Ispa
-
Upload
nur-azizah -
Category
Documents
-
view
171 -
download
2
description
Transcript of Ispa
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Salah satu penyakit yang paling banyak diderita oleh masyarakat adalah
ISPA. Istilah ISPA merupakan singkatan dari Infeksi Saluran Pernapasan Akut
dan mulai diperkenalkan pada tahun 1984 setelah dibahas dalam lokakarya
Nasional ISPA di Cipanas. Pada akhir lokakarya diputuskan untuk memilih istilah
ISPA dan sampai sekarang terdapat dua istilah yang sering digunakan. Istilah
pertama yaitu ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan Akut) merupakan penyakit
infeksi akut yang menyerang salah satu bagian dan atau lebih dari saluran napas
mulai dari hidung hingga alveoli termasuk jaringan adneksanya, seperti sinus,
rongga telinga tengah dan pleura. Sedangkan istilah kedua yaitu pneumonia yang
merupakan proses infeksi akut yang mengenai jaringan paru-paru (alveoli)
(Kepmenken 1537 A, 2002).
Penyakit ISPA merupakan penyakit yang sering terjadi pada anak, karena
sistem pertahanan tubuh anak masih rendah. Kejadian penyakit batuk-pilek pada
balita di Indonesia diperkirakan 3 sampai 6 kali per tahun, yang berarti seorang
balita rata-rata mendapat serangan batuk-pilek sebanyak 3 sampai 6 kali setahun.
ISPA yang berlanjut dapat menjadi pneumonia (radang paru-paru) yang
sering terjadi pada anak-anak terutama apabila terdapat gizi kurang dan
dikombinasi dengan keadaan lingkungan yang tidak sehat. Risiko terutama terjadi
pada anak-anak karena meningkatnya kemungkinan infeksi silang, beban
immunologisnya terlalu besar karena dipakai untuk penyakit parasit dan cacing,
serta tidak tersedianya atau malah berlebihannya pemakaian antibiotik.
Hingga saat ini angka kematian akibat ISPA yang berat masih sangat
tinggi. Kematian seringkali disebabkan karena penderita datang untuk berobat
dalam keadaan parah/lanjut dan sering disertai penyulit-penyulit dan kurang gizi.
1
Pelaksanaan Program Pemberantasan Penyakit ISPA adalah bagian dari
pembangunan kesehatan dan merupakan upaya yang mendukung peningkatan
kualitas sumber daya manusia serta merupakan bagian dari upaya pencegahan dan
pemberantasan penyakit menular. Pemberantasan penyakit ISPA di Indonesia
dimulai pada tahun 1984, bersamaan dengan dilancarkannya Pemberantasan
Penyakit ISPA di tingkat global oleh WHO. Dalam pelaksanaannya Program
Pemberantasan Penyakit ISPA perlu dukungan dari lintas program, lintas sektor,
serta peran masyarakat termasuk dunia usaha.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana cara mencegah penyakit ISPA?
2. Bagaimana cara mengobati penderita penyakit ISPA?
3. Bagaimana cara melakukan rehabilitasi terhadap penderita penyakit ISPA?
4. Apa saja program yang dilakukan dalam pemberantasan penyakit ISPA?
5. Apa tujuan dari kegiatan surveilans penyakit ISPA?
6. Bagaimana kondisi ISPA di Indonesia saat ini?
1.3 Tujuan
1. Mengetahui cara untuk mencegah penyakit ISPA.
2. Mengetahui cara mengobati penderita penyakit ISPA.
3. Mengetahui cara melakukan rehabilitasi terhadap penderita penyakit ISPA.
4. Mengetahui program-program yang dilakukan dalam pemberantasan
penyakit ISPA.
5. Mengetahui tujuan dari kegiatan surveilans penyakit ISPA.
6. Mengetahui kondisi ISPA di Indonesia saat ini.
2
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengetian ISPA
Istilah ISPA diadaptasi dari istilah dalam bahasa Inggris Acute
Respiratory Infections (ARI). Istilah ISPA meliputi tiga unsur yakni Infeksi,
Saluran Pernafasan, dan Akut dengan pengertian sebagai berikut :
a. Infeksi adalah suatu keadaan dimana kuman penyakit berhasil menyerang
tubuh manusia, kemudian berkembang biak dalam tubuh dan mampu
menyebabkan penyakit (Depkes RI, 1985)
b. Saluran pernafasan adalah organ mulai hidung hingga alveoli beserta
organ adneksanya seperti sinus-sinus, rongga telinga tengah dan pleura.
ISPA secara anatomis mencakup saluran pernafasan bagian atas, saluran
pernafasan bagian bawah (termasuk jaringan paru-paru) dan organ adneksa
saluran pernafasan. Denagn batasan ini janringan paru juga termasuk
saluran pernafasan. (Depkes RI, 2002)
c. Akut adalah Infeksi yang langsung sampai dengan 14 hari. batas 14 hari
diambil untuk menunjukkan proses akut meskipun untuk beberapa
penyakit yang dapat digolongkan dalam ISPA proses ini dapat berlangsung
lebih dari 14 hari. (Depkes RI, 2002)
ISPA adalah penyakit infeksi pada saluran pernafasan atas maupun
saluran pernafasan bawah yang disebabkan oleh masuknya kuman
mikroorganisme (bakteri maupun virus) kedalam organ saluran pernafasan
yang berlangsung selama 14 hari (Depkes RI, 2002)
2.2 Etiologi ISPA
Etiologi ISPA terdiri lebih dari 300 lebih jenis bakteri, virus, dan riketsia.
Bakteri penyebab ISPA antara lain Sterptokokus, Stapilokokus,
Peneumokokus, Hemmofilus, Brodetella, dan Kirinobakterium. Virus
penyebab ISPA adalah antara lain golongan Mikosovirus, Adenovirus,
Koronavirus, Pikornavirus, Mikoplasma, Herpesvirus (Dinkes RI, 2002)
3
2.3 Penyebab Penyakit ISPA
ISPA disebabkan oleh bakteri atau virus yang masuk ke saluran nafas.
Salah satu penyebab ISPA yang lain adalah asap pembakaran bahan bakar
kayu yang biasanya digunakan untuk memasak. Asap bahan bakar kayu ini
banyak menyerang lingkungan masyarakat, karena masyarakat terutama ibu-
ibu rumah tangga selalu melakukan aktivitas memasak tipa hari menggunakan
bahan bakar kayu, gas maupun minyak. Timbulnya asap tersebut tanpa
disadari telah mereka hirup berhari-hari, sehingga banyak masyarakat yang
mengeluh batuk, sesak nafas, dan sulit bernafas. Polusi dari bahan kayu
tersebut mengandung zat-zat seperti Dry Basis, Ash, Carbon, Hidrogen,
Sulfur, dan Oxygen yang sangat berbahaya bagi kesehatan. (Depkes RI, 2002)
2.4 Diagnosis
Pada umumnya suatu penyakit saluran pernapasan dimulai dengan
keluhan-keluhan dan gejala-gejala yang ringan. Dalam perjalanan penyakit
mungkin gejala-gejala ringan tersebut menjadi lebih berat dan bila semakin
berat dapat jatuh dalam keadaan kegagalan pernapasan dan mungkin
meninggal. Tanda-tanda bahaya penyakit ISPA dapat dilihat berdasarkan
diagnosis klinis dan diagnosis laboratoris.
Adapun diagnosis klinis ISPA sebagai berikut:
a. Pada sistem respiratorik : tachypnea, napas tak teratur (apnea), retraksi
dinding thorak, napas cuping hidung, cyanosis, suara napas lemah atau
hilang, grunting expiratoir dan wheezing.
b. Pada sistem cardial : tachycardia, bradycardiam, hypertensi, hypotensi dan
cardiac arrest.
c. Pada sistem cerebral : gelisah, mudah terangsang, sakit kepala, bingung,
papil bendung, kejang dan coma.
d. Pada hal umum : letih dan berkeringat banyak.
Sedangkan diagnosis laboratoris ISPA sebagai berikut:
a. hypoxemia,
b. hypercapnia
4
c. acydosis (metabolik dan atau respiratorik).
Tanda-tanda bahaya pada anak golongan umur 2 bulan sampai 5 tahun
adalah tidak bisa minum, kejang, kesadaran menurun, stridor dan gizi buruk,
sedangkan tanda bahaya pada anak golongan umur kurang dari 2 bulan adalah
kurang bisa minum (kemampuan minumnya menurun sampai kurang dari
setengah volume yang biasa diminumnya), kejang, kesadaran menurun,
stridor, Wheezing, demam dan dingin.
2.5 Klasifikasi
Dalam penentuan klasifikasi penyakit ISPA dibedakan atas dua
kelompok, yaitu kelompok untuk umur 2 bulan sampai < 5 tahun dan
kelompok untuk umur < 2 bulan.
a. Untuk kelompok umur 2 bulan samapai < 5 tahun klasifikasi dibagi atas :
pneumonia berat, pneumonia, dan bukan pneumonia.
b. Untuk kelompok umur < 2 bulan klasifikasi dibagi atas : pneumonia berat
dan buka pneumonia. Dalam pendekatan manajemen terpadu balita sakit
(MTBS) klasifikasi pada kelompok umur < 2 bulan adalah infeksi bakteri
yang seriusdan infeksi bakteri lokal.
Klasifikasi pneumonia berat didasarkan pada adanya batuk dan atau
kesukaran bernapas disertai nafas sesak atau tarikan dinding dada bagian
bawah ke dalam (chest indrawing) pada anak usia 2 bulan sampai < 5 tahun.
Untuk kelompok umur < 2 bulan diagnosis pneumonia berat ditandai dengan
adanya nafas cepat (fast breathing), yaitu frekuensi pernapasan dada bagian
bawah ke dalam (severe chest indrawing).
Klasifikasi pneumonia didasarkan pada adanya batuk dan atau kesukaran
bernapas disertai adanya napas sesuai umur. Batas napas cepat (fast
breathing) pada anak usia 2 bulan sampai < 1 tahun adalah 50 kali per menit
dan 40 kali per menit untuk anak usia 1 sampai < 5 tahun.
Klasifikasi bukan pneumonia mencakup kelompok penderita balita
dengan batuk yang tidak menunjukkan gejala peningkatan frekuensi nafas dan
5
tidak menunjukkan adanya tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam.
Dengan demikan klasifikasi bukan pneumonia mencakup penyakit-penyakit
ISPA lain di luar pneumonia seperti batuk pilek bukan pneumonia (common
old, pharyngitis, tonsilitis, otitis).
2.6 Epidemiologi
Penyakit ISPA (infeksi saluran pernapasan akut) biasanya terjadi pada
saat peralihan musim, yaitu dari musim penghujan ke musim kemarau
(pancaroba) yang berudara dingin menjadi kering serta banyak debu. Awal
musim kemarau merupakan waktu yang kondusif bagi kuman penyebab ISPA
untuk memperbanyak diri di dalam tubuh manusia.
2.7 Manifestasi Klinis
Pada umumnya anak umur tiga bulan sampai tiga tahun menderita
demam pada awal perjalanan infeksi. Kadang-kadang beberapa jam sebelum
tanda-tanda yang berlokalisasi muncul. Bayi yang lebih muda biasanya tidak
demam dan anak yang lebih tua dapat menderita demam ringan. Pada anak
yang lebih tua gejala awalnya adalah kekeringan dan iritasi dalam hidung dan
tidak jarang di dalam faring. Gejala ini dalam beberapa jam disertai bersin,
rasa menggigil nyeri otot, ingus hidung yang encer kadang batuk., nyeri
kepala lesu dan demam ringan. Dalam satu sekresi biasanya lebih kental dan
akhirnya perulen. Obstruksi hidung menyebabkan pernapasan melalui mulut.
Tanda dan gejala penyakit ISPA antara lain:
a. Batuk
Terjadi karena produksi mukus meningkat, sehingga terakumulasi pada
trakea yang kemudian menimbulkan batuk. Batuk juga bisa terjadi karena
iritasi pada bronkus. Sifat batuk dimulai dari batuk kering (non produktif)
kemudian setelah timbul peradangan menjadi produktif (menghasilkan
sputum).
b. Kesulitan bernafas
6
Akumulasi mukus di trakea akan mengakibatkan saluran nafas tersumbat
sehingga mengalami kesulitan dalam bernafas
c. Sakit tenggorokan
Terjadi iritasi jalan nafas akibat pembengkakan akan merangsang ujung
dendrit oleh nervus, untuk menstimulasi pelepasan kemoreseptor yaitu
bradikinin dan serotonin sehingga terjadi perangsangan nyeri pada
tenggorokan
d. Demam
Infeksi jalan nafas juga mengakibatkan munculnya demam, ini sebagai
mekanisme pertahanan tubuh dalam melawan mikroorganisme yang
masuk.
2.8 Patofisiologi
ISPA terjadi dapat karena masuknya virus kedalam saluran pernafasan
atas, kemudia virus bereplika (membelah) pada sel epitel kolumner bersilia
(hidung, sinus, faring) menyebabkan radang pada tempat tersebut.
Peradangan itu merangsang pelepasan mediator histamin dalam sekresi
hidung sehingga permeabilitas vaskuler naik dan akibatnya terjadi odema
pada mukosa dan hidung menjadi tersumbat akibat akumulasi mukus, dari
kejadian itu menimbulkan masalah inefektif bersihan jalan nafas.
Perubahan yang terjadi adalah edema pada mukosa, infiltrat sel
mononuler yang menyertai, kemudian fungsional silia mengakibatkan
pembersihan mukus terganggu. Pada infeksi berat sampai sedang epitel
mengelupas, ada produksi mukus yang banyak sekali, mula-mula encer,
kemudian mengental dan biasanya purulen. Dapat juga ada keterlibatan
anatomis saluran nafas atas, masuk oklusi dan kelainan rongga sinus.
2.9 Patogenesis
7
Perjalanan klinis penyakit ISPA dimulai dengan berinteraksinya virus
dengan tubuh. Masuknya virus sebagai antigen ke saluran pernafasan
menyebabkan silia yang terdapat pada permukaan saluran nafas bergerak ke
atas mendorong virus ke arah faring atau dengan suatu tangkapan refleks
spasmus oleh laring. Jika refleks tersebut gagal maka virus merusak lapisan
epitel dan lapisan mukosa saluran pernafasan (Kending dan Chernick, 1983).
Iritasi virus pada kedua lapisan tersebut menyebabkan timbulnya batuk
kering (Jeliffe, 1974). Kerusakan stuktur lapisan dinding saluran pernafasan
menyebabkan kenaikan aktifitas kelenjar mukus yang banyak terdapat pada
dinding saluran nafas, sehingga terjadi pengeluaran cairan mukosa yang
melebihi noramal. Rangsangan cairan yang berlebihan tersebut menimbulkan
gejala batuk (Kending and Chernick, 1983). Sehingga pada tahap awal gejala
ISPA yang paling menonjol adalah batuk.
Adanya infeksi virus merupakan predisposisi terjadinya infeksi sekunder
bakteri. Akibat infeksi virus tersebut terjadi kerusakan mekanisme
mukosiliaris yang merupakan mekanisme perlindungan pada saluran
pernafasan terhadap infeksi bakteri sehingga memudahkan bakteri-bakteri
patogen yang terdapat pada saluran pernafasan atas seperti streptococcus
pneumonia, haemophylus influenza dan staphylococcus menyerang mukosa
yang rusak tersebut (Kending dan Chernick, 1983). Infeksi sekunder bakteri
ini menyebabkan sekresi mukus bertambah banyak dan dapat menyumbat
saluran nafas sehingga timbul sesak nafas dan juga menyebabkan batuk yang
produktif. Invasi bakteri ini dipermudah dengan adanya fakor-faktor seperti
kedinginan dan malnutrisi. Suatu laporan penelitian menyebutkan bahwa
dengan adanya suatu serangan infeksi virus pada saluran nafas dapat
menimbulkan gangguan gizi akut pada bayi dan anak (Tyrell, 1980).
Virus yang menyerang saluran nafas atas dapat menyebar ke tempat-
tempat yang lain dalam tubuh, sehingga dapat menyebabkan kejang, demam,
dan juga bisa menyebar ke saluran nafas bawah (Tyrell, 1980). Dampak
8
infeksi sekunder bakteripun bisa menyerang saluran nafas bawah, sehingga
bakteri-bakteri yang biasanya hanya ditemukan dalam saluran pernafasan
atas, sesudah terjadinya infeksi virus, dapat menginfeksi paru-paru sehingga
menyebabkan pneumonia bakteri (Shann, 1985).
Penanganan penyakit saluran pernafasan pada anak harus diperhatikan
aspek imunologis saluran nafas terutama dalam hal bahwa sistem imun di
saluran nafas yang sebagian besar terdiri dari mukosa, tidak sama dengan
sistem imun sistemik pada umumnya. Sistem imun saluran nafas yang terdiri
dari folikel dan jaringan limfoid yang tersebar, merupakan ciri khas system
imun mukosa. Ciri khas berikutnya adalah bahwa IgA memegang peranan
pada saluran nafas atas sedangkan IgG pada saluran nafas bawah. Diketahui
pula bahwa sekretori IgA (sIgA) sangat berperan dalam mempertahankan
integritas mukosa saluran nafas (Siregar, 1994).
Dari uraian di atas, perjalanan klinis penyakit ISPA ini dapat dibagi
menjadi empat tahap, yaitu:
a. Tahap prepatogenesis, penyebab telah ada tetapi penderita belum
menunjukkan reaksi apa-apa.
b. Tahap inkubasi, virus merusak lapisan epitel dan lapisan mukosa. Tubuh
menjadi lemah apalagi bila keadaan gizi dan daya tahan sebelumnya
memang sudah rendah.
c. Tahap dini penyakit, dimulai dari munculnya gejala penyakit. Timbul
gejala demam dan batuk.
d. Tahap lanjut penyakit, dibagi menjadi empat, yaitu dapat sembuh
sempurna, sembuh dengan ateletaksis, menjadi kronis dan dapat
meninggal akibat pneumonia.
2.10 Cara Penularan Penyakit ISPA
9
Penularan penyakit ISPA dapat terjadi melalui udara yang telah
tercemar, bibit penyakit masuk kedalam tubuh melalui pernafasan, oleh
karena itu maka penyakit ISPA ini termasuk golongan Air Borne Disease.
Penularan melalui udara dimaksudkan adalah cara penularan yang terjadi
tanpa kontak dengan penderita maupun dengan benda terkontaminasi.
Sebagian besar penularan melalui udara dapat pula menular melalui kontak
langsung, namun tidak jarang penyakit yang sebagian besar penularannya
adalah karena menghisap udara yang mengandung unsur penyebab atau
mikroorganisme penyebab.
2.11 Pencegahan Penyakit ISPA
Pencegahan terhadap penyakit infeksi saluran pernafasan adalah dengan
meningkatkan daya tahan tubuh melalui pola hidup sehat. Berikut beberapa
langkah pencegahan untuk menghindari penularan penyakit ISPA, antara lain :
a) Banyak minum air putih terutama yang hangat dan mengkonsumsi
makanan yang sehat dan bergizi seperti buah-buahan segar terutama yang
banyak mengandung vitamin C. Bila diperlukan konsumsikan pula vitamin
dan zat antioksidan untuk membantu meningkatkan daya tahan tubuh.
b) cukup istirahat, hindari stres, dan melakukan olahraga secara teratur
c) cuci tangan sesering mungkin dengan menggunakan sabun untuk
mencegah kuman.
d) Hindari merokok dan asap rokok
e) Jika tubuh sedang tidak fit, untuk sementara waktu hindari interaksi
dengan penderita ISPA, atau gunakan masker.
2.12 Pengobatan Penyakit ISPA
Pengobatan meliputi pengobatan penunjang dan antibiotika. Penyebab
ISPA atas yang terbanyak adalah infeksi virus maka pemberian antibiotika
pada infeksi ini tidaklah rasional kecuali pada sinusitis, tonsilitis eksudatif,
faringitis eksudatif dan radang telinga tengah.
10
Pengobatan penderita penyakit ISPA dimaksudkan untuk mencegah
berlanjutnya ISPA ringan menjadi ISPA sedang dan ISPA sedang menjadi
ISPA berat serta mengurangi angka kematian ISPA berat. Adapun jenis
pengobatannya :
a. Pneumonia berat: dirawat di rumah sakit, diberikan antibiotik parenteral,
oksigendan sebagainya.
b. Pneumonia: diberi obat antibiotik kotrimoksasol peroral. Bila penderita
tidak mungkin diberi kotrimoksasol atau ternyata dengan pemberian
kontrmoksasol keadaan penderita menetap, dapat dipakai obat antibiotik
pengganti yaitu ampisilin, amoksisilin atau penisilin prokain.
c. Bukan pneumonia: tanpa pemberian obat antibiotik. Diberikan perawatan
dirumah, untuk batuk dapat digunakan obat batuk tradisional atau obat
batuk lain yang tidak mengandung zat yang merugikan seperti
kodein,dekstrometorfan dan, antihistamin. Bila demam diberikan obat
penurun panas yaitu parasetamol. Penderita dengan gejala batuk pilek
bila pada pemeriksaan tenggorokan didapat adanya bercak nanah
(eksudat) disertai pembesaran kelenjar getah bening dileher, dianggap
sebagai radang tenggorokan oleh kuman streptococcuss dan harus diberi
antibiotik (penisilin) selama 10 hari.
Pengobatan penyakit ISPA juga dapat dilakukan dengan beberapa
cara yaitu, salah satunya dengan merawat penderita di rumah sakit.
Apabila perawatan untuk semua anak dengan penarikan dinding dada
tidak memungkinkan, dapat dipertimbangkan untuk diberikan terapi
antibiotik dirumah dengan pengawasan yang ketat pada anak yang tidak
mengalami penarikan dinding dada hebat, sianosis, atau tanda penyakit
yang sangat berat.
Pengobatan selanjutnya yaitu memberikan oksigen, jika frekuensi
pernapasan lebih dari 70, terdapat penarikan dinding dada hebat, atau
gelisah. Penggunaan terapi antibiotik juga merupakan salah satu
pengobatan dimana di berikannya bencil penisilin secara intramoskular
setiap 6 jam paling sedikit selama 3 hari.(ampisilin secara intramoskular,
11
walaupun mahal dapat digantikan bencilpenisilin). Pengobatan antibiotik
sebaiknya diteruskan selama 3 hari setelah keadaan membaik.
2.13 Rehabilitasi penyakit ISPA
Perawatan dirumah :
a. Mengatasi panas (demam) :
Untuk anak usia 2 bulan sampai 5 tahun demam diatasi dengan
memberikan parasetamol atau dengan kompres, bayi dibawah 2 bulan
dengan demam harus segera dirujuk. Parasetamol diberikan 4 kali tiap 6
jam untuk waktu 2 hari. Cara pemberiannya, tablet dibagi sesuai dengan
dosisnya, kemudian digerus dan diminumkan kemudian pemberian
kompres dengan menggunakan kain bersih dan dicelupkan pada air (tidak
perlu air es).
b. Mengatasi batuk
Dianjurkan memberi obat batuk yang aman yaitu ramuan tradisional
yaitu jeruk nipis ½ sendok teh dicampur dengan kecap atau madu ½
sendok teh , diberikan tiga kali sehari.
c. Pemberian makanan
Berikan makanan yang cukup gizi, sedikit-sedikit tetapi
berulang-ulang yaitu lebih sering dari biasanya, lebih-lebih jika muntah.
Pemberian ASI pada bayi yang menyusu tetap diteruskan.
d. Pemberian minuman
Usahakan pemberian cairan (air putih, air buah dan sebagainya) lebih
banyak dari biasanya. Ini akan membantu mengencerkan dahak,
kekurangan cairan akan menambah parah sakit yang diderita. Lain-lain
Tidak dianjurkan mengenakan pakaian atau selimut yang terlalu tebal dan
rapat, lebih-lebih pada anak dengan demam. Jika pilek, bersihkan hidung
yang berguna untuk mempercepat kesembuhan dan menghindari
komplikasi yang lebih parah. Usahakan lingkungan tempat tinggal yang
sehat yaitu yang berventilasi cukup dan tidak berasap. Apabila selama
12
membawa kedokter atau petugas kesehatan. Untuk penderita yang
mendapat obat antibiotik, selain tindakan diatas usahakan agar obat yang
diperoleh tersebut diberikan dengan benar selama 5 hari penuh. Dan
untuk penderita yang mendapatkan antibiotik, usahakan agar setelah 2
hari anak dibawa kembali kepetugas kesehatan untuk pemeriksaan ulang.
e. Lain-lain
Tidak dianjurkan mengenakan pakaian atau selimut yang terlalu tebal dan
rapat, lebih-lebih pada anak dengan demam. Jika pilek, bersihkan hidung
yang berguna untuk mempercepat kesembuhan dan menghindari
komplikasi yang lebih parah. Usahakan lingkungan tempat tinggal yang
sehat yaitu yang berventilasi cukup dan tidak berasap. Apabila selama
perawatan dirumah keadaan anak memburuk maka dianjurkan untuk
membawa kedokter atau petugas kesehatan. Untuk penderita yang
mendapat obat antibiotik, selain tindakan diatas usahakan agar obat yang
diperoleh tersebut diberikan dengan benar selama 5 hari penuh. Dan
untuk penderita yang mendapatkan antibiotik, usahakan agar setelah 2
hari anak dibawa kembali kepetugas kesehatan untuk pemeriksaan ulang.
2.14 Program Pemberantasn Penyakit ISPA
2.14.1 Pelaksana pemberantasan
Tugas pemberatasan penyakit ISPA merupakan tanggung jawab
bersama.Kepala Puskesmas bertanggung jawab bagi keberhasilan
pemberantasan di wilayah kerjanya. Sebagian besar kematiaan akibat
penyakit pneumonia terjadi sebelum penderita mendapat pengobatan
petugas Puskesmas. Karena itu peran serta aktif masyarakat melalui
aktifitas kader akan sangat'membantu menemukan kasus-kasus
pneumonia yang perlu mendapat pengobatan antibiotik
(kotrimoksasol) dan kasus-kasus pneumonia berat yang perlusegera
dirujuk ke rumah sakit.
Dokter puskesmas mempunyai tugas sebagai berikut :
13
a) Membuat rencana aktifitas pemberantasan ISPA sesuai
dengan dana atau sarana dan tenaga yang tersedia.
b) Melakukan supervisi dan memberikan bimbingan
penatalaksanaan standar kasus-kasus ISPA kepada perawat atau
paramedis.
c) Melakukan pemeriksaan pengobatan kasus- kasus pneumonia
berat/penyakit dengan tanda-tanda bahaya yang dirujuk oleh
perawat/paramedis dan
d) Memberikan pengobatan kasus pneumonia berat yang tidak bisa
dirujuk ke rumah sakit.
e) Bersama dengan staff puskesmas memberikan penyuluhan kepada
ibu-ibu yang mempunyai anak balita perihal pengenalan tanda-tanda
penyakit pneumonia serta tindakan penunjang di rumah,
f) Melatih semua petugas kesehatan di wilayah puskesmas yang diberi
wewenang mengobati penderita penyakit ISPA,
g) Melatih kader untuk bisa, mengenal kasus pneumoni serta dapat
memberikan penyuluhan terhadap ibu-ibu tentang penyaki ISPA,
h) Memantau aktifitas pemberantasan dan melakukan evaluasi
keberhasilan pemberantasan penyakit ISPA. Mendeteksi hambatan
yang ada serta menanggulanginya termasuk aktifitas pencatatan dan
pelaporan serta pencapaian target.
Paramedis Puskesmas Pembantu
a) Melakukan penatalaksanaan standar kasus-kasus ISPA sesuai
petunjuk yang ada. tertentu seperti pneumoni berat, penderita
dengan weezhing dan stridor. Bersama dokter atau dibawah,
petunjuk dokter melatih kader.
b) Memberi penyuluhan terutama kepada ibu-ibu.
c) Melakukan tugas-tugas lain yang diberikan oleh pimpinan
Puskesmas sehubungan dengan pelaksanaan program
pemberantasan penyakit ISPA.
14
Kader kesehatan
a) Dilatih untuk bisa membedakan kasus pneumonia (pneumonia
berat dan pneumonia tidak berat) dari kasus-kasus bukan
pneumonia.
b) Memberikan penjelasan dan komunikasi perihal penyakit batuk
pilek biasa (bukan pneumonia) serta penyakit pneumonia
kepada ibu-ibu serta perihal tindakan yang perlu dilakukan oleh
ibu yang anaknya menderita penyakit.
2.14.2 Arah dan kebijakan
Pelaksanaan pembrantasan penyakit ispa di tunjukan pada
kelompok usia balita yaitu bayi (0 sampai kurang 1 tahun) dan anak
balita (1-5 tahun) dengan focus penanggulanagan pada penyakit
pneumonia.
Pemilihan kelompok ini sebagai target populasi program didasarkan
paa kenyataan bahwa angka mortalitas dan angka morbiditas ISPA pada
kelompok umur balitas di indonesia masih tnggi.disamping itu
keberhasilan upaya pembrantasan penyakit p2 ISPA dapat mempunyai
daya ungkit dalam penurunan angka kematian bayi di Indonesia.
2.14.3 Tujuan
1. Tujuan umum :
turunnya angka kesakitan dan kematian pneumonia sehingga tidak
menjadi masalah kesehatan masyarakat.
2. Tujuan kusus
a) Turunnya angka kematian balita akibat pneumonia dari 5 per
1000 balita pada tahun 2000 menjadi 3 per 1000 baita pada
akhir 2004
15
b) Turunnya angka kesakitan balia akibat pneumonia dari 10%-
20% balita pada tahun 2000 menjadi 8%-16% pada akhir
2004.
2.14.4 Target yang Telah Dicapai
Direncanakan pada akhir tahun 2004
a. Cakupan penemuan pneumonia balita sebesar 86% dari perkiraan
penderita pneumonia balita
b. Penderita pneumonia balita yang mendapatkan tatalaksana standart
sebesar 63% dari target cakupan penemuan penderita pneumonia
balita
c. Proporsi puskesmas yang melaksanakan program P2 ISPA
2.14.5 Kebijakan
Untuk mencapai tujuan program pembrantasan penyakit ISPA
balita maka dapat di rumuskan kebijakan sebagai berikut :
a) Melaksanakan promosi penanggulangan pneumonia balita sehingga
masyarakat , mitra kerja erkait dan mengambil keputusan
pneumonia balita
b) Melaksanakan penemuan penderita melalaui sarana keehatan dasar
(pelayanan kesehatan di sesa puskesmas pembantu puskesmas dan
sarana rawat jalan rumah sakit )di bantu oleh kegiaan posyandu dan
kader posyandu
c) Melaksanakan tatalaksana standart penderia ISPA dengan deteksi
sini pengobatan yang tepat dan segera,pencegahan komplikasi dan
rujukan ke sarana kesehatan yang lebih memadai.
d) Melaksanakan surveilans kesakitan dan kematian pneumonia balita
serta faktor risikonya termasuk faktor resiko lingkungan dan
kependudukan.
16
2.14.6 Strategi
Rumusan umum strategi pembrantasan penyakit ISPA adalah sebagai berikut :
a) Promosi penanggulangan pneumonia balita melalui advokasi , bina
suasana dan gerakan masyarakat.
b) Penurunana angka kesakitan dilakukan dengan upaya pencegahan
atau penanggulangan faktor melalui kerjasama lintas program dan
lintas sektor seperti kerjasama dengan program ina gizi masyarakat
dan program penyehatan lingkungan pemukiman
c) Penungkatan penemuan penderita melalui upaya peningkatan
erilaku masyarakat dalam encarian pengobatan yang tepat.
d) Melaksanakan tatalaksana kasus melalui pendekatan manajemen
terpadu balita sakit (MTBS) dan audit kasus unuk peningkatan
kualitas masyarakat/
e) Peningkatan system surveilans ISPA melalui kegiatan surveilans
rutin autopsy verbal dan pengembangan informasu kesehatan serta
audit manajemen program
2.14.7 Prioritas kegiatan
Prioritas kegiatan pebrantasan penyakit ISPA di tunjukan untuk
mendukung kebijakan dan strategi yang telah ditetapkan. Prioritas
kegiatan adalah sebagai berikut:
a) Promosi penanggulangan pneumonia balita
b) Kemitraan
c) Peningkatan penemuan kasus
d) Peningkatan kualitas tatalaksana kasus ISPA
e) Peningkatan kualitas sumber daya manusia
f) Surveilans kesakitan dan kematian
g) Pemantauan dan evaluasi
h) Pengembangan program P2 ISPA
17
2.15 Program dan Pembrantasan Penyakit ISPA
a) Promosi penangulangan pneumonia balita
Promosi pembrantasangan penyakit ISPA di Indonesia mencakup kegiatan
advokasi bina suasana dan gerakan masyarakat. Tujuannya yang di
harapkan ari kegiata promosi pneumonia balita secara umum adalah
meningkatakan pengetahuan sikap dan tindakan masyarakat dalam
tindakan pneumonia balita. Sasaran dalam p2 ISPA mencakup sasaran
primesr,skunder,dan terser.
b) Kemitraan
Merupakan faktor penting untuk menunjanga program. Pembangunan
kemitraan dalamprogram P2 ISPA di arahakan untuk menungkatkan peran
serta masyarakat peran lintas program da lintas sector terkait serta peran
pengambilan keputusan termasuk penyandang dana.
Kemitraan dengan lintas program dan lintas sector dilaksanakan dalam
seluruh kegiatan di setiap jenjang administrasi baik tingkat puskesmas
kabupaten/kota proprinsi dan pusat sesuai engan tugas dan fungsinya
masing-masing.
c) Peningkatan penemuan dan tatalaksana kasus
Dalam kebijakan dan strategi program P2 ISPA maka penemuan dan
ttalaksana penderita ini di harapkan di rumah tangga danmasyarakat,
ditingkatkan pertama dan dasar dan d sarana kesehatan rujukan.penemuan
penderita dilaksanakan melalui kegiatan yang menunjang upaya
masyarakat untuk mencari pengobatan kasus pneumonia secara tepat dan
deteksi dini oleh petugas d darana kesehatan.sedangkan tatalaksana kasus
ISPA dilaksanakan melalui pendekatan anajemnen teradu balita sakit
MTBS di saranakan kesehatan tingkat dasar.di samping itu perlu dilakukan
audit kasus dalam upaya peningkatan kualitas tatalaksana kasus yang
dilaksanakan dengan koordinasi tingkat kabupaten/kota.
d) Peningkatan kualitas sumber daya
i. Sumber daya manusia
18
Sumber daya manusia terlibat meliputi kader, petugas kesehatan,
pengolahan program ISPA di puskesmas, kabupaten provinsi dan
pusat.
Tingkat puskesmas
Pelatihan ISPA bagi kader
Pelatihan tatalaksana penderita
Pelatihan autopsy verbal
Tingkat kabupaten
Pelatihan tatalaksana penderita
Pelaihan manajemen program P2 ISPA
Pelatihan autopsy verbal
Pelatian audit kasus pelatihan audit manajemen
Tingkat provinsipelatihan tatalaksana kasus penderita
Pelatihan manajemen program P2 ISPA
Pelatihan program manajemne program p@ ISPA
Pelatihan autopsy verbal
Pelatihan audit kasus
Pelatuhan audit manajemen
Pelaihan promosi P2 ISPA
Pelatihan tatalaksana kasus ISPA balita di sarana rujukan
ii. Logistik
Dukungan logistik sangat diperlukan dalam menunjang
pelaksanakan program P2 ISPA . untuk kegiatan penemuan dan
atatalaksana penderita ISPA mencakup obat dan alat banu hitung
pernafasan . obat yang di gunakan dalam program P2 ISPA adalah
tablet kotrimoksasol (480 mg dan 120 mg) dan parasetamol (500 mg
dan 100 mg) obat tersebut tersediadi seluruh fasilitas yang sudah
melaksanakan program P2ISPA dengan jumlah cukup. Untuk
kegiatan komunikasi dan penyebaran informasi,logistic yang telah
19
disediakan oleh program P2 ISPA meliputi media cetak dan
elektronik yang terdiri dari :
Media cetak
Buku pedoman pembrantasan penyakit ISPA untuk
penanggulangan pneumonia pada balita
Buku tinjauan pelaksana program P2ISPA
Buku pedoman pembrantasan penyakit ISPA bagi kanker
Buku tatalaksana penderita ISPA pada balita
Modul-modul pelatihan MTBS
Modul-modul pelatihan manajemen program P2 ISPA
Bagan tatalaksana ISPA
Kartu kader
Flip chard
Poster
Prosiding lokakarya ISPA
Media elektronik
Kaset video tatalaksana ISPA yang berisi cara-cara
pemeriksaan balita yang menderita batuk,penghitunga nafas,
pemeriksaan adanya tanda bahaya dan pengobatan penderita
2.16 Surveilans ISPA
a) Tujuan surveilans ISPA
Menyediakan informasi tentang situasi dan besarnya maslaah
penyakit ISPA khususnya kejadian pneumonia balita akibat. Pneumonia di
masyarakat beserta faktor risikonya dan informasi lain yang d perlukan
bagi upaya pencegahan dan penanggulangan penyakit ISPA secara efektif
sehingga angka kesakitan dan kematian balita akibat pneumonia dapat di
turunkan
Kegiatan :
Pengumpulan data
Pengolahan dan analisis data
20
Penyajian data umpan balik
Peningkatan jejaring informasi
b) Pemantauan dan Evaluasi
Pemantauan : untuk memantau secara teratur kegiatan dan pelaksanaan
program agar dapat diketahui apakah kegiatan program dilaksanakan
sesuatu dengan yang telah direncanakan. Pelaksaan penatauan
pembrantasan ISPA dapat di manfaatkan kegiatan supervise dan
bimbingan teknis, pencatatan pelaporan pembrantasan penyakit ISPA
dan pemantauan program PPM dan PL di kota dan kabupaten
Evaluasi : Evaluasi pembrantasan penyakit ispa untuk menilai apakah
encapaian hasil kegiaatan telah memenuhi target yang di harapkan
mengidentifikasi masalah da hambatan yang du hadapi serta menyusuun
langkah-langkah perbaikan selanjutnya termasuk perencaan dan
penganggaran kegiatan dilaksanka di bebagai jenjang administrasi
kesehatan baik kabupaten / kota maupun provinsi.
2.17 Kondisi ISPA di Indonesia
Di Indonesia tiap tahun kematian ISPA sekitar 30% dari total
kematian balita. Insiden ISPA khususnya Pnemonia di Indonesia tiap tahun
sekitar 10%-20% atau 2,33 juta-4,66 juta kasus. Menurut Survei Kesehatan
Rumah Tangga (SKRT) tahun 2001, angka kesakitan ISPA menduduki
peringkat ketiga sebesar 24%, setelah penyakit gigi dan mulut sebesar 60%
dan penyakit Refraksi dan Penglihatan sebesar 31% (Rachmad, 2009).
Di Jawa Tengah, penyakit ISPA juga merupakan masalah kesehatan
utama masyarakat. Penyakit pneumonia adalah penyebab nomer satu (15,7%)
dari penyebab kematian balita di Rumah Sakit. Pada tahun 2004, cakupan
penemuan pneumonia balita di Jawa Tengah mencapai 24,72%. Pada tahun
2005 mengalami penurunan menjadi 21,6%. Angka tersebut mengalami
peningkatan pada tahun 2006 yaitu menjadi 26,62% dan pada tahun 2007
mengalami penurunan menjadi 24,29%.
21
Pada tahun 2008, angka ISPA di Jawa Tengah menjadi 23,63% (Profil
Kesehatan Jawa Tengah, 2008). Kejadian penyakit ISPA di Jepara juga masih
cukup tinggi, dimana dari data profil Dinas Kesehatan Jepara pada bulan
Januari sampai November 2010 terdapat jumlah balita sebanyak 101.775
dengan kejadian kasus pneumonia pada balita sebanyak 4990 orang (49,03%),
dan 27 balita dengan pneumonia berat (0,54%). Wilayah puskesmas Keling
merupakan wilayah dengan angka pneumonia tertinggi dari seluruh
puskesmas yang ada di Jepara. Jumlah pneumonia di wilayah puskesmas
Keling sebanyak 823 orang (16,49%), dan pneumonia berat sebanyak 17
orang (62,96%).
BAB III
22
PENUTUP
3.1 Kesimpulan1. Cara pencegahan penyakit ISPA dengan cara menjaga kesehatan fisik
maupun lingkungan.Banyak minum air putih terutama yang hangat dan
mengkonsumsi makanan yang sehat dan bergizi seperti buah-buahan
segar terutama yang banyak mengandung vitamin C. Hindari merokok
dan asap rokok. Jika tubuh sedang tidak fit, untuk sementara waktu
hindari interaksi dengan penderita ISPA, atau gunakan masker.
2. Pengobatan penyakit ISPA juga dapat dilakukan dengan beberapa cara
yaitu, salah satunya dengan merawat penderita di rumah sakit. Apabila
perawatan untuk semua anak dengan penarikan dinding dada tidak
memungkinkan, dapat dipertimbangkan untuk diberikan terapi antibiotik
dirumah.
3. Tujuan surveilans ISPA adalah menyediakan informasi tentang situasi
dan besarnya maslaah penyakit ISPA khususnya kejadian pneumonia
balita akibat. Pneumonia di masyarakat beserta faktor risikonya dan
informasi lain yang d perlukan bagi upaya pencegahan dan
penanggulangan penyakit ISPA secara efektif sehingga angka kesakitan
dan kematian balita akibat pneumonia dapat di turunkan
4. Penularan penyakit ISPA dapat terjadi melalui udara yang telah tercemar,
bibit penyakit masuk kedalam tubuh melalui pernafasan, oleh karena itu
maka penyakit ISPA ini termasuk golongan Air Borne Disease.
5. Di Indonesia tiap tahun kematian ISPA sekitar 30% dari total kematian
balita. Insiden ISPA khususnya Pnemonia di Indonesia tiap tahun sekitar
10%-20% atau 2,33 juta-4,66 juta kasus. Menurut Survei Kesehatan
Rumah Tangga (SKRT) tahun 2001, angka kesakitan ISPA menduduki
peringkat ketiga sebesar 24%, setelah penyakit gigi dan mulut sebesar
60% dan penyakit Refraksi dan Penglihatan sebesar 31%.
3.2 Saran
23
Melaksanakan promosi penanggulangan pneumonia balita sehingga
masyarakat , mitra kerja terkait dan mengambil keputusan pneumonia balita
Melaksanakan penemuan penderita melalaui sarana keehatan dasar (pelayanan
kesehatan di sesa puskesmas pembantu puskesmas dan sarana rawat jalan
rumah sakit ) di bantu oleh kegiaan posyandu dan kader posyandu.
Melaksanakan tatalaksana standart penderia ISPA dengan deteksi dini
pengobatan yang tepat dan segera, pencegahan komplikasi dan rujukan ke
sarana kesehatan yang lebih memadai. Melaksanakan surveilans kesakitan dan
kematian pneumonia balita serta faktor risikonya termasuk faktor resiko
lingkungan dan kependudukan.
24
DAFTAR PUSTAKA
1. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1537.A/Menkes/SK/XI/2002 Tentang Pedoman Pemberantasan Penyakit Infeksi Saluran Pernapasan Akut Untuk Penanggulangan Pneumonia Pada Balita.
2. Pedoman Pengendalian Infeksi Saluran Pernapasan Akut. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit Dan Penyehatan Lingkungan 2012.
3. Depkes RI. 2002. Pedoman Pemberantasn Infeksi Sakuran Pernafasan Akut : Dirjen PPM & PPL
4. Rasmaliah. 2004. Infeksi Saluran Pernafasan Akut (Ispa) Dan Penanggulangannya [serial online]. http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/3775/1/fkm-rasmaliah9.pdf (diakses pada tanggal 3 April 2013)
5. http://www.kesehatan123.com/1686/artikel-kesehatan-pengobatan-ispa/
6. http://www.who.int/csr/resources/publications/ WHO_CDS_EPR_2007_8bahasa.pdf
7. http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/16377/4/Chapter%20II.pdf
8. http://ejournal.litbang.depkes.go.id/index.php/MPK/article/view/979
25