Juliana I Saragih : Pola Penyesuaian Diri Pada Pensiunan...
Transcript of Juliana I Saragih : Pola Penyesuaian Diri Pada Pensiunan...
Juliana I Saragih : Pola Penyesuaian Diri Pada Pensiunan, 2006 USU Repository © 2006
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI …………………………………………………………… i
KATA PENGANTAR …………………………………………………. ii
BAB I PENDAHULUAN …………………………………………. 1
BAB II LANDASAN TEORI
II.A DEFINISI PENYESUAIAN DIRI ……………………. 8
II.A.1 Aspek-aspek Penyesuaian Diri ……………………. 9
II.A.2 Teori-Teori Penyesuaian Diri ……………………... 11
II.B PENYESUAIAN DIRI TEHADAP PENSIUN II.B.1 Tahap-tahap dalam Menghadapi Masa Pensiun ….. 11 II.B.2 Model Penyesuaian terhadap Pensiun ……………. 13 II.B.3 Kondisi yang Mempengaruhi Penyesuaian Diri terhadap Pensiun ……………………...................... 16 BAB III KESIMPULAN …………………………………………… 18
DAFTAR PUSTAKA
Juliana I Saragih : Pola Penyesuaian Diri Pada Pensiunan, 2006 USU Repository © 2006
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan
rahmat dan hidayah-Nya sehingga tulisan ini dapat diselesaikan. Tulisan yang berjudul “Pola
Penyesuaian Diri pada Pensiunan” ini disusun karena penulis tertarik dengan masalah-masalah
yang terjadi pada saat seseorang beranjak ke usia tua dan akhirnya pensiun.
Melalui tulisan ini dapat dilihat bahwa setiap manusia pasti akan menjadi tua. Pada
saat itu, terjadi berbagai perubahan fisik dan psikologis. Kita harus melakukan penyesuaian
terhadap perubahan tersebut, termasuk penyesuaian dalam menghadapi masa pensiun. Dalam
tulisan ini juga dapat dilihat berbagai pola penyesuaian diri yang dilakukan dalam menghadapi
masa pensiun tersebut.
Melalui tulisan ini penulis juga menyampaikan rasa terima kasih kepada Rektor
Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk
mengabdikan ilmu yang dimiliki di lingkungan PS Psikologi FK USU. Ucapan terimakasih
juga disampaikan kepada Dekan FK USU dan juga Ketua PS Psikologi FK USU yang telah
memberikan banyak dukungan dan kemudahan kepda penulis untuk menjalankan tugas. Tidak
lupa rasa terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak Drs. Iskandar Muda dan rekan-rekan
staf pengajar PS PSikologi FK USU yang selalu mendorong penulis agar tulisan ini dapat
diselesaikan.
Penulis menyadari bahwa tulisan ini belum sempurna. Oleh sebab itu penulis
terbuka terhadap kritik dan saran yang kiranya dapat membuat tulisan ini menjadi lebih baik.
Akhir kata semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi semua yang membacanya.
Medan, 5 Agustus 2006
Penulis
Juliana I Saragih : Pola Penyesuaian Diri Pada Pensiunan, 2006 USU Repository © 2006
BAB I
PENDAHULUAN
Kehidupan manusia pasti akan mengalami perkembangan dan perubahan.
Perkembangan sendiri pada dasarnya melibatkan pertumbuhan, yang berarti bertambahnya
usia, menjadi tua dan akhirnya meninggal. Tahapan terakhir dalam rentang kehidupan adalah
usia lanjut. Usia lanjut merupakan periode penutup dalam rentang kehidupan seseorang, yaitu
suatu periode dimana seseorang telah “beranjak jauh” dari periode terdahulu yang
menyenangkan atau beranjak dari waktu yang penuh manfaat (Santrock, 2004).
Menurut Hurlock (1980) tahap terakhir dalam rentang kehidupan sering dibagi
menjadi usia lanjut dini, yang berkisar antara usia enam puluh sampai tujuh puluh, dan usia
lanjut yang mulai pada usia tujuh puluh sampai akhir kehidupan seseorang. Sedangkan
menurut Papalia (1998) usia madya atau paruh baya berkisar antara 40-65 tahun dan usia tua
dimulai setelah 65 tahun.
Sama seperti setiap periode lainnya dalam rentang kehidupan seseorang, usia lanjut
ditandai dengan perubahan fisik dan psikologis. Efek-efek fisik dan psikologis tersebut
menentukan apakah pria atau wanita usia lanjut akan menyesuaikan diri dengan baik atau
tidak.
Sebagian besar tugas perkembangan yang harus dijalankan oleh orang berusia
lanjut lebih banyak berkaitan dengan kehidupan pribadi seseorang dari pada orang lain. Orang
tua diharapkan untuk menyesuaikan diri dengan menurunnya kekuatan dan kesehatan secara
bertahap. Hal ini sering diartikan sebagai perbaikan dan perubahan peran yang pernah
dilakukan di dalam maupun di luar rumah. Mereka juga diharapkan untuk mencari kegiatan
untuk mengganti tugas-tugas terdahulu yang menghabiskan sebagian besar waktu mereka saat
masih muda dulu (Hurlock, 1980). Selain itu mereka juga harus menyesuaikan diri terhadap
menurunnya fungsi indra seperti daya penglihatan, pendengaran, perasa, penciuman dan
sentuhan (Santrock, 2004).
Salah satu tugas perkembangan yang harus dihadapi oleh orang-orang yang akan
memasuki usia tua adalah mempersiapkan diri menghadapi masa pensiun. Masa ini diawali
oleh peristiwa dimana seseorang harus berhenti dari aktivitas bekerja secara formal yang
disebabkan oleh bertambahnya usia. Kondisi ini menyebabkan adanya pergantian posisi yang
Juliana I Saragih : Pola Penyesuaian Diri Pada Pensiunan, 2006 USU Repository © 2006
diduduki oleh karyawan yang memasuki batas usia pensiun dengan karyawan yang lebih muda
untuk mempertahankan atau meningkatkan produktivitas dari organisasi dimana mereka
bekerja. Peristiwa inilah yang disebut pensiun (Sulistyorini, 2000).
Di Indonesia sendiri, batas usia pensiun bagi pegawai negeri diatur dalam
Peraturan Pemerintah yang berlaku yaitu usia 56 tahun (PP RI No. 32 tahun 1979 dalam
Sulistyorini, 2000). Batas usia tersebut dapat melonggar menjadi 58, 60 atau 65 tahun apabila
seseorang menduduki jabatan tertentu yang telah diatur dalam PP tersebut. Batas usia pensiun
56 tahun dimaksudkan pemerintah untuk memberi kesempatan bagi tenaga-tenaga muda untuk
menempati kedudukan-kedudukan yang lebih bertanggung jawab (Djatmiko & Marsono, 1975
dalam Sulistyorini, 2000). Bagi pegawai negeri yang berstatus guru, usia pensiun adalah 60
tahun sedangkan untuk dosen adalah 65 tahun. Bagi anggota ABRI, batas usia untuk pensiun
adalah 48 tahun untuk golongan Tamtama dan Bintara, sementara untuk golongan Perwira
adalah 56 tahun (Sulistyorini, 2000).
Seseorang memutuskan untuk pensiun berdasarkan beberapa alasan, seperti
bertambahnya usia, kebijakan perusahaan, atau keinginan sendiri. Menurut Price (2002),
keputusan untuk pensiun didasarkan oleh beberapa hal, antara lain:
1.Keamanan finansial
Evaluasi mengenai keadaan keuangan seringkali menjadi faktor pertama yang
diperhatikan ketika mengambil keputusan untuk pensiun. Beberapa orang
memilih untuk pensiun bila dana pensiunnya telah tersedia, sedangkan yang lain
memilih untuk terus bekerja karena merasa tidak mampu untuk pensiun.
2.Kondisi kesehatan
Menderita suatu penyakit secara signifikan mempengaruhi keputusan seseorang
untuk pensiun. Individu yang sehat mungkin memutuskan untuk pensiun supaya
dapat menyalurkan hobi atau melakukan hal-hal yang belum pernah dilakukan
sebelumnya sebelum terganggu oleh masalah kesehatan.
Juliana I Saragih : Pola Penyesuaian Diri Pada Pensiunan, 2006 USU Repository © 2006
3.Tanggung jawab keluarga
Keputusan untuk pensiun didasari oleh kebutuhan anggota keluarga, misalnya
cucu atau orang tua yang memerlukan perawatan. Berdasarkan alasan ini yang
lebih memungkinkan untuk pensiun adalah wanita.
4.Waktu pensiun pasangan
Pensiun pada masa ini lebih menjadi pengalaman bersama daripada masa dulu
karena lebih banyak wanita yang bekerja di luar rumah. Wanita lebih mungkin
memutuskan untuk pensiun sejalan dengan pensiun suaminya.
Schwartz (dalam Hurlock, 1980) berpendapat bahwa pensiun merupakan akhir pola
hidup atau masa transisi ke pola hidup yang baru. Pensiun selalu menyangkut perubahan
peran, perubahan keinginan, nilai, dan perubahan secara keseluruhan terhadap pola hidup
setiap individu. Apa yang dilakukan seseorang dalam hidupnya merupakan hal yang penting
bagi identitas mereka, apabila mereka kehilangan pekerjaan, maka aspek kehidupan tersebut
akan menimbulkan masalah, dimana seseorang melabel dirinya dengan hal selain istilah
pensiun (Kail & Cavanaugh, 1999). Studi-studi tentang pensiun memperlihatkan bahwa
pensiun dapat menimbulkan dampak yang baik pada sebagian individu, dan juga dampak yang
buruk bagi yang lainnya (Sulistyorini, 2000).
Pensiun dapat berupa sukarela atau kewajiban yang terjadi secara reguler atau lebih
awal. Beberapa pekerja menjalani pensiun secara sukarela sebelum tiba masa pensiun wajib
bagi mereka. Hal ini biasanya disebabkan karena masalah kesehatan atau keinginan untuk
menghabiskan sisa hidupnya dengan melakukan hal-hal yang lebih berarti daripada
pekerjaannya. Bagi yang lain, pensiun dilakukan karena terpaksa atau wajib, karena organisasi
dimana mereka bekerja menetapkan batasan usia untuk pensiun, tanpa mempertimbagkan
apakah karyawannya senang atau tidak. Bagi mereka yang lebih suka bekerja tapi terpaksa
pensiun sering menunjukkan kebencian dan akibatnya motivasi untuk melakukan penyesuaian
diri terhadap pensiun sangat rendah (Hurlock, 1980).
Sikap seseorang terhadap pensiun mempunyai pengaruh besar terhadap
penyesuaian. Sikap ini bervariasi dari sikap yang senang karena merasa akan bebas dari tugas
Juliana I Saragih : Pola Penyesuaian Diri Pada Pensiunan, 2006 USU Repository © 2006
dan tanggung jawab sampai pada sikap yang gelisah karena memikirkan sesuatu yang akan
dilepaskan, padahal sesuatu itu sangat berarti, yaitu pekerjaan (Hurlock, 1980).
Individu yang penyesuaian dirinya baik dalam menghadapi masa pensiun memiliki
kesehatan yang baik, posisi keuangan yang baik, aktif di lingkungan sosial, tingkat pendidikan
lebih baik, hubungan sosial dengan teman-teman dan keluarga baik, dan sangat puas dengan
masa pensiunnya. (Gall, Evans & Howard, 1997; Moen & Quick, 1998; Palmore & Others,
1985). Sedangkan individu yang pendapatannya rendah dan kesehatannya buruk serta harus
menyesuaikan diri pada masalah-masalah lain yang dapat memunculkan stress, misalnya
kematian pasangan, akan lebih sulit menyesuaikan diri (Zarit & Knight, dalam Santrock
2004).
Individu yang memandang rencana pensiun hanya pada masalah keuangan tidak
akan beradaptasi sebaik individu yang memiliki rencana pensiun yang seimbang (Birren,
1996). Sebaiknya orang yang memasuki masa pensiun tidak hanya merencanakan masalah
keuangan, tapi masalah-masalah lainnya yang berkaitan dengan semua aspek kehidupannya.
Misalnya apa yang akan dilakukan untuk mengisi waktu luang untuk tetap aktif dan untuk
bersosialisasi (Choi, dalam Santrock 2004). Individu yang pensiun karena terpaksa biasanya
lebih mudah sakit, depresi dan penyesuaian dirinya buruk daripada individu yang pensiun
secara sukarela (Swan, 1996).
Beberapa pensiunan merasakan pengalaman pensiun yang menyenangkan,
sementara yang lain tidak. Pada umumnya, pensiunan yang menikah cenderung lebih bahagia
dalam masa pensiunannya daripada individu yang tidak menikah. Mereka memiliki sikap
terhadap pensiun yang lebih positif, kepuasan akan pensiun yang lebih besar dan beradaptasi
dengan lebih baik terhadap perubahan situasi tersebut (Danko, 2000).
Bagi keluarga, pensiun membawa pengaruh baik positif maupun negatif. Lepasnya
seseorang dari tuntutan pekerjaan dan membesarkan anak membuat pasangan suami istri
memiliki waktu lebih banyak untuk diri mereka sendiri dan juga bagi anak cucunya dalam
aktivitas waktu senggang seperti rekreasi, jalan-jalan, melakukan hobi dan acara sosial.
Pasangan suami istri lanjut usia kebanyakan menggantungkan diri pada anaknya dalam hal
nasehat, dukungan emosional maupun dalam keadaan darurat. Semakin tua seseorang maka
semakin tergantung mereka terhadap anak-anaknya (Cockerham, 1997).
Juliana I Saragih : Pola Penyesuaian Diri Pada Pensiunan, 2006 USU Repository © 2006
Apabila dalam sebuah keluarga dimana masih terdapat anak yang dibiayai, maka
hal ini akan menghambat proses penyesuaian diri seseorang. Hal ini bisa terjadi karena adanya
tren penundaan perkawinan. Dengan tertundanya perkawinan, maka tertunda pulalah kelahiran
anak, sehingga saat seseorang mencapai usia pensiun, masih ada anggota keluarga yang
menjadi tanggungan. Hal ini akan mempengaruhi keadaan keluarga terutama kondisi
keuangan. Akibatnya adalah seseorang tidak bisa pensiun begitu saja dari pekerjaan (padahal
sudah seharusnya pensiun), karena kewajiban finasial atas anaknya tersebut. Akibat lain, jika
ia pensiun maka akan mengalami kesulitan keuangan karena masih ada anaknya yang harus
dibiayai.
Pengaruh keluarga terhadap keputusan untuk pensiun sangat menentukan. Ketika
seseorang memasuki masa pensiun, beberapa hal akan berubah. Tidak ada lagi uang yang
dibawa pulang suami. Tidak ada lagi penghargaan pada suami akan statusnya sebagai pencari
nafkah, dan berubahnya hak dan kewajiban setelah pensiun (Price, 2003).
Hal-hal yang mempengaruhi dalam keluarga dalam masa pensiun meliputi
pembagian tugas rumah tangga, kualitas perkawinan, equity, pengambilan keputusan dan
kekuasaan, serta hubungan dengan keluarga. Walaupun telah memasuki masa pensiun, tetap
saja istri yang melakukan pekerjaan rumah tangga, padahal istri mengharapkan pembagian
yang merata dalam pekerjaan rumah tangga (Danko, 2000). Beberapa orang memang
membantu urusan rumah tangga, tapi pemilihan didasarkan peran tradisional seperti
membersihkan halaman dan memperbaiki rumah (Danko, 2000).
Pengambilan keputusan dan kekuasaan dalam rumah tangga juga akan terpengaruh
dengan pensiunnya si suami, terutama apabila suami merupakan satu-satunya sumber nafkah
keluarga. Pria yang memandang sumber ekonomi sebagai sumber kekuasaan dalam
perkawinan merasakan adanya kekuasaan yang berkurang setelah pensiun. Apabila sang suami
ikut membantu pekerjaan rumah tangga yang biasanya dilakukan oleh istrinya, dia akan
merasa kehilangan kekuasaan karena melakukan apa yang disuruh oleh istrinya (Danko,
2000).
Pada dasarnya pensiun merupakan masa transisi, karena seseorang yang memasuki
tahap pensiun sedang melangkah dari satu tahap perkembangan dewasa menengah ke tahap
perkembangan dewasa akhir/lanjut usia. Oleh sebab itu kondisi perpindahan tahap
perkembangan ini mengarah kepada transisi peran dimana seseorang yang memiliki identitas
Juliana I Saragih : Pola Penyesuaian Diri Pada Pensiunan, 2006 USU Repository © 2006
sebagai pekerja akan berubah menjadi pensiunan atau tidak bekerja lagi. Transisi ini dapat
mengakibatkan krisis dimana terdapat proses merelakan berbagai hal yang diperoleh dari
peran sebelumnya yang sangat penting artinya bagi kesejahteraan. Individu yang pensiun
tersebut perlu untuk melakukan penyesuaian diri terhadap terjadinya transisi tersebut.
(Ebersole & Hess, 1990 dalam Slistyorini, 2000).
Menurut Schneider, penyesuaian diri merupakan kemampuan untuk mengatasi
tekanan kebutuhan, frustasi dan kemampuan untuk mengembangkan mekanisme psikologis
yang tepat (Partosuwido, 1993). Hambatan dalam penyesuaian diri dapat dilihat dari tanda-
tanda kecemasan tinggi, rasa rendah diri, depresi, ketergantungan pada orang lain dan tanda-
tanda psikosomatis (Kristiyanti dkk, 2001).
Seseorang dapat menyesuaikan diri dengan datangnya pensiun dengan beberapa
cara. Salah satunya adalah dengan mengembangkan pola-pola perilaku tertentu yang sesuai
dengan keinginan individu itu sendiri. Hornstein & Wapner (1985, dalam Hoyer, 1999)
mengembangkan empat pola penyesuaian diri yang cenderung dijalani yaitu transition to old
age, dimana individu menganggap pensiun sebagai saat santai dan akhir dari beban kerja yang
penuh tekanan, new beginning, dimana individu memandang pensiun sebagai kesempatan
untuk mengembangkan kegiatan-kegiatan yang terpendam dan merasa kembali bervitalitas
dan bersemangat. Pola ketiga adalah continuation, dimana pensiun tidak membawa dampak
personal bagi individu karena hanya merupakan pengurangan intensitas dan pola kerja. Pola
penyesuaian yang terakhir adalah imposed diruption dimana pensiun dipandang sebagai hal
yang negatif karena hilangnya identitas diri yang berharga sehingga individu merasa frustrasi
dan kehilangan.
Juliana I Saragih : Pola Penyesuaian Diri Pada Pensiunan, 2006 USU Repository © 2006
BAB II
LANDASAN TEORI
II. A. DEFINISI PENYESUAIAN DIRI
Penyesuaian dapat diartikan sebagi interaksi individu yang kontinu dengan diri
sendiri, lingkungan dan orang lain (Calhoun & Acocella, 1990 ).
Menurut Schneider (dalam Partosuwido, 1993), penyesuaian diri merupakan
kemampuan untuk mengatasi tekanan kebutuhan, frustasi dan kemampuan untuk
mengembangkan mekanisme psikologis yang tepat. Sedangkan Maslow (dalam Partosuwido,
1993) memandang penyesuaian diri sebagai kemampuan seseorang untuk memenuhi
kebutuhan yang sifatnya hierarkis.
Menurut Corsini (2002) penyesuaian diri merupakan modifikasi dari sikap dan
perilaku dalam menghadapi tuntutan lingkungan secara efektif. Menurut Martin dan Poland
(1980), penyesuaian diri merupakan proses mengatasi permasalahan lingkungan yang
berkesinambungan. Sedangkan menurut kamus psikologi Chaplin (1999), penyesuaian diri
adalah:
1. Variasi dalam kegiatan organisme untuk mengatasi suatu hambatan dan memuaskan
kebutuhan.
2. Menegakkan hubungan yang harmonis dengan lingkungan fisik dan sosial
Davidoff (dalam Kristiyani, 2001) mendefinisikan penyesuaian diri sebagai usaha
untuk mempertemukan tuntutan diri sendiri dengan lingkungan. Menurut Tidjan, penyesuaian
diri merupakan usaha individu untuk mengubah tingkah laku, agar terjadi hubungan yang
lebih baik antara dirinya dengan lingkungan.
Gerungan (1988) mendefinisikan penyesuaian diri secara aktif dan pasif. Secara
aktif maksudnya ketika individu mempengaruhi lingkungan sesuai dengan keinginannya.
Sedangkan secara pasif maksudnya, ketika kegiatan individu dipengaruhi oleh lingkungan.
Juliana I Saragih : Pola Penyesuaian Diri Pada Pensiunan, 2006 USU Repository © 2006
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa penyesuaian diri merupakan
kemampuan individu untuk mengatasi tekanan kebutuhan dan frustasi dengan cara mengubah
tingkah laku ke arah yang lebih baik antar dirinya dengan lingkungan.
II. A. 1. Aspek-aspek Penyesuaian Diri
Pada dasarnya penyesuaian diri memiliki dua aspek (Mu`tadin, 2002), yaitu:
1. Penyesuaian Pribadi
Penyesuaian pribadi merupakan kemampuan individu untuk menerima dirinya
sendiri sehingga tercapai hubungan yang harmonis antar dirinya dengan
lingkungannya. Ia menyadari sepenuhnya siapa dirinya sebenarnya, apa
kelebihan dan kekurangannya, serta mampu bertindak objektif sesuai dengan
kondisi yang dialaminya.
Keberhasilan penyesuaian pribadi ditandai dengan tidak adanya rasa benci, lari
dari kenyatan dan tanggung jawab, dongkol, kecewa, atau tidak percaya pada
kondisi yang dialaminya. Sebaliknya, kegagalan dalam penyesuaian pribadi
ditandai dengan guncangan emosi, kecemasan, ketidakpuasan dan keluhan
terhadap nasib, yang disebabkan adanya kesenjangan antara individu dengan
tuntutan lingkungan. Hal ini menjadi sumber konflik yang terwujud dalam rasa
takut dan kecemasan, sehingga untuk meredakannya, individu perlu melakukan
penyesuaian diri.
2. Penyesuaian Sosial
Setiap individu hidup didalam masyarakat. Di dalam masyarakat terjadi proses
saling mempengaruhi. Dari proses tersebut timbul suatu pola kebudayaan dan
tingkah laku sesuai dengan sejumlah aturan, hukum, adat dan nilai-nilai yang
mereka patuhi demi untuk mencapai penyelesaian bagi persoalan hidup sehari-
hari. Dalam bidang ilmu Psikologi Sosial, proses ini dikenal dengan proses
penyesuaian sosial. Penyesuaian sosial terjadi dalam lingkup hubungan sosial
tempat individu hidup dan berinteraksi dengan orang lain. Hubungan-hubungan
tersebut mencakup hubungan dengan masyarakat di sekitar tempat tinggalnya,
keluarga, sekolah, teman atau masyarakat secara umum. Dalam hal ini individu
Juliana I Saragih : Pola Penyesuaian Diri Pada Pensiunan, 2006 USU Repository © 2006
dan masyarakat sebenarnya sama-sama memberikan dampak bagi komunitas.
Individu menyerap berbagai informasi, budaya dan adat istiadat yang ada,
sementara komunitas diperkaya oleh eksistensi atau karya yang diberikan oleh
individu sendiri.
Apa yang diserap atau dipelajari individu dalam proses interaksi dengan
masyarakat belum cukup untuk menyempurnakan penyesuaian sosial yang
memungkinkan individu untuk mencapai penyesuaian pribadi dan sosial
dengan cukup baik. Proses berikutnya yang harus dilakukan individu dalam
penyesuaian sosial adalah kemauan untuk mematuhi norma-norma dan
peraturan sosial kemasyarakatan. Setiap masyarakat biasanya memiliki aturan
yang tersusun dengan sejumlah ketentuan dan norma atau nilai-nilai tertentu
yang mengatur hubungan individu dengan kelompok. Dalam proses
penyesuaian sosial, individu mulai berkenalan dengan kaidah-kaidah dan
peraturan-peraturan tersebut lalu mematuhinya sehingga menjadi bagian dari
pembentukan jiwa sosial pada dirinya dan menjadi pola tingkah laku kelompok.
Hal ini merupakan proses pertumbuhan kemampuan individu dalam rangka
penyesuaian sosial untuk bertahan dan mengendalikan diri. Berkembangnya
kemampuan sosial ini berfungsi sebagai pengawas yang mengatur kehidupan
sosial. Mungkin inilah yang oleh Freud disebut sebagai super ego, yang
berfungsi untuk mengendalikan kehidupan individu dari sisi penerimaan
terhadap pola perilaku yang diterima dan disukai masyarakat, serta menolak
hal-hal yang tidak diterima oleh masyarakat.
II. A. 2. Teori-teori Penyesuaian Diri
Ada dua teori umum yang mengemukakan bagaimana individu menyesuaikan diri
dengan lingkungannya (Hurlock, 1980), yaitu:
1. Teori aktivitas
Menurut teori ini, baik pria maupun wanita seharusnya tetap mempertahankan
berbagai sikap dan kegiatan mereka semasa usia madya selama mungkin dan
kemudian mencari kegiatan pengganti untuk menggantikan kegiatan yang harus
mereka tinggalkan apabila mereka pensiun
Juliana I Saragih : Pola Penyesuaian Diri Pada Pensiunan, 2006 USU Repository © 2006
2. Teori Disengagement (pelepasan)
Pria dan wanita secara sukarela atau tidak membatasi keterlibatan mereka
dalam berbagai kegiatan. Mereka membentuk hubungan langsung dengan
orang lain, tanpa terpengaruh dengan pendapat orang lain
Penelitian menunjukkan bahwa individu yang melakukan penyesuaian diri yang
baik mempunyai sifat-sifat yang ada pada teori aktivitas, sebaliknya individu yang melakukan
penyesuaian diri yang buruk memiliki karakteristik yang berhubungan dengan teori
disengagement.
II. B. PENYESUAIAN DIRI TERHADAP PENSIUN
Menurut Salim & Salim (2002), pensiun merupakan keadaan sudah tidak bekerja
lagi karena dianggap sudah tua dan akan mendapat uang pensiun. Orang yang telah pensiun
dan menerima uang pensiun disebut sebagai pensiunan.
Pensiun merupakan masa penyesuaian yang mengakibatkan pergantian peran,
perubahan dalam interaksi sosial dan terbatasnya sumber finansial. Pria yang merasa pekerjaan
sebagai hidup dan identias mereka akan merasa kehilangan saat pensiun tiba (Danko, 2000)
II. B. 1. Tahap-tahap dalam Menghadapi Masa Pensiun
Menurut Atchley (1983, dalam Hoyer,1999), ada tujuh tahap dalam menghadapi
masa pensiun, yaitu:
1. Remote Phase
Individu belum mempersiapkan apapun untuk pensiun. Semakin mendekati
usia pensiun, mereka cenderung mengingkari tiba saatnya untuk pensiun.
2. Near Phase
Individu ikut berpartisipasi dalam program prapensiun. Program ini akan
membantu individu untuk memutuskan kapan harus pensiun dengan
mengetahui keuntungan dan uang pensiun yang akan mereka peroleh.
3. Honeymoon Phase
Pada fase ini, individu bisa melakukan banyak hal yang dulunya tidak pernah
atau tidak sempat dilakukan dan memperoleh kesenangan dari waktu senggang.
Juliana I Saragih : Pola Penyesuaian Diri Pada Pensiunan, 2006 USU Repository © 2006
Bagi individu yang pensiun secara terpaksa, sedikit kemungkinan mengalami
aspek positif dari fase ini.
4. Disenchanment Phase
Individu mengalami perasaan kehilangan kekuasaan, prestise, status maupun
pendapatan. Ini berlangsung beberapa bulan sampai bertahun-tahun, dan dapat
mengarah ke depresi. Perasaan kehilangan ini diperkuat dengan tidak sesuainya
harapan akan kehidupan setelah pensiun dengan kenyataan yang ada. Individu
yang hidupnya hanya berputar di pekerjaan mengalami penyesuaian diri yang
lebih berat daripada yang mempunyai keterlibatan sosial sebelum pensiun.
5. Reprientation Phase
Individu melakukan re-evaluasi mengenai keputusan pensiun dan memutuskan
tipe gaya hidup apa yang akan membawa mereka pada kepuasan selama
pensiun. Beberapa orang memutuskan untuk kembali bekerja, sementara yang
lain menerima keputusan untuk pensiun.
6. Stability Phase
Pada fase ini, keputusan yang diambil pada fase sebelumnya akan dijalani.
Individu tidak terlalu sering memikirkan mengenai masa-masa pensiun dan
beradaptasi pada fase ini dengan baik.
7. Termination Phase
Pada fase ini individu menjadi tergantung pada orang lain akan perawatan dan
hidupnya sesudah mendekati akhir kehidupan.
Keseluruhan fase ini dialami oleh semua pensiunan, walaupun dalam tingkatan dan
urutan yang berbeda (Danko, 2000).
Juliana I Saragih : Pola Penyesuaian Diri Pada Pensiunan, 2006 USU Repository © 2006
II. B. 2. Model Penyesuaian Terhadap Pensiun
Hornstein dan Wapner (Hoyer, 1999) mengemukakan empat model penyesuaian
terhadap pensiun, yaitu:
1. Transition to Old Age/ Rest
Individu dengan tipe ini menganggap pensiun sebagai masa santai, dan
merupakan akhir pra kerja yang penuh tekanan dan dimulainya gaya hidup
yang menyenangkan dan santai ketika mereka memasuki usia tua
2. The New Beginning
Individu memandang pensiun sebagai kesempatan yang menyenangkan,
peluang untuk hidup sesuai dengan keinginan dan mempunyai kebebasan
menghabiskan waktu dan energi untuk diri sendiri. Pensiun ditandai dengan
perasaan baru, kembali bervitalitas, antusias dan energi yang bertambah.
Individu memandang masa depan dengan positif sebagai saat untuk meraih
kendali atas tujuan dan kesenangan (hobi dan minat) jangka panjang. Bagi
individu tipe ini, pensiun merupakan awal yang baru dan tidak terkait sama
sekali dengan proses menuju tua.
3. Continuation
Pensiun tidak membawa dampak personal yang penting bagi individu.
Walaupun telah pensiun, individu ini mampu untuk kembali bekerja. Mereka
berganti karir dan mencurahkan lebih banyak waktu untuk keterampilan, hobi
dan minat khusus. Pekerjaan tetap merupakan sentral pengaturan kehidupan
mereka. Pra pensiun dan pensiun dibedakan bukan dari aktivitas melainkan
pengurangan langkah dan intensitas peran kerja.
4. Imposed Diruption
Individu memandang pensiun sebagai hal yang negatif (hilangnya pekerjaan,
tidak bisa lagi mencapai prestasi). Pekerjaan merupakan identitas yang sangat
penting. Tanpa pekerjaan, bagian penting dari identitas diri itu juga ikut hilang.
Walaupun dalam masa pensiun tersebut individu melakukan aktivitas-aktivitas
Juliana I Saragih : Pola Penyesuaian Diri Pada Pensiunan, 2006 USU Repository © 2006
lain, tetap saja timbul perasaan frustrasi dan kehilangan. Bagi individu, tidak
ada yang bisa menggantikan pekerjaan dan akhirnya tidak bisa menerima
pensiun dengan baik.
Reichard, Livson dan Peterson (dalam Belsky, 1990) mengidentifikasikan lima tipe
kepribadian pria dalam menyesuaikan diri dengan pensiun, tiga di antaranya merupakan
penyesuaian yang baik sedangkan dua lainnya adalah penyesuaian yang buruk.
1. The Mature Man
Individu tipe ini memandang dunia dan kehidupannya secara realistik dan tidak
merasa marah karena menjadi tua. Sikap matang individu terhadap kehidupan
menjadikan kehidupan pensiunnya menjadi bahagia.
2. The Rocking Chair Man
Individu tipe ini tidak menyukai tanggungjawab, lebih suka di belakang layar.
Karena pensiun memperbolehkannya untuk memuaskan kebutuhan ini, individu
merasa bahagia dengan status pensiunnya.
3. The armored Man
Individu tipe ini harus selalu sibuk. Gagasan untuk memikirkan perasaannya
membuatnya cemas. Individu ini menyukai pensiun dan menggabungkan
aktivitas senggangnya dengan aktivitas lain.
4. The Angry Man
Individu ini merasa pensiun dirinya adalah sebuah kesalahan dan menyalahkan
dunia untuk hal tersebut.
5. The Self Hating Man
Individu tipe ini juga merasa marah akan hilangnya kehidupannya, tetapi
menginternalisasikan kemarahan ini dengan menyalahkan diri sendiri.
Sementara itu J.R Kelly (dalam Papalia, 1998) mengemukakan gaya hidup setelah
pensiun yang umum dijalani.
Juliana I Saragih : Pola Penyesuaian Diri Pada Pensiunan, 2006 USU Repository © 2006
1. Family Focused Lifestyle
Gaya hidup ini terdiri dari aktivitas terjangkau dan berbiaya murah yang
berkisar di keluarga, rumah dan teman-teman. Aktivitas ini berbentuk
percakapan, menonton televisi, mengunjungi teman dan keluarga, hiburan
informal, pergi ke restoran murah, bermain kartu atau melakukan hal-hal yang
terlintas di pikiran. Gaya hidup ini banyak ditemui pada kelompok pensiunan
pekerja pabrik.
2. Balanced Investment
Gaya ini biasa ditemui pada individu yang lebih berpendidikan, yang
mengalokasikan waktunya secara seimbang antara keluarga, pekerjaan, dan
hiburan.
3. Serious Leisure
Gaya ini didominasi oleh aktivitas yang menuntut keterampilan, perhatian dan
komitmen. Pensiunan yang mengikatkan diri pada aktivitas ini cenderung
sangat puas dengan kehidupannya.
Sebuah teori yang dikembangkan oleh Ekerdt (dalam Hoyer, 1999) mengemukakan
bahwa semasa pensiun individu harus menyalurkan etika kerja menjadi aktivitas yang
produktif dan berguna. Dengan menyibukkan diri, pensiunan tetap produktif. Hal ini juga
dapat menjauhkan individu dari efek penuaan. Individu yang menggunakan waktu pensiun
dengan melakukan aktivitas lain mampu menciptakan jaringan persahabatan yang lebih besar.
II. B. 3. Kondisi yang Mempengaruhi Penyesuaian Diri Terhadap Pensiun
Ada beberapa kondisi yang mempengaruhi penyesuaian diri terhadap pensiun
(Papalia, 1998):
1. Para pekerja yang pensiun secara sukarela akan menyesuaikan diri lebih baik
dibandingkan mereka yang pensiun terpaksa.
2. Kesehatan yang memburuk mempermudah penyesuaian diri dalam menjalani
masa pensiun
Juliana I Saragih : Pola Penyesuaian Diri Pada Pensiunan, 2006 USU Repository © 2006
3. Banyak pekerja yang merasa bahwa berhenti bekerja secara bertahap lebih baik
efeknya dibandingkan yang tiba-tiba berhenti bekerja.
4. Bimbingan dan perencanaan pra pensiun akan membantu penyesuaian diri
5. Pekerja yang mengembangkan minat tertentu untuk menggantikan rutinitasnya
mempermudah penyesuaian diri ketika pensiun
6. Semakin sedikit perubahan yang harus dilakukan selama masa pensiun semakin
baik penyesuaian diri yang dilakukan
7. Kontak sosial, sebagaimana ditemukan dalam rumah-rumah jompo, sebenarnya
membantu mereka dalam penyesuaian diri terhadap masa pensiun.
8. Status ekonomi yang baik yang memungkinkan seseorang untuk hidup dengan
nyaman dan dapat menikmati hal yang menyenangkan sangat penting untuk
mempermudah penyesuaian diri
9. Status perkawinan yang bahagia sangat membantu penyesuaian diri, sedangkan
perkawinan yang banyak diwarnai percekcokan cenderung menghambat
penyesuaian diri.
10. Semakin pekerja menyukai pekerjaan mereka semakin sulit proses penyesuaian
diri dilakukan. Terdapat hubungan yang bertolak belakang antara kepuasan
kerja dan kepuasan pensiun.
11. Tempat tinggal seseorang mempengaruhi penyesuaian terhadap masa pensiun.
Semakin besar masyarakat menawarkan berbagai kekompakan dan berbagai
kegiatan bagi orang usia lanjut, semakin mudah orang menyesuaikan diri
dengan masa pensiunnya.
12. Sikap anggota keluarga terhadap pensiun mempunyai pengaruh yang amat
besar terhadap sikap pekerja, terutama sikap terhadap pasangan hidupnya.
Juliana I Saragih : Pola Penyesuaian Diri Pada Pensiunan, 2006 USU Repository © 2006
BAB III
KESIMPULAN
Kehidupan manusia pasti akan mengalami perkembangan dan perubahan. yang
melibatkan pertumbuhan, bertambahnya usia, menjadi tua dan akhirnya meninggal. Tahapan
terakhir dalam rentang kehidupan adalah usia lanjut yang merupakan periode penutup dalam
rentang kehidupan seseorang, yaitu suatu periode dimana seseorang telah “beranjak jauh” dari
periode terdahulu yang menyenangkan atau beranjak dari waktu yang penuh manfaat
(Santrock, 2004).
Salah satu tugas perkembangan yang harus dihadapi oleh orang-orang yang akan
memasuki usia tua adalah mempersiapkan diri menghadapi masa pensiun. Masa ini diawali
oleh peristiwa dimana seseorang harus berhenti dari aktivitas bekerja secara formal yang
disebabkan oleh bertambahnya usia. Kondisi ini menyebabkan adanya pergantian posisi yang
diduduki oleh karyawan yang memasuki batas usia pensiun dengan karyawan yang lebih muda
untuk mempertahankan atau meningkatkan produktivitas dari organisasi dimana mereka
bekerja (Sulistyorini, 2000).
Schwartz (dalam Hurlock, 1980) berpendapat bahwa pensiun merupakan akhir pola
hidup atau masa transisi ke pola hidup yang baru. Pensiun selalu menyangkut perubahan
peran, perubahan keinginan, nilai, dan perubahan secara keseluruhan terhadap pola hidup
setiap individu. Apa yang dilakukan seseorang dalam hidupnya merupakan hal yang penting
bagi identitas mereka, apabila mereka kehilangan pekerjaan, maka aspek kehidupan tersebut
akan menimbulkan masalah, dimana seseorang melabel dirinya dengan hal selain istilah
pensiun (Kail & Cavanaugh, 1999). Studi-studi tentang pensiun memperlihatkan bahwa
pensiun dapat menimbulkan dampak yang baik pada sebagian individu, dan juga dampak yang
buruk bagi yang lainnya (Sulistyorini, 2000).
Transisi ini dapat mengakibatkan krisis dimana terdapat proses merelakan berbagai
hal yang diperoleh dari peran sebelumnya yang sangat penting artinya bagi kesejahteraan.
Individu yang pensiun tersebut perlu untuk melakukan penyesuaian diri terhadap terjadinya
transisi tersebut. (Ebersole & Hess, 1990 dalam Sulistyorini, 2000).
Juliana I Saragih : Pola Penyesuaian Diri Pada Pensiunan, 2006 USU Repository © 2006
Menurut Schneider, penyesuaian diri merupakan kemampuan untuk mengatasi
tekanan kebutuhan, frustasi dan kemampuan untuk mengembangkan mekanisme psikologis
yang tepat (Partosuwido, 1993). Hambatan dalam penyesuaian diri dapat dilihat dari tanda-
tanda kecemasan tinggi, rasa rendah diri, depresi, ketergantungan pada orang lain dan tanda-
tanda psikosomatis (Kristiyanti dkk, 2001).
Seseorang dapat menyesuaikan diri dengan datangnya pensiun dengan beberapa
cara. Salah satunya adalah dengan mengembangkan pola-pola perilaku tertentu yang sesuai
dengan keinginan individu itu sendiri. Hornstein & Wapner (dalam Hoyer, 1999)
mengembangkan empat pola penyesuaian diri yang cenderung dijalani yaitu transition to old
age, dimana individu menganggap pensiun sebagai saat santai dan akhir dari beban kerja yang
penuh tekanan, new beginning, dimana individu memandang pensiun sebagai kesempatan
untuk mengembangkan kegiatan-kegiatan yang terpendam dan merasa kembali bervitalitas
dan bersemangat. Pola ketiga adalah continuation, dimana pensiun tidak membawa dampak
personal bagi individu karena hanya merupakan pengurangan intensitas dan pola kerja. Pola
penyesuaian yang terakhir adalah imposed diruption dimana pensiun dipandang sebagai hal
yang negatif karena hilangnya identitas diri yang berharga sehingga individu merasa frustrasi
dan kehilangan.
Juliana I Saragih : Pola Penyesuaian Diri Pada Pensiunan, 2006 USU Repository © 2006
DAFTAR PUSTAKA Belsky, Janet K. (2000). The Psychology of Aging: Theory, Research and Intervention.
California: Brooks/Cole Publishing Company Calhoun, J.F., & Acocella, J.R. (1990). Psikologi tentang Penyesuaian dan Hubungan
Kemanusiaan. Edisi ke-3. Semarang: IKIP Semarang Press Chaplin, J.P. (1999). Kamus Lengkap Psikologi. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada Corsini, Ray. (2002). The Dictionary of Psychology. London: Brunner-Routledge Danko, J.M. Effects of Retirement on Family Relationship and Health.
http://userpage.umbc.edu/~jdanko1/retbody.htm Hoyer, William J., Rybash Jhon M., & Roodin, Paul A. (1999). Adult Development and Aging.
New York: McGraw-Hill Companies Hurlock, E. (1980). Psikologi Perkembangan, Suatu Pendekatan sepanjang Rentang
Kehidupan. Jakarta: Erlangga Kail, R.V., & Cavanaugh, J.C. (1999). Human Development A Life Span View. Stamford:
Thom Son Learning, Inc Kristiyani, Veronica, M.sih, Setija Utami & Sumijati, Sri. (2001). Penyesuaian Diri Pembantu
rumah Tangga Wanita Ditinjau dari Persepsi terhadap Efektifitas Komunikasi dengan Majikan dan Rasa Aman. Psikodimensia Kajian Ilmiah Psikologi. Vol 1 No 2, 96-103
Martin, Robert A., & Poland, Elizabeth Y. (1980). Learning to Change: a Self Management
Approach to Adjusment. New York: McGraw-Hill Companies Mu’tadin, Z., S.Psi, M.Si. (2002). Penyesuaian Diri Remaja. http://www.e-
psikologi.com/remaja.htm Papalia, D.E., Olds, S.W., & Feldman, R.D. (1998). Human Development. New York:
McGraw-Hill Companies Partosuwido, Sri.R. (1993). Penyesuaian diri Mahasiswa dalam Kaitannya dengan Konsep
Diri, Pusat Kendali dan Status Perguruan Tinggi. Jurnal Psikologi Sosial 1, 32-47 Price, C.A. Facts About Retirement. http://ohioline.osu.edu/ss-fact/0200.htmlSalim, Peter, Drs. M.A., & Salim, Y. Bsc. (2002). Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer.
Jakarta: Modern English Press Santrock, John. W. (2000). Life-Span Development. Seventh Edition. New York: McGraw-
Hill Companies
Juliana I Saragih : Pola Penyesuaian Diri Pada Pensiunan, 2006 USU Repository © 2006