Inflamasi Non Infeksi SGD

38
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sistem integumen merupakan bagian sistem organ yang terbesar yang mencakup kulit, rambut, kuku, kelenjar keringat dan produknya (keringat atau lendir). Kata ini berasal dari bahasa Latin "integumentum", yang berarti "penutup". Sistem integumen berperan dalam homeostasis, proteksi, pengaturan suhu, reseptor, sintesis biokimia dan penyerapan zat. Tubuh manusia mempunyai berbagai cara untuk melakukan proteksi. Pertahanan pertama adalah barier mekanik, seperti kulit yang menutupi permukaan tubuh.1 Kulit termasuk lapisan epidermis, stratum korneum, keratinosit dan lapisan basal bersifat sebagai barier yang penting, mencegah mikroorganisme dan agen perusak potensial lain masuk ke dalam jaringan yang lebih dalam. Misalnya asam laktat dan substansi lain dalam

description

integument

Transcript of Inflamasi Non Infeksi SGD

Page 1: Inflamasi Non Infeksi SGD

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sistem integumen merupakan bagian sistem organ yang terbesar yang

mencakup kulit, rambut, kuku, kelenjar keringat dan produknya (keringat atau

lendir). Kata ini berasal dari bahasa Latin "integumentum", yang berarti "penutup".

Sistem integumen berperan dalam homeostasis, proteksi, pengaturan suhu, reseptor,

sintesis biokimia dan penyerapan zat.

Tubuh manusia mempunyai berbagai cara untuk melakukan proteksi.

Pertahanan pertama adalah barier mekanik, seperti kulit yang menutupi permukaan

tubuh.1 Kulit termasuk lapisan epidermis, stratum korneum, keratinosit dan lapisan

basal bersifat  sebagai barier yang penting, mencegah mikroorganisme dan agen

perusak potensial lain masuk ke dalam jaringan yang lebih dalam. Misalnya asam

laktat dan substansi lain dalam keringat mengatur pH permukaan epidermis dalam

suasana asam yang membantu mencegah kolonisasi oleh bakteri dan organisme

lain.

Pada beberapa kasus kelainan kulit dapat merupakan tanda penting penyebab

infeksi yang merupakan indikator bermakna adanya infeksi yang mendasarinya.

Walaupun kebanyakan penyakit eksantem bersifat ringan, diagnosis banding

penting sekali oleh karena beberapa infeksi yang fatal sering mempunyai kelainan

(tanda) pada kulit sebagai manifestasi awal. Dermis dengan kolagen dan elastin

Page 2: Inflamasi Non Infeksi SGD

2

memberikan dukungan dan pencegahan banyak elemen seperti saraf, pembuluh

darah, dan lain-lain sedangkan subkutis merupakan insolator panas dan persediaan

kalori.

B. Tujuan

1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui jenis-jenis inflamasi non infeksi.

2. Tujuan Khusus

a. Untuk mengetahui etiologi penyakit inflamasi non infeksi.

b. Untuk mengetahui epidemiologi penyakit inflamasi non infeksi

c. Untuk mengetahui histopatologi penyakit inflamasi non infeksi

d. Untuk mengetahui patofisiologi penyakit inflamasi non infeksi

e. Untuk mengetahui gejala klinik penyakit inflamasi non infeksi

f. Untuk mengetahui laboratorium penunjang penyakit inflamasi non infeksi

g. Untuk mengetahui proses keperawatan penyakit inflamasi non infeksi

Page 3: Inflamasi Non Infeksi SGD

3

BAB II

TINJAUAN TEORI

A. Dermatitis

1. Definisi

Dermatitis adalah peradangan kulit ( epidermis dan dermis ) sebagai respon

terhadap pengaruh faktor eksogen atau pengaruh faktor endogen, menimbulkan

kelainan klinis berupa efloresensi polimorfik dan keluhan gatal (Djuanda,

2007).

Dermatitis adalah peradangan pada kulit ( inflamasi pada kulit ) yang

disertai dengan pengelupasan kulit ari dan pembentukkan sisik ( Brunner &

Suddart, 2000 ).

2. Etiologi

Penyebab dermatitis belum diketahui secara pasti. Sebagian besar

merupakan respon kulit terhadap agen-agen misalnya zat kimia, bakteri dan

fungi selain itu alergi makanan juga bisa menyebabkan dermatitis. Respon

tersebut dapat berhubungan dengan alergi (Arief Mansjoer, 2000).

Penyebab Dermatitis secara umum dapat dibedakan menjadi 2 yaitu :

a) Eksogen misalnya bahan kimia dan mikroorganisme.

b) Endogen misalnya dermatitis atopik.

Page 4: Inflamasi Non Infeksi SGD

4

3. Patofisiologi

Dermatitis merupakan peradangan pada kulit, baik pada bagian dermis

ataupun epidermis yang disebabkan oleh beberapa zat alergen ataupun zat

iritan. Zat tersebut masuk kedalam kulit yang kemudian menyebabkan

hipersensitifitas pada kulit yang terkena tersebut. Masa inkubasi sesudah terjadi

sensitisasi permulaan terhadap suatu antigen adalah 5-12 hari, sedangkan masa

reaksi setelah terkena yang berikutnya adalah 12-48 jam. Bahan iritan ataupun

allergen yang masuk ke dalam kulit merusak lapisan tanduk, denaturasi keratin,

menyingkirkan lemak lapisan tanduk, dan mengubah daya ikat air kulit.

Keadaan ini akan merusak sel dermis maupun sel epidermis sehingga

menimbulkan kelainan kulit atau dermatitis.

Adapun faktor-faktor yang ikut mendorong perkembangan dermatitis

adalah gesekan, tekanan, balutan, macerasi, panas dan dingin, tempat dan luas

daerah yang terkena dan adanya penyakit kulit lain.

4. Gejala Klinik

Secara umum manifestasi klinis dari dermatitis yaitu secara subyektif ada

tanda–tanda radang akut terutama pruritus ( sebagai pengganti dolor). Selain itu

terdapat pula kenaikan suhu (kalor), kemerahan (rubor), edema atau

pembengkakan dan gangguan fungsi kulit. Sedangkan secara obyektif, biasanya

batas kelainan tidak tegas dan terdapat lesi polimorfi yang dapat timbul secara

serentak atau beturut-turut.

Page 5: Inflamasi Non Infeksi SGD

5

a. Dermatitis Kontak.

Gatal-gatal, rasa tidak enak karena kering, kulit berwarna coklat dan

menebal.

b. Dermatitis Atopik.

Gatal-gatal, muncul pada beberapa bulan pertama setelah bayi lahir, yang

mengenai wajah, daerah yang tertutup popok, tangan, lengan dan kaki.

5. Laboratorium Penunjang

Alergi kontak dapat dibuktikan dengan tes in vivo dan tes in vitro. Tes in

vivo dapat dilakukan dengan uji tempel. Berdasarkan tehnik pelaksanaannya

dibagi tiga jenis tes tempel yaitu :

a. Tes Tempel Terbuka

Pada uji terbuka bahan yang dicurigai ditempelkan pada daerah belakang

telinga karena daerah tersebut sukar dihapus selama 24 jam. Setelah itu

dibaca dan dievaluasi hasilnya. Indikasi uji tempel terbuka adalah alergen

yang menguap.

b. Tes Tempel Tertutup

Untuk uji tertutup diperlukan Unit Uji Tempel yang berbentuk semacam

plester yang pada bagian tengahnya terdapat lokasi dimana bahan tersebut

diletakkan. Bahan yang dicurigai ditempelkan dipunggung atau lengan atas

penderita selama 48 jam setelah itu hasilnya dievaluasi.

Page 6: Inflamasi Non Infeksi SGD

6

c. Tes tempel dengan Sinar

Uji tempel sinar dilakukan untuk bahan-bahan yang bersifat sebagai

fotosensitisir yaitu bahan-bahan yang bersifat sebagai fotosensitisir yaitu

bahan yang dengan sinar ultra violet baru akan bersifat sebagai alergen.

Tehnik sama dengan uji tempel tertutup, hanya dilakukan secara duplo. Dua

baris dimana satu baris bersifat sebagai kontrol. Setelah 24 jam ditempelkan

pada kulit salah satu baris dibuka dan disinari dengan sinar ultraviolet dan

24 jam berikutnya dievaluasi hasilnya.

6. Proses Keperawatan

a. Pengkajian

1) Kaji faktor penyebab terjadinya gangguan kulit.

2) Kaji pengetahuan orang tua tentang faktor penyebab dan metode kontak.

3) Kaji adanya pruritas dan burning.

4) Kaji peningkatan stress yang diketahui pasien.

5) Kaji tanda-tanda infeksi.

6) Riwayat infeksi yang berulang-ulang.

7) Kaji faktor yang memperparah.

8) Pada reaksi ringan kulit terlihat merah dan terdapat vesicle.

9) Pada reaksi berat terdapat ulceration.

Page 7: Inflamasi Non Infeksi SGD

7

b. Diagnosa Keperawatan

1) Gangguan integritas kulit berhubungan dengan kekeringan pada kulit

2) Resiko kerusakan kulit berhubungan dengan terpapar allergen

3) Perubahan rasa nyaman berhubungan dengan pruritus

B. Miliaria

1. Definisi

Miliaria adalah suatu keadaan tertutupnya pori-pori keringat sehingga

menimbulkan retensi keringat di dalam kulit. Berdasarkan lokasinya, miliaria

terbagi dalam beberapa tipe :

a. Miliaria kristalina, sumbatan berada di dalam stratum korneum.

b. Miliaria rubra, sumbatan terletak di dalam epidermis.

c. Miliaria profunda, sumbatan ada di dalam dermo-epidermal junction.

Pada semua tipe, pecahnya saluran keringat di bawah sumbatan akan

menghasilkan retensi, yang mengakibatkan gatal, papula, papula vesikula dan

eritematus.

2. Etiologi

Biang keringat terjadi karena penyumbatan kelenjar atau saluran keringat

oleh daki, debu, dan kosmetik. Tidak ada penyebab genetik. Biang keringat

biasanya menyerang orang yang tinggal di daerah tropis, yang kelembapannya

terlalu tinggi. Bintik merah biasanya terjadi pada daerah kulit yang banyak

berkeringat, seperti dahi, leher, punggung, dan dada. Biang keringat disebabkan

Page 8: Inflamasi Non Infeksi SGD

8

oleh panas dan kelembapan yang tinggi pada lapisan atas kulit. Ada beberapa

faktor yang menyebabkan keringat keluar berlebihan dan tersumbatnya saluran

keringat, yaitu udara panas dan lembap disertai ventilasi ruangan yang kurang

baik, pakaian terlalu tebal, dan ketat, aktivitas yang berlebihan.

3. Epidemiologi

Miliaria rubra banyak terjadi di daerah panas kelembaban yang tinggi, tetapi

dapat juga terjadi di daerah lain. Sekitar 30% orang yang tinggal di daearah

tersebut bisa mengalami miliaria. Sebenarnya semua bayi dapat mengalami

miliaria pada kondisi yang ada. Anak-anak lebih banyak mengalami miliaria di

bandingkan orang dewasa. Ini rupanya menggambarkan bahwa bertambahnya

kekuatan struktur saluran keringat sesuai bertambahnya umur, tidak ada

perbedaan antara laki-laki dan perempuan.

4. Patofisologi

Rangsangan utama bagi pengembangan Miliaria adalah kondisi

kelembaban panas yang tinggi dan menyebabkan berkeringat berlebihan.

Terjadi occlusion kulit karena pakaian, perban, atau lembaran plastik (dalam

pengaturan percobaan) selanjutnya dapat berkontribusi untuk pengumpulan

keringat pada permukaan kulit dan lapisan overhydration dari corneum. Orang

yang rentan, termasuk bayi, yang relatif belum matang eccrine kelenjar,

overhydration dari stratum corneum dianggap cukup untuk menyebabkan

penyumbatan sementara dari acrosyringium.

Page 9: Inflamasi Non Infeksi SGD

9

Jika kondisi lembab panas bertahan, individu terus memproduksi keringat

berlebihan, tetapi tidak dapat mengeluarkan keringat ke permukaan kulit karena

penyumbatan duktus. Sumbatan ini menyebabkan kebocoran keringat ke

permukaan kulit, baik di dalam dermis atau epidermis, dengan relatif

anhidrosis.

Ketika titik kebocoran di lapisan corneum atau hanya di bawahnya, seperti

dalam Miliaria crystallina, sedikit adanya peradangan, dan lesi tidak

menunjukkan gejala. Sebaliknya, di Miliaria rubra, kebocoran keringat ke

lapisan subcorneal menghasilkan spongiotic vesikula dan sel inflamasi kronis

periductal menyusup pada papiler dermis dan epidermis bawah. Dalam Miliaria

profunda, terbentuknya dari keringat ke dermis papiler menghasilkan

substansial, masuk kedalam periductal limfositik spongiosis dari saluran intra-

epidermis.

Residen bakteri kulit, seperti Staphylococcus epidermidis dan

Staphylococcus aureus, diperkirakan memainkan peran dalam patogenesis

Miliaria. Pasien dengan Miliaria telah 3 kali lebih banyak bakteri per satuan

luas kulit sebagai subyek kontrol sehat. Agen antimikroba efektif dalam

menekan Miliaria akibat eksperimental. Acid-Schiff berkala-positif bahan tahan

diastase telah ditemukan di plug intraductal yang konsisten dengan substansi

polisakarida ekstraselular stafilokokal (EPS). Dalam pengaturan percobaan,

hanya S epidermidis galur yang menghasilkan EPS dapat menimbulkan

Miliaria.

Page 10: Inflamasi Non Infeksi SGD

10

Pada akhir tahap Miliaria, hyperkeratosis dan parakeratosis dari

acrosyringium diamati. Sebuah plug hyperkeratotic mungkin muncul untuk

menghalangi eccrine saluran, tetapi sekarang ini diyakini menjadi terlambat

perubahan dan bukan penyebab menimbulkan penyumbatan keringat.

5. Gejala Klinis

a. Miliaria kristalina

Pada penyakit ini terlihat vesikel berukuran 1-2 mm terutama pada badan

setelah banyak berkeringat, misalnya karena hawa panas. Vesikel

bergerembol tanpa tanda radang pada bagian badan yang tertutup pakaian.

Umumnya tidak memberi keluhan dan sembuh dengan sisik yang halus.

Pada gambaran histopatologik terlihat gelembung intra/subkorneal.

b. Miliaria rubra

Penyakit ini lebih berat dari pada miliaria kristaliana, terdapat pada badan

dan tempat-tempat tekanan atau gesekan pakaian. Terlihat papul merah atau

papul vesikular ekstravesikular yang sangat gatal dan pedih. Miliaria jenis

ini terdapat pada orang yang tidak biasa pada daerah tropic.

c. Miliaria profunda

Bentuk ini agak jarang kecuali di daerah tropis. Kelainan ini biasa timbul

setelah miliaria rubra, ditandai dengan papul putih, keras berukuran 1-3

mm. Terutama terdapat di badan dan ekstremitas. Karena letak retensi

keringat lebih dalam maka secara klinis labih banyak berupa papul dari

pada vesikel. Tidak gatal dan tidak terdapat eritema. Pada gambaran

Page 11: Inflamasi Non Infeksi SGD

11

histologik tampak saluran kelenjar keringat yang pecah pada dermis bagian

atas dengan atau tanpa infiltrasi sel radang.

6. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan Laboratorium

a. Miliaria secara klinis berbeda, karena itu, beberapa tes laboratorium

diperlukan.

b. Dalam Miliaria crystallina, pemeriksaan sitologi vesikuler gagal untuk

mengungkapkan isi sel atau multinuklear peradangan sel raksasa (seperti

yang diharapkan pada vesikula herpes).

c. Dalam Miliaria pustulosa, pemeriksaan sitologi dari pustula

mengungkapkan isi sel-sel inflamasi.

1) Tidak seperti eritema toxicum neonatorum, eosinofil tidak menonjol.

2) Pewarnaan Gram.

7. Penatalaksanaan

a. Mendorong terjadinya penhuapan keringat

b. Melaksanakan pola hidup sehat dengan cara menjaga kebersihan rumah,

mamndikan anak secara teratur dua kali sehari, gantilah baju anak ketika

terlihat basah oleh keringat

c. Hindari keadaan yang dapat membuat anak berkeringat berlebihan

d. Hindari mandi air hangat

e. Taburkan bedak disekujur tubuh setelah mandi

Page 12: Inflamasi Non Infeksi SGD

12

C. Erupsi Obat

1. Definisi

Erupsi obat alergik atau allergic drug eruption ialah reaksi alergik pada

kulit atau daerah mukokutan yang terjadi sebagai akibat pemberian obat yang

biasanya sistemik.

Erupsi obat alergik (EOA) merupakan reaksi hipersensitivitas yang

ditandai oleh satu atau lebih makula yang berbatas jelas, berbentuk bulat atau

oval dengan ukuran lesi bervariasidari beberapa milimeter sampai beberapa

sentimeter. Gambaran yang khas dari EOA adalah kecenderungannya untuk

berulang di tempat lesi yang sama bila terpapar kembali dengan obat yang sama

2. Etiologi

Jenis obat penyebab alergi sangat bervariasi dan berbeda menurut waktu,

tempat dan jenis penelitian yang dilaporkan. Tingginya angka kejadian alergi

obat tampak berhubungan erat dengan kekerapan pemakaian obat tersebut.

Diduga risiko terjadinya reaksi alergi sekitar 1 – 3% terhadap sebagian besar

jenis obat. Pada umumnya laporan tentang obat tersering penyebab alergi

adalah golongan penisilin, sulfa, salisilat dan pirazolon. Obat lain yang sering

pula dilaporkan adalah analgetik lain (asam mefenamat), antikonvulsan

(dilantin, mesantoin, tridion), sedatif (terutama luminal) dan trankuilizer

(fenotiazin, fenergan, klorpromazin, meprobamat). Tetapi, alergi obat dengan

gejala klinis berat paling sering dihubungkan dengan penisilin dan sulfa.

Page 13: Inflamasi Non Infeksi SGD

13

3. Epidemiologi

Belum didapatkan angka kejadian yang tepat terhadap kasus erupsi alergi

obat, tetapi berdasarkan data yang berasal dari rumah sakit, studi epidemiologi,

uji klinis terapeutik obat dan laporan dari dokter diperkirakan kejadian alergi

obat adalah 2% dari total pemakaian obat – obatan atau sebesar 15 – 20% dari

keseluruhan efek samping pemakaian obat – obatan.

4. Patofisiologi

Mekanisme terjadinya erupsi alergi obat dapat terjadi secara non

imunologik dan imunologik (alergik), tetapi sebagian besar merupakan reaksi

imunologik. Pada mekanisme imunologik, erupsi alergi obat terjadi pada

pemberian obat kepada pasien yang sudah tersensitasi dengan obat tersebut.

Obat dengan berat molekul yang rendah awalnya berperan sebagai antigen yang

tidak lengkap (hapten). Obat atau metabolitnya yang berupa hapten ini harus

berkonjugasi dahulu dengan protein, misalnya jaringan, serum atau protein dari

membran sel untuk membentuk antigen yaitu kompleks hapten protein. Obat

dengan berat molekul yang tinggi dapat berfungsi langsung sebagai antigen

lengkap. Sehingga mengakibatkan terjadinya erupsi obat.

5. Gejala klinis

a. Bercak kemerahan akibat barbiturate mungkin terdapat pada telapak tangan

dan kaki

b. Biasanya berupa eritema atau morbiliform, kadang – kadang disertai dengan

demam, limfadenopati dan nyeri pada mulut.

Page 14: Inflamasi Non Infeksi SGD

14

6. Laboratorium penunjang

a. Pemeriksaan in vivo

b. Pemeriksaan in vitro

7. Pengobatan

a. Pengobatan kausal

Dilaksanakan dengan menghindari obat yang membuat alergi. Dianjurkan

pula untuk menghindari obat yang mempunyai struktur kimia dengan obat

satu golongan.

b. Pengobatan simtomatik

1) Pada reaksi tipe I

Bila terjadi syok dapat diberikan epineprin 1 : 1000 sebanyak 0,3-0,5

ml secara subkutan atau intravena. Antihistamin dan kortikosteroid

dapat diberikan, tetapi bukan pengobatan penanganan pertama.

Umumnya reaksi dapat diatasi dalam 15-20 menit.

2) Pada reaksi tipe lain

Penghentian penggunaan obat yang membuat alergi umumnya cukup

memberikan hasil yang baik. Sesuai dengan berat ringannya reaksi,

pemberian kortikosteroid dan antihistamin dapat dipertimbangkan.

Page 15: Inflamasi Non Infeksi SGD

15

D. Eritroskuamosa

1. Definisi

Eritroderma adalah kelainan kulit yang ditandai dengan adanya eritema di

seluruh tubuh atau hamper seluruh tubuh, biasanya disertai skuama.

Eritroderma adalah kemerahan yang abnormal pada kulit yang menyebar luas

ke daerah-daerah tubuh (Kamus Saku Kedokteran, Dorland).

2. Etiologi

Penyebab yang umum adalah faktor-faktor genetik, akibat pengobatan

dengan medikamentosa tertentu dan infeksi. Penyakit ini bisa juga merupakan

akibat lanjut (sekunder) dari psoriasis, eksema, dermatitis seboroik, dermatitis

kontak, dermatitis atopik, pitiriasis rubra pilaris, dan limfoma maligna.

3. Histologi

a. Eritroma akibat alergi obat secara sistematik

Banyak obat yang bisa menyebabkan alergi, tetapi yang sering adalah

penisilin dan derivatnya (ampisilin, amoxilin, kloksasilin), sulfonamid,

golongan analgesik antipiretik (misalnya asam salisilat, metamisol,

parasetamol, fenibutason, piramidon) dan tetrasiklin. Alergi obat-obatan

bisa memaparkan eosinofil diantara infiltrate eosinofil, Mikosis fungoides

atau sezary syndrome bisa membentuk gambaran infiltrate seperti

monotonous band yang terdiri dari sel mononuclear-cerebriform yang besar,

sepanjang dermoepidermal junction atau sekitar pembuluh darah di dalam

Page 16: Inflamasi Non Infeksi SGD

16

dermis papillary, epidermitropism tanpa spongiosis dan mikroabses pautrier

tanpa epidermis.

b. Eritroderma akibat perluasan penyakit kulit

Penyakit kulit yang bisa meluas menjadi eritroderma misalnya psoriasis,

pemfigus follasius, dermatitis atopik, pitiriasis rubra pilaris, liken planus,

dermatitis seboroik pada bayi.

c. Eritroderma akibat penyakit sistemik termasuk keganasan

Berbagai penyakit atau kelainan alat dalam termasuk keganasan dan

infeksi fokal alat dalamd. Idiopatik. Specimen histologik tidak spesifik

walau bagaimanapun, ulangan biopsy bisa menunjukan bukti dari mikosis

fungiodes .

4. Patofisiologi

Pada eritroderma terjadi eritema dan skuama. Mekanisme terjadinya alergi

obat seperti terjadi secara non imunologik dan imunologik (alergik), tetapi

sebagian besar merupakan reaksi imunologik. Pada mekanisme imunologik,

alergi obat terjadi pada pemberian obat pada pasien yang sudah tersensitasi

dengan obat tersebut. Obat dengan berat molekul yang rendah aalnya berperan

sebagai antigen yang tidak lengkap (hapten). Obat atau metaboliknya yang

berupa hapten ini harus berkojugasi dahulu dengan protein, serum atau protein

dari membrane sel untuk membentuk antigen obat dengan berat molekul yang

tinggi dapat berfungsi langsung sebagai antigen lengkap.

Page 17: Inflamasi Non Infeksi SGD

17

5. Manifestasi Klinis

Keadaan ini mulai terjadi secara akut sebagai erupsi terjadi bercak-bercak

atau eritematous yang menyeluruh disertai gejala panas, rasa tidak enak badan

dan kadang-kadang gejala gastrointestinal. Warna kulit berubah dari merah

muda menjadi merah gelap. Sesudah satu minggu dimulai gejala eksfoliasi

(pembentukan skuama) yang khas dan biasanya dalam bentuk serpihan kulit

yang halus yang meninggalkan kulit yang licin serta berwarna merah

dibawahnya. Gejala ini disertai dengan pembentukan sisik yang baru ketika

sisik yang lama terlepas. Kerontokan rambut dapat menyertai kelainan ini

eksaserbasi sering terjadi. Efek sistemiknya mencakup gagal jantung kongestif

high-output, gangguan intestinal, pembesaran payudara, kenaikan kadar asam

urat dalam darah (hiperurisemia) dan gangguan temperature.

6. Laboratorium Penunjang

Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan eusinofilia pada dermatitis

exfoliativa oleh karena dermatitis atopik. Gambaran lainnya adalah sedimen

yang meningkat, turunnya albumin serum dan globulin serum yang relatif

meningkat, serta tanda disfungsi kegagalan jantung dan intestinal.

7. Proses Keperawatan

a. Pengkajian

Pengkajian keperawatan berkelanjutan dilaksanakan untuk mendeteksi

infeksi. Kulit yang mengalami desrupsi eritematosa basah amat rentan

terhadap infeksi dan dapat menjadi tempat kolonisasi organisasi pathogen

Page 18: Inflamasi Non Infeksi SGD

18

yang amat memperberat inflamasi. Antibiotik yang diresepkan dokter jika

terdapat infeksi dipilih berdasarkan hasil kultur dan tes sensitifitas. Pasien

diobservasi untuk memantau tanda-tanda dan gejala gagal jantung kongestif

karena hiperenia serta peningkatan aliran darah kulit dapat menimbulkan

gagal jantung yang dapat menyebabkan high-output. Hipotermia dapat pula

terjadi karena peningkatan aliran darah dalam kulit yang ditambah lagi

dengan kehilangan air lewat kulit sehingga terjadi kehilangan panas lewat

radiasi, konduksi dan evaporasi. Perubahan pada tanda-tanda vital harus

dipantau dengan ketat dan dilaporkan. Sebagaimana setiap dermatitis yang

akut, terapi topikal digunakan untuk meredakan gejala (terapi simtomatik).

Rendaman yang meringankan gejala kompres dan pelemasan kulit dengn

preparat emolien dipakai untuk mengobati dermatitis yang kuat. Pasien

cenderung menjadi sangat mudah tersinggung karena rasa gatalnya yang

hebat. Preparat kortikosterid oral atau parenteral dapat diresepkan kalau

penyakit tersebut tidak terkendali oleh terapi yang lebih konservatif. Setelah

penyebabnya yang spesifik, terapi yang diberikan dapat lebih spesifik.

Pasien dinasehati untuk menghindari semua iritan demasa mendatang,

khususnya obat-obatan (Brunner & Suddart).

Page 19: Inflamasi Non Infeksi SGD

19

b. Diagnosa Keperawatan

1) Gangguan keseimbangan cairan berhubungan dengan kehilangan cairan

berlebihan transdermal dan edema.

2) Gangguan integritas kulit berhubungan dengan kulit kering bersisik.

3) Gangguan body image berhubungan dengan perubahan pigmen kulit.

4) Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan postula dan krusta.

E. Urtikaria

1. Definisi

Urtikaria akut adalah suatu reaksi vaskular dari kulit berwarna merah atau

keputihan akibat edema interseluler lokal yang terbatas pada kulit dan mukosa.

Urtikaria akut merupakan kondisi yang sering mendorong pasien untuk mencari

pengobatan di gawat darurat.

Urtikaria akut didefinisikan apabila berlangsung beberapa jam sampai 6

minggu tergantung pada etiologi. Jika urtikaria ini terus menerus sampai waktu

6 minggu, keadaan ini didefinisikan sebagai urtikaria kronis.

2. Etiologi

Penyebab pasti belum jelas, tetapi 40-50 % kasus urtikaria akut dapat

diketahui penyebabnya. Penyebab yang diidentifikasi sebagai infeksi saluran

pernafasan atas adalah 39,5 % dari total kasus, analgesik 9 %, dan intoleransi

makanan 0,9 %. Urtikaria terkaitan dengan adanya ganggian autoimun atau

keganasan dapat menjadi kondisi urtikaria kronis.

Page 20: Inflamasi Non Infeksi SGD

20

3. Epidemiologi

Urtikaria sering dijumpai pada semua umur, orang dewasa lebih banyak

mengalami urtikaria dibandingkan dengan usia muda. Sheldon (1951),

menyatakan bahwa umur rata-rata penderita urtikaria ialah 35 tahun, jarang

dijumpai pada umur kurang dari 10 tahun atau lebih dari 60 tahun. Ditemukan

40 % bentuk urtikaria saja, 49 % bentuk urtikaria bersama dengan angiodema,

dan 11 % bentuk angiodema saja. Lama serangan bervariasi.

4. Patofisiologi

Pelepasan histamin dan senyawa lain oleh sel mast dan basofil

menyebabkan munculnya urtikaria. Dengan mediasi suatu imun yang mengikat

IgE untuk mengaktifkan sel mast. Aktivasi sel mast dari reseptor FcERI

menyebabkan suatu degranulasi vesikel intraselular yang mengandung histamin.

Histamin ini akan memberikan manifestasi pelepasan kemokin sehingga

terjadinya ekstravasasi cairan ke dermis (edema).

Aktivasi reseptor histamin H1 pada sel otot polos dan sel endotel

menyebabkan kontraksi selular dan peningkatan permeabilitas pembuluh darah.

Aktivasi reseptor histamin H2 menyebabkan vasodilatasi. Urtikaria adalah pola

reaksi yang mencerminkan aktivasi sel mast dan basofil. Mekanisme yang tepat

dari suatu aksi yang mengakibatkan pelepasan intraseluler sel mast dan basofil

sangat bervariasi dan dapat terjadi melalui mekanisme mediasi imun atau non

imun.

Page 21: Inflamasi Non Infeksi SGD

21

5. Manifestasi Klinis

Keluhan subyektif biasanya gatal, rasa terbakar atau tertusuk. Klinis tampak

eritema dan edema setempat berbatas tegas, kadang-kadang bagian tengah

tampak lebih pucat.

6. Laboratorium Penunjang

a. Pemeriksaan darah, urin, dan feses rutin

b. Pemeriksaan gigi, THT

c. Pemeriksaan kadar IgE, eosinofil, dan

komplemen

d. Tes kulit

e. Tes eliminasi makanan

f. Pemeriksaan histopatologik

g. Tes foto tempel

h. Tes dengan es

i. Tes dengan air hangat

7. Proses Keperawatan

a. Pengkajian

1) Anamnesis

Keluhan subjektif biasanya rasa gatal, rasa terbakar atau tertusuk.

Penting untuk dikaji adalah paparan akut baik berupa pemakaian obat-

obatan atau suatu kontak langsung dengan kulit yang bisa meningkatkan

aktivitas dari sel mast.

Page 22: Inflamasi Non Infeksi SGD

22

2) Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaan fisik klinis tampak eritema dan edema setempat yang

berbatas tegas, kadang bagian tengah tampak lebih pucat.

b. Diagnosa Keperawatan

1) Resiko tinggi syok anafilatik b/d respon

inflamasi, alergi sistemik

2) Gangguan pola tidur b/d gatal, lesi, dan

reaksi inflamasi lokal

3) Kebutuhan pengetahuan b/d

ketidaktahuan program perawatan dan pengobatan

F. Acne

1. Definisi

Acne vulgaris adalah penyakit peradangan menahun folikel pilosebasea

yang umunya terjadi pada masa remaja dan dapat sembuh dengan sendirinya.

Acne vulgaris adalah penyakit radang menahun dari aparatus pilosebasea,

lesi paling sering dijumpai pada wajah, dada, dan punggung. Kelenjar yang

meradang dapat membentuk papul kecil berwarna merah muda, yang kadang

kala mengelilingi komedo sehingga tampak hitam pada bagian tengahnya.

2. Epidemiologi

Page 23: Inflamasi Non Infeksi SGD

23

Karena hampir setiap orang pernah menderita penyakit ini, maka sering

dianggap sebagai kelainan kulit yang timbul secara fisiologis. Baru pada masa

remajalah akne vulgaris menjadi salah satu problem. Umumnya insiden terjadi

pada umur 14-17 tahun pada wanita, 16-19 tahun pada pria dan pada masa itu

lesi yang paling dominan adalah komedo dan papul dan jarang terlihat lesi

beradang. Diketahui bahwa pada ras Oriental (Jepang, Cina, Korea) lebih jarang

menderita akne vulgaris.

3. Etiologi

a. Faktor genetik

b. Faktor ras

c. Hormonal

d. Diet

e. Iklim

f. Lingkungan

g. Stres

4. Patofisiologi

Mekanisme yang tepat dari proses akne tidak sepenuhnya dipahami, namun

diketahui oleh sebum berlebih, hiperkeratinisasi folikel, stres oksidatif dan

peradangan. Androgen, mikroba dan pengaruh patogenetik juga bekerja dalam

proses terjadinya akne.

Lesi akne vulgaris tumbuh dalam folikel sebasea besar dan multilobus yang

mengeluarkan produknya ke dalam slauran folikel. Lesi permukaan akne adalah

Page 24: Inflamasi Non Infeksi SGD

24

komedo, yang merupakan kantong folikel yang berdilatasi berisi materi

keratinosa berlapis, lipid, dan bakteri.

5. Manifestasi Klinis

Akne vulgaris ditandai dengan empat tipe dasar yaitu :

a. Komedo terbuka dan tertutup

b. Papula

c. Pustula

d. Lesi Nodulokistik

6. Pengobatan

a. Pengobatan Topikal

Dilakukan untuk mencegah pembentukan komedo, menekan peradangan,

dan mempercepat penyembuhan lesi.

b. Pengobatan Sistemik

Pengobatan sistemik ditujukan terutama untuk menekan pertumbuhan jasad

renik di samping juga mengurangi reaksi radang, menekan produksi sebum,

dan mempengaruhi perkembangan hormonal.

Page 25: Inflamasi Non Infeksi SGD

25

DAFTAR PUSTAKA

Brunner & Suddarth. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Edisi 8 Vol. 3.

Jakarta : EGC

Doenges, Marilyn E. 2002. Rencana Asuhan Keperawatan Pedoman Untuk

Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Edisi III. Jakarta : EGC

Mansjoer, Arief. 1998. Kapita Selekta Kedokteran Edisi 3. Jakarta : EGC

Carpenito, Lynda Juall. 2000. Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Edisi 8. Penerbit :

EGC, Jakarta.