jurnal asma, PPOK, sindrom overlap
-
Upload
ludi-nugroho -
Category
Documents
-
view
375 -
download
37
description
Transcript of jurnal asma, PPOK, sindrom overlap
LEMBAR PENGESAHAN
ASMA, PPOK, DAN OVERLAP SYNDROME
Disusun Oleh
Ibnu Ludi Nugroho
0910015050
Pembimbing
dr. Mauritz Silalahi, Sp. P
Dipresentasikan Dalam Rangka Tugas Kepaniteraan Klinik
Laboratorium/SMF Kedokteran Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman
2014
DAFTAR ISIDAFTAR ISI.................................................................................................................1
Abstrak..........................................................................................................................2
Patofisiologi dari Asma dan Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK).......................2
Inflamasi Kronis Jalan Nafas.....................................................................................4
Obstruksi Jalan Nafas................................................................................................5
Hiperresponsifitas Jalan Nafas...................................................................................5
Overlap Antara Asma dan PPOK..............................................................................6
Respon Asma, PPOK, dan Overlap Syndrome Terhadap Pengobatan......................8
Pengobatan Asma dan PPOK dengan Glukokortikoid..............................................9
Pengobatan Bronkodilator Pada Asma dan PPOK..................................................10
Kesimpulan..................................................................................................................13
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................15
1
Abstrak
Asma dan Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah penyakit kronis
dengan prevalensi yang tinggi pada populasi umum. Keduanya ditandai dengan
inflamasi kronis jalan nafas dan sumbatan jalan nafas. Dalam dua kondisi ini,
inflamasi kronis mempengaruhi saluran nafas secara keseluruhan, dari saluran nafas
pusat hingga ke perifer, dengan sel-sel inflamasi yang berbeda, produksi mediator
yang berbeda, sehingga berbeda pula respon terhadap terapi yang diberikan.
Sumbatan jalan nafas pada asma biasanya intermiten dan reversibel, tetapi sebaliknya
sumbatan bersifat progresif dan sebagian besar irreversibel pada PPOK. Namun, pada
kedua penyakit yang berbeda ini bisa terjadi overlap secara patologis dan fungsional,
khususnya di kalangan orang tua yang mungkin menderita kedua penyakit ini
sekaligus (overlap syndrome asma-PPOK). Definisi untuk asma dan PPOK yang
direkomendasikan oleh pedoman saat berguna namun terbatas, karena mereka tidak
menggambarkan spektrum secara penuh penyakit saluran napas obstruktif yang
ditemui dalam praktek klinis. Mendefinisikan asma dan PPOK sebagai entitas yang
terpisah sering mengabaikan kemungkinan overlap syndrome antara dua penyakit ini
dan sebagian besar didasarkan pada pendapat ahli, bukan pada bukti terbaik saat ini.
Adanya perbedaan fenotip atau komponen pada penyakit-penyakit obstruktif jalan
nafas menyebabkan hal ini perlu ditangani untuk memisahkan dan mengoptimalkan
perawatan untuk mencapai efek terbaik dengan efek samping paling sedikit bagi
pasien. Meskipun intervensi spesifik bervariasi tergantung apa penyakitnya, tujuan
pengobatan penyakit saluran napas obstruktif adalah sama dan terutama didorong
oleh kebutuhan untuk mengontrol gejala, mengoptimalkan status kesehatan, dan
mencegah eksaserbasi.
Patofisiologi dari Asma dan Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK)
Patofisiologi umum dari penyakit saluran napas obstruktif, termasuk asma dan
PPOK terdiri dari 3 komponen, yaitu inflamasi saluran napas, obstruksi jalan napas,
dan hiperresponsifitas dari jalan napas. Sementara inflamasi kronis merupakan
2
komponen utama dari semua penyakit paru obstruktif, sumbatan jalan nafas adalah
hasil akhir dan dapat memiliki kedua komponen dinamis (bronkospastik) dan statis
(struktural) (Gambar 1).
Gambar 1. Komponen patofisiologi penyakit saluran napas obstruktif seperti asma, PPOK,
dan overlap syndrome asma-PPOK. Inflamasi saluran napas kronis adalah komponen utama
dari semua penyakit paru obstruktif, sedangkan obstruksi jalan napas dan hiperreaktivitas
saluran napas adalah ciri penting. hiperreaktivitas saluran napas dapat menyebabkan
bronkospasme (obstruksi jalan napas dinamis), sedangkan edema jalan nafas, sumbatan
mukus, dan remodeling saluran napas dapat menyebabkan obstruksi jalan napas statis atau
struktural.
3
Inflamasi Kronis Jalan NafasPeradangan kronis secara tradisional yang dianggap terlibat terutama
eosinofilik dan didorong oleh sel CD4 pada asma, sedangkan neutrofilik dan
didorong oleh sel CD8 pada PPOK.[1,2] Pola-pola peradangan yang terkait dengan
kondisi ini, bagaimanapun, adalah heterogen, dengan overlap yang signifikan. Kedua
asma noneosinofilik dan neutrofilik diduga resisten terhadap steroid.[3,4] Penderita
asma yang merokok atau menunjukkan penyakit berat dengan obstruksi tetap
memiliki peningkatan jumlah neutrofil dalam saluran udara mereka, mirip dengan
PPOK. Pada asma dan PPOK, merokok meningkatkan peradangan neutrofilik, yang
menyebabkan peningkatan resistensi steroid.[5,6] Di sisi lain, peradangan eosinofilik
telah diamati pada saluran udara dari beberapa pasien dengan PPOK dan ternyata
berhubungan dengan reversibilitas obstruksi aliran udara yang lebih besar ketika
diobati dengan kortikosteroid.[7]
Overlap pada bagian inflamasi kronis terutama adalah pada episode inflamasi
akut, yang sesuai dengan eksaserbasi asma dan PPOK. Eksaserbasi adalah episode
perburukan gejala keparahan, biasanya dipicu oleh infeksi saluran pernafasan dan
berhubungan dengan peningkatan beratnya inflamasi pada saluran napas bawah. Data
yang tersedia menunjukkan bahwa seringnya eksaserbasi berat dikaitkan dengan
peningkatan morbiditas dan mortalitas, status kesehatan yang buruk, dan penurunan
lebih cepat fungsi paru-paru pada asma dan PPOK, sehingga pencegahan dan
pengobatan optimal eksaserbasi merupakan prioritas global.[8,9]
Studi histopatologi pasien dengan asma dan PPOK telah menetapkan bahwa
penyakit saluran napas obstruktif ini melibatkan tidak hanya saluran udara besar
proksimal (> 2 mm), tetapi juga pada saluran udara kecil distal (< 2 mm). Meskipun
asma pada awalnya digambarkan sebagai penyakit inflamasi yang dominan
melibatkan saluran udara sentral, bukti patologis dan fisiologis menunjukkan bahwa
peradangan saluran napas dan renovasi terjadi pada saluran udara pusat, saluran udara
perifer dan bahkan parenkim paru. Jalan nafas yang perifer, termasuk jaringan paru-
paru, telah diakui sebagai situs utama dari obstruksi aliran udara pada penderita asma.[10] Demikian pula, radang saluran napas terjadi pada semua bagian dari saluran
4
pernapasan pada pasien dengan PPOK. Terutama mempengaruhi saluran udara kecil
dan parenkim paru-paru, meskipun saluran udara besar tetap menjadi sumber utama
dari hipersekresi terkait dengan produksi sputum.[11]
Obstruksi Jalan NafasObstruksi jalan nafas terjadi dikarenakan bronkospasme, edema mukosa dan
inflamasi, hipersekresi mucus dan pembentukan sumbatan mukus, serta beberapa
perubahan struktural seperti hipertropi dan hiperplasia dari otot halus saluran nafas.
Beberapa komponen dari perubahan struktural saluran napas (secara kolektif disebut
sebagai remodeling saluran napas) bersifat ireversibel dan terkait dengan hilangnya
fungsi paru-paru yang progresif dimana tidak dicegah atau sepenuhnya reversibel
dengan terapi saat ini.[1,12]
Seperti disebutkan sebelumnya, patofisiologi asma dan PPOK melibatkan
kedua saluran udara sentral dan perifer, dengan saluran udara kecil menjadi tempat
utama keterbatasan aliran udara di kedua penyakit ini. Selanjutnya, remodeling
saluran napas terjadi di seluruh saluran pernapasan, remodeling saluran udara kecil
sebagian besar bertanggung jawab atas terjadinya penurunan fungsi paru-paru pada
PPOK dan asma lama.[12] Temuan ini merupakan signifikansi klinis yang penting dan
menyoroti kebutuhan untuk mempertimbangkan saluran nafas perifer sebagai target
dalam strategi terapi untuk pengobatan asma, PPOK, atau overlap syndrome.
Hiperresponsifitas Jalan NafasHiperresponsifitas jalan nafas adalah respon bronkokonstriktor berlebihan
untuk berbagai rangsangan, dan reversibilitas bronkodilator merupakan ciri khas dari
banyak penyakit inflamasi saluran napas. Secara umum, respon bronkokonstriktor
dan bronkodilator telah dipertimbangkan untuk mencerminkan persamaan kelainan
patofisiologi yang mendasari, dan telah diasumsikan bahwa 2 hal tersebut sangat
berkorelasi. Dengan demikian, uji provokasi sering diganti dengan tes reversibilitas,
terutama di obstruksi jalan napas yang berat, yang mana uji provokasi merupakan
kontraindikasi.[13] Asma dan PPOK mirip satu sama lain yang mana keduanya
mungkin menunjukkan keparahan hiperreaktivitas saluran napas dan karenanya
5
reversibilitas bronkodilator.[14,15] Hiperreaktivitas saluran napas muncul pada hampir
semua pasien dengan asma, setidaknya ketika mereka mengalami gejala, dan hingga
dua pertiga pasien dengan PPOK.[14]
Overlap Antara Asma dan PPOK Asma secara tradisional digambarkan sebagai penyakit alergi yang
berkembang selama masa kanak-kanak dan ditandai oleh obstruksi jalan napas
reversibel. Sebaliknya, PPOK biasanya berhubungan dengan tembakau rokok,
berkembang di kemudian hari, dan ditandai dengan keterbatasan aliran udara yang
reversibel tidak sempurna. Meskipun kedua penyakit mempunyai obstruksi jalan
napas sebagai ciri umum, keduanya berada di ujung yang berlawanan dari spektrum
penyakit saluran napas obstruktif yang terlihat dalam praktek klinis. Bagaimanapun,
pertimbangan patologis dan fungsional overlap antara asma dan PPOK terutama
terjadi pada kalangan orang tua, yang mungkin memiliki komponen kedua penyakit
(overlap syndrome). Inflamasi saluran napas merupakan komponen utama dari semua
fenotip penyakit saluran napas obstruktif yang berbeda (asma, PPOK, emfisema, dan
bronkitis kronis) yang ada dalam berbagai kombinasi (Gambar 2). Studi epidemiologi
melaporkan peningkatan frekuensi diagnosa overlap dengan bertambahnya umur,
dengan prevalensi diperkirakan <10% pada pasien berumur kurang dari 50 tahun dan
>50% pada pasien berusia 80 tahun atau lebih.[18] Kelompok pasien yang memiliki
ciri overlap syndrome asma-PPOK adalah perokok dengan asma dan bukan perokok
dengan asma lama yang berkembang menjadi PPOK.
6
Gambar 2. Diagram Venn klasik yang digunakan untuk menggambarkan overlap ciri
patologis dan klinis bronkitis kronis, emfisema, dan asma. Bagian yang terdiri dari penyakit
paru obstruktif kronik (PPOK) adalah yang diarsir. Bronkitis kronis, emfisema, obstruksi
jalan napas adalah efek independen rokok dan dapat terjadi dalam berbagai kombinasi.
Pasien dengan bronkitis kronis, emfisema, atau keduanya tidak dianggap memiliki PPOK
kecuali terdapat obstruksi aliran udara. Pasien dengan asma yang memiliki obstruksi aliran
udara yang reversibel sempurna tidak memiliki PPOK, dimana perkembangan obstruksi
parsial aliran udara reversibel dari waktu ke waktu dianggap memiliki overlap syndrome
asma-PPOK (asma dengan ciri PPOK atau PPOK dengan ciri asma).21
Mengingat bahwa ciri overlap menjadi lebih umum dengan bertambahnya
usia dan riwayat merokok, kesan klinis yang berlaku adalah bahwa dengan usia
sering terjadi progresi dari obstruksi aliran udara reversibel dari pasien asma yang
muda dengan obstruksi lebih ireversibel pada pasien yang lebih tua dengan PPOK.[19]
Sementara PPOK cenderung pasti progresif, banyak pasien dengan riwayat asma
lama terjadi penurunan progresif lambat dari fungsi paru-paru, yang diukur dengan
7
FEV1, sekunder terhadap remodeling saluran napas.[1,20] Bertambahnya usia, merokok,
hiperreaktivitas saluran napas, dan eksaserbasi pada asma dan PPOK merupakan
faktor risiko untuk remodeling saluran napas dan mempercepat hilangnya fungsi
paru-paru.[17,22]
Akhirnya, overlap syndrome asma dan PPOK didukung oleh "Dutch
hypothesis" yang menyatakan bahwa asma dan hiperreaktivitas saluran napas
mempengaruhi pasien untuk PPOK di kemudian hari, dan asma, PPOK, bronkitis
kronis, dan emfisema memiliki ekspresi atau komponen yang berbeda dari penyakit
saluran napas tunggal. Adanya komponen-komponen ini dipengaruhi oleh faktor host
dan lingkungan.[23]
Respon Asma, PPOK, dan Overlap Syndrome Terhadap PengobatanPenelitian secara komprehensif terhadap pengobatan untuk penyakit obstruksi
jalan nafas sebenarnya di luar batas dari artikel ini, namun ini penting untuk diketahui
karena respon terhadap pengobatan dapat membantu membedakan 2 penyakit ini.
Walaupun intervensinya bervariasi tergantung dari penyakitnya, tujuan pengobatan
asma dan PPOK adalah sama untuk mengontrol gejala, mengoptimalkan kesehatan
dan kualitas hidup, dan mencegah eksaserbasi (mengurangi frekuensi ataupun
keparahan).
Secara umum, terapi untuk PPOK memiliki efek yang jauh lebih terbatas
dibandingkan dengan asma. Sementara kortikosteroid inhalasi (ICSs) adalah landasan
dari manajemen farmakologis pasien dengan asma persisten, inhalasi bronkodilator
(β2-agonis dan antikolinergik) adalah andalan terapi untuk pasien dengan PPOK. Saat
ini belum ada obat yang dapat mengubah progresifitas obtruksi jalan nafas baik asma
atau PPOK. Tetapi bagaimanapun, berhenti merokok adalah komponen penting dari
keberhasilan pengelolaan penyakit saluran napas obstruktif.
Saat ini tidak ada data percobaan klinis acak untuk membantu memandu
intervensi terapi pada overlap syndrome asma - PPOK. Bahkan, pasien dengan
overlap asma dan PPOK sering diekslusi dari uji pengobatan, yang membatasi
kemampuan generalisasi dari uji coba pada populasi pasien terabaikan ini. Namun,
prinsip-prinsip pengobatan praktis adalah sama dengan yang untuk asma atau PPOK
8
dan melibatkan terapi yang komprehensif diarahkan peradangan saluran napas,
Obstruksi jalan nafas, dan hiperresponsifitas jalan nafas.
Pengobatan Asma dan PPOK dengan GlukokortikoidGlukokortikoid adalah obat anti-inflamasi yang paling manjur yang tersedia
untuk pengobatan asma dan PPOK. Kortikosteroid inhalasi tetap menjadi andalan
terapi glukokortikoid untuk penyakit stabil karena efektivitas mereka yang terbukti
dan, dalam dosis yang dianjurkan, efek samping sistemiknya lebih sedikit. Onset
lambat mereka dibandingkan dengan steroid sistemik, namun steroid sistemik
merupakan pengobatan pilihan untuk eksaserbasi akut.
Glukokortikosteroid Sistemik Pada Pengobatan Asma Eksaserbasi Akut dan
PPOK
Tujuan terapi utama untuk asma atau PPOK eksaserbasi akut adalah
pembalikan cepat obstruksi aliran udara dan koreksi, jika diperlukan, juga untuk
hiperkapnia berat atau hipoksemia. Oleh karena itu pengobatan dini dan agresif pada
eksaserbasi akut sangat penting. Pengobatan farmakologis utama yang tersedia untuk
mengelola eksaserbasi akut termasuk inhalasi bronkodilator short-acting,
glukokortikoid sistemik, dan, dalam kasus PPOK, antibiotik. [1,2]
Ketika ditambahkan ke terapi bronkodilator yang dijelaskan di bawah ini,
glukokortikoid sistemik memperbaiki gejala dan fungsi paru-paru dan mengurangi
lamanya pasien tinggal di rumah sakit.[24,25] Pasien dengan lanjutan dyspnea dan
mengi meskipun dengan terapi bronkodilator yang intensif, kemungkinan besar tetap
memiliki obstruksi aliran udara yang terus-menerus dikarenakan edema saluran
napas, peradangan, dan plaque lender intraluminal. Perubahan patologis tersebut
biasanya berespon terhadap terapi glukokortikoid dan biasanya dia memperbaiki pada
kecepatan yang jauh lebih lambat dari penyempitan otot polos.
Meskipun infeksi pernapasan adalah pemicu yang paling umum dari asma dan
eksaserbasi PPOK, pengobatan antibiotik saat ini diindikasikan hanya untuk pasien
dengan PPOK sedang hingga berat. Pedoman praktek klinis saat ini tidak
menganjurkan antibiotik untuk eksaserbasi asma karena sebagian besar infeksi
9
pernapasan yang memicu serangan asma adalah virus dan bukan bakteri. [26,28] Tetapi,
bagaimanapun penelitian terbaru menunjukkan peran yang lebih besar untuk
antibiotik daripada yang ditunjukkan dalam pedoman saat ini. Antibiotik tertentu,
makrolida pada khususnya, memiliki kedua efek antimikroba dan antiinflamasi yang
mungkin berguna dalam pengobatan beberapa pasien dengan asma atau PPOK. [29,31]
Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk memperjelas peran potensial makrolid dalam
sub kelompok tertentu dari pasien, baik yang stabil atau eksaserbasi akut.
Kortikosteroid dalam Pengobatan Asma dan PPOK Stabil
Saat ini sudah ada banyak bukti bahwa kortikosteroid inhalasi efektif
melawan inflamasi eosinofilik pada asma tetapi jauh lebih kurang efektif terhadap
peradangan terutama neutrofilik yang terlihat pada PPOK. [32] Selanjutnya, neutrofil
(noneosinofilik) asma dikaitkan dengan peningkatan resistensi steroid, sedangkan
inflamasi eosinofilik bersamaan pada PPOK dikaitkan dengan respon yang lebih
besar terhadap kortikosteroid. Sedangkan penggunaan kortikosteroid inhalasi
direkomendasikan sebagai terapi lini pertama untuk semua tahap asma persisten,
pengobatan kortikosteroid inhalasi pada PPOK direkomendasikan untuk pasien
dengan gejala dan FEV1 < 50 % prediksi dengan atau eksaserbasi sering meskipun
regimen yang optimal adalah dengan inhalasi long-acting bronkodilator. Namun,
terapi kortikosteroid inhalasi dapat dibenarkan sebelumnya (yaitu, pada saat yang
sama bahwa bronkodilator inhalasi long-acting dimulai) jika ada tanda-tanda
komponen asma untuk PPOK tersebut. [34] Monoterapi jangka panjang dengan
kortikosteroid inhalasi tidak dianjurkan pada PPOK karena bronkodilator inhalasi
memiliki manfaat yang lebih besar dengan efek samping yang lebih sedikit.
Pengobatan Bronkodilator Pada Asma dan PPOKAda 2 kelas utama bronkodilator inhalasi: β2 - agonis dan agen antikolinergik,
keduanya, baik short-acting dan formulasi long-acting tersedia. Kehadiran
reversibilitas akut dengan penggunaan bronkodilator tidak sepenuhnya membedakan
asma dari PPOK. Pasien dengan kondisi baik bisa mendapatkan keuntungan dari
10
bronkodilator dan harus diberikan percobaan untuk menilai respon mereka. Selain itu,
bronkodilator telah secara konsisten menunjukkan bahwa ia mendorong perbaikan
gejala jangka panjang, kapasitas latihan, dan obstruksi aliran udara pada pasien
dengan PPOK, bahkan ketika tidak ada perbaikan spirometri setelah dosis tes tunggal. [35,36]
Respon bronkodilator pada asma dan PPOK berbeda baik secara kuantitatif maupun
dalam pola spirometri mereka. Sementara pasien asma biasanya menunjukkan
peningkatan FEV1 saja atau pada kedua FEV1 dan kapasitas vital paksa (FVC),
pasien dengan PPOK biasanya menampilkan peningkatan pada FVC atau pada kedua
FEV1 dan FVC (yaitu, kurang hiperinflasi). [37,38]
Bronkodilator dalam Pengobatan Akut Eksaserbasi Asma dan PPOK
Short-acting bronkodilator harus digunakan secara agresif selama eksaserbasi
akut, dan formulasi nebulasi direkomendasikan bagi mereka yang sangat sakit dan
tidak dapat menghasilkan aliran yang diperlukan untuk penggunaan yang efektif dari
modalitas lain. Inhalasi β2 - agonis short acting (misalnya albuterol) merupakan
andalan terapi untuk eksaserbasi akut asma atau PPOK karena aksi onset cepat
mereka. Pemberian bronkodilatasi yang lebih bertahap seperti antikolinergik short-
acting (misalnya, ipratropium) dibandingkan dengan agen β2 membuat monoterapi
mereka tidak pantas untuk eksaserbasi akut. Namun, penambahan ipratropium dalam
terapi albuterol mengarah pada perbaikan lebih cepat dan lengkap dalam
bronkokonstriksi dan menurunkan angka rawat inap pada pasien dengan eksaserbasi
PPOK atau pada serangan asma sedang hingga berat. [39,40]
Bronkodilator Dalam Pengobatan Asma dan PPOK Stabil
Semua pasien dengan gejala asma atau PPOK harus diresepkan bronkodilator
inhalasi short-acting untuk digunakan pada gejala akut. Penggunaan teratur
bronkodilator short-acting sebagai pengobatan pemeliharaan untuk asma atau PPOK
telah digantikan oleh bronkodilator long-acting karena lebih efektif dan nyaman.
Bronkodilator long-acting efektif bila digunakan sebagai monoterapi pada pasien
dengan PPOK, tetapi mereka harus selalu dikombinasikan dengan obat anti-inflamasi
11
(misalnya, kortikosteroid inhalasi atau agen leukotrien yang telah dimodifikasi)
ketika merawat asma persisten dengan tingkat keparahan apapun. [1,15]
Sementara inhalasi β2 - agonis dianggap bronkodilator lini pertama dalam
pengobatan asma, antikolinergik inhalasi bila diberikan pada dosis efektif, dapat
menyebabkan bronkodilatasi signifikan yang sebanding dengan yang ditemukan
setelah pengobatan dengan β2-agonis. [41,44] Ada semakin banyak bukti bahwa long-
acting antikolinergik bisa sama efektifnya dengan long-acting β2-agonis dalam
mengendalikan gejala asma. [42,44] Penggunaan antikolinergik menambahkan sedikit
perbaikan untuk pengobatan dengan β2 - agonis pada asma stabil kronis, meskipun
pasien yang memiliki obstruksi jalan nafas lebih parah tampaknya memperoleh
keuntungan dari terapi kombinasi ini. Oleh karena itu, uji coba terapi kombinasi pada
pasien yang tidak terkontrol oleh satu bronkodilator masih dapat dibenarkan. [1,45]
antikolinergik inhalasi disarankan sebagai bronkodilator alternatif bagi pasien yang
tidak mentolerir β2-agonis, dan mereka dianggap sebagai obat pilihan untuk
mengobati asma yang disebabkan oleh β-blocker .
Di sisi lain, pada pasien dengan PPOK, antikolinergik memberikan hasil yang
sama atau mungkin perbaikan bronkodilatasi dibandingkan dengan β2-agonis. [46,48]
Tidak ada bukti yang cukup untuk merekomendasikan satu bronkodilator
dibandingkan yang lain ketika merawat gejala PPOK. Terapi kombinasi (β2-agonis
dan antikolinergik) menghasilkan respon bronkodilator lebih besar dari salah satu saja
pada pasien dengan PPOK stabil. [49] Pilihan antara β2-agonis, antikolinergik, dan
terapi kombinasi tergantung pada ketersediaan obat-obatan dan pada setiap respon
individu dalam hal efek baik bantuan terhadap gejala dan efek samping. [2] Sifat
progresif penyakit, obstruksi jalan nafas yang lebih parah , dan efek yang lebih
terbatas dibandingkan dengan bronkodilator yang diberikan pada asma menjelaskan
mengapa kebanyakan pasien PPOK membutuhkan terapi bronkodilator kombinasi
selama perjalanan penyakit mereka. [50]
12
KesimpulanAsma dan PPOK adalah penyakit saluran napas obstruktif umum yang
merupakan tantangan bagi dokter dalam hal diagnosis dan manajemen mereka,
dengan overlap yang signifikan dalam fitur klinis mereka, parameter fisiologis, dan
peradangan saluran napas (asma-PPOK overlap syndrome). Prevalensi overlap
syndrome meningkat dengan bertambahnya usia, membuat perbedaan antara asma
dan PPOK sulit dan sering tidak tepat pada populasi lanjut usia. Tabel 1 merangkum
beberapa fitur karakteristik dari 2 penyakit ini.
Tabel 1. Persamaan Karakteristik dan Perbedaan Antara Asma, Penyakit
Paru Obstruktif Kronik (PPOK), dan Overlap Syndrome
Asma PPOKOverlap
Syndrome
Patologi
Peradangan saluran
napas kronis, biasanya
eosinofilik dan
didorong oleh sel CD4.
Inflamasi neutrofil telah
diamati dalam saluran
udara penderita asma
dan beberapa
berhubungan dengan
peningkatan resistensi
steroid.
Peradangan saluran napas
kronis, biasanya neutrofilik
dan didorong oleh sel CD8.
Inflamasi eosinofilik telah
diamati dalam saluran udara
dari beberapa pasien dengan
PPOK dan berhubungan
dengan sensitivitas yang
lebih besar terhadap steroid.
Overlap secara
patologi dalam
profil inflamasi
dari kedua
asma dan
PPOK,
khususnya di
kalangan orang
tua.
Patofisiologi
Obstruksi jalan napas
reversibel, kerusakan
progresif dari waktu ke
waktu adalah jarang.
Obstruksi jalan napas
sebagian reversibel,
progresifitas kerusakan
seringkali khas.
Overlap
fungsional
antara asma
dan PPOK,
khususnya di
kalangan orang
tua.
Penanganan pada eksaserbasi akut
13
Kortikosteroid
Sistemik dan
Bronkodilator
Inhalasi
Memperbaiki gejala
dan fungsi paru-paru
dan mengurangi
lamanya tinggal di
rumah sakit.
Memperbaiki gejala dan
fungsi paru-paru dan
mengurangi lamanya tinggal
di rumah sakit.
Tidak tersedia
data
Penanganan saat stabil
Kortikosteroid
inhalasi
Terapi andalah untuk
asma persisten
Respon kurang efektif.
Kortikosteroid
direkomendasikan untuk
pasien dengan PPOK yang
lebih parah (FEV1 <50% dari
prediksi) yang gejalanya
tidak optimal dikontrol
dengan bronkodilator
inhalasi.
Tidak tersedia
data
Kortikosteroid terapi tunggal
tidak direkomendasikan
Bronkodilator
inhalasi
β2-agonis short acting
inhalasi adalah
pengobatan andalan
untuk asma intermiten
Pengobatan andalan pada
pasien dengan PPOK;
inhalasi antikolinergik
mungkin lebih efektif
dibandingkan β2-agonis
inhalasi sebagai terapi
tunggal pada PPOK.
Tidak ada data
tersedia
Terapi tunggal β2-
agonis long-acting
inhalasi tidak
dianjurkan.
DAFTAR PUSTAKA
1. Expert Panel Report 3: Guidelines for the Diagnosis and Management of Asthma.
National Heart, Lung, and Blood Institute, National Asthma Education and
14
Prevention Program. Bethesda, MD: U.S. Department of Health and Human
Services, of Health, National National Institutes Heart, Lung, and Blood Institute;
2007.
2. Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease. Global strategy for the
diagnosis, management and prevention of chronic obstructive pulmonary disease
NHLBI/WHO Workshop Report. Updated 2011. Available from:
http://www.goldcopd.org. Accessed February 15, 2013.
3. Douwes J, Gibson P, Pekkanen J, Pearce N. Noneosinophilic asthma: importance
and possible
mechanisms. Thorax 2002;57:643– 8.
4. Cowan DC, Cowan JO, Palmay R, Williamson A, Taylor DR. Effects of steroid
therapy on inflammatory cell subtypes in asthma. Thorax 2010;65:384–90.
5. Chalmers GW, Macleod KJ, Little SA, Thomson LJ, McSharry CP, Thomson NC.
Influence of cigarette
smoking on inhaled corticosteroid treatment in mild asthma. Thorax 2002;57:226 –
30.
6. Chaudhuri R, Livingston E, McMahon AD, Thomson L, Borland W, Thomson NC.
Cigarette smoking impairs the therapeutic response to oral corticosteroids in
chronic asthma. Am J Respir Crit Care Med 2003;168:1308 –11.
7. Chanez P, Vignola AM, O'Shaugnessy T, et al. Corticosteroid reversibility in
COPD is related to features of asthma. Am J Respir Crit Care Med 1997;
155:1529–34.
8. O'Byrne PM, Pedersen S, Lamm CJ, Busse WW; START Investigators Group.
Severe exacerbations and decline in lung function in asthma. Am J Respir Crit
Care Med 2009;179:19 –24.
9. Sapey E, Stockley RA. COPD exacerbations. 2: aetiology. Thorax 2006;61:250–8.
10. Hamid Q, Tulic MK. New insights into the pathophysiology of the small airways
in asthma. Ann Thorac Med 2007;2:28 –33.
11. Hogg JC, Chu F, Utokaparch S, et al. The nature of small-airway obstruction in
chronic obstructive pulmonary disease. N Engl J Med 2004;350:2645–53.
15
12. Sköld CM. Remodeling in asthma and COPD–differences and similarities. Clin
Respir J. 2010;4(Suppl 1): 20–7.
13. Vestbo J, Hansen EF. Airway hyperresponsiveness and COPD mortality. Thorax
2001;56(Suppl 2): ii11–4.
14. Postma DS, Kerstjens HAM. Characteristics of airway hyperresponsiveness in
asthma and chronic obstructive pulmonary disease. Am J Respir Crit Care Med
1998;158:S187–92.
15. Scichilone N, Battaglia S, La Sala A, Bellia V. Clinical implications of airway
hyper-responsiveness in COPD. Int J Chron Obstruct Pulmon Dis 2006;1: 49–60.
16. Brutsche MH, Downs SH, Schindler C, et al. Bronchial hyperresponsiveness and
the development of asthma and COPD in asymptomatic individuals: SAPALDIA
Cohort Study. Thorax 2006;61:671–7.
17. Gibson PG, Simpson JL. The overlap syndrome of asthma and COPD: what are
its features and how important is it? BMJ 2009;64:728 –35.
18. Soriano JB, Davis KJ, Coleman B, Visick G, Mannino D, Pride NB. The
proportional Venn diagram of obstructive lung disease: two approximations from
the United States and the United Kingdom. Chest 2003;124:474–81.
19. Fabbri LM, Romagnoli M, Corbetta L, et al. Differences in airway inflammation
in patients with fixed airflow obstruction due to asthma or chronic obstructive
pulmonary disease. Am J Respir Crit Care Med 2003;167:418 –24.
20. Panettieri RA J., Covar R, Grant E, Hillyer EV, Bacharier L. Natural history of
asthma: persistence versus progression-does the beginning predict the end? J
Allergy Clin Immunol 2008;121:607–13.
21. American Thoracic Society. Standards for the diagnosis and care of patients with
chronic obstructive pulmonary disease. Am J Respir Crit Care Med
1995;152:S77–121.
22. Rasmussen F, Taylor DR, Flannery EM, et al. Risk factors for airway remodeling
in asthma manifested by a low postbronchodilator FEV1/vital capacity ratio: a
longitudinal population study from childhood to adulthood. Am J Respir Crit Care
Med 2002;165: 1480–8.
16
23. Orie NGM. The Dutch hypothesis. Chest 2000;117: 299.
24. Fanta CH, Rossing TH, McFadden ER Jr. Glucocorticoids in acute asthma. A
critical controlled trial. Am J Med 1983;74:845–51.
25. Niewoehner DE, Erbland ML, Deupree RH, et al. Effect of systemic
glucocorticoids on exacerbations of chronic obstructive pulmonary disease.
Department of Veterans Affairs Cooperative Study Group. N Engl J Med
1999;340:1941–7.
26. Bach PB, Brown C, Gelfand SE, et al. Management of acute exacerbations of
chronic obstructive pulmonary disease: a summary and appraisal of published
evidence. Ann Intern Med 2001;134:600 –20.
27. Ram FS, Rodriguez-Roisin R, Granados-Navarrete A, Garcia-Aymerich J, Barnes
NC. Antibiotics for exacerbations of chronic obstructive pulmonary disease.
Cochrane Database Syst Rev 2006;(2):CD004403.
28. Rothberg MB, Pekow PS, Lahti M, Brody O, Skiest DJ, Lindenauer PK.
Antibiotic therapy and treatment failure in patients hospitalized for acute
exacerbations of chronic obstructive pulmonary disease. JAMA 2010;303:2035–
42.
29. Koutsoubari I, Papaevangelou V, Konstantinou GN, et al. Effect of
clarithromycin on acute asthma exacerbations in children: an open randomized
study. Pediatr Allergy Immunol 2012;23:385–90.
30. Hahn DL, Grasmick M, Hetzel S, Yale S. Azithromycin for bronchial asthma in
adults: an effectiveness trial. J Am Board Fam Med 2012;25:442–59.
31. Albert RK, Connett J, Bailey WC, et al. Zithromycin for prevention of
exacerbations of COPD. N Engl J Med 2011;365:689 –98.
32. Keatings VM, Jatakanon A, Worsdell YM, Barnes PJ. Effects of inhaled and oral
glucocorticoids on inflammatory indices in asthma and COPD. Am J Respir Crit
Care Med 1997;155:542– 8.
33. Calverley PM, Anderson JA, Celli B, et al. Salmeterol and fluticasone propionate
and survival in chronic obstructive pulmonary disease. N Engl J Med
2007;356:775– 89.
17
34. Leigh R, Pizzichini MM, Morris MM, Maltais F, Hargreave FE, Pizzichini E.
Stable COPD: predicting benefit from high-dose inhaled corticosteroid treatment.
Eur Respir J 2006;27:964 –71.
35. Sin DD, McAlister FA, Man SF, Anthonisen NR. Contemporary management of
chronic obstructive pulmonary disease: scientific review. JAMA 2003; 290:2301–
12.
36. Man SF, McAlister FA, Anthonisen NR, Sin DD. Contemporary management of
chronic obstructive pulmonary disease: clinical applications. JAMA 2003;
290:2313–6.
37. Chhabra SK, Bhatnagar S. Comparison of bronchodilator responsiveness in
asthma and chronic obstructive pulmonary disease. Indian J Chest Dis Allied Sci
2002;44:91–7.
38. Donohue JF. Therapeutic responses in asthma and COPD–bronchodilators. Chest
2004;126(2 Suppl): 125S–37S; discussion 159S–61S.
39. Shrestha M, O'Brien T, Haddox R, et al. Decreased duration of emergency
department treatment of chronic obstructive pulmonary disease exacerbations
with the addition of ipratropium bromide to _-agonist therapy. Ann Emerg Med
1991;20:1206 –9.
40. Rodrigo GJ, Castro-Rodriguez JA. Anticholinergics in the treatment of children
and adults with acute asthma: a systematic review with meta-analysis. Thorax
2005;60:740–6.
41. Chhabra SK, Pandey KK. Comparison of acute bronchodilator effects of inhaled
ipratropium bromide and salbutamol in bronchial asthma. J Asthma 2002;39:375–
81.
42. Peters SP, Kunselman SJ, Icitovic N, et al. Tiotropium bromide step-up therapy
for adults with uncontrolled asthma: a randomized trial. N Engl J Med
2010;363:1715–26.
43. Kerstjens HA, Disse B, Schröder-Babo W, et al. Tiotropium improves lung
function in patients with severe uncontrolled asthma: a randomized controlled
trial. J Allergy Clin Immunol 2011;128:308 –14.
18
44. Bateman ED, Kornmann O, Schmidt P, Pivovarova A, Engel M, Fabbri LM.
Tiotropium is noninferior to salmeterol in maintaining improved lung function in
B16-Arg/Arg patients with asthma. J Allergy Clin Immunol 2011;128:315–22.
45. Westby M, Benson M, Gibson P. Anticholinergic agents for chronic asthma in
adults. Cochrane Database Syst Rev 2004;(3):CD003269.
46. Braun SR, Levy SF. Comparison of ipratropium bromide and albuterol in chronic
obstructive pulmonary disease: a three-center study. Am J Med 1991;91: 28S–
32S.
47. Niewoehner DE, Rice K, Cote C, et al. Prevention of exacerbations of chronic
obstructive pulmonary disease with tiotropium, a once-daily inhaled
anticholinergic bronchodilator: a randomized trial. Ann Intern Med
2005;143:317–26.
48. Donohue JF, van Noord JA, Bateman ED, et al. A 6-month, placebo-controlled
study comparing lung function and health status changes in COPD patients
treated with tiotropium or salmeterol. Chest 2002; 122:47–55.
49. In chronic obstructive pulmonary disease, a combination of ipratropium and
albuterol is more effective tha either agent alone. An 85-day multicenter trial.
COMBIVENT Inhalation Aerosol Study Group. Chest 1994;105:1411–9.
50. Nichols J. Combination inhaled bronchodilator therapy in the management of
chronic obstructive pulmonary J Am Board Fam Med. 2013;26(4):470-477. ©
2013 American Board of Family Medicine
19