karakteristik cebakan bauksit laterit di daerah sepiluk-senaning ...
repository.umrah.ac.idrepository.umrah.ac.id/664/1/ARTIKEL ILMIAH (WIRA AGUNG... · Web...
Transcript of repository.umrah.ac.idrepository.umrah.ac.id/664/1/ARTIKEL ILMIAH (WIRA AGUNG... · Web...
Makrozoobenthos sebagai Indikator Pencemaran Logam Berat (Al dan Fe) di Perairan Kota Tanjungpinang
Wira Agung Lesmono, Chandra Joei Koenawan, Agung Dhamar Syakti
Email : [email protected]
Program Studi Ilmu Kelautan, Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas Maritim Raja Ali Haji
ABSTRAK
LESMONO, WIRA AGUNG. Makrozoobenthos sebagai Indikator Pencemaran Logam Berat (Al dan Fe) di perairan Kota Tanjungpinang. Program Studi Ilmu Kelautan, Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas Maritim Raja Ali Haji. Dibimbing oleh Agung Dhamar Syakti dan Chandra Joei Koenawan.
Penelitian mengenai keanekaragaman makrozoobenthos dan hubungannya dengan logam berat (Al dan Fe) pada sedimen telah dilakukan di perairan Tajungpinang. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui keanekaragaman jenis makrozoobenthos, menganalisis logam berat (Al dan Fe) pada sedimen, serta mengetahui hubungan kelimpahan makrozoobenthos dengan kadar logam berat (Al dan Fe) pada sedimen di perairan Tanjungpinang. Pengumpulan data menggunakan observasi langsung di Pelabuhan Sri Bintan Pura, perairan Teluk Keriting, Tambang Bauksit Senggarang Besar dan perairan Tanjung Siambang Dompak. Penentuan titik stasiun menggunakan metode purposive sampling. Identifikasi makrozoobenthos menggunakan acuan WoRMS dan seashellhub. Preparasi sampel sedimen sesuai AFNOR NF X 31-151. Analisis logam menggunakan AAS. Data dianalisa principal component analysis (PCA) menggunakan SPSS 16. Hasil pengamatan makrozoobenthos teridentifikasi sebanyak 47 jenis dengan nilai kelimpahan rata-rata 55,48 ind/m2. Dimana kelimpahan tertinggi pada jenis Cerithium zonatum yaitu 16,67 ind/m2 dan terendah Rangia cunaeta 0,08 ind/m2. Kandungan logam Fe dalam sedimen dari seluruh titik lokasi penelitian masih dibawah baku mutu yang telah ditetapkan oleh Wisconsin Department of Natural Resources yaitu 20 mg/Kg. Sedangkan pada logam Al dalam sedimen belum ditemukannya angka pasti untuk menentukan baku mutu logam Al pada sedimen. Dari hasil uji yang dilakukan, terlihat bahwa konsentrasi logam (Al dan Fe) berpengaruh terhadap kelimpahan makrozoobenthos sebesar 47,3% dan 33,3% dimana hubungan ini dinyatakan searah.
Kata kunci: Kelimpahan Makrozoobenthos, Indikator Pencemaran, Logam Berat.
PENDAHULUAN
Perairan Kota Tanjungpinang merupakan kawasan yang cukup tinggi tingkat
eksploitasinya, baik dari segi pemanfaatan wilayah sampai pada biota ekonomis
1
yang berada di kawasan tersebut. Padatnya pemukiman penduduk, pelabuhan
kapal dan bekas penambangan bauksit secara umum merupakan bagian dari
aktivitas masyarakat dalam pemanfaatan wilayah perairan laut Kota
Tanjungpinang.
Namun dibalik itu, aktivitas masyarakat dimulai dari buangan limbah domestik
seperti sisa-sisa logam, kaleng bekas, kaca, karet dan plastik deterjen. Kemudian
proses erosi dari limbah bauksit, limpasan air ballast kapal dan zat-zat logam yang
terkandung pada badan kapal. Jika dilihat dengan seksama, pencemaran yang
terjadi sangat berhubungan erat dengan persenyawaan logam berat alumunium
(Al) dan besi (Fe). Anisyah dan Nurjazuli (2016), menyatakan air ballast yang
dibawa suatu kapal dapat membawa logam berat dari lingkungan perairan asal dan
dibuang di lingkungan yang baru. Kemudian Zulfikar (2011), menyatakan
keberadaan bauksit di alam biasanya berasosiasi dengan unsur-unsur logam
seperti besi, silika, titan dan lain-lain.
Secara alami kandungan logam berat Al dan Fe telah ditemukan di alam,
namun kadarnya masih dibawah ambang batas dan tidak membahayakan bagi
organisme. Pengaruh dari aktivitas masyarakat akan mengakibatkan
meningkatnya kadar logam berat Al dan Fe dan bersifat racun bagi organisme.
Keberadaan logam dalam jumlah tertentu sangat dibutuhkan oleh organisme
hidup, namun dalam jumlah berlebihan dapat menimbulkan efek racun,
(Supriyantini dan Endrawati 2015).
Salah satu organisme yang merasakan dampak langsung dari pencemaran
adalah benthos. Organisme benthos adalah organisme yang hidup pada permukaan
dan di dalam substrat dasar perairan, (Odum 1993). Selain sebagai biota pemakan
sedimen, benthos juga mempunyai kemampuan mobilitas yang rendah dan perlu
2
waktu lama untuk dapat berpindah tempat. Sehingga akumulasi sedimen dengan
kandungan logam berat akan berpengaruh pada kelangsungan hidupnya. Hanya
ada dua kemungkinan bagi benthos jika menghadapi perubahan lingkungan yang
buruk, berusaha untuk beradaptasi atau punah. Biota perairan yang telah tercemar
logam berat akan mengalami gangguan pertumbuhan hingga kematian, (Lestari et
al. 2013). Perubahan struktur, komposisi bahkan keanekaragaman benthos karena
perubahan kondisi lingkungan akibat pencemaran dapat dijadikan indikator
pencemaran logam berat Al dan Fe, sehingga dari informasi tersebut perlu
dilakukan tindakan lebih lanjut demi kelestarian lingkungan perairan.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui keanekaragaman jenis
makrozoobenthos, menganalisis kandungan logam berat Al dan Fe pada sedimen
dan mengetahui hubungan antara keanekaragaman jenis makrozoobenthos dengan
kadar logam berat Al dan Fe pada sedimen di perairan Kota Tanjungpinang.
BAHAN DAN METODE
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April 2017 di perairan Kota
Tanjungpinang. Adapun lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 1. sebagai
berikut :
Gambar 1. Peta Lokasi Penelitian3
Alat dan Bahan
Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah GPS, kuadran 1x1
meter, skop plastik, plastik polyethylene, termometer raksa, multitester, botol
plastik, handrefraktometer, neraca analitik, oven pengering, labu ukur 50 ml, hot
plate, kertas saring, botol kaca, AAS, sampel makrozoobenthos, sampel sedimen,
aquades dan aquaregia (HNO3/HCL).
Penentuan Titik Stasiun
Perairan Kota Tanjungpinang dibagi menjadi 4 stasiun, dimana stasiun
merupakan lokasi pengukuran parameter perairan, pengambilan sampel
makrozoobenthos dan sampel sedimen. Penentuan lokasi sampling (stasiun)
menggunakan metode purposive sampling dimana penentuan titik sampling
(stasiun) ditetapkan berdasarkan pertimbangan peneliti. Stasiun I adalah stasiun
yang berada dikawasan jalur pelayaran Pelabuhan Sri Bintan Pura, stasiun II
adalah Perairan Teluk Keriting yang berada di kawasan pemukiman, stasiun III
berada pada kawasan Bauksit Senggarang Besar dan stasiun IV berada di perairan
Tanjung Siambang Dompak. Pada Setiap stasiun terdapat 3 titik sampling yang
berada pada titik kanan, kiri dan tengah.
Pengambilan Sampel Makrozoobenthos
Penyamplingan makrozoobenthos dilakukan saat surut dengan mengambil
yang berada di dalam kuadran berukuran 1 x 1 m2 baik pada bagian permukaan
maupun di dalam substrat. Pada bagian dasar, substrat dikerok dengan skop
plastik dengan kedalaman sekitar 5 cm. Setiap makrozoobenthos yang dijumpai,
diambil masing-masing satu jenis yang menurut peneliti berbeda dengan jenis-
jenis yang sudah ada. Sampel yang telah diambil gambarnya diidentifikasi
4
menggunakan acuan website WoRMS (World Register of Marine Species) dan
seashellhub.
Kelimpahan
Kelimpahan adalah banyaknya jumlah individu dan jumlah jenis yang
ditemukan pada luas daerah pengamatan, (Odum 1993) :
D = NiA
Dimana:D = Kelimpahan/Kepadatan (Ind/ha) Ni = Jumlah Individu (Ind) A = Luas wilayah pengambilan data (m2)
Indeks Keanekaragaman (H′)
Keanekaragaman jenis menunjukan jumlah jenis organisme yang terdapat
dalam suatu area. Untuk mengetahuinya, digunakan Indeks Shannon-Wiener,
(Krebs 1989) yaitu :
H′ = ∑ pi log2 piDimana :H′ = Indeks keanekaragamanpi = ni / Nni = Jumlah spesies jenis ke-iN = Jumlah total spesies
Nilai Indeks Keanekaragaman mempunyai beberapa kategori dengan kisaran
nilai tertentu, sebagai berikut : (Nangin et al. 2015) :
H′ < 1 = Keanekaragaman rendah1 < H′ < 3 = Keanekaragaman sedangH′ > 3 = Keanekaragaman tinggi
Indeks Keseragaman (E)
Keseragaman adalah komposisi individu tiap spesies yang terdapat dalam suatu
komunitas, (Krebs 1989). Formulasinya sebagai berikut :
E = H′H′ maks
5
Dimana :E = Indeks KeseragamanH′ = Indeks KeanekaragamanH′maks = Nilai keragaman maksimum (Log2 S)S = Jumlah spesies
Dengan kriteria :E ~ 0 = Dominansi rendah E ~ 1 = Dominansi tinggi
Indeks Dominansi (D)
Indeks dominansi digunakan untuk menunjukkan ada tidaknya organisme
makrozoobentos yang mendominasi suatu lingkungan perairan. Rumus indeks
dominansi adalah sebagai berikut :
D =
Dimana :D = Indeks DominansiNi = Jumlah individu ke-iN = Jumlah total individuS = jumlah spesies/genus
Nilai D = 1 berkisar antara 0 dan 1, jika D mendekati 0 berarti hampir tidak ada
individu yang mendominasi dan biasanya diikuti dengan nilai E yang besar.
Pengambilan dan Preparasi Sampel Sedimen
Pengambilan sampel sedimen dilakukan pada setiap titik sampling di keempat
stasiun. Sedimen diambil kurang lebih 100-150 gram berat sampel basah, dengan
menggunakan skop plastik dan dimasukkan ke dalam plastik polyethylene yang
diberi label, kemudian disimpan di dalam cool box. Sampel sedimen selanjutnya
dianalisis di laboratorium FIKP UMRAH. Setiap sampel diambil sebanyak 50
gram untuk dilakukan pengukuran logam beratnya.
Metode preparasi sampel sedimen sesuai yang digunakan oleh, (Syakti et al.
2014 dan Yanthi et al. 2013). 50 gram sedimen dikeringkan dalam oven pada
suhu 150oc selama 24 jam, menggunakan beaker teflon. Cuplik 0,5 gram sedimen,
6
ditambahkan dengan 10 ml larutan aqua regia (HNO3 : HCL ; 1 : 2) sesuai dengan
AFNOR NF X 31-151. Sampel di dekstruksi selama 45 menit dengan suhu 60oc
menggunakan water bath. Hasil dekstruksi dipanaskan dengan Hot Plate pada
suhu 140oc selama 60 menit. Kemudian filtrat atau hasil dekstruksi disaring ke
dalam labu ukur 50 ml lalu diencerkan dengan air suling sampai tanda tera.
Sampel dianalisis dengan AAS.
Konsentrasi Logam Berat dalam Sedimen
Kadar logam berat (Al dan Fe) dalam contoh sedimen ditentukan dengan AAS
menggunakan nyala campuran udara-asetilen. Untuk mengetahui konsentrasi
sesungguhnya yang terdapat dalam logam berat pada sedimen dilakukan dengan
perhitungan :
Logam berat (mg/Kg) = C x VW
Dimana :C = Konsentrasi logam berat yang terbaca AAS (mg/L)V = Volume sampel yang digunakan (L)W = Berat contoh (Kg)
Contamination Factor (CF)
CF adalah rasio yang diperoleh dengan membagi konsentrasi masing-masing
logam di sedimen dengan garis dasar atau nilai background, (Hakanson 1980). CF
dihitung dengan rumus dibawah ini :
CF = [heavy metal][background]
Nilai CF dikelompokkan menjadi empat kelompok, dimana CF < 1
menunjukkan kontaminasi rendah, 1 < CF < 3 kontaminasi moderat, 3 < CF < 6
kontaminasi cukup besar dan CF > 6 kontaminasi sangat tinggi.
7
Enrichment Factor (EF)
Faktor pengayaan (EF) diterapkan untuk mengetahui tingkat kontaminasi
logam sedimen yang dibandingkan dengan latar belakang. EF dihitung dengan
rumus dibawah ini :
EF = [heavy metal / Fe][heavy metal background / Fe background]
Dalam penelitian ini, besi (Fe) digunakan sebagai acuan elemen normalisasi,
Sakan et al. (2009), dimana EF < 1 menunjukkan tidak ada pengayaan, 1-3
pengayaan kecil, 3-5 pengayaan moderat, 5-10 cukup pengayaan yang parah, 10-
25 pengayaan yang parah, 25-50 pengayaan yang sangat parah, dan > 50 sangat
parah penyuburan.
Geoaccumulation Index (Igeo)
Igeo digunakan untuk melihat sudah sejauh mana kontaminasi logam berat
pada sedimen. Igeo dihitung dengan rumus sebagai berikut :
Igeo = Log2 [heavy metal]
1,5 x [background]
Muller (1981), Kelas 0 (praktis tidak tercerna), Igeo ≤ 0; Kelas 1 (tidak
tercerna, cukup tercemar), 0 < Igeo < 1; Kelas 2 (cukup tercemar), 1 < Igeo < 2 ;
Kelas 3 (cukup berat tercemar), 2 < Igeo < 3 ; Kelas 4 (tercemar berat), 3 < Igeo <
4 ; Kelas 5 (sangat berpolusi, sangat parah), 4 < Igeo < 5 ; Kelas 6 (sangat
tercemar), 5 > Igeo.
Analisis Data
Data yang diperoleh diolah menggunakan SPSS 16 dan ditabulasikan dalam
bentuk tabel. Parameter fisika dan kimia dibandingkan dengan baku mutu
KEPMEN LH No.51 Tahun 2004. Baku mutu logam pada sedimen menggunakan
Wisconsin Department of Natural Resources tahun 2003. Kemudian untuk melihat
8
pengaruh parameter fisika-kimia perairan dan logam berat terhadap
makrozoobenthos, analisa principal component analysis (PCA) dilakukan
menggunakan SPSS 16.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Identifikasi Jenis Makrozoobenthos
Hasil pengamatan jenis makrozoobenthos di perairan Tanjungpinang
teridentifikasi sebanyak 47 jenis, diantaranya: R. cunaeta,C. zonatum, V.
myristica, T. burnneus, T. mauritianus, N. nodifer, P. crispata, A. hispidus, C.
radula, P. cochlidium, S. canarium, N. zonalis, P. citrinus, C. scripta, A.
antiquata, N. historia, N. squamulata, N. chamaeleon, C. fortisulcata, V.
macrophylla, A. tuberculata, P. nassatula, L. intermedia, C. eximius, G.
pectinatum, N. crenoliratus, M. labio, C. tumefacta, M. fusca, C. coralium, P.
epamella, A. tomentosus, G. aequivocum, T. sulcata, A. squamosa, E. angulosa, E.
turtonis, C. melanostoma, P. hybrida, T. lacera, E. coronata, C. carnifex, C.
sapidus, C. moniliferus, S. serrata, C. bregeriana, N. dorsatus.
Kelimpahan Jenis Makrozoobenthos
Nilai kelimpahan rata-rata makrozoobentos keempat stasiun adalah 55,48
individu/m2. Dengan nilai rata-rata kelimpahan 3 tertinggi adalah jenis C. zonatum
yaitu 16,67 individu/m2, C. coralium yaitu 7,50 individu/m2 dan N. nodifer yaitu
6,50 individu/m2. Kemudian pada jenis terendah adalah R. cunaeta, T. mauritianu,
P. crispate, A. hispidus, V. macrophylla, L. intermedia, N. crenoliratus, P.
epamella, G. aequivocum, T. sulcata, A. squamosal, E. angulosa, E. turtonis, C.
melanostoma, T. lacera, E. coronate, S. serrate, C. bregeriana, N. dorsatus
dengan nilai kelimpahan 0,08 individu/m2. Pada spesies tersebut sangat jarang
ditemukan pada setiap stasiun, bahkan hanya ditemukan 1 saja dari 12 titik
9
pengamatan. Hal ini menunjukkan bahwa pada jenis dengan nilai kelimpahan
terendah tidak cukup kuat untuk bertahan pada setiap perubahan lingkungan yang
terjadi.
Berbeda pada spesies C. zonatum yang selalu ditemukan di 12 titik pengamatan
stasiun. Spesies ini hidup berkoloni di permukaan substrat dan sangat mudah
untuk dijumpai di setiap stasiun. Oleh karena itu pada jenis ini merupakan spesies
benthos yang cukup kuat dalam menghadapi berbagai jenis perubahan lingkungan.
Sehingga dapat digolongkan spesies ini bersifat toleran.
Dari seluruh hasil dapat dilihat bahwa kelimpahan tertinggi pada stasiun III dan
stasiun IV berada pada jenis C. zonatum. Hal ini mungkin saja disebabkan oleh
kemiripan tipe substrat pasir yang sedikit berbatu meskipun pada stasiun III
terdapat tambang bauksit disekitarnya namun tidak menurunkan tingkat
kelimpahan pada jenis C. zonatum.
Indeks Indeks Keanekaragaman, Keseragaman dan Dominansi
Tabel 1. Nilai Indeks Keanekaragaman, Keseragaman dan Dominansi
Indeks Stasiun Rata-rataI II III IVH′ 2.44 3.26 2.84 3.65 3.05E 0.44 0.58 0.51 0.65 0.54D 1 0.13 0.20 0.15 0.37
Nilai indeks keanekaragaman pada keempat stasiun tersebut berbeda dimana
stasiun I dan III tergolong keanekaragaman sedang karena nilai 1 < H′ < 3.
Namun pada stasiun II dan IV tergolong kenaekaragaman tinggi karena nilai H′
>3. Dari tingkat keanekaragaman yang sedang dan tinggi, dapat terlihat bahwa di
keempat stasiun kondisi perairan sangat baik untuk kehidupan Makrzoobenthos.
Nilai indeks keseragaman (E) berkisar antara 0 dan 1. Jika nilai E mendekati 1
maka menggambarkan suatu keadaan dimana semua spesies cukup melimpah
10
(keseragaman seimbang). Sedangkan jika nilai E mendekati 0 maka keseragaman
jenis spesies tidak seimbang. Nilai keseragaman pada stasiun I tergolong rendah
dan stasiun II, III dan IV tergolong tinggi. Kondisi ini menggambarkan bahwa
pada stasiun II, III dan IV masih dalam kondisi baik, namun berbeda pada stasiun
I yang diduga dalam kondisi tidak baik karena nilai keseragaman yang cenderung
rendah.
Rachmawaty (2011), menyatakan bahwa kisaran nilai indeks dominansi adalah
0 sampai dengan 1 dengan kriteria jika D < 0,30 maka Dominansi rendah dan jika
0,60 > D < 1,00 maka Dominansi tinggi. Dengan kriteria tersebut maka nilai
indeks dominansi stasiun I (tinggi) sedangkan II III dan IV (rendah). Maka dari
kondisi tersebut dapat terlihat bahwa hanya pada stasiun I kondisi perairan dalam
keadaan kurang baik dan stasiun lainnya dalam keadaan baik.
Dari seluruh hasil indeks ekologi terlihat bahwa keberadaan makrozoobenthos
cenderung mendominasi pada stasiun I dibandingkan stasiun lainnya. Perbedaan
ini menunjukkan pemanfaatan spesies benthos yang berlebih dan dapat
diasumsikan stasiun I dalam kondisi tercemar, sehingga hanya benthos pada jenis
tertentu yang mendominasi. Diduga beberapa faktor yang menyebabkan
pencemaran itu terjadi adalah air ballast kapal yang langsung masuk ke perairan,
kemudian perkaratan kapal-kapal dan tiang-tiang pancang pelabuhan yang mudah
berkarat serta adanya pembuangan sampah yang langsung ke laut oleh masyarakat
yang beraktifitas di Pelabuhan Sri Bintan Pura. Sehingga beberapa faktor tersebut
menghasilkan limbah dan kemudian menjadikan perairan pada stasiun I dalam
keadaan tercemar. Menurut Titoyo (2009), ekosistem perairan pesisir yang masih
alami dicirikan dengan keanekaragaman yang tinggi, tidak ada dominansi pada
jenis tertentu dan pembiakan jenis yang hamper merata dalam area. Sebaliknya,
11
pada lingkungan yang sudah tercemar, komoditasnya cenderung memperlihatkan
keanekaragaman jenis yang rendah, adanya dominansi tertentu dan perubahan
struktur komunitas dari stabil ke keadaan labil.
Konsentrasi Logam Al dan Fe pada Sedimen
Tabel 2. Kandungan Al dan Fe pada Sedimen
Stasiun Lokasi Titik Sampling
Logam BeratAl (mg/Kg) Fe (mg/Kg)
I Pelabuhan Sri Bintan Pura1 10 141692 30 140033 30 13190
II Perairan Teluk Keriting1 30 151052 30 150603 20 14955
III Tambang Bauksit Senggarang Besar
1 50 152062 50 150643 60 14861
IV Perairan Tanjung Siambang Dompak
1 30 102112 20 130363 20 12954
Secara umum adanya perbedaan konsentrasi antar stasiun ini disebabkan oleh
berbagai proses baik fisika, kimia dan biologi. Diduga proses fisika yang sangat
berpengaruh adalah proses pengadukan dan pengendapan, yang dalam hal ini
dipengaruhi oleh kecepatan arus dan kedalaman perairan. Rendahnya kandungan
logam Al dan Fe pada stasiun I dan IV berkaitan erat dengan pengambilan sampel
sedimen yang berada pada permukaan perairan.
Maslukah (2013), menyatakan pada perairan yang dangkal, proses resuspensi
sedimen lebih tinggi, sehingga diduga logam berat yang ada dalam sedimen
terlepas ke kolom perairan. Selain itu stasiun ini mempunyai kecepatan arus yang
relatif lebih tinggi dari stasiun lainnya, yaitu 3,7 cm/s – 4,5 cm/s. Arus ini akan
mempengaruhi proses laju pengendapan atau sedimentasi dan mempengaruhi
rendahnya kandungan logam Al dan Fe pada sedimen. Kecepatan arus yang tinggi
pada stasiun I juga didukung oleh lokasi yang terletak pada pelabuhan kapal,
12
sehingga jalur pelayaran kapal yang membuat arus cenderung tinggi. Selain
berpengaruh pada kedalaman dan kecepatan arus, pada stasiun IV merupakan
perairan Tanjung Siambang Dompak, yang secara umum lebih ringan aktifitasnya
dibandingkan stasiun lainnya, hal ini menyebabkan kandungan logam berat Al
dan Fe jauh lebih rendah pada stasiun tersebut.
Pada stasiun II dan III memiliki konsentrasi logam Al dan Fe lebih tinggi, dan
stasiun III merupakan wilayah dengan konsentrasi logam Al dan Fe tertinggi
dibandingkan stasiun lainnya. Dimana stasiun II adalah perairan Teluk Keriting
yang cukup tinggi limbah domestiknya dan stasiun III adalah kawasan
penambangan bauksit di Senggarang Besar. Perbedaan ini sangat menunjukkan
kondisi pencemaran yang sesuai dengan kandungan logam berat Al dan Fe pada
wilayah tersebut. Sumber utama alumunium adalah mineral aluminosilicate yang
terdapat pada batuan dan tanah secara melimpah. Pada proses pelapukan batuan,
alumunium berada dalam bentuk residu yang tidak larut, salah satunya bauksit,
(Effendi 2003). Pada penambangan bauksit, proses pencucian juga cenderung
mengakibatkan kandungan logam Fe di dalamnya. Zulfikar (2011), menyatakan
keberadaan bauksit di alam pun biasanya berasosiasi dengan unsur logam lainnya
seperti besi, silika, titan, dan lain-lain, kemudian salah satu tahap dalam
penambangan bauksit adalah proses pencucian yang menghasilkan limbah tailing
berupa lumpur merah (redmud) yang dialirkan ke kolam pengendapan.
Kandungan logam berat Fe dalam sedimen dari seluruh titik masih dibawah baku
mutu Wisconsin Department of Natural Resources tahun 2003, dimana baku mutu
untuk kandungan logam Fe pada sedimen yaitu sebesar 20 mg/Kg. Sedangkan
pada logam Al akan dibandingkan pada penelitian sebelumnya pada lokasi
berbeda, karena belum ditemukannya baku mutu untuk logam Al pada sedimen.
13
Pada penelitian Hidayah et al. (2016), konsentrasi logam Al tertinggi adalah
0,02 mg/L dan terendah 0,005 mg/L. Kemudian pada penelitian Prianda (2014),
konsentrasi logam Al berada padarentang 0,0580 ± 0,0070 ppm hingga 117,6136
± 0,1491 ppm. Jika dilihat pada hasil analisis logam Al, hampir semua titik lokasi
penelitian berada diatas angka tertinggi dari hasil penelitian Hidayah et al. (2016),
yaitu 0,02 mg/L seperti pada stasiun I titik 2 dan 3, stasiun II titik 1 dan 2, stasiun
III semua titik dan stasiun IV di titik 1. Keseluruhan hasil pada penelitian Prianda
(2014) berada dibawah rentang terendah, dimana Al 0,0580 ppm.
Hal ini bisa disebabkan oleh perbedaan tekstur sedimen, pada lokasi Pelabuhan
Panjang Bandar Lampung tekstur sedimen adalah lumpur dan pada lokasi ini
tekstur sedimen pasir berkrikil. Lumpur mempunyai ukuran sedimen yang halus
sehingga mempunyai kemampuan yang baik dalam mengikat logam dalam
sedimen, (Maslukah 2013). Namun tekstur sedimen pada stasiun IV adalah
lumpur berpasir, oleh karena itu, angka yang muncul melebihi stasiun lainnya dan
hampir mendekati Al. Kandungan logam berat lebih tinggi ditemukan pada
sedimen yang ukuran partikelnya lebih kecil, (Amin 2000). Sahara (2009),
menambahkan bahwa partikel sedimen yang halus memiliki luas permukaan yang
besar dengan kerapatan ion yang lebih stabil untuk mengikat logam dari pada
partikel sedimen yang lebih besar. Pada stasiun I titik 2 dan 3 memunculkan
angka yang sama-sama berada diatas 0,02 mg/L terkecuali pada titik 1, hal ini
dikarenakan terjadi kelebihan larutan dalam proses pengenceraan hasil dekstruksi
untuk logam Al. Jika tidak terjadi kesalahan dalam hal pengenceran, bisa jadi
pada titik 1 akan memunculkan angka yang sama yaitu 10 mg/Kg.
Pada stasiun II titik 1 dan 2, stasiun III juga berada > 20 mg/Kg dibandingkan
pada titik 3, hal ini disebabkan oleh pengambilan sampel yang berada dekat
14
dengan ekosistem mangrove dan stasiun III berada dekat dengan bekas
penambangan bauksit. Kemudian stasiun IV hanya pada titik 1 angka yang
muncul lebih tinggi, hal ini sangat toleran karena stasiun IV adalah perairan yang
ancaman pencemarannya paling ringan.
Konsentrasi logam yang tinggi sangat berpengaruh pada organisme aquatik
terutama hewan benthos yang selalu menetap dan sulit untuk berpindah. Jumlah
organisme bentik pun dapat menurun akibat reaksi ion alumunium yang berada
pada insang. Logam berat yang diadsorpsi olehpartikel tersuspensi akan menuju
dasar perairan, menyebabkan kandungan logamdi air menjadi lebih rendah. Hal
ini tidak menguntungkan bagi organisme yanghidup di dasar seperti kerang
(oyster) dan kepiting karena partikel sedimen iniakan masuk ke dalam sistem
pencernaannya, (Setiawan 2013).
Indeks CF, EF dan Igeo
Data menunjukkan semua titik berada dibawah angka 1. Maka jika CF < 1
kontaminasi tergolong rendah. Pada semua titik nilai Al yang muncul berada
dibawah angka 1. Maka jika EF < 1 menunjukkan tidak adanya pengayaan. Pada
semua titik nilai yang muncul sangat rendah, namun menunjukkan angka diatas 0.
Maka jika 0 < Igeo < 1, semua titik termasuk pada kelas ke-1 yaitu, tidak tercerna
namun cukup tercemar.
Parameter Perairan
Tabel 3. Hasil Pengukuran Parameter Fisika dan Kimia Perairan
StasiunParameter
Suhu (oC)± Sd
Salinitas (‰)± Sd
Kec. Arus (cm/s)± Sd
DO (mg/L)± Sd
pH Air± Sd
pH Sedimen± Sd
I 31,2 ± 0,19 31,0 ± 0,67 3,77 ± 0,59 7,57 ± 0,22 7,97 ± 0,12 7,62 ± 0,02II 32,7 ± 0,33 32,7 ± 0,19 5,54 ± 1,47 7,82 ± 0,22 8,00 ± 0,26 7,72 ± 0,09III 30,3 ± 0,33 31,1 ± 0,83 4,50 ± 1,48 7,80 ± 0,20 7,90 ± 0,09 7,52 ± 0,05IV 30,8 ± 0,69 34,7 ± 2,02 10,12 ± 0,77 8,31 ± 0,65 7,72 ± 0,77 7,41 ± 0,47
Baku Mutu 30 – 33oC 33‰ - 34‰ - > 5 mg/L 7 – 8,5 7 – 8,5
15
Secara keseluruhan data parameter fisika-kimia perairan masih dalam kondisi
baik, karena masih dibawah kadar baku mutu KEPMEN LH N0. 51 Tahun 2004
tentang baku mutu untuk biota laut.
Hubungan Kelimpahan Makrozoobenthos, Kandungan Logam Berat
(Al dan Fe) pada Sedimen dan Parameter Fisika-Kimia Perairan
Konsentrasi logam Al dan Fe berpengaruh terhadap kelimpahan
makrozoobenthos sebesar 47,3% dan 33,3%, dimana hubungan ini dinyatakan
positif. Namun hubungan antara makrozoobenthos terhadap parameter lainnya
baik suhu, salinitas, kecepatan arus, DO, pH air dan pH sedimen menghasilkan
angka minus (-), dalam artaian hubungan berkorelasi negatif. Berikut grafik Scree
plot dari hasil uji faktor principal component analyze (PCA) :
Gambar 2. Grafik Scree Plot (Uji PCA)
Pada gambar 2 menjelakan bahwa kelimpahan makrozoobenthos sangat erat
hubungannya dengan konsentrasi Al dan Fe karena titiknya sangat berdekatan.
Korelasi positif tersebut dapat diartikan bahwa meningkatnya konsentrasi Al dan
Fe maka akan meningkatkan kelimpahan Makrozoobenthos. Hal ini bisa
disebabkan oleh Makrozoobenthos sudah sangat toleran terhadap kondisi
16
pencemaran Al dan Fe yang ada di perairan tersebut. Namun pendugaan yang
terjadi, kedua logam adalah logam yang sudah lama terpapar di lokasi tersebut,
jika mungkin bertambah konsentrasinya oleh aktifitas darat, masih belum
berbahaya karena peningkatannya hanya sedikit sekali. Sehingga dengan tingkat
toleransi yang tinggi terhadap kedua logam tersebut, makrozoobenthos sudah
tidak merasa terancam terhadap keberadaan logam Al dan Fe.
Suhu, pH air dan pH sedimen juga berpengaruh positif namun pengaruhnya
kecil terhadap kelimpahan makrozoobenthos. Kemudian pengaruh kecepatan arus,
Salinitas dan DO juga berpengaruh namun minus, dalam artian pengaruh
parameter tersebut berbanding terbalik. Contohnya; jika kecepatan arus, salinitas
ataupun DO meningkat, maka kelimpahan makrozoobenthos menurun begitu juga
sebaliknya. Penyebab dari korelasi negatif, dikarenakan pengambilan sampel tidak
dilokasi yang sama antara ketiga variabel. Oleh karena itu data yang muncul
diangka minus (-). Seharusnya kedua parameter tersebut berbanding lurus dengan
kelimpahan Makrozoobenthos, karena dengan meningkatnya kadar salinitas dan
oksigen dapat menyebabkan meningkatkan laju metabolisme seperti proses
reproduksi, pertumbuhan, respirasi bagi Makrozoobenthos. Secara tidak langsung
melimpahnya Makrozoobethos dialam diakibatkan oleh ketersediaan salinitas dan
oksigen di perairan. Berbeda dengan kecepatan arus yang memang seharusnya
berbanding terbalik dengan kelimpahan makrozoobenthos walaupun lokasi
pengambilannya juga berbeda.
KESIMPULAN
Dari hasil pengamatan yang dilakukan, keanekaragaman makrozoobenthos di
perairan Tanjungpinang tergolong tinggi. Pada kadar Logam Berat Al dan Fe,
logam Fe masih dalam kondisi baik dan logam Al setelah dibandingkan, cukup
17
tinggi tingkat konsentrasinya namun masih dalam angka toleran karena masih
lebih kecil dari penelitian di lokasi berbeda. Kemudian pada kondisi umum
perairan, secara keseluruhan masih cukup baik bagi makrozoobenthos, terlihat
dari beberapa parameter yang masih sesuai dengan baku mutu kualitas perairan
Kepmen LH Nomor 51 Tahun 2004 tentang baku mutu untuk biota laut.
Keanekaragaman makrozoobenthos sangat berhubungan dengan kadar logam
berat Al dan Fe pada sedimen di Kota Tanjungpinang. Dimana, meningkatnya
konsentrasi logam Al dan Fe berbanding lurus dengan kelimpahan
makrozoobenthos begitu juga sebaliknya. Kemudian pada jenis Cerithium
zonatum merupakan jenis yang dapat dikatakan sebagai indikator percemaran
logam berat Al dan Fe, dikarenakan organisme ini mampu bertahan terhadap
perubahan kondisi ekosistem dalam bentuk apapun.
DAFTAR PUSTAKA
Amin, B. 2000. Kandungan logam berat Pb, Cd dan Ni pada ikan gelodok (Periothalmus sp.) dari Pelabuhan Dumai Riau. Jurnal Ilmu Kelautan 5 : 29-33.
Anisyah, A.U., Nurjazuli, T.J. 2016. Studi kandungan dan beban pencemaran logam timbal (Pb) pada air balas kapal barang dan penumpang di Pelabuhan Tanjung Emas Semarang. Jurnal Kesehatan Masyarakat 4 (4) : 843-851.
Effendi, H. 2003. Telaah kualitas air : bagi pengelolaan sumberdaya dan lingkungan perairan. Kanisius.Yogyakarta. 258 hlm.
Krebs, C.J. 1989. Ecology : The experimental analysis of distribution and abundance. Harper and Row. New York. 380p.
Hidayah, H., Putra, R.D., Apriadi, T. 2016. Analisis karakteristik sedimen dan konsentrasi logam berat pada substrat bekas penambangan bauksit di Pulau Bintan. Jurnal 36 Umrah : 1-14.
Lestari, S., Sandro, S.R., Purwiyanto, A.I.S. 2013. Analisa kandungan kadar logam berat pada daging kepiting (Scylla serrata) di perairan muara Sungai Banyuasin. Fishtech 2 (1) : 46-52.
Maslukah, L. 2013. Hubungan antara konsentrasi logam berat Pb, Cd, Cu, Zn dengan bahan organic dan ukuran butir dalam sedimen di estuary Banjir Kanal Barat Semarang. Buletin Oseanografi Marina 2 : 55-62.
18
Muller, G. (1981). Concentrations of heavy metals and polycyclic aromatic hydrocarbons in river sediments: geochemical background, man’s influence and environmental impact. Geo Journal 5 : 417–432.
Nangin, S.R., Langoy, M.L., Katili, D.Y. 2015. Makrozoobethos sebagai indikator biologis dalam menentukan kualitas air Sungai Suhuyon Sulawesi Utara. Jurnal MIPA UNSRAT Online 4 (2) : 165-168.
Odum, E.P. 1993. Dasar-dasar ekologi. EdisiKetiga. Diterjemahkan oleh T. Samingan.Gadjah Mada University Press.Yogyakarta.679 hlm.
Prianda, I.S.L. 2014. Studi sebaran logam alumunium (Al) dan besi (Fe) pada sedimen lumpur laut di Pelabuhan Panjang Bandar Lampung. [Skripsi]. Lampung. Bandar lampung.
Rachmawaty. 2011. Indeks keanekaragaman makrozoobenthos sebagai bioindikator tingkat pencemaran di Muara Sungai Jeneberang. Jurnal Bionature 12 (2) : 103-109.
Sahara, E. 2009. Distribusi Pb dan Cu pada berbagai ukuran partikel sedimen di Pelabuhan Benoa Bali. Jurnal Kimia 3 (2) : 75-80.
Sakan, S.M., Djordjevi, D.S., Manojlovic, D.D., Polic, P.S. 2009. Assessment of heavy metal pollutants accumulation in the Tisza river sediments. Journal of Environmental Management 90 : 3382–3390.
Setiawan, H. 2013. Akumulasi dan distribusi logam berat pada vegetasi mangrove di perairan pesisir Sulawesi Selatan. Jurnal Ilmu Kelautan 7 (1) : 12-24.
Supriyantini, E., Endrawati, H. 2015. Kandungan logam berat besi (Fe) pada air, sedimen dan kerang hijau (Pernaviridis) di perairan Tanjung Emas Semarang. Jurnal Kelautan Tropis 18 (1) : 38-45.
Syakti, A.D., Demelas, C., Hidayanti, N.V., Rakasiwi, G., Vassallo, L., Kumar, N., Prudent, P. 2015. Heavy metals concentrations in natural and human-impected sedimens of Segara Anakan Lagoon. Indonesia. Environmental Monitoring and Assessment An International 187 (1) : 1-15.
Titoyo, A. 2009. Distribusi vertical dan horizontal meiofauna pantai Wori, Sulawesi Utara dan Teluk Kuta Lombok, Nusa Tenggara Barat. [Skripsi]. Universitas Negeri Jakarta. Jakarta.
Zulfikar, A. 2011. Analisis kandungan logam pada limbah tailing (red mud) tambang bauksit. 1-8.
19