesudah Diolah

Uji Statistik p Signifikansi KesimpulanPaired Sample T-Test

Kadar Kreatinin Sebelum -Sesudah diberi Penambahan Polyethylene Glycol 6000 8%

<0,05 0,000 Ada perbedaan yang bermakna kadar kreatinin sebelum dan sesudah diolah denganPolyethylene Glycol 6000 8%

Kadar Kreatinin Sebelum -Sesudah dilakukan High Speed Sentrifugasi

<0,05 0,006 Ada perbedaan yang bermakna kadar kreatinin sebelum dan sesudah dilakukan High SpeedSentrifugasi

PEMBAHASAN

Penelitian ini menggunakan sampel serum lipemik sejumlah 30 sampel yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Sebelum diberi perlakuan serum diperiksa kadar kreatininnya sebagai pretest. Kemudian setiap serum lipemik dibagi menjadi dua bagian. Bagian pertama sebagai kelompok eksperimen yaitu serum ditambahkan dengan Polyethylene glycol 8% sebelum di lakukan pemeriksaan kadar kreatinin sedangkan bagian kedua sebagai kelompok kontrol yaitu dilakukan High Speed Sentrifugasi sebelum dilakukan pemeriksaan kadar kreatinin. Penelitian dilakukan di laboratorium yang telah menjalankan pemantapan mutu internal dan eksternal sehingga variabel pengganggu dalam pengukuran kadar kreatinin dapat dikendalikan.

Serum lipemik ditangani dengan Polyethylene Glycol 6000 8% terlihat jernih karena lipoprotein yang menyebabkan lipemik pada serum ini telah diikat oleh Polyetylene Glycol. Namun, perlu dilakukan pengukuran kadar kreatinin untuk mengetahui apakah penggunaan Polyethylene Glycol ini perpengaruh dengan kadar kreatinin dalam serum.

Kadar kreatinin pada serum yang ditangani dengan Polyethylene Glycol 6000 8% lebih rendah dari kadar kreatinin pada serum yang tidak diberi penanganan sebelum diukur kadar kreatininnya. Kadar kreatinin tersebut menenurun sebesar 22% dari sebelum dilakukan penanganan. Hal ini bertolak belakang dengan penelitian yang dilakukan oleh Saracevic dkk. yang menunjukkan bahwa kadar kreatinin serum lipemik setelah diproses dengan

47Wheny Mufita Sari, dkk, Perbedaan Kadar Kreatinin Pada Serum Lipemik Yang....

dilakukan dua kali sentrifugasi mengalami kenaikan dari 168 ± 95 µmol/L menjadi 193 ± 102 µmol/L. Sementara itu, kadar kreatinin serum lipemik yang ditangani dengan Ultrasentrifuge dengan alat Beckman Coulter Airfuge dengan kecepatan 107.000 x g selama 15 menit mengalami peningkatan dari 168

9± 95 µmol/L menjadi 193 ± 102 µmol/L . Pada penelitian Saracevic, dkk. (2014)kadar kreatinin serum lipemik yang ditangai dengan high speed sentrifugasi dengan kecepatan 12.100 x g dengan alat Eppendorf Mini Spin® mengalami kenaikan dari 181 ±

72 µmol/L menjadi 189 ± 1 µmol/L .

Peningkatan kadar kreatinin ini disebabkan karena efek deplesi volume. Pada serum yang belum diberi perlakuan volume yang diambil merupakan volume keseluruhan yang diambil dari serum sedangkan pada serum yang dilakuan sentrifugasi volume yang diambil merupakan serum yang sudah kehilangan lemak sehingga proporsi kreatinin menjadi lebih tinggi. Lipemik menurunkan konsentrasi analit yang sebenarnya dengan menurunkan konsentrasi analit karena volume yang ditempati oleh lipoprotein dalam serum dimasukkan dalam perhitungan konsentrasi

10analit .

Menurut hasil uji statistik kadar kreatitin sebelum dan sesudah dilakukan High Speed Sentrifugasi d e n g a n m e n g g u n a k a n P a i r e d S a m p l e T-Testdiperoleh Asymp.sig sebesar 0,006 (p<0,05) yangmenunjukkan bahwa ada perbedaan yang bermakna kadar kreatinin sebelum dan sesudah di lakukan penanganan dengan High Speed Sentrifugasi. Oleh karena itu memang perlu dilakukan penanganan serum lipemik terlebih dahulu sebelum dilakukan pemeriksaan kreatinin.

Selisih rerata kadar kreatinin pada serum lipemik yang diolah dengan Polyethylene Glycol 6000 8% dan High Speed Sentrifugasi adalah 0,28 mg/dL Kadar kreatinin yang dilakukan penanganan dengan High Speed Sentrifugasi lebih tinggi dibandingkan dengan kadar kreatinin pemeriksaan yang dilakukan penanganan dengan Polyethylene Glycol 6000 8%. Kedua metode ini merupakan metode yang direkomendasikan WHO (2002) untuk menghilangkan lipemik pada serum lipemik akan tetapi untuk metode presipitasi dengan Polyethylene Glycol 6000 8% perlu diperhatikan apakah Polyethylene Glycol 6000 8% mengganggu hasil pemeriksaan.

Menurut hasil uji statistik dengan menggunakan Independent Sampel T-Test diperoleh signifikansi sebesar 0,003 (p < 0,05) menunjukkan bahwa ada perbedaan kadar kreatinin yang bermakna antara penanganan serum lipemik dengan Polyethylene Glycol 6000 8% dan dengan High Speed Sentrifugasi. Metode High Speed Sentrifugasi lebih baik dari pada metode presipitasi dengan Polyethylene Glycol 6000 8% karena lebih sesuai dengan banyak penelitian

reagen LipoClear® menunjukkan hasil yang lebih tinggi, yaitu dari 181 ± 2 µmol/L menjadi 190 ± 4 µmol/L untuk sampel yang dibubuhi dengan Intralipid® dengan konsentrasi 300 mg/dL dan dari 178 ± 0 µmol/L menjadi 189 ± 1 µmol/L untuk sampel yang dibubuhi dengan Intralipid® dengan konsentrasi 500 mg/dL. Pada penelitian tersebut tidak semua hasil pemeriksaan pada serum yang ditangai dengan LipoClear® mengalami kenaikan hasil, ada juga yang mengalami penurunan kadar yaitu pada pemeriksaan

7kadar Total Protein, Albumin, dan CRP .

Has i l pengu j ian bahan kon t ro l dengan penambahan Polyethylene Glycol6000 8%yang diperlakukan seperti sampel penelitian diperoleh kadar kreatinin sebesar 0,70 mg/dL dan sebelum diberi perlakuan sebesar 0,71 mg/dL. Hal ini menunjukkan bahwa kadar kreatinin pada serum kontrol tidak berubah ketika dilakukan penambahan Polyethylene Glycol6000 8%.

Hasil Uji Statistik dengan Paired Sample T-Test diperoleh signifikansi sebesar 0,000 (p <0,05) yang berarti ada perbedaan yang bermakna antara kadar kreatinin sebelum diberi perlakuan dengan kadar kreatinin yang sudah dilakukan penanganan dengan penambahan Polyethylene Glycol 6000 8%.

Serum lipemik yang ditangani dengan High Speed Sentrifugasi dengan kecepatam 12.000 rpm selama 10 menit menjadi lebih jernih dari sebelumnya. Lapisan lemak berada di bagian atas serum, kemudian serum yang telah jernih dipipet secara hati – hati untuk dilakukan pemeriksaan kadar kreatinin. Hal ini sesuai dengan WHO bahwa kekeruhan pada serum lipemik dapat dihilangkan dengan sentrifugasi

1dengan kecepatan 10.000 g selama 10 menit .

Rerata kadar kreatinin pada serum lipemik yang ditangani dengan High Speed Sentrifugasi dengan alat Ependorf Mini Spin Plus® dengan kecepatan 12.000 rpm selama 10 menit adalah 1,11 mg/dL. Nilai rerata kadar kreatinin tersebut lebih t inggi dibandingkan dengan rerata kadar kreatinin sebelum diberi perlakuan. Kadar kreatinin tersebut mengalami kenaikan sebesar 6%. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Calmarza,dkk (2011), Dimeski dan Jones (2010), serta Saracevic, dkk. (2014) yaitu kadar kreatinin mengalami kenaikan s e t e l a h d i l a k u k a n p e n a n g a n a n d e n g a n

8,9,7ultrasentrifugasi dan high speedsentrifugasi .

Penelitian Calmarza, dkk (2011) serum lipemik ditangani dengan Ultrasentrifugasi dengan kecepatan 40.000 x g dengan a lat Centr ikon T-1080 Ultracentrifuge diperoleh kadar kreatinin pada serum

8lipemik mengalami peningkatan sebesar 4,25% . Penelitian Dimeski dan Jones (2010) kadar kreatinin serum lipemik ditangani dengan High Speed Sentrifugasi dengan alat Biofuga Promo High Speed microcentrifuge dengan kecepatan 21.885 x g dan

48 Jurnal Teknologi Kesehatan, Volume 13, Nomor 1, Maret 2017, hlm. 45-49

Polyethylene Glycol 6000 8% dan High Speed Sentrifugasi untuk parameter pemeriksaan laboratorium lainnya.

2. Pengolahan serum lipemik dengan High Speed Sentrifugasi dapat dilakukan untuk pemeriksaan kreatinin.

DAFTAR PUSTAKA

1. WHO. (2002). Use of Anticoagulants In Diagnostic Laboratory Invertigation.

2. Nikolac, N. (2013). Lipemia: Causes, Interference Mechanisms, Detection and Manajement. Biochemia Medica 2014;24(1):56-57. Kroasia : University Departement of Chemistry.

3. Contois, J.H dan Nguyen, R.A. (2013). Assay Interference: A Need for Increased Understanding and Testing. Sun Diagnostic.

4. Kee, M. (2013). Pedoman Pemer iksaan Laboratorium dan Diagnostik Edisi 6. Jakarta: ECG Penerbit Buku Kedokteran.

5. Sacher, R.A. dan McPherson (2004). Tinjauan Klinis Hasil Pemeriksaan Laboratorium. Jakarta : EGC

6. Sugiyono. (2010). Statistika Untuk Penelitian. Edisi 2. Bandung : Alfabeta.

7. Saracevic, A., Nikolac, N., Simundic, A.M. (January, 2014). The Ealuation and Comparation of Consecutive High Spees Centrifugation and LipClear Reagent for Lipemia Removal. Clinical Chemistry, Vol. 47, 309-314.

8. Calmarza P. dan Cordero J. (2011, May 8). Lipemia Interferences in Routine Clinical Biochemiae Tests. Biochemia Medica 2011;21(2):160-6.

9. Dimeski , G., Jones, B.W. 2011. Lipaemic samples : Evvective Process for Lipid Reduction Using High S p e e d C e n t r i f u g a t i o n C o m p a r e d W i t h Ultracentrifugation. Biochemia Medica 200; 21(1):86-94.

10.Guder, W. G dan Sheshadri N. (2015). Pre-Examina t ion Procedures in Labora to ry Diagnostics. Germany: De Gruyter.

yang telah dilakukan sebelumnya dan sesuai dengan 1rekomendasi WHO (2002) . Penanganan dengan

Polyethylene Glycol 6000 8% pada penelitian ini perlu dilakukan penelitian lebih lanjut apakah inkubasi pada

0suhu 4 C perlu dilakukan atau tidak karena inkubasi pada suhu tersebut dapat menyebabkan volume serum bertambah sehingga hasilnya menjadi lebih rendah dari yang seharusnya.

Kelemahan penelitian ini adalah penelitian tidak dapat menentukan penyebab dari lipemik yang terjadi sehingga tidak dapat menentukan cara pencegahan agar serum tidak menjadi lipemik dan tidak dapat menentukan secara pasti variabel pengganggu pada pemeriksaan kreatininin pada serum lipemik. Penelitian ini menggunakan reagen Polyethylene Glycol 6000 teknis karena mudah diperoleh dan harganya yang terjangkau. Oleh karena itu diperlukan penelitian lebih lanjut dengan menggunakan Polyethylene Glycol 6000 pro analisa (pa) agar dapat diperoleh hasil yang lebih baik. Selain itu penentuan indeks lipemik dilakukan setelah melakukan pemeriksaan kreatinin sehingga menyebabkan sampel yang digunakan tidak sesuai dengan tingkat lipemik yang seharusnya, selain itu metode yang digunakan tidak standar.

KESIMPULAN

1. Ada perbedaan kadar kreatinin serum lipemik yang diolah dengan Polyethylene Glycol 6000 8% dan High Speed Sentrifugasi.

2. Kadar kreatinin rata – rata serum lipemik sebelum diberi perlakuan adalah 1,05 mg/dL.

3. Kadar kreatinin rata – rata serum lipemik setelah diolah dengan Polyethylene Glycol 6000 8% adalah 0,83 mg/dL.

4. Kadar kreatinin rata – rata serum lipemik setelah dilakukan High Speed Sentrifugasi adalah 1,11 mg/dL.

SARAN

1. Perlunya dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai pengolahan serum lipemik dengan

49Wheny Mufita Sari, dkk, Perbedaan Kadar Kreatinin Pada Serum Lipemik Yang....

TINJAUAN SIFAT FISIK, ORGANOLEPTIK, KADAR PROTEIN DAN KADAR KALSIUM PADA VARIASI PENCAMPURAN GETUK KACANG TOLO (Vigna unguiculata)

Dwi Ratna Ningsih*, Elza Ismail, Waluyo

Jurusan Gizi Poltekkes Kemenkes Yogyakarta*Email : ,[email protected]

ABSTRACT

Getuk is traditional food that familiar in all age group. However, nutrient content of getuk not widely avaible. Cowpea containing protein and highcalcium have many beneficial for our body. This research aims to know the differences in physical characteristic, organoleptic and Phytic acid levels of getuk kacang tolo with mixing variations of cowpea. The kind of research is quasi experiment with simple random design using 4 treatment , 2 repiclates and 2 units of the experiment. The research sample is getuk kacang tolo with varians of cowpea 0% as control and getuk with the mixing variations of cowpea 25%, 50% and 75%. Physical characteristic were analyzed by descriptive. Organoleptic of data analysis using statistical tests Kruskal Wallis continued Mann-Whitney if there is a difference whereas Phytic acid levels using statistical test Anova continued Tukey if there is a difference. The results of this research is the addition of color produce more cowpea browned, the texture of mixing variations of cowpea not chewy whereas aroma and flavor are same with the control. The color of getuk kacang tolo with variations cowpea 50%, the texture of getuk kacang tolo with variations cowpea 75%, the aroma with variations cowpea 25% and the flavour getuk kacang tolo with variations cowpea 50% most preferred panelist. Protein levels in 100 g material with the variatins of cowpea 0%, 25%, 50% and 75% respectively are 1.16 g; 2.96 g; 4.56 g; 6.13 g. Calsium levels in 100 g material with the variations of cowpea 0%, 25%, 50% and 75% respectively are 237.2 mg; 388.1 mg; 596,27 mg; 736,57 mg. Conclusion of this research is the variations of mixing of cowpea in making getuk kacang tolo impact on physical characteristic, organoleptik, Protein levels and Calcium levels.

Keywords : Cowpea, Getuk, Physical Characteristic, Organoleptic, Protein and Calsium

ABSTRAK

Getuk merupakan makanan tradisional yang masih familiar di semua golongan usia. Akan tetapi, kandungan zat gizi pada getuk singkong belum tersedia maksimal. Kacang tolo mengandung protein dan kalsium yang cukup tinggi yang bermanfaat bagi tubuh. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan sifat fisik, organoleptik, kadar Protein dan kadar Kalsium pada getuk kacang tolo dengan variasi pencampuran kacang tolo. Jenis penelitian adalah eksperimen semu dengan Rancangan Acak Sederhana (RAS) menggunakan 4 perlakuan, 2 kali ulangan dan 2 unit percobaan. Sampel penelitian adalah getuk kacang tolo dengan pencampuran kacang tolo 0% sebagai kontrol, 25%, 50% dan 75%. Sifat fisik dianalisis secara deskriptif. Analisis data sifat organoleptik menggunakan uji statistik Kruskal Wallis dilanjutkan Mann-Whitney jika ada perbedaan sedangkan kadar Asam Fitat menggunakan uji Anova dilanjutkan uji Tukey jika ada perbedaan. Hasil penelitian ini adalah pencampuran kacang tolo pada getuk kacang tolo menghasilkan warna semakin kecokelatan, tekstur semakin tidak kenyal, aroma dan rasa sama dengan kontrol. Warna getuk kacang tolo dengan pencampuran kacang tolo 50%, tekstur getuk kacang tolo dengan pencampuran kacang tolo 75%, aroma getuk kacang tolo dengan pencampuran kacang tolo 25% dan rasa getuk kacang tolo dengan pencampuran kacang tolo 50% paling disukai panelis. Kadar protein dalam 100 g bahan dengan pencampuran kacang tolo 0%, 25%, 50% dan 75% masing-masing adalah 1,16 g; 2,96 g; 4,56 g; 6,13 g. Kadar Kalsium dalam 100 g bahan dengan pencampuran kacang tolo 0%, 25%, 50% dan 75% masing-masing adalah 237,2 mg; 388,1 mg; 596,27 mg; 736,57 mg. Kesimpulan penelitian ini adalah variasi pencampuran kacang tolo pada pembuatan getuk kacang tolo berpengaruh terhadap sifat fisik, organoleptik dan kadar protein dan kadar kalsium.

Kata kunci : Kacang Tolo, Getuk, Sifat Fisik, Sifat Organoleptik, Protein dan Kalsium.

PENDAHULUAN

Indonesia memiliki hasil pertanian yang melimpah dan beranekaragam sehingga sangat potensial untuk dikembangkan. Salah satu hasil pertanian yang melimpah adalah kacang tolo. Ketersedian kacang

1tolo dalam negeri cukup tinggi, yaitu 1,5-2,0 ton/ha . Kandungan gizi kacang tolo per 100 gram bahan terdiri dari energi 331 gram, protein 22,4 gram, lemak 1,9 gram, karbohidrat 56,6 gram. Disamping itu, kacang tungggak memiliki kandungan kalsium yang cukup tinggi yaitu sebesar 481 mg per 100 gram

2bahan .

Tingkat konsumsi pangan sumber protein pada tahun 2011 sebesar 95,9 gram/kapita/hari dan didominasi dari kelompk pangan hewani, masih kurang dibandingkan standar konsumsi ideal sebesar 150

3gram/kapita/hari . Sementara konsumsi kalsium pada kelompok remaja putri masih kurang dari AKG yaitu sebesar 51,7- 55,9% dari kebutuhan (Arisman, (2009) dalam Fika, (2012)).

Getuk merupakan makanan tradisional yang familiar di kalangan masyarakat umum karena sudah

di Laboratorium Ilmu Bahan Makanan Jurusan Gizi Poltekkes Kemenkes Yogyakarta dan pengujian kadar protein serta kalsium pada getuk kacang tolo dilakukan di Laboratorium Analisa Chem-Mix Pratama Bantul Yogyakarta.

Pengujian sifat fisik meliputi warna, aroma, rasa dan tekstur. Pengujian sifat organoleptik meliputi warna, aroma, rasa dan tekstur dilakukan oleh panelis agak terlatih sebanyak 25 orang panelis agak terlatih dengan metode hedonic scale test. Pengujian kadar protein menggunakan metode kjeldahl. Pengujian kadar kalsium menggunakan metode oksidimetri. Hasil sifat fisik dianalisis dengan metode diskriptif. Hasil uji sifat organoleptik dianalisis dengan uji statistik Kruskall-wall is, j ika ada perbedaan dilanjutkan uji statistik Mann-whitney. Hasil kadar protein dan kalsium dianalisis dengan uji statistic Anova, jika ada perbedaan dilanjutkan dengan uji Tukey Test.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengamatan sifat fisik getuk kacang tolo dilakukan secara subyektif. Pengamatan yang dilakukan secara subyektif meliputi warna, aroma, rasa dan tekstur. Pengamatan ini dilakukan oleh peneliti senidiri. Variasi getuk singkong dengan pencampuran kacang tolo 0%, 25%, 50% dan 75% memiliki perbedaan terhadap warna, aroma, rasa serta tekstur.

dikenal sejak dulu. Kandungan kalsium serta protein yang tinggi pada kacang tolo diharapkan dapat meningkatkan kandungan gizi dari makanan tradisional ini. Berdasarkan uraian di atas, untuk meyakinkan kandungan protein dan kalsium pada inovasi makanan tradisional ini maka diperlukan penelitian terhadap getuk kacang tolo berdasarkan sifat fisik, organoleptik, kadar protein dan kalsium. Tjuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui variasi campuran kacang tolo pada getuk singkong terhadap sifat fisik, kadar protein, kalsium dan daya terima panelis berdasarkan sifat organoleptik.

METODE

Jenis penelitian ini adalah penelitian eksperimental semu dengan rancangan acak sederhana (RAS) yaitu dengan 2 kontrol dan 4 macam perlakuan (k), 2 unit penelit ian dengan masing - masing 2 kali pengulangan sehingga terdapat 16 unit percobaan. Perlakuan variasi campuran singkong dan kacang tolo adalah a) 100% : 0%, b) 75% : 25%, c) 50% : 50% dan d) 25% : 75%. Produk dari penelitian ini kemudian diamati dan diukur sifat fisik, organoleptik, kadar protein dan kalsium.

Penelitian ini dilaksanakan sejak bulan Januari 2015. proses pembuatan getuk kacang tolo dilakukan di rumah peneliti yaitu Jalan Kinanti Ganjuran Condong Catur Depok Sleman Yogyakarta. Lokasi untuk pengujian sifat fisik dan organoleptik dilakukan

Tabel 1. Sifat Fisik Getuk Singkong Dengan Variasi Pencampuran Kacang Tolo

Warna yang dihasi lkan dari warna putih kekuningan hingga coklat tua. Perbedaan warna pada getuk kacang tolo ini disebabkan karena adanya kulit ari pada kacang yang tidak dihilangkan selama proses pembuatan getuk. Warna kecoklatan pada getuk dihasilkan dari reaksi non enzimatik sebagai akibat dari adanya kandungan protein dan karbohidrat pada

4bahan makanan .

Kandungan protein dan karbohidrat dalam bahan tersebut membentuk suatu reaksi khususnya gula pereduksi dengan amina primer yang disebut reaksi

Maillard yang menyebabkan warna produk menjadi 5coklat . Menurut Joung Ha,dkk, (2009), kacang tolo

mengandung pigmen antosianin yang berwarna gelap merah kecoklatan sehingga warna yang terdapat pada getuk kacang tolo dapat disebabkan karena

6adanya pigmen alami yang dimiliki kacang tolo . Pada saat pencampuran ini pigmen dari kacang tolo memberikan efek warna getuk. Semakin banyak campuran kacang tolo pada getuk maka kandungan antosianin semakin banyak dan warna yang dihasilkanpun semakin coklat.

51 Dwi Ratna Ningsih, dkk, Waluyo Tinjauan Sifat Fisik, Organoleptik, Kadar Protein Dan....

meningkatkan cita rasa getuk juga berperan sebagai pengawet alami makanan.

Tekstur pada getuk dengan variasi pencampuran kacang tolo 25% dan 50% memiliki testur yang tidak terlalu kenyal sedangkan pada getuk dengan campuran 75% kacang tolo memiliki tekstur yang tidak kenyal. Semakin sedikit campuran kacang pada getuk maka tekstur yang dihasilkan semakin kenyal dan sebaliknya.

Perubahan tingkat kekenyalan pada tekstur getuk dipengaruhi karena adanya kulit ari yang masih menempel pada biji kacang tolo sehingga tekstur getuk menjadi t idak sekenyal getuk tanpa pencampuran kacang tolo. Tekstur dan konsistensi suatu bahan makanan akan mempengaruhi cita asa

9yang ditimbulkan oleh bahan tersebut .

Kadar air yang dimiliki bahan dasar untuk pembuatan getuk menghasilkan tekstur yang berbeda dengan keempat variasi yang dilakukan sehingga dengan peningkatan penambahan kacang tolo yang dicampurkan pada getuk membuat tekstur dari getuk semakin tidak kompak disebabkan oleh kadar airnya yang rendah.

Uji organoleptik yang dilakukan pada getuk kacang tolo meliputi warna, aroma, tektur dan rasa.

Aroma pada pencampuran kacang tolo sebesar 75% lebih kuat khas kacang tolo. Bahan makanan yang termasuk dalam golongan kacang-kacangan memiliki aroma yang khas yaitu langu. Langu pada kacang kacangan disebabkan karena adanya enzim lipoksigenase yang terdapat pada biji kacang

7(Koswara dalam Nasyiin, 2011) . Enzim lipoksidase ini menghidrolisis lemak yang ada pada kacang tolo menjadi senyawa-senyawa penyebab bau langu yang tergolong pada kelompok heksanal dan heksanol.

Variasi pencampuran kacang tolo sebesar 75% rasa getuk menjadi sangat khas kacang. Rasa kacang semakin dominan bila semakin banyak campuran kacang yang ditambahakan. Pencampuran kacang yang semakin banyak menimbulkan rasa langu juga lebih dominan. Rasa langu ini disebut sebagai “off-flavor”. Rasa off-flavor disebabkan karena adanya senyawa glikosida dalam kacang tolo sehingga dapat menimbulkan rasa pahit.

Menutut Santoso (2009), g l ikosida juga 8menimbulkan rasa kapur pada kacang . Pada

umumnya getuk memiliki rasa yang manis serta gurih selain adanya rasa khas singkong. Rasa pada getuk ini karena adanya tambahan gula pasir serta garam. Pencampuran kedua bahan ini selain untuk

Tabel 2. Mean Rank Uji Organoleptik Variasi Pencampuran Kacang tolo pada Getuk Kacang Tolo dengan Analisis Kruskal-Wallis.

PerlakuanMean Rank

Warna Aroma Rasa TeksturSingkong: Kacang Tolo

100% : 0%47,16 a,b 42,88 a 49,16a 34,90a

Singkong: Kacang Tolo 75% : 25%

36,24a 58,26a 43,76 a 59,08 b

Singkong: Kacang Tolo 50% :50%

62,34b 55,34 a 55,14 a 46,42 a,b

Singkong: Kacang Tolo 25% : 75%

56,26b 45,52 a 53,94 a 61,60 b

p (probabilitas) 0,003 0,098 0,0394 0,001

Keterangan : Notasi huruf yang berbeda (a,b) pada kolom yang sama menyatakan ada perbedaan yang signifikan pada uji Mann- Whitney

Berdasarkan Tabel 2. Dapat diketahui bahwa warna getuk kacang tolo yang paling disukai pada variasi pencampuran kacang tolo 50%, aroma pada pencampuran kacang tolo 25%, rasa pencampuran kacang tolo 50% dan tekstur pencampuran kacang tolo 75%.

Hasil analisis dengan uji statistik pada warna menunjukkan nilai p<0,05 yaitu 0,003 hal ini berarti terdapat perbedaan yang bermakna pada keempat warna getuk. Warna getuk kacang tolo yang paling tinggi adalah pencampuran 50% kacang tolo yaitu 62,34.

Hasil analisis dengan uji statistik pada aroma menunjukkan nilai p >0,05 yaitu 0,098. Aroma getuk kacang tolo yang paling tinggi adalah pencampuran 25% yaitu 58,26.

Hasil analisis dengan uji statistik pada rasa

menunjukkan nilai p >0,05 yaitu 0,394. Berdasarkan tabel hasil mean rank aroma getuk kacang tolo yang paling tinggi adalah pencampuran kacang tolo sebanyak 50% yaitu 55,14. Sehingga rasa yang paling disukai adalah pencampuran kacang tolo sebanyak 50%.

Hasil analisis dengan uji statistik pada tekstur menunjukkan nilai p <0,05 yaitu 0,035. Uji statistik dilanjutkan dengan uji Mann-Whitney karena terdapat perbedaan pada tingkat kesukaan panelis yang bertujuan untuk mengetahui apakah dua buah sampel

1 0bebas berasal dar i populas i yang sama . Berdasarkan tabel hasil mean rank tekstur getuk kacang tolo yang paling tinggi adalah pencampuran 75% yaitu 61,60.

Kadar protein pada empat variasi pencampuran kacang tolo pada getuk dapat dilihat pada gambar 1.

52 Jurnal Teknologi Kesehatan, Volume 13, Nomor 1, Maret 2017, hlm. 50-54

Gambar 1. Grafik Kadar Protein Getuk Kacang Tolo

Berdasarkan gambar 1 kadar protein tertinggi terdapat pada variasi pencampuran singkong dan kacang tolo 25%:75% yaitu sebesar 6,13 gram, sedangkan kadar protein terendah terdapat pada variasi pencampuran singkong dan kacang tolo 75%:25% yaitu sebesar 6,13 gram. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Dewanti, peningkatan proporsi kacang tunggak menyebabkan peningkatan

11kadar protein pada tepung bubur sereal instan . Hal ini sejalan dengan peningkatan variasi pencampuran kacang tolo pada getuk singkong semakin meningkatkan kandungan protein.

Kandungan protein pada getuk kacang tolo dengan variasi pencampuran yang disukai yaitu 50% memiliki kandungan protein sebesar 4,56 gram/100 gram. Konsumsi getuk kacang tolo sebagai selingan untuk porsi 100 gram/hari dengan 50% campuran kacang tolo telah memenuhi asupan rata-rata protein sebesar 8,21% dari konsumsi rata-rata protein berdasarkan hasil Riskesdas (2007), sebesar 55,5

12garam/hari .

Gambar 2. Grafik Getuk terhadap Kadar Kalsium

Berdasarkan gambar 2 kadar kalsium tertinggi terdapat pada variasi pencampuran singkong dan kacang tolo 25%:75% yaitu sebesar 736,57 mg, sedangkan kadar kalsium terendah terdapat pada variasi pencampuran singkong dan kacang tolo 75%:25% yaitu sebesar 237,2 mg.

Nilai rata-rata berdasarkan Angka Kecukupan Gizi (2013), kebutuhan kalsium laki-laki maupun perempuan berusia 10-18 tahun yaitu 1200 mg/hari sedangkan berusia 19-64 tahun kebutuhan protein

13rata-rata 1033 mg/hari .

Kandungan kalsium pada getuk kacang tolo dengan variasi pencampuran terbesar yaitu 75% memiliki kandungan protein sebesar 763,57 gram/100 gram. Konsumsi getuk kacang tolo sebagai selingan untuk porsi 100 gram/hari dengan 75% campuran kacang tolo telah memenuhi asupan kalsium sebesar 63% dari kebutuhan kalsium sehari untuk umur 10-18 tahun sedangkan 73,9% untuk umur 19-64 tahun.

KESIMPULAN

Berdasarkan uji sifat fisik, organoleptik, kadar protein dan kalsium getuk kacang tolo, maka dapat disimpulkan bahwa semakin banyak pencampuran kacang tolo maka warna semakin coklat tua, aroma semakin khas kacang tolo, rasa semakin khas kacang tolo dan tekstur semakin tidak kenyal. Hasil uji organoleptik getuk kacang tolo menunjukkan bahwa ada perbedaan nyata antara keempat variasi pada warna dan tekstur. Semakin banyak pencampuran kacang tolo kadar protein semakin meningkat. Kadar protein pada getuk kacang tolo dengan variasi pencampuran kacang tolo 0%, 25%, 50% dan 75% yaitu sebesar 1,16gram,2,96 gram, 4,56 gram dan 6,13 gram. Semakin banyak pencampuran kacang tolo kadar kalsium semakin meningkat. Kadar kalsium pada getuk kacang tolo dengan variasi pencampuran kacang tolo 0%, 25%, 50% dan 75% yaitu sebesar 237,2 mg, 388,1 mg, 596,27 mg dan 763,57 mg.

SARAN

1. Berdasarkan sifat fisik, organoleptik, kadar protein dan kadar kalsium yang dapat diterima oleh panelis adalah pada variasi pencampuran kacang tolo dan singkong 50% : 50%, sehingga getuk dengan variasi pencampuran tersebut dapat dikembangkan.

2. Diharapkan penelitian lebih lanjut meneliti nilai gizi selain protein dan kalsium yang terkandung dalam getuk kacang tolo dan menjadikan getuk kacang tolo sebagai makanan tradisional yang memiliki nilai gizi tinggi serta dapat menjadi makanan fungsional karena terjangkau dari harga mapun ketersediaanya.

DAFTAR PUSTAKA

1. Budhi, Gelar Satya, dan Mimin Aminah. (2010). Swasembada Kedelai : Antara Harapan Dan Kenyatan. Jurnal: Forum Penelitian Agro Ekonomi. Volume 28 No.1, Juli 2010:55-68.

2. PERSAGI. 2009. Tabel Komposisi Pangan Indonesia. Jakarta : Persagi.

3. Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian Repub l i k I ndones ia . ( 2012 ) . Roadmap Diversifikasi Pangan Tahun 2011 – 2015. Jakarta : Kementrian Pertanian Republik Indonesia.

4. Sutanti, Asih. Sri Luwuhana D dan Bayu Kanetro.

53 Dwi Ratna Ningsih, dkk, Waluyo Tinjauan Sifat Fisik, Organoleptik, Kadar Protein Dan....

Pengeringan Daging Buah Kelapa Terhadap Asam Lemak Bebas Pada Pembuatan Tepung Kelapa. Jurnal : Ilmu-Ilmu Pertanian Sekolah Tinggi Penyuluhan Pertanian Magelang. Jurusan Penyuluhan PertanianYogyakarta. Vol. 4, No. 2, Desembar 2008.

9. Winarno, FG. (1992). Kimia Pangan dan Gizi. Gramedia. Jakarta.

10. Aritonang, Irianton, Maria H.Bakri dan Bondan Pa les t i n . ( 2011 ) . Mengo lah da ta dan Menganalisisnya. Yogyakarta : Leutika.

11. Dewanti, Tri.W. Harijono. Nurma, S. 2012. T epung Bubur Sereal Instan Metode Ekstruksi Dari Sorgum Dan Kecambah Kacang Tunggak (Kajian Proporsi Bahan Dan Penambahan Maltodekstrin). Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Brawijaya. Jurnal Teknologi Pertanian Vol 3 No.1: 35 – 44.

12. Depkes. (2007). Survey Kesehatan Nasional. Laporan.Depkes RI Jakarta.

13. Angka Kecukupan Gizi. (2013). Jakarta

2013. Pengaruh Perlakuan Pendahuluan Dan K o n s e n t r a s i T e p u n g K a c a n g Tunggak(Cowpea)Terhadap Sifat Fisik Dan Tingkat Kesukaan Oyek. Fakultas Agroindustri Universitas Mercu Buana Yogyakarta : Yogyakarta. Jurnal AgriSains Vol. 4 No. 7., September 2013.

5. Winarno. (2008). Kimia pangan dan gizi. Bogor : M-Brio Press.

6. Tae Joung Ha., Myoung-Hee Lee., Ya Na Jeong., Jin Hwan Lee., Sang-Ik Han., Chang-Hwan Park., Suk-bok Pae., Chung-Dong Hwang., In-Yeol Baek., Keum-Yong Park. (2010). Anthocyanins in Cowpea (Vigna unguiculata (L.) Walp. ssp unguiculata). Jurnal Food Sci, Biotechnology Kosfot. 19 (13): 821-826

7. Nasyiin, Mursyidatun. (2011). Variasi Campuran Kacang Merah (Phaseolus vulgaris L.) Pada Pembuatan Tempe Ditinjau Dari Sifat Fisik, Sifat Organoleptik Dan Kadar Protein. Laporan Hasil Penelit ian . 2011. Yogyakarta : Poltekkes Kemnenkes Yogyakarta.

8. Santoso, Hadi. (2008). Pengaruh Pemanasan Dan

54 Jurnal Teknologi Kesehatan, Volume 13, Nomor 1, Maret 2017, hlm. 50-54

PENGARUH STIMULASI MEDIA GAMBAR KARTUN INDONESIA TERHADAP KARAKTER BUILDING KEDISIPLINAN MEMILAH SAMPAH PADA ANAK USIA DINI USIA 4-6 TAHUN DI

PAUD KECAMATAN GAMPING KABUPATEN SLEMAN

1* 1 2Yustiana Olfah ,Ni Ketut Mendri ,Bambang Suwerda

1Jurusan Keperawatan Poltekkes Kemenkes Yogyakarta2Jurusan Kesehatan Lingkungan Poltekkes Kemenkes Yogyakarta

*Email : [email protected]

ABSTRACT

Discipline attitude in maintaining the environment cleanliness, especially in sorting garbage should be introduced at an early 1age . The essence of early education is to provide some stimulation in order to optimize all children potential (body / physical

or spiritual / mental), including the sorting of garbage that has not been optimally done in early childhood. There are many kinds of stimulation techniques for character education in early childhood, through sound, music, movement, touch, talking, singing, reading, matching, comparing, classifying, solving problems, scribbling, drawing, and stringing. The aim of this experiment is to determine the effect of stimulation of the picture media on character building discipline on sorting garbage at an early age children (4-6 years old) at Playgroup in Gamping, Sleman, Yogyakarta. The type of this research is Quasi Research with "Pre test Post test with Control Group Design". The research sample was taken by random sampling. The observation of control Grup was done twice. The first observation was to see the behavior of garbage sorting discipline before being given the stimulation and the second observation done after stimulation. Sampling was done by purposive sampling with criteria of children aged 4-6 years. Data examination results were analyzed descriptively and analytically with SPSS for windows version 16.0 using T-Test and Kendal Tau significance level of 0.05. The results showed that before treatment the mean value of garbage sorting discipline was 84.23, and the mean value after treatment was 95.88. The mean difference between the value of post and pre treatment groups was 11.65. Before being given stimulation using media poster, mean value of the discipline of garbage sorting was 84.3, and the mean value after treatment was 84.76. The conclusion of the study is the stimulation of Indonesian cartoons media has a significant effect (p = 0.000) on character building garbage sorting at an early age children aged of 4-6 years in Play Group in Gamping, Sleman, Yogyakarta. There is no significant relationship (p = 0.070, viewed from the frequency value at the level of discipline of the group post, the majority of respondents are at high level of discipline, and no distribution of scores on all categories (high, medium, low). It is recommended for teachers of early childhood education in Gamping, Sleman, Yogyakarta utilize Indonesian cartoons media to improve discipline in sorting garbage for children, their students, and for the next researcher to conduct advanced research on the use of Indonesian cartoon media rather than media cartoon abroad which has been a favorite of children in building character to sort garbage in early childhood / kindergarten.

Keywords : Stimulation, Indonesian Cartoon Media, Garbage Sorting, Discipline

ABSTRAK

Perilaku disiplin dalam menjaga kebersihan lingkungan terutama dalam memilahsampah perlu diperkenalkan sejak usia 1dini . Esensi PAUD adalah memberikan stimulasi/ rangsangan, dalam rangka mengoptimalkan semua potensi anak (potensi

jasmaniah/ fisik maupun rohaniah/mental), termasuk dalam memilah sampah yang selama ini belum optimal dilakukan di PAUD.Terdapat berbagai teknik stimulasi untuk pendidikan karakter pada anak usia dini, yaitu melalui suara, musik, gerakan, perabaan, bicara, menyanyi,membaca, mencocokkan, membandingkan, mengelompokkan, memecahkan masalah, mencoret, menggambar, merangkai. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui pengaruh stimulasi media gambar terhadap karakter building kedisiplinan memilah sampah pada anak usia dini usia 4-6 tahun di PAUD Kecamatan Gamping Kabupaten Sleman Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Jenis penelitian Quasi eksperiment dengan rancangan “Pre test Post test with Control Group Design “. Sampel penelitian dilakukan secara randomsampling. Rancangan ini ada kelompok pembanding (kontrol), observasi dilakukan dua kali. Observasi pertama untuk mengetahui perilaku disiplin memilah sampah sebelum diberikan stimulasi dan observasi kedua sesudah diberikan stimulasi. Pengambilan sampel dilakukan secara purposive sampling dengan kriteria anak PAUD usia 4-6 tahun. Data hasil pemeriksaan dianalisis secara diskriptif dan secara analitik dengan bantuan program SPSS for windows versi 16.0 menggunakan T-Test dan Kendal Tau taraf signifikan 0,05. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebelum perlakuan rerata nilai kedisiplinan memilah sampah adalah 84,23, dan rerata nilai setelah perlakuan kedisiplinan memilah sampah adalah 95,88. Rerata selisih nilai post dan pre kelompok perlakuan sebesar 11,65. Sebelum stimulasi media poster rerata nilai kedisiplinan memilah sampah adalah 84,3, dan rerata nilai setelah perlakuan kedisiplinan memilah sampah adalah 84,76. Kesimpulan dari penelitian adalah stimulasi media gambar kartun Indonesia berpengaruh secara signifikan (nilai p = 0,000) terhadap karakter building kedisiplinan memilah sampah pada anak usia dini usia 4-6 tahun di PAUD Kecamatan Gamping Sleman Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Tidak ada hubungan yang signifikan (p = 0.070, dilihat dari nilai frekuensi pada tingkat disiplin kelompok

PENDAHULUAN

Kebersihan lingkungan adalah kebersihan tempat t inggal, tempat bekerja dan tempat umum. Kebersihan tempat tinggal dilakukan dengan cara mengelap alat dan perabot rumah, menyapu dan mengepel lantai, mencuci peralatan masak dan peralatan makan, membersihkan kamar mandi dan jamban, serta mengelola sampah. Kebersihan lingkungan dimulai dengan menjaga kebersihan halaman dan membersihkan jalan di depan rumah

1dari sampah .

Anak usia 4-6 tahun mempunyai rasa ingin tahu bertambah besar dengan fokus interest pada kegiatan sosial, science, akademik lainnya. Esensi PAUD adalah stimulasi/rangsangan, dalam rangka melejitkan semua potensi anak (potensi jasmaniah/ fisik maupun rohaniah/mental) . Karenanya, Pendidikan usia dini sangat penting karena perkembangan kapasitas intelektual mencapai 50% ketika anak berusia 4 tahun, 80%setelah anakberusia 8 tahun, dan genap 100% setelah anak berusia 18

2tahun .

Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang “Pengaruh stimulasi media gambar terhadap terhadap karakter building kedisiplinan memilah sampah pada anak usia dini usia 4-6 tahun di PAUD Kecamatan Gamping Sleman Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.

Melalui penelitian ini diharapkan akan ada proses internalisas nilai kedisiplinan membuang sampah melalui stimulasi media gambar kartun Indonesia sehingga anak sejak usia dini, anak akan semakin mencintai kearifan local terutama kartun produk asli Indonesia, dan mereka mau menjaga kebersihan lingkungan untuk memelihara kesehatan.

METODE

Metode penelitian Quasi eksperiment dengan desain penelitian “pre test-post test with control group design”. Data yang diperoleh dianalisis secara diskriptif dan analitik. Rancangan penelitian sebagai berikut :

Pre test Perlakuan Post Test

O1

O3

X1

X2

O2

O4

post, sebagian besar responden berada pada tingkat disiplin yang tinggi ,dan tidak ada sebaran nilai pada semua kategori (tinggi, sedang, rendah). Disarankan bagi Guru PAUD di Kercamatan Gamping Sleman Yogyakarta memanfaatkan media gambar kartun Indonesia untuk meningkatkan kedisiplinan memilah sampah bagi anak-anak didik mereka, dan bagi peneliti selanjutnya melakukan penelitian lanjutan tentang penggunaan media gambar kartun Indonesia dibandingkan media kartun luar negeri yang selama ini disukai anak-anak dalam membangun karakter building memilah sampah di PAUD/TK.

Kata kunci : Stimulasi Media Gambar Kartun Indonesia, Disiplin Memilah Sampah

Populasi dalam penelitian ini semua siswa siswi PAUD/TK di Kecamatan Gamping Kabupaten Sleman Yogyakarta berjumlah 130. Sampel dalam penelitian ini adalah sebagian dari populasi siswa siswi PAUD/TK di Kecamatan Gamping Sleman yang diambil secara purposive sampling.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Tabel. 1 Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden Kelompok Kontrol Berdasarkan Jenis

Kelamin dan Usia

Berdasarkan perbandingan selisih nilai kelompok perlakuan dengan kelompok kontrol, dapat dilihat peningkatan nilai yang terjadi di kelompok perlakuan jauh lebih besar dari kelompok kontrol. Berdasarka tabel 2 diketahui rerata peningkatan kelompok perlakuan 11,65, dan kelompok kontrol 0,46.

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan diperoleh hasil bahwa kedisiplinan memilah sampah pada anak usia 4-6 tahun sudah menunjukkan hasil yang baik baik kelompok perlakuan maupun kelompok kontrol. Hal ini disebabkan karena pembiasaan yang dilakukan oleh guru di sekolah seperti berbaris sebelum masuk ke kelas, berdoa sebelum dan sesudah makan, menempatkan sepatu pada tempatnya, dan membuang sampah pada tempatnya.

No KarakteristikFrekuensi

(f)Persentase

(%)1. Jenis Kelamin

TK Mekara. Laki-lakib. Perempuan

47

36,463,6

Jumlah 11 100TK ABA Patukana. Laki-lakib. Perempuan

914

39.160.9

Jumlah 23 1002. Umur

TK Mekara. 4 Tahunb. 5 Tahunc. 6 Tahun

344

27.236.436.4

Jumlah 11TK ABA Patukana. 4 Tahunb. 5 Tahunc. 6 Tahun

6125

23.152.221.7

Jumlah 23 100

56 Jurnal Teknologi Kesehatan, Volume 13, Nomor 1, Maret 2017, hlm. 55-57

Peningkatan kedisiplinan responden pada kelompok perlakuan menunjukkan peningkatan yang lebih banyak dibandingkan dengan kelompok kontrol yaitu sebesar 11.65 kelompok perlakuan, dan 0,46 kelompok kontrol yang dapat dilihat pada tabel 4.5

KESIMPULAN

Berdasarkan pembahasan d ia tas dapat disimpulkan bahwa:

1. Stimulasi media gambar kartun Indonesia berpengaruh secara signifikan (nilai p = 0,000) terhadap karakter building kedisiplinan memilah

sampah pada anak usia dini usia 4-6 tahun di PAUD Kecamatan Gamping Sleman Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY)

2. Tingkat kedisiplinan memilah sampah setelah diberi stimulasi (post) didapatkan nilai p = 0,070sehingga tidak ada hubungan yang signifikan, dilihat dari nilai frekuensi pada tingkat disiplin kelompok post, sebagian besar responden berada pada tingkat disiplin yang tinggi dan tidak ada sebaran nilaip ada semua kategori tinggi, sedang, maupun rendah.

DAFTAR PUSTAKA

1. Machfoedz, I. (2006). Pendidikan Kesehatan Bagian Dari Promosi Kesehatan. Yogyakarta: Fitramaya.

2. Marimbi, H. 2010. Tumbuh Kembang, Status Gizi, dan Imunisasi Dasar pada Balita. Yogyakarta: Nuha Medika.

3. Maulana, H. D. J. 2009. Promosi Kesehatan. Jakarta: EGC.

4. Notoatmodjo.(2007). Kesehatan Masyarakat Ilmu Dan Seni. Jakarta: Rineka Cipta.

5. Notoatmodjo. (2010). Metodologi Penelitian Kesehatan Edisi Revisi. Jakarta :RinekaCipta

6. Nelly, 2011. Penanganan Sampah. Kompas Pebruari 2011, Yogyakarta.

7. Arikunto,S. (2006). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek Edisi Refisi VI. Jakarta : PT. Asdi Mahasatya.

8. Gutama (2004), Ditjen Paud Kemdikbud, Pendidikan Karakter Pada Anak UsiaDini (PAUD)

9. Marmi&Kukuh, R. 2012. Asuhan Neonatus, Bayi, Balita, dan Anak Pra Sekolah. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

10.Slamento.(2010). Belajardan Faktor- Faktor yang Mempengaruhinya. Jakarta: Rineka Cipta.

11.Sugiyono.(2007). Statistik Untuk Penelitian Cetakan Ke 9. Bandung: Alfabeta

12.Suliha, dkk.(2002). Pendidikan Kesehatan Dalam Keperawatan. Jakarta: EGC.

13.Suwerda, 2008. Bank Sampah.Werdapress, Yogyakarta.

14.UU RI No. 18 Tahun 2008.Tentang Pengelolaan Sampah ,2008, Jakarta:

15.Kementerian Negara Lingkungan Hidup.

Tabel. 2 Perbandingan Selisih Nilai Kedisiplinan Memilah Sampah pada Anak Usia Dini Usia 4-6 Tahun Kelompok Perlakuan Media Gambar Kartun Indonesia dengan Kelompok Kontrol Media Poster

57Yustiana Olfah, dkk, Pengaruh Stimulasi Media Gambar Kartun Indonesia Terhadap....

J U R N A L

TEKNOLOGI KESEHATANJ o u r n a l o f H e a l t h T e c h n o l o g y

FORMULIR BERLANGGANAN

Mohon dicatat sebagai Pelanggan Jurnal Teknologi Kesehatan

Nama

Alamat

Mohon dikirimkan .... eksemplar Jurnal Teknologi Kesehatan mulai volume .... nomor ...... tahun ......

: .............................................................................................................................................

: .............................................................................................................................................

................................................. Kode Pos ........................................ Telp ..........................

..................., ..........................

(..........................)

Harga berlangganan mulai 1 Januari 2016 (2 nomor)untuk satu tahun (termasuk ongkos kirim)

Rp 150.000,- (kilat khusus) wilayah Jawa

Rp 175.000,- (kilat khusus) wilayah luar Jawa

............gunting dan kirimkan ke alamat redaksi atau fax (0274) 617601............

BERITA PENGIRIMAN UANG LANGGANAN

Dengan ini saya kirimkan uang sebesar :

Rp 150.000,- untuk langganan 1 tahun (2 nomor), mulai nomor .......... tahun ..........

Rp 175.000,- untuk langganan 1 tahun (2 nomor), mulai nomor .......... tahun ..........

Uang ini saya kirim melalui :

Bank BNI No. Rek. 6176018899 a.n Poltekkes Kemenkes Yogyakarta