Impetigo Bulosa
-
Upload
steni-christine-rantelembang -
Category
Documents
-
view
131 -
download
2
Transcript of Impetigo Bulosa
LEMBAR PENGESAHAN
Dengan ini menyatakan bahwa :
Nama : Steni S. Ch. Rante Lembang
NIM : C111 11 262
Judul referat : Diagnosis dan Penatalaksanaan Impetigo Bulosa
Telah menyelesaikan tugas referat dalam ranga kepaniteraan klinik pada bagian Ilmu
Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin.
Makassar, Oktober 2014
MENGETAHUI
Co-Ass Pembimbing
Steni S. Ch. Rante Lembang dr. Eman Arif Rahman
1
DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAAN
IMPETIGO BULOSA
I. PENDAHULUAN
Pioderma merupakan infeksi purulen pada kulit yang disebabkan oleh
Staphylococcus dan Streptococcus atau oleh keduanya. Dimana Staphylococcus
aureus dan Streptococcus B hemolyticus merupakan penyebab utama. Pioderma
memiliki banyak bentuk, diantaranya impetigo, folikulitis, furunkel, eritrasma,
erysipelas, selulitis, abses dll. Impetigo yaitu infeksi kulit superfisialis (terbatas
pada epidermis). Impetigo diklasifikasikan ke dalam 2 bentuk yaitu Impetigo
Krustosa (disebabkan oleh Streptococcus B hemolyticus) dan Impetigo Bulosa
(disebabkan oleh Staphylococcus Aureus). Secara lebih rinci akan dijelaskan
mengenai diagnosis dan penatalaksanaan Impetigo Bulosa.(1)
Impetigo Bulosa atau dengan nama lain Impetigo Vesiko Bulosa dan
cacar monyet ini merupakan suatu bentuk impetigo dengan gejala utama berupa
bulla berisi cairan kekuningan dengan dinding tegang, terkadang tampak
hipopion. Impetigo Bulosa disebabkan oleh Stphylococcus aureus.(1, 2)
Infeksi primer umumnya pada anak-anak sedangkan infeksi sekunder
terjadi pada semua kalangan usia. Impetigo Bulosa terkususnya terdapat pada
bayi dan anak usia <5 tahun. Di Belanda Impetigo merupakan urutan ketiga
gangguan kulit yang umum pada anak-anak. Pada tahun 1987, tingkat kejadian
impetigo anak di bawah usia 18 tahun dilaporkan oleh pelaksana umum di
Belanda adalah 16,5 per 1000 pasien dan naik menjadi 20,6 per 1000 pasien pada
tahun 2001. Impetigo bulosa paling sering terjadi pada neonatus dan bayi; 90%
kasus terjadi pada anak-anak muda dari 2 tahun. Jika ketuban pecah dini terjadi
selama persalinan, lesi impetigo dapat hadir pada saat lahir. Namun, beberapa
2
penulis menyarankan bahwa statistik pada impetigo bulosa dapat dipengaruhi
oleh kasus orang dewasa tidak dilaporkan.(3)
Impetigo bullosa memiliki lebih dari satu bentuk. Beberapa sumber
menerangkan perbedaan bentuk impetigo bullosa dari strain staphylococcus yang
menyerang dan aktivitas eksotoksin yang dihasilkan. Staphylococcus aureus
masuk melalui kulit yang terluka dan melalui transmisi kontak langsung, setelah
infeksi, lesi yang baru mungkin terlihat pada pasien tanpa adanya kerusakan pada
kulit. Bentuk lesi mulai dari macula eritema yang berukuran 2 – 4 mm. Secara
cepat berubah menjadi vasikel dan pustule. Pada impetigo bullosa ini gejala
utama berupa lepuh-lepuh berisi cairan kekuningan dengan dinding tegang,
terkadang tampak hipopion. Mula-mul berupa vesikel, lama kelamaan akan
membesar menjadi bulla yang sifatnya tidak mudah pecah, karena dindingnya
relatif tebal dari impetigo krustosa. Isinya berupa cairan yang lama kelamaan
akan berubah menjadi keruh karena invasi leukosit dan akan mengendap. Bila
pengendapan terjadi pada bulla disebut hipopion yaitu ruangan yang berisi pus
yang mengendap, bila letaknya di punggung, maka akan tampak seperti
menggantung. (4)
Gejala klinis dari impetigo bulosa yaitu terdapat vesikel dan bula yang
mengandung cairan kuning atau sedikit keruh dan eritema di sekitarnya. Vesikel
sampai bula timbul mendadak pada kulit yang sehat bervariasi mulai miliar
hingga lentikular, dapat bertahan hingga 2-3 hari. Terkadang saat penderita
datang berobat, vesikel/bula telah pecah sehingga yang tampak hanya koleret dan
dasarnya masih eritematosa. Tempat predileksi di ketiak, dada, punggung,
ekstremitas atas dan bawah. Lesi yang luas pada bayi dapat dikaitkan dengan
gejala sistemik seperti demam, malaise, kelemahan umum, dan diare. (1, 2, 5)
Diagnosis banding impetigo antara lain dermatitis kontak alergi, herpes
simpleks, epidermal dermatofitosis, scabies, herpes zoster, gigitan serangga dan
luka bakar.(2)
3
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan antara lain kultur bakteri dan
sensitivitas antibiotik untuk mengeradikasi bakteri penyebab infeksi. Pengecatan
bakteri untuk melihat bakteri penyebab infeksi. Jika terdapat hanya beberapa
vesikel/bula, dipecahkan lalu diberi salep antibiotik atau cairan antiseptik. Kalau
banyak diberi pula antibiotik sistemik.(2, 5)
Prognosis umunya baik.
II. DIAGNOSIS
2.1. ANAMNESIS
a. Anamnesis umum
Tanyakanlah data pribadi pasien: nama, umur, alamat, dan pekerjaan
Tanyakanlah apa yang menyebabkan pasien datang ke dokter (keluhan
utama). Untuk heteroanamnesis tanyakan hubungan pasien dengan pengantar
b. Anamnesis terpimpin
Tanyakanlah kapan kelainan kulit tersebut mulai muncul, apakah hilang
timbul, menetap, dimana lokasi awalnya dan kemudian muncul dimana.
Tanyakanlah apakah disertai demam atau tidak
Tanyakanlah apakah disertai gatal atau tidak.
Tanyakan apakah bercak kulit ini ada hubungannya dengan gigitan
serangga atau luka(trauma)
Tanyakanlah apakah bercak kulit ini disertai kram atau nyeri. Jika ada
tanyakanlah:
Kapan mulai terjadi hal tersebut, apakah terjadi mendadak atau
tidak.
Sifat nyeri atau kram: ringan, sedang, berat; intermitten atau terus
menerus; lebih tinggi pada pagi,sore atau malam hari; serangan
4
dengan interval tertentu; hanya pada satu tempat atau terasa seperti
semut bergerak.
Apakah ada sakit tulang-tulang, artralgia, mialgia, anoreksia dan
malaise.
Nyeri tekan pada lengan dan atau kaki.
Luka di telapak tangan atau kaki
Tanyakanlah apakah pasien pernah mengalami keluhan yang sama pada
masa lalu.
Tanyakanlah riwayat penyakit yang sama dalam lingkup keluarga atau
lingkungan sekitar tempat tinggal.
Tanyakanlah adanya riwayat kontak dengan penderita penyakit dengan
gejala yang sama
Tanyakanlah riwayat pengobatan yang pernah diterima dari dokter dan
obat yang dibeli sendiri oleh pasien tanpa resep dokter
2.2. PEMERIKSAAN FISIS
Pemeriksaan kulit: (6)
Lokalisasi: ketiak, dada, punggung, dan ekstremitas atas atau bawah.
Efloresensi: tampak bula dengan dinding tebal dan tipis, miliar hingga
lentikular, kulit sekitarnya tidak menunjukkan peradangan, terkadang-
kadang tampak hipopion.
Pemeriksaan Fisik: (6)
Tipe dan lokasi lesi: Sering terjadi pada wajah (sekitar mulut dan hidung)
atau dekat rentan trauma.
Makula merah atau papul sebagai lesi awal.
Lesi dengan bula yang ruptur dan tepi dengan krusta.
Lesi dengan krusta berwarna seperti madu.
Vesikel atau bula.
Pustula.
5
Basah, dangkal, dan ulserasi eritematous.
Lesi satelit.
Limphadenopaty regional. (umumnya pada impetigo kontagiosa dan
jarang pada impetigo bulosa
Gambar 1. Eritema, Bulla dan hipopion
Gambar 2. ( Bula telah pecah membentuk erosi dan krusta)
2.3. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pewarnaan gram.
Pada pemeriksaan ini akan mengungkapkan adanya neutropil dengan
kuman coccus gram positif berbentuk rantai atau kelompok. (7)
Kultur cairan.
6
Pada pemeriksaan ini umumnya akan mengungkapkan adanya
Streptococcus aureus, atau kombinasi antara Streptococcus pyogenes
dengan Streptococcus beta hemolyticus grup A (GABHS), atau kadang-
kadang dapat berdiri sendiri.(7)
Biopsi dapat juga dilakukan jika ada indikasi (7)
2.4. DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis banding impetigo antara lain :(2)
1. Dermatitis kontak alergi
2. Herpes simpleks
3. Epidermal dermatofitosis
4. Scabies
5. Herpes zoster
6. Gigitan serangga
7. Luka bakar.
2.5 PENATALAKSANAAN
2.5.1 Topikal
2.5.1.1. Mupirocin (8, 9)
Dosis : 250 – 500 mg 4 kali sehari selama 5 – 7 hari.
Mekanisme : menghambat kuman aerobic Gram-psitif,
termasuk methicillin-resistant S. aureus.
Efek samping : rasa terbakar, gatal, rasa tersengat, kemerahan.
2.5.2. Sistemik
2.5.2.1. Flucloxacillin (8)
Dosis : 500 mg 4 kali sehari selama 7 hari
Mekanisme : mengganggu sintesis dinding sel bakteri
Efek samping : reaksi aleri, diare
2.5.2.2. Klaritromisin (8)
7
Dosis : 2 kali 250 – 500 mg sehari selama 7 hari
Mekanisme : menghambat sintesis protein bakteri,
bakteriostatik (9)
Efek samping : iritasi saluran cerna
2.5.2.3. Eritromisin
Dosis : 250–500 mg 4 kali sehari selama 7 hari (7, 8)
Mekanisme : menghambat sintesis protein kuman dengan
jalan berikatan secara reversible dengan ribosom subunit 50S,
dan umumnya bersifat bekteriostatik, walaupun terkadang
dapat bersifat bakterisidal untuk kumaan yang sangat peka. (9)
Efek samping : reaksi alergi dalam bentuk demam, eusinofilia
dan eksantem yang cepat hilang bila terapi dihentikan. (9)
2.5.3. Non medikamentosa
Edukasi: (6)
1. Membersihkan luka yang lecet secara perlahan-lahan. Tidak
boleh melakukan gosokan pada luka terlalu dalam.
2. Pemberian mupirocin secara topical merupakan perawatan yang
cukup adekuat untuk lesi yang tunggal atau daerah-daerah kecil .
3. Pemerian antibiotic sistemik diindikasikan untuk lesi yang luas
atau untuk impetigo bulosa.
4. Pencucian dengan air panas seperti pada Staphylococcal Scalded
Skin Syndrom diindikasikan apabila lesi menunjukkan
keterlibatan daerah yang luas.
5. Diagnosis dan penatalaksanaan yang dini dapat mencegah
timbulnya sikatrik dan mencegah penyebaran lesi.
6. Kebutuhan akan konsultasi ditentukan dari luasnya daerah yang
terserang/terlibat dan usia pasien. Neonates dengan impetigo
bulosa memerlukan konsultasi dengan ahli neonatologi.
8
2.6. PROGNOSIS
Umumnya baik jika diobati dengan tepat dan cepat. Bila diabaikan akan timbul
komplikasi.
2.7. PENCEGAHAN
1. Menjaga kebersihan diri dan lingkungan
2. Mengkonsumsi makanan bergizi untuk meningkatkan daya tahan tubuh
3. Tidak berganti pakaian dengan orang lain.
9
DAFTAR PUSTAKA
1. Djuanda A. Pioderma. Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia; 2010. p. 58-9.
2. Ftzpatrick TB. Fitzpatrick's color atlas & synopsis of clinical dermatology. 6
ed. New York: Hill Mc-Graw; 2009. 597-602 p.
3. Maike k. The use of typing methods and infection preention measures to control
a bullous impetigo outbreak on a neonatal ward. antimicrobial resistance
infection control. 2012;1:6.
4. Lisa L. Impetigo. medscape; 2014.
5. Sweeney RSM. Impetigo. The health care of homeless person 1:63-5.
6. Impetigo. the patient education institute. 2013.
7. Sandra L. Impetigo: treatment and management. nursing times. 2014;110.
8. Riain UN. Recommended management of common bacterial skin infection.
2011.
9. Setiabudy R. Farmakologi dan Terapi. 5 ed. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia; 2011. 723-30 p.
10