ispa

34
BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) sebagian besar disebabkan oleh virus. Penyebab infeksi yang demikian beragam mengakibatkan berbedanya upaya yang mungkin dilakukan setiap orang, baik untuk mencegah maupun untuk pengobatan. WHO menuturkan, ISPA merupakan salah satu penyebab kematian tersering pada anak di negara yang sedang berkembang. Infeksi saluran pernafasan akut ini menyebabkan empat dari 15 juta perkiraan kematian pada anak berusia di bawah 5 tahun pada setiap tahunnya dan sebanyak dua pertiga dari kematian tersebut terjadi pada bayi. Penyakit ISPA masih merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang utama. Hal ini disebabkan masih tingginya angka kematian karena ISPA, terutama pada bayi dan anak balita. Setiap anak diperkirakan mengalami 3-6 episode ISPA. Setiap tahunnya 40%-60% dari kunjungan di Puskesmas ialah penderita penyakit ISPA. Seluruh kematian balita, proporsi kematian yang disebabkan oleh ISPA ini mencapai 20-30%. Kematian ISPA ini sebagian besar ialah oleh pneumonia. Pneumonia yang pada awalnya merupakan ISPA biasa, karena tidak diobati dengan baik akhirnya menimbulkan batuk dan kesulitan bernafas. Sebanyak 150.000 balita meninggal tiap tahun 1

Transcript of ispa

Page 1: ispa

BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

Infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) sebagian besar disebabkan oleh virus.

Penyebab infeksi yang demikian beragam mengakibatkan  berbedanya upaya yang

mungkin dilakukan setiap orang, baik untuk mencegah maupun untuk pengobatan.

WHO menuturkan, ISPA merupakan salah satu penyebab kematian tersering pada

anak di negara yang sedang berkembang. Infeksi saluran  pernafasan akut ini

menyebabkan empat dari 15 juta perkiraan kematian  pada anak berusia di bawah

5 tahun pada setiap tahunnya dan sebanyak dua pertiga dari kematian tersebut

terjadi pada bayi. Penyakit ISPA masih merupakan salah satu masalah kesehatan

masyarakat yang utama. Hal ini disebabkan masih tingginya angka kematian

karena ISPA, terutama pada bayi dan anak balita. Setiap anak diperkirakan

mengalami 3-6 episode ISPA. Setiap tahunnya 40%-60% dari kunjungan di

Puskesmas ialah penderita penyakit ISPA. Seluruh kematian balita,  proporsi

kematian yang disebabkan oleh ISPA ini mencapai 20-30%. Kematian ISPA ini

sebagian besar ialah oleh pneumonia. Pneumonia yang  pada awalnya merupakan

ISPA biasa, karena tidak diobati dengan baik akhirnya menimbulkan batuk dan

kesulitan bernafas. Sebanyak 150.000 balita meninggal tiap tahun akibat

pneumonia karena berbagai kesulitan geografis, budaya dan ekonomi yang

dialami  penduduk dalam menjangkau fasilitas pelayanan kesehatan. Diperkirakan

11-22% balita yang menderita batuk atau kelainan bernafas tidak dibawa  berobat

sama sekali. Menurut Dirjen pemberantasan penyakit menular dan penyehatan

lingkungan memperkirakan kematian akibat pneumonia sebagai penyebab utama

ISPA di Indonesia pada akhir 2000 sebanyak 5 kasus diantara 1.000 bayi atau

balita hal ini menunjukkan sebanyak 150.000 jiwa tiap tahun atau 12.500 korban

per bulan atau 416 kasus per hari atau 17 anak per jam atau seorang bayi atau

balita tiap lima menit meninggal karena pneumonia.

1

Page 2: ispa

I.2 Tujuan

1. Mengetahui pengertian ISPA

2. Memahami gejala klinis penyakit ISPA

3. Mengetahui bagaimana penularan penyakit ISPA

4. Mengetahui klasifikasi penyakit ISPA

5. Memahami etiologi penyakit ISPA

6. Memahami distribusi penyakit ISPA

7. Mengatahui upaya pengobatan terhadap penderita ISPA

8. Mengetahui upaya pencegahan terhadap penyakit ISPA

9. Mengetahui upaya pengendalian terhadap penyakit ISPA

I.3 Rumusan Masalah

1.Apa yang dimaksud dengan ISPA?

2.Apa saja gejala klinis penyakit ISPA?

3.Bagaimana cara penularan penyakit ISPA?

4.Bagaimana klasifikasi penyakit ISPA?

5.Bagaimana etiologi penyakit ISPA?

6.Bagaimana distribusi penyakit ISPA?

7.Bagaimana cara mengobati penyakit ISPA?

8.Bagaimana cara mencegah penyakit ISPA dengan baik?

9.Apa yang harus dilakukan untuk mengendalikan penyakit ISPA?

2

Page 3: ispa

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi ISPA

ISPA merupakan singkatan dari Infeksi Saluran Pernafasan Akut. Istilah

ini diadaptasi dari istilah dalam bahasa Inggris Acute Respiratory Infections

(ARI).

Istilah ISPA meliputi tiga unsur yakni infeksi, saluran pernafasan dan akut.

Infeksi adalah masuk dan berkembangbiaknya agent infeksi pada jaringan tubuh

manusia yang berakibat terjadinya kerusakan sel atau jaringan yang patologis.

Saluran pernafasan adalah organ mulai dari hidung hingga alveoli beserta organ

adneksanya,seperti sinus, rongga telinga tengah dan pleura.

Infeksi akut adalah infeksi yang berlangsung sampai dengan 14 hari.

Dengan demikian ISPA adalah infeksi saluran pernafasan yang dapat berlangsung

sampai 14 hari, dimana secara klinis tanda dan gejala akut akibat infeksi terjadi

disetiap bagian saluran pernafasan tidak lebih dari 14 hari.

Menurut Alsagaff dkk, ISPA adalah radang akut saluran pernafasan atas maupun

bawah yang disebabkan oleh infeksi bakteri, virus maupun riketsia, tanpa atau

disertai radang parenkim paru.

3

Page 4: ispa

2.2. Klasifikasi ISPA

2.2.1. Klasifikasi Berdasarkan Lokasi Anatomi

a. Infeksi Saluran Pernafasan atas Akut (ISPA)

Infeksi yang menyerang hidung sampai bagian faring, seperti pilek, sinusitis,

otitis media (infeksi pada telinga tengah),dan faringitis (infeksi pada

tenggorokan).

b. Infeksi Saluran Pernafasan bawah Akut (ISPBA)

Infeksi yang menyerang mulai dari bagian epiglotis atau laring sampai dengan

alveoli,dinamakan sesuai dengan organ saluran nafas, seperti epiglotitis, laringitis,

laringotrakeitis, bronkitis, bronkiolitis, dan pneumonia.

2.2.2. Klasifikasi ISPA Pada Batita

a.Pneumonia sangat berat: batuk atau kesulitan bernafas yang disertai dengan

sianosis sentral, tidak dapat minum, adanya penarikan dinding dada, anak kejang

dan sulit dibangunkan.

b.Pneumonia berat: batuk atau kesulitan bernafas dan penarikan dinding dada,

tetapi tidak disertai sianosis sentral dan dapat minum.

c.Pneumonia: batuk (atau kesulitan bernafas) dan pernafasan cepat tanpa

penarikan dinding dada. Pernafasan cepat adalah 40 kali per menit atau lebih pada

usia 12 bulan hingga 5 tahun.

d. Bukan pneumonia(batuk pilek biasa): batuk (atau kesulitan bernafas) tanpa

pernafasan cepat atau penarikan dinding dada.

4

Page 5: ispa

2.3. Etiologi ISPA

Etiologi ISPA terdiri lebih dari 300 jenis bakteri, virus dan riketsia. Bakteri

penyebab ISPA misalnya dari genus Streptococcus, Haemophylus, Stafilococcus,

Pneumococcus, Bordetella, dan Corynebakterium. Virus penyebab ISPA antara

lain grup Mixovirus(virus influenza, parainfluenza, respiratorysyncytial virus),

Enterovirus (Coxsackie virus, echovirus), Adenovirus, Rhinovirus, Herpesvirus,

Sitomegalovirus, virus Epstein-Barr. Jamur penyebab ISPA antara lain

Aspergillus sp, Candidia albicans, Blastomyces dermatitidis, Histoplasma

capsulatum, Coccidioides immitis, Cryptococcus neoformans. Selain itu juga

ISPA dapat disebabkan oleh karena inspirasi asap kendaraan bermotor, Bahan

Bakar Minyak/BBM biasanya minyak tanah dan, cairan amonium pada saat lahir.

2.4. Gejala ISPA

Penyakit ISPA pada anak dapat menimbulkan bermacam-macam tanda dan

gejala seperti batuk, kesulitan bernafas, sakit tenggorokan, pilek, sakit telinga dan

demam.

2.4.1.

Gejala dari ISPA ringan seseorang anak dinyatakan menderita ISPA ringan jika

ditemukan satu atau lebih gejala-gejala sebagai berikut:

a. Batuk

b.Serak, yaitu anak bersuara parau pada waktu mengeluarkan suara (misalnya

pada waktu berbicara atau menangis)

c.Pilek, yaitu mengeluarkan lendir atau ingus dari hidung

d.Panas atau demam, suhu badan lebih dari 37°c

2.4.2.

Gejala dari ISPA sedang seorang anak dinyatakan menderita ISPA sedang jika

dijumpai gejala dari ISPA ringan disertai satu atau lebih gejala-gejala sebagai

berikut:

5

Page 6: ispa

a.Pernafasan cepat (fast breathing) sesuai umur yaitu : untuk kelompok umur

kurang dari 2 bulan frekuensi nafas 60 kali per menit atau lebih dan kelompok

umur 2 bulan - < 5 tahun : frekuensinafas 50 kali atau lebih untuk umur 2 - < 12

bulan dan 40 kali per menit atau lebih pada umur 12 bulan - <5 tahun.

b.Suhu lebih dari 39°c (diukur dengan termometer)

c.Tenggorokan berwarna merah

d.Timbul bercak-bercak merah pada kulit menyerupai bercak campak

e.Telinga sakit atau mengeluarkan nanah dari lubang telinga

f.Pernafasan berbunyi seperti mengorok (mendengkur)

2.4.3 Gejala dari ISPA Berat

Seorang anak dinyatakan menderita ISPA berat jika dijumpai gejala-gejala ISPA

ringan atau ISPA sedang disertai satu atau lebih gejala-gejala sebagai berikut:

a.Bibir atau kulit membiru

b.Anak tidak sadar atau kesadaran menurun

c.Pernafasan berbunyi seperti orang mengorok dan anak tampak gelisah

d.Sela iga tertarik ke dalam pada waktu bernafas

e.Nadi cepat lebih dari 160 kali per menit atau tidak teraba

f.Tenggorokan berwarna merah

2.5. Cara Penularan Penyakit ISPA

Penularan penyakit ISPA dapat terjadi melalui udara yang telah tercemar, bibit

penyakit masuk kedalam tubuh melalui pernafasan, oleh karena itu maka penyakit

ISPA ini termasuk golongan Air Borne Disease.

Penularan melalui udara dimaksudkan adalah cara penularan yang terjadi tanpa

kontak dengan penderita maupun dengan benda terkontaminasi. Sebagian besar

penularan melalui udara dapat pula menular melalui kontak langsung, namun

tidak jarang penyakit yang sebagian besar penularannya adalah karena menghisap

udara yang mengandung unsur penyebab atau mikroorganisme penyebab.Adanya

bibit penyakit di udara umumnya berbentuk aerosol yakni suatu suspensi yang

melayang di udara, dapat seluruhnya berupa bibit penyakit atau hanya sebagian

6

Page 7: ispa

daripadanya. Adapun bentuk aerosol dari penyebab penyakit tersebut ada dua,

yakni droplet nuclei dan dust. Droplet nuclei adalah partikel yang sangat kecil

sebagai sisa droplet yang mengering. Pembentukannya dapat melalui berbagai

cara, antara lain dengan melalui evaporasi droplet yang dibatukkan atau yang

dibersinkan ke udara. Droplet nuclei juga dapat terbentuk dari aerolisasi materi-

materi penyebab infeksi di dalam laboratorium. Karena ukurannya yang sangat

kecil, bentuk ini dapat tetap berada di udara untuk waktu yang cukup lama dan

dapat diisap pada waktu bernafas dan masuk ke alat pernafasan.

Dust adalah bentuk partikel dengan berbagai ukuran sebagai hasil dari resuspensi

partikel yang menempel dilantai, di tempat tidur serta yang tertiup angin bersama

debu lantai/tanah.

2.6. Epidemiologi Penyakit ISPA

Epidemiologi penyakit ISPA yaitu mempelajari frekuensi, distribusi penyakit

ISPA serta faktor-faktor (determinan) yang mempengaruhinya.

2.6.1. Distribusi dan Frekuensi Penyakit ISPA

ISPA merupakan penyakit yang sering terjadi pada anak-anak. Daya tahan

tubuh anak berbeda dengan orang dewasa karena sistem pertahanan tubuhnya

belum kuat. Apabila di dalam satu rumah seluruh anggota keluarga terkena pilek,

anak-anak akan lebih mudah tertular. Dengan kondisi tubuh anak yang masih

lemah, proses penyebaran penyakit pun menjadi lebih cepat.

Dalam setahun seorang anak rata-rata bisa mengalami 3 - 6 kali penyakit ISPA.

DiIndonesia, ISPA menempati urutan pertama penyebeb kematian pada kelompok

bayi dan balita. Berdasarkan data Survei Kesehatan Nasional 2001

menunjukkan bahwa proporsi ISPA sebagai penyebab kematian bayi adalah

27,6% sedangkan proporsi ISPA sebagai penyebab kematian anak balita 22,8%.

Hasil survei Program P2 ISPA di 12 propinsi di Indonesia (Sumatera Utara,

Sumatera Barat, Bengkulu, Jawa Barat, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan,

Kalimantan Tengah, Sulawesi Utara, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan, Nusa

7

Page 8: ispa

Tenggara Timur dan Nusa Tenggara Barat) pada tahun 1993 diketahui bahwa

jumlah angka kesakitan tertinggi karena ISPA, yaitu 2,9 per 1000 balita. Selama

kurun waktu 2000-2002, jumlah kasus ISPA terlihat berflutuasi. Pada tahun 2000

terdapat 479.283 kasus (30,1%), tahun 2001 menjadi 620.147 kasus (22,6%) dan

pada tahun 2002 menjadi 532.742 kasus (22,1%).

2.6.2. Determinan Penyakit ISPA

a. Faktor Agent (Bibit Penyakit)

Etiologi ISPA terdiri lebih dari 300 jenis bakteri, virus dan riketsia.

ISPA juga dapat disebabkan oleh karena jamur dan inspirasi asap kendaraan

bermotor, Bahan Bakar Minyak/BBM biasanya minyak tanah, dan cairan

amonium pada saat lahir.

b. Faktor Host (Pejamu)

b.1. Umur

Umur mempunyai pengaruh yang cukup besar untuk terjadinya ISPA. Oleh

sebab itu kejadian ISPA pada bayi dan anak balita akan lebih tinggi jika

dibandingkan dengan orang dewasa. Kejadian ISPA pada bayi dan balita akan

memberikan gambaran klinik yang lebih besar dan jelek, hal ini disebabkan

karena ISPA pada bayi dan balita umumnya merupakan kejadian infeksi pertama

serta belum terbentuknya secara optimal proses kekebalan secara alamiah.

Sedangkan orang dewasa sudah banyak terjadi kekebalan alamiah yang lebih

optimal akibat pengalaman infeksi yang terjadi sebelumnya.

Data SKRT tahun 1991 sampai 2002 menunjukkan kelompok umur dengan

prevalensi kematian ISPA tertinggi di Indonesia ada pada kelompok umur bayi

dan balita yaitu tahun 1991 umur 12 - 23 bulan (9,8%), tahun 1994 umur 6 -

35bulan (10%), tahun 1997 umur 6 - 11 bulan (10%), tahun 2002 umur 6 -

23tahun (8%).

Berdasarkan hasil penelitian Mairusnita pada balita yang Berobat ke Badan

Pelayanan Kesehatan Rumah Sakit Umum Daerah (BPKRSUD) Kota Langsa

Tahun 2006, didapatkan bahwa proporsi balita penderita ISPA terbesar pada

8

Page 9: ispa

kelompok umur 2 - 59 bulan yaitu 86,4% sementara kelompok umur dibawah 2

bulan yaitu 13,6%.

b.2. Jenis Kelamin

Berdasarkan Pedoman Rencana Kerja Jangka Menengah Nasional

Penanggulangan Pneumonia Balita Tahun 2005 - 2009 menunjukkan bahwa anak

laki-laki memiliki risiko lebih tinggi dari pada anak perempuan untuk terkena

ISPA.

Berdasarkan hasil penelitian Taisir di Kabupaten Aceh Selatan tahun 2005,

menunjukkan bahwa proporsi ISPA berdasarkan jenis kelamin pada balita laki-

laki (43,3%) lebih tinggi dari pada proporsi ISPA pada balita perempuan (33,7%),

tetapi secara statistik, tidak ada hubungan yang bermakna antara jenis kelamin

dengan kejadian ISPA pada balita di kelurahan Lhok Bengkuang.

b.3. Status Gizi

Keadaan gizi yang buruk muncul sebagai faktor risiko yang penting untuk

terjadinya ISPA. Beberapa penelitian telah membuktikan tentang adanya

hubungan antara gizi buruk dan infeksi paru, sehingga anak-anak yang bergizi

buruk sering mendapat pneumonia.

Batita dengan gizi kurang akan lebih mudah terserang ISPA dibandingkan

dengan balita dengan gizi normal karena faktor daya tahan tubuh yang kurang.

Dalam keadaan gizi yang baik, tubuh mempunyai cukup kemampuan untuk

mempertahankan diri terhadap infeksi. Jika keadaan gizi menjadi buruk maka

reaksi kekebalan tubuh akan menurun yang berarti kemampuan tubuh

mempertahankan diri terhadap serangan infeksi menjadi menurun. Penyakit

infeksi sendiri akan menyebabkan balita tidak mempunyai nafsu makan dan

mengakibatkan kekurangan gizi. Pada keadaan gizi kurang, balita lebih mudah

terserang ISPA lebih berat bahkan serangannya lebih lama.

Hasil penelitian Sirait di Kelurahan Mangga Kecamatan Medan Tuntungan tahun

2010 dengan desain cross sectionalmenunjukkan bahwa ada hubungan antara

status gizi dengan kejadian ISPaA pada anak balita dengan nilai p =0,017. Hasil

9

Page 10: ispa

Ratio Prevalens kejadian ISPaA pada anak balita dengan status gizi kurang

dibanding dengan anak balita dengan ststus gizi baik adalah 1,438 (95% CI: 1,134

-1,827). Artinya balita yang mempunyai status gizi kurang merupakan faktor

risiko terjadinya ISPA.

b.4. Berat Bayi Lahir

Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) ditetapkan sebagai suatu berat lahir yang

kurang 2.500 gram. Berat bayi lahir menentukan pertumbuhan dan perkembangan

fisik dan mental pada masa balita. Bayi dengan berat lahir rendah

(BBLR) mempunyai risiko kematian yang lebih besar dibandingkan dengan bayi

berat lahir normal, terutama pada bulan-bulan pertama kelahiran karena

pembentukan zat anti kekebalan kurang sempurna sehingga lebih mudah terkena

penyakit infeksi, terutama pneumonia dan sakit saluran pernafasan lainnya.

Bayi dengan BBLR sering mengalami gangguan pernafasan. Hal ini disebabkan

oleh pertumbuhan dan pengembangan paru yang belum sempurna dan otot

pernafasan yang masih lemah.

Berdasarkan hasil penelitian Sadono, dkk di Kabupaten Blora Provinsi Jawa

Tengah tahun 2005 menunjukkan proporsi bayi BBLR yang mengalami ISPA

(64,3%) lebih tinggi dari pada proporsi BBLR yang tidak mengalami ISPA

(35,7%). Hasil statistik diperoleh bahwa ada hubungan yang bermakna antara

kejadian ISPA dengan BBLR dengan nilai p =0,009. Hasil Ratio Prevalens

kejadian ISPA pada BBLR dibanding dengan BBLN adalah 2,5 (95% CI: 1,238-

5,012). Artinya BBLR merupakan faktor risiko terjadinya ISPA.

b.5. Status ASI Eksklusif

Air Susu Ibu (ASI) merupakan makanan bayi yang paling sempurna, bersih

dan sehat serta praktis karena mudah diberikan setiap saat. ASI dapat mencukupi

kebutuhan gizi bayi untuk tumbuh kembang dengan normal sampai berusia 6

bulan. ASI Eksklusif adalah pemberian ASI saja kepada bayi sampai umur 6

bulan tanpa mamberikan makanan/cairan lain.

Pada waktu lahir sampai berusia beberapa bulan bayi belum dapat membentuk

10

Page 11: ispa

kekebalan sendiri secara sempurna. ASI mampu memberikan perlindungan

terhadap infeksi dan alergi serta merangsang perkembangan sistem kekebalan bayi

itu sendiri. Dengan adanya zat anti infeksi pada ASI maka bayi dengan ASI

eksklusif akan terlindungi dari berbagai macam infeksi, baik yang disebabkan

oleh bakteri, virus, jamur atau parasit.

Keunggulan lainnya, ASI mengandung gizi yang cukup lengkap dan

komposisinya disesuaikan dengan sistem pencernaan bayi sehingga zat gizi cepat

terserap. Berbeda dengan susu formula atau makanan tambahan yang diberikan

secara dini pada bayi. Susu formula sangat susah diserap usus bayi sehingga

dapat menyebabkan susah buang air besar pada bayi. Proses pembuatan susu

formula yang tidak steril menyebabkan bayi rentan terkena diare. Hal ini akan

menjadi pemicu terjadinya kurang gizi pada anak dan akibat dari kurang gizi anak

lebih mudah terserang penyakit infeksi.

Hasil penelitian Harianja di Kelurahan Kemenangan Tani Kecamatan Medan

Tuntungan tahun 2010 dengan desain cross sectional menunjukkan ada hubungan

antara status ASI Eksklusif dengan kejadian ISPA pada anak balita dengan nilai

p =0,000. Hasil Ratio Prevalens kejadian ISPA pada anak balita yang tidak

mendapatkan ASI Eksklusif dibanding dengan anak balita yang mendapatkan ASI

Eksklusif adalah 2,698 (95% CI: 1,328-5,478). Artinya tidak mendapatkan ASI

Eksklusif merupakan faktor risiko terjadinya ISPA.

b.6. Status Imunisasi

Imunisasi berasal dari kata imun yang berarti kebal atau resisten. Anak yang

diimunisasi berarti diberikan kekebalan terhadap suatu penyakit tertentu. Dalam

imunologi, kuman atau racun kuman (toksin) disebut antigen. Imunisasi

merupakan upaya pemberian kekebalan tubuh yang terbentuk melalui vaksinasi.

Imunisasi bermafaat untuk mencegah beberapa jenis penyakit infeksi seperti

polio, TBC, difteri, pertusis, tetanus dan hepatitis B. Bahkan imunisasi juga dapat

mencegah kematian dari akibat penyakit-penyakit tersebut. Sebagian besar kasus

ISPA merupakan penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi, penyakit yang

11

Page 12: ispa

tergolong ISPA yang dapat dicegah dengan imunisasi adalah difteri dan batuk

rejan. Sebagian besar kematian ISPA berasal dari jenis ISPA yang berkembang

dari penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi seperti difteri, pertusis dan

campak, maka peningkatan cakupan imunisasi akan berperan dalam upaya

pemberantasan ISPA. Untuk mengurangi faktor yang meningkatkan mortalitas

ISPA, diupayakan imunisasi lengkap. Cara yang terbukti paling efektif saat ini

adalah dengan pemberian imunisasi Campak dan DPT.

Hasil penelitian Sadono, dkk di Kabupaten Blora Provinsi Jawa Tengah tahun

2005 dengan desain cross sectional diperoleh bahwa ada hubungan yang

bermakna antara status imunisasi dengan kejadian ISPA pada bayi dengan nilai

p =0,027 dan Ratio Prevalens 1,8 (95% CI: 1,068-3,168). Artinya bayi dengan

status imunisasi tidak lengkap merupakan faktor risiko terjadinya ISPA.

c. Faktor Lingkungan (Environment)

c.1. Ventilasi

Faktor lingkungan rumah seperti ventilasi juga berperan dalam penularan

ISPA, dimana ventilasi dapat memelihara kondisi udara yang sehat bagi manusia.

Ventilasi rumah mempunyai banyak fungsi. Fungsi pertama adalah menjaga

agar aliran udara di dalam rumah tersebut tetap segar. Hal ini berarti

keseimbangan oksigen yang diperlukan oleh penghuni rumah tersebut tetap

terjaga. Kurangnya ventilasi akan menyebabkan kurangnya oksigen di dalam

rumah yang berarti kadar karbon dioksida yang bersifat racun bagi penghuninya

menjadi meningkat. Sirkulasi udara dalam rumah akan baik dan mendapatkan

suhu yang optimum harus mempunyai ventilasi minimal 10% dari luas lantai.

Berdasarkan hasil penelitian Sulistyowati di Kabupaten Trenggalek tahun

2010 didapatkan bahwa proporsi anak balita penderita pneumonia yang memiliki

ventilasi rumah yang tidak memenuhi syarat kesehatan sebesar 57,8%. Hasil uji

statistik diperoleh bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara kejadian

pneumonia dengan ventilasi (p =0,042). Nilai OR 1,9 (95% CI: 1,0-3,4), artinya

anak balita kemungkinan menderita pneumonia 1,9 kali pada balita yang memiliki

ventilasi rumah yang tidak memenuhi syarat kesehatan.

12

Page 13: ispa

c.2. Kepadatan Hunian Ruang Tidur

Berdasarkan KepMenkes RI No. 829 tahun 1999 tentang kesehatan perumahan

menetapkan bahwa luas ruang tidur minimal 8m²

dan tidak dianjurkan digunakan lebih dari dua orang tidur, kecuali anak dibawah

umur 5 tahun.

Bangunan yang sempit dan tidak sesuai dengan jumlah penghuninya akan

mempunyai dampak kurangnya oksigen didalam ruangan sehingga daya tahan

penghuninya menurun, kemudian cepat timbulnya penyakit saluran pernafasan

seperti ISPA.

Kepadatan di dalam kamar terutama kamar balita yang tidak sesuai dengan

standar akan meningkatkan suhu ruangan yang disebabkan oleh pengeluaran

panas badan yang akan meningkatkan kelembaban akibat uap air dari pemanasan

tersebut. Dengan demikian, semakin banyak jumlah penghuni ruangan tidur maka

semakin cepat udara ruangan mengalami pencemaran gas atau bakteri. Dengan

banyaknya penghuni, maka kadar oksigen dalam ruangan menurun dan diikuti

oleh peningkatan karbon dioksida dan dampak peningkatan karbon dioksida

dalam ruangan adalah penurunan kualitas udara dalam ruangan.

Hasil penelitian Gulo di Kelurahan Ilir Gunung Sitoli Kabupaten Nias tahun

2009 menunjukkan proporsi balita yang tinggal di rumah yang kepadatan hunian

rumahnya tergolong padat menderita ISPA sebesar 88,9%. Hasil uji statistik

diperoleh bahwa ada hubungan yang bermakna antara kapadatan hunian rumah

dengan kejadian ISPA pada balita dengan nilai p =0,037. Nilai Ratio Prevalens

kejadian ISPA pada balita yang tinggal di rumah yang kepadatan hunian

rumahnya tergolong padat dibanding dengan balita yang tinggal di rumah

yang kepadatan hunian rumahnya tergolong tidak padat adalah 1,189. Artinya

hunian rumah yang tergolong padat merupakan faktor risiko terjadinya ISPA.

c.3. Pemakaian Anti Nyamuk

Penggunaan anti nyamuk sebagai alat untuk menghindari gigitan nyamuk

dapat menurunkan kualitas udara dalam ruangan sehingga menyebabkan

gangguan saluran pernafasan karena menghasilkan asap dan bau tidak sedap.

13

Page 14: ispa

Adanya pencemaran udara di lingkungan rumah akan merusak mekanisme

pertahanan paru-paru sehingga mempermudah timbulnya gangguan pernafasan.

Berdasarkan hasil penelitian Naria, dkk di wilayah kerja Puskesmas Tuntungan

tahun 2008 menunjukkan proporsi balita yang menggunakan obat nyamuk

menderita ISPA sebanyak 48 orang (73,8%) sedangakan balita yang tidak

menderita ISPA sebanyak 17 orang (27,2%). Hasil uji Chi Square diperoleh

bahwa ada hubungan yang bermakna antara penggunaan obat nyamuk dengan

kejadian ISPA pada balita dengan nilai p =0,010. Hasil Ratio Prevalens kejadian

ISPA pada balita yang menggunakan obat nyamuk dibanding dengan balita yang

tidak menggunakan obat nyamuk adalah 1,8. Artinya penggunaan obat nyamuk

merupakan faktor risiko terjadinya ISPA.

c.4. Keberadaan Perokok

Paparan asap rokok merupakan penyebab signifikan masalah kesehatan seperti

pernafasan akut infeksi (ISPA) pada anak.

Satu batang rokok dibakar maka akan mengeluarkan sekitar 4000 bahan kimia

seperti nikotin, gas carbon monoksida, nitrogen oksida, hidrogen cianida, amonia,

acrolein, acetilen, benzoldehide, urethane, methanol, conmarin,ethyl cathecol,

ortcresor peryline dan lainnya.

Hasil penelitian Harianja di Kelurahan Kemenangan Tani Kecamatan Medan

Tuntungan tahun 2010 dengan desain cross sectional menunjukkan ada hubungan

antara keberadaan anggota keluarga yang merokok dengan kejadian ISPA pada

anak balita dengan nilai p =0,001. Hasil Ratio Prevalens kejadian ISPA pada anak

balita yang memiliki anggota keluarga perokok dibanding dengan anak balita

yang tidak memiliki anggota keluarga perokok adalah 3,211 (95% CI: 1,154-

8,932). Artinya keberadaan anggota keluarga perokok merupakan faktor risiko

terjadinya ISPA. Berdasarkan hasil penelitian Mukonodi Puskesmas Pati I tahun

2006 dengan desain case control,berdasarkan analisis bivariat hubungan

keberadaan anggota keluarga yang merokok dengan kejadian ISPA pada balita

diperoleh nilai p =0,000 dan OR 4,63 (95% CI: 2,04-10,52). Hal ini menunjukkan

bahwa ada hubungan antara keberadaan anggota keluarga yang merokok dengan

14

Page 15: ispa

kejadian ISPA pada balita. OR 4,63 artinya anak balita yang tinggal di rumah

dengan anggota keluarga yang merokok kemungkinan untuk menderita ISPA 4,65

kali dibandingkan balita yang tinggal di rumah dengan anggota keluarga yang

tidak merokok.

c.5. Bahan Bakar Untuk Memasak

Pencemaran udara di dalam rumah banyak terjadi di negara-negara berkembang.

Diperkirakan setengah dari rumah tangga di dunia memasak dengan

bahan bakar yang belum diproses seperti kayu, sisa tanaman dan batubara

sehingga akan melepaskan emisi sisa pembakaran di dalam ruangan tersebut.

Pembakaran pada kegiatan rumah tangga dapat menghasilkan bahan pencemar

antara lain asap, debu, grid (pasir halus) dan gas (CO dan NO). Tingkat polusi

yang dihasilkan bahan bakar menggunakan kayu jauh lebih tinggi dibandingkan

bahan bakar menggunakan gas. Sejumlah penelitian menunjukkan paparan polusi

dalam ruangan meningkatkan risiko kejadian ISPA pada anak-anak.

Berdasarkan hasil penelitian Naria, dkk di wilayah kerja Puskesmas Tuntungan

tahun 2008 menunjukkan proporsi balita yang tinggal di rumah yang

menggunakan bahan bakar kayu menderita ISPA sebanyak 39 orang (81,25%),

sedangkan yang tidak menderita ISPA sebanyak 9 orang (19,75%). Hasil uji Chi

Square diperoleh bahwa ada hubungan yang bermakna antara bahan bakar dengan

kejadian ISPA pada balita dengan nilai p =0,001. Nilai Ratio Prevalens kejadian

ISPA pada balita yang menggunakan bahan bakar kayu dibanding dengan balita

yang menggunakan bahan bakar minyak/gas adalah 1,715. Artinya penggunaan

bahan bakar kayu merupakan faktor risiko terjadinya ISPA.

2.7. Pencegahan Penyakit ISPA

2.7.1. Pencegahan Tingkat Pertama (Primary Prevention)

Ditujukan pada orang sehat dengan usaha peningkatan derajat kesehatan (health

promotion) dan pencegahan khusus (specific protection) terhadap penyakit

tertentu. Adapun tindakan-tindakanyang dilakukan dalam pencegahan primer

yaitu:

15

Page 16: ispa

a.Penyuluhan, dilakukan oleh tenaga kesehatan dimana kegiatan ini diharapkan

dapat mengubah sikap dan perilaku masyarakat terhadap hal-hal yang dapat

meningkatkan faktor risiko penyakit ISPA. Kegiatan penyuluhan ini dapat berupa

penyuluhan penyakit ISPA, penyuluhan ASI Eksklusif, penyuluhan imunisasi,

penyuluhan gizi seimbang pada ibu dan anak, penyuluhan kesehatan lingkungan

rumah, penyuluhan bahaya rokok.

b.Imunisasi, yang merupakan strategi spesifik untuk dapat mengurangi angka

kesakitan (insiden) pneumonia.

c.Usaha di bidang gizi yaitu untuk mengurangi malnutrisi, defisiensi vitamin A.

d.Program KIA yang menangani kesehatan ibu dan bayi berat lahir rendah.

e.Program Penyehatan Lingkungan Pemukiman (PLP) yang menangani masalah

polusi di dalam maupun di luar rumah.

2.7.2. Pencegahan Tingkat Kedua (Secondary Prevention)

Upaya penanggulangan ISPA dilakukan dengan upaya pengobatan sedini

mungkin. Upaya pengobatan yang dilakukan untuk kelompok umur 2 bulan - < 5

tahun dibedakan atas klasifikasi ISPA yaitu :

a. Pneumonia Sangat Berat: rawat di rumah sakit, berikan oksigen, terapi

antibiotik dengan memberikan kloramfenikol secara intramuskular setiap 6 jam.

Apabila pada anak terjadi perbaikan (biasanya setelah 3 - 5 hari), pemberiannya

diubah menjadi kloramfenikol oral, obati demam, obati mengi, perawatan

suportif, hati-hati dengan pemberian terapi cairan, nilai ulang dua kali sehari.

b. Pneumonia Berat: rawat di rumah sakit, berikan oksigen, terapi antibiotik

dengan memberikan benzilpenesilin secara intramuskular setiap 6 jam paling

sedikit selama 3 hari, obati demam, obati mengi, perawatan suportif, hati-hati

pada pemberian terapi cairan, nilai ulang setiap hari.

c. Pneumonia: obati di rumah, terapi antibiotik dengan memberikan

kotrimoksasol, ampisilin, amoksilin oral, atau suntikan penisilin prokain

intramuskular per hari, nasihati ibu untuk memberikan perawatan di rumah, obati

demam, obati mengi, nilai ulang setelah 2 hari.

16

Page 17: ispa

d. Bukan Pneumonia (batuk atau pilek): obati di rumah, terapi antibiotik

sebaiknya tidak diberikan, terapi spesifik lain (untuk batuk dan pilek), obati

demam, nasihati ibu untuk memberikan perawatan di rumah.

e. Pneumonia Persisten: rawat (tetap opname), terapi antibiotik dengan

memberikan kotrimoksasol dosis tinggi untuk mengobati kemungkinan adanya

infeksi pneumokistik, perawatan suportif, penilaian ulang.

2.7.3. Pencegahan Tingkat Ketiga (Tertiary Prevention)

Tingkat pencegahan ini ditujukan kepada balita penderita ISPA agar tidak

bertambah parah dan mengakibatkan kematian.

a. Pneumonia Sangat Berat: jika anak semakin memburuk setelah pemberian

kloram fenikol selama 48 jam, periksa adanya komplikasi dan ganti dengan

kloksasilin ditambah gentamisin jika diduga suatu pneumonia stafilokokus.

b.Pneumonia Berat: jika anak tidak membaik setelah pemberian benzilpenisilin

dalam 48 jam atau kondisinya memburuk setelah pemberian benzilpenisilin

kemudian periksa adanya komplikasi dan ganti dengan kloramfenikol. Jika anak

masih menunjukkan tanda pneumonia setelah 10 hari pengobatan antibiotik maka

cari penyebab pneumonia persistensi.

c.Pneumonia: Coba untuk melihat kembali anak setelah 2 hari dan periksa adanya

tanda-tanda perbaikan (pernafasan lebih lambat, demam berkurang, nafsu makan

membaik. Nilai kembali dan kemudian putuskan jika anak dapat minum, terdapat

penarikan dinding dada atau tanda penyakit sangat berat maka lakukan kegiatan

ini yaitu rawat, obati sebagai pneumonia berat atau pneumonia sangat berat. Jika

anak tidak membaik sama sekali tetapi tidak terdapat tanda pneumonia berat atau

tanda lain penyakit sangat berat, maka ganti antibiotik dan pantau secara ketat.

17

Page 18: ispa

BAB III

SATUAN ACARA PENYULUHAN

1. Pokok bahasan : Kesehatan pada anak

2. Sub pokok bahasan : ISPA pada anak

3. Hari/tanggal : selasa/01 april 2014

4. Waktu penyuluhan : 10.00-10.30 wib

5. Tempat penyuluhan : desa pancurbatu kecamatan Medan Tutungan

6. Tujuan instruksional :

Umum

Setelah mengikuti penyuluhan selama 1x30 menit,diharapkan para

peserta penyuluhan akan dapat mengenal tanda-tanda dari penyakit ISPA.

Khusus

Setelah mengikuti penyuluhan selama 1x30 menit,diharapkan para

peserta akan dapat

Menyebutkan pengertian ISPA

Menyebutkan tanda-tanda gejala penyakit ISPA

Menyebutkan cara pencegahan penyakit ISPA

Menyebutkan upaya pengobatan penyakit ISPA

7. Sasaran : ibu-ibu dan keluarga pasien

8. Metode : ceramah dan Tanya jawab

9. Media : brosur

10. Kegiatan penyuluhan :

18

Page 19: ispa

KEGIATAN PENYULUHAN PESERTA MEDIA WAKTUPembukaan

Isi

Penutup

-memberi salam-menyampaikan tujuan pertemuan-menanyakan pengertian ISPA pada peserta penyuluhan-menjelaskan pengertian ISPA pada peserta-menjelaskan tanda-tanda ISPA-menjelaskan cara pencegahannya-menjelaskan upaya pengobatannya-memberi kesempatan bertanya pada peserta penyuluhan-melakukan evaluasi dan menanyakan dari keseluruhan tujuan khusus tersebut-membuat kesimpulan-Menutup pertemuan dan member brosur

-menjawab salammendengarkan dan memperhatikan-menjawab pertanyaan-mendengarkan dan memperhatikan -mendengarkan dan memperhatikan-mendengarkan dan memperhatikan-mendengarkan dan memperhatikan

-bertanya

-menjawab pertanyaan

-mendengar

-menerima brosur

--

menunjukan brosur

5 menit

15 menit

10 menit

19

Page 20: ispa

BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

ISPA adalah penyakit infeksi yang sangat umum dijumpai pada anak-anak dengan

gejala batuk,pilek panas atau ketiga gejala tersebut muncul secara bersamaan.

Penyebab ISPA yaitu virus,bakteri,allergen spesifik,perubahan cuaca dan

lingkungan,aktivitas dan asupan gizi yang kurang. Komplikasi ISPA adalah

asma,demam,kejang,tuli,syok. Pencegahan ISPA dapat dilakukan dengan

perbaikan gizi dan peningkatan gizi pada balita penyusunan atau pengaturan

menu,cara pengolahan makanan,variasi menu,perbaikan dan sanitasi

lingkungan,pemeliharaan kesehatan perorangan.

4.2 Saran

Untuk mengurangi angka kejadian ISPA pada balita,dalam hal ini saya

menyarankan agar semua pihak baik keluarga maupun instansi kesehatan lebih

memperhatikan pola hidup sehat dan tidak membuang batuk sembaranga dan

mengolah makanan sebaik mungkin.

20

Page 21: ispa

DAFTAR PUSTAKA

Meadow,Sir Roy dan Simen.2002.Lectus

Notes:Pediatrika.Jakarta:PT.Gelora Aksara Pratama

Ngastiyah,1997.Perawatan Anak Sakit.Jakart:EGC

Notoadmodjo.2003.Ilmu Kesehatan Masyarakat.Jakarta:EGC

21