Jawaban UAS

8
ERINA QURROTUL A’ENI IPA BIOLOGI C - VI JAWABAN SOAL EVALUASI PEMBELEJARAN TAKE HOME 1. Menurut Zainul & Nasution (2001) Hubungan antara tes, pengukuran, dan evaluasi diantaranya. Evaluasi belajar, baru dapat dilakukan dengan baik dan benar apabila menggunakan informasi yang diperoleh melalui pengukuran dengan menggunakan tes sebagai alat ukurnya. Akan tetapi tentu saja tes hanya merupakan salah satu alat ukur yang dapat digunakan karena informasi tentang hasil belajar tersebut dapat pula diperoleh tidak melalui tes. Misalnya menggunakan alat ukur non tes seperti observasi, skala rating dan lain-lain untuk mengukur berbagai kemampuan siswa. Apabila guru melangkah lebih jauh dalam menginterpretasikan skor sebagai hasil pengukuran tersebut dengan menggunakan standar tertentu, untuk menentukan nilai atas dasar pertimbangan tertentu, maka kegiatan guru tersebut telah melangkah lebih jauh menjadi evaluasi. Jadi, hubungan antara evaluasi, tes, pengukuran, dan asesmen semuanya tidak dapat dipisahkan dalam dunia pendidikan sebab semuanya memiliki keterkaitan yang erat. Tes adalah alat ukur yang digunakan untuk mengukur, tes merupakan alat utama yang digunakan untuk melalui proses pengukuran penilaian dan evaluasi. Pengukuran dan penilaian juga merupakan dua proses yang bekesinambungan. Pengukuran dilaksanakan terlebih dahulu yang menhasilkan skor dan dari hasil pengukuran kita dapat melaksanakan penilaian. Antara penilaian dan evaluasi sebenarnya memiliki persamaan yaitu keduanya mempunyai pengertian menilai atau menentukan nilai sesuatu, disamping itu juga alat yang digunakan untuk mengumpulkan datanya juga sama. Evaluasi dan penilaian lebih bersifat kualitatif dan pada hakikatnya keduanya merupakan suatu proses membuat keputusan tentang nilai suatu objek. Daftar Pustaka : Zainul & Nasution. (2001). Penilaian Hasil belajar. Jakarta: Dirjen Dikti.

description

Jawaban UAS Evaluasi

Transcript of Jawaban UAS

  • ERINA QURROTUL AENI

    IPA BIOLOGI C - VI

    JAWABAN SOAL EVALUASI PEMBELEJARAN TAKE HOME

    1. Menurut Zainul & Nasution (2001) Hubungan antara tes, pengukuran, dan

    evaluasi diantaranya. Evaluasi belajar, baru dapat dilakukan dengan baik dan

    benar apabila menggunakan informasi yang diperoleh melalui pengukuran

    dengan menggunakan tes sebagai alat ukurnya. Akan tetapi tentu saja tes hanya

    merupakan salah satu alat ukur yang dapat digunakan karena informasi tentang

    hasil belajar tersebut dapat pula diperoleh tidak melalui tes. Misalnya

    menggunakan alat ukur non tes seperti observasi, skala rating dan lain-lain

    untuk mengukur berbagai kemampuan siswa. Apabila guru melangkah lebih

    jauh dalam menginterpretasikan skor sebagai hasil pengukuran tersebut dengan

    menggunakan standar tertentu, untuk menentukan nilai atas dasar pertimbangan

    tertentu, maka kegiatan guru tersebut telah melangkah lebih jauh menjadi

    evaluasi.

    Jadi, hubungan antara evaluasi, tes, pengukuran, dan asesmen semuanya

    tidak dapat dipisahkan dalam dunia pendidikan sebab semuanya memiliki

    keterkaitan yang erat. Tes adalah alat ukur yang digunakan untuk mengukur, tes

    merupakan alat utama yang digunakan untuk melalui proses pengukuran

    penilaian dan evaluasi. Pengukuran dan penilaian juga merupakan dua proses

    yang bekesinambungan. Pengukuran dilaksanakan terlebih dahulu yang

    menhasilkan skor dan dari hasil pengukuran kita dapat melaksanakan

    penilaian. Antara penilaian dan evaluasi sebenarnya memiliki persamaan yaitu

    keduanya mempunyai pengertian menilai atau menentukan nilai sesuatu,

    disamping itu juga alat yang digunakan untuk mengumpulkan datanya juga

    sama. Evaluasi dan penilaian lebih bersifat kualitatif dan pada hakikatnya

    keduanya merupakan suatu proses membuat keputusan tentang nilai suatu objek.

    Daftar Pustaka : Zainul & Nasution. (2001). Penilaian Hasil belajar. Jakarta:

    Dirjen Dikti.

  • 2. a. Taksonomi Bloom Revisi

    Revisi Taksonomi Bloom, dalam revisi ini ada perubahan kata kunci,

    masing-masing kategori masih diurutkan secara hirarkis dari urutan terendah ke

    yang lebih tinggi. Pada ranah kognitif kemampuan berpikir analisis dan sintesis

    diintegrasikan menjadi analisis saja. Dari jumlah enam kategori pada konsep

    terdahulu tidak berubah jumlahnya karena Lorin memasukan kategori baru

    yaitu creating yang sebelumnya tidak ada. Taksonomi Hasil revisi Anderson

    pada Ranah Kognitif adalah:

    1) C1 yaitu Mengingat, Kata-kata operasional yang digunakan adalah

    mengurutkan, menjelaskan, mengidentifikasi menamai, menempatkan,

    mengulangi dan menemukan kembali.

    2) C2 yaitu Memahami, kata-kata operasional yang digunakan adalah

    menafsirkan, meringkas, mengklasifikasikan, menjelaskan,

    membandingkan dan membeberkan.

    3) C3 yaitu Menerapkan, kata-kata operasional yang digunakan adalah

    melaksanakan, menggunakan, menjalankan, melakukan, mempraktekan,

    memilih, menyusun, memulai, menyelesaikan, mendeteksi.

    4) C4 yaitu Menganalisis, kata-kata operasional yang digunakan adalah

    menguraikan, membandingkan, mengorganisir, menyusun ulang,

    mengubah struktur, menyususn outline, mengintegrasikan, membedakan

    membedakan, menyamakan, membandingkan, mengintegrasikan.

    5) C5 yaitu Mengevaluasi, kata-kata operasional yang digunakan adalah

    menyusun hipotesi, mengkritik, memprediksi, menilai, menguji,

    membenarkan, menyalahkan.

    6) C6 yaitu Berkreasi atau menciptakan, kata-kata operasional yang

    digunakan adalah merancang, merencanakan, memproduksi,

    menemukan, dan lain-lain.

    Maka dalam berbagai aspek dan setelah revisi, taksonomi Bloom tetap

    menggambarkan suatu proses pembelajaran, cara kita memproses suatu

    informasi sehingga dapat dimanfaatkan dalam kehidupan sehari-hari. Beberapa

    prinsip didalamnya adalah (1) Sebelum kita memahami sebuah konsep maka

    kita harus mengingatnya terlebih dahulu, (2) Sebelum kita menerapkan maka

  • kita harus memahaminya terlebih dahulu, (3) Sebelum kita mengevaluasi

    dampaknya maka kita harus mengukur atau menilai, (4) Sebelum kita berkreasi

    sesuatu maka kita harus mengingat, memahami, mengaplikasikan, menganalisis

    dan mengevaluasi, serta memperbaharui.

    Sehingga Pentahapan dalam berpikir seperti itu bisa jadi mendapat

    sanggahan dari sebagian orang. Alasannya, dalam beberapa jenis kegiatan, tidak

    semua tahap seperti itu diperlukan. Contohnya dalam menciptakan sesuatu tidak

    harus melalui pentahapan itu karena hal itu kembali pada kreativitas individu.

    Proses pembelajaran dapat dimulai dari tahap mana saja. Namun, model

    pentahapan itu sebenarnya melekat pada setiap proses pembelajaran secara

    terintegrasi. Sebagian orang juga menyanggah pembagian pentahapan berpikir

    seperti itu karena dalam kenyataannya siswa seharusnya berpikir secara holistik.

    Ketika kemampuan itu dipisah-pisah maka siswa dapat kehilangan

    kemampuannya untuk menyatukan kembali komponen-komponen yang sudah

    terpisah. Model penciptaaan suatu produk baru atau menyelesaian suatu proyek

    tertentu lebih baik dalam memberikan tantangan terpadu yang mendorong siswa

    untuk berpikir secara kritis.

    Daftar Pustaka :

    Widodo, A. (2005). Taksonomi Tujuan Pembelajaran. Bandung : UPI.

    Bloom, B. S. ed. et al. (1956). Taxonomy of Educational Objectives: Handbook

    1, Cognitive Domain. New York: David McKay.

    b. Taksnomi Marzano

    Taksonomi marzano merupakan pengembangan dari taksonomi bloom yang

    mana kehadiran taksonomi Marzano ini menjawab dari keterbatasan-

    keterbatasan yang ada pada taksonomi bloom. Secara ringkas taksonomi

    Marzano ini dapat disimpulkan kedalam enam tingkatan yaitu : Perolehan

    kembali, pengertian, analisa, pemanfaatan, metakognitif, dan sistem diri.

    Daftar Pustaka :

    Marzano, R.J. Designing & Assessing Educational Objectives Applying the

    New Taxonomy. USA : Corwing Press.

  • c. Perbedaan Taksonomi Bloom dan Taksnomi Marzano

    Secara umum Marzano membagi urutan taksonomi pada ranah kognitif yaitu :

    1. Penarikan Kembali yaitu mengingat kembali eksekusi.

    2. Pemahaman berupa sintesa keterwakilan.

    3. Analisis yaitu kecocokan pengklasifikasian, analisis kesalahan,

    generalisasi, spesifikasi.

    4. Pemanfaatan Pengetahuan yaitu pengambilan keputusan, pemecahan

    masalah, pertanyaan percobaan, penyelidikan.

    Sedangkan Bloom membagi urutan taksonomi pada ranah kognitif yaitu

    Remembering (mengingat), Understanding (memahami), Applaying

    (mengaplikasikan, Analyzing (menganalisis), Evaluating (mengevaluasi) dan

    Creating (menghasilkan atau menciptakan).

    Maka dalam perbedaan mendasar antara Taksonomi Bloom dengan

    Taksonomi Marzano yaitu terletak di urutan taksonomi terutama pada ranah

    kognitifnya.

    Daftar Pustaka :

    Marzano, R.J. Designing & Assessing Educational Objectives Applying the

    New Taxonomy. USA : Corwing Press.

    Bloom, B. S. ed. et al. (1956). Taxonomy of Educational Objectives: Handbook

    1, Cognitive Domain. New York: David McKay.

    Anonim : http://aledeyrain.blogspot.com/2010/10/taksonomi-bloom.html.

    6. Langkah-langkah yang harus dilakukan bagi seorang guru dalam proses

    pengembangan alat evaluasi agar diperoleh instrumen yang valid dan reliable adalah

    Menurut pendapat Hamalik (2006: 159), evaluasi hasil belajar adalah keseluruhan

    kegiatan pengukuran (pengumpulan data dan informasi), pengolahan, penafsiran dan

    pertimbangan untuk membuat keputusan tentang tingkat hasil belajar yang dicapai

    oleh peserta didik setelah melakukan kegiatan belajar dalam upaya mencapai tujuan

    pembelajaran yang telah ditetapkan.

    Kirtpatrick (1998) menyarankan tiga komponen yang harus dievaluasi dalam

    pembelajaran, yaitu pengetahuan yang dipelajari, ketrampilan apa yang

    dikembangkan, dan sikap apa yang perlu diubah. Namun, untuk keperluan evaluasi

    diperlukan teknik evaluasi yang bervariasi dan tepat tujuan.

  • Guru sebagai evaluator hendaknya mengetahui dan memahami hakikat teknik-

    teknik evaluasi yang dapat digunakan dalam mengukur dan menilai hasil belajar.

    Karena melalui mengukur, seorang guru akan memperoleh data kuantitatif terhadap

    hasil belajar siswa. Hasil tersebut dapat diketahui melalui angka-angka yang

    diperoleh dalam pengukuran masing-masing siswa dengan berpatokan pada suatu

    ukuran. Selain itu, juga dapat dilakukan melalui sebuah penilaian, yaitu siswa dinilai

    berdasarkan angka-angka yang diperolehnya; bersifat kualitatif.

    Pada dasarnya terdapat dua macam inpengembangan alat evaluasi agar diperoleh

    instrumen yang valid dan reliable yaitu instrumen yang berbentuk tes untuk

    mengukur hasil belajar dan istrumen non tes untuk mengkur sikap. Instrument yang

    berupa tes jawabannya adalah salah dan benar, sedangkan instrument sikap

    jawabannya berisi positif dan negative. Instrument yang valid harus mempunyai

    validitas internal yaitu rasional dan bila kriteria yang ada dalam instrumen secara

    rasional (teoritis) telah mencerminkan apa yang diukur. Sedangkan bila criteria

    instrumen disusun berdasarkan fakta-fakta empiris yang telah ada, maka itu

    merupakan instrumen yangmemiliki validitas eksternal. Jadi, validitas internal

    instrumen dikembangan menurut teori yang relevansedangkan validitas eksternal

    instrumen dikembangkan dengan fakta empiris.

    Menurut Sugiyono (2010), suatu tes dikatakan memiliki validitas internal jika

    data yang dihasilkan merupakan fungsi dari rancangandan instrumen yang

    digunakan, dan memiliki validitas eksternal bila hasil tes dapat diterapkan

    padasampel lain (digeneralisasikan).

    Jadi, persoalan alat ukur yang digunakan evaluator ketika melakukan kegiatan

    evaluasi sering dihadapkan pada persoalan akurasi, konsisten dan stabilitas sehingga

    hasil pengukuran yang diperoleh bisa mengukur dengan akurat sesuatu yang sedang

    diukur. Instrumen ini memang harus memiliki akurasi ketika digunakan serta

    konsisten dan stabil dalam arti tidak mengalami perubahan dari waktu pengukuran

    satu ke pengukuran yang lain.

    Maka data yang kurang memiliki validitas dan reliabilitas, akan menghasilkan

    kesimpulan yang bias, kurang sesuai dengan yang seharusnya, dan bahkan bisa saja

    bertentangan dengan kelaziman. Untuk membuat alat ukur instrumen itu, diperlukan

    kajian teori, pendapat para ahli serta pengalaman-pengalaman yang kadangkala

  • diperlukan bila definisi operasional variabelnya tidak kita temukan dalam teori. Alat

    ukur atau instrumen yang akan disusun itu tentu saja harus memiliki validitas dan

    reliabilitas, agar data yang diperoleh dari alat ukur itu bisa reliabel, valid dan disebut

    dengan validitas dan reliabilitas alat ukur atau validitas dan reliabilitas instrumen.

    Daftar Pustaka :

    Arikunto.S. 1997. Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta : Bumi Aksara.

    Sukardi.2008. Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.

    Sugiyono. 2000. Metode penelitian kuantitatif dan Kualitatif dan R&D. Jakarta :

    Bumi Aksara.

    Anonim:http://www.academia.edu/6403478/Jenis_Dan_Teknik_Penilaian_Hasil_Bel

    ajar.html. (Diakses 11 April 2015).

    7. Teori Tes Klasik merupakan sebuah teori yang mudah dalam penerapannya serta

    model yang cukup berguna dalam mendeskripsikan bagaimana kesalahan dalam

    pengukuran dapat mempengaruhi skor amatan. Inti teori klasik adalah asumsi-asumsi

    yang dirumuskan secara sistematis serta dalam jangka waktu yang lama. Maka dari

    asumsi-asumsi tersebut kemudian dijabarkan dalam beberapa kesimpulan yakni ada

    tujuh macam asumsi yang ada dalam teori tes klasik ini. Menurut Allen & Yen

    menguraikan asumsi-asumsi teori klasik sebagai berikut:

    1) Asumsi pertama teori tes klasik adalah bahwa terdapat hubungan antara skor

    tampak (observed score) yang dilambangkan dengan huruf X, skor murni

    (true score) yang dilambangkan dengan T dan skor kasalahan (error) yang

    dilambangkan dengan E.

    Menurut Saifuddin Azwar (2001:30) yang dimaksud kesalahan pada

    pengukuran dalam teori klasik adalah penyimpangan tampak dari skor

    harapan teoritik yang terjadi secara random. Hubungan itu adalah bahwa

    besarnya skor tampak ditentukan oleh skor murni dan kesalahan pengukuran.

    Dalam bahasa matematika dapat dilambangkan dengan X = T + E.

    2) Asumsi kedua adalah bahwa skor murni (T) merupakan nilai harapan (X).

    Dengan demikian skor murni adalah nilai rata-rata skor perolehan teoretis

    sekiranya dilakukan pengukuran berulang-ulang (sampai tak terhingga)

    terhadap seseorang dengan menggunakan alat ukur.

  • 3) Asumsi ketiga teori tes klasik menyatakan bahwa tidak terdapat korelasi

    antara skor murni dan skor pengukuran pada suatu tes yang dilaksanakan

    (et = 0). Implikasi dari asumsi adalah bahwa skor murni yang tinggi tidak

    akan mempunyai error yang selalu positif ataupun selalu negatif.

    4) Asumsi keempat meyatakan bahwa korelasi antara kesalahan pada

    pengukuran pertama dan nol (e1e2 = 0). Artinya bahwa skor-skor

    kesalahan pada dua tes untuk mengukur hal yang sama tidak memiliki

    korelasi (hubungan). Dengan kesalahan pada pengukuran kedua adalah nol

    (demikian besarnya kesalahan pada suatu tes tidak bergantung kesalahan

    pada tes lain.

    5) Asumsi kelima menyatakan bahwa jika terdapat dua tes untuk mengukur

    atribut yang sama maka skor kesalahan pada tes pertama tidak berkorelasi

    dengan skor murni pada tes kedua (elt2). Asumsi ini akan gugur jika salah

    satu tes tersebut ternyata mengukur aspek yang berpengaruh terhadap

    teradinya kesalahan pada pengukuran yang lain.

    6) Asumsi keenam teori tes klasik adalah menyajikan tentang pengertian tes

    yang pararel. Dua perangkat tes dapat dikatakan sebagai tes-tes yang pararel

    jika skor-skor populasi yang menempuh kedua tes tersebut mendapat skor

    murni yang sama (T = T' ) dan varian skor-skor kesalahannya sama

    (se 2=se'

    2). Dalam prakteknya, asumsi keenam teori ini sulit terpenuhi.

    7) Asumsi terakhir dari teori tes klasik menyatakan tentang definisi tes yang

    setara (essentially t equivalent). Jika dua perangkat tes mempunyai skor-skor

    perolehan dan Xt1dan Xt2 yang memenuhi asumsi 1 sampai 5dan apabila

    untuk setiap populasi subyek X1=X2 + C12, dimana C12 adalah bilangan

    konstanta, maka kedua tes disebut tes yang pararel.

    Jadi, pada asumsi-asumsi teori klasik di atas memungkinkan untuk

    dikembangkan dalam rangka pengembangan berbagai formula yang berguna dalam

    melakukan pengukuran psikologis. Daya beda, indeks kesukaran, efektifitas

    distraktor, reliabilitas dan validitas adalah formula penting yang disajikan dari teori

    tes klasik tersebut.

    Sedangkan Teori Tes Modern yaitu respon subjek terhadap item yang

    menunjukkan kognitifnya. Kelebihan kinerja subjek dapat dilihat dengan Item

  • Characteristic Curve (ICC). Artinya semakin baik performance subjek akan semakin

    banyak respon (jawaban pada aitem tes) yang benar. Unsur teori dalam tes modern

    meliputi Butir (item tes), Subjek (responnya) dan Isi respon subjek. Asumsi-asumsi

    dalam tes modern yaitu :

    1) Parameter butir soal dan kemampuan adalah (Invariant). Artinya soal yang

    dibuat memiliki korelasi positif dengan kemampuan yang diukur.

    2) Unidimensionality, artinya 1 item mengukur satu kemampuan. Asumsi ini

    kurang terbukti karena pada dasarnya antara item 1 dengan lainnya saling

    melengkapi.

    3) Local independence, artinya respon terhadap suatu item tidak akan

    berpengaruh terhadap item lainnya.

    Daftar Pustaka :

    Suryabrata, S. 2000. Pengembangan alat ukur psikologis . Yogyakarta: Andi Press.