Jurnal Dea Pasti 2013

20
HUBUNGAN REAKSI KUSTA DAN PERAWATAN DIRI TERHADAP KECACATAN PASIEN KUSTA DI RSK DR. RIVAI ABDULLAH PALEMBANG TAHUN 2012 Irni Madyarti¹*), Sarah Diba², Safyuddin³ ¹’²’³ Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Palembang Abstrak Kusta adalah penyakit kronik yang disebabkan Mycobacterium leprae dan menyerang saraf tepi, kulit, mukosa mulut, saluran nafas bagian atas, sistem retikuloendotelial, mata, otot, tulang, dan testis, kecuali susunan saraf pusat. Kusta sampai saat ini masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di Indonesia dengan angka kecacatan yang tinggi. Pada tahun 2012 terdapat 50 pasien rawat inap kusta di Instalasi Rawat Inap RSK Dr.Rivai Abdullah. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan reaksi kusta dan perawatan diri terhadap kecacatan pasien kusta di Instalasi Rawat Inap RSK Dr. Rivai Abdullah Palembang tahun 2012. Penelitian ini merupakan penelitian survei analitik dengan rancangan potong lintang. Sampel penelitian ini adalah seluruh pasien kusta rawat inap di RSK Dr. Rivai Abdullah yang memenuhi kriteria inklusi. Data diperoleh dari wawancara pasien dan rekam medik. Pada penelitian ini di dapatkan hasil 87,8% pasien dengan kecacatan kusta dan 12,2% pasien tanpa kecacatan kusta. Analisis bivariat menunjukkan bahwa hubungan antara reaksi kusta terhadap kecacatan pasien kusta (p=0,039) dan hubungan antara perawatan diri terhadap kecacatan pasien kusta (p=0,041). Terdapat hubungan yang bermakna antara reaksi kusta dan perawatan diri terhadap kecacatan pasien kusta di Instalasi Rawat Inap RSK Dr. Rivai Abdullah Palembang Tahun 2012. Kata kunci: kusta, kecacatan, faktor risiko, reaksi kusta, perawatan diri. Abstract Leprosy is a chronic disease caused by Mycobacterium leprae and involve peripheral nerves, skin, oral mucosa, upper respiratory tract, reticuloendothelial system, eyes, muscles, bones, and testis except central nervous system. Until now, leprosy remain become a public health problems in Indonesia with high rates of disability. In 2012 there is 50 leprosy inpatient in RSK Dr.Rivai Abdullah Palembang. This study to identify relationship between leprosy reaction and self 1

Transcript of Jurnal Dea Pasti 2013

Page 1: Jurnal Dea Pasti 2013

HUBUNGAN REAKSI KUSTA DAN PERAWATAN DIRI TERHADAPKECACATAN PASIEN KUSTA DI RSK DR. RIVAI ABDULLAH

PALEMBANG TAHUN 2012

Irni Madyarti¹*), Sarah Diba², Safyuddin³¹’²’³ Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Palembang

AbstrakKusta adalah penyakit kronik yang disebabkan Mycobacterium leprae dan menyerang saraf tepi, kulit, mukosa mulut, saluran nafas bagian atas, sistem retikuloendotelial, mata, otot, tulang, dan testis, kecuali susunan saraf pusat. Kusta sampai saat ini masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di Indonesia dengan angka kecacatan yang tinggi. Pada tahun 2012 terdapat 50 pasien rawat inap kusta di Instalasi Rawat Inap RSK Dr.Rivai Abdullah. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan reaksi kusta dan perawatan diri terhadap kecacatan pasien kusta di Instalasi Rawat Inap RSK Dr. Rivai Abdullah Palembang tahun 2012. Penelitian ini merupakan penelitian survei analitik dengan rancangan potong lintang. Sampel penelitian ini adalah seluruh pasien kusta rawat inap di RSK Dr. Rivai Abdullah yang memenuhi kriteria inklusi. Data diperoleh dari wawancara pasien dan rekam medik. Pada penelitian ini di dapatkan hasil 87,8% pasien dengan kecacatan kusta dan 12,2% pasien tanpa kecacatan kusta. Analisis bivariat menunjukkan bahwa hubungan antara reaksi kusta terhadap kecacatan pasien kusta (p=0,039) dan hubungan antara perawatan diri terhadap kecacatan pasien kusta (p=0,041). Terdapat hubungan yang bermakna antara reaksi kusta dan perawatan diri terhadap kecacatan pasien kusta di Instalasi Rawat Inap RSK Dr. Rivai Abdullah Palembang Tahun 2012.

Kata kunci: kusta, kecacatan, faktor risiko, reaksi kusta, perawatan diri.

Abstract

Leprosy is a chronic disease caused by Mycobacterium leprae and involve peripheral nerves, skin, oral mucosa, upper respiratory tract, reticuloendothelial system, eyes, muscles, bones, and testis except central nervous system. Until now, leprosy remain become a public health problems in Indonesia with high rates of disability. In 2012 there is 50 leprosy inpatient in RSK Dr.Rivai Abdullah Palembang. This study to identify relationship between leprosy reaction and self care and patients leprosy disability. This is a analytic survey with cross sectional design. Samples is all of leprosy inpatient in RSK. Dr. Rivai Abdullah Palembang with inclusion criteria. Data was obtained from interview with patients and medical record. This study showed 87,8% leprosy patients with disability dan 12,2% with no disability. The relationship between leprosy reaction and disability of leprosy (p=0,039) and the relationship between self care and disability of leprosy (p=0,041). There is significant relationship between leprosy reaction and self care and disability of leprosy patients.

Keywords: leprosy, disability, risk factor, leprosy reaction, self care of leprosy.

*)korespondensi : alamat e-mail ( [email protected]) Mobile : 087897080138

1

Page 2: Jurnal Dea Pasti 2013

Pendahuluan

Kusta disebabkan oleh

Mycobacterium leprae (M. leprae),

istilah kusta berasal dari bahasa

India, yakni kushtha yang berarti

kumpulan gejala kulit secara umum.

Kusta sering disebut lepra,

lionthiasis, elephanthiasis

graecorum, zaraath, hansenosis,

lepra arabum dan morbus hansen. ¹

Kusta menyerang saraf tepi,

kulit, mukosa mulut, saluran nafas

bagian atas, system

retikuloendotelial, mata, otot, tulang,

dan testis, kecuali susunan saraf

pusat.² Selain menyebabkan kelainan

pada kulit dan merusak saraf tepi,

kusta juga menyebabkan kecacatan

sehingga menimbulkan masalah

secara ekonomi, psikis dan sosial

karena memberikan stigma yang

sangat besar pada pasien dan

masyarakat.³

Data dari World Health

Organization (WHO) diperkirakan

jumlah pasien baru kusta di dunia

pada tahun 2006 adalah 259.017

orang. Dari jumlah tersebut paling

banyak terdapat di regional Asia

Tenggara (174.118) diikuti regional

Amerika (47.612), regional Afrika

(27.902), dan sisanya berada di

regional lain di dunia. 4

Pertengahan tahun 2000

jumlah pasien kusta di Indonesia

sebanyak 20.724 kasus. Di tingkat

propinsi, Jawa Timur paling banyak

menemukan pasien baru kusta yaitu

3.785 kasus pada tahun 2001 dan

4.391 kasus pada tahun 2002.

Propinsi yang paling sedikit

menemukan pasien baru kusta adalah

Bengkulu, yaitu 8 kasus pada tahun

2001 dan 4 kasus pada tahun 2002. 5

Propinsi Sumatera Selatan

(Sumsel) menduduki peringkat 17

nasional sebagai propinsi yang

memiliki pasien kusta terbanyak di

Indonesia. Data Dinas Kesehatan

mencatat, jumlah kusta di Sumsel

pada 2009 mencapai 220 kasus, dan

pada 2010 menjadi 225 kasus.

Daerah endemik kusta di Sumsel

adalah Kota Palembang, Kabupaten

Banyuasin, Muaraenim, Pagaralam,

Musi Banyuasin (Muba) dan Kota

Prabumulih. 6

Salah satu masalah pada kusta

adalah kecacatan. Kecacatan terjadi

akibat gangguan fungsi saraf.

Semakin lama kusta didiagnosis

maka semakin besar risiko

2

Page 3: Jurnal Dea Pasti 2013

kecacatan, oleh karena itu diagnosis

dini, perawatan diri dan kepatuhan

pengobatan dapat mencegah

kecacatan. Diduga kecacatan kusta

dapat terjadi melalui 2 proses, yaitu:

infiltrasi langsung M. leprae ke

susunan saraf tepi dan melalui reaksi

kusta. 4

Pada reaksi kusta terjadi proses

inflamasi akut yang menyebabkan

kerusakan saraf. Apabila penanganan

reaksi kusta terlambat atau tidak

adekuat, dapat mengakibatkan

kecacatan. 4 Pada penelitian

menemukan lebih dari sepertiga

kecacatan terjadi karena reaksi tipe I

dan menyatakan bahwa reaksi kusta

merupakan salah satu faktor risiko

kecacatan. Reaksi kusta diharapkan

dapat ditangani dengan cepat dan

tepat sehingga dapat menghindari

kecacatan. .7

Salah satu faktor penting untuk

mencegah kecacatan kusta adalah

memonitor fungsi saraf. Kerusakan

fungsi saraf hanya dapat dideteksi

dengan pemeriksaan fungsi saraf

secara berkala karena itu perawatan

diri yang baik sangat diperlukan agar

kecacatan tidak bertambah berat. 8

Menurut hasil penelitian pasien kusta

yang tidak melakukan perawatan diri

memiliki risiko kecacatan 4 kali

lebih tinggi daripada pasien yang

melakukan perawatan diri. 9

Penelitian selanjutnya menemukan

bahwa terdapat beberapa faktor

risiko yang mempengaruhi kecacatan

kusta yaitu: usia, jenis kelamin, tipe

kusta, lama menderita kusta, reaksi

kusta, kepatuhan pengobatan, faktor

sosial ekonomi, pendidikan dan

pekerjaan. Dan terdapat beberapa

faktor risiko yang mempengaruhi

kecacatan pasien kusta, yaitu:

pekerjaan, status ekonomi, lama

sakit, kepatuhan pengobatan, reaksi

kusta, lokasi lesi dan perawatan diri. 10

Angka kejadian kecacatan

kusta masih tinggi, yaitu  sekitar

1.500 kasus kecacatan tingkat 2 tiap

tahun di Indonesia. Secara kumulatif

sejak tahun 1990 - 2009, terdapat 

sekitar 30.000 kasus kecacatan

tingkat 2. Oleh karena itu, dengan

melihat besar beban akibat kecacatan

kusta, WHO mencanangkan target 

"Global Strategy for Further

Reducing the Disease Burden Due to

Leprosy 2011-2015" yakni

menurunkan 35% angka kecacatan

3

Page 4: Jurnal Dea Pasti 2013

tingkat 2 pada tahun 2015. 11

Data dan fakta di atas

menyebutkan bahwa angka kejadian

kusta masih sangat tinggi. Masalah

semakin diperberat dengan

peningkatan kecacatan kusta di

Indonesia. Hal ini disebabkan

kurangnya pengetahuan tentang

penanganan yang cepat dan tepat

terhadap reaksi kusta dan perawatan

diri.

Metode Penelitian

Penelitian Hubungan Reaksi

Kusta dan Perawatan Diri Terhadap

Kecacatan Pasien Kusta di RSK. Dr.

Rivai Abdullah Palembang Tahun

2012 berbentuk penelitian survei

analitik dengan rancangan penelitian

potong lintang. Sampel penelitian ini

sebesar 49 pasien, dimana besaran

sampel menggunakan tehnik total

sampling yaitu seluruh jumlah pasien

kusta di RSK. Dr. Rivai Abdullah

yang memenuhi kriteria inklusi.

Pengambilan data ini akan dilakukan

pengambilan data primer dengan

wawancara terhadap pasien dan data

sekunder dengan melihat hasil rekam

medik.

Metode teknis analisis data

yang digunakan pada penelitian ini

berupa data deskriptif dan analisis

bivariat.

Hasil dan Pembahasan

Hasil

Data Deskriptif

Tabel 1. Distribusi kecacatan pasien

kusta di RSK. Dr Rivai

Abdullah Palembang

Berdasarkan Tabel 1. diatas

diketahui bahwa 87,8% (n=43)

pasien mengalami kecacatan kusta

dan 12,2% (n=6) pasien tidak

mengalami kecacatan kusta. Lokasi

kecacatan yang paling banyak

diderita pasien kusta Rawat Inap di

RSK. Dr. Rivai Abdullah tahun 2012

adalah pada tangan dan kaki dan

hanya 5 pasien kusta yang

mengalami kecacatan pada mata.

Tingkat kecacatan yang banyak

diderita adalah kecacatan tingkat 2

dengan jumlah pasien sebanyak 29

4

Kecacatan Kusta

Jumlah

Persentase (%)

1. Ada 2. Tidak Ada

436

87,8%12,2%

Total 49 100%

Page 5: Jurnal Dea Pasti 2013

pasien lalu tingkat kecacatan 1

berjumlah 14 pasien sedangkan tanpa

kecacatan atau kecacatan tingkat 0

sebanyak 6 pasien.

Tabel 2. Distribusi reaksi kusta pada

pasien kusta di RSK. Dr

Rivai Abdullah Palembang.

Reaksi Kusta

Jumlah Persentase (%)

1. Ada2.Tidak Ada

3217

65,3%34,7%

Total 49 100%

Berdasarkan Tabel 4.2 diatas

diketahui bahwa 65,3% (n=32)

pasien mengalami reaksi kusta dan

34,7% (n=17) pasien tidak

mengalami reaksi kusta. Reaksi kusta

yang banyak diderita oleh pasien

rawat inap RSK. Dr. Rivai Abdullah

Palembang tahun 2012 adalah reaksi

kusta tipe 1 sebanyak 19 pasien lalu

reaksi kusta tipe 2 sebanyak 13

pasien, sedangkan tanpa reaksi

sebanyak 17 pasien.

Tabel 3. Distribusi perawatan diri

pada pasien kusta di RSK.

Dr Rivai Abdullah

Palembang tahun 2012.

Berdasarkan Tabel 3. diatas

diketahui bahwa 69,4% (n=34)

pasien melakukan perawatan diri dan

30,6% (n=15) pasien tidak

melakukan perawatan diri. Pasien

yang tidak melakukan perawatan diri

lebih banyak dikarenakan kurangnya

pengetahuan tentang pentingnya

melakukan perawatan diri pada kaki,

mata dan tangan.

Analisis Bivariat

Tabel 4. Hubungan Reaksi Kusta

terhadap Kecacatan Pasien

Kusta di RSK Dr. Rivai

Abdullah Palembang tahun

2012.

Hasil uji statistik ini

menggunakan uji chisquare.

Penilaian variabel reaksi kusta

dilakukan dengan melihat hasil

rekam medik di RSK Dr.Rivai

Abdullah Palembang. Penelitian ini

didapatkan kejadian kecacatan kusta

5Perawatan Diri

Jumlah Persentase (%)

1. Ya2. Tidak

1534

30,6%69,4%

Total 49 100%

Reaksi Kusta

Kecacatan KustaPR

(95% CI)

PAda Tidak Ada

Jumlah

N % N % N %

Ada 3093,75% 2

6,25%

32 100%

Tidak Ada

13 76,5%

423,5%

17 100%

2.615

(0,749-

4.425)

0,039

Jumlah

43 87,8%

612,6%

49 100%

Page 6: Jurnal Dea Pasti 2013

lebih banyak terjadi pada pasien

yang mengalami reaksi kusta sebesar

93,8% dibandingkan dengan pasien

yang tidak mengalami reaksi kusta

sebesar 76,5%. Hasil analisis bivariat

didapatkan adanya hubungan antara

reaksi kusta terhadap kecatatan kusta

p=0,039 (p<0,05). Pada analisis

statistik dengan uji x² diperoleh

cukup bukti untuk menyatakan

adanya hubungan antara reaksi kusta

dengan kecacatan, nilai PR=2,615

(0,749-4,425) yang berarti reaksi

kusta merupakan faktor risiko

terjadinya kecacatan kusta dan

didapatkan juga hasil bahwa pasien

yang mengalami reaksi kusta akan

meningkatkan risiko kecacatan kusta

2x lebih tinggi dibandingkan pasien

yang tidak mengalami reaksi kusta

Penelitian Kurnianto (2002),

didapatkan hasil yang hampir sama

(p=0,001) yaitu adanya hubungan

antara reaksi kusta terhadap

kecacatan kusta. Terlihat bahwa

kecacatan pasien kusta dengan reaksi

kusta (68%) lebih tinggi

dibandingkan kecacatan pasien kusta

yang tidak pernah mengalami reaksi

(27,9). Analisis statistik dengan uji

x² diperoleh cukup bukti untuk

menyatakan adanya hubungan antara

reaksi kusta dengan kecacatan

p<0,01 (OR=4,4 95%Cl=2,1-9,1).

Besarnya risiko terjadi kecacatan

pasien yang pernah mengalami

reaksi sebesar 5 kali lebih tinggi

dibandingkan pasien yang tidak

pernah mengalami reaksi kusta.

Gunadi (2001), didapatkan

hasil adanya hubungan antara reaksi

kusta dengan kecacatan kusta

(p=0,01) dengan nilai (OR=4,5 95%

Cl=1,2-13,5) yang menjadikan

penelitian ini cukup terbukti untuk

menyatakan hubungan tersebut. Pada

penelitian Nugroho (2002),

didapatkan hubungan yang bermakna

antara reaksi kusta dengan kecacatan

kusta (p=0,000).

Adanya reaksi kusta pada

pasien kusta, baik reaksi reversal

yang menyebabkan neuritis dan

dapat menimbulkan kecacatan

maupun reaksi eritema nodusum

leprosum dengan serangan berulang-

ulang yang menyebabkan neuritis

dan efek sistemik pada saraf tepi

yang berakibat terjadinya kecacatan

pada pasien kusta. (Kurnianto, 2002)

Tabel 5.Hubungan Antara Perawatan

Diri terhadap Kecacatan

6

Page 7: Jurnal Dea Pasti 2013

Pasien Kusta di RSK Dr.

Rivai Abdullah Palembang

tahun 2012.

Perawatan Diri

Kecacatan KustaAda Tidak Ada Jumlah PR

(95% CI)N % N % N %

Ya 11 73,3% 4 26,7% 15 100%

1,172(0,028-1,772)Tida

k32 94,1% 2 5,9% 34 100%

ttl 43 87,8% 6 12,2% 49 100%Hasil uji statistik ini

menggunakan uji chisquare.

Penilaian variabel reaksi kusta

dilakukan dengan melihat hasil

rekam medik di RSK Dr.Rivai

Abdullah Palembang. Penelitian ini

didapatkan kejadian kecacatan kusta

lebih banyak terjadi pada pasien

yang mengalami reaksi kusta sebesar

93,8% dibandingkan dengan pasien

yang tidak mengalami reaksi kusta

sebesar 76,5%. Hasil analisis bivariat

didapatkan adanya hubungan antara

reaksi kusta terhadap kecatatan kusta

p=0,039 (p<0,05). Pada analisis

statistik dengan uji x² diperoleh

cukup bukti untuk menyatakan

adanya hubungan antara reaksi kusta

dengan kecacatan, nilai PR=2,615

(0,749-4,425) yang berarti reaksi

kusta merupakan faktor risiko

terjadinya kecacatan kusta dan

didapatkan juga hasil bahwa pasien

yang mengalami reaksi kusta akan

meningkatkan risiko kecacatan kusta

2x lebih tinggi dibandingkan pasien

yang tidak mengalami reaksi kusta.

Penelitian Kurnianto (2002),

didapatkan hasil yang hampir sama

(p=0,000) yaitu ada hubungan antara

perawatan diri terhadap kecacatan

kusta. Terlihat bahwa kecacatan pada

pasien kusta dengan tidak melakukan

perawatan diri (100%) lebih tinggi

dibandingkan kecacatan pasien kusta

yang melakukan perawatan diri

(0%). Hal ini disebabkan karena

sebagian besar pasien kusta di

Kabupaten Sukoharjo mempunyai

pengetahuan yang rendah tentang

penyakit kusta sehingga pasien tidak

memahami akibat buruk dari

penyakit kusta. Pendidikan pasien

kusta di Kabupaten Sukoharjo

sebagian besar tidak sekolah atau

tamatan SD dan kebiasaan bekerja

yang tidak teratur sehingga waktu

untuk merawat diri pada pasien kusta

kurang. Perawatan diri yang kurang

7

Page 8: Jurnal Dea Pasti 2013

menyebabkan keadaan kecacatan

kusta semakin parah.

Menurut penelitian Kurnianto

(2002), diperoleh hasil bahwa

kecacatan pasien kusta yang tidak

melakukan perawatan diri sebesar

(63,8%) lebih tinggi dibandingkan

kecacatan pasien kusta yang

melakukan perawatan diri (30,0%).

Secara statistik diperoleh cukup

bukti untuk menyatakan adanya

hubungan yang bermakna antara ada

tidaknya perawatan diri dengan

kecacatan pasien kusta (p<0,01) dan

besarnya risiko kecacatan pasien

kusta yang tidak melaksanakan

perawatan diri adalah 4 kali lebih

tinggi dibandingkan pasien kusta

yang melaksanakan perawatan diri

(OR=4,1 95% Cl=2,0-8,3).

Dengan adanya perawatan

diri yang baik pada pasien kusta

tanpa kecacatan maupun pada pasien

dengan kecacatan kusta, ini

merupakan suatu usaha untuk

mencegah atau mengurangi

kecacatan pada pasien kusta dan

mencari solusi untuk persoalan yang

mereka hadapi. (Depkes 2006).

Simpulan dan Saran

Dari penelitian mengenai

hubungan antara reaksi kusta dan

perawatan diri terhadap kecacatan

kusta pada pasien kusta di RSK

Dr.Rivai Abdullah Palembang, dapat

disimpulkan bahwa : ada hubungan

antara reaksi kusta dengan kecacatan

kusta (p = 0,039) dan ada hubungan

antara perawatan diri dengan

kecacatan kusta (p = 0,041).

Adapun saran yang penulis

sampaikan setelah dilakukan

penelitian adalah dapat dilakukan

penelitian lanjutan mengenai

hubungan antara reaksi kusta dan

perawatan diri terhadap kecacatan

kusta pada pasien kusta dengan

menggunakan desain penelitian

kasus kontrol agar dapat mengetahui

hubungan sebab akibat dari faktor

yang mempengaruhi kecacatan kusta

dan mengenai faktor lain yang belum

dapat diteliti seperti usia, faktor

sosial ekonomi, lama menderita

kusta, diagnosis dini, tipe kusta dan

kepatuhan pengobatan.

Untuk RSK Dr.Rivai

Abdullah Palembang, perlu

peningkatkan pelayanan petugas

Rawat Inap dengan standart

pelayanan minimal (SPM) khususnya

8

Page 9: Jurnal Dea Pasti 2013

dalam penanganan reaksi serta

program pencegahan kecacatan

pasien kusta. Untuk dokter umum

dapat dilakukan edukasi tentang

pencegahan kecacatan dengan

dilakukannya diagnosis dini,

pengobatan secara teratur ,

pemeriksaan rutin pada fungsi saraf

sensorik, motorik dan otonom serta

memberikan pengetahuan mengenai

kusta secara umum, bahaya reaksi

kusta dan dapat memberikan

konseling untuk mengurangi depresi

pada pasien kusta.

Daftar Pustaka

1. Kosasih A., I,M, Wisnu, E.S.

Daili, and S.L. Menaldi. 2007.

Kusta, dalam : Djuanda, A.

(Editor). Ilmu Penyakit Kulit

Dan Kelamin, Fakultas

Kedokteran Universitas

Indonesia, Jakarta. Hal:7388.

2. James, W,D,. T,G, Berger, and

D.M. Elston. 2006. Andrews

Disease of the Skin Clinical

Dermatology. 10th ed.

Philadelphia. Page:343-359.

3. Wisnu, I., Hadilukito, G. 2003.

Pencegahan Cacat Kusta. Dalam

: Daili, E. (Editor). Kusta.

Fakultas Kedokteran Universitas

Indonesia, Jakarta. Hal:83-93.

4. Departemen Kesehatan RI.

2007. Buku Pedoman Nasional

Pengendalian Penyakit Kusta.

Direktorat Jendral

Pemberantasan Penyakit

Menular dan Penyehatan

Lingkungan, Jakarta. Hal:1-47

5. Rachmat, H. 2003. Program

Pemberantasan Penyakit Kusta.

Dalam : Daili, E. (Editor).

Kusta. Fakultas Kedokteran

Universitas Indonesia, Jakarta.

Hal:1-11

6. Sagita. 2010. Penderita kusta di

Sumsel tinggi, Seputar Indonesia

(Koran), (http://www.seputar-

indonesia.com/edisicetak/conten

t/view/438493/ diakses 8

oktober 2012)

7. Gunadi. A, 2000. Kajian

Tentang Faktor – Faktor Risiko

Terjadinya Kecacatan Pada

Lepra di RS Tugu Semarang.

Tesis. Program Pasca

Sarjana Fakultas

Kedokteran Diponegoro

Semarang.

9

Page 10: Jurnal Dea Pasti 2013

8. Estiningsih, 2006. Faktor-Faktor

yang Berhubungan dengan

Perawatan Diri dalam Upaya

Pencegahan Kecacatan Penderita

Kusta di Puskesmas

Kalinyamatan Kabupaten Jepara.

Tesis. Universitas Diponegoro.

9. Kurnianto, J. 2002. Faktor-

Faktor Risiko yang

Berhubungan dengan Kecacatan

Penderita Kusta di Kabupaten

Tegal. Tesis, Program Pasca

Sarjana Universitas Diponegoro

10. Smith, W. 1992. The

epidemiology of disability in

leprosy including risk factors.

Lepr Rev. Page: 23-30.

11. Zila. 2010. Penyakit menular

terabaikan. Farmacia (Majalah),

10 (3), (http:// www. Majalah -

farmacia.com/rubrik/one_news_

print.asp?IDNews=1843, diakses

8 oktober 2012)

12. Amirudin, D., Z. Hakim, dan E.

Darwis.2003. Diagnosis

Penyakit Kusta. Dalam : Daili,

E. (Editor). Kusta. Fakultas

Kedokteran Universitas

Indonesia. Jakarta. Hal:12-31.

13. Arikunto, 1993. Prosedur

Penelitian. Penerbit Rineka

Cipta. Jakarta.

14. Brakel, V., K. Lever, and P.

Fenstra. 2004. Monitoring the

Size of the Leprosy Problem.

Indian J Public Health. Volume

48. Page: 5 – 16.

15. Departemen Kesehatan RI.

2006. Buku Pedoman Nasional

Pemberantasan Penyakit Kusta.

Direktorat Jendral

Pemberantasan Penyakit

Menular dan Penyehatan

Lingkungan. Jakarta. Hal:4-138

16. Departemen Kesehatan RI.

2006. Buku Pedoman Nasional

Pelaksanaan Pembentukan

Kelompok Perawatan Diri.

Direktorat Jendral

Pemberantasan Penyakit

Menular dan Penyehatan

Lingkungan. Jakarta. Hal:1-18

17. Ganapati, R., V. Pai, and S.

Kingsley. 2003. Disability

Prevention and Management in

Leprosy. Indian J Dermatol

Venereol Leprol. Volume 69.

Page: 369–374

18. Ishii, N. 2005. Recent Advances

in the Treatment of Leprosy,

10

Page 11: Jurnal Dea Pasti 2013

Dermatology Online Journal.

Vol 9. Philadelphia. Page: 12-18

19. Iyor, T. 2005. Knowledge and

Attitude of Nigerian

Physiotherapy Students About

Leprosy. AsiaPac J Disab

Rehab, Volume 16. Page:85-92.

20. Martodiharjo, S., R. S.

Djokosusanto. 2003. Reaksi

Kusta dan Penanganannya.

Dalam : Daili, E. (Editor).

Kusta. Fakultas Kedokteran

Universitas Indonesia, Jakarta.

Hal:75-82.

21. Muhammed, K., G.

Nandakumar, and S. Thomas,

2004. Disability Rates in

Leprosy. Indian J Dermatol

Venereol Leprol, Volume 70 (5).

Page:314-316.

22. Notoatmodjo, S. 2007. Promosi

Kesehatan dan Ilmu Perilaku.

Jakarta : Rineka Cipta

23. Ogbeiwi, O.I. 2005. Progress

Towards the Elimination of

Leprosy in Nigeria. Lepr Rev.

Volume 76 (1). Page: 65 – 76.

24. Peter, E., A.L. Eshiet. 2002.

Male-female Differences in

Leprosy Patients in South

Eastern. Lepr Rev. Nigeria.

Page:262 – 267.

25. Rea, T.H., R,L, Modlin. 2008.

Leprosy. In: Wolff, K,

Goldsmith, L, Katz, S,I,

Gilchrest, B,A, Paller, A,S,

Leffell, D. (Editor). Fitzpatrick's

dermatology in general medicine

7th editions. New York.

Page:1786-1796.

26. Richardus, J., A. Meima, and

R.P. Croft. 2003. Case detection,

gender and disability in leprosy

in Bangladesh. IndianJPublic

Health, Volume 75 (1). Page:17

– 24.

27. Sjamsuhidayat, R., W,D, Jong.

2004. Buku Ajar Ilmu Bedah.

EGC, Jakarta. Hal 30-35.

28. Soebono, H,. B. Suhariyanto.

2003. Pengobatan Penyakit

Kusta. Dalam : Daili, E.

(Editor). Kusta. Fakultas

Kedokteran Universitas

Indonesia, Jakarta. Hal:66-74.

29. Soewono, J,. E. Suparniati.

1997. Pedoman Standar

Pengobatan dan Pengelolaan

Kusta Di Rumah Sakit. RSK

Sitanala Tangerang.

11

Page 12: Jurnal Dea Pasti 2013

30. Susanto, N. 2006. Faktor-Faktor

yang Berhubungan dengan

Tingkat Kecacatan Penderita

Kusta. Tesis, Program Pasca

Sarjana Universitas Gadjah

Mada Yogyakarta.

31. Wolff, K,. R,A, Johnson. 2009.

Fizpatrick’s Colour Atlas and

Synopsis of Clinical

Dermatology. Vienna.

Page:665-670

32. World Health Organization

Expert Committee on Leprosy.

2012. Technical Report Series,

No. 968. Eighth report. Geneva.

33. Zulkifli. 2002. Penyakit Kusta

dan Masalah yang Ditimbulkan,

FKM, USU Medan.

12

Page 13: Jurnal Dea Pasti 2013