Analisis Parameter Fisika Kimia di Perairan Sumenep Bagian Timur ...
ABSTRAK - repository.umrah.ac.idrepository.umrah.ac.id/1810/1/JURNAL.pdfRincian parameter perairan...
Transcript of ABSTRAK - repository.umrah.ac.idrepository.umrah.ac.id/1810/1/JURNAL.pdfRincian parameter perairan...
Tingkat Kesuburan Perairan Pesisir Desa Busung Kecamatan Seri Kuala
Lobam Kabupaten Bintan
Rico Saputra1, Winny Retna Melani
2, Tri Apriadi
3
Program Studi Manjemen Sumberdaya Perairan,
Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas Maritim Raja Ali Haji
ABSTRAK
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui parameter fisika dan kimia dan
tingkat kesuburan perairan pesisir Desa Busung Kabupaten Bintan. Penelitian ini
dilaksanakan pada bulan April-Juni 2018 di perairan pesisir Desa Busung,
Kecamatan Seri Kuala Lobam, Kabupaten Bintan. Metode penelitian berdasarkan
purposive sampling berdasarkan perbedaan aktivitas dan karakteristik perairan Desa
Busung. Nilai indeks TRIX tertiggi pada stasiun III sebesar 6,09 sedangkan
terendah pada stasiun II yakni sebesar 4,96. Hasil tersebut menggambarkan
bahwa kualitas perairan pada stasiun III tergolong buruk dengan tingkat
kesuburan yang sangat tinggi. Pada stasiun IV merupakan kondisi perairan
dengan tingkat kesuburan rendah.
Kata Kunci : Kesuburan Perairan, Desa Busung.
.
PENDAHULUAN
Kualitas perairan memegang peranan penting sebagai media tempat hidup
berbagai biota dan sangat penting bagi kehidupan manusia. Apabila faktor abiotik
pada perairan terganggu maka faktor biotik juga akan berpengaruh terhadap
perairan, terutama sekali fitoplankton sebagai dasar rantai makanan yang akan
ikut terganggu.Terganggunya kondisi perairan dapat diketahui dari tingkat
kesuburan yang semakin rendah (Fitra et al, 2012).
Tingkat kesuburan suatu perairan pesisir dapat dinilai dari ketersediaan zat hara
esensial. Ketersediaan zat hara tersebut disuatu perairan pesisir adalah sangat
kompleks karena adanya interaksi atau pengaruhnya terhadap hasil proses-proses
biokimiawi.Kontribusi aktivitas manusia di darat yang masuk ke perairan secara
berlebih seperti pembuangan limbah rumah tangga dan limbah industri yang
mengalir ke laut akan menyebabkan terjadinya penumpukan nutrien, sehingga
terjadi proses eutrofikasi perairan.
Desa Busung merupakan salah satu desa pesisir yang terletak di Kecamatan
Seri Kuala Lobam Kabupaten Bintan. Desa ini merupakan salah satu kawasan
yang memiliki berbagai sumberdaya alam, baik yang ada dilingkungan perairan
maupun di daratan. Hal ini dibuktikan dengan adanya aktivitas penangkapan biota
laut seperti ikan, udang, gonggong, kepiting, dan biota laut lainnya (Rosa, 2015).
Perairan pesisir Busung merupakan perairan yang banyak menerima beban
masukan bahan organik. Bahan ini berasal dari berbagai sumber seperti buangan
limbah rumah tangga, limbah industri rumah tangga dan bekas penggalian pasir
berupa material sedimen yang masuk melalui daratan langsung menuju ke
perairan laut. Apabila aktivitas tersebut dilakukan secara terus-menerus, maka
dikhawatirkan akan mengakibatkan terganggunya ekosistem perairan dan bahkan
akan mengakibatkan perairan tersebut tercemar.
Oleh karena itu terganggu atau tidaknya suatu perairan dapat diketahui melalui
status kesuburan perairan tersebut. Pendugaan kesuburan perairan dapat diketahui
melalui metode Indeks TRIX, yaitu suatu metode yang didasari atas fenomena
eutrofikasi yang sering terjadi di perairan pesisir. Berdasarkan hal tersebut maka
dilakukan penelitian mengenai tingkat kesuburan perairan pesisir Desa Busung
Kecamatan Seri Kuala Lobam Kabupaten Bintan.
BAHAN DAN METODE
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April-Juni 2018, bertempat di perairan
pesisir Desa Busung, Kecamatan Seri Kuala Lobam, Kabupaten Bintan.
Pengukuran dan analisis data kosentrasi klorofil-a dilakukan di Laboratorium
Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan UMRAH dan pengambilan konsentrasi
sampel nitrat dan ortofosfat dilakukan di laboratorium Badan Teknik Kesehatan
Lingkungan dan Pengendalian Penyakit Kelas I (BTKL) Batam.
Peta Lokasi Penelitian Desa Sebong Pereh
Stasiun Koordinat
Keterangan North East
1 104.327532 1.023775 Mangrove alami (masuk ke aliran sungai)
2 104.337739 1.018930 Permukiman penduduk
3 104.338461 1.009445 Mangrove pasca tambang
4 104.331244 0.992846 Penambangan pasir tradisional warga
Rincian parameter perairan yang diukur disajikan pada Tabel.
Tabel. Pengukuran Kualitas Perairan No Parameter Satuan Alat dan Metode Keterangan
Fisika
1. Suhu ˚C Multitester In situ
2. Kecerahan M Secci disc Laboratorium
Kimia
1. pH - Multitester In situ
2. DO mg/L Multitester In situ
3. Salinitas o/oo Refractometer In situ
3. Nitrat mg/L Spektrofotometrik Laboratorium
4. Ortofosfat mg/L Spektrofotometrik Laboratorium
Biologi
1. Klorofil-a µg/L Spektrofotometrik Laboratorium
Klorofil-a
Kosentrasi klorofil-a dihitung dengan persamaan Heriyanto (2009) sebagai
berikut:
Klorofil-a (μg/L) = ((11,9 x (A0 665 – A
0 750))x ((V/L) x (1000/S))
Keterangan:
A0665 : penyerapan spektrofotometer pada panjang gelombang 665 nm
A0750 : penyerapan spektrofotometer pada panjang gelombang 750 nm
V : ekstrak aseton (ml)
L : panjang jalan cahaya pada cuvet (cm)
S : volume sampel yang difilter (ml) dan 11,9 adalah Konstanta
Tingkat kesuburan suatu perairan ditentukan dengan membandingkan
kosentrasi klorofil terutama klorofil-a (Heriyanto, 2009). Status trofik atau tingkat
kesuburan perairan pesisir dan estuari yang terdiri dari oligotrofik, mesotropik,
dan eutropik. Kriteria pembagian kondisi perairan didasarkan pada kandungan
klorofil-a adalah sebagai berikut: perairan dengan konsentrasi klorofil-a <2 ug/L
dikategorikan ke dalam perairan oligotropik, perairan dengan konsentrasi klorofil-
a 2-6 ug/L dikategorikan ke dalam perairan mesotrofik, perairan dengan
kandungan klorofil-a 6-20 ug/L dikategorikan ke dalam perairan eutrofik (Marlian
et al. 2015).
Indeks TRIX
Penentuan indeks TRIX dilakukan dengan menghitung nilai oksigen terlarut
kemudian dikonversi menjadi oksigen saturasi (DO-Saturation). Parameter yang
dipilih dalam penghitungan Indeks TRIX yaitu konsentrasi klorofil, persentase
saturasi oksigen, nitrogen dan fosfor. Indeks TRIX dapat digunakan untuk
mengetahui tingkat kesuburan perairan atau pendugaan kesuburan suatu perairan
yang dapat dihitung dengan menggunakan perhitungan TRIX sebagai berikut:
TRIX =
x ∑ ( ) ( )
Keterangan:
M : nilai parameter terukur
L : batas bawah
U : batas atas
k : 10 (faktor skala)
n : jumlah parameter dalam perhitungan TRIX (n = 4)
Indeks kesuburan TRIX ini merupakan suatu pendekatan yang dilakukan untuk
mensintesis parameter kunci eutrofikasi ke dalam bentuk angka yang lebih
sederhana. Hal ini dilakukan guna mendapatkan informasi mengenai rentang
kondisi kesuburan pada wilayah perairan yang luas. Beberapa ahli
menggolongkan rentang nilai TRIX yang dapat dilihat pada Tabel.
Tabel. Penggolongan rentang nilai TRIX
Skala TRIX Status Kualitas Air Tingkat Eutrofikasi
0-4 Tinggi Rendah
4-5 Baik Sedang
5-6 Buruk Tinggi
6-10 Miskin Sangat tinggi
Sumber :(Alves et al., 2013)
HASIL
Kualitas Air
Parameter kualitas air yang diukur pada masing-masing stasiun penelitian di
perairan Desa Busung meliputi parameter fisika dan kimia. Parameter fisika yang
diukur yakni kekeruhan, suhu, kedalaman, serta kecerahan perairan. Sedangkan
parameter kimia yang dikukur yakni salinitas, pH, oksigen terlarut, nitrat, serta
fosfat. Hasil pengukuran parameter fisika dan kimia perairan disajikan secara
lengkap seperti pada Tabel. Tabel. Hasil pengukuran parameter fisika dan kimia perairan
Parameter Satuan Stasiun Baku
Mutu* 1 2 3 4
Fisika
- Kekeruhan NTU 2,220,65 2,510,64 1,420,47 2,350,29
<5
- Suhu oC 300,05 29,730,06 29,430,37 29,530,11 28-30
- Kedalaman cm 146,030,6 172,044,2 156,6748,4 168,3321,4 -
- Kecerahan cm 1000,0 88,178,43 92,53,12 107,1712,4 300
Kimia
- Salinitas o/oo 27,672,08 27,330,58 28,670,58 29,670,58
30-33
- pH - 7,580,37 7,770,02 7,800,04 7,800,02 7-8,5
- Oksigen
terlarut mg/L 7,530,11 5,930,25 7,270,55 7,000,5
>5
- Nitrat mg/L 0,040,02 0,070,04 0,050,03 0,010,004 0,008
- Fospat mg/L 0,590,05 0,620,01 0,530,11 0,490,12 0,015
baku mutu *) Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 51 Tahun 2004
Nilai Klorofil di Perairan Desa Busung Kandungan klorofil yang ada pada sel fitoplankton di perairan Desa Busung
sangat penting untuk menggambarkan kualitas dan kesuburan perairannya pada
saat ini. Nilai klorofil di perairan Desa Busung masing-masing stasiun disajikan
pada Gambar.
Klorofil pada masing-masing stasiun penelitian.
Tingkat Kesuburan Perairan Desa Busung Perhitungan tingkat kesuburan perairan Desa Busung dinyatakan dengan indeks
TRIX digunakan untuk pendugaan status kualitas perairan dari suatu perairan
yang diukur. Indeks TRIX digunakan juga untuk melihat kondisi eutrofikasi
perairan seperti yang tertera pada Gambar.
Gambar. Indeks TRIX pada masing-masing stasiun penelitian
PEMBAHASAN
Kualitas Air
Kekeruhan perairan pada stasiun I sebesar 2,22 NTU, pada stasiun II
kekeruhan sebesar 2,51 NTU, kekeruhan perairan sebesar 1,42 NTU, serta pada
stasiun IV sebesar 2,35 NTU. Kekeruhan perairan tertinggi terdapat pada stasiun
III sedangkan terendah pada stasiun II. Pada stasiun II merupakan kawasan
permukiman penduduk yang rentan akan pembuangan sampah organik dan akan
terurai ke dasar perairan sehingga diduga akan mempengaruhi lapisan sedimen
menjadi lebih halus. Dengan adanya pergerakan arus, partikel dasar akan
mengalami pergerakan sehingga kekeruhannya meningkat. Pada stasiun II juga
merupakan peralihan antara perairan laut terbuka menuju perairan teluk, sehingga
jika air laut naik/pasang gelombang akan menggerus bibir pantai dan menarik
partikel sedimen sehingga terhajadi peningkatan kekeruhan. Namun secara
keseluruhan, mengacu pada Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 51
Tahun 2004, kekeruhan perairan di lokasi penelitian masih layak bagi kehidupan
biota akuatik karena lebih kecil dari pada 5 NTU.
Suhu perairan Desa Busung di stasiun I sebesar 30,07 oC, stasiun II sebesar
29,73oC, pada stasiun III sebesar 29,43
oC serta pada stasiun IV sebesar 29,53
oC.
Jika mengacu pada Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 51 (2004)
bahwa suhu yang baik bagi kehidupan organisme akuatik yakni 28-30oC. Dengan
demikian kondisi suhu masih baik bagi kehidupan biota akuatik. Menurut Indriana
et al. (2014) Pertumbuhan dan kehidupan biota air sangat dipengaruhi oleh suhu
air. Kisaran suhu optimal bagi kehidupan biota di perairan tropis antara 28°C -
32°C. Suhu pada lokasi penelitian yakni perairan Desa Busung masih baik bagi
pertumbuhan biota.
Kedalaman perairan pada stasiun I sebesar 146 cm, pada stasiun II sebesar
172cm, pada stasiun III sebesar 156,67 cm, serta pada stasiun IV sebesar 168,33
cm. Kedalaman perairan tertinggi yakni pada stasiun I dikarenakan lokasi ini
merupakan lahan penambangan pasir yang saat ini masih dilakukan secara
tradisional oleh masyarakat sekitar. Penggalian pasir pantai dilakukan oleh
masyarakat dengan menggali pasir disekitar pantai sehingga diharuskan
melakukan pengerukan, pengerukan yang terjadi menyebabkan perairan semakin
dalam.
Kecerahan perairan pada stasiun I sebesar 100 cm, pada stasiun II sebesar
88,17cm, stasiun III sebesar 93,5cm, pada stasiun IV sebesar 107,17cm. Jika
mengacu pada Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 51 Tahun 2004
kecerahan yang baik untuk kehidupan biota akuatik yakni > 3 m (300 cm).
Menurut Mayagitha et al. (2014) tingkat kecerahan yang semakin rendah
menandakan bahwa kualitas perairannya semakin jelek karena adanya bahan-
bahan tersuspensi yang tinggi. Rendahnya kecerahan diduga karena banyak
penduduk sekitar yang membuang limbahnya ke perairan. Sesuai dengan hasil
pengukuran kecerahan terendaah pada stasiun II, sedangkan kekeruhan perairan
yang juga tertinggi pada stasiun II. Kondisi ini menjelaskan bahwa semakin
meningkatnya kekeruhan, kecerahan perairan akan menurun. Kecerahan yang
rendah akan menghambat penetrasi cahaya matahari yang masuk ke perairan
sehingga mempengaruhi fotosintesis.
Sedangkan salinitas dari hasil pengukuran di stasiun I sebesar 27,67o/oo, pada
stasiun II sebesar 27,33o/oo, pada stasiun III sebesar 28,67o
/oo, serta pada stasiun IV
sebesar 29,67 o/oo. Salinitas tertinggi terjadi pada stasiun IV yang merupakan
lokasi perairan terbuka sehingga salinitasnya lebih tinggi. Sedangkan salinitas
pada stasiun II paling rendah, karena masuk kedalam perairan tertutup menuju ke
area estuary. Menurut Supriadi (2001), terjadi perbedaan salinitas antara wilayah
estuaria dan perairan terbuka. Pada pearairan terbuka kadar zat garam yang
memiliki masa jenis lebih besar dari pada konsentrasi zat garam pada kawasan
perairan tertutup.
Derajat keasaman perairan pada stasiun I sebesar 7,58, pada stasiun II sebesar
7,77, pada stasiun III sebesar 7,8, dan pada stasiun IV sebesar 7,8. Jika mengacu
pada Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 51 (2004) bahwa derajat
keasaman berkisar antara 7-8,5 merupakan derajat keasaman yang sesuai bagi
pertumbuhan organisme akuatik. Menurut Susana (2009) sebagian besar
biota akuatik sensitif terhadap perubahan nilai pH, nilai yang
ideal untuk kehidupan antara 7 – 8,5. Pada nilai pH yang lebih
rendah (< 4), sebagian besar tumbuhan air mati karena tidak dapat
bertoleransi terhadap pH rendah. Perubahan kualitas air dapat
menyebabkan air laut yang bersifat basis (pH > 7) berubah menjadi
bersifat asam (pH<7). Rendahnya nilai pH mengindikasikan
menurunnya kualitas perairan yang pada akhirnya berdampak terhadap
kehidupan biota di dalamnya.
Oksigen terlarut di perairan Desa Busung pada stasiun I sebesar 7,53 mg/L,
pada stasiun II sebesar 5,93 mg/L, pada stasiun III sebesar 7,27 mg/L, serta pada
stasiun IV sebesar 7,0 mg/L. Jika mengacu pada Keputusan Menteri Lingkungan
Hidup Nomor 51 (2004) bahwa oksigen terlarut yang baik bagi kehidupan
organisme akuatik yakni >5 mg/L. Secara keseluruhan oksigen masih layak untuk
kehidupan biota akuatik. Menurut Simanjuntak (2007) Oksigen adalah salah satu
unsur kimia yang sangat penting sebagai penunjang utama kehidupan berbagai
organisme. Oksigen dimanfaatkan oleh organisme perairan untuk proses respirasi
dan menguraikan zat organik menjadi zat an-organik oleh mikro organisme.
Oksigen terlarut dalam air berasal dari difusi udara dan hasil fotosintesis
organisme berklorofil yang hidup dalam suatu perairan dan dibutuhkan oleh
organisme untuk mengoksidasi zat hara yang masuk ke dalam tubuhnya.
Selanjutnya kandungan nitrat pada stasiun I sebesar 0,04 mg/L, stasiun II
sebesar 0,07 mg/L, stasiun III sebesar 0,05 mg/L, dan pada stasiun IV sebesar
0,02 mg/L. untuk fosfat stasiun I sebesar 0,59 mg/L, stasiun II sebesar 0,62 mg/L,
stasiun III sebesar 0,53 mg/L, dan pada stasiun IV sebesar 0,49 mg/L. Jika
mengacu pada Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 51 (2004) bahwa
nitrat dan fosfat yang baik bagi kehidupan organisme akuatik masing-masing
0,008 dan 0,015 mg/L.
Pada stasiun II memiliki kandungan nitrat dan fosfat tertinggi dibandingkan
dengan stasiun lainnya. Meskipun kandungan nitrat dan fosfat yang tinggi pada
stasiun II tidak sejalan dengan tingginya kandungan klorofil. Menurut Sihombing
et al., (2013) kandungan klorofil-a sangat dipengaruhi oleh kondisi oseanografi,
utamanya adalah intensitas cahaya dan kandungan nutrien. Pello et al., (2014)
komposisi nutrien yang tinggi dapat merupakan indikasi dari intensifnya proses
denitrifikasi dan adanya pencemaran bahan organik yang berasal dari limbah
domestik, industri, dan limpasan (run-off). Menurut Marlian et al., (2015) bahwa
tinggi dan rendahnya sebaran klorofil-a disebabkan karena pengaruh masukan
nutrien (amonia, nitrat, nitrit, dan ortofosfat).
Konsentrasi Klorofil
Kandungan klorofil-a pada stasiun 1 sebesar 1,54 g/L, pada stasiun II sebesar
3,19 g/L, pada stasiun III sebesar 6,5 g/L, serta pada stasiun IV sebesar 10,32
g/L. Setelah diperoleh nilai kandungan klorofil pada masing-masing stasiun,
diketahui stasiun IV memiliki kandungan klorofil tertinggi, sedangkan pada
stasiun I merupakan kandungan klorofil terendah. Berdasarkan tingkat kesuburan
perairan, stasiun I dan stasiun II tergolong kesuburan sedang (mesotropik)
sedangkan pada stasiun III dan stasiun IV tergolong pada perairan dengan tingkat
kesuburan tinggi (eutrofikasi).
Jika dibandingkan dengan penelitian Semedi dan Safitri (2015) mengenai
kandungan klorofil-a di perairan Madura diketahui bahwakonsentrasi klorofil-a
antara 0.022-1.196 mg/L (22-119,6 g/L dengan rata-rata sebesar 0,0643 mg/L
(64,3 g/L). Penelitian Sihombing et al., (2013) hasil pengamatan kandungan
klorofil-a di perairan Sungsang berkisar antara 5,10 – 6,32 mg. Penelitian Kunarso
et al., (2011) memperoleh kandungan klorofil-a di perairan selatan jawa relatif
rendah hanya sebesar 0,14-11,35 mg.
Kemudian penelitian Wirasatria, (2011) berdasarkan sebaran klorofil-a di
perairan Teluk Toli toli masuk dalam kondisi bagus dengan rata-rata (kisaran)
kandungan klorofil-a sebesar 2.43 mg (0,6-6,14 mg). Menurut Marlian et al.,
(2015) bahwa sebaran horizontal klorofil-a penelitian berkisar antara 0,8152,452
μg/L. Penelitian Linus et al., (2016) di perairan kota Kendari memperoleh hasil
kandungan klorofil cukup rendah hanya berkisar 0,09-1,58 mg. Berdasarkan
penelitian-penelitian tersebut, maka kandungan klorofil di perairan Desa Busung
dalam nilai kandungan klorofil pada umumnya, hanya saja kandungan klorofil di
perairan Desa Busung cukup tinggi.
Dari hasil pengukuran kandungan klorofil di perairan Desa Busung stasiun IV
merupakan kawasan tertinggi kandungan klorofil di perairan tersebut
dibandingkan dengan stasiun lainnya. Stasiun IV merupakan kawasan perairan
yang lebih terbuka dan dekat dengan muara sungai dan hutan mangrove yang
secara umum pemanfaatannya masih terbatas. Pemanfaatan yang terbatas oleh
masyarakat sekitar, membuat perairan sekitar stasiun IV lebih baik dibandingkan
dengan stasiun lainnya. Kandungan klorofil yang tinggi mencirikan adanya
kelimpahan fitoplankton yang lebih tinggi pada stasiun IV. Artinya, kehidupan
fitoplankton di perairan tersebut masih terjaga dengan baik. Seperti pernyataan
Aryawati dan Thoha (2011) bahwa fitoplankton mengandung klorofil-a (dominan
pada kelas diatom), sehingga tinggi rendahnya kelimpahan fitoplankton dapat
mempengaruhi besar kecilnya kandungan klorofil-a di suatu perairan.
Kandungan klorofil terendah terjadi pada stasiun I, sedangkan tertinggi pada
stasiun IV. Tinginya kandungan klorofil pada stasiun IV dipengaruhi oleh tingkat
kecerahan. Kecerahan pada stasiun IV merupakan yang tertinggi sehingga
intensitas cahaya matahari yang masuk lebih banyak. Menurut Faturohman et al.
(2016) bahwa kekeruhan sangat dipengaruhi oleh bahan-bahan partikel
tersuspensi, partikel koloid, kekeruhan, warna perairan, jasad renik, detritus,
plankton, keadaan cuaca, waktu pengukuran. Kekeruhan yang tinggi dapat
mempengaruhi kelimpahan plankton, kelimpahan plankton cenderung tinggi
dengan kondisi kekeruhan rendah (kecerahan tinggi).
Keterangan diatas di perkuat dengan pernyataan Maturbongs (2015) bahwa
pertumbuhan fitoplankton dipengaruhi oleh tingkat kekeruhan perairan. Hal ini
dikarenakan kekeruhan perairan berpengaruh terhadap penetrasi cahaya ke dalam
kolom air karena cahaya mempunyai peranan penting bagi fitoplankton terutama
dalam proses fotosintetik. Fotosistesis pada tumbuhan laut seperti fitoplankton
dapat berlangsung bila intensitas cahaya dapat sampai ke sel fitoplankton. Oleh
karena itu bila terjadi kekeruhan maka penetrasi cahaya matahari ke permukaan
dan bagian yang lebih dalam tidak berlangsung efektif akibat terhalang oleh zat
padat tersuspensi sehingga fotosintesis tidak berlangsung sempurna.
Pada stasiun III terjadi pengayaan bahan organik yang terlalu tingggi, sehingga
hanya sebagian jenis fitoplankton yang hidup di wilayah tersebut dan menjadi
dominan. Seperti pernyataan Linus et al., (2016) menyatakan tinggi-rendahnya
konsentrasi klorofil-a tidak hanya dipengaruhi oleh keberadaan nutrien yang
tinggi namun juga oleh kecerahan tinggi. Hal ini berhubungan dengan proses
fotosintesis fitoplankton sebagai penyusun biomassa fitoplankton (klorofil-a),
dimana kecerahan tinggi akan mempengaruhi intensitas cahaya matahari yang
merupakan sumber energi bagi fitoplankton untuk berfotosintesis.
Dari hasil penelitian dan pengamatan dilapangan, bahwa pada stasiun II
memiliki tingkat kecerahan hanya sebesar 88,17 cm yang merupakan nilai
terendah dibandingkan dengan stasiun lainnya. Dengan demikian, tingkat
kecerahan yang lebih rendah karena menjadi faktor yang menyebabkan rendahnya
kandungan klorofil pada stasiun II. Terbatasnya kecerahan perairan di stasiun II
karena akan mempengaruhi optimalisasi penyerapan cahaya matahari oleh
fitoplankton sehingga mempengaruhi produksi klorofil di stasiun II. Kecerahan
dan intensitas cahaya matahari yang masuk ke perairan pada stasiun II lebih
sedikit dibandingkan dengan stasiun lainnya, kondisi ini sejalan dengan nilai
kekeruhan perairan yang juga lebih tinggi pada stasiun II yakni sebesar 2,51 NTU.
Rendahnya nilai kecerahan perairan di stasiun II sejalan dengan tingginya
kekeruhan pada stasiun II tersebut. Kecerahan dan kekeruhan perairan pada
stasiun II karena menjadi faktor penentu yang mempengaruhi kandungan klorofil
pada wilayah tersebut.
Kandungan oksigen di stasiun II yakni sebesar 5,93 mg/L lebih rendah dengan
stasiun lainnya. Kondisi ini mencirikan bahwa oksigen pada stasiun II diduga
lebih banyak terpakai pada proses penguraian bahan organik oleh bakteri.
Menipisnya kandungan oksigen di perairan akan berdampak pada respirasi biota.
Kondisi-kondisi yang terjadi pada stasiun II menguatkan peneliti bahwa faktor
lingkungan merupakan parameter yang signifikan pengaruhnya terhadap
kandungan klorofil disuatu perairan.
Selanjutnya, jika dilihat pada stasiun IV karena kondisinya lebih stabil dari
kondisi lingkungan dan pasokan nutrien, sehingga didominasi oleh kelompok
organisme fitoplankton yang banyak menghasilkan pigmen klorofil. Seperti hasil
penelitian Sihombing et al., (2013) bahwa fitoplankton dikenal sebagai tumbuhan
yang mengandung pigmen klorofil sehingga mampu melakukan reaksi
fotosintesis. Keberadaan fitoplankton pada suatu daerah berkaitan erat dengan
besar kecilnya kandungan klorofil yang berada di daerah tersebut. Klorofil banyak
terdapat pada diatom (Bacillariophyceae) dan dinoflagellata (Dinophyceae) yang
merupakan komponen terbesar fitoplankton di laut.Selain itu, diketahui bahwa
stasiun IV merupakan kawasan muara sungai yang yang belum banyak
mendapatkan tekanan eksploitasi oleh masyarakat. Sehingga cenderung lebih baik
dibandingkan dengan stasiun lainnya, dan kandungan klorofil pada kawasan ini
lebih tinggi. Dari hasil penelitian Semedi dan Safitri (2015) juga memperoleh
hasil bahwa sebaran klorofil menunjukkan nilai yang lebih tinggi pada kawasan
muara sungai.
Kesuburan Perairan
Nilai TRIX pada stasiun I sebesar 5,43, pada stasiun II sebesar 4,96, pada
stasiun III sebsar 6,09, sedangkan pada stasiun IV sebesar 5,03. Terlihat bahwa
stasiun dengan nilai indeks TRIX tertiggi pada stasiun III sedangkan terendah
pada stasiun II.
Jika dibandingkan dengan hasil penelitian Tammi et al., (2015) mengenai
tingkat status trofik di perairan Singaraja, Bali memperoleh nilai indeks TRIX
berkisar 4,28-5,78 dengan kondisi kesuburan rendah (mesotrofik). Indeks TRIX
dapat digunakan sebagai penentuan status trofik dan pendugaan penurunan
kualitas perairan sehingga ada indeks ini dapat dijadikan sebuah indicator prediksi
untuk variabilitas status trofik secara temporal. Penelitian Linus et al., (2016) di
perairan kota Kendari, hasil kesuburan perairan berdasarkan TRIX berkisar 1,25-
1,28, berdasarkan kategori TRIX perairan Pulau Bungkutoko tergolong dalam
perairan oligotrofik.
Pada stasiun III kesuburan perairan tergolong sangat tinggi, artinya pada
stasiun III terdapat kandungan bahan organik yang sangat berlimpah. Tingginya
kesuburan perairan pada stasiun III menggambarkan asupan bahan organik yang
tinggi pada stasiun tersebut. Asupan bahan organik pada stasiun III merupakan
pengaruh dari adanya aktivitas permukiman disekitarnya berupa buangan bahan
organik yaitu makanan, sayuran, serta kotoran limbah domestik permukiman yang
menyebabkan tingginya bahan organik pada stasiun III. Sedangkan pada stasiun
II memiliki nilai indeks TRIX terendah, mencirikan perairan tersebut masih baik
dengan kondisi kesuburan yang sedang.
Kesuburan perairan di stasiun II dipengaruhi oleh kondisi kekeruhan perairan.
Kekeruhan perairan Desa Busung pada II sebesar 2,51 NTU merupakan
kekeruhan tertinggi dibandingkan dengan stasiun lainnya. Diketahui bahwa
tingkat kekeruhan tertinggi terdapat pada stasiun II dan terendah pada stasiun III.
Tingginya kekeruhan perairan pada stasiun II disebabkan oleh adanya aktivitas
pemukiman dan transportasi sekitar stasiun II sehingga mengakibatkan tingkat
kekeruhan semakin meningkat. Untuk itu penetrasi cahaya yang masuk ke
perairan menjadi terhambat dan mengakibatkan terganggunya fotosintesis oleh
kelompok organisme fitolankton sehingga kesuburan perairan akan menurun.
Selanjutnya jika dilihat dari nilai kecerahan perairan pada stasiun II sebesar
88,17 cm merupakan yang terendah dibandingkan dengan stasiun lainnya.
Kecerahan perairan pada stasiun II juga paling rendah berbanding lurus dengan
tingkat kekeruhan yang tertinggi pada stasiun II. Kekeruhan dan kecerahan yang
kurang baik pada stasiun II dibandingkan dengan stasiun lainnya, berpengaruh
terhadap konsentrasi klorofil pada stasiun tersebut dan kemudian akan
memmpengaruhi tingkat kesuburan perairannya.
Jika mengacu pada pendapat Linus et al., (2016) bahwa tinggi rendahnya
konsentrasi klorofil tidak hanya dipengaruhi oleh keberadaan nutrien yang tinggi
namun juga oleh kecerahan tinggi. Selanjutnya menurut Sihombing et al., (2013)
kandungan klorofil sangat dipengaruhi oleh kondisi oseanografi, utamanya adalah
intensitas cahaya. Hal ini berhubungan dengan proses fotosintesis fitoplankton
sebagai penyusun biomassa fitoplankton (klorofil), dimana kecerahan tinggi akan
mempengaruhi intensitas cahaya matahari yang merupakan sumber energi bagi
fitoplankton untuk berfotosintesis. Tingkat kecerahan yang tinggi dan kekeruhan
yang rendah akan mengoptimalkan penyerapan cahaya matahari yang masuk ke
badan air sehingga dapat digunakan oleh fitoplankton untuk berfotosintesis dan
menghasilkan pigmen klorofil. Semakin meningkat kecerahan suatu perairan akan
sangat mendukung terjadinya fotosintesis oleh organisme fitoplankton.
Selain itu, kesuburan perairan yang tinggi disebabkan oleh adanya asupan
unsur hara yakni nitrat dan fosfat. Pengayaan nitrat dan fosfat tertinggi terjadi
pada stasiun III sejalan dengan kesuburan perairan yang tinggi pula. Unsur hara
yang tersedia di perairan sangat erat kaitannya dengan kesuburan perairan
terutama kelimpahan organisme fitoplankton sebagai produsen primer. Sejalan
dengan pernyataan Marlian et al. (2015) Selain adanya masukan dari daratan,
daerah mulut muara dan sungai umumnya relatif dangkal, yang memungkinkan
terjadinya pengadukan massa air di seluruh lapisan perairan, sehingga
menyebabkan peningkatan kadar unsur hara di lapisan permukaan perairan.
Keadaan demikian memungkinkan untuk biomassa fitoplankton berkembang lebih
cepat dan subur. Lebih lanjut Hidayah et al. (2016) menyatakan bahwa Tinggi dan
rendahnya kandungan nutrien diperairan dipengaruhi oleh parameter kualitas
perairan yang mendukung kehidupan fitoplankton di perairan terutama bahan
organik (nirat dan fosfat).
Arahan Pengelolaan
1. Pengelolaan perairan Desa Busung mengedepankan pendekatan ekologi
(kestabilan antara faktor biotik dan abiotik) yakni dengan menjaga
kelestarian ekosistem pesisir Desa Busung agar kestabilan ekosistem tetap
terjaga.
2. Kandungan klorofil di perairan Desa Busung termasuk dengan perairan
dengan tingkat kesuburan tinggi, artinya perairan Desa Busung
mengandung nutrien yang tinggi sehingga melimpahnya fitoplankton
penghasil klorofil. Untuk itu pembuangan bahan organik yang berpotensi
meningkatkan kadar nutrien, dapat lebih diperhatikan. Terutama limbah
organik dari aktivitas permukiman sekitar Desa Busung yang memberikan
dampak terhadap masukan bahan organik ke perairan. Dengan demikian
diberikan sosialisasi kepada masyarakat untuk tidak membuang sampah
organik dan anorganik ke perairan.
3. Aktivitas-aktivitas masyarakat sekitar perairan Desa Busung cukup
memberikan dampak terhadap komunitas fitoplankton yang menghasilkan
klorofil. Seperti aktivitas mencuci yang akan menghasilkan gelembung
busa-busa sehingga akan menutupi permukaan air yang ditumbuhi oleh
fitoplankton. Sehingga dengan demikian, diharapkan bagi masyarakat
untuk tidak membuang limbah deterjen secara lengsung ke perairan laut.
4. Pada stasiun 2 mesotrofik yakni perairan dengan kesuburan sedang.
Disarankan pada lokasi di stasiun 2 lebih diperhatikan agar juga tidak
membuang limbah organik ke perairan, sehingga tidak terjadi penambahan
bahan organik untuk menjaga kestabilan perairan.
5. Pada stasiun 1 dan stasiun 4 termasuk kedalam perairan yang tergolong
eutrofik (tingkat kesuburan tinggi). Tentunya pada stasiun 1 dan 4 sangat
mengkhawatirkan untuk kestabilan ekosistem perairan, sehingga
diperlukan arahan pengelolaan untuk tidak membuang limbah organik ke
perairan karena akan meningkatkan nilai kandungan bahan organik.
6. Stasiun 3 hypertrofik yakni perairan dengan tingkat kesuburan sangat
tinggi. Disarankan pada stasiun ini lebih diperhatikan untuk tidak
membuang buangan organik ke perairan.
PENUTUP
Kesimpulan Kesimpulan dari hasil penelitian ini yaitu; nilai indeks TRIX tertiggi pada
stasiun III sebesar 6,09 sedangkan terendah pada stasiun II yakni sebesar 4,96.
Hasil tersebut menggambarkan bahwa kualitas perairan pada stasiun III tergolong
buruk dengan tingkat kesuburan yang sangat tinggi. Pada stasiun IV merupakan
kondisi perairan dengan tingkat kesuburan rendah.
Pada stasiun III kesuburan perairan tergolong sangat tinggi, artinya pada
stasiun III terdapat kandungan bahan organik yang sangat berlimpah. Tingginya
kesuburan perairan pada stasiun III menggambarkan asupan bahan organik yang
tinggi pada stasiun tersebut. Asupan bahan organik pada stasiun III merupakan
pengaruh dari adanya aktivitas permukiman disekitarnya berupa buangan bahan
organik yaitu makanan, sayuran, serta kotoran limbah domestik permukiman yang
menyebabkan tingginya bahan organik pada stasiun III. Sedangkan pada stasiun
II memiliki nilai indeks TRIX terendah, mencirikan perairan tersebut masih baik
dengan kondisi kesuburan yang sedang.
Saran
Dilakukannya penelitian terkait sebaran bahan organik di perairan Desa
Busung sehingga menggambarkan kandungan nitrat dan fosfat. Dilakukan
penelitian terkait dengan sebaran suhu, salinitas, serta arus untuk mendukung hasil
penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA
Alves G, Flores-Montes M, Gaspar F, Gomes J, Feitosa F. 2013. Eutrophication
and water quality in a tropical Brazilian estuary. Journal of Coastal Research
65: 7-12.
Aryawati. R, dan Thoha. H., 2011. Hubungan Kandungan Klorofil-A dan
Kelimpahan Fitoplankton di Perairan Berau Kalimantan Timur. Maspari
Journal 02 : 89-94. Faturohman. I, Sunarto, dan Nurruhwati. I., 2016. Korelasi Kelimpahan Plankton
Dengan Suhu Perairan Laut Di Sekitar PLTU Cirebon. Jurnal Perikanan Kelautan 7 (1) : 115-122.
Fitra, F, Indra. J.Z, dan Syamsuardi. 2013 Produktivitas Primer Fitoplankton Di Teluk Bungus. Jurnal Biologika 2 (1) : 21-27.
Hidayah. G, Wulandari. S. Y, dan Zainuri. M., 2016. Studi Sebaran Klorofil-a Secara Horizontal di Perairan Muara Sungai Silugonggo Kecamatan Batangan, Pati. JuRNAL Buletin Oseanografi Marina April 5 (1) : 52-59.
Heriyanto. 2009. Kesuburan Perairan Waduk Nagedang Desa Giri Sako Kecamatan Logas Tanah Darat Kabupaten Kuantan Singingi Riau, Ditinjau Dari Kosentrasi Klorofil-a Fitoplankton. [Skripsi]. Universitas Riau.
Indriyana. R, Yusuf. M, dan Rifai. A., 2014. Pengaruh Arus Permukaan Terhadap Sebaran Kualitas Air Di Perairan Genuk Semarang. Jurnal Oseanografi 3 (4) : 651-659.
Keputusan Menteri Lingkungan Hidup. Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 51. 2004. Baku Mutu Air Laut.
Kunarso. Hadi. S, Ningsih. N. S, dan Baskoro. M. S., 2011. Variabilitas Suhu dan Klorofil-a di Daerah Upwelling pada Variasi Kejadian ENSO dan IOD di Perairan Selatan Jawa sampai Timor. Ilmu Kelautan 16 (3) : 171-180.
Linus. Y, Salwiyah, dan Irawati. N, 2016. Status kesuburan perairan berdasarkan kandungan klorofil-a di Perairan Bungkutoko Kota Kendari. Jurnal Manajemen Sumberdaya Perairan 2 (1) : 101-111.
Marlian,N, Ario. D, dan Hefni. E. 2015. Distribusi Horizonta Klorofil-a Fitoplankton Sebagai Indikator Tingkat Kesuburan Perairan di Teluk Meulaboh Aceh Barat. Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia (JIPI), Vol. 20 (3): 272-279
Masturbongs. M. R., 2015. Pengaruh Tingkat Kekeruhan Perairan Terhadap Komposisi Spesies Makro Algae Kaitannya Dengan Proses Upwelling Pada Perairan Rutong-Leahari. Agricola 5 (1) : 21-31.
Mayagitha. K. A, Haeruddin, dan Rudiyanti. S., 2014. Status Kualitas Perairan
Sungai Bremi Kabupaten Pekalongan Ditinjau Dari Konsentrasi Tss, Bod5,
Cod Dan Struktur Komunitas Fitoplankton. Diponegoro Journal of Maquares
3 (1) : 177-185. Pello. E. S, Adiwilaga. E. M, Huliselan. N. V, dan Damar. A., 2014. Pengaruh
Musim Terhadap Beban Masukkan Nutrien Di Teluk Ambon Dalam (Effect Of Seasonal On Nutrient Load Input The Innerambon Bay). Jurnal Bumi Lestari 14 (1) : 63-73.
Rosa, B.R.2015. Struktur Komunitas Gastropoda di Ekosistem Lamun Perairan Desa Busung Kabupaten Bintan. [Skripsi]. Universitas Maritim Raja Ali Haji.Tanjungpinang.
Semedi. B, dan Safitri. N. M., 2015. Estimasi Distribusi Klorofil-A di Perairan Selat Madura Menggunakan Data Citra Satelit Modis dan Pengukuran In Situ Pada Musim Timur. Rearch Journal of Life Science 2 (1) : 40-49.
Sihombing. R. F, Aryawati. R, dan Hartoni. 2013. Kandungan Klorofil-a Fitoplankton di Sekitar Perairan Desa Sungsang Kabupaten Banyuasin Provinsi Sumatera Selatan. Jurnal Maspari 5 (1) : 34-39.
Simanjuntak. M., 2007. Oksigen Terlarut dan Apparent Oxygen Utilization di Perairan Teluk Klabat, Pulau Bangka. Ilmu Kelautan 12 (2) : 59-66.
Supriadi. I. H., 2001. Dinamika Estuaria Tropik. Oseana 26 (4) : 1-11. Susana. T., 2009. Tingkat Keasaman (pH) dan Oksigen Terlarut Sebagai Indikator
Kualitas Perairan Sekitar Muara Sungai Cisadane. Jurnal Teknik Lingkungan 5 (2) : 33-39.
Tammi. T, Pratiwi. N. T. M, Hariyadi. S, dan Radiarta. I. N., 2015. Aplikasi Analisis Klaster Dan Indeks Trix Untuk Mengkaji Variabilitas Status Trofik Di Teluk Pegametan, Singaraja, Bali. Jurnal Riset Akuakutur 10 (2) : 271-281.
Wirasastriya. A., 2011. Pola Distribusi Klorofil-a dan Total Suspended Solid (TSS) di Teluk Toli Toli, Sulawesi. Buletin Oseanografi Marina 1. 137-149.