IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Bahan Bakurepository.ub.ac.id/150129/5/BAB_IV.pdf ·...
Transcript of IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Bahan Bakurepository.ub.ac.id/150129/5/BAB_IV.pdf ·...
66
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Karakteristik Bahan Baku
Bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini adalah Fraksi Tidak
Tersabunkan (FTT) dari Distilat Asam Lemak Minyak Sawit (DALMS) yang
diperoleh dari industri pemurnian minyak sawit PT. Salim Ivomas di Surabaya.
Penelitian prioritas nasional masterplan percepatan dan perluasan pembangunan
ekonomi Indonesia 2011-2025 (PENPRINAS MP3EI 2011-2015) melaporkan
bahwa FTT mengandung vitamin E 1,96%, fitosterol 0,55%, dan skualen 32,30%.
Vitamin E terutama terdiri atas tokotrienol (83%) dan sisanya adalah tokoferol.
4.1.1 Kadar Asam Lemak Bebas (ALB) dari DALMS dan FTT
Analisa kadar asam lemak bebas perlu dilakukan sebagai salah satu
penentu kualitas minyak. Jumlah senyawa tersebut merupakan salah satu
petunjuk tingkat kerusakan minyak akibat proses hidrolisa maupun proses
pengolahan yang kurang baik. Pada umumnya lemak apabila dibiarkan lama di
udara akan menimbulkan rasa dan bau yang tidak enak. Hal ini disebabkan oleh
proses hidrolisis yang menghasilkan asam lemak bebas. Kelembaban udara,
cahaya, suhu tinggi dan adanya bakteri perusak adalah faktor-faktor yang
menyebakan terjadinya ketengikan lemak. Semakin tinggi angka ALB, semakin
rendah kualitas minyak yang diujikan (Sudarmadji dkk, 2003). ALB dapat
dikurangi dengan pemurnian secara kimiawi yaitu saponifikasi. ALB pada minyak
dipisahkan pada tahap netralisasi dan deodorisasi.
Kadar ALB merupakan bilangan asam suatu minyak yang dihitung
berdasarkan berat molekul asam lemak campuran atau asam lemak dominan
yang terkandung dalam suatu minyak (pada penelitian ini dinyatakan sebagai
asam palmitat). DALMS dihasilkan pada tahap pemurnian yang menguapkan
senyawa yang tidak diinginkan seperti ALB, aldehid, keton, alkohol dan senyawa
senyawa volatil lainnya. Senyawa ini memiliki titik didih yang lebih rendah dari
minyak kelapa sawit. Hasil penguapan ini bisa didaur ulang berupa DALMS
dengan jumlah 3.36% dari berat CPO (Norhidayah et al., 2012). 85% dari
kandungan DALMS ini adalah asam lemak bebas (ALB) (Tapanawong, 2011).
Hasil analisa kadar ALB dari FTT dan DALMS dicantumkan pada tabel
4.1. untuk perhitungan selengkapnya terdapat pada Lampiran 2.
67
Tabel 4.1 Kadar ALB dari DALMS dan FTT Karakteristik DALMS Literatur
Asam lemak bebas (%) 70,74 95,75* Sumber: *Ahmadi dan Estiasih (2011)
Pada penelitian ini, kadar ALB dari DALMS adalah 70,74%. Secara
umum, kadar asam lemak bebas yang terdapat pada DALMS adalah berada
dikisaran di atas 80% yang dibuktikan dari hasil penelitian sebelumnya, kadar
ALB dari DALMS adalah sebesar 95,75% (Ahmadi dan Estiasih, 2011), 87,96%
(Muchlisyiyah, 2013), 95,8% (Rahmawati, 2000) dan 80% (Christina, 2000; Puah
et al., 2009), 80-90% (Hui, 1996/1992) dan 81,7% (Pitoyo, 1991). Pada penelitian
Rismawati (2009) menyatakan bahwa pada proses deodorisasi berlangsung
pemisahan asam lemak bebas (ALB). Aplikasi suhu tinggi dan tekanan yang
rendah akan mengakibatkan ALB menguap dan bersifat volatil sehingga dapat
dipisahkan dari minyak (trigliserida) yang kurang volatil. Kadar asam lemak
bebas dalam DALMS yang cukup tinggi dikarenakan DALMS merupakan hasil
samping pada proses pemurnian fisik (physical refining) minyak sawit pada
tahapan deodorisasi dengan hasil DALMS 2,5-5% dari berat minyak sawit yang
masih mengandung asam lemak bebas sekitar 80% (Puah et al., 2009)
Berdasarkan data yang diperoleh menunjukkan bahwa kadar asam
lemak bebas pada hasil penelitian ini lebih rendah dibanding penelitian
sebelumnya. Hal ini dapat disebabkan oleh perbedaan jenis bahan baku, kondisi
penyimpanan dan metode saponifikasi yang digunakan, dikarenakan proses
saponifikasi dapat menghilangkan sebagian besar asam lemak bebas yang telah
terikat oleh KOH.
Hasil saponifikasi DALMS menghasilkan fraksi tidak tesabunkan dengan
kadar ALB 3,56%. Hal ini menunjukkan tingkat penurunan kadar ALB sekitar
66%. Penurunan tersebut disebabkan oleh proses saponifikasi yang
menghilangkan sebagian besar asam lemak bebas yang terikat oleh KOH
membentuk sabun, sabun ini akan dibuang setelah proses saponifikasi. Proses
saponifikasi merupakan proses deasidifikasi secara kimia dengan penambahan
KOH (alkali). Muchlisyiyah (2013) melaporkan bahwa proses saponifikasi
DALMS secara kimia dapat menurunkan kandungan asam lemak bebas sebesar
94-98%. Kadar ALB yang terdapat dalam fraksi tidak tersabunkan pada
penelitian ini lebih tinggi dar kadar ALB fraksi tidak tersabunkan yang dilaporkan
muchlisyiyah (2013) yaitu sebesar 1,65%. Kandungan asam lemak bebas ini
68
diduga dipengaruhi oleh kontak dengan udara dan cahaya pada proses separasi
sehingga dapat menimbulakn oksidasi dan penambahan jumlah ALB. Presentase
ALB juga dipengaruhi oleh tingkat kandungan senyawa pengotor lain yang
terdapat pada fraksi tidak tersabunkan, misalnya senyawa aldehid dan
peroksida.
4.1.2 Total Oksidasi dari DALMS dan FTT
Minyak sawit yang keluar dari proses bleaching (pemucatan) masih
mengandung aldehida, keton, alkohol, asam lemak berberat molekul ringan,
hidrokarbon, dan bahan-bahan lain hasil dekomposisi peroksida dan pigmen.
Bentuk dari oksidasi ditunjukkan dengan adanya aldehid, keton, alkohol, asam
lemak dengan berat molekul ringan, hidrokarbon, hasil dekomposisi peroksida
dan pigmen. Senyawa-senyawa volatil khususnya aldehid dan keton umumnya
mempunyai bau dengan threshold yang sangat rendah dan menyebabkan off-
flavor pada minyak atau produk makanan. pada minyak. Keberadaan peroksida
dan aldehid yang merupakan hasil oksidasi primer dan sekunder dari minyak
dapat menunjukkan derajat kerusakan minyak. Selain mengandung asam lemak
bebas, DALMS dan FTT juga mengandung hasil oksidasi dari gliserida
(Hammond et al., 2005). Keberadaan peroksida dan aldehid dapat ditunjukkan
dengan analisa bilangan peroksida dan anisidin. Tingkat oksidasi DALMS dan
FTT hasil analisa dicantumkan pada Tabel 4.2.
Tabel 4.2. Total Oksidasi DALMS dan FTT
Sampel Bilangan peroksida (mek/kg)
Bilangan p-Anisidin
Total Oksidasi
DALMS 4,24 2,79 7,03 FTT 2,81 2,32 5,13
Bilangan peroksida DALMS dan FTT hasil analisa pada penelitian ini
adalah 4,24 dan 2,81 mek/kg. Nilai yang didapatkan ini lebih besar dari penelitian
sebelumnya yaitu 1,53 dan 6,61 mek/kg (Muchlisyiyah, 2013), 0,4 mek/kg
(Rahmawati, 2009), 1,13 mek/kg (Ratnasari, 2008).
DALMS yang telah mengalami saponifikasi dapat mengandung
peroksida sebagai hasil oksidasi primer dari asam lemak bebas. Hartley (1979)
dalam Riyadi (2009) melaporkan bahwa minyak cenderung untuk bereaksi
dengan oksigen secara autooksidasi membentuk peroksida.
69
Bilangan peroksida yang cukup tinggi pada DALMS yang digunakan
pada penelitin ini diduga disebabkan karena tingkat oksidasi DALMS yang cukup
tinggi. Proses penyimpanan merupakan penyebab utama kerusakan oksidatif
dari DALMS yang dianalisa pada penelitian ini, karena DALMS dikirim dalam
jirigen yang tidak kedap udara serta masih bisa tembus cahaya. Yustinah (2009)
melaporkan bahwa reaksi oksidasi dipercepat oleh cahaya, UV, panas serta
logam. Shahidi dan zhong (2005) menyatakan bahwa salah satu penyebab
terbentuknya peroksida adalah keberadaan oksigen. Menurut Ketaren (2005)
kerusakan minyak yang telah mengalami proses deodorisasi dapat disebabkan
oleh proses oksidasi, hidrolisa, mikroba dan ion logam seperti Cu, Mg, Fe, Zn
yang merupakan katalisator dalam proses oksidasi minyak. Logam tersebut
dapat membentuk persenyawaan kompleks dengan hasil oksidasi asam lemak
dan berubah menjadi radikal bebas sehingga peroksida yang terbentuk semakin
tinggi.
Angka peroksida yang tinggi juga dapat disebabkan oleh tingginya asam
lemak bebas (% Free Fatty Acid) yang terdapat pada DALMS. Menurut Min dan
Smouse (1989) dalam Dananik (2009) asam lemak bebas mempunyai aktivitas
prooksidan karena adanya gugus karboksil. Minyak yang mengandung asam
lemak bebas menghasilkan peroksida yang lebih besar. Peroksida yang terdapat
pada DALMS juga dapat berasal dari proses penghilangan peroksida minyak
dalam proses doeodorisasi. Riyadi (2009) melaporkan bahwa proses deodorisasi
pada suhu 130-150° C selama 1-2 jam dapat mereduksi peroksida sekitar 85-
99%. Nilai bilangan peroksida pada DALMS tersebut masih dibawah 100 mek/kg.
Minyak diatas 100 mek/kg dinyatakan beracun dan tidak aman untuk dikonsumsi.
Pengukuran jumlah senyawa aldehid sebagai produk oksidasi sekunder
pada minyak dapat diukur dalam bentuk uji bilangan p-anisidin. Uji bilangan p-
anisidn pada DALMS dan FTT yaitu sebesar 2,79 dan 2,32. hasil pengukuran
bilangan p-anisidin yang didapatkan lebih rendah dibanding dengan penelitian
sebelumnya yaitu 6,91 dan 5,83 (Puspitasari, 2013). Hasil pengukuran tersebut
menunjukkan DALMS dan FTT telah mengalami dekomposisi lanjut.
Dekomposisi ini diduga terjadi pada proses penyimpanan. Jumlah senyawa
aldehid yang terkandung pada suatu minyak tergantung dari jumlah senyawa
peroksida yang terkandung, keberadaan antioksidan, adanya prooksidan serta
kondisi penyimpanan yang dilakukan (Shahidi dan Zhong, 2005). Dekomposisi
peroksida juga dapat terjadi pada saat proses pengolahan pemurnian minyak
70
sawit. Tsiadi et al. (2001) melaporkan bahwa pada suhu sekitar 120°C, peroksida
dapat terdekomposisi menjadi senyawa lebih lanjut dengan berat molekul lebih
rendah seperti aldehid dan keton.
Nilai bilangan peroksida dari fraksi tidak tersabunkan mengalami sedikit
penurunan dari nilai bilangan peroksida dari DALMS. Hal ini diduga karena
kerusakan lebih lanjut DALMS yang terjadi ketika penyimpanan sebelum
dilakukan analisa. Lamanya selang waktu penyimpanan serta kondisi
penyimpanan yang kurang sempurna menyebabkan terjadinya kontak dengan
cahaya dan oksigen sehingga menyebabkan terjadinya oksidasi. Hal ini sesuai
dengan Lawson (1995) yang menyatakan bahwa peroksida dapat terbentuk
akibat proses oksidasi terhadap ikatan rangkap asam lemak karena adanya
panas dan kelebihan oksigen.
Bilangan anisidin yang terdapat pada fraksi tidak tersabunkan dari
DALMS sedikit lebih kecil dibandingkan dengan bilangan anisidin yang terdapat
pada DALMS. Hal ini diduga selama proses penyimpanan dan saponifikasi
terjadi penguapan senyawa aldehid yang merupakan senyawa volatil yang cukup
dominan (50%) yang menyebabkan senyawa hasil oksidasi sekunder tersebut
dapat mengalami penguapan dengan mudah (Tompkins, 1999).
4.1.3 Rendemen Fraksi Tidak Tersabunkan
Rendemen fraksi tidak tersabunkan yang diperoleh pada penelitian
ini adalah 2,17%. Kadar tersebut sesuai dengan pernyataan Pitoyo (1991)
menyebutkan bahwa fraksi tidak tersabunkan terdapat pada minyak nabati
secara alamiah dalam jumlah yang kecil yaitu sekitar 2% dengan
kandungan seperti hidrokarbon yang terdiri dari skualen dan fitosterol. Pada
penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Puspitasari (2013) kadar fraksi
tidak tersabunkan yang diperoleh sebesar 2,21% tidak jauh berbeda dengan
kadar yang didapat pada penelitian ini.
Rendemen fraksi tidak tersabunkan minyak sawit ini lebih rendah
daripada rendemen fraksi tidak tersabunkan dari distilat asam lemak minyak
lainnya. Pada distilat asam lemak minyak zaitun, kadar fraksi tidak tersabunkan
adalah sebesar 41,55% (Akgun et al., 2001). Pada distilat asam lemak
minyak kedelai dan minyak sayur berturut-turut mengandung 20,1% dan
11,83% fraksi tidak tersabunkan (Benitez et al., 2007; Martins et al., 2004).
Kadar asam lemak bebas pada kedua minyak kedelai tersebut adalah sebesar
71
53,8% dan 58,2%. jumlah fraksi tidak tersabunkan yang terdapat pada suatu
minyak tergantung dari jenis minyak dan jumlah kandungan senyawa non
trigliserida yang terdapat pada minyak tersebut.
4.1.4 Senyawa Bioaktif dari DALMS
Fraksi tersabunkan terdiri dari produk-produk turunan gliserida yang
dapat menjadi sabun dengan keberadaan alkali (NaOH atau KOH), sedangkan
fraksi tidak tersabunkan terdiri dari asam lemak dan produk oksidasi lemak juga
mengandung berbagai senyawa bioaktif (Hammond et al., 2005). Pasaribu
(2004) menjelaskan bahwa dalam pemurnian dengan proses penyabunan
beberapa senyawa trigliserida dapat dihilangkan, kecuali beberapa senyawa
yang disebut senyawa tidak tersabunkan seperti sterol, hidrokarbon dan pigmen.
Fraksi tidak tersabunkan yang terkandung dalam distilat asam lemak minyak
sawit (DALMS) akan dikapsulkan agar bisa melindungi senyawa bioaktif yang
terdapat didalamnya dan mudah ditambahkan dalam bahan pangan.
Tabel 4.3 Kandungan Senyawa Bioaktif pada DALMS
Senyawa Bioaktif DALMS Literatur* ppm % relatif ppm % relatif
Kadar vitamin E 47.682,81 196,6 α-tokoferol 775,87 1,63 38,0 19,33
α -tokotrienol 10.796,8 22,64 36,0 18,31 δ-tokotrienol 1.908,87 4,00 4,6 2,32 γ-tokotrienol 34.201,30 71,73 118,0 60,02
Total tokotrienol 46.906,97 98,37 158,6 80,65 Total fitosterol 6.464,9 7.466,5
β-sitosterol 1.952,13 30,19 3.913,4 52,41 Stigmasterol 1.515,26 23,44 1.774,6 23,92 Kampesterol 2.997,5 46,37 1.788,5 23,76
Skualen 1.410,1 1.092,4 Sumber: *Puspitasari (2013)
DALMS merupakan sumber vitamin E alami. Kandungan vitamin E dari
DALMS terdiri dari tokoferol dan tokotrienol dengan rata-rata jumlah terbanyak
adalah γ-tokotrienol. Tingkat kehilangan vitamin E pada proses deodorisasi
selaras dengan jumlah vitamin E dalam minyak sawit. Hal ini sesuai dengan
Puah et al. (2007) yang menyatakan bahwa komposisi vitamin E minyak sawit
terdiri dari γ-tokotrienol > α-tokoferol > α- tokotrienol > δ-tokotrienol. Pada
penelitian ini DALMS mengandung 1,63% α-tokoferol, α -tokotrienol sebesar
22,64%, δ-tokotrienol sebesar 4% dan γ-tokotrienol sebesar 71,73%. Pada
72
penelitian ini didapatkan total kadar vitamin E sebesar 47.682,81 ppm. Kadar
vitamin E yang didapat pada penelitian ini jauh lebih tinggi dibandingkan dengan
penelitian-penelitian sebelumnya. Diduga kadar vitamin E yang lebih besar
disebabkan oleh proses deodorisasi yang kurang intensif. Senyawa volatil yang
terdapat dalam minyak tergantung dari kualitas kandungan minyak (Cantrill,
2008).
Tokotrienol merupakan senyawa diminan penyusun vitamin E pada
DALMS sesuai dengan Musalamah et al. (2005) yang menyatakan bahwa
keunggulan DALMS adalah vitamin E sebagian besar dalam bentuk tokotrienol
(70%) dan sisanya adalah tokoferol (30%). Tokotrienol merupakan antioksidan
yang bekerja dengan sangat baik, dapat bekerja cepat 40-60 kali lebih efektif
dalam mencegah kerusakan akibat radikal bebas dibandingkan dengan α-
tokoferol (Perricon, 2008).
Total fitosterol pada DALMS yang dihasilkan pada penelitian ini adalah
sebesar 6.464,9 ppm. Kandungan fitoseterol tersebut berdekatan dengan
Puspitasari (2013) yang mana DALMS mengandung fitosterol sebesar 7.466,5
ppm. Fitosterol pada DALMS terdiri dari β-sitosterol sebesar 30,19%,
kampesterol sebesar 46,37% dan stigmasterol sebesar 23,44%. Perbedaan total
kadar fitosterol jika dibandingkan dengan literatur dapat disebabkan karena
perbedaan dari bahan baku yang digunakan dan proses pemurnian minyak
(Hammond et al., 2005).
Kandungan skualen pada DALMS adalah 1.410,1 ppm. Nilai skualen
yang ditemukan pada penelitian ini lebih tinggi dibanding penelitian sebelumnya
yang dilakukan Puspitasari (2013) yaitu sebesar 1.092,4 ppm.
4.1.5 Senyawa Bioaktif dari FTT
Menurut Zulkifli dan Estiasih (2014), DALMS mengandung senyawa
bioaktif multikomponen, seperti vitamin E, fitosterol, dan skualen yang terdapat
pada fraksi tidak tersabunkan (FTT) yang diperoleh melalui proses saponifikasi.
Kadar senyawa bioaktif FTT dari DALMS dapat dilihat pada Tabel 4.4
73
Tabel 4.4 Kandungan Senyawa Bioaktif pada FTT
Senyawa Bioaktif FTT Literatur* ppm %relatif ppm
Kadar vitamin E 342.375,8 7.968 α-tokoferol 7.493,8 2,18 644,1
α-tokotrienol 166.700,5 48,68 1.860,5 δ-tokotrienol 32.121,04 9,38 4.853,8 γ-tokotrienol 136.060,44 39,74 609,6
Total tokotrienol 334.881,98 97,8 7.323,9 Total fitosterol 85.108,09 91.846,3
β-sitosterol 78.506,40 92,24 81.932,6 Stigmasterol 5.254,56 6,17 9.851,8 Kampesterol 1.347,13 1,58 61,9
Skualen 21.018,59 5.264,1 Sumber: Fidyasari (2014)
Hasil analisis senyawa bioaktif fraksi tidak tersabunkan pada Tabel 4.4
menunjukkan bahwa FTT memiliki kadar vitamin E, total fitosterol, dan kadar
skualen yang lebih tinggi dibandingkan DALMS dan literatur. Total kadar vitamin
E pada fraksi tidak tersabunkan dari DALMS adalah sebesar 342.375,8 ppm,
yang terdiri dari α-tokoferol sebesar 7.493,8 ppm, α-tokotrienol sebesar
166.700,5 ppm, δ-tokotrienol sebesar 32.121,04 dan γ-tokotrienol sebesar
136.060,44. Hal ini menunjukkan bahwa saponifikasi yang dilakukan sudah
efektif karena menghasilkan kadar senyawa bioaktif multikomponen yang
maksimal. Kandungan senyawa bioaktif FTT meningkat dibandingkan DALMS
karena selama proses saponifikasi komponen pengotor telah banyak berkurang.
Menurut Hodgson (1995), proses saponifikasi menyebabkan asam lemak dan
gliserida tersabunkan. Sedangkan komponen yang tidak tersabunkan adalah
vitamin E, lilin, hidrokarbon, dan sterol. Menurut Ahmadi dan Estiasih (2011),
proses saponifikasi menghasilkan fraksi tidak tersabunkan yang terdiri dari
aldehid dan keton, karotenoid, sterol, hidrokarbon, tokoferol, dan tokotrienol.
Total fitosterol pada fraksi tidak tersabunkan dari DALMS adalah
sebesar 85.108,09 ppm, lebih rendah dibandingkan dengan literatur, yaitu
91.846,3 ppm (Puspitasari, 2013). Komposisi fitosterol fraksi tidak tersabunkan
dari DALMS dalam penelitian ini, yaitu β-sitosterol sebesar 78.506,40 ppm,
stigmasterol sebesar 5.254,56 ppm, dan kampesterol sebesar 1.347,13 ppm.
Menurut Hammond dan Tong (2005), perbedaan proporsi fitosterol ini karena
perbedaan bahan baku dan proses pemurnian minyak sawit. Mitei et al. (2009)
74
menambahkan bahwa komponen terbesar dari FTT adalah fitosterol dan vitamin
E. Menurut Puspitasari (2013), proses saponifikasi dapat menghilangkan kadar
komponen tersabunkan dan meningkatkan kadar komponen tidak tersabunkan,
seperti pigmen, sterol, dan hidrokarbon.
Kadar skualen fraksi tidak tersabunkan dari DALMS adalah sebesar
21.018,59 ppm, lebih tinggi dari literatur, yaitu sebesar 5.264,1 ppm (Puspitasari,
2013). Hasil yang berbeda ini diduga akibat dari perbedaan kondisi proses
deodorisasi yang digunakan dalam pemurnian minyak sawit. Kadar skualen yang
cukup tinggi pada FTT DALMS menunjukkan potensi DALMS sebagai sumber
skualen alami. Menurut Pasaribu (2004), penambahan alkali akan menyebabkan
beberapa senyawa trigliserida dapat dihilangkan, kecuali beberapa senyawa
yang disebut senyawa yang tidak tersabunkan, seperti karotenoida, likopen,
xantofil, tokoferol, tokotrienol, sterol, dan hidrokarbon, seperti skualen sehingga
kadarnya meningkat.
4.2 Karakteristik Mirokapsul FTT DALMS
Proses mikroenkapsulasi diharapkan mampu melindungi senyawa bioaktif
pada FTT selain itu diharapakan dapat digunakan lebih lanjut sebagai fortifikan
pangan dalam bentuk bubuk sebagai sumber senyawa fitokimia yang baik bagi
kesehatan manusia. Mikrokapsul FTT DALMS ini memiliki kandungan senyawa
bioaktif multikomponen yang mempunyai banyak fungsi. Mikrokapsul FTT
DALMS menggunakan maltodekstrin sebagai penyalut yang memiliki nilai
rendemen yang tinggi yaitu 45%. Rendemen yang tinggi ini diharapkan mampu
mempertahanakan senyawa bioaktif dari DALMS pada Tabel 4.5 dapat dilihat
kandungan senyawa bioaktif dari mikrokapsul.
Tabel 4.5 Kandungan Senyawa Bioaktif Mikrokapsul FTT DALMS Senyawa Bioaktif FTT
ppm %relatif Kadar vitamin E 119.925,04
α-tokoferol 2.165,03 1,80 α-tokotrienol 59.350,37 49,48 δ-tokotrienol 11.296,94 9,42 γ-tokotrienol 47.112,70 39,28
Total tokotrienol 117.760,01 98,18 Total fitosterol 34.881,67
β-sitosterol 10.006,01 28,68 Stigmasterol 1.347,13 3,86 Kampesterol 23.528,53 67,45
Skualen 34.706,58 3,47
75
Berdasarkan Tabel 4.5 dapat diketahui bahwa total kadar Vitamin E
pada mikrokapsul FTT DALMS sebesar 119.925,04 ppm, yang terdiri dari α-
tokoferol sebesar 2.165,03 ppm, α-tokotrienol sebesar 59.350,37 ppm, δ-
tokotrienol sebesar 11.296,94 ppm dan γ-tokotrienol sebesar 47.112,70 ppm.
Total kadar fitosterol dari mikrokapsul FTT DALMS adalah sebesar 34.881,67
ppm yang terdiri dari β-sitosterol sebesar 10.006,01 ppm, stigmasterol sebesar
1.347,13 ppm dan kampesterol sebesar 23.528,53 ppm. Kadar skualen pada
mikrokapsul FTT DALMS sebesar 34.706,58 ppm.
Tabel 4.6 Perbandingan % relatif Kandungan Senyawa Bioaktif pada
DALMS, FTT dan Mikrokapsul
Senyawa Bioaktif
Kadar Senyawa Bioaktif (% relatif) DALMS FTT % recovery
(DALMS-FTT)
Mikrokapsul
% recovery (FTT-
Mikrokapsul)
Vitamin E
α-tokoferol 1,63 2,18 1,80 82,56 α-tokotrienol 22,64 48,68 49,48 δ-tokotrienol 4,00 9,38 9,42 γ-tokotrienol 71,73 39,74 55,40 39,28 98,84
Fitosterol
β-sitosterol 30,19 92,24 28,68 31,04 Stigmasterol 23,44 6,17 26,32 3,86 62,56 Kampesterol 46,37 1,58 3,41 67,45
Skualen 0,14 2,10 3,47
Berdasarkan Tabel 4.6 dapat diketahui bahwa kadar senyawa bioakif
FTT lebih tinggi jika dibandingkan dengan kadar DALMS, namun mengalami
penurunan pada kadar stigmasterol dan kampesterol. Kadar α-tokotrienol, δ-
tokotrienol, kampesterol dan skualen mengalami kenaikan pada mikrokapsul.
Sedangkan untuk kadar α-tokoferol, γ-tokotrienol, β-sitosterol, stigmasterol
mengalami penurunan namun tidak terlalu signifikan. Hal ini menunjukkan bahwa
teknik mikroenkapsulasi masih mampu melindungi senyawa bioaktif pada FTT.
4.3 Karakteristik Fisik Biskuit Terfortifikasi Mikrokapsul Fraksi Tidak
Tersabukan (FTT) dari Distilat Asam Lemak MInyak Sawit (DALMS)
Mutu biskuit ditentukan oleh beberapa parameter fisik seperti warna
yang terdiri dari tingkat kecerahan (L), tingkat kehijauan (a), tingkat kekuningan
(b), dan derajat hue, daya patah, daya kembang, dan densitas kamba.
4.3.1 Daya Patah
76
Daya patah merupakan salah satu faktor yang menentukan mutu produk
(Hotckiss et al., 1995). Hotckiss menambahkan pula bahwa daya patah
didasarkan pada mutu makanan yang dapat kita rasakan melalui jari, lidah,
mulut. Daya patah bahan pangan menunjukkan ketahanan bahan pangan
tersebut terhadap tekanan yang diberikan dan juga berhubungan dengan tingkat
kerenyahan produk.
Salah satu parameter mutu biskuit yang paling penting adalah
kerenyahan yang ditentukan oleh mikrostruktur yaitu meratanya dispersi lemak
yang digunakan sehingga komponen adonan merata juga kandungan protein
yang digunakan. Biskuit memiliki kadar air yang rendah dengan tingkat
kekerasan, kerapuhan dan kerenyahan bervariasi. Perbedaan kadar air yang
terdapat pada biskuit memberikan pengaruh terhadap tekstur biskuit. Tekstur
biskuit dikatakan rapuh apabila dapat dipatahkan dengan mudah tanpa didahului
oleh adanya perubahan bentuk saat diberi tekanan.
Hasil rerata daya patah yang dihasilkan produk biskuit terfortifikasi
mikrokapsul fraksi tidak tersabunkan (FTT) dari distilat asam lemak minyak sawit
(DALMS) pada perlakuan formulasi mikrokapsul (0, 2, 4, 6, dan 8 %) disajikan
pada Gambar 4.1.
Gambar 4.1. Grafik Rerata Daya Patah Biskuit
Berdasarkan Gambar 4.1 menunjukkan bahwa daya patah cenderung
meningkat seiring dengan semakin tinggi proporsi mikrokapsul yang
0
5
10
15
20
25
30
35
0 2 4 6 8
Daya Patah (N/m
)
Tingkat Penambahan Mikrokapsul FTT DALMS (% )
77
ditambahkan, meskipun daya patah mengalami penurunan pada perlakuan
dengan proporsi mikrokapsul 6%. Daya patah yang semakin rendah
menunjukkan tingkat kerenyahan yang semakin baik (Ketaren, 2008). Menurut
Geong (2003) dalam Dewa (2008), faktor-faktor yang mempengaruhi besarnya
daya patah antara lain 1) berat produk; semakin besar berat produk maka daya
patah semakin tinggi, 2) kadar air; adanya air dalam rongga-rongga antar sel
suatu bahan dapat menurunkan kekakuan sel sehingga akan menurunkan
kerenyahan produk (daya patah tinggi), 3) kadar protein; protein yang
terdenaturasi akan mempengaruhi gugus reaktifnya sehingga gugus reaktifnya
akan membuka dan kemudian terjadi peningkatan kembali antara gugus reaktif
yang berdekatan sehingga jumlah ikatannya menjadi lebih banyak dan lebih kuat.
Oleh karena itu, jika protein tinggi maka daya patah juga tinggi.
Interaksi antara pati, protein dan lemak akan menghasilkan produk yang
bertekstur lebih renyah karena air yang terlepas dari pati tidak terperangkap
secara maksimal oleh protein yang telah terlumasi oleh lemak (bennion, 1980).
Selain itu, penggumpalan protein dalam jumlah banyak juga dapat menyebabkan
penggumpalan sehingga membuat biskuit menjadi sulit dipatahkan. Hal ini
didukung oleh Rahman (2007) yang menyatakan bahwa protein akan
menggumpal oleh karena adanya pemanasan sehingga selama proses
pemanggangan dalam oven sebagian air akan teruapkan, pati akan
tergelatinisasi dan protein akan menggumpal. Semakin banyak konsentrasi
protein maka semakin banyak juga protein yang menggumpal dan menyebabkan
biskuit menjadi lebih sulit dipatahkan.
Rerata Daya Patah Akibat Perlakuan Tingkat Penambahan Mikrokapsul
FTT dari DALMS disajikan pada Tabel 4.7
Tabel 4.7 Rerata Daya Patah Biskuit Akibat Tingkat Penambahan
Mikrokapsul FTT dari DALMS
Formulasi (%) Rerata Daya Patah (N)
0 12,48 ± 1,90 a 2 19,71 ± 1,03 a 4 6 8
19,21 ± 1,98 a 16,23 ± 1,67 a 25,56 ± 3,20 a
Keterangan: rerata yang didampingi huruf berbeda menunjukkan berbeda
nyata pada taraf α=0,05
78
Berdasarkan Tabel 4.7 menunjukkan bahwa range nilai daya patah
berkisar dari nilai 12,48 – 25,56. Nilai daya patah tertinggi diperoleh dengan
tingkat penambahan mikrokapsul tertinggi, yaitu 8% sebesar 25,56 ± 3,20. Nilai
daya patah terendah diperoleh dari tingkat penambahan mikrokapsul terendah,
yaitu 0% sebesar 12,48 ± 1,90. Hasil analisa ragam tersebut menunjukkan
bahwa tingkat penambahan mikrokapsul tidak berbeda nyata antar perlakuan
dengan ditunjukkan tidak terdapat notasi berbeda antar perlakuan.
4.3.2 Densitas Kamba
Densitas kamba merupakan parameter fisik yang menunjukan porositas
suatu bahan. Densitas kamba mempengaruhi jumlah bahan yang bisa
dikonsumsi dan biaya produksi bahan. Produk biskuit diharapkan memiliki
densitas kamba yang cukup tinggi sehingga dapat mengurangi biaya pengiriman,
pengemasan dan penyimpanan. Bahan dengan densitas kamba yang kecil akan
membutuhkan tempat yang lebih luas dibandingkan dengan bahan dengan
densitas kamba yang besar untuk berat yang sama sehingga tidak efisien dari
segi tempat penyimpanan dan kemasan (Ade et al., 2009).
Hasil rerata densitas kamba yang dihasilkan pada produk biskuit
terfortifikasi mikrokapsul fraksi tidak tersabunkan (FTT) distilat asam lemak
minyak sawit (DALMS) pada perlakuan penambahan konsentrasi mikrokapsul (0,
2, 4, 6, dan 8 %) berkisar antara 0,96 s.d 1,80 g/mL yang disajikan pada Gambar
4.2
Gambar 4.2. Grafik Rerata Densitas Kamba Biskuit
0
0.5
1
1.5
2
2.5
0 2 4 6 8
Densitas Kam
ba (g/m
L)
Tingkat Penambahan Mikrokapsul FTT DALMS (%)
79
Berdasarkan Gambar 4.2 menunjukkan bahwa tingkat penambahan
mikrokapsul FTT dari DALMS memberikan pengaruh terhadap densitas kamba
biskuit, yaitu terjadi peningkatan nilai densitas kamba dari 0% ke 2%, namun
terjadi penurunan dari perlakuan 2% hingga 8%. Penurunan nilai densitas kamba
tejadi seiring dengan meningkatnya penambahan mikrokapsul FTT dari DALMS.
Semakin tinggi tingkat penambahan mikrokapsul FTT DALMS yang
ditambahkan maka semakin berkurang proporsi tepung yang digunakan,
dikarenakan proporsi penambahan mikrokapsul FTT DALMS disubstitusikan
pada jumlah tepung yang digunakan. Hal ini sesuai dengan Bhatacharya and
Prakash (1994) yang menyatakan bahwa kadar pati yang tinggi pada tepung
menyebabkan densitas kamba menjadi meningkat. Pati memiliki berat molekul
yang tinggi sehingga akan menghasilkan densitas kamba yang tinggi. Densitas
kamba yang semakin besar akan menghasilkan produk yang fleksibilitasnya
akan semakin menurun yang dapat diamati berdasarkan elongasi yang semakin
rendah (Cuq et al., 2000). Heterogenitas densitas kamba tersebut juga dapat
disebabkan adanya perbedaan pengikatan air antar granula pati berkaitan
dengan variasi ukuran granula pati dan rasio amilosa-amilopektin antar granula
(Yao et al., 2003).
Hasil analisa uji lanjut menggunakan BNT (beda nyata terkecil)
menunjukan bahwa adanya pengaruh yang berbeda nyata pada biskuit
terfortifikasi mikrokapsul fraksi tidak tersabunkan (FTT) distilat asam lemak
minyak sawit (DALMS) dengan selang kepercayaan sebesar 5% (α=0,05).
Rerata densitas kamba akibat penambahan mikrokapsul FTT DALMS tersaji
Tabel 4.8
Tabel 4.8 Rerata Densitas Kamba Biskuit Akibat Tingkat Penambahan
Mikrokapsul FTT dari DALMS
Formulasi Mikrokapsul (%) Rerata Densitas Kamba (g/mL)
0 1,36 ± 0,21 a 2 1,80 ± 0,34 ab 4 6 8
1,37 ± 0,11 ab 1,10 ± 0,18 ab
0,96 ± 0,44 b
Keterangan: rerata yang didampingi huruf berbeda menunjukkan berbeda
nyata pada taraf α=0,05
80
Dari Tabel 4.8 menunjukkan bahwa nilai densitas kamba tertinggi
diperoleh dari perlakuan dengan tingkat penambahan mikrokapsul 2% yaitu
sebesar 1,80 ± 0,34 g/mL, sedangkan yang terendah diperoleh dari perlakuan
dengan konsentrasi mikrokapsul tertinggi, yaitu 8% dengan nilai densitas kamba
yang berkisar antara 0,96 ± 0,44. Densitas kamba mengalami kenaikan dari
konsentrasi 0% ke 2%, namun dari konsentrasi 2% nilai densitas kamba semakin
menurun dengan seiring meningkatnya konsentrasi mikrokapsul yang
ditambahkan pada produk biskuit.
Berdasarkan data pada Tabel 4.7 menunjukkan bahwa tingkat
penambahan mikrokapsul FTT DALMS memberikan pengaruh yang berbeda
nyata antar perlakuan, yakni nilai densitas kamba dari perlakuan 0% berbeda
nyata dengan perlakuan 8% yang ditunjukkan dengan notasi yang berbeda.
Sedangkan nilai densitas kamba dari perlakuan 2, 4,6, dan 8 % tidak berbeda
nyata karena masih dalam notasi yang sama (b).
Menurut Bhatacharya and Prakash (1994) kandungan lemak akan
memengaruhi berat dari bahan tersebut, semakin tinggi kandungan lemak yang
terkandung dalam produk maka semakin berat pula produk tersebut tanpa ada
penambahan volume sehingga akan menambah densitas kamba tersebut.
4.3.3 Warna
Warna memegang peranan penting dalam penerimaan bahan pangan
karena warna dapat memberikan petunjuk mengenai perubahan kimia di dalam
makanan. Menurut Winarno (1992), suatu bahan yang bernilai gizi, enak, dan
teksturnya sangat baik, tidak akan dikonsumsi apabila memiliki warna yang
memberi kesan menyimpang. Warna dari produk akhir yang dihasilkan dapat
dipengaruhi dari bahan-bahan yang ditambahkan selama proses pengolahan.
Pada produk biskuit ini, warna produk akhir dapat dipengaruhi dari tepung, gula,
dan margarin yang digunakan. Wheat Associates (1983) menuliskan bahwa
pada umumnya fruktosa merupakan jenis gula yang paling reaktif dalam reaksi
browning. Selain itu, faktor penggunaan margarin pada proses pembuatan biskuit
juga mempengaruhi warna dari produk akhir. Biasanya margarin akan
memberikan warna kuning pada produk. Menurut Ketaren (1986), warna yang
diinginkan pada margarin adalah warna kuning mentega yang berasal dari warna
alami atau dengan penambahan betakaroten dan lesitin. Terdapat tiga parameter
81
warna yang diujikan pada penelitian ini, yaitu tingkat kecerahan (L), a (warna
hijau) dan b (warna kuning).
4.3.3.1 Tingkat Kecerahan (L*)
Warna L* menunjukkan suatu tingkat kecerahan dari suatu produk.
Warna suatu bahan dipengaruhi oleh adanya cahaya yang diserap dan
dipantulkan (Lawless and Hayman, 2003). Tingkat kecerahan warna L*
ditunjukkan pada kisaran nilai 0-100, dimana semakin besar nilai tersebut
menunjukkan semakin cerahnya warna produk (Desbory et al., 2003).
Hasil rerata warna (L) yang dihasilkan produk biskuit terfortifikasi
mikrokapsul fraksi tidak tersabunkan (FTT) distilat asam lemak minyak sawit
(DALMS) pada perlakuan penambahan konsentrasi mikrokapsul (0, 2, 4, 6, dan 8
%) berkisar antara 37,15 s.d 39,99 yang disajikan pada Gambar 4.3
Gambar 4.3. Grafik Rerata Tingkat Kecerahan (L) Biskuit
Berdasarkan Gambar 4.3 menunjukkan bahwa rerata total warna (L)
menunjukkan semakin menurun yang artinya semakin tinggi konsentrasi
mikrokapsul yang ditambahkan menyebabkan tingkat kecerahan semakin
menurun pula.
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50
0 2 4 6 8
Tingkat Kecerahan (L)
Tingkat Penambahan Mikrokapsul FTT DALMS (%)
82
Tabel 4.9 Rerata Tingkat Kecerahan (L) Biskuit Akibat Tingkat
Penambahan Mikrokapsul FTT dari DALMS
Konsentrasi Mikrokapsul (%) Rerata Warna (L)
0 39,99 ± 3,67 a 2 38,81 ± 4,82 a 4 6 8
37,74 ± 0,49 a 39,24 ± 1,22 a 37,15 ± 3,87 a
Keterangan : rerata yang didampingi huruf berbeda menunjukkan berbeda nyata
pada taraf α=0,05
Dari Tabel 4.9 menunjukkan bahwa nilai warna (L) dengan tingkat
kecerahan tertinggi diperoleh dari perlakuan dengan konsentrasi mikrokapsul
sebesar 0%, yaitu sebesar 39,99 ± 3,67. Sedangkan nilai tingkat kecerahan
terendah diperoleh dari perlakuan dengan konsentrasi mikrokapsul sebesar 8%,
yaitu berkisar antara 37,15 ± 3,87. Semakin tinggi nilai warna (L) maka warna
produk akhir biskuit yang dihasilkan semakin cerah dan sebaliknya semakin
rendah nilai warna (L) maka semakin gelap pula produk akhir biskuit yang
dihasilkan. Penambahan mikrokapsul FTT dari DALMS tidak memberikan
pengaruh berbeda nyata antar perlakuan yang ditunjukkan dengan tidak
terdapatnya notasi berbeda antar perlakuan, karena antar perlakuan masih
berada dalam notasi yang sama (a) yang artinya antar perlakuan tidak berbeda
nyata dari tingkat kecerahannya. Hal ini disebabkan oleh warna mikrokapsul
sendiri tidak gelap yaitu nilai kecerahanya sebesar 90,1 sedangkan warna dari
FTT DALMS adalah kuning gelap, namun pencampuran warna FTT DALMS
ditambah dengan warna maltodekstrin dan lesitin serta akuades menghasilkan
warna kuning cerah yang hampir sama dengan warna biskuit itu sendiri sehingga
menyebabkan tidak adanya perbedaan yang signifikan antar perlakuan.
Perlakuan dengan penambahan mikrokapsul FTT DALMS pada biskuit
hanya memberikan pengaruh, yaitu semakin besar konsentrasi mikrokapsul yang
ditambahkan maka akan menurunkan nilai kecerahannya. Dapat dilihat dari
semakin menurunnya nilai rerata warna (L). Hal ini disebabkan karena warna
awal dari bahan yang mempengaruhi pembentukan warna dan nilai kecerahan
mikrokapsul. FTT DALMS yang dihasilkan memiliki warna kuning agak gelap,
sehingga semakin banyak konsentrasi FTT yang ditambahkan maka akan
menurunkan nilai kecerahan mikrokapsul.
83
4.2.3.2 Tingkat Kehijauan (-a*)
Warna suatu bahan ditentukan oleh tiga dimensi yaitu warna itu sendiri,
kecerahan dan kejelasan warna (Desbory et al., 2003). Tingkat kecerahan warna
a* dinyatakan dengan nilai -100 sampai +100. Nilai (+) menunjukkan intensitas
warna merah dan nilai (-) menunjukkan intensitas warna hijau.
Hasil rerata warna (a) yang dihasilkan produk biskuit terfortifikasi
mikrokapsul fraksi tidak tersabunkan (FTT) distilat asam lemak minyak sawit
(DALMS) pada perlakuan penambahan konsentrasi mikrokapsul (0, 2, 4, 6, dan 8
%) disajikan pada Gambar 4.4
Gambar 4.4. Grafik Rerata Tingkat Kehijauan (a) Biskuit
Berdasarkan Gambar 4.4 menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi
mikrokapsul FTT dari DALMS yang ditambahkan, maka nilai warna kehijauan
pada biskuit cenderung semakin menurun, meskipun mengalami kenaikan dari
konsentrasi 4% ke 6%, akan tetapi nilai warna kehijauan kembali mengalami
penurunan secara signifikan dari 6% ke 8%. Hal ini sesuai dengan penelitian
(Latifah, 2014) yang menyatakan bahwa semakin tinggi konsentrasi FTT yang
ditambahkan pada mikrokapsul memberikan pengaruh pada penurunan nilai
kehijauan. Hal tersebut disebabkan oleh warna jenis enkapsulan yang digunakan
karena memberikan pengaruh terhadap intensitas warna produk akhir
mikrokapsul yang dihasilkan. Maltodekstrin yang digunakan sebagai enkapsulan
memiliki nilai kehijauan yang lebih rendah jika dibandingkan dengan jenis
enkapsulan lain seperti natrium kaseinat. Sehingga semakin meningkatnya
mikrokapsul FTT DALMS yang ditambahkan semakin menurun nilai kehijauan.
0 2 4 6 8 10 12 14
0 2 4 6 8
Tingkat Kehijauan (a)
Tingkat Penambahan Mikrokapsul FTT DALMS (%)
84
Tabel 4.10 Rerata Tingkat Kehijauan (-a*) Biskuit Akibat Tingkat
Penambahan Mikrokapsul FTT dari DALMS
Formulasi Mikrokapsul (%) Rerata Warna (a)
0 10,61 ± 0,57 a 2 10,14 ± 0,90 ab 4 6 8
8,92 ± 0,81 ab 12,35 ± 0,40 ab
2,95 ± 1,13 b Keterangan : rerata yang didampingi huruf berbeda menunjukkan berbeda
nyata pada taraf α=0,05
Berdasarkan Tabel 4.10 menunjukkan bahwa nilai tingkat kehijauan (-a*)
tertinggi diperoleh dari perlakuan konsentrasi 6%, yaitu sebesar 12,35 ± 0,40,
sedangkan nilai warna (a) terendah diperoleh dari perlakuan dengan konsentrasi
mikrokapsul 8%, yaitu 2,95 ± 1,13. Penambahan mikrokapsul FTT dari DALMS
pada biskuit memberikan pengaruh berbeda nyata untuk tingkat penambahan
8% jika dibandingkan dengan biskuit dengan perlakuan 0% yang ditunjukkan
dengan adanya notasi yang berbeda (a/b). Hal tersebut dikarenakan pada biskuit
dengan perlakuan 0% tidak ditambahkan mikrokapsul FTT DALMS sedangkan
pada biskuit dengan perlakuan 8% ditambahkan mikrokapsul FTT DALMS
dengan konsentrasi tertinggi. Pada mikrokapsul FTT DALMS 8% terdapat jenis
enkapsulan maltodekstrin yang memberikan pengaruh pada penurunan nilai
kehijauan karena nilai maltodekstrin itu sendiri memiliki nilai kehijauan yang
rendah, sehingga perlakuan pada biskuit 0% dan 8% berbeda nyata. Sedangkan
untuk perlakuan 0, 2, 4, dan 6 % masih dalam notasi yang sama (a) yang artinya
tidak berbeda nyata antar perlakuan. Hal tersebut disebabkan karena
penambahan mikrokapsul FTT DALMS yang mengandung jenis enkapsulan
maltodektstrin yang ditambahkan hanya memberikan pengaruh penurunan nilai
kehijauan pada biskuit, namun tidak signifikan sehingga masih dalam notasi yang
sama.
4.2.3.3 Tingkat kekuningan (+b)
Hasil rerata warna (b) yang dihasilkan produk biskuit terfortifikasi
mikrokapsul fraksi tidak tersabunkan (FTT) distilat asam lemak minyak sawit
(DALMS) pada perlakuan penambahan konsentrasi mikrokapsul (0, 2, 4, 6, dan 8
%) disajikan pada Gambar 4.5
85
Gambar 4.5. Grafik Rerata Tingkat Kekuningan (b) Biskuit
Gambar 4.5 menunjukkan bahwa nilai warna (b) mengalami penurunan
dengan seiring meningkatnya konsentrasi mikrokapsul yang ditambahkan pada
biskuit. Meskipun terjadi kenaikan dari perlakuan 6% ke 8%.
Tabel 4.11 Rerata Tingkat Kekuningan (b) Biskuit Akibat Tingkat
Penambahan Mikrokapsul FTT dari DALMS
Formulasi Mikrokapsul (%) Rerata Warna (b)
0 5,38 ± 0,29 a 2 5,31 ± 0,39 a 4 6 8
3,15 ± 0,09 a 2,13 ± 0,36 a 3,27 ± 0,60 a
Keterangan : rerata yang didampingi huruf berbeda menunjukkan berbeda
nyata pada taraf α=0,05
Berdasarkan Tabel 4.11 dapat diketahui bahwa nilai tingkat kekuningan
(b) tertinggi diperoleh pada perlakuan 0% yaitu sebesar 5,388 ± 1,822 dan nilai
warna (b) terendah diperoleh dari perlakuan 6%, yaitu sebesar 1,133 ± 1,426.
Perlakuan tingkat penambahan mikrokapsul FTT dari DALMS tidak memberikan
pengaruh nyata terhadap tingkat kekuningan biskuit yang dihasilkan yang
ditunjukkan dengan notasi yang sama antar perlakuan (a). FTT DALMS
berwarna kuning gelap, namun adanya kemungkinan FTT DALMS yang tidak
tersalut secara sempurna pada mikrokapsul sehingga menyebabkan mikrokapsul
FTT DALMS yang ditambahkan tidak memberikan pengaruh nyata terhadap
tingkat kekuningan pada biskuit.
0
1
2
3
4
5
6
0 2 4 6 8
Tingkat Kekuningan (b)
Tingkat Penambahan Mikrokapsul FTT DALMS (%)
86
4.3.3.4 Derajat hue
Derajat hue merupakan derajat yang menunjukkan jenis warna
berdasarkan tempat warna itu ditemukan dalam spektrum warna. Hue adalah
sudut dari 0 sampai 360°C, dimana 0° adalah merah, 60° adalah kuning, 120°
adalah hijau, 180° adalah cyan, 240° adalah biru, 300° adalah magenta.
Rerata derajat hue biskuit terfortifikasi mikrokapsul FTT DALMS yang
dihasilkan berkisar antara 1,06 – 49,89. Hal ini menunjukkan jenis warna biskut
berada diantara merah dan kuning. Pengaruh perlakuan tingkat penambahan
mikrokapsul FTT DALMS disajikan pada Gambar 4.6:
Gambar 4.6. Grafik Rerata Derajat Hue Biskuit
Adapun rerata dari derajat hue produk biskuit tefortifikasi mikrokapsul
FTT DALMS disajikan pada Tabel 4.12:
Tabel 4.12 Rerata Derajat Hue Produk Biskuit Akibat Pengaruh
Tingkat Penambahan Mikokapsul FTT DALMS
Formulasi Mikrokapsul (%) Rerata Daya Kembang
0 14,47 ± 0,60 ab 2 15,49 ± 2,63 ab 4 6 8
7,28 ± 1,69 ab 3,75 ± 1,10 b
52,60 ± 14,02 a Keterangan : rerata yang didampingi huruf berbeda menunjukkan berbeda
nyata pada taraf α=0,05
0
10
20
30
40
50
60
70
0 2 4 6 8
Derajat Hue
Tingkat Penambahan Mikrokapsul FTT DALMS (%)
87
Pada Tabel 4.12 menunjukkan nilai derajat hue biskuit tertinggi ada pada
biskuit dengan perlakuan 8%, sedangkan nilai derajat hue terendah ada pada
biskuit dengan perlakuan 6%. Oleh karena itu, biskuit dengan perlakuan 8%
berbeda nyata dengan biskuit dengan perlakuan 6% yang ditunjukkan dengan
notasi yang berbeda. Biskuit dengan perlakuan 0, 2, 4 dan 8% tidak berbeda
nyata yang ditunjukkan dengan notasi yang sama. Hal tersebut dipengaruhi oleh
warna awal dari bahan penyalut mikrokapsul pada biskuit. Pada biskuit 8% nilai
derajat hue menunjukkan semakin mendekati warna kuning karena jumlah
mikrokapsul yang ditambahkan paling banyak dibandingkan dengan perlakuan
biskuit lain, sedangkan pada biskuit 6% mendapat nilai derajat hue terendah di
duga dipengaruhi oleh warna biskuit sendiri yang cenderung gelap karena
adanya susu coklat dalam pembuatan biskuit itu sendiri, selain itu penggunaan
sudut cahaya saat pengujian nilai warna dari color reader juga mempengaruhi
nilai warna tingkat kehijauan (a) dan tingkat kekuningan (b) yang nantinya akan
memengaruhi nilai derajat hue itu sendiri. Faktor lain yang memengaruhi adalah
tidak tersalutnya secara sempurna FTT DALMS dalam mikroenkapsulasi
sehingga warna FTT DALMS kuning tidak mendominasi saat pengukuran warna.
4.2.4 Daya Kembang
Daya kembang merupakan parameter produk pangan yang dipengaruhi
oleh komposisi bahan, proses pembuatan dan proses pemanggangan. Daya
kembang didapat dengan cara mengukur volume suatu produk sebelum dan
sesudah di panggang. Dengan demikian, daya kembang merupakan rasio antara
selisih volume setelah dipanggang dengan volume sebelum dipanggang
(Yuwono dan Susanto, 1998).
88
Gambar 4.7. Rerata Daya Kembang Biskuit
Dari Gambar 4.7 menunjukkan nilai daya kembang semakin meningkat
seiring dengan meningkatnya konsentrasi mikrokapsul yang ditambahkan pada
produk biskuit. Hal ini disebabkan oleh semakin tinggi mikrokapsul FTT DALMS
yang ditambahkan semakin tinggi pula kandungan pati yang berasal dari
maltodekstrin yang ada di mikrokapsul FTT DALMS sehingga menyebabkan
terjadinya koagulasi protein dan gelatinisasi pati yang merubah sifat dinding sel
berongga udara sehingga adonan menjadi lebih permeabel terhadap CO2 dan
daya kembang semakin meningkat.
Hasil rerata daya kembang yang dihasilkan produk biskuit terfortifikasi
mikrokapsul fraksi tidak tersabunkan (FTT) distilat asam lemak minyak sawit
(DALMS) pada perlakuan penambahan konsentrasi mikrokapsul (0, 2, 4, 6, dan 8
%) berkisar antara 31,66-49,99 yang disajikan pada Tabel 4.12
Tabel 4.13 Rerata Daya Kembang Biskuit Akibat Tingkat Penambahan
Mikrokapsul FTT dari DALMS
Formulasi Mikrokapsul (%) Rerata Daya Kembang
0 31,66 ± 4,41 a 2 37,50 ± 4,33 a 4 6 8
41,94 ± 1,73 a 48,88 ± 1,92 a 49,99 ± 3,33 a
Keterangan : rerata yang didampingi huruf berbeda menunjukkan berbeda
nyata pada taraf α=0,05
0
10
20
30
40
50
60
0 2 4 6 8
Daya Kem
bang (%
)
Tingkat Penambahan Mikrokapsul FTT DALMS (%)
89
Perlakuan tingkat penambahan mikrokapsul FTT dari DALMS tidak
memberikan pengaruh nyata terhadap tingkat kekuningan biskuit yang dihasilkan
yang ditunjukkan dengan notasi yang sama antar perlakuan (a). Hal ini
dikarenakan mikrokapsul hanya memberikan pengaruh peningkatan daya
kembang yang dikarenakan adanya kandungan maltodekstin yang mengandung
pati pada mikrokapsul tersebut berperan dalam pengembangan adonan biskuit,
namun tidak terlalu signifikan sehingga masih dalam notasi yang sama.
Manley (2001) menyatakan bahwa pada proses pemanggangan biskuit,
terbentuk komplek pati-protein-air sehingga membentuk struktur biskuit menjadi
keras sehingga bahan sulit mengembang. Selain itu, waktu pemanggangan,
protein akan mengalami denaturasi yang menyebabkan produk sulit untuk
mengembang dan menjadi lebih keras. Menurut Miller (1997) protein yang
terdenaturasi akan mempengaruhi gugus reaktifnya dimana gugus reaktif akan
membuka dan kemudian terjadi pengikatan kembali gugus reaktif yang
berdekatan sehingga jumlah ikatannya akan menjadi lebih banyak dan lebih kuat
(keras). Menurut Elliason dan Larsson (1977) dalam Setiawati (1999)
menyatakan bahwa kandungan lemak yang tinggi pada bahan akan
menyebabkan lebih meratanya dispersi lemak, meratanya pori-pori biskuit yang
lebih lanjut dapat meningkatkan volume pengembangan biskuit. Kadar lemak
yang lebih tinggi juga akan memberikan tekstur yang lebih renggang atau
terbuka pada biskuit sehingga menjadi lebih renyah.
Selama proses pemanggangan akan terjadi perubahan fisik maupun
kimiawi. Perubahan fisik meliputi megembangnya gas dan menguapnya air.
Sedangkan perubahan kimiawi meliputi gelatinisasi pati, koagulasi protein,
karamelisasi gula, dan reaksi maillard. Pengembangan akan terjadi tidak hanya
sebagai hasil peningkatan volume gas yang sudah berada dalam rongga udara,
tetapi juga sebagai akibat lebih lanjut dari pengembangan CO2, peningkatan
tekanan uap air serta hilangnya senyawa-senyawa yang mudah menguap. Pada
proses pemanggangan biasanya menggunakan suhu berkisar 150 - 170°C. Suhu
pemanggangan tidak boleh terlalu tinggi, agar penguapan berjalan perlahan-
lahan sehingga pemasakan terjadi rata (Smith, 1972).
4.4 Karakteristik Organoleptik Biskuit Terfortifikasi Mikrokapsul Fraksi
Tidak Tersabunkan (FTT) Distilat Asam Lemak Minyak Sawit (DALMS)
Penilaian organoleptik disebut juga penilaian indera atau penilaian
90
sensorik yang sudah sangat lama dikenal dan masih sangat umum digunakan.
Metode penilaian ini banyak digunakan karena dapat dilaksanakan dengan cepat
dan langsung. Dalam beberapa hal, penilaian dengan indera bahkan memiliki
ketelitian yang lebih baik dibandingkan dengan alat ukur yang paling sensitif
(Soekarto, 2002). Indera yang berperan dalam uji organoleptik adalah indera
penglihatan, penciuman, pencicipan, peraba dan pendengaran.
Untuk melaksanakan penilaian organoleptik diperlukan panel yang
bertindak sebagai instrument atau alat. Panel adalah orang atau kelompok yang
bertugas menilai sifat atau komoditi berdasarkan kesan subjektif. Orang yang
menjadi anggota panel disebut panelis. Terdapat tujuh macam panel dalam
penilaian organoleptik, yaitu panel perseorangan, panel terbatas, panel terlatih,
panel agak terlatih, panel tak terlatih, panel konsumen, dan panel anak-anak.
Masing-masing penilaian didasarkan pada keahlian dalam melakukan penilaian
organoleptik. Pada penelitian ini panelis terdiri dari 20 orang yang merupakan
panelis tidak terlatih.
4.4.1 Uji Organoleptik Tingkat Kesukaan (Hedonik)
Dalam perancangan produk pangan baru, pengujian dengan inderawi
sangat berperan penting. Bentuk pengujian inderawi inilah yang paling mendasar
dan pertama kali dilakukan oleh perancang yang bekerja pada pengembangan
produk baru (Kartika,1998). Sifat sensoris sangat penting bagi setiap produk
karena berkaitan erat dengan penerimaan konsumen untuk mengetahui sejauh
mana tingkat kesukaan panelis terhadap biskuit terfortifikasi mikrokapsul FTT
dari DALMS. Penerimaan suatu makanan pada seseorang melibatkan interaksi
kompleks antara indera khusus (Berdanier and Zempleni, 2009). Indera pencicip
dan penglihat merupakan dua dari lima indera dalam tubuh yang sangat umum
untuk penilaian suatu makanan, kemudian diikuti indera pembau atau peraba
(Soekarto, S.T., 1985).
Dalam penelitian ini parameter yang diamati adalah warna, aroma, rasa,
teksur dan kerenyahan. Uji hedonik merupakan uji dimana panelis diminta untuk
memberi tanggapan pribadi mengenai kesukaan atau ketidaksukaan dan
mengemukakan tingkat kesukaannya. Tingkat kesukaan dalam uji hedonik
disebut dengan skala hedonik, misalnya dalam penilaian “suka” memiliki skala
hedonik seperti amat sangat suka, sangat suka, suka dan agak suka.
Sebaliknya, penilaian “tidak suka” memiliki skala hedonik seperti amat sangat
tidak suka, sangat tidak suka, tidak suka dan agak tidak suka. Skala hedonik
91
memiliki beberapa rentangan, rentangan tersebut dapat dibuat sesuai kehendak
peneliti. Jumlah rentangan skala hedonik dapat berjumlah enam, tujuh maupun
Sembilan. Pada penelitian ini skala berkisar lima (0-1= sangat tidak suka, 1-
2=tidak suka, 2-3=agak suka, 3-4=suka, 4-5=sangat suka).
4.4.1.1 Tingkat Kesukaan terhadap Warna Biskuit
Warna memiliki peranan penting dalam penerimaan bahan pangan.
Selain sebagai faktor yang ikut menentukan mutu, warna juga dapat digunakan
sebagai indikator tingkat kematangan suatu produk (Winarno, 2002). Parameter
warna yang dilakukan uji organoleptik adalah warna biskuit yang paling disukai
hingga paling tidak disukai panelis. Pengaruh perlakuan tingkat penambahan
mikrokapsul FTT dari DALMS pada pengolahan biskuit terlihat pada rerata
tingkat kesukaan warna biskuit yang berkisar antara 3,20 - 4,00 yang berarti suka
terhadap warna biskuit yang dihasilkan.
Kecederungan kesukaan warna menurut panelis terhadap biskuit
disajikan pada Gambar 4.13:
Gambar 4.13 Rerata Skor Tingkat Kesukaan terhadap Warna Biskuit
Berdasarkan Gambar 4.13 menunjukkan bahwa semakin tinggi
konsentrasi FTT DALMS yang ditambahkan pada biskuit berpengaruh terhadap
semakin menurunnya tingkat kesukaan panelis terhadap warna biskuit. Hal ini
disebabkan semakin tinggi mikrokapsul yang ditambahakan warna biskuit
semakin gelap kecoklatan. Warna kecoklatan muncul karena adanya reaksi
0.00
1.00
2.00
3.00
4.00
5.00
6.00
0 2 4 6 8
Rerata Skor Warna Biskuit
Tingkat Penambahan Mikrokapsul FTT DALMS (%)
92
antara karbohidrat dengan asam amino, yang mana karbohidrat berasal dari
penambahan maltodekstrin yang ada pada miikrokapsul. Sehingga semakin
tinggi jumlah penambahan mikrokapsul kandungan karbohidrat yang
ditambahkan semakin tinggi pula. Adapun reaksi yang terjadi yakni selama
pemanasan, gugus karboksil akan bereaksi dengan gugus amino atau peptide
sehingga terbentuk glikosilamin. Komponen-komponen ini selanjutnya
mengalami polimerisasi membentuk komponen berwarna gelap “melanoidin”
yang menyebabkan perubahan warna pada produk, yaitu produk akan menjadi
kecoklatan.
Adapun pengaruh formulasi mikrokapsul terhadap warna biskuit disajikan
pada Tabel 4.13:
Tabel 4.14 Pengaruh Tingkat Penambahan Mikrokapsul terhadap Tingkat
Kesukaan Warna Biskuit (hedonik)
Formulasi
Mikrokapsul
(%)
Rerata
Grouping
0 4,00 ± 1,30 (suka) b 2 3,65 ± 1,23 (suka) ab 4 3,25 ± 1,41 (suka) ab 6 3,20 ± 1,01 (suka) a 8 3,25 ± 0,79 (suka) ab
Keterangan: rerata yang didampingi huruf berbeda menunjukkan berbeda
nyata pada taraf α=0,05
Rerata tingkat kesukaan warna terendah diperoleh pada perlakuan
tingkat penambahan mikrokapsul FTT dari DALMS sebesar 6%. Sedangkan
rerata tingkat kesukaan tertinggi pada tingkat penambahan mikrokapsul FTT dari
DALMS sebesar 0%. Hal ini disebakan mikrokapsul memberikan pengaruh
warna biskuit yang semakin gelap seiring semakin tingginya tingkat penambahan
mikrokapsul FTT DALMS. Adapun biskuit 0% tidak berbeda nyata dengan biskuit
2, 4, dan 8% namun biskuit 0% berbeda nyata dengan biskuit 6%. Hal ini dapat
disebabkan bahwa panelis menilai biskuit 0% memiliki warna yang lebih bagus
dan lebih cerah jika dibandingkan dengan biskuit perlakuan 6%. Penambahan
93
biskuit pada perlakuan 2, 4, 6 dan 8% tidak berbeda nyata. Hal ini menunjukkan
tingkat penambahan mikrokapsul FTT DALMS pada biskuit tidak memberikan
pengaruh yang berbeda nyata antar perlakuan.
4.4.1.2 Tingkat Kesukaan terhadap Tekstur Biskuit
Tekstur didefinisikan sebagai sifat-sifat suatu bahan pangan yang dapat
diamati oleh mata, kulit, dan otot-otot dalam mulut. Tekstur merupakan
gambaran mengenai atribut bahan makanan yang dihasilkan melalui kombinasi
sifat-sifat fisik dan kimia, diterima secara luas oleh sentuhan, penglihatan dan
pendengaran. Tekstur merupakan salah satu faktor penentu kualitas biskuit yang
perlu diperhatikan, karena sangat berhubungan dengan derajat penerimaan
konsumen. Pada umumnya biskuit yang dianggap baik adalah biskuit yang
mempunyai tekstur mudah patah (brittle), yaitu jika biskuit ditekan dengan jari
akan mudah patah (Handayani, 1987).
Adapun penilaian panelis terhadap tekstur dari biskuit terfortifikasi FTT
dari DALMS disajikan dalam Gambar 4.9:
Gambar 4.9 Rerata Skor Tingkat Kesukaan terhadap Tekstur Biskuit
Gambar 4.9 menunjukkan bahwa pengaruh perlakuan tingkat
penambahan mikrokapsul FTT dari DALMS pada biskuit menyebabkan semakin
menurunnya tingkat kesukaan panelis terhadap tekstur biskuit. Hal ini diduga
mikrokapsul FTT DALMS menyebabkan tesktur biskuit menjadi berpasir dan
agak kasar seiring tingginya penambahan mikrokapsul yang disebabkan oleh
pencampuran mikrokapsul saat proses pengolahan biskuit yang tidak tercampur
secara sempurna karena mikrokapsul cenderung menggumpal saat pengayakan
maupun pencampuran dikarenakan struktur maltodekstrin pada mikrokapsul
lebih bercabang jika dibandingkan dengan dekstrin dan mudah menyerap air.
0
1
2
3
4
5
0 2 4 6 8
Tekstur (N)
Tingkat Penambahan Mikrokapsul FTT DALMS (%)
94
Tabel 4.15 Pengaruh Formulasi Mikrokapsul terhadap Tingkat Kesukaan
Tekstur Biskuit
Formulasi
Mikrokapsul (%)
Rerata
Grouping
0 3,95 ± 1,36 (suka) c 2 3,90 ± 1,07 (suka) c 4 3,80 ± 1,32 (suka) b 6 3,05 ± 1,00 (suka) a 8 3,05 ± 1,39 (suka) a
Keterangan: rerata yang didampingi huruf berbeda menunjukkan berbeda
nyata pada taraf α=0,05
Rerata tingkat kesukaan panelis terhadap tekstur biskuit yang dihasilkan,
yaitu berkisar antara 3,05 - 3,95 yang berarti penilaian panelis suka terhadap
tekstur biskuit. Penilaian panelis tertinggi terhadap tekstur biskuit ada pada
biskuit dengan perlakuan 0%, sedangkan penilaian terendah yaitu pada biskuit
dengan perlakuan 6%. Penilaian tekstur tersebut dipengaruhi dengan tingkat
kehalusan tekstur biskuit yang dihasilkan. Adapun perlakuan 0%, 2% dan 4%
tidak berbeda nyata dikarenakan memiliki notasi yang sama, perlakuan 6% dan
8% juga tidak berbeda nyata dikarenakan memiliki notasi yang sama. Sedangkan
perlakuan 0%, 2% dan 4% berbeda nyata jika dibandingkan dengan perlakuan
6% maupun 8%.
4.4.1.3 Tingkat Kesukaan terhadap Aroma Biskuit
Aroma merupakan sensasi sensoris yang dialami oleh indera pembau.
Dalam industri pangan pengujian aroma atau bau dianggap penting karena dapat
memberikan hasil penilaian terhadap produk terkait diterima atau tidaknya suatu
produk. Aroma pada biskuit dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya adalah
aroma bahan dasar (Mikrokapsul FTT dari DALMS) dan aroma yang timbul
akibat pemanasan margarin (aroma gurih). Adapun penilaian panelis terhadap
aroma dari biskuit terfortifikasi FTT dari DALMS disajikan dalam Gambar 4.10:
95
Gambar 4.10 Rerata Skor Tingkat Kesukaan terhadap Aroma Biskuit
Berdasarkan Gambar 4.10 dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi
tingkat penambahan mikrokapsul FTT dari DALMS yang ditambahkan
menyebabkan semakin menurunnya skor dari rerata aroma biskuit, dikarenakan
tingkat kesukaan panelis terhadap aroma biskuit semakin menurun. Hal tersebut
disebabkan oleh bau atau aroma dari mikokapsul FTT DALMS masih terlalu kuat.
Timbulnya aroma atau bau ini karena zat bau tersebut bersifat volatil (menguap),
sedikit larut dalam air dan lemak, semakin tinggi tingkat penambahan
mikrokapsul maka semakin tinggi pula kandungan lemak pada biskuit yang
menyebabkan semakin kuat pula bau yang dihasilkan.
Adapun pengaruh formulasi mikrokapsul terhadap Tingkat Kesukaan bau
biskuit disajikan dalam Tabel 4.15:
Tabel 4.16 Pengaruh Formulasi Mikrokapsul Terhadap Tingkat Kesukaan
Bau Biskuit (hedonik)
Formulasi
Mikrokapsul (%)
Rerata
Grouping
0 3,95 ± 1,36 (suka) b 2 3,40 ± 1,07 (suka) ab 4 2,95 ± 1,32 (tidak suka) a 6 3,05 ± 1,00 (suka) ab 8 3,10 ± 1,39 (suka) ab
Keterangan: rerata yang didampingi huruf berbeda menunjukkan berbeda nyata
pada taraf α=0,05
Tabel 4.15 menunjukkan rentang rerata tingkat kesukaan aroma biskuit
berkisar antara 2,95 - 3,95 yang artinya penilaian panelis berada pada rentang
tidak suka – suka. Rerata aroma terendah yaitu sebesar 2,95 ± 1,36 diperoleh
0.00 1.00 2.00 3.00 4.00 5.00 6.00
0 2 4 6 8
Rerata Skor Bau Biksuit
Tingkat Penambahan Mikrokapsul FTT DALMS (%)
96
pada perlakuan tingkat penambahan mikrokapsul FTT dari DALMS sebesar 4%.
Sedangkan rerata tingkat kesukaan aroma tertinggi 3,95 ± 1,36 diperoleh pada
perlakuan tingkat penambahan mikrokapsul FTT dari DALMS sebesar 0%.
Mikrostruktur dari matriks pangan memainkan peran penting dalam
retensi aroma. Porositas dan luas area spesifik berperan besar dalam
peningkatan retensi komponen aroma. Dari penelitian Boutbol et al (2002)
diketahui bahwa pati yang bentuk granularnya masih utuh (pati native dan pati
asetilasi) memiliki daya retensi aroma yang lebih rendah dibandingkan pati yang
telah kehilangan bentuk granularnya (pati pregelatinisasi dan maltodekstrin).
Kandungan maltodesktrin yang terdapat pada mikrokapsul FTT DALMS yang
ditambahkan pada biskuit menyebabkan peningkatan porositas dan luas area
spesifik sehingga adsorpsi komponen aroma menjadi lebih baik. Selain
peningkatan area spesifik, rusaknya granula pati selama proses modifikasi pati
(pregelatinisasi pada pati pregelatinisasi atau hidrolisis parsial pada
maltodekstrin) menyebabkan rantai molekul amilosa dan amilopektin lebih
mudah berinteraksi dengan komponen aroma. Hal ini juga menjadi penyebab
mengapa retensi komponen aroma pada pati non granular lebih tinggi dari pati
granula. Sehingga semakin tinggi tingkat mikrokapsul FTT DALMS yang
ditambahkan menyebabkan semakin tinggi pula bau FTT DALMS yang
dihasilkan yang membuat penilaian tingkat kesukaan panelis terhadap bau
biskuit semakin berkurang.
Selain itu, adanya proses pemanggangan dikarenakan terjadinya reaksi
Maillard yang mendegradasi senyawa volatil sehingga menghasilkan sejumlah
besar komponen aroma terutama komponen lemak yang ada pada mikrokapsul
FTT DALMS yang ditambahkan pada biskuit. Jenis aroma yang dihasilkan
tergantung pada kombinasi khusus dari lemak, asam amino, dan gula yang
terdapat pada permukaan makanan. Konsentrasi ini juga dipengaruhi oleh sifat
volatile dari aroma itu sendiri. Faktor lain yang juga mempengaruhi aroma adalah
kualitas komponen aroma, suhu, komposisi aroma, viskositas makanan, interaksi
alami antara komponen aroma dan komponen nutrisi dalam makanan (Fellows,
1990).
4.4.1.4 Tingkat Kesukaan terhadap Kerenyahan Biskuit
Produk kering dinyatakan memiliki tingkat kerenyahan yang dapat
diterima jika kadar airnya kurang dari 5%, dimana pada kondisi ini bahan masih
97
bisa dipatahkan (Matz, 1992). Faridi (1994) menyatakan bahwa dari semua
karakter mutu biskuit yang paling penting adalah sifat kerenyahannya.
Kerenyahan dinilai dari bunyi yang ditimbulkan saat produk dipatahkan, semakin
tinggi daya patah pda produk makanan tertentu akan menurunkan
kerenyahannya. Semakin tinggi kadar pati dari suatu bahan maka semakin besar
pula daya patahnya yang berpengaruh terhadap tingkat kerenyahan. Di samping
itu, karena kadar air semakin menurun semakin meningkatkan kerenyahan suatu
produk. Berdasarkan penilaian panelis terhadap tingkat kerenyahan biskuit
terfortifikasi mikrokapsul FTT dari DALMS disajikan pada Gambar 4.11:
Gambar 4.11 Rerata Skor Tingkat Kesukaan terhadap Kerenyahan
Biskuit
Tingkat kerenyahan yang paling tinggi menurut panelis ada pada biskuit
dengan perlakuan 8%. Sedangkan penilaian panelis terhadap tingkat kerenyahan
yang terendah adalah biskuit dengan perlakuan 6%. Berdasarkan Gambar 4.11
menunjukkan semakin tingginya tingkat penambahan mikrokapsul maka
penilaian panelis cenderung semakin meningkat pula. Hal ini disebabkan
semakin tinggi tingkat penambahan mikrokapsul, maka jumlah tepung yang
digunakan semakin berkurang dikarenakan disubstitusi oleh mikrokapsul.
Pengurangan jumlah protein pada tepung menyebabkan berkurangnya jumlah
gluten yang berperan dalam tingkat kerenyahan suatu biskuit. Di sisi lain adanya
kontribusi maltodekstrin yang berperan dalam melapisi permukaan produk
sehingga dapat mempertahankan kerenyahan lebih lama.
0.00
1.00
2.00
3.00
4.00
5.00
6.00
0 2 4 6 8
Rerata Skor Kerenyahan Biskuit
Tingkat Penambahan Mikrokapsul FTT DALMS (%)
98
Nilai kekerasan yang semakin meningkat menggambarkan tekstur yang
semakin keras serta bersifat kurang renyah dibandingkan produk yang memiliki
nilai kekerasan lebih rendah.
Adapun rerata pengaruh dari tingkat penambahan mikrokapsul terhadap
kerenyaan biskuit disajikan dalam Tabel 4.16:
Tabel 4.17 Pengaruh Formulasi Mikrokapsul terhadap Tingkat Kesukaan
Kerenyahan Biskuit (hedonik)
Formulasi Mikrokapsul
(%)
Rerata
Grouping
0 3,60 ± 1,43 (suka) a 2 3,65 ± 1,23 (suka) a 4 3,70 ± 1,45 (suka) a 6 8
3,45 ± 1,05 (suka) 3,70 ± 1,56 (suka)
a a
Keterangan: rerata yang didampingi huruf berbeda menunjukkan berbeda
nyata pada taraf α=0,05
Pengaruh perlakuan tingkat penambahan mikrokapsul FTT dari DALS
terlihat pada rentang rerata tingkat kesukaan kerenyahan biskuit berkisar antara
3,45 – 3,70 yang artinya penilaian panelis adalah suka. Berdasarkan Tabel 4.16
menunjukkan bahwa tingkat penambahan mikrokapsul pada biskuit tidak
memberikan pengaruh terhadap tingkat kerenyahan biskuit dengan ditunjukkan
tidak adanya notasi yang berbeda. Hal ini diduga bahwa lemak yang berperan
dalam tingkat kerenyahan yang terkandung dalam mikrokapsul rendah, sehingga
panelis tidak merasakan perbedaan yang signifikan terhadap tingkat kerenyahan
biskuit.
Produk yang mengandung lemak akan lebih mudah dipatahkan daripada
produk tanpa lemak. Lemak memiliki peran dalam memberikan efek shortening
yang mempengaruhi tingkat kekerasan atau kekalisan biskuit dengan melumasi
struktur internal biskuit. Lemak mempunyai kemampuan memerangkap udara
sehingga saat proses pencampuran bahan-bahan (mixing) udara akan
terperangkap dalam adonan. Penggabungan gelembung-gelembung udara kecil
dalam adonan dapat membantu pengembangan dan dalam membangun struktur
produk akhir (Faridi, 1994).
Adapun faktor lain yang berpengaruh selain penambahan mikrokapsul,
bahan baku yang digunakan, proses pengolahan juga mempengaruhi tingkat
99
kerenyahan biskuit, salah satunya adalah proses pemanggangan. Menurut
Widowati (2003) menyebutkan ada beberapa kejadian penting yang terjadi
selama pemanggangan yaitu pengembangan adonan, koagulasi protein,
gelatinisasi pati dan penguapan air. Menurut Widjanarko (2008), pemanasan
akan menyebabkan terjadinya gelatinisasi pati dimana granula pati akan
membengkak. Pembengkakan granula pati terbatas hingga sekitar 30% dari
berat tepung. Apabila pembengkakan granula pati telah mencapai batas, granula
pati tersebut akan pecah sehingga terjadi proses penguapan air. Semakin
rendah kandungan gluten dalam adonan menyebabkan pelepasan molekul air
saat pemangangan semakin mudah sehingga tingkat kerenyahan semakin tinggi.
Berdasarkan pendapat Pratiwi, (2003), bahwa kerenyahan berhubungan
dengan nilai kekerasan, dimana semakin rendah nilai kekerasanya maka
semakin baik kerenyahannya, karena gaya yang dibutuhkan untuk memecahkan
produk semakin kecil. Selain itu, tingkat kerenyahan biskuit ditentukan dari jenis
tepung yang digunakan, semakin tinggi kandungan protein pada tepung, maka
biskuit yang dihasilkan kurang renyah. Hal ini dikarenakan pada tepung yang
berprotein tinggi memiliki kandungan gluten yang tinggi. Sebaliknya, penggunaan
tepung dengan kadar protein yang rendah akan menghasilkan biskuit yang
renyah. Hal ini sesuai dengan Whiteley (1971), bahwa tepung terigu yang baik
untuk pembuatan biskuit adalah tepung terigu yang memiliki protein yang rendah.
4.4.1.5 Tingkat Kesukaan terhadap Rasa Biskuit
Rasa merupakan sensasi yang terbentuk dari hasil perpaduan bahan
pembentuk dan komposisinya pada suatu produk makanan yang ditangkap
indera pengecap. Rasa merupakan atribut mutu dari suatu produk yang biasanya
faktor penting bagi konsumen dalam memilih produk. Penilaian panelis terhadap
rasa biskuit terfortifikasi FTT dari DALMS berada pada rentang rerata skor antara
2,85 – 3,95 yang artinya penilaian panelis berkisar pada rentang agak suka
sampai suka. Berdasarkan penilaian panelis terhadap rasa dari biskuit
terfortifikasi mikrokapsul FTT dari DALMS disajikan pada Gambar 4.12:
100
Gambar 4.12 Rerata Skor Tingkat Kesukaan terhadap Rasa Biskuit
Berdasarkan Gambar 4.12 dapat diketahui bahwa nilai kesukaan panelis
terhadap parameter rasa biskuit yang tertinggi atau yang paling disukai adalah
biskuit dengan perlakuan 0%, sedangkan untuk biskuit dengan rasa yang paling
tidak di sukai panelis yaitu pada biskuit dengan perlakuan 6%. Semakin tinggi
tingkat penambahan mikrokapsul FTT DALMS menyebabkan semakin menurun
tingkat kesukaan panelis terhadap biskuit. Hal ini dapat disebabkan karena rasa
getir yang timbul dikarenakan bahan baku yang digunakan, yaitu FTT DALMS.
Adapun penilaian panelis terhadap rasa biskuit disajikan pada Tabel 4.15:
Tabel 4.18 Pengaruh Formulasi Mikrokapsul terhadap Tingkat Kesukaan
Rasa Biskuit (mutu hedonik)
Formulasi Mikrokapsul
(%)
Rerata
Grouping
0 3,95 ± 1,50 (suka) b 2 3,20 ± 1,24 (suka) a 4 3,15 ± 1,53 (suka) a 6 2,85 ± 1,31 (tidak suka) a 8 2,90 ± 1,52 (tidak suka) a Keterangan: rerata yang didampingi huruf berbeda menunjukkan berbeda
nyata pada taraf α=0,05
Berdasarkan Tabel 4.17 menunjukkan bahwa penilaian panelis dari
perlakuan 0% berbeda nyata dengan perlakuan biskuit yang ditambahkan
mikrokapsul sebesar 2, 4, 6, dan 8% yang ditunjukkan dengan notasi yang
0.00
1.00
2.00
3.00
4.00
5.00
6.00
0 2 4 6 8
Rerata Skor Rasa Biskuit
Tingkat Penambahan Mikrokapsul FTT DALMS (%)
101
berbeda. Sedangkan biskuit dengan perlakuan 2, 4, 6 dan 8% tidak berbeda
nyata yang ditunjukkan dengan notasi yang sama. Hal ini menunjukkan bahwa
adanya penambahan mikrokapsul FTT DALMS mempengaruhi penilaian panelis
jika dibandingkan dengan 0% (tanpa penambahan mikrokapsul FTT DALMS).
Penambahan mikrokapsul FTT DALMS menyebabkan rasa getir pada biskuit
sehingga terbentuk after taste yang kurang disukai panelis.
4.4.2 Uji Organoleptik Mutu Hedonik
Tedapat delapan parameter pada uji organoleptik mutu hedonik yang
digunakan, diantaranya adalah keseragaman warna, bau, bau menyimpang,
kerenyahan, kehalusan tekstur, rasa, rasa menyimpang, dan after taste. Hasil uji
mutu hedonik yang didapat disajikan dalam bentuk spider chart yang dapat
dilihat pada Gambar 4.13:
Gambar 4.13 Pengaruh Tingkat Penambahan Mikrokapsul FTT DALMS
Terhadap Parameter Mutu Hedonik Pada Biskuit
4.4.2.1 Keseragaman Warna Biskuit (Mutu Hedonik)
Skala organoleptik menunjukkan semakin tinggi skor yang diberikan
panelis semakin seragam warna yang dinilai oleh panelis dari skala 1-5.
Pengaruh tingkat penambahan mikrokapsul FTT DALMS terhadap keseragaman
warna pada biskuit disajikan pada Gambar 4.14:
102
Gambar 4.14 Rerata Skor Keseragaman Warna Biskuit
Gambar 4.13 menunjukkan semakin tinggi tingkat penambahan
mikrokapsul FTT DALMS semakin tinggi pula tingkat keseragaman warna biskuit
menurut panelis, meskipun mengalami penurunan pada perlakuan 6%. Penilaian
panelis terhadap keseragaman warna pada biskuit yang paling seragam menurut
panelis, yaitu pada biskuit dengan perlakuan 8%, yaitu dengan skor 3,80 (agak
seragam) dari skala 1-5, sedangkan penilaian terendah pada biskuit dengan
perlakuan 0% dengan skor 3,05. Hal ini diduga karena mikrokapsul pada biskuit
8% tercampur lebih merata dibandingkan dengan biskuit 6% sehingga
keseragaman warna lebih seragam menurut panelis.
Tabel 4.19 Pengaruh Formulasi Mikrokapsul Terhadap Keseragaman Warna
Biskuit (mutu hedonik)
Formulasi Mikrokapsul (%)
Rerata
Grouping
0 3,05 ± 0,94 (agak seragam) a 2 3,35 ± 1,27 (agak seragam) a 4 3,80 ± 0,62 (agak seragam) a 6 3,50 ± 0,61 (agak seragam) a 8 3,80 ± 0,77 (agak seragam) a
Keterangan: sdDMRT 5% = 0,352
Tabel 4.18 menunjukkan bahwa tingkat penambahan mikrokapsul FTT
DALMS pada biskuit tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata yang
ditunjukkan dengan notasi yang sama, meskipun dibandingkan dengan biskuit
0% tanpa penambahan mikrokapsul FTT DALMS. Hal ini menunjukkan bahwa
0.00 0.50 1.00 1.50 2.00 2.50 3.00 3.50 4.00 4.50 5.00
0 2 4 6 8
Rerata Skor Keseragam
an
Warna
Tingkat Penambahan Mikrokapsul FTT DALMS (%)
103
penambahan mikrokapsul FTT DALMS pada biskuit sudah tepat karena tidak
berpengaruh terhadap perubahan keseragaman warna secara signifikan pada
biskuit menurut panelis, hanya saja rerata skor menunjukkan bahwa panelis
menilai keseragaman warna pada biskuit agak seragam. Hal ini dikarenakan
mikrokapsul FTT DALMS yang berbentuk bubuk berwarna kuning tidak
tercampur secara merata keseluruh bagian biskuit. Oleh karena itu, penampakan
warna akhir terdapat bintik bintik kuning dipermukaan biskuit. Diduga hal tersebut
dipengaruhi saat proses pencampuran atau pengayakan bahan baku seperti
tepung, susu putih, susu coklat dan mikrokapsul FTT DALMS tidak tercampur
secara merata karena mikrokapsul menggumpal saat pengayakan maupun
pencampuran.
4.4.2.2 Bau Biskuit (Mutu Hedonik)
Skala organoleptik menunjukkan semakin rendah skor yang diberikan
panelis semakin kuat bau yang dirasakan oleh panelis dari skala 1-5. Pengaruh
tingkat penambahan mikrokapsul FTT DALMS terhadap bau biskuit disajikan
pada Gambar 4.15:
Gambar 4.15 Rerata Skor Bau Biskuit
Gambar 4.15 menunjukkan bahwa threshold tiap panelis sangat
bervariasi dan berbeda-beda dalam merasakan bau dan memberikan penilaian
terhadap bau tersebut. Kecenderungan panelis dapat merasakan bau yang
semakin tidak disukai dengan meningkatnya proporsi mikrokapsul FTT dari
0.00 0.50 1.00 1.50 2.00 2.50 3.00 3.50 4.00 4.50 5.00
0 2 4 6 8
Rerata Skor Bau Biskuit
Tingkat Penambahan Mikrokapsul FTT DALMS (%)
104
DALMS yang ditambahkan pada biskuit. Hal ini disebabkan bau atau aroma dari
FTT DALMS tersebut masih kuat karena merupakan by-product dari proses
pemurnian kelapa sawit, sehingga aroma yang dihasilkan sangat berbeda dari
aroma biskuit yang biasa dikonsumsi panelis pada umumnya.
Tabel 4.20 Pengaruh Formulasi Mikrokapsul Terhadap Bau Biskuit (mutu
hedonik)
Formulasi Mikrokapsul (%)
Rerata
Grouping
0 3,00 ± 1,30 (bau) a 2 2,30 ± 0,66 (bau) a 4 2,20 ± 1,06 (bau) a 6 2,75 ± 0,91 (bau) a 8 2,55 ± 0,94 (bau) a
Keterangan: sdDMRT 5% = 0,364
Parameter bau yang diujikan untuk mengetahui threshold panelis
terhadap bau dari biskuit yang terfortifikasi mikrokapsul FTT dari DALMS. Tabel
4.19 menunjukkan bahwa formulasi mikrokapsul pada biskuit tidak memberikan
pengaruh yang berbeda nyata untuk parameter bau yang ditunjukkan dengan
notasi yang sama antar perlakuan.
Penilaian panelis terhadap bau biskuit yang paling lemah adalah
perlakuan 0%, sedangkan bau yang paling kuat adalah perlakuan 4%. Hal ini
berkaitan dengan proporsi mikrokapsul FTT dari DALMS yang ditambahkan
dalam biskuit, biskuit 0% paling disukai karena tidak ditambahkan mikrokapsul
FTT dari DALMS, sedangkan pada perlakuan 4% diduga panelis merasakan bau
FTT DALMS yang sangat kuat pada perlakuan 4% jika dibandingkan dengan
perlakuan yang lain.
4.4.2.3 Bau Menyimpang Biskuit (Mutu Hedonik)
Skala organoleptik menunjukkan semakin rendah skor yang diberikan
panelis semakin kuat bau menyimpang yang dirasakan oleh panelis dari skala 1-
5. Pengaruh tingkat penambahan mikrokapsul FTT DALMS terhadap bau
menyimpang pada biskuit disajikan pada Gambar 4.16:
105
Gambar 4.16 Rerata Skor Bau Menyimpang Biskuit
Gambar 4.16 menunjukkan bahwa threshold panelis hampir sama dan
mampu merasakan bau menyimpang pada sampel, yang mana semakin tinggi
mikrokapsul FTT DALMS yang ditambahkan pada biskuit akan menyebabkan
semakin tinggi pula bau menyimpang yang dihasilkan. Bau menyimpang yang
dihasilkan disebabkan dari bau bahan baku yang ditambahkan dalam pembuatan
biskuit itu sendiri, yaitu bau FTT DALMS yang terasa masih kuat dikarenakan
merupakan by-product.
Tabel 4.21 Pengaruh Formulasi Mikrokapsul Terhadap Bau Menyimpang
Biskuit (mutu hedonik)
Formulasi Mikrokapsul (%)
Rerata
Grouping
0 3,95 ± 1,00 (agak kuat) c 2 3,85 ± 1,04 (agak kuat) bc 4 3,10 ± 1,21 (agak kuat) a 6 3,25 ± 1,02 (agak kuat) ab 8 3,00 ± 1,17 (agak kuat) a
Keterangan: sdDMRT 5% = 0,358
Berdasarkan penilaian panelis terhadap bau menyimpang yang paling
kuat ada pada perlakuan 8% yaitu dengan skor 3,00 dari skala 1-5. Sedangkan
sampel yang memiliki bau menyimpang yang paling rendah ada pada perlakuan
0%. Hal ini sesuai dikarenakan perlakuan 8% merupakan biskuit dengan
penambahan mikrokapsul FTT DALMS yang paling tinggi sehingga bau
0.00
1.00
2.00
3.00
4.00
5.00
6.00
0 2 4 6 8
Rerata Skor Bau Menyimpang
Biskuit
Tingkat Penambahan Mikrokapsul FTT DALMS (%)
106
menyimpang yang dihasilkan yang paling kuat. Berdasarkan penotasian
menunjukkan bahwa biskuit dengan perlakuan 4% dan 8% tidak berbeda nyata,
sedangkan biskuit 0% berbeda nyata dengan biskuit 4%, 6% dan 8%. Biskuit 0%
tidak berbeda nyata dengan biskuit 2%. Biskuit 2% tidak berbeda nyata dengan
biskuit 6%. Hal ini disebabkan karena tingkat penambahan mikrokapsul FTT
DALMS memengaruhi threshold panelis dalam merasakan adanya bau
menyimpang. Setiap panelis memiliki ambang batas penciuman dan persepsi
bau menyimpang yang berbeda satu sama lain, namun panelis masih bisa
mendeteksi adanya bau menyimpang yang agak kuat dari rerata skor.
4.4.2.4 Tingkat Kerenyahan Biskuit (Mutu Hedonik)
Skala organoleptik menunjukkan semakin tinggi skor yang diberikan
panelis semakin tinggi tingkat kerenyahan (sangat renyah) yang dirasakan oleh
panelis dari skala 1-5. Pengaruh tingkat penambahan mikrokapsul FTT DALMS
terhadap tingkat kerenyahan pada biskuit disajikan pada Gambar 4.17:
Gambar 4.17 Rerata Skor Tingkat Kerenyahan Biskuit
Gambar 4.17 menunjukkan semakin tinggi tingkat penambahan
mikrokapsul FTT DALMS pada biskuit maka tingkat kerenyahan biskuit semakin
tinggi, meskipun mengalami penurunan pada biskuit 6%, namun mengalami
kenaikan lagi pada biskuit 8%. Hal ini dipengaruhi kandungan lemak yang
berpengaruh terhadap tingkat kerenyahan biskuit dikarenakan mikrokapsul
mengandung fitosterol atau lemak nabati. Berdasarkan penilaian panelis
0.00 0.50 1.00 1.50 2.00 2.50 3.00 3.50 4.00 4.50 5.00
0 2 4 6 8
Rerata SKor Kerenyahan Biskuit
Tingkat Penambahan Mikrokapsul FTT DALMS (%)
107
menunjukkan bahwa biskuit dengan tingkat kerenyahan yang tertinggi adalah
biskuit 4% yang artinya biskuit memiliki tekstur, daya patah dan kerenyahan yang
bagus. Sedangkan sampel dengan tingkat kerenyahan terendah dari hasil
penilaian panelis adalah biskuit 6%.
Tabel 4.22 Pengaruh Formulasi Mikrokapsul Terhadap Kerenyahan Biskuit
(mutu hedonik)
Formulasi Mikrokapsul (%)
Rerata
Grouping
0 3,40 ± 1,05 (agak renyah) a 2 3,40 ± 0,94 (agak renyah) a 4 3,55 ± 0,89 (agak renyah) a 6 3,15 ± 1,14 (agak renyah) a 8 3,35 ± 1,27 (agak renyah) a
Keterangan: sdDMRT 5% = 0,379
Formulasi mikrokapsul terhadap biskuit tidak memberikan pengaruh yang
berbeda nyata yang ditunjukkan dengan notasi yang sama antar perlakuan.
Panelis menilai biskuit dengan penambahan mikrokapsul FTT DALMS agak
renyah. Hal ini dipengaruhi kandungan lemak pada mikrokapsul FTT DALMS
(fitosterol) mampu melumasi secara sempurna struktur biskuit, selain itu semakin
rendah kandungan gluten dalam adonan menyebabkan pelepasan molekul air
saat pemangangan semakin mudah sehingga tingkat kerenyahan semakin tinggi.
Penurunan kandungan gluten dikarenakan pengurangan tepung yang digunakan
yang disubstitusi oleh mikrokapsul FTT DALMS.
4.4.2.5 Kehalusan Tekstur (Mutu Hedonik)
Skala organoleptik menunjukkan semakin rendah skor yang diberikan
panelis semakin kasar tekstur yang dirasakan oleh panelis dari skala 1-5.
Pengaruh tingkat penambahan mikrokapsul FTT DALMS terhadap kehalusan
tekstur pada biskuit disajikan pada Gambar 4.18:
108
Gambar 4.18 Rerata Skor Kehalusan Tekstur Biskuit
Gambar 4.18 menunjukkan bahwa panelis dapat mendeteksi adanya
perbedaan kehalusan tekstur pada biskuit yang disebabkan oleh perlakuan
tingkat mikrokapsul yang digunakan yang ditunjukkan dengan semakin
menurunnya kehalusan tekstur seiring semakin meningkatnya mikrokapsul yang
ditambahkan pada biskuit. Panelis menilai tingkat kehalusan tekstur yang paling
baik ada pada perlakuan 0%, sedangkan sampel dengan kehalusan tekstur
yang paling buruk menurut panelis adalah perlakuan 8%. Hal ini dapat
dipengaruhi tidak tercampurnya secara merata mikrokapsul yang ditambahkan
dalam proses pencampuran dalam pembuatan biskuit atau pengayakan bahan-
bahan baku yang kurang maksimal, sehingga tekstur biskuit terasa sepeti
berpasir.
Penghalusan bahan baku seperti tepung, gula halus, mikrokapsul, susu
yang seharusnya disaring sebelum pencampuran juga memengaruhi kehalusan
tekstur biskuit yang dihasilkan. Hal ini dikarenakan jika tidak dihaluskan terlebih
dahulu, maka biskuit akan terasa seperti berpasir yang berpengaruh pada
kehalusan teksturnya. Adapun faktor lain yang berpengaruh menurut Smith
(1972), fungsi gula dalam proses pembuatan biskuit selain sebagai pemberi rasa
manis, juga berfungsi memperbaiki tesktur dan memberikan warna pada
permukaan biskuit. Jumlah gula yang ditambahkan biasanya berpengaruh
terhadap tesktur dan penampilan biskuit.
0.00
1.00
2.00
3.00
4.00
5.00
6.00
0 2 4 6 8
Rerata Skor Warna Biskuit
Tingkat Penambahan Mikrokapsul FTT DALMS (%)
109
Tabel 4.23 Pengaruh Formulasi Mikrokapsul Terhadap Kehalusan Tekstur
Biskuit (mutu hedonik)
Formulasi Mikrokapsul (%)
Rerata
Grouping
0 3,95 ± 0,83 (agak halus) c 2 3,25 ± 1,02 (agak halus) bc 4 2,60 ± 0,99 ( kasar) ab 6 2,15 ± 0,81 (kasar) a 8 2,15 ± 0,81 (kasar) a
Keterangan: sdDMRT 5% = 0,319
Tabel 4.21 menunjukkan bahwa penambahan mikrokapsul pada biskuit
memberikan pengaruh berbeda nyata yang mana biskuit 0% berbeda nyata
dengan biskuit 4, 6, dan 8%, namun biskuit 0% tidak berbeda nyata dengan
biskuit 2%. Biskuit 2% tidak berbeda nyata dengan biskuit 4%, namun biskuit 2%
berbeda nyata dengan biskuit 6% dan 8%. Hal ini disebabkan panelis menilai
biskuit 0% dan 2% agak halus sedangkan biskuit 4%, 6% dan 8% memiliki
tekstur yang kasar karena terasa seperti berpasir yang disebabkan semakin
tinggi tingkat penambahan mikrokapsul semakin sulit tercampur secara merata
dengan bahan bahan lain seperti tepung, susu putih dan susu coklat.
4.4.2.6 Rasa Biskuit (Mutu Hedonik)
Skala organoleptik menunjukkan semakin tinggi skor yang diberikan
panelis semakin enak rasa biskuit yang dirasakan oleh panelis dari skala 1-5.
Pengaruh tingkat penambahan mikrokapsul FTT DALMS terhadap rasa pada
biskuit disajikan pada Gambar 4.19:
Gambar 4.19 Rerata Skor Rasa Biskuit
0.00
1.00
2.00
3.00
4.00
5.00
6.00
0 2 4 6 8
Rerata Skor Rasa Biskuit
Tingkat Penambahan Mikrokapsul FTT DALMS (%)
110
Rerata skor biskuit semakin menurun seiring dengan semakin
meningkatnya mikrokapsul FTT DALMS yang ditambahkan pada biskuit. Hal ini
dikarenakan FTT DALMS memengaruhi rasa yang muncul pada biskuit, yaitu
rasa getir yang kuat dan sangat berbeda jika dibandingkan dengan biskuit
komersial pada umumnya.
Tabel 4.24 Pengaruh Formulasi Mikrokapsul Terhadap Rasa Biskuit (mutu
hedonik)
Formulasi Mikrokapsul (%)
Rerata
Grouping
0 4,95 ± 0,22 (enak) d 2 3,35 ± 0,93 (agak enak) c 4 2,95 ± 0,94 (tidak enak) b 6 2,75 ± 1,21 (tidak enak) ab 8 2,30 ± 1,22 (tidak enak) a
Keterangan: sdDMRT 5% = 0,342
Berdasarkan uji organoleptik yang dilakukan diketahui bahwa panelis
dapat mendeteksi adanya perbedaan rasa pada biskuit yang disebabkan oleh
perlakuan tingkat mikrokapsul yang digunakan, panelis menilai biskuit 0%
memiliki rasa enak, biskuit 2% terasa agak enak, sedangkan biskuit 4%, 6% dan
8% memiliki rasa tidak enak. Hal ini menunjukkan panelis mampu membedakan
antara biskuit tanpa penambahan mikrokapsul FTT dari DALMS dan biskuit
dengan penambahan mikrokapsul FTT DALMS tertinggi, yaitu sebesar 8%.
Penambahan mikrokapsul FTT DALMS menyebabkan munculnya rasa
menyimpang dan after taste pada biskuit sehingga biskuit 8% mendapat skor
terendah atau paling yang tidak disukai panelis. Pengaruh formulasi mikrokapsul
pada biskuit berbeda nyata antar perlakuan, namun biskuit 4% tidak berbeda
nyata dengan biskuit 6%, biskuit 6% tidak berbeda nyata dengan biskuit 8%.
4.4.2.7 Rasa Menyimpang Biskuit (Mutu Hedonik)
Skala organoleptik menunjukkan semakin rendah skor yang diberikan
panelis semakin kuat rasa meyimpang yang dirasakan oleh panelis dari skala 1-
5. Pengaruh tingkat penambahan mikrokapsul FTT DALMS terhadap rasa
menyimpang pada biskuit disajikan pada Gambar 4.20:
111
Gambar 4.20 Rerata Skor Rasa Menyimpang Biskuit
Rerata skor biskuit semakin menurun seiring dengan semakin
meningkatnya mikrokapsul FTT DALMS yang ditambahkan pada biskuit. Hal ini
dikarenakan bahan baku dari FTT DALMS yang merupakan by-product atau hasil
samping dari proses pemurnian minyak sawit masih memiliki rasa menyimpang
yang cukup tinggi. Sehingga semakin tinggi mikrokapsul yang ditambahkan maka
semakin tinggi pula rasa menyimpang yang muncul pada biskuit.
Tabel 4.25 Pengaruh Formulasi Mikrokapsul Terhadap Rasa Menyimpang
Biskuit (mutu hedonik)
Formulasi Mikrokapsul (%)
Rerata
Grouping
0 4,30 ± 0,66 (tidak kuat) d 2 3,35 ± 1,23 (agak kuat) c 4 3,15 ± 0,99 (agak kuat) bc 6 2,50 ± 0,89 (kuat) ab 8 2,45 ± 1,28 (kuat) a
Keterangan: sdDMRT 5% = 0,316
Berdasarkan uji organoleptik yang dilakukan diketahui bahwa panelis
dapat mendeteksi adanya rasa menyimpang pada biskuit. Panelis menilai biskuit
0% memiliki rasa menyimpang namun tidak kuat, biskuit 2% dan 4% memiliki
rasa menyimpang yang agak kuat, sedangkan biskuit 6% dan 8% memiliki rasa
menyimpang yang kuat. Pengaruh formulasi mikrokapsul pada biskuit berbeda
nyata antar perlakuan, namun biskuit 2% tidak berbeda nyata dengan biskuit 4%,
0.00
1.00
2.00
3.00
4.00
5.00
6.00
0 2 4 6 8
Rerata Skor Rasa Menyimpang
Biskuit
Tingkat Penambahan Mikrokapsul FTT DALMS (%)
112
biskuit 4% tidak berbeda nyata dengan biskuit 6%. Hal ini dipengaruhi oleh
threshold panelis berbeda satu sama lain dalam merasakan rasa menyimpang
pada biskuit.
4.4.2.2 After Taste Biskuit (Mutu Hedonik)
Skala organoleptik menunjukkan semakin rendah skor yang diberikan
panelis semakin kuat after taste yang dirasakan oleh panelis dari skala 1-5.
Adapun pengaruh tingkat penambahan mikrokapsul FTT DALMS terhadap after
taste pada biskuit disajikan pada Gambar 4.21:
Gambar 4.21 Rerata Skor After Taste Biskuit
After taste adalah rasa yang tertinggal setelah produk dimakan.
Indera yang berperan adalah indera pengecap dan indera pembau. Pada
parameter ini panelis memberi nilai bahwa semakin tinggi mikrokapsul yang
ditambahkan maka semakin rendah nilai After taste yang terjadi pada sampel
diakibatkan oleh FTT yang memiliki rasa dan bau yang khas, selain itu masih ada
kandungan anisidin dan perosida yang meninggalakan rasa pada lidah.
Tabel 4.26 Pengaruh Formulasi Mikrokapsul Terhadap After Taste Biskuit
(mutu hedonik)
Formulasi Mikrokapsul (%)
Rerata
Grouping
0 4,55 ± 0,69 (agak getir) d 2 3,80 ± 1,15 (getir) c 4 3,60 ± 1,23 (getir) bc 6 2,70 ± 0,92 (sangat getir) a 8 2,60 ± 1,19 (sangat getir) a
Keterangan: sdDMRT 5% = 0,304
0.00
1.00
2.00
3.00
4.00
5.00
6.00
0 2 4 6 8
Rerata Skor After taste
Biskuit
Tingkat Penambahan Mikrokapsul FTT DALMS (%)
113
Panelis menilai biskuit 0% memiliki tingkat after taste agak getir, biskuit
2% dan 4% getir, sedangkan biskit 6% dan 8% memiliki after taste yang sangat
getir. Penambahan mikrokapsul pada biskuit menyebabkan pengaruh yang
berbeda nyata antar perlakuan yang ditunjukkan dengan notasi yang berbeda,
yaitu biskuit 0% berbeda nyata dengan biskuit 2%, 4%, 6% dan 8%. Biskuit 2%
tidak berbeda nyata dengan biskuit 4%, biskuit 6% tidak berbeda nyata dengan
biskuit 8%. Hal ini juga dipengaruhi oleh threshold antar panelis yang bervariasi
dan berbeda dalam merasakan after taste yang ada pada biskuit.
4.5 Pemilihan Biskuit dari Perlakuan Terbaik
Pemilihan perlakuan terbaik menggunakan metode multiple attribute
(Zeleny, 1992). Parameter pada uji fisik yang digunakan adalah daya patah,
densitas kamba, daya kembang dan warna (L, a, b). Parameter uji organoleptik
yang digunakan untuk uji hedonik terdiri dari warna, bau, kerenyahan, tekstur
dan rasa sedangkan untuk mutu hedonik terdiri dari keseragaman warna, bau,
bau menyimpang, kerenyahan, kehalusan tekstur, rasa, rasa menyimpang dan
aftertaste. Nilai yang diharapkan untuk masing-masing parameter berbeda, ada
nilai maksimal dan minimal. Perhitungan dari uji fisik dan uji kimia denga
menggunakan metode zeleny akan menghasilkan biskuit dengan perlakuan
terbaik yang kemudian dilanjutkan dengan uji kimia (analisa proksimat dan
kandungan senyawa bioaktif). Perhitungan dan pemilihan perlakuan terbaik
dapat dilihat pada Lampiran 3. Berdasarkan perhitungan dengan metode zeleny
maka diperoleh biskuit perlakuan terbaik mengandung fortifikasi mikrokapsul
Fraksi Tidak Tersabunkan (FTT) Distilat Asam Lemak Minyak Sawit (DALMS)
dengan konsentrasi sebesar 8% (b/b).
Kualitas Biskuit terbaik dipengaruhi oleh kualitas mikrokapsul yang
dipengaruhi oleh bahan baku dan proses mikroenkapsulasi. Bahan baku yang
digunakan dalam penelitian ini adalah fraksi tidak tersabunkan (FTT) distilat
asam lemak minyak sawit (DALMS). Kualitas FTT dipengaruhi oleh proses
saponifikasi DALMS. Melalui proses mikroenkapsulasi diharapakan untuk
digunakan lebih lanjut sebagai fortifikan pangan dalam bentuk bubuk sebagai
sumber senyawa fitokimia yang baik bagi kesehatan manusia. Selain itu,
perlakuan dari parameter fisik dan organoleptik berpengaruh pada hasil akhir
perhitungan dari metode zeleny untuk menentukan biskuit dari perlakuan tingkat
114
penambahan mikrokapsul terbaik. Biskuit dengan perlakuan 8% memiliki daya
patah sebesar 25,567 ± 3,203 N, densitas kamba sebesar 0,9663 ± 0,4423
g/mL, tingkat kecerahan sebesar 37,155 ± 3,870 (L), tingkat kehijauan sebesar
2,957 ± 1,116 (a), sedangkan tingkat kehijauan sebesar 3,278 ± 1,796 (b), daya
kembang sebesar 49,999 ± 16,67, nilai derajat hue sebesar 49,89 ± 31,36 yang
berarti warna kuning kemerahan. Berdasarkan uji organoleptik, dari skala 1 – 5
panelis memberikan penilaian terhadap biskuit dari perlakuan 8% mendapatkan
skor 3,25 ± 0,79 (agak suka) dari parameter warna, teksur mendapatkan skor
sebesar 3,05 ± 1,39 (agak suka), bau biskuit mendapat skor 3,10 ± 1,33 (agak
suka), tingkat kerenyahan mendapat skor 3,70 ± 1,56 (agak suka), sedangkan
rasa mendapat skor 2,90 ± 1,52 (tidak disukai). Berdasarkan mutu hedonik dari
parameter keseragaman warna biksuit 8% mendapat skor 3,80 ± 0,77 (agak
seragam), bau biskuit sebesar 2,55 ± 0,94 (bau), bau menyimpang biskuit
sebesar 3,00 ± 1,17 (agak kuat), tingkat kerenyahan sebesar 3,35 ± 1,27 (agak
renyah), kehalusan tekstur sebesar 2,15 ± 0,81 (kasar), rasa sebesar 2,15 ± 1,22
(tidak enak), rasa menyimpang sebesar 2,4 ± 1,28 (kuat).
4.5.1 Karakteristik Kimia Biskuit Terfortifikasi Mikrokapsul Fraksi Tidak
Tersabukan (FTT) dari Distilat Asam Lemak MInyak Sawit (DALMS)
Uji kimia dilakukan untuk biskuit dari perlakuan terbaik yang diperoleh
dari hasil uji fisik dan uji organoleptik, yaitu biskuit dari perlakuan formulasi
mikrokapsul 8%. Uji kimia yang dilakukan diantaranya adalah analisa proksimat
yang terdiri dari uji kadar air, kadar protein, kadar lemak, kadar karbohidrat,
kadar abu dan kadar serat kasar. Adapun kandungan kimia dari biskuit perlakuan
terbaik (8%) disajikan pada Tabel 4.27:
Tabel 4.27 Perbandingan Hasil Uji Kimia Biskuit dengan Syarat Mutu
Biskuit SNI 01-2973-1992
Parameter
Hasil Analisa (%)
Syarat Mutu Biskuit Menurut SNI 01-2973-
1992 (%) Air 2,985 Maksimum 5
Protein 6,44 Minimum 9 Lemak 31,02 Minimum 9.5
Karbohidrat 57,38 Minimum 70 Abu 1,045 Maksimum 1.6
Serat Kasar 1,125 Maksimum 0.5
115
Berdasarkan Tabel 4.25 dapat diketahui bahwa biskuit terfortifikasi FTT
dari DALMS rata-rata memiliki karakterikstik kimia sesuai dengan standar syarat
mutu biskuit menurut SNI 01-2973-1992, yang ditunjukkan dengan hasil analisa
dari parameter kadar air, lemak, pati, dan abu masih sesuai dalam standar yang
telah ditentukan tersebut. Meskipun untuk parameter kadar protein, karbohidrat
dan serat kasar belum memenuhi standar SNI 01-2973-1992. Hal ini dapat
dipengaruhi berbagai faktor, diantaranya seperti adanya perbedaan bahan baku
yang digunakan maupun interaksi antar bahan yang digunakan selama proses
pengolahan.
4.5.1.1 Kadar Air
Air merupakan komponen penting dalam bahan makanan karena dapat
mempengaruhi kenampakan, tekstur, dan rasa bahan pangan. Kadar air juga
sangat berpengaruh terhadap mutu bahan pangan, sangat penting dalam
menentukan daya awet dari bahan makanan kerena mempengaruhi sifat fisik,
kimia, perubahan mikrobiologi dan perubahan enzimatis. Kadar air merupakan
banyaknya air yang terkandung dalam per satuan berat bahan yang dinyatakan
dalam persen.
Menurut Winarno (1997), kandungan air dalam bahan pangan ikut
menentukan penerimaan, kesegaran dan daya tahan pangan tersebut. Pada
proses pemanggangan biskuit, terjadi proses pemanasan dan proses
pengurangan kadar air. Kandungan air pada biskuit akan mempengaruhi
penerimaan konsumen terutama pada atribut tekstur (kerenyahan). Biskuit
dengan kadar air tinggi cenderung tidak renyah sehingga teksturnya kurang
disukai.
Kadar air biskuit yang dihasilkan 2,985 %, sedangkan syarat mutu biskuit
berdasarkan SNI 01-2973-1992 menyatakan kadar air maksimum yang terdapat
pada biskuit adalah 5% (bb). Kadar air biskuit yang dihasilkan masih berada di
bawah persyaratan SNI, sehingga dapat dikatakan bahwa kadar air biskuit
terfortifikasi FTT dari DALMS masih memenuhi persyaratan mutu biskuit
berdasarkan SNI.
Biskuit dengan penambahan mikrokapsul FTT DALMS mengandung
maltodekstrin yang mana maltodekstrin memiliki struktur molekul yang lebih
bercabang daripada dekstrin. Struktur yang lebih bercabang ini mengakibatkan
116
maltodekstrin mempunyai sifat mudah larut dalam air. Bahan yang mudah larut
dalam air kemungkinan memiliki kadar air yang rendah. Karena kelarutan
merupakan kemampuan bahan untuk dapat menyerap air, sehingga
menyebabkan kadar airnya akan rendah. Maltodekstrin dapat meningkatkan total
padatan bahan yang dikeringkan, sehingga jumlah air yang diuapkan semakin
tinggi, akibatnya peningkatan konsentrasi maltodekstrin akan menurunkan kadar
air. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Masters (1979), semakin tinggi total
padatan yang dikeringkan sampai batas tertentu maka kecepatan penguapan
akan semakin tinggi sehingga kadar air bahan menjadi rendah. Jika dalam air
(gugus hidroksil) maltodekstrin akan membentuk ikatan hidrogen dengan
molekul-molekul air sekitarnya, maka ketika air dihilangkan akan terjadi
pengkristalan, karena gugus hidroksil akan membentuk ikatan hidrogen dengan
ikatan gugus hidroksil yang lain sesama monomer. Oleh karena itu semakin
banyak maltodekstrin yang ditambahkan semakin cepat terjadi pengkristalan dan
penguapan air, kadar air bahan akan semakin rendah (Barbosa-Canovas, 1999).
Menurut Syarief dan Irawati (1988) kadar air digunakan untuk melihat
kandungan air dalam bahan pangan per satuan bobot bahan. Banyak sedikitnya
kadar air pada suatu bahan tergantung dari bagaimana air tersebut terikat
dengan makromolekul (protein dan karbohidrat). Kadar air biskuit merupkan
karakteristik penting terutama hubungannya dengan umur simpan. Biskuit
dengan kadar air tinggi akan memiliki daya simpan yang pendek (Bennion,
1980).
Adapun faktor lain yang memengaruhi kadar air adalah protein. Protein
memiliki kemampuan dalam mengikat air karena adanya gugus amino dan
karboksil bebas pada struktur protein. Berat molekul protein sangat besar
sehingga jika protein dilarutkan dengan air akan membentuk suatu disperse
koloidal. Protein dapat membentuk gel apabila ikatan-ikatan antara gugus-gugus
raktif protein dapat menahan cairan (Winarno, 2002). Menurut Sudarmanto dan
Tranggono (1987), kemampuan menahan air oleh komponen protein
berhubungan dengan adanya gugus polar yaitu karbonil, hidroksi amino,
karboksil dan sulfihidril. Gugus-gugus inilah yang menentukan besarnya kadar air
yang tersisa. Sifat penyerapan air ada hubungannya dengan terbukanya gugus
yang bersifat hidrofil pada molekul protein sehingga molekul protein yang terbuka
mengakibatkan meningkatnya daya serap air.
117
Kadar air juga dipengaruhi oleh pati. Semakin sedikit kadar pati pada
biskuit maka semakin rendah kadar air yang terikat pada bahan. Pengikatan air
akan semakin besar bila terjadi gelatinisasi pada pati. Granula pati memiliki
kemmapuan menyerap air karena mempunyai sejumlah besar gugus hidroksil
pada molekulnya sehingga dengan semakin meningkatnya kadar pati maka
jumlah kadar air yang terperangkap dalam granula pati semakin besar pula.
Hal ini diperkuat oleh Fandi (1994) yang menyatakan bahwa granula pati
yang mengalami kerusakan akan menyerap air lebih banyak daripada granula
pati yang tidak rusak. Granula pati yang tidak rusak mampu menyerap air sampai
30% dari beratnya, sementara granula pati yang rusak bisa menyerap air 10 kali
dari jumlah tersebut.
Menurut Hutton and Campbell (1984) dalam Syariah (2000), menyatakan
bahwa karbohidrat merupakan salah satu komponen yang berperan dalam
menentukan besarnya nilai daya serap air. Pada pati terdiri dari dua fraksi yaitu
amilosa dan amilokpektin yang merupakan fraksi yang tidak larut (Winarno,
2008). Winarno (2008) menyatakan bahwa jumlah gugus hidroksil dalam molekul
pati sangat besar, maka kemampuan pati untuk menyerap air sangat besar.
Selain itu pati memiliki komponen amilosa dan amilopektin. Amilosa memiliki
kemampuan membentuk ikatan hidrogen dengan air, maka semakin tinggi
kandungan amilosa dala biskuit akan menurunkan kadar air karenan amilosa
bersifat mudah menyerap air dan melepaskannya.
Selama pemanggangan banyak air yang terevaporasi dari adonan biskuit.
Kondisi pemangganganyang dibutuhkan bagi biskuit yang berbeda akan tidak
sama karena cara terbentuknya struktur dan jumlah kadar air yang harus
dihilangkan tergantung pada kekayaan formulasi. Perubahan yang dapat dilihat
pada adonan biskuit yang sedang dipanggang salah satunya ialah pengurangan
kandungan airnya hingga 1-4%. Selama pemanggangan ini juga terjadi
kehilangan kadar air dari permukaan produk oleh evaporasi yang diikuti
perpindahan kelembaban ke permukaan yang terus-menerus hilang ke
lingkungan oven. Kadar air yang dikehendaki pada biskuit ditentukan oleh dua
faktor. Nilai kadar air yang terlalu rendah menyebabkan biskuit akan memiliki
rasa gosong dan warnanya akan terlalu gelap, jika terlalu tinggi maka strukturnya
tidak akan menjadi renyah, dapat mengalami patah (checking) dan perubahan
flavor selama penyimpanan akan terjadi lebih cepat (Manley 2000). Komposisi
proksimat yang tinggi dari nilai protein, lemak dan abu dapat diakibatkan oleh
118
kehilangan air sehingga nutrisi terkonsentrasi pada saat pengolahan (Petenuci et
al. 2008). Menurut Passos et al. (2013), kadar air biskuit dan cracker komersial
bervariasi antara 1,7 hingga 5%.
Menurut Widowati (2008), menyebutkan ada beberapa kejadian penting
yang terjadi selama pemanggangan yaitu pengembangan adonan, koagulasi
protein, gelatinisasi pati dan penguapan air. Menurut Widjanarko (2008),
pemanasan akan menyebabkan terjadinya gelatinisasi pati dimana granula pati
akan membengkak akibat adanya penyerapan air. Pembengkakan granula pati
terbatas hingga sekitar 30% dari berat tepung. Apabila pembengkakan granula
pati telah mencapai batas, granula pati tersebut akan pecah sehingga terjadi
proses penguapan air. Semakin rendahnya kandungan gluten dalam adonan
menyebabkan pelepasan molekul air saat pemanggangan menjadi semakin
mudah. Hal tersebut berkaitan dengan pendapat Lowe (1943) yang menyatakan
semakin banyak gluten, kecepatan absorpsi air semakin tinggi, begitu pula
sebaliknya emakin rendah kandungan gluten maka kecepatan absorpsi air juga
semakin rendah.
4.5.1.2 Kadar Protein
Kadar protein biskuit yang dihasilkan pada penelitian ini adalah 6,84%
Nilai tersebut belum memenuhi standar menurut SNI No. 01-2973-92 yaitu
minimal 9%. Hal tersebut disebabkan karena proporsi tepung yang digunakan
berkurang karena adanya penambahan mikrokasul FTT dari DALMS (substitusi)
yang ditambahkan yang mana tepung yang digunakan juga merupakan tepung
terigu protein rendah. ada pembuatan cookies digunakan tepung terigu dengan
protein rendah yaitu mengandung 8%-9% protein sehingga tidak dapat
menambah kandungan protein dalam biskuit yang dihasilkan.
Menurut Passos et al. (2013), kandungan protein beberapa biskuit
komersial bervariasi jumlahnya mulai dari 3-14,6%. Tinggi atau rendahnya nilai
protein yang terukur dapat dipengaruhi oleh besarnya kandungan air yang hilang
(dehidrasi) dari bahan. Nilai protein yang terukur akan semakin besar jika jumlah
air yang hilang semakin besar. Menurut Sebranek (2009), kandungan protein
yang terukur tergantung pada jumlah bahan-bahan yang ditambahkan dan
sebagian besar dipengaruhi oleh kandungan air. Kadar protein yang terukur
dalam penelitian ini disebut protein kasar karena diukur berdasarkan kadar
Nitrogen (N) dari sampel.
119
4.5.1.3 Kadar Lemak
Lemak adalah komponen makanan yang tidak larut dalam air. Trigliserida
merupakan bagian terbesar dari kelompok lipida. Lemak merupakan komponen
penting dalam pembuatan biskuit, karena berfungsi sebagai bahan untuk
menimbulkan rasa gurih, manambah aroma dan menghasilkan tekstur produk
yang renyah. Ada dua jenis lemak yang biasa digunakan dalam pembuatan
biskuit yaitu dapat berasal dari lemak susu (butter) atau dari lemak nabati
(margarin) atau campuran dari keduanya (Anonim, 2011b). Lemak memiliki efek
shortening pada makanan yang dipanggang seperti biskuit, kue kering, dan roti
sehingga menjadi lebih lezat dan renyah. Lemak nantinya akan memecah
struktur kemudian melapisi pati dan gluten, sehingga dihasilkan biskuit yang
renyah. Lemak dapat memperbaiki struktur fisik seperti pengembangan,
kelembutan, tekstur, dan aroma (Gaman dan Sherrington, 1992).
Kadar lemak biskuit yang dihasilkan pada penelitian ini yakni 31,02%.
Nilai tersebut telah memenuhi standar menurut SNI No. 01-2973-92 yang diatas
9,5% (minimal 9,5%). Hal ini diduga karena penambahan mikrokapsul FTT dari
DALMS yang mengandung lemak sebesar 3,48%, margarin dan butter dimana
pada bahan tersebut yakni margarin dan butter mengandung lemak masing-
masing 25% - 30%. Menurut Passos et al. (2013), kandungan lemak beberapa
biskuit komersial dapat mencapai 11,1 - 29%.
4.5.1.4 Kadar Karbohidrat
Pada penelitian ini dihasilkan kadar karbohidrat sebesar 57,03%. Hal ini
sesuai berdasarkan literatur yang mana menurut Passos et al. (2013),
kandungan karbohidrat beberapa biskuit komersial berkisar mulai 56,8-74,6%,
namun kadar karbohidrat pada biskuit masih dibawah SNI 01-2973-1992, yaitu
minimum sebesar 70%. Menurut Sugito dan Hayati (2006), kadar karbohidrat
yang dihitung secara by difference dipengaruhi oleh komponen nutrisi lain,
semakin rendah komponen nutrisi lain, maka kadar karbohidrat akan semakin
tinggi. Begitu juga sebaliknya semakin semakin tinggi komponen nutrisi lain
maka kadar karbohidrat akan semakin rendah.
Bahan yang menjadi sumber karbohidrat pada pembuatan biskuit antara
lain tepung terigu, gula, dan susu. Pengurangan kadar karbohidrat ini juga
dikarenakan terjadi penggantian sebagian tepung terigu yang menjadi sumber
120
utama karbohidrat pada biskuit yang disubstitusi oleh mikrokapsul FTT dari
DALMS.
4.5.1.5 Kadar Abu
Abu adalah zat anorganik sisa hasil pembakaran suatu bahan organik.
Kadar abu ada hubungannya dengan mineral suatu bahan. Penentuan kadar abu
dilakukan dengan cara mengoksidasikan bahan pada suhu yang tinggi yaitu
sekitar 500-600°C dan kemudian melakukan penimbangan zat yang tertinggal
setelah proses pembakaran tersebut.
Syarat mutu biskuit berdasarkan SNI 01-2973-1992, kadar abu
maksimum pada biskuit adalah 1,5% (bb). Kadar abu biskuit yang dihasilkan
pada penelitian ini adalah 1,41%. Kadar abu biskuit memenuhi persyaratan mutu
biskuit SNI. Pengukuran kadar abu bertujuan untuk mengetahui besarnya
kandungan mineral yang terdapat dalam suatu bahan (Sudarmadji et al.,1997).
Pada tubuh, unsur mineral berfungsi sebagai zat pembangun dan pengatur.
Mineral yang digolongkan sebagai zat gizi anorganik (abu) juga disebut unsur
abu dalam pangan karena ternyata bahwa jika pangan dibakar, unsur organik
akan menghilang dan bahan anorganik (abu) yang tersisa terdiri dari unsur
mineral (Sudarmadji, 1996).
Kadar abu dikenal sebagai unsur mineral atau zat organik. Abu
merupakan salah satu komponen dalam bahan makanan. Komponen ini terdiri
dari mineral-mineral seperti kalium, fosfor, natrium, dan tembaga. Dalam tubuh
unsur-unsur mineral ada yang bergabung dengan zat organik atau ion-ion bebas,
didalam tubuh unsur mineral berfungsi sebagai zat pembangun dan pengatur.
Jumlah mineral dalam tubuh harus dalam batas optimal. Hal ini disebabkan
karena kelebihan dan kekurangan mineral dapat mengganggu kesehatan.
Semakin tinggi kadar abu maka warna biskuit akan semakin gelap,
tekstur yang tidak bagus dan tidak renyah. Hal tersebut sesuai dengan pendapat
Wiryadi (2007) yang menyatakan bahwa jika kadar abu terlalu tinggi dapat
menyebabkan warna dan tekstur yang kurang bagus. Kadar abu akan
dipengaruhi oleh adanya kandungan mineral-mineral awal dalam bahan baku.
Nilai kadar abu dari biskuit yang dihasilkan. Kadar abu suatu bahan
menggambarkan banyaknya mineral yang tidak terbakar menjadi zat yang dapat
menguap. Semakin besar kadar abu suatu bahan makanan, menunjukkan
semakin tinggi mineral yang dikandung oleh makanan tersebut. Kadar abu yang
terlalu tinggi dapat menyebabkan penurunan daya tahan adonan terhadap
121
pengembangan (Ningrum 1999; Sulaswatty 2001). Besarnya kadar abu produk
pangan bergantung pada besarnya kandungan mineral bahan yang digunakan.
Mineral yang terdapat dalam suatu bahan dapat merupakan dua macam garam
yaitu garam organik (asam mallat, oksalat, asetat, pektat) dan garam anorganik
(fosfat, karbonat, klorida, sulfat, nitrat) (Sudarmadji dkk, 1996).
Kadar abu berkaitan dengan serat dan minerat tepung (Beranbaum,
2003). Unsur mineral juga dikenal sebagi zat organik atau kadar abu. Mineral
merupakan salah satu komponen yang larut air. Abu merupakan hasil
pembakaran mineral yang ada dalam bahan. Menurut Soebito (1988), kadar abu
merupakan unsur mineral sebagai sisa yang tertinggal setelah bahan dibakar
sampai bebas unsur karbon. Kadar abu juga dapat diartikan sebagai komponen
yang tidak mudah menguap, tetap tinggal dalam pembakaran dan pemijaran
senyawa organik.
4.5.1.6 Kadar Serat Kasar
Serat kasar sangat penting dalam penilaian kualitas bahan makanan
karena angka ini merupakan indeks dan menentukan nilai gizi bahan makanan
tersebut. Serat kasar adalah senyawa yang tidak dapat dicerna dalam organ
pencernaan manusia maupun hewan, serat ini tidak larut dalam asam (H2SO4)
dan basa (NaOH). Serat kasar komponen utamanya disusun oleh selulosa, gum,
hemiselulosa, pektin dan lignin (Muchtadi, et al., 1992). Biskuit dari perlakuan 8%
mengandung serat kasar sebesar 1,125% yang mana lebih tinggi dari standar
SNI yaitu sebesar 0,5%. Hal ini dapat dipengaruhi tingginya kadar lemak pada
biskuit dikarenakan uji kadar serat kasar berasal dari sampel biskuit yang
diekstrak lemaknya terlebih dahulu.
4.5.2 Senyawa Bioaktif Biskuit terfortifikasi Mikrokapsul FTT dari DALMS
dengan Perlakuan Terbaik (8%)
Biskuit dari perlakuan terbaik 8% diuji untuk mengetahui kadar senyawa
bioaktif yang terdiri dari Vitamin E (tokoferol dan tokotrienol), Fitosterol dan
Skualen.
122
Tabel 4.28. Komposisi Senyawa Bioaktif Biskuit Terfortifikasi Mikrokapsul
FTT DALMS
Senyawa Bioaktif Kadar Senyawa Bioaktif (ppm) Mikrokapsul Biskuit %recovery
Vitamin E
α-tokoferol 2.165,03 - - α-tokotrienol 59.350,37 3,66 0,006 δ-tokotrienol 11.296,94 61,71 0,546 γ-tokotrienol
Total Tokotrienol 47.112,70 117760,01
70,67 136,04
0,15 0,115
Fitosterol
β-sitosterol 10.006,01 10,36 0,103 Stigmasterol 1.347,13 19,88 1,475 Kampesterol
Total Fitosterol 23.528,53 3.4881,67
12,94 43,18
0,054 0,12
Skualen 34.706,58 49,71 0,001
Berdasarkan Tabel 4.26 menunjukkan bahwa biskuit dari perlakuan
terbaik (8%) mengandung senyawa bioaktif diantaranya, mengandung 3,66 ppm
α-tokotrienol, 61,71 ppm δ-tokotrienol, 70,67 ppm y-tokotrienol. 10,36 ppm β-
sitosterol, 19,88 ppm stigmasterol, kampesterol 12,94 ppm. Kadar skualen
sebesar 49,71 ppm. Meskipun tidak terdapat α-tokoferol namun perlu diketahui
bahwa menurut Qureshi et al. (2000) kemampuan antioksidatif γ-tokotrienol>
δ -tokotrienol> α -tokotrienol. Suzuki et al. (1993) sebelumnya menunjukkan
bahwa kemampuan antioksidan γ-tokotrienol lebih baik dibandingkan α-
tokotrienol. Alfa (α-) tokotrienol mempunyai kemampuan antioksidan yang
sama dengan α -tokoferol (Schroeder et al., 2006).
Tabel 4.26 menunjukkan bahwa mikrokapsul tidak cukup untuk
mempertahankan kandungan senyawa bioaktif pada biskuit. Hal ini disebabkan
proses pengolahan pada biskuit, terutama pada proses pemanggangan pada
suhu tinggi yaitu sekitar 160°C selama 30 menit memberikan pengaruh nyata
terhadap turunnya kadar senyawa bioaktif tersebut. Tidak terdeteksinya α-
tokoferol pada biskuit dapat disebabkan karena adanya reaksi oksidasi dari
lingkungan terhadap mikrokapsul selama penyimpanan yang terjadi selama 4
bulan maupun pengaruh suhu tinggi pada proses pemanggangan. Hal ini juga
dapat dipengaruhi karena tidak tersalutnya vitamin E secara sempurna dalam
proses mikroenkapsulasi, sehingga mikrokapsul tidak melindungi vitamin E
secara optimal. Penggunaan maltodekstrin sebagai penyalut yang menyebabkan
123
turunnya senyawa bioaktif, maltodekstrin memiliki berat molekul yang besar
dibanding natrium kaseinat, berat molekul yang besar ini mengakibatkan
kemampuan yang rendah untuk berada pada antarmuka . Hal tersebut
menjadikan FTT tidak bisa tersalut dengan sempurna. Jumlah FTT yang
tidak bisa terslut semuanya ini menjadikan kandungan senyawa bioaktif
pada mikrokapsul menurun dibandingkan dengan bahan baku awalnya.
Selain itu kadar vitamin E yang terdeteksi sangat rendah menunjukkan
bahwa vitamin E mengalami kerusakan. Kerusakan ini juga dapat diakibatkan
oleh proses pengolahan dalam pembuatan biskuit. Menurut Susanto dan
Widyaningsih (2004), proses pengolahan yang menggunakan suhu yang tinggi
dapat menyebabkan kerusakan pada komponen gizi, salah satunya vitamin E.
Vitamin E sangat mudah teroksidasi oleh oksigen pada suhu tinggi. Vitamin E
juga tidak stabil pada cahaya. % susut vitamin E akibat oksigen, cahaya, dan
panas dapat mencapai 55%. Muchtadi (2009) menambahkan bahwa vitamin E
mudah rusak akibat teroksidasi dan proses oksidasi ditingkatkan oleh cahaya,
panas, alkali, dan elemen mikro (Fe3+ dan Cu2+), terutama vitamin E alami, di
mana vitamin E alami bersifat lebih tidak stabil dibandingkan dengan vitamin E
artifisial.