IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Gambaran Umum Stasiun Klimatologi · Klimatologi Kelas I Semarang dalam...

39
16 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil 1. Gambaran Umum Stasiun Klimatologi Stasiun Klimatologi merupakan unit pelaksana teknis (UPT) di lingkungan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) yang berada dibawah dan bertanggung jawab kepada Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika. Dipimpin oleh seorang Kepala Stasiun, dalam pelaksanaan tugas sehari-hari stasiun klimatologi secara administratif dibina oleh Sekretaris Utama dan secara Teknis operasional dibina oleh Deputi Bidang Klimatologi. Stasiun klimatologi mempunya tugas utama melaksanakan pengamatan, pengelolaan data, pelayanan informasi dan jasa klimatologi serta pemeliharaan alat klimatologi. Dalam melaksanakan tugas, stasiun klimatologi menyelenggarakan fungsi pengamatan klimatologi, pengelolaan data klimatologi, pelayanan informasi dan jasa klimatologi, pemeliharaan alat klimatologi, koordinasi/kerjasama dan pelaksanaan administrasi dan kerumahtanggaan stasiun (BMKG 2014). Stasiun Klimatologi Kelas I Semarang terletak di Jl. Siliwangi No.291, Kalibanteng Kulon, Semarang Barat, Kota Semarang, Jawa Tengah atau secara geografis terletak pada 6°59’05,87” LS dan 110°22’51,47” BT. Mulai beroprasi sekitar tahun 1961. Merupakan Koordinator UPT (unit pelaksana teknis) BMKG di Jawa Tengah, membawahi Stasiun Meteorologi (penerbangan) Ahmad Yani Semarang, Stasiun Meterologi Maritim Tanjung Mas Semarang, Stasiun Meteorologi Tegal, Stasiun Geofisika Banjarnegara dan Stasiun Meteorologi Cilacap. Saat ini memiliki total 42 orang staf, dipimpin oleh seorang kepala stasiun klimatologi yang membawahi Kepala Seksi Data & Informasi, Kepala Seksi Observasi, dan Kepala Sub Bagian Tata Usaha.

Transcript of IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Gambaran Umum Stasiun Klimatologi · Klimatologi Kelas I Semarang dalam...

16

16

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil

1. Gambaran Umum Stasiun Klimatologi

Stasiun Klimatologi merupakan unit pelaksana teknis (UPT) di lingkungan

Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) yang berada dibawah

dan bertanggung jawab kepada Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan

Geofisika. Dipimpin oleh seorang Kepala Stasiun, dalam pelaksanaan tugas

sehari-hari stasiun klimatologi secara administratif dibina oleh Sekretaris

Utama dan secara Teknis operasional dibina oleh Deputi Bidang Klimatologi.

Stasiun klimatologi mempunya tugas utama melaksanakan pengamatan,

pengelolaan data, pelayanan informasi dan jasa klimatologi serta

pemeliharaan alat klimatologi. Dalam melaksanakan tugas, stasiun klimatologi

menyelenggarakan fungsi pengamatan klimatologi, pengelolaan data

klimatologi, pelayanan informasi dan jasa klimatologi, pemeliharaan alat

klimatologi, koordinasi/kerjasama dan pelaksanaan administrasi dan

kerumahtanggaan stasiun (BMKG 2014).

Stasiun Klimatologi Kelas I Semarang terletak di Jl. Siliwangi No.291,

Kalibanteng Kulon, Semarang Barat, Kota Semarang, Jawa Tengah atau

secara geografis terletak pada 6°59’05,87” LS dan 110°22’51,47” BT. Mulai

beroprasi sekitar tahun 1961. Merupakan Koordinator UPT (unit pelaksana

teknis) BMKG di Jawa Tengah, membawahi Stasiun Meteorologi

(penerbangan) Ahmad Yani Semarang, Stasiun Meterologi Maritim Tanjung

Mas Semarang, Stasiun Meteorologi Tegal, Stasiun Geofisika Banjarnegara

dan Stasiun Meteorologi Cilacap. Saat ini memiliki total 42 orang staf, dipimpin

oleh seorang kepala stasiun klimatologi yang membawahi Kepala Seksi Data

& Informasi, Kepala Seksi Observasi, dan Kepala Sub Bagian Tata Usaha.

17

17

2. Citra Satelit Himawari 8

Pada penelitian ini, citra satelit Himawari di kelaskan menjadi 15 sesuai

dengan tampilan dari warna citra satelit Himawari 8 yang didapatkan dari

Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG). Pengkelasan untuk

interpretasi dari warna citra satelit himawari disajikan pada Tabel 4.1.

Tabel 4.1 Pengkelasan warna citra satelit Himawari Kelas Suhu (oC)

1 21 sampai dengan 60

2 14 sampai dengan 21

3 8 sampai dengan 14

4 0 sampai dengan8

5 -7 sampai dengan 0

6 -13 sampai dengan -7

7 -21 sampai dengan -13

8 -28 sampai dengan -21

9 -34 sampai dengan -28

10 -41 sampai dengan -34

11 -48 sampai dengan -41

12 -56 sampai dengan -48

13 -62 sampai dengan -56

14 -69 sampai dengan -62

15 -100 sampai dengan -69

Gambar 4.1 Citra Satelit Himawari setelah dilakukan pengkelasan

Data Citra Satelit Himawari yang digunakan adalah produk Himawari 8

Infra red Enhanced (low resolution). Citra satelit ini menunjukkan suhu puncak

awan yang didapatkan dari pengamatan radiasi pada panjang gelombang

10,4 µm (band 13) dengan resolusi spasial 2 km yang kemudian diklasifikasi

dengan pewarnaan, dimana warna hitam atau biru menunjukkan tidak

0

2

4

6

8

10

12

14

16

Kela

s

18

18

terdapat pembentukan awan yang banyak (cerah), sedangkan semakin dingin

suhu puncak awan, warna akan mendekati jingga, yang menunjukkan

pertumbuhan awan yang signifikan dan berpotensi terbentuknya awan

Cumulonimbus.

Interpretasi citra adalah kegiatan mengidentifikasi obyek dan menilai arti

penting obyek tersebut (BMKG 2006). Interpretasi pada penelitian ini

dilakukan terhadap citra satelit himawari setiap jam, mulai pukul 00.00 WIB

tanggal 1 Januari 2015 hingga pukul 23.00 WIB tanggal 30 September 2016.

Total citra harusnya sebanyak 15.336, tetapi karena keterbatasan dalam

proses pengumpulan data, hanya didapatkan 13.426 (87,55%) citra. Citra

tidak ada sebanyak 1.910 (12,45%). Terhadap data yang tidak ada, dapat

dilakukan interpolasi terhadap 654 (4,26%) data, sehingga data yang kosong

sebanyak 1.256 (8,19%).

Setelah dilakukan interpolasi terhadap data interpretasi citra satelit

Himawari, diketahui bulan dengan kekosongan data terbanyak terjadi pada

bulan Mei 2015, mencapai 510 data kosong. Sedangkan bulan dengan data

terbanyak terdapat pada bulan Agustus 2015, September 2015, Desember

2015, Januari 2016, Februari 2016, Mei 2016, dan Juni 2016, tanpa ada data

kosong (full). Bulan dengan jumlah data interpolasi terbanyak terdapat pada

bulan September 2016, mencapai 88 data hasil interpolasi.

3. Suhu Udara

Gambar 4.2 Hasil Pengamatan Suhu Udara pada Stasiun Klimatologi Kelas I

Semarang per 2 jam

Sumber : Stasiun Klimatologi Kelas I Semarang

15

20

25

30

35

40

Suhu (

oC

)

19

19

Didapatkan data suhu tertinggi mencapai 40oC pada pukul 16.00 WIB

tanggal 2 Agustus 2015, sedangkan suhu terendah 18oC pada pukul 00.00

WIB tanggal 3 Agustus 2015. Terlihat pada Gambar 4.2 pola suhu udara mulai

meningkat setiap bulan April menuju Mei, sampai bulan Oktober. Suhu udara

menurun pada bulan November. Pada tahun 2016 penurunan suhu tidak

sebesar tahun 2015.

4. Suhu Tanah

Data suhu tanah yang digunakan adalah suhu tanah setiap pukul 07.00,

13.00 dan 17.00 WIB tanggal 1 Januari 2015 hingga tanggal 30 september

2016. Data suhu tanah setiap kedalaman sebanyak 1.917 data. Suhu tanah

yang digunakan merupakan data suhu tanah terbuka (gundul) dan pada

permukaan tanah tertutup rumput. Menurut Jackson (1977), akar tanaman

dapat mencapai kedalaman yang berbeda-beda tergantung pada jenis

tanaman dan jenis tanah. Penyerapan air sebagian besar terjadi hingga

kedalaman 60 cm. Kedalaman yang dianalisis untuk penelitian ini pada 0 cm

(permukaan), 5 cm, 10 cm, dan 20 cm. Karena menurut Fan et al (2016),

hampir setengah dari biomassa akar ditemukan pada kedalaman tanah

kurang dari 20 cm. Disamping itu menurut Geiger (1959) setelah kedalaman

30 cm perbedaan suhu tanah semakin dalam semakin kecil, maka pada

penelitian ini data pada kedalaman 50 cm dan 100 cm tidak digunakan. Total

data suhu tanah dari semua kedalaman sejumlah 7.668.

a. Suhu Tanah Kedalaman 0 cm (permukaan tanah)

Gambar 4.3. Hasil Pengamatan Suhu Tanah Gundul 0 cm (permukaan)

pada Stasiun Klimatologi Kelas I Semarang Sumber : Stasiun Klimatologi Kelas I Semarang

20

30

40

50

60

Suhu (

oC

)

20

20

Gambar 4.4. Hasil Pengamatan Suhu Tanah Berumput 0 cm (permukaan)

pada Stasiun Klimatologi Kelas I Semarang Sumber : Stasiun Klimatologi Kelas I Semarang

Gambar 4.3 dan 4.4 menunjukkan suhu tanah gundul dan berumput

pada kedalaman 0 cm (permukaan). Suhu tanah kedalaman 0 cm

(permukaan) pada stasiun Klimatologi Kelas I Semarang dalam rentang

waktu penelitian untuk tanah gundul mencapai suhu tertinggi 55,5oC pada

pukul 13.00 WIB tanggal 9 Oktober 2015. Suhu tanah berumput tertinggi

tercatat 52oC pada pukul 13.00 WIB tanggal 2 Oktober 2015. Suhu tanah

gundul terendah yang tercatat adalah 23,4oC pada pukul 07.00 WIB

tanggal 29 September 2016. Suhu tanah berumput terendah yang tercatat

adalah 23,6oC pada pukul 07.00 WIB tanggal 3 Agustus 2016.

Suhu tanah gundul mulai meningkat pada bulan Juli hingga Oktober

dan mulai menurun pada bulan November. Suhu tanah berumput mulai

meningkat pada bulan Agustus hingga November dan menurun pada

bulan Desember. Pola suhu tanah gundul ataupun tanah berumput relatif

sama, hanya sebaran suhunya yang berbeda. Suhu tanah gundul

kedalaman 0 cm (permukaan) lebih variatif dibandingkan suhu tanah

berumput.

20

30

40

50

Suhu (

oC

)

21

21

b. Suhu Tanah Kedalaman 5 cm

Gambar 4.5. Hasil Pengamatan Suhu Tanah Gundul 5 cm pada Stasiun

Klimatologi Kelas I Semarang Sumber : Stasiun Klimatologi Kelas I Semarang

Gambar 4.6. Hasil Pengamatan Suhu Tanah Berumput 5 cm pada Stasiun Klimatologi Kelas I Semarang

Sumber : Stasiun Klimatologi Kelas I Semarang

Gambar 4.5 dan 4.6 menunjukkan suhu tanah gundul dan berumput

pada kedalaman 5 cm. Suhu tanah kedalaman 5 cm pada stasiun

Klimatologi Kelas I Semarang dalam rentang waktu penelitian untuk tanah

gundul mencapai suhu tertinggi 56oC pada pukul 13.00 WIB tanggal 21

Oktober 2015. Suhu tanah berumput tertinggi tercatat 40,4oC pada pukul

13.00 WIB tanggal 2 November 2015. Suhu tanah gundul terendah yang

tercatat adalah 22,6oC pada pukul 07.00 WIB tanggal 3 Agustus 2015.

Suhu tanah berumput terendah yang tercatat adalah 25,4oC, sebanyak 2

(dua) kali pada pukul 07.00 WIB tanggal 24 Juni 2015 dan pada pukul

07.00 WIB tanggal 3 Agustus 2015.

Pada kedalaman 5 cm pola yang terbaca hampir sama seperti pada

kedalaman 0 cm (permukaan). Suhu tanah gundul mulai meningkat pada

20

30

40

50

60

Suhu (

oC

)

25

30

35

40

Suhu (

oC

)

22

22

bulan Juli hingga Oktober dan mulai menurun pada bulan November.

Suhu tanah berumput mulai meningkat pada bulan Agustus hingga

November dan menurun pada bulan Desember. Pola suhu tanah gundul

ataupun tanah berumput relatif sama, hanya sebaran suhunya yang

berbeda. Suhu tanah gundul kedalaman 5 cm lebih variatif dibandingkan

suhu tanah berumput.

c. Suhu Tanah Kedalaman 10 cm

Gambar 4.7. Hasil Pengamatan Suhu Tanah Gundul 10 cm pada Stasiun

Klimatologi Kelas I Semarang Sumber : Stasiun Klimatologi Kelas I Semarang

Gambar 4.8. Hasil Pengamatan Suhu Tanah Berumput 10 cm pada

Stasiun Klimatologi Kelas I Semarang Sumber : Stasiun Klimatologi Kelas I Semarang

Gambar 4.7 dan 4.8 menunjukkan suhu tanah gundul dan berumput

pada kedalaman 10 cm. Suhu tanah kedalaman 10 cm pada stasiun

Klimatologi Kelas I Semarang dalam rentang waktu penelitian untuk tanah

gundul mencapai suhu tertinggi 46,6oC, sebanyak 2 (dua) kali pada pukul

13.00 WIB tanggal 21 Oktober 2015 dan pukul pukul 13.00 WIB tanggal

17 Maret 2016. Suhu tanah berumput tertinggi tercatat 35,4oC pada pukul

20

25

30

35

40

45

Suhu (

oC

)

25

30

35

Suhu (

oC

)

23

23

13.00 WIB tanggal 29 November 2015. Suhu tanah gundul terendah yang

tercatat adalah 24,6oC pada pukul 07.00 WIB tanggal 24 Juni 2015. Suhu

tanah berumput terendah yang tercatat adalah 26,4oC pada pukul 07.00

WIB tanggal 13 Februari 2015.

Pada kedalaman 10 cm pola yang terbaca hampir sama seperti pada

kedalaman 0 cm (permukaan) dan 5 cm. Suhu tanah gundul mulai

meningkat pada bulan Juli hingga Oktober dan mulai menurun pada bulan

November. Suhu tanah berumput mulai meningkat pada bulan Agustus

hingga November dan menurun pada bulan Desember. Pola suhu tanah

gundul ataupun tanah berumput relatif sama, hanya sebaran suhunya

yang berbeda. Suhu tanah gundul kedalaman 10 cm (permukaan) lebih

variatif dibandingkan suhu tanah berumput.

d. Suhu Tanah Kedalaman 20 cm

Gambar 4.9. Hasil Pengamatan Suhu Tanah Gundul 20 cm pada Stasiun

Klimatologi Kelas I Semarang Sumber : Stasiun Klimatologi Kelas I Semarang

Gambar 4.10. Hasil Pengamatan Suhu Tanah Gundul 20 cm pada

Stasiun Klimatologi Kelas I Semarang Sumber : Stasiun Klimatologi Kelas I Semarang

Gambar 4.9 dan 4.10 menunjukkan suhu tanah gundul dan berumput

pada kedalaman 20 cm. Suhu tanah kedalaman 20 cm pada stasiun

25

30

35

40

Suhu (

oC

)

25

30

35

40

Suhu (

oC

)

24

24

Klimatologi Kelas I Semarang dalam rentang waktu penelitian untuk tanah

gundul mencapai suhu tertinggi 39,2oC, sebanyak 2 (dua) kali pada pukul

13.00 WIB tanggal 27 Januari 2015 dan pukul pukul 16.00 WIB tanggal

17 Oktober 2015. Suhu tanah berumput tertinggi tercatat 37,5oC pada

pukul 17.00 WIB tanggal 7 November 2015. Suhu tanah gundul terendah

yang tercatat adalah 25,6oC pada pukul 07.00 WIB tanggal 19 Juli 2016.

Suhu tanah berumput terendah yang tercatat adalah 27oC pada pukul

07.00 WIB tanggal 5 Mei 2015.

Pada kedalaman 20 cm pola yang terbaca hampir sama seperti pada

kedalaman 0 cm (permukaan), 5 cm dan 10 cm. Suhu tanah gundul mulai

meningkat pada bulan Juli hingga Oktober dan mulai menurun pada bulan

November. Suhu tanah berumput mulai meningkat pada bulan Agustus

hingga November dan menurun pada bulan Desember. Pola suhu tanah

gundul ataupun tanah berumput relatif sama, hanya sebaran suhunya

yang berbeda. Suhu tanah gundul kedalaman 20 cm (permukaan) lebih

variatif dibandingkan suhu tanah berumput. Suhu tanah kedalaman 20 cm

memiliki sebaran suhu yang paling kecil dibanding kedalaman lainnya,

baik gundul ataupun berumput.

25

25

5. Pola Citra dan Suhu Tanah

a. Citra dan Suhu Tanah Gundul

Dilakukan analisis terhadap pola untuk melihat apakah terjadinya

perubahan tutupan awan dapat mempengaruhi suhu tanah secara

langsung. Pola antara citra satelit dengan suhu tanah gundul dapat dilihat

pada Gambar 4.11., 4.12., 4.13., dan 4.14. Pola yang ditampilkan

merupakan data pada bulan Agustus 2016.

Gambar 4.11. Pola suhu tanah gundul kedalaman 0 cm dan kelas

Himawari

Gambar 4.12. Pola suhu tanah gundul kedalaman 5 cm dan kelas

Himawari

(16)

(14)

(12)

(10)

(8)

(6)

(4)

(2)

0

20

25

30

35

40

45

50

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31

Kela

s C

itra

Suhu T

anah(o

C)

Tanggal

Suhu Citra

(16)

(14)

(12)

(10)

(8)

(6)

(4)

(2)

0

20

25

30

35

40

45

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31

Kela

s C

itra

Suhu T

anah(o

C)

Tanggal

Suhu Citra

26

26

Gambar 4.13. Pola suhu tanah gundul kedalaman 10 cm dan kelas

Himawari

Gambar 4.14. Pola suhu tanah gundul kedalaman 20 cm dan kelas

Himawari

Dapat dilihat pada pola suhu tanah gundul dan kelas citra Himawari

hampir setiap terjadi kenaikan kelas citra Himawari maka akan terjadi

penurunan terhadap suhu tanah gundul. Sebaliknya apabila terjadi

penurunan kelas citra Himawari maka akan terjadi kenaikan terhadap

suhu tanah gundul. Apabila kelas citra turun dan suhu tanah gundul

menurun, hal ini biasanya terjadi pada pagi hari. Apabila kelas citra naik

namun suhu tanah gundul meningkat, hal ini biasanya terjadi pada sore

hari.

(16)

(14)

(12)

(10)

(8)

(6)

(4)

(2)

0

20

25

30

35

40

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31

Kela

s C

itra

Suhu T

anah(o

C)

Tanggal

Suhu Citra

(16)

(14)

(12)

(10)

(8)

(6)

(4)

(2)

0

29

30

31

32

33

34

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31

Kela

s C

itra

Suhu T

anah(o

C)

Tanggal

Suhu Citra

27

27

b. Citra dan suhu tanah berumput

Dilakukan analisis terhadap pola untuk melihat apakah terjadinya

perubahan tutupan awan dapat mempengaruhi suhu tanah secara

langsung. Pola antara citra satelit dengan suhu tanah gundul dapat dilihat

pada Gambar 4.15., 4.16., 4.17., dan 4.18. Pola yang ditampilkan

merupakan data pada bulan Agustus 2016.

Gambar 4.15. Pola suhu tanah berumput kedalaman 0 cm dan kelas

Himawari

Gambar 4.16. Pola suhu tanah berumput kedalaman 5 cm dan kelas

Himawari

(16)

(14)

(12)

(10)

(8)

(6)

(4)

(2)

0

20

25

30

35

40

45

50

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31

Kela

s C

itra

Suhu T

anah(o

C)

Tanggal

Suhu Citra

(16)

(14)

(12)

(10)

(8)

(6)

(4)

(2)

0

20

25

30

35

40

45

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31

Kela

s C

itra

Suhu T

anah(o

C)

Tanggal

Suhu Citra

28

28

Gambar 4.17. Pola suhu tanah berumput kedalaman 10 cm dan kelas

Himawari

Gambar 4.18. Pola suhu tanah berumput kedalaman 20 cm dan kelas

Himawari

Pola suhu tanah berumput dan kelas citra Himawari terlihat lebih sulit

untuk diamati dibanding pola suhu tanah gundul dan kelas citra Himawari.

Hal ini mungkin yang menyebabkan belum bisa memperkirakan suhu

tanah berumput menggunakan citra Himawari.

B. Pembahasan

Menurut Patkó et al. (2013) bumi tidak hanya mengelilingi matahari tapi juga

berputar pada porosnya sendiri dengan kecepatan satu rotasi per-hari. Porosnya

miring pada 23,5o dari poros orbit mengelilingi matahari. Selama orbitnya

mengelilingi matahari, belahan bumi utara lebih dekat dengan matahari di musim

(16)

(14)

(12)

(10)

(8)

(6)

(4)

(2)

0

20

25

30

35

40

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31

Kela

s C

itra

Suhu T

anah(o

C)

Tanggal

Suhu Citra

(16)

(14)

(12)

(10)

(8)

(6)

(4)

(2)

0

28

30

32

34

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31

Kela

s C

itra

Suhu T

anah(o

C)

Tanggal

Suhu Citra

29

29

panas daripada belahan bumi selatan, dan saat musim dingin belahan bumi

selatan akan lebih dekat dengan matahari daripada belahan bumi utara. Pada

musim semi dan musim gugur kemiringan bumi membuat jarak antara bumi

belahan utara dan bumi belahan selatan relatif terhadap matahari.

Gambar 4.19. Diagram dari orbit bumi selama mengelilingi matahari

Sumber : Patkó (2013)

Menurut Patkó et al. (2013) setiap tahunnya pada tanggal 21 Juni bagian bumi

belahan utara akan lebih dekat dengan matahari dibanding bumi bagian selatan.

Tanggal 23 September dan 20 Maret bumi bagian tengah (ekuator) yang akan

dekat dengan matahari. Tanggal 22 Desember bagian bumi belahan selatan akan

lebih dekat dengan matahari dibanding bumi bagian utara. Sesuai dengan gerak

semu matahari maka analisis pada penelitian ini setiap tahun akan dibagi menjadi

4, yaitu : Desember-Januari-Februari (DJF), Maret-April-Mei (MAM), Juni-Juli-

Agustus (JJA), dan September-Oktober-November (SON).Untuk menemukan

hubungan antara citra satelit Himawari, suhu udara dan suhu tanah, serta

mendapatkan model yang tepat dilakukan analisis korelasi dan regresi.

Korelasi berguna untuk mengukur tingkat keeratan hubungan linier antara 2

variabel. Nilai korelasi berkisar antara -1 sampai +1. Nilai korelasi negatif berarti

hubungan antara 2 variabel adalah negatif. Artinya, apabila salah satu variabel

menurun, maka variabel lainnya akan meningkat. Sebaliknya, apabila nilai korelasi

positif berarti hubungan antara kedua variabel adalah positif. Artinya, apabila salah

satu variabel meningkat, maka variabel lainnya meningkat pula. Suatu hubungan

antara 2 variabel dikatakan berkorelasi kuat apabila makin mendekati 1 atau |-1|.

Sebaliknya, suatu hubungan antara 2 variabel dikatakan lemah apabila semakin

mendekati 0 (nol) (Iriawan dan Astuti 2006).

Uji statistik dilakukan terhadap variabel : citra dengan suhu udara, suhu udara

dengan suhu tanah, serta citra dengan suhu tanah. Terhadap data suhu tanah

30

30

akan dilakukan uji statistik terhadap semua kedalaman (0 cm, 5 cm, 10 cm dan 20

cm).

1. Suhu Udara

Suhu udara mempengaruhi suhu tanah. Menurut Jungqvist et al. (2014)

meskipun suhu udara dapat berubah lebih cepat daripada suhu tanah,

perubahan suhu tanah diproyeksikan terjadi di tanah bagian atas dengan

perbedaan respon lapisan atas/bawah yang paling.

2. Suhu Tanah

Pada penelitian ini data suhu tanah yang digunakan merupakan suhu

tanah gundul dan suhu tanah berumput. Data yang teramati semakin dalam,

data suhu tanah baik gundul ataupun berumput, semakin kedalam suhu

menjadi lebih rendah. Hal ini menurut Jungqvist et al. (2014) dikarenakan

semakin dalam lapisan tanah secara konsisten menunjukkan variabilitas yang

kurang dari lapisan yang berada diatasnya. Hal ini disebabkan karena lapisan

paling atas dapat dipengaruhi oleh fluktuasi suhu udara.

Pola sebaran suhu tanah baik gundul ataupun berumput relatif sama,

hanya sebaran suhu yang berbeda. Hal ini menurut Özkan dan Gökbulak

(2017) disebabkan tutupan vegetasi pada tanah secara signifikan

mempengaruhi suhu tanah dan kelembaban tanah. Pertumbuhan rumput tidak

mempengaruhi kadar air dilapisan tanah, karena distribusi akar yang dangkal.

Sebagai hasil dari penurunan radiasi matahari yang diterima permukaan

tanah, rata-rata suhu maksimum, minimum, dan rata-rata harian lebih rendah

dibandingkan dengan suhu tanah gundul. Menurut Yener et al. (2017) suhu

tanah lebih stabil pada bagian yang lebih dalam dibandingkan dengan suhu

tanah didekat permukaan.

31

31

3. Citra Satelit Himawari dan Suhu Udara

Suhu udara diharapkan dapat diduga dari citra satelit Himawari, sehingga

perlu dicari hubungan antara citra satelit himawari dengan suhu udara melalui

analisis korelasi dan regresi. Hasil analisis disajikan pada Tabel 4.2 dan 4.3.

a. Korelasi

Tabel 4.2. Korelasi Citra Himawari dan Suhu Udara

Keterangan : (**) hubungan pada tingkat 0,01 (*) hubungan pada tingkat 0,05

Tabel 4.2. menunjukkan bahwa citra satelit Himawari per-periode

gerak semu matahari berkorelasi sangat nyata dengan suhu udara pada

semua periode. Artinya, citra satelit himawari dapat digunakan untuk

menduga suhu udara. Hal ini sejalan dengan Rahaman dan Hassan

(2017), pengindraan jauh dapat digunakan untuk mengetahui suhu udara,

dan bermanfaat bila diterapkan untuk memahami tren pemanasan secara

lokal jika data cuaca berbasis stasiun (suhu rata-rata tahunan dan suhu

udara) tersedia.

Setiap periode berbeda besaran nilai korelasinya. Nilai korelasi

tertinggi pada periode DJF 2016 dengan nilai -0,303 dan terendah pada

periode MAM 2016 dengan nilai -0,175. Sedangkan untuk data

keseluruhan (21 bulan) memiliki nilai -0,257. Nilai korelasi negatif berarti

setiap kenaikan pada data citra justru menurunkan data suhu udara dan

sebaliknya. Data pengamatan suhu udara pada Gambar 4.1 menunjukkan

pada tahun 2015 ataupun 2016 terjadi peningkatan suhu mulai bulan April

hingga Oktober, menurun mulai bulan November hingga bulan Maret.

Hasil ini sejalan dengan Flores dan Lillo (2010) pada wilayah pesisir

terjadi penurunan nilai korelasi di tingkat regional dalam bulan-bulan

terpanas sementara nilai korelasi tertinggi selama bulan-bulan terdingin.

Hal ini disebabkan oleh penutupan awan pada daerah pesisir pada hari-

Periode Pearson Sig n

2015

JF -.227** .000 708

MAM -.230** .000 1104

JJA -.212** .000 1104

SON -.226** .000 1092

2016

DJF -.303** .000 1092

MAM -.175** .000 1104

JJA -.185** .000 1104

Keseluruhan -.257** .000 7668

32

32

hari dan kelembaban relatif tinggi sehingga sulit untuk mengekstrak data

dari gambar dan memperkirakan suhu udara.

b. Regresi

Tabel 4.3.Koefisien Regresi dan Model Citra Satelit dan Suhu Udara

Periode R2 Model

2015

JF 0,123 y = -1,104ln(x) + 27,372

MAM 0,083 y = -0,866ln(x) + 27,305

JJA 0,169 y = -2,547ln(x) + 28,301

SON 0,148 y = -1,914ln(x) + 28,711

2016

DJF 0,149 y = -1,185ln(x) + 28,127

MAM 0,089 y = -0,946ln(x) + 28,194

JJA 0,106 y = -1,241ln(x) + 28,366

Keseluruhan 0,147 y = -1,269ln(x) + 28,172

Dari Tabel 4.3 dapat dilihat hubungan antara citra satelit himawari

dengan suhu udara. Seperti pada analisis korelasi, pada analisis regresi

setiap periode berbeda besaran hasil regresinya. Nilai tertinggi pada

periode JJA 2015 dengan nilai 16,9%, sedangkan terendah pada periode

MAM 2015 dengan nilai 8,3%, secara keseluruhan sebesar 14,7%.

Menurut Forsythe et al (2015), hal ini dikarenakan awan memegang

peranan penting dalam variabilitas hidroklimatologis dengan mengubah

keseimbangan energi permukaan dan suhu udara. korelasi antara

pengamatan lokal tentang suhu udara di dekat permukaan dan fraksi

tutupan awan dengan citra satelit memperkuat keterkaitan antara kondisi

atmosfer lokal dan variabilitas iklim (suhu udara) di dekat permukaan.

4. Suhu Udara dan Suhu Tanah

Suhu tanah diharapkan dapat diduga dari citra satelit himawari, namun

sebelumnya perlu dicari hubungan antara suhu udara dengan suhu tanah,

baik suhu tanah gundul ataupun suhu tanah berumput melalui analisis korelasi

dan regresi. Hasil analisis disajikan pada Tabel 4.4, 4.5, 4.6, 4.7, 4.8 dan 4.9.

a. Suhu Udara dan Suhu Tanah Gundul

1) Korelasi

Dari Tabel 4.5 dapat dilihat bahwa suhu udara per-periode gerak

semu matahari berkorelasi sangat nyata dengan suhu tanah gundul

pada semua periode. Artinya, suhu udara memiliki hubungan dengan

suhu tanah gundul. Nilai korelasi pada semua periode dan

kedalaman positif, berarti setiap tejadi kenaikan suhu udara maka

33

33

akan terjadi kenaikan terhadap suhu tanah. Nilai korelasi berbeda

sesuai periode dan kedalaman tanah.

Pada kedalaman tanah 0 cm (permukaan) nilai korelasi tertinggi

pada periode JJA 2015 dengan nilai 0,781 dan terendah pada

periode MAM 2016 dengan nilai 0,605. Sedangkan secara

keseluruhan nilainya 0,702. Kedalaman tanah 5 cm nilai korelasi

tertinggi pada periode JJA 2015 dengan nilai 0,826 dan terendah

pada periode MAM 2016 dengan nilai 0,702. Sedangkan secara

keseluruhan nilainya 0,780. Kedalaman tanah 10 cm nilai korelasi

tertinggi pada periode SON 2015 dengan nilai 0,821 dan terendah

pada periode MAM 2016 dengan nilai 0,689. Sedangkan secara

keseluruhan nilainya 0,773. Kedalaman tanah 20 cm nilai korelasi

tertinggi pada periode DJF 2016 dengan nilai 0,419 dan terendah

pada periode SON 2015 dengan nilai 0,188. Sedangkan secara

keseluruhan nilainya 0,374. Terlihat semakin dalam maka nilai

korelasi semakin kecil, terkecuali pada kedalaman 0 cm (permukaan).

Dari 4 kedalaman yang diuji, nilai korelasi tertinggi terdapat pada

kedalaman 5 cm dengan nilai korelasi 0,826. Hal ini menurut Liu, Xu,

dan Hou (2016) dikarenakan suhu tanah pada kedalaman tanah 5 cm

menunjukkan respon yang kuat terhadap pemanasan. Kedalaman 0

cm (permukaan) nilai korelasi tertinggi terdapat pada periode JJA

2015. Hal ini dikarenakan pada tahun 2015 mulai meningkatnya suhu

udara pada bulan Juni hingga bulan Oktober. Permukaan tanah

merespon suhu udara secara langsung. Menurut Jungqvist et al

(2014), meskipun suhu udara dapat berubah lebih cepat daripada

suhu tanah, perubahan terbesar suhu tanah diproyeksikan terjadi di

tanah bagian atas. Kedalaman 10 cm memiliki nilai korelasi tertinggi

pada periode SON 2015 sedangkan kedalaman 20 memiliki nilai

korelasi tertinggi pada periode DJF 2016. Hal ini dikarenakan

merambatnya suhu pada tanah secara bertahap.

34

34

2) Regresi

Tabel 4.4. Koefisien Regresi Suhu Udara dan Suhu Tanah Gundul

Periode R2

0 cm 5 cm 10 cm 20 cm

2015

JF 0,461 0,634 0,626 0,145

MAM 0,464 0,595 0,567 0,130

JJA 0,610 0,682 0,628 0,073

SON 0,516 0,650 0,675 0,035

2016

DJF 0,454 0,562 0,593 0,176

MAM 0,366 0,493 0,474 0,096

JJA 0,473 0,635 0,642 0,114

Keseluruhan 0,493 0,609 0,598 0,140

Dari Tabel 4.4 dapat dilihat hubungan antara suhu udara dan

suhu tanah. Seperti pada analisis korelasi, pada analisis regresi

setiap periode berbeda besaran hasil regresinya. Nilai tertinggi pada

kedalaman 0 cm (permukaan) terdapat pada periode JJA 2015

dengan nilai 61%, nilai terendah pada periode MAM 2016 dengan

nilai 36,6% dan secara keseluruhan 49,3%. Kedalaman 5 cm nilai

tertinggi pada periode JJA 2015 dengan nilai 68,2% nilai terendah

pada periode MAM 2016 dengan nilai 49,3% dan secara keseluruhan

60,9%. Kedalaman 10 cm nilai tertinggi pada periode SON dengan

nilai 67,5%, terendah pada periode MAM 2016 dengan nilai 47,4%

dan secara keseluruhan dengan nilai 59,8%. Kedalaman 20 cm nilai

tertinggi pada periode DJF 2016 dengan nilai 17,6%, terendah pada

periode JJA 2015 dengan nilai 7,3%. Model suhu udara dengan suhu

tanah ditampilkan pada Tabel 4.6.

35

Tabel 4.5. Korelasi Suhu Udara dan Suhu Tanah Gundul

Periode 0 cm 5 cm 10 cm 20 cm

n P Sig P Sig P Sig P Sig

2015

JF .679** .000 .796** .000 .791** .000 .381** .000 177

MAM .681** .000 .771** .000 .753** .000 .360** .000 276

JJA .781** .000 .826** .000 .792** .000 .270** .000 276

SON .718** .000 .806** .000 .821** .000 .188** .000 273

2016

DJF .673** .000 .749** .000 .770** .000 .419** .000 273

MAM .605** .000 .702** .000 .689** .000 .310** .000 276

JJA .687** .000 .796** .000 .801** .000 .339** .000 276

Keseluruhan .702** .000 .780** .000 .773** .000 .374** .000 1917

Keterangan : (**) hubungan pada tingkat 0,01 (*) hubungan pada tingkat 0,05

Tabel 4.6. Model Suhu Udara dan Suhu Tanah Gundul

Periode Model pada kedalaman

0 cm 5 cm 10 cm 20 cm

2015

JF y = 2,1603x – 25,233 y = 1,9076x – 18,917 y = 1,2128x – 1,4885 y = 0,2405x + 23,549

MAM y = 1,8232x – 17,044 y = 1,6011x – 11,543 y = 1,0173x + 3,4849 y = 0,1569x + 26,235

JJA y = 1,8502x – 18,752 y = 1,7712x – 16,215 y = 1,071x + 2,0465 y = 0,0981x + 28,193

SON y = 1,8389x – 17,633 y = 2,235x – 27,513 y = 1,4538x – 6,3373 y = 0,0989x + 30,619

2016

DJF y = 1,6374x – 12,552 y = 1,5125x – 9,5209 y = 1,0884x + 1,2572 y = 0,2007x + 24,951

MAM y = 1,4023x – 6,4907 y = 1,4236x – 7,4727 y = 1,0912x + 1,3797 y = 0,1445x + 27,211

JJA y = 1,542x – 11,345 y = 1,6949x – 16,09 y = 1,1974x – 2,7501 y = 0,1535x + 26,406

Keseluruhan y = 1,6919x – 14,135 y = 1,7756x – 16,47 y = 1,2174x – 1,8716 y = 0,2201x + 24,947

36

36

b. Suhu Udara dan Suhu Tanah Berumput

1) Korelasi

Dari Tabel 4.8 menunjukkan bahwa suhu udara per-periode

gerak semu matahari berkorelasi sangat nyata dengan suhu tanah

berumput pada hampir semua periode. Artinya, suhu udara memiliki

hubungan terhadap suhu tanah berumput, kecuali pada periode JJA

2015, SON 2015 dan JJA 2016 tidak memiliki hubungan dengan suhu

tanah berumput pada kedalaman 20 cm.

Kedalaman tanah 0 cm (permukaan) nilai korelasi tertinggi pada

periode JJA 2015 dengan nilai 0,799 dan terendah pada periode

keseluruhan denga nilai 0,619. Kedalaman 5 cm nilai korelasi

tertinggi pada periode SON 2015 dengan nilai sebesar 0,769,

terendah pada periode MAM 2016 dengan nilai sebesar 0,455 dan

secara keseluruhan sebesar 0,572. Kedalaman 10 cm nilai korelasi

tertinggi pada periode JF 2015 dengan nilai sebesar 0,679, terendah

pada periode JJA dengan nilai sebesar 0,403, secara keseluruhan

sebesar 0,467. Kedalaman 20 cm nilai korelasi tertinggi pada periode

DJF 2016 dengan nilai 0,315, terndah pada periode MAM 2015

dengan nilai 0,186, secara keseluruhan sebesar 0,209.

2) Regresi

Tabel 4.7. Koefisien Regresi Suhu Udara dan Suhu Tanah Berumput

Periode R2

0 cm 5 cm 10 cm 20 cm

2015

JF 0,543 0,558 0,461 0,063

MAM 0,437 0,286 0,192 0,035

JJA 0,639 0,541 0,316

SON 0,548 0,593 0,334

2016

DJF 0,487 0,421 0,251 0,099

MAM 0,344 0,207 0,183 0,043

JJA 0,433 0,278 0,162

Keseluruhan 0,384 0,328 0,218 0,043

Keterangan : Kolom berwarna abu-abu berarti tidak berkorelasi

Dari Tabel 4.7 dapat dilihat hubungan antara suhu udara dan

suhu tanah. Seperti pada analisis korelasi, pada analisis regresi

setiap periode berbeda besaran hasil regresinya. Kedalaman 0 cm

(permukaan) nilai regresi tertinggi pada periode JJA 2015 dengan

nilai 63,9%, terendah pada periode MAM 2016 dengan nilai 34,4%,

37

37

keseluruhan dengan nilai 38,4%. Kedalaman 5 cm nilai regresi

tertinggi pada periode SON 2015 dengan nilai 59,3%, terendah pada

periode MAM 2016 dengan nilai 20,7%, keseluruhan dengan nilai

32,8%. Kedalaman 10 cm nilai regresi tertinggi pada periode JF 2015

dengan nilai 46,1%, terendah pada periode JJA 2016 dengan nilai

16,2%, keseluruhan dengan nilai 21,8%. Kedalaman 20 cm nilai

regresi tertinggi pada periode DJF 2016 dengan nilai 9,9%, terendah

pada periode MAM 2015 dengan nilai 3,5%, keseluruhan dengan nilai

4,3%. Model suhu udara dengan suhu tanah ditampilkan pada Tabel

4.9.

38

Tabel 4.8. Korelasi Suhu Udara dan Suhu Tanah Berumput

Periode 0 cm 5 cm 10 cm 20 cm

n P Sig P Sig P Sig P Sig

2015

JF .737** .000 .747** .000 .679** .000 .251** .001 177

MAM .662** .000 .535** .000 .438** .000 .186** .002 276

JJA .799** .000 .735** .000 .562** .000 .095 .116 276

SON .740** .000 .769** .000 .577** .000 .111 .067 273

2016

DJF .697** .000 .648** .000 .500** .000 .315** .000 273

MAM .586** .000 .455** .000 .427** .000 .207** .001 276

JJA .659** .000 .528** .000 .403** .000 .067 .265 276

Keseluruhan .619** .000 .572** .000 .467** .000 .209** .000 1917

Keterangan : (**) hubungan pada tingkat 0,01 (*) hubungan pada tingkat 0,05

Tabel 4.9. Model Suhu Udara dan Suhu Tanah Berumput

Periode Model pada kedalaman

0 cm 5 cm 10 cm 20 cm

2015

JF y = 0,7183x + 9,8135 y = 0,5291x + 15,449 y = 0,3254x + 20,945 y = 0,0646x + 27,764

MAM y = 0,4454x + 16,799 y = 0,2669x + 22,05 y = 0,1727x + 25,037 y = 0,0485x + 28,373

JJA y = 0,6412x + 10,962 y = 0,3544x + 18,944 y = 0,159x + 24,852

SON y = 1,5009x – 9,5375 y = 0,7827x + 10,057 y = 0,2718x + 23,777

2016

DJF y = 0,5543x + 15,024 y = 0,4237x + 18,844 y = 0,2247x + 24,34 y = 0,0936x + 27,866

MAM y = 0,314x + 20,879 y = 0,2199x + 23,901 y = 0,1541x + 25,967 y = 0,0553x + 28,86

JJA y = 0,5147x + 14,665 y = 0,2412x + 22,41 y = 0,1512x + 25,281

Keseluruhan y = 0,7762x + 8,8382 y = 0,4406x + 17,751 y = 0,2175x + 24,034 y = 0,0714x + 28,1

Keterangan : Kolom berwarna abu-abu berarti tidak berkorelasi

39

39

5. Citra Satelit Himawari dan Suhu Tanah

Suhu tanah diharapkan dapat diduga dari citra satelit himawari. Setelah

sebelumnya dilakukan analisis korelasi dan regresi terhadap data citra dengan

suhu udara dan suhu udara dengan suhu tanah, dari analisis tersebut

didapatkan citra satelit memiliki korelasi dengan suhu udara begitu juga suhu

udara dengan suhu tanah. Selanjutnya dilakukan analisis korelasi dan regresi

terhadap data citra satelit dengan data suhu udara. Hasil analisis ditampilkan

pada Tabel 4.10, 4.11, 4.12, 4.13, 4.14 dan 4.15.

a. Citra Satelit Himawari dan Suhu Tanah Gundul

1) Korelasi

Dari Tabel 4.11 menunjukkan bahwa suhu tanah per-periode

gerak semu matahari berkorelasi sangat nyata dengan suhu tanah

berumput pada hampir semua periode. Terkecuali pada kedalaman

10 cm pada periode JF 2015 dan MAM 2016 serta kedalaman 20 cm

pada periode JF 2015, SON 2015, DJF 2015, dan JJA 2016.

Kedalaman 0 cm (permukaan) nilai korelasi tertinggi pada

periode DJF 2016 dengan nilai -0,352, terendah pada periode SON

2015 dengan nilai -0,174, keseluruhan dengan nilai -0,280.

Kedalaman 5 cm nilai korelasi tertinggi pada periode JJA 2015

dengan nilai -0,274, terendah pada periode SON 2015 dengan nilai -

0,177, keseluruhan dengan nilai -0,246. Kedalaman 10 cm nilai

korelasi tertinggi pada periode JJA 2015 dengan nilai -0,259,

terendah pada periode DJF 2016 dengan nilai -0,128, keseluruhan

dengan nilai -0,206. Kedalaman 20 cm nilai koelasi tertinggi pada

periode MAM 2015 dengan nilai -0,185, terendah pada periode

keseluruhan dengan nilai -0,167 dan pada periode MAM 2016

korelasi terbaca bernilai positif. Semakin kedalam, semakin rendah

nilai korelasi.

40

40

2) Regresi

Tabel 4.10.Koefisien Regresi Citra dan Suhu Tanah Gundul

Periode R2

0 cm 5 cm 10 cm 20 cm

2015

JF 0,149 0,074

MAM 0,134 0,096 0,042 0,033

JJA 0,153 0,226 0,215 0,110

SON 0,047 0,051 0,042

2016

DJF 0,192 0,102 0,055

MAM 0,192 0,094 0,016

JJA 0,131 0,097 0,064

Keseluruhan 0,147 0,143 0,122 0,093

Keterangan : Kolom berwarna abu-abu berarti tidak berkorelasi

Dari Tabel 4.10 dapat dilihat hubungan antara citra satelit dan

suhu tanah gundul. Seperti pada analisis korelasi, pada analisis

regresi setiap periode berbeda besaran hasil regresinya. Kedalaman

0 cm nilai terbesar terdapat pada periode DJF 2016 dengan nilai

19,2%, terendah pada periode SON 2015 dengan nilai 4,7%,

keseluruhan memiliki nilai 14,7%. Kedalaman 5 cm nilai terbesar

terdapat pada periode JJA 2015 dengan nilai 22,6%, terendah pada

periode SON 2015 dengan nilai 5,1%, keseluruhan memiliki nilai

14,3%. Kedalaman 10 cm nilai terbesar terdapat pada periode JJA

2015 dengan nilai 21,5%, nilai terendah pada periode SON 2015

dengan nilai 4,2%, keseluruhan memiliki nilai 12,2%. Kedalaman 20

cm nilai terbesar terdapat pada periode JJA 2015 dengan nilai 11%,

nilai terendah pada periode MAM 2016 dengan nilai 0,2%,

keseluruhan memiliki nilai 9,3%. Model Citra Satelit dan Suhu Tanah

Gundul ditampilkan pada Tabel 4.12.

Kedalaman suhu tanah yang dapat diprediksi menggunakan citra

satelit Himawari hanya pada 0 (permukaan) dan 5 cm. Kedalaman 10

dan 20 cm terdapat periode yang tidak berkorelasi secara nyata

antara citra satelit dengan suhu tanah gundul. Hal ini menurut

Sadeghi et al (2017), karena penginderaan jauh memberikan hasil

yang sangat baik untuk karakteristik skala besar dan pemantauan

terhadap tanah yang dekat dengan permukaan (0 – 5 cm). Karena

refleksi optik tanah, emisi termal, dan kehilangan gelombang mikro

sangat berkorelasi terhadap pengamatan tanah.

41

Tabel 4.11. Korelasi Citra dan Suhu Tanah Gundul

Periode 0 cm 5 cm 10 cm 20 cm

n P Sig P Sig P Sig P Sig

2015

JF -.282** .000 -.159* .034 -.028 .713 .021 .785 177

MAM -.206** .001 -.181** .003 -.133* .028 -.185** .002 276

JJA -.224** .000 -.274** .000 -.259** .000 -.177** .003 276

SON -.174** .004 -.177** .003 -.163** .007 -.065 .286 273

2016

DJF -.352** .000 -.225** .000 -.128** .034 .002 .987 273

MAM -.334** .000 -.200** .001 -.106 .077 .172** .004 276

JJA -.276** .000 -.211** .000 -.141* .019 .013 .824 276

Keseluruhan -.280** .000 -.246** .000 -.206** .000 -.167** .000 1917

Keterangan : (**) hubungan pada tingkat 0,01 (*) hubungan pada tingkat 0,05

Tabel 4.12. ModelCitra Satelit dan Suhu Tanah Gundul

Periode Model pada kedalaman

0 cm 5 cm 10 cm 20 cm

2015

JF y = -3,342ln(x)+36,557 y = -1,79ln(x)+33,976

MAM y = -2,999ln(x)+36,465 y = -1,992ln(x)+34,54 y = -0,87ln(x)+32,196 y = -0,266ln(x)+30,726

JJA y = -6,11ln(x)+35,971 y = -6,734ln(x)+36,525 y = -4,135ln(x)+33,942 y = -0,795ln(x)+31,281

SON y = -2,856ln(x)+36,808 y = -3,203ln(x)+38,554 y = -1,85ln(x)+36,55

2016

DJF y = -3ln(x)+36,482 y = -1,817ln(x)+34,333 y = -0,937ln(x)+32,253

MAM y = -2,986ln(x)+36,216 y = -1,825ln(x)+34,521 y =0,1738ln(x)+31,069

JJA y = -2,747ln(x)+34,606 y = -2,234ln(x)+33,851 y = -1,268ln(x)+32,2

Keseluruhan y = -2,944ln(x)+35,856 y = -2,777ln(x)+35,755 y = -1,775ln(x)+33,83 y = -0,585ln(x)+31,679

Keterangan : Kolom berawarna abu-abu berarti tidak berkorelasi

42

42

b. Citra Satelit dan Suhu Tanah Berumput

1) Korelasi

Dari Tabel 4.14 menunjukkan bahwa citra satelit per-periode

gerak semu matahari berkorelasi sangat nyata dengan suhu tanah

berumput hanya pada beberapa periode. Kedalaman 0 cm

(permukaan) pada periode JF 2015, JJA 2015, SON 2015, DJF 2016,

dan keseluruhan. Kedalaman 5 cm hanya pada periode JJA 2015.

Kedalaman 10 cm hanya pada periode MAM 2016. Kedalaman 20 cm

hanya pada periode SON 2016.

Kedalaman 0 cm (permukaan) nilai tertinggi pada periode JJA

2015 dengan nilai -0,175, terendah pada keseluruhan dengan nilai -

0,130. Kedalaman 5 cm memiliki nilai -0,120. Kedalaman 10 memiliki

nilai 0,145. Kedalaman 20 cm memiliki nilai 0,222. Secara umum citra

satelit Himawari hanya bisa memprediksi suhu tanah berumput pada

permukaan (0 cm) saja. Sedangkan kedalaman 5 cm, 10 cm dan 20

cm secara umum tidak dapat diduga menggunakan citra satelit

Himawari.

2) Regresi

Tabel 4.13.Koefisein Regresi Citra Satelit dan Suhu Tanah Berumput

Bulan R2

0 cm 5 cm 10 cm 20 cm

2015

JF 0,076

MAM

JJA 0,123 0,078

SON 0,033 0,04

2016

DJF 0,054

MAM 0,005

JJA

Keseluruhan 0,066

Keterangan : Kolom berwarna abu-abu berarti tidak berkorelasi

Dari Tabel 4.13 dapat dilihat hubungan antara citra satelit dan

suhu tanah berumput. Seperti pada analisis korelasi, pada analisis

regresi setiap periode berbeda besaran hasil regresinya. Kedalaman

0 cm (permukaan) nilai tertinggi pada periode JJA 2015 dengan nilai

12,3%, terendah pada periode SON 2015 dengan nilai 3,3%,

keseluruhan memiliki nilai 6,6%. Kedalaman 5 cm memiliki nilai 7,8%.

Kedalaman 10 cm memiliki nilai 0,5%. Kedalaman 20 cm memiliki

43

43

nilai 0,4%. Model Citra Satelit dan Suhu Tanah Berumput ditampilkan

pada Tabel 4.15.

Kedalaman suhu tanah berumput yang dapat diprediksi

menggunakan citra satelit Himawari hanya pada 0 cm (permukaan).

Kedalaman 5, 10 dan 20 cm banyak periode yang tidak berkorelasi

secara nyata antara citra satelit dengan suhu tanah berumput. Hal ini

menurut Liang et al (2014) penutup vegetasi dan seresah

mempengaruhi suhu tanah dengan menghalangi radiasi matahari,

bertindak sebagai buffer perubahan suhu tanah. Menurut Song et al

(2013) tinggi dan kepadatan vegetasi berbanding terbalik dengan

suhu tanah, yang dikaitkan dengan peningkatan pantulan vegetasi,

dan penurunan penyerapan radiasi matahari oleh tanah yang

mendasar.

44

Tabel 4.14. Korelasi Citra Satelit dan Suhu Tanah Berumput

Bulan 0 cm 5 cm 10 cm 20 cm

n P Sig P Sig P Sig P Sig

2015

JF -.162** .031 -.047 .531 -.014 .853 .036 .637 177

MAM -.028 .643 .084 .162 .050 .411 .043 .476 276

JJA -.175** .004 -.120* .047 -.071 .239 .030 .616 276

SON -.134* .026 -.066 .274 .020 .741 .222** .000 273

2016

DJF -.146* .016 -.081 .181 -.036 .554 -.032 .600 273

MAM -.003 .954 .118 .050 .145* .016 .074 .223 276

JJA -.095 .116 .014 .822 .029 .635 .029 .626 276

Keseluruhan -.130** .000 -.042 .068 .006 .797 .017 .454 1917

Keterangan : (**) hubungan pada tingkat 0,01 (*) hubungan pada tingkat 0,05

Tabel 4.15. Model Citra Satelit dan Suhu Tanah Berumput

Periode Model pada kedalaman

0 cm 5 cm 10 cm 20 cm

2015

JF y = -0,736ln(x)+29,846

MAM

JJA y = -1,872ln(x)+29,846 y = -0,905ln(x)+29,321

SON y = -1,868ln(x)+34,723 y = 0,322ln(x)+31,298

2016

DJF y = -0,52ln(x)+30,875

MAM y = 0,0773ln(x)+30,199

JJA

Keseluruhan y = -1,049ln(x)+31,139

Keterangan : Kolom berwarna abu-abu tidak berkorelasi

45

V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Citra satelit Himawari 8 dapat digunakan untuk prediksi suhu udara dan suhu

tanah gundul. Pada suhu tanah gundul dapat memprediksi pada kelaman 0

(permukaan) dan 5 cm. Berikut model yang dihasilkan :

y = -1,269ln(x) + 28,172 (model untuk suhu udara)

y = -2,944ln(x) + 35,856 (model untuk suhu tanah gundul kedalaman 0 cm)

y = -2,777ln(x) + 35,755 (model untuk suhu tanah gundul kedalaman 5 cm)

B. Saran

1. Penggunaan data citra satelit Himawari yang utama, bukan hasil turunan agar

pengamatan dapat lebih maksimal.

2. Diperlukan penelitian lanjutan dengan tambahan unsur cuaca dan unsur tanah

lain yang mungkin mempengaruhi pemodelan suhu udara dan suhu tanah

dengan citra satelit Himawari 8.

3. Penelitian ini agar dapat dijadikan sebagai dasar untuk penentuan kebijakan

dalam peramalan suhu udara ataupun suhu tanah.

4. Hasil prediksi suhu menggunakan citra satelit Himawari 8 dapat digunakan

untuk pembuatan peta distribusi komoditas yang sesuai.

46

DAFTAR PUSTAKA

Aditya H, Lestari S, Lestiana H. 2012. Studi Pulau Panas Perkotaan Dan Kaitannya

Dengan Perubahan Parameter Iklim Suhu Dan Curah Hujan Menggunakan

Citra Satelit Landsat Tm Studi Kasus Dki Jakarta Dan Sekitarnya. Jurnal

Sains & Teknologi Modifikasi Cuaca, Vol. 13, No. 1, 2012: 19-24.

Badan Meteorologi, Klimatologi, dan, Geofisika [BMKG]. 2006. Peraturan Kepala

Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Nomor : SK.31/TL.202/KB/BMG-

2006. Tentang Tata Cara Tetap Pelaksanaan Pengamatan dan Pelaporan

Data Radar Cuaca.

Badan Meteorologi, Klimatologi, dan, Geofisika [BMKG]. 2014. Peraturan Kepala

Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Nomor 10 Tahun 2014. Tentang

Uraian Tugas Stasiun Klimatologi.

Badan Meteorologi, Klimatologi, dan, Geofisika [BMKG]. 2016. Peraturan Kepala

Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Nomor 4 Tahun 2016. Tentang

Pengamatan dan Pengelolaan Data Iklim Di Lingkungan Badan Meteorologi,

Klimatologi, dan Geofisika.

Bessho K, Date K, Hayashi M, Ikeda A, Imai T, Inoue H, Kumagai Y, Miyakawa T,

Murata H, Ohno T, Okuyama A, Oyama R, Sasaki Y, Shimazu Y, Shimoji K,

Sumida Y, Suzuki M, Taniguchi H, Tsuchiyama H, Uesawa D, Yokota H,

Yoshida R. 2016. An introduction to Himawari-8/9 - Japan's new-generation

geostationary meteorological satellites. Journal of the Meteorological Society

of Japan. Vol. 94, No. 2: 151−183. DOI:10.2151/jmsj.2016-009

Bryan DS, Sukotjo BM, Wahyu UD. 2013. Analisa Relasi Perubahan Tutupan Lahan

Dan Suhu Permukaan Tanah Di Kota Surabaya Menggunakan Citra Satelit

Multispektral Tahun 1994 – 2012. Jurnal Teknik Pomits Vol. 2, No. 1. 2301-

9271. (2013). ISSN: 2337-3539.

Fan J, McConkey B, Wang H, Henry J. 2016. Root Distribution by depth for temperate

agricultural crops. Field Crops Research 189 (2016) 68-74. DOI:

10.1016/j.fcr.2016.02.013

Faridah SAN, Krisbiantoro A. 2014. Analisis Distribusi Temperatur Permukaan Tanah

Wilayah Potensi Panas Bumi Menggunakan Teknik Pengindraan Jauh Di

Gunung Lamongan, Tiris, Probolinggo, Jawa Timur. Berkala Fisika. Vol. 17,

No. 2, hal 67 – 72. ISSN : 1410 – 9662.

Flores FP, Lillo MS. 2010. Simple Air Temperature Estimation Method From Modis

Satellite Images On A Regional Scale. Chilean Journal of Agricultural

Research. 70(3):436-445. ISSN : 07185820.

Forsythe N, Hardy AJ, Fowler JH, Blenkinsop S, Kilsby CG, Archer DR, Hashmi MZ.

2015. Detailed Cloud Fraction Climatology of the Upper Indus Basin and Its

Implications for Near-Surface Air Temperature. American Journal

Meteorological Society. DOI: 10.1175/JCLI-D14-00505.1

Geiger R. 1959. The Climate Near The Ground. Blue Hill Meteorological Observatory

Harvard University. Harvard University Press. Cambridge.

Hartuti M, Sulma S, Marini Y, Manoppo AKS, Kurniawan J. 2008. Pra-Pengolahan dan

Pengolahan Suhu Permukaan Laut dari Data NOAA-AVHRR. Pelatihan

Penentuan Zona Potensi Penangkapan Ikan. Jakarta.

47

Iriawan N, Astuti SP. 2006. Mengolah Data Statistik dengan Mudah

Menggunakan Minitab 14. Andi Offset. Yogyakarta. Indonesia.

Jackson IJ. 1977. Climate, Water, and Agriculture in the Tropics. Longman Group

Limited. New York. United States of America.

Jungqvist G, Oni SK, Teutschbein C, Futter MN. 2014. Effect of Climate Change

on Soil Temperature in Swedish Boreal Forests. Plos One. 9(4): e93957.

DOI: 10.1371/journal.pone.0093957

Kätterer T, Andrén O. 2009. Predicting daily soil temperature profiles in arable

soils in cold temperate regions from air temperature and leaf area index.

Soil and Plant Science, 2009; 59: 77-86. DOI:

10.1080/09064710801920321.

Liang LL, Riveros-Iregui DA, Emanuel RE, McGlynn BL. 2014. A simple

framework to estimate distributed soil temperature from discrete air

temperature measurements in data-scarce regions. American

Geophysical Union. DOI: 10.1002/2013JD020597

Liang X, Ignatov A, Kramar M, Yu F. 2016. Preliminary Inter-Comparison

between AHI, VIIRS and MODIS Clear-Sky Ocean Radiances for

Accurate SST Retrievals. Remote Sensing. 8, 203; DOI:

10.3390/rs8030203.

Liu T, Xu ZZ, Hou YH. 2016. Effects of warming and changing precipitation rates

on soil respiration over two years in a desert steppe of northern China.

Plant Soil (2016) 400:15–27. DOI: 10.1007/s11104-015-2705-0

Martono. 2014. Pola dan Tren Suhu Udara Pameungpeuk. Prosiding Pertemuan

Ilmiah XXVIII HFI Jateng & DIY, Yogyakarta, 26 April 2014. ISSN : 0853-

0823.

Menzel WP, Tobin DC, Revercomb HE. 2016. Infrared Remote Sensing with

Meteorological Satellites. Advances in Atomic, Molecular, and Optical

Physics, Volume 65. ISSN 1049-250X. DOI:

10.1016/bs.aamop.2016.04.001

Orhan O, Ekercin S, Celik FD. 2014. Use of Landsat Land Surface Temperature

and Vegetation Indices for Monitoring Drought in the Salt Lake Basin

Area, Turkey. The Scientific World Journal. Volume 2014, Article ID

142939. DOI: 10.1155/2014/142939

Özkan U, Gökbulak F. 2017. Effect of vegetation change fromforest to

herbaceous vegetation cover on soil moisture and temperature regimes

and soil water chemistry. Catena 149 (2017) 158–166. DOI:

10.1016/j.catena.2016.09.017

Patkó I, Szeder A, Patkó C. 2013. Evaluation the Impact Tilt Angle On The Sun

Collectors. Energy Procedia 32 (2013) 222 – 231. DOI:

10.1016/j.egypro.2013.05.029

Pelta R, Chudnovsky AA. 2016. Spatiotemporal estimation of air temperature

patterns at the street levelusing high resolution satellite imagery.

Science of the Total Environment. DOI : 10.1016/j.scitotenv.2016.11.042

48

Pioh DD, Rayes L, Polii B, Hakim L. 2013. Analisis Suhu Tanah Di Kawasan

Wisata Alam Danau Linow Kota Tomohon Sulawesi-Utara. Journal of

Indonesian Tourism and Development Studies Vol. 1 No.2. E-ISSN :

2338-1647.

Rahaman KR, Hassan QK. 2017. Quantification of Local Warming Trend: A

Remote Sensing-Based Approach. Plos One. 12(1) DOI:

10.1371/journal.pone.0169423

Sadeghi M, Babaeian E, Tuller M, Jones SB. 2017. The optical trapezoid model:

A novelapproach to remote sensing of soilmoisture applied to Sentinel-2

and Landsat-8 observations. Remote Sensing of Environment 198

(2017) 52–68. DOI : 10.1016/j.rse.2017.05.041

Song Y, Zhou D, Zhang H, Li G, Jin Y, Li Q. 2013. Effects of vegetation height

and density on soil temperature variations. Chinese Science Bulletin.

DOI: 10.1007/s11434-012-5596-y

Wang X, Zhang W, Miao Y, Gao L. 2016. Root-Zone Warming Differently

Benefits Matureand Newly Unfolded Leaves ofCucumis sativus L.

Seedlings under Sub Optimal Temperature Stress. Plos One.

DOI:10.1371/journal.pone.0155298

Weidong X, Martin JW, Takayuki K, Jiangping H, Tianran Z, Daniel F. 2017.

Major Advances in Geostationary Fire Radiative Power (FRP) Retrieval

Over Asia and Australia Stremming From Use of Himawari-8 AHI.

Remote Sensing of Environment 193 (2017) 138–149. DOI:

10.1016/j.rse.2017.02.024

Wicaksono A, Muhsoni FF, Fahrudin A. 2010. Aplikasi Data Citra Satelit Noaa-17

Untuk Mengukur Variasi Suhu Permukaan Laut Jawa. Jurnal kelautan,

volume 3, No.1. ISSN : 1907-9931

Wiweka. 2014. Pola Suhu Permukaan Dan Udara Menggunakan Citra Satelit

Landsat Multitemporal. Ecolab Vol. 8 No. 1

Yener D, Ozgener O, Ozgener L. 2017. Prediction of soil temperatures for

shallow geothermal applications in Turkey. Renewable and Sustainable

Energy Reviews. 70 (2017) 71–77. DOI : 10.1016/j.rser.2016.11.065

Yu F, Wu X. 2016. Radiometric Inter-Calibration between Himawari-8 AHI and S-

NPP VIIRS for the Solar Reflective Bands. Remote sensing. 8, 165;

DOI:10.3390/rs8030165

Yuda IWA. 2015. Analisis Indikasi Perubahan Iklim Dan Proyeksi Iklim Hingga

Tahun 2050 Dengan Skenario Rcp4.5 Dan Rcp8.5 Di Stasiun

Meteorologi Ngurah Rai. Prosiding SNSA 2015 – Halaman 106. ISBN :

978-979-1458-96-2

Zou X, Zhuge X, Weng F. 2016. Characterization of Bias of Advanced Himawari

Imager Infrared Observations from NWP Background Simulations Using

CRTM and RTTOV. Journal Of Atmospheric And Oceanic Technology.

33 (2016) 2553-2567. DOI: 10.1175/JTECH-D-16-0105.1

LAMPIRAN

49

Lampiran 1

Citra Satelit Himawari 8 Selama Satu Hari (30 Juli 2015)

00.00 WIB 01.00 WIB

02.00 WIB 03.00 WIB

04.00 WIB 05.00 WIB

06.00 WIB 07.00 WIB

50

Lampiran 1 (Lanjutan)

08.00 WIB 09.00 WIB

10.00 WIB 11.00 WIB

12.00 WIB 13.00 WIB

14.00 WIB 15.00 WIB

51

Lampiran 1 (Lanjutan)

16.00 WIB 17.00 WIB

18.00 WIB 19.00 WIB

20.00 WIB 21.00 WIB

22.00 WIB 23.00 WIB

52

Lampiran 2

Tabel Ketersediaan Data Citra Satelit Himawari

Bulan Ada Interpolasi Kosong Total

2015

Januari 638 17 89 744

Februari 579 41 52 672

Maret 637 42 65 744

April 427 38 225 720

Mei 214 20 510 744

Juni 616 20 84 720

Juli 650 43 51 744

Agustus 727 17 0 744

September 700 20 0 720

Oktober 702 32 10 744

November 686 26 8 720

Desember 737 7 0 744

2016

Januari 740 4 0 744

Februari 676 20 0 672

Maret 675 42 27 744

April 687 27 6 720

Mei 731 13 0 744

Juni 698 22 0 720

Juli 668 48 28 744

Agustus 666 67 11 744

September 572 88 60 720

Total 13.426 654 1.256 15.336

87,55 % 4,26 % 8,19 % 100 %

53

Lampiran 3

Tabel Curah Hujan Bulanan pada Stasiun Klimatologi Kelas I Semarang

Bulan Curah Hujan (mm) CH Per-periode (mm)

2015

Januari 238,2 511,3

Februari 273,1

Maret 212

655 April 257,6

Mei 185,4

Juni 58,7

66,3 Juli 2

Agustus 5,6

September 1

281 Oktober 0

November 280

Desember 209

577 2016

Januari 160

Februari 208

Maret 133

580 April 259

Mei 188

Juni 120

443,7 Juli 188

Agustus 135,7

September 439

Sumber : Stasiun Klimatologi Kelas I Semarang