Industri Cpo Indonesia

11

Click here to load reader

Transcript of Industri Cpo Indonesia

Page 1: Industri Cpo Indonesia

MAKALAH

ANALISIS INDUSTRI CPO INDONESIA disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Perekonomian Indonesia

Disusun oleh :

Abida Muttaqiena 7450406003

JURUSAN EKONOMI PEMBANGUNAN

FAKULTAS EKONOMI

UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG

2009

Page 2: Industri Cpo Indonesia

BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Krisis keuangan global saat ini merupakan pukulan besar bagi perekonomian seluruh

negara di Dunia. Indonesia pun mengalami dampak krisis keuangan tersebut dengan

sempat anjloknya Indeks BEI sebesar 41% sehingga bursa juga harus ditutup selama

2 hari. Dampak lain dari krisis keuangan tersebut yakni akan melemahkan daya beli

masyarakat luar negeri, sehingga secara langsung akan berdampak pada kinerja

ekspor Indonesia, khususnya ekspor Indonesia ke AS yang mencapai 20 persen dari

total ekspor nasional.

Salah satu komoditas yang mengalami keterpurukan pasca krisis keuangan global

adalah CPO (Crude Palm Oil). Selama tahun 2007-2008, petani Kelapa Sawit

menikmati peningkatan kesejahteraan yang cukup tinggi, disebabkan karena

tingginya harga CPO di pasar global. Namun, pasca krisis keuangan global, harga

CPO turun drastis, padahal saat ini, industri kelapa sawit menjadi penyumbang devisa

terbesar kedua setelah sektor minyak dan gas, dan juga telah membuka empat juta

tenaga kerja.

B. Permasalahan

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka permasalahan yang akan dibahas dalam

makalah ini adalah bagaimana kondisi industri CPO di Indonesia saat ini ?

C. Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mendeskripsikan dan menganalisis

kondisi Industri CPO di Indonesia saat ini.

D. Manfaat Penulisan

Manfaat yang bisa didapat dari penulisan makalah ini adalah agar dapat menemukan

poin-poin penting yang dapat menjadi bahan pertimbangan pemilihan kebijakan

pemerintah di bidang industri CPO.

Page 3: Industri Cpo Indonesia

BAB 2

PEMBAHASAN

Kelapa sawit merupakan salah satu komoditas di Indonesia yang pertumbuhannya

paling pesat pada dua dekade terakhir. Pada era tahun 1980-an sampai dengan

pertengahan tahun 1990-an, industri kelapa sawit berkembang sangat pesat. Pada

periode tersebut, areal meningkat dengan laju sekitar 11% per tahun. Sejalan dengan

perluasan areal, produksi juga meningkat dengan laju 9.4% per tahun. Konsumsi

domestik dan ekspor juga meningkat pesat dengan laju masing-masing 10% dan 13%

per tahun. Pada awal tahun 2001 hingga 2004, luas areal kelapa sawit dan produksi

masing-masing tumbuh dengan laju 3.97% dan 7.25% per tahun, sedangkan ekspor

meningkat 13.05% per tahun (Direktorat Jenderal Bina Produksi Perkebunan, 2005).

Berkembangnya subsektor perkebunan kelapa sawit di Indonesia tidak lepas dari

adanya kebijakan pemerintah yang memberikan berbagai insentif, terutama

kemudahan dalam hal perijinan dan bantuan subsidi investasi untuk pembangunan

perkebunan rakyat dan pembukaan areal perkebunan besar swasta baru.

Gambar 1. Peta Persebaran Luas Lahan dan Produksi Kelapa Sawit (Sumber:

Departemen Perdagangan 2007)

Page 4: Industri Cpo Indonesia

Tahun 2007, industri kelapa sawit mengalami windfall profit. Rentang Januari-

Oktober 2007 nilai ekspor sawit mentah (CPO) membukukan angka USD 7,779

miliar, jauh melampaui nilai ekspor tahun 2006 yang hanya USD 4,7 miliar. Lonjakan

ini bukan karena kenaikan volume atau nilai tambah, tetapi didorong meroketnya

harga komoditas. Kenaikan harga komoditas terjadi seiring dengan kenaikan

permintaan kebutuhan Dunia dan meningkatnya penggunaan bahan bakar biodiesel.

Harga CPO terus meningkat hingga mencapai puncaknya pada bulan Maret 2008,

walaupun kemudian mengalami penurunan akibat krisis keuangan Global.

Gambar 2. Harga bulanan CPO Januari 2007-Januari 2009 (USD per ton) (dari berbagai sumber)

Penurunan harga CPO ini disebabkan keluarnya dana investasi dari bursa

komoditas pada saat krisis ekonomi. Selain disebabkan oleh keluarnya dana

tersebut, penurunan juga diakibatkan naiknya persediaan CPO di Malaysia dan

Indonesia serta berkurangnya impor kelapa sawit Cina dan India pada saat krisis

ekonomi. Padahal India dan Cina merupakan dua besar negara pengimpor CPO

Indonesia.

Page 5: Industri Cpo Indonesia

Gambar 3. Produksi dan Konsumsi CPO (USDA, Desember 2008)

Akan tetapi, walau pertumbuhan kelapa sawit demikian pesat, daya saing komoditas

(competitive advantages ) CPO Indonesia di pasar internasional masih lemah. Studi

oleh Simeh (2004) menempatkan CPO Indonesia menempati urutan ke delapan dari

sekitar 33 negara produsen minyak nabati. Padahal, biaya produksi CPO Indonesia

adalah paling rendah dan margin antara biaya produksi dengan harga CPO Indonesia

adalah paling tinggi di antara produsen minyak nabati, masing-masing US$ 165.2 per

ton dan US$ 277.8 per ton. Malaysia yang memiliki daya saing terkuat justru

memiliki biaya produksi yang lebih tinggi dan margin yang lebih rendah, masing-

masing US$ 239.4/ton dan US$ 203.6 per ton. Hal ini menunjukkan bahwa CPO

Indonesia masih memiliki peluang yang cukup lebar guna meningkatkan daya

saingnya. Dengan demikian, Indonesia hanya memiliki daya saing pada tingkat on-

farm (comparative advantages ), namun gagal diterjemahkan ke dalam keunggulan

kompetitif atau daya saing riil (Simeh, 2004; Susila, 2004; sebagaimana dikutip oleh

Goenadi, 2005).

Di lain pihak, lemahnya daya saing mengakibatkan harga CPO Indonesia sangat

dipengaruhi oleh harga CPO dunia. Ketika terjadi penurunan harga CPO dunia, harga

CPO Indonesia langsung ikut jatuh. Hal ini bisa dilihat dari data ekspor crude palm

Page 6: Industri Cpo Indonesia

oil (CPO) Indonesia bulan Januari sampai dengan April 2009 yang merosot tajam

hingga 44,6 persen dibandingkan periode yang sama 2008. Data Badan Pusat Statistik

(BPS) menunjukkan penurunan signifikan ini terjadi pada nilai ekspor. Sedangkan

untuk volume ekspor prosentasenya tetap naik. Nilai ekspor CPO Indonesia dalam

empat bulan pertama hanya mencapai US$ 2,87 miliar. Sementara pada periode yang

sama tahun lalu nilai ekspor CPO mencapai US$ 5,19 miliar. Menurut data BPS,

volume ekspor meningkat dari 5,34 juta ton untuk periode Januari-April 2008

menjadi 5,57 juta ton pada periode yang sama 2009 ini. Jadi, dari sisi volume terjadi

kenaikan 4,3 persen.

Namun, penurunan harga bukan satu-satunya masalah dalam produksi CPO saat ini.

Sebelumnya, pada bulan Januari 2009, ekspor CPO hanya 1,14 juta ton. Angka itu

lebih rendah dibanding Januari 2008 yang mencapai 1,19 juta ton (GAPKI, 2009).

Sehingga pada bulan Maret 2009, Pemerintah menetapkan Pungutan Ekspor CPO

0%. Departemen Perdagangan (Depdag) sudah menetapkan harga patokan ekspor

(HPE) CPO periode 1-31 Maret sebesar US$ 480 per ton. Karena HPE di bawah US$

550 per ton, maka Depdag mematok pungutan ekspor tetap 0%. Namun, ekspor CPO

hanya naik tipis 0,25 persen dengan volumenya hampir sama atau stabil antara Maret

dan April yaitu sekitar 1,47 juta ton.

Menurunnya ekpor CPO Indonesia ini, selain karena menurunnya permintaan CPO

dunia, juga disebabkan oleh labilnya produksi CPO. Pada periode Maret-April, para

petani kelapa sawit di Indonesia belum semuanya berproduksi. Produksi CPO sangat

tergantung dari musim dan kondisi alam, sehingga tidak bisa digenjot seperti produk

non-komoditas. Pada bulan Juli-September, barulah petani mulai memanen kelapa

sawitnya, sehingga para pengusaha sawit menilai penurunan ekspor ini wajar. Namun

seharusnya dapat disusun strategi penanaman yang berkelanjutan, sehingga produksi

CPO Indonesia dapat stabil.

Page 7: Industri Cpo Indonesia

Gambar 4. Peta masalah industri CPO Indonesia

Oleh karena itu, terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan untuk memperkuat

daya saing dan ketahanan CPO Indonesia, antara lain yaitu:

1) Kebutuhan riset untuk meningkatkan daya saing Industri Kelapa Sawit.

Ekspor CPO Indonesia ke Uni Eropa terganjal regulasi yang ditetapkan

oleh Uni Eropa mengenai batas penghematan efek rumah kaca yang disebabkan

dari bahan bakar fosil dan nabati. Uni Eropa mewajibkan angka ambang batas

sebesar 35 persen, sedangkan bahan bakar minyak sawit hanya mampu sekitar 16

persen. Syarat-syarat tersebut diajukan Uni Eropa untuk menjamin penghematan

efek rumah kaca bagi minyak fosil dan nabati, namun hal itu dapat menghambat

ekspor CPO Indonesia ke pasar Eropa yang potensial, karena Uni Eropa

merupakan pengimpor CPO Indonesia terbesar ketiga setelah India dan Cina.

Dalam era liberalisasi, akibat tuntutan konsumen yang semakin tinggi, serta

makin menggemanya isu lingkungan, maka peningkatan daya saing tidak bisa

terlepas dari dukungan riset/teknologi untuk merespon perubahan-perubahan, baik

di tingkat on farm maupun off farm.

Untuk on-farm , riset seyogyanya difokuskan pada perbaikan bahan

tanam, budidaya (pupuk, PHT, panen). Untuk bahan tanam, riset seyogyanya

Daya Saing CPO Indonesia menempati urutan ke delapan dari sekitar 33 negara produsen minyak nabati.

Padahal, biaya produksi CPO Indonesia adalah paling rendah dan margin

antara biaya produksi dengan harga CPO Indonesia adalah paling tinggi di

antara produsen minyak nabati

(Simeh, 2004)

Nilai ekspor CPO Indonesia pada Januari-April 2009 hanya US$ 2,87 miliar,

menurun 44,6 % dari periode yang sama tahun lalu saat nilai ekspor CPO mencapai US$ 5,19 miliar. Sedangkan, volume ekspor meningkat 4,3 % dari 5,34 juta ton untuk periode Januari-

April 2008 menjadi 5,57 juta ton pada periode yang sama 2009 ini.

Industri CPO Indonesia relatif labil dan sangat

mudah terpengaruhperubahan-perubahan

ekonomi Dunia.

Page 8: Industri Cpo Indonesia

difokuskan untuk memperoleh klon-klon unggul, tidak hanya unggul ada sifat

primer tetapi juga pada sifat sekundernya. Sifat primer yang unggul antara lain

tercermin dari beberapa indikator seperti produktivitas tinggi dan tahan terhadap

serangan hama penyakit. Di sisi lain, sifat sekunder yang sering memberi

premium harga/nilai tambah yang lebih besar antara lain tercermin dari sifat

produk yang baik untuk kesehatan dan cita rasa atau aroma yang sesuai dengan

permintaan pasar.

Pada off-farm, bidang-bidang riset yang masih terus dipacu adalah

teknologi pengolahan dan pengembangan produk untuk produk utama, produk

samping, produk turunan, dan limbah. Di samping meningkatkan daya saing dan

memperkokoh industri kelapa sawit nasional, keberhasilan riset di bidang ini akan

mempunyai multiplier effect yang besar, baik dari sisi output, lapangan kerja, dan

devisa. Studi oleh Said (2000) dan Susila (2004) sebagaimana dikutip oleh

Goenadi (2005), menyebutkan bahwa salah satu alasan kelapa sawit Malaysia

lebih kompetitif dengan Indonesia adalah keunggulan dalam downstream industri

yang mendapat perhatian ekstensif di bidang riset.

2) Dibutuhkan kejelasan dan ketegasan strategi pemerintah.

Salah satu ketidakjelasan strategi pemerintah adalah kebijakan pungutan

ekspor (PE). Per 3 September 2007, PE ditetapkan progresif, bergantung tinggi-

rendahnya harga CPO di pasar dunia. PE harga CPO di bawah USD 550 per ton

sebesar 0%; harga USD 550-USD 649 per ton 2,5%; harga USD 650-USD 749

per ton 5%; harga USD 750-USD 849 per ton sebesar 7,5%; dan harga sama atau

di atas USD 850 per ton sebesar 10%. Hal serupa berlaku untuk produk turunan,

seperti RBD olein, palm kernel oil, stearin, dan palm oil.

Tanpa disadari, besaran PE yang sama antara CPO dan produk turunan

ternyata bersifat disinsentif terhadap industri hilir. Penyetaraan tarif PE CPO dan

produk turunan telah menghilangkan gairah industri hilir berproduksi. Akibatnya,

saat pasar CPO sedang bagus, pemerintah kehilangan kesempatan menggenjot

ekspor karena produsen produk turunan justru menurunkan utilisasi pabriknya.

Page 9: Industri Cpo Indonesia

3) Kurangnya pengembangan industri hilir Kelapa Sawit

Berdasarkan data statistik periode 1975-2004, laju pertumbuhan luas areal

kelapa sawit kedua negara amat berbeda. Pertumbuhan Malaysia hanya 6,6% atau

110.000 ha/tahun, sedangkan Indonesia mencapai 12,8% atau setara 174.000

ha/tahun. Namun walau kalah luas, Malaysia unggul dalam produktivitas.

Produktivitas lahan di Malaysia mencapai 3,21 ton CPO/ha/tahun, sedangkan

Indonesia 2,51 ton CPO/ha/tahun. Malaysia ditopang 422 pabrik pengolahan,

sementara Indonesia hanya 323 pabrik pengolahan.

Perbedaan ini membuat Malaysia mampu memanfaatkan 87% dari

kapasitas pabrik terpasangnya yang mencapai hampir 86 juta ton TBS/tahun,

sedangkan Indonesia sekitar 65 juta ton TBS/tahun. Dampak kekurangan pabrik

pengolah sawit tidak hanya pada daya saing Indonesia rendah untuk produksi dan

ekspor CPO, tapi juga membuat berdirinya pabrik-pabrik pengolahan CPO tanpa

lahan sawit. Akibatnya, jumlah produksi minyak sawit, kualitas produksi, dan

harga tidak mampu diprediksi dan dikontrol baik. Ini membuat perbedaan

produksi dan ekspor kedua negara. Ekspor Indonesia didominasi produk mentah,

sedangkan ekspor Malaysia didominasi produk setengah jadi.

Gambar 5. Konsep Pengembangan Industri CPO Indonesia

Dengan memperhatikan masalah-masalah diatas, diharapkan Industri CPO Indonesia

ke depan akan memiliki daya saing tinggi, dan dapat meningkatkan kontribusinya

dalam perekonomian Indonesia tanpa mengesampingkan aspek-aspek kelestarian

lingkungan.

Industri CPO Indonesia relatif labil dan sangat

mudah terpengaruhperubahan-perubahan

ekonomi Dunia.

meningkatkan riset untuk peningkatan daya saing Industri CPO

memperjelas strategi pengembangan industri CPO

pengembangan industri hilir CPO

Page 10: Industri Cpo Indonesia

BAB 3

PENUTUP

A. Kesimpulan

Industri CPO memegang peranan yang sangat penting bagi Indonesia. Namun industri

CPO Indonesia relatif labil dan sangat mudah terpengaruh oleh perubahan-perubahan

kondisi ekonomi dunia. Untuk itu, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam

pengembangan industri CPO Indonesia ke depan, yaitu kebutuhan riset untuk

meningkatkan daya saing Industri, kejelasan dan ketegasan strategi pemerintah, dan

pengembangan industri hilir Kelapa Sawit.

B. Saran

1) Bagi Pemerintah, agar meningkatkan riset untuk peningkatan daya saing

Industri CPO, memperjelas strategi pengembangan industri, dan memberikan

stimulus untuk pengembangan industri hilir CPO.

2) Bagi Akademisi, agar mendukung kebijakan pemerintah dengan

meningkatkan riset di bidang industri CPO.

3) Bagi semua pihak, khususnya pengusaha, agar jangan melupakan konsep

pembangunan berkelanjutan dalam pengembangan industri CPO, agar

keseimbangan lingkungan tetap terjaga ditengah meningkatnya pertumbuhan

ekonomi, terutama dari sektor perkebunan kelapa sawit, dan meningkatnya

devisa dari komoditas CPO.

Page 11: Industri Cpo Indonesia

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2009. Pengusaha Nilai Wajar Kenaikan Ekspor CPO.

http://www.news.id.finroll.com/bisnis-lokal/64229-____pengusaha-nilai-

wajar-kenaikan-ekspor-cpo____.html [diakses pada 10/06/2009]

Anonim. 2009. KPPU: Industri CPO Diduga Kartel. http://www.bakrie-

brothers.com/ [diakses pada 10/06/2009]

Departemen Perindustrian. 2007. Gambaran Sekilas Industri Minyak Kelapa Sawit.

http://www.google.com/ [diakses pada 10/06/2009]

Goenadi, Didik H. 2005. Kebutuhan Riset Untuk Meningkatkan Daya Saing Industri

Kelapa Sawit Indonesia. http://www.ipard.com/ [diakses pada 10/06/2009]

Husaini, Azis. 2009. Kuartal 1-2009, Ekspor CPO Tetap Anjlok.

http://www.kontan.co.id/index.php/bisnis/news/9283/Kuartal-I-2009-

Ekspor-CPO-Tetap-Anjlok. [diakses pada 10/06/2009]

Kalsum, Umi, dan Agus Dwi Darmawan. 2009. Empat Bulan, Nilai Ekspor CPO

Anjlok 44,6%. http://bisnis.vivanews.com/ [diakses pada 10/06/2009]

Khudori. 2007. Industri Kelapa Sawit: Indonesia vs Malaysia.

http://www.google.com/ [diakses pada 10/06/2009]

Meryani, Andina. 2009. Ekspor CPO Terganjal Regulasi di Uni Eropa.

http://econonomy.okezone.com/ [diakses pada 10/06/2009]

Wisnu999. 2009. Komoditas Minyak Kelapa Sawit (CPO). http://www.google.com/

[diakses pada 10/06/2009]