Jurnal Keperawatan Indonesia, Volume 18 No.1, Maret 2015 ...

203

Transcript of Jurnal Keperawatan Indonesia, Volume 18 No.1, Maret 2015 ...

Jurnal Keperawatan Indonesia, Volume 18 No.1, Maret 2015, hal 1-8

pISSN 1410-4490, eISSN 2354-9203

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KELENGKAPAN

DOKUMENTASI KEPERAWATAN

Noorkasiani, Gustina, R. Siti Maryam*

Jurusan Keperawatan, Prodi Keperawatan Persahabatan Poltekkes Kemenkes Jakarta III, Jakarta 13230, Indonesia

*E-mail: [email protected]

Abstrak

Dokumentasi keperawatan merupakan bukti pencatatan dan pelaporan yang dimiliki perawat dalam melakukan catatan

keperawatan yang berguna untuk kepentingan klien, perawat dan tim kesehatan dalam memberikan pelayanan

kesehatan. Desain penelitian adalah survei analitik dengan pendekatan cross sectional. Sampel berjumlah 173 perawat

dari 14 ruang rawat dan lembar observasi kelengkapan dokumentasi berjumlah 80 dokumen. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa pelaksanaan dokumentasi keperawatan dalam kriteria baik sebesar 47,4% dan perawat yang

melengkapi dokumentasi keperawatan sebesar 57,2%. Sedangkan faktor yang paling berkontribusi secara bermakna

dengan kelengkapan dokumentasi keperawatan adalah Ruang Dinas (p= 0,002; α= 0,05) setelah dikontrol oleh umur,

jenis kelamin, tingkat pendidikan, dan tipe kelas ruangan. Diharapkan bidang perawatan dapat melengkapi dokumentasi

keperawatan dengan format yang sama, memberi kesempatan perawat untuk melanjutkan kuliah dan mengikuti

pelatihan askep serta bertukar informasi atau gagasan antar ruang rawat.

Kata kunci: dokumentasi, kelengkapan, ruang dinas keperawatan

Abstract

Factors Related to The Documentation Completeness of Nursing. Nursing documentation is proof of recording and

reporting is owned nurses in nursing notes were useful to the interests of clients, nurses and health team in providing

health services. The study design was an analytical survey with cross sectional approach. Amount of 173 samples taken

in a total nurse of 14 ward and 80 observation sheets about completeness of documentation in nursing process. The

results showed that the implementation of nursing documentation in good criterion of 47,4% and nurses who complete

the documentation of nursing at 57,2%. The factors most significantly associated with completeness of nursing

documentation is the ward (p= 0,002; α= 0,05) after controlled by age, sex, educational level, and class room type.

Advice can be given to the field of nursing in hospital to complete the documentation nursing with the same format,

allowing nurses to pursue graduate studies and follow nursing process training and exchange information or ideas

between the ward.

Keywords: completeness, documentation, nursing ward

Pendahuluan

Pelaksanaan dokumentasi keperawatan merupa-

kan salah satu alat ukur untuk mengetahui,

memantau, dan menilai suatu pelayanan asuhan

keperawatan yang dilakukan oleh rumah sakit

(Fischbach, 1991). Dokumentasi keperawatan

tidak hanya mencerminkan kualitas perawatan

saja tetapi membuktikan pertanggunggugatan

setiap tim keperawatan (Potter & Perry, 2005).

Oleh karena itu, jika kegiatan keperawatan tidak

didokumentasikan dengan baik, akurat, obyektif,

dan lengkap serta sesuai dengan standar asuhan

keperawatan maka sulit untuk membuktikan

bahwa tindakan keperawatan telah dilakukan

dengan benar (Gillies, 2000; Carpenito, 1999).

Hasil penelitian mengenai kelengkapan doku-

mentasi keperawatan bervariasi tiap rumah sakit.

Penelitian yang dilakukan Hartati, Handoyo, dan

Anis (2001) didapatkan skor 58%; penelitian

yang dilakukan Soetisno dan Christophara (2000)

didapatkan angka 60%; penelitian yang dilakukan

Gaos dan Keliat (2002) pada 3 ruangan di RSUP

Jurnal Keperawatan Indonesia, Vol. 18, No. 1, Maret 2015, hal 1-8

2

Persahabatan (Soka Atas, Soka Bawah dan

Anggrek Bawah) ditemukan dokumentasi asuhan

keperawatan mencapai 57,8%; dan penelitian

yang dilakukan Sumitra dan Savitri (2000) di

RSUD Karawang didapatkan rata-rata keleng-

kapan pendokumentasian asuhan keperawatan

mencapai ±50%. Hasil penelitian tersebut menun-

jukkan kelengkapan dokumentasi keperawatan

belum memenuhi standar asuhan keperawatan

Depkes yaitu 80% sehingga mencerminkan mutu

pelayanan keperawatan yang masih rendah.

Keberhasilan pendokumentasian asuhan kepera-

watan sangat dipengaruhi oleh seorang perawat

sebagai ujung tombak dalam memberikan

asuhan keperawatan (Potter & Perry, 2005).

Menurut Gibson (1996) dalam Suratun (2008)

bahwa faktor individu yang memengaruhi

perilaku kerja antara lain umur, lama kerja,

pendidikan, dan pelatihan. Produktivitas seorang

pekerja menurun dengan bertambahnya umur,

sedangkan lama kerja mempunyai hubungan

yang positif terhadap produktivitas pekerjaan.

Siagian (2002) menyatakan bahwa makin tinggi

tingkat pendidikan seseorang makin besar

keinginan untuk memanfaatkan pengetahuan

dan keterampilan. Pelatihan merupakan bagian

dari proses pendidikan untuk meningkatkan

pengetahuan dan keterampilan (Notoatmodjo,

2003).

Dokumentasi dibutuhkan untuk keamanan

pasien dan menjaga catatannya untuk tetap jelas,

akurat, dan komprehensif menjadi bermanfaat

bagi perawat dalam pekerjaan sehari-hari (Bjorvell,

2002 & Owen, 2005). Hal ini didukung pula

oleh pendapat Wang, Hailey, dan Yu (2011)

yang menyatakan bahwa kualitas dokumentasi

keperawatan menunjukkan pemberian perawatan

yang baik melalui komunikasi yang efektif di

antara perawat dan dengan pemberi perawatan

yang lain seperti keluarga pasien. Bjorvell (2002)

menyatakan dari hasil FGD perawat bahwa cara

menuliskan dokumentasi keperawatan membuat

mereka menjadi berpikir kritis dan berpikir

dengan cara yang berbeda terkait pelayanan

yang diberikan kepada pasiennya.

Hasil observasi awal dan wawancara terhadap

dokumentasi keperawatan diketahui dan ditemu-

kan beberapa dokumen yang tidak diisi dengan

benar dan lengkap terutama pada evaluasi

keperawatan. Penilaian terhadap kelengkapan

dokumentasi keperawatan untuk ruangan yang

memiliki cara pendokumentasian yang sama

belum pernah dilakukan.

Metode

Desain penelitian yang digunakan adalah survei

analitik yaitu survei yang mencoba menggali

bagaimana dan mengapa fenomena terjadi

dengan pendekatan cross sectional. Penelitian

dilakukan di RS X, Jakarta pada Bulan

September 2010 sampai dengan Februari 2011.

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh

perawat yang bekerja di RS X dan memenuhi

kriteria inklusi dan eksklusi. Sampel pada

penelitian ini adalah 173 perawat yang bekerja

di RS X dan memenuhi kriteria inklusi yaitu

semua perawat di 14 ruangan dinas yang

memiliki format dokumentasi keperawatan

yang sama (Ruang Rawat Bedah dan Penyakit

Dalam) dan bersedia menjadi responden.

Kriteria eksklusi dari penelitian ini adalah

kepala ruangan dan wakil kepala ruangan.

Analisis bivariat menggunakan uji kai kuadrat

dan multivariat dengan regresi logistik.

Tabel 1. Karakteristik Responden Menurut Kelengkapan Dokumentasi Keperawatan

Kelengkapan Dokumentasi Keperawatan Jumlah Persentase

Kurang Lengkap 74 42,8

Lengkap 99 57,2

Total 173 100

Noorkasiani, et al., Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kelengkapan Dokumentasi

3

Hasil

Hasil penelitian menunjukkan bahwa proporsi

perawat yang dokumentasi keperawatannya

lengkap lebih banyak (57,2%) dibandingkan

dengan proporsi perawat yang dokumentasi

keperawatannya kurang lengkap (42,8%) (lihat

pada Tabel 1).

Tabel 2 menunjukkan bahwa dari 93 perawat

yang berusia lebih dari hingga sama dengan 28

tahun, sebanyak 57 perawat (61,3%) yang

melakukan dokumentasi kepera-watan dengan

lengkap. Hasil didapatkan bahwa dari 80

perawat yang berusia kurang dari 28 tahun,

terdapat 42 perawat (52,5%) yang dokumentasi

kepera-watannya lengkap. Hasil penelitian juga

didapatkan bahwa dari 11 perawat yang

berpendidikan SPK, sebanyak empat perawat

(36,4%) yang melakukan dokumentasi

keperawatan dengan lengkap. Selain itu, dari

162 perawat yang berpendidikan DIII

Keperawatan, sebanyak 95 (58,6%) perawat

yang dokumentasi keperawatannya lengkap.

Hasil juga menunjukkan bahwa dari 101

perawat yang bekerja kurang dari 5 Tahun,

terdapat 59 perawat (58,4%) yang dokumentasi

keperawatannya lengkap. Dari 22 perawat

yang bekerja selama 5–10 Tahun, sebanyak 10

perawat (45,5%) yang dokumentasi keperawatan-

nya lengkap. Dari 50 perawat yang bekerja

lebih dari 10 tahun, sebanyak 30 (60,0%) yang

dokumentasi keperawatannya lengkap.

Hasil menunjukkan bahwa dari 114 perawat

yang tidak pernah mengikuti pelatihan asuhan

keperawatan, sebanyak 64 perawat (56,1%)

yang dokumentasi keperawatannya lengkap.

Dari 59 perawat yang pernah mengikuti pe-

latihan, ada sebanyak 35 perawat (59,3%) yang

dokumentasi keperawatannya lengkap.

Hasil menunjukkan bahwa dari 84 perawat yang

pengetahuan terkait dokumentasi keperawatan-

nya rendah, sebanyak 49 perawat (58,3%) yang

dokumentasi keperawatannya lengkap. Dari 89

perawat yang pengetahuan dokumentasi ke-

perawatannya tinggi hanya ada sebanyak 50

perawat (56,2%) yang melakukan dokumentasi

keperawatan dengan lengkap.

Tabel 2. Karakteristik Responden Menurut Usia, Tingkat Pendidikan, Lama Kerja, Mengikuti Pelatihan, Tingkat

Pengetahuan, Pelaksanaan Dokumentasi Keperawatan, dan Kelengkapan Dokumentasi Keperawatan

Variabel

Kelengkapan Dokumentasi Keperawatan Total

Kurang Lengkap Lengkap

n % N % N %

Usia

≥28 Tahun 36 38,7 57 61,3 93 100

<28 Tahun 38 47,5 42 52,5 80 100

Tingkat Pendidikan

SPK 7 63,6 4 36,4 11 100

DIII 67 41,4 95 58,6 162 100

Lama Kerja

<5 Tahun 42 41,6 59 58,4 101 100

5–10 Tahun 12 54,5 10 45,5 22 100

>10 Tahun 20 40,0 30 60,0 50 100

Mengikuti Pelatihan

Tidak pernah 50 43,9 64 56,1 114 100

Pernah 24 40,7 35 59,3 59 100

Tingkat Pengetahuan

Rendah 35 41,7 49 58,3 84 100

Tinggi 39 43,8 50 56,2 89 100

Pelaksanaan Dokumentasi Keperawatan

Kurang baik 41 45,1 50 54,9 91 100

Baik 33 40,2 49 59,8 82 100

Jurnal Keperawatan Indonesia, Vol. 18, No. 1, Maret 2015, hal 1-8

4

Tabel 3. Karakteristik Responden Menurut Ruangan Dinas dan Kelengkapan Dokumentasi Keperawatan

Ruangan Dinas

Kelengkapan Dokumentasi Keperawatan Total

p Kurang Lengkap Lengkap

n % n % n %

Griya Puspa 11 84,6 2 15,4 13 100 0,000

Mawar Atas 15 100,0 0 00,0 15 100

Mawar Bawah 0 00,0 17 100,0 17 100

Dahlia Atas 6 60,0 4 40,0 10 100

Dahlia Bawah 0 00,0 9 100,0 9 100

Melati Atas 10 71,4 4 28,6 14 100

Melati Bawah 6 31,6 13 68,4 19 100

Soka Atas 7 50,0 7 50,0 14 100

Soka Bawah 4 36,4 7 63,6 11 100

Cempaka Atas 8 57,1 6 42,9 14 100

Cempaka Bawah 0 00,0 9 100,0 9 100

Bedah Kelas 4 33,3 8 66,7 12 100

Anggrek Bawah 1 12,5 7 87,5 8 100

Bedah Thorax 2 25,0 6 75,0 8 100

Jumlah 74 42,8 99 57,2 173 100

Tabel 4. Karakteristik Responden Menurut Tipe Kelas Ruangan dan Kelengkapan Dokumentasi

Keperawatan

Tipe Kelas

Kelengkapan Dokumentasi Keperawatan Total

p Kurang Lengkap Lengkap

n % n % n %

Kelas I 21 61,8 13 38,2 34 100 0,028

Kelas II 18 50,0 18 50,0 36 100

Kelas III 24 33,3 48 66,7 72 100

VIP 11 35,5 20 64,5 31 100

Tabel 5. Hasil Pemodelan Terakhir Analisis Multivariat

Variabel p OR 95 % CI

Batas Bawah Batas Atas

Usia 0,071 0,410 0,156 1,080

Jenis Kelamin 0,126 0,324 0,076 1,375

Tingkat Pendidikan 0,061 6,795 0,917 50,338

Ruang Dinas Melati Bawah 0,002 24,183 3,370 173,51

Tipe Kelas Ruangan 0,960 0,000 0,000 -

Hasil menunjukkan bahwa dari 91 perawat

yang kurang baik melaksanakan dokumentasi

keperawatan, sebanyak 50 perawat (54,9%)

yang dokumentasi keperawatannya lengkap.

Dari 82 perawat yang baik dalam pelaksanaan

dokumentasi keperawatan, sebanyak 49 perawat

(59,8%) yang dokumentasi keperawatannya

lengkap.

Tabel 3 menunjukkan bahwa dari 14 ruangan

dinas, ada 3 ruangan dimana perawatnya meleng-

kapi dokumentasi keperawatan sebesar 100%

yaitu ruang mawar bawah, dahlia bawah dan

Noorkasiani, et al., Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kelengkapan Dokumentasi

5

cempaka bawah. Sedangkan ruang griya puspa

hanya sebanyak 15,4% yang dokumentasi

keperawatan lengkap. Dari hasil analisis lebih

lanjut dapat disimpulkan bahwa ada hubungan

yang signifikan antara ruangan dinas perawat

dengan kelengkapan dokumentasi keperawatan

(p = 0,000; α = 0,05).

Tabel 4 menunjukkan bahwa dari 34 perawat

yang dinas di ruangan kelas I, sebanyak 13

perawat (38,2%) yang dokumentasi keperawatan-

nya lengkap. Dari 36 perawat yang dinas di

ruangan kelas II, ada sebanyak 18 perawat

(50,0%) yang dokumentasi keperawatannya

lengkap. Dari 72 perawat yang dinas di ruangan

kelas III, sebanyak 48 perawat (66,7%) yang

dokumentasi keperawatannya lengkap. Sejumlah

31 perawat yang dinas di ruangan VIP, sebanyak

20 perawat (64,5%) yang dokumentasi kepera-

watannya lengkap. Dari hasil analisis lebih

lanjut dapat disimpulkan bahwa ada hubungan

yang signifikan antara tipe kelas ruangan dinas

perawat dengan kelengkapan dokumentasi ke-

perawatan (p= 0,028; α= 0,05).

Tabel 5 menunjukkan bahwa hasil analisis

didapatkan nilai OR dari variabel Ruang Dinas

Melati Bawah adalah 24,2 artinya perawat yang

berada di Ruang Dinas Melati Bawah melakukan

pendokumentasian keperawatan yang lebih

lengkap dibandingkan ruangan lain setelah

dikontrol variabel usia, jenis kelamin, tingkat

pendidikan, dan tipe kelas ruangan (p= 0,002;

α= 0,05). Ruang Dinas Melati Bawah paling besar

pengaruhnya terhadap kelengkapan dokumentasi

keperawatan.

Pembahasan

Kelengkapan Dokumentasi Keperawatan.

Kelengkapan dokumentasi keperawatan di 14

ruang rawat inap RS X, Jakarta menunjukkan

proporsi perawat yang pendokumentasian ke-

perawatannya lengkap sebesar 57,2%. Hal ini

hampir sama dengan penelitian yang dilakukan

Hartati, Handoyo, dan Anis (2001) didapatkan

skor 58%; penelitian yang dilakukan Soetisno

dan Christophara (2000) didapatkan angka 60%;

penelitian yang dilakukan Gaos dan Keliat

(2002) pada 3 ruangan di RSUP Persahabatan

(Soka Atas, Soka Bawah dan Anggrek Bawah)

ditemukan dokumentasi asuhan keperawatan

mencapai 57,8%; dan penelitian yang dilakukan

Sumitra dan Savitri (2000) di RSUD Karawang

didapatkan rata-rata kelengkapan pendokumen-

tasian asuhan keperawatan mencapai ±50%. Hasil

penelitian di atas menunjukkan kelengkapan

dokumentasi keperawatan belum memenuhi

standar asuhan keperawatan Depkes yaitu 80%

sehingga mencerminkan mutu pelayanan ke-

perawatan yang masih rendah.

Usia. Perawat yang berusia lebih dari hingga

sama dengan 28 tahun melakukan

pendokumentasian dengan lengkap sebesar 61,3%

dibandingkan dengan perawat yang berusia

kurang dari 28 tahun. Hal ini memperlihatkan

bahwa hubungan antara umur dan kinerja

merupakan isu penting, karena terdapat

keyakinan bahwa kinerja akan merosot dengan

bertambahnya umur (Robbin, 2006). Akan

tetapi, hasil penelitian ini merubah keyakinan

tersebut. Penelitian ini didukung pendapat

Gibson (1996) dalam Suratun (2008) yang

mengemukakan bahwa pekerja yang lebih tua

dianggap lebih cakap secara teknis, lebih

banyak pengalaman dan lebih bijaksana dalam

pengambilan keputusan.

Tingkat Pendidikan. Hasil penelitian menunjuk-

kan bahwa perawat yang berpendidikan DIII

Keperawatan mendokumentasikan asuhan ke-

perawatan lengkap sebesar 58,6% dibanding

dengan SPK (36,4%). Hal ini sesuai dengan

pendapat Gibson (1996) dalam Suratun (2008)

yang mengemukakan bahwa tingkat pendidikan

yang tinggi umumnya menyebabkan seseorang

lebih mampu dan bersedia menerima tanggung

jawab. Sedangkan Siagian (2002) menjelaskan

bahwa makin tinggi pendidikan seseorang

makin besar keinginan untuk memanfaatkan

pengetahuan dan keterampilan. Penelitian ini

didukung pula oleh penelitian Fizran dan

Mamdy (2002) yang mendapatkan bahwa

tingkat pendidikan berhubungan secara bermakna

dengan kinerja perawat dalam pendokumentasian

keperawatan serta penelitian Usman dan Tafal

(2002) yang mengemukakan bahwa tingkat

Jurnal Keperawatan Indonesia, Vol. 18, No. 1, Maret 2015, hal 1-8

6

pendidikan berhubungan secara bermakna

dengan motivasi perawat dalam penerapan

proses keperawatan.

Lama Kerja. Hasil penelitian didapatkan perawat

yang bekerja lebih dari 10 Tahun melakukan

pendokumentasian keperawatan dengan lengkap

sebesar 60,0%. Hal ini sesuai dengan pendapat

Robbins (2006) dalam Suratun (2008) yang

menyatakan terdapat suatu hubungan yang positif

antara masa kerja dan produktifitas pekerjaan.

Makin lama seseorang bekerja makin terampil

dan berpengalaman melaksanakan pekerjaannya.

Lama kerja menjadi sangat penting karena dapat

mencerminkan tingkat kepuasan akhir yang

dapat dicapai oleh karyawan. Hal ini didukung

pula oleh penelitian Hotnida dan Sumiatun

(2002) yaitu faktor lama kerja berpengaruh

terhadap kinerja perawat dalam pendokumentasi-

an proses keperawatan.

Ruang Dinas. Hasil penelitian dari 14 ruang

dinas, ada 3 ruangan dengan perawat yang

melengkapi dokumentasi keperawatan sebesar

100% yaitu Ruang Mawar Bawah (VIP),

Dahlia Bawah (Kelas III), dan Cempaka

Bawah (Kelas III). Sedangkan, Ruang Griya

Puspa (VIP) hanya ada sebanyak 15,4% yang

dokumentasi keperawatan lengkap. Dari hasil

analisis lebih lanjut dapat disimpulkan bahwa

ada hubungan yang signifikan antara ruangan

dinas perawat dengan kelengkapan dokumentasi

keperawatan (p= 0,000, α= 0,05). Asumsi

peneliti menyatakan bahwa ruang dinas dan

tipe kelas yang tinggi tidak selalu menunjukkan

pendokumentasian keperawatannya lebih bagus

dari ruang dinas dan tipe kelas yang lebih rendah.

Pelatihan. Hasil penelitian didapatkan bahwa

perawat yang pernah mengikuti pelatihan akan

melengkapi dokumentasi keperawatannya sebesar

59,3% dibandingkan dengan perawat yang tidak

pernah mengikuti pelatihan asuhan keperawatan.

Penelitian ini sesuai dengan pendapat Noto-

atmodjo (2003) yang menyatakan pelatihan

merupakan bagian dari proses pendidikan untuk

peningkatan pengetahuan dan keterampilan

kerja. Hal ini didukung oleh penelitian Fizran

dan Mamdy (2002) yang mendapatkan bahwa

pelatihan berhubungan secara bermakna dengan

kinerja perawat dalam pendokumentasian kepe-

rawatan dan penelitian Soetisno dan Christophora

(2000) yang menunjukkan bahwa ada pengaruh

positif dari pelatihan pada kelengkapan doku-

mentasi keperawatan.

Pengetahuan terkait Dokumentasi Kepera-

watan. Hasil penelitian menunjukkan perawat

yang pengetahuannya terkait dokumentasi

keperawatan rendah, ada sejumlah 58,3% yang

dokumentasi keperawatannya lengkap. Sedangkan

perawat yang memiliki pengetahuan dokumentasi

keperawatan tinggi, ada sebanyak 56,2% yang

dokumentasi keperawatannya lengkap. Hal ini

bertentangan dengan penelitian Fizran dan

Mamdy (2002) yang mendapatkan bahwa tingkat

pengetahuan berhubungan secara bermakna

dengan kinerja perawat dalam pendokumentasian

keperawatan. Begitu pula dengan penelitian

Kusumawaty dan Yani (2001) yang mendapatkan

bahwa adanya hubungan bermakna dan berpola

positif antara pemahaman terhadap pendokumen-

tasian proses keperawatan dengan kompetensi

mendokumentasikan proses keperawatan. Asumsi

peneliti menyatakan bahwa pengetahuan tinggi

tidak selalu menunjukkan pelaksanaan doku-

mentasi keperawatan yang lengkap.

Pelaksanaan Dokumentasi Keperawatan. Hasil

penelitian menunjukkan bahwa perawat yang

baik dalam pelaksanaan dokumentasi keperawatan,

ada sebanyak 59,8% perawat yang dokumentasi

keperawatannya lengkap. Hal ini sesuai dengan

pendapat Ali (2001) yang mengatakan bahwa

penggunaan proses keperawatan sangat bermanfaat

bagi pasien, perawat dan rumah sakit. Manfaat

bagi pasien antara lain mendapat pelayanan

keperawatan yang bermutu, efektif dan efisien;

pasien bebas mengemukakan pendapat atau kebu-

tuhannya demi proses kesembuhan; mendapatkan

kepuasan dari pelayanan yang diberikan. Manfaat

untuk perawat adalah mengembangkan kemam-

puan berpikir kritis maupun keterampilan teknis;

meningkatkan kemandirian perawat dan mening-

katkan citra perawat di mata masyarakat. Manfaat

bagi rumah sakit adalah meningkatkan citra

rumah sakit sehingga meningkatkan keuntungan

bagi rumah sakit.

Noorkasiani, et al., Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kelengkapan Dokumentasi

7

Hasil penelitian didapatkan bahwa perawat

yang berada di Ruang Dinas Melati Bawah

pendokumentasian keperawatannya lebih lengkap

dibandingkan ruangan lain setelah dikontrol

variabel usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan

dan tipe kelas ruangan (p= 0,002; α= 0,05).

Peneliti berasumsi karena Ruang Dinas Melati

Bawah didukung dengan banyaknya jumlah

perawat dibandingkan dengan ruangan lain

dan penerapan metoda tim serta penggunaan

format RM 6 yaitu format rekaman asuhan

keperawatan yang hanya tinggal memberikan

checklist dan menambah data atau rencana dari

yang sudah ada.

Kesimpulan

Perawat yang dinas di Ruang Melati Bawah

(Kelas I) menjadi faktor yang paling berhubungan

dengan kelengkapan dokumentasi keperawatan

setelah dikontrol oleh usia, jenis kelamin, tingkat

pendidikan, dan tipe kelas ruangan. Perawat yang

melaksanakan dokumentasi keperawatan dengan

baik akan mendokumentasikan keperawatan

dengan lengkap. Diharapkan bagi RS dapat

menetapkan kebijakan terkait pelayanan kepe-

rawatan yang bermutu dengan meningkatkan

kelengkapan dokumentasi keperawatan melalui

bidang keperawatan dengan melengkapi format

dokumentasi keperawatan dan aturan yang sama

untuk setiap ruangan dan memberikan kesem-

patan pada perawat untuk mengikutsertakan

atau mengadakan pelatihan terkait dokumentasi

keperawatan dengan sistem komputerisasi.

Bagi penelitian selanjutnya diharapkan dapat

mengidentifikasi faktor lain yang berhubungan

dengan kelengkapan dokumentasi keperawatan

seperti supervisi, motivasi, pemberian reward

dan punishment, jumlah ketenagaan perawat,

beban kerja dan sebagainya (AS, RR).

Referensi

Ali, Z. (2001). Dasar-dasar keperawatan

profesional. Jakarta: Penerbit EGC.

Bjorvell, C. (2002). Nursing documentation in

clinical practice: Instrument development

and evaluation of a comprehensive

intervention programme. Stockholm

Sweden: Karolinska Institutet.

Carpenito, L.J. (1999). Rencana asuhan

keperawatan & dokumentasi keperawatan,

diagnosis keperawatan, dan masalah

kolaborasi. Jakarta: Penerbit EGC.

Fischbach, F.T. (1991). Dokumenting care,

communication, the nursing process, and

documentation standards. Philadelphia:

F.A.Davis Company.

Fizran, & Mamdy, Z. (2002). Faktor-faktor yang

berhubungan dengan kinerja perawat

dalam pendokumentasian asuhan

keperawatan di unit rawat inap RSUD Dr.

Achmad Muchtar Bukittinggi (Tesis,

Program Magister Fakultas Kesehatan

Masyarakat UI). Fakultas Kesehatan

Masyarakat UI, Jakarta.

Gaos, A.S., & Keliat, B.A. (2002). Hubungan

kelelahan kerja perawat pelaksana dengan

dokumentasi asuhan keperawatan di ruang

rawat RS Persahabatan. (Tesis magister,

tidak dipublikasikan) Jakarta: FIK UI.

Gillies, D.A. (2000). Nursing management: A system

approach. Philadelphia: Saunders Company.

Hotnida, L., & Sumiatun (2002). Analisis faktor-

faktor yang berpengaruh terhadap kinerja

perawat dalam pendokumentasian proses

keperawatan di ruang rawat inap RSUD

Koja (Tesis magister, tidak

dipublikasikan). Fakultas Kesehatan

Masyarakat UI, Jakarta.

Kusumawaty, I., & Yani, A. (2001). Hubungan

antara pemahaman tentang proses

keperawatan dan fungsi supervisi dengan

kompetensi mendokumentasikan proses

keperawatan di RS Karya Bhakti Bogor

(Tesis magister, tidak dipublikasikan).

Fakultas Ilmu Keperawatan UI, Jakarta.

Notoatmodjo, S. (2003). Pendidikan kesehatan

masyarakat. Jakarta: Badan Penerbit

Kesehatan Masyarakat FKM UI.

Jurnal Keperawatan Indonesia, Vol. 18, No. 1, Maret 2015, hal 1-8

8

Owen, K. (2005). Documentation in nursing

practice. Nursing standard, 19 (32), 48–

49.

Potter, P.A., & Perry, A.G. (2005). Buku ajar

fundamental keperawatan: ajar

fundamental keperawatan: Konsep, proses

& praktik. proses, & praktik. (Alih

Bahasa: Yasmin Asih, et al.,) (Edisi 4).

Jakarta: Penerbit EGC.

Siagian, S.P. (2002). Manajemen sumber daya

manusia. sumber daya manusia. Jakarta:

Bumi Aksara.

Sumitra, & Savitri, M. (2000). Faktor-faktor yang

berhubungan dengan pelaksanaan

dokumentasi pengkajian keperawatan oleh

perawat di ruang rawat inap RSUD

Karawang (Tesis magister, tidak

dipublikasikan). Fakultas Kesehatan

Masyarakat UI, Jakarta.

Suratun. (2008). Hubungan penerapan metode

penugasan tim dengan kelengkapan

dokumentasi asuhan keperawatan di RSUP

Bekasi (Tesis magister, tidak

dipublikasikan). Fakultas Ilmu

Keperawatan UI, Jakarta.

Soetisno, B., & Christophora, S. (2000). Pengaruh

pelatihan perawat pada kelengkapan

dokumentasi keperawatan di RS Imanuel

(Tesis, Program Magister Fakultas

Kesehatan Masyarakat UI). Fakultas

Kesehatan Masyarakat UI, Jakarta.

Usman, S., & Tafal, Z. (2002). Faktor-faktor yang

memotivasi perawat dalam penerapan

proses keperawatan di ruang rawat inap

RS Zainoel Abidin Banda Aceh (Tesis,

Program Magister Fakultas Kesehatan

Masyarakat UI). Fakultas Kesehatan

Masyarakat UI, Jakarta.

Wang, N., Hailey, D., & Yu, P. (2011). Quality of

nursing documentation and approaches to

its evaluation: a mixed-method systematic

review. Journal of Advanced Nursing, 67

(9), 1858–1875. doi: 10.1111/j.1365-

2648.2011.05634.x

Jurnal Keperawatan Indonesia, Volume 18 No.1, Maret 2015, hal 9-16

pISSN 1410-4490, eISSN 2354-9203

HUBUNGAN MOTIVASI DAN KOMITMEN ORGANISASI DENGAN

KINERJA PERAWAT DALAM PELAKSANAAN DOKUMENTASI

ASUHAN KEPERAWATAN

Nur Miladiyah R

1,2*, Mustikasari

3, Dewi Gayatri

3

1. STIKes Bani Saleh, Bekasi 17113 Indonesia

2. Program Studi Magister, Fakultas Ilmu Keperawatan, Universitas Indonesia, Depok 16424, Indonesia

3. Fakultas Ilmu Keperawatan, Universitas Indonesia, Depok 16424, Indonesia

*E-mail: [email protected]

Abstrak

Motivasi dan komitmen organisasi merupakan faktor yang meningkatkan dan membangun kinerja perawat secara

konstruktif dalam menghasilkan kualitas asuhan keperawatan yang bermutu. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui

hubungan motivasi dan komitmen organisasi dengan kinerja perawat dalam pelaksanaan dokumentasi asuhan

keperawatan di sebuah Rumah Sakit di Bekasi. Jenis penelitian ini adalah deskriptif korelasi dengan rancangan cross

sectional. Sampel penelitian ini adalah seratus enam perawat pelaksana dengan menggunakan kuesioner dan observasi

dokumentasi asuhan keperawatan. Analisis dengan univariat, bivariat (chi square), dan multivariat (regresi logistik

berganda). Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan antara motivasi dan kinerja perawat dalam pelaksanaan

dokumentasi asuhan keperawatan (p= 0,000; α= 0,05). Motivasi ekstrinsik memengaruhi kinerja perawat dua puluh

enam kali lebih tinggi (OR= 26,708) setelah dikontrol oleh variabel umur, status kepegawaian, dan masa kerja. Perlu

dilakukan audit dokumentasi sebagai bagian dari penilaian kinerja perawat.

Kata kunci: dokumentasi asuhan keperawatan, kinerja komitmen organisasi motivasi

Abstract

Motivation and Organizational Commitment Determine Nursing Quality and Performance in ones Hospital Bekasi. Motivation and organizational commitment is a factor that can increase positive attitudes towards work and build

constructively nurses performance in producing quality nursing care quality. Study is to examine the relationship

between motivation and commitment to the organization's performance in implementing nursing documentation of

nursing care in hospitals Bekasi. This descriptivestudy with cross sectional correlation. Sample of 106 nurses using

questionnaires and observation documentation of nursing care with univariate analysis, bivariate (chi-square) and

multivariate (multiple logistic regression). The research results concluded there was relationship between motivation

with nurses' performance in implementing nursing care documentation (p= 0,000; α = 0,05). Extrinsic motivation could

affect the performance of nurses 26 times higher (OR= 26,708) after controlled by age, employment status, and years of

service. Audit documentation needs to be done as part of the performance assessment nurse.

Keywords: documentation of nursing, motivation, organizational commitment, performance

Pendahuluan

Rumah sakit sebagai salah satu sarana kesehatan

dituntut untuk dapat memberikan pelayanan yang

bermutu sesuai standar yang sudah ditentukan

dalam meningkatkan derajat kesehatan masya-

rakat. Perawat sebagai profesi yang mandiri

dituntut untuk dapat memberikan kualitas

asuhan keperawatan yang berkualitas kepada

individu, keluarga, dan masyarakat (Delaune,

2002). Perawat sebagai tenaga profesional dituntut

untuk mampu menunjukkan kinerja yang sesuai

dengan standar yang telah ditetapkan.

Kinerja adalah suatu pekerjaan yang dilakukan

berdasarkan pada proses suatu tindakan dan

evaluasi hasil tindakan (Sonentag & Frese, 2001).

Motivasi yang relatif stabil membuat staf bekerja

Jurnal Keperawatan Indonesia, Vol. 18, No. 1, Maret 2015, hal 9-16 10

lebih baik dalam meningkatkan kinerja kerjanya

(Robbins, 2006). Kanfer, Chen, dan Pritchard

(2008) menyatakan bahwa motivasi kerja meru-

pakan faktor yang meningkatkan kinerja secara

konstruktif. Motivasi perawat berperan dalam

menghasilkan kualitas asuhan keperawatan yang

bermutu. Penelitian yang dilakukan Khan, et al.,

(2010) menyatakan bahwa salah satu determinan

kinerja adalah komitmen organisasi. Hasil pene-

litian yang dilakukan Lee dan Olshfsi (2002)

dalam Khan, et al., (2010) menyatakan bahwa

komitmen organisasi tinggi menyebabkan

karyawan menyukai dan menyelesaikan

pekerjaannya dengan baik sehingga dapat

meningkatkan kinerja.

Berdasarkan Joints Commission Internatioanl

Accreditation (JCIA, 2011) asuhan keperawatan

yang diberikan kepada setiap pasien harus

terencana dan tertulis dalam dokumentasi asuhan

keperawatan. Penilaian kinerja perawat pelaksana

yang sudah berjalan di sebuah Rumah Sakit

(RS) di Bekasi meliputi tiga komponen, yaitu

kedisiplinan staf, produktivitas kerja, dan

perilaku terhadap pekerjaannya. Produktivitas

kerja perawat dinilai berdasarkan nilai keter-

capaian terhadap standar asuhan keperawatan

(SAK). Berdasarkan Departemen Kesehatan

(Depkes, 2005), standar pelayanan dan standar

asuhan keperawatan berfungsi sebagai alat ukur

untuk mengetahui dan memantau pelayanan

kualitas asuhan keperawatan yang dilakukan di

rumah sakit sudah memenuhi persyaratan sesuai

dengan standar. Kualitas pelayanan keperawatan

salah satunya dapat diukur dari ketercapaian

standar asuhan keperawatan. Menurut standar

kinerja rumah sakit (Depkes Republik Indonesia,

2005) hasil persentase penilaian minimal ke-

tercapaian standar asuhan keperawatan sebesar

85%. Hasil audit dokumentasi penerapan SAK

di sebuah RS di Bekasi pada tahun 2012 dari tiga

belas ruangan yang menjadi sasaran evaluasi

SAK, hanya lima ruangan yang telah memenuhi

SAK (>85%). Hasil audit menunjukkan bahwa

hanya 38% ruangan rawat inap yang telah

memenuhi standar ketercapaian SAK, 62%

ruangan yang lain belum memenuhi standar

SAK (<85%), sehingga rerata nilai ketercapaian

SAK seluruh ruang rawat inap sebesar 64%.

Kondisi ini mengalami penurunan sebesar 25%

dari kondisi pada tahun 2011, yaitu pada tahun

2011 ketercapaian SAK mencapai 89%.

Penurunan ketercapaian SAK disebabkan oleh

kurangnya kesadaran perawat tentang pentingnya

pendokumentasian asuhan keperawatan secara

lengkap, pengisian identitas pasien yang kurang

lengkap, rencana tindakan yang tidak sesuai

dengan diagnosis keperawatan, sebagian tindakan

terutama pada pergantian kerja sore dan malam,

tidak sesuai dengan rencana yang telah dibuat,

dan pada catatan perawatan sering tidak men-

cantumkan nama dan paraf perawat.

Komitmen perawat juga dipengaruhi oleh status

kepegawaian dari staf karena 40% perawat

pelaksana yang berada di sebuah RS di Bekasi

merupakan tenaga kerja kontrak. Hal ini

menyebabkan angka turn over di sebuah RS di

Bekasi pada tahun 2012 adalah sebesar 1,

91%. Kurangnya kedisiplinan staf dan status

kepegawaian staf merupakan bagian dari

permasalahan komitmen organisasi yang akan

berdampak terhadap kinerja perawat.

Pentingnya motivasi dan komitmen perawat

terhadap tujuan dan kebijakan organisasi adalah

sebagai daya dorong dalam meningkatkan kinerja

staf. Berdasarkan fenomena ini, peneliti meng-

anggap penting untuk meneliti hubungan antara

motivasi dan komitmen organisasi terhadap

kinerja perawat dalam melaksanakan dokumentasi

asuhan keperawatan di sebuah RS di Bekasi.

Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi

hubungan motivasi dan komitmen organisasi

terhadap kinerja perawat dalam pelaksanaan

dokumentasi asuhan keperawatan di sebuah

RS di Bekasi.

Metode

Desain penelitian ini adalah deskriptif korelasi

dengan rancangan cross sectional. Kuesioner

diberikan kepada seratus enam orang perawat

pelaksana di ruang rawat inap sebuah RS di

Bekasi. Data dikumpulkan menggunakan kuesioner

dan observasi dokumentasi asuhan keperawatan.

Kuesioner meliputi karakteristik perawat, motivasi,

Miladiyah R, et al., Hubungan Motivasi dan Komitmen Organisasi dengan Kinerja 11

dan komitmen organisasi. Lembar observasi

penilaian kinerja perawat melalui berkas rekam

medis pasien. Data dianalisis dengan univariat

menggunakan tabel distribusi frekuensi, analisis

bivariat menggunakan uji chi-square, dan analisis

multivariat menggunakan uji regresi logistik.

Hasil

Karakteristik perawat meliputi umur, jenis

kelamin, masa kerja, tingkat pendidikan, dan

status kepegawaian perawat di ruang rawat inap

sebuah RS di Bekasi. Berdasarkan Tabel 1 didapat

bahwa karakteristik responden berumur 20-35

tahun (76,4%), berjenis kelamin perempuan

(83,6%), masa kerja kurang dari10 tahun

(66%), pendidikan D-3 keperawatan (84,9%)

dan pegawai negeri sipil (53,8%).

Berdasarkan Tabel 2 didapat bahwa motivasi

perawat dipersepsikan masih kurang (58,5%).

Motivasi yang dirasakan masih kurang adalah

motivasi instrinsik (57,5%) dan motivasi eks-

trinsik (55,7%).

Tabel 1. Karak-teristik Responden

Variabel Jumlah Persentase

(%)

Umur

a. 20—35 tahun

b. 36—55 tahun

81

25

76,4

23,6

Jenis Kelamin

a. Pria

b. Wanita

18

88

17

83

Masa Kerja

a. <10 tahun

b. >10 tahun

70

36

66

34

Pendidikan terakhir

a. Surat Perintah Kerja

(SPK)

b. D-3 Keperawatan,

c. S-1 Keperawatan+

Ners

10

90

6

9,4

84,9

5,7

Status Kepegawaian

a. Pegawai Negeri Sipil

(PNS)

b. Tenaga Kerja kontrak

(TKK)

57

49

53,8

46,2

Berdasarkan Tabel 3 terlihat bahwa responden

yang memiliki komitmen kurang mempunyai

selisih 6% lebih besar daripada responden yang

memiliki komitmen baik. Responden mempunyai

komitmen afektif yang baik (90,6%), komitmen

normatif yang baik (96,2%), dan komitmen

continuance baik (82,1%).

Tabel 2. Motivasi Perawat Pelaksana

Variabel Jumlah Persentase

Motivasi

a. Baik

b. Kurang

44

62

41,5

58,5

Motivasi Instrinsik

a. Baik

b. Kurang

45

61

42,5

57,5

Motivasi Ekstrinsik

a. Baik

b. Kurang

47

59

44,3

55,7

Tabel 3. Komitmen Organi-sasi Perawat

Pelaksana

Variabel Jumlah Persentase

Komitmen Organisasi

a. Baik

b. Kurang

51

55

48

52

Komitmen Afektif

a. Baik

b. Kurang

96

10

90,6

9,4

Komitmen Normatif

a. Baik

b. Kurang

102

4

96,2

3,8

Komitmen Continuance

a. Baik

b. Kurang

87

19

82,1

17,9

Tabel 4. Kinerja Perawat dalam Pelaksanaan

Dokumentasi Asuhan Keperawatan Variabel Jumlah Persentase Kinerja Pelaksanaan

Dokumentasi Asuhan

Keperawatan

a. Baik

b. Kurang

54

52

51

49

Hasil kinerja perawat diukur berdasarkan nilai

rerata dari tiga berkas rekam medis pasien

Jurnal Keperawatan Indonesia, Vol. 18, No. 1, Maret 2015, hal 9-16 12

pulang. Berdasarkan Tabel 4 terlihat bahwa

kinerja perawat pelaksana yang mempunyai

kinerja baik dalam pelaksanaan dokumentasi

asuhan keperawatan berdasarkan rekam medis

sebanyak lima puluh empat orang (51%).

Berdasarkan pada Tabel 5 dapat dijelaskan bahwa

proporsi perawat yang mempunyai motivasi

baik dan menunjukkan kinerja yang baik dalam

pelaksanaan dokumentasi asuhan keperawatan

adalah sebesar 72,7%. Perawat yang memiliki

motivasi yang kurang dan menunjukkan kinerja

yang baik adalah sebesar 48,9%. Hasil uji

statistik terdapat hubungan antara motivasi dan

kinerja perawat dalam pelaksanaan dokumentasi

asuhan keperawatan (p= 0,000; α= 0,05).

Hasil akhir dari analisis multivariat menunjuk-

kan bahwa komponen motivasi yang paling

berhubungan dengan kinerja perawat dalam

pendokumentasian asuhan keperawatan adalah

motivasi ekstrinsik dapat mempengaruhi kinerja

perawat dua puluh enam kali lebih tinggi

(OR= 26,708) setelah dikontrol oleh variabel

umur, status kepegawaian, dan masa kerja.

Tabel 5. Hubungan antara Motivasi dan Kinerja Perawat dalam Pelaksanaan Dokumentasi Asuhan

Keperawatan

Variabel

Kinerja Dokumentasi Total

X2

P OR

(95% CI) Kurang Baik

N % N % N %

Motivasi

a. Kurang

b. Baik

41

12

66,1

27,3

21

32

33,9

72,7

44

62

100

100

14,027

0,000*

5,206

(2,233; 12,140)

Motivasi Instrinsik

a. Kurang

b. Baik

30

23

49,2

51,1

31

22

46,7

48,9

61

45

100

100

0,000

3

1,000

0,926

(0,428; 2,000)

Motivasi Ekstrinsik

a. Kurang

b. Baik

46

7

78

14,9

13

40

13

85,1

47

59

100

100

39,143

0,000

*

5.235

(2,608; 10,507)

Tabel 6. Hubungan antara Komitmen Organisasi dan Kinerja Perawat dalam Pelaksanaan Dokumentasi Asuhan

Keperawatan

Variabel

Kinerja Dokumentasi Total

X2 P

OR

(95% CI) Kurang Baik

N % N % n %

Komitmen organisasi

a. Kurang

b. Baik

27

27

49

53

28

24

51

47

55

51

100

100 0,023 0,692

0,857

(0,400: 0,838)

Komitmen afektif

a. Kurang

b. Baik

4

50

40

52,1

6

46

60

47.9

10

96

100

100 0,156 0,693

0,613

(0,163; 2,31)

Komitmen Normatif

a. Kurang

b. Baik

1

53

25

52

3

49

75

48

4

102

100

100 0,301 0,584

0,308

(0,031; 3,06)

Komitmen Continuance

a. Kurang

b. Baik

9

45

47,7

51,7

10

42

52,6

48,3

9

87

100

100 0,008 0,928

0,840

(0,311; 2,26)

Miladiyah R, et al., Hubungan Motivasi dan Komitmen Organisasi dengan Kinerja 13

Pembahasan

Berdasarkan hasil pengukuran berkas rekam

medis pasien didapatkan hasil kinerja perawat

dalam pelaksanaan dokumentasi asuhan kepera-

watan sebesar 51% responden mempunyai kinerja

yang baik dalam pelaksanaan dokumentasi asuhan

keperawatan. Menurut Jefferies, et al., (2011),

proporsi perawat yang melakukan dokumentasi

asuhan keperawatan dengan baik harus meliputi

komponen-komponen pengkajian, diagnosis,

perencanaan, implementasi, dan evaluasi. Ke-

lima komponen tersebut harus didokumentasikan

secara jelas dan berurutan, sehingga dapat

dipahami oleh semua profesi.

Pengukuran kinerja merupakan serangkaian

kegiatan perawat yang memiliki kompetensi

pengetahuan, keterampilan, dan pengambilan

keputusan klinis. Kualitas dokumentasi asuhan

keperawatan dipengaruhi oleh tingkat pengetahuan

perawat dalam melakukan pendokumentasian

dengan tata bahasa yang baik (Jefferies, et al.,

2011). Menurut Wang (2011), penggunaan

bahasa dan istilah yang tidak dimengerti dapat

mengakibatkan berbagai interpretasi yang salah

terhadap dokumentasi asuhan keperawatan.

Berdasarkan hasil analisis bivariat karakteristik

responden ditemukan tidak ada hubungan antara

karakteristik perawat pelaksana dan pelaksanaan

dokumentasi asuhan keperawatan. Hal ini disebab-

kan oleh semua perawat mempunyai kewajiban

yang sama dalam mendokumentasikan asuhan

keperawatan yang telah dilakukan terhadap klien-

nya karena dokumentasi asuhan keperawatan

merupakan salah satu aspek legal sebagai bentuk

pertanggungjawaban perawat terhadap pasien,

tanpa dipengaruhi oleh karakteristik responden

(Owen, 2005).

Hasil uji statistik menunjukan bahwa perawat yang memiliki motivasi yang baik menunjukan kinerja baik dalam pelaksanaan dokumentasi asuhan keperawatan sebesar 72,7 %, dibandingkan yang motivasi kurang. Hasil uji statistik menunjukan bahwa ada Hasil

Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat

hubungan antara motivasi dan kinerja perawat

dalam pelaksanaan dokumentasi asuhan kepera-

watan (p= 0,000; α= 0,05). Hasil penelitian ini

sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh

Indrastuti, Hamid, dan Mustikasari (2010). Kanfer,

Chen, dan Pritchard (2008) menyatakan bahwa

motivasi kerja merupakan faktor yang dapat

meningkatkan kinerja secara konstruktif. Hasil

analisis subvariabel terdapat hubungan yang

signifikan antara motivasi ekstrinsik dan kinerja

perawat dalam pelaksanaan dokumentasi asuhan

keperawatan (p= 0,000; α= 0,05). Hasilnya menun-

jukkan bahwa perawat yang mempunyai motivasi

ekstrinsik baik berpeluang menunjukkan kinerja

baik lima kali lebih besar dibandingkan dengan

perawat yang mempunyai motivasi kurang (OR=

5,235).

Menurut Herzberg, et al., (1959) dalam Lu

(2000), motivasi kerja individu dapat ditelaah

secara instrinsik maupun ekstrinsik. Menurut Lu

(2000), seseorang yang mempunyai motivasi

ekstrinsik kuat dipengaruhi oleh insentif dan

kondisi kerja, seperti lingkungan pekerjaan,

hubungan antarstaf, dan kebijakan yang

dikeluarkan oleh perusahaan. Motivasi

berdasarkan pada bagaimana seseorang

mengevaluasi kompetensi sesuai dengan tujuan

awal tindakan dan apakah kompetensi tersebut

sudah sesuai dengan pencapaian yang diharapkan

(Nicholls, 1984 dalam Domangue & Solmon, 2010).

Berdasarkan hasil pengamatan peneliti, salah

satu faktor motivasi ekstrinsik yang dapat

meningkatkan kinerja adalah supervisi pimpinan.

Tingginya supervisi kepala ruangan terhadap

kinerja perawat dalam pelaksanaan dokumentasi

menghasilkan kualitas dokumentasi asuhan

keperawatan yang baik. Ada tiga ruangan

(37,5%) yang memiliki kinerja dokumentasi

asuhan keperawatan yang baik (>85%) karena

mendapatkan supervisi dari kepala ruangan secara

optimal. Kepala ruangan memberikan bimbingan

proses dokumentasi asuhan keperawatan dan

umpan balik terhadap hasil asuhan keperawatan

yang telah didokumentasikan.

Peningkatan motivasi ekstrinsik dapat dilakukan

dengan memperhatikan kesejahteraan staf. Berda-

sarkan analisis instrumen, perawat merasa adanya

penghargaan yang disesuaikan dengan beban kerja

dan kinerja membuat mereka lebih termotivasi

dalam meningkatkan kinerjanya. Hal ini menun-

jukkan bahwa kebutuhan perawat terhadap

hadiah yang berupa promosi atau peningkatan

pendidikan juga sangat tinggi, yang dibutuhkan

Jurnal Keperawatan Indonesia, Vol. 18, No. 1, Maret 2015, hal 9-16 14

oleh staf adalah program-program pelatihan atau

pendidikan berkelanjutan untuk meningkatkan

kompetensi perawat.

Komponen berikutnya yang terdapat dalam

subvariabel motivasi ekstrinsik adalah hubungan

antarstaf. Berdasarkan analisis kuesioner, mayoritas

perawat menyatakan hubungan antarstaf yang

baik. Berdasarkan Robbins (2006), kebutuhan

untuk berhubungan antarstaf merupakan kebutuhan

seseorang untuk dapat berafiliasi dengan orang

lain. Marquis dan Huston (2010) menyatakan

bahwa hubungan antarstaf yang harmonis memu-

dahkan seseorang untuk berinteraksi dengan orang

lain, membantu pencapaian target kinerja individu.

Berdasarkan hasil penelitian, responden yang

memiliki komitmen organisasi yang kurang

sekitar 52%. Hal ini sejalan dengan hasil

penelitian yang dilakukan oleh Rose dan Kumar

(2009), Yatnikasari, et al., (2010). Hasil ini

menunjukkan bahwa responden yang memiliki

komitmen kerja kurang lebih besar daripada

responden yang memiliki komitmen kerja baik.

Hasil uji statistik, tidak ditemukan subvariabel

komitmen organisasi yang berhubungan dengan

kinerja perawat dalam pendokumentasian asuhan

keperawatan. Hasil ini sejalan dengan penelitian

McMurray, et al., (2004) yang menyatakan

bahwa ada faktor lain yang menyebabkan tidak

adanya hubungan antara komitmen organisasi dan

kinerja staf. McMurray, et al., (2004) menyatakan

bahwa iklim organisasi secara tidak langsung

dapat memengaruhi hasil kinerja. Komponen dari

iklim organisasi yang dapat meningkatkan

komitmen staf adalah adanya hubungan

antarstaf yang baik, lingkungan kerja yang

kondusif sehingga terdapat keterlibatan staf

dalam kegiatan-kegiatan yang dilakukan

organisasi.

Hasil analisis menunjukkan bahwa subvariabel

komitmen afektif menunjukan proporsi perawat

yang mempunyai komitmen afektif tinggi dan

mempunyai kinerja pendokumentasian asuhan

keperawatan yang kurang disebabkan oleh

sebagian besar responden mempunyai masa

kerja yang kurang dari sepuluh tahun. Menurut

Meyer, Stanley, Herscovitch, dan Topolnytsky

(2001), komitmen afektif merupakan komponen

emosional dari staf dalam mengidentifikasi dan

terlibat dalam pencapaian tujuan organisasi

sehingga dengan masa kerja yang singkat ke-

terikatan secara emosional belum terbentuk.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa responden

yang mempunyai komitmen normatif baik dan

menunjukkan kinerja baik sebesar (49%). Menurut

Meyer, et al., (2001) komitmen normatif

merupakan perasaan staf untuk tetap

berkewajiban secara moral tetap dalam

organisasi untuk sejumlah alasan. Tingginya

proporsi perawat yang mem-punyai komitmen

normatif yang baik, salah satunya disebabkan

oleh status kepegawaian responden. Sebagian

besar responden (53,8%) berstatus sebagai

pegawai negeri sipil (PNS). Sebagai PNS,

mereka akan menerima dan mengadopsi

kebijakan yang terdapat dalam organisasi

karena kebijakan yang dikeluarkan melalui

surat keputusan dan juga disahkan oleh

pemerintah. Keadaan ini menyebabkan perawat

sebagai PNS mempunyai rasa keterikatan yang

besar terhadap organisasi dan mengikuti semua

kebijakan yang sudah ditetapkan oleh organisasi.

Menurut Meyer, et al., (2001), staf dengan

komitmen continuance yang tinggi akan tetap

berada dalam organisasi untuk menghindari

biaya yang harus dikeluarkan bila mereka

meninggalkan organisasi. Berdasarkan analisis

kuesioner, 87% responden merasakan terdapat

keseimbangan antara gaji dan tanggung jawab

yang dilakukan, mendapatkan kenaikan gaji

berkala sesuai dengan kinerja yang telah

dilakukan, dan responden merasa akan rugi

secara moril dan materiil bila keluar dari rumah

sakit. Menurut McMurray, et al., (2004),

komitmen organisasi dan kepercayaan staf yang

tinggi terhadap organisasi secara signifikan

merupakan salah satu determinan dalam

pencapaian kinerja secara optimal. Berdasarkan

analisis peneliti, perawat mendapatkan insentif

dari jasa tindakan keperawatan, uang dinas malam,

dan lain-lain sehingga mengakibatkan dampak

yang positif terhadap komitmen continuance

perawat terhadap rumah sakit.

Miladiyah R, et al., Hubungan Motivasi dan Komitmen Organisasi dengan Kinerja 15

Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian didapat karakteristik

responden yang terdapat di sebuah RS di Bekasi

sebagian besar berada pada umur 20-35 tahunan

dengan masa kerja kurang dari sepuluh tahun,

mempunyai latar belakang pendidikan D-3 kepe-

rawatan, dan berstatus sebagai pegawai negeri

sipil. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa ada

hubungan antara motivasi dan kinerja perawat

dalam pelaksanaan dokumentasi asuhan kepe-

rawatan. Hasil analisis-subvariabel motivasi

didapatkan bahwa ada hubungan antara motivasi

ekstrinsik dan kinerja perawat dalam pelaksanaan

dokumentasi asuhan keperawatan. Hasil akhir

analisis multivariat menunjukkan bahwa motivasi

ekstrinsik dapat memengaruhi kinerja perawat

dua puluh enam kali lebih tinggi setelah dikontrol

oleh variabel umur, status kepegawaian, dan

masa kerja. Namun, untuk faktor komitmen

organisasi tidak ada hubungan antara komitmen

organisasi dan kinerja perawat dalam pelaksanaan

dokumentasi asuhan keperawatan. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa motivasi ekstrinsik memberi-

kan kontribusi besar dalam meningkatkan kinerja

perawat dalam pelaksanaan dokumentasi asuhan

keperawatan di sebuah RS di Bekasi.

Penulis menyarankan agar RS dapat membuat

kebijakan dengan menjadikan audit dokumentasi

keperawatan sebagai salah satu indikator kinerja

perawat. Perencanaan pengembangan sumber

daya keperawatan dengan mengadakan program

pendidikan berkelanjutan untuk perawat pelaksana

yang masih berpendidikan D-3 keperawatan

serta mengikutsertakan perawat dalam program-

program pelatihan yang dapat meningkatkan

kemampuan dan kompetensi perawat pelaksana

dalam melakukan asuhan keperawatan. Rumah

sakit harus dapat menciptakan lingkungan dan

kondisi kerja yang aman dan nyaman sebagai

bagian dari motivasi ekstrinsik untuk lebih

dapat meningkatkan kinerja perawat dengan

penyediaan sarana dan prasarana penunjang

tindakan keperawatan yang memadai serta men-

dukung dalam melaksanakan asuhan keperawatan

(HH, EF, AR).

Referensi

Delaune, S.C. (2002). Fundamental of nursing:

Standartdan practice (2nd Ed.). Sydney:

Delmar Thomson Learning.

Departemen Kesehatan RI. (2005). Instrumen evaluasi

penerapan standar asuhan keperawatan di

rumah sakit (Cetakan ke lima). Jakarta:

Direktorat Jenderal Pelayanan Medis

Direktorat Pelayanan Keperawatan.

Domangue, E., & Solmon, M. (2010). Motivational

Responses to fitness testing by award status

and gender. Res Q Exerc Sport, 81 (3), 310–

318.

Indrastuti, Y., Hamid, A.Y.S., & Mustikasari.

(2010). Analisis hubungan perilaku caring

dan motivasi dengan kinerja perawat

pelaksana menerapkan prinsip etik

keperawatan dalam asuhan keperawatan di

RSUD Sragen (Tesis, magister tidak

dipublikasikan). Program Pascasarjana FIK-

UI, Jakarta.

Jefferies, D., Johnson, M., Nicholls, D., & Lad, S.

(2012). A ward-based writing coach

program to improve the quality of nursing

documentation. Nurse Education Today, 32,

647–651. doi:10.1016/j.nedt.2011.08.017.

Joints Commission Internatioanl Accreditation

(JCIA). (2011). Standards for hospitals (4th

Ed.). Washington: Department of

Publications Joint Commission Resources.

Kanfer, R., Chen, G., & Pritchard, R. (2008).

Workmotivation past, present, future. Florida:

Society for Industrial dan Organisazational

Psychology.

Khan, R.M., Ziauddin, Jam, F.A., & Ramay, M.

(2010). The impacts of organizational

commitment on employee Job performance.

European Journal of Social Sciences, 15

(3), 292–298.

Lu, L. (1999). Work Motivation, job stress, and

employment well being. Journal of Applied

Management Studies, 8 (1), 61–72.

Jurnal Keperawatan Indonesia, Vol. 18, No. 1, Maret 2015, hal 9-16 16

Martin, J.A. (2009). Interpersonal relationships,

motivation, engagement, and achievement:

Yields for theory, current issues, and

educational practice. Review of Educational

Research, 79 (1), 327–365. Doi: 10.3102/

0034654308325583.

Marquis, B.L., & Houston, C.J. (2006). Leadership

roles and management, management

function in nursing, theory and application.

Philadelphia: Lippincott

McMurray, A.J, Scott, D.R., & Pace, R.W. (2004).

Relationship between organizational

commitment and organizational climate to

performance appraisal in manufacturing.

Human Resource Development Journal, 15

(4), 473–488.

Meyer, J.P., Stanley, D.J., Herscovitch, L., &

Topolnytsky, L. (2001). Affective,

continuance, and normative commitment to

the organization: A meta analysis of

antecedents, correlates, and consequences.

Journal of Vocational Behavior, 61 (1), 20–

52. Doi:10.1006/jvbe.2001.1842.

Owen, K. (2005). Documentation in nursing

practice. Nursing Standard, 19, 48–49.

Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI).

(2010). Standar profesi dan kode etik

perawat Indonesia. Jakarta: Tim Penyusun

PP PPNI.

Robbins, S.P. (2006). Organizational behavior

(10th Ed.). New Jersey: Pearson education.

Rose, C.A., & Kumar, R. (2009). The effect of

organizational learning on organizational

commitment, job satisfaction, and work

performance. Journal of Applied Business

research, 25 (6), 55–65.

Sonentag, S., & Frese, M. (2001). Performance

concepts and performance theory. Germany:

John willey & Sons.

Sulistyowati, D., Hariyati, T., & Kuntarti. (2012),

Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi

pencapaian target kinerja individu perawat

pelaksana berdasarkan indeks kinerja

individu di Gedung A Rumah sakit umum

pusat nasional Dr. Cipto Mangunkusumo

(Tesis, magister, tidak dipublikasikan). FIK

UI, Jakarta.

Wahyudi, I., Irawaty, D., & Mulyono, S. (2010)

Hubungan persepsi perawat tentang profesi

keperawatan, kemampuan dan motivasi

kerja terhadap kinerja perawat pelaksana

di RSU dr. Slamet Garut (Tesis magister,

tidak dipublikasikan). FIK UI, Jakarta.

Wang, N., Hailey, D., & Yu, P. (2011). Quality of

nursing documentation and approaches to

its evaluations a mixed-method systematic

review. Journal of Advanced Nursing, 1–

18. Doi: 10.1111/j.1365-2648.2011.05634.x

Yatnikasari, A., Sahar, J., & Mustikasari. (2010).

Hubungan program retensi dengan

komitmen organisasi perawat pelaksana di

RSAB Harapan Kita (Tesis magister, tidak

dipublikasikan). FIK UI, Jakarta.

Jurnal Keperawatan Indonesia, Volume 18 No.1, Maret 2015, hal 17-22

pISSN 1410-4490, eISSN 2354-9203

KONTRIBUSI PERBEDAAN PSIKOLOGIS PERAWAT TERHADAP

PEMBERDAYAAN PSIKOLOGIS

Diah Arruum

1,2*, Junaiti Sahar

3, Dewi Gayatri

3

1. Fakultas Keperawatan, Universitas Sumatera Utara, Medan 20155, Indonesia

2. Program Studi Magister, Fakultas Ilmu Keperawatan, Universitas Indonesia, Depok 16424, Indonesia

3. Fakultas Keperawatan, Universitas Indonesia, Depok 16424, Indonesia

*E-mail : [email protected]

Abstrak

Karakteristik perawat merupakan ciri-ciri perawat yang melekat terhadap dirinya, baik secara alami maupun yang

didapat dari orang lain yang meliputi usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, status pernikahan, status pekerjaan, dan

lama kerja. Karakteristik dapat membedakan psikologis perawat terhadap pemberdayaan psikologis dalam peningkatan

kemampuan diri, motivasi intrinsik, dan kinerja perawat di rumah sakit. Penelitian ini bertujuan mengetahui

karakteristik perawat dengan pemberdayaan psikologis. Desain penelitian yang digunakan deskripsi korelasi dengan

cross sectional, sampel seratus lima belas perawat pelaksana. Hasil penelitian adalah jenis kelamin yang berhubungan

dengan pemberdayaan psikologis perawat pelaksana p= 0,041, yang berarti terdapat hubungan antara jenis kelamin dan

pemberdayaan psikologis perawat pelaksana (CI 95% OR= 1,001–66,893). Kemudian, 90% perawat pelaksana yang

berjenis kelamin laki-laki lebih berpeluang untuk diberdayakan secara psikologis, sedangkan perawat pelaksana dengan

jenis kelamin perempuan yang berpeluang diberdayakan sebesar 52,4%. Rekomendasi dari penelitian ini adalah perlu

mengusulkan pendidikan formal dan pelatihan untuk perawat pelaksana khususnya yang memiliki lama kerja minimal

lima tahun, serta perlu memberi pengarahan dari kepala ruangan untuk membina seluruh perawat melalui supervisi agar

dapat memiliki kompetensi dalam melakukan tindakan di rumah sakit yang mencerminkan pemberdayaan psikologis

perawat.

Kata kunci: perbedaan psikologis perawat, pemberdayaan psikologis

Abstract

Contribution of the Difference of Psychological Nurses's toward Psycological Empowerment. Characteristics of

nurses are the traits attached to nurses, either naturaly or acquired from others. They include age, gender, educational

level, marital status, employment status, and length of employment. The psychological characteristics distinguish nurses

in psychological empowerment in improving self-efficacy, intrinsic motivation and performance of nurses in hospital.

This research aims to know the characteristics and the psychological empowerment of nurses. The research design used

cross-sectional correlation description with sample of 115 nurses. The results of the study are, gender that related with

nurses’ psychological empowerment (p= 0,041), which means that there is relation between gender with psychological

empowerment of nurses (CI 95% OR= 1,001–66,893), and 90% of male nurses are more likely to be empowered

psychologically, whereas female nurses that is likely to be empowered is 52,4%. Recommendations is the need to

propose a formal education and training, especially for nurses who have at least 5 years length of work, as well as the

need to give direction from head nurse to nurture all nurses through supervision in order to have the competences to

carry out actions in hospital that reflect the nurses psychological empowerment.

Keywords: nurses psychological difference, psychological empowerment

Pendahuluan

Perawat sebagai individu yang bergerak di bidang

kesehatan khususnya di rumah sakit harus mampu

memberikan pelayanan keperawatan sesuai

dengan keahlian. Pelayanan keperawatan yang

diberikan harus menjamin asuhan keperawatan

yang berkualitas (Aditama, 2008). Pelayanan

yang berkualitas tersebut dapat dilakukan melalui

pendekatan pemberdayaan, yaitu pendekatan

Jurnal Keperawatan Indonesia, Vol. 18, No. 1, Maret 2015, hal 17-22

18

hubungan dan pendekatan motivasi (Huber,

2006). Pendekatan hubungan bertujuan untuk

memperbaiki kinerja, sedangkan pada pendekatan

motivasi bertujuan untuk menciptakan tangggung

jawab, kemampuan, komitmen, dan keterlibatan

perawat (Huber, 2006).

Keterlibatan individu pada setiap pekerjaannya

dapat mengukur secara psikologis individu

tersebut terhadap pekerjaannya dan kinerjanya

untuk mencapai penghargaan diri (Robbins &

Judge, 1998/2008). Safaria (2004) menyatakan

bahwa pemberdayaan memberikan keyakinan

kepada individu tentang kompetensi yang

dimilikinya yang dapat meningkatkan harga

diri dan kepuasan kerja, dan meningkatkan

komitmen individu untuk berkontribusi terhadap

organisasinya.

Pemberdayaan menurut Whetten dan Cameron

(2005) adalah memampukan individu untuk

dapat menumbuhkan kepercayaan pada dirinya,

membantu memulihkan ketidakberdayaan, se-

hingga individu memiliki semangat, dan motivasi

intrinsik dalam melakukan setiap tindakan.

Pemberdayaan psikologis memiliki lima dimensi

kunci, menurut Whetten dan Cameron (2005),

yaitu kemampuan diri, penentuan diri, pengen-

dalian diri, makna, dan kepercayaan. Kemampuan

diri memiliki kontribusi dalam perilaku praktik

keperawatan profesional, dan untuk memperta-

hankan perilaku praktik keperawatan professional

diperlukan adanya pemberdayaan (Manojlovich,

2007). Wibowo (2007) menyatakan bahwa ke-

mampuan diri mencerminkan kompetensi yang

dimiliki individu.

Kepuasan individu dapat ditunjukkan dengan

aktif bekerja dan berkomitmen terhadap

organisasinya. Komitmen terhadap organisasi

dapat dicerminkan dari turn over (Spreitzer,

2007). Hasil survei awal peneliti di salah satu

rumah sakit Jakarta didapatkan bahwa ketidak-

puasan perawat pelaksana terhadap pekerjaannya

sebesar 46,2%. Tenaga nonprofessional dengan

usia tengah baya cenderung memiliki ketidak-

puasan dibandingkan dengan tenaga profesional

(Robbins & Judge, 1998/2008). Data lain yang

didapatkan dari hasil survei peneliti pada salah

satu rumah sakit adalah turn over perawat

14,49%. Terjadinya turn over pada staf juga

cenderung pada usia yang lebih muda diban-

dingkan dengan usia yang lebih tua. Hal ini

disebabkan oleh penghasilan yang lebih tinggi

(Robbins & Judge, 1998/2008). Hasil wawancara

didapatkan bahwa perawat pelaksana dalam

melaksanakan tugas lebih berfokus terhadap

tindakan medis daripada tindakan keperawatan.

Berdasarkan hal tersebut dapat dianalisis bahwa

karakteristik perawat dapat memengaruhi pem-

berdayaan psikologis perawat untuk meningkatkan

kinerja dan kepuasan kerja. Tujuan dari penelitian

ini adalah untuk mengetahui karakteristik perawat

dengan pemberdayaan psikologis perawat pelak-

sana.

Metode

Desain pada penelitian ini adalah deskripsi

korelasi dengan cross-sectional. Sampel dalam

penelitian ini adalah seratus lima belas perawat

pelaksana, dengan teknik total sampling. Uji

validitas pada kuesioner pemberdayaan psi-

kologis dilakukan dengan ahlinya, sedangkan uji

reliabilitas pada tiga puluh perawat dengan meng-

gunakan Cronbach’s alpha coeficient dan hasil

uji adalah 09,02.

Hasil

Karakteristik perawat terdiri atas usia, jenis

kelamin, tingkat pendidikan, status perkawinan,

status pekerjaan, dan lama kerja.

Pada Tabel 1 menunjukkan bahwa sebagian besar

perawat pelaksana yang berjenis kelamin perem-

puan 91,3%, berpendidikan D-3 Keperawatan

88,7%, mempunyai status kawin 51,3%, dengan

status pekerjaan non-PNS 79,1%. Pada Tabel 2

dapat dilihat bahwa rata-rata usia perawat pelak-

sana adalah 27,9 tahun, dengan rata-rata lama

kerja perawat pelaksana adalah 5,1 tahun.

Pada Tabel 3 menunjukkan bahwa sebagian

besar 55,7% perawat pelaksana diberdayakan

dengan baik secara psikologis, sedangkan 44,3%

perawat pelaksana kurang diberdayakan secara

Arruum, et al., Kontribusi Perbedaan Psikologis Perawat terhadap Pemberdayaan

19

psikologis. Berdasarkan hasil penelitian yang

berhubungan dengan pemberdayaan psikologis

adalah jenis kelamin.

Pada Tabel 4 dinyatakan bahwa karakteristik

jenis kelamin yang berhubungan dengan pem-

berdayaan psikologis dengan p= 0,041 dan 90%

perawat pelaksana yang berjenis kelamin laki-

laki diberdayakan dibanding perawat yang

berjenis kelamin perempuan dan hasil pada OR

didapatkan 3,844. Hal ini menunjukkan bahwa

perawat pelaksana yang berjenis kelamin laki-laki

Tabel 1. Karakteristik Perawat Pelaksana menurut

Jenis Kelamin, Tingkat Pendidikan

Status Perkawinan, Status Pekerjaan

Variabel Frekuensi Persentase (%)

Jenis Kelamin

a. Laki-laki

b. Perempuan

10

105

8,7

91,3

Tingkat Pendidikan

a. Surat Perintah

Kerja (SPK)

b. D-3 Keperawatan

c. S-1 Keperawatan

5

102

8

4,3

88,7

7,0

Status Perkawinan

a. Kawin

b. Tidak Kawin

59

56

51,3

48,7

Status Pekerjaan

a. Non-Pegawai

Negeri Sipil (Non-

PNS)

b. Pegawai Tidak

Tetap (PTT)

c. Calon Pegawai

Negeri Sipil

(CPNS)

d. Pegawai Negeri

Sipil (PNS)

91

7

6

11

79,1

6,1

5,2

9,6

Tabel 2. Karakteristik Perawat Pelaksana Menurut

Usia dan Lama Kerja

Variabel Mean

Median SD

Minimal-

Maksimal

95%

CI

Usia 27,9

27,0

4,3 21

41

27,2

28,7

Lama kerja 5,1

4,0

4,2 0,6

22

4,4

5,9

Tabel 3. Pemberdayaan Psikologis Perawat

Pelaksana

Pemberdayaan Frekuensi Persentase

Kurang

Baik

51

64

44,3

55,7

berpeluang 3,8 kali untuk diberdayakan dibanding

perawat pelaksana yang berjenis kelamin perem-

puan (95% CI= 1,001–66,893).

Namun, pada Tabel 4 tersebut dapat dilihat

perbedaan masing-masing karakteristik untuk

status pendidikan D-3 lebih diberdayakan secara

psikologis dibanding status pendidikan SPK

dan S-1 Keperawatan. Pada status pernikahan

perawat yang tidak kawin lebih diberdayakan

secara psikologis dibanding yang kawin. Pada

status pekerjaan perawat yang Pegawai Negeri

Sipil (PNS)/Calon Pegawai Negeri Sipil

(CPNS) lebih diberdayakan dibandingkan

status PTT dan Non-PNS.

Pembahasan

Hasil penelitian didapatkan bahwa karakteristik

perawat yang berhubungan dengan pemberdaya-

an psikologis adalah jenis kelamin. Di rumah

sakit tempat lokasi peneliti di salah satu rumah

sakit di Jakarta didapatkan hampir keseluruhan

perawat berjenis kelamin perempuan dan terkait

dengan pemberdayaan didapatkan hasil bahwa

perawat berjenis kelamin perempuan yang diber-

dayakan secara psikologis dengan yang tidak

diberdayakan hampir tidak ada perbedaan.

Sementara jumlah perawat yang berjenis kelamin

laki-laki di lokasi penelitian tersebut didapatkan

hampir keseluruhan diberdayakan secara psiko-

logis. Analisis dari hasil tersebut bahwa terdapat

perbedaan antara perawat berjenis kelamin

perempuan dan laki-laki dalam pemberdayaan

psikologis. Namun, hasil penelitian menurut

Rogers, Chamberlin, Ellison, dan Crean (1997)

menyatakan bahwa tidak ada perbedaan antara

jenis kelamin laki-laki maupun perempuan

dengan pemberdayaan.

Jurnal Keperawatan Indonesia, Vol. 18, No. 1, Maret 2015, hal 17-22

20

Hasil penelitian ini sejalan dengan dengan hasil

penelitian menurut Sitiawati dan Zulkaida (2007)

yang menyatakan ada perbedaan dalam komitmen

staf, yaitu staf yang berjenis kelamin laki-laki

memiliki komitmen yang tinggi dibanding

staf perempuan. Spreitzer (2007) menyatakan

bahwa kepuasan individu dapat ditunjukkan

dengan aktif bekerja dan berkomitmen terhadap

organisasinya, dan komitmen terhadap organisasi

dapat dicerminkan melalui turn over. Selain itu,

Spreitzer (2007) menyatakan juga bahwa tim

yang memiliki pemberdayaan menunjukkan

produktivitas dan kinerja yang tinggi, individu

yang memiliki kinerja yang tinggi berarti

memiliki kompetensi dan kemampuan untuk

melaksanakan tugasnya, sehingga dapat membe-

rikan kepuasan kepada pasien.

Robbins dan Judge (1998/2008) menyatakan

bahwa ketidakhadiran pada perempuan lebih

besar dibanding pada laki-laki dan hal tersebut

pada umumnya dikarenakan masalah rumah

tangga yang merupakan tanggung jawab pada

perempuan seperti yang terjadi di Amerika

Utara. Robbins dan Judge (1998/2008) juga

menyatakan bahwa perempuan lebih memilih

jadwal kerja paruh waktu dikarenakan lebih

memilih untuk mengurus keluarganya.

Semakin lama individu berada dalam satu

pekerjaan, maka lebih kecil kemungkinan untuk

mengundurkan diri dari pekerjaan (Robbins dan

Judge, 1998/2008). Semakin lama masa kerja

perawat maka individu mampu menyesuaikan

diri terhadap lingkungan pekerjaannya sehingga

dapat mencapai kepuasan dalam menjalankan

pekerjaannya (Aprizal, Kuntjoro, & Probandari,

2008). Lama kerja perawat di salah satu rumah

sakit Jakarta lama kerja perawat rata-rata lima

tahun. Berdasarkan hasil survei penelitian di

salah satu rumah sakit di Jakarta didapatkan turn

over perawat 14,49%, data tersebut merupakan

Tabel 4. Karakteristik Perawat pada Pemberdayaan Psikologis

Variabel

Pemberdayaan Psikologis

Total X2 OR p

Kurang

Diberdayakan Diberdayakan

n % n % n %

Jenis Kelamin 3,822 0,041*

a. Perempuan 50 47,6 55 52,4 105 100 1

b. Laki-laki 1 10 9 90 10 100 3,844

1,001–66,893

Pendidikan 0,651 0,722

a. SPK 3 60 2 40 5 100 1

b. D-3 Kep 45 44,1 57 55,9 102 100 1,900

0,304–11,861

c. S-1 Kep 3 37,1 5 62,5 8 100 2,500

0,253–24,719

Perkawinan 0,251 0,616

a. Kawin 28 47,5 31 52,5 59 100 1

b. Tidak Kawin 23 41,1 33 58,9 56 100 1,296

0,620–2,711

Pekerjaan 2,231 0,328

a. PTT 5 71,4 2 28,6 7 100 1

b. Non PNS 39 42,9 52 57,1 91 100 3,333

0,614–18,093

c. PNS & CPNS 7 41,2 10 58,8 17 100 3,571

0,532–23,953

* Bermakna pada < 0,05

Arruum, et al., Kontribusi Perbedaan Psikologis Perawat terhadap Pemberdayaan

21

data yang perlu diwaspadai pada turn over

perawat yang optimal adalah 5-10% per tahun

(Gauerke, 1977 dalam Gillies, 1994). Hal ini

membuktikan bahwa perawat di rumah sakit masih

perlu untuk diberdayakan secara psikologis.

Hasil survei peneliti di salah satu rumah sakit

Jakarta menemukan bahwa terdapat hampir

separuh dari jumlah perawat perempuan terjadi

ketidakpuasan terhadap pekerjaannya. Sementara

itu, hasil penelitian yang didapatkan, yaitu jumlah

perawat yang berjenis kelamin perempuan

yang tidak diberdayakan hampir tidak memiliki

perbedaan dengan jumlah perawat yang menga-

lami ketidakpuasan dalam bekerja. Ini berarti

ketidakpuasan perawat dapat terjadi terhadap

perawat berjenis kelamin perempuan yang

mencerminkan perawat mengalami ketidak-

berdayaan secara psikologis.

Berdasarkan uraian tersebut dapat dianalisis

bahwa perawat yang berjenis kelamin perempuan

yang diberdayakan mencerminkan perawat yang

memiliki kinerja baik, sedangkan perawat

yang berjenis kelamin perempuan yang tidak

diberdayakan mencerminkan memiliki kinerja

yang tidak baik. Namun, perawat yang berjenis

kelamin laki-laki di salah satu rumah sakit

Jakarta tersebut secara keseluruhan mencermin-

kan memiliki kinerja yang baik. Whetten dan

Cameron (2009) menyatakan bahwa pemberdayaan

psikologis merupakan kunci efektif dan dasar

terbentuknya kinerja. Penelitian Santoso (2006)

menunjukkan ada hubungan antara pemberda-

yaan perawat dengan kinerja perawat pelaksana.

Eagly dan Johannesen-Schmidt (2001) dalam

penelitiannya menyatakan bahwa perempuan

maupun laki-laki memiliki peran yang sama

dalam organisasinya seperti memberikan norma-

norma yang mengatur kinerja, melakukan

pengawasan kinerja staf, memberikan informasi.

Pernyataan tersebut dapat dianalisis bahwa

seharusnya tanggung jawab dalam meningkatkan

organisasi merupakan tanggung jawab bersama,

baik perempuan maupun laki-laki. Namun, ada-

nya perbedaan terhadap hasil penelitian tersebut

membuktikan bahwa perbedaan kontribusi karak-

teristik perawat memengaruhi pemberdayaan

psikologis perawat itu sendiri dalam bekerja di

rumah sakit.

Apabila perbedaan psikologis perawat ditinjau

berdasarkan karakteristik status perkawinan, hal

itu dapat diuraikan bahwa perawat yang diber-

dayakan di salah satu rumah sakit di Jakarta

mayoritas adalah perawat yang belum menikah.

Berbeda dengan hasil penelitian Gatot dan

Adisasmito (2005) yang menyatakan bahwa

perawat yang sudah menikah memiliki kepuasan

dalam bekerja. Spreitzer (2007) menyatakan

bahwa pemberdayaan memberikan dampak

terhadap sikap kerja yang positif, dimana individu

yang diberdayakan dapat memengaruhi tim

kerjanya sehingga dapat mencapai kepuasan

kerja. Demikian pula pernyataan Safaria (2004),

bahwa pemberdayaan memberikan keyakinan

kepada individu tentang kompetensi yang

dimilikinya, yaitu dengan kompetensi dapat

meningkatkan harga diri dan kepuasan kerja,

dan meningkatkan komitmen individu untuk

berkontribusi terhadap organisasinya. Hal ini

dapat diartikan bahwa perawat yang berstatus

menikah maupun yang tidak menikah memiliki

kepuasan kerja dan mempunyai peluang untuk

diberdayakan, selain itu perawat yang merasakan

puas karena memiliki sikap positif dalam

bekerja sama dengan tim, memiliki komitmen,

dan kepuasan kerja.

Kesimpulan

Hasil penelitian berdasarkan uraian tersebut dapat

disimpulkan bahwa jenis kelamin berhubungan

dengan pemberdayaan psikologis dan ada per-

bedaan antara perawat yang berjenis kelamin

perempuan dan perawat berjenis kelamin laki-

laki. Perawat laki-laki memiliki pemberdayaan

psikologis dan memiliki peluang untuk diberda-

yakan secara psikologis dibandingkan dengan

perawat perempuan. Saran dari hasil penelitian

ini adalah perlu dilakukan pemberdayaan

psikologis terhadap perawat, baik yang berjenis

kelamin laki-laki atau perempuan serta perlu

mengusulkan pendidikan formal dan informal

untuk perawat pelaksana khususnya yang memiliki

lama kerja minimal lima tahun. Selain itu juga,

kepala ruangan perlu memberi pengarahan untuk

Jurnal Keperawatan Indonesia, Vol. 18, No. 1, Maret 2015, hal 17-22

22

membina seluruh perawat melalui supervisi

sehingga dapat memiliki kompetensi kinerja

yang baik, dan mencerminkan pemberdayaan

psikologis perawat (MS, RR, PN).

Referensi Aditama, T.Y. (2008). Manajemen adminstrasi

rumah sakit (Edisi Kedua). Jakarta:

Penerbit Universitas Indonesia.

Aprizal, S., Kuntjoro, T., & Probandari, A. (2008).

Kepuasan kerja perawat di Rumah Sakit

Jiwa Prof. HB. Sa’anin Padang. Diperoleh

dari http://www.

lrckmpk.ugm.ac.id/id/UPPDF/_working/N

o.17_Yana_04_08.pdf.

Eagly, A.H., & Johannesen-Schmidt, M.C. (2001).

The Leadership styles of women and men.

Journal of Social Issues, 1 (12), 1–31.

Gillies, D.A. (1994). Nursing management: A

system approach (3rd Ed.). Philadelphia:

W.B. Saunders Company.

Gatot, D.B., & Adisasmito, W. (2005). Hubungan

karakteristik perawat, isi pekerjaan

terhadap kepuasan kerja perawat di

Instalasi Rawat Inap RSUD Gunung Jati

Cirebon. Jurnal Kesehatan Makara, 9 (1),

1–8.

Huber, D.L (2006). Leadership and nursing care

management (3rd Ed.). Philadelphia:

Saunders Elsevier.

Manojlovich, M. (2007). Power and empowerment

in nursing: Looking backward to inform

the future. The Online Journal of Issues in

Nursing. A Scholarly Journal of the

American Nurses Association, 12 (1), 1–16.

Robbins, S.P., & Judge, T.A. (2008). Perilaku

organisasi. Edisi kedua belas. Buku 1.

(Angelica, D., penerjemah). Jakarta:

Penerbit Salemba Empat.

Robbins, S.P., & Judge, T.A. (2008). Perilaku

organisasi. Ed ke 12. Buku 1. (Angelica,

D., Cahyani., R., & Rosyid, A., penerjemah).

Buku asli diterbitkan tahun 1998. New

Jersey: Pearson Education.

Rogers, E.S., Chamberlin, J., Ellison, M.L., &

Crean, T. (1997). A Consumer-constructed

scale to measure empowerment among

users of mental health services. Psychiatric

Services, 48 (8), 1042–1047.

Safaria, T. (2004). Kepemimpinan. (Edisi Pertama).

Yogyakarta: Penerbit Graha Ilmu.

Santoso, A. (2006). Hubungan empowerment

dengan kinerja perawat pelaksana di

rumah sakit umum kota Semarang (Tesis

magister tidak dipublikasikan). Fakultas

Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia,

Depok-Jawa Barat.

Sitiawati, D., & Zulkaida, A. (2007). Perbedaan

komitmen kerja berdasarkan orientasi

peran gender pada karyawan di bidang

kerja non tradisional. ISSN (2), 1858-

2599. Diperoleh dari http://www.

gunadarma.ac.id/library/articles/graduate/p

sychology/2007/artikel_10502058.pdf.

Spreitzer, G. (2007). Taking stock: A review of

more than twenty years of research on

empowerment at work. For publication in

the handbook of organizational behavior,

Sage Publications. Diperoleh dari

http://webuser.bus.

umich.edu/spreitze/EmpowermentandSelf-

management.pdf.

Whetten, D.A., & Cameron, K.S. (2005).

Developing management skills (6th

ed).

International Edition. New Jersey: Pearson

Prentice Hall.

Wibowo. (2007). Mananjemen kinerja. (Edisi

Pertama). Jakarta: PT Raja Gravindo.

Jurnal Keperawatan Indonesia, Volume 18 No.1, Maret 2015, hal 23-30

pISSN 1410-4490, eISSN 2354-9203

MENGATASI KONSTIPASI PASIEN STROKE DENGAN MASASE

ABDOMEN DAN MINUM AIR PUTIH HANGAT

Dameria Br Ginting

1,2*, Agung Waluyo

3, Lestari Sukmarini

3

1. Program Studi Ilmu Keperawatan, STIKes SUMUT, Medan 20136, Indonesia

2. Program Studi Magister, Fakultas Ilmu Keperawatan, Universitas Indonesia, Depok 16424, Indonesia

3. Fakultas Ilmu Keperawatan, Universitas Indonesia, Depok 16424, Indonesia

*E-mail: [email protected]

Abstrak

Perawat memiliki peranan yang penting mengatasi konstipasi pada pasien stroke selama perawatan di rumah sakit.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan masase abdomen dengan masase abdomen dan minum air putih

hangat pada pasien stroke yang mengalami konstipasi terhadap proses defekasi di Kota Medan. Penelitian kuasi

eksperimen dengan dua kelompok intervensi dan satu kelompok kontrol menggunakan pendekatan purposive sampling

dengan total empat puluh tujuh responden, masing-masing empat belas responden kelompok masase abdomen, enam

belas responden kelompok masase abdomen dan minum air putih hangat, dan tujuh belas responden intervensi standar

diobservasi setiap hari selama tujuh hari. Proses defekasi terhadap ketiga kelompok dilihat dari waktu terjadinya

defekasi antara kelompok intervensi I dan II dengan nilai p= 0,015, dan dari frekuensi defekasi antara kelompok

intervensi II dan kelompok kontrol dengan nilai p= 0,000. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi evidence based

practice dalam asuhan keperawatan medikal bedah dalam memberikan intervensi keperawatan terhadap pasien stroke

yang mengalami konstipasi sehingga perawatan terapi komplementer di bidang keperawatan dapat dikenal dan memberikan

manfaat sebagai pencegahan dan pengobatan alami.

Kata kunci: konstipasi, masase abdomen, minum air putih hangat, proses defekasi, stroke

Abstract

Overcoming Constipation on Stroke Patient with Abdominal Massage and Drinking Warm Plain Water. Nurses had

an important role to overcome constipation of stroke patient during the treatment in hospital. This study was aimed to

find out the difference of abdominal massage and abdominal massage with dringking warm plain water to defecation

process of stroke patient in Medan. This quasi experimental study used two intervention groups and one group as a

control, this purposive sampling approach had 47 respondents, they were 14 respondents in the abdominal massage

intervention group, 16 respondents in the abdominal massage with drinking warm plain water intervention group and

17 respondents in standard intervention group. Defecation process was observed everyday for seven days. Defecation

process of the three groups were analyzed from the time of significant defecation between the first and the second

intervention group (p= 0,015), and the time of significant defecation between the second intervention and control group

(p= 0,00). The results of this study are expected to be as evidence-based practice in medical-surgical nursing care in

the nursing interventions in stroke patients who experience constipation so that complementary therapies in the field of

nursing care can be known and provide to be used as a preventative and natural medicine.

Keywords: constipation, abdominal massage, drinking warm plain water, defecation process, stroke

Pendahuluan

Stroke merupakan sindrom klinis akibat gangguan

pembuluh darah otak biasanya timbul secara

mendadak dan mengenai usia 45-80 tahun.

Menurut Smeltzer dan Bare (2008), stroke

merupakan ketidaknormalan fungsi sistem saraf

pusat (SSP) yang disebabkan oleh gangguan

kenormalan aliran darah ke otak. World Health

Organization (WHO) menetapkan bahwa stroke

merupakan suatu sindrom klinis dengan gejala

berupa gangguan fungsi otak secara fokal atau

global yang dapat menimbulkan kematian atau

kelainan yang menetap lebih dari 24 jam, tanpa

penyebab lain kecuali gangguan vaskular (Rasyid,

& Soertidewi, 2007).

Jurnal Keperawatan Indonesia, Vol. 18, No. 1, Maret 2015, hal 23-30

24

Prognosis stroke dapat dilihat dari enam aspek

menurut Lasmudin (1999). Keenam aspek itu

adalah death (kematian), disease (kesakitan),

disability (kerusakan), discomfort (ketidaknyaman-

an), dissatisfaction (ketidakpuasan) dan destitution

(kemiskinan). Keenam aspek tersebut terjadi

pada fase awal stroke atau pasca stroke (Gofir,

2009). Prognosis stroke juga dipengaruhi oleh

berbagai faktor dan keadaan yang terjadi

terhadap penderita stroke. Tolak ukur di antaranya

outcome fungsional, seperti kelemahan motorik,

disabilitas, quality of life (kualitas hidup), serta

mortalitas (Gofir, 2009).

Faktor prognosis yang penting dalam morbiditas

dan mortalitas pasien stroke adalah komplikasi

yang terjadi pascastroke. Menurut Doshi (2003,

dalam Gofir, 2009), di Singapura tingkat kom-

plikasi stroke secara keseluruhan adalah 54,3%,

komplikasi stroke pada sistem gastrointestinal

adalah ulkus, perdarahan lambung, konstipasi,

dehidrasi dan malnutrisi (Rasyid & Soertidewi,

2007). Namun, menurut Navarro, et al., (2008,

dalam Gofir 2009) dari 495 pasien yang mengalami

komplikasi konstipasi sebesar 7,9%.

Di Amerika Serikat hampir setiap tahunnya

dilakukan survei terkait masalah konstipasi,

15% dari jumlah populasi usia dewasa mengalami

konstipasi setiap tahunnya (Higgins, 2004).

Survei juga dilakukan di tujuh negara pada

13.879 sampel berusia di atas 20 tahun berdasar-

kan wawancara dan kuisioner rerata 12,3%

orang dewasa mengalami konstipasi dan wanita

lebih cenderung mengalami konstipasi dari

pada laki-laki dan dilaporkan 20% mengalami

konstipasi adalah lanjut usia yang dirawat di

rumah dan 70% mengalami gangguan konstipasi

yang kronis (Wald, 2007). Suvei dilakukan

kembali tahun 2010 pada 8100 sampel berusia

di atas 20 tahun dari empat negara termasuk

Indonesia diperoleh hasil dari wawancara 16,2%

mengalami konstipasi (Wald, 2010). Akan tetapi,

Su, et al., (2009) melaporkan pasien stroke yang

mengalami masalah konstipasi 55,2% dari 154

pasien pada serangan stroke yang pertama.

Konstipasi dapat disebabkan oleh beberapa

faktor, yaitu faktor mekanis, faktor fisiologis,

faktor fungsional, faktor psikologis, dan faktor

farmakologis (Nanda, 2010). Faktor mekanis

berkaitan dengan gangguan neurologis, pada

pasien stroke disebabkan oleh penurunan beberapa

fungsi neurologis. Pertama penurunan fungsi

motorik yang menyebabkan terjadi imobilisasi.

Gangguan mobilitas dan ketidakberdayaan

(deconditioning) adalah masalah yang paling

sering dialami pasien stroke (Wahjoepramono,

2005). Imobilisasi yang berkepanjangan dapat

mengakibatkan komplikasi pada pasien stroke

salah satunya adalah konstipasi.

Pasien stroke yang dirawat di rumah sakit sering

mengalami kelemahan anggota gerak, baik sebagian

maupun seluruhnya yang menyebabkan pasien

imobilisasi. Imobilisasi yang berkepanjangan

berpotensi terjadi komplikasi, salah satunya

adalah konstipasi. Konstipasi dapat menyebabkan

tekanan pada abdomen yang memicu pasien

mengejan saat berdefekasi. Pada saat mengejan

yang kuat terjadi respons maneuver valsava

yang dapat meningkatkan tekanan intrakranial.

Peningkatan tekanan intrakranial pada pasien

stroke merupakan prognosis yang buruk.

Konstipasi merupakan defekasi yang tidak teratur

serta terjadi pengerasan pada feses menyebabkan

pasase sulit, menimbulkan nyeri, frekuensi de-

fekasi berkurang, volume, dan retensi feses dalam

rektum (Smeltzer & Bare, 2008). Konstipasi

juga diartikan sebagai perubahan dari frekuensi

defekasi, volume, berat, konsistensi dan pasase

dari feses tersebut (Arnaud, 2003). Usia lanjut

sering mengalami masalah konstipasi karena

faktor yang mendukung, seperti imobilisasi

(Norton & Harry, 1999). Frekuensi defekasi

bervariasi antara satu individu dengan individu

yang lain, sehingga konstipasi ditentukan ber-

dasarkan kebiasaan pola eleminasi orang yang

normal (William & Wikins, 2000). Namun,

menurut Guyton dan Hall (2008) konstipasi

berarti pelannya pergerakan tinja melalui usus

besar dan sering berhubungan dengan sejumlah

tinja yang kering dan keras.

Refleks defekasi ditimbulkan oleh refleks

intrinsik yang diperantarai oleh sistem saraf

enterik setempat. Jika feses memasuki rektum,

Ginting, et al., Mengatasi Konstipasi Pasien Stroke dengan Masase Abdomen

25

peregangan dinding rektum menimbulkan sinyal-

sinyal aferen yang menyebar melalui pleksus

mienterikus untuk menimbulkan gelombang

peristaltik di dalam kolon desenden, sigmoid

dan rektum, serta mendorong feses ke arah

anus. Sewaktu gelombang peristaltik mendekati

anus, sfingter ani internus direlaksasi oleh

sinyal-sinyal penghambat dari pleksus mienteri-

kus, jika sfingter ani eksternus secara sadar,

secara volunter berelaksasi dan bila terjadi pada

waktu yang bersamaan akan terjadi defekasi

(Guyton & Hall, 2006).

Proses defekasi dipercepat dengan adanya

peningkatan tekanan intraabdomen dan kontraksi

pada otot-otot abdomen. Proses defekasi dapat

dihambat oleh kontraksi volunter otot-otot sfingter

eksterna dan levator ani sehingga secara bertahap

dinding rektum akan rileks dan keinginan

defekasi hilang (Smeltzer & Bare, 2008).

Masase abdomen membantu untuk merangsang

peristaltik usus dan memperkuat otot-otot abdomen

serta membantu sistem pencernaan sehingga dapat

berlangsung dengan lancar. Masase abdomen

telah dibuktikan efektif mengatasi konstipasi

terhadap beberapa pene-litian. Menurut Liu, et al.,

(2005), masase abdomen dapat meningkatkan

tekanan intra-abdomen. Pada kasus-kasus neurologi

masase abdomen dapat memberikan stimulus

terhadap rektal dengan somato-autonomic reflex

dan adanya sensasi untuk defekasi.

Mengonsumsi air putih yang hangat dalam

jumlah yang cukup dapat menyebabkan pen-

cernaan bekerja dengan kapasitas yang maksimal.

Air hangat dapat bekerja dengan melembabkan

feses dalam usus dan mendorongnya keluar

sehingga memudahkan untuk defekasi. Membe-

rikan pasien minum air putih hangat yang

cukup merupakan intervensi keperawatan yang

mandiri. Dalam penelitian ini memberikan

pasien minum air putih hangat yang dimaksud

adalah memberikan minum air hangat setelah

dilakukan masase abdomen sebanyak 500 ml

secara rutin untuk mengatasi konstipasi.

Masase abdomen membantu untuk merangsang

peristaltik usus dan memperkuat otot-otot abdomen

serta membantu sistem pencernaan dapat berlang-

sung dengan lancar. Masase abdomen dilakukan

untuk mengatasi komplikasi yang mungkin timbul

akibat konstipasi. Teknik masase abdomen yang

digunakan dalam penelitian ini adalah teknik

Swedish massage tecnique, yaitu masase dengan

penekanan yang lembut pada jaringan yang dapat

memberikan perbaikan sirkulasi darah, memperbaiki

sistem pencernaan, serta memberikan kenyamanan.

Berdasarkan fenomena, pemaparan latar belakang

di atas, peneliti ingin mengetahui pengaruh

masase abdomen dan minum air putih hangat

dalam mengatasi konstipasi terhadap pasien

stroke di Rumah Sakit X Medan. Tujuan dari

penelitian ini adalah untuk mengetahui

perbedaan masase abdomen dengan masase

abdomen dan minum air putih hangat terhadap

pasien stroke yang mengalami konstipasi dalam

proses defekasi.

Metode

Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif

menggunakan metode Quasi eksperiment pen-

dekatan post test only non equivalent control

group design. Pada desain ini, kelompok

eksperimen dan kelompok kontrol tidak dipilih

secara random (Sugiyono, 2011). Dalam penelitian

ini responden sebanyak lima belas subjek.

Untuk mengantisipasi drop put, dilakukan koreksi

sampel menggunakan formula sederhana: n’=

n/(1-f), f (10% atau 0,1) (Sastroasmoro &

Ismael, 2010). n’= 15/0,9= 16,6 dibulatkan

menjadi menjadi tujuh belas subjek. Kriteria

inklusi pada penelitian ini adalah pasien stroke

iskemi yang sesudah tujuh hari serangan stroke;

tekanan darah dalam rentang (120/80–150/100)

dan tidak memiliki tanda-tanda peningkatan

tekanan intrakranial sebelum, selama, dan sesudah

intervensi, pasien sadar dan dapat berkomunikasi,

tidak mengalami penurunan fungsi memori

(dengan melakukan tes memori jangka pendek

dan jangka panjang), teridentifikasi mengalami

konstipasi melalui constipasi scoring system,

tidak sedang mengalami peradangan pada sistem

gastrointestinal, sistem perkemihan, dan sistem

metabolik, tidak terdapat massa pada abdomen,

dan bersedia menjadi responden.

Jurnal Keperawatan Indonesia, Vol. 18, No. 1, Maret 2015, hal 23-30

26

Penelitian dibagi dalam tiga kelompok, kelompok

kontrol mendapatkan intervensi yang biasa

dilakukan di ruangan seperti menganjurkan

makan makanan mengandung serat, memenuhi

kebutuhan cairan, aktivitas dalam batas yang

dapat ditoleransi dan dengan bantuan obat

laksatif. Kelompok Intervensi I dilakukan satu

kali dalam tujuh hari mendapatkan terapi standar

seperti kelompok kontrol sebelum sarapan pagi,

responden diberikan masase abdomen dengan

teknik swedish massage selama 15-20 menit

Setelah enam puluh menit, responden dipersilakan

sarapan pagi Kelompok Intervensi II dilakukan

satu kali dalam tujuh hari mendapatkan terapi

standar seperti kelompok kontrol sebelum sarapan

pagi, responden diberikan masase abdomen

dengan teknik swedish massage selama 15-20

menit Kemudian responden diberi tambahan

minum air hangat sebanyak 500 ml. Setelah enam

puluh menit, responden dipersilakan sarapan pagi.

Maka jumlah sampel dalam penelitian ini

masing-masing kelompok adalah tujuh belas

subjek, jumlah sampel keseluruhan adalah lima

puluh satu subjek. Namun, pada saat proses

pengambilan data pada Kelompok Intervensi I

terdapat dua responden yang dieksklusi karena

responden demam dan satu responden yang

dieksklusi pada Kelompok Intervensi II karena

demam pada saat perlakuan, sehingga jumlah

responden sebanyak empat puluh tujuh orang

pasien stroke yang mengalami konstipasi. Untuk

melihat perbedaan proses defekasi antarkelompok

menggunakan analisis beda lebih dari dua mean

digunakan uji ANOVA atau uji F (Hastono, 2007).

Hasil

Hasil penelitian berdasarkan waktu terjadinya

defekasi dan frekuensi defekasi pada kelompok

intervensi I, Intervensi II, dan intervensi standar

dapat dilihat pada Tabel 1.

Pada Tabel 1 diperoleh rerata waktu terjadinya

defekasi responden pada kelompok intervensi I

adalah 70,43 jam (SD 30,736). Pada kelompok

intervensi II rerata waktu terjadinya defekasi

responden adalah 35,25 jam (SD= 25,470).

Akan tetapi, pada kelompok kontrol rerata

waktu terjadinya defekasi responden adalah 60,35

jam (SD= 35,375). Hasil estimasi interval dapat

disimpulkan bahwa 95% diyakini bahwa rerata

waktu terjadinya defekasi tercepat terdapat pada

kelompok intervensi II adalah 21,68-48,82 jam.

Berdasarkan hasil uji statistik dapat disimpulkan

bahwa ada perbedaan waktu terjadinya defekasi

di antara ketiga kelompok (p= 0,015; α= 0,05).

Pada Tabel 2 dapat dilihat perbedaan waktu

terjadinya proses defekasi antara ketiga kelompok

yang bermakna adalah antara kelompok intervensi

I dengan kelompok II. Hasil dapat disimpulkan

bahwa ada perbedaan yang bermakna antara

perlakuan masase abdomen dengan masase

abdomen dan minum air putih hangat terhadap

waktu terjadinya defekasi (p= 0,015; α= 0,05).

Pada Tabel 3 dapat dilihat perbedaan frekuensi

defekasi antara ketiga kelompok yang bermakna

adalah antara kelompok intervensi II dengan

kelompok kontrol. Hasil dapat disimpulkan bahwa

Tabel 1. Distribusi Waktu Terjadinya Defekasi dan Frekuensi Defekasi pada Kelompok Intervensi I,

Intervensi II, dan Intervensi Standar

Variabel Kelompok N Mean SD 95% CI p

Waktu terjadinya defekasi

Intervensi I 14 70,43 30,736 52,68–88,18

0,015 Intervensi II 16 35,25 25,470 21,68–48,82

Kontrol 17 60,35 35,375 39,82–80,88

Frekuensi defekasi

Intervensi I 14 1,93 0,829 1,45–2,41

0,000 Intervensi II 16 2,62 1,0255 2,08–3,17

Kontrol 17 1,29 0,772 0,90–1,69

Ginting, et al., Mengatasi Konstipasi Pasien Stroke dengan Masase Abdomen

27

Tabel 2. Perbedaan Waktu Terjadinya Defekasi pada Kelompok Intervensi I, II, dan II

Variabel Mean Sig 95% CI p

Waktu terjadinya defekasi

Intervensi I Intervensi II

Kontrol

35,179*

10,076

0,016

1,000

5,25–65,11

19,44–39,59

0,015

Intervensi II Intervensi I

Kontrol

35,179*

25,103

0,016

0,101

65,11–5,25

53,59–3,38

Kontrol Intervensi I

Intervensi II

10,076

25,103

1,000

0,101

35,59–19,44

338–53,59

Tabel 3. Perbedaan frekuensi defekasi pada kelompok intervensi I, II, dan II

Variabel Mean Sig 95% CI P

Frekuensi Defekasi

Intervensi I Intervensi II

Kontrol

0,696

0,634

0,109

0,157

1,50–0,11

0,16–1,43

0,000

Intervensi II Intervensi I

Kontrol

0,696

1,331*

0,109

0,000

0,11–1,50

0,57–2,10

Kontrol Intervensi I

Intervensi II

0,634

1,331*

0,157

0,000

1,43–0,16

2,10–0,57

ada perbedaan yang bermakna antara perlakuan

masase abdomen dan minum air putih hangat

dengan intervensi yang standar terhadap frekuensi

defekasi (p= 0,000; α= 0,05).

Pembahasan

Minum air hangat dapat memberikan sensasi

yang cepat menyebarkan gelombang panasnya

ke segala penjuru tubuh manusia. Pada saat yang

bersamaan pembuluh darah akan berdilatasi

sehingga dapat mengeluarkan keringat dan gas

dalam tubuh. Abdomen salah satu organ yang

memiliki reseptor terhadap suhu yang panas

dan lebih dapat mendeteksi suhu panas dibanding

dengan suhu dingin (Guyton & Hall, 2006).

Hasil penelitian menunjukkan waktu terjadinya

defekasi pada kelompok masase abdomen lebih

lambat, yaitu rerata waktu terjadinya defekasi

adalah 70,43 jam jika dibandingkan dengan

kelompok kontrol, yaitu rerata waktu terjadi

defekasi responden adalah 60,35 jam yang hanya

mendapatkan intervensi yang standar. Salah

satu faktor yang dapat menyebabkan perbedaan

tersebut adalah dilihat dari hasil penelitian bahwa

responden yang mendapatkan masase abdomen

mayoritas berada pada tingkat kemandirian

rendah dan ketergantungan total. Responden

pada kelompok masase abdomen ini secara fisik

mengalami penurunan kekuatan otot dan kele-

mahan pada otot-otot abdomen yang memicu

perlambatan waktu yang dibutuhkan feses untuk

berpindah dari kolon ke rektum, dibandingkan

dengan responden pada kelompok kontrol rata-

rata memiliki tingkat kemandirian yang sedang.

Dalam beberapa aktivitas responden pada kelom-

pok kontrol masih dapat melakukan pergerakan

secara aktif, pergerakan secara aktif dapat

memengaruhi percepatan waktu perpindahan

feses dari kolon ke rektum.

Hasil penelitian ini telah membuktikan bahwa

telah dapat mengatasi masalah konstipasi pada

pasien stroke setelah masase abdomen dilakukan

setiap hari selama tujuh hari. Masase abdomen

efektif mengatasi konstipasi jika dilakukan secara

rutin setiap hari. Hal ini yang menyebabkan

perbedaan dengan penelitian terdahulu karena

pada penelitian terdahulu masase abdomen tidak

dilakukan setiap hari secara rutin. Masase

abdomen yang dilakukan secara rutin dapat

Jurnal Keperawatan Indonesia, Vol. 18, No. 1, Maret 2015, hal 23-30

28

merangsang peristaltik usus serta memperkuat

otot-otot abdomen yang akan membantu system

pencernaan dapat berlangsung secara lancar

(Folden, 2009).

Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui

bahwa frekuensi defekasi antara kelompok

responden yang mendapat masase abdomen

dengan kelompok kontrol tidak berbeda jauh.

Hal ini disebabkan oleh pengaruh jumlah serat

yang dikonsumsi oleh kelompok kontrol lebih

banyak dibandingkan dengan kelompok masase

abdomen. Responden yang menjadi kelompok

kontrol adalah responden yang berasal dari rumah

sakit swasta yang setiap penyajian menu makan

siang selalu disertai dengan buah-buahan,

dibandingkan dengan responden kelompok

masase abdomen yang berasal dari rumah sakit

pemerintah. Hal ini dapat menjadi salah satu

faktor yang menyebabkan perbedaan frekuensi

defekasi kelompok masase abdomen dengan

kelompok intervensi standar tidak berbeda jauh.

Frekuensi defekasi pada responden yang men-

dapat masase abdomen dibandingkan dengan

frekuensi defekasi pada responden kelompok

masase abdomen dan minum air putih hangat

lebih sedikit. Perbedaan frekuensi ini dapat

dipengaruhi oleh jumlah asupan cairan resonden

terhadap kelompok masase abdomen setiap

harinya, kemungkinan lebih sedikit dibandingkan

dengan kelompok masase abdomen yang diberi

tambahan minum air putih hangat 500 ml

setiap hari. Jika asupan cairan dalam tubuh

kurang, tubuh akan menyerap cadangan air

dalam usus dan absorbsi air menjadi lebih

sedikit menyebabkan kandungan air dalam feses

akan diserap kembali. Kekurangan kandungan

air dalam feses menyebabkan feses menjadi

kering, keras, dan membutuhkan waktu yang

cukup lama dari kolon transfersum sampai ke

kolon sigmoid.

Hasil penelitian yang sudah dilakukan dan

hasil penelitian terdahulu dapat disimpulkan

bahwa masase abdomen efektif dilakukan

untuk mengatasi konstipasi pada pasien stroke.

Namun, memerlukan intervensi tambahan agar

efek terhadap waktu terjadinya defekasi lebih

cepat sehingga frekuensi defekasi juga dapat

bertambah.

Pada penelitian ini, minum air hangat sebanyak

500 ml diberikan setelah responden mendapatkan

masase abdomen. Beberapa responden awalnya

tidak dapat meminum air hangat yang telah

disediakan 500 ml sekaligus sehingga pada

awalnya harus diberikan secara bertahap untuk

mengurangi ketidaknyamanan.

Pada kelompok yang mendapatkan masase

abdomen dan minum air putih hangat, waktu

terjadinya defekasi dimulai dalam dua puluh

empat jam terhadap perlakuan di hari pertama.

Dilihat dari waktu terjadinya proses defekasi

pada kelompok ini lebih cepat, yaitu rata-rata

waktu terjadi defekasi responden adalah 35,25

jam dibandingkan dengan kelompok yang hanya

mendapat masase abdomen. Masase abdomen

dan mendapatkan minum air putih hangat

sebanyak 500 ml setelah dilakukan masase

abdomen terbukti dapat mempercepat terjadinya

proses defekasi. Proses defekasi ini dapat

berlangsung secara cepat disebabkan oleh

stimulasi pada otot-otot abdomen yang secara

langsung dapat merangsang peristaltik usus

ditambah dengan minum air hangat sebanyak

500 ml yang akan memberikan suasana yang

encer dan cair pada usus. Suasana yang encer

ini akan memudahkan usus halus mendorong

sisa makanan untuk diabsorbsi di usus besar.

Pernyataan ini didukung oleh teori yang menya-

takan bahwa pemberian minum air putih hangat

memberikan efek hidrostatik dan hidrodinamik

dan hangatnya membuat sirkulasi peredaran

darah khususnya pada daerah abdomen menjadi

lancar. Secara fisiologis, air hangat juga memberi

pengaruh oksigenisasi dalam jaringan tubuh

(Hamidin, 2012). Hal serupa diungkapkan oleh

Yuanita (2011), minum air hangat dapat mem-

perlancar proses pencernaan, karena pencernaan

membutuhkan suasana yang encer dan cair.

Pada penderita konstipasi minum air hangat

sangat tepat untuk membantu memperlancar

pencernaan karena dengan minum air hangat

partikel-partikel dalam usus akan dipecah dan

menyebabkan sirkulasi pencernaan menjadi lancar

sehingga mendorong usus mengeluarkan feses.

Ginting, et al., Mengatasi Konstipasi Pasien Stroke dengan Masase Abdomen

29

Frekuensi defekasi responden pada kelompok

masase abdomen dan minum air putih hangat

lebih sering dua kali (2,62 kali) dibandingkan

dengan kelompok yang mendapat masase

abdomen frekuensi defekasi satu kali (1,93

kali), sementara itu frekuensi defekasi pada

kelompok kontrol adalah 1,29 kali. Namun,

jika dilihat dari hasil penelitian terdahulu

yang dilakukan oleh Tampubolon (2008),

frekuensi defekasi pada kelompok intervensi

empat kali lebih sering dibandingkan dengan

kelompok kontrol. Hal ini dapat disebabkan

oleh perbedaan jumlah air minum yang diberikan

kepada responden yang mengalami konstipasi.

Jika pada penelitian ini responden diberikan

minum air putih hangat sebanyak 500 ml

sementara penelitian oleh Tampubolon (2008),

memberi minum air putih sebanyak 1500 ml.

Jadi, dapat disimpulkan bahwa semakin banyak

asupan cairan yang diminum maka proses

defekasi akan lebih baik.

Proses defekasi pada kelompok yang hanya men-

dapatkan intervensi standar dimulai pada hari

kedua. Proses defekasi pada kelompok ini hanya

memperoleh terapi standar dari rumah sakit berupa

anjuran makan makanan yang mengandung serat,

memenuhi kebutuhan cairan, melakukan aktivitas

dalam batas yang dapat ditoleransi, dan memberi-

kan obat laksatif membantu melunakkan feses.

Intervensi standar yang diberikan kepada pasien

yang mengalami konstipasi didukung oleh pe-

menuhan kebutuhan cairan dan jumlah serat yang

dimakan dapat membantu terjadinya proses

defekasi. Hasil penelitian ini didukung oleh teori

yang dikemukakan oleh Mckay (2012), dengan

diet kaya serat sangat membantu untuk mem-

perlancar pencernaan sehingga dapat mencegah

konstipasi, namun pada pasien yang mengalami

dehidrasi asupan cairan harus ditambah dengan

minum lebih banyak.

Frekuensi defekasi pada kelompok yang hanya

mendapatkan intervensi standar ini jauh lebih

sedikit bahkan ada yang sama sekali belum

terjadi proses defekasi selama observasi dilakukan

dibanding kelompok intervensi masase abdomen

dan kelompok masase abdomen dengan men-

dapatkan minum air putih hangat. Hal ini

disebabkan oleh banyak faktor, seperti imobilisasi,

yaitu tirah baring yang lama dapat memengaruhi

penurunan tonus otot abdomen, motilitas, serta

tonus usus sehingga menyebabkan waktu terjadi

defekasi menjadi lambat. Hal ini disebabkan

oleh kurangnya latihan pergerakan yang dilakukan,

baik secara aktif oleh pasien maupun secara pasif

oleh keluarga dan tenaga kesehatan. Menurut

Smeltzer dan Bare (2008), tirah baring yang lama

merupakan penyebab terjadinya konstipasi pada

pasien stroke.

Tidak dapat diabaikan secara psikologis seseorang

yang lama dirawat dengan diagnosis stroke dapat

mengakibatkan seseorang menjadi depresi, emosi

yang tidak stabil, rasa cemas, takut, dan merasa

rendah diri. Menurut Guyton dan Hall (2006),

seseorang yang dalam keadaan cemas, depresi,

stres dan gangguan mental lainnya memengaruhi

kerja hormon pencernaan (sekretin, gastrin,

kolestositokinin) yang mengakibatkan penurunan

nafsu makan, menurunkan motilitas usus dan

mekanisme tubuh meningkatkan rangsangan

saraf simpatis yang menghambat pengosongan

lambung, sehingga menyebabkan seseorang

dalam keadaan ini mengalami konstipasi. Dalam

penelitian ini, faktor psikologis tersebut tidak

dikaji sebagai faktor yang dapat memengaruhi

terjadinya konstipasi pada pasien stroke.

Kesimpulan

Terdapat perbedaan waktu terjadinya proses

defekasi yang signifikan antara kelompok

intervensi I dengan kelompok II, bahwa ada

perbedaan yang bermakna antara perlakuan

masase abdomen dengan masase abdomen dan

minum air putih hangat terhadap waktu terjadinya

defekasi (p= 0,015; α= 0,05). Terdapat perbedaan

frekuensi defekasi yang signifikan antara ketiga

kelompok, yaitu antara kelompok intervensi II

dan kelompok kontrol, bahwa ada perbedaan

yang bermakna antara perlakuan masase abdomen

dan minum air putih hangat dengan intervensi

yang standar terhadap frekuensi defekasi (p=

0,000; α= 0,05).

Bagi keilmuan keperawatan, hasil penelitian

ini diharapkan dapat sebagai evidence based

Jurnal Keperawatan Indonesia, Vol. 18, No. 1, Maret 2015, hal 23-30

30

practice dalam asuhan keperawatan medikal

bedah dalam memberikan intervensi keperawatan

pada pasien stroke yang mengalami konstipasi

sehingga perawatan terapi komplementer di bidang

keperawatan dapat dikenal dan memberikan

manfaat untuk digunakan sebagai pencegahan

dan pengobatan alami. Bagi peneliti selanjutnya

dapat digunakan sebagai data dasar untuk

melakukan penelitian selanjutnya dengan mem-

bandingkan masase abdomen dan minum air

putih hangat dengan tindakan kompres hangat

(range of motion) pada daerah perut untuk

melihat proses defekasi yang lebih efektif (YS,

KN, EF).

Referensi Arnaud, M.J. (2003). Mild dehydration: A risk

factor of constipation? European Journal

of Clinical Nutrition, 57 (2), 588–595.

Gofir, A. (2009). Manajemen stroke: Evidence based

medicine. Yogyakarta: Pustaka Cendikia Press.

Guyton, A.C., & Hall, J.E. (2006). Buku ajar

fisiologi kedokteran (edisi 9) (Irawati

Setiawan, penerjemah). Jakarta: EGC.

Hamidin, A. (2012). Keampuhan terapi air putih:

Untuk penyembuhan, diet, kehamilan dan

kecantikan. Yogyakarta: Media Presindo.

Higgins, P.D., & Johanson, J.F. (2004). Epidemiology

of constipation in North America: A

systematic review. The American Journal

of Gastroenterology, 99, 750–759.

Liu, Sakakibara., T. Odaka., T. Uchiyama.,

T. Yamamoto., T. Ito., T. Hattori (2005).

Mechanism of abdominal massage for

difficult defecation in patient with

myeolopathy. Journal of Neurology, 252,

1280–1282.

Mckay, S.L., Fravel, M., & Scanlon, C. (2012).

Evidence-based practice guildeline:

management of constipation. Gerontology

nursing, 38 (7), 9–15. Journal of

Gerontological Nursing. Diperoleh dari

http://www.healio.com/nursing/journals/jg

n/2012-7-38-7/%7Bf9178bcd-5d38-4ad2-

92ea-25be9eee4a1b%7D/management-of-

constipation

Folden, S.L. (2002). Practice guidelines for the

management of constipation in adults.

Rehabilitation nursing, 27 (5), 169–175.

Diperoleh dari

http://www.rehabnurse.org/pdf/BowelGuidef

orWEB.pdf

Norton, C. (1999). Ivestigation and treatment of

bowel problem. Medical post, 21 (1), 27–

36. Nursing & Allied Health Source

Rasyid, A., & Soertidewi, L. (2007). Unit stroke:

Manajemen stroke secara komprehensif.

Jakarta: Bala Penerbit Fakultas Kedokteran

Indonesia.

Smeltzer, S.C., & Bare, B.G. (2008). Brunner &

Suddarth: Textbook of medical surgical

nursing. Philadelphia: Lippincott Williams

& Wilkins.

Su, Y., Zhang, X., Zeng, J., Pei, Z., Cheung,

R.T.F., Zhou, Q., Ling, L., Yu, J., Tan, J.,

& Zhang, Z. (2009). New-onset constipation

at acute stage after first stroke: Incidence,

risk factors, and impact on the stroke

outcome. Stroke, 40, 1304–1309.

Sugiyono. (2009). Statistika untuk penelitian

(cetakan ke-14). Bandung: Alfabeta.

Tampubolon, L. (2008). Pengaruh terapi air putih

pada pasien konstipasi terhadap proses

defekasi (Tesis, tidak dipublikasikan). FIK

UI, Depok – Jawa Barat.

Tappan, F. & Benjamin, P. (1998). Healing

massage techniques: Classic, holistic, and

emerging methods (3rd Ed.). USA: Appleton-

Lange.

Wald, A. (2006). Constipation in the primary care

setting: current concepts and misconceptions.

The American journal of medicine, 119,

227–236.

Yuanita, A. (2011). Terapi air putih. Jakarta: Klik

Publishing.

Jurnal Keperawatan Indonesia, Volume 18 No.1, Maret 2015, hal 23-30

pISSN 1410-4490, eISSN 2354-9203

MENGATASI KONSTIPASI PASIEN STROKE DENGAN MASASE

ABDOMEN DAN MINUM AIR PUTIH HANGAT

Dameria Br Ginting

1,2*, Agung Waluyo

3, Lestari Sukmarini

3

1. Program Studi Ilmu Keperawatan, STIKes SUMUT, Medan 20136, Indonesia

2. Program Studi Magister, Fakultas Ilmu Keperawatan, Universitas Indonesia, Depok 16424, Indonesia

3. Fakultas Ilmu Keperawatan, Universitas Indonesia, Depok 16424, Indonesia

*E-mail: [email protected]

Abstrak

Perawat memiliki peranan yang penting mengatasi konstipasi pada pasien stroke selama perawatan di rumah sakit.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan masase abdomen dengan masase abdomen dan minum air putih

hangat pada pasien stroke yang mengalami konstipasi terhadap proses defekasi di Kota Medan. Penelitian kuasi

eksperimen dengan dua kelompok intervensi dan satu kelompok kontrol menggunakan pendekatan purposive sampling

dengan total empat puluh tujuh responden, masing-masing empat belas responden kelompok masase abdomen, enam

belas responden kelompok masase abdomen dan minum air putih hangat, dan tujuh belas responden intervensi standar

diobservasi setiap hari selama tujuh hari. Proses defekasi terhadap ketiga kelompok dilihat dari waktu terjadinya

defekasi antara kelompok intervensi I dan II dengan nilai p= 0,015, dan dari frekuensi defekasi antara kelompok

intervensi II dan kelompok kontrol dengan nilai p= 0,000. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi evidence based

practice dalam asuhan keperawatan medikal bedah dalam memberikan intervensi keperawatan terhadap pasien stroke

yang mengalami konstipasi sehingga perawatan terapi komplementer di bidang keperawatan dapat dikenal dan memberikan

manfaat sebagai pencegahan dan pengobatan alami.

Kata kunci: konstipasi, masase abdomen, minum air putih hangat, proses defekasi, stroke

Abstract

Overcoming Constipation on Stroke Patient with Abdominal Massage and Drinking Warm Plain Water. Nurses had

an important role to overcome constipation of stroke patient during the treatment in hospital. This study was aimed to

find out the difference of abdominal massage and abdominal massage with dringking warm plain water to defecation

process of stroke patient in Medan. This quasi experimental study used two intervention groups and one group as a

control, this purposive sampling approach had 47 respondents, they were 14 respondents in the abdominal massage

intervention group, 16 respondents in the abdominal massage with drinking warm plain water intervention group and

17 respondents in standard intervention group. Defecation process was observed everyday for seven days. Defecation

process of the three groups were analyzed from the time of significant defecation between the first and the second

intervention group (p= 0,015), and the time of significant defecation between the second intervention and control group

(p= 0,00). The results of this study are expected to be as evidence-based practice in medical-surgical nursing care in

the nursing interventions in stroke patients who experience constipation so that complementary therapies in the field of

nursing care can be known and provide to be used as a preventative and natural medicine.

Keywords: constipation, abdominal massage, drinking warm plain water, defecation process, stroke

Pendahuluan

Stroke merupakan sindrom klinis akibat gangguan

pembuluh darah otak biasanya timbul secara

mendadak dan mengenai usia 45-80 tahun.

Menurut Smeltzer dan Bare (2008), stroke

merupakan ketidaknormalan fungsi sistem saraf

pusat (SSP) yang disebabkan oleh gangguan

kenormalan aliran darah ke otak. World Health

Organization (WHO) menetapkan bahwa stroke

merupakan suatu sindrom klinis dengan gejala

berupa gangguan fungsi otak secara fokal atau

global yang dapat menimbulkan kematian atau

kelainan yang menetap lebih dari 24 jam, tanpa

penyebab lain kecuali gangguan vaskular (Rasyid,

& Soertidewi, 2007).

Jurnal Keperawatan Indonesia, Vol. 18, No. 1, Maret 2015, hal 23-30

24

Prognosis stroke dapat dilihat dari enam aspek

menurut Lasmudin (1999). Keenam aspek itu

adalah death (kematian), disease (kesakitan),

disability (kerusakan), discomfort (ketidaknyaman-

an), dissatisfaction (ketidakpuasan) dan destitution

(kemiskinan). Keenam aspek tersebut terjadi

pada fase awal stroke atau pasca stroke (Gofir,

2009). Prognosis stroke juga dipengaruhi oleh

berbagai faktor dan keadaan yang terjadi

terhadap penderita stroke. Tolak ukur di antaranya

outcome fungsional, seperti kelemahan motorik,

disabilitas, quality of life (kualitas hidup), serta

mortalitas (Gofir, 2009).

Faktor prognosis yang penting dalam morbiditas

dan mortalitas pasien stroke adalah komplikasi

yang terjadi pascastroke. Menurut Doshi (2003,

dalam Gofir, 2009), di Singapura tingkat kom-

plikasi stroke secara keseluruhan adalah 54,3%,

komplikasi stroke pada sistem gastrointestinal

adalah ulkus, perdarahan lambung, konstipasi,

dehidrasi dan malnutrisi (Rasyid & Soertidewi,

2007). Namun, menurut Navarro, et al., (2008,

dalam Gofir 2009) dari 495 pasien yang mengalami

komplikasi konstipasi sebesar 7,9%.

Di Amerika Serikat hampir setiap tahunnya

dilakukan survei terkait masalah konstipasi,

15% dari jumlah populasi usia dewasa mengalami

konstipasi setiap tahunnya (Higgins, 2004).

Survei juga dilakukan di tujuh negara pada

13.879 sampel berusia di atas 20 tahun berdasar-

kan wawancara dan kuisioner rerata 12,3%

orang dewasa mengalami konstipasi dan wanita

lebih cenderung mengalami konstipasi dari

pada laki-laki dan dilaporkan 20% mengalami

konstipasi adalah lanjut usia yang dirawat di

rumah dan 70% mengalami gangguan konstipasi

yang kronis (Wald, 2007). Suvei dilakukan

kembali tahun 2010 pada 8100 sampel berusia

di atas 20 tahun dari empat negara termasuk

Indonesia diperoleh hasil dari wawancara 16,2%

mengalami konstipasi (Wald, 2010). Akan tetapi,

Su, et al., (2009) melaporkan pasien stroke yang

mengalami masalah konstipasi 55,2% dari 154

pasien pada serangan stroke yang pertama.

Konstipasi dapat disebabkan oleh beberapa

faktor, yaitu faktor mekanis, faktor fisiologis,

faktor fungsional, faktor psikologis, dan faktor

farmakologis (Nanda, 2010). Faktor mekanis

berkaitan dengan gangguan neurologis, pada

pasien stroke disebabkan oleh penurunan beberapa

fungsi neurologis. Pertama penurunan fungsi

motorik yang menyebabkan terjadi imobilisasi.

Gangguan mobilitas dan ketidakberdayaan

(deconditioning) adalah masalah yang paling

sering dialami pasien stroke (Wahjoepramono,

2005). Imobilisasi yang berkepanjangan dapat

mengakibatkan komplikasi pada pasien stroke

salah satunya adalah konstipasi.

Pasien stroke yang dirawat di rumah sakit sering

mengalami kelemahan anggota gerak, baik sebagian

maupun seluruhnya yang menyebabkan pasien

imobilisasi. Imobilisasi yang berkepanjangan

berpotensi terjadi komplikasi, salah satunya

adalah konstipasi. Konstipasi dapat menyebabkan

tekanan pada abdomen yang memicu pasien

mengejan saat berdefekasi. Pada saat mengejan

yang kuat terjadi respons maneuver valsava

yang dapat meningkatkan tekanan intrakranial.

Peningkatan tekanan intrakranial pada pasien

stroke merupakan prognosis yang buruk.

Konstipasi merupakan defekasi yang tidak teratur

serta terjadi pengerasan pada feses menyebabkan

pasase sulit, menimbulkan nyeri, frekuensi de-

fekasi berkurang, volume, dan retensi feses dalam

rektum (Smeltzer & Bare, 2008). Konstipasi

juga diartikan sebagai perubahan dari frekuensi

defekasi, volume, berat, konsistensi dan pasase

dari feses tersebut (Arnaud, 2003). Usia lanjut

sering mengalami masalah konstipasi karena

faktor yang mendukung, seperti imobilisasi

(Norton & Harry, 1999). Frekuensi defekasi

bervariasi antara satu individu dengan individu

yang lain, sehingga konstipasi ditentukan ber-

dasarkan kebiasaan pola eleminasi orang yang

normal (William & Wikins, 2000). Namun,

menurut Guyton dan Hall (2008) konstipasi

berarti pelannya pergerakan tinja melalui usus

besar dan sering berhubungan dengan sejumlah

tinja yang kering dan keras.

Refleks defekasi ditimbulkan oleh refleks

intrinsik yang diperantarai oleh sistem saraf

enterik setempat. Jika feses memasuki rektum,

Ginting, et al., Mengatasi Konstipasi Pasien Stroke dengan Masase Abdomen

25

peregangan dinding rektum menimbulkan sinyal-

sinyal aferen yang menyebar melalui pleksus

mienterikus untuk menimbulkan gelombang

peristaltik di dalam kolon desenden, sigmoid

dan rektum, serta mendorong feses ke arah

anus. Sewaktu gelombang peristaltik mendekati

anus, sfingter ani internus direlaksasi oleh

sinyal-sinyal penghambat dari pleksus mienteri-

kus, jika sfingter ani eksternus secara sadar,

secara volunter berelaksasi dan bila terjadi pada

waktu yang bersamaan akan terjadi defekasi

(Guyton & Hall, 2006).

Proses defekasi dipercepat dengan adanya

peningkatan tekanan intraabdomen dan kontraksi

pada otot-otot abdomen. Proses defekasi dapat

dihambat oleh kontraksi volunter otot-otot sfingter

eksterna dan levator ani sehingga secara bertahap

dinding rektum akan rileks dan keinginan

defekasi hilang (Smeltzer & Bare, 2008).

Masase abdomen membantu untuk merangsang

peristaltik usus dan memperkuat otot-otot abdomen

serta membantu sistem pencernaan sehingga dapat

berlangsung dengan lancar. Masase abdomen

telah dibuktikan efektif mengatasi konstipasi

terhadap beberapa pene-litian. Menurut Liu, et al.,

(2005), masase abdomen dapat meningkatkan

tekanan intra-abdomen. Pada kasus-kasus neurologi

masase abdomen dapat memberikan stimulus

terhadap rektal dengan somato-autonomic reflex

dan adanya sensasi untuk defekasi.

Mengonsumsi air putih yang hangat dalam

jumlah yang cukup dapat menyebabkan pen-

cernaan bekerja dengan kapasitas yang maksimal.

Air hangat dapat bekerja dengan melembabkan

feses dalam usus dan mendorongnya keluar

sehingga memudahkan untuk defekasi. Membe-

rikan pasien minum air putih hangat yang

cukup merupakan intervensi keperawatan yang

mandiri. Dalam penelitian ini memberikan

pasien minum air putih hangat yang dimaksud

adalah memberikan minum air hangat setelah

dilakukan masase abdomen sebanyak 500 ml

secara rutin untuk mengatasi konstipasi.

Masase abdomen membantu untuk merangsang

peristaltik usus dan memperkuat otot-otot abdomen

serta membantu sistem pencernaan dapat berlang-

sung dengan lancar. Masase abdomen dilakukan

untuk mengatasi komplikasi yang mungkin timbul

akibat konstipasi. Teknik masase abdomen yang

digunakan dalam penelitian ini adalah teknik

Swedish massage tecnique, yaitu masase dengan

penekanan yang lembut pada jaringan yang dapat

memberikan perbaikan sirkulasi darah, memperbaiki

sistem pencernaan, serta memberikan kenyamanan.

Berdasarkan fenomena, pemaparan latar belakang

di atas, peneliti ingin mengetahui pengaruh

masase abdomen dan minum air putih hangat

dalam mengatasi konstipasi terhadap pasien

stroke di Rumah Sakit X Medan. Tujuan dari

penelitian ini adalah untuk mengetahui

perbedaan masase abdomen dengan masase

abdomen dan minum air putih hangat terhadap

pasien stroke yang mengalami konstipasi dalam

proses defekasi.

Metode

Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif

menggunakan metode Quasi eksperiment pen-

dekatan post test only non equivalent control

group design. Pada desain ini, kelompok

eksperimen dan kelompok kontrol tidak dipilih

secara random (Sugiyono, 2011). Dalam penelitian

ini responden sebanyak lima belas subjek.

Untuk mengantisipasi drop put, dilakukan koreksi

sampel menggunakan formula sederhana: n’=

n/(1-f), f (10% atau 0,1) (Sastroasmoro &

Ismael, 2010). n’= 15/0,9= 16,6 dibulatkan

menjadi menjadi tujuh belas subjek. Kriteria

inklusi pada penelitian ini adalah pasien stroke

iskemi yang sesudah tujuh hari serangan stroke;

tekanan darah dalam rentang (120/80–150/100)

dan tidak memiliki tanda-tanda peningkatan

tekanan intrakranial sebelum, selama, dan sesudah

intervensi, pasien sadar dan dapat berkomunikasi,

tidak mengalami penurunan fungsi memori

(dengan melakukan tes memori jangka pendek

dan jangka panjang), teridentifikasi mengalami

konstipasi melalui constipasi scoring system,

tidak sedang mengalami peradangan pada sistem

gastrointestinal, sistem perkemihan, dan sistem

metabolik, tidak terdapat massa pada abdomen,

dan bersedia menjadi responden.

Jurnal Keperawatan Indonesia, Vol. 18, No. 1, Maret 2015, hal 23-30

26

Penelitian dibagi dalam tiga kelompok, kelompok

kontrol mendapatkan intervensi yang biasa

dilakukan di ruangan seperti menganjurkan

makan makanan mengandung serat, memenuhi

kebutuhan cairan, aktivitas dalam batas yang

dapat ditoleransi dan dengan bantuan obat

laksatif. Kelompok Intervensi I dilakukan satu

kali dalam tujuh hari mendapatkan terapi standar

seperti kelompok kontrol sebelum sarapan pagi,

responden diberikan masase abdomen dengan

teknik swedish massage selama 15-20 menit

Setelah enam puluh menit, responden dipersilakan

sarapan pagi Kelompok Intervensi II dilakukan

satu kali dalam tujuh hari mendapatkan terapi

standar seperti kelompok kontrol sebelum sarapan

pagi, responden diberikan masase abdomen

dengan teknik swedish massage selama 15-20

menit Kemudian responden diberi tambahan

minum air hangat sebanyak 500 ml. Setelah enam

puluh menit, responden dipersilakan sarapan pagi.

Maka jumlah sampel dalam penelitian ini

masing-masing kelompok adalah tujuh belas

subjek, jumlah sampel keseluruhan adalah lima

puluh satu subjek. Namun, pada saat proses

pengambilan data pada Kelompok Intervensi I

terdapat dua responden yang dieksklusi karena

responden demam dan satu responden yang

dieksklusi pada Kelompok Intervensi II karena

demam pada saat perlakuan, sehingga jumlah

responden sebanyak empat puluh tujuh orang

pasien stroke yang mengalami konstipasi. Untuk

melihat perbedaan proses defekasi antarkelompok

menggunakan analisis beda lebih dari dua mean

digunakan uji ANOVA atau uji F (Hastono, 2007).

Hasil

Hasil penelitian berdasarkan waktu terjadinya

defekasi dan frekuensi defekasi pada kelompok

intervensi I, Intervensi II, dan intervensi standar

dapat dilihat pada Tabel 1.

Pada Tabel 1 diperoleh rerata waktu terjadinya

defekasi responden pada kelompok intervensi I

adalah 70,43 jam (SD 30,736). Pada kelompok

intervensi II rerata waktu terjadinya defekasi

responden adalah 35,25 jam (SD= 25,470).

Akan tetapi, pada kelompok kontrol rerata

waktu terjadinya defekasi responden adalah 60,35

jam (SD= 35,375). Hasil estimasi interval dapat

disimpulkan bahwa 95% diyakini bahwa rerata

waktu terjadinya defekasi tercepat terdapat pada

kelompok intervensi II adalah 21,68-48,82 jam.

Berdasarkan hasil uji statistik dapat disimpulkan

bahwa ada perbedaan waktu terjadinya defekasi

di antara ketiga kelompok (p= 0,015; α= 0,05).

Pada Tabel 2 dapat dilihat perbedaan waktu

terjadinya proses defekasi antara ketiga kelompok

yang bermakna adalah antara kelompok intervensi

I dengan kelompok II. Hasil dapat disimpulkan

bahwa ada perbedaan yang bermakna antara

perlakuan masase abdomen dengan masase

abdomen dan minum air putih hangat terhadap

waktu terjadinya defekasi (p= 0,015; α= 0,05).

Pada Tabel 3 dapat dilihat perbedaan frekuensi

defekasi antara ketiga kelompok yang bermakna

adalah antara kelompok intervensi II dengan

kelompok kontrol. Hasil dapat disimpulkan bahwa

Tabel 1. Distribusi Waktu Terjadinya Defekasi dan Frekuensi Defekasi pada Kelompok Intervensi I,

Intervensi II, dan Intervensi Standar

Variabel Kelompok N Mean SD 95% CI p

Waktu terjadinya defekasi

Intervensi I 14 70,43 30,736 52,68–88,18

0,015 Intervensi II 16 35,25 25,470 21,68–48,82

Kontrol 17 60,35 35,375 39,82–80,88

Frekuensi defekasi

Intervensi I 14 1,93 0,829 1,45–2,41

0,000 Intervensi II 16 2,62 1,0255 2,08–3,17

Kontrol 17 1,29 0,772 0,90–1,69

Ginting, et al., Mengatasi Konstipasi Pasien Stroke dengan Masase Abdomen

27

Tabel 2. Perbedaan Waktu Terjadinya Defekasi pada Kelompok Intervensi I, II, dan II

Variabel Mean Sig 95% CI p

Waktu terjadinya defekasi

Intervensi I Intervensi II

Kontrol

35,179*

10,076

0,016

1,000

5,25–65,11

19,44–39,59

0,015

Intervensi II Intervensi I

Kontrol

35,179*

25,103

0,016

0,101

65,11–5,25

53,59–3,38

Kontrol Intervensi I

Intervensi II

10,076

25,103

1,000

0,101

35,59–19,44

338–53,59

Tabel 3. Perbedaan frekuensi defekasi pada kelompok intervensi I, II, dan II

Variabel Mean Sig 95% CI P

Frekuensi Defekasi

Intervensi I Intervensi II

Kontrol

0,696

0,634

0,109

0,157

1,50–0,11

0,16–1,43

0,000

Intervensi II Intervensi I

Kontrol

0,696

1,331*

0,109

0,000

0,11–1,50

0,57–2,10

Kontrol Intervensi I

Intervensi II

0,634

1,331*

0,157

0,000

1,43–0,16

2,10–0,57

ada perbedaan yang bermakna antara perlakuan

masase abdomen dan minum air putih hangat

dengan intervensi yang standar terhadap frekuensi

defekasi (p= 0,000; α= 0,05).

Pembahasan

Minum air hangat dapat memberikan sensasi

yang cepat menyebarkan gelombang panasnya

ke segala penjuru tubuh manusia. Pada saat yang

bersamaan pembuluh darah akan berdilatasi

sehingga dapat mengeluarkan keringat dan gas

dalam tubuh. Abdomen salah satu organ yang

memiliki reseptor terhadap suhu yang panas

dan lebih dapat mendeteksi suhu panas dibanding

dengan suhu dingin (Guyton & Hall, 2006).

Hasil penelitian menunjukkan waktu terjadinya

defekasi pada kelompok masase abdomen lebih

lambat, yaitu rerata waktu terjadinya defekasi

adalah 70,43 jam jika dibandingkan dengan

kelompok kontrol, yaitu rerata waktu terjadi

defekasi responden adalah 60,35 jam yang hanya

mendapatkan intervensi yang standar. Salah

satu faktor yang dapat menyebabkan perbedaan

tersebut adalah dilihat dari hasil penelitian bahwa

responden yang mendapatkan masase abdomen

mayoritas berada pada tingkat kemandirian

rendah dan ketergantungan total. Responden

pada kelompok masase abdomen ini secara fisik

mengalami penurunan kekuatan otot dan kele-

mahan pada otot-otot abdomen yang memicu

perlambatan waktu yang dibutuhkan feses untuk

berpindah dari kolon ke rektum, dibandingkan

dengan responden pada kelompok kontrol rata-

rata memiliki tingkat kemandirian yang sedang.

Dalam beberapa aktivitas responden pada kelom-

pok kontrol masih dapat melakukan pergerakan

secara aktif, pergerakan secara aktif dapat

memengaruhi percepatan waktu perpindahan

feses dari kolon ke rektum.

Hasil penelitian ini telah membuktikan bahwa

telah dapat mengatasi masalah konstipasi pada

pasien stroke setelah masase abdomen dilakukan

setiap hari selama tujuh hari. Masase abdomen

efektif mengatasi konstipasi jika dilakukan secara

rutin setiap hari. Hal ini yang menyebabkan

perbedaan dengan penelitian terdahulu karena

pada penelitian terdahulu masase abdomen tidak

dilakukan setiap hari secara rutin. Masase

abdomen yang dilakukan secara rutin dapat

Jurnal Keperawatan Indonesia, Vol. 18, No. 1, Maret 2015, hal 23-30

28

merangsang peristaltik usus serta memperkuat

otot-otot abdomen yang akan membantu system

pencernaan dapat berlangsung secara lancar

(Folden, 2009).

Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui

bahwa frekuensi defekasi antara kelompok

responden yang mendapat masase abdomen

dengan kelompok kontrol tidak berbeda jauh.

Hal ini disebabkan oleh pengaruh jumlah serat

yang dikonsumsi oleh kelompok kontrol lebih

banyak dibandingkan dengan kelompok masase

abdomen. Responden yang menjadi kelompok

kontrol adalah responden yang berasal dari rumah

sakit swasta yang setiap penyajian menu makan

siang selalu disertai dengan buah-buahan,

dibandingkan dengan responden kelompok

masase abdomen yang berasal dari rumah sakit

pemerintah. Hal ini dapat menjadi salah satu

faktor yang menyebabkan perbedaan frekuensi

defekasi kelompok masase abdomen dengan

kelompok intervensi standar tidak berbeda jauh.

Frekuensi defekasi pada responden yang men-

dapat masase abdomen dibandingkan dengan

frekuensi defekasi pada responden kelompok

masase abdomen dan minum air putih hangat

lebih sedikit. Perbedaan frekuensi ini dapat

dipengaruhi oleh jumlah asupan cairan resonden

terhadap kelompok masase abdomen setiap

harinya, kemungkinan lebih sedikit dibandingkan

dengan kelompok masase abdomen yang diberi

tambahan minum air putih hangat 500 ml

setiap hari. Jika asupan cairan dalam tubuh

kurang, tubuh akan menyerap cadangan air

dalam usus dan absorbsi air menjadi lebih

sedikit menyebabkan kandungan air dalam feses

akan diserap kembali. Kekurangan kandungan

air dalam feses menyebabkan feses menjadi

kering, keras, dan membutuhkan waktu yang

cukup lama dari kolon transfersum sampai ke

kolon sigmoid.

Hasil penelitian yang sudah dilakukan dan

hasil penelitian terdahulu dapat disimpulkan

bahwa masase abdomen efektif dilakukan

untuk mengatasi konstipasi pada pasien stroke.

Namun, memerlukan intervensi tambahan agar

efek terhadap waktu terjadinya defekasi lebih

cepat sehingga frekuensi defekasi juga dapat

bertambah.

Pada penelitian ini, minum air hangat sebanyak

500 ml diberikan setelah responden mendapatkan

masase abdomen. Beberapa responden awalnya

tidak dapat meminum air hangat yang telah

disediakan 500 ml sekaligus sehingga pada

awalnya harus diberikan secara bertahap untuk

mengurangi ketidaknyamanan.

Pada kelompok yang mendapatkan masase

abdomen dan minum air putih hangat, waktu

terjadinya defekasi dimulai dalam dua puluh

empat jam terhadap perlakuan di hari pertama.

Dilihat dari waktu terjadinya proses defekasi

pada kelompok ini lebih cepat, yaitu rata-rata

waktu terjadi defekasi responden adalah 35,25

jam dibandingkan dengan kelompok yang hanya

mendapat masase abdomen. Masase abdomen

dan mendapatkan minum air putih hangat

sebanyak 500 ml setelah dilakukan masase

abdomen terbukti dapat mempercepat terjadinya

proses defekasi. Proses defekasi ini dapat

berlangsung secara cepat disebabkan oleh

stimulasi pada otot-otot abdomen yang secara

langsung dapat merangsang peristaltik usus

ditambah dengan minum air hangat sebanyak

500 ml yang akan memberikan suasana yang

encer dan cair pada usus. Suasana yang encer

ini akan memudahkan usus halus mendorong

sisa makanan untuk diabsorbsi di usus besar.

Pernyataan ini didukung oleh teori yang menya-

takan bahwa pemberian minum air putih hangat

memberikan efek hidrostatik dan hidrodinamik

dan hangatnya membuat sirkulasi peredaran

darah khususnya pada daerah abdomen menjadi

lancar. Secara fisiologis, air hangat juga memberi

pengaruh oksigenisasi dalam jaringan tubuh

(Hamidin, 2012). Hal serupa diungkapkan oleh

Yuanita (2011), minum air hangat dapat mem-

perlancar proses pencernaan, karena pencernaan

membutuhkan suasana yang encer dan cair.

Pada penderita konstipasi minum air hangat

sangat tepat untuk membantu memperlancar

pencernaan karena dengan minum air hangat

partikel-partikel dalam usus akan dipecah dan

menyebabkan sirkulasi pencernaan menjadi lancar

sehingga mendorong usus mengeluarkan feses.

Ginting, et al., Mengatasi Konstipasi Pasien Stroke dengan Masase Abdomen

29

Frekuensi defekasi responden pada kelompok

masase abdomen dan minum air putih hangat

lebih sering dua kali (2,62 kali) dibandingkan

dengan kelompok yang mendapat masase

abdomen frekuensi defekasi satu kali (1,93

kali), sementara itu frekuensi defekasi pada

kelompok kontrol adalah 1,29 kali. Namun,

jika dilihat dari hasil penelitian terdahulu

yang dilakukan oleh Tampubolon (2008),

frekuensi defekasi pada kelompok intervensi

empat kali lebih sering dibandingkan dengan

kelompok kontrol. Hal ini dapat disebabkan

oleh perbedaan jumlah air minum yang diberikan

kepada responden yang mengalami konstipasi.

Jika pada penelitian ini responden diberikan

minum air putih hangat sebanyak 500 ml

sementara penelitian oleh Tampubolon (2008),

memberi minum air putih sebanyak 1500 ml.

Jadi, dapat disimpulkan bahwa semakin banyak

asupan cairan yang diminum maka proses

defekasi akan lebih baik.

Proses defekasi pada kelompok yang hanya men-

dapatkan intervensi standar dimulai pada hari

kedua. Proses defekasi pada kelompok ini hanya

memperoleh terapi standar dari rumah sakit berupa

anjuran makan makanan yang mengandung serat,

memenuhi kebutuhan cairan, melakukan aktivitas

dalam batas yang dapat ditoleransi, dan memberi-

kan obat laksatif membantu melunakkan feses.

Intervensi standar yang diberikan kepada pasien

yang mengalami konstipasi didukung oleh pe-

menuhan kebutuhan cairan dan jumlah serat yang

dimakan dapat membantu terjadinya proses

defekasi. Hasil penelitian ini didukung oleh teori

yang dikemukakan oleh Mckay (2012), dengan

diet kaya serat sangat membantu untuk mem-

perlancar pencernaan sehingga dapat mencegah

konstipasi, namun pada pasien yang mengalami

dehidrasi asupan cairan harus ditambah dengan

minum lebih banyak.

Frekuensi defekasi pada kelompok yang hanya

mendapatkan intervensi standar ini jauh lebih

sedikit bahkan ada yang sama sekali belum

terjadi proses defekasi selama observasi dilakukan

dibanding kelompok intervensi masase abdomen

dan kelompok masase abdomen dengan men-

dapatkan minum air putih hangat. Hal ini

disebabkan oleh banyak faktor, seperti imobilisasi,

yaitu tirah baring yang lama dapat memengaruhi

penurunan tonus otot abdomen, motilitas, serta

tonus usus sehingga menyebabkan waktu terjadi

defekasi menjadi lambat. Hal ini disebabkan

oleh kurangnya latihan pergerakan yang dilakukan,

baik secara aktif oleh pasien maupun secara pasif

oleh keluarga dan tenaga kesehatan. Menurut

Smeltzer dan Bare (2008), tirah baring yang lama

merupakan penyebab terjadinya konstipasi pada

pasien stroke.

Tidak dapat diabaikan secara psikologis seseorang

yang lama dirawat dengan diagnosis stroke dapat

mengakibatkan seseorang menjadi depresi, emosi

yang tidak stabil, rasa cemas, takut, dan merasa

rendah diri. Menurut Guyton dan Hall (2006),

seseorang yang dalam keadaan cemas, depresi,

stres dan gangguan mental lainnya memengaruhi

kerja hormon pencernaan (sekretin, gastrin,

kolestositokinin) yang mengakibatkan penurunan

nafsu makan, menurunkan motilitas usus dan

mekanisme tubuh meningkatkan rangsangan

saraf simpatis yang menghambat pengosongan

lambung, sehingga menyebabkan seseorang

dalam keadaan ini mengalami konstipasi. Dalam

penelitian ini, faktor psikologis tersebut tidak

dikaji sebagai faktor yang dapat memengaruhi

terjadinya konstipasi pada pasien stroke.

Kesimpulan

Terdapat perbedaan waktu terjadinya proses

defekasi yang signifikan antara kelompok

intervensi I dengan kelompok II, bahwa ada

perbedaan yang bermakna antara perlakuan

masase abdomen dengan masase abdomen dan

minum air putih hangat terhadap waktu terjadinya

defekasi (p= 0,015; α= 0,05). Terdapat perbedaan

frekuensi defekasi yang signifikan antara ketiga

kelompok, yaitu antara kelompok intervensi II

dan kelompok kontrol, bahwa ada perbedaan

yang bermakna antara perlakuan masase abdomen

dan minum air putih hangat dengan intervensi

yang standar terhadap frekuensi defekasi (p=

0,000; α= 0,05).

Bagi keilmuan keperawatan, hasil penelitian

ini diharapkan dapat sebagai evidence based

Jurnal Keperawatan Indonesia, Vol. 18, No. 1, Maret 2015, hal 23-30

30

practice dalam asuhan keperawatan medikal

bedah dalam memberikan intervensi keperawatan

pada pasien stroke yang mengalami konstipasi

sehingga perawatan terapi komplementer di bidang

keperawatan dapat dikenal dan memberikan

manfaat untuk digunakan sebagai pencegahan

dan pengobatan alami. Bagi peneliti selanjutnya

dapat digunakan sebagai data dasar untuk

melakukan penelitian selanjutnya dengan mem-

bandingkan masase abdomen dan minum air

putih hangat dengan tindakan kompres hangat

(range of motion) pada daerah perut untuk

melihat proses defekasi yang lebih efektif (YS,

KN, EF).

Referensi Arnaud, M.J. (2003). Mild dehydration: A risk

factor of constipation? European Journal

of Clinical Nutrition, 57 (2), 588–595.

Gofir, A. (2009). Manajemen stroke: Evidence based

medicine. Yogyakarta: Pustaka Cendikia Press.

Guyton, A.C., & Hall, J.E. (2006). Buku ajar

fisiologi kedokteran (edisi 9) (Irawati

Setiawan, penerjemah). Jakarta: EGC.

Hamidin, A. (2012). Keampuhan terapi air putih:

Untuk penyembuhan, diet, kehamilan dan

kecantikan. Yogyakarta: Media Presindo.

Higgins, P.D., & Johanson, J.F. (2004). Epidemiology

of constipation in North America: A

systematic review. The American Journal

of Gastroenterology, 99, 750–759.

Liu, Sakakibara., T. Odaka., T. Uchiyama.,

T. Yamamoto., T. Ito., T. Hattori (2005).

Mechanism of abdominal massage for

difficult defecation in patient with

myeolopathy. Journal of Neurology, 252,

1280–1282.

Mckay, S.L., Fravel, M., & Scanlon, C. (2012).

Evidence-based practice guildeline:

management of constipation. Gerontology

nursing, 38 (7), 9–15. Journal of

Gerontological Nursing. Diperoleh dari

http://www.healio.com/nursing/journals/jg

n/2012-7-38-7/%7Bf9178bcd-5d38-4ad2-

92ea-25be9eee4a1b%7D/management-of-

constipation

Folden, S.L. (2002). Practice guidelines for the

management of constipation in adults.

Rehabilitation nursing, 27 (5), 169–175.

Diperoleh dari

http://www.rehabnurse.org/pdf/BowelGuidef

orWEB.pdf

Norton, C. (1999). Ivestigation and treatment of

bowel problem. Medical post, 21 (1), 27–

36. Nursing & Allied Health Source

Rasyid, A., & Soertidewi, L. (2007). Unit stroke:

Manajemen stroke secara komprehensif.

Jakarta: Bala Penerbit Fakultas Kedokteran

Indonesia.

Smeltzer, S.C., & Bare, B.G. (2008). Brunner &

Suddarth: Textbook of medical surgical

nursing. Philadelphia: Lippincott Williams

& Wilkins.

Su, Y., Zhang, X., Zeng, J., Pei, Z., Cheung,

R.T.F., Zhou, Q., Ling, L., Yu, J., Tan, J.,

& Zhang, Z. (2009). New-onset constipation

at acute stage after first stroke: Incidence,

risk factors, and impact on the stroke

outcome. Stroke, 40, 1304–1309.

Sugiyono. (2009). Statistika untuk penelitian

(cetakan ke-14). Bandung: Alfabeta.

Tampubolon, L. (2008). Pengaruh terapi air putih

pada pasien konstipasi terhadap proses

defekasi (Tesis, tidak dipublikasikan). FIK

UI, Depok – Jawa Barat.

Tappan, F. & Benjamin, P. (1998). Healing

massage techniques: Classic, holistic, and

emerging methods (3rd Ed.). USA: Appleton-

Lange.

Wald, A. (2006). Constipation in the primary care

setting: current concepts and misconceptions.

The American journal of medicine, 119,

227–236.

Yuanita, A. (2011). Terapi air putih. Jakarta: Klik

Publishing.

Jurnal Keperawatan Indonesia, Volume 18 No.1, Maret 2015, hal 38-44

pISSN 1410-4490, eISSN 2354-9203

PELAYANAN KEPERAWATAN PRIMA BERBASIS BUDAYA

BERPENGARUH TERHADAP TINGKAT KEPUASAN PASIEN

DI RUMAH SAKIT

Suroso1,2*

, Rr Tutik Sri Haryati3, Mustikasari

3, Enie Novieastari

3

1. Rumah Sakit TNI AL Dokter Soedibjo Sardadi, Jayapura 59112, Indonesia

2. Program Studi Magister, Fakultas Ilmu Keperawatan, Universitas Indonesia, Depok 16424, Indonesia

3. Fakultas Ilmu Keperawatan, Universitas Indonesia, Depok 16424, Indonesia

*E-mail: [email protected]

Abstrak

Kepuasan pelanggan terhadap pelayanan kesehatan yang diterima dapat diwujudkan dengan melaksanakan pelayanan

prima. Penelitian ini bertujuan mengetahui pengaruh pelayanan prima berbasis budaya terhadap tingkat kepuasan pasien di

rumah sakit. Metode penelitian menggunakan quasi experiment dengan rancangan pre and post with control group design.

Jumlah sampel adalah tiga puluh lima perawat dan seratus empat puluh pasien. Teknik pengambilan sampel untuk perawat

menggunakan total sampling, sementara untuk pasien dilakukan dengan consecutive sampling. Hasil penelitian menunjukkan

adanya pengaruh yang bermakna (p< 0,05) terhadap tingkat kepuasan pasien setelah perawat mendapatkan pelatihan

pelayanan prima berbasis budaya pada sebelum dan sesudah di kelompok intervensi. Rekomendasi yang dapat diberikan

adalah perlunya meningkatkan peran supervisi agar keberlangsungannya tetap terjaga. Selain itu, untuk penelitian berikut

dapat juga dilakukan dengan model triangulasi.

Kata kunci: budaya, keperawatan, kepuasan pasien, pelayanan prima

Abstract

Nursing Care Prima Culture-Based Influence to Patient Satisfaction in Hospitals. This research aimed to determine

the effect of service excellent based on culture to patient satisfaction level in installation of hospitalization Hospital

Jayapura. This research is a quasi experiment with pre and post with control group design. The number of samples is

someone 35 nurses and 140 patients. The results showed have significant effect (p< 0.05) on the level of patient

satisfaction after nurses receive training excellent service based onculture pre and post intervention group.

Recommendations can be given is the need to enhance the role of supervision in order to maintain continuity, for the

following research maybe done by triangulation models.

Keywords: culture, nursing, patient satisfaction, service excellence

Pendahuluan

Pelayanan prima dalam keperawatan adalah

pelayanan yang berdasarkan perilaku caring,

dengan sepuluh karatif caring. Menurut Leinenger

dan McFarland (2002), yang didasarkan pada

kebudayaan adalah suatu aspek esensial untuk

memperoleh kesejahteraan, kesehatan, partum-

buhan dan ketahanan, serta kemampuan untuk

menghadapi rintangan maupun kematian. Pera-

watan yang mendasarkan budaya adalah bagian

komprehensif serta holistik untuk mengetahui,

menjelaskan, menginterpretasikan, dan mem-

prediksikan fenomena asuhan keperawatan serta

memberikan panduan dalam pengambilan ke-

putusan dan tindakan keperawatan. Keperawatan

transkultural adalah disiplin ilmu perawatan

humanistik dan profesi yang memiliki tujuan

utama untuk melayani individu dan kelompok.

Praktik perawatan dipengaruhi oleh keyakinan

dan nilai budaya yang cenderung tertanam dalam

pandangan dunia, bahasa, filosofi, agama, ke-

keluargaan, sosial, politik, pendidikan, ekonomi,

Suroso, et al., Pelayanan Keperawatan Prima Berbasis Budaya Berpengaruh 39

teknologi, etnohistory, dan lingkungan kebudayaan.

Keperawatan yang berdasarkan budaya dapat

meningkatkan kepuasan pasien sehingga dapat

memengaruhi derajat kesehatan dan kesejahteraan

individu, keluarga, kelompok, dan komunitas

di dalam lingkungannya. Keperawatan yang ber-

dasarkan budaya dapat terwujud apabila pola,

nilai budaya dan perawatan digunakan secara

tepat, aman dan bermakna (Bhui, Warfa, Edonya,

McKenzie, & Bhugra, 2007).

Raso (2006) menyatakan bahwa memahami

bahasa sangat penting. Ketidakmampuan untuk

berkomunikasi tidak hanya membuat frustasi

bagi kedua belah pihak, tetapi juga menimbulkan

risiko keselamatan pasien dalam rangka untuk

merencanakan dan mengoordinasikan sesuai

perawatan. Douglas, et al., (2009) menyatakan

bahwa perawat perlu mendapatkan pendidikan

tentang budaya dalam melakukan pelayanan,

sehingga perawat mempunyai kompetensi atau

kemampuan tentang kebudayaan pasien yang

dirawat. Standar praktik untuk kompetensi

perawat berbasis budaya terdiri atas keadilan

sosial, pemikiran kritis, pengetahuan tentang

perawatan lintas budaya, praktik lintas budaya,

sistem kesehatan dan organisasi, pemberdayaan

dan advokasi pasien, tenaga kerja yang bermacam

ragam budaya, pendidikan dan pelatihan, komu-

nikasi lintas budaya, kepemimpinan lintas budaya,

kebijakan pengembangan, dan penelitian berbasis

evidence base.

Model keperawatan transkultural adalah panduan

yang baik bagi perawat dalam memberikan

pelayanan kepada pasien dengan struktur budaya

masyarakat yang bermacam ragam (Gulbu, 2006;

Maier-Lorentz, 2008; Foster & Anderson, 2009).

Kemampuan tentang budaya dalam keperawatan

profesional sangat penting untuk mengatasi masa-

lah kesehatan pasien. Perawatan peka budaya

mengelola konflik yang dapat menyebabkan

frustrasi, baik kepada pasien maupun keluarga.

Manfaat yang diperoleh dengan menyiapkan

kompetensi budaya kesehatan adalah mening-

katkan efisiensi waktu. Pasien lebih mendapat

informasi dan dapat menurunkan rasa stress

pada pasien dan tenaga perawat, kemampuan

kompetensi peka budaya juga meningkatkan

kepercayaan pasien dan kepuasan pasien (DeRosa

& Kochurka, 2006).

Nilai kultural adalah prinsip-prinsip atau kualitas

yang dianut oleh suatu kelompok masyarakat

dan diyakini tentang hal-hal baik dan berguna

bagi kelompoknya. Setiap kelompok masyarakat

mempunyai nilai-nilai yang berbeda. Perawat

sebagai tenaga profesional harus mempunyai

pengetahuan yang cukup tentang nilai-nilai yang

dianut oleh kliennya sehingga interaksi dapat

berjalan dengan baik (Sumijatun, 2011).

Perawat sebagai bagian dari sumberdaya manusia

yang bekerja di rumah sakit (RS) memiliki nilai

budaya tertentu, yang menyangkut masyarakat

kecil dengan kebudayaannya sendiri yang sangat

mirip dengan suatu desa petani atau suatu masya-

rakat rumpun kecil dengan suatu kebudayaan

tertentu (Foster & Anderson, 2009). Meskipun

demikian, rumah sakit memiliki kebudayaannya

sendiri, kebudayaan secara umum sulit untuk

dicirikan, keperawatan merupakan ilmu tentang

manusia dan pengalaman sehat-sakit manusia

yang disampaikan melalui transaksi profesional,

ilmiah, estetis, dan etis. Perawatan kesehatan yang

benar adalah yang berfokus pada gaya hidup,

kondisi sosial dan lingkungan, bukan proses

diagnosa penyakit atau pengobatan (Watson,

2002; Tomey & Alligood, 2006).

Menurut Bosek dan Savage (2007), perawat perlu

melengkapi dirinya dengan cultural competency,

terutama bagi perawat yang bertugas pada tatanan

komunitas. Apabila klien dirujuk dan dirawat

di rumah sakit, klien akan membawa budaya

yang selama ini dianut sehingga perlu bantuan

perawat dalam beradaptasi dengan lingkungannya

yang baru. Kebiasaan hidup klien sehari-hari

dapat berubah secara drastis, seperti kebiasaan

makan, mandi, tidur, dan sebagainya. Oleh karena

itu, perawat perlu memahami aspek budaya yang

dianut kliennya. Dengan demikian, pengkajian

perlu dilakukan secara komprehensif dan juga

melibatkan orang-orang terdekat klien.

Penelitian ini dilakukan di sebuah rumah sakit

di Papua dengan dilatarbelakangi bahwa pasien

Jurnal Keperawatan Indonesia, Vol. 18, No. 1, Maret 2015, hal 38-44 40

banyak mengeluh tentang sikap perawat yang

kurang perhatian dalam pemberian pelayanan

sebesar 48%, perawat kurang komunikasi terhadap

pasien dan keluarga 53%, sikap perawat yang

lambat dalam merespons keluhan atau panggilan

pasien sebesar 46%, sarana dan prasarana penun-

jang yang kurang memuaskan sebesar 30%.

Berdasarkan hasil wawancara dengan lima orang

perawat tentang tingkat kepuasan pasien dida-

patkan hasil bahwa hampir setiap bulan terjadi

komplain atau keluhan baik dari pasien maupun

keluarga. Keluhan yang dirasakan adalah sikap

petugas administrasi yang kurang ramah, sikap

perawat yang cerewet, judes, dan lamban dalam

merespons keluhan pasien serta komunikasi yang

kurang baik terhadap pasien.

Hasil observasi penulis juga mendapatkan bahwa

sebagian besar perawat terutama yang shift

sore atau malam tidak memakai seragam yang

lengkap, ada yang memakai sandal jepit, ada yang

tidak memakai kap, ada yang menggunakan

seragam atasan saja, ada yang memakai seragam

hanya bawahan saja, penampilan terlihat kurang

rapi, dan kurang komunikasi kepada pasien. Ber-

dasarkan kondisi tersebut, pertanyaan penelitian

adalah “apakah ada pengaruh pelayanan prima

berbasis budaya terhadap tingkat kepuasan

pasien di rumah sakit X Jayapura?”

Metode

Penelitian ini adalah penelitian quasi experiment

dengan rancangan pre and post with control

group design. Jumlah sampel adalah tiga puluh

lima perawat dan seratus empat puluh pasien.

Teknik pengambilan sampel untuk perawat

menggunakan total sampling, sementara untuk

pasien dilakukan dengan consecutive sampling.

Perawat yang menjadi responden dalam penelitian

ini ada dua, yaitu perawat dalam kelompok

intervensi berasal dari RS X dan perawat

dalam kelompok kontrol berasal dari RS Y.

Sementara pasien yang dirawat inap sebagai

responden yang berasal dari RS X (kelompok

intervensi) dan pasien yang dirawat inap sebagai

responden berasal dari RS Y (kelompok kontrol).

Pada kelompok perlakuan diberi pelatihan tentang

pelayanan prima, sedangkan kelompok kontrol

tidak diberi pelatihan. Sebelum perlakuan

terhadap kedua kelompok dilakukan melalui

pengukuran awal (pretest) untuk tingkat kepuasan

responden atau pasien. Setelah intervensi, dilaku-

kan pengukuran akhir (post test) terhadap semua

kelompok untuk menentukan efek perlakuan

inap. pada responden yang dalam hal ini pasien

rawat

Hasil analisis data univariat untuk data numerik

disajikan dalam bentuk mean (rerata), median,

standar deviasi, nilai maksimum-minimum,

dan CI 95%. Sementara data kategori disajikan

dalam bentuk distribusi frekuensi dan proporsi.

Selanjutnya dilakukan uji kesetaraan karakteristik

pasien (umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan,

penghasilan, dan suku/budaya) dan karakteristik

perawat (umur, status kepegawaian, dan tingkat

pengetahuan) menggunakan uji Chi Square (CS).

Hasil uji kesetaraan karakteristik pasien dan

karakteristik perawat didapatkan data yang

homogen. Kemudian dilanjutkan dengan analisis

bivariat menggunakan uji Paired t-test. Pene-

litian ini sudah lulus uji etik di Fakultas Ilmu

Keperawatan Universitas Indonesia (FIK UI).

Hasil

Intervensi yang dilakukan dengan memberikan

pelatihan pelayanan prima berbasis budaya selama

dua hari untuk dua gelombang. Pelatihan yang

diberikan kepada perawat kelompok intervensi

meliputi materi pelayanan prima, caring, komuni-

kasi terapeutik, dan budaya. Setelah mendapatkan

materi pelatihan dilakukan kegiatan role play,

tentang cara komunikasi dengan pasien meng-

gunakan dialek Papua, peserta disimulasikan

sebagai pasien dan perawat. Kegiatan ini

berlangsung selama dua jam, memang tidak

semua peserta mendapat kesempatan untuk

melakukan simulasi karena keterbatasan waktu

pelatihan.

Kegiatan selanjutnya adalah pendampingan,

pendampingan untuk perawat pelaksana dilakukan

selama dua minggu, perawat diberikan pendam-

pingan oleh peneliti dibantu oleh tiga kepala

Suroso, et al., Pelayanan Keperawatan Prima Berbasis Budaya Berpengaruh 41

ruang. Kegiatan pendampingan meliputi kegiatan

pelayanan prima berbasis budaya, seperti cara

menyapa pasien dengan dialek Papua, cara men-

jelaskan informasi berkaitan dengan pelayanan

keperawatan yang diberikan kepada pasien,

cara memfasilitasi pasien jika ada kunjungan

dari keluarga, tetangga, atau perkumpulan gereja.

Kendala yang dihadapi pada saat pendampingan

adalah kurangnya tenaga pendamping atau

mentor sehingga hanya kepala ruang yang

diharapkan bisa memberikan pendampingan.

Jika kepala ruangan memiliki jadwal yang

padat, seperti rapat, dan kegiatan sosialisasi,

perawat pelaksana sedikit sekali mendapatkan

bimbingan.

Kegiatan yang berkaitan dengan pelayanan prima

berbasis budaya yang dilakukan di rumah sakit

kelompok intervensi, yaitu dengan memfasilitasi

pengunjung pasien yang membesuk untuk diberi

waktu dalam memberikan doa kepada pasien.

Pasien yang mendapat kunjungan dari kelompok

gereja atau jemaatnya disiapkan ruangan khusus.

Dalam kegiatan ini, sementara, ruangan yang

dipakai adalah ruangan pertemuan perawat. Pasien

yang mendapat kunjungan dari jemaat gereja

di dorong ke ruangan tersebut, di sinilah para

jemaat atau keluarga yang ingin mendoakan

diberi waktu 15-20 menit untuk mendoakan

agar pasien lekas sembuh. Ternyata kegiatan

yang dilakukan seperti ini mendapatkan respons

positif dari pasien dan keluarga serta pengun-

jung sehingga banyak keluarga dan pengunjung

pasien yang menyatakan bahwa hal semacam

ini baik dan tetap terus untuk ditingkatkan dan

dipertahankan. Pelaksanaan kegiatan ini belum

tersosialisasi dengan baik ke seluruh petugas

sehingga ada yang melakukan dan ada yang

tidak. Selain itu, belum adanya aturan yang

tertulis berapa kali pasien diberi kesempatan,

berapa lama waktu yang disediakan, dan perlu

adanya pemberitahuan dari keluarga untuk bisa

dijadwalkan dalam kegiatan harian perawat untuk

memfasilitasi keluarga dalam memberikan doa

kepada pasien sehingga tidak terjadi penumpukan

atau jadwal yang sama dalam satu waktu.

Kegiatan pelayanan prima berbasis budaya

yang lain adalah dengan menganalisis budaya

masyarakat Papua yang biasa makan pinang,

dan membuang ludah pinang di sembarang

tempat. Berdasarkan hal tersebut, perawat

berinisiatif untuk menyediakan suatu tempat

yang sudah disiapkan, seperti bak pasir tempat

membuang ludah pinang, para pasien atau

pengunjung yang akan makan pinang diarahkan

ketempat tersebut, secara fasilitas tempat tersebut

masih perlu pembenahan agar representatif.

Tanggapan dari keluarga pasien atau pengunjung

juga baik, bahkan ada yang menyarankan agar

ruangannya diperluas dan dibuat permanen

sehingga para pengunjung dapat menikmatinya

dengan nyaman.

Tabel 1 menunjukkan bahwa rerata skor kepuasan

pasien sebelum intervensi adalah -8,81 dan

rerata skor kepuasan pasien setelah intervensi

menjadi 4,95. Hal ini menunjukkan adanya

peningkatan rerata skor kepuasan pasien sebelum

dan sesudah pelaksanaan intervensi pelatihan

pelayanan prima berbasis budaya pada kelompok

intervensi (p= 0,000). Artinya ada pengaruh

pelatihan pelayanan prima berbasis budaya ter-

hadap kepuasan pasien pada kelompok intervensi.

Tabel 1. Perbedaan Kepuasan Pasien Sebelum dan Sesudah Pelatihan terhadap Kelompok Intervensi dan

Kontrol

Mean SD CI 95% p

Kelompok intervensi

a. Pretest -8.81 14.226 -20,26–7,24 0,001*

b. Postest 4.95 14.795

Kelompok kontrol

a. Pretest 3,11 12,020 0,37–7,39 0,075

b. Postest 0,41 8,930

*bermakna pada α= 0,05

Jurnal Keperawatan Indonesia, Vol. 18, No. 1, Maret 2015, hal 38-44 42

Hasil analisis pada Tabel 1 menunjukkan bahwa

skor rerata kepuasan pasien sebelum intervensi

di kelompok kontrol terjadi penurunan tingkat

kepuasan pasien sebelum dan sesudah pelatihan

pelayanan prima berbasis budaya kontrol.

Pembahasan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa rerata skor

kepuasan pasien sebelum intervensi dan setelah

intervensi mengalami peningkatan satu setengah

kali lipat lebih puas dari kondisi awal. Artinya ada

pengaruh pelatihan pelayanan prima berbasis

budaya terhadap kepuasan pasien pada kelompok

intervensi. Komunikasi perawat terhadap pasien

menjadi faktor yang penting dalam pemberian

pelayanan prima berbasis budaya.

Pelayanan prima menurut Budiono (2012) adalah

pelayanan jasa yang dapat membuat pelanggan

merasa mendapatkan pelayanan sesuai harapan,

sesuai dengan indikator yang ditentukan serta

dapat dipertanggungjawabkan, sehingga merasa

puas. Pelayanan prima harus memberikan yang

terbaik bagi pelanggan, melakukan apapun yang

mungkin untuk memuaskan pelanggan, serta

membuat keputusan yang dapat memberikan

keuntungan pada pelanggan tapi tidak merugikan

perusahaan (Gerson, 2011). Pelayanan prima

dilaksanakan dalam rangkaian kegiatan secara utuh

yang bersifat wajar, lancar, terbuka, sederhana,

tepat sasaran, terjangkau, lengkap, dan tidak

rumit.

Menurut Narayanasamy (2002), “Caring” yang

berdasarkan kebudayaan adalah aspek asensial

untuk mengobati dan menyembuhkan dimana

pengobatan tidak akan mungkin dilakukan tanpa

perawatan, sebaliknya perawatan dapat tetap eksis

tanpa pengobatan. Konsep keperawatan kultural,

arti, ekspresi, pola-pola, proses, dan struktur dari

bentuk perawatan transkultural yang beragam

dengan perbedaan dan persamaan yang ada.

Setiap kebudayaan manusia memiliki pengetahuan

dan praktik keperawatan tradisional serta praktik

profesional yang bersifat budaya dan individual.

Pelayanan prima dalam keperawatan adalah

pelayanan yang didasari oleh tindakan caring

terhadap pasien dan keluarga. Akhtari-Zavare,

Abdullah, Hassan, Said, dan Kamali (2010)

menjelaskan caring adalah esensi dari kepe-

rawatan yang berarti juga pertanggung jawaban

hubungan antara perawat dengan klien, dimana

perawat melibatkan klien untuk berpartisipasi

dalam memperoleh pengetahuan, dan mening-

katkan derajat kesehatan. Caring adalah kegiatan

langsung untuk memberikan bantuan, dukungan

perilaku kepada individu atau kelompok melalui

antisipasi kebutuhan untuk meningkatkan kondisi

manusia atau kehidupan (Leininger & McFarland,

2002).

Praktik perawatan yang berbasis nilai budaya

dipengaruhi oleh bahasa, filosofi, agama, keke-

luargaan, sosial, politik, pendidikan, ekonomi,

teknologi, etnohistory, dan lingkungan. Keun-

tungan dari keperawatan yang berbasis budaya

dapat memberikan kepuasan kepada pasien

sehingga mempengaruhi derajat kesehatan dan

kesejahteraan individu, keluarga, kelompok, dan

komunitas di dalam lingkungannya. Kebudayaan

dan keperawatan yang seimbang dapat terwujud

apabila pola dan nilai-nilai perawatan digunakan

secara tepat, aman dan bermakna (Beach, et

al., 2006).

Faktor komunikasi. Komunikasi adalah sesuatu

untuk dapat menyusun dan menghantarkan suatu

pesan dengan cara yang gampang sehingga orang

lain dapat mengerti dan menerima (Nursalam,

2002). Komunikasi dalam praktik keperawatan

profesional merupakan unsur utama bagi perawat

dalam melaksanakan pelayanan keperawatan

untuk mencapai hasil yang optimal. Adapun

faktor-faktor yang mempengaruhi penerapan

komunikasi terapeutik antara lain: pendidikan,

lama bekerja, dan pengetahuan, sikap dan

kondisi psikologi (Sumijatun, 2011).

Komunikasi yang baik dalam pelayanan prima

yang berkualitas akan membuat pasien menjadi

puas. Suatu pelayanan dinilai memuaskan apabila

pelayanan tersebut dapat memenuhi kebutuhan

dan harapan pelanggan. Jika pelanggan merasa

tidak puas terhadap suatu pelayanan yang

disediakan, maka pelayanan tersebut dapat

dipastikan tidak efektif dan tidak efisien

Suroso, et al., Pelayanan Keperawatan Prima Berbasis Budaya Berpengaruh 43

(Suryawati, 2006). Supranto (2006) mengemukakan

bahwa jika pelayanan keperawatan yang

dirasakan tidak sesuai dengan harapan maka

pasien akan merasakan ketidakpuasan terhadap

layanan tersebut dan akan menimbulkan keluhan

atau klaim dari pasien.

Menurut Bail (2008) mengemukakan bahwa

ketidakpuasan pasien dalam menerima pelayanan

keperawatan berhubungan dengan ketidakjelasan

prognosis, ketidakjelasan penyampaian informasi,

dan pembuatan keputusan. Tingkat kepuasan

pasien mengalami peningkatan setelah perawat

mendapatkan pelatihan tentang pelayanan prima

berbasis budaya, artinya bahwa ada pengaruh

intervensi tentang pelayanan prima berbasis

budaya terhadap tingkat kepuasan pasien.

Rumah sakit mempunyai tanggung jawab untuk

selalu meningkatkan kepuasan pasien sehingga

rumah sakit juga mempunyai tanggung jawab

untuk meningkatkan pengetahuan, sikap, dan

tindakan perawatnya agar dapat memberikan

pelayanan prima kepada pasien maupun keluarga.

Kesimpulan

Intervensi yang diberikan tentang pelayanan prima

berbasis budaya local, khususnya budaya Papua

seperti menyediakan tempat khusus bagi keluarga

dan para pengunjung untuk memberikan doa bagi

pasien yang sakit, menyediakan bak pasir tempat

membuang ludah pinang, dan membudayakan

perawat agar dalam berkomunikasi dengan pasien

memakai dialek Papua mendapat respons yang

baik oleh pasien, keluarga maupun pengunjung

yang datang.

Tingkat pengetahuan perawat terkait pelayanan

prima terhadap kelompok intervensi sebelum

dan sesudah pelatihan pelayanan prima ada

peningkatan sebesar dua kali lipat, demikian

juga hasil observasi yang dilakukan terhadap

perawat yang melakukan pelayanan prima ber-

basis budaya terdapat peningkatan sebesar tiga

kali lipat jika dibandingkan dengan sebelumnya.

Peningkatan tersebut terjadi karena perawat

telah mendapatkan pelatihan berupa teori, juga

mendapatkan bimbingan selama dua minggu

sehingga ilmu yang didapat setelah pelatihan

dapat diaplikasikan kepada pasien sehingga

meningkatkan kepuasan pasien yang dirawat.

Sikap dan perilaku perawat juga mengalami

perubahan dari yang kurang care menjadi lebih

care terhadap pasien, lebih ramah dengan pasien,

penampilan perawat juga menjadi lebih baik,

cara komunikasi lebih efektif dengan pasien dan

sebagian perawat sudah mulai menggunakan

dialek Papua ketika berinteraksi dengan pasien,

khususnya pasien yang berasal dari suku Papua.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat

kepuasan pasien terhadap kelompok intervensi

terjadi peningkatan jika dibandingkan antara

sebelum pelatihan dan setelah pelatihan. Hal

ini terjadi karena pemberian pelayanan prima

berbasis budaya yang dilakukan oleh perawat

dapat diterima dan sesuai dengan budaya lokal

di Papua, artinya dalam pemberian pelayanan

prima, kita perlu mempertimbangkan budaya

lokal yang tidak dapat kita hilangkan, tetapi

dapat kita modifikasi sehingga antara budaya

dan pelayanan dapat berjalan seiring, tujuan

akhirnya adalah kepuasan bagi pasien, keluarga

maupun pengunjung (HH, TN).

Referensi

Bail, K. (2008). Patient and professional dissatis-

faction: A literature review of prognosis

communication related to hospital settings.

Contemporary Nurse, 29 (2), 135–146.

Budiono. (2012). Pelayanan Prima dalam memuaskan

konsumen. Yogyakarta: Penerbit Buku

Kedokteran EGC.

DeRosa, N., & Kochurka, K. (2006). Implement

culturally competent healthcare in your

workplace. Nursing Management, 37(10),

18–26

Douglas, M.K., Pierce, J.U., Rosenkoetter, M., Callister,

L.C., Hattar-Pollara, M., Lauderdale, J. &

Pacquiao, D. (2009). Standards of practice for

culturally competent nursing care: A request for

comments. Journal of Transcultural Nursing, 20,

257–269. doi: 10.1177/1043659609334678

Jurnal Keperawatan Indonesia, Vol. 18, No. 1, Maret 2015, hal 38-44 44

Foster, G., & Anderson, B. (2009). Antropologi

kesehatan. (Priyanti Suryadarma dan Meutia

F Hatta, Penerjemah). Jakarta: Universitas

Indonesia.

Gerson, F.R. (2011). Beyound customer service,

program-program untuk mempertahankan

pelanggan. Jakarta: Lutan Edukasi.

Gulbu, T. (2006). The implications of transcultural

nursing models in the provision of culturally

competent care. Icus Nurs Web J, 25, 1–11.

Bhui, K., Warfa, N., Edonya, P., McKenzie, K., &

Bhugra, D. (2007). Cultural competence in

mental healthcare: A review of model

evaluations. BMC Health Serv Res., 7 (15),

1–10. doi: 10.1186/1472-6963-7-15.

Leininger, M., & McFarland, M.R. (2002).

Transcultural nursing: Concepts, theories,

research, and practice. United States: The

McGraw-Hill Companies.

Maier-Lorentz, MM. (2008). Transcultural nursing

is importance in nursing practice. Journal of

Cultural Diversity, 15 (1), 37–43.

Beach, M.C., Gary, T.L., Price, E.G., Robinson, K.,

Gozu, A., Palacio, A., Smarth, C., Jenckes,

M., Feuerstein, C., Bass, E.B., Powe, N.R.,

& Cooper, L.A. (2006). Improving health

care quality for racial/ethnic minorities: A

systematic review of the best evidence

regarding provider and organization

interventions. BMC Public Health, 24 (6)

104.

Akhtari-Zavare, M., Abdullah, M.Y., Hassan, T.S.,

Said, S.B., & Kamali, M. (2010). Patient

satisfaction: Evaluating nursing care for

patients hospitalized with cancer in Tehran

Teaching Hospitals, Iran. Global Journal of

Health Science, 2 (1), 117–126.

Narayanasamy, A. (2002). The ACCESS model: A

transcultural nursing practice framework. Br

J Nurs, 11 (9), 643–650.

Raso, R. (2006). Cultural competence: Integral in

diverse populations. Journal of Nursing

Management, 37 (7), 56.

Sumijatun. (2011). Membudayakan etika dalam

praktek keperawatan. Jakarta: Medika

Salemba.

Supranto, J. (2006). Pengukuran tingkat kepuasan

pelanggan untuk menaikkan pangsa pasar.

Jakarta: Rineka Cipta.

Suryawati, C., Dharminto., & Zahroh, S (2006).

Penyusunan indikator kepuasanpasien rawat

inap rumah sakit di propinsi Jawa Tengah.

Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, 9

(4), 177–184.

Watson, J. (2002). Caring science as sacred

science. Philadelphia: Davis Company.

Jurnal Keperawatan Indonesia, Volume 18 No.1, Maret 2015, hal 45-50

pISSN 1410-4490, eISSN 2354-9203

PENGALAMAN HOSPITALISASI ANAK USIA SEKOLAH

Siti Chodidjah

*, Elfi Syahreni

Fakultas Ilmu Keperawatan, Universitas Indonesia, Jl. Prof. Bahder Djhohan, Depok 16424, Indonesia

*E-mail: [email protected]

Abstrak

Mengalami sakit dan dirawat di rumah sakit merupakan pengalaman yang traumatik pada anak dan orang tua.

Lingkungan rumah sakit yang asing, interaksi dengan pertugas kesehatan yang belum dikenal, berbagai prosedur

diagnostik, dan pengobatan yang menimbulkan kecemasan menjadi faktor penyebab pengalaman traumatik tersebut.

Pengalaman traumatik tersebut dapat dirasakan anak bahkan sampai bertahun-tahun setelah dipulangkan dan

mempengaruhi perkembangan anak di masa mendatang. Riset ini merupakan riset dengan desain kualitatif yang

bertujuan menggali pengalaman hospitalisasi anak usia sekolah. Data didapatkan dari wawancara dengan pertanyaan

semi terstruktur pada sepuluh orang anak berusia 6–12 tahun yang sedang dirawat di ruang penyakit dalam anak dengan

teknik pengambilan sampel purposive sampling. Analisis data dengan metode Vann Manen menemukan tema:

terbatasnya melakukan aktivitas rutin sehari-hari, suasana ruang rawat tidak nyaman, tidak bebas menentukan

keinginan, mengalami nyeri selama perawatan, dan menemukan cara mengatasi masalah selama dirawat. Penelitian ini

merekomendasikan dilakukannya berbagai upaya untuk mencegah dampak negatif hospitalisasi pada anak.

Kata kunci: anak usia sekolah, hospitalisasi, pengalaman traumatik

Abstract

Hospitalization Experiences among School Age Children. Hospitalization can be a traumatic and stressful experience

for children and also the parents. Unfamiliar environment and health personnel, diagnostic procedures and treatments

have been identified as the stressor. The traumatic experiences following hospitalization might influence the children’s

well being until years after the hospitalization. This qualitative research aimed to explore children’s experiences during

hospitalization. Data were collected using purposive sampling technique from 10 hospitalized school-aged children in

pediatric medical ward. Themes from qualitative analysis included: separation from family and peer, unfamiliar

environment, loss of self determination, experience of pain, and health awareness. These research recomendates

strategies to prevent negative effect of hospitalization.

Keywords: hospitalization, school age children. children’s traumatic experiences

Pendahuluan

Saat ini telah terjadi pergeseran alasan hospi-

talisasi. Dahulu, anak mengalami hospitalisasi

karena menderita penyakit akut dan dirawat untuk

waktu yang relatif singkat. Saat ini banyak bayi

dan anak-anak mengalami hospitalisasi karena

penyakit kronik dan ketidakmampuan yang

serius. Kemajuan ilmu dan teknologi memberikan

kesempatan bagi anak-anak tersebut untuk

bertahan hidup lebih lama, namun mereka

membutuhkan perawatan yang lebih sering dan

lebih intensif (James & Ashwill, 2007).

Menjalani perawatan di rumah sakit dapat menjadi

pengalaman yang tidak menyenangkan bagi

anak dan orang tua. Secara umum, anak akan

merasakan kecemasan karena perpisahan dengan

orang tua/orang terdekat, kehilangan kontrol

diri, dan ketakutan akan rasa sakit (Bowden &

Greenberg, 2010). Anak akan menangis, menjerit,

dan menolak petugas kesehatan. Berada di ling-

kungan yang asing, petugas kesehatan yang

asing, pelengkapan dan prosedur pengobatan dan

pembedahan, perubahan aktivitas rutin, melihat

kondisi sakit pasien lain, dan membuat anak

kehilangan kontrol untuk melakukan aktivitas

Jurnal Keperawatan Indonesia, Vol. 18, No. 1, Maret 2015, hal 45-50 46

yang biasanya mereka lakukan. Kehilangan kon-

trol diri ini antara lain dimanifestasikan dengan

regresi ke tahapan perkembangan sebelumnya dan

pencapaian tugas perkembangan yang telah dicapai

anak mungkin akan hilang (Basiri-Moghaddam,

Sadeghmogaddam, & Ahmadi, 2011). Karlings

(2006) menambahkan adanya masalah negativis-

tik, tempertantrum yang cenderung destruktif,

ketergantungan terhadap orang tua, ketakutan

terhadap dokter, perawat, dan rumah sakit pada

anak pasca dirawat di rumah sakit.

Masalah-masalah yang terjadi pada saat anak

mengalami hospitalisasi tersebut dapat berlanjut

setelah anak sehat dan dipulangkan. Umumnya

masalah-masalah tersebut mempengaruhi anak

setelah anak dipulangkan dari perawatan dan

menghilang sejalan dengan perjalanan waktu.

Namun, penelitian oleh Rautava, Lehtonen,

Heleneus, dan Sillanpaa (2003), pada bayi yang

dihospitalisasi sejak baru dilahirkan menunjukkan

bahwa dampak perubahan perilaku dan masalah

keluarga baru menghilang setelah anak berusia

dua belas tahun.

Meskipun demikian, selain meninggalkan dampak

negatifterhadap psikologis anak, hospitalisasi

juga dinilai dapat memberikan dampak positif

terhadap anak. Mengalami sakit dan stres selama

proses hospitalisasi memberikan kesempatan

kepada anak untuk beradaptasi mengatasi

masalah dan kecemasan yang dihadapi selama

proses perawatan kesehatannya. Ketika anak

mampu mengatasi masalah dan stres yang

dihadapi, hal ini akan menumbuhkan keeper-

cayaan diri yang tinggi pada anak. Selain itu,

edukasi yang diberikan selama hospitalisasi

juga dapat menjadi pembelajaran tentang

kesehatan dan penyakitnya. Hal ini mungkin

menimbulkan ketertarikan anak terhadap karir

di bidang kesehatan (Wong & Hockenberry, 2003).

Ryan-Wegner dan Gardner (2012) menambahkan

bahwa pengalaman hospitalisasi juga mempenga-

ruhi pemanfaatan sarana kesehatan di masa

depan. Pengalaman positif selama hospitalisasi

membuat pemanfaatan sarana kesehatan untuk

menjaga dan mempertahankan kesehatan menjadi

lebih optimal.

Hospitalisasi juga dapat memberikan dampak

positif terhadap orang tua. Hospitalisasi mem-

berikan kesempatan bagi orang tua untuk lebih

memahami tumbuh kembang anaknya dan

membina ikatan antara orang tua dan anak, dan

meningkatkan kemampuan parenting (Wong

& Hockenberry, 2003).

Metode

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif

dengan pendekatan deskriptif fenomenologi.

Data didapatkan dari sepuluh orang anak berusia

6–12 tahun, yang minimal telah mengalami

perawatan selama satu hari dan maksimal lima

hari di ruang penyakit dalam anak Jakarta Timur,

mampu berkomunikasi dengan baik, dan dapat

menceritakan pengalaman hospitalisasinya, serta

mendapatkan perawatan dengan tindakan invasif

minimal berupa pemasangan infus dan pemberian

obat melalui pembuluh darah. Penilaian kemam-

puan komunikasi dilakukan dengan meminta

rekomendasi perawat ruangan. Orang tua/pengasuh

diikutsertakan dan dimintakan informasinya

terutama jika anak kurang mampu mengomu-

nikasikan pengalaman hospitalisasinya dengan

baik.

Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara

semi terstruktur yang direkam dengan menggu-

nakan tape recorder. Wawancara dilakukan di

ruang rawat informan, dan berlangsung sekitar

dua puluh sampai dengan tiga puluh delapan

menit. Verbatim dari hasil wawancara kemudian

dilakukan analisis meggunakan metode Vann

Manen. Prinsip kepercayaan hasil penelitian

dilakukan dengan melakukan triangulasi teknik

dengan cara memvalidasi pengalamanan hos-

pitalisasi yang diceritakan anak kepada orang tua

yang mendampingi anak selama perawatannya.

Hasil

Penelitian ini menemukan lima tema pengalaman

hospitalisasi pada anak usia sekolah. Tema tersebut

adalah terbatasnya melakukan aktivitas rutin

sehari-hari, suasana ruang rawat tidak nyaman,

tidak bebas menentukan keinginan, mengalami

Chodidjah, et al., Pengalaman Hospitalisasi Anak Usia Sekolah 47

nyeri selama perawatan, dan menemukan cara

mengatasi masalah selama dirawat.

Terbatasnya melakukan aktivitas rutin sehari-

hari. Mengalami keterbatasan melakukan aktivitas

rutin sehari-hari dialami oleh semua anak.

Keterbatasan beraktivitas yang dialami oleh

anak meliputi keterbatasan melakukan aktivitas

rutin dengan keluarga, teman, dan aktivitas

sekolah. Dirawat di rumah sakit membuat anak

tidak dapat melakukan aktivitas yang biasa

mereka lakukan bersama anggota keluarganya.

Anak menyatakan rasa kehilangannya karena

tidak dapat lagi membantu ayah memasak atau

mengaji bersama ayahnya.

“Di sini enggak bisa bantuin Abi masak….”

(partisipan 3).

“Apalagi ditinggal orang tua, enggak diajak

ngobrol gitu. Biasanya kan kalo sama ayah,

kan, baca Alquran bareng....” (partisipan 10).

Anak menyatakan bahwa perawatan di rumah

membuat mereka tidak dapat melakukan aktivitas

yang biasa dilakukan bersama teman sekolah

atau teman seperti bermain, mengobrol, dan

jajan.

“ Enggak enak. Enggak bisa ngoborol, enggak

bisa jajan bareng..” (partisipan 8).

“Enggak bisa main sama temen-temen…”

(partisipan 9)

Hospitalisasi juga membuat anak kehilangan

kesempatan untuk melakukan aktivitas yang

biasa anak lakukan sehari-hari, seperti pergi ke

sekolah dan belajar. Hal ini membuat anak

mengalami kekhawatiran terhadap prestasi bela-

jarnya, terutama pada anak yang berada di kelas

enam.

“Soalnya udah kelas 6, entar kalo ujian

gimana, takut nilainya jelek, takut ketinggalan

pelajaran…” (partisipan 8).

“Enggak enak, enggak sekolah, enggak ketemu,

itu ketinggalan pelajaran..” (partisipan 10).

Akan tetapi, tidak semua anak mengalami

keterbatasan melakukan aktivitas rutin sehari-

harinya. Terdapat satu orang anak yang tidak

mengalami dampak dari terpisahnya dengan

orang tua dan teman bermainnya. Anak menga-

takan bahwa pada saat ibunya pulang ke rumah

karena suatu keperluan, perawat mengajaknya

bermain sekolah-sekolahan, mewarnai, dan

menulis. Anak menyatakan bahwa dirinya tetap

bisa bermain dan mempunyai banyak teman di

rumah sakit. Anak juga belajar matematika

dengan ibunya. Pengalaman berbeda yang dialami

anak ini disebabkan oleh ia sering mengalami

hospitalisasi. Selain itu, anak tersebut termasuk

anak yang ceria dan senang berinteraksi dengan

orang lain.

Suasana ruang rawat tidak nyaman. Hampir

semua anak merasakan ketidaknyamanan terhadap

lingkungan ruang rawat. Ketidaknyamanan yang

anak rasakan meliputi kebisingan suara dari

pasien lain yang menangis atau suara orang

mengobrol, ruang rawat yang panas, ruang

perawatan intensif yang sangat dingin, serta

sarana perawatan, seperti tempat tidur yang

keras dan perlak pelapis yang menimbulkan

rasa gatal. Suasana ruang rawat yang tidak nyaman

membuat anak terbangun-saat tidur.

“Kebangun mulu, banyak berisik, ada kayak

suara orang ngobrol, ada suara anak nangis…

bayinya bangun, nangis, iya bikin susah tidur….

(partisipan 10).

“Gerah, enggak bisa tidur…” (partisipan 8).

“Di ICU dingin, kalau malem dingin banget…”

(partisipan 6).

“Ininya bikin sakit (menunjuk bagian pinggir

perlak),gatal” (partisipan 7).

“kasurnya keras, bikin pegel” (partisipan 9).

Meskipun demikian, terdapat satu orang anak

yang tidak merasakan ketidaknyaman terhadap

lingkungan ruang rawat. Kemungkinan anak

ini tidak merasakan kegerahan karena tempat

tidurnya berada dekat dengan kipas angin. Perlak

Jurnal Keperawatan Indonesia, Vol. 18, No. 1, Maret 2015, hal 45-50 48

pelapis tempat tidurnya terpasang rapi dan

tidak tampak terlihat bagian yang menyebabkan

rasa gatal. Anak ini mengalami keterbatasan

mobilisasi karena menderita patah tulang se-

hingga seprainya terjaga tetap rapi.

Tidak bebas menentukan keinginan. Anak

mengalami keterbatasan melakukan aktivitas.

Keterbatasan ini disebabkan oleh pemasangan

infus dan kurangnya jenis aktivitas dan peralatan

untuk bermain. Anak mengatakan bahwa pema-

sangan infus membatasi pergerakannya. Anak

juga mengatakan bosan karena dia lebih banyak

tidur dan tidak ada aktivitas lainnya.

“Enggak bisa bergerak bebas, kalau bergerak

ketarik-tarik terus…..( partisipan 6).

“Bosen, enggak bisa nonton tivi” (partisipan 9).

“Bete karena cuma tidur doang terus

pengennya jalan-jalan, gitu ” (partisipan 10).

Anak juga mengalami kehilangan kontrol untuk

memenuhi kebutuhannya, seperti tidur dan makan.

Mereka mengatakan tidak bisa tidur saat me-

ngantuk karena adanya anak lain yang menangis,

atau dibangunkan karena harus mendapatkan

suntikan antibiotik. Anak juga tidak dapat

mengontrol menu makan yang sesuai dengan

selera makannya. Porsi makan anak berkurang

karena nasi terlalu lembek atau jenis lauk yang

tidak mereka sukai.

“Kebangun mulu, banyak berisik, bikin susah

tidur…. (partisipan 10).

“Iya sih, kadang-kadang disuntik waktu sedang

tidur gitu, ngasih obat” (partisipan 10).

“Di sini nasinya lembek banget, enggak enak,

masuk, tapi sedikit…”( partisipan 5).

“Ya, ada yang enak, sebagian enggak bagi

saya, enggak ngerti, kayak sekali nyicip gitu,

langsung mau muntah ….( partisipan 10).

Mengalami nyeri selama perawatan.

Pengalaman merasakan ketidaknyamanan,

seperti nyeri yang dirasakan oleh semua anak

yang terlibat dalam penelitian ini. Rasa nyeri

ini disebabkan oleh proses perjalanan penyakit

dan tindakan perawatan seperti pemasangan

infus atau pengambilan darah untuk pemeriksaan

laboratorium.

“Sakit perut tapi bagian bawah, waktu pipis” ..”

(partisipan 8).

“Disuntik sakit banget gitu, ngilu, he-eh,

sampe teriak malah…” (partisipan 10).

Menemukan cara mengatasi masalah selama

dirawat. Mengalami sakit dan menjalani prosedur

pengobatan mengajarkan anak memiliki kemam-

puan untuk mengatasi stresor yang dihadapinya.

Anak mengatakan bahwa ia tidur-tiduran atau

main game dulu untuk mengurangi mual saat

makan. Anak mengakui strategi itu ia dapatkan

sendiri dan bukan dari orang tuanya.

“Kalau mual makannya berhenti dulu, tidur-

tiduran dulu, atau main game dulu, baru

makan lagi…” ( partisipan 6).

Berinteraksi dengan petugas kesehatan dan

menjalani prosedur pengobatan juga memberikan

kesadaran tentang kesehatan dan upaya mencegah

dan mengobati penyakit yang dialaminya.

“Jangan jajan sembarangan lagi, biar ususnya

gak infeksi” (partisipan 6).

“Diinfus, buat ngasih cairan biar sehat…”

(partisipan 2).

Pembahasan

Penelitian ini menemukan lima tema pengalaman

hospitalisasi pada anak, yaitu terbatasnya melaku-

kan aktivitas rutin sehari-hari, suasana ruang

rawat tidak nyaman, tidak bebas menentukan

keinginan, mengalami nyeri selama perawatan,

dan menemukan cara mengatasi masalah selama

dirawat.

Mengalami keterbatasan melakukan aktivitas

rutin sehari-hari yang didapatkan dalam penelitian

Chodidjah, et al., Pengalaman Hospitalisasi Anak Usia Sekolah 49

ini juga ditemukan oleh banyak penelitian

sebelumnya (Coyne, 2006; Wilson, Megel,

Enenbach dan Carlson, 2010; Bsiri-Moghaddam,

Basiri-Moghaddam, Sadeghmogaddam, & Ahmadi,

2011). Hasil penelitian ini sama dengan hasil

penelitian Coyne (2006) yang menyatakan bahwa

hospitalisasi menyebabkan anak terpisah dari

anggota keluarga, teman bermain, aktivitas rutin

anak, dan pencapaian prestasi sekolah. Penelitian

ini juga mendapatkan temuan yang sama dengan

penelitian oleh Bsiri-Moghaddam, et al., (2011),

yaitu keterbatasan interaksi dengan orang tua

masih menjadi permasalah utama pada anak

berusia sekolah. Padahal perpisahan dengan orang

tua seharusnya tidak menjadi masalah utama

pada anak usia sekolah (Wong & Hockenberry,

2003).

Dampak negatif dari terbatasnya interaksi dan

terpisah dengan keluarga, teman bermain, dan

aktivitas rutin sehari-hari dapat dicegah dengan

memaksimalkan kontak anak dengan keluarga,

teman, dan sekolah (Coyne, 2006). Upaya ini

dapat dilakukan dengan menambah jam kunjung-

an terutama kunjungan keluarga, menyediakan

ruang untuk bermain dan peralatan bermain,

serta memfasilitasi anak untuk bermain dengan

pasien lainnya (Wilson, et al., 2010). Bermain

merupakan kebutuhan dasar bagi anak. Anak

menyatakan bahwa aktivitas yang paling menye-

nangkan selama hospitalisasi adalah aktivitas

yang menghibur, seperti bermain video dan

menonton video (Pelander & Leino-Kilpi, 2010).

Tema lainnya yang juga dialami oleh semua anak

adalah suasana ruang rawat tidak nyaman. Tema

ini juga ditemukan pada penelitian oleh Coyne

(2006) dan Salmela, Aronen, dan Salantera (2010).

Penyebab pengalaman suasana ruang rawat tidak

nyaman dalam penelitian ini sama dengan

penyebab pada penelitian Coyne (2006). Ketidak-

nyamanan pada ruang rawat tersebut adalah

kebisingan ruangan, suhu ruangan yang panas,

fasilitas yang tidak adekuat, silau pada malam

hari, dan makanan. Bsiri-Moghaddam, et al.,

(2011) menambahkan bahwa selain faktor-

faktor yang telah disebutkan di atas, penyebab

ketidaknyamanan lainnya adalah peraturan rumah

sakit dan jam kunjungan. Coyne (2006) menyaran-

kan perlunya pengaturan ruang rawat dengan

lebih berfokus kepada kenyamanan anak dan

bukan kepada kenyamanan petugas kesehatan.

Tema lain yang juga dialami oleh semua anak

adalah tidak bebas menentukan keinginan. Tim-

bulnya ketidakbebasan menentukan keinginan

dalam penelitian ini sama dengan yang didis-

kusikan oleh Coyne (2006), yaitu karena adanya

hambatan melakukan aktivitas, hambatan meme-

nuhi kebutuhannya, serta tidak dapat mengontrol

keinginan tidur dan makan. Strategi yang dapat

digunakan untuk mengurangi dampak tersebut

dapat dilakukan dengan menghargai anak sebagai

seorang individu. Setiap tindakan perawatan

terhadap anak harus melibatkan anak sebagai

partisipan aktif. Strategi lainnya adalah dengan

memberi kesempatan pada anak untuk menentu-

kan waktu pelaksanaan suatu prosedur yang

diinginkannya (Wilson, et al., 2010).

Tema mengalami nyeri selama perawatan dalam

penelitian ini juga ditemukan dalam penelitian

Coyne (2006) dan Bsiri-Moghaddam, et al. (2011).

Ketakutan mengalami nyeri karena prosedur

pengobatan merupakan pengalaman yang paling

tidak disukai anak (Pelander & Leino-Kilpi, 2010).

Ketakutan terhadap prosedur yang menyakitkan

dapat dikurangi dengan mempersiapkan anak

sebelum prosedur dilakukan. Persiapan harus

dilakukan sesuai dengan tahapan usia anak

(Coyne, 2006). Melakukan prosedur perawatan

sambil bermain terapi efektif untuk mengurangi

ketakutan anak. Bermain seharusnya selalu

dilakukan selama proses perawatan anak dan

disesuaikan dengan kondisi penyakit anak

(Wilson, et al., 2010).

Tema terakhir dalam penelitian ini adalah anak

dapat menemukancara mengatasi masalahnya

selama dirawat. Selama perawatan, anak belajar

menemukan koping untuk mengatasi ketakutan

dan kecemasannya. Anak akan merasakan ke-

puasan ketika mereka mampu menemukan koping

untuk mengatasi ketakutan dan kecemasannya.

Pada akhirnya, hal ini akan menumbuhkan

rasa percaya diri. Berinteraksi dengan petugas

kesehatan dapat meningkatkan pengetahuan anak

tentang penyakit yang dideritanya dan upaya

Jurnal Keperawatan Indonesia, Vol. 18, No. 1, Maret 2015, hal 45-50 50

untuk pengobatan dan pencegahannya. Dampak

lebih lanjut berkomunikasi dan interaksi dengan

pertugas kesehatan mungkin akan memberikan

ketertarikan terhadap pemilihan karir masa depan

di bidang kesehatan (James & Ashwill, 2007).

Selain itu, pengalaman hospitalisasi akan me-

mengaruhi pemanfaatan sarana kesehatan di

masa mendatang. Pengalaman hospitalisasi yang

traumatik menyebabkan keengganan dan keta-

kutan untuk menggunakan fasilitas kesehatan

untuk menjaga dan mempertahankan kesehatan

(Ryan-Wegner & Gardner, 2012).

Kesimpulan

Hospitalisasi dapat memberikan pengalaman

menyedihkan dan menyenangkan bagi anak.

Mengalami sakit dan dirawat di rumah sakit

membuat anak mengalami perpisahan dengan

keluarga, teman bermain, serta keterbatasan

melakukan aktivitas yang biasa mereka lakukan

bersama keluarga dan teman bermainnya. Ling-

kungan yang asing dan tidak nyaman, mengalami

kehilangan kontrol diri, ketidakberdayaan, dan

merasakan nyeri merupakan pengalaman tidak

menyenangkan lainnya yang anak rasakan selama

perawatanya.

Meskipun demikian, hospitalisasi dapat mem-

berikan dampak positif bagi anak. Kemampuan

anak mengatasi ketakutan dan kecemasannya

selama perawatan dapat meningkatkan rasa

percaya diri anak. Selain itu, hospitalisasi akan

membukakan wawasan tentang kesehatan dan

kemungkinan karier di bidang kesehatan. Peneli-

tian ini merekomendasikan perlunya pemahaman

tentang tumbuh kembang anak dan teknik

komunikasi dengan anak bagi petugas kesehatan

agar hospitalisasi menjadi pengalaman yang

memberikan dampak positif bagi anak dan

keluarga (HW, YR, PN).

Ucapan Terima Kasih

Ucapan terima kasih diberikan kepada Direktorat

Riset dan Pngabdian Masyarakat Universitas

Indonesia (DRPM UI) yang telah memberikan

dana bagi terlaksananya penelitian ini.

Referensi

Bowden, B.R., & Greenberg, C.M. (2010).

Children and their families: Continuum of

care. Second edition. Philadephia: Lippincott

Willian & Wilkins.

Bsiri-Moghaddam, K., Basiri-Moghaddam, M.,

Sadeghmoghaddam, L., & Ahmadi, F. (2011).

The concept of hospitalization of children from

the point of view of parents and children.

Iranian Journal of Pediatric, 21, 2, 201-208.

Coyne, I. (2006). Children’s experiences of

hospitalization. Journal of Child Health Care,

10, 4, 326–336.

James, S.R. & Ashwil, J.W. (2007). Nursing care

of children: Principle & practice. United of

America: Saunders Elsevier.

Karlings, M. (2006). Child behaviour and pain after

hospitalization, surgey, and anaesthesia. UMEA.

Sweden: University medical dissertation.

Pelander, T., & Leino-Kilpi, H. (2010). Children’s

best and worst experiences during hospital-

lization. Scandinavian Journal of Caring

Sciences, 24, 726–733.

Rautava, P., Lehtonen, L., Heleneus, H., & Sillanpaa,

M. (2003). Effects of newborn hospitalization

on family and child behaviour: A 12-year

follow-up study. Pediatrics, 111, 277–283.

Ryan-Wegner, N.A. & Gardner, W. (2012).

Hospitalized children’s perspective on the

quality and equity of the nursing care. Nursing

Care Quality, 27, 1, 35–42.

Salmela, M., Aronen, E. T., & Salentera, S. (2010).

The experience of hospital-related fear of 4–6

year old children.Child: Care, Health and

Development. 37, 5, 719–726.

Wong, D.L., & Hockenberry, M.J. (2003). Wong’s

nursing care of infants and children. (7th

Ed.). USA: Mosby company.

Wilson, M.E., Megel, M.E., Enenbach, L., &

Carlson, K.L. (2010). The voice of children:

stories about hospitalization. Journal of

Pediatric Health Care, 24, 95–102.

Jurnal Keperawatan Indonesia, Volume 18 No.1, Maret 2015, hal 51-58 pISSN 1410-4490, eISSN 2354-9203

PENGALAMAN KELUARGA DALAM MERAWAT PENDERITA

SAKIT KRONIS

Annisa Wuri Kartika

1,2*, Wiwin Wiarsih

3, Henny Permatasari

3

1. Jurusan Keperawatan, Fakultas Kedokteran, Universitas Brawijaya, Malang 65145, Indonesia

2. Program Studi Magister, Fakultas Ilmu Keperawatan, Universitas Indonesia, Depok 16424, Indonesia

3. Fakultas Ilmu Keperawatan, Universitas Indonesia, Depok 16424, Indonesia

*E-mail: [email protected]

Abstrak

Merawat anggota keluarga yang mengalami sakit kronis memengaruhi kehidupan anggota keluarga secara fisik,

psikologis, dan sosial. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui pengalaman keluarga dalam merawat anggota keluarga

dengan penyakit kronis. Metode penelitian yang digunakan, yaitu kualitatif dengan pendekatan fenomenologi deskriptif.

Partisipan merupakan delapan keluarga yang merawat anggota keluarga dengan sakit kronis. Tema yang ditemukan

mencakup perubahan status kesehatan penderita, respons psikologis keluarga, upaya untuk mempertahankan kesehatan,

dan harapan keluarga. Simpulan penelitian menggambarkan respons yang dialami oleh keluarga berbeda bergantung

pada onset, lama, dan prognosis penyakit serta tahapan stres yang dialami keluarga. Perawat dapat memberikan

manajemen asuhan keperawatan kepada keluarga berupa intervensi pendidikan kesehatan mengenai penyakit kronis,

psikoedukasi, dan konseling keluarga dalam merawat penderita sakit kronis.

Kata kunci: merawat, pengalaman keluarga, penyakit kronis

Abstract

The Experience of Family Caregivers of Persons with Chronic Illness. Caring for family member with chronic illness

affects the lives of family physically, psychologically, and socially. The aim of this study was to describe the experience

of family member in caring for family members with chronic illness. A qualitative design with descriptive

phenomenological approach was chosen for this study. Qualitative interviews with eight families were performed. The

results included a changed health status for the person with chronic illness, family psychological response, efforts of

maintain health and family expectations about type and quality of health services. Conclusion of research illustrated

that response experienced by families were different depending on the onset, duration, and prognosis of the diseases

and the stage of stress experienced by the family. Thus nurses could provide nursing care to family with chronic illness

which are consist of health education and counseling in order to caring for family members with chronic illness.

Keywords: caregiver, chronic disease, family experience

Pendahuluan

Penyakit kronis merupakan salah satu beban

ganda dalam bidang kesehatan selain penyakit

infeksi yang merajalela. Diprediksikan pada tahun

2020 penyakit tidak menular akan mencapai 73%

dari penyebab kematian dan 60% dari beban

penyakit dunia (World Health Organization,

2002). Data kesehatan di Indonesia, khususnya

Kota Depok menunjukkan kasus kematian akibat

stroke empat tahun berturut-turut menempati

urutan pertama. Penyebab utama stroke pada

umumnya adalah hipertensi, diabetes mellitus

(DM) yang tidak terkontrol, serta penyakit

jantung. Hal ini saling berkaitan dengan urutan

tertinggi penyebab kematian di Kota Depok

(Dinas Kesehatan Depok, 2007).

Penyakit kronis tidak hanya mengakibatkan

kesakitan, kematian, dan ketidakmampuan fisik

dari penderita, namun juga prosedur pengobatan

yang panjang dan menghabiskan banyak biaya

Jurnal Keperawatan Indonesia, Vol. 18, No. 1, Maret 2015, hal 51-58 52

(Denham & Looman, 2010). Oleh karena itu,

sistem pelayanan kesehatan pada klien kronis

berubah dengan memperpendek masa rawat inap

di Rumah Sakit dan beralih pada program

perawatan di rumah (home-based care) yang

memberikan keuntungan secara materi karena

dapat menekan biaya perawatan (Lim & Zebrack,

2004). Penelitian yang dilakukan Moalosi,

Phatswane, Moeti, Binkin dan Kenyon (2003)

melaporkan bahwa penurunan biaya sebesar 44%

pada klien yang dirawat di rumah dibandingkan

dengan biaya perawatan di rumah sakit. Selain

efektif dalam hal biaya, program perawatan di

rumah juga efektif dalam hal proses pengobatan.

Hasil penelitian Gomes, Boas, dan Foss (2012)

menyebutkan bahwa dukungan sosial yang

diberikan oleh keluarga klien DM secara langsung

berhubungan dengan kepatuhan pengobatan, klien

yang mendapatkan dukungan sosial baik memiliki

perilaku kontrol glikemi yang tinggi, sedangkan

klien yang mendapatkan dukungan sosial kurang

memiliki perilaku kontrol glikemi rendah.

Peran dan fungsi keluarga dalam teori sistem

salah satunya adalah sebagai pemberi perawatan

(caregiver) pada anggota keluarga yang sakit.

(Smith, Greenberg, & Seltzer, 2007). Lim dan

Zebrack (2004) menyatakan bahwa konsep

normalisasi pada keluarga yang memiliki anggota

keluarga dengan penyakit kronis dilakukan dengan

merubah gaya hidup yang mendukung proses

pengobatan. Kegiatan-kegiatan tersebut antara

lain melakukanpemeriksaan rutin, manajemen

perawatan diri, perubahan pola makan, aktivitas

fisik, dan memaksimalkan dukungan emosional

dilakukan untuk memberikan kenyamanan (Lim

& Zebrack, 2004). Studi yang dilakukan Knafl

dan Gilliss (2002) menyebutkan bahwa meskipun

konsep normalisasi keluarga merupakan proses

adaptif, namun beberapa keluarga mengalami

kesulitan dalam menjalani rutinitas yang stabil

berhubungan dengan proses pengobatan yang

lama, perubahan aktivitas fisik, serta perubahan

peran dan tanggung jawab. Tingkat kemandirian

anggota keluarga yang mengalami sakit kronis

juga mempengaruhi tantangan yang dihadapi

keluarga, keluarga dengan anak SHCN (Special

Health Care Needs) melaporkan bahwa mereka

tidak hanya mengalami stress emosional tapi

juga beban finansial (Denham & Looman, 2010).

Di Amerika Serikat, 40% keluarga melaporkan

mengalami beban finansial ketika merawat anak

mereka dengan SHCN (Looman, O’Conner-Von,

Ferski, & Hildenbrand, 2009).

Keperawatan keluarga merupakan tingkat pe-

layanan kesehatan masyarakat yang dipusatkan

pada keluarga sebagai unit kesatuan dengan

tujuan pelayanan dan perawatan sebagai upaya

pencegahan penyakit (Friedman, Bowden, &

Jones, 2010). Keluarga yang mendapatkan

dukungan dari lingkungan sosialnya mengalami

tingkat stres yang lebih rendah daripada yang

tidak mendapatkan dukungan sosial. Hal ini

menggambarkan bahwa pentingnya peran perawat

sebagai konselor untuk mengarahkan keluarga

dalam menggunakan strategi koping yang positif

(Allender, Rector, & Warner, 2010). Oleh karena

itu, tujuan penelitian ini adalah untuk menggali

pengalaman keluarga dalam merawat klien dengan

penyakit kronis di rumah.

Metode

Metode penelitian yang digunakan adalah kuali-

tatif dengan pendekatan fenomenologi deskriptif.

Partisipan yang terlibat merupakan keluarga yang

merawat anggota keluarga dengan sakit kronis.

Pemilihan partisipan dilakukan dengan meng-

gunakan teknik purposive sampling dengan

kriteria inklusi: (1) keluarga adalah keluarga

inti (anggota keluarga terdiri atas orang tua

dan anak yang tinggal dalam satu rumah) yang

merawat anggota keluarga yang mengalami

penyakit kronis minimal dalam jangka tiga bulan.

Hal ini didasarkan pada penelitian Vedhara,

Shanks, Anderson, dan Lightman (2000) yang

menyatakan stress pada caregiver terjadi pada

rentang waktu bulan ke-3 dan ke-6 dan tinggal

serumah dengan penderita sakit kronis, (2)

bersedia ikut sebagai partisipan, (3) mampu

menceritakan pengalamannya dengan baik, (4)

berusia di atas delapan belas tahun, sesuai dengan

data dari The National Alliance for Caregiving

and AARP (2009) yang menyatakan bahwa

rentang usia rata-rata caregiver adalah 1849

tahun. Saturasi data pada penelitian ini dicapai

pada partisipan ke-8.

Kartika, et al., Pengalaman Keluarga dalam Merawat Penderita Sakit Kronis

53

Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara

mendalam, menggunakan voice recorder dan

catatan lapangan. Teknik wawancara dilakukan

dengan semi structured interview dan joint-

interview yang melibatkan dua orang dalam satu

unit keluarga. Metode analisis data yang di-

gunakan adalah metode Colaizzi yang melibatkan

partisipan penelitian untuk memvalidasi hasil

penelitian (Burns & Grove, 2009).

Salah satu komponen inti yang menentukan

kualitas output dari keseluruhan proses penelitian

kualitatif adalah keabsahan data (trustworthiness).

Dalam Speziale (2003) dinyatakan bahwa untuk

dapat menjamin keabsahan data maka peneliti

menerapkan empat kriteria keabsahan data, yaitu

credibility, dependability, confirmability, dan

transferability. Hal tersebut dilakukan dengan

strategi pengecekan kembali oleh partisipan. Data

berupa analisis tematik yang telah dihimpun oleh

peneliti ditunjukkan kepada partisipan untuk

dibaca ulang dan dilakukan verifikasi terhadap

keakuratan data. Prinsip transferability dilakukan

dengan membandingkan hasil penelitian yang

telah dilakukan dengan keluarga yang merawat

penderita penyakit kronis di Kelurahan CP yang

belum menjadi partisipan karena tidak men-

dapatkan kesempatan untuk ikut serta dalam

penelitian setelah tercapai saturasi data. Prinsip

confirmability dilakukan dengan melibatkan

auditor eksternal, yaitu pembimbing dan penguji

mulai dari proses pembuatan proposal, pengum-

pulan data, analisa dan interpretasi data serta

rekomendasi penelitian (Pollit & Beck, 2010).

Hasil

Tema yang ditemukan mencakup respons psi-

kologis keluarga, upaya untuk mempertahankan

kesehatan, dan harapan keluarga dengan jenis

dan kualitas layanan baik.

Respons Psikologis Keluarga. Tema ini dibentuk

dari subtema perasaan takut, bingung, sedih,

khawatir, dan menerima. Perasaan kaget, takut,

sedih, dan khawatir yang dialami oleh partisipan

merupakan respons awal ketika anggota keluarga

mulai menunjukkan gejala sakit. Perasaan tersebut

diwakili dalam pernyataan sebagai berikut.

“Yang pertama dulu…. tiba-tiba aja waktu itu

tidur..saya, kan, tidur di sebelahnya..tiba-tiba

kejang gitu ya…. Ya kaget ya… bingung,

langsung panggil adeknya” (Partisipan 8a).

“Yang namanya takut mah..kira-kira…yang

namanya kata orang ya penyakit itu agak

sedikit…agak sedikit gawat juga, takutnya ya

kayak gitu” (Partisipan 6a).

“Kalau B lagi kambuh, trus juga kalau

ngomongin B juga enggak kuat beneeer

(menangis dan mengelus dada)..ini hati was-

was aja kak, gitu ceritanya” (partisipan 3a).

Respons lain yang muncul adalah perasaan

menerima yang diwujudkan dalam pernyataan

biasa saja karena penyakit tersebut sudah ber-

langsung lama dan karena sakit merupakan

musibah dan cobaan dari Tuhan. Hal tersebut

diwakili dalam pernyataan berikut.

“Udah biasa, sih, sekarang karena udah

lama” (partisipan 7b).

“Enggak…merupakan biasa saja, tapi anggap

kita itu adalah musibah, cobaan Tuhan buat

apa…buat hidup kita itu di situ” (partisipan

1a).

Upaya Mempertahankan Kesehatan. Hasil

analisis tema menyatakan bahwa upaya memper-

tahankan kesehatan yang dilakukan keluarga

dalam mengatasi penyakit yang menimpa anggota

keluarga mereka dibentuk dari tiga subtema, yaitu

membawa ke fasilitas layanan kesehatan, melaku-

kan tindakan perawatan di rumah, serta melakukan

upaya pengobatan tradisional dan alternatif.

Semua partisipan menyatakan bahwa yang

pertama kali mereka lakukan ketika anggota

keluarga mereka menunjukkan gejala sakit adalah

membawa ke layanan kesehatan, yaitu tempat

praktik dokter, rumah sakit, atau puskesmas. Hal

ini diwakili oleh pernyataan berikut.

“...sering batuk, trus seseknya…tadinya ke

puskesmas, trus uwaknya ngajakin, tuh, waktu

kelas empat ke spesialis” (Partisipan 3a).

Jurnal Keperawatan Indonesia, Vol. 18, No. 1, Maret 2015, hal 51-58 54

Keluarga mengungkapkan bahwa mereka mela-

kukan tindakan perawatan untuk mengatasi

penyakit yang diderita oleh anggota keluarga

selama dirawat di rumah. Beberapa tindakan

perawatan yang dilakukan terangkum dalam

kategori merawat luka pada klien DM, mengatur

perilaku, dan pengaturan pola makan sebagai

upaya pencegahan penularan penyakit, dan

monitor kesehatan anggota keluarga yang sakit.

Salah satu partisipan menyatakan bahwa:

“Di rumah saya praktekkan itu...merawat koreng-

koreng yang bekas dikorek sama dokter

bedah…saran-sarannya, trus suntikannya”

(Partisipan 1a).

“Bahkan rokoknya Bapak sekarang saya

ambil… jadi udah berkurang sekarang”

(Partisipan, 8a).

“Dikasih pola makan….pantangan dikasih

tahu semua” (Partisipan, 6a).

Upaya pengobatan lainnya adalah melakukan

pengobatan alternatif. Hal tersebut diwakili

dalam pernyataan berikut.

“Sepupu saya gini…eh, coba Mbak sebelum di

CT-scan ke ini aja, ke alternative (…) ditotok

gitu lo, Mbak” (Partisipan 2a).

Pemanfaatan obat tradisional dinyatakan oleh

partisipan untuk menggambarkan jenis obat yang

digunakan. Jenis obat tradisional yang digunakan

adalah herbal atau tumbuh-tumbuhan yang

memiliki khasiat untuk menyembuhkan penyakit

tertentu. Salah satu partisipan mengungkapkan.

“Daun itu sirsak, itu yang kita pake rutin, akar

alang-alang tapi enggak lama” (Partisipan

8a).

Harapan Keluarga: Jenis dan Kualitas La-

yanan Baik. Tema jenis dan kualitas layanan

baik dibentuk dari subtema pernyataan mengenai

keinginan keluarga tentang jenis layanan yang

tepat untuk penderita sakit kronis dan kualitas

layanan oleh tenaga kesehatan.

Partisipan menyatakan kebutuhan terhadap adanya

informasi mengenai cara perawatan yang tepat

serta layanan home care yang mereka anggap

tepat karena membawa manfaat dan efektif.

Hal ini seperti yang dinyatakan oleh partisipan

berikut.

“Kalau saya, sih, lebih pasnya ada pelayanan

ke rumah” (Partisipan 7a).

Subtema kualitas layanan oleh tenaga kesehatan

dibentuk dari kategori harapan agar perawat dapat

bekerja dengan profesional. Pernyataan-pernyataan

tersebut diungkapkan oleh salah satu partisipan

sebagai berikut.

“Lebih bisa menjalani profesi sebagai perawat,

memahami klien ya, dengan baik,.., tidak

membeda-bedakan klien bagi dari kelas sosial

maupun apa ya...klien itu bisa termotivasi untuk

sembuh ya Mbak, dari pelayanan keperawatannya

gitu” (Partisipan 6b).

Pembahasan

Pengalaman merawat anggota keluarga dengan

penyakit kronis menghasilkan tema yang meng-

gambarkan dinamika keluarga setelah anggota

keluarga menderita sakit kronis. Hal tersebut

meliputi respons keluarga, upaya keluarga mem-

pertahankan kesehatan keluarga, dan layanan

kesehatan yang diharapkan.

Keluarga yang hidup dengan penderita sakit

kronis menghadapi tantangan berat dalam hidup

mereka berupa stress, kecemasan dan kemarahan

akibat rutinitas pengobatan yang harus mereka

lakukan (Denham & Looman, 2010). Stressor

tersebut memicu munculnya respon stres yang

dapat dijelaskan dengan respon kehilangan oleh

Kubler-Ross (1969) (Kozier, Erb, Berman, &

Snyder, 2004). Hasil penelitian menggambarkan

respons keluarga bergantung pada onset, lama,

dan prognosis penyakit serta tahapan stres yang

dialami oleh keluarga. Respons pertama yang

diungkapkan keluarga adalah adalah penyangkalan

atau shock dan tidak percaya yang ditunjukkan

dengan perasaan bersalah dan sedih, tidak percaya,

dan penolakan terhadap kehilangan. Reaksi

Kartika, et al., Pengalaman Keluarga dalam Merawat Penderita Sakit Kronis

55

pertama tersebut dipengaruhi oleh persepsi

keluarga terhadap keparahan penyakit yang

diderita klien. Respons tersebut kemudian diikuti

dengan perasaan marah, tawar-menawar, kese-

dihan yang mendalam serta diakhiri dengan

penerimaan.

Hasil penelitian ini menggambarkan bahwa tahap

pertama dari berduka yang dialami keluarga adalah

munculnya respons kaget dan takut. Mayoritas

partisipan yang menyatakan kekagetannya di-

sebabkan oleh perubahan fisik atau gejala yang

dialami oleh anggota keluarga mereka yang

muncul tiba-tiba dan tidak ada keluhan sebelum-

nya. Selain kaget, keluarga juga merasakan takut

karena mengetahui bahwa penyakit tersebut

dapat berakibat buruk terhadap keselamatan

istrinya. Seperti hasil penelitian pada klien Ca.

Mammae yang menyatakan bahwa respon emosi-

onal yang ditampilkan oleh pasangan ketika masa

diagnosis, pengobatan dan perjalanan penyakit

meliputi perasaan kaget, tidak percaya, penyang-

kalan, marah, rasa bersalah, depresi, kecemasan,

ketidakyakinan akan prognosis penyakit, ketakutan,

kehilangan kontrol dan persepsi lain yang menyertai

(Hilton, Crawford, & Tarko, 2000).

Respons psikologis lain adalah perasaan menerima

sebagai hasil dari respons adaptasi. Perasaan

menerima ini diungkapkan keluarga saat penyakit

tersebut sudah berlangsung lama dan mereka

sudah terbiasa dengan kondisi klien. Selain itu

keluarga juga merasa bahwa sakit yang dialami

anggota keluarga mereka merupakan cobaan

dari Tuhan yang harus mereka jalani. Penerimaan

yang muncul merupakan respons dari respon

reorganisasi perasaan berduka terhadap individu

yang telah menerima kenyataan yang terjadi

serta mendapatkan gambaran tentang penyebab

masalah dan secara bertahap menyesuaikan diri

dengan keadaan yang dialami. Keluarga tersebut

menyatakan bahwa ketika menghadapi stressor

pertama kali, mereka berusaha untuk menyelesai-

kan masalah sakit dengan melakukan tindakan

pengobatan. Namun, ketika stressor sudah

berlangsung lama dan keluarga mereka tidak

kunjung sembuh, keluarga kemudian percaya

bahwa sakit yang dialami keluarga merupakan

bentuk cobaan dari Tuhan untuk keluarga mereka.

Hal ini menggambarkan bahwa dalam tahap

penerimaan juga terdapat respons kepasrahan

terhadap takdir yang merupakan bagian dari

mekanisme turning to religion.

Persepsi dan respons emosional yang menyertai

keluarga bergantung pada koping yang dimiliki

keluarga. Tahap pertama dimulai dengan meng-

gunakan strategi problem-focused. Hal ini

dilakukan dengan mencari dan belajar lebih

banyak mengenai penyakit dan proses pengobatan

yang harus dilakukan. Strategi selanjutnya adalah

emotional-focused yang ditunjukkan dengan

penerimaan dan kepasrahan, digunakan ketika

mereka merasa bahwa sudah tidak ada lagi

yang bisa mereka lakukan untuk mengubah

situasi yang membahayakan atau mengancam

(Lovelace, 2012; Demirtepe, 2008). Salah satunya

adalah dengan turning to religion. yaitu situasi

ketika individu merasa putus asa dengan keadaan

yang tidak segera membaik (Demirtepe, 2008).

Upaya pengobatan dipengaruhi oleh informasi

yang didapatkan mengenai penyakit dan per-

sepsi masyarakat mengenai kemanfaatan dan

sumber daya yang dimiliki. Mayoritas partisipan

menyatakan bahwa mereka meminta bantuan

tenaga kesehatan ketika pertama kali keluarganya

mengalami sakit. Upaya yang kedua adalah

menggunakan pengobatan alternatif dan obat-

obat tradisional untuk menyembuhkan penyakit.

Alasan yang diungkapkan keluarga antara lain

adalah biaya pengobatan di tenaga kesehatan

yang mahal, sedangkan di pengobatan alternatif

dan penggunaan obat tradisional menghabiskan

biaya lebih murah dan lebih terasa efeknya.

Penderita sakit kronis pada umumnya meng-

gunakan fasilitas layanan kesehatan tradisional

dan alternatif karena adanya pengalaman positif

yang didapatkan dari pengobatan alternatif

tersebut (Chen, Huang, Lin, Smith, & Liu,

2009). Kemudahan akses dan kenyamanan yang

dirasakan juga menjadi alasan bagi masyarakat

memilih penyembuh tradisional, serta rekomendasi

dari orang lain tentang keberhasilan dan manfaat

yang diperoleh (Chao, Wade, & Kronerberg,

2006; Chen, et al., 2009). Prinsip ekonomi

juga memengaruhi pilihan pemanfaatan akses

Jurnal Keperawatan Indonesia, Vol. 18, No. 1, Maret 2015, hal 51-58 56

layanan kesehatan, meskipun pengobatan medis

memberikan kemajuan terhadap kondisi kesehatan

klien, keluarga akan tetap memilih pengobatan

alternatif karena biaya yang lebih murah dan

terjangkau. Faktor ketakutan penderita terhadap

proses pengobatan juga mendorong penderita

dan keluarga memilih pengobatan alternatif

dengan harapan dapat memberikan kesembuhan

tanpa harus menjalani operasi.

Upaya lain yang dilakukan keluarga adalah upaya

perawatan di rumah. Penelitian Knafl dan Gilliss

(2002) menggambarkan proses adaptasi keluarga

yang hidup dengan penderita penyakit kronis

antara lain adalah konsep normalisasi dengan

meletakkan rutinitas perawatan penyakit dalam

aktivitas keseharian mereka termasuk perubahan

gaya hidup sesuai dengan rencana pengobatan

yang dijalani penderita. Proses adaptasi yang

ditunjukkan keluarga termasuk juga melakukan

kegiatan yang mereka percaya secara rasional

dapat mengurangi dampak penyakit atau bahkan

menyembuhkan. Alasan rasional ini bisa saja

muncul akibat pengalaman terdahulu bahwa

kegiatan tersebut berhasil mengatasi masalah

seperti yang disebutkan partisipan yang menya-

takan bahwa dengan memberikan air hangat

maka dapat mencegah batuk dan sesak napas

yang diderita anak sehingga dapat disimpulkan

bahwa kegiatan perawatan yang dilakukan ke-

luarga dalam penelitian ini menggambarkan

bahwa mereka melakukan upaya mempertahankan

kesehatan berdasarkan informasi yang pernah

diterima maupun alasan yang dipercaya keluarga

dapat menyembuhkan penyakit.

Perawat dapat menerapkan strategi “Empat R”

untuk memahami konsep normalisasi tersebut,

yaitu dengan remediation, redefinition, realign-

ment dan re-education. Remediation adalah

tahapan ketika keluarga menempatkan rutinitas

pengobatan dalam kehidupan keluarga sehari-

hari. Redefinition merupakan strategi terhadap

seluruh anggota keluarga terlibat secara emosional

dalam memahami perubahan rutinitas yang telah

ditetapkan. Hal ini membuat keluarga menye-

suaikan diri dengan kerelaan, bukan paksaan.

Realignment terjadi bila dalam prosesnya, terjadi

ketidaksetujuan dalam anggota keluarga mengenai

rutinitas medis yang dilakukan. Proses selanjut-

nya adalah re-education, indikasinya adalah

terdapat dis-organisasi atau ketidak teraturan

pada keluarga dalam proses menjalani rutinitas

pengobatan (Fiese & Everhart, 2006).

Karakteristik penyakit kronis yang berlangsung

dalam jangka waktu lama membawa dampak

terhadap proses pengobatan yang dilaksanakan

berkali-kali. Letak fasilitas layanan kesehatan

yang memadai untuk mengobati penyakit kronis

kadang menyulitkan keluarga untuk mengakses

fasilitas layanan kesehatan. Hambatan transportasi

karena tidak memiliki kendaraan sendiri memun-

culkan masalah membengkaknya biaya untuk

transportasi. Kesulitan tersebut membuat keluarga

menilai bahwa kunjungan rumah oleh tenaga

kesehatan merupakan bentuk layanan yang

tepat diberikan kepada klien dengan penyakit

kronis. Hal ini digambarkan dalam pernyataan

keluarga bahwa layanan home visit yang dilaku-

kan tenaga kesehatan sangat membantu dan

dinilai tepat bagi penderita kronis dan keluarga.

Penanganan terbaik untuk mengatasi penyakit

kronis adalah dengan mencegah terjadinya penya-

kit kronis melalui manajemen dan modifikasi

perilaku kesehatan (Glasgow, Orleans, & Wagner,

2001). Proses modifikasi perilaku kesehatan

tersebut dapat dilakukan dengan optimal jika

tenaga kesehatan dapat meningkatkan peran serta

keluarga untuk mendukung upaya peningkatan

kesehatan penderita sakit kronis. Eksplorasi penga-

laman keluarga dalam membangun koping dan

mekanisme adaptasi penting bagi perawat agar

mampu memberikan edukasi yang sesuai dengan

kebutuhan dan kondisi klien.

Kesimpulan

Respons keluarga ketika salah satu anggota

keluarga menderita sakit kronis terdiri atas

respons psikologis dan upaya mempertahankan

kesehatan. Respons psikologis yang ditampilkan

bergantung pada onset penyakit, lama, dan tingkat

keparahan penyakit. Di sisi lain, upaya pengobatan

yang dilakukan oleh keluarga dipengaruhi oleh

informasi mengenai penyakit dan persepsi masya-

rakat mengenai kemafaatan dan sumber daya

Kartika, et al., Pengalaman Keluarga dalam Merawat Penderita Sakit Kronis

57

yang dimiliki. Layanan kesehatan tidak lagi

menjadi pilihan utama karena kendala biaya

kesehatan yang tinggi dan masyarakat lebih

percaya terhadap manfaat yang diperoleh dari

obat tradisional dan penyembuhan komplementer.

Pengalaman keluarga juga menjadi salah satu

faktor penting bagi keluarga dalam menerapkan

strategi perawatan yang efektif terhadap anggota

keluarga yang mengalami sakit kronis.

Perawat dapat mengembangkan strategi yang

tepat dalam bentuk kunjungan rumah bagi ke-

luarga dengan penderita sakit kronis. Manajemen

asuhan keperawatan kepada keluarga dilakukan

dengan mengkaji respons adaptasi keluarga.

Perawat perlu melakukan pengkajian yang men-

dalam mengenai persepsi keluarga mengenai

penyakit kronis terutama pengetahuan mengenai

proses perjalanan penyakit. Rencana intervensi

berupa psikoedukasi mengenai koping dan pen-

didikan kesehatan mengenai cara perawatan

diberikan pada fase awal keluarga mengetahui

sakit yang diderita anggota keluarganya. Pendi-

dikan kesehatan mengenai jenis terapi tradisional

yang manfaatnya telah terbukti secara ilmiah perlu

diberikan untuk mendukung upaya perawatan

yang dilakukan keluarga di rumah (MR, JS, PN).

Referensi

Allender, J.A., Rector, C., & Warner, K.D. (2010).

Community health nursing: Promoting and

protecting the public’s health (7th Ed.).

Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.

The National Alliance for Caregiving and

AARP. (2009). Selected caregiver statistic.

Family Caregiver Alliance. Diperoleh dari

http://www.caregiver.org/caregiver/jsp/con

tent_node.jsp?nodeid=439

Burns, N., & Grove, S.K. (2009). The Practice of

nursing research: Appraisal, synthesis,

and generation of evidence. St. Louis

Missouri: Saunders Elsevier.

Chao, M.T., Wade, C., & Kronerberg. (2006).

Womens reason for complementary and

alternative medicine use: Rasial ethnc

difference. Journal of Altern Complemen

Medicine. 12 (8), 719–720.

Chen, LL., Huang, LC.,Lin, SC., Smith, M., Liu,

SJ., (2009). Use of folk remedies among

families of children hospitalize in Taiwan.

Journal of Clinical Nursing. 18, 2162–2179.

Demirtepe, D. (2008). Testing the caregiver stress

model with the caregivers of children with

leukemia (Thesis, Middle East Technical

University). Middle East Technical

University.

Denham, S.A., & Looman, W. (2010). Families

With Chronic Illness, dalam Kaakinen, et

al, Family Health Care Nursing, Theory,

Practice and Research (4th Ed.). F.A

Davis Company: Philadelphia. Hal 235–

272.

Dinas Kesehatan Depok (2007). Profil dinas

kesehatan depok Tahun 2007. Depok:

Dinkes Depok.

Fiese, B.H., & Everhart, R.S. (2006). Medical

adherence and childhood chronic illness:

Family daily management skills and

emotional climate as emerging

contributors. Current Opinion in

Pediatrics, 18 (5), 551–557.

Friedman, Bowden, & Jones. (2010). Family

nursing: Research, theory, and parctice..

New Jersey: Prentice Hall.

Gomes, C., Boas, V., & Foss, M. (2012).

Relationship among social support, treatment

adherence and metabolic control of DM

patient. Rev-Latno Am, 20 (1), 52–58.

Glasgow, R.E., Orleans, C.T., & Wagner, E.H.

(2001). Does the Chronic Care Model

serve also as a template for improving

prevention? The Milbank Quarterly, 79(4),

579–612.

Hilton, B.A., Crawford, J.A., & Tarko, M.A.

(2000). Men’s Perspectives on Individual

and Family Coping with Their Wive’s

Breast Cancer and Chemotherapy. West

Journal Nurse Res, 22, 438.

Knafl, K.A., & Gilliss, C. (2002). Families and

chronicc illness: A synthesis of current

research. Journal of Family Nursing, 8 (3),

178–198.

Jurnal Keperawatan Indonesia, Vol. 18, No. 1, Maret 2015, hal 51-58 58

Kozier, B.J., Erb, G., Berman, A., & Snyder, S.

(2004). Fundamental of nursing: Concept,

process, and practice (7th Ed.). Upper

Saddle River: Perason Education Inc.

Lim, J., & Zebrack, B. (2004). Caring family

members with chronic physical illness: A

critical review of caregiver literature.

Health and Quality of Lifes Outcomes, 2,

50. doi: 10.1186/1477-7525-2-50.

Looman, W. S., O’Conner-Von, S. K., Ferski, G.

J., & Hildenbrand, D.A. (2009). Financial

and employment problems in families of

children with special health care needs:

Implications for research and practice.

Journal of Pediatric Health Care, 23 (2),

117–125.

Lovelace, L.M. (2012). The Effect of coping

strategies on burden among male

alzheimers caregivers (Thesis, Lousiana

State University). B.S. Lousiana State

University.

Moalosi, G.F., Phatswane, J., Moeti, T., Binkin, N.,

& Kenyon. T. (2003). Cost-effectiveness of

home based care versus hospital care for

chronically ill tuberculoasis Patients,

Francistown, Botswana. International

Journal Tuberculosis Lung Disease, 7, 80–

85.

Pollit, D.F., & Beck, C.T. (2010). Essential of

nursing research: appraising evidence for

nursing practice. Philadelphia: Lippincot

Williams & Wilkins.

Smith, M., Greenberg, J., & Seltzer, M. (2007).

Siblings of adults with schizophrenia:

Expectations about future care giving roles.

American Journal of Orthopsychiatry. 77,

29–37.

Speziale, H.J.S. (2003). Designing data generation

and management strategies. In Speziale,

H.J.S., & Carpenter, D.R. (Ed.) Qualitative

research in nursing: Advancing the

humanistic imperative. Philadelphia:

Lippincott Williams & Wilkins.

Vedhara, K., Shanks, N., Anderson, S., &

Lightman, S. (2000). The role of stressors

and psychosocial variables in the stress

process: A study of chronic caregiver

stress. Psychosomatic Medicine, 62, 374–

385.

WHO. (2002). Integrated chronic disease

prevention control. Diperoleh dari

http://www.who.int/chp/about/integrated_

cd/en/index.html.

Jurnal Keperawatan Indonesia, Volume 18 No.1, Maret 2015, hal 59-66

pISSN 1410-4490, eISSN 2354-9203

TERAPI SPESIALIS KEPERAWATAN JIWA

TERHADAP KLIEN DAN KELUARGA

Winda Ratna Wulan

*

Rumah Sakit Jiwa Provinsi Jawa Barat, Jl. Kolonel Masturi, Bandung 40511, Indonesia

*E-mail: [email protected]

Abstrak

Sejak Juli 2013, Rumah Sakit Provinsi Jawa Barat membuka Poli Konseling Psikiatri di Grha Atma yang melibatkan

perawat spesialis keperawatan jiwa. Penelitian yang dilakukan adalah dengan menggunakan penelitian survei dengan

metode kuantitatif dan menggunakan rancangan cross sectional. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi

karakteristik klien dan keluarga yang berkonsultasi di Poli Konseling, terapi spesialis keperawatan jiwa yang banyak

digunakan dan keberhasilan terapi spesialis keperawatan jiwa terhadap klien dan keluarga. Sebagian besar klien dan

keluarga yang melakukan konseling dengan datang langsung berdasarkan rujukan dari dokter spesialis kesehatan jiwa

kepada klien rawat jalan di Grha Atma. Pada penelitian ini didapatkan bahwa kelompok terbesar adalah kelompok jenis

kelamin perempuan usia 20—40 tahun, berpendidikan SMU, jumlah yang bekerja hampir sama dengan yang tidak bekerja,

didiagnosis skizofrenia, sebagian besar klien mengalami harga diri rendah, sedangkan koping keluarga inefektif dialami

oleh seluruh keluarga yang mendampingi klien saat konseling. Faktor predisposisi sebagian besar faktor herediter,

kegagalan, dan faktor ekonomi, sedangkan faktor presipitasi sebagian besar diakibatkan oleh putus obat antipsikotik,

kegagalan, dan faktor ekonomi. Terapi spesialis keperawatan jiwa individu yang paling banyak dilakukan adalah Cognitive

Therapy, sedangkan terapi spesialis keperawatan jiwa yang paling banyak dilakukan adalah terapi Family Psycho Education.

Jumlah klien yang tuntas melakukan terapi hampir sama dengan yang tidak tuntas melakukan terapi. Penelitian ini

diharapkan dapat memberikan gambaran karakteristik klien dan terapi spesialis yang dilakukan serta untuk membuat

suatu bentuk pemberian terapi spesialis keperawatan jiwa yang optimal terhadap kendala-kendala yang ada. Kata kunci: poliklinik konseling, karakteristik klien dan keluarga, terapi spesialis keperawatan jiwa

Abstract

Therapy Specialist Nursing Psychiatric Specialist Therapy. Mental Hospital of West Java province since July 2013

opening poly psychiatric counseling at Grha Atma involving nurse specialist psychiatric nursing. Research conducted

using survey research with a quantitative method using cross sectional. The purpose of this study was to identify the

characteristics of the client and family are consulted in poly counseling, psychiatric nursing specialist therapy that is

widely used and successful psychiatric nursing specialist therapy to clients and families. Most of the client and family

counseling based on those referrals come from mental health specialists in outpatient clients at Grha Atma. In this

study it was found that the largest group is the age group 20—40 years, female gender, the majority of high school

educated, almost the same amount of work with that are not work, the majority of diagnosed schizophrenia, most clients

experience low self-esteem while ineffective family coping experienced by the whole family who accompany clients

when counseling. Predisposing factors largely hereditary factors, failure and economic factors, while most of the

precipitation factor due to antipsychotic drug withdrawal, failures and economic factors. Therapeutic nursing specialist

individual soul is the most widely performed while therapy Cognitive Therapy specialist psychiatric nursing is the most

widely performed therapy Family Psycho Education. Number of clients who completed therapy similar to incomplete

therapy. This study is expected to provide an overview of client characteristics and treatment specialists who performed

as well as the constraints that exist to make a form of therapy specialist psychiatric nursing optimal.

Keywords: polyclinic counseling, client and family characteristic, psychiatric nursing specialist ther

Pendahuluan

Kesehatan adalah keadaan sehat, baik secara fisik,

mental, spiritual maupun sosial yang memung-

kinkan setiap orang untuk hidup produktif secara

sosial dan ekonomi (UU Kesehatan No.36 tahun

2009:4). Menurut Johnson (1997, dalam Videbeck,

2008), kesehatan jiwa adalah suatu kondisi sehat

Jurnal Keperawatan Indonesia, Vol. 18, No. 1, Maret 2015, hal 59-66

60

emosional, psikologis, dan sosial yang dilihat

dari hubungan interpersonal yang memuaskan,

perilaku dan koping yang efektif, konsep diri

yang positif dan kestabilan emosional. Jika se-

seorang tidak memiliki kemampuan-kemampuan

tersebut, seseorang akan mengalami gangguan

jiwa.

Maramis (2006) mengidentifikasi bahwa sekitar

12—16 persen atau 26 juta dari total populasi

Indonesia mengalami gejala-gejala gangguan

jiwa. Fakta ini didukung data berdasarkan hasil

riset kesehatan dasar tahun 2007 yang menyebut-

kan bahwa gangguan mental berat mencapai

0,46%. Wilayah paling banyak dengan kasus

gangguan mental berat adalah Daerah Khusus

Ibukota (DKI) Jakarta sebesar 2,03%, Nanggroe

Aceh Darusalam sebesar 1,85%, dan Sumatera

Barat sebesar 1,67%. Angka terhadap ketiga

wilayah tersebut menunjukkan prevalensi gang-

guan jiwa jauh lebih tinggi daripada angka

gangguan jiwa di tingkat nasional.

Fakta tentang masalah kesehatan mental ini perlu

mendapatkan penanganan yang berkesinambungan

dari berbagai elemen di masyarakat. Strategi

yang dapat dilakukan meliputi strategi nasional

dan strategi keilmuan. Strategi nasional dapat

dilihat dari adanya berbagai program kesehatan

terkait dengan masalah kesehatan jiwa. Berbagai

bentuk strategi yang dapat dilakukan meliputi

kegiatan pencegahan primer, kuratif, dan reha-

bilitasi. Selain itu, terdapat bentuk pelayanan

yang diberikan terdiri atas pendekatan hospital

base dan community base. Bentuk pelayanan

paripurna tersebut melibatkan setiap unsur

fasilitas kesehatan yang ada di masyarakat

Kegiatan pencegahan dan rehabilitasi dapat

dikembangkan di masyarakat dalam bentuk

community mental health nursing. Akan tetapi,

kegiatan kuratif dapat dilakukan di rumah sakit

jiwa dan unit pelayanan umum/rumah sakit

umum dan puskesmas bagi kasus gangguan

mental berat dan gangguan mental emosional.

Berdasarkan fenomena tersebut, Rumah Sakit

Jiwa Provinsi Jawa Barat sebagai salah satu

rumah sakit khusus yang menyediakan layanan

kesehatan jiwa, mengubah paradigma tidak

hanya menyediakan pelayanan kesehatan pada

masyarakat yang mengalami gangguan jiwa

berat, tetapi juga pada upaya promotif dan

preventif juga rehabilitatif. Upaya promotif

dilaksanakan dengan mengadakan pendidikan

kesehatan ke sekolah-sekolah yang ada di Kota

Bandung dan sekitarnya. Upaya prefeventif di-

lakukan dengan melakukan screening masalah

gangguan jiwa di sekolah-sekolah.

Penyediaan Poliklinik Konseling juga dilaksana-

kan sebagai upaya preventif terutama terhadap

diagnosis psikososial dan upaya rehabilitatif.

Upaya tersebut ditujukan kepada penderita

gangguan jiwa dan keluarganya yang berobat

jalan di salah satu Rumah Sakit Jiwa Provinsi

Jawa Barat di Grha Atma Bandung. Poliklinik

Konseling tersebut dibuka mulai Juli 2013,

setiap Selasa dan Rabu mulai pukul 08.00

sampai dengan 14.00 WIB. Sasaran Poliklinik

Konseling adalah pasien dan keluarga yang

dirujuk oleh dokter spesialis kesehatan jiwa di

Grha Atma dan pasien umum yang memerlukan

pelayanan konseling keperawatan jiwa. Pene-

rapan terapi spesialis keperawatan jiwa, selain

bermanfaat untuk pengguna jasa keperawatan

jiwa juga bermanfaat untuk meningkatkan profesi

keperawatan, dari novice menuju perawat spesialis

keperawatan jiwa.

Metode

Penelitian yang dilakukan adalah penelitian survei

yang menggunakan rancangan potong lintang.

Survei dilakukan kepada dua puluh satu orang

pasien dan sembilan keluarga yang melakukan

konsultasi di Poliklinik Konseling Grha Atma

Bandung. Penelitian ini dilakukan selama dua

belas 1 minggu sejak tanggal 3 Juli sampai dengan

28 Agustus 2013.

Hasil

Karakteristik pasien dikelompokkan berdasarkan

jenis kelamin, usia, pendidikan, pekerjaan, dan

status pernikahan. Tabel 1 mengambarkan karak-

teristik pasien. Berdasarkan Tabel 1 diketahui

Wulan, Terapi Spesialis Keperawatan Jiwa terhadap Klien dan Keluarga 61

bahwa pasien yang berkonsultasi ke Poliklinik

Konseling lebih banyak perempuan (62%), pasien

yang berkonsultasi ke Poliklinik Konseling lebih

banyak yang berusia 20—40 tahun (52%) hampir

sebanding yang berusia 40—65 tahun (43%).

Status pekerjaan antara yang tidak bekerja (52%)

dan berlatar belakang pendidikan terbanyak

adalah menengah (52%).

Karakteristik keluarga dikelompokkan berdasarkan

jenis kelamin, usia, pendidikan, pekerjaan, status

pernikahan, dan hubungan keluarga ditampilkan

pada Tabel 2. Berdasarkan Tabel 2 diketahui

bahwa keluarga pasien lebih banyak yang

berjenis kelamin perempuan (83%), Sebagian

besar berjenis kelamin perempuan, yaitu sebanyak

lima keluarga (62,5%) berjenis kelamin perempuan.

Sebagian besar keluarga berusia 41—60 tahun

(62%) dan sebagian besar keluarga yang men-

dampingi pasien adalah orang tua pasien (54%).

Keluarga yang mendampingi pasien sebagian

besar berpendidikan tinggi (54%). Status perni-

kahan keluarga sebagian besar menikah (69%).

Sebagian besar adalah keluarga bekerja (54%).

Tabel 1. Distribusi Karakteristik Pasien di Ruang

Konseling Grha Atma

Variabel Jumlah Persentase

Jenis Kelamin

a. Laki-laki 8 38%

b. Perempuan 13 62%

Usia

a.<20 tahun 1 5%

b. 20—40 tahun 11 52%

c. 40—65 tahun 9 43%

Pendidikan

a. Rendah 4 19%

b. Menengah 11 52%

c. Tinggi 6 24%

Status Pekerjaan

a. Bekerja 10 48%

b. Tidak Bekerja 11 52%

Status Pernikahan

a. Menikah 7 33%

b. TidakMenikah 10 48%

c. Janda/Duda 4 19%

Tabel 2. Distribusi Karakteristik Keluarga di Ruang

Konseling Grha Atma

Variabel Jumlah Persentase

Jenis Kelamin

a. Laki-laki 2 17%

b. Perempuan 10 83%

Usia

a.< 20 tahun 0 0%

b.20-40 tahun 5 38%

c.41-65 tahun 8 62%

Pendidikan

a.Rendah 3 23%

b.Menengah 3 23%

c.Tinggi 7 54%

Status Pekerjaan

a.Bekerja 7 54%

b.Tidak Bekerja 6 46%

Status Pernikahan

a.Menikah 9 69%

b.Belum Menikah 3 23%

c.Janda/Duda 1 8%

Hubungan Keluarga

a.Pasangan Hidup 2 15%

b.Saudara 4 31%

c.Orang Tua 7 54%

Faktor predisposisi pasien yang datang ke

Poliklinik Konseling Grha Atma ditampilkan

pada Tabel 3. Faktor predisposisi biologis yang

paling banyak adalah faktor genetik (74%). Pada

faktor psikologis kegagalan dan perpisahan

merupakan faktor predisposisi yang paling banyak

terjadi (24%). Faktor sosial yang paling banyak

menyebabkan gangguan jiwa antara lain adalah

faktor ekonomi dan pendidikan rendah (24%).

Tabel 4 menggambarkan distribusi faktor presi-

pitasi pasien yang datang ke Poliklinik Konseling

Grha Atma. Berdasarkan Tabel 4 diketahui

bahwa faktor presipitasi terbanyak pada pasien

adalahkegagalan (27%), putus obat (23%), dan

kesulitan dalam bekerja (23%). Menurut Stuart

(2009), faktor presipitasi merupakan stimulus

yang terjadi kepada individu, stimulus yang dapat

memproduksi tekanan dan stres, dapat berupa

faktor biologis, psikologis, dan sosiokultural.

Jurnal Keperawatan Indonesia, Vol. 18, No. 1, Maret 2015, hal 59-66

62

Tabel 3. Distribusi Faktor Predisposisi Pasien di Ruang

Konseling Grha Atma

Variabel Jumlah Persentase

Faktor Biologis

a. Genetik 6 74%

b. NAPZA 1 13%

c. Gangguan Nutrisi 1 13%

Psikologis

a. Kepribadian

tertutup

5 20%

b. Kegagalan 6 24%

c. Perpisahan 6 24%

d. Pola Asuh 1 4%

e. Penilaian

Negatif

1 4%

f. Bukan Anak

Diharapkan

1 4%

g. Kekerasan

Dalam Rumah

Tangga

(KDRT)

2 8%

h. Penolakan 1 4%

i. Ideal diri tinggi 2 8%

Sosial

a. Pendidikan

Rendah

4 27%

b. Ekonomi

Rendah

4 27%

c. Labeling 2 13%

d. Stress di

Pekerjaan

2 13%

e. Kegagalan

Peran Gender

2 13%

f. Putus sekolah 1 7%

Tabel 4. Distribusi Faktor Presipitasi Pasien di Ruang

Konseling Grha Atma

Variabel Jumlah Persentase

a. Putus obat 5 23%

b. Kegagalan 6 27%

c. Konflik 1 4%

d. Malu 1 4%

e. Masalah Pekerjaan 5 23%

f. Sulit Ekonomi 4 18%

Tabel 5 memaparkan distribusi diagnosis medis

dan diagnosis keperawatan. Berdasarkan Tabel

5, diagnosis medis yang paling banyak adalah

skizofrenia (50%). Pada Tabel 6 menjelaskan

distribusi diagnosis keperawatan keluarga. Ber-

dasarkan Tabel 6 diketahui bahwa setelah

dianalisis diketahui bahwa seluruh keluarga

yang mendampingi pasien saat konseling di

Grha Atma mengalami koping keluarga inefektif.

Pada Tabel 7 adalah terapi spesialis kepera-

watan jiwa yang yang dilakukan pada pasien.

Berdasarkan Tabel 7 diketahui bahwa terapi

spesialis yang paling banyak dilakukan terhadap

individu adalah terapi kognitif (32%). Selain

itu, seluruh keluarga pasien juga mendapatkan

terapi psikoedukasi keluarga.

Tabel 5. Distribusi Diagnosis Diagnosis Medis

dan Diagnosis Keperawatan Pasien di

Ruang Konseling Grha Atma

Variabel Jumlah Persentase

Diagnosis Medis

a. Psikotik Akut 4 18%

b. Depresi 3 14%

c. Skizofrenia 10 50%

d. Gangguan Afektif 1 4 %

e. Gangguan Cemas 3 14%

Diagnosis Keperawatan

Individu

a. Isolasi Sosial 3 14%

b. Perilaku Kekerasan 3 14%

c. Harga Diri Rendah 6 29%

d. Koping Individu

Inefektif

4 19%

e. Regimen Terapeutik

Inefektif

2 9%

f. Waham 1 5%

g. Ketidakberdayaan 1 5%

h. Ansietas 1 5%

Tabel 6. Distribusi Diagnosis Keperawatan Keluarga

di Ruang Konseling Grha Atma

Variabel Jumlah Persentase

Diagnosis Keperawatan Keluarga

a. Koping Keluarga Inefektif 13 100%

Wulan, Terapi Spesialis Keperawatan Jiwa terhadap Klien dan Keluarga 63

Tabel 8 menampilkan kesinambungan terapi

spesialis keperawatan jiwa terhadap individu.

Berdasarkan Tabel 8 diketahui terapi spesialis

keperawatan jiwa yang tuntas dilakukan hampir

sebanyak yang tidak tuntas dilakukan (47%).

Beberapa terapi yang tidak tuntas disebabkan

oleh 43% pasien tidak melanjutkan sesi terapi

hingga selesai.

Tabel 9 menjelaskan kekontinuitasan terapi

spesialis keperawatan jiwa pada keluarga. Berda-

sarkan Tabel 9 diketahui bahwa terapi spesialis

keperawatan jiwa lebih banyak yang tidak tuntas

(62%). Berdasarkan Tabel 10 diketahui bahwa

Tabel 7. Distribusi Diagnosis Keperawatan Keluarga

di Ruang Konseling Grha Atma

Variabel Jumlah Persentase

Terapi Individu

a. Terapi Kognitif 9 32%

b. Terapi Keterampilan Sosial 7 25%

c. Terapi Penghentian Pikiran 3 11%

d. Asertif Terapi 6 21%

e. Logoterapi 3 11%

Terapi Keluarga

a. Terapi Psikoedukasi

Keluarga

13 100%

Tabel 8. Distribusi Keberlangsungan Pelaksanaan

Terapi Spesialis Individu di Ruang Konseling

Grha Atma

Variabel Jumlah Persentase

Terapi Individu

a.Tuntas 12 47%

b.Tidak Tuntas 9 43%

Tabel 9. Distribusi Keberlangsungan Pelaksanaan

Terapi Spesialis Keluarga di Ruang

Konseling Grha Atma

Variabel Jumlah Persentase

Terapi Keluarga

a.Tuntas 5 38%

b.Tidak Tuntas 8 62%

Tabel 10. Distribusi Kendala Pelaksanaan Terapi

Spesialis Individu dan Keluarga di

Ruang Konseling Grha Atma

Variabel Jumlah Persentase

Terapi Individu

a.Masalah Ekonomi 2 22%

b.Jarak tempat tinggal 1 11%

c.Waktu Tunggu 4 45%

d.Kesibukan 2 22%

Terapi Keluarga

a.Masalah Ekonomi 1 12,5%

b.Jarak tempat tinggal 1 12,5%

c.Waktu Tunggu 4 50%

d.Kesibukan 2 25%

distribusi kendala pelaksanaan terapi spesialis

individu dan keluarga di ruang konseling Grha

Atma yang paling banyak pada terapi individu

dan keluarga adalah waktu tunggu.

Pembahasan

Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa

usia pasien bervariasi. Stuart (2009) menyatakan

bahwa usia yang bervariasi berhubungan dengan

stresor kehidupan, sumber dukungan, dan ke-

mampuan koping. Status pernikahan pasien

yang terbanyak adalah tidak menikah (48%).

Menurut Stuart dan Laraia (2005), ketidakmam-

puan mencintai merupakan salah satu penyebab

gangguan jiwa. Berdasarkan pendapat ini dapat

dikatakan pasien merasa frustasi dengan kondisi-

nya yang sendiri dan merasa iri jika melihat

orang berpacaran dan menikah, pasien merasa

malu dan marah kepada diri sendiri, orang lain,

dan lingkungan.

Keluarga yang merawat pasien sebagian besar

adalah perempuan. Friedman (2010) menyatakan

bahwa peran penting perempuan di sebagian

besar keluarga, yaitu sebagai pemimpin kesehatan

dan pemberi asuhan. Menjadi caregiver bagi

penderita gangguan jiwa tentulah tidak mudah.

Menurut Mueser dan Gingerich (2006) diketahui

bahwa skizofrenia berdampak terhadap kehidupan

Jurnal Keperawatan Indonesia, Vol. 18, No. 1, Maret 2015, hal 59-66

64

dan hubungan relasional pada orang-orang yang

memiliki hubungan peran dengannya.

Dampak skizofrenia terhadap orang tua adalah

terganggunya rutinitas sehari-hari, mengabaikan

kebutuhan diri sendiri, perubahan hubungan

antara orang tua dengan anak yang merupakan

penderita skizofrenia, perubahan hubungan antara

orang tua dengan anak lainnya, dan orang tua

dengan pasangan hidupnya setelah anak menderita

skizofrenia, isolasi diri terhadap dunia luar kerap

dilakukan oleh orang tua karena orang tua

merasa kesulitan untuk berbagi pengalaman

akibat banyaknya stereotip negatif (Mueser

dan Gingerich, 2006).

Suatu keluarga memiliki fungsi ekonomi yang

melibatkan penyediaan keluarga terhadap sumber

daya yang cukup secara finansial, ruang, materi,

serta alokasinya berdasarkan pengambilan

keputusan (Friedman, 2010). Hasil penelitian

menunjukkan bahwa faktor predisposisi biologis

yang paling banyak adalah faktor genetik seperti

faktor psikologis kegagalan dan perpisahan;

faktor sosial yang paling banyak menyebabkan

gangguan jiwa seperti faktor ekonomi dan

pendidikan rendah. Menurut penelitian mengenai

Proyek Genom Manusia diketahui bahwa kom-

pleksitas emosi dan perilaku manusia dibangun

oleh varietas genetik, interretasi dari manusia

lainnya, faktor lingkungan, kepribadian, dan

pengalaman hidup (Stuart, 2009).

Menurut hasil pengkajian dan analisis penulis,

putus obat merupakan respons yang terjadi akibat

kejenuhan pasien dalam pengobatan. Efek se-

kunder obat gangguan jiwa memberikan efek

sekunder, misalnya kekakuan yang membuat

pasien enggan menggunakan pengobatan secara

kontinyu. Stuart (2009) menyatakan bahwa ekstra

piramidal syndrome (EPS) terjadi sebagai efek

samping pemberian psikofarmaka golongan

tipikal. Gejala EPS mirip dengan penyakit

Parkinson yang ditandai dengan, tremor pada

kedua tangan, kekakuan alat gerak, jika berjalan

seperti robot, otot leher kaku sehingga kepala

seolah-olah terpelintir.

Faktor presipitasi psikologis terhadap pasien

didapatkan bahwa pasien memiliki riwayat

psikologis yang berkaitan dengan kegagalan

sebagai pengalaman yang kurang menyenangkan,

yaitu seperti kegagalan dalam membina hubungan

dengan lawan jenis, kegagalan dalam pendidikan,

kegagalan dalam dan kehilangan orang yang

berarti. Menurut Stuart dan Laraia (2005), faktor

psikologis tersebut meliputi konsep diri, intelek-

tualitas, kepribadian, moralitas, pengalaman masa

lalu, koping, dan keterampilan komunikasi secara

verbal memengaruhi perilaku seseorang dalam

hubungannya dengan orang lain.

Diagnosis medis terbanyak terhadap pasien

terbanyak adalah skizofrenia. Hal ini sesuai

dengan data Departemen Kesehatan (Depkes)

tahun 2013 yang menyatakan bahwa skizofrenia

menempati 70% gangguan jiwa terbesar di

Indonesia. Diagnosis keperawatan yang paling

banyak ditemukan adalah harga diri rendah

(29%). Banyaknya diagnosis keperawatan harga

diri rendah terkait dengan rasa malu pasien

karena mengalami gejala-gejala gangguan jiwa

berat maupun gangguan jiwa ringan dan adanya

stigma negatif di masyarakat mengenai pasien

gangguan jiwa.

Seluruh keluarga pasien mengalami koping

keluarga inefektif. Friedman (2010) menyatakan

bahwa gangguan jiwa kronik merupakan salah

satu masalah kesehatan yang dapat menjadi

stresor dalam keluarga. Lebow (2005) menyatakan

gangguan jiwa mengakibatkan perubahan struktur

keluarga, perubahan fungsi normal keluarga dan

juga perubahan pola interaksi dalam keluarga.

Beban dalam keluarga meningkat disertai kete-

gangan akibat perilaku yang tidak terduga dari

penderita gangguan jiwa, perasaan bermusuhan

yang berkelanjutan berhubungan dengan rasa

curiga, dan kebutuhan penderita untuk mengawasi

orang lain secara berlebihan. Berbagai gejala

yang terjadi terhadap pasien gangguan jiwa

menyebabkan individu dan keluarga tidak dapat

hidup normal seperti sebelumnya. Beberapa

dampak tersebut dirasakan oleh keluarga antara

lain orang tua, adik atau kakak kandung, pasangan

hidup, dan anak-anak penderita gangguan jiwa.

Wulan, Terapi Spesialis Keperawatan Jiwa terhadap Klien dan Keluarga 65

Terapi spesialis keperawatan jiwa yang banyak

diberikan adalah terapi kognitif. Hal ini sesuai

dengan diagnosis keperawatan terbanyak, yaitu

harga diri rendah. Beberapa studi menjelaskan

efektifitas terapi kognitif dalam mengatasi kondisi

depresi dan ansietas serta harga diri rendah.

Townsend (2009) menjelaskan bahwa terapi

kognitif juga dapat membantu individu mengatasi

respons ansietas akibat yang ditimbulkan oleh

distorsi pikiran negatif sehingga meningkatkan

kemampuan positif pasien. Rupke, Blecke, dan

Renfrow (2006).

Terapi keluarga yang paling banyak dilakukan

adalah terapi psikoedukasi keluarga. Varcarolis

(2006) menyatakan bahwa psikoedukasi keluarga

bertujuan untuk berbagi informasi tentang

perawatan kesehatan jiwa. Campbell (2000)

menyatakan bahwa program psikoedukasi dapat

sangat bermanfaat untuk mengajari keluarga

yang berfokus pada penyakit dan koping keluarga,

hal ini disebabkan psikoedukasi keluarga tidak

hanya berusaha untuk mengenali kebutuhan

keluarga dan memperoleh pengetahuan kesehatan

yang dibutuhkan untuk perawatan, tetapi juga

untuk aspek psikososial dan mengurangi kece-

masan yang dirasakan oleh keluarga (Friedman,

2010).

Berbagai kendala dikeluhkan baik oleh pasien

maupun keluarga. Sebagian besar pasien dan

keluarga mengeluhkan waktu tunggu terapi yang

lama. Satu kali terapi rata-rata memerlukan waktu

30—60 menit. Kendala ini diakibatkan oleh

terbatasnya jumlah perawat spesialis keperawatan

jiwa dan Poliklinik Konseling yang dikelola

oleh perawat spesialis keperawatan jiwa tidak

membuka pelayanan setiap hari, hanya buka

satu hari dalam seminggu. Selain itu, belum

ada konsultasi berbasis media telekomunikasi

maupun internet yang dapat digunakan sebagai

alternatif konsultasi pasien dan terapis.

Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian, karakteristik pasien

dan keluarga adalah bervariasi sehingga masing-

masing memerlukan penanganan yang berbeda

sesuai dengan diagnosis keperawatan. Beberapa

terapi dapat dilakukan dengan tuntas, hal tersebut

memberikan manfaat bagi pasien dan keluarga

selama perawatan di rumah. Dengan demikian,

hal tersebut harus dalam pemantauan supaya

hal yang telah diajarkan oleh perawat spesialis

keperawatan jiwa dapat dilakukan secara kon-

sisten.

Penulis menyarankan kepada peneliti selanjutnya

untuk melakukan penelitian tentang keefektifan

setiap terapi spesialis. Selain itu, bagi sivitas

akademik Fakultas Ilmu Keperawatan disarankan

untuk menetapkan sertifikasi bagi perawat yang

boleh melakukan terapi spesialis keperawatan

jiwa dan melatih mahasiswa spesialis keperawatan

jiwa terhadap berbagai kasus di lapangan. Untuk

Rumah Sakit Jiwa di Provinsi Jawa Barat disaran-

kan untuk mengembangkan Poli Konseling secara

optimal dengan cara menambah perawat spesialis

keperawatan jiwa melalui pendidikan, menem-

patkan perawat spesialis keperawatan jiwa setiap

hari kerja, dan juga menentukan tarif karena

selama ini tidak diberlakukan tarif untuk layanan

konseling. Pemanfaatan media telekomunikasi

dan internet juga dapat dimanfaatkan untuk

pelaksanaan terapi (DN, MK)

Referensi

Friedman, M.M. (2010). Buku ajar keperawatan ke-

luarga: riset, teori dan praktik. Jakarta: EGC.

Lebow, J.L. (2005). Handbook of clinical family

therapy, United States of America: Wiley.

Maramis, W.F. (2006). Catatan ilmu kedokteran

jiwa. Surabaya. Airlangga University Press.

Mueser, K.T., & Gingerich, S. (2006). The complete

family guide of schizophrenia. New ????

Rupke, S.J., Blecke, D., & Renfrow, M. (2006).

Cognitive therapy for depression.29 Februari

2012

Stuart, G.W. (2009). Principles and practice of

psychiatric nursing (9th Ed.). St.Louis: Mosby.

Stuart, G.W & Laraia, M.T. (2005). Principles and

practice of psychiatric nursing (8 Ed.).

St.Louis: Mosby

Jurnal Keperawatan Indonesia, Vol. 18, No. 1, Maret 2015, hal 59-66

66

Townsend, M.C. (2009). Psychiatric mental health

nursing: concepts of care in evidance-based

practice. Philadelphia: F.A Davis Company.

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2009 tentang

Kesehatan.

Varcarolis, E.M. (2006). Psychiatric nursing clinical

guide; assesment tools and diagnosis.

Philadelphia: W.B Saunders Co

Videbeck, S.L. (2008). Buku ajar keperawatan

jiwa. Jakarta. EGC.

Jurnal Keperawatan Indonesia, Volume 18 No.2, Juli 2015, hal 67-71

pISSN 1410-4490, eISSN 2354-9203

EFEK DUKUNGAN EMOSIONAL KELUARGA PADA HARGA DIRI

REMAJA: PILOT STUDY

Mara Imbang S. Hasiolan1*, Sutejo2

1. PSIK FKIK, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Yogyakarta55183, Indonesia

2. Jurusan Keperawatan, Poltekkes Kemenkes Yogyakarta, Yogyakarta 55183, Indonesia

*E-mail: [email protected]

Abstrak

Dukungan emosional keluarga berupa perhatian, kepercayaan, empati dan kepedulian pada remaja, bisa membuat

remaja merasa diperhatikan, dicintai, nyaman, dan dihargai. Dampaknya terhadap pembentukan harga diri remaja yaitu

pendirian yang kuat, sikap optimis, dan percaya diri. Tujuan penelitian untuk mengidentifikasi efek dukungan emosional

keluarga pada harga diri remaja. Desain penelitian korelasi dengan potong lintang. Sampel penelitian 31 responden,

dengan analisis uji Spearman Rank. Hasil penelitian menunjukkan terdapat efek dukungan emosional keluarga pada

harga diri remaja (p= 0,002). Rekomendasi penelitian ini diharapkan remaja tetap mempertahankan hubungan dengan

keluarga dan kualitas harga diri.

Kata kunci: dukungan emosional, harga diri, keluarga, remaja

Abstract

The Effect of Family Emotional Support on Teenager’s Self-Esteem. Family emotional support in the form of attention, trust,

empathy, and concern in adolescents, can make teenagers feel cared for, loved, comfortable and appreciated. The

impact on the formation of adolescent self-esteem that is the establishment of a strong, optimistic attitude, and

confidence. The aim of research to identify the effects of emotional support for the family on adolescent self-esteem.

Design correlation with cross sectional study. The research sample 31 respondents, with analysis of Spearman Rank

test. The results showed there were effects on the family emotional support adolescent self-esteem (p= 0,002). Recommendations

of this study are expected to adolescents retaining relationships with family and the quality of self-esteem.

Keywords: emotional support, family, self-esteem, teenager

Pendahuluan

Masa remaja adalah periode perkembangan dari

masa kanak-kanak menuju masa dewasa, biasanya

antara usia 13 sampai 21 tahun (Potter & Perry,

2005), yang memiliki kematangan mental, emo-

sional, sosial, dan fisik (Hurlock, 2004). Menurut

Wong (2009), remaja merupakan suatu periode

transisi dari anak-anak menjadi dewasa dan pada

masa ini terjadi perubahan psikososial, kognitif,

moral, spiritual, dan sosial. Kesimpulannya remaja

merupakan masa transisi dari anak-anak ke dewasa

yang mengalami perubahan fisik dan psikososial.

Perubahan fisik dan psikososial memengaruhi

cara pandang remaja terhadap dirinya yang dikenal

dengan konsep diri. Konsep diri didefinisikan

sebagai suatu pikiran, keyakinan, dan kepercayaan

yang memengaruhi individu dalam menilai dirinya

dan memengaruhi hubungan dengan orang lain

(Stuart, 2013). Konsep diri terdiri dari 5 komponen

yang salah satunya adalah harga diri. Harga diri

(self-esteem) adalah penilaian seseorang terhadap

diri sendiri, berdasarkan kesesuaian tingkah laku

seseorang terhadap ideal dirinya adalah (Suliswati,

2005; Stuart, 2013). Remaja yang memiliki harga

diri tinggi apabila mampu menghargai dirinya

dan dihargai orang lain, sehingga individu dapat

meningkatkan rasa dihormati, diterima, dan di-

cintai (Potter & Perry, 2005).

Harga diri yang tinggi memiliki banyak manfaat

bagi seseorang. Manfaat harga diri yang tinggi,

yaitu membentuk pendirian yang kuat, mem-

Jurnal Keperawatan Indonesia, Vol. 18, No. 2, Juli 2015, hal 67-71 68

bangkitkan kemauan untuk menerima tanggung

jawab, membentuk sikap optimis, meningkatkan

hubungan dan hidup lebih berarti, membuat

seseorang lebih peka terhadap kebutuhan orang

lain dan mengembangkan sikap saling mengasihi,

memotivasi diri dan berambisi, membuat sese-

orang bersikap terbuka terhadap peluang dan

tantangan baru, memperbaiki kinerja dan mening-

katkan kemampuan mengambil risiko, membantu

seseorang dalam memberi dan menerima kritik,

dan penghargaan dengan bijaksana (Khera, 2002).

Keberhasilan peningkatan harga diri remaja tidak

terlepas dari dukungan sosial keluarga. Dukungan

sosial keluarga adalah sikap, tindakan, dan

penerimaan keluarga terhadap individu (Friedman,

2010) melalui keterikatan aturan, emosional

individu dari masing-masing peran anggota di

dalam keluarga yaitu orang tua, anak, dan saudara

kandung (Potter & Perry, 2005). Keterikatan

aturan dan interaksi antar anggota dapat meme-

ngaruhi emosional dari masing-masing anggota

keluarga, sehingga untuk mempertahankan kondisi

tersebut, masing-masing keluarga saling membe-

rikan dukungan emosional.

Dukungan emosional merupakan dukungan untuk

memberikan perasaan nyaman, perasaan dicintai

dalam bentuk semangat, dan empati yang dipe-

roleh melalui interaksi remaja dengan dengan

orang lain dalam lingkungan sosialnya, dan bisa

berasal dari siapa saja, keluarga, dan teman

(Friedman, 2010; Sarafino, 2006). Dukungan

emosional keluarga yang berupa penerimaan,

perhatian, dan rasa percaya akan meningkatkan

kebahagian dalam diri remaja (Hurlock, 2004),

sehingga remaja termotivasi untuk terus berusaha

mencapai tujuannya. Hal ini berdampak pada

rasa percaya diri dalam menyelesaikan tugas

yang dihadapinya.

Metode

Desain penelitian korelasi dengan potong lintang.

Populasi penelitian adalah remaja sebanyak 31

orang. Sampel penelitian menggunakan teknik

total sampling, dengan kriteria inklusi: 1) remaja

yang berusia 10–21 tahun dan tinggal di panti

sosial, 2) bersedia menjadi responden, 3) sehat

mental dan fisik, 4) remaja yang memiliki

keluarga. Sedangkan kriteria eksklusi: tidak hadir

pada saat pengisian kuesioner. Tempat penelitian

di sebuah panti di Daerah Istimewa Yogyakarta.

Instrumen harga diri yang digunakan diadopsi

dari Jati (2011 dalam Arphan, 2012) yang

berjumlah 28 pernyataan. Instrumen dukungan

emosional keluarga dibuat oleh peneliti sendiri

berjumlah 20 pernyataan. Kedua instrumen

dilakukan uji validitas berupa content validity

index (CVI) oleh 3 (tiga) orang pakar yaitu dua

pakar bidang Keperawatan Jiwa dan satu pakar

bidang Keperawatan Komunitas.

Hasil content validity index dikatakan valid jika

skor CVI 0,80 (Polit dan Beck, 2008). Hasil hitung

content validity index instrument: 1) harga diri

menunjukkan 0,83–0,91 dengan rerata 0,84;

dan 2) dukungan emosional keluarga 0,83–0,91

dengan rerata 0,85. Kesimpulannya bahwa

hasil kedua instrumen menunjukkan valid, dengan

nilai melebihi dari skor CVI standar.

Analisis data penelitian ini terdiri dari analisis

univariat dan analisis bivariat. Analisis univariat

adalah 1) data numerik dengan tampilan data

tendensi sentral, dan 2) data kategorik dengan

tampilan data frekuensi dan persen. Sedangkan

analisis bivariat dengan menggunakan analisis

uji Spearman Rank.

Hasil

Hasil penelitian yang ditampilkan meliputi;

1) karakteristik responden, 2) dukungan emo-

sional keluarga, 3) harga diri remaja, dan 4) efek

dukungan emosional keluarga pada harga diri

remaja.

Karakteristik Responden. Karakteristik res-

ponden yang diteliti meliputi: usia, pendidikan,

dan status perkawinan. Hasil penelitian dari 31

responden sebanyak: 1) 48,4% usia 15–17 tahun,

2) 61,3% pendidikan SMP, dan 3) 100% belum

menikah.

Dukungan Emosional Keluarga. Dukungan

emosional keluarga adalah dukungan yang dite-

Hasiolan, et al., Efek Dukungan Emosional Keluarga pada Harga Diri Remaja

69

rima oleh remaja dari keluarga mereka berupa rasa

empati, kepercayaan, kepedulian, dan perhatian.

Berdasarkan Tabel 1 di atas menunjukkan bahwa

sebagian dari responden menerima dukungan

emosional keluarga dengan kategori baik se-

banyak 18 orang (58,1%) dan kategori cukup

sebanyak 13 orang (41,9%).

Harga diri remaja. Harga diri remaja yaitu

hasil penilaian dan evaluasi diri yang dilakukan

remaja panti sosial terhadap dirinya sendiri

berdasarkan kekuatan individu, keberartian dalam

lingkungan, kemampuan yang dimiliki, kebajikan

terhadap nilai dan moral, dan konsisten dalam

menentukan batas.

Berdasarkan Tabel 2 di atas didapatkan sebagian

dari responden harga diri dikategori sedang

sebanyak 19 orang (61,3%) dan kategori tinggi

sebanyak 12 orang (38,7%).

Efek Dukungan Emosional Keluarga pada

Harga Diri Remaja. Hasil penelitian berdasarkan

Tabel 3 tentang efek dukungan emosional keluarga

pada harga diri remaja menunjukkan 18 orang

(58%) memiliki dukungan emosional keluarga

baik dengan tingkatan harga diri sedang sebanyak

7 orang (22,6%) dan harga diri tinggi sebanyak

11 orang (35,4%). Diketahui bahwa 19 orang

(61,4%) memiliki tingkatan harga diri sedang

dengan mendapat dukungan emosional keluarga

dengan kategori baik sebanyak 7 orang (22,6%)

dan dukungan emosional keluarga cukup seba-

nyak 12 orang (38,8%).

Tabel 1. Dukungan Emosional Keluarga

Variabel Frekuensi Persen

Dukungan emosional keluarga

Baik

18

58,1

Cukup 13 41,9

Tabel 2. Harga Diri Remaja

Variabel Frekuensi Persen

Harga diri remaja

Sedang

19

61,3

Tinggi 12 38,7

Tabel 3. Efek Dukungan Emosional Keluarga pada

Harga Diri Remaja

Hasil analisis didapatkan ada efek dukungan

emosional keluarga pada harga diri remaja dengan

nilai p= 0,002 (p< 0,05), sehingga disimpulkan

bahwa dukungan emosional keluarga memberikan

efek pada harga diri remaja.

Pembahasan

Hasil penelitian menunjukkan ada efek dukungan

emosional keluarga pada harga diri remaja,

artinya dukungan emosional keluarga memberikan

efek pada harga diri remaja. Hal ini menunjukkan

bahwa dukungan emosional merupakan dukungan

untuk memberikan perasaan nyaman, perasaan

dicintai dalam bentuk semangat dan empati yang

diperoleh melalui interaksi remaja dengan dengan

orang lain dalam lingkungan sosialnya, dan bisa

berasal dari siapa saja, keluarga, dan teman

(Friedman, 2010; Sarafino, 2006). Dukungan

emosional keluarga yang berupa penerimaan,

perhatian, dan rasa percaya akan meningkatkan

kebahagiaan dalam diri remaja (Hurlock, 2004),

sehingga remaja termotivasi untuk terus berusaha

mencapai tujuannya.

Sejalan dengan penelitian Nurmalasari (2007),

bahwa rasa aman, cinta, dan kasih sayang yang

tulus mampu membuat individu yang sakit jadi

merasa nyaman, tenang berada dilingkungannya,

tidak merasa takut, malu, dan rendah diri bila

berhadapan dengan orang-orang atau remaja-

remaja lainnya, dan individu akan merasa

meningkat harga dirinya.

Hal lainnya apabila ada pengakuan atau peng-

hargaan terhadap kemampuan dan kualitas klien,

akan membuat klien merasa dirinya diterima dan

Dukungan

Emosional

Keluarga

Harga Diri

Remaja Total p

Sedang Tinggi

Baik 7

(22,6%)

11

(35,4%)

18 (58%) 0,002

Cukup 12

(38,8%)

1

(3,2%)

13 (42%)

Total 19

(61,4%)

12

(38,6%)

31 (100%)

Jurnal Keperawatan Indonesia, Vol. 18, No. 2, Juli 2015, hal 67-71 70

dihargai. Contoh dari dukungan ini misalnya

memberikan pujian kepada klien karena telah

melakukan sesuatu dengan baik. Dimana pengaruh

dukungan sosial yang tinggi terhadap individu

akan memiliki pengalaman hidup yang lebih baik,

harga diri yang lebih tinggi, serta memiliki

pandangan yang lebih positif terhadap kehidupan

(Nurmalasari, 2007).

Harga diri tinggi apabila remaja memiliki

dukungan yang baik, seperti pengaruh adanya

perasaan nyaman yang dirasakan individu saat

berada di lingkungan dan diperhatikan orang lain.

Keluarga merupakan tempat remaja bercerita

dan untuk mendapat nasihat ataupun saran serta

tempat untuk mengeluarkan keluhan-keluhan

ketika remaja mengalami suatu permasalahan.

Remaja cenderung menganggap bahwa keluarga

merupakan tempat yang paling nyaman untuk

berbagi dalam menghadapi suatu masalah, berbagi

kebahagiaan, dan tempat tumbuhnya harapan-

harapan baru yang lebih baik.

Keluarga merupakan keterikatan aturan, emosional

individu dari masing-masing peran anggota di

dalam keluarga yaitu orang tua, anak, dan saudara

kandung (Potter dan Perry, 2005). Keterikatan

aturan dan interaksi antar anggota dapat meme-

ngaruhi emosional dari masing-masing anggota

keluarga dalam memberikan dukungan.

Dukungan yang diterima remaja berupa perhatian,

penghargaan, empati, dan kepedulian yang diteri-

ma membuat remaja merasa nyaman, diperhatikan,

dicintai, dan meningkatkan harga diri klien.

Hal ini karena keluarga dapat mendengarkan

keluhan remaja dan keluarga ikut terlibat dalam

permasalahan remaja.

Penelitian ini memberikan dampak bahwa ke-

terikatan emosional remaja dengan anggota

keluarga yang lain memberikan rasa percaya

dan harga diri karena remaja merasa didengarkan

dan diberikan perhatian dalam menyelesaikan

permasalahan yang dihadapinya. Sehingga me-

munculkan komitmen dan keterikatan keluarga

dalam menyelesaikan masalah. Keluarga juga

bisa menjadi koping bagi remaja yang mengalami

masalah karena dapat menyelesaikan masalah para

remaja. Implikasi pada penelitian lanjutnya perlu

juga melihat pada keberhasilan dan pengalaman

masa lalu remaja serta pola asuh remaja sehingga

remaja bisa menyelesaikan masalah dan mening-

katnya mekanisme koping remaja.

Kesimpulan

Penelitian ini memberikan hasil bahwa dukungan

emosional keluarga pada remaja adalah baik.

Harga diri remaja panti sosial adalah harga diri

sedang. Penelitian ini memberikan hasil ada efek

dukungan emosional keluarga pada harga diri

remaja.

Penelitian ini juga memberikan dampak pada

remaja untuk menggunakan keluarga dalam

menyelesaikan masalah yang dihadapi. Keluarga

dipersiapkan untuk bisa menjadi pendamping

bagi remaja sehingga dapat meningkatkan harga

diri remaja. Hal lain adalah perlunya penelitian

lanjut untuk membahas tentang prestasi dan

pengalaman masa lalu remaja dan keluarga perlu

diperhatikan pola asuh, sehingga penelitian

menjadi komprehensif (MK, INR)

Referensi

Friedman, M.M., Bowden, V.R., & Jones, E.G.

(2010). Keperawatan keluarga: Riset, teori

dan praktik (Ed. ke 3). Alih Bahasa: Achir

Yani S. Jakarta: EGC. (Buku asli diterbitkan

tahun 2003)

Hurlock, E.B. (2004). Psikologi perkembangan

suatu pendekatan sepanjang rentang kehidupan

(Ed. ke 5). Yogyakarta: Erlangga.

Khera. (2002). Kiat jitu menjadi pemenang: You

can win. Jakarta: PT Prenhallindo & Pearson

Education Asia Pte Ltd.

Nurmalasari, Y. (2007). Hubungan antara

dukungan sosial dengan harga diri pada

remaja penderita penyakit lupus. Diperoleh

dari

http://library/articles/graduate/psychology/200

7/Artikel_10502263.pdf.

Hasiolan, et al., Efek Dukungan Emosional Keluarga pada Harga Diri Remaja

71

Polit, D.F., & Beck, C.T. (2008). Nursing

research: Generating and assessing evidence for

nursing practice. Philadelphia: Lippincott.

Potter, P.A., & Perry, A.G. (2005). Buku ajar

fundamental keperawatan: Konsep, proses, dan

praktik (Ed. ke 4, Volume 2). Ahli Bahasa:

Renata Komalasari... (et al). Jakarta: EGC.

Buku asli diterbitkan tahun 2003

Sarafino, E.P. (2006). Health psychology:

Biopsychosocial interactions (5th ed.). New

York: John Wiley & Sons.

Stuart, G.W. (2007). Buku saku keperawatan jiwa

(Ed. ke 5). Ahli Bahasa: Ramona P. Kapoh,

Egi. Komara Yudha. Jakarta. EGC. Buku asli

diterbitkan tahun 1995

Stuart, G.W. (2013). Principles and practice of

psychiatric nursing (9th Ed.). St. Louis: Mosby.

Suliswati., dkk. (2005). Konsep dasar keperawatan

jiwa (Ed. ke I). Jakarta: EGC.

Wong, D.L. (2009). Buku ajar keperawatan pediatric

(Ed. ke 6, Volume 1). Ahli bahasa: Agus

Sutarna, Neti Juniarti, H.Y. Kuncara. Jakarta:

EGC. Buku asli diterbitkan tahun 2008

Jurnal Keperawatan Indonesia, Volume 18 No.2, Juli 2015, hal 72-80

pISSN 1410-4490, eISSN 2354-9203

IKLIM KERJA BERKONTRIBUSI TERHADAP

KEPUASAN KERJA PERAWAT

Yayah1*, Rr. Tutik Sri Hariyati2

1. Program Studi Magister Fakultas Ilmu Keperawatan, Universitas Indonesia, Depok 16424, Indonesia

2. Fakultas Ilmu Keperawatan, Universitas Indonesia, Depok 16424, Indonesia

*E-mail: [email protected]

Abstrak

Kepuasan kerja perawat merupakan faktor yang dapat memengaruhi motivasi dalam bekerja, kepuasan sering

dipengaruhi faktor lingkungan kerja, demikian juga kepuasan kerja di lingkungan rumah sakit militer yang memiliki

hubungan dengan iklim militer yang dibentuk di lingkungan bekerja. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui

hubungan iklim kerja dengan kepuasan kerja perawat di rumah sakit militer. Desain penelitian yang digunakan yaitu

deskriptif korelasi dengan pendekatan potong lintang dan menggunakan sampel 110 perawat yang dipilih melalui teknik

purposive sampling. Instrumen yang digunakan adalah Minnesota Satisfaction Quesioner (MSQ) dan The Gallup

Questionnaire dan dianalisis menggunakan uji chi-square. Hasil riset menyampaikan terdapat hubungan yang bermakna

antara iklim kerja dengan kepuasan kerja perawat di RS Militer (p< 0,001, α= 0,05, OR= 13,132). Hal ini menunjukkan

bahwa perawat yang mempunyai persepsi tentang iklim kerja baik berpeluang 13,132 kali untuk merasa puas dalam

pekerjaannya, dibandingkan dengan perawat yang memiliki persepsi iklim kerja tidak baik. Hasil tersebut dapat menjadi

dasar untuk manajemen keperawatan dan manajemen rumah sakit dalam meningkatkan iklim kerja yang dapat

memengaruhi kepuasan kerja perawat.

Kata kunci: iklim kerja, kepuasan kerja, perawat

Abstract

Working Environment Contributes to The Nurse Satisfaction. Nurses’ work satisfaction is one of factors that can

contribute to working motivation. Work satisfaction often affected by working environment. The purpose of this

research is to identify correlation between working environment and nurse working satisfaction. This descriptive

correlational study used cross sectional approach and recruited 110 nurses as their respondent. Respondents were

selected using purposive convenience sampling as non-probability sampling approach. Data were collected using

Minnesota Satisfaction Questionnaire (MSQ) and The Gallup Questionnaire. Data were analyzed using chi-square and

shows there was significant correlation between working environment and nurse working satisfaction (p< 0,001, α=

0,05, OR= 13,132). A good working environment has possibility 13,132 times in having nurses’ work satisfaction than

those nurses who perceived unsatisfied with their job. This result can be used as basic information in improving nursing

management especially in improving working environment, which indirectly influenced to nurses’ work satisfaction.

Keywords: hospital, military, satisfaction, working environment

Pendahuluan

Perawat sebagai sumber daya manusia dengan

jumlah terbanyak dan selalu berhubungan dengan

pasien selama 24 jam sehingga dituntut untuk

dapat memberikan pelayanan yang profesional.

Perawat yang memiliki kepuasan kerja tinggi

akan mempunyai motivasi yang baik, dan sebalik-

nya perawat yang mempunyai motivasi akan

meningkatkan kepuasan staf (Sahar, Ahmed,

Lamiaa, Elsayed, Nahed, & El-Nagger, 2013).

Faktor yang dapat memengaruhi kepuasan kerja

diantaranya budaya rumah sakit, kualitas

manajemen, gaya kepemimpinan, efektivitas

komunikasi, desain pekerjaan, gaji, tunjangan,

tuntutan teknis pekerjaan, emosional, tuntutan

situasi pasien yang unik, dan faktor lingkungan

Yayah, et al., Iklim Kerja Berkontribusi terhadap Kepuasan Kerja Perawat 73

(Wood, 2008). Hal ini berbeda dengan riset dari

(Schiestel, 2007), yang menyampaikan bahwa

tidak ada hubungan yang bermakna antara jenis

kelamin, tipe bekerja dan keanggotaan profesi

dengan kepuasan.

Rumah sakit militer mempunyai sistem yang

dipengaruhi manajemen militer dan menuntut

disiplin tinggi dari personilnya. Perawat yang

bertugas merupakan PNS dan sebagai Komponen

Cadangan Ketahanan Negara, sehingga perawat

sering terlibat dalam kegiatan latihan militer

disamping tugasnya sebagai perawat di rumah

sakit. Lingkungan militer disamping mendidik

kedisiplinan juga kadang membuat tekanan dalam

bekerja yang memengaruhi kepuasan perawat.

Penelitian ini bertujuan mengetahui hubungan

antara iklim kerja (harapan, alat dan fasilitas

kerja, penghargaan, rancangan pekerjaan, rekan

kerja, dan program pengembangan karir) di rumah

sakit militer dengan kepuasan kerja perawat.

Metode

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif

korelasional dengan pendekatan potong lintang.

Responden dalam penelitian ini adalah 110

perawat yang bekerja di rumah sakit. Kriteria dari

responden adalah perawat pelaksana; telah bekerja

minimal 2 tahun di rumah sakit tersebut, tidak

dalam kondisi sakit dan tidak sedang cuti lebih

dari 1 bulan, serta bersedia menjadi responden.

Pengambilan sampel dilakukan dengan menggu-

nakan teknik purposive sampling dan dengan

menggunakan teknik convenience sampling, dan

analiasis menggunakan distribusi frekuensi dan

Chi Square.

Instrumen dalam penelitian ini menggunakan

kuesioner. Data demografi perawat diperoleh

dengan menggunakan kuesioner A. Kuesioner

B dari The Gallup Questionnaire untuk mengukur

iklim kerja. Kuesioner C dari Minnesota Satis-

faction Questionnaire (MSQ) untuk mengukur

kepuasan kerja (Weiss, Dawis, England & Lofquist,

1976). MSQ yang digunakan adalah model short

form MSQ dengan 20 pertanyaan. MSQ dibagi

dalam dua faktor yaitu faktor intrinsik dari

pekerjaan atau pekerjaan itu sendiri dan faktor

ekstrinsik atau aspek-aspek kontekstual dari

pekerjaan itu sendiri. The Gallup Questionnaire

memiliki nilai crombach alpha 0,90 untuk

memprediksi iklim kerja terhadap kepuasan kerja

(Meeusen, Van Dam, Brown-Mahoney, Van Zundet

& Knape, 2011) sedangkan MSQ memiliki

koefisien alpha yang sangat baik (mulai 0,85–

0,91) dan stabil dari waktu ke waktu (Martins

& Proenca, 2012).

Hasil

Hasil analisis karakteristik perawat (umur, jenis

kelamin, masa kerja dan unit kerja) tertera pada

Tabel 1. Pada Tabel 2 menunjukkan analisis iklim

kerja dan kepuasan kerja perawat.

Tabel 1 menunjukan hasil analisis karakteristik

perawat, dari 110 perawat di rumah sakit ini

(90,0%) berusia antara 26–35 tahun, jenis kelamin

perempuan (90,9%), pendidikan 100% DIII

keperawatan, dan masa kerja 2–5 tahun (59,1%).

Perawat yang bertugas di unit rawat inap sebanyak

75,5%.

Tabel 1. Karakteristik Perawat

Karakteristik Frekuensi Presentase (%)

Umur:

≤ 25 th

26–35 th

≥36–40 th

7

99

4

6,4

90,0

3,6 Total 110 100

Jenis kelamin:

Laki-laki

Perempuan

10

100

9,1

90,9

Total 110 100

Pendidikan:

DIII

S1

110

0

100

0,0

Total 110 100

Lama kerja:

2–5 th

>5 th

65

45

59,1

40,9

Total 110 100

Unit kerja:

Ranap

Rajal

83

27

75,5

24,5

Total 110 100

Jurnal Keperawatan Indonesia, Vol. 18, No. 2, Juli 2015, hal 72-80 74

Tabel 2. Kepuasan Kerja Perawat dan Persepsi

Perawat tentang Iklim Kerja

Variabel Frekuensi Presentase (%)

Kepuasan Kerja

Tidak puas

Puas

55

55

50

50

Total 110 100

Iklim Kerja

Tidak baik

Baik

46

64

41.8

58.2

Total 110 100

Tabel 2 menunjukkan 50% perawat merasa puas

dan sebagian lagi merasa tidak puas dengan

pekerjaannya sebagai perawat di rumah sakit. Tabel

ini juga menunjukkan 58,2% perawat memiliki

persepsi iklim kerja baik.

Hasil analisis hubungan iklim kerja dengan

kepuasan kerja perawat ditampilkan pada Tabel 3.

Hasil analisis hubungan karakteristik perawat

dengan kepuasan kerja ditampilkan pada Tabel 4.

Tabel 3 menunjukan hasil analisis hubungan iklim

kerja dengan kepuasan kerja perawat. Nilai p<

0,001 (α= 0,05; OR= 13,132; CI 5,115–33,715).

Hal ini berarti terdapat hubungan yang ber-

makna antara persepsi tentang iklim kerja

dengan kepuasan kerja perawat. Nilai OR=

13,132, menunjukkan bahwa persepsi tentang

iklim kerja tidak baik berpeluang 13,132 kali

untuk merasa tidak puas dalam pekerjaannya,

dibandingkan dengan perawat yang memiliki

persepsi iklim kerja baik.

Tabel 4 menunjukan hasil analisis hubungan

karakteristik perawat dengan kepuasan kerja

perawat. Hasil analisis tersebut adalah tidak terdapat

hubungan yang bermakna antara karakteristik

perawat (umur, jenis kelamin, masa kerja dan

unit kerja) dengan kepuasan kerja perawat (p=

0,05; α= 0,05).

Pembahasan

Penelitian ini menjelaskan terdapat hubungan yang

bermakna antara iklim kerja dengan kepuasan

kerja perawat. Hasil penelitian ini menunjukkan

bahwa perawat yang memiliki persepsi baik

tentang iklim kerja, berpeluang 13,132 kali untuk

merasa lebih puas terhadap pekerjaannya sebagai

perawat, dibandingkan dengan perawat yang

memiliki persepsi iklim kerja tidak baik.

Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang

dilakukan oleh Meeusen, et al., (2011) yang

menunjukkan terdapat hubungan yang bermakna

antara iklim kerja dengan kepuasan kerja perawat

(p< 0,001).

Ganz dan Toren (2014) kepuasan kerja memiliki

korelasi tinggi dengan lingkungan kerja perawat.

Sesuai pendapat dari Triwibowo (2013) yang

menyatakan bahwa jika perawat memiliki persepsi

iklim kerja positif maka akan meningkatkan

semangat kerja dan kepuasan kerja, sebaliknya

jika iklim kerja dipersepsikan buruk, maka akan

menimbulkan efek pada semangat kerja dan burn

out yang tinggi dan produktifitas kerja yang

menurun. Hal ini disebabkan perawat yang merasa

puas terhadap pekerjaannya cenderung akan

mencintai pekerjaannya, dan akan memandang

pekerjaan itu sebagai hal yang menyenangkan.

Sebaliknya jika perawat merasa tidak puas terhadap

pekerjaannya, maka perawat akan menganggap

pekerjaannya sebagai sesuatu hal yang mem-

bosankan.

Perawat yang memiliki harapan baik dan merasa

puas memilliki jumlah lebih banyak dibandingkan

dengan perawat yang memiliki harapan tidak

baik. Meskipun demikian hubungan ini tidak

bermakna. Teori ketidaksesuaian (discrepancy

theory) menjelaskan bahwa semakin sedikit

selisih antara harapan dengan kenyataan, maka

seseorang akan merasa semakin puas (Bangun,

2012).

Alat dan fasilitas memiliki hubungan yang

bermakna pada kepuasan kerja. Hal ini sesuai

dengan pendapat Dariyo (2004) yang menyata-

kan bahwa kondisi kerja yang baik yaitu nyaman

dan mendukung pekerja untuk dapat menjalan-

kan aktivitasnya dengan baik, meliputi segala

sesuatu yang ada di lingkungan karyawan yang

dapat memengaruhi pekerjaan serta keselamatan

dan keamanan kerja, diantaranya yaitu alat dan

fasilitas.

Yayah, et al., Iklim Kerja Berkontribusi terhadap Kepuasan Kerja Perawat 75

Tabel 3. Hubungan Iklim kerja dengan Kepuasan Kerja Perawat

Variabel

Sub variabel

Kepuasan Kerja p

OR

(95% CI) Tidak Puas % Puas %

Iklim Kerja

Tidak baik

Baik

82,6

26,6

17,4

73,4

0,000*

13.132

(5,115–33,715)

Sub variabel

1. Harapan

Tidak baik

Baik

2. Alat dan fasilitas

Tidak baik

Baik

3. Penghargaan

Tidak baik

Baik

4. Rancangan pekerjaan

Tidak baik

Baik

5. Dukungan

Tidak baik

Baik

6. Pengembangan

Tidak baik

Baik

68,0

44,7

70,6

40,8

78,4

35,6

71,2

31,0

78,9

34,7

77,8

44,6

32,0

55,3

29,4

59,2

21,6

64,4

28,8

69,0

21,1

65,3

22,2

55,4

0,069

0,007*

0,000*

0,000*

0,000*

0,020*

2.628

(1,024–6,748)

3,484

(1,462–8,299)

6,553

(2,618–16,405)

5,481

(2,419–12,423)

7,050

(2,814–17,664)

4,354

(1,331–14,237)

*Bermakna pada α= 0,05

Tabel 4. Hubungan Karakteristik Perawat dengan Kepuasan Kerja Perawat

Variabel Kepuasan Kerja

p OR

(95% CI) Tidak Puas % Puas %

Umur:

<30 th

≥30 th

47,1

52,5

52,9

47,5

0,702

0,803

(0,379–1,701)

Jenis kelamin:

Laki-laki

Perempuan

30,0

52,0

70,0

48,0

0,320

0,396

(0,097–1,168)

Lama kerja:

<5 th

≥5 th

46,2

55,6

53,8

44,4

0,438

0,686

(0,319–1,472)

Unit kerja:

Ranap

Rajal

51,8

44,4

48,2

55,6

0,658

1,344

(0,561–3,216)

Senada dengan pendapat Ganz dan Toren (2014),

para pembuat kebijakan dan manajer rumah

sakit harus membahas lingkungan praktik,

dalam rangka meningkatkan kepuasan kerja

dan meningkatkan retensi. Alat dan fasilitas

keperawatan yang lengkap dalam melaksana-

kan asuhan pasien akan mendukung keselamatan

dan keamanan kerja.

Penelitian ini berhasil membuktikan bahwa peng-

hargaan yang baik akan memengaruhi peningkatan

kepuasan kerja dan memiliki hubungan yang

bermakna. Penghargaan tidak selalu diharapkan

dalam bentuk bayaran, akan tetapi lebih dari

sekedar upah atau gaji, misalnya dapat berupa

penghargaan dan dukungan untuk berkembang

baik dari peningkatan karir maupun peluang

Jurnal Keperawatan Indonesia, Vol. 18, No. 2, Juli 2015, hal 72-80 76

untuk mendapatkan pendidikan yang lebih tinggi.

Tanner (2007) mengungkapkan bahwa gaji

memiliki hubungan yang lemah dengan kepuasan

kerja perawat. Marquis dan Huston (2010; 2003)

menyatakan penghargaan yang diberikan pimpinan

kepada staf seberapapun nilainya, penghargaan

cenderung menimbulkan pengabdian dan kesetiaan

yang sangat besar.

Penelitian ini menunjukkan bahwa perawat yang

merasa adanya rancangan pekerjaan yang baik

memiliki kepuasan kerja lebih tinggi. Rancangan

pekerjaan yang menantang dan menuntut ke-

mandirian dapat menjadikan perawat memiliki

kesempatan untuk melakukan yang terbaik

menurut pribadinya. Perawat juga merasa lebih

memiliki perasaan bertanggung jawab terhadap

hasil dari pekerjaannya. Hal ini sesuai dengan

pendapat dari Jayasuria, Whittaker, Halim, dan

Matineau (2012) yang menyatakan bahwa perawat

yang memiliki kesempatan untuk lebih mandiri

dalam pekerjaannya cenderung merasa lebih puas.

Dukungan yang baik dari rekan kerja dan

organisasi dapat meningkatkan kepuasan kerja.

Hal ini memiliki hubungan yang bermakna.

Senada dengan Dion (2006) yang menjelaskan

bahwa persepsi dukungan dari organisasi dan

dukungan dari rekan kerja memiliki hubungan

yang bermakna terhadap kepuasan kerja, sedangkan

persepsi dukungan dari supervisor tidak terdapat

hubungan dengan kepuasan kerja. Pendapat yang

sama diungkapkan Triwibowo (2013) yang menya-

takan bahwa perasaan adanya dukungan dalam

kehidupan organisasi dan saling membantu, serta

adanya hubungan sesama yang baik mempunyai

keterikatan emosional untuk mencapai tujuan

organisasi secara bersama-sama.

Penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian yang

dilakukan oleh Suroso (2011) mengungkapkan

bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara

pengembangan karir dengan kepuasan kerja

perawat. Demikian juga dengan penghargaan,

pengakuan, dan promosi memiliki hubungan

yang bermakna dengan kepuasan kerja dengan

nilai p< 0,01. Pendapat yang senada yang di-

ungkapkan oleh Jayasuria, et al., (2012) bahwa

peluang promosi, dan kesempatan bagi pengem-

bangan pribadi dan pengakuan memengaruhi

kepuasan kerja seseorang. Penghargaan juga

akan memengaruhi kinerja seseorang (Farjam,

Razak, & Jafar, 2013).

Hasil penelitian ini dapat menjadi dasar bagi

manajemen rumah sakit dalam menentukan

kebijakan, untuk menciptakan iklim kerja yang

dapat meningkatkan kepuasan kerja perawat.

Pihak manajemen dapat meningkatkan program

pengembangan karir, peluang promosi, dan sistem

reward yang jelas. Semua program ini merupakan

faktor pemuas ekstrinsik jika diperbaiki, maka

akan meningkatkan kepuasan kerja (Wood, 2008).

Reward yang dapat diterapkan adalah untuk

meningkatkan perasaan dihargai atas hasil kerja

yang telah dicapai.

Penelitian ini menunjukkan tidak terdapat hu-

bungan dari usia dengan kepuasan kerja perawat.

Senada dengan penelitian yang dilakukan oleh

Suroso (2011) yang menyatakan tidak terdapat

hubungan antara usia dengan kepuasan kerja

perawat. Hasil penelitian ini berbeda dengan

survei yang dilakukan oleh Jayasuria, et al.,

(2012) yang menyatakan terdapat hubungan

antara usia dengan kepuasan kerja perawat,

kepuasan kerja lebih tinggi pada usia perawat

diatas 35 tahun dan hubungan ini bermakna.

Penelitian ini memang tidak dapat membuktikan

adanya hubungan antara usia dengan kepuasan

kerja, akan tetapi hasil perhitungan didapatkan

bahwa kepuasan kerja lebih tinggi pada usia

perawat yang lebih muda. Berbeda dengan Robbins

dan Judge (2013) yang menyatakan bahwa semakin

tua usia keryawan, maka akan lebih merasa puas

terhadap pekerjaannya. Pendapat ini diperkuat

oleh hasil penelitian Jayasuria, et al., (2012)

yang menyatakan bahwa perawat yang berusia

lebih tua memiliki kepuasan yang lebih tinggi.

Perbedaan kepuasan kerja antara perawat yang

lebih muda dengan perawat yang lebih tua adalah

terkait dengan situasi kerja. Sistem reward yang

belum jelas, sistem promosi dan pengembangan

karir yang tidak dirasakan oleh perawat senior,

serta ada ketidaksesuaian antara harapan dengan

yang kenyataan.

Yayah, et al., Iklim Kerja Berkontribusi terhadap Kepuasan Kerja Perawat 77

Berdasarkan jenis kelamin didapatkan angka

kepuasan lebih tinggi pada perawat laki-laki

daripada pada perawat perempuan. Meskipun

demikian tidak terdapat hubungan antara jenis

kelamin dengan kepuasan kerja. hasil ini berbeda

dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh

Jayasuria, et al., (2012) yang menunjukkan ke-

puasan kerja lebih tinggi pada perawat perempuan

daripada perawat laki-laki, walaupun ada ke-

samaan hasil bahwa tidak terdapat hubungan

antara jenis kelamin dengan kepuasan kerja

perawat.

Terdapat perbedaan kepuasan kerja pada perawat

perempuan dengan kepuasan kerja pada perawat

laki-laki yang bekerja di rumah sakit militer.

Kepuasan kerja lebih tinggi persentasenya pada

perawat laki-laki, sedangkan jumlah perawat

perempuan lebih banyak dari pada jumlah

perawat laki-laki. Robbins dan Judge (2013)

mengemukakan bahwa perempuan memiliki

peran dan tanggung jawab dalam keluarga sebagai

pengasuh anak, dan pencari nafkah sekunder.

Hal ini perlu disikapi oleh pihak manajemen

rumah sakit dengan meningkatkan program dan

kebijakan yang dapat meningkatkan kepuasan

kerja pada perawat.

Perawat pelaksana yang menjadi responden

seluruhnya berpendidikan DIII Keperawatan,

sehingga penelitian ini tidak meneliti hubungan

pendidikan perawat dengan kepuasan kerja

perawat di rumah sakit tersebut. Hasil penelitian

Jayasuria, et al., (2012) menunjukkan bahwa

pendidikan perawat memiliki hubungan yang

bermakna dengan tingkat kepuasan kerja.

Penelitian ini menunjukkan bahwa tidak terdapat

hubungan antara lama kerja dengan kepuasan

kerja perawat. Berbeda dengan pendapat Siagian

(2009) yang menyatakan bahwa pengalaman

kerja menyebabkan seseorang semakin terampil

untuk menyelesaikan permasalahan dalam pe-

kerjaannya, sehingga dapat menimbulkan ke-

puasan. Pendapat Siagian diperkuat oleh hasil

penelitian Jayasuria, et al., (2012) yang me-

nunjukkan bahwa perawat dengan lama kerja

0–5 tahun dengan usia kurang dari 35 tahun

memiliki tingkat kepuasan lebih rendah dan

tingkat turnover yang lebih tinggi, sedangkan

perawat dengan masa kerja lebih lama me-

miliki kepuasan kerja lebih tinggi hubungan ini

bermakna dengan nilai p< 0,01.

Penelitian ini menunjukkan bahwa kepuasan kerja

lebih tinggi pada perawat dengan lama kerja

kurang dari 5 tahun, sedangkan kepuasan kerja

rendah pada perawat yang telah bekerja lebih

dari 5 tahun. Hal ini disebabkan karena belum

ada penerapan jenjang karir yang jelas bagi

perawat, sehingga status perawat yang masih

baru bekerja dengan perawat yang sudah lama

bekerja tidak ada perbedaan. Sesuai dengan

penelitian yang dilakukan oleh Suroso (2011)

bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara

persepsi tentang jenjang karir dengan kepuasan

kerja perawat. Perawat yang memiliki persepsi

baik tentang jenjang karir cenderung lebih puas

dibandingkan dengan perawat yang memiliki

persepsi kurang baik tentang jenjang karir.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa perawat

di unit rawat jalan memiliki kepuasan kerja

lebih tinggi persentasenya dibandingkan dengan

pera-wat yang bertugas di unit rawat inap. Hal

ini disebabkan adanya perbedaan penjadwalan

yang berlaku dimasing-masing unit. Unit rawat

jalan memberlakukan jadwal 2 shift dinas pagi

dan sore, serta libur pada akhir pekan dan hari

libur nasional. Jadwal di unit rawat inap mem-

berlakukan 3 shift, yaitu dinas pagi, sore, dan

malam, serta tidak selalu mendapatkan libur di

akhir pekan dan hari libur nasional. Marquis

dan Huston (2010) menyatakan bahwa pen-

jadwalan merupakan faktor yang penting dalam

meningkatkan ketidakpuasan dan kepuasan

kerja, serta retensi perawat selanjutnya. Pihak

manajemen rumah sakit seharusnya dapat me-

nyikapi hal ini agar dapat meningkatkan ke-

puasan kerja perawat.

Perawat yang bertugas di unit rawat inap dapat

membandingkan dirinya dengan perawat yang

bertugas di unit rawat jalan atas adanya per-

bedaan penjadwalan tersebut, sesuai dengan

teori keadilan (equity theory). Pendapat Wood

(2008) teori keadilan adalah teori motivasi

yang memberikan penjelasan tentang penyebab

Jurnal Keperawatan Indonesia, Vol. 18, No. 2, Juli 2015, hal 72-80 78

kepuasan kerja dan ketidakpuasan, dimana

individu akan membandingkan dirinya dengan

orang lain yang bekerja di tempat yang sama

atau di tempat yang berbeda.

Rumah sakit tempat penelitian ini dilakukan

memiliki sistem manajemen yang mengacu

kepada kebijakan dari Kementerian Pertahanan

RI. Rumah sakit ini tidak memiliki kebijakan

mengenai insentif untuk perawat yang bertugas

jaga malam sebagai kompensasi atau reward.

Perawat yang bertugas diperlakukan sama dengan

PNS Kementerian Pertahanan pada umumnya.

Hal ini menyebabkan perawat di unit rawat inap

merasakan ada ketidaksesuaian harapan dengan

kenyataan. Hal ini sesuai dengan teori dis-

crepancy theory.

Perbedaan kepuasan kerja perawat yang ber-

tugas di unit rawat inap dengan kepuasan kerja

perawat yang bertugas di unit rawat jalan ini

hendaknya menjadi perhatian pihak manajemen

rumah sakit. Marquis dan Huston (2003; 2010)

menyatakan bahwa bagi sebagian perawat,

tuntutan untuk bekerja di malam hari, sore

hari, akhir pekan, dan hari libur dapat me-

nimbulkan stres dan frustasi. Berdasarkan hal

ini, hendaknya rumah sakit dapat membuat

kebijakan untuk memberlakukan sistem reward

berupa insentif bagi perawat yang bertugas

jaga malam agar perawat merasakan adanya

penghargaan atas pengorbanan waktu dan me-

rasa adanya perlakuan adil dari pimpinan.

Penelitian ini bersifat umum, sehingga keter-

batasan dalam penelitian ini adalah tidak dapat

menggali lebih jauh bagaimana budaya orga-

nisasi dan iklim kerja yang ada dirumah sakit

yang bersifat militer.

Implikasi penelitian bagi manajemen pelayanan

keperawatan adalah hasil penelitian ini dapat

dijadikan bahan pertimbangan bagi manajemen

keperawatan dan manajemen rumah sakit untuk

segera melakukan evaluasi dan menerapkan

sistem yang dapat menumbuhkan kepuasan

kerja bagi perawat. Memahami harapan dari

staf terhadap pimpinan dan manajemen ke-

perawatan, melengkapi alat dan fasilitas yang

masih dirasakan kurang, menerapkan sistem

reward yang jelas bagi perawat yang berhasil

melaksanakan tugasnya sekecil apapun itu.

Mengusulkan kebijakan untuk memberikan

insentif bagi perawat yang bertugas jaga malam.

Perawat yang merasa pekerjaannya dihargai

akan melaksanakan pekerjaan dengan baik dan

hal ini tentu akan berpengaruh terhadap pe-

layanan dan keselamatan pasien.

Hasil penelitian ini dapat menjadi dasar bagi

penelitian selanjutnya untuk melakukan pe-

nelitian lebih dalam mengenai iklim kerja di

rumah sakit yang bersifat militer serta kaitan-

nya dengan kepuasan kerja perawat. Penelitian

selanjutnya juga dapat lebih berkembang agar

mendapatkan hasil yang lebih komprehensif,

dengan menggunakan metode kuantitatif dan

kualitatif.

Kesimpulan

Kesimpulan dari penelitian ini didapatkan bahwa

karakteristik perawat di rumah sakit ini ma-

yoritas berusia antara 26 sampai 35 tahun,

jenis kelamin perempuan, berpendidikan DIII

Keperawatan dengan lama kerja 2 sampai 5

tahun, dan bekerja di unit rawat inap. Perawat

yang merasa iklim kerja baik memiliki pro-

porsi lebih besar dibandingkan dengan perawat

yang merasa iklim kerja tidak baik.

Perawat yang merasa puas dengan pekerjaannya

memiliki proporsi yang sama dengan dengan

perawat yang tidak puas. Terdapat hubungan yang

bermakna antara iklim kerja dengan kepuasan

kerja perawat di rumah sakit, termasuk didalamnya

sub variabel dari iklim kerja alat dan fasilitas,

penghargaan, rancangan pekerjaan, dukungan

dan pengembangan karir. Terdapat sub variabel

dari iklim kerja yang tidak berhubungan dengan

kepuasan kerja perawat. Sub variabel tersebut

adalah harapan. Tidak terdapat hubungan antara

karakteristik perawat dengan kepuasan kerja

perawat.

Saran kepada manajemen pelayanan keperawat-

an diharapkan dapat meningkatkan iklim kerja

yang dapat mendukung peningkatan kepuasan

Yayah, et al., Iklim Kerja Berkontribusi terhadap Kepuasan Kerja Perawat 79

kerja perawat, antara lain dengan menerapkan

sistem reward yang jelas bagi perawat yang

berprestasi. Manajemen keperawatan juga dapat

mengusulkan kebijakan kepada manajemen

rumah sakit mengenai insentif jaga malam bagi

perawat pelaksana, dan juga dapat mengusul-

kan kepada manajemen rumah sakit untuk

penyediaan alat dan fasilitas yang mendukung

pekerjaan perawat dalam melakukan asuhan

keperawatan.

Saran untuk penelitian selanjutnya agar dapat

mengembangkan metode penelitian ini lebih

dalam tentang iklim kerja di rumah sakit yang

bersifat militer dan melakukan analisis pengaruh

dari iklim kerja terhadap kepuasan kerja.

Selain itu, penelitian selanjutnya dapat lebih

mengembangkan kuesioner yang meneliti iklim

kerja (RR, INR, AR).

Referensi

Dariyo, A. (2004). Psikologi perkembangan

remaja. Bogor: Ghalia Indonesia.

Farjam, H., Razak, A. & Jafar, N. (2013).

Pengaruh dimensi iklim kerja terhadap

kepuasaan kerja perawat di Instalasi Rawat

Inap RSUD I.A. Moeis Samarinda tahun

2013. (Tesis magister tidak dipublikasikan).

Universitas Hasanudin, Makasar.

Jayasuriya, R., Whittaker, M., Halim, G., &

Matineau, T. (2012). Rural health workers

and their work environment: The role of

inter-personal factors on job satisfaction of

nurses in rural Papua New Guinea. BMC

Health Services Research, 12, 156.

Marquis, B.L., & Huston, C.J. (2010). Leadership

Roles and management function in nursing:

Theory & Aplication (4th Ed). (Widyawati,

Wilda E.H., Fruliolina A., Penerj).

Philadephia: Lippincott Williams & Wilkins.

(Buku asli diterbitkan tahun 2003).

Martin, H. & Proenca, T. (2012). Minnestota

satisfaction questionnaire psychometric

properties and validation in a population of

Portuguese hospital workers. FEP Economics

and Management. Diperoleh dari

http://wps.fep.up.pt/wps/wp471.pdf

Mayo, J.L. (2004). The effects of work environment

on job satisfaction in the nursing workforce

(Disertasi Doktor). Diperoleh dari ProQuest

Information and Learning Company (UMI

No 3135667).

Meeusen, V.C., Van Dam, K., Brown-Mahoney,

C., Van Zundet, A.A., & Knape, H. T.

(2011). Work climate related to job

satisfaction among Dutch nurse anesthetists,

American Association of Nurse Anesthetists

Journal, 79 (1), 63–70.

Robbins, S.P., & Judge, T.A. (2013). Essential of

organizational behavior, Global Edition,

New Jersey: Pearson Education Inc.

Siagian, S.P. (2009). Manajemen sumber daya

manusia. Jakarta: Bumi Aksara.

Suroso, J. (2011). Hubungan persepsi tentang

jenjang karir dengan kepuasan kerja dan

kinerja perawat RSUD Banyumas, (Tesis

magister) FIK-UI. Diperoleh dari

lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20281624-

T%20Jebul%20Suroso.pdf

Sahar, M., Ahmed, A., Lamiaa, A., Elsayed,

Nahed, S. & El-Nagger. (2013). Effect of

motivation versus de-motivation on job

satisfaction among the nurses working in

Hera General Hospital at Makkah Al-

Mukramh. Life Science Journal, 10 (2), 450–

457. doi: 10.4103/2348-6139.151294

Schiestel, C. (2007). Job satisfaction among

Arizona adult nurse practitioners. Journal of

the American Academy of Nurse

Practitioners, 19 (1), 30–34.

Tanner, Jr. B.M. (2007). An analysis of the

relationships among job satisfaction,

organizational trust, and organizational

commitment in an acute care hospital

(Disertasi Doktor). Diperoleh dari ProQuest

Information and Learning Company (UMI

No 3266765).

Triwibowo, C. (2013). Manajemen keperawatan di

rumah sakit. Jakarta: Trans Info Media.

Jurnal Keperawatan Indonesia, Vol. 18, No. 2, Juli 2015, hal 72-80 80

Weiss, D.J., Dawis, R.V., England, G.W. &

Lofquist, L.H. (1967). Mannual for the

Minnesota satisfaction questionnaire.

Minneapolis: Industrial Realtions Center,

University of Minnesota.

Wood, N.E. (2008). A study on the relationship

between perceived leadership styles of

hospital clinical leaders and perceived

empowerment, organizational commitment,

and job satisfaction of subordinate hospital

nurses in a management position (Disertasi

Doktor). Diperoleh dari ProQuest LLC.

(UMI No 3336849).

Jurnal Keperawatan Indonesia, Volume 18 No.2, Juli 2015, hal 81-87

pISSN 1410-4490, eISSN 2354-9203

KUALITAS TIDUR ANAK USIA SEKOLAH YANG MENJALANI

KEMOTERAPI DI RUMAH SAKIT KANKER

Novita Dewi Rahmayanti*1, Nur Agustini2

1. Program Studi Magister, Fakultas Ilmu Keperawatan, Universitas Indonesia, Depok 16424, Indonesia

2. Fakultas Ilmu Keperawatan, Universitas Indonesia, Depok 16424, Indonesia

*E-mail: [email protected]

Abstrak

Kemoterapi diyakini efektif dalam menghambat pertumbuhan sel kanker. Namun demikian kemoterapi juga

menimbulkan efek samping bagi penderita kanker, salah satunya yaitu gangguan pemenuhan kebutuhan tidur. Penelitian

ini bertujuan untuk mendapatkan informasi tentang gambaran kualitas tidur anak usia sekolah yang sedang menjalani

kemoterapi di rumah sakit kanker. Penelitian menggunakan metode potong-lintang dengan melibatkan 40 responden

yang diambil dengan teknik total sampling. Responden mengisi kuesioner berupa data demografi dan kuesioner

Pittsburgh Sleep Quality Index (PSQI). Analisa data menggunakan uji univariat. Hasil penelitian menunjukkan rerata

skor PSQI adalah 7 dari maksimal 21 (95% CI, 6,24–7,76) yang berarti responden memiliki kualitas tidur buruk.

Tenaga kesehatan (khususnya perawat) diharapkan dapat melakukan monitoring untuk evaluasi pemenuhan kebutuhan

tidur anak kanker.

Kata kunci: anak usia sekolah, kanker, kemoterapi, kualitas tidur

Abstract

Quality of Sleep of School Age Children are Undergoing Chemotheraphy in Cancer Hospital Chemotherapy is

believed to be effective in inhibiting cancer cell’s growth. However, this therapy has side effects for cancer patients, one

of them is sleeping needs disturbance. This study aims to get information about the status of sleep quality in school-age

children whom are undergoing chemotherapy at cancer hospital, Jakarta. This study used cross sectional design with

40 participants using total sampling technique. Participants filled the questionnaire consisting of demographic data

and the Pittsburgh Sleep Quality Index (PSQI). This study was analyzed using univariate test. The result showed that

participants have quality sleep index with average score 7 from total 21 (95% CI, 6,24–7,76). It’s indicated that

participants have poor sleep quality. Health providers (especially nurses) are expected to conduct monitoring to

evaluate sleep quality in children with cancer.

Keywords: cancer, chemotherapy, school-age children, sleep quality

Pendahuluan

Angka kejadian kanker pada anak semakin me-

ningkat. Tahun 2004 dilaporkan terdapat 160.000

kasus baru kanker pada anak usia 0–15 tahun di

dunia. WHO juga mencatat 90.000 anak meninggal

dunia setiap tahunnya karena sakit kanker. Bebe-

rapa faktor yang dapat memengaruhi diantaranya

adalah kurangnya tingkat pengetahuan dan

kesadaran masyarakat tentang kanker, tingkat

ekonomi yang rendah, dan budaya masyarakat

(WHO, 2010). Kanker pada anak tidak menunjuk-

kan prevalensi tinggi seperti penyakit infeksius,

namun kanker menempati sepuluh besar penyebab

mortalitas pada anak di beberapa negara di dunia.

Di Amerika Serikat dan Kanada pada tahun 2006,

kanker menjadi penyebab kematian nomor dua

pada anak setelah kecelakaan (unintentional

injury) (Center for Disease Control/ CDC, 2007).

Tahun 2005 di India kanker menduduki peringkat

ke delapan sebagai penyebab kematian anak usia

5 sampai 14 tahun.

Prevalensi kanker di Indonesia menurut Yayasan

Kanker Indonesia (YKI) diperkirakan 100 pen-

derita kanker baru dari setiap 100.000 penduduk

Jurnal Keperawatan Indonesia, Vol. 18, No. 2, Juli 2015, hal 81-87 82

(Depkes, 2008). Pada prevalensi kanker pada

anak 4,9% dengan kasus terbanyak leukemia,

sehingga paling tidak terdapat 4100 kasus kanker

baru pada anak di Indonesia di tahun tersebut.

Data Rumah Sakit Kanker Dharmais (RSKD)

(2013) menunjukkan telah terjadi peningkatan

jumlah prevalensi penderita kanker pada anak.

Pada tahun 2013 prevalensi kanker pada anak

yang dirawat di RSKD leukemia 39%, limfoma

10,63%, osteosarkoma 6,38%, rhabdomiosarkoma

6,38%, neuroblastoma 5,67%, retinoblastoma

4,25%, tumor otak 3,54%, karsinoma nasofaring

2,83%, tumor germinal 2,12%, kanker ovarium

2,12%, tumor Willms 1,41%, dan kanker/tumor

lainnya 15,6%. Dalam kurun waktu tiga tahun

terakhir (2011–2013) urutan tiga besar kanker

anak yang terbanyak di RSKD adalah leukemia,

limfoma, dan osteosarkoma (RSKD, 2013).

Penanganan dan pengobatan kanker semakin

maju dan berkembang. Hal ini membuat angka

harapan hidup pada anak kanker semakin me-

ningkat. Otto, Fulton, dan Langhorne (2007)

menjelaskan bahwa harapan hidup pasien kanker

selama lima tahun terakhir setelah pasien men-

dapatkan diagnosa pasti kanker meningkat dari

4% di 1960-an menjadi 80% pada tahun 2000.

Kemoterapi merupakan salah satu terapi pengobat-

an kanker yang dapat menghambat pertumbuhan

dan membunuh sel kanker (DiSaia & Creasman,

2007). Pilihan pengobatan melalui kemoterapi

banyak menimbulkan efek samping seperti mual

dan muntah, keletihan, ansietas, bahkan bisa

mengalami gangguan tidur (Gedaly-Duff, et

al., 2006).

Hasil penelitian American Society of Clinical

Oncology menunjukkan bahwa sekitar 52% pasien

kanker melaporkan kesulitan untuk tidur karena

insomnia. Sejumlah 58% melaporkan bahwa pe-

nyakit kanker yang mereka alami menyebabkan

perburukan pada kualitas tidur. Pasien kanker

mengeluhkan bahwa mereka sulit untuk memulai

tidur, memperoleh kepulasan tidur, dan merasa

kelelahan di pagi hari.

Anak usia sekolah yang kanker juga diduga

mengalami perubahan kualitas tidur. Pada tahap

perkembangannya anak usia sekolah memerlukan

istirahat dan tidur yang adekuat untuk meng-

akomodasi aktivitas keseharian anak yang tinggi.

Tidur juga sangat penting dalam memelihara

fungsi kognitif anak, seperti kemampuan ber-

konsentrasi, berpikir, belajar, dan menyelesaikan

masalah pada tahap tumbuh kembangnya. Jumlah

jam tidur normal untuk anak usia sekolah sekitar

10 jam per hari. Anak usia sekolah yang kanker

perlu mendapat perhatian perawat dan orang tua

agar anak mendapatkan jumlah tidur yang ade-

kuat sesuai usianya.

Penelitian ini berfokus untuk mendapatkan infor-

masi tentang gambaran kualitas tidur pada anak

kanker usia sekolah yang menjalani kemoterapi.

Hasil penelitian dapat mengevaluasi kecukupan

tidur dan istirahat anak kanker. Selanjutnya,

perawat dapat merencanakan terapi untuk

meningkatkan kualitas tidur anak jika terdapat

masalah pemenuhan kebutuhan tidur, baik

melalui terapi mandiri maupun kolaborasi.

Metode

Desain penelitian menggunakan pendekatan

kuantitatif potong lintang. Instrumen penelitian

yang digunakan adalah kuesioner. Penilaian

terhadap kualitas tidur anak kanker dilakukan

dengan mengisi kuesioner karakteristik responden

dan instrumen Pittsburgh Sleep Quality Index

(PSQI). Data karakteristik responden terdiri dari

jenis kelamin, umur, status pendidikan, tingkat

pendidikan, kebiasaan sebelum tidur selama di

rumah/rumah singgah, kebiasaan sebelum tidur di

rumah sakit, kebiasaan yang mendukung tidur,

jenis sakit kanker, lama periode kemoterapi, dan

jenis obat kemoterapi yang diperoleh klien. Ins-

trumen PSQI terdiri dari pengkajian terhadap

kualitas tidur secara subjektif, waktu mulainya

tidur, lamanya tidur, efisiensi tidur, gangguan tidur,

kebiasaan penggunaan obat untuk membantu

tidur, dan aktivitas sehari-hari yang terkait dengan

tidur (Buysse, Reynolds, Monk, & Berman, 1989).

Rahmayanti, et al., Kualitas Tidur Anak Usia Sekolah yang Menjalani Kemoterapi 83

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini

merupakan instrumen baku namun peneliti tetap

melakukan uji validitas untuk menguji keterba-

caan setelah dilakukan alih bahasa. Uji validitas

dilakukan pada tiga anak kanker yang sedang

menjalani kemoterapi di yayasan kanker di

wilayah Jakarta. Hasil uji validitas didapatkan

bahwa ketiga anak dapat memahami isi dan

maksud pertanyaan dalam kuesioner, sehingga

peneliti menyimpulkan instrumen dapat dipakai

pada responden anak kanker usia sekolah di

rumah sakit kanker.

Responden dalam penelitian ini sebanyak 40 anak

yang dipilih dengan teknik total sampling. Ana-

lisis yang digunakan pada penelitian ini adalah

analisis univariat yang dilakukan pada seluruh

variabel penelitian. Untuk mengetahui status

kualitas tidur responden, hasil penghitungan pada

instrumen PSQI dikategorikan berdasarkan

klasifikasi kualitas tidur, yaitu baik dan buruk.

Instrumen PSQI memiliki rentang skor 0 sampai

dengan 21. Skor total PSQI yang lebih dari 5

menunjukkan responden memiliki kualitas tidur

yang buruk dan skor kurang dari atau sama dengan 5

menunjukkan kualitas tidur baik (Buysee, et al.,

1989).

Hasil

Hasil penelitian diuraikan sebagai berikut: karak-

teristik responden (jenis kelamin, status pendidikan,

tingkat pendidikan, jenis kanker); usia dan periode

kemoterapi; penggunaan obat kemoterapi) dan

kualitas tidur pasien kanker anak berdasarkan

PSQI.

Tabel 1 menggambarkan responden perempuan

lebih banyak dari pada laki-laki yaitu 21 (52,5%)

dengan status pendidikan responden mayoritas

sekolah (70%). Pada tingkat pendidikan didapat-

kan tiga urutan terbanyak responden yaitu kelas 1

SD (22,5%), kelas 3 SD (17,5%), dan TK dan

SMP (15%). Kebiasaan sebelum tidur di rumah,

rumah singgah dan di rumah sakit yang paling

banyak dilakukan yaitu menonton televisi sebesar

50% dan 37,5%. Kebiasaan yang mendukung

tidur responden adalah tidur bersama orang tua

(30%). Untuk jenis kanker diperoleh tiga besar

kanker yang banyak diderita oleh responden yaitu

leukemia (35%), limfoma (25%), dan osteosar-

koma (12,5%).

Pada Tabel 2 dapat dilihat bahwa rerata usia

responden penelitian yaitu 8,7 tahun dengan

interval kepercayaan 7,98–9,42. Sementara rerata

periode kemoterapi yang telah dijalani

responden yaitu 6,25 bulan dengan interval

kepercayaan 4,31–6,25.

Tabel 3 menjelaskan bahwa obat kemoterapi

dapat diberikan secara tunggal maupun kombinasi.

Penggunaan kombinasi obat golongan antimeta-

bolites dengan alkaloid tanaman dan kombinasi

golongan alkylating agent dengan tanaman meru-

pakan obat yang paling banyak digunakan yaitu

masing- masing 15%. Pada Tabel 4 menunjukkan

bahwa rata rata skor PSQI anak usia sekolah yang

men-jalani kemoterapi di rumah sakit kanker

adalah 7 (SD= 2,386) yang mengindikasikan

kualitas tidur buruk.

Pembahasan

Anak usia sekolah berjenis kelamin perempuan

yang dirawat lebih banyak. Hasil ini tidak sejalan

dengan data dari Departemen Kesehatan RI

(2005) yang memaparkan bahwa kanker pada

anak laki-laki jumlahnya lebih banyak. Kualitas

tidur paling baik dialami oleh anak perempuan

(23,81%). Hasil ini bertolak belakang dengan

penelitian Burgard (2010) yang menyatakan

bahwa perempuan memiliki kualitas tidur yang

lebih buruk daripada laki-laki. Burgard men-

jelaskan 58% responden perempuan remaja dan

dewasa awal memiliki kualitas tidur yang buruk

disebabkan karena faktor stres, beban kerja, dan

ketidakseimbangan hormon saat menstruasi dan

kehamilan.

Status pendidikan responden yang bersekolah

sebesar 70%. Anak yang sekolah mayoritas me-

miliki kualitas tidur yang buruk (67,85%). Anak

yang tidak sekolah pun memiliki kualitas tidur

yang lebih buruk daripada yang sekolah. Hal ini

sejalan dengan penelitian Betz dan Sowden (2009)

yang menyatakan bahwa anak biasanya merasa

jenuh dengan proses pengobatan, hospitalisasi,

Jurnal Keperawatan Indonesia, Vol. 18, No. 2, Juli 2015, hal 81-87 84

dan keterbatasan aktivitas harian karena penyakit

kanker. Responden penelitian paling banyak

duduk di SD kelas 1 dengan jumlah 22,5 % dari

total responden. Distribusi tingkat pendidikan ini

sejalan dengan penelitian Gurney (2005) yang

menemukan data bahwa prevalensi anak kanker

terbanyak pada usia sekolah.

Menonton televisi merupakan kebiasaan yang

paling sering dilakukan anak sebelum tidur. Hal

Tabel 1. Karakteristik Responden Menurut Jenis Kelamin, Status Pendidikan, Tingkat Pendidikan, Kebiasaan

Sebelum Tidur di Rumah dan Rumah Sakit, Kebiasaan yang Mendukung Tidur dan Jenis Sakit

Kanker di RS Kanker

Variabel Jumlah (n) Presentase (%)

Jenis kelamin

a. Laki laki 19 47,5

b. Perempuan 21 52,5

Status Pendidikan

a. Sekolah 28 70

b. Tidak sekolah 12 30

Tingkat Pendidikan

a. TK 6 15

b. SD kelas 1 9 22,5

c. SD kelas 2 4 10

d. SD kelas 3 7 17,5

e. SD kelas 4 1 2,5

f. SD kelas 5 4 10

g. SD kelas 6 3 7,5

h. SMP kelas 1 6 15

Kebiasaan sebelum tidur di rumah/rumah singgah

a. Menonton TV 20 50

b. Bermain game 7 17,5

c. Bermain internet 2 5

d. Membaca buku 6 15

e. Mengobrol 1 2,5

f. Lainnya 4 10

Kebiasaan sebelum tidur di rumah sakit

a. Menonton TV 15 37,5

b. Bermain game 8 20

c. Bermain internet 3 7,5

d. Membaca buku 2 5

e. Mengobrol 9 22,5

f. Lainnya 3 7,5

Kebiasaan yang mendukung tidur

a. Minum susu / empeng 8 20

b. Mematikan lampu kamar 6 15

c. Tidur bersama ibu/ ayah/ orang tua 12 30

d. Tidur ditemani mainan kesayangan 8 20

e. Lainnya 6 15

Jenis sakit kanker

a. Leukemia 14 35

b. Retinoblastoma 1 2,5

c. Tumor otak 0 0

d. Neuroblastoma 2 5

e. Osteosarkoma 5 12,5

f. Limfoma 10 25

g. Lainnya 8 20

Rahmayanti, et al., Kualitas Tidur Anak Usia Sekolah yang Menjalani Kemoterapi 85

Tabel 2. Karakteristik Responden Berdasarkan Usia dan Periode Kemoterapi Responden di RS Kanker

Variabel Mean Median SD 95% CI

Usia 8,7 8 2,244 7,98–9,42

Periode kemoterapi 6,25 4 6,071 4,31–6,25

Tabel 3. Karakteristik Penggunaan Obat Kemoterapi yang Diterima Responden di RS Kanker

Kombinasi Obat Jumlah (n) Presentase (%)

Alkylating agen 5 12,5

Antimetabolites 4 10

Antibiotik 1 2,5

Alkaloid tanaman 4 10

Alkylating agen, Antimetabolites 1 2,5

Antimetabolites, Alkaloid tanaman 6 15

Alkylating agen, Alkaloid tanaman 6 15

Alkylating agen, Antimetabolites 2 5

Alkylating agen, Anthracyclines 5 12,5

Antimetabolites, Anthracyclines, Alkaloid tanaman 3 7,5

Alkylating agen, Antimetabolites, Alkaloid tanaman 2 5

Alkylating agen, Anthracyclines, Alkaloid 1 2,5

Total 40 100

Tabel 4. Kualitas Tidur Responden Berdasarkan Skor PSQI di RS Kanker

Variabel Mean Median SD 95% CI

Kualitas tidur subjektif (0–3) * 1,1 1 0,632 0,9–1,3

Latensi tidur (0–3) * 1,38 1 0,586 1,19–1,56

Durasi tidur (0–3) * 0,20 0 0,464 0,05–0,35

Efisiensi tidur (0–3) * 0,80 1 0,883 0,52–1,08

Gangguan tidur (0–3) * 1,9 2 0,545 1,73–2,07

Penggunaan obat tidur (0–3) * 0,15 0 0,362 0,03–0,27

Gangguan beraktifitas (0–3) * 1,48 1,5 0,640 1,27–1,68

PSQI (0–21) * 7 7 2,386 6,24– 7,76

ini dijelaskan oleh National Sleep Foundation

(2013) bahwa tren kebiasaan yang paling banyak

dilakukan oleh anak usia sekolah sebelum tidur

adalah menonton televisi dan bermain games.

Kebiasaan ini muncul sebagai akibat perkem-

bangan teknologi dan kecanggihan peralatan yang

memfasilitasi kebutuhan anak saat ini. Kebiasaan

sebelum tidur yang paling banyak dilakukan oleh

responden di rumah sakit juga menonton televisi.

Kebiasaan yang paling sering dilakukan anak

untuk mendukung tidurnya adalah anak tidur

bersama orang tua. Kebiasaan tidur bersama orang

tua dilakukan oleh 30% responden penelitian.

Anak-anak umumnya membutuhkan rasa aman

dan nyaman sebelum tidur. Oleh karena itu anak

biasanya memiliki kebiasaan-kebiasaan unik yang

dilakukan sebelum tidur. Kebiasaan yang men-

dukung tidur seperti tidur bersama orang tua

hendaknya mulai dikurangi secara perlahan pada

anak usia sekolah (Klirgmen & Arvin, 2009). Hal

ini berkaitan dengan pembiasaan kemandirian

anak untuk memenuhi kebutuhan tidur maupun

yang lain.

Jurnal Keperawatan Indonesia, Vol. 18, No. 2, Juli 2015, hal 81-87 86

Jenis kanker yang dialami responden yaitu leu-

kemia (35%), limfoma (25%), dan osteosarkoma

(12,5%). Menurut Departemen Kesehatan RI

(2009) prevalensi leukemia merupakan kanker

yang paling banyak diderita anak usia 0–17 tahun.

Data Rumah Sakit Kanker Dharmais (2013) juga

menyebutkan leukemia merupakan jenis kanker

yang paling banyak ditemukan pada pasien anak

tahun 2009–2013. WHO (2010) juga menyebutkan

bahwa leukemia merupakan insiden kanker yang

paling sering dialami anak di dunia. Mayoritas

jenis kanker mengakibatkan kualitas tidur yang

buruk bagi responden. American Cancer Society

(2013) menjelaskan bahwa 85,3% anak akan

mengalami gangguan tidur pada awal diagnosis

kanker jenis apapun dan saat menjalani pengo-

batan kemoterapi.

Golongan obat tunggal maupun kombinasi meng-

akibatkan kualitas tidur buruk pada responden.

Penelitian Meckler (2009) menyebutkan bahwa

75,6% anak yang mendapatkan obat kemoterapi

akan mengalami neutropenia, trombositopenia,

dan anemia yang mengakibatkan reaksi radang

(demam) yang mengakibatkan perburukan pe-

menuhan tidur anak.

Rerata periode kemoterapi yang sudah dijalani

responden yaitu 6,25 bulan dari rentang 1–26

bulan. Variasi periode kemoterapi ini terjadi karena

adanya perbedaan fase kemoterapi yang sedang

dijalani responden. Responden ada yang masih

dalam fase induksi, konsolidasi, maupun main-

tenance pada kemoterapi tumor padat dan fase

induksi, konsolidasi, intensidikasi, dan main-

tenance pada tumor cair (RS Kanker Dharmais,

2013).

Kualitas tidur anak usia sekolah yang menjalani

kemoterapi di rumah sakit kanker diukur dengan

menggunakan instrumen PSQI yang memiliki

rentang skor 0 sampai 21. Skor total PSQI yang

lebih dari lima menunjukkan responden memiliki

kualitas tidur buruk dan skor kurang dari atau

sama dengan 5 menunjukkan kualitas tidur baik

(Buysee, Reynolds, Monk, & Berman, 1989).

Kualitas tidur anak usia sekolah yang menjalani

kemoterapi di rumah sakit kanker rerata nilai 7

dengan interpretasi kualitas tidur buruk. Hasil ini

sejalan dengan penelitian Rosen dan Brand

(2011) yang dilakukan pada 70 anak kanker di

Amerika, menyatakan bahwa adanya kualitas

tidur yang buruk pada responden penelitian yang

disebabkan kejadian insomnia, hipersomnia, dan

gangguan bernafas.

Anak usia sekolah memiliki kerentanan untuk

mengalami gangguan tidur yang berkaitan dengan

peningkatan aktivitas anak seperti sekolah, ekstra-

kurikuler, bermain, dan kegiatan lain (Nutter,

2007). Pada penelitian ini selain anak berada pada

masa usia sekolah, anak juga memiliki faktor

predisposisi yang menyebabkan gangguan tidur

yaitu sakit kanker dan menjalani kemoterapi.

Kesimpulan

Anak usia sekolah berjenis kelamin perempuan

lebih banyak ditemukan pada penelitian ini dengan

kualitas tidur yang lebih baik daripada laki laki.

Responden memiliki rerata usia 8,7 tahun dari

rentang anak usia sekolah yaitu 6–12 tahun

Periode kemoterapi yang dijalani responden rata

rata berlangsung selama 6,25 dari rentang

waktu yaitu 1–26 bulan.

Responden yang menjalani kemoterapi di rumah

sakit kanker memiliki skor kualitas tidur rerata

yaitu 7 dari skor total 21 yang berarti kualitas

tidur buruk. Jenis sakit kanker yang paling

banyak diderita oleh responden anak usia

sekolah yaitu leukemia, limfoma dan

osteosarkoma.

Presentase masing-masing golongan obat kemote-

rapi yang diterima oleh responden yaitu alkylating

agent, antimetabolites, antibiotik, anthracyclines,

dan alkaloid tanaman. Penelitian ini menunjukkan

bahwa obat golongan alkylating agent dan

alkaloid tanaman merupakan obat yang paling

banyak diberikan pada responden saat

kemoterapi.

Hasil penelitian diharapkan dapat menjadi masuk-

an bagi pelayanan keperawatan untuk membuat

asuhan keperawatan yang lebih efektif pada pasien

anak kanker yang memiliki gangguan pemenuhan

kebutuhan tidur. Perawat dapat melakukan eva-

luasi kebutuhan tidur pasien dan kemudian dapat

Rahmayanti, et al., Kualitas Tidur Anak Usia Sekolah yang Menjalani Kemoterapi 87

dijadikan dasar dalam memberikan terapi mandiri

maupun kolaborasi (NN, INR).

Referensi

American Cancer Society. (2013). Cancer

statistics in USA. Altanta: American Cancer

Society.

American Cancer Society. (2011). Global cancer:

Facts & figures. United States: American

Cancer Society.

Betz, C.L., & Sowden, L.A. (2009). Buku saku

keperawatan pediatri (Edisi ke 5). (Eny M.,

Penerj). Jakarta: EGC. Buku asli ditertibkan

2004)

Buysse, D.J., Reynold, C.F., Monk, T.H., Berman,

S.R., & Kupfer, D.J. (1989). ThePittsburg

Sleep Quality Indeks (PSQI). Journal of

Psychiatric Research, 28 (2), 193–213.

Diperoleh dari http://findarticles.com/p/

articles/mi_mOFSS/is_4_12/ai_n 18616017.

CDC (Center for Disease Control and Prevention).

(2007). Leading causes of death of children

and youth. Diperoleh dari http://www.cdc.

gov.

Departemen Kesehatan RI. (2009). Buku saku

pencegahan kanker. Jakarta: Direktorat

Pengendalian Penyakit Tidak Menular

Departemen Kesehatan RI.

Departemen Kesehatan R.I. (2008). Profil

Kesehatan Indonesia. Jakarta: Departemen

Kesehatan RI.

DiSaia, P.J., & Creasman, W.T. (2007). Clinical

gynecologic oncology (7th Ed.). St. Louis:

Mosby.

Gedaly-Duff, V., Lee, K., Nail, L.M., Nicholson,

H.S., & Johnson, K.P. (2006). Pain, sleep

disturbance, and fatigue in children with

cancer and their parents: A pilot study.

Oncology Nursing Forum, 33, 641–646.

National Sleep Foundation. (2013). Annual sleep in

America exploring connections with

communications technology use and sleep.

Diperoleh dari http://sleepfoundation.org/

media-center/press-release/annual-sleep-ame

rica-poll-exploring-connections-communicat

ions-technology-use-/page/0,1/.

National Sleep Foundation. (2013). Children and

sleep. Diperoleh dari http://sleepfoundation.

org/sleep-topics/children-and-sleep/page/0, 1/.

Nutter, D.A. (2007). Sleep disorder: problems

associated with other disorders. Diperoleh

dari http:// emedicine.medscape.com/article/

916611-ov erview.

Otto, S.E., & Fulton, J., & Langhorne, M. (2007).

Oncology nursing (5th Ed.) St. Louis:

Mosby.

Rosen, S., & Brand, S. (2011). Sleep in children

with cancer: Case review of 70 children

evaluated in a comprehensive pediatric sleep

center. Supportive Care in Cancer, 19 (7),

985–994. doi: 10.1007/s00520-010-0921-y.

RS Kanker Dharmais. (2013). Registrasi Cancer.

Diperoleh dari http://www.dharmais.co.id

/index.php/registrasi-cancer.html.

WHO: Children’s Health and The Environment.

(2006). Cancer statistic in children. Diperoleh

dari www.who.int/ceh.

WHO. (2010). Children’s Health and the

environment: Children and cancer.

Diperoleh dari

http://apps.who.int/iris/bitstream/10665/431

62/1/9241562927_eng.pdf

WHO: Children’s Health and The Environment.

(2010). Children and cancer. Diperoleh dari

www.who.int/ceh.

Jurnal Keperawatan Indonesia, Volume 18 No.2, Juli 2015, hal 88-94

pISSN 1410-4490, eISSN 2354-9203

MENURUNKAN INDEKS MASSA TUBUH PEREMPUAN DEWASA

DENGAN KELEBIHAN BERAT BADAN DAN KEGEMUKAN MELALUI

LATIHAN FISIK INTERVAL TRAINING

Irma Darmawati1,2*, Agus Setiawan3, Henny Permatasari3

1. Sekolah Tinggi Ilmu Keperawatan PPNI Jawa Barat, Bandung 40161, Indonesia

2. Program Studi Magister, Fakultas Ilmu Keperawatan, Universitas Indonesia, Depok 16424, Indonesia

3. Fakultas Ilmu Keperawatan, Universitas Indonesia, Depok 16424, Indonesia

*E-mail: [email protected]

Abstrak

Sebagian besar kematian di dunia berhubungan dengan penyakit akibat kelebihan berat badan dan kegemukan. Latihan

fisik interval training menjadi alternatif untuk mengatasinya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh

latihan fisik interval training terhadap Indeks Massa Tubuh dengan menggunakan metode eksperimental semu dengan

kelompok kontrol yang melibatkan 44 sampel perempuan dewasa dengan masalah kelebihan berat badan dan

kegemukan. Hasil penelitian menunjukan bahwa latihan fisik interval training dapat memberikan manfaat penurunan

Indeks Massa Tubuh setelah 12 kali latihan (p= 0,000). Perawat komunitas diharapkan dapat mengimplementasikan

latihan fisik interval training sebagai bagian dari program pencegahan penyakit tidak menular di masyarakat.

Kata kunci: indeks massa tubuh, kelebihan berat badan, kegemukan, latihan fisik interval training, perempuan dewasa

Abstract

Reducing Body Mass Index of Adult Female who has Excessive Weight and Obesity through Physical Exercise of

Interval Training. Most of the deaths in the world are predominantly caused by diseases associated with overweight

and obesity. Interval training exercise could be an alternative to overcome that problem. The aim of the study was to

explain the effect of the interval training exercise on Body Mass Index. This research used a quasi-experimental design,

pre-post with control group that involved 44 samples of female adult suffered from overweight and obesity. The results

showed that Interval training could give the significant reduction of the body mass index after 12 times exercises (p=

0,000). Community nurses may consider to implement interval training exercise as a promising strategy for non-

communicable disease prevention program.

Keywords: adult female, BMI, interval training exercis, obesity, overweight

Pendahuluan

Sebagian besar (63%) kematian di dunia disebab-

kan karena penyakit tidak menular (WHO, 2011).

Jenis penyakit tersebut diantaranya diabetes

melitus, jantung, stroke, dan kanker (WHO, 2011).

Penyakit-penyakit tersebut dapat dipicu secara

tidak langsung oleh masalah ketidakseimbangan

metabolisme tubuh yang diakibatkan oleh kele-

bihan berat badan dan kegemukan yang menjadi

masalah global di banyak negara (Keller, 2008).

Prevalensi masalah kelebihan berat badan dan

kegemukan di Indonesia mengalami peningkatan

pesat selama kurun waktu 7 tahun terakhir. Data

Kemenkes tahun 2013 menyebutkan prevalensi

kelebihan berat badan dan kegemukan mencapai

23,6%, meningkat dari tahun 2007 sebesar

10,3%. Kota Depok juga memiliki prevalensi

cukup tinggi yakni sebesar 16,4% pada populasi

penduduk dewasa dengan rentang usia 18–55

tahun pada tahun 2007 dengan sebaran tertinggi

pada perempuan dewasa (21,6%) pada usia lebih

dari 25 tahun (Rahmawati & Sudikno, 2008).

Upaya pengelolaan masalah kelebihan berat badan

dan kegemukan dapat dilakukan melalui opti-

malisasi tindakan pencegahan penyakit. Upaya

pencegahan ini dapat dilakukan oleh perawat

Darmawati, et al., Menurunkan Indeks Massa Tubuh Perempuan Dewasa 89

melalui latihan fisik bagi masyarakat. Latihan

fisik dengan meningkatkan kualitas dan kuantitas

aktivitas fisik terbukti efektif dalam menurunkan

berat badan (Biggs, 2005). Salah satu bentuk

latihan fisik yang dapat dilakukan adalah interval

training. Latihan ini merupakan modifikasi dari

latihan dalam bentuk lari yang diselang-seling

dengan masa istirahat aktif (Boyd, 2012).

Whyte, Gill, dan Cathcar (2010) melakukan

penelitian yang dilakukan terhadap responden

dewasa dengan kelebihan berat badan dan

kegemukan. Intervensi latihan interval training

dilakukan selama enam kali pertemuan dalam dua

minggu dan memberikan hasil penurunan lingkar

pinggang dan lingkar panggul secara signifikan

(p= 0,004 dan p= 0,017). Peterson, Schnohr, dan

Sorensen (2004) berbeda pendapat, ditunjukkan

melalui studi longitudinal yang dilakukan pada

6279 responden dewasa di Copenhagen. Hasil

penelitian tersebut menunjukkan tidak ada penga-

ruh aktivitas fisik terhadap kejadian kelebihan

berat badan dan kegemukan. Penelitian tersebut

menunjukkan fakta sebaliknya bahwa kelebihan

berat badan dan kegemukan yang menjadi penye-

bab dari aktivitas fisik yang rendah.

Fenomena tersebut mendorong peneliti untuk

mengadakan penelitian mengenai pengaruh

latihan fisik interval training terhadap Indeks

Massa Tubuh (IMT) perempuan dewasa dengan

kelebihan berat badan dan kegemukan di Ke-

lurahan X Kota Depok. Penelitian ini bertujuan

mengidentifikasi apakah terdapat perubahan

berat badan setelah dilaksanakannya intervensi

latihan fisik, berupa latihan interval training

berupa lari 1,5 menit diselingi dengan jalan

cepat selama tiga menit dengan durasi selama

50 menit dilakukan tiga kali dalam seminggu

selama empat minggu (12 kali perlakuan) pada

perempuan dewasa dengan status kelebihan

berat badan dan kegemukan.

Metode

Penelitian ini menggunakan metode penelitian

kuantitatif dengan desain eksperimental semu

dengan kelompok kontrol dengan intervensi

latihan fisik interval training. Eksperimen yang

diberikan pada kelompok perlakuan adalah

latihan fisik 1,5 menit lari dilanjutkan tiga menit

istirahat aktif jalan santai, dilakukan pengulangan

sebanyak 10 kali dengan waktu total 50 menit/

pertemuan dan 150 menit/minggu.

Sampel dalam penelitian ini sebanyak 44 respon-

den yang ditentukan dengan menggunakan teknik

purposive sampling terhadap warga salah satu

kelurahan di Kota Depok. 22 responden dipilih

sebagai kelompok perlakuan dan 22 lainnya

sebagai kelompok kontrol. Sebelum penelitian

dilakukan, responden mendapat penjelasan ten-

tang prosedur penelitian. Jika responden setuju,

responden diminta menandatangani persetujuan

penelitian (informed consent).

Pengumpulan data penelitian menggunakan kue-

sioner yang berisi karakteristik dan lembar

observasi hasil pemeriksaan IMT. IMT yang

dikategorikan berdasarkan standar WHO (2004)

yaitu 25–29,9 menunjukkan masalah kelebihan

berat badan dan IMT ≥ 30 menunjukkan masalah

kegemukan. Analisis univariat digunakan untuk

menjelaskan karakteristik responden. Hasil pengu-

kuran IMT sebelum dan sesudah intervensi serta

perbedaan IMT pada kedua kelompok dianalisis

menggunakan uji t berpasangan setelah distribusi

data dipastikan normal.

Hasil

Responden sebagian besar berada pada rentang

dewasa pertengahan dengan tingkat pendidikan

tinggi dan hampir seluruh responden memiliki

persepsi bahwa kegemukan adalah masalah yang

harus diatasi. Seluruh responden memiliki ke-

biasaan mengonsumsi makanan tinggi lemak.

Seluruh responden mempunyai dan motivasi

intrinsik yang mendominasi motivasi responden

untuk berolahraga.

Rerata IMT pada kelompok intervensi dan kontrol

berada pada status nutrisi kelebihan berat badan

(overweight). Nilai IMT terkecil pada kedua

kelompok berada pada rentang status nutrisi

overweight dan nilai IMT terbesar berada pada

rentang status nutrisi kegemukan (obesitas). Hal

tersebut dapat dilihat pada Tabel 1.

Jurnal Keperawatan Indonesia, Vol. 18, No. 2, Juli 2015, hal 88-94 90

Tabel 1. Analisis Nilai IMT Sebelum Dilakukan

Latihan Interval Training pada Perempuan

Dewasa Kelebihan Berat Badan dan

Kegemukan

N Mean Median SD Min–Mak

IMT

(Kg/m2) 44 29,73 26,63 2,94 25,25–35,97

Tabel 2. Analisis Perubahan Nilai IMT pada

Kelompok Intervensi Perempuan Dewasa

Kelebihan Berat Badan dan Kegemukan

IMT (Kg/m2 ) n Mean SD p

Sebelum 22 29,84 2,94 0,001

Sesudah 22 29,42 2,98

Selisih -0,42 0,04

Tabel 3. Analisis Perubahan Nilai IMT pada

Kelompok Kontrol Perempuan Dewasa

Kelebihan Berat Badan dan Kegemukan

IMT (Kg/m2 ) n Mean SD p

Sebelum 22 29,62 3,01 0,030

Sesudah 22 29,91 3,14

Selisih 0,29 0,13

Tabel 4. Analisis Perbedaan Nilai IMT pada

Kelompok Intervensi dan Kontrol

Perempuan Dewasa Kelebihan Berat

Badan dan Kegemukan

IMT (Kg/m2 ) n Mean SD p

Intervensi 22 29,42 2,98 0,000

Kontrol 22 29,91 3,14

Setelah dilakukan latihan fisik interval training

pada kelompok intervensi selama 12 kali selama

4 minggu menunjukkan bahwa terjadi perubahan

yang bermakna pada IMT. Perubahan tersebut

adalah perubahan IMT bermakna positif atau

terjadi penurunan dari 29,84±2,94 menjadi 29,42±

2,98 (p= 0,001) (lihat pada Tabel 2).

Pada kelompok kontrol terjadi perubahan yang

bermakna negatif atau terjadi peningkatan dari

29,62±3,01 menjadi 29,91±3,14 (p= 0,03) (lihat

pada Tabel 3). Hasil penelitian menunjukkan

bahwa ada perubahan yang bermakna pada nilai

IMT setelah dilakukan latihan fisik pada ke-

lompok perlakuan maupun pada kelompok

kontrol dengan nilai p= 0,000 (lihat pada Tabel

4).

Pembahasan

Indeks Massa Tubuh (IMT) merupakan salah

satu indeks pengukuran yang dapat dilakukan

untuk menentukan status gizi. Perhitungan di-

dapatkan dengan membagi berat badan (Kg)

dengan kuadrat dari tinggi badan (meter).

Klasifikasi IMT menurut WHO (2004) diguna-

kan secara internasional di seluruh dunia yang

merefleksikan risiko diabetes tipe 2 dan penyakit

jantung yang menjadi penyebab utama kematian

pada kelompok usia dewasa yang angkanya

bervariasi di seluruh dunia.

Penelitian ini dilakukan pada responden dengan

nilai IMT diatas 25 Kg/m2. Rerata IMT seluruh

responden yang mengikuti penelitian ini berada

pada rentang kelebihan berat badan (overweight)

dengan nilai minimal IMT responden berada

pada rentang status kelebihan berat badan dan

rentang nilai maksimal pada status kegemukan.

Penelitian diikuti 23 responden dengan status

nutrisi kelebihan berat badan dan 21 responden

kegemukan.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa respon-

den yang diberi latihan fisik selama 12 kali dalam

satu bulan memperlihatkan adanya perbedaan

bermakna pada nilai rerata IMT. Sebelum latihan

fisik interval training rerata IMT kelompok

intervensi lebih besar dibandingkan kelompok

kontrol, namun hasil sesudah latihan fisik menun-

jukkan sebaliknya. Setelah latihan fisik interval

training terjadi penurunan rerata IMT kelompok

intervensi dan kenaikan rerata IMT di kelompok

kontrol. Sehingga dapat disimpulkan bahwa peru-

bahan positif terjadi pada kelompok intervensi

dengan indikator adanya penurunan IMT dan

perubahan ke arah yang negatif terjadi pada

kelompok kontrol ditandai adanya peningkatan

nilai IMT.

Darmawati, et al., Menurunkan Indeks Massa Tubuh Perempuan Dewasa 91

Penurunan berat badan sebagai indikator pe-

nurunan nilai IMT menggambarkan peningkat-

an proses pemecahan lemak (lipolisis) dalam

tubuh responden yang terangsang oleh pening-

katan adiponektin dan interleukin 6 (IL-6) yang

dikeluarkan dalam sirkulasi darah selama ke-

giatan latihan fisik interval training dilakukan

(Pedersen & Edward, 2009). Penelitian yang

dilakukan oleh Shahram, Masoomeh, Reza,

dan Gholamreza (2011) menunjukkan bahwa

latihan fisik interval training dapat meningkat-

kan kadar adiponektin dan IL-6.

Kondisi tubuh saat melakukan latihan fisik akan

mengaktifkan IL-6 secara cepat dikarenakan

adanya kontraksi otot rangka. Lepasnya IL-6 ke

dalam sirkulasi darah akan menginduksi pem-

bakaran lemak yang terdapat di jaringan adiposa

subkutan dan visceral yang pada akhirnya akan

mampu menurunkan nilai IMT. Proses pemecah-

an lemak ini terjadi dalam kurun waktu 24–48

jam, dan jika latihan fisik dilanjutkan selama

4 minggu akan mampu menurunkan risiko

diabetes melitus tipe 2, serta menurunkan koles-

terol LDL dan trigliserida dalam tubuh (Biggs,

2005).

Interval training disebut juga latihan berselang

yang bercirikan adanya periode latihan diselingi

periode istirahat. Periode istirahat yang digunakan

merupakan istirahat yang aktif, dapat berupa

jalan, relaxed jogging, serta senam kelenturan

(Bompa & Haff, 2009). Dalam penelitian ini

digunakan jenis interval training tipe lambat yang

dilakukan selama 50 menit. Interval training dapat

melatih serabut otot tipe I dan tipe II secara ber-

samaan, meningkatkan kapasitas sistem fosfagen

dan sistem glikolisis, meningkatkan toleransi ter-

hadap kadar asam laktat, meningkatkan fungsi

sistem kardiorespiratori dan meningkatkan metabo-

lic rate sehingga mempercepat proses penurunan

berat badan (Bompa & Haff, 2009).

Latihan fisik mampu meningkatkan oksidasi lemak

5–10 kali lebih tinggi dibandingkan keadaan

normal (Horowitz & Klien, 2000). Lipolisis dapat

meningkat 3 kali lipat setelah dilakukan latihan

fisik selama 30 menit. Lipolisis pada setiap

individu berbeda-beda, orang yang tidak terlatih

akan mengalami proses lipolisis yang lambat

dibandingkan orang yang terlatih melakukan

latihan fisik selama 4 minggu (Horowitz & Klien,

2000). Peningkatan proses lipolisis pada saat

latihan fisik akan menurunkan kandungan lemak

di jaringan lemak sehingga sel adiposit mengecil.

Pengecilan ukuran ini akan menyebabkan ber-

kurangnya massa jaringan lemak individu dan

menurunkan berat badan seseorang (Horowitz &

Klien, 2000).

Boyd (2012) melakukan penelitian dengan inter-

vensi latihan interval training selama tiga minggu

(sembilan kali latihan). Penelitian dilakukan

terhadap 19 responden dewasa dengan tingkat

aktifitas fisik ringan. Penelitian ini menyebutkan

bahwa dengan melakukan latihan interval training

berkorelasi positif terhadap penurunan kadar

IL-6, adiponektin, dan TNFα sebagai indikator

penurunan indikator penurunan berat badan pada

manusia. Penelitian tersebut menyebutkan bahwa

latihan interval training dapat menurunkan berat

badan IMT. Perubahan nilai IMT dalam

penelitian Boyd (2012) hampir sama dengan

perubahan nilai IMT dalam penelitian ini yakni

sebesar penurunan sebesar 0,42 Kg/m2.

Selanjutnya penelitian ini didukung hasil

penelitian Leegate, Carter, Evans, Vennard,

Sribala, dan Nimmo (2012) yang melakukan 10

kali latihan fisik interval training selama 2 minggu

dengan hasil penurunan IMT dari 29,1±3,1 menjadi

29,0±3,2. Sehingga dapat dikatakan ketiga pene-

litian ini saling mendukung dan membuktikan

bahwa latihan fisik interval training mampu

memberikan manfaat penurunan IMT terhadap

responden.

Penurunan nilai IMT pada responden kelebihan

berat badan dan kegemukan berkorelasi positif

dengan penurunan risiko penyakit akibat gang-

guan metabolisme seperti diabetes melitus. Proses

metabolisme tubuh seseorang memegang peranan

penting dalam mengontrol pencernaan, menyim-

pan zat makanan, serta mengeluarkan produk sisa

metabolisme dari tubuh (Keller, 2008). Jika hal

tersebut terganggu maka pemenuhan kebutuhan

nutrisi ke dalam sel secara keseluruhan akan

terganggu dan secara tidak langsung dapat meng-

akibatkan produktivitas seseorang berkurang.

Jurnal Keperawatan Indonesia, Vol. 18, No. 2, Juli 2015, hal 88-94 92

Peterson, et al., (2004) mengemukakan pendapat

bahwa kelebihan berat badan dan kegemukan

menjadi penyebab dari produktivitas yang rendah

dan berdampak pada kualitas hidup yang rendah

karena adanya ancaman penyakit dan ketidak-

puasan dalam hidup.

Optimalisasi kualitas hidup seseorang dapat di-

capai jika pemenuhan kebutuhan dasar seseorang

terpenuhi termasuk kebutuhan fisiologis yang

meliputi masalah nutrisi didalamnya. Perawat

komunitas memiliki peran penting dalam upaya

pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat melalui

peran perawat pelaksana dan konsultan. Sebagai

konsultan, perawat dapat melakukan berbagai

upaya implementasi keperawatan berupa terapi

perilaku bagi masyarakat. Wargahadibrata (2014)

mengemukakan terapi perilaku bagi individu

dengan kelebihan berat badan dan kegemukan

dilakukan untuk membentuk perilaku sehat yang

meliputi makan makanan bergizi dan hidup aktif.

Terapi diberikan dengan harapan dapat memben-

tuk masyarakat yang berperilaku hidup sehat dan

aktif yang dilakukan menjadi sebuah kebiasaan

tanpa keterpaksaan. Tujuan penurunan berat badan

pada masyarakat harus menekankan pada ke-

untungan upaya pengelolaan berat badan untuk

menurunkan proporsi lemak tubuh sehingga

mampu mencegah komplikasi penyakit akibat

kegemukan untuk mencapai harapan hidup yang

sehat, produktif, dan berkualitas (Wargahadibrata,

2014).

Salah satu upaya perawat dalam pemenuhan

kebutuhan fisiologis yang adekuat terhadap

masyarakat adalah melalui upaya pendidikan

kesehatan terkait nutrisi dan perencanaan latihan

fisik untuk menurunkan berat badan. American

Nurse Practitioner Foundation (2013) men-

diskusikan pencegahan dan strategi penata-

laksanaan obesitas pada kelompok usia dewasa

yang mudah diimplementasikan dalam praktik

keperawatan diantaranya meliputi pengukuran

antropometri (berat badan, tinggi badan, dan

lingkar pinggang), pendidikan kesehatan ter-

kait nutrisi, serta pembahasan mengenai target

aktivitas fisik yang akan dilakukan oleh klien.

Optimalisasi aktivitas klien dapat dilakukan

melalui pelaksanaan latihan fisik yang terukur

dan dilakukan berkelanjutan oleh kelompok usia

dewasa.

Perawat perlu memfasilitasi masyarakat untuk

mencapai tujuan pengelolaan berat badan melalui

pelaksanaan intervensi keperawatan yang sesuai

dengan keunikan individu. Intervensi keperawatan

tersebut diharapkan memenuhi target SMART:

spesifik, dapat diukur (measurable), dapat dicapai

(achievable), serta dengan target waktu yang

jelas (time-bound goals) (American Nurse Prac-

titioner Foundation, 2013).

Pelaksanaan latihan fisik interval training pada

perempuan dewasa dengan kelebihan berat badan

dan kegemukan sudah sesuai dengan target

SMART dan direkomendasikan American College

of Sport Medicine (ACSM) sebagai salah satu

jenis latihan fisik daya tahan (endurance exercise)

yang dapat menurunkan IMT termasuk berat

badan didalamnya. Latihan fisik interval training

yang direkomendasikan menggunakan interval

training tipe cepat maupun lambat, dengan

intensitas sedang, lama olahraga 150 menit dalam

satu minggu dan ditingkatkan sampai 250–300

menit/ minggu (ACSM, 2014).

Latihan fisik interval training akan mampu

memberikan manfaat penurunan IMT lebih besar

jika latihan dilanjutkan dengan jangka waktu yang

lebih panjang. Menurut hasil sistematik review

yang dilakukan oleh Vissers, Hens, Taeymans,

Baeyens, Poortmans, dan Gaal (2013), waktu

pelaksanaan latihan fisik yang efektif untuk

menurunkan berat badan tanpa dikontrol pengu-

rangan jumlah kalori adalah adalah dengan

durasi tiga kali per minggu selama 12 minggu

dengan jenis latihan fisik daya tahan (endurance

exercise), termasuk interval training salah satunya.

Program latihan fisik interval training dapat ber-

guna bagi masyarakat untuk pencegahan penyakit

akibat kelebihan berat badan dan kegemukan

yang dapat diaplikasikan melalui kegiatan mandiri

di masyarakat seperti pos pembinaan terpadu

(posbindu). Kegiatan tersebut dapat berupa penge-

cekan kesehatan secara berkala, mengurangi asap

rokok, menjaga aktifitas fisik, diet sehat dan

seimbang, istirahat cukup, dan mengelola stres.

Penerapan kegiatan tersebut ditujukan untuk

Darmawati, et al., Menurunkan Indeks Massa Tubuh Perempuan Dewasa 93

mengembangkan aktivitas masyarakat untuk

mengendalikan faktor risiko penyakit tidak

menular secara mandiri oleh masyarakat. Selain

itu latihan interval training dapat dijadikan

alternatif bagi program pemerintah dalam program

pengendalian berat badan aparat pemerintahan

untuk meningkatkan kualitas pelayanan kepada

masyarakat. Menurunnya angka kelebihan berat

badan dan kegemukan pada aparat negara mampu

meningkatkan produktivitas kerja dan menghi-

langkan citra negatif aparat karena kegemukan.

Selain itu penurunan angka kelebihan berat badan

dan kegemukan diharapkan mampu mengen-

dalikan pengeluaran kesehatan pegawai karena

keluhan dan penyakit yang berhubungan dengan

masalah ketidakseimbangan metabolisme yang

disebabkan oleh kegemukan.

Kesimpulan

Responden yang terlibat dalam penelitian selu-

ruhnya berjenis kelamin perempuan sebagian

besar berada pada rentang dewasa pertengahan.

Status nutrisi responden berada pada rentang

kelebihan berat badan. Upaya yang dapat di-

lakukan untuk mengelola berat badan responden

adalah latihan fisik interval training. Latihan

dilakukan dengan cara melakukan 1,5 menit lari

dilanjutkan tiga menit istirahat aktif jalan santai,

dilakukan pengulangan sebanyak 10 kali dengan

waktu total 50 menit/ pertemuan dan 150 menit/

minggu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa

responden yang melakukan latihan fisik selama

12 kali dalam satu bulan memperlihatkan adanya

perubahan yang bermakna pada responden di

kelompok perlakuan.

Hasil penelitian dapat menjadi masukan bagi pera-

wat untuk lebih peduli dan mencegah penyakit-

penyakit tersebut melalui upaya promotif dan

preventif. Penerapan penelitian ini dapat diikut-

sertakan dalam kegiatan di masyarakat melalui

posbindu di setiap wilayah. Selanjutnya direko-

mendasikan pada kelompok perempuan dewasa

untuk melakukan latihan fisik interval training 3

kali seminggu dengan target waktu 150 menit/

minggu. Saran bagi penelitian selanjutnya untuk

melanjutkan penelitian dengan menambahkan

waktu pelaksanaan latihan fisik interval training

dengan jangka waktu menjadi 12 minggu dengan

mengukur pola makan pada responden untuk

mengetahui pengaruh diet digabung dengan in-

tervensi latihan fisik interval training terhadap

IMT (AG, PN, INR).

Referensi

ACSM. (2014). ACSM information on high

intensity interval training. ACSM.

American Nurse Practitioner Foundation. (2013).

Nurse practitioners and the prevention and

treatment of adult obesity. Austin:

American Nurse Practitioner Foundation.

Biggs, C. (2005). Impact of physical activity on

health indicator in overweight and obesity.

Pharmacy Post, 13 (10). 1–8. Diperoleh

dari

http://www.canadianhealthcarenetwork.ca/

files/2009/10/PPOCE_Oct_E.pdf

Boyd, J.C. (2012). The impact of interval intensity

in overweight young men. Diperoleh dari

http://qspace.library.queensu.ca/bitstream/

1974/7540/1/Boyd_John_C_201209_MSc.pdf.

Bompa, T.O., & Haff, G.G. (2009). Periodization:

Theory and methodology of training (5th

ed.). Illinois: Human Kinetics Publishers.

Corte de Araujo, A.C., Rosche, H., Picanc, A.R.,

Leite do, D.M., Villares, S.M.F., De Sa

Pinto, A.l., Gualano, B. (2012). Similar

health benefits of endurance and high-

intensity interval training in obese. Plos

One Exercise and Juvenile Obesity, 1–8.

Green, D., Campbel, L., & Wallman, K. (2010).

Effect of intermitent exercise on physiological

outcome in an obese population: Continuous

versus interval walking. Journal of Sports

Science and Medicine (2010) 09. 24–30.

Horowitz, J., & Klien, S. (2000). Lipid metabolism

during endurance exercise. Am J of Clin

Nutrition, 558–563.

Keller, K. (2008). Encyclopedia of obesity.

Thosand Oak: Sage Publications, Inc.

Jurnal Keperawatan Indonesia, Vol. 18, No. 2, Juli 2015, hal 88-94 94

Kemenkes RI. (2013). Penyajian pokok-pokok

hasil riset kesehatan dasar 2013. Jakarta:

Badan Penelitian dan Pengembangan

Kesehatan Kemenkes RI.

Leegate, M., Carter, W.G., Evans, M., Vennard,

R.A., Sribala, S., & Nimmo, M.A. (2012).

Determination of inflammatory and

prominent proteomic changes in plasma

and adipose tissue after high-intensity

intermittent training in overweight and

obese males. J Appl Physiol, 112(8).

1356–1360. doi:

10.1152/japplphysiol.01080.2011.

Pedersen, B., & Edward, F. (2009). Adolph

distinguished lecture: Muscle as an

endocrine organ: IL 6 and other myokinens.

J Appl Physiolo, 107 (4), 1006–1014.

Peterson, L., Schnohr, P., & Sorensen, T. (2004).

Longitudinal study of the long term

relation between physical activity and

obesity in adults. International Journal of

Obesity, 28(1). 105–112.

Rahmawati & Sudikno. (2008). Faktor-Faktor yang

berpengaruh terhadap status gizi obesitas

orang dewasa di Kota Depok tahun 2007.

The Indonesian Journal of Clinical

Nutrition.

Shahram, S., Masoomeh, K., Reza, I., &

Gholamreza, F. (2011). Adiponectin

responses to vontinues and intermitten

training in non athlete obese women.

European Journal of Experimental Biology,

1 (4): 216–220.

Sudikno, Herdayati, M., & Besral. (2010). Hubungan

aktifitas fisik dengan kejadian obesitas pada

orang dewasa di Indonesia. Journal of the

Indonesian Nutrition Association, 33. 37–

49.

Wargahadibrata, A. F. (2014). Kelebihan berat

badan dan kegemukan "berat badan turun:

sehat dan lestari". Bandung: Familia Medika.

WHO. (2004). Appropriate body-mass index for

Asian populations and its. The Lancet,

363, 157–163.

WHO. (2011). Global status report on

communicable disease 2010. Italy: WHO.

WHO. (2011). Non communicable disease Country

profile 2011. Geneva: WHO Press.

WHO. (2013). Obesity and overweight. Diperoleh

dari http://www.who.int/mediacentre/fact

sheets /fs311/en/.

Whyte, L.J., Gill, J.M., & Cathcar, A.J. (2010).

Effect of 2 weeks of sprint interval training

on health-related outcomes in sedentary

overweight/ obese men. Metabolism

Clinical and Experimental, 59 (10). 1421–

1428.

Jurnal Keperawatan Indonesia, Volume 18 No.2, Juli 2015, hal 95-101

pISSN 1410-4490, eISSN 2354-9203

PENGARUH PEMBERIAN AUGMENTATIVE AND ALTERNATIVE

COMMUNICATION (AAC) TERHADAP KEMAMPUAN FUNGSIONAL

KOMUNIKASI DAN DEPRESI PASIEN AFASIA MOTORIK

Amila1*, Ratna Sitorus2, Tuti Herawati2

1. Program Studi Magister, Fakultas Ilmu Keperawatan, Universitas Indonesia, Depok 16424, Indonesia

2. Fakultas Ilmu Keperawatan, Universitas Indonesia, Depok 16424, Indonesia

*E-mail: [email protected]

Abstrak

Afasia motorik merupakan salah satu gangguan komunikasi yang terjadi akibat stroke yang dapat menyebabkan

gangguan kemampuan fungsional komunikasi dan depresi. Pasien dengan afasia motorik membutuhkan alat pengganti

komunikatif yang efektif. Salah satu alat pengganti komunikasi adalah Augmentative and Alternatif Communication

(ACC) yang merupakan alat komunikasi pengganti dengan menggunakan papan elektronik berupa gambar dan simbol.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian AAC terhadap kemampuan fungsional komunikasi dan

depresi pasien stroke dengan afasia motorik. Peneliti menggunakan desain quasi experiment post test non equivalent

control group pada 21 responden yang terbagi menjadi 11 responden pada kelompok kontrol dan 10 responden pada

kelompok intervensi. Hasil penelitian ini menunjukkan terdapat perbedaan yang bermakna rerata depresi antara

kelompok kontrol dengan intervensi (p= 0,542), namun terdapat perbedaan yang tidak bermakna rerata kemampuan

fungsional antara kelompok kontrol dan intervensi (p= 0,022). Hasil penelitian ini merekomendasikan AAC menjadi

salah satu alternatif intervensi untuk memfasilitasi komunikasi, sehingga dapat menurunkan depresi pasien stroke

dengan afasia motorik.

Kata kunci: afasia motorik, augmentative and alternative communication, depresi, stroke

Abstract

The Effect of Augmentative and Alternative Communication towards Depression and Communication Functional

Ability of Patient with Motoric Aphasia. The purpose of this study was to determine the influence of conducting

communication by AAC to the communication functional ability and depression for stroke patients with motor aphasia.

The study design used was quasi experiment by approaching post test non equivalent control group for 21 respondents

consist of 11 people of control group and 10 people of the intervention group. The results showed that no significant

difference in the average communication functional ability between the control group and intervention group (p=

0,542), but there were significant differences between the average depression of control and intervention group (p=

0,022). Based on the results of study, the giving by AAC could be one of the nursing intervention for facilitating

communication that will decrease depression to the stroke patient with motor aphasia.

Keywords: augmentative and alternative communication, depression, motoric aphasia, stroke

Pendahuluan

Stroke merupakan gangguan yang terjadi pada

aliran darah khususnya aliran darah pada pembu-

luh arteri otak yang dapat menimbulkan gangguan

neurologis. Di Indonesia, diperkirakan setiap

tahun sekitar 500.000 penduduk terkena serangan

stroke dan sekitar 125.000 orang meninggal dan

sisanya mengalami cacat ringan atau berat

(Yastroki, 2011).

Stroke dapat mengakibatkan manifestasi klinik

yang beragam. Manifestasi yang timbul akibat

stroke sangat tergantung pada luasnya area otak

yang mengalami kerusakan dan jenis pembuluh

darah atau area perfusi yang terganggu (Silbernagl

& Lang, 2007). Pembuluh darah yang sering

mengalami gangguan pada pasien stroke adalah

pembuluh darah arteri serebri media. Manifestasi

yang timbul akibat gangguan pada arteri media

adalah afasia.

Jurnal Keperawatan Indonesia, Vol. 18, No. 2, Juli 2015, hal 95-101

96

Afasia merupakan gangguan interpretasi dan

formulasi simbol bahasa yang disebabkan oleh

cedera otak atau proses patologik stroke, per-

darahan otak, tumor otak pada lobus frontal,

temporal atau parietal yang mengatur kemam-

puan berbahasa yaitu area Broca, area Wernicke

dan jalur yang menghubungkan antara keduanya.

Kedua area ini biasanya terletak di hemisfer

kiri otak yang merupakan tempat kemampuan

berbahasa (Price & Wilson, 2006). Diperkirakan

sekitar 21%–35% pasien stroke akut dapat

mengalami afasia (Salter, Jutai, Foley, Hellings,

& Teasell, 2006).

Menurut Lumbantobing (2011) beberapa bentuk

afasia mayor adalah afasia sensoris (Wernicke),

motorik (Broca), dan Global. Afasia motorik

terjadi akibat lesi pada area Broca di lobus

frontal yang ditandai dengan kesulitan dalam

mengkoordinasikan pikiran, perasaan dan kemau-

an menjadi simbol bermakna dan dimengerti

oleh orang lain dalam bentuk ekspresi verbal

dan tulisan.

Afasia memberikan dampak pada berbagai

aspek kehidupan. Terutama pada kesejahteraan

pasien, kemandirian, partisipasi sosial, dan

kualitas hidup pasien. Dampak ini muncul

diakibatkan komunikasi yang tidak adekuat

antara pasien dan lingkungan. Kondisi mortilitas

yang tinggi dan kemampuan fungsional yang

rendah pada pasien afasia dapat terjadi karena

pasien tidak mampu mengungkapkan apa yang

pasien inginkan, tidak mampu menjawab per-

tanyaan atau berpartisipasi dalam percakapan.

Ketidakmampuan ini menyebabkan pasien men-

jadi frustasi, marah, kehilangan harga diri, dan

emosi pasien menjadi labil yang pada akhirnya

dapat menyebabkan pasien menjadi depresi

(Mulyatsih & Ahmad, 2010).

Depresi paska stroke (DPS) merupakan gangguan

mood yang dapat terjadi setiap waktu pada

fase akut atau satu tahun paska stroke dengan

puncaknya terjadi pada bulan pertama (Dahlin,

et al., 2007). Menurut Amir (2005), frekuensi

depresi lebih tinggi pada pasien afasia motorik

daripada afasia global (71% : 44%). Tingginya

frekuensi depresi pada pasien afasia motorik

disebabkan oleh tingginya kesadaran pasien

akan ketidakmampuan yang dialami pasien.

DPS memiliki efek negatif terhadap pemulihan

fungsi kognitif, aktivitas hidup sehari-hari dan

dapat meningkatkan kematian (Caiero, Ferro,

Santos, & Luis, 2006). Pasien akan menarik

diri dari kegiatan sosial, menjadi rendah diri,

dan rehabilitasi yang tidak optimal.

Hasil sistematik review yang dilakukan Poslawsky,

Schuurmans, Lindeman, dan Hafstensdottir

(2010), menjelaskan tentang kontribusi perawat

dalam latihan wicara secara intensif yang

dimulai pada fase akut menunjukkan hasil reha-

bilitasi yang terbaik terhadap fungsi berbahasa

pasien afasia. Berdasarkan hasil tersebut, peran

perawat untuk melatih wicara yang dimulai sejak

fase akut sangat penting untuk tercapainya

proses rehabilitasi yang optimal pada pasien

afasia. Studi ini juga menjelaskan keterlibatan

keluarga pada proses latihan juga dibutuhkan

untuk memberikan dalam proses pemulihan

bahasa dan pelaksanaan latihan komunikasi

pasien, baik selama di rumah sakit ataupun di

rumah. Studi ini sejalan dengan Bullan, Chiki,

dan Stern (2007) yang menjelaskan pentingnya

keterlibatan anggota keluarga dan teman dalam

latihan untuk meningkatkan efektivitas rehabilitasi.

Gangguan komunikasi pada pasien afasia me-

merlukan intervensi keperawatan yang tepat.

Beberapa alat bantu komunikasi yang dapat

digunakan pada pasien afasia menurut Nursing

Interventions Classification (NIC) adalah peng-

gunaan perangkat elektronik, papan alfabet,

papan gambar/ flash card yang berisi gambar

kebutuhan dasar, stimulus visual, alat tulis,

kata-kata yang sederhana, bahan yang berisi

tulisan atau gambar yang dapat ditunjuk oleh

pasien (Smeltzer, Bare, Hinkle, & Cheever, 2010).

Intervensi keperawatan tersebut merupakan

bagian dari Augmentative and Alternatif Commu-

nication (AAC).

Menurut Johnson, Hough, King, Vos, dan Jeffs,

(2008), AAC merupakan pengganti komunikasi

verbal seseorang. AAC terdiri dari low tech-

nology dan high technology. AAC dengan low

technology yaitu komunikasi tanpa menggunakan

Amila, et al., Pengaruh Pemberian Augmentative and Alternative

97

elektronik, seperti papan komunikasi yang

berisi gambar/simbol dan tulisan berisi gambar.

AAC yang menggunakan elektronik adalah high

technology, seperti komputer. AAC memberikan

keuntungan terhadap kemampuan bahasa dan

berkomunikasi, meningkatkan kemandirian dan

perkembangan hubungan sosial dan membantu

perawat berkomunikasi dengan pasien yang menga-

lami keterbatasan komunikasi verbal (Clarkson,

2010).

Beberapa penelitian tentang manfaat pemberian

latihan komunikasi terhadap kemampuan fungsional

komunikasi diatas telah banyak dikembangkan

oleh beberapa peneliti. Hasil penelitian oleh

Bhogal, Teasell, Foley, dan Speechley (2003) yang

menggunakan kartu gambar dalam latihan wicara

pada afasia selama 30 jam selama 10 hari

menunjukkan peningkatan kemampuan berbahasa,

penamaan, dan pemahaman berbahasa yang

dievaluasi dengan tes wicara (Token Test).

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Bakheit,

et al., (2007) yang menggunakan media gambar

(orientasi tugas menyeleksi gambar, penamaan

objek, menjelaskan, dan mengenalkan hubungan

antara kedua item) pada 2 kelompok dengan

durasi yang berbeda (5 jam dan 2 jam) selama

12 minggu, menunjukkan perbedaan yang

bermakna terhadap kemampuan berbahasa

pada kelompok standar dengan waktu 2 jam

(p= 0,002) dibandingkan dengan kelompok

intensif dengan waktu 5 jam (p> 0,05).

Dari kedua penelitian terdapat berbagai variasi

intensitas dan durasi latihan komunikasi, tetapi

yang terpenting latihan harus dimulai sedini

mungkin setelah melewati fase akut dan dalam

kondisi stabil. Pendapat ini didukung oleh

penelitian Bakheit, et al., (2007), latihan secara

intensif dapat meningkatkan neuroplastisitas,

reorganisasi peta kortikal dan meningkatkan

fungsi motorik.

Berdasarkan hasil wawancara dengan perawat

ruangan, selama ini penanganan pasien stroke

yang mengalami afasia hanya berfokus pada

penanganan fisik saja. Pemberian alat bantu

komunikasi pada pasien afasia hanya diberikan

isyarat atau alat tulis tanpa diberikan stimulasi

latihan, sehingga tidak sepenuhnya mendukung

pasien untuk memfasilitasi komunikasi dan

meningkatkan komunikasi pasien selama di

rumah sakit. Perawat juga tidak mengetahui kalau

pasien mengalami afasia, karena tidak mendeteksi

adanya afasia, sehingga latihan komunikasi

terlambat/ tidak dilakukan. Keadaan ini akan

memperlambat pola penyembuhan dan pasien

akan mengalami depresi karena tidak mampu

dalam berkomunikasi. Penelitian ini bertujuan

mengetahui pengaruh pemberian AAC terhadap

kemampuan fungsional komunikasi dan depresi

pada pasien stroke dengan afasia motorik dengan

mengidentifikasi perbedaan rerata kemampuan

fungsional komunikasi dan depresi sesudah

diberikan AAC.

Metode

Penelitian ini menggunakan desain penelitian

quasi experiment dengan pendekatan post test

non equivalent control group, dengan jumlah

sampel 11 kontrol dan 10 intervensi yang

ditetapkan dengan teknik consecutive sampling.

Kriteria inklusi sampel antara lain: pasien yang

didiagnosa stroke hemoragik dan non-hemoragik

yang mengalami afasia motorik. Penentuan afasia

motorik dibuat berdasarkan format Frenchay

Aphasia Screening Test (FAST), kesadaran kompos

mentis, pasien yang ditunggu oleh keluarganya

dan terlibat dalam latihan komunikasi, pasien, dan

keluarga bersedia menjadi responden. Sedangkan

kriteria ekslusi meliputi pasien dengan disar-

tria, mempunyai riwayat depresi sebelum stroke,

pasien yang mendapat terapi antidepresan dan

mengalami peningkatan tekanan intrakranial

(adanya muntah proyektil, pusing, tekanan darah

tidak stabil, penurunan kesadaran).

Proses pengumpulan data dilaksanakan di ruang

neurologi di tiga RSUD di Jawa Barat. Latihan

komunikasi dengan AAC dilakukan 3 kali sehari,

yaitu pada pagi hari pukul 09.00, siang hari

pukul 13.00 dan sore hari pukul 15.00 WIB dengan

frekuensi waktu 30 menit. Latihan komunikasi

juga melibatkan keluarga menggunakan pedoman

kebutuhan aktivitas sehari-hari yang disusun oleh

peneliti dengan tugas menyebutkan penamaan,

Jurnal Keperawatan Indonesia, Vol. 18, No. 2, Juli 2015, hal 95-101

98

pengulangan, membaca, mengeja, dan menulis

dan dilakukan selama 90 menit. Total latihan

ini 30 jam selama 10 hari. Waktu 30 jam selama

10 hari merupakan waktu yang pernah digunakan

oleh Bhogal, et al., (2003) yang menggunakan

constraint induced therapy (menggunakan kartu

bergambar) dalam latihan wicara.

Hasil

Hasil analisis univariat mendapatkan data

rerata umur responden adalah 62,10 tahun,

dengan umur termuda 42 tahun dan tertua 76

tahun. Sebagian besar responden memiliki jenis

kelamin laki–laki yaitu 13 orang (61,90%).

Distribusi karakteristik responden berdasarkan

banyaknya jumlah serangan stroke menunjukkan

bahwa dari 21 orang responden, sebagian besar

responden memiliki jumlah serangan stroke 1 kali

sebanyak 11 orang (52,38%). Rerata

ketidakmampuan fisik responden adalah 25,48

dengan ketidak-mampuan fisik terendah 10

dan tertinggi 40. Rerata dukungan keluarga

responden adalah 46,48 dengan dukungan

keluarga terendah 39 dan tertinggi 53. Rerata

kemampuan fungsional komunikasi responden

adalah 10,86 dengan kemampuan fungsional

komunikasi terendah 8 dan tertinggi 14.

Analisis bivariat perbedaan kemampuan

fungsional komunikasi dan depresi sesudah

diberikan komunikasi dengan AAC

digambarkan pada Tabel 1 dan Tabel 2.

Berdasarkan hasil analisis Tabel 1, didapatkan

rerata kemampuan fungsional komunikasi

responden kelompok kontrol adalah 10,64 dengan

standar deviasi 1,748, sedangkan rerata

kemampuan fungsional komunikasi responden

kelompok intervensi adalah 11,10, dengan

standar deviasi 1,663. Hasil analisis lebih lanjut

menyimpulkan bahwa tidak terdapat perbedaan

yang bermakna rerata kemampuan fungsional

komunikasi antara kelompok kontrol dengan

intervensi.

Tabel 2 menjelaskan rerata depresi pada

kelompok kontrol adalah 9,64 dan pada kelompok

intervensi adalah 8,30. Analisis lebih lanjut

menyimpulkan terdapat perbedaan yang bermakna

rerata depresi antara kelompok kontrol dan

intervensi (p= 0,022).

Hasil uji pengaruh faktor-faktor perancu terhadap

kemampuan fungsional komunikasi dan depresi

(umur, jenis kelamin, frekuensi serangan stroke,

ketidakmampuan fisik, dan dukungan keluarga)

pada pasien stroke dengan afasia motorik yang

diberikan komunikasi dengan AAC memperoleh

kesimpulan bahwa secara garis besar faktor-

faktor perancu tidak berpengaruh terhadap

kemampuan fungsional komunikasi dan depresi,

kecuali frekuensi serangan stroke berpengaruh

terhadap depresi (p= 0,048).

Tabel 1. Perbedaan Kemampuan Fungsional Komunikasi antara Kelompok Kontrol dan Intervensi Pasien

Afasia Motorik

Variabel n Mean SD SE T Mean Diff

95% p

Kemampuan Fungsional Komunikasi

Kontrol 11 10,64

1,748 0,527

-0,621

-0,464

-2,026 – 1,099

0,542 Intervensi 10 11,10 1,663 0,526

Tabel 2. Perbedaan Depresi antara Kelompok Kontrol dan Kelompok Intervensi Pasien Afasia Motorik

Variabel n Mean SD SE T Mean Diff

95% p

Depresi

Kontrol 11 9,64 1,1 0,388

2,491

1,336

0,213–2,459

0,022* Intervensi 10 8,30 1,160 0,367

*signifikan pada α= 0,05

Amila, et al., Pengaruh Pemberian Augmentative and Alternative

99

Pembahasan

Hasil penelitian tentang pengaruh pemberian

AAC terhadap kemampuan fungsional komuni-

kasi dan depresi pada pasien stroke dengan afasia

motorik antara kelompok kontrol dan intervensi

menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang

bermakna terhadap kemampuan fungsional komu-

nikasi, namun terdapat perbedaan yang bermakna

terhadap depresi sesudah diberikan AAC pada

pasien stroke dengan afasia motorik. Hasil

analisis variabel perancu didapatkan frekuensi

serangan stroke berhubungan dengan depresi.

Hasil penelitian terhadap kemampuan fungsional

komunikasi menjadi tidak signifikan. Hal ini

dapat disebabkan karena latihan komunikasi

yang dilakukan terlalu singkat hanya 10 hari,

sehingga tidak maksimal untuk memperbaiki

kemampuan fungsional komunikasi pada semua

subjek penelitian karena berat stroke dan derajat

keparahan afasia subjek penelitian bervariasi

dan terdapat variasi pada setiap individu dalam

hal waktu pemulihan. Faktor lain, seperti gangguan

kognitif, motivasi pasien juga memengaruhi

kemampuan fungsional komunikasi pasien.

Sementara hasil penelitian terhadap depresi

memberikan pengaruh yang signifikan pada

pasien stroke dengan afasia motorik. Nilai

depresi pada kelompok kontrol adalah 9,64

dan kelompok intervensi adalah 8,30. Menurut

Benaim, Cailly, Perennou, dan Pelissier (2004),

dalam instrumen depresi (ADRS), dikatakan

depresi apabila skor pasien sama atau lebih

dari 9.

Penggunaan alat bantu visual seperti gambar,

tulisan dengan beberapa kata kunci, alat tulis

dapat memfasilitasi pemahaman dan ekspresi

pasien afasia (Clarkson, 2010). Hal ini sejalan

dengan pendapat Kusumoputro (1992) bahwa

efektifitas terapi afasia akan meningkat jika

latihan menggunakan bentuk stimulus audio

dalam bentuk musik dan stimulus visual dalam

bentuk gambar-gambar serta lukisan. Sedangkan

mengajak pasien bercakap-cakap merupakan

terapi dengan pendekatan strategi komunikasi

untuk mengembangkan kemampuan komunikasi

(Kusumoputro, 1992).

Terapi intonasi lagu dapat digunakan pada pasien

afasia dengan kemampuan ekspresi verbal minim

(Kusumoputro, 1992; Wirawan, 2009). Pemberian

stimulasi melalui lagu, menyanyikan, dan

menyuarakan lagu sebelum pasien sakit akan

lebih bermanfaat dengan memfungsikan hemisfer

kanan karena hemisfer kiri (dominan) mengalami

kerusakan. Selain itu musik juga dapat digu-

nakan pasien depresi untuk mengekspresikan

emosinya, sehingga dapat mengurangi depresi

paska stroke (American Music Association,

2005).

Hasil penelitian ini setelah diberikan AAC

pada kelompok intervensi ditemukan penurunan

nilai depresi. Berdasarkan hasil pengamatan

pasien mampu mengkomunikasikan kebutuhan

melalui pemberian buku komunikasi dan objek

yang ada disekitar ruangan dengan menunjukkan

gambar, sehingga pasien dapat berinteraksi

dengan keluarga dan petugas kesehatan.

Menurut hasil penelitian Finke, Light, dan Kitko

(2008) bahwa komunikasi dengan AAC dapat

membantu perawat berkomunikasi pada pasien

yang mengalami keterbatasan komunikasi verbal.

Penelitian ini diperkuat oleh hasil penelitian

(Clarkson 2010) bahwa AAC dapat meningkatkan

kemampuan komunikasi pasien, memperbaiki

kehidupan seseorang dengan meningkatkan ke-

mandirian dan perkembangan hubungan sosial,

sehingga akan memengaruhi kualitas hidup. Hal

ini dapat terjadi karena pasien yang menggu-

nakan AAC pada umumnya memiliki kepuasan

dalam hubungan dengan keluarga, teman, dan

aktivitas hidup yang menyenangkan.

Jumlah serangan stroke akan berpengaruh terhadap

kerusakan otak lebih luas, sehingga dapat me-

mengaruhi wicara dan bahasa. Menurut pendapat

Silbernagl dan Lang (2007) bahwa manifestasi

klinis stroke ditentukan berdasarkan area serebri

yang terkena. Walaupun frekuensi serangan

stroke terjadi satu kali, namun bila stroke mengenai

lobus frontalis pada hemisfer kiri dominan,

kemungkinan pasien akan mengalami afasia

dan gangguan mood. Menurut hasil penelitian

Jurnal Keperawatan Indonesia, Vol. 18, No. 2, Juli 2015, hal 95-101

100

Lee, et al., (2009) bahwa lesi pada hemisfer kiri

lebih sering menyebabkan depresi daripada lesi

hemisfer kanan dan lebih berat jika lesi men-

dekati lobus frontal kiri.

Keterbatasan dalam penelitian ini subjek pene-

litian tidak sesuai dengan target penelitian,

karena beberapa responden mengalami drop out.

Waktu latihan selama 10 hari tergolong singkat,

sehingga tidak maksimal untuk memperbaiki

kemampuan komunikasi karena responden

memiliki berat stroke dan derajat keparahan

afasia yang bervariasi dalam hal waktu pemulihan

bicara. Selain itu instrumen yang digunakan untuk

menilai kemampuan fungsional komunikasi dan

depresi ini walaupun sudah dilakukan interrater,

tetapi pada instrumen kemampuan fungsional

komunikasi masih membutuhkan acuan/alat

yang membuat penilaian menjadi lebih objektif

diantara peneliti dan asisten peneliti. Untuk

instrumen penilaian depresi, tidak semuanya

dilakukan observasi dan ada beberapa item

observasi yang perlu dikembangkan agar pe-

nilaian observasi lebih objektif.

Kesimpulan

Penelitian ini membuktikan bahwa tidak adanya

perbedaaan yang bermakna terhadap kemampuan

fungsional komunikasi sesudah diberi komunikasi

dengan AAC. Pada pasien depresi terdapat perbe-

daan yang bermakna sesudah diberi komunikasi

dengan AAC di tiga RSUD Jawa Barat. Hasil

penelitian dapat disimpulkan bahwa pemberian

komunikasi dengan AAC berpengaruh secara

bermakna terhadap depresi pada pasien stroke

dengan afasia motorik.

Pemberian komunikasi dengan AAC dapat digu-

nakan sebagai salah satu intervensi keperawatan

memfasilitasi komunikasi pasien afasia motorik,

seperti papan gambar/buku komunikasi, majalah,

foto, musik/lagu, dan alat tulis untuk menurunkan

depresi pada pasien afasia motorik. Selain

perawat, keterlibatan keluarga juga merupakan

salah satu bentuk dukungan yang diperlukan

dalam pelaksanaan latihan komunikasi, baik

selama di rumah sakit ataupun di rumah.

Penelitian selanjutnya perlu membuat penelitian

sejenis yang menilai kemampuan fungsional

komunikasi dengan memperhatikan tingkat

keparahan afasia, luas, lokasi lesi, dan lama

waktu pemberian latihan. Mengembangkan alat

ukur untuk penilaian kemampuan fungsional

komunikasi serta mengembangkan instrumen

observasi depresi pada afasia (PY, RM, AR)

Referensi

Ackley, B.J. & Ladwig, G.B. (2011). Nursing

diagnosis handbook: An evidence based guide to

planning care (9th Ed.). St. Louis: Mosby

Elseiver.

American Music Association (2005). Music

therapy. Diperoleh dari http://www.

musictherapy.org.

Amir, N. (2005). Depresi: Aspek neurobiologi

diagnosis dan tatalaksana. Jakarta: Balai

Penerbit FK UI.

Bakheit, Shaw, S., Barret, L., Wood, J.,

Carrington, S., Griffith, S., Searle, K., &

Koutsi, F. (2007). A prospective, randomized,

parallel group, controlled study of the effect

of intensity of speech and language therapy

on early recovery from post stroke aphasia.

Clinical Rehabilitation, 21(10), 885–894.

Benain, C., Cailly, B., Perennou, D., & Pelissier, J.

(2004). Validation of the aphasic depression

rating scale. Stroke, 35(7), 1692–1696.

Bhogal, S.K., Teasel, R., Foley, N., & Speechley,

M. (2004). Lesion location and poststroke

depression: Systematic review of the

methodological limitations in the literature.

Stroke, 35 (3), 794–802.

Black, J.M., & Jacob, E.M. (2009). Medical

surgical nursing clinical management for

positive outcomes (8th Ed.). St. Louis: Elsevier

Saunders.

Bulecheck, G.M. & McCloskey, J.C. (1999).

Nursing interventions: Effective nursing treatment

(3rd Ed.). Philadelphia: W.B. Saunders Company.

Amila, et al., Pengaruh Pemberian Augmentative and Alternative

101

Caeiro, L., Ferro, J.M., Santos, C.O., & Luisa, F.

(2006). Depression in acute stroke. Journal of

Psychiatry Neuroscience, 31(6), 377–383.

Clarkson, K. (2010). Aphasia after stroke enabling

communication through speech and language

therapy. British Journal of Neuroscience

Nursing, 6(5), 227–231.

Dahlin, A.F., Laska, A.C., Larson, J., Wredling.,

Billing, E., & Murray, F. (2007). Predictors of

life situation among significant others of

depresses or aphasia stroke patients. Journal of

Clinical Nursing, 17, 1574–1580.

Finke, E.H., Light, J., & Kitko, L. (2008). A

systematic review of the effectiveness of nurse

communication with patients with complex

communication needs with a focus on the use

of augmentative and alternative communication.

Journal of Clinical Nursing, 17(16), 2102–

2115.

Johnson, R.K., Hough, M.S., King, K.A., Vos P.,

& Jeffs, T.A. (2008). Functional commu-

nication in individual with chronic severe

aphasia using augmentative communication.

Informa Healthcare, 24(4), 269–280.

Kusumoputro, S. (1992). Afasia: Gangguan

berbahasa. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.

Lumbantobing, S.M. (2011). Neurologi klinik

pemeriksaan fisik dan mental. Jakarta: Balai

Penerbit FK UI.

Mulyatsih, E., & Ahmad, A.A. (2010). Stroke:

Petunjuk perawatan pasien pasca stroke di

rumah. Jakarta: Balai Penerbit FK UI.

NANDA International. (2011). Diagnosis

keperawatan: Definisi dan klasifikasi 2009–

2011 (Sumarwati dkk, Penerj). Jakarta: EGC.

Buku asli diterbitkan 2002.

Price, S.A., & Wilson, L.M. (2006). Patofisiologi:

Konsep klinis proses-proses penyakit (Edisi ke

6). Terjemahan oleh: Pendit, Hartanto, H,

Wulansaei, P & Kurniangsih. Jakarta: EGC.

Buku asli diterbitkan 2003.

Rasyid, A., & Soertidewi, L. (2007). Unit stroke.

Manajemen stroke secara komprehensif.

Jakarta: Balai Penerbit FK UI.

Salter, K., Jutai, J., Foley, N., Hellings, C., &

Teasell, R. (2006). Identification of aphasia

poststroke: A review screening assesment

tools. Brain injury, 20(6), 559–568.

Schub, E., & Caple, C. (2010). Stroke

complication: Post stroke depression.

California: Cinahl Information System.

Silbernagl, S., & Lang, F. (2007). Teks dan atlas

berwarna patofisiologi. (Iwan S. & Iqbal M.,

Penerj). Jakarta: EGC.

Smeltzer, S.C., Bare, B.G., Hinkle, J.L., &

Cheever, K.H. (2010). Brunner & Suddarth’s

textbook of medical surgical nursing (12th Ed.).

Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.

Thomas, S.A., & Lincoln, N.B. (2008). Predictors

of emotional distress after stroke. Journal of

the American Heart Association, 39, 1240–1245.

Wirawan, R.P. (2009). Rehabilitasi stroke pada

pelayanan kesehatan primer. Majalah

Kedokteran Indonesia, 59(2), 61–71.

Yastroki (2011). Stroke penyebab kematian urutan

pertama di rumah sakit di Indonesia.

Diperoleh dari http://www.yastroki.or.id.

Jurnal Keperawatan Indonesia, Volume 18 No.2, Juli 2015, hal 102-113

pISSN 1410-4490, eISSN 2354-9203

PENGARUH PIJAT PUNGGUNG TERHADAP TINGKAT KECEMASAN

DAN KENYAMANAN PASIEN ANGINA PEKTORIS STABIL SEBELUM

TINDAKAN ANGIOGRAFI KORONER

Eddy Rosfiati1,2*, Elly Nurachmah3, Yulia3

1. Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Jayakarta, Pondok Karya Pembangunan DKI, Jakarta 13730, Indonesia

2. Program Studi Magister, Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, Depok 16424, Indonesia

3. Fakultas Ilmu Keperawatan, Universitas Indonesia, Depok 16424, Indonesia

*E-mail: [email protected]

Abstrak

Menghadapi tindakan diagnostik coronary angiography dan kemungkinan diintervensi lanjut dengan PCI, pasien APS

sering cemas, merasa tidak nyaman karena stres. Cemas dan tidak nyaman sebagai respon fisiologis dan psikologis tubuh,

terlihat juga pada perubahan tekanan darah, nadi, respirasi, dan suhu. Penelitian ini untuk mengetahui pengaruh pijat punggung

terhadap tingkat kecemasan dan kenyamanan serta dampaknya pada tekanan darah, nadi, respirasi, dan suhu sebelum

tindakan coronary angiography. Penelitian ini menggunakan desain equivalent pretest-posttest with control group quasi

experiment, dengan pemilihan sampel probability simple random sampling sejumlah 30 responden. Data kecemasan dan

kenyamanan dikumpulkan menggunakan kuesioner berskala 0–10, pengukuran tekanan darah dan jumlah denyut nadi

menggunakan tensimeter digital dan suhu menggunakan termometer digital dengan baterai. Hasil penelitian menunjukkan

perbedaan sesudah pijat punggung pada tingkat kecemasan, tingkat kenyamanan, tekanan darah diastolik, nadi, respirasi,

dan suhu (p= 0,002; 0,0001; 0,016; 0,0001; 0,005; 0,052). Pijat punggung dapat digunakan untuk mengurangi stres psikologis

(kecemasan) dan meningkatkan kenyamanan pasien sebelum tindakan coronary angiography. Rekomendasi ditujukan

kepada manajemen ruangan untuk mengaplikasikan pijat punggung sebagai bagian dari SPO angiography.

Kata kunci: coronary angiography, pasien APS, pijat punggung, respons fisiologis-psikologis, stres

Abstract

The Effects of Back Rub on Anxiety and Comfort Level of Patients with Stable Angina Pectoris Before Coronary

Angiography Procedure at Cardiac and Cardiovascular. Dealing with coronary angiography diagnostic procedures

and the possibility of being intervene with PCI, SAP patients are often anxious, feel uncomfortable due to stress.

Anxiety and discomfort are physiological and psychological response, which can be noticed on the change in blood

pressure status, pulse, respiration and body temperature. This research was conducted with the main objective to

identify the effect of back rub on the level of patient’s anxiety and comfort before coronary angiography procedure.

Design used in this research was an equivalent pretest-posttest with control group quasi experiment. Research was

conducted using probability simple random sampling; with 30 respondents participated. A questionnaire was used for

data collecting of anxiety level with 0–10 scale, digital sphygmomanometer was used for measuring blood pressure and

pulse rate, and digital battery powered thermometer was used for measuring body temperature. The results showed

differences after back-rub were found in anxiety, comfort, diastolic BP, pulse, respiration, and temperature (p= 0,002;

0,0001; 0,016; 0,0001; 0,005; 0,052). Based on the findings, it can be concluded that back-rub can be applied to reduce

patient’s psychological stress (anxiety) and increase comfort before coronary angiography procedure. A recommendation

is directed to the management of the ward to apply back-rub as a part of SOP of Angiography Procedure.

Keywords: back-rub, coronary angiography, physical response, psychological response, SAP patients’, stress

Pendahuluan

Pasien dengan angina pektoris stabil (APS) yang

menghadapi tindakan diagnostik coronary angio-

graphy dan kemungkinan diintervensi lanjut

dengan percutaneous coronary interventions (PCI),

sering cemas dan merasa tidak nyaman karena

stres. Cemas dan tidak nyaman sebagai respon

fisiologis dan psikologis tubuh, terlihat dengan

perubahan tekanan darah, nadi, respirasi, dan suhu.

Rosfiati, et al., Pengaruh Pijat Punggung terhadap Tingkat Kecemasan 103

Respon pasien berbentuk respon psikologis

yang beragam termasuk timbulnya kecemasan,

ketakutan, ketegangan bahkan depresi. Pasien

yang dilakukan tindakan kateterisasi jantung

dengan coronary angiography dan PCI, tetap

mengalami kecemasan walaupun sudah dipersiap-

kan dengan baik termasuk pemberian penjelasan

prosedur dan segala risiko yang dapat terjadi

serta informed consent yang ditandatangani

pasien (Eran, Erdmann, & Er, 2010).

Back rub atau pijat punggung juga dapat diberikan

kepada pasien untuk meningkatkan relaksasi

sebelum pasien menjalani tindakan coronary

angiography (McNamara, Burnham, Smith, &

Carrol, 2003). Pijat punggung merupakan salah

satu tindakan alternatif dan terapi komplementer

seperti terapi musik, relaksasi, guided imagery,

reflexiology, herbal medicine, hypnotis, terapi

sentuhan yang digunakan untuk mengurangi

nyeri, cemas, takikardia, dan hipertensi pada

pasien beberapa tahun terakhir ini. Pijat punggung

bertujuan untuk membantu pengobatan sistem

saraf dan kardiovaskular secara efektif menim-

bulkan rasa aman, rileks, dan rasa nyaman

(Hajbaghery, Abasi, & Behestabad, 2012). Di

Indonesia, pijat punggung dilakukan ketika

perawat memandikan pasien dengan tirah baring

untuk memberikan rasa nyaman dan belum ada

penelitian khusus tentang manfaat pijat punggung

ini dan belum ada data yang menunjukkan hasil

dari pijat punggung tersebut.

Pertanyaan penelitian yang akan dijawab dalam

penelitian ini adalah bagaimana pengaruh pijat

punggung terhadap tingkat kecemasan dan tingkat

kenyamanan pasien sebelum tindakan coronary

angiography. Tujuan umum penelitian ini adalah

mengidentifikasi pengaruh pijat punggung ter-

hadap tingkat kecemasan dan tingkat kenyamanan

pasien angina pektoris stabil sebelum tindakan

coronary angiography di sebuah rumah sakit

di Jakarta.

Metode

Desain penelitian ini menggunakan satu kelompok

intervensi dan satu kelompok kontrol, yaitu

tindakan yang dilaksanakan pada satu kelompok

perlakuan dan satu kelompok kontrol sebagai

pembanding. Sebelum dan sesudah perlakuan

pada kelompok dilakukan pengukuran awal

(pretest) dan posttest termasuk pengukuran

tekanan darah (TD), nadi, respirasi, dan suhu.

Pengambilan sampel dengan menggunakan

simple random sampling (Dharma, 2011) dan

didapatkan sebanyak 30 responden. Variabel

penelitian ini yaitu pemberian intervensi pijat

punggung (variabel bebas), tingkat kecemasan

dan tingkat kenyamanan (variabel terikat), serta

usia, jenis kelamin, pendidikan, dan pekerjaan

(variabel perancu).

Instrumen pengambilan data yang digunakan

adalah kuesioner, persepsi tingkat kecemasan

sebelum dan sesudah intervensi yang dimodifikasi

peneliti dari gugup (nervous), khawatir (worried),

dan tegang (tense)/NEWTEN (Kari, 2009). Tingkat

kecemasan diukur dengan rentang skala 0–10,

untuk mengukur: gugup (nervous), khawatir

(worried), dan tegang (tense). Angka 0 mewakili

pengertian bahwa tidak ada; 1–3= ringan; 4–6=

sedang; 7–8= berat dan 9–10= sangat berat.

Persepsi tingkat kenyamanan menggunakan skala

Verbal Rating Scale Questioner dari Kolcaba

yang dimodifikasi peneliti (Dowd, et al. 2007).

Instrumen ini dipilih untuk mengukur Kenya-

manan yang dirasakan responden dengan rentang

skala 0–10. Angka 0 mewakili pengertian bahwa

tidak nyaman; 1–3= sedikit nyaman; 4–6= nyaman

sedang; 7–8= nyaman, dan 9–10= sangat berat.

Kuesioner B merupakan lembar observasi, diisi

oleh observer sesuai dengan hasil pengukuran dan

pengamatan secara langsung untuk mengiden-

tifikasi tanda-tanda fisiologis (tekanan darah,

nadi, respirasi, dan suhu).

Analisis data menggunakan uji statistik independent

t test untuk menguji hipotesis komparatif

rerata. Satu sampel dalam pengukuran berarti

sampel tersebut berpasangan, yaitu model before-

after yang dibandingkan dengan kelompok

kontrol. Satu sampel diberi perlakuan 1 kali

(Sugiono, 2010). Nilai confidence interval (CI)

yang digunakan adalah 95% dengan tingkat

kemaknaan 5% (= 0,05). Pada penelitian ini

Jurnal Keperawatan Indonesia, Vol. 18, No. 2, Juli 2015, hal 102-113 104

dilakukan juga uji homogenitas pada faktor

konfonding pada kedua kelompok intervensi

dan kelompok kontrol. Model statistik yang

digunakan yaitu uji homogenitas dengan Chi-

Square, Kolmogorof-Smirnov test, uji independent-

t, korelasi, dan regresi linear sederhana. Uji

homogenitas responden penelitian berdasarkan

usia, jenis kelamin, pendidikan, dan pekerjaan

memiliki kesetaraan atau tidak ada perbedaan

yang signifikan pada kelompok intervensi dan

kelompok kontrol yang dibuktikan dari hasil uji

statistik keempat variabel tersebut memiliki

nilai p> (0.05).

Hasil

Hasil penelitian pada Tabel 1 menunjukkan

bahwa rerata usia responden pada kelompok

intervensi (SD= 9,3) dan kelompok kontrol

(SD= 9,0) tidak berbeda yaitu 58 tahun (95%

CI). Usia minimum kelompok intervensi 43

tahun dan kelompok kontrol 46 tahun dengan

usia maksimum yang sama yaitu 73 tahun.

Tabel 2 menerangkan tentang jenis kelamin,

pendidikan responden dan pekerjaan yang

berisikan bahwa responden berjenis kelamin

laki-laki yang paling banyak yaitu 83,3% (25

orang) yang terdiri dari 43,3% (13 orang) di

kelompok intervensi dan 40% (12 orang) di

kelompok kontrol. Proporsi responden berjenis

kelamin perempuan sejumlah 16,6% (5 orang)

yang terdiri dari 6,6% (2 orang) di kelompok

intervensi dan 10% (3 orang) di kelompok

kontrol.

Karakteristik responden berdasarkan pendidikan

perguruan tinggi yang paling banyak yaitu 70%

(21 orang), terdiri dari 46,6% (14 orang) di

kelompok intervensi dan 23,3% (7 orang) di

kelompok kontrol, responden berpendidikan

SLTA berjumlah 26,7% (8 orang) yang terdiri

dari 3,3% (1 orang) di kelompok intervensi

dan 23,3% (7 orang) di kelompok kontrol, dan

hanya 3,3% responden atau 1 orang responden

dengan pendidikan SLTP. Berdasarkan

pekerjaan responden dengan pekerjaan sebagai

karyawan swasta adalah responden yang paling

banyak yaitu 46,7% (14 orang) dengan jumlah

yang sama pada kelompok intervensi dan ke-

lompok kontrol yaitu masing-masing 23,3%.

Tabel 1. Karaktersitik Responden Berdasarkan Usia (tahun)

Variabel Usia Mean Median SD Minimum Maksimum n

Kelompok Intervensi 58 60 9.3 43 73 15

Kelompok Kontrol 58 55 9.0 46 73 15

Tabel 2. Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis Kelamin, Pendidikan dan Pekerjaan

Karakteristik Kelompok Intervensi Kelompok Kontrol N Presentase (%)

Jenis Kelamin

Laki-laki 13 12 25 83,3

Perempuan 2 3 5 16,6

Jumlah 15 15 30 100

Pendidikan

SLTP - 1 1 3,3

SLTA 1 7 8 26,7

PT 14 7 21 70

Jumlah 15 15 30 100

Pekerjaan

PNS 3 5 8 26,7

Swasta 7 7 14 46,7

Lain-lain 5 3 8 26,7

Jumlah 15 15 30 100

Rosfiati, et al., Pengaruh Pijat Punggung terhadap Tingkat Kecemasan 105

Responden dengan pekerjaan sebagai PNS dan

pekerjaan lain termasuk pensiunan masing-masing

berjumlah 26,7%. Hasil penelitian pada Tabel

3 didapatkan bahwa rerata tingkat kecemasan

responden sebelum pijat punggung terdapat per-

bedaan pada kelompok intervensi dan kelompok

kontrol (p= 0,048).

Hasil penelitian pada Table 4 didapatkan bahwa

rerata tingkat kecemasan responden sesudah

pijat punggung terdapat perbedaan yang signifikan

pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol

(p= 0,002). Selain itu didapatkan (Tabel 5) juga

hasil bahwa terdapat perbedaan yang signifikan

pada tingkat kenyamanan setelah pijat punggung

(p= 0,0001) Data tersebut menunjukkan ada

pengaruh pijat punggung terhadap tingkat kece-

masan dan tingkat kenyamanan pasien angina

pektoris stabil sebelum tindakan coronary angio-

graphy (n= 30). Tabel 6 menerangkan bahwa

rerata tekanan darah sistolik responden sebelum

pijat punggung tidak ada perbedaan yang

signifikan p= 0,112 pada kelompok intervensi=

153,53 mmHg, SD 20,184 mmHg, kelompok

kontrol= 141,80 mmHg, SD 18,974 mmHg.

Tabel 3. Karakteristik Responden Berdasarkan Pekerjaan

Pekerjaan Kelompok Intervensi Kelompok Kontrol N Presentase (%)

PNS 3 5 8 26,7

Swasta 7 7 14 46,7

Lain-lain 5 3 8 26,7

Jumlah 15 15 30 100

Tabel 4. Tingkat Kecemasan Kelompok Intervensi dan Kontrol Sebelum dan Sesudah Pijat Punggung

Tingat Kecemasan Mean SD SE p* n

Sebelum Pijat Punggung

Kelompok Intervensi 6,73 1,870 0,483 0,048

15

Kelompok Kontrol 5,53 1,246 0,322

Sesudah Pijat Punggung

Kelompok Intervensi 3,67 1,676 0,433 0,002

15

Kelompok Kontrol 5,53 1,246 0,322 15

*=0,05

Tabel 5. Tingkat Kenyamanan Kelompok Intervensi dan Kontrol Sebelum dan Sesudah Pijat Punggung

Tingkat Kenyamanan Mean SD SE p* n

Sebelum Pijat Punggung

Kelompok Intervensi 5,07 1,163 0,300 0,454

15

Kelompok Kontrol 5,40 1,242 0,321 15

Sesudah Pijat Punggung

Kelompok Intervensi 7,53 0,834 0,125 0,0001

15

Kelompok Kontrol 5,60 1,242 0,321 15

*=0,05

Jurnal Keperawatan Indonesia, Vol. 18, No. 2, Juli 2015, hal 102-113 106

Tabel 6. Tekanan Darah Sistole dan Diastole Kelompok Intervensi dan Kontrol Sebelum dan Setelah Pijat

Punggung

Tekanan Darah Sistole Mean SD SE p* n

Sebelum Pijat Punggung

Kelompok Intervensi 153,53 20,184 5,212 0,112

15

Kelompok Kontrol 141,80 18,974 4,899 15

Sesudah Pijat Punggung

Kelompok Intervensi 141,13 19,755 5,101 0,826

15

Kelompok Kontrol 142,67 18,102 4,674 15

Tekanan Darah Diastole

Sebelum Pijat Punggung

Kelompok Intervensi 76,60 9,478 2,447 0,352

15

Kelompok Kontrol 80,73 13,997 3,614 15

Sesudah Pijat Punggung

Kelompok Intervensi 68,80 8,082 2,087 0,016

15

Kelompok Kontrol 78,87 12,867 3,322 15

*=0,05

Pada Tabel 6 merangkan tentang tekanan darah

sistolik dan diastolik responden sebelum dan

sesudah pijat punggung. Rerata tekanan darah

sistolik responden sesudah pijat punggung tidak

ada perbedaan yang signifikan p= 0,826 pada

kelompok intervensi= 141,13 mmHg, SD

19,755 mmHg, kelompok kontrol= 142,67

mmHg, SD 18,102 mmHg. Rerata tekanan darah

diastole responden sebelum pijat punggung tidak

ada perbedaan yang signifikan p= 0,352 (> dari

), pada kelompok intervensi= 76,60 mmHg,

SD 9,478 mmHg, kelompok kontrol= 80,73

mmHg, SD 13,997 mmHg. Rerata tekanan

darah diastole responden sesudah pijat punggung

ada perbedaan yang signifikan p= 0,016 (< dari

), pada kelompok intervensi= 68,80 mmHg,

SD 8,082 mmHg, kelompok kontrol= 78,87

mmHg, SD 12,867 mmHg. Tabel 7 menerangkan

tentang denyut nadi, respirasi dan suhu sebelum dan

sesudah pijat punggung. Berdasarkan denyut nadi

responden yaitu sebelum pijat punggung tidak

ada perbedaan yang signifikan p= 0,444 (>

dari ) pada kelompok intervensi= 76,00 kali/

menit, SD 11,244 kali/ menit, pada kelompok

kontrol= 79,07 kali/ menit, SD 10,347 kali/

menit. Sesudah pijat punggung ada perbedaan

yang signifikan p= 0,0001 (< dari ), pada

kelompok intervensi= 65,00 kali/ menit, SD

7,181 kali/ menit, pada kelompok kontrol=

81,47 kali/ menit dengan SD 9,841 kali/ menit.

respirasi responden sebelum pijat punggung

tidak ada perbedaan yang signifikan p= 0,733

(> dari ), pada kelompok intervensi= 20,13

kali/menit, SD 2,532 kali/menit, pada kelompok

kontrol= 19,87 kali/ menit, SD 1,598 kali/

menit. Respirasi responden sesudah pijat

punggung terdapat perbedaan yang signifikan

p= 0,05 (= ), pada kelompok intervensi=

18,47 kali/menit, SD 1,125 kali/menit, pada

kelompok kontrol= 19,87 kali/menit, SD 1,407

kali/menit. Suhu responden sebelum pijat

punggung tidak ada perbedaan yang signifikan

p= 0,324 (> dari ), pada

Rosfiati, et al., Pengaruh Pijat Punggung terhadap Tingkat Kecemasan 107

Tabel 7. Denyut Nadi, Respirasi, Suhu Kelompok Intervensi dan Kontrol Sebelum dan Sesudah Pijat

Punggung

Denyut Nadi Mean SD SE p* N

Sebelum Pijat Punggung

Kelompok Intervensi 76,00 11,244 2,903 0,444

15

Kelompok Kontrol 79,07 10,347 2,672 15

Sesudah Pijat Punggung

Kelompok Intervensi 65,00 7,181 1,854 0,0001

15

Kelompok Kontrol 81,47 9,841 2,541 15

Respirasi Mean SD SE p* n

Sebelum Pijat Punggung

Kelompok Intervensi 20,13 2,532 0,654 0,733

15

Kelompok Kontrol 19,87 1,598 0,413 15

Sesudah Pijat Punggung

Kelompok Intervensi 18,47 1,125 0,291 0,05

15

Kelompok Kontrol 19,87 1,407 0,363 15

Suhu Mean SD SE p* n

Sebelum Pijat Punggung

Kelompok Intervensi 36,51 0,397 0,098 0,324

15

Kelompok Kontrol 36,67 0,488 0,126 15

Sesudah Pijat Punggung

Kelompok Intervensi 36,33 0,362 0,093 0,052 15

Kelompok Kontrol 36,67 0,523 0,135 15

*=0,05

kelompok intervensi= 36,51 °C, SD 0,379 °C,

pada kelompok kontrol= 36,67 °C, SD 0,488 °C.

Rerata suhu sesudah pijat punggung ada per-

bedaan yang signifikan p= 0,052, (= ), pada

kelompok intervensi= 36,33 °C, SD 0,362 °C,

pada kelompok kontrol= 36,67 °C, SD 0,523 °C.

Hubungan antara tingkat kecemasaan dan tingkat

kenyamanan diuji melalui uji korelasi dan

regresi linear sederhana. Hasil analisis statistik

dapat dikaji nilai-nilai dalam regresi linear yaitu

koefisien determinasi, persamaan garis dan p.

Nilai koefisien determinasi dilihat pada nilai

R² (R Square) dalam tabel Model Summary

yaitu 0,344, pada Confidence Interval 95%

artinya persamaan garis regresi yang didapat

menjelaskan 34,4% variasi tingkat kenyamanan.

Pada tabel Anova didapat nilai p (kolom Sig)=

0,001 < dari (0,05), sehingga disimpulkan

bahwa regresi sederhana cocok dengan data yang

ada. Dari hasil diatas didapat nilai konstan (a)

sebesar 8,793 dan nilai b = -0,484. Maka rumusan

model prediksi tingkat kenyamanan dari tingat

kecemasan pasien setelah diberikan pijat pung-

gung, dengan persamaan regresi sebagaimana

persamaan (1) berikut:

Y = a+bX (1)

Tingkat kenyamanan setelah pijat punggung=

8,793 + {(-0,484) (tingkat kecemasan)}

Pembahasan

Penelitian mempunyai tujuan untuk mendapatkan

gambaran tentang pengaruh pijat punggung terha-

dap tingkat kecemasan dan tingkat kenyamanan

pasien sebelum tindakan coronary angiography.

Usia dominan menurut Black dan Hawks (2009)

yang mengalami penyakit jantung koroner adalah

>40 tahun. Sesuai dengan faktor yang mem-

pengaruhi respon individu terhadap stres, juga

Jurnal Keperawatan Indonesia, Vol. 18, No. 2, Juli 2015, hal 102-113 108

faktor usia rerata 50–60 tahun, pada populasi

<30 tahun sampai usia >70 tahun (Hinz, et al.,

2011). Jenis kelamin, walaupun kedua jenis

kelamin dapat sama-sama mengalami penyakit

jantung koroner, laki-laki merupakan jenis kelamin

yang berisiko tinggi mengalami penyakit jantung

koroner pada usia lebih muda dan perempuan

berisiko meningkat secara signifikan setelah

menopause 2–3 kali dibandingkan dengan perem-

puan pada usia sama sebelum menopause (Black

& Hawks, 2009). Demikian pula faktor jenis

kelamin terhadap tingkat kecemasan pasien

sebelum tindakan coronary angiography, oleh

Hinz, et al., (2011) dalam Anxiety and Depression

in Cardiac Patients: Age Diffrences and Comparison

with General Population, dikatakan bahwa kedua

jenis kelamin mempunyai tingkat kecemasan

yang setara.

Hasil penelitian karakteristik responden dengan

pendidikan perguruan tinggi mendominasi diag-

nosis angina pektoris stabil memperlihatkan

bahwa pendidikan juga merupakan salah satu

faktor bahwa seseorang lebih memahami kondisi

jantung sehingga melanjutkan pemeriksaan

diagnosis ke tingkat coronary angiography.

Pekerjaan responden yang datang untuk tindakan

coronary angiography didapatkan yang paling

banyak adalah swasta, baik di kelompok in-

tervensi dan kelompok kontrol karena jaminan

sosial kesehatan yang pasti mereka memiliki

kemudahan untuk memutuskan melakukan tin-

dakan ini, walaupun ini juga terjadi pada responden

dengan pekerjaan Pegawai Negeri Sipil (PNS) ada

jaminan tapi terlihat lebih sedikit yang me-

lanjutkan untuk tindakan diagnostik coronary

angiography.

Tingkat kecemasan sebelum intervensi pada

kelompok intervensi dan kelompok kontrol

memperlihatkan pada awalnya bahwa kelompok

intervensi (6,73) dan kelompok kontrol (5,53)

mempunyai tingkat kecemasan yang lebih tinggi

dibandingkan dengan kelompok kontrol sebelum

diberikan pijat punggung sebagai data dasar.

Dari penelitian terdahulu ditemukan 51% di-

laporkan mengalami stres secara klinis, cukup

signifikan menggunakan alat ukur Distress

Thermometer (DT), 52% pasien dilaporkan

mengalami depresi dengan level tinggi, kegugupan

atau mengalami keduanya yang diukur meng-

gunakan alat ukur Edmonton Symptom Assessment

Scale (ESAS). Penelitian tersebut dilakukan untuk

menyelidiki hubungan faktor-faktor fisiologis dan

psikologis menghadapi diagnosis kanker paru

(Steinberg, et al., 2009). Menurut artikel medikal

yang ditulis Kugler (2009) tentang Waiting for

diagnostic, seseorang yang menunggu diagnostik

mengalami respon stres, seperti marah (anger),

tidak sabar, frustrasi dan ansietas, sedih bahkan

depresi sebagai akibat reaksi fisiologis dan

psikologis tubuh.

Tingkat kecemasan sesudah intervensi pada

kelompok intervensi dan kelompok kontrol

memperlihatkan bahwa tingkat kecemasan ke-

lompok intervensi 3,67 menjadi berkurang

secara signifikan dibandingkan dengan tingkat

kecemasan kelompok kontrol (5,53) yang menetap

karena tidak diintervensi dengan pijat punggung

walaupun pada awalnya kedua kelompok mem-

punyai tingkat kecemasan yang relatif sama

tinggi sebelum intervensi (p= 0,002). Sesuai

dengan penelitian terdahulu pijat punggung yaitu

the effect of massage intervention on anxiety,

comfort and physiological responses in patient

with congestive heart failure (Liebert, 2012),

massage therapy dapat meningkatkan saturasi

oksigen secara signifikan, responden laki-laki

lebih merasakan berkurangnya ansietas secara

signifikan. Pada penelitian the effect of back-

massage on the vital signs and anxiety level of

elderly staying in a rest home, didapatkan antara

lain ada penurunan tingkat kecemasan secara

signifikan (p= 0,001) setelah pijat punggung

(Cinar, Eser, & Khorshid, 2009). Berarti pijat

punggung mampu memberikan ketenangan

kepada pasien secara signifikan.

Tingkat kenyamanan sebelum intervensi pada

kelompok intervensi dan kelompok kontrol

memperlihatkan pada awalnya bahwa kelompok

intervensi (5,07) dan kelompok kontrol (5,53)

mempunyai tingkat kenyamanan yang relatif

sama rendah dengan kelompok kontrol sebelum

diberikan pijat punggung (p= 0,454). Menurut

Rosfiati, et al., Pengaruh Pijat Punggung terhadap Tingkat Kecemasan 109

Kolcaba (2010), rasa nyaman didapatkan bila

tidak ada ancaman terhadap diri seseorang. Dalam

kondisi menunggu tindakan seperti coronary

angiography, dimana diagnosis ditentukan

setelah tindakan dilakukan menjadi ancaman

bagi pasien, hal ini yang membuat pasien tidak

nyaman.

Tingkat kenyamanan sesudah intervensi pada

kelompok intervensi dan kelompok kontrol.

memperlihatkan bahwa tingkat kenyamanan

kelompok intervensi (7,53) menjadi meningkat

secara signifikan dibandingkan dengan tingkat

kenyamanan kelompok kontrol (5,60) yang

tidak diintervensi dengan pijat punggung walau-

pun pada awalnya kedua kelompok mempunyai

tingkat kenyamanan yang relatif sama rendah

sebelum intervensi (p= 0,0001). Sesuai dengan

penelitian yang dilakukan oleh Chen, Liu, Yeh,

Chiang, Fu, dan Hsieh (2013), menemukan bahwa

ada penurunan yang signifikan tingkat ansietas,

tingkat kenyamanan setelah dilakukan pijat

punggung pada pasien dengan congestive heart

failure (F[2,61]= 4,31, p= 0,02). Secara fisologis

juga dikatakan dengan pijat punggung merangsang

keluarnya hormon endorfin (Noonan, 2006) dari

lokasi nosiseptor, terminal saraf kornu dorsalis

medula spinalis (Potter & Perry, 2013). Tekanan

darah sistolik sebelum intervensi pada kelompok

intervensi dan kelompok kontrol memperlihatkan

bahwa kelompok intervensi (153,53 mmHg) dan

kelompok kontrol (141,80 mmHg) mempunyai

tekanan darah sistolik yang relatif sama tinggi

dengan kelompok kontrol sebelum diberikan

pijat punggung (p= 0,112).

Penelitian terdahulu cortisol responses to mental

stress and the progression of coronary artery

calcification in healthy men and women, mem-

buktikan bahwa ada hubungan yang signifikan

antara peningkatan kortisol sebagai reaksi dari

peningkatan stres dan kalsifikasi arteri koronaria

yang pada gilirannya memungkinkan terjadinya

stres psikososial yang dapat memengaruhi penya-

kit jantung koroner (Hamer, Endrighi, Venraju,

Lahiri & Steptoe, 2012). Penelitian lain menemukan

bahwa stres mental dapat berpengaruh pada

tekanan darah dan denyut nadi (Hjortskov, et al.,

2004).

Pengukuran tekanan darah sistolik kelompok

intervensi terlihat lebih tinggi dibandingkan

dengan tekanan darah sistolik kelompok kontrol

sebelum pijat punggung, asumsi ini bila dikaitkan

dengan konsep model dari Spielberger tentang

State and Trait Anxiety (STAI) menjelaskan

ansietas, proses mengalami ansietas sebagai

akibat dari interaksi stimulus internal dan eks-

ternal stimulus, faktor kognitif, dan mekanisme

pertahanan tubuh. Model ini menjelaskan bahwa

anxious state ditandai dengan respon fisiologis

dan pikiran merasa terasing, akibat stresor

eksternal atau penyebab internal.

Tekanan darah sistolik sesudah intervensi pada

kelompok intervensi dan kelompok kontrol

memperlihatkan bahwa kelompok intervensi

(141,13 mmHg) dan kelompok kontrol (142,67

mmHg) mempunyai tekanan darah sistolik yang

relatif tetap sama tinggi dengan kelompok kontrol

sebelum diberikan pijat punggung (p= 0,826).

Walaupun tekanan darah sistolik kelompok

intervensi terlihat penurunan menjadi 141,13

mmHg dari 153,53 mmHg, yang secara statistik

dinilai tidak signifikan sedangkan pada penelitian

terdahulu tanda vital dapat turun setelah pijat

punggung (Liebert, 2012) sementara menurut

Hamer, et al., (2012) tekanan darah relatif menetap

karena ada kalsifikasi arteri koronaria karena

penumpukan kortisol, dan pada penelitian lain

dikatakan bahwa stres mental dapat berpengaruh

pada tekanan darah dan denyut nadi (Hjortskov,

et al., 2004).

Tekanan darah diastolik sebelum intervensi

pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol

memperlihatkan bahwa kelompok intervensi

(76,60 mmHg) dan kelompok kontrol (80,73

mmHg) mempunyai tekanan darah diastolik yang

relatif sama tinggi dengan kelompok kontrol

sebelum diberikan pijat punggung (p= 0,352).

Menurut Hamer, et al., (2012) ini diakibatkan

karena kalsifikasi arteri koroner yang disebabkan

penumpukan kortisol, dan stres mental (Hjortskov,

et al., 2004). Hasil analisis tekanan darah diastole

Jurnal Keperawatan Indonesia, Vol. 18, No. 2, Juli 2015, hal 102-113 110

sesudah intervensi pada kelompok intervensi dan

kelompok kontrol memperlihatkan bahwa kelom-

pok intervensi (68,80 mmHg) dan kelompok

kontrol (78,87 mmHg) mempunyai tekanan

darah diastolik yang relatif menurun dengan

kelompok kontrol sebelum diberikan pijat

punggung (p= 0,016), tekanan darah diastolik

kelompok intervensi terlihat penurunan menjadi

68,80 mmHg dari 76,60 mmHg.

Menurut Olney (2002) dalam penelitiannya

back massage long term effect and dosage

determination for person with pre hypertension

and hypertension, dikatakan bahwa diperlukan

intervensi berulang dan dalam waktu lama untuk

menurunkan tekanan darah pasien dengan tekanan

darah yang tinggi atau pasien pre hipertensi.

Pada penelitian ini tekanan darah hanya diukur

sekali setelah intervensi dengan pijat punggung

hanya sekali, cukup bermakna untuk menurunkan

tekanan darah diastolik.

Denyut nadi sebelum intervensi pada kelompok

intervensi dan kelompok kontrol memperlihatkan

bahwa kelompok intervensi (76,00 kali/menit)

dan kelompok kontrol (79,07 kali/menit) mem-

punyai denyut nadi yang relatif sama tinggi

dengan kelompok kontrol sebelum diberikan

pijat punggung (p= 0,444). Hasil analisis denyut

nadi sesudah intervensi pada kelompok intervensi

dan kelompok kontrol memperlihatkan bahwa

denyut nadi kelompok intervensi (65 kali/

menit) menjadi menurun secara signifikan

dibandingkan dengan denyut nadi kelompok

kontrol (81,47 kali/menit dari jumlah 79,07

kali/menit) meningkat dan tidak diintervensi

dengan pijat punggung (p= 0,0001) walaupun

pada awalnya kedua kelompok mempunyai

denyut nadi yang relatif sama tinggi sebelum

intervensi.

Respirasi sebelum intervensi pada kelompok

intervensi dan kelompok kontrol memperlihatkan

bahwa kelompok intervensi (20,13 kali/menit)

dan kelompok kontrol (19,87 kali/menit)

mempunyai respirasi yang relatif sama tinggi

dengan kelompok kontrol sebelum diberikan

pijat punggung (p= 0,733). Penelitian terdahulu

membuktikan bahwa respons dari hormon stres

terjadi pada stres fisiologis dan stres psikologis.

Terjadi juga interaksi yang signifikan dalam

penelitian tersebut antara respons kardiorespirasi

dengan denyut jantung, ventilasi, dan respirasi

yang memperlihatkan peningkatan adanya kondisi

stres fisiologis dan psikologis (Webb, et al.,

2008). Stres menunggu tindakan coronary angio-

graphy merupakan salah satu stressor yang

dapat mengakibatkan peningkatan denyut nadi,

pernafasan, aktivitas saluran cerna, dan liver

melepaskan glukosa untuk energi, sebagai respon

dari stimulus stressor (McLeod, 2010)

Respirasi sesudah intervensi pada kelompok

intervensi dan kelompok kontrol memperlihatkan

bahwa respirasi kelompok intervensi (18,47

kali/menit) menjadi menurun secara signifikan

dibandingkan dengan respirasi kelompok kontrol

(19,87 kali/menit) tetap, tidak diintervensi dengan

pijat punggung (p= 0,005), walaupun pada

awalnya kedua kelompok mempunyai respirasi

yang relatif sama tinggi sebelum intervensi.

Stres menunggu tindakan coronary angiography

merupakan salah satu stressor yang dapat meng-

akibatkan peningkatan denyut nadi, pernafasan,

aktivitas saluran cerna, dan liver melepaskan

glukosa untuk energi, sebagai respon dari stimulus

stresor (McLeod, 2010), dengan pijat punggung

respon fisiologis ini dapat dibantu diadaptasi

dengan lebih baik (Wentworth, et al., 2009).

Suhu sebelum intervensi pada kelompok intervensi

dan kelompok kontrol memperlihatkan bahwa

kelompok intervensi (36,51 °C) dan kelompok

kontrol (36,67 °C) mempunyai suhu yang relatif

sama tinggi sebelum dilakukan intervensi (p=

0,324). Menurut mekanisme fisiologi tubuh

suhu dipengaruhi oleh lingkungan, bila lingkungan

atau ruangan panas tubuh tidak mampu mengatur

suhu tubuh dengan mekanisme heat loss, sehingga

suhu tubuh akan naik, sebaliknya lingkungan

yang dingin berakibat extensive radiant dan

panas hilang karena konduksi (Potter & Perry,

2013). Penelitian ini dilakukan pada ruangan

dengan suhu 16 °C, hal ini yang menyebabkan

suhu tubuh pasien tetap pada kondisi normal

dan cenderung kurang dari 37 °C. Hasil analisis

Rosfiati, et al., Pengaruh Pijat Punggung terhadap Tingkat Kecemasan 111

suhu sesudah intervensi pada kelompok intervensi

dan kelompok kontrol memperlihatkan bahwa

kelompok intervensi (36,33 °C) dan kelompok

kontrol (36,33 °C) mempunyai suhu yang relatif

tetap sama tinggi dengan kelompok kontrol

sesudah diberikan pijat punggung (p= 0,052),

suhu kelompok intervensi setelah pijat punggung

terlihat ada penurunan dari 36,51 °C menjadi

36,33 °C. Penelitian terdahulu yang dilakukan

pada the effect of back-massage on the vital

signs and anxiety level of elderly staying in a

rest home, menemukan bahwa kecuali suhu

tubuh, ada penurunan secara signifikan pada

tanda-tanda vital segera setelah pijat punggung,

diukur 15 menit, dan 30 menit kemudian, juga

pengukuran hasil selama 3 hari berturut. Penelitian

dilakukan pada responden dengan rata-rata

usia 62–85 tahun (Cinar, Eser, & Ismet, 2009).

Pada penelitian ini sedikit berbeda dengan

penelitian tersebut yaitu pengukuran hanya

dilakukan satu kali segera setelah pemberian

pijat punggung dan responden yang berusia

antara 43–73 tahun. Penelitian ini dilakukan pada

ruangan dengan suhu 16 °C, pengaruh lingkungan

ini yang menyebabkan suhu tubuh pasien tetap

pada kondisi normal dan cenderung kurang

dari 37 °C.

Hasil analisis statistik pada hubungan tingkat

kecemasan dan tingkat kenyamanan setelah pijat

punggung menjelaskan bahwa semakin tinggi

tingkat kecemasan akan semakin rendah tingkat

kenyamanan (p= 0,001; = 0,05). Penelitian

lain membuktikan bahwa pasien sebagai makhluk

sosial, mendapatkan rasa nyaman dari dukungan

sosial karena membutuhkannya untuk mengurangi

stres, dapat percaya kepada orang lain, aman

untuk berhubungan dengan orang lain serta mem-

punyai jaringan sosial yang lebih luas (Kaniasty

& Norris, 2000).

Kesimpulan

Gambaran umum karakteristik responden yang

mengikuti penelitian ini yaitu usia rata-rata;

persentase jenis kelamin laki-laki dan perempuan;

persentase pendidikan SLTP, SLTA, dan PT;

jenis pekerjaan responden yang terdiri dari pega-

wai negeri sipil, swasta, dan lain-lain termasuk

pensiunan. Ada hubungan tingkat kecemasan

dan kenyamanan sesudah pijat punggung sebelum

tindakan coronary angiography. Ada pengaruh

pijat punggung terhadap tingkat kecemasan

pasien sebelum tindakan coronary angiography

setelah dikontrol dengan karakteristik pasien. Ada

pengaruh pijat punggung terhadap tingkat ke-

nyamanan pasien sebelum tindakan coronary

angiography setelah dikontrol dengan karakteristik

pasien. Ada pengaruh pijat punggung terhadap

tekanan darah diastolik, frekuensi nadi dan

respirasi, dan suhu pasien sebelum tindakan

angiografi koroner setelah dikontrol dengan

karakteristik pasien. Tidak ada pengaruh pijat

punggung terhadap tekanan darah sistol sesudah

intervensi sebelum tindakan coronary angio-

graphy.

Saran atau rekomendasi selanjutnya untuk

melakukan penelitian tentang pengaruh pijat

punggung terhadap tingkat kecemasan dan ke-

nyamanan dengan cara: mengikutsertakan faktor

konfonding usia, jenis kelamin, pendidikan,

dan pekerjaan dalam penelitian dengan mengana-

lisis pengaruh terhadap tingkat kecemasan,

tingkat kenyamanan, TD, nadi, respirasi, dan

suhu. Melakukan analisis data dalam bentuk

kategorik. Melakukan penelitian tentang teknik

pijat punggung dengan tekanan berbeda pada

punggung pasien. Melakukan evidence based

practice untuk menempatkan pijat punggung

sebagai bagian dari standar prosedur operasional

tindakan angiography pasien dewasa dan pediatrik.

(TG, HH, AR)

Referensi Black, M.J., & Hawks. J.H. (2009) Medical

surgical nursing: Clinical management for

positive outcome (8th Ed.). St Louis

Missouri: WB Saunders

Chen, W., Liu, G.J., Yeh, S.H., Chiang, M.C., Fu,

M.Y., & Hsieh, Y.K. (2012). Effect of back

massage intervention. Diperoleh dari http://

www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/23186129.

Cinar, S., Eser, I., & Khorshid, L. (2009). The

Jurnal Keperawatan Indonesia, Vol. 18, No. 2, Juli 2015, hal 102-113 112

effects of back massage on the vital signs

and anxiety level of elderly staying in a rest

home. Diperoleh dari http://www.hacette

pehemsirelikdergisi.org/pdf/pdf_HHD_76.pdf.

Dharma, K.K. (2011). Metodologi penelitian

keperawatan, panduan melaksanakan dan

menerapkan hasil penelitian. Jakarta: TIM

Dowd, T., Kolcaba, K., Steiner, R., & Fashinpaur,

D. (2007). Verbal rating scale questionnaire

comparision of healing touch, coaching,

and a combined intervention on comfort

and stress in younger college students.

Holistic Nursing Practice, 21(4), 194–202.

Eran, A., Erdmann, E., & Er, F. (2010). Informed

consent prior to coronary angiography in

a real world scenario: what do patients

remember? Diperoleh dari http://journals.

plos.org/plosone/article?id=10.1371/journa

l.pone.0015164.

Hinz, A., Kittel, J., Karoff, M., & Daig, I.

(2011). Anxiety and depression in cardiac

patients: Age differences and comparisons

with the general population. Psychopathology,

44(5), 289–295. Doi: 10.1159/000322796.

Hajbaghery, M.A., Abasi, A., Beheshtabad, R.R,

& Fini, I.A. (2012). The Effects of

Massage Therapy by the Patient’s Relative

on Vital Signs of Males Admitted in

Critical Care Unit. Nursing and Midwifery

Studies, 1(1), 16–21. Doi:10.5812/nms.7903.

Hamer, M., Endrighi, R., Venuraju, S. M.,

Lahiri, A., & Steptoe, A. (2012). Cortisol

responses to mental stress and the

progression of coronary artery calcification in

healthy men and women. Diperoleh dari

http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/22

328931.

Kugler, M. (2009). Waiting for diagnosis: The

time you spend waiting for a diagnosis can

be emotional. Diperoleh dari http://rarediseases.

about.com.

Hjortskov, N., Rissén, D., Blangsted, A. K.,

Fallentin, N., Lundberg, U., & Søgaard, K.

(2004). The Effect of Mental stress on

Heart Rate Variability and Blood Pressure

during Computer Work. European journal

of applied physiology, 92(1-2), 84–9. Doi:

10.1007/s00421-004-1055-z.

Kari, A.R. (2009). Exploration of The Quality of

Three Measures for Assessing State Anxiety

in Hospitalized cardiac. Diperoleh dari

http://search.proquest.com/docview/30498

7249/fulltextPDF/13CFC24637D527AD50

F/8?accountid=17242.

Kaniasty, K., & Norris, F.H. (2000). Help-

seeking comfort and Receiving Social

Support: the role of ethnicity and context

of need. American journal of community

psychology, 28(4), 545–581.

Kolcaba, K. (2010). An introduction to comfort

theory. Diperoleh dari http://www.thecomfort

line.com/.

McLeod, S. (2010). What is the stress response.

Diperoleh dari http://www.simplypsychology.

org/stress-biology.html.

Olney, C.M. (2007). Back massage long term

effects and dosage determination for

persons with pre-hypertension and

hypertension. Diperoleh dari http://scholar

commons.usf.edu/cgi/viewcontent.cgi?arti

cle=3306&context=etd.

Liebert, M.A. (2013). Effect of massage

intervention on anxiety, comfort and

physiological respons in patient congestive

heart failure. Journal of Alternative and

Complementary Medicine, 19(5), 464–4

70.

McNamara, M.E., Burnham, D.C., Smith C., &

Carroll, D.L. (2003). The effects of Masase

massage before diagnostic cardiac

catheterization. Diperoleh dari http://www.ncbi.

nlm.nih.gov/pubmed/12564351.

Noonan.T. (2006). Effect of massage therapy

techniques on the autonomic nervous

system (ANS), endocrine and the other

body systems. Diperoleh dari http://www.tim

noonan.com.au/maspap98.htm.

Rosfiati, et al., Pengaruh Pijat Punggung terhadap Tingkat Kecemasan 113

Potter, P.A., & Perry, A.G. (2013) Fundamentals

of nursing (8th Ed.). St Louis, Missouri:

Elsevier Mosby.

Steinberg, T., Roseman, M., Kasymjanova, G.,

Dobson, S., Lajeunesse, L., Dajczman, E.,

Kreisman, H., MacDonald, N., Agulnik, J.,

Cohen, V., Rosberger, Z., Chasen, M.,

Small, D. (2009). Prevalence of emotional

distress in newly diagnosed lung cancer

patients. Supportive care in cancer:

Official journal of the multinational

association of supportive care in cancer,

17(12), 1493–1497. Doi: 10.1007/s00520-

009-0614-6.

Sugiono, J. (2010). Metoda Pendekatan

Kuantitatif. Bandung: Alfabeta.

Webb, H.E., Weldy, M.L., Fabianke-Kadue,

E.C., Orndorff, G.R., Kamimori, G.H., &

Acevedo, E.O. (2008). Psychological

stress during exercise: cardiorespiratory

and hormonal responses. European journal

of applied physiology, 104(6), 973–981.

Doi: 10.1007/s00421-008-0852-1.

Wentworth, L.J., Briese, L.J., Timimi, F.K.,

Sanvick, C.L., Bartel, D.C., Cutshall, S.M.,

Tilbury, R.T., Lennon, R., Bauer, B.A.

(2009). Massage therapy reduces tension,

anxiety, and pain in patients awaiting

invasive cardiovascular procedures. Progress

in cardiovascular nursing, 24(4), 155–161.

Doi: 10.1111/j.1751-7117.2009.00054.x.

Jurnal Keperawatan Indonesia, Volume 18 No.2, Juli 2015, hal 115-122

pISSN 1410-4490, eISSN 2354-9203

PENINGKATAN PELAKSANAAN KESELAMATAN PASIEN OLEH

MAHASISWA MELALUI PERAN PEMBIMBING KLINIK

Lilis Suryani¹, Hanny Handiyani², Sutanto Priyo Hastono³

1. Program Studi Magister Fakultas Ilmu Keperawatan, Universitas Indonesia, Depok 16424, Indonesia

2. Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, Depok 16424, Indonesia

3. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Depok 16424, Indonesia

*E-mail: [email protected]

Abstrak

Pembimbing klinik sangat berperan dalam proses pembelajaran mahasiswa yang melaksanakan tindakan langsung

kepada pasien di rumah sakit, namun peran pembimbing masih belum optimal dalam memberikan pembimbingan yang

menjamin keselamatan pasien. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi hubungan peran pembimbing klinik

dengan pelaksanaan keselamatan pasien oleh mahasiswa di rumah sakit. Responden penelitian sebanyak 196 mahasiswa

tingkat akhir Sekolah Tinggi Keperawatan yang terdiri dari program Ners, D3 Keperawatan, dan D3 Kebidanan. Desain

penelitian menggunakan pendekatan potong lintang. Analisis regresi logistik menyampaikan ada hubungan bermakna

antara peran pembimbing klinik dengan pelaksanaan keselamatan pasien yang dilaksanakan oleh mahasiswa setelah

dikontrol dengan jenis pendidikan (p= 0,02; CI= 1,19–3,71). Rekomendasi antara lain peran pembimbing klinik perlu

ditingkatkan dalam pelaksanaan keselamatan pasien oleh mahasiswa.

Kata kunci: keselamatan pasien, mahasiswa, peran pembimbing klinik

Abstract

The Improvement of Student’s Behavior in Patient Safety towards Clinical Instructor’s Role. Clinical instructor has

an important role in student’s learning process in implementing direct intervention toward patient within the hospital.

The purpose of this study is to determine thecorrelation between the role of clinical instructor and patient safety

implementation by the student in hospital. This is descriptive correlational method which is recruited 196 students in

their final year in Stikes as respondents. These respondents were studying in bachelor nursing, diploma nursing and

diploma in midwifery program. The study used cross sectional design. The result by regression logistic shows

significant correlation between the role of clinical instructor and patient safety implementation by the student where

education as a confounding factor were controlled (p= 0,02; CI= 1,19–3,71). It is recommended that increase for

clinical instructor in patient safety and implementation of patient safety by students.

Keywords: clinical instructor role, patient safety, student

Pendahuluan

Kelalaian individu merupakan ancaman terjadi-

nya kejadian yang tidak diharapkan pada pasien.

Institute Medicine of America melaporkan

100.000 orang meninggal setiap tahun sebagai

akibat dari kesalahan medis, kesalahan berasal

berasal dari efek samping obat, komplikasi bedah,

kesalahan sistem, dan kesalahan pengobatan. Studi

di Kanada didapatkan 7–12% pasien di rumah

sakit mengalami efek samping obat dan 30–40%

dari peristiwa itu dapat dicegah. Berdasarkan

laporan tersebut maka penting untuk meningkat-

kan program keselamatan pasien (Forster, Dervin,

Martin Jr., Papp, 2012; Montoya & Kimbal, 2013).

Sasaran program keselamatan pasien meliputi:

ketepatan identifikasi pasien, komunikasi efektif,

keamanan obat, kepastian tepat lokasi, tepat

prosedur, tepat pasien, pengurangan risiko infeksi,

dan pengurangan risiko pasien jatuh (Depkes

RI, 2008; Permenkes, 2011).

Mahasiswa keperawatan yang sedang melak-

sanakan praktik di rumah sakit dapat juga

Jurnal Keperawatan Indonesia, Vol. 18, No. 2, Juli 2015, hal 115-122 116

melakukan suatu kesalahan. Mahasiswa sebagai

faktor individu berpengaruh terhadap kualitas

perawatan dan keselamatan pasien (Mwachofi,

Walston, & Al-Omar, 2011). Mahasiswa perlu

melaksanakan dan menerapkan program kesela-

matan pasien sehingga dapat mencegah adanya

cedera pada pasien. Implementasi sistem kese-

lamatan pasien yang baik oleh mahasiswa dapat

menghindari suatu kesalahan. Data pelaksanaan

keselamatan pasien oleh mahasiswa STIKes X

di RSUD Y masih terjadi suatu kesalahan antara

lain kesalahan rute pemberian salah satu obat

injeksi. Kesalahan yang dilakukan mahasiswa

dimungkinkan karena tidak didampingi oleh

pembimbing klinik. Pembimbing klinik banyak

yang mempunyai kesibukan rangkap seperti

kegiatan manajerial maupun tugas memberikan

asuhan keperawatan. Kondisi ini menyebabkan

bimbingan kepada mahasiswa menjadi kurang

optimal. Proses pembelajaran selama mahasiswa

praktik tentunya tidak lepas dari peran pembim-

bing klinik. Mahasiswa perlu mengintegrasikan

keselamatan pasien dalam proses pembelajaran

yang dilakukan kepada pasien dengan bimbingan

dari para pembimbing klinik (Johnson, 2011;

Gantt & Corbett, 2010).

Pembimbing klinik sangat berperan dalam proses

pembelajaran klinik dan pencapaian kompetensi

(Johnson, 2011; Jecklin, 2009). Pembimbing klinik

perlu memiliki keahlian klinis dan pengajaran

sehingga dapat memberikan bimbingan yang

berkualitas dan pencapaian kompetensi yang

optimal (Dahlke, Baumbusch, Affleck, & Kwon,

2012). Peran pembimbing klinik yang diperlukan

antara lain sebagai pendidik, sebagai perawat

profesional dan sebagai role model (Johnson

2011; Lewallen & DeBrew, 2012; Tang, Chou,

& Chiang, 2005). Peran sebagai pendidik akan

mengelola pembelajaran terkait keselamatan pa-

sien, peran sebagai pemberi perawatan profesional

akan memberikan pelayanan atau perawatan

kepada pasien sebagai bagian dari proses pem-

belajaran dan peran memberi contoh kepada

mahasiswa terkait pelaksanaan keselamatan

pasien. Peran pembimbing yang baik dapat

meningkatkan pencapaian kompetensi dan tujuan

pembelajaran. Pembimbing klinik juga sangat

berperan dalam proses pembelajaran klinik dan

pencapaian kompetensi (Johnson, 2011; Jecklin,

2009), dan sangat penting perannya dalam meng-

hasilkan lulusan yang profesional (Nurachmah,

2005). Peran pembimbing klinik dapat menentukan

kualitas lulusan di masa mendatang. Pembimbing

klinik diharapkan memiliki keahlian klinis dan

pengajaran sehingga dapat memberikan bimbingan

yang berkualitas dan pencapaian kompetensi yang

optimal (Dahlke, et al., 2012).

Keselamatan pasien merupakan hak bagi setiap

pasien, oleh karena itu keselamatan pasien harus

mendapatkan prioritas untuk diperhatikan dan

dilaksanakan. Terkait keberadaan mahasiswa

yang sedang melaksanakan praktik di RS dan

kaitannya dengan keamanan dan keselamatan

pasien, maka sangat diperlukan peran pembimbing

klinik dalam rangka menjaga keamanan dan

keselamatan pasien serta pencapaian kompetensi

pembelajaran, sehingga pada penelitian ini

dianalisis hubungan peran pembimbing klinik

dengan pelaksanaan keselamatan pasien yang

dilakukan oleh mahasiswa.

Metode

Desain yang digunakan pada penelitian adalah

korelasi dengan pendekatan potong lintang. Sampel

berjumlah 196 mahasiswa STIKes tingkat akhir,

yang terdiri terdiri dari 38 Prodi Ners, 56 D3

Keperawatan, dan 102 D3 Kebidanan. Instrumen

yang digunakan terdiri dari tiga jenis yaitu

kuesioner A tentang data demografi yang terdiri

dari usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan,

pelatihan keselamatan pasien yang diikuti,

sedangkan instrumen kedua yaitu kuesioner B

tentang pelaksanaan keselamatan pasien oleh

mahasiswa yang terdiri dari 33 item, meliputi

aspek ketepatan identifikasi pasien, komunikasi

efektif, pencegahan infeksi, dan pencegahan

risiko pasien jatuh. Sedangkan instrumen ketiga

yaitu kuesioner C tentang peran pembimbing.

Item meliputi peran sebagai pendidik, peran

sebagai pemberi perawatan profesional, dan

peran sebagai role model. Hasil Uji coba instrumen

pada kuesioner B dengan Alpa Cronbach 0,784,

sedangkan pada kuesioner C dengan Alpha

Cronbach 0,873. Analisis data dilakukan dengan

menggunakan uji statistik Chi-Square. Penelitian

Suryani, et al., Peningkatan Pelaksanaan Keselamatan Pasien Oleh Mahasiswa 117

ini telah lolos uji etik dari komite etik Fakultas

Ilmu Keperawatan Indonesia.

Hasil Penelitian

Karakteristik Responden (Mahasiswa). Berda-

sarkan hasil penelitian yaitu mayoritas mahasiswa

berusia dewasa muda, mayoritas perempuan,

berpendidikan D3 Kebidanan dan sebagian besar

pernah mendapatkan materi tentang keselamatan

pasien.

Gambaran pelaksanaan keselamatan pasien oleh

mahasiswa STIKes X yang melaksanakan praktik

di RSUD Y secara umum menunjukkan 52%

masih kurang. Pelaksanaan keselamatan pasien

yang sudah menunjukkan baik lebih dari 80%

yaitu Prodi Ners. Gambaran peran pembimbing

klinik RSUD Y pada mahasiswa STIKes X untuk

setiap program studi rerata masih kurang.

Tabel 1. Karakteristik Mahasiswa Tingkat Akhir STIKes X Berdasarkan Usia, Jenis Kelamin, Tingkat

Pendidikan, dan Pelatihan

Varibel Frekuensi Persen (%)

Usia

≤25 tahun

176

89,8

>25tahun 20 10,2

Jenis Pendidikan

D3 Kebidanan 102 52

D3 Keperawatan 56 28,6

Ners 38 19,4

Jenis Kelamin

Laki-laki 70 35,7

Perempuan 126 64,3

Pelatihan keselamatan pasien

Tidak pernah 8 4,1

Pernah 188 95,9

Tabel 2. Pelaksanaan Keselamatan Pasien oleh Mahasiswa STIKes X

Jenis Pendidikan

Pelaksanaan Keselamatan Total

Kurang Baik

n % n % N %

D3 Kebidanan 65 63,7 37 36,3 102 100

D3 Keperawatan 30 53,6 26 46,4 56 100

Ners 7 18,4 31 81,6 38 100

Total 102 52 94 48 196 100

Tabel 3. Peran Pembimbing Klinik RSUD Y pada Mahasiswa STIKes X

Jenis Pendidikan

Peran Pembimbing Klinik Total

Kurang Baik

n % n % n %

D3 Kebidanan 42 41.2 60 58.8 102 100

D3 Keperawatan 39 69.6 17 30.4 56 100

Ners 19 50 19 50 38 100

Total 100 51 96 49 196 100

Jurnal Keperawatan Indonesia, Vol. 18, No. 2, Juli 2015, hal 115-122 118

Tabel 4. Hubungan Peran Pembimbing Klinik dengan Pelaksanaan Keselamatan Pasien oleh Mahasiswa

STIKes X

Peran

Pelaksanaan Keselamatan Pasien Oleh

Mahasiswa Total OR

(95%) p

Kurang Baik

n % n % n %

Kurang 61 61,0 39 39,0 100 100 2,098

(1,19-3,71) 0,016* Baik 41 42,7 55 57,3 96 100

Total 102 52 94 48 196 100

Tabel 5. Hubungan Karakteristik dengan Pelaksanaan Keselamatan Pasien oleh Mahasiswa STIKes X

Pelaksanaan Keselamatan Pasien

oleh Mahasiswa Total

OR

(95% CI) p

Kategori Kurang Baik

N % n % n %

Usia

≤ 25 tahun

101

57,4

75

42,6

176

100

2,559

(3,35-19,54)

0,0001* >25 tahun 1 5 19 95 20 100

Total 102 52 94 48 196 100

Jenis Pendidikan

D3 Kebidanan 65 63,7 37 36,3 102 100 1,52

(-0,24-1,08)

0,006*

D3 Keperawatan 30 53,6 26 46,4 56 100

Ners 7 18,4 31 81,6 38 100 7,78

(1,14-2,96)

Total 102 52 94 48 196 100

Jenis Kelamin

Laki-laki 31 44,3 39 55,7 70 100 0,616

(0,34-1,11)

0,141

Perempuan 71 56,3 55 43,7 126 100

Total 102 52,0 94 48,0 196 100

Pelatihan

Tidak Pernah

6

75

2

25

8

100

2,875

(0,57-14,6)

0,334

Pernah 96 51,1 92 48,9 188 100

Total 102 52 94 48 196 100

*Bermakna pada α 0,05

Hubungan Peran Pembimbing Klinik dengan

Pelaksanaan Keselamatan Pasien oleh Maha-

siswa. Hasil uji statistik didapatkan bahwa ada

hubungan yang bermakna antara peran pembimbing

klinik dengan pelaksanaan keselamatan pasien

oleh mahasiswa di RSUD Y, dibuktikan dengan

p yang bermakna yaitu 0,016. Dari hasil analisis

diperoleh pula nilai OR= 2,098, artinya dengan

peran pembimbing yang kurang, maka mahasiswa

berisiko 2,098 kali lebih besar untuk melaksanakan

keselamatan pasien dengan kurang dibandingkan

pada peran pembimbing yang baik.

Hubungan Karakteristik Mahasiswa dengan

Pelaksanaan Keselamatan Pasien oleh Maha-

siswa. Pada Tabel 5 menunjukkan 2 (dua) variabel

yang berhubungan dengan pelaksanaan keselamat-

an pasien yang dipersepsikan oleh mahasiswa

yaitu variabel usia (p= 0,0001) dan jenis pendidikan

(p= 0,006). Pada Tabel 6 memperlihatkan hasil

Suryani, et al., Peningkatan Pelaksanaan Keselamatan Pasien Oleh Mahasiswa 119

Tabel 6. Pemodelan Akhir Regresi Logistik Peran Pembimbing Klinik dengan Pelaksanaan Keselamatan

Pasien oleh Mahasiswa

Variabel B p OR

Peran Pembimbing(1) 1,017 0,002 2,766

Jenis Pendidikan 0,000

pendidikan(1) 0,747 0,043 2,111

pendidikan(2) 2,260 0,000 9,586

Constant -1,200 0,000 0,301

analisis multivariat yaitu menunjukkan bahwa

peran pembimbing klinik berhubungan dengan

pelaksanaan keselamatan pasien oleh mahasiswa

setelah dikontrol dengan jenis pendidikan. Hasil

analisis didapatkan peran pembimbing yang

kurang berisiko 2,76 kali lebih besar untuk melak-

sanakan keselamatan pasien yang kurang oleh

mahasiswa dibandingkan dengan mahasiswa

yang mendapatkan peran pembimbing yang baik.

Pembahasan

Peran Pembimbing Klinik dengan Pelaksanaan

Keselamatan Pasien oleh Mahasiswa. Hasil

penelitian menunjukkan bahwa peran pembimbing

klinik masih kurang. Hal yang menyebabkan

peran pembimbing klinik masih kurang di RSUD

Y adalah pembimbing klinik sebagian besar

masih merangkap jabatan sebagai kepala ruangan

dan belum mendapatkan pelatihan tentang ke-

selamatan pasien, sehingga bimbingan yang

dilakukan kepada mahasiswa menjadi kurang

optimal. Pembimbingan yang kurang dapat meng-

akibatkan pelaksanaan keselamatan pasien yang

dilakukan oleh mahasiswa pun menjadi kurang.

Mahasiswa yang selama praktik di rumah sakit

dapat melaksanakan asuhan atau tindakan secara

langsung kepada pasien (Lewallen & DeBrew,

2012; Tang, et al., 2005). Peran pembimbing

klinik akan menentukan dalam pencapaian

kompetensi pembelajaran khususnya kompetensi

terkait keselamatan pasien. Hal ini sejalan dengan

yang disampaikan oleh Parsh (2010), bahwa

pembimbing klinik yang memiliki pengetahuan

dan keterampilan yang baik, maka akan dapat

membantu mahasiswa untuk memperoleh penge-

tahuan dan keterampilan. Pembimbing klinik

sangat berperan dalam proses pembelajaran

klinik bagi mahasiswa untuk mencapai tujuan

pembelajaran (Johnson, 2011; Jecklin, 2009).

Pembimbing klinik perlu memiliki keahlian klinis

dan pengajaran sehingga dapat memberikan bim-

bingan yang berkualitas (Dahlke, et al., 2012).

Peran pembimbing klinik yang kurang dalam

penelitian ini meliputi peran sebagai pendidik,

pemberi pelayanan keperawatan profesional kepada

pasien dan sebagai role model terkait keselamatan

pasien. Peran sebagai pendidik meliputi peran

dalam mempersiapkan mahasiswa terutama dalam

mengelola pembelajaran, melaksanakan pembe-

lajaran, dan mengevaluasi pembelajaran (Tang, et

al., 2005). Peran sebagai pendidik dapat mencapai

tujuan pembelajaran dan meningkatkan percaya

diri serta kepuasan mahasiswa (Parsh, 2010).

Peran sebagai pemberi perawatan profesional

kepada pasien, pembimbing dapat melakukan

pelayanan kepada pasien sebagai bagian dari

proses pembelajaran kepada mahasiswa.

Pembimbing klinik dapat melibatkan pasien

dalam proses pembelajaran kepada mahasiswa

tetapi dengan tetap menjaga dan melindungi

pasien (Dahlke, et al., 2012). Hal ini juga sejalan

dengan yang disampaikan oleh Johnson (2011)

dan Kim, Park, dan Kang (2013), bahwa peran

sebagai perawat profesional yaitu peran sebagai

pemberi asuhan keperawatan kepada pasien,

mulai dari kemampuan melakukan pengkajian

sampai dengan melakukan evaluasi kepada pasien

serta kemampuan memberikan umpan balik.

Peran pembimbing klinik sebagai role model

Jurnal Keperawatan Indonesia, Vol. 18, No. 2, Juli 2015, hal 115-122 120

merupakan peran yang dapat memberikan contoh

bagi mahasiswa untuk menjelaskan dan men-

demonstrasikan teknik-teknik terkait pelaksanaan

keselamatan pasien dan diharapkan memberikan

contoh yang meliputi perilaku dan sikap positif

(Beth, 2009; Kim, et al., 2013). Jika peran pem-

bimbing klinik kurang maka proses bimbingan

dan pencapaian tujuan akan menjadi kurang

optimal terkait pelaksanaan keselamatan pasien

yang meliputi penerapan sasaran keselamatan

pasien terdiri dari ketepatan identifikasi pasien,

peningkatan komunikasi yang efektif, peningkatan

keamanan obat yang perlu diwaspadai, pengu-

rangan risiko infeksi, dan pengurangan risiko

pasien jatuh (Depkes, 2008).

Keberadaan mahasiswa di rumah sakit walaupun

sedang belajar tetap perlu menjaga keselamatan

pasien. Keselamatan pasien rumah sakit merupakan

suatu sistem yang ada di rumah sakit yang

membuat asuhan pasien lebih aman dan bebas

dari cedera yang tidak disengaja (Montoya &

Kimbal, 2013; Permenkes, 2011). Mahasiswa perlu

mengintegrasikan keselamatan pasien dalam

proses pembelajaran yang dilakukan kepada

pasien (Johnson, 2011; Gantt & Corbett, 2010).

Peran pembimbing klinik sangat penting dalam

membantu memfasilitasi proses pembelajaran

dan peran pembimbing berhubungan dengan

pelaksanaan keselamatan pasien oleh mahasiswa.

Hubungan Karakteristik Mahasiswa dengan

Pelaksanaan Keselamatan Pasien oleh Mahasis-

wa. Hasil analisis menunjukkan ada hubungan

antara usia dengan pelaksanaan keselamatan

pasien oleh mahasiswa. Hasil analisis menunjuk-

kan semakin muda usia mahasiswa sama atau

kurang dari 25 tahun, semakin risiko kurang

baik dalam pelaksanaan keselamatan pasien.

Sedangkan usia lebih dari 25 tahun semakin

baik dalam pelaksanaan keselamatan pasien

oleh mahasiswa. Hal ini sejalan dengan yang

dikemukakan oleh Robbin (2003) bahwa

pertambahan usia berhubungan erat dengan ke-

mampuan analisis terhadap permasalahan yang

dihadapi, komitmen untuk ke arah lebih baik,

dan dapat mengendalikan emosi lebih baik.

Hasil analisis menunjukkan jenis pendidikan

berhubungan dengan pelaksanaan keselamatan

pasien. Jenis pendidikan pada penelitian ini yaitu

Prodi Ners, D3 Keperawatan, dan D3 Kebidanan.

Jika dilihat dari proporsi pelaksanaan keselamatan

pasien yang lebih baik adalah Prodi Ners diban-

dingkan D3 Keperawatan maupun D3 Kebidanan.

Semakin tinggi pendidikan kemungkinan semakin

tinggi pula kemampuan dan daya nalar maha-

siswa, sehingga mahasiswa dapat dengan mudah

untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi.

Hal ini sejalan dengan penelitian Anugrahini,

Sahar, dan Mustikasari (2010) yang menerangkan

bahwa tingkat pendidikan S1 dan D3 Keperawatan

lebih patuh dari perawat berpendidikan SPK.

Hasil analisis menunjukkan tidak ada hubungan

antara jenis kelamin dengan pelaksanaan kese-

lamatan pasien oleh mahasiswa. Hal ini sejalan

dengan pendapat Robbin (2003) yang menyatakan

bahwa tidak terdapat perbedaan pada pria dan

wanita dalam hal kemampuan memecahkan

masalah, keterampilan analisis, persaingan,

motivasi, maupun kemampuan belajarnya.

Peneliti menganalisis tidak adanya hubungan

antara jenis kelamin dengan pelaksanaan kese-

lamatan pasien disebabkan karena mayoritas

pada penelitian ini adalah perempuan, bahkan

untuk prodi D3 Kebidanan 100% perempuan. Hal

ini menjadi pertimbangan bahwa pada dasarnya

terdapat kesamaan dalam pelaksanaan keselamatan

pasien oleh mahasiswa. Perbedaan jenis kelamin

tidak menjadi masalah bagi mahasiswa dalam

melaksanakan keselamatan pasien.

Hubungan Pelatihan dengan Pelaksanaan

Keselamatan pasien. Hasil analisis menunjukkan

tidak ada hubungan antara pelatihan dengan

pelaksanaan keselamatan pasien oleh mahasiswa.

Hal ini tidak sejalan dengan Gregory, et al., (2007),

pelatihan sangat diperlukan bagi mahasiswa untuk

meningkatkan kemampuan mahasiswa terkait

keselamatan pasien. Yulia, Hamid, dan Mustikasari

(2012) menerangkan bahwa pelatihan berpengaruh

terhadap pemahaman perawat pelaksana dalam

penerapan keselamatan pasien. Peneliti mengana-

lisis tidak adanya hubungan antara pelatihan

dengan pelaksanaan keselamatan pasien oleh

mahasiswa STIKes X yaitu pelatihan tentang

keselamatan pasien merupakan bagian akhir

Suryani, et al., Peningkatan Pelaksanaan Keselamatan Pasien Oleh Mahasiswa 121

dari mata kuliah yang perlu diikuti oleh seluruh

mahasiswa di akhir perkuliahan, sehingga sebagian

besar mahasiswa telah mengikuti pelatihan ini

yaitu lebih dari 95%.

Kesimpulan

Kesimpulan hasil penelitian adalah terdapat

hubungan signifikan antara peran pembimbing

klinik dengan pelaksanaan keselamatan pasien

oleh mahasiswa. Setelah dikontrol oleh

pendidikan, peran pembimbing yang kurang

akan memberikan risiko 2,766 kali lebih besar

untuk mahasiswa melaksanakan kese-lamatan

pasien yang kurang jika dibandingkan dengan

kelompok mahasiswa yang peran pem-

bimbingnya baik.

Hasil penelitian ini dapat membantu pembimbing

klinik untuk lebih meningkatkan perannya yang

meliputi peran sebagai pendidik, sebagai pemberi

pelayanan keperawatan kepada pasien, dan peran

sebagai role model terkait pelaksanaan kese-

lamatan pasien. Peningkatan peran pembimbing

klinik antara lain dengan meningkatkan pengetahu-

an melalui pelatihan terkait program keselamatan

pasien sehingga perannya akan lebih baik.

Mahasiswa dapat meningkatkan pengetahuan

terkait program keselamatan pasien. Berdasarkan

penelitian ini, dapat dilakukan penelitian selanjut-

nya dengan metode penelitian observasi langsung

dari pelaksanaan bimbingan klinik oleh pem-

bimbing dan observasi langsung pelaksanaan

keselamatan pasien oleh mahasiswa (RR, INR,

AR).

Referensi Anugrahini, C., Sahar, J., & Mustikasari. (2010).

Kepatuhan perawat menerapkan pedoman

patient safety berdasarkan faktor individu dan

organisasi. Jurnal Keperawatan Indonesia,

13(3), 139–144.

Beth, P. (2009). Role modeling excellence in

clinical nursing practice. Nurse Education in

Practice, 9(1), 36–44. Doi: http://dx.doi.org/

10.1016/j.nepr.2008.05.001.

Dahlke, S., Baumbusch, J., Affleck, F., & Kwon, J.

(2012). The clinical instructor role in nursing

education: A structured literature review.

Journal of Nursing Education, 51(12), 692–

696. Doi: http://dx.doi.org/10.3928/01484834-

20121022-01.

Depkes RI. (2008). Panduan nasional keselamatan

pasien rumah sakit (patient safety) (Edisi

ke-2). Jakarta: Depkes.

Forster, A.J., Dervin, G., Martin Jr., C., Papp, S.

(2012). Improving patient safety through the

systematic evaluation of patient outcomes.

Canadian Journal of Surgery, 55(6), 418–

425. Diperoleh dari http://search.proquest.

com/docview/1282102486?accountid=17242.

Frush, K.S., Alton, M., & Frush, D. (2006).

Development and implementation of hospital-

based patient safety program. Pediatr Radiol,

36, 241–298. Doi 10.1007/s 00247-006-0120-

7.

Gantt, L.T., & Corbett, W.R. (2010). Using

simulation to teach patient safety behaviors

in undergraduate nursing education. Journal

of Nursing Education, 49(1), 48–51. Diperoleh

dari http://search.proquest.com/docview/203

965336?accountid=17242.

Johnson, S. (2011). Preceptor-guided clinical

practicum orientation manual. School of

Nursing Virginia Commonwealth University.

Diperoleh dari Johnson, S. (2011).

http://www.nursing.vcu.edu/media/school-

of-

nursing/docs/resources/PreceptorGuidedClin

icalPracticum_OrientationManual_rev2016.

pdf

Jecklin, S.K. (2009). Assessing nursing student

perceptions of the clinical learning environment:

Refinement and testing of the SECEE

inventory. Journal of Nursing Measurement,

17(3), 232–246. Diperoleh dari http://search.

proquest.com/docview/206332547?accounti

d=17242.

Kim, C., Park, J., & Kang, S. (2013). Effects of a

collaborative clinical practicum on clinical

practice ability and teaching effectiveness

among nursing students. Journal of Nursing

Education and Practice, 3(12), 143.

Jurnal Keperawatan Indonesia, Vol. 18, No. 2, Juli 2015, hal 115-122 122

Diperoleh dari http://search.proquest.com/

docview/1431143158?accountid=17242.

Lewallen, L.P., & DeBrew, J.K. (2012). Successful

and unsuccessful clinical nursing students.

Journal of Nursing Education, 51(7), 389–

395. Doi: http://dx.doi.org/10.3928/01484

834-20120427-01.

Mwachofi, A., Walston, S.L., & Al-Omar, B.

(2011). Factors affecting nurses' perceptions

of patient safety. International Journal of

Health Care Quality Assurance, 24(4), 274–

283. Doi: http://dx.doi.org/10.1108/0952686

1111125589.

Montoya, I.D., Kimbal, O.M. (2013). Gauging

patient safety program. Journal of allied

health, 42(3).

Nurachmah, E. (2005). Metode pengajaran klinik

keperawatan. Makalah pelatihan bimbingan

klinik FIK UI. Tidak dipublikasikan.

Parsh, B. (2010). Characteristics of effective

simulated clinical experience instructors:

Interviews with undergraduate nursing

students. Journal of Nursing Education,

49(10), 569–572. Doi: http://dx.doi.org/10.

3928/01484834-20100730-04

Menteri Kesehatan RI. (2011). Peraturan Menteri

kesehatan Nomor 1691/MENKES/PER/VIII/

2011 tentang keselamatan pasien rumah

sakit. Jakarta: Kemenkes RI.

Robbin, S.P. (2003). Perilaku organisasi. (Edisi

ke-10). Jakarta: PT. Indeks Gramedia.

Tang, Chou, S., & Chiang, H. (2005). Students'

perceptions of effective and ineffective

clinical instructors. Journal of Nursing

Education, 44(4), 187–192. Diperoleh dari

http://search.proquest.com/docview/203931

594?accountid=17242.

Yulia, S., Hamid, A.Y., & Mustikasari. (2012).

Peningkatan Pemahaman Perawat Pelaksana

dalam Penerapan Keselamatan Pasien Melalui

Pelatihan Keselamatan Pasien. Jurnal

Keperawatan Indonesia, 15(3), 185–192.

Jurnal Keperawatan Indonesia, Volume 18 No.2, Juli 2015, hal 123-131

pISSN 1410-4490, eISSN 2354-9203

PENINGKATAN PENGETAHUAN DAN KEPATUHAN MELAKUKAN

KEBERSIHAN TANGAN MELALUI PELATIHAN DENGAN

FLUORESCENCE LOTION

Grace Solely1,2*, Hanny Handiyani3, Tuti Nuraini3

1. Fakultas Ilmu Keperawatan, Universitas Pelita Harapan

2. Program Studi Magister Fakultas Ilmu Keperawatan, Universitas Indonesia, Depok 16424, Indonesia

3. Fakultas Ilmu Keperawatan, Universitas Indonesia, Depok 16424, Indonesia

*E-mail: [email protected]

Abstrak

Kebersihan tangan dapat mencegah Health Care Associated Infections (HAIs) dan meningkatkan keselamatan pasien.

Penggunaan fluorescence lotion pada pelatihan kebersihan tangan merupakan metode pembelajaran dengan menggunakan

experiential learning yang bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan dan kepatuhan perawat dalam kebersihan tangan.

Tujuan penelitian ini untuk mengidentifikasi pengaruh program pelatihan kebersihan tangan terhadap pengetahuan dan

kepatuhan perawat dalam kebersihan tangan. Rancangan penelitian ini menggunakan pendekatan quasy experiment

dengan metode pre test-post test designs with comparison group. Sampel dalam penelitian adalah 32 perawat pelaksana

untuk kelompok intervensi dan 38 perawat pelaksana untuk kelompok kontrol. Hasil penelitian menunjukkan terdapat

perbedaan pengetahuan dan kepatuhan kebersihan tangan antara kelompok eksperimen dan kelompok kontrol setelah

pelatihan kebersihan tangan (p< 0,001, CI pengetahuan= 2,061; 3,541, CI kepatuhan= 6,792; 10,929). Pelatihan

kebersihan tangan perlu dilakukan berkesinambungan.

Kata kunci: fluorescence lotion, kebersihan, kepatuhan, pelatihan, pengetahuan, tangan.

Abstract

Fluorescence Lotion Training Increases Knowledge and Conformity in Hand Hygiene. Hand hygiene prevents

Health-Care-Associated Infections (HAIs) and improves patient safety. The use of fluorescence lotion in hand hygiene

training is the implementation of a learning method that use experiential learning to improve the level of knowledge

and conformity of nurses in maintaining hand hygiene. The research objective is to identify the influence of hand

hygiene training program on the level of knowledge and conformity of nurses in maintaining hand hygiene. The

research is quasy experiment research using pretest-posttest design with comparison group. The research sample

consists of 32 nurses in experiment group and 38 nurses in control group. The result showed a difference in the

knowledge after hand hygiene training was conducted (p< 0,001, CI knowledge= 2,061; 3,541, CI conformity= 6,792;

10,929) between those in the control group and those in the experiment group. It is recommended to sustainably

conduct hand hygiene training program.

Keywords: conformity, fluorescence lotion, hand hygiene, knowledge, training.

Pendahuluan

Kepatuhan dalam kebersihan tangan (KT) yang

benar mutlak dilakukan oleh perawat sehingga

praktik KT dapat dilakukan pada setiap tindakan

keperawatan. KT merupakan faktor utama dan

penting dalam mencegah penyebaran patogen

dan resisten antibiotik di rumah sakit karena

jumlah infeksi yang dapat ditransmisikan melalui

tangan tim kesehatan sangat banyak. KT dapat

mencegah Health Care Associated Infections

(HAIs) dan meningkatkan keselamatan pasien.

KT merupakan bagian dari kewaspadaan standar

yang dapat menurunkan infeksi pada tim kesehatan

dan juga pasien (CDC, 2010).

Program KT perawat dapat berhasil apabila

pengetahuan dan kepatuhan perawat juga baik.

Kepatuhan KT menurunkan angka insiden HAIs

(dari 11 menjadi 8,2 per 1000 pasien per hari)

dan 60% adanya penurunan risiko HAIs pada

neonatal (Silva, et al., 2004; WHO, 2009a; WHO,

Jurnal Keperawatan Indonesia, Vol. 18, No. 2, Juli 2015, hal 123-131 124

2009b). Kepatuhan KT secara signifikan menu-

runkan MRSA bakterimia, yaitu dari 0,03/100

pasien pulang menjadi 0,01/100 pasien pulang

selama 1 bulan (Grayson, et al., 2008; WHO,

2009a; WHO, 2009b).

Kompetensi perawat terkait dengan KT akan

meningkat dengan meningkatnya pengetahuan,

praktik, dan perilaku perawat. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa program pendidikan yang

efektif dapat meningkatkan pengetahuan, perilaku

positif, praktik yang tepat dalam menjalankan

kebijakan pencegahan, dan pengendalian infeksi

(Madrazo, et al., 2009) menyatakan bahwa tim

kesehatan memerlukan informasi dan pendidikan

yang lebih banyak tentang pencegahan dan

pengendalian infeksi khususnya tentang KT

sehingga akan meningkatkan kualitas pelayanan

kesehatan (Rajcevic, Djuric, Grujicic, Dugandzija,

& Cosic, 2012). Ketidakpatuhan terhadap KT

merupakan suatu perilaku yang buruk dan

dapat dikontrol dengan melakukan pelatihan

(Fitzpatrick, et al., 2011).

Experiential learning adalah teori pembelajaran

yang dapat digunakan di dalam pelatihan keber-

sihan tangan karena peserta didik dibimbing untuk

melakukan langsung keterampilan kebersihan

tangan (learning by doing). Hasil penelitian Berg,

Sultana, Sorokin, Kairys, Vergare, dan Berg (2008)

menunjukkan bahwa KT dengan menggunakan

ceramah, video tentang indikasi, teknik melakukan

KT, dan simulasi dengan menggunakan fluoresence

lotion meningkatkan pengetahuan residen menjadi

78% dan hasil observasi menunjukkan bahwa

kepatuhan residen meningkat menjadi 65%. Hasil

penelitian ini dapat menjadi acuan untuk melaku-

kan penelitian yang serupa di Indonesia karena

masih kurangnya kepatuhan tenaga kesehatan

khususnya perawat untuk melakukan cuci tangan.

Simarmata (2009) menyatakan bahwa alasan

dilakukannya proyek pelatihan, evaluasi, umpan

balik, dan reminder KT di tiga rumah sakit swasta

di Indonesia karena tidak konsistennya perilaku

mencuci tangan oleh tim kesehatan pada saat

sebelum dan sesudah melakukan tindakan, khu-

susnya apabila staf menyentuh lingkungan di

sekitar pasien yang meningkatkan potensial risiko

transmisi infeksi. Pengetahuan dan kepatuhan

KT di rumah sakit belum baik. Hasil observasi

kepatuhan KT menunjukkan bahwa 10 perawat

yang di observasi belum melakukan praktik

KT yang benar menurut WHO. Kepala seksi

keperawatan rumah sakit menyatakan bahwa

sampai dengan saat ini belum ada pelatihan

KT yang spesifik.

Metode

Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian

ini adalah kuasi eksperimen dengan pendekatan

pre test-post test with control group design yang

melibatkan experiment treatment dari dua

kelompok subjek (Polit & Beck, 2009). Tujuan

penelitian ini adalah untuk mengukur pengaruh

program pelatihan KT dengan fluorscence lotion

terhadap pengetahuan dan kepatuhan perawat

dalam KT. Variabel independen adalah program

pelatihan KT dengan alat fluorescence lotion

dan variabel dependen adalah pengetahuan dan

kepatuhan perawat tentang KT.

Teknik pengambilan sampel dalam penelitian

ini adalah total sampling perawat pelaksana di

RS S. Sampel yang didapatkan dari kelompok

eksperimen berjumlah 32 orang dan 38 orang

untuk kelompok kontrol.

Penelitian ini sudah melalui uji etik di Fakultas

Ilmu Keperawatan UI. Penelitian ini menggunakan

prinsip utama etik (Polit & Beck, 2009). Peneliti

melindungi responden dari bahaya fisik maupun

psikologis. Responden ditemui oleh peneliti

dengan didampingi oleh kepala ruang kemudian

peneliti menjelaskan tujuan dan manfaat penelitian.

Peneliti menjamin fluorescence lotion yang

digunakan pada penelitian ini aman dan tidak

menimbulkan alergi pada kulit tangan responden.

Responden diberikan kesempatan untuk membe-

rikan pertanyaan. Peneliti memberikan informed

consent kepada responden setelah diberikan

informasi dan penjelasan tentang penelitian.

Instrumen yang digunakan pada penelitian ini

adalah kuesioner A, B, C, dan instrumen

observasi D. Kuesioner A untuk mendapatkan

data karakteristik perawat pelaksana yang terdiri

Solely, et al., Peningkatan Pengetahuan dan Kepatuhan Melakukan Kebersihan 125

atas usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, dan

masa kerja. Kuesioner B dan C dikembangkan

dalam bentuk pertanyaan untuk mengukur tingkat

pengetahuan perawat sebelum dan setelah in-

tervensi. Instrumen D adalah lembar observasi

untuk melihat kepatuhan perawat sebelum dan

setelah intervensi. Intervensi pelatihan menggu-

nakan modul program pelatihan KT simulasi

dengan alat fluorescence lotion dan lampu UV

Light BLB 10 watt. Pembelajaran menggunakan

metode ceramah, diskusi, video, demonstrasi,

dan didemonstrasikan kembali. Pelatihan ini

hanya diberikan pada kelompok eksperimen.

Kelompok kontrol tidak diberikan intervensi.

Analisis data dilakukan dengan analisis univariat

dan bivariat. Uji kesetaraan karakteristik responden

yaitu: umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan,

masa kerja, dan pelatihan KT menggunakan uji

Chi-Square. Analisis perbedaan pengetahuan dan

kepatuhan perawat tentang KT sebelum dan

sesudah intervensi antara kelompok eksperimen

dan kontrol menggunakan uji Mann-Whitney

karena data berdistribusi tidak normal.

Hasil

Pengamatan langsung dilakukan pada kelompok

eksperimen dan kelompok kontrol. Pengamatan

dilakukan sampai dengan 200 kesempatan dalam

melakukan kebersihan tangan pada masing-masing

kelompok (Tabel 1). Kesetaraan karakteristik

perawat pelaksana pada kelompok eksperimen

dengan kelompok kontrol dapat dilihat pada

Tabel 2. Setelah intervensi, dengan menggunakan

uji Mann-Whitney, terlihat perbedaan yang ber-

makna pada pengetahuan dan tingkat kepatuhan

perawat pelaksana kelompok eksperimen dan

kelompok kontrol (Tabel 3 dan 4). Pengetahuan

kelompok eksperimen lebih tinggi tiga poin di-

bandingkan dengan kelompok kontrol. Kepatuhan

kelompok eksperimen lebih tinggi 8 poin diban-

ding kelompok kontrol.

Pembahasan

Hasil univariat memberikan gambaran bahwa

umur perawat pelaksana kelompok eksperimen

dan kelompok kontrol mayoritas adalah diatas

dan sama dengan 32 tahun. Bastable (2008)

menjelaskan bahwa kemampuan fisik pada

rentang usia 20–40 tahun berada pada tingkat

tinggi karena tubuh dapat berfungsi secara

optimal, mayoritas keterampilan psikomotorik

dapat dilakukan pada rentang usia ini. Penelitian

Yulia (2010) menunjukkan bahwa tidak ada

hubungan yang signifikan antara umur dan

pemahaman perawat pelaksana pada kelompok

eksperimen dengan p= 0,460 dan tidak adanya

hubungan signifikan antara umur dan pemahaman

perawat pelaksana pada kelompok kontrol dengan

p= 0,373. Analisis peneliti terkait dengan hal

ini bahwa kemampuan kognitif tidak dapat

hanya dikaitkan dengan faktor pertambahan umur

tetapi variasi individual dari luas pengetahuan,

banyaknya keterampilan, kapasitas memori yang

bekerja, dan kecepatan memproses memori.

Mayoritas jenis kelamin pada kelompok eksperi-

men dan kontrol adalah perempuan sebanyak 56

orang (80%). Pria dan wanita memiliki perbedaan

di dalam bertindak dan bereaksi di dalam setiap

aspek kehidupan (Cahill, 2007; Bastable, 2008).

Hasil penelitian menyatakan bahwa tidak ada

perbedaan di dalam proses pembelajaran antara

pria dan wanita (Tumkaya, 2012). Jenis kelamin

tidak memberikan pengaruh terhadap peningkatan

pengetahuan dan kepatuhan perawat pelaksana

dalam melakukan KT.

Tingkat pendidikan pada kelompok eksperimen

dan kontrol secara keseluruhan adalah vokasional

sebanyak 63 orang (90%). Penelitian tentang

attitudes toward and knowledge of affirmative

action in higher education menunjukkan bahwa

umur, jenis kelamin, dan tingkat pendidikan

tidak memberikan pengaruh yang signifikan

terhadap pengetahuan dan sikap seseorang (Carr,

2007). Peningkatan pengetahuan dan kepatuhan

perawat pelaksana dalam melakukan KT tidak

hanya dipengaruhi oleh tingkat pendidikan.

Mayoritas masa kerja pada kelompok eksperimen

dan kontrol diatas 1 tahun sebanyak 65 orang

(92,9%). Seseorang yang sudah lama bekerja

dengan pengalaman yang lebih banyak akan

lebih baik dalam melakukan pekerjaannya.

Semakin lama seseorang di pelayanan klinis

Jurnal Keperawatan Indonesia, Vol. 18, No. 2, Juli 2015, hal 123-131 126

Tabel 1. Hasil Observasi Perilaku Kepatuhan Kebersihan Tangan pada Kelompok Eksperimen dan Kelompok

Kontrol Setelah Pelatihan Kebersihan Tangan dengan Fluorescence Lotion

Variabel

Kelompok

Eksperimen Kelompok Kontrol Total

n % n % n %

Perilaku Kepatuhan KT (Post Test)

Patuh 61 30,5 12 6 73 18,25

Tidak Patuh 139 69,5 188 94 327 81,75

Total 200 100 200 100 400 100

Tabel 2. Analisis Kesetaraan Umur, Jenis Kelamin, Tingkat Pendidikan, Masa Kerja, dan Pelatihan KT

Perawat Pelaksana pada Kelompok Eksperimen dan Kelompok Kontrol

Variabel

Kelompok

Eksperimen

Kelompok Kontrol

p 95% CI

n % n %

Umur

a. ≥ 32 tahun 19 40,6 19 50 0,587 0,565; 3,778

b. < 32 tahun 13 59,4 19 50

Total 32 100 38 100

Jenis Kelamin

a. Laki-laki 3 9,4 11 28,9 0,041 0,991; 15,655

b. Perempuan 29 90,6 27 71,7

Total 32 100 38 100

Tingkat Pendidikan

a. Vokasional 30 93,7 33 86,8 0,442 0,079; 2,439

b. Profesional 2 6,3 5 13,2

Total 32 100 38 100

Masa Kerja

a. Diatas 1 tahun 29 90,6 36 94,7 0,654 0,084; 3,432

b. Dibawah 1 tahun 3 9,4 2 5,3

Total 32 100 38 100

Mengikuti Pelatihan

a. Pernah 9 28,1 12 31,6 0,958 0,303; 2,376

b. Tidak Pernah 23 71,9 26 68,4

Total 32 100 38 100

Tabel 3. Perbedaan Pengetahuan Perawat Pelaksana pada Kelompok Eksperimen dan Kelompok Kontrol

menurut Pengukuran II (Post Test)

Variabel n Median (

minimum-maksimum) Rerata ± s.b. CI 95% p

Pengetahuan (0-20)

Kelompok Eksperimen 32 16 (13–19) 15,91±1,329 2,061–3,541 < 0,001

Kelompok Kontrol 38 13 (8–17) 13,11±1,705

Solely, et al., Peningkatan Pengetahuan dan Kepatuhan Melakukan Kebersihan 127

Tabel 4. Perbedaan Kepatuhan Perawat Pelaksana pada Kelompok Eksperimen dan Kelompok Kontrol

menurut Pengukuran II (Post Test)

Variabel n Median

(minimum-maksimum) Rerata ± s.b. CI 95% p

Kepatuhan (15-60)

Kelompok Eksperimen 32 49 (43–59) 50,28±5,050 6,792–10,929 < 0,001

Kelompok Kontrol 38 41 (31–48) 41,42±3,168

maka akan semakin baik penampilan klinis sese-

orang tersebut (Swansburg, 2002). Semakin lama

orang bekerja akan semakin berpengalaman dalam

menghadapi masalah yang ada, akan tetapi belum

tentu juga seorang individu yang lama bekerja

lebih produktif dibandingkan dengan yang baru

bekerja (Robbins, 2006). Masa kerja tidak selalu

dapat dihubungkan dengan pengetahuan dan

kepatuhan, perlu adanya pelatihan KT yang

berkesinambungan sehingga perawat pelaksana

akan mengingat dan melakukan informasi yang

didapatkan.

Sebagian besar perawat pelaksana pada kelompok

eksperimen dan kelompok kontrol tidak pernah

mengikuti pelatihan kebersihan tangan, yaitu 49

orang (70%). Pemberian informasi kepada perawat

pelaksana tentang KT sangat diperlukan. Perawat

pelaksana yang tidak memiliki pengetahuan KT

akan sulit untuk memiliki perilaku yang baik

tentang kepatuhan KT.

Hasil penelitian ini menunjukkan perbedaan

pengetahuan perawat pelaksana tentang kebersihan

tangan setelah mendapatkan pelatihan kebersihan

tangan dengan fluorescence lotion pada kelompok

eksperimen dan kelompok kontrol. Pelatihan

kebersihan tangan diperlukan untuk melakukan

perubahan perilaku perawat dalam kepatuhan

KT. Selain itu, dalam poin evaluasi dan umpan

balik akan dilakukan survei terhadap pengetahuan

perawat tentang KT. Pelatihan yang teratur

tentang pentingnya KT berdasarkan pendekatan

“my 5 moments for hand hygiene” dan teknik

yang tepat untuk melakukan handrubbing dan

handwashing kepada tenaga kesehatan termasuk

perawat sangat diperlukan (WHO, 2009; CDC,

2010). Perhatian terhadap pendidikan kebersihan

tangan di dalam kurikulum pendidikan sangat

penting karena pengetahuan dan keterampilan

siswa ini akan memengaruhi kepatuhan keber-

sihan tangan mereka pada saat praktik klinik

(Grayling & Stevenson, 2006; Kelcíkova, Skodova,

& Straka, 2012).

Hasil penelitian menunjukkan adanya perbedaan

kepatuhan perawat pelaksana tentang kebersihan

tangan setelah mendapatkan pelatihan kebersihan

tangan dengan Fluorescence Lotion pada kelompok

eksperimen dan kelompok kontrol. Peningkatan

kualitas praktik kebersihan tangan pada perawat

dapat dilakukan dengan memberikan pelatihan

tentang bentuk tindakan perawatan pasien yang

dapat menyebabkan kontaminasi pada tangan

dan keuntungan dan kerugian dari berbagai

metode dalam kebersihan tangan (Parini, 2004).

Kepatuhan tenaga kesehatan dalam melakukan

kebersihan tangan harus selalu di monitor dan

setiap individu diberikan umpan balik terkait

dengan praktik kebersihan tangan (Pittet, et al.,

2004).

Hasil penelitian yang menunjukkan perbedaan

yang signifikan ini tidak terlepas dari intervensi

yang berbeda dari intervensi pelatihan yang

biasa. Pelatihan yang dipakai dalam intervensi

ini menggunakan model experiental learning.

Beberapa penelitian mendukung model experiental

learning digunakan dalam model pembelajaran.

(Szilagyi, et al., 2013; Abdulwahed & Nagy,

2009; Kolb & Kolb, 2005). Model pembelajaran

experiential learning memberikan 4 pencapaian

tujuan pembelajaran yaitu memperkenalkan

peserta didik pada konseptual, teoritikal, dan

metodologi mata ajar, meningkatkan kesadaran

peserta didik tentang topik yang spesifik,

menciptakan hubungan yang lebih kuat antara

peserta didik dan komunitas, membantu peserta

didik untuk memahami rangkaian kesatuan antara

teori, praktik, dan kebijakan (Rone, 2008).

Jurnal Keperawatan Indonesia, Vol. 18, No. 2, Juli 2015, hal 123-131 128

Pelatihan dengan menggunakan experiential

learning memberikan kesempatan kepada peserta

didik bukan sebagai pendengar yang aktif tetapi

sebagai peserta yang aktif untuk berpartisipasi

di dalam proses pembelajaran. Hasil penelitian

ini menunjukkan bahwa program pelatihan

dengan fluorescence lotion memberikan pengaruh

yang positif terhadap pengetahuan dan men-

ciptakan persepsi yang positif pada perawat

pelaksana di dalam melakukan kebersihan

tangan. Pelatihan merupakan salah satu cara

untuk mempelajari kebersihan tangan karena

dapat mentransformasi pengetahuan ke dalam

tingkah laku dan peserta pelatihan akan menyim-

pan informasi yang didapatkan.

Pembelajaran experiential learning harus berfokus

pada peserta didik. Tenaga pengajar harus memi-

liki komitmen dan integritas untuk memastikan

bahwa program pendidikan berpusat pada peserta

didik. Peserta didik harus dilibatkan di dalam

proses pengajaran (Estes, 2004). Hasil penelitian

Niemantsverdriet, Van der Vleuten, Majoor, dan

Scherpbier (2005) menyatakan bahwa experiential

learning memberikan hasil pencapaian yang

positif dan bernilai pada peserta didik. Keeton,

Sheckley, dan Griggs (2002) menyatakan bahwa

dengan mengembangkan keefektifan sebagai

seorang peserta didik, peserta didik dapat member-

dayakan tanggung jawab dari proses pembelajaran

melalui pengalaman. Pengalaman merupakan

cara terbaik untuk belajar dan meningkatkan

keterampilan yang diperlukan.

Pelatihan dengan cara tradisional tidak akan

dapat memberikan pengaruh yang signifikan

terhadap kepatuhan kebersihan tangan. Perlu

adanya program pendidikan pelatihan yang

lebih komprehensif yang dapat meningkatkan

motivasi staf untuk melakukan kebersihan tangan

sehingga kebersihan tangan menjadi tingkah

laku yang permanen. Pelatihan kebersihan tangan

dengan fluorescence lotion dapat meningkatkan

motivasi dan rasa antusias peserta didik sehingga

akan meningkatkan kepatuhan staf di dalam

melakukan kebersihan tangan. Pihak manajemen

juga harus memberikan dukungan untuk menyuk-

seskan program kebersihan tangan.

Yeganeh dan Kolb (2009) menyatakan bahwa

teori experiential learning memiliki pengaruh

yang sangat besar terhadap perkembangan

kepemimpinan dan organisasi. Peningkatan

kualitas kebersihan tangan dapat dilakukan

dengan menyediakan alternatif cairan pembersih

tangan bagi kulit tangan tenaga kesehatan yang

alergi, program pelatihan, motivasi, dan dukungan

manajemen (Akyol, 2007).

Pelatihan kebersihan tangan merupakan salah

satu fungsi pengarahan dari fungsi manajemen

(Marquis & Huston, 2010). Spouse (2003) menya-

takan bahwa melakukan fungsi pengarahan pada

fungsi manajemen adalah dengan melakukan

supervisi yang baik dari seorang mentor sehingga

kemampuan seseorang di dalam memberikan

tindakan keperawatan akan meningkat. Kegiatan

yang dapat dilakukan pada fungsi manajemen

adalah melakukan pelatihan kebersihan tangan

dengan fluorescence lotion, memberikan motivasi,

bimbingan dan arahan, melakukan monitoring

kepatuhan kebersihan tangan, dan memberikan

umpan balik dari hasil monitoring tersebut.

Fungsi pengarahan pada fungsi manajemen

berkaitan dengan pelatihan kebersihan tangan yang

dilakukan. Fungsi pengarahan yang berkaitan

dengan kebersihan tangan dapat diberikan dengan

memberikan motivasi kepada para perawat, mem-

bantu untuk selalu memperbaharui keterampilan

sesuai dengan visi dan misi rumah sakit, menjadi

mentor bagi perawat pada saat memberikan

bimbingan dan arahan (Wilson-Barnett, et al.

1995). Manajemen rumah sakit perlu membe-

rikan dukungan untuk menyukseskan program

kebersihan tangan.

Hasil penelitian menunjukkan perbedaan yang

signifikan pengetahuan dan kepatuhan perawat

pelaksana tentang kebersihan tangan antara

kelompok eksperimen dan kelompok kontrol.

Rumah sakit dapat menggunakan modul pelatihan

dan hasil yang didapatkan dari penelitian ini

sebagai dasar untuk mengembangkan program

pelatihan kebersihan tangan baik bagi perawat

maupun profesi yang lain.

Perawat pelaksana yang diberikan pelatihan

kebersihan tangan dengan fluorescence lotion

Solely, et al., Peningkatan Pengetahuan dan Kepatuhan Melakukan Kebersihan 129

lebih memiliki rasa keingintahuan, antusias

dan kesadaran yang tinggi tentang pentingnya

melakukan kebersihan tangan karena melakukan

dan melihat langsung (learning by doing). Perawat

lebih terbuka untuk memberikan pendapatnya

pada saat diskusi.

Hasil penelitian yang diperoleh dapat digunakan

sebagai bahan kajian yang bermanfaat dalam

mengembangkan pengalaman belajar peserta

didik dengan menggunakan teori experiential

learning dengan metode pembelajaran demonstrasi

dan didemonstrasikan kembali sehingga informasi

yang didapatkan oleh peserta didik akan dilakukan

pada ruang lingkup praktik klinik. Penelitian

ini menghasilkan sejumlah data yang dapat

digunakan untuk mengembangkan penelitian

lebih lanjut dengan desain yang berbeda baik

secara kuantitatif maupun kualitatif. Penelitian

ini dapat menjadi dasar untuk mengembangkan

metode pembelajaran yang tepat untuk mening-

katkan motivasi dan kinerja perawat dalam

melakukan kebersihan tangan.

Kesimpulan

Hasil penelitian menunjukkan terdapat perbedaan

yang signifikan pada pengetahuan dan kepatuhan

antara kelompok eksperimen dan kelompok

kontrol setelah dilakukan pelatihan KT dengan

fluorescence lotion. Direktur rumah sakit sebaik-

nya merumuskan dan mengembangkan kebijakan

khususnya tentang kebersihan tangan dan meren-

canakan anggaran untuk program kebersihan

tangan. Manajemen keperawatan untuk melakukan

pelatihan kebersihan tangan dengan fluorescence

lotion dengan melibatkan Infection Prevention

Control Nurse (IPCN). IPCN dan kepala ruang

melakukan observasi kebersihan tangan dan

memberikan umpan balik. Peneliti lain diharapkan

dapat mengembangkan penelitian dengan desain

kualitatif yang dapat menggali berbagai fenomena

lebih mendalam khususnya tentang persepsi dan

pengalaman terkait dengan kebersihan tangan

(MS, TN, AR)

Referensi

Abdulwahed, M., & Nagy, Z.K. (2009). Applying

Kolb's experiential learning cycle for

laboratory education. Journal of Engineering

Education, 98(3), 283–294.

Akyol, A.D. (2007). Hand hygiene among nurses

in Turkey: Opinions and practices. Journal Of

Clinical Nursing, 16(3), 431–437. Doi: 10.1111/

j.1365 2702.2005.01543.x.

Bastable, S.B. (2008). Nurse as educator:

Principles of teaching and learning for nursing

practice (3rd Ed.). Sudbury, Mass: Jones and

Bartlett Publisher.

Berg, K., Sultana C., Sorokin R., Kairys, J.,

Vergare, M., & Berg, D. (2008). A novel

curriculum using simulation to teach and assess

indications and technique of handwashing to

GME learners. Philadelphia: Thomas Jhonson

Univeristy.

Cahill, L. (2006). Why sex matter in neurosciences.

Nature Review Neuroscience, 7, 477– 484.

Doi:10.1038/nrn1909.

Carr, E.A. (2007). Attitudes toward and knowledge

of affirmative action in higher education.

Western Michigan University. Diperoleh dari

http://scholarworks.wmich.edu/dissertations/8

41/

Centers for Disease Control & Prevention (CDC).

(2010). Hand hygiene infection control.

Diperoleh dari http://www.cdc.gov/handhygiene/.

Estes, C.A. (2004). Promoting student-centered

learning in experiential education. Journal Of

Experiential Education, 27(2), 141–160.

Fitzpatrick, M., Everett-Thomas, R., Nevo, I.,

Shekhter, I., Rosen, L.F., Scheinman, S.R.,

Arheart, K.L., & Birnbach, D.J. (2011). A

novel educational programme to improve

knowledge regarding health care-associated

infection and hand hygiene. International

Journal of Nursing Practice, 17(3), 269–274.

doi: 10.1111/j.1440-172X.2011.01934.x.

Jurnal Keperawatan Indonesia, Vol. 18, No. 2, Juli 2015, hal 123-131 130

Grayling, I., & Stevenson, K. (2006). A trainer’s

perspective. in workplace bullying in the nhs

(Randle J. Ed.). Radcliffe Press: Oxford.

Grayson, M.L., Jarvie, L.J., Martin, R., Johnson,

P.D.R., Jodoin, M.E., McMullan, C., Gregory,

R.H.C., Bellis, K., Cunnington, K., Wilson,

F.L., Quin, D., & Kelly, A.M. (2008).

Significant reductions in methicillin-resistant

Staphylococcus aureus bacteraemia and clinical

isolates associated with a multisite, hand

hygiene culture-change program and subsequent

successful statewide roll-out. Medical Journal

of Australia. 188 (11), 633–640.

Keeton, M.T., Sheckley, B.G., & Griggs, J.K.

(2002). Efficiency and effectiveness in higher

education. Dubuque, IA: Kendall/ Hunt

Publishing Company.

Kelcíkova, S., Skodova, Z., & Straka, S. (2012).

Effectiveness of hand hygiene education in a

basic nursing school curricula. Public Health

Nursing, 29(2), 152–159. Doi: 10.1111/j.1525-

1446.2011.00985.x.

Kolb, A.Y., & Kolb, D.A. (2005). Learning styles

and learning spaces: Enhancing experiential

learning in higher education. Academy Of

Management Learning & Education, 4(2),

193–212. Doi: 10.5465/AMLE.2005.17268566.

Marquis, B.L., & Huston, C.J. (2010).

Kepemimpinan dan manajemen keperawatan:

teori & aplikasi (4th Ed.) (Widyawati

Penerj.). Philadelphia: Lippincott.

Madrazo, C.M., Dorado, A.C., Fort, M.A.S.,

Herranz, J.C.A., Selfa, R.A., Ferradal, I.G.,

Matorral, F.E., Pau, C.E., & Diaz, S.S. (2009).

Effectiveness of a training programme to

improve hand hygiene compliance in primary

healthcare. BMC Public Health, 9469–9476.

Doi: 10.1186/1471-2458-9-469.

Niemantsverdriet, S., Van derVleuten, C.M., Majoor,

G.D., & Scherpbier, A.A. (2005). An explorative

study into learning on international traineeships:

Experiential learning processes dominate.

Medical Education, 39(12), 1236–1242. Doi:

10.1111/j.1365-2929.2005.02114.x.

Parini, S.M. (2004). Know your hand in hygiene.

Nurse Management, 35, 12–15.

Silva, C.L.P., Dharan S., Hugonnet S., Touveneau,

S., Barbe, K.P., Pfister, R., & Pittet D. (2004).

Dynamics of bacterial hand contamination

during routine neonatal care. Infection Control

and Hospital Epidemiology, 25(03), 192–197.

Pittet, D., Simon, A., Hugonnet, S., Silva, C.L.P.,

Sauvan, V., & Perneger, T.V. (2004) Hand

hygiene among phycians: Performance,

beliefs, and perceptions. Annals Internal

Medicine, 141(1), 1–8. Doi: 10.7326/0003-

4819-141-1-200407060-00008.

Polit, F.D., & Beck, C.T. (2009). Essentials of

nursing research (7th Ed.). Philadelphia:

Lippincott Williams & Wilkins.

Rajcevic, S., Djuric, P., Grujicic, M., Dugandzija,

T., & Cosic, G. (2012). Knowledge, habits,

and attitudes of health care workers about

hand hygiene. Healthmed, 6(4), 1418–1423.

Robbins, S.P. (2006). Perilaku organisasi

(Benyamin Molan, Penerj.). Jakarta:

Gramedia.

Rone, T.R. (2008). Culture from the outside in and

the inside out: Experiential education and the

continuum of theory, practice, and policy.

College Teaching, 56(4), 237–246.

Simarmata, R. (2009). Clean care is safer care

WHO case study. Diperoleh dari http://www.

who.int/gpsc/5may/share/case_study_ramsay_

health_care_indonesia/en/index.html.

Spouse, J. (2003). Professional learning in

nursing. Oxford: Blackwell Science.

Swansburg, R.C. (2002). Management and

leadership for nurse manager. United States

of America: Jones and Bartlett.

Szilágyi, L., Haidegger, T., Lehotsky, Á., Nagy,

M., Csonka, E.A., Sun, X., Ooi, K.L., &

Fisher, D. (2013). A large-scale assessment of

hand hygiene quality and the effectiveness of

the "WHO 6-steps". BMC Infectious Diseases,

13(1), 1–10. Doi: 10.1186/1471-2334-13-249.

Tumkaya, S. (2012). The Investigation of the

epistemological beliefs of university students

according to gender, grade, fields of study,

academic success and their learning styles.

Solely, et al., Peningkatan Pengetahuan dan Kepatuhan Melakukan Kebersihan 131

Educational Sciences: Theory & Practice,

12(1), 88–95.

Wilson-Barnett J., Butterworth, T., & White, E.,

(1995). Clinical support and the project 2000

nursing student: Factors influencing this

process. Journal of Advanced Nursing. 21,

1152–1158.

World Health Organization. (2009a). WHO Multi

modal hand hygiene strategy. Geneva,

Switzerland: World Health Organization Press.

World Health Organization. (2009b). Hand

hygiene technical reference manual. Geneva,

Switzerland: World Health Organization

Press.

Yeganeh, B., & Kolb, D. (2009). Mindfulness and

Experiential Learning. OD Practitioner,

41(3), 13–18.

Yulia, S. (2010). Pengaruh pelatihan keselamatan

pasien terhadap pemahaman perawat pelaksana

mengenai penerapan keselamatan pasien di

RS Tugu Ibu Depok. (Tesis magister, tidak

dipublikaskan) Fakultas Ilmu Keperawatan,

Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat

Jurnal Keperawatan Indonesia, Volume 18 No.2, Juli 2015, hal 132-138

pISSN 1410-4490, eISSN 2354-9203

PERKEMBANGAN BAYI USIA 6–12 BULAN DENGAN RIWAYAT

ASFIKSIA PERINATAL

Ninis Indriani1,2*, Yeni Rustina3, Nur Agustini3

1. Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Banyuwangi, Banyuwangi 68400, Jawa Timur , Indonesia

2. Program Studi Magister Ilmu Keperawatan, Universitas Indonesia, Depok 16424, Indonesia

3. Fakultas Ilmu Keperawatan, Universitas Indonesia, Depok 16424, Indonesia

*E-mail: [email protected]

Abstrak

Bayi dengan asfiksia perinatal sangat rentan mengalami komplikasi baik jangka pendek seperti disfungsi multiorgan

maupun jangka panjang dengan terjadinya gangguan perkembangan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui

hubungan riwayat asfiksia perinatal dengan perkembangan bayi usia 6–12 bulan. Desain penelitian menggunakan potong

lintang, yang melibatkan 56 bayi dengan riwayat asfiksia perinatal (berat, sedang, dan ringan) di Kabupaten Banyuwangi.

Hasil penelitian menunjukkan ada hubungan yang signifikan antara riwayat asfiksia perinatal dengan perkembangan

bayi (p= 0,026). Rekomendasi dari penelitian ini adalah perlu melakukan deteksi dini penyimpangan perkembangan

khususnya bayi risiko tinggi dan mengoptimalkan peran serta orang tua dalam proses perkembangan anak.

Kata kunci: asfiksia perinatal, perkembangan bayi

Abstract

Development of Infant Age 6–12 Months with History Perinatal Asphyxia. Infant with perinatal asphyxia history is

very susceptible to have both short term complications such as multiple organ dysfunctions and long-term complications

with development disorder. The purpose of this study is to indentify the correlation between perinatal asphyxia history

and infant’s development age 6 to 12 months. Design of study used cross sectional, which involves 56 infants with

severe, moderate, and mild asphyxia history in Banyuwangi Regency. The result of this study indicates that there is a

significant correlation between perinatal asphyxia history and infant’s development (p= 0,026). The recommendations

of this study is that it is necessary to do early detection development disorder especially for high risk infants and

optimize the participation of parents in a child's development process.

Keywords: infant’s development, perinatal asphyxia history

Pendahuluan

Kematian neonatal dini pada tahun 2010 paling

banyak disebabkan oleh asfiksia (48%) diikuti

oleh prematur (23%), sepsis dan sindrom gawat

napas (11%), serta karena kelainan bawaan (9%).

Asfiksia merupakan kegawatan bayi baru lahir

yang menyebabkan terjadinya depresi pernapasan

serta mengakibatkan komplikasi (Wantania, 2011).

Komplikasi akibat asfiksia perinatal jangka pendek

berupa disfungsi multiorgan yang dapat berlanjut

kematian, serta komplikasi jangka panjang adalah

kelainan neurologi dan keterlambatan perkem-

bangan. Komplikasi ini dapat terjadi karena

adanya gangguan pertukaran gas dan pengangkutan

oksigen selama persalinan yang dapat memengaruhi

fungsi sel organ-organ vital terutama otak yang

dapat mengakibatkan kematian atau kecacatan yang

ireversibel (Morales, Bustsmante, Marchant, Pena,

Manuel, Hernandez, & Mancilla, 2011). Bayi

prematur dengan berat badan lahir rendah (BBLR)

berisiko mengalami asfiksia perinatal lebih berat

dibandingkan dengan bayi yang lahir aterm (Suradi,

Aminullah, Kosim, Rohsiswatmo, Soeroso, Kaban,

& Prasmusinto, 2008).

Sekitar 5–10% anak mengalami keterlambatan

perkembangan dalam dua atau lebih dari aspek

perkembangan. Satu sampai tiga persen keterlam-

Indriani, et al., Perkembangan Bayi Usia 6–12 Bulan dengan Riwayat Asfiksia

133

batan perkembangan ini terjadi dibawah usia 5

tahun (Cleary & Green, 2013). Keterlambatan

perkembangan dapat terdeteksi secara dini oleh

perawat anak. Tindakan yang dapat dilakukan

adalah mengidentifikasi bayi yang berisiko me-

ngalami keterlambatan perkembangan, mengikuti

perkembangan sejak lahir, serta merencanakan

intervensi untuk menghindari masalah yang

mungkin timbul. Penelitian Meena, Kurup, dan

Ramesh (2013) pada sampel usia neonatal sampai

dengan 12 bulan yang berisiko mengalami gang-

guan perkembangan ditemukan bahwa program

intervensi dini dapat meningkatkan perkembangan

saraf bayi. Penelitian lain juga menjelaskan bahwa

stimulasi perkembangan serta pemberian edukasi

pada orang tua dapat mendukung perkembangan

anak secara optimal (Tjandrajani, Dewanti, Burhany,

& Widjaja, 2012).

Hasil observasi klinik tumbuh kembang di Kabu-

paten Banyuwangi (2012) teridentifikasi yaitu

11 anak mengalami perkembangan meragukan dan

8 anak mengalami kemungkinan penyimpangan

perkembangan. Pada tahun 2013 terdapat 5 anak

mengalami perkembangan meragukan dan 11

anak mengalami kemungkinan penyimpangan

perkembangan. Rata-rata anak yang berkunjung

ke klinik tumbuh kembang mengalami keter-

lambatan pada motorik kasar dan gangguan

pendengaran.

Penelitian ini dilakukan untuk mengidentifikasi

perkembangan bayi usia 6–12 bulan yang mem-

punyai riwayat asfiksia perinatal. Hal ini penting

dilakukan agar perkembangan bayi dapat dicapai

dengan optimal dan bayi dapat menjalankan tugas

perkembangan sesuai dengan tahap usia.

Metode

Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif

dengan menggunakan desain potong lintang. Tek-

nik pengambilan sampel menggunakan straitifed

random sampling dengan jumlah sampel 56 bayi

yang berusia 6–12 bulan dengan riwayat asfiksia

perinatal yang lahir di salah satu rumah sakit pe-

merintah di wilayah Kabupaten Banyuwangi yang

memenuhi kriteria inklusi yaitu tidak memiliki

kelainan kongenital.

Alat pengumpul data untuk mengukur perkem-

bangan bayi menggunakan formulir kuesioner pra

skrining perkembangan (KPSP) untuk bayi usia 6

bulan, 9 bulan, dan 12 bulan, sedangkan untuk

instrumen stimulasi perkembangan, peneliti mela-

kukan modifikasi instrumen yang diambil dari

buku pedoman pelaksanaan stimulasi, deteksi dan

intervensi dini tumbuh kembang anak di tingkat

pelayanan kesehatan dasar (SDIDTK). Uji vali-

ditas instrumen menggunakan uji korelasi product

moment dengan hasil nilai r hitung lebih besar

dari r tabel, sehingga disimpulkan bahwa per-

tanyaan dalam kuesioner tersebut valid. Uji

reliabilitas instrumen menggunakan koefisien

Cronbach alpha dan didapatkan nilai koefisien

sebesar 0,92 dan 0,90 yang menunjukkan kedua

instrumen tersebut dinyatakan reliabel.

Untuk menyamakan persepsi dalam menggunakan

formulir KPSP dilakukan uji inter-rater reliability.

Hasil uji korelasi Kappa adalah 0,000 yang me-

nunjukkan bahwa terdapat persepsi yang sama

antara peneliti dengan asisten peneliti. Analisis

data menggunakan program komputer untuk

analisis univariat dan bivariat. Analisis univariat

digunakan untuk variabel karakteristik responden

(jenis kelamin, usia gestasi, jenis persalinan, berat

badan saat lahir, dan status gizi) dan karakteristik

orang tua responden (jumlah anak, status pekerjaan

ibu, pendidikan orang tua, status ekonomi, dan

stimulasi yang diberikan orang tua kepada bayi).

Analisis bivariat digunakan untuk melihat adanya

korelasi dengan uji Spearman dan Lamda.

Hasil

Karakteristik responden penelitian berdasarkan

jenis kelamin menunjukkan jumlah yang hampir

seimbang antara laki-laki dan perempuan, dengan

jenis persalinan paling banyak adalah jenis per-

salinan spontan yaitu 50,0%. Sebagian besar

responden berstatus gizi baik yaitu sebesar 91,1%.

Berdasarkan usia gestasi, rerata usia gestasi respon-

den adalah 37,84 minggu, usia gestasi responden

termuda adalah 31 minggu dan usia gestasi

responden tertua adalah 43 minggu, sedangkan

berdasarkan berat badan saat lahir didapatkan

rerata adalah 2933,04 gram. Berat badan respon-

Jurnal Keperawatan Indonesia, Vol. 18, No. 2, Juli 2015, hal 132-138

134

den terendah adalah 1800 gram dan berat badan

responden tertinggi adalah 4500 gram.

Karakteristik orang tua responden pada penelitian

ini adalah sebagian besar memiliki jumlah anak

sebanyak 2 orang, dengan latar belakang pen-

didikan mayoritas SLTA, status pekerjaan ibu

paling banyak adalah tidak bekerja dan sebagian

besar berstatus sosial ekonomi atas. Berdasarkan

stimulasi yang diberikan pada bayi, sebagian

orang tua jarang memberikan stimulasi kepada

bayi mereka.

Tabel 1 menjelaskan bahwa perkembangan bayi

dengan riwayat asfiksia perinatal sebagian besar

mempunyai perkembangan yang sesuai dengan

usia, yaitu 46,4%. Persentase tersebut lebih tinggi

daripada bayi yang mengalami kemungkinan

penyimpangan perkembangan (14,3%). Tabel 2

menggambarkan adanya hubungan yang bermakna

antara riwayat asfiksia perinatal dan perkembang-

an bayi (p= 0,026; α= 0,05).

Hasil analisis antara riwayat asfiksia perinatal

dengan karakteristik responden dan orang tua

responden menunjukkan bahwa variabel usia

gestasi, berat badan saat lahir, tingkat pendidikan

orang tua dan pemberian stimulasi mempunyai

hubungan yang bermakna dengan perkembangan

Tabel 1. Karakteristik Responden berdasarkan

Perkembangan Bayi

Kriteria Frekuensi

(n)

Prosentase

(%)

Kemungkinan menyimpang 8 14,3

Meragukan 22 39,3

Sesuai 26 46,4

Tabel 2. Hubungan Riwayat Asfiksia Perinatal

dengan Perkembangan Bayi

Jenis

Asfiksia

Perkembangan

Menyimpang Meragukan Sesuai p

n % n % n %

Asfiksia

ringan 3 27,3 5 45,5 3 27,3

0,026

Asfiksia

sedang 2 11,1 10 55,6 6 33,3

Asfiksia

berat 3 11,1 7 25,9 17 63,0

Tabel 3. Hubungan Karakteristik Responden dan

Orang Tua Responden dengan Perkem-

bangan Bayi

Parameter Nilai Korelasi (r) p

Jenis kelamin 0,033 0,841

Usia gestasi 0,314 0,018

Jenis Persalian 0,100 0,465

Status gizi bayi 0,053 0,697

Berat badan saat lahir 0,280 0,037

Pendidkan orang tua 0,401 0,002

Jumlah anak 0,029 0,919

Pekerjaan ibu 0,251 0,062

Status sosial ekonomi 0,084 0,538

Stimulasi 0,329 0,013

bayi, sedangkan variabel jenis kelamin, jenis

persalinan, status gizi bayi, jumlah anak, status

pekerjaan ibu, dan status sosial ekonomi tidak

mempunyai hubungan yang bermakna dengan

perkembangan bayi. Hasil analisis korelasi antara

karakteristik responden dan orang tua responden

dengan perkembangan bayi dipaparkan pada

Tabel 3.

Pembahasan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan

antara kelahiran asfiksia dengan perkembangan

bayi. Hasil penelitian ini didukung oleh penelitian

Resegue, Puccini, dan Silva (2008) yang me-

nyatakan bahwa bayi dengan asfiksia perinatal

mempunyai risiko untuk mengalami kesakitan

yang tinggi. Kerusakan otak pada bayi asfiksia

dianggap sebagai penyebab utama terjadinya

gangguan perkembangan. Penelitian lain juga

menjelaskan bahwa asfiksia perinatal merupakan

penyebab terjadinya Attention Deficit Hyperactivity

Disorder (ADHD), dan kejadian ADHD lebih

banyak ditemukan pada anak dengan riwayat skor

APGAR yang rendah (Willcutt, 2007). Bayi dengan

asfiksia perinatal apabila mampu beradaptasi

dengan lingkungan ekstrauterin akan mampu

melewati perkembangan bayi selanjutnya (Tomey

& Alligood, 2010). Kerusakan otak bayi dengan

asfiksia perinatal mengancam integritas struktur

bayi yang dapat mengganggu perkembangan bayi

selanjutnya. Intervensi yang bisa dilakukan untuk

mencegah terjadinya gangguan perkembangan

diantaranya adalah dengan mencegah terjadinya

Indriani, et al., Perkembangan Bayi Usia 6–12 Bulan dengan Riwayat Asfiksia

135

faktor risiko asfiksia perinatal yaitu dengan

menghindari terjadinya penyulit persalinan, dan

penanganan bayi asfiksia perinatal dengan cepat

dan tepat sehingga ancaman terjadinya gangguan

perkembangan dapat diminimalkan.

Hasil penelitian ini menunjukkan tidak ada hubung-

an antara jenis kelamin dengan perkembangan

bayi. Hasil penelitian ini selaras dengan yang

dilakukan Nayeri, et al., (2010) yang menjelaskan

bahwa tidak ada perbedaan pada perkembangan

antara bayi laki-laki dan perempuan. Menurut

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia

(2010), perkembangan antara laki-laki dan pe-

rempuan perbedaannya terletak pada kecepatan

pertumbuhan secara fisik. Anak perempuan lebih

cepat tumbuh dan berkembang, serta lebih cepat

mencapai kedewasaan jika dibandingkan dengan

laki-laki.

Hasil analisis antara usia gestasi dengan per-

kembangan bayi didapatkan terdapat korelasi

yang bermakna. Salah satu penelitian menjelaskan

bahwa prematur dapat menyebabkan beberapa

gangguan perkembangan diantaranya terjadinya

serebral palsi; retardasi mental; gangguan sensori

seperti terjadinya gangguan pendengaran dan

penglihatan; disfungsi otak seperti gangguan

bahasa dan kemampuan belajar, hiperaktivitas,

kurang perhatian, serta adanya gangguan perilaku

(Kosim, 2006).

Hasil analisis antara variabel jenis persalinan

dengan perkembangan bayi diketahui tidak ada

hubungan yang signifikan. Hal ini sesuai dengan

penelitian yang dilakukan Islam, Khan, dan

Murtaza (2008) yang menyatakan bahwa per-

kembangan bayi yang lahir dengan vakum

menunjukkan tidak ada pengaruh yang signifikan.

Vakum ekstraksi membantu pengeluaran bayi

dengan memberikan tekanan negatif dan mem-

permudah tarikan saat ibu mengejan dan hal ini

tidak mengganggu perkembangan bayi selanjut-

nya.

Hubungan yang bermakna juga ditemukan pada

penelitian ini antara variabel berat badan saat

lahir dan perkembangan bayi. Shabliz dan Kianian

(2014) menjelaskan bahwa terdapat perbedaan

yang signifikan pada hasil tes Inteleqtual Quotient

(IQ) pada kelompok berat badan lahir normal

dengan kelompok BBLR dimana kelompok

BBLR mayoritas memiliki tingkat IQ lebih rendah

dibandingkan dengan kelompok bayi lahir normal.

Selain itu ditemukan juga bahwa BBLR secara

tidak langsung berhubungan dengan terjadinya

retardasi mental.

Hasil analisis menunjukkan tidak ada hubungan

bermakna antara status gizi dan perkembangan

anak. Hasil penelitian ini didukung penelitian

yang dilakukan oleh Gunawan, Fadlyana, dan

Rusmil (2011) yang menyatakan bahwa tidak

ada hubungan antara gangguan perkembangan

dan status gizi anak, responden penelitian berusia

1–2 tahun dan berada dibawah pengawasan

ibunya, sehingga mendapatkan stimulasi yang

adekuat. Dalam penelitian ini sebagian besar dari

responden mempunyai status gizi yang cukup

baik. Hal ini diasumsikan bahwa anak usia di-

bawah 12 bulan mayoritas masih mendapatkan

perhatian dari segi makanan serta masih men-

dapatkan ASI dari ibunya.

Jumlah anak dalam keluarga dapat menentukan

perkembangan seorang anak. Pada penelitian ini

rerata jumlah anak dalam keluarga memiliki 2

sampai 3 anak; sedangkan hasil analisis bivariat

dalam penelitian ini menunjukkan tidak adanya

hubungan bermakna antara jumlah anak dan per-

kembangan anak. Menurut Okzan, Senel, Arslan,

dan Karacan (2012) keluarga dengan anak lebih

dari 3 orang menyebabkan kualitas dalam penga-

suhan kurang maksimal karena waktu yang tidak

optimal untuk setiap anak. Namun demikian, mes-

kipun jumlah anak dari masing-masing keluarga

lebih dari 3 orang, tetapi karena kebanyakan para

ibu responden sebagai ibu rumah tangga maka

setiap saat ada bersama dengan anak serta me-

miliki waktu yang cukup untuk mengasuh anak

dan masih tetap bisa berinteraksi dengan anak.

Oleh karena itu jumlah anak 2–3 orang tidak

berdampak terhadap perkembangan anak.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tingkat

pendidikan orang tua paling banyak adalah SLTA

(37,5%) dan hasil analisis bivariat menunjukkan

tidak adanya hubungan antara tingkat pendidikan

Jurnal Keperawatan Indonesia, Vol. 18, No. 2, Juli 2015, hal 132-138

136

orang tua dengan perkembangan anak. Hal ini

dapat disebabkan karena mayoritas pendidikan

orang tua responden adalah SLTA. Hal lain yang

dapat dijelaskan adalah tingkat pendidikan orang

tua yang SLTA diasumsikan mampu mencari

informasi baik melalui media cetak maupun

televisi serta mampu menerima informasi yang

diberikan oleh tenaga kesehatan tentang pola asuh

yang benar dan cukup baik untuk memberikan

pendidikan dini melalui stimulasi yang diberikan

kepada anak.

Hasil analisis status pekerjaan ibu terhadap per-

kembangan anak dinyatakan tidak ada hubungan

yang signifikan. Hal ini bisa disebabkan rerata

ibu responden tidak bekerja sehingga para ibu

setiap saat dapat berinteraksi dengan bayi serta

memiliki waktu penuh untuk mengasuh anak.

Menurut Lindawati (2013) ibu yang bekerja

tidak mempunyai pengaruh terhadap pertumbuhan

dan perkembangan anak. Hal ini dimungkinkan

terjadi karena pendidikan ibu yang bekerja lebih

tinggi atau lebih banyak terpapar informasi sehing-

ga ibu dapat mengantisipasi segala kemungkinan

yang dapat terjadi ketika anak ditinggal bekerja.

Pada penelitian ini tidak ditemukan adanya hu-

bungan yang bermakna antara status sosial

ekonomi dan perkembangan anak. Hal ini di-

mungkinkan karena rerata responden berasal

dari keluarga dengan status sosial ekonomi

menengah ke atas, sehingga pola pengasuhan

terhadap anak cukup baik. Disamping itu, faktor

sosial ekonomi juga merupakan salah satu faktor

lingkungan yang dapat memengaruhi perkem-

bangan anak. Orang tua responden yang berasal

dari status sosial ekonomi atas dapat menyediakan

makanan yang bergizi serta mampu menyediakan

alat bantu yang memadai untuk memberikan

stimulasi pada anak.

Stimulasi dari lingkungan dalam hal ini orang

tua sebagai orang yang terdekat dengan anak

sangat mendukung tercapainya perkembangan

anak yang optimal. Stimulasi sebaiknya dilakukan

sedini mungkin sejak dalam kandungan (Suryawan

& Irwanto, 2009). Pada penelitian ini didapatkan

ada hubungan antara pemberian stimulasi dan

perkembangan bayi. Hal ini sesuai dengan per-

nyataan sebelumnya yang menjelaskan bahwa

stimulasi sangat penting untuk perkembangan

anak. Anak yang mendapatkan stimulasi yang

benar dan teratur akan lebih cepat berkembang

dibandingkan dengan anak yang tidak atau kurang

mendapatkan stimulasi dari orang tuanya.

Implikasi penelitian bagi pelayanan keperawatan

adalah perawat dapat menghindari faktor risiko

terjadinya asfiksia perinatal. Selain itu penolong

persalinan juga harus mempunyai keterampilan

dalam menangani kelahiran bayi dan memfasilitasi

proses adaptasi bayi dari lingkungan intrauterin

ke ekstrauterin secara optimal, sehingga asfiksia

dapat dihindari. Petugas kesehatan sangat perlu

melakukan pemantauan pertumbuhan dan per-

kembangan anak, terutama pada bayi yang lahir

dengan risiko keterlambatan perkembangan. So-

sialisasi pentingnya stimulasi dan cara pemberian

stimulasi yang benar oleh perawat perlu ditingkat-

kan, sehingga perawat mampu mengedukasi orang

tua tentang pentingnya stimulasi tumbuh kembang

anak.

Kesimpulan

Hasil penelitian yang dilakukan pada 56 respon-

den ini menunjukkan hasil bahwa jumlah jenis

kelamin yang seimbang antara laki-laki dan

perempuan, dengan jenis persalinan paling banyak

adalah spontan, mayoritas bayi berstatus gizi

baik, rerata usia gestasi 37,84 minggu dan berat

badan rerata 2933 gram. Karakteristik orang

tua responden mayoritas mempunyai anak 2

sampai dengan 3 orang, dengan latar belakang

pendidikan paling banyak adalah SLTA, ibu

berstatus tidak bekerja dengan mayoritas tingkat

status sosial ekonomi atas dan kebanyakan orang

tua jarang memberikan stimulasi kepada anak.

Mayoritas perkembangan bayi adalah sesuai

dengan usia. Berdasarkan uji statistik bivariat

didapatkan bahwa ada hubungan antara riwayat

asfiksia perinatal dengan perkembangan bayi

usia 6 sampai 12 bulan. Variabel perancu yang

memiliki korelasi dengan perkembangan bayi

diantaranya adalah usia gestasi, berat bayi saat

lahir, pendidikan orang tua, serta pemberian

stimulasi orang tua kepada anak.

Indriani, et al., Perkembangan Bayi Usia 6–12 Bulan dengan Riwayat Asfiksia

137

Rekomendasi penelitian khususnya untuk perawat

anak adalah diharapkan mampu melakukan deteksi

dini bayi yang berisiko mengalami gangguan

perkembangan serta mampu bekerjasama dengan

perawat komunitas dalam mensosialisasikan tahap

perkembangan anak sesuai usia kepada masya-

rakat (NN, INR, PN)

Referensi

Cleary, M.A., & Green, A. (2013). Developmental

delay: When to suspect and how to

investigate for an inborn error of metabolism.

Archives of Disease in Childhood, 90(11),

1128–1132.

Depkes RI. (2009). Sistem kesehatan nasional.

Jakarta: Departemen Kesehatan Republik

Indonesia

Gunawan, G., Fadlyana, E., & Rusmil, K. (2011).

Hubungan status gizi dan perkembangan

anak usia 1–2 tahun. Sari Pediatri, 13(2),

142–146.

Islam, A., Khan, A.H., & Murtaza. (2008).

Vacuum extraction and forceps deliveries;

comparison of maternal and neonatal

complication. Professional Med J, 15(1),

87–90.

Kementerian Kesehatan RI. (2010). Pedoman

pelaksanaan stimulasi, deteksi dan intervensi

dini tumbuh kembang anak ditingkat

pelayanan kesehatan dasar. Jakarta:

Departemen Kesehatan republik Indonesia.

Kosim, M.S. (2006). Gawat darurat neonatus pada

persalinan preterm. Sari Pediatri, 7(4),

225–231.

Lindawati. (2013). Faktor-faktor yang mempengaruhi

perkembangan motorik anak usia pra sekolah.

Jurnal Health Quality, 4(1), 22–27.

Meena, N., Kurup, V.K.M., & Ramesh, S. (2013).

Impact of early intervention in the

developmental outcome of infants with

birth asphyxia. Indian Journal of Applied

Research, 3(3), 301–304.

Morales, P., Bustamante, D., Marchant, P.E., Peña,

T.N., Hernández, M.A.G., Castro, C.A., &

Mancilla, E.R. (2011). Pathophysiology of

perinatal asphyxia: Can we predict and

improve individual outcome? EPMA

Journal, 2(2), 211–230.

Nayeri, F., Shariat, M., Dalili, H., Adam, L.B.,

Mehrjerdi, F.Z., & Shakeri, A. (2012).

Perinatal risk factor neonatal asphyxia in

Vali-e-Asr Hospital, Tehran Iran. Iran J

Reprod Med, 10(2), 137–140.

Okzan, M., Senel, S., Arslan, E.A., & Karacan, C.

D. (2012). The socioeconomic and

biological risk factor for developmental

delay in early childhood. Eur J Pediatr,

171, 1815–1821.

Resegue, R., Puccini, R.F., & Silva, E.M.K. (2008).

Risk factors associated with developmental

abnormalities among high-risk children

attended at a multidisciplinary clinic. San

Paulo Med J, 126(1), 4–10.

Shabliz, M.S., & Kianian, E. (2014). The

relationship between child’s birth weight

and mental retardation among low-weight

children. International Journal of Academic

Research in Business and Social Sciences,

4(1), 592–599.

Suradi, R., Aminullah, A., Kosim, S., Rohsiswatmo,

R., Soeroso, S., Kaban, R., & Prasmusinto,

D. (2008). Pencegahan dan penatalaksanaan

asfiksia neonaturum. Jakarta: Departemen

Kesehatan Republik Indonesia.

Suryawan, A., & Irwanto. (2009). Deteksi dini

tanda dan gejala penyimpangan partum-

buhan dan perkembangan anak. Surabaya:

IDAI Jawa Timur.

Tjandrajani, A., Dewanti, A., Burhany, A., &

Widjaja, J.A. (2012). Keluhan utama pada

keterlambatan perkembangan umum di

klinik khusus tumbuh kembang RSAB

Harapan Kita. Sari Pediatri, 13(6), 373–

377.

Tomey, A.M., & Alligood, M.R. (2010). Nursing

theorists and their work (7th Ed.). St

Louis: Mosby Elsevier.

Wantania, J., Wilar, R., Antolis, R., &

Mamangkey, G. (2011). Faktor risiko

Jurnal Keperawatan Indonesia, Vol. 18, No. 2, Juli 2015, hal 132-138

138

kehamilan dan persalinan yang berhubungan

dengan kematian neonatal dini di RSU

Prof. R. D. Kandou Manado. Buletin

Perinasia, 3, 1–10.

Willcutt, E. (2007). The etitlogy of GPP/H.

London: Oxford University Press.

Jurnal Keperawatan Indonesia, Volume 18 No.3, November 2015, hal 139-142

pISSN 1410-4490, eISSN 2354-9203

EFEK LIFE REVIEW THERAPY TERHADAP DEPRESI PADA LANSIA

Nati Aswanira, Rumentalia*, Vausta

Prodi DIV Keperawatan, Jurusan Keperawatan, Poltekkes Kemenkes Palembang, Palembang 30126, Indonesia

*E-mail: [email protected]

Abstrak

Depresi dapat dialami oleh lanjut usia (lansia) di penghujung kehidupannya. Depresi bukan merupakan proses penuaan

yang normal, melainkan masalah psikososial yang dapat diatasi. Prevalensi depresi berkisar antara 10–15% pada lansia

di komunitas, 11–45% pada lansia yang membutuhkan rawat inap, dan sampai 50% pada residen panti jompo. Penelitian

ini adalah jenis penelitian kuantitatif dengan desain penelitian pre-eksperimen dengan pendekatan one group pre-post

test design. Pengambilan sampel dilakukan secara metode total sampling, sebanyak 28 orang dengan kriteria inklusi

lansia yang mengalami depresi tingkat ringan dan sedang. Penelitian dilakukan di Panti Sosial Tresna Werdha

Palembang. Hasil penelitian diperoleh rerata skor depresi lansia sebelum life review therapy adalah 11,61 (SD= 2,061),

rerata skor depresi sesudah life review therapy 10,07 (SD= 2,035). Hasil uji statistik menunjukkan ada perbedaan skor

depresi sebelum dan sesudah dilakukan life review therapy (p= 0,02). Life review therapy direkomendasikan sebagai

alternatif tindakan keperawatan jiwa untuk mengatasi depresi pada lansia.

Kata kunci: lansia, life review therapy, depresi

Abstract

The Effect of Life Review to the Depression in Elderly People. The Depression can be experienced by the elderly at

the end of his life. This is not a normal aging process, but a medical illness that can be treated. Its prevalence ranges

from 10–15% of the elderly at the community, 11–45% of the elderly age who require inpatient, and up to 50% in

nursing home residents. This research is a pre experiment study with one group pre-post test design. This design used a

sample group that was interviewed twice. Pretest and post test were done by using ratio scale. The total sample of 28

elderly people with mild and medium depression at Tresna werdha Elderly Social Institution Palembang. The result

showed an average depression score elderly people before life review therapy is 11,61 (SD= 2,061), the average

depression scores after the therapy 10,07 review life (SD= 2,035). The result showed that there is a significant

difference between before and after life review therapy with therapy for depression in elderly (p= 0,002). It is expected

for Tresna Werdha Teratai Social Institution in order to increase quality of services especially in an effort to reduce

depression in the elderly people in the home by using review life therapy.

Keywords: elderly, life review therapy, depression

Pendahuluan

Indonesia merupakan salah satu negara ber-

kembang dengan angka harapan hidup yang

meningkat. Menurut WHO, populasi lansia di

Asia Tenggara sebesar 8% atau sekitar 142 juta

jiwa. Pada tahun 2000 jumlah lansia sekitar

5.300.000 (7,4%) dari total populasi, sedangkan

pada tahun 2010 jumlah lansia 24.000.000 (9,77%)

dari total populasi, dan tahun 2020 diperkirakan

jumlah lansia mencapai 28.800.000 (11,34%) dari

total populasi. Di Indonesia pada tahun 2020

diperkirakan jumlah lansia sekitar 80.000.000.

Amerika Serikat mengalami peningkatan lansia

pada tahun 2000, sebanyak 35 juta orang dewasa

yang berusia di atas 65 tahun jumlahnya mencapai

12,4% dari total populasi (AOA, 2006). Jumlah

ini menunjukkan terjadinya peningkatan sebesar

3,7 juta sejak tahun 1990. Pada populasi lansia

di tahun 2000, 18,4 juta orang berusia 65–74 tahun;

12,4 juta berusia di atas 85 tahun. Diperkirakan,

pada tahun 2030 populasi lansia akan mencapai

70 juta orang. Peningkatan ini disebabkan ber-

tambahnya usia harapan hidup. Menurut Badan

Pusat Statistik Sumatera Selatan jumlah penduduk

lansia pada tahun 2009 adalah 7.222.635 orang,

Jurnal Keperawatan Indonesia, Vol. 18, No. 3, November 2015, hal 139-142

140

dengan komposisi 3.650.615 orang laki-laki dan

3.572.020 orang perempuan, diantaranya penduduk

yang berusia 60 tahun ke atas berjumlah 419.900

orang dengan komposisi 3.792.647 orang laki-

laki dan 3.657.747 orang perempuan, diantaranya

penduduk yang berusia 60 tahun keatas berjumlah

466.033 orang. Pada tahun 2012 telah mencapai

464.554 orang atau 6,24% dari jumlah penduduk

lansia perempuan 245.852 orang dan jumlah pen-

duduk lansia laki-laki 218.702 orang. Sedangkan

di Kota Palembang, jumlah lansia pada tahun

2009 sebesar 236.446 orang, pada tahun 2010

jumlah lansia sebesar 288.180 orang. Ini mengalami

peningkatan jumlah lansia pada tahun 2011

sebesar 497.655 orang.

Lansia sangat rentan mengalami masalah kese-

hatan baik masalah fisik maupun psikologis

akibat terjadinya perubahan dalam kehidupan.

Perubahan tersebut meliputi pensiun, penyakit

atau ketidakmampuan fisik, penempatan dalam

panti werda, kematian pasangan dan kebutuhan

untuk merawat pasangan yang kesehatannya

menurun. Salah satu masalah psikologis adalah

depresi sebagai tahun emas. Tingginya stresor

dan peristiwa-peristiwa kehidupan yang tidak

menyenangkan dapat menimbulkan kemungkinan

lanjut usia mengalami kecemasan, kesepian,

sampai pada tahap depresi (Saputri, 2011).

Menurut Hawari (2001 dalam Saputri, 2011)

depresi merupakan salah satu bentuk gangguan

kejiwaan pada alam perasaan (affective/mood

disorder), yang ditandai dengan ketidakgairahan

hidup, kemurungan, kelesuan, putus asa dan

perasaan tidak berguna. Gangguan depresi sendiri

apabila tidak diobati maka akan mengakibatkan

kesulitan pada penderitanya yang terlihat dalam

pencapaian akademik yang buruk, keterlambatan

dalam perkembangan psikososial, penyalahgunaan

zat adaptif, bahkan percobaan bunuh diri. Pre-

valensinya depresi berkisar antara 10–15% pada

lansia di komunitas; 11–45% pada lansia yang

membutuhkan rawat inap; dan sampai 50% pada

residen lansia yang tinggal di panti jompo (Patricia,

2009).

Salah satu intervensi keperawatan dalam menga-

tasi depresi pada lansia adalah life review therapy

yang dapat membawa seseorang lebih akrab pada

realita kehidupan. Life review therapy membantu

seseorang untuk mengaktifkan ingatan jangka

panjang dimana akan terjadi mekanisme recall

tentang kejadian pada kehidupan masa lalu

hingga sekarang. Dengan cara ini lansia akan

dapat memperbaiki kualitas hidupnya. Life review

therapy akan mengurangi depresi dan meningkat-

kan kepercayaan diri, kesejahteraan atau kesehatan

psikologis, dan kepuasan hidup (Kusharyadi,

2011).

Metode

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian

kuantitatif dengan desain penelitian Kuasi Ekspe-

rimen dengan pendekatan One Group pre–post

test design. Penelitian ini dilakukan di Panti

Sosial Tresna Werdha Teratai Palembang yang

dilakukan pada bulan Juni 2014. Populasi peneli-

tian adalah semua lansia yang tinggal di Panti

Sosial Tresna Werdha Teratai Km 6 Palembang

yang berjumlah 70 orang. Teknik pengambilan

sampel pada penelitian ini yaitu total sampling,

dimana sampel merupakan keseluruhan dari

populasi, sampel dalam penelitian ini adalah

semua lansia yang berada di Panti Sosial Tresna

Werdha Km 6 Palembang dengan kriteria inklusi

mengalami depresi ringan dan sedang, komunikasi

verbal dapat dipahami dan bersedia menjadi

responden.

Sejumlah 70 lansia yang tinggal di panti didapat-

kan 28 lansia yang mengalami depresi ringan

dan sedang yang dijadikan yang pada akhirnya

dijadikan sebagai sampel. Alat pengumpulan data

yang digunakan adalah Depression Anxiety and

Stress Scale (DASS) yang diadopsi dari Livibond

dan Lovabond (2011). Kuesioner terdiri dari 14

pertanyaan yang mengukur 14 pertanyaan dengan

skala 0 (jika tidak pernah), 1 (kadang-kadang),

2 (jarang), 3 (sering), dan 4 (selalu).

Hasil

Hasil penelitian menunjukkan skor depresi se-

belum life review therapy, skor depresi sesudah

life review therapy dan perubahan skor depresi

sebelum dan sesudah life review therapy. Skor

Aswanira, et al., Efek Life Review Therapy terhadap Depresi pada Lansia 141

depresi sebelum life review therapy pada lansia

tergambar pada Tabel 1. Berdasarkan Tabel 1

diketahui bahwa rerata skor depresi lansia

sebelum dilakukan life review therapy adalah

11 dengan standar deviasi sebesar 2,06.

Skor depresi sesudah life review therapy pada

lansia tergambar pada Tabel 2. Berdasarkan Tabel

2 diketahui bahwa rerata skor depresi lansia

setelah dilakukan life review therapy adalah 10

dengan standar deviasi sebesar 2,03.

Pengaruh life review therapy terhadap depresi

pada lansia terlihat pada Tabel 3. Berdasarkan

Tabel 3 diketahui bahwa skor depresi sebelum

pemberian life review therapy adalah 11 dan

setelah pemberian terapi 10. Hasil uji statistik

menunjukkan bahwa ada pengaruh life review

therapy terhadap skor depresi lansia di Panti

Tresna Wreda Teratai Palembang.

Pembahasan

Berdasarkan hasil penelitian diketahui rerata

skor depresi lansia sebelum dilakukan life review

therapy adalah 11,00 dengan standar deviasi 2,061.

Rerata skor depresi lansia sesudah dilakukan

life review therapy menjadi 10,00 dengan standar

deviasi 2,035. Hasil uji statistik didapatkan nilai

p= 0,002, dimana dalam hal ini ada cukup bukti

untuk menolak hipotesis null yang berarti bahwa

ada perbedaan bermakna antara skor depresi

lansia sebelum life review therapy dengan skor

depresi lansia sesudah life review therapy di Panti

Sosial Tresna Werdha Teratai Km 6 Palembang

Tahun 2014.

Hasil ini sejalan dengan pendapat Kushariyadi

(2011) yang mengatakan bahwa suatu proses

life review therapy dengan Standar Prosedural

Operasional yang baik akan mengurangi depresi

Tabel 1. Rerata Skor Depresi Lansia di Panti Tresna Wreda Teratai Palembang Sebelum Life Review

Therapy

Variabel Median SD Min – Max 95%CI

Skor Depresi sebelum

intervensi 11,00 2,061 9 – 19 10,81 – 12,41

Tabel 2. Rerata Skor Depresi Lansia di Panti Tresna Wreda Teratai Palembang Sesudah Life Review

Therapy

Variabel Median SD Min – Max 95%CI

Skor Depresi sesudah

intervensi 10,00 2,035 5 – 14 9,28 – 10,86

Tabel 3. Pengaruh Life Review Therapy Terhadap Depresi Pada Lansia di Panti Tresna Wreda Teratai

Palembang

Skor Depresi n Median Min – Max SD p

Sebelum life review therapy 28 11 (9 – 19) 2,061

0,002 Setelah life review therapy

28 10 (5 – 14) 2,035

Jurnal Keperawatan Indonesia, Vol. 18, No. 3, November 2015, hal 139-142

142

dan meningkatkan kepercayaan diri, kesejahteraan

atau kesehatan psikologis, dan kepuasan hidup.

Terapi life review adalah upaya untuk membantu

seseorang untuk mengaktifkan ingatan jangka

panjang dimana akan terjadi mekanisme recall

tentang kejadian pada kehidupan masa lalu hingga

sekarang, dengan cara ini, lansia akan lebih menge-

nal siapa dirinya dan dengan recall tersebut, lansia

akan mempertimbangkan untuk dapat mengubah

kualitas hidup menjadi lebih baik dibandingkan

dengan sebelumnya.

Hasil penelitian ini juga sejalan dengan penelitian

Rita (2013) dengan judul pengaruh intervensi

musik gamelan terhadap depresi pada lasia di

Panti Werdha Harapan Ibu Semarang, menyatakan

bahwa pengendalian dan penatalaksanaan depresi

khususnya pada lansia memerlukan perawatan

secara terus-menerus dan berkelanjutan agar tidak

terjadi bunuh diri karena perasaan bersalah, gagal,

dan kecewa yang dialami sebagai dampak depresi.

Berdasarkan hasil penelitian ini, peneliti menyim-

pulkan bahwa terjadinya depresi dapat dikurangi

dengan cara melakukan pengendalian serta pera-

watan pada lansia secara berkesinambungan.

Hal ini bertujuan agar lansia terhindar dari bunuh

diri karena perasaan bersalah serta kecewa yang

dialami sebagai dampak depresi. Life review

therapy merupakan salah satu terapi yang dapat

mengurangi depresi pada lansia.

Kesimpulan

Hasil penelitian dapat disimpulkan rerata skor

depresi pada lansia sebelum dilakukan life review

therapy adalah 11,61 dengan standar deviasi

sebesar 2,061. Rerata skor depresi lansia sesudah

dilakukan life review therapy adalah 10,07 dengan

standar deviasi sebesar 2,035. Hasil penelitian

didapatkan bahwa ada perbedaan rerata skor

depresi yang signifikan sebelum dan sesudah

life review therapy yaitu dengan skor depresi

sebelum life review therapy adalah 11.61. Rerata

skor depresi sesudah life review therapy adalah

10,07. Berdasarkan hasil uji statistik didapatkan

nilai p= 0.002, yang berarti ada pengaruh antara

sebelum diberikan life review therapy dan sesudah

life review therapy terhadap depresi pada lansia.

Pihak Panti Sosial Tresna Werdha Teratai

Palembang diharapkan dapat meningkatkan mutu

pelayanan terutama dalam upaya untuk mengurangi

depresi pada lansia yang ada di panti tersebut

dengan menggunakan life review therapy (IC,

INR, AM).

Referensi

Kushariyadi. (2011). Terapi modalitas keperawatan

pada klien psikogeriatrik. Jakarta: Salemba

Medika.

Livibond, S.H., & Lovabond, P.F. (2012).

Depression anxiety and stress scale (DASS).

Diperoleh dari www.acpmh. unimelb.edu.

au/site_resources/.../followup/DASS.pdf.

Rita, H. (2013). Pengaruh intervensi musik

gamelan terhadap depresi pada lansia di

Panti Wreda Harapan Ibu, Semarang

(online). Diperoleh dari www.bianpdf.org/

view_205909.php.

Saputri, W. (2011). Hubungan antara dukungan

sosial dengan depresi pada lanjut usia yang

tinggak di Panti Wreda Wening Wardoyo

Jawa Tengah (online). Diperoleh dari

www.ejournal.undip.ac.id/index.php/psikolo

gi/article/download/2910/2592-2910-6323-

1- SM.pdf pada tanggal 4 Mei 2014.

Jurnal Keperawatan Indonesia, Volume 18 No.3, November 2015, hal 143-150pISSN 1410-4490, eISSN 2354-9203

EFEKTIVITAS RATIONAL EMOTIVE BEHAVIOUR THERAPYBERDASARKAN PROFILE MULTIMODAL THERAPY PADA KLIENSKIZOFRENIA DENGAN MASALAH KEPERAWATAN PERILAKU

KEKERASAN DAN HALUSINASI DI RUMAH SAKIT JIWA

Retno Yuli Hastuti1*, Budi Anna Keliat2, Mustikasari2

1. STIKes Muhammadiyah Klaten, Jawa Tengah 57419, Indonesia2. Program Studi Magister Fakultas Ilmu Keperawatan, Universitas Indonesia, Depok 16424, Indonesia

3. Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, Depok 16424, Indonesia

*Email: [email protected]

Abstrak

Penelitian ini bertujuan mengetahui efektivitas Rational Emotive Behavior Therapy (REBT) berdasarkan profilemultimodal therapy terhadap kemampuan klien dan perubahan gejala perilaku kekerasan dan halusinasi di RS Jiwa.Desain penelitian quasi eksperimental dengan jumlah sampel 56 responden. Sebanyak 28 responden memiliki ProfileMultimodal Therapy untuk mendapatkan REBT sebagai kelompok intervensi, 28 responden sebagai kelompok nonintervensi. Hasil penelitian ditemukan penurunan gejala perilaku kekerasan dan halusinasi lebih besar daripada yangtidak mendapatkan REBT berdasarkan profile multimodal therapy (p< 0,05). Kemampuan kognitif, afektif dan perilakuklien yang mendapatkan REBT berdasarkan profile multimodal therapy meningkat secara bermakna (p< 0,05) Hasilpenelitian ini efektif meningkatkan kemampuan klien kognitif, afektif dan perilaku hingga 57% dan penurunan gejalaperilaku kekerasan 48%, penurunan gejala halusinasi 47%. Profile multimodal therapy direkomendasikan sebagaiscreening klien yang akan diberikan terapi spesialis dalam hal ini khususnya rational emotive behavior therapy.

Kata kunci: gejala haluasinasi; gejala perilaku kekerasan; kemampuan kognitif, afektif dan perilaku; profilemultimodal therapy; rational emotive behavior therapy

Abstract

The Effectiveness of Rational Emotive Behavior Therapy Based on Profile Multimodal Therapy for Client’sSchizophrenia with Violence and Hallucination Nursing Diagnoses at Mental Hospital. This study aims to determinethe effectiveness of rational emotive behavior therapy (REBT) profile of multimodal therapy based on the client's abilityand changes in symptoms violent behavior and hallucinations in Psychiatric Hospital. Quasi-experimental researchdesign with a number of 56 respondents. 28 respondents had to get a Profile Multimodal Therapy REBT therapy as theintervention group, 28 respondents as a group of non intervention. The research found a decrease symptom of violentbehavior and hallucinations bigger than not getting REBT based profile of multimodal therapy (p<0.05). Cognitive,affective and behavioral clients who get REBT based profile of multimodal therapy increased significantly (p<0.05).Results clients experience an effectively improve cognitive, affective and behavioral to 57% and reduction in symptomsof violent behavior 48%, reduction in symptoms of hallucinations 47%. Profile multimodal therapy is recommended asscreening client will be given specialist treatment in this particular rational emotive behavior therapy

Keywords: cognitive, affective and behavioral; hallucination symptoms; profile multimodal therapy; rational emotivebehavior therapy; symptoms of violent behavior

Pendahuluan

Skizofrenia merupakan salah satu jenis gang-guan jiwa berat yang paling banyak ditemu-kan. Stuart (2009) menyebutkan di Amerika

Serikat sekitar 1 dari 100 orang mengalamiskizofrenia. Departemen Kesehatan RI (2009)mencatat bahwa 70% gangguan jiwa terbesardi Indonesia adalah skizofrenia. Jumlah klienskizofrenia juga menempati 90% klien di ru-

Hastuti, et al., Efektivitas Rational Emotive Behaviour Therapy Berdasarkan Profile Multimodal Therapy 144

mah sakit jiwa di seluruh Indonesia (Jalil,2006). Hasil Riset Kesehatan Dasar Nasionaldi Indonesia disebutkan bahwa prevalensigangguan jiwa berat (Skizofrenia) adalah4,6 % dimana untuk jumlah yang tertinggi dipropinsi DKI Jakarta yaitu 20,3% sedangkanuntuk wilayah propinsi Jawa Barat

mencapai 2,2% (DepKes, 2008). Melihatbanyaknya klien skizofrenia menjadi pemiki-ran perlunya meningkatkan pemahaman indi-vidu tentang gangguan jiwa berat yang satuini, agar mampu memberikan penangananyang tepat jika terjadi pada salah satu anggotakeluarga maupun masyarakat.

Perilaku yang sering muncul pada klienskizofrenia menurut Keliat (2006) antara lain;motivasi kurang (81%), isolasi sosial (72%),perilaku makan dan tidur yang buruk (72%),sukar menyelesaikan tugas (72%), sukar me-ngatur keuangan (72%), penampilan yangtidak rapi/bersih (64%), lupa melakukan sesu-atu (64%), kurang perhatian pada orang lain(56%), sering bertengkar (47%), bicara padadiri sendiri (41%), dan tidak teratur makanobat (40%). Berdasarkan paparan diatas me-nunjukkan bahwa pada klien skizofreniabanyak ditemukan masalah yang memerlukanpemberian terapi yang mengacu pada konseppenyembuhan secara holistik, yang tidakhanya mengobati aspek psikis (kognisi, afeksidan psikomotorik) dari klien namun jugamemperhatikan aspek kesehatan fisik sertakualitas lingkungan hidup disekitar klien yangmemengaruhi kehidupannya.

Lazarus (1992) menyatakan bahwa konseppenyembuhan penyakit didasarkan secaraholistik yang tidak hanya mengobati aspekpsikis (kognisi, afeksi dan psikomotor) dariklien saja namun juga memperhatikan tujuhaspek yang membentuk kepribadian darimanusia, yang meliputi perilaku (behaviour),perasaan (affect), pengindraan (sensation),angan-angan (imagery), pikiran (cognitition),hubungan interpersonal (interpersonal rela-tionship) dan semua faktor-faktor yang berhu-

bungan dengan keadaan biokimia dan fisi-ologis tubuh (drugs). Konsep penanganan holi-stik ini dalam psikoterapi kemudian disebutsebagai multimodal therapy.

Putri (2010) dalam penelitiannya terhadap 28klien skizofrenia yang mengalami perilakukekerasan menyatakan bahwa terapi RationalEmotive Behavior Therapy (REBT) mampumeningkatkan kemampuan kognitif sebesar9,6% dan sosial 47%. REBT juga mampumenurunkan respon emosi 43%, fisiologis76%, dan perilaku 47%. REBT dan CBT yangdilakukan secara bersama-sama pada klien yangmemiliki lebih dari satu gejala menurutpenelitian Lelono (2011) efektif menurunkanperilaku kekerasan sebesar 61%, menurunkantanda dan gejala munculnya halusinasi sebesar52,1% dan menurunkan gejala harga diri rendahsebesar 66,2%. Juga menunjukan hasil 74,53%untuk meningkatkan kemampuan kognitif,afektif dan perilaku pada klien perilaku keke-rasan, halusinasi dan harga diri rendah. Hal inijuga didukung oleh penelitian dari Sudiatmika(2011) menunjukan hasil efektif menurunkanperilaku kekerasan hingga 77% dan penurunangejala halusinasi mencapai 85%. Untuk ke-mampuan kognitif meningkat 74%, afektif76% dan perilaku 77%. Sedangkan hasil pene-litian Hidayat (2011) menunjukan hasil mam-pu menurunkan gejala perilaku kekerasan yangterdiri atas kognitif, emosi, perilaku, sosial,fisiologi secara bermakna dari kategori sedangmenjadi rendah dimana secara keseluruhanterjadi penurunan sebesar 44,45%. Penelitianyang dilakukan para peneliti belum pernahmenambahkan dengan profile multimodal the-rapy dimana penambahan PMT dapat menjadilebih baik guna meningkatkan kemampuanklien selain menurunkan gejala perilaku.

Metode

Penelitian ini adalah penelitian quasi experi-mental dengan metode kuantitatif denganmenggunakan desain penelitian “QuasiExperimental Pre-Post Test with ControlGroup” dengan intervensi Rational Emotive

Jurnal Keperawatan Indonesia, Vol. 18, No. 3, November 2015, hal 143-150145

Behavior Therapy (REBT) yang berdasarkanProfile Multimodal Therapy (REBT & PMT)dan kontrol Rational Emotive CognitiveBehavior Therapy (RECBT). Teknik pengam-bilan sampel menggunakan Consecutive Sam-pling. Penelitian ini dilakukan untuk menge-tahui efektivitas Rational Emotive BehaviorTherapy berdasarkan profile multimodal thera-py terhadap perubahan gejala dan kemampuankognitif, afektif dan perilaku klien denganperilaku kekerasan dan halusinasi yang dira-wat di ruang rawat inap Rumah Sakit Jiwa.

Responden berjumlah 56 orang yang terdiriatas 28 orang menjadi kelompok kontrol dan28 orang yang memiliki profile multimodaltherapy sebagai kelompok intervensi. Analisisstatistik yang digunakan adalah univariat,bivariat dengan analisis dependen dan inde-pendent sample t-Test, Chi-square dengantampilan dalam bentuk tabel dan distribusifrekuensi.

Hasil

Karakteristik klien dengan perilaku kekerasandan halusinasi dalam penelitian ini adalah padakelompok intervensi jenis kelamin lebih ba-nyak laki-laki 24 orang (85,7%), jenjangpendidikan paling banyak adalah PT 11 orang(39,4%) yang meliputi D3 9 orang dan S1 2orang, pada pekerjaan lebih banyak yang tidak

bekerja yaitu 16 orang (57,1%), sebagian besartidak kawin 15 orang (53,6%). Sedangkanpada kelompok kontrol jenis kelamin lebih ba-nyak laki-laki 19 orang (67,9%), jenjang pen-didikan paling banyak PT 12 orang (42,9%)yang meliputi D3 10 orang S1 2 orang, lebihbanyak yang bekerja 16 orang (57,1%), untukstatus perkawinan jumlah sama antara yangkawin dengan tidak kawin yaitu 14 orang(50%)

Pengaruh REBT berdasarkan profile multimo-dal therapy terhadap perubahan gejala padaperilaku kekerasan yang dibandingkan denganhasil penelitian sebelumnya yaitu pemberianRECBT (Sudiatmika, 2011).

Hasil penelitian menunjukkan perubahangejala perilaku kekerasan pada klien yangdiberikan REBT berdasarkan profile multi-modal therapy lebih baik dibandingkan denganhasil penelitian sebelumnya yaitu pemberianRECBT. Uji statistik menunjukkan ada hubu-ngan yang signifikan pemberian REBT ber-dasarkan PMT dibandingkan dengan RECBT(p= 0,000).

Pengaruh REBT berdasarkan profile multi-modal therapy terhadap perubahan gejala padahalusinasi yang dibandingkan dengan hasilpenelitian sebelumnya yaitu pemberianRECBT (Sudiatmika, 2011).

Tabel 1. Perubahan gejala perilaku kekerasan klien yang diberikan REBT & PMT dengan RECBT

Gejala KelompokREBT & PMT (N= 56) RECBT (N= 60)

pMean MeanSblm Ssdh Slsih Sblm Ssdh Slsih

Kognitif IntervensiKontrol

15,2515,64

10,2912,36

4,963,28

13,8714,40

10,5312,30

3,342,10

0,0000,000

Emosi IntervensiKontrol

18,6818,68

11,2515,00

7,433,68

15,8314,97

10,7713,00

5,061,97

0,0000,000

Perilaku IntervensiKontrol

16,0015,82

10,3613,36

5,642,46

13,7314,47

10,2012,50

3,531,97

0,0000,000

Sosial IntervensiKontrol

19,4618,89

12,6815,36

6,783,53

19,3718,60

12,7314,77

6,633,83

0,0000,000

Fisiologis IntervensiKontrol

8,468,54

5,216,96

3,251,58

8,708,53

5,776,47

2,931,06

0,0000,000

PK IntervensiKontrol

77,8677,57

49,7963,04

28,0714,53

71,5070,97

50,0059,03

21,5011,93

0,0000,000

Hastuti, et al., Efektivitas Rational Emotive Behaviour Therapy Berdasarkan Profile Multimodal Therapy 146

Tabel 2. Perubahan gejala halusinasi klien yang diberikan REBT & PMT dengan RECBT

Gejala KelompokREBT & PMT (N= 56) RECBT (N= 60)

pMean MeanSblm Ssdh Slsih Sblm Ssdh Slsih

Kognitif IntervensiKontrol

8,258,14

5,076,39

3,181,75

7,606,83

4,205,47

3,401,37

0,0000,000

Emosi IntervensiKontrol

8,297,96

4,185,75

4,112,21

7,836,90

4,575,47

3,261,43

0,0000,000

Perilaku IntervensiKontrol

7,797,57

4,795,86

3,001,71

7,006,43

4,335,57

2,670,86

0,0000,000

Sosial IntervensiKontrol

7,937,64

4,005,57

3,392,07

7,506,97

4,135,63

3,371,33

0,0000,000

Fisiologis IntervensiKontrol

8,398,50

5,717,25

2,681,25

7,977,47

5,906,90

2,070,57

0,0000,000

Halusinasi IntervensiKontrol

40,6439,82

23,7530,82

16,899,00

37,9034,60

23,1329,03

14,775,57

0,0000,000

Hasil penelitian menunjukkan perubahangejala halusinasi pada klien yang diberikanREBT berdasarkan profile multimodal therapylebih baik dibandingkan dengan hasil pene-litian sebelumnya yaitu pemberian RECBT.Hanya gejala kognitif pada klien yang menda-patkan RECBT lebih baik dibandingkan de-ngan pemberian REBT dan PMT. Uji statistikmenunjukkan ada hubungan yang signifikanpemberian REBT berdasarkan PMT diban-dingkan dengan RECBT (p= 0,000).

Perubahan kemampuan kognitif, afektif danperilaku pada klien skizofrenia dengan maslahkeperawatan perilaku kekerasan dan halusinasisetelah diberikan REBT berdasarkan profilemultimodal therapy.

Perubahan Kognitif. Pada penelitian ini pem-berian REBT dan PMT mampu mening-katkankemampuan kognitif dari 23,32 menjadi 41,07sedangkan pemberian RECBT meningkatkankemampuan kognitif ddari 33,63 menjadi65,87 (lihat Gambar 3).

Gambar 3. Perubahan kemampuan kognitif

Perubahan Afektif. Pada penelitian inipemberian REBT dan PMT mampu mening-katkan kemampuan afektif dari 17,14 menjadi29,93 sedangkan pemberian RECBT mening-katkan kemampuan afektif dari 33,13 menjadi66,03 (lihat Gambar 4).

Gambar 4. Perubahan kemampuan afektif

Perubahan Perilaku. Pada penelitian ini pem-berian REBT dan PMT mampu mening-katkankemampuan perilaku dari 22,32 menjadi 37,32sedangkan pemberian RECBT meningkatkankemampuan perilaku dari 33,87 menjadi 66,90(lihat Gambar 5).

Gambar 5. Perubahan kemampuan perilaku

Jurnal Keperawatan Indonesia, Vol. 18, No. 3, November 2015, hal 143-150147

Efektifitas Terapi REBT berdasarkan ProfileMultimodal Therapy terhadap peningkatan ke-mampuan kognitif, afektif, dan perilaku REBTpada klien skizofrenia dengan masalah kepera-watan perilaku kekerasan dan halusinasi de-ngan dibandingkan hasil penelitian terdahuludapat dilihat efektivitas terapi REBT berda-sarkan profile multimodal therapy dalam me-ningkatkan kemampuan kognitif, afektif danperilaku sebesar 57%. Sedangkan penelitiansebelumnya (Sudiatmika, 2011) RECBT mem-berikan hasil dapat meningkatkan kemampuankognitif, afektif dan perilaku sebesar 41%.

Pembahasan

Efektifitas Terapi REBT berdasarkan ProfileMultimodal Therapy untuk menurunkan gejalaperilaku kekerasan sebesar 48% sedangkanyang diberikan RECBT mampu menurunkangejala perilaku kekerasan sebesar 45%. Hal inimenunjukan bahwa klien dengan perilakukekerasan dan halusinasi jika diberikan terapiREBT akan lebih baik yang dengan profilemultimodal therapy dengan RECBT meskipunhampir sama nilainya

Jensen (2008) yang menyatakan bahwa res-pon-respon perilaku kekerasan mengalami pe-rubahan yang bermakna disebabkan karenaterapi REBT yang diberikan menggunakanpendekatan kognitif dan perilaku denganmengemukakan fakta-fakta bahwa perilakuyang dihasilkan bukan berasal dari kejadianyang dialami namun dari keyakinan-keyakinanyang tidak rasional. REBT diberikan bertujuanuntuk mengurangi keyakinan irrasional danmenguatkan keyakinan rasional yang dapatefektif untuk dewasa yang marah dan agresif(Ellis, 1997; Ellis, 2003).

REBT juga merupakan bagian dari pilihanterapi dalam Multimodal Therapy yang diberi-kan dengan memperhatikan tujuh aspek pem-bentukan kepribadian seseorang (Lazarus,1992). Multimodal Therapy melihat bahwamanusia merupakan satu kesatuan yang unikoleh karenanya jika adanya gangguan pada sa-

lah satu aspek akan memengaruhi aspek yanglain (Lazarus, 1992). REBT menjadi salah satupilihan terapi pada klien yang mengalamigangguan karena kebanyakan orang di saat se-dang ada masalah perilaku yang muncul cen-derung menghindari atau mengalihkan obyekyang menimbulkan masalah, perasaan khawa-tir dan kegelisahan terus menerus, rasa bersa-lah dan konsep diri yang bruruk yang disertaidengan keyakinan-keyakinan yang salah atautidak rasional, sehingga dengan diberikan tera-pi yang mengajarkan pada klien untuk menge-nali peristiwa yang rasional dan tidak rasionaldiharapkan klien akan dapat mengatasi masa-lah yang muncul.

Efektifitas Terapi REBT berdasarkan ProfileMultimodal Therapy untuk menurunkan gejalahalusinasi dengan dibandingkan hasil peneli-tian terdahulu dapat dilihat bahwa efektivitasterapi REBT berdasarkan profile multimodaltherapy dalam menurunkan halusinasi sebesar47%. Sedangkan penelitian yang dilakukanoleh Sudiatmika (2011) bahwa RECBT menu-runkan tanda gejala halusinasi sebesar 62%.

Kondisi perpecahan pada pikiran, terutamapada persepsi klien yang mengalami skizofre-nia sering dikaitkan dengan halusinasi. Hal inidiperkuat pendapat Stuart dan Laraia (2005);Stuart (2009); Townsend (2009); Fontaine(2009) ketika terjadi perubahan persepsi padaklien skizofrenia, bersamaan gangguan dalamfungsi kognitif secara umum, ditemukanbahwa 90% klien mengalami halusinasi dandelusi dimana halusinasi pendengaran diala-mi 50–80% klien dengan skizofrenia. Halusi-nasi merupakan perubahan dalam jumlah danpola stimulus yang diterima disertai denganpenurunan berlebih distorsi atau kerusakanrespon beberapa stimulus NANDA-I(2009-2011). Klien dengan skizofrenia yangmengalami halusinasi akibat kesalahan persep-sinya sering kehilangan kontrol dan mengikutiperintah dari halusinasinya yang mengaki-batkan klien berperilaku di luar kendali danmelakukan perilaku kekerasan.

Hastuti, et al., Efektivitas Rational Emotive Behaviour Therapy Berdasarkan Profile Multimodal Therapy 148

Penggunaan terapi REBT mempunyai targetdimana bahwa pada dasarnya pola pemikiranmanusia terbentuk melalui serangkaian prosesstimulus–kognitif–respon. Peneliti sebagai te-rapis diharapkan mampu berfungsi sebagaiguru/tranier dan mengajarkan kepada klienstrategi pembelajaran dalam perubahan kog-nitif yang berdampak pada afektif dan perilakuyang adaptif. Sedangkan halusinasi merupakansalah satu gejala positif pada klien skizofreniayang merupakan suatu penyakit yang meme-ngaruhi otak yang menyebabkan timbulnyafikiran, persepsi, emosi, gerakan dan perilakuyang aneh dan terganggu (Videbeck, 2006;2008). Sehingga dapat dinyatakan bahwa ski-zofrenia sebagai penyakit mental serius yangmemengaruhi otak dengan ciri adanya perpe-cahan antara pikiran, emosi dan perilakusehingga klien menunjukan perilaku aneh yangdianggap tidak sesuai dengan standar di mas-yarakat.

Multimodal Therapy terhadap peningkatan ke-mampuan kognitif, afektif dan perilaku REBTpada klien skizofrenia dengan masalah kepe-rawatan perilaku kekerasan dan halusinasidengan dibandingkan hasil penelitian terda-hulu dapat dilihat efektivitas terapi REBTberdasarkan profile multimodal therapy dalammeningkatkan kemampuan kognitif, afektifdan perilaku sebesar 57%. Sedangkan, pene-litian sebelumnya (Sudiatmika, 2011) RECBTmemberikan hasil dapat meningkatkan ke-mampuan kognitif, afektif dan perilaku sebesar41%.

Hasil di atas dapat terjadi karena pada klienskizofrenia dengan perilaku kekerasan danhalusinasi terjadi masalah berupa gangguanpada pengontrolan perilaku yang dapat mence-derai diri maupun orang lain. Perilaku yangmuncul pada skizofrenia dengan perilaku ke-kerasan berupa agresif dan hostile. MenurutStuart dan Laraia (2005; Stuart, 2009;Townsend, 2005; Townsend, 2009; Fontaine,2009) ketika terjadi perubahan persepsi padaklien skizofrenia, bersamaan gangguan dalamfungsi kognitif secara umum, ditemukan bah-

wa 90% klien mengalami halusinasi dan delusidimana halusinasi pendengaran dialami50–80% klien dengan skizofrenia. Kliendengan skizofrenia yang mengalami halusinasiakibat kesalahan persepsinya sering kehi-langan kontrol dan mengikuti perintah darihalusinasinya yang mengakibatkan klien ber-perilaku di luar kendali dan melakukan perila-ku kekerasan. Perilaku ini terjadi disebabkankarena klien merasakan adanya ancaman yangdipersepsikan menganggu konsep diri danintegritas diri.

Pemberian REBT, klien dilatih untuk bisamengenali pikiran atau persepsi yang salahatau distorsi kognitif dari kejadian yang dira-sakan yang mengancam atau juga bisa daripenyebab perilaku kekerasan, malu dan rendahdiri yang dialami serta apa yang klien rasakandari suara-suara yang muncul, kemudian kliendiarahkan untuk bisa menilai akibat dari keja-dian tadi yang berdampak pada perasaan de-ngan mengukur menggunakan termometerperasaan dan dampak terhadap perilaku berupaperilaku maladaptif yang sering muncul.Kejadian atau peristiwa itu klien diajarkanuntuk menilai kejadian berdasarkan keyakinanklien anggap tepat, namun keyakinan kliensering sering berupa keyakinan yang tidaknyata atau berdasar opini bukan fakta-faktayang ada, maka klien dilatih untuk melawanopini-opini yang tidak nyata tadi dengan fakta-fakta yang nyata hingga klien mulai mengatasidistorsi kognitifnya dan dapat berpikir rasi-onal, dimana berdampak pada perasaan nya-man, tenang, berharga, dibutuhkan, merasaterlindungi dan perilaku yang asertif, tidakmenyendiri, dan lainnya.

Profile Multimodal Therapy yang dimilikiklien juga dapat memberikan pengaruhterhadap keberhasilan REBT meningkatkankemampuan secara kognitif, afektif danpsikomotor dari klien dikarenakan dalammenetapkan terapi berdasarkan hasil analisisdari tujuh aspek yang dimiliki klien yangdalam hal ini adalah pada behaviour, affect,sensation, imagery, cognition, interpersonal

Jurnal Keperawatan Indonesia, Vol. 18, No. 3, November 2015, hal 143-150149

relationship and drugs yang hal tersbut beradapada diri seseorang yang merupakan satukesatuan yang unik oleh karenanya adanyagangguan pada salah satu modalitas diatasakan mempengaruhi modalitas yang lainnya(Lazarus,1992; Dryden, David, & Ellis,2010).

Berdasarkan paparan di atas penggunaan terapiREBT mempunyai target yang berdasar padakonsep bahwa emosi dan perilaku merupakanhasil dari proses pikir yang memungkinkanbagi manusia untuk memodifikasinya sepertiproses untuk mencapai cara yang berbedadalam merasakan dan bertindak (Froggatt,2005). Reaksi emosional seseorang sebagianbesar disebabkan oleh evaluasi, interpretasi,dan filosofi yang disadari maupun tidakdisadari. Hambatan psikologis atau emosionaltersebut merupakan akibat dari cara berpikiryang tidak logis dan irrasional, dimana emosiyang menyertai individu dalam berpikir penuhdengan prasangka, sangat personal dan irra-sional. Menurut Ellis (2003), manusia padadasarnya adalah unik yang memiliki kecende-rungan untuk berpikir rasional dan irrasional.Ketika berpikir dan bertingkah laku rasionalmanusia akan efektif, bahagia, dan memilikikemampuan.

Kesimpulan

Karakterisitik dari 56 orang klien yang men-jadi responden yang dilakukan dalam peneli-tian ini rata-rata berusia 33,21 tahun denganusia termuda 18 tahun dan tertua 55 tahun,jenis kelamin lebih banyak laki-laki, statuspekerjaan adalah yang tidak bekerja, statuspendidikan paling banyak di jenjang Pergu-ruan Tinggi, status perkawinan sebagian besartidak kawin, frekuensi dirawat di rumah sakitrata-rata 2 kali. Hasil screening dari 56 klienyang menjadi responden hanya 28 orang yangdapat diberikan REBT berdasarkan profilemultimodal therapy. Rational emotive beha-viour therapy berdasarkan profile multimodaltherapy efektif menurunkan gejala perilakukekerasan dan gejala halusinasi (kognitif,

emosi, perilaku, sosial, dan fisiologis) daritingkat sedang ke rendah. Rational emotivebehaviour therapy berdasarkan profile multi-modal therapy efektif meningkatkan kemam-puan klien yaitu kognitif, afektif dan perilakudari tingkat rendah ke tingkat tinggi.

Perawat jiwa di rumah sakit diharapkan dapatmelakukan screning klien dengan profilemultimodal therapy guna menentukan indikasipemberian terapi terutama terapi keperawatanspesialis dan selalu memotivasi klien sertamengevaluasi kemampuan-kemampuan yangtelah dipelajari dan dimiliki oleh kliensehingga latihan yang diberikan membudaya.Apabila terjadi kemunduran pada klienhendaknya perawat mengkonsultasikan per-kembangan kliennya yang telah mendapatterapi spesialis kepada perawat spesialis yangdimiliki rumah sakit. Hasil penelitian ini dapatdigunakan sebagai evidence based pengemba-ngan profile multimodal therapy guna penen-tuan indikasi pemberian terapi REBT baikpada individu maupun kelompok. Perlu pene-litian lanjut tentang pengaruh profile multi-modal therapy dengan terapi spesialis lainnya;pengaruh peningkatan kemampuan klien se-telah terapi REBT terhadap penurunan gejalaperilaku kekerasan dan halusinasi pada klienskizofrenia (BA, INR, MK).

Referensi

Departemen Kesehatan Republik Indonesia.(2008). Riset kesehatan dasar 2007.http://www.litbang.depkes.go.id/LaporanRKD/IndonesiaNasional.pdf.

Dryden, W., David, D., & Ellis, A. (2010).Rational emotive behaviour therapy:Handbook of Cognitive-behavioral therapies(3rd ed). New York, US: Guilford Press.

Ellis, A. (1997). REBT and its application toGroup Therapy, In Special Applications ofREBT: A. therapit’s casebook, Yankura, J., andDryden, W. (eds). New York: SpringerPublishing Company. pp 131–161.

Hastuti, et al., Efektivitas Rational Emotive Behaviour Therapy Berdasarkan Profile Multimodal Therapy 150

Ellis, A. (2003). Reasons why rational emotivebehaviour therapy is relatively neglected in theprofessional and scientific literature. Journalof Rational Emotive & cognitive – behaviourtherapy, 21 (3/4), 245–252.

Ellis, A. (2004). Why rational emotive behaviourtherapy is the most comprehensive andeffective from of behaviour therapy. Journal ofRational emotive behaviour therapy, 22 (2),85–92.

Fontaine, K.L. (2009). Mental health nursing (7thEd.). New Jersey: Pearson Education, Inc.

Froggatt, W. (2005). A brief introduction torational emotive behaviour therapy (3rd Ed.).Diperoleh dari www.rational.org.nz/prof-docs/Intro-REBT.pdf.

Hidayat, E. (2011). Pengaruh cognitive behaviourtherapy dan rational emotive behaviourtherapy pada perilaku kekerasan dan hargadiri rendah di Rumah Sakit Marzoeki MahdiBogor (Tesis, Tidak dipublikasikan). FakultasIlmu Keperawatan Universitas Indonesia,Jakarta.

Jalil, M. (2006). Faktor-faktor yang mempengaruhikekambuhan penderita skizoprenia di RSJProf. Dr. Soeroyo Magelang. (Skripsi. Tidakdipublikasikan)

Jensen. (2010). Evaluating the ABC models ofrational emotive behaviour therapy theory: Ananalysis of the relationship between irrationalthinking and guilt (Thesis of Science inPsychology). The Faculty of DepartmentPsychology Villanova University, UnitedState. ProQuest LLC.

Keliat, B.A. (2006). Peran serta keluarga dalamperawatan klien gangguan jiwa. Jakarta: EGC.

Lazarus, A.A. (1992). Multimodal therapy:Technical eclecticism with minimalintegration. New York: Basic Books.

Lelono, S.K. (2011). Efektifitas cognitivebehaviour therapy dan rational emotivebehaviour therapy terhadap klien perilakukekerasan, halusinasi dan harga diri rendah di

RSMM Bogor (Tesis, Tidak dipublikasikan).Fakultas Ilmu Keperawatan UniversitasIndonesia, Jakarta.

NANDA. (2009). Nursing diagnoses: Definitions& classification 2009-2011. Philadelphia:NANDA International.

Putri, D.W. (2010) Pengaruh rational emotivebehaviour therapy (REBT) terhadap klienperilaku kekerasan di Rumah Sakit MarzoekiMahdi Bogor (Tesis, Tidak dipublikasikan).Fakultas Ilmu Keperawatan UniversitasIndonesia, Jakarta.

Sudiatmika, I.K. (2011). Pengaruh cognitivebehaviour therapy dan rational emotivebehaviour therapy pada perilaku kekerasandan halusinasi di Rumah Sakit MarzoekiMahdi Bogor (Tesis, Tidak dipublikasikan).Fakultas Ilmu Keperawatan UniversitasIndonesia, Jakarta.

Stuart, G.W., & Laraia, M.T. (2005). Principlesand practice of psychiatric nursing (8th Ed.).Missouri: Mosby, Inc.

Stuart, G.W. (2009). Principles and practice ofpsychiatric nursing (9th Ed.). Missouri:Mosby, Inc.

Townsend, M.C. (2005). Essentials of psychiatricmental health nursing (3rd Ed.). Philadelphia:F.A. Davis Company.

Townsend, M.C. (2009). Psychiatric mental healthnursing concepts of care in evidence-basedpractice (6th Ed.). Philadelphia: F.A. DavisCompany.

Videbeck, S.L. (2006). Psychiatric-mental healthnursing (4th Ed.). Philadelphia: LippincottWilliams & Wilkins.

Videbeck, S.L. (2008). Buku ajar keperawatanjiwa. Jakarta: EGC.

Jurnal Keperawatan Indonesia, Volume 18 No.3, November 2015, hal 149-156

pISSN 1410-4490, eISSN 2354-9203

KARAKTERISTIK SUBJEKTIF TIDUR KLIEN RAWAT INAP DEWASA

DI RUMAH SAKIT X DEPOK

Rahma Marfiani1*

, Hening Pujasari2

1. Program Studi Sarjana, Fakultas Ilmu Keperawatan, Universitas Indonesia, Depok 16424, Indonesia

2. Fakultas Ilmu Keperawatan, Universitas Indonesia, Depok 16424, Indonesia

*E-mail: [email protected]

Abstrak

Penelitian ini mengenai karakteristik subjektif tidur pada klien rawat inap dewasa di Rumah Sakit X Depok. Desain

penelitian ini deskriptif sederhana dengan pendekatan cross-sectional. Sampel yang terlibat berjumlah 72 pasien dengan

teknik pengambilan sampel consecutive sampling. Responden mengisi kuesioner berisi skala tidur Verran dan Snyder-

Halpern. Hasil penelitian didapatkan bahwa pasien mengalami gangguan tidur tingkat sedang (47,22%) hingga berat

(25%). Efektivitas tidur pasien juga hanya berada pada tingkat sedang (50%) hingga rendah (19,44%). Pasien juga

mensuplementasikan tidurnya dengan tingkatan sedang (38,88%) hingga tinggi (22%). Penelitian ini dapat digunakan

sebagai penelitian dasar untuk meneliti faktor-faktor yang memengaruhi pola tidur pasien rawat inap.

Kata kunci: karakteristik subjektif tidur, klien dewasa, rawat inap, skala tidur Verran dan Snyder-Halpern

Abstract

Sleeping Subjective Characteristics of Adult Patient at X Hospital Depok. This research explored subjective sleep

characteristics of hospitalized adult patients in X Hospital Depok. Simple descriptive design was used in this research.

Consecutive sampling was applied on this study involving 72 patients. Patients were asked to fill the questionnaire

about Verran and Snyder Halpern sleep scale (VSH Sleep Scale). Results showed that patients experienced sleep

disturbance with moderate levels (47,22%), moreover (25%) patients experienced severe sleep disturbance. Patients

felt that sleep effectiveness in moderate levels (50%), moreover (19,44%) patients felt that sleep effectiveness only in

low levels. Sleep supplementation also experienced by patients with moderate levels (38,88%), moreover (22%) patients

experienced sleep supplementation in high levels. This research can be used as a pilot study to find out factors that

affecting how patients sleep in the hospital environment.

Keywords: adult patients, hospitalized, subjective sleep characteristics, VSH Sleep Scale

Pendahuluan

Tidur merupakan salah satu kebutuhan dasar yang

juga penting bagi kelangsungan hidup manusia.

Seseorang yang sedang sakit dan dirawat di rumah

sakit atau fasilitas pelayanan kesehatan lainnya

sering kali dihadapkan pada dua keadaan yang

berlawanan, yaitu di satu sisi individu yang sakit

tersebut mengalami peningkatan kebutuhan tidur

(Crisp & Taylor, 2001). Di sisi lain pola tidur

seseorang yang masuk dan dirawat di rumah

sakit akan dengan mudah terganggu (DeLaune

& Ladner, 2011). Hal ini sangat disayangkan

karena kekurangan tidur secara potensial dapat

mengganggu sistem pertahanan tubuh seseorang,

sehingga pemenuhan kebutuhan tidur yang adekuat

harus tercapai pada tahap penyembuhan penyakit. Menurut Benca dan Quintans (1997) seseorang

yang kurang tidur akan berdampak secara tidak

langsung pada sistem pertahanan tubuhnya. Sel

natural killer, yaitu salah satu komponen pada

sistem pertahanan non spesifik tubuh yang beres-

pon untuk mengatasi stres akut, akan menurun

jumlahnya seiring dengan kurangnya kualitas dan

kuantitas tidur (Wright, Erblich, Valdimarsdottir,

& Bovbjerg, 2007).

Pola tidur seseorang yang dirawat di rumah sakit

akan mudah terganggu oleh berbagai macam

faktor, seperti lingkungan rumah sakit yang baru

Jurnal Keperawatan Indonesia, Vol. 18, No. 3, November 2015, hal 149-156

150

ditempati, penyakit yang dideritanya, tingkat

stres, dan lain-lain. Perubahan pola tidur seseorang

ditandai dengan buruknya karakteristik tidur yang

hanya dirasakan oleh orang tersebut dan lebih

lanjut lagi akan menimbulkan gangguan tidur.

Gangguan tidur menurut pendapat para ahli dapat

dikaitkan dengan penurunan fungsi imun sese-

orang, perubahan status mental, dan peningkatan

tingkat stres (Meerlo, Sgoifo, & Suchecki, 2008).

Efek negatif tersebut dapat mengganggu proses

penyembuhan pada klien dewasa yang sedang

dirawat di ruang rawat akut rumah sakit (Patel,

Chipman, Carlin, & Shade, 2008). Penelitian

terhadap pasien dewasa di Amerika menemukan

bahwa gangguan tidur memengaruhi proses

penyembuhan seseorang dari penyakit (Doering,

McGuire, & Rourke, 2002; Redeker, Ruggiero,

& Hedges, 2004).

Karakteristik tidur yang dirasakan oleh pasien

terdiri dari beberapa komponen. Menurut kerangka

konsep taksonomi Snyder-Halpern dan Verran

(1987) bahwa ada tiga komponen karakteristik

subjektif tidur, yaitu komponen gangguan tidur,

efektivitas tidur, dan suplementasi tidur (Hum-

phries, 2008). Komponen gangguan pada tidur

terdiri dari tujuh komponen, yaitu terbangun di

sela-sela waktu tidur, terbangun saat hendak me-

mulai tidur, pergerakan saat tidur, kedalaman

tidur, latensi tidur, kualitas latensi tidur, dan

kualitas gangguan tidur. Komponen efektivitas

tidur memiliki lima karakteristik, yaitu perasaan

lelah saat sudah terjaga, kualitas tidur yang dirasa

oleh klien, total periode tidur, total waktu tidur,

dan evaluasi kecukupan tidur. Komponen supple-

mentasi tidur terdiri dari empat karakteristik,

yaitu terbangun setelah sadar sepenuhnya, tidur

di siang hari, pagi hari, dan sore hari.

Penelitian terkait mengenai angka kejadian dan

karakteristik subjektif tidur pada klien dewasa

yang dilakukan di Rumah Sakit Amerika Serikat

mengungkapkan bahwa sebagian besar subjek

penelitian melaporkan telah mengalami gangguan

tidur berat, efektivitas tidur yang rendah, dan

suplementasi tidur tingkat sedang (Humphries,

2008). Indonesia sendiri belum ada penelitian yang

meneliti karakteristik subjektif tidur pada klien

dewasa seperti penelitian yang telah disebutkan di

atas. Berdasarkan hal tersebut, maka peneliti

tertarik untuk meneliti lebih lanjut mengenai

karakteristik subjektif tidur pada klien rawat

inap dewasa di Rumah Sakit X Depok.

Metode

Penelitian ini menggunakan desain penelitian

deskriptif sederhana. Sampel penelitian berjumlah

72 pasien yang ditentukan dengan menggunakan

teknik consecutive sampling. Pengumpulan data

dilakukan dengan menggunakan kuesioner yang

berisi 10 pertanyaan mengenai karakteristik res-

ponden dan 15 pernyataan yang berisi VSH

Sleep Scale. Pernyataan yang ada di kuesioner

berjumlah 15 terdiri dari 7 pernyataan yang

menggambarkan komponen gangguan tidur, 5

pernyataan menggambarkan komponen efektivitas

tidur, dan 4 pernyataan lainnya menggambarkan

komponen suplementasi tidur yang dialami res-

ponden saat mencoba untuk tidur malam hingga

terjaga di pagi harinya. Pernyataan yang ada di

kuesioner sejumlah 15, namun karakteristik yang

harus diukur ada 16. Karakteristik keenam belas

akan diukur dengan cara menjumlahkan pernya-

taan nomor 1 dan 2.

Kuesioner ini menggunakan visual analogue scale

(VAS), yaitu rentang 0–100 dari sebelah kiri ke

kanan, dinyatakan dalam suatu garis, yang akan

direfleksikan ke dalam kertas millimeter blocks

sepanjang 10 cm. Kuesioner ini juga sudah baku

dalam Bahasa Inggris, lalu diterjemahkan ke

dalam Bahasa Indonesia dan dinyatakan valid serta

reliabel. Nilai alpha cronbach untuk kuesioner ini

terbagi menjadi 3, disebabkan tiap komponen

karakteristik subjektif tidur tidak dapat digabung

satu sama lain. Komponen gangguan tidur me-

miliki nilai alpha cronbach sebesar 0,77, untuk

komponen efektivitas tidur sebesar 0,69, sedangkan

yang terakhir untuk komponen suplementasi tidur

nilai alpha cronbach yang dihasilkan yaitu 0,6,

sehingga kuesioner ini dinyatakan reliabel.

Polit dan Beck (2008) menjelaskan bahwa terdapat

tiga acuan utama mengenai etika penelitian, yaitu

prinsip manfaat (beneficence), prinsip menghor-

mati harkat dan martabat orang lain (respect of

human dignity), dan prinsip keadilan (justice).

Marfiani, et al., Karakteristik Subjektif Tidur Klien Rawat Inap Dewasa

151

Prosedur pengumpulan data dilakukan dengan

cara prosedur administrasi yang diawali dengan

izin pengambilan data awal dan izin penelitian.

Pengolahan data dilakukan dengan empat tahap,

yaitu editing, coding, processing, cleaning. Setelah

melakukan pengolahan data, dilakukan analisis

data. Penelitian ini menggunakan analisis univariat

dengan menyajikan distribusi frekuensi dan

ditampilkan dalam bentuk tabel.

Hasil

Karakteristik Responden. Pada Tabel 1 didapat-

kan bahwa rerata usia klien dewasa yang rawat

inap di rumah sakit yaitu 35 tahun dengan standar

deviasi sebesar 11,55. Hasil pengakuan responden

mengenai jam tidurnya saat masih di rumah yaitu

didapatkan rerata sebesar 8 jam dengan standar

deviasi 1,69. Nilai tengah lama hari rawat klien

dewasa di rumah sakit yaitu selama 3 hari dengan

rentang lama hari rawat minimal 1 hari dan yang

paling lama yaitu 9 hari.

Pada Tabel 2 didapatkan bahwa perbandingan

jenis kelamin responden yang mengikuti penelitian

ini yaitu hampir seimbang antara laki-laki dan

perempuan, terdiri dari perempuan 37 orang

(51,4%) sedangkan laki-laki 35 orang (48,6%).

Pasien rawat inap di rumah sakit cenderung lebih

banyak yang bekerja tanpa shift yaitu berjumlah

20 orang (27,8%), meskipun demikian banyak

pula yang memiliki pekerjaan dengan metode

shift sebesar 17 orang (23,6%). Status perkawinan

responden didominasi dengan status menikah

berjumlah 47 orang (65,3%). Pasien cenderung

dirawat di rumah sakit karena diagnosis medis

yang dikelompokan pada penyakit dalam non-

infeksius, yaitu berjumlah 54 orang (75%).

Mayoritas responden dalam penelitian ini menga-

ku memiliki kebiasaan sebelum tidur saat masih

di rumah yaitu berjumlah 43 orang (59,7%).

Pasien juga banyak yang mengaku mengalami

gangguan tidur saat dirawat di rumah sakit dengan

jumlah 46 orang (63,9%). Daftar pemberian obat

yang dimiliki oleh setiap pasien yang didominasi

dengan pasien yang tidak sedang menggunakan

obat tidur dengan jumlah 67 orang (93,1%). Ter-

dapat pula pasien yang sedang menggunakan

obat tidur sebanyak 5 orang (6,9%). Sebanyak

59,7% pasien yang memiliki kebiasaan tidur saat

masih di rumah, didominasi dengan menonton

TV sebagai kebiasaan sebelum tidurnya sebesar

33 orang (76,74%). Sebanyak 63,9% pasien yang

memiliki gangguan tidur di rumah sakit, didomi-

nasi dengan masalah yang terkait lingkungan

ruang rawat inap sebesar 30 pasien (65,22%).

Karakteristik Subjektif Tidur Pasien. Hasil

penelitian menunjukan bahwa klien dewasa di

rumah sakit berada pada kategori sedang untuk

semua komponen karakteristik subjektif tidur.

Pada Tabel 3 didapatkan bahwa gangguan tidur

yang terjadi pada pasien berada pada tingkat

sedang yaitu sebanyak 34 orang (47,22%), mes-

kipun demikian terjadi pula gangguan tidur berat

sebanyak 18 orang (25%) atau seperempatnya

dari jumlah sampel yang ada. Efektivitas tidur

yang diharapkan berada pada posisi tinggi tidak

tercapai pada klien dewasa di rumah sakit. Pasien

yang hanya mendapatkan efektivitas tidur tingkat

tinggi sebanyak 22 orang (30,56%), sedangkan

yang banyak dicapai oleh pasien yaitu efektivitas

tidur tingkat sedang sebanyak 36 orang (50%).

Lebih banyak pasien yang mengalami suplemen-

tasi tidur tingkat sedang sebesar 28 orang (38,88%).

Suplementasi tidur ini seharusnya hanya berada

pada tingkat rendah, akan tetapi terjadi pula

suplementasi tidur tinggi pada 22 orang pasien

di rumah sakit (30,56%).

Pada Tabel 4 didapatkan bahwa klien dewasa di

rumah sakit sering sekali mengalami gangguan

tidur khususnya terbangun di sela-sela tidurnya

pada malam hari. Hal ini dapat dilihat dari

rerata yang cukup tinggi dicapai yaitu sebesar

72,60 dari rentang 0–100. Banyak pasien yang

sering bergerak saat tidur rerata sebesar 60,53

dari rentang 0–100. Kedalaman tidur pasien

selama dirawat inap di rumah sakit terbilang hanya

berada pada tingkat sedang yaitu reratanya

sebanyak 59,74 dari rentang 0–100.

Efektivitas tidur klien dewasa di rumah sakit

secara umum berada pada tingkat sedang, yang

sebaiknya berada pada tingkat tinggi. Durasi

total tidur yang didapat oleh pasien rerata

sebesar 54,61 dari rentang 0-100, yang berarti

Jurnal Keperawatan Indonesia, Vol. 18, No. 3, November 2015, hal 149-156

152

hanya 5,46 jam durasi total tidur klien dewasa

di rumah sakit. Penafsiran ini didapat karena ada

beberapa rentang garis pada kuesioner yang dapat

direfleksikan sebagai suatu waktu, yaitu dari 0–10

jam. Hal tersebut ternyata tidak seimbang dengan

pencapaian periode total tidur pasien yaitu

rerata sebesar 73,43 dari rentang 0–100, artinya

klien dewasa yang rawat inap di rumah sakit

rerata memiliki periode total tidur sebanyak 7,34

jam.

Klien dewasa yang mengalami kekurangan tidur

pasti akan mengganti waktu tidurnya di lain

waktu, seperti di waktu pagi, siang, ataupun sore

hari. Hal tersebut disebut dengan suplementasi

tidur. Suplementasi tidur secara umum pada klien

dewasa di rumah sakit reratanya berada pada

tingkat sedang. Meskipun demikian suplementasi

tidur yang paling banyak terjadi yaitu saat di pagi

hari dengan rerata sebesar 56,67 dari rentang 0–

100, yang berarti pasien rerata menghabiskan

waktu tidur di pagi hari sebanyak 5,7 jam.

Tabel 1. Karakteristik Klien Rawat Inap Dewasa di Rumah Sakit Berdasarkan Usia, Lama Hari Rawat, dan

Jam Tidur di Rumah

Variabel Mean Median Standar Deviasi Min-Maks Mean Difference

(CI 95%)

Usia 34,99 32 11,55 18-55 32,27-37,70

Lama Hari Rawat 3,26 3 1,78 1-9 2,85-3,68

Jam Tidur di Rumah 7,68 7,75 1,69 1-13 7,28-8,08

Tabel 2. Klien Rawat Inap Dewasa di Rumah Sakit Berdasarkan Jenis Kelamin, Pekerjaan, Status

Perkawinan, Diagnosis Medis, Kebiasaan Sebelum Tidur di Rumah, Masalah Tidur di RS, dan

Penggunaan Obat Tidur

Data Demografi Kategori Frekuensi Persentase (%)

Jenis Kelamin Perempuan

Laki-Laki

37

35

51,4

48,6

Pekerjaan Pelajar/mahasiswa

Bekerja tanpa shift

Bekerja dengan shift

Pensiun

Tidak bekerja

6

20

17

0

29

8,3

27,8

23,6

0

40,3

Status Perkawinan Belum menikah

Menikah

Janda/duda

20

47

5

27,8

65,3

6,9

Diagnosis Medis Penyakit dalam non-infeksius

Penyakit dalam infeksius

Penyakit bedah

54

6

12

75,0

8,3

16,7

Kebiasaan Sebelum Tidur di

Rumah

Tidak ada kebiasaan

Ada kebiasaan

29

43

40,3

59,7

Masalah Tidur di RS Tidak ada masalah tidur

Ada masalah tidur

26

46

36,1

63,9

Penggunaan Obat Tidur Tidak menggunakan obat tidur

Menggunakan obat tidur

67

5

93,1

6,9

Marfiani, et al., Karakteristik Subjektif Tidur Klien Rawat Inap Dewasa

153

Tabel 3. Karakteristik Subjektif Tidur Klien Rawat Inap Dewasa di Rumah Sakit

Karakteristik Subjektif Tidur Kategori Frekuensi Persentase (%)

Gangguan Tidur Ringan

Sedang

Berat

20

34

18

27,78

47,22

25

Efektivitas Tidur Rendah

Sedang

Tinggi

14

36

22

19,44

50

30,56

Suplementasi Tidur Rendah

Sedang

Tinggi

22

28

22

30,56

38,88

30,56

Tabel 4. Nilai Rerata Semua Pernyataan Karakteristik Subjektif Tidur pada Klien Rawat Inap Dewasa di

Rumah Sakit

Sub Variabel Karakteristik Subjektif Tidur Mean Standar

Deviasi Min-Maks

Gangguan Tidur:

a. Terbangun di sela-sela waktu tidur 72,60 26,96 0–100

b. Terjaga saat sudah mulai mengantuk 18,75 32,09 0–100

c. Pergerakan saat tidur 60,53 36,42 0–100

d. Kedalaman tidur 59,74 39,87 0–100

e. Kualitas gangguan tidur 43,68 37,15 0–100

f. Latensi tidur 38,21 38,07 0–100

g. Kualitas latensi tidur 48,67 38,02 0–100

Efektivitas Tidur:

a. Perasaan lelah saat sudah terjaga 40,94 37,86 0–100

b. Kualitas tidur yang dirasa oleh pasien 57,86 34,65 0–100

c. Evaluasi kecukupan tidur 53,94 40,94 0–100

d. Total waktu tidur 54,61 32,56 0–100

e. Periode total tidur 73,43 37,91 0–200

Suplementasi Tidur:

a. Tidur pada rentang pagi hingga sore hari 34,17 32,68 0–100

b. Tidur di pagi hari 56,67 42,29 0–100

c. Tidur di sore hari 49,35 41,68 0–100

d. Waktu terjaga setelah sadar sepenuhnya 50,19 41,56 0–100

Pembahasan

Karakteristik responden yang dibahas pada pe-

nelitian ini meliputi usia, jam tidur pasien saat

masih di rumah, lama hari rawat pasien, jenis

kelamin, pekerjaan, status perkawinan, diagnosis

medis, masalah tidur di rumah sakit, kebiasaan

sebelum tidur di rumah, dan penggunaan obat

tidur. Hasil penelitian didapatkan bahwa rerata

usia klien dewasa di RS X Depok yaitu 35

tahun, dengan rentang 18–55 tahun. Jam tidur

pasien saat masih di rumah dengan reratanya

sebesar 7,7 jam per hari. Lama hari rawat pasien

rerata sebanyak 3 hari. Rerata jenis kelamin

pasien hampir sama jumlahnya antara laki-laki

dan perempuan. Mayoritas pekerjaan pasien yaitu

bekerja tanpa shift, meskipun demikian jumlah

pekerja dengan shift cukup banyak pula. Hal ini

dapat memengaruhi pola tidur pasien. Kebanyakan

status perkawinan pasien yaitu berstatus menikah,

akan tetapi jumlah pasien yang masih sendiri

serta yang berstatus janda/duda cukup banyak

Jurnal Keperawatan Indonesia, Vol. 18, No. 3, November 2015, hal 149-156

154

pula. Menurut Humphries (2008) seseorang yang

berstatus sudah menikah namun sekarang hidup

sendiri ataupun seseorang yang dari sejak awal

sudah hidup sendirian, mungkin akan mengalami

stres yang berdampak pada pengurangan efektivitas

tidurnya.

Mayoritas klien dewasa di RS X Depok dirawat

inap karena diagnosis medis yang digolongkan

pada penyakit dalam non-infeksius. Sebanyak

setengah lebih jumlah sampel di RS X Depok

menyatakan dirinya selalu melakukan kebiasaan

sebelum tidur, yang rerata dilakukan yaitu

menonton TV. Klien dewasa di RS X Depok

banyak yang mengeluhkan adanya masalah tidur

saat dirawat inap di rumah sakit tersebut. Tiga

jenis masalah tidur yang dialami pasien secara

berturut-turut yaitu masalah tidur terkait ling-

kungan, penyakit fisik, dan stres emosional.

Masalah lingkungan disini yaitu terkait dengan

suhu ruang rawat inap yang panas. Perawat

pelaksana secara subjektif juga mengatakan

hal yang serupa seperti yang pasien rasakan

tersebut. Karakteristik responden yang terakhir

yaitu penggunaan obat tidur. Hasil analisis uni-

variat tentang penggunaan obat tidur didominasi

dengan pasien yang tidak sedang menggunakan

obat tidur, akan tetapi terdapat pula beberapa

pasien yang sedang menggunakan obat tidur.

Pembahasan selanjutnya yaitu mengenai karak-

teristik subjektif tidur klien dewasa di RS X

Depok. Komponen yang pertama yaitu gangguan

tidur. Keseluruhan komponen gangguan tidur

pada karakteristik subjektif tidur menunjukkan

bahwa klien dewasa di ruang rawat inap RS X

Depok mengalami gangguan tidur tingkat sedang

(47,22%), akan tetapi terdapat (25%) pasien yang

mengalami gangguan tidur berat. Hal tersebut

tidak seharusnya terjadi, meskipun seseorang

yang masuk dan di rawat di rumah sakit pasti

akan mengalami perubahan pola tidur (DeLaune

& Ladner, 2011), namun diharapkan hanya berada

pada tingkatan yang rendah saja. Gangguan tidur

pada tingkatan sedang berarti gangguan tidur

tersebut telah cukup dirasa mengganggu oleh

pasien. Hal ini akan memicu terjadinya gangguan

tidur akut yang selanjutnya akan mengganggu

proses penyembuhan pasien tersebut.

Gangguan tidur menurut pendapat para ahli

dapat dikaitkan dengan penurunan fungsi imun

seseorang, perubahan status mental, dan peningkat-

an tingkat stres (Meerlo, et al., 2008). Efek negatif

tersebut dapat mengganggu proses penyembuhan

pada klien dewasa yang sedang dirawat di ruang

rawat akut rumah sakit (Patel, et al., 2008).

Penelitian terhadap pasien dewasa di Amerika

menemukan bahwa gangguan tidur memengaruhi

proses penyembuhan seseorang dari penyakit

(Doering, et al., 2002; Redeker, et al., 2004).

Hal ini seharusnya sangat dihindari terjadi pada

suatu rumah sakit, karena dapat memperpanjang

masa penyembuhan pasien yang berarti memper-

panjang proses rawat inap pasien (Patel, et al.,

2008). Proses rawat inap yang memanjang dan

berlarut-larut akan memperburuk mutu pelayanan

rumah sakit tersebut.

Komponen karakteristik subjektif tidur yang

kedua yaitu efektivitas tidur. Secara keseluruhan

semua komponen karakteristik efektivitas tidur

berada pada tingkatan sedang. Akan tetapi, adanya

gap/jarak antara total waktu tidur pasien dengan

periode total tidur, menandakan pasien tidak

langsung tidur saat sudah mengantuk. Penyebab-

nya mungkin adalah faktor-faktor yang dibahas

pada karakteristik responden seperti faktor ling-

kungan, penyakit fisik, stres emosional, dan

lain-lain. Seperti yang telah diketahui penyebab

tertinggi masalah tidur pada klien dewasa di

RS X Depok adalah suhu ruang rawat inap yang

panas, hal itulah yang menjadi alasan mengapa

pasien tidak langsung tertidur meskipun sudah

mengantuk. Hal inilah yang menyebabkan kom-

ponen efektivitas tidur pasien hanya berada pada

tingkatan sedang (50%), yang sebaiknya berada

pada tingkatan tinggi. Pasien yang hanya menda-

pat efektivitas tidur yang tinggi sebesar (30,56%)

saja.

Komponen karakteristik subjektif tidur yang

terakhir yaitu suplementasi tidur. Suplementasi

tidur merupakan kegiatan dalam mengganti waktu

tidur malam seseorang di waktu pagi hingga sore

hari. Seorang individu yang mengalami keku-

rangan tidur tahap REM akan tertidur pada pagi

harinya, sebagai tambahan waktu tidurnya yang

kurang di malam hari. Hal tersebut karena menurut

Marfiani, et al., Karakteristik Subjektif Tidur Klien Rawat Inap Dewasa

155

Hayter (1980) tahap REM lebih banyak jumlah

durasinya saat tidur di pagi hari (Humphries

2008). Menurut teori dari Patel dan Gupta (2008)

bahwa pasien yang sering terbangun di malam

hari membutuhkan waktu tidur di siang hari

sebagai kompensasi waktu total tidurnya yang

kurang. Lebih lanjut dikemukakan bahwa tidur

pada sore hari terjadi pada individu yang menga-

lami kekurangan tidur tahap NREM 3. Pasien di

RSUD Depok yang berada pada tahap perkem-

bangan dewasa dan terbukti tidak terlalu dalam

tidurnya sudah pasti membutuhkan waktu tidur

pengganti di pagi hari.

Klien dewasa di RS X Depok sudah mampu

dalam tingkatan sedang untuk mensuplementasi-

kan waktu tidur malamnya yang kurang dengan

waktu tidur pada pagi hari. Seluruh komponen

pada suplementasi tidur klien dewasa di RSUD

Depok berada pada tingkatan sedang (38,88%),

akan tetapi terdapat (30,56%) pasien yang menga-

lami tingkat kejadian suplementasi tidur yang

tinggi. Hal ini seharusnya tidak terjadi, apabila

pasien telah cukup waktu tidurnya di malam

hari. Pola tidur pasien kenyataanya tidak adekuat

dalam hal kuantitas maupun kualitasnya, sehingga

salah satu cara untuk menutupi kekurangan terse-

but adalah dengan mengganti waktu tidur malam

dengan waktu-waktu lain dari rentang pagi hingga

sore hari. Bila suplementasi tidur yang dibutuhkan

oleh pasien untuk mengganti waktu tidurnya di

malam hari tidak didapatkan, maka pasien tersebut

akan sangat mengalami kekurangan waktu tidur,

yang akan selalu berujung pada kejadian gangguan

tidur. Lebih lanjut lagi, gangguan tidur tersebut

akan memperlama proses penyembuhan pasien

serta memperpanjang masa perawatan pasien di

rumah sakit tersebut (Patel, et al., 2008). Proses

rawat inap yang memanjang dan berlarut-larut

akan memperburuk mutu pelayanan rumah sakit

tersebut. Hal tersebut tentunya sangatlah dihindari

oleh pihak rumah sakit.

Kesimpulan

Klien dewasa di RS X Depok rerata berusia 35

tahun, dengan perbandingan jenis kelamin

antara laki-laki dan perempuan yaitu hampir sama

jumlahnya, mayoritas berstatus sudah menikah,

namun didominasi dengan status pekerjaan tidak

bekerja. Pasien saat masih di rumah rerata tidur

malam selama 8 jam, yang didahului dengan

kebiasaan sebelum tidur yaitu mayoritas menonton

TV. Pasien masuk dan dirawat di RSUD Depok

rerata karena diagnosis medis penyakit dalam

non-infeksius, dengan rerata lama hari rawat-nya

sebesar 3 hari, mayoritas pasien tidak sedang

menggunakan obat tidur, dan pasien mengaku

mengalami gangguan tidur khususnya gangguan

tidur karena lingkungan yang panas di ruang

rawat inap RS X Depok.

Klien dewasa di RS X Depok mengalami gangguan

tidur dengan tingkatan sedang (47,22%), lebih

lanjut lagi ternyata terdapat beberapa pasien

(25%) yang mengalami gangguan tidur berat.

Klien dewasa di RS X Depok mengalami efek-

tivitas tidur dengan tingkatan sedang (50%), lebih

lanjut lagi ternyata terdapat beberapa pasien

(19,44%) yang hanya mengalami efektivitas

tidur rendah. Klien dewasa di RSUD Depok

mengalami suplementasi tidur dengan tingkatan

sedang (38,88%), lebih lanjut lagi ternyata ter-

dapat beberapa pasien (22%) yang mengalami

suplementasi tidur tinggi.

Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan

sebagai penelitian dasar bagi penelitian kepera-

watan selanjutnya yang berkaitan dengan tidur

pasien di rumah sakit, seperti mengenai faktor-

faktor yang memengaruhi tidur pasien rawat

inap di rumah sakit terkait karakteristik demografi

pasien, serta angka kejadian berbagai jenis gang-

guan tidur pada pasien rawat inap di rumah sakit.

Penelitian ini juga dapat menjadi rencana edukasi

dan terapi dengan tujuan untuk meningkatkan

kualitas dan kuantitas tidur pasien rawat inap,

salah satunya dengan modifikasi lingkungan,

mengajarkan teknik relaksasi dan pijat, serta

kolaborasi dengan pihak manajemen sarana dan

prasarana di RS X Depok untuk menyediakan

AC di ruang rawat inap dan TV (MR, YU, AR).

Referensi Benca, R.M., & Quintans, J. (1997). Sleep and host

defenses: A review. Sleep, 20 (11), 1027–

1037.

Jurnal Keperawatan Indonesia, Vol. 18, No. 3, November 2015, hal 149-156

156

Crisp, J. & Tailor, C. (2001). Potter and perry’s

fundamentals of nursing. Sidney: Mosby.

DeLaune, S.C., & Ladner, P.K. (2011).

Fundamentals of nursing: Standards &

practice. (4th Ed.). USA: Thomson Learning,

Inc.

Doering, L.V., McGuire, A.W., & Rourke, D.

(2002). Recovering from cardiac surgery:

What patients want you to know. American

Journal of Critical Care, 11 (4), 333–343.

Humphries, J.D. (2008). Sleep disruption in

hospitalized adults. Medsurg Nursing, 17

(6), 391–395.

Meerlo, P., Sgoifo, A., & Suchecki, D. (2008).

Restricted and disrupted sleep: Effects on

autonomic function, neuroendocrine stress

systems and stress responsivity. Sleep

Medicine Reviews, 12 (3), 197–210.

Patel, M., Chipman, J., Carlin, B., & Shade, D.

(2008). Sleep in the intensive care unit setting.

Critical Care Nursing Quarterly, 31, 309–318.

Patel, P., & Gupta, R. (2008). Quality of sleep in

hospitalized patients. Medicine and Health

Rhode Island, 91 (11), 346–346.

Polit, D.F., & Beck, C.T. (2008). Nursing

research: generating and assessing evidence

for nursing practice. (8th Ed.). Philadelphia:

Lippincott Williams & Wilkins.

Redeker, N.S., Ruggiero, J.S., & Hedges, C.

(2004). Sleep is related to physical function

and emotional well-being after cardiac

surgery. Nursing Research, 53 (3), 154–162.

Wright, C.E., Erblich, J., Valdimarsdottir, H.B., &

Bovbjerg, D.H. (2007). Poor sleep the night

before an experimental stressor predicts

reduced NK cell mobilization and slowed

recovery in healthy women. Brain,

Behavior, and Immunity, 21 (3), 358–363.

Jurnal Keperawatan Indonesia, Volume 18 No.3, November 2015, hal 157-166

pISSN 1410-4490, eISSN 2354-9203

KEPATUHAN DAN KOMITMEN KLIEN SKIZOFRENIA MENINGKAT

SETELAH DIBERIKAN ACCEPTANCE AND COMMITMENT THERAPY

DAN PENDIDIKAN KESEHATAN KEPATUHAN MINUM OBAT

Jek Amidos Pardede1,2*, Budi Anna Keliat3, Ice Yulia3

1. Universitas Sari Mutiara Indonesia, Medan 20123, Indonesia

2. Program Studi Magister, Fakultas Ilmu Keperawatan, Universitas Indonesia, Depok 16424, Indonesia

3. Fakultas Ilmu Keperawatan, Universitas Indonesia, Depok 16424, Indonesia

*E-mail: [email protected]

Abstrak

Masalah keperawatan skizofrenia terbanyak adalah risiko perilaku kekerasan, halusinasi, dan harga diri rendah, dengan

55% mengalami kekambuhan karena tidak patuh minum obat. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh

Acceptance and Commitment Therapy (ACT) dan pendidikan kesehatan kepatuhan minum obat terhadap gejala,

kemampuan menerima dan berkomitmen klien skizofrenia. Penelitian ini menggunakan desain quasi eksperimental pre-

posttest with control group, dengan jumlah sampel 90 orang klien skizofrenia yang dibagi menjadi 3 kelompok. Hasil

penelitian ini ditemukan penurunan gejala risiko perilaku kekerasan, halusinasi dan harga diri rendah serta peningkatan

kemampuan menerima dan berkomitmen pada pengobatan dan kepatuhan klien skizofrenia yang mendapatkan ACT dan

pendidikan kesehatan kepatuhan minum obat lebih besar secara bermakna dibandingkan kelompok yang hanya

mendapatkan terapi ACT (p< 0,05). Terapi ACT dan pendidikan kesehatan kepatuhan minum obat direkomendasikan

sebagai terapi keperawatan klien skizofrenia dengan risiko perilaku kekerasan, halusinasi dan harga diri rendah.

Kata Kunci: Acceptance and Commitment Therapy (ACT), pendidikan kesehatan kepatuhan minum obat, skizofrenia

Abstract

Compliance and Commitment to Clients Schizophrenia Increased After Given Acceptance and Commitment Therapy

(ACT) and Education Health Medication Adherence. Schizophrenia nursing problems most commonly found is the

risk of violent behavior, hallucinations, and low self esteem. Found 55% of client risk violent behavior, hallucinations,

and low self-esteem who have a relapse and medication adherence. This study aims to obtain the effects Acceptance and

Commitment Therapy and Health Education adherence to symptoms, ability to accept and commit to treatment and

compliance in schizophrenia clients Mental Hospital of Medan, North Sumatra. This research design quasi-

experimental pre-test post-test with control group. This sampling technique was purposive sampling, where the sample

is 90 clients with schizophrenia, 30 the intervention group were given Acceptance and Commitment Therapy and

medication adherence health education, intervention group were given 30 Acceptance and Commitment Therapy and 30

control group. Results of this study found a reduction in symptoms risk of violent behavior, hallucinations, and low self-

esteem and increased ability to accept and commit to the treatment of schizophrenia and compliance client who gets

Acceptance and Commitment Therapy and health education medication adherence was significantly greater than the

group that only get Acceptance and Commitment Therapy (p< 0,05). Acceptance and commitment therapy and

medication adherence health education recommended as a therapeutic nursing and therapy support advanced nursing

care for clients in the risk of schizophrenia with violent behavior, hallucinations, and low self esteem.

Keywords: Acceptance and Commitment Therapy (ACT), health education medication adherence, schizophrenia

Pendahuluan

Skizofrenia adalah sekelompok reaksi psikotik

yang memengaruhi berbagai area fungsi individu,

termasuk berpikir, berkomunikasi, menerima,

menginterpretasikan realitas, merasakan dan me-

nunjukkan emosi (Isaacs, 2005). Rhoads (2011)

menambahkan definisi skizofrenia yaitu penyakit

kronis, parah, dan melumpuhkan, gangguan otak

yang ditandai dengan pikiran kacau, waham,

halusinasi, dan perilaku aneh.

Jurnal Keperawatan Indonesia, Vol. 18, No. 3, November 2015, hal 157-166 158

Prevalensi skizofrenia diperkirakan 0,2% mening-

kat menjadi 1,5% setara untuk pria dan wanita

di semua tingkatan usia (Buchanan & Carpenter,

2005 dalam Barlow & Durand, 2011). National

Institute of Mental Health (2008, dalam Shives,

2012), mengatakan 2–4 juta orang, atau 1,1% dari

populasi di bumi menderita skizofrenia atau

gangguan yang mirip dengan skizofrenia yang

merusak kesadaran diri bagi banyak individu tapi

mereka tidak menyadari bahwa mereka sakit dan

membutuhkan pengobatan. Statistik menunjukkan

sekitar 40% jiwa (1,0 juta jiwa) tidak menerima

perawatan psikiatri yang menyebabkan terjadinya

tuna wisma, penahanan atau kekerasan.

Klien skizofrenia 70% mengalami halusinasi

(Stuart, 2009). Halusinasi merupakan keadaan

seseorang mengalami perubahan dalam pola dan

jumlah stimulasi yang diprakarsai secara internal

atau eksternal di sekitar dengan pengurangan,

berlebihan, distorsi, atau kelainan berespon ter-

hadap setiap stimulus (Townsend, 2009). Hal ini

juga didukung oleh Fontaine (2009), menyatakan

halusinasi dengar merupakan gejala skizofrenia

yang paling sering dijumpai mencakup 50–80%

dari keseluruhan halusinasi. Halusinasi dapat

menjadi suatu alasan mengapa klien melakukan

tindakan perilaku kekerasan karena suara-suara

yang memberinya perintah sehingga rentan me-

lakukan perilaku yang tidak adaptif. Perilaku

kekerasan merupakan respon maladaptif dari

kemarahan, hasil dari kemarahan yang ekstrim

atau panik. Perilaku kekerasan yang timbul pada

klien skizofrenia diawali dengan adanya perasaan

tidak berharga, takut, dan ditolak oleh lingkungan

sehingga individu akan menyingkir dari hubungan

interpersonal dengan orang lain (Stuart, 2009).

Klien skizofrenia sering juga mengalami ke-

kambuhan karena kekambuhan adalah keadaan

penyakit setelah berada pada periode pemulihan

yang disebabkan tiga faktor yaitu: aspek obat,

aspek pasien, dan aspek keluarga (Wardani,

Hamid, & Wiarsih, 2009). Klien menghentikan

pengobatan karena merasa pengobatan sudah tidak

diperlukan. Kegagalan dan ketidakpatuhan dalam

meminum obat sesuai program adalah alasan

paling sering dalam kekambuhan skizofrenia

dan kembali masuk rumah sakit. Penyebab klien

skizofrenia tidak teratur meminum obat yaitu

karena adanya gangguan realitas dan ketidak-

mampuan mengambil keputusan, dan hospitalisasi

yang lama memberi konsekuensi kemunduran

pada klien (ditandai dengan hilangnya motivasi

dan tanggung jawab, apatis, menghindar dari

kegiatan dan hubungan sosial, kemampuan dasar

sering terganggu, seperti perawatan mandiri dan

aktifitas hidup seharian) (Wardani, et al., 2009).

Oleh karena itu, perlu tindakan keperawatan yang

komprehensif untuk menangani klien skizofrenia

ini.

Beberapa penelitian telah dilakukan untuk me-

nurunkan gejala perilaku kekerasan Pemberian

Cognitive Behavior Therapy (CBT) pada klien

skizofrenia dengan perilaku kekerasan dapat

meningkatkan kemampuan kognitif dan perilaku

klien (Wahyuni, 2010). Hasil penelitian lain me-

nunjukkan adanya perbedaan penurunan tanda

dan gejala klien perilaku kekerasan yang bermakna

setelah diberikan CBT dan Rational Emotive

Behavior Therapy (REBT) (Sudiatmika, Keliat,

& Wardani, 2011). Penelitian menggunakan

Acceptance and Commitment Therapy (ACT)

sangat efektif dalam menciptakan penerimaan,

perhatian dan lebih terbuka dalam mengembang-

kan kemampuan yang dimiliki klien skizofrenia

(Hayes & Smith, 2005); dengan menurunkan

gejala perilaku marah dan kekerasan (Twohig,

2009; Sulistiowati, Keliat, & Wardani, 2012),

serta memperbaiki gejala afektif, sosial halusinasi

yang terjadi pada klien skizofrenia (Gaudiano &

Herbert, 2006). Hasil penelitian yang dilakukan

oleh Sasmita, Keliat, dan Budiharto (2007) di-

dapatkan hasil bahwa CBT dapat meningkatkan

kemampuan kognitif 29,31% dan kemampuan

perilaku 22,4% pada klien skizofrenia dengan

harga diri rendah. Hidayat, Keliat, dan Wardani

(2011) menemukan penurunan gejala dan pening-

katan kemampuan klien harga diri rendah yang

mendapat CBT dan REBT lebih besar dari di-

banding yang tidak mendapatkan CBT dan REBT

(p< 0,05). Beberapa penelitian yang dilakukan

menunjukkan bahwa dengan menggunakan terapi

keperawatan mampu untuk mengatasi skizofrenia

dengan risiko perilaku kekerasan, halusinasi, dan

harga diri rendah terutama dengan menggunakan

Acceptance and Commitment Therapy (ACT).

Pardede, et al., Kepatuhan dan Komitmen Klien Skizofrenia Meningkat

159

Berdasarkan hasil dari beberapa penelitian ini

menunjukkan tindakan keperawatan spesialis

sudah terbukti mampu menangani klien skizo-

frenia seperti yang sudah dipaparkan tetapi

perlu diantisipasi untuk menghindari kekambuhan

akibat ketidakpatuhan minum obat sehingga

terapi keperawatan perlu dikombinasikan dengan

pendidikan kesehatan kepatuhan minum obat.

Pendidikan Kesehatan kepatuhan minum obat

merupakan pemberian informasi kepada pasien

untuk memengaruhi pasien agar patuh meminum

obat sehingga tidak menimbulkan kekambuhan

dan tidak kembali lagi kerumah sakit untuk rawat

inap. Menurut Skiner (1938, dalam Notoatmodjo,

2007), kepatuhan minum obat pada penderita me-

rupakan suatu perilaku terbuka. Dengan demikian

dapat dikatakan kepatuhan minum obat adalah

mengkonsumsi obat-obatan yang diresepkan

dokter pada waktu dan dosis yang tepat karena

pengobatan hanya akan efektif apabila penderita

mematuhi aturan dalam penggunaan obat. Pem-

berian obat yang teratur dan sesuai dengan dosis,

klien mampu sembuh dari penyakit ditambah

dengan terapi keperawatan spesialis dan pendi-

dikan kesehatan yang mengubah kognitif dan

perilaku klien sehingga patuh minum obat.

Metode

Desain penelitian yang digunakan pada penelitian

ini adalah “Quasi Eksperiment Pre-Posttest with

Control Group” dengan memberikan ACT dan

pendidikan kesehatan kepatuhan minum obat

pada kelompok intervensi 1, hanya ACT pada

kelompok intervensi 2. Klien yang dijadikan

sampel adalah klien skizofrenia yang mengalami

risiko perilaku kekerasan, halusinasi, dan harga

diri rendah di sebuah rumah sakit di Medan

yang memenuhi kriteria penelitian ini yakni:

klien terdiagnosa skizofrenia, klien skizofrenia

berusia 18–60 tahun, klien relaps/kambuh ≥1 kali,

klien masuk rumah sakit karena alasan perilaku

kekerasan (marah-marah, amuk, mencederai diri

sendiri, orang lain maupun lingkungan), klien

dengan diagnosis keperawatan: risiko perilaku

kekerasan, halusinasi, dan harga diri rendah, serta

telah mendapatkan terapi generalis keperawatan,

klien wajib screening untuk mengetahui tindakan

terapi generalis, klien tenang atau tidak dalam

perilaku amuk, klien dapat membaca dan menulis,

dan klien bersedia menjadi responden dan me-

ngikuti terapi serta pendidikan kesehatan yang

diberikan.

Teknik pengambilan sampel yang digunakan

dalam penelitian ini dengan teknik purposive

sampling dengan jumlah sampel 90 responden.

Sebanyak 30 reponden mendapatkan ACT dan

pendidikan kesehatan minum obat (intervensi 1),

30 responden mendapatkan ACT (intervensi 2),

dan 30 responden kelompok kontrol.

Kelompok intervensi 1, intervensi 2, dan ke-

lompok kontrol sama-sama mendapatkan terapi

generalis sesuai dengan standar yang berlaku

di rumah sakit, dan untuk kelompok intervensi

diberikan juga ACT sebanyak 4 sesi masing-

masing selama 30–45 menit. Pada sesi 1: Klien

dibimbing untuk mengidentifikasi kejadian buruk

dan mengungkapkan pikiran, perasaan dan pe-

rilaku yang muncul akibat kejadian tersebut.

Sesi 2: Klien mengidentifikasi dan memilih nilai

hidupnya berdasarkan pengalaman sehingga

dapat membantu menyelesaikan masalah yang

dihadapi dan merubah pola pikir yang salah men-

jadi benar. Pada sesi 3: Klien berlatih menerima

kejadian berdasarkan nilai yang sudah dipilih

atau klien diajarkan mengklarifikasi nilai dan

kemampuan yang dimiliki. Sesi 4: Klien melaku-

kan komitmen terhadap nilai yang dipilih untuk

merubah perilaku untuk mencegah kekambuhan.

Kelompok intervensi 1 juga mendapatkan pen-

didikan kesehatan kepatuhan minum obat yang

terdiri dari 2 sesi masing-masing selama 25–30

menit. Sesi 1: Menjelaskan manajemen pengobatan

untuk pasien skizofrenia dengan risiko perilaku

kekerasan, halusinasi dan harga diri rendah. Sesi

2: Penetapan tujuan dan bentuk rencana tindakan.

Pengukuran gejala risiko perilaku kekerasan,

halusinasi dan harga diri rendah pada setiap klien

dilakukan pada awal. Penelitian menggunakan

modifikasi versi Overt Aggression Scale (OAS),

Launay-Slade Hallucination Scale (LSHS), dan

Rosenberg Self Esteem Scale (RSES). Begitu

juga untuk pengukuran kemampuan menerima

dan berkomitmen pada pengobatan menggunakan

Jurnal Keperawatan Indonesia, Vol. 18, No. 3, November 2015, hal 157-166 160

Acceptance and Action Questionnaire (AAQ II;

Hayes, Jason, Frank, Akihiko, & Jason 2006)

dan Kepatuhan pengukurannya menggunakan

Medication Adherence Rating Scale for the

psychoses (MARS; Thompson, Kulkarni, &

Sergejew, 2000).

Pengukuran risiko perilaku kekerasan menggu-

nakan OAS terdiri dari 26 item, pengukuran

halusinasi menggunakan LSHS terdiri dari 12 item

dan pengukuran harga diri rendah menggunakan

RSES terdiri dari 27 item yang didalamnya

mengukur respon kognitif, afektif, psikomotor,

dan sosial. Pada pengukuran observasi terdiri dari

15 item yang mengukur respon fisik. Pengukuran

kemampuan menerima dan berkomitmen pada

pengobatan menggunakan modifikasi dari (AAQ

II; Hayes, et al., 2006) yang terdiri dari 16

pernyataan dan pengukuran kepatuhan minum

obat menggunakan modifikasi MARS; (Thompson,

et al., 2000) yang terdiri dari 20 pernyataan.

Analisis gejala, kemampuan menerima dan

berkomitmen pada pengobatan dan kepatuhan

dilakukan dengan menggunakan paired t-test,

Anova test dan correlation test.

Hasil

Hasil penelitian ini menunjukkan rerata rentang

usia klien 35 tahun (19–58 tahun), memiliki

frekuensi dirawat rerata 3 kali paling banyak

12 kali dan paling sedikit 2 kali. Klien berjenis

kelamin laki-laki 47 orang dan 43 orang perem-

puan, berpendidikan tinggi 46 orang dan 44

orang berpendidikan rendah, klien yang bekerja

70 orang dan tidak bekerja 20 orang, menikah

40 orang dan 50 orang yang tidak menikah/cerai.

Klien memiliki riwayat gangguan jiwa 79 orang

dan 11 orang tidak memiliki riwayat gangguan

jiwa.

Hasil uji kesetaraan menunjukkan variabel pendidik-

an, pekerjaan, dan status perkawinan memengaruhi

kemampuan menerima dan berkomitmen pada

pengobatan dan kepatuhan klien (p> 0,05). Semen-

tara untuk variabel jenis kelamin, dan riwayat

gangguan jiwa tidak memengaruhi kemampuan

menerima dan berkomitmen pada pengobatan

dan kepatuhan klien (p< 0,05).

Gambar 1 memperlihatkan gejala risiko perilaku

kekerasan pada kelompok intervensi 1 sebelum

diberikan ACT dan pendidikan kepatuhan minum

obat 39,23 (35,99%), intervensi 2 sebelum diberi-

kan ACT 39,17 (35,93%) dan kelompok kontrol

36,67 (33,64%). Gejala risiko perilaku kekerasan

pada kelompok intervensi 1 setelah diberikan ACT

dan pendidikan kepatuhan minum obat 86,87

(79,70%), intervensi 2 setelah diberikan ACT

79,33 (72,78%) dan kelompok kontrol 44,27

(39,61%). Hasil uji statistik menunjukkan ada

perbedaan yang bermakna antara kelompok in-

tervensi 1, intervensi 2, dan kelompok kontrol

setelah pemberian terapi (p< 0,05). Perubahan ri-

siko perilaku kekerasan pada kelompok intervensi

1 yang diberikan ACT dan pendidikan kepatuhan

minum obat 47,63 (43,71%), intervensi 2 yang

diberikan ACT 33,87 (36,85%), dan kelompok

kontrol 7,60 (5,94%).

Gambar 2 memperlihatkan gejala halusinasi pada

kelompok intervensi 1 sebelum diberikan ACT

dan pendidikan kepatuhan minum obat 17,40

(32,83%), intervensi 2 sebelum diberikan ACT

19,97 (37,67%), dan kelompok kontrol 17,37

(32,77%). Gejala halusinasi pada kelompok inter-

vensi 1 setelah diberikan ACT dan pendidikan

kepatuhan minum obat 46,50 (87,73%), intervensi

2 setelah diberikan ACT 42,47 (80,13%) dan

kelompok kontrol 24,30 (43,33%). Hasil uji

statistik menunjukkan ada perbedaan yang ber-

makna antara kelompok intervensi 1, intervensi

2, dan kelompok kontrol setelah pemberian terapi

(p< 0,05). Perubahan halusinasi pada kelompok

35,99%

79,70%

35,93%

72,78%

33,64%39,61%

0%

10%

20%

30%

40%

50%

60%

70%

80%

90%

Sebelum SetelahIntervensi 1Intervensi 2Kontrol

Gambar 1. Perubahan Risiko Perilaku

Pardede, et al., Kepatuhan dan Komitmen Klien Skizofrenia Meningkat

161

intervensi 1 yang diberikan ACT dan pendidikan

kepatuhan minum obat 29,10 (54,9%), intervensi

2 yang diberikan ACT 22,50 (42,46%), dan

kelompok kontrol 2,83 (10,53%).

Gambar 3 memperlihatkan gejala harga diri rendah

pada kelompok intervensi 1 sebelum diberikan

ACT dan pendidikan kepatuhan minum obat 45,70

(39,05%), intervensi 2 sebelum diberikan ACT

48,10 (41,02%), dan kelompok kontrol 44,37

(37,92%). Hasil uji statistik menunjukkan ada

ketidaksetaraan (p<0,05). Gejala harga diri rendah

pada kelompok intervensi 1 setelah diberikan ACT

dan pendidikan kepatuhan minum obat 94,40

(80,68%), intervensi 2 setelah diberikan ACT

76,67 (65,53%), dan kelompok kontrol 53,43

(45,66%). Hasil uji statistik menunjukkan ada

32,82%

87,73%

37,67%

80,13%

32,77%

43,33%

0%

10%

20%

30%

40%

50%

60%

70%

80%

90%

100%

Sebelum Setelah Intervensi 1 Intervensi 2Kontrol

Gambar 2. Perubahan Halusinasi

39,05%

80,68%

41,02%

65,53%

37,92%45,66%

0%

10%

20%

30%

40%

50%

60%

70%

80%

90%

Sebelum SetelahIntervensi 1

Intervensi 2

Kontrol

Gambar 3. Perubahan Harga Diri Rendah

perbedaan yang bermakna antara kelompok in-

tervensi 1, intervensi 2, dan kelompok kontrol

setelah pemberian terapi (p< 0,05). Perubahan

harga diri rendah pada kelompok intervensi 1

yang diberikan ACT dan pendidikan kepatuhan

minum obat 48,70 (41,63%), intervensi 2 yang

diberikan ACT 6,58 (24,51%) dan kelompok

kontrol 9,07 (7,74%).

Gambar 4 memperlihatkan kemampuan menerima

dan berkomitmen pada pengobatan pada kelom-

pok intervensi 1 sebelum diberikan ACT dan

pendidikan kepatuhan minum obat 24,37 (38,08%),

intervensi 2 sebelum diberikan ACT 24,37 (38,08%)

dan kelompok kontrol 24,30 (37,97%). Hasil uji

statistik menunjukkan ada kesetaraan (p> 0,05).

Kemampuan menerima dan berkomitmen pada

pengobatan pada kelompok intervensi 1 setelah

diberikan ACT dan pendidikan kepatuhan minum

obat 58,03 (90,67%), intervensi 2 setelah diberi-

kan ACT 50,47 (78,86%) dan kelompok kontrol

27,23 (42,55%). Hasil uji statistik menunjukkan

ada perbedaan yang bermakna antara kelompok

intervensi 1, intervensi 2, dan kelompok kontrol

setelah pemberian terapi (p< 0,05). Perubahan

kemampuan menerima dan berkomitmen pada

pengobatan pada kelompok intervensi 1 yang

diberikan ACT dan pendidikan kepatuhan minum

obat 33,68 (52,71%), intervensi 2 yang diberikan

ACT 26,10 (40,78%), dan kelompok kontrol 2,93

(4,58%).

Gambar 5 memperlihatkan kepatuhan pada ke-

lompok intervensi 1 sebelum diberikan ACT dan

pendidikan kepatuhan minum obat 7,33 (36,65%),

38,08%

90,67%

38,08%

78,86%

37,97%

42,55%

0%

20%

40%

60%

80%

100%

Sebelum Setelah

Intervensi 1

Intervensi 2

Kontrol

Gambar 4. Perubahan Kemampuan Menerima dan

Berkomitmen pada Tritmen

Jurnal Keperawatan Indonesia, Vol. 18, No. 3, November 2015, hal 157-166 162

intervensi 2 sebelum diberikan ACT 7,30 (36,50%),

dan kelompok kontrol 7,37 (36,85%). Hasil uji

statistik menunjukkan ada kesetaraan (p> 0,05).

Kepatuhan pada kelompok intervensi 1 setelah

diberikan ACT dan pendidikan kepatuhan minum

obat 18,07 (90,35%), intervensi 2 setelah diberi-

kan ACT 13,00 (65%), dan kelompok kontrol

9,70 (48,5%). Hasil uji statistik menunjukkan

ada perbedaan yang bermakna antara kelompok

intervensi 1, intervensi 2, dan kelompok kontrol

setelah pemberian terapi (p< 0,05). Perubahan

kepatuhan pada kelompok intervensi 1 yang

diberikan ACT dan pendidikan kepatuhan minum

obat 10,73 (53,7%), intervensi 2 yang diberikan

ACT 5,70 (28,5%), dan kelompok kontrol 2,33

(11,65%).

Analisis hubungan antara kemampuan menerima

dan berkomitmen pada pengobatan dengan penu-

runan gejala risiko perilaku kekerasan, halusinasi,

dan harga diri rendah dengan menggunakan uji

correlation. Menurut Colton, dimana kekuatan

36,65%

90,35%

36,50%

65%

36,85%

48,50%

0%

10%

20%

30%

40%

50%

60%

70%

80%

90%

100%

Sebelum SetelahIntervensi 1

Intervensi 2

Kontrol

Gambar 5. Perubahan Kepatuhan

hubungan dua variabel secara kualitatif dibagi

dalam 4 area, meliputi: r= 0,00–0,25 dikatakan

tidak ada hubungan/hubungan lemah, r= 0,26–

0,50 dikatakan hubungan sedang, r= 0,51–0,75

dikatakan hubungan kuat, dan r = 0,76–1,00

dikatakan hubungan sangat kuat/sempurna. Hasil

analisis dapat dilihat pada Tabel 1.

Berdasarkan analisis pada Tabel 1 didapatkan

ada hubungan yang kuat (r = 0,590) antara

kemampuan menerima dan berkomitmen pada

pengobatan dengan penurunan gejala risiko pe-

rilaku kekerasan. Ada hubungan yang sedang

(r= 0,489) antara kemampuan menerima dan

berkomitmen pada pengobatan dengan penurunan

gejala halusinasi dan ada hubungan yang kuat

(r= 0,714) antara kemampuan menerima dan

berkomitmen pada pengobatan dengan penurunan

gejala harga diri rendah. Hasil uji statistik di-

dapatkan ada hubungan yang signifikan antara

kemampuan menerima dan berkomitmen pada

pengobatan dengan penurunan gejala harga diri

rendah (p< α= 0,05).

Pembahasan

Penelitian ini mendapatkan hasil yang meningkat

setelah diberikan ACT dan pendidikan kesehatan

minum obat, yaitu terjadi peningkatan rata-rata

skor yang berarti membuktikan terjadi penurunan

gejala pada responden skizofrenia dengan risiko

perilaku kekerasan. Hasil penelitian ini menun-

jukkan terjadi penurunan antara sebelum dan

setelah diberikan terapi, gejala risiko perilaku

kekerasan pada kelompok yang diberikan ACT

dan pendidikan kesehatan kepatuhan minum obat

menurun 43,71%, sedangkan kelompok yang

hanya diberikan ACT gejala menurun 36,85% dan

Tabel 1. Hubungan Kemampuan Menerima dan Berkomitmen pada Pengobatan dengan Gejala Risiko

Perilaku Kekerasan, Halusinasi, dan Harga Diri Rendah Klien Skizofrenia

Variabel n r p

Kemampuan Menerima dan Berkomitmen pada Pengobatan

*Gejala Risiko Perilaku Kekerasan (RPK)

60

0,590

0,000

Kemampuan Menerima dan Berkomitmen pada Pengobatan

*Gejala Halusinasi

60

0,489

0,000

Kemampuan Menerima dan Berkomitmen pada Pengobatan

*Gejala Harga Diri Rendah (HDR)

60

0,714

0,000

Jurnal Keperawatan Indonesia, Volume 18 No.3, November 2015, hal 157-166

pISSN 1410-4490, eISSN 2354-9203

kelompok yang tidak diberikan terapi menurun

5,94%. Hasil penelitian menunjukkan ACT dan

pendidikan kesehatan kepatuhan minum obat lebih

ampuh untuk menurunkan gejala risiko perilaku

kekerasan klien skizofrenia.

Perilaku kekerasan merupakan masalah yang

sering terjadi pada klien skizofrenia sehingga

beberapa terapi keperawatan dalam beberapa

penelitian dilakukan untuk mengatasinya. Putri,

Keliat, dan Nasution (2010) memberikan REBT

pada klien dengan perilaku kekerasan secara

bermakna mempunyai pengaruh menurunkan

gejala perilaku kekerasan 15,35%. Sudiatmika,

et al. (2011) memberikan Rational Emotive

Cognitive Behavior Therapy (RECBT) pada klien

perilaku kekerasan yang menunjukkan adanya

penurunan gejala setelah diberikan RECBT

30,06%. Sedangkan Sulistiowati, et al. (2012)

memberikan ACT pada klien skizofrenia dengan

risiko perilaku kekerasan mengalami penurunan

53,49%. Dalam hal ini terapi keperawatan sangat

ampuh dalam penurunan gejala perilaku keke-

rasan sesuai dengan penelitian. Seperti terlihat

di Gambar 6.

Penurunan gejala perilaku kekerasan klien skizo-

frenia berbeda-beda dari masing-masing terapi

yang diberikan oleh peneliti, dan dapat dilihat

pengaruh ACT yang dilakukan oleh Sulistiowati,

et al. (2012) lebih besar penurunannya, begitu

juga dengan yang dilakukan peneliti sendiri

lebih besar penurunannya dari terapi yang lain

karena peneliti sendiri menggunakan ACT. Hal

ini dikarenakan ACT membantu klien menerima

keadaannya dan kejadian yang membuat dirinya

43.71%53.49% 36.85%30.06%

15.35%

ACT

(2012)

ACT +

PENKES

(2013)

ACT

(2013)

RECBT

(2011)

REBT

(2010)

Gambar 6. Pengaruh REBT, RECBT, ACT dan

ACT + Penkes terhadap Penurunan

Gejala Risiko Perilaku Kekerasan

berperilaku buruk atau tidak baik sehinggga

klien harus berkomitmen merubah perilakunya

untuk mencegah kekambuhan.

Penelitian ini mendapatkan hasil yang meningkat

setelah diberikan ACT dan Pendidikan kesehatan

kepatuhan minum obat, dimana terjadi pening-

katan rata-rata skor berarti membuktikan terjadi

penurunan gejala pada responden skizofrenia

dengan halusinasi. Penurunan gejala halusinasi

pada responden kelompok intervensi 1 54,9%.

Untuk kelompok intervensi 2 yang hanya menda-

patkan ACT saja 42,46% yang meliputi penurunan

gejala kognitif 45,58%, afektif 33,92%, psikomotor

38,09%, sosial 44,17%, dan fisik 40,8%. Namun,

kelompok yang tidak mendapatkan terapi juga

mengalami penurunan gejala 10,53% yang terdiri

dari respon kognitif 5,33%, afektif 4,75%, psiko-

motor 2,08%, sosial 1,16%, dan fisik 8,02%.

Penelitian Sudiatmika, et al. (2011) dengan mem-

berikan RECBT pada klien halusinasi mampu

menurunkan gejala 38,97% dalam hal ini klien

diajarkan untuk merubah fungsi berfikir klien

ke arah yang positif yang akan membuat klien

berperilaku konstruktif. Akan tetapi, Sulistiowati,

et al. (2012) dalam penelitiannya menerangkan

pemberian ACT pada klien skizofrenia dengan

halusinasi mampu menurunkan gejala yang signi-

fikan yaitu 40,78%, yang meliputi gejala kognitif

53,67%, afektif 60,78%, psikomotor 54,785, sosial

48,44%, dan fisik 27,40%.

Terapi keperawatan yang diberikan terbukti

mampu menurunkan gejala halusinasi seperti

yang sudah dilakukan dari beberapa penelitian,

seperti terlihat pada Gambar 7. Hayes dan Smith

(2005) menegaskan ACT mengajarkan klien

untuk tidak menghindari tujuan hidupnya atau

mampu menerima hidupnya dan berkomitmen

terhadap dirinya sehingga mampu mengatasi

masalahnya. Hal ini di dukung oleh Stuart (2009)

yang mengatakan klien harus dapat bertahan

dengan apa yang sudah dipilihnya ketika sudah

berkomitmen sehingga dengan mampu menerima

dan berkomitmen klien diharapkan tidak akan

mengalami kekambuhan lagi. Harapannya terapi

keperawatan seperti ACT perlu diberikan pada

beberapa klien sehingga mampu menurunkan

Jurnal Keperawatan Indonesia, Vol. 18, No. 3, November 2015, hal 157-166 164

gejala penyakit, karena dapat dilihat ACT di-

tambah dengan pendidikan kesehatan kepatuhan

minum obat mampu menurunkan gejala dengan

baik. Penelitian ini mendapatkan hasil yang me-

ningkat setelah diberikan ACT dan Pendidikan

kesehatan kepatuhan minum obat, dimana terjadi

peningkatan rata-rata skor berarti membuktikan

terjadi penurunan gejala pada responden skizo-

frenia dengan harga diri rendah.

Penurunan gejala harga diri rendah pada res-

ponden kelompok intervensi 1 41,63% terdiri

dari penurunan gejala kognitif 40,97%, afektif

39,15%, psikomotor 38,93%, sosial 45,47%, dan

fisik 52,8%. Untuk kelompok intervensi 2 yang

hanya mendapatkan ACT saja 24,51%, yang

meliputi penurunan gejala kognitif 22,5%, afektif

24,4%, psikomotor 22,86%, sosial 25,75%, dan

fisik 32,6%. Namun, kelompok yang tidak menda-

patkan terapi juga mengalami penurunan gejala

7,74% yang terdiri dari respon kognitif 9,32%,

afektif 1,42%, psikomotor 5,72%, sosial 11,43%,

dan fisik 24,8%.

Penelitian lain juga mampu menurunkan gejala

harga diri rendah 37,83% dengan menggunakan

CBT dan REBT atau RECBT yang dilakukan

oleh Hidayat, et al. (2011). Hasil yang sama juga

ditemukan oleh Sasmita, et al. (2007), CBT

juga mampu memengaruhi respon kognitif dan

perilaku klien skizofrenia dengan harga diri rendah

dengan penurunan gejala 25,85%. Berdasarkan

kedua penelitian ini, RECBT lebih mampu untuk

menurunkan gejala harga diri rendah, karena

penelitian yang dilakukan dengan menggunakan

CBT hanya memengaruhi kognitif dan perilaku

sedangkan penelitian dengan RECBT memenga-

54.90% 42.46% 40.78% 38.97% 34.50%

ACT +

PENKES

(2013)

ACT

(2013)

ACT

(2012)

RECBT

(2011)

CBT

(2010)

Gambar 7. Pengaruh CBT, RECBT, ACT, dan

ACT + Penkes terhadap Penurunan

Gejala Halusinasi

0%5%

10%15%20%25%30%35%40%45%

ACT +

PENKES

(2013)

RECBT

(2011)

CBT

(2007)

ACT

(2013)

ACT + PENKES

RECBT

CBT

ACT

Gambar 8. Pengaruh CBT, RECBT, ACT, dan

ACT + Penkes terhadap Penurunan

Gejala Harga Diri Rendah

ruhi kognitif, afektif, psikomotor, sosial, dan fisik.

Hasil penelitian beberapa peneliti terbukti bahwa

terapi keperawatan mampu untuk menurunkan

gejala harga diri rendah, dapat dilihat pada Gambar

8.

Hal ini dapat dilihat dari pemaparan hasil pe-

nelitian di atas, ACT dan pendidikan kesehatan

kepatuhan minum obat lebih besar pengaruhnya

dalam menurunkan gejala harga diri rendah diban-

dingkan dengan terapi lain. Sedangkan yang hanya

menggunakan ACT tidak begitu berpengaruh

dalam menurunkan gejala harga diri rendah pada

penelitian ini sehingga dapat dikatakan dengan

kombinasi ACT dan pendidikan kesehatan lebih

baik dilakukan daripada hanya ACT saja.

Kesimpulan

Hasil penelitian membuktikan ACT yang diberi-

kan pada klien skizofrenia dapat meningkatkan

kemampuan menerima dan berkomitmen pada

pengobatan. Hasil juga menunjukkan pendidikan

kesehatan kepatuhan minum obat dapat me-

ningkatkan kepatuhan klien untuk minum obat.

Keduanya mampu menurunkan gejala risiko

perilaku kekerasan, halusinasi, dan harga diri

rendah klien skizofrenia sehingga dapat diap-

likasikan sebagai terapi spesialis jiwa di rumah

sakit maupun di komunitas.

Pardede, et al., Kepatuhan dan Komitmen Klien Skizofrenia Meningkat

165

Hasil penelitian ini dapat dijadikan evidence based

dalam membandingkan pengaruh beberapa terapi

yang dapat diberikan pada klien skizofrenia mau-

pun klien dengan diagnosa lain. Penelitian ini

perlu dikembangkan dengan menggabungkan

ACT dengan FPE (Family Psychoeducation)

karena klien perlu sistem pendukung dari keluarga

sebagai pemberi materiil maupun moril sehingga

klien mau menerima dan berkomitmen pada

pengobatan. Selain FPE, ACT juga dapat di-

kombinasikan dengan Logo terapi, Progressive

Muscle Relaxation (PMR), dan lainnya. Pendidikan

kesehatan kepatuhan minum obat juga perlu di-

kombinasikan dengan BT, CBT, REBT, RECBT,

dan terapi lainnya sehingga klien yang dirawat

mau patuh minum obat, yang artinya salah satu

terapi yang disarankan perlu dikombinasikan

dengan pendidikan kesehatan kepatuhan minum

obat (BA, TN, PN).

Referensi

Barlow, D.H., & Durand, V.M. (2011). Abnormal

psychology: An integrative approach (5th

Ed.). USA: Wadsworth Cengage Learning.

Fontaine, K.L. (2009). Mental health nursing (6th

Ed.). New Jersey: Upper saddle River

Pearson Prentice Hall.

Gaudiano, B.A., & Herbert, J.D. (2006). Acute treat-

ment of in patients with psychotic symptoms

using ACT: Pilot result. Journal of Behavior

Research and Therapy, 44, 415–437.

Hayes, S.C., & Smith, S. (2005). Get out of your

mind & into your life: The new acceptance

and commitment therapy. Oakland: New

Harbinger.

Hayes, S., Jason, B.L., Frank, W.B., Akihiko, M., &

Jason, L. (2006). ACT: Model, processes,

and outcomes. Journal of Behaviour

Research and Therapy. 44, 1–25.

Hidayat, E., Keliat, B.A., & Wardani, I.Y. (2011).

Pengaruh CBT dan REBT terhadap klien

dengan PK dan HDR di RSMM Bogor (Tesis,

tidak dipublikasikan). FIK UI, Jakarta.

Isaacs, A. (2005). Keperawatan kesehatan jiwa &

psikiatri (3th Ed.). Jakarta: EGC.

Notoatmodjo, S. (2007). Pengantar pendidikan

kesehatan dan ilmu perilaku. Jakarta: EGC.

Putri, D.E., Keliat, B.A., & Nasution, Y. (2010)

Pengaruh Rational Emotive Behaviour

Therapy (REBT) terhadap klien perilaku

kekerasan di RSMM Bogor. Jurnal

Keperawatan Indonesia, Volume 15, No 3,

November, 2012. Diperoleh dari

http://jki.ui.ac.id/index.php/jki/article/view

/27/27

Rhoads, J. (2011). Clinical consult for psychiatric

mental health care. New York: Springer

Publishing Company.

Sasmita, H., Keliat, B.A., & Budiharto. (2007).

Efektifitas Cognitive Behavioral Therapy

(CBT) pada klien harga diri rendah di

RSMM Bogor (Tesis, tidak dipublikasikan).

FIK UI, Jakarta.

Shives, L.R. (2012). Basic concepts of psychiatric

mental health nursing (8th Ed.). Philadel-

phia: Lippincott William & Wilkins.

Stuart, G.W. (2009). Principles & practice of

psychiatric nursing (9th Ed.) Philadelphia:

Elsevier Mosby.

Sudiatmika, I.K., Keliat, B.A., & Wardani, I.Y.

(2011). Efektivitas CBT dan REBT

terhadap klien dengan PK dan halusinasi

di RSMM Bogor (Tesis, tidak

dipublikasikan). FIK UI, Jakarta.

Sulistiowati, N.M.D., Keliat, B.A., & Wardani, I.Y

(2012). Pengaruh acceptance and

commitment therapy terhadap gejala dan

kemampuan klien dengan perilaku kekerasan

dan halusinasi di RSMM Bogor (Tesis,

tidak dipublikasikan). FIK UI, Jakarta.

Thompson, K.J., Kulkarni, A.A., & Sergejew.

(2000). Reliability and validity of a new

Medication Adherence Rating Scale

(MARS) for psychoses. Schizophrenia

Research, 42, 241–247.

Townsend, M.C. (2009). Psychiatric mental health

nursing: Concepts of care in evidence-

based practice. Philadelphia: F.A Davis

Company.

Jurnal Keperawatan Indonesia, Vol. 18, No. 3, November 2015, hal 157-166 166

Twohig, M. (2009). The aplication of acceptance

and commitment therapy to OCD. Journal

of Cognitive and Behavioral, 16, 18–28.

Wahyuni, S.E. (2010). Pengaruh cognitive behaviour

therapy terhadap halusinasi pasien di

Rumah Sakit Jiwa Pempropsu Medan (Tesis,

tidak dipublikasikan). FIK UI, Jakarta.

Wardani, I.Y., Hamid, A.Y., & Wiarsih,W. (2009).

Pengalaman keluarga menghadapi ketidak-

patuhan anggota keluarga dengan

skizoprenia dalam mengikuti regimen

terapeutik: Pengobatan (Tesis, tidak

dipublikasikan). FIK UI, Jakarta.

Jurnal Keperawatan Indonesia, Volume 18 No.3, November 2015, hal 167-170

pISSN 1410-4490, eISSN 2354-9203

MADU MENURUNKAN FREKUENSI BATUK PADA MALAM HARI

DAN MENINGKATKAN KUALITAS TIDUR BALITA PNEUMONIA

Rokhaidah

1*, Nani Nurhaeni

2, Nur Agustini

2

1. Program Studi Magister, Fakultas Ilmu Keperawatan, Universitas Indonesia, Depok 16424, Indonesia

2. Fakultas Ilmu Keperawatan, Universitas Indonesia, Depok 16424, Indonesia

*E-mail: [email protected]

Abstrak

Gejala umum yang sering dirasakan balita pneumonia adalah batuk. Intervensi keperawatan mandiri yang dapat

dilakukan untuk mengatasi masalah batuk pada malam hari dan kualitas tidur anak di antaranya adalah dengan

memberikan terapi komplementer madu. Madu bermanfaat bagi kesehatan karena mengandung antibiotik alami,

antiinflamasi, dan antioksidan. Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi efektivitas pemberian madu terhadap batuk

pada malam hari dan kualitas tidur balita yang mengidap pneumonia. Desain penelitian ini menggunakan rancangan

eksperimen semu pretest posttest with non equivalent control group dengan tiga puluh enam responden yang diambil

secara consecutive sampling. Hasil analisis data menggunakan independent t-test yang menunjukkan bahwa terdapat

perbedaan penurunan skor batuk (p< 0,001; CI 95% 1,82–3,37) dan peningkatan kualitas tidur yang bermakna (p<

0,001; CI 95% 0,66–1,67) saat posttest pada kelompok yang mendapatkan madu dibandingkan dengan kelompok

kontrol. Peneliti merekomendasikan pemberian madu bagi balita pneumonia sebagai terapi komplementer yang aman

untuk mengatasi batuk.

Kata kunci: batuk, kualitas tidur, madu, pneumonia

Abstract

Honey for Decreasing Cough at Night and Increasing the Sleep Quality of Children with Pneumonia. A common

symptom of pneumonia in toddler is coughing. Coughing is the body's natural mechanism in response to the

inflammation that occurs in the lungs. Coughing that occurs at night can disrupt sleep quality of toddler with

pneumonia. Independent nursing interventions that can be done to overcome this problem is to provide honey as a

complementary therapy. Honey is very beneficial for health because it contains natural antibiotic, anti-inflammation,

and antioxidant. This study aimed to identify the effectiveness of honey to decrease night time cough and to increase

sleep quality of toddler with pneumonia. This study used a quasi-experimental pretest-posttest design with non-

equivalent control group with 36 respondents taken by consecutive sampling. Results of data analysis using

independent t-test showed differences decrease cough scores (p< 0,001; CI 95% 1,82–3,37) and a significant increase

in sleep quality (p< 0,001; CI 95% 0,66–1,67). It is recommended to give honey to toddlers with pneumonia as a safe

complementary therapy for treating coughs.

Keywords: cough, honey, pneumonia, quality of sleep

Pendahuluan

Pneumonia saat ini masih menjadi masalah

kesehatan utama di beberapa negara di dunia,

termasuk Indonesia. Hal ini dapat dilihat masih

tingginya angka morbiditas dan mortalitas pneu-

monia, terutama pada balita. Upaya penanganan

pneumonia difasilitasi oleh kesehatan tingkat

dasar terintegrasi dalam Manajemen Terpadu

Balita Sakit (MTBS).

Gejala klinis yang sering dirasakan balita atau

anak dengan pneumonia adalah batuk. Batuk

dapat terjadi sepanjang hari dan dapat meng-

ganggu kenyamanan anak dalam beraktivitas.

Batuk pada malam hari dapat menyebabkan

kualitas tidur anak terganggu. Perawat sebagai

pemberi asuhan utama dapat memberikan inter-

vensi keperawatan yang aman dan efektif untuk

membantu anak pneumonia yang mengalami

batuk. Madu adalah salah satu terapi komple-

Jurnal Keperawatan Indonesia, Vol. 18, No. 3, November 2015, hal 167-170

168

menter yang dapat digunakan untuk membantu

meredakan batuk pada malam hari sehingga dapat

meningkatkan kualitas tidur anak.

Madu dapat diberikan kepada anak karena aman

dan efektif menurunkan skor frekuensi batuk

dan meningkatkan kualitas tidur anak seperti

yang dijelaskan pleh Evans, Tuleu, dan Sutcliffe

(2010), pengobatan dengan madu efektif untuk

batukdan tidur anak. Penelitian oleh Shadkam,

Mozafari-Khosravi, dan Mazayan (2010) menye-

butkan bahwa madu dapat mengontrol batuk,

lebih murah, mudah didapatkan dan aman untuk

anak-anak. Penelitian Paul, Beiler, Mc Monagle,

Shaffer, Duda, dan Berlin (2007) menemukan

fakta bahwa madu adalah alternatif yang efektif

dan aman untuk meredakan batuk pada malam

hari dan mengatasi kesulitan tidur anak, madu

bekerja sangat baik dalam mengurangi gangguan

tidur akibat keparahan dan frekuensi batuk malam

hari pada anak dengan infeksi saluran pernafasan

atas dibandingkan dengan dextromethorphan

maupun tanpa treatment.

Cohen, et al., (2012) menemukan ada perbedaan

yang signifikan dari penurunan skor batuk dan

skor kualitas tidur anak pada kelompok yang

diberikan madu dibandingkan dengan kelompok

plasebo. Tujuan penelitian ini untuk mengiden-

tifikasi efektivitas pemberian madu terhadap

batuk pada malam hari dan kualitas tidur balita

dengan pneumonia.

Metode

Desain penelitian yang digunakan adalah kuasi

eksperimen dengan pendekatan nonequivalent

control group before after design. Responden

dipilih dengan teknik consecutive sampling.

Kriteria inklusi dalam penelitian ini adalah (1)

anak yang sedang dirawat inap, (2) anak usia

1-5 tahun yang didiagnosis pneumonia/bron-

kopneumonia, (3) anak mendapat terapi medis

berupa antibiotik, mukolitik, dan inhalasi, (4)

anak dirawat pada hari pertama saat penetapan

sebagai responden, (5) orang tua atau wali dapat

diajak bekerja sama dan menyetujui anaknya

menjadi responden penelitian. Kriteria ekslusi

adalah anak pneumonia berat dan disertai kom-

plikasi penyakit lain sehingga anak membutuhkan

perawatan intensif. Instrumen yang digunakan

adalah berupa kuesioner untuk data karekteristik

responden dan lembar observasi orang tua/wali

untuk skor frekuensi batuk dan skor kualitas tidur

anak. Data awal diambil pada hari pertama anak

dirawat dan data akhir atau post test diambil pada

hari keempat.

Analisis data dilakukan dengan analisis univariat

dan analisis bivariat. Analisis bivariat dilakukan

dengan menggunakan uji parametrik (paired t

test dan independent t test). Penelitian ini telah

mendapatkan izin dari tim kaji etik Fakultas Ilmu

Keperawatan Universitas Indonesia.

Hasil

Penelitian ini mengidentifikasi beberapa karak-

teristik responden, yaitu usia anak pneumonia

berkisar 17,7 bulan sampai 19,4 bulan. Mayoritas

berjenis kelamin laki-laki (58,3%), status gizi

sebagian besar (63,8%) normal, mayoritas (69,5%)

tidak mendapatkan Air Susu Ibu (ASI) eksklusif

dan mayoritas (63,9%) anak pneumonia menda-

patkan imunisasi Difteri, Pertusis, dan Tetanus

(DPT) dan campak.

Dari Tabel 1 dapat dilihat bahwa ada perbedaan

yang bermakna antara rerata selisih skor fre-

kuensi batuk dan skor kualitas tidur kelompok

Tabel 1. Selisih Skor Frekuensi Batuk dan Skor

Kualitas Tidur antara Kelompok Intervensi

(n=18) dan Kelompok Kontrol (n=18)

Variabel Rerata ±

s.d.

Interval

Kepercayaan

(CI 95%)

p

Selisih Skor

Frekuensi Batuk

a. Kelompok

Intervensi

6,22-1,76

2,78

(1,82–3,73) <0,001

b. Kelompok

Kontrol 5,05-1,62

Selisih Skor

Kualitas Tidur

a. Kelompok

Intervensi

2,27 ± 0,82

1,17

(0,66–1,67)

<0,001

b. Kelompok

Kontrol 1,50 ± 0,51

Rokhaidah, et al., Madu Menurunkan Frekuensi Batuk Pada Malam Hari

169

intervensi dengan kelompok kontrol. Selisih skor

frekuensi batuk dan skor kualitas tidur kelompok

intervensi lebih tinggi secara bermakna diban-

dingkan dengan kelompok kontrol (p< 0.001).

Pembahasan

Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian

Cohen, et al., (2012) yang menemukan skor

frekuensi batuk dan skor kualitas tidur anak yang

mengalami infeksi saluran pernafasan akut pada

kelompok yang diberikan madu menunjukkan

penurunan yang bermakna pada saat post test

dibandingkan dengan kelompok kontrol. Warren,

Pont, Barkin, Callahan, Caples, Carol, dan

Plemmons (2007) juga menemukan bahwa

terdapat perbedaan penurunan skor batuk yang

signifikan antara kelompok yang diberikan madu

dengan kelompok kontrol, penurunan skor batuk

pada kelompok intervensi lebih besar dibanding-

kan dengan kelompok kontrol. Penelitian lain

dari Paul, et al., (2007) tentang efek madu, dex-

tromethorphan, dan tanpa intervensi terhadap

batuk malam hari dan kualitas tidur anak dan

orang tua, didapatkan hasil terdapat perbedaan

penurunan skor frekuensi batuk yang signifikan

pada kelompok yang diberikan madu dibanding-

kan dengan kelompok lainnya. Rerata penurunan

skor frekuensi batuk dan skor kualitas tidur pada

kelompok yang diberikan madu lebih tinggi di-

bandingkan dengan kelompok dextromethorphan

dan kelompok tanpa intervensi. Hasil penelitian

ini dan penelitian serupa tentang efek madu

terhadap batuk pada malam hari dan kualitas

tidur anak telah membuktikan bahwa madu

efektif untuk mengurangi frekuensi batuk dan

memperbaiki kualitas tidur. Manfaat ini terkait

dengan komposisi madu yang mengandung zat-zat

unik yang sangat bermanfaat untuk kesehatan.

Alquran surah An-Nahl (lebah) ayat 69 men-

jelaskan tentang manfaat madu, yang artinya

“Kemudian makanlah dari tiap-tiap (macam)

buah-buahan dan tempuhlah jalan Tuhanmu yang

telah dimudahkan (bagimu). Dari perut lebah

itu keluar minuman (madu) yang bermacam-

macam warnanya, di dalamnya terdapat obat yang

menyembuhkan bagi manusia. Sesungguhnya

pada yang demikian itu benar-benar terdapat

tanda (kebesaran Tuhan) bagi orang-orang yang

berpikir.”

Penurunan skor frekuensi batuk pada anak setelah

diberikan madu terjadi karena madu mempunyai

kandungan antibiotik alami, antioksidan, dan

kombinasi zat-zat lain. Selain itu, madu merupakan

komponen penting yang dapat membantu me-

ringankan batuk anak-anak. Madu berfungsi

melapisi tenggorokan dan memicu mekanisme

menelan, rasa manis pada madu akan mengubah

sensitivitas serabut sensori. Ada interaksi antara

saraf sensori lokal dengan sistem saraf pusat

yang terlibat dalam regulasi mekanisme batuk

sehingga mampu meredakan batuk (McCoy dan

Chang, 2013).

Di Indonesia, penyebab tersering pneumonia pada

anak adalah dari jenis bakteri. Menurut Bogdanov

(2011), madu mempunyai efek antimikroba lang-

sung dan tidak langsung. Efek madu sebagai

antimikroba langsung adalah dengan menghambat

pertumbuhan mikroorganisme, madu memiliki

efek bakteriostatik dan bakterisida. Oksidase

glukosa madu menghasilkan agen antibakteri

hidrogen peroksida, sedangkan agen antibakteri

nonhidrogen peroksida antara lain kandungan

gula yang tinggi pada madu menyebabkan efek

osmotik gula, pH bersifat asam, kandungan

fenolat dan flavonoid, serta kandungan protein

dan karbohidrat madu yang semuanya bertang-

gung jawab atas aktivitas antibakteri sehingga

madu dapat membantu melawan agen penyebab

pneumonia anak. Ajibola (2012) menjelaskan

bahwa madu dapat merangsang dan meningkatkan

produksi antibodi selama proses pembentukan

imunitas primer dan sekunder.

Peningkatan kualitas tidur yang signifikan pada

saat posttest kelompok yang diberikan madu

sebelum tidur disebabkan oleh madu dapat

merangsang pengeluaran hormon melatonin yang

berfungsi memicu pelepasan hormon pertumbuhan

yang mengatur pemulihan fungsi fisiologis tubuh,

memelihara dan membangun kembali tulang,

serta otot dan jaringan tubuh lainnya. Semua itu

terjadi pada waktu malam. Melatonin berdampak

pada konsolidasi memori dengan pembentukan

molekul adhesi sel saraf selama tidur rapid eye

movement (REM). Bersamaan dengan itu,

fruktosa dalam madu diserap oleh hati untuk

diubah menjadi glukosa kemudian menjadi

Jurnal Keperawatan Indonesia, Vol. 18, No. 3, November 2015, hal 167-170

170

glikogen sehingga mampu memasok kebutuhan

glukosa otak dengan cepat pada waktu malam.

Selain itu, fruktosa mengatur penyerapan glukosa

ke dalam hati dengan merangsang pelepasan glu-

kokinase. Fruktosa memastikan pasokan glikogen

hati selama semalam dan mencegah lonjakan

glukosa, insulin, dan pelepasan hormon stres

(McInnis, 2008).

Kesimpulan

Hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa

madu terbukti efektif menurunkan skor frekuensi

batuk malam hari dan meningkatkan kualitas tidur

anak balita dengan penumonia. Hasil penelitian

ini juga dapat menjadi bahan masukan atau per-

timbangan bagi perawat anak untuk dijadikan

sebagai bagian dari intervensi keperawatan dalam

merawat anak yang mengalami pneumonia. Pe-

nelitian berikutnya perlu dikembangkan kembali,

yaitu penelitian manfaat madu terhadap batuk

pada malam hari serta kualitas tidur anak dan

orang tua yang mengidap pneumonia (YR, INR,

AM).

Referensi Alquran, Surah An-Nahl, ayat 69.

Ajibola, A., Chamunorwa, J. P. & Erlwanger, K.

H. (2012). Nutraceutical values of natural

honey and its contribution to human health

and wealth. Nutrition metabolism, 9, 61.

doi:10.1186/1743-7075-9-61.

Bogdanov, S. (2011). Honey as nutrient and

functional food: A review. Bee Product

Science, 3(2), 1–33. Diperoleh dari www.bee-

hexagon.net.

Cohen, H.A., Rozen, J., Kristal, H., Laks, Y.,

Berkovitch, M., Uziel, Y., et al. (2012). Effect

of honey on nocturnal cough and sleep

quality: A doubleblind, randomized placebo-

controlled study. Pediatrics, 130 (3), 1–9.

Evans. H., Tuleu. C., & Sutcliffe. A. (2010). Is

honey a well-evidenced alternative ti over-

the-counter cough medicines? Journal of R

Social Medicine, 103, 164–165.

Paul, I.M., Beiler, J., Mc Monagle, A., Shaffer,

M.L., Duda, L., & Berlin C.M. (2007). Effect

of honey, dextromethorphan, and no treatment

on nocturnal cough and sleep quality for

coughing children and their parent. Archive of

Pediatrics Adolescent Medicine, 161 (12),

1140-1160.

Shadkam, M.N., Mozaffari-Khosravi, H., &

Mozayan, M.R. (2009). A comparison ofthe

effect of honey, Dextromethorphan,and

Diphenhydramine on nightly coughand sleep

quality in children and their parents. The

Journal of Alternative and Complementary

Medicine, 16 (7), 787–793.

Warren, M.D., Pont, S.J., Barkin, S.L., Callahan,

S.T., et al., (2007). The effect of honey on

nocturnal cough and sleep quality for children

and their parents. Archives of pediatrics &

adolescent medicine, 161 (12), 1149–1153.

Jurnal Keperawatan Indonesia, Volume 18 No.3, November 2015, hal 171-180

pISSN 1410-4490, eISSN 2354-9203

PENGALAMAN KELUARGA DALAM MERAWAT PASIEN

PASCAPASUNG

Wahyu Reknoningsih

1*, Novy Helena Catharina Daulima

2, Yossie Susanti Eka Putri

2

1. Program Studi Magister, Fakultas Ilmu Keperawatan, Universitas Indonesia, Depok 16424, Indonesia

2. Fakultas Ilmu Keperawatan, Universitas Indonesia, Depok 16424, Indonesia

*E-mail: [email protected]

Abstrak

Pasien pasung yang telah pulang dari rumah sakit jiwa (RSJ) oleh keluarga akan berpotensi untuk dipasung kembali.

Tujuan penelitian menguraikan pengalaman keluarga dalam merawat pasien pascapasung. Desain penelitian kualitatif

dengan pendekatan fenomenologi. Teknik pengambilan purposive sampling dengan wawancara mendalam. Kriteria

inklusi caregiver yang mempunyai anggota keluarga pernah dipasung sebelum dan sesudah dirawat di RSJ dan mampu

berkomunikasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa keluarga pasien pascapasung mengalami beban emosional dan

kelelahan fisik. Rekomendasi penelitian adalah berupa pengembangan pelayanan keperawatan jiwa di masyarakat dan

pemberian pendidikan kesehatan dengan cara penanganan pasien gangguan jiwa dengan perilaku agresif.

Kata kunci: caregiver, pasung, perilaku agresif

Abstract

Phenomenology Study on the Family’s Experience in Caring for Client Post Restraint (Seclusion) in Central Java. The seclusion or restraint’s client will send home to their family was experienced re restraint or re seclusion. The aim

of this study is to elaborate the family’s experience in caring for the client post restraint or seclusion through the

qualitative study with the phenomenology approach. The sampling technique is purposive sampling with in-depth

interview. The inclusion criteria are the caregiver who has a family member with the experience of being restraint or

seclusion before hospitalized, had been restraint, being restraint or being re-restraint, and being able to communicate

well. The results show that the family have emotional burden and physical exhausted. This study has suggested that

psychiatric nursing may develop a mental nurse psychiatric nursing services in the community by providing health

education on how to manage the aggressive behavior of the client with mental disorder.

Keywords: the experience, caregiver, restraint (seclusion)

Pendahuluan

Kementerian Kesehatan (2010) menjelaskan

seseorang dengan gangguan jiwa atau disebut

dengan orang dengan masalah kejiwaan (ODMK)

umumnya mengalami stigma, diskriminasi dan

marginalisasi. Diskriminasi dan marginalisasi pada

ODMK berupa individu dipandang “sebelah mata”

atau mengalami ketidakadilan dalam memperoleh

akses kehidupan, seperti pendidikan dan kesehat-

an. Stigma adalah pandangan negatif masyarakat

yang melihat ODMK sebagai aib karena kutukan

atau kemasukan roh, mengganggu, membahayakan

orang lain, dan membebani masyarakat. Dampak

ODMK, biasanya, keluarga seringkali dikucilkan

oleh masyarakat. Bahkan sebagian dari mereka

ada yang dipasung dengan kondisi yang sangat

memprihatinkan, seperti dipasung dengan kayu,

dirantai, dikandangkan, atau diasingkan di tengah

hutan yang jauh dari masyarakat.

Maramis (2006) menjelaskan pasung sebagai

tindakan memasang sebuah balok kayu pada

tangan dan atau kaki seseorang, diikat atau dirantai

lalu diasingkan pada suatu tempat tersendiri di

dalam rumah ataupun di hutan. Istilah lain pasung

adalah pengikatan (restrain). Menurut Councel

and Care UK (2002) (dalam Royal Collage of

Nursing, 2008), restrain merupakan tindakan

membatasi atau mengekang seseorang dengan

Jurnal Keperawatan Indonesia, Vol. 18, No. 3, November 2015, hal 171-180 172

sengaja untuk bergerak sesuka hatinya atau berpe-

rilaku. Menurut Dinas Kesehatan Bireuen (2008),

jumlah pasien pasung di wilayah Bireuen dalam

periode 2005 sampai dengan 2008 berjumlah 49

orang. Di sisi lain, Nevi (2012) mengungkapkan

data dari Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah

mencatat 200 orang gangguan jiwa telah menga-

lami pasung.

Berdasarkan data rekam medik rumah sakit jiwa

(RSJ) Amino Gondohutomo, Semarang pada

Desember 2012, diketahui jumlah pasien pasung

yang telah dirawat sejak tahun 2011 sampai

dengan Desember 2012 sebanyak 343 orang

yang pulang ke rumah. Pasien pascapasung yang

telah dirawat di RSJ dan dikembalikan pada

keluarga adalah pasien dalam masa pengobatan

dan penyembuhan karena mereka masih terus

minum obat dan melakukan kontrol kesehatan,

baik di rumah sakit maupun Pusat Kesehatan

Masyarakat (Puskesmas), yang masih menunjuk-

kan perilaku agresif seperti mudah marah dan

mengamuk sehingga berdampak pada keluarga

melakukan pemasungan kembali.

Metode

Desain penelitian menggunakan penelitian kuali-

tatif dengan pendekatan fenomenologi. Partisipan

penelitian ini adalah keluarga atau caregiver

pasien pascapasung yang pernah atau sedang

mengalami pemasungan ulang. Jumlah partisipan

berjumlah tujuh orang hingga saturasi data.

Tempat penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten

Pekalongan pada Mei 2013. Wawancara mendalam

dilakukan selama 30–35 menit. Analisis data

penelitian menggunakan langkah-langkah, yaitu

membuat transkripsi verbatim, membaca trankripsi

secara berulang-ulang, mengumpulkan pernyataan

yang signifikan, menentukan kata kunci dari

setiap pernyataan yang penting, mengelompokkan

ke dalam kategori, menyusun, dan mengelom-

pokkan menjadi tema yang sesuai dengan tujuan

penelitian.

Hasil

Partisipan terdiri atas satu orang laki-laki dan

enam orang perempuan dengan usia dewasa

(30-59 tahun). Partisipan memiliki anggota

keluarga yang menjalani dua kali perawatan di

RSJ. Karakteristik partisipan secara lengkap

dapat dilihat pada Tabel 1.

Pengalaman keluarga merawat pasien pasca-

pasung, didapatkan lima tema sebagai berikut.

Kelelahan fisik dan pergolakan emosi sebagai

dampak merawat. Dampak merawat pasien

pascapasung disikapi oleh partisipan dengan

munculnya kelelahan fisik dan pergolakan emosi

yang dirasakan keluarga. Dampak merawat pasien

pascapasung berupa kelelahan fisik, yaitu meng-

habiskan tenaga atau energi, pusing, dan tekanan

darah rendah, seperti yang diungkapkan partisipan

berikut.

”Ya capai terus, Bu...” (P2).

“Capai melayani terus..,sampai pikirannya

pusing, kadang tensi saya rendah …” (P1).

Dampak merawat pasien pascapasung pada ke-

luarga juga terjadi pergolakan emosi keluarga.

Sebagian besar partisipan mengeluhkan adanya

rasa marah dan jengkel, seperti dalam wawan-

caranya berikut.

“Ya marah, jengkel, terus terang saja ya

bu...”(P1).

Tidak jarang terjadi emosi marah dan jengkel

diungkapkan secara langsung pada pasien dengan

menyuruh pasien pergi dari rumah daripada mem-

buat marah keluarga, seperti dalam penuturannya:

“Ya bosan, jengkel sampai muncul ucapan

pergi saja.”(P1).

Emosi marah juga disampaikan oleh partisipan

lain dengan memikirkannya di dalam hati seperti

dalam ungkapannya berikut.

“Sampai saya berpikir, ya, Tuhan kalau mau

meninggal, ya, jangan kelamaan…” (P4).

Beberapa partisipan mengungkapkan rasa malu

dengan adanya pasien pascapasung sebagai bagian

dari keluarga. Mereka malu mempunyai anggota

keluarga dengan gangguan mental, seperti dalam

ungkapannya berikut.

Reknoningsih, et al., Pengalaman Keluarga dalam Merawat Pasien Pascapasung 173

Tabel 1. Karakteristik Partisipan

Jenis Penggolongan Partisipan

P1 P2 P3 P4 P5 P6 P7

a. Jenis Kelamin

Perempuan Perempuan Perempuan Perempuan Laki-laki Perempuan Perempuan

b.Usia (tahun)

36 58 50 58 56 30 58

c.Hubungan dg Pasien

Adik Ibu

Kandung

Ibu

Kandung

Ibu

Kandung

Bapak

Kandung

Adik

kandung

Ibu

Kandung

d.Agama

Islam Islam Islam Islam Islam Islam Islam

e.Status Perkawinan

Menikah Janda Menikah Menikah Menikah Menikah Menikah

f.Pendidikan

SD Tidak

Sekolah

Tidak

Sekolah

SD Tidak

Sekolah

SD Tidak

Sekolah

g.Pekerjaan

IRT IRT IRT Buruh Buruh Jahit IRT Jualan Sayur

h.Berapa kali pasien

dirawat di RSJ

2 kali 2 kali 2 kali 2 kali 3 kali 2 kali 1 kali

i.Bentuk pemasungan

ulang terhadap pasien

Dirantai

dan

dikunci di

kamar

Dikurung di

kamar

Diikat

dengan tali

& dikunci di

kamar

Dirantai di

dalam

rumah

Dikunci di

kamar

Dirantai dgn

rantai

panjang di

dlm rumah

Dikunci di

dalam

kamar

“Ya malu karena mengganggu orang

lain...”(P5).

Kesulitan keluarga dalam manajemen beban.

Pada tema kedua ini, peneliti menemukan bahwa

keluarga pasien pascapasung mengalami kesulitan

manajemen beban dalam merawat keluarga yang

mengalami keterbatasan tenaga untuk menemani

atau mengawasi pasien. Kesulitan inilah yang

menjadikan keluarga memilih untuk kembali mela-

kukan pemasungan terhadap pasien pascapasung.

Keterbatasan keluarga dalam membagi bebannya

dinyatakan oleh partisipan dengan menjelaskan

bahwa keluarga mengalami kesibukan karena

keluarga juga harus mengurus suami dan anaknya

di samping mengurus pasien, seperti dalam wa-

wancaranya berikut ini.

“….Bagaimana lagi ya bu, saya sudah

sibuk jadi ya dirantai lagi.”(P1).

Keterbatasan juga dijelaskan lebih lanjut oleh

partisipan karena tidak adanya anggota keluarga

lain yang membantu merawat pasien, seperti

wawancara di bawah ini.

“Ya, tidak ada yang mengawasi, tenaganya

tidak ada, pada kerja semua.”(P2).

Bentuk kesulitan keluarga dalam manajemen

beban juga terlihat dari adanya risiko berat yang

harus ditanggung oleh pasien apabila pasien dibiar-

kan keluar rumah tanpa pengawasan. Kehamilan

maupun pelecehan seksual dapat terjadi pada

pasien wanita pascapasung, seperti disampaikan

partisipan dalam wawancaranya berikut.

“..Soalnya bahaya kalau hilang, takut diapa-

apain orang (dihamili)”(P2).

Perilaku agresif sebagai alasan pemasungan

ulang. Pada tema ketiga ini, peneliti menemukan

alasan keluarga melakukan pemasungan ulang

pada pasien adalah karena perilaku agresif pasien

yang mengganggu keluarga dan lingkungan.

Perilaku agresif pasien yang mengganggu ling-

kungan dinyatakan oleh sebagian besar partisipan

dengan menjelaskan bahwa pasien mengganggu

tetangga di sekitarnya dengan berteriak-teriak,

makan jajanan di warung tidak membayar, memu-

kul, mengejar orang yang lewat di sekitar pasien,

Jurnal Keperawatan Indonesia, Vol. 18, No. 3, November 2015, hal 171-180 174

mengamuk, dan merusak kaca, seperti dalam

wawancaranya berikut.

“...Kalau tidur tembok dicongkeli, kalau di

warung banyak hutang, sama siapa saja

memukul, mengejar-kejar.”(P4).

Selain perilaku agresif pasien yang mengganggu

lingkungan, ditemukan pula perilaku agresif pasien

yang mengganggu keluarga dengan selalu marah

dan mengamuk bila keinginannya tidak dipenuhi

keluarga, seperti dalam wawancaranya berikut.

“Ya, di rumah marahan, suka mengamuk…”

(P3).

Selain mengamuk dan merusak, pasien juga me-

nunjukkan sikap kasar terhadap keluarga dengan

berbicara kurang sopan dan melemparkan makanan

ke arah muka, seperti dalam ungkapannya sebagai

berikut.

“…kalau memberi makan saya lewat jendela

tapi nanti dilemparkan ke saya.”(P4).

Bentuk Dukungan Internal dan Eksternal

pada Keluarga dalam Merawat. Dukungan

dalam me-rawat pasien pascapasung sangat

penting bagi keluarga. Berbagai bentuk dukungan

yang peneliti temukan pada penelitian ini berasal

dari dukungan internal dan dukungan eksternal.

Dukungan internal didapatkan dari dalam

keluarga besar pasien sendiri, sedangkan

dukungan eksternal diperoleh dari luar keluarga,

yaitu dari pemerintah dan lingkungan.

Bentuk dukungan keluarga besar terhadap partisi-

pan dalam merawat pasien pascapasung dilakukan

dengan membantu memenuhi kebutuhan dasar

pasien, seperti dalam wawancara berikut.

“Ya memberi makan, membersihkan kotoran,

memakaikan baju, memandikan gitu, Bu.”(P6).

Selain memenuhi kebutuhan dasar pasien, bentuk

dukungan internal juga diberikan dengan me-

menuhi kebutuhan sosial pasien, yaitu dengan

mengajak pasien bicara untuk mengajak berdoa

atau berzikir, seperti dalam ungkapannya berikut.

“Kalau isteri adik mengajak bicara bila

lagi nyambung…”(P2).

Selain dukungan keluarga dalam bentuk peme-

nuhan kebutuhan dasar dan kebutuhan sosial

pasien, bantuan materiil berupa uang dan beras

juga diperoleh caregiver dari keluarga besar,

seperti dalam wawancaranya berikut.

“Ya kadang memberi beras, uang tapi tidak

rutin.”(P4).

Bentuk dukungan keluarga yang tidak kalah

penting juga diperoleh partisipan berupa doa

supaya pasien cepat sembuh dan keluarga diberi

kekuatan, seperti dalam wawancaranya berikut

ini.

“ ..Nggih mereka juga mendoakan”(P7).

Selain bentuk dukungan internal, peneliti juga

menemukan bentuk dukungan eksternal pada

keluarga berupa dukungan dana dari pemerintah

dan dukungan lingkungan. Bentuk dukungan dana

pemerintah yang dimaksud dalam penelitian ini

adalah fasilitas pelayanan kesehatan gratis untuk

mengecek kondisi pasien dan pengobatan lanjutan

gratis di puskesmas yang dekat dengan tempat

tinggal pasien, seperti dalam wawancaranya

berikut.

“…Alhamdulillah dibantu, biaya dirawat dari

pemerintah, obat ya dari puskesmas.”(P7).

Sebagian besar partisipan menyatakan bahwa

tetangga sekitar sering menanyakan kondisi pasien,

seperti dalam wawancarannya berikut.

“…Ya, mereka sering menanyakan kondisi

Mawar.”(P1).

Selain itu, dukungan lingkungan lainnya dinyata-

kan oleh partisipan dengan mengingatkan pasien

untuk memakai baju bila tetangga mendapati

pasien sedang tidak memakai baju di luar rumah,

seperti dalam wawancaranya berikut.

“…kadang mereka mengingatkan bila tidak

pakai baju untuk pulang ke rumah…”(P1).

Reknoningsih, et al., Pengalaman Keluarga dalam Merawat Pasien Pascapasung 175

Bentuk dukungan lingkungan lain yang tidak

kalah penting adalah kepedulian aparat desa

yang berusaha mencarikan bantuan dana bagi

keluarga, meskipun sampai saat ini keluarga belum

menerima bantuan dari desa, seperti dinyatakan

partisipan berikut ini.

“…tidak ada yang menghina, perangkat

desa mengusahakan bantuan”(P7).

Peningkatan Pemahaman Spiritualitas sebagai

Hikmah Merawat. Pengalaman keluarga

dalam merawat pasien pascapasung merupakan

pembe-lajaran nyata yang telah dialami keluarga.

Hikmah merawat pasien pascapasung bagi

keluarga terlihat dari meningkatnya pemahaman

spiritualitas ke-luarga. Pemahaman spiritualitas

bersifat unik bagi setiap orang bergantung dari

budaya, per-kembangan, pengalaman hidup,

kepercayaan, dan ide-ide tentang

kehidupannya. Spiritualitas dijelaskan dalam

dimensi keterhubungan sebagai keterhubungan

dengan diri sendiri (intrapersonal), keterhubungan

dengan orang lain (interpersonal), dan

keterhubungan dengan Tuhan (transpersonal).

Meningkatkan pemahaman spiritualitas keluarga

berupa penerimaan diri ditunjukkan oleh dua

partisipan dengan menjadi lebih sabar dan satu

partisipan menjadi tidak mudah marah, seperti

dalam wawancaranya berikut ini.

“Ya, tidak apa-apa, lebih sabar, tidak cepat

marah”(P2).

Selain lebih sabar dan tidak mudah marah, satu

partisipan merasakan banyak berkah yang diterima

dalam merawat pasien pascapasung, seperti dalam

wawancaranya berikut.

“Hikmahnya, ya berkah, masih bisa berdoa,

ikut pengajian, mengurus keluarga”(P7).

Meningkatnya pemahaman spiritualitas keluarga

juga digambarkan dalam bentuk kedekatan keluar-

ga kepada Tuhan dengan menganggap merawat

pasien pascapasung sebagai takdir yang diung-

kapkan oleh tiga partisipan, bersikap pasrah

diungkapkan oleh satu partisipan, dan menganggap

sebagai cobaan/ujian dari Tuhan diungkapkan

oleh dua partisipan serta lebih mendekatkan diri

kepada Tuhan diungkapkan oleh dua partisipan,

seperti dalam wawancaranya berikut.

“...ya gimana lagi sudah takdir, namanya

sakit ya harus diusahakan”(P5).

Hubungan positif keluarga dengan lingkungan

diungkapkan oleh satu partisipan dengan bisa ikut

pengajian serta perkumpulan ibu-ibu di wilayahnya,

seperti dalam ungkapannya :berikut.

“Nggih, jadi sering ikut pengajian sama

kumpulan ibi-ibu, saya tidak apa-apa” (P7).

Pembahasan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa seluruh

keluarga yang menjadi caregiver/partisipan pasien

pascapasung berada pada rentang usia dewasa

penuh yaitu 30–59 tahun, sedangkan enam dari

tujuh orang partisipan berjenis kelamin perempuan,

yaitu empat orang merupakan ibu kandung pasien

dan dua orang adalah adik kandung pasien.

Lebih dominannya perempuan dibanding laki-

laki sebagai caregiver dalam penelitian ini,

sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan

oleh Jankovic, et al. (2011); Hou, Ke, Sue, Lung

dan Huang (2008); Hanzawa, Tanaka, Inadomi

dan Urata (2008) yang menyatakan bahwa

sebagian besar caregiver pasien schizophrenia

di London, Taiwan, dan Jepang adalah orang tua

perempuan atau ibu pasien sendiri.

Penelitian ini juga menemukan bahwa usia care-

giver bagi pasien pascapasung berada pada rentang

usia dewasa (30–59 tahun). Penelitian yang

dilakukan Hou, Ke, Sue, Lung dan Huang (2008)

menjelaskan bahwa rata-rata usia keluarga yang

menjadi caregiver bagi pasien schizophrenia

di Taiwan adalah 55 tahun, sedangkan Yusuf

dan Nuhu (2011) menjelaskan bahwa rata-rata

usia caregiver pasien schizophrenia adalah 45

tahun dan rata-rata mempunyai stres emosional

yang tinggi.

Jurnal Keperawatan Indonesia, Vol. 18, No. 3, November 2015, hal 171-180 176

Tema 1: Kelelahan Fisik dan Pergolakan

Emosi Keluarga sebagai Dampak Merawat.

Kelelahan fisik yang dialami keluarga berupa

keletihan berdampak pada munculnya keluhan

pusing, tekanan darah menurun, lemas, demam,

dan berat badan menurun. Selain itu, pergolakan

emosi tergambar dari keberagaman emosi keluarga

saat merawat pasien pascapasung meliputi rasa

marah, bosan, jengkel, dan malu.

Kelelahan fisik yang dialami keluarga dan emosi

yang dirasakan keluarga merupakan dampak

negatif yang dialami keluarga karena merawat

anggota keluarganya yang sakit atau lebih dikenal

dengan beban keluarga. Hal ini didukung oleh

penelitian yang dilakukan oleh Grad dan Sainsbury

(1966 dalam Rafiyah & Sutharangsee, 2011)

yang menyatakan beban adalah dampak negatif

yang dirasakan keluarga karena merawat anggota

keluarganya yang sedang sakit. Chadda, Singh,

dan Ganguly (2007) menjelaskan bahwa caregiver

atau keluarga yang bertanggung jawab merawat

anggota keluarganya yang mengalami schizo-

phrenia dan bipolar disorder akan mengalami

beban hidup karena tanggungjawab yang kompleks

dari caregiver pada pembiayaan, perawatan

kesehatan pasien dan kebebasan serta aktivitas

caregiver itu sendiri. Awad dan Voruganti (2008)

menjelaskan bahwa beban dalam merawat meru-

pakan dampak dan konsekuensi yang diterima

oleh caregiver yang meliputi aspek emosional,

aspek fisik, psikologi dan dampak ekonomi.

Hoenig dan Hamilton (1966 dalam Rafiyah dan

Sutharangsee, 2011) dan Montgomery, Gonyea,

dan Hooyman (1985) mendefinisikan beban dalam

kategori obyektif dan subyektif dimana beban

obyektif merupakan kejadian atau aktivitas

yang berhubungan dengan pengalaman negatif

caregiver, sedangkan beban subyektif adalah

perasaan yang dialami caregiver selama merawat.

Hasil penelitian kelelahan fisik keluarga yang

diikuti dengan keluhan pusing, lemas, tekanan

darah menurun, dan badan kurus merupakan

dampak atau beban objektif, sedangkan pergolakan

emosi merupakan dampak atau beban subjektif

caregiver.

Pergolakan emosi yang ditemukan pada penelitian

ini adalah rasa marah, jengkel, bosan, dan malu.

Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang

dilakukan oleh Hou, et al., (2008) yang menya-

takan bahwa caregiver yang merawat pasien

schizophrenia di Taiwan mengalami ansietas,

rasa malu dan berdosa serta terganggu selama

merawat pasien.

Peneliti juga menemukan emosi berbeda yang

dirasakan oleh satu orang partisipan dan bertolak

belakang dengan emosi yang dirasakan sebagian

besar partisipan. Emosi berbeda itu adalah ke-

luarga tidak merasakan marah dan tidak malu

terhadap pasien pascapasung, melainkan merasa

kasihan terhadap pasien. Kondisi ini terjadi karena

keluarga dalam hal ini ibu kandung pasien sangat

menyayangi pasien dan mempunyai koping diri

yang sangat baik. Di samping itu, caregiver

dalam hal ini ibu kandung pasien hanya memiliki

tanggung jawab merawat pasien karena anak-

anak yang lain sudah mempunyai keluarga sendiri.

Tema 2: Kesulitan Keluarga dalam Mana-

jemen Beban. Tema kedua hasil penelitian ini

menggambarkan adanya kesulitan keluarga dalam

mengatur beban selama merawat. Kesulitan ke-

luarga dalam manajemen beban ini terlihat dari

keterbatasan keluarga dalam merawat serta

risiko pada pasien bila tidak ada yang mengawasi

mereka. Keterbatasan keluarga dalam merawat

dialami keluarga karena keluarga merasa sibuk,

tidak ada anggota keluarga lain yang membantu

merawat pasien serta keluarga tidak dapat bekerja

apabila terus mengawasi pasien. Kesulitan keluar-

ga juga berisiko terjadinya pelecehan seksual

(dihamili) atau pasien hilang bila tidak ada yang

mengawasi.

Munculnya kesulitan manajemen beban keluarga

saat merawat dapat dilihat dari beberapa faktor yang

memengaruhi beban. Rafiyah dan Sutharangsee

(2011) menjelaskan adanya tiga faktor yang me-

mengaruhi beban keluarga, yaitu faktor yang

berasal dari keluarga atau caregiver sendiri,

faktor dari pasien dan faktor lingkungan. Salah

satu faktor dari keluarga yang mampu menjelaskan

kesulitan manajemen beban adalah “Time Spent

per Day” atau kebutuhan waktu perawatan pasien

setiap harinya. Semakin tinggi atau banyaknya

waktu untuk merawat pasien, semakin besar pula

Reknoningsih, et al., Pengalaman Keluarga dalam Merawat Pasien Pascapasung 177

beban keluarga. Hasil penelitian ini juga didukung

oleh Yi, Pin, dan Hsiu (2009 dalam Rafiyah dan

Sutharangsee, 2011) yang menjelaskan adanya

hubungan yang bermakna antara kebutuhan

waktu perawatan pasien setiap harinya dengan

beban keluarga. Li, Lambert, dan Lambert (2007)

juga menjelaskan terdapat hubungan yang bermak-

na antara jumlah waktu yang diperlukan caregiver

untuk merawat dengan beban obyektif caregiver.

Pasien pascapasung yang kembali ke rumah

setelah perawatan di RSJ masih menunjukkan

perilaku yang mengganggu lingkungan atau ke-

luarga dan untuk memenuhi kebutuhan dasarnya

masih banyak dibantu oleh keluarga. Hal ini

didukung oleh penelitian Fujino dan Okamura

(2009) yang menjelaskan bahwa ketidakmampuan

pasien memenuhi kebutuhan dasarnya secara

mandiri berpengaruh terhadap beban caregiver

dimana caregiver mengalami keterbatasan waktu,

tenaga dan perhatian. Penelitian lain dilakukan

oleh Hou, et al., (2008) menjelaskan bahwa gejala

klinis pasien yang mempengaruhi perilaku pasien

mengakibatkan beban pada caregiver. Pasien

pascapasung yang dirawat partisipan dalam

penelitian ini menunjukkan gejala klinis yang

hampir sama dengan pasien schizophrenia.

Hasil penelitian ini menjelaskan bahwa kesulitan

keluarga dalam manajemen beban disebabkan

oleh keterbatasan berupa tidak adanya anggota

keluarga lain yang ikut membantu merawat.

Partisipan dalam penelitian ini adalah satu-

satunya caregiver bagi pasien pascapasung.

Penelitian yang dilakukan oleh Hou, et al., (2008)

menjelaskan bahwa dalam merawat pasien schizo-

phrenia dibutuhkan 2 atau 3 anggota keluarga

lain yang membantu merawat selain caregiver

itu sendiri. Hal inilah yang turut menjelaskan

bahwa untuk merawat pasien dengan gangguan

jiwa tidak cukup hanya seorang caregiver, namun

juga anggota keluarga lain yang membantu tugas

caregiver secara bergantian.

Tema 3: Perilaku Agresif Pasien sebagai

Alasan Pemasungan Ulang. Hasil penelitian

didapatkan bahwa pasien pascapasung setelah

pulang dari perawatan di RSJ masih mengalami

kekambuhan di rumah dengan menunjukkan bebe-

rapa perilaku yang mengganggu lingkungan dan

keluarga sendiri. Perilaku pasien yang mengganggu

lingkungan antara lain berteriak-teriak, memukul,

merusak, mengejar-ngejar, dan berhutang di

warung sekitar rumah. Selain itu, perilaku pasien

yang menggangu keluarga adalah mengamuk,

merusak perabotan, dan bersikap kasar terhadap

keluarga.

Perilaku pasien yang masih mengganggu keluarga

dan lingkungan membuat keluarga memutuskan

kembali untuk melakukan pembatasan gerak

berupa pemasungan, antara lain diikat, dirantai,

ditali, dikurung di dalam kamar, atau di rumah

sendirian. Semua partisipan dalam penelitian

ini menyatakan bahwa pemasungan ulang terjadi

karena perilaku agresif dari pasien. Kondisi ini

sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan

oleh Puteh, Marthoenis, dan Minas (2011) tentang

karakteristik pasien pasung di Aceh yang men-

jelaskan bahwa alasan terbanyak dilakukannya

pemasungan adalah perilaku agresif dari pasien

di samping alasan keamanan dan alasan khusus

lainnya. Stewart, Bowers, Simpson, Ryan, dan

Tziggili (2009) juga menyatakan bahwa terjadinya

restraint atau pengekangan fisik lebih banyak

disebabkan karena perilaku agresif atau perilaku

yang membahayakan dibandingkan alasan mana-

jemen di ruang perawatan. Namun, hasil yang

berbeda didapatkan dari temuan Departemen

Kesehatan (Depkes) (2005) yang menerangkan

alasan terjadinya pemasungan di Indonesia di-

sebabkan oleh kurangnya pemahaman keluarga

akan kesehatan jiwa, rasa malu keluarga, beban

penyakit yang tidak kunjung sembuh serta tidak

adanya biaya pengobatan. Perbedaan alasan

pemasungan ini dapat terjadi mengingat alasan

yang disampaikan oleh Depkes berkaitan dengan

alasan pemasungan yang dilakukan keluarga

pertama kalinya, sedangkan alasan perilaku agresif

pasien yang menjadi hasil temuan penelitian

ini merupakan alasan terjadinya pemasungan

ulang oleh keluarga.

Tema 4: Bentuk Dukungan Internal dan

Eksternal pada Keluarga dalam Merawat.

Dukungan Internal adalah dukungan yang berasal

dari dalam keluarga, sedangkan dukungan eks-

ternal adalah dukungan yang berasal dari luar

Jurnal Keperawatan Indonesia, Vol. 18, No. 3, November 2015, hal 171-180 178

keluarga. Hasil penelitian diketahui bahwa

keluarga yang merawat pasien pascapasung atau

caregiver mendapatkan berbagai macam bentuk

dukungan yang berasal dari internal atau keluarga

besar pasien dan dukungan eksternal atau yang

berasal dari luar keluarga. Bentuk dukungan

internal keluarga besar yang dimaksud dalam

penelitian ini adalah dengan membantu memenuhi

kebutuhan dasar pasien, mengajak pasien berbicara,

mencari pasien bila hilang atau keluyuran, ikut

mendoakan, menjaga perasaan pasien, dan memberi

bantuan beras atau uang kepada caregiver.

Bentuk dukungan eksternal yang ditemukan

dalam penelitian ini adalah dukungan dana dan

dukungan lingkungan. Dukungan dana yang

dimaksud dalam penelitian ini adalah bantuan

pemerintah berupa fasilitas pelayanan kesehatan

gratis untuk kontrol ulang dan pengobatan lanjutan

melalui puskesmas terdekat. Bentuk dukungan

eksternal lain dalam merawat pasien pascapasung

adalah dukungan dari lingkungan antara lain

mengingatkan pasien untuk memakai baju apabila

tidak memakai baju di luar rumah, menanyakan

kondisi pasien, memberi saran untuk mencari

alternatif pengobatan lainnya, dan kepedulian

aparat desa turut mengusahakan bantuan dana

dari desa meskipun sampai saat ini belum ter-

wujud.

Dukungan internal maupun eksternal pada

keluarga dalam merawat pasien pascapasung

sejalan dengan teori Friedman (2010) yang

menjelaskan bahwa dukungan sosial keluarga

adalah sebuah proses yang terjadi sepanjang

masa kehidupan dan dapat berasal dari internal

seperti dukungan dari suami/istri atau saudara

kandung dan dukungan eksternal seperti budaya,

agama, sosial ekonomi dan lingkungan. Friedman

(2010) juga menjelaskan bahwa dukungan keluar-

ga terdiri dari dukungan emosional, penghargaan,

materi serta informasi. Konsep tersebut menjelas-

kan bahwa dukungan materi diperoleh caregiver

dari keluarga besar pasien berupa bantuan tenaga,

uang dan beras, serta bantuan pemerintah berupa

fasilitas pelayanan kesehatan gratis bagi pasien

pascapasung sangat berarti bagi keluarga. Peneli-

tian Lai dan Thomson (2011) juga menyatakan

bahwa penentu kebijakan pemerintah berpotensi

tinggi untuk memberikan dukungan keuangan

pada keluarga. Akan tetapi, bentuk dukungan

emosional juga diperoleh caregiver dari keluarga

besar maupun lingkungan sekitar. Bentuk du-

kungan informasi juga diperoleh keluarga pada

saat memeriksakan pasien ke puskesmas.

Tema 5: Peningkatan Pemahaman Spiritualitas

sebagai Hikmah Merawat. Hasil penelitian ini

menjelaskan bahwa keluarga sebagai caregiver

pasien pascapasung mendapatkan hikmah merawat

dengan meningkatnya pemahaman spiritual ke-

luarga. Peningkatan pemahaman spiritual tersebut

terlihat dari penerimaan diri keluarga, kedekatan

keluarga kepada Tuhan, serta hubungan keluarga

dengan lingkungan. Partisipan menunjukkan pene-

rimaan diri dengan menjadi lebih sabar, tidak

mudah marah, dan mendapatkan banyak berkah.

Kedekatan keluarga terhadap Tuhan ditunjukkan

dengan menerima kehidupan yang dijalani sebagai

takdir Tuhan, pasrah, dan menganggapnya sebagai

cobaan atau ujian dari Tuhan.

Menjadi lebih sabar, tidak mudah marah, dan

mendapatkan banyak berkah merupakan bentuk

penerimaan diri keluarga terhadap kondisi ke-

hidupan yang dijalani, yaitu merawat pasien

pascapasung. Di sisi lain, dengan menganggap

merawat pasien pascapasung merupakan takdir,

cobaan dari Tuhan dan bersikap pasrah merupakan

wujud kedekatan keluarga terhadap Ilahi. Keluarga

mampu mencari arti kehidupan dengan merawat

pasien pascapasung. Mauk dan Schmidt (2004

dalam Potter dan Perry, 2010) menjelaskan spiri-

tualitas sebagai konsep komplek yang unik untuk

setiap orang yang tergantung dari pengalaman

hidup, kepercayaan, budaya dan ide-ide tentang

kehidupan yang akan membuat seseorang dapat

mencintai, memiliki kepercayaan dan harapan,

mencari arti dalam hidup dan memelihara hu-

bungan dengan orang lain. Pemahaman spiritual

keluarga tidak hanya ditunjukkan dari sisi religi

atau hubungan vertikal keluarga dengan Tuhan,

tetapi juga ditunjukkan adanya hubungan ho-

rizontal antara keluarga dan lingkungannya

melalui keikutsertaan keluarga dalam kegiatan

di masyarakat.

Reknoningsih, et al., Pengalaman Keluarga dalam Merawat Pasien Pascapasung 179

Kedekatan keluarga terhadap Tuhan menunjukkan

peningkatan spiritual keluarga dari dimensi

hubungan secara vertikal atau hubungan dengan

Tuhan (transpersonal), sedangkan penerimaan

diri keluarga merupakan bentuk keterhubungan

keluarga dengan diri sendiri (intrapersonal), dan

hubungan positif keluarga dengan lingkungan

merupakan keterhubungan keluarga dengan ling-

kungan (interpersonal). Hal ini sejalan dengan

konsep teori Miner dan Williams (2006 dalam

Potter dan Perry, 2010) yang menjelaskan bahwa

dimensi keterhubungan dalam spiritualitas terdiri

dari keterhubungan dengan diri sendiri (intra-

personal), keterhubungan dengan orang lain

(interpersonal) dan keterhubungan dengan Tuhan

(transpersonal). Hasil penelitian yang sejalan

dengan temuan penelitian ini adalah penelitian

kualitatif tentang pengalaman keluarga merawat

pasien halusinasi oleh Ngadiran, Hamid, dan

Daulima (2010) yang menjelaskan bahwa keluarga

pasien halusinasi mampu merawat dengan baik,

tulus, ikhlas, menganggapnya sebagai cobaan dari

Tuhan, pasrah menerimanya dan menjadi lebih

sabar.

Kesimpulan

Keluarga atau caregiver pasien pascapasung

mengalami kesulitan melakukan menajemen

beban yang kemudian menimbulkan dampak

berupa kelelahan fisik dan pergolakan emosi.

Pasien pascapasung yang kembali dirawat oleh

keluarga menunjukkan penurunan kondisi berupa

munculnya perilaku agresif yang kemudian men-

jadi alasan dilakukannya pemasungan ulang oleh

keluarga. Berbagai bentuk dukungan internal dan

eksternal diperlukan keluarga dalam merawat

pasien pascapasung. Selain itu, diketahui pula

bahwa hikmah merawat bagi keluarga atau care-

giver adalah peningkatan pemahaman spiritual.

Saran penelitian adalah diadakannya pengembang-

an pelayanan keperawatan jiwa di masyarakat dan

pemberian pendidikan kesehatan dengan cara

penanganan pasien gangguan jiwa (DN, INR,

MK).

Referensi Awad, A.G., & Voruganti, L.N. (2008). The

burden of schizophrenia on caregivers.

Pharmacoeconomics, 26 (2), 149–162.

Creswell, J.W. (2010). Research design: pendekatan

kualitatif, kuantitatif dan mixed (Terj.

Achmad Fawaid). Yogyakarta. Pustaka

Pelajar.

Depkes RI. (2005). Masalah-masalah psikososial

di Indonesia. Diperoleh dari http://www.

depkes.go.id.

Dinas Kesehatan Bireuen. (2008). Laporan kesehatan

tahun 2008. Tidak dipublikasikan. Nangro

Aceh Darussalam: Dinas Kesehatan

Kabupaten Bireuen.

Friedman, M.M. (2010). Keperawatan keluarga:

Teori dan praktik (2rd Ed.). (Terjemahan).

Jakarta. EGC.

Fujino, N., & Okumura, H. (2009). Factors

affecting the sense of burden felth by

family members caring for patients with

mental illness. Archieves of Psychiatric

Nursing, 23, 128–137.

Hanzawa, S., Tanaka, G., Inadomi, H., Urata, M.,

& Ohta, Y. (2008). Burden and coping

strategies in mother of patients with

schizophrenia in Japan. Psychiatric and

Clinical Neurosciences, 62, 256–263.

Hou, S.Y., Ke, C.L., Su, Y.C., Lung, F.W., &

Huang, C.J. (2008). Exploring the burden

of the primary family caregivers of

schizophrenia patients in Taiwan. Psychiatry

Clinical Neurosciences, 62, 508–514.

Jankovic, J., Yeeles, K., Katsakou, C., Amos, T.,

Morriss, R., Rose, D., Nichol, P., McCabe,

R., & Priebe, S. (2011). Family caregivers’

experiences of involuntary psychiatric

hospital admissions of their relatives– a

qualitative study. PLoS One 6 (10), e25425.

doi: 10.1371/journal.pone.0025425.

Li, J., Lambert, C.E., & Lambert, V.A (2007).

Predictors of family caregiver’s burden

Jurnal Keperawatan Indonesia, Vol. 18, No. 3, November 2015, hal 171-180 180

and quality of life when providing care for

a family member with schizophrenia in the

people’s republic of China. Nursing and

Health Sciences, 9 (3), 192–198. doi:

10.1111/j.1442-2018.2007.00327.x

Lai, C., & Thomson, D. (2011). The impact of

perceived adequacy of social support on

caregiving burden of family caregivers.

Families in Society: The Journal of

Contemporary Social Services, 92 (1), 99-

106. doi: http://dx.doi.org/10.1606/1044-

3894.4063

Maramis, W.F. (2006). Catatan ilmu kedokteran

jiwa. Surabaya: Airlangga.

Montgomery, R.J.V., Gonyea, J.G., & Hooyman,

N.R. (1985). Caregiving and the experience

of subjective and objective burden. Family

Relation, 34, 19–26. doi: 10.2307/583753

Ngadiran, A., Hamid, A.Y.S., & Daulima, N.H.C.

(2010). Studi fenomenologi pengalaman

keluarga tentang beban dan sumber

dukungan keluarga dalam merawat anggota

keluarga dengan halusinasi di wilayah

Cimahi dan Bandung (Tesis, tidak dipub-

likasikan). Fakultas Ilmu Keperawatan

Universitas Indonesia, Jakarta.

Nevi. (2012). Jawa Tengah bebas pasung tahun

2012. December 20, 2012. Diperoleh dari

http://www.dinkesjatengprov.go.id/.../jaten

g_bebas_odm.

Potter, P.A., & Perry, A.G. (2010). Fundamental of

nursing (7th Ed.). (Adrina Ferderika &

Marina Albar, Penerjemah). Singapore:

Elsevier.

Puteh, I., Marthoenis, M., & Minas, H. (2011).

Aceh free pasung: Releasing the mentally

ill from psysical restrain. International

Journal of Mental Health Systems, 5 (10),

1–5. doi: 10.1186/1752-4458-5-10.

Rafiyah, I., & Sutharangsee, W. (2011). Review:

Burden on family caregivers caring for

patients with schizophrenia and its related

factor. Nurse Media Journal of Nursing, 1

(1), 29–41.

Royal Collage of Nursing. (2008). Let’s talk about

restraint. Diperoleh dari https://www2.rcn.

org.uk/__data/assets/pdf_file/0007/157723

/003208.pdf.

Stewart, D., Bowers, L., Simpson, A., Ryan, C., &

Tziggili, M. (2009). Manual restrain of

adult psychiatric inpatients. J Psychiatr

Ment Health Nurs, 16 (8), 749–757. doi:

10.1111/j.1365-2850.2009.01475.x.

Yusuf, A.J., & Nuhu, F.T. (2011). Factors

associated with emotional distress among

caregivers of patients with schizophrenia

in Katsina Nigeria. Soc psychiat epidemiol,

46, 11–16. doi: 10.1007/s00127-009-0166-6.

Jurnal Keperawatan Indonesia, Volume 18 No.3, November 2015, hal 181-187

pISSN 1410-4490, eISSN 2354-9203

PENGALAMAN ORANG TUA MENERIMA PERILAKU CARING

PERAWAT DALAM MEMFASILITASI BONDING ATTACHMENT BAYI

PREMATUR

Laviana Nita Ludyanti

1*, Yeni Rustina

2, Yati Afiyanti

2

1. Program Studi Magister, Fakultas Ilmu Keperawatan, Universitas Indonesia, Depok 16424, Indonesia

2. Fakultas Ilmu Keperawatan, Universitas Indonesia, Depok 16424, Indonesia

*E-mail: [email protected]

Abstrak

Perpisahan dengan orang tua akibat perawatan pada bayi prematur berpengaruh terhadap proses bonding attachment.

Penelitian kualitatif dengan pendekatan fenomenologi deskriptif pada tujuh partisipan ini menggunakan teknik

purpossives sampling yang bertujuan untuk mengeksplorasi secara mendalam pengalaman orang tua menerima perilaku

caring perawat dalam memfasilitasi bonding attachment bayi prematur di Ruang NICU. Pengumpulan data dilakukan

dengan wawancara mendalam dan dianalisis dengan metode Colaizzi. Hasil analisis data mendapatkan tujuh tema, yaitu

proses peningkatan pengetahuan, mampu melakukan perawatan terhadap bayinya, respons ibu terhadap tindakan

perawatan yang diberikan, termotivasi dalam melakukan perawatan bayi prematur, terpenuhinya kebutuhan bayi selama

dilakukan perawatan, keterlibatan dalam asuhan keperawatan, dan kepuasan terhadap perawatan. Penelitian ini

diharapkan dapat meningkatkan asuhan keperawatan dan bonding attachment pada bayi prematur.

Kata kunci: bayi prematur, pengalaman ibu, perilaku caring perawat, perawatan intensif neonatus

Abstract

Experience Caring Parents Receive The Behavior of Nurses in Premature Infants Facilitate Bonding Attachment.

Separation between parents and premature babies in intensive care unit affects in bonding attachment process. This

study was a qualitative research design with descriptive phenomenology approach took 7 participants used Purpossive

Sampling Technique. This study aims to explore mother’s experience received nursing caring in facilitated bonding

attachment of premature babies. Data were collected with indepht interview and analized with Colaizzi method. The

results of data analysis got seven themes: knowledge improving process; capable to cared their babies; mother’s

respons with nursing care; was motivated to cared their premature babies, the premature babies needed was fullfiled

well; participated in nursing care; and nursing care satisfaction. The result is expectedto be inputin improvingnursing

care and bonding attachment in premature babies.

Keywords: premature babies, mother’s experiences, nursing caring, neonatus intensive care

Pendahuluan

Usia gestasi dan berat badan lahir merupakan

hal yang sangat penting dalam memprediksi

kesehatan dan kematian bayi. Bayi dengan usia

gestasi kurang dari 32 minggu (prematur)

berisiko tinggi mengalami kematian atau

kecacatan baik dalam jangka panjang maupun

pendek (Cloherty, Eichen-wald, & Stark, 2008).

Masalah kesehatan yang banyak muncul pada

bayi prematur diantaranya adalah gangguan pada

sistem respirasi (Juretschke, 2007; Lopez,

Anderson, & Fentchinger, 2012),

kardiovaskuler, penyakit infeksi, pertumbuhan,

dan nutrisi (Juretschke, 2007), jaundice serta lama

perawatan di rumah sakit (Lopez, Anderson, &

Fentchinger, 2012). Menurut Potts dan Mandleco

(2012), komplikasi bayi prematur semakin me-

ningkat seperti Intraventricular Haemorrhage

(IVH) (15–20%) pada bayi dengan usia gestasi

kurang dari 32 minggu, kematian akibat Necro-

tizing Enterocolitis (NEC) (28%) dan Retinopathy

Jurnal Keperawatan Indonesia, Vol. 18, No. 3, November 2015, hal 181-187 182

of Prematurity (ROP) (65%) pada bayi yang

lahir kurang dari 1250 gram.

Peningkatan komplikasi pada bayi prematur

menyebabkan perlunya perawatan yang maksimal

dan intensif (Montanholli, Merighi, & Pinto de

Jesus, 2011) di Neonatal Intensive Care Unit

(NICU). Bayi akan mendapatkan berbagai macam

tindakan dan prosedur selama menjalani perawatan

di ruang intensif. Selain itu, lingkungan eksternal

termasuk kondisi perpisahan dengan orang tua

terutama ibu dan sibling (Goldson, 1999; Boxwell,

2007), memberikan dampak secara emosional

dan psikologis pada bayi dan orang tua yang

mungkin saja menimbulkan kekhawatiran ter-

hadap kemampuan orang tua dalam merawat bayi

dan dapat memunculkan juga depresi maternal

(Davis, Edwards, Mohay, & Wollin, 2003). Hal

ini tentunya akan menambah faktor risiko yang

dapat memperburuk interaksi antara ibu dengan

bayi (Guillaume, et al., 2013).

Kualitas bonding attachment yang dilakukan lebih

awal akan memengaruhi perkembangan fisik dan

emosional bayi di masa yang akan datang ketika

mereka dewasa dan memiliki anak. Interaksi

ini akan menjadikan orang tua dan anak lebih

mengenal dan lebih sensitif terhadap perilaku

satu sama lain (Willinger, Diendorfer-Radner,

Wilnauer, Jorgl, & Hager, 2005; Chapman &

Durham, 2010) yang merefleksikan tingkat ke-

percayaan diri anak, meningkatkan kemampuan

berinteraksi sosial, dan kemampuan koping dalam

menghadapi stress (Willinger, Diendorfer-Radner,

Wilnauer, Jorgl & Hager, 2005). Berdasarkan hal

tersebut, bonding attachment merupakan hal yang

sangat penting dan perlu difasilitasi oleh perawat

di ruang intensif secepat mungkin setelah bayi

lahir (White, Duncan, & Baumle, 2011).

Metode

Penelitian ini menggunakan metode penelitian

kualitatif dengan pendekatan studi fenomenologi

deskriptif. Partisipan dalam penelitian ini adalah

orang tua dengan bayi prematur yang bayinya

dirawat di ruang NICU sebanyak tujuh partisipan.

Partisipan diambil dengan menggunakan teknik

purposive sampling. Adapun kriteria inklusi yang

ditetapkan peneliti adalah orang tua yang memiliki

bayi prematur dan memiliki pengalaman mem-

peroleh perilaku caring dari perawat, orang tua

adalah ibu dengan bayi prematur yang dirawat di

ruang NICU dan yang akan menjalani perawatan

di rumah serta orang tua mampu menceritakan

dengan baik pengalamannya dan bersedia menjadi

partisipan.

Pedoman penentuan jumlah sampel berdasarkan

adanya saturasi data. Penelitian ini dilakukan di

ruang NICU Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD)

dr. Iskak Tulungagung dan dilakukan bulan April-

Juni 2014. Pengumpulan data dilakukan melalui

wawancara mendalam. Analisis data menggu-

nakan Metode Colaizzi. Peneliti mengolah dan

mempersiapkan data, membaca keseluruhan data,

melakukan coding data, mendeskripsikan data,

menyajikan data dalam bentuk narasi, dan mengin-

terpretasi data.

Penelitian ini telah melalui kaji etik Komite Etik

Riset Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas

Indonesia.

Hasil

Pengalaman orang tua (ibu) menerima perilaku

caring perawat dalam memfasilitasi bonding

attachment pada bayi prematur memiliki pan-

dangan yang berbeda dari setiap partisipan.

Tema pertama yang teridentifikasi adalah proses

peningkatan pengetahuan yang tergambar dalam

kalimat berikut.

“Tapi ya paling tidak sedikit-sedikit saya

sudah tau. Ganti-ganti pampers gitu.”(P3).

”Ya, dibilangi gitu, kalau sudah ada

perubahan, sudah bagus gitu, minumnya

juga sudah bagus. Saya jadinya ngerti

gitu….”(P4).

“Enggak terlalu tau, Bu. Makanya, kan,

enggak ngerti, kan, Mbak. Soalnya saya

enggak dibilangi. Saya juga enggak tahu,

kok, Mbak bagaimana caranya merawat

bayi.”(P6).

Ludyanti, et al., Pengalaman Orang Tua Menerima Perilaku Caring Perawat 183

Tema berikutnya adalah mampu melakukan

perawatan terhadap bayinya setelah diajari dan

diberikan informasi oleh perawat. Pernyataan

ibu yang mendukung tema tersebut dapat dilihat

dalam kutipan berikut ini.

“Kalau memang pengen tahu, waktu

susternya apa itu…mandiin atau ganti

popok gitu, ya melihat sekali gitu, ya sudah

bias.”(P1).

“Iya insyaallah bisa, yakin bisalah,

Bu…”(P4).

“Terus sekarang mengerjakan sendiri

semakin berani.“(P5).

Ibu menyatakan senang, tenang, dan bersyukur

terhadap perawatan yang telah diberikan. Tema

ketiga ini didukung pernyataan ibu sebagai

berikut.

“Ya anaknya sudah dalam keadaan

bersih. Itu yang saya suka.”(P4).

“Iya saya bersyukur banget. Sama Mbak-

Mbaknya (perawat) juga dibilangi

gitu….”(P1).

“Tapi sekarang alhamdulilah sudah ada

perubahannya”(P4).

“Tapi kalau sekarang sudah tidak berpikir

macam-macam”(P1).

“Ya kalau sudah dikasih tahu perawatnya

gitu, ya sudah agak tenang.”(P3).

Ibu menyatakan termotivasi dengan adanya

perilaku caring perawat. Hal ini nampak pada

usaha ibu untuk mendapatkan informasi yang

lebih banyak terhadap kondisi dan cara merawat

bayinya. Tema keempat ini ditunjukkan oleh

pernyataan ibu sebagai berikut.

“Iya…. Nanti setidak-tidaknya bertanyalah,

pokoknya berusaha”(P4).

“Iya, jadi semangat melihat perkembangan

adiknya.” (P2).

Perawat melakukan pemenuhan kebutuhan nutrisi

dengan memberikan susu, membersihkan bayi

saat buang air kecil (BAK) maupun buang air

besar (BAB), serta memfasilitasi ibu untuk dekat

dengan bayinya. Tema kelima ini digambarkan

dalam pernyataan berikut.

“Ya, perawatnya semua yang melakukan,

ngasih minum, ganti pampers, ganti baju.

Semua ya, sudah dipakaikan ke bayinya

oleh perawatnya.”(P7).

Terdapat lima partisipan yang mengatakan perawat

mengikutsertakan ibu dalam perawatan bayinya.

Perawat memberi kesempatan kepada ibu untuk

melihat dan belajar dalam memberikan perawatan

terhadap bayinya. Tema keenam ini dapat digam-

barkan dalam pernyataan ibu sebagai berikut.

“Pekerjaan gitu saya dilibatkan…ya

seneng…sambil belajar…”(P1).

“…Ya ikut…ikut melihat gitu biar tahu,

sambil belajar…”(P3).

“…ya kalau pas pasang bedong,

memakaikan pampers gitu saya ikut

melihat, boleh ikut.”(P7).

Kepuasan pasien juga diungkapkan oleh ibu

melalui pernyataan-pernyataan sebagai berikut.

Ibu menyatakan bahwa perawat telah melakukan

penanganan dan perawatan yang terampil. Per-

nyataan yang mendukung tema terakhir ini ada

di bawah ini.

“Tapi kalau di sini langsung, cakcek (gesit,

segera ditangani) gitu lho, pokoknya cepat

terus alat-alat juga komplit. Itu mudahnya

ya di situ itu” (P1).

“Kan sudah dipercaya anaknya dirawat

disini, percaya supaya anaknya cepat

sembuh.”(P4).

Jurnal Keperawatan Indonesia, Vol. 18, No. 3, November 2015, hal 181-187 184

“Ya obat-obatnya untuk bayi-bayi segitu,

kan, ya bagus. Buktinya mereka yang

dirawat di sini, ya bisa sehat-sehat.”(P7).

Pembahasan

Teori caring Watson dalam salah satu faktor

karatifnya menyatakan bahwa perawat memiliki

kemampuan untuk meningkatkan sistem pem-

belajaran interpersonal. Perawat hendaknya

melakukan proses pembelajaran yang menarik

dan sungguh-sungguh termasuk diantaranya

adalah memberikan informasi pada pasien dan

keluarganya, memberikan pengertian tentang

kesehatan, serta berbagi pengalaman dengan

pasien dan keluarga (Alligood, 2010). Pemberian

informasi yang mudah dimengerti oleh keluarga

menunjukkan sensitivitas dan penghargaan ter-

hadap orang tua serta dapat mengurangi adanya

kebingungan pada saat merencanakan asuhan

keperawatan dan mengetahui kondisi anaknya

(Gillespie, et al., 2012).

Keluarga maupun tenaga kesehatan, yaitu perawat

merupakan faktor yang dapat memengaruhi proses

belajar tersebut. Kemampuan perawat dalam mem-

berikan informasi kepada ibu serta karakteristik

ibu yang berbeda mempunyai pengaruh yang

besar terhadap proses peningkatan pengetahuan

terutama dalam menjalin bonding attachment dan

memberikan perawatan kepada bayi prematur.

Partisipan mengungkapkan bahwa perawat

memberikan informasi tentang perkembangan

bayinya, cara perawatan, pemberian nutrisi, serta

kedekatan orang tua dan bayi. Karakteristik par-

tisipan dengan tingkat pendidikan yang berbeda

memengaruhi proses peningkatan pengetahuan.

Demikian pula dengan pengalaman sebelumnya

yang dimiliki oleh partisipan.

Penelitian yang seiring dengan penelitian ini

adalah penelitian Wilkin dan Slevin (2004) yang

mengeksplorasi makna caring di ruang ICU

(Intensive Care Unit). Hasil penelitian mengiden-

tifikasi adanya beberapa tema, yaitu perasaan

perawat, pengetahuan perawat, dan keterampilan

perawat. Pengetahuan perawat meliputi kom-

petensi teknik, pengalaman pengetahuan dan

profesionalitas, memahami pasien, merawat

orang lain dengan tepat, prioritas perawatan,

teknologi, dan situasi kritis. Selain itu, keteram-

pilan perawat meliputi interaksi perawat dan

pasien, advokat, fisik, dorongan, dan hambatan

dalam perawatan.

Orang tua dengan bayi prematur tentunya lebih

banyak membutuhkan hal-hal yang harus dipe-

lajari dan disiapkan dalam perawatan bayinya.

Peran perawat adalah memampukan orang tua

terutama ibu. Hal ini sesuai dengan komponen

caring yang diungkapkan oleh Arnold dan Boggs

(2003), yaitu empowerment (pemberdayaan).

Pemberdayaan bertujuan untuk mengurangi ke-

gagalan ibu dalam merawat bayinya di rumah

setelah bayi dipulangkan. Teori caring Swanson

(1995) dalam enabling human being menyatakan

bahwa perawat memfasilitasi kemampuan orang

lain untuk melakukan perawatan terhadap dirinya

sendiri maupun anggota keluarganya.

Berdasarkan konsep Becoming a mother, pada

tahap pengenalan, proses belajar dan keberadaan

secara fisik, ibu mulai mengenal bayinya dan

mulai belajar berbagai hal tentang bayi dan

perawatannya (Hushmilo, 2013). Hal ini dapat

digambarkan dalam hasil penelitian bahwa orang

tua (ibu) berusaha untuk mengerti dan memahami

kondisi bayinya serta belajar untuk merawat

bayi. Orang tua (ibu) mempunyai keinginan

untuk belajar agar dapat melakukan perawatan

secara mandiri dan bayinya mencapai derajat

kesehatan yang lebih optimal. Perawat mem-

fasilitasi kebutuhan orang tua tersebut dengan

memberi kesempatan pada ibu untuk belajar

memahami bayinya dan melakukan perawatan.

Hasil penelitian ini menggambarkan perawat

telah melakukan perilaku caring dalam mening-

katkan kemampuan orang tua untuk bonding

attachment maupun perawatan bayi prematur

yang diungkapkan partisipan dalam tema mampu

melakukan perawatan terhadap bayinya. Perawat

mengajari orang tua (ibu) berbagai hal, seperti

mengajari cara menyusui yang benar, mengajari

cara menjalin kedekatan dengan bayi, mengajari

perawatan metode kanguru, mengajari perawatan

bayi, serta mengajari untuk mengetahui adanya

tanda-tanda kegawatan terhadap bayi sehingga

Ludyanti, et al., Pengalaman Orang Tua Menerima Perilaku Caring Perawat 185

orang tua merasa mampu melakukan perawatan

terhadap bayinya yang prematur.

Masa transisi, kondisi bayi yang prematur, dan

lingkungan perawatan akan meningkatkan ke-

khawatiran, kecemasan, dan ketakutan terhadap

orang tua. Hal ini perlu menjadi perhatian bagi

seorang perawat dalam melakukan asuhan kepe-

rawatan terhadap pasien. Kondisi bayi prematur

memotivasi perawat maupun orang tua untuk

melakukan perawatan yang optimal. Perawat

mengajarkan orang tua cara merawat bayi pre-

matur yang meliputi aspek pemenuhan kebutuhan

dasar, seperti pemberian nutrisi dan menjaga

kebersihan. Selain itu, perawat juga memotivasi

orang tua (ibu) untuk selalu menjalin kedekatan

dengan bayinya, sabar dan teliti dalam melakukan

merawat bayi agar bayi cepat sehat.

Pada dimensi caring Swanson tentang maintaining

belief in, proses caring memfasilitasi pasien atau

orang tua untuk meningkatkan kepercayaan

diri sesuai dengan kemampuannya untuk menge-

tahui arti hidupnya, lebih optimis dan teguh

pendirian (Swanson, 1995). Caring yang dilaku-

kan oleh perawat menjadikan ibu lebih termotivasi

untuk belajar dan melakukan perawatan terhadap

bayinya yang prematur.

Perilaku caring yang paling pokok dalam pem-

berian asuhan keperawatan adalah membantu

memenuhi kebutuhan pasien dan sensitif pada

diri sendiri dan orang lain (Gillespie, et al.,

2012). Hal ini juga diungkapkan oleh Watson

dalam Aligood, 2010, melalui sepuluh karatif

caring yang salah satunya adalah kepuasan dalam

memenuhi kebutuhan dasar manusia. Perawat

selalu membantu memenuhi kebutuhan dasar

pasien. baik secara fisik maupun psikologis untuk

memberikan kenyamanan kepada pasien. Pada

penelitian ini, ibu menyatakan bahwa bayinya

yang menjalani perawatan selalu dalam keadaan

bersih dan rapi saat diberikan kepada ibunya. Pada

waktunya minum susu, perawat juga memberikan

susu kepada bayi, serta memberi kesempatan

kepada ibu untuk menyusui. Perawat juga mem-

fasilitasi kedekatan ibu dengan bayinya. Hal

ini menunjukkan bahwa perawat memenuhi

kebutuhan bayi, baik secara fisik maupun psiko-

logis dengan baik. Tindakan perawat tersebut

menggambarkan perilaku caring perawat dalam

melakukan pemenuhan kebutuhan dasar.

Keluarga merupakan bagian terpenting dalam

perawatan pasien. Anggota keluarga diharapkan

ikut bertanggung jawab dalam memenuhi

kebutuhan pelayanan yang kompleks (Lewis,

Gundwarden, & Saadawi, 2005). Watson juga

menjelaskan bahwa melibatkan anggota keluarga

dalam memotivasi pasien dan mengambil ke-

putusan adalah suatu hal yang penting dalam

perawatan (Watson & Foster, 2003).

Keterlibatan ibu dalam perawatan juga akan

meningkatkan kemampuan ibu dalam belajar

melakukan perawatan kepada bayi prematur.

Hasil penelitian menyatakan bahwa tidak semua

perawat di ruang perawatan intensif melibatkan

ibu dalam perawatan bayinya. Ibu menyatakan

bahwa perawat melakukan perawatan bayi sendiri

dan hanya melibatkan ibu saat pemberian nutrisi

saja. Ibu lainnya menyatakan bahwa perawat

memfasilitasi keterlibatan ibu dalam perawatan.

Hal ini berarti bahwa perawat belum benar-

benar melibatkan ibu dalam perawatan bayi

prematur.

Kehadiran orang tua (ibu) di dekat bayinya

memberikan efek yang positif terhadap perkem-

bangan bayi prematur yang dirawat di ruang

NICU. Perawat selalu berusaha meminta ibu untuk

datang ke ruang perawatan pada setiap jam me-

nyusui, meskipun bayi yang sedang dirawat belum

bisa disusui secara langsung dengan tujuan agar

ibu dapat lebih dekat dan menunggui bayinya.

Kedekatan antara orang tua dan anak dapat

terjalin melalui sentuhan, eksplorasi perasaan,

berbicara, dan menggunakan kontak mata (White,

Duncan, & Baumle, 2011). Bonding akan semakin

meningkat pada saat orang tua melakukan sen-

tuhan dan interaksi dengan bayinya (Bowden,

Dickey, & Greenberg, 1998). Jadi ketika orang tua

(ibu) merasa takut melakukan kontak fisik dan

komunikasi verbal dengan bayinya, kedekatan

antara orang tua dan bayi juga akan mengalami

hambatan. Hal ini tentunya juga akan berpengaruh

terhadap perkembangan bayi di masa yang akan

datang karena bonding attachment tidak dapat

Jurnal Keperawatan Indonesia, Vol. 18, No. 3, November 2015, hal 181-187 186

terjalin dengan baik. Oleh sebab itu, keterlibatan

ibu dalam perawatan merupakan hal yang sangat

penting dalam menjalin bonding attachment.

Perawat NICU sebaiknya mendampingi orang

tua saat bersama dengan bayinya, memberi

kesempatan untuk menyentuh, memegang, dan

mendampingi bayinya lebih dekat. Hal ini me-

rupakan tindakan yang dapat membantu orang

tua untuk menguatkan ikatan emosional dengan

bayinya (Merighi, Pinto de Jesus, Santin, &

Oliveira, 2011). Hasil penelitian ini juga me-

nyatakan bahwa perawat memberi kesempatan

kepada ibu untuk menyentuh, memegang, berada

di dekat bayi, mengajak berbicara bahkan menya-

nyi untuk bayinya sebagai bentuk keterlibatan

ibu dalam perawatan.

Kepuasan orang tua merupakan indikator penting

dalam perawatan di NICU dalam mencapai derajat

kesembuhan dan kesehatan bayi (Hawes, 2009).

Menurut Cunningham, et al., (2005), harapan

pasien terhadap perawatan meliputi adanya staff

yang kompeten, perawatan atau penanganan yang

cepat, perawatan yang menyenangkan, perawatan

yang efektif, lama perawatan yang lebih cepat,

dan kesembuhan pasien lebih cepat.

Berdasarkan studi kualitatif yang dilakukan oleh

Harbaugh, Tomlinson, dan Kirschbaum (2004),

harapan orang tua terhadap perawat dalam mem-

berikan asuhan keperawatan adalah menunjukkan

kualitas keterlibatan, pengawasan dan perlin-

dungan. Perilaku caring yang dilakukan perawat

termasuk memberikan informasi pada orang tua

dan keluarga, menghargai keunikan dari anak,

dan memberikan perawatan yang kompeten.

Keberhasilan perawat dalam melakukan asuhan

keperawatan dapat dilihat dari kemampuan dan

kompetensi perawat dalam memberikan asuhan.

Kompetensi klinik perawat merupakan penilaian

tertinggi dari pendidikan, interpretasi, dan penga-

laman dari berbagai situasi klinik. Kompetensi

klinik menjadi hal yang penting bagi orang tua

karena ada ketakutan dan kekhawatiran orangtua

tentang perawat yang mungkin akan menyakiti

atau melukai anaknya (Gillespie, et al., 2012).

Perawat yang tanggap dan responsif dalam mem-

bantu orang tua serta cepat merespons terhadap

pasien dan keluarganya juga diungkapkan oleh

ibu.

Hasil penelitian ini juga menyebutkan bahwa

secara umum para ibu merasa puas terhadap

perawatan yang diberikan di ruang NICU terutama

dalam memfasilitasi kedekatan orang tua dan

bayinya. Menurut para ibu perawatan yang dila-

kukan di ruang NICU sudah baik, meskipun ada

juga ibu yang mengatakan bahwa ada perawat

yang memberikan asuhan tidak sesuai dengan

harapan orang tua. Hal ini menunjukkan kepuasan

orang tua terhadap caring yang dilakukan perawat.

Kesimpulan

Pengalaman orang tua menerima perilaku caring

perawat dalam memfasilitasi bonding attachment

bayi prematur tergambar dalam tujuh tema, yaitu

proses peningkatan pengetahuan, mampu mela-

kukan perawatan terhadap bayinya, respons ibu

terhadap tindakan perawatan yang diberikan,

termotivasi dalam melakukan perawatan bayi

prematur, terpenuhinya kebutuhan selama pera-

watan, keterlibatan dalam asuhan keperawatan,

dan kepuasan terhadap perawatan. Rekomendasi

hasil penelitian ini adalah institusi perlu memfasi-

litasi perawat dalam menerapkan proses bonding

attachment bayi prematur dengan orang tua

terutama ibu. Hasil penelitian dijadikan bahan

masukan dalam mempersiapkan lulusan untuk

melatih sensitifitas kebutuhan orang tua terutama

bayi prematur dan dapat digunakan dalam me-

ngembangkan riset keperawatan terutama yang

berkaitan dengan perilaku caring perawat dalam

memfasilitasi bonding attachment terhadap bayi

premature (NN, INR, AM).

Referensi

Alligood, M.R. (2010). Nursing theory: Utilization

and application (4th Ed.). Philadelphia: Mosby

Elsevier.

Bowden, V.R., Dickey, S.B., & Greenberg, C.S.

(1998). Children and their families: The

continuum of care. Philadelpia: W.B. Saunders

Company.

Ludyanti, et al., Pengalaman Orang Tua Menerima Perilaku Caring Perawat 187

Boxwell, G. (2007). Neonatal intensive care

nursing. New York: Routledge.

Cloherty, J.P., Eichenwald, E.C., & Stark, A.R.

(2008). Manual of neonatal care (6th Ed.).

Philadelphia: Lippincotts Williams and

Wilkins.

Cunningham, T.T., Carpenter, C.C., Charlip, R.B.,

Goodloe, J.L., Griffin, L.D., Maccione, N.

Zuckerman, A.M. (2005). Patient satisfaction:

Understanding and managing the experience

of care. Second Edition. Chicago: Irwin Press.

Davis, L., Edwards, H., Mohay, H. & Wollin, J.

(2003). “The course of depression in mothers

of premature infants in hospital and at home”.

Australian Journal of Advance Nursing, 21

(2), 20–26.

Gillespie, L.D., Robertson, M.C., Gillespie,

W.J., Sherrington, C., Gates, S., Clemson,

L.M., & Lamb, S.E. (2012). Interventions for

preventing falls in older people living in the

community. Cochrane Database Syst Rev., 12

(9), CD007146. doi: 10.1002/14651858.

CD007146.pub3.

Guillaume, S., Natacha, M., Amrani, E., Benier,

B., Durrmeyer, X., Lescure, S., Ceymaex, L.

(2013). Parent’s expectations of staff in the

early bonding process with their premature

babies in the intensive care setting: A

qualitative multicenter study with 60 parents.

BMC Pediatrics, 13 (18), 1–9.

Harbaugh, B.L., Tomlinson, P.S., & Kirschbaum,

M. (2004). Parents' perceptions of nurses'

caregiving behaviors in the pediatric intensive

care unit. Issues Comprehensive Pediatric

Nursing, 27 (3), 163–178. doi: 10.1080/0146

0860490497985.

Juretschke, L.J. (2007). Do parents of premature

infants perceive neonatal nurse practitioners

as Caring? (Unpublished doctoral

dissertation). Loyola University Chicago.

Proquest database.

Lopez, G.L., Anderson, K.H., & Feutchinger, J.

(2012). Transition of premature infants from

hospital to home life. Neonatal Network, 31

(4), 207–214.

Merighi, M.A.B., Pinto de Jesus, M.C., Santin,

K.R., & Moura de Oliveira, D. (2011). Caring

for newborn in the presence of their parents:

The experience of nurses in the neonatal

intensive care unit. Rev. Latino-Am

Enfermagem, 19 (6), 1398–1404.

Potts, N.L., & Mandleco, B.L. (2012). Pediatric

nursing: Caring for children and their

families (3rd Ed.). New York: Delmar

Cengage Learning.

Swanson, K.M. (1995). Response to “The power of

human caring: Early recognition of patient

problem”. Scholarly Inquiry for Nursing

Practice: An International Journal, 9 (4),

319–321.

Watson, J., & Foster, R. (2003). “The attending

nurse caring model: Integrating theory,

evidence and advanced caring–healing

therapeutics for transforming professional

practice”. Journal of Clinical Nursing, 12,

360–365.

White, L., Duncan, G., & Baumle, W. (2011).

Foundations of maternal and pediatric

nursing (3rd Ed.). New York: Delmar

Cengage Learning.

Wilkin, K., & Slevin, E. (2004). The meaning of

caring to nurses: An investigation into the

nature of caring work in an intensive care

unit. Journal of Clinical Nursing, 13 (1), 50–

59. Doi: 10.1111/j.1365-2702.2004.00814.x.

Willinger, U., Diendorfer-Radner, G., Wilnauer,

R., Jorgl, G., & Hager, V. (2005). Parenting

stress and parental bonding. Behavioral

Medicine, 31 (2), 63–80.

Jurnal Keperawatan Indonesia, Volume 18 No.3, November 2015, hal 188-191

pISSN 1410-4490, eISSN 2354-9203

PERCEPATAN MASA PENGGUNAAN SONDE MELALUI

STIMULASI NON NUTRITIVE SUCKING DALAM PEMBERIAN MINUM

BAYI PREMATUR

Nurhayati1,2*

, Dessie Wanda3, Elfi Syahreni

3

1. Rumah Sakit Anak Bunda Harapan Kita, Jakarta Barat 11420, Indonesia

2. Program Studi Magister Fakultas Ilmu Keperawatan, Universitas Indonesia, Depok 16424, Indonesia

3. Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, Kampus, Depok, 16424, Indonesia

*E-mail: [email protected]

Abstrak

Kemampuan mengisap mengisapbayi prematur dapat ditingkatkan dengan pemberian stimulasi non nutritive sucking

(NNS) dengan menggunakan empeng. Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan pengaruh stimulasi NNS

menggunakan empeng terhadap lama penggunaan sonde dalam pemberian minum bayi prematur. Desain penelitian

menggunakan kuasi eksperimen dengan post test only with control group design dengan sampel dua puluh responden

untuk dua kelompok yang dipilih secara purposive sampling di salah satu rumah sakit daerah Tangerang. Pengumpulan

data menggunakan kuesioner dan instrumen lembar observasi indikator pelepasan sonde dan dianalisis dengan uji t

tidak berpasangan. Hasil penelitian menunjukkan tidak ada pengaruh stimulasi NNS dengan menggunakan empeng

terhadap lama penggunaan sonde dalam pemberian minum bayi prematur (p= 0,379), tetapi masa penggunaan sonde

lebih pendek. Peneliti merekomendasikan agar stimulasi NNS dengan menggunakan empeng tetap dijadikan prosedur

alternatif untuk meningkatkan refleks mengisapmengisap pada bayi prematur.

Kata kunci: empeng, prematur, refleks mengisap, stimulasi non nutritive sucking, sonde

Abstract

Acceleration of Gastric Tube Usage through Non Nutritive Sucking Simulation for Premature Infant Feeding. An

adequate sucking can be improved a premature infant’s sucking reflex with non nutritive sucking stimulation (NNS)

with pacifier. The purpose of this research was to identify the influence of NNS stimulation with pacifier towards the

duration of gastric tube usage during premature infant feeding. The design of this research was quasi experimental with

post test only control group design with 20 respondents for two groups, then were chosen by purposive sampling in one

of Tangerang District Hospital. The data were collected using a questionnaire and an observation form. Data were

analized using independent t test. The result of this research showed that there was no influence of NNS with pacifier

towards the duration of gastric tube usage (p=0,379), however the duration of gastric tube usage was shortened. This

research recommends that non nutritive sucking stimulation with pacifier is an alternative procedures to improve a

premature infant’s sucking reflex.

Keywords: non nutritive sucking stimulation, preterm babies, pacifier, sucking reflex, gastric tube

Pendahuluan

Prematuritas merupakan salah satu penyebab

kematian neonatus tertinggi (Blencowe, et al., 2012).

Kondisi prematur sering berdampak pada kesehatan

anak di kemudian hari yaitu berupa gangguan per-

tumbuhan dan perkembangan (Judarwanto, 2012).

Penelitian yang dilakukan oleh Gewolb dan Vice

(2006) melaporkan bahwa masa gestasi yang

kurang dapat menyebabkan gangguan koordinasi

antar refleks mengisap, menelan dan bernapas,

sehingga dapat terjadi penundaan pemberian air

susu ibu (ASI). Pemberian ASI yang terlambat

dapat mengakibatkan berat badan bayi sulit naik

dan dehidrasi pada minggu pertama kehidupannya.

Bayi prematur belum mempunyai kemampuan

minum yang adekuat. Ketidakmampuan minum

pada bayi prematur disebabkan oleh kemampuan

otot mengisapmengisap masih lemah, kapasitas

Nurhayati, et al., Percepatan Masa Penggunaan Sonde Melalaui Stimulasi 189

oral belum stabil, dan penyebab yang berhubungan

dengan gangguan neurologi. Keefektifan koordinasi

antara refleks mengisap, menelan, dan bernapas

pada bayi prematur dipengaruhi oleh kematangan

struktur otak dan saraf kranial (Da Costa, van den

Engel-Hoek, & Bos, 2008; Glass & Wolf, 1994).

Kemampuan mengisap dan menelan bayi prematur

dapat ditingkatkan dengan melakukan stimulasi oral

motor dini dan non nutritive sucking (NNS) (Lau,

Alagugurusamy, Shulman, Smith, & Schanler, 2000).

NNS merupakan aktivitas mengisap bayi tanpa

adanya cairan atau nutrisi dan merupakan terapi

non farmakologis dengan menggunakan empeng

yang bertujuan untuk merangsang kemampuan me-

ngisap tanpa pemberian ASI atau formula (Kenner

& McGrath, 2004; Merenstein & Gardner, 2002).

Beberapa penelitian terkait stimulasi oral dan

NNS telah dilakukan, antara lain penelitian yang

dilakukan Cevasco dan Grant (2005). Hasil

penelitian yang dilakukan Cevasco dan Grant

menunjukkan bahwa intervensi NNS dan men-

dengarkan musik lima belas menit sebanyak

tiga kali pada enam puluh dua bayi usia gestasi

32–36 minggu meningkatkan berat badan bayi

prematur. Penelitilain, Lessen (2011) melaporkan

bahwa stimulasi oral (premature infant oral motor

intervention) telah membuktikan kemampuan

minum bayi lima hari lebih cepat dan dapat

pulang dua sampai dengan tiga hari lebih cepat.

Stimulasi oral dilakukan lima menit sehari, selama

tujuh hari pada sembilan belas bayi prematur

dengan usia gestasi 26–29 minggu.

Penggunaan empeng (NNS) yang telah banyak

dilakukan pada pelayanan keperawatan adalah

untuk memberikan rasa nyaman pada bayi. Peng-

gunaan empeng sebagai cara meningkatkan refleks

mengisap bayi masih jarang ditemukan. Penelitian

ini bertujuan untuk mengetahui sejauh mana

pengaruh stimulasi NNS dengan menggunakan

empeng terhadap lama penggunaan sonde dalam

pemberian minum bayi prematur.

Metode

Rancangan penelitian ini menggunakan eksperi-

men semu menggunakan kelompok kontrol. Data

diambil dengan sekali pengukuran dan sampel

ditentukan secara non probability sampling dengan

teknik purposif. Jumlah responden adalah dua

puluh bayi yang didapatkan dari penghitungan

besar sampel berdasarkan rumus uji hipotesis

beda dua mean kelompok independen. Kriteria

inklusi penelitian ini adalah usia gestasi bayi

antara tiga puluh satu sampai dengan tiga puluh

tujuh minggu, mendapat persetujuan dari orang

tua, bayi sudah tidak mendapat terapi infus total,

masih minum memakai sonde, suhu tubuh antara

36,5 sampai dengan 37,5 °C, serta bayi tidak dalam

kondisi gangguan napas dan kondisi sakit berat,

seperti perdarahan otak, kelainan jantung, kelainan

bedah serta kelainan kongenital. Penentuan kelom-

pok intervensi dan kelompok kontrol dilakukan

secara acak sederhana.

Alat pengumpul data yang digunakan dalam pene-

litian ini adalah kuesioner dan lembar observasi

indikator pelepasan sonde. Kuesioner digunakan

untuk mendapatkan data karakteristik bayi prema-

tur dan lembar observasi indikator pelepasan sonde

(berupa pencatatan hasil pengukuran berat badan

bayi dan kemampuan minum bayi per oral). Ins-

trumen penelitian ini adalah lembar observasi

indikator pelepasan sonde, validitas isi instrumen

telah dikonsulkan kepada pakar di bidang ke-

perawatan neonatus. Uji reliabilitas instrumen

menggunakan uji Cronbach alpha dengan nilai

alpha sebesar 0,74.

Uji interrater reliability menggunakan uji Cohen’s

Kappa menghasilkan nilai Kappa sebesar satu.

Peneliti melakukan stimulasi NNS menggunakan

empeng lima menit sebelum bayi minum, seba-

nyak tiga kali sehari dan selama tujuh hari. Jumlah

ASI atau formula yang dapat diminum bayi

melalui oral dan hasil penimbangan berat badan

dicatat pada lembar observasi. Intervensi stimulasi

NNS telah dilakukan dengan memperhatikan

prinsip-prinsip etik, yaitu respect for human

dignity, beneficence, dan justice.

Analisis data dilakukan menggunakan program

komputer dan uji yang dilakukan adalah uji t

tidak berpasangan untuk mengetahui pengaruh

stimulasi NNS dengan menggunakan empeng

terhadap lama penggunaan sonde. Tempat pene-

Jurnal Keperawatan Indonesia, Vol. 18, No. 3, November 2015, hal 188-191

190

litian dilakukan di ruang perinatologi di salah

satu rumah sakit daerah Kabupaten Tangerang.

Hasil

Gambaran karakteristik responden pada penelitian

ini sebagian besar memiliki berat badan antara

2.000 sampai dengan 2.500 gram (40%), rerata

usia gestasi tiga puluh tiga minggu dengan nilai

APGAR 4,9, dan jenis kelamin seimbang antara

lelaki dan perempuan.

Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa tidak

ada pengaruh stimulasi NNS dengan menggu-

nakan empeng terhadap lama penggunaan sonde

dalam pemberian minum bayi prematur (p= 0,379).

Penelitian ini menunjukkan bahwa masa peng-

gunaan sonde pada kelompok intervensi lebih

cepat dari pada kelompok kontrol (Tabel 1).

Pembahasan

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tidak ada

pengaruh stimulasi NNS dengan menggunakan

empeng terhadap lama penggunaan sonde. Hal

ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan

Cevasco dan Grant (2005), yang melaporkan bahwa

stimulasi NNS dan mendengarkan musik dapat

meningkatkan berat badan. Lessen (2011) juga

melaporkan bahwa stimulasi oral yang dilakukan

telah dapat meningkatkan minum per oral lima

hari lebih cepat dan bayi dapat pulang 2,6 hari

lebih cepat. Peneliti mengasumsikan bahwa keti-

daksesuaian hasil ini disebabkan oleh perbedaan

besarnya sampel yang sangat bervariasi, adanya

kombinasi stimulasi yang dilakukan, dan durasi

serta frekuensi stimulasi yang berbeda.

Meskipun hasil penelitian menunjukkan tidak ada

pengaruh yang bermakna, namun secara kuantitas

terdapat perbedaan lama penggunaan sonde antara

kelompok yang diberi stimulasi NNS dan yang

Tabel 1. Perbedaan Lama Penggunaan Sonde dalam

Pemberian Minum Bayi Prematur (n= 10)

Variabel Rerata p

Lama penggunaan sonde

a. Kelompok Intervensi 4,7 0,379

b. Kelompok Kontrol 6

tidak mendapat stimulasi. Stimulasi NNS dapat di-

lakukan untuk meminimalkan terjadinya gangguan

refleks mengisap pada bayi prematur sehingga

pelepasan sonde dapat dipercepat.

Hubungan usia gestasi terhadap lama penggunaan

sonde pada penelitian ini menunjukkan hubungan

yang bermakna. Hasil penelitian sejalan dengan

penelitian yang dilakukan Raju, Higgins, Stark,

dan Levano (2006), yang menjelaskan bahwa usia

gestasi memengaruhi kematangan organ. Da Costa,

Hoek, dan Bos (2008) juga menjelaskan bahwa

kematangan struktur otak dan saraf kranial meme-

ngaruhi keefektifan koordinasi refleks mengisap,

menelan dan bernapas pada bayi prematur. Refleks

mengisap dipengaruhi oleh kematangan fungsi

otak, semakin muda usia gestasi, fungsi organ

tubuh semakin kurang, sehingga refleks mengisap

juga belum adekuat.

Hubungan berat badan terhadap lama penggunaan

sonde pada penelitian ini bermakna. Hasil pe-

nelitian ini sejalan dengan Cevasco dan Grant

(2005) yang melaporkan bahwa stimulasi NNS

dengan mendengarkan musik dapat meningkatkan

berat badan. Kenaikan berat badan merupakan

salah satu indikator peningkatan status pertumbuh-

an bayi. Peningkatan pertumbuhan ini membantu

proses pematangan organ tubuh, termasuk kemam-

puan refleks mengisap bayi.

Selain itu, tidak ditemukan adanya hubungan

antara jenis kelamin terhadap lama penggunaan

sonde. Studi literatur yang mengatakan perbedaan

refleks mengisap antara jenis kelamin laki dan

perempuan belum ada.

Kesimpulan

Penelitian ini menunjukkan bahwa tidak ada

pengaruh stimulasi NNS dengan menggunakan

empeng terhadap lama penggunaan sonde dalam

pemberian minum bayi prematur. Namun, lama

penggunaan sonde pada Kelompok Intervensi

lebih pendek daripada Kelompok Kontrol. Ber-

dasarkan hal tersebut, perawat dapat dimotivasi

untuk lebih berperan dalam meningkatkan refleks

mengisap dengan cara melakukan sosialisasi dan

edukasi pentingnya stimulasi NNS pada bayi

prematur (NN, INR, AM).

Nurhayati, et al., Percepatan Masa Penggunaan Sonde Melalaui Stimulasi 191

Referensi

Blencowe, H., Cousens, S., Oestergaard, M., Chou,

D., Moller, A.B., Narwal, R., & Lawn, J.E.

(2012). National, regional, and worldwide

estimates of preterm birth. The Lancet, 9,

2162–2172. Diperoleh dari http://www.

WHO.Int.com.

Cevasco, A.M., & Grant, R.E. (2005). Effect of

pacifier activated lullaby on weight gain of

premature infants. Journal of Music

Therapy, 42 (2), 123.

Da Costa, S. P., van den Engel-Hoek, L., & Bos,

A. F. (2008). Sucking and swallowing in

infants and diagnostic tools. Journal of

Perinatology, 28, 247–257.

Gewolb, I., & Vice, F. (2006). Maturational

changes in rhythms, patterning and

coordination of respiration and swallow

during feeding in preterm and infants. Dev

Med Child Neurol, 48, 568–594.

Glass, R.P., & Wolf, L.S. (1994). A global

perspective on feeding assessment in the

neonatal intensive care unit. The American

Journal of Occupational Therapy, 48 (6),

514–526.

Judarwanto, W. (2012). Bayi prematur beresiko

alergi dan hipersensitifitas saluran cerna.

Jakarta: Grow Up Clinic Information

Education Network.

Kenner, C., McGrath, J. M. (2004). Developmental

care of newborn and infants: A guide for

health professionals. New York: Elsevier.

Lau, C., Alagugurusamy, R., Schanler, R. J.,

Smith, E. O., & Shulman, R. J. (2000).

Characterization of the developmental

stages of sucking in preterm infant during

bottle feeding. Acta Paediatric, 89, 846–

852.

Lessen, B. S. (2011). Effect of the premature infant

oral motor intervention on feeding

progression and length of stay in preterm

infants. Advances in Neonatal Care, 11

(2), 129–139.

Merenstein, G.B., & Gardner, S.L. (2002).

Handbook of neonatal intensive care (5th

Ed.). St. Louis, Missouri: Mosby.

Raju, T.N.K., Higgins, R.D., Stark, A.R., &

Leveno, K.J. (2006). Optimizing care and

outcome for late preterm (near term)

infants: A summary of the workshop

sponsored by the National Institute of

Child Health and Human Development.

Pediatrics, 118, 1207–1214.

Jurnal Keperawatan Indonesia, Volume 18 No.3, November 2015, hal 192-198

pISSN 1410-4490, eISSN 2354-9203

PERILAKU CARING PERAWAT BERDASARKAN FAKTOR INDIVIDU

DAN ORGANISASI

Eva Supriatin*

Fakultas Ilmu Keperawatan, Universitas BSI Bandung, Bandung 40282, Indonesia

*E-mail: [email protected]

Abstrak

Perilaku caring perawat dapat meningkatkan perubahan positif dalam aspek fisik, psikologis, spiritual, dan sosial.

Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi hubungan faktor individu dan organisasi dengan perilaku caring

perawat. Desain penelitian ini adalah deskriptif korelasi dengan pendekatan cross sectional. Populasi penelitian ini

adalah seluruh perawat pelaksana di empat ruang rawat inap suatu rumah sakit. Sampel penelitian berjumlah empat

puluh tiga perawat secara total sampling. Hasil penelitian ini adalah ada hubungan usia (p= 0,027; α= 0,05), masa kerja

(p= 0,001; α= 0,05), kepemimpinan (p= 0,005; α= 0,05), struktur organisasi (p= 0,001; α= 0,05), imbalan (p= 0,037; α=

0,05), dan desain kerja (p= 0,006; α= 0,05) dengan perilaku caring perawat. Saran dari penelitian ini adalah perlunya

pembinaan yang berkaitan dengan kepemimpinan dan pengorganisasian pada perawat untuk meningkatkan perilaku

caring perawat.

Kata kunci: perilaku caring perawat, faktor individu, faktor organisasi

Abstract

Nurse Caring Behavior based on Individual and Organization Factors. Nurse caring behavior will increase the

positive impacts on physical, psychological, spiritual, and social. The purpose of the study was to idetify how the

relationship of individual factors and organizational factors with the nurse caring behavior. The research design was a

descriptive correlation using cross sectional. The study population was all nurses practtisioners in 4 (four) wards.

Samples of this study were 43 nurses in total sampling. Results of this study was no related of age (p= 0,027; α= 0,05),

year (p= 0,001; α= 0,05), leadership (p= 0,005; α= 0,05), organizational structure (p= 0,001; α= 0,05), reward (p=

0,037; α= 0,05), and design work (p= 0,006; α= 0,05) with the nurse caring behavior. Suggestions from these findings

is related to the development of leadership and organization.

Keywords: individual factor, organisation factor, nurse caring behaviour

Pendahuluan

Caring sebagai inti keperawatan merupakan fokus/

sentral dari praktik keperawatan yang dilandaskan

pada nilai-nilai kebaikan, perhatian, kasih terhadap

diri sendiri dan orang lain, serta menghormati

keyakinan spiritual klien. Caring dikatakan sebagai

jantung dalam praktik keperawatan.

Leinenger (1997) dalam Watson (2004) mengatakan

bahwa caring dapat terlihat pada perilaku perawat.

Perilaku tersebut antara lain memberi rasa nyaman,

memberikan perhatian, kasih sayang, peduli, meme-

lihara kesehatan, memberi dorongan, empati, minat,

cinta, percaya, melindungi, kehadiran, mendukung,

memberi sentuhan, menunjukkan siap membantu,

dan mengunjungi klien. Perilaku caring perawat

akan membantu menolong klien dalam me-

ningkatkan perubahan positif dalam aspek fisik,

psikologis, spiritual, dan sosial.

Perilaku caring perawat pelaksana dalam asuhan

keperawatan merupakan kinerja perawat yang

dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu faktor individu,

faktor organisasi, dan faktor psikologis (Gibson,

1997). Faktor individu meliputi kemampuan, kete-

rampilan, latar belakang pribadi, dan demografis.

Faktor psikologis banyak dipengaruhi oleh keluarga,

Supriatin, Perilaku Caring Perawat berdasarkan Faktor Individu 193

tingkat sosial, pengalaman kerja sebelumnya, dan

demografis. Faktor organisasi menurut Gibson

(1997) terdiri atas variabel sumber daya, kepemim-

pinan, imbalan, struktur, dan desain pekerjaan.

Sebuah Rumah Sakit di Kota Bandung tipe C

memiliki kapasitas tempat tidur sejumlah seratus

lima pukuh tempat tidur. Laju penggunaan tempat

tidur (BOR) 69,97%. Instalasi rawat inap terdiri

atas ruang rawat inap anak dengan rerata rasio

perawat dengan klien 1:12, di ruang penyakit

dalam 1:14, di ruang bedah 1:5, ruang kebidanan

1:18, dan ruang perinatal 1:18. Rasio tersebut

menunjukkan adanya ketidakseimbangan rasio

perawat dengan klien dan distribusi perawat yang

tidak merata di setiap ruang rawat inap.

Evaluasi kinerja perawat ditinjau dari perilaku

caring dalam asuhan keperawatan melalui hasil

kotak saran klien di antaranya perawat hendaknya

lebih gesit dalam memenuhi panggilan klien,

lebih ramah, dan lebih sopan dalam berhadapan

dengan klien. Hasil wawancara dengan beberapa

perawat di ruang rawat inap didapatkan bahwa

perawat bekerja sebatas rutinitas, jenjang karier

yang tidak jelas, sistem insentif yang kurang

memadai, dan kurang mendapatkan perhatian dari

pimpinan. Peneliti belum menemukan adanya

hubungan faktor individu (usia dan pengalaman)

dan faktor organisasi (kepemimpinan, imbalan,

struktur organisasi, dan jenjang karier) dengan

perilaku caring perawat.

Metode

Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif

dengan pendekatan cross sectional. Populasi

penelitian ini adalah empat puluh tiga perawat

pelaksana pada instalasi rawat inap rumah sakit

(RS) di Kota Bandung pada 22–30 Juni 2009 (total

sampling). Instrumen penelitian berupa kuesioner

yang disusun berdasarkan skala Likert. Instrumen

dikembangkan berdasarkan konsep faktor individu,

faktor organisasi, dan perilaku caring. Hasil uji

coba kuesioner menunjukkan kuesioner valid

(0,3705–0,9266) dan reliabel (0,9615–0,9709)

untuk seluruh kuesioner. Data dianalisis secara

univariat dan bivariat (uji t-independent dan Kai

kuadrat).

Hasil

Perilaku Caring Perawat. Penelitian ini meng-

gunakan enam indikator perilaku caring perawat

(Watson, 2004) adalah meliputi accessible,

explain-fasilatates, comfort, anticipates, trusting

relationship, dan monitors-follows. Alat ukur yang

digunakan untuk menilai perilaku caring perawat

menggunakan Care Q (The Nurse Behaviour

Caring Study) Larson.

Hasil penelitian pada Tabel 1 menunjukkan se-

bagian besar (58,1%) perilaku caring perawat

pelaksana masih kurang.

Faktor Individu dengan Caring Perawat. Sub-

variabel kemampuan dan keterampilan merupakan

faktor utama yang memengaruhi perilaku dan

individu. Subvariabel demografis, menurut (Gibson,

1997), mempunyai efek tidak langsung pada

perilaku dan kinerja individu, namun karakteristik

demografik merupakan hal yang penting diketahui

oleh pimpinan atau seorang dalam memotivasi

dan meningkatkan kinerjanya. Karakteristik de-

mografi meliputi usia, jenis kelamin, latar belakang

pendidikan, masa kerja, dan status perkawinan.

Rerata usia perawat pelaksana adalah 28,7

tahun dengan usia termuda 22 tahun dan tertua

43 tahun. Rerata masa kerja perawat adalah

6,05 tahun dengan lama kerja tersingkat 2 tahun

dan terlama 16 tahun, sebagian besar perawat

berjenis kelamin perempuan (74,4%), berpendi-

dikan D-3 (90,7%), dan telah menikah (79,1%).

Hasil dapat dilihat pada Tabel 2 dan Tabel 3.

Tabel 1. Perilaku Caring Perawat

Perilaku Caring f %

a. Kurang Baik 25 58,1

b. Baik 18 41,9

Tabel 2. Karakteristik Responden berdasarkan

Umur dan Masa Kerja

Variabel Mean SD Min–

Mak 95%CI

a.Umur 28,70 3,66 22–43 27,57–29,82

b.Masa

Kerja

6,05 3,10 2–16 5,09–7,00

Jurnal Keperawatan Indonesia, Vol. 18, No. 3, November 2015, hal 192-198 194

Hasil penelitian menunjukkan terdapat hubungan

antara usia perawat yang perilaku caring perawat

(p= 0,027; = 0,05). Masa kerja perawat juga

berhubungan dengan perilaku caring perawat

(p= 0,001; = 0,05). Tampak pada Tabel 4.

Pendidikan dan jenis kelamin tidak berhubungan

dengan perilaku caring perawat pelaksana (p=

0,398; = 0,05) tergambar pada Tabel 5.

Faktor Organisasi dengan Perilaku Caring

Perawat. Variabel organisasi menurut Gibson

(1997) berefek tidak langsung terhadap perilaku dan

kinerja individu. Variabel organisasi digolongkan

dalam subvariabel sumber daya, kepemimpinan,

imbalan, struktur, dan desain pekerjaan.

Hasil penelitian didapatkan persepsi perawat pe-

laksana kurang tentang kepemimpinan (58,1%),

struktur organisasi (51,2%), dan desain kerja

(62,8%). Akan tetapi, yang dipersepsikan baik

oleh perawat pelaksana adalah imbalan (53,5%).

Hasil tampak pada Tabel 6.

Tabel 3. Karakteristik Responden berdasarkan

Pendidikan dan Jenis Kelamin

Variabel F %

Pendidikan

- a.Surat Perintah Kerja

(SPK)

- bD-3 Keperawatan

- c.S-1 Keperawatan

1

39

3

2,3

90,7

7

Jenis Kelamin:

- a.Laki-Laki

- b.Perempuan

11

32

25,6

74,4

Tabel 4. Hubungan Umur dan Masa Kerja Perawat

dengan Perilaku Caring Perawat

Variabel Variabel

dependen Mean SD p N

a. Umur Perilaku

caring

- Kurang

- Baik

27,5

30,3

2,06

4,71

0,137

66

75

b. Masa

Kerja

Perilaku

caring

- Kurang

- Baik

4,6

8,0

1,5

3,7

0,066

66

75

Tabel 5. Hubungan Pendidikan dan Jenis Kelamin

dengan Perilaku Caring Perawat

Variabel

Perilaku Caring

N p Kurang Baik

n % n %

Pendidikan

a.SPK/D-3

b.S-1

Keperawtan

23

2

59,0

66,7

17

1

41,0

33,3

40

3

0,39

8

Jenis

Kelamin

a.Laki-Laki

b.Perempuan

6

19

54,5

59,5

5

13

45,5

40,6

11

32

0,52

5

Tabel 6. Faktor Organisasi

Variabel f (%)

Faktor Organisasi

Subvariabel

1. Kepemimpinan

o a. Kurang

o b. Baik

o

25

18

58,1

41,9

Struktur organisasi

o a. Kurang

o b. Baik

o

22

21

51,2

48,8

Imbalan

o a. Kurang

o b. Baik

o

20

23

46,5

53,5

Desain kerja

o a. Kurang

o b. Baik

27

16

62,8

37,2

Hasil penelitian pada faktor organisasi menunjuk-

kan terdapat hubungan bermakna antara persepsi

perawat terhadap kepemimpinan kepala ruangan,

struktur organisasi, imbalan, dan desain kerja

dengan perilaku caring perawat pelaksana (p≤

0,05 (= 0,05). Hasil tersebut dapat dilihat pada

Tabel 7.

Pembahasan

Perilaku Caring Perawat. Hasil penelitian menun-

jukkan sebagian besar perilaku caring perawat

pelaksana masih kurang. Hal ini dapat terjadi

karena kebanyakan perawat terlibat secara aktif

dan memusatkan diri pada fenomena medik,

Supriatin, Perilaku Caring Perawat berdasarkan Faktor Individu 195

Tabel 7. Hubungan Kepemimpinan, Struktur Organisasi, Imbalan, dan Desain kerja dengan Perilaku Caring

Perawat

Variabel

Perilaku Caring Total p

Kurang Baik

n % n % N

Kepemimpinan

a. Kurang

b. Baik

19

6

76,033,3

6

12

41,0

33,3

40

3

0,005

Struktur organisasi

a. Kurang

b. Baik

18

7

81,8

33,3

4

14

18,2

66,7

22

21

0,001

Imbalan

a. Kurang

b. Baik

15

10

75

43,5

5

13

25

56,5

20

23

0,037

Desain pekerjaan

a. Kurang

b. Baik

20

5

74,1

31,3

7

11

25,9

68,8

27

16

0,006

seperti cara diagnostik dan cara pengobatan.

Akibatnya, perawat kekurangan waktu dalam

memberikan perhatian pada tugas care klien.

Beberapa bukti empirik yang mendukung kurang-

nya perilaku caring perawat, yaitu hasil penelitian

Greenhalgh, Vanhanen, dan Kyngas (1998). Peneli-

tian yang bertujuan menelaah perilaku perawat yang

bekerja di ruang perawatan umum menunjukkan

bahwa perawat lebih menekankan perilaku caring

fisik daripada afektif. Pemenuhan kebutuhan

biologis menjadi fokus utama perawat sehingga

kebutuhan lainnya seperti kebutuhan psikologis,

sosial, dan spiritual klien kurang mendapat per-

hatian.

Perilaku caring perawat yang kurang menurut

Greenhalgh, Vanhanen, dan Kyngas (1998) di-

sebabkan jumlah perawat yang sangat terbatas

dengan jumlah klien yang banyak (rasio perawat:

klien adalah 1:12-18). Perawat juga belum mema-

hami makna caring, baik arti caring, spirit caring,

maupun tindakan atau wujud nyata dari perilaku

caring.

Faktor Individu dengan Caring Perawat. Umur

perawat yang berada pada masa produktif di RS

ini berhubungan dengan perilaku caring-nya. Pada

umur ini memungkinkan perawat dalam masa

kedewasaan dan kematangan. Dessler (1997)

menekankan bahwa umur produktif adalah usia

25–30 tahun di mana pada tahap ini merupakan

penentu seseorang untuk memilih bidang pekerjaan

yang sesuai bagi karir individu tersebut. Umur

30–40 tahun merupakan tahap pemantapan pilihan

karier untuk mencapai tujuan. Namun, puncak

karier terjadi pada umur 40 tahun. Menurut Siagian

(1999), semakin lanjut umur seseorang semakin

meningkat pula kedewasaan teknisnya, demikian

pula psikologis, menunjukkan kematangan jiwa.

Perawat di RS ini menjadi modal dasar dalam

mengembangkan sumber daya manusia (SDM)

dilihat secara umur.

Masa kerja perawat di RS tersebut berhubungan

dan bermakna dengan perilaku caring-nya. Robbins

(1998) menguraikan bahwa semakin lama sese-

orang bekerja semakin terampil dan akan lebih

berpengalaman dalam melaksanakan pekerjaannya.

Masa kerja perawat RS tersebut berpengaruh

terhadap pengalaman kerja. Hal ini dapat dilihat

dari adanya perawat senior berdasarkan lama kerja

yang dijadikan role model dan dijadikan acuan

bagi perawat muda dalam berperilaku caring.

Jenis kelamin perawat tidak berhubungan dengan

perilaku caring-nya. Penelitian ini didukung

Aminuddin (2004) yang menyatakan bahwa

tidak ada perbedaan kinerja perawat laki-laki

dengan perempuan.

Jurnal Keperawatan Indonesia, Vol. 18, No. 3, November 2015, hal 192-198 196

Hasil penelitian ini tidak didukung oleh hasil

penelitian Greenhalgh, Vanhanen dan Kyngas

(1998) yang mendapatkan hubungan antara jenis

kelamin perawat dengan perilaku caring. Adanya

perbedaan ini dapat disebabkan oleh adanya

perbedaan budaya, kebiasaan, nilai, dan faktor

lainnya. Saat ini perbedaan gender sudah tidak

berlaku di masyarakat. Perawat perempuan me-

miliki tugas dan kewajiban yang sama dengan

perawat laki-laki.

Tingkat pendidikan tidak berhubungan dengan

perilaku caring perawat pelaksana di RS ini.

Hasil ini tidak sependapat dengan Siagian (1999)

yang mengatakan bahwa tingkat pendidikan me-

mengaruhi kinerja perawat yang bersangkutan.

Tenaga keperawatan yang berpendidikan tinggi

kinerjanya akan lebih baik karena telah memiliki

pengetahuan dan wawasan yang lebih luas.

Pendapat peneliti berdasarkan identifikasi dan

referensi, caring merupakan ilmu tentang manusia,

bukan hanya sebagai perilaku, melainkan juga

suatu cara sehingga sesuatu menjadi berarti dan

memberi motivasi untuk berbuat kepedulian ter-

hadap klien. RS ini baru selesai menyekolahkan

perawat berpendidikan SPK sehingga belum ada

tampak perbedaan perawat berpendidikan SPK

dengan D-3 Keperawatan.

Status perkawinan tidak berhubungan dengan

perilaku caring perawat pelaksana. Hasil ini

sesuai dengan penelitian Rusmiati (2008) yang

menyatakan tidak ada hubungan status pernikahan

dengan kinerja.

Perilaku Caring Perawat Berdasarkan Faktor

Organisasi (Kepemimpinan, Struktur Orga-

nisasi, Imbalan, dan Desain Kerja). Persepsi

perawat pelaksana terhadap kepemimpinan kepala

ruangan berhubungan dengan perilaku caring-nya.

Hasil ini didukung Aminudin (2004) yang men-

dapatkan adanya hubungan antara kepemimpinan

dengan kinerja.

Pada organisasi, kepemimpinan terletak pada usaha

memengaruhi aktivitas orang lain individu atau

kelompok melalui komunikasi untuk mencapai

tujuan organisasi dan prestasi (Swansburg dan

Swansburg, 1999). Seorang kepala ruangan yang

merupakan firts line manager berfungsi sebagai

seorang pemimpin yang akan memengaruhi staf-

nya dalam berperilaku dan bekerja. Setiap kepala

ruangan harus memiliki pengetahuan, sikap, dan

berperilaku sebagai seorang pemimpin dengan

mengetahui prinsip dari kepemimpinan.

Persepsi perawat pelaksana terhadap struktur

organisasi ruangan berhubungan dengan perilaku

caring perawat pelaksana. Kondisi ini terjadi ka-

rena Robbins (1998) menekankan bahwa struktur

organisasi menunjukkan cara suatu kelompok

dibentuk, garis komunikasi, dan hubungan otoritas,

serta pembuatan keputusan. Struktur organisasi

ini menunjukkan garis kewenangan dan rentang

kendali dari suatu organisasi yang akan menen-

tukan kegiatan dan hubungan serta ruang lingkup

tanggung jawab dan peran setiap individu.

Belum adanya desain kerja, menimbulkan setiap

orang tidak mengetahui tupoksinya sehingga tugas

dan kewenangan masing-masing individu tidak

jelas. Kepala ruangan memberikan tugas belum

berdasarkan kemampuan dan kesanggupan perawat

pelaksana. Hal ini disebabkan oleh terbatasnya

jumlah perawat pelaksana yang ada di setiap rawat

inap. Standar Operasional Prosedur (SOP) dan

Standar Akuntansi Keuangan (SAK) pun belum

dijadikan sebagai acuan dalam melakukan pelayan-

an keperawatan. Hal ini terlihat dalam melakukan

tindakan keperawatan banyak yang tidak sesuai

dengan SOP dan SAK rumah sakit.

Persepsi perawat pelaksana terhadap imbalan

berhubungan dengan perilaku caring perawat

pelaksana. Desler dalam Samsudin (2005), Hasibuan

(2003), dan Wibowo (2007) mengutarakan imbalan/

kompensasi mengandung makna pembayaran/

imbalan baik langsung maupun tidak langsung

yang diterima karyawan sebagai hasil dari kinerja.

Hasibuan (2003) dan Wibowo (2007) menjelaskan

bahwa status kepegawaian sangat berkaitan dengan

besarnya imbalan pegawai. Imbalan tersebut men-

jadi salah satu motivasi pegawai untuk bekerja

dan menunjukkan kinerja. Perawat RS dengan

status pegawai negeri merupakan kekuatan dan

motivasi perawat untuk meningkatkan kinerja

Supriatin, Perilaku Caring Perawat berdasarkan Faktor Individu 197

dari aspek finansial. Imbalan dalam nonfinansial

pun dibutuhkan untuk memotivasi dan mening-

katkan kinerja. Kurangnya penghargaan kepada

perawat berprestasi dan perawat yang caring dapat

menurunkan motivasi perawat untuk caring pada

klien.

Pemberian kompensasi yang baik akan mendorong

karyawan bekerja secara produktif dan organisasi

yang sukses dapat terlihat dari besarnya kompensasi

yang diberikan oleh organisasi. Jika seseorang

menggunakan pengetahuan, keterampilan, tenaga,

dan sebagian waktunya untuk berkarya pada suatu

organisasi, ia akan mengharapkan kompensasi/

imbalan tertentu.

Persepsi perawat pelaksana terhadap desain peker-

jaan berhubungan dengan perilaku caring perawat

pelaksana. Hal ini disebabkan oleh kurangnya

pemberian otonomi kepada perawat, kurangnya

kewenangan, kurangnya bimbingan kepada pera-

wat, dan faktor senioritas menjadi penghambat

bagi perawat dalam berperilaku caring.

Penelitian ini dapat berdampak positif dan menjadi

masukan bagi pelayanan keperawatan khususnya

dalam meningkatkan perilaku caring perawat.

Kompetensi pemimpin, seperti kepala ruangan

juga memengaruhi perilaku caring perawat pelak-

sana. Pihak RS perlu lebih memperhatikan dan

memprioritaskan kompetensi kepala ruangan,

sebagai manajer first line yang harus dapat

berperan sebagai pemimpin. Kepala ruangan yang

mampu berperan sebagai role model dapat me-

motivasi perawat pelaksana berperilaku caring.

Kesimpulan

Perawat pelaksana di instalasi rawat inap RS

tersebut sebagian besar kurang berperilaku caring.

Faktor individu (umur dan masa kerja) serta

faktor organisasi (kepemimpinan kepala ruangan,

struktur organisasi, imbalan, dan desain kerja)

berhubungan perilaku caring perawat pelaksana.

Peneliti menyarankan perlu dukungan kebijakan

atas perilaku caring perawat oleh pihak RS ke

dalam pelayanan asuhan keperawatan dalam

upaya meningkatkan kinerja perawat dan mutu

pelayanan keperawatan. caring perawat perlu

dimasukkan ke dalam penilaian kinerja perawat

dalam rangka meningkatkan motivasi perawat

dalam bekerja (MS, HH, TN).

Referensi

Aminudin, T.Y. (2004). Hubungan iklim kerja

dengan kinerja perawat pelaksana di Ruang

Rawat Inap RSUD Dr. M. Yunus Bengkulu.

(Tesis, tidak dipublikasikan). Program Studi

Magister Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas

Indonesia, Depok, Jawa Barat.

Dessler, G. (1997). Manajemen sumber daya

manusia. Terjemahan (1st Ed.). Jakarta: PT

Prentallindo.

Gibson, J.L. (1997). Organisasi: Perilaku, struktur,

proses (Edisi kedelapan). (Nunuk. A,

Penerjemah). Jakarta: Binarupa Aksara.

Greenhalgh, J., Kyngas, H., & Vanhanen, L.

(1998). Nurse caring behavior. Journal of

Advanced Nursing, 27 (5), 927–932.

Hasibuan, M.S.P. (2003). Manajemen sumber daya

manusia (edisi revisi). Jakarta: PT Bumi

Aksara.

Robbins, S.P. (1998). Perilaku Organisasi, konsep,

kontroversi, dan aplikasi (Edisi kedelapan).

Jakarta: PT. Prenhallindo.

Rusmiati. (2008). Hubungan lingkungan organisasi

dan karakteristik perawat dengan kinerja

perawat pelaksana di ruangan rawat inap

Rumah Sakit Umum Pusat Persahabatan

Jakarta (Tesis, tidak dipublikasikan). Program

Magister Ilmu Keperawatan Fakultas Ilmu

Keperawatan Universitas Indonesia, Depok,

Jawa Barat.

Samsudin, S. (2005). Manajemen sumber daya

manusia. Bandung: CV Pustaka Setia.

Siagian, S.P. (1999). Manajemen sumber daya

manusia. Jakarta: Bumi Aksara.

Siagian, S.P. (2000). Teori dan Praktek

Kepemimpinan (Cetakan kelima). Jakarta: PT

Rineke Cipta.

Jurnal Keperawatan Indonesia, Vol. 18, No. 3, November 2015, hal 192-198 198

Swansburg, R.C., & Swansburg, R.J. (1999).

Introductory management and leadership for

nurse (2nd Ed.). Boston: Jones and Bartlet

Publishers.

Watson, J. (2004). Assessing and measuring caring

in nursing and health science (2nd Ed.). New

York: Springer Publication Company.

Wibowo. (2007). Manajemen kinerja. Jakarta: PT

Raja Grufindo Persada.