II. TINJAUAN PUSTAKA A. Lele (Clarias batrachuseprints.mercubuana-yogya.ac.id/2657/2/BAB...
Transcript of II. TINJAUAN PUSTAKA A. Lele (Clarias batrachuseprints.mercubuana-yogya.ac.id/2657/2/BAB...
4
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Lele (Clarias batrachus)
Ikan lele merupakansalah satu jenis ikan air tawar komersial yang populer
sebagai ikan budidaya. Klasifikasi ikan lele menurut Badan Standart Nasional
(2000).
Filum : Chordata
Kelas : Pisces
Subkelas : Teleostei
Ordo : Ostariophysi
Subordo : Siluroidae
Famili : Clariidae
Genus : Clarias
Spesies : Clarias batrachus Sumber : Anonima (2000)
Ikan lele merupakan salah satu ikan yang memiliki kulit berlendir tetapi
tidak bersisik. Jika terkena sinar, warnanya berubah menjadi pucat dan bila terkejut
warnanya menjadi loreng seperti mozaik hitam putih. Ukuran mulut lele sekitar
seperempat dari panjang total tubuhnya. Di sekitar mulut terdapat empat pasang
kumis yang berfungsi sebagai alat peraba. Lele dilengkapi dengan organ
arborescent atau insang tambahan yang dikenal dengan sebutan labyrinth. Itu
sebabnya ikan ini dapat hidup di dalam lumpur, di air yang tidak mengalir dan di
air yang mengandung sedikit oksigen (Khairuman dan Amri, 2008).
Suhu perairan yang ideal untuk lele berkisar 20 – 30oC atau tepatnya 27oC
dengan tingkat keasaman tanah (pH) 6,5 – 8. Umumnya lele dapat hidup di perairan
yang mengandung karbondioksida (CO2) 15 ppm, NH3 sebesar 0,05 ppm, NO2
sebesar 0,25 ppm, NO3 sebesar 250 ppm, dan oksigen minimum 3 ppm.
5
Ikan lele memiliki alat pernapasan tambahan berupa arborescen yang
merupakan kulit tipis, menyerupai spon sehingga ikan lele dapat hidup pada air
dengan kondisi oksigen yang rendah. Saat ini kegiatan budidaya lele telah
berkembang luas, terutama di Pulau awa. Kandungan gizi ikan lele disajikan pada
Tabel 1.
Tabel 1. Kandungan gizi ikan lele per 100 g bahan
Informasi Gizi Per 100 gram
Energi
Lemak
Lemak Jenuh
Lemak Tak Jenuh Ganda
Lemak Tak Jenuh Tunggal
Kolesterol
Protein
Karbohidrat
Serat
Gula
Sodium
Kalium
240 kkal
14,53 g
3,426 g
3,673 g
6,482 g
69 mg
17,57 g
8,54 g
0,5 g
0,85 g
398 mg
326 mg
Sumber : Anonima, 2000
B. Abon Ikan
6
Abon ikan merupakan jenis makanan olahan ikan yang diberi bumbu, diolah
dengan cara perebusan dan penggorengan. Produk yang dihasilkan mempunyai
bentuk lembut, rasa enak, bau khas, dan mempunyai daya simpan yang relatif lama
(Suryani dkk., 2005). Karyono dan Wachid (1982) menyatakan, abon ikan adalah
produk olahan hasil perikanan yang dibuat dari daging ikan, melalui kombinasi dari
proses penggilingan, penggorengan, pengeringan dan penambahan bahan pembantu
dan bahan penyedap terhadap daging ikan.
Abon ikan yang bermutu baikadalah abon ikan yang terbuat dari ikan yang
baik. Ikan yang baik adalah ikan yang masih segar. Ikan segar adalah ikan yang
memiliki sifat sama dengan ikan yang masih hidup baik rupa, bau, aroma, rasa dan
tekstur. Syarat mutu abon berdasarkan SNI 01-3707-1995 disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Syarat mutu abon berdasarkan SNI 01-3707-1995
Kriteria uji Kadar (% bb)
Lemak Maksimal 30,0
Gula Maksimal 30,0
Protein Minimal 15,0
Air Maksimal 7,0
Abu Maksimal 7,0
Sumber : Anonimb, 1995.
Metode pengolahan abon ikan berdasarkan metode (Suryani dkk., 2005)
yaitu ikan dicuci dan disiangi, kemudian dicuci kembali sampai bersih, ikan
kemudian dikukus dengan air mendidih selama 20 menit. Daging ikan selanjutnya
7
dipisahkan dari duri dan kulit secara manual, dicabik-cabik agar serat daging
menjadi halus. Bumbu kecuali lengkuas dan daun serai diblender kemudian
digoreng dengan 10 ml minyak dan diaduk-aduk, ditambahkan lengkuas dan serai
sampai mengeluarkan aroma wangi. Cabikan daging ikan dimasukkan sedikit demi
sedikit kedalam bumbu sambil terus diaduk agar bumbu merata dan sampai cabikan
ikan hampir kering. Untuk abon yang diproses dengan cara deep frying, campuran
cabikan dan bumbu yang hampir kering tersebut digoreng dalam minyak goreng
panas pada suhu kurang lebih 1780C selama 5 menit sampai berwarna kuning
kecoklatan. Perbandingan bahan digoreng dengan minyak adalah 1 : 2 atau sampai
cabikan daging semuanya terendam dalam minyak. Sedangkan untuk abon yang
diproses dengan metode pan frying proses penggorengannya dilakukan dengan
menambahkan minyak goreng sebanyak 10 ml atau sekitar 2 sendok makan
kedalam campuran cabikan ikan dan bumbu yang sudah hampir kering. Proses
penggorengan tersebut dilakukan hingga cabikan ikan dan bumbu benar-benar
kering dan menjadi abon yaitu selama 45 menit pada suhu 1220C. Abon kemudian
didinginkan sampai semua uap air menguap dan selanjutnya dikemas.
Faktor-faktor yang mempengaruhi standar mutu abon adalah kadar air,
berpengaruh terhadap daya simpan dan keawetan abon. Kadar abu, menurunkan
derajat penerimaan dari konsumen. Kadar protein, sebagai petunjuk beberapa
jumlah daging/ikan yang digunakan untuk abon. Kadar lemak, berhubungan dengan
bahan baku yang digunakan, ada tidaknya menggunakan minyak goreng dalam
penggorengan.
1. Bahan Pembuat Abon Ikan
8
Buckle dkk. (1987) mengatakan bahwa penggunaan bumbu bertujuan untuk
membatasi perkembangan dari mikroorganisme dan untuk memberikan rasa yang
khusus. Bumbu-bumbu yang digunakan dalam pembuatan abon ikan antara lain,
santan kelapa, bawang merah, bawang putih, minyak goreng, ketumbar, laos, daun
salam, serai, gula merah dan garam.
a. Santan Kelapa
Santan kelapa merupakan emulsi lemak dalam air yang terkandung
dalam kelapa yang berwarna putih yang diperoleh dari daging buah kelapa.
Penambahan santan kelapa akan menambah cita rasa dan nilai gizi suatu
produk yang akan dihasilkan oleh abon. Santan akan menambah rasa gurih
karena kandungan lemaknya yang tinggi. Lemak merupakan bahan-bahan
yang tidak larut dalam air yang umumnya berasal dari tumbuhan atau pun
hewan. Lemak merupakan zat makanan yang penting untuk menjaga
kesehatan. Selain itu lemak juga merupakan sumber energi yang sangat
penting bagi tubuh. Berdasarkan hasil penelitian abon yang dimasak
dengan menggunakan santan kelapa akan lebih gurih dibandingkan abon
yang dimasak tidak menggunakan santan kelapa. Santan murni secara
alami mengandung sekitar 54% air, 35% lemak dan 11% padatan tanpa
lemak (karbohidrat ± 6%, protein ± 4% dan padatan lain) yang
dikategorikan sebagai emulsi minyak dalam air (Slamet Sudarmaji dkk.,
1997).
b. Bawang Merah
9
Bawang merah (Allium cepa vas ascolanicum) berfungsi sebagai
pemberi aroma pada makanan. Senyawa pemberi aroma pada bawang
merah adalah senyawa sulfur yang menimbulkan bau apabila sel bawang
merah mengalami kerusakan sehingga terjadi kontak antara enzim dalam
bahan makanan dengan substrat. Keuntungan aroma hasil ekstraksi ini
dapat digunakan untuk menambah aroma dari bahan lain. Bawang merah
banyak dimanfaatkan sebagai bumbu penyedap rasa makanan. Adanya
kandungan minyak atsiri dapat menimbulkan aroma yang khas dan cita
rasa yang gurih serta mengundang selera. Kandungan minyak atsiri juga
berfungsi sebagai pengawet karena bersifat bakterisida dan funginsida
untuk bakteri dan cendawan tertentu (Winarno dan Jennie, 1984).
c. Bawang Putih
Bawang putih (Allium sativum L) mengandung minyak atsiri yang
berwarna kuning kecoklatan dan berbau menyengat. Manfaat utama
bawang putih adalah sebagai bumbu penyedap masakan yang membuat
masakan menjadi beraroma dan mengundang selera. Bawang putih
merupakan salah satu bahan alami yang memiliki efek antimikotik dan
dapat mendetoksifikasi aflatoksin (Maryam dkk., 2003). Soeparno
menambahkan (2005) Bawang putih mempunyai pengaruh preservatif
terhadap produk olahan daging karena mengandung lemak (minyak
esensial) dan substansi yang bersifat antioksidan, sehingga dapat
menghambat perkembangan rancidity.
10
d. Minyak Goreng
Minyak goreng berfungsi sebagai penghantar panas, penambah rasa
gurih dan penambah kalori bahan pangan. Minyak goreng biasanya dibuat
dari minyak kelapa atau minyak sawit. Cara penggorengan abon sebaiknya
menggunakan cara deep frying yaitu bahan pangan yang digoreng dengan
minyak kelapa atau sawit agar hasil akhirnya baik, cepat dan masak merata
(Buckle dkk., 1987).
e. Ketumbar
Ketumbar (Coriandrum Sativum L) banyak digunakan sebagai
bumbu masak dengan digerus terlebih dahulu. Ketumbar dapat
menimbulkan bau sedap dan rasa pedas yang gurih (Sutejo, 1990).
Ketumbar banyak digunakan untuk sayuran, bahan penyedap serta
mengandung karbohidrat, lemak dan protein yang cukup tinggi. Ketumbar
mempunyai aroma yang khas, aromanya disebabkan oleh komponen kimia
yang tedapat dalam minyak atsiri yaitu senyawa hidrokarbon beroksigen.
Senyawa tersebut menimbulkan aroma wangi dalam minyak atsiri
(Guenther Ernest, 1987).
f. Laos
Lengkuas atau laos (Alpinia galanga L) mengandung minyak atsiri
galangol berwarna kuning dan bersifat larut dalam alkohol dan tidak larut
dalam air. Galangol menyebabkan rasa pedas pada laos (Marliyati, 1995).
Rimpang lengkuas berukuran besar, dan berwarna putih atau kemerahan.
Lengkuas berkulit merah biasanya memiliki serat yang lebih kasar,
11
sementara yang putih lebih halus. Namun, keduanya berbau aromatis.
Lengkuas berasa pahit dan mendinginkan lidah. Minyak atsiri ini terdiri
atas bahan metal sinamat 48%, cineol 20% - 30%, kamfer, dalfa-pinen,
galangin, eugenol 3% - 4% yang memberikan cita rasa pedas (Muhlisa,
1999).
g. Daun Salam
Daun salam (Syzygium polyanthum) merupakan salah satu bumbu
masakan tradisional yang sering digunakan oleh masyarakat Indonesia.
Daun salam mempunyai aroma yang sangat khas, selain dari aroma yang
khas daun salam memiliki banyak manfaat bagi kesehatan manusia
(Sudarsono dkk., 2002). Salam mengandung tanin, flavonoid, minyak
atsiri, saponin, triterpen, polifenol dan alkaloid. Aktivitas antioksidan dari
senyawa fenolik berperan penting dalam penyerapan dan penetralkan
radikal bebas atau menguraikan peroksida (Margaretta dkk., 2011).
h. Serai
Secara tradisional serai wangi digunakan sebagai pembangkit cita
rasa pada makanan, minuman dan sebagai obat tradisional
(Wijayakusuma, 2001). Serai memiliki kandungan kimia yang terdiri dari
saponin, flavonoid, polifenol, alkaloid dan minyak atsiri. Minyak atsiri
serai wangi terdiri dari sitral, sitronelal, geraniol, mirsena, nerol, farsenol,
metilheptenon, dipentena, eugenol metil eter, kadinen, kadinol dan
limonene. Senyawa flavonoid ini merupakan senyawa aromatik (Leung
dan Foster, 1996).
12
i. Gula Merah
Gula merupakan bahan yang ditambahkan ke dalam makanan untuk
melembutkan produk sehingga dapat mengurangi terjadinya pengerasan
dan mengurangi penguapan air serta memberikan cita rasa produk. Adanya
gula akan menimbulkan reaksi maillard dan reaksi karamelisasi. Reaksi
maillard yaitu reaksi antara gula pereduksi dengan asam amino yang akan
menyebabkan warna cokelat pada produk. Reaksi maillard diawali dengan
reaksi gugus amino pada asam amino, peptida atau protein dengan gugus
hidroksil glikosidik pada gula. Rangkaian reaksi diakhiri dengan
pembentukan polimer nitrogen berwarna coklat (Ketaren, 1986). Reaksi
karamelisasi merupakan proses pencoklatan bahan pangan yang
mengandung gula. Jika pemanasan terhadap gula menggunakan suhu
tinggi, maka gula akan berubah menjadi cair. Apabila waktu pemanasan
cukup lama, maka gulapun akan berubah menjadi kuning, kemudian
kecoklatan, selanjutnya dengan cepat berubah warna menjadi sangat coklat
(Coultate, 2002).
j. Garam
Garam adalah bahan yang sangat penting dalam pengawetan daging,
ikan, dan bahan pangan lainnya. Garam juga mempengaruhi aktivitas air
dari bahan pangan dengan menyerap air sehingga aktivitas air akan
menurun dengan menurunnya kadar air. Oleh karena itu garam dapat
digunakan untuk mengendalikan pertumbuhan mikroba dengan suatu
metode yang bebas dari racun (Buckle dkk,. 1987). Dalam pembuatan
13
abon garam berfungsi sebagai penambah cita rasa sehingga akan terbentuk
rasa gurih, meningkatkan daya simpan karena dapat menghambat
pertumbuhan mikroorganisme pembusuk dan berperan dalam menentukan
tekstur produk dengan cara meningkatkan kelarutan protein. Penambahan
garam sebaiknya tidak kurang dari 2% karena konsentrasi garam yang
kurang dari 1,8% akan menyebabkan rendahnya protein yang terlarut
(Usmiati dan Priyanti, 2008).
2. Proses Pembuatan Abon Ikan
a. Pengukusan
Pengukusan merupakan proses pemanasan yang sering diterapkan
sebelum pengeringan atau pengalengan. Secara umum tujuan pengukusan
adalah untuk membuat tekstur bahan menjadi empuk. Kondisi bahan yang
empuk mudah dicabik-cabik menjadi serat-serat yang halus. Ikan memiliki
daging yang cukup lunak sehingga lebih tepat dikukus dari pada direbus.
Perebusan dilakukan apabila bahan yang digunakan cukup keras (liat)
seperti daging sapi, jantung pisang dan keluwih. Lama pengukusan dan
tinggi suhu tidak boleh berlebihan tetapi cukup sampai mencapai titik
didih saja. Suhu yang terlalu tinggi akan menyebabkan penurunan mutu
rupa dan tekstur bahan. Ikan yang berbeda ukuran sebaiknya dikukus
terpisah untuk mempermudah pengontrolan waktu pengukusannya.
Setelah pengukusan bahan ditiriskan untuk menurunkan kadar air yang
masih tersisa (Lisdiana Fachruddin, 1997).
14
Perlakuan dengan cara pemanasan dapat menyebabkan protein ikan
terdenaturasi demikian pula dengan enzim-enzim yang terdapat dalam
tubuh ikan. Protein merupakan senyawa organik yang besar yang
mengandung atom karbon, hidrogen, oksigen dan nitrogen. Beberapa
diantaranya mengandung sulfur, fosfor, besi atau mineral lain. Pada suhu
100oC protein akan terkoagulasi dan air dalam daging akan keluar.
Semakin tinggi suhu, protein akan terhidrolisa dan akan terdenaturasi,
terjadi peningkatan kandungan senyawa bernitrogen, amonia dan hidrogen
sulfida dalam daging. Proses pemanfatan panas seperti pemasakan dapat
mengakibatkan perubahan pada penampakan secara umum cita rasa, bau
dan tekstur ikan (Lisdiana Fachruddin, 1997).
b. Penggorengan
Penggorengan merupakan suatu proses pemanasan bahan pangan
menggunakan medium minyak goreng sebagai penghantar panas. Selama
proses penggorengan terjadi perubahan fisik, kimia dan sifat sensori.
Ketika makanan digoreng pada minyak goreng panas pada suhu yang
tinggi, banyak reaksi kompleks yang terjadi di dalam minyak dan pada saat
itu minyak akan mengalami kerusakan. Kerusakan minyak yang berlanjut
dan melebihi angka yang ditetapkan akan menyebabkan menurunnya
efisiensi penggorengan dan kualitas produk akhir. Komposisi bahan
pangan yang digoreng akan menentukan jumlah minyak yang diserap.
15
Bahan pangan dengan kandungan air yang tinggi, akan lebih banyak
menyerap minyak karena semakin banyak ruang kosong yang ditinggalkan
oleh air yang menguap selama penggorengan. Selain itu semakin luas
permukaan bahan pangan yang digoreng maka semakin banyak minyak
yang terserap (Muchtadi, 2008).
Selama proses penggorengan, sebagian minyak masuk ke dalam
bahan pangan dan mengisi ruang kosong yang pada mulanya diisi oleh air.
Penyerapan minyak pada ikan pada saat penggorengan adalah sekitar 10%
- 20%. Penyerapan minyak ini berfungsi untuk mengempukkan bahan dan
untuk membasahi bahan pangan yang digoreng sehingga menambah rasa
lezat dan gurih. Timbulnya warna pada permukaan bahan disebabkan oleh
reaksi browning atau reaksi maillard. Tingkat intensitas warna ini
tergantung dari lama dan suhu penggorengan dan juga komposisi kimia
pada permukaan luar bahan pangan sedangkan jenis minyak yang
digunakan berpengaruh sangat kecil. Pemanasan minyak selama proses
penggorengan dapat menghasilkan persenyawaan yang dapat menguap.
Komposisi persenyawaan yang dapat menguap terdiri dari alkohol, ester,
lakton, aldehida keton dan senyawa aromatik. Jumlah persenyawaan yang
dominan jumlahnya yakni aldehid termasuk di-enal yang mempengaruhi
bau khas hasil gorengan. Selain itu, sebagian besar minyak tumbuhan
memiliki kandungan pigmen karatenoid sehingga menghasilkan warna
yang menarik (kuning keemasan) (Ketaren, 1986).
C. Kemunduran Mutu Abon Ikan
16
1. Perubahan Sifat Produk Selama Penyimpanan
Semua bahan pangan bersifat mudah rusak, artinya setelah
penyimpanan tertentu terjadi kemunduran mutu sampai batas tertentu yang
disebut rusak atau tidak layak menurut Tranggono (1993), biasanya bahan
pangan dikonsumsi dipertimbangkan dari keadaan kadar air bahan pangan,
bahan pangan kering kenaikan kadar air menyebabkan bahan pangan tersebut
tidak disukai (meskipun masih dapat dimakan). Oksidasi kandungan bahan
pangan yang dapat menimbulkan rasa tengik dan perubahan warna. Kehilangan
kandungan spesifik dan jumlah mikroorganisme.
Menurut Hari Purnomo (1985), faktor-faktor yang menyebabkan
kerusakan bahan pangan dapat dibagi menjadi dua golongan, yaitu secara
alamiah sudah ada dalam produk dan tidak dapat dicegah hanya dengan
pengemasan saja serta tergantung dari lingkungan sekitar dan mungkin dapat
dikendalikan hampir semuanya oleh pengemasan. Golongan pertama termasuk
perubahan fisik karena suhu, seperti pelunakan coklat atau perubahan emulsi,
perubahan biokimia atau kimia karena interaksi antara berbagai komponen
dalam produk seperti pencoklatan daging. Golongan kedua merupakan faktor-
faktor yang membawa kearah pembusukan bahan pangan, yaitu kerusakan
secara mekanis, perubahan kadar air dalam bahan pangan, penyerapan dan
interaksi dengan oksigen dan hilang atau berkurangnya rasa.
2. Sifat Kritis Produk Abon Ikan
Produk higroskopis adalah produk yang cenderung mudah menyerap
lembab dari udara di sekelilingnya karena kadar airnya rendah. Oksidasi
17
kandungan bahan pangan yang dapat menimbulkan rasa tengik dan perubahan
warna. Ketengikan (rancidity) diartikan merupakan kerusakan atau perubahan
bau dan flavour dalam lemak atau bahan pangan berlemak. Proses kerusakan
lemak berlangsung sejak pengolahan sampai siap dikonsumsi. Terjadinya
peristiwa ketengikan tidak hanya terbatas pada bahan pangan berkadar lemak
tinggi, tetapi juga dapat terjadi pada bahan pangan berkadar lemak rendah
(Ketaren, 1986).
Menurut Ketaren (1986) kemungkinan kerusakan-kerusakan atau
ketengikan dalam lemak, dapat disebabkan oleh 4 (empat) faktor, yaitu
absorbsi bau oleh lemak, aksi oleh enzim dalam jaringan bahan mengandung
lemak, aksi mikrobia dan oksidasi oleh oksigen udara atau kombinasi dari dua
atau lebih dari penyebab kerusakan tersebut di atas.
Oksidasi menurut Winarno (2008) merupakan reaksi berantai
pembentukan radikal yang melepaskan hidrogen. Reaksi tersebut
menyebabkan kerusakan lemak yang akan menimbukan bau dan rasa tengik
yang disebut proses ketengikan. Hal ini disebabkan oleh autooksidasi radikal
asam lemak tidak jenuh. Autooksidasi dimulai dengan pembentukan radikal-
radikal bebas yang disebabkan oleh faktor-faktor yang dapat mempercepat
reaksi. Molekul-molekul lemak yang mengandung radikal asam lemak tidak
jenuh mengalami oksidasi dan menjadi tengik. Bau tengik tidak sedap tersebut
disebabkan oleh pembentukan senyawa-senyawa hasil pemecahan
hidroperoksida.
18
Ketengikan menurut Ketaren (2008) terjadi karena proses oksidasi oleh
oksigen di udara terhadap asam lemak tidak jenuh dalam lemak. Proses
oksidasi dapat terjadi pada suhu kamar dan selama proses pengolahan
menggunakan suhu tinggi. Hasil oksidasi lemak dalam bahan pangan tidak
hanya mengakibatkan rasa dan bau tidak enak tetapi juga dapat menurunkan
nilai gizi karena kerusakan vitamin dan asam lemak esensial dalam lemak.
Mekanisme oksidasi lipida tidak jenuh diawali dengan tahap inisiasi,
yaitu terbentuknya radikal bebas (R*) apabila lipida kontak dengan panas,
cahaya, ion metal dan oksigen. Reaksi ini terjadi pada kelompok metilen yang
berdekatan dengan ikatan rangkap –C=C–. Tahap inisiasi terjadi karena
bantuan sumber energi eksternal seperti panas, cahaya atau energi tinggi dari
radiasi. Tahap selanjutnya adalah tahap propagasi. Autooksidasi diawali
dengan bertemunya radikal lipida (R*) dan oksigen membentuk radikal
peroksida (ROO*). Radikal peroksida yang terbentuk akan mengekstrak ion
hidrogen dari lipida lain (R1H) membentuk hidroperoksida (ROOH) dan
molekul radikal lipida baru (R1*). Selanjutnya reaksi autooksidasi ini akan
berulang sehingga merupakan reaksi berantai. Tahap terakhir oksidasi lipida
adalah tahap terminasi. Hidroperoksida yang sangat tidak stabil terpecah
menjadi senyawa organik berantai pendek seperti aldehida, keton, alkohol dan
asam lemak bebas (Trilaksani, 2003).
Oksidasi lemak menurut Choe dan Min (2006) dipengaruhi oleh
beberapa faktor diantaranya komposisi asam lemak dalam minyak, proses
mengolah minyak, energi panas atau cahaya, konsentrasi dan tipe oksigen,
19
asam lemak bebas, mono dan diasilgliserol, transisi logam, peroksida, senyawa
katalis oksidasi (prooksidan), pigmen, dan antioksidan. Tingkat oksidasi lemak
dapat ditentukan dengan melihat nilai bilangan peroksida dan thiobarbituric
acid (TBA) atau dapat menggunakan alat gas kromatografi untuk melihat
perubahan komposisi asam lemak.Oksidasi lemak akan terjadi pada produk
pangan dan mengalami peningkatan pada produk pangan yang kering. Reaksi
ini juga diikuti dengan reaksi pencoklatan, penurunan kualitas protein dan
memutihkan karotenoid. Oksidasi lemak akan maksimum pada Aw yang
rendah dan suhu yang tinggi. Produk karbonil dari oksidasi lemak akan
bereaksi dengan empat asam amino esensial (sistin, metionin, triptofan, lisin)
yang menyebabkan kualitas protein menurun (Flick dkk., 1992). Kerusakan
oksidasi terjadi pada asam lemak tidak jenuh, tetapi bila minyak dipanaskan
suhu 100oC atau lebih, asam lemak jenuh pun dapat teroksidasi. Oksidasi pada
penggorengan suhu 200oC menimbulkan kerusakan lebih mudah pada minyak
dengan derajat ketidakjenuhan tinggi, sedangkan hidrolisis mudah terjadi pada
minyak dengan asam lemak jenuh rantai panjang (Sartika, 2009).
D. Kinetika Kemunduran Mutu
1. Persamaan Umum Kinetika Penyimpanan
Semua bahan makanan bersifat dapat rusak yang berarti bahwa setelah lama
penyimpanan tertentu dimungkinkan untuk membedakan antara bahan makanan
segar dengan bahan makanan yang sudah disimpan. Perubahan-perubahan tersebut
diartikan sebagai kemunduran mutu sampai batas yang disebut rusak dan tidak
20
layak makan. Jangka waktu antara bahan makanan segar menjadi rusak sehingga
tidak layak makan dikenal sebagai umur simpan (Buckle dkk., 1987).
Menurut Buckle dkk. (1987), faktor-fakor penyebab kemunduran mutu
bahan makanan diantaranya adalah perubahan cuaca, kerusakan mekanis,
perubahan kadar air, pengaruh O₂, hilang atau tercemarnya aroma dan aktivitas
mikrobia. Kecepatan reaksi ditunjukkan dengan konstanta kecepatan reaksi (k) dan
reaksi dapat berlangsung pada orde nol, satu dan dua. Untuk bahan pangan biologis
umumnya reaksi berlangsung pada orde nol dan satu.
E. Umur Simpan Abon Ikan
Umur simpan adalah selang waktu antara saat produksi hingga saat
konsumsi dimana produk berada dalam kondisi yang memuaskan pada sifat-sifat
penampakan, rasa, aroma, tekstur, dan nilai gizi. National Food Processor
Association mendefinisikan umur simpan adalah suatu produk dikatakan berada
pada kisaran umur simpannya bila kualitas produk secara umum dapat diterima
untuk tujuan seperti yang diinginkan oleh konsumen dan selama bahan pengemas
masih memiliki integritas serta memproteksi isi kemasan (Arpah dan Syarief,
2000).
Penentuan umur simpan hendaknya dapat memberikan informasi tentang
umur simpan pada kondisi ideal, umur simpan pada kondisi tidak ideal, dan umur
simpan pada kondisi distribusi dan penyimpanan normal dan penggunaan oleh
konsumen. Suhu normal untuk penyimpanan yaitu suhu yang tidak menyebabkan
kerusakan atau penurunan mutu produk. Suhu ekstrim atau tidak normal akan
mempercepat terjadinya penurunan mutu produk dan sering diidentifikasi sebagai
21
suhu pengujian umur simpan produk. Pengendalian suhu, kelembapan, dan
penanganan fisik yang tidak baik dapat dikategorikan sebagai kondisi distribusi
pangan yang tidak normal. Kondisi distribusi dan suhu akan menentukan umur
simpan produk pangan. Tabel 3 menunjukkan penentuan suhu untuk pengujian
umur simpan produk.
Tabel 3. Penentuan suhu pengujian umur simpan produk
Jenis produk Suhu pengujian (C) Suhu kontrol (C)
Makanan dalam kaleng
Pangan kering
Pangan dingin
Pangan beku
25, 30, 35, 40
25, 30, 35, 40, 45
5, 10, 15, 20
-5, -10, -15
4
-18
0
<-40
Sumber : Labuza dan Schmidl (1985).
Menurut penelitian yang dilakukan Tjipto Leksono dan Syahrul (2001)
penilaian organoleptik yang dilakukan terhadap abon ikan yang disimpan pada suhu
kamar dengan menggunakan kemasan yang berbeda meliputi penilaian terhadap
rupa, rasa dan bau yang dilakukan oleh 25 panelis agak terlatih. Panelis
memberikan nilai organoleptik yang semakin rendah dengan semakin lamanya
waktu penyimpanan untuk semua perlakuan. Namun demikian, hingga hari ke 40,
nilai organoleptik abon ikan masih menunjukkan mutu abon ikan yang masih dapat
diterima konsumen.
Penurunan nilai organoleptik selama penyimpanan disebabkan karena
terjadinya perubahan-perubahan kimia dan mikrobiologi pada produk abon ikan
tersebut. Penentuan umur simpan didasarkan pada faktor-faktor mempengaruhi
22
umur simpan produk pangan. Faktor- faktor tersebut misalnya adalah keadaan
alamiah (sifat makanan), mekanisme berlangsunganya perubahan (misalnya
kepekaan terhadap air dan oksigen ), serta kemungkinan terjadinya perubahan kimia
(internal dan eksternal). Faktor lain adalah ukuran kemasan (volume), kondisi
atmosfer (terutama suhu dan kelembaban), serta daya tahan kemasan selama transit
dan sebelum digunakan terhadap keluar masuknya air, gas, dan bau.
Faktor-faktor yang mempengaruhi umur simpan bahan pangan yang
dikemas adalah keadaan alamiah atau sifat makanan dan mekanisme
berlangsungnya perubahan, misalnya kepekaan terhadap air dan oksigen dan
kemungkinan terjadinya perubahan kimia internal dan fisik, ukuran kemasan dalam
hubungannya dengan volume, kondisi atmosfer, terutama suhu dan kelembaban
dimana kemasan dapat bertahan selama transit dan sebelum digunakan, serta
kemasan keseluruhan terhadap keluar masuknya air, gas, dan bau termasuk
perekatan, penutupan, dan bagian-bagian yang terlipat (Labuza, 1982).
Hasil atau akibat dari berbagai reaksi kimiawi yang terjadi dalam bahan
pangan bersifat kumulatif dan tidak dapat balik selama penyimpanan, sehingga
pada saat tertentu hasil reaksi tersebut mengakibatkan mutu pangan tidak dapat
diterima lagi. Jangka waktu akumulasi hasil reaksi yang mengakibatkan mutu
pangan tidak dapat diterima lagi disebut waktu kadaluwarsa. Bahan pangan disebut
rusak apabila bahan pangan tersebut telah kadaluarsa, yaitu telah melampaui masa
simpan optimumnya (Syarief dan Halid, 1993).
Umur simpan produk terkemas adalah mutu kemasan dan atau produk yang
ada didalamnya masih bertahan dalam kemasan baik sehingga aman dan masih
23
layak dikonsumsi. Waktu kapan mutu produk menjadi tidak aman dan atau tidak
layak dimakan disebut batas kadaluarsa (expination rate) (Suyitno, 1997).
Faktor-faktor yang perlu diperhatikan dalam pengemasan bahan pangan
antara lain sifat bahan pangan, kondisi lingkungan, dan jenis bahan pengemas yang
digunakan. Hubungan jenis bahan pengemas dengan daya awet bahan pangan yang
dikemas ditentukan berdasarkan permeabilitasnya. Permeabilitas merupakan
transfer molekul air atau gas melalui kemasan baik dari produk ke lingkungan
ataupun sebaliknya. Permeabilitas uap air kemasan merupakan kecepatan atau laju
transmisi uap air melalui suatu unit luasan bahan dengan ketebalan tertentu akibat
adanya perbedaan tekanan uap air antara produk dengan lingkungan pada suhu dan
kelembaban tertentu. Semakin luas permukaan kemasan yang digunakan maka uap
air yang masuk ke lingkungan akan semakin tinggi dan akan tersebar lebih meluas
di dalam kemasan, sehingga kadar air kritis produk pun akan segera tercapai dan
umur simpan produk tidak lama (Robertson, 1993).
Polipropilene berasal dari monomer propilene yang diperoleh dari
pemurnian minyak bumi. Polipropilene merupakan jenis bahan baku plastik yang
ringan, densitas 0,90 – 0,92, memiliki kekerasan dan kerapuhan yang paling tinggi
dan bersifat kurang stabil terhadap panas dikarenakan adanya hidrogen tersier.
Penggunaan bahan pengisi dan penguat memungkinkan polipropilene memiliki
mutu kimia yang baik sebagai bahan polimer dan tahan terhadap pemecahan karena
tekanan (stress-cracking) walaupun pada temperatur tinggi. Plastik polipropilene
merupakan jenis plastik yang baik sebagai barrier terhadap uap air pada produk
karena memiliki permeabilitas uap air yang rendah (Manley, 2000).
24
Sifat-sifat kemasan polipropilene (PP) menurut Buckle et al., (2007) yaitu
mengkilap dan tidak mudah sobek, plastik polipropilene lebih kaku daripada
poliethilene, memiliki daya tembus atau permeabilitas uap air yang rendah,
memiliki ketahanan yang baik terhadap lemak dan tahan terhadap suhu tinggi.
Menurut Syarief dan Halid. (1993), faktor-faktor yang mempengaruhi
kerusakan bahan pangan sehubungan dengan kemasan yang digunakan dapat dibagi
menjadi dua golongan utama yaitu kerusakan yang sangat ditentukan oleh sifat
alamiah dari produk sehingga tidak dapat dicegah dengan pengemasan saja
(perubahan-perubahan fisik, biokimia dan kimia serta mikrobiologi) dan kerusakan
yang tergantung pada lingkungan dan hampir seluruhnya dapat dikontrol dengan
kemasan yang digunakan (kerusakan mekanis, perubahan kadar air bahan pangan,
absorpsi dan interaksi dengan oksigen, kehilangan dan penambahan cita rasa yang
tidak diinginkan).
F. Hipotesa
Lama penyimpanan abon ikan lele diduga berpengaruh terhadap aroma,
TBA, kadar air dan tingkat kesukaan abon ikan lele.
25