Isi 4

27
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Purun tikus (Eleocharis dulcis) merupakan tumbuhan khas lahan rawa yang keberadaannya di Kalimantan Selatan cukup besar. Sampai saat ini, purun tikus merupakan limbah yang belum dimanfaatkan dengan baik dan seringkali pengelolaannya menimbulkan bahaya karena aktifitas pembakaran lahan. Menurut Syarifuddin (2008), dalam serat purun tikus mengandung selulosa yang cukup tinggi, yaitu sebesar 40,92%. Kandungan serat yang cukup tinggi ini menjadikan purun tikus sebagai sumber selulosa yang potensial. Selulosa merupakan polimer linier dan memiliki berat molekul tinggi serta merupakan bahan alami, terbarukan, dan biodegradable. Namun, karena obligasi antar dan intra molekul hidrogen, selulosa tidak mudah meleleh atau larut dalam pelarut umum (Hattori dkk, 2004). Dalam rangka pemanfaatan selulosa dalam dunia farmasi, selulosa harus dikonversi menjadi turunannya. Konversi dari selulosa untuk natrium karboksimetil selulosa (NaCMC) adalah contohnya. Natrium karboksimetil selulosa merupakan linier rantai panjang, larut dalam air, anionik, dan polisakarida yang dapat dimodifikasi (Keller, 1986).

Transcript of Isi 4

Page 1: Isi 4

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Purun tikus (Eleocharis dulcis) merupakan tumbuhan khas lahan rawa yang

keberadaannya di Kalimantan Selatan cukup besar. Sampai saat ini, purun tikus

merupakan limbah yang belum dimanfaatkan dengan baik dan seringkali

pengelolaannya menimbulkan bahaya karena aktifitas pembakaran lahan.

Menurut Syarifuddin (2008), dalam serat purun tikus mengandung selulosa yang

cukup tinggi, yaitu sebesar 40,92%. Kandungan serat yang cukup tinggi ini

menjadikan purun tikus sebagai sumber selulosa yang potensial.

Selulosa merupakan polimer linier dan memiliki berat molekul tinggi serta

merupakan bahan alami, terbarukan, dan biodegradable. Namun, karena obligasi

antar dan intra molekul hidrogen, selulosa tidak mudah meleleh atau larut dalam

pelarut umum (Hattori dkk, 2004). Dalam rangka pemanfaatan selulosa dalam

dunia farmasi, selulosa harus dikonversi menjadi turunannya. Konversi dari

selulosa untuk natrium karboksimetil selulosa (NaCMC) adalah contohnya.

Natrium karboksimetil selulosa merupakan linier rantai panjang, larut dalam air,

anionik, dan polisakarida yang dapat dimodifikasi (Keller, 1986).

Obat banyak diberikan dalam suatu aturan dosis ganda untuk

memperpanjang aktivitas teraupetiknya. Frekuensi pemberian obat yang sering

tidak dipatuhi oleh pasien dengan berbagai sebab memudahkan terjadinya

fluktuasi dan akumulasi obat yang berlebihan. Menurut Rao et al, (2001), tujuan

utama dari sediaan lepas lambat (sustainable release drugs) adalah untuk

mempertahankan kadar terapeutik obat dalam darah atau jaringan selama waktu

yang diperpanjang. Keunggulan bentuk sediaan ini menghasilkan kadar obat

dalam darah yang merata tanpa perlu mengulangi pemberian unit dosis.

Dalam pembuatan tablet lepas lambat sistem matriks merupakan sistem

yang paling sederhana dan sering digunakan. Penambahan matriks hidrofilik

dilakukan untuk memperlambat pelepasan zat aktifnya. Dalam hal ini matriks

hidrofilik akan mengembang (swelling) dan mengalami erosi. Kedua proses ini

Page 2: Isi 4

2

akan mengontrol pelepasan obat (Gohel dan Panchal, 2002). Matriks yang biasa

digunakan dalam pembuatan sustainable release drugs tersebut adalah natrium

karboksimetil selulosa (NaCMC). Natrium karboksimetil selulosa (NaCMC)

merupakan suatu polimer hidrofilik yang mudah terdispersi dalam air membentuk

larutan koloidal dan sistem ini mampu mengembang diikuti oleh erosi dari bentuk

gel sehingga obat dapat terdisolusi dalam media air. Jika kontak dengan air, maka

akan terbentuk lapisan matriks terhidrasi. Lapisan ini bagian luarnya akan

mengalami erosi sehingga menjadi terlarut.

Kinerja sustainable release drugs pada dasarnya dirancang untuk

melepaskan obatnya ke dalam tubuh secara perlahan-lahan atau bertahap supaya

pelepasannya lebih lama dan memperpanjang aksi obat. Hal ini kemudian

mengarah pada perkembangan drugs delivery system, di mana suatu obat akan

“dibungkus” dengan suatu polimer berukuran nano sehingga memudahkan obat

masuk dan melewati jaringan dalam tubuh. Polimer dirancang peka terhadap suhu

dan pH tertentu agar polimer hanya akan melepaskan obat yang ada di dalamnya

berdasarkan adanya perubahan parameter tersebut di dalam tubuh.

Purun tikus yang keberadaannya melimpah di Kalimantan Selatan

menjadikan peluang bagi kita untuk memanfaatkannya sebagai matriks dalam

pembuatan sustainable release drugs. Tidak hanya akan mengangkat nilai

ekonomis dari tanaman purun tikus itu sendiri, tetapi juga dapat meningkatkan

mutu kesehatan masyarakat dengan memberikan obat yang biayanya lebih murah

karena berbahan dasar tanaman lokal dan efektif menyembuhkan penyakit karena

obat ini merupakan sustainable release drugs.

1.2. Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah dalam penyusunan makalah ini adalah sebagai

berikut.

1. Bagaimana kandungan tanaman purun tikus (Eleocharis dulcis) sehingga

berpotensi sebagai sumber pembuatan NaCMC?

2. Bagaimana pembuatan selulosa tanaman purun tikus (Eleocharis dulcis)

menjadi NaCMC yang berpotensi sebagai matriks obat sustainable release?

Page 3: Isi 4

3

3. Bagamanakah peranan obat sustainable release dalam meningkatkan mutu

kesehatan masyarakat?

4. Bagaimanakah hubungan antara obat sustainable release dan drugs delivery

system?

1.3. Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut.

1. Menjelaskan kandungan tanaman purun tikus (Eleocharis dulcis) sehingga

berpotensi sebagai sumber pembuatan NaCMC.

2. Menjelaskan pembuatan selulosa tanaman purun tikus (Eleocharis dulcis)

menjadi NaCMC yang berpotensi sebagai matriks obat sustainable release.

3. Menjelaskan peranan obat sustainable release dalam meningkatkan mutu

kesehatan masyarakat?

4. Menjelaskan hubungan antara obat sustainable release dan drugs delivery

system.

1.4. Metode Penulisan

Metode penulisan yang digunakan dalam penulisan makalah ini adalah

dengan menggunakan metode internet dan metode pustaka. Metode internet

dilakukan dengan mencari berbagai literatur pada alamat website dan metode

pustaka dilakukan dengan mencari literatur pada buku-buku penunjang yang

memang sesuai dan dapat dipercaya validitasnya.

Page 4: Isi 4

4

BAB II

ISI

2.1. Selulosa

Selulosa (C6H10O5)n adalah polimer berantai panjang polisakarida

karbohidrat dari β-glukosa. Molekul selulosa merupakan rantai lurus

homopolisakarida terbentuk dari unit-unit β-D-glukopiranosa, yang bergabung

dengan ikatan β(1-4)-glikosida. Selulosa mikrofibril tersimpan dalam bentuk

lignin-hemiselulosa. Mikrofibril membentuk fibril-fibril yang kemudian

membentuk serat-serat selulosa. Sebagai akibat dari struktur yang berserat dan

ikatan hidrogen yang kuat, selulosa mempunyai kekuatan tarik yang tinggi dan

tidak larut dalam kebanyakan pelarut (Fengel, 1995).

Selulosa merupakan karbohidrat utama yang disintesis oleh tanaman dan

menempati hampir 60% komponen penyusun struktur tanaman. Selulosa terdapat

di dalam dinding sel pelindung tanaman, terutama pada tangkai, batang, dahan,

dan semua bagian berkayu dari jaringan tumbuhan. Selulosa tidak hanya

merupakan polisakarida struktural ekstraseluler yang paling banyak dijumpai pada

dunia tumbuhan, tetapi juga merupakan senyawa yang paling banyak diantara

semua biomolekul pada tumbuhan atau hewan (Fengel, 1995).

Stabilisasi rantai-rantai molekul panjang pada selulosa dalam sistem yang

teratur, yaitu pembentukan struktur supramolekul, ditimbulkan adanya gugus-

gugus fungsional yang dapat mengadakan interaksi satu dengan yang lainnya.

Gugus-gugus fungsional tersebut adalah gugus hidroksil, tiga dari padanya terikat

pada setiap unit glukosa. Gugus-gugus -OH tersebut tidak hanya menentukan

struktur supramolekul tetapi juga menentukan sifat fisika dan kimia dari selulosa

(Fengel, 1995).

Page 5: Isi 4

5

Gambar 1. Struktur molekul selulosa

2.2. Natrium Karboksimetil Selulosa (NaCMC)

Natrium karboksimetil selulosa adalah garam natrium dari polikarboksi

metil eter dari selulosa. Nama lain dari karboksimetilselulosa adalah akucell,

aquasorb, celulosa gum. Banyak fungsi dari natrium karboksimetil selulosa yaitu

sebagai bahan penyalut, tablet salut, bahan untuk membuat suspensi. Sebagai

bahan pengikat sediaan tablet digunakan konsentrasi 1,0 – 6,0 % (Rowe dkk.,

2006).

Natrium karboksimetil selulosa merupakan serbuk atau granul putih sampai

krem, yang bersifat higroskopis. Kelarutan mudah terdispersi dalam bentuk

larutan koloidal, tidak larut dalam etanol, dalam eter dan dalam pelarut organik.

Susut pengeringan tidak lebih dari 10% dengan pengeringan pada suhu 105ºC

selama 3 jam. Inkompatibel dengan Mg, Ca, Al. Memiliki kecenderungan untuk

mengeras pada penyimpanan, sehingga umumnya tablet mempunyai waktu

disintegrasi yang lebih lama (Lachman dkk., 1994).

NaCMC adalah kopolimer dari dua unit: β-D-glukosa dan garam β-D-

glukopiranosa-2-Ο-karboksimetil-monosodium, tidak didistribusikan secara acak

sepanjang makromolekul, yang dihubungkan melalui ikatan β-1,4-glikosidik.

Penggantian gugus hidroksil oleh kelompok karboksimetil sedikit lebih besar pada

C-2 dari glukosa (Charpentier et al., 1997). Produksi NaCMC dilakukan dengan

mengkonversi alkali selulosa pada larutan NaOH berlebih dan pelarut organik

(misalnya isopropanol, etanol) dengan asam monokloroasetat atau garam

natriumnya (Heinze & Pfeiffer, 1999).

Page 6: Isi 4

6

Gambar 2. Rumus struktur natrium karboksimetil selulosa (Rowe et al., 2006)

NaCMC merupakan zat dengan warna putih atau sedikit kekuningan, tidak

berbau dan tidak berasa, berbentuk granula yang halus atau bubuk yang bersifat

higroskopis. Menurut Tranggono dkk. (1991), NaCMC ini mudah larut dalam air

panas maupun air dingin. Pada pemanasan dapat terjadi pengurangan viskositas

yang bersifat dapat balik (reversible). Viskositas larutan NaCMC dipengaruhi oleh

pH larutan, kisaran pH NaCMC adalah 5-11 sedangkan pH optimum adalah 5, dan

jika pH terlalu rendah (pH<3), Na-CMC akan mengendap.

NaCMC akan terdispersi dalam air, kemudian butir-butir NaCMC yang

bersifat hidrofilik akan menyerap air dan terjadi pembengkakan. Air yang

sebelumnya ada di luar granula dan bebas bergerak, tidak dapat bergerak lagi

dengan bebas sehingga keadaan larutan lebih mantap dan terjadi peningkatan

viskositas (Fennema, Karen and Lund, 1996). Hal ini akan menyebabkan partikel-

partikel terperangkap dalam sistem tersebut dan memperlambat proses

pengendapan karena adanya pengaruh gaya gravitasi.

2.3. Purun Tikus (Eleocharis dulcis)

Purun tikus (Eleocharis dulcis) merupakan gulma yang tumbuh dan

berkembang di lahan rawa pasang surut. Tumbuhan ini termasuk dalam famili

Cyperaceae dan golongan teki. Batangnya silindris dan berdiameter 2-3 mm,

bunga terletak pada bagian ujung batang, tinggi dapat mencapai 150 cm, tidak

bercabang, tidak berdaun dan berwarna hijau sehingga fotosintesa dilakukan

melalui batang (Indrayati, 2011).

Purun tikus dapat dijumpai di daerah terbuka yang tergenangi oleh air asin,

payau dan di rawa air tawar, pada ketinggian 0-1350 m alt. Umbi akan bertunas

Page 7: Isi 4

7

pada media tanah bertemperatur di atas 14°C. Jenis tanah yang lebih disukai untuk

pertumbuhan adalah tipe tanah lempung atau humus dengan pH 6,9-7,3 dan

mampu tumbuh dengan baik pada tanah sedikit asam (Anonim1, 2011).

Tumbuhan purun tikus berakar rimpang, di mana pada saat rimpang

berumur 6-8 minggu maka akan membentuk anakan. Pembentukan bunga terjadi

setelah anakan muncul diatas permukaan air yang tingginya kurang lebih 15 cm.

Tumbuhan ini selanjutnya akan membentuk rimpang baru pada bagian ujung

stolon yang panjangnya kurang lebih 12,5 cm. Pada saat berumur 7-8 bulan

rimpang tidak lagi produktif sehingga batang mulai mengering dan perlahan-lahan

akan mati (Indrayati, 2011).

Gambar 3. Tumbuhan purun tikus

Klasifikai ilmiah :

Kingdom : Plantae

Subkingdom : Tracheobionta

Super Divisi : Spermatophyta

Divisi : Magnoliophyta

Kelas : Liliopsida

Sub Kelas : Commelinidae

Ordo : Cyperales

Famili : Cyperaceae

Genus : Eleocharis

Spesies : Eleocharis dulcis

(Burnawi dan Gatot, 2010).

Page 8: Isi 4

8

Purun tikus merupakan salah satu tumbuhan yang mengandung komponen-

komponen kimia seperti selulosa, hemiselulosa, dan lignin. Terdapatnya selulosa

menjadikan biomassa purun tikus dapat dimanfaatkan sebagai adsorben, karena

memiliki situs aktif yang berasal dari gugus hidroksil (OH-). Menurut Syarifuddin

(2008), dalam serat purun tikus mengandung kadar selulosa yang cukup tinggi,

yaitu sekitar 40,92%. Hal ini berarti bahwa biomassa purun tikus berpotensi

sebagai adsorben dalam proses adsorpsi.

2.4. NaCMC dari Purun Tikus (Eleocharis dulcis)

Purun tikus (Eleocharis dulcis) merupakan tumbuhan khas lahan rawa yang

keberadaannya di Kalimantan Selatan cukup besar. Sampai saat ini, purun tikus

merupakan limbah yang belum dimanfaatkan dengan baik dan seringkali

pengelolaannya menimbulkan bahaya karena aktifitas pembakaran lahan.

Menurut Syarifuddin (2008), dalam serat purun tikus mengandung selulosa yang

cukup tinggi, yaitu sebesar 40,92%. Kandungan serat yang cukup tinggi ini

menjadikan purun tikus sebagai sumber selulosa yang potensial. Dengan

menganalogikan sintesis NaCMC dari batang pohon pisang (Musa cavendishii

LAMBERT) (Adinugraha dkk., 2005), maka untuk sintesis NaCMC dari tanaman

purun tikus adalah sebagai berikut.

2.4.1. Ekstraksi selulosa

Purun tikus yang diperoleh dipotong kecil-kecil (1 cm) kemudian

dikeringkan pada 70oC dalam pengering kabinet (Heraeus Instrumen). Hasil

kering digiling menjadi bubuk dan diayak dengan ayakan 20 Mesh. Kemudian

bubuk selulosa dipanaskan dalam NaOH 8% dengan rasio selulosa untuk pelarut

1:20 (w/v) selama 3,5 jam pada 100oC. Bubur hitam yang diperoleh disaring dan

dicuci menggunakan air suling dan diputihkan dengan NaOCl 5% selama 3 jam

pada suhu 30oC. Selulosa dicuci lagi dengan menggunakan air suling sampai bau

hipoklorit tidak bisa lagi dideteksi, kemudian dikeringkan pada suhu 60oC dalam

pengering kabinet.

Page 9: Isi 4

9

2.4.2. Sintesis natrium karboksimetilselulosa

Lima gram bubuk selulosa dialkalisasi pada 25oC selama 1 jam dalam

waterbath gemetar (Haake SWB) dengan 20 mL NaOH 15% dalam 100 mL

isopropanol sebagai pelarut. Setelah proses alkalisasi selesai, 6 gram natrium

monochloracetate (NaMCA) per 5 gram selulosa ditambahkan dan suhu dinaikkan

menjadi 55oC dan reaksi dilanjutkan selama 3 jam. Bubur dinetralkan dengan 90%

asam asetat dan kemudian disaring. Padatan yang diperoleh sebagai CMC dicuci

dengan etanol 70% sebanyak empat kali untuk menghilangkan produk samping

yang tidak diinginkan. Turunan selulosa yang diperoleh (CMC) dikeringkan pada

suhu 60oC dalam oven.

2.5. NaCMC dalam Sustainable Release Drugs

Natrium karboksilmetil selulosa (NaCMC) mudah larut dalam air pada

semua temperatur, viskositas larutan meningkat dengan peningkatan konsentrasi

NaCMC. Pada pemanasan tinggi akan terjadi depolimerasi dan viskositasnya

menurun. Pada penelitian yang dilakukan oleh Nafsiah (2009) dan Prihandini

(2007) diperoleh hasil bahwa campuran NaCMC dengan Avicel PH 102

berpengaruh terhadap pelepasan obat teofilin di mana makin banyak jumlah

NaCMC yang ditambahkan mengurangi kecepatan disolusi obatnya. NaCMC

dapat meningkatkan kekerasan tablet dan menurunkan kerapuhan tablet jika

konsentrasinya tinggi, pelepasan obat metoprolol dapat diperlambat dengan

adanya NaCMC dan pelepasannya mengikuti orde nol (Syed et al, 2011).

Campuran NaCMC dengan Avicel akan membentuk tiksotropi gel yang cocok

untuk vehicle pada formulasi. Avicel PH 102 merupakan salah satu filler atau

pengisi yang mempengaruhi sifat alir, dengan makin besar grade maka makin baik

sifat alir granul yang dihasilkan (Rowe et al., 2006).

Sediaan lepas lambat merupakan bentuk sediaan yang dirancang untuk

melepaskan obatnya ke dalam tubuh secara perlahan-lahan atau bertahap supaya

pelepasannya lebih lama dan memperpanjang aksi obat (Ansel et al., 2005).

Dalam beberapa keadaan penyakit, bentuk sediaan obat yang ideal adalah mampu

memberikan jumlah obat untuk sampai ke reseptor (tempat aksi obat) dan

Page 10: Isi 4

10

kemudian secara konstan dipertahankan selama waktu pengobatan yang

diinginkan. Pemberian obat dalam dosis yang cukup dan frekuensi yang benar

maka konsentrasi obat terapeutik steady state di plasma dapat dicapai secara cepat

dan dipertahankan dengan pemberian berulang dengan bentuk sediaan

konvensional peroral. Namun terdapat sejumlah keterbatasan dari bentuk sediaan

konvensional peroral (Collett and Moreton, 2002).

Adapun keterbatasan bentuk sediaan konvensional peroral adalah

melepaskan secara cepat seluruh kandungan dosis setelah diberikan, konsentrasi

obat dalam plasma dan di tempat aksi mengalami fluktuasi sehingga tidak

mungkin untuk mempertahankan konsentrasi terapetik secara konstan di tempat

aksi selama waktu pengobatan, fluktuasi konsentrasi obat dapat menimbulkan

overdosis atau underdosis. Obat dengan t1/2 pendek membutuhkan frekuensi

pemberian lebih sering untuk mempertahankan konsentrasi obat dalam jendela

terapeutik, dan frekuensi pemberian obat yang lebih sering dapat menyebabkan

pasien lupa sehingga dapat menyebabkan kegagalan terapi (Collett and Moreton,

2002).

Kaptopril merupakan obat antihipertensi dan efektif dalam penanganan

hipertensi dan gagal jantung (Hardjasaputra et al., 2002). Kaptopril merupakan

salah satu obat yang mudah larut dalam air dan mempunyai waktu paruh 2 jam

setelah pemberian dosis oral. Kaptopril memiliki waktu paruh yang singkat

sehingga cocok untuk dibuat sediaan tablet lepas lambat. Pengembangan tablet

kaptopril lepas lambat akan memberikan beberapa keuntungan kepada pasien

yang perlu mengkonsumsi obat ini berkesinambungan dan digunakan dalam

jangka lama. Kaptopril stabil dalam kondisi suhu dan kelembapan normal

(Nokhodchi et al., 2008).

Dalam pembuatan sediaan lepas lambat diperlukan penambahan matriks

yang dapat memperlambat pelepasan zat aktifnya. Matriks adalah zat pembawa

padat yang di dalamnya obat tercampur secara merata (Shargel et al., 2005).

Suatu matriks dapat dibentuk secara sederhana dengan mengempa atau

menyatukan obat dan bahan matriks bersama-sama. Umumnya, obat ada dalam

Page 11: Isi 4

11

persen yang lebih kecil agar matriks memberikan perlindungan yang lebih besar

terhadap air dan obat berdifusi keluar secara lambat (Sulaiman, 2007).

Polimer hidrofilik selulosa biasanya digunakan sebagai bahan pengisi

berdasarkan sistem matriks yang ditablet. Efektivitas dari sistem matriks hidrofilik

ini didasarkan pada proses hidrasi dari polimer selulosa; pembentukan gel pada

permukaan polimer; erosi tablet; dan pelepasan obat yang berkesinambungan.

Keuntungan sistem matriks hidrofilik adalah sebagai berikut: sederhana, relatif

murah dan aman, mampu memuat dosis dalam jumlah yang besar (Collett and

Moreton, 2002). Matriks yang sering digunakan dalam sediaan lepas lambat salah

satunya NaCMC.

Natrium karboksil metilselulosa (NaCMC) mudah larut dalam air pada

semua temperatur, viskositas larutan meningkat dengan peningkatan konsentrasi

NaCMC. Pada pemanasan tinggi akan terjadi depolimerasi dan viskositasnya

menurun. Pada penelitian yang dilakukan oleh Nafsiah (2009) dan Prihandini

(2007) diperoleh hasil bahwa campuran NaCMC dengan Avicel PH 102

berpengaruh terhadap pelepasan obat teofilin dimana makin banyak jumlah

NaCMC yang ditambahkan mengurangi kecepatan disolusi obatnya. NaCMC

dapat meningkatkan kekerasan tablet dan menurunkan kerapuhan tablet jika

konsentrasinya tinggi, pelepasan obat metoprolol dapat diperlambat dengan

adanya NaCMC dan pelepasannya mengikuti orde nol (Syed et al, 2011).

Campuran NaCMC dengan Avicel akan membentuk tiksotropi gel yang cocok

untuk vehicle pada formulasi. Avicel PH 102 merupakan salah satu filler atau

pengisi yang mempengaruhi sifat alir, dengan makin besar grade maka makin baik

sifat alir granul yang dihasilkan (Rowe et al., 2006).

Keuntungan bentuk sediaan lepas lambat dibandingkan bentuk sediaan

konvensional adalah sebagai berikut (Ansel et al., 2005):

- Mengurangi fluktuasi kadar obat dalam darah

- Mengurangi frekuensi pemberian

- Meningkatkan kepuasan dan kenyamanan pasien

- Mengurangi efek samping yang merugikan

- Mengurangi biaya pemeliharaan kesehatan

Page 12: Isi 4

12

Kelemahan sediaan lepas lambat diantaranya adalah (Simon, 2001):

- Kemungkinan terjadinya kegagalan sistem lepas lambat sehingga bahan aktif

yang relatif tinggi dilepas sekaligus (dose dumping)

- Lebih sulit penanganan penderita apabila terjadi kasus keracunan atau alergi

obat, karena kandungan bahan aktif yang relatif lebih tinggi

2.6. Sustainable Release Drugs dan Drugs Delivery

Seperti yang dibahas sebelumnya, obat sustainable release merupakan

bentuk sediaan yang dirancang untuk melepaskan obatnya ke dalam tubuh secara

perlahan-lahan atau bertahap supaya pelepasannya lebih lama dan memperpanjang

aksi obat (Ansel et al., 2005). Dalam beberapa keadaan penyakit, bentuk sediaan

obat yang ideal adalah mampu memberikan jumlah obat untuk sampai ke reseptor

(tempat aksi obat) dan kemudian secara konstan dipertahankan selama waktu

pengobatan yang diinginkan. Pemberian obat dalam dosis yang cukup dan

frekuensi yang benar maka konsentrasi obat terapeutik steady state di plasma

dapat dicapai secara cepat dan dipertahankan dengan pemberian berulang dengan

bentuk sediaan konvensional peroral. Namun terdapat sejumlah keterbatasan dari

bentuk sediaan konvensional peroral (Collett and Moreton, 2002).

Beberapa tahun terakhir penelitian terhadap nanomaterial menjadi intensif

dilakukan di berbagai negara, baik menyangkut metode sintesanya maupun sifat-

sifat yang dihasilkannya. Pada bidang kesehatan, obat-obatan dikembangkan

menggunakan nanomaterial sehingga lebih cepat larut dan bereaksi untuk

menghasilkan apa yang disebut dengan obat pintar (smart drug) yang dapat

mencari sel-sel tumor secara presisi dan mematikannya tanpa mengganggu sel-sel

sehat tetangganya (Sona, 2010; Wong et al., 2011).

Secara umum, pelepasan terkontrol drugs delivery dengan cara memberikan

obat dalam dosis optimum untuk waktu yang lama, sehingga meningkatkan

kemanjuran obat, memaksimalkan kepatuhan pasien dan meningkatkan

kemampuan untuk menggunakan sangat beracun, obat yang sukar larut atau relatif

stabil. Bahan nano dapat digunakan sebagai sarana pemberian obat untuk

mengembangkan modalitas terapi dan diagnostik yang sangat selektif dan efektif.

Page 13: Isi 4

13

Ada sejumlah keuntungan dengan nanopartikel dibandingkan dengan

mikropartikel. Sebagai contoh, partikel nano dapat melakukan perjalanan melalui

aliran darah tanpa sedimentasi atau penyumbatan microvasculature tersebut.

Nanopartikel kecil dapat bersirkulasi dalam tubuh dan menembus jaringan seperti

tumor.

Diabetes mellitus (atau sering disebut diabetes) adalah suatu penyakit

dimana kandungan gula (glucosa) pada cairan darah (gula darah) meningkat

melebihi batas ambang atas (hyperglycemia). Peningkatan ini disebabkan oleh

adanya gangguan yang terjadi dalam proses penghantaran glucosa ke dalam sel

(Poretsky, 2010). Teknologi yang saat ini sedang dalam pengembangan

sebagaimana dilaporkan oleh Sona (Sona, 2010) adalah pembuatan nanoporus

membran yang sensitif terhadap pH (lihat gambar 14). Nanoinsulin dibalut dengan

suatu polimer dimana polimer pembalutnya memiliki porus berukuran nanometer

yang sensitif terhadap pH lingkungannya. Bila pH cairan darah menurun (< 7)

yang disebabkan oleh meningkatnya kadar gula darah, maka gerbang nanoporus

akan membuka dan insulin dilepas. Pelepasan insulin akan menurunkan kadar

gula darah yang menyebabkan pH darah meningkat menuju normal (~7,4). Pada

saat pH normal, gerbang nanoporus akan menutup. Polimer yang digunakan untuk

membuat pembalut yang memiliki nanoporus ini adalah N,N-dimethylaminoethyl

methacrylate dan polyacrylamide yang dikombinasi dengan polymethacrylic acid-

g-polyethylene glycol.

Page 14: Isi 4

14

Gambar 4. Skema nanopartikel dengan gerbang molekuler yang sensitif terhadap pH untuk mengontrol pelepasan insulin yang dipicu oleh kehadiran glucosa pada

cairan darah (Sona, 2010).

Pada dasarnya, Sustainable Release Drugs dan Drugs Delivery memiliki

kesamaan, yaitu melepaskan dan memfungsikan obat di waktu dan tempat yang

tepat. Hal ini dilakukan agar sediaan obat yang ideal mampu memberikan jumlah

obat untuk sampai ke reseptor (tempat aksi obat) dan kemudian secara konstan

dipertahankan selama waktu pengobatan yang diinginkan.

Kesamaan lainnya adalah, terlibatnya polimer dalam pembuatan keduanya.

Polimer digunakan sebagai matriks dalam sustainable release drugs dan sebagai

encapsulating dalam drugs delivery system. Keberadaan polimer ini dijadikan

sebagai “penjaga” agar obat dapat release di waktu dan tempat yang tepat.

Polimer yang dapat digunakan dalam kedua sistem ini adalah selulosa yang

berasal dari tanaman purun tikus (Eleocharis dulcis) dengan menkonversinya

terlebih dahulu menjadi turunan selulosa yang mampu berperan, yaitu natrium

karboksilmetil selulosa (NaCMC).

Page 15: Isi 4

15

BAB III

PENUTUP

3.1. Kesimpulan

Kesimpulan yang diperoleh dari penulisan makalah ini adalah tanaman

purun tikus (Eleocharis dulcis) berpotensi sebagai sumber selulosa dalam

pembuatan NaCMC, di mana NaCMC berperan sebagai matriks obat sustainable

release. Obat ini berupa bentuk sediaan yang dirancang untuk melepaskan

obatnya ke dalam tubuh secara perlahan-lahan atau bertahap supaya pelepasannya

lebih lama dan memperpanjang aksi obat. Hal ini dapat meningkatkan kinerja obat

dalam menyembuhkan penyakit tepat sasaran dan lebih efisien. Sustainable

Release Drugs dan Drugs Delivery memiliki kesamaan, yaitu sediaan obat dibuat

ideal dan mampu memberikan jumlah obat untuk sampai ke reseptor (tempat aksi

obat) dan kemudian secara konstan dipertahankan selama waktu pengobatan yang

diinginkan. Penggunaan polimer selulosa sebagai matriks dan encapsulating

sangat berperan dalam pelepasan obat pada organ target.

3.2. Saran

Tanaman purun tikus (Eleocharis dulcis) merupakan sumber selulosa

potensi lokal Kalimantan Selatan. Pembuatan turunan selolusa dalam pembuatan

Sustainable Release Drugs dan Drugs Delivery akan sangat mempengaruhi

bidang kesehatan dan farmasi. Oleh karena itulah, perlu adanya penelitian dan

perlakuan lebih lanjut mengenai sintesis dan karakterisasi natrium karboksilmetil

selulosa (NaCMC) sebagai polimer pendukung kedua system tersebut.

Page 16: Isi 4

16

DAFTAR PUSTAKA

Ansell, P.J., dkk. 2005. Repression of cancer protective genes by 17β-estradiol: Ligand-dependent interaction between human Nrf2 and estrogen receptor α. Molecular and Cellular Endocrinology 243 (2005) 27–34. Columbia, USA.

Burnawi dan Gatot S. 2010. Jenis Tumbuhan Air di Suaka Perikanan Awang Landas Perairan Sungai Barito, Kalimantan Selatan. BTL: Vol.9 No.1 Juni 2011. Mariana, Palembang.

Collet J, Moreton C. 2002. Modified-release peroral dosage forms. In: Aulton M E. (2nd Ed). harmaceutics. The Science of Dosage Form Design: Churchill Livingstone; p. 298.

Fengel, D & Gerd, W. 1995. Kayu, Kimia, Ultrastruktur, Reaksi-reaksi. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Fennema, D.R., M, Karen and D,B, Lund. 1996. Principle of Food Science. The Avi Publishing. Connecticuct.

Gohel, M. C. and Panchal M.K. 2002. Novel use of similarity factors and sd for development of diltiazem HCl modified-release tablet using a 3^2 factorial design. Drugs Dev. Ind. Pharm, 28 (77-87).

Handayani , A. W. 2010. Penggunaan Selulosa Daun Nanas Sebagai Adsorben Logam Berat Cd(II). Skripsi Universitas Sebelas Maret. Surakarta.

Harjasaputra, S.L.P., G. Budipranoto, S.U. Sembiring, I. Kamil. 2002. Data Obat Indonesia. Edisi 10. Jakarta, Grafidian Media Press.

Heinze, T., & Pfeiffer, K. (1999). Studies on the synthesis and characterization of carboxymethylcellulose. Die Angewandte Makromolekulare Chemie, 266(4638), 37–45.

Indrayati, L. 2011. Purun Tikus Berpotensi Perbaiki Kualitas Air di Rawa Pasang Surut. Majalah Sinartani. Banjarbaru.

Lachman, (1994). Teori dan Praktek Farmasi Industri. Edisi III. Jilid 2. Jakarta, UI Press. Hal. 1040, 1092-1094.

Nafsiah. 2009. Formulasi Sediaan Lepas Lambat Tablet Teofilin dengan Matriks Natrium CMC dan Avicel PH 102 dengan Metode Granulasi Basah, Skripsi, Fakultas Farmasi, Universitas Muhammadiyah Surakarta, Surakarta.

Page 17: Isi 4

17

Nokhodchi, A., Javadzadeh, Y., Siahi, M.R., Barzegar-Jalali, M., 2005. The effect of type and concentration of vehicles on the dissolution rate of a poorly soluble drug (indomethacin) from liquisolid compacts. J. Pharm. Pharmaceut. Sci. 8, 18–25.

Poretsky, L., 2010. Principles of Diabetes Mellitus. 2nd Edition. Springer Science+Business Media, LLC, New York, USA.

Prihandini, R., 2007, Optimasi Formulasi Sediaan Lepas Lambat Tablet Teofilin dengan Matriks Natrium carboxymetil Cellulose dan Etil Cellulose dengan Metode Simplex Lattice Design, Skripsi, Fakultas Farmasi, Universitas Muhammadiyah Surakarta, Surakarta.

Rao, Y. and Wu, J.Y. 2001. Neuronal migration and the evolution of the human brain. Nat. Neurosci. 4: 860–862. Missouri, USA.

Rowe, D. B. dkk., 2006. Assessment of heat-expanded slate and fertility requirement in green root substrate, Horrtechnology 16:471-477.

Shargel L, Wu-Pong S, Yu ABC. 2005. Applied Biopharmaceutics & Pharmacokinetics. New York, Appleton & Lange/McGraw-Hill Medical 892 pp.

Simon, H. A. (2001). "Seek and ye shall find" How curiosity engenders discovery. In K. D. Crowley, C. D. Schunn & T. Okada (Eds.), Designing for science: Implications from everyday classroom, and professional settings (pp. 3-18). Mahwah, NJ: Lawrence Erlbaum Associates.

Sona, P.S., 2010. Nanoparticulate drug delivery systems for the treatment of diabetes. Digest Journal of Nanomaterials and Biostructures, Vol. 5 No. 2, hal. 411-418.

Syarifuddin, N. A. 2008. Evaluasi Nilai Gizi Pakan Alami Ternak Kerbau Rawa di Kalimantan Selatan. Skripsi Fakultas Pertanian Unlam. Banjarbaru.

Syed, S. B., dkk. 2011. Developed-developing country partnerships: benefits from South to North?. From International Conference on Prevention & Infection Control (ICPIC 2011), BMC Procedings, From International Conference on Prevention & Infection Control (ICPIC 2011).

Tranggono, S., dkk. 1991. Bahan Tambahan Makanan (Food Additive). PAU Pangan dan Gizi UGM, Yogyakarta.

Wong, C., et al. 2011. Multistage nanoparticle delivery system forr deep penetration into tumor tissue. Proceedings of the National Academy of Sciences, Vol. 108 No. 6, hal. 2426-2431.