Ikhtisar Pilot Projects Klhs Ciayumajakuning - Gardang, Cekungan Bandung, Kartamantul, Bima

40
Ikhsar Pilot Projects Kajian Lingkungan Hidup Strategis Ciayumajakuning - Gardang Cekungan Bandung Kartamantul Bima Final Report Depu Bidang Tata Lingkungan Kementerian Negara Lingkungan Hidup Bekerjasama dengan ESP2 - DANIDA

description

kajian

Transcript of Ikhtisar Pilot Projects Klhs Ciayumajakuning - Gardang, Cekungan Bandung, Kartamantul, Bima

Page 1: Ikhtisar Pilot Projects Klhs Ciayumajakuning - Gardang, Cekungan Bandung, Kartamantul, Bima

Ikhtisar Pilot ProjectsKajian Lingkungan Hidup Strategis

Ciayumajakuning - Gardang• Cekungan Bandung• Kartamantul• Bima•

Final Report

Deputi Bidang Tata Lingkungan Kementerian Negara Lingkungan Hidup Bekerjasama dengan ESP2 - DANIDA

Page 2: Ikhtisar Pilot Projects Klhs Ciayumajakuning - Gardang, Cekungan Bandung, Kartamantul, Bima
Page 3: Ikhtisar Pilot Projects Klhs Ciayumajakuning - Gardang, Cekungan Bandung, Kartamantul, Bima

iii

Daftar Isi

Daftar Lampiran

Daftar Gambar

Daftar Istilah

Hasil Ikhtisar 1

KLHS Ciayumajakuning - Gardang 51. Penyelenggaraan KLHS ............................................................................................................................. 52. Lingkup dan Kedudukan ............................................................................................................................ 53. Kaitan KLHS dengan Pengambilan Keputusan .......................................................................................... 64. Permasalahan, Pendekatan dan Metode .................................................................................................. 85. PerlakuanterhadapInstitusidanKeterikatanPublik ............................................................................... 9

KLHS Cekungan Bandung 111. Cekungan Bandung Hulu Citarum ............................................................................................................. 112. Lingkungan Cekungan Bandung ............................................................................................................... 113. KLHS dan Pengambilan Keputusan ........................................................................................................... 124. Permasalahan, Kerangka Pikir dan Metoda .............................................................................................. 135. PerlakuanTerhadapInstitusidanKeterikatanPublik ................................................................................ 17

KLHS Kartamantul 191. Pendahuluan ............................................................................................................................................. 192. Keterkaitan antara KLHS dan Pengambilan Keputusan Saran ................................................................... 203. Isu Pokok Permasalahan di Kartamantul ................................................................................................... 204. Metode Pendekatan .................................................................................................................................. 225. PenangananIsu-isuinstitusionaldanKeterlibatanMasyarakatdalamprosesKLHS ................................. 236. Rekomendasi untuk pelaksanaan tahap kelanjutan ................................................................................. 24

LHS Bima 251. Kondisi Umum Kota Bima ......................................................................................................................... 252. KLHS dan Pengambilan Keputusan ........................................................................................................... 283. Permasalahan,KerangkaPikirdanMetoda .............................................................................................. 294. ProsesPartisipasiPublik ............................................................................................................................ 305. Rekomendasi ............................................................................................................................................. 30

Kesimpulan dan Rekomendasi 311. Kesimpulan ............................................................................................................................................... 312. Rekomendasi ............................................................................................................................................. 32

Daftar Isi

Page 4: Ikhtisar Pilot Projects Klhs Ciayumajakuning - Gardang, Cekungan Bandung, Kartamantul, Bima

iv

Glossary

Halaman

Lampiran 1. Ringkasan Pilot Project ................................................................................................................ 33

Halaman

Gambar 2 – 1 : Daur Pemantauan Perencanaan Kawasan Lindung ................................................................. 10Gambar 3 – 1 : Kerangka Pikir Penyelenggaraan KLHS Cekungan Bandung .................................................... 16Gambar3–2:Keterkaitanantartigaundang-undang.................................................................................... 16Gambar 4 – 1 : Peta Administrasi Kawasan Kartamantul Provinsi D.I. Yogyakarta .......................................... 20Gambar 5 – 1 : Penyebaran kecamatan diseluruh wilayah Kota Bima ............................................................ 25Gambar 5 – 2 : Peta lokasi banjir di Kota Bima ............................................................................................... 26Gambar5–3:PermasalahanKotaBimadanhubungannyaantarpermasalahan ......................................... 29Gambar 5 – 4 : Kondisi delta di Kota Bima ...................................................................................................... 30

Daftar Lampiran

Daftar Gambar

Bakorwil : Badan Koordinasi WilayahBPLH : Badan Pengelolaan Lingkungan HidupBPLHD : Badan Pengendalian Lingkungan Hidup DaerahBWK : Bagian Wilayah KotaDAS : Daerah Aliran SungaiKLHS : Kajian Lingkungan Hidup StrategisKRP : Kabijakan, Rencana, ProgramPerda : Peraturan DaerahPergub : Peraturan GubernurPLTU : Pembangkit Listrik Tenaga UapPPLH : Pusat Pengelolaan Lingkungan HidupRapergub : Rancangan Peraturan GubernurRPJMD : Rencana Pembangunan jangka Menengah DaerahRPJPD : Rencana Pembangunan Jangka Panjang DaerahRTRK : Rencana Tata Ruang KawasanRTRW : Rencana Tata Ruang WilayahSKPD : Satuan Kerja Perangkat DaerahSLHD : Status Lingkungan Hidup Daerah

Page 5: Ikhtisar Pilot Projects Klhs Ciayumajakuning - Gardang, Cekungan Bandung, Kartamantul, Bima

1

HasilIkhtisar| 1

Bab

Hasil Ikhtisar1Bab

Sebagaimana ulasan yang disampaikan oleh Barry Saddler dalam bukunya berjudul “SEA at the Policy

level: Recent Progress, Current Status and Future Prospects” (2005) bahwa KLHS sebagai instrumen untuk pengambilan keputusan bagi perumusan Kebijakan dan Perencanaan pembangunan masih mencari bentuk yang tepat dan layak diterapkan pada suatu negara. Bentuk yang tepat disini maksudnya adalah sesuai dengan kondisi karakteristik sistempemerintah dan hukum yang berlaku di negara yang bersangkutan, selain juga karena karakteristikfenomena pembangunan dan kehidupan yang unik dimasing-masing negara. Ada negara yang sistem internal pemerintahnya tidak bisa lepas dari sisteminternasionalregionalyangdisepakati,sepertianggotanegara-negara masyarakat Eropah. Namun ada juga negara yang secara otonom dapat begitu saja merumuskan sendiri peraturanperundangan, sepertiumumnya negara-negara Asia, termasuk Indonesia. Situasi ini tentu juga membawa konsekuensi pada penyusunan pedoman teknis pelaksanaan instrumen KLHS. Ada yang dapat meletakkan pedoman ini dengan status Directive atau Protocol yang tegas (sebagai mandatory),sepertidisejumlahnegara-negaraanggotamasyarakat Eropa, Cina, dan juga Vietnam. Dan ada pula yang menetapkannya sebagai sukarela (voluntary) secara konseptualwalaupun secaranormatifmerekajuga mengacu pada ketetapan-ketetapan normatif,seperti di Negara-negara Eropah dan juga SelandiaBaru.

Perkembangan proses pengembangan KLHS sebagai instrumen bagi penguatan rumusan Kebijakan-Rencana-Program (KRP) berorientasi pada pengarus-utamaan Pembangunan Berkelanjutan menunjukkan arah seperti yang dikembangkan di negara-negarayang menganut penerapan KLHS sebagai mandatory. Di Indonesia, saat ini sedang dirancang satu instruksi presiden bagi integrasi perencanaan pembangunan melalui aplikasi instrumen KLHS dan satu pedoman penerapan KLHS melalui keputusan peraturan menteri LH. Peraturan-peraturan ini secara teknis akan mengikat penyelenggara sektor-sektor pembangunan dan juga pemerintahan daerah untuk menyelenggarakan KLHS dalamsetiapprosespenyusunanKRPmasing-masing,terutama dalam kaitannya dengan kebijakan yang bersifat strategis.

Menyadari sistem pemerintah yang desentralisasi sejak ditetapkannya UU Pemerintahan Daerah, Departemen Dalam Negeri sebagai penanggung jawab pembinaan penyelenggaraan pemerintah daerah juga telah berupaya mengadopsi perkembangan ini ke dalam rancangan Permendagri tentang pelaksanaan perencanaan pembangunan daerah yang mengarah padakewajibanaplikasiKLHSdalamsetiappenyusunanRPJPD/RPJMD (Rencana Pembangunan Jangka Panjang/Menengah Daerah) dan juga RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa perkembangan penerapan instrumen KLHS di dalam penyelenggaraan pembangunan, khususnya saat penyusunan KRP telah menunjukkan indikasi perkembangan yang memantapkannya sebagai protokol yang bersifat wajib.

Sebagaiinstrumenyangrelatifbaruuntukditerapkandi Indonesia tentu peningkatan kapasitas (sistem, lembaga dan SDM) penerapan KLHS diantara para pihak penyusun rumusan KRP seyogyanya menjadi prioritasyangtinggidanuntuk ituperludisegerakan.Lebih dari itu pemantapan konsep dan aplikasi penerapannya mulai dari penjabaran konsep, metode dan teknik analisis, serta mekanisme proses pengambilan keputusan untuk KRP perlu diuji melalui kegiatan pilot (pilot project). Hal terakhir ini sangat relevan mengingat begitu beragamnya karakteristikfenomena pembangunan berikut sumber-sumber daya yang dimanfaatkan dan beragamnya tingkatkapasitassertaperilakusistempolitikdanadministrasipublik di masing-masing lembaga penyelenggara pembangunan, baik per sektor pembangunan maupun daerah pembangunan. Oleh karena itu pemilihan dan penetapan penanganan pilot project yang dapat mencakup atau mewakili keberagaman ini sangat menentukan dalam memberikan kontribusi yang signifikan bagi proses pemantapan penyusunansubstansi perturan perundangan penerapan KLHS dan penyusunan Pedoman Pelaksanaan KLHS di Indonesia.

Berbagai perkembangan konsep aplikasi KLHS dalam dua dekade terakhir oleh berbagai negara, tenaga ahli telah menghasilkan beberapa konsep yang menjadi acuan utama bagi negara-negara yang kemudian mengadopsi KLHS, seperti di Indonesia. Diantarakonsep-konsep KLHS tersebut yang banyak dijadikan acuan adalah OECD, IAIA dan pengalaman serta pembelajaran dari sejumlah negara, baik yang berhasil

Page 6: Ikhtisar Pilot Projects Klhs Ciayumajakuning - Gardang, Cekungan Bandung, Kartamantul, Bima

1

|HasilIkhtisar2

Bab

menerapkan maupun yang perlu melalui proses legitimasiyangpanjang.Berdasarkankajianterhadapbahan-bahan pembelajaran tersebut maka dapat dikatakan bahwa substansi kegiatan pada pilot project yang dipilih dan dilaksanakan pada tahun 2008 di dalam kerangka ESP2 ini dapat dikatakan layak untuk menjadi wadah uji coba penerapan konsep KLHS. Ada dua hal sebagai alasan utama kelayakan ini yaitu pemilihan isu atau obyek permasalahan yang memenuhi kriteria:

nilai strategis (interdependensi/keterkaitan, •keseimbangan, dan keadilan)dan keterlibatan proses pengambilan keputusan •bagi rumusan KRP.

Denganpengertiankeduahaltersebutmakaprosesujicoba penerapan KLHS ini dapat memberikan kekayaan pengetahuan dan menjadi asupan berharga, tidakhanyauntukkepentinganperumusan InpresataupunPermenLH, Permendagri, dan KRP terkait; tetapi juga sekaligus merupakan proses internalisasi ide, konsep dan metode aplikasi KLHS bagi pihak-pihak yang terlibat.

Melalui kemiripan cross cutting issue yang dipilih yaitupermasalahansumberdayaairmakaketigapilot project yaitu Ciayumajakuning-gardang dan Cekungan Bandung, Kartamantul dan Bima bisa dikaji dalam kerangka studi banding pula. Beberapa catatan yang diperoleh dari hasil perbandingan pelaksanaan pilot project ini adalah sebagai berikut:

a. Permasalahan pengelolaan sumber daya air dapat dibedakan atas karakteristik alam dansistem manajemen pengelolaannya. Dari segi karakteristiknyasecarafungsionalselaludikaitkandengan sistem DAS dan sistem manajemen yang dimaksudmenitikberatkanperhatianpadasistemdistribusi berikut kelembagaannya. Adapun dalam konteks sifat sumberdayanya di ketiga daerahini sumber daya alam diperlakukan sekaligus sebagai public goods dan private goods (atau public pool goods). Ciayumajakuning mempunyai karakteristikgeografisdidaerahdaratanberbukitdan bergunung sebagai satu kerangka sistem DAS dengan Cekungan Bandung sebagai daerah hulu yang luasnya mencapai 434 ribu Ha dan dihuni lebihdari7jutajiwa.DiKartamantuljugasatuDAS,tetapi eksposurnya merupakan wilayah gunung dan wilayah endapan di wilayah pesisirnya. Secara kewilayahan hubungan 3 wilayah Kartamantul dapat diungkapkan sebagai berikut. Wilayah Sleman sebagai bagian hulu yang berada pada sisi selatan gunung Merapi dan tengah, wilayah Kota Yogyakarta sebagai bagian tengah dan fungsi pusat kegiatan, disamping wilayah Bantul sebagai bagian tengah dan bagian hilir. Sementara itu dalam kasus KotaBimaterbataspadaentitasperkotaandenganjumlahpenduduksekitar127ribujiwadiwilayahpesisiryangrelatifbentangalamnya landai.Padakasus Ciayumajakuning cakupan permasalahannya sampai pada tingkat lintas kabupaten/kota, hal

yang serupa juga di Kartamantul. sementara di BimarelatifhanyadisatupemerintahanKota.

b. Pertumbuhan pesat kota Bandung sebagai pusat kegiatan di Jawa Barat dan ada dalam lingkungan pilot (Ciayumajakuning-gardang dan Cekungan Bandung) merupakan sentral perhatian bagipermasalahan penataan sumber daya air dan tentu kawasan hutan sebagai sumber mata air. Konflik pemanfaatan tata guna tanah akibat alihfungsilahanmerupakansalahsatubagianpentingdan sensitif dengan tekanan kepentingan yangkompleksdanjugamencakupareayangrelatifluas.Sementara itu kasus Kartamantul dan Kota Bima relatif memiliki tipikal permasalahan yang miripnamun skala dan intensitas interelasinya berturut-turut lebih rendah dibandingkan dengan kasus pada Ciayumajakuning-gardang dan Cekungan Bandung.

c. Jika di Ciayumajakuning-gardang, Cekungan Bandung, dan Kartamantul menghadapi kemungkinan kelangkaan sumder daya air akibat meningkat pesatnya permintaan layanan sumberdaya air, sedangkan di Bima lebih pada permasalahan distribusi sumber daya air berikut pengendalian sistem aliran air permukaan.

d. Karena permasalahannya lintas batas kabupaten maka baik Ciayumajakuning-gardang, Cekungan Bandung, dan Kartamantul penanganan memerlukan keterlibatan pemerintah daerah yang lebih tinggi yaitu tingkat provinsi. Sementara itupermasalahandiKotaBimarelatifcukupditanganioleh Pemerintah Kota Bima.

Berdasarkan hasil kajian (KLHS) oleh tim tenaga ahlipada masing-masing daerah pilot dapat dikatakan bahwa permasalah perumusan KRP dalam menangani permasalahan pengelolaan sumber daya air adalah sebagai berikut:

a. Ciayumajakuning-gardang dan Cekungan Bandung Berdasarkan kajian yang mendalam terhadap struktur atau formasi geo-hidrologis dan rasio tutupan lahan dalam sistem DAS pada Ciayumajakuning-gardang dan Cekungan Bandung maka teridentifikasi bahwa permasalahanfundamental bagi keberlangsungan ketersediaan sumber daya air dan pendistribusiannya ada pada pengelolaan hutan, khususnya hutan lindung. Sudah banyak hutan lindung di Cekungan Bandung dan Gardang (sebagai hulu dari sistem DAS di wilayah pilot ini) yang beralih fungsi lahannya menjadi pemukiman dan kegiatan komersial. Secara langsung perubahan fungsi lahan ini akan mempengaruhi sistem tata air di wilayah ini dan cenderung menjadi sulit terkendali pola debit aliran airnya. Pada musim kering ada kecenderungan terjadi kelangkaan persediaan sumber daya air dan pada musim hujan cenderung terjadi meluasnya daerah banjir. Untuk itu timtenaga ahli menetapkan peraturan terhadap

Page 7: Ikhtisar Pilot Projects Klhs Ciayumajakuning - Gardang, Cekungan Bandung, Kartamantul, Bima

1

HasilIkhtisar| 3

Bab

keberadaankawasanhutanlindungperluditinjauulang dan diperkuat kedudukan hukumnya agar tidak lagi terjadipelanggaran, sepertipengalihanatau pengerusakan hutan lindung. Sesuai dengan hirarki hukum dan kelembagaan, maka SK Gubernur atau Perda Provinsi untuk memberikan kekuatan hukum atas pengaturan proteksi atau kelestarian hutan lindung menjadi prioritas bagi perumusan KRP bagi pengelolaan sumber daya air di lingkungan sistem DAS yang mencakup wilayah Ciayumajakuning-gardang dan Cekungan Bandung. Selain itu, pemanfaatan dan pengendalian hutan lindung dapat diwujudkan melalui rumusan kebijakan pembangunan daerah yang terakomodir pada dokumen RTRW (Rencana Tata Ruang Wialayah) provinsi dan kemudian diterjemahkan atau dioperasionalisasikan pada RTRW tingkatKabupaten ataupun RTRK (Rencana Tata Ruang Kawasan).

b. Kartamantul Provinsi DI Yogyakarta sebenarnya sudah memiliki

sejumlahkebijakandanperaturantingkatprovinsi,sepertiSKGubernuryangmengaturpemanfataandan pengendalian jumlah serta kualitas sumber daya air. Namun hasil kajian ternyata menunjukkan bahwa kebijakan dan peraturan tersebut dapat dikatakan tidak efektif. Dalam 5sampai 10 tahun terakhir perkembangan wilayah Kartamantul justru menunjukkan peningkatan tekanan terhadap ketersediaan sumber daya air, terutama dengan pesatnya pembukaan lahan di wilayah hulu (Kabupaten Sleman), khususnya bagi peruntukkan pemukiman dan komersial. Ironisnya secara geo-hidrologis, wilayah tengah DIY Yogyakarta sebelumnya merupakan kantong sumber daya air yang depositnya cukup besar. Hal ini telah menciptakan kelangkaan ketersediaan sumber daya air (termasuk sumber yang berasal dari air tanah) meningkat sehingga sudah banyak masyarakat yang membeli air bersih di wilayah tengah khususnya. Melalui kajian ini yang diinisiasi oleh BPLH DI Yogyakarta diarahkan rekomendasi

bagi rumusan RTRW propinsi DIY yang lebih memperhatikan keberadaan dan ketersediaansumber daya air sebagai isu pokok strategis dan prioritas atau orientasi pembangunan propinsi DIY.

c. Kota Bima Pada saat ini sedang dalam proses untuk

merumuskan kebijakan dan peraturan daerah Pemerintah Kota untuk mengelola sumber daya air. Hasil KLHS menjadi salah satu bagian pertimbangan dalam penyusunan kebijakan danperaturan daerah tersebut untuk menjaga daya dukung, kelestarian sumber daya air dan upaya layanan pada publik.

Kasus-kasus di atas pada dasarnya menunjukkan bahwa pengelolaan sumber daya air masih tidakdapat lepas dari pemahaman bahwa sumber daya air adalah sumber daya alam yang terbaharukan. Pada kenyataannya, meskipun air tergolong sumber daya terbaharukan namun jika pengelolaannya tidakbaik, air akan menjadi sumber daya alam yang sangat mahal untuk diperbaharui. Untuk itu air harus dikelola dengan usaha-usaha yang mengedapankan prinsip-prinsip keberlanjutan. Oleh karena air merupakan produk alami dan masih sangat memiliki nilai sebagai aset publik, maka peran pemerintah harus mempunyai kekuatan kebijakan dalam pengelolaan sumber daya air dan mengendalikan pemanfaatan melalui otoritas penetapan peraturan pemanfaatannya.

Dalam kaitan ini, pendekatan aplikasi KLHS dapat memberikan kontribusi berupa :

identifikasipermasalahanpokokstrategis,•

mengkaji konstelasi realistis kebijakan dan•peraturan berikut sistem kelembagaan penyelenggara yang terkait.

Lebih dari itu KLHS juga dapat memberikan •kontribusi berupa rekomendasi bagi penguatan peran otoritas pemerintah dalam mengelola dan mengendalikan pemanfaatan sumber daya air.

Page 8: Ikhtisar Pilot Projects Klhs Ciayumajakuning - Gardang, Cekungan Bandung, Kartamantul, Bima
Page 9: Ikhtisar Pilot Projects Klhs Ciayumajakuning - Gardang, Cekungan Bandung, Kartamantul, Bima

2

KLHSCiayumajakuning-Gardang| 5

Bab

KLHS Ciayumajakuning - Gardang2Bab

1. Penyelenggaraan KLHS

Penyelenggaraan KLHS Ciayumajakuning Gardang dilakukan dalam dua tahap. Tahap pertama

kajian dilakukan pada Juli s/d September 2007 diCiayumajakuning (Kota Cirebon, Kabupaten Cirebon, Kabupaten Indramayu, Kabupaten Majalengka dan Kabupaten Kuningan). Kajian ini difokuskan pada pengelolaan sumberdaya air. Tahap kedua dilakukan pada bulan Oktober s/d Desember 2008 di Ciayumajakuning dan Gardang (Kabupaten Garut dan Kabupaten Sumedang) sebagai kelanjutan dan perluasan tahap pertama.

Pentahapaninitidakdirencanakansebelumnya,tetapimerupakan temuan dari telaah atas sumberdaya air di Ciayumajakuning. Tahap kedua diselenggarakan atas dasar rekomendasi tahap pertama yang menyatakan bahwa pengelolaan sumberdaya air permukaan jauh lebih penting daripada air tanah dalam. Padahal airpermukaan di Ciayumajakuing sangat ditentukan oleh Gardang, sebagai satu kesatuan wilayah sungai Cimanuk dan Cisanggarung.

Pada tahap pertama KLHS diupayakan menjadi bahan bagi kebijakan bersama pengelolaan sumberdaya air pemerintah daerah di Ciayumajakuning yang dikoordinasikan oleh Badan Koordinasi Wilayah (BAKORWIL) Ciayumajakuning. Pada waktu itu diharapkan dapat diterbitkan suatu peraturan Daerah Kota/Kabupaten tentang sumberdaya air di kelima wilayah administrasi ini. Walaupun perda tersebut diterbitkan oleh masing-masing daerah tetapi substansinya telah dipadukan dan dikoordinasikan.

Dengan maksud menciptakan peraturan daerah pengelolaan sumberdaya air yang terintegrasi dan terkoordinasi tersebut dua lembaga dipilih sebagai pemegang peranan utama, yaitu BAKORWIL dan DPRD. Untuk itu antara lain diupayakan terbentuknya Forum Anggota DPRD untuk Lingkungan di Ciayumajakuning yang bersama BAKORWIL menjadi wahana komunikasi antar daerah.

Lingkup kajian yang meluas kearah Kabupaten Garut dan Sumedang merubah pelaku dan pemegang peranan dalam pengambilan keputusan, diantaranya BOKORWIL Ciayumajakuning tidak lagi dapatberperanan secara maksimal. Selain itu ada batasan teknis yangmenyebabkan lingkup kajian tidak dapat

mencakup keseluruhan permasalahan pengelolaan sumberdaya air. Oleh karena KLHS Ciayumajakuing Gardang perlu menentukan kembali kedudukan (repositioning) dan lingkupnya.

2. Lingkup dan kedudukanMenurut UU No 7/2004 tentang Sumberdaya Air,kegiatan pengelolaan sumberdaya air mencakup: konservasi sumber daya air, pendayagunaan sumber daya air, dan pengendalian daya rusak air pada setiapwilayah sungai.Daritiga cakupanpengelolaansumberdaya air, KLHS ini dikonsentrasikan pada konservasi sumberdaya air, sebagai hulu permasalahan. Meskipun terkonsentrasi pada segi konservasi, tetapi dapat dipastikan hal ini akan berkaitan juga denganpendaya gunaan dan pengendalian daya perusaknya juga.

Konservasi sumberdaya air mencakup dua segi (aspek) yaitu kualitas dan ketersediaan atau kuantitasnya.Kajian ini ditujukan untuk menjaga kuantitasnyadan ini yang berhubungan dengan kawasan lindung. Mengkonservasi air tidak dalam arti menambahketersediaannya, karena air yang memang bersumber darihujantidakakanbisaditambah.Apayangdapatdilakukan adalah bagaimana caranya menyimpan air agar dapat dimanfaatkan sebaik-baiknya dan tidakmembiarkan terbuang percuma kelaut.

Air yang berasal dari hujan dapat tersimpan dengan tiga cara, pertama tersimpan oleh sistem vegetasi yang ada, yaitu daun, batang dan akarnya. Pada hutan hujan tropis alami, komunitas vegetasi yang beragam mempunyai struktur sedemikian sehigga penguapan dari satu jenis vegetasi ditangkap oleh vegetasi yang lain. Demikian juga halnya dengan air yang jatuh dari dedaunansuatuvegetasi,tidaklangsungketanahdanmengalir tetapi diterima vegetasi yang lain. Tanaman rerumputan, serasah yang jatuh dan mikroorganisme akan membentuk suatu lapisan permukaan tanah yang mampu menyerap dan menyimpan air. Penyimpanan ini juga disebut sebagai penyimpanan kanopi (canopy storage). Kedua menyimpannya dalam tanah. Penyimpanan ini dapat terjadi didalam tanah yang dangkal dan tanah yang dalam. Air tanah dangkal merupakan persediaan yang banyak dimanfaatkan sebagai sumur. Sebagian mengalir pada lapisan tanah

Page 10: Ikhtisar Pilot Projects Klhs Ciayumajakuning - Gardang, Cekungan Bandung, Kartamantul, Bima

2

|KLHSCiayumajakuning-Gardang6

Bab

dangkal sebagai aliran dasar (base flow) yang muncul sebagai mata air. Ketiga menyimpan di penampungan di permukaan tanah yaitu di danau, rawa, situ.

Penyimpanan inilah yang berkaitan dengan penataan ruangyangberarti jugapenentuan lokasidanalokasiruang tempat dimana dan dengan cara bagaimana sebaiknya air tersimpan. Walaupun demikian bukan hanya penyimpanan air jatuh ke tanah yang perlu dipertimbangkan dalam penataan ruang. Karenaair ini juga dapat mengena tanah, menggerus serta menghilangkan kesuburan dan juga mungkin merangsang terjadinya gerakan tanah. Larutan tanah yang dibawa kemudian diendapkan disungai, waduk, situ yang akhirnya merusak penyimpanan air. Kesemuanya inilah yang menjadi persoalan kawasan lindung yang kemudian ditentukan sebagai lingkup KLHS ini.

Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat No. 2/2006 tentang Pengendalian Kawasan Lindung menentukan aneka kawasan lindung, tetapi yang dipersoalkan dengan KLHS adalah kawasan lindung yang berkaitan dengan konservasi sumberdaya air. Hal ini mencakup alokasi ruang untuk penyimpanan air di kanopi vegetasi, permukaan tanah dan di dalam tanah serta pengendalian erosi. Untuk ini jelas memerlukan kajian yang detail dan teliti. Apalagi alokasi tersebut tidakdilakukan dalam ruang yang kosong, tetapi sudah terlanjur terisi oleh aneka pemanfaatan yang acak dan sering kurang terkendali.

Oleh batasan teknis yang ada, upaya untuk menentukan alokasi, lokasidanpengendalianruangtersebuttidakdapat dilakukan dalam lingkup KLHS yang dilaksanakan ini. Karena itu sasaran KLHS ini adalah pengembangan sistem institusiyangdiharapkandapatmelaksanakanupaya tersebut secara berkelanjutan. Hasil KLHS Ciayumajakuning Gardang diarahkan untuk dapat dialihkan (transform) menjadi kebijakan Gubernur tentang pelaksanaan pengelolaan kawasan lindung. Kebijakan itu dengan sendirinya mencakup seluruh wilayah provinsi Jawa Barat dan Ciayumajakuning Gardang hanya sebagian dan suatu kasus pengelolaan kawasan lindung di Jawa Barat. Oleh karena itu bersama kajian dan pengalaman lain perlu dikonvergensikan menjadi kebijakan Gubernur Jawa Barat. Digagas hasil KLHS ini akan tertuang dalam Peraturan Gubernur tentang pelaksanaan pengelolaan kawasan lindung. Maksud memberi kontribusi pada Peraturan Gubernur inilah yang menentukan kaitan antara KLHS dengan pengambilan keputusan.

3. Kaitan KLHS dengan pengambilan keputusan

A. Jalur pengambilan keputusan

Kebijakan yang akan dilegalkan melalui berbagai bentuk produk hukum apakah peraturan gubernur atau peraturan daerah harus menempuh jalur birokrasi

tertentu yang sudah menjadi tradisi. Siapa mengambil keputusan dan bagaimana prosedurnya dapat diikutidengan jelas. Formulasi keputusan disiapkan oleh satuan kerja yang bertanggungjawab atas substansi yang akan diputuskan, kemudian diverifikasi olehBiro Hukum dan akhirnya melalui Sekretaris Daerah disampaikan kepada pengambil keputusan terakhir yaitu Gubernur. KLHS perlu mengenali dan memahami prosedur tersebut agar dapat menempatkan diri dan memberi kontribusi secara tepat. Walaupun demikian, sebagaimana halnya dengan kebijakan publik di negara demokratis,adaprosesnonbirokratikyangtidakbaku.Jalur non birokratik inilah yang harus dirancang dandibangun melalui KLHS.

KLHS yang menghasilkan saran kebijakan ini juga harus menempuh dua jalur tersebut. Apabila tidak,KLHS hanya akan menjadi dokumen kajian yang tidak mempunyai efek apapun meskipun mungkinkandungan informasinya akurat dan bermutu. Kedua jalur tersebut adalah:

1. Prosedur birokratik yang terstruktur dan baku(standardize). Proses birokratik ini telahmenjaditradisidantelahdipahamiolehsetiapsatuankerjayang berprakarsa, dalam kasus ini adalah Badan Pengendalian Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) Provinsi Jawa Barat.

2. Proses non birokratik. Proses non birokratikini terdiri dari proses akademik atau teknikal (technical) danproses “politik”. Proses akademikatau teknikal adalah upaya mencari kesepahaman dan kesepakatan yang berbasis pada pengetahuan dan informasi. Sedang proses politik adalahnegosiasi untuk mendapatkan kesepakatan yang didasarkanpadakepentingandanaspirasi.Dalamprakteknya kedua proses tersebut sering tidakdapat atau sengaja tidak dipisahkan denganmaksud digunakan sebagai proses pembelajaran para birokrat atau untuk melegitimasikanpandangan birokrat.

Pada kebijakan berbentuk peraturan daerah, proses politik tersebut akhirnya bermuara di DPRD, sedanguntuk peraturan gubernur proses politik tersebutbermuara di pimpinan daerah itu sendiri. Dengan demikian jelas bahwa pelaku dalam proses pengambilan keputusan peraturan daerah dan peraturan gubernur berbeda.

Secara umum proses “politik” yang harus ditempuhKLHS mungkin tidak sederhana, diantaranya karenaadanya perbedaan pandangan antara tujuan membangun dan tujuan konservasi. Proses “politik”KLHS yang merupakan respon atas suatu kebijakan atau mendorong adanya pengintegrasian pertimbanganlingkungan kedalam suatu kebijakan sektoral atau regional mungkin lebih pelik. Dalam kondisi demikian inil bukan mustahil akan muncul resistensi dari perancang atau perencana pembangunan.

KLHS yang dilakukan untuk Ciayumajakuing Gardang ini justru mengenai suatu kebijakan lingkungan. KLHS

Page 11: Ikhtisar Pilot Projects Klhs Ciayumajakuning - Gardang, Cekungan Bandung, Kartamantul, Bima

2

KLHSCiayumajakuning-Gardang| 7

Bab

initidakuntukmengintegrasikankebijakanlingkungantetapi lebih ditujukan untuk membuat kebijakan lingkungan menjadi lebih efektif. Dengan demikiandapatdipastikanbahwaresistensiterhadapKLHSyangmembawakan nilai lingkungan akan sangat minim.

a. Proses birokratik

Suatu prosedur telah ditetapkan dengan peraturan perundangan untuk digunakan sebagai kerangka kerja dan pedoman bagi para pelaku proses pengambilan keputusan. Hal ini memang diperlukan untuk mewujudkan ketertiban, keefisienan danmembuatpelakunyatidak lagiberkedudukansebagaipribadi (impersonal). Proses birokratik pengambilankeputusan atas rancangan peraturan gubernur tentang pelaksanaan pengelolaan kawasan lindung yang didukung KLHS ini sepenuhnya ditangani oleh BPLHD Provinsi Jawa Barat. Dengan demikian apa kandungan informasi dan nilai yang dianut KLHS harus benar-benar dipahami oleh BPLHD untuk kemudian dibawakan kepada pengambil keputusan terakhir yaitu Gubernur. Penyusun KLHS membantu BPLHD menjelaskan mengapa diperlukan adanya peraruran ini dan apa isinya kepada pengambil keputusan terakhir yang dalam hal ini direpresentasikan oleh Wakil Gubernur yang memang mendapatkan tugas menangani lingkungan hidup.

Termasukdalamprosesbirokratikadalahupayauntukmenjamin bahwa kebijakan yang tertuang dalam peraturan gubernur mempunyai dasar hukum dan secara legal dapat dipertanggung jawabkan. Dengan demkian KLHS yang tertuju pada perumusan peraturan gubernur, juga harus menggali paraturan perundangan yang menjadi rujukannya.

Peraturangubernuryangdigagasinimerupakantindaklanjut dan peraturan pelaksanaan Peraturan Daerah No. 2/2006 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung. Selain itu juga harus dipertimbangkan berbagai peraturanperundangan dan pengaturan kawasan lindung yaitu: undang-undang tata ruang, undang pengelolaan sumberdaya air dan undang kehutanan.

Diantara undang-undang yang berkaitan dengan pengelolaan kawasan lindung, undang-undang kehutananlah yang telah jauh dirinci dan diimplementasikan. Bahkan Perda No. 2/2006 banyak mengacu dan mengadopsi peraturan perundangan kehutanan. Meskipun undang-undang sumberdaya air tergolong lebih muda dari undang-udang kehutanan tetapi mengelola kawasan lindung dalam kaitannya dengan konservasi air telah menjadi nilai yang dianut lembaga pengelola sumber daya air

Disatu sisi hal ini dapat diartikan bahwa kawasanlindung telah jauh mendapat perhatian. Disisi lainjustrubisamenimbulkanmasalahdanketidakefisienankarena terjadinya tumpang tindih dan perebutankewenangan diantara lembaga yang merasa mendapat otoritas berdasarkan undang-undang yang berbeda. Hal ini menjadi permasalahan institusional yangdicakup oleh KLHS .

b. Proses non-birokratik

Apa yang dimaksud dengan proses non birokratikadalah proses yang tata caranya tidak dibakukan,meskipun ditandai dan ditetapkan eksistensinya dalam peraturan perundangan, misalnya proses partisipasidan konsultasi publik. Dalam proses ini kesepahaman dan kesepakatan tentang nilai yang dianut, asumsi yang digunakan, apa permasalahan yang akan diatasi dan bagaimana caranya lebih penting daripadaprosedurnya. Sering ada upaya untuk membirokrasikan proses dengan memberikan pedoman pelaksanaan partisipasiataukonsultasipublik.Akibatnyapartisipasiatau konsultasi publik lebih ditujukan untuk memenuhi prosedur daripada membahas substansinya.

Proses non birokratik tidak secara langsungmembuahkan keputusan, tetapi menghasilkan apa yang harus diputuskan. Mungkin membuahkan suatu usulan kebijakan yang bulat atau mungkin suatu pilihan kebijakan (policy options). Proses ini pada umumnya memang tidak mengikuti suatu struktur herarki danprosedur yang baku. Walaupun demikian dalam proses ini bermain kekuatan pengetahuan, kekuasaan dankearifanyangtidakselaluterorganisasikansecaraformal. Dengan kondisi yang demikian apa yang dapat dilakukan KLHS adalah menyiapkan suatu kerangka kerja yang memungkinkan segala pengetahuan, aspirasi dan potensi dapat disalurkan dan ditempatkan pada tempat yang sesuai.

KLHS Ciayumajakuning Gardang melaksanakan proses nonbirokratikmelaluitigatahapyaitu:

1. Menggali informasi dan mencoba menemukan permasalahan

2. Mengkonfirmasi asumsi, kriteria danmengembangkan gagasan

3. Mengkonfirmasi gagasan. Gagasan ini pula yangkemudian dikomunikasikan dengan pengambil keputusan dan pihak yang terlibat dalam pengambilan keputusan.

Proses ini dilakukan dengan diskusi dan dialog formal (denganundanganresmi)maupuntidakformaldenganpihak yang dipilih. Dalam kasus Ciayumajakuning Gardang ini diskusi dan dialog lebih banyak bersifat teknikal dan belum banyak bersangkut-paut dengan kepentingandanaspirasi.Prosespolitikyaitunegosiasikepentingandanaspirasihanyadilakukandalamlingkupyang sangat terbatas. Hal ini antara lain disebabkan apa yang dipersoalkan dalam KLHS Ciayumajakuning Gardang ini baru mencakup sebagian wilayah provinsi padahal peraturan gubernur yang dimaksud mencakup seluruh wilayah provinsi.

Setelah semua proses diatas dilakukan, tim KLHSmemberikan substansi pada rancangan Pergub tentang petunjuk pelaksanaan pengelolaan kawasan lindung sebagai berikut:

a. indikator penetapan kawasan iklim, sifat tanah, kelerengan, imbuhan dan luahan air

Page 12: Ikhtisar Pilot Projects Klhs Ciayumajakuning - Gardang, Cekungan Bandung, Kartamantul, Bima

2

|KLHSCiayumajakuning-Gardang8

Bab

b. telaahan termasuk pemantauan atas faktor pendorong dan penyebab perubahan penggunaan serta tutupan lahan dan dampaknya terhadap kondisi sumberdaya air

4. Permasalahan, Pendekatan dan Metoda

A. Permasalahan

Meskipun KLHS Ciayumajakuning Gardang hanya sebagian dan suatu kasus di Provinsi Jawa Barat tetapi temuannya memang diniatkan untuk memberikan kontribusi pada peraturan gubernur yang mencakup keseluruhan provinsi. Karena itu KLHS ini harus menggaliakarpermasalahanyangmenjadiperhatian(concern) pemerintah Provinsi Jawa Barat.

Menurut pola ruang yang ditetapkan dalam RTRW 2003 dan menjadi lampiran Perda N0.2/2006 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung, luas kawasan lindung di Ciayumajakuning Gardang adalah 491 409,54 haatau sekitar 47,1% luas wilayah administrasi. Hutanhujan tropis alami (hutan primer) dengan komposisi, kerapatan, serasah dan akar vegetasinya mampu menahanairmampumenahandanmenyimpan60%s/d80%airhujandiCiayumajakuningGardanghanyaseluas21681,4ha,hanya4,4%luaskawasanlindungatauhanya2%dariluasseluruhwilayah.

Kawasan yang ditetapkan sebagai hutan lindung di seluruhCiayumajakuningGardangadalah175.956,62ha, sekitar 68.660 ha berada diluar daerah aliran Sungai Cimanuk sungai utama yang penggunannya intensif. Bahkan hutan lindung diluar daerah aliran Sungai Cimanuk tersebut tidak jelas fungsinya. Halini menunjukkan bahwa penetapan kawasan lindung sangat terpaku pada formula curah hujan, lereng, sifat tanah dan kurangmemperhatikan fungsi lindungnyasendiri.

Penetapan kawasan lindung masih menggunakan formula Keputusan Menteri Pertanian No. 837/Kpts/um/1980sesungguhnyaditujukanuntukpengendalianerosi. Kawasan yang berpotensi sangat besar sebagai peresapan adalah kawasan yang justru datar dengan kelerengan 0 s/d 8% yangmencakup kawasan seluas592,474.98hadandapatdipertimbangkanberpotensibesaradalahkawasandenganlerenglebihbesardari8%s/d15%seluas158,484.93ha.Resapaninilahyangakanmenjadi aliran dasar dan air tanah dangkal yang masih menjadi sumber utama pasokan air bersih masyarakat. Daerah pesisir dengan air tanah payau dan permukiman padat bermasalah dengan air tanah dangkal ini.

Daerahimbuhanairkarenakarakteristikresapanlitologiyang berpotensi mengisi cekungan air tanah belum dipertimbangkan sebagai kawasan lindung. Daerahyang karakter litologinya berpotensi meresapkan air sekitar 15% sd 35% curah hujan yang di Indramayuseluas 53,621.13 tidak ditetapkan bahkan tidakdiidentifikasisebgaikawasanlindung.

Fungsi kawasan lindung sebagai pengendali tata air belum efektif, hal ini diindikasikan dari rasio debitmaksimum (Qmax) debit minimum (Qmin) masih 251, padahal data tersebut dari hasil pemantauan di bendungan Rentang yang berperanan sebagai pengendali air. Data Qmax juga (1004 m3/detik) jauhmelampauiinformasitentangdebitbanjiryaitu674m3/detik.Dengandemikianjelasbahwadebitmaksimumidentikdenganbanjir.

Fungsi hidrologis (penyimpanan air) hutan lindung hasil reboisasi dan perkebunan tidak akan dapatmenyamai fungsi hutan hujan tropis alami, tetapi produk komersialnya memang lebih langsung dan lebihtinggi. Perhitunganantaranilai hasil konservasiair serta unsur lain dibanding dengan nilai komersial hasil reboisasi hutan atau pengembangan perkebunan dan siapa penerima manfaat belum digunakan sebagai pertimbanganpenentuankawasanlindung.

Hutan lindung dan bahkan keseluruhan kawasan yang berfungsi mengendalikan air larian dan mencegah erosi telah dimanfaatkan untuk budidaya pertanian, perumahan perdesaan. Invasi usaha pertanian di Ciayumajakuning Gardang adalah pendorong utama penggunaan kawasan lindung untuk budidaya.

Sawah yang terutama terletak di daerah hulu yaitu di Kabupaten Garut seluas 18,615.68 ha dan Sumedang 2,541.50 ha dan sebagian sawah di Kabupaten Majalengka dan Kuningan belum dipertimbangkansebagai kawasan lindung. Dengan demkian juga dengan perkebunan akar wangi seluas sekitar 2400 ha.

Telah banyak prakarsa dan uapaya untuk mengelola kawasanlindung.Kemauanpolitikuntukmewujudkankawasanberfungsilindungseluas45%dariluaswilayahJabar dibakukan dalam Peraturan Daerah No. 2/2003 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi.

Untuk mengelola kawasan lindung dan mewujudkan kawasan lindung 45% dari luas wilayah telahditerbitkan peraturan daerah tentang: pengendalian dan rehabilitasi lahan kritis, sempadan sumber air,kawasan Bandung Utara dan Peraturan Daerah tentang pengelolaan kawasan lindung. Walaupun demikian kesemuanya belum menunjukkan akan adanya kawasan lindung yang akan lebih terkendali.

Belum ada rencana jangka panjang yang menentukan cara penyimpanan dan penggunaan air dan bagaimana penyimanan tersebut harus dilakukan. Berapa besar air yang harus disimpan dalam simpanan kanopi (canopy storage), di dalam tanah dan di permukaan tanah.

Upaya yang selama ini telah banyak dilakukan belum efektifdisebabkanolehhal-halsebagaiberikut:

a. Belum ada kejelasan dan pandangan yang sama atas apa yang harus dilakukan terhadap kawasan yang ditetapkan sebagai kawasan lindung. Dibiarkan, dipulihkan menjadi hutan alam atau boleh dibudidayakan dengan syarat.

b. Pemahaman atas arti lahan kritis sebagai upayamemulihkan kawasan lindung belum sama. Ada

Page 13: Ikhtisar Pilot Projects Klhs Ciayumajakuning - Gardang, Cekungan Bandung, Kartamantul, Bima

2

KLHSCiayumajakuning-Gardang| 9

Bab

yang menggunakan formula erosi yang berkaitan pertanian tetapi juga ada kriteria pragmatissepertilahankosongtidakproduktif;lahanbekaspenambanganyangtidakdireklamasi;lahanrawanbencana longsor

c. RTRW yang dituangkan pada peta berskala 1:250.00 belum dapat menjelaskan fungsi lindung yang lebih dari 20 macam kategorinya. Karena itu RTRWmasihmasihbisaditafsirkanberbedaketikadiacu untuk rencana pelaksanaannya.

d. Pemantauan lemah, sistem informasi tidakberfungsi dan tidak cukup memberi masukanuntuk perbaikan perencanaan dan kebijakan.

e. Data tidak lengkap, tidak akurat dan seringdimanipulasiuntuktujuanspesifik.

f. Sasaran pencapaian sebatas pada luas penanaman dan belum mencakup efek yang hendak dicapai (belum ada sasaran nyata berapa erosi yang dicegah, berapa air yang disimpan)

g. Acuan tindak yang tidak akurat mengakibatkantindak nyata umumnya sporadis, simbolik danhanya berupa fragmen kegiatan.

B. Pendekatan dan Metoda

KLHS dimaksud mendukung perumusan Pergub Pelaksanaan Pengeloaan Kawasan Lindung, untuk itu misinya adalah:

a. Menganalisis kesenjangan antara apa yang ditetapkan dalam perda kawasan lindung dengan realita di lapangan dengan kasus Ciayumajakuning Gardang

b. Mengidentifikasi program pewujudan kawasanlindung yang secara aktif dilaksanakan olehberbagai pihak

c. Mengidentifikasikanperaturanperundanganyangberkaitan dengan pengelolaan kawasan lindung yang acuan pelaksanaan program

d. Menyarankan langkah strategis untuk menutup kesenjangan yang terjadi dan mengoptimalkanberbagai upaya yang telah dilakukan.

KLHS ini dilakukan dengan pendekatan partisipatifsistematis, terbatas dan dilakukan dengan urutansebagai berikut:

a. Diskusi multi pihak yang terdiri dari penjabatpemerintah dari daerah yang bersangkutan, lembaga swadaya masyarakat, tokoh masyarakat untuk mengembangkan informasi dan mengidentifikasi permasalahan tentang kondisimaupun pelaksanaan pewujudan kawasan lindung

b. Diskusi ahli, untuk mengkonfirmasikanpermasalahan dan mengembangkan gagasan

c. Dialog kebijakan, membahas konsep dan saran strategi untuk mengatasi masalah pelaksanaan perda kawasan lindung. Diskusi antar pihak yang mempunyai posisi dapat mempengaruhi keputusan. Dialog ini dilakukan secara formal maupun informal

Pengembangan informasi dan analisis oleh timpelaksana KLHS dilakukan dengan cara merangkum dan memverifikasi hasil diskusi serta dialog danmengembangkan informasi sendiri dengan cara sebagai berikut:

a. Analisis keterkaitan dan indentifikasi masalahdenganmenggunakan sistem informasi geografisberbasis peta tematik berskala 1:100.000, dandidukungdengandatastatistik.Analisisdifokuskanpada tumpang susun (overlay) antara kawasan lindung dengan berbagai kondisi.

b. Analisis empirik berdasarkan pengamatan, dialog lapangan dan pengalaman pribadi. Oleh karena apa yang dikaji bukan masalah baru, dapat dipastikan banyak kajian dan pengalaman yangtersebardiantarapenelitidanpengamat.

c. Analisislegaldannormatifyangmenjadiacuandankoridor kegiatan. Analisis ini terutama ditujukan pada UU No. 26/2007 tentang Penataan Ruang,UU No.7/2004 tentang Sumberdaya Air dan UUNo.19/2004tentangKehutanandenganberbagaiperaturan perundangan pelaksanaannya.

KLHS ini diselenggarakan paralel dengan penyusunan Rancangan Peraturan Gubernur (Rapegub) tentang pengelolaan kawasan lindung. Karena itu disamping penyelenggarakan KLHS dilakukan upaya khsusus untuk menyalurkan informasi dan pengetahuan tentang kawasan lindung ke Rapergub. Hasil kegiatan diskusi dan dialog tentang permasalahan lindung dan analisistentangsubstansimaupuninstitusipengurusankawasan lindung, diupayakan menjadi bahan penyusun Rapergub.

5. Perlakuan terhadap institusi dan keterikatan publik

KLHS di Indonesia memang perlu diarahkan untuk memperkuat institusi pengelolaan lingkungan.Ini karena institusi yang harus memadukan danmenyeimbangkan pertimbangan lingkungandengan pembangunan belum dapat mengimbangi institusi pembangunan. Selama lebih dari 30 tahunpemerintahan orde baru, institusi pembangunanmemang mendapat peluang untuk berkembang sedang institusi pengaturan dan pengendalian yang antaralain untuk tujuan konservasi kurang mendapatkan kesempatan untuk memperkuat diri.

Apayangdimaksuddenganinstitusidisiniadalahsistemyang memungkinkan suatu kebijakan mempunyai efek nyata dalam kehidupan nyata. Ini terdiri kebijakan dan norma yang tertuang dalam peraturan perundangan, struktur pengorganisasian, mekanisme kerja dan sarana kerja untuk melakukan suatu tindak nyatayang mempunyai efek terhadap kenyataan. Efek nyata ini dipantau untuk menghasilkan pengetahuan guna memperbaiki atau menyusun kembali kebijakan tersebut.

Page 14: Ikhtisar Pilot Projects Klhs Ciayumajakuning - Gardang, Cekungan Bandung, Kartamantul, Bima

2

|KLHSCiayumajakuning-Gardang10

Bab

KLHS hanya memicu untuk perbaikan kebijakan dan yang paling jauh yang dapat dilakukan hanya sampai pada perbaikan atau penguatan peraturan perundangan. Perbaikan dan peningkatan kapasitas institusi itusendiri akan memerlukan waktu lebih panjang dan energi yang lebih besar. KLHS Ciayumajakuning Gardang mengupayakan agar peraturan perundangan yang berwujud peraturan gubernur dapat menjadi sarana untuk meningkatkan kapasitas dan memperbaiki pengorganisasian pengelolaan kawasan lindung di Jawa barat selanjutnya.

Perda Provinsi Jawa Barat No. 2/2006 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung mengamanatkan agar Gubernur mengkoordinasikan pengurusan Kawasan Lindung. Disarankan agar Gubernur memberi tugas dan otoritas kepada Kepala BPLHD untuk melaksanakan koordinasi perencanaan, pemantauan hasil perencanaan dan inventarisasi pengelolaan kawasan lindung. Untuk itu disarankan agar BPLHD mendapatkan fasilitas yang memadai untuk menjalankan fungsi dan peranannya dalam mengkoordinasikan perencanaan, pemantauan dan inventarisasi, terutama fasilitas untuk mengelola informasi (dan peta).

Penguatan BPLHD tersebut disarankan menjadi jiwa Peraturan Gubernur tentang Pengelolaan Kawasan Lindung yang sedang disiapkan sebagai tindaklanjut Perda No. 2/2006. Untuk itu penyusun KLHS menyiapkan usulan dengan format yang diharapkan akan memudahkan perancang kebijakan untuk mengadopsinya.

Dalam rangka perbaikan peraturan pengelolaan yang ada KLHS menyimpulkan bahwa:

a. Perlu rasionalisasi data dan informasi. Berbagai formula, koefisien, indeks yang menjadi dasarperancangan kebijakan dan penyusunan rencana perlu diuji kembali dengan realita.

b. Perlu dikembangkan sistem perencanaan dan pemantauan kawasan lindung yang sistematisdan efektif. Sistem yang dapatmengintegrasikanrencana yang disiapkan oleh satuan kerja nasional, satuan kerja pemerintah kabupaten/Kota dan satuan kerja pemerintah kabupaten/Kota.

c. Perlumengoptimalkan sumberdan sumberdayayang tersedia. Sesungguhnya banyak sumberdaya yang dikelola oleh lembaga pemerintah tingkatnasional maupun daerah, usaha swasta dan lembaga swadaya masyarakat dengan bantuan lembaga internasional maupun usaha masyarakat sendiri. Mengacu pada Undang-Undang Kehutanan dan berbagai peruran pelaksnaannya Badan Pengelola Daerah Aliran Sungai merencanakan dan melaksanakan pemeliharaan, rehabilitasi dan pemulihan kawasan lindung di daerah aliran sungai. Demikian juga halnya dengan Balai besar Wilayah Sungai, mengacu pada UU tentang Sumberdaya Air juga menyiapkan renacana dan melaksanakan pemeliharaan, rehabilitas dan pemulihan kawasan lindung.

d. Perludihindarikebijakandantindakyangbersifatreaktif,instan,terfragmentasidansporadikdalampengurusan kawasan lindung. Karena rehabilitasi fungsi dan pemulihan kawasan lindung dan lingkungan pada umumnya memerlukan langkah-langkahsistematisjangkapanjang.

Sebagai langkah mendasar untuk mengatasi kelemahan pengelolaan kawasan lindung: perlu ditata kembali sistem perencanaan dan pemantauan kawasan lindung dan, perlu ditetapkan satuan kerja yang mengkoordinasikan, memadu serasikan dan menggerakan berbagai upaya yang diselenggarakan berbagai pihak. Disarankan agar perencanaan dan pemantauan diselenggarakan mengikuti daur yangdigambarkan sebagai berikut.

Kelemahan pengambilan keputusan di Indonesia pada umumnya adalah:

1. Putusan tidak disertai telaah (assessment) yang memadai,

2. keputusanitutidakdisertaikomitmen,3. kurang atau bahkan tidak ada pemantauan dan

penilaian kembali atas pelaksanaan keputusan tersebut. KLHS Ciayumajakuning Gardang mencoba menyiapkan telaah untuk mendukung keputusan atas Peraturan Gubernur tentang pelaksanaan kawasan lindung. Selain itu proses, pendekatan dan metoda yang diterapkan juga dimaksud untuk membangun komitmen berbagai pihak yang terlibat.

Proses yang ditempuh oleh KLHS Ciayumajakuning ini diniatkan untuk mengikat publik dalam pelaksanaan pengelolaan kawasan lindung, tetapi hal ini belum dapat dilakukan pada taraf dan aras (level) ini. Perlu langkah yang lebih detail dan langsung pada tindaknyata. Diharapkan apabila sistem perencanaan dapat diwujudkansepertiyangdisarankankomtimenpublikakan jauh lebih mengikat.

Gambar: 2-1Daur Pemantauan Perencanaan Kawasan Lindung

Kebijakan dan Program Nasional

RTRW (1:250.000)

Perda Kawasan Lindung

Perda Lain-lain

Inventarisasi(5 tahun sekali)

Pemantauan Pelaksanaan

Rencana Kawasan Lindung Tahunan

Rencana Kawasan Lindung Jangka Panjang

(1:100.000)

Perkembangan diluar rencana

Kesesuaian hasil dengan rencana

Page 15: Ikhtisar Pilot Projects Klhs Ciayumajakuning - Gardang, Cekungan Bandung, Kartamantul, Bima

3

KLHSCekungan-Bandung| 11

Bab

KLHS Cekungan - Bandung3Bab

1. Cekungan Bandung Hulu CitarumCekungan Bandung adalah hulu daerah aliran sungai Citarum yang merupakan sungai yang terbesar dan terpanjang di Jawa Barat. Cekungan Bandung adalah kawasan yang unik seluas 343.087 ha, merupakancekungan (basin) yang dikitari oleh perbukitan dan gunung berapi yang keseluruhannya merupakan daerah tangkapan air bagi sungai Citarum. Cekungan yang juga merupakan sisa danau purba ini pada tahun telah 2005 dihuni sekitar 6,9 juta penduduk danmerupakan kawasan yang paling mengkota (urbanized) di Jawa Barat. Kini cekungan ini dicakup oleh lima daerah administrasi yaitu: Kota Bandung, Kota Cimahi, Kabupaten Bandung, Kabupaten Bandung Barat dan sebagian dari Kabupaten Sumedang.

Sungai Citarum telah dikelola secara intensif dan telah diperlakukan dengan investasi besar sejak 50 tahun yang lalu. Pada sungai ini telah dibangun tigawaduk dan bendungan besar yaitu Saguling dibagian palinghulu,Ciratadan Jatiluhurdibagianpalinghilir.Cekungan Bandung merupakan daerah tangkapan air yang secara langsung memasok Saguling.

Pembangunan ketiga waduk tersebut menjadikanbanjir Citarum di bagian hilir telah dapat dikendalikan dan pemanfaatannya untuk irigasi menjadi intensif, sehingga daerah hilirnya yaitu Kabupaten Karawang dan Bekasi dapat dipertahankan sebagai lumbung padi Indonesia. Selain berfungsi untuk pertanian, waduk dan bendungan juga memberi manfaat sebagai pemasok bahan baku air bersih Jakarta dan Bekasi. Di ketigawaduk tersebut juga dibangun pembangkitlistrik, dimanfaatkan untuk perikanan dan juga sebagai obyek wisata. Kini waduk tersebut terutama Saguling mendapatkan tekanan kemerosotan fungsi karena pasokan air Citarum sangat fluktuatif, bisa hanyasekitar 5,4 m3/detik pada musim kemarau dan bisamencapai 455 m3/detikpadamusimhujan.Kualitasnyapun terus merosot oleh masuknya sampah dan air yang sangat tercemar ke Citarum sungai yang kemudian terakumulasi di Saguling. Rasio debit air maksimum minimum dan kualitas air yang masuk ke Saguling mengindikasikanbahwaCitarumsangattidaksehat.

PenyebabutamatidaksehatnyaCitarumhuluSagulingadalah terus meningkatnya aktivitas dan perubahan

penggunaan serta tutupan di cekungan Bandung yangtidakdiimbangikemampuanmengendalikannya.Tercatat jumlah penduduk di cekungan Bandung pada tahun 2000 sebesar 6,1 juta jiwa, tahun 2005 sebesar 6,9jutajiwadandiperkirakanpadatahun2025menjadi11,3 juta jiwa.

Dalam rangka mengembangkan program pengelolaan sumberadaya air Citarum secara terpadu (Integrated Citarum Water Resources Management Program) dengan dukungan ADB, Nippon Koei Co., Ltd. and Associates Strategic Environmental Assessment tahun 2006 telah menyelenggarakan KLHS juga. Kajian ini selain mencakup seluruh wilayah sungan Citarum, hasil akhirnya ditujukan untuk mengembangkan prosedur telaah (assessment) dan pembahasan aspek lingkungan atas suatu proyek. Hal ini antara lain dilakukan dengan melakukan pengukuran atas lembaga yang terlibat dalam pengelolan sumberdaya air. KLHS ADB tersebut tampaknya memang dimaksudkan untuk meperlancar AMDAL bagi masing-masing proyek dalam rangka program pengelolaan sumberdaya air Citarum secara terpadu. Dengan demikian meskipun KLHS Cekungan Bandung hanya mencakup wilayah hulu Citarum tetapi lingkup permsalahan bisa lebih luas.

2. Lingkungan Cekungan BandungKondisi lingkungan cekungan Bandung ini telah banyak dikaji dan juga banyak kebijakan pemerintah daerahtingkat provinsimaupun kabupaten dan kotayang diterbitkan untuk mengendalikan lingkungan di cekunganini.Bahkansecarakhusustahun1982telahditerbitkan Keputusan Gubernur tentang Bandung Utara, yang kemudian dikembangkan menjadi Peraturan Daerah No. 1/2008 tentang Kawasan Bandung Utara.

Keputusan Gubernur No. 181/SK.1624-Bapp/1982diniatkan untuk mengendalikan penggunaan dan penutupan lahan di bagian utara cekungan Bandung yang diyakini menjadi daerah imbuhan utama air tanah dalam di cekungan Bandung. Padahal air tanah dalam masih menjadi pasokan air bersih bagi kota Bandung. Upaya ini tidak berhasil bahkan tinggi permukaanair tanah dalam terus merosot sehingga tidak lagibisa diandalkan sebagai pasokan bagi air bersih kota Bandung.

Page 16: Ikhtisar Pilot Projects Klhs Ciayumajakuning - Gardang, Cekungan Bandung, Kartamantul, Bima

3

|KLHSCekungan-Bandung12

Bab

Oleh perkembangan perkotaan dan industri sumberdaya air di cekungan ini juga terancam kualitasnya. Kajian yang ada menunjukkan bahwa dari tahun-ketahun kualitas terus-menerus menujukkan kecenderungan menurun. Konflik laten maupunmanifes oleh pencemaran air sampai kini belum dapat diselesaikan secara tuntas.

Pengelolaan sampah merupakan masalah yang dihadapi di cekungan Bandung. Kota Bandung yang menjadi sumber sampah terbesar mulai kehabisan tempat untuk membuang. Kabupaten sekitarnya jugatidak lagidapatmenyediakan ruangyang cukupdan dapat diterima masyarakat untuk pembuangan sampah. Disisi lain produksi sampah belum dapat dikurangi dan teknologi pengolahan sampah yang tepat masih dicari.

Kondisi lingkungan Cekungan Bandung tidak hanyaterancam oleh kondisi sumberdaya air dan sampah tetapi juga oleh kualitas udara. Bentang alam cekungan Bandungmembuat emisi tidakmudah tersapuanginsehingga diduga menurunkan kualitas udara Bandung dan menimbulkan efek rumah kaca lokal. Sumber utama pencemaran udara adalah transportasi diantaranya karena populasi kendaraan bermotor terus meningkat tanpa dapat dikendalikan. Sumber pencemar kedua adalah industri yang ada kecenderungan menggantibahan bakarnya dengan batubara.

Permasalahan (issues) sumberdaya air, persampahan dan pencemaran udara inilah yang awalnya digagas sebagai lingkup KLHS cekungan Bandung. Oleh karena cekungan Bandung mencakup lima wilayah administrasi Kabupaten dan Kota, permasalahan ini perlu dibahas dan disepakati oleh kelimanya. Walaupun demikianoleh batasan teknis yang ada, akhirnya KLHS terarah padakebijakantingkatProvinsi.

3. KLHS dan Pengambilan Keputusan

A. Kesepakatan atas lingkup permasalahan

KLHS adalah hal baru bagi penjabat urusan perencanaan dan urusan lingkungan di Kota Bandung, Kota Cimahi, Kabupaten Bandung, Kabupaten Bandung Barat dan Kabupaten Sumedang. Walaupun demikian introduksi yang dilakukanmendapatkan respon positif, terlebihlagi karena introduksi menjanjikan manfaat hasil KLHS bagi penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten maupun Kota.

Ada perbedaan pandangan tentang apa permasalahan yang dipilih menjadi lingkup kajian. Wakil Kota Bandung menghendaki ketiga permasalahan yaitu:sumberdaya air, persampahan dan pencemaran udara digarap bersama. Sedangkan wakil Kabupaten dan Kota lain memilih sumberdaya air sebagai lingkup KLHS dan juga menjadi permasalahan bersama Dua kali pertemuan diantara wakil kelima wilayah tersebut belum membuahkan kesepakatan tentang lingkup KLHS Cekungan Bandung. Meskipun belum diputuskan

lingkupnya, tetapi telah dibayangkan bahwa hasil KLHS adalah kegiatan untuk memberi masukan bagi Rencana Tata Ruang Wilayah. Artinya KLHS diselenggarakanuntuk kebijakan dan rencana yang akan datang.

B. Keputusan tingkat Provinsi.

Oleh karena KLHS diselenggarakan bukan atas prakarsa pembuat kebijakan atau rencana tetapi berupa bantuan teknis, pertanyaannya adalah bagaimana agar bantuan tersebut dapat dimanfaatkan sebaik-baiknya.Olehkarenaituharusdipertimbangkanbenarsegala batasan yang ditentukan oleh pemberi bantuan tersebut.DengandemikianKLHStidakdapatditujukanuntuk mengatasi permasalahan yang ada tetapi sebaliknya bertolak dari batasan teknis yang ada, yang dicoba digali apa yang KLHS Cekungan Bandung dapat lakukan secara maksimal. Untuk itu keputusan dialihkan pada tingkat provinsi. Badan PengendalianLingkungan Hidup Daerah (BPLHD) lah yang kemudian memberi persetujuan tentang seberapa jauh lingkup KLHS tersebut harus dilakukan dan secara aktifmengikutipelaksanaanKLHS.

BPLHD menyepakati agar KLHS Cekungan Bandungdipertimbangkan sebagai kasus untuk mendukungpenyusunan Peraturan Gubernur (Pergub) tentang Pelaksanaan Kawasan Lindung. Pergub ini merupakan tindak lanjut atas Peraturan No. 2/2006 tentangKawasan Lindung yang belum operasional dan memang mengamanatkan harus adanya peraturan gubernur untuk pelaksanaannya.

Perda 2/2006, telah menentukan adanya 25 macam kawasan lindung yang menurut karakteristiknyaseharusnya ditangani dengan kerangka kerja, pengorganisasian dan instrumen yang berbeda. Oleh keterbatasannya KLHS harus memilih mana kawasan lindung yang strategis yaitu yang mencakup kawasan yang luas dan hajat hidup masyarakat luas. Pembahasan antara tim penyusun KLHS dan BPLHD menentukankawasan lindung yang berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya air menjadi lingkup kegiatan.

Peraturan Gubernur tentang pelaksanaan pengelolaan kawasan lindung ini akan mencakup seluruh wilayah provinsi. Merupakan pengejawantahan kebijakan publik yang berada dalam batasan wewenang Gubernur sebagai representasi Pemerintah Provinsi Jawa Barat. Cekungan Bandung hanya salah kasus yang dipelajari untuk mendukung kebijakan yang lebih luas. Karena itu KLHS cekungan Bandung harus dirangkum dengan KLHS di wilayah lain.

C. Manfaat KLHS dalam pengambilan keputusan

Gubernur telah melimpahkan koordinasi penyelenggaraan lingkungan kepada Wakil Gubernur. Dengan demikian Wakil Gubernur-lah yang akan menjadi pengambil keputusan dan pembahasan terakhir atas Peraturan Gubernur untuk pelaksanaan pengelolaan kawasan lindung. Oleh karena itu hasil

Page 17: Ikhtisar Pilot Projects Klhs Ciayumajakuning - Gardang, Cekungan Bandung, Kartamantul, Bima

3

KLHSCekungan-Bandung| 13

Bab

KLHS yang merupakan telaah atas pelaksanaan Perda No. 2/2006 selayaknyalah dikomunikasikan kepada Wakil Gubernur. Komunikasi dengan Wakil Gubernur inilah yang memang diniatkan oleh KLHS sebagai bagian keterkaitan KLHS dengan pengambil keputusan. Walapun demikian perlu dipahami bersama bahwa KLHS berkaitan dengan proses pengambilan keputusan (decision making)dantidakhanyadenganpengambilkeputusan (decision maker) terakhir saja.

Pada umumnya KLHS diselenggarakan dengan maksud agar suatu kebijakan telah mempertimbangkanpengaruhnya terhadap lingkungan dan telah menerapkan konsep pembangunan berkelanjutan. Untuk kondisi di Indonesia KLHS diselenggarakan dengan maksud lebih luas lagi yaitu untuk membangun proses demokratisasi dan desentralisasi yang lebihsehatdankonstruktif.

KLHS Cekungan Bandung diselenggarakan dalam kaitannya dengan suatu kebijakan lingkungan oleh karena itu tidak ada persoalan bagaimanamengintegrasikan pertimbangan lingkungan dalamsuatu kebijakan. Persoalan yang dihadapi adalah bagaimana agar kebijakan itu mempunyai efek nyata. PartisipasiluasdalamKLHSCekunganBandunginitidakdimaksud untuk mengintegrasikan lingkungan tetapi lebih merupakan untuk memperjelas, mengoreksi dan mengembangkan sistem pengelolaan kawasan lindung yangadaagarpelaksanaannyalebihefektif.

Pada dasarnya kebijakan publik mengandung kegiatan: pendefinisianmasalah, perumusan apa yang hendakdicapai (cita-cita, tujuan, sasaran) dan pengembangan instrumen pelaksanaan untuk mewujudkan apa yang hendak dicapai tersebut. Partisipasi dalamperumusan kebijakan ini dapat dilakukan secara urut mulai dari perumusan masalah. Bisa dilakukan dengan pendekatan pragmatis mulai dari ketersediaan dankemampuan instrumen, bisa juga dilakukan secara simultan yang merupakan proses bolak balik antara perumusan masalah, penentuan tujuan dan sasaran, dan pengembangan instrumen. Masing-masing dapat diputuskan oleh pihak dan waktu yang berbeda, dapat juga sebagai kegiatan yang dilakukan dalam waktu dan pihak yang sama.

KLHS Cekungan Bandung melaksanakan kegiatan partisipasi secara simultan tetapi dengan pesertayang berbeda dalam dua tahap. Tahap pertama dengan multi pihak yang tujuan utamanya untukmendefinisikanmasalah.Tahapkeduadenganparaahli,untukmendefinisikan tujuan dan sasaran.Walaupundemikiandalampendefinisianmasalahtidaktertutupkemungkinan dibahasnya instrumen pelaksanaannya. Juga dalam penentuan tujuan dan sasaran terbahas permasalahan dan instrumen penerapan kebijakan.

Daripartisipasiyangsesungguhnyaberupakonsultasipublik tersebut terungkap bahwa:

(1) definisidankriteriakawasanlindungperluditinjauikembali;

(2) perlu ada penegasan antara kawasan yang perlu dilindungi dan kawasan yang mempunyai fungsi melindungi;

(3) dalam penetapan kawasan lindung perlu ada penegasan apa yang perlu dilindungi.

4. Permasalahan, Kerangka Pikir dan Metoda

A. Permasalahan Sumberdaya Air

Sumber air adalah hujan. Analisis terhadap data historis curah hujan rata-rata tahunan wilayah DAS Citarum Hulu(CekunganBandung)daritahun1896sampai1994menunjukkan fakta adanya kecenderungan penurunan curah hujan yang nyata di wilayah ini, yaitu sebesar 6 mm per tahun. Hasil analisis ini menunjukkan bahwa di wilayah Cekungan Bandung tengah terjadi perubahan iklimyangsangatberarti.Walaupuncurahhujanyangterjadi di tempat ini cenderung terus menurun, namun pada musim hujan semakin basah, dan pada musim kemarau semakin kering.

Dari tahun 1950 hingga tahun 1975 di CekunganBandung stasiun Nanjung diperoleh gambaran bahwa ada kecenderungan ketidak-sesuaian antarapola fluktuasi curah hujan dengan pola fluktuasiair lariannya. Curah hujan yang tinggi tidak dengansendirinya air larian larian sungai. Hal ini menunjukkan bahwa cekungan Bandung waktu itu masih mampu menahan atau meredam fluktuasi air hujan yangturun.

Daritahun1986hinggatahun2004diperolehgambaranterjadinya kecenderungan penurunan aliran dasar (base flow)dansangatjelasterlihatpadatahun1992.Selain itu terdapat kemiripan antara pola fluktuasicurahhujanterhitungdenganpolafluktuasidebitaliranterukur yang menunjukkan bahwa bahwa Cekungan Bandung tidak mampu lagi meredam curah hujanyang turun. Hal ini menjadi indikator bahwa Cekungan Bandung telah mengalami degradasi lingkungan.

Sebagian besar anak Sungai Citarum mengalir melalui wilayah Kabupaten Bandung dan Kabupaten Bandung Barat, kemudian terkumpul di Waduk Saguling. Anak sungai tersebut mengalir melalui daerah perkotaan, pedesaan, industri dan persawahan sehinga kualitasnya sangat terpengaruh oleh kegiatan pada Daerah Aliran Sungai (DAS), khususnya Kabupaten Bandung, Kabupaten Bandung Barat, Kota Bandung dan Kota Cimahi. Meskipun sebagian besar sungai tersebut sering dilanda banjir pada musim hujan, debit sungai selama musim kering sangat rendah dan tingkatpencemarannyasangattinggi,terutamaindukSungai Citarum Hulu. Menurut BPLHD Jawa Barat (2001) pencemaran tersebut disebabkan oleh limbah domestikmencapai50%,limbahindustri40%,limbahpeternakan8%danlimbahpertanian2%.

Page 18: Ikhtisar Pilot Projects Klhs Ciayumajakuning - Gardang, Cekungan Bandung, Kartamantul, Bima

3

|KLHSCekungan-Bandung14

Bab

Banjir merupakan bencana rutin di musim hujanyang selalu menimpa dataran terendah di wilayah CekunganBandung.Padatahun1931terjadibanjirdiCekungan Bandung dengan luas genangan mencapai 9.300 hektar. Pada tahun 1986, curah hujan sekitar2.550 mm/tahun, terjadi banjir dengan luas genangan mencapai7.450hektar.Padatahun1998,curahhujansekitar 2.350 mm/tahun, terjadi banjir dengan luas genanganmencapai 6.200 hektar. Pada tahun 1988,1994,1995,1996,curahhujanrata-ratasekitar1.700mm/tahun, terjadi banjir dengan luas genangan sekitar 4.000 hektar. Pada tahun 2000 dan tahun-tahun berikutnya, curah hujan rata-rata juga sekitar 1.700mm/tahun, namun luas genangan banjir yang terjadi rata-rata 2.000 hektar bahkan pada tahun 2002, 2004, 2005 lebih sempit lagi.

Air tanah juga menunjukkan kecenderungan menurun. Berdasarkan hasil monitoring berbagai instansi dan darihasilpenelitianparaahlimenunjukanpenurunanmukaairtanahdiCekunganBandungsejaktahun1972sampai2002antara0,05msampai7,70mpertahun.Sehingga pada tahun 2002 sebagian besar muka air tanah di kota Bandung telah berada sekitar 100 m dibawah muka tanah.

Pengambilan air tanah di Cekungan Bandung disebabkan karena pemerintah baik kota maupun kabupatentidakbisamenyediakan air bersihdan airbaku bagi masyarakat dan industri, oleh karenanya masyarakat dan industri kemudian mengusahakan airnya sendiri yang berasal dari air tanah. Akibat dari pengambilan air tanah tersebut maka muka air tanah di Cekungan Bandung turun, dan seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk dan jumlah industri maka penurunan air tanah semakin cepat.

DarihasilpenelitianyangdilaksanakanolehDirektoratGeologi Tata Lingkungan diketahui penurunan muka air tanah di Kota Bandung dan sekitarnya rata-rata sekitar 4 m/tahun. Lembaga tersebut mempunyai 4 titikpemantauan air tanah yaitu di Leuwigajah, Majalaya, Rancaekek,danKebonKawung.Padatitik-titikpantautersebut sekarang kedalaman muka air tanah sudah mencapai80msampai90m.Pada20 tahunsampai25 tahun yang lalu, muka air tanah di titik pantautersebut tercatat antara 0 meter sampai 10 meter. Sehingga apabila permukaan air tanah terus turun diperkirakan dalam waktu 20 tahun mendatang akan terjadi ancaman krisis air tanah. Bahkan untuk daerah-daerah tertentu krisis air bisa terjadi sekitar 10 tahun mendatang. Berdasarkan hal tersebut, pemerintah daerah Propinsi Jawa Barat telah menetapkan zona air bawahtanahkritisdanrawan.

Turunnya muka air tanah tersebut kemudian diikutidengan turunnya muka tanah (amblesan). Dari hasil pemantauan yang dilaksanakan oleh Direktorat Geologi TataLingkunganpadatahun1996sampaidengantahun2000, amblesan tanah yang terjadi berkisar antara 2,1 cm sampai dengan 21,1 cm. Akibatnya daerah amblesan ini menjadi daerah rawan genangan banjir.

B. Tutupan Lahan

Pemerintah Daerah menetapkan kawasan lindung berdasarkanpadatigakriteriayaitu:kelerangan,jenistanah dan intensitas hujan yang dirumuskan dan sistem pensekoran. Dengan membuat peta tumpang susun atas kriteria tersebut dengan menggunakan peta jenis tanah, peta kemiringan lereng, dan peta intensitas hujan saja, diperoleh angka luas kawasan lindung seluas sekitar 52% dari total luas CekunganBandung. Walaupun demikian angka tersebut belum memperhitungkan kawasan untuk peresapan. Apabila kawasan resapan potensial, diperkirakan luas kawasan lindung Cekungan Bandung menjadi sekitar 67%.Dengan demikian di Cekungan Bandung kawasan lindung lebih besar dari kawasan budidaya.

Tahun 1982 Pemda Propinsi Jawa Barat telahmengeluarkan SK Gubernur No. 181.1/SK.1624-Bapp/1982tentangPeruntukanLahandiWilayahIntiBandung Raya Bagian Utara. Berdasarkan Tata Guna tanah yang dikeluarkan BPN yang disusun berdasarkan SK gubernur tersebut total Kawasan Bandung Utara 38.609Hadenganrincian:putan9.982ha,pertaniandanperkebunan22.980ha,perumahan/permukiman5.697ha.

Dari hasil pantauan di Kawasan Bandung Utara telah terjadi perubahan tata guna lahan sejak1983, 1993,hingga 2002. Perubahan tersebut dicirikan dengan berkurangnya area hutan dan lahan bervegetasi lainnyasebesar54%danmeningkatnyaareaterbangunsampai223%(BadanPengendalianLingkunganHidupDaerah Jawa Barat, 2004). Perubahan tutupan lahan tidakhanyaterjadidikawasanBandungUtaranamunterjadi juga di bagian lainnya dari Cekungan Bandung.

Kawasan hutan di Cekungan Bandung tinggal tersisapada bagian puncak gunung atau lembah sungai yang terjal. Luas total hutan di Cekungan Bandung sekitar 90.261 ha dimana sekitar 15.588 ha adalahhutan konservasi dan sisanya hutan lindung dan hutan produksi. Kawasan hutan di Cekungan Bandung menghadapi beberapa persoalan seperti penjarahanhutan yang dilakukan oleh para petani dan pencuri kayu,sepertimisalnyapadatahun2003seluas15.397,49ha, tahun 2005 seluas 635,53 ha dan tahun 2006 seluas 1.153,77hadirambaholeh3010KKpenggarap.Luaslahan yang digarap umumnya tergantung pada kondisi ekonomi setempat (KPH Bandung Selatan, 2008).

Disamping penjarahan dan pencurian kayu kawasan hutan di Cekungan Bandung rawan terhadap kebakaran. Dalam 5 tahun terakhir 4.103 ha hutan terbakar. Kebakaran hutan umumnya disebabkan oleh aktifitasmanusiadikawasanhutansepertimembuangpuntung rokok yang masih menyala atau dari kegiatan membakar semak belukar di lahan pertanian di sekitar hutan. Terbakarnya hutan mencerminkan kondisi hutan yang kering kondisi ini pada dasarnya sangat jarang dijumpai pada hutan alami, hutan yang ditanami tanaman sejenis umumnya rentan terhadap kebakaran.

Page 19: Ikhtisar Pilot Projects Klhs Ciayumajakuning - Gardang, Cekungan Bandung, Kartamantul, Bima

3

KLHSCekungan-Bandung| 15

Bab

Peran vegetasi dalam mengatur tata air merupakan kebenaran yang diterima baik oleh kalangan ilmuwan maupun awam. Peran vegetasi dalam mengatur tata air dapat dijelaskan dalam siklus hidrologi sebagai berikut:

a. Peran vegetasi dalam daur hidrologi adalah membantu proses infiltrasi (peresapan air), danevapotranspirasi(penguapanair).Artinyaairhujanyang jatuhkebumitidak seluruhnyamenjadi airlarian tetapi sebagian disimpan dalam tanah untuk kemudian dilepaskan sebagai mata air dan sebagian lagi di uapkan kembali ke udara.

b. Air yang di infiltrasikan kedalam tanah tidaksepenuhnya ditentukan oleh vegetasi karena peranan tanah dan struktur geologi memegang peranpentingjuga.Vegetasimembantuprosesnyasehingga proses infiltrasi bisa berjalan denganbaik.

c. Sedangkan air yang di evapotranspirasikan sangat tergantung pada kerapatan vegetasi, biomasa, sistem perakaran, dan kelembaban mikro.

d. Vegetasi hutan tropis alami yang tajuknya berstrata dengan sistem perakaran cukup dalam dan tanahnya memiliki lapisan humus serta serasah merupakan struktur vegetasi yang paling baik perannya dalam mengendalikan tata air, sedangkan struktur vegetasi dengan tajuk tanpa stratadantidakmemilikiserasahdanhumus(kebuntanaman sejenis, padang rumput) merupakan kondisi vegetasi yang tidak baik perannya dalammengendalikan tata air.

e. Struktur vegetasi tanaman pertanian semusim dicirikan dengan kerapatan sekitar 40%-60%dengan sistem perakaran dangkal merupakan struktur yang kurang baik untuk tata air. Namun demikian kondisi tanah tanpa vegetasi merupakan kondisi terburuk perannya dalam pengendalian tata air.

f. Peningkatan banjir karena perubahan penggunaan lahan didaerah tangkapan hujan bisa dijelaskan jika perubahan penggunaan lahan juga menjelaskan perubahan struktur vegetasinya.

C. Perkembangan Kawasan Budidaya.

Cekungan Bandung seluas 343.087 hektar ditempatioleh 5 Kabupaten/Kota, yaitu: Kabupaten Bandung, Kabupaten Bandung Barat, Kabupaten Sumedang, Kota Bandung, dan Kota Cimahi. Kabupaten/Kota ini terbagidalam76Kecamatan,yangterbagilagidalam641 Desa/Kelurahan.

Jumlah penduduk tahun 2000 mencapai hampir 6.178.955 jiwa dengan laju pertumbuhan pendudukrata-rata 2,7% per tahun. Kepadatan pendudukterendah 3 jiwa/hektar berada di Kecamatan Pasir Jambu dan Rancabali, Kabupaten Bandung. Sedangkan kepadatantertinggiberadadiKiaracondong305jiwa/hektar dan Bojongloa Kaler 280 jiwa/hektar, semuanya

berada di Kota Bandung.

Jumlah penduduk pada tahun 2000: 6.178.955 jiwa,tahun 2005: 6.923.900 jiwa dan diproyeksikan tahun2010menjadi7.867.006 jiwa, tahun2015 :9.107.259jiwa,tahun2020:10.190.304jiwadanpadatahun2025menjadi 11.382.200 jiwa. Dengan demikian jelas bahwa perubahan penggunaan tanah akan terus berlangsung dan kebutuhan air rumah tangga akan terus meningkat.

Dengan demikian jelas bahwa cekungan Bandung akan terus menerus mendapatkan tekanan perkembangan. Persoalannya adalah bagian mana dan seberapa luas yang harus dilestatrikan sebagai kawasan lindung yang mengandalkan pada vegetasi dan bagian mana dan seluas berapa yang harus dikombinasikan dengan teknologi.

D. Kerangka Pikir dan Metoda

KLHS Cekungan Bandung diselenggarakan dengan 1. kerangkalingkunganterdiridarikomponenstatisdankomponendinamis.Komponenstatisadalahkomponenyangtidakdapatdiubaholehmanusiaataumengalamiperubahan sendiri dalam jangka yang sangat panjang yang diantaranya dipengaruhi manusia, yaitu bentang alam dan atmosfer. Sedangkan komponen dinamis adalah komponen yang terus berkembang dan selalu berubah karena perkembangan dan perilaku manusia. Komponen dinamis inilah yang harus diatur dan dikendalikan. Kerangka pikir inilah yang menjadi dasar penyelenggaraan KLHS Cekungan Bandung.

Berdasarkan kerangka pikir inilah dilakukan urutan sebagai berikut:

1. mengumpulkan data dasar. Pada proses ini dikumpulkan data-data dasar yang berhubungan dengan sumberdaya air Cekungan Bandung untuk memahami struktur yang membangunnya. Data mengenai berbagai persoalan dan penyebabnya juga dikumpulkan sehingga bisa diketahui persoalan yangmemerlukanperhatiankhusus.Pengumpulandata dasar dan analisisnya menggunakan kerangka dasar keterkaitan komponen-komponen yang membangun sumber daya air yang meliputidinamika atmosfer, karakteristik bentangalam, pengelolaan tutupan lahan, pengelolaan perdesaan/perkotaan, dan pengelolaan sumber daya air.

2. mempelajari Undang-Undang yang mengatur sumberdaya air dan tujuan-tujuan pengelolaan sumberdaya air yang ingin dicapainya.

3. menentukan atau memilih lingkup KLHS berdasar UndangNomor 19 Tahun 2004 (Undang-UndangNomor 41 Tahun 1991 tentang Kehutanan) danUndang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentangPenataan Ruang yang memiliki hubungan dengan persoalansumberdayaairsepertidisebutkanpadabutirkeduadiatas.

4. menentukan sasaran dan indikator pengelolaan sumberdaya air sebagai tolak ukur keberhasilan pengelolaan sumberdaya air untuk Cekungan Bandung.

Page 20: Ikhtisar Pilot Projects Klhs Ciayumajakuning - Gardang, Cekungan Bandung, Kartamantul, Bima

3

|KLHSCekungan-Bandung16

Bab

ATMOSFER :Iklim Lokal

Iklim GlobalPerubahan Iklim

HujanAnginSuhu

KelembabanBENTANG ALAM :Relief (Morfologi)

KetinggianKemiringan Lereng

Tanah/Batuan(Geologi)

Erosivitas TanahKelulusan Air

AIR DI BUMI :Air Permukaan

(Sungai, Waduk)Air Tanah DangkalAir Tanah DalamKuantitasAirKualitas Air

Daya Rusak Air

PENGELOLAAN :SD AIR

Gambar 3 - 1: Kerangka Pikir Penyelenggaraan KLHS Cekungan Bandung

PERKEMBANGAN:PedesaanPerkotaan

Tekanan PendudukEksploitasi SDA

TUTUP LAHAN :Vegetasi

Kapasitas Tampung tajukNon Vegetasi

Gubahan Muka Tanah

PENGELOLAAN :HUTAN, PERKEBUNAN, PERTANIAN

PENGELOLAAN :PEDESAAN, PERKOTAAN

Gambar 3 - 2: Keterkaitan antar Tiga Undang-Undang

UU No. 26/2007PENATAAN RUANG

KAWASANBUDIDAYA

WANATANITALUN

HUTAN RAKYAT

HUTANPRODUKSI

MENINGKATKANKUANTITAS

DAN KUALITASSUMBERDAYA AIR

OPTIMALISASIPEMANFAATAN

SUMBERDAYA AIRUNTUK RKI DAN

PERTANIAN

HUTANPRODUKSI

UU No. 19/2004(UU No. 41/1999)

KEHUTANAN

UU No. 7/2004SUMBERDAYA AIR

PENDAYAGUNAANSUMBERDAYA AIRKAWASAN LINDUNG

KONSERVASISUMBERDAYA AIR

PENGENDALIAN DAYARUSAK AIR

HUTANKONSERVASI

HUTANLINDUNG

Page 21: Ikhtisar Pilot Projects Klhs Ciayumajakuning - Gardang, Cekungan Bandung, Kartamantul, Bima

3

KLHSCekungan-Bandung| 17

Bab

5. Perlakuan terhadap Institusi dan Keterikatan Publik

Dari KLHS awal selama dua bulan yang dilakukan di Cekungan Bandung ini kaitan KLHS dengan institusiCekungan Bandung diharapkan terjadi karena selain sebagai tindak lanjut Perda No.2/2006 tentangPengelolaan Kawasan Lindung juga menyandarkan padatigaundang-undang, yaituUUNo.26/2007,UUN0.7/2005tentangSumberdayaAirdanUUNo.19/2004(atauNo41/1999)tentangKehutanan.

Keterkaitan UU tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:

Sedangkan bagaimana akan mengikat publik belum dapat diformulasikan. Tingkat pendidikan publik cekunganBandungrelatiftinggi,sehinggaakansegeramemahami permasalahan yang ada dan peka terhadap berbagai keputusan yang mempengaruhi lingkungan. Walaupun demikian komitmennya terhadap tindaknyatatidakdiketahuisecarapasti.

Kepada publik mungkin data ditawarkan kondisi ideal sebagai berikut:

a. hektar atau sekitar 52% dari total luas CekunganBandungsepertihutanalami,sehinggakapasitaspenyimpanan kanopinya (canopy storage capacity) mencapai 28 m3/detik.

b. Koefisienlimpasanairsebesar0,38sepertiketikatahun1964

c. Koefisien Rejim Sungai (KRS = Qmax/Qmin) <50Debitalirannormalrata-rata=41m3/detikd.

e. Daerahresapanair seluas39.000hektar,denganasumsikoefisienpermeabilitas0,00001cm/detik,sehinggamampumenyerapairhujan39m3/detik

f. Erosi<15ton/ha/th

Konsekuensi dari pemulihan tata air seperti kondisialami tersebut jelas rumit dan perlu kajian yang lebih mendalam. Hal ini akan merupakan sesuatu yang pelikdanmungkinmemangtidakdapatdiwujudkan.Kemungkinan lain adalah dikembangkan alternatifterbaik untuk dinegosiasikan (best alternatives to negotiate) yang seyogyanya menjadi hasil KLHS yang sepenuhnya.

Page 22: Ikhtisar Pilot Projects Klhs Ciayumajakuning - Gardang, Cekungan Bandung, Kartamantul, Bima
Page 23: Ikhtisar Pilot Projects Klhs Ciayumajakuning - Gardang, Cekungan Bandung, Kartamantul, Bima

4

KLHSKartamantul| 19

Bab

KLHS Kartamantul4Bab

1. Pendahuluan

Perkembangan perubahan penggunaan lahan di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, khususnya

di sekitar Kota Yogyakarta terjadi dengan cepatnya sehingga menimbulkan berbagai dampak pada lingkungan, baik yang berupa dampak pada aspek fisik, sosial maupun ekonomi. Hal ini terjadi pula diWilayah Kartamantul (Yogyakarta-Sleman-Bantul) yang dijadikan sebagai daerah kajian. Wilayah kajian merupakan daerah yang terintegrasi, antara dua kabupaten dan satu kota, yaitu Kabupaten Sleman, Kota Yogyakarta dan Kabupaten Bantul yang terletak di DaerahIstimewaYogyakarta.

Daerah ini merupakan daerah yang mencakup beberapa satuan ekosistem yang saling terkait. Daerah Kabupaten Sleman sebagian besar terletak di dalam kawasan ekosistem Gunungapi Merapi. Kota Yogyakartamempunyaikarakteristiksebagaiekosistemkota, sedangkan Kabupaten Bantul sebagian besar terdiri dari ekosistem dataran alluvial dengan sebagian dalam ekosistem pantai dan ekosistem pegunungan. Kabupaten Sleman yang terletak di bagian utara mempunyaicurahhujanyangtinggi:dengankelerenganke arah selatan, kabupaten ini merupakan sumber air dari daerah di hilirnya, yaitu kota Yogyakarta dan Kabupaten Bantul.

Perkembangan ketiga daerah ini sedemikian cepat,sehingga perkembangan ini pula memerlukan persediaan dan penyediaan air yang cukup untuk mendukung berbagai kegiatan di daerah tersebut, baik untuk saat ini maupun untuk saat yang akan datang.

Sebagai kesatuan wilayah yang terdiri dari beberapa ekosistem ketiga wilayah tersebut saling terkaitdalam sistem ekologi, yang diantaranya adalah sistem sumberdaya air. Perubahan penggunaan lahan dari lahan pertanian menjadi permukiman bertambah dengan laju yang sangat cepat. Hal ini menyebabkan porsi hujan yang menjadi aliran langsung menjadi lebih besar dan porsi air hujan yang meresap ke dalam tanah menjadi semakin kecil. Banyak fakta di lapangan menunjukkan bahwa terdapat pemborosan penggunaan air serta pemanfaatan air yang kurang tepat. Satu contoh masalah adalah banyaknya hotel dan industri yang mengambil air tanah untuk mencukupi keperluannya. Penggunaan air tanah oleh

hoteldanindustrirelatifbelumbaik.Beberapaindustrimenggunakan air tanah dengan kualitas yang baik, padahal sebetulnya masih ada sumber air lain yang dapat digunakan selain air tanah.

Wilayah Kartamantul memiliki karakteristikperkembangan sebagai berikut.

Kepadatan penduduk sangat tinggi, dengan•konsentrasi pada kawasan Aglomerasi Perkotaan Yogyakarta.Ada kecenderungan pemanfaatan sumberdaya air •tanah yang berlebihan, yang melebihi kapasitas produksinya.Kebutuhan tempat menghuni, tempat berusaha, •tempat bekerja, tempat berekreasi yang tidakterkendali, yang menjadikan terjadinya konversi lahan pertanian ke lahan non pertanian yang sangatcepatdanintensitastinggi.Berbagai kegiatan kehidupan di atas bentang •muka bumi wilayah mempengaruhi terbentuknya penurunan kualitas ruang wilayah (perkembangan area terbangun horisontal, padat dan dalam situasi dan kondisi kekumuhan).Perkembangan hal-hal di atas ini menjadikan •menurunnya daya dukung lingkungan dan semakin sulitnya ditemukan sumber air baku.Dari sisi kependudukan, semakin banyak warga •masyarakatyangtidakmampuberkompetisidalamhidup, berkontribusi nyata pada peningkatan angka kemiskinan.

Fungsikawasanpertanianyangadasepertipertanianlahan basah dan pertanian lahan kering juga harus dilindungi. Konversi perubahan penggunaan lahan dari lahan pertanian ke lahan non pertanian akan menjadi ancaman bagi sumberdaya air Keadaan di lapangan menunjukkan bahwa lahan pertanian dikonversi menjadi kawasan fungsi non pertanian yang lebih menguntungkan dari sisi ekonomi.

Tata ruang dan lingkungan hidup wilayah merupakan satukesatuanyangtidakdapatdipisahkan.Didalamaturan normatif yang sudah ada dalam RaperdaRTRW Provinsi DI Yogyakarta sudah disebutkan bahwa hal tersebut sudah digariskan dan bagaimana wujud strateginya sudah ada. Namun bagaimana pelaksanaannya di lapangan dan bagaimana lingkungan hidup wilayah terkena dampaknya masih belum terdeteksi secara riil di lapangan pada saat ini.

Page 24: Ikhtisar Pilot Projects Klhs Ciayumajakuning - Gardang, Cekungan Bandung, Kartamantul, Bima

4

|KLHSKartamantul20

Bab

2. Keterkaitan antara KLHS dan Pengambilan Keputusan

Temuan-temuan dalam KLHS kawasan Kartamantul mengerucut pada :

a. Kesimpulan-kesimpulan pokok (kaitan sumberdaya air - tata ruang);

b. Langkah-langkah pencegahanan pengendalian agar perlakuan masyarakat terhadap sumberdaya air dan tata ruang kawasan kartamantul dapat menjaga berfungsinya lingkungan berkelanjutan;

c. Kapasitas SDM instansi pemerintah yang terkait dengan pengelolaan SDA, LH, penataan ruang masih sangat beragam dan umum serta masih belum memadai. Kapasitas ini diperlukan untuk dapat melaksanakan dan menegakkan syarat-syarat pembangunan secara lebih berkelanjutan.

d. Berdasarkan hasil penjaringan pendapat dari masyarakat termasuk lembaga swadaya masyarakat, masyarakat sebenarnya mau dan patuh dalam melaksanakan aturan pembangunan yang lebih berkelanjutan. Masyarakat memerlukan bimbingan dan contoh penerapan peraturan yang konsisten dari pemerintah;

Keempat temuan tersebut dapat dimanfaatkan sebagai pertimbangan dan instrumen pengambilan

keputusan pembangunan daerah. Untuk itu berbagai Kebijakan, Rencana dan Program (KRP) yang akan menjadi keputusan pembangunan selayaknya mempertimbangkankeempatfaktor/unsurhasilKLHStersebut.

Sebagai implementasi keterkaitan tersebut, setiapKRP yang akan dilaksanakan/diberlakukan di kawasan Kartamantul (yang seharusnya sudah mempertimbangkan 4 faktor tersebut) harusditerbitkan resmi oleh setiap pemerintah daerahdan tersedia bagi masyarakat yang memerlukannya. Disamping itu perlu disebarluaskan kepada setiapsatuan kerja perangkat daerah, agar para stakeholders terkait dapat mengawasi secara transparan bagaimana perangkat daerah pelaksanaan KLHS

3. Isu Pokok Permasalahan di Kartamantul

Isu pokok permasalahan lingkungan hidup dan sumberdaya air serta tata ruang kawasan Kartamantul dapat diungkapkan sebagai berikut :

a. Permasalahan lingkungan dan sumberdaya air.

Dalam melakukan kajian atau analisis sumberdaya air hal yang sangat diperlukan adalah adanya ketersediaan data sumberdaya air, yang tidak hanya merupakan

Gambar 4 - 1. Peta Administrasi Kawasan Kartamantul Provinsi D.I. Yogyakarta

Page 25: Ikhtisar Pilot Projects Klhs Ciayumajakuning - Gardang, Cekungan Bandung, Kartamantul, Bima

4

KLHSKartamantul| 21

Bab

data sesaat, tetapi juga merupakan data yang berkesinambungan. Tetapi data yang tersedia adalah data yang terputus-putus dan kadang hanya data sesaat.Datatersebuttidakterdapatsecarameratadiseluruh kawasan.

Upaya pemanfaatan lahan pada kawasan resapan air belum mendapatkan upaya pengaturan yang memadai. Pada kawasan resapan air di wilayah Kabupaten Sleman banyak terjadi gangguan terhadap berfungsinya resapan air tersebut dengan maraknya pembangunan permukimandanfungsilain,karenakurangefektifnyaupaya pengendalian pemanfaatan lahan/ruang.

Hal ini menunjukkan bahwa sumberdaya air sebagai komponen lingkungan geofisik kimia belumsepenuhnya diperhatikan oleh masyarakat umumdalam pemanfaatan ruang wilayah.

Dalam tataran pemerintah pusat maupun daerah (propinsi dan kabupaten/kota), sebetulnya peraturan yang mengatur sumberdaya air sudah tersedia. Bahkan di tingkat Provinsi DI Yogyakarta pengaturansumberdaya air juga sudah dipunyai sampai kepada SK Gubernur,sepertipembuanganlimbah,bakumutudansebagainya. Namun demikian apabila kondisi kualitas air sebagaimana yang terjadi di lapangan menunjukkan bahwa sungai sungai masih memiliki kualitas air yang kurangbaik.Haliniberartiterdapatkesenjanganantaraharapan dan kenyataannya.

Perubahan penggunaan lahan yang begitu cepat merubah fungsi lingkungan hidup karena terutama desakan dan orientasinya kepada ekonomi dan kurang berpihak kepada kualitas lingkungan hidup. Kecenderungan mahalnya biaya produksi dalam bidang pertanian, menyebabkan orang lebih baik menjual tanah pertanian untuk dikonversi untuk penggunaan lainnya, yang secara ekonomi lebih menguntungkan, seperti misalnya untuk pengadaan kompleksperumahan dengan segala fasilitas yang dimilikinya.

b. Permasalahan Kependudukan dan sosial budaya

Kesadaran dan pengetahuan mengenai pengelolaan lingkungan hidup masih sangat kurang, khususnya pada aspek konservasi air. Sebagian besar masyarakat masih memiliki anggapan bawah sumber daya air masih tersedia dengan cukup dan dengan itu perlindungan sumber air tidak diperlukan. Hal tersebut tentunyabertolak belakang dengan kondisi yang terjadi saat ini.

Kepentingan pribadi (private domain) lebih menonjol daripada kepentingan umum (public domain). Cara masyarakat pada umumnya menguasai dan menempati (okupansi) ruangwilayah lebihmenurutikemauan/kepentingan individu sendiri/keluargadaripada menaati aturan umum untuk kepentinganumum bersama. Hal ini berpengaruh pada perwujudan tata ruang yang dipengaruhi pasar, yang menjadikan perkembangan loncat katak bangunan kawasan.

Perilaku “begini saja cukup” dan “cari mudahnya saja” yang dimiliki banyak pihak dalam melakukan sesuatu kerja dalam ruang, sehingga mewujudkan

upaya penataan ruang yang dibawah standard dan tidak menaati aturan ruang dan aturan lingkunganhidup yang ada. Kondisi ini berpengaruh besar pada perwujudan tata kehidupan masyarakat pada umumnya memiliki kualitas ruang hdiup dan kualitas lingkungan hidupnya yang rendah, disamping memiliki perangkat kerja yang dibawah kualitas standar, yang menghasilkan tata ruang dan kondisi lingkungan hidup yangtidakmemadai.

c. Permasalahan Ekonomi

Fokus permasalahan terletak pada permasalahan ekonomi yang pada kasus wilayah Kartamantul-berkaitan dengan meningkatnya laju konversi lahan pertanian. Dalam hal ini diketahui bahwa:

1. Desakan dan orientasinya kepada ekonomi dan kurang berpihak kepada lingkungan hidup.

2. Kecenderungan mahalnya biaya produksi dalam bidang pertanian.

3. Kesadaranmasyarakatyangbelumoptimaldalammengelola lingkungan hidup, khususnya dalam konservasi air.

4. Mengejar orientasi kepentingan ekonomi bagikehidupan masyarakat pada umumnya, tanpa mengindahkan norma standar penataan ruang dan lingkungan hidup, yang menjadikan perwujudan tata ruang wilayah menjadi memiliki kekumuhan dan kesemrawutan. Hal ini berpengaruh pada faktor penurunan kualitas lingkungan hidup pada ruang hidup kawasan pada umumnya.

d. Permasalahan Kelembagaan

Pada aspek kelembagaan problem sumberdaya air di Kartamantul dapat dilihat sebagai berikut :

1. Belum optimalnya kebijakan lingkungan Meski sudah ada kebijakan lingkungan dan tata

ruang, namun masih kurang dalam hal kualitas, sinergitas, implementasi dan evaluasinya. Lingkungan selalu ditempatkan pada proses yang eksploitatif.Disampinglemahnyakoordinasi lintasbidang dalam hal pengelolaan lingkungan hidup dan tata ruang, menjadikan kurang optimalnyapengawasan/pengendalian, dan karenanya menjadi lemah dalam hal pelaksanaan aturan hukum.

2. Lemahnya koordinasi kelembagaan antar daerah Sumberdaya air dan tata ruang dikelola oleh

beragam institusi tingkat daerah, baikprovinsi, kabupaten dan kota. Pelaksanaannya sesuai kebutuhan dan kepentingan sektoral,terkoordinasikan secara transparan lintas sektor, lintas wilayah dan lintas pelaku yang sering menimbulkan kerancuan di lapangan.

3. Belum adanya lembaga pengendalian Pengelola sumberdaya air dan tata ruang belum

memiliki lembaga pelaksana pengendalian di lapangan, menjadikan pelik pada tataran pelaksana lapangan berkaitan dengan kewenangan-kewenanganyangtumpangtindih.

Page 26: Ikhtisar Pilot Projects Klhs Ciayumajakuning - Gardang, Cekungan Bandung, Kartamantul, Bima

4

|KLHSKartamantul22

Bab

4. Kurang pelibatan peran stakeholder non pemerintah.

Kawasan Kartamantul yang sebetulnya memerlukan peran aktif seluruh pihakberkepentingan, namun kurang nyata pelibatanyang non pemerintah.

5. Lemahnya data dan sistem informasi. Pengelolaan sumberdaya air dan tata ruang belum

didukung oleh basis data dan sistem informasi yang memadai. Data dan informasi yang ada terbatas pada hal ihwal kependudukan yang mengkait sumberdaya air dan tata ruang dalam memenuhi kebutuhan masyarakat, dinamikan kegiatan ekonomi dan dinamika ketataruangan serta dinamika lingkungan hidup belum memadai untuk analisis perencanaan sumberdaya air dan tata ruang.

e. Permasalahan Situasi Politik Administrasi

Administrasi pemerintahan yang dijewantahkan dalam hal pengelolaan dan pelaksanaan pemerintahan umum, pelayanan kepada masyarakat dan pembangunan daerah tampaknya dapat digambarkan sebagai suatu upaya pasif. Terfokus pada kedudukan pelaksana pelayanan, tidak proaktif menjangkau kemasyarakatsebagai objek dan sekaligus subjek pembangunan. Hal ini menjadikan pengelolaan sumberdaya air dan tata ruang tidak banyak menjangkau situasi-kondisi kenyataan lapangan dan permasalahan-permasalahannya.

4. Metode Pendekatana. Lingkungan dan Sumberdaya air

Permasalahansumberdayaairdidekatidandipecahkandengan mengawalinya dari perolehan data yang baik sebagai bahan analisis. Data yang diperoleh dari instansi yang bertanggungjawab. Perbaikan dalam metode dan cara perolehan data diperlukan. Data hendaknya bukanlah data yang hanya sesaat dan meyebar secara proporsional diperlukan di wilayah Kartamantul. Datakualitatif jugadiperlukan, seperti informasidaripenduduk setempat sangat juga diperlukan dalam melihat perubahan sumberdaya air dan lingkungan hidup. Berbagai cara untuk mendapatkan data semacam ini, antara lain dengan wawancara mendalam dengan penduduk setempat. Analisis sumberdaya air diterapkan berdasarkan satuan ekosistem, dengan memperhatikan wilayah administrasi. Selain instansiyang bertanggungjawab, keterlibatan masyarakat diperlukan dalam pengelolaan sumberdaya air dan lingkungan hidup.

b. Kependudukan

Permasalahan penduduk terkait dengan masalah budaya. Pendekatan yang harus dilakukan harus memperhatikan budaya masyarakat setempat. Olehsebab itu untuk mengatasi permasalahan penduduk adalah dengan mempertahankan budaya dan kearifan lokal dari intervensi budaya dari luar. Pendekatan-pendekatan secara persuasif diperlukan. Pertemuan-pertemuan dan bentuk-bentuk komunikasi dengan

masyarakat setempat perlu dilakukan secara teratur dengan melibatkan tokoh-tokoh masyarakat baik formal maupun informal.

c. Ekonomi

Desakan kebutuhan ekonomi sangat besar yang mendorong masyarakat mengabaikan kepentinganlingkungan hidup. Oleh sebab itu pendekatan ekonomi lingkungan diperlukan. Artinya, memperhatikanlingkungan hidup di dalam perkembangan perekonomian secara proporsional. Keuntungan ekonomihendaknyatidakhanyadilihatdarikeuntunganjangka pendek. Dalam hal ini diperlukan pemahaman dari pihak-pihak yang terkait, termasuk pemerintah dan masyarakat. Pendekatan yang dapat dilakukan adalah pendekatan yang bersfat kelembagaan dan juga pendekatan persuasif kepada masyarakat.

d. Kelembagaan

Sebagai kunci solusi bagi masalah kelembagaan pengelolaan sumberdaya air dan tata ruang kawasan kartamantul terletak pada 2 hal berikut ini yang utama.

1). Adanya lembaga pengawal terhadap penyelamatan lingkungan hidup dan penataan ruang.

2). Diselenggarakannya pertemuan–pertemuan koordinasiyangefektiflintaspelaku,lintassektoraldan lintas daerah dalam upaya pengawasan dan pengendalian pengelolaan sumberdaya air dan tata ruang.

Di samping itu perlu didukung dengan semangat kerja yang memenangkan ”public domain” daripada ”private domain” dengan dilandasi kegiatan pelayanan/penanganan masalah penanggulangan penyimpangan pengelolaan sumberdaya air dan tata ruang, sedang metode kerja yang digunakan oleh pihak berkepentingan,terfokuspascacarakerjayangterpadudan menyeluruh (integrated & comprehensive).

e. Politik Administrasi

Pendekatan yang perlu digalakkan dalam upaya pemanfaatan hasil KLHS untuk pembinaan pengelolaan sumberdaya air dan tata ruang adalah disepakatinyaoleh para pengambil keputusan pembangunan daerah yang ”berkomitmen” dalam menjaga kelestarian berfungsinya syarat lingkungan hidup dan tata ruang yang berkelanjutan”. Di sisi lain, dapat dimilikinya wacana ”sustainable development” sebagai acuan untuk kerja pembangunan daerah.

Metode kerja yang perlu digalakkan adalah: upaya penggalangan kekuatan kerjasama lintas SKPD dalam pengawasan dan pengendalian pengelolaan sumberdaya air dan tata ruang.

f. Pengaturan Tata Ruang

Atas dasar sifat situasi dan kondisi fisik bentangdan wilayah Kartamantul yang terbagi dalam acuan kelerengan dan iklim yang ada dalam 3 bagian kawasan: atas, tengah, bawah atau utara, tengah dan selatan, dipakai sebagai landasan bekerja analisis dalam pengelolaan sumberdaya air dan tata ruang tentunya

Page 27: Ikhtisar Pilot Projects Klhs Ciayumajakuning - Gardang, Cekungan Bandung, Kartamantul, Bima

4

KLHSKartamantul| 23

Bab

didukung oleh informasi ”kesesuaian lahan” yang akan memberikan ketetapan pilihan upaya pembangunan kegiatan ekonomi dan upaya penjagaan kelestarian berfungsinya lingkungan hidup yang berkelanjutan.

Berkaitan dengan metode kerja pengaturan tata ruang ini dapat diungkapkan sebagai berikut:

1) Kemudahan mengakses bagi masyarakat untuk bisa mengetahui dan memanfaatkan rencana pengelolaan sumberdaya air dan tata ruang wilayah yang ada di kawasan Kartamantul.

2) Dilakukannya sosialisasi dan familiarisasi aturan hukum pengelolaan sumberdaya air dan tata ruang di lingkungan satuan kerja perangkat daerah dan di lingkungan komunitas masyarakat, agar para stakeholder menjadi ” masyarakat sadar lingkungan hidup dan tata ruang”

3) Disediakannya petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis bagi pelaksanaan sektoral untuk kepentinganoperasipengelolaansumberdayaairdan tata ruang, untuk menjadi pelaksana yang andal dan terpercaya.

4) Dilakukannya pengawasan dan pengendalian yang memadai terhadap upaya pelaksanaan pemanfaatan sumberdaya air dan ruang wilayah oleh masyarakat.

5. Penanganan Isu-Isu Institusional dan Keterlibatan Masyarakat dalam Proses KLHS

Berdasarkan penelaahan pustaka, diskusi dengan stakeholder dan pengamatan di lapangan, maka hasil yang diperoleh sebagai screening dan scoping sekaligus bidang sumberdaya air dan bidang tata ruang dapat diringkaskan secara umum kebutuhan analisis KLHS sebagai berikut ini.

a. Institusi / kelembagaan

1. Penelitian yang terkait dengan potensi dan permasalahan sumber daya air dan tata ruang sudah banyak dilakukan, baik oleh instansi pemerintah maupun oleh perguruan tinggi dalam bentuk kerjasama denganinstansi pemerintah maupun sebagai bagian dari penelitian dosenn dan tugas akhir paramahasiswa, dalam bentuk laporan penelitianmaupun publikasi lain. Namun demikian penelitiantersebutbersifatsporadis,dantidakberkesinambungan, dan belum terinformasikan ke daerah. Diperlukan pemanfaatan informasi untuk analisis lebih lanjut.

2. Peraturan perundangan yang terkait dengan lingkungan hidup dan tata ruang kawasan Kartamantul terutama menyangkut sumberdaya air dan pemanfaatan lahan sudah cukup banyak tersedia, hanya di dalam implementasinya di lapangan menghadapi berbagai macam kendala, antara lain adalah pemahaman masyarakat terhadap

perundangan tersebut. Peraturan tersebut biasanyatidakmemberikandampak langsungkepada penduduk dan sifatnya lebih kepada pengaturan untuk melakukan sesuatu dan larangan untuk tidak melakukan sesuatuyang dampaknya belum tentu bisa dipahami secara jelas oleh masyarakat awam. Peraturan tersebut pada umumnya masih bersifat sektoral dan belum terintegrasi antara sektor satu dengan sektor yang lain, khususnya belum bermuatan wawasan berkelanjutan. Diperlukan pengembangan substansi untuk analisis lebih lanjut.

3. Peningkatan kapasitas secara kontinyu bagipara pelaksana pengelolaan sumberdaya air dan tata ruang untuk menambah wawasan dan keterampilan dalam melancarkan upaya pelestarian berfungsinya lingkungan hidup yang berkesinambungan.

4. Perlunya secara kontinyu diselenggarakankonsultasi publik untuk kelancaran setiapKRP yang perlu berwawasan pembangunan berkelanjutanbagikepentinganpembangunankawasan Kartamantul.

5. Perlunya dibentuk lembaga pengawal pemberlakuan KLHS bagi kepentinganpembangunan kawasan Kartamantul. Bisa dititipkan fungsi dan tugas lembaga ini padabadan Koordinasi Penataan Ruang Daerah Provinsi DIY, ataupun bias berbentuk lembaga independent yang dilembagakan sebagai Forum Stakeholder Pelaksanaan KLHS.

6. Perlunya secara kontinyu diadakan dialogkoordinasi penyelenggaraan pengelolaan sumberdaya air dan lingkungan hidup serta tata ruang kawasan Kartamantul untuk mendapatkan progres neraca keseimbangan kemajuan sumberdaya air dan penataan ruang.

7. Diperlukan lembaga yang dapat melakukandeteksi lapangan dengan cermat untuk mengkaji perubahan lingkungan hidup yang diperlukan bagi analisis lebih lanjut. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa daerah penelitian sebagian mengalami kekuranganair untuk musim kemarau, terjadi banjir untuk daerah-daerah hilir pada waktu musim penghujan. Konversi penggunaan lahan dari pertanian ke non pertanian berjalan cepat, menyebabkan berubahnya kemampuan tanah untuk meresapkan air ke dalam tanah, menimbulkan banjir di sebelah hilir, disamping membentuk nuansa ruang yang sesak.

8. Diperlukan koordinasi yang baik dalam menangani dan memecahkan masalah sumberdayaair(banjir,kekeringan,kekritisanair) antar instansi, dengan koordinator instansi yang bertanggungjawab pada sumberdaya air. Disamping itu juga harus melibatkan masyarakat secara komprehensif.

Page 28: Ikhtisar Pilot Projects Klhs Ciayumajakuning - Gardang, Cekungan Bandung, Kartamantul, Bima

4

|KLHSKartamantul24

Bab

b. Keterlibatan Masyarakat

1. Kepedulian masyarakat akan lingkungan, termasuk dalam hal ini terhadap sumberdaya air dan tata ruang kawasan sangat bervariasi. Masyarakat awam tidak memperhatikandengan seksama akan terjadinya fenomena perubahan sumberdaya air yang semakin berkurang. Hal ini dapat terjadi karena dulu daerahnya tidak pernah mengalamikekurangan air, sehingga beranggapan bahwa air selalu tersedia sepanjang waktu. Masyarakat Awam juga tidak peduli padakesesakan pemanfaatan ruang, yang pentingmereka dapat tempat bertengger sesuai kepentingan hidup mereka; ruang dianggapmasih longgar selalu disediakan oleh Yang Maha Kuasa. Padahal, perubahan lingkungan terjadi sedemikian cepat sehingga akan mempengaruhi pula ketersediaan sumberdaya air, dan sumberdaya air semakin menyusut, mempengaruhi kuantitas dan kualitas tataruang kawasan yang juga menjadi semakin tidak nyaman dan semakin diliputi rawanbencana. Diperlukan pencermatan terhadap pergeseran pemanfaatan lahan, disamping alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian untuk melihat kemungkinan penghidupan masyarakat lebih baik di masa depan.

2. Peningkatan peran serta masyarakat dalam upaya pengelolaan sumberdaya air dan tata ruang untuk dapat memiliki stakeholder yang mantap dan berwacana positif bagikepentingan dilibatkannya dalam forumpertemuan KLHS ini.

3. Diselenggarakannya forum diskusi masyarakat ditingkatkecamatandantingkatkabupaten/kota di wilayah kawasan Kartamantul dalam membahas persoalan-persoalan pengelolaan sumberdaya air dan tata ruang, untuk mendapatkan wacana perkembangan lingkungan hidup yang berkesinambungan.

4. Ada perwakilan masyarakat umum dan tokoh masyarakat yang duduk dan berfungsi nyata dalam lembaga pengawal pelaksanaan beroperasinya hasil keputusan KLHS.

5. Peningkatan kapasitas anggota lembaga legislatif daerah di 3 kawasan Kartamantuldalam bidang pemahaman konsep KLHS. Proses kerja KLHS dan operasi hasil keputusan KLHS, untuk mendapatkan dukungan komunitaspolitik.

6. Rekomendasi untuk Pelaksanaan Tahap Kelanjutan

Bagi kepentingan kelanjutan proses KLHS kawasanKartamantul ini agar menjadi suatu hasil kerja yang menyeluruh dan terpadu, dapat diungkapkan beberapa hal berikut yang dijaring melalui 2 bidang ini:

a. Kebijakan yang diperlukan untuk tahap aksi berikutnya.

1. Kebijakanpolitisyangmempunyaibentukdankedudukan hukum, menempatkan komitmen pimpinan daerah untuk mengarusutamakan lingkungan hidup dalam pengambilan keputusan teknis pembangunan daerah

2. Kebijakan substansi yang memposisikan hasil KLHS sebagai materi dasar bagi konsep dan strategi pengelolaan sumberdaya air dan tata ruang kawasan.

3. Kebijakan normatif yang menempatkanwacana aturan hukum lingkungan hidup dalam bidang pengelolaan sumberdaya air dan tata ruang/kawasan menjadi masukan pokok dalam upaya setiap ”legal drafting” sektoral untuk pembangunan kawasan Kartamantul yang berkelanjutan.

4. Kebijakan teknis yang mengatur/mengarusutamakan pengelolaan sumberdaya air dan tata ruang kawasan yang berwawasan pembangunan berkelanjutan sebagai acuan kerja teknis seluruh Satuan Kerja Pemerintah Daerahditigawilayahtersebut.

5. Kebijakan psikologis yang menempatkan harapan terciptanya masyarakat Kartamantul yang berbudaya pembangunan berkelanjutan sebagai bentukan semangat kerja operasi hasil KLHS bagi semua stakeholders.

b. Peran dan Posisi KLHS dalam peluang pembangunan kawasan Kartamantul pada masa mendatang

KLHS sebagai suatu kerangka pemikiran dan kerangka kerja pembangunan daerah yang berkelanjutan perlu diperankan dan dioperasikan sebagai preposisi/semboyan membangun yang lebih baik bagi kawasan Kartamantul dan bagi wilayah DIY secara keseluruhan, untuk itu diperlukan upaya pengarusutamaan dalam setiap tahap kegiatan yang perlu ”ber-KLHS” dalamurutan perumusan Kebijakan – Rencana – Program sampai dengan operasi implementasi setiap jenispembangunan sektoral khususnya operasi pengelolaan sumberdaya air dan tata ruang kawasan, sampai kepada upaya pemantauan dan evaluasinya untuk mendapatkan progress kerja sektoral berwawasan berkelanjutan.

Disamping itu untuk tingkat Provinsi DIY diperlukankelanjutan kerja KLHS dengan kelengkapan pada Kabupaten Kulonprogo dan Kabupaten Gunungkidul sekaligus satu kesatuan pengerjaan.

Page 29: Ikhtisar Pilot Projects Klhs Ciayumajakuning - Gardang, Cekungan Bandung, Kartamantul, Bima

5

KLHSBima| 25

Bab

KLHS Bima5Bab

1. Kondisi Umum Kota BimaSecarageografisKotaBimaterletakantara118o41’–118o48’BTdan8o30’–8o20’LS,denganbatas-bataswilayah sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Ambalawi Kabupaten Bima, sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Wawo Kabupaten Bima, sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Palibelo Kabupaten Bima, dan sebelah Barat berbatasan dengan Teluk Bima.

Secara spasial penyebaran 5 lima kecamatan di Kota Bima dapat dilhat pada Gambar 1.

Landform wilayah Kota Bima dapat dikelompokkan menjadi 5 landform utama yaitu landform Aluvial, Landform Marin, landform Volkanik, dan landform karst. Dikota Bima landform alluvial dapat dibedakan menjadi dataran banjir (didaerah dekat pantai), dataran alluvial (di Kota Bima), dan dasar lembah (jalur aliran sungai). Di wilayah Kota Bima landform marin dibedakan menjadi dua bagian yaitu pesisir (pesisir pasir dan pesisir lumpur) dan tebing batuan. Landform volkanik menduduki wilayah yang paling luas di kota

Bima, dan secara spasial menduduki wilayah bagian utara Kota Bima. Landform karst menduduki wilayah paling utara dan bagian tenggara, kota Bima.

Wilayah Kota Bima dapat dikelompokkan menjadi 3 kelompok ketinggian tempat yaitu ketinggian antara0-25 m, 25-50 m dan lebih dari 50 m. Berdasarkan data Kota Bima dalam angka (2007) wilayah denganketinggian tempat lebih dari 50 m, mendudukiluasan yang paling besar, sedangkan wilayah dengan ketinggian0-25myangmendudukiluasanyangpalingsempit.

Berdasarkandata geologi dandata kedalamanefektif,kawasan Kota Bima memiliki stabilitas tanah dan geologi yang tinggi, kecuali pada dareah yang mempunyaikemiringanlerengdiatas30%,dan,tingkaterosirendah,resapan air tanah dangkal relatif besar serta relatifaman terhadap bencana. Dengan demikian kawasan ini potensial untuk kawasan perkotaan, terutama dengan daya dukung lahan terhadap beban kegiatan yang ada diatasnya. Kawasan seperti tersebut terutama beradadipusatKotaBima.Dengankondisifisikalamiahyang

Gambar 5 - 1. Penyebaran Kecamatan Diseluruh Wilayah Kota Bima

Page 30: Ikhtisar Pilot Projects Klhs Ciayumajakuning - Gardang, Cekungan Bandung, Kartamantul, Bima

5

|KLHSBima26

Bab

sedemikianrupadanlahannyarelatifmasihbanyakyangkosong, memungkinkan ke depan untuk pengembangan fisikkota.Akantetapisaat ini lahantersebutsebagianmasih berupa lahan pertanian, yang tentunya dalam pengembanganwilayahjugaharusdipertimbangkan.

Hidrologi air permukaan pada umumnya berasal dari bendungan, dam dan sungai-sungai yang mengalir di Kota Bima. Di Kota Bima terdapat dua sungai besar yaitu SoriDodudan SoriNa’e sedangkan sungai-sungai lainyangmelewatiKotaBimaadalahSoriPadolo,SoriRontu,Sori Tambe, Sori Ntobo, Sori Nangarade dan Sori Melayu. Sungai-sungai ini sifat dan kondisinya keairannya sangat dipengaruhi oleh kondisi curah hujan, vegetasi dan batuan penyusunnya terhadap sifat air.

Selain air hujan, sumber utama lain dari air sungai ini adalah mata air. Di Kota Bima terdapat 4 sumber mata airyaitumataairWitiyangmempunyaidebit25liter/detik,mataairOiFo’odengandebit20liter/detik,mataairMadaMasadengandebit15liter/detikdanmataairOiSi’iyangberdebit2.5liter/detik.SemuamataairiniberadadiKecamatanRasana’eTimuryangmerupakandaerah hilir dari Kota Bima. Pemanfaatan air tanah oleh masyarakat Kota Bima lebih banyak digunakan sebagai sumber air bersih untuk keperluan rumah tangga.Kedalamanairtanah,yangdirepresentatifkanoleh kedalaman sumur masyarakat berbeda-beda, dipengaruhi oleh keadaan topografi wilayah dankondisi curah hujan. Pada wilayah berbukit, kedalam air sumur pada musim hujan berkisar antara 7-12meter sedangkan pada musim kemarau kedalaman sumur rata-rata lebih dari 15 meter. Di wilayah dataran rendah kedalaman sumur pada musim hujan berkisar antara 4-5 meter dan pada musim kemarau kedalaman sumurantara6-9meter.

Gambar berikut memberikan ilustrasi lokasi-lokasi banjir di Kota Bima.

Kota Bima didominasi oleh tanah-tanah yang masih muda dan peka terhadap erosi seperti jenis tanahKompleks Mediteran Coklat dan Litosol serta jenis tanah Kompleks Litosol Mediteran Coklat Kemerahan dan Mediteran Coklat. Jenis tanah Kompleks mediteran dan Litosol merupakan tanah yang mempunyai solum tanah yang dangkal dan kurang subur untuk budidaya pertanian. Bentuk topografi yang beragam dengantingkatkelerenganyangcukupcuramjugamerupakansalah satu kondisi alam yang mempengaruhi besarnya tingkat erosi tanah. Berdasarkan hasil prediksi erosidengan menggunakan metode USLE (Universal

Soil Loss Equation) dan Sistem Informasi Geografimemperlihatkan bahwa didaerah-daerah timur,selatandanutarakotaBimamempunyatingkaterosiaktual yang beragam, sedangkan di daerah pusat kota tingkaterosiaktualcukupseragam.Bentuklerengdankeadaan jenis tanah sangat mempengaruhi besarnya erosi aktual di daerah pinggiran Kota Bima. Erosi-erosi aktual yang sangat tinggi terjadi di desa/kelurahanRabadompu, desa Sambina`e dan desa Lampe.

Secara umum, kondisi alam lingkungan Kota Bima sangat dipengaruhi oleh adanya kondisi dua musim, yaitu musim panas dan musim hujan. Musim hujan kejadiannya sangat singkatyaituselamatigabulan(bulanDesembersampaidengan bulan Februari), sedangkan sisanya adalah musimkemarauyangterjadiselama9bulanyaitumulaibulan Maret sampai bulan November. Musim kering yanglama,menyebabkanKotaBimamengalamidefisitairhingga8bulanyaitumulaiApril–November.Defisitairtertinggiterjadipadabulan(Agustus–Oktober).Halini terjadi karena curah hujan yang tinggi pada bulanbasah (Desember–Februari) semuanya mengalir ke laut,

Gambar 5 - 2. peta lokasi banjir di Kota Bima

TINGKAT KERAWANAN BANJIR

Tidak RawanPotensial RawanAgak RawanRawan

Kecamatan AmbalawiKabupaten Bima

Kecamatan WawoKabupaten Bima

Kecamatan BeloKabupaten Bima

680000 685000 690000 695000 700000 705000 710000 715000

680000 685000 690000 695000 700000 705000 710000 715000

Page 31: Ikhtisar Pilot Projects Klhs Ciayumajakuning - Gardang, Cekungan Bandung, Kartamantul, Bima

5

KLHSBima| 27

Bab

sehinggatidakdapatdimanfaatkankembalipadawaktumusim kemarau. Melalui rekayasa lingkungan sepertimembuat waduk atau embung, meningkatkan imbuhan air tanah dengan membuat sumur resapan dan biopori, melakukan penghijauan dan reboisasi di daerah hulu, di daerah hulu, meningkatkan luasan hutan minimal 30%padasetiapDASyangbermuarakeKotaBimadanpenetapan hutan rakyat pada lahan pertanian dapat mengendalikan banjir dan erosi di musim hujan dan mengatasi kekeringan di musim kemarau.

Kota Bima dengan luas 222,25 km2 mempunyai jumlah penduduk127.373jiwadengantingkatkepadatanrata-rata573jiwa/km2.Namunjumlahpendudukinitidaktersebarsecarameratadantingkatkepadatantertinggiterjadi pada 2 kecamatan yaitu Kecamatan Rasanae Barat (2.812 jiwa/km2)dankecamatanMpunda(1.669jiwa/km2). Jumlah penduduk sebesar 127.373 jiwadapat memproduksi sampah 96 m3/hari. Sampah ini tidak semuanya dapat diangkut ke TPA. Jumlahpenduduk yang cukup besar selain memproduksi sampah yang cukup besar, juga memerlukan tempat permukiman dan sumber pendapatan yang memadai, hal ini menyebabkan terjadinya alih fungsi lahan dan degradasi hutan.

Kebijakan pembangunan Kota Bima dalam kurun waktu lima tahun (2003–2008) yang tertuang dalam Rencana Strategis Kota Bima yang berkaitan erat dengan lingkungan hidup wilayah Kota Bima adalah kebijakan fisikdanekonomi.

Di bidang fisik, kebijakan tersebut difokuskan padasektor pemukiman, sarana dan prasarana wilayah, dengan tujuan untuk meningkatkan ketersediaan sarana dan prasarana kebutuhan dasar sepertipermukiman dan penyehatan lingkungan dalam rangka peningkatan kesejahteraan penduduk, serta meningkatkan ketersediaan sarana dan prasarana penunjang (fisik dan kelembagaan) untukmengakselerasikan berbagai kegiatan ekonomi lokal.

Kebijakan ekonomi Kota Bima dijabarkan ke dalam kebijakan sektor-sektor unggulan. Disektor pertanian secara umum rencana pembangunan pertanian Kota Bima diarahkan untuk pengembangan dan pemanfaatan berbagai potensi sumberdaya pertanian, kehutanan, perkebunan, dan peternakan yang berorientasi pada pengembangan agribisnis dan agroindustri agar mampu meningkatkan keunggulan kompetitif dan tetap mempertahankan keunggulankomparatif. Disamping itu, rencana pembangunandibidangpertaniandalamarti luas jugamenyangkutpeningkatan usaha rehabilitasi, konservasi dan efesiensi pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan sebagai sistem penyangga kehidupan perkotaan. Kebijakan pembangunan pertanian di Kota Bima terdiri dari peningkatan pelayanan saprodi dan penyuluhan bagi peningkatan produksi tanaman pangan dan holtikultura, pembuatan demplot irigasitetes pada lahan kering dan tabulapot dan tabulakar, perlindungan tanaman dan pengamanan produksi pada lahan pekarangan, peningkatan SDM tentang

tata cara pengelolaan agribisnis dan usaha tani berwawasan agribisnis (SL-UBA), dan pengembangan sentraproduksitanamanobat-obatanmeliputisongga,nonu/mengkudu.

Kebijakan pembangunan di bidang perkebunan adalah pengembangan tanaman kelapa, tanaman wijen, pengembangan tanaman jahe, tanaman mangga (buah segar, buah kakeng) dan tanaman jambu mente (mente kering).Dibidangpeternakanmeliputipengembanganternak sapi bibit, ternak kambing/domba, ternak unggas (ayam,itik,bebekdantelur)sertakerbaudankuda.

Sementara di bidang kehutanan adalah pembentukan kelompok mitra pengamanan hutan, pengendalian kerusakan hutan, peningkatan pendapatan kelompok usaha tani terpadu, peningkatan fungsi hutan sesuai peruntukannya.

Kebijakan pembangunan disektor perikanan dan kelautan adalah Peningkatan peran sektor perikanan dan kelautan sebagai sumber pertumbuhan perekonomian masyarakat; Pemberdayaan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat nelayan, pembudidayaan ikan, dan masyarakat pesisir; Perlindungan dan pengawasan potensi sumberdaya perikanan dan kelautan beserta ekosistemnya; Peningkatan kapasitas kelembagaan dan kualitas sumberdaya manusia, aparatur, masyarakat nelayan dan pembudidaya ikan; dan Pengembangan teknologi dan sistem informasi perikanan dan kelautan.

Struktur pengembangan wilayah mencakup lima BWK(BagianWilayahKota)yangmeliputi:BWKPusatkegiatan sebagai daerah komersial (perdagangan dan jasa) serta pelayanan umum (perkantoran dan fasilitas sosial); BWK Selatan dengan fungsi sebagai kawasan perdagangan skala regional, kawasan permukiman dan jasa skala regional; BWK Utara dengan fungsi sebagai pusat kegiatan bongkar muat barang dan orang disekitar pelabuhan Bima, perikanan, perdagangan skala lokal hingga regional dan kegiatan industri menengah dan pergudangan; BWK Timur dengan fungsi sebagai kawasan pertanian, pertambangan, perikanan darat, permukiman dan perdagangan skala lokal serta transportasi skala lokal; dan BWK Tenggara dengan fungsi sebagai kawasan pertanian, permukiman dan perdagangan skala lokal serta transportasi skala lokal.

Rencana sistem transportasi jalan raya terdiri atas rencanasistimjaringanjalan,rencanasirkulasi,rencanaangkutan umum dan rencana pengembangan terminal.

Rencanasistemjaringanjalanmeliputipengembanganjalan lingkar (ring road) yang terdiri dari jalan lingkar Utara–Barat, jalan lingkar Utara–Timur, jalan lingkar Timur–Selatan dan jalan lingkar Barat–Selatan serta pengembangan jalan lintas utara Pulau Sumbawa yang melintasi Kota Bima melalui peningkatan akses yang berbatasan dengan Kecamatan Wera Kabupaten Bima melalui Kelurahan Melayu dan Kolo; Rencana sirkulasi disesuaikan dengan rencana jaringan jalan lingkar luar; Rencana angkutan umum diarahkan untuk dapat melayani jalur-jalur utama kota dan dapat mencapai

Page 32: Ikhtisar Pilot Projects Klhs Ciayumajakuning - Gardang, Cekungan Bandung, Kartamantul, Bima

5

|KLHSBima28

Bab

berbagai lokasi utama kota. Rencana pengembangan terminal diarahkan untuk meningkatkan kemampuan pelayanan penumpang dan barang skala pelayanan lokal, regional dan nasional yang berlokasi di Kelurahan Paruga.

Rencana sistem transportasi laut Kota Bimameliputipelabuhan bongkar muat dan pelabuhan penumpang; Pelabuhan bongkar muat untuk jalur distribusi barang kearah pulau Sulawesi, Kalimantan dan NTT, untuk komoditi wilayah Kota Bima; Pelabuhan penumpangdiarahkan pada pengaturan waktu penyeberangan jenis kapal dan jenis kendaraan; dan Pengembangan pelabuhan rakyat diarahkan pada kegiatan penataan kualitas kawasaan dermaga beserta fasilitas pendukungnya.

Pengembangan jaringan listrik berupa, pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) yang diarahkan pada Kecamatan Asakota Kota Bima; Pembangunan GarduIndukdanjaringantegangantinggi/SUTT.

Rencana pengembangan jaringan penyediaan air minum berupa pengembangan sumber-sumber mata air, pengembangan sistem jaringan air bersih dan peningkatan kualitas air minum/bersih;

Rencana pengembangan jaringan drainase, berupa pengembangan saluran pembuangan air hujan dan pembuangan limbah rumah tangga; membangun sumur resapan pada tiap kawasan pemukiman;Pengembangan saluran pembuangan limbah rumah tangga dengan pengadaan saluran drainase di kiri-kanan jalan pada kawasan terbangun.

Pola Ruang untuk kawasan lindung, yaitu mempertahankan Kawasan-kawasan resapan air; kawasancagarbudayadanilmupengetahuansepertiIstana Raja dan Mesjid Sultan Salahuddin; Sempadan Pantai; Sempadan Sungai; Kawasan ruang terbuka hijau; Kawasan Rawan Bencana; Kawasan Bakau.

Polaruangkawasanbudidaya,yaitumeliputikawasanterbangundantidakterbangun.

kawasan terbangun yang diarahkan di luar BWK •Pusat, terutama di BWK Utara; pembatasan kegiatan terbangun dan secara bertahap dilakukan pembebasan lahan disekitar bantaran sungai.Rencana pengembangan kawasan perdagangan •dan jasa yaitu kawasan perdagangan campuran meliputi usaha garment/konveksi, elektronik,dealer motor, biro perjalanan, jasa perbankan; Pusat pembelanjaan berupa pasar raya, plasa, pasar swalayan yang diarahkan pada sekitar BWK Pusat; Pasar Lingkungan lokasinya menyebar merata di Kota Bima, Pedagang Kaki Lima diarahkan pada lokasi-lokasi yang mempunyai aksesibilitas yangtinggi.Rencana pengembangan kawasan wisata berupa •pengembangan obyek wisata belanja, wisata olahraga dan wisata alam.Rencana pengembangan kawasan industri berupa •Rencana pengembangan kawasan industri dan pergudangan.

Rencana pengembangan kawasan pertanian berupa •Kawasan pertanian yang dipertahankan secara mutlak; Kawasan pertanian lahan kering yang memungkinkan untuk pengembangan kawasan terbangun di Kelurahan Kolo, Jatiwangi, jatibarudan sebagian Kelurahan Santi; Memanfaatkanlahan pertanian produktif yang ada di sekitarpusat kota atau kawasan pertanian yang berada pada area yang merupakan arah kecenderungan perkembangan kota, seperti di sekitar kawasanjalan Gatot Subroto.

Dari sisi sosial budaya, Bima mendekatkan penghuninya pada kehidupan yang esoteris bahkan transeden. Tradisi Islam yang kuat menjadi mesin pendorong pada orang Bima untuk menjadi orang-orang tangguh, ulet dan punya karakter. Dalam sejarah Bima peranan ulama sangat menentukan. Mereka menjadi bagian penting dari lembaga kerajaan. Nasehat para ulamamenjadi salah satu dasar keputusan raja. Kehidupan sosial budaya dan religius di daerah ini sangat berjalan harmonis dan rasa saling hormat menghormati ataskeyakinanyangberbedasangattinggi.Berdasarkandatastatistiktahun2007,sebanyak97,82%daripendudukkota Bima adalah beragama Islam dan hanya sekitar 2 %beragamayanglainsepertiProtestan,Katolik,Hindudan Budha.

2. KLHS dan Pengambilan KeputusanKesepakatan yang diambil oleh Pemerintah Kota Bima adalah menggunakan KLHS dalam rangka pengayaan penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Kota, terutama untuk mengetahui masalah lingkungan hidup yang paling menonjol di Kota Bima, mengetahui penyebab terjadinya masalah lingkungan hidup di Kota Bima,mengetahuisudahterintegrasitidaknyamasalahlingkungan dalam kebijakan, rencana dan program serta merumuskan alternatif kebijakan rencana danprogram yang dapat diusulkan dalam menangani masalah lingkungan tersebut.

Pemerintah Daerah dalam hal ini diwakili oleh institusiBappedadanBLHKotaBimabersepakatakanmemanfaatkan hasil KLHS sebagai bahan dan sarana pendukungpengambilankeputusan;mengidentifikasidanmempertimbangkanpeluang-peluangbarumelaluipengkajiansecarasistematisdancermatatasmasalah-masalah yang adadi kotaBima;mempertimbangkanaspek lingkungan hidup secara lebih sistematis padajenjang pengambilan keputusan yang lebih tinggi;basis untuk tata pengaturan yang lebih baik berkat terbangunnya keterlibatan para pihak dalam proses pengambilan keputusan melalui proses konsultasi dan partisipasi serta memfasilitasi kerja sama lintasbatasuntukmencegahkonflikberbagaipemanfaatansumberdayaalamdanmenanganimasalahkumulatifdampak lingkungan.

Dukungan dari Environmental Support Program (ESP-DANIDA)adalahtimcoaching kepada konsultan lokal yang telah dikontrak oleh Pusat Pengelolaan Lingkungan

Page 33: Ikhtisar Pilot Projects Klhs Ciayumajakuning - Gardang, Cekungan Bandung, Kartamantul, Bima

5

KLHSBima| 29

Bab

Hidup (PPLH) regional Bali dan Nusa Tenggara, staffPPLH Regional Bali dan Nusa Tenggara, Bappeda dan BLH Kota Bima. Coaching dilakukan melalui kehadiran tenaga ahli dalam 2 kali workshop. Pada kunjungan pertama,timcoaching memberikan ilustrasi langkah-

langkah KLHS dan menapis isu strategis. Kunjungan kedua dimaksudkan untuk memberikan review atas hasilKLHStimlokal.

3. Permasalahan, Kerangka Pikir dan Metoda

Dalam penyusunan studi, timmelakukan desk study terhadap:

a) data primer (Landform, Erosi & banjir, kekeringan);

b) data sekunder (Bima Dalam Angka, PDRB Peta Rupa Bumi, Geologi, Tanah); dan

c) KRP (Rencana Tata Ruang, Status Lingkungan Hidup Daerah (SLHD), Rencana Strategis); mendapatkan permasalahan strategis berupa banjir, erosi, kekeringan, alih fungsi lahan, degradasi hutan, dan sampah.

Hubungan antara masalah yang satu dengan masalah yang lainya dapat dilihat pada Gambar 3.

A. Pelingkupan berdasarkan geologi

Metoda lain yaitu pelingkupan berdasarkan kondisi lingkungan geologi, yang ditunjukkan tim coaching memberikan dimensi lain dalam KLHS Kota Bima. Kota Bima terletak di lembah, pedataran aluvial; terletak

pada endapan alluvial, batuan gunung api (pliosen), batugamping (miosen), batuan gunung api (miosen). Secara umum, dengan kondisi geologi tersebut, kota Bima mempunyai potensi air yang kurang bagus kuantitas dan kualitasnya. Dari kuantitas, kondisi

umumnya intensitas curah hujan sedang dan kecil, debit sungai di musim kemarau kecil dikarenakan base flow kecil, sehingga air tanah menjadi sumber air strategis.

Bila melihat secara spesifik fungsi ekonomis KotaBima, sedimentasi di Teluk Bima akan menjadi salah satu masalah strategis lainnya untuk Kota Bima. Muara yang sempit serta bentuk sedimentasi atau aliran air yang menyerupai pita terbentuk alami sepanjang garis pantai di teluk Bima. Bentuk teluk (memanjang dan sempit) dan pola pembentukan sedimentasi dan genangan di Kota Bima (long-shore current-arus sepanjang panjang, yang ada didepan (telukFlores)tidakbisamenyebarkanendapan)akanmemicu terjadinya sedimentasi lebih cepat di Teluk Bima. Mudahnya pembentukan sedimentasi di teluk Bima akanmengganggu aktivitas di Pelabuhan Bimadan transpotasi laut (padahal transportasi laut adalah transportasi yang paling vital untuk Bima, karena Bima sangat sulit dijangkau melalui transportasi darat dan udara); dan juga akan mengganggu kegiatan usaha perikanan, kelautan dan penambangan garam. Selain itu, juga akan mengganggu rencana pengembangan wisata kota Bima khususnya pengembangan kawasan wisata pantai. Secara gamblangnya, seiring waktu, sedimentasi di Teluk Bima akan mengganggu kegiatan pengembangan ekonomi di Kota Bima, atau bahkan akan mengganggu keberadaan kota Bima. Upaya mitigasi yang bisa dilakukan adalah pengelolaan

Topografi• Vegetasi• Lereng• Jenis tanah• Geologi•

Iklim

EROSI

BANJIR

Penduduk

DEGRADASI HUTAN

Kondisi fisikKota Bima

ALIH FUNGSI LAHAN

KEKERINGAN

SAMPAH

Gambar 5 - 3. Permasalahan Kota Bima dan hubungannya antar permasalahan

Page 34: Ikhtisar Pilot Projects Klhs Ciayumajakuning - Gardang, Cekungan Bandung, Kartamantul, Bima

5

|KLHSBima30

Bab

wilayah dengan penetapan zona budidaya untuk mengurangi terbentuknya sedimentasi maupun zona rawan gelombang pasang, untuk menghindari dampak bahaya yang disebabkannya. Keduanya membutuhkan upaya bersama dan kerjasama antar daerah antara Kota Bima dan Kabupaten sekitar. Contoh-contoh kegiatan mitigasi yang dapat dilakukan misalnya di kawasanhutan dilakukan reboisasi dan membuat kebun talun (campuran), sedang di luar hutan memperbanyak kebun talun.

Permasalahan utama yang dapat diangkat dari metoda penapisan berdasarkan data geologi memperkuat proses penapisan yang dilakukan oleh konsultan yaitu kestabilan kuantitas dan kualitas sumber dayaair, banjir, dikarenakan pedangkalan muara dan delta kecil serta adanya genangan air asin yang disebabkan gelombang pasang laut.

4. Proses Partisipasi PublikDari konsultasi publik yang dihadiri oleh multistakeholder di Kota Bima, SKPD maupun LSM yang dilibatkan menanggapi hasil studi yang ada sekarang masih dalam ranah teknis saja, studi ini masih perlu diperkaya dengan melakukan kajian terhadap implikasi KRP maupun kebijakan payung (visi, misi) terhadap kebutuhan dasar masyarakat dan nilai-nilai sosial. Apabila memungkinkan, juga memasukkan kajian mengenai model mekanisme insentif yangbisa diterapkan khususnya bagi masyarakat yang beraktivitasdidaerahkonservasi.

Dari ilustrasi sisi waktu maupun besaran yang diakibatkan oleh perubahan iklim (terutama banjir dan ketersediaan air), LSM juga merasa perlu untuk memasukkan ruang lingkup alternatif KRP dalammitigasiperubahaniklimdenganmempertimbangkansecara serius aspirasi masyarakat dan menempatkan masyarakatsebagaisubyektidakhanyaobyek.

Dinas pertanian mengharapkan memasukkan rekomendasi penyeleksian jenis kegiatan pertanian yangsesuaidengankarakteristikalamKotaBima.

5. RekomendasiUntuk melanjutkan proses KLHS setelah proses penapisan dilakukan,

Dari sisi kelembagaan, keterlibatan pemerintah •daerah diharapkan lebih aktif. Pembentukan timKLHS lokal yang ditunjuk oleh Kepala pemerintah diharapkan bisa menginternalisasi KLHS kedalam kegiatanrutinpemerintahandaerah.Dari sisi metodologi perlu dilanjutkan dengan •melakukan overlaying skenario KRP program-program pemerintah daerah Kota Bima (apa yang akan dibangun) dan dimana akan dibangun (RTRW) melalui pendekatan rasional. Dengan demikian, orientasi dan implikasi KRP terhadap pembangunan berkelanjutan di Kota Bima sudah dapat diilustrasikan.

Gambar 5 - 4. kondisi delta di Kota Bima

Page 35: Ikhtisar Pilot Projects Klhs Ciayumajakuning - Gardang, Cekungan Bandung, Kartamantul, Bima

6

Kesimpulan&Rekomendasi| 31

Bab

Kesimpulan & Rekomendasi6Bab

1. KesimpulanPembangunan Berkelanjutan yang menjadi arus-utama (main-streaming) bagi pembangunan di Indonesia sebagaimana yang diamanahkan dalam Rencanan Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) adalah merupakan konsep atau pemikiran yang tidak dapatbegitu saja didefinisikan secara kaku (rigid), sepertiyangdisampaikanolehJacquet(2009):

“Sustainable Development is, above all, a social and political concept. It cannot be decreed, and cannot be defined by purely scientific methods. Against a backdrop of increasingly precise but still incomplete scientific research, sustainable development is being carried forward by groups who have their own value systems and interests and who are negotiating to define what the world id or should be”.

Denganpengertiandiatas,makaKLHSyangbertujuanuntuk mewujudkan kapasitas pembangunan berkelanjutan di tingkat daerah. Pendekatanpenerapan eksplorasi aspirasi publik seperti yangditerapkan pada percontohan di Ciayumajakuning diharapkan menjadi satu pendekatan yang wajar dalam kerangka KLHS. Lebih dari itu pola kegiatan penerapan tahapan KLHS di daerah pilot Ciayumajakuning-gardang dan Cekungan Bandung memungkinkan untuk direplikasi sebagai model penerapan KLHS berbasis partisipasi masyarakat. Kegiatan percontohan diCiayumajakuning-gardang dan Cekungan Bandung dirancang untuk menjadi asupan bagi perumusan Peraturan Gubernur (PerGub), Perda (Peraturan Daerah) dan rumusan RTRW bagi pengelolaan hutan lindung dan pengelolaan sumber daya air. Sementara itu percontohan di Kartamantul ataupun Kota Bima, yang juga memfokuskan pada masalah pengelolaan sumber daya air menggunakan pendekatan yang lebih konvensional dalam mengkaji hasil kerja KLHS. Contoh terakhir merupakan kegiatan penilaian terhadap hasil penerapan KLHS. Dalam menilai hasil KLHS di Kartamantul dan di Kota Bima digunakan kerangka kriteria yang dikembangkan oleh IAIA (International Association for Impact Assessment). Hasil KLHS dan reviewnya dapat dimanfaatkan untuk proses penguatan rumusan RTRW yang sedang dalam proses legislasi.

Sejumlah hambatan ditemui saat pelaksanaan pilot dimasing-masing daerah pilot. Hambatan yang utama dari pelaksanaan KLHS ini disebabkan oleh:

1. Tidak mudahnya menyusun jadwal keterlibatan stakeholders (para pemangku-jabatan) dalam satu kelompok diskusi.

2. Belum seragamnya pemahaman dan manfaat konsep KLHS

3. KLHS baru diterima secara terbatas dan belum sepenuhnya diakomodir dalam Acuan Kerja (berupa ToR) operasional di tingkat PemerintahDaerah.

Dari pelaksanaan pilot project di tahun 2008 banyak hal patut diapresiasi. Di DI Yogyakarta, pemerintah propinsi berinisiatif melaksanakan kajian lingkunganhidup strategis bagi perbaikan proses perencanaan pembangunan.Inisiasiinitidakberhentipadatahapanpenapisan (screening) dan pelingkungan (scooping), namun juga berlanjut pada tahapan selanjutnya. Hasil kajian KLHS telah dipaparkan kepada Gubernur DIY. Pada Tahun Anggaran 2009, KLHS diperluas untukKulonprogo dan Gunung Kidul dan telah dianggarkan melalui alokasi anggaran propinsi.

Inisiasi pilot project di Kota Bima berasal dari Pusat Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) regional Bali Nusa Tenggara.Kegiatanpilotinitidakhanyadimanfaatkanuntuk menguji coba instrumen KLHS, akan tetapi dipergunakan juga untuk mensosialisasikan pengguna-an instrumen serta membangun kapasitas internal PPLH. Sedangkan bagi Kota Bima, mendapatkan manfaat langsung dalam perbaikan perencanaan pembangunan mereka serta mendapatkan pendampingan dan alih pengetahuan dari para ahli nasional.

Dalam pelaksanaan pilot project Ciayumajakuning-gardang dan Cekungan Bandung, pemerintah propinsi sangat berkomitmen untuk mendampingi dan mensosialisasikanprosesdanhasilkajian.Untuktindaklanjut, pemerintah propinsi telah berkomitmen untuk meneruskan proses ini sampai penerbitan SK Gubernur dan memfasilitasi dan mendampingi pemerintah kota/kabupaten dalam mengoperasionalisasikan KRP mengenai pengelolaan hutan lindung dan pengelolaan sumber daya air.

Page 36: Ikhtisar Pilot Projects Klhs Ciayumajakuning - Gardang, Cekungan Bandung, Kartamantul, Bima

6

|Kesimpulan&Rekomendasi32

Bab

2. RekomendasiMemahami situasi yang berkembang dan antisipasikebutuhan akan langkah-langkah selanjutnya maka dapat disusun rekomendasi sebagai berikut:

1. Pilot project masih diperlukan mengingat keragaman problematika di Indonesia khususnyauntuk penanganan cross cutting issue yang strategis dan banyak terjadi di sejumlah pemerintahan daerah lain di Indonesia, misalnya pembangunan energi yang penanganannya lintas daerah atau melingkup urusan kepentingan nasional.Kerjasama antar daerah merupakan isu pentingbagipembangunansecarainstitusimaupunsosial,ekonomidanpolitik.

2. KLHS merupakan bagian yang mampu memberikan kontribusi signifikan bagi proses pengambilankeputusan

3. Pemahaman dari pengalaman yang diperoleh dari hasil pelaksanaan pilot ini akan memperkaya substansi peraturan perundangan yang akan menjadi landasan penerapan KLHS

4. Dari penyelenggaraan pilot project juga sekaligus dapat dibangun kapasitas kelembagaan dan SDM pemerintahan setempat berikut para pemangku-jabatan terkait yang terlibat. Bahkan lebih dari itu dapat meningkatkan kapasitas jejaring (network) antar para pemangku jabatan.

5. Pelaksanaan pilot project di daerah sebaiknya menyesuaikan dengan jadwal mekanisme pembangunan di daerah yang bersangkutan sehingga bisa lebih selaras untuk kepentingankoordinasi dan sinkronisasi program. Lebih dari itu keselarasan ini akan lebih banyak memberi manfaat ke bagi pihak-pihak sejalan dengan program yang dijalankan.

6. Kriteria penetapan daerah pilot sebaiknya juga memperhatikan momentum cross cutting issue yang menjadi obyek atau fokus kegiatan agar perhatian dan antusiasme pemerintah daerahpada posisi yang tinggi. Dengan demikian akanlebih mudah untuk menawarkan pendekatan aplikasi KLHS.

Page 37: Ikhtisar Pilot Projects Klhs Ciayumajakuning - Gardang, Cekungan Bandung, Kartamantul, Bima

6

Kesimpulan&Rekomendasi| 33

Bab

TABEL RINGKASAN HASIL PILOT PROJECT ESP2 TAHUN 2008

CIAYUMAJAKUNING - GARDANG CEKUNGAN BANDUNG KARTAMANTUL BIMA

KarakteristiskWilayah

Isu strategis

Dengankaraktergeografisdidaerah•daratan berbukit clan bergunung, sebagai satu kerangka sistem DAS. sistemDASinimencakup7daerahadministrasi: Kota Cirebon, Kab. Cirebon, Kab. Indramayu, Kabupaten Majalengka, Kab. Kuningan, Kab. Garut, can Kab. Sumedang

Potensipenurunankuantitas•penyediaan sumber daya air akibat peningkatan permintaan layanan sumberdayaair

Adalah hulu DAS Citarum yang •merupakan sungai terbesar dan terpanjang di Jawa Barat, mencakup 5 daerah administrasi: Kota Bandung, Kota Cimahi, Kabupaten Bandung, Kabupaten Bandung Barat dan sebagian Kabupaten Sumedang. Di Sungai Citarum telah dibangun 3 waduk dan bendungan besar yaitu Saguling di bagian paling hulu, Cirata canJatiluhurdibagianpalinghilir,Cekungan Bandung merupakan daerah tangkapan air yang secara langsung memasok Waduk Saguling.Air tanah menunjukkan kecenderungan •menurun.Koefisienairlarianmeningkatrata-rata0,53(1986-2004).DugaankoefisienaliranCekunganBandungsaatinimencapai0,70.Banjirmerupakanbencanarutindi•dataran terendah di wilayah Cekungan Bandung. Perbandingan Dengan curah hujan rata-rata 2.350 mm/tahun (1998),luasgenanganbanjir6.200hektar sedang pada tahun 2000 dengan rata-ratacurahhujan1.700mm/tahun,luas genangan banliryangterjadi rata-rata 2000 hektar.Penurunan muka air tanah di Kota •Bandung dan sekitarnya rata-rata + 4 m/tahun(1996-2000).Potensi penurunan penyediaan sumber •daya air akibat peningkatan permintaan layanan sumber daya air

Kartamantul adalah 1 DAS dengan •wilayah gunung dan endapan di wilayah pesisirnya. Kabupaten Sleman adalah bagian hulu berada di selatan gunung Merapi dan tengah, Kota Yogyakarta di bagian tengah dimana kegiatan banyak terkonsentrasi , sedangkan wilayah Bantul sebagai bagian tengah dan hilir.Potensi penurunan penyediaan sumber •daya air akibat meningkat pesatnya permintaan layanan sumber daya air

Perkotaan dengan jumlah penduduk + •127ribujiwadiwilayahpesisirdenganbentang alamnya yang landai.Distribusi sumber daya air dan •pengendalian sistem aliran air permukaan.

Peraturan daerah tentang pengelolaan •kawasanlindungbelumefektif,dikarenakan:1. belum ada kejelasan dan pandangan

yang sama atas apa yang harus dilakukan terhadap kawasan yang ditetapkan sebagai kawasan lindung;

2.pemahamanatasartilahankriitssebagai upaya memulihkan kawasan lindung belum sama.

3 RTRW belum dapat menjelaskan secara gamblang mengenai fungsi lindung yang lebih dari 20 macam kategorinya.

4 lemahnya pemantauan, sistem informasiyangtidakberfungsidantidakcukupmemberimasukanuntuk perbaikan perencanaan dan kebijakan.

5.datatidaklengkap,tidakakuratdansering dimanipulasi untuk tujuan spesifik.

6. sasaran pencapaian sebatas pada luas penanaman dan belum mencakup efek yang hendak dicapai.

7.Acuantindakyangtidakakurat,hanya berupa fragmen kegiatan.

• Konflikpemanfaatantatagunatanahakibat alih fungsi lahan.

• Penataansumberdayaairdankawasanhutan sebagai sumber mata aira. melengkapi indikator penetapan

kawasan hutan yang juga sebagai sumber mata air.

b. Alokasi ruang untuk penyimpanan air di kanopi vegetasi, permukaan tanah dan didalam tanah serta pengendalian erosi, pada ruang yang sudah terlanjur terisi oleh aneka pemanfaatan yang acak dan sering kurang terkendali.

• Pengembangansisteminstitusiyangdiharapkan dapat melaksanakan upaya konservasi sumber daya airsecara berkelanjutan.

Fungsi kawasan lindung sebagai •pengendalitataairsaatinitidakefektif.Halinidiindikasikandarikoefisienairlarianyangtinggiyaitu0,7.Telah banyak prakarsa dan upaya •untuk mengelola kawasan lindung. Kemauanpolitikuntukmewujudkankawasanberfungsilindungseluas45%dariluasluastotalprovinsi(atau11%dari luas total Cekungan Bandung),Daerah resapan untuk Cekungan •Bandung umumnya berada pada daerah yang miring sedangkan pada daerah yang datar umumnya merupakan daerah lahan air.Peraturan: Bila pembobotan kawasan •lindung didasarkan kepada 3 peta, yaitu peta jenis tanah, peta kemiringan lereng dan peta curah hujan, maka luas kawasan yang harus berfungsi lindung adalah52%daritotalluasCekunganBandung. Bila pembobotan kawasan lindung ditambahkan dengan peta daerahresapanpotential,kawasanlindungmenjadi67%.SedangkanPerdaNo. 2/2003 tentang RTRW Propinsi Jawa barat, mengamanatkan luasan kawasanlindungadalah45%dariluaspropinsi.

• Persoalanpengelolaansumberdayaair dan kawasan lindung di Cekungan Bandung bukan berpangkal pada pengetahuan teknis, tetapi lebih pada non teknis, misalnyaa. kesepahaman dan kesepakatan

tentang pengelolaan sumber daya air lintas kabupaten dan kota di Cekungan Bandung,

b.dukungandankomitmenpolitik,c. masalah kapasitas kelembagaan

baik di pemerintahan maupun di masyarakat.

sumberdaya air:Penelitianterkaitdenganpermasalahan•sumber daya air bersifat sporadis, tidakberkesinambungan,danbelumterinformasikan ke daerah. Diperlukan pemanfaatan informasi untuk analisis lebih lanjut.Data yang tersedia untuk analisis •sumberdaya air kartamantul merupakan data yang terputus-putus dan kadang hanyadatasesaat.Datatersebuttidakterdapat secara merata di seluruh kawasan.Sumberdaya air belum sepenuhnya •diperhatikanolehmasyarakatumumdalam pemanfaatan ruang wilayah. Contohnya pada kawasan resapan air di wilayah Kabupaten Sleman banyak terjadi gangguan terhadap berfungsinya resapan air tersebut dengan maraknya pembangunan permukiman dan fungsi lain,karenakurangefektifnyaupayapengendalian pemanfaatan lahan/ruang.

Institusi/kelembagaan:• Meskisudahadakebijakanlingkungan

dan tata ruang, namun masih kurang dalam hal kualitas, sinergitas, implementasi dan evaluasinya. Lingkungan selalu ditempatkan pada prosesyangeksploitatif.

• Lemahnyakoordinasilintasbidangdalam hal pengelolaan lingkungan hidup dan tata ruang, menjadikan kurang optimalnyapengawasan/pengendalian,dan karenanya menjadi lemah dalam hal pelaksanaan aturan hukum.

Sosial Budaya:• Kesadarandanpengetahuanmasyarakat

mengenai pengelolaan lingkungan hidup masih sangat kurang, khususnya pada aspek konservasi air. Sebagian besar masyarakat masih memiliki anggapan bawah sumber daya air masih tersedia dengan cukup dan dengan ituperlindungansumberairtidakdiperlukan.

Mengetahuitingkatintegrasimasalah•lingkungan calam KRPMerumuskan alternatifKRPyangdapat•diusulkan dalam menangani masalah lingkungan tersebut.Dari hasil studi geologi didapat •isu permasalahan strategi berupa pengelolaankuantitasdankualitasair yang cenderung kurang bagus dan pengelolaan penanganan sedimentasi di teluk Flores.Dari hasil desk study yang mempelajari •situasi kondisi sumber daya alam dan mengecek arah KRP Kota Bima; permasalahan strategis berupa banjir, erosi, kekeringan, alih fungsi lahan, clegraclasi hutan, dan sampah masih kurang difokuskan calam KRP

• Perkotaandenganjumlahpenduduk+127ribujiwadiwilayahpesisirdenganbentang alamnya yang landai.

• Distribusisumberdayaairdanpengendalian sistem aliran air permukaan.

• Mengetahuitingkatintegrasimasalahlingkungan dalam KRP

• Merumuskan alternatifKRPyangdapat diusulkan dalam menangani masalah lingkungan tersebut.

• Darihasilstudigeologididapatisu permasalahan strategi berupa pengelolaankuantitasdankualitasair yang cenderung kurang bagus dan pengelolaan penanganan sedimentasi di teluk Flores.

• Darihasildeskstudyyangmempelajarisituasi kondisi sumber daya alam dan mengecek ara KRP Kota Bima; permasalahan strategis berupa banjir, erosi, kekeringan, alih fungsi lahan, degradasi hutan, dan sampah masih kurang difokuskan dalam KRR

• TimLokalKLHSmelakukandeskstudy terhadap:a. data primer (Lanform, Erosi & banjir,

kekeringan);

Page 38: Ikhtisar Pilot Projects Klhs Ciayumajakuning - Gardang, Cekungan Bandung, Kartamantul, Bima

6

|Kesimpulan&Rekomendasi34

Bab

CIAYUMAJAKUNING - GARDANG CEKUNGAN BANDUNG KARTAMANTUL BIMA

• KLHSdigunakantidakuntukmengintegrasikan kebijakan lingkungan,tetapi lebih ditujukan untuk membuat kebijakan lingkungan menjadi lebihefektif.

• Penentuankawasanlindung kurangmenjelaskan sasaran dan tujuan yang ingin dicapainya, yang digunakan hanyalahberdasarkankriteriafisikdanpencapaian luasan bukan berdasarkan tujuan dan sasaran perbaikan parameter hidrologis yang ingin dicapaiuntuksetiaptipepenggunaanlahan (hutan, perkebunan, pertanian, permukiman dan industri).

• Kepentinganpribadi(privatedomain)lebihmenonjoldaripadakepentinganumum (public domain). Cara masyarakat pada umumnya menguasai dan menempati(okupansi)ruangwilayahlebihmenurutikepentinganindividusendiri/keluargadaripadamenaatiaturanumumuntukkepentinganbersama.

Administrasi Pemerintahan:• Administrasipemerintahandalam

pengelolaan sumber daya air tampaknya selalu pasif dan terlambat dalammengantisipasiperkembanganpembangunan di kawasan tangkapan air.

b. data sekunder (Bima Dalam Angka, PDRB Peta Rupa Bumi, Geologi, Tanah); dan

c. KRP (Rencana Tata Ruang, Status Lingkungan Hidup Daerah (SLHD), Rencana Strategic);

Metodologi/pendekatan

Peninjauan ulang terhadap peraturan •mengenai keberadaan kawasan hutan lindung yang berkaitan dengan konservasi sumber daya air dan diperkuat kedudukan hukumnya agartidakterjadipelanggaran.o analisa kesenjangan antara apa yang

ada di dalam Pemcla dengan realita di lapangan

o identifikasiprogrampewujudankawasanlindungyangsecaraaktifdilaksanakan oleh berbagai pihak

o identifikasiperaturanperundanganmengenai pengelolaan kawasan lindung

o rekomendasi langkah strategi untuk menutup kesenjangan.

Sejalan dengan keunikan situasi sistem •dan mekanisme pemerintahan, dalam hal memberikan masukan dan input (pengaruh) pengambilan keputusan di tingkatProvinsi,adaprosesjustifikasibirokratikdannonbirokratikyangdibafiguntimKLHS.KLHSdiharapkantidakhanyaakanmenjadidokumenkajianyangtidakmempunyaiefekapapun meskipun mempunyai potensi kandungan informasi akurat dan bermutu.o ProsesBirokratik,sepenuhnya

ditangani oleh BPLHD Jawa Barat. Tim KLHS membantu BPLHD menjelaskan mengapa diperlukan peraturan ini dan apa isinya kepaca pengambil keputusan, dalam hal ini direpresentasikan oleh Wakil Gubernur.

o Prosesnonbirokratik- Proses akademik atau

teknikal adalah upaya mencari kesepahaman dan kesepakatan yang berbasis pada pengetahun dan informasi.

- Prosespolitikadalahnegosiasiuntuk mendapatkan kesepakatan yangdidasarkanpadakepentingandan aspirasi.

Partisipatifsistematis,terbatas.•o Diskusimultipihak,pejabat

pemerintah daerah, LSM, tokoh masyarakat untuk mengembang¬kan informasidanidentifikasimasalahtentang kondisi dan pelaksanaan konservasi kawasan lindung

o Diskusi ahli, untuk mengkonfirmasikanpermasalahandan mengembangkan gagasan

o Dialog kebijakan, membahas konsep dan saran strategis untuk mengatasi masalah pelaksanaan perda kawasan lindung. Dialog ini dilakukan secara formal dan informal.

Analisa data dasar (dinamika atmosfer, •karakteristikbentangalam,pengelolaantutupan lahan, pengelolaan perdesaan/perkotaan) berkaitan dengan sumber daya air Cekungan Bandung untuk memahami struktur yang membangunnya, persoalan can penyebabnya balk saat kini maupun arch perkembangan di masa depan.Mempelajari Undang-undang yang •mengatur sumberdaya air - kawasan lindung dan tujuan¬tujuan pengelolaan sumberdaya air yang ingin dicapai.Memilih lingkup KLHS berdasarkan •UUNo.19/2004tentangKehutanandanUUno.26/2007tentangPenataanRuang yang memliki hubungan dengan persoalan sumberdaya air dan kawasan lindung.Menentukan indikator pengelolaan •sumberdaya air dan kawasan lindung sebagai tolok ukur keberhasilan yang ingin dicapai.

Analisa data pustaka terkait dengan:•1. permasalahan pemenuhan

kebutuhan sumber daya air2. budaya dan kearifan lokal3. ekonomi4. kelembagaan5.politikadministrasi6. pengaturan tata ruangdiskusi dengan stakeholder dan •pengamatan di lapangan.Penyusunanalternatifrekomendasi•untuk mengintegrasikan hasil studi KLHS ke calam sistem pemerintah daerah Kartamantul.

Tim KLHS Output 2.2. ESP memberikan •coachingkepadatimkonsultanlokal dengan menganalisa satu contoh pelingkupan berdasarkan kondisi lingkungan geologi. Hasilnya memberikan dimensi lain dalam KLHS Kota Bima.o Secara umum, dengan kondisi

geologi tersebut, kota Bima mempunyai potensi air yang kurang baguskuantitasdankualitasnya.Airtanah menjadi sumber air strategis.

o Bentuk teluk (memanjang dan sempit) dan pola pembentukan sedimentasi dan genangan yang ada di teluk Flores akan memicu terjadinya sedimentasi lebih cepat di Teluk Bima.

Page 39: Ikhtisar Pilot Projects Klhs Ciayumajakuning - Gardang, Cekungan Bandung, Kartamantul, Bima

6

Kesimpulan&Rekomendasi| 35

Bab

CIAYUMAJAKUNING - GARDANG CEKUNGAN BANDUNG KARTAMANTUL BIMA

Kaitan dengan pengambilan keputusan & kebijakan publik

Internalisasi hasil KLHS dalam bentuk dan kedudukan hukum yang lebih kuat (PerGub). Identifikasiperaturanperundanganmenenaipengelolaankawasanlindungdanlangkahstrategis untuk menutupi kesenjangan telah dilakukan dan direkomendasikan dalam laporan detail.Dengan demikan, pemanfaatan dan pengendalian hutan lindung dapat diwujudkan melalui dokumen Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi. RTRW Provinsi diharapkandapatdioperasionalisasikanpadaRTRWtingkatkabupatenataupunRencanaTata Ruang Kawasan (RTRK).

Kelanjutan kerja KLHS dengan 1. kelengkapan pada Kabupaten Kulonprogo dan Kabupaten Gunungkidul sekaligus satu kesatuan pengerjaan.KLHS perlu diperankan dan dioperasikan 2. sebagai preposisi/semboyan membangun yang lebih baik bagi kawasan Kartamantul dan bagi wilayah DlY secara keseluruhan.

Analisa singkat yang dilakukan dalam coachingtimKLHSmenghasilkan2isustrategissepertitersebutdiatas.Keduaisu strategis ini sebaiknya dijadikan pertimbanganutamadalampenyusunanRTRW dan pengembangan program pembangunan.

Tindak lanjut Pemerintah Daerah menggunakan alokasi sendiri,

melanjutkan proses formalisasi PerGub.,1. mensosialisasikan dan mendampingi 2. Kota/Kabupaten dalam rangka menterjemahkan dan mengoperasionalisasikan PerGub. ke dalam dokumen RTRW daerah

1. Perlu kesepahaman dan kesepakatan (komitmenpolitik)tentangpengelolaansumberdaya air lintas pemerintahan Kabupaten dan Kota di Cekungan Bandung termasukdengan para pihak mengenai:a. peningkatan kapasitas kelembagaan

baik pemerintah maupun masyarakaat.

b. Indikator keberhasilan pengelolaan sumberdaya air dan kawasan lindung untuk Cekungan Bandung, bagi setiaptipepenggunaanlahanutama(hutan, perkebunan, pertanian, permukiman dan industri).

2. Mengingat sebagian dari kawasan yang ditetapkan berfungsi lindung berada di luar kawasan hutan dan dimiliki oleh masyarakat, maka perlu dicarikan jalan keluar yang berasas keadilan dan dapat diterima para pemilik lahan.

Perlunya Peningkatan kapasitas para 1. pelaksana pengelolaan sumberdaya air dan tata ruang.Perlunyasecarakontinyu2. diselenggarakan konsultasi publik untuk kelancaransetiapKRP.Perlunyasecarakontinyudiadakan3. dialog koordinasi penyelenggaraan pengelolaan sumberdaya air dan lingkungan hicup serta tata ruang kawasan Kartamantul untuk mendapatkan progress neraca keseimbangan kemajuan sumberdaya air dan penataan ruang.Kebijakanpolitisyangmempunyai4. bentuk dan kedudukan hukum, menempatkan komitmen pimpinan daerah untuk mengarus tamakan lingkungan hidup dalam pengambilan keputusanteknis pembangunan daerah.

1. Tim KLHS lokal masih memerlukan peningkatan kapasitas dalam hal metodologi KLHS.

2. Terkait dengan mudahnya pembentukan sedimentasi di teluk Flores,upayamitigasiyangbisadilakukan adalaho pengelolaan wilayah dengan

penetapan zona budidaya untuk mengurangi terbentuknya sedimentasi maupun

o zona rawan gelombang pasang, untuk menghindari dampak bahaya yang disebabkannya.

o Keduanya membutuhkan upaya bersama dan kerjasama antar daerah antara Kota Bima dan Kabupaten sekitar.

o Contoh-contohkegiatanmitigasiyang dapat dilakukan misalnya di kawasan hutan dilakukan reboisasi dan membuat kebun talun (campuran), sedang di luar hutan memperbanyak kebun talun.

Page 40: Ikhtisar Pilot Projects Klhs Ciayumajakuning - Gardang, Cekungan Bandung, Kartamantul, Bima