JEB Vol 3 No 1 Maret 2009

download JEB Vol 3 No 1 Maret 2009

of 90

Transcript of JEB Vol 3 No 1 Maret 2009

VOL. 3, NO. 1, MARET 2009

VOL. 3, NO. 1, MARET 2009: 1-80

PENGARUH PERSEPSI KUALITAS LAYANAN DAN KEPUASAN PELANGGAN PADA NIAT PEMBELIAN ULANG KONSUMEN Dessy Puspita Sari MANFAAT EKONOMI KONSERVASI BARANG PUSAKA KEBUDAYAAN: KASUS GEDUNG PENINGGALAN DE JAVASCHE BANK YOGYAKARTA Amiluhur Soeroso SUMBERDAYA MANUSIA (SDM) PEMBELAJAR: MENGGAPAI KINERJA DAN DAYA SAING ORGANISASI YANG LEBIH TINGGI N.H. Setiadi Wijaya PENGARUH BLOK-BLOK PERDAGANGAN BEBAS REGIONAL TERHADAP PERDAGANGAN BILATERAL INDONESIA: MENGGUNAKAN MODEL GRAVITASI, TAHUN 2003-2007 Sarwoko PERAN RASIO KEUANGAN DALAM MEMPREDIKSI LABA DI MASA DEPAN Fany Arista Baldric Siregar ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEPEMILIKAN, PENGGUNAAN, PEMBAYARAN, DAN PELUANG TERJADINYA GAGAL BAYAR DALAM BISNIS KARTU KREDIT Jusup Agus Sayono Ujang Sumarwan Noer Azam Achsani Hartoyo

VOL. 3

NO. 1

Hal 1-80

Maret 2009

ISSN: 1978-3116 Vol. 3, No. 1, Maret 2009

JURNA LEKONOMI & BISNIS

Tahun 2007

JURNAL EKONOMI & BISNIS (JEB)EDITOR IN CHIEF Prof. Dr. Djoko Susanto, MSA., Akuntan STIE YKPN Yogyakarta EDITORIAL BOARD MEMBERS Dr. Baldric Siregar, MBA., Akuntan STIE YKPN Yogyakarta Dr. Dody Hapsoro, MSPA., MBA., Akuntan STIE YKPN Yogyakarta MANAGING EDITORS Dra. Sinta Sudarini, MS., Akuntan STIE YKPN Yogyakarta EDITORIAL SECRETARY Drs. Rudy Badrudin, M.Si. STIE YKPN Yogyakarta PUBLISHER Pusat Penelitian dan Pengabdian Masyarakat STIE YKPN Yogyakarta Jalan Seturan Yogyakarta 55281 Telpon (0274) 486160, 486321 ext. 1100 Fax. (0274) 486155 EDITORIAL ADDRESS Jalan Seturan Yogyakarta 55281 Telpon (0274) 486160, 486321 ext. 1332 Fax. (0274) 486155 http://www.stieykpn.ac.id e-mail: [email protected] Bank Mandiri atas nama STIE YKPN Yogyakarta No. Rekening 137 0095042814 Dr. Soeratno, M.Ec. Universitas Gadjah Mada Dr. Wisnu Prajogo, SE., MBA. STIE YKPN Yogyakarta

Jurnal Ekonomi & Bisnis (JEB) terbit sejak tahun 2007. JEB merupakan jurnal ilmiah yang diterbitkan oleh Pusat Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Yayasan Keluarga Pahlawan Negara (STIE YKPN) Yogyakarta. Penerbitan JEB dimaksudkan sebagai media penuangan karya ilmiah baik berupa kajian ilmiah maupun hasil penelitian di bidang ekonomi dan bisnis. Setiap naskah yang dikirimkan ke JEB akan ditelaah oleh MITRA BESTARI yang bidangnya sesuai. Daftar nama MITRA BESTARI akan dicantumkan pada nomor paling akhir dari setiap volume. Penulis akan menerima lima eksemplar cetak lepas (off print) setelah terbit. JEB diterbitkan setahun tiga kali, yaitu pada bulan Maret, Juli, dan Nopember. Harga langganan JEB Rp7.500,- ditambah biaya kirim Rp12.500,- per eksemplar. Berlangganan minimal 1 tahun (volume) atau untuk 3 kali terbitan. Kami memberikan kemudahan bagi para pembaca dalam mengarsip karya ilmiah dalam bentuk electronic file artikel-artikel yang dimuat pada JEB dengan cara mengakses artikel-artikel tersebut di website STIE YKPN Yogyakarta (http://www.stieykpn.ac.id).

ISSN: 1978-3116 Vol. 3, No. 1, Maret 2009

JURNA LEKONOMI & BISNIS

Tahun 2007

DAFTAR ISI

PENGARUH PERSEPSI KUALITAS LAYANAN DAN KEPUASAN PELANGGAN PADANIAT PEMBELIAN ULANG KONSUMEN Dessy Puspita Sari 1-10 MANFAAT EKONOMI KONSERVASI BARANG PUSAKA KEBUDAYAAN: KASUS GEDUNG PENINGGALAN DE JAVASCHE BANK YOGYAKARTA Amiluhur Soeroso 11-19 SUMBERDAYA MANUSIA(SDM) PEMBELAJAR: MENGGAPAI KINERJADAN DAYA SAING ORGANISASI YANG LEBIH TINGGI N.H. Setiadi Wijaya 21-30 PENGARUH BLOK-BLOK PERDAGANGAN BEBAS REGIONALTERHADAPPERDAGANGAN BILATERAL INDONESIA: MENGGUNAKAN MODEL GRAVITASI, TAHUN 2003-2007 Sarwoko 31-39 PERAN RASIO KEUANGAN DALAM MEMPREDIKSI LABADI MASADEPAN Fany Arista Baldric Siregar 41-60 ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEPEMILIKAN, PENGGUNAAN, PEMBAYARAN, DAN PELUANG TERJADINYA GAGAL BAYAR DALAM BISNIS KARTU KREDIT Jusup Agus Sayono Ujang Sumarwan Noer Azam Achsani Hartoyo 61-80

ISSN: 1978-3116PENGARUH PERSEPSI KUALITAS LAYANAN DAN ............... (Dessy Puspita Sari)

Vol. 3, No. 1, Maret 2009 Hal. 1-10

JURNA LEKONOMI & BISNIS

Tahun 2007

PENGARUH PERSEPSI KUALITAS LAYANAN DAN KEPUASAN PELANGGAN PADA NIAT PEMBELIAN ULANG KONSUMENDessy Puspita SariMagister Manajemen STIE YKPN Yogyakarta Jalan Seturan, Yogyakarta 55281 Telepon +62 274 486160, 486321, Fax. +62 274 486155 E-mail: [email protected]

ABSTRACT The aim of this research is to find out the effect of service quality perception and repurchase intention on retai company. This research is a replication from two previous research which are Setyawan and Susia (2004) then Taylor and Baker (1994). Setyawan and Susila (2004) chose three variables in their research. They were service quality perception as independen variable, customer satisfaction as moderation variable and repurchase intention as dependent variable. The researcher will try to reexaminate the model of Taylor and Baker (1994) research with any modification on the dependent variable which modificated from the purchase intention to repurchase intention. The population target in this research is students who ever buy at X supermarket in Yogyakarta. The sample consists of 200 students which are chosen using nonpropbability sampling. The chosen non-probability sampling type is convenience method. The model in this research use the previous model of Taylor and Baker (1994), the moderator regression analysis model (MRA). The first is a regression analysis between service quality perception and repurchase intention. The result shows that service quality perception has a positive effect on the repurchase intention. The second one is a regression analysis of interaction variable which is intended to know whether the customer satisfaction moderates the relationship between service quality perception and repurchase intention. It show that the interaction variable has a negative significant

result. The customer satisfaction moderates the relationship between service quality perception and repurchase intention. Keywords: service quality perception, satisfaction, repurchase intention.

PENDAHULUAN Globalisasi dan liberalisasi perdagangan dunia mengakibatkan perubahan yang cepat pada lingkungan bisnis. Oleh karena itu, setiap perusahaan yang ingin mempertahankan kelangsungan hidupnya haruslah dapat menyesuaikan diri dengan perubahan yang ada dan mempunyai keunggulan kompetitif. Keunggulan kompetitif dapat dicapai melalui penjualan barang yang berkualitas, harga yang relatif murah, penyerahan barang yang cepat, dan layanan yang baik sehingga kepuasan pelanggan dapat tercapai. Hal ini mengakibatkan adanya hubungan jangka panjang antara pelanggan dengan perusahaan. Salah satu bidang usaha yang merasakan dampak perkembangan ekonomi global adalah sektor bisnis retail, bahkan salah satu tolak ukur keberhasilan perekonomian suatu negara adalah keberhasilan dalam sektor bisnis retail.. Bisnis retail meliputi semua kegiatan yang melibatkan penjualan barang dan jasa secara langsung kepada konsumen akhir untuk penggunaan pribadi dan bukan bisnis (Kotler dan

1

JEB, Vol. 3, No. 1, Maret 2009: 1-10

Keller, 2006). Pengecer adalah usaha bisnis yang volume penjualanya terutama berasal dari penjulan eceran. Organisasi apa pun yang menjual kepada konsumen akhir baik itu produsen, grosir, atau pengecer dikatakan melakukan usaha eceran. Menurut Berman dan Evans dalam Setyawan (2004) ada beberapa hal yang membuat industri retail penting untuk dipelajari, yaitu 1) implikasi retailing dalam perekonomian global karena penjualan retailing dan daya serap tenaga kerjanya menjadi kunci perekonomian global; 2) fungsi retail dalam rantai distribusi yaitu menjadi penghubung antara final consumer dengan manufacturer dan wholesaler; 3) hubungan antara pengecer dengan pelanggan. Salah satu cara untuk meningkatkan daya saing adalah dengan peningkatan kualitas layanan karena dengan kualitas layanan yang baik maka kepuasan pelanggan akan tercapai. Tercapainya kepuasan pelanggan akan mempengaruhi perilaku konsumen untuk membeli barang atau jasa yang ditawarkan perusahaan. Hal ini berarti niat pembelian ulang konsumen dipengaruhi oleh kualitas layanan dan kepuasan pelanggan, sedangkan kualitas layanan harus dimulai dari kebutuhan pelanggan dan berakhir pada persepsi pelanggan. Persepsi pelanggan terhadap kualitas layanan merupakan penilaian yang menyeluruh atas keunggulan suatu jasa. Mengingat arti penting kualitas layanan, kepuasan pelanggan, dan niat beli ulang konsumen dalam bisnis ritel, maka perlu dikaji lebih mendalam bagaimana persepsi kualitas layanan dilaksanakan pada bisnis retail serta tingkat kepuasan pelanggan yang dicapai sehingga mempengaruhi pembentukan niat pembelian ulang konsumen. Penelitian ini berupaya untuk menganalisis pengaruh antara persepsi kualitas layanan dan kepuasan pelanggan pada pembentukan niat pembelian ulang konsumen di supermarket X di Yogyakarta. Kualitas layanan dimulai dari kebutuhan pelanggan dan berakhir pada persepsi pelanggan (Kotler dan Keller, 2006). Hal ini berarti bahwa citra kualitas yang baik bukanlah berdasar pada sudut pandang atau persepsi pihak penyedia jasa melainkan berdasar persepsi pihak pelanggan. Pelangganlah yang mengkonsumsi dan menikmati jasa perusahaan, sehingga merekalah yang seharusnya menentukan kualitas jasa. Persepsi pelanggan terhadap kualitas jasa merupakan penilaian menyeluruh terhadap keunggulan

suatu jasa. (Tjiptono, 2006). Perceived quality adalah penilaian konsumen akan entitas kesempurnaan dan superioritas jasa. Semakin tinggi tingkat kualitas jasa yang dipersepsikan, semakin besar kepuasan konsumen. Parasuraman et al (1988) mendefinisikan service quality sebagai sebuah perbandingan antara harapan pelanggan dengan persepsi layanan aktual yang diterima. Penelitian mengenai kualitas layanan dan niat pembelian ulang dilakukan antara lain, Taylor dan Baker (1994) dan Olsen (2002) sedangkan di Indonesia dilakukan oleh Setyawan dan Susila (2004), Wijaya (2005), Asakdiyah (2005), serta Setiawati dan Murwanti (2006). Konsep awal service quality ditulis di dalam Jurnal of Retailing pada akhir dekade 80-an. Setelah itu ada banyak artikel yang membahas tentang konsep ini. Penjualan eceran atau lazim disebut sebagai retailing adalah aktifitas penjualan kepada konsumen akhir (Berman dan Evans, 2001). Industri ini adalah bagian dari industri jasa. Oleh karena itu, sangat relevan untuk mengkaji service quality dalam penjualan eceran. Konsep service quality terdiri dari lima dimensi, yaitu tangibles, reliability, responsiveness, assurance, dan empathy (Parasuraman et al, 1988). Selanjutnya masingmasing dimensi didefinisikan sebagai berikut 1) bukti langsung (tangibles) adalah fasilitas fisik, peralatan, dan penampilan dari pegawai; 2) keandalan (reliability) adalah kemampuan untuk melakukan layanan yang dijanjikan dengan segera, akurat, dan memuaskan; 3) daya tanggap (responsiveness) adalah kesediaan untuk membantu konsumen dan memberikan layanan dengan tanggap; 4) jaminan (assurance) adalah pengetahuan, perilaku karyawan, dan kemampuan untuk menginspirasikan kepercayaan dan keyakinan; 4) empati (empathy) adalah kemudahan melakukan hubungan, komunikasi yang baik, perhatian individu dari perusahaan kepada pelanggannya dan memahami kebutuhan para konsumen. Kotler dan Keller (2006) mendefinisikan kepuasan sebagai perasaan suka atau kecewa seseorang sebagai hasil dari perbandingan antara persepsi atas kinerja produk dengan harapanya. Definisi ini mengandung pengertian bahwa kepuasan merupakan fungsi kinerja yang dipersepsikan dengan harapan. Banyak perusahaan memfokuskan pada kepuasaan tinggi karena para konsumen yang kepuasannya hanya terbatas mudah untuk berubah

2

PENGARUH PERSEPSI KUALITAS LAYANAN DAN ............... (Dessy Puspita Sari)

pikiran apabila mendapat tawaran yang lebih baik. Bagi konsumen yang mempunyai kepuasan tinggi lebih sukar untuk mengubah pikirannya. Dengan kepuasan yang tinggi akan menciptakan kelekatan emosional terhadap merek tertentu bukan hanya kesukaan/ preferensi rasional. Kepuasan pelanggan ditentukan oleh layanan yang diberikan oleh retailer baik secara tangible maupun intangible. Dalam hal ini, penilaian dilakukan oleh pelanggan mengenai kategori dari jasa yang diberikan oleh retailer. Kepuasan pelanggan merupakan evaluasi spesifik terhadap keseluruhan layanan yang diberikan, dimana pengukuran atau respon pelanggan dilakukan secara langsung atas layanan yang telah diberikan pemberi jasa sehingga kepuasan pelanggan hanya dapat dinilai berdasarkan pengalaman yang pernah dialami saat proses pemberian pelayanan (Zeithamal dan Bitner, 1996). Menurut Tjiptono (2006) pada umumnya harapan pelanggan merupakan perkiraan atau keyakinan pelanggan tentang apa yang akan diterima apabila pelanggan mengkonsumsi suatu produk (barang atau jasa) sedangkan kinerja didasarkan pada persepsi pelanggan terhadap apa yang diterima setelah mengkonsumsi produk yang dibeli.

Ketidakpuasan atau keluhan konsumen terhadap suatu jasa layanan karena tidak sesuai dengan yang diharapkan dapat berdampak negatif terhadap keberhasilan jasa layanan tersebut. Menurut Engel et al (1995) dalam Wijaya (2005) kepuasan didefinisikan sebagai evaluasi pasca konsumsi bahwa suatu alternatif yang dipilih setidaknya memenuhi atau melebihi harapan. Harapan pelanggan dibentuk dan didasarkan oleh beberapa faktor, di antaranya pengalaman berbelanja di masa lampau, opini teman dan kerabat, serta informasi dan janji perusahaan dan para pesaing (Kotler dan Keller, 2006). Faktor-faktor tersebutlah yang mengakibatkan harapan seseorang biasa-biasa saja atau sangat kompleks. Beberapa penyebab utama tidak terpenuhinya harapan pelanggan antara lain dikendalikan oleh penyedia jasa. Dengan demikian, penyedia jasa bertanggungjawab untuk meminimumkan miskomunikasi dan misinterpretasi yang mungkin terjadi dan menghindarinya dengan cara merancang jasa yang mudah dipahami dengan jelas. Dalam hal ini penyedia jasa harus mengambil inisiatif agar penyedia jasa dapat memahami dengan jelas instruksi dari klien dan klien mengerti benar apa yang akan diberikan.

Pelanggan Keliru Mengkunsumsi Jasa yang Diinginkan Pelanggan Keliru Menafsirkan Signal (Harga, Positioning, dan sebagainya)Harapan Tidak Terpenuhi

Kinerja Karyawan Perusahaan Jasa yang Buruk

Miskomunikasi Rekoamendasi Mulut ke Mulurt

Miskomunikasi Penyedia Jasa oleh Pesaing

Sumber: Tjiptono (2006).

Gambar 1 Penyebab Utama Tidak Terpenuhinya Harapan Pelanggan

3

JEB, Vol. 3, No. 1, Maret 2009: 1-10

Perusahaan banyak menggunakan berbagai cara untuk mempertahankan konsumen. Salah satunya adalah dengan memastikan kualitas produk dan jasa memenuhi harapan konsumen. Pemenuhan harapan akan menciptakan kepuasan bagi konsumen. Niat membeli ulang (purchase intention) merupakan fungsi dari sikap individual terhadap produk atau jasa. Menurut Kotler dan Keller (2006) dalam tahap evaluasi para konsumen membentuk preferensi atas merek-merek yang ada di dalam kumpulan pilihan. Konsumen tersebut juga dapat membentuk niat untuk membeli ulang merek yang disukai. Namun ada dua faktor berikut dapat berada di antara niat pembelian ulang dan keputusan pembelian ulang seperti ditunjukkan pada Gambar 2.

terhadap faktor-faktor seperti pendapatan keluarga, harga, dan manfaat produk yang diharapkan. Apabila konsumen bertindak tetapi faktor situasi yang diantisipasi terjadi mungkin akan mengubah perilaku pembelian tersebut. Perilaku setelah pembelian akan menimbulkan sikap puas atau tidak puas dari konsumen. Kepuasan konsumen merupakan fungsi dari harapan pembeli terhadap produk atau jasa dengan kinerja yang dirasakan. Konsumen yang puas dapat melakukan pembelian ulang pada waktu yang akan datang dan memberitahukan pada orang lain atas kinerja produk atau jasa yang dirasakan. Menurut Solomon (2007), konsumen yang puas terhadap barang dan jasa yang

Evaluasi Alternatif Niat Pembelian Ulang

SikapOrang Lain Keputusan Pembelian Ulang

FaktorSituasi yangTidak Terantisipasi

Sumber: Kotler dan Keller (2006). Gambar 2 Tahapan Antara Evaluasi Alternatif dan Keputusan Pembelian Ulang

Dua faktor yang mempengaruhi niat pembelian ulang konsumen yaitu sikap orang lain dan faktor situasi yang tidak terantisipasi. Sejauh mana sikap orang lain mengurangi alternatif yang disukai seseorang akan bergantung pada dua hal, yaitu intensitas sikap negatif orang lain terhadap alternatif yang disukai konsumen dan motivasi konsumen untuk menuruti keinginan orang lain. Semakin gencar sikap negatif orang lain dan semakin dekat orang lain tersebut dengan konsumen, konsumen semakin mengubah niat pembeliannya. Keadaan sebaliknya juga berlaku, preferensi seseorang membeli suatu merek akan meningkat jika seseorang yang ia sukai juga sangat menyukai merek yang sama. Konsumen membentuk suatu penilaian pembelian

dikonsumsinya akan mempunyai kecenderungan untuk membeli ulang dari produsen yang sama. Keinginan untuk membeli ulang sebagai akibat dari kepuasan ini adalah keinginan untuk mengulang pengalaman yang baik dan menghindari pengalaman yang buruk. Niat membeli juga merupakan minat pembelian ulang yang menunjukkan keinginan pelanggan untuk melakukan pembelian ulang (Assael,1998). Menurut Dharmmesta (1999), niat pembelian ulang terkait dengan sikap dan perilaku. Beberapa pengertian niat pembelian ulang adalah niat pembelian ulang dianggap sebagai sebuah perangkap atau perantara antara faktor-faktor motivasional yang mempengaruhi perilaku, niat

4

PENGARUH PERSEPSI KUALITAS LAYANAN DAN ............... (Dessy Puspita Sari)

pembelian ulang juga mengidikasikan seberapa jauh seseorang mempunyai kemauan untuk mencoba, niat pembelian ulang menunjukkan pengukuran kehendak seseorang, dan niat pembelian ulang berhubungan dengan perilaku yang terus-menerus. Gambar 3 menunjukkan bahwa perilaku niat untuk membeli atau purchase intention adalah hasil dari proses evaluasi terhadap merek. Tahapan terakhir dari pengambilan keputusan secara kompleks termasuk membeli merek yang diinginkan, mengevaluasi merek tersebut pada saat dikonsumsi, dan menyimpan informasi untuk digunakan di masa yang akan datang. Menurut Assael (1998), ketika seseorang konsumen melakukan evaluasi terhadap merek mereka cenderung untuk membeli merek yang memberikan tingkat kepuasan tertinggi. Konsep ini berlaku untuk produk-produk yang bersifat high involvement.

Taylor dan Baker (1994) meneliti mengenai service quality perception dan purchase intention pada industri komunikasi, transportasi, kesehatan, dan hiburan. Dalam penelitian tersebut menunjukkan bahwa variabel satisfaction memoderasi hubungan antara variabel service quality perception dan variabel purchase intention. Penelitian Taylor dan Baker menjelaskan variabel service quality perception diekpektasikan mempengaruhi purchase intention dengan satisfaction sebagai faktor moderasi. Setyawan dan Susila (2004) mereplikasi penelitian Taylor dan Baker pada perusahaan retail. Penelitian ini menguji pengaruh service quality perception dengan satisfaction sebagai variabel moderating. Model yang dikemukakan Taylor dan Baker (1994) ternyata tidak terbukti dalam setting penelitian ini. Dalam penelitian ini variabel satisfaction mempunyai pengaruh yang

Kebutuhan

Proses Pengolahan Informasi

Evaluasi terhadapMerek

Umpan Balik Niatuntuk membeliatau Niat Pembelian KendaladariLuar Tidak Melakukan Pembelian

EvaluasiPasca Pembelian

Pembelian

Tindakan Instrument

Sumber:Assael(1998)

Gambar 3 Evaluasi Pembelian dan Pasca Pembelian

5

JEB, Vol. 3, No. 1, Maret 2009: 1-10

signifikan terhadap variabel purchase intention, variabel service quality perception tidak berpengaruh terhadap variabel purchase intention, dan variabel interaksi tidak berpengaruh signifikan terhadap variabel purchase intention. Service quality perception dan satisfaction merupakan variabel independen. Penelitian Woodside dalam Setyawan dan Susila (2004) menyatakan pelanggan menilai sikap pemberi jasa sebagai ekspektasi awal mengenai performance toko dan sikap ini mempengaruhi minat pembelian pada sebuah toko. Perubahan sikap menjadi input yang menentukan pembelian pelanggan. Asakdiyah (2005) menganalisis hubungan antara kualitas layanan dan kepuasan pelanggan dalam pembentukan niat pembelian ulang konsumen pada departement store X di Yogyakarta dengan sampel ibu rumah tangga yang bekerja dan tidak bekerja. Hasil penelitian menyatakan kualitas layanan signifikan mempengaruhi niat pembelian. Kepuasan pelanggan secara parsial signifikan mempengaruhi niat pembelian. Interaksi antara kualitas layanan dan kepuasan pelanggan secara parsial signifikan mempengaruhi niat pembelian. Wijaya (2005) menyatakan service quality perception dan satisfaction berpengaruh secara simultan terhadap purchase intention. Service quality perception dan satisfaction berpengaruh secara parsial terhadap purchase intention. Dalam penelitian ini, Wijaya (2005) menggunakan model hasil penelitian Setyawan dan Susila (2004) dengan objek penelitian pada toko buku X di Yogyakarta. Penelitian ini mereplikasi penelitian Setyawan dan Susila (2004) dengan menetapkan variabel persepsi kualitas layanan sebagai variabel independen, variabel kepuasan pelanggan sebagai variabel moderasi, dan variabel niat pembelian ulang konsumen sebagai variabel dependen. Penelitian ini dilakukan untuk menguji ulang model Taylor dan Baker (1994) dengan sedikit modifikasi pada variabel dependen yaitu dari niat beli menjadi niat pembelian ulang. Penelitian ini juga menggunakan sampel mahasiswa. Hal ini didasari karena mahasiswa dalam memenuhi kebutuhan seharihari akan melakukan pembelian eceran dan sebagai obyek penelitian adalah mahasiswa yang berbelanja eceran di supermarket X di Yogyakarta. Hipotesis penelitian ini menguji pengaruh service quality perception dengan satisfaction sebagai variabel moderating.

H1: Persepsi kualitas layanan berpengaruh positif pada niat pembelian ulang. H2: kepuasan pelanggan memoderasi hubungan antara persepsi kualitas layanan dengan niat pembelian ulang MATERI DAN METODE PENELITIAN Target sampel penelitian ini adalah mahasiswa yang berbelanja di supermarket X di Yogyakarta. Penelitian ini menggunakan 200 orang responden sebagai sampel yang dipilih dengan metode sampel non-probability sampling yaitu setiap unsur dalam populasi tidak memiliki kesempatan atau peluang yang sama untuk dipilih sebagai sampel. Metode non-probality sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode convenience dengan memilih anggota populasi yang paling mudah ditemui sebagai responden (Sekaran,2002). Kriteria responden yang ditetapkan adalah mahasiswa yang berbelanja minimal sebulan sekali di supermarket X di Yogyakarta. Dalam menganalisis data penelitian digunakan metode statistika. Seluruh perhitungan statistik dilakukan dengan menggunakan bantuan program SPSS versi 11.5. Alat analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah Moderator Regression Analysis, Koefisien Determinasi (R2), Uji t dan Uji F. Model dalam penelitian ini menggunakan model yang dikemukakan oleh Taylor dan Baker (1994) yaitu model moderator regression analysis (MRA). Menurut Ghozali (2006) uji interaksi atau sering disebut dengan Moderated Regression Analysis (MRA) merupakan aplikasi khusus regresi berganda linear dimana dalam persamaan regresinya mengandung unsur interaksi (perkalian dua atau lebih variabel independen). Adapun model yang digunakan dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagi berikut:

Y1= 0 + 1X1 + 2X2 + 3X1X2 + eketerangan: Y1 = Variabel dependen (niat pembelian ulang konsumen supermarket X 0 = Konstanta

6

PENGARUH PERSEPSI KUALITAS LAYANAN DAN ............... (Dessy Puspita Sari)

1, 2, 3 X1 X2 X1X2 e

= Koefisien Regresi = Variabel independen (Persepsi Kualitas Layanan) = Variabel moderator (Kepuasan Pelanggan) = Interaksi antara kualitas pelayanan dengan kepuasan pelanggan = Standard eror

nilai F hitung lebih besar dari nilai F tabel, maka H0 ditolak dan menerima Ha atau jika F hitung e F tabel maka semua variabel bebas secara bersama dapat digunakan untuk memprediksi niat pembelian ulang konsumen. HASIL PENELITIAN Analisis Regresi Moderator terdiri dari dua persamaan regresi dengan persamaan pertama memasukkan persepsi kualitas layanan sebagai variabel independen, persamaan kedua memasukkan persepsi kualitas layanan, dan kepuasan pelanggan serta interaksi antara persepsi kualitas layanan dan kepuasan pelanggan sebagai variabel independen. Berdasarkan data yang dikumpulkan dari 200 responen maka hasil analisis regresi dapat disajikan melalui Tabel 1. PEMBAHASAN Model persamaan pertama memasukkan persepsi kualitas layanan sebagai variabel independen dengan model sebagai berikut: Y= 0 + 1X1 Y= 11,610 + 0,260X1 Koefisien determinasi sebesar adjusted R 2 (0,754) yang menunjukkan bahwa 75,4% variance niat pembelian ulang ditentukan oleh variance persepsi kualitas layanan. Berarti variabel persepsi kualitas layanan dapat menjelaskan variabel niat pembelian ulang konsumen sebesar 75,4%, sedang sisanya

Koefisien beta (b) X 1 X 2 signifikan mengidentifikasikan bahwa kepuasan pelanggan secara nyata memoderasi hubungan persepsi kualitas layanan dengan intensi pembelian konsumen. Koefisien Determinasi (R2) pada intinya mengukur seberapa jauh kemampuan model dalam menerangkan variasi variabel dependen. Analisis uji koefisien determinasi berganda (R) dalam penelitian ini dilakukan dengan bantuan komputer SPSS 11.5 Koefisien determinasi menunjukkan besarnya hubungan variabel bebas terhadap variabel yang dipengaruhi. Uji statistik t menunjukkan seberapa jauh pengaruh satu variabel independen secara individual dalam menerangkan variasi variabel dependen. Dalam uji t, kriteria pengambilan keputusan dilakukan dengan membandingkan nilai statistik t dengan titik kritis menurut tabel. Apabila nilai t hitung < t tabel, maka variabel bebas tersebut tidak signifikan sebagai estimator niat pembelian ulang. Uji statistik F menunjukkan apakah semua variabel independen yang dimasukkan dalam model berpengaruh secara bersama terhadap variabel dependen. Dalam uji F, kriteria pengambilan keputusan dilakukan dengan membandingkan nilai F hasil perhitungan dengan nilai F menurut tabel. Apabila

Tabel 1 Hasil Analisis Regresi Moderator

Sumber: Data Primer, data diolah. Keterangan: variabel dependen = PKL, variabel independen= NPU, dan variabel moderator = KP.

7

JEB, Vol. 3, No. 1, Maret 2009: 1-10

sebesar 24,6% disebabkan oleh variabel-variabel lain di luar model penelitian. Variabel PKL hanya berpengaruh sebesar 26%. Model persamaan kedua memasukkan persepsi kualitas layanan, kepuasan pelanggan, serta interaksi antara persepsi kualitas layanan dan kepuasan pelanggan sebagai variabel independen dengan model sebagai berikut: Y = 0+ 1X1+ 2X2+ 3X1X2 Y = -57,929 + 1,376X1 + 2,348X2 0,038X1X2 Koefisien determinasi sebesar adjusted R2 (0,785) yang menunjukkan bahwa 78,5% variance niat pembelian ulang ditentukan oleh variance persepsi kualitas layanan, kepuasan pelanggan, serta interaksi antara persepsi kualitas layanan dan kepuasan pelanggan. Berarti variabel persepsi kualitas layanan, kepuasan pelanggan, serta interaksi antara persepsi kualitas layanan dan kepuasan pelanggan dapat menjelaskan variabel niat pembelian ulang konsumen sebesar 76,9% sedang sisanya sebesar 21,5% disebabkan oleh variabel-variabel lain di luar model penelitian. Variabel interaksi hanya berpengaruh sebesar 3,8%. Hasil regresi pada hipotesis pertama merupakan hasil regresi terhadap persepsi kualitas layanan. Variabel niat pembelian ulang konsumen berpengaruh positif. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi persepsi kualitas layanan semakin tinggi niat konsumen melakukan pembelian ulang. Oleh karena itu, Ho yang menyatakan bahwa persepsi kualitas layanan tidak berpengaruh positif pada niat pembelian ulang ditolak dan sebaliknya Ha yang menyatakan bahwa persepsi kualitas layanan berpengaruh positif pada niat pembelian ulang diterima. Hal ini menunjukkan bahwa penilaian pelanggan terhadap persepsi kualitas layanan adalah hasil dari perbandingan harapan (sebelum menerima pelayanan) dan pengalaman konsumen (sesudah menerima layanan). Persepsi kualitas layanan tinggi berarti konsumen pada supermarket X di Yogyakarta merasa harapannya terpenuhi sehingga mempunyai persepsi yang positif. Hasil penelitian ini ternyata mendukung hipotesis pertama dan hasil penelitian ini sejalan dengan

penelitian yang dilakukan oleh Taylor dan Baker (1994), Asakdiyah (2005), dan Wijaya (2005) yang menyatakan bahwa Persepsi kualitas pelayanan berpengaruh positif pada niat pembelian ulang konsumen. Hasil regresi pada hipotesis kedua merupakan hasil regresi terhadap persepsi kualitas layanan, kepuasan pelanggan, dan interaksi antara persepsi kualitas layanan dan kepuasan pelanggan secara parsial. Variabel interaksi signifikan negatif menunjukkan bahwa kepuasan pelanggan memoderasi secara negatif hubungan antara persepsi kualitas layanan dengan niat pembelian ulang konsumen. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi ketidakpuasan konsumen akan memperlemah pengaruh persepsi kualitas layanan pada niat pembelian ulang konsumen. Variabel kepuasan yang negatif ini tidak mendukung model aslinya. Sebaliknya, variabel persepsi kualitas layanan memberikan pengaruh yang tinggi kepada konsumen untuk melakukan pembelian ulang dan kepuasan yang diperoleh konsumen saat membeli produk hanya disebabkan oleh persepsi kualitas layanan yang baik, bukan dari kepuasan yang diperoleh saat membeli produk. Oleh karena itu, H o yang menyatakan bahwa kepuasan pelanggan tidak memoderasi hubungan antara persepsi kualitas layanan dengan niat pembelian ulang ditolak. Sebaliknya, Ha yang menyatakan bahwa kepuasan pelanggan memoderasi hubungan antara persepsi kualitas layanan dengan niat pembelian ulang diterima. Hasil penelitian memberikan dukungan terhadap penelitian yang dilakukan (Taylor dan Baker, 1994) yang menyatakan bahwa variabel service quality perception diekspektasikan mempengaruhi purchase intention dengan satisfaction sebagai faktor moderasi. Setyawati dan Murwati (2006) juga menyatakan kualitas layanan, kepuasan pelanggan, interaksi antara kualitas layanan dan kepuasan pelanggan mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap niat pembelian ulang konsumen. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Penelitian ini mencoba menganalisis pengaruh persepsi kualitas layanan dan kepuasan pelanggan dalam pembentukan niat pembelian ulang konsumen dengan

8

PENGARUH PERSEPSI KUALITAS LAYANAN DAN ............... (Dessy Puspita Sari)

tujuan untuk mengetahui apakah persepsi kualitas layanan berpengaruh secara positif pada niat pembelian ulang. Penelitian ini juga bertujuan mengetahui apakah kepuasan pelanggan memoderasi hubungan persepsi kualitas pelayanan dan niat pembelian ulang. Berdasarkan hasil analisis data dan pengujian hipotesis menunjukkan bahwa persepsi kualitas layanan berpengaruh secara positif pada niat pembelian ulang. Hal ini menunjukkan bahwa penilaian pelanggan terhadap persepsi kualitas layanan adalah hasil dari perbandingan harapan (sebelum menerima pelayanan) dan pengalaman konsumen (sesudah menerima pelayanan). Persepsi kualitas layanan tinggi berarti konsumen pada supermarket X di Yogyakarta merasa harapannya terpenuhi sehingga mempunyai persepsi yang positif. Kepuasan pelanggan memoderasi dengan pengaruh yang negatif signifikan antara persepsi kualitas layanan dan niat pembelian ulang. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi ketidakpuasan konsumen maka akan memperlemah pengaruh persepsi kualitas layanan pada niat pembelian ulang konsumen. Saran Pada kondisi saat ini, perusahaan (retail) mengalami persaingan yang ketat, baik untuk mendapatkan pelanggan yang baru, mempertahankan pelanggan yang sudah ada, atau memenangkan persaingan diantara retailer-retailer yang ada. Para retailer juga harus memahami bahwa persepsi kualitas layanan merupakan evaluasi purna beli terhadap jasa yang diterima. Jika kinerja yang dirasakan pelanggan melebihi keinginan pelanggan, maka hal ini menimbulkan persepsi positif. Persepsi positif menimbulkan sikap berupa kepuasan yang didapat dari perbandingan kinerja yang dirasakan dengan harapan. Semakin tinggi kinerja yang dirasakan dibanding keinginan dan harapan pelanggan, maka tingkat kepuasan akan tinggi dan pada akhirnya niat pembelian ulang juga tinggi. Perusahaan juga perlu membuat standarisasi layanan yang sesuai agar keinginan dan harapan pelanggan tidak terlalu tinggi dan tidak terlau rendah sehingga tidak menimbulkan gap dan kinerja yang dirasakan pelanggan.

DAFTAR PUSTAKA Asakdiyah, S. (2005), Analisis Hubungan Antara Kualitas Layanan dan Kepuasan Pelanggan dalam Pembentukan Intensi Pembelian Konsumen Matahari Group di Daerah Istimewa Yogyakarta, Jurnal Akuntansi & Manajemen, Vol. XVI, No. 2, h. 129-139. Assael, H. (1998), Consumer Behavior and Marketing Action, 6th ed. Cincinnati.OH: South-Western College Publishing. Anzwar, S. (2001), Reliabilitas dan Validitas, ed. 3 Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset. Berman, B. dan Evans, J.R. (2001). Retail Management: Strategic Approach, 8th ed. Upper Saddle River. NJ: Prentice Hall, Inc. Dharmmesta, B.S. dan Khasanah. U. (1999), Theory of Planned Behavior: An Application to Transporter Service Consumers. Gadjah Mada International Journal of Business, Vol 1. No 1. Engel, J.F; Blackwell, R.D: Milliard, P.W. (1995). Consumer Behavior. Internasional 8" ed. Forth Worth. Chicago: The Dryden Press. Ghozali, I. (2006), Aplikasi Analisis Multivariate dengan Program SPSS, ed 4 Semarang: Penerbit Universitas Diponegoro. Hair, J.F; Anderson, R.E; Tantham. R.L; Black, W.C. (1998), Multivariate Data Analysis, 5th ed. Upper Saddle River, NJ: Prentice Hall, Inc. Hartono, J. (2004/2005), Metodologi Penelitian Bisnis: Salah Kaprah dan Pengalaman-Pengalaman. Yogyakarta: Penerbit BPFE. Kotler, P. dan Keller, K. L. (2006). Marketing Management, 12th ed. Upper Saddle River, NJ: PrenticeHall International, Inc.

9

JEB, Vol. 3, No. 1, Maret 2009: 1-10

Madu, N.C; Kueh, C.H; dan Jacob (1996), An Empirical Assesment of The Influence of Quality Dimensions on Organizational Performance, International Production Research. Vol 34, No 7, pp 1943-1962. Olsen, S.O. (2002), Comparative Evaluation and The Relationship Between Quality, Satisfaction, and Repurchase Loyalty, Journal of the Academy of Marketing Science. Vol 3. No 3, pp. 240-249 Parasuraman, A; Zeithaml.V.A: dan Berry, L.L. (1988). SEVERQUAL: A Multiple Item Scale For Measuring Consumer Perceptions of Service Quality, Journal of Retailing. Vol 46, pp. 12-14. Setyawan, A. dan Susila. I. (2004), Pengaruh Service Quality Perception terhadap Purchase Intentions: Studi Empirik Pada Konsumen Supermarket, Usahawan, No 7, th XXXIII, Juli. h. 29-37. Setiawati, E. dan Murwati. S. (2006). Pengaruh Kualitas Layanan dan Kepuasan Pelanggan dalam Pembentukan Intensi Pembelian Konsumen, Benefit. Vol 10, No 1. pp. 76-88. Sekaran. U. (2003). Research Methods for Bussuness. 4" cd. New York: John Willey and Son Inc. Solomon, M. (2007), Consumer Behavior: Buying, Having, and Being, 7th ed. Upper Saddle River, NJ: Prentice- Hall International. Inc. Taylor.A.S dan Baker, L.T. (1994), An Assesment of Relationship Between Service Quality and Customer Satisfaction in The Formation of Consumer Purchase Intention, Journal of Retailing, Vol 70, No 2. pp. 163-178. Tjiptono, F. (2006), Manajemen Jasa, ed 4 Yogyakarta: Penerbit Andi Offset. Wijaya, T. (2005), Pengaruh Service Quality Perception dan Satisfaction Terhadap Purchase Intention, Jurnal Ekonomi dan Bisnis, Vol 17 (1), h.39-52.

Zeithaml,V.A; Berry, L.L; dan Parasuraman, A. (1996), The Behavioral Consequences of Service Quality, Journal of Marketing, Vol 60., pp. 31-46. Zeithaml.V.A dan Bitner. M.J. (1996), Service Marketing. Singapore: The Mc. Graw-Hill, Inc.

10

ISSN: 1978-3116MANFAAT EKONOMI KONSERVASI BARANG PUSAKA KEBUDAYAAN: ............... (Amiluhur Soeroso)

Vol. 3, No. 1, Maret 2009 Hal. 11-19

JURNA LEKONOMI & BISNIS

Tahun 2007

MANFAAT EKONOMI KONSERVASI BARANG PUSAKA KEBUDAYAAN: KASUS GEDUNG PENINGGALAN DE JAVASCHE BANK YOGYAKARTAAmiluhur SoerosoSTIE Pariwisata API Yogyakarta Jalan Glendongan TB XV/15-B, Yogyakarta 55281 Telepon +62 274 485630, Fax. +62 274 487247 E-mail: [email protected]

ABSTRACT Aim of the study is measuring conservation benefits of an ancient building of De Javasche Bank that expected directly addresses the issues of cultural environmental quality. Data were obtained from interviews toward both local resident and tourist in Yogyakarta and conducted by contingent valuation method (CVM). After that, willingness to pay (WTP) toward conservation demand models are estimated and used to derive total consumer surplus. Keywords: conservation, benefit, CVM, WTP, consumer surplus

PENDAHULUAN De Javasche Bank (DJB), pada masa kolonial diberi tugas pemerintah Belanda sebagai bank sirkulasi dan kegiatan komersial di Hindia Belanda. Bank ini didirikan pada tahun 1828, pada saat perang Diponegoro yang memakan anggaran besar pihak kolonial Belanda. Sesuai hasil Konferensi Meja Bundar tahun 1949, pasca kemerdekaan Republik Indonesia, DJB ditetapkan sebagai Bank Sentral. Kemudian di tahun 1953, bank ini dinasionalisasi menjadi Bank Indonesia, sekaligus ditetapkan sebagai bank sentral sampai sekarang. Berakhirnya sejarah De Javasche Bank tidak menjadikan artefak bangunan gedung peninggalannya,

sebagai bukti jejak peradaban manusia, yang tersebar di berbagai kota di Indonesia ikut terkubur. Satu di antaranya adalah gedung di DJB Yogyakarta yang dibangun tahun 1879. Sebagai landmark dan heritage kota berarsitektural Indiche, bangunan tersebut mencuat indah, artistik, antik, klasik di antara gedunggedung yang berdiri di sekelilingnya. Namun kini, bangunan itu hanya digunakan sebagai tempat menumpuk barang atau digunakan tidak sesuai fungsinya sehingga nilainya dikhawatirkan terdegradasi. UNESCO menyatakan bahwa pemanfaatan pusaka kebudayaan kini tidak lagi ditujukan hanya untuk kepentingan elit atau pemerintah saja, tetapi juga harus memberi akses kepada publik. Model pengelolaannya lebih fokus kepada ruang dan kehidupan masyarakat di sekitarnya, bukan hanya situs, artefak, dan monumen mati (Engelhardt, 2005). Dengan munculnya kesadaran itu, pemegang otoritas berkeinginan melakukan konservasi dan merevitalisasi bangunan itu, kecuali supaya tidak terjadi penurunan kondisi, juga agar di kemudian hari dapat dinikmati khalayak ramai sebagai medium sumber inspirasi kebudayaan yang tidak pernah padam. Bank Indonesia tidak ingin melakukan konservasi mandiri sehingga merasa perlu melibatkan partisipasi masyarakat. Berkaitan dengan itu, tujuan penelitian ini adalah mengkaji nilai manfaat ekonomi konservasi dan perluasan pemanfaatan bangunan peninggalan De Javasche Bank di Yogyakarta, bukan hanya berfungsi sebagai gedung perkantoran biasa Bank Indonesia

11

JEB, Vol. 3, No. 1, Maret 2009: 11-19

tetapi memberikan juga akses layanan kepada publik. Beberapa peneliti terdahulu telah melakukan telaah terhadap nilai manfaat ekonomi barang pusaka kebudayaan dengan obyek Fs Medina sebuah kota tua di tengah gurun Maroko (Carson et al., 1997), Museum Napoli (Santagata & Signorello, 1998), Museum Galleria Borghese di Italia (Mazzanti, 2003), kawasan tua Kotagede di Yogyakarta (Soeroso, 2000; Soeroso et al. 2008), dan cultural landscape Borobudur (Soeroso, 2007). Hasilnya memberi gambaran manfaat ekonomi konservasi berbagai jenis barang kebudayaan. MATERI DAN METODE PENELITIAN Pada dasarnya ciri barang kebudayaan (cultural goods), termasuk juga benda cagar budaya (BCB) seperti gedung peninggalan De Javasche Bank, tidaklah berbeda dengan barang lingkungan lainnya yang diproduksi alam (natural goods), misalnya udara dan air bersih serta panorama alam. Sebagai barang publik, BCB bersifat tidak bersaing (non-rival) artinya manfaat yang dinikmati seseorang tidak akan menimbulkan biaya terhadap individu lain yang kemudian menikmatinya dan juga tidak dapat eksklusif (non-excludable) dimiliki oleh perseorangan. Dalam konteks ekonomi, benda, barang, atau sumberdaya kebudayaan adalah sebuah produk yang dianggap sebagai harta atau modal karena memberikan kontribusi sehingga logikanya fitur kebudayaan itu tentu memiliki nilai atau afdol disebut nilai kebudayaan, yang dapat didekati dari banyak aspek seperti antropologi, sosiologi, dan ekonomi (Eur, 2003). Namun, pengertian nilai dapat berbeda jika ditelaah dari berbagai disiplin ilmu itu sehingga perbedaan konsepsi nilai tersebut tentu akan menyulitkan pemahaman mengenai pentingnya suatu modal kebudayaan. Tolok ukur yang relatif mudah dan dapat diterima banyak pihak adalah pemberian harga pada produk yang dihasilkannya. Barang kebudayaan memiliki dua nilai. Pertama, nilai ekstrinsik (use value) yaitu kesediaan maksimum konsumen membayar akses suatu barang, melampaui ongkos memperolehnya, atau jumlah uang terbesar yang bersedia dibayar pemakai agar memiliki kesempatan menggunakannya bukan untuk menguasainya (Navrud & Ready, 2002) karena barang kebudayaan seperti ini tidak eksis di pasar biasa. Nilai

ekstrinsik yang mencerminkan nilai kebudayaan terdiri dari nilai estetika dan harmoni, sejarah (hubungan dengan masa lalu), spiritual (wawasan, pencerahan, dan pengetahuan) dan keaslian (integritas dan keunikan), sosial (identitas dan integritas), dan simbolis (pembawa pesan dan makna). Kedua, nilai intrinsik (non-use value) adalah manfaat yang diterima konsumen karena dapat menikmati artefak kebudayaan yang dilindungi. Di sini terkandung nilai ekonomi berupa (1) nilai eksistensi (karena keberadaan barang tersebut sehingga masih dapat dikonsumsi; misalnya keindahan arsitektur bangunannya), (2) nilai opsi (option) berupa pilihan dilindungi, dipreservasi, dikonservasi atau tidak, dikembangkan atau dibiarkan mati, dan (3) nilai warisan (bequest) karena konsumennya adalah generasi mendatang. Mengacu Pearce (1993), Throsby (1995, 1999), Moran dan Bann (2000), nilai ekonomi total (TEV) barang kebudayaan adalah penjumlahan nilai ekonomi dan kebudayaan. Tabel 1 Nilai Ekonomi Total (TEV)

Sumber: Pearce (1993), Throsby (1995, 1999), Moran dan Bann (2000). Diolah. Dengan begitu, nilai manfaat ekonomi adalah ukuran jumlah maksimum suatu produk yang ingin dikorbankan seseorang untuk memperoleh produk lainnya atau menghindari biaya penurunan (degradasi) fungsi barang itu. Konsep ini, secara formal disebut kesediaan individu untuk membayar (willingness to pay, WTP). Penelitian dilakukan dengan survei pada bulan Juli-November 2008, terhadap 400 responden (penduduk dan wisatawan) yang diambil secara bertingkat (multistage) dan random. Sampel penduduk ditentukan berdasarkan domisili di kecamatan,

12

MANFAAT EKONOMI KONSERVASI BARANG PUSAKA KEBUDAYAAN: ............... (Amiluhur Soeroso)

sedangkan sampel wisatawan diambil di hotel, bandara, stasiun kereta api, dan terminal bus. Penggunaan responden yang kompleks merujuk pandangan Bank Dunia bahwa bangunan pusaka kebudayaan tidak hanya dinikmati penduduk lokal tetapi juga oleh nonpenduduk (Carson et al., 1997). Alat yang digunakan mengestimasi adalah contingent valuation method (CVM). Pertama, data primer dikumpulkan memakai wawancara untuk menggali kesediaan individu untuk menilai barang dengan menunjukkan serangkaian fotofoto gedung peninggalan De Javasche Bank di Yogyakarta pada masa lalu dan kini (Gambar 1) sekaligus daftar atribut yang dimilikinya (estetika, sejarah, eksistensi) kepada responden. Kedua, menentukan nilai lelang (bid). Vektor harga dipilih berdasarkan studi terdahulu dan harga tanda masuk (HTM) world heritage (US $ 1-25). Skenario pasar hipotetis disampaikan melalui wawancara dwi bahasa (Indonesia dan Inggris). Otoritas Bank Indonesia menetapkan kebijakan bahwa dalam rangka konservasi gedung peninggalan De Javasche Bank, sebagian darinya akan dibuka untuk publik dengan difungsikan sebagai museum, gallery seni, toko buku dan merchandise, caf dan sebagainya. Hal disebabkan karena mereka ingin agar bangunan tersebut tidak terdegradasi kondisi serta fungsinya atau terdapat jarak sosial-budaya yang memisahkan dengan lingkungan dan masyarakat yang hidup di sekitarnya. Kesediaan penduduk untuk memberikan donasi dan bilamana gedung menyediakan acara seni bertaraf internasional sehingga suatu saat dapat menampilkan

karya seniman terkenal seperti Raden Saleh, Affandi, Pablo Piccasso, Vincent Van Gogh, Claude Monet, dan Rembrandt van Rijn, diperoleh informasi dengan variasi donasi dari Rp10.000,- sampai dengan Rp250.000,- dan harga tiket tanda masuk yang layak (bukan yang paling murah) per kunjungan, untuk mendukung program tersebut dari US$1 sampai dengan US$25 (US$1 = Rp. 10.000,-). Jika Q0 merepresentasikan diskripsi bangunan atau monumen kebudayaan yang komplit dan Q 1 menggambarkan perbedaan diskripsi fisik yang terjadi akibat adanya satu atau serangkaian perubahan, maka nilai barang itu dapat dinyatakan sebagai perbedaan antara Q0 dan Q1. Fungsi utilitas ini secara logika berkaitan pula dengan tingkat kesejahteraan individu, Y, maupun fisik barang itu sendiri, Q, sehingga utilitas individu dapat ditulis sebagai V(Y, Q). Kombinasi Y dan Q yang menghasilkan tingkat utilitas tinggi tentu lebih disukai dibandingkan yang rendah. Perubahan nilai Q0 ke Q1 adalah kesediaan individu menyerahkan sejumlah uang untuk memperoleh Q 1 atau Q 0 yang secara matematis ditulis sebagai berikut. V(Y, Q0) = V(Y-WTP, Q1) (1)

Analoginya adalah jika ongkos memakai sumberdaya pusaka kebudayaan dibebankan kepada individu, maka ada dua kemungkinan pilihan, yaitu berpartisipasi dengan menerima harga yang ditawarkan atau menghentikan aktivitas karena menolak biaya

Sumber: Bank Indonesia (2008) Gambar 1 Gedung Peninggalan De Javasche Bank di Yogyakarta: Dulu dan Kini

13

JEB, Vol. 3, No. 1, Maret 2009: 11-19

(akibat preferensi terhadap nilai barang itu atau karena kendala anggaran). Dengan asumsi individu mengetahui pilihan terbaik, maka menurut Henemann (Lee et al., 1998: 42) penawaran akan diterima atau ditolak jika: v(1, Y-A; s) +e1 v(0, Y-A; s) +e0 (2)

berikut. (ki+ki+1)/(ni+ni+1) (6)

v adalah utilitas tidak langsung yang diasumsikan setara dengan utilitas u. Y adalah pendapatan. A adalah penawaran menggunakan sumberdaya tersebut. s adalah karakteristik sosialekonomi yang mempengaruhi preferensi individu. en (n = 0, 1) adalah variabel acak yang didistribusikan secara independen dengan rerata nol. Perbedaan utilitas (Dv) yang terjadi dapat diekspresikan melalui persamaan (3). Dv = v(1, Y-A; s) - v(0, Y-A; s) + (e1 - e0) (3)

ki adalah jumlah responden yang menerima subpenawaran Oi, ni adalah total responden yang dianjurkan menerima subpenawaran Oi (i= 1, 2, 3 , j1). Dengan menggunakan interpolasi linier diperoleh fungsi empiris, dan kemudian rerata WTP diduga dengan menghitung luas daerah di bawah kurva. Luas segi empat (%) adalah penawaran (O) dikalikan probabilitas (P), sedangkan luas segi tiga (%) adalah (setengah) alas (penawaran) dikalikan tinggi (probabilitas). HASIL PENELITIAN Berdasarkan data 400 responden, 257 orang adalah penduduk dari 50 kecamatan di empat kabupaten dan satu kota di DIY, sedangkan 143 orang lainnya adalah wisatawan, 93 orang wisatawan nusantara (wisnu) dan 50 orang wisatawan mancanegara (wisman). Rerata usia responden 44,50 tahun (25-61 tahun) sehingga masih dalam lingkup usia produktif. Pendidikan mereka rerata di atas SLTA, dengan penghasilan penduduk Rp 21 juta, wisnus Rp 27 juta, dan wisman Rp 90 juta per tahun. Tabel 2 Profil Demografi Responden

Format closed-ended CVM dengan variabel terikat dikotomi adalah model pilihan kualitatif (Bishop & Heberlain, 1979). Menurut Hanemann (1989), Gujarati (2003), dan Greene (2003) probabilitas (Pi) individu menerima penawaran (offered, O) diekspresikan sebagai model logit.

1Pi = Fh (Dv) =

1+e

v

=

1

1+e

( + O +Y )

(4)

Fh adalah fungsi distribusi kumulatif logistik dengan variasi logistik standar; b dan g merupakan koefisien yang diestimasi. Menurut Lee et al. (1998: 43) nilai harapan (E) WTP diestimasi dengan integral numerik antara 0 hingga ~.

E (WTP) =

F (v ).dO0

(5) Sumber: Data primer. Pendapatan, pekerjaan, dan pendidikan wisatawan berpengaruh terhadap pemilihan daerah tujuan wisata. Semakin tinggi pendapatan, pekerjaan, dan pendidikan wisatawan akan menghasilkan kebutuhan produk pariwisata yang semakin exotic (Searle & Jackson, 1985; Luzar et al., 1998). Perbedaan gender dan umur wisatawan secara umum mempunyai ketidaksamaan akses waktu bersenang-senang dan

Jika asumsi distribusi monotonik yang menurun pada persamaan (5) tidak terpenuhi, maka Fh menjadi tidak konsisten (Yatchew & Griliches, 1985). Padahal tipe survei discrete-response diharapkan monotonik tidak meningkat, sehingga perlu penyesuaian. Untuk mengatasinya digunakan probabilitas estimator bebas distribusi (distribution-free maximum likelihood, DFML) terhadap penerimaan. Kristrm (1990) mengganti proporsi Oi dan Oi+1 dengan algoritma

14

MANFAAT EKONOMI KONSERVASI BARANG PUSAKA KEBUDAYAAN: ............... (Amiluhur Soeroso)

seringkali perlu proses sosialisasi tersendiri (Henderson et al., 1988). Adapun negara asal menyiratkan perbedaan perilaku mereka terhadap kebutuhan produk pariwisata, sedangkan ukuran keluarga (family size) seringkali merupakan barriers komitmen terhadap leisure activity (Searle & Jackson, 1985). Semua responden menerima penawaran nol (0) rupiah atau gratis, sedangkan penawaran di atas Rp250.000 (US$25) ditolak. Total E(WTP) penduduk US$3.58 (Rp35.800,-) per orang per kunjungan. Jika jumlah penduduk DIY 3.220.808 jiwa, maka TEV (total economic value) manfaat konservasinya adalah sebesar US$11,530,492.64 atau Rp115.304.926.400,Tabel 3 Analisis WTP: Penduduk

Tabel 4 Analisis WTP: Wisnus

Keterangan: O: penawaran, Pr: probabilitas; Pb: probabilitas baru; O dan WTP (US$). Tabel 5 Analisis WTP: Wisman

Keterangan: O: penawaran, Pr: probabilitas; Pb: probabilitas baru; O dan TP (US$). Keterangan: O: penawaran, Pr: probabilitas; Pb: probabilitas baru; O dan WTP (US$). Perhitungan nilai WTP wisnu, wisman, dan gabungan keduanya memiliki probabilitas hitung yang tidak monotonik (penawaran US$10) sehingga perlu penyesuaian. Total E(WTP) wisnus US$11.06 (Rp110.600,00), wisman US$17.06 (Rp170.600,00), dan gabungan US$16.79 (Rp167.900,00) per orang per kunjungan. Rerata jumlah wisnus, wisman, dan total wisatawan ke DIY per tahun 3.611.019, 411.511, dan 4.022.530 orang sehingga TEV manfaat konservasi masing-masing US$39,937,872.463 (Rp399.378.724.630), US$7,020,377.66 (Rp70.203.766.000), US$67,538,282.226 (Rp675.382.822.260). Perhitungan disajikan pada Tabel 4, 5, dan 6. Tabel 6 Analisis WTP: Wisatawan

Keterangan: O: penawaran, Pr: probabilitas; Pb: probabilitas baru; O dan TP (US$). Kemudian, total E(WTP) pemangku kepentingan (stakeholders) sebesar US$7.07 (Rp70.700,00) per orang per kunjungan. Dengan asumsi jumlah pemangku kepentingan (gabungan penduduk dan wisatawan) 7.243.338 orang maka estimasi TEV

15

JEB, Vol. 3, No. 1, Maret 2009: 11-19

manfaat konservasi adalah US$51,210,399.66 (Rp512.103.996.600). Hasil perhitungan memperlihatkan E(WTP) antara penduduk (US$3.58) dan wisatawan (US$16.79) terdapat perbedaan signifikan sebesar US$13.21 atau Rp132.100 per orang per kunjungan. Hal ini disebabkan perbedaan apresiasi dan preferensi terhadap manfaat ekonomi konservasi kegiatan kebudayaan dan bangunan cagar budaya atau karena faktor sosial-demografi khususnya pendapatan. Hal ini adalah sesuatu yang biasa terjadi karena menunjukkan kecermatan sikap invidu. E(WTP) wisatawan merupakan kompromi antara preferensi wisnu dan wisman, sedangkan E(WTP) stakeholders adalah integrasi antara preferensi penduduk dan wisatawan. Gambar 2 menunjukkan detail luasan kurva WTP setiap sub-sampel dan kelompok sampel penelitian yang dijadikan perhitungan.

Tabel 7 Analisis WTP: Stakeholders

Keterangan: O: penawaran, Pr: probabilitas; Pb: probabilitas baru; dan O dan TP (US$).

Sumber: Data Primer (diolah) Gambar 2 Manfaat Konservasi

16

MANFAAT EKONOMI KONSERVASI BARANG PUSAKA KEBUDAYAAN: ............... (Amiluhur Soeroso)

Tabel 8 Ringkasan WTP

SIMPULAN DAN IMPLIKASI Simpulan Nilai manfaat ekonomi konservasi gedung peninggalan De Javasche Bank sebagai pusaka kebudayaan (cultural heritage) yang terungkap adalah bentuk opportunity cost terhadap fungsi dan pemakaian benda itu agar tidak terdegradasi. Jika terjadi kesalahan alokasi dalam melakukan pengelolaan, termasuk restorasi, renovasi, rehabilitasi, rekonstruksi atau revitalisasi sehingga merubah bentuk, filosofi dasar atau pergelaran acara yang tidak sesuai dengan nuansa bangunan tersebut tentunya akan menimbulkan ongkos ekonomi, mengubah landmark dan citra kota. Implikasi

Sumber: Data Primer (diolah).

PEMBAHASAN Secara umum, temuan penelitian ini memberikan gambaran bahwa publik memberikan apresiasi positif terhadap konservasi barang kebudayaan berupa bangunan peninggalan De Javasche Bank. Dampaknya, kerusakan terhadap barang tersebut dianggap tidak menyenangkan sehingga stakeholders bersedia memberikan dukungan sejumlah dana untuk menghindari terjadinya kerusakan atau memperlambat terjadinya penurunan kondisi tersebut. Hal ini menunjukkan pula esensi nilai sumberdaya, tidak hanya menyangkut yang dikonsumsi tetapi juga menyangkut yang tidak dikonsumsi secara langsung sehingga pengertiannya mencakup aspek luas karena memiliki nilai intrinsik, terlepas dikonsumsi atau tidak. Bahkan ekstrimnya, ada kunjungan manusia atau tidak (Fauzi, 2005) di area bentang kebudayaan tersebut. Penetapan HTM bagi publik untuk mengkonsumsi bangunan atau acara di areal gedung tersebut berkisar US$4-7 atau Rp40-70 ribu per kunjungan. Besaran HTM ini adalah visitor management policy sebagai alat pengendalian jumlah pengunjung. Dengan demikan, bentuk konservasi pusaka budaya yang ditetapkan otoritas Bank Indonesia dengan membuka akses terhadap publik adalah pilihan yang tidak keliru, bukan hanya meningkatkan citra gedung perkantoran di Yogyakarta, tetapi institusi Bank Indonesia secara keseluruhan termasuk kota tempat keletakannya.

Manfaat ekonomi konservasi gedung peninggalan De Javasche Bank memberi pengetahuan terhadap nilai barang kebudayaan yang dilindungi, sehingga menjadi alat kuat penentu kebijakan melakukan manajemen sumberdaya dan mengalokasikan pendanaan. Valuasi ekonomi juga membantu stakeholders menemukan satu pandangan umum terhadap pilihan kebijakan yang harus diambil. Temuan ini memberikan pandangan pentingnya konservasi, bukan hanya bagi barang kebudayaan itu sendiri atau masyarakat yang hidup di sekitarnya tetapi juga kemaslahatan dunia. Pemeliharaan modal kebudayaan dapat dilakukan melalui pendanaan publik (public funding), misalnya menetapkan besaran entrance fee, foster parents dan heritage investment programs.

DAFTAR PUSTAKA Bank Indonesia, 2008. Arsip Bank Indonesia: Fotofoto Koleksi Gedung De Javasche Bank. Yogyakarta: Bank Indonesia. Bishop, R.C. and T.A. Heberlein. 1979. Measuring values of extramarket goods: Are indirect measures biased? American Journal of Agricultural Economics, 61 (December): 926-930.

17

JEB, Vol. 3, No. 1, Maret 2009: 11-19

Carson, R.C., R. T. Mitchell, M.B. Conaway and S. Navrud. 1997. Non-Moroccan Values for Rehabilitating the Fes Medina. A report to the World Bank on the Fes Cultural Heritage Rehabilitation Project. San Diego: Department of Economics, UC-San Diego. Danchev, A., and S. Mourato. 1997. Bulgaria in Transition: Economy and Heritage. The Measurement and Achievement of Sustainable Development in Eastern Europe. Report to DGXII. Engelhardt, R.A. 2005. World Heritage: Its implication and relevance for humanity. Paper presented at UNITAR Hiroshima Office for Asia and the Pacific Training Workshop on the Conservation and Management on World Heritage Sites. Hiroshima, Japan, April 18th, 2005. Erasmus University Rotterdam (EUR), 2003. A Handbook of Cultural Economics. Rotterdam, Netherlands: Digital Academic Repository-Erasmus University Rotterdam. Fauzi, A. 2005. Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan: Teori dan Aplikasi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Garrod, G.D., K.G. Willis, G. Bjarnadottir, and P. Cockbain. 1996. The non-priced benefits of renovating historic buildings: A case study of Newcastles Grainger Town. Cities, 13 (6): 423-430. Greene, W.H. 2003. Econometric Analysis. (5th ed.). Saddle River, NJ, USA: Prentice Hall, Inc. Gujarati, D. 2003. Basic Econometrics. (4 th ed.). Singapore: McGraw-Hill. Hanemann, W.M. 1989. Welfare evaluations in contingent valuation experiments with discrete responses data: Reply. American Journal of Agricultural Review, 71 (August): 332-341. Henderson, K.A., D. Staineker, and G. Taylor. 1988. The relationship between barriers to recreation and gender role personality traits for women. Journal of Leisure Research, 20: 69-80.

Kristrm, B. 1990. A-non parametric approach to the estimation of welfare measures in discrete response valuation studies. Land Economics, 66 (2): 135-139. Lee, C., J. Lee., and S. Han. 1998. Measuring the economic value of ecotourism Resources: The Case of South Korea. Journal of Travel Research, 36 (Spring): 40-47. Luzar, E.J., A. Diagne., C.E. Gan., and B.R. Henning. 1998. Profilling the nature-based tourist: A multinomial logit approach. Journal of Travel Research, 37 (August): 48-55. Mazzanti, M. 2003. Discrete choice model and valuation experiments. Journal of Economic Studies, 30 (6): 584- 604. Moran D., and C. Bann. 2000. The Valuation of Biological Diversity for National Biodiversity Action Plans and Strategies: a Guide for Trainers. United Nations Environmental Program (UNEP). Navrud, S., and R.C. Ready. 2002. Valuing Cultural Heritage: Applying Environmental Valuation Techniques to Historic Buildings, Monuments and Artefacts. Cheltenham, U.K: Edward Elgar Publishing, Ltd. Pearce, D.W. 1993. Economic Value and the Natural World. Cambridge, Massachusetts: MIT Press. Searle, M.S. and E.L. Jackson. 1985. Socioeconomic variations in perceived barriers to recreation participation among would-be participants. Leisure Sciences, 7: 227-249. Soeroso, A. 2000. Penilaian Kawasan Ekowisata Kotagede. Tesis. Sekolah Pascasarjana S-2 UGM. ________. 2007. Manfaat ekonomi konservasi saujana budaya Borobudur. Jurnal Ekonomi, 12 (2): 119135.

18

MANFAAT EKONOMI KONSERVASI BARANG PUSAKA KEBUDAYAAN: ............... (Amiluhur Soeroso)

Soeroso, A., D. Krisnadewara., dan Y. Sri Susilo, 2008. Nilai Manfaat Pusaka Kotagede: Sebelum dan Sesudah Goncangan Gempa Bumi. Makalah dipresentasikan dalam Simposium Nasional Riset dan Kebijakan Ekonomi: Dampak Bencana Alam dan Lingkungan Terhdap Pengelolaan Ekonomi Indonesia. Departemen Ilmu Ekonomi, Universitas Airlangga (UNAIR) Surabaya, Agustus 2008. Throsby, D. 1995. Cultural, economics and sustainability. Journal of Cultural Economics, 19: 199-206. ________. 1999. Cultural capital. Journal of Cultural Economics, 23: 3-12. Yatchew, A. and Z. Grilliches. 1985. Specification error in probit models. Review of Economics, 67 (Feb): 134-139.

19

.

ISSN: 1978-3116SUMBERDAYA MANUSIA (SDM) PEMBELAJAR: MENGGAPAI ............... (N.H. Setiadi Wijaya)

Vol. 3, No. 1, Maret 2009 Hal. 21-30

JURNA LEKONOMI & BISNIS

Tahun 2007

SUMBERDAYA MANUSIA (SDM) PEMBELAJAR: MENGGAPAI KINERJA DAN DAYA SAING ORGANISASI YANG LEBIH TINGGIN.H. Setiadi WijayaSekolah Tinggi Ilmu Ekonomi YKPN Yogyakarta Jalan Seturan Yogyakarta 55281 Telepon +62 274 486160, 486321, Fax. +62 274 486155 E-mail: [email protected]

ABSTRACT Competition among countries as well as companies is not based on the amount of natural resources or capital possessed, but on how well whether countries or companies improve the quality of their human capital. Creating human resource quality in organization is not a simple process, but this requires both holistic view and never ending process. The organization must provide organizational environment that allows the organizations members become resourcefulness human through continuously learning. This article explores an idea how an organization creates the learning environment. By having learners, the organization optimistically will be more competitive in the intense competition. Keywords: learning, performance gap, opportunity gap, empowerment, competitiveness.

PENDAHULUAN Persaingan antarnegara, tidak lagi berbasis pada kepemilikan sumberdaya alam, namun berbasis pada kepemilikan sumberdaya manusia (SDM) yang mumpuni, yang mampu mengolah produk (barang/jasa) yang mempunyai nilai tambah tinggi. Dalam sebuah tulisan yang dimuat dalam www.pikiran-rakyat.com (2003) menyebutkan bahwa pengetahuan (yang menjadi

milik SDM) dan human capital adalah jantung agenda ekonomi dunia. Pada level mikro, semua organisasi, yang menginginkan dirinya menjadi pemenang, tidak dapat melupakan ujung tombaknya, yaitu SDM. Kualitas SDM dilihat dari kandungan ilmu (content knowledge), kemampuan untuk mengaplikasikan ilmu atau ketrampilan (skill), dan mental kerjanya (mentality) (Abeng, 1997). Hal ini terbukti bahwa negara maju bukan negara yang memiliki sumberdaya alam melimpah, namun yang memiliki SDM yang berkualitas. Umum terjadi apabila kesenjangan selalu ada. Harapan tidak sesuai dengan kenyataan. Kalau berbicara daya saing, maka kondisi SDM Indonesia sungguh sangat mengkuatirkan, terlebih lagi apabila menghadapi kenyataan persaingan perdagangan bebas telah semakin nyata. Masalah SDM Indonesia pada umumnya terletak pada mental kerja yang menyangkut etos, daya juang, kreatifitas, dan kemauan untuk belajar terus mencapai hasil kerja yang terbaik (spirit of excellence) yang rendah. Bachtiar (dalam Kristanto, 1995) dalam makalahnya yang berjudul Manajemen dalam Perkembangan Sejarah Indonesia, mengatakan bahwa masalah manusia Indonesia dalam dunia usaha adalah (1) sukar bekerja sama, saling tidak percaya; (2) nepotisme, ciri penonjolan kepentingan kelompok sendiri; (3) keengganan terhadap inovasi; (4) keengganan untuk melibatkan usaha dalam pertumbuhan jangka panjang, dan lebih mengarahkan pada keuntungan jangka pendek; (5) melihat keberhasilan usaha lebih ditentukan oleh keuntungan daripada hasil suatu perhitungan dan usaha; (6) kurang

21

JEB, Vol. 3, No. 1, Maret 2009: 21-30

mampu memperkirakan seluruh unsur biaya yang perlu untuk menunjang usaha; dan (7) kurang menyadari kewajiban dan hal-hal yang mungkin timbul di kemudian hari dari keputusan yang dibuat hari ini. Hal yang harus diwujudkan Indonesia adalah membentuk masyarakat pada umumnya dan masyarakat bisnis khususnya yang berbudaya senang belajar. Belajar dalam hal ini tidak dikonsepsikan seperti bersekolah formal, namun mencakup mental manusia yang eksploratif terhadap hal-hal baru. Apalagi apabila dicermati, sebagian masalah di atas berakar masalah pada: keengganan SDM Indonesia untuk belajar/ menjadi pembelajar. Aspek mental dalam hal ini ternyata berperan sangat penting, terutama dalam pembentukan sisi jiwa SDM sebagai pembelajar. Kemauan untuk belajar adalah salah satu aspek mental SDM kunci yang penting untuk segera dibentuk. Ilmu dan ketrampilan bukan hal yang berlaku terus untuk semua kondisi, namun harus selalu diperbaharui mengikuti kebutuhan lingkungan. Kalau seseorang tidak mempunyai kemauan dan kemampuan untuk menjadi pembelajar (lifelong learner), maka lambat laun dirinya akan ketinggalan. Kreatifitas juga terbentuk karena belajar. Tidak mungkin seorang mampu menemukan cara yang kreatif untuk mencapai tujuannya tanpa melalui proses belajar. Sesuai dengan pernyataan Schein (1996); The ability to create new organizational forms and processes, to innovate in both the technical and organizational arenas, is crucial to remaining competitive in an increasingly turbulent world, disain organisasional baru dan berinovasi akan menentukan bagaimana organisasi tersebut mampu bersaing. Namun membentuk organisasi menjadi masyarakat pembelajar (knowledge-based society) tidak mudah. Budaya belajar bukan perilaku yang muncul sementara, namun harus dijaga terus-menerus dan membutuhkan nilai, keyakinan, dan norma yang kuat untuk mempertahankannya. Komitmen untuk menumbuhkan budaya belajar juga penting. Komitmen terus menerus dari pemimpin organisasi dan seluruh anggotanya, bahwa bahan baku menghadapi persaingan adalah ilmu dan ilmu hanya diperoleh dari belajar. Artikel ini membahas tentang pentingnya manusia menjadi pembelajar berkelanjutan, hubungan belajar dengan teori motivasi, dan bagaimana pembentukan infrasruktur organisasional yang

berfokus pada pembentukan sumberdaya manusia yang pembelajar. MASALAH DAN PEMBAHASAN Pembelajaran pada tingkat perorangan merupakan perolehan dan penciptaan pengetahuan dan gagasangagasan baru yang mengubah cara seseorang dalam mengenali, memahami, atau mengambil tindakan (www.access-indo.or.id). Selanjutnya, pembelajaran akan ditingkatkan dengan adanya kebebasan untuk berpikir secara kreatif sehingga mengarah pada inovasi. Definisi pembelajaran menurut Nelson & Quick (1996) dan Gibson et al (2006) adalah perubahan perilaku yang relatif tetap karena pengalaman. Pembelajaran dengan demikian bukan karena proses alamiah kedewasaan atau berubah sementara. Menurut Chattell (1995) pembelajaran jika seseorang melewati proses berkelanjutan dari hal-hal berikut (1) menemukan realitas (individual sees reality); (2) merefleksikan apa yang bisa dilakukan (reflecting on what can be done); (3) berkomunikasi dengan orang lain (dialogue with others); (4) membuat pilihan-pilihan (making individual choices); (5) tindakan bersama yang disepakati (collective action); dan yang terakhir (6) kapasitas beradaptasi (ability to adapt). Jadi, proses pembelajaran tidak hanya mencakup sisi kognitif/ pemahaman (cognitive learning), namun juga sisi perilaku (behavioral learning) dan sisi sosial (social learning). Poin (1), (2), (3) dan (4) adalah proses penajaman sisi kognitif, sedangkan poin (5) dan (6) proses penajaman sisi perilaku (dan sikap) sekaligus sisi sosial. Menurut Jogiyanto (2006) Pembelajaran yang baik mempunyai sasaran yang seharusnya berfokus pada hal-hal berikut: (1) meningkatkan kualitas berpikir (qualities of mind) yaitu berpikir dengan efisien, konstruktif, mampu melakukan judmen (judgment) dan kearifan (wisdom); (2) meningkatkan attitude of mind, yaitu menekankan pada keingintahuan (curiosity), aspirasi-aspirasi dan penemuan-penemuan pembelajaran merupakan kegiatan seni untuk menemukan sesuatu (discovery process); (3) meningkatkan kualitas personal (qualities of person) yaitu karakter (character), sensitivitas (sensitivity), integritas (integrity), tanggung jawab (responsibility); (4) meningkatkan kemampuan untuk menerapkan

22

SUMBERDAYA MANUSIA (SDM) PEMBELAJAR: MENGGAPAI ............... (N.H. Setiadi Wijaya)

konsep-konsep dan pengetahuan-pengetahuan di situasi spesifik. Dapat disimpulkan bahwa pembelajaran mencakup dimensi dan sasaran yang luas. Untuk menjadi insan yang optimal di tempat kerjanya, karyawan tidak hanya belajar dari buku/manual atau mendengarkan kelas turtorial, namun mampu mengendapkan apa yang telah dibaca, didengar, dan diamati yang teraplikasi pada cara bekerja yang lebih konstruktif dan efisien. Kearifan muncul ketika seseorang benar-benar mampu merasakan dengan batinnya; apa yang sebenarnya telah dilihat, apa yang benar/tidak benar, apa yang seharusnya, dan bagaimana karyawan memaknai pekerjaannya. Kearifan selain dapat didapatkan dari pengalaman seniornya, dapat pula didapatkan dari pengalaman masing-masing individu. Ciri khas orang yang suka belajar adalah keingintahuannya yang besar. Keingintahuan yang besar membuat orang tersebut ingin mengeksplorasi berbagai hal, fenomena, dan keterkaitannya dari banyak hal yang diamatinya. Bahkan dapat dikatakan orang yang tidak mempunyai rasa ingin tahu adalah orang yang tidak pernah belajar. Banyak contohnya; seorang anak yang mempunyai impresi besar di satu saat melihat orang lain bermain gitar yang membuat dia mempunyai keinginan kuat untuk mempelajarinya. Rasa ingin tahu bisa juga muncul dari kegagalan, misalnya kegagalan seorang untuk mendapatkan pekerjaan dapat memicu keingintahuan (apa, mengapa, dan bagaimana), sehingga mampu belajar dari fenomena kegagalannya. Dalam hal ini, organisasi harus merangsang rasa ingin tahu karyawannya, dengan sering menanyakan; Mengapa hal ini terjadi?, Apa penyebab utama dari masalah ini?, Apa yang seharusnya dilakukan?, dan sebagainya. Organisasi harus mengkondisikan penekanan bukan pada kegagalannya, namun apa yang harus dipelajari dari kegagalan itu. Karyawan menjadi pintar bukan karyawan yang tidak pernah berbuat kesalahan, namun mereka yang semakin pintar lewat kesalahan-kesalahan. Hal ini sangat idealis karena di lapangan manajer sering lebih gampang memfokuskan diri pada kesalahan, bukan pada hal yang lebih bermakna dari kesalahan. Kualitas personal di saat ini menempati posisi yang sangat penting dalam dimensi manusia yang berkualitas (Abeng, 1997), bahkan organisasi

mensyaratkannya sebagai syarat yang dominan dalam pemilihan calon karyawannya, seperti pernyataan perusahaan sekaliber Disney Land, yaitu: We are looking for personality, skill can be trained (Nelson & Quick, 1996). Selanjutnya menurut Abeng, karakter kualitas personal yang disebut dengan mental adalah bagian yang tidak mudah dibentuk. Sifatnya yang lebih abstrak (intangible) menjadikannya juga sulit diukur. Kualitas personal merupakan dimensi bangunan budaya organisasi di level nilai-nilai (values). Pembelajaran yang paling efektif adalah dengan sosialisasi kredo organisasi dengan dibarengi dengan komitmen dan keteladanan dari pemimpin. Lewat sistem budaya, secara sosial setiap karyawan akan mengikatkan diri dengan nilai-nilai yang dipahami benar dan harus dijunjung tinggi. Akhirnya, hasil pembelajaran harus nyata, misalnya dilihat bagaimana karyawan menjadi lebih baik dalam melayani, produktivitas yang baik, waktu penyelesaian pekerjaan lebih pendek, dan penemuanpenemuan cara kerja baru yang lebih baik, efisien dan efektif. Sasaran pembelajaran ini adalah yang relatif bisa diamati. Dalam level organisasional, pembelajaran kualitas personal yang berhasil dapat dilihat dari indikator menurunnya kebohongan, tingkat kemangkiran (absenteeism), pencurian, kekerasan, ketidakadilan, diskriminasi, dan sebagainya sebaliknya meningkatnya motivasi, etos kerja, dan lingkungan kerja yang bernuansa moral. Salah satu kebutuhan manusia adalah berkembang melalui pembelajaran. Jadi pembelajaran sangat terkait dengan motivasi. Semakin tinggi kesempatan untuk belajar, semakin tinggi motivasi dan kepuasan kerja karyawan. Hal ini bisa dijelaskan dengan teori motivasi hirarki kebutuhan dari Maslow dan teori ERG dari Aldefer (Gibson, Ivancevich, Donnely, 2000). Maslow menempatkan kebutuhan belajar pada level tertinggi dalam hirarki kebutuhannya. Aktualisasi diri menurutnya mencakup bagaimana seseorang menggunakan semua kapasitas, ketrampilan dan potensinya. Teori ERG dari Alderfer juga menampilkan unsur pertumbuhan (growth) sebagai hal penting untuk menggerakkan orang. Alderfer bahkan menyebutkan, orang yang tidak terpuaskan kebutuhan berkembangkan akan frustasi (Gibson, Ivancevich, & Donnely, 2000). Herzberg dalam penelitiannya menyebutkan opportunities to growth

23

JEB, Vol. 3, No. 1, Maret 2009: 21-30

dan opportunities to advancement pada situasi tepat yang mampu memuaskan jika terpenuhi (Teori Motivasi Dua faktor) (Gibson, Ivancevich, & Donnely, 2000). Sedangkan McClelland menyebutkan need for achievement sebagai motivator yang penting (Gibson et al, 2006). Sejak manusia dilahirkan sebenarnya mempunyai sifat dasar mempunyai kebutuhan belajar, dari hal yang sangat sederhana sampai pada yang paling rumit. Belajar dari nalurinya, meniru orang lain, memodifikasi, mensintesakan beberapa hal menjadi nampak berbeda, sampai menemukan suatu hal-hal yang benar-benar baru (Yogiyanto, 2006). Masalahnya sekarang apakah belajar dipandang sebagai proses alamiah atau proses terstruktur. Ada sebagian sisi hidup manusia yang memang didapatkan dari proses alamiah (naluriah), namun proses ini tidak cukup membuat potensinya berkembang optimal. Dia harus mampu mengembangkan cara-cara belajar dan harus dalam sebuah sistem pembelajaran yang efektif. Selain telah diungkapkan oleh teoritisi, bahwa belajar adalah kebutuhan setiap orang, sehingga organisasi harus mengakomodasi di sisi yang lain, organisasi harus mampu menyediakan wadah (aspek budaya dan sistem) organisasional yang memampukan orang-orangnya menjadi pembelajar efektif. Kondisi timbal balik harus terjadi. Organisasi memberikan kesempatan belajar seluas-luasnya, sehingga hal ini mampu merangsang pertumbuhan SDM, sekaligus memotivasi. Di sisi lain, kontribusi SDM pembelajar memberikan sumbangan yang tidak ternilai bagi pertumbuhan organisasi. Chattell (1995) berpendapat bahwa seseorang akan menjadi pembelajar efektif jika dia mempunyai visi untuk apa dia belajar. Visi adalah acuan yang memampukan seorang bertanya dua hal, yaitu (1) Di mana saya sekarang? dan (2) Seharusnya saya di mana? atau Ke daerah mana yang saya inginkan?. Dua pertanyaan ini memunculkan kesenjangan (gap), yaitu jarak antara di mana sekarang dan di mana seharusnya. Kesenjangan akan menyadarkan bahwa dia masih perlu melakukan sesuatu untuk menyelesaikan kesenjangannya. Hal ini sekaligus menjadi sumber tenaga ekstra untuk memicu kemauan untuk belajar. Ada dua jenis kesenjangan yaitu (1) kesenjangan kinerja (performance gaps) (Tushman & OReilly, 1997; Winardi, 2006; Zimmener & Scarborough,

1998) dan (2) kesenjangan kesempatan (opportunity gaps) (Tushman & OReilly, 1997). Pertama, kesenjangan kinerja adalah jarak antara kinerja yang telah direncanakan dan dicapai yang bisa muncul karena adanya sistem pengendalian diri masing-masing SDM (di antara titik Di mana saya sekarang? dan titik Di mana seharusnya saya sekarang?). Berarti kesenjangan kinerja adalah kesenjangan yang sekarang sudah terjadi atau kesenjangan yang benar-benar dihadapinya. Untuk menemukan kesenjangan kinerja setiap saat, seseorang butuh sistem pengendalian diri (selfcontrol system). Hal ini sangat penting, karena memampukannya melakukan pengendalian aktivitas yang telah atau sedang berjalan dan kendalanya yang berguna untuk pembelajaran. Karyawan bisa memperkecil/menghilangkan kesenjangan, jika kesenjangan cepat dipahami. Pembelajaran karena kesenjangan kinerja adalah pembelajaran reaktif, yaitu bereaksi terhadap yang seharusnya tidak terjadi (hal yang tidak sesuai dengan perencanaan). Contohnya, seorang manajer yang menentukan toleransi kerusakan/ kecacatan paling banyak 50 unit pada setiap 1.000.000 unit produk jadi (kerusakan/kecacatan = 0,005%), namun yang terjadi terdapat 100 unit yang rusak atau cacat (0,01%), maka terjadi kesenjangan kinerja antara apa yang dia rencanakan dengan kenyataan. Manajer tersebut harus bertanya mengapa kesenjangan terjadi dan bagaimana cara menyelesaikannya. Yang kedua, kesenjangan kesempatan adalah kesenjangan yang muncul karena prediksi-prediksi karyawan mengenai apa yang akan terjadi di masa yang akan datang (opportunities). Kesenjangan ini belum terjadi, namun diprediksikan akan terjadi (di antara Di mana saya sekarang? dan Saya ingin ke mana?. Seorang tidak akan berhasil melompat dengan baik, jika persiapan melompat tidak dari sekarang. Karyawan harus belajar, apa yang akan terjadi, apa yang harus dipersiapkan dari sekarang? Hal ini sangat memacu kreatifitas untuk tindakan antisipatif. Berbeda dengan kesenjangan kinerja, kesenjangan kesempatan berorientasi pada pembelajaran proaktif. Setiap karyawan dituntut memiliki sistem pengukuran diri sendiri (self-measurement system), selalu siap dengan segala sesuatu yang diprediksikan terjadi. Tentang apa yang diprediksikan terjadi bisa terkait dengan rencana jangka panjang

24

SUMBERDAYA MANUSIA (SDM) PEMBELAJAR: MENGGAPAI ............... (N.H. Setiadi Wijaya)

organisasi (visi) dan pengamatan lingkungan eksternal yang cerdik. Contohnya, seorang karyawan akan siap menjadi siapa pada 5 tahun yang akan datang, dengan asumsi organisasi telah sebesar apa, organisasi memberikan kesempatan seluas apa, dan seterusnya. Karyawan yang mempunyai sistem pengukuran diri baik, lebih siap melompat jika di depannya terdapat kesempatan yang diraihnya. Karyawan harus belajar bahwa tenaga melompat akan besar jika dipersiapkan jauh dari jarak lubang (kesenjangan), sebaliknya tenaga akan tidak berarti jika dikumpulkan tepat/dekat di pinggir lobang (kesenjangan). Lewat pembelajaran ini, setiap individu mampu menciptakan lompatan kuantum (quantum leap) atau disebut juga lompatan katak (frog leap), hasilnya adalah perubahan radikal atas dirinya sendiri. Namun, untuk dapat melakukan lompatan besar (mengatasi opportunity gap) SDM harus belajar melakukan lompatan-lompatan kecil dulu, yakni menyelesaikan kesenjangan-kesenjangan kinerja.

menghadapi masalah. Pendekatan ini tidak mendewasakan karyawan (Chattel, 1995). Mereka akan seperti seorang anak yang tidak mampu bertumbuh optimal. Hal ini berarti mememdam potensi karyawan terus menerus. Berarti pula organisasi mendehumanisasikan SDM-nya. Apa yang seharusnya dilakukan oleh organisasi? Prinsipnya, karyawan harus diberdayakan (empowerment) (Nelson & Quick, 1997; Redman & Wilkinson, 2002; Sudarusman, 2004). Menurut Sudarusman (2004) pemberdayaan adalah proses mendorong individu dalam organisasi untuk menggunakan insiatif, kewenangan dan tanggung jawab dalam menyelesaikan pekerjaan. Proses pemberdayaan karyawan menurutnya, tidak hanya sekadar menjadikan karyawan menjadi bagian dari sebuah pekerjaan, namun lebih dari itu adalah pelibatan karyawan (employee involvement) dalam pekerjaan. Pemberdayaan akan mendorong karyawan ber-

Gambar 1 Kesenjangan Kinerja dan Kesempatan Hubungan paternalistik antara atasan-bawahan tercermin pada keinginan atasan untuk selalu memberikan jawaban (solusi) terhadap segala masalah yang dihadapi oleh karyawan. Sebaliknya, cara ini mendorong terus menerus karyawan untuk selalu bertanya apa solusinya? ketika dalam bekerja mereka kontribusi sebesar-besarnya bagi organisasi (Redman & Wilkinson, 2002). Pendapat yang lebih esensial adalah dari Chattell (1995), yaitu karyawan harus diposisikan sebagai manusia yang bersumberdaya (people as resourcefulness humans) bukan sebagai faktor produksi

25

JEB, Vol. 3, No. 1, Maret 2009: 21-30

(people as human resources). Karyawan adalah manusia yang memiliki kapasitas dan kompetensi yang dapat dikembangkan, berbeda dengan mesin. Kapasitas dan kompetensi karyawan dapat dikembangkan bukan dengan memberikan jawaban (providing the answers) namum justru dengan memberikan masalah (providing the problems). Dengan memberikan masalah, karyawan diajar untuk bertanggung jawab menyelesaikannya. Pekerjaan adalah milik karyawan, satu paket dengan masalahnya. Dengan terbiasa menyelesaikan masalah tiap hari, mereka akhirnya menjadi ahli-ahli di bidangnya masing-masing. Organisasi dalam hal ini perlu mempersiapkan: (1) Brainware. Kompetensi karyawan harus dipersiapkan agar mereka mampu menyelesaikan masalah dengan memberikan pelatihan dan pengembangan yang diperlukan;(2) Infrastruktur. Brainware tidak akan berguna kalau tidak ada infrastruktur penunjang yang menolong karyawan dalam menjawab masalahnya. Infrastruktur yang dimaksud misalnya data, alat-alat, program, dan lainlain; (3) Mental karyawan. Mental adalah berkaitan dengan kesediaan dan keberanian karyawan menanggung risiko pekerjaannya. Karyawan harus belajar, yang dimaksudkan dengan risiko bukan berarti bertindak sembrono, namun bertindak berani namun terukur. Brainware dan infrastruktur tidak akan berguna jika karyawan tidak mempunyai mental bersedia dan berani untuk menjawab sendiri semua masalahnya. Seorang pemimpin memberi kepercayaan sambil mendukung dari belakang; (4) Iklim organisasi yang kondusif. Hal yang penting adalah mental karyawan dibentuk atas dasar kepercayaan yang diberikan organisasi. Organisasi harus punya keseimbangan antara (a) membiarkan kesalahan terjadi dan (b) mencegah kesalahan tidak terjadi, di awal pembangunan mental ini.1 Perusahaan yang prosedural dan sangat rapi mempunyai ekses negatif yaitu mengajarkan kepada

anggotanya hanya ada satu jalan menuju satu tempat. Hal ini berarti pula mematikan kreatifitas mereka. Secara ekstrim bisa dikatakan inilah pembodohan yang tersistem. Seorang pemain bola yang kreatif tidak percaya hanya ada satu cara membobol gawang lawan dan seorang koki yang cerdas tidak akan percaya membuat pisang menjadi lebih enak hanya dengan digoreng. Organisasi harus menyadarkan kepada karyawan bahwa banyak cara dan formula untuk mencapai tujuan pekerjaan. Organisasi yang mendukung karyawannya bertumbuh adalah organisasi yang mau mencoba memberikan tujuan pekerjaan, bukan senantiasa memberikan cara dan formula untuk mencapai tujuan tersebut. Seorang manajer tim sepak bola hanya menekankan; kalian harus menang dan seorang manajer hotel memberikan tujuan pada kokinya; buatlah masakan yang terlezat, selebihnya bagaimana cara mencapainya sebaiknya diserahkan kepada pelaksana pekerjaan. Cara lain agar karyawan dapat bertumbuh adalah melibatkan karyawan dalam tim. Setiap karyawan akan melewati pertukaran pengetahuan (sharing knowledge) yang efektif melalui tim mandiri, karena karakteristik tim yang beranggotakan beberapa orang yang memiliki kemampuan dan ketrampilan yang berbeda dan bersinergi. Tim tidak hanya mempercepat penyelesaian masalah, tetapi juga hasil sinergi menyebabkan setiap orang mendapatkan nilai pekerjaan yang lebih tinggi daripada penjumlahan nilai pekerjaan jika masing-masing bekerja sendiri (TEAM = Together Everyone Achieve More)2. Tugas organisasi adalah merumuskan tujuan tim, kemudian tim yang memutuskan bagaimana cara mencapainya dengan asumsi sumberdaya tersedia (waktu, biaya, dan kompensasi). Organisasi pembelajar adalah organisasi yang mampu merespon lingkungannya, mengumpulkan pengalaman dan pengetahuan, dan menggunakannya sebagai memori untuk pengelolaan organisasi yang lebih baik.

1

Dalam Tushman & OReilly (1997) membahas hasil penelitian yang menunjukkan hubungan yang signifikan antara norma pembentuk kreatifitas dan implementasi ide-ide baru dalam 5 organisasi inovatif yang sangat berjauhan dari sisi geografis dan industri. Penelitian ini menyebutkan semua organisasi ini mengembangkan norma mistake OK atau acceptance of failure atau freedom to fail sebagai norma yang sangat penting pembentuk kreatifitas dalam organisasinya. Istilah TEAM = Together Everyone Achieve More didapatkan penulis pada saat menempuh Magister Sains FE UGM dalam kuliah Manajemen Operasional yang diasuh oleh Drs. Wachid Slamet Ciptono, M.B.A., M.P.M.

2

26

SUMBERDAYA MANUSIA (SDM) PEMBELAJAR: MENGGAPAI ............... (N.H. Setiadi Wijaya)

Namun sebelum menjadi organisasi pembelajar, organisasi tersebut harus lebih dahulu membentuk manusia yang dimilikinya menjadi manusia pembelajar. Organisasi harus mampu menciptakan masyarakat yang berbasis ilmu (knowledge-based society). Masyarakat yang berbasis ilmu harus berisikan manusia yang senang belajar dan merespon perubahan. Peter Senge menyebutkan bahwa keandalan personal merupakan komponen yang penting dalam organisasi pembelajar (Redman & Wilkinson, 2002). Dalam www.pikiran-rakyat.com (2003) disebutkan beberapa faktor yang mencirikan organisasi pembelajar. Faktor-faktor tersebut adalah (1) adaptif pada lingkungan eksternal, (2) terus menerus meningkatkan kapabilitas untuk berubah, (3) mengembangkan kemampuan belajar secara individual dan kolektif, dan (4) menggunakan hasil belajar untuk mencapai hasil yang lebih baik Jadi, bisa disebut sebuah kamuflase adalah jika sebuah organisasi disebut sebagai organisasi pembelajar, namun tidak berisikan manusia yang suka belajar dan senang berubah. Mengapa organisasi gagal membentuk manusia pembelajar? Lingkaran dalam Gambar II menunjukkan lingkaran kegagalan ini. Disain organisasi yang hirarkis, pengendalian dan arus informasi atas-bawah, supervisi yang berfokus pada pengendalian, dan orientasi kerja organisasi pada divisi fungsional adalah ciri khas pengelolaan organisasi yang tidak menempatkan manusianya pada tempat sentral, namun sistem pada tempat penting. Dalam lingkungan organisasi seperti ini, manusia hanya sebagai salah satu komponen dari sistem tersebut. Harusnya manusia adalah pengerak sistem. Organisasi yang hirarkis bukan masalah bentuk saja, namun juga menunjukkan dengan asumsi apa organisasi tersebut dikelola. Disain organisasi seperti ini menyebabkan kontrol yang terlalu kuat terhadap aktor utama organisasi, yaitu SDM-nya. Mereka seperti ditempatkan di sangkarnya masing-masing layaknya merpati (pigeon holing) yang mengerjakan pekerjaan rutin dengan batasan ruang-ruang yang jelas. Yang terjadi kemudian adalah SDM dipaksa inersia secara potensi. Inersia atau kelembaman adalah kondisi SDM yang tidak mau bergerak lagi, karena ruang geraknya yang terlalu dibatasi. Kondisi inersia sangat membahayakan bagi SDM organisasi, karena pada kondisi ini SDM nampak hidup namun sebenarnya kreatifitasnya dimatikan oleh

sistem. SDM dipaksa tidak berkembang, karena memang sistem yang menghambatnya. Peran SDM yang seharusnya sentral menjadi kaku dengan prosedur yang terstandarisasi, serta tanggung jawab SDM dalam pekerjaan yang sempit. Peran yang kaku, prosedur yang sangat terstandarisasi lagi-lagi menyebabkan terkungkungnya kebutuhan alamiah manusia yang ingin senantiasa belajar dan mengenal hal-hal baru. Secara psikologis, kondisi ini juga berperan memunculkan kebosanan, karena setiap hari karyawan dipaksa untuk melakukan pekerjaan yang sangat kaku, tersandarisasi, dan terspesialisasi. Bagaimana seharusnya organisasi memotong lingkaran tidak konsisten dengan lingkungan pembelajaran ini? Organisasi harus merespon dengan mengadakan perubahan-perubahan disain organisasi secara signifikan. Pengurangan lapis adalah salah satu pilihan organisasi. Ditegaskan sekali lagi, yang terpenting bukan terletak setipis apa strukturnya, namun asumsi dasar pengelolaan. Manusia harus ditempatkan pada tempat pertama, sedangkan bentuk organisasi hanya wadah penolong manusia bisa berkarya dengan optimal. SDM yang mampu mengendalikan dan menilai dirinya sendiri dengan cara diberi tanggung jawab atas pekerjaannya, mengidentifikasi masalah, dan membuat formula untuk menyelesaikannya. Tujuan ini dipermudah lewat pendekatan tim. Dalam tim, secara bersama-sama setiap individu diberi kesempatan untuk memiliki pekerjaan sepaket dengan masalah dan cara menyelesaikannya. Sejauh mungkin organisasi mengupayakan agar mau berpindah dari disain organisasi yang mekanistik (mechanistic organization) menjadi yang cenderung organik (organic organization), yakni organisasi dengan didisain lebih fleksibel dan responsif dengan perubahan lingkungan eksternal (Nelson & Quick, 1997). Disain organisasi yang baru, akan mendorong inisiatif SDM yang lebih besar. Mereka distimuli untuk memperoleh wawasan lebih luas yang difasilitasi disain pekerjaan yang kreatif dan fleksibel. Manajemen SDM penting mengkaitkan dengan program pelatihan agar SDM cukup fleksibel mengerjakan tugas-tugas yang variatif. Dukungan pada daur hidup kerja adalah dengan meringkas dan mengefektifkan jalur komunikasi, kerja lintas fungsional dan sinergi, serta SDM yang didukung potensinya dengan kebijakan

27

JEB, Vol. 3, No. 1, Maret 2009: 21-30

terkait dan relevan yang menyangkut layanan kepada sumberdaya manusia, yaitu sistem penghargaan, promosi, kesempatan, dan sebagainya. Lovelock dan Wirtz (2007) menyebutkan layanan kepada karyawan dan lingkungan kerja yang baik berpengaruh signifikan terhadap tingkat kepuasaan, komitmen dan loyalitas karyawan dan akan berpengaruh pada tingkat layanan kepada pelanggan eksternal. Disebutkan lebih lanjut, perusahaan yang

memberikan layanan kepada karyawan dengan baik adalah perusahaan yang juga berkemampulabaan baik, karena baiknya layanan kepada pelanggannya. Selain layanan kepada karyawan. kuncinya terletak bagaimana organisasi mau memperdayakan manusianya agar menjadi SDM yang berkembang optimal potensinya. Organisasi seperti ini tidak hanya mempunyai kefleksibelan yang lebih baik, namun juga atmosfir yang kondusif bagi SDM-nya untuk belajar. Disain

Gambar 2 Disain Ulang Organisasional untuk Pembelajaran SDM yang Efektif

28

SUMBERDAYA MANUSIA (SDM) PEMBELAJAR: MENGGAPAI ............... (N.H. Setiadi Wijaya)

organisasi fleksibel yang dimaksudkan tidak menghilangkan birokrasi sama sekali. Birokrasi dalam arti prosedur/sistem adalah hal yang baik.3 Birokrasi dibuat agar aktivitas organisasi rapi, bukan dimaksudkan mengungkung manusia di dalamnya. Tanggung jawab karyawan yang fleksibel seperti melepaskan mereka dari ruang sempit yang mengungkung. Wawasan mereka lebih luas dan kesempatan belajar juga diperbesar. Organisasi yang demikian adalah organisasi yang membentuk para ahli, bukan hanya pelaksana. Apabila organisasi berisikan para ahli, maka daya saing meningkat. SIMPULAN Peran organisasi dalam menciptakan lingkungan kondusif untuk membentuk SDM pembelajar tidak mudah.