Issue #3 2019 art si · trotoar jalan, bangku-bangku di teras, pagar mini di depan rumah, lemari...

20
artisan Issue #3 2019 f a c a d e a r t i s an

Transcript of Issue #3 2019 art si · trotoar jalan, bangku-bangku di teras, pagar mini di depan rumah, lemari...

Page 1: Issue #3 2019 art si · trotoar jalan, bangku-bangku di teras, pagar mini di depan rumah, lemari tua, palang pintu, … Hingga mungkin pada akhirnya “pulang” itu bukan pada apa

artisan Issue #3 2019

f a c a d e

art isan

Page 2: Issue #3 2019 art si · trotoar jalan, bangku-bangku di teras, pagar mini di depan rumah, lemari tua, palang pintu, … Hingga mungkin pada akhirnya “pulang” itu bukan pada apa

2

Menetap dan berpindah adalah persoalan paling purba. Manusia bergerak demi bertahan hidup, survival, mencari makan, dan mencari daerah yang baik untuk bisa ditinggali. Perpindahan pada akhirnya adalah perkara rumah, tempat berdiam, menetap. Bahwa kemudian berpindah lagi karena berbagai hal, itu sebuah keniscayaan bumi yang berubah. Di zaman modern, sejak semua dicatat, didefiniskkan, kategorisasi, seseorang tercatat jadi warga masyarakat, negara tertentu, manusia tak lagi mencari tempat menetap, tapi ditetapkan untuk menetap. Dengan identitas, orang akan lebih sulit berpindah, terlebih untuk menetap di tempat lain dalam waktu lama. Seluruh kepergian dan aktivitas perjalanan sifatnya menjadi sementara. Ia harus kembali. Pulang. Rumah. Kartu identitas, di satu sisi membebaskan sebab orang punya “tanda pengenal,” di lain sisi mengikat. Ada semacam jangkar yang selalu menahan orang untuk tidak pergi. Entah itu rumah, tanah, keluarga, kartu identitas, ataupun bentuk kepemilikan (barang) lain. Orang diharuskan kembali; dilekatkan pada sesuatu sebagai jaminan untuk kembali. Selain wilayah, kartu identitas juga berisi profesi, jenis kelamin, status, alamat, dan agama. Jadi ada “batas” yang harus disandang setiap manusia di sana. Dari masyarakat nomaden, masyarakat menetap, dan kemudian masyarakat modern; hingga munculnya masyarakat kontemporer yang melahirkan semacam “digital nomad” dan para traveller - era yang sering kita sebut sebagai era masyarakat kosmopolit. Pada masyarakat kosmopolit, keberumahan dan keberpindahan tampak menjadi suatu keniscayaan. Pemahaman atas “tempat” pun jadi berbeda.

FASAD. Pada akhirnya rumah jadi sebuah fiksi. Ia tak lagi berupa sesuatu yang secara fisik ada untuk ditinggali, melainkan bayangan yang selalu melekat sepanjang perjalanan. Fiksi, atau ilusi tentang rumah, seperti juga bayangan atas “Tanah Air” yang ‘melanda’ orang-orang yang stateless, mungkin memang harus ada demi membuat sebuah perjalanan (dalam arti yang lebih jauh, kehidupan) bertahan. Rumah, atau sebuah kepulangan mungkin bukan lagi soal asal muasal, atau alamat yang tertulis di kartu identitas, melainkan apa yang bisa dihidupi; Negeri pemberi suaka, dan orang-orang yang menyambut. Pulang dan rumah menjadi ilusi besar. Namun, ilusi tersebut akan selalu ada di setiap langkah kaki manusia, setiap meter kendaraan melaju. Ia ada di lampu-lampu di jendela rumah yang dilewati kereta pada malam hari, pohon-pohon mangga, rambutan, jambu, serakan daun-daun di halaman, kotak sampah di

fasad rumah, ilusi dari perpindahan manusia

Page 3: Issue #3 2019 art si · trotoar jalan, bangku-bangku di teras, pagar mini di depan rumah, lemari tua, palang pintu, … Hingga mungkin pada akhirnya “pulang” itu bukan pada apa

artisan

3

trotoar jalan, bangku-bangku di teras, pagar mini di depan rumah, lemari tua, palang pintu, … Hingga mungkin pada akhirnya “pulang” itu bukan pada apa yang dikenang, tapi pada apa yang dihidupi begitu lama ... dan pada hidup yang meminta dihidupi kembali. Ritme yang sekarang. Bukan jejak, tapi telapak kaki yang mendarat ketika melangkah. Seperti juga perihal rumah dan keberumahan, tidak bertahan pada apa yang dapat dikenang, atau diingat, melainkan sesuatu yang memungkinkan untuk menjadi kenangan lagi dan lagi.

ARTISAN kali ini ingin mengajak kita membayangkan perpindahan manusia zaman kini, perihal pulang, dan perihal keberumahannya. Rumah kini seperti ilusi dari mobilitas manusia yang begitu tinggi. Fasad dari sebuah rumah di sini mencoba mensimbolisasi dualisme rasa itu; antara pulang dan pergi. Sebuah kepulangan yang mungkin hanya semacam fiksi, terlebih di zaman sekarang, kepulangan yang pada dasarnya berkaitan dengan ingatan tentang ada sesuatu yang bisa disinggahi, dan itu rumah, kini bergeser. Cara orang mengingat dan mengalami rumah dan kepergian pun mungkin tak lagi seperti

dulu. Kini, keduanya seperti berada pada titik yang sama - keperpindahan dan keberumahan seperti jadi dua sisi pada satu mata uang, mungkin manusia butuh memiliki rasa yang tak hanya intim, tapi asing; Mereka tak butuh pulang dalam artian seperti dulu, sebab seiring berbagai perubahan zaman, rasa-rasa “berpulang” dan “berumah” itu mungkin hanya bisa terjadi ketika bersisian dengan rasa asing, sesuatu yang tidak diketahui.

Page 4: Issue #3 2019 art si · trotoar jalan, bangku-bangku di teras, pagar mini di depan rumah, lemari tua, palang pintu, … Hingga mungkin pada akhirnya “pulang” itu bukan pada apa

4

Settlement and movement are the most ancient problems. Human move for survival, food, and looking for good areas to live in. To leave one area is ultimately a matter of home, looking for a place to stay, to settle. Then moved again due to various things, it was a necessity of the earth changing. In modern times, since everything was recorded, defined, categorized, a person was noted to be a citizen of a community, a certain country. Humans were no longer looking for a place to stay, but determined to settle. With identification card, people would be more difficult to move, especially to stay in another place for a long time. All departures and travel activities are temporary. He must return. Return means home. Identity cards like paspor, citizen card, on the one hand makes people free, but on the other side, it was their bond; A kind of anchor that keep people from leaving. It’s like house, land, family, or any other form of ownership. People are required to return; attached to something as a guarantee for their return. Apart from territory, the identity card also contains profession, gender, status, address, and religion. So there is a “limit” that must be carried by every human being there. From nomadic society, modern, and contemporary era, the rise of “digital nomad,” traveller, etc ... the cosmopolitan era. So, “place” and “house,” and home” has a different meaning and sense.

FACADE. Finally, a house becomes a fiction. It is no longer something that is physically there to live in, but something that is always imagined along the way. Fiction, or illusions about the house, as well as the shadow of the “homeland” that “hit” people who are stateless, may indeed have to exist to make a journey (in a more distant sense, life) survive. A home, or a return, may not be a matter of origin, or the address written on the identity card, but what can be lived, the country of asylum, and the people who can receive with open heart. Going home, or homeland is a big illusion. However, the illusion will always be in every step of the human foot, each meter of the vehicle going. It was on the lights in the window of the house that the train passed through at night, the mango trees, rambutan, guava, jumble of leaves in the yard, trash boxes on the sidewalk, benches on the terrace, mini fence in front of the house, old cupboard, doorstop, ... And “going home” doesn’t rely on what was remembered, but in what kind of life has lived in for so long ... and in the live that has been asked to be

house facade, the illusion of human mobility

Page 5: Issue #3 2019 art si · trotoar jalan, bangku-bangku di teras, pagar mini di depan rumah, lemari tua, palang pintu, … Hingga mungkin pada akhirnya “pulang” itu bukan pada apa

artisan

5

revived. The current rhythm. It’s not a trace, but the foot that landed when stepping. Just like home and housing which is not depend on to what will be remembered, or has been remembered, but something that allows it to become a memory again and again.

In the second edition, ARTISAN wants to invite us imagining the movement of people today, about returning home, and their housing issues. Home is now like an illusion of high human mobility. The facade of a house here tries to symbolize the dualism of these feelings, between going home and leaving. A return that might just be some kind of fiction, especially in these days, a return that basically relates to the memory of something that can be visited like a house, is changing now. The way people remember and experience home and departure may no longer be what it used to be. Now, both of them seem to be at the same point - leaving and stay in a house as being two sides on one coin, maybe now, people need to have a feeling that is not only intimate, but foreign; They do not need to go home in the sense that they used to. Time changes, so the feeling of “returning,” or “going home” will be possible when put side with the strangers, the unknown simultaneously.

Page 6: Issue #3 2019 art si · trotoar jalan, bangku-bangku di teras, pagar mini di depan rumah, lemari tua, palang pintu, … Hingga mungkin pada akhirnya “pulang” itu bukan pada apa

6

Page 7: Issue #3 2019 art si · trotoar jalan, bangku-bangku di teras, pagar mini di depan rumah, lemari tua, palang pintu, … Hingga mungkin pada akhirnya “pulang” itu bukan pada apa

artisan

7*Seluruh foto di buku ini diambil oleh Sius

Page 8: Issue #3 2019 art si · trotoar jalan, bangku-bangku di teras, pagar mini di depan rumah, lemari tua, palang pintu, … Hingga mungkin pada akhirnya “pulang” itu bukan pada apa

8

Page 9: Issue #3 2019 art si · trotoar jalan, bangku-bangku di teras, pagar mini di depan rumah, lemari tua, palang pintu, … Hingga mungkin pada akhirnya “pulang” itu bukan pada apa

artisan

9

... Sejak Ibu saya harus pindah dari apartemennya ke panti jompo, saya tak bisa lagi mengatakan di mana rumah untuk pulang. Sampai Februari 1967, paspor saya menyebutkan bahwa rumah saya berada di Indonesia, namun sejak April 2000 dikatakan rumah saya itu di Jerman. Tetapi, di antara dua kurun waktu itu, pasporku sekalipun tak bisa mengatakannya padaku.

Kalau ke Indonesia, Bung lukiskan itu sebagai pulang atau apa?

Tidak sebagai pulang lagi, tetapi sebagai kunjungan. Saya tak punya tempat ke mana saya pulang. Di sini juga begitu ... Berangkat, ya, ke mana-mana ...

(Wawancara Martin Aleida dengan Waruno Mahdi dalam Tanah Air Yang Hilang, Wawancara dengan Orang-Orang ‘Klayaban’ di Eropa. Kompas, 2017, hal 45)

Page 10: Issue #3 2019 art si · trotoar jalan, bangku-bangku di teras, pagar mini di depan rumah, lemari tua, palang pintu, … Hingga mungkin pada akhirnya “pulang” itu bukan pada apa

10

Page 11: Issue #3 2019 art si · trotoar jalan, bangku-bangku di teras, pagar mini di depan rumah, lemari tua, palang pintu, … Hingga mungkin pada akhirnya “pulang” itu bukan pada apa

artisan

11

Page 12: Issue #3 2019 art si · trotoar jalan, bangku-bangku di teras, pagar mini di depan rumah, lemari tua, palang pintu, … Hingga mungkin pada akhirnya “pulang” itu bukan pada apa

12

Page 13: Issue #3 2019 art si · trotoar jalan, bangku-bangku di teras, pagar mini di depan rumah, lemari tua, palang pintu, … Hingga mungkin pada akhirnya “pulang” itu bukan pada apa

artisan

11

Page 14: Issue #3 2019 art si · trotoar jalan, bangku-bangku di teras, pagar mini di depan rumah, lemari tua, palang pintu, … Hingga mungkin pada akhirnya “pulang” itu bukan pada apa

14

Page 15: Issue #3 2019 art si · trotoar jalan, bangku-bangku di teras, pagar mini di depan rumah, lemari tua, palang pintu, … Hingga mungkin pada akhirnya “pulang” itu bukan pada apa

artisan

15

Page 16: Issue #3 2019 art si · trotoar jalan, bangku-bangku di teras, pagar mini di depan rumah, lemari tua, palang pintu, … Hingga mungkin pada akhirnya “pulang” itu bukan pada apa

16

Page 17: Issue #3 2019 art si · trotoar jalan, bangku-bangku di teras, pagar mini di depan rumah, lemari tua, palang pintu, … Hingga mungkin pada akhirnya “pulang” itu bukan pada apa

artisan

17

Page 18: Issue #3 2019 art si · trotoar jalan, bangku-bangku di teras, pagar mini di depan rumah, lemari tua, palang pintu, … Hingga mungkin pada akhirnya “pulang” itu bukan pada apa

18

Page 19: Issue #3 2019 art si · trotoar jalan, bangku-bangku di teras, pagar mini di depan rumah, lemari tua, palang pintu, … Hingga mungkin pada akhirnya “pulang” itu bukan pada apa

artisan

19

Page 20: Issue #3 2019 art si · trotoar jalan, bangku-bangku di teras, pagar mini di depan rumah, lemari tua, palang pintu, … Hingga mungkin pada akhirnya “pulang” itu bukan pada apa

Papier & Herbs is a brand that produces herbal tea aka tisane and smoking herbs blend. By exploring herbs, smellscape, and human journey through tisane as a medium, we try to find different perspectives to understand the cultural conditions of humanity in relation to nature, landscape, and their migrate body.

Artisan is a part of an aesthetic project initiated by Stanislaus Yangni, writer and founder of Papier & Herbs. Artisan explores a form of aesthetics that tries to articulate our everydayness in relation to space, place, people, landscape, food, travel, time, etc. Aesthetics is commonly associated to beauty, which is identical with art (visual). Artisan wants to invite us to enter another realm that is often forgotten or even ignored in aesthetics. We want to look at everyday life from which the energy of creation comes.