Ilmu Pemerintahan Untuk Setiap Orang Rev

241
1 ILMU PEMERINTAHAN INI UNTUK SEMUA ORANG Taliziduhu Ndraha, Kybernolog 1 UNTUK HIDUP, KITA PERLU ILMU Mengapa Kita Ini Ada? Cogito Ergo Sum: Aku Berpikir, Maka Aku Ada-----Rene Descartes (1596-1650) Salah satu hal teragung dan terbesar yang diwariskan oleh Para Bapa Bangsa dan Pendiri Negara Indonesia kepada kita adalah Pasal 28 UUD 1945 naskah asli dan pertama, berbunyi: Kemerdekaan Berserikat Dan Berkumpul, Mengeluarkan Pikiran Dengan Lisan Dan Tulisan Dan Sebagainya Ditetapkan Dengan Undang-Undang Pasal sakti tersebut dikutip dari Koesnodiprodjo, Himpunan Undang-Undang, Peraturan-Peraturan, Penetapan-Penetapan Pemerintah Republik Indonesia 1945 (SK Seno Jakarta, Juli 1951), dengan Kata Pengantar dari Prof. Dr Soepomo. Tidak seperti yang sering diucapkan dan ditulis orang, Pasal itu mengatur perihal kemerdekaan berpikir, bukan kebebasan berpendapat. Orang mudah berpendapat tanpa berpikir, tetapi melalui proses berpikir, pikiran bisa berbuah pendapat, buah yang matang, stabil dan berguna. “Pikir Itu Pelita Hati,” oleh “berpikir” lubuk hati segelap apapun menjadi terang, “Pikir Dahulu Pendapatan, Sesal Kemudian Tidak Berguna.” Benderangnya lubuk hari memungkinkan kita tidak “berpikir pendek” melainkan “berpikir panjang,” sehingga walau hati panas, kepala tetap dingin. Kita mengenal bermacam-macam bangunan. Bangunan dikenal dengan bahan atau zat bangunannya, konstruksi, dan fungsinya. Ilmu yang tercantum dalam judul di atas adalah semacam bangunan. Dilihat dari bahan bangunannya, ilmu bermacam-macam adanya. Ada yang bahan bangunannya dari perasaan, ada yang bahan bangunannya dari kepercayaan, ada pula yang bahan bangunannya terdiri dari adonan pendapat dan retorika. Ilmu yang kita bicarakan ini adalah ilmu yang bahan bangunannya buah pikiran. Disebut “buah” karena pikiran itu dipersepsi sebagai pohon di tengah belukar, dari benih, tertanam di lahan, dengan akar dan daunnya, yang berbuah dan berdaurulang, di bawah terpaan badai, terik dan hujan. Ilmu yang bahan bangunannya

Transcript of Ilmu Pemerintahan Untuk Setiap Orang Rev

1

ILMU PEMERINTAHAN INI UNTUK SEMUA ORANG

Taliziduhu Ndraha, Kybernolog

1 UNTUK HIDUP, KITA PERLU ILMU

Mengapa Kita Ini Ada? Cogito Ergo Sum: Aku Berpikir, Maka Aku Ada-----Rene Descartes (1596-1650) Salah satu hal teragung dan terbesar yang diwariskan oleh Para Bapa Bangsa dan Pendiri Negara Indonesia kepada kita adalah Pasal 28 UUD 1945 naskah asli dan pertama, berbunyi: Kemerdekaan Berserikat Dan Berkumpul, Mengeluarkan Pikiran Dengan Lisan Dan Tulisan Dan Sebagainya Ditetapkan Dengan Undang-Undang Pasal sakti tersebut dikutip dari Koesnodiprodjo, Himpunan Undang-Undang, Peraturan-Peraturan, Penetapan-Penetapan Pemerintah Republik Indonesia 1945 (SK Seno Jakarta, Juli 1951), dengan Kata Pengantar dari Prof. Dr Soepomo. Tidak seperti yang sering diucapkan dan ditulis orang, Pasal itu mengatur perihal kemerdekaan berpikir, bukan kebebasan berpendapat. Orang mudah berpendapat tanpa berpikir, tetapi melalui proses berpikir, pikiran bisa berbuah pendapat, buah yang matang, stabil dan berguna. “Pikir Itu Pelita Hati,” oleh “berpikir” lubuk hati segelap apapun menjadi terang, “Pikir Dahulu Pendapatan, Sesal Kemudian Tidak Berguna.” Benderangnya lubuk hari memungkinkan kita tidak “berpikir pendek” melainkan “berpikir panjang,” sehingga walau hati panas, kepala tetap dingin. Kita mengenal bermacam-macam bangunan. Bangunan dikenal dengan bahan atau zat bangunannya, konstruksi, dan fungsinya. Ilmu yang tercantum dalam judul di atas adalah semacam bangunan. Dilihat dari bahan bangunannya, ilmu bermacam-macam adanya. Ada yang bahan bangunannya dari perasaan, ada yang bahan bangunannya dari kepercayaan, ada pula yang bahan bangunannya terdiri dari adonan pendapat dan retorika. Ilmu yang kita bicarakan ini adalah ilmu yang bahan bangunannya buah pikiran. Disebut “buah” karena pikiran itu dipersepsi sebagai pohon di tengah belukar, dari benih, tertanam di lahan, dengan akar dan daunnya, yang berbuah dan berdaurulang, di bawah terpaan badai, terik dan hujan. Ilmu yang bahan bangunannya

2

buah pikiran itu, lazim juga disebut ilmupengetahuan. Sama seperti pohon bercabang, ilmu pun bercabang dan beranting pula. Seperti bangunan fisik yang disebut menurut fungsinya, katakanlah tumahtinggal, kantor, pabrik, dan gudang, ilmu juga disebut menurut fungsinya. Ada Matematika, Ilmu Alam, Ilmu Sosial dan Humaniora. Jadi ilmu adalah bangunan buah pikiran yang kita perlukan sebagai alat pendukung kehidupan. Sudah barang tentu, sama seperti bangunan lainnya, sejauh mana ilmu mengantar dan mendukung kehidupan di dalam lingkungannya dari waktu ke waktu dan dari suatu tempat ke tempat lain, bergantung pada kualitas bahan (zat) bangunan, konstruksi bangunan, dan keberfungsiannya. Yang menjadi pertanyaan sekarang ialah, ilmu apa atau ilmu seperti apa yang kita butuhkan, terlebih pada zaman sekarang ke depan? Namun untuk bisa menjawab pertanyaan sepenting itu, perlu dijawab dulu pertanyaan berikut.

2 SIAPAKAH KITA INI?

Bagian Pertama: Manusia Gnothi Seauton Kenalilah Dirimu Sendiri!------Socrates (469-399) Mengenal Kualitas Manusia Kualitas adalah karakteristik yang membedakan satu dengan yang lainnya. Jika kualitas ditimbang, ia diberi nilai, dan nilai yang disepakati atau dipaksakan disebut norma. Kualitas dasar manusia itu terdapat di ruang pengakuan (keimanan, kepercayaan) setiap orang. Orang Indonesia yang mengaku berTuhan YME menyatakan bahwa manusia ------- yaitu dirinya ------- adalah ciptaan ALLAH yang paling mulia. Pengakuan itulah yang menjadi sumber sistem nilai sentral bangsa Indonesia, yaitu Pancasila dan UUD 1945 seperti yang dimaksud oleh para Bapak Bangsa dan Pendiri Negara Indonesia. Gambar 1 menunjukkan arkeologi konsep Manusia dan Kualitas Manusia. Di sana terlihat 6 generasi sekaligus tujuh kelompok kualitas manusia, yaitu. 1. Manusia sebagai ciptaan ALLAH, makhluk paling terhormat 2. Manusia sebagai penduduk 3. Manusia sebagai masyarakat 4. Manusia sebagai wargabangsa

3

5. Manusia sebagai warganegara a. Sebagai pembayar (wajib-bayar) pajak b. Sebagai pembela (wajib-bela) Negara c. Sebagai konstituen (berhak-pilih-dipilih) 6. Manusia sebagai pemerintah (dengan kualitas derivatnya) 7. Manusia sebagai yang-diperintah (dengan 8 kualitas derivatnya) Dalam perjalanan sejarah, manusia mengalami degradasi kualitatif seperti terlihat pada kelompok 7 Gambar 1. ALLAH mencipta CIPTAAN<---------------------HUBUNGAN PEMERINTAHAN---------------------> MAKHLUK MANUSIA-->MEMBUMI 1 CIPTAAN | MANUSIA | PENDUDUK-->BERMASYARAKAT | 2 CIPTAAN | MANUSIA | PENDUDUK | WARGAMA- | SYARAKAT-->BERBANGSA | 3 CIPTAAN | MANUSIA | PENDUDUK KUALITAS MASYARAKAT MANUSIA WARGABANGSA-->BERNEGARA | 4 CIPTAAN | MANUSIA | PENDUDUK | MASYARAKAT | BANGSA | WARGANE- | GARA----->BERPEMERINTAHAN 7 5 CIPTAAN YANG DI- MANUSIA PERINTAH PENDUDUK konstituen MASYARAKAT representatif BANGSA terjanji NEGARA pelanggan<------------hubungan pemerintahan------------>PEMERINTAH penagih penjanji konsumer tertagih korban provider mangsa penanggungjawab 6

Gambar 1 Kualitas Manusia

4

Kualitas manusia pada generasi dan kelompok lima (Negara) adalah yang terpenting. Kondisi itulah yang menyebabkan perubahan kualitas manusia di kelompok 7. Generasi ini paling kontroversial dan dilemmatik. Di sinilah terletak takdir setiap orang. Pada generasi itu, kekuasaan adalah kebutuhan mutlak setiap warga untuk bisa hidup maju-berlanjut, tetapi begitu kebutuhan itu terpenuhi, begitu kekuasaan itu terbentuk, warga kehilangan daya untuk mengontrol (memonev) kinerja kekuasaan itu, kekuasaan itu berliar-liar dan leluasa membuai warga hingga terlena sambil tertawa saat dihirup darahnya, dicabik dan dilahap tubuhnya. Bukankah kaum elit itu tidak lagi bertanya “apa yang kita jerang,” melainkan “siapa yang kita mangsa?” Kita “dipaksa” atau terpaksa menerima kenyataan itu. Perilaku “berliar-liar” kaum elit itu semakin menjadi-jadi manakala jabatan publik dan kebijakan mereka disakralisasi (kings and queens can do no wrong, sabdo pandito ratu), ketaatan dan kepatuhan warga disalahgunakan (mikul duwur mendhem jero), dan vox populi saat pemilu dijadikan legitimasi perilaku “berliar-liar.” Pengetahuan tentang bagaimana manusia beroleh kualitas-kualitas derivat, merupakan kebutuhan lainnya. Dilihat dari perspektif itu, kita adalah manusia yang kualitasnya dalam kondisi terpuruk, dan oleh sebab itu dibutuhkan perjuangan untuk memulihkan (mengangkat, membaharui, menyelamatkan) kondisi kita selaku manusia kembali pada kualitas semula. Landasan utama perjuangan yang dimaksud adalah Pernyataan Universal Hak Asasi Manusia. Ajaran HAM dan KAM Pengakuan di atas melahirkan pengakuan berikutnya bahwa “Semua orang dilahirkan merdeka dan mempunyai martabat dan hak-hak yang sama. Mereka dikaruniai akal dan hatinurani dan hendaknya bergaul satu sama lain dalam persaudaraan,” demikian Pasal 1 Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia (HAM), sebagaimana diterima dan diumumkan oleh Majelis Umum PBB pada tanggal 10 Desember 1948. HAM adalah hak eksistensial, bawaan sebagai manusia, bukan pemberian Negara atau fihak manapun. Harus diakui, dilindungi, dan dipenuhi oleh Negara sebagai sistem kekuasaan tertinggi dalam wilayahnya. Kontroversi atau dilemma pemenuhan HAM oleh Negara ialah kenyataan bahwa Negara yang mengatur lebih lanjut implementasi HAM dan berkewajiban mengakui, melindungi dan memenuhinya, cenderung melanggar HAM! Biasanya, Negara menolak bertanggungjawab atas pelanggarannya dengan membatasi pelaku pelanggaran

5

pada “oknum” yang dijadikan kambing hitam. Apa yang terjadi antara Negara dengan warga, terjadi juga antara atasan dengan bawahan dalam suatu unitkerja. Fakta itu terjadi sepanjang tahun 2011, sehingga sejumlah media menyebut tahun itu Tahun Dusta, Tahun Kebohongan, sementara media lain menjulukinya Tahun Kekerasan. Padahal semua orang tau, dalam sistem kekuasaan, “oknum” (bawahan) itu hanya alat, penanggungjawab adalah pengguna (atasan)-nya. Sindiran pojok Kompas 040112 berbunyi “Target e-KTP DKI tidak terpenuhi, yang mundur bukan Mendagri melainkan Wagub-nya!” tidak mengada-ada. Dengan dimasukkannya HAM ke dalam lingkungan Kementerian HukHAM, Negara semakin leluasa melakukan pelanggaran-pelanggaran HAM di segala bidang. Selanjutnya, konsep Hak, Wewenang, Kewajiban, dan Tanggungjawab. Dan hubungan antar empat konsep itu terdapat dalam Bagian Dua Bab II Kybernologi Sebuah Scientific Enterprise (2006). Hubungan antara HAM dengan KAM (Kewajiban Azasi Manusia) pada umumnya timbal-balik. Artinya di mana ada hak, di sana ada kewajiban. Dalam perjanjian atau kesepakatan, hak fihak yang satu adalah kewajiban fihak yang lain. Perbedaaannya terletak pada subjek. Subjek HAM adalah setiap orang sejak terbentuk dalam kandungan ibunya. Perlu dikemukakan bahwa manusia (setiap orang) memiliki HAM begitu ia terbentuk dalam rahim ibunya, tetapi tidak dapat dan tidak mungkin ia dibebani KAM (kewajiban asasi) pada saat yang sama. Dia dapat terbebani KAM seiring dengan kemampuannya untuk bertanggungjawab. Orang berKAM (hanya) sepanjang ia mampu bertanggungjawab. Bayi misalnya tidak atau “belum” berKAM. Yang terbebani KAM adalah orangtuanya. Sesungguhnya demikian juga halnya hubungan antara Negara (orangtua) dengan masyarakat yang baru diserahi otonomi daerah! Kita perlu mengetahui kaitan dengan HAM baik di hulu, di tengah, maupun di hilir kehidupan kita. Pembelajaran HAM tak terpisahkan dari Negara dan politik. Persentuhan antara keduanya terjadi pada dua titik. Pertama, seperti dikemukakan di atas, negaralah yang berkewajiban mengakui, melindungi, menegakkan, dan memenuhi HAM, dan kedua, dalam kenyataannya, negaralah yang paling potensial melakukan pelanggaran HAM itu sendiri. Pelajaran HAM terkait dengan masyarakat. Keterkaitan antara keduanya terjadi pada tiga titik. Pertama, masyarakat adalah pelanggan pelayanan HAM oleh Negara, sehingga masyarakat berfungsi mengontrol kebijakan Negara tentang HAM di hulu, kedua, masyarakat juga potensial melanggar HAM, dan ketiga, masyarakat sebagai pelanggan berfungsi memonev pelayanan HAM di hilir. Yang pertama jelas. Kita berusaha mengontrol kekuasaan di hulu melalui pemilu dan pembuatan kebijakan. Yang kedua dan ketiga memerlukan penjelasan. Suatu hari pada tahun 70-an ketika saya buru-buru pergi mengajar, tanpa

6

sengaja saya melanggar rambu lalulintas. Pelanggaran itu mau tidak mau harus saaya pertanggungjawabkan, dengan menanggung sanksinya. Sanksi pelanggaran seperti biasa, STNK dan KTP disita polantas, ditilang, dan diwajibkan melapor ke kantor keesokan harinya. Bisa-bisa disidang di pengadilan. Dengan alasan macam-macam, demi mengelak pertanggungjawaban itu, saya berusaha menyuap petugas dengan sejumlah uang. Mujur buat saja, saya kena batunya. Sang petugas mengajari saya dua hal: 1. Jika guru melanggar peraturan, apa lagi muridnya. Bukankah “Guru kencing berdiri, murid kencing berlari?” 2. Pengelakan warga untuk bertanggungjawab atas pelanggaran atau perbuatannya, menumbuhkan budaya suap-menyuap khususnya dan korupsi umumnya antara warga dengan pejabat kekuasaan Perihal ketiga jauh lebih dalam. Ternyata dalam hubungan pemerintahan, warga selalu dalam posisi nirdaya, sehingga kita tidak mampu memonev dan mengontrol kekuasaan di hulu (pemilu dan pembuatan kebijakan sumber-sumber secara cerdas ), di tengah (sehari-hari mengawal dan merawat), dan di hilir (bertanya, dan jika jawaban Negara tidak kita percaya, melawan). Aksi unjukrasa saja dianggap anarki dan ditindas. Yang bertepuk tangan adalah fihak ketiga. Sejarah membuktikan betapa lemahnya kita sehingga diperlukan waktu 30 sampai 90 tahun akumulasi kekecewaan, kehinaan, dan kemarahan yang tidak tertahankan lagi untuk nekad menumbangkan sebuah rezim pemangsa. Di atas telah dikemukakan satu dilemma, yaitu kekuasaan adalah kebutuhan mutlak setiap warga untuk bisa hidup maju-berlanjut, tetapi begitu kekuasaan itu terbentuk, begitu kebutuhan itu secara formal terpenuhi, warga kehilangan daya untuk mengontrol (memonev) kinerja kekuasaan itu, kekuasaan itu berliar-liar dan leluasa membuai warga hingga terlena sambil tertawa saat dihirup darahnya, dicabik dan dilahap tubuhnya. Kita “dipaksa” atau terpaksa menerima kenyataan itu. Apakah ini adil? Barangkali untuk menjawab pertanyaan tersebut “terpaksa” pula dimunculkan dilemma kedua, yaitu: Negara berfungsi mutlak mencerdaskan dan memberdayakan bangsa, demikian Pembukaan UUD 1945 naskah asli, tetapi begitu bangsa cerdas, konon pula bilamana lebih cerdas darinya, Negara harus siap di hulu, tengah, dan di hilir untuk dimonev, dikontrol, dikawal, dan pada saat tertentu dilawan dengan korban yang sangat tinggi oleh warga yang dicerdaskan dan diberdayakannya sendiri, sampai jumpa takdir “the higher you are, the harder you fall.” Apakah Negara siap juga menerima hal itu?

7

Dilihat dari perspektif itu, kita adalah warga yang kualitasnya dibanding dengan kualitas pemangku kekuasaan Negara berada dalam kondisi sangat timpang, dan oleh karena itu mutlak dibutuhkan pendidikan kewargaan (civic education) yang mampu membentuk warga masyarakat yang cerdas (berpikir) dan bertanggungjawab, sehingga dayarusak dan korban dua dilemma di atas dapat tertekan seminimal mungkin, dan kesempatan untuk membangun hubungan yang selaras, seimbang, serasi, dinamis, dan berkelanjutan antara Negara dengan warga, terbuka. Pelayanan pendidikan kewargaan itu adalah kewajiban asasi Negara. Nilai, Kebutuhan, dan Naluri Warga HAM sebuah sistem nilai. Semua alat dan cara pemenuh kebutuhan dan naluri manusia disebut bernilai. Di bawah sistem otokratik atau sistem politik berkepemimpinan lemah, nilai tertentu bisa dipaksakan berlakunya sebagai norma atau kaidah melalui berbagai cara dan alat. Norma ditegakkan dengan berbagai cara pula, misalnya pengaturan dan pembudayaan, tetapi di sini dikemukakan dua cara lainnya. Pertama, sakralisasi nilai, artinya nilai yang disepakati disakralkan, dalam arti fihak yang bersepakat memonopoli nilai (kebenaran), dan selanjutnya fihak yang lain dianggap berkesalahan. Kedua, pengakuan nilai, artinya nilai yang disepakati diakui secara sadar sebagai pola perilaku fihak yang berpengakuan itu saja, tanpa menganggap fihak lain berkesalahan. Negara berkewajiban menyelesaikan konflik antar pengakuan atau kepercayaan sesegera mungkin, dan tidak membiarkannya dengan harapan akan padam sendiri atau dilupakan orang. Jabaran sistem nilai HAM itu selanjutnya dapat dibaca dalam UU 39/99 tentang HAM, lihat Bab I Kybernologi Hak Asasi Manusia dan Kepamongprajaan (2010). sakral- --------4-->DOGMA | isasi PENGETAHU- karak- ditim- disepa- | AN TENTANG--------->KUALITAS------->NILAI-------->NORMA--| SESUATU teristik | bang | kati* | | CREDO, | | | | | penga- SELF- ---------1--------- 2 3 --------5-->COMMIT- kuan MENT, KODE ETIK

Gambar 2 Teori Nilai

Walter Lippmann dalam The Public Philosophy (1956) menyatakan betapa pentingnya “human needs and instincts” itu. “The ius gentium was meant to contain

8

what was common and universal, separated from what was peculiar and local, in the laws of all states. And beyond this practical common law for commercial intercourse, the Roman jurists recognized that in theory there was also natural law, ius naturale, which is the law imposed on mankind by common human nature, that is by reason, is response to human needs and instincts.” Lebih satu setengah abad sebelumnya, dalam bukunya setebal 32 halaman berjudul Schets der Regeerkunde, in betrekking tot hare oogmerken en middelen (Sketsa Ilmu Pemerintahan, maksud dan ikhtiar-ikhtiarnya), L. P. van de Spiegel menjelaskan hal-hal yang dibutuhkan manusia untuk mencapai kebahagiaan lahir-batin dunia-akhirat (LBDA) itu. Ia menyatakan bahwa manusia memperoleh kebahagiaan rohaniah manakala manusia menjalankan agamanya (Godsdienst), melakukan kebajikan utama kewargaan (Burgerlijke Deugden), dan mengerjakan kepandaian-kepandaian yang berguna (Nuttige Kundigheden), sedangkan kebahagiaan jasmani bergantung pada kebebasan (Vrijheid), keamanan (Veiligheid), kesehatan (Gezondheid), dan kemakmuran (Overvloed). -----> KEBUTUHAN --------> KETEGANGAN --------> DORONGAN -------- | | | | | | -------KEKURANGAN <---------KELEGAAN <--------- PEMENUHAN <------

-------> NALURI ---------> KETEGANGAN --------> DORONGAN -------- | | | | | | ------- KERESAHAN <------- KEDAMAIAN <-------- PENGENDALIAN <----

Gambar 3 Kebutuhan dan Naluri Manusia

Kebutuhan (needs, felt needs) adalah “apa saja” yang mendukung kehidupan. Kekurangan “apa saja” itu menggerakkan (mendorong) orang yang bersangkutan untuk mencari pemenuhannya. Jadi identik dengan nilai. Sebelum terpenuhi, ia merasa tegang (terbeban) dan jika dapat ia merasa lega. Kelegaan itu disebut juga kepuasan. (satisfaction). Naluri (instincts) adalah kualitas bawaan. Disebut juga watak, tabiat, kecenderungan. Jika kebutuhan “harus” dipenuhi, naluri “harus” dikontrol (dikendalikan) dengan norma-norma sosial agar tidak melampaui ambang batas toleransi kemanusiaan (Gambar 3).

9

Berbagai Teori Kebutuhan dapat dipelajari, terutama dalam buku-buku tentang Ekonomi, Bisnis, Psikologi, dan MSDM. Satu di antaranya adalah Teori Maslow tentang macam-macam kebutuhan dan hierarkinya. Kenyataan bahwa perilaku orang tidak selalu mengikutinya langkah demi langkah dari anaktangga yang satu ke anaktangga berikutnya, Teori Maslow tetap berharga. Di samping itu, perlu diketahui bahwa konsep kebutuhan dasar manusia bersifat matriks, di satu sisi kebutuhan jasmani dan rohani yang tak terpisahkan satu dengan yang lain, dan di sisi lain kebutuhan jangka pendek dan jangka panjang yang juga saling berkaitan erat. Politik biasanya jauh lebih mengutamakan kebutuhan jasmani dan jangka pendek ketimbang kebutuhan rohani dan jangka panjang. Pemenuhannya bercabang, ada yang melalui private choice (pasar), dan ada yang melalui public choice (Negara), lihat Gambar 4. Pemikiran tentang kehidupan sejajar dengan dan bermula pada pemikiran ekonomi, dari “kebutuhan manusia” sejak “terjadinya” di dalam kandungan. Pikiran ini dideduksi dari Ontologi Pemerintahan di atas. Pemenuhan kebutuhan manusia selain bersifat komprehensif (segala bidang kehidupan) juga bersifat jangka panjang sejauh mungkin ke depan: “Gouverner c’est prevoir,” demikian ungkapan Perancis. Kebutuhan perlu dibedakan dengan kepentingan. Kepentingan itu berada di ruang politik, tetapi kebutuhan di ruang kemanusiaan. Pada dasarnya, kebutuhan, lebih-lebih kebutuhan dasar (asasi) bersifat objektif. Kepentingan bersifat subjektif. Oleh kepentingan, sikap dan “pendirian” (pendirian semu) berubah-ubah sesuai dengan perubahan kepentingan. Itulah sebabnya kebutuhan dasar itu diposisikan sebagai hak asasi manusia, dan pemenuhannya sebagai kewajiban negara. Semua orang membutuhkan makanan. Tetapi pada saat orang berniat dan berkesempatan memilih dan menetapkan makan apa atau makan siapa dan kapan, maka dasar pertimbangannya adalah kepentingan. Jadi kepentingan itu subjektif. --INDIVIDUAL-- --A-- PENGEN- PUB- | 9 | | 13 | --DALI-- --LIC----| |--NEGARA--| | 2 | AN (4) | | CHOICE | 10 | 12 | 14 | 1 HUMAN 3 | | | 7 --KOLEKTIF---- --B-- MANU- --RIGHTS ---HUMAN--| |--NILAI--| SIA & INS- NEEDS | | 6 | 8 TINCTS | PEME- | | PRI- --NUH--- --VATE----PASAR ”BEBAS” AN (5) CHOICE 11

Gambar 4 Teori Kebutuhan

10

Maka berbahaya jika kita memilih (membeli) tanpa mengetahui apa yang sesungguhnya kita butuhkan. Penjelajahan pokok bahasan ini dimulai filsafat HAM sampai pada Teori Maslow dan teori-teori lainnya di lingkungan MSDM. Bagaimana dengan instinct (naluri)? Instinct adalah “an inborn pattern of activity or tendency to action common to a given biological species,” “a natural or innate impulse, inclination, or aptitude,” “natural intuitive power.” Naluri adalah kekuatan bawaan yang mendorong atau memotivasi subjek (pelaku) untuk bergerak, mengambil keputusan atau tindakan. Sampai pada tingkat tertentu, naluri yang bersifat impulsif itu bisa konflik dengan pikiran yang bekerja berdasarkan pertimbangan yang matang. Jika tingkat itu dianggap sebagai ambang batas harmoni atau konflik antara naluri dengan pikiran, maka yang diperlukan adalah alat untuk mengendalikan naluri agar bekerja di bawah ambang batasnya. Naluri yang bekerja melampaui ambang batas itu, lazim disebut sebagai keinginan, nafsu, serakah, gila, dan ungkapan sebangsanya. Daya-rusak nafsu seperti itu terhadap dirinya sendiri dan lingkungannya bisa jadi sangat besar, terlebih jika kemampuan rasional untuk mencapainya, lemah. “nafsu besar, tenaga kurang. . . . . ,” konon pula jika ia dalam kondisi lupa diri dan mabuk bandang! Dengan sikap apa kita merespons kedatangan Dewa SiBermukaDua bernama Janus DuaribuDuabelas? Saya tidak punya ide. Tetapi bersama seorang Ahmad Syafii Maarif kita turut sedih dan meratap, karena pendirian luhur para Bapak Bangsa dan Pendiri Negara “Biar negara hangus terbakar, asal tidak dijajah lagi,” telah diubah menjadi: “Biar negara jadi sapi perahan dan korupsi merajalela, asal aku tetap berkuasa ” (Kompas 040112). Dilihat dari perspektif itu, kita adalah warga yang kebutuhannya untuk hidup meningkat dan menuntut pemenuhan, dan hidup dengan naluri yang memerlukan pengendalian. Dari perspektif kebutuhan dasar manusia dengan alat pemenuhnya dan naluri manusia dengan alat pengendalinya, kita memerlukan ilmupengetahuan tentang perjuangan untuk memperoleh pengakuan, perlindungan, dan pemenuhan kebutuhan dasar manusia dan pengendalian nalurinya. Kebutuhan tidak terpisahkan dari nilai. Nilai adalah kebutuhan. Setiap yang dibutuhkan, bernilai, dan sebaliknya. Teori Nilai, Teori Sumber, dan Teori Kerja, merupakan tiga pilar teori yang lebih besar, yaitu Teori (Teori-Teori) Ekonomi. Di sini hanya Teori Nilai yang disentuh seperlunya. Pada dasarnya, ekonomi bukanlah urusan cari untung dengan merugikan orang lain, melainkan urusan hidup dan kehidupan. Oikos dan nomos. Hubungan antar tiga teori itu demikian. Pentingnya

11

nilai telah dikemukakan di atas. Semua yang ada, berguna, semua yang berguna, bernilai. Nilai adalah hasil pengolahan dan pengelolaan sumber-sumber, sementara kerja adalah kegiatan menggali, mengolah dan mengelola sumber-sumber. Bahasa akademiknya proses pengubahan input (sumber) menjadi output (nilai) yang dikehendaki. Supaya dayadukung sumber tidak merosot, sebagian nilai digunakan untuk melestarikan atau mencari sumber alternatif, agar hidup maju dan berkelanjutan (Gambar 5). Nilai terdapat pada (“dalam”) setiap zat, barang, atau apa saja yang “ada.” Seperti “isi” dengan “bentuk” atau kemasannya. Dalam Teori kerja ----> SUMBER -----------------------> NILAI ------- | (input) (proses) (output) | | | | | | sebagian nilai digunakan untuk | ----------- melestarikan sumber yang ada ---------- atau menemukan sumber alternatif

Gambar 5 Nilai, Sumber, dan Kerja

Budaya, nilai adalah muatan dan kemasan adalah vehiclenya. Dalam hubungan itu, ada tiga macam nilai. Nilai intrinsik yang melekat pada zat, barang, atau sesuatu yang ada (vehicle), bersifat objektif, nilai ekstrinsik yang dimasukkan orang ke dalam vehicle (misalnya ke dalam uang kertas yang nilai intrinsiknya hanya seribu rupiah diberi nilai ekstrinsik seratus ribu rupiah, jadi subjektif), dan nilai ideal yang belum ada kemasannya. Teori Nilai penting dalam pembahasan tentang sumber-sumber, proses, kualitas dan evaluasi Pelayanan Pemerintahan (Bab I Bukan Salah Ibu Mengandung, Tapi Bapa Salah Memandang (2011). Dalam bahasa sehari-hari, kualitas, mutu, nilai, sering disalingtukarkan, yang satu dianggap identik dengan yang lainnya. Dalam Kybernologi, tiga konsep, yaitu kualitas, nilai, dan norma, direkonstruksi seperti Ia Gambar 2 Nilai bisa juga berlaku atau diberlakukan tidak melalui proses penyepakatan bebas dalam batas-batas toleransi sosial (di bawah bidaya demokrasi yang sehat), dan bisa juga melalui dominasi atau paksanaan di bawah budaya politik partial atau otoritarian. Sakralisasi norma telah dikemukakan di atas. Sumber, Kerja, dan Nilai Nilai adalah hasil penggalian, pengolahan dan pengelolaan sumber-sumber, melalui kerja yang dilakukan oleh sumber manusia didukung oleh sumber buatan. Modelnya demikian (Gambar 6):

12

Masalah besar jangka panjang adalah sumber-sumber bagi upaya pembentukan nilai dan redistribusinya sehingga keadilan sosial terwudud bagi setiap kita. Redistribusi nilai itu disebut juga pembangunan, pelayanann dan pemberdayaan. Redistribusi nilai berkelanjutan mutlak memerlukan sumber-sumber yang berkelanjutan pula. Menureut Teori Sumber-Sumber, baik sumber alam (SA), sumber manusia (SM), maupun sumber buatan (SB, sumber kreatif, teknologi). Di sini Teori Sumber yang berbicara. Setiap sumber mempunyai dayadukung (DD) dan memikul beban berberat --SUMBER ALAM (SA)----- --DIGALI---- SUMBER | | | | REDIS- KE- (PASAL 33--|--SUMBER MANUSIA (SM)--|--|--DIOLAH----|--NILAI--TRI- -----ADILAN UUD1945)* | | | | BUSI SOSIAL --SUMBER BUATAN (SB)**- --DIKELOLA— *naskah asli **melalui pembangunan

Gambar 6 Sumber, Kerja, dan Nilai

(beratbeban, BB). Jika DD >BB maka sumber berfungsi sumberdaya (SD: SDA, SDM, SDBU), tetapi jika BB > DD, sumber berfungsi sumberbencana (SB: SBA, SBM, SBBU). Dipandang dari perspektifr itu, NKRI terdiri dari lima bangsa (Gambar 7). Dalam hubungan itu, kondisi DD = BB merupakan satu titik keseimbangan hipotetik, ambang batas (AB) antara keduanya. Dapat juga dikatakan, ABDD = ----------------------------------------------- | SUMBERDAYA ALAM | | |-----------------------------| SUMBERBENCANA | | KAYA | MISKIN | | -------------------------|-------------|---------------|-----------------| | | | 1| 2| 5| | WARGA | KAYA | BANGSA SATU | BANGSA DUA | | | MASYA- |-----------|-------------|---------------| BANGSA LIMA | | RAKAT | | 3| 4| | | | MISKIN | BANGSA TIGA | BANGSA EMPAT | | -------------------------------------------------------------------------

Gambar 7 Negara Kesatuan RI terdiri dari Lima Bangsa Berdasarkan Sumber-Sumber Daerah (Menggunakan Kacamata Moerdiono)

Sumberdaya Buatan Tidak Terlihat ABBB. Jadi supaya sumber menjadi sumberdaya, dayadukung sumber terkait harus ditingkatkan atau beratbebannya harus dikurangi. Perlu juga diketahui, bahwa dayadukung dan dayabencana suatu sumber berpengaruh terhadap

13

sumber lainnya (Gambar 8). Saat DD SA mendekati nol itu disebut titik kritik (critical point). Gambar 8 menunjukkan beberapa anggapan dan hipotesis: 1. Tingkat kemerosotan DD SA di Indonesia dan kecepatan kemerosotannya jauh lebih tinggi ketimbang Negara maju, sehingga SA cenderung berfungsi SBA 2. Peningkatan DD SM di Indonesia lebih rendah dan lambat ketimbang Negara maju, sehingga SM cenderung berfungsi SBM INDONESIA SA---------------->SM---------------->SBU------- dayadukung men- bergantung bergantung | dekati nol pada SA pada budaya | beratbeban me- | ningkat pesat | transformasi budaya | | NEGARA MAJU SDA<---------------SDM<---------------SDBU<-----

Gambar 8 Hubungan Antar Sumber-Sumber Berdasarkan Teori Margaret Mead dalam Cultural Patterns and Technical Changes (1955, 1957)

3. Transformasi budaya (SM) di Indonesia lebih lambat ketimbang peningkatan DD SBU, terjadi culture lag atau culture gap, sehingga SBU berubah menjadi SBBU 4. Kendatipun Indonesia bergerak, Negara maju bergerak jauh lebih cepat lagi, sehingga tanpa strategi yang kuat dan jitu, pada gilirannya Indonesia menjadi santapan Negara maju dan terundur ke belakang 5. Jika indeks kemerosotan DD SA Negara Indonesia dan kecepatan kemerosotannya lebih besar ketimbang indeks peningkatan DD SM dan pencepatannya, maka pada suatu saat ke depan bangsa Indonesia punah Oleh sebab itu, agar bangsa Indonesia (baca: daerah) tetap survive, 1. Sebelum dayadukung SA-nya mendekati nol, DD SM-nya harus sudah mendekati tingkat DD SM bangsa-bangsa maju, sehingga ketergantungan SM pada SA semakin berkurang 2. Laju kemerosotan DD SA (terjadinya titik kritik satu) dapat diperlambat atau dikurangi melalui perawatan, pengendalian eksploitasi, rehabilitasi, dan sikap bersahabat dengan SA 3. Peningkatan DD SM Indonesia mendekati DD SM bangsa maju, harus berhubungan positif dengan peningkatan DD SBU 4. Peningkatan DD SBU Indonesia harus didahului dengan transformasi budaya dari budaya “ya. . . . . tapi,” menjadi budaya “ya. . . . . maka” (titik kritik dua)

14

5. Pada titik-titik kritik itu dikonstruksi strategi Grand Design Pemerintahan Daerah 6. Pendidikan dan kesehatan, kendatipun diutamakan, harus berjalan bersama- sama dengan sektor-sektor terkait lainnya 7. Pembangunan diarahkan pada pembukaan lapangan kerja, transformasi lapangan kerja, dan kesempatan kerja bagi lapisan masyarakat bawah ke bawah 8. Ketergantung APBN (PAD) pada SDA semakin berkurang, sebaliknya ketergantungan APBN (PAD) pada kreativitas SDM semakin bertambah 9. Pajak sebagai sumber pendapat Negara/Daerah semakin intensif, ekstensif dan diversifikatif, sebaliknya retribusi semakin dibatasi sampai mendekati nol 10. Kualitas SDM Indonesia mendekati kualitasi SDM bangsa maju, jika budaya dikembalikan ke dalam ruang pendidikan, tidak di ruang entertainment dan devisa, dan transformasi budaya diprogramkan di sektor pendidikan 11. Melalui transformasi budaya terbentukan gaya hidup elitik, keserakahan, keborosan dan kemewahan dikendalikan, dibentuk gaya hidup sederhana, hemat, hidup sehat dan cerdas 12. Keberlanjutan pembangunan terjadi jika andalan sumberdaya secara bertahap dialihkan dari sumberdaya ekstraktif ke sumberdaya kreatif 13. Keberlanjutan penggunaan SDBU bergantung pada perawatan dan indeks penyusutan, melalui perhitungan engineering life dan accounting life SDA yang bersangkutan 14. Efektifitas pengelolaan dan konservasi sumberdaya bergantung pada penempatannya dalam RPJP secara berkelanjutaan Bagaimana dengan Kerja? Menurut George Thomason dalam A Textbook of Human Resource Management (1992), “work is an activity which demands the expenditure of energy or effort to create from ‘raw materials’ those products or services which people value.” (lihat Gambar 5). Di samping konsep work, ada beberapa konsep lainnya. Di atas telah dikemukakan bahwa setiap orang neniliki naluri (instinct). Jika naluri disertai kesadaran atau pertimbangan, terjadilah kegiatan (activity). Kegiatan yang dilakukan untuk menghasilkan nilai, langsung maupun tidak, terlebih dalam arti ekonomi, disebut kerja (work). Kerja yang sedikit-banyak diatur secara formal disebut pekerjaan atau jabatan (job, occupation, position), dan job yang berdasarkan profesionalisme disebut profesi (profession). Dalam bahasa sehari-hari, work dengan job dapat saling dipertukarkan (Gambar 9). Lagi pula, kerja atau pekerjaan yang

15

INSTINCT-------ACTIVITY-------WORK-------JOB------PROFESSION

Gambar 9 Work dimaksud adalah kerja dan pekerjaan yang tidak melanggar hukum. Di antara lima konsep pada Gambar 9, work yang paling penting tetapi paling sukar diwujudkan. Oleh sebab itu, penempatan kerja atau pekerjaan sebagai satu di antara HAM di dalam Pasal 27 (2) UUD 1945 naskah asli, sangat tepat. Bunyinya: “Tiap-tiap warganegara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.” Berdasarkan pasal 27 (2) UUD itu, setiap kebijakan Negara dan implementasinya yang dengan alasan apapun mengakibatkan seseorang kehilangan kerja atau pekerjaan sebelum mendapat kerja atau pekerjaan baru (lapangan kerja baru), kerja atau pekerjaan lain (transformasi lapangan kerja) sebagai gantinya, bertentangan dengan UUD. Gambar 10 menunjukkan sebagian sistem dan mekanisme dinamika sumber manusia(wi) dari ruang makro (masyarakat) ke ruang mikro (lapangan kerja) SOSIAL BUDAYA GEOGRAFI --------------------------------------------------------------- | ------------- --------------- --------------- | | | | | | | | | | | SUMBER | | PASAR KERJA | | LAPANGAN KEJA | | | | | | | | | | | | ----------------------------- | | | | KESEMPATAN KERJA (KERKER)---> | | | | ----------------------------- | | | | | | | | | | POL | | MANUSIAWI | | FORMAL | | FORMAL | | HUKUM | | | | | | | | | | ----------------------------- | | | | <----------RECRUITMENT (RECR) | | | | ----------------------------- | | | | | | | | | | | | MAKRO | | INFORMAL | | INFORMAL | | | | | | | | | | | ------------- --------------- --------------- | --------------------------------------------------------------- EKONOMI IPTEK SEJARAH

Gambar 10 Dinamika Kerja secara langsung atau tidak langsung (melalui pasar kerja), dan sebaliknya penarikan tenaga kerja dari masyarakat oleh unit kerja mikro berdasarkan kebutuhannya

16

masing-masing, melalui recruitment. Dinamika tersebut dipengaruhi oleh berbagai faktor lingkungan, seperti politik, hukum, dan teknologi. Sudah barang tentu seberapa deras arus kesempatan kerja mengalir dari masyarakat ke lapangan kerja, dan seberapa besar tenaga kerja tertarik memasuki lapangan kerja melalui recruitment, bergantung pada berbagai faktor seperti tergambar di atas. Misalnya di bidang pendidikan, sejauh mana pendidikan menghasilkan tenaga yang link and match dengan kebutuhan lapangan kerja mikro. Masalah besar timbul saat ditimbang dengan “penghidupan yang layak bagi kemanusiaan” ternyata di hilir, kesenjangan vertikal antar lapisan masyarakat dan kesenjangan horizontal antar daerah, semakin tajam dan dalam, di tengah, korupsi, mafia, dan pemborosan penyelenggaraan Negara semakin luas dan struktural, dan di hulu, kebijakan sumber-sumber sepenuhnya memihak kepentingan kekuasaan. Dilihat dari perspektif Teori Sumber-Sumber, Teori Nilai, dan Teori Kerja, kita adalah warga yang semakin kehilangan sumber-sumber, dalam redistribusi nilai kita semakin tidak kebagian, dan semakin keras kita bekerja, semakin sedikit yang kita dapat (we do the hardest but we earn the least). Oleh sebab itu kita membutuhkan ilmupengetahuan yang memberi kita kekuatan untuk berjuang mati-matian agar pada suatu saat yang tidak terlalu lama kita memperoleh imbalan pengorbanan kita yaitu penghidupan yang layak bagi kemanusiaa. Kontrol atas implementasi Pasal 33 UUD, pelestarian sumber-sumber dan penemuan sumber alternatif merupakan conditio sine qua non bagi kehidupan kita pada skala mikro dan jangka panjang. Dalam pada itu, dilihat dari perspektif Teori Sumber-Sumber selanjutnya, ambang batas penggalian sumber-sumber sampai pada tingkat mikro, mutlak dijaga. Senantiasa memperhitungkan kebutuhan kelestarian lingkungan sama dengan menjaga ambang batas penggalian sumber-sumber, agar penggalian itu tidak mengubah sumber menjadi sumber bencana melainkan merawatnya sebagai sumberdaya berkelanjutan. Untk selanjutnya bacalah Pengantar Teori Pengembvangan SDM (Rineka Cipta, 1999), Book Two Walter Lippmann The Public Philosophy, 1956, h. 84); Bab 4 Kybernologi 2003; Bab 2 Kybernologi Beberapa Konstruksi Utama, 2005; Bagian Dua Bab VI Kybernologi Sebuah Scientific Enterprise, 2006; Bab V Kybernologi Sebuah Metamorphosis, 2008. James A. F. Stoner dan Charles Wankel, Management Prentice-Hall (1986, 421) Kenalilah Musuhmu! Seorang saja musuh sudah terlalu banyak. Namun kalaupun ada, perlu dikenal. Kelompok yang biasanya di luar “kita” adalah kontestan, pesaing, lawan, dan musuh. Dalam Ilmu Perang dan Ilmu Dagang, justru anggota kelompok itu perlu dikenal, dan

17

sedapat-dapatnya hubungan itu berubah, dari “mereka” menjadi “kita.” Itu pada salah satu sisi. Di sisi lain, siapatah musuh kita yang sesungguhnya? Musuh kita yang sesungguhnya adalah diri kita sendiri. “Mulutmu harimaumu,” demikian bunyi pepatah orang bijak. Jadi Siapakah Kita Ini?

Tabel 1 Siapakah Kita Ini?

----------------------------------------------------------------------- | 1. Dilihat dari perspektif kualitas manusia, kita adalah warga yang | | kualitasnya dalam kondisi terpuruk, dan oleh sebab itu dibutuhkan | | perjuangan untuk memulihkan (mengangkat, membaharui, menyelamatkan)| | kondisi kita selaku manusia kembali pada kualitas semula | | 2. Dilihat dari perspektif ajaran HAM dan KAM, kita adalah warga yang | | kualitasnya dibanding dengan kualitas pemangku kekuasaan Negara | | berada dalam kondisi sangat timpang, dan oleh karena itu mutlak | | dibutuhkan pendidikan kewargaan (civic education) yang mampu | | membentuk warga masyarakat yang cerdas (berpikir) dan | | bertanggungjawab, sehingga dayarusak dan korban dua dilemma di atas| | dapat tertekan seminimal mungkin, dan kesempatan untuk membangun | | hubungan yang selaras, seimbang, serasi, dinamis, dan berkelanjutan| | antara Negara dengan warga, terbuka. Pelayanan pendidikan kewargaan| | itu adalah kewajiban asasi Negara. | | 3. Dilihat dari perspektif nilai, kebutuhan, dan naluri manusia, kita | | adalah warga yang kebutuhannya untuk hidup meningkat dan menuntut | | pemenuhan, dan hidup dengan naluri yang memerlukan pengendalian. | | Dari perspektif kebutuhan dasar manusia dengan alat pemenuhnya dan | | naluri manusia dengan alat pengendalinya, kita memerlukan | | ilmupengetahuan tentang perjuangan untuk memperoleh pengakuan, | | perlindungan, dan pemenuhan kebutuhan dasar manusia dan | | pengendalian nalurinya. | | 4. Dilihat dari perspektif Teori Sumber-Sumber, Teori Nilai, dan | | Teori Kerja, kita adalah warga yang semakin kehilangan sumber- | | sumber, dalam redistribusi nilai kita semakin tidak kebagian, dan | | semakin keras kita bekerja, semakin sedikit yang kita dapat (we do | | the hardest but we earn the least). Oleh sebab itu kita membutuhkan| | ilmupengetahuan yang memberi kita kekuatan untuk berjuang mati- | | matian agar pada suatu saat yang tidak terlalu lama kita memperoleh| | imbalan pengorbanan kita yaitu penghidupan yang layak bagi | | kemanusiaan. Kontrol atas implementasi Pasal 33 UUD, pelestarian | | sumber-sumber dan penemuan sumber alternatif merupakan condition | | sine qua non bagi kehidupan kita pada skala mikro dan jangka | | panjang. Dalam pada itu, dilihat dari perspektif Teori Sumber- | | Sumber selanjutnya, ambang batas penggalian sumber-sumber sampai | | pada tingkat mikro, mutlak dijaga. Senantiasa memperhitungkan | | kebutuhan kelestarian lingkungan sama dengan menjaga ambang batas | | penggalian sumber-sumber, agar penggalian itu tidak mengubah sumber|

18

| menjadi sumber bencana melainkan merawatnya sebagai sumberdaya | | berkelanjutan. | -----------------------------------------------------------------------

3 SIAPAKAH KITA INI?

Bagian Kedua: Masyarakat Penduduk, Masyarakat dan Bangsa Manusia berusaha memenuhi kebutuhannya di dalam dan melalui masyarakat. Gambar 1 menunjukkan asal-usul masyarakat sebagai hasil interaksi antar manusia selaku penduduk bumi dan prospek perkembangannya. Manusia adalah sebuah misteri. “It took less than an hour to make the atoms, a few hundred years to make the stars and planets, but three billion years to make the man!” demikian George Gamow dalam The Creation of the Universe” (1952). Sudah barang tentu, lebih lama lagi masa yang diperlukan untuk mengidentifikasi manusia sebagai “orang,” sebagai penduduk, kemudian sebagai masyarakat. Sebagai penduduk sangat rumit, karena semua makhluk adalah penduduk, tumbuh-tumbuhan (flora), binatang (fauna), dan manusia. Oleh naluri untuk hidup, antar penduduk terjadi hubungan assosiatif dan dissosiatif. Inilah proses dasar masyarakat, terlebih masyarakat manusia, yang dalam tulisan ini disebut masyarakat saja. Jika interaksi itu terjadi berpola dalam jangka waktu yang relative lama, terbentuklah masyarakat. Dalam hubungan itu, kebutuhan setiap orang ada yang bisa dipenuhinya sendiri, misalnya bernafas. Itupun dalam ruang bebas. Setiap orang berhak dan bebas bernafas. Setiap orang memiliki privacy. Tetapi ada kebutuhan yang pemenuhannya memerlukan kerjasama dengan orang lain di dalam masyarakat. Kebutuhan yang pemenuhannya memerlukan kerjasama warga, membentuk pola interaksi yang kuat. Melalui pola-pola interaksi itu, warga menggali dan mengolah sumber-sumber, mengelola kehidupan bersama, yang kemudian disebut urusan rumah tangga masyarakat yang bersangkutan. Hak warga masyarakat untuk mengolah sumber-sumber dan mengelola kehidupan bersama dalam masyarakat kemudian disebut otonomi sosial (otonomi bawaan, otonomi eksistensial). Setiap masyarakat memiliki otonomi. Bagian pertama buku Robert M. McIver The Web of Government (1961) tentang “The Emergence of Government,” menguraikan bagaimana suatu masyarakat hidup dan mengelola konflik kepentingan antar individu, dan bagaimana pemerintahan

19

terbentuk di tengah-tengah masyarakat. Masyarakat atau himpunan masyarakat yang berhasil mencapai puncak budayanya sebagaimana diakui dan dihormati oleh masyarakat lain di sekitarnya, berkualitas sebagai bangsa (nation). Setiap bangsa memiliki sovereignty. Ingat, badan dunia bukan Perserikat Negara-Negara melainkan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Dalam Kybernologi, nationaslism diartikan sebagai kesebangsaan. Nasionalisme Dalam Kybernologi, nationaslism diartikan sebagai kesebangsaan (Indonesia: bhinneka tunggal ika, Amerika: e pluribus unum). Transformasi konseptual hubungan antar demokrasi, nasionalisme dengan kesebangsaan tersebut secara filosofis-historis diuraikan di bawah ini. Dalam hubungan itu, ditarik perbedaan antara nationality dengan nationalism. Nationality berarti kebangsaan, seperti yang tercantum dalam KTP atau paspor, sedangkan nationalism diartikan sebagai nasionalisme politik dan nasionalisme ekonomi. Nasionalisme politik merupakan kekuatan perjuangan kemerdekaan dan ketahanan nasional untuk mempertahankannya pada periode survival 1945-1950. Sekarang sisa sebagai merek dagang kekuatan sosial-politik. Nasionalisme ekonomi yang sekarang mulai dicoba lagi di Amerika Latin, di Mesir dan Indonesia berjaya pada tahun 50-an (nasionalisasi Terusan Suez dan perusahaan asing), tetapi setelah itu pelan tetapi pasti mati suri. Saya mencoba menggelitiknya agar terjaga, lewat FIA UNTAG Jakarta melalui Seminar Nasional Nasionalisme Ekonomi Indonesia Menyongsong Kebangkitan Nasional Kedua Dalam Era Globalisasi Dunia tanggal 8 dan 9 Maret 1991 di Jakarta.

Tabel 2 Topik Seminar Nasional Nasionalisme Ekonomi Indonesia -------------------------------------------------------------------------------- TOPIK NARASUMBER PEMBAHAS -------------------------------------------------------------------------------- 1 Aktualisasi Nasionalisme Dalam Moerdiono Letjend Hasnan Habib Pembangunan Nasional Jangka Albert Hasibuan Panjang 25 Tahun Kedua 2 Sejarah Nasionalisme Indonesia Anhar Gonggong R. Z. Leirissa dan Perkembangannya di OngHokHam Masadepan 3 Aktualisasi Nasionalisme Dalam Andre Hardjana Taliziduhu Ndraha Demokrasi Ekonomi Indonesia: J. L. Martoatmodjo Nasionalisme Ekonomi di Negara Berkembang 4 Aktualisasi Nasionalisme Dalam Alfian Dwi Susanto Pembangunan Politik Jangka Cahyo Kumolo

20

Panjang 25 Tahun Kedua --------------------------------------------------------------------------------

Topik pembicaraan dalam seminar itu seperti tercantum di Tabel 2. Lagi pula se minar tentu saja diantar oleh Ketua Panitia Drs Periah Babo Ginting, diarahkan dan dibuka oleh Rektor UNTAG Jakarta waktu itu Prof. Dr Sri Soemantri Kartosoewignyo, SH. Trilogi nasionalisme yang digagaskan oleh Moerdiono waktu itu (Gambar 11), saya kembangkan dalam Bagian Dua Bab VI Kybernologi Sebuah Scientific Enmterprise (2006), dan kemudian saya terapkan dalam Bab IV tentang Reformasi Birokrasi, Dari Pemikiran Kualitatif Constructivist Menuju Birokrasi Berbasis Kybernologi (2011). ------------------------------------------- | | -------|----NASIONALISME---- | | | | | | | | PEMBANGUNAN | MASYARAKAT PANCASILA | |----NASIONAL----------|----ADIL DAN | | | JANGKA PANJANG | MAKMUR | | | | -------|-----DEMOKRASI------ | | | -------------------------------------------

Gambar 11 Trilogi Nasionalisme Moerdiono

Upaya penggelitikan nasionalisme ekonomi itu agar ia siuman, bergema sebentar, lalu hilang. Akhir-akhir ini menggeliat sedikit oleh kasus Mesuji dan Sape, tetapi hanya sampai pada sebuah karikatur Hak Asasi Kelapa Sawit yang dibuat oleh Oom Pasikom (241211), melengkapi karikatur-karikatur lain tentang Freeport dan sebangsanya. Sedihnya ialah, jika fenomena tersebut difahami menurut Hukum Dollo, maka walaupun rezim 2015 menempuh Nasionalisme Ekonomi, kita tidak akan bisa kembali pada tahun 1950 ketika Bhinneka Tunggal Ika dideklarasikan. Kita terus terjajah. Sekali terjajah tetap terjajah, sekali tergadai hutang, tetap diperbudak hutang, demikian Hukum Dollo. Setelah mempelajari sejarah perubahan besar yang terjadi di Inggris, Amerika, Perancis dan Rusia, Crane Brinton dalam Anatomi Revolusi (1962), tiba pada simpulan sementara bahwa revolusi-revolusi besar dunia meliputi kerangka yang terdiri dari lima komponen: 1. Kekecewaan masyarakat

21

2. Sikap bermusuhan anrtar kelas masyarakat 3. Larinya kaum cendekiawan 4. Mesin pemerintahan tidak berdayaguna 5. Saling curiga antar pemangku kekuasaan Jika kita berpikiran, lima unsur tersebut merupakan kekuatan penggerak revolusi, dan sejarah mengajarkan bahwa revolusi adalah langkah besar untuk membangun perubahan sosial yang stabil dan mendasar, manakala reregulasi dan reformasi tidak mempan, maka kondisi Indonesia saat ini sudah lebih dari cukup memenuhi syarat buat cetuskan sebuah revolusi. Tetapi Brinton benar, simpulannya belum tentu bisa digunakan di masa depan. Apakah dengan demikian, Indonesia akan terus terjajah? Bhinneka Tunggal Ika Wawasan kesebangsaan (nasionalisme Indonesia) dengan ajaran demokrasi ibarat dua bersaudara kembar. Demokrasi mengandung kekuatan yang membangun dan merekat kuat kesebangsaan. Juga berfungsi mencegah sakralisasi norma-norma sosial oleh sementara kalangan (Gambar 2). Demokrasi terletak di ruang Ilmu Politik, dan uraian tentang hal itu sudah sangat banyak. Dalam hubungan itu Kybernologi mempelajari buku kecil T. V. Smith dan Eduard C. Lindeman, The Democratic Way of Life (1951, 1953, 1955). Buku yang bernada filosofik itu dipilih karena rohnya seirama dengan Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika (BTI). Coba saja Proposisi Satu yang ditulis Lindeman. Bunyinya “Through Diversity Toward Unity.” Bukankah itu setara dengan BTI? Proposisi itulah yang saya gunakan dalam mengonstruksi satu di antara 5 Grand Design Pemerintahan Daerah. Nasionalisme dalam arti kesebangsaan itu berakar dalam filsafat Bhinneka Tunggal Ika tersebut di atas. Di zaman raja Asoka (ca 269-232) terdapat dua agama besar di Asia, yaitu Hindu dan Buddha. Untuk memperkokoh kekuasaannya, ia menganjurkan perdamaian di mana-mana. Pada suatu tiang batu peninggalannya tercantum sebuah pernyataan yang dapat disebut Doktrin Asoka, berbunyi: “Barangsiapa merendahkan agama lain dan memuji agamanya sendiri, (berarti) merendahkan agamanya sendiri.” Dalam kitab Sutasoma, Empu Tantular mengemas ajaran itu dalam seloka yang sebagian berbunyi “bhinneka tunggal ika,” lengkapnya “Bhinneka Tunggal Ika, Tanhana Dharmma Mangrva,” artinya berbeda-beda tetapi satu jua, tahan karena benar serta satunya cipta, rasa, karsa, kata dan karya berdasarkan kebenaran yang tunggal. Dalam kerajaan Majapahit (1292-1525) nilai ideal “berbeda (beragam) tetapi (ber)satu” itu menjadi kenyataan: raja Hayam Wuruk (memerintah 1350-1389) beragama Hindu, sedangkan perdana menterinya Gadjah Mada (menjabat 1331-1364) beragama Buddha. Apakah melalui perbedaan orang bisa tiba pada kebersamaan?

22

Bisa, “through diversity toward unity,” atau E Pluribus Unum, demikian proposisi satu Eduard C. Lindeman dalam T. V. Smith dan Eduard C. Lindeman, The Democratic Way of Life (1955, 112), dan demikian juga makna Bhinneka Tunggal Ika. Bisa, jika sikap terhadap perbedaan, keberagaman, bahkan heterogenitas, bertolak dari serenity: “Menerima secara sadar dan ikhlas apa adanya.” Masalahnya ialah, kendatipun makna Bhinneka Tunggal Ika mirip dengan E Pluribus Unum, apakah penerapannya di Indonesia sama dengan Amerika? Amerika menafsirkan dan mendudukkan “unum” itu sebagai “kesebangsaan.” Puluhan bahkan ratusan bangsa yang berbeda-beda (heterogen) tumpah ruah sepanjang masa di sebuah melting pot bernama Amerika, lebur menjadi sebangsa, bangsa Amerika. imenjadi bangsa Amerika. Yang lebur, yang berubah bukan warna kulit --- hitam tetap hitam, kuning tetap kuning --- atau ciri-ciri fisik lainnya, tetapi kesadaran kesebangsaan dalam suka dan duka. Tidak ada bangsa yang memonopoli kebenaran. Pengalaman Amerika relatif sama dengan pengalaman Indonesia membangun kesebangsaan pada awal abad ke-20. Nasionalisme adalah sebuah faham yang berada di dalam ranah politik, dan dipelajari oleh Ilmu Ilmu Politik. Pada aras filosofik politik Indonesia, nasionalisme dikaitkan dengan Pancasila, yaitu pada silanya yang ketiga: Persatuan Indonesia.sebagaimana tercantum dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945. Dalam Penjelasan UUD bagian II sub 1 tertulis: “Negara” --- begitu bunyinya --- melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dengan berdasar atas persatuan dengan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Dalam pembukaan ini diterima aliran pengertian Negara Persatuan. . . . . . . Persatuan adalah proses untuk bersatu. Yang berproses untuk bersatu itu apa? Negara-negara atau unit kenegaraan yang ada? Mungkin DIY, tetapi di masa itu hubungan antara DIY dengan Indonesia tidak menjadi isu politik.Saat UUD itu dirancang, Negara Indonesia de jure dan de facto belum ada, jadi yang berproses untuk bersatu itu bukan unit kenegaraan. Itulah sebabnya Negara Indonesia diproklamasikan tidak atas nama Negara tetapi atas nama Bangsa Indonesia. Di sana tidak ada konsep Negara Kesatuan tetapi Negara Persatuan, Dalam pikiran para Bapak Bangsa dan Pendiri Negara kita, yang paling kuat bekerja adalah Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 berbunyi:

SOEMPAH PEMOEDA

Pertama KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENGAKOE BERTOEMPAH DARAH JANG

SATOE, TANAH AIR INDONESIA

23

Kedua KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA, MENGAKOE BERBANGSA JANG SATOE,

BANGSA INDONESIA Ketiga

KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENGJOENJOENG BAHASA PERSATOEAN, BAHASA INDONESIA

Djakarta, 28 Oktober 1928

Teks Soempah Pemoeda dibacakan pada waktu Kongres Pemoeda yang diadakan di Waltervreden (sekarang Jakarta) pada tanggal 27 - 28 Oktober 1928

Panitia Kongres Pemoeda terdiri dari : Ketua : Soegondo Djojopoespito (PPPI)

Wakil Ketua : R.M. Djoko Marsaid (Jong Java) Sekretaris : Mohammad Jamin (Jong Sumateranen Bond)

Bendahara : Amir Sjarifuddin (Jong Bataks Bond) Pembantu I : Djohan Mohammad Tjai (Jong Islamieten Bond)

Pembantu II : R. Katja Soengkana (Pemoeda Indonesia) Pembantu III : Senduk (Jong Celebes)

Pembantu IV : Johanes Leimena (yong Ambon) Pembantu V : Rochjani Soe'oed (Pemoeda Kaoem Betawi)

Peserta : 1. Abdul Muthalib Sangadji

2. Purnama Wulan 3. Abdul Rachman 4. Raden Soeharto

5. Abu Hanifah 6. Raden Soekamso

7. Adnan Kapau Gani 8. Ramelan

9. Amir (Dienaren van Indie) 10. Saerun (Keng Po)

11. Anta Permana 12. Sahardjo 13. Anwari 14. Sarbini

15. Arnold Manonutu 16. Sarmidi Mangunsarkoro

17. Assaat 18. Sartono

19. Bahder Djohan 20. S.M. Kartosoewirjo

21. Dali 22. Setiawan

23. Darsa 24. Sigit (Indonesische Studieclub)

24

25. Dien Pantouw 26. Siti Sundari

27. Djuanda 28. Sjahpuddin Latif

29. Dr.Pijper 30. Sjahrial (Adviseur voor inlandsch Zaken)

31. Emma Puradiredja 32. Soejono Djoenoed Poeponegoro

33. Halim 34. R.M. Djoko Marsaid

35. Hamami 36. Soekamto

37. Jo Tumbuhan 38. Soekmono 39. Joesoepadi

40. Soekowati (Volksraad) 41. Jos Masdani 42. Soemanang

43. Kadir 44. Soemarto

45. Karto Menggolo 46. Soenario (PAPI & INPO)

47. Kasman Singodimedjo 48. Soerjadi

49. Koentjoro Poerbopranoto 50. Soewadji Prawirohardjo

51. Martakusuma 52. Soewirjo

53. Masmoen Rasid 54. Soeworo

55. Mohammad Ali Hanafiah 56. Suhara

57. Mohammad Nazif 58. Sujono (Volksraad) 59. Mohammad Roem

60. Sulaeman 61. Mohammad Tabrani

62. Suwarni 63. Mohammad Tamzil

64. Tjahija 65. Muhidin (Pasundan)

66. Van der Plaas (Pemerintah Belanda) 67. Mukarno 68. Wilopo

69. Muwardi 70. Wage Rudolf Soepratman

25

71. Nona Tumbel Catatan :

Sebelum pembacaan teks Soempah Pemoeda diperdengarkan lagu"Indonesia Raya" gubahan W.R. Soepratman dengan gesekan biolanya.

1. Teks Sumpah Pemuda dibacakan pada tanggal 28 Oktober 1928 bertempat di Jalan Kramat Raya nomor 106 Jakarta Pusat sekarang menjadi Museum Sumpah

Pemuda, pada waktu itu adalah milik dari seorang Tionghoa yang bernama Sie Kong Liong.

2. Golongan Timur Asing Tionghoa yang turut hadir sebagai peninjau Kongres Pemuda pada waktu pembacaan teks Sumpah Pemuda ada 4 (empat) orang

yaitu : a. Kwee Thiam Hong

b. Oey Kay Siang c. John Lauw Tjoan Hok

d. Tjio Djien kwie

Teks Sumpah Pemuda butir Kedua berbunyi KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA, MENGAKOE BERBANGSA JANG SATOE, BANGSA INDONESIA, jelas bahwa yang berproses itu adalah bangsa-bangsa, sukubangsa-sukubangsa, dari berbagai bangsa, menjadi satu bangsa dalam melting pot bernama Indonesia atau menjadi sebangsa, Bangsa Indonesia. Proses melting itu berjalan vertical dan horizontal dari bhinneka (keberbedaan) menuju tunggal ika melalui interaksi berdasarkan kesadaran antar unsur-unsur yang bhinneka itu sendiri tanpa yang satu berubah (diubah) menjadi seperti yang lain. Masalahnya ialah, kendatipun makna Bhinneka Tunggal Ika mirip dengan E Pluribus Unum, penerapannya di Indonesia berbeda dengan Amerika. Amerika menafsirkan dan mendudukkan “unum” itu sebagai “kesebangsaan,” jadi lebih manusiawi (bentuk Negara Amerika federal), ketimbang Indonesia yang tidak mendudukkan “tunggal ika” tidak dalam arti kesebangsaan. Dalam Teori dan Budaya Politik Indinesia, istilah “kesebangsaan” itu nyaris tidak pernah terdengar. Yang paling banyak disosialisasikan adalah Pasal 1 (1) UUD1945 berbunyi: “Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan yang berbentuk Republik,” dan bahwa “NKRI itu harga mati,” tanpa penjelasan teoretik bagaimana “membayar harga mati itu.” Apakah “tunggal ika” dimaknai sebagai bentuk Negara “Negara Kesatuan?” Dengan nyaris tidak terdengarnya nada “kesebangsaan,” jawabannya ya. Hasilnya luarbiasa. Jika melalui pasang-surut proses sosial, heterogenitas yang berabad-abad tercurah di “cawan” Amerika “melting” menjadi Amerika dan membangun kesebangsaan Amerika, maka di Indonesia yang pembangunan kekuasaan lebih diutamakan ketimbang pembangunan manusia, masyarakatnya terpecah menjadi lima

26

bangsa (Gambar 7), dan jurang antar lima kategori bangsa-bangsa itu semakil lebar dan dalam.

Bertolak dari sejarah yang menunjukkan bahwa Bhinneka Tunggal Ika sebagai sistem nilai ideal di zaman dahulu di Indonesia bisa menjadi kenyataan, sebagaimana diyakini oleh generasi muda Indonesia melalui Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 seperti diuraikan di atas, maka adalah tepat tatkala Presiden Soekarno dalam pidato HUT Proklamasi Kemerdekaan RI tgl 17 Agustus 1950 menyatakan bahwa Bhinneka Tunggal Ika adalah sesanti (credo) bangsa Indonesia, bahkan dapat disebut visi (walaupun Presiden Soekarno tidak secara eksplisit menyatakan demikian) bangsa Indonesia dalam membangun bangsa (Nation Building), kesebangsaan, dan membentuk watak (Character Building) bangsa. Bhinneka Tunggal Ika itu merupakan sebuah sistem nilai yang terdiri dari dua komponen besar yaitu “bhinneka” (fakta, das Sein) dan “tunggal ika” (ide, das Sollen). Antara dua komponen itu terjadi hubungan timbal-balik (interaksi) bahkan hubungan dialektik terus-menerus. Bhinneka Tunggal Ika itu kemudian dijadikan hukum positif dalam bentuk PP 66/1951. Tatkala Bangsa Indonesia masih berada di seberang jembatan yang bernama KEMERDEKAAN, visinya adalah seperti yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945, khususnya alinea pertama dan kedua. Visi tersebut semakin jelas lima tahun kemudian setelah menyeberangi jembatan, diperkaya dengan Bhinneka Tunggal Ika. Gambar 13 menunjukkan misi Pemerintah Indonesia yaitu memproses pengelolaan keunikan tiap masyarakat menjadi kekuatan matarantai nusantara, pengurangan (alleviating) kesenjangan vertikal dan horizontal antar masyarakat secepatnya, dan menggerakkan kemajuan bangsa, sehingga “the people who get pains are the people who share gains.” Bangsa Indonesia telah VISI (PENGLIHATAN BATIN) MISI TUJUAN (KESEPAKATAN) Di- Lahir Dari Kesadaran Usaha Mencapai Tujuan tetapkan Berdasarkan Visi (alinea 1 & 2) (alinea 2 & 3) dan Naluri (alinea 1 & 4) BHINNEKA---------------------NATION BUILDING--------->TUNGGAL IKA tiap masyarakat unik pengelolaan sumberdaya sehingga semua masy. yg sumberdaya & sumber & sumberbencana melalui yg berbe-beda sadar se- bencana bervariasi perencanaan jangka bangsa dan bersama-sama kesenjangan antar daerah panjang (UU 25/04 SPPN membangun masadepan yg & antar kelompok masy. dan UU 17/07 RPJP lebih baik | | | | | | ---------------------- P R O S E S ------------------- | | TAHAP | |

27

----------------------------|------------------------- | | | | | | DIVERGENT-------------------->KRITIKAL------------->TAHAP CONVERGENT 2005-2015 2010-2020 2015-2025

Gambar 12 Kerangka Grand Design Pemerintahan Daerah

Model Bhinneka Tunggal Ika

memilih sistem penyelenggaraan tiga misi utama tersebut, yaitu sistem desentralisasi pemerintahan. Berdasarkan sistem itu, setiap masyarakat memiliki otonomi. Seperti terlihat pada Gambar 12, proses Bhinneka Tunggal Ika itu terdiri dari tiga tahap, tahap pertama divergent, tahap ketiga convergent, dan tahap kedua peralihan antara keduanya, yang disebut tahap kritikal. Disebut demikian karena tahap ini sangat menentukan dan memerlukan kepemimpinan yang bersih tetapi kuat (resilient). Pada tahap pertama, perhatian diletakkan pada otonomi daerah, terutama NEGARA KESA- Power IMPLEMENTASI INDONESIA TUAN REPUBLIK -------------------> PASAL -------> MENJADI INDONESIA Building 33 UUD 5 BANGSA

Gambar 13 Begini (NKRI Input)?

sejak tahun 2000. Kebhinnekaan diaktualisasikan, masyarakat di-“mekar”-kan, dan konsep desentralisasi (otonomi) asimetrik (khusus) diterapkan. Tahap kedua merupakan respons terhadap berbagai masalah dan tantangan yang ditimbulkan oleh proses tahap pertama, misalnya kesenjangan vertikal antar lapisan masyarakat dan kesenjangan horizontal antar daerah (masyarakat) dan ketidakadilan sebagai akibat ketimpangan distribusi sumber-sumber. Hal ini dijelaskan lebih lanjut melalui Teori Governance dan Teori Sumber-Sumber. Kegagalan tahap kedua menjauhkan ketunggalikaan dari jangkauan (Gambar 13). Tidaklah berlebihan jika dinyatakan bahwa Bhinneka Tunggal Ika sebagai Grand Design Pemerintahan Daerah Indonesia adalah Filsafat Pemerintahan. Proses yang ditunjukkan dalam Gambar 14 itulah sesungguhnya proses kesatuan itu: tujuan: keadilan sosial yaitu pengurangan seca- ra konsisten kesenjang- an vertikal antar la- pisan masyarakat dan kesenjangan horizontal antar daerah bersama-sama |

28

| | BANGSA- Nation BANGSA YANG SATU a fighting BENTUK NEGARA BANGSA YG --------------------->BANGSA INDONESIA------------------>TIDAK JADI BHINNEKA Building KESEBANGSAAN nation SOAL*

Gambar 14 Atau Begini? (NKRI Output) Kesebangsaan (Lihat juga Gambar 7)

*bentuk Negara tidak menentukan mutu kinerja pemerintahan

Masyarakat Daerah Di atas telah dikemukakan bahwa masyarakat adalah salah satu kualitas manusia. Masyarakat mengandung nilai dasar: makhluk sosial. Nilai sebagai makhluk sosial itu dapat dipandang dari berbagai sisi-pandang, bisa dari sisi social facts (E. Durkheim dalam The Rules of Social Methods, 1964, dan Suicide, 1961), bisa dari sisi social definition (Max Weber dalam Hans Gerth dan C. Wright Mills, From Max Weber: Essays in Socuology, 1958), atau dari sisi social behavior (B. F. Skinner dalam Beyond Freedom and Dignity, 1971), lihat Bab 18 Kybernologi (2003) Masyarakat dapat juga dicharge (diisi, dibebani, dimuati) dengan sistem nilai ekstrinsik, yaitu masyarakat sebagai daerah dalam berbagai arti. Sebagai daerah, ada dalam arti wilayah-daerah, kota-daerah, dan pusat-daerah. Bagi Kybernologi,yang terpenting adalah yang terakhir. Dalam hubungan itu, daerah disebut daerah otonom, daerah yang berdasarkan asas desentralisasi oleh pusat diserahi seperangkat urusan menjadi urusan rumah tangganya. Apakah hal ini terkait atau tidak dengan otonomi bawaan (HAM) dalam pernyataan “orang mempunyai privacy, masyarakat memiliki autonomy, dan bangsa mempunyai sovereignty” di atas, merupakan soal lain. Yang jelas, ini adalah otonomi serahan (otonomi berian). Orang boleh saja menyebut otonomi bawaan versus otonomi berian. Daerah sebagai “lawan” dan dalam hubungannya dengan “pusat,” baik dalam arti level, statal versus local, maupun dalam arti center versus periphery, atau dalam arti lainnya. Pada gilirannya, masyarakat sebagai daerah otonom berotonomi serahan juga memiliki berbagai kualitas, masing-masing dapat ditimbang. Dari hasil penimbangan, nilainyapun dapat didefinisikan. Demikianlah daerah otonom (masyarakat yang diserahi otonomi daerah) itu dimuati dengan sistem nilai sebagai: 1. Ruang hidup (Lebensraum) 2. Satuan kultur 3. Masyarakat hukum 4. Subsistem bangsa Dalam tulisan lain, sistem nilai itu terdiri dari lima butir mata nilai. Butir 2 di atas meliputi nilai ekonomi (sumber-sumber) dan ruang hidup maju, berkesinambungan

29

dan berkelanjutan. Dalam diskusi-diskusi umum dan diskusi kelas yang saya ikuti, terlihat unsur-unsur yang sama antara keduanya. Dalam ruang hidup termasuk ekonomi. Jadi saya satukan saja. Urutan empat komponen juga berubah. Kultur adalah kinerja kehidupan. Berbagai teori tentang kultur terdapat dalam Teori Budaya Organisasi (2006), dan Bab VIII dan Bab IX Kybernologi Pertanian dan Agro-Pemerintahan (2009). Hukum dalam masyarakat hukum adalah hukum alam (ius naturale), seperti hukum dalam hokum gayaberat (gravitasi). Hukum dalam arti itu, bukan buatan manusia tetapi ditemukan (discovered) oleh manusia. Karena manusia adalah bagian sistem alam, maka hukum alam itu ada di dalam diri manusia, di dalam hati nuraninya. Hukum alam seperti sungai mengalir. Untuk mewujudkan keadilan sosial, manusia mengintervensi aliran sungai (hukum alam) dengan membendungnya. Bendungan adalah aturan buatan manusia. Aturan buatan ini kita sebut hukum positif, seolah-olah ada dua macam hukum yang sejajar: hukum alam dengan hukum positif. Kenyataan, betapapun sungai dibendung, suatu saat bendungannya jebol (melampaui ambang batas), dan sumber yang seharusnya bisa menjadi sumberdaya, berubah menjadi sumberbencana, menunjukkan superioritas hukum alam atas berbagai aturan buatan. Lihat Gambar 15. BUKAN BEGINI (A) TETAPI BEGINI (B) -----HUKUM ALAM HUKUM ALAM (SEMESTA) <------------- | HUKUM ALAM (DALAM HATINURANI) | | | | | hukum alam jalan sendiri | | HUKUM-----| hukum positif disesuaikan | pembentukan dan seti- | | dgn kepentingan kekuasaan | ap perubahan hukum | | |--buatan harus dikon- --- | | sultasikan dengan hu- -----HUKUM POSITIF | kum alam dan nurani | | HUKUM BUATAN

Gambar 15 Hukum Alam dengan Hukum Positif (Buatan)

Masyarakat hukum adalah masyarakat penganut sistem B Gambar 15. Saat ini, Indonesia masih menggunakan system A, belum sampai pada sistem B. Oleh sebab itu, timbul pertanyaan, apakah Indonesia Negara hukum? Jangan-jangan baru Negara peraturan!

30

Mengapa tidak disebut, daerah otonom sebagai subsistem Negara? Konotasi Negara adalah kekuasaan dan kekuasaan cenderung memihak rezim yang berkuasa. Konotasi bangsa lebih dekat dengan masyarakat dan manusia ketimbang Negara. Subsistem bangsa pasti subsistem Negara juga, karena suatu bangsa pasti bernegara. Tetapi subsistem suatu Negara belum tentu subsistem suatu bangsa, manakala Negara yang bersangkutan terdiri dari beberapa bangsa (lihat Gambar 7). . NEGARA | PUSAT | asas desentralisasi | otonomi serahan (otonomi daerah) | masyarakat yg diserahi otonomi ---- RUANG HIDUP | | MASYARAKAT pemerintahan |---- SATUAN KULTUR BEROTONOMI ----------------------> DAERAH OTONOM----| DAERAH daerah |---- MASYARAKAT HUKUM | ---- SUBSISTEM BANGSA

Gambar 16 Otonomi Daerah vs Daerah Otonom

Metodologi hubungan antara hukum alam dengan hukum buatan (peraturan) pada Gambar 16B, dapat digunakan dalam menjelaskan hubungan antara otonomi bawaan dengan otonomi serahan (otonomi daerah), dengan catatan bahwa otonomi bawaan itu meliputi otonomi desa. Otonomi bawaan itu boleh saja tidak digunakan tetapi tidak bisa hilang karena sama seperti hukum alam, ia menyatu dengan hati nurani dalam kalbu manusia. Dilihat dari perspektif itu, pembentukan dan setiap perubahan pada otonomi serahan, harus dikonsultasikan dulu dengan otonomi bawaan. Konstruksi teori ini sejalan pula dengan Teori Margaret Mead tentang perubahan budaya. “. . . . . a change in any one part of the culture will be accompanied by changes in other parts, and that only by relating any planned detail of change to the central values of the culture is it possible to provide for the repercussions which will occurin other aspects of life.”hubungan antara “cultural patterns” dan “technical change” Jadi suatu perubahan pada suatu aspek budaya dapat diikuti dengan perubahan pada aspek lainnya, manakala perubahan itu dikonsultasikan pada nilai

31

sentral budaya yang bersangkutan, demikian Mead dalam Cultural Patterns and Technical Change (1955, 1957,13).

Penggerak dan Gerakan Masyarakat Penggerak awal masyarakat adalah naluri manusia untuk hidup maju berkelanjutan. Penggerak ini disusul dan didukung oleh kekuatan lainnya. Semelarat apapun seseorang yang waras, tidak ada seorangpun yang ingin mati. Setiap masyarakat adalah sebuah satuan kultur. Kekuatan-kekuatan yang --------------------------demand<------------------------- | | | | SUMBER-SUMBER PENCIPTAAN KONTROL | | ---> KEADILAN DAN --> TERHADAP | NILAI | KEDAMAIAN | KEKUASAAN SUBKULTUR | | | | | SOSIAL (SKS) SUBKULTUR | SUBKULTUR | SKS SEBAGAI<------>SEBAGAI EKONOMI (SKE) | KEKUASAAN (SKK) | PELANGGAN NEEDER | | | | | | 1 membeli se- | 1 berkuasa se- | 1 peduli, kesa- HUMAN RIGHTS murah mungkin | mudah mungkin | daran, kebera- & INSTINCTS 2 menjual seun- | 2 menggunakan | nian, heroism | tung mungkin | kekuasaan se- | 2 budaya konsu- CIVIL RIGHTS 3 membuat sehe- | efektif mungkin | meristik | mat mungkin | 3 mempertanggung- | 3 collective CIVIL SERVICES | | jawabkan peng- | action PUBLIC | | gunaan kekuasaan | | SERVICES | | seformal mungkin | | | | | | | | | jika dibiarkan | jika dibiarkan | jika pertangja- jika dibiar- jalan semaunya, | jalan semaunya, | waban tdk diper- kan terjadi: | terjadi: | caya, terjadi | | | | | | | 1 seleksi alam | 1 detournement de | 1 civil dis- human 2 struggle | pouvoir | obedience privation for life | 2 abus de droit | 2 civil dis- | 3 survival of | 3 KKN | trust | the fittest | 4 penindasan | 3 anarki | 4 konflik | 5 pembohongan | 4 teror | 5 ketidak- | (penyalahgunaan | 5 perang | adilan | kekuasaan) | 6 revolusi | | | | | | | utk mencipta- | utk mencegah dan | utk mencegah satu-satunya kan kebahagi- | mengurangi penya- | teror, dsb., cara: mening- aan (adil dan | lahgunaan kekuasa- | semua subkultur katkan nilai damai) diper- | an, diperlukan | harus berkem- setiap sumber lukan aturan | kontrol sosial | bang selaras, daya, mencipta dan utk mene- | (social control, | seimbang,serasi, sumberdaya gakkan aturan | consumerism) | sinerjik. Check baru diperlukan | | | & balance, lo- | kekuasaan | | | yal opposition | | | | | | |

32

public choice | manusia sbg subjek | definisi commu- | & private | sovereign, customer | nity dev. ECOSOC | choice ---------- consumer, terjanji-- 1956: pelayanan; | pelanggan civil society; | pemberdayaan, | penyelamatan, | hak mempertahan- | kan diri | | | ----------------

Gambar 17 Terbentuknya Subkultur Masyarakat

menggerakkan masyarakat disebut subkultur. Subkultur berpangkalan pada suatu terminal dan gerakan antar terminal disebut rute. Gerak melalui rute itu bersifat kumulatif, artinya sambil suatu gerak berjalan terus-menerus, berangkat dari suatu terminal ia memberikan suatu input, dan saat tiba pada terminal berikutnya ia menyerahkan suatu output yang pada gilirannya berubah menjadi input bagi rute berikutnya. Dari tiap terminal berjalan satu atau lebih kegiatan, sedemikian rupa sehingga dengan kegiatan itu terjadi interaksi antar subkultur (terminal). Interaksi itu membuahkan kinerja bagi seluruh masyarakat. Kinerja itu bisa baik dan bisa buruk, kebijakan SKK ---------------------------------------------------------------------------- | | | kerja | ---> SUMBER-SUMBER ------------------------------>NILAI----------> terus ---| subkultur ekonomi (SKE) | | | | -----NILAI <---------------------------------------- | | | | redistribusi nilai | ---------------------------------------------->OUTCOMES ---------> terus ---| subkultur kekuasaan (SKK) | | | | -----OUTCOMES <------------------------------------- | | | | monev | ------------------------------------------->HASIL MONEV ---------> terus ---| subkultur sosial (SKS) | | | | -----HASIL MONEV <---------------------------------- | | | | pertanggungjawaban | ---------------------------------------->DIPERCAYA ATAU TIDAK----> terus ---| SKK | | | | -----KEPERCAYAAN <---------------------------------- | | | | feedback/feedforward STABILITAS | --------------------------------------------->-------------------> terus----| SKS PERUBAHAN | | |

33

---STABIL/BERUBAH<---------------------------------- | | | | | ---------------pembentukan SKK siklus baru----------------------------------

Gambar 18 Terminal dan Rute Gerakan Masyarakat

sesuai dengan penilaian warga. Apapun hasil penilaian warga terhadap SKK, SKK dipercaya atau tidak, dijadikan feedback (feedforward) bagi proses kekuasaan berikutnya, demikian terus-menerus. Lihat juga Gambar 17.

4 ILMU APA SEPERTI APA YANG KITA BUTUHKAN?

Ilmu Pemerintahan Yang terlihat pada judul di atas adalah ilmu bernama Ilmu Pemerintahan. Ilmu yang untuk mudahnya ilmu itu didefinisikan saja dulu sebagai ilmu yang mempelajari fenomena pemerintahan. Mengapa ilmupengetahuan bernama Ilmu Pemerintayhan itu yang terpilih? Bab I buku G. A. van Poelje, Algemene Inleiding tot de Bestuurskunde (1953) diawali dengan De bedrijfsleer of bedrijfseconomie omvat echter in haar totaliteit een aantal elementen, waarvan men het equivalent in de bestuursleer niet terugvindt de bestuursleer als leer van het overheidshandelen omvat een reeks problemen, waarmede de bedrijfsleer niet of nauwelijks in aanraking komt. Men kan het aldusuitdrukken, dat allerlei wetenschappen, die betrekking hebben op he teen of ander onderdeel van het particuliere bedrijsbeheer , ten slotte uitmonden in een algemene, alles overhuivende bedrijfsleer en dat deze leer van het beheren der particuliere bedrijven althans ten dele voorwaarde is voor het bestaan der daar boven uitrezende wetenschap van het openbaar bestuur. Mang Reng Say menerjemahkan kutipan itu secara bebas demikian: Adapun ajaran perusahaan atau ekonomi perusahaan itu dalam keseluruhannya meliputi sejumlah unsur yang ekuivalennya tidak didapati dalam ajaran pemerintahan; di pihak lain ajaran pemerintahan sebagai ajaran tentang perbuatan-perbuatan penguasa meliputi serangkaian masalah yang sama sekali tidak atau hampir tidak pernah disinggung oleh ajaran perusahaan. Hal ini dapat pula diterangkan demikian, bahwa berbagai ilmupengetahuan yang bertalian dengan salah satu bagian dari penguasaan (beheer) perusahaan partikulir pada akhirnya akan bermuara pada suatu ajaran perusahaan umum (algemene bedrijfsleer) yang meliputi kesemuanya dan bahwa ajaran tentang

34

penguasaan perusahaan-perusahaan partikulir ini setidak-tidaknya untuk sebagian merupakan syarat bagi adanya ilmupengetahuan yang lebih tinggi daripadanya, ialah Ilmu Pemerintahan.. Dengan perkataan lain, karena setiap kebijakan, keputusan, dan tindakan Negara (seharusnya) dibuat dan dilakukan berdasarkan pertimbangan dari berbagai segi (komprehensif dan objektif), maka setiap dan semua ilmupengetahuan yang mempelajari berbagai segi itu terkait dengan satu ilmupengathuan lain yang lebih “tinggi” posisinya, yaitu Ilmu Pemerintahan. Kata “tinggi” diberi tanda kutip guna menunjukkan bahwa ketinggian di sini tidak berarti hiratki melainkan sebagai titik persentuhan bersama. Dalam bahasa Metodologi, hal itu berarti, pertama, pada tingkat aksiologi, setiap ilmupengetahuan bermuara pada Ilmu Pemerintahan, dan kedua, fenomena pemerintahan merupakan objek materia bersama bagi semua cabang ilmupengetahuan yang sisi aksiologinya menjadi masukan bagi proses kebijakan Negara. Nama Ilmu Pemerintahan adalah terjemahan nama aslinya Bestuurskunde, Bahasa Belanda “besturen” berarti mengurus. Kata itu terdapat dalam judul salah satu buku klasik tentang Ilmu Pemerintahan, yaitu Algemene Inleiding tot de Bestuurskunde (1953, cetakan pertama 1942), karangan G. A. van Poelje. Buku itu diterjemahkan oleh Drs B. Mang Reng Say menjadi Pengantar Umum Ilmu Pemerintahan (Juli 1959). Buku itu merupakan bahan ajar utama bagi pendidikan calon-calon pamongpraja sejak tahun 50-an. Pendidikan itu dilakukan dalam rangka membangun birokrasi Indonesia pada awal kemerdekaan, melanjutkan serta membumikan program pendidikan calon-calon pangrehpraja di zaman pemerintahan kolonial Belanda. Penggunaan Ilmu Pemerintahan sebagai bahan-ajar calon-calon pejabat pemerintah pemerintahan pada masa transisi dari budaya “pangreh” ke budaya “pamong,” sejak awal, menorehkan cap “ilmu buat memerintah” atau “ilmu untuk pemerintah,” pada Ilmu Pemerintahan itu. Padahal, walaupun nama leluhurnya Regeerkunde (dari regeren, mengatur, regering, pengaturan), definisinya is de Wetenschap om eene Burgermaatschappij te leiden, ter verkrijging van het grootste Geluk, waar voor dezelve vatbaar is, zonder onwettige benadeeling van andere (ilmupengetahuan yang menuntun kehidupan bersama warga masyarakat dalam usahanya mengejar kebahagiaan lahir batin (dunia akhirat) tanpa merugikan orang lain secara tidak sah demikian L. P. van de Spiegel dalam buku kecil setebal 32 halaman berjudul Schets der Regeerkunde, in betrekking tot hare oogmerken en middelen (1796). Definisi van de Spiegel di atas menunjukkan betapa istimewanya ilmu bernama

35

Regeerkunde itu. Walau ia mengajarkan bahwa sementara kita warga, tidak boleh atau dilarang berbuat hal yang merugikan orang lain secara tidak sah, ternyata Negara boleh, Negara bisa. Bahkan Negara bisa mencabut nyawa kita secara sah. Mengerikan! Hal ini saja sudah cukup mendorong kita untuk belajar dengan seksama, mengapa dan bagaimana bisa terjadi begitu dan mengapa ilmu tersebut tiba pada simpulan demikian? Paradigma Ilmu Pemerintahan sebagai ilmu tentang penggunaan kekuasaan semakin kuat tatkala ilmu itu ditempatkan di dalam lingkungan Ilmu-Ilmu Politik dan bangunannya dirancang sebagai bahan-ajar bagi calon-calon pejabat pemerintah khususnya Kementerian Dalam Negeri. Sama seperti pakaian oleh penjahit dibuat sesuai dengan pesanan pelanggan, temuan penelitian disusun sesuai dengan kepentingan projeknya, demikian juga dengan calon pejabat kekuasaan. Mereka diajar, dilatih dan diasuh oleh lembaga pendidikan tinggi yang bersangkutan sesuai dengan kehendak pengguna, dalam hal ini rezim pemangku kekuasaan. Paradigma ini semakin mantap, dengan pemberian kewenangan menyelenggarakan perguruan tinggi kedinasan kepada berbagai kementerian untuk membentuk dan mendidik calon-calon pegawainya sendiri. Pembuat dan pengguna berada dalam satu tangan. Dalam hubungan itu, Kementerian Dalam Negeri memiliki perguruan tinggi kedinasan sendiri sejak tahun 1956 (APDN). Bangunan apapun, didirikan sebagai alat untuk memenuhi kebutuhan manusia, kebutuhan kita. Bangunan bernama Ilmu Pemerintahan itu demikian juga. Pada saatnya bangunan itu adalah barang dagangan. Komoditi akademik, demikian nama kenesnya. Diberi bermerek setenar-tenarnya, dikemas segemas-gemasnya, dan dipromosi segencar-gencarnya. Berbagai kelompok masyarakat dijadikan sasaran bidiknya. Ada yang dibangun untuk kader-kader politisi, dirancang untuk calon-calon pejabat, ada yang dipaket buat tokoh-tokoh berseragam dan ada yang disediakan khusus untuk tenaga-tenaga birokrat. Panggung gerainya juga tersebar di sini-sana, di kampus, di hotel, dan di dunia maya. Ada universitas, sekolah tinggi, diklat, bahkan ada lembaga “tertutup” dan ada yang “terbuka.” Tentu saja bangunannya mewah, arsitekturnya indah, letaknya di kawasan nyaman, dengan harga terbilang mahal. Di sana orang belajar sambil main dan bersenang. Alhasil, jadidiri Ilmu Pemerintahan yang terbentuk kemudian semakin jauh dari jatidiri Ilmu Pemerintahan yang diletakkan oleh van de Spiegel. Jadidirinya semakin kabur dan hanya terlihat sebagai bayang-bayang Ilmu-Ilmu Politik dan Ilmu-Ilmu Administrasi belaka. Jurang kesenjangan ini saya beberkan dalam Pengantar dan Kybernologi Kybernologi (2003) dan Bab I dan Bab II Kybernologi Sebuah Rekonstruksi Ilmu Pemerintahan (2005).

36

Masa Kegelisahan Kekaburan dan kesenjangan itu disadari oleh berbagai komunitas, terutama komunitas akademik pembelajar fenomena pemerintahan. Dua dasawarsa Masa Kegelisahan Ilmu Pemerintahan (1980-2000), diuraikan dalam Bab IX Kybernologi dengan Kepamongprajaan, Jarum dengan Benang (2011). Istilah “kegelisahan” digunakan meniru ungkapan Hasrul Hanif ‘Arkeologi “Nalar” Kegelisahan Sang Ilmuwan,’ dalam Jurnal Transformasi Vol 1 No 1 September 2003 JIP FISIPOL UGM. Sementara JIP FISIPOL UGM maju pesat, di lingkungan APDN Malang (1957-1967) dan Institut Ilmu Pemerintahan sejak berdirinya pada tahun 1967 sampai berubah menjadi Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) pada tahun 2004, tidak ada matakuliah dengan body-of-knowledge (BOK) bernama Ilmu Pemerintahan. Selama itu, sebutan Ilmu Pemerintahan sekedar nama institut, nama jurusan, nama buku, judul seminar, dan sekedar kata. Bukan nama sebuah bangunan pengetahuan (body-of-knowledge, BOK) yang utuh, bulat, berkualitas akademik tertentu, yang digunakan sebagai alat buat hidup manusia untuk menjawab tantangan perubahan zaman. Namun demikian usaha pencarian akan jati-diri seperti yang dilakukan oleh JIP Fisipol Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (2006), atau penemuan sebuah BOK Ilmu Pemerintahan yang mandiri, terus berlangsung melalui berbagai fora akademik, termasuk Temu Ilmiah tahun 1985 dan kemudian Seminar Nasional 21-22 Oktober 1991. Seminar Nasional 21-22 Oktober itu merupakan sebuah seminar besar. Nyaris semua peserta dengan tekun mengikuti seminar dari awal sampai akhir hari kedua. Dalam seminar yang diselenggarakan berdasarkan keputusan Rektor IIP tgl 20 Juli 1991 No. 107 Tahun 1991 dengan Dr Taliziduhu Ndraha sebagai Ketua Steering Committee dan Ir Inne Juliati Purwantini, MS, sebagai Ketua Organizing Committee, dibahas tidak kurang dari 12 makalah disajikan oleh 12 orang narasumber, 95 orang peserta utusan pusat dan daerah, dan 47 orang utusan berbagai perguruan tinggi seluruh Indonesia, dan diliput oleh 12 media cetak nasional. Panitia juga menyiapkan rekomendasi pentingnya Ikatan Ahli Pemerintahan Indonesia (IAPI) yang kemudian terbentuk dengan nama Masyarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia (MIPI), membentuk Tim Formatur IAPI yang terdiri dari 7 orang, yaitu Prof Drs S. Pamudji (ilmuwan), MPA, Warsito Rasman (pejabat daerah), MA, Drs Soewargono, MA (PTK, IIP), Dr Afan Gaffar (PTN), S. Silalahi (pejabat pusat, DDN), MA, Drs Ibrahim Gani (alumni IIP), dan Drs M. Mas’oed Said (PTS), di bantu oleh sebuah sekretariat yang diketuai Drs Ryaas Rasyid, MA, dan menyiapkan draft anggaran dasarnya.

37

Berbeda dengan Temu Ilmiah yang lebih memusatkan perhatian pada bahan bangunan Ilmu Pemerintahan yang ada, Seminar menaruh perhatian lebih pada perkembangan dan pengembangan Ilmu Pemerintahan ke depan. Beberapa highlights seminar diperlihatkan dalam Tabel 3.

Tabel 3 Highlight Seminar Nasional 21-22 Oktober 1991 A. PERKEMBANGAN ILMU PEMERINTAHAN ----------------------------------------------------------------------------------------- POSISI ILMU PEMERINTAHAN | KONDISI ILMU PEMERINTAHAN -------------------------------------------|--------------------------------------------- NARASUMBER URAIAN | NARASUMBER URAIAN -------------------------------------------|--------------------------------------------- Afan Gaffar 1 Berparadigma ganda: bagian| Juwono Sudar- Kurikulum ketinggalan zaman Ilmu Politik dan akrab | sono dgn Ilmu Administrasi Neg | | Tim FISIPOL 1 Terasa asing bagi masyarakat 2 Diajarkan melalui jalur | UGM ada persepsi/anggapan bahwa Pendidikan akademik PTN/ | Ilmu Pemerintahan hanya utk PTS dan jalur professional| pegawai negeri bahkan Dep Pada APDN/IIP (waktu itu) | Dalam Negeri saja | 2 Lulusan bukan pemikir te- 3 Masih pd jenjang S-1 | tapi pelaksana, bahkan robot | | Afan Gaffar Ilmu Pemerintahan masih dalam | krisis identitas | | Yarsif Yanu- Lulusan pendidikan Ilmu Peme- | ar, APDN Bu- rintahan tenggelam dalam ruti- | kittinggi nisme, bukan pemikir tapi pe- | laksana operasional ----------------------------------------------------------------------------------------- B. PENGEMBANGAN ILMU PEMERINTAHAN ----------------------------------------------------------------------------------------- NARASUMBER | URAIAN | MASALAH -------------------|------------------------------------|-------------------------------- Juwono Sudarsono | Kurikulum harus dibaharui | | 1 Wawasan ekonomi, keuangan, bisnis| | 2 Manajemen Inforamasi | | 3 Lingkungan | | 4 Antropologi Budaya | | | Afan Gaffar | Peningkatan jenjang pendidikan Ilmu| Bagaimana meningkatkan kualitas | Pemerintahan ke derajat S-2 dan S-3| bangunan pengetahuan (kajian) | baik melalui jalur pendidikan aka- | pemerintahan (“anak”) sehingga | demik, maupun pendidikan profesio- | setara dengan Ilmu Politik | nal | (“induk”)? | | Soewargono | Pemantapan paradigma Ilmu Pemerin- | | tahan sebagai Bestuurskunde, Bes- | | tuurswetenschap, dan Bestuurswe- | | tenschappen, dan serentak dengan | | itu penyempurnaan metodologi dari | | pendekatan interdisiplin menuju | | metadisiplin | | |

38

Moerdiono | Membentuk system keilmuan pemerin- | (alumnus APDN Mlg)| tahan sebagai berikut: | | | | ILMU PENYELENGGARAAN NEGARA | | (Ilmu Pemerintahan dlm arti luas) | | | | | ILMU PEMERINTAHAN (arti sempit) | | | | | STUDI KELEMBAGAAN KEPRESIDENAN | | | -----------------------------------------------------------------------------------------

Seperti dikemukakan para pembicara dalam Temu Ilmiah, pengajaran Ilmu Pemerintahan di APDN, IIP, STPDN dan IPDN, memang padat bahan-ajar, bahkan pada dua lembaga yang disebut kemudian selain padat bahan-ajar juga padat bahan-latih dan padat bahan-asuh, padat-kata “pemerintahan,” namun semua bahan itu seperti suku cadang atau bahan bangunan yang diambil dari berbagai toko, dikumpulkan dan dimasukkan dalam gudang bernama gagah di atas: APDN, IIP, STPDN, dan IPDN. Di satu sisi tidak diseleksi menurut sebuah desain konstruksi bangunan (BOK) tertentu, dan di sisi lain tidak dipilih untuk kemudian direkonstruksi menjadi bangunan (BOK) tertentu pula. Bukan hanya desain yang diperlukan. Tiap BOK harus rajin “check-up,” mengontrol diri agar tetap pada posisi normal science. Dengan perkataan lain, Ilmu Pemerintahan jika perlu direkonstruksi. Ritchie Calder (dalam Science in Our Lives,1955) menyatakan bahwa “discoveries and inventions affected your life.” Menurut teori paradigma Thomas Kuhn (The Structure of Scientific Revolutions, 1962), ilmu pengetahuan mengalami pasang surut sepanjang sejarah. Gerak pasang-surut itu bergantung pada kenyataan sejauh mana ilmu yang bersangkutan mampu berfungsi dalam kondisi yang serba berubah dan berbeda. Paradigma Ilmu Administrasi Publik misalnya mengalami perubahan. Pengalaman Tennessee Valley Authority (TVA, tahun 30an), dan pembangunan Dunia Ketiga pada tahun 50an, mendorong enfostering bahan bangunan dan rekonstruksi Ilmu Administrasi Publik (Fred. W. Riggs, ed. 1971 Frontiers of Development Administration, CAG of the ASPA Duke Univ. Press, Durham). Demikian signifikannya pengalaman TVA dan relevansinya dengan pembangunan nasional di Dunia Ketiga, sehingga perubahan itu menghasilkan body of knowledge (BOK) Administrasi Publik baru yang dikenal sebagai Administrasi Pembangunan (Development Administration). Ilmu Administrasi Publik kembali mengalami perubahan paradigma, ketika Amerika Serikat pada akhir tahun 60an berada dalam “the time of turbulence,” dan Public Administration berada dalam “the time of revolution.” Ilmu Administrasi Publik direkonstruksi, dan terbentuklah The New Public Administration (Frank Marini, ed.

39

1971 Toward A New Public Administration The Minnowbrook Perspective Chandler Publ. Co. New York). Konstruksi Ilmu Administrasi Publik Baru dibuat di atas anggapan dasar bahwa dikotomi Politik-Administrasi telah mati, dan bahwa seorang Presiden haruslah seorang berkualitas politisi sekaligus seorang administrator. Jika turbulences yang menerpa Amerika pada tahun 30an dan 60an mempengaruhi konstruksi Ilmu Administrasi Publik, dan melahirkan dua body of knowledge (BOK) baru ilmu itu sendiri, yaitu Development Administration dan The New Public Administration, adakah pengaruh tiga kali turbulences (1965, 1998, dan 26 Desember 2004 dan 28 Maret 2005) yang dialami Indonesia terhadap konstruksi ilmu pengetahuan yang relevan di Indonesia? Kalau ada, apa, dan kalau tidak ada, mengapa? Jika itu diperlukan, bagaimana supaya ada? Atau pertanyaan Ritchie Calder “How have discoveries and inventions affected your life?” dibalikkan menjadi “How have our life affected discoveries and inventions?” Dalam hubungan ini yang dipertanyakan adalah “How far those social, political, and natural turbulences struck Indonesia, encouraging the reconstruction of bodies of knowledge (BOK) influencing the process of civil and public policy making?” Pada pertengahan tahun 60an sebuah “turbulence” politik yang oleh sementara kalangan dicatat sebagai G30S PKI, menerjang Indonesia. Menjelang akhir tahun 90an, Indonesia kembali berada dalam “turbulence” politik-ekonomi-sosial dahsyat yang mampu meruntuhkan sebuah rejim kuat, namun keduanya tidak menimbulkan perubahan konstruksi dan bahan bangunan berbagai ilmu pengetahuan yang terkait dengan “turbulences” itu. Dari Universitas Indonesia terdengar suara melalui media cetak bahwa Ilmu Ekonomi telah mati di Indonesia, tetapi hanya sampai di sana. Universitas Gadjah Mada sebagai “kiblat” Ilmu Pemerintahan sedikit berdesah: “cul-de-sac,” namun konstruksi dan bahan bangunan Ilmu Pemerintahan tetap terjebak di ruang bangunan Ilmu Politik dan Ilmu Administrasi Publik yang megah (Ref. “Kuldesak Kajian Pemerintahan,” Jurnal Transformasi Vol. 1 No. 1 Sept. 2003, Jurusan Ilmu Pemerintahan UGM). Dalam jurnal itu pemikiran Ilmu Pemerintahan dinyatakan mengalami kebuntuan (cul-de-sac). Ilmu Hukum juga menggeliat (Republika, 6 Januari 05) dan Amir Santoso, seorang pakar Ilmu Politik (Kompas, 22 Januari 05) dari UI berpendapat bahwa “memerintah” itu “mengurus,” tetapi hanya sampai di situ. Peristiwa tanggal 26 Desember 2004 sampai awal 2005 dapat dikualifikasi sebagai “turbulence” ketiga yang menimpa Indonesia. Dilihat dari sisi objektif, peristiwa tersebut merupakan peristiwa alam (natural turbulence) semesta, yang berada di luar ambang batas kemampuan umat manusia. Manusia hidup di dalamnya dan dikuasai olehnya. Peristiwa itu adalah bagian fenomena alam yang lebih luas, termasuk wabah

40

penyakit, serangan hama, bahaya banjir, dan lain sebagainya. Dari sisi subjektif oleh media massa, peristiwa itu disebut bencana dengan berbagai kualifikasi superlatif, bahkan dikaitkan dengan suatu “kelalaian,” “kesalahan” ataupun “dosa” manusia. Bencana itu sesungguhnya dapat diantisipasi dan korbannya dapat ditekan seminimal-minimalnya. Dalam hubungan itu, harian Kompas tanggal 1 Januari 2005, halaman 6, menurunkan berita berjudul “Bangsa Yang Hidup Bersama Bahaya:” Tak ada satupun bangsa di dunia yang ditakdirkan hidup berdampingan dengan segala macam marabahaya, kecuali bangsa Indonesia. Hidup di puncak gunung berapi di Sumatera, Jawa, Bali, Lombok, Sumbawa dan Kepulauan Maluku. Bangsa Indonesia juga ditakdirkan hidup di atas tiga lempeng besar dunia: Lempeng Indo-Australia, Lempeng Eurasia, dan Lempeng Pasifik. Kejutan tsunami di ujung Timurlaut Sumatera Minggu (26/12) pagi, saatnya bangsa Indonesia mulai mengoreksi diri bagaimana “bersahabat” dengan alam yang menyimpan kekuatan mahadahsyat. Mencari Jalan Keluar Dari kenyataan ini sekurang-kurangnya ada tiga pertanyaan yang dapat dimunculkan. Pertama, seperti halnya turbulence lainnya, pesan apakah yang dibawa oleh turbulence ini kepada bangsa Indonesia? Sementara manusia berusaha menguasai alam, kekuatan alam tetap menguasai manusia. Alam mempunyai kemauan sendiri. Peristiwanya datang pada suatu saat di suatu tempat yang oleh manusia dipersepsi misterius dan mendadak. Bencana itu sama seperti kematian, setiap saat pasti datang. Namun, peristiwa alam selalu menunjukkan tanda-tanda keakanhadirannya. Tanda-tanda itu hanya dapat terbaca melalui proses pembelajaran. Kedua, sikap apa yang harus diambil dalam menghadapi kenyataan tersebut? Sudah barang tentu bukan sikap fatalistik, pasrah, ritualistik, tetapi sikap belajar. Semakin manusia belajar, semakin ia mengenal hukum dan perilaku alam, semakin jelas langkah-langkah yang dapat ditempuhnya untuk mengurangi seminimal mungkin korban bencana di masa depan. Semakin antisipatif manusia, semakin berkurang sifat mendadaknya bencana yang datang menimpa, dan semakin berkurang kepanikan yang ditimbulkannya. Ketiga, apa yang harus dilakukan untuk mengantisipasinya? Apakah makna pesan itu bagi masyarakat ilmu pengetahuan, seni dan teknologi, khususnya Ilmu Pemerintahan, bagi pemerintahan, dan bagi pelaku-pelaku pemerintahan? Di satu

41

fihak fenomena alam tersebut harus dipelajari oleh semua disiplin ilmu pengetahuan guna mempercepat penyelamatan dan pemulihan korban, dan di fihak lain, setiap disiplin ilmu harus merekonstruksi dirinya agar berkemampuan dan berkesiapan mengantisipasi peristiwa alam dan bencana sosial di masa depan dan hubungan timbal-baliknya dengan perilaku manusia. Kegelisahan Ilmu Pemerintahan dasawarsa pertama 1980-1990 memuncak pada awal dasawarsa kedua 1990-2000 yang dalam sejarah politik Indonesia mungkin dapat disebut masa peralihan dari masa yang disebut orde baru ke masa yang diharapkan bekerja sebagai orde reformasi. Namun seperti telah dikemukakan, setiap gerak (bukan gerakan), baik gerak para teoretisi maupun gerak kaum praktisi Ilmu Pemerintahan, baru sebatas wacana, dan wacana hanya sampai di sana. Masyarakat ILmu Pemerintahan Indonesia (MIPI) yang terbentuk segera seusai SNIP 1991 tersebut di atas, tanpa mengurangi kerja keras manajemen, crews dan, dukungan Pemerintah Daerah, lebih pada Ilmu-Ilmu Politik dan Seni Pemerintahan (status quo) ketimbang pada rekonstruksi body-of-knowledge (BOK) Ilmu Pemerintahan itu sendiri. Suara dan gemanya tak lain tak bukan hanyalah his master’s voice belaka. “Like father like son,” demikian ungkapan lainnya. Kegelisahan itu terasa sendu dan pilu, ketika kita dihadapkan pada kenyataan bahwa seorang-demi-seorang sosok pemberani dan bersemangat pembaharuan Ilmu Pemerintahan mendahului kita. Menemukan Kybernologi Sebuah momentum datang wajar-wajar saja. Yaitu alih generasi kepemimpinan IIP. Sebuah langkah biasa, tanpa Grand Design dan Big Roadmap segala, berjalan tenang saja, tanpa eska, tanpa gegap. Dengan berbekal sepucuk surat dari Rektor IIP Dr M. Ryaas Rasyid, MA, pada suatu hari di bulan April 1996, tanpa konfirmasi terlebih dahulu, saya menaiki tangga rektorat UNPAD Bandung, menghadap Rektor UNPAD waktu itu, Prof. Dr H. Maman P. Rukmana, seorang berperawakan sedang dan amat ramah. Dalam tempo sepuluh menit pembicaraan selesai dan kami berjabat tangan. Pada tgl 25 Mei 1996 bertepatan dengan HUT IIP, Piagam Kerjasama antara IIP dengan UNPAD tentang penyelenggaraan Program Magister Ilmu-Ilmu Sosial Bidang Kajian Utama (BKU) Ilmu Pemerintahan, ditandatangani di Jakarta, disaksikan oleh Kepala Badan Diklat Departemen Dalam Negeri. Kerjasama itu pada tgl 25 Maret 2000 diperluas dengan Program Doktor Ilmu-Ilmu Sosial Konsentrasi Ilmu Pemerintahan. Berdasarkan Rapat Komisi I Senat UNPAD (1996), UNPAD meletakkan Ilmu Pemerintahan di dalam Ilmu-Ilmu Sosial, tidak di dalam Ilmu-Ilmu Politik. Apapun latarbelakang penempatan atau penyebutan program Magister dan Doktor Ilmu Pemerintahan itu di dalam Ilmu-Ilmu Sosial oleh UNPAD, hal itu

42

sejalan dengan kerangka pemikiran van de Spiegel di atas. Pandangan UNPAD tersebut kemudian saya jadikan bahan rekonstruksi pendekatan Ilmu Pemerintahan dari pendekatan kekuasaan (Ilmu-Ilmu Politik) ke pendekatan kemanusiaan dan lingkungan (Gambar 19). Maka ketika suatu saat sekilas teringat kuliah Drs Lukas Hutabarat, guru saya di KDC Medan (angkatan V, 1958) tentang Regeerkunde yang dipelopori oleh van de Spiegel dan kemudian Bestuurskunde oleh van Poelje, saya terpekik eureka! Semula, saya merasa bahwa penemuan ini terlalu kecil untuk layak disebut dan terlalu sepele untuk layak dicatat sebagai renaissance Ilmu Pemerintahan. Entah duaratus tigaratus tahun kemudian. Tetapi mengingat bentangan zaman antara Abad Pertengahan dengan Aufklärung sebagai buah Renaissance, dan bentangan abad antara Regeerkunde dengan awal abad ke-21, masing-masing berjarak sekitar duaratusan tahun, diperlukan keberanian untuk menyebut momentum tersebut sebagai renaissance minuskul atau renaissance dalam tanda kutip sekalipun. Melalui renaissance ini saya menemukan dan membentuk konsep Kybernologi dari bahasa Latin kybern (kybernan, Belanda besturen, Inggris govern), pada tgl 8 Mei 2000. Dalam hubungan ini saya berhutang budi kepada rekan saya Moh. Ernan Arno Amsari, yang memberikan saya ilham melalui salah satu sesi mata kuliah Metodologi Ilmu Pemerintahan pada tahun 1996. Jadi dari sudut bahasa, Kybernologi adalah Bestuurkunde dalam bahasa Latin (Greek). Rekonstruksi bangunan ilmupengetahuan pemerintahan (body-of-knowledge, BOK) bernama Kybernologi (Science of Governance) itu secara bertahap, terus berlangsung sampai sekarang, sebagaimana dapat dibaca dalam buku-buku seri Kybernologi. Pohon (science tree of) Kybernologi lahir pada tgl 23 September 2002, Mars Kybernologi tercipta tgl 19 Oktober 2002, Roda Kemudi Kapal sebagai lambang Kybernologi dibuat tgl 17 Desember 2002, buku Kybernologi seri pertama diluncurkan tgl 22 Mei 2003 oleh IIP. Komunitas Kybernologi Indonesia (KKI) dideklarasikan di Jakarta tgl 26 Mei 2004, dan pengurus Pusat KKI periode 2004-2007 dilantik oleh Dewan Pendiri pada tgl 8 Juli 2004. Berdasarkan Akte Notaris Rr Idayu Kartika, SH, tgl 23 Desember 2006 No.01 sebagaimana disahkan dengan Keputusan Menteri Hukum dan HAM RI No. C-1318.HT.01.02. Tahun 2007 tgl 20 April 2007, berdiri Yayasan Kybernologi Indonesia. Kode Etik Profesional Kybernologi ditetapkan pada tgl 11 Desember 2009 dalam Upacara HUT ke-3 YKI bertempat di Auditorium BKKBN Pusat Jakarta Timur. Pada tgl 12 Oktober 2010, didahului dengan pernyataan perubahan nama KKI menjadi Masyarakat Kybernologi Indonesia (MKI), Sekretaris Jenderal Kemendagri atas nama Menteri Dalam Negeri mengukuhkan Pengurus Pusat MKI untuk periode 2010 sampai pada waktu yang akan ditetapkan kemudian setelah Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga

43

yang baru, disahkan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Ketua Umum Pengurus Pusat MKI adalah Rektor IPDN Prof. Dr Drs H. I Nyoman Sumaryadi, MSi. Berdasarkan silsilah di atas, dewasa ini ada tiga mazhab Ilmu Pemerintahan. Mazhab pertama terdapat di dunia Barat, khususnya di negeri Belanda dengan nama Bestuurswetenshap dan Bestuurswetenschappen, akrab dengan Ilmu Administrasi Publik. Mazhab kedua adalah Ilmu Pemerintahan sebagai bagian Ilmu-Ilmu Politik dan nama jurusan di lingkungan FISIPOL, dengan matakuliah Kajian (Studi) Pemerintahan, dengan UGM sebagai kiblatnya. Mazhab ketiga adalah Ilmu Pemerintahan berBOK Kybernologi, yang juga disebut The Science of Governance BELANDA INDONESIA | | | | 1796 | L.P. van de Spiegel | REGEERKUNDE | “is de Wetenschap om eene Burger- | maatschappij te leiden, ter verk- | rijging van het grootste Geluk, | waar voor dezelve vatbaar is, | zonder onwettige benadeeling van | andere.” | | | awal abad ke-20 dimasukkan (di- 1942 letakkan) ke dalam (di bawah) G.A. van Poelje -----------------------> Ilmu Politik ---> perilaku pe- BESTUURSKUNDE merintahan semakin berorientasi | pada kepentingan kekuasaan | | | | | GERAKAN PEMBAHARUAN | ILMU PEMERINTAHAN | 1980-2000 | | | | |<----ke 1796---- RENAISSANCE! <---mendorong----| | | | | | | | KYBERNOLOGI STUDI (KAJIAN) |--- 8/5/2000---> BAGIAN PEMERINTAHAN | ILMU SOSIAL BAGIAN ILMU POLITIK | (Mazhab Ketiga) (Mazhab Kedua) | | | | | | BESTUURSWETENSCHAP pemerintahan: pemerintahan: BESTUURSWETENSCHAPPEN interaksi antar hubungan antara struktursupra (Mazhab Pertama) tiga subkultur (pemerintah dalam arti luas) | masyarakat dengan strukturinfra | (yang-diperintah) pemerintahan: lihat Rosenthal dan Brasz dalam Soewargono (1993)

44

Gambar 19 Tiga Mazhab Ilmu Pemerintahan

bagian Ilmu-Ilmu Sosial. Seperti dikemukakan di atas, Kerjasama antara IIP dengan UNPAD tentang penyelenggaraan Program Magister Ilmu-Ilmu Sosial Bidang Kajian Utama (BKU) Ilmu Pemerintahan, pada tgl 25 Maret 2000 diperluas dengan Program Doktor Ilmu-Ilmu Sosial Konsentrasi Ilmu Pemerintahan. Sebagaimana perubahan kepemimpinan membuka peluang reformasi atau revolusi ilmupengetahuan, perubahan kepemimpinan 10-an tahun kemudian berusaha menemukan momentum baru guna mengembangkan buah momentum pertama. Oleh satu dan lain hal, momentum baru tidak terbentuk, kerjasama antara UNPAD-IPDN sejak 2006 dinyatakan facing-out sampai tahun 2010. Media pembelajaran institusional selama 10 tahun (dengan facing-out 14 tahun), berakhir, dilanjutkan dengan masa pembelajaran kurikuler di sejumlah perguruan tinggi dan seminar dalam berbagai kesempatan. Dengan demikian, sejauh ini terdapat tiga mazhab Ilmu Pemerintahan di Indonesia PENDEKATAN MENGGUNAKAN KACAMATA KEKUASAAN/ KEWENANGAN sudut pendekatan PENDARATAN BANGUNAN UTUH, BESTUURSKUNDE, LENGKAP,BERDERAJAT BESTUURSWETENSCHAP & su- FENOMENA AKADEMIK STRATA BESTUURSWETENSCHAPPEN dut PEMERINTAHAN SATU, DUA, & TIGA, DENGAN MENGGUNAKAN pen- RUANG PENDA- HASIL REKON- KACAMATA KEMANUSIAAN da- RATAN BERSAMA STRUKSI BUAH PEN- HAK ASASI MANUSIA (HAM) ratan SEMUA PENELI- DARATAN, DAN DAN LINGKUNGAN TIAN DIBERI NAMA DI BUMI INDONESIA KYBERNOLOGI KONSTRUKSI HASIL PENDEKATAN KACAMATA KEKUASAAN/KEWENANGAN TERHADAP FENOMENA PEMERINTAHAN DISEBUT “ILMU PEMERINTAHAN” SEBAGAI BAGIAN ILMU POLITIK

Gambar 20 Dua Pendekatan

45

1. Mazhab pertama bernama Bestuurskunde, Bestuurswetenschap dan Bestuurswetenschappen dengan BOK yang akrab dengan ilmu-ilmu lain seperti Ilmu Administrasi Publik 2. Mazhab kedua bernama Kajian Pemerintahan di dalam BOK Ilmu-Ilmu Politik 3. Mazhab ketiga dengan BOK bernama Kybernologi yang akrab dengan Ilmu-Ilmu Sosial

Yang kita cari dan bicarakan di sini bukan ilmu buat para oportunis, petaruh dan petarung 5 a 10 tahunan. Yang kita cari adalah Ilmu Pemerintahan Yang Dibutuhkan Oleh Semua dan Setiap Orang untuk bangkit dan berjuang ke depan. Ilmu Pemerintahan yang dibutuhkan oleh kita kaum nirdaya. Mengapa?

Karena kita, warga masyarakat, yang menanggung biaya penyelenggaraan Negara

bukan parpol, politisi, atau birokrat Kita, yang memikul risiko kekeliruan kebijakan penguasa,

dan yang membayar hutang Negara

Karena kita, warga masyarakat Yang membayar retribusi, subsidi, pungutan, dan pajak

Apakah para penguasaha yang membayar pajak? Bukan, Saudaraku,

Melainkan kita, pembeli, warga yang tak mempunyai suatu apapun untuk dijual, Yang tidak punya pilihan

Yang tidak punya sempatan

Karena kita, warga masyarakat Yang selalu dianggap bodoh dan diharap pasrah

Yang selalu disalahkan Yang harganya sekambing hitam

Ilmu Pemerintahan yang kita butuhkan adalah Ilmu Pemerintahan yang bahan bangunannya kuat, konstruksinya padu dan utuh, berderajat akademik tertinggi, berkerja memulihkan kemanusiaan, dan berfungsi sebagai benteng yang kokoh untuk mempertahankannya. Untuk menemukan Ilmu Pemerintahan seperti itu kita melakukan pendekatan yang berbeda dengan pendekatan yang ditempuh oleh Ilmu-Ilmu Politik. Jika Ilmu-Ilmu Politik mendaratkan pemikirannya pada sisi kekuasaan

46

fenomena hubungan pemerintahan, kita mendaratkannya pada sisi manusiawi pada masyarakat, generasi 3 pada Gambar 1, lihat Gambar 20. Gambar 1 menunjukkan bahwa generasi tiga didahului oleh generasi dua, yaitu penduduk dan kependudukan. Dalam hubungan itu, Demografi merupakan ilmu hulu bagi Ilmu Pemerintahan. Kependudukan itu sendiri dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti Biologi, Klimatologi, Geografi, Geologi, dan Sejarah. Singkatnya kendatipun manusia ditakdirkan menduduki wilayah tertentu (natural distribution), dinamika kehidupannya ditentukan oleh distribusi, kadar sumber-sumber penghidupan, dan kesempatan untuk bergerak. Seperti dikemukakan di atas, kalau suatu makhluk sudah menempuh jalan kemajuan tertentu, maka ia akan tetap menempuh jalan itu dan tak akan kembali karena proses evolusi tidak dapat dibalikkan, demikian Hukum Dollo (J. H. van Wieringen dalam Serbaragam Pengetahuan Alam, 1954, 101). Jadi, Ilmu Pemerintahan Seperti Apa Yang Kita Butuhkan?

Tabel 4 Ilmu Pemerintahan Yang Kita Butuhkan

----------------------------------------------------------------------- | 1. Ilmu Pemerintahan menurut definisi van de Spiegel di atas | | menunjukkan betapa istimewanya ilmu bernama Regeerkunde itu. Walau | | ia mengajarkan bahwa sementara kita warga, tidak boleh atau | | dilarang berbuat hal yang merugikan orang lain secara tidak sah, | | ternyata Negara boleh, Negara bisa. Bahkan Negara bisa mencabut | | nyawa kita secara sah. Mengerikan! Oleh sebab itu, Ilmu | | Pemerintahan yang kita butuhkan adalah Ilmu Pemerintahan yang di | | satu sisi melindungi kita dari tindakan sewenang-wenang Negara, dan| | di sisi lain membangun kekuatan kita untuk mengejar kebahagiaan | | LBDA bagi setiap orang (civic education) | | 2. Ilmu Pemerintahan yang kita butuhkan adalah Ilmu Pemerintahan yang | | kita rekonstruksi melalui pendekatan yang berbeda dengan | | pendekatan yang ditempuh oleh Ilmu-Ilmu Politik. Jika Ilmu-Ilmu | | Politik mendaratkan pemikirannya pada sisi kekuasaan fenomena | | hubungan pemerintahan, kita mendaratkannya pada sisi manusiawi, | | kehidupan dan lingkungannya | | 3. Ilmu Pemerintahan yang kita butuhkan bukanlah Ilmu Pemerintahan | | yang hanya nama, misalnya nama institut, nama prodi, nama proyek, | | atau judul buku, bukan hanya nama bahan-ajar berlabel | | “pemerintahan” atau padat-kata “pemerintahan,” ibarat bahanbaku, | | suku cadang atau bahan bangunan yang diambil dari berbagai toko, | | dikumpulkan dan dimasukkan dalam gudang bernama gagah “matakuliah,”| | tetapi sebuah bangunan pengetahuan (body-of-knowledge, BOK), hasil | | rekonstruksi bahan bangunan buah pikiran yang terpilih dan teruji| | berdasarkan desain konstruksi bangunan (BOK) tertentu (Metodologi).| | 4. Ilmu Pemerintahan yang kita butuhkan adalah Ilmu Pemerintahan yang | | bahan bangunannya kuat, konstruksinya padu dan utuh, berderajat |

47

| akademik tertinggi, bekerja memulihkan kemanusiaan, dan berfungsi | | sebagai benteng yang kokoh untuk mempertahankannya. | | 5. Ilmu Pemerintahan yang kita butuhkan adalah Ilmu Pemerintahan dalam| | arti luas (Ilmu-Ilmu Pemerintahan) setara dengan Bestuursweten- | | schappen berpendekatatan metadisiplin, multidisiplin, inter- | | disiplin dan lintasdisiplim, digerakkan oleh kekuatan sentrifugal | | dan kekuatan sentripetal | -----------------------------------------------------------------------

5 REKONSTRUKSI ILMU PEMERINTAHAN:

SUBKULTUR EKONOMI DENGAN SUBKULTUR KEKUASAAN

Pengertian Istilah rekonstruksi digunakan untuk menunjukkan dua hal. Pertama, konstruktor dapat menggunakan bahan bangunan yang ada yang layak-guna. Kedua, konstruktor mengevaluasi bahan bangunan yang ada, dan jika perlu, melakukan inovasi atau menemukan bahan bangunan yang baru. Ketiga, konstroktor tidak bekerja dalam ruang hampa atau kosong, melainkan dalam ruang yang memiliki konstruksi lama, mungkin konstruksi yang sudah mapan. Sebuah kesempatan senyaris apapun, terikat sejarah. Oleh karena itu, satu-satunya pegangan awal kegiatan constructing adalah bahan bangunan faktual yang ada, baik yang layak-guna, maupun yang “terpaksa” digunakan sekedar sebagai langkah awal. Dalam hubungan itu pada suatu saat kita berbicara tentang rute-rute pemerintahan yang sedang berjalan, sedangkan pada saat lain tentang rute yang dijalani oleh sebuah rezim pemerintahan yang baru terbentuk (terpilih), misalnya masyarakat yang baru diserahi seperangkat kewenangan untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri (masyarakat berotonomi daerah). Perlu diperhatikan bahwa setiap bahan bangunan pertama-tama mempunyai fungsi. Fungsi adalah sesuatu yang menunjukkan untuk apa suatu alat dibentuk, dibangun, dikonstruksi, diciptakan atau dibuat. Itulah standar alat yang bersangkutan. Dalam praktik, suatu alat berfungsi A, dapat digunakan untuk tugas B. Namun demikian fungsi dulu baru tugas. Fungsi lebih hakiki ketimbang tugas. Jadi seharusnya “situpok,” bukan “tupoksi.” Di sinilah awalnya korupsi! Nilai dengan Budaya Seperti diketahui, penggerak utama masyarakat adalah naluri untuk hidup. Hal itu dikemukakan oleh Walter Lippmann dalam The Public Philosophy (1956, 84): “ius naturale, . . . . . the human needs and instincts.” Ilmu Ekonomi berangkat dari titik ini.

48

Tatkala “human needs and instincts” itu diakui dan dinyatakan sebagai sisi lain hak asasi manusia (HAM), maka Ilmu-Ilmu Sosial dan Humaniora berangkat pada titik yang sama. Seperti telah dikemukakan, alat untuk memenuhi kebutuhan itu, alat pendukung kehidupan, adalah nilai (lihat Gambar 2). Menurut Geert Hofstede dalam Culture’s Consequences (1980, 19), nilai adalah “A value is a conception, explicit or implicit, distinctive of an individual or characteristic of a group, of the desirable which influences the selection from available modes, means and ends of actions.” Segala sesuatu berkualitas dan bernilai. Segala sesuatu yang berguna, baik secara subjektif (bagi manusia) maupun secara objektif (alam), disebut bernilai. Nilai itu abstrak. Untuk menghadirkannya diperlukan sesuatu yang lain: benda, barang, atau suatu hal, sebagai “tempatnya berada,” yang disebut vehicle. Misalnya nilai “hormat” dinyatakan dengan anggukan atau jabatan tangan. Terhadap “hormat” anggukan itu vehicle, tetapi anggukan itu sendiri adalah “nilai” dengan kepala yang mengangguk sebagai vehivclenya. Dengan penggunaan vehicle (V) tertentu untuk menghadirkan atau menyatakan nilai (N) tertentu dengan cara tertentu, misalnya secara teratur (berkali-kali, X), terbentuklah pola perilaku pelakonnya yang disebut budaya (B). Jadi: B = N X V

Gambar 21 Rumus Budaya B budaya, = adalah, N nilai, X berkali-kali, V vehicle

Menurut Teori Nilai, ada tiga macam nilai:. 1. Nilai intrinsik, yaitu nilai yang secara objektif melekat pada suatu hal, substansi, atau barang. Misalnya selembar kertas kosong sebagai vehicle. 2. Nilai ekstrinsik, yaitu nilai yang dimuat (dimasukkan, di-charge) ke dalam vehicle, misalnya Rp100.000 dengan cara tertentu, misalnya kertas dipotong, diberi warna, pengaman, standar, tandatangan, dan sebagainya sehingga berlaku dan sah 3. Nilai ideal, yaitu nilai yang vehiclenya belum ada, sedang dikejar, dicari atau diusahakan, hidup di dalam jiwa orang atau masyarakat menjadi kekuatan penggerak dan sumber semangat untuk mencapai suatu cita-cita Dari definisi tiga macam nilai itu terlihat apa dan bagaimana nilai itu, hubungan antar ketiganya dan bagaimana seharusnya sikap kita terhadap masing-masingnya. Nilai intrinsik sebuah vehicle harus dijaga, jika tidak, nilai ekstrinsik di dalamnya rusak atau lenyap. Inilah dasar pelestarian dan keberlanjutan lingkungan. Nilai ideal sering disindir: “Itu kan teori dan mustahil,” tetapi ternyata berbagai penemuan dan pembaharuan besar didorong bahkan oleh rasa takut dan keragu-raguan, mimpi

49

menjadi kenyataan. Walau nilai ideal itu kelak ternyata hanya sebagian yang terwujud, “Ideals can never be more than partially realized,” demikian Propositiom Two Eduard C.Lindeman dalam T. V. Smith dan Eduard C. Lindeman, The Democratic Way of Life (1951, 1955, 119), nilai ideal itu harus dipegang kuat-kuat. Misalkan nilai ideal itu X, pada suatu saat ternyata hanya (baru) terkejar sebesar Y, maka X itu tetap bernilai, karena X itu telah berfungsi membuat (X – Y) = Z sekecil-kecilnya atau Y sebesar-besarnya (Gambar 22). Rumus itu menunjukkan bahwa (X – Y) = Z

Gambar 22 Rumus Nilai Ideal X nilai ideal, harapan, Y capaian, realitas, Z sisa

sasaran utama monev sesungguhnya bukan X, tetapi proses pencapaian, dapat dipercaya atau tidak (Gambar 18). Selanjutnya nilai, terutama nilai ekstrinsik, bisa stabil, berubah, dan hilang (Tabel 5). Jika nilai dianalogikan sebagai benih, maka stabilitas dan perubahan nilai bergantung pada berbagai faktor, seperti lahan (manusia), penanaman (pendidikan), perawatan (kesehatan), pembuahan (kinerja), pemasaran buah dan penggunaannya (sosialisasi nilai). Penanaman benih (nilai) tidak lain tidak bukan adalah proses pendidikan dalam arti seluas-luasnya di dalam masyarakat. Proses itu harus

Tabel 5 Kondisi Nilai

-------------------------------------------------------------------------------- NILAI CONTOH, KETERANGAN -------------------------------------------------------------------------------- 1 Stabil Nilai sempurna, nilai maha- , ter-, paling, satu-satunya 2 Tertinggal lack behind, ketinggalan zaman disbanding dengan yang lain 3 Tercemar Nilai yg disalahartikan atau disalahgunakan. Senyum alat tipu 4 Kabur Tidak definitif, Lain di mulut, lain di hati 5 Ter- (ber-) Nilai sosial (pernikahan, motif sakral) bergeser ke nilai geser politik (perkawinan politik) 6 Terbentur Nilai baru (anak cukup dua) berbenturan dengan nilai lama (banyak anak banyak rezeki) 7 Habis Nilai habis karena dipakai 8 Hilang Tidak berguna atau tidak digunakan lagi 9 Mati Mati atau dimatikan seperti kebanggaan menggunakan label Holland Bakery, dimatikan menjadi Holan Bakeri yang tidak ada Maknanya samasekali 10 Terputus Tidak berlanjut antar waktu atau antar kegiatan 11 Inkonsisten Berubah-ubah, sulit terpegang 12 Berkonflik Nilai politik konflik dengan nilai sosial atau ekonomi 13 Kontroversial Pernyataan resmi yang berbeda tentang hal yang sama 14 Dilematik Nilai yang sifatnya ibarat buah simalakama 15 Tambah added value dalam ekonomi 16 Kurang kebalikan dari butir 15

50

17 Lama nilai lama tapi masih berlaku 18 Baru nilai baru menggantikan nilai lama 19 Ideal sudah dijelaskan di atas 20 Intrinsik idem (nilai objektif) 21 Ekstrinsik idem (nilai subjektif) --------------------------------------------------------------------------------

1. Intensif (intensity), tertanam sedalam dan sekokoh mungkin dalam diri 2. Ekstensif (extensity), tertanam di dalam seluas mungkin masyarakat 3. Jelas (clarity), tertanam sedefinitif mungkin di dalam diri dan masyarakat Penanaman nilai dan hasilnya dalam diri dan masyarakat terlihat pada 1. Raga pelaku (ingat: mens sana in corpore sano) 2. Perilaku pelaku 3. Sikap pelaku 4. Pendirian pelaku Hubungan pengaruh antara nilai (kebutuhan) dengan hidup itu digambarkan dalam sebuah model geometrik sebagai berikut:

NILAI ----------> HIDUP

Gambar 23 Hubungan Nilai dengan Hidup

Subkultur Ekonomi (SKE) Nilai diperoleh melalui kerja, yaitu proses penggalian, pemanfaatan (kegiatan ekstraktif), pengolahan, pengelolaan, pembentukan, pembangunan, dan pemakaian sumber-sumber dalam rangka penciptaan, pembentukan, dan pengubahan nilai . SUMBER-SUMBER ----------> KERJA ----------> NILAI ----------> HIDUP (KEHIDUPAN)

Gambar 24 Hubungan antar Sumber-sumber, Kerja, dan Nilai

(Gambar 24). Sumber-sumber lazim juga disebut enerji (energy). Peran yang tergambar dalam Gambar 24 itu disebut subkultur ekonomi (SKE), Gambar 25. Gambar 24 dapat direkonstruksi menjadi Gambar 25. Dalam hubungan enerji,

SUMBER ---------------> KERJA ---------------> NILAI | | SUBKULTUR EKONOMI (SKE)

Gambar 25 Subkultur Ekonomi (SKE)

51

otonomi dengan ekonomi ibarat dua sisi sekeping matauang. Saat yang satu hadir, yang lain hadir pula. Gambar 26 dapat juga direkonstruksi menjadi Gambar 26. DalamGambar 26, variable kerja tidak lagi kelihatan, sudah terpasang di dalam SKE. SUMBER-SUMBER SUBKULTUR EKONOMI (SKE) NILAI

Gambar 26 Rekonstruksi SKE

Gambar 26 menunjukkan bahwa dalam proses kerja, sumber-sumber menyediakan masukan (input). Baik proses (kerja) dan pada gilirannya output (nilai) bergantung pada kondisi, distribusi, dan ketersediaan sumber-sumber. Kondisi, distribusi, dan ketersediasan sumber-sumber itu sangat bervariasi. Ada masyarakat yang di bawah kakinya terdapat sumber yang melimpah-limpah, dan ada yang hanya semak, batu, pasir, dan tanah. Itupun, ketika semuanya dikuasai oleh Negara, masyarakat seperti itu terlunta-lunta. Pada sisi bisnis, SKE sehari-hari menunjukkan tiga perilaku: membeli semurah mungkin, menjual seuntung mungkin, dan membikin (membuat) sehemat (semudah) mungkin. Dari sini muncul seleksi alam (natural selection), perjuangan untuk hidup (struggle for life), dan yang kuat makan yang lemah, yang kuat yang berjaya, yang lemah musnah (survival of the fittest). Saat SKE seperti itu berjalan sendiri, lahir apa yang terasakan oleh sebagian di antara kita sebagai ketidakadilan, karena barangsiapa memiliki sumberdaya besar beroleh nilai banyak, dan sebaliknya yang terjadi pada barangsiapa yang hanya memiliki sumberdaya sedikit, konon pula jika hanya memiliki sumberbencana, akan semakin nirdaya dan suatu saat punah. Ketidakadilan atau kesenjangan itu terjadi baik secara horizontal, yaitu antar bangsa, antar daerah, maupun secara vertikal antar lapisan masyarakat. Di samping kesenjangan (ketimpangan, jurang), di sana sini terlihat fenomena kantong-kantong (enclave dan exclave). Mayarakat Papua sambil mengelus dada melihat ada kantong asing bernama Freeport di dalam lingkungan sendiri (enclave), sementara pengusaha raksasa asing sambil membusungkan dada berkata, “ada kantong kita (Freeport) di lingkungan bangsa asing (exclave). Kantong-kantong itu adalah kanker dalam jiwa, duri dalam daging, dan api dalam sekam Lihat K. F. Vaas dalam Darwinisme dan Ajaran Evolusi (1956).

52

Maka akalbudi manusia bekerja membangun upaya penyelamatan. Pertama, manusia membangun satu sistem nilai baru yang disebut keadilan sosial. Norma yang dijadikan dasar konstruksi sistem ini bervariasi, sejalan dengan bervariasinya ideologi-ideologi di dunia. Salah satu norma yang digunakan selama Masa Kegelisahan 1980-2000 di atas adalah ambang batas toleransi sosial. Anggapan dasar --- kalaupun itu dapat disebut demikian --- tentang ambang batas ini digunakan misalnya dalam membangun Teori Sumber-Sumber yang telah dikemukakan di atas (Gambar 5, Gambar 6, Gambar 7 dan Gambar 8). Mengingat ambang batas itu kenyal, maka kedua titik ekstrimnya perlu dikawal, harus dijaga, ambang batasnya harus ditegakkan sekonsisten-konsistennya dan sekuat-kuat tenaga. Kedua, pengelompokan nilai. Nilai-nilai yang dapat diperoleh melalui private choice, melalui many choices, melalui pasar, tetap diperani oleh SKE, tetapi nilai-nilai yang tinggi serta luhur sifatnya, atau yang perolehannya no choice, conflicting choice, atau hard choice, dikelompokkan menjadi public choice. Kelompok public choice itu. Batas antara kedua kelompok itu, rawan. Sebab dalam sistem politik berbudaya demokratik, ambang batax antara keduanya relatif, berubah-ubah. Bilamana suatu choice menguntungkan suatu fihak, ia merebutnya, sebaliknya jika merugikan, ia menolaknya dan menyerahkannya menjadi urusan fihak yang lain, biasanya fihak yang bargaining powernya rendah. Hubungan antara dua kelompok itu merawan karena intervensi kepentingan terbuka lebar, dan kesempatan itu memihak fihak yang kuat. Telah dikemukakan di atas bahwa kepentingan itu bersifat subjektif. Oleh sebab itu diperlukan kekuatan objektif yang mengawal dan menjaga perbatasan keduabelah fihak, yang lebih kuat ketimbang pertimbangan kepentingan. Ketiga, perjanjian (kesepakatan), bukan kepentingan. Kekuatan objektif itu adalah kebutuhan bersama yang merupakan aplikasi HAM. Dengan kebutuhan bersama sebagai common platform, dapat dibangun common commitment. Kesepakatan politik sejauh ini dalam budaya politik Indonesia, dangkal. Kesepakatan dangkal adalah kesepakatan dengan syarat yang tersembunyi atau sengaja disembunyikan. Rumusnya: “Ya, (tapi).” Sesewaktu, bisa saja terjadi pagar makan tanaman, lempar batu sembunyi tangan, menohok kawan seiring, menggunting dalam lipatan. Common commitment yang kuat adalah common commitment yang didasarkan pada budaya “Ya, maka.” Budaya “Ya, maka” adalah budaya “ringan sama dijinjing, berat sama dipikul.” Sepakat bersama, akibat ditanggung bersama pula. Lebih bagus lagi kalau komitmen dikemas dalam perjanjian (contract). Kontrak itu ada sanksinya, bernilai hukum, dan oleh sebab itu dinyatakan secara terbuka Inilah dasar yang sehat buat stabilitas politik, ekonomi dan sosial. Lagi-lagi diperlukan kekuatan yang mampu mengawal setiap kesepakatan, dan menjaga stabilitas.

53

Keempat, tanpa sakralisasi nilai. Seperti terlihat pada Gambar 2, sakralisasi nilai terjadi manakala satu di antara fihak-fihak yang terlibat diam-diam atau terbuka, pada tingkat tertentu, memonopoli kebenaran politik dengan berbagai alasan. Misalnya 1. Keterpilihan yang disebutnya kemenangan 2. Posisi mayoritas baik sendiri maupun koalisi 3. Anggapan berjasa politik dalam sejarah 4. Alasan-alasan supernatural dan suprarasional Sakralisasi nilai itu cenderung melanggar ambang batas, bertindak ekstrim, dan memihak kekerasan. Di sini pun diperlukan kekuatan yang menjaga keseimbangan, agar “semua untuk satu dan satu untuk semua.” Dengan demikian, konstruksi norma tidak harus berujung pada sakralisasi, melainkan cukup sampai pada ideologi. Subkultur Kekuasaan (SKK) Empat faktor di atas melahirkan subkulktur lain di dalam masyarakat, yaitu peran sebagai alat untuk secara sah berkompeten “mewujudkan suatu Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia,” demikian bagian terakhir alinea keempat Pembukaan UUD1945 naskah asli. Alat itu adalah kekuasaan (power) yang digunakan secara sah (authority, authoritative) berdasarkan kontrak tersebut di atas, sebagai kekuatan (force) pemaksa, jika perlu dengan kekerasan (violence), bahkan jika terpaksa (kepepet) dengan menghilangkan nyawa (death sentence). Oleh sebab itu subkultur ini disebut subkultur kekuasaan (SKK), lihat Gambar 27.. redistribusi pembangunan ---pelestarian --- | dan pembaruan | | sumber-sumber | | | | | -->SUMBER kebijakan | | | | | | ------- | | | SKE SKK -->MASYARAKAT<-- SKK<--? | | | | | | | menggali | | | | | | mengolah | | | | | | mengelola--->KERJA | | | | | menggunakan | | | | | | mengambil | | | | | | | | | redis- | | pertanggung | -->NILAI-- --busi-- ------------- nilai jawaban

Gambar 27 Rekonstruksi SKE dengan SKK

54

Penggalian Termasuk Ekstraksi Perhatikan Arah Panah

Simbol SKK<--? dalam Gambar 27 menunjukkan pertanyaan, apakah kepada SKK dituntut pertanggungjawaban atau tidak, dan jika dituntut, fihak mana yang menuntutnya bertanggungjawab dan mengapa SKK harus bertanggungjawab. Dalam hubungan itu, kekuasaan berfungsi: 1. Mengontrol distribusi, kondisi, pembangunan, inovasi, kelestarian dan ketersediaan sumber-sumber melalui kebijakan negara (Pasal 33 UUD1945) 2. Mengontrol proses pembentukan dan perubahan nilai (Pasal 27 butir 2 UUD1945) melalui kerja 3. Meredistribusi nilai ke dan di dalam masyarakat (Alinea keempat Pembukaan UUD1945) melalui pelayanan dan pemberdayaan (kepada) masyarakat 4. Mempertangungjawabkan penyelenggaraan fungsi-fungsinya kepada Masyarakat (Penjelasan UUD1945 tentang Sistem Pemerintahan Negara bagian IV: “concentration of power and responsibility upon the President” Dekonsentrasi kekuasaan dan pertanggungjawaban itu kepada Menteri- Menteri, tidak mengurangi kekuasaan dan pertanggungjawaban Presiden selaku penyelenggara Negara dan penyelenggara pemerintahan tertinggi, karena kekuasaan dan pertanggungjawaban itu dua sisi sekeping matauang Fungsi pertama dan kedua menunjukkan kualitas kekuasaan sebagai “wasit,” sedangkan fungsi ketiga dan keempat menunjukkan kualitas kekuasaan sebagai “pemain.” Rekonstruksi SKK dengan fungsinya sama saja dengan rekonstruksi hubungan SKE dengan SKK, seperti Gambar 27. Bagaimana Terbentuknya SKK? Di atas telah dikemukakan bahwa rekonstruksi tidak bekerja dalam ruang kosong atau hampa. Hal ini dijelaskan oleh berbagai ilmu yang berkompeten, terutama Ilmu-Ilmu Politik. Fungsi-fungsi SKK dan bagaimana SKK terbentuk menurut perspektif Kybernologi, telah dijelaskan di atas (Gambar 17). Sama seperti makhluk hidup, kekuasaan (dilakoni oleh pemangkunya, penguasa) bekerja menurut siklus kehidupan. Di Indonesia, siklus lima tahunan. Dari pemilu ke pemilu. Di Negara lain bisa turun-temurun, dynastical, atau “yang kuat yang berjaya.” Menjelang, selama, dan sesudah siklus itu, SKK menunjukkan perilaku yang disebut perilaku kekuasaan. Dalam Bab IV Dari Pemikiran Kualitatif Constructivist Menuju Birokrasi Berbasis Kybernologi (2011), hubungan antara kekuasaan dengan birokrasi dianalogikan denmgan hubungan antara api dengan panasnya. Hubungan antara Negara dengan

55

SKK dapat juga dianalogikan dengan hubungan antara api dengan nyalanya, api dengan panasnya, api dengan terangnya. Api itu sendiri tidak diketahui, tidak terpegang. Definisi sementara yang menyatakan bahwa Negara adalah sistem kekuasaan, juga tidak membuatnya lebih jelas. Yang dapat “diukur” adalah panasnya, terangnya, dan nyalanya. Tiga nilai itu membentuk perilakunya, perilaku kekuasaan. Perilaku kekuasaan (power behavior) dapat diamati dalam tujuh rute atau babak. Dalam rute-rute tersebut peraturan-peraturan tentang pemilu dan peran KPU tidak disentuh, karena dianggap sudah given. Tujuh rute itu tidak diuraikan secara berurutan melainkan mengikuti pola terbentuknya SKE, SKK, dan SKS. 1. Kaderisasi 2. Berburu kesempatan 3. Menjelang dan saat pemilu 4. Terpilih dan mulai berkuasa 5. Selama berkuasa 6. Menjelang dan berakhirnya siklus lima tahunan 7. Menjadi mantan Perilaku kekuasaan yang terbentuk dan bekerja melalui tujuh rute itu sepanjang siklus kekuasaan lima tahun pertama dibandingkan dengan perilaku kekuasaan sepanjang siklus kekuasaan lima tahun kedua (dan seterusnya) jika berurutan (incumbency), atau tidak berurutan (come back), rezim yang sama, berbeda. Jadi ada tiga varian siklus kekuasaan rezim yang sama: 1. Varian Siklus Pertama (beginning) 2. Varian Siklus Kedua berurutan (incumbent) 3. Varian Siklus Kedua tidak berurutan (coming back) Di atas telah diuraikan perilaku SKE yang mendorong terbentuknya SKK dan proses terbentuknya SKK sampai pada babak pemilu. Di bawah ini disajikan butir-butir perilaku kekuasaan (SKK) yang mendorong terbentuknya sepanjang babak kaderisasi, berburu kesempatan, dan menjelang saat pemilu, untuk dipelajari dan diantisipasi oleh warga. Satu, kaderisasi, yaitu pembentukan diri (otodidak) atau dibentuk oleh kekuatan sosialpolitik. Ini adalah pembentukan diri berdasarkan keterpanggilan (political vocation call) untuk mengabdikan diri di bidang politik. Pembentukan diri dengan cara ini biasanya jangka panjang berencana stratejik melalui beberapa kegiatan atau tahapan, misalnya 1. Pendidikan Kewargaan (Civic Education) 2. Aktif dalam LSM 3. Pendidikan formal dalam Ilmu-Ilmu Politik 4. Pendidikan Politik melalui organisasi sosialpolitik 5. Magang pada Elit Politik (membawa tas, mengarang pidato, body guard)

56

6. Aktivis sosialpolitik membangun jejak politik positif dalam masyarakat 7. Pengurus organisasi sosialpolitik, belajar manajemen politik 8. Self-commitment menjadi pekerja politik atau kader politik 9. Menjadi power-seeker Kader politik yang berani dan siap menempuh otodidaktik di atas terlatih untuk berkeperibadian mandiri san berwatak kuat. Sudah barang tentu, diperlukan aturan perundang-undangan yang memungkinkan kader otodidak (perseorangan) tanpa melalui kendaraan politik untuk dibalonkan dalam pemilu. Pembentukan kader oleh kekuatan sosialpolitik didasarkan pada kepentingan dan program kekuatan sosialpolitik yang bersangkutan. Biasanya pragmatik, tanpa ideologi, berpikir pendek. Kekuasaan dibentuk dan direbut semudah mungkin, pelaku kekuasaan adalah kader buatan hasil karbidan, melalui proses instant. Fihak patahana (incumbent) jauh lebih gampang, karena ia menguasai segala sumberdaya. Incumbency dalam pemilu merupakan isu dilematik, dan bisa menjadi patologik-sosiatrik pada periode siklus lima tahunan kedua. Dua, berburu kesempatan (power seeking). Berburu kesempatan bisa juga berwujud rekayasa peluang dan pengondisian masyarakat. 1. Mengenal masyarakat seempatik-empatiknya 2. Mengidentifikasi budaya, kebutuhan dan kepentingan masyarakat untuk dijadikan alat atau tujuan perjuangan 3. Membangun budaya dan naluri, sesuai dengan pilihan: budaya sportivitas, budaya keterpilihan, budaya perlombaan, budaya persaingan, budaya kontestasi, nnaluri naluri kemenangan. Naluri kemenangan itu: “the winner takes all” 4. Memetakan kekuatan sosialpolitik masyarakat, siapa “mereka,” siapa “kami,” dan siapa “kita,” 5. Mengemas fokus keinginan menjadi visi-misi ke depan 6. Aji mumpung dijadikan mantra 7. Merancang dan melancarkan strategi pembukaan front politik 8. Mencari pasangan yang menguntungkan dengan komitmen jangka pendek atau komitmen jangka panjang 9. Membangun vote getting dan vote getter 10. Jika ada kesempatan, meloncati pagar, melangkahi marka 11. Lamar-melamar, dilamar oleh sponsor atau melamar kendaraan 12. Membayar lamaran dengan janji atau uang kontan kepada sponsor 13. Karena merasa sudah membayar, kader merasa berhak dan menuntut imbalan dari fihak terkait (sponsor dan masyarakat) 14. Karena imbalan dari sponsor berupa kesempatan sudah didapat, sang kader menuntut imbalan dari masyarakat pemilih, di samping imbalan resmi

57

dari Negara. Misalnya karena calon terpilih, ia berhak mendapat perlakuan istiewa yang tidak dimiliki orang lain. Bukankah ia pilihan? Masyarakat pemilih diharapkan mengantisipasi tuntutan tersebut 15. Kader menjadi bakal calon (balon) Tiga, menjelang dan saat pemilu. Pemilu banyak dipersepsikan sebagai medan perang, pesta demokrasi, pasar dagang (lelang) sapi, dan panggung kontestasi (contestation). Empat istilah itu membawa makna yang berbeda satu dengan yang lain. 1. Medan perang, berakhir pada kemenangan di satu fihak dan kekalahan difiihak lain. Winner takes all, loser loses all 2. Pesta demokrasi berarti merayakan kemenangan, menghambur-hamburkan uang, sekali untuk selamanya 3. Pasar lelang sapi, pasar taruhan dan tarungan, siapa licik dan banyak uang, dia mendapat, yang lain kehilangan 4. Panggung kontestasi berarti siapa yang secara objektif memenuhi syarat, keterpilihan memihak padanya Berbagai langkah, gegap gempita. Segala akal, daya dan dana dikerahkan. Saat inilah kualitas warga mendapat tantangan politik paling dahsyat 1. Pendaftaran balon dengan seabreg persyaratannya supaya lulus menjadi calon 2. Masyarakat pemilih disiapkan, fihak “sana” diamati dan diantisipasi 3. Tim “pemenangan pemilu” dibentuk 4. Pasukan kampanye disusun dengan semboyan-semboyannya. 5. Garda pengamanan pemilu dilatih dan disiagakan 6. Grand Design, Grand Strategy, dan RoadMap kampanye dibuat 7. Promosi calon diluncurkan 8. Image building dilancarkan 9. Debat publik (public debate) dengan topik tandingan pilihan disiapkan 10. Silaturrahmi dengan tokoh-tokoh sakti, ziarah ke tempat-tempat keramat dioleh-oleh’in azimat pamungkas 11. Dayatarik terkuat adalah naluri kemenangan (victory), kemuliaan (glory) dan kemewahan (money). Tiga nilai berakhiran “y” ini, 3Y, lama-lama jadi tujuan, bukan alat 12. Janji-janji diumbar, iming-iming digantang, bitang-bintang digantungi harapan, biasanya tanpa commitment, konon pula sanksi (konsekuensi, risiko) jika terjadi wanprestatie 13. Didorong keras oleh naluri 3Y dan pengandalan kekuatan, prapemilu ditandai dengan persekongkolan tertutup: “pokoke menang dulu, urusan kemudian.” Saat itu yang terbayang adalah imbalan sebuah kemenangan:

58

“winner takes all.” Beban, janji, hutang, konsekuensi, kewajiban, dan pertanggungjawaban, tidak kelihatan. Kepala dengan wakil kepala yang semula sepaket saat pemilu, beberapa waktu kemudian pecah kongsi gara- gara motifnya hanya kepentingan sesaat 14. Serangan fajar 15. Intimidasi, provokasi, black campaign, dsb 16. Pemilu! Proses power seeking dan power hunting di atas dilakukan semudah mungkin, dengan cara apapun. Biasanya tujuan menghalalkan segala cara, terutama oleh incumbent dan partai politik. Lagi-lagi, perilaku ini perlu dipelajari dan diantisipasi oleh warga. Perilaku kekuasaan rezim yang sama sepanjang tiga babak di atas pada rezim beginner, rezim incumbent dan rezim coming back, relatif sama. Perbedaannya ialah, rezim incumbent gampang terpeleset ke sikap “biarin, nothing to lose,” tidak bisa melanjutkan yang lalu karena kondisi sudah berubah. Sebaliknya bagi rezim coming back. Rezim ini jika ada kesempatan, bisa belajar dari kegagalan atau kesalahan yang lalu dan membaharui diri, membulatkan tekad, sehingga kinerjanya good.

6

REKONSTRUKSI ILMU PEMERINTAHAN: SUBKULTUR KEKUASAAN DENGAN SUBKULTUR SOSIAL

Subkultur Kekuasaan (SKK) Gambar 17 menunjukkan bahwa untuk mewujudkan keadilan sosial yang tidak dapat terwujud melalui SKE saja, dibutuhkan sumbkultur lain, yaitu SKK dengan nilai-nilai kekuasaan yang dikandungnya, yaitu authority, force, coercion, violence, dan death sentence. Modelnya seperti Gambar 28:

KEKUASAAN POLITIK ------------> KEADILAN SOSIAL

Gambar 28 Subkultur Kekuasaan

Maka terbentuklah SKK yang didambakan itu seperti telah diuraikan di atas. Dalam bentuknya yang formal dan konkrit, kekuasaan itu bekerja siklik; di Indonesia siklus lima tahunan. Siklus lima tahunan itu bervariasi. Telah dikemukakan bahwa varian Siklus Pertama, varian Siklus Kedua berurutan (incumbent), dan varian Siklus Kedua tidak berurutan (coming back) rezim yang sama, digerakkan oleh tiga babak perilaku kekuasaan terdahulu: 1. Kader buatan (rekayasa, buatan, karbidan) atau kader yang terpanggil untuk

59

mengabdikan diri di ruang politik 2. Berdasarkan aji mumpung (berpikir pendek) atau berdasarkan pemikiran jangka panjang, dan memuncak dengan 3. Victory, Glory, dan Money (3Y), atau keterpilihan (elektabilitas), mewarnai tiga babak lanjutan perilaku kekuasaan, yaitu 4. Terpilih dan mulai berkuasa 5. Selama berkuasa 6. Menjelang dan berakhirnya siklus lima tahunan Secara singkat dapat dikatakan, pembentukan kekuasaan dilancarkan bisa dengan dengan cara apapun guna mencapai 3Y, dan bisa juga dengan cara-cara demokratik yang sehat. Dari fungsinya sebagai alat, 3Y bisa berubah menjadi tujuan. Yang paling dahsyat dampaknya adalah pemilihan (voting) berubah menjadi pemungutan suara, sehingga karena suaranya sudah dipungut (diambil), voter kehilangan suara, dan kehilangan suara diartikan sebagai kehilangan hak bersuara, terutama hak untuk mengontrol dan menjaga pilihannya, sampai siklus kekuasaan terpilih itu berakhir dan bisa juga selama-lamanya. Apa yang terjadi dengan kita, warga, menjelang 1. Kita dibebani harapan keberlanjutan sukses atau kekecewaan yang mendalam kekeliruan rezim yang silam 2. Kita ditayangi dengan image yang memesona 3. Kita dibuai dengan janji-janji yang memikat 4. Kita dirayu dekapan yang membara 5. Kita disuguhi karung kucing yang isinya ular 6. Kita dibius dengan sihir serangan fajar sehingga kitapun mencontreng atau mencoblos tanpa sadar 7. Suara kita yang setara dengan suara Tuhan dihargai sekaos oblong atau seikat kepala 8. Tepuk tangan dan pekikan “Hidup Sang Raja,” diimbal sepuluh ribuan kumal 9. Saat kita datang, kita dielu “Saudara Sebangsa,” Saat kembali dari pemilu, kita bukan lagi siapa siapa Ya bukan lagi siapanya siapa. . . . . . . . 10. Saat membutuhkan alasan pembenaran (legitimasi, keabsahan), penguasa berseru: “Atas nama Rakyat,” tapI saat ia memetik hasil, penguasa diam- diam “nyam, nyam, nyam” dan pada saat pemilu? 1. Saat kita datang di TPS, sadar atau tidak, kita telah berkorban, waktu dan biaya 2. Tatkala kita mencontreng atau mencoblos surat suara, suka tidak suka, kita

60

telah membayar janji-janji yang diumbarkan kepada kita. Oleh sebab itu kita disebut pelanggan. Sebagai pelanggan, kita berhak menerima “barang” yang dijanjikan 3. Pada saat yang sama, kita disebut terjanji, dan fihak lain disebut penjanji. Janji-menjanji ada hukumnya, yaitu janji haruis ditepati. Sekali lancing keujian, seumur orang tak percaya. 4. Sebenarnya disebut “janji” atau “kontrak politik” antara power seeker dengan warga, bukan janji yang kuat dan utuh, karena kepada kita, warga pemilih, tidak punya dan tidak diberi kesempatan untuk bargaining, satu unsur penentu dan pengikat sebuah perjanjian. Jadi “janji” sepihak. Power seeker sebenarnya tidak mau terikat janji, mereka hanya ngomong doing, kitalah yang bodoh yang menganggap gombal itu sebagai janji lalu kita simpan dalam hati 5. Janji adalah hutang. Hutang emas dapat dibayar, hutang budi dibawa mati. Dalam hubungan itu, fihak terpilih berhutang dan kita berpiutang 6. Oleh karena “ideals can never be more than partially realized,” maka seberhasil apapun fihak terpilih melakukan kewajibannya, dia selalu berhutang kepada kita, karena kita yang berharap-harap cemas 7. Kita membeli “barang” yang belum dan belum tentu kita terima. Oleh sebab itu, kita berada pada posisi penagih, dan fihak terpilih pada posisi tertagih 8. Mengingat fihak terpilih memegang kekuasaan, harus disepakati dahulu (committed) prosedur, cara dan alat penagihan janji, sekaligus dengan sanksi dan alat pemaksanya, manakala ternyata fihak penjanji melakukan wanprestatie Apa pula yang terjadi dengan power seekers dan power getter setelah terpilih? 1. Begitu dinyatakan terpilih, apakah proses pemilihannya bersih atau pake buntut, calon terpilih euphoric nggak ketulungan. Mabuk kemenangan, semua imbalan sudah di depan mata 2. Pestapora nampang di depan kamera 3. Memuji-muji konsultan politiknya setinggi langit melalui iklan resmi gede- gedean (Kompas 060910), dan melegitimasikan “kemenangannya” (keterpilihannya) sebagai anugerah Tuhan (pilihan Tuhan) Sayang sekali, begitu terbentuk, perilaku SKK itu berubah (Gambar 17). Dulu, response terhadap kekuasaan Negara di satu tangan, yang mengandung nilai-nilai authority, force, coercion, violence, dan sentence-to-death, sehingga perilaku kekuasaan corruptive, bengis dan menindas, itulah yang membangun Trias Politika. Kini, saat kekuasaan Negara berada di beberapa tangan (badan legislatif, badan

61

eksekutif, dan badan judikatif), kualitas perilaku koruptif dan mafiosonya justru semakin licik, tangkas dan cerdas. Apa pasal? Mengapa di lingkungan bangsa-bangsa maju variasi mekanisme check and balance antara badan legislative dengan badan eksekutif itu efektif, tetapi di Indonesia tidak? 1. Sebelum pemilu, kader-kader parpol memosisikan diri dan membangun citra sebagai sample dengan masyarakat konstituen sebagai populasinya. Terutama masyarakat bawah, masyarakat luas, miskin atau tertindas. Tetapi begitu terpilih melalui pemilu (bermafia?) mereka berubah menjadi (juga) sample kekuasaan Negara, bahkan ia menjadi kekuasaan otonom. Seusai “pemungutan suara (pemilu)” para pemilih benar-benar kehilangan suara, tidak berkekuatan dan tidak berkesempatan mengontrol pilihannya. Parpol pun sangat dominant (Kompas 171011, 1). Badan legislatif berposisi- ganda dan memainkan kedua posisinya itu sesuai kepentingannya. Badan legislative ini anak kandung yang memangsa induknya. Durhaka, bukan? 2. Rezim terpilih (legislatif dan eksekutif) berasumsi, keterpilihan itu merupakan legitimasi kekuasaannya, sehingga apapun yang dilakukan atau tidak dilakukannya selama lima tahun, adalah sah, tidak boleh diganggugugat. Yang keberatan dianggap “lawan.” Penggugatan terhadap keabsahan itu (pertanyaan terhadap dan sepanjang penggunaan kekuasaan) dianggap sikap oposisional dan jika sikap yang dianggap oposisional itu berlanjut dalam bentuk gerakan, bisa dituduh separatisme, dan jika berbentuk tindakan, dinyatakan sebagai maker, dan harus ditumpas dengan peluru panas. Seperti terjadi saat kasus Mesuji, Sape, dan tentu saja Papua Demi stabilitas politik, pertanyaan terhadap penggunaan kekuasaan Negara dilarang keras-keras, harus lemah-lembut dan sopan 3. Hubungan yang terbentuk antar sesama warga Trias Politika, tidak berbentuk hubungan check and balance tetapi hubungan salesmanship, benar-benar “mewirausahakan (= memperdagangkan)” ruang publik. Kalaupun ada balance, bukan komitmen tetapi produk tawar-menawar harga. Padahal, komitmen itu utuh “dua tangan,” mengikat (ada sanksinya), dan ikatan itu kuat, ada lembaga ekternal yang bebas yang berfungsi menegakkannya, kalau perlu dengan paksaan. Tidak cukup dimasukkan ke lorong Dewan Kehormatan atau Komisi Etik internal yang akhirnya membuangnya ke laut lepas. . . . . 4. Indonesia belum Negara Hukum, masih Negara Peraturan. Fakta hukum sebenderang apapun, tidak terurus manakala belum ada aturannya, walau . sepedih apapun rasa keadilan terluka. Fakta hukum seberat apapun dibiarkan, manakalah “belum cukup buktinya.” Tetapi fakta hukum sesepele apapun jika pelakunya masyarakat yang tak berdaya, ditindak dengan tegas

62

sesuai peraturan yang berlaku, tanpa pandang bulu-bulu. Para pengatur dan pengurus Negara yang cenderung melanggar hukum, mana mau mengaturnya? Negara Hukum adalah Negara yang omnipresent bertanggungjawab atas segala yang terjadi di dalam wilayah negara (responsible), bukan hanya Negara accountable. Hukum tidak dibuat oleh manusia melainkan diakui dan dilindungi olehnya. Dalam Negara hukum, tidak ada tempat bagi penyelenggara Negara yang senang “cuci tangan” dan gemar mencari “kambing hitam” 5. Setiap orang menjerit dan berteriak, tetapi selalu terbungkam, tidak hanya oleh represi Negara dengan menggunakan segala kekuatan fisiknya, tetapi juga dengan mengerahkan tirani angka-angka persentase, trend dan rerata kuantitatif-statistik dengan dalil “angka adalah fakta,” “hasil penelitian para ilmuwan,” yang ditayangkan dari angkasa makro ke dunia bawah yang tidak berdaya. 6. Sejarah yang mengajarkan jauh lebih mudah menumbangkan kekuasaan otoriter ketimbang menegakkan “pemerintahan pro rakyat” melalui kekuatan fisik, membangkitkan asa untuk mengubah keadaan melalui gerakan ilmiah (scientific movement) yang di bidang pemerintahan telah dimulai sejak awal tahun 80-an. Berbagai seminar dan temu ilmiah yang diselenggarakan selama 20 tahun 1980-2000) baru sebatas wacana informal, belum berhasil dijadikan masukan ke dalam proses kebijakan publik, walaupun peserta seminar dan temu ilmiah terdiri dari pejabat yang berkompeten di bidangnya, Mengapa ya? Kaum ilmuwan cendekiawan yang masuk ruang politik dan birokrasi itu, seharusnya masuk mati keluar hidup, setidak-tidaknya masuk hidup keluar hidup-hidup, eeeee tau-taunya masuk hidup keluar mati, hehehehe. 7. Sejak tahun-tahun yang disebut Era Reformasi, mulai dari presiden, menteri, sampai lurah dan ketua erte, masing-masing asyik berbicara tentang reformasi birokrasi (RB) menurut seleranya sendiri-sendiri, tahun demi tahun disusun program dan projek RB, dengan anggaran triliunan rupiah, dengan menggunakan pakaian kebesaran bernama Grand Design (GD) Reformasi Birokrasi (RB) lengkap dengan Roadmap (RM)-nya 2010-2025. Hanya sampai di situ. Korupsi berkembang terus, semakin hari semakin canggih. Mengapa ya? Barangkali karena penyakit dengan obatnya tidak cocok, politik dan peraturan yang sakit, eeee cuma birokrasi yang diobok-obok 8. Maka politik, bisnis, dan birokrasi berpola perilaku mafioso dan korupsi terdapat di mana-mana di seluruh pelosok ranah pemerintahan. Ironinya, pola perilaku itu mewabah sejak pemerintahan berada dalam era demokratisasi, reformasi, dan otonomi daerah, namun baru diakui secara

63

samara-samar dan sekilas terbuka oleh penyelenggara pemerintahan beberapa hari yang silam (Kompas 201011 dan 211011, 1) dalam bentuk. . . . . . .curhat. Namun baru sampai di situ 9. Kekuasaan itu narcissistic penuh. Lihat baliho dan foto-foto raksasa, bunga papan berderet beratus meter sepanjang jalan saat pesta kemenangan. Kekuasaan memandangi orang lain dengan “kacamatanya sendiri,” ia jatuh cinta pada dirinya sendiri. Mau jadi Narcissus? Bacalah ceritanya yang memilukan dalam Bab VIII Kybernologi Sebuah Charta Pembaharuan (2007), dan kemudian digunakan dalam analisis “Bedah Iklan,” Bab VII Kybernologi dengan Kepamongprajaan, Jarum dengan Benang (2011). Dalam legenda Yunani Kuno, Narcissus adalah pria ganteng sejagat yang digandrungi oleh setiap dewi di langit dan putri di dunia, namun yang jatuh cinta pada dirinya sendiri. Kekuasaan dengan dirinya telah menyatu, dan ketika kekuasaan berakhir, dirinyapun lenyap. Narcissus melanjutkan hidupnya yang tidak mengindahkan cinta, dan mengabaikan hysteria kaum wanita. Sudah banyak jatuh korban. Ēchō salah seorang di antaranya. Di berbagai pelosok para gadis berkumpul memanjatkan doa. Tiadakah seorang di antara mereka layak untuk disayang? Apakah cinta dan kasih sayang antar lelaki dan perempuan hanya untuk kalangan istana Olympia? “Kami terhina!” “Kami tersiksa!” “Kami terluka!” demikian ratapan mereka. Dinding istana jebol juga, ditembus oleh doa suci kaum wanita. Hati sejumlah petinggi istana tergugah. Terlebih Zeus! Sidang darurat kabinet pun digelar. Keputusan diambil secara aklamasi: “Barangsiapa (lelaki) tidak mencintai seorangpun (perempuan), biarlah (dia) jatuh cinta pada dirinya sendiri” (May he who loves not others love himself). Seorang yang teragung dan terbijak di antara para dewi kayangan bernama Nemesis (yang berarti dewi kemurkaan yang budiman, righteous anger) ditugaskan mengeksekusi keputusan tersebut. Demikianlah pada suatu saat, ketika Narcissus membungkukkan dirinya untuk meneguk air di sebuah kolam yang jernih, begitu ia melihat bayangannya sendiri, ia jatuh cinta (pada bayangannya). “Baru aku tau,” demikian Narcissus berkata pada dirinya sendiri, “betapa perihnya hati kaum wanita karena terluka oleh sikapku nan sombong dan mempermainkan mereka.” “Kini aku tau,” akunya, “jatuh cinta berarti bersama dan tak terpisahkan biar sekejap pun untuk selama-lamanya.” Nah, para pembaca dan pemirsa. Narcissus berada dalam masalah besar. Ia terkutuk. Pertama, ia jatuh cinta pada bayangannya sendiri, bukan pada orang lain. Kedua, ia terikat pada sesuatu yang semu, tidak nyata. Ia tak terpisahkan lagi dengan bayangannya, karena ia (Narcissus) sangat mencintainya. Ketiga, ia tidak bisa membawa kekasihnya pergi bersama, karena bayangannya tidak nyata. Keempat, jika ia pergi, bayangannya

64

hilang (dari kolam). Itu berarti ia kehilangan cinta. Kelima, agar tidak kehilangan, mau tidak mau Narcissus harus tinggal di kolam itu selama-lamanya. Keenam, hanya kematian yang memisahkan mereka. “Only death can set me free,” itulah ucapan terakhir Narcissus, yang disusul dengan “farewell, farewell,” terdengar sebagai kesah bernada penyesalan tapi sudah terlambat, diulangi oleh Ēchō yang dengan setia menunggu di sana “farewell, farewell.” Que sera, sera! Empat, Terpilih dan Mulai Mengunakan Kekuasaan. Karena keterpilihan itu dimaknai sebagai kemenangan dengan dorongan naluriahnya, maka terjadilah perilaku sebagai berikut: 1. Mabuk kemenangan, pestapora, euforia 2. Merasa sebagai pilihan dewata, oleh sebab itu wajib dipatuhi dan dimuliakan. Ada yang memasang plakat emas di dinding ruang kerja seorang bupati: “Bagimu Rakyatku,” kemudian setelah masajabatan berakhir, ia kena ganjaran 5 tahun penjara 3. Memakai pakaian kebesaran dan memuliakan pelantikan dengan semua imbalan di dalam saku celana 4. Setelah pesta, mulai mengunakan kekuasaan dengan pandangan jangka pendek sepanjang masa jabatan lima tahunan 5. Visi-misi yang dipaket dan dijual saat prapemilu dijadikan renstra, tanpa sosialisasi menjadi visi-misi daerah 6. Memang ada UU 25/04 tentang SPPN dan UU 17/07 tentang RPJP 20 tahun, tetapi siapa peduli? 7. Sebab tidak ada common commitment formal antar semua kekuatan sosialpolitik bahwa siapapun yang terpilih pada siklus kekuasaan lima tahunan sepanjang 20 tahun pembangunan jangka panjang harus berjalan pada rel duapuluh tahun yang telah ditetapkan dalam RPJP, berdasarkan UU pada tingkat statal dan Perda pada tingkat lokal. . 8. Karena pada masa prapemilu power seeker bersikap: “pokoknya menang dulu, persoalan kemudian,” maka justru di lapangan mulai timbul persoalan- persoalan besar yang sebelumnya dianggap gampang atau tak terpikirkan. 9. Kaget atau panik menghadapi persoalan yang tidak diperhitungkan sebelumnya, penguasa merasa “terganggu,” timbul sikap reaksioner, curiga- mencurigai, “memusuhi” media, dan akhirnya “anjing menggonggong, kafilah berlalu” 10. Berbagai fihak menagih janji: sponsor (donator pemilik kendaraan pemilu), warga masyarakat (fihak terjanji), dan pada tingkat local, atasan. Membayarnya bagaimana? 11. Untunglah ada sapi perahan: a. pada aras makro sumber-sumber, terutama sumber alam b. pada aras meso, proyek-proyek Negara dan daerah yang dikelola oleh dan melalui birokrasi

65

c. pada aras mikro pembayar pajak (tax payers) dan jangan lupakan “jasanya” $dolar yang tergeli-geli saat diminta untuk menjajah anak-cucu kita 12. Nah, ini kebenaran! Pemenang pemilu, yaitu “the winner, takes all.” Partai politik “pemenang pemilu” menguasai perusahaan negara (BUMN) dan birokrasi yang sarat dengan proyek-proyek pembangunan dan pengadaan barang. Inilah sumber dana pembayaran hutang 13. Supaya prosedurnya mudah, ditebarkan ajaran seakan-akan peraturan adalah hukum, hukum adalah peraturan 14. Karena fihak terpilih jauh lebih memosisikan diri sebagai sample kekuasaan ketimbang sebagai sample warga masyarakat terjanji, pelanggan, dan penagih, maka jarak sosial (social distance) dan jarak kekuasaan (power distance) antara penyelenggara Negara dengan warga masyarakat, semakin lebar dan timpang 15. Pada gilirannya hal tersebut menyebabkan Negara semakin tidak mengenal warganya sendiri, Negara asyik dengan dirinya sendiri (narsistik). Konon pula berempati dengan mereka yang budayanya (budaya kemiskinan) jauh berbeda dengan budaya kekuasaan! 16. Pada state-of-the-art (SOTA) seperti itu, bagaimana Negara tau kebutuhan warga masyarakat, dan kalau tidak tau, bagaimana Negara melayani warganya melalui redistribusi nilai dan pemberdayaan masyarakat? 17. “Komplotan” dengan tugas Amankan, Tutupi dan Hapus Jejak 18. Rangkul teman 19. Siklus pertama berusaha merebut siklus kedua berikutnya. Siklus kedua melakukan butir 17 dengan sekuat-kuat tenaga Lima, selama berkuasa. Selama berkuasa actor kekuasaan menunjukkan aneka langgam perilaku. Dalam hubungan itu terdapat perbedaan besar antara aktor siklus pertama baru (new comer), actor siklus pertama kembali (back comer) dengan aktor siklus kedua (incumbent). 1. Aktor kekuasaan menggunakan kekuasaan seuntung mungkin 2. Image building lebih diutamakan ketimbang achievement 3. Popularitas diburu dengan menggunakan segala cara, dengan memanfaatkan teknologi informasi canggih 4. Aktor siklus pertama baru, bersikap lebih ofensif 5. Aktor siklus pertama kembali, lebih bersikap inovatif dan improvisatory 6. Aktor siklus kedua lebih bersikap bertahan, menjaga make-up, terkadang acuh-tak-acuh karena “nothing to lose,” dan liriknya “antarkan daku dengan selamat sampai di akhir perjalanan,” maksudnya sampai akhir masa jabatan tanpa diburu-buru kapeka

66

7. Aktor kekuasaan membius kita dengan menjanjikan kepuasan sebagai tolokukur pelayanannya. Bukankah kepuasan itu gampanng direkayasa? 8. Jauh lebih gampang dan menguntungkan pasar politik untuk membentuk lembaga atau unitkerja baru ketimbang mengoreksi atau mengganti lembaga atau organisasi yang tidak becus bekerja. Maka di tengah-tengan semboyan reformasi birokrasi berbunyi “langsing struktur kaya fungsi,” birokrasi negara di pusat dan di daerah justru sebaliknya: membesar (big-sizing), overlapping, duplicating, dan escalating 9. Jauh lebih menguntungkan perdagangan politik, manakala berbagai masalah dibiarkan membesar, api dalam sekam dibiarkan supaya terjadi kebakaran, duri dalam daging dibiarkan supaya terjadi perang, perkara kecil dibiarkan menggantung dan tidak tuntas, supaya dengan demikian ada proyek lanjutan dan tambahan biaya. Semakin berat masalah, semakin besar proyek, semakin membumbung biayanya, semakin dahsyat korupsinya 10. Di sana sini terjadi “pecah kongsi” antar anggota koalisi atau antara dua sejoli, kepala daerah dengan sang wakil. Wujud pecah kongsi itu bisa yang seorang mendepak yang lain, bisa pula yang seorang mengundurkan diri 11. Kebijakan diimplementasikan setengah hati. Charles Polidano dalam Why Civil Service Reforms Fail, Institute for Develompent Policy and Management, University of Manchester (2001): “Most reforms in government fail. They do not fail because, once implemented, they yield unsatisfactory outcomes. They fail because they never get past the implementation stage at all. They are blocked outright or put into effect only in tokenistic, half-hearted fashion 12. Rupanya yang terjadi di atas sana di negeri para actor kekuasaan tidak jauh dari apa yang terjadi di kerajaan Olympus seperti dituturkan oleh pujangga bernama R. H. D. Rouse di sampul belakang bukunya Gods, Heroes, and Men of Ancient Greece (1957): “Zeus, Hera, and their Olympic household, joking, feasting, warring, playing tricks on human.” Mereka, apara actor kekuasaan adalah dewi dan dewa, dan kita adalah manusia piaraan, dielus dan “dilatih” sebagai barang mainan. Lelah dipermainkan, kita tidak berdaya dan menggeletak tanpa asa 13. SKK bertransaksi (berdagang) dengan SKE dengan segala cara Sementara itu, apa yang terjadi dengan kita, warga masyarakat? Sebagian Pengantar Kybernologi 2015 (2011) berbunyi sebagai berikut. Visi ke arah 2015 secara kumulatif terbentuk di dalam masyarakat, sebagaimana terbaca dalam hampir seluruh media. Kompas saja, satu di antara media aliran tengah, memuat judul-judul berita seperti “Ada Grand Design Pembubaran KPK,” “Kota Tanpa ‘Masa Depan,’” “Citra KPK di Tubir Jurang,” dan “Presiden di Titik Nol

67

Kekuasaan,” Sentilan melalui media elektronik lebih sarkastik. “Pancasila 2011,” demikian salah satunya, “adalah 1 Keuangan Yang Mahaesa, 2 Korupsi yang Adil dan Merata, 3 Persatuan Mafia Hukum Indonesia, 4 Kekuasaan yang Dipimpin oleh Nafsu Kebejatan dalam Persekongkolan dan Kepura-puraan, dan 5 Kenyamanan Sosial Bagi Seluruh Keluarga Pejabat dan Wakil Rakyat.” Orang bisa saja membantah atau menolak berita-berita bernada negatif tersebut terhadap rezim yang sedang berkuasa, namun satu hal yang pasti, perubahan pada tahun 2014/2015. Masajabatan kedua SBY berakhir, dan kalaupun PD berhasil mempertahankan citranya, sementara dunia berubah pesat, tentu orang berselera lain di antara kalangan elit PD yang naik kursi RI-1 berikutnya. Sifat kritisnya tahun 2014/2015 itu semakin nyata, manakala “Pancasila 2011” di atas terjadi benar. Oleh sebab itu, 2014/2015 harus diantisipasi dengan sungguh- sungguh. Sekali lagi, sementara para aktor kekuasaan di atas sana berperilaku seperti di atas, apa yang terjadi dengan kita di bawah sini? Untuk menjawab pertanyaan ini, marilah kita bersepakat untuk menggunakan pendekatan mini, bukan pendekatan midi atau maksi. Artinya pendekatan makro kita jauhi dan pendekatan tirani angka-angka kuantitatif kita hindari.

1. Kualitas kita sebagai manusia berubah dan merosot lagi. Sebagian kecil di antara kita sempat kebagian satu atau dua macam layanan yang kita butuhkan sehingga kualitas kita disebut konsumen (consumer), tetapi berjuta-juta di luar sana yang sama sekali tidak atau tidak sempat menikmati layanan yang mereka dambakan, karena

a. Terlupakan (ingat lagu “I ‘m Nobody’s Child” yang popular tahun 60- an?) b. Tidak termasuk kurva normal statistik alias kelompok minoritas c. Tidak menguntungkan Negara, karena tidak dapat menjadi objek pajak

atau semacamnya d. Terlalu jauh untuk dapat dicapai oleh tangan-tangan Negara e. Tidak berdaya dan sudah pasrah, tidak ada kesempatan atau kekuatan untuk menagih atau meminta 2. Walau kita sudah membayar, dan beroleh kualitas sebagai pelanggan, namun karena tidak menerima layanan yang menjadi hak kita, kita disebut korban 3. Jika sebagai korban kita diberdayakan oleh Negara dalam arti enabling dan empowering, maka kualitas kita kembali menjadi pelanggan (customer) untuk kemudian meningkat menjadi consumer. 4. Tetapi jika kita tidak diberdayakan, melainkan diperdayakan, dsehingga kita terperdaya, maka kualitas kita merosot lagi menjadi mangsa 5. Mangsa tidak cukup hanya diberdayakan tetapi harus diselamatkan. Diselamatkan artinya diberi kepercayaan (membuatnya percaya) dan membuatnya berpengharapan

68

6. Jika tidak, dan ini fatal, warga, ya kita ini, bisa berubah dan kualitas kita jatuh ke ujung tubir, yaitu menjadi negative figure: separatis, antagonist, nihilis, dan kualitas lain yang kita sendiri tidak sukai 7. Seperti terlihat pada Gambar 11, kekuasaan itu cenderung (bernaluri), dan kecenderungan itu berubah menjadi perilaku nyata manakala ada niat, kesempata, dan permisi atau pembiaran dalam masyarakat: a. detournement de pouvoir b. abus de droit c. onrechtsmatige overheidsdaad d. misbruik van recht e. wanprestatie f. korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) g. pelanggaran HAM h. pelalaian kewajiban, terutama kewajiban konstitusional i. pembiaran berlangsungnya ketidakadilan, pembiaran adanya reasidu dan bolongan pemerintahan j. sikap pangku tangan, cuci tangan, banyak tangan, campurtangan, dan lempar batu sembunyi tangan Terbentuknya kualitas masyarakat sebagai korban dan mangsa dapat direkonstruksi seperti Gambar 29 NEGARA------>PRODUK------>PELANGGAN (SKP) | --------------------- | | BERDAYA TAK BERDAYA | | | | KONSUMER KORBAN | --------------------- | | DIBERDAYAKAN TAK DIBERDAYAKAN | | | | KONSUMER MANGSA | ----------------------------- | | DISELAMATKAN TAK DISELAMATKAN | | | | KORBAN DIMANGSA DISANTAP | dst

Gambar 29 Dari Pelanggan Menjadi Mangsa

69

Enam, menjelang berakhirnya kekuasaan. Perilaku kekuasaan menjelang berakhirnya siklus kekuasaan, berbeda menurut kualitas actor: actor baru (new comer), actor kembali (comer back) atau actor incumbent. Aktor baru, terlebih jika ingin memakai semboyan “lanjutkan!” berusaha mati-matian meyakinkan warga, bahwa dia sukses, actor yang come back bisa gagal dan bisa berhasil, sedangkan actor incumbent mati-matian bertahan, tetapi tak peduli dengan kinerja. Bukankah nothing to lose? Salah seorang raja Perancis dulu berkata, setelah aku, air bah melanda Perancis, siapa peduli? (Sinisme orang Betawi berbunyi: “emangnye gue pikirin?”). Kekuasaan bisa jadi gila, demikian William A. Cohen dan Nurit Cohen dalam The Paranoid Corporation and 8 Other Ways Your Company Can Be Crazy (1993) 1. Mempersiapkan pertanggungjawaban seformal mungkin (kuitansi, berita acara beres, bukti-bukti dan jejak dihapus) 2. Komunikasi politik dengan warga masyarakat semakro dan seglobal mungkin. Komunikasi makro dengan menggunakan frame-of-references (FOR) kekuasaan dan bukan FOR kita, warga, dilihat dari atas bukan dilihat di bawah. Kalau dilihat dari atas, semuanya di bawah kelihatan samar, rata, dan serahgam, perbedaan, kesenjangan, dan ketidakadilan tidak terlihat. Dengan komunikasi global, perbandingan antar bangsa memperlunak ketidakadilan internal, bukankah di mana-mana juga terjadi korupsi dan mafia? Contoh buruk dan pujian dari Negara lain dijadikan alasan pembenaran keburukan dan penindasan di dalam negeri sendiri. Pintar ya? 3. Komunikasi sekuantitatif mungkin dengan menggunakan tirani angka- angka rerata, kecenderungan, generalisasi dari sample ke populasi. Fakta yang sesungguhnya tersembunyi di belakang angka-angka itu. Contohnya income per capita dan pertumbuhan ekonomi. Angka $ atau Rp income per capita dan angka % (persentase) pertumbuhan akonomi itu faktual bagi orang berada, konon pula buat 40 orang terkaya Indonesia, tetapi kebohongan bagi jutaan yang tidak memiliki apa-apa sekarang dan di masadepan Oleh sebab itu, SKK harus dikontrol. Di hulu SKK dikontrol melalui komitmen bersama (kontrak, perjanjian formal) antara kekuasaan dengan masyarakat agar ada tekanan pengaturan, pendorong perilaku positif dan pencegahan perilaku negative, ada kekuatan pemaksa penepatan janji dan kebijakan dikontrol agar tetap memihak rakyat. Di tengah SKK dikawal dan dijaga agar perilakunya tidak berperilaku KKN, liar dan kanibal, dan di hilir SKK dimonev agar ia tidak hanya akuntabel tetapi lebih daripada itu, ia bertanggungjawab menurut rumus TJT (pelanggan bertanya, Negara

70

(dalam hal ini pemerintah) menjawab, jika jawaban tidak dipercaya oleh pelanggan, pemerintah men(t)anggung segala akibat dan konsekuensinya (lihat pertanggungjawaban etik dalam Bab I Kybernologi 2015, 2011). Selain itu, kita selaku warga, harus berlaku adil. Kita tidak boleh hanya menuntut hak dan melalaikan kewajiban. Salah satu kewajiban kita selaku warga masyarakat adalah peduli terhadap mereka di atas sana. Kalau kita melihat mereka selalu nampak gagah, cantik, walau lagi dikejar KPK tetapi tetap senyum menawan di depan kamera, dan nampak pede didesak wartawan. Namun terbersit juga pertanyaan. Apakah di dalam hati mereka bahagia? Oleh sebab itu, kita tidak boleh hanya simpatik karena merasa separtai, tetapi patut berempati kepada mereka yang tertatih-tatih kelelahan memikul beban berat memikul dan menggunakan uang kita demi penyelenggaraan Negara. Pendek kata, masyarakat membutuhkan peran yang mencegah perilaku negatif, mengawal, memperbaiki, dan menyemangati penyelenggaraan kekuasaan di dan dari luar kekuasaan itu sendiri. Peran control di hulu itu dilakukan dalam ruang kepemilihan disebut constituency dan pelakunya (pemilih) constituent. Calon-calon power seekers yang terpilih dan duduk dalam ruang legislatif Negara, disebut sebagai representatives. Di Indonesia ada dua lembaga perwakilan, perwakilan partai (DPR/DPRD) dan perwakilan masyarakat (daerah), DPD. Subkultur Sosial (SKS) Jika SKK berjalan berduaan saja dengan SKE, maka masyarakat nirdaya menjerit. Apalagi manakala SKK (dibiarkan) jalan sendiri, terbentuklah perilaku kekuasaan SKS mengontrol SKK SKS mengontrol Re- di Hilir (Feedback) distribusi Nilai SKE<---- ---Percaya atau Tidak-- ----di Tengah---- | | | | | | | | | | | | SKS mengontrol SKK | | | kebi- | --di Hulu-- | | | jakan | | | | | | | | | | | | | | | | | | | | | SUBKULTUR KEKUASAAN SUBKULTUR SOSIAL SKK | | | | | | | | | | | | | | | | | | | redistribusi | | petanggunggung- | ----------------- ---jawaban SKK--- nilai kpd SKS kepada SKS

71

Gambar 30 Rekonstruksi SKK dengan SKS (Rekonstruksi Berdasarkan Gambar 28) Perhatikan Arah Panah (2301121750)

seperti di atas. Seperti diketahui, antara SKE dengan masyarakat terjadi hubungan kepelangganan ekonomi, antara penjual dengan pembeli, antara produser dengan consumer. Sepanjang sejarah terjadi konflik antara prinsip caveat emptor dengan prinsip caveat venditor. Siapa yang mengendalikan pasar, penjual atau pembeli? Pertentangan ini, yang dapat diibaratkan antara pemain (SKE) dengan penonton yang membayar tiket, mengundang “campurtangan” wasit yaitu SKK. Penonton jengkel terhadap penjual yang enggan “membuka karungnya” (dalam arti seluas-luasnya) lebar-lebar di hadapan calon pembeli, supaya calon pembeli itu sempat menguji isinya, benar-benar kucing, jangan-jangan ular. Lebih gawat lagi manakala persediaan (supply) barang kebutuhan itu sedikit sementara permintaan (demand) banyak. Di atas telah dikemukakan bahwa jika SKE bekerja sendirian, kinerjanya menjurus keketidakadilan sosial. Oleh sebab itu dalam masyarakat melembaga kebutuhan akan SKK (Gambar 28). Ternyata, subkultur kekuasaan itu berkerja dengan naluri dan perilakunya yang menjauhkannya dari fungsi-fungsinya yang mulia, yaitu penegakan norma sosial kehidupan demi mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat. Maka seiring dengan itu dibutuhkan subkultur lain yaitu subkultur kontrol terhadap SKK itu. Subkultur control itu tumbuh kembang antara SKK dengan masyarakat dalam seluruh kualitas masyarakat, yaitu sebagai konstituen, pelanggan, terjanji, dan penagih, dan lebih-lebih antara kekuasaan dengan masyarakat dalam kualitas masyarakat sebagai korban dan mangsa. Itulah sebabnya subkultur lain itu disebut subkultur kepelangganan atau subkultur sosial (SKS) Bagaimana merekonstruksi bangunan SKS? Gambar 30 menunjukkan bahan bangunan dan prosedur rekonstruksi bangunannya. Rekonstruksi itu terdiri dari input, proses dan output/outcomes. Rinciannya sebagai berkut 1. Redistribusi nilai kepada SKS, dilakukan oleh SKK, untuk memenuhi kebutuhan SKS (kinerja redistribusi) NILAI ----redistribusi---->KINERJA REDISTRIBUSI

Gambar 31 Redistribusi Nilai

2. Apakah atau sejauh manakah pelayanan yang dilakukan oleh SKK (kinerja redistribusi) memenuhi kebutuhan SKS? Redistribusi itu dan hasilnya (outcomes) dimonev oleh SKS

72

KINERJA REDISTRIBUSI----monev/tanya---->HASIL MONEV

Gambar 32 Monev Kinerja Redistribusi

3. SKS menyampaikan hasil monevnya kepada SKK seraya minta pertanggungjawaban 4. SKK menyampaikan pertanggungjawaban kepada SKS. SKS percaya atau tidak percaya HASIL MONEV----tanya, penjelasan---->PERTANGGUNGJAWABAN

Gambar 33 Jawaban Atas Pertanyaan

5. Tanggapan atau respons SKS terhadap pertanggungjawaban SKK itu, dijadikan feedback bagi proses kekuasaan selanjutnya, yaitu pembentukan siklus kekuasaan berikutnya PERTANGGUNGJAWABAN----penjelasan, respons---->TINGKAT KEPERCAYAAN

Gambar 34 Jawaban Atas Pertanggungjawaban

6. Feedback (feedforward) itu menentukan siklus berikutnya, apakah “lanjutkan,” “kembangkan,” “perbaiki,” atau “ganti.” Rute ini merupakan kesempatan bagi power seeker yang ingin come back TINGKAT KEPERCAYAAN----sikap SKS---->LANJUTKAN, UBAH, GANTI REZIM

Gambar 35 Sikap SKS Terhadap Siklus Berikutnya

7. Sikap SKS memengaruhi proses kekuasaan, siklus berikutnya, dan control di hulu terhadap SKK LANJUTKAN/UBAH/GANTI----kontrol kekuasaan di hulu---->KEBIJAKAN

Gambar 36 Kontrol Kekuasaan Di Hulu

Gambar 30 menunjukkan tiga fungsi SKS 1. Fungsi control terhadap kekuasaan di hulu melalui kebijakan sumnber- sumber. Fungsi ini dilakukan oleh SKS berdasarkan kualitasnya sebagai konstituen dan representatif (perwakilan). Fungsi ini bersifat mengatur,

73

mencegah, dan menggerakkan masyarakat melalui atau berdasarkan kebijakan Negara yang dibuat bersama oleh Negara dengan warga masyarakat yang diwakili oleh DPR. Ruang ini bergerak relative lancar 2. Fungsi control terhadap kekuasaan di tengah melalui kepedulian (concernness) dan dukungan (support) kepada SKK dalam bentuk ketaatan, penjagaan, pengawalan, nasihat (advice), dorongan, kompetisi, referensi, monev, consumerism, collective actions dan monev sehari-hari. Fungsi ini dilakukan oleh SKS dalam kualitasnya sebagai pelanggan, terjanji, dan penagih. Fungsi ini sulit bekerja, pertama mendapat tantangan dari fihak kekuasaan, dan kedua, terhambat oleh peraturan-peraturan formal 3. Tingkat kepercayaan SKS terhadap pertanggungjawaban SKK, dijadikan input bagi fungsi kontrol terhadap kekuasaan di hilir melalui feedback/feedforward. Sikap itu mewarnai control SKS terhadap SKK di hulu siklus kekuasaan berikutnya (Gambar 36). Fungsi ini mendapat tantangan yang sama dengan fungsi control di tengah Tiga fungsi tersebut menjadi dasar rekonstruksi hubungan selanjutnya antara SKS dengan SKK. Pertanyaan yang timbul sehubungan dengan itu adalah: 1. Apakah SKK cukup dimintai pertanggungjawaban atau memberikan pertanggungjawaban sekali semasa jabatan (pertanggungjawaban politik) atau perlu dikawal hari lepas sehari (pertanggungjawaban pemerintahan)? 2. Jika demikian, siapa atau lembaga mana yang menuntut pertanggungjawaban atau mengawal SKK sehari-hari? 3. Apa sajakah konsekuensi pertanggungjawaban itu? (Lihat rumus TJT di atas) Pertanggungjawaban Politik vs Pertanggungjawaban Pemerintahan Jika hasil kontrol di hulu dan di hilir siklus kekuasaan dijadikan masukan pertanggungjawaban politik, maka hasil monev di tengah merupakan masukan bagi pertanggungjawaban pemerintahan sehari-hari. Sebagian besar alasan rekonstruksi dan pembedaan dua macam pertanggungjawaban itu, yang juga menunjukkan betapa pentingnya pertanggungjawaban pemerintahan, disarikan dari Bab II Kybernologi Politik dan Kybernologi Administrasi (2009). Kontrol yang dilakukan masyarakat (SKS) terhadap perilaku kekuasaan (SKK) sehari-hari adalah kontrol dalam arti luas. 1. Kontrol sebagai cermin (kaca) bagi SKK. Kearifan bisnis Warung Padang yang berbunyi: “Jika Anda Puas Beritau Teman, Jika Anda Kecewa, Beritahu Kami,” menunjukkan bahwa pelanggan (masyarakat, SKS) adalah cermin bagi SKK. “Jika Muka Buruk, Jangan Cermin yang Dibelah, Tetapi

74

Muka Sendiri yang Dibenah,” demikian lanjutannya. Orang lain yang tau siapa kita, karena kita lemah dan terbatas, “Kuman di Seberang Lautan Nampak Tetapi Gajah di Pelupuk Mata Sendiri Tidak” 2. Pelanggaran dan penyimpangan perilaku harus diidentifikasi sedini mungkin, karena api dalam sekam tidaklah mati dengan sendirinya, tetapi lama-lama menimbulkan kebakaran tak terpadamkan, dan duri dalam daging jika tidak segera dicabut, lama-lama menimbulkan borok yang parah membawa sengsara. Pelanggaran dan penyimpangan awal yang terasa kecil, lama-lama berbuah bencana yang terlihat mendadak dengan dayarusak mahaberat. Bencana tidak pernah menunggu kita siap menghadapinya. 3. Salah satu hukum alam (ius naturale) yang disebut Hukum Dollo berbunyi: “Kalau suatu makhluk sudah menempuh jalan kemajuan tertentu, maka ia akan tetap menempuh jalan itu dan tak akan kembali, karena proses evolusi tidak dapat dibalikkan (J. H. van Wieringen dalam Serbaragam Pengetahuan Alam, 1954, Muzahar Thaib, pen.). Frekuensi dan akumulasi perilaku manusia membentuk pola perilaku (budaya) yang dapat dianalogikan sebagai “pilihan” jalan kemajuag tertentu. Jika pada suatu titik dalam waktu dan ruang, SKK memilih dan menempuh suatu jalan kemajuan, dan terbentur (gagal), ia tidak bisa kembali pada titik semula dan memilih lagi jalan kemajuan lain. Ia tetap mengikuti takdirnya, semoga ia berketahanan, bisa menyesuaikan diri dengan perubahan lingkungan alam, atau. . . . . .punah 4. Kita sudah memilih dan menempuh strategi pembangunan jangka panjang untuk mencapai tujuan bertahap dalam 20 tahun (UU 25/04 tentang SPPN dan UU 17/07 tentang RPJP) melalui 4 siklus kekuasaan. Sangat terbuka kemungkinan, di satu fihak perilaku kekuasaan siklus yang satu dibanding dengan yang lain berbeda menurut kepentingannya masing-masing, sementara di fihak lain tidak ada jaminan bahwa setiap siklus kekuasaan berjalan pada rel 20 tahun yang sama. Tidak ada satu pasalpun dalam UU atau Perda terkait yang menetapkan bahwa pada saat UU/Perda tentang RPJP/D itu dibuat, semua partaipolitik/fraksi berkomitmen untuk tetap berjalan pada rel pencapaian tujuan jangka panjang 20 tahun yang telah disepakati bersama, siapapun yang terpilih pada suatu siklus kekuasaan 5 tahunan. Kontrol sehari-hari berfungsi menjaga dan mengawal tiap siklus kekuasaan agar perilakunya tetap pada rel jangka panjang . 5. Naluri kekuasaan bisa menyalahartikan dan kemudian menyalahgunakan sebuah system nilai luhur. Sistem nilai Bhinneka Tunggal Ika misalnya. Di Amerika, “unum,” (unity) dalam E Pluribus Unum (Through Diversity Toward Unity) Amerika yang maknanya setara dengan Bhinneka Tunggal

75

Ika,diartikan sebagai faham kesebangsaan (bukan kebangsaan), sebuah faham yang akrab dengan manusia, dengan kita warga masyarakat. Jika di Amerika “unum” diartikan kesebangsaan sebagai hasil proses “melting pot” ratusan tahunan berbagai budaya heterogen sedunia yang tumpah ruah di Amerika, di Indonesia “tunggal ika” diartikan sebagai bentuk negara dengan harga mati, yaitu negara kesatuan. Apakah di Indonesia terjadi “melting pot?” Nampaknya, sementara bentuk negara dengan berbagai cara seolah terjaga, kesebangsaan (bukan ke-“Bangsa”-an) sebagai “way of life” bersama berbagai kepercayaan dan budaya yang berbeda-beda (“bhinneka”), justru semakin jauh dan samar! Jadi sangatlah berbahaya jika ajakan, tawaran, atau basa-basi untuk “bersatu” di atas bermaksud mempersempit atau meniadakan ruangan warga masyarakat. Sama berbahayanya apabila kekuatan-kekuatan yang seharusnya mengambil sikap oposisional terjebak bujukan atau tergiur oleh kekuasaan, sehingga pintu ke arah monokrasi terbuka lebar-lebar. Oleh sebab itu, naluri kekuasaan SKK sehari-hari harus dikawal oleh masyarakat 6. Siapa atau lembaga apa yang berfungsi mengontrol dan memonev rezim yang berjalan pada rel? SBY menjawabnya secara tidak langsung (implisit, atau hanya basa-basi politik?) pada awal pidato penerimaan keterpilihan (acceptance speech) sebagaimana dikutip oleh Kompas (210809). Ia menyampaikan penghargaan kepada capres-cawapres yang sebelumnya bertarung dengannya: “Beliau-beliau adalah putra dan putri terbaik bangsa yang memberikan yang terbaik demi kemajuan demokrasi kita. Pengabdian beliau tidak akan kenal batas akhir dan akan terus berlanjut.” Berdasarkan fakta bahwa rezim lima tahunan datang dan pergi, tetapi “putra dan putri terbaik” still remain, maka kekuatan yang berfungsi mengontrol dan memonev SKK, dan memberikan feedback ke dalam sistem pemerintahan adalah SKS, “putra dan putri terbaik” yang berada di luar kekuasaan politik. Jadi sebaiknya, ada kekuatan yang relatif seimbang yang menempatkan diri 100% di luar sistem kekuasaan yang sedang berjalan, agar dengan jernih, objektif, dan tegas, mampu berfungsi sebagai pemangku, penggerak, dan penjaga kesepakatan atau ikrar bersama tersebut. Penempatan diri di luar sistem kekuasaan juga penting agar monev tidak terjebak dalam perangkap transaksional dengan SKK. 7. Agar bisa berfungsi seperti itu, kontrol sehari-hari yang tidak lain dan tidak bukan adalah SKS jua, harus segera mereformasi diri, yaitu menyerasikan dan menyeimbangkan sistemnya dengan sistem pemerintahan. Sistem pemerintahan menganut asas dekonsentrasi dan desentralisasi. SKS harus mengubah dan mereposisi dirinya sebagai

76

kekuatan civil (madani) yang kuat, di antaranya LSM dan partaipolitik yang berada di luar sistem. Tidak menganut asas sentralisasi semata-mata seperti sekarang. Kekuatan civil pada tingkat statal harus membuka ruang horizontal di tiap tingkat lokal (daerah), dengan memberikan otonomi kepada pengurus setempat untuk membangun kesepakatan bersama dengan kekuatan-kekuatan lain yang berbeda-beda, demi kesejahteraan masyarakat daerah menuju kesebangsaan Indonesia. Proses fragmentasi dan divergensi yang berjalan 10 tahun terakhir harus diimbangi dengan proses integrasi dan konvergensi. 9. Reformasi struktural SKS perlu diiringi dengan reformasi manajemen dan reformasi kultural. Hal itu tidak kurang pentingnya, bahkan sangat menentukan! Perilaku kontrol yang dilakukan SKS harus dicharge dengan sistem nilai kemerdekaan yang tercantum di dalam Pembukaan UUD 1945, penerapannya jelas, transparan, konsisten, tegas dan bertanggungjawab. Dengan perkataan lain, masyarakat oposisional harus berubah, dari masyarakat feodal dan hedonistik menjadi masyarakat civil yang berpendirian. Karakter ini penting, agar penyimpangan sekecil apapun yang dilakukan oleh SKK, bisa terlihat dengan jelas, terbukti, dan setiap penyimpangan sekecil apapun itu, harus dapat dipertanggungjawabkan. Jika tidak, ada konsekuensi, risiko, dan sanksinya. Tidak seperti sekarang, penyimpangan besar terjadi, terang- benderang di mata masyarakat, tetapi para pelakunya tertawa terbahak- bahak, tidak terjatuhi sanksi, karena tidak ada aturannya, dan lagi pula, di mana-mana terjadi demikian 10. Semua subkultur masyarakat pada aras lokal dan bangsa pada aras statal, yaitu SKE, SKK, dan SKS, adalah pemangku sistem nilai dasar pemerintahan. Tetapi karena tiap rezim terpilih datang dan pergi selang lima tahunan, dengan watak dan perilaku yang berbeda-beda, maka mutlak diperlukan pemangku tetap sistem nilai pemerintahan.sebagai standar bagi monev sehari-hari terhadap perilaku kekuasaan. Seperti telah dikemukakan di atas, pemangku-tetap itu adalah SKS itu sendiri, dengan kekuatan oposisional yang berada di dalamnya. Pemerintahan (governance) adalah sebuah sistem. Dasarnya terdiri dari 12 nilai. Duabelas nilai dasar pemerintahan itu sebagai berikut. a. Vooruit zien (memandang sejauh mungkin ke depan) b. Conducting (membangun kinerja bersama melalui perilaku aktor yang berbeda-beda) c. Coordinating (membangun kinerja masing-masing yang berbeda-beda melalui kesepakatan bersama yang mengikat) d. Peace-making (membangun harmoni dan kebersamaan)

77

e. Residue-caring (mengelola “sampah,” “sisa,” “yang beda,” “yang salah,” “yang kalah,” dan “yang terbuang”) f. Turbulence-serving (mengelola ledakan yang dianggap mendadak atau di luar kemampuan, force majeure) g. Fries Ermessen (keberanian bertindak demi keselamatan, jika perlu di luar aturan, untuk kemudian mempertanggungjawabkannya) h. Generalist and Specialist Function (knowing less and less about more and more, and more and more about less and less) i. Omnipresence (terasa hadir di mana-mana) j. Responsibility (menjawab pertanyaan masyarakat dengan jelas dan jujur, men(t)anggung risiko secara pribadi menurut Etika Otonom) k. Magnanimous-thinking (-mind, berpemikiran besar dan kuat menerobos zaman, membuat sejarah) l. Distinguished statesmanship (kenegarawan-utamaan, selama memangku masajabatan publik, berdiri di atas semua kepentingan, tidak memihak, impartial, lawannya salesmanship) (selengkapnya: Bab I Kybernologi dengan Kepamongprajaan, Jarum dengan Benang (2011). Dengan 12 nilai tersebut, keberlanjutan keutuhan pemerintahan diharapkan dapat terjaga. Bila disepakati bersama, sistem nilai itu berfungsi sebagai tolak-ukur dan tolok-ukur pemerintahan. Dengan adanya alat-ukur itu, monev dan kontrol pemerintahan dapat dilakukan. 11. Sejauh ini kondisi lingkungan politik sedemikian rupa sehingga rezim lima tahunan yang bertarung di dalamnya terperangkap pada sikap pragmatik. Sampai sekarang manajemen pemerintahan dan perilaku para pejabat masih berorientasi masajabatan lima tahunan. Berputar-putar dan maju ditempat. Idealisme nyaris lumpuh. Walaupun menurut Lindeman, “ideals can never be more than partially realized,” namun sejarah menunjukkan bahwa lokomotif kemajuan adalah pikiran-pikiran (ideals) besar, tajam dan kuat. Oleh sebab itu, warga masyarakat harus berorientasi jangka panjang dan memiliki magnanimous idealism yang berfungsi mendorong pemerintahan tanpa henti ke depan 12. Pendinamikan dan control pemerintahan sehari-hari dilakukan dengan berbagai strategi. Salah satu strategi yang efektif di bidang bisnis adalah penggunaan nilai atletik dalam pemerintahan. Graham Winter dan Christopher Hamilton, dalam Business Athlete (Vision Publishing, Sydney, 1992), menerapkan kualitas Jiwa Atlit (Athletics) di dalam bisnis menjadi Atlit Bisnis. Kualitas Athletics bisa ditransformasi langsung menjadi Atlit Pemerintahan, atau tidak langsung, yaitu melalui Atlit Bisnis, dan dari Atlit Bisnis ke Atlit Pemerintahan dengan menggunakan metodologi

78

Kybernologi. Kualitas Jiwa Atlit disarikan dalam Teori Budaya Organisasi (2005,190) sebagai berikut: a. Dalam dunia olahraga, pesaing bukanlah musuh yang harus dimusnahkan melainkan lawan yang harus dihormati

b. Olahraga, kompetisi, atau pertandingan, diselenggarakan atas dasar standar dan aturan main yang sama yang disepakati dan ditaati bersama

c. Nilai kejuaraan seorang atlit atas lawannya dalam sebuah perlombaan atau pertandingan, semakin tinggi dengan semakin imbangnya kekuatan, tetapi semakin rendah bila sebaliknya d. Komitmen yang kuat dan prestasi tertinggi lawan merupakan motivasi utama olahraga e. Prestasi bukan hasil tetapi proses f. Mempertahankan prestasi jauh lebih sulit ketimbang merebutnya g. Kegagalan mencapai prestasi tertinggi bukanlah kekalahan melainkan keberhasilan yang tertunda h. Kebesaran seorang atlit terletak pada sportsmanship dan sportivenessnya dalam menerima kenyataan i. Atletik bebas politik dan bersifat universal Nampaknya kualitas Athletics an sich kurang begitu terkait dengan penonton atau pelanggan. Tetapi tatkala kualitas itu diaplikasikan pada SKS mengontrol SKK SKS mengontrol Re- di Hilir (Feedback) distribusi Nilai SKE<---- ---Percaya atau Tidak-- ----di Tengah---- | | | | | | | | | | | | SKS mengontrol SKK | | | kebi- | --di Hulu-- | | | jakan | | | | | | | | | DPR DPD DPD | | | | | | | | | SUBKULTUR KEKUASAAN SUBKULTUR SOSIAL SKK | | | | | | | | | | | | | | | | | | | redistribusi | | petanggunggung- | ----------------- ---jawaban SKK--- nilai kpd SKS kepada SKS

79

Gambar 37 Rekonstruksi SKK dengan SKS DPD Sebagai Lembaga SKS Berfungsi Kontrol

Terhadap Perilaku SKK di Hilir (Rekonstruksi Berdasarkan Gambar 30) Perhatikan Arah Panah (2701121750)

ruang bisnis, supaya pelaku bisnis berkarakter atlit, pelanggan menjadi penting, bahkan terpenting. Metodologi inilah yang digunakan oleh Kybernologi 13. Fungsi negative feedback control circuit pemerintahan. Gambar 37 di memperlihatkan bahwa tercabutnya DPR dari akar kerakyatjelataan pada saat ia diberi posisi kekuasaan atau memosisikan dirinya di dalam ruang kekuasaan otonom (legislasi), sehingga rakyat (populasi) kehilangan sample yang mewakilinya dalam fungsi kontrol politik terhadap kekuasaan, merupakan dasar eksistensi (raison d’être) sikap oposisional warga masyarakat, yang melembaga sebagai negative feedback political control circuit dalam sistem governance, yang berperan melakukan monitoring dan evaluation (monev) terhadap kinerja SKK sehari-hari (ref. Bab II Kybernologi Sebuah Profesi, 2007). Monev di hilir sungguh-sungguh bukanlah pekerjaan sepele. Pekerjaan Besar dan berat, bahkan melihat tantangan arus yang kuat dan berbahaya menghadangnya. Hadangan yang paling sukar! Negative feedback control circuit itu harus kuat. Jika tidak maka terjadilah bunyi pepatah: “Anjing Menggonggong Kafilah Berlalu,” dan janji yang diumbar semasa kampanye ternyata hanya gombal belaka. 14. Pentingnya reference. Psikologi Sosial menjelaskan fungsi reference dan pentingnya referent di dalam masyarakat. “Reference group” didefinisikan sebagai “a group with which an individual identifies and whose values he accepts as guiding principles,” sementara “referent” adalah “the object or event to which a term or symbol refers.” Dalam Logika “referent” berarti “the first term in a proposition to which succeeding terms relate.” Teknik ujicoba menurut Metodologi memerlukan “control group” (tanpa perlakuan) di samping “test group” (mendapat perlakuan). Anak dalam keluarga yang ortunya tidak mampu menjalankan fungsi reference, mencari referensi di luar rumah atau di jalanan. Demikian juga warga masyarakat. Pada hakikatnya setiap orang memerlukan referensi. Demikian juga setiap unitkerja. Namun sayang sekali, begitu seseorang berkuasa, pada saat sebuah unitkerja memosisikan dirinya di dalam ruang kekuasaan, ia merasa tidak lagi memerlukan referensi, karena dia beranggapan bahwa dirinyalah referensi itu. “Bukankah saya pemenang pemilu?” “Bukankah jabatan saya anugerah dewata?” Oleh sebab itu “Saya pasti bisa,” bahkan “Lebih baik dan lebih cepat!”

80

Pada perspektif Kybernologi, setiap kelompok kekuasaan bukanlah “control group” atau “reference,” melainkan “test group,” kelompok yang sedang diuji, dicoba, atau yang janji-janjinya hendak dibuktikan oleh “control group” atau “reference group.” Mereka yang menyebut dirinya pemenang pemilu, dan memasuki ruang kekuasaan, sesungguhnya adalah petaruh dan petarung selama lima tahun di arena (berkuasa). Diperlukan referensi ibarat kamus atau ensiklopedi yang mendefinisikan setiap kejadian agar bisa dimonev dengan cepat, tepat dan akurat. Referensi harus baik dan benar, diakui oleh semua fihak! Persoalannya sekarang ialah, siapakah dan lembaga manakah yang berfungsi sebagai “reference group” atau “control group” bagi kekuasaan (SKK) di dalam masyarakat? 15. Menjadi atlit pemerintahan dan atlit politik saja tidak cukup bagi seorang pemeran SKS pelaku kontrol terhadap perilaku kekuasaan sehari-hari. Masih diperlukan kualitas lain yang merupakan pucuk dan tajuk semua kualitas pemerintahan di semua tingkat administratif, yaitu kedewasaan (maturity) pada tingkat pribadi, dan kenegarawanan (statesmanship) pada tingkat statal dan global. Melihat perilaku para anggota DPR yang ada, memang diperlukan lembaga yang berfungsi sebagai dewan orang tua-tua yang memiliki kedewasaan dan kematangan berpikir, bertindak dan bertanggungjawab, dilambangkan dengan konsep senat, senator (dari Latin senāt(us), senate, “an assembling or council, having the highest deliberating functions”). Para pimpinan negara dan partai hanya mempertunjukkan perilaku politisi, bukan negarawan. Seorang pejabat publik yang berkampanye atas nama parpol yang mendukung atau didukungnya, kendatipun cuti, bukan negarawan, melainkan politisi belaka. Kualitas kenegarawanan ini dibahas panjang lebar dalam Bagian Dua Bab X Kybernologi Sebuah Scientific Enterprise (2006) dan Bab XIV Kybernologi dan Pengharapan (2009). Di sana dinyatakan bahwa kenegarawanan “exhibits great wisdom and ability in dealing with important public issues.” Seorang statesman berfungsi sebagai referensi bagi rezim terpilih lima tahunan, fihak yang takterpilih kembali menjadi controlling reference jangka panjang. Seorang statesman tidak pernah merasa berjasa, karena tindakan apapun yang dilakukannya telah mendapat imbalan dari bangsa, negara dan masyarakat, melainkan ia selalu merasa berhutang, karena ia telah berjanji kepada dirinya sendiri dan kepada masyarakat, dan ia berusaha menepatinya, serta memikul sendiri tanggungjawabnya. Seorang negarawan tidak mengclaim kinerjanya sebagai kinerja partai yang mengusung atau didukungnya, karena selama menjabat ia digaji dan

81

mendapat fasilitas serta kehormatan, bukan dari partai tetapi dari seluruh bangsanya. Selama masa jabatannya, seorang negarawan tidak melakukan perbuatan yang menguntungkan hanya satu fihak, walau cuti sekalipun, sebab cuti itu hanya akal-akalan. Pada saat seorang pejabat yang sedang cuti kampanye, walaupun ia menggunakan kendaraan umum dan mengenakan kaus oblong, pengaruhnya sebagai pemangku kekuasaan politik tetap terasa, ia mendapat pengawalan, perlindungan dan pengakuan sebagai seorang pejabat. Seorang negarawan tidak menggunakan kesalahan orang atau bangsa lain untuk membenarkan diri sendiri (“don’t take the example of others as an excuse for your wrongdoing,” lih. Effendi Gazali dalam Kompas 070509h06 tentang Kompas 220409 soal “jangan galak-galak”). Dalam kenyataannya, khususnya pemimpin formal (politisi, pejabat atau birokrat), untuk mencapai kualitas seorang negarawan, adalah semustahil seekor unta lolos dari lubang jarum. Kesempatan besar untuk menjadi negarawan itu terbuka lebar-lebar dan selama-lamanya bagi seorang pemimpin informal di ruang oposisional. 16. Kalau kenegarawanan dan kepemimpinan merupakan spesi kekuatan sosial, maka Etika Pemerintahan merupakan kekuatan mental, kekuatan hati nurani (lubuk hati, hati sanubari, qalbu, sukma, insan kamil), hati nurani yang terbuka. Perbedaan dan kaitan antara Etika dengan Moral terletak pada beberapa hal. Pertimbangan Moral berlangsung di dalam dan antar warga masyarakat, sedangkan pertimbangan Etik berlangsung di dalam kalbu sendiri, antar nilai dan norma yang tertanam sebelumnya melalui bekal genetik, pengalaman dan pendidikan. Keputusan etik dibuat berdasarkan pilihan bebas. Etika Pemerintahan adalah Etika Otonom, sanksi terhadap pelanggaran dan reward penaatan norma etik bersumber dari dan ditetapkan oleh diri sendiri, tidak berdasarkan perintah dari luar-diri pelaku, sementara sanksi dan reward Moral dari masyarakat. Namun, penetapan sanksi oleh diri sendiri itu tidak hanya dalam hati, diam-diam, melainkan dinyatakan dan diakui secara terbuka keluar, disaksikan masyarakat, diumumkna, agar diketahui khalayak dan dengan demikian ada daya paksa untuk memenuhinya dari masyarakat. Dengan pegangan Moral saja, jika masyarakat permisif, Iblis bisa bercahaya seperti Malaikat, Serigala berbulu Domba, dan Musang berbulu Ayam. Jadi oleh keputusan etik, walau seseorang pelanggar tidak terjerat peraturan formal, karena peraturannya tidak ada, atau “mengingat jasa-jasanya, pelaku diampuni atau dibebaskan, bahkan diberi medali emas,” orang itu terikat atau mengikatkan dirinya dengan norma dan sanksi etik. Etika Pemerintahan

82

berpusat pada Teori Tanggungjawab Etik dengan rumus Tanya-Jawab- Tanggung (TJT) seperti dijelaskan dalam Bab I Kybernologi 2015 (2011). Fungsi Etika dalam politik sudah dijelaskan di atas, yaitu sebagai alasan untuk menyelesaikan secara internal perkara yang menimpa aktor kekuasaan untuk kemudian perkaranya dibuang ke laut. Jadi Etika Pemerintahan sangat dibutuhkan untuk mengimbangi Teori Akuntabilitas yang digunakan di lingkungan kekuasaan (SKK) 17. Selama ini, jarak sosial (social distance) dan jarak kekuasaan (power distance) --- meminjam konsep Geert Hofstede dalam Cultures and Organizations, 1991) --- antara SKK dengan SKS, semakin jauh, terutama dengan semakin tercabutnya akar kekuasaan dari rakyat sebagai lahan tempat kekuasaan tertanam. Hal ini telah lama disadari oleh Institut Ilmu Pemerintahan (IIP sekarang IPDN). IIP melihat tanda-tanda zaman mulai redupnya rezim yang disebut Orde Baru. Melalui Seminar Terbatas Mengukuhkan Akar Kerakyatan yang diselenggarakan di Jakarta tanggal 14 Desember 1995, sejumlah ilmuwan menyumbangkan pikiiran visioner tentang demokratisasi sebagai strategi pendekatan kekuasaan pada warga masyarakat. Walau duasetengah tahun kemudian rezim Orde Baru tumbang dan “era demokratisasi” dimulai, sampai sekarang, justru dua macam jarak itu semakin jauh. Kontrol sehari-hari yang dilakukan SKS terhadap perilaku kekuasaan, yang berlangsung di bawah, di tempat terjadinya “transaksi” yaitu pelayanan oleh negara kepada warga, diharapkan mengalihkan pandangan kekuasaan dari kemewahan dan kenikmatan masajabatan, ke bawah. Bukan hanya memandang dari atas, tetapi hatinya merendah turun ke bawah, supaya kehadirannya dirasakan secara nyata oleh warga terbawah (nilai omnipresence). Turun ke bawah tidak hanya show biz, sandiwara, atau akal-akalan, tetapi sungguh-sungguh turun dan berada di bawah, menjadi sesama bagi warga yang terbawah. 18. Berdasarkan pengertian bahwa daerah adalah masyarakat hukum, maka kekuatan yang melindungi dan membela kepentingan daerah di pusat terhadap SKK pusat adalah Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Dengan perkataan lain (seharusnya) DPD adalah pemangku perwakilan warga daerah Daerah terhadap Pusat, agar terdapan keselarasan, keseimbangan, keserasian, dinamika, dan keberlanjutan antara Pusat dengan Daerah. Kondisi yang sama bisa terjadi juga antara Pemerintah Daerah sebagai SKK di tingkat Daerah dengan masyarakat Daerah sebagai SKS (konstituen, representasi, dan pelanggan) Pemerintah

83

Daerah. Lembaga mana yang memihak dan membela kepentingan masyarakat terhadap Pemerintah Daerahnya pada saat DPRD memosisikan diri di ruang SKK Daerah, terputus dari akarnya, seperti DPR di Pusat? Sebagai lembaga pemangku kewenangan (kewenangan CPP ----CP----> center ---CF----> CPP coperipheral CP centripetal CF centrifugal center = pusat periphery = daerah periphery

Gambar 38 Oposisi Daerah Terhadap Pusat Memerlukan Kekuatan Penyeimbang

adalah derivasi kekuasaan, kekuasaan sah), perilaku Pemerintah Daerah bisa menyimpang dari kesepakatan bersama (jika ada) di tingkat Daerah. Mau tidak mau, prosedur dan proses kontrol sehari-hari seperti diuraikan di atas, harus berjalan di tingkat Daerah. Artinya kontrol sehari-hari itu harus dimulai dari pembentukan kesepakatan atau ikrar bersama juga di tingkat Daerah, dan seterusnya. Dalam hubungan itu, sikap oposisional sebagai wujud kontrol pemerintahan oleh SKS merupakan kekuatan penyeimbang antara Daerah dengan Pusat di satu fihak, dan kekuatan penyeimbang antara Pemerintah Daerah dengan masyarakat di fihak lain. Gambar 39 menunjukkan posisi dan peran oposisi dalam hubungan antara pusat dengan daerah. Konsekuensi bentuk negara kesatuan ialah, kekuatan yang pertama- tama membentuk dan mempengaruhi hubungan antara pusat dengan daerah adalah kekuatan centrifugal (CF, dari center ke periphery) yaitu kebijakan negara melalui UU 32/04. Respons daerah terhadap kebijakan pusat itu adalah kekuatan centripetal (CP). Kekuatan centrifugal selalu lebih besar ketimbang kekuatan centripetal.

84

(CF>CP). Untuk membatasi (mengurangi?) dominasi pusat terhadap daerah di satu sisi, dan meningkatkan bargaining power daerah terhadap pusat di sisi lain, daerah membangun common platform perjuangan bersama dalam bentuk kekuatan coperipheral (CPP), yaitu berbagai asosiasi antar daerah. Itupun masih kurang, terlebih mengingat provinsi yang semakin diposisikan memihak pusat. Diharapkan, dengan kehadiran oposisi, check and balance antara pusat dengan daerah diharapkan bekerja dengan formula: -------------------------------- | CF = CP + CPP + OPOSISI | --------------------------------

Gambar 39 Posisi Oposisi (Lihat Gambar 38) Sikap Oposisional = Kontrol Pemerintahan Sehari-hari =

Kontrol Yang Dilakukan SKS Terhadap Prilaku SKK

Isu politik terakhir dilihat dari sudut Kybernologi adalah keputusan SBY selaku Capres Partai Demokrat (2009) untuk berduet dengan Boediono yang profesional dan menurut media tidak berakarrumput (tidak melalui kendaraan parpol). Di satu sisi hal ini sedikit-banyak mengabaikan tuntutan parpol agar cawapres direkrut dari parpol, dan di sisi lain ditafsirkan sebagai komitmen terhadap sistem pemerintahan presidential murni. Lebih lengkap lagi bilamana keputusan itu didasarkan pada jiwa UUD naskah awal yang mendudukkan menteri negara pada dua posisi, sebagai pembantu presiden (politisi) dan sebagai kepala departemen/kementerian (profesional, “yang paling memahami departemen/kementeriannya,” lebih daripada presiden sekalipun, dengan segala konsekuensinya bilamana terjadi konflik antara dua posisinya itu!). Isu tersebut berujung pada pertanyaan, “Jika presiden begitu kuat, siapa yang mengontrolnya, mengingat ia dipilih langsung oleh rakyat?” Menurut Kybernologi, siapa lagi kalau bukan pelanggan sebagai sebuah body yang diwakili oleh kekuatan oposisional! “Kisah Siti Khoiyaroh” oleh Hotman Siahaan (Kompas 010609h06) adalah potret kekuasaan kanibalistik yang sedang memangsa anak-anak bangsa yang tak berdaya yang terjadi justru beberapa saat sebelum kampanye pilpres duaribu sembilan! 19. Merupakan bagian dan konsekuensi adanya perlombaan, kontes, persaingan, pertandingan, perlawanan, perjudian dan permusuhan di dalam masyarakat. Kualitas, nilai dan norma berbagai konsep

85

keberhadapan dua fihak, bervariasi (Tabel 5). Jika sistem dan budaya politik yang berlaku sekarang di Indonesia, meletakkan norma pemilu pada “penaklukan” dan “the winner takes all,” dengan nilai “kalah- menang,” maka itu berarti pemilu dikonsepsikan sebagai perjudian

Tabel 6 Tujuh Wujud Sikap Oposisional ------------------------------------------------------------------------- KONSEP KUALITAS NILAI NORMA (IMBALAN)* ------------------------------------------------------------------------- perlombaan kejuaraan juara 1, juara 2, dst piala, hadiah (interval) kontes keterpilihan terpilih atau tidak mahkota, (contest) terpilih (nominal) kehormatan persaingan keunggulan unggul atau keuntungan bisnis kemajuan tertinggal (ordinal) pertandingan kemenangan menang, seri, piala, hadiah kalah (ordinal) perlawanan kekuatan kuat atau lemah penaklukan (nominal) perjudian ketepatan te- menang, kalah the winner takes bakan & bidikan all (taruhan) permusuhan kehidupan hidup atau mati the winner takes survivabilitas (nominal) all (musuh dimangsa) ------------------------------------------------------------------------- * yang berlaku sekarang (Gambar 1)

Kesannya memang seperti itu. Parpol yang kadernya terpilih memosisikan dirinya sebagai “the winner,” dan berhak untuk “takes all,” disusul dengan koehandel dan transaksi lainnya. Jika pemilu ditempatkan dalam ruang menang-kalah, dengan imbalan “the winner takes all,” maka fokus perhatian terpusat pada tujuan tidak pada proses, dan oleh karena imbalan sangat menggiurkan, kesempatan terbuka lebar, maka “tujuan menghalalkan segala cara,” terlebih buat Indonesia yang terkesan bukan negara hukum melainkan negara peraturan. Nilai menang-kalah itu pada gilirannya menumbuhkan benih kultus individu (pemujaan dan pendewaan tokoh) dengan topeng “Never change the winning team.” Jika itu terjadi, maka nilai “indispensable” tinggal selangkah lagi. “Kalau bukan dia,” “untung ada dia,” “hanya dia,” “tidak ada yang lain,” “karena dia bisa itu, pasti dia bisa ini,” dan seterusnya. Jika Proposisi Tiga Lindeman diperhatikan, maka oposisi sebaiknya dilihat bukan dari sudut norma (imbalan) tetapi dari sudut konsepnya. Dari sudut itu, pemilu sesungguhnya berada di dalam ruang kontes, dengan keterpilihan, terpilih atau tidak terpilih, mahkota dan

86

kehormatan sebagai kualitas, nilai, dan normanya. Dalam hubungan itu, oposisi berfungsi mewasiti, mencegah dan mengontrol kecenderungan penyimpangan sikap dan perilaku SKK dalam membuat dan menetapkan pilihan, dan mengawal terpeliharanya syarat-syarat objektif keterpilihan itu di dalam masyarakat 20. Bagi sebuah kapal dalam pelukan bahari, oposisi adalah air, oposisi adalah samudera. Suatu saat ia dibimbing arus samudra, pada saat lain ia diterjang badai didera gelombang (Bab I Kybernologi dan Pengharapan, 2009) yang sama. Bila badai menerjang dan gelombang mendera, biduk dan kapal yang berjayar bersamanya, terpukul dan terpental. Tetapi justru Jalesveva Jayamahe, “Di Laut Kita Jaya,” karena laut tidak hanya menyediakan sumberdaya kebutuhan ekonomi tetapi jauh lebih luhur, laut mengajarkan kearifan universal. Di dalam pelukan oposisilah SKK jaya! Jika terjadi peristiwa alam, yang oleh manusia disebut bencana menimpa, yang terlebih dahulu diselamatkan adalah kaum terlemah, yaitu bayi dan perempuan, orang sakit dan penumpang, ABK kemudian, terakhir sang nakhoda, itupun jika masih ada kesempatan. Keberanian dan kecakapan itu didukung oleh keluhuran budi dan kearifan jiwa, dengan menjunjung tinggi kaidah-kaidah harmoni dan keselarasan dengan alam. Inilah Etika Bahari. Jika tidak, ialah juruselamat, ialah martyr, ialah tumbal, ialah korban, ialah pahlawan, ialah syuhada. Mencapai sesuatu melalui (baca: dengan mengorbankan) diri sendiri. Etika Bahari erat berkait dengan Kepemimpinan Bahari: “getting things done through him- or herself.” Berapakah harga manusia? Bagi para politisi dan pejabat, manusia adalah persentase, hanya statistik, hanya angka-angka. Di tengah laut, ketimbang kapal terbenam karam, muatan kapal, milik saudagar dan barang pedagang, kepentingan partai dan ambisi kekuasaan, dapat dan harus dibuang ke tengah lautan, demi keselamatan kapal dan seluruh penumpang. Inilah Hukum Bahari. Laut dapat diibaratkan alam semesta, kapal diibaratkan Negara, dan isinya adalah adalah bangsa Indonesia yang etnisitasnya heterogen, budayanya majemuk, potensinya pincang, dan laju yang satu dibanding dengan yang lain tidak seimbang. Kesenjangan vertikal dan kesenjangan horizontal. Di atas kapal memang politisi dan pejabat yang berkuasa, namun di tengah laut bukan kapalnya, melainkan pelayarannya (kegiatan berlayar) itulah yang terpenting. Dalam hubungan itu, politisi dan pejabat seberkuasa apapun hanyalah satu di antara berbagai-bagai unsur yang diperlukan agar pelayaran terjadi dan berhasil tiba dengan selamat di tujuan.

87

Keselamatan. Inilah Filsafat Bahari (lihat juga Bab X Kybernologi Sebuah Scientific Movement, 2007). Mau berlayar di darat, di lautan pasir? Kesiapan puncak penyelamatan di darat ditandai dengan tempat perlindungan bawah tanah, sebuah silo padat logistik dan teknologi bunker, galian jauh ke dalam perut bumi, terbuat dari baja kebal bom, anti peluru, aman berbulan-bulan, dan sangat dirahasiakan. Untuk itu arsiteknya dilenyapkan. Silo, bunker, bagi keselamatan siapa? Politisi dan pejabat! Jika demikian, mengapa SKK membenci setengah mati kaum oposisional? 21. Nilai-nilai kepemimpinan visioner jangka panjang bersumber dari visi Bangsa/Daerah.Visi Bangsa/Daerah berfungsi sebagai referensi bagi setiap rezim yang bekerja pada rel jangka panjang Nasional maupun Daerah. Dilihat dari perspektif Kybernologi, persoalannya sekarang ialah di ruang politik tidak ada Pemimpin Formal Jangka Panjang, melainkan rezim lima tahunan. Dalam hubungan itu, diperlukan kekuatan yang dapat berfungsi menjaga visi Bangsa dan visi Daerah agar tetap hidup, menjamin rel tetap utuh (sustainable), dan mengontrol setiap pengemudi kereta agar tidak keluar rel. Sudah barang tentu pengemudi (Presiden, Kepala Daerah, DPR/DPRD, MA, dan sebagainya di struktursupra) tidak mungkin melakukan fungsi itu. Semua institusi negara dan aktor-aktrisnya adalah para Petaruh, masing-masing mempertaruhkan kehormatan diri, masajabatan, dan semua yang

Tabel 7 Stakeholder Pemerintahan -------------------------------------------------------------------------------- FUNGSI STAKEHOLDER BISNIS FUNGSI STAKEHOLDER NEGARA -------------------------------------------------------------------------------- A B -------------------------------------------------------------------------------- 1 Mengumpulkan dan menjaga semua Semua sumberdaya adalah milik bangsa uang taruhan bukan milik Negara atau Pemerintah Daerah negara menguasainya (pasal 33 UUD) dalam arti mengelolanya untjuk sbesar-besarnya kemakmuran Rakyat 2 Membayar kepada fihak yang Masyarakat sebagai konstituen, pelanggan menebak atau membidik tepat dan penonton, menanggung risiko, menjadi korban atau dikorbankan 3 Mendapat uang taruhan bila tidak Mandat kembali kepada masyarakat ada bidikan atau tebakan yang jika Petaruh tidak menepati tepat janji dan tidak bertanggungjawab 4 Berupaya agar aturan permainan Masyarakat selaku konstituen mengontrol ditaati oleh semua fihak terkait perilaku Petaruh di hulu melalui kebijak-

88

(mengontrol perilaku para petaruh) an & peraturan, sebagai pelanggan mengon- trol perilaku Petaruh di hilir melalui evaluasi transaksi antara Petaruh dgn masyarakat --------------------------------------------------------------------------------

dipercayakan oleh Bangsa dan Daerah kepadanya. Bahkan dari Petaruh menjadi Petarung! Dalam Bab VI, XII dan XIII Kybernologi dan Pembangunan (2008) dijelaskan bahwa pemegang fungsi menghidupkan visi, menjaga sumberdaya, menjamin keutuhan rel, menanggung risiko, dan mengontrol perilaku para Petaruh, adalah fungsi Stakeholder Negara (Tabel 7 kolom B). Bilamana bisnis dalam Tabel 7 kolom A diibaratkan judi, maka Stakeholder adalah Bandarnya. Dalam hubungan itu, masyarakat dalam kualitasnya sebagai konstituen, representasi warga, pelanggan, dan penonton (pembayar tiket) itulah Stakeholder. Sejauh ini, lembaga-lembaga perwakilan, eksekutif, dan institusi formal lainnya menunjukkan perilaku lebih sebagai Petaruh dan Petarung ketimbang sebagai fihak yang mewakili masyarakat dalam semua kualitasnya. Pada kajian atletik, pesaing berfungsi tidak untuk mengalahkan atlit lainnya, melainkan untuk memacu prestasinya sendiri. Demikian juga di bidang kontes. Kontestasi (contestation) memacu kemantapan faktor-faktor keterpilihan. Jadi lembaga persaingan dalam arti itu penting. Semakin kecil jarak prestasi antara seorang atlit dengan atlit lain sebagai pesaingnya, semakin bagus dan sehat persaingan itu. Budaya permenangan (kalah-menang) politik yang dipopulerkan 5 2 3 MONEV THD KEBIJAKAN HARAPAN,PERCAYA KINERJA SKK --RENCANA-- -----MANDAT------ ----rute 2 & 4--- | di hulu | | di hulu | | & di hilir | | | | DPR DPD | | | | | | | | | | KONSTITUEN PELANGGAN | | | | | | | | -stakeholder- --- -SKE----------SKK-----------------------SKS------------------- SKK--- | pemain | | | | | wasit --penonton--- | | | pemba- | | | PEMBAYAR | | | | ngunan | | | | | | | | | | REDISTRIBUSI | | pertanggung- | | | | | | NILAI & PEM- | | jawaban SKK | | | ---NILAI--- ----BERDAYAAN---- ---berdasarkan--- | | 1 MASYARAKAT etika otonom | | di tengah di hilir | | 4 6 | | |

89

| | -------------------------pemerintahan (governance)-------------------------

Gambar 40 Sikap Oposisional Sebagai Negative Feedback Control Circuit DPR Tercabut Dari Asklarnya Pada Rute 5, 6, dan 3

sekarang harus berubah, diarahkan pada budaya prestasi dan kontestasi, bukan membangun budaya kalah-menang dengan imbalan pemenang berhak merampok fihak yang kalah. Paradigma oposisipun harus diubah menjadi paradigma penjagaan dan pengawalan dari hari ke hari, karena power tends to corrupt.. Hal ini telah dibahas panjang lebar di dalam Bab I, Bab II, Bab III, Bab IV, dan Bab V Kybernologi Politik dan Kybernologi Administrasi (2009)

7 REKONSTRUKSI ILMU PEMERINTAHAN:

SUBKULTUR SOSIAL DENGAN SUBKULTUR LAINNYA Subkultur Sosial (SKS) Di atas telah diuraikan fungsi-fungsi SKS, sebagai kekuatan kontrol terhadap perilaku SKK di hulu, tengah, dan hilir. Kontrol tersebut bertujuan menjaga, mengawal, menyemangati, dan membangun perilaku SKK menjadi subkultur yang bertanggungjawab. Tanggungjawab dalam arti tanggungjawab pemerintahan, bukan hanya tanggungjawab politik. Jika SKK jalan sendiri, hasilnya adalah seperangkat nilai yang dikemas dalam akronim KKN, nilai yang samasekali tidak disepakati menjadi norma perilaku. Oleh sebab itu tumbuh dan dibutuhkan SKS. Gambar 41 memperlihatkan fungsi SKS.

SUBKULTUR SOSIAL ----> PERTANGGUNGJAWABAN PEMERINTAHAN

Gambar 41 Subkultur Sosial

Kita melanjutkan pemikiran dengan pertanyaan krusial: Apakah SKS berhasil menjalankan fungsinya? Rupanya ternyata di depan mata masyarakat, SKK terlihat seperti Badak dalam karikatur Kompas 23 Juli 2011?” Di sana sang Badak kecewa karena dia bukan binatang langka yang unik lagi, sudah banyak sekali pejabat, politisi, dan birokrat, yang seperti dia, bahkannyang mau menandingi dia. Bahkan dalam karikatur Kompas lainnya, sang Iblis mohon supaya mandatnya dari Neraka

90

untuk mengelabui manusia dicabut saja, ia mengundurkan diri dari dunia karena peranannya sudah dilakoni oleh kekuasaan. SKS kecewa, sedih, putusasa, dan menyerah, pasrah. Maka jagat raya menyanyi sunyi (Teater Koma, Nyanyi Sunyi Jagat Raya, 1995). Mata air di matanya sudah kering, dadanya yang kerempeng dielusnya, jarinya yang tinggal tulang tak terkepal. Mengapa? SKS nirdaya! Tetapi semasih nyawa dikandung badan, selalu saja ada harapan. Siapa tau terjadi lagi acting gempar tak terduga, pasukan walking dead, lakon sejagat cacing terinjak menggeliat, saat semua berubah bernama Semar, semua berubah menjadi Semar (Teater Koma, Semar Gugat, 1995; maaf, RT, susunan baitnya saya sesuaikan dengan konteks Kybernologi, terima kasih, TN).

Dia Adalah Semar

Penuh Misteri dan Samar-samar Rakyat Jelata di Mana saja Suka Damai dan Penyabar Rakyat Jelata di Mana saja

Bisu dan tak Suka Onar

Dia Adalah Semar

Tak Jauh Tidak Dekat Selalu Bijak Serba Mengalah

Penuntun Arif Pengobral Maaf Dia lemah Sekaligus Kuat Begitu Sifat Dasar Rakyat

Tapi Jangan Coba Bikin Murka Sebab Dia MahaKekuatan itu

Yang Menggempur Tak Pandang Bulu

Dia Adalah Semar

Dia Badan dan Topan itu Yang Menggeliat karena Gencetan Yang Bergerak karena Penindasan

Yang Menggilas karena Hinaan Yang Sanggup Mengubah Roda Zaman

91

Rakyat Jelata di Mana saja Gambar 17 menunjukkan apa yang terjadi jika SKS berjalan sendirian berfungsi mencegah perilaku negatif, mengawal, melakukan monev terhadap perilaku SKK memperbaiki, dan menyemangati penyelenggaraan kekuasaan di dan dari luar kekuasaan itu sendiri, dan kekuatan feedback circuit ke dalam proses siklus kekuasaan selanjutnya. dalam arti diabaikan dan tidak didukung oleh SKK. Di satu fihak SKS kecewa, kekecewaan berkepanjangan membuahkan kemarahan, gelapmata, dan kemudian anarki. Di fihak lain, perilaku SKK di hulu, tengah, dan hilir tidak terkontrol dan bekerja semaunya, lepas dari system, menjadi narsistik (narsisistik) dan kanibalistik. Dalam hubungan itu, SKS diabaikan oleh SKK karena SKS tidak memiliki bargaining power, seperti dikemukakan di ats, ia lemah, ia nirdaja. Oleh sebab itu SKS harus kuat, dikuatkan, atau menguatkan diri sendiri. Satu-satunya cara ialah, nilai yang memberi SKS kemampuan (capability) dan kompetensi untuk membuat atau menekan SKK supaya bertanggungjawab, diidentifikasi dan jika sudah ditemukan, harus ditanamkan dalam diri SKS segera. Sementera itu apa yang terjadi di ruang SKK? Ia menjalani tahap ketujuh siklus kekuasaannya. Masakerja berakhir, siklus kekuasaan berganti. Saat SKK menyadari bahwa tiada yang kekal, ketika ia mulai menuruni puncak kejayaannya, mulai terasa beban, macam-macam beban, hutang yang belum terbayar, jani-janji yang belum lunas, dan kesempatan yang segera berakhir. Bayangan post power syndrome, debaran jantung yang semakin menyentak, dan jejak-jejak keruh yang tersisa, bisa jadi mimpi buruk di remang senja. Teringat detik-detik semarak ketika dahulu dinyatakan “menang” pemilu, ketika dilantik dengan segala kebesaran dan kemuliaan, sangat kontras ketimbang saat serah-terima jabatan. Sepi dan sunyi. Ini budaya politik yang harus berubah. Bilamana pemerintahan itu berorientasi kinerja, maka serahterima jabatan seharusnya lebih besar, lebih dibesarkan, ketimbang saat pelantikan pejabat yang sama. Bukan pelantikan yang dibesarkan, tetapi pertanggungjawabannya saat berakhirnya masajabatan, itulah yang terlebih besar daripada semua terminal dan rute siklus kekuasaan. Pada saat yang sama, SKS menyadari kenyataan ini: Siklus yang satu pergi, suklus yang lain datang. Apakah setiap siklus pergi nampak punggung, datang nampak muka, tidaklah soal. Masyarakat, kita-kita, tetap tinggal. Namun harus berusaha untuk tidak ditinggal atau tidak tertinggal! Untuk itu kita harus menengok ke dalam

92

diri dan ke luar diri, guna menemukan sumber nilai yang dibutuhkan oleh SKS untuk meningkatkan kapabilitas dan kompetensinya dalam masyarakat:. 1. Kemandirian SKS (Nasionalisme Pemerintahan) 2. Nasionalisme Sosialbudaya dan Kepemimpinan Informal. 3. SKE sebagai sumber nilai sosial (caveat venditor!). Nasionalisme Ekonomi (pembangunan, pemberdayaan, dan pelayanan, nanti diuraikan saat membicarakan fungsi-fungsi governance) SKS Dengan SKK: Nasionalisme Pemerintahan Nasionalisme politik identik dengan Bhinneka Tunggal Ika yang terlah dibahas di atas. Nasionalisme pemerintahan adalah kesebangsaan yang menjiwai pemerintahan. Apakah pemerintahan itu? Bahasan tentang pemerintahan di sini berawal dari ajaran trias politika. Ajaran trias politika mengemuka sebagai buah perkembangan wasasan demokrasi. Trias politika merupakan jawaban terhadap dampak negatif perilaku kekuasaan absolut yang berbuah kesewenang-wenangan. Kekuasaan dibedakan, dibagi bahkan ada yang mengatakan dipisahkan, antara kekuasaan pembuatan UU, implementasi UU, dan kontrol atas implementasi UU tersebut, berturut-turut disebut kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Pemangku kekuasaan eksekutif itulah yang lazim disebut pemerintah. Dalam bahasa sehari-hari, pemerintah dan pemerintahan dapat saling dipertukarkan. Government dapat diartikan pemerintah dan dapat juga diartikan pemerintahan. Kemudian dikenal pula pemerintahan dalam arti luas dan pemerintahan dalam arti sempit. Sejajar dengan pengertian kebijakan, yaitu apa saja yang harus dilakukan atau tidak harus dkilakukan oleh pemerintah, demikian juga pemerintahan. Pemerintahan didefinisikan sebagai apa saya yang dilakukan atau tidak dilakukan oleh pemerintah. Tetapi pemerintahan dalam “pemerintahan daerah,” tidak hanya apa yang dilakukan atau tidak dilakukan oleh pemerintah daerah, melainkan juga termasuk di dalamnya apa yang dilakukan atau tidak dilakukan oleh DPRD.(Pasal 1 UU 32/04). Hal itu berarti, pemerintahan dalam “pemerintahan daerah” lebih luas ketimbang pemerintahan yang dilakukan atau tidak dilakukan oleh pemerintah daerah. Analisis bahasa ini merupakan salahsatu pilar Teori Governance, dan dijadikan dasar pemahaman tentang perbedaan antara government dengan governance, antar pemerintah, kepemerintahan, dan pemerintahan. Konsep pemerintahan dalam perspektif Kybernologi akan dibahas kemudian setelah rekonstruksi Ilmu Pemerintahan selesai dibahas. Untuk sementara, kesebangsaan pemerintahan dilihat dulu dari sudut kesebangsaan.

93

Gambar 7 menunjukkan bahwa dilihat dari sudut SKE, dalam hal ini sumber-sumber, masyarakat dan bangsa Indonesia justru dalam ruang pemerintahan telah tercabik-cabik dalam arti, jarak dan hubungan antar “aku,” “anda,” dan “dia,” antar “kami,” “kita,” dan “mereka,” semakin jauh, NKRI pecah menjadi 5 bangsa. Nasionalisme Pemerintahan, kesebangsaan dalam ruang pemerintahan, bertujuan mereformasi jarak dan hubungan itu. Tiga fihak, banyak fihak, menjadi “kita” yang baru tanpa yang satu berubah menjadi yang lain. Slogan pasar politik berbunyi “Bersatu dalam perbedaan,” baik, tetapi tidak dijelaskan bagaimana hal itu bisa menjadi kenyataan. Salahsatu sumber informasi tentang cara mewujudkan slogan itu adalah Metodologi Ilmu. Metodologi Ilmu Pemerintahan menggunakan lima konsep sebagai alat analisis, yaitu sympathy, empathy, frame of reference (FOR, kerangka acuan, kerangka pemikiran), serenity dan Verstehen.. Empathy vs Sympathy. Kata empathy berasal dari bahasa Gerik empátheia, affection (em-, in- dan pathy, pátheia, suffering, feeling), berarti “intellectual identification with or vicarious experiencing of the feelings, thoughts, or attitudes of another person,” dan “the imaginative ascribing to an object, as a natural object or work of art, feeling or attitudes present in oneself.” Makna empathy kemudian dipengaruhi oleh konsep Jerman Einfühlung. Kata tersebut berkaitan dengan kata sympathy (Latin sympathīa, Gerik sympátheia, dari sym-, before, syn, co-, with, dan páth(os), suffering, feeling), berarti “harmony of or agreement in feeling, as between persons or on the part of one person with respect to another,” dan “a quality of mutual relations between people or things whereby whatever affects one also affects the other.” Arti kedua ini mirip sekali dengan ungkapan tat twam asi, semboyan Kementerian Sosial dahulu kala, yang berarti “aku adalah engkau,” “engkau adalah dia,” dan “dia adalah aku.” Apa yang dirasakan oleh yang satu, dirasakan juga oleh yang lain. Simpati timbul karena adanya kesamaan atau ketertarikan. Apakah hubungan empati dengan simpati? W. Lawrence Neuman dalam Social Research Methods (1997, 356) menyatakan bahwa “Empathy does not necessarily mean sympathy, agreement or approval; it means feeling things as another does.” A ------- berempati ------> B FOR A FOR B | | ------------------- | | | | empati A thd B simpati A thd B | |

94

| | ------------------> FOR, frame of reference, FOR A berbeda dengan FOR B

Gambar 42 Hubungan antara Empati dengan Simpati

Yang Satu Menggunakan FOR Yang Lain Thomas A. Schwandt, “Constructivist, Interpretivist Approaches to Human Inquiry,” dalam Norman K. Denzin dan Yvonna S. Lincoln, (eds), Handbook of Qualitative Research (1994, 120) menggambarkan empati itu sebagai “getting inside the head of another,” didukung oleh sikap etik dan emik (amïc), Gambar 42. Berdasarakan analisis hermeneutic (hermeneutics, Teori Pengertian, “a theory of meaning,” Ilmu Penafsiran, “making the obscure plain,” (lihat Neuman, 1997, 68) dapat dikatakan bahwa empati adalah konsep metodologi, yaitu cara memahami perasaan, sikap, dan tindakan subjek yang diamati dengan menggunakan “intellectual identification,” didorong oleh keingintahuan yang dalam (curiosity), untuk menafsirkan fenomena sosial sehingga terlihat perbedaan, uniqueness, kualitas, karakteristik, antara yang satu dengan yang lain sebagaimana adanya, sedangkan simpati merupakan konsep yang digunakan untuk memahami proses sosial yang terjadi antar pelaku yang berbeda-beda, yang terjadi berdasarkan adanya ketertarikan atau kesamaan. Jadi seseorang bisa bersimpati melalui empati, dan bisa juga bersimpati tanpa melalui empati melainkan melalui kesamaan atau ketertarikan satu dengan yang lain. Dalam Gambar 42, A menggunakan FOR B. Dalam Gambar 43, simpati A terhadap B terbentuk karena adanya ketertarikan atau kesamaan antara keduanya. Membangun kebersamaan dan kesepakatan bisa melalui pendekatan kuantitatif dan bisa juga melalui pendekatan kualitatif. Dengan pendekatan kuantitatif orang berbicara tentang dan memihak (ke)pada dominasi, mayoritas, kuorum, pembenaran, A -------- bersimpati-------> B --------> SIMPATI hobi X hobi X tertarik menarik turut berduka berduka kepentingan Y kepentingan Y

Gambar 43 Terbentuknya Simpati Via Kebersamaan dan Ketertarikan

95

voting, kurva normal, rata-rata, generalisasi, statistik, exchange, bargaining, kekuasaan, dan sebangsanya. Berdasarkan pendekatan kuantitatif, maka yang kalah, minoritas, yang tidak terdaftar, powerless, tontonan, korban, mangsa, dianggap tidak ada, atau dapat diabaikan. Pendekatan kualitatif adalah kebalikannya. Pendekatan ini telah dibahas dalam, Kybernologi (2003), Bab 36, Melalui pendekatan kualitatif yang dijadikan pegangan oleh peneliti dalam mereproduksi dalam pikirannya “the feelings, motives, and thoughts behind the action of others,” adalah frame-of-reference (FOR) subjek yang diamatinya, sedangkan dengan pendekatan kuantitatif, peneliti menggunakan FORnya sendiri. Dengan pendekatan kualitatif, sekecil apapun hal yang diamati, ia mempunyai kualitas dan nilai, dan oleh sebab itu ia tidak pernah dianggap tidak ada, dan kehadirannya tidak pernah terabaikan. Sama seperti tubuh manusia. Komponennya yang kelihatannya terkecil, terlemah, ternyata memberi sumbangan vital terhadap keseluruhan. Terlepas dari persoalan, pendekatan mana yang digunakan, hubungan antara nilai empati dan simpati dengan kedua pendekatan (kuantitatif dan kualitatif), dapat digambarkan sebagai berikut (Gambar 44). Gambar 44 menunjukkan hubungan jalur antara empati dengan simpati. Simpati dapat terbentuk melalui empati (sel 4 melalui sel 3). Empati adalah empati dalam sel 1, sedangkan simpati yang diharapkan terbentuk dalam sel 2. --------------------------------- | NILAI | |---------------------------------| | EMPATI | SIMPATI | | keberbedaan | kebersamaan | --------------------------|----------------|----------------| | | KUANTITATIF | yg berbeda 1 | mayoritas yg 2| | | (FOR peng- | dan kecil | dijadikan da- | | | amat) | diabaikan | sar kebersamaan| | PENDEKATAN |-------------|----------------|----------------| | | KUALITATIF | setiap kom- 3 | keberadaan 4| | | (FOR subjek | ponen ber- | yg menjadi da- | | | yg diamati) | nilai | sar kebersamaan| ------------------------------------------------------------

Gambar 44 Model Hubungan Nilai dengan Pendekatan Antara Empati dengan Simpati

Politisi dan pejabat membenarkan kebijakan pemberian kompensasi BBM langsung tunai kepada orang terdaftar miskin, kendatipun banyak yang sesungguhnya tidak

96

berhak tetapi terdaftar, dan sebaliknya banyak yang berhak tetapi tidak terjangkau pendaftaran, sementara banyak pula orang melarat lanjut usia setelah menempuh perjalanan yang jauh, antri berjam-jam, berdesakan, bahkan ada mati terinjak-injak, tetapi itu semua, dianggap tidak apa-apa, karena “persentasenya sangat kecil.” Jika seorang yang usil bertanya: “Jika orang tua miskin yang terinjak itu, Anda sendiri, bagaimana?” Karena pejabat dan politisi tidak pernah menjadi atau sudah lupa apa itu kemiskinan (“ibarat kacang lupa akan kulitnya”), maka ia tidak bisa me-‘reproduce in his or her own mind the feelings, motives, and thoughts behind the action of other’” (“feelings” dibaca “sufferings,” “misery”). Apakah melalui perbedaan (sel 3, Gambar 44) orang bisa tiba pada kebersamaan (sel 4)? Bisa, jika sikap terhadap perbedaan bahkan heterogenitas, bertolak dari serenity: “Menerima secara sadar dan ikhlas apa adanya.” Seperti tajuk doa Reinhold Niebuhr (1892-1971):

God,

Give us grace to accept with serenity The things that cannot be changed

Courage to change the things Which should be changed

And the wisdom to distinguish The one from the other

Konsep empati dan simpati tidak terpisahkan dengan konsep pengertian (understanding). Salah satu bentuk understanding adalah empathic understanding yang dalam bahasa Jerman disebut Verstehen. “It (Verstehen) must mean an act of sympathetic imagination or empathic identification on the part of inquirers that allowed them to grasp the psychological state (i.e. motivation, belief, intention, or the like) of an individual actor,” demikian Schwandt. Bisa saja peneliti bermaksud mengenal seorang aktor dengan motif ketertarikan (sympathetic imagination) dan bukan karena ingin mengenalnya sebagaimana adanya. Menurut Max Weber, Verstehen adalah “empathic understanding or an ability to reproduce in one’s own mind the feelings, motives, ang thoughts behind the action of others.” Konsep Verstehen terkenal di lingkungan Humaniora, Sosiologi, Antropologi, dan Ilmu Sosial lainnya, dan dijadikan dasar pendekatan kualitatif Metodologi Penelitian Sosial. 1 JARAK 2 ------------>HETEROGENITAS------------->SERENITY--------------- | TINGKAT, JURANG | | |

97

TINDAKAN 6 3 FOR | | | | ---------------VERSTEHEN<----------------EMPATHY<-------------- 5 4

Gambar 45 Nasionalisme Pemerintahan pada Aras Mikro 1 Antara SKK dengan SKS; 2 sd 6 SKK terhadap SKS

FOR frame-of-references, kerangka acuan

Adalah Wilhelm Dilthey yang mengelompokkan ilmu pengetahuan menjadi Naturwissenschaft yang tersusun berdasarkan abstract explanation (Erklärung) dan Geisteswissenschaft yang berakar dalam “an empathetic understanding, or Verstehen, of the everyday lived experience of people in specific historical settings” (Neuman, 1997, 68). Tujuan Naturwissenschaft adalah scientific explanation, sedangkan Geisteswissenschaft “the grasping or understanding (Verstehen) of the “meaning” of social phenomena” (Denzin dan Lincoln, 1994, 119). Nation Indonesia adalah sebuah bangunan. Salahsatu ruangannya adalah ruangan pemerintahan. Dalam ruang pemerintahan yang paling dekat dengan kita, ada tiga komponen bangunan “nation” Indonesia yang bahannya lapuk atau kemakan rayap, konstruksinya satu dengan yang lain dalam dimensi waktu dan ruang tidak pas, sehingga bangunannya miring dan goyang-goyang ditiup putingangin, lebih miring ketimbang Menara Pisa, dan kerapkali digunakan malfungsional, digunakan tidak sesuai dengan fungsinya, bangunan itu dihuni oleh tikus-tikus, badak-badak, dan manusia pake tanduk dengan kait pancing di ekornya, apakah itu bukan geng setan (hehehe, ada beberapa ekor yang cantik di pojok bawah karikatur, Karikatur Kompas 040212)? Tiga pilar itu adalah 1. Tenaga-tenaga penyelenggara Negara 2. Uang rakyat yang dikelola oleh Negara 3. Barang Negara yang dibeli dengan uang rakyat. Tenaga-tenaga penyelenggara Negara. Tenaga-tenaga pilihan (politik) dan tenaga-tenaga angkatan (karier, pegawai negeri, PN). Perilaku penyelenggara Negara (SKK) telah dikemukakan di atas. Yang dipertanyakan di sini lebih khusus, yaitu wawasan kenusantaraan pengabdian seorang PN dalam dimensi waktu dan tempat. Yang dimaksud dengan wawasan kenusantaraan PN adalah kesediaan dan kesiapan untuk bekerja di mana saja dan kapan saja di seluruh pelosok tanahair. Kami dulu tahun 50-an bersumpah untuk itu. Tour of duty (TOD) dan tour of area (TOA), merupakan instrument pembinaan jiwa kenusantaraan PN. TOD dan TOA bukan hukuman melainkan penghargaan! Dahulu, rumah dinas PN tidak dijualbeli seperti sekarang, supaya bagi seorang TOD atau TOA selalu tersedia fasilitas rumah

98

lengkap, dan sekolah bagi anak-anaknya. Juga tunjangan kemahalan di TOA terpencil atau tarif hidup lebih mahal ketimbang daerah lainnya. Tujuannya supaya distribusi nilai-nilai ke seluruh pelosok berjalan dengan relatif merata. Tidak ada kantong-kantong seperti sekarang. Apakah semakin tinggi jabatan, semakin kuat dan operasional wawasan kenusantaraannya, atau justru sebaliknya? Yang terjadi sekarang ialah, separatisme di bidang kepegawaian. Tigapuluhtiga provinsi membangun 33 bangsa pegawai negeri daerah atau apapun namanya. Seorang yang lahir di Jakarta, jadi pegawai professional DKI Jakarta, diurus dengan standar yang jauh berbeda dengan provinsi lain oleh Pemda dan BKD DKI, dan pensiun di Jakarta, apakah ia merasa sebangsa dengan tenaga lainnya di daerah Papua sana? Uang rakyat yang dikelola oleh Negara. Apakah dalam mengelola uang rakyat, Negara memihak rakyat? Pertama dalam struktur anggaran, dan kedua dalam hal tarif. Satu dengan lainnya kait-mengkait. Nampaknya, semakin maju (kalau benar kita ini maju) kita, semakin tidak memihak rakyat pengelolaan uang rakyat. Bagian terbesar uang rakyat dialokasikan menjadi belanja pegawai dan belanja barang. Belanja pembangunan sebagian besar nyangkut di ruang politik, birokrasi legislatif, birokrasi eksekutif, birokrasi yudikatif, state auxiliary bodies, yang ratusan jumlahnya dan berlipat-lipat pengeluasannya, dan hanya sebagian kecil yang menetes ke bawah, ke kita-kita. Dengan perkataan lain, anggaran untuk membangun kekuasaan jauh lebih besar ketimbang anggaran untuk membangun manusia. Jika dipikir saksama, kalaupun masyarakat berubah dan nilai bertambah, sebagian besar bukan kinerja SKK melainkan jerihpayan SKE sendiri, terutama sektor informal yang mengais rezekinya setiap hari bantingtulang mati-matian, dari pukul 02.00 dinihari sampai pukul 11.00 malam, sementara wakil-wakilnya di Senayan, sebagian ngorok di saat rapat atau lagi nampang di depan kamera, dan pejabat-pejabatnya asyik memikirkan siapa lagi yang akan dimakannya. . Berbicara tentang besarnya pendapatan masing-masing tenaga “plat merah” di Negara ini, nampaknya terjadi pengelompokan sebagai berikut: 1. a. Tenaga-tenaga pilihan (elected) b. Tenaga-tenaga seleksian (selected) 2. a. Tenaga-tenaga di lingkungan lembaga yang menghasilkan dan mengelola uang, seperti Kementerian Keuangan dan sebangsanya, BI dan sebangsanya, BUMN dan sebangsanya b. Tenaga-tenaga di lingkungan lembaga yang mengelola manusia, yang sasarannya pada umumnya adalah masyarakat nirdaya, sehingga urusan ini mustahil menjadi sumber pendapatan Negara atau daerah, jadi sifatnya membelanjakan uang 3. a. Tenaga-tenaga yang bekerja di lingkungan daerah kaya

99

b. Tenaga-tenaga yang bekerja di lingkungan daerah miskin Nampak-nampaknya terdapat perbedaan yang sangat menyolok antara kelompok a dengan kelompok b di atas. Perbedaan itu berdampak pada semangat kerja dan kadar rasa kesebangsaan pemerintahan di lingkungan masing-masing. Barang Negara yang dibeli dengan uang rakyat. Manajemen bangunan, asset, barang, logistik, inventory, atau apapun namanya, sangat amburadul, ruang korupsi dan sumber pemborosan. Skandal Banggar DPR (2011-2012) terjadi karena standardisasi tidak ada, atau kalaupun ada, DPR bertindak sendiri di luar standar karena merasa dia yang membuat hukum dan aturan, oleh sebab itu ia bertindak semaunya. Hubungan antar 5 konsep di atas direkonstruksi seperti Gambar 45. Dalam konstruksi itu, tiap konsep menjadi terminal dan hubungan antar terminal, rute. Untuk menghubungkan terminal 5 dengan terminal 1, dibutuhkan terminal ke-6, yaitu tindakan SKK. Tindakan SKK itulah yang menentukan, apakah jurang, jarak, dan heterogenitas pada terminal 1 berkurang atau bertambah. Setiap pilar dianalisis dan diuji dengan 6 terminal Gambar 45. Semakin dekat jarak, semakin “tertembus” heterogenitas, semakin dapat terjembatani jurang, semakin terbentuk dan kokoh Nasionalisme Pemerintahan. SKS Dengan Dirinya Sendiri Kepemimpinan Sosial dan Nasionalisme Budaya Kepemimpinan sosial adalah kesebangsaan di ruang sosialbudaya. Para mantan actor kekuasaan politik itulah yang diharapkan membangkitkan semangat SKS untuk berjuang, justru karena kalangan mantan itu sudah sangat berpengalaman di dunia SKK. Hal ini sekaligus meneguhkan niat para actor semasa masing berkuasan agar ketika jadi mantan mereka tetap eksis, tetap berguna, tetap berperan. Para actor menyiapkan diri sebagai referensi bagi masyarakat kelak bila sudai jadi mantan. Bagaimana prosesnya? 1. Sejauh ini sistem kepemimpinan Indonesia masih berorientasi ketokohan. Di samping itu kepemimpinan formal dinilai jauh lebih tinggi ketimbang kepemimpinan informal. Teori Kepemimpinan Informal dipandang tepat digunakan untuk menerangkan betapa mutlaknya fungsi kontrol terhadap perilaku kekuasaan sehari-hari dalam masyarkaat. Setiap masyarakat memiliki tokoh dan lingkungan yang memiliki kualitas sedemikian rupa sehingga dengan kualitas itu sang tokoh mampu mempengaruhi orang lain atau lingkungannya. Ia disebut

100

berkepemimpinan. Karena kepemimpinannya itu bersifat sosial dan tidak diatur secara formal, kepemimpinannya disebut kepemimpinan informal dan pemangkunya pemimpin informal. Melalui pemilihan (election) atau penyaringan (selection), menurut standar dan prosedur yang telah disepakati bersama, pemimpin informal terpilih atau tersaring menjadi kepala selama periode tertentu, misalnya 5 tahun. Menjadi pejabat atau “yang terhormat.” Mengepalai suatu daerah (negara), mengepalai suatu organisasi, atau terpilih menjadi lembaga representasi. Kepemimpinan informalnya bertambah dengan atau berubah menjadi kepemimpinan formal, karena ada kekuasaan politik di dalamnya. Jadi selama menjabat kekuasaan, pejabat bisa memiliki dua macam kepemimpinan yaitu kepemimpinan formal dan kepemimpinan informal, dan bisa juga hanya kepemimpinan formal. Pada ujung tahun kelima, jika beruntung pada akhir tahun kesepuluh, berakhirlah masa jabatannya. Bagaimana dengan kepemimpinannya. Pejabat yang selama menjabat hanya memiliki kepemimpinan formal, ia menjadi bukan siapa-siapa lagi, sudah habis. Tetapi pejabat yang selama menjabat menggunakan dua-duanya, ketika pensiun atau tidak terpilih lagi, masih memiliki kepemimpinan informal. Kepemimpinan informal ini yang menjadi bekal baginya dalam menjalani sisa hidupnya kembali di dalam masyarakat. 2. Apa artinya kembali ke dalam masyarakat? Bagi banyak orang, pensiun diterima dengan ucapan syukur purnawira, purnakarya. Selama menjabat mungkin ia sudah menyiapkan “lahan” lain untuk berkarya: menjadi Widyaiswara, mendirikan yayasan pendidikan, dan sebagainya. Beberapa orang mengalami post power syndrom (PPS), jatuh sakit, menjadi bukan siapa-siapa. Kendatipun uang pensiun kecil, yang lain menerima masa pascajabatan itu sebagai kesempatan untuk istrahat, menikmati sisa hidup apa adanya. Dari perspektif Kybernologi “kembali ke dalam masyarakat” itu bervisi lain. “Kembalinya mantan pejabat ke dalam masyarakat” harus berarti “bertemu” dengan pemimpin formal baru yang terpilih atau diangkat menggantikannya menjadi kepala buat lima tahun berikut. Jika kepemimpinan sang mantan sudah habis, ia jatuh dalam pelukan PPS. Tetapi bilamana ia masih memiliki kepemimpinan informal, ia tetap berharga dan sisa hidupnya tetap berguna. Supaya tatkala kembali ke dalam masyarakat, sang mantan tidak mengalami PPS tersebut, melainkan tetap “terbilang,” (tetap eksis, tetap “ada,” tetap berperan aktif), semasih dan semasa menjabat ia harus tetap menjalankan dan mengembangkan kepemimpinan informal di samping kepemimpinan formal, sehingga ketika masajabatan kepemimpinan formal berakhir, ia masih

101

sanggup dan berkesempatan menjalankan kepemimpinan informal itu. Ia kembali menjadi pemimpin masyarakat sampai akhir hayatnya, dan mewariskan kepemimpinannya itu kepada generasi berikutnya dalam bentuk contoh, teladan, dan ajaran. Bukan hanya itu. Dalam governance yang baik dan sehat, kepemimpinan informal itu berfungsi sebagai referensi dan tempat bertanya bagi kepemimpinan formal dalam arti yang seluas-luasnya, ibarat hubungan abadi antara senior dengan yunior di dalam masyarakat akademik dan komunitas prajurit. 3. Proses kepemimpinan seperti itulah yang terjadi di Amerika sejak ratusan tahun yang lewat. Partai Republik memang berbeda dengan partai Demokrat. Jika yang satu memimpin (kepemimpinan formal), yang lain memerani loyal opposition (kepemimpinan informal). Pada saat calon partai Demokrat (Obama) terpilih November 2008, partai Republik (McCain) berjanji mendukung. Sebaliknya, partai Demokrat memosisikan partai Republik sebagai referensi. Mengapa? Karena selama empat tahun berikut, dalam menjalankan oposisi loyalnya mendukung partai Demokrat, partai Republik mempelajari sepak-terjang partai Demokrat, melakukan envisioning baru, mengoreksi dan membangun dirinya menjadi yang terbaik lagi bukan semata-mata agar kadernya bisa terpilih pada tahun 2012, melainkan untuk memimpin Amerika lebih baik lagi di masa depan. Gambar 46 menunjukkan bahwa agar seorang mantan bisa berfungsi sebagai referensi positif bagi pejabat yang menggantikannya, dan dapat pula menjalankan kepemimpinan informalnya, selama dan semasih menjabat ia harus mewariskan kinerja yang kelak dalam sejarah tercatat dengan tinta emas. tokoh berkepe- berkepe- PEMIMPIN terpilih mimpinan MASA JA- -->MASYARAKAT------------>INFORMAL------------>KEPALA------------>BATAN------- | mimpinan tersaring formal & BERAKHIR | | informal informal | | | | | | PEMIM- tidak terpilih (lagi), mantan | | ---------PIN IN- <------------------------------------ | | | FORMAL kembali ke dalam masyarakat | | | | | | | | | | | | ----------------| referensi |------ | | | | | PEMIM- rezim lain yang terpilih | | PIN<---------------------------------------- ---------FORMAL naik ke singgasana kekuasaan

102

Gambar 46 Proses Kepemimpinan (Lihat Tanda Panah)

Melalui proses itu, sang mantan jika kesempatan terbuka, come back? Mengapa tidak? Nasionalisme budaya, apa pula itu? Paragraf ini tentang budaya. Beberapa waktu yang lalu (260909) saya buka ruang budaya dalam internet, terlihat beberapa topik yang dikategorikan sebagai peristiwa budaya. Antara lain “Doa Budaya” (240909), “PNS Bolos Karena Faktor Budaya” (240909), “Budaya Mudik” (250909), dan “Boediono Dianugerahi Gelar Adat Tertinggi Banda” (260909). Budaya dalam empat peristiwa itu berturut-turut berfungsi sebagai media untuk berdoa, motif perilaku bolos, sejenis bentuk budaya, dan sebagai komoditi politik. Ahmad Nyarwi (AN) (Kompas 070909) menulis tentang “‘Mutilasi’ Budaya” dan (DAY. Kompas 080909) melaporkan peristiwa budaya tentang “Batik Jadi Warisan Budaya Dunia.” Sehubungan dengan itu, presiden meminta seluruh masyarakat Indonesia mengenakan batik pada tgl 2 Oktober 2009. Demikianlah para politisi, pejabat, ilmuwan dan birokrat memakai batik berdesain indah dan mewah, sementara menurut berita, PNS seDIY diwajibkan mengenakan pakaian dari bahan batik pada tgl 1, 2, dan 3 Oktober 2009, untuk mendukung dan menghormati pengakuan dunia terhadap budaya Indonesia. Dua tulisan itu sama berbicara tentang budaya, tetapi dapat dilihat dari dua sudut yang berbeda. Bila ditengok ke belakang, dahulu kebudayaan dijadikan bagian Kementerian Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan (PPK), yang kemudian berubah menjadi Departemen (atau Kementerian?) Pendidikan dan Kebudayaan (P & K), kalau tidak salah. Tetapi sejak beberapa tahun yang lalu nama dan tentu saja isi departemen itu berubah menjadi Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas). Kebudayaannya ke mana? Apakah untuk memberi tekanan “nasional” pada pendidikan, kebudayaan di-“mutilasi” dari ruang pendidikan dan kebudayaan? Budaya: Nilai (Roh) dan Raganya. Untuk bisa hidup berkelanjutan, manusia bekerja menggali, mengolah atau mencipta sumber-sumber. Manusia bekerja untuk mendapat sesuatu yang berguna atau bermanfaat mendukung kehidupannya. Sesuatu itu disebut bernilai. Sesuatuitu bernilai artinya ada sesuatu dengan nilai di dalamnya. Sesuatu dikurangi dengan isinya itulah raga (kendara). Raga dengan nilai (di SUMBER- SESUATU HIDUP BER- ----->SUMBER------->KERJA------->YANG BERNILAI------->KELANJUTAN----- | | | | | | | | | NILAI RAGA | | | | |

103

| | | | | -BUDAYA-- | | | -------------------------FEEDBACK/FEEDFORWARD------------------------

Gambar 47 Nilai dan Raga (Kendara)-nya Lihat juga Gambar 20

dalamnya) disebut budaya. Manusia bekerja (proses) untuk menemukan, menambah, atau membentuk sesuatu yang bernilai, yaitu budaya. Proses tidak dapat dipisahkan dari hasilnya, karena setiap titik pada proses merupakan hasil jika proses terhenti pada titik itu. Jadi modelnya seperti Gambar 47. Perbedaan dan hubungan antara nilai dengan raganya terlihat pada AN dan DAY di atas. Pada pikiran AN, sesuatu itu adalah Putra Jaya, “kota yang masih sepi” sebagai raga, bernilai “ibukota negara dan disiapkan untuk tigaratus tahun ke depan” Nilai itu tetap kokoh sebagai fondasi hidup berkelanjutan, dengan bagian-bagiannya yang bisa sakit dan perlu dirawat, berubah, maju dan berkembang. Pada laporan DAY, sesuatu itu adalah batik, dengan raganya yaitu “pakaian yang dikenakan atas permintaan presiden,” dan bila semua orang memakai batik, tentu saja batik menjadi komoditi bisnis sejagat yang luarbiasa dahsyatnya. Batik pada suatu masa bisa menjadi komoditi politik, bila demi disiplin semua PNS diwajibkan memakai batik, dan pelanggarannya terancam “PP 30.” Apakah yang diwariskan kepada dunia hanya sekedar raga yaitu kain dengan lukisan-lukisan yang berwarna indah namun bisa dibikin oleh siapa saja, seperti Tari Pendet yang bisa dilakoni oleh siapa saja, atau nilai yang tersembunyi di belakang atau di dalamnya, yang hanya terlihat oleh matahati Indonesia, tidak oleh matadagang atau matapejabat, dan layak dipelajari oleh seisi dunia? (Ref. Taliziduhu Ndraha, Teori Budaya Organisasi, 2005). Culture dan Civilization. Abu Hanifah dalam Rintisan Filsafat I (1950) menarik perbedaan antara kultur dengan peradaban. Menurut Abu Hanifah, “Sampai abad ke-19 umumnya yang disebut kultur oleh ahli pikir, ialah tindakan manusia mengerjakan dan memelihara kekuatan yang ada pada ilmupengetahuan, kesenian, moral (seni kemanusiaan) dan agama, buat keselamatan manusia itu. Dengan sendirinya dianggap bahwa agama, ilmupengetahuan (filsafat), kesenian, dan perikemanusiaan, sebagai bagian-bagian kultur.” “Kalau kita pikir lebih dalam lagi,” demikian Abu Hanifah lebih lanjut, “pengertian kultur Barat belum ada di Timur KEBUDAYAAN 1 | ------------------------------------- | | KULTUR PERADABAN

104

2 3 | | | ------------------- | | | ------PERADABAN BATIN------ PERADABAN LAHIR 4 5

Gambar 48 Kultur dan Peradaban

sebelum masuk pikiran Barat.” “Tetapi di Barat ada pengertian peradaban (civilisation) yang ada juga pada kita. Peradaban itu di Barat akibat kultur, yakni: Kultur ialah peradaban batin dan civilisation ialah peradaban lahir.” Akhirnya Abu Hanifah berpendapat bahwa kebudayaan adalah sintesis antara kultur dengan peradaban (Gambar 48). Perlu diketahui bahwa di Inggeris dan Perancis civilisation berarti peradaban pada umumnya, seperti yang ditunjukkan angka 3 pada Gambar 48, jadi meliputi culture. Di Jerman, Zivilisation berarti peradaban lahir, sedangkan Kultur peradaban batin (kehalusan budi, keluhuran ilmu, keindahan seni, dan sebagainya). Dalam bukunya berjudul Der Untergang des Abendlandes (1923), Oswald Spengler berkesimpulan antara lain bahwa Zivilisation adalah bekuan hasil perkembangan suatu Kultur, yang telah melampaui puncak kegemilangannya. Suatu pola perilaku yang hanya mementingkan hal-hal yang bersifat lahiriah, tampilan yang kelihatan, dan kenikmatan sementara. Lain di mulut (raga) lain di hati (jiwa, nilai). Ia berteori lebih lanjut bahwa Zivilisation merupakan akhir perkembangan Kultur organik yang lahir dari jiwa suatu bangsa, berbentuk teknologi, bangunan kota raksasa, dan bangunan kekuatan politik yang lama-lama membosankan. Segala Zivilisation ditakdirkan untuk musnah pada suatu saat, karena atau bila ia kehilangan dukungan lingkungannya. Untuk tetap hidup berkelanjutan, suatu bangsa tidak boleh kehilangan nilai hidup (elan vital), yaitu roh yang menggerakkan (Kultur), dan raganya harus terus berubah tanpa pernah membeku. Dengan kekuatan itulah bangsa-bangsa Eropah dan Jepang yang kendaranya hancurlebur saat PD II, dalam tempo lima tahun Marshall Plan bangkit kembali oleh nilai hidup yang terus menggelora (ref. Taliziduhu Ndraha, Konsep Administrasi dan Administrasi Di Indonesia, 1989). Budaya dan Kebudayaan. Bahasa Inggris culture diterjemahkan dalam bahasa Indonesia budaya atau kebudayaan. Kata culture berkaitan dengan kata cult. Sementara cult berkaitan dengan Latin colere yang berarti cultivate. Akarkata budaya dan kebudayaan memang sama, yaitu dari bahasa Sanskerta buddhayah. Tetapi pengertian dua kata itu berbeda. Menurut kamus, culture adalah “the quality in a person or society that arises from an interest in and acquaintance with what is generally regarded as excellence in. . . . . .” Di bawah kondisi tertentu, nilai dengan

105

raganya membentuk budaya, ibarat jiwa dengan badan. Berpisah berarti mati. Tetapi tatkala orang lebih memperhatikan dan mengejar raga ketimbang nilai yang berada di dalam atau di belakangnya, seperti pada laporan DAY di atas, atau seperti yang terjadi tatkala “kebudayaan” dikeluarkan dari “pendidikan dan kebudayaan,” maka bagian budaya berupa raga terpisah dari nilai, terjebak di luar semakin jauh meninggalkan nilai yang kehilangan raganya. Dalam kondisi itu, budaya adalah nilai tanpa raga, tanpa kendara, sementara raganya yang semula, berubah menjadi komoditi bisnis yang disebut “kebudayaan” dan ditempel pada Departemen (?) Kebudayaan dan Pariwisata. Budaya adalah konsep, kebudayaan yaitu kata bentukan dari budaya dengan awalan ke- dan akhiran –an, adalah kualitasnya. Budaya itu berada di dalam diri, “kebudayaan” (di dalam tanda kutip) adalah suatu tampilannya atau kenampakannya yang dapat diamati, diukur, dan dijual, entah itu berasal dari dalam (dari nilai hidup, dari budaya), entah bersumber dari nilai lain, atau sama sekali tampilan yang kemilau tetapi tanpa isi, alias pepesan kosong. Apakah, nilai seorang tokoh politik yang oleh elit masyarakat tertentu dalam sebuah upacara dianugerahi gelar budaya dengan (pe)raga(an), ritual, dan segala kelengkapannya, tib-tiba berubah setara dengan nilai yang terkandung di belakang atau di dalam gelar budaya yang dipakaikan kepadanya, yang dibangun selama ratusan tahun oleh para pendiri nilai yang disandangkan? Raga yang terlepas dari nilainya, badan yang terlepas dari jiwanya, itulah yang dimaksud oleh Spengler sebagai raga yang membeku, dan jika nilainya tidak segera beroleh raga baru, bangsa yang bersangkutan musnah, hilang dari peta, atau raga yang sama berubah menjadi sampah, sampah sejarah. Hubungan antara jiwa (nilai) dengan raga ditunjukkan melalui Gambar 49 ---------------------------------------------- | RAGA | |----------------------------------------------| | LAMA(TETAP) | BARU(BERUBAH) | HILANG(DITINGG)| --------------------------|-------------|---------------|----------------| | | | 1| 2| 3| | | LAMA (TETAP) | tertinggal | konservatif | kenangan | | |------------------|-------------|---------------|----------------| | NILAI | | 4| 5| 6| | JIWA | BARU (BERUBAH) | kreatif | kemajuan | angan-angan | | |------------------|-------------|---------------|----------------| | | | 7| 8| 9| | | HILANG(DITINGG)* | sampah | tiruan | musnah | ------------------------------------------------------------------------- *ditingg, ditinggal, tertinggal hilang, belum ada, semakin jauh dari nilai awal

Gambar 49 Hubungan Tentatif

Antara Nilai dengan Raganya (Perubahan Budaya)

106

Contoh yang termasuk dalam sel 7 Gambar 49 adalah budaya Fahombosa di Nias, yaitu sebuah ritual melompati bangunan batu berbentuk piramidal segi empat setinggi lebih kurang dua meter. Muhombo artinya terbang, fahombo artinya melompati sesuatu yang besar. Fahombosa yang berarti perlompatan sesuatu yang besar, adalah raga budaya Fahombosa. Jadi budaya itu diberi nama menurut raganya. Nilainya adalah ritual “menjadi pria sejati.” Ketika bisnis pariwisata memasuki Nias, dan fahombosa sebagai raga berharga 10.000 rupiah sekali melompat, setiap orang mencari uang dengan fahombo. Semua lelaki bisa menjadi atlit bahkan artis fahombosa, lepas dari motifnya demi menjadi pria sejati, atau sekedar lelaki pekerja fahombosa demi uang sepuluh ribuan. Nilai “demi menjadi pria sejati” lama-kelamaan dilupakan orang, sementara raganya menjadi komoditi bisnis fahombosa. “Menjadi pria sejati” diambil oleh perusahaan rokok atas izin negara dan dijadikan credo anak-anak muda agar gencar “membakar uang” dan siap meracuni orang lain dengan asap rokok, sebelum dengan senang hati membunuh dirinya sendiri. Dari uraian sederhana di atas dapat dirumuskan sebuah catatan, bahwa budaya itu sedemikian luhurnya sehingga budaya tidak layak untuk dijualbeli, bukan untuk dikomersialisasikan. Juga bukan untuk dijadikan komoditi politik! Inilah inti nasionalisme budaya! Raga Budaya Yang Terbekukan. Salah satu contoh raga yang bukan hanya membeku tetapi terbekukan adalah raga penegakan HAM, yang membeku atau terbekukan di dalam Departemen Hukum dan HAM (Gambar 50). Tiap tahun ada ritual ratapan bagi para korban pelanggaran HAM (dan kejahatan kemanusiaan) di Trisakti, Jembatan Semanggi, dan lain-lain, yang penyelesaiannya belum kunjung tuntas. Semula HAM berada pada manusia di dalam masyarakat, dinyatakan dan diakui pada tgl 10 Desember 1948. Pengurusan HAM oleh masyarakat dilakukan oleh Komnas HAM. Komisi ini melihat namanya, setara dengan KPK dan lembaga komisioner lainnya. Tetapi melihat penampilannya, komisi itu bukanlah superbody. Kemudian HAM dipindahkan ke dalam lingkungan hukum positif, yaitu Departmen Hukum sehingga nama departemen itu berubah menjadi Kementerian Hukham. Gambar 51 menunjukkan bahwa yang memikul kewajiban (pelayanan civil) untuk melindungi dan memenuhi HAM (ruang 3) adalah negara (ruang 1). Sementara itu warga masyarakat (ruang 2) berkewajiban untuk menaati peraturan-peraturan yang disepakati dan ditetapkan bersama oleh pemerintah dengan masyarakat sebagai dasar pelayanan publik. Indonesia terkesan bukan negara hukum tetapi negara peraturan. Kesan itu diperoleh dari pengalaman sehari-hari, misalnya dalam pemilu (pileg dan

107

pilpres), pilkada dan pilkades yang lalu. Perbuatan yang melanggar kesadaran hukum dan rasa keadilan masyarakat, walau diakui sendiri oleh pelakunya, dan terang benderang di mata publik, tidak dianggap pelanggaran atau kejahatan, karena tidak ada ketentuan yang mengaturnya. Lebih-lebih jika masyarakat permisif terhadap sikap “tujuan menghalalkan segala cara” yang dipertontonkan oleh rezim yang berkuasa. Preseden seperti itu yang terjadi berulang-ulang dan di mana saja, kemudian menjadi kebiasaan dan pola prilaku yang mengeras seperti batu. Itulah yang oleh Spengler disebut hasil --- lebih tepat disebut NEGARA pemikul kewajiban 1 RUANG KEKUASAAN rumah tangga negara pelayanan publik 1------------------->2 kewenangan negara RUANG PUBLIK 2 KEBIJAKAN PUBLIK pelayanan civil 1------------------->3 interface negara kewajiban negara dgn masyarakat pelayanan rumah 1------------------->1 3 tangga negara HAK ASASI MANUSIA (HAM) RUANG CIVIL MASYA- RAKAT

Gambar 50 Interface Antara Konsep Negara Dengan Manusia sampah --- kultur yang membeku, yang dalam jangka pendek menguntungkan satu fihak dan merugikan fihak yang lain, tetapi dalam jangka panjang menghancurkan semuanya. Kewajiban masyarakat untuk menaati aturan perundang-undangan sebagai dasar kewenangan pemerintahan, semakin hari semakin luas, rumit, dan tak terkendali sehingga ada yang menjulukinya hukum rimba. Sebaliknya, aturan perundang-undangan tentang kewajiban negara untuk mengakui, melindungi dan memenuhi HAM, seolah membeku sulit bergerak, enggan berkembang, konon pula

108

implementasinya. Hal ini dapat difahami, karena yang berkewajiban mengakui, melindungi dan memenuhi HAM adalah negara itu sendiri, dan oleh sebab itu, jika terjadi pelanggaran, maka pelanggarnya adalah negara. Tentu saja supaya negara sesedikit mungkin dituduh melanggar, maka aturan perundang-undangan tentang HAM-pun harus pula sesedikit-sedikitnya, dan kalaupun ada, selonggar-longgarnya. Lagi pula, karena HAM itu terletak di ruang negara, maka dengan mudah isu maupun perkara HAM bisa dipindah-pindahkan dengan mudah, ke ruang hukum jika pelanggarnya masyarakat, dan ke ruang politik jika pelanggarnya negara (politisi, pejabat, aparat, birokrat, teknokrat). Kalaupun ada pelanggaran yang terjadi, masih bisa ditimbang-timbang, apakah berat, sedang, atau ringan sehingga bisa dimainkan. Gampang kan? Lantas bagaimana mencairkan kebekuan itu? Satu-satunya kekuatan yang mampu menghangatkan suasana adalah statemanship rezim yang berkuasa, yaitu mengutamakan nilai masadepan ketimbang kepentingan limatahunan masajabatan. Statesmanship itu mutlak, guna menempatkan HAM di atas dan di luar setiap konflik kepentingan di dalam tubuh bangsa. Kewajiban negara untuk mengakui, melindungi, dan memenuhi HAM tersebut harus diatur sejauh mungkin secara otonom, agar rezim-rezim berikut bersama masyarakat memiliki pegangan yang kuat. Dalam hubungan itu, masyarakat dan lembaga-lembaganya dengan Komnas HAM sebagai koordinatornya, diberdayakan sekuat mungkin sehingga bargaining powernya setara dengan negara. Salah satu persepsi sosial yang menghambat integrasi sosial adalah pemahaman yang keliru tentang budaya. Adakah masyarakat yang tidak berbudaya? Seperti dikemukakan di atas, budaya itu adalah sebuah konsep berisi nilai (jiwa) dan raga. Konsep itu abstrak. Abstrak karena nilai itu abstrak, raganya yang terlihat. Raga berkualitas. Dengan mengamati, meneliti, atau menimbang-nimbang raga menurut kualitasnya, nilai di dalam atau di belakang (beyond)-nya ditemukan oleh si pengamat, peneliti, atau penimbang. Nilai yang ditemukan melalui cara ini disebut nilai ekstrinsik, sedangkan nilai yang melekat pada keberadaan raga (eksistensial), disebut nilai intrinsik. Tidak ada budaya yang tak bernilai. Sebaliknya, dengan metodologi yang sama, pengamatan, penelitian atau penimbangan setiap raga, pasti menemukan nilai di dalam atau di belakangnya, minimal nilai intrinsiknya sebagai matarantai proses alam. Dilihat dari sudut ini, tidak ada orang yang tak berbudaya, setiap masyarakat berbudaya, budaya sebagaimana adanya. Sebagaimana adanya, tidak ada budaya baik tidak ada budaya buruk, tidak ada budaya tinggi tidak ada budaya rendah.

109

Tetapi suatu nilai yang dianggap bermanfaat oleh seseorang, misalnya nikotin, oleh orang lain dianggap racun. Oleh sebab itu terjadi konflik nilai dan selanjutnya konflik budaya. Konflik bisa diselesaikan dengan menggunakan asas “merokok itu pilihan bebas, menyadari dan bertanggungjawab sendiri atas akibat-akibatnya,” melalui kesepakatan yang mengikat, misalnya “merokok di tempat khusus yang tersedia.” Dalam hubungan itu, konflik nilai diselesaikan dengan membentuk norma. Selanjutnya konstruksi sejumlah norma disebut ideologi, dan ideologi yang perilaku ditimbang disepakati -->ENTITAS-------->KUALITAS--------->NILAI---------------->NORMA | raga diamati bisa terpaksakan (N) | | | | | dipatuhi disakral- direkon- | |---- ? <------------DOGMA<-----------BON*<-----------------1-| | mutlak isasi struksi | | | | | | feed- KETE- N<H monev oleh ditegakkan | |-----------PATAN <---N=H<------------HASIL-----------------2-| | back N>H pelanggan (H) | | | | | | dibenarkan monev oleh “ditegakkan” | ---- ? <------------- ? <-----------“HASIL”<---------------3- pembenaran penguasa** dipermainkan

Gambar 51 Fungsi Norma Menurut Teori Nilai:

Tiga Opsi, Opsi 1, Opsi 2, dan Opsi 3 (*BON = Body-Of-Norms, Ideologi; **Monev Direkayasa)

disakralisasi menjadi dogma. Dengan nilai yang normatif (disepakati bersama) dibentuk budaya yang normatif berupa sebuah system yang core atau intinya adalah Pancasila (ibarat api) dengan Bhinneka Tunggal Ika (ibarat panasnya). Budaya normatif, budaya yang ideal, merupakan konsep alternatif. Para penulis Budaya Organisasi umumnya sepakat bahwa nilai budaya kuat bervariasi. Dogmatisasi nilai melahirkan indispensablility, tidak adaptable, dan pada gilirannya indispensability melahirkan resistance terhadap perubahan, bukan resilience. variabel budaya normatif adalah budaya kuat atau budaya lunak, Maka dalam wacana terakhir ditawarkan konsep budaya serbacuaca untuk Indonesia (ref. Bab I Kybernologi dan Pengharapan, 2009). Sasaran pembangunan budaya adalah budaya normatif ini, budaya bersama. Nation Building, berbeda dengan national development. Dari budaya sebagaimana adanya yang bhinneka, melalui “melting pot” negara

110

Indonesia (pot = Negara), dibentuk dan terbentuk tunggal ika, kesebangsaan, kesebudayaan yang dinamik dan maju. Pembentukan budaya normatif itu melalui satu-satunya jalan: reposisi budaya ke dalam ruang pendidikan. Pendidikan dan Budaya. Hubungan pendidikan dengan budaya terlihat melalui pertanyaan K. Bertens (Atma nan Jaya, April 1992, 25): “Do we transmit values in teaching ethics?” Pertanyaan itu menunjukkan bahwa pendidikan merupakan medium penanaman nilai ke dalam diri manusia, dan dengan demikian pendidikan berfungsi sebagai raga, kendara, program, alat pembangunan budaya. Variabel nilai dan raga pada Gambar 50, dapat diganti dengan variabel budaya dan pendidikan. Kebijakan pemerintah untuk mengeluarkan “kebudayaan” dari “pendidikan dan kebudayaan” mulai digugat, misalnya suara yang diberitakan Kompas tgl 240909 agar pendidikan dan kebudayaan disatukan kembali, apapun nama departemennya. Suara seperti itu sebaiknya didengar oleh rezim yang berkuasa, tidak hanya konsumsi untuk reformasi birokrasi jangka pendek 2011, tetapi sebagai langkah awal reformasi politik yang sampai saat ini belum diwacanakan. Budaya Normatif dan Perubahan Sosial. Apa hubungan antara Bhinneka Tunggal Ika sebagai sistem nilai sentral normatif bangsa dengan perubahan sosial pada suatu aspek kehidupan? Margaret Mead dalam Cultural Patterns and Technical Change (1955, 1957) menjawab: a change in any one part of the culture will be accompanied by changes in other parts, and that only by relating any planned detail of change to the central values of the culture is it possible to provide for the repercussions which will occur in other aspects of life. This is what we mean by “cultural relativity” that practices and beliefs can and must be avaluated in context, in relation to the culture whole Jadi sebelum seorang pejabat yang memerintahkan Satpolpp untuk mengusir pedagang kakilima yang dianggap melanggar Perda K3, sehingga pedagang yang bersangkutan kehilangan pekerjaan dan anak-anaknya jadi terlantar, harus bertanya pada hatinuraninya, apakah ia tidak melanggar Pasal 27 (2) dan Pasal 34 UUD1945? SKS Dengan SKE: SKE Sebagai Sumber Nilai Rekonstruksi Ilmu Pemerintahan akhirnya tiba pada fase feedback circuit proses terbentuknya tiga subkultur masyarakat antara SKS dengan SKE. State Management Indonesia dewasa ini masih berorientasi pertumbuhan (growth) belum bisa growth and equity (prosperity, welfare), karena bagian terbesar nilai tambah ekonomi dimakan habis oleh pelayanan negara ke dalam (pelayanan ke dalam rumahtangga negara, bukan pelayanan ke dalam rumah tangga masyarakat) dan korupsi di segala

111

bidang, seperti terlihat pada Gambar 45. State Management Indonesia itu masih menggunakan ajaran caveat emptor (caveat emptor philosophy), fase awal dari tiga fase perkembangan manajemen. Menurut Robert Hay “Social Responsibilities of Business Managers,” dalam Archie B. Carroll (ed.), Managing Corporate Social Responsibility (1977), “In the pursuit of maximum profit, the managers’s actions toward his customers would be reflected in a caveat emptor philosophy. “Let the buyers beware” would characterize his decisions and actions in dealing with the customers.” . Di beberapa sektor sikap “What is good for General Manager is good for our country,” yaitu manajemen “top-down,” masih sangat dominan (fase kedua). Kita masih harus berjuang keras dan konsisten untuk menerapkan filsafat caveat venditor (fase ketiga), yaitu “What is good for society is good for our company”. Yaitu manajemen “bottom-up.” “Let the seller beware!” Jika kita terapkan di ruang pemerintahan, prinsip itu berbunyi: “What is good for SKS, is good for SKK,” “What is good for the poors, is good for Indonesia.” Dalam hubungan ini, “seller” adalah negara. Saat kita berseru: “Let negara beware!” saat itulah kita kaum SKS menjerit menuntut pertanggungjawaban SKK. Penggunaan prinsip SKE Fase tiga itu oleh SKS untuk meningkatkan sistem nilainya, membangun hubungan fungsional antara SKS dengan SKE. Pada aras filosofik, rekonstruksi SKS dalam hubungan feedback circuit-nya dengan SKE dilihat dari perspektif nasionalisme seperti diuraikan di atas: Nasionalsme Ekonomi. Seminar Nasional Menyongsong Kebangkitan Nasional Kedua dalam Era Globalisasi Dunia (disingkat Seminar Nasionalisme Ekonomi) diselenggarakan oleh Fakultas Ilmu Administrasi Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta pada tgl 8 dan 9 Maret 1991 di Aula universitas tersebut. Seminar membahas empat makalah, berturut-turut Drs Moerdiono “Aktualisasi Nasionalisme Dalam Pembangunan Nasional Jangka Panjang 25 Tahun Kedua,” dibahas oleh Letjend Hasnan Habib dan Albert Hasibuan, SH; Dr Anhar Gonggong “Sejarah Nasionalisme Indonesia dan Perkembangannya di Masa Depan,” dibahas oleh Dr R. Z. Leirissa dan Dr Onghokham; Dr Andre Hardjana, MA “Aktualisasi Nasionalisme Dalam Demokrasi Ekonomi Indonesia: Nasionalisme Ekonomi di Negara Berkembang,” dibahas oleh Dr Taliziduhu Ndraha dan Drs J. L Martoatmodjo, MBA, MSM; dan Dr Alfian “Aktualisasi Nasionalisme Dalam Pembangunan Politik Jangka Panjang 25 Tahun Kedua,” dibahas oleh Drs Dwi Susanto, MA dan Tjahjo Kumolo, SH. Seminar tersebut dirancang hampir setahun lamanya, bertepatan dengan isu yang menghangat pada masa jayanya rezim Soeharto dan menderasnya arus globalisasi menuju pasar bebas dunia. Gaung seminar bergema luas, tidak semata-mata karena pembicara pertama Menteri Sekretaris Negara, tetapi karena opini publik di masa itu tergiring ke

112

sana oleh arus pemikiran intelektual media massa, seperti Prisma nomor 2 di bawah judul Nasionalisme Gelombang Ketiga dengan “Nasionalisme Ekonomi Indonesia: Sebuah Tinjauan Kritis” Dr Sritua Arief sebagai artikel utamanya.

Puluhan tahun telah berlalu. Generasi pemikir-sejauh-mungkin-ke depan telah lewat, dan kalaupun masih ada, sejumlah besar telah berubah menjadi oportunis, pemikir-jangka-pendek-sejauh-masa-jabatan. Generasi pemikir yang dibenci karena dianggap suka mimpi telah berakhir dan kini sedang berkuasa kelompok “pemikir” yang disayang karena menawarkan kenikmatan sesaat. Tetapi BUAH PIKIRAN TETAP ABADI, PADA SAATNYA BERKELIP SEPERTI TITIK-TITIK CAHAYA YANG TIMBUL TENGGELAM DI CAKRAWALA ARUS ALAM SEMESTA, lepas dari persoalan otak siapa yang memroduksi buah pikiran itu, tangan siapa yang menulisnya di media massa, atau melalui mulut siapa pikiran itu dilontarkan. Pemikiran itu ibarat pohon yang menghasilkan buah bernama buah pikiran. Pada gilirannya buah pikiran itu seperti buah lainnya, bisa menjadi benih baru buat pemikiran berikutnya, atau lebih baik lagi, diolah dan dijadikan masukan buat proses produksi pemikir-pemikir baru. Dia menyerap enerji dari lingkungannya. Sang pemikir bebas memilih: enerji bernama tamak-dan-serakah atau enerji bernama iman-dan-takwa.

Nasionalisme ekonomi yang populer di tahun 70-an abad yang lalu --- demikian Andre Hardjana dalam makalahnya --- dan selama dekade terakhir pudar dan pengalamannya terlindas arus pasar bebas dengan perilaku neoliberal, kembali mencuat ke permukaan bersama keberhasilan NAD merebut kemenangan politik (lokal) dan keberhasilan entah keberhasilan siapa merampas identitas Papua, bersama kasus FI, blok Cepu, kehancuran struktur lingkungan yang menghisap banyak nyawa manusia, dan bersama. . . central government yang terlalu soft, jangankan strong, bahkan weaker-and-weaker atau weakened-and-weakened di semua lini dan tingkat. Buah Pikiran Nasionalisme Ekonomi, Warisan Abad Keduapuluh. Suka atau tidak suka, elit intelektual di tahun 70-an sampai 90-an menghasilkan berbagai buah-pikiran besar. Para pejabat tinggi juga tidak mau ketinggalan. Mereka sering melontarkan buah-pikiran-besar. Tidaklah mengherankan jika semua pembicara dalam seminar di atas menggantungkan harapannya pada golongan menengah Indonesia yang terdiri dari intelektual dan usahawan (Alfian, Anhar Gonggong, Leirissa, lebih-lebih Habibie). Mungkin mereka terpesona oleh Teori Sejarah Barat seperti dikemukakan Jan Romein dalam Bab 9 Aera Eropa (1956). Bahwa kemudian di Indonesia ternyata buah tinggal buah, hanya elok dipandang dan sedap didengar,

113

tidak diolah guna menghasilkan perubahan, pembaharuan, dan kesejahteraan bagi semua orang, itu jelas soal lain. Isu ketimpangan ekonomi dan kesenjangan sosial bukan hanya polemik akademik tetapi juga merupakan diskusi politik selain sebagai sasaran pembangunan nasional. Pada puncak kejayaan rezim “Orde Baru,” dalam pidato kenegaraan di depan sidang DPR tanggal 16 Agustus 1990 Presiden Soeharto menyatakan: “Kita tidak menginginkan adanya kesenjangan antar kelompok masyarakat kita dan antar daerah. . . . .” Sebagai bahasa politik, pernyataan itu mengakui adanya kesenjangan sosial di dalam masyarakat, lepas dari praktiknya di lapangan. Moerdiono dalam Seminar Angkatan Darat di Bandung (Kompas 16 Desember 1990) menyatakan: Salah satu isu dalam pembangunan yang banyak meminta pemikiran pada perancang pembangunan adalah adanya kesenjangan sosial. Esensi masalah ini adalah kenyataan bahwa dalam suatu masyarakat yang sama terdapat jarak sosial ekonomi yang terlalu lebar di antara warganya. Amat sulit membangun solidaritas antara dua masyarakat yang terlalu jauh jarak sosial- ekonominya ini. Secara konseptual sesungguhnya mereka adalah dua bangsa yang terpisah, khususnya jika kita memahami arti bangsa sebagai kehendak untuk bersatu. Pengalaman menunjukkan bahwa kesenjangan sosial bisa melimpas dengan cepat ke bidang politik dan akhirnya ke bidang keamanan. Semua pembicara dalam Seminar Nasionalisme Ekonomi di atas, baik penyaji, pembahas utama, maupun pembahas umum, berpendapat bahwa kesenjangan sosial-ekonomi itu ada; beberapa pembicara berkesimpulan bahwa kesenjangan itu semakin melebar dan menajam. Bahkan dalam kesempatan lain, Alfian menyatakan bahwa KESENJANGAN SOSIAL SUDAH MENDEKATI AMBANG BATAS TOLERANSI MASYA-RAKAT. Alfian ternyata seorang cendekiawan yang meng-envision tahun 1998 dengan tepat. Kesenjangan terjadi di berbagai bidang. Selain kesenjangan sosial dan ketimpangan ekonomi yang diungkapkan oleh semua pembicara, terungkap juga adanya diskrepansi politik. Dwi Susanto mengede-pankan isu diskrepansi politik antara struktur supra (yang super kuat) dengan sutruktur infra sistem politik yang oleh Tjahjo Kumolo dinilai sangat lemah. Pertanyaan pokok yang diajukan melalui proposal seminar adalah, nilai apakah yang mutlak menjadi inti policy decision dan policy implementation agar berbagai kesenjangan tersebut pada suatu saat yang tidak terlalu lama berkurang sampai pada tingkat minimal? Seminar menjawab: “Nasionalisme.” Mengapa? Karena Nasionalisme itu tekad dan semangat (Moerdiono), ideologi (Albert Hasibuan), dan wawasan kebangsaan (Alfian). Sebagai wawasan ia mengandung dua sisi: sisi internal yaitu wawasan jati-diri, dan sisi

114

eksternal yaitu kemampuan untuk berperan dan memenuhi tanggungjawab internasionalnya. Jati diri Indonesia itu sendiri adalah Pancasila. Nilai Nasionalisme harus diaktualisasikan. Nasionalisme harus diaktualisasikan di dalam pembangunan nasional jangka panjang. Dalam setiap kesempatan Moerdiono memaparkan concernnya pada keterkaitan antara dasar (Pancasila) dengan tujuan (Masyarakat Adil dan Makmur) melalui aktualisasi nasionalisme, demokrasi dan pemba bangunan nasional. Hubungan antar ketiga nilai (nasionalisme, demokrasi dan pembangunan nasional) itu oleh Moerdiono disebut Trilogi Nasionalisme yang berfungsi sebagai jembatan antara dasar dengan tujuan, yang dapat digambarkan seperti Gambar 11. Sesuai dengan judul tulisan ini, makalah ketigalah yang menjadi fokus pembahasan. Andre Hardjana berpendapat, sebagai derivat (spesi) Nasionalisme, ada empat tafsiran Nasionalisme Ekonomi. 1. Sebagai jalan untuk membebaskan suatu bangsa dari ketergantungan pada sistem ekonomi dan perdagangan internasional yang justru menghambat ekonomi nasional negara yang bersangkutan 2. Sebagai alat untuk mengembangkan dan mempertahankan integrasi nasional 3. Sebagai tindakan untuk menempatkan warganegara di atas penduduk bukan warga negara, terutama dalam hal kesempatan kerja 4. Sebagai kebijakan indigenistik, yaitu kebijakan yang didasarkan pada paham kebumiputraan (kepribumian) Indigenisme mempunyai dua sisi. Sisi yang satu bertolak dari kenyataan bahwa pada suatu tahap perkembangan ekonomi suatu bangsa bermasyarakat majemuk sebagian besar sumber-sumber dikuasai oleh golongan non-pribumi, seperti yang dikemukakan oleh Sritua Arief dalam Prisma bulan Februari 1991 di atas. Modal yang dikuasai oleh golongan pribumi dalam perusahaan PMSW, misalnya hanya 14,1% sedangkan non-pribumi 85,9% (1967-1980), dan dalam perusahaan PMDN pada periode yang sama berturut-turut 27,2% dan 72,8%. Indigenisme di sini berusaha mengubah kondisi itu menjadi relatif proporsional, seimbang, atau adil. Sisi kedua bertolak dari upaya untuk mengutamakan kepentingan nasional: kedaulatan nasional, integrasi sosial, dan kepentingan setiap warga negara. Dalam praktik, sisi ini di beberapa negara berkembang melahirkan sikap yang dianggap negatif dan positif. Yang negatif berupa sikap anti PMA, anti modernisasi, nasionalisasi perusahaan asing, dan sebagainya, sedangkan yang positif berupa sikap solider dan kerjasama yang tumbuh di kalangan negara berkembang yang merasa bernasib sama.

115

Terkait dengan faham indigenisme di atas, ada dua konsep yang menghuni sistem nilai dasar (core values) bangsa Indonesia, seperti dikemukakan di atas, terdapat berturut-turut dalam naskah Soempah Pemoeda dan UUD1945, yaitu 1. Tanah Air. Konsep ini menunjukkan hubungan yang tak terpisahkan di satu sisi antara setiap warga dengan langit yang dia junjung dan bumi yang dia injak, sumber kehidupan dan penghidupan, persis seperti jiwa tak terpisahkan dari raganya. Berai berarti mati! 2. Tumpah Darah. Konsep ini menunjukkan hubungan yang tak terpisahkan di sisi lain antara setiap warga dengan tanah airnya, yang ia rela bela sampai titik darah yang penghabisan Dapatlah dirasakan betapa pilunya warga melihat di tengah-tengah Tanah Air yang dicintainya ada kantong (enclave) sumber-sumber milik orang asing (mereka) yang bukan kita, dan betapa geramnya kita melihat bangsa asing meneguk kenikmatan dari kantong-kantong-(exclave) mereka di negeri asing (Indonesia), yang kita telah pertahankan dengan tumpah darah. Kita kehilangan, bukan hanya hubungan antara manusia dengan Tanah Air dan Tumpah Darah, tetapi juga hubungan antara “mereka” dengan “kita.” Biang keladinya siapa? Hasil penelitian kualitatif seorang kandidat Doktor tentang kasus pembebasan tahan dengan “ganti ruhi” untuk jalan tol adalah kesaksian tentang hal ini (lihat Bab I Dari Pemikiran Kualitatif Constructivist Menuju Birokrasi Berbasis Kybernologi (2011). Dalam makalahnya, Andre Hardjana mendefinisikan Nasionalisme Ekonomi sebagai semangat yang melandasi kebijakan ekonomi yang mengutamakan kepentingan bangsa sendiri di atas kepentingan bangsa lain, dan secara operasional, dapat ditafsirkan secara makro dan mikro. Secara makro, Nasionalisme Ekonomi adalah penjabaran kebijakan ekonomi yang ditetapkan oleh pemerintah untuk melindungi kepentingan negara dan rakyat. Dalam hubungan itu, pemerintah berfungsi sebagai pengatur, perencana dan pelaku pembangunan ekonomi. Secara mikro, Nasionalisme Ekonomi adalah dukungan rakyat terhadap peranan pemerintah tersebut di atas. Jika konsep nasionalisme dan ekonomi dalam definisi Andre Hardjana disubstitusi dengan wawasan kesebangsaan dan fungsi SKE, maka ------------------------------------------------------ | Anggapan Dasarnya, Nasionalisme Ekonomi adalah | | Semangat Yang Melandasi Kebijakan Sumber-Sumber | | Ekonomi Berkelanjutan dan Mandiri Untuk Pembangunan | | Kesebangsaan Indonesia. Hipotesisnya ialah, semakin | | dekat jarak kekuasaan antara SKK dengan SKS, semakin |

116

| berkurang kesenjangan vertikal sosialekonomi antar | | lapisan masyarakat, dan kesenjangan sosialekonomi | | horizontal antar daerah, semakin terwujud dan semakin| | kuat kesebangsaan | ------------------------------------------------------ Dengan demikian tibalah kita pada kesimpulan sementara tentang rekonstruksi Ilmu Pemerintahan. Gambar 25 dan Gambar 26 menunjukkan fungsi SKE. Untuk jelasnya di sini modelnya diulangi menjadi Gambar 52.

SUBKULTUR EKONOMI ----> NILAI

Gambar 52 Subkultur Ekonomi

Jika SKE jalan sendiri, hasilnya adalah ketidakadilan sosial. Oleh sebab itu tumbuh dan dibutuhkan SKK. Gambar 28 menunjukkan fungsi SKK; diulangi menjadi Gambar 53:

SUBKULTUR KEKUASAAN ----> KEADILAN SOSIAL

Gambar 53 Subkultur Kekuasaan

Jika SKK jalan sendiri, hasilnya adalah seperangkat nilai yang dikemas dalam akronim KKN. Oleh sebab itu tumbuh dan dibutuhkan SKS. Gambar 54 memperlihatkan fungsi SKS.

SUBKULTUR SOSIAL ----> PERTANGGUNGJAWABAN PEMERINTAHAN

Gambar 54 Subkultur Sosial

Jika SKS jalan sendiri, ia tidak bisa, karena ia lemah, nirdaja. Oleh sebab itu SKS harus kuat, dikuatkan, atau menguatkan diri sendiri. Satu-satunya cara, nilai SKS yang memampukannya dan memberinya kompetensi untuk membuat SKK bertanggungjawab, harus ditingkatkan. Dalam hubungan itu SKS membutuhkan SKE. Gambar 55 menunjukkan: 1. Sejauh mana SKE menghasilkan nilai, bergantung pada SKK yang membuat kebijakan penggalian, pengolahan, pengelolaan, dan pembangunan sumber-sumber 2. Sejauh mana SKK menghasilkan keadilan sosial, bergantung pada SKS yang mengontrol perilaku SKK di hulu, di tengah, dan di hilir siklus

117

kekuasaan. 3. Sejauh mana SKS bisa memaksa SKK untuk bertangungjawab, bergantung pada SKE yang berfungsi meningkatkan nilai SKS (enabling) sehingga mandiri, dan kemandirian SKE untuk tidak bertransaksi (berdagang) dengan SKK -----> SKE --------------------> SKS ------ | | | | | | ------------------- SKK <------------------

Gambar 55 Hubungan Antar Tiga Subkultur

9 PEMERINTAHAN

Definisi Pemerintahan Di atas telah dikemukakan bahwa setiap masyarakat adalah sebuah satuan kultur. Ia digerakkan oleh tiga subkultur, yaitu subkultur ekonomi (SKE), subkultur kekuasaan (SKK), dan subkultur sosial (SKS). SKS berkualitas tiga, konstituen (representasi), terjanji, dan pelanggan. Interaksi antar tiga subkultur itu disebut pemerintahan (governance, lihat Bab I Kybernologi Sebuah Titipan Sejarah (2010). Penggerak utama masyarakat adalah naluri untuk hidup. Hal itu dikemukakan oleh Walter Lippmann dalam The Public Philosophy (1956, 84): “ius naturale, . . . . . the human needs and instincts.” Ilmu Ekonomi berangkat dari titik ini. Tatkala “human needs and instincts” itu diakui dan dinyatakan sebagai sisi lain hak asasi manusia (HAM), maka Ilmu-Ilmu Sosial dan Humaniora berangkat pada titik yang sama. Seperti diketahui, alat untuk memenuhi kebutuhan itu, alat pendukung kehidupan, adalah nilai. Nilai diperoleh melalui kerja, yaitu pengolahan, pembentukan, dan penggunaan sumber-sumber. Peran penggalian, pengolahan, dan pembentukan nilai ini disebut subkultur ekonomi (SKE). Subkultur ini sehari-hari menunjukkan tiga perilaku: membeli semurah mungkin, menjual seuntung mungkin, dan membikin (membuat) sehemat (semudah) mungkin. Dari sini muncul budaya seleksi alam, perjuangan untuk hidup, dan yang kuat makan yang lemah. Keduanya (Ilmu Ekonomi dan Ilmu-Ilmu Sosial Humaniora) berpisah manakala ternyata, saat ekonomi berjalan sendiri, akibatnya adalah ketidakadilan, karena barangsiapa memiliki

118

sumberdaya besar beroleh nilai banyak, dan sebaliknya yang terjadi pada barangsiapa yang hanya memiliki sumberdaya sedikit, konon pula jika hanya memiliki sumberbencana, akan semakin nirdaya. Maka akalbudi manusia bekerja membangun upaya penyelamatan. Nilai-nilai yang dapat diperoleh melalui private choice, melalui many choices, melalui pasar, tetap diperani oleh SKE, tetapi nilai-nilai yang tinggi serta luhur sifatnya, yang perolehannya no choice, conflicting choice, atau hard choice, dikelompokkan menjadi public choice, diupayakan melalui subkultur lain. Maka masyarakatpun membutuhkan dan membentuk subkultur lain yaitu subkultur kekuasaan. Nilai-nilai yang perolehannya no choice conflicting choice, dan hard choice, diletakkan di bawah dan diperani oleh subkultur kekuasaan (SKK). Mengapa SKK menjadi pilihan? Sebab peran SKK mengandung nilai-nilai order, authority, force, coercion, violence, dan death sentence, yang sangat mudjarab dan diperlukan buat membangun kebijakan, implementasi kebijakan. menegakkan peraturan dalam mengontrol sumber-sumber di hulu, dan dalam redistribusi nilai-nilai kepada pelanggan di tengah. Tetapi juga nilai-nilai itu teramat ampuh bagi pemangku dan pelaku kekuasaan untuk digunakan sebagai alat untuk mempertahankan dan menyalahgunakan kekuasaannya! Perilaku kekuasaan itu ialah berkuasa semudah mungkin, menggunakan kekuasaan seefektif mungkin, dan mempertanggnggungjawabkan penggunaan kekuasaan itu seformal mungkin. Maka budaya onrechtsmatige overheidsdaad, misbruik van recht, detournement de pouvoir, abus de droit, KKN, pembohongan publik, penindasan, pembiaran, cucitangan, kambing hitam, pemborosan, kepongahan, pencemaran kode etik perofesional, manipulasi ilmupengetahuan, kebodohan, dan sebangsanya, merajalela di ruang SKK. Lord Acton menyimpulkannya: “Power tends to corrupt, absolute power corrupts absolutely.” Untuk mencegah budaya kekuasaan yang bersifat negatif itu, kekuasaan harus dikontrol, di hulu, di tengah, dan di hilir. Yang menjadi pertanyaan, siapa yang mengontrol SKK? Entah ilmu mana yang mengajarkan bahwa badan legislatif berfungsi mengontrol badan eksekutif, sesama trias politika. Tetapi penyanyi cilik (di masanya) bernama Yoshua dengan jenaka menyanyi: “Masa jeruk makan jeruk?” Pemangku kekuasaan yang satu mengontrol pemangku kekuasaan yang lain? Di ruang bisnis, dahulu penjual (budaya caveat emptor), tetapi sekarang pembelilah yang mengontrol pasar (caveat venditor). Salah satu konsep dasar Kybernologi adalah konsep pelanggan. Ketika konsep rakyat (people) direinvent pada akhir dekade 90-an (Bab 3 Kybernologi, 2003), kepelangganan rakyat dikaitkan dengan politik standardisasi pelayanan kepada rakyat. Dalam laporan berjudul “Putting Customer First,” Wapres Amerika Al Gore meletakkan kepelangganan dalam hubungannya dengan “Standard for Serving The American People,” (7 September

119

1993). Di sana dijelaskan, bahwa warga masyarakat disebut pelanggan negara karena warga telah membayar janji-janji yang ditawarkan kepadanya pada saat pemilu melalui berbagai cara dan alat, kepada calon pemangku kekuasaan yang dipilihnya, dengan harga yang sangat tinggi, yaitu pemberian suara (Vox Populi, vote) untuk memilih, suara yang nilainya dianggap setara dengan Vox Dei. Yang dibeli (dibayar) oleh konstituen adalah janji, ibarat membeli kucing di dalam karung. Pada saat pemilu itulah terbentuk dua fihak, yaitu penjanji dan terjanji. Fihak penjanji (yang terpilih) dengan fihak terjanji (pemilih) terikat perjanjian secara sah. Sesuai dengan hukum perjanjian, terjanji berhak menagih janji, dan janji harus ditepati. Jika tidak, penjanji dianggap wanprestatie, dia menghadapi mosi tidak percaya, menanggung segala konsekuensi. Belajar dari ruang bisnis dan reinventing people tersebut pelanggan negara-lah yang berfungsi mengontrol negara. Pelanggan pemerintahanlah yang berfungsi mengontrol kekuasaan. Peran ini disebut subkultur kepelangganan atau subkultur sosial (SKS). SKS mengontrol kekuasaan di hulu (pembuatan kebijakan dan peraturan) melalui kualitasnya sebagai konstituent, mengontrol kekuasaan di tengah (redistribusi nilai) dalam kualitasnya sebagai terjanji, yang berfungsi menagih janji, dan mengontrol kekuasaan di hilir melalui kualitasnya sebagai pelanggan, menuntut pertanggungjawaban provider pelayanan (redistributor nilai). Perilaku pelanggan itu memang “cerewet,” suka “nawar,” protes. Berhadapan dengan pertanggungjawaban yang sulit dipercaya, atau dia merasa dilecehkan, bangkitlah amarahnya dan ia membabibuta. Untuk mencegah terbentuknya budaya negatif fihak pelanggan, satu-satunya cara ialah memberdayakannya (enabling and empowering). -------------------------------------------------------------------------------- | | | kebijakan,janji vote,trust,hope monev kinerja rute D | | ---MENGONTROL--- ---PEMBENTUKAN-- ---MENGONTROL--- | | | penepatan | | SIKLUS PE- | | SKK | | | | B | | MERINTAHAN | | E | | | SUMBER- | | A G DPD | | | SUMBER | | DPR MEWAKILI | | | | | | MEWAKILI FIHAK TERJANJI | | | | | | KONSTITUEN DAN PELANGGAN | | | berva- | | | | | | | riasi | | PEMILU | | | | | | | | | | | | | SUBKULTUR SUBKULTUR SUBKULTUR SUBKULTUR | | EKONOMI-------- KEKUASAAN-------- SOSIAL-------- KEKUASAAN------| | (SKE), PEMAIN (SKK), WASIT (SKS), PENONTON (SKK) | | | | | | | | | | | | pemba- | | | | | | | ngunan | | | | | | | | | | | | | | | | nilai | | redistribusi | | pertanggung- | |

120

| ---------------- ---------------- ---------------- | | C nilai jawaban | | D F | | | -----------------------------------MASYARAKAT-----------------------------------

Gambar 56 Tiga Terminal Siklus Pemerintahan Yang Baru Terbentuk

Huruf A sd G Menunjukkan Rute Pemerintahan. Rute G Berimpit dengan Rute A

Analisis di atas sesuai dengan Leo Fonseka yang menyatakan bahwa, the State meletakkan dasar bagi Equity, Justice, dan Peace, creating a conducive political and legal environment for development, Civil Society meletakkan dasar bagi Liberty, Equality, Responsibility, and Self-expression, dan Private Sector meletakkan dasar bagi Economic Growth and Development. -------------------------------------------------------------------------------- | | | kebijakan,janji feedback monev kinerja rute D | | ----KEBIJAKAN--- ---RESPONS THD-- ---MENGONTROL--- | | | penepatan | | SIKAP SKS | | SKK | | | | F | | E | | C | | | SUMBER- | | | DPD | | | SUMBER | | DPR MEWAKILI | | | | | | MEWAKILI FIHAK TERJANJI | | | | | | KONSTITUEN DAN PELANGGAN | | | berva- | | | | | | | riasi | | PEMILU | | | | | | | | | | | | | SUBKULTUR SUBKULTUR SUBKULTUR SUBKULTUR | | EKONOMI-------- KEKUASAAN-------- SOSIAL-------- KEKUASAAN------| | (SKE), PEMAIN (SKK), WASIT (SKS), PENONTON (SKK) | | | | | | | | | | | | pemba- | | | | | | | ngunan | | | | | | | | | | | | | | | | nilai | | redistribusi | | pertanggung- | | | ---------------- ---------------- ---------------- | | A nilai jawaban | | B D | | | -----------------------------------MASYARAKAT-----------------------------------

Gambar 57 Tiga Terminal Siklus Pemerintahan Yang Sedang Berjalan

Huruf A sd F Menunjukkan Rute Pemerintahan

Gambar 56 menunjukkan terminal dan rute siklus pemerintahan yang baru terbentuk.Pada gambar itu, rute G berimpit dengan rute A. Bagaimana model siklus pemerintahan yang sedang berjalan? Gambar 57 menjelaskannya. Rute E berisi dua kemungkinan. Pertama, jika SKS percaya pada pertanggungjawaban SKK di rute D, maka siklus pemerintahan berjalan terus, dengan berbagai penjesuaian. Kedua, manakala SKS tidak percaya, maka siklus berhenti atau terhenti, atau dihentikan.

121

Tiga subkultur tersebut disebut terminal, dan hubungan satu terminal ke terminal lain berbentuk rute, dikonstruksi seperti Gambar 56 dan Gambar 57. Gambar 58 adalah Gambar 56 setelah di“buka” dan dibentangkan feedback circuit pembentukan SKK -->SKS----------G--------->SKS----------A--------->SKK--- | percaya/takpercaya awal siklus kekuasaan | | | pertanggungjawaban perjanj SKK dgn SKS F B SKK kpd SKS kebij sumber-sumber | | | | SKK PEMERINTAHAN (GOVERNANCE) SKE | | | | monev kinerja SKK pembentukan E C oleh SKS nilai | | | redistribusi nilai | ------------SKS<------------D-------------SKK<----------- oleh SKK kpd SKS

Gambar 58 Proses Pemerintahan, Sebuah Sistem

(Gambar ini Direkonstruksi 1810110650)

--------------------------------------------------- | Pemerintahan didefinisikan sebagai proses interaksi| | antar tiga subkultur masyarakat untuk mencapai | | kemajuan hidup berkelanjutan. Proses interaksi itu | | terdiri dari tujuh rute yang bergerak terus- | | menerus, berurutan dan bersama-sama. Tanpa salah | | satu rute itu, pemerintahan tidak terjadi. | | Keseluruhan rute itu menunjukkan bidang-bidang | | pemerintahan yang merupakan sasaran (objek) | | pemikiran pemerintahan | ---------------------------------------------------- ---------------------------------------------------- Jika pemerintahan dilihat sebagai input-proses-output/outcome-reinput (feedback), maka terlihat separti Gambar 59. Jelas terlihat, Gambar 59 adalah hasil pengembangan Gambar 58. Gambar-gambar itu juga memunjukkan bahwa

122

pemerintahan merupakan sebuah sistem dengan terminal dan rute sebagai komponen-komponennya. Dengan terbukanya feedforward, di samping feedback, sistem pemerintahan adalah sistem terbuka. Padanya berlaku semua hukum-hukum sistem, seperti hukum kesalingterkaitan, hukum rantai, hukum yang- satu-di-dalam-yang-lain, dan sebagainya. ---------------------------------------------------------------------------- | | | | | kebijakan | --------------------------1-------------->SUMBER-SUMBER---------->-terus----| subkultur kekuasaan (SKK) | | | | | | -----SUMBER-SUMBER---------------------------------- | | | | | | kerja | --------------------------2---------------------->NILAI----------> terus ---| subkultur ekonomi (SKE) | | | | | | -----NILAI <---------------------------------------- | | | | | | redistribusi nilai | --------------------------3------------------->OUTCOMES ---------> terus ---| subkultur kekuasaan (SKK) | | | | | | -----OUTCOMES <------------------------------------- | | | | | | monev | --------------------------4---------------->HASIL MONEV ---------> terus ---| subkultur sosial (SKS) | | | | | | -----HASIL MONEV <---------------------------------- | | | | | | pertanggungjawaban | --------------------------5------------->DIPERCAYA ATAU TIDAK----> terus ---| SKK | | | | | | -----KEPERCAYAAN <---------------------------------- | | | | | | feedback/feedforward STABILITAS | --------------------------6------------------>-------------------> terus----| sikap SKS PERUBAHAN | | | | | ---STABIL/BERUBAH<---------------------------------- | | |

123

| | | pembentukan SKK | --------------------------7------------------------------------------------- SKS

Gambar 59 Pemerintahan: Input-Proses-Output/Outcome-Reinput

Governance Konsep governance dalam politik sudah dikenal sejak lama, tetapi posisinya dalam reformasi pemerintahan, santer sejak decade dua ribuan. Riswandha Imawan, gurubesar Ilmu Politik UGM, misalnya menulis penerapan konsep governance guna menata-ulang RI (Kompas 150805). Kata government dapat diartikan pemerintah (the governing body of persons in a state) dan bisa juga diartikan pemerintahan (the political direction and control exercised over the actions of the members, citizens, or inhabitants of communities, societies, and states). Kata governance menurut leksikografi diartikan juga sebagai government, exercise of authority, control,; method or system of government or management. Baik government maupun governance berasal dari kata govern (memerintah, dari Latin gubernāre, Gerik kybernân, to steer, mengemudi kapal, dsb). Governing itu terjadi dan terdapat di mana-mana dan kapan saja pada setiap bentuk kehidupan sosial (fenomena sosial), termasuk kehidupan sosial khusus yang oleh Aristoteles dikategorikan sebagai “polity.” Governing (dalam) “polity” disebut “openbaar bestuur,” (Soewargono, State-of-the-art Ilmu Pemerintahan, 1993). Dari penggunaan kata itu menjadi istilah teknis (terminus technicus) lahirlah berbagai pengertian. Salah satu di antaranya menyangkut hubungan antara government dengan governance, diungkapkan oleh Leo Fonseka dalam Good Governance (TUGI, 1999): . . . . . . while the term government indicates a political unit for the function of policy making as distinguished from the administration of policies, the word governance denotes an overall responsibility for both --- the political and the administrative functions. It also implies ensuring moral behaviour and ethical conduct in the task of governing, i. e. the continuous ethical exercise of authority on both the political and administrative units of governments Kutipan di atas menunjukkan bahwa kata governance (policy making, regeren, mengatur dan administration, besturen, mengurus) lebih luas daripada government (policy making saja). Selanjutnya Leo Fonseka menjelaskan bahwa There are three main regimes involved in good governance.They

124

are the State, the Civil Society, and the Private Sector. All three are critical for sustaining human development. Since each has got its weaknesses and strengths, a major objective of good governance is to promote highest possible constructive interaction among them in order to minimize individual weaknesses and utilize the strengths optimally. The intricate intercourse between and among these three domains will indicate the direction of the society’s economic and social flight path. The more integral, balanced and interdependent the three are the better it is for the society Uraian di atas menjelaskan dengan gamblang bahwa pemikiran tentang governance dan teorinya, bertolak dari masyarakat. Dalam satuan masyarakat sekecil rumahtangga sekalipun terdapat governance. Apakah masyarakat itu dilihat dari perspektif Kybernologi? Setarakah governance dengan kepemerintahan atau pemerintahan? Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Dep. P & K, Balai Pustaka, 1989), diperoleh penjelasan tentang kata perintah, memerintah, pemerintah, dan pemerintahan. Pemerintah adalah sistem menjalankan wewenang dan kekuasaan, atau sistem menjalankan perintah, yang memerintah, sedangkan pemerintahan adalah proses, cara, perbuatan memerintah. Dalam kamus tersebut tidak ada kata kepemerintahan. Dari mana datangnya kata tersebut? Kata bentukan dari kata urus, urusan, mengurus, pengurus, pengurusan, dan kepengurusan. Urusan adalah hal yang diurus, mengurus adalah melakukan kegiatan urus, pengurus adalah yang mengurus, pengurusan adalah proses, cara, perbuatan mengurus, dan kepengurusan terbentuk dari kata pengurus dengan awalan ke- dan akhiran –an: perihal pengurus. Jika analisis kata urus diterapkan pada kata perintah, maka kepemerintahan terbentuk dari kata pemerintah dengan awalan ke- dan akhiran –an. Jadi arti kata kepemerintahan adalah segala sesuatu yang menyangkut keadaan pemerintah: susunannya, jabatan-jabatannya, orang-orangnya, daerahnya, tupoksinya, dsb. Bukan perihal atau urusan pemerintahan. Dari tinjauan ensiklopedik diketahui bahwa dengan meminjam variabel concentration of power dan variabel predominant political norms dari Ilmu Politik, kepemerintahan dapat dikelompokkan menjadi empat tipe: (A) sacred-centralized, (B) sacred-decentralized, (C) secular-centralized, dan (D) secular-decentralized. Pasal 1 angka 2 UU 32/04 tentang Pemerintahan Daerah berbunyi: “Pemerintahan daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan DPRD menurut asas. . . . . dst.” Ketentuan itu berarti, pemerintahan daerah bukan

125

hanya perbuatan memerintah yang dilakukan oleh pemerintah daerah, tetapi juga perbuatan yang dilakukan oleh DPRD. Dengan perkataan lain, “pemerintahan” dalam “pemerintahan daerah” lebih luas dari “pemerintahan” sebagai perbuatan “pemerintah daerah.” Konsep-konsep governance yang dikemukakan di atas menunjukkan bahwa government (pemerintah) hanyalah satu di antara tiga pemeran (pelaku) governance; dua lainnya adalah badan usaha dan lembaga-lembaga masyarakat. Berdasarkan analogi tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa melalui perabaan bahasa jauh lebih tepat penggunaan konsep pemerintahan untuk governance ketimbang kepemerintahan, dan pemerintah untuk government. Dapat juga dikatakan governance adalah pemerintahan dalam arti luas, sedangkan government adalah pemerintahan dalam arti sempit. Garisdepan Pemerintahan Proposisi Will Durant dalam The Story of Philosophy (1956 yang berbunyi “Every science begins as philosophy and ends as art,” membawa kita pada fakta dan konsep garisdepan pemerintahan. Namun garisdepan di sini tidak dalam arti frontier, yaitu perbatasan antara suatu dengan wilayah lain atau garis terjauh yang dapat dicapai, melainkan dalam arti garisdepan (frontline) yaitu garis yang terdapat antara dua fihak yang sedang berperang. Peperangan di sini adalah metafora pelayanan, yaitu interaksi antara provider (SKK) dengan customer (warga masyarakat).

Tabel 8 Perbandingan Seni dengan Teknologi Pemerintahan ------------------------------------------------------------------------- DIMENSI SENI PEMERINTAHAN TEKNOLOGI PEMERINTAHAN ------------------------------------------------------------------------- 1 Definisi Cara untuk mengekspresi- Cara dan atau alat tertentu kan sesuatu atau melayani untuk memecahkan masalah ter- orang pada kondisi, waktu tentu pula (ibarat tool-kit dan tempat yg berbeda di mobil) 2 Pelaku Artis Pemerintahan Teknisi Pemerintahan 3 Awal Pada buah pikiran ber- Pada buah pikiran, berakhbir khir pada manusia pada alat dan atau cara 4 Sasaran Efektivitas Efisiensi 5 Kunci Pengenalan manusia se- Penguasaan cara atau alat empatik-empatiknya semahir-mahirnya 6 Pengujian post-facto, tapi tidak ante-post-facto, bisa di- bisa digeneralisasi generalisasi

126

7 Sifat Kualitatif Kuali-Kuantitatif 8 Kualitas Kreativitas Formalitas, Pelaku Fleksibilitas Standardisasi -------------------------------------------------------------------------

Hubungan antara filsafat dengan seni adalah hubungan antara dunia abstrak dengan lawannya yaitu dunia konkret. Hal itu telah dijelaskan berturut-turut dalam Bab 20 dan Bab 19 Kybernologi (2003). Di sana dikatakan bahwa seni adalah padanan kata art (Inggeris, dari bahasa Latin ars, artinya skill) atau kunst (Belanda, -kunde kepandaian). Dilihat dari sudut Falsafat Ilmu Pemerintahan, Seni Pemerintahan adalah adalah sisi axiology Ilmu Pemerintahan. Seni itu menyangkut cara mewujudkan atau cara yang paling nyata dalam menerapkan suatu konsep atau teori. Teknologi juga adalah sisi axiology suatu ilmu. Hal itu dijelaskan dalam Bab 30 Kybernologi (2003). Kaitan dan perbedaan antara Seni Pemerintahan dengan Teknologi Pemerintahan seperti Tabel 8. Sisi aksiologi pemerintahan itu tidak terlihat di istana, markasbesar tentara, di Senayan, di kampus UI di Depok, atau UGM Bulaksumur Yogyakarta. Kybernologi menjelaskannya melalui Organisasi Pemerintahan Daerah sebagai berikut. Yang dimaksud dengan organisasi pemerintahan adalah organisasi pemerintahan dalam negeri yang meliputi tiga ruang seperti telah didefinisikan di atas. Dilihat dari sudut bentuknya, ada yang berbentuk birokrasi (hierarkis), dan ada yang berbentuk dewan, ada yang bersifat konstitusional, ada yang bersifat “state” atau “local auxiliary bodies” seperti komisi, panitia, tim, badan koordinasi, dan lain-lain. Sumber tenaga juga ada yang melalui election (biasanya jabatan politik dengan masajabatan tertentu), dan ada yang melalui selection (biasanya karier). Peta atau skema organisasi ada yang hanya meliputi jabatan structural, fungsional, dan professional, dan ada juga yang memasukkan unsur pelanggan di dalamnya. Ditariknya dari lapangan berjuta-juta mobil oleh perusahaan otomotif Toyota dan Honda beberapa waktu yang lalu, sebagai jawaban terhadap keluhan para pemakai, menunjukkan semakin strategisnya posisi pelanggan di bidang bisnis. Sayang sekali, posisi para pelanggan pemerintahan tertinggal jauh, dan ketertinggalan posisi para terjanji politik lebih jauh lagi di belakang. Belajar dari fenomena bisnis tersebut, organisasi pemerintahan sebagai alat dan cara kerja kompetensi pemerintahan dalam mewujudkan good governance, sekurang-kurangnya terdiri dari enam komponen. Kebutuhan pertama adalah tenaga ilmuwan pemikir. Setelah diuji dan diseleksi, buah pikiran dijadikan masukan ke dalam proses pembuatan kebijakan. Kebijakan bersifat umum, sah, mengikat, mengandung tujuan yang telah disepakati bersama. kelompok sasaran (populasi), dan cara strategis untuk mencapainya. Yang dimaksud dengan tujuan pemerintahan adalah produk (layanan kepada manusia dan masyarakat

127

yang mereka butuhkan demi kelangsungan hidup yang berkelanjutan) yang merupakan hak masyarakat pelanggan. Di sini diperlukan tenaga yang bersifat generalis, pembuat kebijakan, yaitu kepala dan stafnya. Pembuatan kebijakan berlangsung di kantor. Di sana berlangsung policy process, dari penyerapan masukan dari kelompok pemikir, sampai pada pengambilan keputusan tentang layanan apa ----------------------------------------------------- | | | | 1 2 dan 3 4 5 PEMIKIR PEMBUAT KEBIJAKAN IMPLEMENTOR DISTRIBUTOR buah pikiran dasar dan tujuan produksi, warung | (layanan yang dibu- pabrik toko | tuhkan oleh dan meru- pasar | pakan hak pelanggan, | | dan infrastrukturnya) | | KEPALA dan STAF | | | | 6 | -------------WARGA MASYARAKAT PELANGGAN<-------------

Gambar 60 Komponen Organisasi Pemerintahan

(Pe4rhatikan Arah Panah)

yang akan diproduksi, infrastruktur produksi dan distribusinya. Langkah berikutnya adalah implementasi kebijakan yang telah ditetapkan, yaitu proses produksi barang dan layanan yang dibutuhkan masyarakat pelanggan. Implementasi ini berlangsung di pabrik. Dalam system pemerintahan daerah, misalnya, unitkerja yang berfungsi sebagai pabrik adalah dinas daerah dan sebangsanya. Di sini diperlukan tenaga pembuat atau pelaku pelayanan, yang diidentifikasi sebagai manajemen, administrator, teknisi, laboran, spesialis, ahli, seniman-seniman kreatif, orang pandai, dan tenaga pendukung pelaksanaan operasional kegiatan mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Layanan yang tersedia perlu didistribusikan kepada warga masyarakat pelanggan, sehingga setiap orang merasakannya pada suatu saat. Untuk ini diperlukan warung, toko, atau pasar, kesempatan berinteraksinya pemerintah dengan warga masyarakat pelanggan. Dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, yang berfungsi sebagai warung, toko dan pasar layanan pemerintahan itu adalah Desa, Kelurahan, dan dalam kondisi tertentu, Kecamatan. Dalam bahasa birokrasi, struktur setiap organisasi meliputi unsur kepala (yang dalam bahasa politik disebut unsur pimpinan, padahal belum tentu ia memiliki kepemimpinan), unsur staf (pembantu kepala), dan unsur pelaksana. (yang langsung menghasilkan produk yang dibutuhkan pelanggan). Hubungan antar unsur-unsur tersebut terlihat pada Gambar 60 dan Gambar 61. Selama ini, tenaga pemikir ditempatkan pada unsur staf. Posisi ini tidak nyaman buat proses berpikir. Dalam

128

posisi staf seperti sekarang, seseorang tidak bebas berpikir. Ia terikat pada birokrasi, pada kekuasaan. Oleh sebab itu, tenaga pemikir perlu dikelompokkan secara tersendiri. Unsur staf juga perlu direposisi dalam hubungannya dengan kepala dan pelaksana. Fungsi utama unsur staf ada dua, sebagai pembantu kepala dalam proses pembuatan kebijakan atau pengambilan keputusan (informative dan advisory), dan atas nama kepala membantu kepala dalam proses manajemen implementasi kebijakan atau pelaksanaan keputusan (supervisory dan alter ego) di lapangan. Perlu diingat bahwa unsur kepala bisa pada posisi politik dan bisa juga dalam posisi birokratik. Hubungan antara dua posisi ini telah dijelaskan dalam bahasan tentang kompetensi kepamongprajaan. Jika kepala berposisi politik, staf sebaiknya tenaga karier professional, guna menjaaga kesinambungan (“stabilitas”) dan mencegah kekosongan pemerintahan. Kepala dengan staf merupakan satu kelompok yang tak terpisahkan. Secara teoretik, produksi dan distribusi layanan kepada pelanggan berlangsung pada suatu waktu di suatu tempat. Misalnya layanan bernama keadilan, diproduksi melalui proses hukum oleh pengacara, polisi, jaksa, dan hakim, dan saat vonis dibacakan, hakim sekaligus mendistribusikannya kepada pelanggan. Produksi, distribusi (jual-beli), dan konsumsi, terjadi pada suatu kesempatan. Tetapi tidak semuanya begitu. Pelayanan kependudukan misalnya, walaupun layanan diproduksi di kecamatan (kecamatan diibaratkan pabrik), mengingat transportasi dan teknologi yang mahal, ---------->KEPALA<------------------------ | 2 | | | informatif, advisori | | | ---->PEMIKIR kebijakan-----------STAF---------3 | 1 keputusan | | | supervisori, alter ego | 4 | | PELAKSANA<----atas nama kepala--- | pabrik | | | | | -------------------------- | | | | | produk, layanan yg me- | | | rupakan hak pelanggan | feedback | | | | | | | | | DISTRIBUTOR (WARUNG) | | | 5 | | | | |<---GARISDEPAN PEMERINTAHAN | | KEC, KEL., DESA, UPT | | | interaksi, transaksi | | | | | | | 6 | | | PELANGGAN |

129

---------|-----warga masyarakat | | | -----------------------------

Gambar 61 Garisdepan Pemerintahan

luasnya wilayah, sukarnya medan, rendahnya tingkat kecerdasan warga masyarakat, dan lemahnya budaya pemerintahan, maka para pelaku garisdepan pemerintahan tidak boleh menunggu di belakang meja di kantor yang nyaman, melainkan melakukan gerakan “jemput bola” mendistribusikan layanan di garisdepan penerintahan, yaitu Desa dan Kelurahan. Di sanalah terbentuk kepercayaan atau kekecewaan pelanggan terhadap Negara dan pemerintah. Oleh sebab itu, ke depan, Desa dan Kelurahan, termasuk RT atas DW sebagai garisdepan pemerintahan harus diberdayakan dan diperkuat. Dari interaksi dan atau transaksi antara pamong desa dengan pelanggan, keluar

dampak positif yaitu terbentuknya kepercayaan masyarakat kepada pemerintah, atau dampak negatif, yaitu meningkatnya kekecewaan masyarakat terhadap Negara dan lembaga-lembaganya. Pemahaman tentang garisdepan pemerintahan ini mendukung pendekatan pertanggungjawaban pemerintahan yang telah dikemukakan di atas. Seperti telah dikemukakan, pertanggungjawaban pemerintahan tidak cukup hanya secara makro kuantitatif dengan memanfaatkan tirani angka-angka, karena angka-angka bukan fakta. Fakta kelihatan dan terasa manakalah dilakukan pendekatan mikro kualitatif sedekat mungkin pada garisdepan pemerintahan, karena di sanalah terdapat fakta-fakta. Hal ini ditunjukkan dalam Metodologi Ilmu Pemerintahan (lihat Kybernologi dan Metodologi: Metodologi Ilmu Pemerintahan, 2010). Kybernologi memandang proses pertanggungjawaban pemerintahan itu ibarat naik gunung turun gunung, sesudah tiba di puncak, harus turun lagi, demikian terus-menerus. Atau seperti naik pesawat terbang tinggi. Di awang-awang, apapun di pesawat tinggi di angkasa di bawah tak terlihat apa-apa | | | | pada ketinggian pesawat ini yg di bawah pesawat membumbung terlihat samar, menurun sama, dan seragam | | di sini semakin jelas, ter-

130

semua take-off lihat perbedaan dan kesenjangan landing evaluation and feedback utk penerbangan berikutnya

Gambar 62 Pesawat Take-off dan Landing bawah tidak terlihat. Saat turun pada ketinggian tertentu, bumi di bawah memang terlihat, tetapi sama terlihat jauh, sangat jauh, tidak jelas, sama semua, seragam, hijau pekat. Barulah ketika mendarat semuanya nampak, semakin dekat semakin jelas. Bukan hanya jelas, tetapi berbeda-beda. Bukan hanya berbeda-beda dari pandangan mata, tetapi dilihat dari nilai dan rasa, ada ketimpangan, ada kesenjangan antara yang sini dibanding dengan yang sana. Bahkan ada yang merosot dan terhilang jika yang kemarin dibanding dengan yang sekarang. Sudah barang tentu, pengalaman penerbangan yang lalu dijadikan masukan bagi persiapan penerbangan berikutnya. Proses monev dan pertanggungjawabanm dua rute siklus pemerintahan, seperti take-off dan landing pesawat. Demikian juga proses kebijakan, salahsatu rute lainnya. Dari policy agenda (identifikasi masalah) sampai pada policy adoption (penetapan kebijakan) itulah take-off mengudara setinggi-tingginya (ketok palu dan tepuk tangan, tandatangani daftar hadir dan terima uang), dan dari policy adoption sampai pada policy outcome melalui policy implementation itulah landingnya. Sudah barang tentu policy adoption | | | | | formulasi | implementasi kebijakan | kebijakan | | | | policy agenda | policy outcome policy evaluation and feedback Gambar 63 Tiga Tahap Proses Kebijakan

pula, hasil evaluasi policy terhadap policy outcome, dijadikan masukan bagi policy agenda berikutnya. Take-off itu penetapan das Sollen bagi semua orang, landing adalah realisasinya menjadi fakta (das Sein) bagi setiap orang, yang kondisi kebutuhan, dan kepentingannya berbeda.

131

Sebagaimana halnya pesawat tidak cukup hanya take-off tetapi harus landing, demikian juga kebijakan (harapan semua orang) yang telah ditetapkan, harus diimplementasikan sehingga outcomenya mencapai setiap orang yang kondisi kebutuhan, dan kepentingannya berbeda. Sementara sebuah pertanyaan tentang suatu peristiwa khusus, kasus baru, atau sesuatu yang unik, cukup dijawab dengan BOK kualitatif, yang bersifat ideografik, pertanyaan lain yang bersifat umum tidak cukup hanya dijawab dengan BOK kuantitatif, yang nomotetik, tetapi perlu dilengkapi dengan BOK ideografik yaitu BOK kualitatif. Kebijakan itu bersifat nomotetik. Supaya implementasinya bisa mencapai setiap orang yang kondisi kebutuhan, dan kepentingannya berbeda, maka mau tidak mau perlu digunakan BOK kualitatif. Bahan dasar BOK kualitatif itu adalah fakta, bukan angka-angka. Seperti diketahui, demi efisiensi dan penghematan ruang, rekayasa bangunan sejak puluhan tahun terakhir menggunakan konstruksi kombinatif, dengan menggabung beberapa fungsi sekaligus ke dalam lingkungan sebuah bangunan. Misalnya fungsi rumah dikombinasikan dengan fungsi kantor atau fungsi toko, sehingga terbentuklah bangunan rukan atau ruko. Pembahasan kuantitatif sehebat apapun, jika temuan akademik disandarkan pada uji hipotesis belaka, terlebih jika hipotesisnya direkonstruksi dari fenomena sosial masyarakat yang budayanya berbeda, hasilnya tidak mendarat, dan tidak sekaya rekonstruksi BOK kuantitatif yang pembahasannya dikombinasikan dengan bahan bangunan kualitatif setempat. BOK juga demikian. BOK kualitatif diibaratkan fungsi rumah, sedangkan BOK kuantitatif fungsi kantor atau toko, sehingga BOK kuantitatif dapat dikombinasikan dengan BOK kualitatif sehingga terbentuklah BOK-Kuantitatif- Kualitatif atau BOK Kualitatif-Kuantitatif. Pilihan bergantung pada pertimbangan mana yang dominan. Pilihan itu pada gilirannya menentukan di mana letak ruang kualitatif dan di mana ruang kuantitatif di dalam BOK yang sama. Dengan perkataan lain, di dalam BOK yang sama, komponen kuantitatif masuk di mana dan komponen jawaban BOK Kuantitatif | | | pada tingkat penjelasan abstractness ini penjelasan kuantitatif yg terlihat adalah kualitatif kausal kecenderungan,rerata deskriptif yang umum dan seragaman | | pertanyaan ttg di sini baru semakin jelas, ter- BOK Kualitatif

132

yg terpenting lihat perbedaan dan kesenjangan memperdalam yg khusus evaluation and feedback utk pemikiran selanjutnya Gambar 64 BOK Kuantitatif dgn BOK Kualitatif BPK Kombinatif Kuantitatif-dominan

kualitatif masuk di mana. Gambar 62 menunjukkan bahwa kendatipun policy adoption (Gambar 63) yang oleh sementara kalangan dianggap sebagai bukti keberhasilan politik kekuasaan (SKK), terletak di puncak dengan segala kemegahannya, dilihat dari sudut governance belum apa-apa. Hasil akhir proses kebijakan bukanlah output yang berbentuk kebijakan, peraturan, rencana atau pidato, melainkan outcome sebagaimana dirasakan atau dialami oleh setiap orang terutama warga lapisan “sampah masyarakat.”

BOK Kuantitatif yang bermula pada fenomena umum menyumbangkan penjelasan nomotetik terhadap masalah. BOK kuantitatif membawa sertanya segala kelemahan, keterbatasan, dan bias penjelasan nomotetik, seperti sikap pukul-rata, memuja persentase, mereduksi manusia menjadi angka-angka, menggantang asap tetapi menjauhi apinya, mengukur bongkahan salju yang terlihat dan tidak jawaban BOK Kuantitatif BOK Nomotetik: Uji Hipotesis | pembahasan | temuan kuantitatif | pada tingkat penjelasan abstractness ini metodologi kualitatif nomotetik yg terlihat adalah penjelasan ideografik prediktif kecenderungan,rerata deskriptif yang umum dan seragaman | | pertanyaan ttg di sini baru semakin jelas, ter- BOK Ideografik yg terpenting lihat perbedaan dan kesenjangan memperdalam yg khusus evaluation and feedback utk pemikiran selanjutnya

Gambar 65 Combined BOK: BOK Nomotetik dan BOK Ideografik BOK Quantitative Dominant

menyadari gunung es di bawahnya, dan sebagainya. sengaja atau tidak, bisa membawa bias yang sangat besar. Teknik-teknik yang digunakan metodologi kuantitatif gampang sekali direkayasa dan disalahgunakan untuk menekan atau mempengaruhi responden dengan questionnaires atau angket yang disusun

133

berdasarkan FOR peneliti itu sendiri, guna mencari-cari pembenaran suatu kebijakan yang kemudian ternyata keliru. Untuk mengurangi kelemahan dan mencegah penyalahgunaan metodologi tersebut, diperlukan bantuan pendekatan kualitatif. Howard White, “Combining Quantitative and Qualitative Approaches in Poverty Analysis,” World Development Vol. 30 No. 3, 2002 menyatakan bahwa.“Anthropological studies can help us better understand the findings from quantitative analysis of demographic data.” Data kualitatif digunakan dalam pembahasan dan penafsiran temuan-temuan kuantitatif penelitian di dalam masyarakat multikultural, yang budayanya berbeda-beda dan beragam-ragam, seperti masyarakat perdesaan Afrika, dibandingkan dengan masyarakat barat. Bagaimana halnya dengan sisi evaluasi dan feedback pada segitiga kebijakan pada Gambar 63? Jika direkonstruksi menjadi BOK ketiga, sisi ini terdiri dari komponen apa saja? Input buat sisi ini adalah buah pendaratan kualitatif dan penjelasan ideografik. Outputnya adalah pertanyaan seputar pelanggan yang nyata, yang paling membutuhkan, pada dukungan hidup yang paling dibutuhkan, aspirasi setiap orang yang kondisi, kebutuhan, dan kepentingannya satu dibanding dengan yang lain yang berbeda-beda. BOK ini didasarkan pada faham demokrasi dan ajaran HAM dan lingkungan hidupnya. Output ini pada gilirannya menjadi masukan bagi policy agenda berikutnya. Untuk evaluasi pada proses (throughput) diperlukan tolokukur dan tolakukur yang disepakati bersama yang disebut norma. Oleh sebab itu BOK ketiga ini disebut BOK Normatif. Gambar 66 menunjukkan BOK kombinatif, meliputi BOK kuantitatif, BOK kualitatif. BOK, dan BOK normatif. Ini bermula pada Gambar 62, 63, dan 64. dan yang sebelumnya, pada sisi evaluasi dan feedback. BOK normatif berawal pada jawaban BOK Nomotetik: Uji Hipotesis | | | pada tingkat penjelasan abstractness ini penjelasan nomotetik yg terlihat adalah ideografik prediktif kecenderungan,rerata deskriptif yang umum dan seragaman | | pertanyaan ttg di sini baru semakin jelas, ter- BOK Ideografik hal yg umum lihat perbedaan dan kesenjangan memperdalam yg khusus evaluation and feedback utk pemikiran selanjutnya BOK Normatif: Pola Perilaku Manusia di Dalam Masyarakat

134

dan Lingkungan Hidupnya. Fenomena dan Pertanyaan

Gambar 66 Unified (Triple BOK): BOK Kuantitatif, BOK Kualitatif, dan BOK Normatif

kualitas, hasil observasi atau eksplorasi terhadap keberadaan dan perilaku suatu living organism, outward (masyarakat) dan inward (hatinurani)-nya, ke luar dan di dalamnya. Kualitas itu kemudian diolah, ditimbang, dipilah dan dipilih, diberi nilai. Nilai-nilai yang berguna bagi kelangsungan hidup dan kesejahteraan bersama manusia di dalam masyarakat (governance), baik nilai sosial maupun nilai hatinurani, diidentifikasi. Nilai-nilai tersebut kemudian disepakati menjadi pola perilaku setiap orang di dalam masyarakat pada setiap lingkungan. Nilai yang disepakati itu disebut norma. Dengan demikian, pola perilaku setiap orang dalam ruang SKE, SKK, dan SKS adalah nilai yang disepakati bersama itu, dan bukan hanya norma aturan hukum positif yang dibuat oleh SKK. Nilai-nilai sisa yang belum atau tidak disepakati pada masyarakat-masyarakat lokal, menjadi isu dan agenda bagi proses kebijakan pada tingkat nasional. Pada tingkat inilah bermula BOK kuantitatif seperti telah diuraikan di atas. Baik BOK kuantitatif maupun BOK kualitatif, tidak menjawab “bagaimana seharusnya sesuatu,” melainkan “bagaimana kenyataannya, faktanya,” yang satu menjawab pada tingkat abstrak teoretik, sedangkan yang lain menjawab sebagaimana adanya pada tingkat praktik, BOK normatiflah yang berkompeten menjawabnya. Pentingnya BOK normatif ini bahkan menjadi bahan pertanyaan fundamental bagi Babbie, dengan meletakkannya pada ruang “social regularities,” setara dengan natural law atau axioms. Sosial regularities itulah yang kemudian menjadi dasar pembangunan BOK Sosiologi modern yang mampu menerangkan perilaku sosial dan melakukan prediksi ke depan dengan menggunakan ketiga BOK, kuantitatif, kualitatif, dan normatif. Ketiga BOK itu merupakan bahan bangunan pertanggungjawaban pemerintahan, meliputi sisi kebijakan dan implementasi kebijakan, monitor dan evaluasi, serta feedback/feedforward ke dalam proses siklus kekuasaan berikutnya.

. 9 ILMU PEMERINTAHAN

Adakah Ilmu Pemerintahan? Bangunan hasil rekonstruksi buah pikiran di atas, layak atau sudah memenuhi syarat keilmuankah untuk disebut Ilmu Pemerintahan? Banyak kalangan masih meragukan

135

derajat keilmiahan Ilmu Pemerintahan sebagai disiplin yang mandiri. UGM sebagai kiblat Ilmu Pemerintahan di Indonesia berpendapat bahwa pengetahuan pemerintahan masih berderajat kajian, bukan “ilmu,” sebutan “ilmu pemerintahan” sekedar nama jurusan, dan programnya hanya berderajat strata satu. Sejumlah lembaga p[erguruan tinggi lainnya masih mempertanyakan jatidiri Ilmu Pemerintahan. Hal itu telah saya jelaskan dalam Bab IX Kybernologi dan Kepamongprajaan, Jarum dengan Benang (2011). Di negeri Belanda, Ilmu Pemerintahan itu telah diakui sebagai “ilmu,” berderajat “-kunde” dalam Regeerkunde yang dirintis oleh van de Spiegel (1796), dan van Poelje (1942, 1953). Judul buku karangan A. van Braam Filosofie van de Bestuurswetenschappen (JRG Djopari, pen, nd) menunjukkan bahwa pengetahuan pemerintahan tidak saja berderajat akademik “-kunde,” (seni, kepandaian, kajian), tetapi juga berderajat akademik “-wetenschap” (ilmu), bahkan berderajat “-wetenschappen” (ilmu-ilmu). Menurut G. A. Van Poelje dalam Pengantar Umum Ilmu Pemerintahan (1959), mulai tahun kuliah 1928-1929 pengajaran dalam Jurusan Ekonomi Kenegaraan diperluas dengan mata pelajaran Ilmu Pemerintahan dengan tujuan supaya jurusan ini lebih disesuaikan dengan kebutuhan mereka yang berhasrat untuk bekerja pada dinas umum. Pada tgl 25 Januari 1928, Guru Besar Luar Biasa di bidang Ilmu Pemerintahan dilantik. Selama masa 1928-1933 dua orang Doktor Ilmu Pemerintahan dipromosikan, yaitu Dr R. E. Berends dan Dr F. Breedsvelt. Dengan demikian Ilmu Pemerintahan sebagai mata pelajaran (berderajat Doktor) pada pengajaran tinggi di Belanda diakui menjadi sebuah kenyataan. Gambar 19 menunjukkan tiga mazhab Ilmu Pemerintahan. Ilmu Pemerintahan yang rekonstruksinya seperti Gambar 56, Gambar 57, Gambar 58, dan Gambar 59 adalah Ilmu Pemerintahan dengan body-of-knowledge (BOK) Kybernologi. Tegasnya single body-of-knowledge. Kybernologi di sini setara dengan Bestuurswetenschap. Bagaimana halnya dengan Ilmu-Ilmu Pemerintahan (Bestuurswetenschappen) seperti yang dimaksud van Braam, baik dalam Filosofie van de Bestuurswetenaschappen maupun dalam Bestuurssociologie: Mensen, Groepen, en Openbaar Bestuur (1988)? Di sini diperlukan beberapa catatan sebagai berikut. Dalam kelompok Ilmu Politik (Political Sciences?) yang diajarkan di FISIPOL UGM sampai tahun 80-an, terdapat ILMU (ILMU-ILMU) POLITIK | -----------------------------|----------------------------- | | | | | ILMU ADM ILMU HUB- ILMU PE- ILMU PERBAN- TEORI PUBLIK INTERNASIONAL MERINTAHAN DINGAN POLITIK POLITIK

Gambar 67 Ilmu-Ilmu Politik Versi UGM

(Tradisi Sampai Tahun 80-an)

136

lima subjek, di antaranya terlihat empat berposisi “ilmu” atau “cabang ilmu” (Gambar 67). Komponen-komponen Bestuurswetenschappen menurut van Braam adalah hibrida atau cabang ilmu seperti Sosiologi Pemerintahan, Hukum Pemerintahan, dan ------------------- | | | GOVERN- | | ANCE | | ------- | | ->| |-------->HIBRIDA-->POLITIK PEMERINTAHAN BOK | | | | | LAIN KEKUATAN | | | KYBER-| | MIS. --SENTRI- ----- | NO- | | POLI- PETAL | | LOGI | | TIK | | | | KEKUATAN BOK KYBER- | | |-------->SENTRI- ---POLI- -->HIBRIDA-->NOLOGI | ------- | FUGAL TIK POLITIK | | | | | | | | | ---------|--------- | prospek | | KYBERNOLOGICAL SCIENCES KYBERNOLOGICAL STUDIES

Gambar 68 BOK Building Dengan Pendekatan Sentripetal dan Sentrifugal Etika Pemerintahan. Dibandingkan dengan buah pikiran van Braam tersebut, isi Kybernologi (2003) setara dengan Bestuurswetenschappen atau Ilmu-Ilmu Pemerintahan. Dengan demikian, kita sudah memiliki dua BOK Ilmu Pemerintahan masing-masing Kybernologi (2003) atau Kybernological Sciences yang setara dengan Bestuurswetenscheppen, dan Kybernologi yang konstruksinya seperti yang terdapat dalam buku ini (2012) yang setara dengan Bestuurswetenschap. Sudah barang tentu, tugas berijkutnya ialah pengkajian-pengkajian (studi) yang menjembatani dua BOK di atas dengan proses pembuatan kebijakan, dan menemukan berbagai masukan ke dalam proses pembuatan dan implementasinya. Gambar 68 menunjukkan dua kekuatan pembentuk Kybernological Sciences, yaitu pendekatan sentripetal dan sentrifugal. Kybernological Sciences yang terdapat dalam Kybernologi (2003) direkonstruksi melalui pendekatan sentripetal. Pemikiran melalui

137

pendekatan sentrifugal masih sedikit sekali, karena jauh lebih berat. Yang telah berhasil dirintis adalah Kybernologi Politik dan Kybernologi Administrasi dalam buku berjudul sama (2009) dan Kybernologi Pertanian dalam Kybernologi Pertanian dan Agro-Pemerintahan (2009). Semua BOKs tersebut telah menjadi bahan pembelajaran dalam penelitian, pengajaran, pelatihan, publikasi, jurnal, fora ilmiah, dan pengabdian kepada masyarakat, sebagaimana dilaporkan dalam Kybernologi Sebuah Apologia (2011), dan sampai sekarang falsifying yang jelas dari masyarakat pembelajar terhadap Kybernologi belum ada. Terminal dan Rute Kybernologi Gambar 56, Gambar 57, Gambar 58, dan Gambar 59 menunjukkan terminal dan rute Kybernologi yang perlu dipelajari. Rute pemerintahan sehari-hari. Rute adalah proses dengan input dan output tertentu. Misalnya rute C yang ditempul oleh SKE pada Gambar 57 dengan input dari SKK melalui rute B berupa kebijakan sumber-sumber dan output ke SKK berupa nilai yang selanjutnya diredistribusikan kepada warga melalui rute D. Jadi model itu merupakan sebagian dari Gambar 57 atau Gambar 58. Dengan mengenal bahan, fungsi dan konstruksi tiga terminal dan tujuh rute tersebut, dapat diraba dan didefinisikan subjek pengetahuan yang diperlukan untuk dipelajari bagi setiap rute dan terminal. Pada rute C Gambar 58 misalnya diperlukan subjek MSDM, Sosiologi, dan Psikologi. Perlu diketahui, dengan konsep subkulktur, terminal dan rute dipandang dari sudut perilaku atau peran, bukan dari sudut orang, institusi atau struktur. Setiap orang atau instiytusi, bisa melakoni subkultur apa saja. Suatu saat si X berperan sebagai kepala daerah, saat lain berperan sebagai pasien rumah sakit, pada saat lain menjadi pembayar pajak. Ia bisa berada di terminal dan rute apa saja. Saat ia menjabat kepala daerah, di satu fihak ia membuat kebijakan, di fihak lain ia harus siap mempertanggungjawabkan dampak kebijakannya itu. Kybernologi menempuh pendekatan perilaku supaya tiap fakta yang terlihat melalui perilaku tidak dilindungi oleh struktur yang ada sehingga diabaikan, atau fakta diabaikan karena belum ada aturannya, dan penegak hukum belum bisa (tidak mau) menyentuhnya. Gambar 69 menunjukkan tujuh rute pemerintahan dengan input-outputnya. Input dan output tiap rute dalam gambar itu hanya contoh atau sample saja sebagai bahan pengembangan melalui penelitian dan diskusi selanjutnya.

138

pembentukan siklus kekuasaan kebijakan sumnber-sumber SKS--------------RUTE A-------------->SKK--------------RUTE B-------------->SKE jika ada siklus sebelumnya, maka kebijakan eksplorasi, ekstraksi feedback dari siklus itu harus (penggalian), pengolahan, penge- diperhatikan, dalam kondisi se- lolaan, distribusi, pembangunan perti itu, ada 7 rute, rute G dan pelestarian sumber-sumber berimpit dengan rute A kebijakan sumber-sumber pembentukan nilai-nilai SKK--------------RUTE B-------------->SKE--------------RUTE C-------------->SKK kebijakan eksplorasi, ekstraksi identifikasi, penambahan, pen- (penggalian), pengolahan, penge- ciptaan, pengubahan, stabilisasi, lolaan, distribusi, pembangunan, penanaman, peningkatan, dan pe- dan pelestarian sumber-sumber ngembangan nilai melalui kerja pembentukan nilai-nilai redistribusi nilai-nilai SKE--------------RUTE C-------------->SKK--------------RUTE D-------------->SKS identifikasi, penambahan, pe- pelayanan civil dan pelayanan ningkatan, penciptaan, pengubah- public dalam berbagai bentuk dan an, stabilisasi, penanaman, dan cara, RAPBN/D, kehematan, perawat- pengembangan nilai melalui kerja an, konservasi nilai & gaya hidup sederhana redistribusi nilai-nilai monev SKK--------------RUTE D-------------->SKS--------------RUTE E-------------->SKK pelayanan civil dan pelayanan 1. pengawalan, penjagaan publik dalam berbagai bentuk dan 2. monitor cara, RAPBN/D, penghematan, pe- 3. pengawasan rawatan, konservasi nilai & gaya 4. evaluasi hidup sederhana 5. laporan publik 6. tindaklanjut monev pertanggungjawaban SKS--------------RUTE E-------------->SKK--------------RUTE F-------------->SKS 1. pengawalan, penjagaan 1. pertanyaan dari publik 2. monitor 2. jawaban dari SKK 3. pengawasan 3. tanggung risiko dan akibat 4. evaluasi 5. laporan public 6. tindaklanjut pertanggungjawaban tingkat kepercayaan thd pertang- SKK--------------RUTE F-------------->SKS--------------RUTE G-------------->SKK 1. pertanyaan dari publik gungjawaban pemerintahan 2. jawaban dari SKK 1. percaya 3. tanggung risiko dan akibat 2. tidak percaya dengan segala konsekuensinya tkt keperc. thd pertjwban pem’han pemb’tukan siklus kek. berikutnya SKS--------------RUTE G-------------->SKK--------------RUTE A-------------->SKE

139

1. percaya SKS--------------RUTE A-------------->SKK 2. tdk percaya dengan segala konsekuensinya

Gambar 69 Tujuh Rute dengan Input dan Outputnya Masing-masing

Rute G pada Gambar 69, rute yang berlangsung di garisdepan pemerintahan, dielaborasi lagi melalui Gambar 70. Sudah barang tentu, sama seperti medan perang, pada saat garisdepan pemerintahan itu lumpuh, pemerintah takluk dan pemerintahan pun kalah. redistribusi memenuhi ---> NEGARA -------------> LAYANAN ------------> PELANGGAN ------- | | nilai kebutuhan? | | | | | feedback monev | langsung sehari- social | hari pressure | | | ------ dukungan <------------ percaya <---MEMENUHI--------| | | | | | feedback tidak TIDAK | ------------ taklangsung -------------------- <--- MEMENUHI <----- (ke dlm masy) percaya KEBUTUHAN

Gambar 70 Tingkat Kepercayaan Terhadap Negara

140

Taliziduhu Ndraha, Kybernolog

BUKAN SALAH IBU MENGASUH TAPI BAPA SALAH MENGAJAR

PENGANTAR Seri Kybernologi berisi bab tunggal tentang Ilmu Pemerintahan sebagai ilmu bagi semua orang, dengan judul Bukan Salah Ibu Mengasuh Tapi Bapa Salah Mengajar. di atas. Judul itu lanjutan judul Kybernologi terakhir tahun 2011, Bukan Salah Ibu Mengandung, Tapi Bapa Salah Memandang. Sudah barang tentu, judul itu tidak bermaksud mempertentangkan Ibu dengan Bapa, melainkan ingin menunjukkan fenomena malkomunikasi antar Negara dengan wargamasyarakat yang terjadi sepanjang dasawarsa terakhir, yaitu gayung tak bersambut, tanya tak berjawab, anjing menggonggong, kafilah melenggang. Kybernologi berikut bernada beda tapi serupa. Bukan Salah Ibu Membangun Tapi Bapa Salahgunakan. Buku ketiga merupakan kumpulan makalah Seminar Nasional Nasionalisme Ekonomi Indonesia Menyongsong Kebangkitan Nasional Kedua dalam Era Globalisasi Dunia yang diselenggarakan oleh FIA UNTAG Jakarta pada tanggal 8 dan 9 Maret 1991. Tiga buku tersebut seolah-olah trilogy, yang pertama menunjukkan kesalahan dalam memandang manusia sehingga manusia tidak dilayani melainkan disalahkan, yang kedua menunjukkan kesalahan dalam menggunakan kekuasaan sehingga kekuasaan tidak melayani manusia melainkan memangsanya, sedangkan yang ketiga menunjukkan kesalahan Negara dalam menguasai sumber-sumber demikian serakah, ia yang bersenang-senang dahulu, kita yang bersakit-sakit kemudian. Jakarta, 11 Februari 2012 Taliziduhu Ndraha, Kybernolog IPDN Kampus Cilandak Jakarta 0811918848 081284184220 [email protected] [email protected] www.kybernologi.org

141

Daftar Isi

I UNTUK HIDUP PERLU ILMU Cogito Ergo Sum . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 1 II SIAPAKAH KITA INI? BAGIAN PERTAMA: MANUSIA 1 Mengenal Kualitas Manusia . . . . . . . . . . . . . 2 2 Ajaran HAM dan KAM. . . . . . . . . . . . . . . . . 4 3 Nilai, Kebutuhan, dan Naluri Warga. . . . . . . . . 7 4 Sumber-sumber, Kerja, Nilai . . . . . . . . . . . . 11 5 Bagaimana Dengan Kerja? . . . . . . . . . . . . . . 14 6 Kenalilah Musuhmu!. . . . . . . . . . . . . . . . . 16 7 Jadi Siapakah Kita Ini? . . . . . . . . . . . . . . 17 III SIAPAKAH KITA INI? BAGIAN KEDUA: MASYARAKAT 1 Penduduk, Masyarakat, Bangsa. . . . . . . . . . . . 18 2 Nasionalisme. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 19 3 Bhinneka Tunggal Ika (BTI). . . . . . . . . . . . . 21 4 Masyarakat Daerah . . . . . . . . . . . . . . . . . 28 5 Penggerak Masyarakat. . . . . . . . . . . . . . . . 30 IV ILMU APA SEPERTI APA YANG KITA BUTUHKAN? 1 Ilmu Pemerintahan . . . . . . . . . . . . . . . . . 33 2 Masa Kegelisahan. . . . . . . . . . . . . . . . . . 36 3 Mencari Jalan Keluar. . . . . . . . . . . . . . . . 40 4 Menemukan Kybernologi . . . . . . . . . . . . . . . 41 5 Jadi Ilmu Pemerintahan Seperti Apa Yang Kita Butuhkan? . . . . . . . . . . . . . . . . 46 V REKONSTRUKSI ILMU PEMERINTAHAN BAGIAN PERTAMA: SKE DENGAN SKK 1 Pengertian. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 47 2 Nilai dengan Budaya . . . . . . . . . . . . . . . . 47 3 Subkultur Ekonomi (SKE) . . . . . . . . . . . . . . 50 4 Subkultur Kekuasaan (SKK) . . . . . . . . . . . . . 53 5 Bagaimana Terbentuknya SKK? . . . . . . . . . . . . 54

142

VI REKONSTRUKSI ILMU PEMERINTAHAN BAGIAN KEDUA: SKK dengan SKS 1 Subkultur Kekuasaan (SKK) . . . . . . . . . . . . . 58 2 Subkultur Sosial. . . . . . . . . . . . . . . . . . 70 3 Pertanggungjawaban Politik Vs Pertanggungjawaban Pemerintahan. . . . . . . . . 73 VII REKONSTRUKSI ILMU PEMERINTAHAN BAGIAN KETIGA: SKS DENGAN SUBKULTUR LAINNYA 1 Subkultur Sosial (SKS). . . . . . . . . . . . . . . 89 2 SKS dengsn SKK. . . . . . . . . . . . . . . . . . . 92 3 SKS dengsn SKS. . . . . . . . . . . . . . . . . . . 99 4 SKS dengan SKE. . . . . . . . . . . . . . . . . . . 110 VIII PEMERINTAHAN 1 Definisi. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 117 2 Governance. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 121 3 Garisdepan Pemerintahan . . . . . . . . . . . . . . 125 IX ILMU PEMERINTAHAN 1 Adakah Ilmu Pemerintahan? . . . . . . . . . . . . . 134 2 Terminal dan Rute . . . . . . . . . . . . . . . . . 137 DAFTAR GAMBAR 1 Kualitas Manusia, 4 2 Teori Nilai, 7 3 Kebutuhan dan Naluri Manusia, 8 4 Teori Kebutuhan, 9 5 Nilai, Sumber, Kerja, 11 6 Sumber, Kerja, Nilai, 12 7 NKRI Terdiri dari Lima Bangsa, 12 8 Hubungan Antar Sumber, 13 9 Work, 14 10 Dinamika Kerja, 15 11 Trilogi Nasionalisme Moerdiono, 20 12 Kerangka Grand Design Pemda Model BTI, 26 13 Begini?, 27 14 Atau Begini? 27 15 Hukum Alam dengan Hukum Positif, 29 16 Otonomi Daerah vs Daerah Otonom, 30 17 Terbentuknya Subkultur Masyarakat, 31 18 Terminal dan Rute, 32 19 Tiga Mazhab Ilmu Pemerintahan di Indonesia, 43 20 Dua Pendekatan, 44 21 Rumus Budaya, 48

143

22 Rumus Nilai Ideal, 49 23 Hubungan Nilai dengan Hidup, 50 24 Hubungan antar Sumber, Kerja, Nilai, Hidup, 50 25 Subkulktur Ekonomi (SKE), 50 26 Rekonstruksi SKE, 51 27 Rekonstruksi SKE dengan SKK, 53 28 Subkultur Kekuasaan (SKK), 58 29 Dari Pelanggan Menjadi Mangsa, 68 30 Rekonstruksi SKK dengan SKS, 70 31 Redistribusi Nilai, 71 32 Monev Kinerja, 71 33 Jawaban Atas Pertanyaan, 72 34 Respons Atas Pertanggungjawaban, 72 35 Sikap SKS, 72 36 Kontrol Kekuasaan di Hulu, 72 37 Rekonstruksi SKK dengan SKS, 78 38 Oposisi Daerah Terhadap Pusat, Memerlukan Kekuatan Penyeimbang, 83 39 Posisi Oposisi, 84 40 Sikap Oposisional, 88 41 Subkultur Ssosial (SKS), 89 42 Hubungan Empati dengan Simpati, 93 43 Terbentuknya Simpati, 94 44 Hubungan Nilai dengan Pendekatan, 95 45 Nasionalisme Pemerintahan, 96 46 Proses Kepemimpinan, 101 47 Nilai dan Raga, 102 48 Culture and Civilization, 103 49 Hubungan Tentatif antara Nilai dengan Raga, 105 50 Interface Negara dengan Manusia, 107 51 Fungsi Norma, 109 52 Subkultur Ekonomi (SKE), 115 53 Subkultur Kekuasaan (SKK), 116 54 Subkultur Sosial (SKS), 116 55 Tiga Subkultur, 117 56 Tiga Terminal Siklus Pemerintahan Yang Baru Terbentuk, 119 57 Tiga Terminal Siklus Pemerintahan Yang Sedang Berjalan, 120 58 Proses Pemerintahan, 121 59 Proses Pemerintahan, 122 60 Organisasi Pemerintahan, 127 61 Garisdepan Pemerintahan, 128 62 Pesawat Take-off dan Landing, 129 63 Tiga Tahap Proses Kebijakan, 130 64 BOK Kuali dan Kuanti, 131 65 Combined BOK, 132

144

66 Unified BOK, 133 67 Ilmu-Ilmu Politik, 136 68 BOK-building, 136 69 Rute Pemerintahan, 138 70 Tingkat Kepercayaan Terhadap Negara, 139 DAFTAR TABEL 1 Siapakah Kita Ini? 17 2 Topik Seminar, 19 3 Highlight Seminar Nasional, 37 4 Ilmu Pemerintahan Yang Kita Butuhkan, 46 5 Kondisi Nilai, 49 6 Tujuh Wujud Sikap Oposisional, 49 7 Stakeholder Pemerintahan, 87 8 Seni Pemerintahan dan Teknologi Pemerintahan, 125

145

A. Pembentukan SKK oleh SKS dengan cara tertentu (rute A), mis. pemilu/pemilukada (kontrol SKS terhadap SKK di hulu, pada umumnya sesuai siklus kekuasaan, lima tahunan). Sikap SKS di sini tentu saja mempengaruhi rute B dan dipengaruhi rute F. SKS melakukan kontrol terhadap SKK di hulu berdasarkan kualitasnya sebagai konstituen, membayar janji dengan suara (vote) sehingga ia beroleh posisi sebagai pelanggan, dan karena ia membayar sesuatu yang masih dijanji, ia disebut terjanji, dan oleh sebab itu ia berhak menagih janji. Di sini SKS diwakili oleh DPR/DPRD B. Penjanjian (kesepakatan) antara SKK dengan SKS dalam bentuk kebijakan pengendalian sumberdaya dengan seadil-adilnya dan pengendalian sumberbencana dengan sesungguh-sungguhnya (rute B). Perjanjian itu harus “total quality,” serba antisipatif, jangan hanya “bagi kuenya,” tetapi juga “bagi biayanya.” Di sini SKK tidak memosisikan diri sebagai fihak pemenang, melainkan sebagai fihak terpilih. SKK tidak berhak “winner takes all,” tetapi membuktikan keterpilihannya. Kendatipun SKK maju sebagai kandidat dengan mengendarai parpol, begitu terpilih menjadi pemangku kekuasaan, ia keluar dari kendaraan yang bersangkutan, karena setelah menjadi pejabat publik ia dibayar oleh Negara, oleh seluruh masyarakat, bukan oleh parpol yang mencalonkannya. Sudah barang tentu, rute B ini mempengaruhi rute C dan dipengaruhi oleh rute A. Bidang-bidang kesepakatan di sini meliputi seluruh Pembukaan dan Batang Tubuh UUD 1945. Rute B ini merupakan garisdepan politik tapi garisbelakang pemerintahan C. Pembentukan nilai oleh SKE, termasuk pembangunan, dengan peran SKK di dalamnya (implementasi pasal 33 UUD). Rute C ini mutlak bergantung pada rute B, dan pada gilirannya mempengaruhi rute D. Dalam rute ini, “pemain” adalah SKE, sementara SKK adalah “wasit.” Jika wasit juga bermain, rute ini rusak. Itulah sebabnya pembangunan seharusnya diletakkan bukan dalam ruang SKK tetapi dalam ruang SKE. SKK berperan mengontrol SKE pada (dari) rute B. Rute ini adalah sumber dan sarang korupsi. D. Redistribusi nilai oleh SKK kepada SKS (kontrol SKS terhadap SKK di tengah, penepatan janji, jika tidak menepati janji, SKK dinilai wanprestatie, ini ruang transaksi, ruang penagihan janji). Redistribusi nilai melalui rute D berlangsung dalam bentuk APBN/APBD, pelayanan dan pemberdayaan masyarakat. Kontrol di tengah, penepatan janji, dan penagihan janji, berlangsung di garisdepan pemerintahan, yaitu UPT, Kecamatan, Kelurahan dan Desa. Adil, tepat waktu dan tepat sasaran adalah standar

146

utama rute ini. Struktur anggaran harus memihak pelanggan, dan garisdepan pemerintahan harus diberdayakan. Rute D bergantung pada rute C dan mempengaruhi rute E E. Monev kinerja SKK oleh SKS (kontrol terhadap redistribusi nilai di tengah). SKS melakukan monev terhadap rute D dalam kapasitasnya sebagai pelanggan dan terjanji. Berdasarkan sistem politik yang sedang berjalan, check and balance antara SKK (eksekutif) dengan SKS dalam kapasitasnya sebagai konstituen (legislative), sulit diwujudkan, sebab, bagaimana parpol DPR mengontrol kadernya yang terpilih jadi SKK jika kader itu masih tetap berada dalam kendaraan parpol yang bersangkutan? Sebaliknya, bagaimana kader yang terpilih menjadi pejabat publik itu menepati janjinya kepada SKS, jika ia tersandera kepentingan parpolnya? Itulah sebabnya dipandang tepat manakala Dewan Perwakilan Daerah (DPD) mewakili SKS selaku pelanggan, terjanji, dan penagih, sesuai dengan namanya: “yang mewakili daerah” (daerah = masyarakat hukum). Untuk itu, basis keanggotaan DPD diubah, bukan provinsi tetapi kabupaten/kota. Rute E ini bergantung pada rute D dan mempengaruhi rute F F. Pertanggungjawaban SKK kepada SKS (kontrol SKS terhadap SKK di Hilir), dari sini hasilnya kembali ke rute 1, pembentukan SKK oleh SKS, Kontrol di hilir sangat penting sebagai kawalan sehari-hari terhadap SKK karena penyimpangan yang terlihat sedikit pada awal menimbulkan penyimpangan yang besar pada akhir masajabatan, dan oleh sebab itu membawa korban banyak. Kawalan (referensi) itu, yang sering disebut oposisi, sesungguhnya tidak, samasekali tidak menimbulkan labilitas politik, manakala fihak-fihak terkait memegang teguh komitmen, menjunjung tinggi kejujuran dan keterbukaan. Tujuan kontrol di tengah dan hilir bukan untuk menjatuhkan rezim kekuasaan tetapi untuk menjaganya, agar tidak tergelincir. Yang dimaksud dengan pertanggungjawaban di sini adalah responsibility, bukan sekedar akuntabilitas. SKK yang mengukur dan mengevaluasi kinerjanya berdasarkan asas akuntabilitas adalah Negara-peraturan, bukan Negara-hukum. Negara hukum adalah Negara yang kinerjanya dimonev berdasarkan asas pertanggungjawaban. Artinya tiada suatu perilaku SKK yang tidak ada penanggungjawabnya, atau dengan perkataan lain, apa saja yang dilakukan, dibiarkan atau dilalaikan oleh SKK, harus dipertanggungjawabkan olehnya kepada SKS G. Pertanggungjawaban SKK di rute F ini mempengaruhi sikap SKS di rute G (feedback, feedforward), dan tentu saja bergantung pada rute E. Pertanggungjawaban itu dilakukan menurut formula TJT yang telah dikemukakan di atas. Lihat Bab I Kybernologi 2015 (2011)

147

Sistem pemerintahan meliputi enam komponen tersebut, satu dengan yang lain berinteraksi terus-menerus. Interaksi antar tiga subkultur itu (governance) menghasilkan kinerja. Jika kinerja interaksi itu oleh pelanggan dinilai good, maka governance disebut good governance. Apa yang dimaksud dengan good governance, bagaimana supaya kinerja governance itu good, timbangan apa yang digunakan untuk menilai kinerja bad atau good, diterangkan melalui Teori Governance. Pelayanan Pemerintahan berjalan melalui terminal dan rute-rute pemerintahan di atas. Jika terminal dan rute pemerintahan pada G Dalam hubungan itu, pemerintah adalah salah satu lembaga pelaku pemerintahan, yang oleh masyarakat dicharge dengan kekuasaan (political power) dengan system nilainya: authority, force, coercion, violence, dan death sentence. Mengingat Negara adalah sistem kekuasaan politik, maka dengan sendirinya Negara --- apakah sebagai idea, sebagai concept, atau seperti panas yang terasa tapi apinya entah mana --- berinterface dengan masyarakat yang sifatnya nyata. Interfacing itu terlihat pada Gambar 16. Dahulu, Negara didefinisikan meliputi tiga unsur, wilayah, penduduk, dan pemerintah. Definisi ini memberi kesan, manusia berada dalam Negara, dan pada gilirannya masyarakat dianggap bawahan pemerintah. Dengan lahirnya ajaran demokrasi, paradigma ini berubah. Gambar 16 menunjukkan hubungan antara Negara dengan masyarakat Manusia. Dalam hubungan itu terlihat dua macam pelayanan, pelayanan civil yang sifatnya kewajiban Negara, dan pelayanan yang sifatnya kewenangan pemerintah yang lazim disebut pelayanan publik (public service). Pelayanan civil adalah pelayanan yang oleh UUD diposisikan sebagai kewajiban Negara. Dalam literatur Barat, tidak ada istilah yang isinya seperti itu. Istilah civil service dalam Administrasi Publik berarti PNS. Berbekal tradisi lingua franca, dan kenyataan bahwa pelaku pelayanan yang merupakan kewajiban Negara adalah PNS, pelayanan civil seperti itu disalin menjadi civil service. Perbedaan antara kedua macam pelayanan itu terdapat dalam Bab I Sesi Lima GBPP Kybernologi dan Kepamongprajaan (2010). NEGARA government 1 ruang kekuasaan kewenangan negara

148

1------------------->2 PUBLIK pelayanan publik ruang publik 2 KEBIJAKAN PUBLIK governance kewajiban negara 1------------------>3 pelayanan civil ruang civil 3 MANUSIA HAM

Gambar 16 Asumsi Hubungan Interfacial Antara Negara Dengan Masyarakat Manusia

Pelayanan dan layanan civil semakin jauh dari masyarakat dan kalaupun ada, semakin sukar memperolehnya. Misalnya keadilan, keamanan, kemerdekaan, dan kepastian hukum. Pelayanan civil tidak terdapat dalam UU 25/09 tentang Pelayanan Publik. Salah satu pelayanan civil yang sangat penting namun di Indonesia sangat lemah adalah Pelayanan (Administrasi) Kependudukan yang langsung berkaitan dengan HAM dan membawa dampak langsung bagi proses politik. Sementara itu pelayanan publik semakin mahal, karena SKK leluasa untuk merekayasa anggaran dan menaikkan tarifnya sewaktu-waktu. Dalam kondisi masyarakat pelanggan (SKS) yang amat lemah dan nirdaya, pelayanan publik memberi tekanan berat dalam kehidupam masyarakat bawah. Tentang Administrasi Kependudukan, lihat Bab VI Kybernologi dan Metodologi: Metodologi Ilmu Pemerintahan (2010) Ajaran Demokrasi yang difahami dengan benar dan diimplementasi dengan sehat, merupakan solusi yang diharapkan mujarab bagi masa depan Pelayanan Pemerintahan. Terutama buat mencegah sakralisasi norma-norma sosial oleh sementara kalangan (Gambar 8). Demokrasi terletak di ruang Ilmu Politik, dan uraian tentang hal itu sudah sangat banyak. Dalam hubungan itu Kybernologi mempelajari nuku kecil T. V. Smith dan Eduard C. Lindeman, The Democratic Way of Life (1951, 1953, 1955). Buku yang bernada filosofik itu dipilih karena rohnya seirama dengan Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika (BTI). Coba saja Proposisi Satu yang ditulis Lindeman. Bunyinya “Through Diversity Toward Unity.” Bukankah itu setara dengan BTI? Proposisi itulah yang saya gunakan dalam mengonstruksi satu di antara 5 Grand Design Pemerintahan Daerah sebagai berikut.

149

Di zaman raja Asoka (ca 269-232) terdapat dua agama besar di Asia, yaitu Hindu dan Buddha. Untuk memperkokoh kekuasaannya, ia menganjurkan perdamaian di mana-mana. Pada suatu tiang batu peninggalannya tercantum sebuah pernyataan yang dapat disebut Doktrin Asoka, berbunyi: “Barangsiapa merendahkan agama lain dan memuji agamanya sendiri, (berarti) merendahkan agamanya sendiri.” Dalam kitab Sutasoma, Empu Tantular mengemas ajaran itu dalam seloka yang sebagian berbunyi “bhinneka tunggal ika,” lengkapnya “Bhinneka Tunggal Ika, Tanhana Dharmma Mangrva,” artinya berbeda-beda tetapi satu jua, tahan karena benar serta satunya cipta, rasa, Masalah Bergeser dan Berubah. Di masa-masa lalu masalah yang dihadapi berkisar pada fenomena kesenjangan sosial dan ketimpangan ekonomi vertikal yang terlihat pada suatu saat antar lapisan masyarakat: kaya di atas dan miskin di bawah, dan horizontal antar kelompok masyarakat: yang kaya di sana, yang miskin di sini. Kesenjangan antar daerah baru implisit dan sayup-sayup, seperti terdengar dalam pidato kenegaraan 16 Agustus 1990 di atas. Di masa lampau kesenjangan antar daerah (baca: daerah otonom) belum terungkap tajam secara eksplisit selain alasan politik juga karena titik berat otonomi masih di provinsi dan faham otonomi tidak seliberal --- sekarang sangat liberal --- sekarang. Seperti orang naik pesawat: semakin tinggi terbang, semakin samar dan terlihat seragam serta merata bumi di bawah. Sebaliknya, semakin rendah terbang, lebih-lebih bila sudah mendarat, semakin terlihat jelas kepincangan di bawah dan kesenjangan di sekitar. Demikian juga birokrasi dan korupsi sama sekali tidak tersentuh. Hal itu tenggelam di bawah bayang-bayang pembangunan nasional yang sesungguhnya sumber korupsi itu sendiri, namun di masa itu dijadikan simbol, ideologi bahkan dogma. Pemerintahan diturunkan menjadi rutinisme yang melayani tuannya yaitu pembangunan. Nasionalisme juga hanya diartikan kebangsaan, bukan kesebangsaan. Tafsiran butir 1, 3, dan 4 Andre Hardjana tentang Nasionalisme Eko-nomi sekedar reaksi terhadap fenomena imperialisme, tetapi butir 2 tetap bahkan semakin relevan sampai sekarang. Definisi Nasionalisme Ekonomi dari sudut makro tidak dapat dipertahankan. Posisi pemerintah sebagai pelaku ekonomi dan pembangunan sampai sekarang ternyata justru menjadi sumber korupsi struktural (state corruption). Pernyataan Alfian tentang ambang batas toleransi sosial di masa lalu telah terbukti dengan terjadinya revolusi 1998. Teori ambang batas toleransi sosial itu dapat menerangkan terjadinya revolusi yang terlihat kecil-kecilan (seperti puncak gunung es), yang dikecilkan (dianggap sepele) oleh pemerintah dengan menyatakan: itulah

150

demokrasi, “biarkan es menyembul, Titanic terus berlalu,” jika Titanic karam, toh “kapten dan para petinggi kapal buru-buru menyelamatkan diri dulu.” Golongan (lapisan) menengah Indonesia memang terbentuk di berbagai komunitas perguruan tinggi dan perusahaan-perusahaan modern, tetapi belum berfungsi sebagai change agent dan kekuatan pembaharu seperti yang terjadi di Eropa (Renaissance, Aufklärung). Mereka pada suatu saat (tatkala berada di luar sistem) berkobar-kobar, di saat lainnya (ketika sudah masuk) menjadi oportunis dan kehilangan pendirian. Tidak memiliki apa yang oleh Jose Ortega Y Gasset sebut dalam The Mission of the University (1944, 1966) sebagai “spiritual power,” atau scientific culture. Mereka mudah sekali tergoda oleh kekuasaan politik! Ucapan Moerdiono dalam Seminar TNI-AD tanggal 16 Desember 1990 seperti dikutip di atas, lepas dari siapa drafter atau thinker asliya, merupakan warisan abadi generasi abad ke20 kepada generasi abad ke21. Jika kesenjangan yang menjangkiti berbagai bidang kehidupan bisa menceraiberaikan masyarakat, maka sesungguhnya sejak kesen-jangan itu melampaui ambang batas toleransi masyarakat, INDONESIA SUDAH TIDAK SEBANGSA LAGI. Indonesia sudah terpecah dan terpisah-pisah menjadi beberapa bangsa, bukan karena yang satu memisahkan diri dari yang lain, tetapi buah kebijakan yang keliru (Lihat Gambar 7). Fakta ini menunjukkan bahwa kebangsaan dalam arti seperti yang terkandung dalam konsep Kebangsaan Indonesia, national, nationality, tidak cukup. Kalau dahulu yang dianggap ideologi, dogma, bahkan dewa adalah pembangunan, sekarang ada dewa baru bernama otonomi daerah. Dengan kebijakan desentralisasi, sejumlah kewenangan (bukan kekuasaan): empat belas enumeratif, satu “pelayanan dasar lainnya,” dan satu lagi “kewenangan lain melalui UU lain,” diserahkan kepada daerah untuk digunakan secara otonom (oleh sebab itu disebut “otonomi daerah,” otda) sebagai input dalam proses pelayanan kepada manusia, masyarakat dan lingkungannya, bukan karena daerah itu sudah mampu, tetapi supaya ia pada suatu saat berkemampuan nyata menjadi daerah yang sungguh-sungguh otonom (daerah otonom, daot) dengan empat kualitas: ruang hidup, satuan budaya, masyarakat hukum, subsistem nasional (lihat juga Gambar 16). Masalah mendasar otda terletak pada hal-hal sebagai berikut: 1. Kebijakan otda (pasal 11 UU 5/74) yang selama 25 tahun tidak disiapkan tiba- tiba saja diimplementasikan berdasarkan UU 22/99, dan beberapa tahun kemudian UU 32/04, langsung dari pusat ke daerah kabupaten/kota, tanpa melalui provinsi sebagai daerah peralihan (transisi). Alasannya sungguh dibuat-buat dan dihembus-hembus oleh media massa: jika provinsi diperkuat guna persiapan titikberat otonomi di kabupaten/kota suatu saat kelak,

151

dikhawatirkan sejumlah provinsi melepaskan diri dari Republik Indonesia. Daerah kabupaten/kota benar-benar tidak siap (disiapkan) 2. Kepada daerah diberi otonomi, bukan karena ia mampu, tetapi supaya pada suatu saat ia mampu menggunakannya. Berotonomi daerah adalah proses pembelajaran. Gurunya adalah pusat. Yang menyedihkan ialah, daerah dipecah (bahasa politiknya: dimekarkan) sekedar untuk meredam konflik horizontal antar elit atau kelompok, yang tidak mau (atau tidak mampu) diselesaikan oleh pemerintah pusat 3. Tetapi ada juga daerah yang dipecah menjadi beberapa daot baru sebagai penyelesaian konflik antar kelompok: yang satu merasa selalu dianaktirikan dan diperlakukan tidak adil oleh kelompok yang lain yang (kebetulan) berkuasa 4. Kepada daerah yang kondisinya, bila yang satu dibanding dengan yang lain, sangat pincang (modal yang satu kuat, yang lain lemah), diserahkan kewenangan dan otonomi yang seragam (sama). Akibatnya ialah, yang satu mampu menggunakan kewenangannya, sementara yang lain tidak 5. Daot semakin kecil-kecil melalui politik fragmentasi, terlebih-lebih di luar Jawa. Pengamat politik menyebutnya “politik pecahbelah” pusat (rezim yang berkuasa) agar dengan mudah mengendalikan geliat daerah (divide et impera) dan memenangi pemilu berikutnya 6. Politik berbagi kekuasaan (power sharing) dalam Negara Kesatuan yang sistem pemerintahannya menganut asas desentralisasi, tidak tepat. Sebab yang diserahkan kepada daerah adalah urusan yang sifatnya merupakan implementasi HAM dan tidak menghasilkan pendapatan bagi daerah, sementara pusat mengurus segala sumberdaya. Persentase terbesar keuangan Negara digunakan untuk urusan rumah tangga Negara, sehingga untuk urusan rumahtangga daerah tinggal sisanya (lihat Gambar 46) 7. Beban dan tanggungjawab pemerintah pusat dianggap berkurang dengan diserahkannya sejumlah kewenangan kepada daerah. Semacam upaya untuk meringankan beban pusat. Penyerahan otda kepada daerah dianggap sudah menyelesaikan masalah. Anggapan ini tidak benar, semakin maju masyarakat, semakin mengingkat kewajiban negara 8. Fragmentasi daerah dilakukan dengan alasan mendekatkan pelayanan kepada masyarakat. Alasannya jarak geografik (geographic distance). Jarak geografik itu sudah ada sejak zaman dahulu ribuan tahun yang lalu. PELAYANAN DAPAT DIDEKATKAN KEPADA MASYARAKAT TANPA PEMECAHAN DAERAH. Yang jauh lebih penting adalah upaya untuk mendekatkan jarak sosial (social distance) dan jarak birokrasi (bureaucratic distance) antara masyarakat sasaran pelayanan dengan sumber pelayanan 9. Peluncuran otda itu terburu-buru. Pusat kaget sendiri ketika kemudian ternyata begitu banyak masalah yang timbul dalam implementasinya. Absennya

152

pegangan dari pusat mendorong daerah menggunakan “otonomi”nya melalui peraturan daerah. Timbul konflik vertikal dan horizontal. Pusat menjalankan standar ganda: suatu saat ia tidak mau campur tangan, tapi pada saat lain ia mengancam: “Kalau tidak mampu, kewenangan yang sudah diserahkan ditarik kembali ke pusat!” 10. DAERAH YANG BUMI DI BAWAH KAKINYA KEBETULAN MENGANDUNG SUMBER LAM (SA) MENDAPAT REZEKI NOMPLOK TANPA BERSUSAH PAYAH, DAERAH YANG TIDAK MENGANDUNG SA HANYA MENGELUS DADA DAN MENARIK NAFAS PANJANG, SEDANGKAN DAERAH YANG DI BAWAH KAKI DAN DI SAMPING GUBUGNYA TERDAPAT PATAHAN TSUNAMI DAN EPISENTER GEMPA, TINGGAL MENUNGGU AJAL. Ada daerah yang berhasil menggunakan keberadaan SA di bawah kakinya itu sebagai bargaining power terhadap pusat dalam menuntut porsi yang semakin besar atas hasil eksploitasi SA, tetapi ada juga daerah yang tidak 11. Fragmentasi daerah itu dilihat dari segala segi, sangat mahal. Sebagai contoh, ratio antara biaya birokrasi (jumlah, eselon, distribusi, belanja pegawai, belanja barang, fasilitas perumahan pegawai, transportasi, dsb) dengan jumlah penduduk yang dilayani, di Jawa jauh lebih kecil dibanding dengan di di Luar Jawa, di Indonesia Barat jauh lebih kecil kecil dibanding Indonesia Timur 12. Sistem politik tidak serasi dengan sistem pemerintahan. Yang satu sentralistik, yang lain desentralistik. Sistem kepartaian yang sentralistik, misalnya, tidak mendukung kebijakan desentralisasi. Orientasi pengurus parpol di daerah jauh lebih vertikal (ke pusat) ketimbang horizontal (masyarakat). Fakta inilah yang memicu wacana tentang pentingnya parpol lokal 13. Tiadanya persiapan matang peluncuran otda diperparah dengan lemahnya bimbingan pusat terhadap daerah, baik yang lama maupun yang baru. Berbagai produk kebijakan misalnya peraturan daerah (perda) sarat dengan cek kosong atau cacad hukum. Para pejabat lebih suka meniru ketimbang berpikir, lebih senang dipuji daripada diberi saran, sementara sumber-sumber yang cerdas tidak digunakan bahkan disingkirkan 14. Berbagai arahan dari atas menunjukkan bahwa pusat memberi kesempatan kepada daerah untuk berlomba menunjukkan prestasi, bersaing untuk memperebutkan suatu peluang, dan berkompetisi untuk dinilai terbaik, di samping ajakan untuk bekerjasama. Hal ini adil dan efektif jika peserta lomba berada dalam kondisi yang relatif sama, tetapi siksaan bagi daerah yang tidak memiliki sumber apapun Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa sebagai solusi, otda masih amat lemah, sementara untuk berfungsi sebagai sarana pembelajaran, diperlukan sikap dan

153

kemauan belajar dari semua fihak. Jika dibiarkan berjalan seperti kecenderungannya sekarang, otda bahkan semakin menjauhkan Indonesia dari kesebangsaan. Pertanyaan yang aktual sekarang ialah, kekuatan apa lagi yang dianggap membawa harapan baru untuk MEMPERCEPAT terwujudnya “suatu Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia,” agar kesebangsaan menjadi kenyataan? PEMERINTAH YANG KUAT MUTLAK DIPERLUKAN. Untuk menerangkan arti “cepat” sebaiknya digunakan ungkapan yang merupakan favorit rezim SBY sebagaimana diinfokomkan oleh Sofyan A. Djalil: “Short term pain for long term gain.” Sepintas lalu kalimat itu sedap didengar, masuk akal, dan menumbuhkan semangat, sesuai dengan peribahasa Melayu: “Berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian, bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian.” Hanya saja perlu diingat: yang bersakit-sakit siapa, dan yang bersenang-senang siapa? Apakah orang yang sama? Jawaban “bukan,” menjadi dasar pemikiran Kybernologi tentang kualitas manusia sebagai KORBAN dan MANGSA. Bisa saja persentase rakyat miskin merosot tajam, bukan karena taraf hidup mereka meningkat, tetapi karena mereka keburu mati kelaparan. “Survival of the fittest,” “Yang sisa yang berjaya. Yang kuat yang bergaya” Keadilan Sosial jadi hampa. Bagaimana halnya dengan konsep pemerintah yang kuat? Pemerintah di sini adalah pelaku pemerintahan dan pemerintahan adalah proses pencapaian tujuan negara. Pemerintah bukan rejim lima tahunan, tetapi pemerintah yang konsisten melakukan pemerintahan sampai tujuan tercapai, mungkin oleh beberapa rezim dengan strategi yang berbeda-beda. Pencapaian tujuan harus cepat. Sifat “kuat” berkaitan dengan kecepatan itu. Lemah, lambat; cepat, kuat. Supaya terarah, digunakan definisi dalam arti sempit: PEMERINTAH YANG KUAT ADALAH PEMERINTAH YANG KONSISTEN BERTEKAD MENGURANGI KESENJANGAN VERTIKAL ANTAR LAPISAN MASYARAKAT, DAN KESENJANGAN SOSIAL-EKONOMI ANTAR DAERAH DALAM WAKTU YANG TIDAK TERLALU LAMA, MELALUI IMPLEMENTASI PASAL 33 UUD 1945 DALAM RANGKA MENCAPAI TUJUAN NEGARA, DEMI TERWUJUDNYA KESEBANGSAAN INDONESIA. Pasal 33 UUD 1945 itulah dasar penyelenggaraan Nasionalisme Ekonomi (di) Indonesia. Nasionalisme Ekonomi: Sebuah Jawaban. Panta rei! Semua berubah. Masalah bergeser dan berkembang. Dewa yang diharapkan menjadi penyelamat, silih berganti. Dewa bernama Pembangunan, gagal, karena hanya menghasilkan korupsi perilaku, korupsi struktural, dan korupsi negara, dewi bernama OtonomiDaerah juga bangkrut karena dilahirkan prematur. Dewa bernama Kapitalisme lagi dipuja di sejumlah Negara, tapi dihujat di belahan dunia lainnya. Nasionalisme Ekonomi, yang sedang sekarat terkena pukulan bertubi-tubi dari dewi-dewa lain yang menguasai waroeng

154

domestik dan pasar global, kini menggeliat. Konsep Nasionalisme Ekonomi di Indonesia baru sebatas wacana akademik, sedangkan sebagai kebijakan sulit diimplementasikan. Gebrakannya hanya sekali, yaitu nasionalisasi perusahaan asing di Indonesia pada bagian akhir tahun 50an sampai awal tahun 60an. Sejak globalisasi marak dan memuncak pada deklarasi pasar bebas, api Nasionalisme Ekonomi padamlah sudah. Memang di dalam dirinya terkandung kontradiksi. Bila Nasionalismenya diutamakan, nilai Ekonominya jatuh, sebaliknya jika Ekonominya yang dominan, makna Nasionalismenya susut. Sekarang ia sedang dibangunkan dari pingsannya oleh sementara kalangan arus pinggiran yang menyoal pengelolaan ketiga sumber hakiki Indonesia: Sumber Alam (SA), Sumber Manusia (SM), dan Sumber Buatan (SB). Para penyoal terheran-heran, kok SA Indonesia dikuasai asing. TKI sebagai komponen SM baik yang diekspor maupun yang bekerja dalam negeri (buruh) selalu saja bermasalah. Mengapa terjadi perdagangan dan eksploitasi manusia? Demikian juga SB yang selalu saja merugi, padahal bersifat monopolistik dan “menguasai hajat hidup orang banyak,” sementara kerugiannya dibebankan kepada rakyat. Oleh sebab itu konsep akademik dan kebijakan penerapan Nasionalisme Ekonomi, khususnya di rute hulu (sumber daya) di masa sekarang memerlukan reinterpretasi dan rekonstruksi. Rekonstruksi Nasionalisme Ekonomi untuk Indonesia dilakukan dengan tiga referensi, yaitu (1) tafsiran akademik seperti dikemukakan oleh Andre Hardjana (empat tafsiran) dan opini para pengamat tentang isu yang sama, (2) tafsiran konstitusional pasal 33 UUD 1945, dan (3) fakta-fakta yang menunjukkan kecenderungan yang sedang terjadi dewasa ini di dalam masyarakat, khususnya empatbelas macam dari implementasi kebijakan otda. Sekurang-kurangnya ada delapan komponen yang secara konseptual berhubungan kausal (Gambar 3), mulai dari variabel Kesebangsaan. KESEBANGSAAN jauh lebih utama ketimbang kebangsaan. Mengapa? “Tunggal Ika” dalam “Bhinneka Tunggal Ika” adalah puncak budaya sebuah bangsa. Pada level mikro dan sehari-hari nilai itu disebut kebersamaan, sedangkan pada tingkat makro dan konseptual disebut kesebangsaan. Pembentukan kesebangsaan itu berat. Diperlukan kekuatan baru untuk membentuknya. Penghalang utama upaya membentuk Kesebangsaan itu adalah Kesenjangan Antar Daerah (KAD). Yang dimaksud dengan KAD di sini adalah KAD sebagai output dan outcome, bukan sebagai input. KAD sebagai input itu given, natural, tidak bisa diubah dan relatif tidak berubah. Faktor-faktor KAD itu misalnya (1) posisi geografik, (2) sejarah, (3) jenis kelamin, (4) kondisi SDA, (5) genealogi, dan sebagainya. KAD sebagai output dan outcome adalah KAD yang terjadi sebagai

155

akibat dari berbagai kebijakan, tindakan atau perbuatan yang tidak adil yang dilakukan fihak yang satu terhadap yang lain. Kekuatan utama yang dianggap mampu mengurangi KAD --- kalau bukan kekuatan satu-satunya --- adalah Keadilan Sosial, yaitu bagian kalimat terakhir alinea keempat Pembukaan UUD 1945: “. . . . . serta dengan mewujudkan suatu Keadilan Sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia.” Dalam hubungan itu, justice adalah the quality of conforming to principle of reason, to generally accepted standard of right and wrong, and to the stated terms of laws, rules, agreements, etc, in matters affecting persons who could be wronged or unduly favored. Keadilan Sosial tidak dikaitkan dengan keberadaan (eksistensi) yang given di atas, tetapi pada usaha pengurangan atau perbaikan dampak negatif faktor-faktor yang given melalui konstitusi negara atau kebijakan publik dalam proses bernegara, berbangsa, dan bermasyarakat. Fihak yang paling potensial untuk bersikap dan bertindak tidak adil adalah pemegang kekuasaan. “Power tends to corrupt.” Sistem kekuasaan memperlihatkan genealogi nilai yang semakin koruptif: authority, force, coercion, violence, dan “the right to sentence someone to death.” Nilai-nilai itulah yang menunjukkan kualitas kekuasaan. Salahkah singa sang raja semak menerkam bison yang menyeberang padang? “Homo homini lupus,” kata Thomas Hobbes. Kekuasaan tidak dapat disalahkan 100% atas terjadinya korupsi, karena memang itu hobi dan kecenderungannya. Sang bantenglah yang perlu dipertanyakan: Dari sudut jumlah mereka mayoritas, sosok lebih gagah, dilengkapi tanduk yang kokoh dan tajam, tapi mengapa tidak melawan? Apakah memang fihak yang diperintah ditakdirkan menjadi korban dan mangsa? Mengapa Keadilan Sosial masih di atas kertas? “Most reforms in government fail,” demikian Charles Polidano dalam “Why Civil Service Reforms Fail,” (Paper 16, March 2001, IDPM, Univ. of Manchester). They do not fail because, once implemented, they yield unsatisfactory outcomes. They fail because they never get past the implementation stage at all. They are blocked outright or put into effect only in tokenistic, half-hearted fashion Ketidakadilan itu terjadi pada implementasi kebijakan. Implementasi harus “conform” dengan “principles,” “standards,” dan “laws,” yang telah ditetapkan. Supaya “conformity” atau “conformance” itu tercapai, proses implementasi kebijakan

156

harus dikontrol. Siapa yang mengontrol? KEKUASAAN TIDAK MUNGKIN DIKONTROL OLEH DIRINYA SENDIRI. “Masa jeruk makan jeruk?” demikian bunyi iklan. Harus oleh fihak lain. Produser tidak dikontrol oleh produser tetapi oleh konsumer, korban dan mangsa. Setiap produk mempunyai konsumernya. Masyarakat konsumer itulah yang mengontrol “conforming process” dengan menggunakan kekuatan konsumeristik (dari consumerism, bukan konsumtif). Supaya beroleh kekuatan itu, masyarakat konsumer harus menempatkan diri (ditempatkan) pada posisi CIVIL COMMUNITY atau yang populer disebut masyarakat madani sebagai SDM baru. Prediksi dan harapan Habibie, Alfian, Moerdiono, dan lain-lain seperti telah dikemukakan di atas, berkaitan dengan golongan menengah (intelektual dan pengusaha) Indonesia ternyata meleset. Golongan menengah Indonesia, kalaupun ada, tidak berfungsi sebagai institusi kontrol terhadap kekuasaan, malahan sebaliknya, mereka berlomba-lomba menjadi kekuasaan itu sendiri. Mungkin berlebihan, tetapi sampai saat ini harapan masa depan Indonesia tergantung pada civil communities tersebut. Kybernologi membahas civil community sebagai satu di antara tiga subkultur masyarakat, yaitu subkultur sosial (SKS, konsumer). Civil communities sebagai SDM baru harus (mampu) membentuk diri sendiri. Civil community tidak mungkin dibentuk oleh kekuasaan, karena hal itu membahayakan dirinya! Pembentukan civil communities sebagai SDM baru harus difahami dalam hubungannya dengan sumber daya lain (SDA dan SDB, dan oleh sebab itu, pengembangan ketiga macam sumber daya itu harus dikemas dalam satu paket Kebijakan Sumberdaya. 1 2 3 4 5 6 7 8 HUB KE- IMP KE- KESENJ KESE- NAS---->DEM---->ANTAR---->BIJ---->KEB---->AD---->ANTAR---->BANG- EK EK SD SD SD SOS DAERAH SAAN NASEK Nasionalisme Ekonomi; DEMEK Demokrasi Ekonomi; HUB Hubungan; SD Sumber Daya; KEBIJ Kebijakan; IMP Ilmplementasi; KEADSOS Keadilan Sosial KESENJ Kesenjangan

Gambar 3 Model Rekonstruksi Nasionalisme Ekonomi Menuju Kesebangsaan

Sedikit tentang sumber daya. Padanan kata sumber daya dalam bahasa Inggeris adalah resource. Kata itu berasal dari akar kata Latin re + sourdre, surgere, to rise up. Resource berarti “a source of supply, support, or aid, esp. one held in reserve;” “the collective wealth of a country or its means of producing wealth.” Beberapa kata kunci di atas dapat digunakan untuk membuat definisi sumber daya untuk sementara:

157

sumber daya adalah kekayaan suatu bangsa yang menjadi modal bagi kejayaan masa depan. Kalau sumber daya dinyatakan sebagai milik negara, maka dengan mudah institusi negara yang mewakili negara ke dalam dan keluar mengklaim bahwa sumber daya berada di bawah kekuasaannya. Oleh sebab itu sumber daya sebaiknya dinyatakan tidak sebagai milik negara tetapi milik bangsa. Sumber daya dapat dikelompokkan menurut berbagai kriteria. Misalnya menurut sifat, distribusi, dan nilai. Menurut sifat, ada yang dapat dipulihkan (berdaurulang, renewable, misalnya hutan) dan ada yang tidak (misalnya batu bara, minyak bumi). Menurut distribusi, ada SDA yang sedikit banyak terdapat di semua daerah (lahan, flora, fauna), dan ada yang terdapat hanya di beberapa daerah (misalnya mineral, bangunan alam, pantai). Menurut nilai, ada yang bernilai (volume dan mutu) tinggi dan ada yang bernilai rendah. Lihat Gambar 4. Ada empat sel. SEL MANA YANG BERISI SUMBER DAYA YANG BERFUNGSI SEBAGAI PENGIKAT ATAU PEMBENTUK POLA PERILAKU MASYARAKAT MENJADI SE-BANGSA? Setiap sel menunjukkan kualitas yang merupakan dasar ba- ----------------------------------------- S I F A T ----------------------------------------- RENEWABLE NONRENEWABLE -------------------------------------------------------------------- 1 2 TERDAPAT DI DIS- SEMUA DAERAH TRI- ---------------------------------------------------------- BUSI TIDAK TERDA- 3 4 PAT DI SEMUA DAERAH --------------------------------------------------------------------

Gambar 4 Matriks Sumber Daya

gi pembuatan kebijakan dan implementasinya. Kebijakan Sumber Daya disusun berdasarkan analisis objektif tentang hubungan antar sumber daya. Kebijakan bergantung pada sumber-sumber ekonomi. Sumber daya harus diberdayakan menjadi sumber bargaining power terhadap dunia internasional, dan meninjau kembali kebijakan sumber daya. Bukan hanya itu. SDA ADALAH ANUGERAH ALLAH BAGI MANUSIA SEBAGAI SUMBER ENERJI. SDA ITU SUCI ADANYA. Jika SDA itu terbatas, atau hanya terdapat di beberapa kawasan, negara atau daerah, itu tidak berarti Allah tidak adil.

158

MANUSIALAH YANG ALLAH TUGASKAN UNTUK MENGELOLA SDA ITU UNTUK KESEJAHTERAAN SELURUH UMAT MANUSIA, rakyat, atau warga daerah. Oleh sebab itu, bilamana Pasal 33 Ayat 3 UUD 45 diimplementasikan menurut semangat yang terkandung dalam uraian di atas, maka SDA tidak boleh dianggap sebagai harta karun atau rampasan pemenang pemilu untuk dikuasai dan dikelola dengan sewenang-wenang oleh rezim yang berkuasa. Hubungan antar sumber daya terbentuk berdasarkan kondisi dan sifat setiap sumber daya. Kehidupan negara atau daerah yang terbelakang misalnya sangat bergantung pada kegiatan ekstraktif SDA. Potensi SDA itu sendiri semakin terbatas, ambang batasnya semakin dekat, dan daya dukungnya semakin merosot. Sementara itu pencemaran dan pengrusak-annya oleh ulah manusia semakin meningkat. SDA negara maju meng-alami konservasi dan proteksi terhadap pencemaran lingkungan. Negara maju mengekspor pencemaran ke negara lain melalui foreign investment yang sangat menguntungkan (tenaga kerja murah, dekat dengan pa- SDA--------------------->SDM-------------->SDB---------- | | | | | | | | deposit semakin terbatas kualitas rendah, teknologi | ambang batas semakin dekat, sangat bergantung berarti | sebagian nonrenewable, pada SDA (lahan) pemborosan | daya dukung semakin merosot | (mendekati nol), pencemaran | dan pengrusakan merajalela, | manusia semakin serakah dan | brutal trans- | formasi----------->| budaya | Gambar 5a Hubungan Antar | Sumber Daya di Negara Ber- | Kembang | | | SDA<---------------------SDM<------------->SDB<--------- | | | | | | rehabilitasi dan konservasi kualitas SDM sa- budaya SDA telah menjadi budaya, ngat bergantung mendukung Kemerosotan daya dukung SDA pada ilmu dan teknologi Diperlambat melalui politik teknologi, dan Kebijakan dan manajemen relatif tidak ber- lingkungan gantung pada SDA Gambar 5b Hubungan Antar Sumber Daya di Negara Maju

159

sar, dan jauh dari pencemaran). Kualitas SDM juga amat bervariasi. SDM bangsa maju relatif tidak lagi bergantung pada sumber daya alam lahan pertanian (peasantry), sedangkan SDM negara terbelakang sebaliknya. Daya dukung SDA itu sendiri pada suatu saat mendekati nol. Kelemahan SDM berpengaruh terhadap SDB. Misalnya teknologi sebagai bagian SDB. Sebuah teknologi yang memerlukan ketepatan waktu merupakan pemborosan bila digunakan dengan budaya waktu karet, Hubungan antar sumber daya tersebut seperti Gambar 5a dan 5b. Masalah yang muncul dari model di atas adalah: (1) Upaya apakah yang perlu ditempuh agar sebelum daya dukung SDA pada negara berkembang (Gambar 5a) mendekati nol, kualitas SDMnya mendekati kualitas SDM negara maju (Gambar 5b) sehingga mereka mampu beralih kerja ke bidang industri dan jasa? (2) Upaya apa yang harus dilakukan agar Human Resorce Development Index lebih tinggi daripada Natural Resource Decreasing Index? Berbagai cabang ilmu pengetahuan dapat memberikan jawaban yang berbeda-beda; salah satu di antaranya dari Teori Budaya. Dari hasil penelitiannya, Margaret Mead (dalam Cultural Paterns and Technical Change, 1957, 13) berpendapat: . . . . . a change in any one part of the culture will be accompanied by changes in other parts, and that only by relating any planned detail of change to the central values of the culture is it possible to provide for the repercussions which will occur in other aspects of life. This is what we mean by “cultural relativity” Pada negara berkembang, perubahan aspek yang satu tidak diikuti dengan perubahan pada aspek lainnya, yang satu selalu lag behind yang lain, karena nilai aspek yang satu tidak mengacu pada nilai sentral yang juga merupakan sumber nilai aspek lainnya. Dengan perkataan lain, satu-satunya cara untuk menjawab kedua pertanyaan di atas adalah transformasi budaya berdasarkan Teori Cultural Relativity di atas. Kebijakan sumber daya harus disusun berdasarkan prinsip-prinsip Demokrasi Ekonomi. Indonesia telah mengalami (baca: mencoba) beberapa fase konstruksi ekonomi yang digerakkan berdasarkan prinsip tertentu yang dipilih dari sejumlah alternatif di antara dua kutub di masa itu: ekonomi kapitalis dan ekonomi sosialis. Pada bagian pertama dasawarsa 60-an muncul konsep Ekonomi Terpimpin, yaitu susunan ekonomi nasional yang diharapkan bersih dari sisa-sisa feodalisme dan penghisapan manusia oleh sesama manusia, menuju ekonomi sosialis Indonesia.

160

Dalam pergerakannya, Ekonomi Terpimpin itu oleh banyak kalangan dianggap menjurus ke etatisme. Konsep Demokrasi Ekonomi yang merupakan wacana akademik dan dikumandangkan sejak tahun 70-an semula merupakan reaksi terhadap sistem ekonomi peninggalan zaman Belanda: secara struktural sebagai koreksi terhadap sistem ekonomi dualistik di masa lalu (sampai sekarang?), dan operasional sebagai upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat berdasarkan asas kesamarataan dan kesamarasaan ekonomi. Namun kemudian wacana itu diarahkan untuk mengoreksi Ekonomi Terpimpin, dan meletakkan dasar ideologi pembangunan ekonomi selama hampir tiga dasawarsa kemudian. Dalam GBHN, Demokrasi Ekonomi didefinisikan sebagai sistem ekonomi yang di dalamnya masyarakat memegang peranan aktif dalam kegiatan pembangunan, sementara pemerintah memberikan arahan dan bimbingan. Definisi tersebut mengacu pada pasal 33 ayat 1 UUD. Konsep “usaha bersama” dalam ayat itu diartikan sebagai “collective effort,” dan “kekeluargaan” ditafsirkan “brotherhood,” sehingga lembaga yang dianggap tepat untuk “collective effort” dengan semangat “brotherhood” itu adalah persekutuan orang (manusia) bukan persekutuan modal (uang). Koperasi. Pada awal perkembangannya, misi Koperasi bersifat protektif terhadap praktik jahat yang dilakukan oleh lembaga feodal dan lintah darat. Koperasi diletakkan pada fondasi yang disebut solidaritas sosial. Solidaritas merupakan karakter khas masyarakat perdesaan, agraris, atau kelompok minoritas. Koperasi yang gerakannya didasarkan pada solidaritas sosial didefinisikan sebagai lembaga sosial berperilaku ekonomi. Koperasi tidak mengejar laba sendiri, melainkan “laba” dalam arti terpeliharanya kesejahteraan bersama. Di sini nilai Demokrasi yang dominan. Berbeda halnya masyarakat perkotaan atau masyarakat industri dan jasa. Di sini diperlukan watak kompetitif berdasarkan kualitas dan prestasi kerja. Untuk bisa bersaing dan berkembang, orang mengejar laba. Maka tatkala Koperasi dirasuk oleh semangat kompetisi dan kapitalistik, definisinyapun berubah menjadi lembaga ekonomi yang (diharapkan) berperilaku sosial. Jika “berperilaku sosial” dianggap identik dengan “melayani konsumer,” apa bedanya dengan lembaga ekonomi lainnya? Koperasi memang berhasil di Rochdale, berhasuil di Skandinavia, dan di negara lain yang civil community based. Di tingkat mikro di pedesaan atau daerah terpencil di Indonesia mungkin berhasil, tetapi TIDAK PADA TINGKAT MAKRO. Itulah sebabnya sejak Koperasi kehilangan pamornya sebagai penyelamat, muncul berbagai gagasan tentang sistem ekonomi nasional. Ada yang menyebutnya Ekonomi Pancasila, dan ada yang menyebutnya Ekonomi Kerakyatan.

161

Ternyata bahwa Demokrasi SDM melalui Koperasi sebagai persekutuan orang saja tidak cukup. Demokrasi harus diperluas menjadi Demokrasi SDA (pasal 33 ayat 3 UUD) dan Demokrasi SDB (pasal 33 ayat 2 UUD). Dengan demokrasi SDA, maka SDA yang tidak terdapat di semua daerah (sel 4 Gambar 4) dinyatakan sebagai MILIK BANGSA (BUKAN MILIK DAERAH terkait) dan dikelola menurut ajaran good governance (bukan ajaran pasar bebas) untuk kesejahteraan seluruh rakyat (konsumer, korban dan mangsa) Indonesia, dan untuk membiayai rehabilitasi lingkungan yang rusak akibat eksploitasi SDA yang ber-sangkutan, sedemikian rupa, sehingga PADA SUATU SAAT YANG TIDAK TERLALU LAMA, KESENJANGAN SOSIAL-EKONOMI ANTAR DAERAH BERKURANG SAMPAI PADA TINGKAT YANG TOLERABLE DAN PROSES KESEBANGSAANPUN BERJALAN. 0304060755

162

----------------------------------------------------------------------------------------- PENGETAHUAN (dari Gambar 13) MODEL ----------------------------------------------------------------------------------------- monev SKK ---di hulu<------------SKS | & tengah | 17 SKS memonev perilaku dan kinerja SKK di hulu hasil monev

163

(kebijakan) dan di tengah (implementasi, re- | distribusi nilai melalui pelaayanan pemerin- | pertang- tahan ----->SKK------gungja- ---- waban | 18 SKK mempertanggungjawabkan perilaku dan kinerjanya | kepada SKS menurut formula TJT SKS | 19 Sikap SKS terhadap negara pada siklus politik ber- | ikutnya bergantung pada TJT, dipercaya atau tidak dipercaya | ---------------atau <------ 20 Sikap itu menjadi feedback buat rezim berikutnya, | tidak sehingga terjaga kesinambungan politik dan keber- | lanjutan pelayanan pemerintahan | sikap ------------>thd rezim berikutnya -----------------------------------------------------------------------------------------

Gambar 14 Subkultur Sosial (SKS) dengan Subkultur Kekuasaan (SKK)

Lihat Gambar 4

Perilaku SKS Civil disobedience dsb Perilaku SKS menbangun SKS dengan SKE

164

redistribusi pembangunan ---pelestarian --- | dan pembaruan | | sumber-sumber | | | | | -->SUMBER kebijakan | | | | | | ------- | | | SKE SKK -->MASYARAKAT<-- SKK<--? | | | | | | | menggali | | | | | | mengolah | | | | | | mengelola--->KERJA | | | | | menggunakan | | | | | | mengambil | | | | | | | | | redis- | | pertanggung | -->NILAI-- --busi-- ------------- nilai jawaban

Gambar 26 Rekonstruksi SKE dengan SKK Perhatikan Arah Panah

165

SKE--------->SKS 11 SKK meredistribusi nilai kepada SKS SKK----redistribusi nilai--->SKS | 15 a Inti SKK adalah power, dan power tends to -->SKK----redistribusi--->SKS-- corrupt | | | | b Redistribusi nilai oleh SKK kepada SKS selaku | | pertanggungjawaban | | terjanji di tengah harus terkontrol (dimonev) | --hasil monev kpd SKS- | c Monev tsb dilakukan oleh terjanji (penagih) | | d Dituntut pertanggungjawaban SKK di hilir kepada | | masyarakat (SKS) selaku pelanggan -----monev thp kinerja SKK<---- kontrol ---di hulu<-- | | | | 16 Pertanggungjawaban SKK di hilir menentukan sikap SKK SKS SKS selaku konstituen dalam mengontrol SKK di | hulu melalui proses politik, misalnya pemilu | pertang- --gungja- <---SKK waban ----------------------------------------------------------------------------------------

Gambar 13 Subkultur Kekuasaan (SKK) dengan Subkultur Sosial (SKS)

Lihat Gambar 4

Gambar 12 menunjukkan dua arah peran SKK. Di hulu ia diharapkan mengontrol, membangun dan melestarikan sumber-sumber melalui dan berdasarkan Pasal 33 UUD1945, di tengah ia diharapkan mewujudkan keadilan sosial melalui reditribusi nilai kepada warga masyarakat (SKS) berdasarkan ketentuan perundang-undangan (APBN, APBD), sebagaimana ditetapkan dalam alinea keempat Pembukaan UUD. Nilai yang diredistribusi adalah kinerja SKE yang terakumulasi melalui system dan mekanisme perpajakan dalam berbagai cara, hasil pengolahan sumberdaya, dan pendapatan Negara lainnya. Melalui redistribusi nilai itu diharapkan kesenjangan horizontal antar daerah dan ketimpangan vertikal antar lapisan masyarakat secara konsisten berkurang sampai pada ambang batas toleransi sosial. Dengan perkataan lain, melalui kontrol, pembangunan, pelestarian sumber-sumber, dan redistribusi nilai tersebut, diharapkan bhinneka tunggal ika, yaitu kesebangsaan, bukan hanya semboyan tetapi kenyataan. Sayang sekali, begitu terbentuk, perilaku SKK itu berubah (Gambar 11). Dulu, response terhadap kekuasaan Negara di satu tangan, yang mengandung nilai-nilai authority, force, coercion, violence, dan sentence-to-death, sehingga perilaku

166

kekuasaan corruptive, bengis dan menindas, itulah yang membangun Trias Politika. Kini, saat kekuasaan Negara berada di beberapa tangan (badan legislative, badan eksekutif, dan badan judikatif), kualitas perilaku koruptif dan mafiosonya justru semakin licik, tangkas dan cerdas. Apa pasal? Mengapa di lingkungan bangsa-bangsa maju variasi mekanisme check and balance antara badan legislative dengan badan eksekutif itu efektif, tetapi di Indonesia tidak? 1. Sebelum pemilu, kader-kader parpol memosisikan diri dan membangun citra sebagai sample dengan masyarakat konstituen sebagai populasinya. Tetapi begitu terpilih melalui pemilu (bermafia?) ia berubah menjadi juga sample kekuasaan Negara, bahkan ia menjadi kekuasaan otonom (Gambar 1). Seusai “pemungutan suara (pemilu)” para pemilih benar-benar kehilangan suara, tidak berkekuatan dan tidak berkesempatan mengontrol pilihannya. Parpol pun sangat dominant (Kompas 171011, 1). Badan legislatif berposisi-ganda dan memainkan kedua posisinya itu sesuai kepentingannya 2. Rezim terpilih (legislatif dan eksekutif) berasumsi, keterpilihan itu merupakan legitimasi kekuasaannya, sehingga apapun yang dilakukan atau tidak dilakukannya selama lima tahun, adalah sah. Yang keberatan dianggap “lawan.” Penggugatan terhadap keabsahan itu (pertanyaan terhadap dan sepanjang penggunaan kekuasaan) dianggap sikap oposisional dan jika sikap yang dianggap oposisional itu berlanjut dalam bentuk gerakan, bisa dituduh separatisme, dan jika berbentuk tindakan, dinyatakan sebagai makar. Demi stabilitas politik, pertanyaan terhadap penggunaan kekuasaan Negara dilarang keras-keras, harus lemah-lembut dan sopan 3. Hubungan yang terbentuk antar sesama warga Trias Politika, tidak berbentuk hubungan check and balance tetapi hubungan salesmanship, benar-benar “mewirausahakan (= memperdagangkan)” ruang publik. Kalaupun ada balance, bukan komitmen tetapi produk tawar-menawar harga. Komitmen itu utuh “dua tangan,” dan mengikat (ada sanksinya) 4. Indonesia belum Negara Hukum, masih Negara Peraturan. Fakta hukum sebenderang apapun, tidak terurus manakala belum ada aturannya, walau . sepedih apapun rasa keadilan terluka. Para pengatur dan pengurus Negara yang cenderung melanggar hukum, mana mau mengaturnya? Negara hukum adalah Negara yang omnipresent bertanggungjawab (responsible), bukan hanya Negara accountable. Dalam Negara hukum, penyelenggara Negara bertanggungjawab atas pejabat yang senang “cuci tangan” dan gemar mencari “kambing hitam” itu tidak kelihatan. 5. Setiap orang menjerit dan berteriak, tetapi selalu terbungkam, tidak hanya oleh represi Negara dengan menggunakan segala kekuatan fisiknya, tetapi juga dengan mengerahkan tirani angka-angka persentase, trend dan

167

rerata kuantitatif-statistik dengan dalil “angka adalah fakta,” “hasil penelitian para ilmuwan,” yang ditayangkan dari angkasa makro ke dunia bawah yang tidak berdaya. 6. Sejarah yang mengajarkan jauh lebih mudah menumbangkan kekuasaan otoriter ketimbang menegakkan “pemerintahan pro rakyat” melalui kekuatan fisik, membangkitkan asa untuk mengubah keadaan melalui gerakan ilmiah (scientific movement) yang di bidang pemerintahan telah dimulai sejak awal tahun 80-an. Berbagai seminar dan temu ilmiah yang diselenggarakan selama 20 tahun 1980-2000) baru sebatas wacana informal, belum berhasil dijadikan masukan ke dalam proses kebijakan publik, walaupun peserta seminar dan temu ilmiah terdiri dari pejabat yang berkompeten di bidangnya, 7. Lalu sejak tahun-tahun yang disebut Era Reformasi, mulai dari presiden, menteri, sampai lurah dan ketua erte, masing-masing asyik berbicara tentang reformasi birokrasi (RB) menurut seleranya sendiri-sendiri, tahun demi tahun disusun program dan projek RB, dengan anggaran triliunan rupiah, dengan menggunakan pakaian kebesaran bernama Grand Design (GD) Reformasi Birokrasi (RB) lengkap dengan Roadmap (RM)-nya 2010-2025. Hanya sampai di situ. ----------------------------------------------------------------------------------------- PENGETAHUAN (dari Gambar 12) MODEL ----------------------------------------------------------------------------------------- 10 Dalam masyarakat melembaga kebutuhan asasi akan keadilan (8e), dan serentak dengan itu tumbuh sub- kultur lain yaitu subkultur kepelangganan atau subkultur sosial (value needer, SKS) SKE--------->SKS 11 SKK meredistribusi nilai kepada SKS SKK----redistribusi nilai--->SKS | 12 Penyerahan Urusan RTD (Otonomi Daerah) oleh SKK | sebagai alat dan cara redistribusi nilai OTONOMI DAERAH 13 Otonomi itu ibarat modal (input) untuk diolah OTONOMI DAERAH---->DAERAH OTONOM dan dikelola oleh daerah (masyarakat) 14 Berdasarkan 13, otonomi bukan dilaksanakan tetapi diolah dan dikelola 15 a Inti SKK adalah power, dan power tends to -->SKK----redistribusi--->SKS-- corrupt | | | | b Redistribusi nilai oleh SKK kepada SKS selaku | | pertanggungjawaban | | terjanji di tengah harus terkontrol (dimonev) | --hasil monev kpd SKS- | c Monev tsb dilakukan oleh terjanji (penagih) | | d Dituntut pertanggungjawaban SKK di hilir kepada | | masyarakat (SKS) selaku pelanggan -----monev thp kinerja SKK<---- kontrol ---di hulu<-- | | | |

168

16 Pertanggungjawaban SKK di hilir menentukan sikap SKK SKS SKS selaku konstituen dalam mengontrol SKK di | hulu melalui proses politik, misalnya pemilu | pertang- --gungja- <---SKK waban ----------------------------------------------------------------------------------------

Gambar 13 Subkultur Kekuasaan (SKK) dengan Subkultur Sosial (SKS)

Lihat Gambar 4

8. Maka politik, bisnis, dan birokrasi berpola perilaku mafioso dan korupsi terdapat di mana-mana di seluruh pelosok ranah pemerintahan. Ironinya, pola perilaku itu mewabah sejak pemerintahan berada dalam era demokratisasi, reformasi, dan otonomi daerah, namun baru diakui secara jelas dan terbuka oleh penyelenggara pemerintahan beberapa hari yang silam (Kompas 201011 dan 211011, 1). Tapi baru sampai di situ Oleh sebab itu, SKK harus dikontrol. Di hulu SKK dikontrol agar ada tekanan pemaksa penepatan janji dan kebijakan dikontrol agar tetap memihak rakyat, ditengah SKK dikawal dan dijaga agar perilakunya tidak berperilaku KKN, liar dan kanibal, dan di hilir SKK dimonev agar ia tidak hanya akuntabel tetapi lebih daripada itu, ia bertanggungjawab menurut rumus TJT (pelanggan bertanya, Negara (dalam hal ini pemerintah) menjawab, jika jawaban tidak dipercaya oleh pelanggan, pemerintah men(t)anggung segala akibat dan konsekuensinya (lihat pertanggungjawaban etik dalam Bab I Kybernologi 2015, 2011). Sejauh ini, kerangka pemikiran tentang hubungan antara SKK dengan SKS seperti Gambar 13.

Menghadapi perilaku kekuasaan, apa yang perlu kita lakukan? Jadilah pemilih cerdas, terlebih menghadapi incumbent!

3 APAKAH MEMILIH ITU?

169

Berpolitik artinya memilih dan bersepakat. Kita memilih jika ada pilihan. Memilih berarti mengenal, membanding, menetapkan pilihan, dan bertanggungjawab. Tidak dipaksa, terpaksa, atau ikut-ikutan. Memilih secara cerdas adalah memilih dengan sadar, sadar akan sebab dan akibat pemilihan, dalam bingkai yang lebih luas, dan siap bertanggungjawab memikul segala konsekuensinya. Sadar bahwa memilih bukan hanya hak selaku konstituen, tetapi juga proses pembentukan sebuah rezim kekuasaan siklus lima tahunan, melalui pemungutan suara (pemilu), dan bahwa pemungutan suara itu bisa berarti, konstituen kehilangan suara untuk mengontrol kekuasaan yang dibentuknya sendiri. Konstituen adalah risk-taker (pemikul risiko, dan pada tingkat tertentu menjadi korban dan mangsa). Sejarah dunia menunjukkan bahwa setiap rezim kekuasaan bisa demikian kanibal sehingga memangsa induknya, anaknya, bahkan tubuhnya sendiri. Marilah kita lihat makna pemilu dan pemilukada itu dalam proses pemerintahan. Penggerak utama masyarakat adalah naluri untuk hidup. Hal itu dikemukakan oleh Walter Lippmann dalam The Public Philosophy (1956, 84): “ius naturale, . . . . . the human needs and instincts.” Ilmu Ekonomi berangkat dari titik ini. Tatkala “human needs and instincts” itu diakui dan dinyatakan sebagai sisi lain hak asasi manusia (HAM), maka Ilmu-Ilmu Sosial dan Humaniora berangkat pada titik yang sama. Seperti diketahui, alat untuk memenuhi kebutuhan itu, alat pendukung kehidupan, adalah nilai. Nilai diperoleh melalui kerja, yaitu pengolahan, pembentukan, dan penggunaan sumber-sumber. Peran penggalian, pengolahan, dan pembentukan nilai ini disebut subkultur ekonomi (SKE). Subkultur ini sehari-hari menunjukkan tiga perilaku: membeli semurah mungkin, menjual seuntung mungkin, dan membikin (membuat) sehemat (semudah) mungkin. Dari sini muncul budaya seleksi alam, perjuangan untuk hidup, dan yang kuat makan yang lemah. Keduanya (Ilmu Ekonomi dan Ilmu-Ilmu Sosial Humaniora) berpisah manakala ternyata, saat ekonomi berjalan sendiri, akibatnya adalah ketidakadilan, karena barangsiapa memiliki sumberdaya besar beroleh nilai banyak, dan sebaliknya yang terjadi pada barangsiapa yang hanya memiliki sumberdaya sedikit, konon pula jika hanya memiliki sumberbencana, akan semakin nirdaya. Maka akalbudi manusia bekerja membangun upaya penyelamatan. Nilai-nilai yang dapat diperoleh melalui private choice, melalui many choices, melalui pasar, tetap diperani oleh SKE, tetapi nilai-nilai yang tinggi serta luhur sifatnya, yang perolehannya no choice, conflicting choice, atau hard choice, dikelompokkan menjadi public choice, diupayakan melalui subkultur lain. Maka masyarakatpun membutuhkan dan membentuk subkultur lain yaitu subkultur kekuasaan (SKK). Nilai-nilai yang perolehannya no choice conflicting choice, dan hard choice, diletakkan di bawah dan diperani oleh SKK. Mengapa SKK menjadi pilihan? SKK menjadi pilihan karena SKK mengandung nilai-nilai order, authority,

170

force, coercion, violence, dan death sentence, yang mengandung kekuatan yang bisa memaksa, jika perlu dengan kekerasan, yang sangat mudjarab dan diperlukan buat membangun kebijakan, implementasi kebijakan. menegakkan peraturan dalam mengontrol sumber-sumber di hulu, dan dalam redistribusi nilai-nilai kepada pelanggan di tengah. Tetapi sayang, nilai-nilai kekuasaan itu juga teramat ampuh bagi pemangku dan pelakunya untuk digunakan sebagai alat mempertahankan dan menyalahgunakan kekuasaannya! Perilaku kekuasaan itu ialah berkuasa semudah mungkin, menggunakan kekuasaan seefektif mungkin, dan mempertanggnggungjawabkan penggunaan kekuasaan itu seformal mungkin. Maka budaya onrechtsmatige overheidsdaad, misbruik van recht, detournement de pouvoir, abus de droit, KKN, pembohongan publik, mafia di segala bidang dan korupsi di setiap jabatan, penindasan, pembiaran, cucitangan, kambing hitam, pemborosan, kepongahan, pencemaran kode etik perofesional, manipulasi ilmupengetahuan, kebodohan, dan sebangsanya, merajalela di ruang SKK. Lord Acton menyimpulkannya: “Power tends to corrupt, absolute power corrupts absolutely.” Untuk mencegah budaya kekuasaan yang bersifat negatif itu, kekuasaan harus dikontrol, di hulu, di tengah, dan di hilir. Yang menjadi pertanyaan, siapa yang mengontrol SKK? Entah ilmu mana yang mengajarkan bahwa badan legislatif berfungsi mengontrol badan eksekutif, sesama trias politika. Tetapi penyanyi cilik (di masanya) bernama Yoshua dengan jenaka menyanyi: “Masa jeruk makan jeruk?” Pemangku kekuasaan yang satu mengontrol pemangku kekuasaan yang lain? Di ruang bisnis, dahulu penjual (budaya caveat emptor), tetapi sekarang pembelilah yang mengontrol pasar (caveat venditor). Ingat oleh keluhan pembeli, jutaan mobil Honda dan Toyota ditarik dari pasar. Salah satu konsep dasar Kybernologi adalah konsep pelanggan. Ketika konsep rakyat (people) direinvent pada akhir dekade 90-an (Bab 3 Kybernologi, 2003), kepelangganan rakyat dikaitkan dengan politik standardisasi pelayanan kepada rakyat. Dalam laporan berjudul “Putting Customer First,” Wapres Amerika Al Gore meletakkan kepelangganan dalam hubungannya dengan “Standard for Serving The American People,” (7 September 1993). Di sana dijelaskan, bahwa warga masyarakat disebut pelanggan negara karena warga telah membayar janji-janji yang ditawarkan kepadanya pada saat pemilu atau pemilukada, melalui berbagai cara dan alat, kepada calon pemangku kekuasaan yang dipilihnya, dengan harga yang sangat tinggi, yaitu pemberian suara (Vox Populi, vote) untuk memilih, suara yang nilainya dianggap setara dengan Vox Dei. Yang dibeli (dibayar) oleh konstituen adalah janji, ibarat membeli kucing di dalam karung, membayar barang yang belum diterimanya. Pada saat pemilu itulah terbentuk dua fihak, yaitu penjanji dan terjanji. Fihak penjanji (yang terpilih) dengan fihak terjanji (pemilih) terikat perjanjian secara sah. Sesuai dengan hukum perjanjian, terjanji berhak menagih janji, dan janji harus

171

ditepati. Jika tidak, penjanji dianggap wanprestatie, dia menghadapi mosi tidak percaya, dan menanggung segala konsekuensi. Belajar dari ruang bisnis dan reinventing people tersebut pelanggan negaralah yang berfungsi mengontrol negara, yaitu seluruh warga masyarakat. Pelanggan pemerintahanlah yang berfungsi mengontrol kekuasaan. Peran ini disebut subkultur kepelangganan atau subkultur sosial (SKS). SKS mengontrol kekuasaan di hulu (pembuatan kebijakan dan peraturan) melalui kualitasnya sebagai konstituent, mengontrol kekuasaan di tengah (redistribusi nilai) dalam kualitasnya sebagai terjanji, yang berfungsi menagih janji (penagih), dan mengontrol kekuasaan di hilir melalui kualitasnya sebagai pelanggan, menuntut pertanggungjawaban provider pelayanan (redistributor nilai) melalui kualitasnya sebagai korban dan mangsa -------------------------------------------------------------------------------- | | | kebijakan,janji vote,trust,hope monev kinerja rute D | | ---MENGONTROL--- ----MEMBENTUK--- ---MENGONTROL--- | | | penepatan | | mandat,ke- | | SKK | | | | B | | hormatan | | E | | | SUMBER- | | A G DPD | | | SUMBER | | DPR MEWAKILI | | | | | | MEWAKILI FIHAK TERJANJI | | | | | | KONSTITUEN DAN PELANGGAN | | | berva- | | | | | | | riasi | | PEMILU | | | | | | | | | | | | | SUBKULTUR SUBKULTUR SUBKULTUR SUBKULTUR | | EKONOMI-------- KEKUASAAN-------- SOSIAL-------- KEKUASAAN------| | (SKE), PEMAIN (SKK), WASIT (SKS), PENONTON (SKK) | | | | | | | | | | | | pemba- | | | | | | | ngunan | | | | | | | | | | | | | | | | nilai | | redistribusi | | pertanggung- | | | ---------------- ---------------- ---------------- | | C nilai jawaban | | D F | | | -----------------------------------MASYARAKAT-----------------------------------

Gambar 1 Teori Pemerintahan (Governance Theory) Huruf A sd G Menunjukkan Rute Pemerintahan

(homo homini lupus). Perilaku pelanggan itu memang “cerewet,” suka “nawar,” protes. Berhadapan dengan pertanggungjawaban yang sulit dipercaya, atau dia merasa dilecehkan, bangkitlah amarahnya dan ia membabibuta. Untuk mencegah terbentuknya budaya negatif fihak pelanggan tersebut, satu-satunya cara ialah memberdayakan pelanggan (enabling and empowering), memberinya jawaban yang

172

benar dan jujur atas segala pertanyaan dan keluhan, kekecewaan dan penindasan yang dialaminya. Tiga subkultur tersebut disebut terminal, dan hubungan satu terminal ke terminal lain berbentuk rute, dikonstruksi seperti Gambar 1. Pemerintahan (governance) didefinisikan sebagai proses interaksi antar tiga subkultur masyarakat untuk mencapai kemajuan hidup berkelanjutan. Proses interaksi itu terdiri dari tujuh rute yang bergerak terus-menerus. Tanpa salah satu rute itu, pemerintahan tidak terjadi. Jika diawali dengan pemilu/pemilukada, urutan bidang-bidang (rute-rute) pemerintahan adalah: A. Pembentukan SKK oleh SKS dengan cara tertentu (rute A), mis. pemilu/pemilukada (kontrol SKS terhadap SKK di hulu, pada umumnya sesuai siklus kekuasaan, lima tahunan). Sikap SKS di sini tentu saja mempengaruhi rute B dan dipengaruhi rute F. B. Penjanjian (kesepakatan) antara SKK dengan SKS dalam bentuk kebijakan pengendalian sumberdaya dengan seadil-adilnya dan pengendalian sumberbencana dengan sesungguh-sungguhnya (rute B). Perjanjian itu harus “total quality,” serba antisipatif, jangan hanya “bagi kuenya,” tetapi juga “bagi biayanya.” Di sini SKK tidak memosisikan diri sebagai fihak pemenang, melainkan sebagai fihak terpilih. SKK tidak berhak “winner takes all,” tetapi membuktikan keterpilihannya. Kendatipun SKK maju sebagai kandidat dengan mengendarai parpol, begitu terpilih menjadi pemangku kekuasaan, ia keluar dari kendaraan yang bersangkutan, karena setelah menjadi pejabat publik ia dibayar oleh Negara, oleh seluruh masyarakat, bukan oleh parpol yang mencalonkannya. Sudah barang tentu, rute B ini mempengaruhi rute C dan dipengaruhi oleh rute A. Bidang-bidang kesepakatan di sini meliputi seluruh Pembukaan dan Batang Tubuh UUD 1945. Rute B ini merupakan garisdepan politik tapi garisbelakang pemerintahan C. Pembentukan nilai oleh SKE, termasuk pembangunan, dengan peran SKK di dalamnya (implementasi pasal 33 UUD). Rute C ini mutlak bergantung pada rute B, dan pada gilirannya mempengaruhi rute D. Dalam rute ini, “pemain” adalah SKE, sementara SKK adalah “wasit.” Jika wasit juga bermain, rute ini rusak. Itulah sebabnya pembangunan seharusnya diletakkan bukan dalam ruang SKK tetapi dalam ruang SKE. SKK berperan mengontrol SKE pada (dari) rute B. Rute ini adalah sumber dan sarang korupsi dan mafia. D. Redistribusi nilai oleh SKK kepada SKS (kontrol SKS terhadap SKK di tengah, penepatan janji, jika tidak menepati janji, SKK dinilai wanprestatie, ini ruang transaksi, ruang penagihan janji). Redistribusi nilai melalui rute D

173

berlangsung dalam bentuk APBN/APBD, pelayanan dan pemberdayaan masyarakat. Kontrol di tengah, penepatan janji, dan penagihan janji, berlangsung di garisdepan pemerintahan, yaitu UPT, Kecamatan, Kelurahan dan Desa. Adil, tepat waktu dan tepat sasaran adalah standar utama rute ini. Struktur anggaran harus memihak pelanggan, dan garisdepan pemerintahan harus diberdayakan. Rute D bergantung pada rute C dan mempengaruhi rute E E. Monev kinerja SKK oleh SKS (kontrol terhadap redistribusi nilai di tengah). SKS melakukan monev terhadap rute D dalam kapasitasnya sebagai pelanggan dan terjanji. Berdasarkan sistem politik yang sedang berjalan, check and balance antara SKK (eksekutif) dengan SKS dalam kapasitasnya sebagai konstituen (legislatif), sulit diwujudkan, sebab, bagaimana parpol DPR mengontrol kadernya yang terpilih jadi SKK jika kader itu masih tetap berada dalam kendaraan parpol yang bersangkutan? Sebaliknya, bagaimana kader yang terpilih menjadi pejabat publik itu menepati janjinya kepada SKS, jika ia tersandera kepentingan parpolnya? Itulah sebabnya dipandang tepat manakala Dewan Perwakilan Daerah (DPD) mewakili SKS selaku pelanggan dan terjanji, sesuai dengan namanya: “yang mewakili daerah” (daerah = masyarakat hukum). Untuk itu, basis keanggotaan DPD diubah, bukan provinsi tetapi kabupaten/kota. Rute E ini bergantung pada rute D dan mempengaruhi rute F F. Pertanggungjawaban SKK kepada SKS (kontrol SKS terhadap SKK di hilir), dari sini hasilnya kembali ke rute 1, pembentukan SKK oleh SKS, Kontrol di hilir sangat penting sebagai kawalan sehari-hari terhadap SKK karena penyimpangan yang terlihat sedikit pada awal menimbulkan penyimpangan yang besar pada akhir masajabatan, dan oleh sebab itu membawa korban banyak. Kawalan (referensi) itu, yang sering disebut oposisi, sesungguhnya tidak, samasekali tidak menimbulkan labilitas politik, manakala fihak-fihak terkait memegang teguh komitmen, menjunjung tinggi kejujuran dan keterbukaan. Tujuan kontrol di tengah dan hilir bukan untuk menjatuhkan rezim kekuasaan tetapi untuk menjaganya, agar tidak tergelincir. Yang dimaksud dengan pertanggungjawaban di sini adalah responsibility, bukan sekedar akuntabilitas. SKK yang mengukur dan mengevaluasi kinerjanya sendiri berdasarkan asas akuntabilitas adalah Negara- peraturan, bukan Negara-hukum. Negara hukum adalah Negara yang kinerjanya dimonev berdasarkan asas pertanggungjawaban. Artinya tiada suatu perilaku SKK yang tidak ada penanggungjawabnya, atau dengan perkataan lain, apa saja yang dilakukan, dibiarkan atau dilalaikan oleh SKK, harus dipertanggungjawabkan olehnya kepada SKS

174

G. Pertanggungjawaban SKK di rute F ini mempengaruhi sikap SKS di rute G (feedback, feedforward), dan tentu saja bergantung pada rute E Analisis di atas menunjukkan betapa pentingnya pemilu/pemilukada sebagai satu di antara sekian matarantai penyelenggaraan Negara, bahwa setiap konstituen atau pemilih harus menyadari seluruh proses, terminal dan rute pemerintahan, tidak hanya sekedar melakukan artikulasi, agregasi dan komunikasi kepentingan politik tetapi lebih daripada itu, mengetahui dalam hal apa saja pemilih berkesempatan berpartisipasi politik pada terminal apa dan rute yang mana, mempelajari hubungan antar terminal dan rute, dan menempuh langkah-langkah antisipasinya sedini mungkin. Langkah antisipasi itulah yang terpenting. Yang diantisipasi adalah janji, jebakan, perangkap, dan dan tekanan dari fihak sana, dan menyadari kelemahan sendiri di fihak sini. Dalam hubungan itu, menjadi pemilih yang cerdas berarti berusaha mempengaruhi perilaku fihak yang diantisipasi (balon, kandidat), bahkan menguji kepatutan dan kelayakannya. Misalnya menghadapi janji-janji. 1. Pelajarilah rekaman jejak si calon pres/wapres, perwakilan, dan kada/wakada. Dari rekaman itu identifikasi kelemahan dan kekuatannya. Ingat pepatah “Tidak semua yang berkilau itu emas, tidak semua yang bercahaya itu bintang, selalu elok kabar daripada rupa, tong kosong itu nyaring bunyinya,” tetapi jangan pula sangka bahwa “air tenang itu tidak berbuaya!” 2. Jangan terbuai dan terlena mendengar janji-janji, ingat lagu “Tinggi gunung sribu janji, jangan percaya mulutnya (sembarang) lelaki, berani sumpah tapi takut mati” 3. Janji adalah kesepakatan bersama, “tiada tepuk sebelah tangan.” “Gayung bersambut, tanya berjawab.” “Mulutmu harimaumu,” “kuda terikat pada kekangnya, manusia terikat pada ucapannya.” Jangan janji sembarang janji, tiap janji ada sanksinya, sekali lancung keujian seumur orang tak percaya. Jangan disumpah tetapi bersumpah! Proses janji-menjanji di atas harus didiskusikan bersama secara terbuka, direkam, dan dijadikan alat control di kemudian hari, manakala si penjanji memungkiri janjinya. Untuk itu fihak pemilih perlu membentuk kelompok-kelompok studi informal dan terorganisasi dengan baik dalam jaringan komunikasi dan informasi antar warga masyarakat.

175

redistribusi MONEV masyarakat pembangunan thd kontrol sumber- -----KONTROL<----- ----sumber, kontrol---- | pelestarian | | kerja & redistribusi | | inovasi | | nilai yg dilakukan SKK | | | | | | | | | -->SUMBER | | | | | | | | | | | | | ------- | | | | | SKE SKK -->MASYARAKAT<-- SKK<-- | | | | | | | menggali | | | | | | mengolah | | | | | | mengelola--->KERJA | | | | | menggunakan | | | | | | mengambil | | | | | | | | | redis- | | pertanggung | -->NILAI-- --busi-- ------------- nilai jawaban

Bagaimana terbentuknya SKK? Pemilu

176

9

PEMERINTAHAN

Di atas telah dikemukakan bahwa setiap masyarakat adalah sebuah satuan kultur. Ia digerakkan oleh tiga subkultur, yaitu subkultur ekonomi (SKE), subkultur kekuasaan (SKK), dan subkultur sosial (SKS). SKS berkualitas tiga, konstituen, terjanji, dan pelanggan. Interaksi antar tiga subkultur itu disebut pemerintahan (governance, lihat Bab I Kybernologi Sebuah Titipan Sejarah (2010). Penggerak utama masyarakat adalah naluri untuk hidup. Hal itu dikemukakan oleh Walter Lippmann dalam The Public Philosophy (1956, 84): “ius naturale, . . . . . the human needs and instincts.” Ilmu Ekonomi berangkat dari titik ini. Tatkala “human needs and instincts” itu diakui dan dinyatakan sebagai sisi lain hak asasi manusia (HAM), maka Ilmu-Ilmu Sosial dan Humaniora berangkat pada titik yang sama. Seperti diketahui, alat untuk memenuhi kebutuhan itu, alat pendukung kehidupan, adalah nilai. Nilai diperoleh melalui kerja, yaitu pengolahan, pembentukan, dan penggunaan sumber-sumber. Peran penggalian, pengolahan, dan pembentukan nilai ini disebut subkultur ekonomi (SKE). Subkultur ini sehari-hari menunjukkan tiga perilaku: membeli semurah mungkin, menjual seuntung mungkin, dan membikin (membuat) sehemat (semudah) mungkin. Dari sini muncul budaya seleksi alam, perjuangan untuk hidup, dan yang kuat makan yang lemah. Keduanya (Ilmu Ekonomi dan Ilmu-Ilmu Sosial Humaniora) berpisah manakala ternyata, saat ekonomi berjalan sendiri, akibatnya adalah ketidakadilan, karena barangsiapa memiliki sumberdaya besar beroleh nilai banyak, dan sebaliknya yang terjadi pada barangsiapa yang hanya memiliki sumberdaya sedikit, konon pula jika hanya memiliki sumberbencana, akan semakin nirdaya. Maka akalbudi manusia bekerja membangun upaya penyelamatan. Nilai-nilai yang dapat diperoleh melalui private choice, melalui many choices, melalui pasar, tetap diperani oleh SKE, tetapi nilai-nilai yang tinggi serta luhur sifatnya, yang perolehannya no choice, conflicting choice, atau hard choice, dikelompokkan menjadi public choice, diupayakan melalui subkultur lain. Maka masyarakatpun membutuhkan dan membentuk subkultur lain yaitu subkultur kekuasaan. Nilai-nilai yang perolehannya no choice conflicting choice, dan hard choice, diletakkan di bawah dan diperani oleh subkultur kekuasaan (SKK). Mengapa SKK menjadi pilihan? Sebab peran SKK mengandung nilai-nilai order, authority, force, coercion, violence, dan death sentence, yang sangat mudjarab dan

177

diperlukan buat membangun kebijakan, implementasi kebijakan. menegakkan peraturan dalam mengontrol sumber-sumber di hulu, dan dalam redistribusi nilai-nilai kepada pelanggan di tengah. Tetapi juga nilai-nilai itu teramat ampuh bagi pemangku dan pelaku kekuasaan untuk digunakan sebagai alat untuk mempertahankan dan menyalahgunakan kekuasaannya! Perilaku kekuasaan itu ialah berkuasa semudah mungkin, menggunakan kekuasaan seefektif mungkin, dan mempertanggnggungjawabkan penggunaan kekuasaan itu seformal mungkin. Maka budaya onrechtsmatige overheidsdaad, misbruik van recht, detournement de pouvoir, abus de droit, KKN, pembohongan publik, penindasan, pembiaran, cucitangan, kambing hitam, pemborosan, kepongahan, pencemaran kode etik perofesional, manipulasi ilmupengetahuan, kebodohan, dan sebangsanya, merajalela di ruang SKK. Lord Acton menyimpulkannya: “Power tends to corrupt, absolute power corrupts absolutely.” Untuk mencegah budaya kekuasaan yang bersifat negatif itu, kekuasaan harus dikontrol, di hulu, di tengah, dan di hilir. Yang menjadi pertanyaan, siapa yang mengontrol SKK? Entah ilmu mana yang mengajarkan bahwa badan legislatif berfungsi mengontrol badan eksekutif, sesama trias politika. Tetapi penyanyi cilik (di masanya) bernama Yoshua dengan jenaka menyanyi: “Masa jeruk makan jeruk?” Pemangku kekuasaan yang satu mengontrol pemangku kekuasaan yang lain? Di ruang bisnis, dahulu penjual (budaya caveat emptor), tetapi sekarang pembelilah yang mengontrol pasar (caveat venditor). Salah satu konsep dasar Kybernologi adalah konsep pelanggan. Ketika konsep rakyat (people) direinvent pada akhir dekade 90-an (Bab 3 Kybernologi, 2003), kepelangganan rakyat dikaitkan dengan politik standardisasi pelayanan kepada rakyat. Dalam laporan berjudul “Putting Customer First,” Wapres Amerika Al Gore meletakkan kepelangganan dalam hubungannya dengan “Standard for Serving The American People,” (7 September 1993). Di sana dijelaskan, bahwa warga masyarakat disebut pelanggan negara karena warga telah membayar janji-janji yang ditawarkan kepadanya pada saat pemilu melalui berbagai cara dan alat, kepada calon pemangku kekuasaan yang dipilihnya, dengan harga yang sangat tinggi, yaitu pemberian suara (Vox Populi, vote) untuk memilih, suara yang nilainya dianggap setara dengan Vox Dei. Yang dibeli (dibayar) oleh konstituen adalah janji, ibarat membeli kucing di dalam karung. Pada saat pemilu itulah terbentuk dua fihak, yaitu penjanji dan terjanji. Fihak penjanji (yang terpilih) dengan fihak terjanji (pemilih) terikat perjanjian secara sah. Sesuai dengan hukum perjanjian, terjanji berhak menagih janji, dan janji harus ditepati. Jika tidak, penjanji dianggap wanprestatie, dia menghadapi mosi tidak percaya, menanggung segala konsekuensi. Belajar dari ruang bisnis dan reinventing people tersebut pelanggan negara-lah yang berfungsi mengontrol negara. Pelanggan pemerintahanlah yang berfungsi mengontrol

178

kekuasaan. Peran ini disebut subkultur kepelangganan atau subkultur sosial (SKS). SKS mengontrol kekuasaan di hulu (pembuatan kebijakan dan peraturan) melalui kualitasnya sebagai konstituent, mengontrol kekuasaan di tengah (redistribusi nilai) dalam kualitasnya sebagai terjanji, yang berfungsi menagih janji, dan mengontrol kekuasaan di hilir melalui kualitasnya sebagai pelanggan, menuntut pertanggungjawaban provider pelayanan (redistributor nilai). Perilaku pelanggan itu memang “cerewet,” suka “nawar,” protes. Berhadapan dengan pertanggungjawaban yang sulit dipercaya, atau dia merasa dilecehkan, bangkitlah amarahnya dan ia membabibuta. Untuk mencegah terbentuknya budaya negatif fihak pelanggan, satu-satunya cara ialah memberdayakannya (enabling and empowering). Analisis di atas sesuai dengan Leo Fonseka yang menyatakan bahwa, the State meletakkan dasar bagi Equity, Justice, dan Peace, creating a conducive political and legal environment for development, Civil Society meletakkan dasar bagi Liberty, Equality, Responsibility, and Self-expression, dan Private Sector meletakkan dasar bagi Economic Growth and Development. Tiga subkultur tersebut disebut terminal, dan hubungan satu terminal ke terminal lain berbentuk rute, dikonstruksi seperti Gambar 15. Gambar 1 adalah Gambar 15 setelah di“buka” dan dibentangkan Pemerintahan (governance) didefinisikan sebagai proses interaksi antar tiga subkultur masyarakat untuk mencapai kemajuan hidup berkelanjutan. Proses interaksi itu terdiri dari tujuh rute yang bergerak terus-menerus. Tanpa salah satu rute itu, pemerintahan tidak terjadi. Keseluruhan rute itu menunjukkan bidang-bidang pemerintahan yang merupakan sasaran pemikiran pemerintahan. Perlu dikemukakan -------------------------------------------------------------------------------- | | | kebijakan,janji vote,trust,hope monev kinerja rute D | | ---MENGONTROL--- ----MEMBENTUK--- ---MENGONTROL--- | | | penepatan | | mandat,ke- | | SKK | | | | B | | hormatan | | E | | | SUMBER- | | A G DPD | | | SUMBER | | DPR MEWAKILI | | | | | | MEWAKILI FIHAK TERJANJI | | | | | | KONSTITUEN DAN PELANGGAN | | | berva- | | | | | | | riasi | | PEMILU | | | | | | | | | | | | | SUBKULTUR SUBKULTUR SUBKULTUR SUBKULTUR | | EKONOMI-------- KEKUASAAN-------- SOSIAL-------- KEKUASAAN------| | (SKE), PEMAIN (SKK), WASIT (SKS), PENONTON (SKK) | | | | | | | | | | | | pemba- | | | | | | | ngunan | | | | | | | | | | | | | | | | nilai | | redistribusi | | pertanggung- | | | ---------------- ---------------- ---------------- | | C nilai jawaban | | D F |

179

| | -----------------------------------MASYARAKAT-----------------------------------

Gambar 15 Teori Pemerintahan (Governance Theory)

Huruf A sd G Menunjukkan Rute Pemerintahan

bahwa urut-urutan rute itu tergantung, bisa dimulai dari mana saja. Bisa dari pembentukan nilai oleh SKE, dan bisa juga dari pembentukan SKK oleh SKS. Jika dimulai dari pembentukan SKK oleh SKS (yaitu Negara yang baru merdeka atau masyarakat yang baru diserahi otonomi daerah. Urutan bidang-bidang (rute-rute) pemerintahan adalah: A. Pembentukan SKK oleh SKS dengan cara tertentu (rute A), mis. pemilu/pemilukada (kontrol SKS terhadap SKK di hulu, pada umumnya sesuai siklus kekuasaan, lima tahunan). Sikap SKS di sini tentu saja mempengaruhi rute B dan dipengaruhi rute F. SKS melakukan kontrol terhadap SKK di hulu berdasarkan kualitasnya sebagai konstituen, membayar janji dengan suara (vote) sehingga ia beroleh posisi sebagai pelanggan, dan karena ia membayar sesuatu yang masih dijanji, ia disebut terjanji, dan oleh sebab itu ia berhak menagih janji. Di sini SKS diwakili oleh DPR/DPRD B. Penjanjian (kesepakatan) antara SKK dengan SKS dalam bentuk kebijakan pengendalian sumberdaya dengan seadil-adilnya dan pengendalian sumberbencana dengan sesungguh-sungguhnya (rute B). Perjanjian itu harus “total quality,” serba antisipatif, jangan hanya “bagi kuenya,” tetapi juga “bagi biayanya.” Di sini SKK tidak memosisikan diri sebagai fihak pemenang, melainkan sebagai fihak terpilih. SKK tidak berhak “winner takes all,” tetapi membuktikan keterpilihannya. Kendatipun SKK maju sebagai kandidat dengan mengendarai parpol, begitu terpilih menjadi pemangku kekuasaan, ia keluar dari kendaraan yang bersangkutan, karena setelah menjadi pejabat publik ia dibayar oleh Negara, oleh seluruh masyarakat, bukan oleh parpol yang mencalonkannya. Sudah barang tentu, rute B ini mempengaruhi rute C dan dipengaruhi oleh rute A. Bidang-bidang kesepakatan di sini meliputi seluruh Pembukaan dan Batang Tubuh UUD 1945. Rute B ini merupakan garisdepan politik tapi garisbelakang pemerintahan C. Pembentukan nilai oleh SKE, termasuk pembangunan, dengan peran SKK di dalamnya (implementasi pasal 33 UUD). Rute C ini mutlak bergantung pada rute B, dan pada gilirannya mempengaruhi rute D. Dalam rute ini, “pemain” adalah SKE, sementara SKK adalah “wasit.” Jika wasit juga bermain, rute ini rusak. Itulah sebabnya pembangunan seharusnya diletakkan bukan dalam ruang SKK tetapi dalam ruang SKE. SKK berperan mengontrol

180

SKE pada (dari) rute B. Rute ini adalah sumber dan sarang korupsi. D. Redistribusi nilai oleh SKK kepada SKS (kontrol SKS terhadap SKK di tengah, penepatan janji, jika tidak menepati janji, SKK dinilai wanprestatie, ini ruang transaksi, ruang penagihan janji). Redistribusi nilai melalui rute D berlangsung dalam bentuk APBN/APBD, pelayanan dan pemberdayaan masyarakat. Kontrol di tengah, penepatan janji, dan penagihan janji, berlangsung di garisdepan pemerintahan, yaitu UPT, Kecamatan, Kelurahan dan Desa. Adil, tepat waktu dan tepat sasaran adalah standar utama rute ini. Struktur anggaran harus memihak pelanggan, dan garisdepan pemerintahan harus diberdayakan. Rute D bergantung pada rute C dan mempengaruhi rute E E. Monev kinerja SKK oleh SKS (kontrol terhadap redistribusi nilai di tengah). SKS melakukan monev terhadap rute D dalam kapasitasnya sebagai pelanggan dan terjanji. Berdasarkan sistem politik yang sedang berjalan, check and balance antara SKK (eksekutif) dengan SKS dalam kapasitasnya sebagai konstituen (legislative), sulit diwujudkan, sebab, bagaimana parpol DPR mengontrol kadernya yang terpilih jadi SKK jika kader itu masih tetap berada dalam kendaraan parpol yang bersangkutan? Sebaliknya, bagaimana kader yang terpilih menjadi pejabat publik itu menepati janjinya kepada SKS, jika ia tersandera kepentingan parpolnya? Itulah sebabnya dipandang tepat manakala Dewan Perwakilan Daerah (DPD) mewakili SKS selaku pelanggan, terjanji, dan penagih, sesuai dengan namanya: “yang mewakili daerah” (daerah = masyarakat hukum). Untuk itu, basis keanggotaan DPD diubah, bukan provinsi tetapi kabupaten/kota. Rute E ini bergantung pada rute D dan mempengaruhi rute F F. Pertanggungjawaban SKK kepada SKS (kontrol SKS terhadap SKK di Hilir), dari sini hasilnya kembali ke rute 1, pembentukan SKK oleh SKS, Kontrol di hilir sangat penting sebagai kawalan sehari-hari terhadap SKK karena penyimpangan yang terlihat sedikit pada awal menimbulkan penyimpangan yang besar pada akhir masajabatan, dan oleh sebab itu membawa korban banyak. Kawalan (referensi) itu, yang sering disebut oposisi, sesungguhnya tidak, samasekali tidak menimbulkan labilitas politik, manakala fihak-fihak terkait memegang teguh komitmen, menjunjung tinggi kejujuran dan keterbukaan. Tujuan kontrol di tengah dan hilir bukan untuk menjatuhkan rezim kekuasaan tetapi untuk menjaganya, agar tidak tergelincir. Yang dimaksud dengan pertanggungjawaban di sini adalah responsibility, bukan sekedar akuntabilitas. SKK yang mengukur dan mengevaluasi kinerjanya berdasarkan asas akuntabilitas adalah Negara-peraturan, bukan Negara-hukum. Negara hukum adalah Negara yang kinerjanya

181

dimonev berdasarkan asas pertanggungjawaban. Artinya tiada suatu perilaku SKK yang tidak ada penanggungjawabnya, atau dengan perkataan lain, apa saja yang dilakukan, dibiarkan atau dilalaikan oleh SKK, harus dipertanggungjawabkan olehnya kepada SKS G. Pertanggungjawaban SKK di rute F ini mempengaruhi sikap SKS di rute G (feedback, feedforward), dan tentu saja bergantung pada rute E. Pertanggungjawaban itu dilakukan menurut formula TJT yang telah dikemukakan di atas. Lihat Bab I Kybernologi 2015 (2011)

Sistem pemerintahan meliputi enam komponen tersebut, satu dengan yang lain berinteraksi terus-menerus. Interaksi antar tiga subkultur itu (governance) menghasilkan kinerja. Jika kinerja interaksi itu oleh pelanggan dinilai good, maka governance disebut good governance. Apa yang dimaksud dengan good governance, bagaimana supaya kinerja governance itu good, timbangan apa yang digunakan untuk menilai kinerja bad atau good, diterangkan melalui Teori Governance. Pelayanan Pemerintahan berjalan melalui terminal dan rute-rute pemerintahan di atas. Dalam hubungan itu, pemerintah adalah salah satu lembaga pelaku pemerintahan, yang oleh masyarakat dicharge dengan kekuasaan (political power) dengan system nilainya: authority, force, coercion, violence, dan death sentence. Mengingat Negara adalah sistem kekuasaan politik, maka dengan sendirinya Negara --- apakah sebagai idea, sebagai concept, atau seperti panas yang terasa tapi apinya entah mana --- berinterface dengan masyarakat yang sifatnya nyata. Interfacing itu terlihat pada Gambar 16. Dahulu, Negara didefinisikan meliputi tiga unsur, wilayah, penduduk, dan pemerintah. Definisi ini memberi kesan, manusia berada dalam Negara, dan pada gilirannya masyarakat dianggap bawahan pemerintah. Dengan lahirnya ajaran demokrasi, paradigma ini berubah. Gambar 16 menunjukkan hubungan antara Negara dengan masyarakat Manusia. Dalam hubungan itu terlihat dua macam pelayanan, pelayanan civil yang sifatnya kewajiban Negara, dan pelayanan yang sifatnya kewenangan pemerintah yang lazim disebut pelayanan publik (public service). Pelayanan civil adalah pelayanan yang oleh UUD diposisikan sebagai kewajiban Negara. Dalam literatur Barat, tidak ada istilah yang isinya seperti itu. Istilah civil service dalam Administrasi Publik berarti PNS. Berbekal tradisi lingua franca, dan kenyataan bahwa pelaku pelayanan yang merupakan kewajiban Negara adalah PNS, pelayanan civil seperti itu disalin menjadi civil service. Perbedaan antara kedua macam pelayanan itu terdapat dalam Bab I Sesi Lima GBPP Kybernologi dan Kepamongprajaan (2010).

182

NEGARA government 1 ruang kekuasaan kewenangan negara 1------------------->2 PUBLIK pelayanan publik ruang publik 2 KEBIJAKAN PUBLIK governance kewajiban negara 1------------------>3 pelayanan civil ruang civil 3 MANUSIA HAM

Gambar 16 Asumsi Hubungan Interfacial Antara Negara Dengan Masyarakat Manusia

Pelayanan dan layanan civil semakin jauh dari masyarakat dan kalaupun ada, semakin sukar memperolehnya. Misalnya keadilan, keamanan, kemerdekaan, dan kepastian hukum. Pelayanan civil tidak terdapat dalam UU 25/09 tentang Pelayanan Publik. Salah satu pelayanan civil yang sangat penting namun di Indonesia sangat lemah adalah Pelayanan (Administrasi) Kependudukan yang langsung berkaitan dengan HAM dan membawa dampak langsung bagi proses politik. Sementara itu pelayanan publik semakin mahal, karena SKK leluasa untuk merekayasa anggaran dan menaikkan tarifnya sewaktu-waktu. Dalam kondisi masyarakat pelanggan (SKS) yang amat lemah dan nirdaya, pelayanan publik memberi tekanan berat dalam kehidupam masyarakat bawah. Tentang Administrasi Kependudukan, lihat Bab VI Kybernologi dan Metodologi: Metodologi Ilmu Pemerintahan (2010) Ajaran Demokrasi yang difahami dengan benar dan diimplementasi dengan sehat, merupakan solusi yang diharapkan mujarab bagi masa depan Pelayanan Pemerintahan. Terutama buat mencegah sakralisasi norma-norma sosial oleh sementara kalangan (Gambar 8). Demokrasi terletak di ruang Ilmu Politik, dan uraian tentang hal itu sudah sangat banyak. Dalam hubungan itu Kybernologi mempelajari

183

nuku kecil T. V. Smith dan Eduard C. Lindeman, The Democratic Way of Life (1951, 1953, 1955). Buku yang bernada filosofik itu dipilih karena rohnya seirama dengan Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika (BTI). Coba saja Proposisi Satu yang ditulis Lindeman. Bunyinya “Through Diversity Toward Unity.” Bukankah itu setara dengan BTI? Proposisi itulah yang saya gunakan dalam mengonstruksi satu di antara 5 Grand Design Pemerintahan Daerah sebagai berikut. Di zaman raja Asoka (ca 269-232) terdapat dua agama besar di Asia, yaitu Hindu dan Buddha. Untuk memperkokoh kekuasaannya, ia menganjurkan perdamaian di mana-mana. Pada suatu tiang batu peninggalannya tercantum sebuah pernyataan yang dapat disebut Doktrin Asoka, berbunyi: “Barangsiapa merendahkan agama lain dan memuji agamanya sendiri, (berarti) merendahkan agamanya sendiri.” Dalam kitab Sutasoma, Empu Tantular mengemas ajaran itu dalam seloka yang sebagian berbunyi “bhinneka tunggal ika,” lengkapnya “Bhinneka Tunggal Ika, Tanhana Dharmma Mangrva,” artinya berbeda-beda tetapi satu jua, tahan karena benar serta satunya cipta, rasa, karsa, kata dan karya berdasarkan kebenaran yang tunggal. Dalam kerajaan Majapahit (1292-1525) nilai ideal “berbeda (beragam) tetapi (ber)satu” itu menjadi kenyataan: raja Hayam Wuruk (memerintah 1350-1389) beragama Hindu, sedangkan perdana menterinya Gadjah Mada (menjabat 1331-1364) beragama Buddha. Apakah melalui perbedaan orang bisa tiba pada kebersamaan? Bisa, “through diversity toward unity,” atau E Pluribus Unum, demikian proposisi satu Eduard C. Lindeman dalam T. V. Smith dan Eduard C. Lindeman, The Democratic Way of Life (1955, 112), dan VISI (PENGLIHATAN BATIN) MISI TUJUAN (KESEPAKATAN) Di- Lahir Dari Kesadaran Usaha Mencapai Tujuan tetapkan Berdasarkan Visi (alinea 1 & 2) (alinea 2 & 3) dan Naluri (alinea 1 & 4) BHINNEKA---------------------NATION BUILDING--------->TUNGGAL IKA tiap masyarakat unik pengelolaan sumberdaya sehingga semua masy. yg sumberdaya & sumber & sumberbencana melalui yg berbe-beda sadar se- bencana bervariasi perencanaan jangka bangsa dan bersama-sama kesenjangan antar daerah panjang (UU 25/04 SPPN membangun masadepan yg & antar kelompok masy. dan UU 17/07 RPJP lebih baik | | | | | | ---------------------- P R O S E S ------------------- | | T A H A P | ----------------------------|------------------------- | | | DIVERGENT KRITIKAL TAHAP CONVERGENT

Gambar 17 Kerangka Grand Design

Model Bhinneka Tunggal Ika

184

demikian juga makna Bhinneka Tunggal Ika. Bisa, jika sikap terhadap perbedaan, keberagaman, bahkan heterogenitas, bertolak dari serenity: “Menerima secara sadar dan ikhlas apa adanya.” Masalahnya ialah, kendatipun makna Bhinneka Tunggal Ika mirip dengan E Pluribus Unum, penerapannya di Indonesia berbeda dengan Amerika. Amerika menafsirkan dan mendudukkan “unum” itu sebagai “kesebangsaan,” jadi lebih manusiawi (bentuk Negara Amerika federal), ketimbang Indonesia yang mendudukkan “tunggal ika” sebagai bentuk Negara, yaitu “Negara kesatuan.” Negara adalah system kekuasaan. Unitarisme bentuk Negara jauh lebih memihak rezim yang berkuasa ketimbang rakyat, apalagi masyarakat terjanji, pelanggan, penagih janji, dan sampah. Hasilnya ialah, melalui pasang-surut proses sosial, heterogenitas yang berabad-abad tercurah di “cawan” Amerika “melting” menjadi Amerika, sementara di Indonesia pembangunan kekuasaan lebih diutamakan ketimbang pembangunan manusia sehingga masyarakatnya terpecah menjadi lima bangsa (Gambar 9).

Bertolak dari sejarah yang menunjukkan bahwa Bhinneka Tunggal Ika sebagai sistem nilai ideal di zaman dahulu di Indonesia bisa menjadi kenyataan, sebagaimana diyakini oleh generasi muda Indonesia melalui Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928, maka adalah tepat tatkala Presiden Soekarno dalam pidato HUT Proklamasi Kemerdekaan RI tgl 17 Agustus 1950 menyatakan bahwa Bhinneka Tunggal Ika adalah sesanti (credo) bangsa Indonesia, bahkan dapat disebut visi (walaupun Presiden Soekarno tidak secara eksplisit menyatakan demikian) bangsa Indonesia dalam membangun bangsa (Nation Building), kesebangsaan, dan membentuk watak (Character Building) bangsa. Bhinneka Tunggal Ika itu merupakan sebuah sistem nilai yang terdiri dari dua komponen besar yaitu “bhinneka” (fakta, das Sein) dan “tunggal ika” (ide, das Sollen). Antara dua komponen itu terjadi hubungan timbal-balik (interaksi) bahkan hubungan dialektik terus-menerus. Bhinneka Tunggal Ika itu kemudian dijadikan hukum positif dalam bentuk PP 66/1951. Tatkala Bangsa Indonesia masih berada di seberang jembatan yang bernama KEMERDEKAAN, visinya adalah seperti yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945, khususnya alinea pertama dan kedua. Visi tersebut semakin jelas lima tahun kemudian setelah menyeberangi jembatan, diperkaya dengan Bhinneka Tunggal Ika. Gambar 17 menunjukkan misi Pemerintah Indonesia yaitu memproses pengelolaan keunikan tiap masyarakat menjadi kekuatan matarantai nusantara, pengurangan (alleviating) kesenjangan vertikal dan horizontal antar masyarakat secepatnya, dan menggerakkan kemajuan bangsa, sehingga “the people who get pains are the people who share gains.” Bangsa Indonesia telah

185

memilih sistem penyelenggaraan tiga misi utama tersebut, yaitu sistem desentralisasi pemerintahan. Berdasarkan sistem itu, setiap masyarakat memiliki otonomi. Seperti terlihat pada Gambar 17, proses Bhinneka Tunggal Ika itu terdiri dari tiga tahap, tahap pertama divergent, tahap ketiga convergent, dan tahap kedua peralihan antara keduanya, yang disebut tahap kritikal. Disebut demikian karena tahap ini sangat menentukan dan memerlukan kepemimpinan yang bersih tetapi kuat (resilient). Pada tahap pertama, perhatian diletakkan pada otonomi daerah, terutama sejak tahun 2000. Kebhinnekaan diaktualisasikan, masyarakat di-“mekar”-kan, dan konsep desentralisasi (otonomi) asimetrik (khusus) diterapkan. Tahap kedua pelayanan memenuhi ---> NEGARA -------------> LAYANAN ------------> PELANGGAN ------- | | civil, publik kebutuhan? | | | | | feedback monev | langsung sehari- social | hari pressure | | | ------ dukungan <------------ percaya <---MEMENUHI--------| | | | | | feedback tidak TIDAK | ------------ taklangsung -------------------- <--- MEMENUHI <----- (ke dlm masy) percaya KEBUTUHAN

Gambar 18 Seni Pelayanan Pemerintahan

merupakan respons terhadap berbagai masalah dan tantangan yang ditimbulkan oleh proses tahap pertama, misalnya kesenjangan vertikal antar lapisan masyarakat dan kesenjangan horizontal antar daerah (masyarakat) dan ketidakadilan sebagai akibat ketimpangan distribusi sumber-sumber. Hal ini dijelaskan lebih lanjut melalui Teori Governance dan Teori Sumber-Sumber. Kegagalan tahap kedua menjauhkan ketunggalikaan dari jangkauan. Tidaklah berlebihan jika dinyatakan bahwa Bhinneka Tunggal Ika sebagai Grand Design Pemerintahan Daerah Indonesia adalah Filsafat Pelayanan Pemerintahan. Di atas dasar Filsafat Pelayanan itu dibangun Seni Pelayanan Pemerintahan seperti Gambar 18.

186

LATAR BELAKANG

Tulisan bejudul GBPP mata kuliah Pengantar Ilmu Pemerintahan ini semula ditulis sebagai bahan Workshop Penyusunan GBPP/SAP Semester I dan II Fakultas Manajemen Pemerintahan IPDN 2008/2009 di Jatinangor tgl 24 dan 25 November 2008, memenuhi undangan Dekan fakultas yang bersangkutan tgl 18 November 08 No 003/487/FMP/08. Sesuai saran berbagai fihak, naskah awal diperluas sehingga dapat digunakan sebagai pola dasar matakuliah Ilmu Pemerintahan untuk Program S1, S2, dan S3 Ilmu Pemerintahan. Penggunaannya disesuaikan dengan kebutuhan tiap stratum. Andaikan Ilmu Pemerintahan diibaratkan sebuah pohon-buah dengan buah (aspek Axiologi), batang (aspek Epistemologi), dan akarnya (aspek Ontologi), maka GBPP ini terurai seurut sesi-sesi pembelajaran seperti di bawah ini.

melaluipada setiap terminal ia menghasilkan suatu outputdisebut terminal Ia digerakkan oleh tiga subkultur, yaitu subkultur ekonomi (SKE), “pemain”, subkultur kekuasaan (SKK, “wasit”), dan subkultur sosial (SKS, “penonton, pembeli tiket, penanggung biaya dan risiko”), Gambar 11. Empat kualitas SKS adalah konstituen, pelanggan, terjanji, dan penagih. Jika kualitasnya yang kedua kuat, ia berkesempatan mengonsumsi layanan yang dijanjikan, ia jadi konsumer (kualitas kelima). Jika lemah (rendah), sehingga pelanggan tidak mampu menikmati (mengonsumsi) layanan yang telah dijanjikan, dia tidak menjadi konsumer melainkan ia beroleh kualitas keenam dan ketujuh, yaitu korban yang bisa jadi konsumer jika diberdayakan, dan mangsa yang naik posisinya menjadi korban jika diselamatkan untuk kemudian diberdayakan agar berubah menjadi konsumer. Tiga subkultur tersebut satu persatu diuraikan di bawah.

1

Sesi Satu PENJELASAN UMUM

Sesi ini diisi dengan Penjelasan Umum, pandangan menyeluruh (overview) tetapi esensial (abstract, highlight) tentang Ilmu Pemerintahan (termasuk TIU) dan Sejarah Pengajaran Ilmu Pemerintahan di Indonesia. Semua mata kuliah yang terkait dengan Ilmu Pemerintahan mengacu pada Pengantar ini. Ilmu Pemerintahan yang diuraikan di sini adalah Ilmu Pemerintahan dalam konstruksi bangunan (body-of-knowledge) yang disebut Kybernologi. Dalam hubungan itu, Kybernologi bukan sekedar judul buku, tetapi sebuah bangunan ilmu pengetahuan. Khusus di lingkungan IPDN/IIP, Ilmu Pemerintahan merupakan mata kuliah tingkat institut dan diajarkan pada semua program, strata, fakultas dan jurusan. Perkuliahan tiap semester

187

terdiri dari 14 sesi tatapmuka dan dua sesi ujian (UTS dan UAS) = 16 sesi. Dari referensi ditelusuri sumber-sumber asli dan ditambahkan sumber-sumber lainnya. GBPP ini secara berkala ditinjau dan dikembangkan. Salahsatu versi GBPP ini dimuat dalam Bab XI Kybernologi Sebuah Pengharapan (2009). Dalam sesi ini dipreview pokok bahasan sebagai berikut: A. Filsafat Ilmu Pemerintahan: 1. Ontologi 2. Epistemologi a. Teori Kebutuhan b. Teori Governance c. Teori Pelayanan d. Teori Kinerja e. Teori Nilai f. Metodologi 3. Axiologi a. Kepamongprajaan b. Kebijakan Pemerintahan c. Manajemen Pemerintahan d. Seni dan Teknik Pemerintahan e. Etika Pemerintahan f. Reformasi Pemerintahan 2. Sejarah Pengajaran Ilmu Pemerintahan dari Bestuurskunde (awal abad ke- 20) sampai sekarang (Kybernologi) 3. Didaktik dan Metodik pelajaran Ilmu Pemerintahan. Will Durant dalam The Story of Philosophy (1956 menyatakan bahwa “Every science begins as philosophy and ends as art.” Oleh sebab itu, GBPP Kybernologi ini diawali dengan Filsafat Ilmu (Gambar 1). --KUALITATIF--- PENE | | --ONTOLOGI --LI-----| |-- | | TIAN | | | | | --KUANTITATIF-- | | | | | | | | | --BAHAN BAKU<----- FIL- | EPIS- METO- | | | keber- -->SAFAT--|--TEMO---DO- ---|--ILMU---| |--BOK---------ILMU | ILMU | LOGI LOGI | | | fungsian | | | | --KONSTRUKSI--- | | | | | | | | | | | | --DIDAKTIK----- |

188

| | | PENGA- | | SCIENTIFIC | --AXIOLOGI --JA- ---| |<-------------ENTER- | | RAN | | PRISE | | --METODIK------| | | | | | | | ----------->NILAI------------------ | | | | -------------FEEDBACK-----------

Gambar 1 Filsafat Ilmu Pemerintahan

Sejarah Pengajaran Ilmu Pemerintahan di Indonesia diawali dengan Bestuurskunde, Bestuurswetenschap, dan kemudian Bestuurswetenschappen di Belanda. Menurut G. A. Van Poelje dalam Pengantar Umum Ilmu Pemerintahan (1959), mulai tahun kuliah 1928-1929 pengajaran dalam Jurusan Ekonomi Kenegaraan diperluas dengan mata pelajaran Ilmu Pemerintahan dengan tujuan supaya jurusan ini lebih disesuaikan dengan kebutuhan mereka yang berhasrat untuk bekerja pada dinas umum. Pada tgl 25 Januari 1928, Guru Besar Luar Biasa di bidang Ilmu Pemerintahan dilantik, dan ILMU POLITIK | -----------------------------|----------------------------- | | | | | ILMU ADM ILMU HUB- ILMU PE- ILMU PERBAN- TEORI PUBLIK INTERNASIONAL MERINTAHAN DINGAN POLITIK POLITIK

Gambar 2 Posisi Ilmu Pemerintahan Versi UGM

(Tradisi Sampai Tahun 80-an)

dengan demikian pengakuan Ilmu Pemerintahan sebagai mata pelajaran (berderajat Doktor) pada pengajaran tinggi di Belanda menjadi suatu kenyataan. Selama masa 1928-1933 dua orang Doktor Ilmu Pemerintahan dipromosikan, yaitu Dr R. E. Berends dan Dr F. Breedsvelt. Di masa itu Ilmu Pemerintahan dianggap sebagai struktur supra ilmu-ilmu pengetahuan yang berkaitan 1 NEGARA 2 POLITIK KE- PARTAIAN DAN PERWAKILAN

189

MASYARAKAT 3

Gambar 3 Ranah Publik: Bidang Studi Jurusan Ilmu Pemerintahan

di Universitas Gadjah Mada (UGM) dengan ekonomi perusahaan. Uraian di atas kemudian disusuli dengan pengajaran Ilmu Pemerintahan pada kursus dan bestruursacademie Pamongpraja di zaman Belanda, paradigma Ilmu Pemerintahan di lingkungan UGM sampai tahun 80-an (Gambar 2), dan dewasa ini (Gambar 3), paradigma IIP-UNPAD, dan paradigma.. IPDN dewasa ini. Natural turbulences dan social turbulences yang terjadi di belahan dunia maju, misalnya di Amerika, mengerakkan pengubahan dan pembaharuan konstruksi berbagai ilmu pengetahuan. Paradigma Public Administration, misalnya, berubah menjadi Development Administration (tahun 60-an, pasca PD II), dan berubah lagi menjadi The New Public Administration (1970-an, pasca Perang Vietnam). Dua kali social turbulences (1965 dan 1998) dan sekali lagi natural turbulence (2004-2005) menimpa Indonesia, mendorong pembaharuan konstruksi Ilmu Pemerintahan. Turbulences itu ditanggapi dengan cara pendekatan yang berbeda oleh UGM dan Program Pascasarjana Kerjasama UNPAD-IIP (1996). Sejak tahun 2000-an, bidang kajian Jurusan Ilmu Pemerintahan di UGM dikonstruksi seperti Gambar 3 (A. Nurmandi, E. P. Purnomo, Suswanta, peny., Mencari Jatidiri Ilmu Pemerintahan, 2006), sedangkan Ilmu Pemerintahan di lingkungan Program Pascasarjana Kerjasama UNPAD-IIP direkonstruksi seperti Gambar 4. Rekonstruksi Gambar 4 bermula pada pendekatan kemanusiaan (Gambar 5). Melalui pendekatan NEGARA government 1 ruang kekuasaan kewenangan negara 1--------------->2 PUBLIK pelayanan publik ruang publik 2 KEBIJAKAN PUBLIK governance kewajiban negara 1-------------->3 pelayanan civil

190

ruang civil 3 MANUSIA HAM

Gambar 4 Interface Antara Negara Dengan Manusia ini, maka HAM, kebutuhan eksistensial Manusia, kebutuhan dasar masyarakat dan lingkungan hidupnya yang pertama-tama terlihat sebagai sasaran kajian, dan bukan Negara, kekuasaan atau pentingan belaka. Rekonstruksi itu didorong oleh keinginan untuk mengembalikan Ilmu Pemerintahan pada posisi dan kualitasnya semula yaitu PENDEKATAN KEKUASAAN FENOMENA PENDEKATAN PEMERINTAHAN ILMU PEMERINTAHAN KEMANUSIAAN COMMON PLATFORM KONSTRUKSI GAMBAR 4 DAN LINGKUNGAN SEMUA ILMU BERNAMA KYBERNOLOGI PENGETAHUAN ILMU PEMERINTAHAN KONSTRUKSI GAMBAR 3 (BAGIAN ILMU POLITIK)

Gambar 5 Dua Macam Pendekatan

“ilmu yang bertujuan menuntun hidup bersama manusia dalam upaya mengejar kebahagiaan rohani dan jasmani yang sebesar-besarnya tanpa merugikan orang lain secara tidak sah” (G. A. van Poelje, Algemene Inleiding tot de Bestuurskunde, 1953. Rekonsturksi Ilmu Pemerintahan menurut pendekatan Gambar 3 dan Gambar 4 terhadap fenomena pemerintahan digabung seperti Gambar 5 itu. Pendekatan

Tabel 1 Didaktik dan Metodik (DM) Pengajaran Ilmu Pemerintahan

Dilihat dari Aspek-Aspek Body-Of-Knowledge (BOK) Bahan Ajar (X menunjukkan tingkat kedalaman)

191

------------------------------------- | METODIK PENGAJARAN | |-------------------------------------| | S1 | S2 | S3 | --------------------------------------|-----------|------------|------------| | | Axiologi (Buah) | X X X | X X | X | | |-------------------------|-----------|------------|------------| | DIDAKTIK | Epistemologi (Batang) | X X | X X | X X | | |-------------------------|-----------|------------|------------| | | Ontologi (Akar) | X | X X | X X X | ----------------------------------------------------------------------------

seperti Gambar 5 itulah yang diajarkan di lingkungan IPDN ke depan, sebagai hasil pendaratan Bestuurskunde dan Bestuurswetenschap di bumi Indonesia. Pokok-pokok Kybernologi menurut perkembangannya yang terakhir terdapat dalam Bab I Kybernologi dan Pembangunan (2009). Didaktik dan metodik (DM) Kybernologi digambarkan dalam Tabel 1 dengan dengan catatan bahwa perancangan DM harus dilakukan secara bertahap tetapi konsisten, Program S1, S2, dan S3, sebaiknya tersusun menurut skala interval dan tidak ordinal apa lagi nominal belaka (Gambar 6, sistem linier, single input - single output). Sungguhpun demikian, dalam fase peralihan, program khusus atau tertentu, “darurat” atau terpaksa, sistem multi-input single output dapat juga digunakan, didukung

dengan program matrikulasi yang sepadan. Jadi sedapat-dapatnya: jangan begini: apalagi begini: tetapi begini: (ordinal) (nominal, zig-zag) (interval) S3 ------>S3 S3 | | ilmu X | | | | | | | | | S2 | | | S2 ------>S2 | | | ilmu Y | S1 S1 S1 ilmu X ilmu Z ilmu X

Gambar 6 Skala DM Program Strata Ilmu Pemerintahan Referensi: Bab I Kybernologi 2003; Bab I dan Bab II dan Soewargono dalam Kybernologi Sebuah Rekonstruksi Ilmu Pemerintahan, 2005; Bab I dan Bab II Kybernologi Beberapa Konstruksi Utama, 2005; A. Nurmandi, E. P. Purnomo, Suswanta, peny., Mencari Jatidiri Ilmu Pemerintahan, 2006; Bab VIII Kybernologi

192

Sebuah Profesi, 2007; Bab 3 Kybernologi dan Kepamongprajaan, 2008. Bab 3 Kybernologi dan Kepamongprajaan, 2008

2 Sesi Dua

ONTOLOGI ILMU PEMERINTAHAN Dalam sesi ini dipelajari pokok bahasan sebagai berikut: 1. Pengertian ilmu dengan tiga sisinya, antara lain Ontologi 2. Asas pembelajaran Kybernologi (credo et intelligam) 3. Uraian tentang Ontologi Ilmu Pemerintahan Melalui pendekatan metadisiplin: “Percaya agar (baru) tau (credo et intelligam),” ditemukan Ontologi Kybernologi dengan dua variable pemikiran: Kualitas Manusia dan Hubungan Pemerintahan (lihat Gambar 6). Perkembangan kemanusiaan yang memuncak pada kenegaraan, membentuk Hubungan Pemerintahan, yang disebut juga Hubungan Antara Janji dengan Percaya, Keadaan dengan Pengharapan. ALLAH mencipta CIPTAAN<---------------------HUBUNGAN PERINTAHAN---------------------> MAKHLUK MANUSIA-->MEMBUMI 1 CIPTAAN | MANUSIA | PENDUDUK-->BERMASYARAKAT | 2 CIPTAAN | MANUSIA | PENDUDUK | WARGAMA- | SYARAKAT-->BERBANGSA | 3 CIPTAAN | MANUSIA | PENDUDUK KUALITAS MASYARAKAT MANUSIA WARGABANGSA-->BERNEGARA | 4 CIPTAAN | MANUSIA | PENDUDUK | MASYARAKAT | BANGSA | WARGANE- | GARA----->BERPEMERINTAHAN 5 CIPTAAN MANUSIA 7 PENDUDUK YANG DI- MASYARAKAT PERINTAH BANGSA konstituen NEGARA pelanggan<------------hubungan pemerintahan------------>PEMERINTAH

193

konsumer (peran) korban 6 mangsa

Gambar 7 Ontologi Kybernologi dengan 7 Terminal

Gambar 6 menunjukkan bahwa Ontologi Ilmu Pemerintahan menjelajahi seluruh ilmu pengetahuan yang terkait dengan 7 terminal itu berturut-turut. Di Terminal 7 terlihat fakta-fakta kualitas kehidupan manusia. Tanpa pemerintahan manusia menjadi mangsa sesamanya. Melalui pemerintahan diharapkan manusia kembali ke kualitasnya yang asasi di Terminal 1. Dalam hubungan itu, masalah yang timbul ialah: Pemerintahan seperti apa yang mampu mengantar manusia dari Terminal 7 ke Terminal 1 melalui Terminal 6, 5, 4, 3, dan 2? Secara khusus, bagaimana mendudukan manusia pada posisinya sebagai pelanggan Negara dengan segala konsekuensinya? Referensi: Bab 1, Bab 6 dan Bab 7 Kybernologi 2003; McIver, R. The Web of Government, 1961. Kybernologi dan Metodologi: Metodologi Ilmu Pemerintahan (2010)

3

Sesi Tiga TEORI KEBUTUHAN

Dalam sesi ini dipelajari pokok bahasan sebagai berikut: 1. Filsafat HAM. Sumber dan lingkungan Hubungan antara hak dengan kewajiban 2. Kebutuhan dasar manusia dan pemenuhannya 3. Teori Teori-teori Kebutuhan Pembelajaran tentang HAM diawali dengan Terminal 1 dan kemudian Terminal 2 Ontologi Ilmu Pemerintahan (Gambar 7). Hidup dan kehidupan manusia, lingkungan dan sumber kehidupan, dari segala aspek. HAM bersifat universal, dan berada di ruang pelanggan, bukan di ruang kekuasaan. Mazhab hukum Indonesia masih terjebak dalam aliran positivisme. Oleh sebab itu, penggabungan HAM ke dalam Hukum menjadi HukHAM, membelenggu HAM, jadi tidak tepat. Konsep kebutuhan dasar manusia bersifat matriks, di satu sisi kebutuhan jasmani dan rohani yang tak terpisahkan satu dengan yang lain, dan kebutuhan jangka pendek dan jangka panjang yang juga saling berkaitan erat. Lihat Gambar 4. Politik biasanya jauh lebih mengutamakan kebutuhan jasmani dan jangka pendek ketimbang

194

kebutuhan rohani dan jangka panjang. Pemenuhannya bercabang, ada yang melalui private choice (pasar), dan ada yang melalui public choice (Negara). Teori Kebutuhan. Pemikiran pemerintahan sejajar dengan pemikiran ekonomi, bermula dari “kebutuhan manusia” sejak “terjadinya” di dalam kandungan. Pikiran ini dideduksi dari Ontologi Pemerintahan di atas. Pemenuhan kebutuhan manusia selain bersifat komprehensif (segala bidang kehidupan) juga bersifat jangka panjang sejauh mungkin ke depan: “Gouverner c’est prevoir,” demikian ungkapan Perancis. Dasar konstitusionalnya di Tabel 3. ------------------------------------------------------------------------- | | | 7 | | PENGORBANAN | | CIVIL SERVANT | | | | | | | | 4 5 6 9 | | ----INDI- -----CIVIL-–----acting---------CIVIL------- | | | VIDU RIGHTS action SERVICES | | | | | | | | | | | | | | 8 | | | | KESEMPATAN dan HARAPAN (HOPE) | | | | PELANGGAN UNTUK MENJADI KONSUMER, | | | | KORBAN dan MANGSA untuk SELAMAT | | | | | | 2 | | | 1 HUMAN 3 12 14 20 | MANU- ----RIGHTS-----HUMAN PUBLIC PUBLIC kontrol,-----| SIA & INS- NEEDS POLICY ACTOR evaluasi | TINCTS | | | | | | | 13 | | | | 11 | POLICY | 16 | | | -----PUBLIC---------IMPLE----------PUBLIC----- | | | CHOICE MENTATION | SERVICES | | | | | | | | | | | | | | 10 | | 15 | ----MASYA- | | penggunaan oleh KONSUMER | RAKAT | | HAK HIDUP KORBAN atau HAK MANGSA | | | | UNTUK MEMPERTAHANKAN DIRI | | | | KEPERCAYAAN (TRUST) terhadap PEMERINTAH | | | | PENGHARAPAN (HOPE) DI MASA DEPAN | | | | | | | --------------------------------------------- | | | 17 18 19 ----PRIVATE------ --BARANG---------MARKET CHOICE JASA (SATISFACTION) ---> 7pembentukan civil service --->14pembentukan public actor --->12pembuatan kebijakan publik --->15pemberdayaan (enabling, emp.*) --->13pengadaan public goods --->17privatisasi vs statalisasi *empowering

195

Gambar 8 Teori Kebutuhan

Kebutuhan perlu dibedakan dengan kepentingan. Kepentingan itu berada di ruang politik, tetapi kebutuhan di ruang kemanusiaan. Pada dasarnya, kebutuhan, lebih-lebih kebutuhan dasar (asasi) bersifat objektif. Itulah sebabnya kebutuhan dasar itu diposisikan sebagai hak asasi manusia, dan pemenuhannya sebagai kewajiban negara. Semua orang membutuhkan makanan. Tetapi pada saat orang berniat dan berkesempatan memilih dan menetapkan makan apa atau makan siapa dan kapan, maka dasar pertimbangannya adalah kepentingan. Jadi kepentingan itu subjektif. Maka berbahaya jika orang memilih (membeli) tanpa mengetahui apa yang sesungguhnya dia butuhkan. Perlu dikemukakan bahwa manusia (setiap orang) memiliki HAM begitu ia terbentuk dalam rahim ibunya, tetapi tidak dapat dan tidak mungkin ia dibebani KAM (kewajiban asasi) pada saat yang sama. Dia dapat terbebani KAM seiring dengan kemampuannya untuk bertanggungjawab. Penjelajahan pokok bahasan ini dimulai filsafat HAM sampai pada Teori Maslow dan teori-teori lainnya di lingkungan MSDM. Lihat Gambar 4. Referensi: Book Two Walter Lippmann The Public Philosophy, 1956, h. 84); Bab 4 Kybernologi 2003; Bab 2 Kybernologi Beberapa Konstruksi Utama, 2005; Bagian Dua Bab VI Kybernologi Sebuah Scientific Enterprise, 2006; Bab V Kybernologi Sebuah Metamorphosis, 2008.

4 Sesi Empat

TEORI GOVERNANCE Manusia tidak dapat memenuhi kebutuhan hidupnya sendirian. Ia adalah makhluk sosial, makhluk bermasyarakat. Dalam masyarakat, manusia secara sadar menggunakan lingkungannya untuk hidup. Sesi ini mempelajari pokok bahasan sebagai berikut: 1. Kekuatan-kekuatan yang menggerakkan dan mengarahkan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan dan mencapai tujuan hidupnya 2. Interaksi antar kekuatan-kekuatan itu 3. Buah interaksi itu Menurut Pasal 3 Deklarasi Umum Tentang Hak-Hak Asasi Manusia, “Setiap Orang Berhak Atas Kehidupan, Kebebasan, dan Keselamatan Sebagai Individu” warga suatu masyarakat. Untuk bisa hidup, manusia membutuhkan alat atau bahan yang mendukung kehidupannya, seperti makanan, minuman, udara segar, ketertiban, keadilan, kedamaian, dan sebagainya. Alat atau bahan seperti itu disebut bernilai (bermanfaat, berguna, bermakna). Pada zaman dahulu kala, nilai diperoleh langsung

196

dari alam, tetapi lama-kelamaan harus melalui usaha pengolahan sumberdaya, penggunaan teknologi, dan penciptaan. Usaha manusia untuk memenuhi kebutuhannya akan nilai di dalam suatu masyarakat, membangun subkultur masyarakat yang disebut subkultur ekonomi (SKE). SKE berfungsi membentuk, menambah dan mencipta nilai melalui kerja. Sayang sekali, timbul masalah. Kualitas sumberdaya, distribusi (pemilikan), kesempatan, dan kemampuan mengolahnya berbeda-beda dan tidak merata, sehingga pada suatu saat di mana-mana terdapat ketimpangan (kesenjangan). Ada masyarakat yang memiliki nilai dalam jumlah besar (sangat kaya) dan ada yang nyaris tidak memilikinya (sangat miskin). Kondisi ini oleh naluri kemanusiaan dan persaudaraan dianggap tidak adil. Konflik sosial yang berlarut-larut yang merusak masyarakat itu sendiri sering terjadi. Untunglah, masyarakat memiliki naluri penyesuaian dan penyelamatan diri melalui berbagai cara untuk mengatasi masalah di atas, antara lain dengan membuat dan menyepakati norma-norma sosial yang mengatur perilaku warga masyarakat sehingga ketimpangan nilai semakin berkurang dan rasa keadilan sosial antar warga masyarakat meningkat. Tetapi rupanya kesepakatan saja tidak cukup. Norma-norma sosial perlu ditaati, ditegakkan, dan jika perlu dipaksakan dengan kekuatan bahkan kekerasan. Upaya penegakan sebagian norma-norma sosial tersebut melahirkan subkultur lain yang disebut subkultur kekuasaan (SKK). Pelaku atau pemeran SKK adalah pemerintah (government). Pada dasarnya, SKK berperan (berfungsi) mengontrol sumber-sumber dan pengelolaannya, agar bisa menghasilkan nilai maksimal tanpa merusak sumber-sumber itu sendiri, untuk kemudian diredistribusi kepada warga masyarakat berdasarkan asas keadilan sosial. Tetapi karena kekuasaan itu hanya alat, ia pada hakikatnya tidak dapat dan tidak mau mengontrol dirinya sendiri. Pemangku kekuasaan cenderung menempuh jalan pintas yang disebut korupsi, mudah menyalahgunakan kekuasaannya untuk kepentingan kekuasaan dan dirinya sendiri. Oleh sebab itu, kekuasaan harus dikontrol. Kekuasaan dikontrol di hulu (input), di tengah (proses) dan di hilir (output dan outcome). Kontrol di hulu melalui pembedaan dan pembagian fungsi, ibarat pertandingan bola: pemain (produksi nilai, SKE), wasit (penjaga dan distributor nilai, SKK), dan penonton (pelanggan nilai dan pemikul biaya, SKS). Pembangunan berfungsi membentuk nilai, jadi termasuk SKE. Bisa dibayangkan betapa kacau pertandingan manakala wasit merangkap sebagai pemain! Dalam hubungan itu, peletakan Studi Pembangunan dalam Fakultas Ekonomi, dianggap tepat. Dalam sistem dan budaya demokrasi, kontrol di hulu dilakukan oleh masyarakat (SKS) dalam kapasitasnya sebagai konstituen. Alat kontrol SKK di hulu adalah konstitusi. Siapa atau lembaga apa yang berfungsi mengontrol kekuasaan di hilir? “Jangan beli kucing dalam karung,” demikian kearifan sosial kita. “Pembeli kucing” yang membuka karung pada saat transaksi terjadi (di hilir) adalah masyarakat dalam

197

kualitasnya sebagai pelanggan. Sudah barang tentu, jauh sebelum ada larangan itu, ada aturan (konstitusi, di hulu) yang menyatakan bahwa penjual harus membuka karungnya dan memberi kesempatan kepada pelanggan untuk memeriksa isinya. Seperti dikemukakan di atas, pembuat aturan itu adalah masyarakat juga tetapi dalam kualitasnya sebagai konstituen. Jadi masyarakat berfungsi mengontrol SKK di hulu melalui pembuatan peraturan, di tengah dan di hilir melalui pemantauan dan evaluasi proses (throughput) dan output/outcome interaksi (monev). Konsekuensinya, masyarakat menuntut pertanggungjawaban SKK atas penyelenggaraan fungsi-fungsinya. Kepercayaan masyarakat kepada SKK bergantung pada pertanggungjawaban tersebut. Usaha masyarakat untuk berperan mengontrol SKK di hulu dan di hilir, yang berdampak pada tingkat kepercayaannya kepada pemerintah, membentuk subkultur sosial (SKS) di dalam masyarakat. Interaksi antar tiga subkultur itu disebut pemerintahan (governance), bukan “kepemerintahan.” Interaksi itu menghasilkan kinerja pemerintahan. Jika kinerja pemerintahan itu berkualitas good, maka pemerintahan yang bersangkutan disebut good governance. Jika tidak, bad governance. Dalam proses pemerintahan, governance adalah input, sementara good governance, output. Walaupun Teori Kinerja merupakan bagian Teori Governance, pokak bahasan itu diuraikan setelah Teori Pelayanan. -------------------------------------------------------------------------------- | | | janji vote,trust,hope monev kinerja rute 4 | | ---------------- ---------------- ---------------- | | | penepatan | | mandat,ke- | | SKK | | | | 2 | | hormatan | | 5 | | | SUMBER- | | 1 | | | | | SUMBER | | DPR DPD | | | | | | MEWAKILI MEWAKILI | | | | | | KONSTITUEN PELANGGAN | | | berva- | | | | | | | riasi | | PEMILU | | | | | | | | | | | | | | | SUBKULTUR SUBKULTUR SUBKULTUR SUBKULTUR | | EKONOMI-------- KEKUASAAN-------- SOSIAL-------- KEKUASAAN------| | (SKE) (SKK) (SKS) (SKK) | | | | | | | | | | | | pemba- | | | | | | | ngunan | | | | | | | | | | | | | | | | nilai | | redistribusi | | pertanggung- | | | ---------------- ---------------- ---------------- | | 3 nilai jawaban | | 4 6 | | | -----------------------------------MASYARAKAT-----------------------------------

Gambar 9 Pemerintahan (Governance): Interaksi Antar SKE, SKK, dan SKS Angka-angka Menunjukkan Rute Pemerintahan

198

Terbentuknya governance suatu masyarakat, baik secara alami, maupun berencana, beserta karakteristiknya, dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain (1) sejarah, (2) posisi dan kondisi geografik, dan (3) tradisi atau Weltanschauung masyarakat yang bersangkutan. Interaksi berulang dan terjadi di mana-mana antar subkultur masyarakat membentuk fenomena pemerintahan. Fenomena itu merupakan kancah pengkajian bersama (common platform, landasan bersama, objek materia bersama) berbagai ilmupengetahuan. Landasan bersama itu mempunyai banyak sudut (sudutpandang). Setiap pengkajian (penelitian) mendarat pada sudut yang berbeda-beda yang disebut objek forma pengkajian. Ilmu Politik misalnya mendarat pada sudut kekuasaan. Bestuurskunde yang masuk di Indonesia sejak awal abad ke-20, sekitar medio abad yang sama didaratkan pada sudut Ilmu Politik, sehingga sampai sekarang apa yang disebut “Ilmu Pemerintahan” oleh banyak kalangan dianggap (hanya) merupakan salah satu kajian Ilmu Politik, atau sebagian aksiologinya. Bestuurskunde (Belanda besturen) yang kemudian berkembang menjadi Bestuurswetenschap dan Bestuurswetenschappen, di negeri asalnya yaitu Belanda, tidak mendarati fenomena pemerintahan pada sudut kekuasaan, tetapi pada sudut manusia: “Ilmu Pemerintahan adalah ilmupengetahuan yang bertujuan memimpin hidupbersama manusia dalam mengejar kebahagiaan yang sebesar-besarnya lahir dan bathin, tanpa merugikan orang lain secara tidak sah,” demikian van de Spiegel sebagaimana dikutip oleh G. A. Van Poelje dalam bukunya Algemene Inleiding tot de Bestuurskunde (1953). Jadi sejak awal, PENDEKATAN MENGGUNAKAN KACAMATA KEKUASAAN/ KEWENANGAN sudut pendekatan PENDARATAN BANGUNAN UTUH, BESTUURSKUNDE, LENGKAP,BERDERAJAT BESTUURSWETENSCHAP & su- FENOMENA AKADEMIK STRATA BESTUURSWETENSCHAPPEN dut PEMERINTAHAN SATU, DUA, & TIGA, DENGAN MENGGUNAKAN pen- RUANG PENDA- HASIL REKON- KACAMATA KEMANUSIAAN da- RATAN BERSAMA STRUKSI BUAH PEN- HAK ASASI MANUSIA (HAM) ratan SEMUA PENELI- DARATAN, DAN DAN LINGKUNGAN TIAN DIBERI NAMA DI BUMI INDONESIA KYBERNOLOGI

199

KONSTRUKSI HASIL PENDEKATAN KACAMATA KEKUASAAN/KEWENANGAN TERHADAP FENOMENA PEMERINTAHAN DISEBUT “ILMU PEMERINTAHAN” SEBAGAI BAGIAN ILMU POLITIK

Gambar 10 Fenomena Pemerintahan. Dua Cara Pendekatan Terhadap,

dan Pendaratan Pada Fenomena Pemerintahan

Bestuurswetenschap itu lahir di sudut (ke)manusia(an), bukan di sudut kekuasaan. Bangunan (body-of-knowledge, BOK) Bestuurswetenschap di masa itu di negeri asalnya berderajat akademik tertinggi sehingga kepada lulusan program pendidikannya dianugerahi gelar Doktor. Bencana nasional yang terjadi pada tahun 1965 membawa kesadaran baru bahwa ada yang tidak beres dalam penyelenggaraan negara. Kesadaran baru ini mendorong usaha pendaratan-kembali Bestuurswetenschap, Bestuurswetenschap, dan Bestuurswetenschappen di Indonesia pada sudutpandang yang berbeda, tidak pada kekuasaan seperti di masa lalu tetapi pada (ke-) manusia (-an), yaitu habitat yang ----------------------- | NEGARA | 2 3 -----mengontrol----- -----mengontrol------ | memberdayakan | | membayar | | | | | | | sumber-sumber | | | | mengontrol SKK | | | | | di hulu | | | constituent ------ SKE--------|--------->SKK----------|-------->SKS------- | pemain | | | penonton | | | | wasit | pelanggan | | | | | | | mengontrol SKK | | | ----------|-|---------- di hilir | | pembangunan | | | | | | | meredistribusi | | | membentuk, | | nilai via pela- | | | |----meningkatkan,--- ---yanan civil, -----| | | | mencipta nilai pelayanan public | | | | 1 (inc.pemberdayaan) | | | | 4 | | | | MASYARAKAT | | | | | | | ------melayani-------5---------pasar-------- |

200

| | | MANUSIA | | | ---------------------------feedback--------------------------- 6

Gambar 11 Teori Pemerintahan (Governance): Interaksi Antar Tiga Subkultur Melalui 6 Rute

Subkultur Ekonomi (SKE), Subkultur Kekuasaan (SKK), dan Subkultur Sosial (SKS

dgn kualitas Sebagai Pelanggan dan Constituent) yang Disebut juga Subkultur Pelanggan (SKP)

melahirkannya di negeri asalnya, dan merekonstruksi hasil-hasilnya. Rekonstruksi tersebut berlangsung senyap, tidak gegap, tetapi pasti, terlebih setelah bencana nasional tahun 1998, disusul bencana nasional 2004-2005. Hasil rekonstruksi buah pendaratan itu pada tgl 8 Mei 2000 diberi nama Kybernologi (dari bahasa Greek kybernán, Inggeris steering, Belanda besturen, mengemudi, diberi akhiran –logy, -logi) dan diluncurkan oleh Institut Ilmu Pemerintahan (IIP) di Jakarta pada tgl 22 Mei 2003. Secara formal, Kybernologi adalah bangunan pengetahuan (body-of-knowledge) hasil rekonstruksi buah pendaratan Bestuurskunde, Bestuurswetenschap, dan Bestuurswetenschappen di bumi Indonesia pada sudutpandang kemanusiaan, tidak pada sudutpandang kekuasaan, dan pengaitannya dengan sudutpandang lain yang berbeda. Kebijakan otonomi Daerah berdasarkan UU 32/04, Pasal 1 butir 2, 3 dan 4, sesuai dengan teori ini. Di sana dinyatakan bahwa Pemerintah Daerah (Kepala Daerah dan jajarannya, local government) bersama DPRD adalah penyelenggara pemerintahan Daerah. “Pemerintahan” Daerah dalam hubungan itu setara dengan local governance. Konsep governance lebih luas ketimbang konsep government. Dalam Gambar 9 terlihat juga bahwa konsep pemerintahan lebih luas daripada konsep pembangunan pemerintahan. Di bawah konteks pemerintahan daerah, pemerintahan sama dengan policy making + policy implementation. Pembangunan itu sendiri berada di dalam policy implementation di ruang SKE. Policy implementation dapat dibedakan dengan policy implementation monitoring and evaluation, and feedback. Gambar 9 berawal pada Gambar 4 tentang interface antara konsep Manusia dengan konsep Negara. Interface itu membentuk ruang Masyarakat. Interaksi antar subkultur masyarakat melalui tiga terminal, yaitu SKE, SKK, dan SKS. Lintasan gerak dari terminal ke terminal disebut rute. Gambar 11 menunjukkan 5 rute dasar interaksi antar tiga subkultur. Rute 5 menunjukkan rute pelayanan pasar, sedangkan Rute 6 feedback ke.

Tabel 2 Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah

-----------------------------------------------------------------------------

201

PENGATURAN PENGURUSAN MONEV DAN FEEDBACK LOCAL GOVERNANCE ----------------------------------------------------------------------------- 1 DPRD -- DPRD DPRD 2 KEPALA PEMERINTAH -- LOCAL GOVERNMENT DAERAH DAERAH (LOCAL GOVERNMENT) -----------------------------------------------------------------------------

dalam interaksi. Sepanjang Rute 5 pada Gambar 11 dilakukan pemantauan dan evaluasi redistribusi nilai (Rute 4) berdasarkan standar yang telah ditetapkan melalui Rute 3. Hasil evaluasi dijadikan masukan ke dalam Rute 3. Teknik penampilan rute feedback tidak terlihat pada Gambar 11 melainkan pada Rute 6 Gambar 9 sebagai masukan buat Rute 1.Gambar 9 itu. Di sana jelas, pertanggungjawaban SKK terhadap hasil evaluasi kinerja dijadikan masukan ke dalam Rute 1. Dalam Teori Governance juga termasuk Teori Hubungan Pemerintahan (governance relations). Dengan memasukkan konsep stakeholder (Bab I Kybernologi ---------------------- | NEGARA | | | SKK mengontrol SKS sbg konsti- ---dan memberdaya--- ---tuen mengontrol--- | kan SKE via kebi- | | SKK di hulu via UU | | jakan & impl.nya | | dan PERDA | 2 | | | | 3 | | petaruh, petarung | | | | | SKS “BANDAR” ------ SKE---------|-------->SKK----------|----->STAKEHOLDER----- | ”pemain” | | | ”penonton” | | | | ”wasit” | | | | | | | | | | SKS sbg PELANGGAN | | | | | | | mengontrol SKK via | | pembangunan | | | | monev & feedback | | | | | | | di hilir | | | ---------|-|---------- | | | | | | 5 | | | | membentuk, me- | | memberdayakan, | | | | 1 ningkatkan, men- | | meredistribusi<-- 4 | | |---cipta nilai se--- -----nilai via pe- | | | | cara berkelan- layanan civil & ----| | | | jutan pelayanan publik | | | | | | | | | | | | MASYARAKAT (PUBLIK) | | | | | | | -------melayani----------------pasar---------- |

202

| | | MANUSIA | | | ---------------------------feedback------------------------------

Gambar 12 Stakeholder Pemerintahan (Hubungan Pemerintahan

Antara Pemerintah (SKK) dengan Yang Diperintah (SKE dan SKS) Via Rute 1, 2, 3, dan 4

dan Pembangunan, 2009), pelangganlah yang merupakan stakeholder masyarakat. Jika pemerintahan diibaratkan perjudian, bandarlah stakeholdernya; pemerintah hanya petaruh dan petarung selama masajabatan lima tahunan belaka.

Kendatipun pada hakikatnya pembangunan terletak dalam ruang SKE (Gambar 9), mengingat masyarakat belum berdaya dan belum otonom di bidang pembangunan, untuk sementara pembangunan diletakkan di ruang SKK. Dalam hubungan itu, pembangunan oleh SKK adalah strategi pemberdayaan SKS sampai pada suatu saat peran ekonomi SKS otonom, sehingga pembangunanpun secara bertahap tetapi pasti beralih ke ruang SKE. Dilihat dari sudut ini, penyerahan sebagian kewenangan negara (pusat) kepada masyarakat (daerah) dapat diartikan sebagai sebuah strategi privatisasi dari badan publik kepada badan privat. Referensi: Bab I Kybernologi Sebuah Rekonstruksi Ilmu Pemerintahan (2005); Bagian Pertama Bab 8 Kybernologi Beberapa Konstruksi Utama, 2005; Bagian Tiga Bab V dan Bab XIV Kybernologi Sebuah Scientific Enterprise, 2006; Bab VI dan Bab VII Kybernologi Sebuah Metamorphosis, 2008; Bab I Kybernologi dan Pembangunan, 2009

5 Sesi Lima

TEORI PELAYANAN Sesi lima bermula dari Gambar 4 tentang interface antara Negara dengan Manusia, berlanjut ke Gambar 9 dan 11. Dalam Teori Governance terlihat hubungan antara government dengan governance (masyarakat, pelanggan), baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah, yaitu hubungan pelayanan. Dalam sesi ini dipelajari pokok bahasan sebagai berikut: 1. Hakikat pelayanan 2. Siapa yang dilayani 3. Siapa yang melayani 4. Standar pelayanan 5. Proses pelayanan

203

Lima pokok bahasan tersebut tercakup dalam penjelasan berikut ini. Dalam Kybernologi, pelayanan (termasuk pemberdayaan) tidak lain dan tidak bukan adalah proses penepatan (pemenuhan) janji (perjanjian). Inilah hakikat pelayanan. Fihak yang dilayani adalah pelanggan. Ketika konsep rakyat (people) direinvent pada akhir dekade 90-an (Bab 3 Kybernologi, 2003), kepelangganan rakyat dikaitkan dengan politik standardisasi pelayanan kepada rakyat. Dalam laporan berjudul “Putting Customer First,” Wapres Amerika Al Gore meletakkan kepelangganan dalam hubungannya dengan “Standard for Serving The American People,” (7 September 1993). Warga masyarakat disebut pelanggan negara karena warga telah membayar janji-janji yang ditawarkan kepadanya pada saat pemilu melalui berbagai cara dan alat, kepada calon pemangku kekuasaan yang dipilihnya, dengan harga yang sangat tinggi, yaitu pemberian suara (Vox Populi, vote) untuk memilih, suara yang nilainya dianggap setara dengan Vox Dei. Suara itulah yang membentuk dan memberika kekuasaan kepada fihak yang terpilih. Pada saat pemilu itu pulalah terbentuk dua fihak, yaitu penjanji dan terjanji. Fihak penjanji (yang terpilih) dengan fihak terjanji (pemilih) terikat perjanjian secara sah. Sesuai dengan hukum perjanjian, janji harus ditepati. Fihak yang berjanji wajib melayani fihak terjanji, dan fihak terjanji berhak menagih janji. Jika tidak, penjanji harus memikul risiko dan konsekuensi! Bertolak dari Gambar 4 di atas, yang dimaksud dengan fihak yang melayani di sini adalah semua lembaga negara, baik badan lebislatif, eksekutif, judikatif, dan state auxiliary bodies (Komisi, Badan, Lembaga, dan sebangsanya). Bukan hanya lembaga yang terbentuk melalui pemilihan (election) , tetapi juga lembaga yang terbentuk melalui pengangkatan (selection). Sebab semuanya terikat pada sumpah masing-masing. Sumpah adalah bukti masalalu dan janji masadepan. DPR misalnya melayani seluruh rakyat yang diwakilinya, MA melayani setiap orang yang mengejar keadilan, Polri melayani setiap orang yang memerlukan perlindungan dan keamanan, dan seterusnya. Namun apa kemudian yang terjadi? Kenyataan menunjukkan bahwa dalam praktik politik, begitu selesai apa yang disebut sebagai “pesta demokrasi,” perjanjian cepat terlupakan. Yang terus-menerus diingat adalah, karena pemilih (terjanji, pelanggan) telah memberikan suaranya (dalam pemilu), maka pemilih sudah kehilangan suaranya (untuk menagih janji) dan sudah tidak memiliki suara lagi (untuk memperjuangkan penepatan janji yang bersangkutan). Demi stabilitas politik! Lebih-lebih jika perjanjian tidak mempunyai kekuatan hukum yang cukup untuk ditagih, dan tidak diikat oleh sanksi yang efektif. Karena terjanji sudah membayar di muka, maka menurut pemikiran kybernologik, fihak terjanji berhak menagih janji yang dijanjikan oleh penjanji, dan jika tidak,

204

pelanggan (terjanji) berhak (memiliki suara) untuk memperjuangkan (memaksakan) tertepatinya janji itu dengan cara yang seharusnya (sudah) disepakati bersama pada saat terjadinya perjanjian. Dengan perkataan lain, penjanji wajib mempertanggungjawabkan janji-janjinya kepada fihak terjanji. Lebih jauh pemikiran kybernologik menyatakan bahwa setiap kebijakan adalah (berisi) perjanjian, dan oleh sebab itu wajib dipertangggungjawabkan oleh pembuat dan implementor kebijakan. Pertanggungjawaban tersebut memang bisa membuahkan goncangan dan ketidakstabilan politik yang dikhawatirkan berdampak negatif pada keberlanjutan ekonomi dan pembangunan, seperti yang diperkirakan bisa terjadi pada epilog kasus bailout Bank Century (2010), terlebih karena birokrasi, manajemen dan administrasi publik Indonesia dikuasai oleh parpol dengan kepentingannya masing-masing, tetapi tidak, bilamana kegoncangan itu digunakan oleh semua fihak untuk “ngaca:” “Buruk muka, muka dibenah,” jangan “Buruk muka, cermin dibelah.” Jangan “Ya, tapi. . . . ,” melainkan “Ya, maka. . . . . . ” Perlindungan dan pemenuhan kebutuhan manusia dan masyarakat melalui public choice (public service, civil service, ruang Ilmu Pemerintahan) dan private choice (market service, ruang Ilmu Ekonomi). Kualitas pelayanan di sektor publik dan civil harus dibedakan dengan kualitas pelayanan di sektor privat dan bisnis. Di sektor privat dan bisnis, pelanggan adalah orang beruang, kelas menengah ke atas, kelas NEGARA------>PRODUK------>PELANGGAN | | --------------------- | | BERDAYA TAK BERDAYA | | | | KONSUMER KORBAN | --------------------- | | DIBERDAYAKAN TAK DIBERDAYAKAN | | | | KONSUMER MANGSA | ----------------------------- | | DISELAMATKAN TAK DISELAMATKAN | | | | *jika penyelamatan KORBAN* DIMANGSA, DISANTAP juga memberdayakan, | DIKORBANKAN korban jadi konsumer ---------------------

205

| | DIBERDAYAKAN TAK DIBERDAYAKAN | | | | KONSUMER MANGSA

Gambar 13 Teori Pemberdayaan (Pelayanan)

yang bebas memilih, memiliki banyak pilihan, mampu memilih yang terbaik, dan risiko dapat dialihkannya ke fihak penanggung atau penjual. Hubungan antara penjual dengan pembeli relatif setara, hubungan antara penjual dengan pelanggan terikat perjanjian yang mengikat, posisi pelanggan relatif kuat, karena oleh penjual melayani

Tabel 3 Pelayanan Publik dan Pelayanan Civil

--------------------------------------------------------------------------------- DIMENSI PELAYANAN PUBLIK PELAYANAN CIVIL --------------------------------------------------------------------------------- 1 DASAR Pasal 33 (2) UUD 45 Human Rights, Civil Rights, Constitu- Public Choice tional Rights, Conventions 2 TUJUAN Meningkatkan Kesejah- Melindungi, Menyelamatkan Manusia dan teraan Masyarakat Lingkungannya 3 STATUS Kewenangan Negara Kewajiban Negara (Gambar 4) 4 VISI Jangka pendek Jangka Panjang 5 YANG DI- Lapisan/Kelompok Masya- Individu pribadi sebagai pelanggan, LAYANI (YD) rakat sebagai pelanggan korban dan mangsa 6 SIKAP Fihak YD Menyesuaikan di- Fihak Yg Melayani (YM) menyesuaikan ri dgn Kondisi Fihak YM diri dgn YD 7 PROSPEK Semakin berkurang dengan Semakin meningkat, baik kualitas semakin majunya masy. maupun kuantitas dan kesebarannya 8 HARGA Diusahakan serendah- Tidak dibebankan langsung kpd fihak BIAYA rendahnya, dapat dibe- YD; “no price;” dibiayai oleh Negara bankan kepada fihak YD 9 PELAKU (YM) Aktor pemerintahan Civil Servant, “Artis” pemerintahan 10 SIFAT a Monopoli Negara tapi a Monopoli Negara dan tidak dapat dpt diprivatisasikan diprivatisasikan b Lebih normatif b Antisipatif berdasarkan asas Kualitas pelayanan Manajemen Bencana yaitu Waktu = Nol terdapat dlm dasar (langsung action, tak ada waktu utk hokum pelayanan ybs mencari dan menyiapkan “the 6M”) 11 FAKTOR Bergantung pada kemampu- Bergantung pada acting dan an dan kesempatan pelang- action civil servant dan “artis” gan menggunakan layanan pemerintahan 12 KUALITAS Pelanggan Percaya Kenda- Korban/Mangsa Berpengharapan TERTINGGI tipun Ybs Kecewa Dalam Ketidakberdayaannya

206

13 MASALAH supaya masyarakat percaya Supaya dalam diri korban tumbuh asa Bagaimana sementara mereka kecewa? sementara ia tidak berdaya? 14 SOLUSI Info tanpa kebohongan, Reformasi sepenuh hati pertanggungjawaban Bukti, bukan janji (responsibility) Sekarang, bukan nanti. . . . . ----------------------------------------------------------------------

pelanggannya seperti raja, di pasar berlaku semboyan: jangan beli kucing dalam karung, jadi penjual wajib “membuka karungnya,” dan hak-kewajiban pelanggan jaih-jauh hari telah dilindungi UU 8/99. Oleh sebab itu, kepuasan layak dijadikan kualitas pelayanan pelanggan sektor privat dan bisnis. Pelayanan adalah proses membelanjakan uang. Biayanya sangat besar. Program pelayanan seperti kesehatan, pendidikan, dan lapangan kerja, keadilan, keamanan, kedamaian, kemerdekaan, dan pemeliharaan, tidak layak dijadikan sumber pendapatan negara atau daerah, lebih-lebih karena pelanggannya adalah kaum miskin bahkan “sampah masyarakat.”. Orang kaya sekolah dan berobat di luar negeri. Sementara itu bagaimana halnya pelanggan di sektor publik dan civil? Kebalikan dari pelanggan sektor privat dan bisnis di atas. Pelanggan sektor publik dan civil nyaris sepenuhnya dalam segala hal bergantung pada Negara, dalam hal ini pemerintah. Oleh sebab itu, Negara tidak layak menjanjikan kepuasan kepada pelanggan layanan civil dan layanan publik, melainkan pertanggungjawaban sedemikian rupa sehingga kendatipun pelanggan kecewa, mereka tetap percaya kepada Negara dan pemerintah, dan walaupun mereka tidak berdaya, mereka tetap berpengharapan di masa depan (Tabel 3). Kepuasan pelanggan tidak dapat dijadikan kualitas pelayanan publik dan pelayanan civil, pertama karena di dalam ruang dua pelayanan itu tidak ada pilihan; kalaupun ada sangat mahal atau sangat berat, dan kedua karena dalam kekecewaan dan ketidakberdayaan sekalipun, kepercayaan masyarakat kepada negara dan pengharapan manusia terhadap masadepan bisa terbentuk dan terjaga, jika saja masyarakat (bisa) memahami (mengerti, menerima) pertanggungjawaban pemerintah, dan melihat adanya perubahan dan kemajuan yang konsisten ke depan. Inilah standar pelayanan. Di dalam Teori Pelayanan termasuk Teori Pemberdayaan, Teori Kerja, Careerism, dan Professionalism. Tetapi untuk Indonesia bisa terbalik, jika “meManusiakan manusia” (memulihkan atau mengembalikan Manusia ke dalam fitrahnya semula) dipandang sebagai pemberdayaan, maka di satu sisi, dalam Teori Pemberdayaan (Manusia dan Masyarakat) terletak Teori Pelayanan. Jika pelayanan itu diibaratkan penyembuhan penyakit, maka perlu diingat bahwa tidak merasa sakit belum tentu sehat. Menyehatkan berarti mencegah penyakit, dan mencegah selalu lebih baik

207

ketimbang mengobati. Jadi di sisi lain pelayanan harus diarahkan pada pemberdayaan. Adapun perbedaan antara pelayanan civil dengan pelayanan publik terlihat dalam Tabel 3 dan Tabel 4). Konsekuensi definisi Kybernologi, pelayanan pemerintahan merupakan pelayanan yang terus-menerus, tidak terpotong-potong oleh masa jabatan atau periodisasi rezim. Pelayanan kepada manusia adalah pelayanan jangka panjang, pelayanan berkelanjutan. Resep dokter diambil sebagai ilustrasi. Jika dokter memberikan 15 butir obat untuk lima hari (3 x 1 butir per hari), maka menelan obat tiga hari berturut-turut tetapi sesudah itu terhenti, tidak ada gunanya sama sekali.

Tabel 4 Layanan Civil Berdasarkan UUD 1945 (Naskah Asli, Sebelum Amandemen)

--------------------------------------------------------------------------- KEBUTUHAN PASAL --------------------------------------------------------------------------- TELAH DINYATAKAN SECARA JELAS, WALAUPUN BELUM SEMUANYA DIIMPLEMENTASIKAN TASIKAN: 1 HAK/PENGAKUAN SEBAGAI SOVEREIGN (VOTER/VOTING) 1 (2) 2 PENGAKUAN SEBAGAI JIWA DAN SEBAGAI WARGA NEGARA 26 3 KEBERSAMAAN KEDUDUKAN DI DEPAN HUKUM (KEADILAN) 27 (1) 4 PEKERJAAN DAN PENGHIDUPAN YANG LAYAK 27 (2) 5 KEMERDEKAAN BERSERIKAT, BERKUMPUL, MENGELUARKAN PIKIRAN 28 6 KEMERDEKAAN UNTUK MEMELUK AGAMA 29 (2) 7 PENGAJARAN 31 (1) 8 PEMELIHARAAN FAKIR MISKIN DAN ANAK TERLANTAR 34 TIDAK/BELUM DINYATAKAN SECARA JELAS: 1 KEBEBASAN MEMILIH 2 KEPASTIAN HUKUM, KEKUATAN HUKUM 3 PERLINDUNGAN 4 KESELAMATAN 5 CONSUMERISM (bukan konsumtif!) dan sebangsanya --------------------------------------------------------------------------------

Referensi: Bab III Kybernologi Sebuah Rekonstruksi Ilmu Pemerintahan, 2005; Bab 5 Kybernologi Beberapa Konstruksi Utama, 2005; Bab I Kybernologi Sebuah Charta Pembaharuan, 2007; Bab III Kybernologi Sebuah Profesi, 2007; Bab 11 Kybernologi dan Kepamongprajaan, 2008; Bab V Kybernologi Sebuah Metamorphosis, 2008

6

208

Sesi Enam TEORI KINERJA

Sesi ini mempelajari beberapa pokok bahasan sebagai berikut: 1. Konsep kinerja 2. Konsep kinerja pemerintahan 3. Kualitas dan evaluasi kinerja 4. Faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas kinerja Kosakata “kinerja” tidak terdapat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia. Kata itu berasal dari kata “kerja” ditambah sisipan “in” antara “k-” dengan “-e” menjadi “kinerja.” Hal itu terjadi misalnya pada kata “kanti” menjadi “kinanti,” “ganjar” menjadi “ginanjar,” “reka” menjadi “rineka,” “rakit” menjadi “rinakit,” dan sebagainya. Lingua franca ini terbentuk sebagai padanan kata Inggris performance yang sebenarnya berarti tampilan atau penampilan, perilaku atau acting. Dalam hubungan ini, performance terlihat lebih sebagai proses ketimbang sebagai output. Pada achievement yang diartikan (keber)hasilan, di sektor bisnis, proses dapat dibedakan dengan hasil. Hasilnya dapat dijual-beli, berpindah tangan, tangible, dibawa pulang, dan dimiliki (komoditi, properti). Tetapi di sektor pemerintahan, kinerja pemerintahan lebih sebagai performance seperti di atas. Setiap titik pada proses pemerintahan adalah hasil pemerintahan. Jadi kinerja pemerintahan (K) sama dengan (=) proses (P) dan hasil (H)nya, atau dengan rumus K = P + H. Jika proses = cara, dan hasil = tujuan, dengan demikian, tujuan tidak terpisahkan dari caranya, dan rumus yang berbunyi tujuan menghalalkan segala cara, di segala bidang tidak dibenarkan. ----->LINGKUNGAN--------membentuk------->GOVERNANCE-------- | 3 faktor 3 subkultur | | | | keselarasan | keseimbangan | keserasian feedback MASYARAKAT dinamika | keberlanjutan | interaksi antar | tiga subkultur | | | GOOD evaluasi oleh KINERJA | ---- or GOVERNANCE<------pelanggan------GOVERNANCE<-------- BAD Lingkungan Masyarakat (faktor pembentuk governance): 1 sejarah 2 lokalitas dan kondisi dan posisi geografik 3 Weltanschauung masyarakat

209

Gambar 14 Model Dasar Teori Kinerja

Kualitas kinerja diidentifikasi melalui definisi kinerja di atas.Walaupun output atau outcome pelayanan (kinerja pemerintahan) mengecewakan, jika prosesnya dapat dipertanggungjawabkan, yang berarti hasilnya juga dapat dipertanggungjawabkan, kinerja governance bisa dikualifikasi good (Tabel 3). Jika kinerja interaksi antar tiga subkultur governance berkualitas good, maka governance itu disebut good governance. Apa yang dimaksud dengan good governance, bagaimana supaya kinerja governance itu good, diterangkan melalui Teori Kinerja. Teori ini terkait dengan Teori Governance dan Implementasi Kebijakan. Perlu diingat bahwa PIP IPDN/IIP terletak di sini. Kinerja harus distandardisasi (ref. Bab III Kybernologi Sebuah Profesi, 2007). Grafik kinerja bisa naik-turun (NT, fluktuatif), naik-turun dan maju-mundur (NT-MM), dan naik-turun, maju-mundur, dan timbul-tenggelam (NT, MM dan TT). Kualitas kinerja pemerintahan bergantung pada kondisi tiga subkultur satu dibanding dengan yang lain, dan kondisi interaksi antar tiga subkultur tersebut menurut rute sebagaimana ditunjukkan oleh angka 1 sd 6 pada Gambar 9 dan Gambar 11 di atas. Pada Gambar 14 hal itu bergantung pada tingkat 1. Keselarasan yaitu tingkat ketepatan waktu dan arah tiga subkultur pada tujuan bersama jangka panjang, agar keberhasilan yang satu tidak merusak tetapi sebaliknya mendukung keberhasilan yang lainnya 2. Keseimbangan yaitu tingkat bargaining power dan keluasan pengambilan kesempatan berperan yang relatif sama antar tiga subkultur apada suatu saat, sesuai dengan hukum rantai yang menyatakan bahwa kekuatan sebuah rantai sama dengan kekuatan matarantainya yang terlemah 3. Keserasian yaitu tingkat empati (empathicability?) sikap dan harmoni kinerja tiga subkultur yang berbeda-beda, pada suatu saat 4. Dinamika yaitu tingkat kecepatan dan ketepatan perubahan (adaptabilitas) hubungan antar subkultur dari kondisi heterostasis ke homeostasis dan sebaliknya/selanjutnya 5. Keberlanjutan (kelestarian, kesinambungan, keterusberlangsungan), yaitu tingkat kelancaran proses jangka panjang interaksi antar tiga subkultur sesuai dengan norma (standar) yang (telah) disepakati bersama Mengingat pelayanan kepada manusia adalah playanan jangka panjang, maka di antara 5 variabel itu keberlanjutanlah yang terpenting. Keberlanjutan dalam hubungan itu pada gilirannya bergantung pada 1. Pemerintahan yang keberlanjutan

210

2. Konsekuensi politik pembangunan jangka panjang Evaluasi kinerja governance tidak seperti evaluasi politik yang berorientasi kepentingan rezim dan masajabatan lima tahunan, melainkan berorientasi pada pencapaian tujuan jangka panjang 20 tahunan sesuai dengan UU 25/04 tentang SPPN dan 17/07 tentang RPJP. Pencapaian tujuan pembangunan jangka panjang 20 tahun (goal) terdiri dari (20 : 5) = 4 babak (rezim, tiap rezim mempunyai strategi yang mungkin berbeda) = 4 strategi. Jadi tingkat goodness-nya kinerja governance bergantung pada ethicality dan strategicality rezim lima tahunan. Referensi: Bab 4 dan Bab 6 Kybernologi 2003; Bagian Pertama Bab 4 dan Bab 9 Kybernologi Beberapa Konstruksi Utama, 2005; Bagian Tiga Bab VIII Kybernologi Sebuah Scientific Enterprise, 2006; Bab I Kybernologi Sebuah Profesi, 2007; Bab II Kybernologi dan Pembangunan, 2009

7 Sesi Tujuh

TEORI NILAI Sesi ini salah satu sesi yang berat. Bahan pembelajarannya meliputi pokok-pokok bahasan sebagai berikut: 1. Konsep nilai 2. Konstruksi hubungan antar kualitas, nilai, dan norma 3. Sumber-sumber nilai 4. Teori Visi Setiap unit budaya terdiri dari nilai dan raga. Nilai adalah inti budaya. Apapun yang berguna atau bermanfaat bagi hidup dan kehidupan, disebut bernilai. Tiga macam nilai: nilai intrinsik (objektif), nilai ekstrinsik (subjektif), dan nilai ideal (abstrak). Teori dan konsep nilai selengkapnya terdapat dalam Bab III Teori Budaya Organisasi (2005). Nilai berada di dalam raga apa saja. Raga itu terlihat pada kenampakan atau perilakunya (Gambar 15). Pada Gambar 15, entitas itu adalah apa saja. Misalnya PNS dengan 8 kualitasnya. Pertama kesetiaan, kedelapan kepemimpinan. Setiap tahun tiap kualitas dimonev. Angka 90 adalah nilai kesetiaan, tetapi angka 91 disepakati sebagai norma minimal yang harus terpenuhi agar yang bersangkutan dapat dipromosi. perilaku ditimbang disepakati -->ENTITAS-------->KUALITAS--------->NILAI-------------->NORMA | RAGA bisa dipaksakan (N) | | | | | feedback N<H dievaluasi ditegakkan (diatur |

211

---------------N=H<--------------HASIL--------------------- N>H (H) atau dibudayakan)

Gambar 15 Hubungan Antar Kualitas, Nilai, dan Norma

Identifikasi Nilai Secara Induktif Penemuan nilai secara deduktif bersumber pada Filsafat Pemerintahan yang berisi berbagai buah pikiran, yang dijadikan bahan pertimbangan dalam memilih dan menetapkan prinsip (azas) sebagai sumber nilai hipotetik untuk diuji secara empirik. Bisa terjadi, kinerja seorang pejabat yang terpilih dengan suara terbanyak, ternyata bad, sehingga perlu dicari azas baru sebagai alternatif azas suara terbanyak yang sudah ada (Gambar 16). --------------------->FILSAFAT PEMERINTAHAN | | | | | ASAS-ASAS (YANG ADA) | | | deduksi | | | ------------------------- | | | | | | | NORMA NILAI | TERTULIS TIDAKTERTULIS | | | | | | | ---------------- | | | | | | | | | | -->CUKUP TIDAK CUKUP | | | | | | | DIPERLUKAN | | | NILAI BARU | | ---DITEMUKAN<----UNTUK DIJA- <---------- | JADIKAN | NORMA | | | | | TIDAK DITEMUKAN | | | | -----------------DIPERLUKAN ASAS BARU

Gambar 16 Identifikasi Nilai Secara Deduktif

212

Gambar 17 menunjukkan model identifikasi (terbentuknya) nilai secara induktif, deduktif, dan visionary. Ilmu itu amaliah dan amal itu ilmiah. Oleh sebab itu, tidak seluruh BOK suatu ilmu bebas nilai. Pada saat sebuah BOK berdiri dan tiba saat penggunaannya, ke dalam BOK dimasukkan nilai (ekstrinsik). Dalam governance SKE berfungsi (Gambar 9) menambah, merawat, atau membentuk nilai dari sumberdaya yang ada, dan menciptakan sumberdaya baru. Konstruksi visi menurut Teori Visi seperti Gambar 17. Envisioning dimulai juga dari Fakta tetapi bukan sisi “keberhasilan” sesaat (jangka pendek) tetapi sisi kecenderungan yang sedang berjalan (trend), “kondisi yang given” (takdir) dan relatif tidak dapat ber-(di-) ubah. Mengenvision (“melihat” dengan matahati dan mataiman) apa yang akan atau dapat terjadi 20 tahun ke depan, jika kondisi dan kecenderungan (arah perubahan) yang ada sekarang (Fakta, Gambar 17, 1 kiri) terus berlanjut, sebagaimana adanya. Apapun yang terlihat melalui pendekatan ini, apakah baik apakah buruk, itulah Visi (Gambar 17, angka 2). Visi itu objektif, berisi nilai intrinsik. Pasal 1 butir 12 UU 25/04 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN) mendefinisikan visi sebagai “Rumusan umum mengenai keadaan yang diinginkan pada akhir periode perencanaan.” Visi yang dibuat berdasarkan definisi itu selalu diberi nilai superlatif, “ter-,” “paling-,” “satu-satunya,” “tiada banding, tiada tanding,” dan sebangsanya. Iklan pemikat. Apakah yang dimaksud dengan “yang diinginkan” dalam definisi itu? Mimpi? Angan-angan? Simbol belaka? Atau sesuatu yang mengikat (formal), yang harus dicapai? Jika yang terakhir itu artinya, apa bedanya visi dengan tujuan? Gambar 18 menunjukkan perbedaan itu. Goal (tujuan) adalah rumusan formal yang ditetapkan sebagai respons terhadap visi yang terlihat (penglihatan) jauh di depan. Misi itu adalah jalan dan upaya mencapai KE DEPAN tujuan jangka panjang cita-cita, obsesi masy. yg ditetapkan secara kearifan lokal sadar dan formal berda- | sarkan idea dan visi 4 3 IDEA----------------------C--------------------->GOAL | S4R4 | b HARAPAN | | S3R3 | D 20 tahun E arah B MISI | S2R2 | | a MASALAH | | S1R1 | FAKTA SEKARANG-----------------A--------------------->VISI 1 dua puluh tahun 2 kecenderungan internal apa yg terlihat bila & eksternal, kondisi yg keadaan berjalan menu- takberubah dan takbisa rut fakta sekarang diubah (takdir) (terminal 1)

213

Gambar 17 Teori Visi Tujuan Jangka Panjang Berisi Nilai Ideal

Melalui Envisioning Pemerintahan (Menggunakan Pola UU 25/04 dan UU 17/07)

Kebijakan Jangka Panjang 20 Tahun (S strategi, R rezim 5 tahunan)

tujuan yang telah ditetapkan. Demikian pentingnya misi itu sehingga mendapat julukan mission sacre. Dari teori ini bersumber pokok-pokok bahasan berikut (sesi 10 dan seterusnya). Sumberdaya adalah sumber nilai. Oleh sebab itu, Teori Sumberdaya termasuk Teori Nilai, sedangkan nilai itu sendiri termasuk di dalam sisi Axiologi BOK. SDA--------------------->SDM-------------->SDB---------- | Indonesia | | | | | | deposit semakin terbatas kualitas rendah, teknologi | ambang batas semakin dekat, sangat bergantung berarti | sebagian nonrenewable, pada SDA (lahan) pemborosan | daya dukung semakin merosot | (mendekati nol), pencemaran | dan pengrusakan merajalela, | manusia semakin serakah dan transformasi budaya: bagai- | brutal mana supaya sebelum daya- | dukung SDA mendekati nol | kualitas SDM mendekati kua- -->| litas SDM bangsa maju, mam- | pu menggerakkan pembukaan | dan peralihan lapangan kerja | dari sektor primer ke sekun- | der dan tersier | | | SDA<---------------------SDM<------------->SDB<--------- | bangsa maju | | | | rehabilitasi dan konservasi kualitas SDM sa- budaya SDA telah menjadi budaya, ngat bergantung mendukung kemerosotan daya dukung SDA pada ilmu dan teknologi diperlambat melalui politik teknologi, dan kebijakan dan manajemen relatif tidak ber- lingkungan gantung pada SDA (land, soil)

Gambar 18 Teori Sumberdaya. Hubungan Antar Sumberdaya Daerah

214

Referensi: Bab VII M. J. Langeveld, Menuju Ke Pemikiran Filsafat, 1957; Bab 37 Kybernologi 2003; Bagian Tiga Bab VIII Kybernologi Sebuah Scientific Enterprise (2006) dan Bab I Kybernologi Sebuah Profesi (2007); Bab III Teori Budaya Organisasi, 2005, Bab III Kybernologi dan Metodologi: Metodologi Ilmu Pemerintahan (2010)

8

Sesi Delapan METODOLOGI

Alat yang digunakan oleh masyarakat dalam berkinerja melalui governance, adalah metodologi. Sesi ini mempelajari pokok bahasan yang terdiri dari beberapa topik, yaitu: 1. Metodologi Ilmu 2. Metodologi Penelitian 3. Metodologi Pengajaran Kybernologi dan tentu saja hubungan antar ketiganya. Sesi ini, seperti halnya sesi-sesi lainnya, bisa dilaksanakan dalam bentuk panel. Di depan kelas dihadirkan pakar-pakar yang juga pengajar dan profesional di bidang metodologi yang bersangkutan. Sudah barang tentu, cara ini memerlukan perencanaan yang matang, biaya, dan tindaklanjutnya. ILMU ---KONSTRUKSI-- BOK keber- ILMU ---ONTOLOGI ---TER- ---| |---TER- ---------->TERTEN- | | TENTU ---BAHAN BAKU-- TENTU fungsian TU | | | | | | | | | | ----mencari---- | | | | | | | memilih | FIL- | EPIS- METO- | PENE- ---PUSTAKA----- | | --->SAFAT---|---TEMO- ---DO- ---|---LI- ----| |<------ | | ILMU | LOGI LOGI | TIAN ---LAPANGAN---- | | | | | | | | | | | | | | | | | | | | | | | | PE- ---DIDAKTIK---- SCIENTIFIC | ---AXIOLOGI ---NGA- ---| |<-----------------ENTER- | | JARAN ---METODIK----- | PRISE | | | | | | | | | -----------------------NILAI-------------------- | | | | | ----------------------------------FEEDBACK----------------------------------------

Gambar 19 Genealogi Metodologi

BOK Body Of Knowledge

215

Genealogi Metodologi tersebut seperti Gambar 19. Perbedaan antara Epistemologi dengan Metodologi terletak pada titikpandang. Epistemologi memusatkan perhatian pada substansi atau objek pengetahuan dan hubungannya dengan objek lainnya, baik objek forma maupun objek materia (known, knowable, dan unknown), sedangkan Metodologi memusatkan perhatian pada proses bagaimana mengetahui (knower dan knowing process). Hubungan antar tiga cabang Metodologi itu terlihat pada Gambar 19. Perbedaan antara Metodologi Ilmu dengan Metodologi Penelitian terletak pada ciri fungsionalnya. Metodologi Ilmu berfungsi memilih dan “membeli” bahan bangunan pengetahuan yang cocok, dan mengonstruksinya menjadi bangunan pengetahuan tertentu yang kokoh, cerdas, dan berguna. Metodologi Penelitian digunakan dalam scientific business. Lembaga-lembaga penelitian termasuk perguruan tinggi berfungsi seperti industri. Jika industri bahan bangunan membuat dan menyediakan bahan bangunan, peralatan bangunan, furniture, dan berbagai komoditasnya, untuk ditawarkan dan dijual kepada publik (umum), scientific industries melakukan penelitian untuk membuat, menyediakan, dan menawarkan berbagai research inventions dan recommendations, dalam bentuk data, concepts, dan knowledges, kepada pelanggan. Pelanggan, dalam hal ini BOK constructor, memilih dan “membeli” bahan bangunan yang cocok dan pas untuk BOK yang hendak dibangunnya. -- METODOLOGI PENELITIAN -- -------------- METODOLOGI ILMU -------------- | | | | | | | berfungsi: | | | | identifikasi | | | | deskripsi | | diolah diuji | | dikon- BODY OF eksplanasi | D A T A -------> INFO ------> PENGE- ---------->KNOWLED- ------------------> ILMU | TAHUAN struksi GE (BOK) diagnosis | | prediksi(f’casting) | | eksperimentasi | direkam self-control | | diwaris- | kembang- | kan FENOMEN | FAKTA <---------------------- METODOLOGI PENGAJARAN <------------------------- penggunaan ilmu termasuk learning process

Gambar 20 Hubungan Antar Tiga Metodologi

Hubungan lebih rinci antar ketiga spesi Metodologi ditunjukkan melalui Gambar 20.. Dalam Kybernologi dan Metodologi: Metodologi Ilmu Pemerintahan (2010) dikemukakan bahwa objek materia Ilmu Pemerintahan (Kybernologi) bukan negara tetapi masyarakat. Negara adalah objek materia Ilmu Politik. Penemuan

216

objek materia ini melalui pendekatan metadisiplin (Gambar 7). Dilihat dari sisi ini, penempatan Ilmu Pemerintahan dalam Ilmu-Ilmu Sosial oleh Universitas Padjadjaran, dan tidak dalam Ilmu Politik, dipandang tepat. Objek formanya adalah interaksi antar tiga subkultur masyarakat (governance, layanan publik dan layanan civil) yang disebut juga hubungan pemerintahan dengan pelanggan sebagai titiktolak utama pembelajaran (SKS, Gambar 9). Objek forma inilah yang membedakan sekaligus menghubungkan Kybernologi dengan disiplin (ilmu) lainnya. Setiap program pembelajaran Ilmu Pemerintahan (pengajaran, penelitian, pengabdian kepada masyarakat) dari berbagai segi (aspek, arah) didaratkan pada beachhead ini, dan sebaliknya dari sini ke segala segi (aspek) kemasyarakatan, bahkan ruang eksakta dan humaniora. Pernyataan masalah penelitian (problem statement) “Implementasi kebijakan (di bidang) kesehatan masyarakat tidak efektif,” belum mendarat pada Ilmu Pemerintahan, masih di angkasa Ilmu Politik, karena yang dinyatakan adalah perihal kebijakan negara (politik) dan implementasinya. Pernyataan “Tingkat kesehatan masyarakat masih rendah,” mendarat pada Ilmu Pemerintahan, karena yang dinyatakan adalah apa yang dialami oleh masyarakat sebagai pelanggan pelayanan kesehatan. Pernyataan tersebut disusul dengan pertanyaan penelitian: “Mengapa tingkat kesehatan masyarakat masih rendah?” Melalui analisis teoretik diperoleh jawaban (hipotesis): “Tingkat kesehatan masyarakat masih rendah, karena kebijakan (bidang) kesehatan tidak diimplementasikan dengan baik.” Dengan perkataan lain, “Tingkat kesehatan masyarakat bergantung pada (dipengaruhi oleh) antara lain implementasi kebijakan pemerintah di bidang kesehatan.” Quod erat demonstrandum. Referensi: Bab 36 dan 35 Kybernologi 2003; Bab IV dan Bab V Kybernologi Sebuah Rekonstruksi Ilmu Pemerintahan, 2005; Bagian Kedua Bab 14 Kybernologi Beberapa Konstruksi Utama, 2005; Bagian Tiga Bab II Kybernologi Sebuah Scientific Enterprise, 2006; Bab XVII dan Bab XIX Kybernologi Sebuah Scientific Movement, 2007; Bab IX, Bab X, Bab XI, Bab XII, dan Bab XIII Kybernologi Sebuah Profesi, 2007; Bab 7, Bab 8 dan Bab 16 Kybernologi dan Kepamongprajaan, 2008; Bab IX dan Bab XVII Kybernologi Sebuah Metamorphosis, 2008; Bab VII, Bab VIII, Bab IX, Bab X, Bab XIII Kybernologi dan Pembangunan, 2009, dan Kybernologi dan Metodologi: Metodologi Ilmu Pemerintahan (2010)

9

Sesi Sembilan KEPAMONGPRAJAAN

Kepamongprajaan adalah sistem nilai dasar pemerintahan (Gambar 20). Dalam sesi ini dikaji dua pokok bahasan sebagai berikut:

217

1. Metodologi Kepamongprajaan 2. Komponen-komponen sistem nilai Kepamongprajaan 3. Diklat profesional Kepamongprajaan Sistem nilai Kepamongprajaan ditemukan melalui pendekatan lintasdisiplin. Penggunaan pendekatan lintasdisiplin ddidorong oleh dua kebutuhan. Pertama adalah kebutuhan akan sebuah metodologi yang mampu mengoordinasikan sisi aksiologi semua disiplin menjadi masukan ilmiah yang memiliki scientific power yang kuat dalam proses kebijakan publik yang memihak manusia, masyarakat, dan pelanggan. Nama Max Weber (1864-1920) disebut-sebut berkaitan dengan kebutuhan yang pertama beserta jawabannya. Hampir seratus tahun yang lalu kebutuhan kedua telah dirasakan oleh para pelopor Bestuurskunde, Regeerkunde dan Bestuurswetenschap (ref. Bab I GBPP Kybernologi dan Kepamongprajaan, 2009). Tentang hal ini, van Poelje dalam Pengantar Umum Ilmu Pemerintahan (1959) menyatakan: . . . . . . bahwa berbagai ilmu pengetahuan yang bertalian dengan salah satu bagian dari penguasaan (beheer) perusahaan partikelir pada akhirnya bermuara pada suatu ajaran perusahaan umum (algemene bedrijfsleer) yang meliputi kesemuanya dan bahwa ajaran tentang penguasaan perusahaan- perusahaan partikelir ini setidak-tidaknya untuk sebagian merupakan syarat bagi adanya ilmu pengetahuan yang lebih tinggi daripadanya, ialah Ilmu Pemerintahan (Bestuurskunde, Bestuurswetenschap, dan Bestuurswetenschappen, TN). Gambar 20 menunjukkan carakerja metodologi lintasdisiplin. Agronomi (Agronomics) dan Teknologi Civil mewakili berbagai disiplin yang sisi aksiologinya jadi masukan ke dalam proses kebijakan. Metodologi itu bekerja pada 9 terminal dan 9 rute. Dari terminal 1 Agronomi melalui rute 1 yaitu pendidikan (pengajaran), keilmuan (pengetahuan) di bidang pertanian (terminal 2) ditanamkan kepada peserta diklat. Dari terminal 2 melalui rute 2 pelatihan pertanian terbentuk profesi bidang pertanian (terminal 3). Dari terminal 3 melalui rute recruitment (rute 3), profesional pertanian diangkat menjadi pegawai Dinas Pertanian (terminal 4). Sebagai pegawai pemerintahan, PNS Dinas Pertanian wajib memahami proses kebijakan pemerintahan daerah sebagai dasar implementasi dan monev kebijakan pemerintahan daerah di bidang pertanian. Melalui rute 4 diklat profesional pemerintahan, ia diharapkan mampu memahami kebijakan pemerintahan daerah tersebut (terminal 5). Dari terminal 5 melalui competence building workshop (atau apapun namanya, rute 5), terbentuk kompetensi PNS Dinas Pertanian sebagai aparat pemerintahan daerah (terminal 6). Oleh setiap orang yang berdiri di terminal 5 dan memandang sekeliling, terlihat bahwa pertanian, profesi pertanian, pegawai Dinas Pertanian, dan sebagainya, hanya sebuah matarantai antar berbagai matarantai pemerintahan lainnya. Satu

218

dengan yang lain berhubungan interdependen. Kinerja yang satu ditentukan oleh dan atau bergantung pada kinerja yang lain. Sementara itu lingkungan berubah dan masa depan tidak menentu. Konstruksi pemikiran tersebut berakhir pada pertanyaan, apakah pemerintahan itu? Apakah nilai-nilai dasar pemerintahan? Pertanyaan pertama dijawab dengan definisi: Pemerintahan adalah proses interaksi antar subkultur ekonomi (SKE), subkultur kekuasaan (SKK), dan subkultur sosial (SKS dengan dua kualitasnya yaitu sebagai konstituen dan sebagai pelanggan), di dalam masyarakat, dalam upaya mengejar kebahagiaan rohani dan jasmani yang sebesar-besarnya tanpa merugikan orang lain secara tidak sah). Definisi tersebut adalah kombinasi Teori Governance dengan ide yang terkandung dalam definisi Regeerkunde menurut van de Spiegel. Dari definisi itulah Kybernologi yang dalam 9 -------------------------------KYBERNOLOGI------------------------------- | | (ILMU PEMERINTAHAN BARU) | | | | | | | 8 8 | | KEAHLIAN KEAHLIAN | | DI BIDANG----------GENERALIS----------DI BIDANG | | PEMERINTAHAN | PEMERINTAHAN | | | | | | | | | | | | 7 | 7 | | PROFESI KOMPONEN PROFESI | | BIDANG PE- --10---PENDIDIKAN---10-----BIDANG PE- | | MERINTAHAN DIPLOMA MERINTAHAN | | | | | | | | | | | | | --------------------- | | | 6 | vooruitzien | 6 | AGRO- PEMERINTAHAN | conducting | PEMERINTAHAN TEKNOLOGI PEMERINTAHAN DAERAH | coordinating | DAERAH PEMERINTAHAN | | | peace-making | | | | | | residue-caring | | | | 5 | turbulence-serving | 5 | | KEBIJAKAN | | KEBIJAKAN | |--------------BIDANG-----|---KEPAMONGPRAJAAN---|-----BIDANG--------------| | PERTANIAN | | PEKERJAAN UMUM | | | | Freies Ermessen | | | | | | gen&spec function* | | | | 4 | omnipresence | 4 | KYBERNOLOGI PNS DINAS | responsibility | PNS DINAS KYBERNOLOGI PERTANIAN PERTANIAN |magnanimous-thinking | PEK.UMUM PEK.UMUM | | | statesmanship | | | | | --------------------- | | | | | | | | 3 | 3 | | PROFESI KOMPONEN DIKLAT PROFESI | | BIDANG----11------PROFSIONAL----11----BIDANG | | PERTANIAN KEPAMONGPRAJAAN PEK. UMUM | | | | | | | | | | | | 2 | 2 | | KEAHLIAN | KEAHLIAN | | DI BIDANG----------SPESIALIS----------DI BIDANG |

219

| PERTANIAN PEK. UMUM | | | | | | | | | | 1 1 | -------------AGRONOMI TEKNOLOGI------------- AGRONOMICS CIVIL gen&spec function, generalist & specialist function

Gambar 21 Metodologi Lintasdisiplin

Gambar 21 terletak pada terminal 9, bermula. Melalui sistem pendidikan akademik (rute 9), keahlian di bidang pemerintahan ditanamkan di dalam diri pesertadidik (terminal 8), dan selanjutnya melalui pendidikan diploma (rute 7) dibentuk profesi pemerintahan (terminal 7). Antara terminal 7 dengan terminal 5, yaitu pada terminal 6, timbul pertanyaan kedua, yang dijawab dengan definisi: Sistem nilai dasar pemerintahan adalah Kepamongprajaan. Oleh sebab itu, isi the governance competence building workshop adalah Kepamongprajaan itu (ref Garis-Garis Besar Program Pembelajaran Kybernologi dan Kepamongprajaan, 2009). Konsep kepamongprajaan sejauh ini masih berbau kepangrehprajaan feodal, dikaitkan pada sentralisasi kekuasaan yang direkonstruksi dalam teori kepemimpinan-kepengikutan, dan dikemas dengan berbagai kearifan lokal, digunakan untuk memelihara status quo dan menjamin kepentingan pemangku kekuasaan. Kepamongprajaan sebagai sistem nilai dasar pemerintahan adalah sisi aksiologi Kybernologi, direkonstruksi menurut metodologi ilmupengetahuan. Gambar 21 menunjukkan 12 komponen sistem nilai Kepamongprajaan, yaitu: 1. Vooruitzien 2. Conducting 3. Coordinating 4. Peace-making 5. Residue-caring 6. Turbulence-serving 7. Freies Ermessen 8. Generalist & Specialist Function 9. Responsibility 10. Magnanimous Thinking 11. Omnipresence 12. Distinguished Statesmanship Referensi: Bab XIII Kybernologi Sebuah Charta Pembaharuan, 2007; Bab XX Kybernologi Sebuah Scientific Movement, 2007; Bab VI Kybernologi Sebuah Profesi, 2007; Bab 1, Bab 2, Bab 4, Bab 5, dan Bab 6 Kybernologi dan

220

Kepamongprajaan, 2008; Bab 1 dan Bab 7 Kybernologi Sebuah Metamorphosis, 2008; Bab XIV Kybernologi dan Pengharapan, 2009, Garis-Garis Besar Program Pembelajaran Kybernologi dan Kepamongprajaan, 2009..

10 Sesi Sepuluh

KEBIJAKAN PEMERINTAHAN Konsep kebijakan sangat berbau politik, sehingga amat sukar mendefinisikan isinya. Dalam sesi ini dipelajari pokok-pokok bahasan sebagai berikut: 1. Konsep (pengertian) kebijakan pemerintahan, hubungan dan perbedaannya dengan konsep kebijakan pemerintah, kebijakan publik, dan kebijaksanaan, konsep kebijakan di tingkat statal dibandingkan dengan konsep kebijakan di tingkat daerah 2. Teori kebijakan 3. Segitiga kebijakan 4. Metodologi kebijakan Dalam literatur Belanda terdapat dua istilah pemerintahan, yaitu regeren (mengatur, fungsi legislatif) dan besturen (mengurus, fungsi eksekutif). Itulah sebabnya dahulu otonomi diartikan sebagai hak untuk mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri, yang dilakukan oleh DPRD dan Kepala Daerah. Dalam literatur kebijakan publik (public policy), kebijakan publik dianggap identik dengan kebijakan pemerintah. Di sana kebijakan publik didefinisikan sebagai “Apa saja yang dilakukan atau tidak dilakukan oleh pemerintah.” Pemerintahan adalah apa saja yang dilakukan oleh pemerintahan. Pemerintah didefinisikan dulu, baru pemerintahan (pendekatan kelembagaan) Kebijaksanaan dibedakan dengan “kebijaksanaan.” “Kebijaksanaan” dengan tanda kutip adalah sebutan bagi kebijaksanaan yang melanggar norma kehidupan bermasyarakat, dan sering diungkapkan dengan “bijaksana, bijaksini.” Kebijaksanaan tanpa tanda kutip berarti kearifan, wisdom. Dalam UU 32/04 tentang Pemerintahan Daerah, pemerintahan daerah diartikan sebagai penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah (kepala daerah dan jajarannya) dan DPRD. Pemerintahan daerah diselenggarakan oleh DPRD dan kepala daerah (bersama jajarannya), tetapi yang disebut pemerintah daerah hanya kepala daerah bersama jajarannya. Ketentuan ini menunjukkan konsep pemerintahan dalam arti luas (fungsi DPRD dan pemerintah daerah) dan konsep

221

pemerintahan dalam arti sempit (fungsi pemerintah daerah). Juga pemerintahan dulu, baru pemerintah (ini disebut pendekatan fungsional). Pemerintahan daerah lebih luas ketimbang apa yang dilakukan atau tidak dilakukan oleh pemerintah daerah. Berdasarkan definisi tersebut, jika pemerintahan daerah dalam arti sempit ditafsirkan sebagai implementasi kebijakan, pemerintahan daerah dalam arti luas dapat disebut policy making. Dalam pada itu konsep penyelenggaraan dapat ditafsirkan meliputi “pengaturan” dan “pengurusan” tersebut di atas. Dilihat dari sudut ini, konsep penyelenggaraan lebih mendekati konsep governance ketimbang government. Hanya saja timbul kerancuan bahasa, bagaimana membedakan “pemerintahan daerah dalam arti luas” dengan “pemerintahan daerah dalam arti sempit?” Pusing jadinya!

Tabel 5 Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Berdasarkan Konsep Regeren dan Besturen

Lihat juga Tabel 2

----------------------------------------------------------------------------- PENGATURAN PENGURUSAN MONEV LOCAL GOVERNANCE REGEREN BESTUREN DAN FEEDBACK ----------------------------------------------------------------------------- 1 DPRD -- DPD, DPRD DPRD 2 KEPALA PEMERINTAH -- LOCAL GOVERNMENT DAERAH DAERAH (LOCAL GOVERNMENT) -----------------------------------------------------------------------------

Tabel 6 Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah

Berdasarkan Konsep Kebijakan

----------------------------------------------------------------------------- PEMERINTAHAN DAERAH ----------------------------------------------------------------------------- PEMBUATAN IMPLEMENTASI MONITOR DAN EVALUASI (MONEV) BERJALAN BER- KEBIJAKAN KEBIJAKAN SAMA IMPLEMENTASI KEBIJAKAN, DAN FEEDBACK ----------------------------------------------------------------------------- 1 DPRD -- DPRD DAN SEHARUSNYA BERSAMA-SAMA DENGAN DPD 2 KEPALA PEMERINTAH DAERAH DAERAH (LOCAL GOVERNMENT) -----------------------------------------------------------------------------

Konstruksi kebijakan dalam Kybernologi terlihat melalui Gambar 22. Ia diletakkan di dalam bingkai (frame) invention dengan innovation. Membanting cermin pada saat muka terlihat buruk (“Buruk muka, cermin dibelah”) dan membuat cermin baru, bukanlah inovasi. Menemukan cara membenahi muka buruk sehingga menjadi baik,

222

itulah inovasi (“Buruk muka, muka dibenah”). Policy implementation diberi kekuatan lanjutan research sebagai scientific movement. Diharapkan dengan demikian, bukan kekuasaan politik tetapi premises ilmupengetahuan dan teknologi yang memegang peranan penting dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat (Gambar 22). Kebijakan pemerintah jauh berbeda dengan kebijakan pemerintahan. Kebijakan pemerintah identik dengan kebijakan publik. Kebijakan pemerintahan didefinisikan mulai dari pemerintahan, baru pemerintah. Dalam Kybernologi pemerintahan scientific policy policy im- ----->RESEARCH----------->INVENTION----------->POLICY------------------ | enterprise making (input) plementation | | | | | |----------------------------with or without----------------------------| | | | | | I<O moni- scientific | ------FEEDBACK<---I=O----EVALUATION<---------INNOVATION<--------------- I>O toring (output) movement

Gambar 22 Model Axiologi Kybernologi Melalui Kebijakan

(governance) didefinisikan sebagai interaksi berkualitas selaras, seimbang, serasi, dinamik, dan berkelanjutan antar tiga subkultur masyarakat yang menggerakkan masyarakat yang bersangkutan (Gambar 9 dan Gambar 11). Walau pelaku pemerintahan itu menurut Gambar 9 terdiri dari tiga fihak (subkultur), hanya pelaku SKK yang disebut pemerintah. Konsep ini sejajar dengan konsep pemerintah daerah dalam pemerintahan daerah (Tabel 6) dengan segala wewenangnya. Bertolak dari definisi pemerintahan itu, kebijakan pemerintahan dibuat, bukan hanya oleh pemerintah, tetapi bersama-sama dengan pelaku subkultur lainnya (Gambar 23). Secara teoretik, proses kebijakan itu sejajar dengan perencanaan (planning) dalam manajemen. Sistem (siklus dan sirkel)-nya sama (Gambar 23). Policy agenda setara dengan informasi (masalah) perencanaan, policy adoption setara dengan penetapan rencana, policy implementation setara dengan pelaksanaan rencana, dan nseterusnya. Perbedaannya ialah, kebijakan lebih bersifat politik sedangkan perencanaan lebih bersifat administratif atau manajemen. Pertimbangan politik lebih dominan di tingkat pusat, sedangkan pertimbangan administratif di daerah. --->policy----->policy----->policy------->policy--------policy---->policy----- | agenda formulation adoption implementation outcome evaluation | | | | |

223

| aspirasi dan dukungan masyarakat sebagai konstituen dan sebagai pelanggan | | | | G O V E R N A N C E | | | ----------------------------------feedback<-----------------------------------

Gambar 23 Sistem (Siklus, Sirkel) Kebijakan Pemerintahan

Dalam Metodologi Kybernologi, sistem dan proses kebijakan itu seumpama perilaku take-off dan landing pesawat terbang. Dari policy agenda (identifikasi masalah) sampai pada policy adoption (penetapan kebijakan) itulah take-off mengudara setinggi-tingginya (ketok palu dan tepuk tangan, tandatangani daftar hadir dan terima uang), dan dari policy adoption sampai pada policy outcome melalui policy pesawat tinggi di angkasa di bawah tak terlihat apa-apa | | | | pada ketinggian pesawat ini yg di bawah pesawat membumbung terlihat samar, menurun sama, dan seragam | | di sini semakin jelas, ter- semua take-off lihat perbedaan dan kesenjangan landing evaluation and feedback utk penerbangan berikutnya

Gambar 24 Pesawat Take-off dan Landing implementation itulah landingnya. Sudah barang tentu pula, hasil evaluasi policy terhadap policy outcome, dijadikan masukan bagi policy agenda berikutnya. Take-off itu penetapan das Sollen bagi semua orang, landing adalah realisasinya menjadi fakta (das Sein) bagi setiap orang, yang kondisi kebutuhan, dan kepentingannya berbeda. policy adoption | | | | | formulasi | implementasi kebijakan | kebijakan | |

224

| | policy agenda | policy outcome policy evaluation and feedback Gambar 25 Tiga Tahap (Segi-3) Proses Kebijakan

Sebagaimana halnya pesawat tidak cukup hanya take-off tetapi harus landing, demikian juga kebijakan (harapan semua orang, umum) yang telah ditetapkan (berdasarkan metodologi kuantitatif), harus diimplementasikan sehingga outcomenya mencapai setiap orang yang kondisi kebutuhan, dan kepentingannya berbeda. Karena menyangkut setiap orang, khusus, unik, maka metodologi yang cocok untuk implementasi kebijakan adalah metodologi kualitatif. memonev hasil pendaratan adalah metodologi kualitatif. Selanjutnya, monitoring dan evaluasi (penilaian) terhadap pendaratan yang dilakukan oleh pelanggan, memerlukan tolokukur (ratio) dan tolakukur (standar) evaluasi. Identifikasi terhadap tolokukur dan tolakukur dilakukan menurut metodologi normatif hatus diolah dan digunakan untuk membuat feedback bagi take-off berikutnya. Referensi: Bab 6 dan Bab 37 Kybernologi 2003; Bagian Pertama Bab 5 Kybernologi Beberapa Konstruksi Utama, 2005; Bab III, Bab VI, dan Bab VII Kybernologi Sebuah Charta Pembaharuan, 2007; Bab 12 Kybernologi Sebuah Scientific Movement, 2007; Bab 7 dan Bab 8 Kybernologi Sebuah Metamorphosis, 2008

11

Sesi Sebelas MANAJEMEN PEMERINTAHAN

Manajemen pemerintahan di sini adalah Manajemen Pemerintahan sebagai Implementasi Kebijakan menurut perspektif Kybernologi (Pokok Bahasan Sesi 10). Dalam sesi ini dipelajari beberapa pokok bahasan, yaitu: 1. Konsep Manajemen Pemerintahan dari perspektif Kybernologi 2. Fungsi-fungsi manajemen pemerintahan 3. Proses Manajemen Pemerintahan 4. Bidang-bidang manajemen pemerintahan George C. Edwards III dalam Bab I Implementing Public Policy (1980) mendefinisikan policy implementation demikian: Policy implementation. . . . . is the stage of policymaking between the establishment of a policy --- such as the passage of a legislative act, the issuing of an executive order, the handling down of a judicial decision, or

225

the promulgation of a regulatory rule --- and the consequences of the policy for the people whom it affects Definisi implementasi kebijakan tersebut menunjukkan bahwa dimensi-dimensi atau kualitas implementasi adalah keseluruhan langkah-langkah yang perlu ditempuh oleh semua fihak terkait, sejak penetapan kebijakan (policy adoption) sampai efek yang diharapkan dari kebijakan itu (policy outcomes) dirasakan oleh masyarakat yang bersangkutan (pelanggan). Implementasi kebijakan, disebut dengan berbagai nama, misalnya Birokrasi, Administrasi Publik, dan Manajemen. Tiga nama tersebut terlihat sebagai tiga sisi, dimensi atau tampilan Implementasi Kebijakan dari berbagai sudut pandang. Terlebih setelah tiap sisi itu berkembang menjadi bidang kajian bahkan memiliki body-of-knowledge (BOK) sendiri. Setiap tampilan tersebut mengandung isi yang sangat kenyal, sehingga ketiganya saling berimpitan (overlap). Pemakaiannya pun dapat disalingtukarkan. Secara kasar, birokrasi menggambarkan kewenangan dan strukturnya sebagai alat untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan dalam kebijakan. Manajemen menunjukkan bagaimana mengendalikan alat itu demi tujuan, dengan mempertimbangkan perubahan-perubahan internal dan eksternal, administrasi menggambarkan proses operasional penggunaan alat sehingga hasil yang diharapkan tercapai. Pentingnya implementasi kebijakan diungkapkan oleh Charles Polidano dalam working paper “Why Cicil Service Reforms Fail,” (2001): “. . . . . They fail because they never get past the implementation stage at all. They are blocked outright or put into effect only in tokenistik, half-hearted fashion.” planning --------->INFO------------------>PLAN (GOAL--->TARGET T)-- | | | | | | | ----------------------------------------- | | | | | | organizing | | ------>PLAN----------------------->ORGANIZATION meet? match?--- | | | | | | | | | ----------------------------------------- | | | | | | | | actuating | | | -->ORGANIZATION---------------->EXPECTED RESULT (R)---- | | | | | | | | ----------------------------------------- | | | | | | controlling | | --->EXP. RESULT---------------->R = T; R > T; R < T-------------- | | | | | evaluation | | | ? ---> R = T ---> ? |

226

--------FEEDBACK------------------ ? ---> R > T ---> ? <---- ? ---> R < T ---> ? exp. result rxpected result

Gambar 26 Manajemen Pemerintahan

Sama seperti tubuh manusia yang terdiri dari berbagai anggota dengan fungsi yang berbeda-beda namun bersama-sama tersusun sebagai alat mencapai tujuan, manajemen juga demikian. Fungsi-fungsi manajemen tersusun seperti Gambar 26. : 1 a 2 b 3 c 4 d 5 ---> LK ------------> IP ------------> TP ------------> OP ------------> LK --- | info kebijakan implementasi “marketing” | | distribusi | | | j -- komunikasi penggunaan -- e | | | | | b<g pembandingan pantauan manfaat, guna | ---- FB <----b=g---- HEV <------------ EV -------------MON <-------------OC --- 10 b>g 9 h 8 g 7 f 6 i

Gambar 27 Proses Manajemen Pemerintahan

1LK lingkungan sebagai sumber (konstituen), IP input, TP throughput, proses OP output, 5LK lingkungan sebagai pelanggan, OC outcome, MON monitor, EV evaluasi, HEV hasil evaluasi, FB feedback

Di dalam Manajemen Pemerintahan terletak Manajemen Pembangunan, tidak sebaliknya. Lihat Gambar 9. Manajemen Pemerintahan tidak linier atau terpotong-potong mengikuti rezim politik, tetapi siklik (cyclic, berulang) atau sirkuler (circular, lingkaran) sesuai dengan hukum sistem. Jika dilihat dari pendekatan sistem, Manajemen Pemerintahan seperti Gambar 27. Terminal dan rute sepanjang siklus atau sirkel pemerintahan bersifat kritikal. Oleh sebab itu seluruh terminal dan rute manajemen terkait (planning, organizing, actuating, dan controlling) diatur setara (jangan seperti sekarang, hanya perencanaan yang diutamakan) dalam satu peraturan. CP CF MASYARAKAT EPP------->P -------->C-------> P<-------1 KONSTITUEN 2 PELANGGAN

227

CPP

Gambar 28 Manajemen Hubungan Pusat dengan Daerah C center, P periphery, CF centrifugal, CP centripetal,

CPP coperipheral, EPP extraperipheral

Manajemen pemerintahan meliputi seluruh bidang pemerintahan, baik di pusat maupun di daerah. Di antara berbagai bidang itu, tiga yang terpenting adalah (1) Manajemen Hubungan Pusat dengan Daerah, (2) Manajemen Sumberdaya, (3) Manajemen Bencana, dan Manajemen Politik. Manajemen Hubungan Pusat Dengan Daerah. Pada negara berbentuk kesatuan dan bekas jajahan, center (C) yang melancarkan kekuatan centrifugal (CF) ke periphery (P). P memberi respons dengan kekuatan centripetal (CP). Pada kondisi ini, CF > CP. C dominan tidak menguntungkan P, P semakin bergantung pada C. Asas demokrasi menghendaki menghendaki keseimbangan antara C dengan P, dengan memberikan kepada P kesempatan untuk (turut) menentukan masadepannya, melalui bargaining power yang sepadan dengan C. Di fihak P ditambahkan anak-timbangan baru, yaitu kekuatan CPP berupa berbagai asosiasi seperti asosiasi kabupaten, asosiasi kota, asosiasi provinsi, asosiasi DPRD, asosiasi camat, dan asosiasi lurah/kepala desa. Di bawah kondisi ini terbentuk CF > CP + CPP. Melalui hubungan diplomatik seadanya, dan cara macam-macam, dicoba membangun kekuatan baru dari luar, yaitu kekuatan Extra-Peripheral, seperti international NGO, namun konstelasi hubungan masih CF > CP + CPP + EPP. Keseimbangan diperkirakan baru bisa tercapai bilamana DPD memosisikan diri atau diposisikan sebagai badan perwakilan daerah sebagai masyarakat pelanggan, sehingga CF = CP + CPP + EPP + DPD (Gambar 28). Gambar 9 dan 11 menunjukkan bahwa tingkat kehidupan masyarakat bergantung pada nilai hasil kerjanya. Sementara nilai itu sendiri bergantung pada sumber- SDA----------------------->SDM----------------------->SDB | Indonesia | | | | deposit semakin terbatas kualitas rendah, teknologi dipengaruhi ambang batas semakin dekat, negara korup dan oleh kualitas negara sebagian nonrenewable, boros, sumberdaya dan SDM Indonesia daya dukung semakin merosot kayaknya masih ter- | (mendekati nol), pencemaran jajah | dan pengrusakan merajalela, | manusia semakin serakah | dan brutal | | |

228

| transformasi budaya: bagai mana supaya sebelum | | daya-dukung SDA mendekati nol, kualitas SDM | ----mendekati kualitas SDM bangsa maju, mampu meng-- gerakkan pembukaan dan peralihan lapangan kerja dari sektor primer ke sekunder dan tersier

Gambar 29 Manajemen Sumberdaya

sumber.yang ada. Distribusi dan kondisi sumber-sumber itu (SDA, SDM, dan SDB) antara daerah yang satu dengan daerah lainnya, sangat pincang, dan semakin diperpincang lagi oleh manajemen sumber-sumber yang tidak cerdas, Negara yang korup dan boros, serta masyarakat yang semakin bergantung pada pemerintah. Inilah sumber ketidakadilan sosial. Manajemen Sumber-sumber yang sehat adalah amanat pasal 33 UUD 1945. Manajemen Bencana disebut juga Manajemen Turbulentia. Turbulence adalah ledakan-ledakan yang terjadi di permukaan matahari. Dalam masyarakat terjadi juga ledakan, baik ledakan merupakan perilaku alam maupun ledakan yang langsung maupun tidak, disebabkan oleh perilaku manusia (Gambar 30). NEGARA (POLITISI) | | penindasan, pelanggaran HAM, dsb | peri- | pengkhianatan thd MASYARAKAT ALAM-----laku -------MANAJEMEN-------kebenaran ilmiah -----------ILMUPENGE- alam | dan etika akademik TAHUAN | kerusuhan, anarki, dsb | | PELANGGAN KECEWA DAN TAK BERDAYA

Gambar 30 Faktor-Faktor Bencana

Solusinya hanya satu: pertobatan Alam tidak totaliter. Ia memberikan tanda-tanda yang dapat dibaca oleh manusia. Buah pertobatan adalah tindakan membangun manajemen pemerintahan-serba-cuaca. Modelnya begini: MANAJEMEN NORMAL (MN) MANAJEMEN TURBULENTIA (MT) --> ----------------------------------> -------------------------- | LONG-TERM-BASED (LTB) membentuk ZERO-TIME-BASED (ZTB) | | | | | | | ------------------------- FEEDBACK (FB)---------------------------

229

Gambar 31 Pembentukan Manajemen-Serba-Cuaca

Manajemen Bencana adalah zero-time-based-management. Artinya begitu alarm berbunyi, pada saat itu dilakukan tindakan penyelamatan. Tidak ada waktu untuk membentuk panitia, mencari biaya, siapa yang berangkat, membeli perlengkapan, dsb. Jadi manajemen bencana adalah manajemen yang sepanjang waktu siap siaga di mana-mana dan kapan saja. QUALITY ZTB 4-------------------------------------------4 M | | | A | | | N | | | A | | | J 3--------------------------------3----------| E | | | | M | | | | E | | | | N | | | | Gambar 32 Manajemen Serba 2---------------------2----------|----------| T Cuaca Siaga Bertindak | | | | | U Kapan Saja, Di mana Saja | | | | | R | | | | | B | | | | | U 1----------1----------|----------|----------| L | | | | | E | | | | | N | | | | | T | | | | | I LTB --------1----------2----------3----------4-A----> TIME 0 M A N A J E M E N N O R M A L LTB long term based; ZTB zero time based management

Manajemen Politik disebut juga Manajemen Kekuasaan, merupakan manajemen yang paling sukar. Ia mempelajari bagaimana supaya politik SKK dalam masyarakat berbuahkan governance yang kinerja berkualitas good (Gambar 14). Dalam R1 R2 R3 R4 rel (runway) pemerintahan berkelanjutan ke O---5---|---5---|---5---|---5-->20 tujuan nasional melalui pembangunan yangka | | | | panjang 20 tahun R1 O-------|-------|-------|------>20 | | | | R2 O-------|-------|-------|------>20 | | | | R3 O-------|-------|-------|------>20 | | | | R4 O-------K1------K2------K3----->20

230

| K4 R rezim 5 tahunan; 0 orientasi 20 ke depan K1234 = kinerja R1R2R3R4 selama 20 tahun (expected output, bulat) 0 – 20 rel (landasan) jangka panjang dgn strategi 5 tahunan

Gambar 33 Manajemen Kekuasaan

hubungan itu, Manajemen Kekuasaan merupakan aplikasi buah kajian tentang implikasi politik pemerintahan berkelanjutan dan pembangunan jangka panjang berdasarkan UU 25/04 tengang SPPN dan UU 17/07 tentang RPJP.(Gambar 33). Referensi: Bab 10, Bab 13, dan Bab 14 Kybernologi 2003; Bagian Pertama Bab 5 Kybernologi Beberapa Konstruksi Utama, 2005; Bab X Kybernologi Sebuah Scientific Movement, 2007; Bab 12, Bab 13, dan Bab 17 Kybernologi dan Kepamongprajaan, 2008; Bab II Kybernologi dan Pembangunan, 2008, Kybernologi dan Pengharapan (2009), Kybernologi Politik dan Kybernologi Administrasi (2009), Bab II Kybernologi dan Metodologi: Metodologi Ilmu Pemerintahan (2010)

12 Sesi Duabelas

SENI DAN TEKNOLOGI PEMERINTAHAN Sesi ini mempelajari antara lain: 1. Konsep Seni dan Teknologi Pemerintahan 2. Pentingnya Seni dan Teknologi Pemerintahan 3. Budaya Pemerintahan Konsep Seni Pemerintahan dan Teknologi Pemerintahan terdapat dalam Bab 19 dan Bab 30 Kybernologi (2003). Seni merupakan cara mengeksplorasi, mengungkapkan (ekspresi), dan menghadirkan (representasi, memperagakan) suatu nilai dalam situasi yang berbeda-beda dan kondisi yang berubah-ubah, karena “lain padang lain belalangnya, lain lubuk lain ikannya” sementara diharapkan “di mana bumi diinjak, di situ langit dijunjung.” Jadi intinya empati, kreativitas, dan efektivitas. Produknya tidak pernah sama. Nilai-nilainya lebih subjektif ketimbang objektif. Teknologi lain. Teknologi Pemerintahan didefinisikan sebagai kajian tentang pembuatan dan penggunaan alat-alat dan cara-cara tertentu untuk memecahkan masalah-masalah pemerintahan terentu, guna meningkatkan kehematan, kemahiran (dari lancar sampai otomatik) dan efisiensi. Teknologi bersentuhan dengan seni tatkala keduanya menjawab perubahan melalui invention dan innovation. Nilai-nilai teknologi lebih objektif ketimbang subjektif.

231

Pentingnya Seni diungkapkan oleh Will Durant dalam The Story of Philosophy (1956, xxvi): “Every science begins as philosophy and ends as art.” Proposisi Durant ini menerangkan mandulnya suatu ilmu dan pincangnya hubungan antara teori dengan praktik. “Ah, itu sih teori,” demikian keluhan berbagai kalangan. Penyebab kemandulan dan kepincangan itu terletak di hulu, yaitu keringnya Filsafat dan lemahnya teori, dan di hilir (miskinnya Seni dalam membuat dan melahnya Teknologi dalam implementasi kebijakan: “Benar, tetapi. . . . ,” “Setuju, namun. . . .” Seni Pemerintahan menunjukkan upaya penumbuhkembangkan kreativitas dan efektivitas. Ruangnya dalam Model 1 Gambar 34. Dalam hubungan itu, kepemimpinan adalah seni, “how to get things done through the leader him- (her-) self.” Selanjutnya Teknik dan Teknologi Pemerintahan menunjukkan kemahiran, kehematan, dan efisiensi. Ruangnya dalam Model 2 Gambar yang sama. Kombinasi Model 1 dengan Model 2 menghasilkan Model 3, Gambar 34. empati kreativitas efektivitas | | Ikons-----1---->Omaks<--- | | -------------->3-------------- | | -----Imin------2---->Okons | | kemahiran kehematan efisiensi

Gambar 34 Seni Pemerintahan dan Teknologi Pemerintahan

I input, O output, kons konstan (seadanya), maks maksimum, min minimum

Model 1 Gambar 34 dibaca sebagai berikut. Sebuah kegiatan disebut lebih efektif dibandingkan dengan kegiatan lain jika denganmasukan yang sama (konstan) dapat dicapai keluaran maksimal, ceteris paribus. Model 2 berbunyi, sebuah kegiatan disebut lebih hemat atau efisien jika untuk mencapai keluaran yang sama dikorbankan masukan yang seminimal mungkin, ceteris paribus. Model 3 berbunyi

232

sebuah kegiatan efektif dan efisien jika untuk mencapai keluaran maksimal dikorbankan masukan seminimal mungkin. Referensi: Bab 12, Bab 19, Bab 30, dan 34 Kybernologi 2003; Bab I Kybernologi dan Pengharapan (2009).

13 Sesi Tigabelas

ETIKA PEMERINTAHAN Sesi ini mempelajari beberapa pokok bahasan, yaitu: 1. Konsep Moral dengan Etika 2. Kesadaran Diri dan Pertimbangan Etik 3. Norma Etik 4. Keputusan Etik berdasarkan Etika Pemerintahan 5. Perbuatan (Tindakan) Etik 6. Pertanggungjawaban Etik Konsep Moral dan Etika terdapat dalam Bab 16 Kybernologi (2003). Menurut Alois A. Nugroho dalam Etika Administrasi Bisnis (2000), Moral adalah ajaran tentang perilaku yang baik dan buruk, sedang etika ialah cabang filsafat yang secara teoretik menyoroti, menganalisis, dan mengevaluasi ajaran-ajaran tersebut, tanpa sendiri mengajukan suatu ajaran tentang mana perilaku yang baik dan mana perilaku yang buruk Dari Terminal 1 sampai pada Terminal 3, Gambar 35, belum terlihat perbedaan antara moral dengan etik, sehingga keduanya relatif identik (lihat juga Gambar 15). Untuk hidup, manusia memerlukan nilai. Pada terminal 3 di luar diri manusia terdapat ribuan nilai. Sebagian nilai sudah disepakati menjadi norma perilaku bermasyarakat. Norma berlaku dan mengikat, ada sanksi terhadap pelanggarannya. Sebagian lagi masih belum disepakati oleh semua warga, sebagian menolak, sebagian membiarkan, sebagian lagi bahkan melakukannya. Misalnya “merokok.” Semua nilai itu beserta norma, melalui pengalaman atau pendidikan, dari luar, memasuki diri orang, sadar maupun tidak. Termasuk informasi tentang nilai “merokok” (Terminal 4). Jika diri lagi “kosong” (tidak memiliki norma tentang “merokok”), atau terisi hanya dengan informasi yang menunjukkan bahwa nilai “merokok” itu baik, informasi itu melenggang masuk. Maka merokoklah sang diri. Lain halnya jika informasi yang menunjukkan bahwa nilai “merokok” juga buruk, masuk, sehingga informasi tentang “merokok” menjadi lengkap. Jika kalbu sang diri “tertulisi” informasi tentang bahayanya (nilai buruk) “merokok” bagi semua orang, baik yang merokok maupun masyarakat yang tidak merokok di sekitarnya, maka “tulisan” itu bisa membangun

233

suara hati untuk tidak merokok. Di dalam sang diri berlangsung diskusi atau perdebatan, untuk menentukan sikap diri terhadap nilai yang masih dipertanyakan itu. Demikianlah dalam Terminal 5 terjadi perdebatan antar nilai-nilai dari luar diri dengan suara-suara hati (pertimbangan etik). Jadi sifat etik itu terbentuk pada saat suara hati bersaksi. Sudah barang tentu, diri orang yang tidak memiliki suara hati, tidak mampu melakukan pertimbangan etik. Norma moral merupakan kesepakatan warga masyarakat, sedangkan norma etik adalah buah kesepakatan yang meyakinkan antar berbagai suara hati (lubuk hati, hati nurani, hati sanubari, insan kamil) dengan nilai tertentu, untuk menerima nilai tersebut, menjadi pola perilaku diri, berdasarkan pilihan bebas dalam arti tidak terikat pada pengaruh dari luar, dengan kesediaan menanggung segala risiko dan konsekuensinya. nilai, nilai dari -->norma--- luar diri | umum | | | | 5 1 2 3 4 pertimbangan 6 --->apakah--->kualitas--->nilai---->kesadaran--------->di dlm kalbu- -------->norma---- | etika? (umum) (umum) diri pertimb etik etik | | moral? | | | | | | | yg-benar guna nilai baik diskusi antar suara hati tertanam | | yg-baik dlm nilai buruk dgn nilai dari luar diri dlm kalbu | | yg-wajib hidup kebebasan memilih, menen- | | tukan & memikul sanksi, | | kesepakatan, keyakinan | | | | 10 9 8 7 | | 11 pertanggung- perilaku tindakan keputusan etik | ----etikalitas<----------jawaban<-------etik<-------etik<------etika pemerintahan<----- | etik | | | | | | | berdasarkan norma etik kadar | --kinerja-- pilihan bebas, otonom keetikan sanksi etik* | berjanji | | | | | ----------------- merasa malu | | | merasa bersalah | pada fihak pada diri menyesal | lain (pelanggan) sendiri mohon maaf | | | mohon ampun | | | janji bertobat | | nazar,sumpah bernazar | perjan- pengakuan membayar tebusan | jian credo, self- kesediaan berkorban | commitment self-commit- mengaku bersalah | | ment* mengundurkandiri dari jabatan | | | mengasingkandiri | | agar mengikat menyakitidiri | | perlu disak- bersumpah | | sikan mengorbankandiri | | | bunuhdiri | ----------------- | | | *setiap commit- | | dikontrol | ment atau janji | -----dibandingkan------

234

harus disertai | kesenjangan dite- dievaluasi sanksi yg mengikat | rangkan setulus & | diri sendiri dan --sejujurnya, risi- ----------- orang lain, dinya- ko & konsekuensi takan secara terbuka ditanggung sendiri

Gambar 35 Etika Pemerintahan (1 sd 11 Terminal)

Suara hati itu berasal dari bermacam-macam nilai hidup bermasyarakat (agama, adat, tradisi, kebiasaan, sosial, politik, ekonomi, hukum, dsb) yang ditawarkan atau hadir di dalam hati, misalnya suara-suara pro-kontra terhadap fatwa rokok haram Maret 2010 ini. Norma etik itu ibarat pelita. “Pikir itu pelita hati.” Norma etik menerangi nurani, sehingga terus-menerus tersadar, dan menjadi pola perilaku pribadi yang bersangkutan. Norma etik disebut juga Kode Etik. Keputusan etik memasuki ruang Etika Pemerintahan, pada saat keputusan yang dibuat dalam proses pemerintahan didasarkan pada norma etik terkait. Yang dimaksud dengan keputusan etik (Terminal 7) adalah keputusan etik yang dilakukan di dalam ruang pemerintahan. Dari tiga subkultur, pelaku SKK diambil sebagai model. Keputusan etik adalah 1. Keputusan yang diambil oleh pelaku berdasarkan norma etik 2. Keputusan diambil menurut pilihan bebas berdasarkan keyakinan 3. Keputusan bersifat otonom (Etika Otonom), artinya bebas dari kekuatan dari luar, baik yang memaksa (peraturan, command, punishment) maupun yang menarik (reward) 4. Keputusan yang isinya adalah perjanjian: janji (ke)pada diri sendiri dan janji kepada pelanggan; dengan janji terbentuk dua fihak, fihak penjanji (negara, pemerintah) dan fihak terjanji (pelanggan) 5. Keputusann yang mengikat; supaya mengikat, perjanjian diumumkan (dinyatakan, disaksikan) secara terbuka 6. Keputusan yang janjinya dijamin dengan sanksi atas pelanggaran janji 7. Keputusan dengan sanksi etik yang ditentukan sendiri secara sukarela oleh fihak penjanji, ditanggungkan oleh fihak penjanji atas dirinya sendiri 8. Keputusan yang perjanjiannya dan hal yang dijanjikan telah dibayar oleh fihak terjanji dengan vote yang bernilai tinggi (penjanji telah memenuhi kewajibannya) 9. Keputusan, yang di dalamnya ditetapkan bahwa penepatan (pemenuhan) janji merupakan kewajiban fihak penjanji 10. Keputusan yang menetapkan bahwa fihak terjanji berhak menagih janji fihak penjanji

235

11. Keputusan yang di dalamnya fihak penjanji bertanggungjawab secara etik (tanggungjawab etik) atas pelanggaran terhadap keputusan etik 12. Keputusan yang di dalamnya tanggungjawab atas pelanggaran keputusan etik bersifat pribadi penjanji. Dua bentuk keputusan etik adalah sumpah dan janji. Hubungan antara keduanya dibahas dalam Bab V Kybernologi Sebuah Metamorphosis (2008). Sumpah bersisi dua, sebagai bukti atas masalalu (“Saya bersumpah bahwa saya tidak melakukan hal yang dituduhkan kepada saya”), dan sebagai janji buat masadepan (“Saya bersumpah akan membalasnya”). Keduanya membawa kewajiban. Agar sumpah, misalnya sumpah jabatan, berkualitas etik, maka orang yang dilantik bersumpah, bukan disumpah, apa lagi disumpahi. Keputusan etik diikuti dengan tindakan etik yang didukung oleh perilaku etik. Melalui tindakan etik itulah keluar kinerja etik pemerintahan yang pada gilirannya harus dipertanggungjawabkan oleh fihak penjanji kepada fihak terjanji -------------------- | | DASAR | RESPONSIBILITY | | | PERINTAH, | | no bad soldier ------>KEBIJAKAN -----> ACTION -------|-> ACCOUNTABILITY --|-but bad --------- | ATASAN penaatan perintah | | commandant | | | | | | | | | | | | SUMPAH, | | | |-------> JANJI, ------> ACTION -------|-> OBLIGATION ------|--> ACTION -------| | NOBLESSE* penepatan janji | kewajiban bertang- | memikul sendiri | | | | gungjawab, lepas | akibat, | | | | dari sebab akibat | pembuktian | | | | | | | | | | | | | FREIES ERMESSEN | | | | FORCE MAJEURE VOLITION, FREE- | | | |------>TURBULENCE ---WILL (CHOICE)----|-> CAUSE -----------|--> ACTION -------| | DISASTER DISCRETION | | memikul sendiri | | CONSCIENCE | | punishment, tidak| | | | mengharapkan | | | | reward | | | | | | HOPE TRUST | REWARD | BERHASIL | -------atau <---------- atau ---------|-- atau ------------|--- ATAU <-------- HOPELESS DISTRUST | PUNISHMENT | GAGAL | | --------------------- *noblesse oblige, keagungan membawa kewajiban (dari keagungan dituntut kewajiban)

236

Gambar 36 Konstruksi Teori Tanggungjawab:

Teori Herbert J. Spiro, 1969, dimodifikasi dan dikembangkan

(pertanggungjawaban etik). Pertanggungjawaban etik didahului dengan pertanyaan fihak terjanji yang wajib dijawab oleh fihak penjanji dengan jawaban yang benar sehingga dapat difahami dan diterima oleh fihak terjanji. Bilamana jawaban fihak penjanji dapat diterima oleh fihak terjanji, maka kinerja penjanji disebut good, dan jika tidak, penjanji wajib menanggung sanksinya yaitu mosi tidak percaya dari fihak pelanggan (terjanji). Pertanggungjawaban dapat diterangkan melalui Teori Tanggungjawab yang dikembangkan dari Teori Tanggungjawab Herbert J. Spiro dalam Responsibility in Government (1969), Gambar 36. Menurut Spiro, tanggungjawab diartikan sebagai accountability, obligation, dan cause. Tanggungjawab sebagai accountability adalah perhitungan atas pelaksanaan perintah kepada pemberi perintah. Jika pelaksanaan perintah sesuai dengan perintah, risiko ditanggung oleh pemberi perintah. Oleh sebab itu pelaksana perintah harus memahami betul isi dan cara pelaksanaan perintah. Tanggungjawab sebagai obligation memiliki tiga dimensi, yaitu berjanji (bersumpah, kewajiban menepati janji (lepas dari sebab dan akibat), dan kesediaan memikul risiko. Tanggungjawab sebagai cause adalah sesuatu yang mendorong atau menggerakkan seseorang untuk bertindak, yang disebut rasa atau kesadaran akan tanggungjawab dengan kesediaan untuk menanggung risiko atau akibatnya. Yang digunakan dalam Kybernologi adalah pertanggungjawaban etik (lihat Sesi 13 GBPP Kybernologi). Pertanggungjawaban etik adalah puncak segala bentuk dan cara pertanggungjawaban pemerintahan. Yang dimaksud dengan etika di sini adalah etika otonom, yang dianut oleh pelaku tanpa terikat dengan fihak lain. Dalam Bab V Kybernologi Sebuah Metamorphosis (2008) diungkapkan bahwa pertanggungjawaban berkurang karena pertimbangan jasa. Seseorang disebut BERJASA DALAM ARTI ETIK, KETIKA IA MELAYANI ORANG LAIN ATAS PRAKARSA SENDIRI, TIDAK OLEH KEKUASAAN POLITIK, MELAINKAN DIDORONG OLEH NILAI-NILAI KEBENARAN (SESUAI DENGAN FAKTA), KEBAIKAN (BERGUNA, BERMANFAAT, BERMAKNA), DAN KEWAJIBAN (SESUAI DENGAN KEYAKINAN, KEPERCAYAAN), IA TIDAK BERMAKSUD MENDAPAT DAN MEMANG TIDAK MENDAPAT IMBALAN APAPUN (IA TIDAK MEMBERI SUPAYA MENDAPAT, TETAPI SEBALIKNYA KETIKA IA MEMBERI IA KEHILANGAN SESUATU DALAM HIDUPNYA), WALAUPUN TERNYATA LAYANANNYA MENJADI BERKAT BAGI SETIAP ORANG

237

DALAM JANGKA PANJANG, DAN SANKSI ATAS KEGAGALAN PENEPATAN ATAU PELANGGARAN JANJINYA, DATANG DARI DIRINYA SENDIRI DENGAN SETULUS-TULUSNYA (Lihat juga Bagian Dua Bab II Kybernologi Sebuah Scientific Enterprise, 2006) Etika Pemerintahan sangat penting. Pernyataan seperti: “Saya siap mengundurkan diri, jika. . . . . ” bukanlah pertanggungjawaban, konon pula pertanggungjawaban etik. Demikian juga pernyataan: “Mengundurkan diri berarti lari dari tanggungjawab,” sebab pengunduran diri itu adalah bagian dari pertanggungawaban. Dengan pegangan Moral saja, Iblis bisa bercahaya seperti Malaikat, Serigala berbulu Domba, dan Musang berbulu Ayam, Jadi bukan “disumpah,” tetapi “bersumpah.” Kode Etik Profesional, dan Etiket Pergaulan Politik/Diplomatik adalah aplikasi Etika Pemerintahan. Tetangga Etika Pemerintahan adalah Teologi Pemerintahan. Seperti telah dikemukakan, ada Hak Asasi dalam arti bawaan, yang terbentuk sejak dalam kandungan, tetapi tidak ada Kewajiban Asasi dalam arti itu; kewajiban tumbuh sejajar dengan pertanggungjawaban (kemampuan bertanggungjawab). Teori Tanggungjawab menurut Herbert J. Spiro dalam Responsibility in Government (1969). Kunci Etika Pemerintahan terletak pada pertimbangan etik dan pertanggungjawaban etik (Terminal 5 dan Terminal 10 Gambar 34). Referensi: Bab 15 dan Bab 16 Kybernologi 2003; Bagian Pertama Bab 7 Kybernologi Beberapa Konstruksi Utama, 2005; Bagian Dua Bab II dan Bab III, dan Bagian Tiga Bab XVI Kybernologi Sebuah Scientific Enterprise, 2006; Bab XV Kybernologi Sebuah Scientific Movement, 2007; Bab 2, Bab 3, Bab 4, dan Bab 5 Kybernologi Sebuah Metamorphosis, 2008; Bab III dan IV Kybernologi dan Pengharapan (2009)

14

Sesi Empatbelas REFORMASI PEMERINTAHAN

Tiga belas sesi di atas ibarat cermin yang digunakan untuk “ngaca.” Jika terlihat “muka buruk, muka dibenah.” jangan cerminnya yang dibanting! Pokok bahasan ini juga merupakan review sesi-sesi sebelumnya. Ada dua sisi reformasi pemerintahan: 1. Penguatan tiap subkultur sehingga interaksi antar ketiganya selaras, seimbang, serasi, dinamik dan berkelanjutan, dan 2. Koreksi terhadap buruknya muka pemerintahan Penguatan SKS Di atas telah dikemukakan bahwa SKS merupakan sasaran redistribusi nilai melalui pelayanan civil dan pelayanan public yang dilakukan oleh SKK. Pelayanan civil

238

adalah kewajiban Negara, sedangkan pelayanan publik adalah kewenangan pemerintah. Dalam hubungan itu, setiap orang adalah pelanggan produk-produk Negara. Masyarakat sebagai pelanggan, bukan hanya sasaran pelayanan Negara dan pemerintah, tetapi juga kekuatan yang mengontrol SKK, agar SKK melakukan tugasnya dengan baik (good governance) dan tidak koruptif (bad governance). Hal itu penting karena menurut hukum alam, kekuasaan tidak bisa dan tidak mau mengontrol diri sendiri. Supaya SKS mampu melakukan fungsi tersebut, SKS harus diberdayakan (empowered). Jika tidak, ia menjadi korban dan selanjutnya jika tidak diselamatkan, menjadi mangsa (Gambar 13). Pemberdayaan di sini dalam arti empowerment, yaitu peningkatan posisi tawar pelanggan dan pemberian kesempatan kepadanya untuk memperjuangkan hak, mengontrol SKK, guna memperoleh pelayanan yang bermutu. SKS adalah stakeholder pemerintahan (governance). Stakeholder itu ibarat bandar permainan judi. Ia menjaga semua sumberdaya (uang taruhan), ia membayar risiko dan biaya (membayar kepada petaruh yang menebak tepat), dan ia mengontrol SKK (para petaruh, agar setiap petaruh menaati aturan main yang sudah disepakati bersama). Penguatan SKE Seperti telah dikemukakan di atas, pendekatan pemerintahan mendorong perubahan peran SKK yang selama ini dipegangnya dengan penuh kesenangan ibarat wasit merangkap sebagai pemain, secara bertahap menanggalkan perannya sebagai pemain, agar mampu melakukan fungsi kewasitannya dengan lebih objektif dan tidak koruptif, atau dengan perkataan lain agar SKK meredistribusi nilai melalui pelayanan kepada masyarakat dengan penuh tanggungjawab. Tetapi itupun bergantung pada sejauh mana SKE mampu meningkatkan kapasitas dirinya sebagai subkultur ekonomi dan pembangunan, tidak selamanya bergantung pada dan dikorupsi oleh SKK. Oleh sebab itu seharusnya sejak awal Negara mengarahkan pembangunan pada pemberdayaan (enabling) masyarakat SKE agar pada suatu saat masyarakat mampu membangun dirinya sendiri. Pemberdayaan SKE bertujuan membangun kapasitas SKE untuk mengelola sumberdaya, baik SDA, SDM, maupun SDB, dan mengelola produk-produk Negara dan pemerintah menurut budaya ekonomi, budaya manajemen, budaya bisnis, dan budaya kerja berdasarkan Pasal 33 (1) UUD 1945 naskah asli. Di dalam SKE harus tersedia tenaga-tenaga terampil (terlatih), jujur, dan bertanggungjawab. JANGAN SAMPAI BUDAYA KORUPSI YANG SEKARANG TELAH MERAJALELA SAMPAI PADA TINGKAT KABUTAN/KOTA, MENCEMARI SKE MASYARAKAT DESA YANG DAHULU TERKENAL SEBAGAI BENTENG MORAL BANGSA. Di lingkungan SKE perlu disosialisasikan konsep Corporate Social Responsibility dan Corporate Good

239

Governance. Upaya jangka panjang untuk mengimplementasi Pasal 33 UUD dan menemukan rantai penghubung antara ekonomi kapitalistik dengan ekonomi kerakyatan, harus diperjuangkan habis-habisan. Penguatan SKK Penguatan kapasitas pemerintah dilakukan melalui beberapa strategi. Pertama reposisi SKK dari posisi vertikal ke posisi matarantai pemerintahan (Gambar 9). Dalam posisi itu berlaku hukum-hukum sistem: (a) hukum rantai, kekuatan sebuah rantai sama dengan kekuatan matarantainya yang terlemah, dan (b) hukum kontrol, setiap komponen sistem dikontrol oleh komponen lainnya melalui feedback control, baik langsung maupun tidak langsung. Kedua pembebasan SKK secara bertahap tapi pasti dari perannya sebagai pemain. Dengan demikian SKK dapat memusatkan perhatiannya untuk mengontrol SKE secara objektif sekaligus member-dayakan SKE sebagai pemain. Ketiga reformasi birokrasi. Yang dimaksud dengan reformasi birokrasi meliputi (a) redefinisi birokrasi, (b) refungsionalisasi birokrasi, (c) dekonstruksi lingkungan birokrasi, (d) merevitalisasi proses birokrasi, dan (e) mentransformasi perilaku birokrasi. Reformasi Pemerintahan lebih sebagai fungsi ketimbang momentum, artinya berjalan terus-menerus, konsisten, dan akumulatif. Reformasi Pemerintahan bertujuan POLITIK (NEGARA) | | public choice waktu | ruang | SUMBER-SUMBER----nilai----PEMERINTAHAN----informasi----ILMUPENGTAHUAN teknologi | sumberdaya | kontrol di hulu dan kontrol di hilir | | MASYARAKAT PELANGGAN

Gambar 36 Lingkungan Pemerintahan

Lihat juga Gambar 11

membangun pemerintahan yang sehat dengan mencegah sejauh mungkin pemerintahan yang sakit. Dalam hubungan itu fenomena birokrasi tidak cukup diterangkan hanya oleh Teori Kebijakan Publik, Teori Politik, Sosiologi dan Ilmu

240

Hukum. Diperlukan bangunan teori yang lebih tinggi, yaitu grand theory yang mencakup semuanya. Grand theory yang dimaksud adalah Teori Hubungan antara Negara dengan Manusia (Gambar 4). Menurut teori itu terjadi hubungan timbal-balik antara keduanya. Hubungan itu berturut-turut berisi public choice, nilai, info, dan kontrol di hulu dan di hilir. Oleh sebab itu, pada aras makro, Reformasi Pemerintahan berarti reformasi lingkungan pemerintahan yang terdiri dari Politik (Negara), Sumber-sumber, Ilmu Pengetahuan, dan Masyarakat (Gambar 36), dan inovasi Birokrasi itu sendiri. Birokrasi itu ibarat sebuah mobil. Manfaatnya bergantung pada penggunanya. Sesehat dan sekuat apapun Birokrasi, jika pengguna (politik, politisi) menyalahgunakannya, ia menjadi biropatologik. Secerdas apapun sebuah temuan ilmiah, kalau tidak digunakan, tidak berguna. Memang, “power tends to corrupt.” Referensi: Bab 9 Kybernologi 2003; Bagian Kedua Bab 18 Kybernologi Beberapa Konstruksi Utama, 2005; Bagian Dua Bab I dan Bab IX Kybernologi Sebuah Scientific Enterprise, 2006; Bab IX Kybernologi Sebuah Charta Pembaharuan, 2007; Bab 2, Bab 12, Bab 13, Bab 14, dan Bab 15 Kybernologi Sebuah Scientific Movement, 2007; Bab I dan Bab II Kybernologi Sebuah Profesi, 2007; Bab 8 Kybernologi Sebuah Metamorphosis, 2008; Bab VI dan Bab XII Kybernologi dan Pembangunan, 2009.

1112081144 1212081427SDGORODTG 1312081506 1912081058 0401091050 0801091014SDGOROTDUSADS 3103090818SDG 0904090953SDG

241

1104091755SDG 1703101520SDG 2203101248SDG 2403100827SDG

BABAK 1 Ilmu itu ada di dalam diri kita. Hati, sanubari, kalbu, nurani, insan kamil, batin, gelap, lihat Koran hari ini.