Jurnal Dea Pasti 2013
-
Upload
muhammad-adri-wansah -
Category
Documents
-
view
110 -
download
2
Transcript of Jurnal Dea Pasti 2013
HUBUNGAN REAKSI KUSTA DAN PERAWATAN DIRI TERHADAPKECACATAN PASIEN KUSTA DI RSK DR. RIVAI ABDULLAH
PALEMBANG TAHUN 2012
Irni Madyarti¹*), Sarah Diba², Safyuddin³¹’²’³ Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Palembang
AbstrakKusta adalah penyakit kronik yang disebabkan Mycobacterium leprae dan menyerang saraf tepi, kulit, mukosa mulut, saluran nafas bagian atas, sistem retikuloendotelial, mata, otot, tulang, dan testis, kecuali susunan saraf pusat. Kusta sampai saat ini masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di Indonesia dengan angka kecacatan yang tinggi. Pada tahun 2012 terdapat 50 pasien rawat inap kusta di Instalasi Rawat Inap RSK Dr.Rivai Abdullah. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan reaksi kusta dan perawatan diri terhadap kecacatan pasien kusta di Instalasi Rawat Inap RSK Dr. Rivai Abdullah Palembang tahun 2012. Penelitian ini merupakan penelitian survei analitik dengan rancangan potong lintang. Sampel penelitian ini adalah seluruh pasien kusta rawat inap di RSK Dr. Rivai Abdullah yang memenuhi kriteria inklusi. Data diperoleh dari wawancara pasien dan rekam medik. Pada penelitian ini di dapatkan hasil 87,8% pasien dengan kecacatan kusta dan 12,2% pasien tanpa kecacatan kusta. Analisis bivariat menunjukkan bahwa hubungan antara reaksi kusta terhadap kecacatan pasien kusta (p=0,039) dan hubungan antara perawatan diri terhadap kecacatan pasien kusta (p=0,041). Terdapat hubungan yang bermakna antara reaksi kusta dan perawatan diri terhadap kecacatan pasien kusta di Instalasi Rawat Inap RSK Dr. Rivai Abdullah Palembang Tahun 2012.
Kata kunci: kusta, kecacatan, faktor risiko, reaksi kusta, perawatan diri.
Abstract
Leprosy is a chronic disease caused by Mycobacterium leprae and involve peripheral nerves, skin, oral mucosa, upper respiratory tract, reticuloendothelial system, eyes, muscles, bones, and testis except central nervous system. Until now, leprosy remain become a public health problems in Indonesia with high rates of disability. In 2012 there is 50 leprosy inpatient in RSK Dr.Rivai Abdullah Palembang. This study to identify relationship between leprosy reaction and self care and patients leprosy disability. This is a analytic survey with cross sectional design. Samples is all of leprosy inpatient in RSK. Dr. Rivai Abdullah Palembang with inclusion criteria. Data was obtained from interview with patients and medical record. This study showed 87,8% leprosy patients with disability dan 12,2% with no disability. The relationship between leprosy reaction and disability of leprosy (p=0,039) and the relationship between self care and disability of leprosy (p=0,041). There is significant relationship between leprosy reaction and self care and disability of leprosy patients.
Keywords: leprosy, disability, risk factor, leprosy reaction, self care of leprosy.
*)korespondensi : alamat e-mail ( [email protected]) Mobile : 087897080138
1
Pendahuluan
Kusta disebabkan oleh
Mycobacterium leprae (M. leprae),
istilah kusta berasal dari bahasa
India, yakni kushtha yang berarti
kumpulan gejala kulit secara umum.
Kusta sering disebut lepra,
lionthiasis, elephanthiasis
graecorum, zaraath, hansenosis,
lepra arabum dan morbus hansen. ¹
Kusta menyerang saraf tepi,
kulit, mukosa mulut, saluran nafas
bagian atas, system
retikuloendotelial, mata, otot, tulang,
dan testis, kecuali susunan saraf
pusat.² Selain menyebabkan kelainan
pada kulit dan merusak saraf tepi,
kusta juga menyebabkan kecacatan
sehingga menimbulkan masalah
secara ekonomi, psikis dan sosial
karena memberikan stigma yang
sangat besar pada pasien dan
masyarakat.³
Data dari World Health
Organization (WHO) diperkirakan
jumlah pasien baru kusta di dunia
pada tahun 2006 adalah 259.017
orang. Dari jumlah tersebut paling
banyak terdapat di regional Asia
Tenggara (174.118) diikuti regional
Amerika (47.612), regional Afrika
(27.902), dan sisanya berada di
regional lain di dunia. 4
Pertengahan tahun 2000
jumlah pasien kusta di Indonesia
sebanyak 20.724 kasus. Di tingkat
propinsi, Jawa Timur paling banyak
menemukan pasien baru kusta yaitu
3.785 kasus pada tahun 2001 dan
4.391 kasus pada tahun 2002.
Propinsi yang paling sedikit
menemukan pasien baru kusta adalah
Bengkulu, yaitu 8 kasus pada tahun
2001 dan 4 kasus pada tahun 2002. 5
Propinsi Sumatera Selatan
(Sumsel) menduduki peringkat 17
nasional sebagai propinsi yang
memiliki pasien kusta terbanyak di
Indonesia. Data Dinas Kesehatan
mencatat, jumlah kusta di Sumsel
pada 2009 mencapai 220 kasus, dan
pada 2010 menjadi 225 kasus.
Daerah endemik kusta di Sumsel
adalah Kota Palembang, Kabupaten
Banyuasin, Muaraenim, Pagaralam,
Musi Banyuasin (Muba) dan Kota
Prabumulih. 6
Salah satu masalah pada kusta
adalah kecacatan. Kecacatan terjadi
akibat gangguan fungsi saraf.
Semakin lama kusta didiagnosis
maka semakin besar risiko
2
kecacatan, oleh karena itu diagnosis
dini, perawatan diri dan kepatuhan
pengobatan dapat mencegah
kecacatan. Diduga kecacatan kusta
dapat terjadi melalui 2 proses, yaitu:
infiltrasi langsung M. leprae ke
susunan saraf tepi dan melalui reaksi
kusta. 4
Pada reaksi kusta terjadi proses
inflamasi akut yang menyebabkan
kerusakan saraf. Apabila penanganan
reaksi kusta terlambat atau tidak
adekuat, dapat mengakibatkan
kecacatan. 4 Pada penelitian
menemukan lebih dari sepertiga
kecacatan terjadi karena reaksi tipe I
dan menyatakan bahwa reaksi kusta
merupakan salah satu faktor risiko
kecacatan. Reaksi kusta diharapkan
dapat ditangani dengan cepat dan
tepat sehingga dapat menghindari
kecacatan. .7
Salah satu faktor penting untuk
mencegah kecacatan kusta adalah
memonitor fungsi saraf. Kerusakan
fungsi saraf hanya dapat dideteksi
dengan pemeriksaan fungsi saraf
secara berkala karena itu perawatan
diri yang baik sangat diperlukan agar
kecacatan tidak bertambah berat. 8
Menurut hasil penelitian pasien kusta
yang tidak melakukan perawatan diri
memiliki risiko kecacatan 4 kali
lebih tinggi daripada pasien yang
melakukan perawatan diri. 9
Penelitian selanjutnya menemukan
bahwa terdapat beberapa faktor
risiko yang mempengaruhi kecacatan
kusta yaitu: usia, jenis kelamin, tipe
kusta, lama menderita kusta, reaksi
kusta, kepatuhan pengobatan, faktor
sosial ekonomi, pendidikan dan
pekerjaan. Dan terdapat beberapa
faktor risiko yang mempengaruhi
kecacatan pasien kusta, yaitu:
pekerjaan, status ekonomi, lama
sakit, kepatuhan pengobatan, reaksi
kusta, lokasi lesi dan perawatan diri. 10
Angka kejadian kecacatan
kusta masih tinggi, yaitu sekitar
1.500 kasus kecacatan tingkat 2 tiap
tahun di Indonesia. Secara kumulatif
sejak tahun 1990 - 2009, terdapat
sekitar 30.000 kasus kecacatan
tingkat 2. Oleh karena itu, dengan
melihat besar beban akibat kecacatan
kusta, WHO mencanangkan target
"Global Strategy for Further
Reducing the Disease Burden Due to
Leprosy 2011-2015" yakni
menurunkan 35% angka kecacatan
3
tingkat 2 pada tahun 2015. 11
Data dan fakta di atas
menyebutkan bahwa angka kejadian
kusta masih sangat tinggi. Masalah
semakin diperberat dengan
peningkatan kecacatan kusta di
Indonesia. Hal ini disebabkan
kurangnya pengetahuan tentang
penanganan yang cepat dan tepat
terhadap reaksi kusta dan perawatan
diri.
Metode Penelitian
Penelitian Hubungan Reaksi
Kusta dan Perawatan Diri Terhadap
Kecacatan Pasien Kusta di RSK. Dr.
Rivai Abdullah Palembang Tahun
2012 berbentuk penelitian survei
analitik dengan rancangan penelitian
potong lintang. Sampel penelitian ini
sebesar 49 pasien, dimana besaran
sampel menggunakan tehnik total
sampling yaitu seluruh jumlah pasien
kusta di RSK. Dr. Rivai Abdullah
yang memenuhi kriteria inklusi.
Pengambilan data ini akan dilakukan
pengambilan data primer dengan
wawancara terhadap pasien dan data
sekunder dengan melihat hasil rekam
medik.
Metode teknis analisis data
yang digunakan pada penelitian ini
berupa data deskriptif dan analisis
bivariat.
Hasil dan Pembahasan
Hasil
Data Deskriptif
Tabel 1. Distribusi kecacatan pasien
kusta di RSK. Dr Rivai
Abdullah Palembang
Berdasarkan Tabel 1. diatas
diketahui bahwa 87,8% (n=43)
pasien mengalami kecacatan kusta
dan 12,2% (n=6) pasien tidak
mengalami kecacatan kusta. Lokasi
kecacatan yang paling banyak
diderita pasien kusta Rawat Inap di
RSK. Dr. Rivai Abdullah tahun 2012
adalah pada tangan dan kaki dan
hanya 5 pasien kusta yang
mengalami kecacatan pada mata.
Tingkat kecacatan yang banyak
diderita adalah kecacatan tingkat 2
dengan jumlah pasien sebanyak 29
4
Kecacatan Kusta
Jumlah
Persentase (%)
1. Ada 2. Tidak Ada
436
87,8%12,2%
Total 49 100%
pasien lalu tingkat kecacatan 1
berjumlah 14 pasien sedangkan tanpa
kecacatan atau kecacatan tingkat 0
sebanyak 6 pasien.
Tabel 2. Distribusi reaksi kusta pada
pasien kusta di RSK. Dr
Rivai Abdullah Palembang.
Reaksi Kusta
Jumlah Persentase (%)
1. Ada2.Tidak Ada
3217
65,3%34,7%
Total 49 100%
Berdasarkan Tabel 4.2 diatas
diketahui bahwa 65,3% (n=32)
pasien mengalami reaksi kusta dan
34,7% (n=17) pasien tidak
mengalami reaksi kusta. Reaksi kusta
yang banyak diderita oleh pasien
rawat inap RSK. Dr. Rivai Abdullah
Palembang tahun 2012 adalah reaksi
kusta tipe 1 sebanyak 19 pasien lalu
reaksi kusta tipe 2 sebanyak 13
pasien, sedangkan tanpa reaksi
sebanyak 17 pasien.
Tabel 3. Distribusi perawatan diri
pada pasien kusta di RSK.
Dr Rivai Abdullah
Palembang tahun 2012.
Berdasarkan Tabel 3. diatas
diketahui bahwa 69,4% (n=34)
pasien melakukan perawatan diri dan
30,6% (n=15) pasien tidak
melakukan perawatan diri. Pasien
yang tidak melakukan perawatan diri
lebih banyak dikarenakan kurangnya
pengetahuan tentang pentingnya
melakukan perawatan diri pada kaki,
mata dan tangan.
Analisis Bivariat
Tabel 4. Hubungan Reaksi Kusta
terhadap Kecacatan Pasien
Kusta di RSK Dr. Rivai
Abdullah Palembang tahun
2012.
Hasil uji statistik ini
menggunakan uji chisquare.
Penilaian variabel reaksi kusta
dilakukan dengan melihat hasil
rekam medik di RSK Dr.Rivai
Abdullah Palembang. Penelitian ini
didapatkan kejadian kecacatan kusta
5Perawatan Diri
Jumlah Persentase (%)
1. Ya2. Tidak
1534
30,6%69,4%
Total 49 100%
Reaksi Kusta
Kecacatan KustaPR
(95% CI)
PAda Tidak Ada
Jumlah
N % N % N %
Ada 3093,75% 2
6,25%
32 100%
Tidak Ada
13 76,5%
423,5%
17 100%
2.615
(0,749-
4.425)
0,039
Jumlah
43 87,8%
612,6%
49 100%
lebih banyak terjadi pada pasien
yang mengalami reaksi kusta sebesar
93,8% dibandingkan dengan pasien
yang tidak mengalami reaksi kusta
sebesar 76,5%. Hasil analisis bivariat
didapatkan adanya hubungan antara
reaksi kusta terhadap kecatatan kusta
p=0,039 (p<0,05). Pada analisis
statistik dengan uji x² diperoleh
cukup bukti untuk menyatakan
adanya hubungan antara reaksi kusta
dengan kecacatan, nilai PR=2,615
(0,749-4,425) yang berarti reaksi
kusta merupakan faktor risiko
terjadinya kecacatan kusta dan
didapatkan juga hasil bahwa pasien
yang mengalami reaksi kusta akan
meningkatkan risiko kecacatan kusta
2x lebih tinggi dibandingkan pasien
yang tidak mengalami reaksi kusta
Penelitian Kurnianto (2002),
didapatkan hasil yang hampir sama
(p=0,001) yaitu adanya hubungan
antara reaksi kusta terhadap
kecacatan kusta. Terlihat bahwa
kecacatan pasien kusta dengan reaksi
kusta (68%) lebih tinggi
dibandingkan kecacatan pasien kusta
yang tidak pernah mengalami reaksi
(27,9). Analisis statistik dengan uji
x² diperoleh cukup bukti untuk
menyatakan adanya hubungan antara
reaksi kusta dengan kecacatan
p<0,01 (OR=4,4 95%Cl=2,1-9,1).
Besarnya risiko terjadi kecacatan
pasien yang pernah mengalami
reaksi sebesar 5 kali lebih tinggi
dibandingkan pasien yang tidak
pernah mengalami reaksi kusta.
Gunadi (2001), didapatkan
hasil adanya hubungan antara reaksi
kusta dengan kecacatan kusta
(p=0,01) dengan nilai (OR=4,5 95%
Cl=1,2-13,5) yang menjadikan
penelitian ini cukup terbukti untuk
menyatakan hubungan tersebut. Pada
penelitian Nugroho (2002),
didapatkan hubungan yang bermakna
antara reaksi kusta dengan kecacatan
kusta (p=0,000).
Adanya reaksi kusta pada
pasien kusta, baik reaksi reversal
yang menyebabkan neuritis dan
dapat menimbulkan kecacatan
maupun reaksi eritema nodusum
leprosum dengan serangan berulang-
ulang yang menyebabkan neuritis
dan efek sistemik pada saraf tepi
yang berakibat terjadinya kecacatan
pada pasien kusta. (Kurnianto, 2002)
Tabel 5.Hubungan Antara Perawatan
Diri terhadap Kecacatan
6
Pasien Kusta di RSK Dr.
Rivai Abdullah Palembang
tahun 2012.
Perawatan Diri
Kecacatan KustaAda Tidak Ada Jumlah PR
(95% CI)N % N % N %
Ya 11 73,3% 4 26,7% 15 100%
1,172(0,028-1,772)Tida
k32 94,1% 2 5,9% 34 100%
ttl 43 87,8% 6 12,2% 49 100%Hasil uji statistik ini
menggunakan uji chisquare.
Penilaian variabel reaksi kusta
dilakukan dengan melihat hasil
rekam medik di RSK Dr.Rivai
Abdullah Palembang. Penelitian ini
didapatkan kejadian kecacatan kusta
lebih banyak terjadi pada pasien
yang mengalami reaksi kusta sebesar
93,8% dibandingkan dengan pasien
yang tidak mengalami reaksi kusta
sebesar 76,5%. Hasil analisis bivariat
didapatkan adanya hubungan antara
reaksi kusta terhadap kecatatan kusta
p=0,039 (p<0,05). Pada analisis
statistik dengan uji x² diperoleh
cukup bukti untuk menyatakan
adanya hubungan antara reaksi kusta
dengan kecacatan, nilai PR=2,615
(0,749-4,425) yang berarti reaksi
kusta merupakan faktor risiko
terjadinya kecacatan kusta dan
didapatkan juga hasil bahwa pasien
yang mengalami reaksi kusta akan
meningkatkan risiko kecacatan kusta
2x lebih tinggi dibandingkan pasien
yang tidak mengalami reaksi kusta.
Penelitian Kurnianto (2002),
didapatkan hasil yang hampir sama
(p=0,000) yaitu ada hubungan antara
perawatan diri terhadap kecacatan
kusta. Terlihat bahwa kecacatan pada
pasien kusta dengan tidak melakukan
perawatan diri (100%) lebih tinggi
dibandingkan kecacatan pasien kusta
yang melakukan perawatan diri
(0%). Hal ini disebabkan karena
sebagian besar pasien kusta di
Kabupaten Sukoharjo mempunyai
pengetahuan yang rendah tentang
penyakit kusta sehingga pasien tidak
memahami akibat buruk dari
penyakit kusta. Pendidikan pasien
kusta di Kabupaten Sukoharjo
sebagian besar tidak sekolah atau
tamatan SD dan kebiasaan bekerja
yang tidak teratur sehingga waktu
untuk merawat diri pada pasien kusta
kurang. Perawatan diri yang kurang
7
menyebabkan keadaan kecacatan
kusta semakin parah.
Menurut penelitian Kurnianto
(2002), diperoleh hasil bahwa
kecacatan pasien kusta yang tidak
melakukan perawatan diri sebesar
(63,8%) lebih tinggi dibandingkan
kecacatan pasien kusta yang
melakukan perawatan diri (30,0%).
Secara statistik diperoleh cukup
bukti untuk menyatakan adanya
hubungan yang bermakna antara ada
tidaknya perawatan diri dengan
kecacatan pasien kusta (p<0,01) dan
besarnya risiko kecacatan pasien
kusta yang tidak melaksanakan
perawatan diri adalah 4 kali lebih
tinggi dibandingkan pasien kusta
yang melaksanakan perawatan diri
(OR=4,1 95% Cl=2,0-8,3).
Dengan adanya perawatan
diri yang baik pada pasien kusta
tanpa kecacatan maupun pada pasien
dengan kecacatan kusta, ini
merupakan suatu usaha untuk
mencegah atau mengurangi
kecacatan pada pasien kusta dan
mencari solusi untuk persoalan yang
mereka hadapi. (Depkes 2006).
Simpulan dan Saran
Dari penelitian mengenai
hubungan antara reaksi kusta dan
perawatan diri terhadap kecacatan
kusta pada pasien kusta di RSK
Dr.Rivai Abdullah Palembang, dapat
disimpulkan bahwa : ada hubungan
antara reaksi kusta dengan kecacatan
kusta (p = 0,039) dan ada hubungan
antara perawatan diri dengan
kecacatan kusta (p = 0,041).
Adapun saran yang penulis
sampaikan setelah dilakukan
penelitian adalah dapat dilakukan
penelitian lanjutan mengenai
hubungan antara reaksi kusta dan
perawatan diri terhadap kecacatan
kusta pada pasien kusta dengan
menggunakan desain penelitian
kasus kontrol agar dapat mengetahui
hubungan sebab akibat dari faktor
yang mempengaruhi kecacatan kusta
dan mengenai faktor lain yang belum
dapat diteliti seperti usia, faktor
sosial ekonomi, lama menderita
kusta, diagnosis dini, tipe kusta dan
kepatuhan pengobatan.
Untuk RSK Dr.Rivai
Abdullah Palembang, perlu
peningkatkan pelayanan petugas
Rawat Inap dengan standart
pelayanan minimal (SPM) khususnya
8
dalam penanganan reaksi serta
program pencegahan kecacatan
pasien kusta. Untuk dokter umum
dapat dilakukan edukasi tentang
pencegahan kecacatan dengan
dilakukannya diagnosis dini,
pengobatan secara teratur ,
pemeriksaan rutin pada fungsi saraf
sensorik, motorik dan otonom serta
memberikan pengetahuan mengenai
kusta secara umum, bahaya reaksi
kusta dan dapat memberikan
konseling untuk mengurangi depresi
pada pasien kusta.
Daftar Pustaka
1. Kosasih A., I,M, Wisnu, E.S.
Daili, and S.L. Menaldi. 2007.
Kusta, dalam : Djuanda, A.
(Editor). Ilmu Penyakit Kulit
Dan Kelamin, Fakultas
Kedokteran Universitas
Indonesia, Jakarta. Hal:7388.
2. James, W,D,. T,G, Berger, and
D.M. Elston. 2006. Andrews
Disease of the Skin Clinical
Dermatology. 10th ed.
Philadelphia. Page:343-359.
3. Wisnu, I., Hadilukito, G. 2003.
Pencegahan Cacat Kusta. Dalam
: Daili, E. (Editor). Kusta.
Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia, Jakarta. Hal:83-93.
4. Departemen Kesehatan RI.
2007. Buku Pedoman Nasional
Pengendalian Penyakit Kusta.
Direktorat Jendral
Pemberantasan Penyakit
Menular dan Penyehatan
Lingkungan, Jakarta. Hal:1-47
5. Rachmat, H. 2003. Program
Pemberantasan Penyakit Kusta.
Dalam : Daili, E. (Editor).
Kusta. Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, Jakarta.
Hal:1-11
6. Sagita. 2010. Penderita kusta di
Sumsel tinggi, Seputar Indonesia
(Koran), (http://www.seputar-
indonesia.com/edisicetak/conten
t/view/438493/ diakses 8
oktober 2012)
7. Gunadi. A, 2000. Kajian
Tentang Faktor – Faktor Risiko
Terjadinya Kecacatan Pada
Lepra di RS Tugu Semarang.
Tesis. Program Pasca
Sarjana Fakultas
Kedokteran Diponegoro
Semarang.
9
8. Estiningsih, 2006. Faktor-Faktor
yang Berhubungan dengan
Perawatan Diri dalam Upaya
Pencegahan Kecacatan Penderita
Kusta di Puskesmas
Kalinyamatan Kabupaten Jepara.
Tesis. Universitas Diponegoro.
9. Kurnianto, J. 2002. Faktor-
Faktor Risiko yang
Berhubungan dengan Kecacatan
Penderita Kusta di Kabupaten
Tegal. Tesis, Program Pasca
Sarjana Universitas Diponegoro
10. Smith, W. 1992. The
epidemiology of disability in
leprosy including risk factors.
Lepr Rev. Page: 23-30.
11. Zila. 2010. Penyakit menular
terabaikan. Farmacia (Majalah),
10 (3), (http:// www. Majalah -
farmacia.com/rubrik/one_news_
print.asp?IDNews=1843, diakses
8 oktober 2012)
12. Amirudin, D., Z. Hakim, dan E.
Darwis.2003. Diagnosis
Penyakit Kusta. Dalam : Daili,
E. (Editor). Kusta. Fakultas
Kedokteran Universitas
Indonesia. Jakarta. Hal:12-31.
13. Arikunto, 1993. Prosedur
Penelitian. Penerbit Rineka
Cipta. Jakarta.
14. Brakel, V., K. Lever, and P.
Fenstra. 2004. Monitoring the
Size of the Leprosy Problem.
Indian J Public Health. Volume
48. Page: 5 – 16.
15. Departemen Kesehatan RI.
2006. Buku Pedoman Nasional
Pemberantasan Penyakit Kusta.
Direktorat Jendral
Pemberantasan Penyakit
Menular dan Penyehatan
Lingkungan. Jakarta. Hal:4-138
16. Departemen Kesehatan RI.
2006. Buku Pedoman Nasional
Pelaksanaan Pembentukan
Kelompok Perawatan Diri.
Direktorat Jendral
Pemberantasan Penyakit
Menular dan Penyehatan
Lingkungan. Jakarta. Hal:1-18
17. Ganapati, R., V. Pai, and S.
Kingsley. 2003. Disability
Prevention and Management in
Leprosy. Indian J Dermatol
Venereol Leprol. Volume 69.
Page: 369–374
18. Ishii, N. 2005. Recent Advances
in the Treatment of Leprosy,
10
Dermatology Online Journal.
Vol 9. Philadelphia. Page: 12-18
19. Iyor, T. 2005. Knowledge and
Attitude of Nigerian
Physiotherapy Students About
Leprosy. AsiaPac J Disab
Rehab, Volume 16. Page:85-92.
20. Martodiharjo, S., R. S.
Djokosusanto. 2003. Reaksi
Kusta dan Penanganannya.
Dalam : Daili, E. (Editor).
Kusta. Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, Jakarta.
Hal:75-82.
21. Muhammed, K., G.
Nandakumar, and S. Thomas,
2004. Disability Rates in
Leprosy. Indian J Dermatol
Venereol Leprol, Volume 70 (5).
Page:314-316.
22. Notoatmodjo, S. 2007. Promosi
Kesehatan dan Ilmu Perilaku.
Jakarta : Rineka Cipta
23. Ogbeiwi, O.I. 2005. Progress
Towards the Elimination of
Leprosy in Nigeria. Lepr Rev.
Volume 76 (1). Page: 65 – 76.
24. Peter, E., A.L. Eshiet. 2002.
Male-female Differences in
Leprosy Patients in South
Eastern. Lepr Rev. Nigeria.
Page:262 – 267.
25. Rea, T.H., R,L, Modlin. 2008.
Leprosy. In: Wolff, K,
Goldsmith, L, Katz, S,I,
Gilchrest, B,A, Paller, A,S,
Leffell, D. (Editor). Fitzpatrick's
dermatology in general medicine
7th editions. New York.
Page:1786-1796.
26. Richardus, J., A. Meima, and
R.P. Croft. 2003. Case detection,
gender and disability in leprosy
in Bangladesh. IndianJPublic
Health, Volume 75 (1). Page:17
– 24.
27. Sjamsuhidayat, R., W,D, Jong.
2004. Buku Ajar Ilmu Bedah.
EGC, Jakarta. Hal 30-35.
28. Soebono, H,. B. Suhariyanto.
2003. Pengobatan Penyakit
Kusta. Dalam : Daili, E.
(Editor). Kusta. Fakultas
Kedokteran Universitas
Indonesia, Jakarta. Hal:66-74.
29. Soewono, J,. E. Suparniati.
1997. Pedoman Standar
Pengobatan dan Pengelolaan
Kusta Di Rumah Sakit. RSK
Sitanala Tangerang.
11
30. Susanto, N. 2006. Faktor-Faktor
yang Berhubungan dengan
Tingkat Kecacatan Penderita
Kusta. Tesis, Program Pasca
Sarjana Universitas Gadjah
Mada Yogyakarta.
31. Wolff, K,. R,A, Johnson. 2009.
Fizpatrick’s Colour Atlas and
Synopsis of Clinical
Dermatology. Vienna.
Page:665-670
32. World Health Organization
Expert Committee on Leprosy.
2012. Technical Report Series,
No. 968. Eighth report. Geneva.
33. Zulkifli. 2002. Penyakit Kusta
dan Masalah yang Ditimbulkan,
FKM, USU Medan.
12