Jurnal Mechanical-Maret 2012-1-2

79
Jurnal Mechanical, Volume 3, Nomor 1,Maret 2012 1 PEMANFAATAN PARTIKEL TEMPURUNG KEMIRI SEBAGAI BAHAN PENGUAT PADA KOMPOSIT RESIN POLIESTER Harnowo Supriadi Staf Pengajar Jurusan Teknik Mesin, Fakultas Teknik Universitas Lampung Jln.Prof.Sumantri Brojonegoro No. 1 Gedung H FT Lt. 2 Bandar Lampung Telp. (0721) 3555519, Fax. (0721) 704947 Email: [email protected] Abstract The objective of the research is to investigate the effect of composition ratio of polyester as matrix and Aleurites moluccana willd particles on mechanical properties (hardness,flexure strength and tensile strength) of composite. This experimental research used Aleurites moluccana willd particles as reinforced material and polyester as resin.The instrument for the research were universal testing machine (UTM), hardness testing mac hine. This research had been performed by making variation of composition ratio of resin and Aleurites moluccana willd particles (30 % :70%, 40% :60 %, 50 % : 50% and 60% :40%). The result of this research show that the maximum hardness of composite was54,1 HRL. The maximum flexure strength was 33,62 N/mm 2 and the maximum tensile strength was 16,97 N/mm 2 . The maximum value of hardness, flexure strength and tensile strength had been achieved on composition ratio 40 % :60 %. Keywords : Aleurites moluccana Willd particles, Aleurites moluccana willd particles, polyester resin, hardness, flexural strength, tensile strength. PENDAHULUAN Latar Belakang Tempurung biji kemiri memiliki sifat keras, cukup tebal, dan berkayu merupakan limbah yang dihasilkan dari pengolahan tanaman kemiri. Pemanfaatan tempurung tersebut sebagai bahan bakar sedangkan abunya digunakan sebagai pupuk. Pemanfaatan limbah padat kemiri dalam bidang teknologi bahan belum begitu banyak dilakukan khususnya penelitian mengenai pemanfaatan limbah padat kemiri sebagai material penguat komposit. Variasi komposisi volume matriks dan partikel di komposit memberi pengaruh pada sifat mekaniknya, jika jumlah volume partikel sedikit maka komposit cendrung bersifat seperti matriksnya namun apabila volume partikel terlalu banyak maka sifat mekaniknya menurun dikarenakan kemampuan matriks untuk mengikat partikel berkurang. Pada penelitian sejenis mengenai variasi komposisi matriks dan partikel pada komposit yang diperkuat partikel tempurung kelapa sawit didapat komposisi yang mempunyai sifat mekanik terbaik adalah 40 % partikel dan 60 % matriks. Penelitian ini menggunakan tempurung biji kemiri dalam bentuk partikel dengan komposisi tertentu sebagai bahan penguat komposit. Diharapkan hasil akhir penelitian ini dapat menjadi material alternatif yang baru dan bermanfaat. Tujuan Penelitian Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah: 1) Untuk mengetahui pengaruh komposisi antara partikel tempurung kemiri sebagai penguat dan resin polyester sebagai matriks terhadap sifat mekanik komposit. 2) Untuk mendapatkan komposisi terbaik dari komposit yang diperkuat serbuk tempurung kemiri.

description

MAKSIMUM TEGANGAN THERMAL PADA PROSES PENCELUPAN CERAMIC STALK DI LOW PRESSURE DIE CASTING MACHINE

Transcript of Jurnal Mechanical-Maret 2012-1-2

  • Jurnal Mechanical, Volume 3, Nomor 1,Maret 2012

    1

    PEMANFAATAN PARTIKEL TEMPURUNG KEMIRI SEBAGAI BAHAN

    PENGUAT PADA KOMPOSIT RESIN POLIESTER

    Harnowo Supriadi

    Staf Pengajar Jurusan Teknik Mesin, Fakultas Teknik Universitas Lampung

    Jln.Prof.Sumantri Brojonegoro No. 1 Gedung H FT Lt. 2 Bandar Lampung

    Telp. (0721) 3555519, Fax. (0721) 704947

    Email: [email protected]

    Abstract

    The objective of the research is to investigate the effect of composition ratio of polyester as

    matrix and Aleurites moluccana willd particles on mechanical properties (hardness,flexure

    strength and tensile strength) of composite.

    This experimental research used Aleurites moluccana willd particles as reinforced material

    and polyester as resin.The instrument for the research were universal testing machine (UTM),

    hardness testing mac hine. This research had been performed by making variation of composition

    ratio of resin and Aleurites moluccana willd particles (30 % :70%, 40% :60 %, 50 % : 50% and

    60% :40%).

    The result of this research show that the maximum hardness of composite was54,1 HRL. The

    maximum flexure strength was 33,62 N/mm2 and the maximum tensile strength was 16,97 N/mm

    2.

    The maximum value of hardness, flexure strength and tensile strength had been achieved on

    composition ratio 40 % :60 %.

    Keywords : Aleurites moluccana Willd particles, Aleurites moluccana willd particles, polyester

    resin, hardness, flexural strength, tensile strength.

    PENDAHULUAN

    Latar Belakang

    Tempurung biji kemiri memiliki sifat keras,

    cukup tebal, dan berkayu merupakan limbah

    yang dihasilkan dari pengolahan tanaman

    kemiri. Pemanfaatan tempurung tersebut

    sebagai bahan bakar sedangkan abunya

    digunakan sebagai pupuk. Pemanfaatan limbah

    padat kemiri dalam bidang teknologi bahan

    belum begitu banyak dilakukan khususnya

    penelitian mengenai pemanfaatan limbah padat

    kemiri sebagai material penguat komposit.

    Variasi komposisi volume matriks dan partikel

    di komposit memberi pengaruh pada sifat

    mekaniknya, jika jumlah volume partikel

    sedikit maka komposit cendrung bersifat

    seperti matriksnya namun apabila volume

    partikel terlalu banyak maka sifat mekaniknya

    menurun dikarenakan kemampuan matriks

    untuk mengikat partikel berkurang. Pada

    penelitian sejenis mengenai variasi komposisi

    matriks dan partikel pada komposit yang

    diperkuat partikel tempurung kelapa sawit

    didapat komposisi yang mempunyai sifat

    mekanik terbaik adalah 40 % partikel dan 60 %

    matriks. Penelitian ini menggunakan

    tempurung biji kemiri dalam bentuk partikel

    dengan komposisi tertentu sebagai bahan

    penguat komposit. Diharapkan hasil akhir

    penelitian ini dapat menjadi material alternatif

    yang baru dan bermanfaat.

    Tujuan Penelitian

    Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah:

    1) Untuk mengetahui pengaruh komposisi antara partikel tempurung kemiri sebagai

    penguat dan resin polyester sebagai

    matriks terhadap sifat mekanik komposit.

    2) Untuk mendapatkan komposisi terbaik dari komposit yang diperkuat serbuk

    tempurung kemiri.

  • Jurnal Mechanical, Volume 3, Nomor 1, Maret 2012

    2

    LANDASAN TEORI

    Tempurung Kemiri

    Biji Kemiri tergolong buah batu (stony seed)

    karena berkulit keras menyerupai tempurung

    dengan permukaan luar kasar berlekuk,

    berwarna coklat atau kehitaman. Kulit biji

    inilah merupakan bagian buah yang paling

    keras.

    Gambar 1. Struktur Biji Kemiri

    Komposit

    Komposit merupakan sejumlah sistem

    multifasa sifat gabungan, yaitu gabungan

    antara bahan matriks atau pengikat, dengan

    pemerkuat. Kekuatan dan sifat menyeluruh

    ditingkatkan dengan memasukkan fasa

    terdispersi ke dalam matriks. Matriksnya dapat

    berupa keramik, logam atau polimer.

    Komposit dibentuk dari dua atau lebih bahan

    penyusun yang berbeda jenis, sehingga

    memiliki sifat-sifat yang berasal dari bahan-

    bahan penyusun tersebut. Bergantung pada

    cara penyusunan, komposit juga memiliki sifat-

    sifat kombinasi antara bahan-bahan penyusun,

    dan seringkali lebih baik dibandingkan dengan

    sifat asal bahan penyusun tersebut (1)

    Berdasarkan fungsi bahan penyusun dalam

    komposit, maka bahan-bahan tersebut

    dibedakan menjadi dua, yaitu bahan utama

    sebagai pengikat dan bahan pendukung sebagai

    penguat. Bahan utama membentuk matriks

    dimana bahan penguat ditanamkan

    didalamnya. Bahan penguat dapat berbentuk

    serat, partikel, serpihan atau bisa juga dalam

    bentuk lain.

    Komposit Partikel

    Komposit partikel merupakan komposit yang

    mengandung bahan penguat berbantuk partikel

    atau serbuk. Partikel sebagai elemen penguat

    sangat menentukan sifat mekanik dari

    komposit karena meneruskan beban yang

    didistribusikan oleh matrik. Ukuran, bentuk,

    dan material partikel adalah faktor-faktor yang

    mempengaruhi properti mekanik dari komposit

    partikel(2)

    .

    Dalam pembuatan komposit partikel sangat

    penting untuk menghilangkan unsur udara dan

    air karena partikel yang berongga atau yang

    memiliki lubang udara kurang baik jika

    digunakan dalam campuran komposit. Adanya

    udara dan air pada sela-sela partikel dapat

    mengurangi kekuatan dan mengurangi

    ketahanan retak bahan (3)

    .

    Pengaruh peningkatan kehalusan partikel pada

    komposit antara lain(4)

    :

    1) Meningkatkan reaksi antara partikel dengan campurannya.

    2) Memperkecil diameter pori. 3) Menurunkan nilai porositas. 4) Meningkatkan kerapatan. 5) Meningkatkan kekuatan tekan dan

    beban lentur.

    a b c d

    e f g h

    Gambar 2. Rancangan Partikel

    METODE PENELITIAN

    Bahan dan Alat Penelitian

    Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian

    ini adalah resin poliester tak jenuh merek

  • Jurnal Mechanical, Volume 3, Nomor 1, Maret 2012

    3

    41.3

    54.1

    51.1

    43.4

    0

    10

    20

    30

    40

    50

    60

    Nil

    ai

    Ke

    ke

    ra

    sa

    n (

    HR

    L)

    (30%:70%) (40%:60%) (50%:50%) (60%:40%)

    Komposisi (Partikel:Matriks)

    (30%:70%)

    (40%:60%)

    (50%:50%)

    (60%:40%)

    26.29

    33.62

    26.06

    22.82

    0

    5

    10

    15

    20

    25

    30

    35

    Ke

    ku

    ata

    n L

    en

    tur (

    N/m

    m^

    2)

    (30%:70%) (40%:60%) (50%:50%) (60%:40%)

    Komposisi (Partikel:Matriks)

    (30%:70%)

    (40%:60%)

    (50%:50%)

    (60%:40%)

    12.04

    16.97

    14.97

    13.03

    0

    2

    4

    6

    8

    10

    12

    14

    16

    18

    Ke

    ku

    ata

    n T

    arik

    (N

    /mm

    ^2

    )

    (30%:70%) (40%:60%) (50%:50%) (60%:40%)

    Komposisi (Partikel:Matriks)

    (30%:70%)

    (40%:60%)

    (50%:50%)

    (60%:40%)

    dagang YUKALAC 157 BQTN-EX. Serbuk

    tempurung kemiri, Katalis MEKPO (Metil Etil

    Keton Peroksida,) Larutan NaOH 0,1 M,dan

    Aquades.

    Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini

    adalah Universal Testing Machine (UTM),uji

    kekerasan Rockwell, ayakan standar ASTM

    E11, untuk mendapat ukuran partikel

  • Jurnal Mechanical, Volume 3, Nomor 1, Maret 2012

    4

    Dari gambar 3 dapat dilihat pada komposisi

    30%-70% (partikel-matriks) nilai kekerasan

    adalah 41.3 HRL dan mengalami peningkatan

    pada komposisi 40%-60% menjadi sebesar

    54,1 HRL namun pada komposisi 50%-50%

    sampai 60%-40% kembali mengalami

    penurunan nilai kekerasan. Nilai kekerasan

    tertinggi dimiliki oleh komposisi 40%-60%

    yaitu sebesar 54.1 HRL, karena kekuatan pada

    materialnya lebih merata atau lebih homogen,

    hal ini disebabkan adanya hubungan yang

    saling mendukung antara bahan penguat dan

    matrik dari komposit yang menyebabkan

    adanya ikatan yang kuat.

    Pada komposisi 60% : 40 % dan 50 % : 50 %

    (partikel:matriks) angka kekerasan belum

    mencapai nilai yang maksimum dikarenakan

    ikatan antar partikel yang kurang kuat

    menyebabkan mudah tergesernya bahan

    penguat didalam matrik komposit diakibatkan

    adanya gaya dari luar permukaan komposit

    (penekanan). Pada komposisi 60% : 40 % nilai

    kekerasanya adalah 43.4 HRL hal ini

    disebabkan kekurangan komposisi resin

    (matrik) yang berfungsi sebagai pengikat dari

    bahan penguat akan menyebabkan ikatan yang

    kurang kuat. Namun komposisi resin (matrik)

    yang berlebih seperti pada komposisi 30%-

    70% juga akan menurunkan angka kekerasan

    komposit dikarenakan adanya sifat dari bahan

    penyusun komposit yaitu resin polyester yang

    bersifat elastis.

    Pada gambar 4, terlihat bahwa terdapat

    perbedaan kekuatan lentur rata-rata dari

    komposit tersebut. Perbedaan nilai tersebut

    disebabkan adanya pengaruh yang diberikan

    oleh variasi komposisi partikel bahan penguat

    komposit dan matriks. Kekuatan lentur

    (flectional strength) berbanding lurus dengan

    beban maksimum. Kekuatan lentur terbesar

    bernilai 33.62 N/mm2 pada komposisi

    40%:60% (penguat:matriks) hal ini terjadi

    karena ikatan dan kerapatan antara matrik

    dengan partikel semakin baik dan seragam atau

    homogen sehingga dapat lebih maksimal daya

    kontak lekatnya dengan resin, sehingga partikel

    bahan penguat dapat menahan beban (atau

    meneruskan gaya) yang diberikan oleh

    komposit. Sedangkan pada komposisi

    30%:70% kekuatan lenturnya bernilai 26.29

    N/mm2

    lebih baik dari komposisi 50%:50%,

    hal tersebut dikarenakan komposit dengan

    komposisi 30%:70% cendrung bersifat seperti

    matriksnya resin polister yang mempunyai

    sifat elastis. Kekuatan lentur terkecil bernilai

    22.82 N/mm2 pada komposisi 60%:40% hal ini

    disebabkan karena keterbatasan matriks yang

    berupa poliester tak jenuh untuk mengikat

    penguat yang komposisi lebih banyak

    dibanding dengan matriksnya. Dengan

    demikian variasi komposisi partikel dan

    matriks dapat meningkatkan kekuatan

    komposit terhadap beban yang diberikan dari

    luar kekomposit tersebut dan juga

    meningkatkan nilai kelenturan pada komposit

    dengan penambahan komposisi resin hingga

    pada komposisi tertentu dan akan turun

    kembali.

    Pada gambar 5 dapat dilihat kekuatan tarik

    untuk komposisi 60%:40% sebesar 13,03

    N/mm2 dan mengalami kenaikan sebesar 1,94

    N/mm2 pada komposisi 50%:50% (14,97

    N/mm2), hal ini terjadi karena ikatan partikel

    dan matriks semakin merata. Kenaikan

    kekuatan tarik terus naik hingga mencapai nilai

    maksimum pada komposisi 40%:60% sebesar

    16,97 N/mm2 pada komposisi ini terjadi ikatan

    yang sangat baik antara partikel dan matriks.

    Dan kembali mengalami penurunan sebesar

    4,93 N/mm2 pada komposisi 30%:70%, ini

    dikarenakan komposit cendrung bersifat seperti

    matriksnya.

    Dapat dilihat pada grafik kekuatan tarik

    komposit resin polyester dan tempurung kemiri

    bahwa kekuatan tarik akan terus meningkat

    dengan penambahan komposisi resin hingga

    pada komposisi tertentu dan akan turun

    kembali. Fenomena ini dapat terjadi oleh

    karena matriks yang digunakan dalam

    penelitian ini mempunyai keterbatasan dalam

    kemampuan mengikat penguat dalam hal ini

    adalah partikel tempurung kemiri.

    Jika dibandingkan antara kelima variasi

    komposisi partikel tersebut, maka komposit

    dengan komposisi 40%:60% memiliki

    kekuatan tarik yang besar dan tingkat keuletan

    yang lebih besar. Hal ini disebabkan karena

    pada komposit dengan menggunakan

    komposisi 40%:60% terjadi ikatan yang merata

  • Jurnal Mechanical, Volume 3, Nomor 1, Maret 2012

    5

    dan homogen antara penguat dan matriks.

    KESIMPULAN

    Berdasarkan analisa dan pembahasan yang

    dilakukan terhadap penelitian komposit yang

    menggunakan matriks berupa poliester tak

    jenuh dan menggunakan penguat berupa

    partikel tempurung kemiri, maka dapat diambil

    beberapa simpulan sebagai berikut:

    1) Nilai kekuatan tarik spesimen uji yang terendah terdapat pada komposisi

    spesimen uji 30% : 70%

    (penguat:matriks), yaitu sebesar 12.04

    N/mm2. Sedangkan nilai kekuatan tarik

    spesimen uji yang tertinggi terdapat pada

    komposisi spesimen uji 40% : 60%, yaitu

    sebesar 16,97 N/mm2.

    2) Nilai kekuatan lentur spesimen uji yang terendah terdapat pada komposisi

    spesimen uji 60% : 40%, yaitu sebesar

    22,82 N/mm2. Sedangkan nilai kekuatan

    lentur spesimen uji yang tertinggi terdapat

    pada komposisi spesimen uji 40% : 60%,

    yaitu sebesar 33,62 N/mm2.

    3) Nilai kekerasan terendah terjadi pada komposisi 30% : 70% dengan nilai

    kekerasan komposit adalah 41.3 HRL.

    Sedangkan nilai kekerasan yang tertinggi

    terdapat pada komposisi spesimen uji 40%

    : 60%, yaitu sebesar 54,1 HRL.

    4) Komposisi 40% : 60% merupakan komposisi yang terbaik karena

    menghasilkan nilai kekerasan, kekuatan

    tarik dan kekuatan lentur yang paling

    besar dibandingkan komposisi yang lain.

    DAFTAR PUSTAKA

    [1] Grdal, Zafer. 1999. Design and optimization of laminated composite

    materials. John Wiley & Sons. Inc:

    Canada

    [2] Antonia, Y.T. 2004. Komposit Laminat Bambu serat Woven sebagai Bahan

    Alternatif Fiber Glass Pada kulit. ITS : Surabaya

    [3] Surdia, dkk 1992. Pengetahuan Bahan Teknik. Cet 2. Pradnya Paramita: Jakarta.

    [4] Triwulan, IGP Raka, dan Pujo Adji. Jurusan teknik sipil, institut teknologi

    sepuluh november. pengaruh kehalusan abu terbang pada durabilitas beton

    bertulang dengan metode Galvan ostatis.

    2006

  • Jurnal Mechanical, Volume 3, Nomor 1, Maret 2012

    6

    KAJI PENGGUNAAN METHANOL SEBAGAI REFRIGERAN UNTUK

    MENINGKATKAN EFISIENSI TERMAL SISTEM PENDINGIN

    KONVEKSI DENGAN UNDERGROUND THERMAL STORAGE TANK

    M. Dyan Susila dan Indra Mamad Gandidi Teknik Mesin, Fakultas Teknik Universitas Lampung

    Gedung H Fakultas Teknik , Jl. Prof. Soemantri Brojonegoro No. 1

    Bandar Lampung, 35145 Telp: (0721) 3555519 Fax: (0721) 704947

    e-mail : [email protected]

    Abstract

    Convective roof cooling operates using water as refrigerant. It consists in convection process pass

    through over the roof, thus decreasing the roof temperature. This system has a great potential to

    provide thermal comfort in places where roof temperature is low. However, thermal efficiency from

    the previous research which it is use water as refrigerant is still low. A way to solve this problem is

    to use methanol as a refrigerant. Following, this paper analyzes some operation parameters such

    as: roof and room temperature and heat transfer rate. The paper shows the conditions for the best

    operation point, with regard to thermal conditions of roof and room temperature.

    Keywords: wind, turbine, electrical power.

    DAFTAR SIMBOL

    Simbol Satuan

    A Luas permukaan perpindahan panas pipa (m)

    Dh Diameter hidraulik pipa (m)

    f Faktor gesekan (Tak Berdimensi)

    F Faktor koreksi LMTD (Tak Berdimensi)

    he Koefisien perpindahan panas konveksi (W/m2.K)

    k Konduktivitas termal (W/m.K)

    eNu Bilangan Nusselt (Tak Berdimensi)

    Pr Bilangan Prandtl (Tak Berdimensi)

    DRa Bilangan Reynold (Tak Berdimensi)

    0T Gradien temperatur keluar atap (K)

    iT Gradien temperatur masuk atap (K)

    C,LT Log Mean Temperature Different (K)

    Ue Koefisien perpindahan panas menyeluruh (W/m2.K)

    PENDAHULUAN

    Pengaruh penipisan ozon di lapisan

    stratosfir berdampak pada perubahan cuaca dan

    meningkatnya radiasi ultra violet (UV-B) yang

    mencapai permukaan bumi. Hal ini akan

    menimbulkan berbagai masalah bagi

    perikehidupan manusia. Misalnya menurunnya

    imunitas, bertambahnya penyakit menular,

    meningkatnya kasus kanker kulit, kerusakan

    pada mata, kerusakan pada rantaibiologis dan

    masih banyak lagi (modul pembelajaran

    interaktif, 2008).

    Salah satu zat utama yang bertanggung

  • Jurnal Mechanical, Volume 3, Nomor 1, Maret 2012

    7

    jawab terhadap kerusakan lapisan ozon adalah

    unsur Klorin (Cl). Unsur ini secara luas

    digunakan sebagai cmethanolan pendingin

    pada freezer, kulkas, AC ruangan, dan mesin

    pendingin lainnya, serta dikenal sebagai zat

    CFC (Chlorofluorocarbon). (Suara Pembaruan,

    2007)

    Disisi lain, kencendrungan masyarakat

    dunia terutama yang berada pada daerah tropis

    untuk menaikan standar hidupnya khususnya

    dalam memenuhi kebutuhan ruangan yang

    nyaman telah memberikan pengaruh terhadap

    keseimbangan kebutuhan dan ketersediaan

    energi listrik. Dimana diketahui, untuk

    mengoperasikan sebuah AC dibutuhkan energi

    listrik yang cukup besar. Semakin banyak

    penggunaan AC maka beban listrik yang harus

    ditanggung oleh pembangkit daya akan

    semakin besar. Sehingga tahun 2010

    diperkirakan 63,2 % pembangkit daya listrik

    di Indonesia masih menggunakan energi fosil

    yang notabene kian menipis

    (www.elektroindonesia.com).

    Oleh karena itu, penyediaan teknologi

    pendingin alternatif yang bernilai ekonomis

    dan ramah lingkungan sangat diperlukan.

    Keberhasilan mereduksi beban termal ke dalam

    ruangan dengan cara mereduksi panas radiasi

    yang sampai ke permukaan atap rumah telah

    dapat memenuhi kebutuhan pendinginan

    ruangan yang bernilai ekonomis dan ramah

    lingkungan (Jain. S, 2003). Penggunaan

    metode evaporatif roof cooling menggunakan

    atap PV dapat menurunkan temperatur atap

    dari 72 0C menjadi 39

    0C dan dapat

    menghemat biaya (operasi dan perawatan)

    sebesar 30 % pada tahun ke-5 dibandingkan

    penggunaan AC (C. M. Chu, A, et all, 2003).

    Selanjutnya, temperatur atap pada siang

    hari dapat mencapai 60C sedangkan pada

    malam harinya turun hingga 25C. Fluktuasi

    temperatur ini dapat mengakibatkan thermal

    shock pada atap dan mempercepat penuaan

    material atap. Dengan memberikan perlakuan

    pendinginan pada atap agar temperatur atap

    tetap konstan akan dapat memperpanjang umur

    penggunaan atap (Flora Kylie, 2002).

    Bagaimanapun juga, problem biaya

    karena penggunaan PV dalam mengkonstruksi

    pendingin evaporasi akan menjadi hambatan

    utama dalam merealisasikan sistem ini di

    Indonesia. Lebih lanjut, metoda evaporasi akan

    membutuhkan cadangan air yang cukup

    banyak untuk menambah sejumlah air yang

    menguap ke lingkungan dan teknologi jenis ini

    akan sulit diterapkan bagi daerah yang miskin

    sumber air.

    Berkaitan dengan problem harga atap PV

    dan keterbatasan akan sumber air, I.M.

    Gandidi, 2008, melakukan reduksi temperatur

    atap menggunakan metode konveksi dengan

    mengaliran air di atas dan atau di bawah

    permukaan atap dengan sekumpulan pipa yang

    terbuat dari tembaga. Panas ini dibuang

    kedalam thermal storage tank yang

    ditempatkan di kedalaman 3 meter tepat di

    bawah rumah. Hasil penelitianya menunjukan

    bahwa metode ini mampu menurunkan

    temperatur atap 12 0C.

    Bagaimanapun, penurunan temperatur

    atap 12 0C belum merupakan kondisi optimum

    dari sistem ini. Rendahnya hasil ini disebabkan

    oleh penggunaan air sebagai refrigeran dimana

    diketahui air mempunyai titik didih yang tinggi

    sehingga panas yang diserap untuk proses

    penguapan air di atas permukaan atap tidak

    maksimal. Karenanya, penelitian yang telah

    dilakukan ini menggunakan methanol sebagai

    refrigeran agar proses penyerapan panas di atas

    permukaan atap lebih maksimal.

    TINJAUAN PUSTAKA

    Pada wilayah katulistiwa, energi panas

    matahari sampai ke atap melalui proses radiasi

    dengan laju perpindahan panas Q sampai ke

    atap lebih kurang 800 W/m2 - 1000 W/m

    2 (The

    FAO Technical Papers, 2003). Panas pada atap

    ruangan tersebut akan sampai kedalam ruangan

    melalui mekanisme perpindahan panas radiasi

    melalui atap sehingga temperatur ruangan akan

    meningkat. Panas pada atap ini merupakan

    sumber panas paling besar dalam memberikan

    kontribusi terhadap peningkatan temperatur

    ruangan yang besarnya 46% dari sumber panas

    total (ASHRAE Model, 2004). Karenanya,

    rumah hunian akan mempunyai temperatur

    ruangan antara 30 0C sampai 35

    0C. Kondisi ini

    sangat tidak nyaman untuk melakukan aktivitas

    di dalam rumah. Jika sumber panas yang

    masuk ke ruangan sebesar 46% yang berasal

    atap dapat diserap, maka temperatur ruangan

    diperkirakan dapat mencapai 26 0C - 28

    0C.

    Temperatur ini sudah memenuhi standar

  • Jurnal Mechanical, Volume 3, Nomor 1, Maret 2012

    8

    ruangan yang nyaman di musim panas

    (Sustainable energy authority Victoria, 2002).

    Sistem pendingin alternatif ini

    diperkirakan dapat menyelesaikan persoalan

    kebutuhan teknologi pendingin ruangan rumah

    hunian daerah tropis dan mereduksi

    penggunaan AC elektrik serta masalah energi

    dan lingkungan yang ditimbulkannya. Selain

    itu, penggunaan sistem pendingin alternatif

    sangat baik dan menunjang program

    pemerintah dalam pengurangan dan pelarangan

    penggunaan refrigeran perusak ozon seperti

    yang tertuang dalam Keputusan Menperindag

    RI No: 110/MPP/Kep/1/1998 tentang larangan

    memproduksi dan memperdagangkan bahan

    perusak lapisan ozon serta memproduksi

    barang baru yang menggunakan bahan perusak

    lapisan ozon (Pasek, A.D, dkk., 2004).

    Prinsip Kerja Pendinginan Konveksi

    Sistem pendingin konveksi pada dasarnya

    kombinasi antara sistem pendingin

    konvensional (kompresi uap) dengan sistem

    pendingin absorpsi (absorption cooling).

    Sistem ini juga tersusun dari komponen yang

    merupakan inti dari sebuah AC, seperti :

    kondensor (terletak pada tangki methanol di

    bawah tanah), evaporator (rangkaian pipa

    tembaga pada atap), dan katup ekspansi.

    Perbedaan mendasar yang dimiliki oleh metode

    konveksi dengan AC adalah tidak

    menggunakan kompresor sehingga daya listrik

    yang dibutuhkan relatif kecil.

    Prinsip kerja metode ini adalah refrigeran

    methanol mengalir dalam evaporator yang

    ditempatkan di bawah dan atau di atas

    permukaan atap. Selama melintas dalam

    evaporator, refrigeran methanol akan menyerap

    panas secara konveksi pada permukaan atap

    (gambar 1). Panas yang diserap oleh refrigeran

    methanol dibuang di bawah tanah

    (underground thermal storage tank)

    menggunakan kondensor. Pembuangan panas

    melalui kondensor di dalam tanah sangat

    memungkinkan karena temperatur bawah

    berkisar antara 17 0C 23 0C untuk kedalaman

    3 meter (Kasuda, T., and Archenbach, P.R,

    1999).

    Gambar 1. Susunan pipa evaporator pada atap.

    Metanol

    Metanol dikenal juga dengan nama

    alkohol kayu. Titik lelehnya adalah -98C dan

    titik didihnya adalah 64,7C. Massa molarnya

    adalah 32,04 g/mol dengan specific gravity

    2.12 (Oxford, 2004). Pada suhu 100C, entalpi

    penguapan air adalah 2256,7 kJ/Kg, sedangkan

    entalpi penguapan metanol pada temperatur

    yang sama adalah 1101 kj/Kg, (Hewitt, 1994).

    Ini berarti jumlah energi per satuan massa yang

    dibutuhkan oleh metanol untuk menguap

    adalah lebih sedikit dibandingkan air, atau

    dengan kata lain metanol akan lebih cepat

    menguap. Pada proses penguapan, panas yang

    diambil (kalor laten) akan lebih besar

    dibandingkan ketika hanya terjadi peningkatan

    temperatur (kalor sensibel) (Chemical safety

    Data, 2004).

    Perpindahan Panas pada Atap

    Proses perpindahan panas pada atap

    dengan pendinginan konveksi berlangsung

    dalam tiga arah. Masing-masing adalah panas

    yang diterima permukaan atap karena radiasi

    matahari, panas yang diserap secara konveksi

    oleh evaporator dan panas yang diteruskan ke

    ruangan secara radiasi oleh atap (I. M. Gandidi,

    2008).

    Laju perpindahan panas yang diserap

    evaporator Qe dapat diturunkan dari persamaan

    kesetimbangan energi yang terjadi pada atap

    (Hewitt, G.F., Shires, G.L., Bott, T.R, 1994).

    Dari hukum kesetimbangan energi, laju

    perpindahan panas yang diserap refrigeran

    methanol dalam evaporator sebesar :

    C,Lee TAUQ (1)

    Dimana,

  • Jurnal Mechanical, Volume 3, Nomor 1, Maret 2012

    9

    FTT

    TTT

    io

    io

    CL

    )/ln(, (2)

    h

    ee

    D

    kNuh (3)

    Dimana F adalah faktor koreksi

    evaporator untuk jenis multipass flow. Harga

    bilangan Nusselt Nu tergantung pada

    karakteristik aliran yang terjadi dalam

    kondensor. Untuk aliran dalam pipa dimana

    temperatur permukaannya diasumsikan

    konstan, dengan kondisi aliran laminar dan

    berkembang penuh maka nilai bilangan

    Nusseltnya konstan (Nue = 3,66 ). Sedangkan

    untuk aliran yang turbulen dapat digunakan

    persamaan yang dihasilkan Petukhov, et all

    (Incropera, Frank P dan Dewitt, David P.

    1996):

    )1(Pr)8/f(7,121

    Pr)1000)(Re8/f(Nu

    3/22/1

    De

    (4)

    dimana f adalah :

    264.1Relog82.1 Df (5)

    METODE PENELITIAN

    Metode dalam penelitian ini dilakukan

    sama dengan penelitian yang telah dilakukan

    oleh penelti sebelum ini (I. M. Gandidi, 2008).

    Hal ini dilakukan untuk mendapat hasil

    komparasi yang jelas terhadap penggunaan

    methanol sebagai refrigeran.

    Penelitian dilakukan secara

    eksperimental terhadap dua model rumah yang

    berukuruan 2 m x 1.5 m x 2 m. Kedua model

    ini digunakan untuk mendapat data yang

    dibutuhkan pada rumah dengan perlakukan

    pendinginan atap dan rumah tanpa perlakuan

    pendinginan atap.

    KKoonnddeennssoorr

    EEvvaappoorraattoorr

    Katup Ekspansi

    Atap

    Underground thermal storage tank

    Pompa

    Gambar 2. Instalasi pengujian pendinginan metode konveksi

    Model rumah dibuat tipe permanen

    menggunakan material beton dengan atap seng.

    Untuk rumah dengan perlakuan pendinginan,

    di atas atap seng diberi evaporator sebagai alat

    pendingin menggunakan pipa tembaga yang

    berdiameter dengan panjang proporsional dengan lebar atap. Geometri pipa dibentuk

    persegi dengan kedua ujungnya setengah

    lingkaran (rectangle duct with rounded ends).

    Kondensor sebagai alat untuk membuang

    panas ke lingkungan bawah tanah (thermal

    storage tank) juga terbuat dari pipa tembaga

    berdiameter dengan panjang 20 m yang diletakan pada kedalaman 3 meter di bawah

    permukaan tanah tepat di bawah rumah model.

    Agar temperatur keluaran kondensor lebih

    dingin, dibuat juga katup ekspansi

    menggunakan pipa bercabang yang

    berdiameter 3/16.

  • Jurnal Mechanical, Volume 3, Nomor 1, Maret 2012

    10

    Untuk mensirkulasikan methanol sebagai

    fluida kerja (absorber), dialirkan menggunakan

    pompa berkapasitas 34 l/mt yang diletakan

    disamping rumah model.

    Dalam pelaksanaan penelitian, model

    tanpa pendingin dengan model rumah dengan

    pendingin, diuji pada waktu yang bersamaan.

    Data-data temperatur yang diperlukan, diukur

    menggunakan thermokopel digital yang

    diletakan pada 7 titik pengukuran. Proses

    pengambilan data dilakukan setiap setengah

    jam dimulai dari jam 08.00 sampai jam 16.00

    untuk setiap satu laju aliran massa methanol.

    Laju aliran massa methanol divariasikan

    sebanyak 5 variasi dengan cara mengatur katup

    sebelum masuk flow meter. Sehingga

    dibutuhkan 10 hari waktu pengambilan data.

    Pengukuran besarnya radiasi matahari yang

    sampai di permukaan atap, diukur

    menggunakan solarimeter. Selanjutnya, kedua

    hasil rumah model dibandingkan untuk

    menentukan pengaruh pemasangan pendingin

    konveksi pada atap terhadap pendinginan

    ruangan.

    Perhitungan dilakukan untuk

    mendapatkan laju panas yang diserap

    evaporator Qe, temperatur atap Ta dan

    temperatur ruangan Tr. Hasil perhitungan

    terhadap Qe, Ta dan perubahan temperatur

    ruangan ditampilkan dalam bentuk grafik

    sebagai fungsi laju aliran massa methanol dan

    radiasi matahari.

    HASIL DAN PEMBAHASAN

    Tulisan ini menganalisis beberapa

    parameter yang berhubungan dengan

    perubahan temperatur atap dan ruangan yang

    merupakan fungsi dari laju aliran massa

    refrigerant dalam evaporator dan radiasi

    matahari. Gambar 3. menunjukan pengaruh

    intensitas matahari terhadap perubahan

    temperatur ruangan rumah model dengan

    system pendingin menggunakan methanol dan

    tanpa pendingin. Pengukuran data dilakukan

    selama 5 hari pada waktu cuaca cerah.

    25

    25.5

    26

    26.5

    27

    27.5

    28

    28.5

    29

    29.5

    30

    30.5

    31

    31.5

    32

    32.5

    33

    9:00 9:30 10:00 10:30 11:00 11:30 12:00 12:30 13:00 13:30 14:00 14:30 15:00 15:30 16:00

    Waktu Surya

    Te

    mp

    era

    tur

    rua

    ng

    an

    (C

    )

    absorben metanol (0.6 L/m) standar absorben metanol standar

    absorben metanol (0.52 L/m) standar absorben metanol (0.68 L/m) standar

    absorben metanol(0.76 L/m) standar

    Gambar 3. Grafik temperatur ruangan terhadap waktu surya

  • Jurnal Mechanical, Volume 3, Nomor 1, Maret 2012

    11

    Pada laju aliran massa methanol 0.68

    L/m, temperatur ruangan tertinggi pada rumah

    model tanpa pendingin sebesar yaitu 32.2 C

    yang terjadi pukul 14.00 dengan radiasi

    matahari 1563.021 W dan ruangan rumah

    model dengan pendingin sebesar 30.9 C yang

    terjadi pada pukul 13.30 dengan radiasi

    matahari 1814.39 W. Temperatur ruangan

    terendah kedua model terjadi pada laju aliran

    massa methanol 0.76 L/m pada pukul 09.00

    dengan besar radiasi matahari 1260.23 W. Dari

    titik puncak tersebut temperatur ruangan akan

    cenderung menurun hingga akhir pengambilan

    data pada pukul 16.00. Penurunannya tidak

    terlalu signifikan dibandingkan dengan

    kenaikannya sejak awal pengambilan data.

    Efek Penggunaan Refrigeran Air dan

    Methanol

    Gambar 4. menunjukkan pengaruh

    penggunaan sistem pendingin konveksi (air)

    dan methanol pada rumah model serta

    dibandingkan dengan rumah model tanpa

    pendingin. Perbandingan dilakukan pada laju

    aliran massa dengan selisih temperatur ruangan

    terbaik untuk kedua sistem. Pada metode

    konveksi menggunakan air, rata-rata selisih

    temperatur ruangan terbaik terjadi pada laju

    alir 0.75 L/m yaitu sebesar 0.51C, dimana

    selisih temperatur ruangan tertingginya

    mencapai 0.58 C, dan nilai terendahnya

    adalah 0.1C.

    25

    26

    27

    28

    29

    30

    31

    32

    33

    9:00 9:30 10:00 10:30 11:00 11:30 12:00 12:30 13:00 13:30 14:00 14:30 15:00 15:30 16:00

    Waktu Surya

    Te

    mp

    er

    atu

    r r

    ua

    ng

    an

    (C

    )

    absorben metanol (0.68 L/m) standar pendingin dengan metode konveksi (0.75 L/m) standar (0.75 L/m)

    Gambar 4.Grafik temperatur ruangan metode konveksi dengan refrigerant air, methanol dan tanpa pendingin

    terhadap waktu surya

    Sedangkan pada sistem pendingin

    absorben metanol rata-rata selisih temperatur

    ruangan terbaik terjadi pada laju alir 0.68 L/m

    dengan beda temperatur rata-rata yaitu 0.46C .

    Selisih temperatur ruangan tertinggi pada laju

    aliran ini mencapai 0.5 C sedangkan

    terendahnya adalah 0.1C. Berdasarkan

    kemampuannya dalam menurunkan temperatur

  • Jurnal Mechanical, Volume 3, Nomor 1, Maret 2012

    12

    ruangan, sistem pendingin dengan refrigerant

    air lebih baik daripada sistem pendingin

    absorben metanol. Hal ini terjadi karena sistem

    kondensor yang berada di dalam tangki di

    bawah tanah yang tidak dirancang secara

    proporsional, sehingga tidak bekerja secara

    efektif, sehingga temperatur masukan metanol

    tidak dapat dipertahankan konstan. Secara

    umum nilainya lebih tinggi dibandingkan

    temperatur masukan air pada sistem pendingin

    metode konveksi. Bahkan pada beberapa

    kondisi tertentu, temperatur metanol lebih

    tinggi daripada temperatur atap sehingga tidak

    mampu untuk mendinginkan ruangan. Human

    error dalam perancangan dan pembuatan

    instalasi uji, terutama sulitnya membuat pipa-

    pipa evaporator yang kecil, desaian optimal

    dan kedalaman tanki yang tidak sesuai, juga

    memberikan kontribusi rendahnya kemampuan

    methanol sebagai refrigerant.

    25

    30

    35

    40

    45

    50

    55

    60

    65

    9:00 9:30 10:00 10:30 11:00 11:30 12:00 12:30 13:00 13:30 14:00 14:30 15:00 15:30 16:00

    Waktu surya

    Te

    mp

    era

    tur a

    tap

    (C

    )

    absorben metanol (0.68 L/m) standar (0.68 L/m) pendingin dengan metode konveksi (0.75 L/m) standar (0.75 L/m)

    Gambar 5. Grafik temperatur atap metode konveksi dengan refrigerant air, methanol dan tanpa pendingin

    terhadap waktu surya

    Sama halnya dengan grafik perbandingan

    temperatur ruangan metode konveksi (air)

    terhadap sistem absorben metanol yang telah

    dibahas sebelumnya, pada gambar 5. nilai

    temperatur atap yang ditampilkan adalah pada

    laju aliran massa refrigeran yang memilki

    persentase penurunan nilai Ta terbesar. Pada

    pendingin menggunakan air, terjadi pada laju

    alir 0.75 L/m yaitu sebesar 13.15 %, sedangkan

    pada sistem pendingin absorben metanol

    terjadi pada laju alir 0.68 L/m sebesar 10.11 %.

    Secara keseluruhan untuk semua laju alir

    volum, rata-rata persentase penurunan

    temperatur atap yang terjadi juga lebih baik

    pada metode konveksi menggunakan air yaitu

    9.47 %, sedangkan pada sistem pendingin

    absorben metanol hanya 6.37 %. Efek

    penurunan temperatur atap pada metode

    konveksi dapat lebih baik karena laju

    penyerapan panas oleh air lebih baik daripada

    metanol. Nilai kalor laten metanol yang lebih

    besar menjadi tidak berpengaruh karena proses

    penguapan tidak berhasil terjadi pada saat

    metanol berada di atas atap. Pendeknya waktu

    lintas methanol di atas permukaan atap

    menyebabkan energi panas laten untuk

  • Jurnal Mechanical, Volume 3, Nomor 1, Maret 2012

    13

    merubah fasa methanol tidak maksimal,

    sehingga laju penyerapan panas oleh methanol

    akan rendah. Temperatur masuk metanol yang

    tinggi juga mengakibatkan proses penyerapan

    panas atap oleh metanol tidak maksimal karena

    selisih temperatur metanol terhadap temperatur

    atap pun kecil. Tingginya temperatur metanol

    ini disebabkan oleh penempatan tangki yang

    kurang porposinal sebagai reservoir thermal.

    Perbandingan dengan Sistem Pendingin

    Evaporasi

    Grafik 6. menunjukkan perbandingan

    antara selisih temperatur ruangan rumah tanpa

    pendingin terhadap rumah dengan pendingin

    evaporasi dan pendingin refrigeran metanol.

    Perbandingan dilakukan pada laju alir dengan

    selisih temperatur ruangan terbaik untuk kedua

    sistem. Pada metode evaporasi, rata-rata selisih

    temperatur ruangan terbaik terjadi pada laju

    alir 1.4 L/m yaitu sebesar 0.65C. Nilai

    tertingginya mencapai 1.9C, terendahnya

    adalah 0.4C. Pada sistem pendingin refrigeran

    methanol selisih temperatur ruangan terbaik

    terjadi pada laju aliran massa 0.68 L/m dengan

    nilai yang lebih kecil yaitu 0.36C. Selisih

    temperatur ruangan tertinggi pada laju aliran

    ini mencapai 0.5C sedangkan terendahnya

    adalah 0.1C.

    27

    27.5

    28

    28.5

    29

    29.5

    30

    30.5

    31

    31.5

    32

    32.5

    9:00 9:30 10:00 10:30 11:00 11:30 12:00 12:30 13:00 13:30 14:00 14:30 15:00 15:30 16:00

    Waktu surya

    Te

    mp

    era

    tur

    rua

    ng

    an

    (C

    )

    absorben metanol (0.68 L/m) standar pendingin dengan metode evaporas(14 L/m) standar

    Gambar 6. Grafik temperatur ruangan metode evaporasi dan absorber metanol terhadap waktu surya

    Berdasarkan kemampuannya dalam

    menurunkan temperatur ruangan maka sistem

    pendingin metode evaporasi memiliki performa

    lebih baik daripada sistem pendingin absorben

    metanol.

    Selisih temperatur ruangan yang besar

    pada sistem pendingin evaporasi berkaitan erat

    dengan nilai temperatur atapnya. Seperti bisa

    dilihat pada gambar 7 dan gambar 8,

    temperatur atap pada metode evaporasi dapat

    dipertahankan relatif konstan yaitu pada 29.8 33 C, padahal temperatur atap tanpa

    pendingin bisa mencapai 62 C pada kondisi

    puncaknya.

  • Jurnal Mechanical, Volume 3, Nomor 1, Maret 2012

    14

    25

    30

    35

    40

    45

    50

    55

    60

    65

    9:00 9:30 10:00 10:30 11:00 11:30 12:00 12:30 13:00 13:30 14:00 14:30 15:00 15:30 16:00

    Waktu surya

    Te

    mp

    era

    tur a

    tap

    (C

    )

    absorben metanol (0.68 L/m) standar (0.68 L/m) pendingin dengan metode evaporasi (10 L/m) standar (10 L/m)

    Gambar 7. Grafik temperatur atap metode evaporasi dan absorber methanol terhadap waktu surya

    Keadaan yang ekstrim ini dapat terjadi

    karena pada metode evaporasi, atapnya

    terselimuti oleh air sepanjang pengambilan

    data. Temperatur atap yang rendah juga

    berpengaruh pada persentase penyerapan laju

    perpindahan panas oleh sistem metode

    evaporasi yang dapat mencapai 90 %,

    sedangkan pada pendingin dengan absorben

    metanol lebih kurang 15%.

    -0.2

    -0.1

    0

    0.1

    0.2

    0.3

    0.4

    0.5

    0.6

    0.7

    0.8

    9:00 9:30 10:00 10:30 11:00 11:30 12:00 12:30 13:00 13:30 14:00 14:30 15:00 15:30

    Waktu surya

    T

    -roo

    m

    absorben metanol (0.011 kg/s)

    metode konveksi(0.012 kg/s)

    metode evaporasi (0.016 kg/s)

    Gambar 8. Grafik T-room pada sistem absorber metanol, air dan evaporasi terhadap waktu surya

  • Jurnal Mechanical, Volume 3, Nomor 1, Maret 2012

    15

    KESIMPULAN

    Dari jenis refrigeran yang digunakan

    dalam pendingin metode konveksi, model

    rumah dengan pendingin konveksi

    menggunakan air sebagai refrigeran

    mempunyai performansi yang lebih baik

    dibandingkan dengan menggunakan methanol.

    Kajian lebih lanjut perlu dilakukan jika

    menggunakan methanol terutama dalam

    mendisain dan menempatkan condensor

    dibawah tanah serta model atap yang

    digunakan. Disain khusus terhadap atap sangat

    diperlukan untuk meningkat kemampuan dari

    sistem ini agar perubahan fase dari methanol

    bisa berlangsung selama melintas di atas

    permukaan atap.

    DAFTAR PUSTAKA

    [1] C. M. Chu, A, et.all, 2003, Possible Schemes For Solar-Powered Methanol-

    Conditioning In 2-Storey Terrace

    Houses, Chemical Engineering Programme, School Of Engineering And

    It, University Malaysia Sabah, Sabah,

    Malaysia.

    [2] Flora, Kylie, 2002, Evaporative Roof Cooling : Tried and True Alternative, Cool Roof Co. Kentucky, 16 April 2005

    http ; // www.afe.org / members / journals

    / May-June 99 / default / htm.

    [3] Hewitt, G.F., Shires, G.L., Bott, T.R, 1994, Process Heat Transfer, Begell House Inc, New York.

    [4] I. M. Gandidi., 2007, Reduksi Temperatur Atap dengan Motode

    Konveksi sebagai Metode Alternatif untuk

    Mendinginkan Ruangan Rumah Hunian, Laporan Penelitian Dosen Muda, Lembaga

    Penelitian, Univesitas Lampung.

    [5] Jain. S, 2003, Desiccant Augmented Evaporative Cooling: An Emerging

    Methanol-Conditioning Alternative Department Of Mechanical Engineering,

    Indian Institute of Technology Delhi,

    Hauz Khas, New Delhi-110016, India.

    [6] Kasuda, T., and Archenbach, P.R, 1999 "Earth Temperature and Thermal

    Diffusivity at Selected Stations in the

    United States", ASHRAE Transactions,

    Vol. 71, Part 1.

    [7] Pasek, A.D, dkk., 2004., Phase-Out Management Plan For CfCs In The

    Refrigeration (Servicing) Sector In

    Indonesia. Palembang. 1. Sustainable energy authority Victoria,

    2002, Choosing a Cooling System, [8] http://www.sustainability.vic.gov.au/resou

    rces/documents/Choosing_a_cooling_syst

    em.pdf, 30 April 2008

    [9] Modul Pembelajaran Interaktif, 2008 Retrofitting Sistem Refrigerasi http://ict.pontianak.go.id/interaktif/MIRSR

    /ch3/index.html, April 2008, 18.40 WIB)

    [10] Surat Kabar Suara Pembaruan, 2007, Ozon, Payung Dunia yang Kian Terkoyak, Pusat Informasi Lingkungan Dunia,

    http://www.pili.or.id/incl_indo_read_detail

    .php?id=512, April 2008, 18.40 WIB

    [11] ___________ Pengembangan energi terbarukan sebagai energi aditif di

    Indonesia, 1997, 17 Februari 2006

    www.elektroindonesia.com/elektro/energi

    4.html.

    [12] __________ , ASHRAE Model , 2004. United States 16 April 2005

    www.ecoology.com / why the roof.htm

    [13] __________, Chemical safety Data: Methanol, Jan. 2004. Oxford. Des 2005

    www.OxfordHSci.com

    [14] ___________The FAO Technical Papers, 2003, 16 April 2005 www. FAO. Org /

    DOCRETP / 003 / X5641E /

    X6541E02.htm

  • Jurnal Mechanical, Volume 3, Nomor 1, Maret 2012

    16

    Karaktristik Pola Aliran Pemisahan Kerosene-Water

    Pada Pipa T-Junction Sudut 90 Dan Radius 25 mm Dengan Bahan Pleksiglass

    Kms. Ridhuan

    Jurusan Teknik Mesin Universitas Muhammadiyah Metro

    Jl. Ki Hajardewantara N0. 116 Metro Timur Kota Metro

    Email : [email protected]

    Abstract

    Tests with the fluid flow pattern visualization kerosene (kerosene)-water through a pipe with a

    T-junction has been performed at the Laboratory of Fluid Mechanics, Faculty of Engineering,

    Gadjah Mada University. Tests performed on the test section of T-Junction with an angle of 90 and 25 mm bend radius. Fleksiglass material with a diameter of 1.5 inches with kerosene (kerosene)

    and water as working fluid. To determine the flow pattern is done by kerosene and set the

    superficial velocity of water. Kerosene superficial velocity (Jk) and superficial velocity of water

    (Jw) that flowed in the test section is set by using a valve and measured using flow meters at a

    range of values Jk = 0.10 m / s - 0.22 m / s and Jw = 0 , 10 m / s - 0.40 m / s. Flow patterns that

    occur during the research process was recorded by using cameras and observed visually with the

    movement slowed. As a result, it is known that the flow pattern occurring in this study is stratified

    (S), Stratified Wavy (SW), Three Layer (3L), Stratified Wavy Water in Oil (SWw / o), and dispersed

    (D). For kerosene-water separation of the most well occur in Stratified Wavy flow pattern at a

    speed suprfisial kerosene (Jk) 0.14 to 0.18 m / s and superficial velocity of water (Jw) 0.15 to 0.25

    m / s. In the superficial mixture velocity (Jmix) 0.34 to 0.43 m / s. And for kerosene-water

    separation of the less well occur in dispersed flow pattern (D) velocity suprficial kerosene (Jk) 0.12

    m / s down and 0.20 m / s upward. Superficial velocity of water (Jw) 0.15 m / s down and 30 m / s

    upward. In the superficial mixture velocity (Jmix) below 0.56 m / s. And on top of 0.60 m / s.

    Keywords: flow patterns, kerosene-Water, T-junction.

    PENDAHULUAN

    Salah satu metode yang digunakan untuk

    memisahkan antara fluida air dan fluida

    minyak adalah dengan menggunakan

    konstruksi perpipaan dengan sambunganT (T Junction) untuk menggantikan fungsi dari

    separator yang selama ini digunakan. Ketika

    aliran dua fase mengalir melalui T-junction

    terjadi distribusi tidak merata terhadap kualitas

    campuran pada kedua sisi keluar ( run dan side

    arm) dari T-junction. Distribusi tidak merata

    dari aliran fluida tersebut berdampak pula pada

    parameter lain seperti gradien tekanan dan

    efisiensi pemisahan.

    Penelitian tentang pola aliran minyak

    dan air pada pipa horizontal telah dilakukan

    oleh Angeli dan Hewitt (1999). Pipa yang

    digunakan adalah stailess steel dan acrylic

    dengan diameter dalam 7 mm dan 5,7 mm.

    Penelitian dilakukan pada kecepatn superficial

    campuran minyak-air antara 0,2 sampai 3,9

    m/s dan fraksi volume air yang masuk antara 6

    % sampai 86 %. Minyak yang digunakan

    mempunyai densitas 801 kg/m3 dan viskositas

    1,6 mPa.s. Hasil penelitinnya yaitu empat pola

    aliran utama, antara lain pola aliran Stratified

    Wavy pada pipa acrylic terjadi pada kecepatan

    campuran 0,6 m/s. Sedang pada pipa stainless

    steel terjadi pada kecepatan campuran 0,3 m/s.

    Pola three layer pada pipa acrylic terjadi pada

    kecepatan campuran 0,9 sampai 1,7 m/s dan

    fraksi volume air 0,2 sampai 0,5. Sedangkan

    pada pipa stainless steel terjadi pada kecepatan

    campuran 0,9 sampai 1,7 m/s. Untuk pola

    Stratified Mixed terjadi pada pada kecepatan

    campuran yang sama pada Three Layer tetapi

    fraksi volume airnya di bawah 0,3 dan diatas

    0,5 pada kedua pipa. Fully Dispersed/Mixed

    pada pipa stainless steel terjadi pada kecepatan

    campuran 1,3 m/s ke atas. Sedangkan pada

    pipa acrylic terjadi pada kecepatan campuran

  • Jurnal Mechanical, Volume 3, Nomor 1, Maret 2012

    17

    1,7 m/s.

    a. Pola aliran Stratified Wavy (SW)

    b. Pola aliran Three Layer (3L)

    c. Pola aliran Stratified Mixed (SM)

    d. Pola aliran Mixed (M)

    Gambar 1. Gambar Pola aliran yang dihasilkan dari

    penelitian (Angeli dan Hewitt,1999).

    Yang dan Azzopardi (2006) meneliti

    pengaruh kecepatan superfisial campuran

    terhadap pola aliran yang terjadi pada sisi inlet

    dari T-junction dan pemisahan fase antara

    kerosene-air. Pada tahun berikutnya (2007)

    mereka melakukan penelitian tentang phase

    maldistribution dengan fokus kajian pada pola

    aliran stratified with mixture interface (ST &

    MI) dan pola aliran dispersed. Data yang

    diukur berdasarkan pada besarnya aliran fraksi

    massa yang keluar dari side arm.

    Penelitian tentang pola aliran kerosene-

    air pada pipa horizontal dengan bahan acrylik

    telah dilakukan juga oleh Imam Syopii

    (2009). Diameter pipa yang digunakan 1 inch.

    Kecepatan superficial air 0,087 m/s sampai

    0,58 m/s Dan kecepatan superfisian kerosene

    0,084 m/s sampai 0,336 m/s. Dengan fraksi

    volume air (water cut) 21 % samapi 87 %.

    Secara umum ada lima pola aliran yang dapat

    ditemui yaitu stratified wavy terjadi pada

    kecepatan superficial kerosene 0,087 sampai

    0,204 m/s, dan air 0,087 sampai 0,583 m/s.

    Pola aliran Three layer terjadi pada kecepatan

    superficial kerosene 0,0141 sampai 0,274 m/s

    dan air 0,087 sampai 0,583m/s. Untuk pola

    alira mixed atau dispersed pada kecepatan

    superfisial kerosene 0,029 sampai 0,336 m/s

    dan air pada 0,521 sampai 0,583 m/s. Pola

    aliran dispersed water in oil (Dw/o) pada

    kecepatan superfisial kerosene 0,029 sampai

    0,336 m/s, air 0,389 sampai 0,583. Dan pola

    aliran Caterpillar wavy pada kecepatan

    superficial kerosene 0,084 sampai 0,141 m/s,

    dan air 0,472 sampai 0,583.

    a. Pola Aliran

    Aliran cairan-cairan dapat mempunyai

    berbagai konfigurasi geometrik yang dikenal

    dengan pola aliran. Parameter fisik yang

    penting dalam menentukan pola aliran adalah

    tegangan permukaan dan gravitasi. Pola aliran

    dalam pipa vertikal dan horizontal akan

    berbeda. Banyak kriteria pola aliran yang

    dilaporkan, seperti Brauner dan Maron (1992)

    membagi pola aliran cairan-cairan pada pipa

    horizontal, seperti pola aliran strata licin

    (stratified) merupakan pola aliran dasar yang

    terjadi dengan densitas cairan yang berbeda.

    Pola aliran strata dengan dipisahkan campuran

    (stratified with mixing interface), ini pola

    aliran stratified tetapi diantara kedua fase

    terdapat pemisah yang berupa campuran fase.

    Dan pola aliran dispered atau mixing yaitu

    ketika ada dua fluida yang salah satunya

    mengalir terus-menerus tetapi yang lain

    menyebar.

    Bareta dkk (1997) telah meneliti efek

    viskositas terhadap pola aliran minyak-air

    pada pipa horisontal yang berdiameter 3 mm,

    panjang 1000 mm, dengan variasi water cut 0,2

    dan 0,4. Dengan menggunakan tiga macam

    minyak yaitu Gilotherm ALD (viskositas

    kinematik 71,170x10-2

    m2/s), Gilotherm RD

    (viskositas kinematik 9,874x10-2

    m2/s), dan

    Santhotherm SP (viskositas kinematik

    53,325x10-2

    m2/s). Hasil penelitiannya

  • Jurnal Mechanical, Volume 3, Nomor 1, Maret 2012

    18

    mendapatkan lima pola aliran utama, yaitu

    pola aliran dispersed, annular, slug, bubbly dan

    plug.

    b. Kecepatan Superfisial

    Kecepatan superficial (J) (m/s)

    didefinisikan sebagai perbandingan antara laju

    alir volumetrik dari fase tunggal (V) dengan

    luas melintang pipa (A). Berikut beberapa

    persamaan untuk mengetahui karaktristik

    pemisahan kerosene-water :

    Kecepatan Superfisial :

    A

    JAJ kkks

    (1)

    Kecepatan Superfisial Water :

    A

    JAJ wwws

    (2)

    Kecepatan superficial campuran :

    wsksm JJJ (3)

    Fraksi volume air (water cut) :

    wsks

    ws

    wJJ

    J

    (4)

    Fraksi volume kerosene (kerosene cut) :

    wsks

    ks

    kJJ

    J

    (5)

    METODE PENELITIAN

    Penelitian ini menggunakan fluida

    kerosene (densitas = 819 kg/m3 dan viskositas

    kinematik = 0,00192 kg/m.s) dan air (densitas

    = 998 kg/m3 dan viskositas absolut = 0,00102

    kg/m.s). Pipa uji yang berdiameter dalam 1,5

    inci. Sudut T-junction yang digunakan adalah

    90 dengan radius belokan 25 mm. Pada tahap awal, air terlebih dahulu

    dipompakan dari tangki penampungan ke

    dalam pipa saluran sampai penuh, selanjutnya

    kerosene dipompakan dari tangki

    penampungan ke dalam pipa saluran sehingga

    kerosene dan air akan bercampur di dalam

    mixer. Setelah kerosene dan air bercampur di

    dalam mixer, kemudian laju aliran keduanya

    diatur dengan menggunakan katup dan diukur

    dengan flow meter dengan nilai besaran sesuai

    dengan matriks tes penelitian pada Tabel 1.

    Aliran campuran kemudian mengalir

    menuju seksi uji dan besarnya fraksi massa

    campuran yang keluar dari kedua outlets

    diukur. Pengukuran pola aliran dilakukan

    dengan menggunakan camera pada sisi inlet

    dan sisi T-Junction. Selanjutnya aliran tersebut

    keluar dari kedua bagian yaitu air dominan ke

    run dan kerosene ke branch. Selanjutnya

    aliran tersebut masuk ke sparator, kemudian

    dipisahkan, setelah itu air kembali ke tangki

    penampung air dan kerosenepun demikian.

    Kemudian dengan cara yang sama

    dilakukan pengukuran untuk matrik tes

    selanjutnya dan seterusnya.

    Tabel 1. Matriks Test Penelitian

    No. Kecepatan superficial air

    Jw (m/s)

    Kecepatan superficial keroseneJk

    (m/s)

    1 0,10 0,10

    2 0,15 0,12

    3 0,20 0,14

    4 0,25 0,16

    5 0,30 0,18

    6 0,35 0,20

    7 0,40 0,22

  • Jurnal Mechanical, Volume 3, Nomor 1, Maret 2012

    19

    HASIL DAN PEMBAHASAN

    Pengukuran pada kecepatan superficial

    campuran (Jmix) 31 m/s sampai 80 m/s. Dan

    farksi volume air masuk 0,23 m/s sampai 0,64

    m/s. Secara umum ada 5 pola aliran yang

    ditemui pada penelitian ini yaitu :

    1. Stratified Wavy (SW), 2. Three Layer (3L), 3. Dispersed atau Mixer (D), 4. Dispersed water in oil (Dw/o) dan 5. Dispersed oil in water (Do/w).

    a. Kecepatan Superficial Rendah

    Pada kecepatan superfisial air rendah (Jw

    0,15 m/s) ada 4 pola aliran yang terbentuk yaitu (SW) terjadi pada Jk 0,12 m/s, Pola aliran (SWw/o) pada Jk 0,16 m/s, Pola aliran (3L) pada Jk 0,20. Dan pola aliran (D) pada 0,2. Keempat pola aliran tersebut mempunyai

    karaktristik yang berbeda, karena fraksi

    volume air yang semakin sedikit, seperti pada

    gambar 2, 3, 4 dan 5.

    Pola aliran di T-Junction Pola aliran di inlet (Skala 1:3)

    Gambar 2. Pola aliran Stratified Wavy (SW)

    kerosene

    Mixed Layer

    Gambar 3. Pola aliran Three Layer (3L) (Skala 1:3)

    Dispersed Dispersed

    Gambar 4. Pola aliran Dispersed (Skala 1:3)

  • Jurnal Mechanical, Volume 3, Nomor 1, Maret 2012

    20

    (DWw/o)

    (DWw/o)

    Gambar 5. Pola aliran DispersedWavy Water in Oil (DWw/o) (Skala 1:3)

    (DWo/w)

    Gambar 6. Pola aliran Dispersed Wavy Oil in Water (SWo/w) (Skala 1:3)

    b. Kecepatan Superficial Menengah

    Pada kecepatan superfisial air menengah

    (Jw 0,20 sampai 0,30 m/s) ada 4 pola aliran yang terbentuk yaitu (SW) terjadi pada Jk 0,10 m/s, Pola aliran (DWo/w) pada Jk 0,12 sampai 0,14 m/s, Pola aliran (3L) pada Jk 0,16 sampai 0,20 m/s. Dan pola aliran (D) pada

    0,22. Konfigurasi pola aliran yang terjadi hampir sama dengan konfigurasi pola aliran

    kecepatan superficial rendah. Ini terlihat pada

    gambar 2, 3, 4 dan 6.

    c. Kecepatan Superficial Tinggi

    Pada kecepatan superfisial air tinggi (Jw

    0,20 sampai 0,30 m/s) ada 2 pola aliran yang terbentuk yaitu Pola aliran Dispersed Wavy

    Water in Oil (DWw/o) pada Jk 0,10 sampai

    0,16 m/s. (DWo/w) pada Jk 0,16 sampai 0,22 m/s. Dibandingkan dengan kecepatan

    superficial sebelumnya, pada kecepatan

    superfisial air tinggi ini hanya terdapat pola

    aliran yang hampir sama, seperti pada gambar

    5 dan 6.

    Pola aliran Stratified Wafi (SW) terjadi

    pada kecepatan superficial kerosene 0,10

    sampai 0,12 m/s. Dan kecepatan superficial air

    0,10 sampai 0,30 m/s. Dimana pada pola aliran

    ini terjadi gelombang pada lapisan kerosene

    karena relative terpengaruh oleh tegangan

    geser yang terjadi pada kedua lapisan fluida,

    sehingga efisiensi pemisahan kerosene-air

    belum sempurna, seperti pada gambar 2.

    Pada pola Dispersed Wavy Oil in Water

    (DWo/w) terjadi pada kecepatan superficial

    kerosene 0,12 sampai 0,22 m/s. Dan pada

    semua kecepatan superficial air yaitu 0,10

    sampai 0,22 m/s. Hal ini terjadi akibat

    tegangan geser yang terjadi dekat dinding pipa

    pada lapisan kerosene relative lebih

    terpengaruh oleh tegangan geser, dimana fluida

    lebih cendrung menyebar dan pecah

    membentuk butiran-butiran dan pada butiran-

    butiran kerosene diselimuti atau dikelilingi

    oleh air sehingga kerosene di dalam air, seperti

    pada gambar 6.

    Untuk pola aliran Dispersed Wavy Wate

    in Oil (DWw/o) terjadi pada kecepatan

    superficial kerosene 0,10 samapi 0,14 m/s. Dan

    kecepatan superficial air 0,30 sampai 0,40 m/s.

    yang terjadi pada pola aliran (SWw/o)

  • Jurnal Mechanical, Volume 3, Nomor 1, Maret 2012

    21

    analisanya tidak jauh berbeda dengan (SWo/w)

    hanya saja tegangan geser kedua permukaan

    fluida yang terjadi lebih dominan pada lapisan

    air, sehingga air cendrung pecah dan

    membentuk butiran-butiran. Dimana butiran-

    butiran air tersebut diselimuti atau dikelilingi

    oleh kerosene, sehingga air di dalam kerosene,

    seperti pada gambar 5 dan 6.

    Pola aliran Three Layer (3L) terjadi pada

    kecepatan superficial kerosene 0,16 sampai

    0,20 m/s. Dan kecepatan superficial air 0,10

    sampai 0,30 m/s. yang terjadi karena dekat

    dinding pipa pada lapisan kerosene relative

    terpengaruh oleh tegangan geser permukaan

    yang tejadi sehingga fluida cenderung pecah

    dan menyebar. Semakin meningkatnya

    kecepatan superficial air menyebabkan butiran-

    butiran kerosene berubah menjadi butiran

    berukuran kecil dan terdistribusi pada daerah

    batas fase dan membentuk lapisan campuran

    antara air dan kerosene seperti pada gambar 3.

    Pola aliran Dispersed (D) atau pully

    Dispersed terjadi pada kecepatan superficial

    kerosene 0,20 samapi 0,22 m/s. Dan kecepatan

    superficial air 0,10 sampai 0,30 m/s. Pola

    aliran ini terjadi akibat kecepatan superficial

    kerosene lebih besar dari kecepatan superfisial

    air, sehingga kerosene cendrung menyebar

    karena pengaruh tegangan geser dan membetuk

    lapisan campuran dibagian atas sedangkan air

    bergerak secara kontinyu dibagian bawah.

    Pembentukan pola aliran Dispersed dengan

    diawali terjadinya pola aliran Three Layer,

    karena meningkatnya salah satu kecepatan

    superficial fluida yang mengakibatkan naiknya

    tegangan geser kedua permukaan fluida

    sehingga berpengaruh terhadap semakin

    meluasnya daerah campuran (mixed) dan

    akhirnya terbentuklah pola aliran dispersed,

    seperti pada gambar 4.

    Pada seksi pemisahan kerosene-air di T-

    Junction terlihat bahwa pembentukan pola

    aliran yang terjadi sangat berpengaruh terhadap

    hasil pemisahan yang didapat. Seperti terlihat

    pada gambar 2 dan 6 di atas bahwa untuk pola

    aliran Stratified Wavy pada kecepatan

    superficial kerosene (Jk) 0,10 sampai 0,20 m/s

    dan kecepatan superficial air (Jw) 0,25 sampai

    0,30 m/s adalah merupakan kondisi pemisahan

    yang baik sekali, dimana efisiensi

    pemisahannya yang paling baik.

    KESIMPULAN

    Dari penelitian ini dapat diambil

    kesimpulan sebagai berikut:

    1. Variasi kecepatan superficial aliran kerosene dan air dalam penelitian ini akan

    menghasilkan pola aliran Stratified Wavy

    (SW), Three Layer (3L), Dispersed atau

    Mixer (D), Dispersed water in oil (Dw/o)

    dan Dispersed oil in water (Do/w).

    2. Untuk pemisahan kerosene-air yang paling baik terjadi pada pola aliran Stratified Wavy

    pada kecepatan superficial kerosene (Jk)

    0,10 sampai 0,20 m/s dan kecepatan

    superficial air (Jw) 0,25 sampai 0,30 m/s.

    Atau pada kecepatan superficial campuran

    (Jmix) 0,30 sampai 0,40 m/s. Dan dengan

    Water cut 67 % sampai 70 %.

    3. Dan untuk pemisahan kerosene-air yang kurang baik terjadi pada pola aliran

    Dispersed (D) kecepatan suprfisial kerosene

    (Jk) 0,20 sampai 0,22 m/s dan kecepatan

    superficial air (Jw) 0,10 sampai 0,20 m/s.

    Atau pada kecepatan superficial campuran

    (Jmix) 0,30 sampai 0,47 m/s. Dan dengan

    Water cut 31 % sampai 50 %.

    4. Ditemukan aliran transisi atau peralihan yaitu Stratified Wavy, dan Dispersed yaitu

    Three Layer pada kecepatan kerosen (Jk)

    0,160,20 m/s dan kecepatan air (Jw) 0,15-0,30 m/s.

    DAFTAR PUSTAKA

    [1] Angeli, P and Hewitt, G.F. 1999. Flow Structure in Horizontal Oil-Water Flow.

    International Journal of Multiphase Flow.

    Vol-26. pp 1117-1140.

    [2] Bereta A, Ferrari P, Galbiati L and Andreini PA, 1997, Horizontal Oil-Water

    Flow in Small Diameter Tubes Flow

    Paterns. International Comunkastion of

    Heat and Mass Transfer, Vol.24, pp223-

    229

    [3] Brauner, N. And Maron DM.1992. Flow Pattern Transition in Two phase Liquid-

    liquid Flow in Horizontal Tube.

    International Journal of Multiphase Flow,

    Vol 18, pp. 123-140.

    [4] Syofii Imam, 2009, Studi eksperimen

  • Jurnal Mechanical, Volume 3, Nomor 1, Maret 2012

    22

    mengenai pola aliran cairan-cairan minyak

    tanah dan air pada pipa horizontal sebagai

    simulasi aliran dua fase pada pipa

    ekspolasi

    [5] Yang L, B.J Azzopardi, A. Belghasi, 2006. Phase separation of liquid-liquid two-

    phase flow at a T-junction. AIChE

    Journal. Vol. 52(1), pp. 141-149.

    [6] Yang L, B.J Azzopardi, 2007. Phase split of liquid-liquid two-phase flow at a

    horisontal T-junction. International

    Journal of Multiphase Flow. Vol. 33(2),pp.

    207-216.

  • Jurnal Mechanical, Volume 3, Nomor 1, Maret 2012

    23

    MAKSIMUM TEGANGAN THERMAL PADA PROSES PENCELUPAN

    CERAMIC STALK DI LOW PRESSURE DIE CASTING MACHINE

    Hendra

    Program Studi Teknik Mesin Fakultas Teknik Universitas Bengkulu

    Email : [email protected]

    Abstract

    Low pressure die casting is process to make the axi-simmetric product such as cylinder head,

    piston, brake drum and etc. The process is injected the molten metal with high speeds and pressure

    into a metallic die. The low pressure die casting process has some advantages as a low-cost and

    high-efficiency precision forming technique. The low pressure die casting having the permanent die

    and filling systems are placed over the furnace containing the molten alloy. The filling of the cavity

    is obtained by forcing using the pressurized gas to order a rise the molten metal into a tube, which

    connects the die to the furnace. The tube called stalk made from ceramics because ceramics has

    high temperature resistance and high corrosion resistance. However, care should be taken for the

    thermal stress when the tube is dipped into the molten metal. To reduce the risk of fracture it is

    important because fracture may happen due to the thermal stresses. In this paper, thermo-fluid

    analysis is performed to calculate surface heat transfer coefficient. Then, the finite element method

    is applied to consider the thermal stresses when the stalk is dipped into the crucible with varying the

    dipping speeds. It is found that the stalk with slowly dipping is better than fast dipping to reduce the

    thermal stress.

    Keywords: Thermal Stress, Stalk, Low Pressure Die Casting Machine, Finite element method

    1. INTRODUCTION

    Low pressure die casting (LPDC)

    merupakan suatu proses untuk menghasilkan

    produk axi-symmetric seperti cylinder head,

    piston, brake drum dan light automotive wheels

    [1,2]. LPDC didefinisikan sebagai satu bentuk

    teknik pembentukan dengan cetakan yang

    mana prinsip kerjanya yaitu molten metal di

    injeksikan dengan tekanan dan kecepatan

    tinggi ke cetakan metal. Proses LPDC

    memiliki peranan yang besar pada industri

    pengecoran karena memiliki ongkos yang

    rendah dan efisiensi ketepatan teknik

    pembentukan yang tinggi. Gambar 1

    menunjukkan skema dari mesin LPDC. Mesin

    LPDC mempunyai cetakan permanen, tungku

    pemanasan dan pipa penyalur metal dari

    tungku pembakaran yang berisi molten metal.

    Pipa penyaluran berfungsi meneruskan molten

    metal dengan memanfaatkan gaya tekan dari

    gas yang dimampatkan dari tungku

    pembakaran ke cetakan. Pipa penyaluran

    molten metal disebut dengan stalk.

  • Jurnal Mechanical, Volume 3, Nomor 1, Maret 2012

    24

    Material pipa penyaluran terbuat dari

    ceramic karena ceramic memiliki daya tahan

    terhadap temperatur tinggi dan korosi.

    Sebelumnya material stalk atau pipa dibuat dari

    besi cor yang mana membuat kualitas produk

    rendah karena adanya bagian permukaan dari

    molten metal yang meleleh menempel pada

    permukaan pipa. Akibatnya kualitas produk

    Tabel 1 The physical properties dari molten aluminum at 750oC

    (1023K) [4]

    Table 2 Mechanical properties dari ceramics

    Physical property (dimension)

    Thermal conductivity , W/m K Roll diameter D, m

    Kinematics viscosity , mm2/s Isobaric specific heat pC , kJ/kg K

    Viscosity , mPa s Constants in Eq. (1) when

    3 5

    11 10 2 10 ( )Re C

    Constants in Eq. (1) when 3 51 10 2 10 ( )Re n

    112.2

    0.17

    0.967

    1.1

    2.2

    0.26

    0.6

    Tabel 3 Harga surface heat transfer coefficient

    W/m2.K

    Mechanical properties of ceramics (dimension) Sialon

    Thermal conductivity, W/m K

    Specific heat, J/kg K

    Coefficient of linear expansion, 1/K

    Youngs modulus, GPa(kgf/mm2) Specific weight

    Poissons ratio 4 Point bending strength, MPa (kgf/mm2)

    Fracture toughness, MN/m3/2

    17

    650

    3.010-6

    294 (29979)

    3.26

    0.27

    1050 (107)

    7.5

    Model

    2mm/su

    25mm/su

    Step 16

    Step 8

    Step 2

    given

    : 0 -650mmz

    0mmz

    Bagian dalam dan luar permukaan

    Bagian bawah permukaan

    Level pencelupan hingga

    pertengahan stalk:

    Untuk keseluruhan permukaan

    pencelupan sampai pertengahan stalk:

    3 21.5 10 W/m K

    3 21.5 10 W/m K

    (1) 0-60st

    85mmor 70mmir

    (2) 60s -600st

    r

    z

    o

    13

    00

    mm

    Cylinder model

    (Molten Al T=750oC)

    65

    0m

    m

    85mmor

    70mmir

    3 216.1 10 W/m K

    3 2(2.53-19.1) 10 W/m K

    3 2(0.831-19.51) 10 W/m K

    3 216.1 10 W/m K

    3 2(0.831-19.51) 10 W/m K

    3 20.831 10 W/m K

    3 20.831 10 W/m K

    Model

    2mm/su

    25mm/su

    Step 16

    Step 8

    Step 2

    given

    : 0 -650mmz

    0mmz

    Bagian dalam dan luar permukaan

    Bagian bawah permukaan

    Level pencelupan hingga

    pertengahan stalk:

    Untuk keseluruhan permukaan

    pencelupan sampai pertengahan stalk:

    3 21.5 10 W/m K

    3 21.5 10 W/m K

    (1) 0-60st

    85mmor 70mmir

    (2) 60s -600st

    r

    z

    o

    13

    00

    mm

    Cylinder model

    (Molten Al T=750oC)

    65

    0m

    m

    85mmor

    70mmir

    r

    z

    o

    13

    00

    mm

    Cylinder model

    (Molten Al T=750oC)

    65

    0m

    m

    85mmor

    70mmir

    3 216.1 10 W/m K

    3 2(2.53-19.1) 10 W/m K

    3 2(0.831-19.51) 10 W/m K

    3 216.1 10 W/m K

    3 2(0.831-19.51) 10 W/m K

    3 20.831 10 W/m K

    3 20.831 10 W/m K

    StalkDie

    Molten

    Aluminum 750

    Metal fill

    Crucible

    Pressuring

    gases

    Fill stalk

    Moving

    platen

    StalkDie

    Molten

    Aluminum 750

    Metal fill

    Crucible

    Pressuring

    gases

    Fill stalk

    Moving

    platen

    Gambar.1 Skema dari mesin low pressure die casting

    (LPDC)

    z

    r

    70mm

    85mm

    13

    00

    mm

    15mm

    z

    r

    70mm

    85mm

    13

    00

    mm

    15mm

    Gambar. 2 Elemen mesh dari stalk (dengan

    radius sudut =5)

    z

    o

    u=25mm/s

    z

    o

    u=25mm/s

    z

    o

    u=2mm/s

    z

    o

    u=2mm/s

  • Jurnal Mechanical, Volume 3, Nomor 1, Maret 2012

    25

    rendah dan umur stalk pendek. Oleh karena itu

    ceramic digunakan untuk meningkatkan umur

    pemakaian. Tetapi ceramic memiliki

    kelemahan yaitu memiliki fracture toughness

    rendah. Gambar.1, menunjukkan ceramic

    stalk yang memiliki peranan penting pada

    mesin LPDC karena stalk menerima molten

    metal dari tabung pemanas yang dikenal

    dengan nama crucible. Permasalahan muncul

    ketika ceramic stalk dicelupkan kedalam

    molten metal karena adanya tegangan thermal

    yang muncul ketika ceramic stalk dicelupkan.

    Tegangan thermal ini akan mempengaruhi

    kekuatan material ceramic sehingga

    mengakibatkan kerusakan akibat rendahnya

    fracture toughness dari material ceramic. Paper

    ini menggunakan metode elemen hingga untuk

    menghitung tegangan thermal yang muncul

    ketika stalk dicelup kedalam crucible dengan

    variasi level pencelupan dan kecepatan

    pencelupan.

    2. METODOLOGI DAN SIFAT PHISIK

    MATERIAL

    Ceramic stalk pada mesin low pressure

    die casting memiliki dimensi panjang 1300mm

    dan diameter 170mm. Temperatur molten

    aluminum diasumsikan adalah 750oC. dan

    temperatur ceramic 20oC. Tabel 1

    menunjukkan sifat phisik dari molten

    aluminum pada temperature 750oC [4]. Tabel 2

    menunjukkan sifat mekanik dari material

    ceramik Ceramik yang digunakan adalah

    Sialon [3]. Axi-symmetric model digunakan

    untuk ceramic stalk dengan jumlah elemen

    19500 dan nodal 20816.

    x (mm)

    0

    2000

    4000

    6000

    8000

    10000

    12000

    14000

    16000

    18000

    20000

    22000

    0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6650

    22000

    20000

    10000

    5000

    0 100 200 300 400 600500

    Su

    rface

    hea

    t tr

    ansf

    er (

    W/m

    2K

    )

    AB C,D

    x

    D

    C15000

    0

    x

    B

    A

    o o

    x (mm)

    0

    2000

    4000

    6000

    8000

    10000

    12000

    14000

    16000

    18000

    20000

    22000

    0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6650

    22000

    20000

    10000

    5000

    0 100 200 300 400 600500

    Su

    rface

    hea

    t tr

    ansf

    er (

    W/m

    2K

    )

    AB C,D

    x

    D

    C15000

    0

    x

    B

    A

    o

    x

    B

    A

    o o

    Gambar 3 Surface heat transfer coefficient dari stalk (u=25mm/s)

    Heat transfer coefficient for 2-D and axi-symmetry model

  • Jurnal Mechanical, Volume 3, Nomor 1, Maret 2012

    26

    Koefisien heat transfer ketika stalk dicelup kedalam molten metal diperlukan

    dalam analisa tegangan thermal. Paper ini

    menggunakan volume beda hingga 2 dimensi

    (2D) and axi-simetri model untuk menghitung

    koefisien heat transfer. Hasil 2D dibandingkan

    dengan hasil axi-simetri model. Gambar 3

    menunjukkan nilai koefisien heat transfer 2D

    -400

    -300

    -200

    -100

    0

    100

    200

    300

    400

    0 100 200 300 400 500 600

    Time (s)

    200 600400

    (M

    Pa)

    Maximum stress

    400

    200

    0

    -100

    -200

    -300

    0 100 300 500

    300

    100

    -400

    1max

    3max

    max

    min

    maxz

    minz

    maxr

    minr

    maxrz

    minrz

    max 128z MPa

    -400

    -300

    -200

    -100

    0

    100

    200

    300

    400

    0 100 200 300 400 500 600

    Time (s)

    200 600400

    (M

    Pa)

    Maximum stress

    400

    200

    0

    -100

    -200

    -300

    0 100 300 500

    300

    100

    -400

    1max

    3max

    max

    min

    maxz

    minz

    maxr

    minr

    maxrz

    minrz

    max 128z MPa

    Gambar 4 Tegangan maksimum vs. waktu pada pencelupan lambat ( 2mm/su )

    -300

    -200

    -100

    0

    100

    200

    0 5 10 15 20 25 3010 3020

    200

    100

    0

    -100

    -200

    -300

    zmax

    maxrzmax

    zminmin

    (M

    Pa)

    Time (s)

    1max

    3max

    rmax

    rzmin rmin

    Maximum stress zmax 128MPa

    0-300

    -200

    -100

    0

    100

    200

    0 5 10 15 20 25 3010 3020

    200

    100

    0

    -100

    -200

    -300

    zmax

    maxrzmax

    zminmin

    (M

    Pa)

    Time (s)

    1max

    3max

    rmax

    rzmin rmin

    Maximum stress zmax 128MPa

    0

    a.

    b. Perbesaran gambar (a)

  • Jurnal Mechanical, Volume 3, Nomor 1, Maret 2012

    27

    dan axi-simetri model dengan kecepatan celup

    cepat = 25mm/su . Axi-simetri model menunjukkan nilai koefisien heat transfer bagian dalam berbeda dengan bagian luar

    seperti yang ditunjukkan oleh Gambar 3. Jika

    diameter axi-simetri model tak hingga maka

    nilai akan mendekati nilai pada hasil 2D. Tabel 3 menunjukkan nilai koefisien heat

    transfer untuk ceramic stalk dengan kecepatan celup lambat = 2mm/su and

    kecepatan celup cepat = 25mm/su . Apabila kecepatan celupnya lebih lambat daripada

    = 2mm/su ini sangat lambat pada proses

    pencelupan dan jika melebihi = 25mm/su sangat berbahaya. Sehingga dipilih range

    pencelupan yaitu = 2mm/su dan

    = 25mm/su .

    3. TEGANGAN THERMAL PADA

    CERAMIC STALK

    3.1. Hasil Pengujian Pencelupan Lambat

    Pada kecepatan celup lambat

    = 2mm/su , nilai koefisien perpindahan

    panas 3 2=1.510 W/m Km digunakan

    untuk tiap level pencelupan pada bagian dalam

    dan luar ceramic stalk sampai mencapai titik

    tengah ceramic stalk. Level pencelupan

    bervariasi antara 8 level, 16 level dan 32 level.

    Hasil yang diperoleh ditunjukkan oleh Gambar

    4. Gambar 4 menunjukkan nilai maksimum

    tegangan tarik 1 , maksimum tegangan tekan

    3 , komponen maksimum tegangan r , ,

    z dan maksimum regangan geser rz dengan

    16 level pencelupan. Gambar 4 menunjukkan

    maksimum tegangan maxz hampir sama

    dengan maksimum tegangan tarik 1 pada

    waktu = 20.5st Oleh sebab itu hanya

    maksimum tegangan komponen maxz yang

    akan dibahas dalam tulisan ini karena nilai

    komponen maxz sama dengan nilai

    Gambar 5 Distribusi temperatur dan tegangan ( = 2mm/su pada saat = 20.5st ),

    displacement 50

    z

    Detail of A Detail of B

    Temperature

    950C

    1700C

    2460C3220C

    3970C

    4720C5480C

    6230C

    A

    r

    B

    r

    -138MPa

    9.6MPa

    -108MPa

    -49MPa

    -79MPa

    68MPa

    98MPa

    -19MPa

    39MPa-19MPa

    z

    z

    max 128MPaz

    z

    Detail of A Detail of B

    Temperature

    950C

    1700C

    2460C3220C

    3970C

    4720C5480C

    6230C

    A

    r

    B

    r

    -138MPa

    9.6MPa

    -108MPa

    -49MPa

    -79MPa

    68MPa

    98MPa

    -19MPa

    39MPa-19MPa

    z

    z

    max 128MPaz

    Temperature Stress z

  • Jurnal Mechanical, Volume 3, Nomor 1, Maret 2012

    28

    maksimum tegangan tarik 1 . Maksimum

    tegangan maxz memiliki nilai puncak

    128MPa pada waktu = 20.5st untuk level pencelupan 16 level. Pada level 8 dan 32

    nilainya sama tetapi waktu mencapai nilai

    puncaknya berbeda. Hal ini disebabkan oleh

    level pencelupan menimbulkan efek getaran

    akibat adanya perbedaan panas yang terjadi

    pada daerah dibawah dan diatas level

    pencelupan.

    Maksimum tegangan max =128MPaz

    terjadi pada saat waktu = 20.5st dan tidak mengalami penurunan nilai sampai level

    pencelupan mencapai pertengahan ceramic

    stalk. Setelah mencapai pertengahan ceramic

    stalk tegangan akan mengalami penurunan.

    Dengan adanya level pencelupan 16

    menunjukkan terjadinya fluktuasi nilai

    tegangan seperti ditunjukkan pada Gambar 4.

    Gambar 5 menunjukkan distribusi

    temperatur dan tegangan z pada ceramic

    stalk dengan kecepatan pencelupan lambat

    = 2mm/su dan waktu = 20.5st . Gambar 5 menunjukkan tegangan maksimum terjadi pada

    bagian dalam dari ceramic stalk 128MPa yang

    mana tegangan maksimum max = 296MPaz

    terdapat pada bagian diameter dalam dan

    bawah ceramic stalk.

    3.2 Hasil Pengujian Pencelupan Cepat

    Tegangan thermal dengan pencelupan

    cepat = 25mm/su ditunjukkan pada Gambar 1. Tabel 3 menunjukkan nilai koefisien

    perpindahan panas yang digunakan pada

    pencelupan cepat = 25mm/su . Tabel 3 menjelaskan nilai koefisien perpindahan panas

    yang digunakan pada permukaan ceramic stalk

    dan dibagi menjadi dua proses:

    1. Saat waktu pencelupan = 0-60st , nilai

    koefisien heat transfer 3 2= (0.831-19.51)10 W/m K

    digunakan untuk bagian dalam dan luar

    permukaan ceramic stalk. Maksimum nilai

    koefisien heat transfer 3 2=16.110 W/m K digunakan pada

    permukaan bagian bawah ceramic stalk

    ( 0mmz ) seperti ditunjukkan oleh Tabel 3.

    2. Saat waktu pencelupan > 60st , nilai

    minimal koefisien perpindahan panas 3 2= 0.83110 W/m K digunakan

    pada seluruh permukaan ceramic stalk

    yang dicelup sampai pertengahan ceramic

    stalk.

    Gambar 6 menunjukkan distribusi

    temperatur dan tegangan z pada ceramic stalk

    dengan pencelupan cepat ( = 25mm/su pada

    saat =1.1st ). Gambar 6 menunjukkan nilai tegangan maksimum terdapat pada bagian

    bawah dari ceramic tube. Hal ini disebabkan

    oleh perbedaan temperatur yang besar terjadi

    pada bagian dalam dan luar ceramic stalk.

    Gambar 7 menunjukkan tegangan maksimum

    1 , r , , z dan rz . Seperti ditunjukkan

    pada Gambar 7, tegangan tarik maksimum

    1 = meningkat dalam waktu singkat.

    Setelah mencapai nilai puncak

    max = 246MPa pada waktu =1.1st , nilai

    tegangan tarik akan menurun.

  • Jurnal Mechanical, Volume 3, Nomor 1, Maret 2012

    29

    (a)

    -600

    -400

    -200

    0

    200

    0 1 2 3 4 5

    zmaxmax

    rzmax

    zmin

    min

    (M

    Pa)

    Time (s)

    1max

    3max

    rmax

    rzminrmin

    Maximum stress300

    100

    0

    -100

    -500

    -600

    -300

    1 2 3 4 50

    200

    -200

    -400

    max 246MPa

    -600

    -400

    -200

    0

    200

    0 1 2 3 4 5

    zmaxmax

    rzmax

    zmin

    min

    (M

    Pa)

    Time (s)

    1max

    3max

    rmax

    rzminrmin

    Maximum stress300

    100

    0

    -100

    -500

    -600

    -300

    1 2 3 4 50

    200

    -200

    -400

    max 246MPa

    Gambar 6 Tegangan maksimum vs. waktu pada pencelupan cepat ( = 25mm/su )

    -600

    -400

    -200

    0

    200

    0 10 20 30 40 50

    zmaxmaxrzmax

    zminmin

    (M

    Pa)

    Time (s)

    1max

    3max

    rmax

    rzminrmin

    Maximum stress max 246MPa300

    100

    0

    -100

    -500

    -600

    -300

    10 20 30 40 500

    200

    -200

    -400

    -600

    -400

    -200

    0

    200

    0 10 20 30 40 50

    zmaxmaxrzmax

    zminmin

    (M

    Pa)

    Time (s)

    1max

    3max

    rmax

    rzminrmin

    Maximum stress max 246MPa300

    100

    0

    -100

    -500

    -600

    -300

    10 20 30 40 500

    200

    -200

    -400

    (b). Pembesaran gambar (a)

    u=25mm/su=25mm/s

    u=25mm/su=25mm/s u=25mm/su=25mm/s u=25mm/su=25mm/s

  • Jurnal Mechanical, Volume 3, Nomor 1, Maret 2012

    30

    Gambar 7 Distribusi temperatur dan tegangan ( = 25mm/su pada saat

    =1.1st ), displacement 50

    Temperature

    Detail of C Detail of D

    900C

    1600C

    5790C

    7190C6490C

    5090C

    4390C3690C

    2990C

    z

    D

    rr

    C

    z

    -167MPa

    108MPa

    -373MPa

    -235MPa

    -98MPa

    39MPa

    177MPa

    max=246MPa

    Temperature

    Detail of C Detail of D

    900C

    1600C

    5790C

    7190C6490C

    5090C

    4390C3690C

    2990C

    z

    D

    rr

    C

    z

    -167MPa

    108MPa

    -373MPa

    -235MPa

    -98MPa

    39MPa

    177MPa

    max=246MPa

    Temperature Stress

  • Jurnal Mechanical, Volume 3, Nomor 1, Maret 2012

    31

    3.3 Perbandingan Tegangan Maksimal

    Antara Pencelupan Cepat Dan Lambat

    Perbandingan tegangan maksimum antara

    pencelupan cepat = 25mm/su dan lambat

    = 2mm/su dapat dilihat pada Gambar 4 sampai dengan 7. Gambar 6 menunjukkan

    maksimum tegangan untuk pencelupan cepat

    = 25mm/su yaitu max = 246MPa , 2 kali

    lebih tinggi dibanding dengan pencelupan

    lambat = 2mm/su yaitu max =128MPaz

    (lihat gambar 4). Tabel 4 menunjukkan posisi

    maksimum tegangan dan perbandingan

    tegangan maksimum pencelupan cepat

    = 25mm/su dan pencelupan lambat.

    = 2mm/su .

    DAFTAR PUSTAKA

    [1] The A to Z of Materials Aluminum Casting Techniques-Sand Casting and Die

    Casting Processes. (Online), available

    from , (accessed 2008-4-23).

    [2] F. Bonollo, J. Urban, B. Bonatto, M. Botter. Gravity and Low Pressure Die

    Casting of Aluminium Alloys: a Technical

    and Economical Benchmark. Allumino E

    Leghe, 2005.

    [3] Nogami S. Large Sialon Ceramics Product for Structural Use. Hitachi Metal Report,

    vol.15; 1999.pp.115-120 [in Japanese].

    [4] Editorial committee of JSME. Data of heat transfer. Tokyo: JSME; 1986. p.323 [in

    Japanese].

    Ceramic Stalk

    u=25mm/s

    u=2mm/s

    Model

    Ceramic Stalk

    u=25mm/s

    u=2mm/s

    Model

    246MPa(A)

    209MPa(A)z

    98MPa(B)rz

    89MPa(A)r

    1 246MPa(A)

    BA

    128MPa(A)z

    105MPa(B)

    21MPa(C)rz 4MPa(A)r

    1 128MPa(A)

    C

    A

    B

    Saat t=20.5s

    (maksimum tegangan)

    Saat t=1.1s

    (maksimum tegangan)

    246MPa(A)

    209MPa(A)z

    98MPa(B)rz

    89MPa(A)r

    1 246MPa(A)

    BA

    128MPa(A)z

    105MPa(B)

    21MPa(C)rz 4MPa(A)r

    1 128MPa(A)

    C

    A

    B

    C

    A

    B

    Saat t=20.5s

    (maksimum tegangan)

    Saat t=1.1s

    (maksimum tegangan)

    Tabel 4 Nilai maksimum tegangan tarik

    pada ceramic stalk

  • Jurnal Mechanical, Volume 3, Nomor 1, Maret 2012

    32

    PENGARUH PRESTRAIN BERTINGKAT TERHADAP KEKERASAN

    DAN KEKUATAN TARIK BAJA KARBON SEDANG

    Zulhanif Teknik Mesin, Fakultas Teknik Universitas Lampung

    Gedung H Fakultas Teknik , Jl. Prof. Soemantri Brojonegoro No. 1

    Bandar Lampung, 35145 Telp: (0721) 3555519 Fax: (0721) 704947

    Abstrak

    Prestrain adalah suatu gejala deformasi plastis yang terjadi pada material logam, dimana

    material yang mengalami beban tarik dengan besar tegangan yang terjadi di atas tegangan luluh

    (yield) dari material logam tersebut. Efek prestrain akan meningkatkan tegangan luluh dan tegangan tarik material. Tegangan tarik dapat meningkat karena tegangan yang dibutuhkan untuk

    menimbulkan deformasi plastis ditingkatkan dengan prestrain. Regangan awal yang diberikan

    terhadap material akan mengakibatkan gerakan dislokasi sehingga menyebabkan pengerasan-

    regang. Pengerasan-regang banyak digunakan untuk mengeraskan logam atau paduan yang tidak

    bereaksi terhadap perlakuan panas.

    Material yang digunakan yaitu baja karbon sedang. Setelah material dibentuk, material

    tersebut di uji tarik sehingga didapat grafik stress strain dan load displacement. Dari grafik tersebut dapat dicari nilai prestrain 3 %, 5 %, 7%, dan 6 %, 10 %, 14 %. Spesimen dipasang pada

    alat uji dan dijepit sehingga spesimen tidak bergeser pada saat pemberian beban tarik. Pada

    pengujian prestrain sekali diukur pada prestrain 3%, 5 %, 7 % dan 6 %, 10 %, 14 %. Setelah itu

    dibiarkan selama 1 hari, kemudian dilakukan pengujian tarik. Dari pengujian tarik ini akan

    didapatkan tegangan-regangan sehingga diperoleh data-data y (MPa), ult (MPa), dan (%). Nilai

    uji tarik material ult akan dapat diketahui dengan melihat kertas grafik dari hasil pengujian spesimen. Sedangkan untuk prestrain dua kali diukur pada prestrain 3%, 5 %, 7 %. Setelah itu

    dibiarkan sampai setengah hari, kemudian di prestrain 3%, 5 %, 7 %. Selanjutnya dibiarkan sampai

    hari besoknya, kemudian dilakukan pengujian tarik. Dari pengujian tarik ini akan didapatkan

    tegangan-regangan sehingga diperoleh data-data y (MPa), ult (MPa), dan (%). Hasil pengujian yang didapatkan untuk spesimen yang diberi perlakuan prestrain, mengalami

    peningkatan nilai kekerasan dan kekuatan tariknya. Peningkatan nilai kekuatan tarik tertinggi terjadi

    pada prestrain 14 % sekali, sebesar 669,57 MPa (8,20%).sedangkan yang terendah terjadi pada

    prestrain 3 % sekali, sebesar 626,89 MPa(1,30%).

    Kata kunci : Prestrain, Dislokasi, Pengerasan Regangan, Deformasi Plastis,.

    PENDAHULUAN

    Baja karbon adalah baja yang mengandung

    unsur besi, karbon dan juga unsur lainnya

    (mangan, silikon, belerang, dan lain-lain),

    dalam batas-batas tertentu yang tidak banyak

    berpengaruh terhadap sifatnya.

    Baja karbon sedang mengandung kadar

    karbon sampai 0,3 - 0,6 %, lebih kuat dan

    keras dibandingkan dengan baja karbon

    rendah. Penggunaannya hampir sama dengan

    baja karbon rendah. Baja ini digunakan

    terutama untuk yang memerlukan kekuatan

    dan ketangguhan yang lebih tinggi. Banyak

    juga digunakan sebagai baja konstruksi

    mesin, untuk poros, roda gigi, rantai dan

    lain-lain. Untuk meningkatkan sifat mekanik

    baja ini dapat dilakukan dengan beberapa cara,

    diantaranya yaitu, dengan pelapisan, heat

    treatment, prestrain dan lain lain.

    Prestrain dapat meningkatkan sifat mekanik

    material, karena prestrain dapat menimbulkan

    tegangan sisa dan dislokasi. Adanya tegangan

    sisa dan dislokasi dap