6. Moduldpt6 Tantangan Antisipasi
description
Transcript of 6. Moduldpt6 Tantangan Antisipasi
Bahan Ajar Mandiri
Dasar-dasar Perlindungan Tanaman 94
MODUL 6
TANTANGAN PERLINDUNGAN TANAMAN KE DEPAN
I Wayan Mudita
PENDAHULUAN
Pokok-pokok Isi dan Manfaat
Sebagaimana telah disinggung sepintas pada Modul 1, permasalahan perlindungan
tanaman terjadi karena interaksi antar tiga komponen dasar, yaitu tanaman, OPT, dan
lingkungan. Faktor keempat adalah manusia yang berada di atas ketiga faktor dasar
tersebut. Ke depan, seiring dengan berbagai perkembangan yang terjadi saat ini, faktor
lingkungan dan faktor manusia, dan lebih-lebih faktor manusia, akan menjadi faktor
yang menyebabkan permasalahan perlindungan tanaman menjadi semakin kompleks.
Untuk memahami hal ini pada Modul 6 ini akan diuraikan berbagai perubahan yang
menjadi arus utama perubahan dewasa ini dan kemungkinan implikasi yang
ditimbulkannya terhadap permasalahan perlindungan tanaman. Tidak semua perubahan
dapat diuraikan, tetapi sebagai ilustrasi akan diuraikan pertumbuhan penduduk dan
ketahanan pangan, perubahan iklim dan permasalahan OPT baru, globalisasi dan invasi
OPT spesies asing, liberalisasi perdagangan dan OPT sebagai hambatan non-tarif, serta
OPT pada era demokratisasi, desentralisasi, dan otonomi daerah.
Kompetensi Khusus Setelah tuntas mempelajari kegiatan belajar pada modul ini mahasiswa diharapkan
mampu:
1) Mengidentifikasi dan menjelaskan berbagai perubahan arus utama yang dapat
mendorong menjadikan permasalahan perlindungan tanaman menjadi semakin
kompleks di masa depan
2) Menjelaskan bagaimana permasalahan perlindungan tanaman yang menjadi
semakin kompleks di masa depan dapat diantisipasi
Indikator dan Petunjuk Belajar Modul 6 ini merupakan modul terakhir dari enam modul matakuliah Dasar-dasar
Perlindungan Tanaman. Sebagai modul penutup, keberhasilan mempelajari modul ini
akan menentukan keberhasilan mempelajari matakuliah Dasar-dasar Perlindungan
Tanaman secara keseluruhan. Oleh karena itu, keberhasilan mempelajari modul init
diukur berdasarkan kemampuan memahami berbagai kecenderungan yang akan
mempengaruhi gulma dan permasalahan yang ditimbulkannya dalam kaitan dengan
aspek-aspek yang telah dibahas pada mosul-modul sebelumnya. Untuk mempelajari
modul ini, mahasiswa diharapkan membaca materi kegiatan belajar secara kritis.
Setelah membaca uraian kegiatan belajar, mahasiswa diharapkan mengerjakan latihan
yang diberikan dan mendiskusikannya dengan mahasiswa lainnya. Untuk mendalami
uraian setiap kegiatan belajar, mahasiswa disarankan membaca pustaka yang
direkomendasikan pada Daftar Pustaka. Setiap kegiatan belajar memerlukan waktu 100
menit yang juga merupakan waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan modul ini.
Bahan Ajar Mandiri
Dasar-dasar Perlindungan Tanaman 95
KEGIATAN BELAJAR 1:
PERMASALAHAN PERLINDUNGAN TANAMAN KE DEPAN
DAN UPAYA UNTUK MENGANTISIPASI
Uraian
Menurut Departemen Urusan Ekonomi dan Penduduk PBB, penduduk dunia tahun 2010
mencapai 6.890.700.000 jiwa, sedangkan menurut sensus penduduk 2010 penduduk
Indonesia 237.556.363 jiwa dan penduduk Provinsi NTT 4.679.316 jiwa. Indonesia
merupakan negara berpenduduk terbanyak keempat di dunia, di bawah AS (310.542.000
jiwa) dan di atas Brazil (190.732.694 jiwa), menyumbang 3,45% terhadap jumlah
penduduk dunia. Penduduk dunia diperkirakan akan terus meningkat menjadi
8.011.533.000 jiwa pada 2025 dan 9.149.984.000 jiwa pada 2050, sedangkan menurut
sensus penduduk 2010, penduduk Indonesia meningkat dengan laju 1,49% per tahun
sehingga dapat diperkirakan menjadi 296.561.968 jiwa pada 2025 (3,70% penduduk
dunia) dan 429.236.621jiwa pada 2050 (4,69% penduduk dunia). Sementara itu, berkat
Revolusi Hijau, produktivitas serealia, yang merupakan bahan pangan pokok bagi
sebagian besar penduduk dunia, meningkat menjadi sekitar 3 ton/ha setelah 1990, tetapi
sejak 1985 produksi per kapita justeru menurun dari sekitar 375 kg/orang menjadi di
bawah 350 kg/orang. Penurunan produksi per kapita tersebut terjadi karena berbagai
faktor, termasuk oleh OPT yang pada serealia negara-negara maju saja (winter rye,
winter wheat, spring wheat, barley, dan oats) dapat menyebabkan kehilangan hasil lebih
dari 5%. Pada pihak lain, konsumsi serealia dunia yang pada 1990 sebesar 1.921,3 juta
ton pada 2025 diperkirakan akan meningkat menjadi 2.679,0 juta ton pada 2025 hanya
berdasarkan jumlah penduduk atau menjadi 3.046,5 juta ton peningkatan pendapatan
penduduk diperhitungkan. Tantangan yang dihadapi perlindungan tanaman adalah
bagaimana menurunkan kehilangan hasil menjadi sekecil-kecilnya, bukan hanya pada
serealia, tetapi juga pada jenis-jenis tanaman pangan lainnya, sehingga kebutuhan
pangan bagi seluruh penduduk dunia tetap dapat terpenuhi. Tantangan ini menjadi lebih
berat bagi Indonesia, bukan hanya karena laju peningkatan jumlah penduduk yang
tinggi, melainkan juga karena kebijakan pembangunan pertanian yang belum disertai
dengan strategi perlindungan tanaman yang jelas sebagaimana yang telah dimiliki oleh
negara-negara maju. Jangankan strategi perlindungan tanaman, data mengenai OPTdan
kehilangan hasil yang ditimbulkannya saja sulit diperoleh untuk Indonesia, apalagi
untuk Provinsi NTT.
(a) (b) (c)
Gambar 6.1. Produksi pangan: (a) Produktivitas serealia dunia (ton/ha) 1951-1997, (b)
Produksi per kapita dunua (kg/orang) 1951-1997, dan (c) Produksi pertanian per kapita
negara-negara terpilih tahun 1961/1962-1997/1998. Sumber: (a) dan (b) Dyson (1997),
(c) http://www.africa.ufl.edu/asq/v6/v6i1a3.htm
Bahan Ajar Mandiri
Dasar-dasar Perlindungan Tanaman 96
Bersamaan dengan itu, perubahan iklim global (global climate change) semakin
menjadikan permasalahan gulma semakin pelik ke depan. Consentrasi CO2 atmosfer
meningkat dari periode pra-industri sebesar 280 ppm menjadi 379 ppm pada 2005.
Selama 8000 tahun sebelum industrialisasi, meningkat hanya sebesar 20 ppm, tetapi
sejak 1759 konsentrasi CO2 meningkat menjadi hampir 100 ppm. Laju peningkatan
tahunan konsentrasi CO2 hasil pengukuran selama 1960-2005 yang besarnya 1,4
ppm/tahun meningkat menjadi 1,9 ppm/tahun selama 1995-2005. Peningkatan
konsentrasi CO2 tersebut juga disertai dengan peningkatan konsentrasi gas-gas rumah
kaca lainnya seperti CH4, SO2, N2O, dan CFC. Peningkatan CO2 dan gas-gas rumah
kaca ini merupakan penyebab meningkatnya radiative forcing menjadi 1.66 ± 0.17
W/m2 yang berakibat pada terjadinya peningkatan suhu global yang kemudian diirngi
pula dengan perubahan pola presipitasi global.
(a) (b)
Gambar 6.2. Anomali rerata suhu udara atmosfer global (pemanasan glonal): (a, atas)
Anomali suhu teramati rerata global terhadap rerata suhu 1961-2005 disertai dengan
kurva peningkatan suhu yang menunjukkan bahwa semakin terkini data yang digunakan
maka semakin miring kurva yang dihasilkan (semakin tinggi laju peningkatan suhu); (b,
bawah) Pola ruang global peningkatan suhu atmosfer permukaan (kiri) dan suhu
trofosfer (kanan), (b) Anomali suhu rerata bulanan strafosfer bawah (A), trofosfer
tengah-atas (B), trofosfer bawah (C), dan permukaan bumi (D). Sumber: IPPC (2007)
Peningkatan konsentrasi CO2, suhu udara, dan pola presipitasi tersebut tentu saja akan
mempengaruhi pertumbuhan, perkembangan, dinamika populasi, dan bahkan
pemencaran OPT. Peningkatan CO2 diperkirakan akan berpengaruh terhadap gulma
daripada golongan OPT lainnya karena gulma, khusunya gulma yang mempunyai jalur
fotosintetik C3, mampu lebih memanfaatkan CO2 daripada tanaman. Sementara itu,
peningkatan suhu akan mendorong jenis-jenis gulma penting di kawasan tropika dataran
rendah menjangkau kawasan sub-tropika dan kawasan tropika dataran tinggi. Hal ini
menyebabkan petani Australia bagian Selatan dan di kawasan tropika dataran tinggi,
Bahan Ajar Mandiri
Dasar-dasar Perlindungan Tanaman 97
misalnya, harus menghadapi jenis-jenis gulma baru yang belum pernah dikenal
sebelumnya. Hal yang sama diperkirakan juga akan terjadi pada binatang hama maupun
patogen, sebagaimana misalnya pemencaran kutu loncat jeruk asia (Diaphorina citri)
yang akan diprediksi akan mencapai Australia bagian Selatan. Sementara itu, pengaruh
perubahan pola presipitasi terhadap OPT diperkirakan akan sangat berkaitan dengan
perubahan pola budidaya tanaman yang dilakukan sebagai tanggapan terhadap
perubahan pola presipitasi yang terjadi di suatu kawasan.
Gambar 6.3. Perubahan pola presipitasi global 1900-2005, peta di tengah menunjukkan
perunahan rerata tahunan (% per abad), sedangkan kurva menunjukkan % perubahan
presipitasi terhadap rerata presipitasi 1961-1990. Sumber: IPPC (2007)
(a) (b) (c)
Gambar 6.4. Perkiraan perubahan indek kesesuaian iklim untuk tiga jenis gulma yang
belum terdapat atau selama ini belum menjadi gulma di sebagian besar wilayah
Australia: (a) Chromolaena odorata, (b) Acacia nilotica, dan (c) Buddleja davidii.
Warna putih=tidak sesuai, hijau=marjinal, birum muda=sesuai, dan biru tua=sangat
sesuai. Sumber: Farming Ahead (2007, March).
Bahan Ajar Mandiri
Dasar-dasar Perlindungan Tanaman 98
(a)
(b)
Gambar 6.5. Prediksi pemencaran kutu jeruk asia (Diaphorina citri) ke Australia dalam
kaitan dengan peningkatan suhu permukaan bumi yang disebabkan oleh pemanasan
global: (a) Pemajuan musim pertunasan jeruk selama musim semi tahun 1990, 2030,
dan 2070 dan (b) Hari pertama munculnya kutu loncat jeruk asia dewasa tahun 1990,
2030, dan 2070. Sumber: J.P. Aurambout et al. (2009).
Proses pemencaran OPT yang sebelumnya terjadi lambat diperkirakan akan meningkat
bukan hanya karena perubahan iklim melainkan juga oleh globalisasi. Globalisasi
dicirikan antara lain oleh meningkatnya arus orang dan barang dalam waktu sangat
cepat melintasi jarak yang sebelumnya memerlukan waktu lama untuk melintasinya.
Peningkatan arus orang dan barang tersebut akan disertai pula dengan meningkatnya
peluang disertai OPT, terutama dari negara-negara maju yang mendominasi ekspor dan
menjadi tempat asal wisatawan ke negara-negara sedang berkembang yang bergantung
pada impor dan kunjungan wisatawan mancanegara. Sementara itu, globalisasi juga
akan mengarah pada penguasaan industri benih dan sarana produksi pertanian oleh
negara-negara maju. Melalui paten negara-negara maju akan merampok sumberdaya
genetik negara-negara berkembang yang kaya secara keanekaragaman hayati tetapi
miskin secara ekonomi dan kemampuan sumberdaya manusia untuk kemudian, setelah
melalui rekayasa dan pemberian merek dagang, menjual benih yang dihasilkan kembali
ke negara-negara asal bahan genetiknya dengan harga mahal. Tidak banyak orang yang
sadar bahwa dewasa ini 23% pasar benih komersial dunia dikuasai hanya oleh 10
perusahaan multinasional negara-negara maju dengan nilai perdagangan mencapai US $
23 milyar, perusahaan yang sama juga menguasai perdagangan sarana produksi
pertanian dunia, dan 5 perusahaan multinasional lain negara-negara maju
mengendalikan perdagangan biji-bijian dunia. Dengan sedemikian berkuasanya
perusahaan multinasional negara-negara maju tersebut, bukan tidak mungkin ke depan,
ketika permasalahan perlindungan tanaman menjadi semakin kompleks, negara-negara
maju akan menguasai yang tahan terhadap OPT.
Bahan Ajar Mandiri
Dasar-dasar Perlindungan Tanaman 99
Gambar 6.6. Pusat-pusat keanekaragaman hayati tanaman di dunia dewasa ini. Sumber:
http://www.idrc.ca/openebooks/014-4/
Kemampuan negara-negara maju untuk semakin menguasai dunia juga dilakukan
dengan menggunakan instrumen liberalisasi perdagangan yang dikendalikan melalui
World Trade Organization (WTO). Menurut ketentuan WTO, perdagangan dunia perlu
diupayakan agar menjadi tanpa diskriminasi, lebih bebas, lebih dapat diprediksi,
bersaing lebih sehat, dan lebih mempromosikan pembangunan dunia. Menurut WTO,
tarif yang dikenakan oleh setiap negara bagi produk impor harus dihilangkan dan
subsidi dipandang sebagai kebijakan yang tidak sehat bagi perdagangan dunia. Untuk
menjamin perdagangan dunia menjadi lebih bebas WTO menetapkan berbagai
instrumen standardisasi yang mengikat negara-negara anggotanya. Semua ketentuan
WTO memang fair, tetapi fair bagi siapa? Negara-negara maju dengan instansi
karantina yang kuat dan didukung dengan fasilitas karantina yang canggih dengan
mudah dapat mendeteksi adanya infestasi OPT, pestisida, atau aflatoksin pada produk
negara-negara sedang berkembang, sedangkan negara-negara sedang berkembang
sebaliknya. Lebih-lebih bagi negara-negara yang memerlukan bantuan, bagaimana
mungkin melakukan pemeriksaan ketat terhadap produk negara-negara maju yang
masuk dengan label bantuan kemanusiaan. Padahal, apapun labelnya, apakah barang
impor yang masuk secara biasa atau sebagai bantuan kemanusiaan, semuanya
mempunyai peluang untuk terinfestasi OPT, pestisida, atau aflatoksin. Masuknya kodok
raksasa dari Australia ke Timor Leste merupakan contoh bagaimana bantuan
kemanusiaan dalam jangka pendek dapat disertai dengan invasi spesies asing yang akan
sangat merugikan dalam jangka panjang.
Lebih daripada barang, produk ekspor negara-negara maju yang sebenarnya tidak kalah
penting adalah demokratisasi, desentralisasi, dan otonomi daerah. Sebagaimana halnya
liberalisasi perdagangan, demokratisasi, desentralisasi, dan otonomi daerah merupakan
sesuatu yang baik di negara-negara maju yang kemudian diasumsikan dengan
sendirinya juga baik bagi semua negara. Akan tetapi, setiap negara mempunyai latar
belakang sejarah dan budaya yang berbeda sehingga apa yang baik di negara-negara
maju tidak dengan sendirinya dapat menjadikan negara-negara berkembang sebaik
negara-negara maju. Alhasil, demokratisasi, desentralisasi, dan otonomi daerah yang
diekspor paksa ke berbagai negara berkembang justeru menimbulkan banyak
ketegangan dan kepincangan pelayanan publik. Indonesia boleh berbangga karena
dipandang dunia sebagai negara berkembang yang sukses melakukan demokratisasi,
Bahan Ajar Mandiri
Dasar-dasar Perlindungan Tanaman 100
desentralisasi, dan otonomi daerah. Namun di balik kesuksesan tersebut, demokratisasi
dimaknai tidak lebih daripada sekedar pesta pemilihan umum dan desentralisasi dan
otonomi daerah tidak lebih daripada sekedar pemindahan kewenangan dari pusat ke
daerah. Akuntabilitas dan pelayanan publik yang di negara-negara maju merupakan
wujud sesungguhnya dari demokratisasi, desentralisasi, dan otonomi daerah ternyata
masih sangat jauh dari harapan. Pemilihan umum terus dilakukan, pemerintahan terus
berganti, tetapi pemerintahan yang baru tetap saja tidak banyak memperbaiki
akuntabilitas dan pelayanan publik. Tidak mengherankan bila dari dahulu Indonesia
tidak mempunyai strategi nasional perlindungan tanaman sebagaimana misalnya yang
dimiliki negara-negara maju seperti Australia. Dari dahulu Indonesia tidak mempunyai
database mengenai OPT penting, sampai sekarang pun tetap tidak punya. Jangan lagi
ditanya pada tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Bahkan di Provinsi NTT yang sedang
melaksanakan program intensifikasi jagung sekalipun, yang diprioritaskan pemerintah
daerah adalah membudidayakan jagung varietas unggul yang benihnya diproduksi oleh
perusahaan dari luar. Untuk dapat mencapai produksi potensialnya, varietas unggul
tersebut harus dibudidayakan secara intensif yang dengan sendirinya membuka pasar
bagi berbagai jenis pestisida yang diproduksi oleh negara-negara maju.
Gambar 6.7. Libralisasi perdagangan dan pemencaran OPT ke negara-negara sedang
dan kurang berkembang. Bisakah prtugas menggunakan palang jalan untuk mendeteksi
OPT yang menumpang „truk pasar bebas‟ bersama barang dan orang masuk ke
negaranya? Sumber: http://library.wur.nl/frontis/trade_liberalization/index.html
Gambar 6.8. Demokrasi dan perhatian terhadap permasalahan perlindungan tanaman.
Kata calon yang memang, “Saya memang mutlak, tikus pun ikut memilih saya!” (maka
bagaimana mungkin pejabat bersedia merumuskan kebijakan perlindungan tanaman
terhadap tikus?)
Bahan Ajar Mandiri
Dasar-dasar Perlindungan Tanaman 101
Berbagai tantangan sebagaimana yang telah diuraikan menunjukkan dengan jelas bahwa
permasalahan perlindungan tanaman tidak lagi sekedar permasalahan biologi, bahwa
pengaruh lingkungan terhadap gulma sesungguhnya tidak hanya pengaruh suhu, kadar
CO2, perubahan pola presipitasi, dan sebagainya. Permasalahan perlindungan tanaman
merupakan permasalahan yang dipengaruhi oleh lingkungan fisik, kimia, hayati,
ekonomi, politik, dan budaya. Dengan berubahnya faktor-faktor tersebut menjadi lebih
menguntungkan OPT maka ke depan permasalahan perlindungan tanaman akan menjadi
semakin kompleks. Benar bahwa ilmu-ilmu yang berkaitan dengan perlindungan
tanaman juga akan berkembang dan seiring dengan itu berbagai terobosan akan terjadi.
Misalnya, dengan dukungan teknologi informasi yang kini berkembang dengan pesat
diharapkan bahwa pemencaran OPT di masa depan diharapkan dapat menjadi lebih
terprediksi dan terpetakan. Bila memang demikian maka yang akan menikmati
keuntungan dari kemajuan ini adalah kembali negara-negara maju, bukan karena
keunggulan mereka di bidang ilmu gulma dan teknologi informasi, tetapi karena
pemerintah mereka yang lebih mementingkan akuntabilitas dan pelayanan publik
daripada pemerintah di negara-negara sedang berkembang. Untuk mengantisipasi
permasalahan perlindungan tanaman yang akan menjadi semakin kompleks ke depan
tersebut maka perlindungan tanaman di Indonesia perlu berkembang tidak secara linier
melainkan lintas disiplin. Selain itu, para pakar perlindungan tanaman perlu
membangun lobi kepada pemerintah adar pemerintah dapat mewujudkan akuntabilitas
dan pelayanan publik melalui pengembangan strategi perlindungan tanaman untuk
mengantisipasi permasalahan ke depan yang menjadi semakin kompleks.
Menghadapi permasalahan perlindungan tanaman yang akan menjadi semakin
kompleks, negara-negara maju kini mulai mengembangkan pendekatan perlindungan
yang lebih proaktif dan lebih merangkul berbagai sektor. Untuk dapat melindungi
tanaman secara lebih efektif, perlindungan tidak lagi dapat diberikan terhadap tumbuhan
per se (plant protection), tetapi terhadap kehidupan (protection of life). Hal ini dapat
dimengerti karena sesungguhnya terdapat keterkaitan antar berbagai bentuk kehidupan
menyangkut berbagai aspek; bukan hanya secara fisik, kimia, dan hayati, tetapi juga
secara ekonomi, sosial, dan budaya. Pertanian sesungguhnya bukan hanya persoalan
teknologi (agro-teknologi), tetapi persoalan manusia dengan segala dimensinya.
Demikian juga dengan perlindungan tanaman, bukan lagi sekedar persoalan biologi dan
ekologi OPT, tetapi lebih ke persoalan bagaimana petani dapat menerapkan teknologi
perlindungan tanaman yang sudah menjadi sedemikian canggih sehingga menyulitkan
petani untuk menjangkaunya. Pendekatan perlindungan kehidupan yang kini mulai
digunakan di berbagai negara maju tersebut, terutama Selandia Baru, Australia, dan AS,
adalah pendekatan yang dikenal sebagai ketahanan hayati (biosecurity).
Ketahanan hayati sebenarnya merupakan upaya perlindungan ekonomi, lingkungan
hidup, dan kesehatan manusia dari dampak negatif yang ditimbulkan oleh hama,
penyakit, dan gulma. Sebagaimana didefinisikan oleh FAO (2007), ketahanan hayati
juga dapat dipandang sebagai pendekatan strategis dan terpadu yang mencakup
kerangka kebijakan dan perundang-undangan (termasuk sarana dan prasarana maupun
kegiatan) untuk menganalisis risiko terhadap manusia, kehidupan dan kesehatan hewan
dan tumbuhan, serta risiko terhadap lingkungan hidup. Fokus ketahanan hayati adalah
risiko (risk), yang dalam hal ini merupakan fungsi peluang timbulnya bahaya yang
merugikan terhadap kesehatan dan kehidupan serta keparahan pengaruh yang
Bahan Ajar Mandiri
Dasar-dasar Perlindungan Tanaman 102
ditimbulkan. Risiko timbul sebagai konsekuensi dari adanya bahaya (hazard), yang
didefinisikan berbeda-beda antar sektor sebagaimana ditetapkan oleh
kelembagaan/konvensi internasional yang mengatur sektor yang bersangkutan. Pada
sektor pertanian tanaman, bahaya sebagaimana didefinisikan oleh International Plant
Protection Commission (IPPC), merupakan setiap spesies, strain, atau biotipe
tumbuhan, binatang, atau agen patogenik yang berpotensi menimbulkan luka terhadap
tumbuhan maupun hasilnya. Pada sektor-sektor lainnya bahaya didefinisikan berbeda,
tetapi semua definisi bahaya yang berbeda-beda tersebut disatukan dalam ketahanan
hayati melalui konsep risiko yang untuk menanganinya memerlukan langkah-langkah
penilaian, pengelolaan, dan pengkomunikasian. Untuk dapat melakukan penilaian,
pengelolaan, dan pengkomunikasi risiko, perlu diratifikasi berbagai konvensi
internasional yang berkaitan dengan ketahanan hayati.
Tabel 6.1. Ratifikasi berbagai konvensi internasional yang berkaitan dengan ketahanan
hayati oleh negara-negara anggota APPPC, bagian dari IPPC untuk kawasan Asia
Pasifik
Sumber: http://www.fao.org/docrep/010/ag123e/AG123E03.htm
Dari ketiga langkah analisis risiko ketahanan hayati, semuanya memerlukan bukan
hanya tindakan teknis. Penilaian risiko merupakan proses untuk mengidentifikasi
bahaya, mengkarakterisasi dampak buruk yang ditimbulkannya terhadap kesehatan,
mengevaluasi taraf paparan penduduk atau populasi hewan/tumbuhan terhadap bahaya
tersebut, dan mengestimasi besarnya risiko yang ditimbulkan. Hasil penilaian risiko
perlu ditindaklanjuti dengan pengelolaan risiko sebagai langkah yang harus diambil
oleh pihak yang berkompeten dalam mempertimbangkan hasil penilaian risiko,
menentukan kebijakan alternatif dengan mempertimbangkan pandangan para pemangku
kepentingan (stakeholders) terhadap perlindungan kesehatan yang dimungkinkan, dan
menentukan tindakan pengendalian yang diperlukan. Penilaian risiko dan pengelolaan
risiko perlu dikomunikasikan secara terbuka melalui komunikasi risiko, yaitu
pertukaran interaktif informasi dan opini mengenai risiko, isu-isu pengelolaan risiko,
dan persepsi masyarakat terhadap risiko. Jelas bahwa pengelolaan ketahanan hayati
Bahan Ajar Mandiri
Dasar-dasar Perlindungan Tanaman 103
memerlukan lebih dari sekedar ilmu-ilmu alam dan teknologi, melainkan juga ilmu-ilmu
sosial dan humaniora. Pendekatan secara lintas bidang ilmu tersebut diperlukan karena
yang menjadi fokus ketahanan hayati adalah perlindungan kehidupan yang jelas
diwarnai dengan pernak pernik persoalan ekonomi, politik, sosial, dan budaya.
(a) (b)
Gambar 6.9. Perbandingan struktur dan kewenangan instansi yang berwenang dalam
pengelolaan ketahanan hayati: (a) Indonesia dan (b) Australia, NPPO=National Plant
Protection Organization. Sumber:
http://www.fao.org/docrep/010/ag123e/AG123E03.htm
Tabel 6.2. Kebijakan pengelolaan hama terpadu di antara negara-negara anggota
APPPC Au
stralia
Ban
glad
esh
Cam
bo
dia
Ch
ina
Fiji
Ind
ia
Indo
nesia
Japan
*
Ko
rea DP
R
Ko
rea Rep
.
of
Lao
PD
R
Malay
sia
My
anm
ar
Nep
al
New
Zealan
d
Pak
istan
Ph
ilipp
ines
Sri L
ank
a
Th
ailand
To
ng
a
Viet N
am
3.1 IPM Policy
no/vague response 8
IPM
Policy/Planning
7
IPM legislation 2
IPM expert group: 1
IPM
Section/Stations
5
Natl. IPM funding 3
Policies
promoting...
End to pesticide
subsidy
3
Pesticide reduction
targets
2
GAP standards 2
Organic product
standards
1
IPM accreditation
Sumber: http://www.fao.org/docrep/010/ag123e/AG123E22.htm#22.1.1
Bahan Ajar Mandiri
Dasar-dasar Perlindungan Tanaman 104
Latihan
Setelah memahami kompleksitas permasalahan perlindungan tanaman yang akan terjadi
di masa depan dan cara pemerintah Australia, baik pemerintah federal, pemerintah
negara bagian/teritori, maupun pemerintah lokal mengantisipasinya, bandingkan dengan
apa yang telah dilakukan oleh pemerintahan di Indonesia, baik pemerintah pusat,
pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota, maupun pemerintah lokal (kecamatan
dan kelurahan/desa), dalam mengantisipasi permasalahan gulma ke depan. Diskusikan
dengan teman-teman, bagaimana Indonesia dapat bersaing menghadapi perubahan iklim
global, globalisasi, dan liberalisasi perdagangan yang akan menjadi semakin menguat di
masa depan.
Rangkuman
Berbagai perkembangan yang terjadi dewasa ini dapat menyebabkan permasalahan
perlindungan tanaman akan menjadi kompleks di masa depan. Di antara perkembangan
tersebut, yang perlu mendapatkan perhatian dalam kaitan untuk mengantisipasi
permasalahan perlindungan tanaman ke depanadalah pertumbuhan penduduk dan
ketahanan pangan, perubahan iklim dan permasalahan OPT baru, globalisasi dan invasi
spesies asing, liberalisasi perdagangan dan OPT sebagai hambatan non-tarif, serta OPT
pada era demokratisasi, desentralisasi, dan otonomi daerah. Perkembangan
perlindungan tanaman ke depan tidak akan mampu mengantisipasi permasalahan yang
akan menjadi semakin kompleks tersebut tanpa dukungan politik, kebijakan, dan
program pemerintah sebagaimana yang dilakukan oleh pemerintah negara-negara maju.
Glosarium
bahaya: setiap spesies, strain, atau biotipe tumbuhan, binatang, atau agen patogenik
yang berpotensi menimbulkan luka terhadap tumbuhan maupun hasilnya.
demokratisasi: tindakan untuk menjadikan demokratis, perubahan ke arah keadaan
politik yang lebih demokratis, proses untuk mentransformasi sebuah institusi
untuk memenuhi norma-norma demokrasi
desentralisasi: proses untuk menyebar tatakelola pengambilan keputusan menjadi lebih
dekat kepada masyarakat atau publik, pemindahan sebagian kekuasaan
pemerintahan dari pusat ke daerah, proses sosial yang melibatkan perlindahan
penduduk dan industri ke luar dari pusat perkotaan ke daerah di sekitarnya
globalisasi: suatu proses yang terus berlangsung untuk mengintegrasikan perekonomian,
masyarakat, dan kebudayaan regional melalui jejaring global komunikasi,
transportasi, dan perdagangan
kawasan pengelolaan sumberdaya alam: kawasan yang ditetapkan untuk dikembangkan
bersama masyarakat setempat dengan dukungan universitas.
keanegakaranam hayati: variabilitas antar mahluk hidup dalam hal komposisi genetik,
spesies, komunitas, ekosistem, dan untuk manusia termasuk kebudayaannya.
ketahanan hayati: (1) perlindungan ekonomi, lingkungan hidup, dan kesehatan manusia
dari dampak negatif yang ditimbulkan oleh hama, penyakit, dan gulma; (2)
pendekatan strategis dan terpadu yang mencakup kerangka kebijakan dan
perundang-undangan (termasuk sarana dan prasarana maupun kegiatan) untuk
menganalisis risiko terhadap manusia, kehidupan dan kesehatan hewan dan
tumbuhan, serta risiko terhadap lingkungan hidup.
ketahanan pangan: (a) ketersediaan pangan bergizi dalam jumlah yang cukup dan
kualitas yang memadai bagi penduduk, (b) kemampuan masyarakat lokal untuk
Bahan Ajar Mandiri
Dasar-dasar Perlindungan Tanaman 105
memproduksi dan memenuhi sendiri kebutuhan pangannya secara mandiri dan
berkelanjutan (kedaulatan pangan)
komunikasi risiko, yaitu pertukaran interaktif informasi dan opini mengenai risiko, isu-
isu pengelolaan risiko, dan persepsi masyarakat terhadap risiko.
liberalisasi perdagangan: penghapusan atau pengurangan berbagai hambatan terhadap
aliran barang dan jasa dari satu negara ke negara lain melalui antara lain
penghapusan tarif (bea masuk, subsidi ekspor) dan hambatan non-tarif (lisensi,
kuota, dan standar arbitrer).
otonomi daerah: pemberian kewenangan kepada daerah untuk mengatur sebagian
urusannya sendiri. Di Indonesia, otonomi daerah dimaksudkan sebagai
pengalihan kewenangan dan fungsi dari pemerintahan pusat ke pemerintahan
daerah
pengelolaan risiko: langkah yang harus diambil oleh pihak yang berkompeten dalam
mempertimbangkan hasil penilaian risiko, menentukan kebijakan alternatif
dengan mempertimbangkan pandangan para pemangku kepentingan terhadap
perlindungan kesehatan yang dimungkinkan, dan menentukan tindakan
pengendalian yang diperlukan
penilaian risiko: proses untuk mengidentifikasi bahaya, mengkarakterisasi dampak
buruk yang ditimbulkannya terhadap kesehatan, mengevaluasi taraf paparan
penduduk atau populasi hewan/tumbuhan terhadap bahaya tersebut, dan
mengestimasi besarnya risiko yang ditimbulkan.
perubahan iklim: perubahan mendasar keadaan iklim yang mempunyai dampak yang
luas terhadap perekonomian, leingkungan hidup, dan keadaan sosial masyarakat,
di dalamnya termasuk pemanasan global
risiko: fungsi peluang timbulnya bahaya yang merugikan terhadap kesehatan dan
kehidupan serta keparahan pengaruh yang ditimbulkan
PENUTUP
Tes Formatif
1) Bagaimana menjelaskan OPT dapat mengancam ketahanan pangan dan bahkan
ketahanan nasional suatu negara?
2) Dengan meluasnya kawasan yang sesuai untuk pertumbuhan dan perkembangan ke
kawasan subtropika, benarkah kalau dikatakan negara-negara di kawasan tropika
tidak akan mengalami permasalahan perlindungan tanaman yang diakibatkan oleh
perubahan iklim?
3) Bagaimana globaslisai dapat menimbulkan ancaman masuknya OPT mengingat
negara-negara maju telah menerapkan karantina yang sangat ketat?
4) Mengapa liberalisasi perdagangan dapat menimbulkan permasalahan OPT di
negara-negara berkembang?
5) Bagaimana paten, merek dagang, dan hak cipta yang pada dasarnya merupakan
perlindungan hak cipta secara ketat dapat dikatakan merampas akses negara-negara
berkembang terhadap varietas tanaman tahan OPT?
6) Bagaimana menjelaskan bahwa otonomi daerah dapat mengancam ketahanan hayati
provinsi atau kabupaten/kota?
7) Mengapa pemerintah pemerintah Australia harus begitu mewaspadai ancaman
masuknya jenis-jenis OPT dari luar?
8) Apa kira-kira hubungan antara demokrasi dan OPT?
Bahan Ajar Mandiri
Dasar-dasar Perlindungan Tanaman 106
9) Mana yang sebenarnya lebih mengalami ancaman yang ditimbulkan oleh
pemencaran OPT, negara-negara yang berpenduduk sedikit atau yang berpenduduk
banyak?
10) Apa yang harus dilakukan oleh seorang petani ladang berpindah di Pulau Timor
pada era perdagangan bebas ini dalam menghadapi ancaman OPT?
Kunci Jawaban dan Cara Menghitung Nilai Hasil Belajar
Kunci jawaban diberikan secara terpisah pada Lampiran 2. Jawab semua pertanyaan
terlebih dahulu dan kemudian baru cocokkan jawaban yang diberikannya dengan kunci
jawaban pada Lampiran 1. Untuk menghitung nilai hasil belajar, setiap pertanyaan yang
dijawab dengan benar diberikan nilai 10. Nilai hasil belajar dihitung dengan
menjumlahkan nilai jawaban dari seluruh pertanyaan dan kemudian mengalikan dengan
2. Nilai yang diperoleh kemudian dikategorikan sebagai berikut:
>80 : sangat memuaskan
70-<80 : memuaskan
60-<70 : cukup
50-<60 : kurang
<50 : gagal
Tindak Lanjut
Bila penilaian hasil belajar menunjukkan hasil kurang atau gagal, pelajari kembali
keseluruhan materi modul. Bila penilaian hasil belajar menunjukkan hasil cukup,
pelajari bagian dari kegiatan belajar yang memuat uraian mengenai pertanyaan yang
tidak dapat dijawab dengan benar. Bila penilaian hasil belajar menunjukkan hasil
memuaskan atau sangat memuaskan, pelajari kembali materi kegiatan belajar pada
modul-modul sebelumnya untuk menghadapi ujian akhir semester. Apapun hasil belajar
yang diperoleh, lakukan pengayaan pemahaman dengan membaca referensi yang
dianjurkan pada Daftar Pustaka.
Daftar Pustaka
Brooks, S.G.; & Wohlforth, W.C. 2000. Power, globalization, and the end of the cold
war: Reevaluating a landmark case for ideas. International Security, 25(3), 34–
37.
Dyson, T. (1999). World food trends and prospects to 2025. Paper presented at the
National Academy of Sciences Colloquium “Plants and Population: Is There
Time?” Proc. Natl. Acad. Sci. USA, 96, 5929–5936. Diakses pada 30 Desember
2010 dari http://www.pnas.org/content/96/11/5929.full.pdf+html
FAO (2007). FAO Biosecurity Toolkit. Diakses pada 28 Juni 2009 dari
www.fao.org/biosecurity/.
Farming Ahead (2007). Weeds will thrive on climate change. Farming Ahead 2007,
March, 38-40.
Hoyt, K.; & Brooks. S.G. (2003). A double-edged sword: Globalization and biosecurity.
International Security 28(3), 123–148
IPCC, 2007: Climate Change 2007: Synthesis Report. Contribution of Working Groups
I, II and III to the Fourth Assessment Report of the Intergovernmental Panel on
Climate Change [Core Writing Team, Pachauri, R.K and Reisinger, A. (eds.)].
Geneva, Switzerland: IPCC.
Bahan Ajar Mandiri
Dasar-dasar Perlindungan Tanaman 107
Koning, N.; &Pinstrup-Andersen, P. (eds.), (2007) Agricultural Trade Liberalization
and the Least Developed Countries, The Netherland: Springer. Diakses pada 2
Januri 2011 dari: http://library.wur.nl/frontis/trade_liberalization/index.html
Leitenberg, M.; Leonard, J.; & Spertzel, R. (2004). Biodefense Crosses the Line.
Politics and the Life Sciences 22(2), 1-2.
Lovett, J. (2008). Foreword. Kritis-Learning Communities (Special Co-publication), pp.
iii-x.
Marten, G.G. (1988) Productivity, stability, sustainability, equitability and autonomy as
properties for agroecosystem assessment. Agricultural System, 26(4), 291-316.
doi:10.1016/0308-521X(88)90046-7
Meyerson, L.A.; & Reaser, J.K. (2002a) A unified definition of biosecurity. Science
295: 44.
Meyerson, L.A.; & Reaser, J.K. (2002b) Biosecurity: Moving toward a comprehensive
approach. BioScience 52(7), 593-599.
Mudita, I W., (2009) Crossing the community-government communication border in
managing citrus biosecurity in West Timor, Indonesia. Paper presented at 2009
Science Exchange held in Sunshine Coast, Qld., Australia, on 22-24 Sep. 2009
Mudita, I W., M.T. Surayasa, & U. Aspatria, (2009) Pengembangan Model Pengelolaan
Ketahanan Hayati Penyimpanan Jagung Berbasis Masyarakat untuk
Meningkatkan Ketahanan Pangan di Wilayah Beriklim Kering. Laporan
Program Hibah Kompetitif Penelitian Sesuai Prioritas Nasional. Kupang:
Lembaga Penelitian Universitas Nusa Cendana (tidak dipublikasikan)
Mudita, I W., (2011) Biosecurity governance: negotiating citrus biosecurity with local
governments and communities in West Timor, Indonesia. Paper accepted for
presentation at 2011 Sceince Exchange to be held in Adelaide, South Australia,
on 6-11 February 2011
Mudita, I W. fortcoming. Crossing community-government border: The governance of
citrus biosecurity in the highlands of West Timor. In: Managing Biosecurity
Across Border, I. Falk, K. Surata, M. Ndoen, & R. Wallace (eds.). E-mail
confirmation by Prof. Ian Falk on 21 Dec. 2009.
Perrings, C.; Mooney, H.A.; Williamson, M.H. (eds.) (2010) Bioinvasions and
Globalization: Ecology, Economics, Management, and Policy. New York:
Oxford University Press
Perrings, C.; Burgiel, S.; Lonsdale, M.; Mooney, H.A.; & Williamson, M.H. (2010)
Globalization and bioinvasions: The international policy problem. In:
Bioinvasions and Globalization: Ecology, Economics, Management, and Policy.
Perrings, C.; Mooney, H.A.; Williamson, M.H. (eds.), pp. 235-250. New York:
Oxford University Press
Perrings, C.; Penichel, E.; Kinzig, A. (2010). Globalization and invasive alien species.
In: Bioinvasions and Globalization: Ecology, Economics, Management, and
Policy. Perrings, C.; Mooney, H.A.; Williamson, M.H. (eds.), pp. 42-55. New
York: Oxford University Press
Yamamura, K.; Yokozawa, M.; Nishimori, M.; Ueda, Y.; & Yokosuka, T. (2006) How
to analyze long-term insect population dynamics under climate change: 50-year
data of three insect pests in paddy fields. Population Ecology 48: 31-48. Diakses
pada 2 Januari 2011 dari:
http://cse.niaes.affrc.go.jp/yamamura/index_e.html#topicL