Faktor Penghambat Diplomasi CPO Indonesia di Pasar Eropa

15
Indonesian Journal of International Relations, Vol. 2, No. 2, pp. 38-50. ©2018 by Indonesia Association for International Relations ISSN 2548-4109 electronic Faktor Penghambat Diplomasi CPO Indonesia di Pasar Eropa Denada Faraswacyen L. Gaol Departemen Ilmu Hubungan Internasional, Universitas Budi Luhur Jl. Ciledug Raya, DKI Jakarta 12260, Indonesia [email protected] Diserahkan: 15 Februari 2018; diterima: 17 Mei 2018 ABSTRAK Indonesia merupakan negara penghasil minyak nabati terbesar di dunia melalui produksi kelapa sawit yang melimpah. Selama puluhan tahun Indonesia memasok CPO ke pasar internasional termasuk Uni Eropa sebagai bahan baku industri pangan, kosmetik, obat- obatan, dan lain-lain. Namun sejak 2015 ekspor CPO Indonesia mengalami hambatan nontarif yaitu isu deforestasi, kebijakan pelabelan “palm oil free”, isu kesehatan, dan lain - lain. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dan metode deskriptif, dengan menggunakan data sekunder dari sumber ilmiah berupa jurnal, dokumen, laporan, publikasi media massa beberapa tahun terakhir, dan rilis portal resmi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor penghambat diplomasi CPO Indonesia ke pasar Eropa dibagi dalam dua penyebab. Pertama, faktor internal berupa sertifikasi lahan sawit (ISPO) yang tidak diakui oleh Eropa, kegagalan pemerintah melobi APEC untuk memasukkan perkebunan sawit dalam kategori hutan, dan kurangnya sinergi lintas instansi untuk menghasilkan satu suara dalam penyusunan strategi nasional. Kedua adalah hambatan eksternal berupa kebijakan proteksionisme terhadap industri pemula, label non environmental goodsyang mengandung CPO pada produk makanan yang beredar di Eropa, desakan kepada negara Uni Eropa untuk memberlakukan Renewable Energy Directive (RED), paradoks kebijakan Uni Eropa yang mengunggulkan kapabilitas perkebunan minyak nabati lokal dibanding lahan pertanian lainnya dalam menyerap gas emisi karbon, dan joint campaign negara produsen CPO. Kata kunci: CPO, diplomasi, hambatan nontarif, Uni Eropa. ABSTRACT Indonesia is the largest palm oil producer in the world. For decades, Indonesia has been supplying CPO to international markets including the European Union as raw material for the food, cosmetics, medicine, and other industries. However, since 2015, Indonesia's CPO exports has been experiencing nontariff barriers namely deforestation issues, labelling policy "palm oil free", health issues, and others. This study uses a qualitative approach, descriptive methods, and secondary data available on scientific sources such as journals, documents, reports, recent mass media publications, and the release on official websites. The results show that the inhibiting factors of Indonesian CPO diplomacy towards the European market could be divided into two. The internal ones include the palm oil certification (ISPO) which are not recognized by Europe, the government ’s failure in lobbying APEC to set oil palm plantations in forest category, and lack of synergy in interagency relationship in setting a common understanding for the establishment of the national strategy. Whereas, the external barriers are shown in form of protectionism policies towards infant industries, non- environmental goods labels on food products containing CPO that are circulated in Europe, the recommendation by the Renewable Energy Directive (RED) to all EU countries to immediately implement the policy, the paradox on EU Policy. The latter raises environmental issues, but at the same time does displacement of agricultural lands in order to expand local vegetable oil plantations. This policy does actually decrease the capability to absorb the carbon emission gas, because the effort is to expand local vegetable oil plantations by

Transcript of Faktor Penghambat Diplomasi CPO Indonesia di Pasar Eropa

Page 1: Faktor Penghambat Diplomasi CPO Indonesia di Pasar Eropa

Indonesian Journal of International Relations, Vol. 2, No. 2, pp. 38-50.

©2018 by Indonesia Association for International Relations

ISSN 2548-4109 electronic

Faktor Penghambat Diplomasi CPO Indonesia di Pasar Eropa

Denada Faraswacyen L. Gaol

Departemen Ilmu Hubungan Internasional, Universitas Budi Luhur

Jl. Ciledug Raya, DKI Jakarta 12260, Indonesia [email protected]

Diserahkan: 15 Februari 2018; diterima: 17 Mei 2018

ABSTRAK

Indonesia merupakan negara penghasil minyak nabati terbesar di dunia melalui produksi

kelapa sawit yang melimpah. Selama puluhan tahun Indonesia memasok CPO ke pasar

internasional termasuk Uni Eropa sebagai bahan baku industri pangan, kosmetik, obat-

obatan, dan lain-lain. Namun sejak 2015 ekspor CPO Indonesia mengalami hambatan

nontarif yaitu isu deforestasi, kebijakan pelabelan “palm oil free”, isu kesehatan, dan lain-

lain. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dan

metode deskriptif, dengan menggunakan data sekunder dari sumber ilmiah berupa jurnal,

dokumen, laporan, publikasi media massa beberapa tahun terakhir, dan rilis portal resmi.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor penghambat diplomasi CPO Indonesia ke pasar

Eropa dibagi dalam dua penyebab. Pertama, faktor internal berupa sertifikasi lahan sawit

(ISPO) yang tidak diakui oleh Eropa, kegagalan pemerintah melobi APEC untuk

memasukkan perkebunan sawit dalam kategori hutan, dan kurangnya sinergi lintas instansi

untuk menghasilkan satu suara dalam penyusunan strategi nasional. Kedua adalah hambatan

eksternal berupa kebijakan proteksionisme terhadap industri pemula, label „non

environmental goods‟ yang mengandung CPO pada produk makanan yang beredar di Eropa,

desakan kepada negara Uni Eropa untuk memberlakukan Renewable Energy Directive

(RED), paradoks kebijakan Uni Eropa yang mengunggulkan kapabilitas perkebunan minyak

nabati lokal dibanding lahan pertanian lainnya dalam menyerap gas emisi karbon, dan joint

campaign negara produsen CPO.

Kata kunci: CPO, diplomasi, hambatan nontarif, Uni Eropa.

ABSTRACT

Indonesia is the largest palm oil producer in the world. For decades, Indonesia has been

supplying CPO to international markets including the European Union as raw material for

the food, cosmetics, medicine, and other industries. However, since 2015, Indonesia's CPO

exports has been experiencing nontariff barriers namely deforestation issues, labelling policy

"palm oil free", health issues, and others. This study uses a qualitative approach, descriptive

methods, and secondary data available on scientific sources such as journals, documents,

reports, recent mass media publications, and the release on official websites. The results

show that the inhibiting factors of Indonesian CPO diplomacy towards the European market

could be divided into two. The internal ones include the palm oil certification (ISPO) which

are not recognized by Europe, the government’s failure in lobbying APEC to set oil palm

plantations in forest category, and lack of synergy in interagency relationship in setting a

common understanding for the establishment of the national strategy. Whereas, the external

barriers are shown in form of protectionism policies towards infant industries, non-

environmental goods labels on food products containing CPO that are circulated in Europe,

the recommendation by the Renewable Energy Directive (RED) to all EU countries to

immediately implement the policy, the paradox on EU Policy. The latter raises environmental

issues, but at the same time does displacement of agricultural lands in order to expand local

vegetable oil plantations. This policy does actually decrease the capability to absorb the

carbon emission gas, because the effort is to expand local vegetable oil plantations by

Page 2: Faktor Penghambat Diplomasi CPO Indonesia di Pasar Eropa

Indonesian Journal of International Relations 39

displacing other agricultural land and not being able to absorb carbon emission gas because

only short crop types are not maximally absorbed from oil palm plants, and the last is the

joint campaign of CPO producing countries.

Keywords: CPO, diplomacy, nontarrif barrier, European Union.

PENDAHULUAN

Minyak sawit merupakan

komoditas andalan yang berasal dari

subsektor perkebunan dengan kinerja

ekspor dipengaruhi daya saing dan

perubahan pangsa pasar di pasar domestik

maupun pasar global. Sebagai komoditas

unggulan untuk ekspor, minyak sawit

menjadikan Indonesia sebagai pengekspor

utama minyak sawit di dunia diikuti

Malaysia, Ekuador, Kolombia, dan

Thailand, dengan nilai ekspor mencapai

4.2 miliar USD pada tahun 2014.

Sejak tahun 2015 hingga kwartal

pertama 2017, Indonesia menghadapi

tekanan yang sangat besar, khususnya dari

Uni Eropa (UE). Berbagai kebijakan

dilakukan untuk menahan laju ekspor CPO

ke UE. Eropa menilai hutan yang

digunakan untuk pengembangan kelapa

sawit menggunakan lahan pertanian dan

hutan yang subur. Hutan-hutan tempat

keanekaragaman hayati dan suaka

margasatwa. Hutan dan lahan tropis

tersebut dieksploitasi untuk ekspansi lahan

sawit yang hanya demi kepentingan

ekonomi Indonesia tanpa

mempertimbangan kelangsungan hidup

ekosistem dan keanekaragaman hayati. Hal

inilah yang menurut UE sebagai tindakan

deforestasi yang disebabkan oleh

perkebunan kelapa sawit. Berdasarkan data

yang diperoleh UE bahwa sebanyak 45%

dari sampel perkebunan kelapa sawit di

Asia Tenggara berasal dari daerah yang

merupakan hutan pada tahun 1989.

Eropa sadar bahwa kedudukan

sebagai importir terbesar ketiga setelah

India dan China menunjukkan UE merasa

memiliki posisi tawar kuat di pasar CPO.

Di sisi lain, ada upaya UE untuk

mendorong pertumbuhan minyak nabati

domestik khususnya minyak rapa, minyak

biji bunga matahari, dan minyak kedelai.

Parlemen Eropa juga menghadapi tekanan

yang cukup kuat dari petani Rapeseed Oil

(RSO) dan Sunflower Oil (SFO) untuk

mengembalikan kedudukan kedua

komoditas ini menjadi komoditas dominan

dalam sumber minyak nabati di Eropa. Hal

ini kemudian menjadi perhatian petani

Eropa dan menjadi masukan bagi

Parlemen Eropa untuk melindungi

kepentingan domestiknya.

Lahan perkebunan kelapa sawit di

Indonesia dituduh menjadi sumber utama

penyebab kebakaran hutan dan lahan yang

ditujukan untuk pembukaan perkebunan

kelapa sawit. Pembakaran hutan dan lahan

terutama di lahan gambut menyumbang

emisi gas karbon yang merusak

lingkungan dan keanekaragaman hayati.

Emisi gas karbon dapat dikurangi 9–10%

melalui moratorium pembukaan lahan

perkebunan sawit. Dari hasil beberapa

kajian sebelumnya dapat diidentifikasi isu-

isu yang digunakan dalam menghambat

ekspor kelapa Indonesia, antara lain adalah

isu deforestasi dan lingkungan hidup,

kesehatan, serta hak asasi manusia

(pekerja anak dan perempuan).

Dalam aktivitas perdagangan

internasional, ekspor tersebut banyak

Page 3: Faktor Penghambat Diplomasi CPO Indonesia di Pasar Eropa

38 Faktor Penghambat Diplomasi CPO Indonesia di Pasar Eropa

hambatan yang dialami oleh CPO

Indonesia baik hambatan tarif dan nontarif.

Seiring dengan peraturan WTO (World

Trade Organization) yang menganjurkan

pengurangan bahkan penghapusan

hambatan perdagangan internasional.

Tentunya hal ini menjadi sinyal positif

bagi CPO Indonesia untuk masuk ke pasar

internasional termasuk Eropa. Namun

dalam kenyataannya, pada tahun 2015

CPO Indonesia mengalami hambatan

serius untuk masuk pasar Eropa.

Hambatan nontarif tersebut berupa isu

deforestasi, pencantuman label minyak

sawit pada produk makanan, isu kesehatan,

dan lain-lain. Di tengah berbagai hambatan

nontarif tersebut Pemerintah Indonesia

terus berupaya melakukan lobi dan

negosiasi untuk mengurangi berbagai

hambatan CPO Indonesia memasuki pasar

Eropa, apalagi pasar Eropa merupakan

pangsa yang cukup besar (peringkat ketiga

importir CPO Indonesia).

METODE PENELITIAN

Penelitian ini melalui beberapa

langkah metodologi yang dilakukan

meliputi; pendekatan penelitian, metode

penelitian, jenis data yang digunakan,

teknik pengumpulan data, dan teknik

analisis data. Menurut Creswell,

“Qualitative research is an inquiry process

of understanding based on distinct

methodological traditions of inquiry that

explore a social or human problem. The

researcher builds a complex, holistic

picture, analyzes words, report detailed

views of information, and conducts the

study in a natural setting.” Pendekatan

kualitatif merupakan pendekatan yang

sesuai dalam penelitian ini karena peneliti

berperan sebagai instrumen kunci, mulai

dari pengumpulan data yaitu data

kualitatif, mengolah data, menganalisis

data, hingga menarik kesimpulan dari

analisis data tersebut. Peneliti

mengumpulkan data empiris dari berbagai

sumber dalam bentuk data kualitatif yang

terkait dengan perdagangan CPO

Indonesia di Uni Eropa.

Permasalahan yang dikaji dalam

penelitian ini merupakan masalah yang

bersifat sosial dan dinamis. Oleh karena

itu, peneliti menggunakan metode

deskriptif kualitatif untuk tahapan mencari,

mengumpulkan, mengolah, dan

menganalisis data hasil penelitian tersebut.

Metode deskriptif adalah teknik penulisan

yang mengambarkan keadaan faktual

mengenai subjek yang diteliti pada saat

penelitian berlangsung. Pengertian metode

deskriptif adalah metode penelitian dengan

menggambarkan atau menganalisis suatu

hasil penelitian tetapi tidak digunakan

untuk membuat kesimpulan yang lebih

luas.” Berdasarkan penjelasan tersebut,

maka peneliti berusaha menggambarkan

CPO Indonesia di pasar Eropa, diplomasi

pemerintah untuk melindungi komoditas

CPO di pasar Eropa, dan faktor-faktor

penghambat diplomasi CPO tersebut.

Penelitian ini menggunakan data

sekunder yaitu data yang bersumber dari

literatur tertulis terkait CPO Indonesia di

pasar Eropa yang diperoleh dari jurnal-

jurnal ilmiah, publikasi data, situs resmi,

dan lain-lain. Teknik pengumpulan data

melalui studi pustaka atau studi literature

yaitu mengumpulkan data terkait topik

penelitian bersumber dari data sekunder.

Langkah berikutnya adalah teknik analisis

data yaitu: pemilahan dan pemilihan data

yaitu mengelompokkan semua data

tentang upaya yang sudah dilakukan dalam

diplomasi CPO Indonesia terutama di

pasar Eropa dalam berbagai rentang

Page 4: Faktor Penghambat Diplomasi CPO Indonesia di Pasar Eropa

Indonesian Journal of International Relations 39

waktu, kemudian data tersebut

dikategorikan lalu di-filter dan diambil

hanya yang sesuai periode yang diteliti,

setelah data dipilah dan dipilih maka

dilakukan penyuntingan data yaitu

mengedit atau mengoreksi data yang sudah

dikelompokkan tadi agar memiliki nilai

kajian ilmiah, selanjutnya konfirmasi data

melalui verifikasi dan pendalaman data

yaitu pengecekan validitas data dapat

melalui triangulasi dan, terakhir adalah

analisis data sesuai dengan konstruksi

pembahasan penelitian.

Pada tahap reduksi data, peneliti

mengumpulkan data-data ilmiah terkait

CPO Indonesia dan pasar Eropa lalu

memilah dan memilih data tersebut

berdasarkan kategori atau kelompok yang

berkaitan langsung dengan topik penelitian

yang merupakan kajian aktual dari

berbagai sumber setelah data

dikumpulkan, peneliti memilah data yang

terkait kerja sama bidang pangan yang

dilakukan oleh beberapa negara, data yang

tidak perlu dihilangkan agar semakin

terarah kepada data yang sudah dipilih dan

pilah sebelumnya. Selanjutnya data

tersebut disajikan secara sistematis, dan

terakhir sajian data tersebut dianalisis

berdasarkan teori dan konsep yang

digunakan yaitu perdagangan CPO

Indonesia di Uni Eropa.

PEMBAHASAN DAN HASIL

Diskriminasi yang dilakukan oleh

UE atas produk CPO Indonesia

mengharuskan pelaku industri kelapa sawit

dan Pemerintah Indonesia bekerja sama

untuk mempersiapkan dan merancang

upaya diplomasi yang intensif terhadap

pemerintahan yang tergabung dalam Uni

Eropa dan juga masyarakatnya. Salah satu

bentuk upaya persuasif yang dilakukan

Indonesia adalah penyelenggaraan

konferensi internasional dengan tema

“Eradicating Poverty through the

Agricultural and Plantation Industry to

Empower Peace and Humanity” di

Pontifical Urbana University di Roma,

Italia. Konferensi ini merupakan forum

terbuka sebagai kesempatan yang sangat

penting utama bagi Indonesia untuk

bertukar pikiran secara intelektual dan

dialog yang transparan bagi semua pihak

yang terkait dengan industri CPO di

Indonesia dan Eropa. Pemerintah

Indonesia berusaha untuk lebih transparan

dalam mengatasi tuduhan isu lingkungan

yang dikaitkan dengan perluasan dan

pengembangan perkebunan kelapa sawit

dan industri turunan CPO. Upaya lainnya

yaitu Pemerintah Indonesia juga

merancang standar minyak sawit

berkelanjutan yang harus dipatuhi oleh

industri kelapa sawit melalui skema

sertifikasi di negara tujuan ekspor terutama

pasar Eropa. Peningkatan kasus kebakaran

hutan dan lahan pada 2015 merupakan

alasan utama Eropa dalam melancarkan

tuduhan terhadap industri sawit Indonesia

yang tidak ramah lingkungan. Banyaknya

hutan yang dirambah dengan cara

membakar untuk perluasan kebun kelapa

sawit tidak hanya dilakukan oleh pekebun

individu tetapi juga oleh korporasi

sehingga kebakaran hutan dan lahan yang

massif ini berdampak pada punahnya

beberapa keanekaragaman flora dan fauna.

Di sisi lain, pertumbuhan dan

perkembangan perkebunan serta industri

minyak sawit berperan besar bagi

pengurangan kemiskinan di Indonesia

melalui pertumbuhan ekonomi dan

kesejahteraan petani kelapa sawit di

berbagai daerah. Dari total luas lahan

kelapa sawit 11.26 juta hektar, sebanyak

Page 5: Faktor Penghambat Diplomasi CPO Indonesia di Pasar Eropa

40 Faktor Penghambat Diplomasi CPO Indonesia di Pasar Eropa

41% dikelola oleh 2.3 juta rakyat kecil.

Pertumbuhan ekonomi dan perbaikan taraf

hidup petani sawit ini terlihat dari

kemampuan mereka berdikari dan tidak

bergantung lagi pada pengucuran kredit

dari bank. Panen sawit yang rutin dalam

dua pekan sekali berdampak signifikan

dalam memperkuat kemampuan ekonomi

mereka sehingga daya tarik inilah yang

secara langsung menjadi pemicu

pertambahan luas perkebunan sawit dalam

skala individu. Sebagai produsen minyak

sawit terbesar, Indonesia juga meginisiasi

untuk menggandeng Malaysia dalam

upaya melawan diskriminasi kebijakan

minyak nabati berbasis biji-bijian di

Eropa. Berdasarkan data yang dihimpun

bahwa tuduhan perkebunan dan industri

sawit melakukan banyak deforestasi tidak

beralasan jika dibandingkan industri

minyak nabati berbasis biji-bijian yang

faktanya lebih banyak deforestasi dan alih

fungsi lahan. Kontribusi perkebunan sawit

terhadap deforestasi sekitar dua persen

dibandingkan minyak nabati lain berbasis

biji-bijian di wilayah Eropa. Hal ini sangat

dimungkinkan dari sisi perbandingan luas

cakupan atau tutupan lahan dari tanaman

sawit tentunya lebih luas dibandingkan

minyak nabati berbasis biji-bijian dan

jumlah produksinya juga berkali-kali lipat

dibandingkan minyak nabati berbasis biji-

bijian tadi. Label negatif yang sangat

mengganggu industri sawit Indonesia

adalah perluasan lahan dengan cara

membakar hutan tropis produktif dan

sejenisnya sehingga kenyataan inilah yang

sangat sulit untuk dibantahl oleh

pemerintah dan industri sawit Indonesia.

CPO Indonesia ke Uni ropa

Keputusan Parlemen UE melarang

penggunaan minyak sawit sebagai bahan

baku biofuel berpotensi mengganggu

perkembangan industri kelapa sawit

Indonesia. Menurut data Badan Pusat

Statistik, nilai ekspor Indonesia Januari–

Agustus 2015 sebesar USD 102.5 milyar.

Sedangkan nilai impor pada periode yang

sama mencapai USD 96.3 milyar sehingga

secara keseluruhan neraca perdagangan

surplus USD 6.2 milyar. Besarnya surplus

tersebut merupakan tertinggi sejak tahun

2012. Dengan demikian industri minyak

sawit masih mampu menjadi penyelamat

neraca perdagangan Indonesia sekalipun

ekonomi dunia lesu seperti saat ini. Ekspor

minyak sawit dan turunannya tidak hanya

mengecilkan defisit neraca perdagangan,

justru membalikkannya menjadi surplus

sebesar USD 6.2 milyar. Bukan hanya

membalikkan menjadi surplus, tetapi juga

membuat surplus tertinggi dalam lima

tahun terakhir. Nilai ekspor minyak sawit

dan turunannya tersebut belum

memasukkan ekspor produk jadi berbahan

minyak sawit seperti biodiesel, deterjen,

sabun, makanan jadi, dan lain-lain.

Atas pencapaian ekspor CPO

tersebut maka sangat diperlukan upaya

setiap pihak untuk melanggengkan ekspor

CPO di pasar global terutama lima negara

tujuan utama ekspor salah satunya Uni

Eropa. Namun dalam beberapa tahun

terakhir mulai muncul hambatan ekspor

CPO Indonesia terutama hambatan

nontarif oleh UE. Hambatan-hambatan

tersebut memerlukan tindak lanjut

sesegera mungkin terutama dari pihak

Pemerintah Indonesia. Namun dalam

menjalankan upaya diplomasi tersebut

ternyata tidak berjalan mudah. Berbagai

macam hambatan diplomasi CPO tersebut

dikategorikan dalam dua kelompok utama

yaitu faktor internal dan faktor eksternal.

Faktor internal merupakan penghambat

diplomasi dari dalam negeri sendiri

Page 6: Faktor Penghambat Diplomasi CPO Indonesia di Pasar Eropa

Indonesian Journal of International Relations 41

sedangkan faktor eksternal yang berasal

dari luar Indonesia seperti sesama negara

produsen dan negara tujuan ekspor.

Faktor Internal

Para pelaku usaha perkebunan

kelapa sawit menyebutkan berbagai

temuan hambatan yang berasal dari

internal dalam upaya meningkatkan ekspor

komoditas kelapa sawit nasional. Sejauh

ini, para pelaku industri mengungkapkan

hambatan seperti pungutan-pungutan

daerah, kebijakan yang memberatkan

pengusaha sawit, mahalnya biaya

perbankan, dan kewajiban sertifikasi yang

belum seragam dan serempak untuk syarat

ekspor.

Sertifikat Indonesian Sustainable Palm

Oil (ISPO)

Sejak tahun 2011 Indonesia telah

memiliki kebijakan terkait industri sawit.

Sistem tata kelola perkebunan mulai dari

tahap awal pembukaan lahan, pengelolaan

lahan, hingga proses panen, dan

pengolahan CPO diatur dalam Sertifikat

Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO)

dan sertifikasi ISPO ini juga sebagai suatu

kebijakan pemerintah yang bersifat wajib

(mandatory). Upaya dukungan ekspor

CPO Indonesia melalui pembentukan

Sertifikat Indonesian Sustainable Palm Oil

(ISPO) merupakan produk kebijakan yang

dikeluarkan Pemerintah Indonesia untuk

tata kelola sawit berkelanjutan di

Indonesia. Sertifikasi ini perlu

dipromosikan tidak hanya bagi industri

dalam negeri tetapi juga lebih proaktif ke

pasar internasional terutama Eropa. Selain

promosi, Sertfikat ISPO juga dapat

dijadikan salah satu alat diplomasi

perdagangan minyak sawit Indonesia.

Pernyataan bahwa “satu-satunya

komoditas pertanian dunia yang memiliki

sistem tata kelola dan sertifikasi

berkelanjutan saat ini hanya minyak sawit”

adalah pernyataan yang perlu terus-

menerus disuarakan di pasar internasional

karena justru kelebihan inilah yang harus

ditonjolkan untuk meng-counter label

negatif yang selama ini ditujukan kepada

industri sawit Indonesia.

Berdasarkan data Kementerian

Pertanian, hingga Agustus 2017

jumlah perkebunan sawit yang telah

mengantongi sertifikasi ISPO berjumlah

306 perusaahan, satu koperasi petani

swadaya, dan satu kelompok petani

plasma. Jumlah ini tetunya masih jauh dari

target pemerintah karena yang telah

terdaftar dalam sertifikasi ini hanya setara

dengan 16.7 persen luas kebun sawit

nasional (11.9 juta hektar) atau 8.1 juta ton

minyak sawit (dari 35 juta ton minyak

sawit nasional). Sedangkan targetnya

adalah dalam proses sertifikasi ISPO

sekitar 350 perusahaan dapat segera

memperoleh sertifikasi. Sertifikasi ISPO

tersebut merupakan salah satu bukti

perbaikan yang serius dan terfokus dari

implementasi kebijakan tata kelola

perkebunan sawit berkelanjutan. Meskipun

belum semua perkebunan sawit saat ini

memperoleh sertifikasi ISPO, paling tidak

perusahaan-perusahaan termasuk petani

yang saat ini sudah memperoleh sertifikasi

ISPO menunjukkan bahwa

implementasi kebijakan tata kelola

berkelanjutan perkebunan sawit di

Indonesia telah dimulai dan berjalan pada

jalur yang benar.

Indonesia merupakan negara

pertama yang memiliki kebijakan

mandatory dan implementasi tata

kelola sawit berkelanjutan dan tentunya

bukan sesuatu yang aneh mengingat

Page 7: Faktor Penghambat Diplomasi CPO Indonesia di Pasar Eropa

42 Faktor Penghambat Diplomasi CPO Indonesia di Pasar Eropa

posisinya sebagai produsen utama CPO

dunia yang memang sudah semestinya

memiliki inisiatif paling serius dan

proaktif membuat terobosan-terobosan

baru di antara negara produsen

lainnya. Mungkin saja ada sejumlah

komoditas pertanian/perkebunan dunia

yang memiliki sertifikasi keberlanjutan

sejenis akan tetapi umumnya masih

bersifat sukarela si produsen itu

sendiri karena tuntutan konsumen (pasar)

dan bukan suatu kebijakan terpusat oleh

negara produsen komoditas yang

bersangkutan. Hal ini tentunya berbeda

dengan kebijakan ISPO yang secara

proaktif dan inisiatifnya berasal dari

pemerintah negara produsen minyak

sawit. inisiatif inilah yang menjadi

keunggulan ISPO dan sekaligus bukti

komitmen Indonesia untuk mewujudkan

pembangunan industri sawit yang

berkelanjutan.

Oleh karena itu, ISPO sebagai

produk kebijakan pemerintah dalam tata

kelola sawit berkelanjutan perlu

dipromosikan ke seluruh dunia. Kebijakan

berupa Sertifikat ISPO tersebut juga perlu

dijadikan sebagai bagian dari diplomasi

perdagangan minyak sawit Indonesia

secara internasional. Pemerintah perlu

meyakinkan masyarakat duniamelalui

penjelasan bahwa minyak sawit Indonesia

dihasilkan dengan mengimplementasikan

prinsip-prinsip tata kelola kebun sawit

yang berkelanjutan. Langkah promosi

secara konvesional namun lebih tepat

sasaran salah satunya adalah melalui peran

aktif para diplomat di negara tempat

bertugas/posting dalam mempromosikan

Sertifikat ISPO baik melalui forum ilmiah

di pemerintahan, lembaga pendidikan,

event promosi perdagangan, dan asosiasi

industri lainnya yang menggunakan

minyak nabati sebagai bahan baku utama.

Untuk saat ini, mengingat betapa

strategisnya posisi industri sawit dalam

menopang ekonomi Indonesia, maka

upaya diplomasi sawit ini perlu menjadi

fokus penting para diplomat Indonesia di

berbagai negara terutama yang memiliki

industri dengan penopang utama CPO

sebagai bahan baku. Langkah membangun

citra minyak sawit Indonesia sebagai

minyak nabati yang dihasilkan melalui

proses tata kelola berkelanjutan perlu

dijadikan target bagi diplomat-diplomat

Indonesia di berbagai negara khususnya

pada negara-negara tujuan ekspor

Indonesia. Upaya serius Pemerintah

Indonesia, sebagai produsen terbesar

minyak sawit dunia dalam membuat

gerakan bersama untuk diplomasi sawit

yang melibatkan para diplomat

tersebut, merupakan bagian dari upaya

Indonesia mengamankan posisi sebagai

pemimpin pasar minyak sawit global.

Indonesia perlu lebih proaktif jika ingin

mempertahankan posisi itu apalagi minyak

nabati adalah kebutuhan utama dalam

industri makanan, kosmetik, obat-obatan,

kimia, dan lain-lain sehingga

keberlangsungan perolehan keuntungan

ekonomi sebagai produsen juga

kemungkinan besar akan tetap terjaga dan

dapat dipertahankan.

Lobi Pemerintah RI terhadap APEC

Pada pelaksanaan KTT Asia-Pacific

Economic Cooperation (APEC) yang

membahas produk ramah lingkungan telah

ditetapkan berbagai produk yang termasuk

kategori ramah lingkungan dan tidak

ramah lingkungan. Hasil pertemuan forum

APEC tersebut disetujui sebanyak 54

produk ramah lingkungan. Namun hal

Page 8: Faktor Penghambat Diplomasi CPO Indonesia di Pasar Eropa

Indonesian Journal of International Relations 43

yang sangat ironis adalah kelapa sawit

tidak termasuk dalam produk ramah

lingkungan. Kelapa sawit dikalahkan

tanaman bambu yang masuk dalam 54

kategori produk ramah lingkungan.

Berdasarkan kajian secara logika kelapa

sawit dan bambu sama-sama merupakan

jenis tanaman berakar serabut sehingga

memiliki daya resapan air yang kurang

lebih sama dan tumbuh pada suhu tropis,

namun dari sisi cakupan tutupan lahan

kelapa sawit memiliki cakupan tutupan

lahan lebih luas daripada tanaman bambu

karena dahan dan daun kelapa sawit lebih

lebar. Penjelasan seperti ini tidak mampu

membuat forum APEC memutuskan

kelapa sawit merupakan produk ramah

lingkungan akan tetapi bambulah yang

masuk produk ramah lingkungan. Jika

penjelasan ilmiah seperti ini tidak mampu

menyelamatkan kelapa sawit maka

tentunya diperlukan upaya lebih agresif

lagi untuk me-lobby pemimpin APEC di

kemudian hari untuk mengubah

keputusannya terkait kelapa sawit. Apalagi

kesepakatan APEC tersebut berada di luar

kerangka perjanjian WTO yang

merupakan organisasi yang menaungi

perdagangan dunia hingga mencakup

kebijakan-kebijakan yang timpang masih

dapat dibahas lagi untuk mencapai fair

trade yang diagendakan oleh WTO. Jadi

keputusan forum APEC tersebut masih

dapat dikaji ulang dan peluang ini dapat

digunakan dengan baik melalui upaya

lobby pemimpin APEC demi keselamatan

industri minyak sawit Indonesia. Dari hasil

kesepakatan pemimpin APEC tersebut

dapat dilihat gambaran tingginya

persaingan bisnis minyak nabati dunia dan

lobby yang berhasil untuk bambu dan

nasib sebaliknya untuk minyak sawit

Indonesia.

Sinergi Lintas Instansi

Indonesia belum memiliki strategi

nasional untuk menghadapi serangan

terhadap komoditas sawit di pasar

internasional. Gerakan itu masih tersebar

pada setiap lembaga atau instansi yang

terkait, belum ada sinergi dengan semua

pihak. Hal ini mempersulit upaya bersama

dalam menyeragamkan tujuan dan target

membela minyak sawit di pasar global.

Semua lembaga terkait keberlangsungan

industri sawit Indonesia belum memiliki

satu suara untuk memikirkan langkah

serius demi keberlangsungan industri sawit

sebagai penghasil devisa terbesar kedua

setelah industri migas. Perlu langkah

serius menyatukan semua lembaga terkait

baik instansi pemerintah berupa

kementerian, lembaga pendidikan tinggi,

lembaga penelitian, pemilik perkebunan,

dan industri sawit, serta pihak lainnya

yang dinilai bertanggung jawab akan

industri sawit nasional.

Faktor Eksternal

Selain faktor internal yang dinilai

banyak menghambat perkembangan

industri sawit nasional, banyak juga

hambatan yang berasal dari luar Indonesia

baik itu hambatan tarif dan nontarif.

Ironisnya kedua jenis hambatan ini justru

ingin dihapuskan oleh WTO sebagai

organisasi perdagangan dunia yang

menghendaki globalisasi perdagangan

berjalan dengan baik. Berikut jenis-jenis

hambatan diplomasi CPO yang berasal

dari faktor eksternal Indonesia.

Kebijakan Proteksionisme

Proteksionisme adalah upaya

perlindungan yang dilakukan oleh suatu

negara dalam merumuskan kebijakan

Page 9: Faktor Penghambat Diplomasi CPO Indonesia di Pasar Eropa

44 Faktor Penghambat Diplomasi CPO Indonesia di Pasar Eropa

ekonomi sedemikian yang bertujuan

melindungi perekonomian domestik

terhdap penguasaan produk-produk asing

sehingga memerlukan upaya ekstra yang

berbeda dari pemerintahan yang

memengaruhi pola perdagangan dan lokasi

aktivitas global. Upaya proteksi Uni Eropa

untuk mendukung dan melindungi industri

pemulanya dalam kategori minyak nabati

mulai dilakukan sejak dikelurkannya RED

I pada 2009 oleh Uni Eropa. Para petani

penghasil minya kedelai, minyak rapa, dan

sejenisnya merupakan industri yang mulai

tumbuh di Eropa dan perlahan-lahan mulai

menyumbangkan minyak nabati untuk

dikonsumsi oleh warganya. Semakin

bertumbuhnya industri ini menjadi

perhatian Parlemen Eropa untuk

memberikan dukungan kepada para petani

minyak nabati mereka dengan mulai

membatasi impor CPO yang berasal dari

luar Eropa terutama dari Indonesia.

Label Non Environmental Goods

(Produk tidak Ramah Lingkungan)

Pemberian Label Non Environmental

Goods (Produk tidak Ramah Lingkungan)

pada produk yang menggunakan bahan

baku minyak sawit dan turunannya mulai

merebak di Eropa ketika petani minyak

nabati mulai merasakan dampak

penurunan pada minyak nabati mereka

seperti minyak biji bunga matahari,

minyak kanola, dan minyak kedelai. Para

petani menuntut Parlemen Eropa untuk

membuat kebijakan yang mendukung

pertumbuhan industri minyak nabati

mereka. Salah satu upayanya adalah

dengan labelling produk tidak ramah

lingkungan terhadap CPO dan labelling

mengandung CPO pada setiap kemasan

produk yang menggunakan CPO dan

turunannya sebagai salah satu bahan baku.

Secara psikologis sosial, pemberian

labelling ini mempengaruhi daya beli

masyarakat akan produk yang

mengandung CPO karena dikaitkan

dengan isu lingkungan dan kesehatan.

CPO dituding memiliki kandungan minyak

jenuh yang lebih tinggi dibandingkan

minyak nabati lainnya yang berasal dari

Eropa. Pembentukan opini yang

menggiring seperti ini dirasakan sangat

merugikan CPO Indonesia di pasar Eropa.

Jika dirunut ke belakang, akar

permasalahan dari labelling atau tudingan

ini adalah proses pembukaan lahan

perkebunan sawit yang umumnya

dilakukan dengan cara pembakaran hutan

tropis produktif dan lahan sehingga

mengganggu bahkan menyebabkan

punahnya keanekaragaman hayati dan

satwa langka bukan pada produk kelapa

sawitnya yang bermasalah tetapi tata

kelola lahan perkebunan sawit itu sendiri.

Promosi Renewable Energy Directive

(RED)

Sebelumnya pihak Uni Eropa

berencana menerapkan kebijakan energi

baru dan terbarukan atau Renewable

Energy Directive (RED) terhadap biodiesel

yang berbasis minyak sawit akan

dihentikan penggunaannya pada tahun

2021. Namun setelah menerima diplomasi

dari pihak Indonesia yang menganggap

dasar penerapan kebijakan Parlemen Uni

Eropa terhadap minyak sawit asal

Indonesia tidak logis, apalagi alasannya

lebih pada sisi kerusakan hutan dan

lingkungan yang masih perlu dilakukan

riset lebih dalam. Merujuk informasi dari

komisi Eropa yang telah melakukan

pertemuan tiga lembaga tertinggi di Uni

Eropa yaitu Komisi Eropa, Parlemen

Eropa, dan Dewan Uni Eropa yang terdiri

Page 10: Faktor Penghambat Diplomasi CPO Indonesia di Pasar Eropa

Indonesian Journal of International Relations 45

dari negara-negara Anggota Uni Eropa –

pada tanggal 14 Juni 2018 telah

merancang suatu kesepakatan politik yang

ambisius untuk menargetkan penggunaan

energi terbarukan di wilayah Eropa. Dalam

kerangka peraturan yang baru ini juga

yang termasuk adalah target energi

terbarukan yang diwajibkan untuk Uni

Eropa yakni minimal sebesar 32% pada

tahun 2030 dibanding 27% masa

sebelumnya. Namun persentase

penggunaan eneri terbarukan ini mungkin

juga ditingkatkan lagi setalah melalui

peninjauan ulang yang direncanakan pada

tahun 2023. Hal ini sangat memungkinkan

untuk Eropa dalam mempertahankan peran

dan posisinya sebagai pemimpin dalam

upaya melawan perubahan iklim, juga

dalam melakukan transisi penggunaan

biofuel ke energi ramah lingkungan demi

mencapai target yang ditetapkan oleh

Kesepakatan Paris, yaitu membatasi

pemanasan global hingga 2°C. Peralihan

penggunaan ke energi terbarukan juga

melalui pencapaian keseimbangan antara

sumber dan rosot (sink) gas rumah kaca

pada pertengahan abad ini atas dasar

pemerataan dan dalam konteks

pembangunan berkelanjutan hingga upaya

pemberantasan kemiskinan.

Setelah kesepakatan politik lembaga

tertinggi Uni Eropa pada 14 Juni 2018

tersebut, teks Arahan (Directive)

berikutnya adalah RED tersebut harus

secara resmi disetujui oleh Parlemen Eropa

dan Dewan Uni Eropa. Selanjutnya

disahkan oleh kedua badan legislasi ini

dalam beberapa bulan setelahnya, Arahan

Energi Terbarukan yang diperbarui (RED

II) akan dipublikasikan dalam Jurnal

Resmi Uni Eropa dan akan mulai

diberlakukan 20 hari setelah publikasi.

Implemntasi selanjutnya adalah Negara-

negara Anggota Uni Eropa harus

mengambil elemen-elemen baru dari RED

II tersebut melalui ratifikasi dan

menjadikannya bagian dari undang-undang

nasional di negara masing-masing paling

lambat 18 bulan setelah tanggal mulai

berlakunya.

Kesepakatan Trilogi dan Minyak

Sawit berisi tentang: Pertama, tidak ada

rujukan khusus atau dinyatakan secara

eksplisit untuk minyak sawit dalam

perjanjian ini. Kedua, hasil kesepakatan

sama sekali bukan larangan ataupun

pembatasan impor minyak sawit atau

biofuel yang berbahan dasar minyak sawit.

Ketentuan yang relevan dalam RED II

hanya bertujuan untuk mengatur seberapa

besar porsi biofuel tertentu dapat dihitung

oleh negara-negara anggota Uni Eropa

untuk pencapaian target energi

berkelanjutan mereka. Ketiga, pasar Uni

Eropa tetap terbuka untuk impor minyak

sawit. Bagi Indonesia, Uni Eropa adalah

pasar tujuan ekspor minyak sawit yang

sangat menarik dan

menjanjikan,mengingat posisinya sebagai

importir terbesar kedua setelah Cina.

Impor Uni Eropa terhadap CPO Indonesia

telah meningkat secara signifikan pada

tahun 2017 mencapai 28%.

Paradoks Kebijakan UE

Dalam Renewable Energy Directive

(RED) dan Fuel Qualitative Directive

(FQD) Uni Eropa (EU) ditetapkan bahwa

pengembangan biofuel di EU tidak boleh

berdampak pada perubahan iklim seperti

meningkatkan emisi gas rumah kaca

(nitrit, metan, karbon). Oleh karena itu,

peningkatan emisi akibat perubahan

penggunaan lahan pertanian

pangan/hutan/ranch menjadi tanaman

biofuel maupun intensifikasi tanaman

Page 11: Faktor Penghambat Diplomasi CPO Indonesia di Pasar Eropa

46 Faktor Penghambat Diplomasi CPO Indonesia di Pasar Eropa

biofuel berlebihan (Direct Land Use

Change/DLUC) tidak diharapkan. Selain

itu, emisi yang bersumber dari

intensifikasi dan ekstensifikasi pertanian

pangan EU (Indirect Land Use Change/

ILUC) juga tidak diperkenankan.

Untuk memenuhi kebutuhan minyak

nabati masyarakat Uni Eropa, sebagian

besar didatangkan dari impor. Dari sekitar

25 juta ton kebutuhan minyak nabati EU

setiap tahun kemampuan produksi minyak

nabati domestik Eropa hanya mampu

memenuhi 13 juta ton atau 52%

sekitar dari kebutuhannya sehingga sekitar

48% harus dipenuhi dari impor baik

berupa minyak sawit, minyak kedelai

maupun minyak nabati lainnya. EU yang

full employment, tidak banyak pilihan lagi

untuk meningkatkan produksi

pertaniannya tanpa berakibat pada

perubahan tataguna lahan EU.

Kegamangan EU dalam menerapkan

kebijakan menghambat impor minyak

sawit dan minyak nabati lainya, sebetulnya

untuk memacu produksi domestik minyak

rapa (RSO) maupun minyak biji bunga

matahari (SFO) agar mengurangi

ketergantungan dari impor. Apalagi ada

tekanan publik yang menghendaki

pencabutan subsidi pertanian EU, maka

produksi RSO dan SFO domestik EU akan

terancam dari minyak nabati impor. Bagi

EU, menghambat impor minyak sawit

akan menciptakan berbagai masalah dan

meningkatkan emisi di EU. Menghambat

impor minyak sawit yang lebih murah

dengan minyak RSO dan SFO produksi

EU, akan mendorong harga minyak RSO

dan SFO meningkat di dalam negeri

sehingga akan memicu

peningkatan produksi minyak nabati EU

tersebut. Hal ini meningkatkan emisi gas

rumah kaca EU (yang justru hendak

dikurangi EU) baik bersumber dari emisi

DLUC maupun dari emisi ILUC.

Kampanye Negatif (Negative Campaign)

Kampanye negatif terhadap kelapa

sawit Indonesia masih gencar dilakukan

oleh UE. Parlemen Eropa berpendapat,

komoditas sawit menciptakan banyak

masalah lingkungan dan sosial, seperti

deforestasi, korupsi, pekerja anak, hingga

pelanggaran HAM. Lalu mengapa hanya

sawit yang dikenakan ketentuan-ketentuan

yang diterapkan Uni Eropa sedangkan

minyak nabati lain tidak. Isu-isu tersebut

membuat Pemerintah Jokowi selalu gencar

mengingatkan agar diskriminasi terhadap

kelapa sawit dihentikan karena dapat

merugikan ekonomi dan negara produsen

sawit itu sendiri. Menurut riset dari

Universitas Stamford mengatakan bahwa

rantai ekonomi kelapa sawit mampu

mengurangi kemiskinan hingga 10 juta

orang terbukti lebih dari 16 juta orang

yang baik langsung atau tidak langsung

terikat dengan sawit kehidupan

ekonominya membaik.

Selama ini dengan isu-isu yang

digencarkan terhadap minyak sawit

semata-mata hanya persaingan yang tidak

sehat antara minyak nabati tanpa melihat

fakta yang ada. Seperti isu deforestasi,

berdasarkan hasil dari riset IPB

mengatakan bahwa deforestasi bukan

disebabkan oleh sawit karena perkebunan

kelapa sawit yang ada di Indonesia bukan

menempati kawasan hutan. Lalu isu yang

dilancarkan oleh LSM terutama LSM

internasional tentang mempekerjakan anak

pada perkebunan sawit yang hanya melihat

dari publikasi media massa tentang foto

anak-anak yang sedang berada di kawasan

sawit. Kehadiran anak-anak di lahan

perkebunan sawit dikarenakan memang

Page 12: Faktor Penghambat Diplomasi CPO Indonesia di Pasar Eropa

Indonesian Journal of International Relations 47

status perkebunan sawit tersebut adalah

milik individu atau kepala keluarga yang

kemungkinan besar rumah tinggalnya juga

di sekitar perkebunan sawit seperti yang

banyak terlihat di wilayah Sumatera Utara,

Riau, Jambi, Sumatera Selatan, dan

wilayah lain yang banyak memiliki petani

perkebunan sawit. Oleha karena itu sangat

dimungkinkan jika anak-anak pemilik

kebun sawit tersebut juga memang

bermain di areal perkebunan sawit yang

memang berlokasi di sekitar tempat tinggal

mereka. Jadi bila di suatu tempat terlihat

banyak anak-anak bukan berarti mereka

terlibat kegiatan ekonomi produktif atau

sebagai pekerja di tempat tersebut.

Pada perkebunan sawit yang

merupakan perusahaan atau korporasi,

aturan mempekerjakan anak-anak adalah

melanggar hukum dan juga sangat tidak

mungkin perusahaan tersebut

mempekerjakan anak-anak mengingat

kondisi fisik yang tidak sesuai dengan

jenis pekerjaan di kebun sawit. Artinya

perusahaan tentunya tidak mau ambil

risiko dengan mempekerjakan anak-anak

karena memang sama sekali tidak akan

menguntungkan bagi perusahaan. Dengan

berbagai macam isu negatif yang

dilancarkan pada industri sawait domestik

tentunya perlu peran sinergis antara

berbagai pihak untuk menghentikan

diskriminasi yang terus digencarkan LSM

anti sawit dan terus melakukan perbaikan

di seluruh aspek agar tidak ada lagi celah

untuk mendiskriminasi sawit lagi karena

kelapa sawit merupakan industri strategis

yang dimiliki oleh Indonesia dan sebagai

WNI seharusnya kita bangga dengan

manfaat sawit bagi Indonesia terutama

dalam pengentasan kemiskinan dan ikut

serta dalam memajukan industri minyak

sawit indonesia.

Dalam kampanye hitam tersebut, isu

bergulir yang dituduhkan untuk

menghambat perkembangan industri sawit

Indonesia antara lain menyangkut

perluasan lahan yang meningkat cukup

pesat dalam skala perusahaan maupun

petani pekebun melalui tindakan

deforestasi, isu kesehatan, serta yang

marak saat ini menyangkut isu tenaga

kerja. Tuduhan tersebut tidak benar karena

berdasarkan data yang diperoleh dalam

beberapa tahun terkait pertumbuhan

minyak nabati dunia bahwa perkembangan

luas areal perkebunan kelapa sawit di

dunia hanya tumbuh 13.39 persen,

sedangkan areal perkebunan kedelai

tumbuh 85.45 persen, bunga matahari

18.05 persen. Dengan kata lain meskipun

perluasan areal lahan kedelai dan bunga

matahari jauh di atas kelapa sawit namun

tingkat produktivitas kelapa sawit jauh

melesat dibandingkan kedelai dan bungan

matahari tersebut.

Upaya Joint Campaign

Perlu dilakukan joint campaign

antara negara produsen sawit besar dunia

seperti Indonesia dan Malaysia untuk

mengubah persepsi negatif masyarakat Uni

Eropa tentang minyak sawit. Berdasarkan

data GAPKI, RI masih menjadi negara

penghasil CPO terbesar di dunia dengan

total produksi mencapai 42.04 juta ton

pada 2017. Dari total produksi tersebut,

sekitar 31.05 juta ton diserap pasar ekspor.

Adapun, menurut data Dewan Kelapa

Sawit Malaysia, produksi CPO Malaysia

pada 2017 sebesar 19.9 juta ton. Dengan

jumlah ekspor yang sangat besar dan

didominasi oleh kedua negara tersebut

maka perlu kerja sama yang erat dan serius

untuk mengadakan sosialisasi dan

kampanye bersama terhadap penolakan

Page 13: Faktor Penghambat Diplomasi CPO Indonesia di Pasar Eropa

48 Faktor Penghambat Diplomasi CPO Indonesia di Pasar Eropa

minyak sawit dan turunannya serta

melakukan pendekatan bersama untuk

memengaruhi suara di Parlemen Eropa,

APEC, dan WTO agar secara perlahan

dapat mengubah pandangannya akan

minyak sawit dengan pertimbangan

rasional tanpa melepaskan dukungan

mereka pada industri minyak nabati dalam

negerinya.

Indonesia telah mempersiapkan diri

untuk menghadapi rencana EU untuk

phasing out biofuel berbahan dasar kelapa

sawit. Upaya persiapan yang dilakukan

Indonesia antara lain dengan dibentuknya

Council for Palm Oil Producing Countries

(CPOPC) untuk mennempatkan posisi

bersama negara-negara penghasil kelapa

sawit, upaya pencarian pasar baru,

meningkatkan penyerapan penggunaan

minyak sawit di dalam negeri, dan

mengelola pasar yang sudah ada. Salah

satu upaya joint campaign yang sudah

dijajaki adalah pertemuan Presiden

Indonesia dengan PM Malaysia untuk

merumuskan langkah-langkah melindungi

keberlanjutan ekspor minyak sawit dan

meng-counter kampanye negatif terhadap

minyak sawit. Negara-negara produsen

minyak sawit dunia diharapkan memiliki

satu suara dalam merumuskan kesepakatan

yang berpihak pada kemajuan industri

sawit bersama sehingga lebih solid dalam

menghadapi serangan-serangan negatif

terhadap minyak sawit global. Jadi tidak

seperti yang telah dilalui selama ini yaitu

berjuang masig-masing melawan Uni

Eropa yang sangat besar dan memiliki

suara yang berpengaruh di pasar

internasional.

KESIMPULAN

Sekian puluh tahun Indonesia

menikmati hasil ekspor CPO ke beberapa

negara tujuan utama seperti Tiongkok,

India, dan Eropa hingga pada pertengahan

2015 muncul hambatan-hambatan

perdagangan berupa hambatan tarif dan

nontarif dari Eropa, Amerika Serikat,

Cina, dan India. Hambatan perdagangan

yang dilancarkan oleh Eropa berupa isu

perusakan lingkungan hidup dan negative

campaign terhadap minyak sawit dan

turunannya. Hingga akhirnya UE

mengeluarkan RED I pada 2009 dan RED

II pada 2014 sebagai upaya lanjutan untuk

mengurangi impor CPO dan pucaknya

menghentikan impor CPO tersebut pada

2030. Sebagai negara-negara importir

terbesar CPO Indonesia tentunya

Indonesia tidak tinggal diam menyerah

pasrah pada keputusan Uni Eropa tersebut.

Pemerintah dan pihak-pihak terkait

mengupayakan langkah diplomasi kepada

Uni Eropa untuk melonggarkan keputusan

tersebut dan langkah terbaru adalah

kunjungan Menko Maritim Luhut Binsar

Panjaitan melalui Vatikan untuk

memengaruhi Parlemen Uni Eropa

sehingga resolusi sawit tersebut diundur

menjadi 2030 yang sebelumnya akan

diberlakukan pada 2021.

Upaya diplomasi CPO yang

dilakukan Indonesia ke pasar Eropa

menemui banyak hambatan. Jenis

hambatan ini dikelompokkan menjadi

hambatan internal dan hambatan eksternal.

Hambatan internal berupa kebijakan

pemerintah yang dinilai mempersulit

industri sawit, kewajiban sertifikasi lahan

sawit (ISPO) yang tidak diakui oleh Eropa,

kegagalan pemerintah melobi APEC untuk

memasukkan perkebunan sawit dalam

kategori hutan yang malah kalah dari

tanaman bambu, dan kurangnya sinergi

lintas instansi untuk satu suara melalui

strategi nasional. Sedangkan hambatan

Page 14: Faktor Penghambat Diplomasi CPO Indonesia di Pasar Eropa

Indonesian Journal of International Relations 49

eksternal berupa penolakan-penolakan dari

Uni Eropa seperti kebijakan

proteksionisme terhadap industri pemula

minyak nabati mereka yang umumnya

diusahakan oleh petani-petani lokal

setempat, label non environmental goods

(produk tidak ramah lingkungan) yang

mengandung CPO di setiap produk

makanan yang beredar di Eropa, promosi

Renewable Energy Directive (RED)

kepada semua negara Uni Eropa untuk

segera memberlakukan kebijakan tersebut,

paradoks kebijakan UE yang mengangkat

isu lingkungan tetapi upayanya

memperluas perkebunan minyak nabati

lokal tetaplah dengan menggusur lahan

pertanian lainnya dan perkebunan minyak

nabati tersebut tidak mampu menyerap gas

emisi karbon karena hanya berupa jenis

tanaman pendek yang penyerapan tidak

lebih maksimal dari tanaman kelapa sawit,

dan upaya Joint Campaign antara negara

produsen minyak sawit dunia yaitu

Indonesia dan Malaysia yang baru saja

memulai merancang upaya sebagai tindak

lanjut merespon penolakan Eropa tersebut

dinilai sangat terlambat karena tidak sedari

awal sejak isu penolakan tersebut muncul

tidak segera direspon sebagai tindakan

preventif. Keterlambatan respon tersebut

seakan menunjukkan kurang seriusnya

pemerintah melindungi produk unggulan

yang dijadikan sumber pemasukan devisa

negara dari ekspor CPO importir utama.

REFERENSI

Alatas, A. (2015). Trend Produksi dan

Ekspor Minyak Sawit (CPO)

Indonesia. Jurnal Agraris, 1(2).

Austin, K. G., Kasibhatia, P. S., Urban, D.

L., Stolle, F., & Vincent, J. (2015).

Reconciling Oil Palm Expansion

and Climate Change Mitigation in

Kalimantan, Indonesia. PLoS ONE

10(5). DOI: 10.1371/journal.Pone

0127963

Fardaniah, R. (2018). Ini Cara Diplomasi

Indonesia Perjuangkan Minyak

Sawit di Eropa. antaranews.com.

https://www.antaranews.com/berita/

710047/ini-cara-diplomasi-

indonesia-perjuangkan-minyak-

sawit-di-eropa

Febrianto, V. (2018). Indonesia

Kedepankan Diplomasi

Perdagangan untuk Sektor Sawit.

antaranews.com.

https://www.antaranews.com/berita/

708081/indonesia-kedepankan-

diplomasi-perdagangan-untuk-

sektor-sawit

Herdiansyah, H. (2010). Metodologi

Penelitian Kualitatif untuk Ilmu-

Ilmu Sosial. Jakarta: Salemba

Humanika.

Info Sawit. (2018). Hasil Trilog, Uni

Eropa Tangguhkan Kebijakan

Minyak Sawit Indonesia. Info Sawit.

https://www.infosawit.com/news/81

02/hasil-trilog--uni-eropa-

tangguhkan-kebijakan-minyak-

sawit-indonesia

Kementerian Luar Negeri Republik

Indonesia. (2017). Diplomasi

Kelapa Sawit Indonesia perlu Narasi

Tunggal. KEMENLURI.

https://www.kemlu.go.id/id/berita/P

ages/Diplomasi-Kelapa-Sawit-

Indonesia-Perlu-Narasi-

Tunggal.aspx

Khairunisa, R. G., & Novianti, T. (2017).

Daya Saing Minyak Sawit dan

Dampak Renewable Energy

Directive (RED) Uni Eropa

terhadap Ekspor Indonesia di Pasar

Page 15: Faktor Penghambat Diplomasi CPO Indonesia di Pasar Eropa

50 Faktor Penghambat Diplomasi CPO Indonesia di Pasar Eropa

Uni Eropa. Jurnal Agribisnis

Indonesia, 5(2).

Marsaulina, R. A. D. & Hapsari, M.

(2014). Penolakan Crude Palm Oil

(CPO) Indonesia oleh Uni Eropa.

DIHI UGM.

http://hi.fisipol.ugm.ac.id/katalogtes

is/penolakan-crude-palm-oil-cpo-

indonesia-oleh-uni-eropa/

Nazir. (2003). Metode Penelitian (Cetakan

Kelima). Jakarta: Ghalia Indonesia.

Rahayu, Y. A. (2018). Menko Luhut

Bangga Diplomasi Kelapa Sawit RI

di Uni Eropa mulai Membuahkan

Hasil. Merdeka.com.

https://www.merdeka.com/uang/me

nko-luhut-bangga-diplomasi-kelapa-

sawit-ri-di-uni-eropa-mulai-

membuahkan-hasil.html

Saputra, W. (2018). Diplomasi Sawit

Indonesia. tempo.co.

https://kolom.tempo.co/read/110567

4/diplomasi-sawit-

indonesia/full&view=ok

Sawit.or.id. (2017). ISPO sebagai Alat

Diplomasi Sawi Indonesia.

http://www.sawit.or.id/ISPO-

sebagai-alat-diplomasi-sawit-

indonesia/

Sawit.or.id. (2018). Menghambat CPO ke

EU Pacu Kenaikan Emisi Pertanian

EU.

http://www.sawit.or.id/menghambat

-cpo-ke-eu-pacu-kenaikan-emisi-

pertanian-eu/

Sugiyono. (2009). Metode Penelitian

Bisnis (Pendekatan Kuantitatif,

Kualitatif, dan R&D. Bandung:

Alfabeta.

Vijai, V., Pimm, S. L., Jenkins, C. N., &

Smith, S. J. (2016). The Impacts of

Oil Palm on Recent Deforestation

and Biodiversity Loss. PLoS ONE

11(7). DOI:

10.137/journal.pone.0159668