JAWABAN PEMERINTAH ATAS ... - anggaran.depkeu.go.id · mendukung upaya peningkatan kesejahteraan...

102
JAWABAN PEMERINTAH ATAS PEMANDANGAN UMUM FRAKSI-FRAKSI DPR RI TERHADAP RUU TENTANG APBN 2013 BESERTA NOTA KEUANGANNYA Rapat Paripurna DPR RI, 4 September 2012 REPUBLIK INDONESIA

Transcript of JAWABAN PEMERINTAH ATAS ... - anggaran.depkeu.go.id · mendukung upaya peningkatan kesejahteraan...

JAWABAN PEMERINTAH ATAS

PEMANDANGAN UMUM FRAKSI-FRAKSI DPR RI TERHADAP

RUU TENTANG APBN 2013 BESERTA NOTA KEUANGANNYA

Rapat Paripurna DPR RI, 4 September 2012

REPUBLIK INDONESIA

1

Saudara Ketua dan Para Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia yang terhormat,

Hadirin yang berbahagia,

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh,

Salam sejahtera bagi kita semua,

Pertama-tama, marilah kita panjatkan puji dan syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas rahmat dan karunia-Nya, kita masih diberi kesempatan untuk dapat melaksanakan tugas dan kewajiban kenegaraan dalam rangka pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Tahun Anggaran 2013.

Selanjutnya, perkenankanlah kami, atas nama Pemerintah, menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada semua fraksi dalam DPR RI atas seluruh pandangannya terhadap berbagai substansi yang tertuang dalam RUU tentang APBN Tahun Anggaran 2013 beserta Nota Keuangannya, yang telah disampaikan oleh Presiden Republik Indonesia pada tanggal 16 Agustus 2012 yang lalu. Semua pandangan yang disampaikan oleh seluruh fraksi pada forum Pemandangan Umum atas RUU APBN Tahun Anggaran 2013 beserta Nota Keuangannya pada tanggal 29 Agustus 2012 yang lalu, tentunya merupakan masukan yang sangat berharga, dan akan menjadi bahan pembahasan lebih lanjut untuk penyempurnaan RUU tentang APBN Tahun Anggaran 2013.

Saudara Ketua dan Para Anggota Dewan yang terhormat,

Sebagai instrumen kebijakan fiskal, RAPBN Tahun 2013 memiliki makna yang sangat strategis, setidaknya pada dua aspek utama perekonomian nasional. Pertama, RAPBN 2013 disusun sebagai upaya mendekatkan tercapainya sasaran-sasaran RPJMN 2010–2014. Selain itu, RAPBN 2013 juga disiapkan untuk menjawab dan mengantisipasi tantangan serta isu-isu strategis perkembangan perekonomian global.

Visi RPJMN 2010-2014 untuk mewujudkan Indonesia yang makin sejahtera, demokratis, dan berkeadilan terus diupayakan pencapaiannya melalui penetapan berbagai target, sasaran-sasaran utama, serta prioritas dalam Rencana Kerja Pemerintah Tahun 2013, sebagai pelaksanaan tahun keempat dari RPJMN 2010-2014. Dengan mengusung tema: “Memperkuat Perekonomian Domestik bagi Peningkatan dan Perluasan Kesejahteraan Rakyat”, RKP 2013 menekankan pentingnya penguatan daya saing dan daya tahan perekonomian domestik, untuk mendukung upaya peningkatan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat.

Penjabaran tema pembangunan RKP 2013 tersebut tetap dalam koridor untuk menjalankan empat jalur strategi pembangunan, yakni mendorong pertumbuhan (pro-growth), memperluas kesempatan kerja (pro-job), menanggulangi kemiskinan (pro-poor), serta merespon persoalan-persoalan perubahan iklim (pro-environment). Oleh karena itu, sasaran utama pembangunan nasional 2010-2014 yang akan dicapai pada tahun 2013 dalam kerangka peningkatan kesejahteraan rakyat, adalah tercapainya pertumbuhan ekonomi pada kisaran 6,8—7,2 persen, menurunnya pengangguran terbuka

2

menjadi 5,8—6,1 persen, dan menurunnya tingkat kemiskinan menjadi 9,5—10,5 persen.

Selanjutnya, dalam kaitannya dengan menjawab tantangan dan antisipasi isu-isu strategis perkembangan perekonomian global, Pemerintah telah dan akan menyiapkan sejumlah instrumen proteksi, seperti skenario pengambilan tindakan (crisis management protocol) apabila terjadi risiko yang berdampak luas kepada perekonomian dan mengarah pada terjadinya krisis ekonomi. Di samping itu, Pemerintah juga menganggarkan sejumlah dana cadangan risiko fiskal, sebagai langkah antisipasi apabila terjadi perubahan berbagai asumsi ekonomi makro, dan tidak dapat dilaksanakannya langkah-langkah kebijakan seperti yang direncanakan, yang dapat berpengaruh negatif terhadap APBN 2013.

Saudara Ketua dan Para Anggota Dewan yang terhormat,

Kini, perkenankanlah kami menyampaikan tanggapan terhadap berbagai hal yang telah disampaikan oleh para juru bicara masing-masing fraksi dalam Dewan Perwakilan Rakyat, yaitu anggota yang terhormat Sdr. Ir. Muhammad Baghowi, MM mewakili Fraksi Partai Demokrat; Sdr. Drs. H. Roem Kono mewakili Fraksi Partai Golongan Karya; Sdr. M.H. Said Abdullah mewakili Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan; Sdr. H. Ecky Awal Mucharam mewakili Fraksi Partai Keadilan Sejahtera; Sdr. Ir. Sunartoyo mewakili Fraksi Partai Amanat Nasional; Sdr. H. Syaifullah Tamliha, S.PI, MS mewakili Fraksi Partai Persatuan Pembangunan; Sdr. Drs. H. Otong Abdurahman mewakili Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa; Sdr. Ir. Fary Djemi Francis, MMA mewakili Fraksi Partai Gerakan Indonesia Raya; dan Sdr. Saleh Husin SE, MSi mewakili Partai Hati Nurani Rakyat.

Saudara Ketua dan Para Anggota Dewan yang terhormat,

Pertama-tama, kami ingin menyampaikan tanggapan terhadap pandangan Fraksi Partai Golongan Karya, Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Fraksi Partai Persatuan Pembangunan, dan Fraksi Partai Gerakan Indonesia Raya, mengenai target pertumbuhan ekonomi di tengah kondisi global yang masih belum menentu sebagai berikut. Indonesia, begitu juga negara-negara lain di dunia, saat ini sedang menghadapi ketidakpastian global yang tinggi, terkait dengan masih berlarut-larutnya penyelesaian krisis di kawasan Eropa. Pemerintah masih yakin bahwa kita akan dapat bertahan dari dampak krisis global tersebut. Hingga saat ini, perekonomian nasional masih cukup kuat, dan bayang-bayang dampak krisis utang yang terjadi di Amerika Serikat dan Eropa diharapkan tidak berdampak terlalu signifikan pada perekonomian nasional. Namun, Pemerintah tetap menyadari perlunya kewaspadaan terhadap dampak krisis global tersebut dengan melakukan langkah-langkah mitigasi krisis, sehingga pengalaman buruk di tahun 1997-1998 diharapkan tidak terulang kembali.

Berdasarkan proyeksi perekonomian global dan domestik ke depan, Pemerintah menilai target pertumbuhan ekonomi sebesar 6,8 persen cukup realistis. Hal tersebut mengingat masih solidnya permintaan domestik dan

3

terjaganya stabilitas ekonomi makro secara cukup baik. Tingginya permintaan domestik perlu dikelola dengan baik agar tidak mendorong perekonomian menuju kondisi overheating.

Terkait dengan isu gejala overheating dapat kami sampaikan bahwa kondisi ekonomi Indonesia saat ini jauh dari gejala overheating. Pertumbuhan ekonomi Indonesia yang tinggi yang bersumber dari penguatan permintaan domestik, dapat dicapai dengan inflasi yang tetap rendah. Ekspektasi inflasi juga lebih baik karena manajemen kebijakan makro yang membaik, yang diikuti dengan perbaikan pasokan dan distribusi bahan makanan.

Kinerja transaksi berjalan memang mengalami defisit yang membesar. Akan tetapi komposisinya masih sehat karena didorong oleh kenaikan permintaan untuk barang investasi yang lebih besar dibandingkan barang konsumsi. Defisit transaksi berjalan merupakan konsekuensi kebutuhan investasi yang tinggi, sehingga sustainabilitas eksternal tetap terjaga. Saat ini Pemerintah terus berupaya mengelola keseimbangan internal maupun eksternal agar tingginya permintaan domestik tidak mengancam pertumbuhan ekonomi.

Selanjutnya, menanggapi pandangan Fraksi Partai Golkar, Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Fraksi Partai Amanat Nasional, Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa, Fraksi Partai Gerindra, dan Fraksi Partai Hati Nurani Rakyat mengenai kualitas pertumbuhan ekonomi terkait dengan tingkat pengangguran, kemiskinan, dan kesenjangan pendapatan, dapat disampaikan penjelasan sebagai berikut. Pemerintah selalu berupaya untuk mendorong agar perekonomian tidak saja mampu tumbuh tinggi melainkan juga berkualitas dan inklusif. Hal itu sejalan dengan amanat dari Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010-2014, yang diimplementasikan dalam RKP dan RAPBN setiap tahunnya, yang mencantumkan pertumbuhan ekonomi yang berkualitas dan inklusif sebagai salah satu arah kebijakan ekonomi makro. Perekonomian yang tumbuh berkualitas diharapkan mampu memberikan ruang yang lebih besar bagi terciptanya perluasan kesempatan kerja dan menurunnya tingkat kemiskinan, sehingga makin banyak keluarga Indonesia yang dapat menikmati hasil-hasil pembangunan. Selaras dengan itu, perekonomian yang tumbuh inklusif diharapkan mampu mendorong terwujudnya visi pro growth dan pro job, khususnya dari sektor-sektor usaha yang melibatkan orang miskin (pro poor).

Terkait dengan penciptaan kesempatan kerja, kinerja perekonomian domestik yang cukup baik selama ini telah mampu memberikan dampak positif bagi perluasan kesempatan kerja dan penurunan tingkat pengangguran. Selama periode 2007 hingga Februari 2012, terjadi peningkatan jumlah penduduk usia produktif sebesar 9,5 persen, yang diiringi peningkatan jumlah penduduk yang bekerja dari 99,93 juta jiwa menjadi 112,8 juta jiwa atau telah tercipta peningkatan kesempatan kerja sebesar 12,9 persen. Dengan perkembangan tersebut, telah terjadi penurunan tingkat pengangguran dari 9,11 persen pada tahun 2007 menjadi 6,32 persen pada Februari 2012.

Membaiknya perekonomian domestik yang disertai dengan penurunan tingkat pengangguran pada tahun 2007-2011 telah berdampak pada penurunan tingkat kemiskinan di tanah air, hingga pada September 2011 menjadi 12,36

4

persen, atau telah terjadi penurunan jumlah penduduk miskin sebanyak 130 ribu jiwa dibandingkan bulan Maret 2011. Angka kemiskinan tahun 2013 ditargetkan turun menuju kisaran 9,5 persen hingga 10,5 persen. Penurunan tingkat kemiskinan tersebut merupakan output dari upaya sinergi dan efektivitas program klaster 1–4, serta konsolidasi anggaran di berbagai kementerian negara/lembaga, dalam kerangka Masterplan Percepatan dan Perluasan Pengurangan Kemiskinan di Indonesia (MP3KI).

Selanjutnya, menanggapi pandangan dari Dewan yang terhormat mengenai asumsi dasar ekonomi makro, dapat kami sampaikan bahwa Pemerintah cenderung bersikap prudent dan realistis namun tetap optimis dalam menetapkan asumsi dasar ekonomi makro 2013. Pemerintah sependapat bahwa stabilitas ekonomi makro perlu dijaga karena memiliki peranan yang sangat penting terhadap kesejahteraan rakyat dan daya saing perekonomian nasional. Dalam kerangka tersebut, inflasi diupayakan di bawah 5 persen sejalan dengan inflation targeting Bank Indonesia. Nilai Tukar akan dijaga pada level Rp9.300/US$ dan tingkat suku bunga SPN 3 bulan diperkirakan berada pada level 5 persen. Sementara itu, harga minyak mentah Indonesia diperkirakan mencapai rata-rata US$100/barel. Selanjutnya, lifting minyak dan gas bumi direncanakan mencapai 2.260 ribu barel per hari setara minyak (BPH) meliputi lifting minyak 900 ribu bph dan lifting gas 1.360 ribu bph.

Saudara Ketua dan Para Anggota Dewan yang terhormat,

Menjawab pertanyaan dari Fraksi Partai Golongan Karya, Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Fraksi Partai Persatuan Pembangunan, Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa, dan Fraksi Partai Hanura mengenai perlunya peningkatan rasio pajak terhadap PDB (tax ratio) dapat dijelaskan bahwa Pemerintah telah melakukan berbagai langkah nyata dengan mengoptimalkan pemungutan perpajakan dan terus melakukan upaya perbaikan dari tahun ke tahun. Langkah-langkah tersebut dilakukan secara terstruktur dan berkesinambungan, mulai dari pembenahan pelayanan dan administrasi, peningkatan dan perluasan basis pajak, penyusunan data pajak yang terintegrasi, perbaikan regulasi perpajakan, serta peningkatan pengawasan pemungutan pajak.

Dalam beberapa tahun terakhir, tax ratio menunjukkan perkembangan yang cukup menggembirakan, yaitu dari 11,0 persen pada tahun 2009, 11,3 persen pada tahun 2010, dan 11,8 persen pada tahun 2011, serta diharapkan 11,9 persen pada tahun 2012. Pada tahun 2013 tax ratio direncanakan mencapai 12,7 persen. Dalam hal ini, dapat kiranya kami sampaikan bahwa angka-angka tax ratio tersebut dihitung berdasarkan perhitungan tax ratio yang hanya mencakup penerimaan perpajakan pusat (tax ratio dalam definisi sempit). Namun, apabila bila kita menghitung angka tax ratio dengan memasukkan penerimaan pajak daerah dan SDA migas (tax ratio dalam definisi luas), maka tax ratio Indonesia pada tahun 2011 mencapai 15,2 persen. Untuk tahun 2012, tax ratio ditargetkan mencapai 15,2 persen, dan untuk tahun 2013 tax ratio diperkirakan akan mencapai 15,6 persen.

Menjawab pertanyaan dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa mengenai perlunya optimalisasi pendapatan negara di bidang kepabeanan dan cukai dapat kami sampaikan tanggapan bahwa target penerimaan kepabeanan

5

dan cukai selalu mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Dalam RAPBN tahun 2013, target penerimaan kepabeanan dan cukai ditetapkan sebesar Rp147,2 triliun, dengan rincian: (a) target penerimaan bea masuk sebesar Rp26,5 triliun, meningkat sebesar 7,1 persen dari target APNBP 2012; (b) target penerimaan cukai sebesar Rp89,0 triliun, meningkat sebesar 6,9 persen dari target APBNP 2012; dan (c) target penerimaan bea keluar sebesar Rp31,7 trilun atau naik 36,6 persen dari target APBNP 2012.

Kenaikan penerimaan cukai tersebut didasarkan pada asumsi kenaikan tarif cukai hasil tembakau sesuai Road Map Cukai Hasil Tembakau, adanya effort dalam melakukan pemberantasan peredaran barang kena cukai illegal, serta konsistensi Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Keuangan pada Road Map Cukai Hasil Tembakau.

Menjawab pertanyaan dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan mengenai pengelolaan BUMN dan peningkatan kontribusinya kepada penerimaan negara dapat kami jelaskan sebagai berikut. Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Menteri BUMN Nomor PER-01/MBU/2011 tentang Penerapan Tata Kelola Perusahaan yang Baik (Good Corporate Governance/GCG) pada BUMN. Penerbitan Peraturan Menteri BUMN tersebut dilakukan untuk menjawab perubahan lingkungan bisnis yang sangat dinamis, serta tuntutan masyarakat luas tentang penerapan prinsip keterbukaan, akuntabilitas, pertanggungjawaban, serta kewajaran.

Selanjutnya, sejalan dengan semakin meningkatnya kinerja BUMN, kontribusi BUMN terhadap APBN, baik melalui pajak, privatisasi dan dividen juga terus mengalami peningkatan. Selama periode 2007-2011, kontribusi BUMN terhadap APBN tumbuh rata-rata sebesar 7,9 persen. Dilihat dari peranannya, dari jumlah kontribusi BUMN, sebesar 20,4 persen berasal dari penerimaan dividen; 78,8 persen berasal dari penerimaan perpajakan; dan 0,8 persen berasal dari privatisasi.

Saudara Ketua dan Para Anggota Dewan yang terhormat,

Berkaitan dengan belanja negara, Pemerintah sependapat dengan pandangan Fraksi Partai Persatuan Pembangunan dan Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa, mengenai perlunya mengoptimalkan pengelolaan anggaran agar dapat memicu percepatan roda pembangunan. Berkaitan dengan itu dapat disampaikan bahwa, Pemerintah telah dan akan senantiasa melakukan perbaikan sistem alokasi dan pelaksanaan anggaran. Langkah yang ditempuh Pemerintah adalah kebijakan pembaharuan (reformasi) di bidang fiskal terkait dengan penyusunan dan pelaksanaan anggaran belanja Pemerintah Pusat. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara mengamanatkan pelaksanaan pembaharuan sistem penganggaran belanja negara, yaitu meliputi penerapan: (1) penganggaran terpadu (unified budget); (2) penganggaran berbasis kinerja (performance based budgeting); dan (3) kerangka pengeluaran jangka menengah.

Selanjutnya, Pemerintah menyadari bahwa penyerapan anggaran belanja K/L masih cukup lambat. Untuk itu, Pemerintah telah dan akan terus melakukan upaya terobosan untuk percepatan peningkatan penyerapan anggaran dengan

6

langkah-langkah yang meliputi antara lain: (1) penyempurnaan mekanisme pengadaan barang dan jasa; (2) penyempurnaan mekanisme pelaksanaan anggaran; (3) penyederhanaan prosedur revisi anggaran; (4) percepatan penagihan kegiatan proyek oleh pihak kontraktor; (5) penyederhanaan format DIPA untuk meningkatkan fleksibilitas bagi K/L dalam pelaksanaan anggaran; serta (6) integrasi database RKA-KL dan DIPA sehingga mempercepat penerbitan DIPA. Selain itu, Pemerintah juga mulai melaksanakan program percepatan dan penyerapan anggaran melalui pembentukan Tim Evaluasi dan Pengawasan Penyerapan Anggaran (TEPPA) di masing-masing kementerian negara/lembaga.

Selanjutnya, Pemerintah mengucapkan terima kasih atas dukungan Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa berkaitan dengan penerapan sistem reward and punishment dalam upaya untuk mewujudkan pengelolaan keuangan negara yang efektif. Pada tahun 2013, Pemerintah akan melanjutkan dan menyempurnakan penerapan kebijakan reward and punishment atas pelaksanaan anggaran untuk meningkatkan kualitas perencanaan dan pelaksanaan belanja Pemerintah Pusat yang mulai diimplementasikan sejak tahun 2009. Pada prinsipnya, dalam sistem reward and punishment, K/L yang berhasil melakukan optimalisasi penggunaan anggaran, atau dapat mencapai sasaran/target dengan biaya yang lebih rendah pada tahun sebelumnya, akan diberi tambahan pagu belanja pada tahun berikutnya (reward). Sementara itu, bagi K/L yang pada tahun sebelumnya tidak bisa menyerap anggaran dan mencapai sasaran/target dengan alasan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan, maka pada tahun berikutnya anggaran K/L yang bersangkutan akan dikurangi (punishment).

Saudara Ketua dan Para Anggota Dewan yang terhormat,

Terhadap pandangan Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan mengenai besarnya alokasi anggaran belanja pegawai, dapat disampaikan penjelasan sebagai berikut. Belanja pegawai merupakan jenis belanja mengikat (nondiscretionary spending), yang wajib disediakan anggarannya oleh pemerintah sebagai tanggung jawab pemberi kerja. Belanja pegawai yang direncanakan sebesar Rp241,1 triliun, akan digunakan untuk belanja gaji dan tunjangan (67,9 persen), serta kontribusi sosial bagi PNS dan pensiunan (32,1 persen). Oleh karena itu, belanja pegawai merupakan belanja yang bersifat strategis guna menunjang kelangsungan kegiatan pemerintahan, dan menjamin kelangsungan pelayanan publik bagi masyarakat.

Sementara itu, peningkatan belanja pegawai dalam RAPBN 2013, utamanya disebabkan adanya upaya pemerintah untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik melalui reformasi birokrasi dan tata kelola pemerintahan. Salah satu fokus utama pelaksanaan reformasi birokrasi adalah melalui peningkatan profesionalisme aparatur negara dan tata pemerintahan yang penuh integritas, akuntabel, taat kepada hukum, dan transparan, baik di pemerintah pusat maupun di pemerintah daerah, agar mampu mendukung keberhasilan pembangunan di bidang-bidang lainnya. Namun demikian, Pemerintah sependapat dengan Dewan yang terhormat bahwa sebagaimana jenis belanja yang lainnya, anggaran belanja pegawai harus optimal dan efisien.

7

Selanjutnya, terhadap himbauan Fraksi Partai Keadilan Sejahtera dan Fraksi Partai Golkar mengenai koordinasi antarinstansi pemerintah dalam recruitment, serta penataan jumlah dan distribusi PNS baik pusat maupun daerah, dapat disampaikan penjelasan sebagai berikut. Pemerintah telah menerbitkan Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Keuangan, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Men-PAN&RB) tentang moratorium penerimaan PNS. Hal itu ditempuh dalam rangka penataan kembali jumlah kebutuhan Pegawai Negeri Sipil yang tepat berdasarkan analisis jabatan dan beban kerja. Sejalan dengan itu, Pemerintah juga akan melakukan recruitment pegawai secara selektif mengacu pada prinsip zero growth dan berbasis kompetensi. Kemudian, kepada seluruh kementerian negara/lembaga dan pemerintah daerah diwajibkan untuk menghitung terlebih dahulu kebutuhan riil PNS sebelum mereka diizinkan kembali menerima calon pegawai negeri sipil (CPNS).

Saudara Ketua dan Para Anggota Dewan yang terhormat,

Menanggapi pandangan Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Fraksi Partai Golkar, Fraksi Gerindra, dan Fraksi Partai Hanura, mengenai perlunya restrukturisasi komposisi belanja dengan mengedepankan fungsi stimulus dan belanja modal, dapat dijelaskan sebagai berikut. Selama ini, kebijakan perencanaan anggaran belanja Pemerintah Pusat dirancang untuk menjaga keseimbangan antara upaya untuk meningkatkan peranannya dalam memberikan stimulasi pada pertumbuhan ekonomi dengan upaya untuk tetap menjaga stabilitas, dan memperkuat fundamental ekonomi makro. Kebijakan tersebut tercermin dari penetapan besaran defisit anggaran pada RAPBN 2013 sebesar 1,62 persen terhadap PDB, yang dilakukan dengan tetap menjaga kesinambungan APBN, serta menurunkan rasio utang Pemerintah terhadap PDB. Meskipun defisit anggaran relatif rendah, namun ekspansi dan stimulasi terhadap perekonomian tetap dapat dilakukan Pemerintah melalui peningkatan kualitas belanja dengan memfokuskan pada jenis belanja yang produktif. Dalam beberapa tahun terakhir, Pemerintah berusaha meningkatkan komponen belanja yang mempunyai dampak multiplier yang lebih besar pada pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, khususnya belanja modal.

Selanjutnya, langkah-langkah kebijakan untuk meningkatkan kualitas belanja negara (quality of spending), ditempuh antara lain dengan lebih memperhatikan efisiensi, dan ketepatan alokasi, serta memperhitungkan pengaruhnya terhadap perekonomian. Dalam rangka meningkatkan kualitas belanja (quality of spending) tersebut, serta merekonstruksi komposisi belanja, maka akan dilanjutkan langkah-langkah kebijakan sebagai berikut: (1) mengedepankan alokasi belanja modal; (2) implementasi flat policy bagi belanja barang operasional; (3) merancang ulang (redesign) kebijakan subsidi; (4) menghindarkan meningkatnya pengeluaran mandatory spending; (5) memperluas pelaksanaan reformasi birokrasi; dan (6) menerapkan sistem reward dan punishment dalam pengalokasian anggaran secara konsisten.

Saudara Ketua dan Para Anggota Dewan yang terhormat,

8

Menanggapi saran Fraksi Partai Amanat Nasional untuk melaksanakan secara konsisten program-program utama dalam MP3EI dan MP3KI, dapat disampaikan penjelasan sebagai berikut. Pemerintah akan secara konsisten melaksanakan seluruh program-program dalam MP3EI serta MP3KI sebagai langkah-langkah terobosan (breakthrough), bukan hanya sebagai langkah-langkah biasa (bussiness as usual) dalam proses pembangunan Indonesia. Pemerintah juga akan menjamin sinergi pelaksanaan MP3EI dan MP3KI dalam mewujudkan (1) pertumbuhan yang tinggi, inklusif, berkeadilan, dan berkelanjutan; (2) pembangunan ekonomi yang merata di seluruh tanah air; (3) peningkatan kesempatan kerja; serta (4) penurunan tingkat kemiskinan.

Berkaitan dengan itu, pada tahun 2012 ini, akan dilakukan groundbreaking terhadap 84 proyek, yang terdiri dari investasi sektor riil dan pembangunan infrastruktur dengan nilai total Rp536,3 triliun, yang akan dibiayai oleh Pemerintah Rp66,2 triliun (15 proyek), BUMN Rp90,3 triliun (20 proyek), swasta Rp301,6 triliun (38 proyek), dan campuran Rp78,2 triliun (11 proyek). Selain pembangunan infrastruktur, pada tahun 2012 akan dilakukan sejumlah kegiatan untuk mendukung penguatan sumber daya manusia (SDM) dan ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek) di setiap koridor ekonomi. Terkait dengan penguatan SDM, telah direncanakan sebanyak 76 program dengan nilai total investasi Rp580 miliar. Sedangkan untuk pengembangan Iptek, direncanakan 134 program dengan nilai total investasi Rp3,8 triliun.

Di lain pihak, MP3KI merupakan upaya untuk memaksimalkan manfaat MP3EI, dan untuk mendorong terwujudnya pembangunan yang inklusif dan berkeadilan. MP3KI merupakan affirmative action sehingga pembangunan ekonomi yang terwujud tidak hanya pro-growth, tetapi juga pro-poor, pro-job dan pro-environment.

Saudara Ketua dan Para Anggota Dewan yang terhormat,

Menanggapi pandangan Fraksi Partai Keadilan Sejahtera agar Pemerintah bersungguh-sungguh untuk memastikan pelaksanaan Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) melalui pembentukan Badan Pengelola Jaminan Sosial (BPJS) sehingga dapat berjalan secara efektif per 1 Januari 2014 dan dapat berkelanjutan, dapat kami sampaikan hal-hal sebagai berikut. Pemerintah telah melakukan persiapan secara serius dan intensif agar program SJSN tersebut dapat terlaksana mulai 1 Januari 2014. Persiapan tersebut mencakup penyiapan regulasi, infrastruktur, kelembagaan, sumber daya manusia, maupun pembiayaan implementasi SJSN. Untuk itu, Pemerintah telah mengeluarkan Surat Keputusan Nomor 176/Menkes/SK/V/2012 tentang Pembentukan Kelompok Kerja Pelaksanaan SJSN, yang terdiri dari enam kelompok kerja (Pokja) yaitu: (1) Pokja Fasilitas Kesehatan (Faskes), Sistem Rujukan dan Infrastruktur; (2) Pokja Pembiayaan, Transformasi Kelembagaan dan Program; (3) Pokja Regulasi; (4) Pokja Kefarmasian dan Alat Kesehatan; (5) Pokja SDM dan Capacity Building; serta (6) Pokja Sosialisasi dan Advokasi.

Di sisi lain, PT Askes dan PT Jamsostek yang akan bertransformasi menjadi BPJS Kesehatan sesuai dengan amanat UU Nomor 24 Tahun 2011, secara simultan juga terus melakukan persiapan operasional BPJS Kesehatan, di

9

antaranya: (1) Menyusun sistem dan prosedur operasi BPJS Kesehatan; (2) Melakukan sosialisasi kepada seluruh pemangku kepentingan jaminan kesehatan; (3) Menentukan program jaminan kesehatan sesuai dengan ketentuan UU tentang SJSN; (4) Berkoordinasi dengan Kementerian Kesehatan untuk mengalihkan penyelenggaraan program jaminan kesehatan masyarakat ke BPJS Kesehatan; dan (5) Berkoordinasi dengan Kementerian Pertahanan dan Kepolisian Republik Indonesia untuk mengalihkan penyelenggaraan program jaminan kesehatan bagi anggota TNI/Polri dan PNS di lingkungannya beserta anggota keluarganya ke BPJS Kesehatan.

Sementara itu, dapat kami sampaikan bahwa dukungan anggaran untuk pelaksanaan SJSN telah diakomodir dalam RAPBN 2013 berupa Penyertaan Modal Negara (PMN) masing-masing sebesar Rp500 miliar untuk BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan, serta ditampungnya kebutuhan anggaran dalam Kerangka Pengeluaran Jangka Menengah (KPJM), sehingga kontinuitas program ini dalam jangka menengah dapat dijamin.

Saudara Ketua dan Para Anggota Dewan yang terhormat,

Menanggapi pandangan Fraksi Partai Keadilan Sejahtera mengenai kebijakan anggaran pendidikan tahun 2013 yang harus mampu mendorong peningkatan kualitas pendidikan, dapat kami sampaikan penjelasan sebagai berikut. Dalam rangka mendorong peningkatan kualitas pendidikan, Pemerintah telah melakukan upaya-upaya antara lain: (1) meningkatkan kualifikasi, sertifikasi, profesionalisme, dan peningkatan kesejahteraan pendidik; (2) meningkatkan sarana penunjang mutu seperti perpustakaan, laboratorium, dan peralatan pendidikan; (3) menata kurikulum dan proses belajar-mengajar yang berbasis pada tumbuh-kembangnya kreativitas peserta didik; serta (4) penataan sistem evaluasi dan pemetaan mutu sebagai bagian dari upaya peningkatan mutu berkelanjutan.

Mengenai audit kinerja dan evaluasi atas efektivitas belanja pendidikan, dapat disampaikan bahwa pada tingkat Kemdikbud selalu dilakukan audit kinerja secara periodik baik oleh BPK, BPKP, maupun aparat inspektorat jenderal. Selain itu, pada setiap satuan kerja telah dibentuk satuan pengawas intern (SPI) dan telah berperan efektif dalam mengendalikan pelaksanaan program. Sejalan dengan itu, Pemerintah sependapat mengenai perlunya audit kinerja dan evaluasi menyeluruh atas efektivitas belanja pendidikan.

Saudara Ketua dan Para Anggota Dewan yang terhormat,

Pemerintah sependapat dengan pandangan Fraksi Partai Demokrat, Fraksi Partai Golkar, Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, serta Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa mengenai perlunya menata ulang kebijakan penyaluran subsidi supaya lebih efisien dan lebih tepat sasaran. Dari hasil evaluasi yang dilakukan oleh Pemerintah setiap tahun, memang selayaknya kita dapat mendesain dan mengalokasikan subsidi menjadi lebih efisien, efektif, dan lebih tepat sasaran serta berkeseimbangan dengan kemampuan fiskal nasional dalam jangka panjang. Untuk itu, Pemerintah sangat mengharapkan dukungan Dewan Perwakilan

10

Rakyat agar dapat terus mengendalikan dan mengefisienkan anggaran subsidi, khususnya subsidi energi guna menjaga kesinambungan dan percepatan pembangunan nasional untuk kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia.

Selanjutnya, menjawab pertanyaan Fraksi Partai Gerindra agar Pemerintah memperbesar subsidi untuk pangan guna menopang ketahanan pangan, dapat disampaikan tanggapan sebagai berikut. Pemerintah mengalokasikan anggaran untuk mendukung ketahanan pangan melalui belanja subsidi dan belanja kementerian negara/lembaga terkait. Anggaran belanja subsidi dalam RAPBN 2013 untuk mendukung ketahanan pangan tersebut meliputi subsidi pangan, subsidi pupuk, subsidi benih, dan subsidi bunga kredit program untuk bidang pertanian. Sebagian besar subsidi untuk sektor pertanian tersebut dalam tahun 2013 mengalami peningkatan jika dibandingkan dengan pagunya dalam APBNP 2012. Namun, untuk subsidi pangan mengalami penurunan, terutama karena perubahan parameter rumah tangga sasaran (RTS) yang sebelumnya 17,5 juta RTS pada tahun 2012 menjadi 15,5 juta RTS pada tahun 2013, serta berkurangnya durasi raskin dari sebelumnya 14 bulan (termasuk untuk antisipasi kompensasi kenaikan harga BBM) pada APBNP 2012 menjadi 12 bulan pada RAPBN 2013.

Untuk mendukung ketahanan pangan nasional, Pemerintah juga mengalokasikan anggaran untuk dana cadangan stabilisasi harga pangan, Cadangan Beras Pemerintah (CBP), Cadangan Benih Nasional (CBN), Bantuan Langsung Pupuk (BLP), dan Bantuan Langsung Benih Unggul (BLBU). Dalam usaha penguatan ketahanan pangan nasional agar terhindar dari krisis pangan, upaya pemerintah tidak hanya dalam bentuk dukungan fiskal saja, namun juga kebijakan-kebijakan pendukungnya, seperti perbaikan manajemen stok dan distribusi pangan nasional dalam rangka stabilisasi harga pangan, penyediaan lahan-lahan baru dalam rangka peningkatan kapasitas produksi pangan dalam negeri, serta penyediaan dan pembangunan infrastruktur pangan/pertanian.

Saudara Ketua dan Para Anggota Dewan yang terhormat,

Pemerintah sependapat dengan Fraksi Partai Keadilan Sejahtera mengenai beban belanja pegawai daerah yang semakin tinggi dan telah berada pada tingkat yang mengkhawatirkan, sehingga harus diatasi dan dikendalikan. Secara nasional, belanja pegawai daerah berada di kisaran 45 persen dari total belanja, dan terdapat beberapa daerah lebih dari 70 persen. Untuk itu, Pemerintah Pusat telah mengambil langkah-langkah pengendalian belanja pegawai daerah antara lain melalui, moratorium penerimaan PNS dan rencana capping belanja pegawai dalam rancangan revisi UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah. Meskipun demikian, salah satu hal yang perlu dicermati adalah bahwa komposisi pegawai negeri sipil daerah (PNSD) sangat didominasi oleh guru dan tenaga kesehatan (dokter, bidan, perawat, mantri, dan sebagainya).

Pemerintah juga sependapat dengan Fraksi Partai Demokrat, mengenai perlunya penerapan reward and punishment kepada daerah dalam konteks implementasi desentralisasi fiskal. Dalam rangka meningkatkan transparansi dan akuntabilitas pengelolaan keuangan negara, reward and punishment ini telah dilaksanakan, antara lain melalui pemberian sanksi kepada daerah-daerah yang

11

terlambat dalam menetapkan dan menyampaikan APBD-nya ke pusat. Selain itu, Pemerintah juga memberikan penghargaan kepada daerah-daerah yang berprestasi, yang diwujudkan dalam pemberian Dana Insentif Daerah (DID). DID ini terutama untuk memberikan apresiasi kepada daerah yang telah menetapkan APBD secara tepat waktu dan hasil opini BPK atas LKPD menunjukkan hasil yang baik (minimum WDP).

Saudara Ketua dan Para Anggota Dewan yang terhormat,

Menanggapi pandangan Fraksi Partai Keadilan Sejahtera yang menilai bahwa program Klaster 3, dan Kredit Usaha Rakyat (KUR) yang belum optimal dalam menjangkau usaha mikro yang rentan, sehingga ke depan perlu diperkuat dengan program Kelompok Usaha Bersama (KUBE) dan diberikan subsidi bunga atau margin untuk usaha mikro dan kecil yang rentan, dapat kiranya disampaikan penjelasan sebagai berikut. Pemerintah senantiasa berupaya untuk mengoptimalkan program KUR sehingga menjangkau lebih luas usaha mikro. Untuk itu, telah ditempuh perbaikan mekanisme dengan mengikutsertakan lebih banyak bank pelaksana KUR, penurunan suku bunga KUR, dan peningkatan nilai penjaminan.

Selanjutnya, Pemerintah sependapat dengan saran Fraksi Partai Keadilan Sejahtera mengenai perlunya upaya untuk mendorong perbaikan alokasi proporsi KUR, agar dapat mendorong pertumbuhan Usaha Mikro, Kecil, Menengah, dan Koperasi (UMKMK) berbasis pertanian (agrobisnis). Untuk itu, penjaminan KUR untuk sektor-sektor usaha berbasis pertanian yang semula sebesar 70 persen, ditingkatkan menjadi 80 persen, sehingga diharapkan mendorong Bank Pelaksana KUR untuk meningkatkan alokasi KUR ke sektor usaha berbasis pertanian. Berkenaan dengan usulan untuk penyediaan program Asuransi Usaha Mikro, Pemerintah berpendapat, kiranya program asuransi tersebut perlu disesuaikan dengan kebutuhan perlindungan usaha mikro di masing-masing sektor, mengingat usaha mikro memiliki bidang usaha yang sangat beragam.

Saudara Ketua dan Para Anggota Dewan yang terhormat,

Sekarang, izinkanlah kami menyampaikan tanggapan yang berkaitan dengan pengelolaan defisit anggaran dan kebijakan pembiayaannya. Menanggapi pandangan dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Fraksi Partai Amanat Nasional, Fraksi Partai Persatuan Pembangunan, Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa, Fraksi Partai Gerindra, dan Fraksi Partai Hanura mengenai peninjauan kembali kebijakan penggunaan sumber pembiayaan utang untuk menutup defisit anggaran, kiranya dapat dijelaskan sebagai berikut. Pada dasarnya, Pemerintah selalu berupaya agar APBN semakin mandiri dan sehat serta berkelanjutan. Untuk itu, berbagai upaya untuk meningkatkan pendapatan negara akan terus dilakukan dengan langkah-langkah reformasi yang konsisten dan efektif. Sementara itu, dari sisi alokasi belanja, akan terus dijaga agar tepat, efisien dan senantiasa mendukung prioritas pembangunan nasional antara lain untuk pembangunan infrastruktur, pendidikan, kesehatan, dan pengentasan kemiskinan.

12

Sejalan dengan itu, pencarian sumber pembiayaan anggaran dilakukan dengan tetap memperhatikan upaya untuk mencapai kemandirian bangsa, utamanya dengan memaksimalkan terlebih dahulu sumber-sumber pendapatan negara. Selain itu, Pemerintah juga akan terlebih dahulu memaksimalkan sumber pembiayaan non-utang, seperti penggunaan Saldo Anggaran Lebih (SAL) dan hasil pengelolaan aset. Namun, seiring dengan semakin terbatasnya sumber pembiayaan non-utang dimaksud, maka Pemerintah berupaya untuk menutup kekurangan pembiayaan defisit melalui sumber utang. Dalam pelaksanaannya, strategi pemenuhan sumber pembiayaan utang harus dilakukan dengan hati-hati, cermat, dan akuntabel dengan tetap memperhatikan dampaknya pada masa yang akan datang.

Selanjutnya, untuk melakukan diversifikasi instrumen pembiayaan utang yang potensial, Pemerintah telah memiliki sukuk negara berbasis proyek (project based sukuk). Sukuk berbasis proyek atau sukuk proyek dibedakan menjadi dua skema, yaitu: (1) sukuk yang diterbitkan dengan menggunakan proyek DIPA sebagai underlying asset atau project underlying, dan (2) sukuk yang diterbitkan untuk mendanai proyek baru dalam APBN atau project financing. Untuk tahun 2012, Pemerintah telah memulai penerbitan sukuk dengan skema project underlying dan akan dilanjutkan dengan rencana penerbitan sukuk project financing pada tahun 2013.

Menanggapi pandangan Fraksi Partai Golkar yang menginginkan Pemerintah memperlebar defisit sehingga tercipta ruang fiskal bagi Pemerintah, dapat kami jelaskan sebagai berikut. Pemerintah sangat membutuhkan ruang fiskal tersebut, namun kami kurang sependapat bahwa kita memulai anggaran tahun ini dengan tingkat defisit yang lebar. Pemerintah mengupayakan peningkatan ruang fiskal (fiscal space) dengan mengurangi belanja-belanja wajib atau nondiscretionary baik karena ketentuan perundang-undangan (mandatory spending), ataupun karena harus memberikan subsidi yang besar dan cakupan yang terlalu luas, sehingga cenderung tidak tepat sasaran. Kita harus menjaga agar APBN kita mempunyai kemampuan untuk beradaptasi terhadap perubahan kondisi perekonomian yang sangat dinamis, dengan mengurangi mandatory spending dan subsidi yang tidak tepat sasaran. Pemerintah membutuhkan ruang fiskal yang cukup di saat-saat perekonomian nasional sedang lesu atau pertumbuhannya melambat, namun tidak harus memperlebar defisit.

Saudara Ketua dan Para Anggota Dewan yang terhormat,

Demikianlah tanggapan Pemerintah atas Pemandangan Umum Dewan Perwakilan Rakyat berkenaan dengan RUU tentang APBN Tahun Anggaran 2013 beserta Nota Keuangannya. Tanggapan atas Pemandangan Umum DPR RI lebih lanjut, kami sampaikan secara tertulis, sebagai bagian yang tidak terpisah dari tanggapan yang telah kami sampaikan ini.

Akhirnya, atas nama Pemerintah, kami menyambut baik ajakan Dewan yang terhormat untuk bersama-sama membahas RUU APBN 2013 beserta Nota Keuangannya secara lebih transparan, mendalam, dan cermat pada tahap selanjutnya. Atas dasar prinsip kemitraan dan tanggung jawab bersama dalam mengemban amanat rakyat, maka kami percaya bahwa kewajiban konstitusional

13

yang diamanatkan kepada Pemerintah dan Dewan ini dapat diselesaikan secara tepat waktu sesuai dengan jadwal yang telah ditetapkan.

Marilah kita panjatkan doa kepada Tuhan Yang Maha Esa, agar kita senantiasa diberikan kekuatan dan kemampuan dalam menjalankan dan menyelesaikan tugas dan tanggung jawab kepada negara ini.

Sekian dan terima kasih.

Wassalamu’alaikum wr. wb.

Jakarta, 4 September 2012 A.N. PEMERINTAH MENTERI KEUANGAN AGUS D.W. MARTOWARDOJO

LAMPIRAN

-L.1-

 

A. PEREKONOMIAN GLOBAL DAN DOMESTIK, SERTA ASUMSI DASAR EKONOMI MAKRO

Menanggapi harapan Fraksi Partai Golongan Karya dan Fraksi Partai Keadilan Sejahtera mengenai kebijakan fiskal yang ekspansif di tengah-tengah perlambatan perekonomian global, dan perlunya stimulus fiskal, dapat kami sampaikan tanggapan sebagai berikut. Pemerintah sependapat bahwa dalam kondisi perekonomian diperkirakan mengalami perlambatan, maka peran Pemerintah di dalam mendukung peningkatan kinerja dan ketahanan ekonomi domestik harus semakin nyata. Dalam kaitan ini, Pemerintah juga sependapat bahwa kebijakan fiskal yang ekspansif masih tetap dibutuhkan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan memberikan stimulus fiskal.

Kebijakan ekspansif yang ditempuh Pemerintah dengan defisit sebesar 1,62 persen terhadap PDB di tahun 2013 merupakan upaya agar APBN tetap mampu menstimulasi perekonomian namun tetap berada pada level yang aman dalam kerangka menjaga kesinambungan fiskal. Kebijakan ekspansif tersebut diarahkan agar APBN tetap mempunyai daya dorong yang kuat terhadap perekonomian, menggerakkan sektor riil, memperluas kesempatan kerja dan pada gilirannya dapat mengurangi tingkat kemiskinan.

Dalam kerangka tersebut, Pemerintah juga sependapat bahwa penerimaan negara perlu terus dioptimalkan. Pemerintah juga sependapat bahwa alokasi belanja modal perlu terus ditingkatkan. Selama ini, upaya-upaya optimalisasi pendapatan negara telah, sedang, dan akan terus dilakukan. Di lain pihak, Pemerintah juga memberikan insentif fiskal di bidang perpajakan, seperti pengurangan PPnBM dalam rangka mengembangkan industri kendaraan bermotor dengan harga terjangkau oleh masyarakat, dan menyediakan kendaraan bermotor yang ramah lingkungan (hybrid dan low carbon emission). Selain itu, Pemerintah juga berkomitmen memberikan fasilitas perpajakan dalam bentuk pajak ditanggung Pemerintah.

Di sisi lain, Pemerintah juga berusaha meningkatkan belanja negara dalam rangka memberikan stimulus fiskal guna mencapai target pertumbuhan ekonomi yang telah ditetapkan. Dalam kaitan ini, Pemerintah berupaya untuk meningkatkan kualitas belanja, dengan memberikan porsi belanja modal, khususnya belanja infrastruktur yang semakin besar, dan mengendalikan belanja subsidi. Sebagai gambaran, dalam tahun 2013 direncanakan belanja infrastruktur di bidang perhubungan sebesar Rp62,1 triliun untuk mendukung keterhubungan antar wilayah, infrastruktur irigasi sebesar Rp18,7 triliun untuk mendukung ketahanan pangan, infrastruktur energi dan lainnya sebesar Rp56,6 triliun untuk menunjang ketahanan energi, dan infrastruktur perumahan dan pemukinan sebesar Rp18,1 triliun. Dampak langsung dari pembangunan infrastruktur adalah meningkatkan produktivitas dan menurunkan biaya produksi, sehingga diharapkan dapat meningkatkan daya saing pelaku usaha, yang pada gilirannya akan menarik investor untuk berinvestasi di Indonesia.

-L.2-

 

Menanggapi pernyataan dari Fraksi Partai Demokrat terkait dengan sejumlah tantangan perekonomian global yang perlu diwaspadai Pemerintah di tahun 2013 dapat kami sampaikan beberapa hal sebagai berikut. Di tahun 2013, proses pemulihan ekonomi dunia memang menghadapi berbagai tantangan yang juga dapat memberikan pengaruh terhadap kondisi perekonomian domestik sehingga perlu diwaspadai dan diantisipasi dampaknya. Krisis utang yang masih dialami oleh beberapa negara di Eropa diperkirakan masih akan berlanjut, terutama karena upaya-upaya stimulus yang direncanakan juga masih menjadi perdebatan di antara negara-negara Eropa. Dampaknya adalah aktivitas ekonomi di wilayah Eropa juga akan terganggu, termasuk kegiatan industri manufaktur, investasi maupun arus modal.

Sementara itu, Amerika Serikat (AS) pada awal 2013 harus dapat memenuhi komitmennya untuk memangkas anggaran belanja dan menaikkan target pajak (fiscal cliff), sehingga hal ini pun dapat berisiko pada melambatnya pertumbuhan AS pada tahun 2013. Lembaga international Standard and Poor’s (S&P) bahkan memperkirakan resesi AS pada 2013 kemungkinan akan meningkat dari 20 persen menjadi 25 persen.

Hal lain yang patut diwaspadai adalah risiko perlambatan ekonomi Cina sebagai partner dagang utama Indonesia. Pertumbuhan Cina pada kuartal II 2012 sebesar 7,6 persen (yoy) merupakan yang terendah sejak tiga tahun terakhir. Bahkan Bank Sentral Cina memperkirakan pertumbuhan ekonomi Cina pada kuartal selanjutnya akan lebih lambat.

Potensi risiko terhadap perekonomian dunia lainnya adalah berupa gejolak harga komoditas energi dunia. Dalam beberapa tahun terakhir, harga komoditas minyak mentah dunia telah menunjukkan fluktuasi yang cukup besar. Ketidakseimbangan antara pasokan dan permintaan, disertai faktor-faktor spekulasi dan geopolitik telah menyebabkan lonjakan harga minyak mentah dunia ke tingkat yang sangat tinggi. Walaupun kemudian harga minyak turun kembali, fluktuasi yang sangat besar dapat mengganggu stabilitas ekonomi dan sentimen negatif di berbagai negara, termasuk Indonesia. Kondisi-kondisi tersebut menimbulkan ketidakpastian pemulihan ekonomi di tahun 2013, termasuk di antaranya arus modal yang masuk ke pasar domestik. Situasi di pasar modal dan surat berharga sangat rentan dengan sentimen-sentimen kondisi ekonomi global, sehingga volatilitasnya masih sangat tinggi dan pembalikan arus modal masih perlu diwaspadai.

Pemerintah tetap akan mewaspadai risiko yang bersumber dari perkembangan ekonomi global. Transmisi yang terjadi dapat melalui jalur perdagangan maupun jalur investasi. Perlambatan ekspor tetap akan diantisipasi, di mana kebijakan ekspor akan difokuskan pada peningkatan diversifikasi pasar tujuan ekspor, peningkatan kualitas dan keberagaman produk ekspor, dan peningkatan fasilitasi ekspor. Di lain pihak untuk mendukung pertumbuhan ekonomi di tahun 2013, investasi di sektor riil diperkirakan akan menjadi salah satu pendorong utama, di mana Pemerintah akan terus mendorong kualitas belanja Pemerintah melalui belanja modal, khususnya untuk pembangunan infrastruktur.

-L.3-

 

Dalam upaya peningkatan iklim investasi dan kemudahan berusaha, akan dilakukan kebijakan-kebijakan sebagai berikut: (a) penyederhanaan dan percepatan prosedur investasi dan berusaha; (b) penyederhanaan aturan terkait implementasi proyek-proyek; (c) peningkatan efisiensi sistem logistik nasional, melalui perluasan pelaksanaan national single window (NSW); (d) pengembangan kawasan ekonomi khusus (KEK); dan (e) peningkatan iklim ketenagakerjaan dan penguatan kelembagaan hubungan industrial. Pertumbuhan investasi juga didukung oleh percepatan pembangunan infrastruktur untuk meningkatkan domestic connectivity. Keberlanjutan program MP3EI yang difokuskan pada pembangunan infrastruktur juga diharapkan masih akan menjadi pendorong dalam kinerja investasi.

Dalam hal investasi portofolio, stabilisasi di sektor keuangan juga akan menjadi fokus Pemerintah. Koordinasi di sektor keuangan telah dibentuk melalui Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan (FKSSK), di mana tugas dan wewenangnya adalah:

a. membuat rekomendasi kepada masing-masing anggota untuk melakukan tindakan dan/atau menetapkan kebijakan dalam rangka menjaga SSK.

b. menetapkan dan melaksanakan kebijakan yang diperlukan dalam rangka pencegahan dan penanganan krisis pada sistem keuangan sesuai dengan kewenangan masing-masing.

Menanggapi pandangan Fraksi Partai Keadilan Sejahtera mengenai peningkatan ruang fiskal dalam rangka mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkualitas, dapat kami sampaikan bahwa pada prinsipnya Pemerintah sependapat dengan Fraksi Partai Keadilan Sejahtera untuk lebih meningkatkan ruang fiskal melalui optimalisasi pendapatan negara dan efisiensi belanja yang kurang produktif. Disisi pendapatan negara, upaya tersebut terus dilakukan sehingga pendapatan negara pada periode 2007—2011 terus mengalami peningkatan. Dalam periode tersebut, secara nominal pendapatan negara meningkat rata-rata sebesar 14,4 persen per tahun, dari Rp707,8 triliun pada tahun 2007 menjadi Rp1.210,6 triliun pada tahun 2011. Sementara itu, pada tahun 2012, dengan memerhatikan realisasi pada semester I yang mencapai Rp593,3 triliun (43,7 persen dari target APBNP 2012), realisasi pendapatan negara dalam tahun 2012 diperkirakan mencapai Rp1.372,4 triliun.

Upaya memperbesar ruang fiskal di sisi pendapatan dapat ditempuh dengan strategi kebijakan perpajakan yang diarahkan untuk terus meningkatkan penerimaan tanpa membebani perkembangan dunia usaha. Dalam hal ini, empat strategi yang diterapkan Pemerintah adalah dengan melakukan: (a) reformasi di bidang administrasi perpajakan sehingga dapat memperkecil upaya penghindaran pajak; (b) reformasi di bidang peraturan dan perundang-undangan untuk lebih mengefektifkan pemungutan dan perluasan basis pajak; (c) reformasi di bidang pengawasan dan penggalian potensi agar meningkatkan tax ratio; (d) peningkatan manajemen sumber daya manusia; dan (e) peningkatan teknologi informasi dan komunikasi.

-L.4-

 

Dari sisi efisiensi belanja, strategi yang dilakukan ke depan, antara lain adalah pengurangan belanja-belanja yang bersifat kurang produktif melalui pengendalian subsidi, pengurangan secara bertahap pembayaran bunga utang luar negeri dan belanja pegawai, serta lebih mengefektifkan kebijakan transfer ke daerah. Selain itu, perlu pembaharuan kebijakan belanja dengan mempercepat penerapan penganggaran berbasis kinerja (PBK) yang lebih berorientasi kepada output dan outcome. Ketentuan peraturan perundangan yang akan diterbitkan diupayakan menghindari terciptanya mandatory spending baru, dan lebih berpihak pada ruang gerak Pemerintah yang longgar dalam meningkatkan multiplier effect perekonomian, misalnya dalam bidang infrastruktur.

Selanjutnya, Pemerintah akan terus berupaya mengalokasikan APBN dengan tepat dan efektif dalam rangka peningkatan ketahanan fiskal guna mempercepat pertumbuhan ekonomi. Dengan pertumbuhan ekonomi yang semakin meningkat dan semakin berkualitas, Pemerintah berharap masalah kemiskinan dan pengangguran dapat dikurangi. Demikian pula, pemerataan pembangunan ekonomi dapat diwujudkan.

Menanggapi pernyataan Fraksi Partai Golongan Karya, Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa, dan Fraksi Partai Keadilan Sejahtera untuk mendorong agar pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2013 dapat mencapai 7,0 persen, serta pernyataan Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan dan Partai Gerakan Indonesia Raya yang menilai target pertumbuhan 6,8 persen terlalu optimis, dapat kami jelaskan beberapa hal sebagai berikut. Pemerintah berpandangan bahwa perekonomian global dalam periode lima tahun terakhir (2007-2011) terus mengalami pasang surut sejalan dengan tingginya faktor ketidakpastian dan berbagai gejolak yang masih kerap terjadi di beberapa negara maju, khususnya Amerika Serikat dan Uni Eropa. Tahun 2007 dunia diwarnai dengan krisis subprime mortgage di AS yang dampaknya begitu besar bagi AS maupun ekonomi dunia. Pada tahun 2007 dan 2008 ekonomi dunia terus melambat dan bahkan berkontraksi 0,6 persen pada tahun 2009. Berbagai respon kebijakan, baik yang diambil secara individual maupun kolektif di berbagai kawasan, mampu mendorong pertumbuhan ekonomi global di tahun 2010 menjadi lebih baik dan mampu tumbuh 5,3 persen.

Di akhir tahun 2011, ekonomi dunia kembali menghadapi tekanan dan tantangan baru, yang kali ini bersumber dari krisis fiskal dan tingginya beban utang Pemerintah negara-negara di kawasan Eropa. Hingga kini, berbagai langkah penyelesaian dan kebijakan yang ditempuh belum menunjukkan titik terang penyelesaian krisis Eropa. Bagi sebagian pihak yang pesimistis, justru berpandangan bahwa krisis Eropa akan memasuki fase yang semakin dalam hingga beberapa periode ke depan. Mengingat negara-negara kawasan Eropa dan negara maju merupakan tujuan ekspor utama negara-negara berkembang, maka pelemahan ekonomi yang terjadi menyebabkan penurunan permintaan ekspor atas berbagai produk dari negara-negara berkembang. Hal tersebut pada gilirannya menjadi beban baru bagi perekonomian negara berkembang, khususnya yang memiliki eksposur

-L.5-

 

perdagangan internasional tinggi terhadap kawasan Eropa dan negara maju seperti Cina, India, Singapura, dan Indonesia.

Khusus untuk Indonesia, perlambatan ekspor dan impor mulai terdeteksi sejak akhir tahun 2011. Pada Oktober 2011 misalnya, kinerja ekspor dan impor hanya tumbuh masing-masing 17,8 persen dan 28,2 persen, atau jauh lebih rendah bila dibandingkan dengan kinerja bulan sebelumnya yang masih meningkat 44 persen dan 57,1 persen. Perlambatan kinerja ekspor impor tersebut patut diwaspadai karena menjadi distimulan dalam pertumbuhan ekonomi dan diperkirakan terus berlanjut hingga akhir tahun 2012.

Di tengah penurunan kinerja ekspor impor tersebut, kinerja investasi langsung justru terus meningkat dan menunjukkan performa terbaiknya. Tercatat, pada tahun 2011, kinerja investasi langsung meningkat 20,53 persen jika dibandingkan tahun sebelumnya, sedangkan pada semester I tahun 2012 kinerja investasi langsung mampu tumbuh 28,1 persen. Penguatan kinerja investasi langsung yang baik dalam beberapa periode terakhir tersebut telah menjadi penyeimbang (offsetting) di tengah perlambatan kinerja ekspor-impor sehingga mampu menjaga momentum pertumbuhan ekonomi.

Pada triwulan I 2012, di tengah tekanan global, ekonomi masih mampu berekspansi sebesar 6,3 persen. Selanjutnya, pada triwulan II 2012, ekonomi tumbuh lebih tinggi lagi, yaitu di level 6,4 persen. Bahkan pada triwulan II-2012 tersebut, pertumbuhan ekonomi Indonesia semakin berkualitas karena terjadi pergeseran (shifting) dalam main driver sumber pertumbuhan, yaitu dari konsumsi rumah tangga menjadi investasi langsung. Ini artinya, dengan semakin tingginya arus investasi langsung, potensi dan akses pembukaan lapangan kerja juga semakin tinggi sehingga tingkat pengangguran dan kemiskinan akan semakin dapat ditekan.

Namun, untuk prospek perekonomian dari semester II 2012 hingga 2013, Pemerintah tetap mewaspadai sejumlah risiko dan tantangan, baik dari perspektif global maupun domestik. Untuk faktor global, beberapa tantangan tersebut di antaranya adalah ketidakpastian penyelesaian krisis Eropa, faktor instabilitas politik di beberapa negara di Timur Tengah yang bisa memicu lonjakan harga minyak dunia, serta faktor perubahan iklim dan bencana alam. Sementara itu, dari sisi internal, tantangan yang masih dihadapi di antaranya adalah percepatan pembangunan infrastruktur dan pemenuhan sumber pembiayaannya.

Dengan melihat pada berbagai fakta di atas, Pemerintah cenderung bersikap realistis namun tetap optimis dalam menetapkan target pertumbuhan ekonomi tahun 2013 sebesar 6,8 persen, yang diperkirakan akan didorong terutama oleh investasi langsung, konsumsi masyarakat, dan belanja pemerintah. Dengan pertumbuhan 6,8 persen tersebut, diharapkan dapat mendukung penurunan angka pengangguran dan angka kemiskinan masing-masing menjadi sebesar 5,8–6,1 persen dan 9,5–10,5 persen. Meskipun demikian, Pemerintah tetap berupaya semaksimal mungkin melakukan segala langkah terbaik agar asumsi pertumbuhan ekonomi tahun 2013 dapat dicapai, bahkan dapat mencapai di atas 7,0 persen.

-L.6-

 

Menanggapi pandangan Fraksi Partai Persatuan Pembangunan mengenai target pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi di tengah kondisi global yang masih belum menentu, serta kebijakan dan implementasi yang berdimensi jangka panjang yang diperlukan dalam menuntaskan masalah struktural ekonomi.

Perekonomian nasional masih cukup kuat untuk menghadapi dampak krisis global yang masih berlangsung hingga saat ini. Bayang-bayang dampak krisis utang yang terjadi di Amerika Serikat dan Eropa diharapkan tidak berdampak terlalu signifikan pada perekonomian nasional. Hal tersebut terbukti dengan tingginya pertumbuhan ekonomi Indonesia di tahun 2011. Sebaliknya, beberapa negara mengalami perlambatan atau bahkan pertumbuhan negatif. Selama lima tahun terakhir (2007-2011), ekonomi Indonesia mampu tumbuh rata-rata sebesar 5,9 persen (yoy), lebih tinggi jika dibandingkan dengan lima tahun sebelumnya (2002-2006) yang tumbuh sebesar 5,1 persen (yoy). Namun, Pemerintah tetap mewaspadai dampak krisis global tersebut dengan melakukan langkah-langkah mitigasi krisis.

Dengan mencermati berbagai perkembangan perekonomian terkini baik global maupun domestik dan dengan menganalisis outlook satu tahun ke depan, Pemerintah cenderung bersikap realistis namun tetap optimis dalam menetapkan target pertumbuhan ekonomi tahun 2013 sebesar 6,8 persen. Pertumbuhan ekonomi tersebut diperkirakan akan didorong terutama oleh investasi langsung, konsumsi masyarakat, dan belanja pemerintah. Meskipun demikian, Pemerintah tetap berupaya semaksimal mungkin melakukan segala langkah terbaik agar realisasi pertumbuhan ekonomi tahun 2013 bisa lebih tinggi dari asumsi tersebut, bahkan dapat mencapai di atas 7,0 persen.

Dari dimensi kebijakan yang ditempuh, untuk mencapai hal tersebut, Pemerintah akan menjalankan kebijakan dengan dimensi jangka pendek, menengah, maupun panjang yang tetap bermuara pada peningkatan kesejahteraan masyarakat Indonesia. Untuk mendukung upaya tersebut, berbagai program dan kegiatan di tahun 2013 disusun dengan mempertimbangkan berbagai hal, seperti: (1) keterkaitan antarwilayah dari segi sosial, ekonomi, budaya, dan politik sebagai perwujudan wawasan nusantara dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia; (2) kinerja pembangunan dan isu strategis di setiap wilayah; (3) tujuan dan sasaran pembangunan setiap wilayah sesuai dengan tujuan dan sasaran RPJPN 2005–2025 dan RPJMN 2010–2014; (4) rencana tata ruang wilayah pulau dan pola pemanfaatan ruang yang optimal; (5) pelaksanaan MP3EI; dan (6) pelaksanaan program percepatan pengurangan kemiskinan, yang meliputi (a) program bantuan sosial berbasis keluarga (klaster 1), (b) program pemberdayaan masyarakat (klaster 2), (c) program pemberdayaan usaha kecil dan mikro (klaster 3), dan (d) program pro rakyat (klaster 4).

Menanggapi pernyataan Fraksi Partai Persatuan Pembangunan agar pertumbuhan di sektor pertanian dan pertambangan dapat ditingkatkan, dapat kami jelaskan sebagai berikut. Dari sisi produksi, Pemerintah telah mengupayakan berbagai program dan kebijakan pada sektor-sektor yang tradable, yaitu sektor

-L.7-

 

pertanian, pertambangan, dan industri pengolahan. Kontribusi (share to growth) ketiga sektor tersebut mencapai sekitar 2,3 persen terhadap pertumbuhan ekonomi.

Pertumbuhan sektor pertanian di tahun 2013 diperkirakan mencapai sebesar 3,7 persen. Pemerintah memiliki kegiatan prioritas untuk meningkatkan sektor pertanian, yaitu: (a) Pengembangan areal pertanian baru seluas 2 juta hektar; (b) Pembangunan dan pemeliharaan sarana transportasi dan angkutan yang melayani daerah-daerah sentra produksi pertanian demi peningkatan kuantitas dan kualitas produksi serta kemampuan pemasarannya, di antaranya dengan pengembangan pembangunan dan pengelolaan pelabuhan perikanan; (c) Pengelolaan air irigasi untuk pertanian; (d) Dorongan untuk investasi pangan, pertanian, dan industri perdesaan berbasis produk oleh pelaku usaha dan pemerintah lewat pengelolaan produksi, pengelolaan sistem penyediaan benih, penanganan pasca panen tanaman pangan, peningkatan produksi, produktivitas dan mutu, pengembangan mutu dan standardisasi, serta pengembangan pemasaran internasional; dan (e) Sistem subsidi yang menjamin ketersediaan benih varietas unggul yang teruji, pupuk, teknologi, dan sarana pasca panen yang sesuai secara tepat waktu, tepat jumlah, dan terjangkau. Sektor pertanian juga diarahkan untuk peningkatan kesejahteraan petani dan nelayan. Kesejahteraan petani dan nelayan diharapkan akan terus mengalami peningkatan. Hal tersebut ditunjukkan oleh nilai tukar petani, nilai tukar nelayan, dan upah nominal buruh tani yang mengalami peningkatan selama empat tahun terakhir.

Sektor industri pengolahan diharapkan mampu tumbuh sebesar 6,5 persen sejalan dengan program reindustrialisasi. Pembangunan industri didorong untuk meningkatkan nilai tambah berbagai komoditi unggulan di berbagai wilayah Indonesia, khususnya koridor-koridor ekonomi dalam kerangka Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI). Akselerasi industrialisasi dilakukan melalui (a) penumbuhan industri pengolah hasil tambang, (b) penumbuhan industri pengolah hasil pertanian, (c) penumbuhan industri padat karya dan penyedia kebutuhan dalam negeri, serta (d) pengembangan IKM yang kuat, sehat, dan mandiri. Selanjutnya sektor industri pengolahan diupayakan meningkat melalui peningkatan koordinasi dalam rangka dukungan pembangunan infrastruktur produksi dan jaringan distribusi, peningkatan kepastian regulasi dan pelayanan birokrasi yang lebih efektif, peningkatan ketersediaan bahan baku, peningkatan ketersediaan energi, peningkatan akses pada sumber pembiayaan, peningkatan ketersediaan sumberdaya manusia yang handal, peningkatan kemampuan teknologi, baik produk maupun proses produksi, serta peningkatan akses ke pasar domestik dan ekspor. Strategi kebijakan di sektor pertambangan lebih diarahkan pada perbaikan daya dukung industri pertambangan pada sektor industri hilir atau pengguna. Arah kebijakan tersebut juga dimaksudkan untuk memperkuat daya tahan industri domestik dan mendorong peningkatan nilai tambah industri hilir.

Menanggapi pandangan Fraksi Partai Golongan Karya, Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Fraksi Partai Amanat Nasional, Fraksi

-L.8-

 

Partai Kebangkitan Bangsa, Fraksi Partai Gerakan Indonesia Raya, dan Fraksi Partai Hati Nurani Rakyat mengenai kualitas pertumbuhan ekonomi terkait dengan tingkat pengangguran, kemiskinan, dan kesenjangan pendapatan, dapat disampaikan penjelasan sebagai berikut.

Pemerintah selalu berupaya mendorong agar perekonomian tidak saja mampu tumbuh tinggi melainkan juga berkualitas dan inklusif. Hal tersebut sejalan dengan amanat dari Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010-2014, yang diimplementasikan dalam RKP dan RAPBN setiap tahunnya, yang mencantumkan bahwa salah satu arah kebijakan ekonomi makro adalah mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkualitas dan inklusif. Perekonomian yang tumbuh berkualitas diharapkan mampu memberikan ruang yang lebih besar bagi terciptanya perluasan kesempatan kerja dan menurunnya tingkat kemiskinan, sehingga makin banyak keluarga Indonesia yang akan dapat menikmati hasil-hasil pembangunan. Selaras dengan itu, perekonomian yang tumbuh inklusif diharapkan mampu mendorong terwujudnya visi pro growth dan pro job, khususnya pertumbuhan sektor-sektor usaha yang melibatkan orang miskin (pro poor).

Terkait dengan kesempatan kerja, kinerja perekonomian domestik yang cukup baik selama ini telah mampu memberikan dampak positif bagi perluasan kesempatan kerja dan penurunan tingkat pengangguran. Selama periode 2007 hingga Februari 2012 terjadi peningkatan jumlah penduduk usia produktif sebesar 9,5 persen yang diiringi peningkatan jumlah penduduk yang bekerja dari 99,93 juta jiwa menjadi 112,8 juta jiwa atau telah tercipta peningkatan kesempatan kerja sebesar 12,9 persen. Dengan perkembangan tersebut, telah terjadi penurunan tingkat pengangguran dari 9,11 persen pada tahun 2007 menjadi 6,32 persen pada Februari 2012.

Dengan tambahan angkatan kerja baru rata-rata sebesar 2 juta orang per tahun, pengangguran terbuka diperkirakan dapat diturunkan menjadi 5,8–6,1 persen pada tahun 2013. Pemerintah terus berupaya keras untuk melakukan strategi kebijakan dan sinkronisasi untuk mengoptimalkan penyerapan tenaga kerja. Program-program APBN untuk mengoptimalkan penyerapan tenaga kerja tersebut, antara lain berupa kegiatan pembangunan yang mencakup: (a) Program pembangunan infrastruktur skala besar, sedang, dan kecil, dan (b) Program Penciptaan Kesempatan Kerja, khususnya yang ditujukan untuk kaum muda yang dirancang secara khusus, mengingat tingkat pengangguran terbuka (TPT) usia muda relatif tinggi, yaitu sekitar tiga kali lipat dari TPT nasional.

Lebih jauh lagi, membaiknya perekonomian domestik yang disertai peningkatan lapangan kerja pada tahun 2007-2011 telah berdampak pada penurunan tingkat kemiskinan di tanah air, hingga pada September 2011 menjadi 12,36 persen, atau telah terjadi penurunan jumlah penduduk miskin sebanyak 130 ribu jiwa dibandingkan bulan Maret 2011. Angka kemiskinan tahun 2013 ditargetkan turun menjadi pada kisaran 9,5 persen hingga 10,5 persen. Penurunan tingkat kemiskinan tersebut merupakan output dari upaya sinergi dan efektivitas program klaster 1–4 serta konsolidasi anggaran di berbagai kementerian negara/lembaga, dalam

-L.9-

 

kerangka Masterplan Percepatan dan Perluasan Pengurangan Kemiskinan di Indonesia (MP3KI).

Selain fokus pada pengurangan tingkat kemiskinan, Pemerintah juga terus mendorong agar pembangunan dapat meningkatkan kualitas manusia Indonesia dan memperluas pemerataan pembangunan. Pembangunan pendidikan dan kesehatan menempati posisi penting dalam pembangunan nasional yang diupayakan melalui peningkatan kualitas dan akses terhadap layanan pendidikan dan kesehatan. Pembangunan SDM juga semakin membaik yang ditunjukkan dengan pencapaian Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dan berbagai indikator SDM dalam MDG. IPM meningkat dari 0,572 menjadi 0,617. Melalui Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun, anak-anak berusia 7-15 tahun diberi kesempatan yang luas untuk menempuh pendidikan dasar. Demikian pula masyarakat yang tidak mampu diberi kemudahan untuk memperoleh pelayanan kesehatan melalui berbagai program.

Selanjutnya, menanggapi saran Fraksi Partai Amanat Nasional untuk melaksanakan secara konsisten program-program utama dalam MP3EI dan MP3KI, dapat disampaikan bahwa Pemerintah akan secara konsisten melaksanakan seluruh program-program dalam MP3EI serta MP3KI sebagai langkah-langkah terobosan (breakthrough), bukan langkah-langkah biasa (bussiness as usual) dalam proses pembangunan Indonesia. Pemerintah juga akan menjamin sinergi dalam pelaksanaan MP3EI dan MP3KI dalam mewujudkan: (1) pertumbuhan yang tinggi, inklusif, berkeadilan, dan berkelanjutan; (2) pembangunan ekonomi yang merata di seluruh tanah air; (3) peningkatan kesempatan kerja; serta (4) penurunan tingkat kemiskinan.

Sebagai gambaran, sejak MP3EI diluncurkan sampai akhir Desember 2011 telah dilaksanakan groundbreaking sebanyak 94 proyek investasi sektor riil dan pembangunan infrastruktur dengan total nilai investasi Rp499,5 triliun yang terdiri dari nilai investasi untuk sektor riil Rp357,8 triliun (56 proyek) dan infrastruktur Rp141,7 triliun (38 proyek). Proyek-proyek tersebut akan dibiayai oleh Pemerintah senilai Rp71,6 triliun (24 proyek), BUMN senilai Rp131,0 triliun (24 proyek), swasta senilai Rp168,6 trilliun (38 proyek) dan melalui Kerjasama Pemerintah Swasta/KPS senilai Rp128,3 triliun (8 proyek).

Pada tahun 2012 akan dilakukan groundbreaking terhadap 84 proyek yang terdiri dari investasi sektor riil dan pembangunan infrastruktur dengan nilai total Rp536,3 triliun, yang akan dibiayai oleh Pemerintah Rp66,2 triliun (15 proyek), BUMN Rp90,3 triliun (20 proyek), swasta Rp301,6 triliun (38 proyek), campuran Rp78,2 triliun (11 proyek). Selain pembangunan infrastruktur, pada tahun 2012 akan dilakukan sejumlah kegiatan untuk mendukung penguatan sumber daya manusia (SDM) dan ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek) di setiap koridor ekonomi. Terkait dengan penguatan SDM telah direncanakan sebanyak 76 program dengan nilai total investasi Rp580 miliar. Sedangkan untuk pengembangan Iptek, direncanakan 134 program dengan nilai total investasi Rp3,8 triliun.

-L.10-

 

Sejalan dengan itu, Pemerintah akan terus melakukan sejumlah perbaikan iklim investasi, antara lain melalui debottlenecking regulasi (deregulasi) terhadap peraturan yang dinilai menjadi penghambat bagi pelaksanaan investasi. Sejak MP3EI diluncurkan, Pemerintah telah selesai melakukan revisi terhadap 28 regulasi dan saat ini sedang menyelesaikan 18 regulasi lainnya.

Di lain pihak, MP3KI merupakan upaya untuk memaksimalkan manfaat MP3EI dan untuk mendorong terwujudnya pembangunan yang inklusif dan berkeadilan. MP3KI merupakan affirmative action sehingga pembangunan ekonomi yang terwujud tidak hanya pro-growth, tetapi juga pro-poor, pro-job dan pro-environment.

Skenario waktu untuk pelaksanaan MP3EI dan MP3KI terbagi ke dalam tiga periode, yakni: saat ini hingga 2015, 2016-2020, dan 2021-2025. Setiap periode tersebut memiliki strateginya masing-masing untuk mencapai target pada tahun 2025. MP3EI dengan target peningkatan pendapatan per kapita yang diperkirakan mencapai USD14.250-15.500 pada tahun 2025 dilakukan dalam tiga fase, yakni: implementasi quick wins, penguatan basis ekonomi dan investasi, dan pelaksanaan pertumbuhan berkelanjutan. Sedangkan MP3KI dengan target menurunkan angka kemiskinan hingga mencapai 4-5 persen pada tahun 2025 dilakukan dalam tiga fase, yakni: rekonsolidasi, transformasi, ekspansi dan keberlanjutan.

Menanggapi pertanyaan dari Fraksi Partai Demokrat, Fraksi Partai Gerakan Indonesia Raya, Fraksi Partai Amanat Nasional, Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa, Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, dan Fraksi Partai Persatuan Pembangunan mengenai pengendalian inflasi, dapat dijelaskan sebagai berikut.

Pada prinsipnya, Pemerintah sependapat bahwa laju inflasi perlu dijaga pada level yang rendah dan stabil dalam jangka panjang. Laju inflasi yang rendah dan stabil memiliki peranan yang sangat penting untuk menciptakan stabilitas perekonomian nasional serta peningkatan kesejahteraan rakyat. Untuk itu, dalam jangka menengah dan panjang, Pemerintah bersama dengan Bank Indonesia berupaya keras untuk menjaga agar laju inflasi terus dalam tren yang menurun sehingga berada pada tingkat yang sebanding dengan tingkat inflasi di negara kawasan. Tingkat inflasi yang rendah dan stabil dalam jangka panjang ini sangat relevan untuk menjaga daya saing perekonomian domestik, terutama dalam menghadapi ASEAN Economic Community pada tahun 2015.

Perekonomian global yang kembali tumbuh dapat dipastikan akan mendorong peningkatan permintaan dunia terhadap beberapa komoditas utama, seperti bahan pangan dan energi di pasar internasional. Kenaikan permintaan tersebut seringkali menimbulkan output gap di pasar internasional mengingat tingginya permintaan tidak dibarengi dengan pasokan yang memadai seiring dengan terjadinya gangguan dalam proses produksi, seperti adanya gangguan perubahan iklim, bencana alam dan faktor-faktor di luar kendali manusia lainnya. Kondisi tersebut akan meningkatkan harga komoditas utama internasional, yang pada gilirannya akan berdampak pada peningkatan harga komoditas bahan pangan dan energi sejenis di pasar domestik.

-L.11-

 

Namun, Pemerintah bersama dengan Bank Indonesia berupaya dengan sungguh-sungguh untuk menjamin ketersediaan pasokan serta kelancaran arus distribusi komoditas pangan dan energi di pasar domestik. Di samping itu, Pemerintah juga terus berupaya untuk meningkatkan pasokan dan produksi bahan pangan dari sumber dalam negeri.

Untuk meredam laju inflasi yang didorong oleh kenaikan harga bahan pangan, beberapa kebijakan yang akan dilakukan antara lain:

a. Menyediakan alokasi anggaran yang memadai dalam upaya untuk meningkatkan pasokan bahan pangan serta mendukung kelancaran arus distribusi bahan kebutuhan pokok masyarakat.

b. Mengendalikan volatilitas nilai tukar rupiah sehingga dapat membendung tekanan dari imported inflation.

c. Melaksanakan dan meningkatkan frekuensi operasi pasar, pasar murah dan raskin di daerah dalam rangka mengatasi kebutuhan daerah akan bahan pangan pokok yang mendesak.

d. Menyediakan Pusat Informasi Harga Pangan Strategis (PIHPS) guna mengurangi potensi asymmetric information sehingga masyarakat dapat mengetahui secara pasti tentang perkembangan harga dan ketersediaan barang kebutuhan pokok sehingga dapat menahan ekspektasi harga yang berlebihan di masyarakat.

e. Mempercepat pelaksanaan kebijakan percepatan pembangunan (seperti MP3EI dan MP3KI) guna meningkatkan produksi dalam negeri serta pembangunan infrastruktur guna mendukung interkoneksi wilayah dalam rangka memperlancar arus distribusi barang dan jasa.

f. Melakukan diseminasi kebijakan dan edukasi kepada masyarakat dalam rangka mengendalikan ekspektasi inflasi masyarakat, serta menetapkan sasaran inflasi dalam rangka inflation targeting framework (ITF) guna menjangkar inflasi masyarakat dalam jangka menengah.

g. Meningkatkan produktivitas pertanian melalui komunikasi dan informasi iklim, pendampingan dan penyuluhan petani serta pengendalian terpadu atas hama/organisme pengganggu tanaman (OPT).

h. Mencegah/mengurangi upaya konversi lahan beririgasi teknis dari peruntukkan pertanian ke non-pertanian serta peningkatan areal tanam di beberapa daerah, seperti di Maluku, Kalimantan Tengah dan Kalimantan Barat.

i. Melakukan kerja sama dengan aparat penegak hukum, Polri dan Kejaksaan Agung, untuk menindak dan menjatuhkan sanksi yang tegas terhadap aksi spekulasi dan penimbunan barang yang dapat menimbulkan keresahan masyarakat dan mengganggu sistem distribusi nasional; dan

j. Melakukan kerja sama regional dan bilateral dalam rangka pengembangan dan peningkatan bahan pangan (antara lain melalui Inisiatif Cadangan Beras ASEAN+3/ASEAN+3 Emergency Rice Reserve-APTERR).

-L.12-

 

Menanggapi pertanyaan Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, berkaitan dengan sinergi kebijakan fiskal, moneter dan sektor riil dalam usaha mengendalikan tingkat inflasi, dapat dijelaskan bahwa Pemerintah dan BI terus berupaya untuk meningkatkan koordinasi dalam mengendalikan inflasi, baik di tingkat pusat maupun daerah (TPI-TPID). Melalui sinergi kebijakan tersebut, diharapkan agar pengendalian inflasi menjadi lebih efektif dan diarahkan untuk dapat mengatasi kendala struktural yang selama ini menghambat pengendalian inflasi, seperti adanya asymmetric information, struktur pasar dan mekanisme pembentukan harga yang cenderung oligopolistik, dan keterbatasan infrastruktur. Selain itu, dengan semakin meningkatnya kesadaran dan peran aktif daerah dalam memantau dan mengambil langkah-langkah strategis dalam mengendalikan kenaikan harga-harga barang dan jasa, diharapkan laju inflasi nasional akan dapat dikendalikan. Dalam jangka menengah-panjang, diharapkan laju inflasi nasional dapat menurun secara gradual (disinflasi) sehingga laju inflasi nasional dapat konvergen dengan laju inflasi regional, yang pada akhirnya dapat memberi sumbangan terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Terkait dengan pandangan mengenai interkonektivitas wilayah, dapat dijelaskan Pemerintah melalui inisiatif sistem logistik nasional (Silognas) dalam skema MP3EI terus berupaya untuk meningkatkan pembangunan infrastruktur perhubungan untuk membenahi dan meningkatkan konektivitas dan transportasi antar wilayah dalam pulau (intra-island) dan antar pulau (inter-island). Pemerintah juga terus berupaya untuk meningkatkan alokasi dana infrastruktur dalam APBN guna mendukung pelaksanaan pembangunan sarana dan prasarana perhubungan, khususnya ke wilayah Indonesia Timur. Selain itu, Pemerintah juga terus berupaya untuk meningkatkan peran serta masyarakat dan swasta melalui skema Public-Private Partnership (PPP) dalam upaya pelaksanaan dan pembiayaan pembangunan infrastruktur di daerah.

Terkait dengan biaya pendidikan sebagaimana disampaikan oleh Fraksi Partai Gerakan Indonesia Raya dan Fraksi Partai Persatuan Pembangunan, dapat dijelaskan bahwa meningkatnya biaya pendidikan khususnya memasuki tahun ajaran baru, akan berdampak pada kenaikan laju inflasi. Kenaikan tersebut bersifat musiman yang hampir terjadi setiap tahun khususnya pada bulan Juli dan Agustus. Namun, berdasarkan data historisnya dampak kenaikan biaya pendidikan tersebut terhadap inflasi relatif kecil dan cenderung menurun dalam beberapa tahun terakhir.

Pemerintah pada dasarnya memiliki pandangan yang sama dengan Fraksi Partai Amanat Nasional, Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa dan Fraksi Partai Keadilan Sejahtera terkait pergerakan nilai tukar rupiah yang perlu terus dijaga agar tetap stabil demi menjaga daya saing perekonomian nasional. Oleh karenanya Pemerintah dan Bank Indonesia terus berupaya untuk mempertahankan penguatan nilai tukar dalam rentang yang wajar, guna mendukung perkembangan serta mendorong optimalisasi kapasitas ekonomi nasional. Kebijakan tersebut dilakukan dalam rangka mempertahankan daya saing pelaku industri dalam negeri, sehingga dapat berkompetisi dengan baik di pasar global. Penguatan nilai tukar rupiah yang

-L.13-

 

terlalu cepat juga akan berimbas negatif terhadap daya saing komoditas ekspor. Pemerintah menyadari bahwa peningkatan daya saing produk nasional tidak cukup hanya didukung oleh nilai tukar yang kuat dan stabil, tetapi juga harus ditopang oleh penciptaan iklim investasi yang kondusif, antara lain melalui penyediaan infrastruktur yang memadai, dan penerapan teknologi yang optimal.

Saat ini, kondisi nilai tukar Rupiah masih mengalami tekanan depresiasi. Kondisi tersebut juga terjadi pada mata uang negara-negara regional. Tekanan tersebut antara lain dipengaruhi oleh tingginya ketidakpastian global terkait krisis Eropa dan pemulihan ekonomi AS yang masih rentan, serta perlambatan ekonomi Cina. Di sisi lain, ekspor yang melambat sebagai dampak pelemahan permintaan global juga turut menimbulkan tekanan terhadap nilai tukar Rupiah. Pemerintah dan Bank Indonesia senantiasa mencermati keseimbangan di pasar valuta asing untuk menjaga pergerakan nilai tukar Rupiah sejalan dengan fundamentalnya.

Nilai tukar rupiah ke depan diperkirakan masih berpotensi menguat. Masih tingginya ekses likuiditas global saat ini, berpotensi akan menjadi faktor yang akan mendukung penguatan rupiah ke depan. Negara-negara emerging markets Asia, termasuk Indonesia, yang memiliki pertumbuhan ekonomi dan prospek yang relatif baik, masih akan menjadi tujuan utama penempatan likuiditas global tersebut, di tengah suku bunga yang masih relatif rendah di negara maju. Sementara itu, sejalan dengan proyeksi membaiknya kondisi perekonomian global, kinerja neraca perdagangan Indonesia diperkirakan akan semakin meningkat dan selanjutnya akan memperkuat posisi cadangan devisa dalam menjaga stabilitas nilai tukar rupiah.

Pemerintah senantiasa meningkatkan koordinasi dengan Bank Indonesia dalam menjaga level nilai tukar rupiah yang stabil. Penguatan kebijakan makroprudensial terhadap masuknya modal asing ditujukan untuk mengurangi risiko pembalikan modal asing dan menjaga agar pergerakan nilai tukar rupiah tetap sejalan dengan pergerakan mata uang di kawasan Asia. Melalui harmonisasi kebijakan fiskal, moneter, dan sektor riil diharapkan selain dapat tercipta iklim yang kondusif untuk mengantisipasi krisis pada sektor keuangan, menjaga keseimbangan di pasar valuta asing, serta dapat menjaga kestabilan nilai tukar rupiah, menjaga inflasi, dan menjaga stabilitas pasar SUN.

Menanggapi pendapat dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Fraksi Partai Amanat Nasional, dan Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa mengenai pengendalian pembiayaan dan tingkat suku bunga dapat kiranya dijelaskan bahwa penggunaan tingkat bunga SPN 3 bulan dalam asumsi dasar ekonomi makro tidak ditujukan untuk mengontrol sektor moneter, melainkan sebagai dasar perhitungan besaran pembayaran bunga SBN dalam penyusunan APBN. Namun apabila diperlukan, Bank Indonesia dapat memakai SPN 3 bulan sebagai salah satu instrumen pengelolaan moneter. Untuk mendorong penurunan tingkat bunga kredit perbankan, Pemerintah melakukan koordinasi dengan otoritas moneter agar tingkat bunga SPN 3 bulan juga dapat digunakan sebagai salah satu pertimbangan bagi perbankan dalam menetapkan margin yang wajar untuk suku bunga kredit.

-L.14-

 

Penurunan tingkat bunga SPN 3 bulan diupayakan melalui pendalaman pasar SBN domestik dan bekerja sama dengan otoritas moneter dalam mengendalikan inflasi. Namun sebagaimana instrumen pasar keuangan lainnya, pergerakan tingkat bunga SPN 3 bulan juga dipengaruhi oleh berbagai faktor eksternal yang berada di luar kendali Pemerintah, seperti kondisi perekonomian global dan perubahan appetite investor. Dalam mengantisipasi faktor eksternal tersebut, pada tahun 2013 Pemerintah memperkirakan asumsi inflasi sebesar 4,9 persen dan capital inflow tidak akan sederas tahun 2012, sehingga asumsi tingkat SPN 3 bulan diperkirakan sebesar 5,0 persen.

Sementara itu, pembiayaan defisit dilakukan dengan memperhatikan upaya mencapai kemandirian bangsa. Pemerintah akan terlebih dahulu memaksimalkan sumber pembiayaan non utang yang tidak membebani APBN. Dalam hal tidak mencukupi, pembiayaan akan dipenuhi melalui utang yang dilakukan secara hati-hati, transparan, dan akuntabel. Selain itu, besaran angka defisit akan disesuaikan Pemerintah dengan utamanya memaksimalkan terlebih dahulu sumber-sumber pendapatan negara, antara lain dari sisi penerimaan perpajakan maupun nonpajak.

Pembiayaan utang melalui pengadaan utang baru akan lebih memprioritaskan sumber dari domestik dibandingkan dari luar negeri. Upaya yang dilakukan Pemerintah dalam mendukung kebijakan tersebut adalah mengupayakan agar porsi pembiayaan dalam negeri lebih dominan dari waktu ke waktu. Kebijakan tersebut diharapkan dapat mendorong upaya pencapaian kemandirian bangsa dengan mengoptimalkan potensi dalam negeri, dan dalam rangka meningkatkan pengelolaan makro ekonomi yang sehat dengan memaksimalkan partisipasi investor dalam negeri.

Pengadaan pinjaman luar negeri akan mengutamakan pemenuhan kebijakan net negative flow, yaitu jumlah pelunasan pokok pinjaman luar negeri lebih besar daripada jumlah penarikan pinjaman baru. Selain itu, penarikan pinjaman luar negeri baru berasal dari kreditor multilateral dan bilateral, terutama terhadap komitmen pinjaman yang telah disepakati sesuai dengan perjanjian. Selanjutnya, Pemerintah akan memaksimalkan penggunaannya untuk kegiatan prioritas yang memberikan dampak positif bagi perekonomian nasional. Selain itu, Pemerintah juga menginisiasi Komitmen Jakarta yang ditandatangani antara Pemerintah dengan mitra pembangunan, baik multilateral maupun bilateral. Salah satu tujuan Komitmen Jakarta adalah dalam rangka meningkatkan country ownership yang dilakukan dengan mendorong pelaksanaan kegiatan yang dibiayai dengan pinjaman luar negeri sesuai dengan kebijakan yang ditetapkan oleh Pemerintah.

Penetapan pembiayaan melalui penerbitan SBN dilakukan dengan mempertimbangkan kebutuhan pembiayaan, ketersediaan alternatif sumber pembiayaan, kondisi portofolio dan risiko utang, kondisi infrastruktur dan daya serap pasar SBN, serta perkembangan makro ekonomi, baik domestik maupun global. Hal tersebut dilakukan agar tujuan pengelolaan SBN untuk membiayai defisit dengan biaya yang minimal pada tingkat risiko yang terkendali dapat tercapai.

-L.15-

 

Menjawab pandangan Fraksi Partai Amanat Nasional, Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, dan Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa mengenai perkiraan ICP tahun 2013 dapat dijelaskan sebagai berikut. Pergerakan harga minyak dunia dalam jangka panjang sangat dipengaruhi oleh permintaan dan penawaran minyak di pasar dunia. Namun, fluktuasi harga minyak yang terjadi dalam jangka pendek merupakan dampak dari pengaruh faktor non-teknis, seperti kondisi politik di negara penghasil minyak serta spekulasi pelaku pasar.

Dalam menentukan asumsi harga minyak mentah Indonesia (ICP) yang diajukan dalam RAPBN tahun 2013 sebesar rata-rata US$100/barel, Pemerintah telah mempertimbangkan perkembangan harga minyak dunia yang terjadi di tahun 2012 serta proyeksi harga minyak dunia di tahun 2013. Namun, berdasarkan pengalaman selama ini, fluktuasi harga minyak dunia akibat faktor nonfundamental sulit untuk diprediksi. Oleh karena itu, terjadinya perbedaan antara realisasi harga minyak dengan asumsi yang ditetapkan dalam APBN merupakan risiko yang perlu terus diminimalisir.

Sejalan dengan itu, Pemerintah menyadari bahwa tingginya harga minyak dibanding asumsi yang ditetapkan berpotensi memberikan tekanan terhadap defisit anggaran dari sisi belanja. Oleh karena itu, tekanan fiskal tersebut dapat dikurangi bila kita dapat melakukan pengendalian dan efisiensi subsidi energi yang menjadi pemicu kenaikan defisit anggaran tersebut. Di lain pihak, asumsi harga minyak mentah Indonesia (ICP) juga mempengaruhi perkiraan penerimaan Negara dalam bentuk PPh migas, PNBP SDA migas, dan domestic market obligation. Pengendalian subsidi tersebut akan memberikan dampak positif bagi APBN dari fluktuasi harga minyak, berupa tambahan ruang fiskal, yang dapat digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Menjawab pandangan Fraksi Partai Golongan Karya, Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Fraksi Partai Amanat Nasional, Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Fraksi Partai Persatuan Pembangunan, dan Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa terkait target lifting minyak tahun 2013 dapat dijelaskan sebagai berikut. Pemerintah secara prinsip sejalan dengan pandangan Fraksi-fraksi bahwa lifting minyak perlu ditingkatkan. Pemerintah telah melakukan berbagai upaya untuk mengoptimalkan produksi minyak nasional, dan optimis secara bertahap lifting minyak dapat meningkat. Berdasarkan perkembangan realisasi lifting minyak pada tahun 2012 dan melihat kapasitas lapangan minyak yang ada, serta potensi sumur minyak baru, Pemerintah mentargetkan lifting minyak pada tahun 2013 setidaknya dapat mencapai 900 ribu barel per hari.

Untuk mencapai target lifting pada tahun 2013 tersebut, Pemerintah senantiasa meningkatkan koordinasi dan pengawasan secara intensif terhadap Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) dalam menyusun strategi pengamanan pencapaian target lifting. Berbagai strategi dan upaya tersebut akan secara intensif diarahkan untuk: (a) optimasi produksi di lapangan yang sudah ada, penerapan teknologi tindak lanjut untuk mengangkat minyak di lapangan-lapangan tua milik Pertamina;

-L.16-

 

(b) meningkatkan kehandalan peralatan produksi dengan preventive/predictive maintenance untuk mengurangi unplanned shutdown; (c) meningkatkan efisiensi operasi dan optimasi fasilitas produksi; (d) melakukan percepatan produksi sumur temuan eksplorasi; dan (e) melakukan percepatan pengembangan lapangan baru, baik lapangan yang rencananya masih disetujui maupun yang masih dalam proses persetujuan, termasuk lapangan yang tidak termanfaatkan.

Selain itu, dalam upaya mencapai target lifting/produksi minyak nasional, pemerintah juga memberikan dukungan fiskal dan juga kebijakan dalam bentuk peraturan. Kebijakan tersebut meliputi insentif fiskal dengan pemberian fasilitas bebas bea impor dan PPN impor bagi barang modal untuk kegiatan eksplorasi hulu migas. Di samping itu, Pemerintah juga telah menerbitkan Inpres Nomor 2 tahun 2012 tentang Peningkatan Produksi Minyak Mentah Nasional, yang memberikan pedoman untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan secara terkoordinasi dan terintegrasi sesuai tugas, fungsi, dan kewenangan K/L masing-masing untuk mencapai produksi minyak bumi nasional.

Menanggapi pendapat dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Fraksi Partai Amanat Nasional, dan Fraksi Partai Gerakan Indonesia Raya mengenai lifting gas dan penetapan harga gas kiranya dapat dijelaskan bahwa penambahan asumsi lifting gas bertujuan untuk mengimbangi potensi penerimaan sumber daya alam yang bersumber dari minyak mentah. Salah satu sumber daya alam yang diperkirakan masih cukup memadai adalah sumber daya gas bumi. Pilihan sumber daya gas bumi tersebut antara lain didasarkan pada pertimbangan Indonesia sebagai salah satu eksportir gas terbesar, keberadaan gas sebagai sumber energi alternatif minyak bumi cukup penting, serta upaya-upaya untuk mengoptimalkan konsumsi gas di dalam negeri. Perkembangan produksi gas bumi Indonesia mengalami kecenderungan yang relatif stabil. Pada tahun 2010, produksi gas bumi mencapai 1.577 ribu barel setara minyak per hari (MBOEPD), naik 159 MBOEPD dari 1.418 MBOEPD pada tahun 2009. Kenaikan produksi tersebut antara lain karena mulai berproduksinya beberapa lapangan baru dan optimalisasi produksi. Akan tetapi, pada tahun 2011 produksi gas bumi Indonesia mengalami penurunan menjadi 1.461 MBOEPD. Tren penurunan produksi gas ini diperkirakan akan berlanjut pada tahun 2012 yang diprediksi mencapai 1.348 MBOEPD. Dengan melihat perkembangan di atas, lifting gas pada tahun 2013 diperkirakan berada pada kisaran 1.360 MBOEPD. Selain itu juga akan dilakukan peningkatan koordinasi antar instansi terkait untuk penyelesaian masalah yang terkait dengan regulasi, perijinan, dan tumpang tindih lahan. Selanjutnya, untuk menjadikan gas sebagai pendorong utama dari dalam negeri dan menopang ketahanan energi, Pemerintah telah menetapkan kebijakan alokasi gas (Permen ESDM Nomor 3 Tahun 2010 tentang Alokasi dan Pemanfaatan Gas Bumi untuk Pemenuhan Kebutuhan Dalam Negeri) di mana alokasi gas dalam negeri untuk bahan baku pupuk, pembangkit listrik dan industri menjadi prioritas utama. Peningkatan penggunaan gas dalam negeri merupakan prioritas kebijakan Pemerintah dan telah dicanangkan sebagai perubahan paradigma pengelolaan sumber daya alam (terutama gas bumi) dari “revenue based” kepada “economic driver”.

-L.17-

 

Sementara itu, terkait dengan penetapan harga gas, Pemerintah saat ini sedang mengkaji dan menyusun formulasi penetapan harga gas Indonesia. Namun, penetapannya tidak mudah karena beragamnya harga gas di Indonesia. Perlu diketahui bahwa penjualan gas pada umumnya dilakukan melalui kontrak-kontrak, baik jangka pendek maupun jangka panjang, dalam kontrak-kontrak penjualan tersebut, juga sekaligus menyepakati harga gas. Dengan demikian, mekanisme penetapan harga gas, senantiasa dilakukan melalui mekanisme negosiasi antara produsen dengan konsumen, dengan mempertimbangkan aspek keekonomian dari kedua belah pihak. Untuk gas ekspor, pada umumnya harga gas ditetapkan dengan menggunakan formula tertentu yang disepakati bersama dengan mengacu kepada harga minyak mentah, misalnya untuk harga gas yang diekspor ke Jepang pada umumnya mengacu kepada harga JCC (Japan Crude Cocktail) atau harga basket jenis minyak tertentu. Sedangkan untuk gas domestik didasarkan pada harga kesepakatan antara produsen dengan konsumen gas yang disetujui oleh Pemerintah.

B. PENDAPATAN NEGARA

Pemerintah sependapat dengan Fraksi Partai Hati Nurani Rakyat bahwa pembangunan dan pendanaan pemerintahan harus lebih diutamakan dengan pendanaan yang berasal dari kemampuan sendiri, utamanya dari pajak. Pemerintah sepakat dengan anggota dewan bahwa pajak merupakan sumber pendanaan utama yang harus terus ditingkatkan untuk mendanai pelaksanaan pemerintahan dan pembangunan. Karena itu, Pemerintah terus berupaya meningkatkan penerimaan perpajakan yang pada RAPBN 2013 ditargetkan mencapai lebih dari Rp1.178 triliun, yang merupakan jumlah yang terbesar yang pernah dicapai. Namun tuntutan pembangunan yang terus meningkat mengakibatkan belanja negara pun terus meningkat sehingga masih diperlukan pendanaan pembiayaan di luar penerimaan perpajakan untuk menutup kekurangan tersebut. Diharapkan dalam beberapa tahun ke depan, struktur anggaran akan diarahkan menjadi surplus sehingga Pemerintah dapat membiayai seluruh kegiatannya dengan dana yang bersumber dari penerimaan negara terutama pajak.

Menjawab pertanyaan dari Fraksi Partai Golongan Karya, Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Fraksi Partai Persatuan Pembangunan, Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa, dan Fraksi Partai Hati Nurani Rakyat mengenai perlunya peningkatan rasio pajak terhadap PDB (tax ratio) dapat dijelaskan bahwa Pemerintah telah melakukan berbagai langkah nyata dengan mengoptimalkan pemungutan perpajakan dan terus melakukan upaya perbaikan dari tahun ke tahun. Langkah-langkah tersebut dilakukan secara terstruktur dan berkesinambungan, mulai dari pembenahan pelayanan dan administrasi, peningkatan dan perluasan basis pajak, penyusunan data pajak yang terintegrasi, perbaikan regulasi perpajakan, serta peningkatan pengawasan pemungutan pajak. Langkah-langkah yang telah dilakukan tersebut telah dapat memberikan hasil yang signifikan, sehingga penerimaan perpajakan menjadi sumber utama pendukung pelaksanaan pembangunan.

-L.18-

 

Melalui berbagai hal tersebut, pertumbuhan penerimaan perpajakan dalam kurun waktu lima tahun terakhir (2007-2011) rata-rata mencapai 15,5 persen, lebih tinggi dari rata-rata pertumbuhan alamiahnya sebesar 12,2 persen. Pada tahun 2012, penerimaan perpajakan diharapkan dapat mencapai Rp1.016,2 triliun, atau meningkat 16,3 persen dari realisasi 2011. Peningkatan penerimaan perpajakan tersebut diharapkan dapat terus terjadi, hingga pada tahun 2013 penerimaan perpajakan diharapkan dapat mencapai Rp1.178,9 triliun, naik 16,0 persen dibandingkan target APBNP 2012.

Dalam beberapa tahun terakhir tax ratio menunjukkan perkembangan yang cukup menggembirakan, yaitu 11,0 persen 2009, 11,3 persen 2010, dan 11,8 persen 2011, serta diharapkan 11,9 persen pada tahun 2012. Pada tahun 2013 tax ratio direncanakan mencapai 12,7 persen. Dalam hal ini dapat kiranya kami sampaikan bahwa angka-angka tax ratio tersebut dihitung berdasarkan perhitungan tax ratio yang hanya mencakup penerimaan perpajakan pusat (tax ratio dalam definisi sempit). Namun apabila bila kita menghitung angka tax ratio dengan memasukkan penerimaan pajak daerah dan SDA migas (tax ratio dalam definisi luas), maka tax ratio Indonesia pada tahun 2011 mencapai 15,2 persen. Untuk tahun 2012, tax ratio ditargetkan mencapai 15,2 persen dan untuk tahun 2013 tax ratio diperkirakan akan mencapai 15,6 persen.

Menjawab pertanyaan dari Fraksi Partai Demokrat, Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Fraksi Partai Persatuan Pembangunan, dan Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa mengenai perlunya dilakukan upaya optimalisasi pendapatan negara, antara lain melalui penggalian potensi pajak nasional, dengan memperhatikan prinsip keadilan bagi penduduk berpendapatan rendah, serta perlunya dilakukan upaya untuk mengantisipasi kebocoran sumber penerimaan di sektor perpajakan, dapat diberikan penjelasan sebagai berikut.

Pemerintah terus melanjutkan program-program penggalian potensi penerimaan perpajakan baik berupa program intensifikasi, yang dilakukan antara lain melalui kebijakan mapping, profiling, dan benchmarking, maupun program ekstensifikasi antara lain melalui perluasan tax base, penambahan jumlah wajib pajak berbasis profesi, properti dan pemberi kerja. Program-program tersebut dilakukan dengan tetap mempertimbangkan kemampuan wajib pajak dalam membayar pajak, baik terhadap wajib pajak orang pribadi maupun wajib pajak badan. Salah satu implementasi dari prinsip keadilan bagi penduduk berpendapatan rendah dapat dilihat dari diberlakukannya batas nominal penghasilan tidak kena pajak (PTKP) sebesar Rp15,8 juta per tahun yang berlaku sejak tahun 2008, dan akan dilakukan penyesuaian secara berkala. Saat ini sedang dibahas kemungkinan diberlakukannya kenaikan PTKP yang disesuaikan dengan indeks kebutuhan hidup masyarakat terkini. Selain itu, prinsip keadilan pada penarikan pajak juga dapat dilihat dari diterapkannya tarif progresif untuk pajak penghasilan orang pribadi, yaitu semakin tinggi pendapatan semakin tinggi tarif yang dikenakan.

Menjawab pertanyaan dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan dan Fraksi Partai Amanat Nasional mengenai perlunya optimalisasi

-L.19-

 

penerimaan pajak yang bersumber dari objek pajak pribadi dan badan, serta perlunya optimalisasi penerimaan pajak migas melalui revisi peraturan perundang-undangan di bidang migas serta perlunya dilakukan renegosiasi kontrak karya dan perjanjian karya pengusahaan pertambangan, mineral, batu bara dan migas, dapat kiranya disampaikan hal-hal sebagai berikut.

Pemerintah sependapat dengan pernyataan anggota dewan yang terhormat untuk lebih mengoptimalkan penerimaan pajak yang bersumber dari objek pajak orang pribadi dan badan. Oleh karena itu, Pemerintah telah dan akan tetap mengambil langkah-langkah kebijakan untuk mengoptimalkan penerimaan dari sumber-sumber tersebut. Untuk itu, pada tahun 2013, Pemerintah telah menyusun kebijakan perpajakan yang secara garis besar dapat digolongkan ke dalam: (1) kebijakan yang bersifat umum; (2) kebijakan di bidang PPh; dan (3) kebijakan di bidang PPN.

Kebijakan umum perpajakan pada tahun 2013 antara lain meliputi: (1) melanjutkan pokok-pokok kebijakan perpajakan yang telah dilakukan di tahun 2012; (2) meningkatkan perbaikan penggalian potensi perpajakan; (3) melakukan perbaikan kualitas pemeriksaan dan penyidikan; (4) menyempurnakan sistem informasi teknologi; (5) melakukan perbaikan kebijakan perpajakan yang diarahkan bagi perluasan basis pajak; (6) meningkatkan kegiatan sensus pajak nasional; (7) meningkatkan pengawasan dan pelayanan di bidang kepabeanan dan cukai; (8) ekstensifikasi cukai; (9) menyesuaikan tarif PPnBM atas kelompok barang kena pajak (BKP) yang tergolong mewah selain kendaraan bermotor; dan (10) pemberian insentif fiskal bagi kegiatan ekonomi strategis, antara lain pembebasan atau pengurangan PPnBM untuk kendaraan bermotor yang murah dan ramah lingkungan (hybrid dan low carbon emission), serta fasilitas tidak dipungut PPN dan PPnBM terhadap BKP yang mendapatkan pembebasan bea masuk, sesuai dengan kriteria tertentu.

Secara khusus, untuk optimalisasi penerimaan PPh, pada tahun 2013 Pemerintah akan menyusun suatu kebijakan yang diarahkan bagi perluasan basis pajak sekaligus perbaikan daya beli golongan masyarakat berpendapatan rendah dan usaha kecil dan menengah, antara lain: (a) penyederhanaan metode pengenaan PPh bagi sektor tertentu, dan (b) penyesuaian dan pembenahan kebijakan pengenaan PPh final. Berkaitan dengan optimalisasi PPN, Pemerintah akan melakukan penyesuaian kebijakan di bidang pemungutan PPN yang diarahkan pada pembenahan administrasi sistem PPN, antara lain: (a) pembenahan mekanisme pengukuhan pengusaha kena pajak (PKP) melalui program registrasi ulang; (b) penyempurnaan mekanisme dan sistem informasi dan monitoring PPN melalui penyiapan pemanfaatan sistem e-invoice, dan penyempurnaan format faktur pajak dengan mencantumkan jenis barang dengan menerapkan kode harmonisasi (harmonized system/HS code); dan (c) pembenahan sistem pengenaan dan pemungutan PPN melalui penyiapan mekanisme pencatatan pajak masukan yang bisa menjadi pengurang pajak (deemed tax).

Selain itu, upaya optimalisasi penerimaan perpajakan juga dilakukan dengan memperluas basis pajak melalui beberapa kegiatan antara lain (a) memperkuat basis

-L.20-

 

data primer melalui internet searching WP OP dan Sensus Pajak Nasional (SPN); (b) memetakan data Nomor Induk Kependudukan (NIK) dengan Nomor Pokok wajib Pajak (NPWP); dan (c) menyiapkan infrastruktur program sinkronisasi NIK dan NPWP.

Terkait dengan upaya optimalisasi penerimaan perpajakan yang bersumber dari pajak migas dan pertambangan umum, pada tahun 2013, Pemerintah akan melakukan beberapa kebijakan meliputi: (a) terlibat aktif dalam delegasi renegosiasi terkait aspek perpajakan terhadap Kontrak Karya (KK) dan Perjanjian Karya Pengusaha Pertambangan Migas dan Mineral lainnya (PKP2B); (b) melanjutkan pembenahan kebijakan pengenaan PPh Final; dan (c) memperkuat basis data primer dalam pengunaan jasa surveyor independen di sektor pertambangan dan perkebunan; serta (d) memperkuat basis data sekunder melalui penerapan pasal 35A Undang-Undang Ketentuan Umum Perpajakan (KUP) melalui penghimpunan data dari kementerian negara/lembaga, badan serta lembaga yang berkaitan dengan sektor pertambangan migas dan pertambangan umum.

Selain itu, upaya optimalisasi penerimaan sektor pertambangan dan migas juga didukung dengan langkah-langkah: (a) pembentukan KPP Migas dan memantapkan tusinya dalam rangka administrasi, pengawasan dan pengelolaan penerimaan PPh Migas; (b) pemanfaatan jasa lembaga surveyor yang bertujuan untuk memperkuat basis data primer di sektor pertambangan; dan (c) pembentukan tim yang melibatkan Kementerian ESDM dan Kementerian Keuangan untuk menangani proses renegosiasi kontrak-kontrak pertambangan.

Terkait dengan masukan dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera mengenai perlunya memiliki basis data pajak yang kuat, Pemerintah menyampaikan apresiasi yang setingi-tingginya atas masukan tersebut. Saat ini, Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Keuangan khususnya Direktorat Jenderal Pajak, telah mengupayakan langkah-langkah terobosan dalam mengoptimalkan database perpajakan, di antaranya melalui Sensus Pajak Nasional (SPN). SPN yang dimulai pada bulan September 2011 adalah kegiatan penyisiran dan pencacahan terhadap potensi pajak yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak dalam rangka ekstensifikasi (menjaring Wajib Pajak yang belum terdaftar dan objek pajak yang belum dipajaki), serta intensifikasi (optimalisasi pemajakan atas objek pajak yang belum sepenuhnya dipajaki) pada tahun 2011 s.d 2012 dan pembentukan Pusat Pengolahan Data dan Dokumen Perpajakan. Langkah lainnya dalam rangka memperkuat basis data adalah melalui pembentukan Pusat Pengolahan Data dan Dokumen Perpajakan/Data Processing Center, yang merupakan pelaksana teknis Direktorat Jenderal Pajak di bidang pengolahan data dan dokumen perpajakan, yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Direktur Jenderal Pajak. Dengan berbagai upaya tersebut, diharapkan potensi penerimaan pajak dapat lebih digali dan ditingkatkan.

Pemerintah sependapat dengan pandangan Fraksi Partai Keadilan Sejahtera mengenai perlunya keseimbangan pembebanan pajak antara masyarakat yang berpenghasilan tinggi dengan masyarakat yang berpenghasilan rendah yang salah

-L.21-

 

satunya dilakukan melalui optimalisasi instrumen PPnBM. Langkah tersebut didukung dengan sistem PPh yang progresif, yaitu dengan tarif yang lebih tinggi untuk penghasilan yang lebih tinggi. Namun, salah satu kekhawatiran atas dampak kebijakan PPnBM adalah meningkatnya upaya penyelundupan atas barang-barang mewah. Untuk mengantisipasi penyelundupan tersebut Pemerintah tengah berupaya memperbaiki sistem administrasi perpajakan yang dapat menjamin setiap barang mewah yang terutang PPnBM telah melunasi kewajiban perpajakannya, serta melakukan peningkatan pengawasan di semua pintu masuk pelabuhan utama di Indonesia, dengan berkerjasama kepada pihak otoritas terkait.

Terkait dengan upaya antisipasi kebocoran sumber penerimaan di sektor perpajakan, termasuk kasus suap pajak, sebagaimana ditanyakan oleh Fraksi Partai Persatuan Pembangunan, Pemerintah dalam hal ini Kementerian Keuangan, telah melakukan kerjasama dengan berbagai institusi/lembaga hukum, seperti Polri dan KPK, untuk secara bersama-sama mencegah dan memperkecil peluang terjadinya kebocoran penerimaan perpajakan. Selain itu, secara internal, Kementerian Keuangan telah melakukan beberapa upaya pencegahan di lingkungan internal Direktorat Jenderal Pajak, antara lain dengan: (1) mengembangkan sistem whistle blowing yang efektif, (2) melakukan rotasi besar-besaran tenaga fungsional pemeriksa pajak dalam rangka memutus hubungan kolutif, yang merupakan salah satu sumber terbentuknya mafia perpajakan, (3) memperbaiki kualitas pemeriksaan untuk mengurangi jumlah sengketa pajak, (4) meningkatkan peran Komite Pengawas Perpajakan dalam rangka meningkatkan efektivitas pengawasan terhadap kepatuhan internal, dan (5) melakukan pengujian kepatuhan internal secara tematik.

Menjawab pertanyaan dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa mengenai perlunya optimalisasi pendapatan negara di bidang kepabeanan dan cukai dapat kami sampaikan tanggapan bahwa target penerimaan kepabeanan dan cukai selalu mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Dalam RAPBN tahun 2013 target penerimaan kepabeanan dan cukai ditetapkan sebesar Rp147,2 triliun, dengan rincian: (a) target penerimaan bea masuk sebesar Rp26,5 triliun, meningkat sebesar 7,1 persen dari target APNBP 2012; (b) target penerimaan cukai sebesar Rp89,0 triliun, meningkat sebesar 6,9 persen dari target APBNP 2012; dan (c) target penerimaan bea keluar sebesar Rp31,7 trilun atau naik 36,6 persen dari target APBNP 2012.

Kenaikan penerimaan cukai tersebut didasarkan pada asumsi kenaikan tarif cukai hasil tembakau sesuai Road Map Cukai Hasil Tembakau, adanya effort dalam melakukan pemberantasan peredaran barang kena cukai illegal, serta konsistensi Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Keuangan pada Road Map Cukai Hasil Tembakau.

Di samping itu, kebijakan strategis dalam rangka optimalisasi penerimaan kepabeanan dan cukai antara lain adalah dengan tetap konsisten melanjutkan program reformasi birokrasi dan menjalankan pokok-pokok kebijakan di bidang kepabeanan dan cukai pada tahun 2013, yaitu: (1) optimalisasi di bidang kepabeanan, yang mencakup: (a) peningkatan akurasi pemeriksaan fisik, klasifikasi

-L.22-

 

dan nilai pabean, (b) optimalisasi pemanfaatan sarana operasi/patroli darat dan laut, khususnya di daerah perbatasan, dan (c) peningkatan fungsi pengawasan melalui pengembangan risk management; (2) Optimalisasi di bidang cukai, yang mencakup: (a) implementasi kenaikan tarif cukai, (b) mengusulkan barang kena cukai baru, dan (c) peningkatan patroli atau pengawasan terhadap barang kena cukai; serta (3) peningkatan sektor pelayanan, yaitu: (a) melanjutkan reformasi birokrasi Direktorat Jenderal Bea dan Cukai melalui pembentukan KPPBC madya serta penyempurnaan organisasi DJBC (sampai dengan 2012 sudah terbentuk dua Kantor Pelayanan Utama (KPU), tiga Kantor Madya Cukai, dan 43 kantor Madya Pabean), (b) konsistensi pelayanan kepabeanan 24 jam sehari tujuh hari seminggu di beberapa pelabuhan, dan (c) pengembangan otomasi pelayanan pabean dan cukai di Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai.

Menjawab pertanyaan dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera mengenai implementasi bea keluar batubara, dapat kiranya dijelaskan sebagai berikut. Pengenaan bea keluar atas barang ekspor diatur dalam Pasal 2A ayat (2) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 bertujuan untuk: (1) menjamin terpenuhinya kebutuhan dalam negeri; (2) melindungi kelestarian sumber daya alam; (3) mengantisipasi kenaikan harga yang cukup drastis dari komoditi ekspor tertentu di pasaran internasional; atau (4) menjaga stabilitas harga komoditi tertentu di dalam negeri. Selain itu, pengenaan bea keluar juga ditujukan untuk meningkatkan nilai tambah melalui pengolahan dan pemurnian barang tambang di dalam negeri, sebagaimana diamanatkan dalam UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Minerba.

Dalam upaya mendorong pengolahan dan pemurnian hasil penambangan di dalam negeri, Pemerintah telah memberlakukan kebijakan pengenaan bea keluar terhadap barang ekspor berupa bijih (raw material atau ore) mineral sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 75/PMK.011/2012 tentang Penetapan Barang Ekspor yang Dikenakan Bea Keluar dan Tarif Bea Keluar yang berlaku efektif sejak 16 Mei 2012. Sementara itu, terkait dengan pengenaan bea Keluar untuk batubara, saat ini Pemerintah sedang mengkaji kelayakan pengenaan bea Keluar untuk batubara dan potensi pengenaan bea keluar atas komoditas batubara dalam rangka mendukung pemenuhan kebutuhan dalam negeri.

Pada intinya Pemerintah sependapat dengan masukan Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan dan Fraksi Partai Amanat Nasional mengenai perlunya dilakukan perbaikan tata kelola SDA dan renegosiasi dengan kontraktor yang melakukan eksplorasi dan eksploitasi SDA di Indonesia. Pemerintah terus melakukan perbaikan tata kelola SDA, di antaranya melalui penyusunan regulasi, pembenahan manajemen dan administrasi, serta perbaikan pengawasan. Koordinasi antara Pemerintah Pusat dengan pemerintah daerah juga dilakukan untuk memperbaiki tata kelola SDA, khususnya yang menimbulkan birokrasi, biaya tinggi, dan mengganggu iklim investasi.

Renegosiasi kontrak SDA juga sudah mulai diintensifkan Pemerintah untuk meningkatkan porsi bagian penerimaan negara dengan tetap menjaga kesetaraan, keadilan, dan etika berbisnis dengan para investor. Penyusunan kontrak-kontrak

-L.23-

 

baru SDA serta perpanjangan kontrak dari kontrak-kontrak yang telah berakhir juga diupayakan untuk membuat term and condition yang lebih menguntungkan dan posisi yang lebih baik bagi negara.

Saat ini Pemerintah sedang melaksanakan renegoisasi kontrak karya (KK) dan perjanjian karya pengusahaan pertambangan, mineral, batubara, dan migas (PKP2B) dan perkembangannya memperlihatkan hal yang positif. Pada dasarnya pelaksanaan renegoisasi tersebut didasarkan pada amanat dari UU Nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, dan ditujukan tidak hanya untuk meningkatkan penerimaan negara dari kegiatan usaha pertambangan minerba melainkan juga untuk lebih meningkatkan nilai tambah bagi kepentingan perekonomian nasional. Lebih lanjut, Pemerintah dalam meningkatkan nilai tambah sektor pertambangan minerba bagi perkonomian nasional telah mengeluarkan kebijakan melalui penerbitan Permen ESDM Nomor 7 Tahun 2012 sebagaimana telah dirubah melalui Permen 11 Tahun 2012 tentang Peningkatan Nilai Tambah melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian Mineral, dan penerbitan Permenkeu Nomor 75/PMK.011/2012 tentang Penetapan Barang Eskpor yang dikenakan Bea Keluar dan Tarif Bea Keluar yang mengatur tentang pengenaan bea keluar terhadap barang ekspor berupa biji (raw material atau ore) mineral dengan tarif 20 persen.

Mengenai pertanyaan Fraksi Partai Persatuan Pembangunan terhadap penurunan PNBP sektor migas dalam RAPBN 2013 dapat dijelaskan bahwa hal itu utamanya disebabkan asumsi lifting minyak dan harga minyak yang lebih rendah dibandingkan asumsi yang digunakan di tahun 2012. Dalam RAPBN 2013 asumsi lifting minyak rata-rata 900 ribu barel per hari yang lebih rendah dari perkiraan di APBN-P 2012 sebesar 930 ribu barel per hari. Selain itu, harga ICP di RAPBN 2013 diperkirakan US$100/barel, yang juga lebih rendah dari yang digunakan di APBN-P 2012 sebesar US$105/barel.

Menanggapi pertanyaan dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera terkait dengan cost recovery dapat disampaikan bahwa, Pemerintah dalam menentukan besaran cost recovery didasarkan pada pedoman/peraturan yang berlaku yakni PP Nomor 79 Tahun 2010 tentang Biaya Operasi yang Dapat Dikembalikan dan Perlakuan PPh di Bidang Usaha Hulu Migas. Dalam peraturan tersebut telah ditetapkan mengenai negative list komponen biaya yang dapat di-recovery yang penentuannya didasarkan pada kaidah teknik dan kelayakan biaya sesuai best practices yang ada. Di samping itu, pembayaran atas cost recovery tersebut didasarkan pada hasil audit yang ada.

Pemerintah sependapat dengan Fraksi Partai Amanat Nasional terkait dengan optimalisasi penerimaan PNBP dari SDA pertambangan umum agar harus tetap memperhatikan aspek lingkungan dapat dijelaskan bahwa, Pemerintah akan selalu berkomitmen untuk tetap memperhatikan kelestarian lingkungan. Berdasarkan ketentuan yang ada (PP Nomor 23 Tahun 2010 sebagaimana diubah dalam PP Nomor 24 Tahun 2012 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan), segala permohonan atas penerbitan ijin usaha pertambangan (IUP) wajib memenuhi persyaratan lingkungan yang ditetapkan.

-L.24-

 

Aspek lingkungan hidup juga dilakukan Pemerintah antara lain dalam bentuk: (1) penggunaan Dana Reboisasi untuk reboisasi dan rehabilitasi hutan dan lahan; dan (2) pengenaan tarif atas penggunaan kawasan hutan untuk kegiatan di luar kehutanan berupa kegiatan: (a) penggunaan kawasan hutan produksi untuk pertambangan; (b) penggunaan kawasan hutan produksi untuk migas atau panas bumi; (c) penggunaan kawasan hutan produksi untuk pembangunan jaringan telekomunikasi; dan (d) penggunaan kawasan hutan produksi untuk PLTA.

Demikian pula pandangan Fraksi Partai Amanat Nasional terkait optimalisasi penerimaan dividen BUMN melalui pay out ratio yang mengacu pada rencana bisnis BUMN, dapat dijelaskan bahwa penetapan kebijakan pay out ratio tetap mempertimbangkan kepentingan dan rencana bisnis tiap BUMN secara komprehensif dan telah diselaraskan dengan program Master Plan Percepatan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI). Oleh karena itu, kebijakan pay out ratio dalam RAPBN 2013 dirumuskan dengan mempertimbangkan bidang usaha, kebutuhan investasi BUMN dan strategi pengembangan BUMN secara terpadu. Dengan kebijakan tersebut, BUMN diharapkan dapat melakukan optimalisasi investasi melalui peningkatan capital expenditure maupun penyisihan laba yang ditahan, dalam rangka peningkatan kinerja BUMN.

Kebijakan penarikan pay out ratio dari dividen BUMN didasarkan kepada kepemilikan saham mayoritas Pemerintah pada BUMN serta pertimbangan kebutuhan investasi BUMN (rencana bisnis BUMN). Selain itu, penarikan dividen kepada masing-masing BUMN juga mempertimbangkan kesehatan BUMN serta sumbangan laba BUMN kepada APBN untuk membiayai kegiatan pembangunan.

Kebijakan pay out ratio dividen BUMN yang ditarik oleh Pemerintah adalah sebagai berikut: (a) pay out ratio 0 persen-25 persen untuk BUMN sektor kehutanan, asuransi, dan BUMN dengan akumulasi rugi; (b) pay out ratio 5 persen-55 persen untuk BUMN laba tanpa akumulasi rugi; (c) pay out ratio 40 persen-45 persen untuk Pertamina, dan 30 persen untuk PT PLN; (d) untuk BUMN yang mendapatkan laba tetapi kesulitan cash flow, tidak diminta dividen agar BUMN tersebut dapat menstabilkan cash flow-nya, sehingga tidak mengganggu kegiatan operasional BUMN. Selain itu, BUMN diharapkan dapat melakukan optimalisasi investasi (capital expenditure) BUMN, terutama dari penyisihan laba yang ditahan, dalam rangka peningkatan kinerja BUMN.

Dengan demikian dapat disampaikan bahwa Pemerintah tidak menarik pay out ratio terlalu tinggi pada BUMN (dominan lebih kecil dari 55 persen), agar BUMN tetap mempunyai ruang gerak untuk menggunakan labanya bagi kegiatan investasi dalam rangka pengembangan perusahaan ke depan.

Menjawab pertanyaan dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan mengenai pengelolaan BUMN dan peningkatan kontribusinya kepada penerimaan negara dapat kami jelaskan sebagai berikut. Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Menteri BUMN Nomor PER-01/MBU/2011 tentang Penerapan Tata Kelola Perusahaan yang Baik (Good Corporate Governance/GCG) pada BUMN. Penerbitan

-L.25-

 

Peraturan Menteri BUMN tersebut dilakukan untuk menjawab perubahan lingkungan bisnis yang sangat dinamis serta tuntutan masyarakat luas tentang penerapan prinsip keterbukaan, akuntabilitas, pertanggungjawaban, serta kewajaran. Pemerintah tetap memiliki komitmen yang kuat untuk terus memacu implementasi GCG pada BUMN secara berkesinambungan. Penatakelolaan perusahaan yang baik akan mengurangi informasi asimetri antara pengurus perusahaan dengan pihak luar, dan diharapkan dapat meningkatkan kepercayaan publik secara luas yang pada akhirnya meningkatkan keberhasilan usaha.

Pengelolaan BUMN dilakukan di antaranya dengan: (a) meningkatkan efisiensi BUMN untuk mendukung profitabilitas; (b) melakukan revaluasi terhadap kinerja BUMN yang merugi; dan (c) meningkatkan daya saing BUMN.

Terkait adanya beberapa BUMN yang mengalami kerugian, Pemerintah telah melakukan langkah-langkah perbaikan. Langkah-langkah perbaikan yang sedang dan telah dilaksanakan Pemerintah pada dasarnya dilakukan dalam empat area utama. Area tersebut dilakukan untuk mengatasi permasalahan utama dari BUMN saat ini yang meliputi: (a) optimalisasi aset tidak produktif BUMN yang membebani kinerja perusahaan; (b) rightsizing BUMN; (c) pembentukan dream team manajemen di tiap BUMN; dan (d) orientasi baru BUMN yang dilaksanakan melalui sinergi serta reorientasi arah bisnis BUMN yang salah satunya usaha untuk meninggalkan industri senja.

Langkah-langkah tersebut diupayakan dapat memperbaiki kinerja BUMN secara keseluruhan dan khususnya bagi BUMN yang bermasalah. Khusus untuk BUMN bermasalah, sedang dilaksanakan langkah restrukturisasi bisnis yang dijalankan baik melalui PT Perusahaan Pengelolaan Asset (PPA) maupun perombakan dalam BUMN itu sendiri. Lebih lanjut lagi, beberapa BUMN didorong untuk kembali ke core bisnisnya dalam rangka penyehatan perusahaan.

Selanjutnya, sejalan dengan semakin meningkatnya kinerja BUMN, kontribusi BUMN terhadap APBN, baik melalui pajak, privatisasi dan dividen juga terus mengalami peningkatan. Selama periode 2007-2011, kontribusi BUMN terhadap APBN tumbuh rata-rata sebesar 7,9 persen. Dilihat dari peranannya, dari jumlah kontribusi BUMN, sebesar 20,4 persen berasal dari penerimaan dividen; 78,8 persen berasal dari penerimaan perpajakan; dan 0,8 persen berasal dari privatisasi.

Menanggapi pertanyaan dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa, Fraksi Partai Amanat Nasional, dan Fraksi Partai Keadilan Sejahtera terkait dengan upaya optimalisasi produksi migas dapat kami jelaskan sebagai berikut. Pemerintah terus berkomitmen untuk mendorong peningkatan produksi migas melalui pemberian fasilitas fiskal dan nonfiskal. Untuk fasilitas fiskal, Pemerintah tetap akan memberikan fasilitas bea masuk impor sebesar nol persen melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 177/PMK.011/2007 tentang Pembebasan Bea Masuk Atas Impor Barang Untuk Kegiatan Usaha Hulu Minyak Dan Gas Bumi Serta Panas Bumi. Sementara itu, fasilitas tidak dipungut pajak pertambahan nilai (PPN) dan pajak penjualan atas barang mewah impor barang untuk kegiatan usaha

-L.26-

 

eksplorasi hulu minyak dan gas bumi serta panas bumi diberikan melalui Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 27/PMK.011/2012.

Dalam rangka mengoptimalkan penerimaan negara dari sektor migas melalui intensifikasi juga dilakukan melalui upaya pengendalian dan pengawasan intensif terhadap besaran cost recovery oleh BP MIGAS kepada KKKS, yang didukung dengan Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2010 untuk memperkuat regulasi mengenai pengawasan dan pengendalian terhadap cost recovery.

Di samping itu, optimalisasi penerimaan negara dari sektor migas juga diupayakan dengan tetap memperhatikan aspek lingkungan hidup. Melalui Peraturan Pemerintah Nomor 35 T ahun 2004 tentang Kegiatan Usaha Hulu Migas telah diatur bahwa dalam mengembangkan dan memproduksi lapangan Minyak dan Gas Bumi, kontraktor wajib melakukan konservasi dan melaksanakannya sesuai dengan kaidah keteknikan yang baik. Kemudian, dalam Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2004 tersebut juga diwajibkan kepada setiap kontraktor untuk mengalokasikan dana untuk kegiatan operasi yang berfungsi sebagai dana cadangan khusus kegiatan pasca operasi kegiatan usaha hulu migas, terutama dalam hal perbaikan lingkungan di wilayah kerja yang ditinggalkan.

Menjawab pandangan Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa dan Fraksi Partai Amanat Nasional mengenai transparansi potensi gross revenue dari migas dan potensi penerimaan negara dari PNBP SDA migas dapat kami sampaikan jawaban sebagai berikut. Gross revenue dari sektor hulu migas merupakan data awal yang digunakan dalam perhitungan penerimaan migas. Perhitungan penerimaan migas dalam APBN mengacu kepada asumsi lifting dan harga migas yang ditetapkan dalam asumsi makro APBN. Dengan demikian besaran gross revenue akan tergantung kepada besaran lifting dan asumsi harga yang ditetapkan.

Selanjutnya, terkait dengan besaran cost recovery, dalam mengupayakan efisiensi cost recovery Pemerintah berpedoman pada PP Nomor 79 tahun 2010 tentang Biaya Operasi yang Dapat Dikembalikan dan Perlakuan PPh di Bidang Usaha Hulu Migas. Dalam peraturan tersebut telah ditetapkan mengenai negative list komponen biaya yang dapat di-recovery yang penentuannya didasarkan pada kaidah teknik dan kelayakan biaya sesuai best practices yang ada. Di samping itu, pembayaran atas cost recovery tersebut didasarkan pada hasil audit yang ada. Selain itu, Pemerintah akan berupaya pula untuk mengurangi atau minimal menetapkan sama dengan tahun sebelumnya rasio cost recovery terhadap gross revenue sebagai tolak ukur tingkat efisiensi besaran cost recovery.

Menanggapi pertanyaan dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera terkait dengan potensi yang masih rendah dari penerimaan SDA nonmigas lainnya (kehutanan, perikanan, dan panas bumi), dapat kami sampaikan bahwa potensi peningkatan PNBP dari sektor ini memang masih rendah karena berbagai hal. Terkait dengan penerimaan SDA kehutanan, kebijakan atas penerimaan sektor ini diarahkan juga untuk mendukung program kelestarian hutan sehingga penerimaan SDA kehutanan tidak dapat dikaitkan lagi secara langsung dengan tingkat produksi hasil hutan.

-L.27-

 

Untuk sektor perikanan, penerimaannya bersumber dari pungutan pengusahaan perikanan (PPP) dan pungutan hasil perikanan (PHP) dan hanya untuk kapal tangkap 30 gross tonnage (GT) ke atas. Di samping itu, Pemerintah sudah tidak lagi mengeluarkan ijin untuk kapal tangkap asing sehingga penerimaan SDA perikanan berkurang. Sementara itu, untuk panas bumi, pada dasarnya bahwa sektor ini masih baru berkembang dan Pemerintah berkomitmen untuk terus meningkatkan sektor pertambangan panas bumi guna mendukung kebijakan energi yang dapat diperbarui dan ramah lingkungan. Ke depan, sektor panas bumi diharapkan akan dapat memberikan kontribusi optimal juga bagi penerimaan SDA non migas.

C. BELANJA PEMERINTAH PUSAT

Menanggapi pandangan Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Fraksi Partai Golongan Karya, Fraksi Partai Gerakan Indonesia Raya, dan Fraksi Partai Hati Nurani rakyat, mengenai perlunya restrukturisasi komposisi belanja dengan mengedepankan fungsi stimulus dan belanja modal dapat dijelaskan sebagai berikut. Selama ini, kebijakan perencanaan anggaran belanja Pemerintah Pusat dirancang untuk menjaga keseimbangan, mampu berperan dalam memberikan stimulasi pada pertumbuhan ekonomi namun tetap menjaga stabilitas, dan memperkuat fundamental ekonomi makro. Kebijakan tersebut tercermin dari penetapan besaran defisit anggaran pada RAPBN 2013 sebesar 1,62 persen terhadap PDB yang dilakukan dengan tetap menjaga kesinambungan APBN, serta menurunkan rasio utang Pemerintah terhadap PDB. Meskipun defisit anggaran relatif rendah, namun ekspansi dan stimulasi terhadap perekonomian dilakukan pemerintah melalui peningkatan kualitas belanja dengan memfokuskan pada jenis belanja yang produktif.

Dalam beberapa tahun terakhir, Pemerintah berusaha meningkatkan komponen belanja yang mempunyai dampak multiplier yang lebih besar dan berkelanjutan, khususnya belanja modal. Namun, demikian, upaya tersebut terkendala oleh sempitnya ruang fiskal akibat besarnya porsi pengeluaran wajib, sehingga ruang bagi pemerintah untuk bermanuver relatif sempit. Oleh sebab itu, pemerintah mengupayakan untuk lebih menambah proporsi belanja yang produktif dan mengurangi belanja yang kurang produktif, yang dapat dilihat dari perkembangan proporsi belanja modal terhadap belanja pemerintah pusat yang terus mengalami kenaikan, dari 12,7 persen pada tahun 2007 dan menjadi 17,0 persen pada tahun 2013. Di samping itu, di luar alokasi anggaran belanja modal sebesar Rp193,8 triliun tersebut pada tahun 2013, pemerintah masih mengalokasikan anggaran cadangan untuk: (1) anggaran infrastruktur untuk peningkatan pembangunan infrastruktur dan energi; (2) pemetaan dan pembangunan shelter di daerah rawan bencana; dan (3) penyelesaian pembangunan perumahan warga baru di Nusa Tenggara Timur. Anggaran cadangan tersebut berpotensi meningkatkan alokasi anggaran belanja modal.

-L.28-

 

Selanjutnya, langkah-langkah kebijakan yang telah ditempuh untuk meningkatkan kualitas belanja negara (quality of spending), adalah dengan lebih memperhatikan efisiensi, dan ketepatan alokasi, serta memperhitungkan pengaruhnya terhadap perekonomian. Dalam rangka meningkatkan kualitas belanja (quality of spending) tersebut, serta merekonstruksi komposisi belanja, maka akan dilanjutkan langkah-langkah kebijakan sebagai berikut: (1) mengedepankan alokasi belanja modal; (2) implementasi flat policy bagi belanja barang operasional; (3) merancang ulang (redesign) kebijakan subsidi; (4) menghindarkan meningkatnya pengeluaran mandatory spending; (5) memperluas pelaksanaan reformasi birokrasi; dan (6) menerapkan sistem reward dan punishment dalam pengalokasian anggaran secara konsisten.

Menanggapi pandangan Fraksi Partai Keadilan Sejahtera agar Pemerintah bersungguh-sungguh untuk memastikan pelaksanaan Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) melalui pembentukan Badan Pengelola Jaminan Sosial (BPJS) sehingga dapat berjalan secara efektif per 1 Januari 2014 dan dapat berkelanjutan, dapat kami sampaikan hal-hal sebagai berikut. Pemerintah telah melakukan persiapan secara serius dan intensif agar program SJSN tersebut dapat terlaksana mulai 1 Januari 2014. Persiapan tersebut mencakup penyiapan regulasi, infrastruktur, kelembagaan, sumber daya manusia, maupun pembiayaan implementasi SJSN. Untuk itu, Pemerintah telah mengeluarkan Surat Keputusan Nomor 176/Menkes/SK/V/2012 tentang Pembentukan Kelompok Kerja Pelaksanaan SJSN yang terdiri dari enam kelompok kerja yaitu: (1) Pokja Fasilitas Kesehatan (Faskes), Sistem Rujukan dan Infrastruktur; (2) Pokja Pembiayaan, Transformasi Kelembagaan dan Program; (3) Pokja Regulasi; (4) Pokja Kefarmasian dan Alat Kesehatan; (5) Pokja SDM dan Capacity Building; serta (6) Pokja Sosialisasi dan Advokasi.

Masing-masing Pokja bertanggungjawab terhadap setiap proses persiapan pelaksanaan SJSN tersebut, di antaranya: (1) Pokja Faskes, sistem rujukan dan Infrastruktur telah menyusun roadmap pemenuhan tempat tidur yang dibutuhkan, bekerjasama dengan Pemda untuk merencanakan dan melaksanakan pembangunan RS Pratama di 42 Kabupaten/Kota, mendirikan Puskesmas baru di 383 Kecamatan, perbaikan kerusakan berat Puskesmas di berbagai daerah serta pengembangan sistem informasi kesehatan; (2) Pokja Pembiayaan, Transformasi dan Kelembagaan telah menyusun dan menghitung berbagai hal yang terkait dengan besarnya iuran, jaminan, manfaat, sistem pembayaran, tahapan pelaksanaan, analisis dampak fiskal, roadmap transformasi kelembagaan PT ASKES dan Jamsostek menjadi BPJS; (3) Pokja Regulasi yang saat ini sedang menyiapkan dua Peraturan Pemerintah dan sembilan Peraturan Presiden yang terkait dengan pembentukan BPJS I; (4) Pokja Kefarmasian dan Alkes yang sedang menyusun dan menghitung kebutuhan dan distribusi obat yang diperlukan; (5) Pokja SDM dan Capacity Building sedang menyusun rencana pemenuhan tenaga kesehatan yang dibutuhkan melalui program pengangkatan pegawai tidak tetap (PTT), program dokter plus, program pemanfaatan dokter residen, program pendidikan dokter spesialis dan tenaga kesehatan lain, penugasan khusus dan perbaikan regulasi untuk rekrutmen dan

-L.29-

 

penempatan serta pembinaan karir tenaga kesehatan; dan (6) Pokja Sosialisasi dan Advokasi yang akan merencanakan dan melaksanakan program sosialisasi dan advokasi kepada seluruh stake holder yang ada.

Di sisi lain, PT Askes dan PT Jamsostek yang akan bertransformasi menjadi BPJS Kesehatan sesuai dengan amanat UU Nomor 24 Tahun 2011, secara simultan juga terus melakukan persiapan operasional BPJS Kesehatan di antaranya: (1) Menyusun sistem dan prosedur operasi yang diperlukan untuk beroperasinya BPJS Kesehatan; (2) Melakukan sosialisasi kepada seluruh pemangku kepentingan jaminan kesehatan; (3) Menentukan program jaminan kesehatan yang sesuai dengan ketentuan UU tentang SJSN; (4) Berkoordinasi dengan Kementerian Kesehatan untuk mengalihkan penyelenggaraan program jaminan kesehatan masyarakat ke BPJS Kesehatan; dan (5) Berkoordinasi dengan Kementerian Pertahanan dan Kepolisian Republik Indonesia untuk mengalihkan penyelenggaraan program jaminan kesehatan bagi anggota TNI/Polri dan PNS di lingkungannya beserta anggota keluarganya ke BPJS Kesehatan.

Sementara itu, sejalan dengan pandangan Fraksi Partai Keadilan Sejahtera tersebut, dapat kami sampaikan bahwa dukungan anggaran terhadap pelaksanaan SJSN khususnya SJSN bidang kesehatan telah diakomodir dalam RAPBN 2013 berupa Penyertaan Modal Negara (PMN) masing-masing sebesar Rp500 miliar untuk BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan, serta ditampungnya kebutuhan anggaran dalam Kerangka Pengeluaran Jangka Menengah (KPJM) sebagaimana disampaikan dalam Nota Keuangan dan RAPBN 2013 pada Bab VII, sehingga kontinuitas program ini dalam jangka menengah dapat dijamin.

Menanggapi pandangan Fraksi Partai Keadilan Sejahtera mengenai alokasi anggaran yang masih sangat terbatas dan perlu ditingkatkan untuk program kluster 4 (program rumah murah, program kendaraan angkutan umum murah, dll), dapat kami sampaikan hal-hal sebagai berikut. Program Rumah Murah terdiri atas dua komponen kegiatan, yaitu:

1. Program Rumah Sangat Murah

Program Rumah Sangat Murah dilaksanakan dengan program eksisting, yaitu Bantuan Stimulan Perumahan Swadaya (BSPS) yang terdiri atas: Pembangunan Baru, Peningkatan Kualitas, PSU Swadaya, Fasilitasi Pra-Sertipikasi Dan Pasca Sertipikasi.

Pada Tahun 2013 Pemerintah telah meningkatkan target pembangunan rumah sangat murah menjadi 500.000 unit dengan kebutuhan anggaran sebesar Rp5,78 triliun. Anggaran yang sudah dialokasikan dalam Pagu Anggaran Kemenpera Tahun 2013 adalah sebesar Rp2,27 triliun dengan sasaran sebanyak 250.000 unit. Oleh karena itu, masih terdapat kekurangan sebesar 250.000 unit dengan kebutuhan anggaran sebesar Rp3,51 triliun. Sehubungan dengan hal tersebut, Kemenpera telah mengusulkan tambahan anggaran 2013 melalui mekanisme Inisiatif Baru.

-L.30-

 

2. Program Rumah Murah

Merupakan Pembangunan Rumah Tapak Murah yang didukung Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) dan PSU Kawasan Perumahan dan Permukiman. Sasaran yang telah ditetapkan oleh Pemerintah pada tahun 2013 adalah sebanyak 250.000 unit yang diperuntukkan bagi PNS sebanyak 150.000 unit dan buruh atau pekerja sebanyak 100.000 unit. Kebutuhan anggaran untuk dapat memenuhi sasaran tersebut adalah total sebesar Rp7,50 triliun, yang terdiri dari alokasi anggaran untuk FLPP (BA 999) sebesar Rp5,94 triliun dan PSU Kawasan Perumahan dan Permukiman (BA 091) sebesar Rp1,56 triliun. Namun demikian, anggaran tersebut masih belum dapat dialokasikan. Hal ini disebabkan masih banyaknya kendala yang ditemui di lapangan dalam pelaksanaan kegiatan ini, salah satunya adalah kepastian penyediaan lahan serta perijinan untuk pembangunan rumah murah yang merupakan tanggung jawab Pemerintah Daerah. Untuk itu, Pemerintah terus meningkatkan koordinasi dengan Pemerintah Daerah dalam rangka penyiapan lahan dan perijinan untuk pembangunan rumah murah tersebut. Kebutuhan tambahan anggaran 2013 untuk pembangunan rumah murah juga telah diusulkan melalui mekanisme Inisiatif Baru diatas

Kemudian terkait dengan program kendaraan angkutan umum murah merupakan program klaster 4 sebagaimana Keputusan Presiden No.10 Tahun 2011 tentang Tim Koordinasi Peningkatan dan Perluasan Program Pro-Rakyat diantaranya dengan penyediaan kendaraan yang dihasilkan oleh produsen lokal (nasional) dan kendaraan ini diharapkan dapat meningkatkan kegiatan ekonomi di pedesaan, sektor pertanian, dan UKM. Untuk itu, dalam pembuatan kendaraan angkutan umum murah ini diarahkan untuk angkutan barang (pick up) dengan kriteria: daya mesin dibawah 700 cc, konsumsi bahan bakar 22 km/liter, bahan bakar “dual fuel” BBM dan BBG (Liquid Gas for Vehicle), harga Rp 50-55 juta, kandungan lokal 60 persen yang secara bertahap akan semakin meningkat , dan menggunakan merek Indonesia.

Program kendaraan angkutan umum murah telah mulai diinisiasi pada tahun 2011 dengan menyiapkan 4 prototipe yaitu PT INKA (BUMN) dengan merek GEA, PT Super Gasindo Jaya (swasta) dengan merek TAWON, PT Triangle Motor (swasta) dengan merek VIAR dan PT FIN Komodo (swasta) dengan merek Komodo (off road). Pada tahun 2012 dilanjutkan dengan program pengujian dan penyempurnaan desain prototipe diatas bekerjasama dengan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT). Selanjutnya pada tahun 2013 sudah mulai dilakukan produksi percobaan, untuk itu Kementerian Perindustrian akan membantu fasilitas produksi. Selanjutnya produk percobaan tersebut akan diujicoba lapangan dan mulai diperkenalkan ke publik melalui sosialisasi dan publikasi di Pemda-Pemda yang dianggap potensial dapat menggunakan kendaraan angkutan umum murah ini diantaranya Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Sulawesi Selatan. Sambil tetap mencoba memperkenalkan kepada instansi pemerintah lainnya baik di pusat maupun di

-L.31-

 

daerah. Dengan demikian, anggaran tahun 2013 akan digunakan mendukung fasilitas produksi, sosialisasi dan publikasi, serta melakukan pembelian terhadap produk kendaraan angkutan umum murah sehingga kebutuhan anggaran tahun 2013 sekitar Rp50 miliar.

Pemerintah sependapat dengan pandangan Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan untuk memperhatikan anggaran pengentasan kemiskinan dan anggaran pembangunan dalam rangka mendorong percepatan pertumbuhan ekonomi yang berkualitas, inklusif, serta adil dan merata. Berkaitan dengan itu, Pemerintah sangat serius dan secara berkesinambungan berupaya untuk meningkatkan alokasi anggaran pengentasan kemiskinan guna mendorong pengembangan ekonomi, yang pada gilirannya diharapkan dapat mengangkat perekonomian rakyat ke tingkat yang lebih baik. Di samping itu, Pemerintah juga terus melaksanakan kebijakan yang pro rakyat, antara lain, dengan: (1) mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkualitas dan pro rakyat miskin, dengan memberi perhatian khusus pada usaha-usaha yang melibatkan kelompok miskin; (2) meningkatkan dan memperluas kebijakan afirmatif/keberpihakan untuk menanggulangi kemiskinan melalui perluasan tiga klaster program pro rakyat, yang dituangkan dalam pelaksanaan program klaster 4; dan (3) meningkatkan efektivitas pelaksanaan penurunan kemiskinan di daerah, termasuk percepatan pembangunan daerah terpencil dan perdesaan. Dalam rangka pelaksanaan berbagai kebijakan tersebut, upaya penanggulangan kemiskinan lebih difokuskan pada lima hal, yaitu (1) penyempurnaan kualitas kebijakan perlindungan sosial berbasis keluarga; (2) peningkatan efektivitas pelaksanaan PNPM Mandiri; (3) peningkatan akses usaha mikro dan kecil kepada sumber daya produktif; (4) perluasan program-program pro rakyat; dan (5) peningkatan koordinasi penanggulangan kemiskinan serta harmonisasi antarpelaku.

Pemerintah sependapat dengan pandangan Fraksi Partai Persatuan Pembangunan dan Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa, mengenai perlunya mengoptimalkan pengelolaan anggaran agar dapat memicu percepatan roda pembangunan. Berkaitan dengan itu dapat disampaikan bahwa, Pemerintah telah dan akan senantiasa melakukan perbaikan sistem alokasi dan pelaksanaan anggaran. Langkah yang ditempuh Pemerintah adalah kebijakan pembaharuan (reformasi) di bidang fiskal terkait dengan penyusunan dan pelaksanaan anggaran belanja Pemerintah Pusat. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara mengamanatkan pelaksanaan pembaharuan sistem penganggaran belanja negara, yaitu meliputi penerapan: (1) penganggaran terpadu (unified budget); (2) penganggaran berbasis kinerja (performance based budgeting); dan (3) kerangka pengeluaran jangka menengah.

Dalam rangka penerapan reformasi penyusunan dan pelaksanaan anggaran belanja, Pemerintah telah melaksanakan reformasi perencanaan dan penganggaran yang dilaksanakan dalam tiga tahapan yaitu: (1) tahapan pengenalan (2005-2009); (2) tahapan pemantapan (2010-2014); dan (3) tahapan penyempurnaan (tahun 2015 dan setelahnya). Selanjutnya, untuk lebih memantapkan penerapan reformasi

-L.32-

 

penganggaran tersebut, dalam penyusunan RAPBN 2013, pemerintah telah melakukan penyempurnaan metode penghitungan (costing methodology) dan menerapkan metode penghematan (efficiency dividend) untuk menjadikan anggaran tahun 2013 lebih efisien.

Selain itu, Pemerintah juga terus berupaya untuk meningkatkan kualitas belanja (quality of spending) dengan terus melakukan penyempurnaan penerapan penganggaran berbasis kinerja (performance based budgeting/PBB). Dalam tahun 2013, penerapan PBB difokuskan pada penataan output dan penegasan peran standar biaya keluaran (SBK) dalam proses perencanaan-penganggaran. Penataan output dimaksudkan agar capaian kinerja lebih terarah sesuai dengan indikator kinerja yang telah ditetapkan. Sedangkan SBK, yang merupakan besaran biaya yang dibutuhkan untuk menghasilkan keluaran kegiatan, mempunyai peran mengefisiensikan alokasi anggaran pada tahap perencanaan. Dengan demikian, diharapkan sasaran-sasaran yang telah ditetapkan dapat dicapai dengan memperhatikan penggunaan anggaran yang optimal.

Selanjutnya, Pemerintah menyadari bahwa penyerapan anggaran belanja K/L masih cukup lambat, hal ini antara lain dipengaruhi: (1) lambatnya pengadaan tanah terutama disebabkan sulitnya mencari tanah yang sesuai dengan spesifikasi tanah yang diperlukan; (2) masih banyak pihak ketiga yang belum melakukan penagihan walaupun secara fisik telah dilaksanakan; (3) belum optimalnya perencanaan pada K/L sehingga masih tingginya frekuensi revisi DIPA; dan (4) faktor geografis serta keterbatasan kapasitas pihak ketiga di daerah.

Sejalan dengan itu, Pemerintah telah melakukan upaya terobosan untuk percepatan peningkatan penyerapan anggaran dengan langkah-langkah antara lain: (1) penyempurnaan mekanisme pengadaan barang dan jasa; (2) penyempurnaan mekanisme pelaksanaan anggaran; (3) penyederhanaan prosedur revisi anggaran; (4) percepatan penagihan kegiatan proyek oleh pihak kontraktor; (5) penyederhanaan format DIPA untuk meningkatkan fleksibilitas bagi K/L dalam pelaksanaan anggaran; (6) integrasi database RKA-KL dan DIPA sehingga mempercepat penerbitan DIPA. Selain hal tersebut, Pemerintah juga mulai melaksanakan program percepatan dan penyerapan anggaran melalui pembentukan Tim Evaluasi dan Pengawasan Penyerapan Anggaran (TEPPA) di masing-masing kementerian negara/lembaga.

Pemerintah mengucapkan terima kasih atas dukungan Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa atas penerapan sistem reward and punishment dalam upaya untuk mewujudkan pengelolaan keuangan negara yang efektif. Pada tahun 2013, Pemerintah akan melanjutkan dan menyempurnakan penerapan kebijakan reward and punishment atas pelaksanaan anggaran untuk meningkatkan kualitas perencanaan dan pelaksanaan belanja Pemerintah Pusat yang mulai diimplementasikan sejak tahun 2009. Pada prinsipnya, dalam sistem reward and punishment, K/L yang berhasil melakukan optimalisasi penggunaan anggaran, atau dapat mencapai sasaran/target dengan biaya yang lebih rendah pada tahun sebelumnya, akan diberi tambahan pagu belanja pada tahun berikutnya (reward).

-L.33-

 

Sementara itu, bagi K/L yang pada tahun sebelumnya tidak bisa menyerap anggaran dan mencapai sasaran/target dengan alasan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan, maka pada tahun berikutnya anggaran K/L yang bersangkutan akan dikurangi (punishment).

Pemerintah sependapat dengan Fraksi Partai Demokrat mengenai perlunya mengoptimalkan realisasi penyerapan anggaran dan mendorong pengelolaan anggaran yang efektif dan efisien, serta memberikan nilai tambah bagi kesejahteraan rakyat, yaitu:

Pemerintah telah mengambil langkah-langkah strategis untuk mengoptimalkan tingkat realisasi penyerapan anggaran pada Kementerian Negara/Lembaga, dengan pendekatan fleksibilitas dalam pelaksanaan anggaran dan mengurangi jalur birokrasi. Langkah-langkah yang telah dilaksanakan tersebut di antaranya:

a. Pembentukan Tim Evaluasi dan Pengawasan Penyerapan Anggaran (TEPPA) yang terdiri dari unsur Unit kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4), Kementerian Keuangan, dan Badan Permeriksaan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), yang bertugas untuk melakukan monitoring dan evaluasi serta pengawasan atas penyerapan anggaran pada Kementerian Negara/Lembaga dan Daerah.

b. Melaksanakan rapat koordinasi triwulanan antara Kementerian Keuangan dan Kementerian Negara/Lembaga yang bertujuan untuk melakukan evaluasi atas penyerapan anggaran dan memberikan solusi atas hambatan-hambatan yang ada dalam penyerapan anggaran.

c. Memberikan akses data realisasi anggaran kepada Kementerian Negara/Lembaga sehingga dapat dipergunakan oleh Kementerian Negara/Lembaga untuk melakukan monitoring dan evaluasi terhadap penyerapan anggarannya

d. Penyempurnaan peraturan terkait pengadaan barang/jasa pemerintah, dengan diterbitkannya Peraturan Presiden Nomor 70 Tahun 2012 tentang perubahan kedua atas Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2012 tentang pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.

e. Mengupayakan percepatan implementasi undang-undang nomor 2 Tahun 2012 tentang pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum.

f. Mensosialisasikan kepada Kementerian Negara/Lembaga untuk menyusun rencana penyerapan anggaran (disbursement plan) yang sistematis.

g. Sosialisasi secara intensif kepada pihak ketiga/pengusaha/asosiasi terkait persyaratan pengajuan tagihan kepada pemerintah.

h. Meningkatkan kompetensi SDM di bidang pengelolaan perbendaharaan.

i. Mempercepat proses pembayaran terhadap pekerjaan yang telah selesai/termin yang telah terpenuhi dengan mengimplementasikan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 170/PMK.05/2010 tentang Penyelesaian Tagihan atas Beban APBN pada Satuan Kerja.

-L.34-

 

Selanjutnya, terkait upaya-upaya untuk optimalisasi realisasi penyerapan anggaran, pemerintah akan menempuh upaya-upaya berupa:

a. Koordinasi antara kementerian negara/lembaga teknis dengan pemerintah daerah terkait dengan pengelolaan APBN yang di daerahkan.

b. Meningkatkan kualitas perencanaan kegiatan dan penganggarannya, baik yang dilakukan oleh K/L maupun pemda sehingga dapat menghindari revisi anggaran/kegiatan yang dalam prakteknya membutuhkan waktu yang tentu saja dapat mempengaruhi realisasi penyerapan anggaran.

c. Implementasi sistem pengendalian, indentifikasi dan penilaian risiko atas setiap kegiatan sehingga risiko yang timbul dapat dihindari atau diminimalisasikan.

Sementara itu, terkait dengan upaya mendorong pengelolaan anggaran yang efektif dan efisien serta memberikan nilai tambah bagi kesejahteraan rakyat, dapat kami sampaikan bahwa pemerintah mengoptimalkan peran aparat pengawasan dalam proses pengelolaan anggaran, dimulai dari proses perencanaan kegiatan dan anggarannya, pelaksanaan kegiatan/anggaran, pelaporan dan pertanggungjawaban kegiatan/anggaran. Selain itu upaya konkrit yang dilakukan adalah aparat pengawasan yang fungsinya sebagai konsultan diupayakan ikut mendampingi dalam proses penyusunan anggaran, berupaya meningkatkan kemampuan sumber daya manusia yang melakukan pengelolaan keuangan Negara, mendorong K/L/ pemda untuk segera menerapkan Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP) sesuai PP Nomor 60 Tahun 2008 tentang SPIP, dan melakukan reviu/evaluasi terhadap pengelolaan keuangan Negara.

Pemerintah sependapat dengan Fraksi Partai Gerakan Indonesia Raya mengenai Potensi kebocoran anggaran pada 2013 akan terjadi di hampir di seluruh sektor terutama dana bantuan sosial, proyek infrastruktur dan subsidi pemerintah. Oleh karena itu aparatus negara agar menggunakan APBN 2013 secara transparan. Dapat disampaikan bahwa Pemerintah telah menerbitkan PMK Nomor 81 Tahun 2012 tentang Belanja Bantuan Sosial pada Kementerian Negara/Lembaga yang bertujuan agar pengalokasian dan pengelolaan dana bantuan sosial dapat dilaksanakan secara tertib, efisien, ekonomis, efektif, transparan, akuntabel, dan bertanggung jawab. Secara garis besar PMK tersebut antara lain mengamanatkan tentang hal-hal sebagai berikut: (1) pengalokasian anggaran belanja bantuan sosial dengan memperhatikan tujuan penggunaan, pemberi bantuan, penerima bantuan, dan bentuk bantuan yang disalurkan kepada masyarakat; (2) kewenangan dalam pengelolaan belanja bantuan sosial; (3) tata cara pencairan dan penyaluran bantuan sosial; serta mengenai (4) pengawasan dan pertanggungjawaban belanja bantuan sosial.

Selanjutnya, terkait dengan alokasi anggaran bantuan sosial sebesar Rp59 triliun dalam RAPBN 2013, yang berarti bertambah sebesar Rp4 triliun dari tahun sebelumnya, dapat kami sampaikan bahwa peningkatan alokasi anggaran bantuan sosial dalam tahun 2013 terutama berkaitan dengan bertambahnya cakupan penerima bantuan sosial dan meningkatnya nilai bantuan sosial yang diberikan

-L.35-

 

kepada masyarakat miskin. Hal tersebut ditempuh dalam rangka meningkatkan kemampuan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat miskin yang dibarengi dengan peningkatan kualitas pengelolaan keuangan yang akuntabel dan transparan serta penyaluran yang semakin tepat sasaran. Peningkatan alokasi bantuan sosial tersebut antara lain untuk: (1) perluasan program wajib belajar 12 tahun melalui program rintisan BOS menengah/pendidikan menengah universal yang diperuntukkan bagi 9,6 juta siswa dalam rangka perluasan dan pemerataan akses pendidikan menengah/sederajat yang berkualitas; (2) peningkatan sasaran program Jamkesmas dan Jampersal yang ditujukan bagi 86,4 juta jiwa dari 76,4 juta jiwa pada tahun 2012; (3) peningkatan sasaran program PKH bagi 2,4 juta RTSM dari 1,5 juta RTSM pada tahun 2012 dalam rangka mempercepat pencapaian target MDG’s; serta (4) meningkatkan harmonisasi program-program penanggulangan kemiskinan berbasis pemberdayaan masyarakat dalam kerangka PNPM Mandiri dalam rangka mengentaskan kemiskinan masyarakat.

Terkait infrastruktur dengan meningkatnya alokasi anggaran untuk pembangunan infrastruktur, pemerintah akan lebih akuntabel dan prudent dalam pelaksanaan pembangunan infrastruktur tersebut. Peningkatan dukungan untuk pembangunan infrastruktur lebih difokuskan untuk meningkatkan daya saing dunia usaha dan meningkatkan investasi. Disamping itu konsep Pembangunan infrastruktur merupakan strategi pembangunan jangka menegah dan jangka panjang yang dampaknya baru akan dirasakan pada jangka panjang juga, sehingga menurut hemat kami untuk melihat efektifitas belanja infrastruktur memerlukan kajian secara komprehensif dalam prespektif jangka panjang. Namun demikian kami sependapat dengan pandangan anggota dewan perlunya meningkatkan efektifitas belanja infrastruktur serta pengelolaan pembangunan infrstruktur dengan lebih transparan agar lebih meningkatkan multiplier efek yang kuat bagi perekonomian yaitu percepatan pertumbuhan dan pengurangan pengangguran.

Terkait dengan subsidi, Pemerintah terus melakukan langkah perbaikan kebijakan subsidi, mulai dari mengarahkan alokasi subsidi menjadi lebih tepat sasaran, tepat manfaat, dan berkeadilan, serta menjaga ketahanan energi nasional untuk generasi mendatang, hingga melakukan program diversifikasi energi. Kebijakan yang diambil Pemerintah untuk mendukung langkah tersebut antara lain: (1) menyusun sistem seleksi yang ketat dan memperbaiki pola mekanisme yang tepat untuk menentukan sasaran penerima subsidi dengan menggunakan basis data yang valid; (2) mengalokasikan anggaran subsidi yang lebih efisien sesuai dengan target penerima; (3) meningkatkan efisiensi alokasi subsidi BBM; (4) mengendalikan konsumsi BBM bersubsidi melalui pengaturan, pengawasan, dan manajemen distribusi; (5) peningkatan program diversifikasi BBM ke energi alternatif; (6) menurunkan pemakaian BBM pada pembangkit listrik dengan meningkatkan jumlah dan efisiensi penggunaan batubara, gas, panas bumi, air dan biodiesel termasuk energi tata surya; dan (8) mendukung program ketahanan pangan; serta (9) menyalurkan subsidi pupuk dengan skema rencana definitif kebutuhan kelompok (RDKK). Selain itu, pemberian subsidi harus disesuaikan dengan kemampuan

-L.36-

 

keuangan negara dan tetap mempertimbangkan skala prioritas pemberian jenis subsidi.

Menanggapi pandangan Fraksi Partai Keadilan Sejahtera mengenai program PNPM Mandiri, dapat kami sampaikan hal-hal sebagai berikut. Penetapan lokasi sasaran PNPM Mandiri (PNPM yang bersifat inti maupun pendukung) pada desa/kelurahan miskin tertinggal diseluruh Indonesia, dilakukan melalui koordinasi antar K/L pelaksana PNPM Mandiri, sehingga diharapkan dalam penetapan lokasi sasaran akan lebih terintegrasi dan meminimalisir adanya duplikasi antar program satu dengan program lainnya. Pelaksanaan PNPM Mandiri yang berbasis pemberdayaan masyarakat bersifat terbuka dan mengutamakan kemandirian masyarakat dalam perencanaan maupun pelaksanaannya, sehingga masyarakat desa/kelurahan setempat dapat lebih fleksibel dalam menyesuaikan pelaksanaan kegiatan dengan musim panen di siklus tahun anggaran berjalan. Dengan demikian, kegiatan di PNPM Mandiri yang menonjol adalah untuk penyediaan infrastruktur, seperti pembangunan jalan, irigasi, drainase, serta bidang pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Selain hal tersebut, kegiatan PNPM Mandiri juga diharapkan dapat berkontribusi pada peningkatan pendapatan masyarakat setempat ketika musim tidak panen. Lebih lanjut, pengintegrasian PNPM Mandiri dengan program cash for work di beberapa lokasi telah dilaksanakan, khususnya di lokasi pasca bencana, sehingga Pemerintah sependapat perlunya perluasan pengintegrasian apabila berdasarkan hasil evaluasi yang intensif hal tersebut merupakan sarana yang efektif dalam pengentasan kemiskinan.

Sementara itu, salah satu program PNPM Mandiri inti yakni PNPM Mandiri Perdesaan telah menyerap banyak tenaga fasilitator dan konsultan mulai dari level D3 sampai dengan S2. Pada tahun 2012 terdapat 1.622 orang yang bekerja baik sebagai fasilitator di kecamatan dan kabupaten, maupun konsultan di provinsi dan pusat dan sampai saat ini masih kekurangan fasilitator sebanyak 2.014 orang. Hal ini menunjukkan bahwa kebutuhan tenaga kerja untuk pelaksanaan PNPM Mandiri Perdesaan masih sangat dibutuhkan. Sedangkan untuk pekerja setengah menganggur yang tidak tertampung sebagai tenaga fasilitator dialihkan menjadi tenaga pendamping lokal yang bertugas di setiap kecamatan. Pada tahun 2012 terdapat 5.100 orang pendamping lokal yang mendapat insentif dan tunjangan untuk melakukan tugas yang telah ditetapkan. Disamping itu, PNPM Mandiri Perdesaan telah memberikan ruang pekerjaan bagi masyarakat khususnya pengurus unit pelaksana kegiatan (UPK). Saat ini terdapat 15.300 orang pengelola UPK yang bertugas mengelola dana bergulir dalam suatu kecamatan dengan berbagai variasi tingkat pendidikan.

Selanjutnya, dalam PNPM Perdesaan proses seleksi dilakukan secara ketat, mulai dari seleksi pasif (administrasi), seleksi aktif (test tertulis, diskusi kelompok, dan wawancara), dan yang terakhir adalah pelatihan pra-tugas. Dalam pelaksanaan seleksi juga melibatkan Satker Provinsi sebagai pengelola dana dekonsentrasi dengan dibantu konsultan dari provinsi. Selain itu juga telah disusun SOP rekruitmen dan mendapat pemantauan dari pihak donor. Jika terjadi distorsi di

-L.37-

 

lapangan maka dilakukan audit oleh BPKP untuk mencari kebenaran informasi yang masuk ke pusat. Pengawasan juga dilakukan oleh Satker Pemberdayaan Masyarakat Desa (PMD) Kemendagri maupun jalur fungsional konsultan yang ada di PNPM Perdesan, dan jika terjadi penurunan kinerja fasilitator juga sudah dipersiapkan beberapa langkah antisipasi mulai dari evaluasi kinerja fasilitator sampai dengan upaya meningkatkan kapasitas para fasilitator. PNPM Perdesaan juga telah menerapkan sistem hari orang kerja (HOK) dalam kegiatan pembangunan fisik. Pemberian HOK tersebut ada yang dilaksanakan harian maupun borongan. Fokus pemberian HOK diberikan kepada rumah tangga miskin, yang disesuaikan dengan jenis kegiatan yang dilaksanakan di desa penerima bantuan langsung masyarakat (BLM).

Terhadap pandangan Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan mengenai besarnya alokasi anggaran belanja pegawai, dapat disampaikan penjelasan sebagai berikut. Belanja pegawai merupakan jenis belanja mengikat (nondiscretionary spending), yang wajib disediakan anggarannya oleh pemerintah sebagai tanggung jawab pemberi kerja. Belanja pegawai sebesar Rp241,1 triliun tersebut terutama digunakan untuk belanja gaji dan tunjangan (67,9 persen), serta kontribusi sosial bagi PNS dan pensiunan (32,1 persen). Oleh karena itu, belanja pegawai merupakan belanja yang bersifat strategis guna menunjang kelangsungan kegiatan pemerintahan, dan menjamin kelangsungan pelayanan publik bagi masyarakat.

Sementara itu, peningkatan belanja pegawai dalam RAPBN 2013 utamanya disebabkan adanya upaya pemerintah untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik melalui reformasi birokrasi dan tata kelola pemerintahan. Salah satu fokus utama pelaksanaannya adalah melalui peningkatan profesionalisme aparatur negara dan tata pemerintahan yang penuh integritas, akuntabel, taat kepada hukum, dan transparan, baik di pemerintah pusat maupun di pemerintah daerah, agar mampu mendukung keberhasilan pembangunan di bidang-bidang lainnya. Namun demikian, Pemerintah sependapat dengan Dewan bahwa sebagaimana jenis belanja yang lainnya, anggaran belanja pegawai harus optimal dan efisien.

Untuk itu, dalam rangka mengoptimalkan kinerja sumber daya manusia, serta efisiensi anggaran belanja pegawai, pemerintah telah melaksanakan kebijakan moratorium atau penundaan sementara penetapan tambahan formasi untuk penerimaan CPNS. Pemerintah juga sedang melakukan penataan kembali jumlah kebutuhan PNS yang tepat (rightsizing) berdasarkan analisis jabatan dan beban kerja. Selain itu, dapat kami sampaikan pula bahwa meningkatnya alokasi belanja pegawai dalam RAPBN 2013 juga disebabkan rencana kenaikan gaji pokok PNS/TNI/Polri dan pensiun pokok sebesar rata-rata tujuh persen.

Selanjutnya, Pemerintah sependapat dengan pandangan Fraksi Partai Keadilan Sejahtera mengenai perlunya evaluasi pelaksanaan kebijakan remunerasi, sehingga dapat lebih meningkatkan kualitas kinerja birokrasi dan pelayanan publik yang lebih baik. Sejalan dengan itu, Pemerintah melalui Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi telah melakukan penilaian, monitoring, dan

-L.38-

 

evaluasi pelaksanaan reformasi birokrasi terhadap seluruh kementerian dan lembaga serta pemerintah daerah yang dilakukan secara periodik dan melembaga. Dalam perkembangannya, untuk memenuhi kebutuhan atas sistem penilaian, monitoring, dan evaluasi yang solid dan objektif serta bersifat self assessment dan online, saat ini Pemerintah telah menerapkan sistem Penetapan Penilaian Mandiri Pelaksanaan Reformasi Birokrasi (PMPRB) sebagai one single tool. Sistem tersebut diharapkan akan memudahkan tim reformasi birokasi dalam pelaksanaan reformasi birokrasi di instansi masing-masing, mulai dari pengumpulan data, penilaian, monitoring, dan evaluasi secara langsung (online) dan cost efficient. Di samping itu, dalam rangka evaluasi dan penataan ulang PNS pada lembaga pemerintah baik pusat maupun daerah, saat ini Pemerintah telah membentuk tim evaluasi yang terdiri dari unsur pemerintah, perguruan tinggi, dan para pakar. Dalam evaluasi tersebut dilakukan pemetaan terhadap fungsi-fungsi lembaga yang ada.

Sementara itu, terkait dengan saran Fraksi Partai Keadilan Sejahtera agar diterapkan reward and punishment yang tegas dan mempermudah penerapan peraturan disiplin PNS, dapat disampaikan bahwa sejak tahun 2010 Pemerintah telah menetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin PNS. Peraturan tersebut merupakan komitmen Pemerintah untuk mewujudkan PNS yang handal, professional, dan bermoral sebagai penyelenggara pemerintahan yang menerapkan prinsip kepemerintahan yang baik (good governance). Dalam peraturan pemerintah tersebut secara tegas disebutkan jenis hukuman yang dapat dijatuhkan terhadap suatu pelanggaran disiplin. Hal ini dimaksudkan sebagai pedoman bagi pejabat yang berwenang menghukum serta memberikan kepastian dalam menjatuhkan hukuman disiplin, baik berupa jenis hukuman disiplin ringan, sedang, atau berat, sesuai dengan tingkat pelanggaran yang dilakukan. Peraturan ini diharapkan dapat menjamin terpeliharanya tata tertib dan kelancaran pelaksanaan tugas, serta dapat mendorong PNS untuk lebih produktif berdasarkan sistem karier dan sistem prestasi kerja.

Selanjutnya, terhadap himbauan fraksi Partai Keadilan Sejahtera dan Fraksi Partai Golongan Karya mengenai koordinasi antarinstansi pemerintah dalam recruitment, serta penataan jumlah dan distribusi PNS baik pusat maupun daerah, dapat disampaikan bahwa sebagai bentuk koordinasi yang baik antar instansi, Pemerintah telah menerbitkan Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Keuangan, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Men-PAN&RB) tentang moratorium penerimaan PNS. Dengan moratorium tersebut, Pemerintah sedang melakukan penataan kembali jumlah kebutuhan Pegawai Negeri Sipil yang tepat berdasarkan analisis jabatan dan beban kerja. Sejalan dengan itu, Pemerintah akan melakukan recruitment pegawai secara selektif mengacu pada prinsip zero growth dan berbasis kompetensi. Kemudian, kepada seluruh kementerian negara/lembaga dan pemerintah daerah diwajibkan untuk menghitung terlebih dahulu kebutuhan riil PNS sebelum mereka diizinkan kembali menerima CPNS.

-L.39-

 

Di samping itu, melalui rancangan revisi UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, Pemerintah juga akan melakukan capping belanja pegawai daerah. Dalam revisi UU Nomor 33 Tahun 2004 tersebut, Pemerintah mengusulkan untuk melakukan kontrol terhadap belanja daerah guna meningkatkan kualitas belanjanya, antara lain melalui: penetapan “batas atas” porsi belanja pegawai dalam APBD; sertifikasi jabatan tertentu dalam pengelolaan keuangan daerah, kontrol terhadap dana idle daerah, dan surveillance atas kinerja keuangan daerah.

Dengan adanya program moratorium dan capping tersebut diharapkan belanja negara, terutama belanja pegawai, baik di pemerintah pusat maupun pemerintah daerah akan lebih efektif dan efisien.

Pemerintah sependapat dengan Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa mengenai perlunya kenaikan gaji pokok dan pemberian gaji bulan ke-13 bagi PNS/TNI/Polri diikuti dengan peningkatan kualitas pelayanan publik, kinerja yang profesional dan disiplin yang tinggi. Selanjutnya dapat kami sampaikan bahwa dalam tahun 2013 kebijakan kenaikan gaji pokok merupakan salah satu upaya untuk mendorong dan memberikan motivasi agar PNS/TNI/Polri bekerja secara lebih produktif, profesional, dan menjaga integritasnya, yang pada akhirnya memiliki kinerja yang baik, khususnya dalam memberikan pelayanan publik. Hal ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pada upaya memantapkan tata kelola pemerintahan ke arah yang lebih baik, yang akan berdampak pada sehatnya iklim investasi dan dunia usaha, sebagai unsur pokok dalam menciptakan lapangan usaha. Selain itu, Pemerintah juga menempuh kebijakan pemberian gaji bulan ketigabelas, yang diarahkan untuk membantu pegawai dalam memenuhi biaya pendidikan bagi anak dan keluarganya, yang berarti bagian dari investasi di bidang SDM.

Kebijakan kenaikan gaji PNS/TNI/Polri, dan pemberian gaji bulan ketigabelas tersebut merupakan bagian dari proses reformasi birokrasi yang telah dan sedang dilaksanakan oleh Pemerintah untuk mewujudkan aparatur negara yang netral, profesional, berdaya guna, produktif, transparan, bersih dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), dalam rangka memberikan pelayanan prima kepada masyarakat. Reformasi birokrasi merupakan program pemerintah yang harus dilakukan oleh seluruh Kementerian negara/Lembaga. Dalam reformasi birokrasi dikenal prinsip equal pay for equal work yang akan mendorong seluruh pegawai untuk memberikan kinerjanya sebaik mungkin. Reformasi birokrasi itu sendiri antara lain meliputi penataan kelembagaan/organisasi, efisiensi ketatalaksanaan, peningkatan akuntabilitas aparatur, peningkatan system pengawasan, dan peningkatan kualitas pelayanan publik, serta penataan kepegawaian/SDM aparatur.

Selanjutnya, terhadap usulan Fraksi Partai Keadilan Sejahtera agar Pemerintah melakukan terobosan dalam rangka efesiensi kegiatan operasional belanja barang dapat kami sampaikan bahwa secara umum alokasi belanja barang dalam RAPBN tahun 2013 difokuskan untuk mendorong efisiensi kegiatan operasional dan non prioritas serta peningkatan kualitas pelayanan public melalui kebijakan antara lain:

-L.40-

 

1. menjaga kelancaran penyelenggaraan operasional pemerintahan dalam rangka peningkatan kualitas pelayanan kepada masyarakat;

2. meningkatkan efisiensi dan efektivitas belanja barang melalui: (a) pelaksanaan kebijakan flat policy belanja barang operasional perkantoran, (b) efisiensi belanja perjalanan dinas, seminar, dan konsinyering, (c) menjaga besaran alokasi sesuai kebutuhan dengan mempertimbangkan output dan kemampuan penyerapan anggaran melalui implementasi reward dan punishment secara konsisten untuk meningkatkan penyerapan anggaran; dan

3. menjaga terpeliharanya aset negara melalui dukungan pemeliharaan rutin jalan/jembatan/aset infrastruktur lainnya, dan peningkatan capacity building dalam rangka mendukung program-program pembangunan nasional.

Oleh karena itu, Pemerintah akan melakukan langkah-langkah konkrit, yaitu dengan menerapkan kebijakan yang membatasi kegiatan yang tidak urgen dan tidak prioritas dengan mengeluarkan berbagai peraturan, yang pada gilirannya dapat meningkatkan kualitas belanja dan mengamankan APBN. Kebijakan tersebut berbentuk peraturan-peraturan teknis antara lain:

1. membatasi perjalanan dinas, kecuali perjalanan dinas yang benar-benar penting dan mendesak melalui upaya untuk lebih selektif, efisien serta memperhatikan azas manfaat. Disamping itu biaya perjalanan dinas ditetapkan secara at cost dan sesuai dengan bukti-bukti fisik perjalanan dinas.

2. membatasi penyelenggaraan rapat, rapat kerja, seminar, workshop, dan konsinyering di luar kantor;

3. membatasi belanja operasional, kecuali untuk operasional pertahanan dan ketertiban;

4. membatasi pembangunan gedung baru yang sifatnya tidak langsung menunjang tugas fungsi (tusi) antara lain seperti mess, wisma, rumah dinas, rumah jabatan, dan gedung pertemuan;

5. membatasi pengadaan kendaraan bermotor, kecuali kendaraan fungsional seperti ambulan, kendaraan tahanan, roda dua untuk penyuluh, penggantian kendaraan yang rusak berat;

6. membatasi pengeluaran lain-lain yang sejenis atau serupa tersebut di atas; dan

7. penghematan lainnya yang terkait dengan belanja nonoperasional.

Pemerintah sependapat dengan pandangan Fraksi Partai Keadilan Sejahtera bahwa perlu adanya kebijakan terintegrasi antar semua stakeholder yang mengelola TKI termasuk alokasi anggaran yang memadai, serta perlunya kejelasan dan outcome atas setiap penggunaan dana bagi perlindungan TKI. Hal tersebut mengacu pada Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri sebagai dasar hukumnya. Kesungguhan Pemerintah dalam melaksanakan kebijakan penempatan dan perlindungan TKI di luar negeri dimaksud tercermin dari dituangkannya sebagai

-L.41-

 

salah satu prioritas nasional, dan dalam pelaksanaannya dipantau secara langsung oleh Presiden RI melalui UKP4, sebagaimana tertuang dalam Inpres Percepatan Pelaksanaan Pembangunan. Dalam Inpres tersebut terlihat dengan jelas rencana aksi yang menjadi tanggung jawab setiap lembaga pemerintah, kriteria dan ukuran keberhasilan, serta outcome yang harus tercapai pada setiap tahapan waktunya.

Lebih lanjut, dalam rangka mewujudkan TKI yang berkualitas, bermartabat, dan kompetitif, Pemerintah membentuk Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI). Misi BNP2TKI adalah (1) menciptakan kesempatan kerja di luar negeri seluas-luasnya; (2) meningkatkan keterampilan/ kualitas dan pelayanan penempatan TKI; (3) meningkatkan pengamanan, perlindungan dan pemberdayaan TKI; (4) meningkatkan kapasitas lembaga penempatan dan perlindungan TKI; dan (5) meningkatkan kapasitas lembaga pendukung sarana prasarana lembaga pendidikan dan kesehatan. Guna mendukung dan mewujudkan visi dan misi tersebut, BNP2TKI pada RAPBN 2013 mendapatkan alokasi anggaran sebesar Rp392,7 miliar. Alokasi anggaran tersebut naik sebesar Rp126,9 miliar (47,7 persen) bila dibandingkan dengan pagu alokasi dalam APBN-P 2012. Alokasi anggaran BNP2TKI tahun 2013 akan digunakan untuk melaksanakan program, yaitu (1) dukungan manajemen dan pelaksanaan tugas teknis lainnya; dan (2) peningkatan fasilitasi penempatan dan perlindungan TKI. Sementara itu, untuk meningkatkan kualitas TKI dilakukan peningkatan kemampuan TKI melalui berbagai Balai Latihan Kerja (BLK).

Selanjutnya, program tersebut diharapkan akan menghasilkan outcome: (1) terlaksananya penyiapan penguatan kelembagaan yang mendukung pelayanan penempatan dan perlindungan TKI; (2) tersedianya peluang kerja jabatan formal di negara-negara penempatan TKI; (3) meningkatnya kualitas dan kuantitas penempatan pekerja migran; dan (4) meningkatnya kualitas perlindungan pekerja migran.

Selain itu, terkait kegiatan pembinaan dan perlindungan TKI luar negeri dalam RAPBN 2013, Pemerintah juga mengalokasikan anggaran sebesar Rp57,0 miliar pada Ditjen Pembinaan dan Penempatan Tenaga Kerja (Binapenta), Kemenakertrans, yang dipergunakan antara lain untuk pelayanan dan perlindungan calon pekerja, pelayanan izin kelembagaan, evaluasi kinerja kelembagaan, monitoring dan sosialisasi penempatan tenaga kerja luar negeri (TKLN) di daerah, serta layanan perkantoran.

Outcome yang diharapkan pada Ditjen Binapenta secara umum adalah meningkatkan penempatan dan perluasan kesempatan kerja melalui fasilitasi pelayanan penempatan tenaga kerja, sedangkan sasaran yang diharapkan dalam kegiatan pembinaan dan perlindungan TKI luar negeri adalah tersedianya regulasi yang melindungi pekerja migran.

Sementara itu, penanganan perlindungan dan advokasi TKI bermasalah di luar negeri juga dilakukan secara koordinatif dengan Kementerian Luar Negeri, sesuai

-L.42-

 

dengan mandat UU Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri yang memberikan perlindungan kepada setiap WNI.

Menanggapi pandangan Fraksi Partai Keadilan Sejahtera berkaitan agar anggaran yang dikelola oleh bendahara umum negara (BUN) perlu diawasi peruntukannya sehingga antara pengambil kebijakan dan pelaksana tidak terjadi konflik kepentingan dapat disampaikan penjelasan sebagai berikut. Pada dasarnya, perencanaan, pelaksanaan, dan pertanggungjawaban atas bagian anggaran (BA) BUN telah diatur dalam suatu peraturan penganggaran, yaitu diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 90 Tahun 2010. Dalam sistem penganggaran, rencana dana pengeluaran bendahara umum negara (RDP BUN) dimasukkan sebagai bagian dari rencana kerja anggaran kementerian negara/lembaga (RKA-KL) dalam rangka penyusunan APBN atau perencanaan penganggaran. Karena bagian dari RKA-KL, maka RDP BUN baik dari sisi perencanaan, pelaksanaan, maupun pertanggungjawabannya menggunakan cara pandang K/L seperti halnya menyusun RKA-K/L, namun disusun oleh Menteri Keuangan berkenaan dengan tugas fungsi Menteri Keuangan selaku pengelola fiskal.

Mekanisme penyusunan dan penetapan alokasi anggaran BUN secara khusus diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 90 Tahun 2010 (Pasal 16, 17, dan 18). Dalam Peraturan Pemerintah 90 Tahun 2010 tersebut telah diatur bahwa pada awal tahun, Pengguna Anggaran BUN dapat berkoordinasi dengan Menteri/Pimpinan Lembaga atau pihak lain terkait menyusun indikasi kebutuhan dana pengeluaran Bendahara Umum Negara untuk tahun anggaran yang direncanakan dengan memperhatikan prakiraan maju dan rencana strategis yang telah disusun. Pagu dana pengeluaran Bendahara Umum Negara berpedoman pada: (a) arah kebijakan yang ditetapkan oleh Presiden; (b) prioritas anggaran; (c) RKP hasil kesepakatan Pemerintah dan DPR dalam pembicaraan pendahuluan pembahasan Rancangan APBN; (d) indikasi kebutuhan dana pengeluaran Bendahara Umum Negara; dan (e) evaluasi Kinerja penggunaan dana Bendahara Umum Negara.

Selanjutnya, terkait dengan pengawasan terhadap pelaksanaan anggaran BUN, dalam Pasal 30 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara disampaikan bahwa Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) melaksanakan pemeriksaan terhadap laporan keuangan pertanggungjawaban atas pelaksanaan APBN guna memperoleh keyakinan memadai terhadap laporan keuangan yang bebas dari salah saji material. Suatu pemeriksaan meliputi eksaminasi atas dasar pengujian bukti-bukti yang mendukung jumlah-jumlah dan pengungkapan dalam laporan keuangan. Pemeriksaan juga meliputi penilaian atas Prinsip Akuntansi yang digunakan dan estimasi signifikan yang dibuat oleh Pemerintah Pusat, serta penilaian terhadap penyajian laporan keuangan secara keseluruhan. Melalui pemeriksaan oleh BPK tersebut diharapkan akan ada suatu sistem check and balance terhadap pelaksanaan anggaran, sehingga pengelolaan keuangan negara yang baik, transparan, dan akuntabilitas dapat terwujud.

Mengenai upaya untuk menuntaskan wajar 12 tahun sebagaimana disampaikan oleh Fraksi Partai Amanat Nasional dan Fraksi Partai Golongan Karya, dapat

-L.43-

 

dijelaskan bahwa mulai tahun 2013 Pemerintah akan mulai melaksanakan pendidikan menengah universal melalui penyiapan daya tampung dan rintisan Bantuan Operasional Sekolah (BOS) sekolah menengah yang menjangkau seluruh siswa, peningkatan sasaran subsidi pendidikan bagi siswa keluarga yang kurang mampu.

Mengenai wujud nyata dari pelaksanaan peningkatan akses dan mutu pendidikan nasional sebagai dampak anggaran pendidikan 20 persen, dapat dijelaskan bahwa sekitar 70 persen anggaran pendidikan dialokasikan ke daerah yang sebagian besar untuk gaji dan tunjangan guru. Sedangkan sisanya yang sekitar 30 persen juga dialokasikan pada 20 kementerian negara/lembaga yang menyelenggarakan pendidikan. Upaya-upaya yang dilakukan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sebagai dampak anggaran pendidikan 20 persen antara lain: (1) meningkatkan kualitas pelaksanaan wajib belajar sembilan tahun yang lebih murah dan terjangkau; (2) melanjutkan keberhasilan wajib belajar sembilan tahun dengan rintisan pendidikan menengah universal mulai tahun 2013 melalui peningkatan akses, mutu, dan relevansi pendidikan menengah yang lebih baik; (3) meningkatkan akses, mutu, dan relevansi pendidikan tinggi, melalui pembukaan PTN baru, penataan program studi, peningkatan kualifikasi dan profesionalisme dosen, serta peningkatan sarana dan prasarana pendidikan tinggi; (4) meningkatkan berbagai layanan pendidikan kepada masyarakat yang tak terlayani pendidikan formal; dan (5) penguatan tata kelola dan akuntabilitas kinerja pada segenap jajaran pendidikan.

Pemerintah sependapat dengan pandangan Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan mengenai perlunya penggunaan anggaran pendidikan harus dapat meningkatkan kualitas pendidikan, peningkatan akses dan pemerataan pelayanan pendidikan bagi masyarakat yang kurang mampu. Pemerintah menekankan bahwa alokasi anggaran harus dimanfaatkan untuk membiayai kegiatan-kegiatan yang berkaitan langsung dengan penyelenggaraan pendidikan. Efektivitas pemanfaatan anggaran antara lain diukur dengan menggunakan indikator peningkatan kinerja, yang disertai pula dengan disiplin anggaran untuk mencegah inefisiensi baik dalam bentuk penyalahgunaan anggaran maupun penggunaan anggaran tidak tepat sasaran.

Dalam rangka mendorong peningkatan kualitas pendidikan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan telah melakukan upaya antara lain: (1) meningkatkan kualifikasi, sertifikasi, profesionalisme, dan peningkatan kesejahteraan pendidik; (2) meningkatkan sarana penunjang mutu: perpustakaan, laboratorium, dan peralatan pendidikan; (3) menata kurikulum serta proses belajar-mengajar berbasis pada tumbuh-kembangnya kreativitas peserta didik; (4) menata sistem evaluasi dan pemetaan mutu sebagai bagian upaya peningkatan mutu berkelanjutan.

Sementara itu, pada Kementerian Agama telah dilakukan berbagai kebijakan untuk mendorong peningkatan kualitas pendidikan, antara lain melalui peningkatan kualitas dan kapasitas sumber daya manusia (SDM) para guru dan dosen serta mengupayakan perencanaan kebutuhan sarana dan prasarana pendukung yang menunjang peningkatan kualitas belajar mengajar. Peningkatan kualitas dan

-L.44-

 

kapasitas SDM tersebut ditempuh melalui kegiatan sertifikasi guru dan dosen secara bertahap yang direncanakan akan selesai pada tahun 2015. Pelaksanaan pensertifikasian guru dan dosen pada Kementerian Agama dilakukan oleh Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) Kementerian Agama.

Untuk meningkatkan akses pendidikan, Pemerintah juga selalu berupaya untuk meningkatkan sasaran Bantuan Operasional Sekolah dan subsidi pendidikan bagi siswa kurang mampu, baik yang dilaksanakan melalui transfer ke daerah maupun kementerian negara/lembaga. Untuk lebih memperluas kesempatan untuk memperoleh pendidikan (dimensi equality of access), maka Pemerintah melalui Kementerian Agama selain mengalokasikan anggaran untuk bantuan operasional sekolah (BOS) untuk MI, MTs, dan MA, juga mengalokasikan anggaran BOS untuk Pendidikan Dasar untuk Pondok Pesantren, program Wajadikdas dan Pendidikan Kesetaraan (Paket A, B dan C) untuk Pondok Pesantren, dan penyediaan subsidi Pendidikan Terpadu Anak Harapan (Dikterapan). Program pendidikan terpadu anak harapan ini dimaksudkan untuk memberikan akses kepada anak-anak marjinal agar dapat mengakses pelayanan pendidikan secara terpadu dengan perlindungan, pengasuhan dan jaminan kesehatan. Program ini untuk sementara telah mencakup 7 propinsi penyelenggara, yaitu Jawa Barat, Banten, DKI Jakarta, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Sumatera Utara dan Sulawesi Tengah.

Selain itu, Pemerintah juga memberikan beasiswa kepada siswa yang berprestasi dan/atau kurang mampu disemua jenjang pendidikan. Program ini bertujuan memberikan bantuan kepada siswa miskin untuk mencegah siswa dari kemungkinan putus sekolah akibat kesulitan ekonomi, menarik siswa miskin yang tidak mampu sekolah untuk masuk sekolah lagi, dan mendukung penuntasan wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun dan rintisan wajib belajar dua belas tahun.

Dalam rangka peningkatan akses pendidikan bagi masyarakat di wilayah terpencil dan perbatasan, Pemerintah juga memberikan layanan pendidikan antara lain melalui penyediaan sekolah satu atap dan sekolah berasrama. Sementara itu, untuk peningkatan kualitas pendidikan, Pemerintah mendorong guru-guru agar bersedia bertugas di daerah-daerah tersebut dengan memberikan berbagai tunjangan, termasuk tunjangan khusus.

Terkait pandangan Fraksi Partai Keadilan Sejahtera mengenai kebijakan anggaran pendidikan tahun 2013 harus mampu mendorong peningkatan kualitas pendidikan, dapat kami sampaikan tanggapan sebagai berikut. Dalam rangka mendorong peningkatan kualitas pendidikan, Pemerintah telah melakukan upaya antara lain: (1) meningkatkan kualifikasi, sertifikasi, profesionalisme, dan peningkatan kesejahteraan pendidik; (2) meningkatkan sarana penunjang mutu: perpustakaan, laboratorium, dan peralatan pendidikan; (3) menata kurikulum serta proses belajar-mengajar berbasis pada tumbuh-kembangnya kreativitas peserta didik; (4) penataan sistem evaluasi dan pemetaan mutu sebagai bagian upaya peningkatan mutu berkelanjutan.

-L.45-

 

Mengenai audit kinerja dan evaluasi atas efektivitas belanja pendidikan, dapat disampaikan bahwa pada tingkat Kemdikbud selalu dilakukan audit kinerja secara periodik baik oleh BPK, BPKP, maupun aparat inspektorat jenderal. Selain itu, pada setiap satuan kerja telah dibentuk satuan pengawas intern (SPI) dan telah berperan efektif dalam mengendalikan pelaksanaan program. Sejalan dengan itu, Pemerintah sependapat mengenai perlunya audit kinerja dan evaluasi menyeluruh atas efektivitas belanja pendidikan.

Sementara itu, Pemerintah telah melakukan berbagai kebijakan yang bertujuan melakukan perbaikan, antara lain melalui peningkatan kualitas dan kapasitas sumber daya manusia (SDM) para guru dan dosen serta mengupayakan perencanaan kebutuhan sarana dan prasarana pendukung yang menunjang peningkatan kualitas belajar mengajar. Peningkatan kualitas dan kapasitas SDM tersebut ditempuh melalui kegiatan sertifikasi guru dan dosen secara bertahap yang direncanakan akan selesai pada tahun 2015. Selain itu, para guru dan dosen diberikan kesempatan untuk mengikuti tugas belajar dengan beasiswa kualifikasi S1 dan S2, serta diklat-diklat teknis secara berkala.

Selanjutnya, pemenuhan kebutuhan sarana dan prasarana dalam menunjang kegiatan proses belajar mengajar seperti pembangunan penambahan ruangan kelas, rehab ruangan kelas, pembanguan untuk laboratorium dan perpustakaan, secara bertahap dan terus menerus ditingkatkan seiring dengan kemampuan keuangan negara.

Sementara terkait dengan kemungkinan terjadinya korupsi dana BOS, maka telah dilakukan upaya preventif melalui pelaksanaan tata kelola yang baik dengan menekankan aspek transparansi dan akuntabilitas. Dalam hal ini, pihak sekolah diharuskan melibatkan orangtua murid yang dipresentasikan melalui Komite Sekolah dalam penyusunan Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah (RAPBS).

Pemerintah sepakat dengan pandangan Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa bahwa pelaksanaan APBN tiap tahunnya tidak hanya fokus mengejar peningkatan pertumbuhan ekonomi (pro growth) semata, tapi juga memperlihatkan strategi pembangunan ekonomi lainnya (pro poor, pro job, dan pro environment). Secara umum, strategi pembangunan ekonomi Indonesia diarahkan pada empat track dalam kaitannya dengan peningkatan kesejahteraan rakyat, yaitu: peningkatan pertumbuhan ekonomi yang berkualitas, inklusif dan berkeadilan (pro-growth), penciptaan dan perluasan kesempatan kerja untuk mengurangi tingkat pengangguran (pro-job), menanggulangi kemiskinan (pro-poor), serta pembangunan yang berwawasan lingkungan (pro-environment). Pelaksanaan APBN yang tidak hanya fokus mengejar peningkatan pertumbuhan ekonomi (pro growth), dapat tergambar pada peningkatan alokasi prioritas pembangunan nasional yang ada dalam RKP (11 Prioritas Nasional + 3 Prioritas Lainnya). Selain itu berbagai kebijakan afirmatif yang dijalankan oleh pemerintah dalam rangka meningkatkan dan memperluas kesejahteraan rakyat, penurunan pengangguran dan kemiskinan,

-L.46-

 

akan dipercepat. Kesenjangan pembangunan, baik antar golongan masyarakat maupun antar daerah, yang relatif masih tinggi akan dikurangi.

Upaya penurunan pengangguran dilakukan melalui penciptaan lapangan kerja formal, terutama didorong pembangunan industri dalam kerangka Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI). Perhatian khusus diberikan untuk mengatasi pengangguran usia muda yang tingkatnya jauh lebih besar dari tingkat pengangguran secara umum. Percepatan penanggulangan kemiskinan dilakukan melalui peningkatan sinergi dan efektivitas program klaster I–IV serta konsolidasi anggaran di berbagai kementerian negara/lembaga, dalam kerangka Masterplan Percepatan dan Perluasan Pengurangan Kemiskinan di Indonesia (MP3KI). Kebijakan ini merupakan langkah terobosan yang secara fundamental dapat menurunkan kemiskinan, sekaligus memperkuat ekonomi rakyat Indonesia.

Dengan adanya sinergi berbagai rencana aksi dan MP3EI serta MP3KI diharapkan akan dapat memberikan pertumbuhan yang tinggi, inklusif dan berkeadilan. Selain itu berbagai sinergi yang ada juga akan dapat memberikan adanya pembangunan ekonomi yang merata di seluruh wilayah tanah air, meningkatkan kesempatan kerja, yang pada gilirannya dapat menurunkan tingkat kemiskinan.

Pemerintah sependapat dengan pandangan Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa bahwa target pertumbuhan ekonomi tahun 2013 harus berbanding lurus dengan kualitas pertumbuhan ekonomi, yang tercermin dari peningkatan kesejahteraan rakyat. Pertumbuhan ekonomi sebesar 6,8 persen akan diupayakan secara berkualitas, inklusif, terukur, dan berkeadilan sehingga dapat dinikmati oleh seluruh rakyat Indonesia melalui pembukaan lapangan kerja baru dan penurunan kemiskinan. Upaya ini dituangkan dalam program-program pembangunan dan kebijakan yang akan dilaksanakan tahun 2013.

Kebijakan kemiskinan yang akan dilakukan dalam tahun 2013 di antaranya adalah: (1) perluasan cakupan Rumah Tangga Sasaran (RTS) dan peningkatan sinergi program program perlindungan social dengan menggunakan unified database dari data Pendataan Program Perlindungan Sosial (PPLS) 2011, yang diharapkan dapat menyempurnakan kualitas penentuan sasaran (targeting); (2) perkuatan integrasi perencanaan partisipatif ke dalam perencanaan reguler melalui penguatan partisipasi masyarakat dan kelembagaan masyarakat, peningkatan kapasitas tenaga pendamping, dan peningkatan intensitas koordinasi lintas bidang, (3) peningkatan kualitas pelaksanaan program pemberdayaan usaha mikro, kecil dan menengah melalui penajaman dan perluasan kegiatan-kegiatan yang dititikberatkan pada pemberdayaan usaha mikro yang dilaksanakan melalui pendekatan yang lebih terintegrasi.

Dari sisi tenaga kerja, kebijakan penyerapan tenaga kerja difokuskan pada mengurangi angkatan kerja berpendidikan rendah dengan: (1) memberikan kesempatan kedua kepada mereka yang meninggalkan sekolah lebih awal, (2) pemberian insentif agar kaum muda tetap berada di sekolah; yang dilakukan dengan

-L.47-

 

program pelatihan meningkatkan keahlian untuk dapat bekerja; program pemagangan dengan meningkatkan kualitas pemagangan berdasarkan kebutuhan perusahaan; program kewisausahaan dengan meningkatkan kesempatan bagi kaum muda untuk berwirausaha; program pemberdayaan dengan memberikan akses kepada kelompok usia muda yang kurang beruntung untuk memperoleh pekerjaan dan tambahan pendapatan.

Dengan berbagai upaya yang dilakukan pengangguran ditargetkan menurun menjadi 5,8-6,1 persen, dan tingkat kemiskinan diturunkan menjadi 9,5-10,5 persen.

Menanggapi pandangan Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa mengenai belum adanya perbaikan fungsi alokasi dan distribusi dalam RAPBN 2013 dalam kaitannya dengan belanja pemerintah pusat yang masih didominasi oleh belanja yang bersifat wajib, dapat disampaikan penjelasan sebagai berikut. Pemerintah menyadari betul bahwa ruang gerak fiskal untuk menunjang pelaksanaan berbagai program pembangunan masih relatif terbatas, sebagai konsekuensi dari masih tingginya proporsi belanja yang bersifat wajib (terutama subsidi, belanja pegawai, dan pembayaran bunga utang). Untuk itu, Pemerintah akan senantiasa berupaya untuk meningkatkan kualitas belanja negara melalui efisiensi anggaran-anggaran yang kurang produktif, seperti anggaran subsidi energi, untuk dialihkan ke berbagai penggunaan lain yang lebih bermanfaat, sekaligus memberikan nilai tambah yang lebih besar bagi masyarakat. Dengan demikian diharapkan, fungsi alokasi dan fungsi distribusi pemerintah melalui anggaran dapat dilakukan secara lebih optimal.

Menanggapi desakan Fraksi Partai Amanat Nasional untuk melakukan penghematan atau efisiensi belanja pegawai dan barang, serta mewujudkan pertumbuhan ekonomi di daerah dan konektivitas antar daerah, dapat disampaikan penjelasan sebagai berikut. Pemerintah sependapat untuk terus berupaya meningkatkan kualitas belanja negara (quality of spending). Sejalan dengan hal tersebut maka perumusan kebijakan belanja negara diupayakan agar lebih produktif (productivity), memberi manfaat yang optimal (utility) sekaligus menciptakan nilai tambah (value added) dalam rangka penguatan daya saing perekonomian domestik, mendorong pertumbuhan ekonomi, perluasan kesempatan kerja dan pada gilirannya dapat mengurangi kemiskinan. Sejalan dengan hal tersebut kebijakan belanja negara yang akan ditempuh pada tahun 2013 diarahkan antara lain untuk: (i) menjaga agar pelaksanaan operasional pemerintahan lebih efisien untuk peningkatan kualitas pelayanan masyarakat melalui flat policy pada belanja barang operasional perkantoran, dan (ii) mengarahkan peningkatan anggaran infrastruktur dalam rangka mendukung domestic connectivity, ketahanan energi dan ketahanan pangan.

Pemerintah berkomitmen untuk mendukung terwujudnya konektivitas antar daerah yang terlihat dari hampir 50 persen alokasi anggaran Kementerian Pekerjaan Umum dialokasikan untuk program penyelenggaraan jalan. Alokasi anggaran tersebut terutama diprioritaskan untuk peningkatan kapasitas maupun struktur pada ruas-ruas jalan lintas utama seperti lintas timur Sumatera, pantai utara Jawa, lintas Kalimantan, lintas Sulawesi, lintas Nusa Tenggara, lintas pulau di Maluku dan Maluku Utara, ruas-ruas strategis di Papua dan Papua Barat; penyelesaian lintas

-L.48-

 

selatan Pulau Jawa; penanganan jalan di wilayah perbatasan; mendukung pengembangan akses-akses di pusat-pusat koridor ekonomi seperti Sei Mangke dan Maloi; serta mendukung akses outlet baru yang dibangun Kementerian Perhubungan seperti akses bandara Kualanamu.

Terkait konektivitas antar daerah melalui pembangunan jaringan penyaluran listrik, secara rutin setiap tahunnya Pemerintah sudah menganggarkan melalui APBN untuk membangun jaringan transmisi yang akan menginterkoneksikan jaringan listrik antar daerah. Selain melalui APBN pembangunan interkoneksi jaringan listrik juga dibiayai melalui Pinjaman dan Hibah Luar Negeri. Saat ini ada dua rencana kegiatan pembangunan interkoneksi jaringan listrik yang akan menghubungkan tiga koridor ekonomi, yaitu Java-Sumatera Interconnection 500 kilo volt (kV) yang akan menginterkoneksikan sistem kelistrikan di koridor ekonomi Sumatera dengan koridor ekonomi Jawa, dan Java-Bali Crossing 500 kV yang akan menginterkoneksikan sistem kelistrikan di koridor Jawa dengan koridor ekonomi Bali. Dengan terinterkoneksinya jaringan listrik antar daerah tersebut, maka energi listrik akan terdistribusi semakin luas antar daerah dengan menyalurkan energi listrik dari daerah yang surplus energi ke daerah yang kekurangan energi,yang juga diharapkan akan meningkatkan ketersediaan dan kemudahan berbagai sistem kelistrikan tersebut, sehingga hal ini diharapkan akan memicu pertumbuhan ekonomi di daerah yang kekurangan energi listrik.

Dalam rangka pengembangan sistem konektivitas jaringan telekomunikasi dan informatika akan semakin diperluas di wilayah barat Sumatera serta wilayah timur Indonesia melalui pembangunan jaringan tulang punggung (back bone) serat optik (Palapa Ring). Hal ini akan menggunakan pendanaan Universal Service Obligation (USO) yang diperoleh dari kontribusi para operator.

Upaya Pemerintah untuk mewujudkan pertumbuhan ekonomi di daerah dan konektivitas antar daerah telah dipercepat dan diperluas cakupannya melalui Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia 2011-2025. Pelaksanaan MP3EI diharapkan mampu menjadi mesin penggerak pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja sekaligus mendorong pemerataan pembangunan wilayah di seluruh tanah air.

Percepatan dan perluasan pembangunan ekonomi Indonesia diselenggarakan berdasarkan pendekatan pengembangan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi, baik yang telah ada maupun yang baru. Pendekatan ini pada intinya merupakan integrasi dari pendekatan sektoral dan regional. Setiap wilayah mengembangkan produk yang menjadi keunggulannya. Tujuan pengembangan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi tersebut adalah untuk memaksimalkan keuntungan aglomerasi, menggali potensi dan keunggulan daerah serta memperbaiki ketimpangan spasial pembangunan ekonomi Indonesia. Pengembangan pusat-pusat pertumbuhan tersebut disertai dengan penguatan konektivitas antar pusat-pusat pertumbuhan ekonomi dan antara pusat pertumbuhan ekonomi dengan lokasi kegiatan ekonomi serta infrastruktur pendukungnya.

-L.49-

 

Pemerintah sependapat dengan pandangan Fraksi Partai Demokrat mengenai perlunya upaya untuk mengawal dan mengawasi setiap rupiah alokasi anggaran negara. Untuk itu, secara umum upaya yang dilakukan dalam rangka mengawal dan mengawasi alokasi anggaran negara baik di pusat maupun di daerah adalah dengan cara ikut mendampingi dalam proses penyusunan rencana kegiatan dan penganggaran yang dilakukan K/L/Pemda. Dengan melakukan pendampingan dari proses perencanaan, diharapkan dapat mengeliminir kegiatan-kegiatan yang tidak sesuai dengan tugas utama (core business) dari K/L/Pemda tersebut. Kegiatan pengawalan ini juga dilakukan dalam rangka mendukung reformasi keuangan Negara dalam fase perencanaan yang intinya adalah menjadikan hal-hal yang direncanakan oleh K/L/Pemda sesuai dengan core business nya, sejalan dengan visi-misi yang telah ditetapkan, dan jelas output yang akan dihasilkan.

Dalam melakukan pengawasan pelaksanaan pengelolaan keuangan negara, pemerintah terus mengoptimalkan peran pengawasan internal pemerintah. Peningkatan kapasitas dan kualitas aparatur pengawasan internal di pusat dan daerah menjadi perhatian pemerintah saat ini, disamping itu juga terus dilakukan perbaikan sistem dan kelembagaan pengawasan internal pemerintah.

Dalam proses pengelolaan keuangan negara, kontribusi yang dilakukan adalah dengan memberikan pendampingan terhadap proses pengelolaan keuangan Negara, membantu meningkatkan SDM yang mengelola keuangan negara dan membantu penggunaansistem aplikasi pengelolaan keuangan negara/daerah, dan mendampingi K/L/pemda dalam proses penyelenggaraan Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP) sesuai dengan PP Nomor 60 Tahun 2008 tentang SPIP.

Dalam rangka mengawasi alokasi anggaran, pengawasan diarahkan terhadap empat perspektif pengawasan akuntabilitas, yaitu:

1. Pelaporan Keuangan Negara;

Untuk membantu pemerintah dalam meningkatkan kualitas laporan keuangan menuju kategori Wajar Tanpa Pengecualian (WTP), BPKP melakukan pendampingan pengelolaan keuangan dan reviu penyusunan Laporan Keuangan Pemerintah Pusat, Laporan Keuangan Kementerian Lembaga, dan Laporan Keuangan Pemerintah Daerah, evaluasi penyerapan anggaran, penataan barang milik negara/daerah, pembinaan penyelenggaraan SPIP, serta peningkatan kapabilitas Aparat Pengawasan Internal Pemerintah (APIP) dan penugasan pegawai ke berbagai K/L dan Pemda.

2. Kebendaharaan Umum Negara dan Pengelolaan Aset;

Pengawasan akuntabilitas kegiatan kebendaharaan umum negara dan pengelolaan aset diprioritaskan untuk optimalisasi penerimaan dan penghematan pengeluaran keuangan Negara/daerah. Potensi optimalisasi penerimaan negara berasal dari sektor pajak, bea cukai, dan PNBP serta optimalisasi anggaran, sedangkan penghematan pengeluaran negara berasal dari koreksi atas eskalasi harga kontrak, kewajaran klaim, cost recovery, dan penyetoran ke kas negara dari sektor migas, serta koreksi atas tagihan pihak ketiga.

-L.50-

 

3. Pewujudan Iklim bagi Kepemerintahan yang Baik dan Bersih;

Untuk mewujudkan akuntabilitas keuangan negara, Pemerintah melalui unit pengawasan mendorong terbangunnya iklim bagi terselenggaranya kepemerintahan yang baik dan bersih, melalui upaya pencegahan dan pemberantasan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) secara preventif-edukatif-represif. Upaya preventif-edukatif dilakukan melalui pembinaan dan penyelenggaraan SPIP pada K/L dan Pemda, pengembangan sistem pencegahan KKN (Fraud Control Plan/FCP), evaluasi, sosialisasi program anti korupsi (SOSPAK), assessment penerapan Good Corporate Governance (GCG) pada BUMN, dan pemberian berbagai saran perbaikan di bidang penanggulangan KKN, serta pendampingan pengadaan barang dan jasa dan tata kelola APIP. Upaya pengawasan represif dilakukan melalui audit investigatif, audit penghitungan kerugian keuangan negara, dan pemberian keterangan ahli. Dalam rangka menunjang peningkatan kualitas penegakan hukum, BPKP menugaskan beberapa tenaga auditor pada Kejaksaan Agung, KPK, Pengadilan Tipikor, dan Bareskrim Polri

4. Pengelolaan Program Lintas Sektoral.

Dalam pengelolaan Program lintas sektoral, BPKP memprioritaskan pengawasan pada program ketahanan pangan, kesehatan, pendidikan, penanggulangan kemiskinan, infrastruktur perdesaan, reformasi birokrasi dan tata kelola, serta pemantauan dan pengendalian atas pelaksanaan program prioritas pembangunan tersebut.

Menanggapi pandangan Fraksi Partai Gerakan Indonesia Raya mengenai RAPBN yang belum pro job karena minimnya ruang untuk menciptakan lapangan kerja baru dan belum sepenuhnya berpihak kepada kepentingan rakyat, dapat disampaikan penjelasan sebagai berikut. RAPBN 2013 disusun dengan mengacu pada RKP 2013 yang mengusung tema “Memperkuat perekonomian domestik bagi peningkatan dan perluasan kesejahteraan rakyat”. Untuk itu, kebijakan pengalokasian pengeluaran yang dilakukan pemerintah akan diutamakan pada upaya untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja. Lapangan kerja baru tersebut terutama akan tercipta seiring dengan peningkatan nilai investasi terutama investasi swasta baik domestik maupun asing. Anggaran belanja pemerintah terutama belanja barang dan modal lebih difokuskan sebagai katalisator bagi penciptaan lapangan kerja. Keberpihakan Pemerintah terhadap penciptaan lapangan kerja (pro job) dapat dilihat dari berbagai prioritas pembangunan seperti infrastruktur, kemudahan iklim investasi, peningkatan hasil industri dan UKM yang pada akhirnya akan dapat meningkatkan penciptaan lapangan kerja yang lebih besar.

Selain itu, anggaran pemerintah juga dialokasikan untuk berbagai program pro-rakyat sebagai upaya peningkatan kesejahteraan rakyat. Pada tahun 2013, Pemerintah tetap melanjutkan program sosial pro-rakyat dalam bentuk: (1) program jaminan kesehatan masyarakat (Jamkesmas); (2) program keluarga harapan (PKH);

-L.51-

 

(3) program nasional pemberdayaan masyarakat (PNPM) perdesaan, perkotaan, infrastruktur perdesaan, daerah tertinggal dan khusus, serta infrastruktur sosial ekonomi wilayah; (4) program bantuan operasional sekolah (BOS); dan (5) program beras untuk masyarakat miskin (raskin).

Anggaran Pemerintah, baik untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, penciptaan lapangan kerja, dan peningkatan kesejahteraan rakyat tidak sepenuhnya ditunjukkan hanya pada besaran belanja barang dan modal, namun seluruh komponen dalam belanja negara, baik belanja Pemerintah Pusat dan transfer ke daerah, secara terintegratif dialokasikan untuk mendukung program-program pemerintah dalam pencapaian sasaran-sasaran pembangunan sebagaimana tertuang dalam Rencana Kerja Pemerintah.

Menanggapi permintaan Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, untuk menggabungkan kategori hampir miskin, miskin, dan sangat miskin, dapat disampaikan penjelasan sebagai berikut. Angka kemiskinan yang dikeluarkan setiap tahunnya adalah angka kemiskinan makro yang dihitung dengan menggunakan Susenas (Survey Sosial Ekonomi Nasional). Angka kemiskinan makro digunakan untuk memberikan gambaran kondisi secara makro dan untuk kepentingan perencanaan secara makro. Mulai tahun 2011, survey untuk mendapatkan angka kemiskinan makro dilakukan empat kali dalam setahun.

Selain angka kemiskinan makro, BPS juga melakukan sensus pendataan rumah tangga sasaran melalui Pendataan Program Perlindungan Sosial (PPLS) yang akan menghasilkan angka kemiskinan mikro. Angka tersebut digunakan untuk perencanaan program/kegiatan secara mikro, khususnya untuk program/kegiatan yang sifatnya targeted. Angka kemiskinan mikro dikeluarkan setiap tiga tahun sekali dan pada tahun 2011 dilakukan perubahan metode pendataan, yaitu dengan mendata 40 persen penduduk dengan penghasilan terendah.

Penggunaan angka kemiskinan mengacu pada penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan (GK) dan hal ini mengikuti standar internasional. Penentuan adanya penduduk dengan kategori hampir miskin (HM) adalah lebih untuk penajaman perencanaan makro, yaitu untuk melihat seberapa besar penduduk yang mudah untuk jatuh miskin jika terjadi shock, misalnya karena krisis ekonomi, kenaikan BBM, bencana alam dan sebagainya. Apabila terlihat adanya peningkatan penduduk dengan kategori hampir miskin, berarti pemerintah perlu menyusun kebijakan yang dapat mencegah penduduk pada kategori tersebut agar tidak jatuh ke bawah garis kemiskinan. Untuk mengetahui siapa penduduk yang akan dibantu atau mendapatkan program/kegiatan penanggulangan kemiskinan, akan digunakan data kemiskinan mikro yang sudah berdasarkan nama dan alamat, dalam hal ini data PPLS. Beberapa program penanggulangan kemiskinan juga sudah mensasar masyarakat hampir miskin, antara lain Raskin, PKH, dan Jamkesmas.

Dengan memasukkan angka hampir miskin dalam kategori penduduk miskin, berarti sudah tidak mencerminkan gambaran kemiskinan yang sebenarnya, karena sudah berada di atas garis kemiskinan. Selain itu, penduduk yang berada pada kategori

-L.52-

 

hampir miskin sangat fluktuatif, sehingga akan menyulitkan dalam memonitor perkembangan angka kemiskinan, selain itu akan sangat mudah sekali untuk menjadi alat yang dipolitisasi.

Program-program yang dilaksanakan oleh Pemerintah, terutama program yang terkait dengan penanggulangan kemiskinan, pada dasarnya ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat secara menyeluruh. Dengan demikian, penurunan angka kemiskinan yang menjadi sasaran Pemerintah dalam tahun 2013 juga dapat diartikan meningkatkan tingkat kesejahteraan masyarakat di semua level.

Terhadap pandangan Fraksi Partai Keadilan Sejahtera mengenai target penurunan kemiskinan dan perlambatan penurunan jumlah penduduk miskin, dapat disampaikan penjelasan sebagai berikut. Salah satu kebijakan dalam RAPBN 2013 terkait dengan penanggulangan kemiskinan adalah menguatkan program perlindungan sosial dalam upaya menurunkan tingkat kemiskinan termasuk penguatan program pro rakyat (klaster 4) dan sinergi antarklaster dalam rangka mendukung Masterplan Percepatan dan Perluasan Pengurangan Kemiskinan di Indonesia (MP3KI). MP3KI sebagai rencana induk penanggulangan kemiskinan disiapkan untuk dapat menjembatani berbagai perundangan yang berkaitan dengan penanggulangan kemiskinan, berbagai rencana pembangunan berkala, dan kebijakan-kebijakan jangka panjang agar lebih operasional dan konkrit di dalam bentuk program/kegiatan pembangunan. Program/kegiatan yang diharapkan dapat mewujudkan tujuan-tujuan penanggulangan kemiskinan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat miskin. MP3KI menjabarkan strategi yang dibutuhkan untuk menanggulangi kemiskinan dan kerentanan masyarakat. Kerentanan sebagian anggota masyarakat yang menyandarkan pemenuhan kebutuhannya kepada kelompok produktif ataupun kerentanan yang diterjemahkan sebagai kecenderungan sebagian masyarakat untuk kembali terperangkap dalam kemiskinan.

Namun keberhasilan dari program tersebut, yang ditunjukkan oleh besarnya jumlah penurunan penduduk miskin untuk jumlah alokasi anggaran tertentu, tergantung pada banyak faktor, misalnya perkembangan ekonomi makro, lingkungan domisili dari penduduk miskin yang bersangkutan, serta perkembangan kondisi iklim. Berbagai hal tersebut secara simultan dapat menentukan output program kemiskinan antarwaktu dan antartempat.

Sementara itu, terkait dengan target tingkat kemiskinan, RPJMN 2010-2014 memang mengamanatkan target tingkat kemiskinan tahun 2013 berada pada rentang 9,5 persen-10,5 persen, dan target tingkat kemiskinan tahun 2014 pada rentang 8,0 persen-10 persen. Dengan demikian, target tingkat kemiskinan dalam tahun 2013 sesuai dengan RPJMN.

Selanjutnya mengenai pandangan perlunya perbaikan program-program pengentasan kemiskinan kluster 1, khususnya perluasan cakupan program Jamkesmas dan Jampersal hingga mencakup 40 persen masyarakat termiskin serta

-L.53-

 

memperbaiki sasaran penerima, dapat kami sampaikan bahwa upaya perluasan cakupan Jamkesmas dan Jampersal tersebut akan dilakukan dalam tahun 2013.

Dalam RAPBN 2013 sasaran masyarakat miskin, sangat miskin dan mendekati miskin yang akan dilindungi oleh program ini mencapai 86,4 juta jiwa atau lebih tinggi 10 juta jiwa dari tahun 2012 yang mencapai 76,4 juta jiwa. Peningkatan cakupan tersebut bahkan terus dilakukan secara bertahap sehingga bisa mencakup 40 persen dari masyarakat termiskin. Selanjutnya, cakupan persentase rumah sakit yang melayani pasien peserta Jamkesmas juga mengalami peningkatan yakni dari 85 persen pada tahun 2012 menjadi 90 persen pada tahun 2013. Hal serupa juga dilakukan pada peningkatan jumlah Puskesmas untuk pelayanan dasar masyarakat yakni dari 9.236 Puskesmas pada tahun 2012 meningkat menjadi 9.323 Puskesmas pada tahun 2013. Untuk mendukung pelaksanaan Program Jamkesmas dan Jampersal ini, Pemerintah terus mengupayakan peningkatan kualitas dan kuantitas program melalui 2 sisi, yaitu:

1. Supply side (peningkatan sarana dan prasarana serta SDM), seperti pembentukan Puskesmas Pelayanan Obstetri dan Neonatal Emergensi Dasar (PONED), penambahan jumlah Tempat Tidur (TT) kelas III, pembentukan Bank Darah, peningkatan fasilitas Instalasi Gawat Darurat (IGD), Intensive Care Unit (ICU) dan Kamar operasi, serta peningkatan dan pemerataan kualitas SDM;

2. Demand side (meningkatkan kemampuan masyarakat untuk mengakses program), seperti peningkatan cakupan masyarakat miskin yang dijamin, kegiatan sosialisasi program, kerjasama LS/LP dengan melibatkan seluruh stakeholder yang ada.

Sementara itu, Pemerintah juga sangat sependapat mengenai perbaikan pelaksanaan program Raskin. Salah satu penyempurnaan yang telah dilakukan adalah melalui pendataan ulang rumah tangga sasaran (RTS) penerima raskin yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Berdasarkan hasil pendataan program perlindungan sosial (PPLS) yang dilakukan oleh BPS pada tahun 2011 diperoleh data RTS sebesar 15,5 juta atau lebih rendah dibandingkan dengan data RTS tahun sebelumnya sebesar 17,5 juta.

Menanggapi pandangan Fraksi Partai Gerakan Indonesia Raya mengenai RAPBN yang masih belum memiliki kejelasan visi membangun perekonomian rakyat, dapat disampaikan penjelasan sebagai berikut. RAPBN 2013 salah satu pilar utamanya adalah percepatan pembangunan dengan konsep yang berpihak kepada masyarakat miskin (pro poor). Terdapat berbagai alokasi anggaran yang tersebar pada berbagai program dan kementerian negara/lembaga yang bertujuan untuk membangun perekonomian rakyat dalam rangka pengentasan masyarakat dari kemiskinan. Dengan demikian, pada dasarnya, Pemerintah telah memiliki program-program yang jelas dalam kaitannya dengan pembangunan perekonomian rakyat, yaitu melalui pelaksanaan 4 (empat) klaster program penanggulangan kemiskinan. Klaster 1, lebih difokuskan untuk memenuhi kebutuhan dasar masyarakat miskin, antara lain melalui program Jamkesmas, beras untuk rakyat miskin (Raskin), program keluarga harapan (PKH), beasiswa bagi siswa miskin. Klaster 2, difokuskan

-L.54-

 

untuk melibatkan masyarakat miskin dalam kegiatan pembangunan dalam rangka meningkatkan dan menjaga kesinambungan pendapatan masyarakat miskin melalui PNPM. Klaster 3, difokuskan untuk meningkatkan akses masyarakat miskin dalam memperoleh pendanaan untuk usaha melalui kredit usaha rakyat (KUR). Klaster 4, difokuskan untuk memenuhi kebutuhan yang terjangkau oleh masyarakat miskin, antara lain rumah sangat murah, angkutan umum murah, dan listrik murah.

Selanjutnya, untuk tahun 2013, salah satu kebijakan yang akan dilaksanakan Pemerintah adalah menguatkan program perlindungan sosial dalam upaya menurunkan tingkat kemiskinan termasuk penguatan program pro rakyat (klaster 4) dan sinergi antarklaster dalam rangka mendukung Masterplan Percepatan dan Perluasan Pengurangan Kemiskinan Indonesia (MP3KI). MP3KI merupakan kebijakan afirmatif untuk mempercepat dan memperluas upaya pengurangan kemiskinan di Indonesia dengan menjabarkan secara khusus konsep dan desain, arah kebijakan, dan strategi penanggulangan kemiskinan dalam jangka panjang (2012-2025), termasuk menggambarkan transformasi dari program-program penanggulangan kemiskinan yang telah ada saat ini menuju terwujudnya sistem jaminan sosial yang menyeluruh. MP3KI juga menguraikan konsep dan desain pengembangan mata pencaharian yang berkelanjutan (sustainable livelihood) bagi masyarakat untuk peningkatan taraf hidup dan kesejahteraan secara berkelanjutan. Dengan MP3KI program-program penanggulangan kemiskinan pada klaster 1-4 akan dilaksanakan secara sinergi.

Sementara itu, Pemerintah menyadari betul mengenai relatif terbatasnya ruang gerak fiskal untuk menunjang pelaksanaan berbagai program pembangunan. Hal itu disebabkan komposisi anggaran belanja negara kita hingga saat ini masih didominasi oleh belanja-belanja yang sifatnya wajib atau mengikat seperti belanja pegawai, belanja barang operasional, kewajiban pembayaran bunga utang, serta berbagai jenis subsidi dan transfer ke daerah. Untuk itu, Pemerintah akan senantiasa berupaya untuk meningkatkan kualitas belanja negara melalui efisiensi anggaran-anggaran yang kurang produktif, seperti anggaran subsidi energi, untuk dialihkan ke berbagai penggunaan lain yang lebih bermanfaat, sekaligus memberikan nilai tambah yang lebih besar bagi masyarakat.

Menanggapi saran Fraksi Partai Amanat Nasional untuk mendorong pertumbuhan sektor Usaha Kecil dan Menengah (UKM), dapat disampaikan tanggapan sebagai berikut. Upaya penanggulangan kemiskinan yang dilaksanakan Pemerintah tidak hanya untuk mendukung upaya penanggulangan kemiskinan di klaster I (program berbasis keluarga: Program Keluarga Harapan) dan klaster II (program berbasis pemberdayaan masyarakat: PNPM), namun juga untuk klaster III (program berbasis pemberdayaan usaha mikro dan kecil). Khusus untuk mendukung tumbuhnya sektor usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM). Kerangka pelaksanaan program untuk mendukung UKM tersebut meliputi:

1. Prioritas Nasional ke-4: Penanggulangan Kemiskinan, dengan kegiatan-kegiatan utama yaitu (1) peningkatan akses permodalan (kredit usaha rakyat, bantuan modal untuk koperasi perdesaan dan perkotaan, dan bantuan start-up capital

-L.55-

 

untuk wirausaha pemula); (2) peningkatan kapasitas Sumber Daya Manusia (kewirausahaan, dan diklat manajerial dan teknis); (3) peningkatan akses pemasaran (pasar tradisional di daerah tertinggal/perbatasan); (4) peningkatan kualitas produksi (teknologi tepat guna); dan (5) penguatan kelembagaan (penyuluhan perkoperasian);

2. Prioritas Nasional ke-10: Daerah Tertinggal, Terdepan, Terluar dan Pascakonflik, dengan kegiatan-kegiatan utama yaitu (1) pengembangan usaha produktif melalui pemanfaatan energi baru dan terbarukan; dan (2) penguatan budidaya pala oleh koperasi di Papua dan Papua Barat; dan

3. Prioritas Nasional Lainnya Bidang Perekonomian (Prioritas Nasional Ke-13), dengan kegiatan-kegiatan utama yang terkait dengan (1) peningkatan sarana usaha pemasaran; (2) pengembangan Pusat Layanan Usaha Terpadu (PLUT) koperasi dan UMKM; (3) pengembangan kemitraan; (4) peningkatan produktivitas dan mutu; (5) revitalisasi koperasi; dan (6) perluasan basis data koperasi dan UMKM.

Alokasi anggaran tersebut diharapkan dapat memfasilitasi rakyat yang memiliki usaha-usaha produktif skala mikro, kecil dan menengah untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraannya, serta meningkatkan produktivitas dan daya saing usahanya.

Menanggapi pandangan Fraksi Partai Golongan Karya dan Fraksi Partai Amanat Nasional mengenai pembangunan infrastruktur daerah dapat disampaikan penjelasan sebagai berikut. Pemerintah telah berupaya memberikan dukungan terhadap pembangunan infrastruktur di daerah. Selain melalui belanja Pemerintah Pusat, Pemerintah juga telah memberikan anggaran pembangunan infrastruktur melalui transfer ke daerah yaitu melalui dana alokasi khusus (DAK). Peningkatan alokasi DAK dari tahun ke tahun dapat meningkatkan pola belanja modal daerah untuk membangun infrastruktur. Hal itu dikarenakan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2005 tentang Dana Perimbangan disebutkan bahwa DAK yang diberikan kepada daerah digunakan untuk kegiatan fisik. Dengan demikian, peningkatan dana DAK tersebut dapat digunakan untuk mendukung pembangunan infrastruktur daerah. Pemberian DAK ke daerah ini digunakan untuk mendanai pembangunan antara lain infrastruktur jalan, infrastruktur irigasi, infrastruktur air minum, infrastruktur sanitasi, hingga sarana dan prasarana kawasan perbatasan dan sarana dan prasarana daerah tertinggal.

Dari sisi belanja pusat untuk pembangunan infrastruktur di daerah, di dalam RAPBN 2013 dirancang antara lain untuk: (1) meningkatkan pembangunan infrastruktur perhubungan guna mendukung keterhubungan antar wilayah; (2) pembangunan infrastruktur irigasi yang digunakan untuk mendukung ketahanan pangan; (3) pembangunan infrastruktur energi dan lainnya yang digunakan untuk menunjang ketahanan energi; dan (4) pembangunan perumahan dan permukiman.

Di samping itu, guna mendukung peningkatan pelayanan publik dan mendorong perekonomian lokal, Pemerintah telah berupaya merencanakan program

-L.56-

 

pembangunan local dan village connectivity, yang bertujuan untuk mengurangi kesenjangan infrastruktur di desa-desa, melalui Program Pengembangan Infrastruktur Perdesaan dan Pengembangan Infrastruktur Sosial Ekonomi Wilayah (PISEW) yang termasuk dalam Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri, berupa pembangunan jalan poros yang menghubungkan antara pusat ekonomi antar desa, dan pembangunan jalan-jalan desa.

Kebijakan pembiayaan infrastruktur jalan di daerah, di samping menjadi kewenangan dari pemerintah daerah, juga didorong melalui Dana Alokasi Khusus (DAK) bidang jalan untuk membantu daerah dalam penanganan jalan provinsi dan jalan kabupaten/kota. Jumlah alokasi DAK bidang jalan setiap tahun meningkat secara signifikan. Pada tahun 2010 DAK bidang jalan dialokasikan sebesar Rp. 2,81 triliun, pada tahun 2011 meningkat sebesar 38,8 persen menjadi Rp3,90 trilun dan pada tahun 2012 meningkat sebesar 2,9 persen menjadi Rp4,012 triliun.

DAK bidang jalan diarahkan untuk membantu daerah-daerah dengan kemampuan fiskal rendah atau sedang, dalam rangka mendanai kegiatan pemeliharaan berkala, peningkatan dan pembangunan jalan provinsi, jalan kabupaten/kota yang telah menjadi urusan daerah, untuk mempertahankan dan meningkatkan pelayanan prasarana jalan provinsi, kabupaten dan kota serta menunjang keterhubungan wilayah (domestic connectivity) dalam mendukung pengembangan koridor ekonomi wilayah. DAK Bidang Jalan memiliki peran yang sangat penting dalam upaya pemerintah untuk mempercepat dan memperluas pembangunan ekonomi di daerah melalui peningkatan konektivitas untuk mengurangi disparitas harga antarwilayah. Namun demikian, upaya tersebut masih terkendala belum mendukungnya kondisi infrastruktur jalan provinsi dan kabupaten/kota di daerah.

Pemerintah melalui Kementerian Perhubungan juga memberikan pembiayaan pembangunan perhubungan di Provinsi dan Kabupaten/Kota melalui DAK untuk pembangunan fasilitas keselamatan jalan. Sementara itu dalam tahun 2013, sedang diupayakan dekonsentrasi dan tugas pembantuan kegiatan-kegiatan bidang transportasi darat sebagai berikut:

a. Pengadaan dan pemasangan alat pengujian kendaraan bermotor;

b. Rehabilitasi dermaga sungai dan danau dalam wilayah kabupaten/kota.

Lebih lanjut, pemerintah sependapat dengan Fraksi Partai Amanat Nasional untuk memberikan porsi lebih besar bagi belanja modal. Pemerintah mendukung pertumbuhan investasi dengan melakukan upaya perbaikan struktur APBN untuk lebih mendorong kualitas belanja Pemerintah. Di tahun 2013, Pemerintah bermaksud melakukan penajaman alokasi anggaran belanja agar mampu mendorong pertumbuhan ekonomi ke tingkat yang lebih tinggi. Dengan kebijakan tersebut, diharapkan Pemerintah akan mendapatkan dana tambahan untuk dialokasikan sebagai belanja modal Pemerintah, khususnya untuk pembangunan infrastruktur. Dalam RAPBN tahun 2013, alokasi belanja modal direncanakan sebesar Rp193,8 triliun, atau naik Rp25,2 triliun (14,9 persen) dari pagu anggaran dalam APBNP tahun 2012. Peningkatan alokasi anggaran belanja modal untuk pembangunan

-L.57-

 

infrastruktur tersebut akan digunakan untuk mendukung tercapainya berbagai sasaran dan prioritas pembangunan infrastruktur pada tahun 2013, antara lain adalah tercapainya domestic connectivity yang diharapkan dapat menyerap tenaga kerja dan berdampak mengurangi tingkat pengangguran masyarakat di daerah.

Lebih lanjut, Pemerintah secara prinsip sependapat dengan pandangan Fraksi Partai Amanat Nasional agar porsi yang lebih besar dari transfer ke daerah didorong untuk digunakan sebagai belanja modal, khususnya infrastruktur di daerah, dan pandangan Fraksi Partai Golongan Karya mengenai dibutuhkannya perubahan paradigma pembiayaan infrastruktur nasional. Sejalan dengan itu Pemda diharapkan melakukan perbaikan kualitas belanja (spending quality) APBD yang berpedoman pada performance based, yang pada akhirnya memberi porsi yang lebih besar untuk belanja modal. Harapan tersebut sejalan dengan amanat Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2010 tentang RPJMN Tahun 2010–2014 yang mengamanatkan Pemda untuk melakukan peningkatan belanja modal menjadi sekurang-kurangnya 29 persen dari belanja daerah dalam APBD, khususnya belanja infrastruktur jalan dan jembatan untuk menstimulasi pertumbuhan ekonomi daerah.

Sejalan dengan itu, mengingat penyerapan belanja APBD selama ini juga belum optimal sehingga menimbulkan SILPA yang relatif besar, melalui Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 37 Tahun 2012 tentang penyusunan APBD tahun anggaran 2013 Pemerintah telah mewajibkan Pemda untuk memanfaatkan sisa lebih pembiayaan anggaran (SILPA) bagi penambahan program dan kegiatan prioritas yang dibutuhkan, volume program dan kegiatan yang telah dianggarkan, dan/atau pengeluaran pembiayaan. Pemerintah berharap kondisi tersebut dapat mendorong penggunaan anggaran untuk pembangunan infrastruktur.

Selanjutnya Pemerintah berupaya agar daerah memiliki akses terhadap berbagai alternatif sumber pendanaan infrastruktur daerah. Beberapa kebijakan yang diambil Pemerintah antara lain adalah melakukan Perubahan PP Nomor 54 Tahun 2005 menjadi PP Nomor 30 Tahun 2011 tentang Pinjaman Daerah yang memberikan fleksibilitas kepada daerah untuk mendanai pembangunan infrastrukturnya. Kegiatan infrastruktur yang dapat dibiayai dari pinjaman daerah saat ini tidak lagi terbatas hanya pada kegiatan yang menghasilkan penerimaan langsung tetapi juga dapat untuk kegiatan yang menghasilkan penerimaan tidak langsung.

Pemerintah juga memberi kesempatan kepada daerah untuk menerbitkan Obligasi Daerah sebagaimana termuat dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 111/PMK.07/2012 tentang Tata Cara Penerbitan dan Pertanggungjawaban Obligasi Daerah.

Namun demikian untuk memenuhi prinsip kehati-hatian, Pemerintah juga menetapkan ketentuan terhadap pembiayaan yang bersumber dari pinjaman daerah termasuk di dalamnya obligasi daerah yakni :

− Pemerintah menetapkan batas maksimal defisit APBD setiap bulan Agustus sebelum tahun anggaran baru ditetapkan. Hal ini dilakukan Pemerintah untuk mengendalikan kumulatif defisit APBN dan APBD agar tidak melebihi ketentuan

-L.58-

 

perundang-perundangan yaitu sebesar 3 persen dari Produk Domestik Bruto, sehingga risiko fiskal dapat lebih terjaga.

− Besaran pinjaman daerah dibatasi dengan batasan kumulatif pinjaman daerah termasuk obligasi daerah yaitu jumlah sisa pinjaman ditambah jumlah pinjaman yang akan ditarik tidak melebihi sebesar 75 persen dari jumlah penerimaan umum APBD tahun sebelumnya;

− Daerah harus memiliki Rasio kemampuan keuangan daerah untuk mengembalikan pinjaman/Debt Service Coverage Ratio (DSCR) paling sedikit 2,5 (dua koma lima)

− Pinjaman daerah harus mendapat persetujuan DPRD guna menjamin komitmen Pemda dan DPRD dalam memenuhi kewajibannya.

− Pemerintah juga menetapkan prasyarat bagi daerah yang akan menerbitkan obligasi daerah yaitu hanya Pemda dengan Laporan Keuangan Pemerintah Daerah yang mendapat opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) atau Wajar Dengan Pengecualian (WDP) yang dapat mengusulkan penerbitan Obligasi Daerah.

− Penerbitan obligasi Daerah juga harus tetap mengikuti peraturan yang dikeluarkan oleh otoritas Pasar Modal yang menjunjung tinggi prinsip-prinsip good governance.

Penerbitan Obligasi Daerah hanya dapat dilakukan di pasar modal domestik dan dalam mata uang rupiah, untuk menghindari risiko kurs dan risiko lain yang berkaitan dengan valuta asing atas penerbitan obligasi daerah.

Menanggapi pandangan Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan mengenai penyerapan belanja modal yang belum berjalan efektif dapat disampaikan tanggapan sebagai berikut. Belanja modal peningkatan alokasi belanja modal pada RAPBN 2013 tersebut dalam rangka mengakomodasi keperluan anggaran untuk:

1) Meningkatkan anggaran infrastruktur untuk mendukung ketahanan energi, ketahanan pangan, dan domestic connectivity, serta destinasi pariwisata;

2) Mendukung pendanaan kegiatan multiyears dalam rangka menjaga kesinambungan program dan pendanaan pembangunan;

3) Meningkatkan kapasitas mitigasi dan adaptasi terhadap dampak negatif perubahan iklim (climate change).

Sejalan dengan meningkatnya alokasi belanja modal, Pemerintah secara konsisten berupaya melakukan peningkatan efisiensi belanja modal untuk meningkatkan alokasi anggaran bagi kegiatan yang lebih produktif, khususnya pembangunan infrastruktur dengan membatasi/mengurangi komponen-komponen pendukung yang tidak terkait langsung dengan pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat, antara lain pembangunan gedung baru yang sifatnya tidak langsung menunjang tugas dan fungsi kementerian negara/lembaga, antara lain mess, wisma, rumah dinas, rumah jabatan, dan gedung pertemuan. Di samping itu upaya

-L.59-

 

sinergitas antara rencana kebutuhan anggaran dengan data asset negara telah merujuk rencana kebutuhan gedung sehingga ‘pemborosan’ anggaran karena adanya asset negara yang idle di satu sisi dengan kebutuhan gedung bagi pelayanan publik di sisi lain dapat dijembatani. Upaya tersebut dilakukan Pemerintah untuk meningkatkan kualitas belanja infrastruktur untuk mendukung percepatan pembangunan infrastruktur. Pembangunan infrastruktur dipercepat untuk memperkuat domestic connectivity, ketahanan energi dan ketahanan pangan, melalui pembiayaan pemerintah, dunia usaha, dan kerjasama pemerintah dan swasta. Selain itu, alokasi anggaran infrastruktur pada tahun 2013 juga diprioritaskan untuk pembangunan infrastruktur pelabuhan, berupa penyediaan sarana dan prasarana transportasi sungai, danau dan penyeberangan (SDP), pengelolaan prasarana lalu lintas sungai, danau, dan penyeberangan di 61 dermaga, serta pengembangan pembangunan dan pengelolaan pelabuhan perikanan di 25 lokasi. Dengan meningkatnya pembangunan infrastruktur yang akan dilakukan baik oleh Pemerintah maupun swasta tersebut diharapkan dapat menambah kesempatan kerja, yang pada gilirannya akan meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat.

Terhadap kekhawatiran Fraksi Partai Keadilan Sejahtera mengenai pembangunan jalan tol yang akan mendorong konversi lahan pertanian produktif menjadi semakin masif, dapat disampaikan tanggapan sebagai berikut. Perencanaan pembangunan proyek jalan tol, tentunya telah melalui kajian lingkungan hidup/analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL) yang memadai, sebelum akhirnya eksekusi proyek dilakukan. Selain itu, pemerintah juga memperhatikan lahan pertanian produktif. Karena itu, untuk mengantisipasi alih fungsi lahan pertanian produktif yang tinggi, telah diterbitkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (PLPPB). Pemerintah juga telah menetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2011 tentang Penetapan dan Alih Fungsi Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan, Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2012 tentang Insentif Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan, Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2012 tentang Sistem Informasi Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan, Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 2012 tentang Pembiayaan Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan, dan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 7/Permentan/OT/140/2/2012 tentang Pedoman Teknis Kriteria dan Persyaratan Kawasan, Lahan, dan Lahan Cadangan Pertanian Pangan Berkelanjutan.

Namun demikian, tidak jarang pembangunan jalan tol tersebut justru memicu alih fungsi lahan pertanian produktif yang tinggi. Hal ini terjadi, salah satunya karena belum adanya peraturan di tingkat daerah (provinsi dan kabupaten/kota), yang menjabarkan lebih lanjut amanat dari Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (PLPPB), serta belum adanya penetapan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), baik tingkat provinsi maupun kabupaten/kota pada sebagian besar wilayah di Indonesia. Selain itu, tingkat alih fungsi lahan yang tinggi yang terjadi selama ini juga didorong oleh preferensi para pemilik lahan pertanian yang cenderung berkeinginan menjual

-L.60-

 

lahannya apabila harga tanah naik. Untuk itu, Pemerintah telah menetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2012 tentang Insentif Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan yang secara khusus mengatur tentang pemberian insentif (dalam bentuk subsidi) bagi para pemilik lahan pertanian produktif yang menahan lahannya untuk tidak dijual, dan mengenai perlindungan dan pemberdayaan petani untuk melindungi petani dari risiko gagal panen.

Lebih lanjut, pemerintah sependapat dengan Fraksi Partai Keadilan Sejahtera untuk fokus kepada pembangunan sarana transportasi masal yang integrated, connected, dan user friendly. Pemerintah telah mendorong pembangunan transportasi masal di Indonesia antara lain berupa bantuan pengadaan bus angkutan massal perkotaan (bus rapid transit), sampai dengan tahun 2012 telah dilaksanakan bantuan pengadaan bus sebanyak 263 unit bus dan 170 unit bus melalui pemerintah daerah setempat. Dalam pengadaan bus rapid transit tersebut, disediakan bus yang telah menggunakan mesin Euro II Engine PS≥120 yang lebih bersahabat dengan lingkungan dalam upaya mengurangi pencemaran lingkungan dan dalam upaya mendukung pembangunan yang berwawasan lingkungan. Sedangkan untuk tahun 2013 telah diprogramkan bantuan pengadaan bus rapid transit sebanyak 40 unit. Pemerintah dan Pemda DKI juga telah bekerja sama untuk melakukan pembangunan Mass Rapid Transit (MRT). Selain itu juga Pemerintah melakukan pengadaan kapal penyeberangan di daerah-daerah perintis yang belum terlayani oleh pihak swasta, sehingga diharapkan tersedia pelayanan perintis penyeberangan yang dapat menghubungkan daerah tertinggal ke pusat pertumbuhan yang diharapkan dapat membuka akses transportasi yang lebih baik, sehingga dapat mendorong pertumbuhan ekonomi di daerah-daerah terpencil/pedesaan.

Selanjutnya, sehubungan dengan pandangan yang disampaikan oleh Fraksi Partai Keadilan Sejahtera agar Pemerintah mampu menciptakan iklim investasi yang kondusif, dapat disampaikan bahwa Pemerintah telah berupaya untuk melakukan investasi di berbagai bidang. Selain investasi di bidang infrastruktur, Pemerintah juga mempunyai kewajiban lain, yaitu pelayanan di bidang kesehatan, pendidikan, dan kesejahteraan sosial, namun pada sisi lain, kapasitas kemampuan pemerintah relatif terbatas. Oleh sebab itu, untuk mewujudkan dan mencapai sasaran-sasaran tersebut, Pemerintah terus memperkuat sisi regulasi dan kelembagaan keuangan, termasuk di dalamnya lembaga perbankan dan nonperbankan. Pemerintah telah berusaha mengoptimalkan kegiatan investasi, baik oleh pihak swasta maupun pemerintah, sehingga menjadi terarah, seperti yang telah diagendakan di dalam RPJMN. Untuk sementara ini, dalam rangka peningkatan investasi di bidang infrastruktur, pendanaannya dilakukan dengan skema Kerjasama Pemerintah Swasta (KPS), yang didukung oleh perbaikan iklim investasi melalui penyempurnaan pada sisi regulasi, dukungan penjaminan, serta mengembangkan alternatif sumber pembiayaan infrastruktur. Dengan skema ini, peran Pemerintah adalah sebagai pengungkit swasta, sehingga dengan jumlah dana yang sama dapat di capai output yang lebih besar.

-L.61-

 

Menjawab pertanyaan dari Fraksi Partai Gerakan Indonesia Raya, Fraksi Partai Amanat Nasional, Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, dan Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan mengenai anggaran kesehatan, dapat disampaikan tanggapan sebagai berikut. Pemerintah sependapat dengan Anggota Dewan yang terhormat berkaitan dengan anggaran kesehatan yang perlu mendapat prioritas yang memadai. Pemerintah terus berkomitmen untuk meningkatkan anggaran kesehatan sampai pada batas yang layak, sekaligus terus memperbutkan efektivitas dan efisiensi penggunaan anggaran secara lebih fokus dan tepat sasaran. Jumlah anggaran kesehatan dalam RAPBN TA 2013 adalah sebesar Rp50,9 triliun (3,1 persen dari total Belanja Negara), yang dialokasikan melalui: (1) Kementerian Negara/Lembaga sebesar Rp43,7 triliun (8,0 persen dari total belanja Kementerian Negara/Lembaga); (2) Non-Kementerian Negara/Lembaga sebesar Rp3,0 triliun; dan (3) transfer daerah sebesar Rp4,2 triliun. Alokasi anggaran fungsi kesehatan tersebut dilaksanakan oleh beberapa Kementerian Negara/Lembaga di samping Kementerian Kesehatan, yaitu antara lain: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Badan Pengawas Obat dan Makanan, Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat, Kementerian Pekerjaan Umum, Kementerian Lingkungan Hidup, Kementerian Riset dan Teknologi, Kementerian Pertanian, dan Kementerian Kelautan dan Perikanan. Amanat untuk mengalokasikan anggaran kesehatan sebesar lima persen dari APBN diatur dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, yang bukan merupakan peraturan/undang-undang yang bersifat khusus (lex specialis) di bidang keuangan negara. Namun demikian, hal itu tidak mengurangi komitmen pemerintah untuk selalu meningkatkan kualitas dan kuantitas layanan kesehatan.

Belum terpenuhinya anggaran kesehatan sebesar lima persen tidak mengurangi upaya optimalisasi pembangunan kesehatan dalam mencapai target-target yang ditetapkan. Berbagai upaya dilakukan melalui optimalisasi kegiatan yang mempunyai dampak signifikan terhadap percepatan pembangunan dan mengurangi kegiatan yang tidak berdampak terhadap pencapaian target.

Pencapaian target MDGs bidang kesehatan secara umum sudah mencapai beberapa target (on-track), namun masih ada beberapa target yang masih perlu perhatian khusus (off-track) yaitu angka kematian ibu per 100.000 kelahiran hidup dan proporsi orang dengan HIV/AIDS. Berkenaan dengan hal tersebut ada beberapa hal yang perlu diperkuat yaitu:

a. Fokus perhatian terutama diarahkan terhadap pencapaian tujuan, target dan indikator MDGs yang masih perlu perhatian khusus

b. Memperkecil disparitas antar daerah dalam pencapaian target MDGs

c. Menjamin dan mengawal target tahunan indikator MDGs pada Kementerian Lembaga di Pusat dan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) di Daerah dengan didukung oleh sumber daya yang memadai

-L.62-

 

d. Pengalokasian sumber daya kepada Provinsi, Kabupaten dan Kota yang kinerja pencapaian tujuan, target dan indikator MDGs masih dibawah rata-rata

e. Memperkuat koordinasi perencanaan dan penganggaran pada Kementerian Lembaga dan SKPD di Provinsi dan Kabupaten/Kota

f. Memperkuat komitmen DPR dan DPRD serta sektor swasta dan masyarakat dalam mendukung pembiayaan MDGs

g. Memberikan insentif kepada daerah yang menunjukkan kinerja pencapaian MDGs yang baik

h. Memperkuat monitoring dan evaluasi pencapaian tujuan, target dan indikator MDGs

Menjawab pertanyaan dari Fraksi Partai Gerakan Indonesia Raya dan Fraksi Partai Persatuan Pembangunan mengenai anggaran pada sektor pertahanan dan keamanan, dapat disampaikan tanggapan sebagai berikut. Peningkatan anggaran Kementerian Pertahanan dan Polri bertujuan secara umum untuk meningkatkan kemampuan pertahanan negara sebagai upaya untuk mewujudkan salah satu tujuan nasional sebagaimana tercantum dalam pembukaan UUD 1945 yaitu melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, serta mewujudkan sasaran prioritas pembangunan bidang pertahanan dan keamanan sebagaimana tercantum dalam Rencana Kerja Pemerintah tahun 2013. Prioritas pembangunan bidang pertahanan dan keamanan tahun 2013 yang merupakan tahun keempat RPJMN 2010–2014 adalah: (1) Peningkatan kemampuan pertahanan menuju minimum essential force; (2) Pemberdayaan industri pertahanan nasional; (3) Pencegahan dan penanggulangan gangguan keamanan dan pelanggaran hukum di laut (illegal fishing dan illegal logging); (4) Peningkatan rasa aman dan ketertiban masyarakat; (5) Modernisasi deteksi dini keamanan nasional; dan (6) Peningkatan kualitas kebijakan keamanan nasional. Keenam prioritas bidang tersebut dilaksanakan dalam rangka mewujudkan sasaran pokok pembangunan bidang Hankam 2010–2014 yaitu peningkatan kemampuan pertahanan negara dan kondisi keamanan dalam negeri yang kondusif, sehingga aktivitas masyarakat dan dunia usaha dapat berlangsung dengan aman dan nyaman.

Sementara itu, meskipun beberapa indikator keberhasilan pembangunan keamanan menunjukkan peningkatan yang lebih baik, namun tidak dapat dipungkiri bahwa ada beberapa kasus gangguan keamanan dan ketertiban yang menimbulkan keraguan keberhasilan penciptaan kondisi keamanan dan ketertiban masyarakat. Oleh karena itu, pembangunan bidang pertahanan dan keamanan akan ditekankan pada peningkatan profesionalisme yang didukung sarana dan prasarana yang memadai dan peningkatan kesejahteraan.

Peningkatan kinerja kepolisian dilaksanakan melalui reformasi birokrasi yang saat ini telah memasuki gelombang kedua dan disinergikan dengan revitalisasi Polri yang digariskan dalam rangka mewujudkan pelayanan prima untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat. Upaya tersebut menghasilkan beberapa capaian yang dianggap signifikan meningkatkan kinerja atau citra Polri di masyarakat.

-L.63-

 

Sepanjang tahun 2011, jumlah kejahatan konvensional yang terjadi mencapai 247.443 perkara, sedangkan pada tahun 2010 jumlahnya mencapai 252.566 perkara (terjadi penurunan sebesar 2,02 persen). Dari berbagai jenis kejahatan konvensional, ada enam jenis kejahatan yang banyak menimpa masyarakat, yaitu pencurian dengan pemberatan, pencurian kendaraan bermotor, penipuan, penggelapan, penganiayaan berat, dan perjudian. Kondisi ini menggambarkan bahwa pemicu terjadinya tindak kejahatan motifnya didorong oleh keterdesakan ekonomi, keterbatasan lapangan kerja, serta upaya pemenuhan gaya hidup yang tidak sesuai dengan kemampuannya. Berdasarkan RPJMN 2010–2014, sasaran penuntasan kejahatan konvensional, transnasional, kontingensi, serta kekerasan terhadap perempuan dan anak adalah sebesar 55 persen. Namun demikian, dalam tiga tahun terakhir perkembangannya menunjukkan penurunan, meskipun berbagai pembenahan kebijakan untuk meningkatkan profesionalisme Polri telah dilakukan. Secara berturut-turut penuntasan kejahatan pada tahun 2009 sebesar 64,73 persen, tahun 2010 sebesar 54,61 persen, dan pada tahun 2011 sebesar 53 persen. Dari jenis kejahatan yang ada, kejahatan konvensional menduduki urutan rendah dalam penyelesaian perkara, yaitu 51 persen pada tahun 2011. Di samping jumlah kasusnya paling banyak, penyelesaian kejahatan konvensional relatif kurang mendapatkan perhatian publik. Masyarakat cenderung melihat penyelesaian kejahatan non konvensional yang menonjol seperti terorisme, korupsi, penyelundupan manusia, narkoba, atau tindak kriminal yang menimpa politikus, selebriti, atau kejahatan tidak biasa seperti kasus pembunuhan berantai yang berlatar belakang penyimpangan seksual.

Untuk meningkatkan rasa aman dan ketertiban masyarakat tersebut, pemerintah terus meningkatkan upaya: (a) menurunkan angka kejadian kriminal (criminal index) dan meningkatkan presentasi penuntasan kejahatan clearance rate yang meliputi kejahatan konvensional, transnasional, kontinjensi, dan kejahatan berbasis gender; (b) meningkatkan pemantauan dan pendeteksian potensi tindak terorisme dan meningkatkan kemampuan dan keterpaduan dalam pencegahan dan penanggulangan tindak terorisme; (c) meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga kepolisian; dan (d) menurunkan angka penyalahgunaan narkoba dan menurunnya peredaran gelap narkoba.

Menanggapi pandangan Fraksi Partai Golongan Karya mengenai belum ada kebijakan politik anggaran yang konkret terhadap program swasembada pangan, dapat disampaikan penjelasan sebagai berikut. Pemerintah menyadari masih adanya potensi terjadinya krisis pangan sebagaimana yang terjadi pada periode 2005-2008 dengan harga komoditas pangan mengalami gejolak naik dan turun secara amat tajam dalam kurun waktu yang sangat cepat. Dengan demikian, membangun dan mempertahankan ketahanan pangan (food security) secara berkelanjutan merupakan salah satu elemen penting dalam misi mencapai kesejahteraan rakyat Indonesia dan menjadi salah satu prioritas pembangunan jangka menengah (2010-2014). Salah satu sasaran di bidang ketahanan pangan adalah terpeliharanya dan terus meningkatnya kemampuan swasembada beras (surplus beras 10 juta ton mulai

-L.64-

 

tahun 2014) dan komoditas pangan utama lainnya (pertumbuhan produksi jagung 8,3 persen dan kedelai 18,4 persen).

Untuk mencapai sasaran tersebut, khususnya terkait dengan swasembada beras, jagung, dan kedelai, dalam tahun 2013 akan dilaksanakan berbagai kegiatan, antara lain: (1) pencetakan sawah seluas 100 ribu hektar; (2) perluasan areal hortikultura/ perkebunan/peternakan seluas sekitar 16 ribu hektar; (3) optimasi, konservasi, rehabilitasi, dan reklamasi lahan terlantar seluas lebih dari 146 ribu hektas; (4) pengembangan jaringan dan optimasi air untuk mendukung tanaman pangan, hortikultura, peternakan, dan perkebunan pada areal seluas lebih dari 524 ribu hektar; (5) peningkatan luas layanan irigasi seluas sekitar 107 ribu hektar; (6) bantuan langsung benih unggul padi (112.625 ton), jagung (3.900 ton), dan kedelai (18.200 ton).

Pemerintah sejalan dengan pandangan Fraksi Partai Golongan Karya bahwa ketahanan ekonomi nasional akan semakin kuat apabila dilakukan pembatasan impor terhadap komoditas yang sudah dapat diproduksi dalam negeri. Untuk itu pemerintah akan terus berupaya untuk mengendalikan impor bahan pangan terutama beras, di tengah adanya potensi gangguan produksi pertanian bahan pangan dalam negeri dan gangguan distribusi pangan akibat iklim yang buruk dan kurang baiknya sarana dan prasarana transportasi yang pada akhirnya dapat mengganggu stabilitas harga pangan di dalam negeri.

Menjawab pertanyaan dari Fraksi Partai Gerakan Indonesia Raya mengenai ketahanan pangan, dapat disampaikan tanggapan sebagai berikut. Anggaran sektor Pertanian dalam APBN tidak hanya dialokasikan melalui Kementerian Pertanian namun juga dialokasikan melalui anggaran non kementerian Negara/lembaga (K/L). Alokasi anggaran sektor pertanian dialokasikan melalui Kementerian Pertanian dalam fungsi pertanian, kehutanan, kelautan dan perikanan sementara untuk non K/L dialokasikan melalui subsidi pupuk, subsidi benih, subsidi kredit program, subsidi pangan. Sementara itu, dialokasikan melalui transfer ke daerah (dana alokasi khusus bidang pertanian). Alokasi anggaran sektor pertanian tersebut ditujukan untuk peningkatan kesejahteraan petani, melalui penciptaan lapangan kerja di pedesaan, mendorong pertumbuhan ekonomi, serta mewujudkan ketahanan pangan nasional melalui revitalisasi pertanian. Dalam RKP 2013, keberpihakan pemerintah terhadap sektor pertanian dapat dilihat dengan masuknya ketahanan pangan sebagai salah satu prioritas pembangunan nasional.

Dalam tahun 2013, sektor pertanian diperkirakan tumbuh sebesar 3,7 persen. Sektor pertanian ditingkatkan dengan memperkuat ketahanan pangan nasional dalam rangka mencapai sasaran surplus beras 10 juta ton pada tahun 2014 serta meningkatkan produksi berbagai komoditi pangan lainnya, diversifikasi pangan dan stabilisasi harga pangan dalam negeri, serta peningkatan kesejahteraan petani dan nelayan. Kebijakan dalam rangka ketahanan pangan yang dijalankan Pemerintah antara lain: (a) peningkatan produksi pangan, terutama upaya menuju surplus beras 10 juta ton tahun 2014, serta pencapaian produksi perikanan 22,39 juta ton pada tahun 2014; (b) stabilisasi harga pangan terutama beras di dalam negeri;

-L.65-

 

(c) pemantapan penganekaragaman pangan berbasis sumber daya lokal; dan d) perlindungan dan pemberdayaan petani serta peningkatan kesejahteraan petani.

Bila dibandingkan total anggaran tahun-tahun sebelumnya, anggaran pertanian terutama yang berada di bawah Kementerian Pertanian selalu mengalami kenaikan.

Terhadap pandangan dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera mengenai kebijakan reformasi agraria untuk meningkatkan produksi pangan nasional dapat disampaikan tanggapan sebagai berikut. Pada dasarnya pemerintah sependapat dengan masukan tersebut. Pada tahun anggaran 2012, Pemerintah telah mengalokasikan anggaran untuk program redistribusi tanah sejumlah 149.000 bidang tanah pertanian seluruh Indonesia, dan pada tahun anggaran 2013 akan dialokasikan untuk 180.000 bidang tanah. Redistribusi tanah akan dilakukan melalui mekanisme yang sangat ketat. Syarat utama mereka yang bisa menerima tanah melalui program landreform antara lain; miskin, tidak memiliki tanah, punya tanah tetapi luasnya kecil, dan lain-lain. Pemanfaatan hasil redistribusi tanah akan diikuti dengan pemberdayaan masyarakat petani penerima redistribusi, sehingga tanah yang diredistribusikan akan dimanfaatkan dengan baik, dengan demikian akan membantu upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat dan juga peningkatan produksi pangan nasional.

Pemberdayaan masyarakat petani penerima redistribusi dimaksud dapat melalui upaya bimbingan-bimbingan teknis pertanian, fasilitas sarana produksi pertanian (benih, pupuk), akses permodalan, pasar/tata niaga.

Menanggapi pertanyaan mengenai ketahanan pangan terkait dengan kebijakan Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI), pemerintah sepakat dengan pandangan Fraksi Partai Keadilan Sejahtera tentang perlunya implementasi MP3EI untuk tetap mempertahankan luas lahan dan sawah dan melarang konversi tanah-tanah pertanian. Oleh karena itu salah satu program pembangunan jalan tol Trans-Jawa dalam MP3EI diupayakan untuk tidak mengambil lahan-lahan pertanian produktif di Pulau Jawa. Hal tersebut sesuai amanat Undang-undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan beserta peraturan-peraturannya, yaitu: 1) Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 2012 tentang Pembiayaan Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Perkelanjutan, 2) Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2012 tentang Insentif Perlindungan Lahan Pangan Berkelanjutan, 3) Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2012 tentang Sistem Informasi Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan, dan 4) Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2011 tentang Penetapan dan Alih Fungsi Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan, dan 5) Peraturan Menteri Pertanian Nomor 7/Permentan/OT/140/2/2012 tentang Pedoman Teknis Kriteria dan Persyaratan Kawasan, Lahan, dan Lahan Cadangan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Upaya tersebut juga perlu diikuti dengan penetapan rencana tata ruang wilayah (RTRW) di pulau Jawa sehingga dalam pembangunan sarana infrastrukur perhubungan tidak akan menggunakan lahan pertanian produktif yang sudah ada.

-L.66-

 

Namun demikian Pencapaian prioritas nasional tersebut tetap akan diselaraskan dengan program-program dalam MP3EI yang akan dilaksanakan oleh kementerian negara/lembaga (K/L) dan Satuan Kerja Perangkat Daerah di setiap wilayah. Pengembangan lumbung padi di Papua dan kepulauan Maluku dilakukan dalam upaya melakukan perluasan pengembangan produksi pangan dengan memanfaatkan lahan yang terdapat di kedua pulau tersebut. Peningkatan produksi pangan di pulau Jawa tetap dilakukan namun lebih difokuskan pada kegiatan yang bersifat intensifikasi pertanian.

Terkait sensus terhadap lahan pertanian produktif, pemerintah telah melakukan pemetaan lahan sawah di pulau Jawa dan Madura, serta di luar pulau Jawa yang sedang dilakukan pada tahun 2012. Hasil pemetaan tersebut dapat digunakan oleh pemerintah daerah dalam menetapkan lokasi-lokasi lahan pertanian produktif yang tidak boleh dikonversi dalam rangka pelaksanaan Undang-undang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Pertanian Berkelanjutan.

Rencana pembangunan jalan tol Trans Jawa merupakan kebijakan prioritas pemerintah yang tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005-2025, Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2004-2009 dan RPJM 2010-2014. Pembangunan jalan tol tersebut bertujuan untuk meningkatkan kegiatan ekonomi dan sosial terutama pada daerah yang telah berkembang serta meningkatkan pergerakan manusia dan barang terutama dari/ke pusat-pusat pelayanan atau produksi/pusat kota dari dan ke pusat-pusat permukiman/konsumsi, serta memberikan multiplier effect terhadap kegiatan perekonomian dan sosial serta pengembangan wilayah di samping meningkatkan aksesibilitas serta mengurangi kemacetan dan tingkat polusi.

Dalam penetapan ruas-ruas yang akan dibangun, pemerintah telah melakukan kajian yang lebih detil, dengan mempertimbangkan aspek tata ruang serta meminimalisasi konversi lahan pertanian pada wilayah yang akan dibangun ruas jalan tol. Kajian yang telah dilaksanakan telah mempertimbangkan aspek sosial lingkungan, aspek ekonomi, aspek pengembangan wilayah, aspek fiskal, aspek bisnis serta aspek transportasi.

Di samping itu, jalan tol merupakan jalan tertutup yang tidak memberikan ruang bagi konversi lahan pada sisi kanan-kiri jalan tol untuk aktivitas ekonomi, sehingga kekhawatiran terhadap alih fungsi lahan pertanian produktif yang dapat menggagalkan program ketahanan pangan dapat dihindarkan.

Pada beberapa kajian yang telah dilakukan, pembangunan jalan tol dapat memberikan manfaat baik manfaat langsung maupun manfaat tidak langsung. Manfaat langsung merupakan manfaat yang diterima oleh masyarakat pengguna jalan dalam bentuk penghematan biaya operasi kendaraan dan waktu perjalanan, bagi pemerintah akan terjadi peningkatan penerimaan fiskal yang dapat ditunjukkan dengan peningkatan pendapatan asli daerah (PAD) dari sektor jalan. Sementara itu untuk pelaku bisnis, manfaat pembangunan jalan tol akan berasal dari penerimaan tol. Manfaat tidak langsung adalah manfaat yang secara tidak langsung akan dapat

-L.67-

 

dinikmati oleh masyarakat sekitar jalan tol, perekonomian lokal, regional dan nasional serta akibat dari berkembangnya kawasan/wilayah sekitar jalan tol atau yang terhubungkan oleh jalan tol. Manfaat tersebut dapat diidentifikasi sebagai manfaat dari aspek sosial lingkungan yang diwakili oleh peningkatan kesempatan kerja/penyerapan tenaga kerja, aspek ekonomi yang diwakili oleh peningkatan harga tanah.

Di samping itu, pada saat konstruksi sendiri akan dapat men-generate kegiatan ekonomi lokal, penciptaan lapangan kerja, peningkatan pendapatan pekerja, peningkatan pendapatan pekerja, dan peningkatan pendapatan pajak serta menghidupkan sektor industri konstruksi dan pembiayaan. Pengoperasian jalan tol akan memberikan dampak langsung (direct benefit) seperti penghematan waktu dan jarak tempuh, penghematan biaya operasi kendaraan, dan peningkatan keselamatan lalu lintas. Selain itu, masih banyak indirect effect yang dapat didefinisikan sebagai konsekuensi atas pengurangan biaya transport, meningkatnya parameter-parameter mobilitas dan aksesibilitas serta efek-efek lanjutan berupa pertumbuhan ekonomi serta tumbuh/berkembangnya wilayah baik sepanjang koridor maupun wilayah asal tujuan. Sebagai contoh, pengurangan biaya transportasi truk pengiriman barang akan mengurangi biaya produksi barang sehingga barang yang dihasilkan lebih kompetitif yang berarti produsen akan dapat mengembangkan bisnis lebih lanjut (business expansion).

Menjawab pertanyaan dari Fraksi Partai Amanat Nasional mengenai swasembada pangan, dapat disampaikan tanggapan sebagai berikut. Pemerintah saat ini sangat berkomitmen dalam upaya mencapai target pencapaian swasembada pangan. Tingginya demand komoditas pangan belum dapat diikuti oleh supply dan tingkat produksi komoditas pertanian dari dalam negeri mengakibatkan pada waktu-waktu tertentu pemerintah perlu melakukan impor komoditas pangan dalam rangka memenuhi kebutuhan konsumsi dalam negeri. Perubahan iklim yang tidak menentu menjadi salah satu faktor utama penyebab menurunnya tingkat produksi komoditas pangan di Indonesia. Hal tersebut telah ditindaklanjuti melalui diterbitkannya Inpres Nomor 5 Tahun 2011 tentang Pengamanan Produksi Beras Nasional dalam Menghadapi Iklim Ekstrim. Selain dalam upaya pemenuhan konsumsi dalam negeri, impor perlu dilakukan dalam upaya memenuhi stok cadangan dalam negeri untuk menjaga stabilisasi harga pangan.

Oleh karena itu pemerintah saat ini juga berupaya untuk dapat mengantisipasi dampak perubahan iklim tersebut terutama dengan melakukan penelitian-penelitian untuk meningkatkan manajemen pertanian yang memiliki daya adaptasi yang handal terhadap perubahan iklim.

Selain itu, dalam upaya memenuhi kebutuhan domestik, pemerintah saat ini menggalakkan program Rumah Pangan Lestari. Kegiatan tersebut bertujuan untuk dapat meningkatkan pemenuhan kebutuhan konsumsi rumah tangga melalui peran serta wanita dalam meningkatkan pemanfaatan pekarangan rumah masing-masing yang terbatas melalui kegiatan penanaman berbagai macam tanaman pertanian yang diperlukan dalam konsumsi sehai-hari.

-L.68-

 

Pemerintah juga sepakat dengan pendapat Fraksi Partai Amanat Nasional untuk meningkatkan tata manajemen pertanian menjadi lebih baik, dimana dalam melindungi lahan pertanian terutama lahan pertanian subur telah dikeluarkan Undang-undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan beserta peraturan-peraturannya.

Menjawab pertanyaan dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera mengenai investasi infrastruktur kelautan dalam kerangka industrial maritime chain yang komprehensif, dapat disampaikan tanggapan sebagai berikut. Pemerintah sepakat bahwa pengembangan sektor kelautan secara terpadu merupakan salah satu pendorong pembangunan ekonomi mengingat potensi Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar. Pembangunan ekonomi kelautan, baik perikanan, perhubungan, pariwisata, maupun pertambangan, merupakan pembangunan multi sektor yang memerlukan peningkatan keterpaduan.

Sementara itu, untuk meningkatkan produktivitas dan nilai tambah produk serta meningkatkan daya saing, industrialisasi perikanan dilakukan dengan strategi penataaan sistem dan manajemen yang mencakup:

1. Pengembangan komoditas berorientasi pasar

2. Pengembangan sentra produksi dan pengolahan

3. Pengembangan infrastruktur

4. Peningkatan kualitas SDM penyuluh, pendata, dan pelayanan teknis

5. Pengembangan iptek

6. Peningkatan keterampilan dan pendampingan pelaku utama dan pelaku usaha

7. Pengembangan kawasan secara berkelanjutan.

Dalam RKP 2013 Buku II termuat kebijakan Lintas Bidang Pembangunan Kelautan Berdimensi Kepulauan yang memfokuskan pembangunan sektor perikanan (penangkapan, budidaya dan pengolahan), perhubungan laut, penyelesaian perbatasan laut, pulau-pulau kecil (dapat sebagai lokasi pariwisata). Hal ini didukung dengan pengembangan sumber daya manusia kelautan, penelitian, dan informasi geospasial kelautan.

Terhadap pandangan Fraksi Partai Demokrat, Fraksi Partai Golongan Karya, Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan dan Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, serta Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa mengenai perlunya menata ulang kebijakan penyaluran subsidi supaya lebih efisien dan lebih tepat sasaran dapat kami sampaikan tanggapan sebagai berikut. Pada dasarnya Pemerintah sependapat dengan masukan tersebut. Dari hasil evaluasi yang dilakukan oleh Pemerintah setiap tahun, memang selayaknya kita dapat mendesain dan mengalokasikan subsidi menjadi lebih efisien, efektif, dan lebih tepat sasaran serta berkeseimbangan dengan kemampuan fiskal nasional dalam jangka panjang.

-L.69-

 

Sejalan dengan itu, Pemerintah terus melakukan langkah perbaikan kebijakan subsidi, mulai dari mengarahkan alokasi subsidi menjadi lebih tepat sasaran, tepat manfaat, dan berkeadilan, serta menjaga ketahanan energi nasional untuk generasi mendatang, hingga melakukan program diversifikasi energi. Kebijakan yang diambil Pemerintah untuk mendukung langkah tersebut antara lain: (1) menyusun sistem seleksi yang ketat dan memperbaiki pola mekanisme yang tepat untuk menentukan sasaran penerima subsidi dengan menggunakan basis data yang valid; (2) mengalokasikan anggaran subsidi yang lebih efisien sesuai dengan target penerima; (3) meningkatkan efisiensi alokasi subsidi BBM; (4) mengendalikan konsumsi BBM bersubsidi melalui pengaturan, pengawasan, dan manajemen distribusi; (5) peningkatan program diversifikasi BBM ke energi alternatif; (6) menurunkan pemakaian BBM pada pembangkit listrik dengan meningkatkan jumlah dan efisiensi penggunaan batubara, gas, panas bumi, air dan biodiesel termasuk energi tata surya; dan (8) mendukung program ketahanan pangan; serta (9) menyalurkan subsidi pupuk dengan skema rencana definitif kebutuhan kelompok (RDKK). Selain itu, pemberian subsidi harus disesuaikan dengan kemampuan keuangan negara dan tetap mempertimbangkan skala prioritas pemberian jenis subsidi.

Untuk itu, Pemerintah sangat mengharapkan dukungan Dewan Perwakilan Rakyat untuk dapat terus mengendalikan dan mengefisienkan anggaran subsidi khususnya subsidi energi guna menjaga kesinambungan dan percepatan pembangunan nasional untuk kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia.

Selanjutnya, menjawab pertanyaan dari Fraksi Partai Gerakan Indonesia Raya agar Pemerintah memperbesar subsidi untuk pangan guna menopang ketahanan pangan dapat disampaikan tanggapan sebagai berikut. Pemerintah mengalokasikan anggaran untuk mendukung ketahanan pangan melalui belanja subsidi dan belanja kementerian negara/lembaga terkait. Anggaran belanja subsidi dalam RAPBN 2013 untuk mendukung ketahanan pangan tersebut meliputi: subsidi pangan, subsidi pupuk, subsidi benih, dan subsidi bunga kredit program untuk bidang pertanian. Sebagian besar subsidi untuk sektor pertanian tersebut dalam tahun 2013 mengalami peningkatan jika dibandingkan dengan APBNP 2012. Namun, untuk subsidi pangan mengalami penurunan karena perubahan parameter rumah tangga sasaran (RTS) yang sebelumnya 17,5 juta RTS pada tahun 2012 menjadi 15,5 juta RTS pada tahun 2013.

Untuk mendukung ketahanan pangan nasional, Pemerintah juga mengalokasikan anggaran untuk dana cadangan stabilisasi harga pangan, Cadangan Beras Pemerintah (CBP), Cadangan Benih Nasional (CBN), Bantuan Langsung Pupuk (BLP), dan Bantuan Langsung Benih Unggul (BLBU). Dalam usaha penguatan ketahanan pangan nasional agar terhindar dari krisis pangan, upaya pemerintah tidak hanya dalam bentuk dukungan fiskal saja, namun diperlukan kebijakan-kebijakan pendukung seperti perbaikan manajemen stok dan distribusi pangan nasional dalam rangka stabilisasi harga pangan, penyediaan lahan-lahan baru dalam

-L.70-

 

rangka peningkatan kapasitas produksi pangan dalam negeri, serta penyediaan dan pembangunan infrastruktur pangan/pertanian.

Terhadap pandangan Fraksi Partai Persatuan Pembangunan agar Pemerintah melakukan inovasi dan terobosan baru dalam pemanfaatan energi terbarukan dan energi alternatif dapat disampaikan tanggapan sebagai berikut. Terkait dengan inovasi pengembangan energi alternatif, pemerintah menyadari bahwa pengembangan energi alternatif tersebut belum sepenuhnya optimal. Namun demikian, pemerintah terus mengupayakan pengembangan dan penggunaan energi alternatif melalui : (1) peningkatan pemakaian energi alternatif berupa penggunaan bahan bakar nabati (bio fuel dan bio diesel) yang dicampurkan dengan BBM; (2) peningkatan bauran energi panas bumi, air, biodiesel untuk pembangkit tenaga listrik; dan (3) pengembangan energi tenaga surya khususnya di daerah-daerah terpencil.

Terhadap pandangan Fraksi Partai Gerakan Indonesia Raya bahwa kebijakan kenaikan harga jual BBM akan dapat menyengsarakan masyarakat yang kurang mampu dapat disampaikan tanggapan sebagai berikut. Di satu sisi, bila dilakukan kebijakan kenaikan harga jual BBM dapat berdampak mengurangi kesejahteraan masyarakat yang kurang mampu. Namun, di sisi lain dampak negatif ke masyarakat yang kurang mampu tersebut dapat kita minimalkan bila dilakukan langkah kebijakan lainnya untuk membantu mengurangi beban ke masyarakat yang kurang mampu tersebut dalam satu kesatuan paket kebijakan.

Hal ini sudah dibuktikan pemerintah pada saat mengeluarkan kebijakan kenaikan harga BBM di tahun 2005 dan 2009 yang diikuti kebijakan lainnya untuk membantu mempertahankan kesejahteraan masyarakat kurang mampu melalui program cash transfer. Kebijakan tersebut terbukti cukup efektif untuk meminimalkan dampak negatif kenaikan harga BBM kepada masyarakat yang kurang mampu.

Pemerintah pada prinsipnya terus berupaya untuk meningkatkan efisiensi anggaran subsidi BBM melalui berbagai kebijakan baik dari sisi permintaan maupun penawaran. Kebijakan penyesuaian harga jual BBM bersubsidi perlu dipertimbangkan dari seluruh aspek secara komprehensif baik dari aspek ekonomi, sosial maupun politik.

Terhadap pandangan Fraksi Partai Keadilan Sejahtera dan Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa mengenai penyempurnaan kebijakan belanja subsidi listrik, dan penyesuaian tarif tenaga listrik (TTL) dapat kami sampaikan tanggapan sebagai berikut. Kebijakan pengendalian anggaran subsidi listrik dapat dilakukan melalui upaya penurunan biaya pokok produksi (BPP) tenaga listrik dan penyesuaian tarif tenaga listrik (TTL). Dari sisi BPP tenaga listrik, upaya yang ditempuh adalah melalui: (1) penurunan komposisi pemakaian BBM dan optimalisasi penggunaan gas; (2) peningkatan bauran energi panas bumi, air, dan biodiesel; (3) percepatan pembangunan pembangkit listrik 10.000 Mega Watt Tahap I dan program Tahap II; dan (4) pengembangan energi tenaga surya khususnya di daerah-daerah terpencil. Sementara itu, adanya rencana pemerintah untuk menyesuaikan TTL pada tahun

-L.71-

 

2013 merupakan salah satu langkah kebijakan untuk mengurangi beban subsidi listrik dalam APBN yang meningkat setiap tahun. Penyesuaian TTL tersebut akan dibahas secara intensif antara Pemerintah dengan DPR dalam rapat komisi dan Panja DPR dalam pembahasan RAPBN 2013.

Menjawab pertanyaan Fraksi Partai Gerakan Indonesia Raya mengenai beban pembayaran bunga utang yang semakin meningkat, dapat kiranya disampaikan penjelasan sebagai berikut. Pada dasarnya timbulnya beban bunga utang merupakan dampak dari pengadaan/penerbitan utang, baik yang baru ataupun yang telah dilakukan pada tahun-tahun sebelumnya. Jumlah bunga utang tersebut setiap tahunnya mengalami fluktuasi, karena menyesuaikan skedul waktu pembayaran masing-masing instrumen utang, dan realisasi berbagai variabel ekonomi makro yang mempengaruhinya, seperti nilai, tukar dan tingkat bunga referensi.

Sementara itu, rasio pembayaran bunga utang terhadap total belanja pemerintah pusat dalam beberapa tahun terakhir justru menunjukkan kecenderungan yang secara relatif, semakin menurun. Hal ini mengindikasikan bahwa Pemerintah semakin memiliki ruang untuk membiayai pembangunan nasional. Sebagai gambaran, bila dibandingkan dengan belanja pemerintah pusat, maka pada tahun 2005 sekitar 18,1 persen dari total belanja pemerintah pusat dialokasikan untuk membayar bunga utang, sementara pada tahun 2009 proporsi tersebut jauh menurun sehingga hanya menjadi 14,9 persen, dan pada tahun 2013 proporsi tersebut semakin menurun diperkirakan hanya 9,9 persen.

Sejauh ini, Pemerintah telah melakukan upaya-upaya dalam mengendalikan beban bunga utang, antara lain dengan mengurangi biaya diskon yang dikeluarkan dengan pemilihan seri dan waktu yang tepat dalam setiap penerbitan SBN, melakukan buyback dan debt switching terhadap SBN yang mempunyai tingkat kupon yang tinggi, memilih pemberi pinjaman secara selektif yang memiliki perencanaan dan preferensi pembiayaan yang lebih jelas dan sesuai dengan kegiatan prioritas, meningkatkan penyerapan pinjaman dan/atau kinerja kegiatan, memaksimalkan tawaran konversi bunga pinjaman luar negeri, dan penggunaan hedging untuk meningkatkan kepastian terhadap pembayaran kewajiban utang baik dari pinjaman maupun SBN.

Menjawab pertanyaan Fraksi Partai Gerakan Indonesia Raya, Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, dan Fraksi Partai Hati Nurani rakyat mengenai beban pembayaran bunga obligasi rekap yang masih dibebankan pada APBN, dapat kiranya disampaikan penjelasan sebagai berikut. Dasar Hukum penerbitan Surat Utang atau Obligasi Negara dalam rangka Program Rekapitalisasi Bank Umum adalah Peraturan Pemerintah Nomor 84 Tahun 1998 tentang Program Rekapitalisasi Bank Umum yang ditetapkan pada tanggal 31 Desember 1998 dan berlaku surut sejak tanggal 9 Desember 1998 (PP Nomor 84 Tahun 1998). Dalam Pasal 7 PP Nomor 84 Tahun 1998 tersebut dimuat bahwa pembiayaan atas penyertaan modal Negara pada Bank Umum dalam rangka program Rekapitalisasi Bank Umum dibebankan kepada APBN. Selain itu, dalam ketentuan Pasal 8 PP Nomor 84 Tahun 1998 disebutkan

-L.72-

 

bahwa dalam rangka pembiayaan atas penyertaan modal Negara pada Bank Umum, Menteri Keuangan berwenang menerbitkan Surat Utang.

Selanjutnya berdasarkan Undang-undang Nomor 24 Tahun 2002 tentang Surat Utang Negara dalam ketentuan Peralihan Pasal 20 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2002 tentang Surat Utang Negara (SUN) disebutkan bahwa Surat Utang atau Obligasi Negara yang diterbitkan berdasarkan PP Nomor 84 Tahun 1998 dinyatakan sah dan tetap berlaku sampai dengan saat jatuh tempo. Konsekuensi dari ketentuan dalam Pasal 20 tersebut adalah berlakunya ketentuan dalam Pasal 8 ayat 2 UU Nomor 24 Tahun 2002 yang menyebutkan bahwa Pemerintah wajib membayar bunga dan pokok SUN pada saat jatuh tempo.

Sebagai informasi tambahan, beban bunga dan pokok obligasi rekap yang ditanggung Pemerintah dari tahun ke tahun semakin menurun seiring dengan jatuh tempo obligasi rekap tersebut. Outstanding surat utang/obligasi rekap sampai dengan tanggal 16 Agustus 2012, berjumlah Rp147,77 triliun atau tersisa sekitar 35 persen dari posisi awal rekap. Sementara itu, komposisi berdasarkan jenis kupon tetap sebesar Rp20,65 triliun (14 persen) yang seluruhnya jatuh tempo pada tahun 2013 dan yang berjenis mengambang Rp127,12 triliun (86 persen) yang akan jatuh tempo pada rentang 2012-2020. Obligasi rekap berjenis mengambang memiliki tingkat kupon yang didasarkan pada hasil lelang SPN 3 bulan terakhir.

Penghentian pembayaran bunga dan/atau pokok obligasi rekap seperti disampaikan Fraksi Partai Gerakan Indonesia Raya, Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, dan Fraksi Partai Hanura selain melanggar ketentuan sebagaimana di atas, juga berpotensi menimbulkan permasalahan baru. Penghentian pembayaran bunga dan/atau pokok obligasi rekap berpotensi menurunkan peringkat kredit Pemerintah, sehingga Pemerintah sulit untuk menerbitkan SBN di pasar keuangan dan menyebabkan pembiayaan APBN melalui SBN akan terganggu. Selain itu akan sulit untuk memulihkan kepercayaan pelaku pasar keuangan apabila Pemerintah menunggak atau tidak membayar bunga dan/atau pokok kewajibannya sesuai ketentuan.

D. DESENTRALISASI FISKAL DAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH

Pemerintah sependapat dengan Fraksi Partai Keadilan Sejahtera bahwa beban belanja pegawai daerah semakin tinggi dan telah berada pada tingkat yang mengkhawatirkan sehingga harus diatasi dan dikendalikan. Secara nasional, belanja pegawai daerah berada di kisaran 45 persen dari total belanja, dan memang terdapat beberapa daerah yang porsi belanja pegawainya sangat tinggi hingga lebih dari 70 persen dari total belanja. Untuk mengendalikan beban belanja pegawai daerah ini, Pemerintah Pusat telah mengambil langkah-langkah, yaitu moratorium penerimaan PNS dan rencana capping belanja pegawai dalam rancangan revisi UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.

-L.73-

 

Dalam masa moratorium tersebut pemerintah pusat dan pemerintah daerah menganalisa jumlah kebutuhan pegawai yang tepat berdasarkan analisis jabatan dan beban kerja serta melakukan penataan organisasi dan penataan PNS dalam kerangka pelaksanaan reformasi birokrasi.

Meskipun demikian, salah satu hal yang perlu dicermati adalah bahwa komposisi pegawai negeri sipil daerah (PNSD) sangat didominasi oleh guru dan tenaga kesehatan (dokter, bidan, perawat, mantri, dan sebagainya). Mengingat bahwa pendidikan dan kesehatan adalah urusan daerah yang sifatnya wajib, maka belanja gaji guru dan tenaga kesehatan merupakan penunjang utama penyelenggaraan urusan wajib tersebut. Gaji guru dan tenaga kesehatan meskipun masuk dalam kategori belanja pegawai/aparatur, namun gaji guru dan tenaga kesehatan secara langsung menyentuh kepentingan layanan publik.

Pemerintah juga sependapat dengan Fraksi Partai Demokrat, mengenai perlunya penerapan reward and punishment kepada daerah dalam konteks implementasi desentralisasi fiskal. Dalam rangka meningkatkan transparansi dan akuntabilitas pengelolaan keuangan negara, reward and punishment ini telah dilaksanakan, antara lain melalui pemberian sanksi kepada daerah-daerah yang terlambat dalam menetapkan dan menyampaikan APBD-nya ke pusat. Hal ini dilakukan untuk mendorong agar APBD dapat ditetapkan secara tepat waktu sehingga dapat segera direalisasikan sebagai belanja daerah. Selain itu, Pemerintah juga memberikan penghargaan kepada daerah-daerah berprestasi, yang diwujudkan dalam pemberian Dana Insentif Daerah (DID). DID ini terutama untuk memberikan apresiasi kepada daerah yang telah menetapkan APBD secara tepat waktu dan hasil opini BPK atas LKPD menunjukkan hasil yang baik (minimum WDP). Mekanisme reward and punishment juga diterapkan dalam hal-hal lain, seperti persyaratan penyaluran DAK, serta reward dalam bentuk nonfiskal melalui penghargaan yang didasarkan atas hasil evaluasi kinerja penyelenggaraan pemerintah daerah.

Menanggapi pernyataan Fraksi Partai Persatuan Pembangunan bahwa tingginya anggaran yang didaerahkan belum mampu meningkatkan PDRB, dapat kiranya disampaikan bahwa anggaran pemerintah daerah memang bukan satu-satunya faktor yang mempengaruhi perekonomian daerah. Transfer ke daerah sebagai salah satu sumber pendapatan daerah digunakan oleh masing-masing pemerintah daerah untuk mendanai seluruh atau sebagian belanja daerah. Penggunaan dana yang berasal dari transfer ke daerah tersebut seharusnya hanya merupakan salah satu bentuk government spending selaku variabel pembentuk PDRB.

Realita yang terjadi adalah secara nasional rata-rata persentase agregat total transfer ke daerah terhadap PDRB memang relatif kecil, dimana selama tiga tahun berturut-turut (2008-2010) hanya sebesar 8,04 persen, 7,28 persen, dan 7,13 persen. Bahkan untuk daerah-daerah di Jawa, besarnya persentase transfer ke daerah terhadap PDRB berada pada kisaran kurang dari 5 persen (terendah adalah DKI Jakarta yang hanya mencapai 1,2 persen). Hal ini menunjukkan bahwa perekonomian di Jawa memang lebih banyak ditopang oleh sektor swasta. Kondisi yang berbeda terjadi di

-L.74-

 

daerah-daerah timur, dimana persentase transfer terhadap PDRB memang cenderung tinggi hingga mencapai kisaran di atas 50 persen (tertinggi di Maluku Utara yang mencapai 68 persen).

Untuk daerah-daerah di Jawa, peran Pemerintah daerah dalam pembangunan ekonomi akan lebih banyak pada desain kebijakan yang mempermudah investasi swasta, mengingat peran anggaran belanja mungkin kurang signifikan. Kebijakan di daerah ini akan termasuk kebijakan perpajakan daerah yang ramah terhadap investasi. Untuk itulah, Pemerintah bersama DPR telah mengeluarkan UU 28/2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang merupakan revisi dari UU sebelumnya dengan tujuan untuk meningkatkan kekuatan perpajakan daerah namun dengan meminimalisir dampak ekonomi biaya tinggi melalui sistem closing list jenis-jenis pajak daerah.

Bagi daerah-daerah yang peranan anggaran daerahnya masih cukup besar dalam pembentukan PDRB, maka strategi anggaran belanja daerah akan menjadi kunci keberhasilan untuk menggerakkan perekonomian daerah. Untuk itulah Pemerintah Pusat selalu menghimbau daerah agar terus meningkatkan belanja infrastruktur yang dapat meningkatkan daya tarik investasi, sesuai karakteristik perekonomian yang ada. Salah satu dukungan Pusat untuk hal ini adalah melalui DAK Infrastruktur, serta program MP3EI yang bersifat jangka panjang guna mendorong percepatan pembangunan ekonomi.

Pada dasarnya Pemerintah sependapat dengan pandangan dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa terutama yang terkait dengan akurasi data, penetapan alokasi dan penyaluran DAK secara tepat waktu. Hal ini sejalan sengan kebijakan DAK diantaranya yaitu meningkatkan akurasi data-data teknis dan menghindari duplikasi kegiatan antar Bidang DAK. Sementara itu, sesuai dengan pasal 58 PP No.55 tahun 2005 tentang Dana Perimbangan disebutkan bahwa penetapan alokasi DAK melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) paling lambat 2 (dua) minggu setelah APBN ditetapkan. Selama ini, sambil menunggu pengesahan UU APBN, segera setelah APBN ditetapkan dalam Sidang Paripurna di DPR, Pemerintah sudah meng-upload alokasi DAK di website www.depkeu.djpk.go.id, dengan tujuan agar daerah dapat segera mengetahui informasi dimaksud untuk dapat digunakan dalam penyusunan APBD. Selanjutnya, penyaluran DAK diatur melalui PMK No.06/PMK.07/2012 tentang Pelaksanaan dan Pertanggungjawaban Anggaran Transfer ke Daerah. Dalam PMK dimaksud diatur bahwa penyaluran DAK dilakukan melalui 3 (tiga) tahap, yaitu tahap I sebesar 30 persen, tahap II sebesar 45 persen, dan tahap III sebesar 25 persen. Ketepatan penyaluran DAK tersebut juga dipengaruhi oleh cepat tidaknya penyerapan DAK didaerah.

Dalam kaitannya dengan pertumbuhan ekonomi, kebijakan DAK tahun 2013 di antaranya juga ditujukan untuk mendukung pencapaian prioritas nasional, mendukung percepatan pembangunan daerah, dan memberikan affirmative kepada daerah tertinggal melalui peningkatan alokasi DAK yang ditujukan kepada 183 kabupaten daerah tertinggal. Sementara itu, kebijakan DAK juga diarahkan untuk membantu daerah-daerah yang memiliki kemampuan keuangan relatif rendah untuk

-L.75-

 

membiayai pelayanan publik dalam rangka mendorong pencapaian SPM, melalui penyediaan sarana dan prasarana fisik pelayanan dasar masyarakat, serta meningkatkan efektivitas belanja daerah.

Pemerintah sependapat dengan Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa mengenai perlunya pemerintah daerah untuk memfokuskan anggaran belanja yang bersumber dari DAU dan DAK untuk kegiatan yang mendukung pertumbuhan ekonomi dan peningkatan kualitas kesejahteraan masyarakat. Sebagaimana diketahui, bahwa dana transfer ke daerah mempunyai sifat dan karakteristik yang berbeda-beda. DAU dan sebagian besar DBH bersifat sebagai block grant, yang berarti dapat digunakan sepenuhnya oleh daerah sesuai kebutuhan dan prioritas tiap-tiap daerah. Keberadaan dana yang bersifat block grant, yang memang sangat dominan dalam transfer ke daerah, dilandasai oleh pemikiran bahwa otoritas di daerah adalah pihak yang paling mengerti kondisi riil di daerahnya masing-masing karena paling dekat dengan masyarakatnya. Hal ini adalah pilihan kebijakan yang merupakan kesepakatan politik yang dituangkan dalam UU yang mengatur mengenai otonomi daerah dan desentralisasi fiskal, yaitu UU 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU 33/2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah.

Berdasarkan peraturan perundangan yang ada, Pemerintah Pusat memang tidak mempunyai kontrol terhadap penggunaan DAU dan sebagian besar DBH. Meskipun demikian, Pemerintah selalu menghimbau kepada daerah agar mengunakan dana-dana tersebut semaksimal mungkin untuk pemenuhan layanan publik dan berorientasi pada peningkatan kesejahteraan masyarakat. Hal ini dilakukan salah satunya dengan pembuatan pedoman penyusunan APBD yang dilakukan setiap tahun serta pelaksanaan evaluasi APBD secara berjenjang oleh Gubernur untuk APBD Kabupaten/Kota dan oleh Pemerintah Pusat untuk APBD Propinsi. Dengan guidance tersebut diharapkan APBD dapat menjadi lebih fokus kepada peningkatan kualitas layanan publik dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Di samping itu, Pemerintah Pusat masih mempunyai alat lain, yaitu melalui DAK yang memang telah didesain untuk fokus pada layanan publik dasar dan strategis, serta bersifat pembangunan fisik sehingga diharapkan benar-benar dapat mendorong pembangunan daerah. Selaras dengan hal tersebut, Pemerintah juga berkomitmen untuk terus mendorong peningkatan alokasi DAK sehingga dana transfer ke daerah mempunyai daya ungkit yang lebih jelas dan tegas bagi upaya peningkatan kualitas pembangunan daerah.

System reward and punishment dalam kebijakan Belanja Daerah telah diimplementasikan dalam penyaluran Dana Perimbangan kepada daerah. Bagi daerah yang terlambat menyampaikan Peraturan Daerah tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah kepada Menteri Keuangan akan dikenakan punishment atau sanksi penundaan penyaluran Dana Perimbangan sebesar 25 persen (dua puluh lima persen) dari jumlah DAU yang diberikan setiap bulannya pada tahun anggaran berjalan. Pengenaan sanksi tersebut dilaksanakan setiap bulan sampai dengan disampaikannya Perda APBD dimaksud.

-L.76-

 

Penundaan penyaluran Dana Alokasi Umum apabila penetapan perda APBD terlambat disampaikan kepada Kementerian Keuangan merupakan suatu langkah agar daerah meningkatkan kepatuhan dalam pemenuhan ketentuan peraturan (compliance) yang bertujuan mempercepat proses pelaksanaan program dan kegiatan terutama sehingga pelayanan publik tidak terganggu.

Selain itu, untuk jenis anggaran transfer ke daerah lainnya yang dalam pencairannya membutuhkan laporan realisasi/penggunaan sampai dengan tahap sebelumnya misalnya untuk Dana Alokasi Khusus kepada daerah yang bersangkutan tidak akan disalurkan alokasi tahap berikutnya. Keterlambatan ini akan memberi dampak pada penyerapan Dana Alokasi Khusus di daerah oleh masing-masing Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD). Demikian halnya dengan Dana Tunjangan Profesi Guru dan Tambahan Penghasilan Guru PNSD bagi daerah yang belum menyampaikan Laporan Pembayaran Dana Tunjangan Profesi Guru dan Tambahan Penghasilan Guru PNSD semester II tahun sebelumnya maka alokasi Triwulan II Dana Tunjangan Profesi Guru dan Tambahan Penghasilan Guru PNSD belum akan disalurkan sampai persyaratan tersebut disampaikan kepada Menteri Keuangan.

Bentuk reward kepada daerah misalnya mulai tahun 2011 telah diwujudkan dalam alokasi Dana Insentif Daerah (DID) yang diberikan kepada Propinsi/Kabupaten/Kota sebagai bentuk penghargaan atas kinerja daerah di bidang pengelolaan keuangan, pendidikan, ekonomi, dan kesejahteraan. Selain itu pada tahun anggaran 2012 dialokasikan Dana Proyek pemerintah Daerah dan Desentralisasi (P2D2) dan pada tahun 2013 pendanaan P2D2 dianggarkan kembali dalam RUU APBN 2013. Alokasi dana P2D2 diberikan kepada daerah percontohan atas keberhasilan mereka dalam melaksanakan kegiatan infrastruktur yang didanai melalui Dana Alokasi Khusus dengan hasil yang sesuai kriteria. Dengan demikian , daerah dipacu tidak hanya untuk kepatuhan saja melainkan lebih kepada kualitas pengelolaan dan penggunaan dana dalam APBD.

Menjawab pertanyaan dari Fraksi Partai Golongan Karya mengenai angka minimum 26 persen dari PDN Neto dalam menetapkan besaran Dana Alokasi Umum (DAU) dalam RAPBN 2013, dapat kiranya dijelaskan sebagai berikut. Penetapan DAU Nasional dalam APBN tidak dapat dipisahkan dari penetapan kebijakan defisit anggaran, mengingat setiap persentase tertentu terhadap PDN Neto memberikan dampak yang cukup signifikan terhadap kenaikan defisit APBN. Kenaikan DAU berimplikasi terhadap kenaikan komponen Transfer ke Daerah lainnya yaitu kenaikan Dana Otonomi Khusus yang mencapai 4 persen dari DAU Nasional, dan peningkatan alokasi anggaran pendidikan sebesar 20 persen dari total belanja negara dalam APBN. Di samping itu, hal tersebut juga ditempuh guna melindungi perekonomian nasional dengan memperhatikan kemampuan keuangan negara, kondisi perekonomian dunia yang pada saat ini masih dalam kondisi ketidakpastian, serta perkembangan harga minyak yang diperkirakan masih tinggi, yang akan memberikan dampak cukup signifikan pada perekonomian nasional, sehingga pada gilirannya Pemerintah akan menanggung beban fiskal yang semakin berat.

-L.77-

 

Meskipun demikian, penetapan total DAU Nasional sangat tergantung dari kemampuan untuk mengoptimalkan perolehan Pendapatan Dalam Negeri. Apabila Pendapatan Dalam Negeri meningkat cukup signifikan, maka tanpa meningkatkan proporsi atau dengan kata lain tanpa meningkatkan persentase tertentu terhadap PDN Neto, secara otomatis DAU akan meningkat secara signifikan. Berkaitan dengan itu, dalam RAPBN 2013, tanpa meningkatkan persentase tertentu terhadap PDN Neto, DAU direncanakan mencapai Rp306,2 triliun, atau secara nominal lebih tinggi Rp32,3 triliun jika dibandingkan dengan alokasi DAU dalam APBNP 2012 sebesar Rp273,8 triliun. Dengan semakin meningkatnya alokasi DAU dalam RAPBN 2013 tersebut, Pemerintah mengharapkan meningkatnya sumber-sumber pendanaan bagi daerah yang berguna dalam membiayai berbagai program pembangunan di daerah, yang pada gilirannya diharapkan akan memberikan dampak positif bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Pemerintah pada prinsipnya sependapat dengan Fraksi Partai Persatuan Pembangunan mengenai pentingnya penajaman prioritas dan efektivitas anggaran yang didaerahkan. Dengan semakin besarnya dana yang diberikan kepada daerah, Pemerintah mengharapkan dampak signifikan bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat. Namun, keberhasilan suatu daerah dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat, juga sangat ditentukan oleh kebijakan keuangan masing-masing pemerintahan daerah. Agar efektif, kebijakan tersebut perlu diarahkan pada alokasi sumber-sumber pendanaan untuk program dan kegiatan yang berorientasi pada kebutuhan masyarakat (kepentingan publik), termasuk percepatan pembangunan infrastruktur di daerah, sehingga pada gilirannya diharapkan tidak hanya akan dapat mendorong penciptaan lapangan kerja akan tetapi juga diharapkan mampu mengurangi tingkat kemiskinan.

Kebijakan pemerintah daerah tersebut akan lebih efektif, apabila anggaran dan penggunaannya dikelola secara lebih profesional, mengingat hampir semua bidang pemerintahan, kewenangannya telah diserahkan kepada daerah. Dengan kewenangan yang dimiliki dan keleluasaan di dalam penggunaan dana yang diterimanya, daerah dapat berbuat banyak untuk penguatan sektor riil di wilayahnya masing-masing. Selain itu, Pemerintah Daerah sebagai pihak yang paling dekat dengan masyarakat diharapkan dapat bersikap proaktif dengan menetapkan berbagai kebijakan di daerah yang mendukung kebijakan nasional. Demikian pula, koordinasi dan kerjasama antardaerah perlu dilakukan agar tercipta sinergi dalam pelaksanaan program yang direncanakan oleh daerah. Pada akhirnya, keberhasilan desentralisasi fiskal dalam mendorong pembangunan daerah harus didukung pula oleh peran masyarakat maupun sektor swasta dan penciptaan iklim yang kondusif bagi pertumbuhan ekonomi daerah.

Selanjutnya, Pemerintah menyadari bahwa pelaksanaan dana Otonomi Khusus untuk Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat, serta Provinsi Aceh yang demikian besar jumlahnya, masih perlu diikuti dengan peningkatan kualitas penggunaannya bagi peningkatan kualitas kesejahteraan rakyat. Berkaitan dengan itu, guna mendukung percepatan pembangunan di provinsi-provinsi tersebut, Pemerintah

-L.78-

 

telah membentuk unit yang mengkoordinasikan dan mengawasi penggunaan anggaran yang dialokasikan termasuk Dana Otonomi Khusus agar menjadi lebih baik.

E. PEMBIAYAAN DEFISIT ANGGARAN, PENGELOLAAN UTANG, DAN RISIKO FISKAL

Menanggapi pandangan Fraksi Partai Demokrat, Fraksi Partai Golongan Karya, Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Fraksi Partai Amanat Nasional, dan Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa, mengenai kebijakan defisit anggaran dapat disampaikan tanggapan sebagai berikut. Pemerintah menyampaikan apresiasi yang tinggi atas dukungan dari Fraksi Partai Demokrat terhadap usaha Pemerintah dalam menurunkan angka defisit untuk menuju anggaran berimbang dan menjaga kesinambungan fiskal. Terkait hal tersebut, dapat disampaikan hal-hal sebagai berikut.

Dengan memerhatikan prospek kinerja perekonomian eksternal, prospek kinerja perekonomian domestik, dan berbagai tantangan yang masih harus dihadapi, prospek APBN dalam jangka menengah diharapkan tetap dapat berperan sebagai jangkar bagi stabilitas perekonomian nasional sekaligus memberikan stimulus secara terukur bagi aktivitas perekonomian nasional. Oleh karena itu, strategi kebijakan fiskal dalam jangka menengah akan diarahkan untuk tetap menjaga kesinambungan fiskal melalui peningkatan pendapatan negara dan efisiensi belanja negara. Hal itu dilakukan agar defisit anggaran dapat dikendalikan sehingga rasio utang pemerintah terhadap PDB dapat terus diturunkan.

Namun, Pemerintah juga menyadari perlunya kebijakan fiskal yang ekspansif dengan pengelolaan secara hati-hati dalam rangka menjaga momentum pertumbuhan ekonomi nasional. Kondisi tersebut sejalan dengan amanat bahwa dalam jangka menengah, pada prinsipnya kebijakan APBN mengacu pada pelaksanaan rencana pembangunan jangka menengah sesuai dengan visi dan misi pembangunan nasional. Dengan demikian, kebijakan APBN jangka menengah akan ditujukan untuk menunjang pelaksanaan rencana pembangunan nasional jangka menengah tersebut, serta pencapaian target-target pembangunan nasional yang telah ditetapkan.

Selanjutnya Pemerintah sependapat dengan pandangan Fraksi Partai Amanat Nasional mengenai perlunya peningkatan efisiensi dalam pengelolaan pembiayaan dalam rangka menutup defisit anggaran. Besaran defisit anggaran, dilakukan Pemerintah setelah mempertimbangkan berbagai upaya untuk melakukan optimalisasi pendapatan negara, dan peningkatan kualitas belanja negara, serta mencari berbagai alternatif pembiayaan yang relatif efisien dan berisiko rendah. Upaya tersebut dimaksudkan agar kebijakan yang ekspansif dengan defisit anggaran sebesar 1,62 persen terhadap PDB tersebut benar-benar dapat mendukung kegiatan-kegiatan produktif dalam rangka penguatan daya saing perekonomian, namun tetap

-L.79-

 

menjaga kesinambungan fiskal. Kebijakan ekspansif merupakan salah satu solusi untuk menjawab berbagai tantangan di tengah keterbatasan. Konsekuensi ditempuhnya kebijakan ekpansif berupa terjadinya defisit anggaran. Defisit anggaran merupakan pilihan yang perlu ditempuh untuk tetap menjaga momentum pertumbuhan dengan tetap mempertimbangkan kesinambungan fiskal serta keberlanjutan pembangunan di tengah keterbatasan sumber daya.

Meskipun demikian, Pemerintah menyadari bahwa komitmen untuk mencapai target-target pembangunan secara optimal di tengah keterbatasan anggaran (budget constrains) merupakan tantangan yang cukup berat. Namun demikian mengingat terdapatnya berbagai isu strategis dan krusial yang harus segera ditangani secara cepat, tepat dan bijaksana, maka keterbatasan anggaran tidak bisa dijadikan alasan utama tidak tercapainya target secara optimal. Oleh karena itu, untuk mendukung terwujudnya pencapaian target secara optimal tersebut, Pemerintah masih tetap memerlukan sumber-sumber pembiayaan untuk menutup defisit anggaran tersebut, sepanjang dikelola secara efisien dan diarahkan benar-benar untuk kegiatan yang produktif dalam rangka menciptakan multiplier effect yang kuat bagi perekonomian.

Namun demikian, defisit anggaran harus dikelola secara prudent dan dijaga pada level yang aman. Upaya untuk menjaga kesinambungan fiskal tersebut perlu diimbangi dengan pertama, pengelolaan utang yang efisien dan terukur melalui upaya: (a) pencarian sumber–sumber pembiayaan yang berisiko rendah; (b) mengarahkan pemanfaatannya benar-benar untuk kegiatan produktif; (c) menjaga agar pemanfaatan pinjaman yang bersumber dari pinjaman luar negeri diarahkan untuk menunjang perekonomian domestik. Kedua, peningkatkan efisiensi dan efektifitas belanja negara agar benar-benar mempunyai nilai tambah dan multiplier effect bagi perekonomian melalui penguatan quality of spending.

Sejalan dengan ini, arah kebijakan pembiayaan dalam RAPBN 2013 antara lain:

1. Memanfaatkan pinjaman luar negeri secara cermat dan menurunkan tambahan utang baru untuk mempertahankan kebijakan net negative flow pinjaman luar negeri;

2. Mengupayakan tercapainya rasio utang terhadap PDB berkisar 21 persen -23 persen pada akhir tahun 2013;

3. Melakukan penerusan pinjaman secara selektif berdasarkan tujuan penggunaan yang diprioritaskan pada pembangunan infrastruktur.

4. Mengembangkan pasar SBN dan instrumen pembiayaan SBSN untuk infrastruktur.

5. Mengupayakan fleksibilitas pembiayaan utang melalui penggantian instrumen utang untuk memenuhi target pembiayaan utang dengan biaya yang relatif rendah dan risiko yang terkendali.

6. Melakukan konversi surat utang Pemerintah di BI yang tidak dapat diperdagangkan, menjadi SBN yang dapat diperdagangkan untuk mendukung efisiensi pengelolaan moneter dan pengembangan pasar keuangan ;

-L.80-

 

7. Pemanfaatan dana SAL untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya krisis pasar SBN dan membiayai defisit anggaran;

8. Mengarahkan pemberian PMN kepada BUMN dan penggunaan Dana Investasi Pemerintah untuk percepatan pembangunan infrastruktur;

Menanggapi pandangan Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Fraksi Partai Keadilan Sejahtera dan Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa mengenai perlunya menjaga defisit anggaran pada tingkat yang aman sehingga diperlukan pengkajian ulang besaran defisit dalam RAPBN 2013, kiranya dapat dikemukakan bahwa selama periode 2007 hingga 2012 besaran defisit dapat terkendali di kisaran rata-rata sebesar 1,1 persen dari PDB, sedangkan pada RAPBN tahun 2013 defisit direncanakan sebesar Rp150,2 triliun atau sebesar 1,62 persen dari PDB. Hal tersebut sejalan dengan kebijakan fiskal yang ditempuh Pemerintah yaitu ekspansif namun tetap menjaga kesinambungan fiskal dengan besaran defisit di bawah 3 persen PDB. Kebijakan yang ekpansif tersebut merupakan langkah strategis dalam rangka tetap menjaga momentum pertumbuhan dengan tetap menjaga kesinambungan fiskal. Namun demikian kebijakan tersebut tetap dikelola secara prudent dengan tetap mengendalikan defisit anggaran dalam batas yang manageable. Selain itu, Pemerintah juga sangat hati-hati dalam mencari sumber pembiayaan untuk menutup defisit tersebut baik dalam bentuk utang maupun non utang.

Menanggapi pandangan dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Fraksi Partai Amanat Nasional, Fraksi Partai Persatuan Pembangunan, Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa, Fraksi Partai Gerakan Indonesia Raya, dan Fraksi Partai Hati Nurani rakyat mengenai peninjauan kembali kebijakan penggunaan sumber pembiayaan utang untuk menutup defisit anggaran, kiranya dapat dijelaskan bahwa pada dasarnya Pemerintah selalu berupaya agar APBN semakin mandiri dan sehat serta berkelanjutan. Untuk itu, berbagai upaya meningkatkan pendapatan negara akan terus dilakukan dengan langkah-langkah reformasi yang konsisten dan efektif. Sementara itu, dari sisi alokasi belanja akan terus dijaga agar tepat, efisien dan senantiasa mendukung prioritas pembangunan nasional antara lain untuk pembangunan infrastruktur, pendidikan, kesehatan, dan pengentasan kemiskinan.

APBN yang masih defisit merupakan konsekuensi dari belum mencukupinya pendapatan negara untuk mendanai berbagai program prioritas pembangunan nasional. Namun demikian, penetapan besaran defisit tersebut dilakukan dengan tetap menjaga kesinambungan fiskal, sesuai ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah, yang secara tegas telah membatasi defisit anggaran kumulatif sebesar tiga persen terhadap PDB, sementara volume utang kumulatif juga telah dibatasi sebesar 60 persen dari PDB.

-L.81-

 

Pembiayaan anggaran dilakukan dengan tetap memperhatikan upaya untuk mencapai kemandirian bangsa, utamanya memaksimalkan terlebih dahulu sumber-sumber pendapatan negara. Selain itu, Pemerintah juga akan terlebih dahulu memaksimalkan sumber pembiayaan non-utang, seperti penggunaan Saldo Anggaran Lebih (SAL) dan hasil pengelolaan aset. Namun, seiring dengan semakin terbatasnya sumber pembiayaan non-utang dimaksud, maka Pemerintah berupaya menutup kekurangan pembiayaan defisit melalui sumber utang. Dengan demikian, pembiayaan melalui utang merupakan pilihan terakhir, karena keterbatasan sumber pembiayaan non-utang. Dalam pelaksanaannya, strategi pemenuhan sumber pembiayaan utang harus dilakukan dengan hati-hati, cermat, dan akuntabel dengan tetap memperhatikan dampaknya pada masa yang akan datang.

Pemilihan sumber utang dilakukan dengan mempertimbangkan: (1) faktor risiko dan biaya utang, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang, yang harus ditanggung oleh Pemerintah, dengan memilih komposisi utang yang memiliki biaya yang minimal dan risiko yang terendah; (2) kapasitas sumber pemberi pinjaman untuk pinjaman luar negeri dan kapasitas absorbsi pasar yang tersedia untuk SBN; serta (3) upaya pengembangan pasar keuangan domestik dalam kaitannya dengan SBN.

Pembiayaan utang melalui pengadaan utang baru akan lebih memprioritaskan sumber dari domestik dibandingkan dari luar negeri. Upaya yang dilakukan Pemerintah dalam mendukung kebijakan tersebut adalah mengupayakan agar porsi pembiayaan dalam negeri lebih dominan dari waktu ke waktu. Kebijakan ini diharapkan dapat mendorong upaya pencapaian kemandirian bangsa dengan mengoptimalkan potensi dalam negeri, dan dalam rangka meningkatkan pengelolaan ekonomi makro yang sehat dengan memaksimalkan partisipasi investor dalam negeri.

Selanjutnya, untuk melakukan diversifikasi instrumen pembiayaan utang yang potensial, Pemerintah telah memiliki sukuk negara berbasis proyek (project based sukuk). Sukuk berbasis proyek atau sukuk proyek dibedakan menjadi dua skema, yaitu: (1) sukuk yang diterbitkan dengan menggunakan proyek DIPA sebagai underlying asset atau project underlying, dan (2) sukuk yang diterbitkan untuk mendanai proyek baru dalam APBN atau project financing. Untuk tahun 2012, Pemerintah telah memulai penerbitan sukuk dengan skema project underlying dan akan dilanjutkan dengan rencana penerbitan sukuk project financing pada tahun 2013.

Menanggapi pandangan Fraksi Partai Golongan Karya yang menginginkan Pemerintah memperlebar defisit sehingga tercipta ruang fiskal bagi Pemerintah dapat kami jelaskan sebagai berikut. Pemerintah sangat membutuhkan ruang fiskal tersebut, namun kami kurang sependapat bahwa kita memulai anggaran tahun ini dengan tingkat defisit yang lebar. Pemerintah mengupayakan peningkatan ruang fiskal (fiscal space) dengan mengurangi belanja-belanja wajib atau nondiscretionary baik atas dasar ketentuan perundang-undangan (mandatory spending), ataupun karena harus memberikan subsidi yang besar dan cakupan terlalu luas, sehingga

-L.82-

 

cenderung tidak tepat sasaran. Kita harus menjaga agar APBN kita mempunyai kemampuan untuk beradaptasi terhadap kondisi perekonomian dengan mengurangi mandatory spending dan subsidi yang tidak tepat sasaran. Pemerintah membutuhkan ruang fiskal yang cukup di saat-saat perekonomian nasional sedang lesu atau pertumbuhannya melambat, namun tidak harus memperlebar defisit.

Sejalan dengan itu, apa yang disampaikan oleh Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan bahwa peningkatan volume utang disebabkan oleh besarnya ketergantungan terhadap utang dalam membiayai defisit adalah sangat beralasan. Namun apabila dinyatakan bahwa kebijakan pembiayaan utang akan mengurangi kemampuan dalam mensejahterakan masyarakat menurut pendapat kami tidaklah tepat. Setiap anggaran belanja yang diajukan oleh Pemerintah dan dibahas bersama dengan DPR RI dengan menggunakan utang ataupun tidak, selalu memprioritaskan upaya untuk mensejahterakan masyarakat. Pemerintah selalu berusaha agar APBN yang telah dibahas dan disetujui oleh DPR dialokasikan bagi belanja-belanja yang mampu mensejahterakan rakyat. Anggaran belanja pegawai, belanja barang, belanja modal, dan terutama bantuan sosial serta subsidi tetap diarahkan bagi rakyat, hanya saja tidak seluruhnya secara langsung dinikmati oleh masyarakat. Namun Pemerintah tetap berupaya agar rasio utang (debt to GDP ratio) akan turun secara terus menerus. Hal ini dapat kita lihat pada rasio utang pemerintah yang pada tahun 2007 sekitar 35 persen terhadap PDB, dan pada tahun 2013 direncanakan sekitar 23 persen terhadap PDB. Hal tersebut dapat dimungkinkan dengan kebijakan net negative flow yang akan ditempuh.

Menanggapi pandangan dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa mengenai konversi atas Surat Utang Pemerintah (SUP) non-tradable di Bank Indonesia menjadi SBN tradable, kiranya dapat dijelaskan bahwa konversi SUP di Bank Indonesia dari yang tidak dapat diperdagangkan menjadi SBN yang dapat diperdagangkan merupakan salah satu kebijakan pembiayaan utang yang akan diambil oleh Pemerintah dalam tahun anggaran 2013. Kebijakan ini telah disampaikan Pemerintah kepada DPR RI ketika Pemerintah menyampaikan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal dan Kerangka Ekonomi Makro TA 2013.

Konversi SUP yang tidak dapat diperdagangkan menjadi SBN yang dapat diperdagangkan bertujuan untuk meningkatkan kinerja pengelolaan neraca Republik Indonesia dalam kerangka assets-liabilities management (ALM) framework. Peningkatan kinerja dimaksud yakni dengan mengurangi assets-liabilities mismatch pada neraca Bank Indonesia, sekaligus mengoptimalkan penggunaan SBN sebagai instrumen operasi moneter seiring dengan semakin meningkatnya kepemilikan SBN yang dapat diperdagangkan oleh Bank Indonesia. Assets-liabilities mismatch terjadi karena tingkat bunga yang diterima Bank Indonesia atas SUP (asset) memiliki bunga yang rendah, sedangkan di sisi kewajiban moneter (liability), tingkat bunga mengacu pada suku bunga pasar yang jauh lebih tinggi.

Pada saat ini, Pemerintah bersama Bank Indonesia sedang dalam proses finalisasi kesepakatan bersama mengenai rencana konversi SUP non-tradable menjadi SBN tradable dengan mengacu pada guiding principles dan pokok-pokok terms and

-L.83-

 

conditions. Hasil dari kesepakatan ini akan disampaikan kepada DPR untuk mendapatkan persetujuan.

Menanggapi pandangan dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, dan Fraksi Partai Hati Nurani rakyat terkait dengan penurunan beban utang secara progresif, pengurangan beban cicilan pokok dan bunga utang melalui negosiasi/moratorium kiranya dapat dijelaskan sebagai berikut.

Timbulnya cicilan pokok dan bunga utang merupakan dampak dari penarikan/penerbitan utang baik yang baru ataupun yang telah dilakukan pada tahun-tahun sebelumnya. Jumlah cicilan pokok dan bunga utang tersebut setiap tahunnya mengalami fluktuasi, karena menyesuaikan dengan jadwal pembayaran masing-masing instrumen utang dan realisasi variabel ekonomi makro yang memengaruhinya seperti nilai tukar dan tingkat bunga referensi.

Untuk mengendalikan biaya utang, upaya yang dilakukan oleh Pemerintah antara lain adalah restrukturisasi utang, pemilihan seri dan waktu yang tepat dalam melakukan penarikan/penerbitan utang, memilih pemberi pinjaman secara selektif yang memiliki perencanaan dan preferensi pembiayaan yang sesuai dengan kegiatan prioritas, meningkatkan penyerapan pinjaman dan/atau kinerja kegiatan, memaksimalkan tawaran konversi bunga pinjaman luar negeri, dan penggunaan instrumen lindung nilai/hedging untuk meningkatkan kepastian terhadap pembayaran kewajiban utang baik dari pinjaman maupun SBN. Sementara itu, restrukturisasi utang di antaranya dilakukan dengan melakukan debt switch dan buyback SBN yang memiliki tingkat kupon yang tinggi yang ditujukan untuk mengurangi jumlah biaya yang akan ditanggung pemerintah. Dari sisi pinjaman dilakukan restrukturisasi tingkat bunga dan jenis mata uang yang ditujukan untuk mengurangi risiko utang yang pada akhirnya dalam jangka panjang dapat mengurangi beban utang pemerintah.

Menanggapi pandangan mengenai penurunan beban utang secara progresif dari waktu ke waktu, dapat kami sampaikan bahwa selama kurun waktu 2007 hingga 2012 Pemerintah telah cukup berhasil dalam pengendalian dan pengelolaan utang dalam kaitannya dengan penurunan beban utang. Hal tersebut dapat dilihat dari rasio utang Pemerintah terhadap PDB yang turun signifikan dari sekitar 35 persen pada tahun 2007 menjadi sekitar 23 persen pada akhir tahun 2013.

Terkait dengan masukan agar Pemerintah melakukan renegosiasi/moratorium utang, dapat kiranya dijelaskan bahwa moratorium utang adalah penundaan pembayaran utang/pinjaman luar negeri. Moratorium tidak berarti menghapuskan kewajiban atas utang dan bunga yang telah disepakati. Forum yang memfasilitasi moratorium Pinjaman Luar Negeri Bilateral yang ada saat ini adalah Forum Paris Club. Syarat suatu negara untuk bisa mendapat moratorium utang dari negara-negara anggota Paris Club harus terlebih dahulu mendapat rekomendasi/mengikuti program IMF. Oleh karena itu, Pemerintah cenderung berhati-hati dalam mengambil langkah tersebut, mengingat moratorium dapat membentuk persepsi

-L.84-

 

investor/kreditor dan lembaga rating sebagai event of default (gagal bayar). Hal ini dapat memicu cross default untuk semua pinjaman yang pada akhirnya akan berdampak pada meningkatnya biaya pengadaan utang dimasa yang akan datang.

Menanggapi pertanyaan Fraksi Partai Persatuan Pembangunan terkait jumlah dan komposisi utang luar negeri, serta cicilan pembayaran utang dapat kami jelaskan sebagai berikut. Komposisi outstanding utang Pemerintah bersumber dari utang dalam negeri dan utang luar negeri, yang masing-masing terdiri atas instrumen SBN dan pinjaman. Sampai dengan akhir bulan Juli 2012, jumlah outstanding utang luar negeri sebesar Rp870,7 triliun (10 persen terhadap PDB) dan jumlah outstanding utang dalam negeri sebesar Rp1.079,3 triliun (13 persen terhadap PDB). Dengan jumlah tersebut, proporsi utang dalam negeri masih mendominasi outstanding utang sebesar 55 persen dibandingkan dengan utang luar negeri yang semakin berkurang menjadi sebesar 45 persen. Komposisi utang luar negeri tersebut terdiri atas berbagai mata uang yang sebagian besar didominasi oleh mata uang Yen Jepang, Dollar Amerika Serikat, dan Euro dengan porsi masing-masing 35,0 persen, 52,1 persen dan 3,6 persen.

Sementara itu, komposisi pembayaran cicilan utang yang jatuh tempo pada tahun 2013, juga masih didominasi oleh utang dalam negeri sebesar 59 persen terutama dari instrumen SBN, dan sisanya sebesar 41 persen merupakan pembayaran cicilan utang luar negeri terutama dalam bentuk pinjaman.

Menanggapi pandangan Fraksi Partai Keadilan Sejahtera yang menilai bahwa program Klaster 3, Kredit Usaha Rakyat (KUR) belum optimal menjangkau usaha mikro yang rentan, sehingga ke depan perlu diperkuat dengan program Kelompok Usaha Bersama (KUBE) dan diberikan subsidi bunga atau margin untuk usaha mikro dan kecil yang rentan, dapat kiranya disampaikan penjelasan sebagai berikut. Pemerintah senantiasa berupaya untuk mengoptimalkan program KUR sehingga menjangkau lebih luas usaha mikro. Untuk itu telah ditempuh perbaikan mekanisme dengan mengikutsertakan lebih banyak bank pelaksana KUR, penurunan suku bunga KUR dan peningkatan nilai penjaminan. Ketika diluncurkannya program KUR pada bulan November 2007, Bank Pelaksana KUR baru mencapai enam bank, dalam tahun 2012, Bank Pelaksana KUR berjumlah 33 Bank, dan 26 diantaranya adalah BPD. Keikutsertaan BPD di seluruh Indonesia ini diharapkan akan dapat menjangkau lebih banyak lagi usaha mikro, karena BPD memiliki kantor cabang/kantor cabang pembantu yang relatif banyak di masing-masing Kabupaten/Kota.

Selain itu, Pemerintah terus berupaya agar suku bunga KUR dapat diturunkan. Untuk kredit dengan nilai sampai dengan Rp20 juta, suku bunga KUR telah diturunkan dari semula maksimum 24 persen menjadi maksimum 22 persen, sedangkan untuk kredit dengan nilai di atas Rp 20 juta, suku bunga KUR telah diturunkan dari semula maksimum 16 persen menjadi maksimum 14 persen. Suku bunga KUR tersebut akan terus dievaluasi oleh Pemerintah, agar dapat lebih terjangkau oleh Usaha Mikro, Kecil, Menengah, dan Koperasi (UMKMK).

-L.85-

 

Dari sisi mekanisme penyaluran, pada dasarnya KUR dapat disalurkan secara langsung kepada UMKMK atau melalui Lembaga Linkage (antara lain Bank Perkreditan Rakyat/BPR, BPR Syariah, dan Kelompok Usaha). KUBE ke depan dapat diperkuat kelembagaannya, sehingga dapat memenuhi ketentuan Bank Pelaksana KUR sebagai pihak penerima KUR. Subsidi bunga kepada UMKMK saat ini diberikan oleh Pemerintah, antara lain melalui Kredit Ketahanan Pangan dan Energi (KKP-E) kepada para petani/peternak/pekebun/nelayan dan pembudidaya ikan, baik secara mandiri atau bekerjasama dengan mitra usaha; subsidi bunga kredit pengembangan energi nabati dan revitalisasi perkebunan (KPEN-RP) untuk perluasan, rehabilitasi, dan peremajaan tanaman kelapa sawit, karet, dan kakao; dan subsidi bunga kredit usaha pembibitan sapi (KUPS) untuk mempercepat pencapaian swasembada daging sapi di Indonesia.

Selanjutnya, Pemerintah sependapat dengan saran Fraksi Partai Keadilan Sejahtera mengenai perlunya upaya untuk mendorong perbaikan alokasi proporsi KUR, agar dapat mendorong pertumbuhan UMKMK berbasis pertanian (agrobisnis). Untuk itu, penjaminan KUR untuk sektor-sektor usaha berbasis pertanian yang semula sebesar 70 persen, ditingkatkan menjadi 80 persen, sehingga diharapkan mendorong Bank Pelaksana KUR untuk meningkatkan alokasi KUR ke sektor usaha berbasis pertanian. Berkenaan dengan usulan untuk penyediaan program Asuransi Usaha Mikro, Pemerintah berpendapat, kiranya program asuransi tersebut perlu disesuaikan dengan kebutuhan perlindungan usaha mikro di masing-masing sektor, mengingat usaha mikro memiliki bidang usaha yang sangat beragam.

Menanggapi pandangan Fraksi Partai Persatuan Pembangunan yang meminta penjelasan terkait dengan risiko fiskal yang bersifat kontinjen lainnya yang bersumber dari amanat pasal 48 UU Nomor 40 tahun 2004 tentang SJSN, dan seberapa besar biaya yang mungkin ditimbulkan, serta bagaimana antisipasinya baik dalam jangka pendek maupun menengah, dapat kami sampaikan hal-hal sebagai berikut. Risiko fiskal yang dapat ditimbulkan dari pelaksanaan program jaminan sosial adalah:

a. Sesuai dengan Pasal 14 UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang SJSN, Pemerintah wajib membiayai fakir miskin dan orang tidak mampu yang terdaftar sebagai penerima bantuan iuran (PBI) Pemerintah dalam program SJSN. Berdasarkan RKP 2013, sasaran program jamkesmas yang merupakan transformasi awal dari pelaksanaan SJSN adalah berjumlah 86,4 juta jiwa. Selanjutnya, sehubungan dengan antisipasinya dalam jangka pendek maupun jangka menengah, Pemerintah juga telah memperkirakan kebutuhannya dalam prakiraan maju 2014-2016.

b. Risiko fiskal lainnya dari pelaksanaan program jaminan sosial adalah berupa penyertaan modal negara (PMN) sebagai modal awal Badan Penyelenggaran Jaminan Sosial (BPJS). Sesuai dengan Pasal 42 UU Nomor 24 Tahun 2011 tentang BPJS, modal awal BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan ditetapkan masing-masing paling banyak sebesar Rp2,0 triliun yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

-L.86-

 

c. Selain itu, risiko fiskal lainnya yang dapat timbul terdapat dalam ketentuan pasal 56 ayat (2) dan (3) UU BPJS yang mengamanatkan bahwa dalam hal terdapat kebijakan fiskal dan moneter yang memengaruhi tingkat solvabilitas BPJS, Pemerintah dapat mengambil kebijakan khusus untuk menjamin kelangsungan program Jaminan Sosial. Selanjutnya, dalam hal terjadi krisis keuangan dan kondisi tertentu yang memberatkan perekonomian, Pemerintah dapat melakukan tindakan khusus untuk menjaga kesehatan keuangan dan kesinambungan penyelenggaraan program Jaminan Sosial.

Risiko fiskal yang dimaksud adalah potensi bertambahnya pengeluaran Pemerintah dalam melakukan tindakan khusus tersebut. Hal ini dapat terjadi ketika tingkat kesehatan keuangan BPJS dan/atau Dana Jaminan Sosial memburuk dan mengurangi kemampuan BPJS dalam menjamin kelangsungan program dimaksud.

Beberapa hal yang dapat menyebabkan hal tersebut terjadi adalah:

1) Pengelolaan keuangan yang kurang baik oleh pihak manajemen BPJS.

2) Tidak memadainya besaran iuran peserta yang diterima untuk menanggung biaya-biaya dari manfaat jaminan sosial yang telah didapatkan peserta. Sebagai contoh, saat ini Pemerintah sedang mengkaji besaran iuran yang wajar untuk program Jaminan Kesehatan SJSN. Dalam perkembangannya, semua kajian mengakui masih adanya kekurangan/keterbatasan model yang digunakan dalam penentuan besaran iuran dimaksud mengingat belum adanya data historis yang memadai. Karena itu, terdapat potensi bahwa besaran iuran yang nantinya ditetapkan tidak dapat membiayai manfaat program Jaminan Kesehatan yang telah digunakan oleh Peserta (Pendekatan yang digunakan saat ini adalah menggunakan asumsi yang relatif longgar dengan tetap mempertimbangkan kemampuan keuangan Negara).

3) Kejadian-kejadian ekstrem seperti krisis keuangan/perekonomian yang besar. Saat ini, Pemerintah sedang berusaha membangun suatu model yang diharapkan dapat mengukur besaran risiko fiskal tersebut. Model tersebut diharapkan dapat memberikan kisaran besaran sensitivitas beberapa variabel utama terkait (seperti besaran iuran, jumlah Penerima Bantuan Iuran (PBI), ekonomi makro, dan lainnya) terhadap APBN.

Selanjutnya, untuk dapat mengantisipasi ataupun memitigasi risiko fiskal tersebut, Pemerintah:

a. Menyusun rancangan peraturan pelaksanaan, baik Peraturan Presiden maupun Peraturan Pemerintah mengenai sumber dan penggunaan dana BPJS yang di dalamnya diatur antara lain mengenai ukuran likuiditas, ukuran solvabilitas, investasi yang diperkenankan, serta kewajiban untuk memupuk cadangan dari premi yang diterima dengan tujuan meminimalisir potensi risiko fiskal;

b. Melakukan penetapan iuran dalam Peraturan Presiden atau Peraturan Pemerintah dengan memperhatikan hasil perhitungan aktuaris, karena

-L.87-

 

perhitungan aktuaris sudah memperhitungkan kecukupan antara iuran yang diterima dengan manfaat yang dijanjikan;

c. Melakukan kajian dalam upaya menambah kemampuan Pemerintah dalam mendanai program SJSN yang antara lain berasal dari potensi sumber penerimaan yang baru maupun dari realokasi belanja (contoh pengalokasian sebagian biaya subsidi energi ke belanja untuk iuran PBI);

d. Melakukan evaluasi secara berkala tentang kecukupan premi terhadap pembayaran manfaat. Untuk program jaminan kesehatan, evaluasi premi dilakukan paling lama 2 (dua) tahun sekali;

e. Me-review secara reguler semua peraturan-peraturan pelaksana terkait pelaksanaan program SJSN;

f. Selanjutnya akan dilakukan monitoring dan evaluasi tingkat kesehatan keuangan BPJS oleh Dewan Jaminan Sosial Nasional. Hal tersebut sesuai dengan Pasal 7 UU Nomor 40 Tahun 2004 Tentang SJSN, Dewan Jaminan Sosial Nasional bertugas: (1) melakukan kajian dan penelitian yang berkaitan dengan penyelenggaraan jaminan sosial; (2) mengusulkan kebijakan investasi Dana Jaminan Sosial Nasional; dan (3) mengusulkan anggaran jaminan sosial bagi penerima bantuan iuran dan tersedianya anggaran operasional kepada Pemerintah.