repository.utu.ac.idrepository.utu.ac.id/1003/1/BAB I_V.docx · Web viewBAB I. PENDAHULUAN. Latar...
Transcript of repository.utu.ac.idrepository.utu.ac.id/1003/1/BAB I_V.docx · Web viewBAB I. PENDAHULUAN. Latar...
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Pada masa bayi pertumbuhan dan perkembangan anak berlangsung sangat
cepat dan perkembangan otaknya telah mencapai 70 % (Roesli, 2005). Selama 12
bulan pertama setelah kelahiran pertumbuhan berlangsung lebih cepat dibanding
masa sesudahnya yaitu anak-anak, remaja maupun dewasa sehingga dikatakan
masa bayi adalah masa paling rawan (Sediaoetama, 2003).
Kebutuhan asuh diantaranya nutrisi yang mencukupi dan seimbang.
Pemberian nutrisi secara mencukupi pada anak harus sudah dimulai sejak dalam
kandungan, yaitu dengan pemberian nutrisi yang cukup memadai pada ibu hamil.
Setelah lahir, harus diupayakan pemberian ASI secara eksklusif, yaitu pemberian
ASI saja sampai anak berumur 4-6 bulan (Nursalam, 2005).
Kehidupan bayi, permulaan proses penyapihan merupakan awal perubahan
besar bagi bayi dan ibu. Pada masa kehamilan dan pasca kelahiran, hubungan
tersebut berangsur-angsur melemah (Newman, 2008 dalam Hasinuddin, 2013).
Keputusan berhenti menyusui adalah pilihan masing-masing ibu. Usia menyapih
biasanya 2 tahun, namun ada juga yang sampai 4 tahun atau lebih. Menurut
beberapa penelitian ASI mengandung nutrisi penting yang membangun sistem
kekebalan tubuh anak. Di usia tertentu bayi harus dilepas dari susu ibu atau
disapih. Namun, proses menyapih ini juga tak mudah. Ada faktor ibu, ada pula
faktor bayi sendiri seperti bayi tidak mau lagi ASI ketika tumbuh gigi. Banyak ibu
1
2
yang bingung ketika dihadapkan pada waktu untuk menyapih bayinya. Terutama
usia berapa yang tepat untuk disapih. Kadang-kadang ibu merasa bersalah dan
kasihan pada bayinya karena harus menghentikan ASI (Reiss, 2008 dalam
Hasinuddin, 2013).
Sebenarnya di belahan dunia lain, menyusui sampai bayi berusia 2 atau 4
tahun sering dilakukan oleh masyarakat. World Health Organization (WHO)
merekomendasikan penyapihan dilakukan setelah bayi berusia 2 tahun (WHO,
2005 dalam Hasinuddin, 2013).
Berdasarkan hasil Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (2014)
jumlah bayi di Indonesia adalah 2.483.485 bayi, jumlah bayi yang mendapatkan
ASI Eksklusif sebanyak 1.348.532 bayi, jumlah bayi yang tidak mendapatkan ASI
secara eksklusif adalah sebanyak 1.134.952 bayi. Dari 19 provinsi yang
mempunyai persentase ASI eksklusif diatas angka nasional (54,3%), dimana
persentase tertinggi terapat pada provinsi Nusa Tenggara Barat (79,7%) dan
terendah paa provinsi Maluku (25,2%) (Kementerian Kesehatan Republik
Indonesi, 2014).
Berdasarkan profil kesehatan provinsi Aceh tahun 2013 di ketahui bahwa
jumlah bayi di provinsi Aceh sebanyak 67.549 bayi, yaitu sebanyak 33.977 bayi
laki-laki dan 33.571 bayi perempuan. Dengan jumlah bayi yang diberikan ASI
eksklusif adalah sebanyak 32.478 bayi atau 48,1% dari total keseluruhan bayi,
yaitu sebanyak 16.274 bayi laki-laki yang mendapatkan ASI eksklusif atau 47,9%
dan sebanyak 16.203 bayi perempuan yang mendapatkan ASI eksklusif atau
48,3%. Jumlah bayi yang BGM di provinsi Aceh adalah sebanyak 4.348 bayi,
3
yaitu sebanyak 1.957 bayi laki-laki dan 2.391 bayi perempuan (Dinkes Aceh,
2013)
Berdasarkan profil kesehatan Aceh tahun 2013 diketahui bahwa jumlah
bayi di Kabupaten Nagan Raya adalah sebanyak 3.226 bayi, dimana sebanyak
1.634 bayi laki-laki dan sebanyak 1.592 bayi perempuan. Sedangkan bayi yang
diberikan ASI eksklusif adalah sebanyak 651 bayi atau 20,2% dari total
keseluruhan bayi, yaitu sebanyak 326 bayi laki-laki yang mendapatkan ASI
eksklusif atau 20% dan sebanyak 325 bayi perempuan yang mendapatkan ASI
eksklusif atau 20,4%. Jumlah bayi yang BGM di Kabupaten Nagan Raya adalah
sebanyak 44 bayi, yaitu sebanyak 21 bayi laki-laki dan 23 bayi perempuan.
(Dinkes Aceh, 2013).
Berdasarkan data rekam medik dari Puskesmas Beutong di peroleh bahwa
jumlah bayi di puskesmas Beutong adalah sebanyak 1.367 bayi, dimana bayi yang
mendapatkan ASI eksklusif adalah sebanyak 527 bayi atau sebanyak 38,5% dari
total bayi yang ada. Dengan demikian jumlah bayi yang tidak diberikan ASI
eksklusif adalah sebanyak 840 bayi atau 61,5% dari total bayi. Sedangkan jumlah
bayi yang mengalami BGM pada tahun 2014 sebanyak 12 bayi (Puskemas
Beutong, 2015).
Berdasarkan pengamatan yang dilakukan oleh peneliti di lapangan dengan
10 orang ibu di dapatkan hasil bahwa sebanyak 4 orang ibu memberikan ASI
kepada bayinya, sedangkan 6 orang ibu lainnya hanya memberikan makanan lain
seperti nasi tim, pisang dan makanan bayi lainnya, hal ini dikarenakan sebanyak 3
orang ibu bekerja dan 1 orang ibu dikarenakan bayinya tidak mau ASI selain itu 2
4
orang ibu lainnya tidak mengetahui manfaat ASI baik dari kegunaan ASI hingga
akibat yang akan dialami anak karena tidak diberikan ASI. Selanjutnya faktor lain
yang membuat ibu tidak memberikan ASI kepada bayinya adalah karena
kurangnya dukungan suami kepada ibu untuk terus memberikan ASI kepada
bayinya, sehingga ibu merasa keputusan yang diambil ibu tepat untuk tidak
memberikan ASI lagi kepada bayinya (Data Observasi awal, 2015). Pemilihan
judul dikarenakan di wilayah kerja Puskesmas Beutong merupakan daerah yang
sebagian masyarakatnya masih kurang memperhatikan tentang pemberian ASI
eksklusif terhadap gizi pada bayi sehingga penelitian ini sangat tepat dilakukan.
Selain itu wilayah kerja puskesmas Beutong yang mencakup beberapa desa sehingga
sampel yang di peroleh akan mencukupi, selain itu peneliti merasa mudah
memperoleh data yang akurat.
Berdasarkan uraian diatas maka penulis tertarik mengkaji secara ilmiah
tentang: “Hubungan Perilaku Pemberian ASI pada bayi 6-12 bulan dengan
status Gizi Bayi di Wilayah Kerja Puskesmas Beutong Kabupaten Nagan Raya”
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan bagaimana
hubungan perilaku pemberian asi pada bayi 6-12 dengan status gizi bayi di
wilayah kerja puskesmas Beutong Kabupaten Nagan Raya.
5
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui bagaimana hubungan perilaku pemberian asi pada bayi
6-12 bulan dengan status gizi bayi di wilayah kerja puskesmas Beutong
Kabupaten Nagan Raya.
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui Pengetahuan ibu dalam pemberian ASI pada bayi
6-12 bulan dengan status gizi bayi di wilayah kerja puskesmas
Beutong Kabupaten Nagan Raya.
2. Untuk mengetahui sikap ibu dalam pemberian ASI pada bayi 6-12
bulan dengan status gizi bayi di wilayah kerja puskesmas Beutong
Kabupaten Nagan Raya.
3. Untuk mengetahui tingkat pendapatan ibu dalam pemberian ASI pada
bayi 6-12 bulan dengan status gizi bayi di wilayah kerja puskesmas
Beutong Kabupaten Nagan Raya.
4. Untuk mengetahui Lingkungan Ibu dalam pemberian ASI pada bayi
6-12 bulan dengan status gizi bayi di wilayah kerja puskesmas
Beutong Kabupaten Nagan Raya.
5. Untuk mengetahui Dukungan Keluarga dalam pemberian ASI pada
bayi 6-12 bulan dengan status gizi bayi di wilayah kerja puskesmas
Beutong Kabupaten Nagan Raya.
6
6. Untuk mengetahui Sosial Budaya dalam pemberian ASI pada bayi 6-
12 bulan dengan status gizi bayi di wilayah kerja puskesmas Beutong
Kabupaten Nagan Raya
1.4 Hipotesis
Ha : Adanya hubungan antara pengetahuan, sikap, pendapatan, dukungan
keluarga, lingkungan dan sosial budaya dalam pemberian ASI pada bayi
6-12 bulan dengan status gizi bayi di wilayah kerja puskesmas Beutong
Kabupaten Nagan Raya.
1.5 Manfaat Penelitian
1.5.1 Manfaat Praktis
1. Bagi masyarakat sebagai bahan informasi mengenai ilmu kesehatan
khususnya pada hubungan perilaku pemberian ASI pada bayi 6-12 bulan
dengan status gizi bayi di wilayah kerja puskesmas Beutong Kabupaten
Nagan Raya.
2. Bagi pihak puskesmas Beutong agar dapat terus memberikan informasi
dan penyuluhyan kepada ibu tentang hubungan perilaku Pemberian ASI
pada bayi 6-12 bulan dengan status gizi bayi di wilayah kerja puskesmas
Beutong Kabupaten Nagan Raya.
1.5.2 Manfaat Teoritis
a. Bagi peneliti dapat menambah wawasan dalam melakukan penelitian
khususnya hubungan Perilaku pemberian ASI pada bayi 6-12 bulan
dengan status gizi bayi di wilayah kerja puskesmas Beutong Kabupaten
Nagan Raya.
7
b. Bagi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Teuku Umar sebagai
salah satu bahan masukan atau informasi guna menambah bahan
perpustakaan yang dapat digunakan bagi pihak-pihak yang
berkepentingan.
c. Bagi peneliti lainnya diharapkan penelitian ini dapat dijadikan sebagai
referensi untuk dipelajari dibangku perkuliahan, dan dapat
membandingkan antara teori dengan praktek yang sesungguhnya.
8
BAB II
TINJAUAN KEPUSTAKAAN
2. 1 Pengertian Perilaku
Menurut Kholid (2012), Perilaku dari aspek biologis diartikan sebagai
suatu kegiatan atau aktivitas organisme atau makhluk hidup yang bersangkutan.
Aktivitas tersebut ada yang dapat diamati secara langsung dan tidak langsung.
Perilaku manusia merupakan hasil dari segala macam pengalaman serta
interaksi manusia dan lingkungannya yang terwujud dalam bentuk pengetahuan,
sikap, dan tindakan. Perilaku merupakan respon atau reaksi individu terhadap
stimulus yang berasal dari luar maupun dari dalam dirinya. Respon ini bersifat
fasif (tanpa tindakan) maupun aktif disertai tindakan (Notoatmodjo dalam
Andriani, 2013).
2.1.1 Pengelompokan Perilaku
Menurut Kholid (2012), Perilaku manusia dapat dikelompokan menjadi 2
(dua) :
1. Perilaku tertutup (covert behavior)
Perilaku tertutup terjadi bila respon terhadap stimulus tersebut masih
belum dapat diamati oleh orang lain (dari luar) secara jelas.
2. Perilaku terbuka (Overt behavior)
Perilaku terbuka terjadi bila responden terhadap stimulus tersebut sudah
berupa tindakan, atau praktik ini dapat diamati oleh orang lain dari atau
observable behavior.
8
9
Berdasarkan batasan perilaku dari Skiner (1938) dalam Notoatmodjo
(2012), maka perilaku kesehatan adalah suatu respon seseorang terhadap stimulus
atau objek yang berkaitan dengan sakit dan penyakit, sistem pelayanan kesehatan,
makanan, minuman, serta lingkungan. Dari batasan ini, perilaku kesehatan dapat
diklasifikasikan menjadi 3 kelompok :
1. Perilaku pemeliharaan kesehatan (health maintenance)
Adalah perilaku atau usaha – usaha seseorang untuk penyembuhan
bilamana sakit. Oleh sebab itu perilaku pemeliharaan kesehatan ini terdiri dari 3
aspek :
a) Perilaku pencegahan penyakit, dan penyembuhan penyakit bila sakit, serta
pemulihan kesehatan bilamana telah sembuh dari penyakit.
b) Perilaku peningkatan kesehatan, apabila seseorang dalam keadaan sehat.
Perlu dijelaskan disini, bahwa kesehatan itu sangat dinamis dan relative,
maka dari orang yang sehatpun perlu diupayakan supaya mencapai tingkat
kesehatan yang seoptimal mungkin.
c) Perilaku gizi (makanan dan minuman), makanan dan minuman dapat
memelihara dan meningkatkan kesehatan seseorang tetapi sebaliknya
makanan dan minuman dapat menjadi penyebab menurunnya kesehatan
seseorang bahkan dapat menjadi penyebab menurunnya kesehatan seseorang
bahkan dapat mendatangkan penyakit. Hal ini sangat tergantung pada
perilaku orang terhadap makanan dan minuman tersebut.
2. Perilaku pencaharian dan sistem atau fasilitas pelayanan kesehatan atau
disebut perilaku pencaharian pengobatan (health seeking behavior).
10
3. Perilaku kesehatan lingkungan adalah merespons lingkungan, baik
lingkungan fisik maupun sosial budaya, dan sebagainya, sehingga lingkungan
tersebut tidak mempengaruhi kesehatannya.
2.1.2 Domain Perilaku
Benyamin Bloom (1908) dalam Fitriani (2011), seorang ahli psikologi
pendidikan membagi perilaku manusia itu dalam 3 (tiga) domain ranah atau
kawasan yakni :
1. Kognitif (cognitive) yaitu, aspek yang menitikberatkan pada aspek intektual,
berfikir, dan hubungannya dengan aspek ingatan seseorang.
2. Afektif (affektive) yaitu, mencakup tujuan – tujuan yang berhubungan dengan
perubahan sikap seseorang maupun yang berkaitan dengan nilai, perasaan,
serta minat dan bakat.
3. Psikomotor (psychomotor) yaitu, tujuan – tujuan yang berhubungan dengan
manipulasi dan kemampuan gerak motorik. Saat ini lebih dikenal dengan
kemampuan keterampilan.
Dalam perkembangannya, teori Bloom ini dimodifikasi untuk pengukuran
hasil pendidikan kesehatan yakni: pengetahuan (kwoledge), sikap (attitude), dan
praktek atau tindakan.
1. Pengetahuan (Knowledge)
Menurut Fitriani (2011), pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini
terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu.
Pernginderaan terjadi melalui panca indera manusia, yakni indera penglihatan,
11
pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan diperoleh
melalui mata dan telinga.
Dari pengalaman dan penelitian terbukti bahwa perilaku yang didasari oleh
pengetahuan akan lebih langgeng daripada perilaku yang tidak didasari oleh
pengetahuan. Penelitian Rogers (1974) dalam Fitriani (2011) mengungkapkan
bahwa sebelum orang mengadopsi perilaku baru (berperilaku baru), di dalam diri
orang tersebut terjadi proses yang berurutan yakni;
a. Awareness (kesadaran), yakni orang tersebut menyadari dalam arti mengetahui
stimulus (objek) terlebih dahulu.
b. Interest, yakni orang mulai tertarik kepada stimulus.
c. Evaluation (menimbang – nimbang baik tidaknya stimulus tersebut bagi
dirinya). Hal ini sikap responden sudah lebih baik lagi.
d. Trial orang sudah mencoba perilaku baru.
e. Adoption subjek telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan, kesadaran,
dan sikapnya terhadap stimulus.
Menurut Kholid (2012) tingkat pengetahuan seseorang secara rinci terdiri
dari enam tingkatan, yaitu:
1. Tahu (know) diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari
sebelumnya termasuk mengingat kembali (recall) terhadap suatu yang spesifik
dari seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima. Tahu
merupakan tingkatan pengetahuan yang paling rendah.
12
2. Memahami (comprehension) diartikan sebagai suatu kemampuan untuk
menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui dan dapat
menginterprestasikan materi secara benar.
3. Aplikasi (application) diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menggunakan
materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi real (sebenarnya) ialah
dapat menggunakan rumus – rumus, metode, prinsip, dan sebagainya dalam
situasi yang lain, misalnya dapat menggunakan prinsip – prinsip siklus
pemecahan masalah kesehatan dari kasus yang telah diberikan.
4. Analisis (analysis) adalah kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu
objek di dalam struktur organisasi tersebut dan masih ada kaitannya suatu
dengan yang lain.
5. Sintesis (synthesis) menunjukkan pada suatu kemampuan untuk meletakkan
atau menghubungkan bagian- bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang
baru.
6. Evaluasi (evaluation) ini berkaitan dengan pengetahuan untuk melakukan
penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaian – penilaian itu didasarkan
pada suatu kriteria yang ditentukan sendiri, atau menggunakan kriteria –
kriteria yang telah ada.
2. Sikap (Attitude)
Menurut Fitriani (2011) Sikap merupakan reaksi atau respon yang masih
tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulus atau objek. Sikap belum
merupakan suatu tindakan atau aktivitas, akan tetapi merupakan predisposisi
tindakan suatu perilaku.
13
Dari Azwar dalam Kholid (2012) menyatakan sikap merupakan kesiapan
untuk bereaksi terhadap suatu objek dengan cara tertentu, bentuk reaksinya
dengan positif dan negatif sikap meliputi rasa suka dan tidak suka, mendekati dan
menghindari situasi, benda, orang, kelompok, dan kebijaksanaan sosial.
Dari Newcomb dalam Fitriani (2011) salah seorang ahli psikologi sosial,
menyatakan bahwa sikap itu merupakan kesiapan atau kesediaan untuk bertindak,
dan bukan merupakan pelaksanaan motif tertentu. Sikap merupakan kesiapan
untuk bereaksi terhadap objek di lingkungan tertentu sebagai suatu penghayatan
terhadap objek.
Paul Massen, dkk., dan David Krech berpendapat sikap itu merupakan
suatu sistem dari tiga komponen yang saling berhubungan, yaitu kognisi
(pengenalan), feeling (perasaan), dan action tendency (kecenderungan untuk
bertindak) (Yusuf, 2006).
Pengukuran sikap ada beberapa macam cara, yang pada garis besarnya
dapat dibedakan secara langsung dan secara tidak langsung. Secara langsung yaitu
subjek secara langsung dimintai pendapat bagaimana sikapnya terhadap sesuatu
masalah atau hal yang diharapkan kepadanya. Dalam hal ini dapat dibedakan
langsung yang tidak berstruktur dan langsung berstruktur. Secara langsung yang
tidak berstruktur misalnya mengukur sikap dan survey (misal Public Option
Survey). Sedangkan secara langsung yang berstuktur, yaitu pengukuran sikap
dengan menggunakan pertanyaan-pertanyaan yang telah disusun sedemikian rupa
dalam suatu alat yang telah ditentukan dan langsung dibedakan kepada subjek
yang diteliti (Arikunto, 2002)
14
Definisi sikap menurut Triandis dalam Slameto (2003) adalah “sikap
mengandung tiga komponen, yaitu komponen kognitif, komponen afektif, dan
komponen tingkah laku.
Sedangkan menurut Secord dan Backman dalam Saifuddin Azwar (2012)
“sikap adalah keteraturan tertentu dalam hal perasaan (afeksi), pemikiran
(kognisi), dan predisposisi tindakan (konasi) seseroang terhadap sutatu aspek di
lingkungan sekitarnya.
Menurut Fitriani (2011) Seperti halnya dengan pengetahuan, sikap ini
terdiri dari berbagai tingkatan.
1. Menerima (receiving) diartikan bahwa orang (subjek) mau dan memperhatikan
stimulus yang diberikan (objek).
2. Merespon (respondingi) memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan,
dan menyelesaikan tugas yang diberikan adalah suatu indikasi dari sikap.
3. Menghargai (valuing) mengajak orang lain untuk mengerjakan atau
mendiskusikan suatu masalah adalah suatu indikasi sikap tingkat tiga.
4. Bertanggungjawab (responsible) bertanggung jawab atas segala sesuatu yang
telah dipilihnya dengan segala resiko yang paling tinggi.
3. Tindakan (Practice)
Menurut Notoatmodjo (2012) Suatu sikap belum otomatis terwujud dalam
suatu tindakan (over behavior). Untuk mewujudkan sikap menjadi suatu
perbuatan nyata diperlukan faktor pendukung atau suatu kondisi yang
memungkinkan, antara lain adalah fasilitas. Disamping faktor fasilitas, juga
diperlukaan faktor dukungan (support) dari pihak lain.
15
Menurut Fitriani (2011) Praktik mempunyai beberapa tingkatan, yaitu:
1. Persepsi (perseption) mengenal dan memilih berbagai objek sehubungan
dengan tindakan yang akan diambil adalah merupakan praktik tingkat pertama.
2. Respon terpimpin (guied response) dapat melakukan sesuatu sesuai dengan
urutan yang benar dan sesuai dengan contoh adalah merupakan indikator
praktik tingkat dua.
3. Mekanisme (mecanism) apabila seseorang telah melakukan sesuatu dengan
benar secara otomatis, atau sesuatu itu sudah merupakan kebiasaan, maka ia
sudah mencapai praktik tingkat tiga.
4. Adopsi (adoption) adalah suatu praktik atau tindakan yang sudah berkembang
dengan baik. Artinya tindakan itu sudah dimodifikasikannya tanpa mengurangi
kebenaran tindakan tersebut.
2.2 ASI
Air Susu Ibu (ASI) adalah makanan terbaik untuk bayi. ASI sangat
dibutuhkan untuk kesehatan bayi dan mendukung pertumbuhan dan
perkembangan bayi secara optimal. Bayi yang mendapatkan ASI eksklusif akan
memperoleh kelebihan ASI serta terpenuhi kebutuhan gizinya secara maksimal
sehingga dia akan lebih sehat, lebih tahan terhadap infeksi, tidak mudah terkena
alergi dan lebih jarang sakit. Sebagai hasilnya, bayi yang mendapatkan ASI secara
eksklusif akan mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang optimal.
Pertumbuhan yang optimal dapat dilihat dari penambahan berat badan, tinggi
badan, ataupun lingkar kepala, sedangkan perkembangan yang optimal dapat
16
dilihat dari adanya peningkatan kemampuan motorik, psikomotorik dan bahasa
(Sulistyoningsih, 2011).
Air Susu Ibu (ASI) adalah suatu emulsi lemak dalam larutan protein,
laktosa dan garam-garam organik yang desekresi oleh kedua belah payudara ibu,
sebagai makanan utama bagi bayi. ASI bukan minuman, namun ASI merupakan
satu-satunya makanan tunggal paling sempurna bagi bayi hingga berusia 6 bulan.
ASI cukup mengandung seluruh zat gizi yang dibutuhkan bayi. Secara alamiah
ASI dibekali enzim pencerna susu sehingga organ pencernaan bayi mudah
mencerna dan menyerap gizi ASI. Sistim pencernaan bayi usia dini belum
memiliki cukup enzim pencerna makanan, oleh karena itu berikan pada bayi ASI
saja hingga usia 6 bulan, tanpa tambahan minuman atau makanan apapun (Arif,
2009).
Al Qur`an sendiri berbicara tentang masalah menyusui ini: “Para Ibu
Hendaklah Menyusukan Anak-Anaknya Selama Dua Tahun Penuh, Yaitu Bagi
Yang Ingin Menyempurnakan Penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan
dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma`ruf. Seseorang tidak dibebani
melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita
kesengsaraan karena anaknya dan juga seorang ayah karena anaknya dan
warispun berkewajiban demikian. Apabila Keduanya Ingin Menyapih ( Sebelum
2th) Dengan Kerelaan Keduanya Dan Permusyawaratan, Maka Tidak Ada Dosa
Atas Keduanya. Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka
tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang
17
patut. Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa
yang kamu kerjakan ” (QS 2: 233).
2.3 Status Gizi
Keadaan gizi meliputi proses penyediaan dan penggunaan gizi untuk
pertumbuhan, perkembangan, pemeliharaan dan aktivitas. Masalah gizi yang
merupakan masalah kesehatan masyarakat, dipengaruhi beberapa faktor antara
lain: penyakit infeksi, konsumsi makanan, tingkat pendapatan keluarga, jumlah
anggota keluarga, tingkat pendidikan ibu, tingkat pengetahuan ibu tentang gizi,
pelayanan kesehatan dan, budaya pantang makanan. Selain itu status gizi juga
dapat dipengaruhi oleh praktek pola asuh gizi yang dilakukan dalam rumah tangga
yang diwujudkan dengan tersedianya pangan dan perawatan kesehatan serta
sumber lainnya untuk kelangsungan hidup (Depkes RI, 2004, dalam Susilawati,
dkk, 2014).
2.3.1 Metode Penilaian Status Gizi
Ada berbagai cara yang dilakukan untuk menilai status gizi, salah satunya
adalah pengukuran tubuh manusia yang dikenal dengan istilah “Antropometri”.
Antropometri telah lama dikenal sebagai indikator penilaian status gizi
perorangan maupun kelompok. pengukuran antropometri dapat dilakukan oleh
siapa saja dengan hanya memerlukan latihan yang cepat dan sederhana. Beberapa
macam antropometri yang telah digunakan antara lain (Deritana, dkk, 2000):
a) Berat Badan (BB)
b) Tinggi Badan (TB)/Panjang Badan (PB)
18
c) Lingkar Lengan Atas (LLA)
d) Lingkar Kepala (LK)
e) Lingkar Dada (LD)
f) Lapisan Lemak Bawah Kulit (LLBK)
Di Indonesia, jenis antropometri yang banyak digunakan, baik dalam
kegiatan program maupun penelitian, adalah BB dan TB. Objek pengukuran
antropometrik adalah anak-anak dibawah umur lima tahun (balita). Dalam
pemakaian untuk penilaian status gizi, antropometri disajikan dalam bentuk
indeks yang dikaitkan dengan variabel lain, seperti :
1) Berat Badan menurut Umur (BB/U)
2) Tinggi Badan/Panjang Badan menurut Umur (TB/U atau PB/U)
3) Berat Badan menurut Tinggi Badan (BB/TB), dll
Masing-masing indeks antropometri tersebut memiliki buku rujukan atau
nilai patokan untuk memperkirakan status gizi seseorang atau kelompok. Jika
antropometri ditujukan untuk mengukur seseorang yang kurus kering
(“Wasting”), kecil pendek (“Stunting”) atau keterhambatan pertumbuhan, maka
indeks BB/TB dan TB/U adalah yang cocok digunakan. Alternatif pengukuran
lain yang juga banyak digunakan adalah indeks BB/U, atau melakukan penilaian
gizi dengan membandingkan berat badan dan usia pada saat pengukuran.
Penggunaan indeks BB/U ini sangat mudah dilakukan akan tetapi kurang dapat
menggambarkan kecenderungan perubahan situasi gizi dari waktu ke waktu
(Deritana, dkk, 2000).
19
Menurut Suroso (2004) tentang standar antroprometri penilaian status gizi
anak dengan kategori ambang batas yaitu berat badan menurut umur (BB/U) anak
umur 0-60 bulan status gizi dengan menggunakan Z-Score.
2.3.2. Klasifikai Status Gizi Bayi
Tabel 2.1 Klasifikasi Status Gizi Bayi
No Indeks yang dipakai Batas Pengelompokkan
Kategori Status Gizi
1 BB/U >+2 SD-2s/d < +2SD<-3 SD
Gizi LebihGizi BaikGizi KurangGizi Buruk
2 TB/U <-3 SD-3 s/d <-2 SD-2 s/d + 2 SD> +2 SD
Sangat PedekPendekNormlTinggi
3 BB/TB <-3 SD-3 s/d <-2SD-2 s/d + 2 SD> + 2 SD
Sangat KurusKurusNormalGemuk
Sumber Kementerian Kesehatan Indonesia 1995/KEMENKES/SK/XII/2010
Tabel 2.2 Pedoman Gizi Bayi, Standar Berat Badan Menurut Umur (BB/U) Umur (Bulan)
Berat Badan-3SD -2SD -1SD Median 1SD 2SD 3SD
0 2.1 2.5 2.9 3.3 3.9 4.4 5.01 2.9 3.4 3.9 4.5 5.1 5.8 6.62 3.8 4.3 4.9 5.6 6.3 7.1 8.03 4.4 5.0 5.7 6.4 7.2 8.0 9.04 4.9 5.8 6.2 7.0 7.8 8.7 9.75 5.3 6.0 6.7 7.5 8.4 9.3 10.46 5.7 6.4 7.1 7.9 8.2 9.8 10.97 5.9 6.7 7.4 8.3 9.2 10.3 11.48 6.2 6.9 7.7 8.6 9.6 10.7 11.99 6.4 7.1 8.0 8.9 9.9 11.0 12.310 6.6 7.4 8.2 9.2 10.2 11.4 12.711 6.8 7.6 8.4 9.4 10.5 11.7 13.012 6.9 7.7 8.6 9.6 10.8 12.0 13.3Sumber Kementerian Kesehatan Indonesia 1995/KEMENKES/SK/XII/2010
20
Cara menghitung Z-Score dengan menggunakan rumus:
Nilai BB- Nilai Median1. Nilai BB> Nilai Median maka:
Nilai (+1SD)-Nilai Median
Nilai BB- Nilai Median2. Nilai BB< Nilai Median maka:
Nilai Median-Nilai (-1SD)
Nilai BB- Nilai Median3. Nilai BB = Nilai Median maka:
Nilai Median
2.4 Bayi
Neonatus adalah bayi baru lahir dari kehamilan 37 minggu sampai 42
minggu dan berat badan lahir 2500 gram sampai 4000 gram. (Depkes RI, 2002).
Bayi baru lahir adalah bayi yang lahir dari kehamilan 37 minggu sampai 42
minggu dan berat badan lahir 2.500 - 4000 gram, yang lahir melalui proses
persalinan dan telah mampu hidup diluar kandungan (Ilyas, 2011).
2.4.1 Karakteristik Bayi Baru Lahir (Normal)
Menurut Kosim (2007) Bayi baru lahir normal adalah berat lahir antara
2500 – 4000 gram, cukup bulan, lahir langsung menangis, dan tidak ada kelainan
congenital (cacat bawaan) yang berat.
Menurut Dep. Kes. RI, (2005) Bayi baru lahir normal adalah bayi yang
lahir dengan umur kehamilan 37 minggu sampai 42 minggu dan berat lahir 2500
gram sampai 4000 gram. Ciri-ciri bayi lahir normal adalah sebagai berikut:
1. Berat badan 2500 – 4000 gram
2. Panjang badan 48 – 52 cm
21
3. Lingkar dada 30 – 38 cm
4. Lingkar kepala 33 – 35 cm
5. Frekuensi jantung 120 – 160 kali/menit
6. Pernafasan ± – 60 40 kali/menit
7. Kulit kemerah – merahan dan licin karena jaringan sub kutan cukup
8. Rambut lanugo tidak terlihat, rambut kepala biasanya telah sempurna
9. Kuku agak panjang dan lemas
10. Genitalia; Perempuan labia mayora sudah menutupi labia minora, Laki – laki
testis sudah turun, skrotum sudah ada
11. Reflek hisap dan menelan sudah terbentuk dengan baik
12. Reflek morrow atau gerak memeluk bila dikagetkan sudah baik
13. Reflek graps atau menggenggan sudah baik
14. Eliminasi baik, mekonium akan keluar dalam 24 jam pertama, mekonium
berwarna hitam kecoklatan.
2.5 Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan pemberian ASI pada bayi
Perilaku seseorang mempengaruhi segala sesuatu apa yang akan
dilakukan dan tidak dilakukannya. Dalam hal ini adalah perilaku ibu dalam
pemberian ASI kepada bayi .
Menurut Bloom (1974) yang dipetik dari Notoadmodjo (2007), faktor
lingkungan merupakan faktor utama yang mempengaruhi kesehatan individu,
kelompok, atau masyarakat manakala faktor perilaku pula merupakan faktor yang
kedua terbesar. Disebabkan oleh teori ini, maka kebanyakan intervensi yang
22
dilakukan untuk membina dan meningkatkan lagi kesehatan masyarakat
melibatkan kedua faktor ini.
Menurut Notoadmodjo (2007) juga mengatakan mengikut teori Green
(1980), perilaku ini dipengaruhi oleh 3 faktor utama, yaitu:
a. Faktor penguat (Predisposising) yang mencakup:
1. Pengetahuan
Secara garis besar menurut (Notoatmodjo, 2005) domain tingkat
pengetahuan (kognitif) mempunyai enam tingkatan, meliputi: mengetahui,
memahami, menggunakan, menguraikan, menyimpulkan dan
mengevaluasi. Ciri pokok dalam taraf pengetahuan adalah ingatan tentang
sesuatu yang diketahuinya baik melalui pengalaman, belajar, ataupun
informasi yang diterima dari orang lain. Pengetahuan merupakan hasil dan
ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek
tertentu.
2. Sikap
Menurut Santrock dalam Azwar (2007) mengemukakan bahwa sikap
merupakan kepercayaan atau opini terhadap orang-orang, obyek atau suatu
ide. Setiap orang memiliki opini atau kepercayaan yang berbeda terhadap
suatu obyek atau ide. Sikap adalah reaksi atas penilaian suka atau tidak
suka terhadap sesuatu atau seseorang yang ditunjukkan melalui
kepercayaan, perasaan atau kecenderungan bertingkah laku.
23
3. Tindakan
Menurut Notoatmodjo (2012) Suatu sikap belum otomatis terwujud dalam
suatu tindakan (over behavior). Untuk mewujudkan sikap menjadi suatu
perbuatan nyata diperlukan faktor pendukung atau suatu kondisi yang
memungkinkan, antara lain adalah fasilitas. Disamping faktor fasilitas,
juga diperlukaan faktor dukungan (support) dari pihak lain.
4. Jenis kelamin
Jenis Kelamin adalah perbedaan bentuk, sifat, dan fungsi biologi laki-laki
dan perempuan yang menentukan perbedaan peran mereka dalam
menyelenggarakan upaya meneruskan garis keturunan (Notoatmodjo,
2012)
5. Pekerjaan
Pekerjaan yaitu sebuah aktifitas antar manusia untuk saling memenuhi
kebutuhan dengan tujuan tertentu, dalam hal ini pendapatan atau
penghasilan.
b. Faktor pendukung (Enabling) yang mencakup:
1. Tingkat Pendapatan
Tingkat sosial ekonomi yang rendah menyebabkan keterbatasan biaya
untuk menempuh pendidikan, sehingga pengetahuannya pun rendah
(Notoatmodjo, 2012)
2. Ketercapaian pelayanan kesehatan
Pelayanan kesehatan yang dapat memuaskan setiap pemakai jasa
pelayanan kesehatan yang sesuai dengan tingkat kepuasaan rata-rata serta
24
penyelenggaraannya sesuai dengan standar dan kode etik profesi
(Notoatmodjo, 2012)
3. Ketersediaan sarana dan prasarana
Tersedianya semua fasilitas kesehatan yang dibutuhkan untuk melakukan
suatu pemeriksaan kesehatan bagi masyarakat (Notoatmodjo, 2012).
c. Faktor pendorong (Reinforncing) pula mencakup:
1. Keluarga
Keluarga adalah salah satu kelompok atau kumpulan manusia yang hidup
bersama sebagai satu kesatuan atau unit masyarakat terkecil dan biasanya
selalu ada hubungan darah, ikatan perkawinan atau ikatan lainnya, tinggal
bersama dalam satu rumah yang dipimpin oleh seorang kepala keluarga
(Lestari, 2012).
2. Lingkungan
Sesuatu yang berada di luar atau disekitar makhluk hidup. Lingkungan
adalah suatu sistem yang kompleks dimana berbagai faktor berpengaruh
timbal balik satu sama lain dan dengan masyarakat (Notoadmodjo, 2003)
3. Sosial budaya
Segala sesuatu yag berkitan dengan tata nilai yang ada pada masyakat,
yang mana di dalamnya terdapat pernytaan mengenai poin intelektual dan
juga nilai artistik yang dapat di jadikan sebagai ciri khas yang ada pada
masyarakat itu sendiri (Notoadmodjo, 2003)
25
2.6 Kerangka Teoritis
Kerangka teori ini disimpulkan berdasarkan tinjauan kepustakaan diatas
yaitu menurut L. Green dalam Notoadmodjo (2007) sebagai berikut:
p
Gambar 2.1 Kerangka Teori PenelitianSumber: L. Green dalam Notoadmodjo (2007)
Faktor Enabling1. Tingkat Pendapatan 2. Ketercapaian Pelayanan Kesehatan3. Ketersediaan Sarana Prasarana
Faktor Reinforncing1. Dukungan Keluarga2. Lingkungan3. Sosial Budaya
Status Gizi Bayi 6-12 Bulan
Faktor Predisposing 1. Pengetahuan2. Sikap3. Tindakan4. Jenis Kelamin5. Pekerjaan
26
2.7 Kerangka Konsep
Variabel Independen Variabel Dependen 1. Pengetahuan2. Sikap3. Tingkat Pendapatan4. Lingkungan5. Dukungan keluarga6. Sosial budaya
Gambar 2.2 Kerangka Konsep
Status Gizi Bayi 6-12 Bulan bayi
27
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Jenis dan Rancangan Penelitian
Jenis penelitian ini adalah jenis penelitian survei yang bersifat analitik
dengan pendekatan Cross Sectional, dimana variabel bebas dan terikat diteliti
pada saat yang bersamaan saat penelitian dilakukan (Notoatmodjo, 2012), yang
bertujuan untuk mengetahui hubungan perilaku asi pada bayi 6-12 bulan dengan
ststus gizi bayi di wilayah kerja puskesmas Beutong Kabupaten Nagan Raya.
3.2 Lokasi Penelitian dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Wiyalah Kerja Puskesmas Beutong
Kabupaten Nagan Raya pada tanggal 18-27 November 2015.
3.3 Populasi dan Sampel
3.3.1 Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh ibu yang memiliki bayi di
wilayah kerja puskemas Beutong yaitu sebanyak 182 ibu.
3.3.2 Sampel
Menurut Notoatmodjo (2005), cara pengambilan sampel pada penelitian
ini adalah secara acak sederhana atau simpel random sampling dengan rumus
slovin sebagai berikut:
n = N
1+N (d)²
27
28
Keterangan: N : Populasi Penelitian
n : Sampel penelitian
d : Tingkat Kesalahan/ eror yang di gunakan (0,1)
n =
n =
n =
n = 64
Tabel 3. 1. Daftar Sampel Penelitian
No Nama Desa Jumlah Populasi
Rumus Proposi di ruangan
Sampel
1234567891011121314151617
Meunasah TeungahKrueng CutPanton BayangKulam JernehLhok SeumotBlang NeangBlang Baro Pulo RagaMeunasah DayahCot JawiBlang DalamBlang SeunmotBabah KrungUjong BlangBumi SariTuwi BuntaGunong NaganBlang Seuneng
325218411311641456-32
3/182x642/182x645/182x642/182x6418/182x644/182x641/182x6413/182x6411/182x646/182x644/182x6414/182x645/182x646/182x64
-3/182x642/182x64
11217105421522011
182
1+182 (0,1)²
182
1+182 (0,01)
182
2,82
29
181920212223242526272829
Blang MesjidPante AraBlang LemakKuta BateeBlang Baro RambongPadang MakmuePadang SialiKompiKeude SeumotMeunasah panteKuta JeumpaMeunasah Krueng
8827754514977
8/182x648/182x642/182x647/182x647/182x645/182x644/182x645/182x6414/182x649/182x647/182x647/182x64
331222125322
Jumlah 182 64
Jadi jumlah keseluruhan yang diambil adalah sebanyak 64 responden.
Pengambilan sampel dilakukan secara acak yaitu mengambil sampel dengan cara
memilih ibu-ibu yang memiliki bayi berumur 6-12 bulan saja.
3.4 Metode Pengumpulan Data
Setelah data dikumpulkan penulis melakukan pengolahan data dengan
langkah-langkah sebagai berikut:
1. Editing (memeriksa), yaitu data yang telah didapatkan diedit untuk
mengecek ulang atau mengoreksi untuk mengetahui kebenaran.
2. Coding, dimana data yang telah didapat dari hasil penelitian dikumpul
dan diberi kode.
3. Tabulating data, data yang telah dikoreksi kemudian dikelompokkan
dalam bentuk tabel.
4. Transfering data, dimana data yang telah dibersihkan dimasukkan dalam
komputer kemudian data tersebut diolah dengan program komputer.
30
3.5 Jenis dan Sumber Data
1. Data Primer
Data yang diperoleh dari peninjauan langsung kelapangan melalui
pengamatan dilapangan dan kuisioner yang telah disusun sebelumnya.
2. Data Sekunder
Data yang diperoleh dari puskesmas Beutong Kabupaten Nagan Raya
seperti data jumlah desa, jumlah bayi, batasan wilayah dan data lainnya
yang diperlukan dalam penelitian ini.
31
3.6 Definisi Operasional
Tabel 1. Definisi Operasional
Variabel IndependentNo Variabel Definisi Cara Ukur Alat Ukur Hasil
Ukur Skala
1 Pengetahuan Wawasan ibu tentang ASI bagi kesehatan bayi
Wawancara Kuesioner 1. Baik2. Kurang
baik
Ordinal
2 Sikap Reaksi atau respon ibu tentang ASI bagi kesehatan bayi
Wawancara Kuesioner 1. Baik2. Kurang
baik
Ordinal
3 Pendapatan
Jumlah penghasilan ibu per bulannya
Wawancara Kuesioner 1. > UMP2. < UMP
Ordinal
4 Dukungan Keluarga
Perhatian keluarga yang di berikan kepada ibu dalam hal pemberian ASI kepada bayi
Wawancara Kuesioner 1.Ada2.Tidak
Ada
Ordinal
5 Lingkungan Keadaan lingkungan sekitar tempat tinggal ibu terhadap proses pemberian ASI kepada bayi
Wawancara Kuesioner 1.Baik2.Kurang Baik
Ordinal
6 Sosial Budaya
Kebiasaan atau adat istiadat tentang pemberian ASI kepada bayi
Wawancara Kuesioner 1.Baik2.Kurang Baik
Ordinal
Variabel Dependen1 Status
Gizi Bayi
Status Gizi bayi yang ada di Puskesmas Betong
Rekam Medis
Menceklis 1.Baik2.Tidak
Baik
Ordinal
32
3.7 Aspek Pengukuran Variabel
Aspek pengukuran yang digunakan dalam pengukuran variabel dalam
penelitian ini adalah skala Guddman yaitu memberi skor dari nilai tertinggi ke
nilai terendah berdasarkan jawaban responden (Notoatmodjo, 2003.).
1. Faktor Pengetahuan
Baik: jika responden mendapat skor nilai > 10
Kurang Baik: jika responden mendapat skor nilai ≤ 10
2. Faktor Sikap
Baik: jika responden mendapat skor nilai > 10
Kurang Baik: jika responden mendapat skor nilai ≤ 10
3. Faktor Tingkat Pendapatan
Baik: jika pendapatan responden > UMP (> Rp. 1.750.000)
Kurang Baik: jika pendapatan responden ≤ UMP (≤ Rp. 1.750.000)
4. Faktor Dukungan Keluarga
Ada: jika responden mendapat skor nilai > 10
Tidak Ada: jika responden mendapat skor nilai ≤ 10
5. Lingkungan
Baik: jika responden mendapat skor nilai > 5
Kurang Baik: jika responden mendapat skor nilai ≤ 5
6. Faktor Sosial Budaya
Baik: jika responden mendapat skor nilai > 5
Kurang Baik: jika responden mendapat skor nilai ≤ 5
33
7. Status Gizi Bayi
Baik: jika data rekam medis menunjukkan bayi berstatus gizi baik
Tidak Baik: jika data rekam medis menunjukkan bayi berstatus gizi tidak
baik.
3.8 Teknik Analisis Data
3.8.1 Analisis Univariat
Analisis Univariat dilakukan untuk mendapat data tentang distribusi
frekuensi dari masing-masing variabel, kemudian data ini di sajikan dalam bentuk
tabel distribusi frekuensi.
3.8.2 Analisis Bivariat
Analisis ini digunakan untuk mengetahui hipotesis dengan menentukan
hubungan antara variabel independen (variabel bebas) dengan variabel dependen
(variabel terikat) dengan menggunakan uji statistik Chi-square (X2) (Budiarto,
2003).
Kemudian untuk mengamati derajat hubungan antara variabel tersebut akan
di hitung nilai odd ratio (OR). Bila tabel 2 x 2, dan dijumpai nilai expected
(harapan) kurang dari 5, maka yang digunakan adalah “Fisher’s Exact Test”
Analis data dilakukan dengan menggunakan perangkat computer SPSS
untuk membuktikan yaitu dengan ketentuan p value < 0,05 (H0 ditolak) sehingga
disimpulkan ada hubungan yang bermakna.
Dalam melakukan uji Chi-Square ada syarat-syarat yang harus dipenuhi:
34
1. Bila 2 x 2 dijumpai nilai expected (harapan) kurang dari 5, maka yang
digunakan adalah fisher`s test,
2. Bila 2 x 2 dan nilai E > 5, maka uji yang dipakai sebaliknya Contiuty
Corection,
3. Bila table lebih dari 2 x 2 misalnya 2 x 3, 3 x 3 dan seterusnya, maka
digunakan uji pearson Chi-square.
4. Uji ‘’ likelihood Ratio’’, biasanya digunakan untuk keperluan lebih spesifik ,
misalnya analisis stratifikasi pada bidang epidemiologi dan juga untuk
mengetahui hubungan linier dua variabel katagorik ,sehingga kedua jenis ini
jarang digunakan.
35
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1 Gambaran Umum
UPTD Puskesmas Beutong adalah Puskesmas di Kabupaten
Nagan Raya. Puskesmas Beutong terletak di Desa Lhok Seumot
Kecamatan Beutong Kabupaten Nagan Raya. Jarak dari
Puskesmas ke Ibukota Kabupaten Nagan Raya lebih kurang 30
Km. Sedangkan luas wilayah kerja Puskesmas sekitar 1.323,06
Km. Puskesmas ini mempunyai wilayah kerja 29 desa yang ada
di Kecamatan Beutong yaitu:
Tabel 4.1. Cakupan Wilayah Kerja dan Penduduk Puskesmas Beutong Tahun 2015
Desa KK1 Meunasah Teungah 2572 Krueng Cut 2113 Panton Bayang 2754 Kulam Jerneh 1785 Lhok Seumot 1456 Blang Neang 867 Blang Baro Pulo Raga 1058 Meunasah Dayah 2139 Cot Jawi 24010 Blang Dalam 18811 Blang Seumot 13412 Babah Krung 8913 Ujong Blang 34514 Bumi Sari 14515 Tuwi Bunta 10316 Gunong Nagan 14917 Blang Seuneng 4818 Blang Mesjid 3819 Pante Ara 5620 Blang Lemak 4421 Kuta Batee 6322 Blang Baro Rambong 5323 Padang Makmue 90
36
24 Padang Siali 57
25
Kompi
8726 Keude Seumot 13227 Meunasah pante 9828 Kuta Jeumpa 12129 Meunasah Krueng 78
Jumlah 3.828 Sumber: Puskesmas Beutong, 2015
Secara geografis Puskesmas Beutong berbatas dengan:
Sebelah Barat berbatas dengan Kecamatan Seunagan Timur
Sebelah Timur berbatas dengan Kabupaten Gayo Lues
Sebelah Utara berbatas dengan Kabupaten Aceh Tengah
Sebelah Selatan berbatas dengan Kecamatan Darul Makmur Nagan Raya
4.2 Hasil Penelitian
4.2.1 Analisis Univariat
1. Umur Responden
Hasil perhitungan frekuensi dan persentase berdasarkan
umur responden dapat dilihat pada tabel 4.2 berikut dibawah ini:
Tabel 4.2. Distribusi Frekuensi Berdasarkan Umur Responden dengan Status Gizi Bayi di Wilayah Kerja Puskesmas Beutong Kabupaten Nagan Raya.
NO Umur Responden Frekuensi %1 21-25 Tahun 7 10,92 26-30 Tahun 10 15,63 31-35 Tahun 4 6,34 36-40 Tahun 19 29,75 41-45 Tahun 13 20,36 > 45 Tahun 11 17,2
Total 64 100Sumber: data primer 2015
35
37
Berdasarkan tabel 4.2 di ketahui bahwa responden tertinggi yang
berumur 36-40 tahun adalah sebanyak 19 orang (29,7%), sedangkan responden
terendah yang berumur 31-35 tahun adalah sebanyak 4 orang (6,3%).
2. Pendidikan
Hasil perhitungan frekuensi berdasarkan pendidikan
responden dapat dilihat pada tabel 4.3 berikut dibawah ini:
Tabel 4.3. Distribusi Frekuensi Berdasarkan pendidikan Responden dengan Status Gizi Bayi di Wilayah Kerja Puskesmas Beutong Kabupaten Nagan Raya.
NO Pendidikan Frekuensi %1 SD 6 9,42 SMP 16 25,03 SMA 20 31,24 Perguruan Tinggi 22 34,4Total 64 100Sumber: data primer 2015
Berdasarkan tabel 4.3 dapat di ketahui bahwa responden tertinggi yang
berpendidikan perguruan tinggi sebanyak 22 orang (34,4%) dan responden
terendah yang berpendidikan SD sebanyak 6 orang (9,4%).
3. Pengetahuan
Hasil perhitungan frekuensi dan persentase dari variabel
pengetahuan dapat dilihat pada tabel 4.4 berikut dibawah ini:
Tabel 4.4. Distribusi Frekuensi Berdasarkan Faktor Pengetahuan Responden dengan Status Gizi Bayi di Wilayah Kerja Puskesmas Beutong Kabupaten Nagan Raya.
NO Pengetahuan Frekuensi %1 Baik 22 34,42 Kurang Baik 42 65,6Total 64 100Sumber: data primer 2015
38
Berdasarkan tabel 4.4 dapat di ketahui bahwa responden
yang faktor pengetahuan baik adalah sebanyak 22 orang
(34,4%), sedangkan responden yang faktor pengetahuan kurang
baik adalah sebanyak 42 orang (65,6%).
4. Sikap
Hasil perhitungan frekuensi dan persentase dari variabel
sikap dapat dilihat pada tabel 4.5 berikut dibawah ini:
Tabel 4.5. Distribusi Frekuensi Berdasarkan Faktor sikap Responden dengan Status Gizi Bayi di Wilayah Kerja Puskesmas Beutong Kabupaten Nagan Raya.
NO Sikap Frekuensi %1 Baik 20 31,22 Kurang Baik 44 68,8Total 64 100Sumber: data primer 2015
Berdasarkan tabel 4.5 dapat di ketahui bahwa responden
yang faktor sikap baik adalah sebanyak 20 orang (31,3%),
sedangkan responden yang faktor sikap kurang baik adalah
sebanyak 44 orang (68,8%).
5. Pendapatan
Hasil perhitungan frekuensi dan persentase dari variabel
Pendapatan dapat dilihat pada tabel 4.6 berikut dibawah ini:
Tabel 4.6. Distribusi Frekuensi Berdasarkan Faktor Pendapatan Responden dengan Status Gizi Bayi di Wilayah Kerja Puskesmas Beutong Kabupaten Nagan Raya.
NO Pendapatan Frekuensi %1 > UMP (> Rp. 1.750.000) 23 35,92 ≤ UMP (≤ Rp. 1.750.000) 41 64,1Total 64 100Sumber: data primer 2015
39
Berdasarkan tabel 4.6 dapat di ketahui bahwa responden
yang faktor pendapatan > UMP (> Rp. 1.750.000)adalah sebanyak 23
orang (35,9%), sedangkan responden yang faktor pendapatan ≤
UMP (≤ Rp. 1.750.000)adalah sebanyak 41 orang (64,1%).
6. Dukungan Keluarga
Hasil perhitungan frekuensi dan persentase dari variabel
dukungan keluarga dapat dilihat pada tabel 4.7 berikut dibawah
ini:
Tabel 4.7. Distribusi Frekuensi Berdasarkan Faktor Dukungan Keluarga Responden dengan Status Gizi Bayi di Wilayah Kerja Puskesmas Beutong Kabupaten Nagan Raya.
NO Dukungan Keluarga Frekuensi %1 Ada 25 39,12 Tidak Ada 39 60,9Total 64 100Sumber: data primer 2015
Berdasarkan tabel 4.7 dapat di ketahui bahwa responden
yang faktor dukungan keluarga ada adalah sebanyak 25 orang
(39,1%), sedangkan responden yang faktor dukungan keluarga
tidak ada adalah sebanyak 39 orang (60,9%).
7. Lingkungan
Hasil perhitungan frekuensi dan persentase dari variabel
lingkungan dapat dilihat pada tabel 4.8 berikut dibawah ini:
Tabel 4.8. Distribusi Frekuensi Berdasarkan Faktor Lingkungan Responden dengan Status Gizi Bayi di Wilayah Kerja Puskesmas Beutong Kabupaten Nagan Raya.
40
NO Lingkungan Frekuensi %1 Baik 27 42,22 Kurang Baik 37 57,8Total 64 100Sumber: data primer 2015
Berdasarkan tabel 4.8 dapat di ketahui bahwa responden
yang faktor lingkungan baik adalah sebanyak 27 orang (42,2%),
sedangkan responden yang faktor lingkungan tidak baik adalah
sebanyak 37 orang (57,8%).
8. Sosial Budaya
Hasil perhitungan frekuensi dan persentase dari variabel
sosial budaya dapat dilihat pada tabel 4.9 berikut dibawah ini:
Tabel 4.9. Distribusi Frekuensi Berdasarkan Faktor Sosial Budaya Responden dengan Status Gizi Bayi di Wilayah Kerja Puskesmas Beutong Kabupaten Nagan Raya.
NO Sosial Budaya Frekuensi %1 Baik 24 37,52 Kurang Baik 40 62,5Total 64 100Sumber: data primer 2015
Berdasarkan tabel 4.9 dapat di ketahui bahwa responden
yang faktor pendapatan sosial budaya baik adalah sebanyak 24
orang (37,5%), sedangkan responden yang faktor sosial budaya
kurang baik adalah sebanyak 40 orang (62,5%).
9. Status Gizi
Hasil perhitungan frekuensi dan persentase dari variabel
status gizi dapat dilihat pada tabel 4.10 berikut dibawah ini:
Tabel 4.10. Distribusi Frekuensi Berdasarkan Faktor Status Gizi Responden dengan Status Gizi Bayi di Wilayah Kerja Puskesmas Beutong Kabupaten Nagan Raya.
NO Status Gizi Frekuensi %
41
1 Baik 30 46,92 Tidak Baik 34 53,1Total 64 100Sumber: data primer 2015
Berdasarkan tabel 4.10 dapat di ketahui bahwa responden
yang faktor pendapatan status gizi baik adalah sebanyak 30
orang (46,9%), sedangkan responden yang faktor status gizil
tidak baik adalah sebanyak 34 orang (53,1%).
4.2.2 Analisis Bivariat
Analisis bivariat untuk mengetahui hubungan variabel independen dan
dependen. Pengujian ini menggunakan uji chi-square. Dimana ada hubungan yang
bermakna secara statistik jika diperoleh nilai pvalue < 0,05.
a. Hubungan Faktor Pengetahuan dengan Status Gizi Bayi
Tabel 4.11.Faktor Pengetahuan yang berhubungan dengan Status Gizi Bayi di Wilayah Kerja Puskesmas Beutong Kabupaten Nagan Raya.
Pengetahuan Status Gizi Total Baik Tidak Baik Pvalue ORf % f % f %
Baik 18 81,8 4 18,2 22 100 0,001 11,2Kurang Baik 12 28,6 30 71,4 42 100 (3,14-40,2)Jumlah 30 46,9 34 53,1 64 100Sumber : data primer 2015
Berdasarkan tabel 4.11 diketahui bahwa dari 22 responden yang faktor
pengetahuan baik, sebanyak 18 orang (81,8%) yang memiliki bayi
berstatus gizi baik dan sebanyak 4 orang (18,2%) yang memiliki bayi berstatus
gizi tidak baik. Sedangkan dari 42 responden yang faktor pengetahuan
kurang baik, sebanyak 12 orang (28,6%) yang memiliki bayi berstatus gizi
baik dan sebanyak 30 orang (71,4%) yang memiliki bayi berstatus gizi tidak baik
42
Berdasarkan hasil uji chi square didapat nilai Pvalue = 0,001 dan ini lebih
kecil dari α = 0,05 (Pvalue = 0,001 < α = 0,05) sehingga diuraikan terdapat
hubungan yang signifikan antara faktor pengetahuan dengan status gizi pada bayi
di wilayah kerja Puskesmas Beutong Kabupaten Nagan Raya.
Berdasarkan hasil OR 11,2 dapat disimpulkan bahwa responden yang
memiliki pengetahuan baik akan berpeluang sebanyak 11,2 kali memiliki bayi
yang status gizinya baik dibandingkan dengan responden yang pengetahuannya
kurang baik.
b. Hubungan Faktor Sikap dengan Status Gizi Bayi
Tabel 4.12.Faktor Sikap yang berhubungan dengan Status Gizi Bayi di Wilayah Kerja Puskesmas Beutong Kabupaten Nagan Raya.
Sikap Status Gizi Total Baik Tidak Baik Pvalue ORf % f % f %
Baik 16 80,0 4 20,0 20 100 0,001 8,5Kurang Baik 14 31,8 30 68,2 44 100 (2,4-30,4)Jumlah 30 46,9 34 53,1 64 100Sumber : data primer 2015
Berdasarkan tabel 4.12 diketahui bahwa dari 20 responden yang faktor
sikap baik, sebanyak 16 orang (80,0%) yang memiliki bayi berstatus gizi
baik dan sebanyak 4 orang (20,0%) yang memiliki bayi berstatus gizi tidak baik.
Sedangkan dari 44 responden yang faktor sikap kurang baik, sebanyak
14 orang (31,8%) yang memiliki bayi berstatus gizi baik dan sebanyak 30 orang
(68,2%) yang memiliki bayi berstatus gizi tidak baik
43
Berdasarkan hasil uji chi square didapat nilai Pvalue = 0,001 dan ini lebih
kecil dari α = 0,05 (Pvalue = 0,001 < α = 0,05) sehingga diuraikan terdapat
hubungan yang signifikan antara faktor sikap dengan status gizi pada bayi di
wilayah kerja Puskesmas Beutong Kabupaten Nagan Raya.
Berdasarkan hasil OR 8,5 dapat disimpulkan bahwa responden yang
memiliki sikap baik akan berpeluang sebanyak 8,5 kali memiliki bayi yang status
gizinya baik dibandingkan dengan responden yang sikapnya tidak baik.
c. Hubungan Faktor Pendapatan dengan Status Gizi Bayi
Tabel 4.13.Faktor Pendapatan yang berhubungan dengan Status Gizi Bayi di Wilayah Kerja Puskesmas Beutong Kabupaten Nagan Raya.
Pendapatan Status Gizi Total Baik Tidak Baik Pvalue ORf % f % f %
> UMP 16 69,6 7 30,4 23 100 0,014 4,4< UMP 14 34,1 27 65,9 41 100 (1,4-13,2)Jumlah 30 46,9 34 53,1 64 100Sumber : data primer 2015
Berdasarkan tabel 4.13 diketahui bahwa dari 23 responden yang faktor
pendapatannya > UMP, sebanyak 16 orang (69,6%) yang memiliki bayi
berstatus gizi baik dan sebanyak 7 orang (30,4%) yang memiliki bayi berstatus
gizi tidak baik. Sedangkan dari 41 responden yang faktor pendapatannya <
UMP, sebanyak 14 orang (34,1%) yang memiliki bayi berstatus gizi baik dan
sebanyak 27 orang (65,9%) yang memiliki bayi berstatus gizi tidak baik.
44
Berdasarkan hasil uji chi square didapat nilai Pvalue = 0,014 dan ini lebih
kecil dari α = 0,05 (Pvalue = 0,014 < α = 0,05) sehingga diuraikan terdapat
hubungan yang signifikan antara faktor pendapatan dengan status gizi pada bayi
di wilayah kerja Puskesmas Beutong Kabupaten Nagan Raya.
Berdasarkan hasil OR 4,4 dapat disimpulkan bahwa responden yang
memiliki pendapatan > UMP akan berpeluang sebanyak 4,4 kali memiliki bayi
yang status gizinya baik dibandingkan dengan responden yang pendapatnnya <
UMP.
d. Hubungan Faktor Dukungan Keluarga dengan Status Gizi Bayi
Tabel 4.14.Faktor Dukungan Keluarga yang berhubungan dengan Status Gizi Bayi di Wilayah Kerja Puskesmas Beutong Kabupaten Nagan Raya.
Dukungan Status Gizi TotalKeluarga Baik Kurang Baik Pvalue OR
f % f % f %Ada 19 76,0 6 24,0 25 100 0,001 8,0Tidak Ada 11 28,2 28 71,8 39 100 (2,5-25,5)Jumlah 30 46,9 34 53,1 64 100Sumber : data primer 2015
Berdasarkan tabel 4.14 diketahui bahwa dari 25 responden yang faktor
dukungan keluarga ada, sebanyak 19 orang (76,0%) yang memiliki bayi
berstatus gizi baik dan sebanyak 6 orang (24,0%) yang memiliki bayi berstatus
gizi kurang baik. Sedangkan 39 responden yang faktor dukungan keluarga
tidak ada, sebanyak 11 orang (28,2%) yang memiliki bayi berstatus gizi baik
dan sebanyak 28 orang (71,8%) yang memiliki bayi berstatus gizi kurang baik
45
Berdasarkan hasil uji chi square didapat nilai Pvalue = 0,001 dan ini lebih
kecil dari α = 0,05 (Pvalue = 0,001 < α = 0,05) sehingga diuraikan terdapat
hubungan yang signifikan antara faktor dukungan keluarga dengan status gizi
pada bayi di wilayah kerja Puskesmas Beutong Kabupaten Nagan Raya.
Berdasarkan hasil OR 8,0 dapat disimpulkan bahwa responden yang
memiliki dukungan keluarga akan berpeluang sebanyak 8,0 kali memiliki bayi
yang status gizinya baik dibandingkan dengan responden yang dukungan
keluarganya tidak ada.
e. Hubungan Faktor Lingkungan dengan Status Gizi Bayi
Tabel 4.15.Faktor Lingkungan yang berhubungan dengan Status Gizi Bayi di Wilayah Kerja Puskesmas Beutong Kabupaten Nagan Raya.
Lingkungan Status Gizi Total Baik Tidak Baik Pvalue ORf % f % f %
Baik 20 74,1 7 25,9 27 100 0,001 7,7Kurang Baik 10 27,0 27 73,0 37 100 (2,5-23,7)Jumlah 30 46,9 34 53,1 64 100Sumber : data primer 2015
Berdasarkan tabel 4.15 diketahui bahwa dari 27 responden yang faktor
lingkungan baik, sebanyak 20 orang (74,1%) yang memiliki bayi berstatus
gizi baik dan sebanyak 7 orang (25,9%) yang memiliki bayi berstatus gizi tidak
baik. Sedangkan dari 37 responden yang faktor lingkungan kurang baik,
sebanyak 10 orang (27,0%) yang memiliki bayi berstatus gizi baik dan
sebanyak 27 orang (73,0%) yang memiliki bayi berstatus gizi tidak baik
46
Berdasarkan hasil uji chi square didapat nilai Pvalue = 0,001 dan ini lebih
kecil dari α = 0,05 (Pvalue = 0,001 < α = 0,05) sehingga diuraikan terdapat
hubungan yang signifikan antara faktor lingkungan dengan status gizi pada bayi di
wilayah kerja Puskesmas Beutong Kabupaten Nagan Raya.
Berdasarkan hasil OR 7,7 dapat disimpulkan bahwa responden yang
memiliki lingkungan baik akan berpeluang sebanyak 7,7 kali memiliki bayi yang
status gizinya baik dibandingkan dengan responden yang lingkungannya kurang
baik.
f. Hubungan Faktor Sosial Budaya dengan Status Gizi Bayi
Tabel 4.16.Faktor Sosial Budaya yang berhubungan dengan Status Gizi Bayi di Wilayah Kerja Puskesmas Beutong Kabupaten Nagan Raya.
Sosial Status Gizi TotalBudaya Baik Tidak Baik Pvalue OR
f % f % f %Baik 17 70,8 7 29,2 24 100 0,007 5,0Kurang Baik 13 32,5 27 67,5 40 100 (1,6-15,1)Jumlah 30 46,9 34 53,1 64 100Sumber : data primer 2015
Berdasarkan tabel 4.16 diketahui bahwa dari 24 responden yang faktor
sosial budaya baik, sebanyak 17 orang (70,8%) yang memiliki bayi
berstatus gizi baik dan sebanyak 7 orang (29,2%) yang memiliki bayi berstatus
gizi tidak baik. Sedangkan dari 40 responden yang faktor sosial budaya
kurang baik, sebanyak 13 orang (32,5%) yang memiliki bayi berstatus gizi
baik dan sebanyak 27 orang (67,5%) yang memiliki bayi berstatus gizi tidak baik
47
Berdasarkan hasil uji chi square didapat nilai Pvalue = 0,007 dan ini lebih
kecil dari α = 0,05 (Pvalue = 0,007 < α = 0,05) sehingga diuraikan terdapat
hubungan yang signifikan antara faktor sosial budaya dengan status gizi pada bayi
di wilayah kerja Puskesmas Beutong Kabupaten Nagan Raya.
Berdasarkan hasil OR 5,0 dapat disimpulkan bahwa responden yang
memiliki sosial budaya baik akan berpeluang sebanyak 5,0 kali memiliki bayi
yang status gizinya baik dibandingkan dengan responden yang sosial budaya
kurang baik.
4.3 Pembahasan
Penelitian yang dilakukan bertujuan untuk mengetahui hubungan perilaku
pemberian ASI pada bayi 6-12 bulan dengan status gizi bayi di Wilayah Kerja
Puskesmas Beutong Kabupaten Nagan Raya. Variabel yang diteliti dalam
penelitian ini adalah variabel independen yaitu variabel pengetahuan, sikap,
pendapatan, dukungan keluarga, lingkungan, dan sosial budaya, dengan variabel
dependen yaitu dengan status gizi pada bayi.
4.3.1 Hubungan Faktor Pengetahuan dengan Status Gizi pada Bayi
Berdasarkan hasil penelitian ini diketahui bahwa terdapatnya hubungan
signifikan antara pengetahuan dengan status gizi bayi di Wilayah Kerja
Puskesmas Beutong Kabupaten Nagan Raya, dimana dari 22 responden yang
faktor pengetahuan baik, sebanyak 18 orang (81,8%) yang memiliki
48
bayi berstatus gizi baik dan sebanyak 4 orang (18,2%) yang memiliki bayi
berstatus gizi tidak baik. Sedangkan dari 42 responden yang faktor
pengetahuan tidak baik, sebanyak 12 orang (28,6%) yang memiliki bayi
berstatus gizi baik dan sebanyak 30 orang (71,4%) yang memiliki bayi berstatus
gizi tidak baik
Berdasarkan hasil uji chi square didapat nilai Pvalue = 0,001 dan ini lebih
kecil dari α = 0,05 (Pvalue = 0,001 < α = 0,05) sehingga diuraikan terdapat
hubungan yang signifikan antara faktor pengetahuan dengan status gizi pada bayi
di wilayah kerja Puskesmas Beutong Kabupaten Nagan Raya.
Berdasarkan pengamatan peneliti dilapangan peneliti menemukan bahwa
responden yang berpengetahuan baik dan status gizi bayinya baik karena
responden tersebut mengetahui bahwa pemberian ASI masih sangat dibutuhkan
oleh anak hingga usia 2 tahun. Maka ibu terus memberikan ASI kepada anaknya
hingga anak berumur 2 tahun. Sedangkan responden yang memiliki pengetahuan
baik dan status gizi anaknya tidak baik dikarenakan sang ibu hanya sebenarnya
mengetahui manfaat ASI baik bagi bayi hingga usia 2 tahun, akan tetapi ibu tidak
memberikan ASI pada bayinya secara rutin, dikarenakan ibu bekerja, jadi sebelum
dan setelah pulang kerja saja ibu memberikan ASI pada bayinya.
Selanjutnya responden yang pengetahuannya tidak baik dan memiliki
bayi dengan status gizi baik dikarenakan ibu hanya mengikuti saran dari petugas
dan orang tua saja untuk memberikan ASI terus pada bayinya, dengan tujuan
menjalankan tugas sebagai ibu sehingga tanpa di sadari ibu telah memberikan
asupan terbaik bagi anaknya. Sedangkan responden yang memiliki pengetahuan
49
tidak baik dan memiliki bayi dengan status gizi tidak baik dikarenakan ibu merasa
jika anaknya sudah bisa di berikan MP-ASI maka bayi sebaiknya diberikan
makanan lain saja seperti bubur, buah-buahan dan lainnya tidak perlu diberikan
ASI secara rutin lagi.
Menurut Fitriani (2011) pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini
terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu.
Pernginderaan terjadi melalui panca indera manusia, yakni indera penglihatan,
pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan diperoleh
melalui mata dan telinga.
Hasil penelitian Siswanto (2014) didapat bahwa terhadap hubungan yang
signifikan antara pengetahuan ibu dengan status gizi bayi di wilayah kerja
Puskesmas Kalikajar II Wonosobo.
4.3.2 Hubungan Faktor sikap dengan Status Gizi pada Bayi
Berdasarkan hasil penelitian ini diketahui bahwa terdapatnya hubungan
signifikan antara sikap dengan status gizi bayi di Wilayah Kerja Puskesmas
Beutong Kabupaten Nagan Raya, dimana dari 20 responden yang faktor sikap
baik, sebanyak 16 orang (80,0%) yang memiliki bayi berstatus gizi baik dan
sebanyak 4 orang (20,0%) yang memiliki bayi berstatus gizi tidak baik.
Sedangkan dari 44 responden yang faktor sikap tidak baik, sebanyak 14
orang (31,8%) yang memiliki bayi berstatus gizi baik dan sebanyak 30 orang
(68,2%) yang memiliki bayi berstatus gizi tidak baik
Berdasarkan hasil uji chi square didapat nilai Pvalue = 0,001 dan ini lebih
kecil dari α = 0,05 (Pvalue = 0,001 < α = 0,05) sehingga diuraikan terdapat
50
hubungan yang signifikan antara faktor sikap dengan status gizi pada bayi di
wilayah kerja Puskesmas Beutong Kabupaten Nagan Raya.
Berdasarkan pengamatan peneliti dilapangan peneliti menemukan bahwa
responden yang sikapnya baik dan status gizi bayinya baik karena responden terus
memberikan ASI kepada anaknya hingga anak berumur 2 tahun. Sedangkan
responden yang memiliki sikap baik dan status gizi anaknya tidak baik
dikarenakan ibu tidak memberikan ASI pada bayinya secara rutin, dikarenakan
ibu bekerja, jadi sebelum dan setelah pulang kerja saja ibu memberikan ASI pada
bayinya.
Selanjutnya responden yang sikapnya tidak baik dan memiliki bayi
dengan status gizi baik dikarenakan ibu memiliki sikap untuk mengikuti saran dari
petugas dan orang tua saja untuk memberikan ASI terus pada bayinya. Sedangkan
responden yang memiliki sikap tidak baik dan memiliki bayi dengan status gizi
tidak baik dikarenakan ibu hanya memberikan MP-ASI seperti bubur, buah-
buahan dan lainnya dan bayi tidak diberikan ASI secara rutin lagi.
Menurut Fitriani (2011) Sikap merupakan reaksi atau respon yang masih
tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulus atau objek. Sikap belum
merupakan suatu tindakan atau aktivitas, akan tetapi merupakan predisposisi
tindakan suatu perilaku.
Hasil penelitian Giri, dkk (2013) diperoleh data penelitian bahwa 9% ibu
yang tidak memberikan ASI Eksklusif memiliki balita dengan status gizi diatas
garis merah dan 1,3 % memiliki status gizi bawah garis merah, sedangkan 74,4 %
ibu yang memberikan ASI Eksklusif memiliki balita dengan status gizi diatas
51
garis merah dan 15,4% memiliki status gizi di bawah garis merah. Hasil uji
korelasi nilai signifikansi p = 0,000 (p< 0,05), sehingga disimpulkan ada
hubungan antara sikap ibu dalam pemberian ASI Eksklusif dengan status gizi
balita usia 6-24 bulan.
4.3.3 Hubungan Faktor Pendapatan dengan Status Gizi pada Bayi
Berdasarkan hasil penelitian ini diketahui bahwa terdapatnya hubungan
signifikan antara pendapatan dengan status gizi bayi di Wilayah Kerja Puskesmas
Beutong Kabupaten Nagan Raya, dimana dari 23 responden yang faktor
pendapatannya > UMP, sebanyak 16 orang (69,6%) yang memiliki bayi
berstatus gizi baik dan sebanyak 7 orang (30,4%) yang memiliki bayi berstatus
gizi tidak baik. Sedangkan dari 41 responden yang faktor pendapatannya <
UMP, sebanyak 14 orang (34,1%) yang memiliki bayi berstatus gizi baik dan
sebanyak 27 orang (65,9%) yang memiliki bayi berstatus gizi tidak baik.
Berdasarkan hasil uji chi square didapat nilai Pvalue = 0,014 dan ini lebih
kecil dari α = 0,05 (Pvalue = 0,014 < α = 0,05) sehingga diuraikan terdapat
hubungan yang signifikan antara faktor pendapatan dengan status gizi pada bayi
di wilayah kerja Puskesmas Beutong Kabupaten Nagan Raya.
Berdasarkan pengamatan peneliti dilapangan peneliti menemukan bahwa
responden yang pendapatannya > UMP (> Rp. 1.750.000,-) dan status gizi
bayinya baik karena responden tersebut dapat memenuhi semua kebutuhan sibayi,
seperti membeli buah-buahan, vitamin dan pemeriksaan kesehaatan bayi secara
rutin. Sedangkan yang responden pendapatannya ≤ UMP (≤ Rp. 1.750.000,-) dan
status gizi bayinya tidak baik karena responden tersebut tidak selalu membeli
52
buah-buahan, vitamin dan lainnya pemeriksaan kesehatan bayi secara rutin untuk
bayinya selain itu ibu juga tidak rutin memeriksakan kesehatan bayinya.
Selanjutnya responden yang pendapatannya > UMP (> Rp. 1.750.000,-)
dan status gizi bayinya baik karena responden tersebut hanya memberikan ASI
dan makanan biasa yang juga memiliki gizi seimbang seperti nasi, sayuran,
pisang, jus wortel dan, lain sebagainya. Sedangkan yang responden
pendapatannya ≤ UMP (≤ Rp. 1.750.000,-) dan status gizi bayinya tidak baik
karena tidak dapat memenuhi semua kebutuhan sibayi, seperti membeli buah-
buahan, vitamin dan tidak dapat membawa bayinya melakukan pemeriksaan
kesehaatan bayi secara rutin.
Menurut Bayu Wijayanto (2004), pendapatan rumah tangga adalah
pendapatan yang diperoleh seluruh anggota keluarga yang bekerja. Dari definisi
diatas dapat disimpulkan bahwa pendapatan adalah uang atau barang yang
diterima subjek ekonomi sebagai balas jasa dari pemberian faktor-faktor produksi.
Hasil penelitian Setiani (2013) didapat bahwa terhadap hubungan yang
signifikan antara pendapatan ibu dengan status gizi bayi di Posyandu Kelurahan
“B” Kota Surakarta, Jakarta 2012
4.3.4 Hubungan Faktor Dukungan Keluarga dengan Status Gizi pada Bayi
Berdasarkan hasil penelitian ini diketahui bahwa terdapatnya hubungan
signifikan antara dukungan keluarga dengan status gizi bayi di Wilayah Kerja
Puskesmas Beutong Kabupaten Nagan Raya, dimana dari 25 responden yang
faktor dukungan keluarga baik, sebanyak 19 orang (76,0%) yang
memiliki bayi berstatus gizi baik dan sebanyak 6 orang (24,0%) yang memiliki
53
bayi berstatus gizi tidak baik. Sedangkan 39 responden yang faktor dukungan
keluarga baik, sebanyak 11 orang (28,2%) yang memiliki bayi berstatus
gizi baik dan sebanyak 28 orang (71,8%) yang memiliki bayi berstatus gizi tidak
baik
Berdasarkan hasil uji chi square didapat nilai Pvalue = 0,001 dan ini lebih
kecil dari α = 0,05 (Pvalue = 0,001 < α = 0,05) sehingga diuraikan terdapat
hubungan yang signifikan antara faktor dukungan keluarga dengan status gizi
pada bayi di wilayah kerja Puskesmas Beutong Kabupaten Nagan Raya.
Berdasarkan pengamatan peneliti dilapangan peneliti menemukan bahwa
responden yang mendapatkan dukungan keluarga dan status gizi bayinya baik
karena responden tersebut mendapatkan dukungan keluarga dalam merawat dan
menjaga anaknya, dimana keluarga memberikan perhatian seperti pola makan
anak, pola istirahat anak, jadwal anak minum vitamin dan pemberian ASI yang
rutin kepada anak. Sedangkan yang mendapatkan dukungan keluarga dan status
gizi bayinya tidak baik karena responden tersebut tidak mengindahkan pendapat
keluarga tentang pemeberian ASI yang rutin kepada bayinya, pemberian vitamin
dan mengatur pola makan anak dengan baik, responden hanya merasa apa yang
dilakukannya saja yang benar.
Selanjutnya responden yang tidak mendapatkan dukungan keluarga dan
status gizi bayinya baik karena responden tersebut memperhatikan dan mencari
informasi dari teman atau lainnya tentang cara merawat dan menjaga anaknya,
dimana dan mengatur pola makan anak, pola istirahat anak, jadwal anak minum
vitamin dan memberikan ASI yang rutin kepada anak. Sedangkan yang tidak
54
mendapatkan dukungan keluarga dan status gizi bayinya tidak baik karena
responden tersebut tidak mencari informasi dari teman atau lainnya tentang cara
merawat dan menjaga anaknya, dimana dan mengatur pola makan anak, pola
istirahat anak, jadwal anak minum vitamin dan tidak memberikan ASI yang rutin
kepada anak.
Dukungan keluarga adalah sikap, tindakan dan penerimaan keluarga
terhadap anggotanya. Anggota keluarga memandang bahwa orang yang bersifat
mendukung selalu siap memberikan pertolongan dan bantuan jika diperlukan
(Friedman, 2003). Hubungan kasih sayang dalam keluarga merupakan suatu
rumah tangga yang bahagia. Dalam kehidupan yang diwarnai oleh rasa kasih
sayang maka semua pihak dituntut agar memiliki tanggung jawab, pengorbanan,
saling tolong menolong, kejujuran, saling mempercayai, saling membina
pengertian dan damai dalam rumah tangga (Soetjiningsih, 2001)
Hasil penelitian Jahari (2005) didapat bahwa terhadap hubungan yang
signifikan antara dukungan keluarga yaitu kesadaran keluarga akan pemenuhan
gizi pada bayi terhadap status gizi bayi.
4.3.5 Hubungan Faktor Lingkungan dengan Status Gizi pada Bayi
Berdasarkan hasil penelitian ini diketahui bahwa terdapatnya hubungan
signifikan antara lingkungan dengan status gizi bayi di Wilayah Kerja Puskesmas
Beutong Kabupaten Nagan Raya, dimana dari 27 responden yang faktor
lingkungan baik, sebanyak 20 orang (74,1%) yang memiliki bayi berstatus
gizi baik dan sebanyak 7 orang (25,9%) yang memiliki bayi berstatus gizi tidak
baik. Sedangkan dari 37 responden yang faktor lingkungan kurang baik,
55
sebanyak 10 orang (27,0%) yang memiliki bayi berstatus gizi baik dan
sebanyak 27 orang (73,0%) yang memiliki bayi berstatus gizi tidak baik
Berdasarkan hasil uji chi square didapat nilai Pvalue = 0,001 dan ini lebih
kecil dari α = 0,05 (Pvalue = 0,001 < α = 0,05) sehingga diuraikan terdapat
hubungan yang signifikan antara faktor lingkungan dengan status gizi pada bayi di
wilayah kerja Puskesmas Beutong Kabupaten Nagan Raya.
Berdasarkan pengamatan peneliti dilapangan peneliti menemukan bahwa
responden yang lingkungan tempat tinggalnya baik dan status gizi bayinya baik
karena responden tersebut mendapatkan perhatian dari lingkungan sekitar tempat
tinggalnya seperti keluarga untuk selalu memberikan ASI kepada bayinya hingga
bayi berumur 2 tahun dengan di selingi oleh makanan yang bergizi dan alami.
Sedangkan responden yang lingkungan tempat tinggalnya baik dan status gizi
bayinya tidak baik karena responden tersebut mendapatkan tidak mengindahkan
anjuran lingkungannya seperti keluarga untuk selalu memberikan ASI kepada
bayinya hingga bayi berumur 2 tahun dengan di selingi oleh makanan yang
bergizi dan alami.
Selanjutnya responden yang lingkungan tempat tinggalnya tidak baik dan
status gizi bayinya baik karena responden tersebut tetap menjaga pertumbuhan
bayinya yaitu walaupun ligkungan sekitar tempat tinggalnya tidak memberikan
ASI lagi pada bayi mereka pada usia anak 6 bulan akan tetapi responden tetap
memberikan ASI dan MP-ASI yang sehat bagi anaknya. Sedangkan responden
yang lingkungan tempat tinggalnya tidak baik dan status gizi bayinya tidak baik
karena responden tersebut mengikuti kebiasaan lingkungannya yaitu menjaga
56
pertumbuhan bayinya yaitu dimana tidak memberikan ASI lagi pada bayi mereka
pada usia anak 6 bulan dan MP-ASI yang sehat bagi anaknya.
Sesuatu yang berada di luar atau disekitar makhluk hidup. Lingkungan
adalah suatu sistem yang kompleks dimana berbagai faktor berpengaruh timbal
balik satu sama lain dan dengan masyarakat (Notoadmodjo, 2003)
Hasil penelitian Nugroho (2012) didapat bahwa terhadap hubungan yang
signifikan antara lingkungan tempat tinggal ibu yaitu lingkungan ibu selalu
memberikan ASI terhadap status gizi bayi.
4.3.6 Hubungan Faktor Sosial Budaya dengan Status Gizi pada Bayi
Berdasarkan hasil penelitian ini diketahui bahwa terdapatnya hubungan
signifikan antara soaial budaya dengan status gizi bayi di Wilayah Kerja
Puskesmas Beutong Kabupaten Nagan Raya, dimana dari 24 responden yang
faktor sosial budaya baik, sebanyak 17 orang (70,8%) yang memiliki
bayi berstatus gizi baik dan sebanyak 7 orang (29,2%) yang memiliki bayi
berstatus gizi tidak baik. Sedangkan dari 40 responden yang faktor sosial
budaya kurang baik, sebanyak 13 orang (32,5%) yang memiliki bayi
berstatus gizi baik dan sebanyak 27 orang (67,5%) yang memiliki bayi berstatus
gizi tidak baik
Berdasarkan hasil uji chi square didapat nilai Pvalue = 0,007 dan ini lebih
kecil dari α = 0,05 (Pvalue = 0,007 < α = 0,05) sehingga diuraikan terdapat
hubungan yang signifikan antara faktor sosial budaya dengan status gizi pada bayi
di wilayah kerja Puskesmas Beutong Kabupaten Nagan Raya.
57
Berdasarkan pengamatan peneliti dilapangan peneliti menemukan bahwa
responden yang status sosial baik dan status gizi bayinya baik karena responden
tersebut menjalankan tradisi keluarga untuk selalu mengurus bayinya sendiri,
dengan memeberikan ASI secara langsung dan membuat sendiri makanan yang
akan dimakan oleh bayi. Sedangkan responden yang status sosial baik dan status
gizi bayinya tidak baik karena responden tersebut tidak menjalankan tradisi
keluarga untuk selalu mengurus bayinya sendiri, dengan memberikan ASI secara
langsung dan membuat sendiri makanan yang akan dimakan oleh bayi
Selanjutnya responden yang status sosial budaya tidak baik dan status
gizi bayinya baik karena responden tersebut tidak mengikuti tradisi yang ada di
sekitarnya baik keluarga ataupun masyarakat, melainkan repsonden trersebut
selalu mengurus bayinya sendiri, dengan memberikan ASI secara langsung dan
membuat sendiri makanan yang akan dimakan oleh bayi. Sedangkan responden
yang status sosial budaya tidak baik dan status gizi bayinya tidak baik karena
responden tersebut mengikuti tradisi yang ada di sekitarnya baik keluarga ataupun
masyarakat yaitu hanya memberikan bayi makanan yang siap saji dan tidak
memberikan ASI lagi pada bayinya.
Segala sesuatu yag berkaitan dengan tata nilai yang ada pada masyakat,
yang mana di dalamnya terdapat pernyataan mengenai poin intelektual dan juga
nilai artistik yang dapat di jadikan sebagai ciri khas yang ada pada masyarakat itu
sendiri (Notoadmodjo, 2003)
Hasil penelitian Yudi (2008) menemukan Adanya hubungan antara sosial
budaya dengan status gizi bayi di Kecamatan Medan Area Kota Medan Tahun
58
2007. Di mana ibu yang memiliki tradisi pantang makanan di luar rumah seperti
makanan yang memiliki bahan pengawet sebesar 88,5% anaknya yang status gizi
nya baik. Sedangkan ibu yang ibu yang tidak memiliki tradisi pantang makanan di
luar rumah seperti makanan yang memiliki bahan pengawet, di mana anaknya
boleh bebas makan apa saja yang disukainyua sebesar 58,7% anaknya memiliki
gizi tidak baik.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
1. Adanya hubungan yang signifikan antara faktor Pengetahuan terhadap
status gizi bayi (Pvalue = 0,001 < α = 0,05).
2. Adanya hubungan yang signifikan antara faktor sikap terhadap status gizi
bayi (Pvalue = 0,001 < α = 0,05).
3. Adanya hubungan yang signifikan antara faktor pendapatan terhadap status
gizi bayi (Pvalue = 0,014 < α = 0,05).
59
4. Adanya hubungan yang signifikan antara faktor dukungan keluarga
terhadap status gizi bayi (Pvalue = 0,001 < α = 0,05).
5. Adanya hubungan yang signifikan antara faktor lingkungan terhadap status
gizi bayi (Pvalue = 0,001 < α = 0,05).
6. Adanya hubungan yang signifikan antara faktor sosial budaya terhadap
status gizi bayi (Pvalue = 0,007 < α = 0,05).
5.2 Saran
1. Diharapkan kepada Puskesmas Beutong agar dapat memberikan penyuluhan
kepada ibu-ibu dan para suami di posyandu dan di puskesmas tentang
masalah pemberian ASI dan pemenuhan gizi pada bayi sehingga status gizi
bayi selalu baik.
2. Diharapkan kepada Dinas Kesehatan Nagan Raya agar dapat lebih
mensosialisasikan masalah pemberian ASI dan pemenuhan gizi pada bayi
sehingga status gizi bayi selalu baik.
3. Kepada para orang tua agar dapat selalu memberikan ASI kepada bayi hingga
bayi berumur 2 tahun sehingga pemenuhan gizi bayi dapat terpenuhi. Selain
itu diharapkan kepada ibu untuk selalu mencari tahu manfaat pemberian ASI
dengan status gizi bayi, serta menyatakan kepada keluarga tentang cara
merawat bayi dengan baik, dan memperhatikan lingkungan dan tradisi dalam
merawat bayi akan tetapi tetap mengutamakan pemberian ASI dan makanan
bergizi bagi bayi.
4. Kepada keluarga/ suami diharapkan agar dapat mendukung ibu untuk terus
memberikan ASI kepada bayi hingga berumur 2 tahun. Selain itu
58
60
mendampingi ibu untuk membawa bayi ke posyandu atau pelayanan
kesehatan dalam memeriksa kesehatan dan status gizi bayi.
DAFTAR PUSTAKA
Andriani, R., 2013. Gambaran Perilaku Penjual Peptisida di Desa Ujong Baroh Kecamatan Johan Pahlawan Kabupaten Aceh Barat. Skripsi. Universitas Teuku Umar : Meulaboh.
Arif, N, 2009. ASI dan Tumbuh Kembang Bayi. Penerbit. MedPress. Yogyakarta
Arikunto. 2002. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta
Azwar, S. 2007. Sikap Manusia. Teori dan pengukurannya. Edisi ke-2. Yogyakarta:
Budiarto. 2003. Metodologi Penelitian Kedokteran. Jakarta: EGC
Depkes RI, 2004. Sistem Kesehatan Nasional. Depkes RI, Jakarta
Deritana. Kombong dan Yuristianti. 2000. Gizi untuk Pertumbuhan dan Perkembangan Prioritas dan Intervensi. AUSAID – World Vision – Depkes RI.
Dinkes Aceh. 2013. Profil Kesehatan Aceh. Aceh
61
Dinkes Nagan Raya. 2015. Data Jumlah Bayi dan Bayi Imunisasi di Kabupaten Nagan Raya. Nagan Raya.
Fitriani, S. 2011. Promosi Kesehatan. Graha Ilmu : Jakarta.
Friedman. 2003. Keperawatan Keluarga. Jakarta : EGC.
Giri. 2013. Hubungan Pemberian ASI Eksklusif dengan Status Gizi Balita Usia 6-24 Bulan di Kampung Kajanan, Buleleng. Skripsi. Universitas Pendidikan Ganesha Bali.
Hasinuddin. 2013. Pengaruh ketepatan waktu penyapihan terhadap status gizi balita usia 24-36 bulan di wilayah kerja puskesmas bangkalan. Jurnal online ilmu kebidanan & kandungan - obsgyn akbid ngudia husada madura Volume 3.
Ilyas. 2011. Asuhan Keperawatan Perinatal. Buku Kedokteran EGC. Jakarta.
Jahari. 2005. Antropometri Sebagai Indikator Status Gizi. Gizi Indonesia No.13 volume 2.
Kementerian Kesehatan Indonesia 1995/KEMENKES/SK/XII/2010
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2013. Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2013. Jakarta.
Kholid, A., 2012. Promosi Kesehatan dengan Pendekatan Teori Perilaku, Media, dan Aplikasinya. Rajawali Pres : Jakarta.
Kosim M. Sholeh. 2008. Buku ajar neonatologi. Edisi pertama. IDAI.Jakarta
Lestari, Sri. 2012. Psikologi Keluarga: Penanaman Nilai dan Penanganan Konflik dalam Keluarga. Jakarta: Prenada Media Group
Notoadmodjo, S. 2005. Ilmu Kesehatan Masyarakat: Prinsip-prinsip Dasar. Rineka Cipta. Jakarta.
Notoadmodjo, S., 2007. Promosi Kesehatan & Ilmu Perilaku. 1st ed. Jakarta: Rineka Cipta.
Notoatmodjo, S. 2003. Ilmu Kesehatan Masyarakat Prinsip-prinsip Dasar. Jakarta : Rineka Cipta.
Notoatmodjo, S. 2010. Metodologi penelitian kesehatan. Rineka Cipta. Jakarta
Notoatmodjo, S. 2012. Promosi kesehatan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta : Rineka cipta
Nugroho. 2012. Patologi Kebidanan. Yogyakarta: Nuha Medika.
62
Nursalam. 2005. Asuhan keperawatan pada anak. Jakarta: Salemba Medika.
Puskesmas Beutong. 2015. Jumlah Bayi dan Data Imunisasi Wilayah Kerja Puskesmas Beutong. Nagan Raya.
Puskesmas Beutong. Data Jumlah Bayi dan Status Gizi Bayi. Nagan Raya.
Sediaoetama. 2003. Ilmu Gizi. Jakarta Timur : Dian Rakyat.
Setiyani. 2013. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Status Gizi Bayi Usia 6-12 Bulan di Posyandu Kelurahan “B” Kota Surakarta. Artikel Ilmiah. STIK SINT Carolus. Jakarta.
Siswanto. 2013. Hubungan Tingkat Pengetahuan, Sikap, dan Perilaku Ibu dengan tatus Gizi Bayi . Skripsi. Universitas Muhammadiyah. Yogyakarta.
Slameto. 2003. Belajar dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya. Jakarta: Rineka Cipta.
Soetjiningsih. 2001. Tumbuh Kembang Anak. Jakarta : EGC.
Sulistyoningsih, H. 2011. Gizi Untuk Kesehatan Ibu dan Anak. Yogyakarta : Graha Ilmu.
Suroso. 2004. Psikologi Islami: Solusi Islam atas Problem- problem Psikologi. Yogyakarta : Penerbit Pustaka Pelajar.
Susilawati, Fatimah dan Benu. 2014. Hubungan Pemberian Makanan Pendamping Asi (Mp-Asi) dengan Status Gizi Bayi 6-12 Bulan di Posyandu Kurusumange Kecamatan Tanralili Kabupaten Maros. Poltekkes Kemenkes Makassar. Makassar. Jurnal. 1 (4). ISSN : 2302-1721
Wijayanto, Bayu. 2004. Pendapatan Rumah Tangga. Bandung. Pustaka Jaya. 43- 49
Yudi H., 2008. Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6-24 Bulan Di Kecamatan Medan Area Kota Medan Tahun 2007. Universitas Sumatera Utara. Tesis
Yusuf. 2006. Psikologi Perkembangan anak dan Remaja. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
63
64
65
66
67
68
69
70
71
72
73
74
75
76
77
78
79
80
81
82
83
84
85
86
87
88
89
90
91
92
http://123.108.103.38/~dinkesaceh/profil/e-book-profil2013/index.html#/202