MAJALAH RUANG FILM Vol. 1/Maret 2015

20
1

description

"Let's Make Bandung A Great Film City!"

Transcript of MAJALAH RUANG FILM Vol. 1/Maret 2015

Page 1: MAJALAH RUANG FILM Vol. 1/Maret 2015

1

Page 2: MAJALAH RUANG FILM Vol. 1/Maret 2015

2

MAJALAH

ruangfilm

PENANGGUNG JAWABLalitya Putri Noorullya

(Presdir Ruang Film Bandung 2015)

PIMPINAN UMUMTina Nurfalah

PIMPINAN REDAKSISanti Hasan

EDITORIAL SUPPORT

REPORTER TETAPHadian Mutakin

TATA LETAK+DESAIN GRAFISSanti Hasan

SAMPULSanti Hasan

Umair Al Anshari

FOTORuang Film Bandung

MEDIA SOSIALM. Ihza Muzakki

PEMASARAN+IKLANVicry M. Rauf

MAJALAH RUANG FILMoleh RUANG FILM BANDUNG

Jalan Taman Cibeunying Selatan 47Bandung Indonesia

[email protected]@majalahrfb

@ruangfilmbdgFB: Ruang Film Bandung

Salam Sinema,

Berawal pada 2014, Ruang Film Bandung (RFB) sebagai komunitas anak muda kreatif yang baru lahir bermimpi membuat sebuah media komunikasi komunitas perfilman di Bandung. Sepanjang tahun, ide ini terus bergulir, hingga akhirnya terpikir: mengapa tak sekalian saja membuat majalah?

Dari sanalah, majalah ini lahir. Nama ‘Ruang Film’ dipilih sesuai dengan harapan agar majalah ini bisa memiliki jangkauan yang luas. Bukan hanya untuk RFB, tapi juga seluruh penggiat dan pemerhati perfilman di Kota Bandung. Bukan semata untuk menyuarakan semangat satu komunitas, tapi untuk menularkan cita-cita yang lebih besar kepada seluruh insan perfilman Bandung: ‘Let’s make Bandung a great film city!’

Edisi perdana ini menggarisbawahi bagaimana cita-cita itu bermula dan terus diupayakan selama setahun terakhir. Pasca Konferensi Film Bandung 2013, RFB terus merancang langkah-langkah berikutnya untuk mengukuhkan milestone demi milestone. Meski belum sempurna, seperti juga penerbitan perdana majalah ini, kami percaya bahwa setiap hal besar berawal dari langkah-langkah kecil namun bermakna. Every great thing begins from small steps.

Demi perfilman Kota Bandung yang lebih semarak!

Santi Hasan PIMPINAN REDAKSI

@rfhsanti

9 10 12SETAHUN RFB

Kaleidoskop komunitas 2013- 2014.

KONFERENSI FILM BANDUNG 2013

Langkah awal menuju kota perfilman yang hebat!

RUANG FILM BANDUNG:RUANG APRESIASI MASYARAKAT

FILM KOTA BANDUNGMengenal RFB lebih dekat.

EDITORIAL

FOKUS UTAMA

“LET’S MAKE BANDUNG A GREAT FILM

CITY!”

Page 3: MAJALAH RUANG FILM Vol. 1/Maret 2015

3

Ina Khuzaimah

Ilma Indriasri Pratiwi

Lalitya Putri Noorullya

Hobi membaca menuntunnya menuju banyak dunia: penulisan kreatif, film, dan jurnalistik. Sarjana Ilmu Komunikasi ini selalu merasa terpanggil untuk menyebarkan informasi terbaru, sehingga merasa tepat berada di Ruang Film Bandung sebagai Penanggung Jawab Pusat Media yang mewadahi enam sub-divisi: media sosial, website, youtube channel, Majalah Ruang Film, kerjasama radio, dan kerjasama televisi. Ia pernah pernah menjadi kontributor sebuah majalah serta menerbitkan buku antologi cerpen “A to Z By Request” bersama 25 penulis lain yang tergabung dalam Reading Lights Writer’s Circle. Saat ini, Ina menjadi penulis lepas untuk beberapa kebutuhan publikasi dan manajer sebuah PH di Kota Bandung.

Bekerja sebagai konsultan freelance di Kementerian Pariwisata, namun memiliki minat besar dalam kesenian dan perfilman yang terbangun sejak SMP. Film debutnya, “Bingkisan” (2001) memenangkan penghargaan Ide Terbaik Bengkel Film Anak Sampoerna. Pada 2002, karya dokumenternya, “Menggali Kasih Di Antara Butiran Pasir”, yang diproduksi dalam workshop InDocs ditayangkan di JIFFEST. Di tahun yang sama, ia memenangkan Ziphort Film Festival melalui “Aku Hanya Ingin”. Karyanya yang lain “Ring Back Tut” (2010) dan “Guy/Tidak” (2010), yang diproduksi melalui program LA Lights Indiemovie 2009. Ketua pelaksana Konferensi Film Bandung 2013 ini juga memenangkan Fasilitasi Penulisan Skenario Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata dengan film “Kereta Sinema” (2014). Kini, Ilma mejabat sebagai Sekretaris Jenderal Ruang Film Bandung.

Lahir di Bandung, 13 November 1990, anak terakhir dari tiga bersaudara ini sering disapa Tya atau Lita. Sejak kecil, hobinya mendengarkan musik dan menonton film. Di masa SMA, ia berkesempatan untuk memproduksi sebuah film adaptasi sejarah. Sewaktu kuliah jurusan Sastra Inggris di Universitas Pendidikan Indonesia, Tya dan teman-temannya membangun sebuah rumah produksi kecil, Kaneron Pictures, di mana ia menjadi produsernya. Hingga saat ini, Kaneron Pictures telah memproduksi beberapa film pendek, yaitu “Mr. Postman” (2012), “Man With Flower” (2012), “The Client” (2013), dan “Magrib” (2014). Sejak Januari 2015, Tya juga disibukkan oleh tugas barunya sebagai Presiden Direktur Ruang Film Bandung. Tya dapat dihubungi melalui twitter (@lalitappa) dan instagram (@lalityaputri).

Kontributor Kami

EDITORIAL [2]

LAYAR KITA [4]“TANAH MAMA”

DI BALIK LAYAR [5]“MAGRIB”

ADA APA DI BANDUNG? [6]“BANDUNG, KOTA

FESTIVAL”

SOROT [16]“SAMMARIA

SIMANJUNTAK”

OPINI [17]

EDISI INI

EDITORIAL

Page 4: MAJALAH RUANG FILM Vol. 1/Maret 2015

4

Tanah Mama

LAYAR KITA

TAK banyak film dokumenter yang saya tonton karena minimnya produksi serta informasi pemutaran. Begitu Sammaria Simanjuntak mengundang ke pemutaran dokumenter “Tanah Mama” di sebuah bioskop, saya pun langsung antusias. Jarang film dokumenter diputar bertiket di layar lebar seperti film fiksi.

Antusiasme ini terbayar manis. “Tanah Mama” sarat pesan namun sama sekali tak membosankan. Berpusat pada perjuangan seorang ibu (Mama Halosina) di Wamena, Papua bagi keluarga dan anak-anaknya, keindahan film ini terletak pada bagaimana nilai kekeluargaan, keadilan, dan rasa syukur tetap terpelihara meski dalam keterbatasan.

Keluarga Halosina hidup sederhana. Anak-anak kandungnya tak bersekolah. Kesulitan keluarga ini tergambar jelas ketika salah satu anaknya bahkan menyebut daun pisang sebagai uang. Namun, kondisi ini tak mengurangi semangat berbagi di antara keluarga dan komunitas Halosina. Keluarga besar Halosina tinggal seatap, dengan Halosina mengelola kebun milik kakaknya. Hasil kebun dinikmati bersama oleh kedua keluarga. Lalu, seperti jemaat lainnya, mereka juga menyumbangkan sebagian ubi yang dimiliki ke gereja.

Melihat sumber makanan yang dikonsumsi Halosina adalah ubi hasil tanam di kebun sementara tanaman lain dijual ke pasar, saya tersadar betapa saya masih kurang menghargai makanan. Makanan tak layak disisakan, harus disyukuri dan dinikmati! Film ini juga mengingatkan bahwa konflik bukanlah alasan untuk menghindar, melainkan akan menjadi hal yang justru mempererat hubungan antarsesama.

Sebagai sineas yang baru pertama kali berkarya, Asrida Elisabeth mampu menyuguhkan tayangan yang memukau. “Tanah Mama” berhasil membuka mata saya melalui konflik, bahasa dan aktivitas masyarakat Wamena, serta setting tempat yang luar biasa. Bravo.***

Teks oleh: Ina Khuzaimah

“Tanah Mama”

FILM RILIS BIOSKOP INDONESIA MARET-APRIL 2015:

Genre: DokumenterProduksi: Kalyana Shira FilmsProduser: Nia DinataSutradara: Asrida ElisabethDurasi: 65 menitRating: Semua Umur (SU)

INDONESIA“Love and Faith”“Tes Nyali”“Kok Putusin Gue”“Ada Surga di Rumahmu”“Danum Baputi: Penjaga Mata Air”“Guru Bangsa: Tjokroaminoto”

BARAT“Cinderella”“Divergent 2: Insurgent”“Paranormal Activity 5”“The Second Best Exotic Marigold Hotel”“Unfinished Business”

Page 5: MAJALAH RUANG FILM Vol. 1/Maret 2015

5

Magrib

DI BALIK LAYAR

Teks oleh: Lalitya N. Putri

“Magrib”

Genre: Fiksi-FantasiProduksi: Kaneron PicturesProduser: Lalitya N. PutriSutradara: Ghidaq Al-NizarDurasi: 10.03 menit

“JANGAN keluar waktu magrib” adalah nasihat sederhana orang tua kita yang kemudian diangkat sebagai ide cerita film pendek “Magrib” oleh Kaneron Pictures. Diproduksi dengan beasiswa film Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Jawa Barat, “Magrib” mengangkat genre fantasi yang dikembangkan dari kearifan lokal Sunda tentang kalong wewe, yaitu makhluk gaib yang senang mengincar anak-anak yang masih bermain di luar rumah saat petang.

Tantangan terbesar pembuatan film adalah menciptakan sosok dan dunia gaib kalong wewe yang meyakinkan. Dalam “Magrib”, sosok si Kalong sangat diinspirasi oleh Maleficent (Disney, 2013). Ia tak memiliki anak namun sangat menyukai, bahkan cenderung obsesif dan posesif terhadap anak-anak. Bedanya, alih-alih tinggal di pohon besar seperti dalam mitos, ia berdiam di sebuah ruangan putih terang benderang yang penuh aneka mainan dan makanan untuk memikat anak-anak.

Pembuatan set film dikerjakan selama dua hari, di mana sebuah garasi didekorasi dengan rangka paralon dan kain putih sebagai ‘rumah’ Kalong Wewe. Aktris pemeran Kalong Wewe pun dirias menggunakan jubah hitam panjang serta tiara dari kawat dan ranting pohon, dengan keseluruhan proses dari riasan wajah, rambut, hingga kostum memakan waktu 5-7 jam.

Pengambilan gambar di dalam ruangan putih berlang-sung seharian penuh. Dua jenis lensa digunakan, yaitu lensa makro untuk menangkap ekspresi sang Kalong dan sang Bocah selama mereka berdialog, dan lensa wide angle untuk memperlihatkan ruangan secara keseluru-han. Kesan magis diciptakan melalui pencahayaan de-ngan lampu tronik 1000 watt. Beberapa efek dan animasi kecil juga dimasukkan selama proses penyuntingan untuk memperkuat atmosfer magis ini. Misalnya, pemberian ke-san over exposure dalam pencahayaan, permainan cahaya dan efek animasi untuk pergerakan kain, serta musik dan efek suara yang diciptakan dari seperangkat gamelan.***

*“Magrib” di-screening pertama kali pada 17 Januari 2015 dalam acara Klinik Film #6 di Jack Runner Cafe, Cieumbuleuit, Bandung.

Page 6: MAJALAH RUANG FILM Vol. 1/Maret 2015

6

Kota FestivalBANDUNG,

ADA APA DI BANDUNG?

‘FESTIVAL’ berarti ‘pesta besar’, acara meriah untuk memperingati peristiwa penting atau perlombaan yang dimaknai

sebagai ajang bertemunya informasi dan apresiasi. Event dan festival juga turut berkontribusi bagi pembentukan identitas

sebuah kota. Sebagai salah satu kota besar, Bandung beruntung memiliki banyak komunitas kreatif yang menjadi motor penggerak

berbagai festival, termasuk festival film.

Festival film bukan semata penarik massa, tapi juga ajang apresiasi bagi karya-karya film yang akan menghidupkan semangat berkarya lebih baik. Di

Bandung, festival film mulai berkembang sejak 1987 ketika Forum Film Bandung menyelenggarakan Festival Film Bandung (FFB) pertama. Kini, festival berbasis kampus dan komunitas makin banyak bermunculan, dan seiring dukungan pemerintah yang

semakin besar terhadap pengembangan kreativitas, berkembang pula festival-festival yang ditujukan bagi pelajar seperti Festival

Film Pendek Pelajar (FFPP) Jawa Barat dan Bandung Youth Short Film Competition (BYFSC). Dari bermacam festival yang

terselenggara tahun 2014, kami mempersembahkan tiga di antaranya.

(Teks oleh: Ina Khuzaimah)

Page 7: MAJALAH RUANG FILM Vol. 1/Maret 2015

7

FESTIVAL FILM BANDUNG (FFB) 2014

ADA APA DI BANDUNG?

PENGHARGAAN FFB bukan hanya untuk film Indonesia dan asing, tapi juga sinetron televisi dan FTV. Berbeda dengan festival serupa, FFB me-miliki tim penjurian sendiri bagi masing-masing kategori terpuji. “Terpuji” bukan berarti mutlak terbaik, melainkan memiliki keunggulan diban-dingkan karya lainnya, sehingga bisa jadi terdapat lebih dari satu pemenang terpuji dalam setiap kategori.

FFB 2014 merupakan FFB ke-27, diselenggarakan di Monumen Perjuangan Rakyat Jawa Barat, Bandung. Dua belas peng-hargaan terpuji diberikan dalam 11 kategori film Indonesia, termasuk penghargaan ganda di kategori Pemeran Utama Pria Terpuji untuk Her-junot Ali (“Tenggelamnya Kapal van der Wijck”) dan Ikranagara (“Sang Kiai”). “Soekarno” muncul sebagai Film Terpuji, dengan sutradaranya, Hanung Bramantyo, memenangi penghargaan Sutradara Terpuji.

Sejumlah catatan memang masih menyertai penyelenggaraan FFB tahun lalu. Memasuki 2015 dan menyambut FFB ke-28, diharapkan keterlibatan masyarakat umum sebagai penikmat dan penonton aktif film-film nominator penghargaan dapat terwujud.

FESTIVAL FILM PENDEK PELAJAR (FFPP) JAWA BARAT 2014

FFPP 2014 diselenggarakan oleh Dinas Pariwisata dan Budaya Provinsi Jawa Barat sebagai wujud apresiasi bagi sineas muda pelajar. Peserta FFPP adalah komunitas produksi film dari sekolah-se-kolah di Jawa Barat. Setelah pada 2012 diadakan di Cianjur, tahun lalu event ini sengaja “dikemba-likan” ke Bandung agar gaungnya lebih terasa.

Melalui proses penjurian yang melibatkan kurasi dan penilaian, ditetapkan 6 kategori nominasi FFPP 2014. “Karinding in Love” (Luwing Group, SMAN 14 Bandung) mendominasi penghargaan FFPP dengan menjadi pemenang di 4 kategori, yaitu Penata Musik Terbaik, Penata Kamera Ter-baik, Sutradara Terbaik, dan Film Pendek Ter-

Page 8: MAJALAH RUANG FILM Vol. 1/Maret 2015

8

baik. Dua kategori lainnya, Penyunting Gambar Terbaik dan Film Pendek Favorit, dimenangi oleh “Topeng”, karya Letterly Cinema Production dari SMKN 1 Anjatan Indramayu. Di akhir acara ini, Pemerintah Jawa Barat juga menyerahkan beasiswa film melalui Ruang Film Bandung, untuk di-gunakan membiayai produksi film pendek oleh komunitas/rumah produksi terpilih.

BANDUNG YOUTH SHORT FILM COMPETITION (BYSFC) 2014

BYFSC 2014 terselenggara atas kerjasama Ruang Film Bandung dan Dinas Pemuda dan Olahraga Kota Bandung. Berlangsung pada 20–21 Septem-ber 2014 di Balaikota Bandung, event ini meliputi workshop oleh Sammaria Simanjuntak, Sony Budi Sasono, dan Galih Mulya Nugraha serta pemu-taran beberapa film pendek pilihan pemateri se-bagai bahan rujukan peserta workshop. Workshop membahas topik-topik seperti ide cerita, produksi, pembiayaan, dan promosi film. Pemenang BYSFC 2014 terbagi ke dalam 6 kategori, yaitu Film Fiksi Bebas (“Senja”, Jarak Production), Film Fiksi Pemuda Terbaik (“Dunia Kerja Sandi”, Over Crazy Art), Film Dokumenter Pemuda Terbaik (“Tuhan 9 mm”, F2PB), Sutradara Terbaik (Prama Yoda, “Du-

nia Kerja Sandi”), Sinematografi Terbaik (“Senja”, Jarak Production), dan Ide Cerita Terbaik (“Brunch Time Story”, Sok Mangga Production).

Tantangan yang dihadapi Ruang Film Bandung sebagai konseptor dan pe-nyelenggara BYSFC edisi perdana ini terbilang tak mudah. Minimnya ke-giatan “belajar film” di Kota Bandung menjadi pemicu panitia untuk lebih tepat sasaran lagi di BYSFC mendatang. Harapannya, BYSFC akan dapat menjaring lebih banyak peserta serta mampu menjadi barometer kualitas bagi produksi fim-film pendek di Kota Bandung dan sekitarnya.***

ADA APA DI BANDUNG?

Page 9: MAJALAH RUANG FILM Vol. 1/Maret 2015

9

Bandung

Ruang Film

SETAHUN

30 NOV-1 DES ‘136-8 DES ‘13KONFERENSI FILM BANDUNG (KFB) 2013

28 OKT ‘14FESTIVAL FILM

PENDEK PELAJAR (FFPP) JABAR

Hotel Horison, Bandung

19-20 SEPT ‘14BANDUNG YOUTH SHORT

FILM COMPETITION (BYSFC) 2014

Balaikota Bandung

6-11 JUNI ‘14FESTIVAL LAYAR TANCEP

Kampung Kreatif Dago Pojok, Bandung

(Kolaborasi dengan Komunitas Taboo)

8 MARET ‘14PARAHYANGAN FILM FESTIVAL (PFF) 2014Blitz Megaplex, Mal PVJ, Bandung

25 MARET ‘14ROADSHOW EAGLE

AWARDS DOCUMENTATION COMPETITION 2014

Gedung Merdeka, Bandung

Forum komunikasi komunitas dan pemerhati perfilman di Bandung sebagai tindak lanjut kese-

pakatan KFB 2013.

Padepokan Seni Mayang Sunda, Bandung

Dengan mengusung visi menjadikan Bandung Kota Perfilman yang hebat, apa saja kegiatan RFB dari KFB 2013 hingga kini?

JAN ‘14 WHAT’S NEXT? #1APRIL ‘14 WHAT’S NEXT? #2

11 JAN ‘15 WHAT’S NEXT? #317 JAN ‘15 WHAT’S NEXT? #4

31 JAN ‘14 KLINIK FILM #11 MARET ‘14 KLINIK FILM #25 APRIL ‘14 KLINIK FILM #324 MEI ‘14 KLINIK FILM #426 OKT ‘14 KLINIK FILM #517 JAN ‘15 KLINIK FILM #6

16 JUNI ‘14FESTIVAL SADAR ENERGI 2014Bale Rumawat, UNPAD, Bandung(Kerjasama dengan Kementerian ESDM)

13 SEPT ‘14FESTIVAL FILM BANDUNG (FFB) 2014

FORUM WHAT’S NEXT?

FOKUS

KLINIK FILM RFB

Monumen Perjuangan Rakyat Jawa Barat, Bandung

“Let’s Make Bandung A Great

Film City!”

FOKUS UTAMA

Page 10: MAJALAH RUANG FILM Vol. 1/Maret 2015

10

KonferensiFilm Bandung 2013

KONFERENSI Film Bandung 2013 (KFB 2013) diinisiasi bagi perfilman di Kota Bandung oleh sepuluh orang yang tergabung dalam komunitas Ruang Film Bandung (RFB), yaitu Ilma Indriasri Pratiwi, Herlina, Abdalah Gifar, Esa Hari Akbar, Muldiyan, Irma Arpiyanti, Vanny Rantini, Ruwaida Fajriasanti, Bicky Perdana Putra, dan Rasyida Hasanah. Inisiatif ini muncul setelah melihat banyak komunitas produksi maupun apresiasi film di Bandung yang masih berdiri sendiri dan tak saling mengenal.

Rangkaian acara KFB 2013 berlangsung selama lima hari, yaitu tanggal 30 November-1 Desember 2013 di Auditorium Museum Geologi dan tanggal 6-8 Desember 2013 di Padepokan Seni Mayang Sunda. Pemilihan kedua lokasi ini bukan tanpa alasan. Melalui KFB, RFB ingin memperkenalkan dan mendorong aktivasi ruang-ruang publik untuk pemutaran film dan kegiatan komunitas.

Putaran pertama KFB 2013 bekerja sama dengan Lingkar Alumni Indiemovie, menghadirkan workshop tentang perfilman termasuk bagaimana mendistribusikan film. Putaran kedua di Padepokan Seni Mayang Sunda khusus dirancang bagi komunitas film. Selama tiga hari, mereka secara bergiliran mempresentasikan profil komunitas dan karyanya di depan peserta yang terdiri dari berbagai komunitas maupun individu peminat film.

Puncak acara KFB 2013 adalah sidang terbuka yang

Teks oleh: Ina Khuzaimah

KFB 2013 mengangkat tema “Sustainable Creativity through Film” dengan menekankan pentingnya para penggiat perfilman

di Kota Bandung berpikir mengenai nilai tambah, yaitu bagaimana sebuah karya film bisa terdistribusi dan diapresiasi

baik oleh penonton maupun kurator dan kritikus film.

FOKUS

Page 11: MAJALAH RUANG FILM Vol. 1/Maret 2015

11

menghadirkan Wakil Gubernur Jawa Barat Deddy Mizwar, Bambang Sugiharto (dosen filsafat UNPAR), Tobing Jr. (Komunitas Layar Kita), dan Nur Aziz (Komunitas Story Lab) sebagai narasumber. Sidang terbuka membahas berbagai permasalahan dan tantangan perfilman di Kota Bandung seperti: minimnya dana produksi dan fasilitasi pemutaran film, perlunya workshop tentang film, pentingnya kekuatan ide dalam sebuah film, serta bagaimana film masih sebatas ditonton namun belum dibaca sebagai sebuah literatur. Kesemuanya ini merupakan tugas besar yang harus diselesaikan bersama, di mana semua pihak--komunitas, seniman, dan pemerintah--harus dapat berkontribusi dan saling mendukung.

Peran pemerintah menjadi isu lain yang diangkat dalam sidang terbuka ini. Sesuai amanat Undang-undang No. 33 Tahun 2009, pemerintah wajib memfasilitasi pengembangan perfilman baik dari segi pendanaan maupun penyediaan sarana dan prasarana produksi serta ruang pemutaran film.

Rangkaian acara konferensi ditutup dengan penandatanganan nota kesepahaman antara penggiat RFB dan perwakilan komunitas untuk mengukuhkan komitmen bersama dalam memajukan perfilman Kota Bandung. KFB 2013 memang berakhir pada 8 Desember 2013, namun ini baru merupakan sebuah awal dari perjuangan yang lebih panjang, di mana waktu yang akan membuktikan komitmen bersama RFB dan insan perfilman Kota Bandung lainnya.***

FOKUS

Page 12: MAJALAH RUANG FILM Vol. 1/Maret 2015

12 FOKUS

RFB pada mulanya digagas oleh para alumnus LA Lights Indiemovie Bandung dengan tujuan menyediakan ruang-ruang apresiasi perfilman yang bisa menyentuh ruang-ruang publik di Kota Bandung. LA Lights Indiemovie adalah program kompetisi film independen yang berlangsung rutin dari tahun 2007–2013, dan sejak 2013 berubah namanya menjadi Lingkar Alumni Indiemovie. Para alumnus di Bandung, yang semula berkumpul untuk membentuk komunitas lingkar alumni ini, berpikir untuk memperluas visi dan keanggotaan komunitas agar dapat menjadi wadah yang terbuka bagi siapa pun dengan keinginan yang sama, yakni menjadikan Bandung sebagai kota dengan sumber daya perfilman yang berkualitas, baik dari segi sumber daya manusia maupun produk-produk perfilmannya. Komunitas RFB menampung sumber daya perfilman dan semangat berkarya secara independen yang tidak memiliki ruang, mengingat kebanyakan komunitas film berbasis kampus

Ruang Apresiasi Masyarakat Film Kota Bandung

RUANG FILM BANDUNG:

KEHADIRAN komunitas apresiasi perfilman diperlukan di Kota Bandung untuk mendorong peningkatan mutu perfilman independen. Pemikiran inilah yang mendasari lahirnya Ruang Film Bandung (RFB) pada 8 November 2013. Setahun lebih berdiri, RFB kini beranggotakan lebih dari 100 orang dengan usia 15-30 tahun. Mereka bukan hanya para sineas pembuat film independen Kota Bandung, tapi juga masyarakat umum yang ingin berkontribusi mewujudkan mimpi yang sama.

Teks oleh: Ilma Indriasri P.

Page 13: MAJALAH RUANG FILM Vol. 1/Maret 2015

13FOKUS

atau sekolah sehingga tak ada lagi wadah bagi mereka yang telah lulus kecuali masuk ke rumah-rumah produksi yang notabene sudah tergolong sebagai industri.

Keseriusan RFB ditunjukkan melalui penyelenggaraan Konferensi Film Bandung (KFB) 2013. Ajang silaturahmi masyarakat perfilman Kota Bandung ini dihadiri lebih dari 34 komunitas perfilman lokal. Poin-poin penting dari agenda KFB 2013 adalah disepakatinya RFB, sebagai komunitas hub perfilman di Kota Bandung yang memfasilitasi komunikasi antarkomunitas, mengelola media informasi perfilman di Kota Bandung, dan terbuka seluas-luasnya untuk seluruh masyarakat perfilman Kota Bandung. Sehingga, film-film independen tidak hanya bisa dinikmati oleh komunitasnya, tapi juga masyarakat Kota Bandung secara umum.

Kegiatan utama RFB adalah pemutaran film-film independen di ruang-ruang publik Kota Bandung, sebagai partner promosi film Indonesia di

Kota Bandung, dan berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan pemutaran dan eksebisi film, termasuk festival, kompetisi, dan pameran film.

RFB juga berupaya mewujudkan agenda-agenda rutin komunitas seperti Klinik Film, Warung Sinema, Layar Tancep, Arsip Perfilman Independen Kota Bandung, dan Database Talenta Perfilman Kota Bandung. Di samping itu, seringkali RFB menjadi media partner untuk berbagai event perfilman di seluruh Indonesia. Selama setahun berdiri, RFB telah terlibat dalam penyelenggaraan beberapa event dan kegiatan seperti Eagle Awards Documentary Film Competition Road Show, Festival Sadar Energi, Bandung Youth Short Film Competition bersama Dispora Kota Bandung, Festival Film Bandung, Launching Taman Film Bandung, kurasi Taman Film Bandung, dan Festival Film Pendek Pelajar se-Jawa Barat 2014 bersama Disparbud Jabar.

Semangat independen yang menjadi jiwa RFB dipegang teguh oleh pengelola yang percaya bahwa film independen merupakan potensi UMKM berbasis perfilman. Jika difasilitasi dan dibimbing dengan baik, bukan hanya mimpi untuk bisa menyaingi jumlah produksi industri film Bollywood sekalipun. Yang jadi permasalahan saat ini, para sineas independen belum menyadari pentingnya mengelola karya perfilman sebagai sumber daya untuk keberlangsungan karya-karya selanjutnya. Permasalahan lain adalah kurangnya ruang-ruang apresiasi yang dapat dijadikan wadah pemutaran film independen secara komersil, karena sebagian ruang yang ada saat ini hanya dapat mewadahi film-film skala industri besar. Mimpi besar yang ingin diwujudkan RFB untuk kota Bandung dengan harapan dapat menginspirasi masyarakat perfilman di kota-kota lainnya, dimulai dengan sebuah tagline “Let’s Make Bandung A Great Film City” .

Page 14: MAJALAH RUANG FILM Vol. 1/Maret 2015

14

Page 15: MAJALAH RUANG FILM Vol. 1/Maret 2015

15

Memasuki tahun 2015, RFB berupaya membuka kesempatan lebih luas kepada anak-anak muda yang ingin bergabung dalam kepengurusan internal dan berkontribusi secara langsung dalam berbagai program rutin dan utama komunitas. Tujuannya adalah untuk mengefektifkan kegiatan-kegiatan yang diharapkan dapat menjadi penggerak produksi film pendek dan independen sebagai pendorong industri kecil dan kreatif yang terkait di Kota Bandung. Melalui pelatihan kepengurusan pada Januari 2015, dimulailah masa jabatan Lalitya Putri Noorullya sebagai Presiden Direktur RFB untuk periode kepengurusan 2015, menggantikan Abdalah Gifar sebagai Ketua RFB pada periode kepengurusan sebelumnya (2013-2014). Mereka yang duduk dalam kepengurusan tetap organisasi berasal dari berbagai latar belakang, kampus,

maupun komunitas produksi film di Bandung.

FORUM WHAT’S NEXT?

WHAT’S NEXT? adalah forum komunikasi rutin antara RFB dan komunitas film lainnya di Bandung. Forum ini dibentuk sebagai tindak lanjut dari kesepakatan KFB 2013, untuk mewujudkan peran RFB sebagai salah satu simpul insan perfilman Bandung. Tujuan utama WHAT’S NEXT? adalah menggali inisiatif-inisiatif komunitas yang dapat difasilitasi melalui RFB terkait visi menjadikan

Bandung sebagai Kota Film.***

FOKUS

S I A P AKAMI?

Page 16: MAJALAH RUANG FILM Vol. 1/Maret 2015

16 SOROT

“FILMMAKER HARUS BISA BERPIKIR INDUSTRI!”

(Sebagai sarjana Arsitektur, kini Sammaria memilih menekuni film sebagai panggilan jiwanya. Baginya, film adalah jendela kehidupan orang lain agar kita bisa lebih berempati.)

T: Kenapa terjun ke dunia film? J: Panggilan saja, saya suka nonton film dan selain itu juga suka bercerita. Lalu, melihat sekarang memang eranya media film. Awalnya saya ngelamar ke advertising terus ditolak, dan berasa nggak ada jalan lain jadi terjunlah ke dunia film (tertawa).

(“Demi Ucok” adalah film keduanya sekaligus yang paling berkesan baginya. “Bikinnya menyenangkan dan cita-cita mama saya jadi artis tercapai, hahaha.” Di matanya, tak ada yang sulit dalam membuat film kecuali soal mencari sumber pembiayaan. Cara termudah membuat film adalah menggali ide dari lingkungan terdekat, karena “Setidaknya kita bisa lebih menguasai.” Untuk para filmmaker muda, ia berpesan untuk tak melupakan industri; satu hal yang masih menjadi tantangan pengembangan perfilman di Bandung saat ini.)

T: Layakkah Bandung disebut sebagai Kota Film? J: Masih jauh, sih, ya. Belum untuk sekarang, karena bagaimana pun film harus memiliki unsur industri, tapi seharusnya (Bandung) bisa (menuju Kota Film).

T: Apa peran komunitas, termasuk RFB, untuk mewujudkan Bandung sebagai Kota Film? J: RFB adalah ruang kita untuk kita, untuk mengarahkan (perfilman) Bandung agar lebih baik lagi. Cita-cita besar dimulai dari penggerak kecil. Nah, RFB bisa jadi motor penggerak cita-cita luhur ini.

T: Ada yang ingin disampaikan untuk pembaca kami? J: Semua dimulai dari apresiasi, dari menonton film sampai membuatnya, dan yang paling penting: ayo hargai sekitar, dan jangan coba mengajari orang lain!***

“Cin(T)a”“Lima Menit Lagi” (dalam antologi “Working Girls”)“7 Deadly Kisses”“Demi Ucok”“Selamat Pagi, Malam”

NOMINASI Penulis Skenario Cerita Asli Terbaik, FFI 2009NOMINASI Sutradara Terbaik, FFI 2012NOMINASI Penulis Cerita Asli Terbaik, FFI 2012NOMINASI Film Terbaik, FFI 2012NOMINASI Film Favorit, Indonesian Movie Awards 2013

Sammaria Simanjuntak:

FILMMAKER muda berprestasi ini punya kepedulian besar terhadap perfilman yang berakar pada semangat anak muda dan independen. Simak bincang singkat Tina Nurfalah dengannya berikut ini.

SAMMARIA SIMANJUNTAK

PORTFOLIO FILM:

PENGHARGAAN:

Page 17: MAJALAH RUANG FILM Vol. 1/Maret 2015

17

Mereka Menjawab...

OPINI

“APA MAKNA RUANG FILM BANDUNG?”

“Film adalah karya seni kolektif, dari pembuatan sampai menontonnya. Film mengungkapkan sisi lain dunia yang kadang terabaikan, mengungkapkan realita sekaligus menciptakan realita. RFB adalah semacam server dari jejaring komunitas penggiat film Bandung. Melalui jejaring, komunitas bisa saling mendukung baik dalam produksi, distribusi, eksebisi, apresiasi, ataupun kajian film.”

Gorivana Ageza, Filmmaker

Aldito Tagor, Videografer @infobdg & Filmmaker

Eky Qushay Akwan, Dosen Sastra Inggris UPI

Harry Reinaldi, Ketua Jurusan Prodi Fotografi & Film Unpas

“Ruang Film Bandung sangat oke, harus terus dikembangin karena gue sebagai filmmaker ngerasa ada sebuah ruang buat nyalurin film-film kita.”

“Ruang Film Bandung itu bagus luar biasa, menyediakan forum atau tempat untuk sharing film-film produksi anak-anak muda. Hal ini sangat bagus karena karya mereka dihargai dan film mereka juga dikasih masukan.”

“Menurut saya, kita butuh kegiatan-kegiatan yang dibikin RFB. The power of community itu lebih berasa ketika ketemu langsung sama masyarakat ketimbang bawa nama institusi. Harapan saya, kegiatan screening RFB dipertahanin, kalau bisa ditambahin kajian masalah teknisnya seperti penulisan skenario, karena akan banyak yang bisa mengambil manfaatnya.”

Page 18: MAJALAH RUANG FILM Vol. 1/Maret 2015

18COMING SOON

MAJALAHruangfilm

SPACE AVAILABLE

Page 19: MAJALAH RUANG FILM Vol. 1/Maret 2015

19

STAY TUNE THIS MARCH!

Page 20: MAJALAH RUANG FILM Vol. 1/Maret 2015

20