Info ICCC ed. 5

12
Edisi 5 - Juni 2014 Media Informasi Indonesia Climate Change Center |Edisi 5 - Juni 2014 1 Bahan Bakar Transportasi Hijau untuk Pertumbuhan Ekonomi Jangka Panjang Berkelanjutan PRATINJAU STUDI Tanaman untuk Energi pada Lahan Terdegradasi sebagai Langkah Awal menuju Kemandirian Energi, Pertanian untuk Penyerapan Karbon ke Tanah, dan Perlindungan terhadap Lahan yang Ditetapkan sebagai Wilayah REDD+. LATAR BELAKANG Subsidi BBM tampaknya menghalangi inisiatif efisiensi energi oleh konsumen umum dan, tanpa kebijakan yang mendukung investasi bahan bakar hayati, ada beberapa risiko untuk produksi bahan bakar hayati. Seperti yang terlihat pada Gambar 1, subsidi BBM di Indonesia tumbuh pada tingkat yang jauh lebih cepat daripada pertumbuhan anggaran pemerintah sejak 2009. Pada tahun 2012, ada dua hal penting: 1. Persentase total subsidi BBM dari total anggaran lebih tinggi dibandingkan pada tahun 2008 ketika harga minyak mentah global mencapai $150/barrel. 2. Subsidi untuk bensin 88 RON telah melampaui 50% dari total subsidi BBM, termasuk subsidi untuk minyak tanah dan LPG keperluan rumah tangga. Hal ini jelas mengkhawatirkan dalam hal kapasitas pertumbuhan dan juga kelestarian lingkungan Indonesia. Untuk bio-etanol, pemerintah Indonesia memulai rasio mandat campuran melalui Peraturan Presiden no.5/2006. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengeluarkan Peraturan no.32/2008 dengan rincian target bio-etanol selama mandat bio-etanol 2008-2025. Namun, sejak tahun 2010, produksi bahan bio-etanol kelas bahan bakar telah dihentikan karena biaya produksi dalam negeri yang tidak kompetitif. WAWASAN DARI PETA TEKNOLOGI BAHAN BAKAR HAYATI GLOBAL UNTUK MENGEMBANGKAN PRODUKSI BIO- ETANOL DI INDONESIA Tujuan global dalam mengadopsi bahan bakar hayati untuk transportasi adalah untuk mempercepat pembangunan global dan penyerapan teknologi kunci untuk mencapai pengurangan emisi GRK CO2e sebesar 50% pada tahun 2050 berdasarkan tingkat referensi Business As Usual (BAU) 2005 2 . Untuk mencapai target ini, IEA membuat proyeksi bahwa bahan bakar hayati yang diproduksi secara berkelanjutan akan memasok 27% dari semua bahan bakar transportasi. 79.8 107.2 53.3 64.7 9.4 7.1 22.6 32.8 0 50 100 150 200 2011 2012 Elements of Fuel Subsidy RON 88, Premium Diesel Kerosene LPG (Rp. trillion, current prices) Gambar 1. Alokasi subsidi BBM dalam anggaran pemerintah Indonesia 1 Gambar 2. Proyeksi kebutuhan lahan global untuk memenuhi Skenario Peta BIRU ETP 2010

description

Indonesian version

Transcript of Info ICCC ed. 5

Page 1: Info ICCC ed. 5

Edisi 5 - Juni 2014 Media Informasi Indonesia Climate Change Center

|Edisi 5 - Juni 2014 1

Bahan Bakar Transportasi Hijau untuk Pertumbuhan Ekonomi Jangka Panjang Berkelanjutan

PRATINJAU STUDITanaman untuk Energi pada Lahan Terdegradasi sebagai Langkah Awal menuju Kemandirian Energi, Pertanian untuk Penyerapan Karbon ke Tanah, dan Perlindungan terhadap Lahan yang Ditetapkan sebagai Wilayah REDD+.

LATAR BELAKANG

Subsidi BBM tampaknya menghalangi inisiatif efisiensi energi oleh konsumen umum dan, tanpa kebijakan yang mendukung investasi bahan bakar hayati, ada beberapa risiko untuk produksi bahan bakar hayati. Seperti yang terlihat pada Gambar 1, subsidi BBM di Indonesia tumbuh pada tingkat yang jauh lebih cepat daripada pertumbuhan anggaran pemerintah sejak 2009. Pada tahun 2012, ada dua hal penting:

1. Persentase total subsidi BBM dari total anggaran lebih tinggi dibandingkan pada tahun 2008 ketika harga minyak mentah global mencapai $150/barrel.

2. Subsidi untuk bensin 88 RON telah melampaui 50% dari total subsidi BBM, termasuk subsidi untuk minyak tanah dan LPG keperluan rumah tangga. Hal ini jelas mengkhawatirkan dalam hal kapasitas pertumbuhan dan juga kelestarian lingkungan Indonesia.

Untuk bio-etanol, pemerintah Indonesia memulai rasio mandat campuran melalui Peraturan Presiden no.5/2006. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengeluarkan Peraturan no.32/2008 dengan rincian target bio-etanol selama mandat bio-etanol 2008-2025. Namun, sejak tahun 2010, produksi bahan bio-etanol kelas bahan bakar telah dihentikan karena biaya produksi dalam negeri yang tidak kompetitif.

WAWASAN DARI PETA TEKNOLOGI BAHAN BAKAR HAYATI GLOBAL UNTUK MENGEMBANGKAN PRODUKSI BIO-ETANOL DI INDONESIA

Tujuan global dalam mengadopsi bahan bakar hayati untuk transportasi adalah untuk mempercepat pembangunan global dan penyerapan teknologi kunci untuk mencapai pengurangan emisi GRK CO2e sebesar 50% pada tahun 2050 berdasarkan tingkat referensi Business As Usual (BAU) 20052. Untuk mencapai target ini, IEA membuat proyeksi bahwa bahan bakar hayati yang diproduksi secara berkelanjutan akan memasok 27% dari semua bahan bakar transportasi.

79.8107.2

53.3

64.79.4

7.122.6

32.8

0

50

100

150

200

2011 2012

Elements of Fuel Subsidy

RON 88, Premium Diesel Kerosene LPG

(Rp. trillion, current prices)

Gambar 1. Alokasi subsidi BBM dalam anggaran pemerintah Indonesia1

Gambar 2. Proyeksi kebutuhan lahan global untuk memenuhi Skenario Peta BIRU ETP 2010

Page 2: Info ICCC ed. 5

Dibentuk sejak Oktober 2011 dibawah kerjasama US - Indonesia Comprehensive Partnership, Indonesia Climate Change Center (ICCC) merupakan wadah untuk melakukan kajian kebijakan perubahan iklim berbasis ilmu pengetahuan, yang diharapkan dapat menjadi referensi dalam proses penentuan kebijakan (science-based policy) perubahan iklim di Indonesia. Info ICCC merupakan buletin triwulan yang disajikan sebagai media informasi mengenai isu dan hasil kajian

yang telah dihasilkan ICCC. ICCC mendukung penyebaran informasi pada buletin ini secara bebas untuk penggunaan non-komersial selama INFO ICCC ditulis sebagai sumber informasi.

Pengarah: Rachmat Witoelar, Agus Purnomo, Amanda Katili Niode, Murni Titi Resdiana, Farhan Helmy, Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI). Pemimpin Redaksi: Arfiana Khairunnisa, Indonesia Climate Change Center (ICCC). Kontributor: Artissa Panjaitan, Dadang Hilman, Eli Nur Nirmala Sari, Harityas Wiyoga, Ayu Anugrah Ramanadia, Indonesia Climate Change Center (ICCC)

Saran dan masukan dapat dikirimkan melalui email ke [email protected] atau dialamatkan ke Gd. Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), 16th Fl. Jl. M.H.Thamrin 8, Jakarta 10340. Informasi mengenai ICCC tersedia di portal www.ICCC-network.net.

2 |

Rubrik ICCC

Edisi 5 - Juni 2014

Sebagai konsekuensi dari sasaran tersebut di atas3, IEA memperkirakan kebutuhan lahan akan mencapai kenaikan bersih sebesar 70 juta ha pada tahun 2050 seperti yang disajikan pada Gambar 2. Dengan kenaikan bersih, IEA memproyeksikan penyusutan area tanaman di kawasan negara-negara maju hingga 50 juta ha sementara akan ada kenaikan 120 juta ha di negara-negara berkembang. Proyeksi ini menunjukkan potensi perdagangan bahan bakar hayati internasional dan pembangunan ekonomi pedesaan. Menggunakan potensi lahan terdegradasi (DL) yang sangat besar, dan dengan memiliki resolusi yang berimbang untuk menyelesaikan konflik klaim lahan, Indonesia mungkin memiliki kesempatan untuk menghasilkan 20 % dari bahan bakar hayati di pasar global4 untuk permintaan domestik dan menjadi negara pengekspor bahan bakar hayati.

Elemen penting lainnya yang dipelajari dari Skenario Bahan Bakar Hayati Global adalah proyeksi etanol tebu sebagai bahan bakar termurah (harga eceran per liter setara bensin5 “lge” setelah 2015) baik dalam skenario biaya bahan bakar fosil rendah maupun tinggi setelah 2020. Hal ini juga menunjukkan bahwa harga eceran Etanol Selulosik (CE), dalam skenario biaya tinggi, akan berada dalam kisaran USD 0,10 dari bensin setelah 2030.

Terlepas dari kenyataan bahwa tebu akan memiliki biaya termurah dibandingkan dengan bahan bakar lain sampai 2050, CE akan memiliki kelebihan dibandingkan etanol tebu dalam hal varian sumber bahan baku6. CE dapat diproduksi oleh banyak negara. Keragaman bahan baku CE akan membantu mengurangi ketidakstabilan biaya bahan baku dan memungkinkan

pemanfaatan tanaman berbasis kayu dari kawasan hutan produksi di hampir semua provinsi di Indonesia.

MANFAAT DAN TANTANGAN PENGEMBANGAN INDUSTRI BIO-ETANOL DI INDONESIA

a. Manfaat

Mengurangi emisi gas rumah kaca dari sektor transportasi akan membutuhkan peningkatan efisiensi dan konversi ke bahan bakar rendah emisi, seperti bahan bakar hayati dan gas alam. Namun, bahan bakar hayati saat ini masih lebih mahal daripada bahan bakar fosil (per kandungan energi) meskipun ada tren menjanjikan harga bahan bakar hayati yang lebih murah dalam jangka menengah dan panjang. Bisakah Indonesia belajar dari keberhasilan negara-negara lain dalam mengambil peluang tersebut?

Indonesia menghadapi situasi pertumbuhan impor bensin yang cepat dan tren menurunnya pasokan minyak dalam negeri. Pada tahun 2012, defisit anggaran Indonesia adalah Rp 190 trilyun (Gambar 3) untuk mendukung anggaran sebesar Rp 212 trilyun subsidi produk minyak dan gas (sebagian besar bahan bakar transportasi) dan Rp 135 triliun untuk subsidi listrik.

Sebagai akibat dari pertumbuhan subsidi bahan bakar transportasi dan listrik, pada tahun 2012 Indonesia memiliki defisit perdagangan 5,6 miliar dolar dan emisi GRK yang meningkat dengan cepat. Pada bulan September 2013, dengan

Gambar 3. Solusi Biofuel untuk memenuhi kebutuhan transportasi dan mempercepat pertumbuhan ekonomi di Indonesia

Page 3: Info ICCC ed. 5

3|

Rubrik ICCC

Edisi 5 - Juni 2014

naiknya permintaan BBM, defisit perdagangan minyak dan gas memburuk menjadi 9,7 miliar dolar. Subsidi benar-benar menghancurkan kesempatan transportasi berbahan bakar hayati, menyebabkan mandat pencampuran bio-etanol goyah dan juga membuat Indonesia kehilangan kesempatan untuk mengembangkan ekonomi pedesaan.

Dalam sebagian besar kasus, mencapai tujuan bio-etanol perlu disertai perubahan minimal untuk persediaan kendaraan dengan mesin yang sesuai dan infrastruktur distribusi. Dan, dalam kasus pembangunan pedesaan, adopsi bahan bakar hayati di lahan terdegradasi juga dapat membantu menghindari deforestasi atau perambahan hutan.

b. Tantangan

Dalam kelompok diskusi terfokus (FGD), para calon pemain bio-etanol menyatakan keyakinan mereka bahwa untuk memulai program bahan bakar hayati yang efektif, pemerintah Indonesia perlu mengembangkan regulasi pada tingkat Undang-undang Parlemen yang memiliki sanksi hukum untuk menegakkan

pelaksanaan dan juga mengatur semua mata rantai nilai bisnis kunci dari industri bio-etanol dalam perspektif jangka panjang7. Gambar 4 menunjukkan koordinasi kelembagaan yang rumit yang harus disederhanakan untuk mempromosikan industri bio-etanol.

Untuk memilih tanaman yang potensial pada lahan terdegradasi yang tersedia, kami menyarankan kriteria seleksi kepentingan iklim agro dan teknologi pengolahan yang meminimalkan risiko. Untuk teknologi generasi pertama, tanaman yang potensial untuk ditanam di lahan terdegradasi sebagai bahan baku untuk bio-etanol adalah tebu, singkong, sorgum, jagung dan sagu.

Saat ini ada berbagai teknologi dalam tahap komersial dan pengembangan (Gambar-5). Industri bahan bakar hayati global masih secara komersial menggunakan teknologi generasi pertama tetapi akan segera meluncurkan generasi kedua. Pemerintah perlu mendukung penelitian, desain dan pengembangan bio-etanol (bahan bakar hayati) agar menjadi lebih mandiri dan menguntungkan dalam perdagangan domestik dan internasional.

Gambar 4. Sistem hukum dan ekonomi untuk mempromosikan bio-etanol untuk pengurangan GRK

Gambar 5. Status komersialisasi teknologi bahan bakar hayati utama8

Page 4: Info ICCC ed. 5

4

Berdasarkan rasio campuran bio-etanol wajib, Indonesia akan membutuhkan setidaknya 10 juta kiloliter bio-etanol sebelum 2025. Studi ini memperkirakan kebutuhan lahan menggunakan teknologi generasi pertama untuk tebu sebagai bahan baku. Kami memproyeksikan minimal 1,5 juta ha kawasan lahan terdegradasi, yang cocok untuk kondisi iklim agro tebu, akan diperlukan untuk memasok konsumsi bio-etanol yang diamanatkan, seperti yang ditunjukkan pada Gambar-6.

Untuk meminimalkan persaingan antara tanaman untuk pangan dan energi, produsen mesin mobil harus menghasilkan mesin bensin fleksibel. Dengan skema tersebut, menciptakan

keseimbangan pendapatan optimal petani dapat dikelola diantara harga optimal gula dan bio-etanol. Setiap kali harga gula turun, misalnya, produsen dapat mengalihkan lebih banyak produk akhir menjadi bio-etanol. Skema ini juga akan memungkinkan para produsen bio-etanol untuk mengelola rasio campuran dalam menanggapi variasi hasil petani tapi dengan target rasio campuran minimum.

Tim ICCC menyelidiki area lahan terdegradasi mana yang dapat dianggap sebagai inti untuk perkebunan tanaman bio-etanol. Dengan demikian, lahan terdegradasi di Hutan Produksi yang dapat Dikonversi (HPK) adalah daerah yang lebih mungkin diprioritaskan sebagai perkebunan untuk tanaman bio-etanol. Kawasan Area Penggunaan Lain (yang dimiliki oleh petani lokal yang potensial) akan menjadi zona pendukung dan digunakan sebagai skema untuk mendistribusikan nilai ekonomi pada penduduk pedesaan/asli.

Review pada sebuah peta GIS menggunakan 6 kriteria yang digambarkan dalam Gambar 6 menunjukkan bagaimana 1,5 juta ha lahan dapat dibuat tersedia. Namun, ke-6 provinsi teratas tidak memiliki riwayat perkebunan tebu dan memiliki kepadatan penduduk yang relatif rendah. Oleh karena itu, pemerintah Indonesia perlu mengembangkan prosedur standar untuk menyediakan lahan (kawasan-kawasan lahan terdegradasi) untuk tanaman bio-etanol sesegera mungkin. Ketersediaan lahan merupakan elemen fundamental untuk menjamin kuantitas bahan baku dengan biaya pasokan yang efisien untuk mandat pencampuran 2025.

PENENTUAN HARGA PRODUK

Bio-etanol kelas bahan bakar di Indonesia masih lebih mahal dibandingkan dengan produk yang sama dari negara produsen

ICCC Highlights

|

lain. Di negara lain, biaya bahan baku mewakili sekitar 60 % dari biaya produksi etanol keseluruhan. Untuk memiliki struktur biaya yang sama, kepemilikan lahan sangat penting. Kepemilikan tanah memungkinkan kontrol biaya bahan baku dan efisiensi pasokan.

Karena sebagian besar produsen bio-etanol Indonesia saat ini tidak menanam sendiri bahan baku mereka, biaya produksi mereka berfluktuasi secara signifikan karena adanya persaingan. Untuk bahan baku dari tebu, persaingan terjadi dengan pasar gula yang dilindungi. Selain itu, harga bensin memiliki subsidi variabel di atas harga yang ditentukan. Oleh karena itu, pemerintah Indonesia perlu menyelaraskan kembali tujuan menggunakan bio-etanol untuk kemandirian energi dengan mengamankan ketersediaan lahan, menetapkan harga eceran BBM/energi yang tepat, dan menargetkan pengurangan emisi gas rumah kaca.

Beberapa cara yang mungkin dilakukan untuk mengurangi biaya produksi bagi produsen bio-etanol antara lain memaksimalkan solusi pasar untuk produk sampingan, meningkatkan ekonomi konversi biomassa, dan dukungan Pemerintah Indonesia dalam pembangunan infrastruktur.

Pada tahun 2010, Kementerian ESDM menetapkan indeks untuk harga bio-etanol (untuk dicampur dengan bensin) sebesar 105% dari FOB Argus Thailand sementara produsen bio-etanol Indonesia menuntut 132% dari Argus FOB Thailand. Pemerintah Indonesia sampai sekarang belum berhasil mencapai kesepakatan dengan produsen. Seandainya perbedaan 32% dari harga Argus diizinkan, pasti pasar Indonesia telah dijadikan sasaran oleh para produsen dari luar negeri.

Kegagalan para produsen bio-etanol untuk memenuhi 105% dari harga Argus Thailand menunjukkan kelemahan dalam daya saing biaya produksi. Analisis kami menyimpulkan bahwa kelemahan terjadi karena persaingan dengan persediaan pangan dan produsen tidak menanam sendiri bahan baku mereka.

SARAN & RENCANA PELAKSANAAN

Bukti dari daya tarik industri bio-etanol untuk kemandirian energi Indonesia berada dalam rencana bisnis yang dilaksanakan. Indikasi terbaik dari apakah ide ini akan dilaksanakan adalah kebijakan pemerintah yang mendukung ketersediaan lahan dan pembangunan infrastruktur dikombinasikan dengan kebijakan yang memihak pada pencapaian kemandirian energi. Kebijakan pemerintah yang efektif akan diikuti dengan pengajuan permohonan untuk ijin investasi. Sebagai hasil dari kunjungan lokasi, kami menyarankan memprioritaskan potensi di provinsi Kalimantan Tengah untuk memulai industri bio-etanol tebu9. (Artissa Panjaitan)

1Sumber: Badan Pusat Statistik, Kementrian Keuangan.2Energy Technology Perspectives (ETP) 2010 BLUE Map Scenario, IEA.3Dengan menggunakan tanaman produksi tinggi, peningkatan pemrosesan dan efisiensi penggunaan lahan dan juga pemanfaatan residu organik.

4Kawasan yang diproyeksikan untuk bio-etanol tebu dan selulosik global (generasi pertama dan kedua) pada 42 Mha dan solar hayati pada 30Mha. Oleh karena itu, jika Indonesia secara strategis merencanakan untuk memasok 20% dari bahan bakar hayati ini, diperlukan lahan sekitar 15 Mha.

5Nilai Kalor Rendah (LHV) bensin = 32,166 kJ/liter dan LHV etanol = 21,100 kJ/liter. Kandungan energi bensin (LHV) = 1.52 Bio-etanol (LHV).

6Biaya produksi di setiap negara akan berbeda dalam hal ukuran kapasitas pembangkit, biaya bahan baku dan pilihan teknologi.

7Memenuhi permintaan sampai 2050 dan sesudahnya.8Sumber: Dimodifikasi dari Bauen et al., 2009.9Untuk etanol dari sagu, Riau dan Papua secara alami cocok. Tetapi kita harus tetap berhati-hati untuk meminimalisir dampak panen dan produksi terhadap lingkungan.

Gambar 6. Kriteria seleksi untuk menyasar daerah lahan terdegradasi untuk perkebunan tanaman energi berkelanjutan

Edisi 5 - Juni 2014

Page 5: Info ICCC ed. 5

5

International Indonesia Peatland Conversation (IIPC) 2014

nternational Indonesia Peatland Conversation (IIPC) 2014 adalah acara tahunan ICCC yang yang bertujuan mempertemukan para ilmuwan gambut internasional dan nasional, para pembuat

kebijakan, LSM, dan pengelola lahan gambut dari kementerian terkait untuk melakukan dialog yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, pemahaman dan apa yang dibutuhkan untuk mencapai target Indonesia dalam mengurangi emisi gas rumah kaca dari lahan gambut. IIPC 2014 telah dilaksananakan pada tanggal 11 dan 12 Februari 2014 di Hotel Mandarin, yang diikuti oleh 56 peserta dari 39 institusi yang berbeda, baik nasional maupun internasional.

Tujuan dari IIPC 2014 adalah 1) Memahami kondisi pemetaan lahan gambut di Indonesia; 2) Mendiskusikan dan mengembangkan strategi untuk meningkatkan transparansi data, menyelesaikan permasalahan-permasalahan terkait perbedaan metodologi pemetaan lahan gambut dan kelengkapan ketersediaan data untuk meningkatkan keakurasian peta lahan gambut yang ada; 3) Memahami kebutuhan unik untuk mengestimasi emisi secara efektif dari lahan gambut yang terdrainase maupun dari kebakaran gambut; 4) Menentukan pengaturan lembaga antar Pemerintah Indonesia yang diperlukan untuk memastikan kemampuan mengestimasi emisi GRK secara memadai; dan 5) Mengklarifikasi data yang ada dan data yang dibutuhkan untuk mendukung pengestimasian GRK secara akurat yang memenuhi standar internasional.

Pada IIPC 2014, diskusi secara mendalam dilakukan untuk membahas lebih detail mengenai 2 topik penting yaitu pemetaan lahan gambut dan emisi gas rumah kaca (GRK) di lahan gambut. Pada diskusi terkait pemetaan lahan gambut, peserta berdiskusi untuk menggali lebih dalam gap-gap yang ada terkait dengan transparansi data, perbedaan metodologi pemetaan lahan gambut dan juga lapisan data tambahan yang perlu dikembangkan untuk mendukung pemerintah Indonesia dalam membuat keputusan pengelolaan lahan gambut yang efektif.

Sedangkan pada diskusi terkait emisi GRK, peserta melakukan disksusi yang mendalam mengenai pengestimasian emisi dari kebakaran lahan gambut dan lahan gambut terdrainase, bagaimana cara untuk meningkatkan kapasitas pemerintah Indonesia untuk melakukan estimasi emisi dari kebakaran lahan gambut secara efektif, apa saja yang diperlukan untuk mengestimasi emisi tanpa hanya bergantung pada data hotspot saja, dan apa saja faktor emisi (EF) dan data aktivitas (AD) yang sudah ada di Indonesia, dan data tambahan apa yang diperlukan untuk mencapai ‘tier’ inventarisasi

GRK yang lebih tinggi.Dari hasil diskusi yang dilaksanakan selama dua hari, IIPC 2014 menghasilkan rumusan sebagai berikut:

1. Penting untuk meningkatkan kualitas data, meningkatkan akses dan standarisasi metodologi untuk mendukung Standar Nasional Indonesia (SNI) Pemetaan Lahan Gambut 1:50.000;

2. Perlunya memfokuskan agenda pada kegiatan verifikasi dan ground truthing untuk memperbaiki keakurasian peta lahan gambut yang ada;

3. Penting untukmengidentifikasi lapisan data yang diperlukan pada pemetaan lahan gambut;

4. Mendorong kementerian-kementerian untuk bekerja sama dalam rangka meminimalkan terjadinya duplikasi kegiatan dan persaingan terkait hasil kegiatan; dan

5. Semua kegiatan yang dilakukan terkait dengan lahan gambut harus melibatkan skala lokal sebagai pendekatan skala nasional.

Sebagai respons dari rumusan-rumusan tersebut di atas, maka ICCC akan menindaklanjutinya dengan agenda sebagai berikut; 1) Melanjutkan kerja sama dan koordinasi dengan Badan Informasi Geospasial (BIG) bersama tim pemetaan lahan gambut; 2) ICCC berkomitmen untuk menjadi model berbagi data secara terbuka, melakukan review secara ketat dengan standar yang tinggi berbasis sains dalam memberikan input kepada para pembuat kebijakan; 3) Mengadakan inventarisasi GRK dengan kelompok antar-lembaga terkait gambut, dan melakukan diskusi untuk yang menghasilkan rekomendasi terkait penataan lembaga institusi; dan 4) ICCC akan memfasilitasi dialog-dialog terkait gambut untuk mendukung kebijakan berdasarkan sains. (Eli Nur Nirmala Sari)

Peatland Story

I

|

Gambar 1. Peserta IIPC 2014 yaitu para ilmuwan gambut nasional dan international, LSM, universitas and para pembuat kebijakan dari kementrian terkait dan institusi yang menangani pengelolaan lahan gambut

Gambar 2. Sesi diskusi pada IIPC 2014

Edisi 5 - Juni 2014

Page 6: Info ICCC ed. 5

6 |

ebakaran hutan Riau dan Jambi sejak bulan Februari 2014, termasuk kebakaran gambut, semakin meluas dan telah menjadi sorotan beberapa media nasional dan internasional akhir-akhir

ini. Sebagian mencoba menganalisis bahwa kebakaran tersebut akibat ulah korporasi. Sebagian media menyoroti dari sisi penanggulangannya, dan menyoroti perlu adanya terobosan radikal pada aspek penegakan hukum karena kebakaran hutan sudah terjadi dari tahun ke tahun. Bahkan ada media yang memuat siapa yang harus bertanggung jawab.

Namun bagaimana peran sains dalam masalah ini dan bagaimana perspektif penanggulangannya secara lengkap dan menyeluruh, bukan hanya ditinjau dari masalah internal negara dan kawasan, namun juga secara global.

Indonesia Climate Change Center (ICCC), sebagai institusi yang fokus menjembatani ilmu sains pada rekomendasi kebijakan, turut berpartisipasi dalam penanganan masalah yang sudah menjadi rutin terjadi secara tahunan di negara ini, khususnya di Sumatra dan Kalimantan.

Secara umum sumber ketidaktentuan (uncertainty) dalam memperkirakan emisi dan penyerapan dalam lahan/tanah organik adalah: 1) ketidaktentuan dalam penggunaan lahan dan aktivitas manajemen dan data lingkungan (IPCC 2013 Supplement to the 2006 Guidelines: Wetland). Sedangkan tingginya ketidaktentuan pada estimasi emisi GRK dari kebakaran gambut disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya: kekurangan data yang diperlukan; masih minimnya pengetahuan dan informasi mengenai kelakuan api yang menyebabkan sulitnya mendapatkan informasi dan data yang akurat tentang luas area terbakar dan faktor emisi.

Mengingat kerumitan dan masih tingginya ketidakpastian dalam masalah kebakaran hutan dan lahan ini, khususnya di lahan gambut, maka untuk tahap awal ICCC sedang mengkaji peran beberapa teknologi dari data satelit dalam menentukan luas area terbakar dan menghitung emisi gas rumah kaca dan partikulat melalui kegiatan dengan judul Pilot Study on VIIRS Nightfire (VNF)Estimation of Emissions from the June 2013 Sumatra fires.

Kegiatan ini dibagi dua fase. Fase pertama, melihat kejadian yang lalu, fokus pada kebakaran yang terjadi tahun 2013 di Riau, Sumatera. Kegiatan ini akan diselesaikan pada bulan Juni 2014. Sedangkan fase kedua, akan fokus pada musim kebakaran tahun 2014.

Secara lebih rinci, tujuan dari kegiatan ini adalah pertama memodifikasi model emisi kebakaran yang ada agar dapat sesuai dengan konten informasi yang diperkaya untuk produk kebakaran malam hari, seperti: temperatur, area sumber, panas radiasi. Tujuan kedua

Upaya Penanganan Kerumitan dalam Estimasi Emisi dari Kebakaran Gambut

adalah memvalidasi deteksi VNF melalui perbandingan dengan produk satelit lain dan kombinasi data satelit resolusi tinggi dan survei lapangan. Kegiatan ini akan dilakukan baik pada fase-1 dan fase-2. Tujuan ketiga adalah mengevaluasi kegunaan data Landsat malam hari untuk deteksi dan karakterisasi kebakaran gambut. Kegiatan ini akan dilakukan pada fase-2. Tujuan ke-5 adalah memproduksi satu set estimasi emisi (GRK dan gas lainnya). Dan yang terakhir adalah mengembangkan pemodelan emisi untuk musim kebakaran tahun 2014 untuk seluruh wilayah Indonesia.

Berbeda dengan kejadian kebakaran hutan, kebakaran di lahan gambut (termasuk gambutnya) adalah campuran dari flaming (api) dan smoldering (bara) yang dapat berlanjut di kedalaman lahan gambut yang tidak tergenangi air. Jika kita melihat diagram di bawah ini, 600 K (atau sekitar 326,85oC) dianggap titik pemisah (break point) antara flaming (diatas 600 K) dan smoldering (dibawah 600 K). Emisi dari flaming sangat berbeda dengan emisi dari smoldering kebakaran gambut. Deteksi satelit bekerja baik untuk deteksi flaming dari kebakaran gambut.

Karena emisi GRK sudah dianggap sebagai salah satu penyebab utama perubahan iklim dan saat ini sudah menjadi isu global dibawah kendali UNFCCC, maka tidak ada pilihan penanganannya kecuali perlu mempertimbangkan perkembangan isu dan regulasinya. Di satu sisi kita perlu ikuti aturan atau panduan teknis yang ada, di sisi lain kita bisa memanfaatkan peluang yang ada dibawah regulasi ini untuk mendorong penanganannya secara lebih komprehensif, seperti salah satu peluangnya dapat ditangani melalui NAMAs-Nationally Appropriate Mitigation Actions. (Dadang Hilman)

K

Gambar 1. Dua kurva menandai batas deteksi VNF (VIIRS Nightfire) menurut suhu dan sumber luas dua pita spektrum yang digunakan dalam deteksi pixel hot spot. Api terbakar sekitar dua kali suhu pembakaran biomasa. Jika sumber suhu menurun, sumber wilayah yang lebih besar diperlukan untuk menghasilkan cahaya yang dapat terdeteksi. Perhatikan deteksi bara api dengan suhu di bawah 600K.

Edisi 5 - Juni 2014

Rubrik ICCC

Page 7: Info ICCC ed. 5

7|

ICCC Coffee Morning on Climate Change

Pemerintah Baru Dihimbau agar Fokus dengan Rehabilitasi Lahan Hutan dan Gambut RusakIndonesia Climate Change Center (ICCC) melalui Unit Komunikasi telah memfasilitasi dialog berjudul ICCC Coffee Morning on Climate Change yang merupakan dialog rutin dengan tujuan menyampaikan informasi mengenai isu-isu terbaru berkaitan dengan kegiatan ICCC dalam lahan gambut dan pemetaan lahan gambut, strategi pengembangan beremisi rendah, ketahanan iklim, dan Monitoring, Pelaporan, dan Verifikasi yang sering disebut MRV (Measuring, Reporting and Verification) guna membahas kerangka kerja pengembangan kebijakan perubahan iklim di Indonesia. Artikel ini meringkas pertemuan ICCC Coffee Morning on Climate Change ke-7 dengan judul “Kepemimpinan dan Pelibatan dalam Konservasi dan Pembangunan Berkelanjutan untuk Indonesia di Masa Depan” pada hari Kamis, 5 Juni 2014.

Pemerintah yang akan datang diharap akan lebih fokus dalam upaya menangani rehabilitasi hutan dan lahan gambut terdegradasi mengingat besarnya potensi hutan dan lahan gambut dalam menyimpan emisi karbon. Penanganan yang tepat dapat mempercepat upaya Indonesia mencapai target mengurangi emisi karbon sebesar 26% pada tahun 2020.

Salah satu upaya yang disarankan adalah kebijakan perencanaan spasial, yang saat ini tidak terkoordinasi walau dengan banyaknya lembaga dan kewenangan yang terlibat. Contohnya, di Jakarta saja, setidaknya ada tujuh lembaga yang menangani perencanaan spasial. Dengan demikian, pemerintah lokal di bawah otonomi daerah dapat menerbitkan peraturan daerah yang sering kali tumpang tindih dengan kebijakan nasional.

“Ini harus menjadi prioritas (pemerintah baru)”, kata Agus Purnomo, Kepala Sekretariat Dewan Nasional Perubahan Iklim Republik Indonesia (DNPI) dan Penasihat Khusus Presiden untuk Perubahan Iklim.

Selain Agus, diskusi berjudul Kepemimpinan dan Pelibatan dalam Konservasi dan Pembangunan Berkelanjutan untuk Indonesia di Masa Depan ini juga melibatkan narasumber Andrew Steer, Presiden dan CEO World Resources Institute; Satya Widya Yudha, Ketua Kaukus Ekonomi Hijau DPR-RI; dan Eli Nur Nirmala Sari, Koordinator Peatland and Peatland Mapping Cluster ICCC.

Data dari Kementrian Kehutanan menunjukkan Indonesia memiliki 120 juta hektar hutan tropis. Setiap tahun 1.18 juta hektarnya menjadi rusak akibat, antara lain, kebakaran hutan, HTI, dan penambangan. Deforestasi dan alih fungsi lahan, termasuk di lahan gambut, menghasilkan sekitar 60% emisi total Indonesia.

“60% karbon tersimpan dalam gambut, dan karena itu,

upaya penurunan emisi harus terfokus di lahan gambut,” Agus menjelaskan.

Rekomendasi lain untuk pemerintah baru adalah mengenai kebijakan moratorium penebangan hutan dan lahan gambut, deforestasi, dan pengelolaan lahan gambut.

Eli Nur Nirmala Sari menyatakan ICCC telah memulai penelitian pengelolaan lahan gambut berkelanjutan di berbagai sektor termasuk kehutanan, perkebunan, dan pertanian. Penelitian ini melibatkan peneliti, perguruan tinggi, dan lembaga terkait di bidang gambut. Hasil penelitian ini akan menghasilkan informasi yang dapat membantu pemerintah baru Indonesia mengembangkan pengelolaan lahan gambut. “Kami menyebutkan Indonesia Peatland Outlook 2014 dan akan dicanangkan akhir bulan ini,” kata Eli.

Gambar 1. Satya Widya Yudha mempresentasikan reformasi hukum untuk mendukung pertumbuhan hijau Indonesia

Gambar 2. Eli Nur Nirmala Sari mempresentasikan kepemimpinan dan pelibatan dalam manajemen lahan gambut berkelanjutan

Edisi 5 - Juni 2014

Kegiatan ICCC

Page 8: Info ICCC ed. 5

8 |

Perkiraan emisi gas rumah kaca (GRK) dari kebakaran gambut adalah isu yang relatif baru di Indonesia dan kontribusi kebakaran gambut terhadap emisi nasional ditemukan cukup signifikan. Suatu estimasi moderat untuk total emisi GRK dari Perubahan Penggunaan Lahan dan Kehutanan oleh DNPI (2009) tahun 2005 mencapai 1.880.000 Gg CO2-e di mana sekitar 55% merupakan emisi dari lahan gambut.

Menanggapi situasi ini, ICCC melalui MRV Cluster sedang mengembangkan inisiatif baru untuk pengembangan metodologi pendugaan emisi GRK dari kebakaran hutan untuk mendukung pengembangan sistem MRV yang sedang dikembangkan oleh pemerintah Indonesia. Selama empat hari pada tanggal 6-9 Mei 2014 di Pekanbaru, klaster ini mengadakan lokakarya Penerapan Metodologi IPCC dalam Perkiraan Emisi GRK dari Kebakaran Gambut yang Terbakar Baru-baru ini di Pekanbaru.

Lokakarya ini diakhiri dengan beberapa rekomendasi. Salah satu kesimpulan kegiatan ini adalah sangat diperlukannya lembaga koordinator untuk mendukung kinerja Indonesia menangani isu ini.

“Kebakaran lahan gambut adalah sumber emisi GRK Indonesia utama, akan tetapi hanya ada sedikit data empiris yang mendukung informasi ini. Kurangnya data berakibat membatasi kemampuan Indonesia untuk maju melampaui kemampuan IPCC

Dibutuhkan Lembaga Koordinator Kebakaran Gambut Tier 1 untuk kegiatan MRV REDD+ yang membutuhkan informasi akurat dan tepat waktu, karena itu dibutuhkan suat lembaga koordinator,” Dadang Hilman, Koordinator MRV Cluster ICCC menjelaskan.

Kesimpulan lain adalah agar Indonesia dapat mencapai kemampuan Tier IPCC tidak cukup hanya dengan mengidentifikasi lembaga yang bertanggungjawab menyusun dan mengelola data, tetapi juga mengidentifikasi dan membuat prioritas kebutuhan penelitian dan pengembangan (R&D). Pengembangan kemampuan R&D harus melibatkan kemitraan kolaboratif antara kementrian-kementrian Indonesia, akademisi, dan lembaga R&D dengan mitra internasional mereka. Akan tetapi, sampai saat ini Indonesia tidak memiliki satu lembaga yang diberi tugas tersebut. Karena itu segera dibutuhkan suatu konsensus antara lembaga-lembaga kunci – Kementrian Pertanian, Kementrian Kehutanan, Kementrian Lingkungan, dan LAPAN – untuk menentukan institusi paling relevan sebagai lembaga koordinator dan mendukung kinerja dalam bidang ini.

Dewan Perubahan Iklim Nasional (DNPI), dengan bantuan teknis dari ICCC, adalah salah satu lembaga kandidat untuk memimpin diskusi lebih jauh bagaimana kontribusi ini dapat dilakukan dan pembahasan dengan pakar-pakar nasional serta lembaga kunci.(Arfiana Khairunnisa)

Negosiasi Internasional

Andrew Steer mengatakan Indonesia memiliki peran global yang penting berkaitan dengan kekuatan ekonominya serta komitmen Indonesia menurunkan emisi. Dengan demikian, negara ini wajib berperan aktif dalam negosiasi perubahan iklim internasional seperti dalam COP.

“Selama 10 tahun terakhir Indonesia tumbuh lima kali lebih cepat dibandingkan negara lain. Indonesia harus memiliki peran utama dalam negosiasi Paris,” kata Andrew mengenai Konferensi Perubahan Iklim PBB atau COP-21 yang akan diadakan di Paris, Perancis tahun 2015.

Satya Widya Yudha mengatakan bahwa legislator Indonesia juga berperan aktif dalam kancah global. Beberapa anggota DPR telah memulai Kaukus Ekonomi Hijau Indonesia sejak 2013 di Bali.

Kaukus yang merupakan wadah bagi legislator Indonesia yang tertarik dan merespon terhadap isu-isu perkembangan berkelanjutan dan perubahan iklim menandatangi Nota Kesepakatan dengan jaringan GLOBE International, suat lembaga internasional terdiri dari anggota parlemen nasional

dari lebih dari 80 negara yang berkomitmen mengembangkan dan mengawasi pelaksanaan hukum dalam pembangunan berkelanjutan.

Manajer ICCC, Farhan Helmy, menyebutkan bahwa kepemimpinan dan pelibatan dalam pembangunan berkelanjutan dapat diterjemahkan menjadi perspektif yang lebih luas. Ada hubungan yang sangat jelas antara arah kebijakan, dukungan peraturan, pelibatan badan swasta dan non-pemerintah, serta sains sebagai dasar proses pembuatan kebijakan.

Farhan menekankan bahwa Indonesia berada dalam saat penentuan sebagai negara yang mendekati masa pemerintahan baru. “Kemunduran kebijakan akan membawa kita menuju jalan ekonomi yang tidak berkelanjutan,” tambah Farhan.

Farhan juga menegaskan bahwa ICCC serta mitra strategisnya akan mendukung calon presiden berdasarkan kebutuhan atas arah menuju ekonomi hijau berkelanjutan.

“ICCC akan memfasilitasi dialog tentang perubahan iklim, energi, penggunaan lahan dan kehutanan, dan perkotaan dalam konteks pemilu saat ini untuk menyelamatkan lanskap kebijakan menuju ekonomi hijau,” kata Farhan. (Arfiana Khairunnisa)

“Indonesia memiliki peran global yang penting berkaitan dengan kekuatan ekonominya serta komitmen Indonesia menurunkan emisi. Dengan demikian, negara ini wajib berperan aktif dalam

negosiasi perubahan iklim internasional seperti dalam COP.

“(Andrew Streer)

Edisi 5 - Juni 2014

Kegiatan ICCC

Page 9: Info ICCC ed. 5

9|

ICCC Public Lecture on Climate Change

Berbagi Pengetahuan Perubahan Iklim untuk Akademisi

ICCC bekerja sama dengan Institut Teknologi Bandung (ITB) mengadakan Kuliah Umum Perubahan Iklim (PLCC) rutin di kampus ITB, Bandung. Sejak Februari hingga Mei 2014 telah diadakan tiga kali PLCC. Artikel berikut merangkum kegiatan tersebut.

ENERGI TERBARUKAN DI INDONESIA

Pemanfaatan energi terbarukan di Indonesia masih sangat sedikit walaupun potensinya yang sangat besar. Kebijakan dan implementasinya dianggap sebagai kendala terbesar. Inefisiensi anggaran untuk subsidi bahan bakar mencapai 230 triliun per tahun atau 10% APBN, menunjukkan perlunya penyesuaian yang mendasar dalam kebijakan energi. “Suatu kebijakan yang menggambarkan transformasi ekonomi menuju ekonomi hijau yang didasarkan pertimbangan jejak karbon yang rendah dengan nilai tambah ekonomi yang tinggi. Kebijakan ini harus transparan dan berbasis sains,” kata Rachmat Gobel, Ketua Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI) dalam Kuliah Umum Perubahan Iklim di ITB tanggal 26 Mei 2014.

Kuliah Umum dengan tema Energi Terbarukan juga mengundang Artissa Panjaitan, Koordinator Klaster Strategi Pembangunan Rendah Emisi (LEDS).

Indonesia memiliki potensi besar untuk energi terbarukan yang dapat digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan manusia serta mengurangi emisi di atmosfer, yang merupakan komitmen Indonesia, kata Rachmat.

Mengutip pandangan DNPI tahun 2014, pembangunan tidak rendah karbon akan meningkatkan tingkat GRK pada tahun 2020 sampai 2030 dan 40% peningkatan ini bersumber dari sektor energi, tambah Rachmat. “Karenanya, konsistensi dalam kebijakan penurunan emisi sebesar 26% dengan upaya sendiri dan 40% dengan dukungan internasional di 2020 harus dilanjutkan dan menjadi fondasi

dalam kebijakan pembangunan rendah emisi karbon,” menurut Rachmat.

Artissa Panjaitan menunjukkan penelitian ICCC tentang penggunaan dua macam teknologi yaitu etanol dari tebu dan biogas dari rumput Taiwan sebagai solusi alternatif untuk mencapai kebutuhan energi khususnya untuk transportasi dan listrik di daerah terpencil.

Dari 240 milyar populasi Indonesia, 25% diantaranya belum mendapatkan aliran listrik setelah 70 tahun Indonesia merdeka, menurut Artissa.

Artissa Panjaitan menambahkan bahwa 70% populasi Indonesia yang sudah mendapatkan aliran listrik masih terbatas dalam akses ini, misalnya hanya mendapat listrik dari jam 17:00 sampai 23:00.

Gambar 1. Rachmat Gobel memberikan kuliah tentang strategi pembangunan rendah emisi

Gambar 2. Artissa Panjaitan memberikan kuliah tentang sains menuju kebijakan untuk investasi

Edisi 5 - Juni 2014

Kegiatan ICCC

Page 10: Info ICCC ed. 5

10 |

Instalasi listrik konvensional butuh biaya tinggi dan tidak menguntungkan dalam konteks perspektif bisnis, karena itu investor tidak terlalu tertarik untuk menanam modal khususnya di pedalaman dengan kondisi infrastruktur yang kurang baik, ia tambahkan.

“Indonesia masih kekurangan listrik dan hal ini dapat mengganggu ekonomi negara, karena ada korelasi antara penggunaan listrik dan pertumbuhan ekonomi,” menurut Artissa.

Tebu, tanaman yang dapat menghasilkan etanol untuk bahan bakar, dapat ditanam di lahan terdegradasi yang dimiliki Indonesia sebesar 180 juta hektar, kata Artissa.

“Kita butuh hanya 1.5 juta hektar perkebunan tebu untuk menghasilkan 6 juta ton bahan bakar etanol untuk memenuhi 15% sampai 20% kebutuhan bahan bakar, tambahnya.

STRATEGI PEMBANGUNAN RENDAH EMISI URBAN DI INDONESIA

Steve Gawler, direktur Program Internasional ICLEI wilayah Oseania mengatakan, tantangan yang dihadapi negara berkembang seperti Indonesia adalah untuk menyeimbangkan populasi yang semakin meningkat dengan peningkatann konsumsi dan penurunan emisi karbon. “Bagi negara seperti Indonesia, Cina, India dan Brazil, kami punya masalah yang sama, bagaimana kita mengakomodasi peningkatan populasi dan kualitas hidup yang baik tetapi juga menghentikan polusi atmosfer dengan karbon,” menurut Steve pada Kuliah Umum tanggal 20 Maret 2014. Steve dan Irvan Pulungan, Direktur ICLEI Indonesia membahas Urban LEDS di Indonesia.

Perencanaan kota terintegrasi dan niat politik pemerintah kota dalam pelaksanaan Urban LEDS sangat penting, menurutnya.

“Jika kita berbicara tentang pembangunan kota kita juga membahas Gubernur, Bupati, dan administrasinya. Pemerintah daerah melalui Perda dapat mengubah perilaku masyarakat,” menurut Steve.

ICLEI membantu kota-kota di seluruh dunia menerapkan pembangunan dengan standar LEDS dengan menghubungkan mereka dengan kota-kota lain serta lembaga keuangan.

Direktur ICLEI Indonesia Irvan Pulungan mengatakan bahwa ICLEI saat ini memiliki proyek di dua kota model yaitu Bogor dan Balikpapan.

“Tujuan proyek ini adalah untuk membangun kota tersebut dengan pembangunan yang rendah namun dapat mendorong pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan bisa menyediakan peluang kerja dan peningkatan PAD yang baik,” kata Irvan.

PENGALAMAN INGGRIS

Saat ini kantor meteorologi Inggris dikenal di seluruh dunia sebagai prediktor iklim terbaik dunia karena mereka mengumpulkan data dari setiap penerbangan komersial di dunia menggunakan alat metal detektor yang dipasang di sayap pesawat, kata David King, Perwakilan Khusus Menteri Luar Negeri Inggris untuk Perubahan Iklim saat Kuliah Umum ICCC tanggal 24 Februari 2014. Kuliah kali ini bertemakan Pengalaman Hijau Inggris dan Konteks Global. Diskusi ini juga menghadiri narasumber Rachmat Witoelar, Ketua Harian DNPI.

Gambar 3. Situasi Public Lecture on Climate Change

Gambar 4. Sir David King membagi pengalaman Inggris dalam perubahan iklim

Edisi 5 - Juni 2014

Kegiatan ICCC

Page 11: Info ICCC ed. 5

11|

“Metal detektor ini selalu mengirim informasi ke kantor meteorologi kami. Informasi ini selalu masuk setiap enam jam ke komputer besar mereka, dan memprakirakan cuaca esok hari di seluruh dunia,” kata David.

Prakiraan ini bukan mekanisme statistik melainkan menggunakan model dunia berdasarkan fisika yang mencakup semua aspek. “Kita telah menjadi kantor meteorologi yang menunjukkan di mana cuaca paling ekstrem akan terjadi,” lanjut David.

Topan Haiyan yang melanda Filipina telah diprediksi, termasuk mengenai topan yang akan menghantam daratan Filipina dan kerasnya badai ini, enam hari sebelumnya.

“Apabila Anda melihat prakiraannya dan kejadian nyata, Anda tidak dapat membedakan satu dengan yang lain,” menurutnya.

Kantor meteorologi Inggris merupakan yang pertama dan satu-satunya di dunia yang mencakup model perubahan iklim dalam kemampuannya memprakirakan cuaca, dan GRK adalah bagian besar dari kemampuan ini.

“Sejak 20 tahun yang lalu kantor meteorologi kami fokus pada perubahan iklim sehingga ini menempatkan Inggris dalam posisi terdepan dalam mengembangkan dan memahami dampak perubahan iklim,” ia tambahkan.

Menurut Rachmat Witoelar, sangat penting untuk berbagi pengalaman berbeda dalam inovasi hijau, dan pendekatan yang dilakukan Inggris menerima dukungan kuat dari masyarakat

berkaitan penanganan permasalahan akibat perubahan iklim.

Ada paradigma baru tentang perubahan iklim yang sekarang mulai dipahami bahwa perubahan iklim dapat menjadi suat peluang dan bukan ancaman seperti anggapan sebelumnya.

“Hal ini harus dilihat dari sudut pandang pengetahuan berbasis sains untuk mendukung kebijakan yang terintegrasi dalam strategi pembangunan nasional dan diterapkan dan dilaksanakan oleh semua. Apabila ini bisa dilakukan maka kita berada di jalan untuk menjawab ancaman perubahan iklim,” tambah Rachmat. (Arfiana Khairunnisa)

PUBLIKASI ICCC

Gambar 5. Farhan Helmy memberikan kata sambutan pada ICCC Public Lecture on Climate Change

Sebagai forum untuk para peneliti, ICCC telah melakukan beberapa kajian dan kegiatan untuk mendukung pemerintah mengembangkan kebijakan tentang perubahan iklim. Kajian dan kegiatan ICCC telah dirangkum dalam bentuk buku maupun lembar informasi, meliputi Policy Memo: Peatland Definition from Uncertainty to Certainty, Synthesis Report of International Indonesia Peatland Conversation (IIPC) 2013 & 2014, Research Brief 2013: Sustainable Peatland Management, Preview of Study: Green Transportation Fuel for Sustainable Long Term Economic Growth, dan Laporan Kajian Definisi Lahan Gambut dan Metodologi Pemetaan Lahan Gambut. Hasil kajian dan kegiatan ICCC tersebut dapat diunduh di website ICCC, yaitu iccc-network.net/publications.

Edisi 5 - Juni 2014

Kegiatan ICCC

Page 12: Info ICCC ed. 5

12 |

ahan gambut menjadi isu yang sensitif pada multi-sektor yang pada tiap keputusannya (untuk pengelolaan dan perijinan) harus mempertimbangkan kriteria dan indikator

setiap sektor.

Untuk mengoptimalkan tercapainya pengelolaan lahan gambut berkelanjutan, salah satunya adalah dengan melakukan simulasi mengenai implikasinya pada multi-sektoral dengan berbagai skenario.

Untuk mengakomodasi hal tersebut, perlu dikembangkan sebuah konsep yang memungkinkan dilakukannya analisa visual dalam mendukung terintegrasinya kegiatan pengelolaan lahan gambut oleh para pemangku kepentingan.

Misalnya dalam perencanaan, implementasi, evaluasi yang melibatkan berbagai komponen, penggunaan multi-data dengan multi-skala, serta penggunaan peta dengan multi resolusi.

Dibandingkan dengan lahan gambut kering, lahan gambut yang tergenang atau banjir akan memiliki risiko yang lebih kecil terhadap terjadinya kebakaran, pelepasan emisi dan juga terjadinya subsiden. Dengan demikian, maka setiap disain atau rekasaya pengaturan tinggi muka air harus dibuat sedemikian rupa sehingga tidak terjadi pengurasan air yang berlebihan. Meningkatnya investasi dalam skala besar yang dilakukan oleh perkebunan kelapa sawit dan juga Hutan Tanaman Industri (HTI) pada lahan gambut, menyebabkan pentingnya meingkatkan kemajuan tekonologi, terutama terkait teknologi pengelolaan tinggi muka air dalam mendukung terlaksananya pengelolaan lahan gambut berkelanjutan.

Selain itu, teknologi pengaturan tinggi muka air skala besar yang modern untuk menjaga keseimbangan ketersediaan air pada lahan gambut, dapat menjadi salah satu situs pembelajaran penting untuk menguji berbagai hipotesis, sekaligus untuk membahas konsep dan implementasi serta mengidentifikasi batasan-batasan yang ada dalam menghasilkan kriteria dalam pencapaian pengelolaan lahan gambut berkelanjutan.

Lahan gambut secara alami merupakan ekosistem dengan surplus air, yang bagaimanapun apabila akan memanfaatkannya, perlu melakukan pengontrolan tinggi muka air pada lahan gambut sehingga memungkinkan bagi tanaman komersial atau tanaman pangan untuk dapat tumbuh. Keseimbangan ketersediaan air pada lahan gambut adalah kunci untuk terwujudnya pengelolaan lahan gambut berkelanjutan.

Untuk dapat mengontrol tinggi muka air pada lahan gambut, diperlukan ketersediaan data berkualitas tinggi (seperti data hidrotopografi, hidrometeorologi, dan hidrolika), dan diperlukan kemampuan menganalisa yang tinggi dan standar operasional yang tinggi, yang selama ini semuanya itu jarang tersedia di lapangan. Mengingat variabilitas yang tinggi mengenai dinamika yang terjadi pada lahan gambut (yakni yang terkait

dengan hidrotopografi, hidrometeorologi, dan hidrolika) yang dalam skala luasan yang besar akan sulit ditangani, maka pengelolaan lahan dengan resiko kecil hanya dapat dilakukan pada skala luasan yang kecil. Pendekatan ini dapat dipelajari dari para petani lokal dalam melakukan pertanian tradisionalnya pada lahan gambut. Pendekatan trial and error (karena tidak tersedianya data berkualitas tinggi) yang dilakukan pada pengembangan pengelolaan lahan gambut dengan resiko kecil dapat dilakukan dengan skala luasan 500-1,000 ha. Karena variabilitas dari produktivitas musiman lahan gambut adalah tinggi, ditambah dengan ketidakmampuan dalam mengelola status air, maka pertanian pada lahan gambut tidak direkomendasikan sebagai mata pencaharian yang utama. Sebagai solusinya, sistem pertanian terpadu (termasuk akuakultur, misalnya pada musim banjir) perlu untuk dikembangkan.

Indonesia Climate Change Center (ICCC) sendiri melalui Peatland and Peatland Mapping Cluster bekerjasama dengan ahli gambut, universitas dan lembaga terkait tengah melakukan kajian berjudul Sustainable Peatland Management Across Sectors. Kajian ini akan menghasilkan rekomendasi manajemen lahan gambut berkelanjutan antar sektor yang meliputi kehutanan, perkebunan, dan pertanian. Melalui studi ini, ICCC membuat beberapa rekomendasi:

• Meminimumkan kegiatan yang bersifat merusak pada lahan gambut;

• Sinkronisasi peraturan perundangan biofisik yang terkait dengan pemanfaatan dan konservasi termasuk pemerataan kesempatan akses terhadap lahan gambut guna mendukung kesejahteraan masyarakat;

• Diperlukan pembaharuan pemetaan gambut agar mampu menyediakan informasi minimum untuk pengelolaan gambut yang berbasis hidrotopografi. Inisiatif pemetaan nasional menuju 1:50,000 belum mampu mengakomodasi kebutuhan ini;

• Diperlukan inisiatif restorasi hidrologi kawasan kubah gambut serta kombinasi sistem pertanian dengan mulai mengintroduksi jenis komoditas yang toleran terhadap genangan pada zona yang harus dikembalikan fungsi alaminya;

• Potensi kebakaran dan dampaknya terhadap ekonomi regional dan kesehatan perlu menjadi acuan pokok dalam perimbangan perlindungan dan pemanfaatan lahan gambut;

• Menghindari pembuatan kanal di kawasan gambut, karena kanalisasi gambut akan membuat gambut lebih rentan terhadap kerusakan akibat intrusi air laut;

• Berbagai bentuk kegiatan ekonomi melalui pertanian tradisional tanpa drainase perlu mendapat insentif dan dukungan pemerintah termasuk diversifikasi mata pencaharian tanpa drainase perlu dikembangkan, termasuk berbagai bentuk kegiatan ekonomi off farm guna mengalihkan tekanan terhadap drainase lahan gambut pada kawasan konservasi. (Eli Nur Nirmala Sari)

Tantangan dalam Pengelolaan Lahan Gambut

Edisi 5 - Juni 2014

L