INTERVENSI MILITER: STUDI KASUS INTERVENSI MILITER...
Transcript of INTERVENSI MILITER: STUDI KASUS INTERVENSI MILITER...
INTERVENSI MILITER: STUDI KASUS INTERVENSI
MILITER PRANCIS OPERASI BARKHANE DI MALI
UTARA PERIODE 2014-2019
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)
Oleh:
Hana Febiani
11151130000045
PROGRAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2019
v
ABSTRAK
Skripsi ini menganalisis intervensi militer Prancis Operasi Barkhane di Mali
Utara periode 2014-2019. Tujuan penelitian ini adalah untuk menjelaskan apa saja
faktor-faktor yang membuat Prancis mempertahankan intervensi militenya yang
kedua, Operasi Barkhane, di Mali Utara periode 2014-2019 dengan menjabarkan
fakta-fakta yang dikategorikan ke dalam faktor sejarah, internal, dan eksternal.
Penelitian ini dilakukan melalui studi pustaka sebagai sumber data. Kerangka
pemikiran yang digunakan dalam skripsi ini adalah konsep Kebijakan Luar Negeri.
Dari hasil analisis dengan menggunakan teori tersebut ditemukan bahwa Prancis
mempertahankan intervensi militer Operasi Barkhane berdasarkan faktor-faktor
yang mengandung kepentingan nasional Prancis. Walaupun intervensi militer yang
dilakukan Prancis menuai kontroversi seperti tingginya biaya operasional, namun
Prancis mempertahankan kebijakan luar negerinya karena dipengaruhi beberapa
faktor yang menjadi alasan dari pengambilan keputusan kebijakan Prancis.
Di dalam penelitian ini ditemukan bahwa faktor-faktor Prancis
mempertahankan intervensi militer Operasi Barkhane pada konflik Mali Utara
periode 2014-2019 dikategorikan ke dalam tiga faktor. Pertama, faktor sejarah
berkaitan dengan Françafrique (hubungan antara Prancis dan negara-negara bekas
jajahannya) dan Dette de sang (hutang darah). Kedua, faktor internal meliputi
stabilitas politik demi keberlangsungan keuntungan ekonomi Prancis di Mali,
bahasa dan budaya, dan keamanan dalam negeri. Faktor terakhir merupakan faktor
eksternal berkaitan erat dengan respon Prancis atas resolusi Dewan Keamanan
(DK) PBB, bentuk dari pelaksanaan Prancis terhadap tanggung jawab utamanya
dalam DK PBB, permintaan bantuan dari pemerintahan Mali, eksistensi global, dan
war on terror.
Kata kunci: Operasi Barkhane, Intervensi Militer, Konflik Mali Utara,
Prancis, Terorisme, Afrika, Kepentingan Nasional.
vi
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim, puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas segala
rakhmat dan nikmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Atas
limpahan rahmat-Nya, penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul
“INTERVENSI MILITER: STUDI KASUS INTERVENSI MILITER PRANCIS
OPERASI BARKHANE DI MALI UTARA PERIODE 2014-2019.”
Skripsi ini untuk memenuhi syarat menyelesaikan studi serta dalam rangka
memperoleh gelar Sarjana Pendidikan Strata Satu pada Program Studi Hubungan
Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta. Dalam proses pengerjaannya terdapat dukungan dari berbagai pihak yang
dengan tulus memberikan motivasi untuk penulis agar menyelesaikan skripsi ini.
Oleh karenanya, penulis sampaikan rasa terima kasih sedalam-dalamnya kepada:
1. Keluarga tercinta yang selalu memberikan dukungan moral maupun materil,
Bapak Mardani Suryajaya dan Mama Upi Ade Yani tersayang, serta Adikku
Yulita Mutiadani yang selalu memberikan semangat;
2. Bapak Robi Sugara M.Sc, selaku Dosen Mata Kuliah Strategic Studies dan
Resolusi Konflik sekaligus Dosen Pembimbing yang dengan tanpa lelah
memberi arahan, bimbingan, dan saran kepada penulis dari proses
menentukan tema hingga terselesaikannya skripsi ini. Semoga selalu
diberikan kesehatan dan rezeki yang berlimpah;
3. Dosen-dosen Hubungan Internasional UIN Jakarta. Terima kasih atas segala
ilmu dan bimbingan yang telah diberikan selama masa perkuliahan.
Terlebih untuk Bapak Ahmad Al Fajri, M.A. yang selalu bersedia
vii
memberikan masukan kepada penulis dan Bapak Badrus Sholeh, Ph.D
selaku Dosen Pembimbing Akademik;
4. Seluruh kawan satu kelas dan organisasi penulis, HI B 2015 “Revolutioner
Class”, DEMA FISIP, KKN BERES, dan PMII Komfisip atas solidaritas,
pengalaman, dan pembelajaran;
5. Seseorang tersayang dan tercinta yang telah menemani selama lebih dari
tiga tahun, Boeike Adam Noor, yang mendukung dalam masa senang
maupun sulit dan selalu ada di sisi, hati, dan pikiran penulis;
6. Segenap member Anak Mecin, Syifa, Firda, Zara, Mawar, Dovi, Jihan,
Niken, Bang Tia, Asry, Hijri, Aul, dan Ica. Semoga tidak pernah melupakan
perjuangan dari maba hingga sekarang dan selalu dilimpahkan rezeki,
kesehatan, dan kesuksesan;
7. Sahabat tersayang sedari masa SMP, Awil, Tipun, dan Risma. Serta sahabat
yang selalu memberikan dukungan tanpa kenal lelah sejak SMA, Kiduy
Sukiduy, semoga selalu diberikan kesehatan dan kesuksesan;
Penulis berdoa semoga pihak-pihak yang memberikan dukungan moril dan
materil dicurahkan rahmat dan nikmat dari Allah SWT. Akhir kata, Penulis tidak
memungkiri bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karenanya penulis
terbuka pada kritik dan saran yang membangun demi kemajuan di masa depan.
Penulis berharap skripsi ini dapat menyuguhkan wawasan bagi pembaca.
Jakarta, 29 Oktober 2019
viii
DAFTAR ISI
LEMBAR JUDUL ................................................................................................ i
LEMBAR PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME ......................................... ii
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI ....................................... iii
LEMBAR PENGESAHAN PANITIAN UJIAN SKRIPSI .................................. iv
ABSTRAK .......................................................................................................... v
KATA PENGANTAR ........................................................................................ vi
DAFTAR ISI .................................................................................................... viii
DAFTAR SINGKATAN ..................................................................................... x
DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... xi
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................ 1
A. Latar Belakang ............................................................................ 1
B. Pertanyaan Penelitian .................................................................. 5
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian .................................................... 5
D. Tinjauan Pustaka ......................................................................... 6
E. Kerangka Pemikiran.................................................................... 9
1. Kebijakan Luar Negeri ………………………………......…... 9
F. Metode Penelitian ..................................................................... 12
G. Sistematika Penelitian ............................................................... 14
BAB II INTERVENSI MILITER PRANCIS DI AFRIKA ....................... 16
A. Intervensi Militer Operasi Sangaris ........................................... 17
B. Intervensi Militer Operasi Épervier ........................................... 23
BAB III INTERVENSI MILITER PRANCIS DI MALI UTARA ............. 31
A. Konflik di Mali Utara ................................................................ 31
B. Intervensi Militer Operasi Serval............................................... 42
C. Intervensi Militer Operasi Barkhane .......................................... 43
BAB IV FAKTOR-FAKTOR PRANCIS MEMPERTAHANKAN
INTERVENSI MILITER OPERASI BARKHANE PADA
KONFLIK MALI UTARA PERIODE 2014-2019 ........................ 58
A. Faktor Sejarah ........................................................................... 59
ix
B. Faktor Internal .......................................................................... 65
C. Faktor Eksternal ........................................................................ 69
BAB V PENUTUP ...................................................................................... 76
A. Kesimpulan ................................................................................ 76
B. Saran ......................................................................................... 77
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... xii
Lampiran ……………………………………………………………...………...xxi
x
DAFTAR SINGKATAN
AFISMA African-led International Support Mission to Mali
AQIM Al-Qaeda in the Islamic Maghreb
AS Amerika Serikat
DCSD Directorate of Cooperation of Security and Defence
DGSE Directorate General for External Security
DK Dewan Keamanan
ECOWAS Economic Community of West African States
G5 Gens 5 du Sahel
HAM Hak Asasi Manusia
ICRC International Comitte of the Red Cross
IPM Indeks Pembangunan Manusia
ISIS Islamic State in Iraq and Syria
JNIM Jama'ah Nusrat Al-Islam wa Al-Muslimin
KTT Konferensi Tingkat Tinggi
MINUSCA United Nations Multidimensional Integrated Stabilization
Mission in the Central African Republic
MINUSMA United Nations Multidimensional Integrated Stabilization
Mission in Mali
MNLA National Movement for the Liberation of Azawad
MOJWA Movement for Oneness and Jihad in West Africa
NATO North Atlantic Treaty Organization
PBB Perserikatan Bangsa-Bangsa
R2P Responsibility to Protect
RAF Royal Air Force
RECAMP Reinforcement of African Capacity to Maintain Peace
UA Uni Afrika
UE Uni Eropa
UNDP United Nations Development Programme
xi
DAFTAR GAMBAR
Gambar II.1 Peta Sahel .......................................................................... 30
Gambar III.1 Peta Mali ..................................................................................32
Gambar III.2 PDB Mali .......................................................................... 33
Gambar III.3 Riwayat Pemberontakan MNLA ........................................ 36
Gambar III.4 Peta Sebaran Grup Teroris Bersenjata di Afrika ................. 41
Gambar III.5 Skema Operasi Barkhane ................................................... 53
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Skripsi ini membahas bagaimana intervensi militer Prancis di Afrika,
bagaimana intervensi militer Prancis di Mali, dan apa saja faktor Prancis
mempertahankan intervensinya. Sejak masa dekolonialisasi pada 1960-an negara-
negara jajahan Prancis di Afrika, Prancis telah melakukan berbagai operasi militer
sebagai wujud intervensi yang dilakukannya atas respon masalah-masalah domestik
dari negara-negara bekas jajahannya. Sejak 1960 ketika sebagian besar koloni
Afrika-nya memperoleh kemerdekaan, Prancis telah meluncurkan lebih dari lima
puluh intervensi militer di benua tersebut.1 Saat ini, Prancis memiliki lebih dari
3.000 tentara yang tersebar di lima negara di Afrika, yakni Mali, Mauritania,
Burkina Faso, Niger dan Chad. Beberapa intervensi militer seperti Operasi Épervier
di Chad, Operasi Serval di Mali, dan Operasi Barkhane di Mali, dilakukan oleh
Prancis atas respon terhadap ancaman serius terorisme di wilayah Sahel.
Intervensi militer Prancis di Mali yang pertama terkait dengan konflik Mali
pada 2012 dinamakan operasi militer Serval. Pada 11 Januari 2013, Presiden
Hollande mengumumkan peluncuran operasi militer ini. Bantuan Mali secara
khusus merupakan atas permintaan pemerintah Mali. Satu hari setelah operasi
militer Serval diumumkan, yakni pada 12 Januari 2013, ratusan tentara Prancis telah
1 N. K. Powell. Battling Instability? The Recurring Logic of French Military Interventions in
Africa. (African Security, 10(1), 2016) Hlm. 47 [jurnal on-line] terdapat dalam https://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1080/19392206.2016.1270141
2
terlibat dalam konflik di Mali. Sekitar 4.000 orang pasukan Prancis didukung oleh
2.000 pasukan Chad dalam koordinasi dengan tentara Mali. Operasi ini menuai
kesuksesan diukur dari terbunuhnya tiga dari lima pemimpin kelompok Islam
militan dan kelompok Islam militan mengalami kekalahan baik dari kota maupun
pegunungan Adrar.2
Operasi militer Serval diklaim telah tercapai tujuannya pada musim panas
2014 oleh Presiden Hollande. Akan tetapi, Prancis melanjutkan intervensi
militernya di tahun itu yang disebut sebagai Operasi Barkhane. Operasi Barkhane
adalah operasi anti-pemberontakan di wilayah Sahel yang dimulai pada 1 Agustus
2014. Operasi militer lanjutan ini memiliki mandat untuk beroperasi lintas batas
dan menargetkan ekstremis Islam di beberapa wilayah sub-saharan Afrika, terutama
di Mali. Tidak seperti Serval, Barkhane bersifat preventif dalam tujuannya.
Sedangkan operasi militer Serval ditujukan untuk memperbaiki konflik yang telah
terjadi. Operasi Barkhane didukung oleh kekuatan 3,500 tentara militer Prancis
yang bertujuan untuk melindungi ibu kota Mali, Bamako, dan mengambil kembali
wilayah yang dikuasai kelompok militan.3
Konflik bersenjata di Mali berawal dari pemberontakan-pemberontakan yang
terjadi pada 2012. Pemberontakan di Mali berasal dari beberapa kelompok yang
memiliki tujuan berbeda. Kelompok-kelompok tersebut antara lain National
2 Isaline Bergamaschi. French Military Intervention in Mali: Inevitable, Consensual yet
Insufficient. (International Journal of Security & Development, 2(2): 20, 2013) Hlm. 2 [database on-line] terdapat dalam https://www.stabilityjournal.org/articles/10.5334/sta.bb/
3 Christopher S. Chivvis. The French War on Al Qa’ida in Africa (New York: Cambridge University Press, 2015) Hlm. 62 [Sumber buku]
3
Movement for the Liberation of Azawad (MNLA), Ansar Dine, Movement for
Oneness and Jihad in West Africa (MOJWA), dan Al-Qaeda in the Islamic
Maghreb (AQIM). MNLA yang didukung oleh Suku Tuareg memulai
pemberontakan dengan tujuan pembebasan wilayah Azawad terhadap pemerintah
pusat Mali. Kelompok ini berhasil menguasai Azawad dan memproklamasikan
kemerdekaan Azawad pada April 2012. Selanjutnya, terjadi konflik antara MNLA
dengan kelompok-kelompok Islam, antara lain, Ansar Dine didukung oleh MOJWA
dan AQIM yang memberlakukan syari’ah Islam di Azawad.4
Pada Operasi Serval, Prancis telah menghabiskan rata-rata € 2,7 juta per hari
untuk intervensi militernya di Mali. Perang Mali menelan biaya € 70 juta bagi
Prancis yang sarat utang hingga 2013. Menteri Luar Negeri Prancis, Fabius,
mengatakan pengeluaran ini merupakan upaya yang besar dari Prancis yang
berjuang untuk menyeimbangkan anggarannya sambil mengatasi rendahnya
pertumbuhan ekonomi dan tingginya tingkat pengangguran.5 Sedangkan tahun lalu,
Operasi Barkhane merupakan bagian terbesar dari biaya € 1,3 milyar untuk
intervensi militer Prancis di luar negeri, menurut kementerian pertahanan Prancis.
Pada 2018, Prancis mencari peningkatan dana untuk pasukan gabungan dari € 250
juta menjadi € 300 juta per tahun. Presiden Prancis Emmanuel Macron juga akan
mengumumkan peningkatan 40% dalam bantuan pembangunan Prancis ke negara-
4 Isaline Bergamaschi. French Military Intervention in Mali: Inevitable, Consensual yet
Insufficient. (International Journal of Security & Development, 2(2): 20, 2013) Hlm. 2 [database on-line] terdapat dalam https://www.stabilityjournal.org/articles/10.5334/sta.bb/
5 Joseph Bamat. Mali war costs debt-laden France 70 million euros. [database on-line] terdapat dalam https://www.france24.com/en/20130207-mali-war-costs-france-70-million-euros diakses 5/2/2019
4
negara G5 Sahel menjadi € 1,2 miliar selama lima tahun.6
Prancis menempati posisi ketiga pada peringkat hutang tertinggi di Eropa
setelah Yunani dan Itali.7 Badan pengawas keuangan publik Prancis mendesak
Macron untuk melangkah lebih jauh dalam mengurangi utang negara yang
merupakan salah satu yang tertinggi di Eropa. Peningkatan pendanaan harus
diseimbangkan dengan komitmen Macron untuk mengatasi pengeluaran berlebihan
Prancis, yang telah membuat negara itu berulang kali melanggar peraturan Eropa
tentang defisit. Defisit anggaran diperkirakan oleh kementerian ekonomi menjadi
2,8% dari Produk Domestik Bruto (PDB) Prancispada 2018, sementara utang
publik diperkirakan mencapai 2,2 triliun euro, setara dengan 96,8% dari PDB.8
Sementara itu, pada 1 Juli 2013 pasukan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)
telah turut serta dalam penanganan konflik di Mali. Misi pasukan perdamaian
tersebut adalah untuk mendukung otoritas transisional Mali dalam stabilisasi
negara, berfokus pada perlindungan warga sipil, pemantauan Hak Asasi Manusia
(HAM), dan mempersiapkan pemilihan umum yang inklusif dan damai. Misi
perdamaian yang diprakarsai oleh PBB ini disebut United Nations
Multidimensional Integrated Stabilization Mission in Mali (MINUSMA).
MINUSMA memiliki kekuatan berupa 12.640 personil berseragam, dimana 11.200
6 Financial Times. Emmanuel Macron seeks more EU funding for southern Sahara campaign.
Terdapat dalam https://www.ft.com/content/428bfe88-1709-11e8-9e9c-25c814761640 [database on-line] diakses 5/2/2019
7 CIA. The World Factbook: Mali. (2017) [database on-line] terdapat dalam https://www.cia.gov/library/publications/the-world-factbook/rankorder/2186rank.html diakses 11/7/2019
8 France 24. France to hike defence spending by over 40 percent. (2018) [database on-line] terdapat dalam https://www.france24.com/en/20180208-france-hike-defence-military-spending-over-40-percent-nato diakses 5/2/2019
5
anggota militer dan 1.440 polisi.9
Maka berdasarkan hal-hal tersebut, motivasi politik Prancis di balik intervensi
militer lanjutan di Mali menarik untuk dibahas. Prancis memiliki pasukan yang
ditempatkan di beberapa negara di Afrika Barat. Dengan begitu pengeluaran yang
dibutuhkan Prancis dalam intervensi militer ini kian membesar. Adanya pasukan
PBB yang turut terlibat dalam penanganan konflik ini dan isu keuangan domestik
yang menerpa Prancis membuat suatu pertanyaan apa saja faktor-faktor Prancis
tetap mempertahankan operasi militernya di Mali pada periode 2014-2019. Skripsi
ini berfokus pada 2014-2019 berdasarkan periode Operasi Barkhane yang dimulai
pada 2014 dan masih berlangsung hingga sekarang.
B. Pertanyaan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mencari jawaban dari pertanyaan, yaitu: “Apa
saja faktor-faktor yang membuat Prancis mempertahankan kebijakan
intervensi militer pada konflik yang terjadi di Mali Utara pada 2014-2019?”
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk:
a. Mengetahui kebijakan intervensi militer Prancis di Afrika.
b. Mengetahui kebijakan intervensi militer Prancis di Mali Utara.
c. Mengetahui faktor-faktor Prancis mempertahankan intervensi militernya di
Mali pada 2014 – 2019.
9 Lotte Vermeij. MINUSMA: Challenges on the Ground. (Norwegia Institute of International
Affairs, 2015) Policy Brief 19/2015. Hlm. 2 [database on-line] terdapat dalam https://www.nupi.no/nupi_eng/Publications/CRIStin-Pub/MINUSMA-Challenges-on-the-Ground
6
Adapun manfaat penelitian ini antara lain:
a. Menambah bahan pustaka bagi akademisi Hubungan Internasional
selanjutnya yang berkaitan dengan intervensi militer Prancis dan konflik
yang terjadi di Mali.
b. Menjadi referensi bagi praktisi maupun bagi pengambil kebijakan.
c. Sebagai sumber bacaan yang dapat digunakan secara ilmiah dan menambah
baik pengetahuan maupun referensi bagi khalayak yang membacanya.
D. Tinjauan Pustaka
Sebelumnya telah ada penelitian terkait kebijakan intervensi militer Prancis
dalam konflik di Mali Utara, salah satunya dalam jurnal yang ditulis oleh Isaline
Bergamaschi, French Military Intervention in Mali: Inevitable, Consensual yet
Insufficient pada tahun 2013.10 Dalam tulisannya Bermagaschi memaparkan
intervensi militer Prancis yang pertama pada 11 Januari 2013. Ia memberikan
analisis mengenai peristiwa yang mengarah pada krisis ganda yang terjadi di
wilayah utara dan selatan Mali yaitu konflik bersenjata antara pemerintah dan
kelompok pemberontak. Bermagaschi mengatakan bahwa intervensi militer Prancis
merupakan suatu hal yang tak dapat dihindarkan berdasarkan pada konsesus yang
luas, namun demikian hal tersebut tidaklah cukup untuk mengatasi akar penyebab
krisis multidimensi yang terjadi disana. Persamaan yang dimiliki penelitian yang
ditulis oleh Bergamaschi dengan skripsi ini yakni sama-sama memberikan
informasi mengenai awal mula konflik Mali, intervensi Prancis yang pertama di
10 Isaline Bergamaschi. French Military Intervention in Mali: Inevitable, Consensual yet
Insufficient. (International Journal of Security & Development, 2(2): 20, 2013) Hlm. 4 [database on-line] terdapat dalam https://www.stabilityjournal.org/articles/10.5334/sta.bb/
7
Mali, dan mengapa Prancis merasionalkan tindakannya tersebut. Akan tetapi, dalam
penelitian ini tidak dibahas lebih lanjut mengenai intervensi militer Prancis yang
kedua di Mali. Hal ini yang menjadi perbedaan utama dengan skripsi ini.
Penelitian mengenai riwayat operasi militer Prancis di Mali yang berjudul
From Operation Serval to Barkhane Understanding France’s Increased
Involvement in Africa in the Context of Françafrique and Postcolonialism oleh
Carmen Cuesta Roca menjelaskan analisanya atas isu Françafrique yang berarti
hubungan Prancis dengan negara-negara bekas koloninya, khususnya Mali. Prancis
memiliki hubungan yang kompleks dengan Afrika, dan ikatan ini tidak mudah
terputus. Penulis menjelaskan saat ini keputusan dan sikap pemerintah Prancis
menunjukkan bahwa Prancis tidak akan bisa menjaga jarak dari bekas jajahannya
dalam waktu dekat.11 Penelitian Roca dan skripsi ini sama-sama menjelaskan
bagaimana isu Françafrique mempengaruhi kebijakan intervensi militer Prancis di
Mali. Namun, yang menjadi perbedaan dengan skripsi ini adalah penelitian ini tidak
memberikan informasi lebih lanjut mengenai apa saja yang menjadi faktor-faktor
lain Prancis mempertahankan intervensi militernya di Mali. Sementara hal tersebut
dijelaskan pada skripsi ini.
Cristopher Griffin dalam artikelnya yang berjudul Operation Barkhane and
Boko Haram: French Counterterrorism and Military Cooperation in the Sahel
menyinggung sejarah intervensi Prancis di Mali dan daerah lainnya di Afrika.
11 Carmen Cuesta Roca. From Operation Serval to Barkhane: Understanding France’s
Increased Involvement in Africa in the Context of Françafrique and Postcolonialism. (2015) [jurnal on-line] terdapat dalam http://jpinyu.com/wp-content/uploads/2015/05/3-Hollande.pdf
8
Artikel ini membahas kampanye koalisi Prancis dan negara-negara bekas
jajahannya melawan terorisme yang terjadi Nigeria dan Mali dalam konteks
kerjasama militer Prancis dengan negara-negara Francophone yang terlibat.
Pemerintah Prancis secara aktif mendukung dan memfasilitasi tindakan ofensif
terhadap ancaman terorisme tersebut melalui Operasi Serval dan Barkhane. Operasi
Barkhane memiliki tujuan utama untuk menahan ancaman Al Qaeda dalam
Maghreb Islam. Akan tetapi, operasi ini juga dirancang dengan cara bekerja sama
dengan negara-negara mitra, untuk mencegah hubungan antara Boko Haram dan
kelompok-kelompok teroris lainnya di Sahel.12 Penelitian ini sama-sama membahas
sejarah intervensi militer Prancis di Afrika, khususnya Mali. Namun, perbedaan
dengan skripsi ini terletak pada penjelasan mengenai faktor-faktor Prancis
mempertahankan intervensi militernya di Mali sejak 2012 hingga sekarang.
Selanjutnya penelitian yang berjudul The roots of Mali’s conflict: Moving
beyond the 2012 crisis oleh Grégory Chauzal bertujuan untuk mengeksplorasi akar
penyebab yang paling menonjol dan pengaruh global yang menyebabkan krisis
Mali pada 2012. Laporan ini membahas masalah-masalah lokal yang memainkan
peran penting dalam merusak perdamaian dan keamanan Mali dan menjelajahi
dinamika internasional yang telah berkontribusi terhadap konflik ini. Atas dasar
analisis itu, laporan ini berusaha untuk memberikan banyak informasi mengenai
aktor lokal dan internasional yang sekarang berkontribusi di wilayah Sahel, dan di
12 Christopher Griffin. Operation Barkhane and Boko Haram: French counterterrorism and
military cooperation in the Sahel. (Abu Dhabi: TRENDS Research & Advisory, Mei 2015) [jurnal on-line] terdapat dalam http://trendsinstitution.org/wp-content/uploads/2015/06/Operation-Barkhane-and-Boko-Haram-Christopher-Griffin.pdf
9
Mali khususnya. Informasi tersebut juga termasuk seperti apa tantangan politik,
sosial dan perkembangan yang tetap harus diperhatikan untuk mencegah
terulangnya konflik bersenjata dan jatuhnya kelembagaan pemerintah.13 Penjelasan
mengenai aktor-aktor utama dalam konflik bersenjata di Mali menjadi persamaan
penelitian oleh Chauzal dengan skripsi ini. Sedangkan perbedaannya terdapat pada
analisa lebih lanjut mengenai pencegahan terulangnya konflik bersenjata dan
runtuhnya pemerintahan. Skripsi ini berfokus pada konflik bersenjata yang terjadi
di Mali, intervensi militer Prancis di Mali, dan apa saja faktor Prancis
mempertahankan intervensi militernya di Mali.
E. Kerangka Pemikiran
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan konsep Kebijakan Luar Negeri
untuk dapat menjelaskan permasalahan yang sedang diteliti.
1. Kebijakan Luar Negeri
Kebijakan luar negeri merupakan strategi atau rencana tindakan yang dibuat
oleh para pembuat keputusan negara dalam menghadapi negara lain atau aktor-
aktor internasional lainnya dan dikendalikan untuk mencapai tujuan nasional yang
terdapat dalam kepentingan nasional. Kebijakan luar negeri terdiri dari dua elemen
yaitu kepentingan nasional yang akan dicapai dan instrumen atau alat yang
digunakan untuk mencapainya.14 Tujuan nasional yang akan dicapai melalui
13 Grégory Chauzal. The roots of Mali’s Conflict Moving Beyond the 2012 Crisis. (Netherlands
Institute of International Relations Clingendael, 2015) [jurnal on-line] terdapat dalam https://www.clingendael.org/sites/default/files/pdfs/The_roots_of_Malis_conflict.pdf
14 Theodore A. Columbis & James Wolfe, Pengantar Hubungan Internasional: Keadilan dan Power. (Bandung: C.V Abardin, 1990). Hlm. 126.
10
kebijakan luar negeri merupakan formulasi konkret dan dirancang dengan
mengaitkan kepentingan nasional terhadap situasi internasional yang sedang
berlangsung serta kekuatan yang dimiliki untuk mencapainya.15
Menurut Holsti, lingkup kebijakan luar negeri meliputi semua tindakan serta
aktivitas negara terhadap lingkungan internal dan eksternalnya dalam upaya
mencapai kepentingan nasionalnya dari lingkungan tersebut. Holsti mendefinisikan
kebijakan luar negeri sebagai ide-ide atau tindakan-tindakan yang dilakukan oleh
para pembuat keputusan untuk menyelesaikan sebuah masalah ataupun untuk
mempromosikan sejumlah perubahan baik itu berupa kebijakan, perilaku,
maupuntindakan dari negara lain serta aktor non-negara lainnya di lingkungan
internasional.16
Dalam bukunya yang berjudul The Primacy of the National Interest,
Morgenthau mencoba menjelaskan mengenai kebijakan luar negeri yang didasari
atas kepentingan nasional atau prinsip moral. Jika kebijakan luar negeri berpihak
secara dominan kepada prinsip moral dan bukan pada kepentingan nasionalnya
maka terancam gagal. Kebijakan luar negeri suatu negara tidak akan berhasil
apabila tidak bermuatan kepentingan internasional. Morgenthau mengkritik
Doktrin Truman karena memposisikan prinsip moral universal misalnya kebebasan
dan demokrasi di atas kepentingan nasional sebagai standar dari kebijakan luar
15 Anak Agung Banyu Perwita, Pengantar Ilmu Hubungan Internasional, (Bandung: PT.
Remaja Rosdakarya, 2005). Hlm. 51. 16 K. J. Holsti. Politik Internasional. Kerangka untuk Analisis. Edisi ke 4. Diterjemahkan oleh:
M. Tahir Azhary (Jakarta: Penerbit Erlangga, 1992) Hlm. 265. [Sumber Buku]
11
negeri Amerika Serikat (AS).17
Kepentingan nasional dapat membantu untuk menganalisa hubungan
internasional, baik untuk mendeskripsikan, meramalkan, ataupun menganjurkan
perilaku internasional.18 Karena kepentingan nasional merupakan konsep abstrak
yang meliputi berbagai kategori dan keinginan dari suatu negara berdaulat. Hal
inilah yang menyebabkan bahwa kepentingan juga menjadi penentu terakhir dalam
menganalisa kebijakan luar negeri.19 Menurut Holsti, kebijakan luar negeri suatu
negara dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor eksternal dan faktor internal. Faktor
eksternal yaitu faktor-faktor non-domestik suatu negara yang mempengaruhi
negara dalam melakukan dan mengeluarkan kebijakan luar negeri. Faktor eksternal
yang mempengaruhi pembuatan kebijakan luar negeri yaitu struktur sistem
internasional, kebijakan dari negara lain, masalah global dan regional sektor privat,
hukum internasional dan opini publik. Sedangkan faktor internal adalah faktor
domestik yang mempengaruhi negara dalam menyusun dan mengeluarkan
kebijakan luar negeri. Faktor internal atau faktor domestik yang mempengaruhi
pembuatan kebijakan luar negeri yaitu kebutuhan sosioekonomi atau kebutuhan
keamanan, karakteristik geografi dan topografi, opini publik domestik, struktur
pemerintahan dan filosofi, birokrasi, dan pertimbangan etik. Selain faktor eksternal
dan faktor internal, terdapat faktor-faktor lain yang mempengaruhi proses
17 Hans J. Morgenthau. The Primacy of the National Interest. The American Scholar. Vol. 18,
No. 2 (SPRING 1949). Hlm. 210 [jurnal on-line] terdapat dalam https://www.jstor.org/stable/41205156
18 Mas’oed Mochtar, Ilmu Hubungan Internasional: Disiplin dan Metodologi. (Jakarta: Pustaka LP3S, 1990). Hlm. 162 [Sumber buku]
19 Robert Jackson & Georg Sorensen. Introduction to International Relations. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009). Hlm. 89 [Sumber buku]
12
pembuatan kebijakan luar negeri. Faktor-faktor tersebut adalah persepsi dan posisi
terhadap pengaruh dari perumusan kebijakan luar negeri, misalnya latar belakang
atau sejarah suatu subjek.20
Merujuk pada konsep kebijakan luar negeri di atas, Prancis mengambil
kebijakan dalam mempertahankan intervensi militer Operasi Barkhane di Mali atas
dasar faktor-faktor yang mempengaruhi kebijakan luar negerinya. Dalam
menerapkan kebijakan luar negeri berupa intervensi militer di Mali Utara, Prancis
memiliki alasan rasional yang dijelaskan oleh beberapa faktor, seperti yang
dikemukakan oleh Holsti, yakni faktor sejarah, internal, dan eksternal. Untuk itu,
konsep kebijakan luar negeri dianggap mampu untuk menjelaskan mengapa Prancis
mempertahankan kebijakan luar negerinya di Mali berdasarkan pengaruh berupa
faktor-faktor dalam perumusan kebijakan luar negeri Prancis.
F. Metode Penelitian
Suatu penelitian harus menggunakan metode-metode yang sistematik dan
teratur agar dapat mencapai tujuan penelitian. Metode penelitian adalah suatu
teknik yang digunakan dalam penelitian. Setiap penelitian harus didasarkan pada
suatu kerangka tertentu sehingga sesuai dengan hasil penelitian yang didapat.
Skripsi ini menggunakan metodologi penelitian sosial kualitatif. Metode
penelitian kualitatif menurut Salkind adalah, ilmu penelitian sosial atau perilaku
yang mengeksplorasi proses yang menekankan pada perilaku manusia dengan
20 K. J. Holsti. Politik Internasional. Kerangka untuk Analisis. Edisi ke 4. Diterjemahkan oleh:
M. Tahir Azhary (Jakarta: Penerbit Erlangga, 1992) Hlm. 269-306. [Sumber Buku]
13
menggunakan teknik eksplanatori seperti wawancara, studi kasus, dan teknik-
teknik personal lainnya. Kesimpulan yang dapat ditarik dari pernyataan Salkind
tersebut yaitu, metode kualitatif adalah penelitian yang menekankan pada
penggunaan teknik-teknik personal. Metode penelitian kualitatif didasarkan pada
data-data primer dan sekunder yang didapatkan dari buku, jurnal, artikel,
waawancara serta sumber-sumber lain yang relevan dengan materi penelitian.21
Adapun kekurangan metode penelitian pada skripsi ini terletak pada tidak adanya
sumber wawancara. Wawancara tidak dilakukan karena minimnya akses kepada
narasumber yang berkaitan dengan topik penelitian dan telah sumber berupa buku,
jurnal, artikel, dan berita telah memadai untuk memberikan materi penelitian.
Proses pengerjaan skripsi ini dimulai sejak Mei 2019 dan berjalan selama 5 bulan
hingga Oktober 2019.
1. Tipe Penelitian
Tipe penelitian ini menggunakan metode yang bersifat deskriptif. Metode
deskriptif bertujuan untuk membuat deskripsi, gambaran secara sistematis, faktual
dan akurat mengenai data-data yang ada. Metode deskriptif digunakan dalam
penelitian ini untuk menjelaskan keterlibatan Prancis dalam konflik yang
berlangsung di Mali. Metode deskriptif juga akan membantu penulis untuk
menjelaskan tentang alasan Prancis melakukan intervensi militer pada konflik yang
terjadi di Mali Utara pada 2014-2019.
21 Neil J. Salkind, Exploring Research. (New Jersey: Pearson Education, 2018), Hlm. 254
[Sumber buku]
14
2. Teknik Pengumpulan Data
Data penelitian diperoleh dengan melakukan penelitian studi pustaka. Sumber
data-data yang digunakan dalam penelitian ini antara lain berasal dari perpustakaan,
jurnal online, dan berita. Data tersebut berbentuk kutipan tulisan yang termuat
dalam buku yang berkaitan dengan penelitian, artikel-artikel dari jurnal akademis,
serta artikel-artikel yang berasal dari situs-situs internet yang relevan dengan kasus
yang diteliti.
G. Sistematika Penelitian
BAB I PENDAHULUAN
Bab ini merupakan pendahuluan dari penelitian. Dalam bab ini dijelaskan
latar belakang masalah, tujuan dan manfaat penelitian tinjauan pustaka, kerangka
pemikiran metode penelitian, serta sistematika penelitian. Pembahasaan pada bab
ini bertujuan untuk mengetahui maksud, tujuan, dan metode yang digunakan dalam
penelitian ini.
BAB II INTERVENSI MILITER PRANCIS DI AFRIKA
Bab ini menjelaskan dua intervensi militer Prancis di Afrika yakni Operasi
Sangaris dan Operasi Épervier. Penulis memaparkan hal tersebut guna memperoleh
informasi mengenai riwayat singkat intervensi Prancis di Afrika sejak
dekolonialisasi dan grup teroris bersenjata yang memicu intervensi militer tersebut.
BAB III INTERVENSI MILITER PRANCIS DI MALI UTARA
Bab ini menjelaskan intervensi militer Prancis yakni Operasi Serval dan
15
Operasi Barkhane. Penjelasan mengenai dua hal tersebut bertujuan untuk
mengetahui bagaimana peran, strategi dan kekuatan militer Prancis dalam konflik
bersenjata di Mali sejak 2012. Hal ini penting untuk diketahui guna melihat
bagaimana perbandingan antara intervensi militer Prancis yang pertama dan kedua
di Mali.
BAB IV FAKTOR-FAKTOR PRANCIS MEMPERTAHANKAN
INTERVENSI MILITER OPERASI BARKHANE DI MALI UTARA
Bab ini menjelaskan faktor-faktor yang memengaruhi kebijakan luar negeri
Prancis untuk mempertahankan operasi lanjutan terkait dengan konflik di Mali
Utara. Dalam bab ini dijelaskan faktor-faktor sejarah, internal dan eksternal yang
memengaruhi hal tersebut. Pemaparan faktor-faktor ini bertujuan untuk menjawab
pertanyaan penelitian mengenai apa saja faktor-faktor Prancis mempertahankan
intervensi militer Operasi Barkhane di Mali Utara pada periode 2014-2019.
BAB V
Bab ini terdiri atas kesimpulan dan saran atas penelitian mengenai faktor-
faktor Prancis mempertahankan intervensi militer Operasi Barkhane di Mali Utara
pada periode 2014-2019. Bab ini bertujuan untuk merangkum secara singkat dari
hasil penelitian yang telah dijelaskan pada bab-bab sebelumnya.
16
BAB II
INTERVENSI MILITER PRANCIS DI AFRIKA
Bab ini menjelaskan dua intervensi militer Prancis di Afrika yakni Operasi
Sangaris dan Operasi Épervier. Penulis memaparkan hal tersebut guna memperoleh
informasi mengenai riwayat singkat intervensi Prancis di Afrika sejak
dekolonialisasi dan grup teroris bersenjata yang memicu intervensi militer tersebut.
Intervensi militer Prancis di negara-negara bekas jajahannya di Afrika
menjadi kebijakan yang konsisten sejak dekolonisasi. Sejak 1960, Prancis
melaksanakan sekitar 46 operasi militer di kawasan tersebut. Dimulai dari operasi
militer pertama di Gabon (1964), dan termasuk di era pasca-Perang Dingin: Operasi
Noroit (Rwanda 1990-1993), Operation Verdier (Benin 1991), Operation Godoria
(Djibouti 1991), Operasi Baumier (Zaire 1991), Operasi Addax (Angola 1992),
Operasi Simbleau (Sierra Leone 1992), Operasi Iskoutir (Djibouti 1992-1993),
Operasi Oryx (Somalia 1992-1993), Operasi Balata (Kamerun 1994), Operasi
Amaryllis (Rwanda 1994), Operasi Diapason (Yemen 1994), Operation Turquoise
(Zaire / Rwanda 1994), Operasi Azalée (Kamerun 1995), Operasi Almandin
(Republik Afrika Tengah 1996–1997), Operation Pelican (Congo-Brazzaville
1997), Operation Licorne (Pantai Gading 2002), Operasi Artemis (Republik
Demokratik Kongo), Operasi EUFOR-Chad (Chad 2007–2008), Operasi Atalante
(Djibouti 2008), Operasi Harmattan (Libya 2011), Operasi Serval (Mali 2012),
Operasi Épervier (Chad 1986–2014), Operasi Sangaris (2013–2016), dan Operasi
17
Barkhane (Mali 2014).22
Dalam penelitian ini, penulis mengambil dua operasi militer Prancis di
Afrika, yakni Operasi Sangaris dan Operasi Épervier. Dua operasi militer ini dipilih
karena berkaitan erat dengan isu yang diangkat oleh penulis dalam penelitian.
Operasi Sangaris memiliki persamaan dengan Operasi Serval dan Operasi Barkhane
dalam landasan hukum peluncurannya berdasarkan Resolusi DK PBB. Pada
Operasi Sangaris, Presiden Hollande mengatakan mengadaptasi yang telah
dilakukan di Operasi Serval di Mali terutama dalam hal alasan yang mengizinkan
Prancis mengintervensi Republik Afrika Tengah beserta strategi militernya. Selain
itu, pada Operasi Sangaris, Prancis juga menghadapi ancaman grup teroris
bersenjata yang identik dengan Operasi Barkhane. Selanjutnya, Operasi Épervier
merupakan operasi yang berubah menjadi Operasi Barkhane akibat lingkup
kawasan yang kini tidak hanya berfokus kepada satu negara melainkan berlangsung
di wilayah Sahel dengan ancaman grup teroris bersenjata yang juga sama yakni
AQIM, MOJWA, Ansar Dine, dan JNIM.
A. Intervensi Militer Operasi Sangaris (2013-2016)
Pada 5 Desember 2013, Presiden Prancis, François
Hollande, mengumumkan sebuah keputusan untuk memperkuat kontingen militer
Prancis di Republik Afrika Tengah atau Central African Republic (CAR) untuk
mencegah bencana kemanusiaan di negara itu. Keputusan ini didahului oleh adopsi
22 D. A. Yates. French Military Interventions in Africa. (The Palgrave Handbook of
Peacebuilding in Africa, 2018) Hal. 391-392 [Jurnal on-line] diunduh dari https://link.springer.com/chapter/10.1007/978-3-319-62202-6_22
18
oleh Resolusi 2127 DK PBB yang secara khusus mengatur dukungan PBB untuk
African-led International Support Mission to the Central African Republic (dalan
bahasa Prancis: MISCA), yang kekuatannya diperkirakan akan mencapai 4.000
orang secara keseluruhan dan pasukan Afrika ini didukung secara dominan oleh
pasukan Prancis, dengan otorisasi untuk menggunakan kekuatan sebagaimana
mestinya.23 Penamaan Operasi Sangaris mengacu pada kupu-kupu Afrika yakni
Cymothoe sangaris. CAR terkenal sebagai habitat dari jutaan jenis kupu-kupu.
Pemilihan nama ini dikarenakan kupu-kupu tidak berbahaya, tidak bertahan lama,
dianggap cantik dan secara politis benar.24
Ketika Presiden CAR, François Bozizé, menghubungi Prancis untuk
meminta bantuan pada Desember 2012, Presiden Hollande awalnya menolak untuk
membantu dengan menggarisbawahi bahwa Prancis tidak akan meluncurkan misi
sepihak tanpa persetujuan dari komunitas internasional. Pada 5 Desember 2013, DK
PBB mengizinkan Operasi Sangaris oleh Prancis, dan juga misi yang dipimpin Uni
Afrika, MISCA.25
Baik operasi militer MISCA dan Sangaris beroperasi di bawah mandat Bab
VII Piagam PBB dan secara khusus merupakan respon dari Resolusi 2127 DK
23 Ministère De Armées. Operation Sangaris. (10 Desember 2013) [database on-line]
terdapat dalam https://www.defense.gouv.fr/operations/terminees/sangaris/dossier-de-presentation-de-l-operation-sangaris/operation-sangaris2 diakses pada 16/10/2019
24 Lexpress. Centrafrique: pourquoi l'opération militaire porte-t-elle le nom d'un papillon?. (5 Desember 2013) [database on-line] terdapat dalam https://www.lexpress.fr/actualite/monde/centrafrique-pourquoi-l-operation-militaire-porte-t-elle-le-nom-d-un-papillon_1305533.html diakses pada 16/10/2019
25 Blandine Sixdenier. Stability Spectrum: The Battle for Stabilization in The Central African Republic. (Institut de Recherche Stratégique de l'Ecole Militaire, Research paper No. 42 July 2017) Hal. 5 [jurnal on-line] diunduh dari https://www.irsem.fr/data/files/irsem/documents/document/file/1197/NR_IRSEM_42.pdf
19
PBB.26 Sebagaimana tanggung jawab utama Prancis sebagai anggota tetap DK PBB
dalam Bab VII, Pasal 39, DK PBB memiliki tanggung jawab utama untuk
“Menentukan keberadaan ancaman terhadap perdamaian, pelanggaran perdamaian,
atau tindakan agresi dan akan membuat rekomendasi, atau memutuskan tindakan
apa yang akan diambil untuk mempertahankan atau memulihkan perdamaian dan
keamanan internasional.”27
Resolusi 2127 DK PBB diadopsi dengan latar belakang terbunuhnya ribuan
orang selama konflik kekerasan agama dan etnis antara umat Kristen dan Islam di
negara itu pada Maret 2013 yang menjerumuskan negara ke dalam perang saudara.
Sebagian besar ketegangan berasal dari konflik agama antara pejuang Séléka
(Muslim) dan Anti-Balaka (Kristen). Faktor-faktor lain yang berkontribusi
termasuk perbedaan etnis di antara faksi-faksi eks-Séléka dan antagonisme historis
antara para petani, yang sebagian besar terdiri dari anti-balaka, dan kelompok-
kelompok nomaden, yang merupakan sebagian besar pejuang Séléka. Hingga 2016,
Lebih dari 1,1 juta orang telah meninggalkan rumah mereka di negara berpenduduk
sekitar 5 juta orang, jumlah ini merupakan yang tertinggi dalam sejarah CAR.28
Prancis dalam koordinasi dengan Afrika dan dukungan dari negara-negara
Eropa lainnya telah menempatkan 600 tentara Prancis di lokasi pada 5 Desember
26 European Parliament. Parliamentary Question. (6 Maret 2014) [database on-line]
terdapat dalam http://www.europarl.europa.eu/sides/getAllAnswers.do?reference=E-2013-014455&language=EN diakses pada 15/10/2019
27 United Nations. Legal Framework. [database on-line] tersedia dalam http://legal.un.org/repertory/art39.shtml diakses pada 15/10/2019
28 Al-Jazeera. Displaced and forgotten in Central African Republic. (27 Juli 2016) https://www.aljazeera.com/indepth/inpictures/2016/07/displaced-forgotten-central-african-republic-160717113644108.html diakses pada 15/10/2019
20
2013, yakni hari pertama operasi ini diberlakukan. Menteri Pertahanan Prancis Jean
Yves Le Drian mengatakan pasukan Perancis yang menjalankan Operasi Sangaris
telah mencapai tujuan mereka untuk mengakhiri pertempuran, bertransisi dengan
misi penjaga perdamaian PBB dan memastikan bahwa CAR melangsungkan
pemilihan umum secara damai. Pada 2016, Prancis menarik 2.000 personelnya dan
menyisakan 350 personel untuk menyerahkan misi selanjutnya kepada United
Nations Multidimensional Integrated Stabilization Mission in the Central African
Republic (MINUSCA) karena Prancis mengklaim telah berhasil mencapai tujuan di
Operasi Sangaris.29
Menteri Pertahanan Prancis, Le Drian memperkirakan Operasi Sangaris
menelan biaya tambahan € 100 juta dari anggaran pertahanan Prancis pada 2014.
Namun, Prancis tetap menjadi militer kelas berat di dunia ini. Anggaran
pertahanannya mencapai $ 61,2 miliar pada 2013 dan dengan demikian merupakan
anggaran pertahanan nasional terbesar di antara negara-negara anggota UE (Uni
Eropa) dan terbesar kelima di dunia, hanya dilampau oleh Amerika Serikat, Cina,
Rusia, dan Arab Saudi.30
Keberhasilan tentara Prancis di Operasi Sangaris yakni mereka mampu
beradaptasi dan menjadi efektif secara militer. Operasi Sangaris memang tidak
menyelesaikan krisis di CAR hingga sekarang, tetapi membantu menghindari
29 BBC News. France Ends Sangaris Military Operation in CAR. (31 Oktober 2016) [database
on-line] terdapat dalam https://www.bbc.com/news/world-africa-37823047 diakses pada 15/10/2019
30 Benedikt Erforth. Contemporary French Security Policy in Africa - On Ideas and Wars. (Palgrave, 2019) Hal. 158 [jurnal on-line] diunduh dari https://www.palgrave.com/gp/book/9783030175801
21
genosida. Upaya-upaya yang dilakukan meliputi pelucutan senjata, pembinaan
struktur administrasi, dan mempelopori bantuan kemanusiaan. Operasi Sangaris
setidaknya berhasil menjadi operasi penghubung bagi MINUSCA.31 Tujuannya
adalah hanya untuk mengendalikan apa yang benar-benar diperlukan dan untuk
beroperasi di tempat yang paling padat penduduknya lalu menyerahkan kontrol dari
setiap lokasi untuk pasukan internasional sesegera mungkin. Dalam operasi
penghubung ini, pasukan Prancis harus fokus pada clear yakni mengeliminasi
ancaman-ancaman yang ada, hold yakni mengamankan stabilitas area, dan build
yakni memfasilitasi agar area dapat ditangani lebih lanjut dengan pendekatan
peacebuilding oleh pasukan multinasional, organisasi internasional, dan
pemerintah daerah.32
Meskipun tujuan utama Operasi Sangaris adalah untuk mencegah genosida,
teteapi kepentingan politik dan ekonomi Prancis juga dipertaruhkan. Operasi
Sangaris menggambarkan bagaimana pencegahan genosida dan kepentingan dapat
hidup berdampingan dalam menjelaskan mengapa suatu intervensi militer
dilakukan. Seperti yang dikatakan De Gaulle, “negara tidak memiliki teman, hanya
kepentingan”. Dalam hal ini, intervensi militer dilakukan demi mencegah
runtuhnya CAR sekaligus sebagai alat untuk mencapai kepentingan geopolitik
31 Rémy Hémez. Operation Sangaris A Case Study in Limited Military Intervention. (Military
Review, 2016) Hal. 73 [jurnal on-line] terdapat dalam https://www.armyupress.army.mil/Portals/7/military-review/documents/Military-Review-20161231-art014.pdf
32 Rémy Hémez. Operation Sangaris A Case Study in Limited Military Intervention. (Military Review, 2016) Hal. 75-76 [jurnal on-line] terdapat dalam https://www.armyupress.army.mil/Portals/7/military-review/documents/Military-Review-20161231-art014.pdf
22
Perancis. Terletak di jantung Afrika, CAR memegang posisi geostrategis yang
penting. Perancis memiliki banyak kepentingan ekonomi di negara-negara tetangga
CAR. Oleh karena itu Prancis harus menjaga stabilitas negara tersebut karena
gejolak di dalam CAR dapat membuat ketidakstabilan di Afrika. Selain itu, CAR
kaya akan sumber daya alam yang penting secara strategis.33
Ketika melakukan intervensi di Mali dan CAR, Prancis tidak hanya ikut
berkontribusi stabilitas internasional tetapi juga memuaskan citra dirinya di mata
dunia. Prancis ada di sistem internasional sebagai aktor keamanan di benua Afrika,
sebagai promotor demokrasi dan pembela hak asasi manusia. Dengan kata lain,
peran Prancis dalam sistem internasional terkait dengan ketidakstabilan Afrika.
Prancis hanya bisa menjadi pelindung regional Afrika selama Negara-negara Afrika
berperan sebagai orang yang dilindungi. Dengan demikian Prancis tergantung pada
narasi menjadi kekuatan yang berpengaruh dalam hal ini di dunia. Untuk
mempertahankan narasi ini, diperlukan kebijakan untuk mengkonfirmasi wacana
dan mempraktikkan konsepsi peran Prancis. Jika, suatu hari, para pemimpin Afrika
tidak menggunakan bantuan Prancis lagi dalam masalah keamanan, identitas
nasional dan tujuan Prancis di dunia sistem internasional akan terancam secara
serius.34
33 Blandine Sixdenier. Stability Spectrum: The Battle for Stabilization in The Central African
Republic. (Institut de Recherche Stratégique de l'Ecole Militaire, Research paper No. 42 July 2017) Hal. 6 [jurnal on-line] diunduh dari https://www.irsem.fr/data/files/irsem/documents/document/file/1197/NR_IRSEM_42.pdf
34 Benedikt Erforth. Contemporary French Security Policy in Africa - On Ideas and Wars. (Palgrave, 2019) Hal. 175 [jurnal on-line] diunduh dari https://www.palgrave.com/gp/book/9783030175801
23
B. Intervensi Militer Operasi Épervier (1986 - 2014)
Operasi Épervier dimulai pada Februari 1986 di Chad atas permintaan
negara Chad untuk berkontribusi pada pemulihan perdamaian dan pemeliharaan
integritas teritorial negara tersebut. Pasukan Operasi Épervier memiliki dua misi
permanen antara lain, pertama, melindungi kepentingan Prancis dan, khususnya,
keamanan warga negara Prancis yang tinggal di Chad, sesuai dengan perjanjian
kerjasama teknis yang ditandatangani antara Prancis dan Chad. Kedua,
menyediakan dukungan logistik (pengisian bahan bakar, bahan bakar, transportasi,
pelatihan, medis, intelijen) kepada pasukan bersenjata Chad. Operasi ini berarti
sparrowhawk, diartikan dari bahasa Prancis, karena mengandalkan kekuatan udara
Prancis dalam penerapannya.35
Selain itu, pasukan Operasi Épervier memberikan bantuan medis kepada
penduduk dan mendukung tindakan, terutama di bidang akses ke air, pendidikan
dan kesehatan. Pasukan ini juga, dengan cara yang sama seperti pasukan yang
diposisikan sebelumnya dan dalam operasi eksternal di Afrika Tengah dan Barat,
pasukan Epervier berpartisipasi dalam operasi Prancis yang sedang berlangsung di
daerah Sahel dan mendukung mereka, seperti yang saat ini berlaku untuk Operasi
Serval di Mali dan Operasi Sangaris di CAR. Pada 2019, Pasukan Épervier
berkekuatan sekitar 950 personel.36
35 Ministère De Armées. Operation Épervier. (24 Februari 2014) [database on-line] terdapat
dalam https://www.defense.gouv.fr/operations/terminees/operations-epervier-1986-2014/dossier/les-elements-francais-au-tchad-eft diakses pada 15/10/2019
36 Ministère De Armées. Operation Épervier. (24 Februari 2014) [database on-line] terdapat dalam https://www.defense.gouv.fr/operations/terminees/operations-epervier-1986-2014/dossier/les-elements-francais-au-tchad-eft diakses pada 15/10/2019
24
Konflik Chad-Libya adalah serangkaian bentrokan sporadis di Chad antara
1978 hingga 1987 antara pasukan Libya dan Chad. Libya telah terlibat dalam urusan
internal bahkan Chad sebelum 1978 dan sebelum Muammar Gaddafi naik ke
kekuasaan di Libya pada 1969. dimulai dengan Perang Sipil Chad ke sengketa
wilayah antara Libya-Chad di Chad utara pada 1968. Gaddafi awalnya bermaksud
untuk mengklaim Jalur Aouzou, bagian paling utara Chad, yang ia klaim sebagai
bagian dari Libya dengan alasan perjanjian yang tidak diratifikasi dari periode
kolonial.37
Prancis mengklaim melakukan Operasi Épervier atas dasar menanggapi
permintaan bantuan dari pemerintah Chad, menyebut negara itu mitra penting
dalam perang melawan terorisme. Para pejabat Chad mengatakan serangan itu sah
dan perlu untuk mencegah aktivitas teroris.38 Chad merupakan negara di Afrika
yang paling banyak menerima intervensi militer Prancis. Pada tahun 1978, Prancis
memulai Operasi Tacaud di Chad yang bertujuan mendukung tentara Chad dan
melindungi ibukotanya, Ndjamena, dari pasukan pemberontak. Pada tahun 1983,
Perancis meluncurkan intervensi terbesarnya sejak perang Aljazair dengan memulai
Operation Manta dan mengirimkan 3.500 tentara untuk membantu menghentikan
serangan oleh pasukan oposisi pemerintah dan agresi Libya. Pada Februari 1986,
Presiden Libya, Qadhafi meluncurkan misil dan agresi ofensif yang mendorong
37 Kenneth Michael Pollack. Arabs at War: Military Effectiveness 1948–1991. (University of
Nebraska Press, 2002) Hal. 375 [jurnal on-line] diunduh dari https://www.cfr.org/book/arabs-war 38 Salem Solomon. French Airstrikes in N. Chad Affirm Support for President Déby. (10
Februari 2019) [database on-line] terdapat dalam https://www.voanews.com/africa/french-airstrikes-n-chad-affirm-support-president-deby diakses pada 15/10/2019
25
konflik ini ke garis merah, yang menyebabkan Prancis memulai Operasi Épervier.39
Pada 1960-an dan 1970-an, Prancis membantu Chad dalam melancarkan
perang kontra-pemberontakan melawan Front Pembebasan Nasional Chad. Pada
tahun 1986, Prancis kemudian mendirikan Operasi Épervier untuk melawan
ekspansionisme Libya. Presiden Chad, Hissène Habré, yang dijatuhi hukuman pada
tahun 2017 karena kejahatan perang, kejahatan terhadap kemanusiaan dan
penyiksaan, merupakan sekutu utama Prancis dan Amerika Serikat (AS) dalam
melawan ekspansionisme Gaddafi di Chad. Kemudian lewat Operasi Épervier,
Prancis mendukung pemerintah Chad dengan alasan menjaga stabilitas, dan selama
beberapa dekade, kehadiran militer Prancis telah memungkinkan untuk mendukung
pemerintah berikutnya di Chad. Mereka pertama kali mendukung Presiden Habré
sebelum mengalihkan dukungan pada Presiden Idriss Déby yang telah menjadi
presiden Chad sejak merebut kekuasaan dengan dukungan Prancis pada 1990.40
Sejak itu, Déby telah menghadapi beberapa pemberontakan serius. Pada
bulan April 2006 hingga Februari 2008, pemberontak bahkan berhasil mencapai ibu
kota N’ Djamena. Dukungan Prancis saat itu memiliki strategi yakni berbagi
intelijen dengan tentara Chad, unjuk kekuatan dengan penerbangan pesawat tempur
dengan tingkat rendah di atas markas-markas pemberontak, dan tembakan
39 Stephen Burgess. Military Intervention in Africa: French and US Approaches Compared.
(JEMEAA Spring 2019) Hal. 76 [jurnal on-line] diunduh dari https://www.airuniversity.af.edu/Portals/10/JEMEAA/Journals/Volume-01_Issue-1/JEMEAA_01_1_burgess.pdf
40 Marielle Debos. Airstrikes and “stability”: What’s the French army doing in Chad?. (14 Februari 2019) [database on-line] terdapat dalam https://africanarguments.org/2019/02/14/airstrikes-stability-what-french-army-doing-chad/ diakses pada 15/10/2019
26
peringatan. Pada 2008, strategi militer berubah menjadi pencegahan pasokan
amunisi ke Libya serta melindungi bandara ibukota. Namun, pada 2019, pendekatan
Prancis telah berubah secara signifikan. Mereka tidak lagi puas untuk menciptakan
kondisi yang memenangkan tentara Chad. Kini Prancis melancarkan serangan
udara terhadap pemberontak, terutama pada grup teroris bersenjata itu sendiri.41
Setidaknya terdapat tiga grup teroris bersenjata yang menunjukkan
eksistensinya di seluruh wilayah Sahel. Grup teroris bersenjata tersebut memicu
Prancis untuk tetap melanjutkan intervensi militernya di Chad, bahkan di Sahel,
karena ancamannya tersebar di Sahel sehingga hal ini menjadi masalah regional.
Sahel adalah zona transisi yang luas di Afrika Barat dimana kontur wilayah ini
didominasi oleh gurun pasir. Istilah tersebut mencakup lima negara Afrika Barat
berbahasa Prancis yakni Burkina Faso, Chad, Mali, Mauritania, dan Niger. Wilayah
ini telah berada dalam cengkeraman krisis yang berkepanjangan sejak negara-
negara itu menjadi merdeka, dan ruang lingkup serta jangkauan luar dari masalah
mereka sangat luas sehingga masyarakat internasional tidak dapat melakukan apa-
apa selain berusaha membebaskan mereka lewat intervensi militer, bantuan sosial,
dan dukungan lainnya.
Tiga grup teroris bersenjata yang tersebar di Sahel antara lain AQIM,
MOJWA, dan Ansar Dine. AQIM dan cabang dan sekutunya terutama pejuang
Belmokhtar telah melakukan beberapa serangan besar terhadap wilayah Afrika.
41 Marielle Debos. Airstrikes and “stability”: What’s the French army doing in Chad?. (14
Februari 2019) [database on-line] terdapat dalam https://africanarguments.org/2019/02/14/airstrikes-stability-what-french-army-doing-chad/ diakses pada 15/10/2019
27
Belmokhtar adalah pemimpin AQIM yang paling menonjol dengan kehadiran
berulang di Libya. Serangan hotel termasuk serangan November 2015 di Bamako
(Mali) serangan Januari 2016 di Ouagadougou (Burkina Faso) dan serangan Maret
2016 di Grand Bassam (Pantai Gading). Serangan pada infrastruktur energi
termasuk dua insiden: penyanderaan massal di fasilitas gas Tigentourine di In
Amenas, Aljazair oleh unit Belmokhtar pada Januari 2013, dan pemboman bunuh
diri dalam waktu bersamaan terhadap tambang uranium Somair di Arlit, Niger, dan
sebuah barak tentara di Agadez, Niger, pada Mei 2013. Belmokhtar menyatakan
insiden ini sebagai balas dendam atas intervensi yang dipimpin Prancis di Mali.42
Perekrutan jihadis MOJWA menjangkau Afrika utara dan barat, khususnya
Aljazair, Mauritania, Mali, dan Niger. Metode perekrutan yang tepat dari kelompok
ini tidak diketahui, tetapi satu taktik yang paling populer adalah iming-iming untuk
memerangi pengaruh dan kepentingan Prancis di wilayah tersebut. 43 Ansar Dine
berafiliasi dengan AQIM, meskipun tidak pernah secara publik diakui oleh AQIM
sebagai afiliasi resmi. Ansar Dine terkenal karena pengambilalihan Mali utara yang
bekerja sama dengan MNLA, AQIM, dan MOJWA setelah kudeta Mali 2012.
Ansar Dine menduduki dan menerapkan hukum Syariah di Timbuktu dan
sekitarnya dari Juni 2012 hingga Januari 2013 dan berakhir ketika militer Prancis
turun tangan. Pada awal Juli 2012, Ansar Dine menjadi berita utama nasional ketika
42 Alexander Thurston. Al-Qaeda in the Islamic Maghreb (AQIM): An Al-Qaeda Affiliate Case
Study. (CNA, 2017) Hlm. 17-18 [jurnal on-line] terdapat dalam https://www.cna.org/CNA_files/PDF/DIM-2017-U-016119-2Rev.pdf
43 Nivedita Ray. The Rise of Islamic Terrorism in Mali. (Indian Council of World Affairs, 2016) Hlm. 8 [jurnal on-line] terdapat dalam https://icwa.in/pdfs/IB/2014/RiseofIslamicTerrorisminMaliIB06012015.pdf
28
menghancurkan tujuh mausoleum di Timbuktu, yang merupakan bagian dari situs
Warisan Dunia PBB. Pada bulan Maret 2017, Ansar Dine bergabung dengan Al
Mourabitoun, kelompok jihad lokal Front Pembebasan Macina, dan cabang Sahara
untuk membentuk Jamaat Nusrat al-Islam wal Muslimeen (JNIM). AQIM
menyetujui merger dan menerima sumpah kesetiaan JNIM.44
Selain itu, terdapat beberapa grup teroris bersenjata yang merupakan cabang
atau berafiliasi dengan tiga grup teroris bersenjata di atas. Mereka adalah Jama'at
Nusrat ul-Islam wa al-Muslimin (JNIM) dan Al-Murabitoun. JNIM merupakan
grup teroris bersenjata yang berafiliasi dengan al-Qaeda. JNIM mengumumkan
keberadaannya pada bulan Maret 2017 dalam rilis video yang menampilkan para
pemimpin bagian-bagian komponennya yakni Ansar Dine, AQIM, dan al-
Mourabitoun. JNIM terus beroperasi di seluruh Mali dan ke Burkina Faso dan
Niger, melakukan serangan kompleks, pembunuhan, dan serangan improvisasi alat
peledak pada pasukan PBB, Mali, dan Prancis.45
Menteri Pertahanan Prancis, Le Drian memperingatkan untuk tidak
membiarkan grup teroris bersenjata mendirikan tempat perlindungan teroris hingga
di luar kendali, seperti apa yang Al Qaeda telah capai di Afghanistan. Ia
mengatakan “Bagian utara Mali telah menjadi tempat perlindungan bagi AQIM dan
sekutunya yang mengancam seluruh sub-wilayah (Sahel) dan berpotensi wilayah
44 Center for International Security and Cooperation. Mapping Militants Organization: Ansar
Dine. (Juli 2018) [database on-line] terdapat dalam https://cisac.fsi.stanford.edu/mappingmilitants/profiles/ansar-dine#highlight_text_7828 diakses 2/7/2019
45 European Council on Foreign Relations. JNIM. [database on-line] terdapat dalam https://www.ecfr.eu/mena/sahel_mapping/jnim diakses pada 15/10/2019
29
nasional Prancis.”46
Keputusan Prancis untuk menempatkan markas utama Operasi Barkhane di
N 'Djamena, Chad, menunjukkan bahwa mereka menghadapi beragam ancaman di
seluruh wilayah Sahel. Menurut Andrew Lebovich, mantan konsultan Sahel untuk
Open Society Institute Afrika Barat, sementara Chad jauh dari Mali, dengan
berpusat di Chad memungkinkan Prancis untuk menyebar pasukannya dengan cara
yang mereka anggap perlu untuk operasi di Sahel. Tetapi para ahli strategi Prancis
harus memastikan bahwa tujuan untuk upaya anti-terorisme di seluruh Sahel tidak
menjadi tujuan yang tidak memungkinkan atau utopis.47
Konflik Chad-Libya secara resmi berakhir pada Oktober 1988, ketika Chad
melanjutkan kembali hubungan diplomatik formal dengan Libya. Secara teori,
Operasi Épervier, yang awalnya dibuat untuk mengandung ekspansionisme Libya,
seharusnya berakhir dengan penyelesaian semua masalah di antara kedua negara.
Akan tetapi, dengan munculnya ancaman grup teroris bersenjata di Chad, bahkan
di seluruh wilayah Sahel, Chad dilihat sebagai kapal induk Prancis di Sahel. Operasi
Épervier tetap aktif dengan bergabung pada Agustus 2014 menjadi Operasi
Barkhane. Inisiatif Prancis baru ini menyerap Operasi Épervier di Chad dan Operasi
Serval di Mali. Dengan sekitar 4.500 tentara dikerahkan di lima negara Sahel,
46 D. A. Yates. French Military Interventions in Africa. (The Palgrave Handbook of
Peacebuilding in Africa, 2018) Hal. 393 [Jurnal on-line] diunduh dari https://link.springer.com/chapter/10.1007/978-3-319-62202-6_22
47 Celeste Hicks. Operation Barkhane: Why France chose Chad as key counter-terrorism partner. (3 September 2014) [database on-line) terdapat dalam https://africanarguments.org/2014/09/03/operation-barkhane-why-france-chose-chad-as-key-counter-terrorism-partner-by-celeste-hicks diakses pada 15/10/2019
30
Barkhane saat ini merupakan penempatan Prancis terbesar di luar negeri.48
Selain itu, Prancis juga ikut memprakarsai dibentuknya G5 Sahel Joint
Force. Operasi gabungan ini disahkan oleh Dewan Perdamaian dan Keamanan Uni
Afrika pada April 2017 dan diperkuat oleh adopsi Resolusi 2359 DK PBB pada
Juni 2017. Ia mendapat dukungan kuat dari Perancis, yang telah memiliki sekitar
4.000 tentara yang dikerahkan ke wilayah tersebut untuk bekerjasama dengan
pasukan G5 dan secara langsung berperang dengan grup teroris bersenjata di
seluruh wilayah Sahel. Dalam fase awalnya, negara-negara anggota G5 yakni
Burkina Faso, Mali, Mauritania, Niger, dan Chad akan berupaya meningkatkan
keamanan di sepanjang perbatasan mereka melalui peningkatan kerja sama dan
penyebaran patroli bersama untuk melarang aliran kelompok-kelompok teror dan
penyelundup manusia yang saat ini melintasi ini batas-batas negara dapat diatasi
dengan lebih mudah.49
Gambar II.1.Peta Sahel
Sumber: CSIS50
48 Marielle Debos. Airstrikes and “stability”: What’s the French army doing in Chad?. (14
Februari 2019) [database on-line] terdapat dalam https://africanarguments.org/2019/02/14/airstrikes-stability-what-french-army-doing-chad/ diakses pada 15/10/2019
49 Jennifer G. Cooke. Understanding the G5 Sahel Joint Force: Fighting Terror, Building Regional Security?. (CSIS, 15 November 2017) [database on-line] terdapat dalam https://www.csis.org/analysis/understanding-g5-sahel-joint-force-fighting-terror-building-regional-security diakses pada 15/10/2019
50 Jennifer G. Cooke. Understanding the G5 Sahel Joint Force: Fighting Terror, Building Regional Security?. (CSIS, 15 November 2017) [database on-line] terdapat dalam
31
BAB III
INTERVENSI MILITER PRANCIS DI MALI UTARA
Bab ini berisi pembahasan mengenai dua intervensi militer Prancis yang
diluncurkan di Mali sejak 2012, yaki Operasi Serval dan Operasi Barkhane. Prancis
melakukan dua intervensi militer internasional yang berperan dalam mengatasi
masalah-masalah konflik melalui Operasi Serval dan Barkhane, sesuai dengan
resolusi Dewan Keamanan (DK) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) 2085 yang
dikeluarkan pada 20 Desember 2012. Pembahasan ini bertujuan untuk memberikan
penjelasan tentang bagaimana kebijakan yang diambil oleh Prancis dalam
menyikapi konflik sipil di Mali Utara. Prancis mengintervensi dalam konteks
Resolusi 2085 dan pasal 51 Bab 7 Piagam PBB. Prancis dengan demikian
mengajukan tiga argumen hukum: 1) Pembelaan diri kolektif berdasarkan pasal 51
Piagam PBB; 2) Persetujuan pemerintah Mali yang sah; dan 3) Otorisasi oleh DK
PBB.
A. Konflik di Mali Utara
Mali merupakan negara yang terletak di sebelah barat daratan benua Afrika
dan tidak memiliki garis pantai. Dengan luas 1,240,000 kilometer persegi, Mali
menempati posisi negara terbesar ke-8 di Afrika. Mali atau secara resmi disebut
sebagai Republik Mali merupakan negara bekas jajahan Prancis selama kurun
https://www.csis.org/analysis/understanding-g5-sahel-joint-force-fighting-terror-building-regional-security diakses pada 15/10/2019
32
waktu dari 1892 hingga 1960. Mali memperoleh kemerdekaannya atas Prancis pada
22 September 1960.51
Gambar III.1. Peta Mali
Sumber: US Department of State52
Sekitar 65% dari total luas Mali merupakan daerah gurun. Sungai Niger
menciptakan delta pedalaman yang besar dan subur mengalir ke timur laut melintasi
Mali dari Guinea sebelum berbelok ke selatan dan akhirnya bermuara di Teluk
Guinea. Wilayah Mali meliputi tiga zona: zona Sudan selatan yang dibudidayakan,
zona Sahel semi-gurun tengah, dan zona Sahara gurun utara. Medan ini sebagian
besar adalah sabana di selatan dan datar hingga dataran tinggi (ketinggian 200-500
meter) di utara. Ada perbukitan terjal di timur laut, dengan ketinggian hingga 1.000
meter. Niger (dengan 1.693 kilometer di Mali) dan Senegal adalah dua sungai
terbesar di Mali. Niger umumnya digambarkan sebagai sumber kehidupan Mali,
sumber makanan, air minum, irigasi, dan transportasi.53
51 Library of Congress. Federal Research Division. Country Profile: Mali. (January, 2005) Hlm.
4-5 [database on-line] terdapat dalam https://www.loc.gov/rr/frd/cs/profiles/Mali.pdf 52 CIA. Mali. https://www.state.gov/p/af/ci/ml/ 53 Library of Congress. Federal Research Division. Country Profile: Mali. (January, 2005) Hlm.
4-5 [database on-line] terdapat dalam https://www.loc.gov/rr/frd/cs/profiles/Mali.pdf
33
Populasi Mali berjumlah sekitar 19,7 juta orang pada tahun 2019.54
Penduduk Mali yang memeluk agama Islam mendominasi sekitar 95% dari
populasi Mali. Hampir semua Muslim adalah Sunni dan kebanyakan mengikuti
tasawuf. Sedangkan 5% dari seluruh populasi memeluk agama Kristen, di antaranya
sekitar dua pertiga adalah Katolik Roma dan sepertiga Protestan. Sisanya tidak
memiliki afiliasi dengan agama manapun.55 Sekitar 34,1% dari populasi adalah
Bambara. Perkiraan pada kelompok etnis lain antara lain: Fulani atau Peul (14,7%),
Sarakole (10,8%), Senufo-Minyanka (10,5%), Dogon (8,9%), Malinke (8,7%),
Bobo (2,9) %), Songhai (1,6%), Tuareg (antara 9% -10%), dan komunitas kecil
lainnya seperti Bozo-Somono, Khassonke atau Arab (Maure).56
Gambar III.2.PDB Mali
Sumber: World Bank57
54 UNFPA. World Population Dashboard: Mali. [database on-line] terdapat dalam
https://www.unfpa.org/data/world-population/ML diakses pada 10/5/2019 55 United States Department of State. Mali 2018 International Religious Freedom Report.
(International Religious Freedom Report for 2018) Hlm. 2 [jurnal on-line] terdapat dalam https://www.state.gov/wp-content/uploads/2019/05/MALI-2018-INTERNATIONAL-RELIGIOUS-FREEDOM-REPORT.pdf
56 CIA. The World Factbook: Mali Geography. (2019) [database on-line] https://www.cia.gov/library/publications/the-world-factbook/geos/ml.html diakses 11/5/2019
57 World Bank. Mali. https://data.worldbank.org/country/mali
34
Meskipun memiliki produksi emas yang tinggi, Mali tetap menjadi salah
satu negara termiskin di dunia, berada di peringkat ke-182 dari 187 negara dalam
Indeks Pembangunan Manusia (IPM) pada 2012. Peningkatan absolut jumlah orang
miskin dari 5,7 juta orang pada tahun 2001 menjadi 6,4 juta pada tahun 2010. Lima
tahun berikutnya, Mali mencoba memperbaiki standar sumber daya manusia
dengan meningkatkan pendidikan berupa pendaftaran sekolah dasar. Namun, Mali
tetap tertinggal di belakang pada sebagian besar indikator sosial dan diperkirakan
gagal mencapai sebagian besar Milennium Development Goals United Nations
Development Programme (UNDP). Selain itu, tren dalam kemiskinan dan indikator
sosial sangat bervariasi berdasarkan wilayah Mali. Karena beberapa kemajuan lebih
banyak dicapai di wilayah Mali barat dan selatan namun kemiskinan masih bertahan
di Mali Utara.58
Mali secara geografis dan ekonomi terbagi antara wilayah utara dan selatan.
Kondisi geografis wilayah utara didominasi pedesaan yang masyarakatnya hidup
dalam kemiskinan akibat kekeringan. Wilayah utara ini sering dianggap
mengandalkan berbagai kegiatan perdagangan manusia, narkoba, penggelapan
mobil, senjata dan isu migran. Sedangkan bagian selatan Mali disebut sebagai
useful Mali karena melintasnya Sungai Niger di tengahnya dan memiliki kondisi
cuaca yang menguntungkan. Daerah budidaya utama Mali terletak di wilayah
selatan. Misalnya, kapas yang merupakan salah satu ekspor utama Mali, sebagian
58 European Parliament. Mali: Economic Factors Behind The Crisis. (Belgia: European Union,
2014) Hlm. 5 [jurnal on-line] terdapat dalam http://www.europarl.europa.eu/RegData/etudes/etudes/join/2014/433754/EXPO-DEVE_ET(2014)433754_EN.pdf
35
besar ditanam di wilayah Sikasso, Ségou, Koulikoro dan Kayes. Millet, sorgum,
atau kacang tanah, juga diproduksi di wilayah tersebut.59
Sumber daya alam Mali berupa emas menempati urutan tertinggi ketiga di
Afrika. Emas juga merupakan salah satu produk ekspor utama negara tersebut. Pada
2017, Mali bermitra dagang dalam jumlah terbesar dengan Senegal, Afrika Selatan,
dan Cina. Emas, batu & logam mulia, hewan hidup, dan kapas menjadi sumber daya
alam yang paling banyak diekspor oleh Mali. Pada tahun yang sama, sektor industri
teratas di negara ini merupakan pemrosesan makanan, konstruksi, penambangan
fosfat dan emas.60
Menurut sejarahnya, Mali telah mengalami masalah selama bertahun-tahun
dengan pemberontakan suku Tuareg di wilayah utara negara itu sebelum kudeta
pada 2012. Setelah tahun 1993, perdamaian Tamanrasset mengakhiri
pemberontakan Tuareg yang cukup besar kala itu. Salah satu upayanya adalah
mengikutsertakan mantan pemberontak ke dalam tentara Mali. Akan tetapi hal itu
tidak berhasil. Karena selama dua dekade berikutnya, ada desersi yang terus-
menerus, dan para desertir menciptakan milisi di utara negara itu. Selain itu, korupsi
juga merupakan masalah yang signifikan di Mali. Dengan demikian Tentara Mali
berada dalam kondisi buruk bahkan sebelum 2012. 61
59 European Asylum Support Office. Mali Country Focus. (EASO Country of Origin
Information Report, Desember 2018) Hlm. 14 [jurnal on-line] tersedia dalam https://www.easo.europa.eu/sites/default/files/publications/EASO-COI-report-Mali-Country-Focus-2018.pdf
60 Global Edge Education. Mali Economy. [database on-line] terapat dalam https://globaledge.msu.edu/countries/mali/economy diakses 1/6/2019
61 Christopher Griffin. Operation Barkhane and Boko Haram: French counterterrorism and military cooperation in the Sahel. (TRENDS Research & Advisory, 2015) Hlm. 20 [jurnal on-line] http://trendsinstitution.org/wp-content/uploads/2015/06/Operation-Barkhane-and-Boko-Haram-Christopher-Griffin.pdf
36
Pada 1990, Tuareg mengembangkan gerakan politik yang sepenuhnya dapat
dikenali dan disatukan melalui pembentukan kelompok pembebasan yang pada
waktu itu disebut Gerakan Rakyat untuk Pembebasan Azawad atau MNLA
(National Movement for the Liberation of Azawad). MNLA dibentuk secara resmi
setelah serangan di Menaka, sebuah kota di Mali utara, tempat senjata dan
kendaraan dicuri dari angkatan bersenjata Mali. Pada saat serangan itu, para
pemberontak bukanlah kelompok militan yang diakuin yakni akuisisi senjata dan
kendaraan dari militer negara menandai awal legitimasi kelompok pemberontak ini.
Menanggapi pemberontakan, pemerintah Mali mengerahkan dua pertiga dari
pasukan militernya untuk membatasi dan menghilangkan pengaruh pemberontakan.
Banyak korban bentrokan antara militer dan pemberontakan adalah warga sipil.
Insiden itu mendorong banyak orang untuk bergabung dengan kekuatan yang
nantinya menjadi MNLA.62
Gambar III.3.Riwayat Pemberontakan MNLA
Sumber: The Roots of Mali’s Conflict63
62 Baz Lecocq dan Georg Klute. Tuareg separatism in Mali. (SAGE Publications, Vol. 68, No.
3 September 2013) Hlm. 428 [jurnal on-line] terdapat dalam https://www.jstor.org/stable/24709398
63 The Roots of Malis Conflict, diakses pada 10/5/2019 [jurnal on-line]
https://www.clingendael.org/sitesdefault/files/The_roots_of_Malis_conflict.pdf
37
MNLA dibentuk pada Oktober 2011 sebagai gerakan politik yang akan
menuntut otonomi di Mali melalui politik. Setelah tuntutan gerakan diabaikan, lebih
banyak orang bergabung dengan gerakan ini. Alih-alih meminta otonomi politik
dan kesetaraan seperti tujuan pembentukan awal, MNLA menyatakan bahwa
tujuannya adalah untuk menjadikan Azawad sebuah negara merdeka. Pada Januari
2012, MNLA melancarkan serangan di Menaka pada brigade militer negara.64
Pada 17 Januari 2012, MNLA melancarkan pemberontakan terhadap
pemerintah Presiden Amadou Toumani Touré untuk mendirikan negara Azawad.
Pemberontakan ini dipimpin oleh suku Tuareg, sebuah kelompok etnis yang tidak
memiliki hak politik yang telah mengorganisir pemberontakan sebelumnya di Mali.
Akibat dari penyebaran senjata atas ketidakstabilan politik di Libya, MNLA yang
didukung oleh Al-Qaeda in the Islamic Maghreb (AQIM), Movement for Oneness
and Jihad in West Africa (MOJWA), dan Ansar Dine mendapatkan akses
persenjataan baik pistol maupun laras panjang, dengan cepat mencetak serangkaian
kemenangan. Namun, tidak lama setelah mereka merebut kota-kota Mali di Utara,
pihak grup terorisme bersenjata mengklaim akan menerapkan hukum syariah di
Mali Utara. Dengan begitu, MNLA resmi meyatakan tidak terlibat atas perebutan
kota-kota Mali Selatan karena merasa dikhianati oleh sekutunya tersebut. Ketika
ketidakstabilan politik melanda Mali hingga ke wilayah selatan, pasukan Prancis
melakukan intervensi pada Januari 2013 untuk menghentikan masuknya kelompok
Islam ke wilayah Mopti di Mali selatan. Prancis dengan cepat merebut kembali
64 Alexis Arieff. Conflict in Mali. (Congressional Research Service, 2019) [jurnal on-line]
terdapat dalam https://fas.org/sgp/crs/row/IF10116.pdf
38
kota-kota besar di utara. Akan tetapi ketika pemerintah Mali dan beberapa
aliansinya bertindak untuk menyatukan kembali dan membangun kembali negara
itu, interaksi militer dari internal maupun eksternal berisiko merusak rekonstruksi
dan menabur benih konflik di masa depan. 65
Jatuhnya kota Konna ke tangan kelompok teroris membuat Mali meminta
bantuan militer kepada negara yang dekat secara faktor sejarah dengannya, yakni
Prancis. Selain itu, Mali juga mengirimkan surat permintaan bantuan terhadap PBB
untuk melegalkan intervensi militer Prancis dan bantuan lainnya. Konna adalah
penyangga terakhir antara pemberontak dan Mopti, sekitar 50 km (30 mil) selatan,
yang merupakan kota utama di wilayah itu dan dipandang sebagai pintu gerbang ke
utara negara itu. Setelah berjam-jam pertempuran senjata, pejuang Islam bersenjata
berat berparade dengan kemenangan melalui pusat Konna, mengatakan mereka
akan mendorong untuk mengambil Mopti dan kota tetangganya, Sevare.66
Sejumlah faktor kompleks telah menyebabkan munculnya terorisme di
Mali. Faktor pertama adalah meningkatnya krisis politik di Libya pada 2011-2012
sehingga menyebabkan beredarnya senjata ke Mali Utara yang memicu gejolak
pemberontakan terjadi pada 2012. Faktor kedua merupakan krisis dalam
pemerintahan Mali yakni lemahnya lembaga peradilan dan tingginya tingkat
korupsi. Faktor ketiga meliputi kompetisi kasat mata antara wilayah utara dan
65 Alex Thurston. Mali: The Disintegration of a “Model African Democracy” (Stability, 2013)
DOI: http://dx.doi.org/10.5334/sta.aq Hlm. 1 [jurnal on-line] terdapat dalam https://www.researchgate.net/publication/271341240_Mali_The_Disintegration_of_a_Model_African_Democracy
66 The Telegraph. Mali asks for help from France as Islamist rebels push forward. (2013) [database on-line] terdapat dalam https://www.telegraph.co.uk/news/worldnews/africaandindianocean/mali/9794871/Mali-asks-for-help-from-France-as-Islamist-rebels-push-forward.html diakses 10/7/2019
39
selatan akibat kesenjangan ekonomi dan sosial. Faktor keempat merupakan
gagalnya perjanjian damai antara pemerintah Mali dan suku Tuareg sejak awal
pemberontakan pada masa lampau. Faktor kelima yakni adanya keinginan untuk
menyerang Prancis dimana Prancis memang menjadi target utama dari beberapa
jaringan terorisme di Afrika, contohnya Al-Murabitoun. Faktor keenam adalah
besarnya skala kemiskinan, ketidaksetaraan, kurangnya pendidikan, pengangguran,
khususnya di wilayah utara, dan kurangnya kebijakan pemerintah yang dinamis
untuk masyarakat yang kurang mmapu sehingga menyediakan ruang yang luas
untuk radikalisasi.67
Konflik Mali melibatkan banyak kelompok dan aliansi yang mengakibatkan
dampak berkelanjutan atas kekerasan yang tidak sengaja termasuk ke dalam unsur
intervensi militer asing. Konflik ini membuat beberapa pihak luar ikut campur,
seperti pasukan Prancis, Uni Afrika (UA) dan ECOWAS, dan PBB.68 Intervensi
militer yang dipimpin Prancis memang mendorong mundur kelompok-kelompok
bersenjata yang menduduki utara Mali, tetapi pelanggaran hukum dan pelanggaran
terus meningkat dari pertengahan 2014, termasuk oleh kelompok-kelompok yang
terkait dengan Al-Qaeda. Pada 2015 dan 2016, pelanggaran semakin memburuk
dan semakin menyebar ke daerah-daerah pusat Mali.69 Pada pertengahan 2018,
67 Nivedita Ray. The Rise of Islamic Terrorism in Mali. (Indian Council of World Affairs, 2016)
Hlm. 4-5 [jurnal on-line] terdapat dalam https://icwa.in/pdfs/IB/2014/RiseofIslamicTerrorisminMaliIB06012015.pdf
68 Susanna D. Wing. French intervention in Mali: strategic alliances, long-term regional presence? (Semantic Scholar, 2016) Hlm. 65 [jurnal on-line] terdapat dalam https://pdfs.semanticscholar.org/b94d/063cf25076f18d11af69548b1593b621431c.pdf
69 Human Rights Watch. Mali Conflict and Aftermath: Compendium of Human Rights Watch Reporting 2012-2017. Hlm. 3 [jurnal on-line] terdapat dalam https://www.hrw.org/sites/default/files/report_pdf/malicompendium0217.pdf
40
lebih dari 75.000 orang Mali mengungsi secara domestik dan lebih dari 140.000
orang adalah pengungsi di negara-negara tetangga. Ketidakamanan dan kurangnya
layanan dasar di Mali utara telah menghambat pengembalian pengungsi.70
Dalam upaya kontra-terorisme di Afrika, Prancis memiliki dua operasi
militer yang mengintervensi wilayah rawan konflik Sahel khususnya di Mali.
Operasi Serval berlangsung selama dua tahun di Mali utara bertujuan untuk
mengusir militan Islam dari Mali utara, yang telah mulai menguasai kota-kota
hingga ke pusat Mali.71 Operasi ini dinamai Serval, yang berarti kucing liar asli
Afrika berukuran sedang seperti cheetah. Pada 11 Januari 2013, Presiden Prancis,
François Hollande, memberikan perintah eksekutif bagi militer Prancis untuk
memulai Operasi Serval. Operasi Serval diluncurkan mengikuti Resolusi DK PBB
2085 pada 20 Desember 2012 dan permintaan resmi oleh pemerintah sementara
Mali untuk bantuan militer Prancis.72
70 Alexis Arieff. Conflict in Mali. (Congressional Research Service, 2019) Dalam
https://fas.org/sgp/crs/row/IF10116.pdf 71 Adam Nossiter. France Battling Islamists in Mali. (11 Januari 2013) [database on-line]
terdapat dalam https://www.nytimes.com/2013/01/12/world/africa/mali-islamist-rebels-france.html?hp&_r=1&.France diakses 2/8/2019
72 Elsa Buchanan. Mali hotel attack: The history of Islamist insurgency in the former French colony. (20 November 2015) [database on-line] terdapat dalam https://www.ibtimes.co.uk/mali-hotel-attack-history-islamist-insurgency-former-french-colony-1529724 diakses 2/8/2019
41
Gambar III.4.Peta Sebaran Grup Teroris Bersenjata di Afrika
Sumber: NATO73
Pada 12 Januari 2013, ratusan tentara Prancis terlibat dalam operasi militer
di Mali dengan fokus khusus dalam Pertempuran Konna. Tentara Mali mengklaim
bahwa dengan bantuan mereka, mereka telah merebut kembali Konna dari pihak
grup teroris bersenjata yang telah jatuh beberapa hari sebelumnya. Serangan udara
Prancis relatif menghentikan gerak maju pemberontak ke selatan dan
menghancurkan sebuah pos komando utama Ansar Dine di dekat Konna.74
73 NATO. Security and Stability in Africa: Draft General Report. [jurnal on-line]
https://www.nato-pa.int/sites/default/files/2019-
04/083%20PC%2019%20E%20-%20SECURITY%20AND%20STABILITY%20
IN%20AFRICA%20-%20DRAFT%20GENERAL%20REPORT.pdf 74 Robyn Dixon. France airstrikes in Mali repel Al Qaeda-linked militants. (2013) [database
on-line] terdapat dalam https://www.latimes.com/world/la-xpm-2013-jan-12-la-fg-france-mali-fighting-20130113-story.html diakses pada 10/9/2019
42
B. Intervensi Militer Operasi Serval
Intervensi militer Prancis di Mali yang pertama terkait dengan konflik Mali
pada 2012 dinamakan operasi militer Serval. Pada 11 Januari 2013, Presiden
Hollande mengumumkan peluncuran operasi militer ini. Bantuan Mali secara
khusus merupakan atas permintaan pemerintah Mali. Satu hari setelah operasi
militer Serval diumumkan, ratusan tentara Prancis memasuki telah terlibat dalam
konflik di Mali. Sekitar 4.000 orang pasukan Prancis didukung oleh 2.000 pasukan
Chad dalam koordinasi dengan tentara Mali. Operasi ini menuai kesuksesan diukur
dari terbunuhnya tiga dari lima pemimpin kelompok Islam militan dan kelompok
Islam militan mengalami kekalahan baik dari kota maupun pegunungan Adrar.75
Upaya Prancis untuk merebut kembali Mali utara dari pemberontak
bersenjata, termasuk kelompok garis keras Islamis, menelan biaya rata-rata 2,7 juta
euro per hari sejak diluncurkan pada 11 Januari 2013. Angka itu dibandingkan
dengan biaya rata-rata 1,6 juta euro per hari untuk intervensi yang menggulingkan
pemimpin Libya Muammar Gaddafi pada 2011, dan 1,4 juta euro per hari untuk
perang anggota North Atlantic Treaty Organization (NATO) di Afghanistan.76
Tujuan awal serangan udara dan darat pada Operasi Serval adalah untuk
menghentikan agresi koalisi pemberontak Tuareg dan pejuang Islam yang telah
mengklaim sekitar setengah wilayah Mali dari pasukan pemerintah. Tiga dari lima
75 Isaline Bergamaschi. French Military Intervention in Mali: Inevitable, Consensual yet
Insufficient. (International Journal of Security & Development, 2(2): 20, 2013) Hlm. 2 [database on-line] terdapat dalam https://www.stabilityjournal.org/articles/10.5334/sta.bb/
76 Joseph Bamat. Mali war costs debt-laden France 70 million euros. [database on-line] terdapat dalam https://www.france24.com/en/20130207-mali-war-costs-france-70-million-euros diakses 5/2/2019
43
pemimpin Islam, Abdelhamid Abou Zeid, Abd El Krim dan Omar Ould Hamaha
terbunuh, sementara Mokhtar Belmokhtar melarikan diri ke Libya dan Iyad ag
Ghali melarikan diri ke Aljazair.77
Setelah berakhirnya Operasi Serval, Prancis mengakui perlunya
memberikan stabilitas di wilayah Sahel yang lebih luas dengan membantu berbagai
pemerintah kawasan memerangi terorisme. Mantan Menteri Pertahanan Prancis,
Jean-Yves Le Drian, mengatakan bahwa Prancis mengakui bahwa "masih ada risiko
besar yang berkembang para jihadis di daerah yang membentang dari Tanduk
Afrika ke Guinea-Bissau." Karena itu Operasi Barkhane diluncurkan agar untuk
menjamin keamanan negara-negara Sahel, dan pada dasarnya keamanan Prancis.
Operasi ini merupakan penerus Operation Serval, misi militer Prancis di Mali.78
Operasi Serval merupakan misi vital karena sebagaimana dinyatakan oleh Tramond
dan Seigneur, operasi ini berhasil merebut kembali kota-kota utara yang paling vital
bagi pemerintahan Mali. Sedangkan, rezim kelompok teroris memburuk karena
kalah dalam pertempuran.79
C. Intervensi Militer Operasi Barkhane
Prancis melakukan Operasi Barkhane sebagai respon atas permintaan dari
77 Elsa Buchanan. Mali hotel attack: The history of Islamist insurgency in the former French
colony. (20 November 2015) [database on-line] terdapat dalam https://www.ibtimes.co.uk/mali-hotel-attack-history-islamist-insurgency-former-french-colony-1529724 diakses 2/8/2019
78 Maxime H.A. Larivé. Welcome to France's New War on Terror in Africa: Operation Barkhane. (7 Agustus 2014) [database on-line] terdapat dalam https://nationalinterest.org/feature/welcome-frances-new-war-terror-africa-operation-barkhane-11029?page=0%2C1 diakses 2/8/2019
79 Olivier Tramond dan Philippe Seigneur. Operation Serval Another Beau Geste of France in Sub-Saharan Africa?, (November, 2014) Hlm. 1 [jurnal on-line] terdapat dalam https://www.armyupress.army.mil/Portals/7/military-review/Archives/English/MilitaryReview_20141231_art014.pdf
44
pemerintah Mali dan keluarnya Resolusi DK PBB 2085. Kata Barkhane diambil
dari bahasa Prancis yang artinya gundukan berbentuk bulan sabit, mengacu pada
kontur gurun wilayah sahel. Karena untuk dukungan PBB, misinya dapat
dikategorikan sebagai multilateral. Begitu pasukan Prancis tiba Mali, Prancis
bekerja keras untuk memastikan legalitas melalui kerangka kerja PBB agar sesuai
dengan interpretasi Resolusi PBB 2085. Akan tetapi resolusi ini hanya mengizinkan
satu misi intervensi militer PBB untuk Afrika.80 Bergamaschi dan Diawara
mengklaim "Keputusan Prancis untuk intervensi adalah sepihak.” Lebih lanjut,
mereka menyimpulkan bahwa ini adalah keputusan bilateral atas pertimbangan
dukungan yang diminta langsung oleh Mali. Ini bukan berarti Prancis bertindak
semata-mata karena kewajiban atau sebagai respons terhadap Mali meminta
bantuan, tetapi permintaan tersebut memberikan kesempatan yang dapat disusupi
kepentingan Prancis.81
Operasi Barkhane merupakan bagian terbesar dari biaya 1,3 milyar euro
untuk intervensi militer Prancis di luar negeri, menurut kementerian pertahanan
Prancis. Pada 2018, Prancis mencari peningkatan dana untuk pasukan gabungan
dari € 250 juta Euro menjadi 300 juta euro per tahun. Presiden Prancis Emmanuel
Macron juga akan mengumumkan peningkatan 40% dalam bantuan pembangunan
Prancis ke negara-negara G5 Sahel menjadi 1,2 miliar euro selama lima tahun
80 United Nations. Resolution 2085. (December 20, 2012) [database on-line] terdapat dalam
https://www.un.org/en/ga/search/view_doc.asp?symbol=S/RES/2085 diakses 2/8/2019 81 Isaline Bergamaschi dan Diawara. The French military intervention in Mali: Not exactly
Françafrique but definitely postcolonial. (2014) Hlm. 3 [jurnal on-line] terdapat dalam https://www.academia.edu/5328698/The_French_Military_Intervention_in_Mali_Not_Exactly_Fran%C3%A7afrique_But_Definitely_Post-colonial
45
terhitung dari 2018.82
Operasi Barkhane tidak seperti Operasi Serval, karena tujuannya adalah
mencegah bukan merebut kembali kota-kota dari tangan teroris di Mali. Sementara
Serval bertujuan memperbaiki masalah itu memburuk di Mali, Operasi Barkhane
telah dicap sebagai operasi kontrateroris. Presiden Hollande mengatakan kekuatan
Barkhane akan memungkinkan untuk "cepat dan efisien bertindak jika terjadi
krisis.”83 Ada satu yang menjadi perbedaan dasar yakni Operasi Serval diluncurkan
setelah presiden Mali Dioncounda Traore meminta bantuan dari PBB dan Prancis.
Sementara, Operasi Barkhane tidak memiliki alasan peluncuran seperti itu. Operasi
Barkhane hanya merupakan kelanjutan Operasi Serval. Sehingga kelanjutannya
berdasarkan apa yang telah dimulai oleh Prancis pada operasi sebelumnya.
Operasi Barkhane memiliki misi untuk menjadi pilar kontraterorisme
Prancis di wilayah Sahel. Menurut Menteri Pertahanan Prancis, Jean-Yves Le
Drian, tujuan utama Operasi Barkhane adalah upaya kontra-terorisme. Ia
mengatakan "Tujuannya adalah untuk mencegah apa yang saya sebut jalan raya dari
semua bentuk lalu lintas untuk menjadi tempat perjalanan permanen, di mana
kelompok-kelompok jihad antara Libya dan Samudra Atlantik dapat membangun
kembali diri mereka sendiri, yang akan membawa konsekuensi serius bagi
keamanan kita." Presiden Hollande menyatakan pasukan Barkhane akan
82 Financial Times. Emmanuel Macron seeks more EU funding for southern Sahara campaign.
Terdapat dalam https://www.ft.com/content/428bfe88-1709-11e8-9e9c-25c814761640 [database on-line] diakses 5/2/2019
83 Isaline Bergamaschi dan Diawara, The French military intervention in Mali: Not exactly Françafrique but definitely postcolonial. (2014) Hlm. 9 [jurnal on-line] terdapat dalam https://www.academia.edu/5328698/The_French_Military_Intervention_in_Mali_Not_Exactly_Fran%C3%A7afrique_But_Definitely_Post-colonial
46
memungkinkan "intervensi cepat dan efisien jika terjadi krisis" di wilayah tersebut.
Operasi ini akan menargetkan para ekstrimis Islam di Mali, Chad dan Niger, dan
akan memiliki mandat untuk beroperasi lintas perbatasan, yakni di negara-negara
yang tergabung dengan G5 atau Gens 5 du Sahel yang beranggotakan Burkina
Faso, Chad, Mali, Mauritania, dan Niger.84
Pada Januari 2015, sebanyak 3400 pelatih bekerja di Mali dan Angkatan
Darat Mali telah meningkat menjadi sekitar 8.000-8.200 personil. Data terbaru
tentang kemajuan di Angkatan Darat Mali tetap tidak tersedia pada saat penulisan.
Pada saat yang sama, ada keengganan awal untuk membiarkan Tentara Mali
memulai misi stabilisasi di utara setelah keberangkatan Prancis. Baik pihak
berwenang Prancis dan Mali khawatir tentang potensi 'tindakan penindasan' oleh
tentara Mali pada populasi di utara karena perselisihan etnis dan kebencian terkait
kekalahan 2012. Kapasitas Tentara Mali untuk menghadapi kebangkitan kelompok-
kelompok teroris juga menjadi masalah. Pada 21 Mei 2014, terjadi pertempuran
besar antara pasukan pemberontak Tuareg dan Tentara Mali di Kidal, di mana
Tentara Mali dikalahkan dan kehilangan banyak wilayah di utara. Prancis berharap
untuk memberikan tanggung jawab keamanan kepada Tentara Mali untuk
menangani apa yang menjadi 'pemberontakan tingkat rendah' di utara negara itu,
tetapi untuk saat ini, tampaknya tidak berhasil. Keterlibatan antara Tentara Mali,
bersekutu dengan pasukan stabilisasi PBB, United Nations Multidimensional
Integrated Stabilization Mission in Mali (MINUSMA), dan kelompok-kelompok
84 Umberto Bacchi. France Launches New Sahel Counter-Terrorism Operation Barkhane. (14
Juli 2014) [database on-line] terdapat dalam https://www.ibtimes.co.uk/france-launches-new-sahel-counter-terrorism-operation-barkhane-1456646 diakses 2/8/2019
47
jihadis, berlanjut pada tahun 2016.85
Pada 1 Agustus 2014, Prancis mengakhiri Operasi Serval, dan
menggabungkan pasukan Serval dan Epervier ke dalam Operasi Barkhane. Kantor
pusatnya berada di N'Djamena, dan terdiri dari 3000-3500 tentara, 200 kendaraan
lapis baja, 6 pesawat tempur, 3 pesawat tak berawak, dan berbagai peralatan
transportasi. Misi Barkhane adalah untuk membantu negara-negara Sahel dalam
perang melawan terorisme dan untuk menghentikan kelompok-kelompok teroris
dari membangun kembali tempat-tempat perlindungan mereka di wilayah tersebut.
Operasi Barkhane adalah 'regionalisasi' terhadap terorisme di Sahel.86
Perubahan penting telah terjadi dalam hal stabilitas politik, pemerintahan
yang demokratis, pertumbuhan ekonomi, dan supremasi hukum di Mali setelah
intervensi militer dan non-militer internasional. Intervensi ini setidaknya telah
membantu memulihkan tatanan konstitusional di Bamako melalui pemilihan umum
yang bebas dan adil pada tahun 2013. Demikian pula, intervensi ini telah
bermanfaat bagi ekonomi yang telah mulai pulih dan tumbuh lagi. Dari 0% pada
2012, tingkat pertumbuhan PDB tahunan Mali naik menjadi 1,7% pada 2013 dan
85 Christopher Griffin. Operation Barkhane and Boko Haram: French counterterrorism and
military cooperation in the Sahel. (Abu Dhabi: TRENDS Research & Advisory, Mei 2015) Hlm. 21 [jurnal on-line] terdapat dalam http://trendsinstitution.org/wp-content/uploads/2015/06/Operation-Barkhane-and-Boko-Haram-Christopher-Griffin.pdf
86 Christopher Griffin. Operation Barkhane and Boko Haram: French counterterrorism and military cooperation in the Sahel. (Abu Dhabi: TRENDS Research & Advisory, Mei 2015) Hlm. 24 [jurnal on-line] terdapat dalam http://trendsinstitution.org/wp-content/uploads/2015/06/Operation-Barkhane-and-Boko-Haram-Christopher-Griffin.pdf
48
menjadi 6,8% pada 2014 dan diperkirakan akan tetap di atas 5% hingga 2017.87
Pada 20 Februari 2019, Prancis mengumumkan bahwa pasukan dalam
Operasi Serval dan Barkhane telah menetralisir lebih dari 600 jihadis sejak awal
operasi, termasuk sebanyak 200 jihadis ternetralisir hanya di tahun 2018.88 Militer
Prancis adalah yang paling banyak terlibat secara global di Eropa, dan salah satu
dari angkatan bersenjata yang paling mumpuni yakni bersama dengan Inggris.
Selain 13.000 tentara Prancis yang dikerahkan di Prancis untuk meningkatkan
keamanan dalam negeri, hampir 6.000 tentara Prancis saat ini berpartisipasi dalam
operasi militer di Afrika dan Timur Tengah. Angka ini termasuk 4.000 tentara yang
melakukan operasi kontraterorisme di wilayah Sahel Afrika dan 1.100 tentara
memerangi Islamic State in Iraq and Syria (ISIS) dan mendukung pasukan Irak.89
Operasi Barkhane sebagai strategi intervensi militer Prancis di wilayah
Sahel bertujuan untuk memastikan bahwa negara-negara yang terkait memperoleh
kapasitas untuk memastikan keamanan mereka secara mandiri. Ini didasarkan pada
pendekatan global (politik, keamanan dan pembangunan) yang komponen
militernya dibawa oleh Operasi Barkhane dan dilakukan oleh tentara Prancis.
Dalam konteks saat ini, upaya Operasi Barkhane difokuskan pada pertarungan
langsung melawan ancaman teroris, dukungan pasukan negara-negara yang
87 Mathieu Bere. Armed Rebellion, Violent Extremism, and the Challenges of International
Intervention in Mali. (African Conflict and Peacebuilding Review 7, no. 2, 2017) Hlm. 70 [jurnal on-line] terdapat dalam http://jstor.org.library.ualr.edu/stable/10.2979/africonfpeacrevi.7.2.03
88 Lexpress. Sahel : plus de 600 djihadistes "neutralisés" par l'armée française depuis 2015. (2019) [database on-line] terdapat dalam https://www.lexpress.fr/actualite/monde/afrique/sahel-plus-de-600-djihadistes-neutralises-par-l-armee-francaise-depuis-2015_2064409.html diakses 2/8/2019
89 Paul Belkin. France and U.S.-French Relations: In Brief. (Congressional Research Service, 19 April 2018) Hlm. 6 [jurnal on-line] terdapat dalam https://fas.org/sgp/crs/row/R45167.pdf
49
bekerjasama, dukungan kekuatan dan tindakan internasional yang mendukung
populasi untuk memungkinkan asecara bertahap kembali normal di bidang-bidang
di mana otoritas negara dipertanyakan. Operasi Barkhane sedang mengembangkan
strategi resolusi krisis zona di Sahel. Hal itu bergantung pada kapasitas mitranya di
jalur Sahel-Sahara untuk memusatkan upayanya pada wilayah Liptako-Gourma,
namun tetap dapat melakukan intervensi di seluruh wilayah Sahel-Sahara sesuai
kebutuhan. Kemiskinan, kurangnya pendidikan, ketidaksetaraan, dan degradasi
lingkungan keamanan adalah hal-hal yang selalu bermunculan dan Operasi
Barkhane bekerja untuk mencegah lingkaran setan ini setiap hari dengan negara-
negara yang bekerjasama dengannya.90
Pada awal peluncuran Operasi Barkhane, Prancis menghadapi pertempuran
pertama di awal November 2014 dengan mengakibatkan 24 jihadis tewas. Seorang
juru bicara Kementerian Pertahanan mengatakan pasukan Prancis telah membunuh
Ahmed al-Tilemsi, yang memiliki hadiah $ 5 juta untuk kepalanya setelah
Departemen Luar Negeri Prancis mendaftarkannya sebagai "teroris global khusus."
Ahmed al-Tilemsi merupakan salah satu pendiri Movement for Oneness and Jihad
in West Africa (MOJWA). Hal ini merupakan kesuksesan besar pertama pasukan
Prancis pada Operasi Barkhane di bulan Desember 2014.91
Pada 2015 penyerangan dari grup teroris bersejata di Mali terus berlangsung
90 Ministère De Armées. DOSSIER DE PRESSE Opération Barkhane. (Bureau relations médias
de l’État-major des armées, Juli 2019) Hlm. 7 [jurnal on-line] terdapat dalam https://www.defense.gouv.fr/content/download/492362/8406707/DP-BARKHANE-0118.pdf
91 Rukmini Callimachi. French Forces Kill a Leader of Jihadists in Mali Raid. (11 Desember 2014) [database on-line] terdapat dalam https://www.nytimes.com/2014/12/12/world/africa/french-forces-kill-jihadi-ahmed-tilemsi-mali.html diakses 10/8/2019
50
terhadap pangkalan militer Prancis dan sekutunya. Namun terdapat suatu peristiwa
penting yang terjadi pada tahun ini, yakni penyerangan Hotel Bamako oleh teroris
Al-Murabitoun yang berafiliasi dengan Al-Qaeda dan grup teroris bersenjata
lainnya di Mali. Penyerangan tersebut diluncurkan pada 20 November 2015.
Pasukan khusus Prancis, untuk mendukung pasukan Mali, berkontribusi pada
pembebasan 170 orang yang disandera oleh 2 teroris di hotel Blu Radisson di
Bamako. 'Teroris' terbunuh dan para sandera disandera berhasil terlepas. Peristiwa
ini setidaknya mengakibatkan tewasnya 19 warga sipil dan asing serta dua jihadis
pelaku penyarangan, sedangkan tujuh orang terluka dalam serangan itu.92
Pada 12 April 2016, tiga tentara Prancis terbunuh ketika mereka
melancarkan oeprasi penyisiran anggota grup teroris bersenjata di wilayah Tessalit.
Konvoi tersebut terdiri dari sekitar 60 kendaraan pelacak ke kota padang pasir utara
Tessalit yang akhirnya menabrak tambang. Selanjutnya, seorang tentara Prancis
lainnya tewas pada 4 November 2016 setelah ledakan sebuah tambang di kota
Abeibara, menjadikan 2016 tahun paling mematikan bagi pasukan Prancis yang
berpartisipasi dalam Operasi Barkhane.93
Pertempuran sengit antara pasukan Prancis dan kelompok-kelompok Jihad
berlanjut pada musim panas 2017, dengan 8 tentara Prancis terluka oleh serangan
92 The Guardian. Mali attack: more than 20 dead after terrorist raid on Bamako hotel. (2015)
[database on-line] terdapat dalam https://www.theguardian.com/world/2015/nov/20/mali-attack-highlights-global-spread-
extremist-violence diakses 11/8/2019 93 The Guardian. Three French soldiers killed by Mali Mine Blast. (2016) [database on-line]
terdapat dalam https://www.theguardian.com/world/2016/apr/13/three-french-soldiers-killed-mali-
mine-blast-operation-barkhane diakses 11/8/2019
51
mortir di pangkalan mereka di Timbuktu pada 1 Juni. Pada malam 17 Juni 2017,
Prancis harus menerima kematian tentaranya yang ke sepuluh di Mali pada operasi
serangan udara militer Prancis di bagian timur laut Mali.94
Pada tanggal 14 Februari 2018, serangan udara Prancis menewaskan
sedikitnya 10 jihadis di perbatasan antara Aljazair dan Mali.95 Dua tentara Prancis
dari Resimen Spahi 1 terbunuh dan satu pasukan kolonel itu terluka di bagian kepala
pada 21 Februari 2018 ketika kendaraan lapis baja yang mereka tumpangi melindas
ranjau tanah di tambang antara kota Gao dan Menaka.96 Selanjutnya, pada 14 April
2018, aktivis JNIM (Jama'at Nasr al-Islam wal Muslimin), koalisi grup teroris
bersenjata yang berafiliasi dengan al-Qaeda, melancarkan serangan ke sebuah
pangkalan militer sementara Prancis di Timbuktu hingga melukai beberapa tentara
Prancis sebelum dibalas oleh gabungan pasukan Mali dan Amerika.97 Empat tentara
Prancis terluka parah oleh serangan bom bunuh diri terhadap patroli gabungan
Prancis-Mali di Gao pada 1 Juli 2018. Sedangkan sebuah mobil dengan bahan
peledak menyerang pangkalan patroli Prancis dan PBB di Gao utara. Peristiwa
94 RFI. Mali: attaque à Tombouctou contre les casques bleus et la force Barkhane. (2017)
[database on-line] terdapat dalam http://www.rfi.fr/afrique/20170601-mali-attaque-tombouctou-contre-casques-bleus-force-barkhane?ref=tw_i diakses 11/8/2019
95 News 24. French forces kill at least 10 jihadists in Mali: military sources. (14 Februari 2014) [database on-line] terdapat dalam https://www.news24.com/Africa/News/french-forces-kill-at-least-10-jihadists-in-mali-military-sources-20180214 diakses 11/8/2019
96 France 24. Two French soldiers killed by explosive device in Mali. (21 Februari 2018) [database on-line] terdapat dalam http://www.france24.com/en/20180221-mali-french-soldiers-killed-explosive-device-sahel diakses 12/8/2019
97 News Corp Australia Network. Militants disguised as peacekeepers attack French and UN bases in Mali. (16 April 2018) [database on-line] terdapat dalam https://www.news.com.au/world/militants-disguised-as-peacekeepers-attack-french-and-un-bases-in-mali/news-story/02e7fedc0e0588b064445b667a72df8a diakses 12/8/2019
52
tersebut membunuh 4 warga sipil dan melukai 31 orang lainnya termasuk tentara.98
Memasuki tahun 2019, sebuah alat peledak improvisasi militan menabrak
kendaraan lapis baja Prancis yang melakukan operasi anti-teroris di wilayah Mopti
pada 2 April, menewaskan seorang dokter tentara Prancis dan melukai seorang
lainnya dengan luka serius.99 Dua komando Prancis dari Korps Marinir terbunuh
pada 9 Mei di Burkina Faso Utara pada misi penyelamatan yang berhasil
menyelamatkan empat sandera, termasuk dua orang warga negara Prancis, dan
seorang wanita warga negara AS dan Korea Selatan, yang telah diculik oleh
kelompok Islam.100 Hingga Juli 2019, setidaknya telah gugur 14 tentara Prancis
terhitung sejak dimulainya Operasi Barkhane. Jumlah tersebut lebih besar
dibandingkan kerugian yang diderita pihak militer Prancis pada pendahulunya,
Operasi Serval, yang menelan korban sebanyak 10 tentara Prancis.101
Operasi Barkhane juga memberikan kontribusi untuk kepentingan populasi
lokal. Selama berlangsungnya operasi, terutama dengan pasukan mitra, bantuan
medis gratis ditawarkan kepada penduduk. Hal ini merupakan peluang untuk
berdialog dan mempromosikan penerimaan intervensi militer oleh rakyat Mali dan
sekitarnya. Tindakan kemanusiaan ini secara tidak langsung berkontribusi bagi
98 Thomson Reuters. Mali car bombing kills 4 civilians, wounds 31 others, including soldiers.
(1 Juli 2018) [database on-line] terdapat dalam https://www.cbc.ca/news/world/mali-french-soldiers-car-bomb-attack-1.4730322 diakses 12/8/2019
99 AFP. French military doctor killed in Mali. (3 April 2019) [database on-line] terdapat dalam https://www.yahoo.com/news/french-military-doctor-killed-mali-215421082.html diakses pada 2/8/2019
100 BBC News. French troops free hostages in Burkina Faso. (10 Mei 2019) [database on-line] terdapat dalam https://www.bbc.com/news/world-africa-48228353 diakses 2/8/2019
101 Ministère De Armées. DOSSIER DE PRESSE Opération Barkhane. (Bureau relations médias de l’État-major des armées, Juli 2019) Hlm. 21 [jurnal on-line] terdapat dalam https://www.defense.gouv.fr/content/download/492362/8406707/DP-BARKHANE-0118.pdf
53
efektivitas operasi militer yang bertujuan berkontribusi pada kembalinya
keamanan. Barkhane juga mendukung proyek-proyek yang membantu langsung ke
masyarakat. Misalnya: akses ke air, energi, kesehatan atau pendidikan. Pada tahun
2018, hampir 70 proyek sipil-militer dilaksanakan untuk kepentingan populasi,
termasuk 23 proyek yang ditujukan untuk wilayah Liptako, terutama di sekitar kota-
kota di Delimane, Ansongo dan Menaka Mali.102
Gambar III.5.Skema Operasi Barkhane
Sumber: France Defence Ministry103
Di antara 23 proyek ini, tercatat: 8 proyek penyediaan air yang
menghasilkan rehabilitasi amenara air di Tin-Hana, pengeboran lubang bor dan
pemasangan sumur dikota Menaka, atau pembelian pompa motor di kota Delimane
102 Ministère De Armées. DOSSIER DE PRESSE Opération Barkhane. (Bureau relations médias
de l’État-major des armées, Juli 2019) Hlm. 11 [jurnal on-line] terdapat dalam https://www.defense.gouv.fr/content/download/492362/8406707/DP-BARKHANE-0118.pdf
103 France Defence Ministry. Operation Barkhane. https://www.defense.gouv.fr/content/download/492362/8406707/DP-BARKHANE-0118.pdf
54
dan Menaka. 5 proyek agropastoralisme, di antaranya penciptaan pasar berkebun di
Delimane atau renovasi susu Menaka. 3 proyek infrastruktur yang secara khusus
memungkinkan pembangunan jembatan Tassiga dan perbaikan tempat sampah
Lelehoye. Sejak 1 Januari 2019, lebih dari 30 proyek sipil-militer telah
dilaksanakan untuk masyarakat, termasuk 13 proyek untuk wilayah Liptako-
Gourma. Dalam pencapaian ini juga termasuk 4 proyek infrastruktur, 2 proyek
pasokan air, 5 proyek sehubungan dengan pendidikan dan akses ke informasi.104
Prancis bahkan memiliki prospek demografis yang baik, dengan tingkat
kelahiran tepat di atas tingkat penggantian terutama di antara populasi imigrannya.
Mereka terlalu besar untuk gagal. Prancis memiliki masalah pertumbuhan yang
lambat, pengangguran, keuangan publik yang buruk, dan masalah struktural.
Mereka merasa sulit untuk mereformasi dan menghadapi lingkungan politik yang
semakin sulit. Hutang setara Prancis adalah sekitar 280% dari (Produk Domestik
Bruto) PDB, naik 66% sejak 2007. Ini mengabaikan kewajiban pensiun dan
perawatan kesehatan yang tidak didanai serta komitmen kontinjensi terhadap dana
talangan zona euro. Utang akan meningkat di tingkat kritis dengan cepat tanpa
tindakan korektif. 105
Presiden Macron telah meminta pengurangan dalam upaya untuk mematuhi
pedoman defisit anggaran Uni Eropa (UE). Dia kemudian menyetujui peningkatan
104 Ministère De Armées. DOSSIER DE PRESSE Opération Barkhane. (Bureau relations médias
de l’État-major des armées, Juli 2019) Hlm. 13 [jurnal on-line] terdapat dalam https://www.defense.gouv.fr/content/download/492362/8406707/DP-BARKHANE-0118.pdf
105 Satyajit Dash. France and Italy could be the next European economies to crash. (29 Mei 2016) [database on-line] terdapat dalam https://www.independent.co.uk/voices/france-and-italy-next-economic-crash-europe-a7054801.html diakses 11/8/2019
55
anggaran pertahanan 2018, membawa pertahanan tahunan Prancis anggaran
menjadi sekitar € 34,2 miliar (sekitar $ 42,3 miliar), atau sekitar 1,8% dari PDB.106
Pada Februari 2018, Presiden Macron merilis anggaran pertahanan untuk enam
tahun yang diusulkan dimana pengeluaran pertahanan tahunan akan meningkat
sampai Prancis mencapai target 2% pengeluaran dari PDB Prancis pada 2025.
Rencana anggaran ini diharapkan akan disetujui oleh parlemen pada pertengahan
tahun 2018, dimana kita akan melihat peningkatan belanja pertahanan sebesar € 1,7
miliar (sekitar $ 2,1 miliar) setiap tahun hingga 2022 dan sebesar € 3 miliar (sekitar
$ 3,7 miliar) per tahun sesudahnya. Meskipun komandan militer Prancis
menyambut positif sumber daya tambahan, beberapa analis berpendapat bahwa
angkatan bersenjata dapat ditekan untuk mempertahankan tempo operasional
mereka saat ini sambil menyikapi prioritas lain seperti modernisasi pencegah misil
nuklir Prancis. Pihak lain mencatat bahwa tekanan anggaran dapat menambah
tingkat urgensi terhadap upaya Prancis untuk menempa kebijakan pertahanan UE
yang lebih ambisius dan untuk membangun kapasitas mitra regional, khususnya di
Afrika.107
Pada 2017, sebuah studi berjudul "Mali-Meter" dilakukan oleh Yayasan
Friedrich-Ebert di Mali pada tingkat kepuasan Operasi Barkhane dengan hasil:
48,6% responden mengatakan mereka puas dengan pekerjaan Barkhane di Mali
(13,2% sangat puas dan 35,6% agak puas) dibandingkan dengan 36% (16,6% agak
106 Paul Belkin. France and U.S.-French Relations: In Brief. (Congressional Research Service,
19 April 2018) Hlm. 7 [jurnal on-line] terdapat dalam https://fas.org/sgp/crs/row/R45167.pdf 107 Paul Belkin. France and U.S.-French Relations: In Brief. (Congressional Research Service,
19 April 2018) Hlm. 7 [jurnal on-line] terdapat dalam https://fas.org/sgp/crs/row/R45167.pdf
56
tidak puas dan 19,8% sangat tidak puas. Mayoritas responden dari kota Koulikoro
(66,9%), Mopti (76%), Timbuktu (67,7%), Gao (87,7%), Menaka (84,8%) dan
Taoudeni (61,2%)%) mengatakan mereka puas dengan Operasi Barkhane.
Mayoritas responden di kota Kayes (67,6%), Kidal (72%) dan Bamako (52,6%),
sebaliknya, mengaku tidak puas dengan Operasi Barkhane.108
Amerika Serikat (AS) memberikan Bantuan bilateral berjumlah total sekitar
$ 132 juta pada tahun 2017, bantuan ini bertujuan untuk mendukung pembangunan,
program kesehatan, mitigasi konflik, peningkatan tata kelola, dan profesionalisme
militer. AS juga menyediakan bantuan kemanusiaan ($ 48 juta pada 2017),
dukungan finansial untuk MINUSMA ($ 271 juta pada 2017), pelatihan dan
peralatan bilateral untuk pasukan Afrika yang dikerahkan di bawah MINUSMA,
dan dukungan logistik untuk operasi militer Prancis. Departemen Luar Negeri AS
telah menjanjikan total lebih dari $ 100 juta dalam bantuan militer untuk inisiatif
pasukan G5.109
Konferemsi Tingkat Tinggi (KTT) Inggris-Prancis di Paris berlangsung
pada bulan Maret 2016 menghasilkan pemerintah Inggris mengumumkan bahwa
mereka akan mempertimbangkan untuk memberikan dukungan kepada Operasi
Barkhane. Sekretaris Pertahanan Inggris Michael Fallon kemudian mengumumkan
bahwa Inggris akan memberikan dukungan pengangkutan udara strategis bulanan
108 Timbuktu Institute. Etude : Les maliens méconnaissent la mission de l’UE et se divisent
sur barkhane. (6 Juni 2017) [database on-line] terdapat dalam http://www.maliweb.net/armee/etude-maliens-meconnaissent-mission-de-lue-se-divisent-barkhane-2301602.html diakses 3/8/2019
109 Alexis Arieff. Conflict in Mali. (Congressional Research Service, 2019) [jurnal on-line] terdapat dalam https://fas.org/sgp/crs/row/IF10116.pdf
57
kepada pasukan Prancis di Afrika.110 Pada Juli 2018, tiga helikopter Royal Air
Force (RAF) Chinook tiba di Mali untuk memberikan dukungan logistik dan
pergerakan pasukan ke Prancis dan pasukan militer lainnya yang beroperasi di
daerah itu. Penempatan ini merupakan tambahan dari 90 pasukan Inggris yang
sudah dikerahkan di wilayah tersebut. Hingga 2019, alat transportasi militer Inggris,
RAF Chinooks Mk5 telah mengangkut lebih dari 700 tentara Prancis, persediaan,
dan 70 ton logistic operasi militer di seluruh Mali.111
110 Ministry of Defence UK. Defence Secretary secures progress on Brimstone sales as
unmanned aircraft project moves forward. (3 Maret 2016) [database on-line] https://www.gov.uk/government/news/defence-secretary-secures-progress-on-brimstone-sales-as-unmanned-aircraft-project-moves-forward diakses 1/7/2019
111 Forces Network. RAF Chinooks Begin Mali Deployment With French Military. (20 September 2018) [database on-line] terdapat dalam https://www.forces.net/services/raf/raf-chinooks-begin-mali-deployment-french-military diakses 1/7/2019
58
BAB IV
FAKTOR-FAKTOR PRANCIS MEMPERTAHANKAN INTERVENSI
MILITER OPERASI BARKHANE DI MALI UTARA
Bab ini berisi faktor-faktor yang menjadi alasan Prancis mempertahankan
intervensi militernya di Mali Utara pada 2014-2019, yang dibagi menjadi tiga sub-
bab: Pertama, Faktor Sejarah; Kedua, Faktor Internal; Ketiga, Faktor Eksternal.
Tujuan dari bab ini adalah untuk menyajikan analisa penulis mengenai relevansi
kerangka teori terhadap masalah penelitan.
Merujuk pada konsep kebijakan luar negeri, Prancis mengambil kebijakan
dalam mempertahankan intervensi militer Operasi Barkhane di Mali atas dasar
faktor-faktor yang mempengaruhi kebijakan luar negerinya. Dalam menerapkan
kebijakan luar negeri berupa intervensi militer di Mali Utara, Prancis memiliki
alasan rasional yang dijelaskan oleh beberapa faktor, seperti yang dikemukakan
oleh Holsti, yakni faktor sejarah, internal, dan eksternal. Untuk itu, konsep
kebijakan luar negeri dianggap mampu untuk menjelaskan mengapa Prancis
mempertahankan kebijakan luar negerinya di Mali berdasarkan pengaruh berupa
faktor-faktor dalam perumusan kebijakan luar negeri Prancis.
Dalam kaitannya dengan analisa penulis, skripsi ini menganalisa fakta-fakta
yang ditemukan dengan mengkategorikannya ke dalam variabel-variabel atau
faktor-faktor yang mempengaruhi Prancis dalam mempertahankan Operasi
Barkhane pada konflik Mali Utara periode 2014-2019 untuk menjelaskan konsep
kebijakan luar negeri Prancis dalam intervensi militer ini. Fakta-fakta tersebut
59
berupa adanya hubungan historis antara Prancis dengan negara-negara jajahannya
dan hutang darah antara Prancis dan negara jajahannya pada masa Perang Dunia II,
menumpas terorisme di Mali Utara guna mempertahankan stabilitas politik demi
keberlangsungan keuntungan ekonomi Prancis di Mali, promosi bahasa dan budaya
Prancis di Mali Utara (bahkan di seluruh negara Francophone), keamanan dalam
negeri dari serangan terorisme, respon Prancis atas resolusi DK PBB, bentuk dari
pelaksanaan Prancis terhadap tanggung jawab utamanya dalam DK PBB,
permintaan bantuan dari pemerintahan Mali, eksistensi global, dan war on terror.
A. Faktor Sejarah
Pertama-tama perlu menguraikan ringkasan sejarah keterlibatan Prancis di
Afrika, dengan penekanan pada eksklusivitas hubungan Prancis dengan negara-
negara bekas koloni pada periode dekolonisasi. Dengan begitu, diperlukan
interpretasi dari istilah Françafrique (Kata Prancis digunakan untuk
menggambarkan hubungan spesial antara Prancis dan Afrika). Françafrique
memberikan penjelasan mengenai debat yang selama ini tercipta dan kepentingan
dibalik tindakan atas intervensi Prancis di Mali.
Tentu saja, prioritas angkatan bersenjata Prancis selalu menjadi prioritas
utama melindungi wilayah nasionalnya, tetapi sejak 1996, Angkatan Darat Prancis
mencurahkan sebagian besar perhatiannya untuk Operasi Extérieures artinya
operasi di luar negeri. Akibatnya, pada 2016 terjadi perdebatan mengenai
keseimbangan antara intervensi di luar negeri dan kehadiran di wilayah nasional.
Setelah Januari 2015, tentara menghabiskan 35-45% tambahan waktu mereka untuk
beroperasi di Prancis. Setelah Angkatan Darat Prancis mencapai pasukan
60
operasional 77.000 tentara pada 2018, tentara akan mendedikasikan tidak lebih dari
20 hingga 25% dari waktu mereka untuk operasi domestik.112
Dari tahun 1950 hingga 1970-an, kemerdekaan menjadi kenyataan bagi
banyak negara bekas jajahan Prancis. Banyak kemerdekaan dicapai di sekitar waktu
yang sama dan tanpa kekerasan besar (kecuali Kamerun). Prancis memiliki strategi
khusus dalam kemitraan keamanan dengan negara Afrika. Pada saat kemerdekaan
negara kolonialnya, Pemerintah Prancis menciptakan tentara nasional Afrika yang
akan berfungsi sebagai cabang dari Tentara Prancis di luar negeri. Dalam hal ini
konteks perjanjian keamanan bilateral ditandatangani dengan masing-masing
negara yang baru merdeka. Terbukti antara 1960 dan 1993, dua lusin perjanjian
ditandatangani antara Prancis dan sebagian besar bekas koloninya. Prancis telah
melakukan intervensi militer di Afrika lebih dari 50 kali sejak 1960. Dengan
demikian, Prancis terus berlanjut untuk mempertahankan hubungan ekonomi dan
politiknya dengan negara-negara bekas jajahannya.113
Kerjasama militer oleh Prancis di Afrika sejak awal 1960-an telah menjadi
sarana mempertahankan status quo di dalam negara-negara di Afrika bekas jajahan
Prancis. La Cooperation Militaire telah terbukti tahan lama dan sukses selama 60
tahun terakhir dalam memenuhi tujuan kebijakan luar negeri dan pertahanan
Prancis di Afrika tetapi harus menjalani perombakan struktural dan ideologis utama
112 Rémy Hémez. Modernization Among Us Partners: The French Army at a Crossroads.
(2017) Hlm. 107-108 [jurnal on-line] terdapat dalam https://ssi.armywarcollege.edu/pubs/parameters/Issues/Spring_2017/12_Hemez_FrenchArmyCrossroads.pdf
113 Carmen Cuesta Roca. From Operation Serval to Barkhane: Understanding France’s Increased Involvement in Africa in the Context of Françafrique and Postcolonialism. (2015) Hlm. 3 [jurnal on-line] terdapat dalam http://jpinyu.com/wp-content/uploads/2015/05/3-Hollande.pdf
61
untuk memenuhi urgensi dari sistem internasional pasca perang dingin dan
meningkatnya tuntutan untuk disiplin fiskal seperti semua aspek lain dari
pertahanan Prancis dan pembentukan kebijakan luar negeri. Kebijakan baru yang
diberlakukan adalah Program RECAMP (Renforcement des Capacités Africaines
de Maintien de la Paix/Reinforcement of African Peacekeeping Capabilities).
RECAMP merupakan sebuah model yang mengintegrasikan kebutuhan mendesak
dari negara-negara Afrika untuk peningkatan kapasitas pemeliharaan perdamaian
dan pembentukan kembali hukum dan ketertiban di Afrika sejalan dengan tujuan
Prancis untuk mempertahankan intervensi yang efektif, efisien dan murah di
Afrika.114
Bantuan militer Prancis kepada mitra regional di Sahel bukanlah fenomena
baru. Tercatat sejak kemerdekaan negara-negara Francophone (negara-negara yang
menjadikan Bahasa Prancis sebagai salah satu bahasa nasionalnya), terutama Mali,
Prancis telah terlibat dalam kerjasama militer tahun 1960 – 2014. Dalam
keterlibatannya dengan negara-negara Francophone, Prancis berdasar pada tiga
elemen utama, yakni (1) pasukan yang ditempatkan di Prancis di pangkalan-
pangkalan Afrika, (2) program pelatihan RECAMP, dan (3) program kerja sama
militer bilateral yang dijalankan oleh De la Coopération de Sécurité et de Défense
(Directorate of Cooperation of Security and Defence atau DCSD). Prancis
memfasilitasi bantuan kepada sekutu-sekutu Francophonenya melalui apa yang
oleh pemerintah Prancis disebut ‘kerja sama operasional militer’ untuk intervensi
114 Omobolaji Ololade Olarinmoye. France's New Military Policy in Africa: RECAMP in Central
African Republic. (Journal of Contemporary Politics, Vol. 1, No. 1, University of Ado-Ekiti, Mei 2007) Hlm. 2 [jurnal on-line] terdapat dalam https://www.academia.edu/1545292/RECAMP_in_Central_Africa
62
demi pemeliharaan perdamaian, dan 'kerja sama struktural' untuk misi rutin
membantu negara membangun dan memelihara militer mereka.115
Dengan dekolonisasi sebagian besar Kekaisaran Prancis di Afrika Barat dan
Tengah pada tahun 1960, Prancis menegosiasikan perjanjian bilateral pertahanan
dan kerja sama militer untuk mempertahankan kehadiran militer permanen di benua
itu. Sejumlah pangkalan Prancis tetap dibuka, tetapi dengan cepat berkurang setelah
pemotongan tentara setelah berakhirnya Perang Aljazair pada tahun 1962. Jaringan
pangkalan Prancis digunakan untuk mendukung intervensi militer di Afrika, yang
dimulai dengan intervensi di Gabon pada tahun 1964 sebagai tanggapan terhadap
upaya kudeta, dan masih berlanjut hingga hari ini. Menurut Pemerintah Prancis,
pada musim panas 2014, Prancis memiliki 7515 tentara yang dikerahkan di Afrika,
tidak termasuk kekuatan pasukan Prancis di Operai Barkhane. Struktur pangkalan
saat ini sedang ditata ulang seputar prinsip akses ke Sahel. Basis permanen utama
di Prancis adalah Dakar, Libreville, dan Djibouti (Abu Dhabi juga dihitung untuk
jaringan Afrika). Prancis juga mencari cara untuk mengatur di pangkalan yang lebih
kecil di Néma (Mauritania), Gao (Mali), Agadez dan Arlit (Niger), dan Zouar
(Chad). Niamey juga merupakan pangkalan yang lebih kecil, di mana tentara
Prancis dan AS memiliki drone yang beroperasi di seluruh wilayah tersebut.116
115 Christopher Griffin. Operation Barkhane and Boko Haram: French counterterrorism and
military cooperation in the Sahel. (Abu Dhabi: TRENDS Research & Advisory, Mei 2015) Hlm. 19 [jurnal on-line] terdapat dalam http://trendsinstitution.org/wp-content/uploads/2015/06/Operation-Barkhane-and-Boko-Haram-Christopher-Griffin.pdf
116 Christopher Griffin. Operation Barkhane and Boko Haram: French counterterrorism and
military cooperation in the Sahel. (Abu Dhabi: TRENDS Research & Advisory, Mei 2015) Hlm. 10 [jurnal on-line] terdapat dalam http://trendsinstitution.org/wp-content/uploads/2015/06/Operation-Barkhane-and-Boko-Haram-Christopher-Griffin.pdf
63
Mengenai masalah terorisme di Sahel, Prancis telah meningkatkan bantuan
militernya ke negara-negara yang sekarang disebut ‘G5 Sahel’, yang diciptakan
pada 2014 untuk kerja sama keamanan antara Mauritania, Mali, Niger, Burkina
Faso, dan Chad. dan didukung oleh pasukan reaksi cepat Guépard di Prancis.117
Gagasan bahwa Prancis dapat dan harus terus membantu negara-negara
bekas jajahannya di Afrika terkait erat dengan gagasan hutang, yakni hutang
Prancis ke Afrika pada masa penjajahan. Lebih spesifik yakni hutang atas
partisipasi militer Afrika di beberapa perang, khususnya, dua perang dunia. Kala
itu, tentara Afrika yang melayani Prancis adalah dikenal sebagai tirailleurs
sénégalais, meskipun perekrutan tidak hanya terbatas di Senegal. Gagasan tentang
"hutang darah” (dette de sang) atau hutang kolonial masih terasa hadir pada
keterlibatan Prancis di wilayah ini.118
Hubungan ini sering disebut sebagai la Françafrique. Istilah ini bukan
merupakan hal yang baru, namun, maknanya mungkin telah berubah seiring
pergeseran hubungan antara Prancis dan negara bekas jajahannya di Afrika. Pada
tahun 1963 Felix Houphouët-Boigny, mantan presiden Pantai Gading, menciptakan
istilah Françafrique. Awalnya gagasan Françafrique memang positif karena
digunakan “untuk menggambarkan nasib bersama dan mempromosikan hubungan
khusus antara Prancis dan Afrika yang ingin dipertahankan.” Namun kemudian
117 Christopher Griffin. Operation Barkhane and Boko Haram: French counterterrorism and
military cooperation in the Sahel. (Abu Dhabi: TRENDS Research & Advisory, Mei 2015) Hlm. 10 [jurnal on-line] terdapat dalam http://trendsinstitution.org/wp-content/uploads/2015/06/Operation-Barkhane-and-Boko-Haram-Christopher-Griffin.pdf
118 Carmen Cuesta Roca. From Operation Serval to Barkhane: Understanding France’s Increased Involvement in Africa in the Context of Françafrique and Postcolonialism. (2015) Hlm.7 [jurnal on-line] terdapat dalam http://jpinyu.com/wp-content/uploads/2015/05/3-Hollande.pdf
64
istilah ini memiliki konotasi negatif karena sering digunakan untuk menuduh
Prancis atas dugaan hubungan neokolonial Prancis dengan bekas jajahannya.119
Prancis telah melakukan intervensi di Afrika sejak 1830 ketika menginvasi
dan menjajah Aljazair. Pada 1900, Prancis telah menaklukkan Afrika Barat Laut,
mengalahkan sejumlah kerajaan yang mahir secara militer di Sahel. Prancis
mendirikan pos-pos militer kolonial di seluruh Sahel dan Sahara dan menggunakan
Legiun Asing dan pasukan lain untuk menjatuhkan pemberontakan terhadap
otoritasnya. Prancis menciptakan negara-negara Aljazair, Mali, Niger, Chad,
Mauritania, dan Burkina Faso dan menganggap koloninya sebagai bagian dari
metropol. Warga negara Prancis menjalankan pemerintahan, perusahaan dan militer
di koloninya, dan pola ini terbawa ke era pasca-kemerdekaan. Sejak 1960 dan
seterusnya, Prancis mempertahankan warga negaranya dan perusahaan serta pos-
pos militernya di Afrika Barat, dan intervensi militer berkala di kawasan itu dalam
mendukung rezim adalah salah satu indikator neo-kolonialisme. Yang paling
penting adalah operasi penambangan uranium di Niger dan di tempat lain yang
memicu industri tenaga nuklir Prancis yang luas. Prancis menganggap Afrika Barat
sebagai wilayah pengaruhnya, dan hingga 1994, Paris keberatan atas kunjungan
Menteri Luar Negeri AS ke Mali.120
Oleh karena itu, kebiasaan-kebiasaan bangsa Prancis dalam ikut terlibat
dengan negara-negara bekas jajahannya, terutama Mali, dijelaskan oleh hubungan
119 Tony Chafer. Hollande and Africa Policy. (Modern Contemporary France, 22, no. 4 2014)
Hlm. 529 [jurnal on-line] terdapat dalam http://dx.doi.org/10.1080/09639489.2014.957966 120 Stephen Burgess. Military Intervention in Africa French and US Approaches Compared.
(ASPJ Africa & Francophonie - 2nd Quarter, 2018) Hlm. 11 [jurnal on-line] terdapat dalam https://www.airuniversity.af.edu/Portals/10/ASPJ_French/journals_E/Volume-09_Issue-2/burgess_e.pdf
65
Françafrique dan dette de sang (hutang darah) yang membuat Prancis secara
rasional mempertahankan intervensi militernya sebagai alat untuk memberikan
pengaruh dominan di negara-negara bekas jajahannya tersebut atas faktor sejarah
merupakan salah satu kepentingan nasionalnya.
B. Faktor Internal
Keamanan domestik Prancis menjadi salah satu hal terpenting Prancis
mempertahankan intervensi militer di Mali. Sejak bergejolaknya terorisme di Mali
sekitar 2012, Prancis telah menghadapi tiga serangan terorisme di kota-kota besar
Prancis. Hal tersebut membuat Prancis harus bertindak untuk menjaga kemanan
dalam negerinya dari terorisme.
Pada Januari 2015, tiga teroris membunuh 17 orang di tiga serangkaian
serangan yang berbeda dengan tujuan untuk menyerang kantor penerbitan majalah
Charlie Hebdo, petugas polisi, dan supermarket lokal. Para pelaku adalah semua
warga negara Prancis di bawah pengawasan yang berbeda. Setidaknya salah satu
penyerang dilaporkan bergabung dengan anggota Al Qaeda di Semenanjung Arab
dan satu lagi berjanji setia kepada Islamic State in Iraq and Syria (ISIS).
Pada November 2015, serangan berencana di Paris menewaskan 130 orang
dan 350 orang terluka di enam lokasi di seluruh kota. Serangan ini merupakan
insiden teroris paling mematikan yang pernah terjadi di tanah Prancis. Sebagian
besar dari 11 pelaku adalah warga negara Prancis yang terpapar paham radikalisme
dari jaringan teroris ISIS, Al-Qaeda, dan Ansar Dine.
Pada Juli 2016, seorang warga Tunisia yang tinggal di Prancis menewaskan
84 orang dan melukai 202 orang dengan menabrakan truk seberat 19 ton ke
66
kerumunan masyarakat pada perayaan Hari Nasional di Nice. Meskipun ISIS
mengklaim kesetiaan pelaku tersebut, pelaku dilaporkan melakukan radikalisasi
diri untuk waktu yang relatif singkat sebelum serangan dan sebelumnya tidak
diketahui oleh otoritas anti terorisme.121
Jumlah warga negara Prancis yang dilatih bertarung dengan organisasi teroris
menjadi perhatian khusus bagi Pemerintah Prancis karena hal tersebut merupakan
sumber masalah serangan terorisme terbanyak di Prancis. Prancis yang merupakan
rumah bagi populasi Muslim terbesar di Eropa (diperkirakan 5,7 juta orang, atau
sekitar 8,8% dari total populasi Prancis pada 2017), Perkiraan menunjukkan bahwa
hingga 1.600 warga negara Prancis melakukan perjalanan ke Suriah, Irak, dan
berbagai negara di Afrika.122
Prancis memang mengeluarkan biaya yang cukup banyak untuk
mempertahankan perannya sebagai pemain utama di Afrika. Intervensi militer tidak
murah begitu pula bantuan pembangunan yang dikirim Prancis ke Afrika. Prancis
memiliki masalah ekonomi dalam negerinya sendiri dan karenanya semakin sulit
untuk membiayai operasinya di Afrika. Salah satu faktor Prancis tetap
mempertahankan intervensinya adalah bahwa 28 negara anggota Uni Eropa (UE)
menjadi lebih aktif di Afrika. Oleh karena itu, hal ini berdampak pada kebijakan
nasional Prancis sendiri di Afrika. Menurut Philippe Hugon, ahli studi Afrika-
Prancis, meski Prancis sekarang kurang terlibat dalam perdagangan, keuangan, dan
investasi, tetapi tetap mempertahankan pengaruhnya terhadap kebijakan moneter
121 Paul Belkin. France and U.S.-French Relations: In Brief. (Congressional Research Service,
19 April 2018) Hlm. 4 [jurnal on-line] terdapat dalam https://fas.org/sgp/crs/row/R45167.pdf 122 Paul Belkin. France and U.S.-French Relations: In Brief. (Congressional Research Service,
19 April 2018) Hlm. 4 [jurnal on-line] terdapat dalam https://fas.org/sgp/crs/row/R45167.pdf
67
dan kehadiran militernya. Namun, Prancis menghadapi persaingan yang semakin
ketat. Cina telah menjalin hubungan dekat dengan banyak negara Afrika dan AS
juga telah menunjukkan komitmen yang lebih besar ke Afrika dalam beberapa
tahun terakhir.123
Selain itu demi terciptanya kestabilan ekonomi Mali dan berkembangnya
Bahasa Prancis juga menjadi salah satu faktor Prancis mempertahankan intervensi
militernya di negara itu. Kepentingan nasional Prancis terletak pada banyaknya
perusahaan-perusahaan Prancis yang berada di Afrika. Prancis mempertahankan
cengkeraman kuat pada negara bekas jajahannya mengingat sebuah fakta bahwa
perusahaan-perusahaan telekomunikasi besar Prancis, bank-bank dan raksasa ritel
menjamur di negara-negara seperti Senegal, Mali, dan sekitarnya. Terdapat 300 juta
penutur bahasa Prancis di seluruh dunia saat ini. Jumlah ini naik hampir 10% sejak
2014 dan survei terbaru menunjukkan bahwa 44% dari mereka tinggal di sub-
Sahara Afrika. Pada tahun 2050, 85% penutur bahasa Prancis dapat hidup di benua
itu, menurut perkiraan oleh organisasi yang memantau statistik siapa yang berbicara
bahasa tersebut.124
Pada 2016, surplus perdagangan Prancis dengan negara-negara sub-Sahara
Afrika mencapai level tertinggi selama 10 tahun pada € 3,5 miliar. Angka itu
mencapai di € 2,9 miliar pada 2017. Ekspor Prancis ke wilayah sub-Sahara Afrika
menyumbang 2,4% dari semua ekspor Prancis sebanyak € 11,1 miliar pada 2017.
123 Jens Borchers. Why are former colonies in Africa so important to France? (6 Mei 2017)
[database on-line] terdapat dalam https://mg.co.za/article/2017-05-06-why-are-former-colonies-in-africa-so-important-to-france diakses 13/8/2019
124 BBC News. Why the Future of French is African. (8 April 2019) [database on-line] terdapat dalam https://www.bbc.com/news/world-africa-47790128 diakses 13/8/2019
68
Lebih dari sepertiga eksportir Prancis mengekspor ke Afrika (38.000 bisnis Prancis
diekspor ke Afrika antara tahun 2002 dan 2017). Lebih dari 1.100 perusahan
Prancis hadir di Afrika dengan lebih dari 2.109 anak perusahaan.125
Afrika muncul sebagai landasan dari upaya Presiden Macron untuk
meningkatkan pengaruh global Prancis. Presiden Macron telah menjelaskan bahwa
keterlibatan Prancis yang kuat di panggung dunia akan menjadi prioritas
pemerintahannya, ia menyatakan dengan tegas bahwa "Prancis kembali." Macron
mencoba untuk mengimbangi kritik bahwa Prancis ingin membangun kembali
cengkeraman atas Afrika dengan mengatakan ia merupakan generasi baru yang
mencari kemitraan yang setara, dan bukan dominasi di benua itu. Presiden Macron
mengatakan, “I am from a generation that doesn’t come to tell Africans what to
do.”126
Dari Serval ke Barkhane, operasi militer Prancis di Afrika diduga bertujuan
"untuk memerangi terorisme" dan lebih khusus untuk "mengembalikan
kedaulatannya Mali atas Timbuktu dan Kidal". Tetapi, tentu saja, tujuan lain dari
operasi militer ini adalah untuk melindungi kepentingan ekonomi dan geostrategis
Prancis di wilayah tersebut, seperti eksploitasi uranium Niger dan emas Mali. Juga,
diketahui bahwa Prancis berada di belakang penciptaan G5 Sahel (kerangka kerja
kelembagaan untuk kerja sama regional dalam pengembangan dan kebijakan
keamanan, menggabungkan Mauritania, Mali, Burkina Faso, Niger, dan Chad). G5
125 France Diplomatie. Economic relations between France and Africa. (Februari 2019)
[database on-line] terdapat dalam https://www.diplomatie.gouv.fr/en/country-files/africa/economic-relations-between-france-and-africa/ diakses 1/9/2019
126 France 24. Macron’s soft power push in Africa is key to 'making France great again. (3 Juli 2018) [database on-line] terdapat dalam https://www.france24.com/en/20180703-macron-soft-power-push-africa-make-france-great-again-global-influence-diplomacy diakses 1/9/2019
69
membantu Prancis menyegel pengaruh militernya di kawasan itu dan Presiden
Macron tampaknya berkomitmen untuk mempertahankan status quo Prancis di
wilayah itu sampai sekarang.127
Dengan demikian, dari sudut pandang keseluruhan, kerja sama militer
Prancis di Afrika tampaknya setidaknya sebagian berhasil, karena telah membantu
pasukan lapangan Chad, Niger dan Kamerun yang telah terbukti efektif melawan
Boko Haram, setidaknya untuk saat ini. Ini memungkinkan Prancis untuk membuat
koalisi negara-negara Francophone (negara yang berbicara bahasa Prancis,
terutama negara dimana bahasa Prancis adalah bahasa nasional mereka/negara
bekas jajahan Prancis) yang dapat mengambil inisiatif operasional melawan
ancaman teroris, tanpa keterlibatan langsung Prancis dalam pertempuran. Ini adalah
bagian dari prakarsa Prancis untuk membuat negara-negara Afrika memimpin
dalam menyelesaikan masalah militer mereka sendiri, tetapi juga melayani
kepentingan nasional Prancis.128
C. Faktor Eksternal
Sejak pecahnya konflik di Mali Utara pada 2012, Prancis mengedepankan
intervensi militernya berdasarkan resolusi-resolusi yang dikeluarkan DK BB,
dimana Prancis ikut memprakarsai resolusi tersebut sebagai bentuk tanggung jawab
Prancis sebagai salah satu anggota tetap DK PBB dan dukungannya terhadap
127 Pape Samba Kane. Macron's Francafrique. (23 Juli 2017) [database on-line] terdapat
dalam https://www.aljazeera.com/indepth/opinion/2017/07/macron-francafrique-170721190500965.html
128 Christopher Griffin. Operation Barkhane and Boko Haram: French counterterrorism and military cooperation in the Sahel. (Abu Dhabi: TRENDS Research & Advisory, Mei 2015) Hlm. 21-22 [jurnal on-line] terdapat dalam http://trendsinstitution.org/wp-content/uploads/2015/06/Operation-Barkhane-and-Boko-Haram-Christopher-Griffin.pdf
70
perdamaian dunia yang digaungkan oleh PBB. Tindakan Prancis di Mali selalu
merupakan bentuk dukungan kepada deretan resolusi DK PBB antara lain resolusi
2056 (5 Juli 2012) yang menjadi keputusan PBB paling awal pada konflik ini,
resolusi 2085 (20 Desember 2012) mengenai perizinan peluncuran African-led
International Support Mission to Mali (AFISMA) untuk periode awal satu tahun,
resolusi 2100 mengenai perizinan peluncuran United Nations Multidimensional
Integrated Stabilization Mission in Mali (MINUSMA), resolusi 2391 (8 Desember
2017) mengenai gabungan misi MINUSMA dan G5, hingga resolusi paling baru
2480 (28 Juni 2019) yang meluncurkan misi kelanjutan dari MINUSMA dan
AFISMA, yakni United Nations Multidimensional Integrated Stabilization Mission
in the Central African Republic (MINUSCA).129 Hal ini juga merupakan bentuk
dari pelaksanaan Prancis terhadap tanggung jawab utamanya dalam DK PBB.
Sebagaimana tanggung jawab utama Prancis dalam Bab VII, Pasal 39, DK PBB
memiliki tanggung jawab utama untuk “Menentukan keberadaan ancaman terhadap
perdamaian, pelanggaran perdamaian, atau tindakan agresi dan akan membuat
rekomendasi, atau memutuskan tindakan apa yang akan diambil ... untuk
mempertahankan atau memulihkan perdamaian dan keamanan internasional.”130
Fenomena intervensi Prancis di Mali dan wilayah Afrika lainnya banyak
diidentikan dengan konsep war on terror yang dilakukan Amerika Serikat (AS).
Banyak yang memprediksikan Mali adalah Afghanistan selanjutnya atas penilaian
129 United Nations Security Council. Security Council Resolutions: Mali. (2019) [database on-
line] terdapat dalam https://www.securitycouncilreport.org/un_documents_type/security-council-resolutions/?ctype=Mali&cbtype=mali diakses 2/9/2019
130 United Nations, “Legal Framework”, tersedia dalam http://legal.un.org/repertory/art39.shtml diakses pada 11 September 2019
71
perlakukan dari Prancis dan AS. Pelabelan ini dapat merendahkan motivasi di
belakang operasi Prancis di Afrika. Karena pada dasarnya pengertian tentang
Françafrique tidak didasarkan pada eksploitasi negara-negara Afrika untuk
kemajuan kekuatan Prancis sendiri, melainkan memandang Operasi Barkhane
dengan cara yang sama seperti war on terror, atas dasar penunjukan bahwa Prancis
menggunakan kerangka justifikasi dari kontra-terorisme untuk tetap terlibat di
kawasan dan mendapat manfaat dari keterlibatan ini. Manfaat tersebut termasuk
membela posisi Prancis di PBB, juga di arena internasional.131
Proliferasi senjata dari Libya memiliki efek penting pada erupsi konflik di
Mali dan Sinai. Juru bicara Tuareg menyimpulkan tentang asal-usul pemberontakan
2012 ketika ia mengatakan bahwa "Krisis Libya mengguncang rentetan konflik di
Utara. Banyak saudara kita kembali dari Libya dengan membawa senjata." DK PBB
pada 2015 melaporkan hal yang sama menyimpulkan bahwa "senjata yang berasal
dari Libya telah secara signifikan memperkuat kapasitas militer kelompok teroris
yang beroperasi di berbagai wilayah, termasuk Aljazair, Mesir, Mali, dan Tunisia
pada khususnya. 132
Mali menyalahkan proliferasi senjata paling jelas dari Libya yang berdampak
pada konflik yang berlangsung hingga sekarang. Ratusan pejuang etnis Tuareg
meninggalkan Libya setelah konflik Libya 2011 dan melaju melintasi gurun ke Mali
131 Carmen Cuesta Roca. From Operation Serval to Barkhane: Understanding France’s
Increased Involvement in Africa in the Context of Françafrique and Postcolonialism. (2015) Hlm.6 [jurnal on-line] terdapat dalam http://jpinyu.com/wp-content/uploads/2015/05/3-Hollande.pdf
132 Nicholas Marsh. Brothers Came Back with Weapons: The Effects of Arms Proliferation from Libya. (PRISM, Vol. 6, No. 4, The Struggle for Security in Africa, 2017) Hlm. 81 [jurnal on-line] terdapat dalam https://www.jstor.org/stable/26470483
72
utara, dan membawa serta senjata seperti senjata anti-tank, mortir, dan senapan
mesin berat. Mereka bergabung dengan separatis Tuareg setempat dan pada Januari
2012 memulai pemberontakan. Dalam waktu tiga bulan pemerintah telah
kehilangan kendali atas sebagian besar wilayah Mali utara.133
Pada permulaannya, misi Serval dan Barkhane dibingkai dalam 'perang
melawan teror'. Seperti yang dikatakan Bruce Charbonneau dan Jonathan Sears,
'penggunaan istilah-istilah seperti Islamis, jihadis, salafi, dan teroris untuk
mengekspresikan pertimbangan keamanan melegitimasi kekerasan militer
internasional dan itu melegitimasi prioritas ontologis yang diberikan kepada negara
Mali.' Pentingnya membingkai teroris Ancaman semakin jelas dalam legitimasi
pemerintah sementara Mali. Penekanan pada kekerasan Islamis dan 'teroris'
membuat intervensi militer Prancis dan otoritas elit politik Mali menjadi tidak
bermasalah: 'otoritas sementara jelas memanfaatkan persepsi yang tersebar luas
tentang ancaman Islamis, dan itu secara efektif mengumpulkan dukungan
internasional untuk pemerintah Mali di waktu ketika kedudukan domestiknya
diragukan'. 134
Operasi Barkhane menandai perubahan dalam strategi militer Prancis dari
pendekatan menargetkan teroris di Mali Utara menjadi pendekatan regional di
wilayah Sahel. Argumen liberal tentang intervensi akan memberikan klaim bahwa
133 Nicholas Marsh. Brothers Came Back with Weapons: The Effects of Arms Proliferation
from Libya. (PRISM, Vol. 6, No. 4, The Struggle for Security in Africa, 2017) Hlm. 82 [jurnal on-line] terdapat dalam https://www.jstor.org/stable/26470483
134 Susanna D. Wing. French intervention in Mali: strategic alliances, long-term regional presence? (Semantic Scholar, 2016) Hlm. 72 [jurnal on-line] terdapat dalam https://pdfs.semanticscholar.org/b94d/063cf25076f18d11af69548b1593b621431c.pdf
73
hal ini mendukung keadilan global, legal, dan mendukung aturan hukum global dan
pendapat regional/internasional mengenai apa yang hal yang bertanggung jawab
secara moral untuk dilakukan. Argumen yang lebih kritis adalah bahwa ini adalah
langkah neokolonialis Prancis untuk membudidayakan diri mereka secara geografis
di wilayah Sahel. Yang muncul di permukaan adalah bahwa Prancis diundang untuk
melakukan intervensi. Presiden Hollande menekankan dalam pidatonya di
pangkalan udara militer Prancis di Chad, “Jika kita membiarkan teroris makmur di
bagian benua Afrika ini, akan ada konsekuensi bagi Eropa dan Prancis.” Dalam
pernyataan berikut, Presiden Hollande merasionalisasi ekspansi militer di wilayah
tersebut dan intervensi di Mali dengan menekankan peran sebagai 'penyelamat'.
Hollande menegaskan bahwa 'kelompok teroris dipatahkan' berkat kedekatan
pasukan udara dan darat Prancis dengan pasukan Mali.135
Ancaman ekstremisme kekerasan dan terorisme, tumpang tindih dengan
pemberontakan separatis, juga memiliki aspek transnasional. Kelompok teroris
dominan, AQIM, dikaitkan dengan militan di seluruh Sahara dan Sahel. Ancaman
ini mendorong intervensi kontra-pemberontakan regional dan internasional yang
mendesak. Prancis menyatakan khawatir atas pengambilalihan yang akan datang
oleh kaum Islamis dan akhirnya melanjutkan Operasi Serval ke Operasi Barkhane
atas permintaan pemerintah Mali. Prancis membuat prioritas mereka memerangi
kelompok-kelompok ekstremis yang kejam, dan dengan melakukan hal itu
memutuskan kesepakatan dengan kaum nasionalis Tuareg yang cenderung sekuler.
135 Susanna D. Wing. French intervention in Mali: strategic alliances, long-term regional
presence? (Semantic Scholar, 2016) Hlm. 74-75 [jurnal on-line] terdapat dalam https://pdfs.semanticscholar.org/b94d/063cf25076f18d11af69548b1593b621431c.pdf
74
Walau diperkirakan 1.500 warga Mali melarikan diri ke negara-negara tetangga
pada minggu pertama pertempuran, menambah sekitar 144.500 pengungsi Mali di
sekitar wilayah itu, dan 300.000 pengungsi secara internal. Namun, misi ini secara
luas dianggap sukses karena memenangkan pertempuran paling intens pada fase
pertama konflik tersebut.136
Kepentingan dalam perang melawan terorisme di Afrika tampaknya cukup
baru bagi Prancis, bahkan jika pemerintah Prancis telah memperhatikan kegiatan
kelompok selama beberapa waktu. Serangan ke wilayah sekutu-sekutu
Francophone-nya membuat Prancis meningkatkan bantuan militernya dan
mendukung operasi di negara-negara tersebut. Di luar kekhawatiran tentang
serangan langsung pada sekutunya, Prancis khawatir tentang potensi hubungan
antara kelompok-kelompok teroris di Sahel. Pemerintah Prancis sudah khawatir
pada tahun 2014 dengan tanda-tanda tentang kemungkinan Boko Haram untuk
berhubungan dengan AQIM. 'Ikrar kesetiaan' Boko Haram dengan Negara Islam di
Maret 2015 memperkuat ketakutan itu.137
Budaya strategis Operasi Barkhane telah membantu mendefinisikan alasan
berlangsungnya operasi. Prancis dihadapkan dengan ancaman terhadap tanah air
dan kepentingan di Afrika Barat. Misi Barkhane ada dua: mendukung pasukan
bersenjata Afrika dalam memerangi grup teroris dan membantu mencegah
136 Susanna D. Wing. French intervention in Mali: strategic alliances, long-term regional
presence? (Semantic Scholar, 2016) Hlm. 74-75 [jurnal on-line] terdapat dalam https://pdfs.semanticscholar.org/b94d/063cf25076f18d11af69548b1593b621431c.pdf
137 Christopher Griffin. Operation Barkhane and Boko Haram: French counterterrorism and military cooperation in the Sahel. (TRENDS Research & Advisory, 2015) Hlm. 27 [jurnal on-line] http://trendsinstitution.org/wp-content/uploads/2015/06/Operation-Barkhane-and-Boko-Haram-Christopher-Griffin.pdf
75
pembentukan kembali markas dan benteng mereka. Strategi Prancis saat ini
berfokus pada kontraterorisme yang menggabungkan bantuan sosial, kekuatan
darat, dan kekuatan udara. Prancis cenderung menghindari bantuan sosial agar
digarap oleh PBB dan entitas lainnya. Operasi Barkhane menampilkan pendekatan
komprehensif yang melibatkan PBB, Uni Eropa (UE) dan Uni Afrika (UA), yang
semuanya mendukung upaya Prancis dan terlibat dalam proses keamanan dengan
pelatihan dan misi penjaga perdamaian. Prancis juga telah bekerja erat dengan mitra
G5 Sahel (Mauritania, Mali, Niger, Chad dan Burkina Faso) melalui proses
"Pembesaran Kemitraan." G5 adalah badan utama bagi negara-negara Sahel untuk
mengoordinasikan perjuangan mereka melawan kekerasan ekstremisme. Oleh
karena itu, budaya strategis Prancis jauh lebih multilateral daripada tiga dekade lalu,
meskipun Prancis masih memegang peranan utama.138
138 Stephen Burgess. Military Intervention in Africa French and US Approaches Compared.
(ASPJ Africa & Francophonie - 2nd Quarter, 2018) Hlm. 14 [jurnal on-line] terdapat dalam https://www.airuniversity.af.edu/Portals/10/ASPJ_French/journals_E/Volume-09_Issue-2/burgess_e.pdf
76
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Prancis mempertahankan intervensi militernya di Mali berdasarkan beberapa
faktor yang di dalamnya terdapat kepentingan nasional Prancis sebagai rational
actor, di antaranya faktor sejarah, internal, dan eksternal. Masing-masing faktor
memiliki kepentingan nasional Prancis untuk terus menunjukan eksistensi dan
pengaruhnya di Mali serta negara-negara sub-sahara Afrika. Faktor sejarah
berkaitan erat dengan riwayat keterlibatan Prancis dengan negara bekas koloninya,
hubungan ini disebut Françafrique dan dette de sang. Faktor internal meliputi
stabilitas politik demi keberlangsungan keuntungan ekonomi Prancis di Mali,
bahasa dan budaya, dan yang paling penting yakni keamanan dalam negeri. Faktor
terakhir merupakan faktor eksternal berkaitan erat dengan respon Prancis atas
resolusi Dewan Keamanan (DK) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), bentuk dari
pelaksanaan Prancis terhadap tanggung jawab utamanya dalam DK PBB,
permintaan bantuan dari pemerintahan Mali, eksistensi global, dan war on terror.
Intervensi militer yang dipimpin Prancis ditujukan mencegah "Afganisasi
Mali." Seperti Afghanistan di bawah rezim Taliban, Mali berada di bawah risiko
besar jatuh di bawah kontrol jihadis bertekad untuk menerapkan Syariah yang ketat
di Mali utara. Beberapa hal seperti pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat,
ancaman terhadap integritas wilayah Mali, risiko regional dan ketidakamanan
internasional, membuat Prancis, DK PBB, Economic Community of West African
77
States (ECOWAS), Uni Afrika (UA), Uni Eropa (UE), dan segenap negara-negara
di dunia bersimpatik untuk membantu menumpas terorisme yang terjadi di Mali.
Tidak ada keraguan bahwa, bagi pemerintah Prancis, Operasi Barkhane
adalah intervensi militer yang diluncurkan di bawah kebutuhan perang global
melawan teror. Perang atau intervensi ini sering dibandingkan dengan Afghanistan.
Karena tentara Mali tidak dapat menghadapinya, dan organisasi regional Afrika
lambat dalam merespon, militer Prancis dianggap sebagai alternatif 'normal' dalam
konteks Francophone Afrika-Prancis.
B. Saran
Agar intervensi militer dalam mendukung negara Mali lebih efektif dalam
menyelesaikan krisis yang kompleks di Mali, penting untuk lebih mengeksplorasi
strategi non-militer untuk mencegah radikalisasi atau perekrutan individu oleh
kelompok jihadis. Selain itu, harus ada strategi yang tepat untuk deradikalisasi dan
reintegrasi militan. Terdapat pula juga kebutuhan akan strategi komunikasi yang
lebih efektif yang bertujuan mengurangi kesalahpahaman dengan penduduk lokal
dan untuk mengoptimalkan kerjasama dengan mereka. Dalam kasus Mali, penting
untuk memberdayakan warganya untuk memimpin dan memiliki upaya
membangun perdamaian yang memuaskan. beragam pendorong konflik, termasuk
agama dan budayanya sumber.
Untuk Pemerintah Mali:
Mengambil langkah-langkah untuk memastikan bahwa pasukan keamanan
mematuhi hukum humaniter internasional dan memang fokus hanya untuk
melindungi warga sipil dan memastikan keamanan yang memadai,
78
termasuk dari bandit dan kriminalitas di daerah-daerah di bawah kendali
pemerintah;
Menyelidiki dan menuntut secara tepat anggota pasukan keamanan Mali
dan kelompok bersenjata non-negara yang melakukan pelanggaran hukum
dan pelecehan kemanusiaan internasional; dan
Memastikan polisi pemerintah memenuhi peran mereka dengan menemani
tentara Mali dalam operasi setiap saat. Pastikan bahwa MINUSMA
memiliki sumber daya, personel, peralatan, dan pelatihan yang diperlukan
untuk melaksanakan tugasnya untuk melindungi warga sipil di lingkungan
yang sangat menantang.
Untuk Kelompok Bersenjata Non-Negara:
Mematuhi Hukum Humaniter Internasional, termasuk dengan
memperlakukan semua tahanan secara manusiawi;
Berhenti menyerang pasukan penjaga perdamaian dan staf;
Menyelidiki dan menghukum para pejuang yang melakukan pelanggaran
serius.
xii
DAFTAR PUSTAKA
[Sumber Buku]
Chivvis, Christopher S. The French War on Al Qa’ida in Africa (New York:
Cambridge University Press, 2015)
Holsti, K. J.. Politik Internasional. Kerangka untuk Analisis. Edisi ke 4.
Diterjemahkan oleh: M. Tahir Azhary (Jakarta: Penerbit Erlangga, 1992)
Johnson, Robert dan Timothy Clack. At the End of Military Intervention. (Oxford:
Oxford University Press, 2015).
Mochtar, Mas’oed. Ilmu Hubungan Internasional: Disiplin dan Metodologi.
(Jakarta: Pustaka LP3S, 1990)
Salkind, Neil J. Exploring Research. (New Jersey: Pearson Education, 2018)
Sorensen, Robert Jackson dan George. Introduction to International Relations.
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009)
[Jurnal On-line]
Arieff, Alexis. Conflict in Mali. (Congressional Research Service, 2019) terdapat
dalam https://fas.org/sgp/crs/row/IF10116.pdf
Belkin, Paul. France and U.S.-French Relations: In Brief. (Congressional Research
Service, 19 April 2018) terdapat dalam
https://fas.org/sgp/crs/row/R45167.pdf
Bere, Mathieu. Armed Rebellion, Violent Extremism, and the Challenges of
International Intervention in Mali. (African Conflict and Peacebuilding
Review 7, no. 2, 2017) terdapat dalam
http://jstor.org.library.ualr.edu/stable/10.2979/africonfpeacrevi.7.2.03
Bergamaschi, Isaline dan Diawara. French military intervention in Mali: Not
exactly Françafrique but definitely postcolonial. (2014) terdapat dalam
https://www.academia.edu/5328698/The_French_Military_Intervention_i
n_Mali_Not_Exactly_Fran%C3%A7afrique_But_Definitely_Post-
colonial
Burgess, Stephen. Military Intervention in Africa: French and US Approaches
Compared. (JEMEAA Spring 2019) diunduh dari
https://www.airuniversity.af.edu/Portals/10/JEMEAA/Journals/Volume-
01_Issue-1/JEMEAA_01_1_burgess.pdf
xiii
Chafer, Tony. Hollande and Africa Policy. (Modern Contemporary France, 22, no.
4 2014) terdapat dalam http://dx.doi.org/10.1080/09639489.2014.957966
Chauzal, Grégory. The roots of Mali’s Conflict Moving Beyond the 2012 Crisis.
(Netherlands Institute of International Relations Clingendael, 2015)
terdapat dalam
https://www.clingendael.org/sites/default/files/pdfs/The_roots_of_Malis_
conflict.pdf
Erforth, Benedikt. Contemporary French Security Policy in Africa - On Ideas and
Wars. (Palgrave, 2019) diunduh dari
https://www.palgrave.com/gp/book/9783030175801
European Asylum Support Office. Mali Country Focus. (EASO Country of Origin
Information Report, Desember 2018) tersedia dalam
https://www.easo.europa.eu/sites/default/files/publications/EASO-COI-
report-Mali-Country-Focus-2018.pdf
Griffin, Christopher. Operation Barkhane and Boko Haram: French
counterterrorism and military cooperation in the Sahel. (Abu Dhabi:
TRENDS Research & Advisory, Mei 2015) terdapat dalam
http://trendsinstitution.org/wp-content/uploads/2015/06/Operation-
Barkhane-and-Boko-Haram-Christopher-Griffin.pdf
Hémez, Rémy. Modernization Among Us Partners: The French Army at a
Crossroads. (2017) terdapat dalam
https://ssi.armywarcollege.edu/pubs/parameters/Issues/Spring_2017/12_
Hemez_FrenchArmyCrossroads.pdf
Hémez, Rémy. Operation Sangaris A Case Study in Limited Military Intervention.
(Military Review, 2016) terdapat dalam
https://www.armyupress.army.mil/Portals/7/military-
review/documents/Military-Review-20161231-art014.pdf
Lecocq, Baz dan Georg Klute. Tuareg separatism in Mali. (SAGE Publications,
Vol. 68, No. 3 September 2013) terdapat dalam
https://www.jstor.org/stable/24709398
Library of Congress. Federal Research Division. Country Profile: Mali. (January,
2005) terdapat dalam https://www.loc.gov/rr/frd/cs/profiles/Mali.pdf
Marsh, Nicholas. Brothers Came Back with Weapons: The Effects of Arms
Proliferation from Libya. (PRISM, Vol. 6, No. 4, The Struggle for Security
in Africa, 2017) terdapat dalam https://www.jstor.org/stable/26470483
Ministère De Armées. DOSSIER DE PRESSE Opération Barkhane. (Bureau
relations médias de l’État-major des armées, Juli 2019) terdapat dalam
xiv
https://www.defense.gouv.fr/content/download/492362/8406707/DP-
BARKHANE-0118.pdf
Morgenthau, Hans J., Another Great Debate: the National Interest of the United
States. (New York: University Press of America, 1952) terdapat dalam
https://www.jstor.org/stable/1952108?read-
now=1&seq=7#metadata_info_tab_contents
Morgenthau, Hans J.. The Primacy of the National Interest. The American Scholar.
Vol. 18, No. 2 (SPRING 1949) terdapat dalam
https://www.jstor.org/stable/41205156
Olarinmoye, Omobolaji Ololade. France's New Military Policy in Africa: RECAMP
in Central African Republic. (Journal of Contemporary Politics, Vol. 1,
No. 1, University of Ado-Ekiti, Mei 2007) terdapat dalam
https://www.academia.edu/1545292/RECAMP_in_Central_Africa
Pollack, Kenneth Michael. Arabs at War: Military Effectiveness 1948–1991.
(University of Nebraska Press, 2002) diunduh dari
https://www.cfr.org/book/arabs-war
Powell, N. K. Battling Instability? The Recurring Logic of French Military
Interventions in Africa. (African Security, 10(1), 2016) terdapat dalam
https://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1080/19392206.2016.1270141
Ray, Nivedita. The Rise of Islamic Terrorism in Mali. (Indian Council of World
Affairs, 2016) terdapat dalam
https://icwa.in/pdfs/IB/2014/RiseofIslamicTerrorisminMaliIB06012015.p
df
Ray, Nivedita. The Rise of Islamic Terrorism in Mali. (Indian Council of World
Affairs, 2016)
https://icwa.in/pdfs/IB/2014/RiseofIslamicTerrorisminMaliIB06012015.p
df
Roca, Carmen Cuesta. From Operation Serval to Barkhane: Understanding
France’s Increased Involvement in Africa in the Context of Françafrique
and Postcolonialism. (2015) terdapat dalam http://jpinyu.com/wp-
content/uploads/2015/05/3-Hollande.pdf
Sixdenier, Blandine. Stability Spectrum: The Battle for Stabilization in The Central
African Republic. (Institut de Recherche Stratégique de l'Ecole Militaire,
Research paper No. 42 July 2017) diunduh dari
https://www.irsem.fr/data/files/irsem/documents/document/file/1197/NR
_IRSEM_42.pdf
xv
Thurston, Alex. Mali: The Disintegration of a “Model African Democracy”
(Stability, 2013) DOI: http://dx.doi.org/10.5334/sta.aq terdapat dalam
https://www.researchgate.net/publication/271341240_Mali_The_Disinte
gration_of_a_Model_African_Democracy
Thurston, Alexander. Al-Qaeda in the Islamic Maghreb (AQIM): An Al-Qaeda
Affiliate Case Study. (CNA, 2017) terdapat dalam
https://www.cna.org/CNA_files/PDF/DIM-2017-U-016119-2Rev.pdf
Tramond, Olivier dan Philippe Seigneur. Operation Serval Another Beau Geste of
France in Sub-Saharan Africa? (November, 2014) terdapat dalam
https://www.armyupress.army.mil/Portals/7/military-
review/Archives/English/MilitaryReview_20141231_art014.pdf
United States Department of State. Mali 2018 International Religious Freedom
Report. (International Religious Freedom Report for 2018) terdapat dalam
https://www.state.gov/wp-content/uploads/2019/05/MALI-2018-
INTERNATIONAL-RELIGIOUS-FREEDOM-REPORT.pdf
United States Department of State. Mali 2018 International Religious Freedom
Report. (International Religious Freedom Report for 2018) terdapat dalam
https://www.state.gov/wp-content/uploads/2019/05/MALI-2018-
INTERNATIONAL-RELIGIOUS-FREEDOM-REPORT.pdf
Wing, Susanna D. French intervention in Mali: strategic alliances, long-term
regional presence? (Semantic Scholar, 2016) terdapat dalam
https://pdfs.semanticscholar.org/b94d/063cf25076f18d11af69548b1593b
621431c.pdf
Yates, D. A. French Military Interventions in Africa. (The Palgrave Handbook of
Peacebuilding in Africa, 2018) diunduh dari
https://link.springer.com/chapter/10.1007/978-3-319-62202-6_22
[Database On-line]
AFP. French military doctor killed in Mali. (3 April 2019) terdapat dalam
https://www.yahoo.com/news/french-military-doctor-killed-mali-
215421082.html
Al-Jazeera. Displaced and forgotten in Central African Republic. (27 Juli 2016)
https://www.aljazeera.com/indepth/inpictures/2016/07/displaced-
forgotten-central-african-republic-160717113644108.html
Bacchi, Umberto. France Launches New Sahel Counter-Terrorism Operation
Barkhane. (14 Juli 2014) terdapat dalam
xvi
https://www.ibtimes.co.uk/france-launches-new-sahel-counter-terrorism-
operation-barkhane-1456646
Bamat, Joseph. Mali war costs debt-laden France 70 million euros. terdapat dalam
https://www.france24.com/en/20130207-mali-war-costs-france-70-
million-euros
BBC News. France Ends Sangaris Military Operation in CAR. (31 Oktober 2016)
terdapat dalam https://www.bbc.com/news/world-africa-37823047
BBC News. French troops free hostages in Burkina Faso. (10 Mei 2019) terdapat
dalam https://www.bbc.com/news/world-africa-48228353
BBC News. Why the Future of French is African. (8 April 2019) terdapat dalam
https://www.bbc.com/news/world-africa-47790128
Bergamaschi, Isaline. French Military Intervention in Mali: Inevitable, Consensual
yet Insufficient. (International Journal of Security & Development, 2(2):
20, 2013) terdapat dalam
https://www.stabilityjournal.org/articles/10.5334/sta.bb/
Borchers, Jens. Why are former colonies in Africa so important to France? (6 Mei
2017) terdapat dalam https://mg.co.za/article/2017-05-06-why-are-
former-colonies-in-africa-so-important-to-france
Buchanan, Elsa. Mali hotel attack: The history of Islamist insurgency in the former
French colony. (20 November 2015) terdapat dalam
https://www.ibtimes.co.uk/mali-hotel-attack-history-islamist-insurgency-
former-french-colony-1529724
Callimachi, Rukmini. French Forces Kill a Leader of Jihadists in Mali Raid. (11
Desember 2014) terdapat dalam
https://www.nytimes.com/2014/12/12/world/africa/french-forces-kill-
jihadi-ahmed-tilemsi-mali.html
Center for International Security and Cooperation. Mapping Militants
Organization: Ansar Dine. (Juli 2018) terdapat dalam
https://cisac.fsi.stanford.edu/mappingmilitants/profiles/ansar-
dine#highlight_text_7828
CIA. The World Factbook: Mali Geography. (2019)
https://www.cia.gov/library/publications/the-world-
factbook/geos/ml.html
CIA. The World Factbook: Mali. (2017) terdapat dalam
https://www.cia.gov/library/publications/the-world-
factbook/rankorder/2186rank.html
xvii
Cooke, Jennifer G.. Understanding the G5 Sahel Joint Force: Fighting Terror,
Building Regional Security?. (CSIS, 15 November 2017) terdapat dalam
https://www.csis.org/analysis/understanding-g5-sahel-joint-force-
fighting-terror-building-regional-security
Dash, Satyajit. France and Italy could be the next European economies to crash.
(29 Mei 2016) terdapat dalam
https://www.independent.co.uk/voices/france-and-italy-next-economic-
crash-europe-a7054801.html
Davis, Ra’phael. Addressing Conflict in Mali: Political, Humanitarian, and
Security Problems. (Sigma IOTA RHO Journal of International Relations,
2018) terdapat dalam
http://www.sirjournal.org/research/2018/10/1/addressing-conflict-in-
mali-political-humanitarian-and-security-problems
Debos, Marielle. Airstrikes and “stability”: What’s the French army doing in
Chad?. (14 Februari 2019) terdapat dalam
https://africanarguments.org/2019/02/14/airstrikes-stability-what-french-
army-doing-chad/
Dixon, Robyn. France airstrikes in Mali repel Al Qaeda-linked militants. (2013)
terdapat dalam https://www.latimes.com/world/la-xpm-2013-jan-12-la-
fg-france-mali-fighting-20130113-story.html
European Council on Foreign Relations. JNIM. terdapat dalam
https://www.ecfr.eu/mena/sahel_mapping/jnim
European Parliament. Parliamentary Question. (6 Maret 2014) terdapat dalam
http://www.europarl.europa.eu/sides/getAllAnswers.do?reference=E-
2013-014455&language=EN
Financial Times. Emmanuel Macron seeks more EU funding for southern Sahara
campaign. Terdapat dalam https://www.ft.com/content/428bfe88-1709-
11e8-9e9c-25c814761640
Forces Network. RAF Chinooks Begin Mali Deployment With French Military. (20
September 2018) terdapat dalam https://www.forces.net/services/raf/raf-
chinooks-begin-mali-deployment-french-military
France 24. France to hike defence spending by over 40 percent. (2018) terdapat
dalam https://www.france24.com/en/20180208-france-hike-defence-
military-spending-over-40-percent-nato
France 24. Macron’s soft power push in Africa is key to 'making France great again.
(3 Juli 2018) terdapat dalam https://www.france24.com/en/20180703-
macron-soft-power-push-africa-make-france-great-again-global-
influence-diplomacy
xviii
France 24. Two French soldiers killed by explosive device in Mali. (21 Februari
2018) terdapat dalam http://www.france24.com/en/20180221-mali-
french-soldiers-killed-explosive-device-sahel
France Diplomatie. Economic relations between France and Africa. (Februari
2019) terdapat dalam https://www.diplomatie.gouv.fr/en/country-
files/africa/economic-relations-between-france-and-africa/
Global Edge Education. Mali Economy. terapat dalam
https://globaledge.msu.edu/countries/mali/economy
Hicks, Celeste. Operation Barkhane: Why France chose Chad as key counter-
terrorism partner. (3 September 2014) terdapat dalam
https://africanarguments.org/2014/09/03/operation-barkhane-why-france-
chose-chad-as-key-counter-terrorism-partner-by-celeste-hicks
Human Rights Watch. Mali Conflict and Aftermath: Compendium of Human
Rights Watch Reporting 2012-2017. terdapat dalam
https://www.hrw.org/sites/default/files/report_pdf/malicompendium0217.
ICRC. How is the Term “Armed Conflict” Defined in International Humanitarian
Law. (International Comitter of the Red Cross Opinion Paper. Maret 2008)
terdapat dalam
https://www.icrc.org/eng/resources/documents/article/other/armed-
conflict-article-170308.html
Kane, Pape Samba. Macron's Francafrique. (23 Juli 2017) terdapat dalam
https://www.aljazeera.com/indepth/opinion/2017/07/macron-
francafrique-170721190500965.html
Larivé, Maxime H.A. Welcome to France's New War on Terror in Africa:
Operation Barkhane. (7 Agustus 2014) terdapat dalam
https://nationalinterest.org/feature/welcome-frances-new-war-terror-
africa-operation-barkhane-11029?page=0%2C1
Lexpress. Centrafrique: pourquoi l'opération militaire porte-t-elle le nom d'un
papillon?. (5 Desember 2013) terdapat dalam
https://www.lexpress.fr/actualite/monde/centrafrique-pourquoi-l-
operation-militaire-porte-t-elle-le-nom-d-un-papillon_1305533.html
Lexpress. Sahel : plus de 600 djihadistes "neutralisés" par l'armée française depuis
2015. (2019) terdapat dalam
https://www.lexpress.fr/actualite/monde/afrique/sahel-plus-de-600-
djihadistes-neutralises-par-l-armee-francaise-depuis-2015_2064409.html
xix
Ministère De Armées. Operation Épervier. (24 Februari 2014) terdapat dalam
https://www.defense.gouv.fr/operations/terminees/operations-epervier-
1986-2014/dossier/les-elements-francais-au-tchad-eft
Ministère De Armées. Operation Sangaris. (10 Desember 2013) terdapat dalam
https://www.defense.gouv.fr/operations/terminees/sangaris/dossier-de-
presentation-de-l-operation-sangaris/operation-sangaris2
Ministry of Defence UK. Defence Secretary secures progress on Brimstone sales
as unmanned aircraft project moves forward. (3 Maret 2016)
https://www.gov.uk/government/news/defence-secretary-secures-
progress-on-brimstone-sales-as-unmanned-aircraft-project-moves-
forward
News 24. French forces kill at least 10 jihadists in Mali: military sources. (14
Februari 2014) terdapat dalam
https://www.news24.com/Africa/News/french-forces-kill-at-least-10-
jihadists-in-mali-military-sources-20180214
News Corp Australia Network. Militants disguised as peacekeepers attack French
and UN bases in Mali. (16 April 2018) terdapat dalam
https://www.news.com.au/world/militants-disguised-as-peacekeepers-
attack-french-and-un-bases-in-mali/news-
story/02e7fedc0e0588b064445b667a72df8a
Nossiter, Adam. France Battling Islamists in Mali. (11 Januari 2013) terdapat
dalam https://www.nytimes.com/2013/01/12/world/africa/mali-islamist-
rebels-france.html?hp&_r=1&.France
Parliament UK. Intervention: When, Why and How? (2014) terdapat dalam
https://publications.parliament.uk/pa/cm201314/cmselect/cmdfence/write
v/intervention/int10.htm
RFI. Mali: attaque à Tombouctou contre les casques bleus et la force Barkhane.
(2017) terdapat dalam http://www.rfi.fr/afrique/20170601-mali-attaque-
tombouctou-contre-casques-bleus-force-barkhane?ref=tw_i
Solomon, Salem. French Airstrikes in N. Chad Affirm Support for President Déby.
(10 Februari 2019) terdapat dalam
https://www.voanews.com/africa/french-airstrikes-n-chad-affirm-
support-president-deby
The Guardian. Mali attack: more than 20 dead after terrorist raid on Bamako hotel.
(2015) terdapat dalam
https://www.theguardian.com/world/2015/nov/20/mali-attack-highlights-
global-spread-extremist-violence
xx
The Guardian. Three French soldiers killed by Mali Mine Blast. (2016) terdapat
dalam https://www.theguardian.com/world/2016/apr/13/three-french-
soldiers-killed-mali-mine-blast-operation-barkhane
The Telegraph. Mali asks for help from France as Islamist rebels push forward.
(2013) terdapat dalam
https://www.telegraph.co.uk/news/worldnews/africaandindianocean/mali/
9794871/Mali-asks-for-help-from-France-as-Islamist-rebels-push-
forward.html
Thomson Reuters. Mali car bombing kills 4 civilians, wounds 31 others, including
soldiers. (1 Juli 2018) terdapat dalam
https://www.cbc.ca/news/world/mali-french-soldiers-car-bomb-attack-
1.4730322
Timbuktu Institute. Etude : Les maliens méconnaissent la mission de l’UE et se
divisent sur barkhane. (6 Juni 2017) terdapat dalam
http://www.maliweb.net/armee/etude-maliens-meconnaissent-mission-
de-lue-se-divisent-barkhane-2301602.html
UNFPA. World Population Dashboard: Mali terdapat dalam
https://www.unfpa.org/data/world-population/ML
United Nations Security Council. Security Council Resolutions: Mali. (2019)
terdapat dalam
https://www.securitycouncilreport.org/un_documents_type/security-
council-resolutions/?ctype=Mali&cbtype=mali
United Nations. Charter of the United Nations. terdapat dalam
http://legal.un.org/repertory/art51.shtml
United Nations. Legal Framework. tersedia dalam
http://legal.un.org/repertory/art39.shtml
United Nations. Legal Framework. Tersedia dalam
http://legal.un.org/repertory/art39.shtml
United Nations. Resolution 2085. (December 20, 2012) terdapat dalam
https://www.un.org/en/ga/search/view_doc.asp?symbol=S/RES/2085
Vermeij, Lotte. MINUSMA: Challenges on the Ground. (Norwegia Institute of
International Affairs, 2015) Policy Brief 19/2015. terdapat dalam
https://www.nupi.no/nupi_eng/Publications/CRIStin-Pub/MINUSMA-
Challenges-on-the-Ground
xxi
Lampiran 1
Resolusi 2085
United Nations S/RES/2085 (2012)
Security Council Distr.:
General
20 December 2012
Resolution 2085 (2012)
Adopted by the Security Council at its 6898th meeting, on 20
December 2012 The Security Council,
Recalling its resolutions 2056 (2012) and 2071 (2012), its Presidential
Statements of 26 March 2012 (S/PRST/2012/7), 4 April 2012 (S/PRST/2012/9) as
well as its Press Statements of 22 March 2012, 9 April 2012, 18 June 2012,
10 August 2012, 21 September 2012, 11 December 2012 on Mali,
Reaffirming its strong commitment to the sovereignty, unity and territorial
integrity of Mali,
Emphasizing that the situation and entrenchment of terrorist groups and
criminal networks in the north of Mali continue to pose a serious and urgent
threat to the population throughout Mali, and to the stability in the Sahel
region, the wider African region and the international community as a
whole,
Condemning strongly the continued interference of members of the Malian
Defence and Security Forces in the work of the Transitional authorities of
Mali, stressing the need to work expeditiously toward the restoration of
democratic governance and constitutional order in Mali and taking note of
the on-going efforts of the Secretary-General, including through the Special
Representative of the Secretary-General for West Africa, to assist the
Transitional authorities of Mali in developing a roadmap for the electoral
process and national dialogue,
Remaining seriously concerned over the insecurity and the significant ongoing
humanitarian crisis in the Sahel region, which is further complicated by the
presence of armed groups, including separatist movements, terrorist and
criminal networks, and their increased activities, as well as the continued
xxii
proliferation of weapons from within and outside the region that threaten
peace, security, and stability of States in this region,
Condemning strongly all abuses of human rights in the north of Mali by
armed rebels, terrorist and other extremist groups, including those involving
violence against civilians, notably women and children, killings, hostage-
taking, pillaging, theft, destruction of cultural and religious sites and
recruitment of child soldiers, reiterating that some of such acts may amount
to crimes under the Rome Statute and that their perpetrators must be held
accountable and noting that the Transitional authorities of Mali referred the
situation in Mali since January 2012 to the International Criminal Court on
13 July 2012,
12-66067 (E)
*1266067*
xxiii
Recalling the letter of the Transitional authorities of Mali dated 18 September 2012 addressed
to the Secretary-General, requesting the authorization of deployment through a Security
Council resolution, under Chapter VII as provided by the United Nations Charter, of an
international military force to assist the Armed Forces of Mali to recover the occupied regions
in the north of Mali and recalling also the letter of the Transitional authorities of Mali dated 12
October 2012 addressed to the Secretary-General, stressing the need to support, including
through such an international military force, the national and international efforts to bring to
justice the perpetrators of war crimes and crimes against humanity committed in the north of
Mali,
Taking note of the endorsement of the Strategic Concept for the Resolution of the Crisis in Mali
at the second meeting of the Support and Follow-Up Group on the Situation in Mali in Bamako
on 19 October 2012, attended by ECOWAS Member States, countries of the region and other
international partners, as well as its adoption by the African Union Peace and Security Council
on 24 October 2012,
Taking note of the final communiqué of the Extraordinary Session of the authority of ECOWAS
Heads of State and Government held in Abuja on 11 November 2012 and of the subsequent
communiqué of the African Union Peace and Security Council on 13 November 2012 endorsing
the Joint Strategic Concept of Operations for the International Military Force and the Malian
Defence and Security forces,
Welcoming the appointment of Romano Prodi as Special Envoy of the Secretary General for the
Sahel, as well as the appointment of Pierre Buyoya as High Representative of the African Union
for Mali and the Sahel and encouraging them to work in close coordination with the Special
Representative of the Secretary- General for West Africa and the ECOWAS mediator,
Welcoming the efforts of the ECOWAS-led mediation, with the support of the Special
Representative of the Secretary-General for West Africa, the Organization of Islamic Cooperation
(OIC) and neighbouring countries of Mali,
Taking note of the Secretary-General’s report on Mali dated 28 November 2012 (S/2012/894)
for continued action on the political and security tracks and a comprehensive solution to the
crisis affecting Mali,
Emphasizing that the Malian authorities have primary responsibility for resolving the inter-linked
crises facing the country and that any sustainable solution to the crisis in Mali should be Malian -
led,
Encouraging the international community to provide support to resolve the crisis in Mali through
coordinated actions for immediate and long-term needs, encompassing security, development and
humanitarian issues,
Determining that the situation in Mali constitutes a threat to international peace and security,
Acting under Chapter VII of the Charter of the United Nations,
I. Political process
1. Urges the transitional authorities of Mali, consistent with the Framework agreement
of 6 April 2012 signed under the auspices of ECOWAS, to finalize a transitional roadmap
through broad-based and inclusive political dialogue, to fully
xxiv
restore constitutional order and national unity, including through the holding of peaceful, credible
and inclusive presidential and legislative elections, in accordance with the agreement mentioned
above which calls for elections by April 2013 or as soon as technically possible, requests the
Secretary-General, in close coordination with ECOWAS and the African Union, to continue to
assist the transitional authorities of Mali in the preparation of such a roadmap, including the
conduct of an electoral process based on consensually established ground rules and further urges
the transitional authorities of Mali to ensure its timely implementation;
2. Demands that Malian rebel groups cut off all ties to terrorist organizations, notably
Al-Qaeda in Islamic Maghreb (AQIM) and associated groups, and take concrete and visible
steps to this effect, takes note of the listing of Movement of Unity and Jihad in Western Africa
(MUJWA) on the Al-Qaeda sanctions list established and maintained by the Committee pursuant
to resolutions 1267 (1999) and 1989 (2011) and further reiterates its readiness to continue to
adopt further targeted sanctions, under the above-mentioned regime, against those rebel groups
and individuals who do not cut off all ties to Al-Qaeda and associated groups, including AQIM
and MUJWA;
3. Urges the transitional authorities of Mali to expeditiously put in place a credible
framework for negotiations with all parties in the north of Mali who have cut off all ties to
terrorist organizations, notably AQIM and associated groups including MUJWA, and who
recognize, without conditions, the unity and territorial integrity of the Malian State, and with a
view to addressing the long-standing concerns of communities in the north of Mali, and requests
the Secretary-General, through his Special Representative for West Africa, in coordination with
the ECOWAS Mediator and the High Representative of the African Union for Mali and the
Sahel, and the OIC, to take appropriate steps to assist the transitional authorities of Mali to
enhance their mediation capacity and to facilitate and strengthen such a dialogue;
4. Condemns the circumstances that led to the resignation of the Prime Minister and
the dismissal of the Government on 11 December 2012, reiterates its demand that no member
of the Malian Armed Forces should interfere in the work of the Transitional authorities and
expresses its readiness to consider appropriate measures, as necessary, against those who take
action that undermines the peace, stability, and security, including those who prevent the
implementation of the constitutional order in Mali;
5. Calls upon all Member States to implement their obligations pursuant to resolution
1989 (2011) and 2083 (2012) and strongly condemns incidents of kidnapping and hostage taking
by Al-Qaeda in Mali and across the Sahel region with the aim of raising funds or gaining political
concessions;
II. Security process
Training of Malian forces
6. Emphasises that the consolidation and redeployment of the Malian Defence and
Security forces throughout the Malian territory is vital to ensure Mali’s long term security and
stability and to protect the people of Mali;
7. Urges Member States, regional and international organizations to provide
coordinated assistance, expertise, training, including on human rights and international
humanitarian law, and capacity-building support to the Malian Defence
xxv
and Security Forces, consistent with their domestic requirements, in order to restore the authority
of the State of Mali over its entire national territory, to uphold the unity and territorial integrity
of Mali and to reduce the threat posed by terrorist organizations and associated groups, further
invites them to regularly inform the Secretariat of their contributions;
8. Takes note of the commitment of Member States and international organizations to
the rebuilding of the capacities of the Malian Defence and Security forces, including the planned
deployment by the European Union of a military mission to Mali to provide military training and
advice to the Malian Defence and Security Forces;
Deployment of AFISMA
9. Decides to authorize the deployment of an African-led International Support
Mission in Mali (AFISMA) for an initial period of one year, which shall take all necessary
measures, in compliance with applicable international humanitarian law and human rights law
and in full respect of the sovereignty, territorial integrity and unity of Mali to carry out the
following tasks:
(a) To contribute to the rebuilding of the capacity of the Malian Defence and Security
Forces, in close coordination with other international partners involved in this process, including
the European Union and other Member States;
(b) To support the Malian authorities in recovering the areas in the north of its territory
under the control of terrorist, extremist and armed groups and in reducing the threat posed by
terrorist organizations, including AQIM, MUJWA and associated extremist groups, while taking
appropriate measures to reduce the impact of military action upon the civilian population;
(c) To transition to stabilisation activities to support the Malian authorities in
maintaining security and consolidate State authority through appropriate capacities;
(d) To support the Malian authorities in their primary responsibility to protect the
population;
(e) To support the Malian authorities to create a secure environment for the civilian-led
delivery of humanitarian assistance and the voluntary return of internally displaced persons and
refugees, as requested, within its capabilities and in close coordination with humanitarian actors;
(f) To protect its personnel, facilities, premises, equipment and mission and to ensure
the security and movement of its personnel;
10. Requests the African Union, in close coordination with ECOWAS, the Secretary-
General and other international organizations and bilateral partners involved in the Malian crisis,
to report to the Security Council every 60 days on the deployment and activities of AFISMA,
including, before the commencement of offensive operations in the north of Mali, on: (i) the
progress in the political process in Mali, including the roadmap for the restoration of
constitutional order and negotiations between the Malian authorities and all parties in the north
of Mali who have cut off all ties to terrorist organizations; (ii) the effective training of military
and police units of both AFISMA and the Malian defence and security forces in their obligations
under international human rights, humanitarian and refugee law; (iii) the operational readiness
of AFISMA, including the level of staffing leadership and equipment of the units, their
operational adaptation to the climate and terrain
26
conditions and ability to conduct joint armed operations with logistical, air
and ground fire support; (iv) the efficiency of the chain of command of
AFISMA, including its interaction with that of the Malian Defence and
Security Forces and further expresses its willingness to monitor closely
these benchmarks before the commencement of offensive operations in the
north of Mali;
11. Emphasizes that the military planning will need to be further
refined before the commencement of the offensive operation and requests
that the Secretary-General, in close coordination with Mali, ECOWAS,
the African Union, the neighbouring countries of Mali, other countries in
the region and all other interested bilateral partners and international
organizations, continue to support the planning and the preparations for
the deployment of AFISMA, regularly inform the Council of the progress
of the process, and requests that the Secretary-General also confirm in
advance the Council’s satisfaction with the planned military offensive
operation;
12. Requests the Secretary-General to provide, as and when
requested by the Malian authorities, support in critical areas that will be
required to accompany or follow a military operation in the north of Mali,
with respect to the extension of the Malian State authority, including rule
of law and security institutions, mine action, promotion of national
dialogue, regional cooperation, security sector reform, human rights and
the initial demobilization, disarmament and reintegration of former
combatants;
International support
13. Calls upon Member States, including from the Sahel region,
to contribute troops to AFISMA in order to enable AFISMA to fulfil its
mandate, welcomes the troop contributions already pledged by ECOWAS
countries and further encourages Member States to cooperate closely with
the African Union, ECOWAS, the United Nations, countries contributing
troops and other donors to this end;
14. Urges Member States, regional and international
organizations to provide coordinated support to AFISMA, including
military training, provision of equipment, intelligence, logistical support
and any necessary assistance in efforts to reduce the threat posed by
terrorist organizations, including AQIM, MUJWA and associated
extremist groups in accordance with paragraph 9 (b), in close coordination
with AFISMA and the Malian authorities;
15. Calls upon the transitional authorities of Mali and all other
parties in Mali to cooperate fully with the deployment and operations of
AFISMA, in particular by ensuring its safety, security and freedom of
movement with unhindered and immediate access throughout the territory
27
of Mali to enable it to fully carry out its mandate and further calls upon
neighbouring countries of Mali to take appropriate measures to support
the implementation of AFISMA mandate;
16. Demands that all parties in Mali take appropriate steps to
ensure the safety and security of humanitarian personnel and supplies, and
further demands that all parties in Mali ensure safe and unhindered access
for the delivery of humanitarian aid to persons in need of assistance across
Mali, consistent with international humanitarian, human rights and
refugee law and the guiding principles of humanitarian assistance;
Human rights
17. Emphasizes that the Malian authorities have
primary responsibility to protect civilians in Mali, further
recalls its resolutions 1674 (2006), 1738 (2006) and 1894
(2009) on the protection of civilians in armed conflict, its
resolutions 1612 (2005), 1882 (2009) and 1998 (2010) on
Children And Armed Conflict and its resolutions 1325
(2000), 1820 (2008), 1888 (2009), 1889 (2009), and 1960
(2010) on Women, Peace and Security, and calls upon all
military forces in Mali to take them into account;
18. Emphasizes that any support provided by the
United Nations, regional and subregional organizations and
Member States in the context of the military operation in Mali
shall be consistent with international humanitarian and
human rights law and refugee law, further requests the
Secretary-General to ensure the relevant capacity within the
United Nations presence as referred to in paragraph 23 below
in order to observe adherence to international humanitarian
and human rights law with regards to military operations in
the north of Mali and include in his regular reports to the
Security Council, as referred to in paragraph 24 below, the
situation of civilians in the north of Mali and any violation of
human rights law, international humanitarian law and refugee
law in the north of Mali, as well as to advise on ways to
mitigate any adverse impact of military operations on the
civilian population, including on women and children;
19. Calls upon AFISMA, consistent with its
mandate, to support national and international efforts,
including those of the International Criminal Court, to bring
to justice perpetrators of serious human rights abuses and
violations of international humanitarian law in Mali;
Funding
20. Calls upon Member States and international
organisations, to provide financial support and contributions
28
in kind to AFISMA to enable its deployment and
implementation of its mandate and welcomes the willingness
of the European Union to provide such financial support to
AFISMA through the mobilization of the African Peace
Facility;
21. Expresses its intention to consider the provision
of a voluntary and a United Nations-funded logistics support
packages to AFISMA, including equipment and services for
an initial period of one year, takes note of the letter of the
Secretary-General (S/2012/926) on the possible deployment
of a logistics support package to AFISMA and on the support
financial costs and, to this effect, requests the Secretary-
General, in coordination with the African Union, ECOWAS
and the Malian authorities, to further develop and refine
options within 30 days of the adoption of this resolution for
such a voluntary and a United Nations-funded logistics
support packages, including detailed recommendations for a
swift, transparent and effective implementation;
22. Requests the Secretary-General to establish a
trust fund through which Member States can provide
earmarked and/or non-earmarked financial support to
AFISMA and/or to the training and equipping of Malian
Defence and Security forces, also requests the Secretary-
General to support, in coordination with the African Union
and ECOWAS, the holding of a donors conference to solicit
contributions to this trust fund as soon as possible, calls upon
Member States to contribute generously and promptly to the
trust fund, while noting that the existence of the trust fund
does not preclude the conclusion of direct bilateral
arrangements and further requests the African Union, in
consultation with ECOWAS and the Secretary-General, to
submit budgetary request to this trust fund;
United Nations presence and reporting
23. Requests the Secretary-General to establish, in
consultation with the Malian authorities, a multidisciplinary
United Nations presence in Mali, in order to provide
coordinated and coherent support to (i) the on-going political
process and
(ii) the security process, consistent with paragraph 12 above
and including support to the planning, deployment and
operations of AFISMA and therefore requests the Secretary-
General to submit as soon as possible specific and detailed
proposals to the Council for further consideration;
24. Requests the Secretary-General to keep the
29
Council regularly informed of the situation in Mali and to
report back to the Council, through the provision of written
reports, every 90 days, on the implementation of this
resolution, including on the United Nations support to the
political and security efforts to solve the crisis in Mali, the
deployment and preparation of AFISMA and updated
information and recommendations related to a voluntary and
United Nations-funded support packages to AFISMA;
25. Decides to remain actively seized of the matters.