II. Rencana Aksi Nasional Pemberantasan Korupsi 2004-2009

29
R ENCANA A KSI N ASIONAL P EMBERANTASAN K ORUPSI 2004 - 2009 I. P ENDAHULUAN Korupsi di Indonesia sudah menjadi fenomena yang sangat mencemaskan, karena telah semakin meluas dan merambah pada lembaga Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif. Kondisi tersebut telah menjadi salah satu faktor penghambat utama pelaksanaan pembangunan di Indonesia. Ketidakberhasilan Pemerintah memberantas korupsi juga semakin melemahkan citra Pemerintah dimata masyarakat dalam pelaksanaan pemerintahan yang tercermin dalam bentuk ketidakpercayaan masyarakat, ketidakpatuhan masyarakat terhadap hukum, dan bertambahnya jumlah angka kemiskinan absolut. Apabila tidak ada perbaikan yang berarti, maka kondisi tersebut akan sangat membahayakan kesatuan dan persatuan bangsa. Di mata internasional, tidak dapat dipungkiri bahwa Indonesia dipandang sebagai salah satu negara terkorup di dunia. Pandangan ini diperkuat dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh berbagai entitas asing seperti, antara lain, Political and Economic Risk Consultancy (PERC) yang diumumkan pada Bulan Maret Tahun 2002. Penelitian tersebut menempatkan Indonesia dengan tingkat skor 9.92 berdasarkan skala tertinggi 10. Sedangkan dari sumber Transparency International (TI) Indonesia, Indeks Persepsi Korupsi (IPK) untuk Indonesia pada tahun 2003 menempati posisi yang cukup memperihatinkan, yaitu 1.9 dan peringkat 122 dari 133 negara yang disurvai. Pada tahun 2004, IPK Indonesia menjadi 2.0 dan menduduki urutan 137 dari 146 negara yang disurvai. Semakin rendah IPK, semakin parah tingkat 16

Transcript of II. Rencana Aksi Nasional Pemberantasan Korupsi 2004-2009

Page 1: II. Rencana Aksi Nasional Pemberantasan Korupsi 2004-2009

R E N C A N A A K S I N A S I O N A LP E M B E R A N T A S A N K O R U P S I 2 0 0 4 - 2 0 0 9

I . P E N D A H U L U A N

Korupsi di Indonesia sudah menjadi fenomena yang sangat mencemaskan, karena telah semakin meluas dan merambah pada lembaga Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif. Kondisi tersebut telah menjadi salah satu faktor penghambat utama pelaksanaan pembangunan di Indonesia. Ketidakberhasilan Pemerintah memberantas korupsi juga semakin melemahkan citra Pemerintah dimata masyarakat dalam pelaksanaan pemerintahan yang tercermin dalam bentuk ketidakpercayaan masyarakat, ketidakpatuhan masyarakat terhadap hukum, dan bertambahnya jumlah angka kemiskinan absolut. Apabila tidak ada perbaikan yang berarti, maka kondisi tersebut akan sangat membahayakan kesatuan dan persatuan bangsa.

Di mata internasional, tidak dapat dipungkiri bahwa Indonesia dipandang sebagai salah satu negara terkorup di dunia. Pandangan ini diperkuat dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh berbagai entitas asing seperti, antara lain, Political and Economic Risk Consultancy (PERC) yang diumumkan pada Bulan Maret Tahun 2002. Penelitian tersebut menempatkan Indonesia dengan tingkat skor 9.92 berdasarkan skala tertinggi 10. Sedangkan dari sumber Transparency International (TI) Indonesia, Indeks Persepsi Korupsi (IPK) untuk Indonesia pada tahun 2003 menempati posisi yang cukup memperihatinkan, yaitu 1.9 dan peringkat 122 dari 133 negara yang disurvai. Pada tahun 2004, IPK Indonesia menjadi 2.0 dan menduduki urutan 137 dari 146 negara yang disurvai. Semakin rendah IPK, semakin parah tingkat korupsinya. Keadaan ini mempersulit kinerja politik luar negeri Indonesia dalam melindungi dan memajukan kepentingan nasional.

Cukup banyaknya peraturan perundang-undangan mengenai korupsi yang dibuat sejak tahun 1957 sebenarnya memperlihatkan besarnya niat bangsa Indonesia untuk memberantas korupsi hingga saat ini, baik dari sisi hukum pidana material maupun hukum pidana formal (hukum acara pidana). Walaupun demikian, masih didapati kelemahan yang dapat disalahgunakan oleh tersangka untuk melepaskan diri dari jeratan hukum.

16

Page 2: II. Rencana Aksi Nasional Pemberantasan Korupsi 2004-2009

Terlepas dari kuantitas peraturan perundang-undangan yang dihasilkan, dalam pelaksanaannya, instrumen normatif ternyata belum cukup untuk memberantas korupsi. Permasalahan utama pemberantasan korupsi juga berhubungan erat dengan sikap dan perilaku. Struktur dan sistem politik yang korup telah melahirkan apatisme dan sikap yang cenderung toleran terhadap perilaku korupsi. Akibatnya sistem sosial yang terbentuk dalam masyarakat telah melahirkan sikap dan perilaku yang permisif dan menganggap korupsi sebagai suatu hal yang wajar dan normal.

Sebagai contoh di bidang pelayanan publik, biaya ekstra atau pungutan liar merupakan gambaran sehari-hari yang umum terlihat pada kantor-kantor pelayanan masyarakat. Masyarakat dapat melihat dengan kasat mata dan merasakan praktik korupsi yang semakin marak dan meluas. Laporan dan pengaduan pun banyak mengalir dari masyarakat. Melalui survei yang dilakukan oleh Lembaga Studi Pembangunan Kebijakan dan Masyarakat pada tahun 1999/2000, ditemukan bahwa terdapat 4 (empat) sektor pelayanan publik yang memungut biaya tidak resmi yaitu sektor perumahan, industri dan perdagangan, kependudukan dan pertanahan. Dalam sektor-sektor tersebut, antara 56–70 persen pegawainya dituding menerima suap oleh para responden yang merupakan rekan kerjanya sendiri. Namun sayangnya berbagai praktik korupsi yang dilakukan oleh aparat pelayanan publik seringkali tidak ditindaklanjuti dengan pemberian sanksi bagi oknum pelakunya.

Selain itu, korupsi juga banyak terjadi pada kegiatan-kegiatan pemerintah yang berhubungan dengan penerimaan dan pembelanjaan uang negara. Diperkirakan terjadi kebocoran sebesar 30% dari Belanja Negara tahun 2003 yang berjumlah Rp. 118 trilyun. Hal ini terutama disebabkan oleh sistem penerimaan dan pengelolaan keuangan negara yang kurang transparan dan akuntabel, terutama pada sektor-sektor yang rawan korupsi seperti perpajakan dan bea-cukai, serta sektor-sektor dengan anggaran pengeluaran negara terbesar seperti sektor pendidikan, kesehatan, hankam, pekerjaan umum dan perhubungan. Survei yang dilakukan oleh Partnership for Governance Reform pada tahun 2001 mengungkapkan bahwa lembaga pemerintah harus mengeluarkan biaya untuk mendapatkan alokasi anggaran. Hal tersebut merupakan kerugian bagi masayarakat, karena baik secara langsung maupun tidak langsung akan mengurangi kinerja pelayanan publik dari lembaga-lembaga pelayanan publik. Disamping itu masalah pengadaan barang dan jasa pemerintah yang tidak transparan, terbuka dan akuntabel juga memberikan peluang terjadinya tindak pidana korupsi.

Namun penanganan dan pemberantasan tindak pidana korupsi yang dilakukan selama ini tidak didukung oleh :

1. Adanya kehendak Pemerintah yang sungguh-sungguh dalam memberantas korupsi. Inpres No. 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi merupakan perwujudan kehendak Pemerintah yang sungguh-sungguh dalam memberantas korupsi.

17

Page 3: II. Rencana Aksi Nasional Pemberantasan Korupsi 2004-2009

2. Adanya kesamaan persepsi, kesamaan tujuan, dan kesamaan rencana tindak (action plan) dalam memberantas korupsi. Rencana Aksi Nasional – Pemberantasan Korupsi (RAN – PK) Tahun 2004 – 2009 merupakan perwujudan adanya kesamaan persepsi, kesamaan tujuan, dan kesamaan rencana tindak dalam memberantas korupsi.

3. Pemanfaatan Teknologi Informasi (TI) untuk menanggulangi korupsi. Karena itu, perlu menyiapkan penerapan TI dalam pencegahan dan penindakan tindak pidana korupsi.

4. Pemanfaatan “single identification number” untuk setiap urusan masyarakat. Karena itu, perlu menyiapkan penerapan “single identification number” atau suatu identifikasi yang berlaku untuk semua keperluan masyarakat (SIM, pajak, bank, dll.) yang diharapkan mampu mengurangi peluang penyalahgunaan oleh setiap anggota masyarakat.

5. Peraturan perundang-undangan yang saling menunjang dan memperkuat. Masih banyak peraturan perundang-undangan yang tumpang tindih, duplikasi, dan bertentangan, sementara beberapa hal yang penting yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi alpa untuk diatur. Karena itu, perlu untuk berupaya menyempurnakan peraturan perundang-undangan dalam rangka peningkatan pengawasan atas pelayanan publik serta melakukan harmonisasi dan revisi peraturan perundang-undangan dan peraturan pelaksanaan yang berhubungan dengan pengawasan dan pemeriksaan internal instansi pemerintah.

Korupsi selain terkait dengan aturan normatif yang lemah, sikap dan perilaku juga disebabkan karena lemahnya sistem manajemen sumber daya manusia dari penyelengara pemerintahan, mulai dari sistem sistem rekrutmen, karir dan promosi dan penilaian kinerja sampai kepada remunerasinya. Cukup banyak contoh birokrasi nepotisme dalam sistem rekrutmen, karir dan promosi pegawai negeri sipil yang merupakan bibit-bibit korupsi yang berkembang dalam setiap lini pemerintahan sampai dengan saat ini.

Ketidakpercayaan masyarakat terhadap legitimasi Pemerintah juga disebabkan karena sistem pendidikan yang kurang menggugah kesadaran dan tanggung untuk tidak berbuat atau melawan korupsi, serta kurang menanamkan kepada anak didik tentang hak dan kewajiban warga negara atas negaranya. Praktik korupsi yang diperoleh oleh anak didik terlihat dengan membayar sejumlah uang kepada guru untuk memperoleh nilai yang baik, dan perbuatan tersebut akan diulangi kembali apabila berada dalam posisi yang sulit untuk mendapatkan apa yang diinginkan. Rendahnya pendidikan masyarakat juga dapat menjadi faktor yang mengkondisikan praktik korupsi di dalam masyarakat. Rendahnya pendidikan masyarakat tersebut menyebabkan masyarakat seringkali menjadi sasaran empuk birokrasi negara dalam memanipulasi sejumlah fasilitas dan pelayanan publik.

Langkah-langkah untuk menemukenali hambatan dalam pemberantasan korupsi telah dilakukan dalam Rapat Koordinasi Pengawasan Tingkat Nasional di Bali pada bulan Desember 2002 yang menyepakati bahwa penanganan korupsi selama ini menghadapi berbagai hambatan serius yang dikelompokkan menjadi:

18

Page 4: II. Rencana Aksi Nasional Pemberantasan Korupsi 2004-2009

a. Hambatan Struktural, yaitu hambatan yang bersumber dari praktik-praktik penyelenggaraan negara dan pemerintahan yang membuat penanganan tindak pidana korupsi tidak berjalan sebagaimana mestinya. Yang termasuk dalam kelompok ini diantaranya meliputi : egoisme sektoral dan institusional yang menjurus pada pengajuan dana sebanyak-banyaknya untuk sektor dan instansinya tanpa memperhatikan kebutuhan nasional secara keseluruhan serta berupaya menutup-tutupi penyimpangan-penyimpangan yang terdapat di sektor dan instansi yang bersangkutan; belum berfungsinya fungsi pengawasan secara efektif; lemahnya koordinasi antara aparat pengawasan dan aparat penegak hukum; serta lemahnya sistem pengendalian intern yang memiliki korelasi positip dengan berbagai penyimpangan dan inefesiensi dalam pengelolaan kekayaan negara dan rendahnya kualitas pelayanan publik.

b. Hambatan Kultural, yaitu hambatan yang bersumber dari kebiasaan negatif yang berkembang di masyarakat.. Yang termasuk dalam kelompok ini diantaranya meliputi : masih adanya ”sikap sungkan” dan toleran diantara aparatur pemerintah yang dapat menghambat penanganan tindak pidana korupsi; kurang terbukanya pimpinan instansi sehingga sering terkesan toleran dan melindungi pelaku korupsi, campur tangan eksekutif, legislatif dan yudikatif dalam penanganan tindak pidana korupsi, rendahnya komitmen untuk menangani korupsi secara tegas dan tuntas, serta sikap permisif (masa bodoh) sebagian besar masyarakat terhadap upaya pemberantasan korupsi.

c. Hambatan Instrumental, yaitu hambatan yang bersumber dari kurangnya instrumen pendukung dalam bentuk peraturan perundang-undangan yang membuat penanganan tindak pidana korupsi tidak berjalan sebagaimana mestinya. Yang termasuk dalam kelompok ini diantaranya meliputi: masih banyaknya peraturan perundang-undangan yang tumpang tindih sehingga menimbulkan tindakan koruptif berupa penggelembungan dana di lingkungan instansi pemerintah; belum adanya “single identification number” atau suatu identifikasi yang berlaku untuk semua keperluan masyarakat (SIM, pajak, bank, dll.) yang mampu mengurangi peluang penyalahgunaan oleh setiap anggota masyarakat; lemahnya penegakan hukum penanganan korupsi; belum adanya sanksi yang tegas bagi aparat pengawasan dan aparat penekan hukum; sulitnya pembuktian terhadap tindak pidana korupsi, serta lambatnya proses penanganan korupsi sampai dengan penjatuhan hukuman.

Berdasarkan Kajian dan Inventarisasi Peraturan Perundang-undangan yang Berpeluang KKN periode 1999 sampai dengan 2003 oleh Kementerian PAN disimpulkan bahwa peraturan perundang-undangan yang mengandung celah KKN adalah yang rumusan pasal-pasalnya ambivalen dan multi-interpretasi serta tidak adanya sanksi yang tegas (multi-interpretasi) terhadap pelanggar peraturan perundang-undangan.

d. Hambatan Manajemen, yaitu hambatan yang bersumber dari diabaikannya atau tidak diterapkannya prinsip-prinsip manajemen yang baik ( komitmen yang tinggi dilaksanakan secara adil, transparant dan akuntabel ) yang membuat penanganan tindak pidana

19

Page 5: II. Rencana Aksi Nasional Pemberantasan Korupsi 2004-2009

korupsi tidak berjalan sebagaimana mestinya. Yang termasuk dalam kelompok ini diantaranya meliputi : kurang komitmennya manajemen (Pemerintah) dalam menindaklanjuti hasil pengawasan; lemahnya koordinasi baik diantara aparat pengawasan maupun antara aparat pengawasan dan aparat penegak hukum; kurangnya dukungan teknologi informasi dalam penyelenggaraan pemerintahan; tidak independennya organisasi pengawasan; kurang profesionalnya sebagian besar aparat pengawasan; kurang adanya dukungan sistem dan prosedur pengawasan dalam penanganan korupsi, serta tidak memadainya sistim kepegawaian diantaranya sistim rekrutmen, rendahnya ”gaji formal” PNS, penilaian kinerja dan reward and punishment.

Dengan dibentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berdasarkan UU Nomor 30 Tahun 2002 dan perangkat pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), masyarakat sangat menaruh harapan pada dua lembaga tersebut untuk mempercepat penanganan dan eksekusi kasus-kasus tindak pidana korupsi yang melibatkan tersangka tindak pidana korupsi yang berskala besar dan menjadi perhatian masyarakat. Namun tuntutan untuk mempercepat penanganan kasus korupsi tersebut masih belum optimal., cukup banyak permasalahan kapasitas kelembagaan baik pada lembaga Kepolisian, Lembaga Kejaksaan, Lembaga Peradilan, mulai dari struktur organisasi, mekanisme kerja dan koordinasi antara lembaga penegak hukum satu dengan lainnya serta dukungan sarana prasarana untuk mendukung percepatan pemberantasan korupsi. Aparat penegak hukum yang melakukan penyelidikan dan penyidikan kasus tindak pidana korupsi, kemampuan, profesionalisme dan kualitasnya yang masih jauh dari yang diharapkan. Hal demikian mengakibatkan seringnya kasus korupsi dihentikan proses penyidikannya dengan SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyidikan) berhubung belum cukupnya alat bukti yang diajukan.

Demikian pula dengan kasus tindak pidana korupsi yang sudah dilimpahkan ke Pengadilan. Seringkali putusan hakim tidak memenuhi rasa keadilan masyarakat, secara sosiologis tidak bisa diterima. Hal tersebut tidak lain adalah sebagai akibat dari kurangnya kemampuan dalam pembuktian dan penghayatan terhadap rasa` keadilan yang hidup dalam masyarakat. Kekurangan kemampuan tersebut mempunyai akibat yang tidak baik terhadap citra lembaga penegak hukum maupun lembaga peradilan dengan tuduhan telah terjadi kolusi dan korupsi. Aparat penegak hukum melakukan penyimpangan, merupakan akar dari ketidak percayaan masyarakat terhadap sistem peradilan. Survei yang dilakukan oleh Asia Fondation dan AC Nielsen pada tahun 2001 menunjukkan 57 persen dari orang yang mengalami masalah hukum cenderung memilih penyelesaian diluar peradilan, 20 persen memilih proses peradilan dan sisanya memilih untuk tidak berbuat apa-apa.

Permasalahan yang juga mengemuka dari permasalahan korupsi adalah masih lemahnya sistem pengawasan terhadap lembaga penegak hukum. Masyarakat telah semakin skeptis dan curiga dengan pengawasan internal yang dilakukan oleh masing-masing lembaga penegak hukum, bahkan seringkali dituduh sebagai tempat melindungi aparat yang bersalah. Walaupun pengawasan eksternal saat ini telah semakin intensif dilakukan oleh masyarakat, namun masih menjadi kendala berupa keterbatasan masyarakat untuk

20

Page 6: II. Rencana Aksi Nasional Pemberantasan Korupsi 2004-2009

memperoleh akses informasi terhadap proses penanganan perkara korupsi maupun putusan terhadap perkara korupsi. Hal ini telah menjadi tuntutan utama, khususnya dari kelompok masyarakat yang menaruh perhatian pada masalah korupsi.

Berdasarkan kondisi-kondisi tersebut di atas, Pemerintah Indonesia melalui Kabinet Indonesia Bersatu telah menempatkan pemberantasan korupsi sebagai salah satu prioritas dalam kebijakan nasional dan berkomitmen untuk secara berkesinambungan mewujudkan tata pemerintahan yang baik dan bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme. Komitmen tersebut merupakan cerminan seutuhnya dari kehendak masyarakat luas agar Pemerintah Indonesia melakukan tindakan-tindakan konkrit terhadap perilaku dan tindak koruptif di segala tingkatan kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Komitmen tersebut ditujukan untuk menjamin kepastian hukum, mewujudkan negara Indonesia yang kuat dan kokoh, dan mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur. Komitmen bangsa dan negara Indonesia dalam memberantas korupsi memerlukan kerjasama yang erat dan berkesinambungan antara lembaga Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif, dan semua elemen masyarakat.

Di samping itu, Pemerintah Indonesia menyambut baik kerjasama internasional dalam upaya pemberantasan korupsi. Kerjasama internasional yang telah dan akan dilakukan antara lain berupa pertukaran informasi, ekstradisi, bantuan hukum timbal balik, dan pengembalian aset negara hasil tindak pidana korupsi yang berada di luar negeri. Masyarakat internasional termasuk Indonesia bersama-sama berkomitmen untuk tidak memberikan perlindungan (deny safe havens) bagi para koruptor dan aset mereka yang berasal dari tindak pidana korupsi. Pemerintah Indonesia telah berketetapan untuk memajukan kerjasama internasional dalam kerangka Konvensi PBB Menentang Korupsi Tahun 2003 (UN Convention Against Corruption) dan Konvensi PBB Tentang Kejahatan Lintas Batas Negara yang Terorganisir (UN Convention on Transnational Organised Crime), inisiatif dalam lingkup ASEAN Security Community, dan inisiatif-inisiatif lainnya yang dapat memajukan kepentingan Indonesia secara berkesinambungan.

Dalam melaksanakan kerjasama internasional di bidang pemberantasan korupsi disadari bahwa kerjasama tersebut hendaknya didasarkan pada prinsip-prinsip saling menghormati, persamaan derajat, dan hubungan baik antar bangsa serta hukum internasional yang berlaku, dengan memperhatikan kebutuhan nasional dan menghormati ketentuan-ketentuan nasional yang berlaku. Kerjasama internasional tersebut harus mengacu pada prinsip-prinsip dan tujuan-tujuan Piagam PBB khususnya dalam Pasal 1 ayat (3), Pasal 55 dan Pasal 56 Piagam PBB.

Konvensi PBB Menentang Korupsi yang dirundingkan selama kurun waktu 2002-2003 telah diterima oleh Majelis Umum PBB pada tanggal 31 Oktober 2003 dan Indonesia sebagai salah satu anggota masyarakat internasional telah menandatangani konvensi ini pada tanggal 18 Desember 2003. Sebagai kelanjutan konvensi ini, PBB telah menetapkan tanggal 9 Desember 2004 sebagai hari internasional pertama anti korupsi. Sebagai konsekuensi bagi negara yang ikut menandatangani konvensi tersebut, Indonesia akan ikut mendukung sesuai dengan wilayah kedaulatan yang dimiliki melakukan langkah-langkah konkrit pemberantasaan korupsi.

21

Page 7: II. Rencana Aksi Nasional Pemberantasan Korupsi 2004-2009

Sebagai perwujudan komitmen tersebut Pemerintah Indonesia memutuskan untuk merancang, mengembangkan, dan melaksanakan sebuah Rencana Aksi Nasional Pemberantasan Korupsi sesuai Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2004. Rencana Aksi Nasional ini dimaksudkan sebagai acuan dalam menyusun program pemberantasan korupsi dan mensinergikan berbagai upaya nasional dalam pemberantasan korupsi di Indonesia.

I I . R E N C A N A A K S I N A S I O N A L P E M B E R A N T A S A N K O R U P S I 2 0 0 4 - 2 0 0 9

Penanganan Korupsi sebagai suatu permasalahan sistemik, memerlukan pendekatan penaganan secara sistematis, yaitu melalui langkah-langkah pencegahan dan penindakan.. Untuk memastikan dilaksanakannya langkah-langkah baik pencegahan maupun penindakan serta untuk memberikan hasil yang konkrit kepada masyarakat sebagai upaya mengembalikan kepercayaan terhadap hukum dan penyelenggara negara serta pencerahan mengenai anti korupsi kepada masyarakat dilakukan sistim monitoring dan evaluasi.

I I . 1 . P E N C E G A H A N T E R J A D I N Y A T I N D A K A N K O R U P S I

Langkah pencegahan dalam Rencana Aksi Nasional Pemberantasan Korupsi 2004 – 2009 diartikan dengan berbagai langkah-langkah dan upaya yang dilakukan melalui antara lain perbaikan dan penyempurnaan instrumen kerangka aturan, kebijakan, kelembagaan, proses dan prosedur, sumber daya manusia, budaya serta pelibatan masyarakat untuk mendeteksi maupun mencegah terjadinya tindak pidana korupsi

Langkah pencegahan dilakukan pada bidang-bidang pembangunan yang strategis dan rawan terhadap terjadinya penyimpangan, baik dalam bentuk kolusi, korupsi dan nepotisme. Pencegahan korupsi perlu dilakukan secara sistemik dan komperhensif, multi-bidang, namun tetap dengan urutan prioritas karena terbatasnya kemampuan pemerintah dan masyarakat. Secara ideal, langkah pencegahan tindak pidana korupsi seharusnya diterapkan pada seluruh pilar-pilar integritas negara, baik di bidang eksekutif, yudikatif dan legislatif. Namun, dengan sumberdaya yang terbatas pada saat ini, begitu banyak yang harus dilakukan oleh baik masyarakat maupun pemerintah untuk memperbaiki dan memperbaharui keadaan di Indonesia setelah terjadinya krisis multi dimensi dan bencana nasional yang terjadi akhir-akhir ini.

Berdasarkan hal tersebut diatas, maka langkah-langkah pencegahan dalam Rencana Aksi Nasional Pemberantasan Korupsi 2004-2009 diprioritaskan pada:

22

Page 8: II. Rencana Aksi Nasional Pemberantasan Korupsi 2004-2009

a. Mendesain ulang pelayanan publik, terutama pada bidang-bidang yang berhubungan langsung dengan kegiatan pelayanan kepada masyarakat sehari-hari. Tujuannya adalah untuk memudahkan masyarakat luas mendapatkan pelayanan publik yang profesional, berkualitas, tepat waktu dan tanpa dibebani biaya ekstra/pungutan liar.

Langkah-langkah prioritas ditujukan pada: (a) Penyempurnaan Sistem Pelayanan Publik; (b) Peningkatan Kinerja Aparat Pelayanan Publik; (c) Peningkatan Kinerja Lembaga Pelayanan Publik; dan (d) Peningkatan Pengawasan terhadap Pelayanan Publik, dengan kegiatan-kegiatan prioritas sebagaimana terlampir dalam matriks.

b. Memperkuat transparansi, pengawasan dan sanksi pada kegiatan-kegiatan pemerintah yang berhubungan dengan ekonomi dan sumber daya manusia. Tujuannya adalah untuk meningkatkan akuntabilitas Pemerintah dalam pengelolaan sumber daya negara dan sumber daya manusia serta memberikan akses terhadap informasi dan berbagai hal yang lebih memberikan kesempatan masyarakat luas untuk berpartisipasi di bidang ekonomi.

Langkah-langkah prioritas ditujukan pada: (a) Penyempurnaan Sistem Manajemen Keuangan Negara; (b) Penyempurnaan Sistem Procurement/Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah; dan (c) Penyempurnaan Sistem Manajemen SDM Aparatur Negara, dengan kegiatan-kegiatan prioritas sebagaimana terlampir dalam matriks.

c. Meningkatkan pemberdayaan perangkat-perangkat pendukung dalam pencegahan korupsi. Tujuannya adalah untuk menegakan prinsip “rule of law,” memperkuat budaya hukum dan memberdayakan masyarakat dalam proses pemberantasan korupsi.

Langkah-langkah prioritas ditujukan pada: (a) Peningkatan Kesadaran dan Partisipasi Masyarakat; dan (b) Penyempurnaan Materi Hukum Pendukung, dengan kegiatan-kegiatan prioritas sebagaimana terlampir dalam matriks.

I I . 2 . P E N I N D A K A N T E R H A D A P P E R K A R A K O R U P S I

23

Page 9: II. Rencana Aksi Nasional Pemberantasan Korupsi 2004-2009

Penindakan dalam Rencana Aksi Nasional Pemberantasan Korupsi 2004–2009 diartikan sebagai pengenaan sanksi/hukuman atas segala bentuk penyimpangan terhadap norma/nilai/ketentuan/peraturan perundang-undangan yang mengakibatkan kerugian keuangan negara.

Langkah penindakan diprioritaskan pada 5 (lima) sektor pembangunan yang rawan terhadap penyimpangan, baik dalam bentuk kolusi, korupsi dan nepotisme. Berdasarkan hal tersebut, maka langkah-langkah penindakan pemberantasan korupsi dalam Rencana Aksi Nasional Pemberantasan Korupsi 2004-2009 diprioritaskan pada percepatan penegakan dan kepastian hukum dalam penanganan perkara korupsi yang besar dan menarik perhatian masyarakat dan pengembalian hasil korupsi kepada negara.

Tujuan dari langkah-langkah penindakan pemberantasan korupsi adalah untuk mewujudkan upaya penindakan yang merefleksikan nilai-nilai dan harapan yang terdapat di masyarakat, penguatan pemberdayaan peraturan perundang-undangan yang mendukung upaya pemberantasan korupsi, antara lain peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang perlindungan saksi dan pelapor, perluasan alat bukti, ketentuan tentang asas pembuktian terbalik, serta ketentuan tentang permintaan keterangan perbankan, lembaga keuangan dan data-data perpajakan dipercepat penyusunan, penerapan dan pelaksanaannya secara konsisten transparan dan konsekuen melalui partisipasi publik yang optimal.

Langkah-langkah prioritas dalam penindakan pemberantasan korupsi ditujukan pada: (a) Percepatan penanganan dan eksekusi perkara tindak pidana korupsi dengan fokus pada 5 sektor prioritas; (b) Peningkatan dukungan terhadap lembaga penegak hukum; (c) Peningkatan Kapasitas Aparatur Penegak Hukum; dan (d) Pengembangan sistem Pengawasan lembaga penegak hukum, dengan kegiatan-kegiatan prioritas sebagaimana terlampir dalam matriks.

I I . 3 . P E N C E G A H A N D A N P E N I N D A K A N K O R U P S I D A L A M R E H A B I L I T A S I D A N R E K O N S T R U K S I N A D D A N S U M A T E R A U T A R A

Tujuan RAN Pencegahan dan Penindakan Korupsi (juga mismanajemen) dalam Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah yang Terkena Bencana Alam Gempa Bumi dan Tsunami di Propinsi NAD dan Propinsi Sumut:

a) menerapkan prinsip-prinsip good governance dalam pelaksanaan kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi tersebut;b) agar kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi berjalan sukses (mencapai tujuan/sasaran); c) memberi peluang kepada aparat pengawasan dan aparat penegak hukum untuk membuktikan kinerja terbaiknya (capacity

building);

24

Page 10: II. Rencana Aksi Nasional Pemberantasan Korupsi 2004-2009

d) menunjukkan kepada masyarakat Indonesia, negara lain dan lembaga internasional bahwa Indonesia mampu melakukan rehabilitasi dan rekonstruksi akibat bencana alam dengan transparan dan akuntabel (tanpa/sedikit mungkin mismanajemen dan korupsi). Ini merupakan kesempatan untuk membuktikannya, tetapi juga dapat menjadi boomerang apabila tidak mampu membuktikannya.

Kegiatan RAN Pencegahan dan Penindakan Korupsi (juga mismanajemen) dalam Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah

yang Terkena Bencana Alam Gempa Bumi dan Tsunami di Propinsi NAD dan Propinsi Sumut:

a. Pencegahan Korupsi (termasuk di dalamnya mismanajemen dapat menghambat tercapainya tujuan/sasaran rehabilitasi dan rekonstruksi), terdiri dari 3 kegiatan utama:1) Penerapan sistem manajemen yang transparan dan akuntabel dalam/oleh Badan/Organisasi Pelaksana R3MAS (Rencana

Rehabilitasi dan Rekonstruksi Masyarakat Aceh dan Sumatera Utara - belum ditetapkan), mulai dari pengelolaan anggaran hingga sistem build in control yang berjalan pada setiap tahapan proses kegiatannya.

2) Penerapan Pakta Integritas (Keppres No. 80/2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah) untuk semua pihak yang terkait, termasuk para auditornya.

3) Pemantauan dan evaluasi atas pelaksanaan rehabilitasi dan rekonstruksi (memenuhi prinsip auditable dan akuntabel).

b. Penindakan Korupsi:1) Pengawasan/pemeriksaan. 2) Pelaksanaan tindak lanjut hasi pengawasan/pemeriksaan.3) Pemantauan atas pelaksanan tindak lanjut hasil pengawasan/pemeriksaan.

Untuk pelaksanaan pengawasan RAN Pencegahan dan Penindakan Korupsi (juga mismanajemen) dalam Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah yang Terkena Bencana Alam Gempa Bumi dan Tsunami di Propinsi NAD dan Propinsi Sumut, perlu dibangun koordinasi yang solid antara instansi/lembaga pengawasan (termasuk antar instansi/lembaga pengawas), LSM dan masyarakat. Pelaksana pengawasan adalah:

a. Unit Kerja Pengawasan internal organisasi pelaksana R3MAS. b. Instansi/lembaga pengawas internal pemerintah (APIP: Aparat Pengawas Internal Pemerintah) dan eksternal auditor seperti

BPK, KPK. c. Masyarakat umum, LSM dan media massa.

25

Page 11: II. Rencana Aksi Nasional Pemberantasan Korupsi 2004-2009

Kegiatan pengawasan BPK dan KPK tidak dimasukkan dalam RAN ini, mengingat keduanya bukan bagian dari eksekutif. Namun demikian, keduanya tetap berkewenangan melakukan pengawasan terhadap kinerja organisasi pelaksana R3MAS kapan saja diperlukan. Saat ini BPK dan KPK sudah memiliki agenda untuk pengawasan terhadap pelaksanaan R3MAS.

Ketiga kelompok pengawas di atas perlu bersinergi dengan prinsip: IME (pengawas Internal Mendukung Eksternal) dan EMI

(pengawas Eksternal Mendukung Internal). Apabila diperlukan, pengawas internal dan eksternal dapat mengundang independent audit firms atau akuntan publik.

I I . 4 . P E D O M A N M O N I T O R I N G D A N E V A L U A S I P E L A K S A N A A N R E N C A N A A K S I N A S I O N A L P E M B E R A N T A S A N K O R U P S I

Sebagaimana diuraikan di muka bahwa pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi yang dilakukan selama ini masih bersifat parsial dan konvensional, yaitu melalui pengawasan internal dan eksternal, penyelidikan kasus-kasus yang berindikasi korupsi, dan apabila dipandang perlu dilanjutkan ke tahap penyidikan, penuntutan dan hukuman. Mekanisme ini ternyata mengalami berbagai hambatan dan belum dapat dilaksanakan secara optimal meskipun sampai sekarang telah banyak peraturan perundangan yang diterbitkan dalam rangka pemberantasan tindak pidana korupsi. Lembaga pemerintah yang bertugas untuk menangani pemberantasan tindak pidana korupsi tidak berfungsi secara efektif dan efisien, karena belum optimalnya pihak-pihak terkait yang dilibatkan. Untuk itu dalam rangka monitoring dan evaluasi terhadap pelaksanaan Rencana Aksi Nasional Pemberantasan Korupsi (RAN - PK ) selain penguatan fungsi pengawasan dari lembaga pemerintah juga sangat diperlukan pengawasan yang bersifat eksternal, dimana elemen masyarakat dapat memberikan kontribusi yang besar untuk memastikan pelaksanaan RAN - PK benar-benar memberikan implikasi yang besar terhadap pemberantasan korupsi di Indonesia. Untuk itu penguatan dan perlindungan terhadap masyarakat untuk melakukan pengawasan yang efektif terhadap praktik-praktik korupsi sangat diperlukan antara lain dalam bentuk::

1. hak mencari, memperoleh, dan memberikan informasi adanya dugaan terjadinya tindak pidana korupsi;2. hak untuk memperoleh pelayanan dalam mencari, memperoleh dan memberikan informasi adanya dugaan terjadinya tindak

pidana korupsi kepada aparat penegak hukum yang menangani perkara tindak pidana korupsi;3. hak untuk menyampaikan pendapat dan saran secara bertanggungjawab kepada aparat penegak hukum yang menangani

perkara tindak pidana korupsi;4. hak untuk memperoleh jawaban atas pertanyaan yang diajukan kepada aparat penegak hukum;

26

Page 12: II. Rencana Aksi Nasional Pemberantasan Korupsi 2004-2009

5. hak untuk memperoleh perlindungan hukum atas penyampaian informasi tentang adanya dugaan terjadinya tindak pidana korupsi.

Untuk lebih memperkuat dan memastikan pelaksananaan RAN - PK berjalan dengan baik perlu disusun suatu pedoman monitoring dan evaluasi.

Penyusunan pedoman ini dimaksudkan untuk dapat dipergunakan sebagai acuan bagi semua unit kerja/ departemen/ lembaga, baik di pusat maupun di daerah, yang memiliki wewenang dan tanggung jawab dalam pelaksanaan kegiatan monitoring dan evaluasi kegiatan-kegiatan RAN - PK dengan tujuan antara lain:1) menjamin pencapaian sasaran dan tujuan yang ditetapkan;2) memberikan informasi yang akurat dalam deteksi dini pencapaian kinerja;3) mempertajam pengambilan keputusan;4) tindak lanjut penyelesaian kendala yang dihadapi;5) meningkatkan efisiensi & efektivitas pelaksanaan RAN - PK ; dan6) meningkatkan transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan RAN - PK .

Dengan mengacu kepada pedoman ini, kegiatan monitoring dan evaluasi akan dapat dilaksanakan tepat waktu dan dapat dipertanggungjawabkan, sehingga diharapkan akan terjadi suatu siklus manajemen yang menghasilkan masukan bagi penyesuaian RAN - PK pada periode selanjutnya. Dengan demikian, maka dokumen RAN - PK 2004 - 2009 akan menjadi suatu dokumen yang hidup ( living document), yang dapat selalu diperbaharui, sesuai dengan kebutuhan yang telah teridentifikasi dalam rangka pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia.

Sebagai suatu pedoman, uraian dan penjelasan di dalamnya diharapkan dapat menuntun dan menggambarkan langkah-langkah yang sistematis bagi pelaksanaan kegiatan monitoring dan evaluasi kegiatan-kegiatan RAN PK. Untuk keperluan pelaksanaan lebih lanjut, bila dipandang perlu masing-masing instansi tetap dimungkinkan dan memiliki keleluasaan untuk menyesuaikan langkah-langkah yang digambarkan dalam pedoman ini dengan kondisi dan karakteristik masing-masing instansi.

Pedoman monitoring dan evaluasi tersebut digunakan oleh seluruh jajaran instansi/lembaga pemerintahan yang mempunyai tugas dan tanggungjawab dalam pelaksanaan kegiatan sebagaimana tertuang dalam dokumen RAN PK. Sebagaimana tertuang dalam matriks matriks, pelaksanaan monitoring dan evaluasi diarahkan kepada penilaian pencapaian indikator kinerja keluaran dan indikator kinerja hasil pada setiap kegiatan.

27

Page 13: II. Rencana Aksi Nasional Pemberantasan Korupsi 2004-2009

Pelaksanaan Monitoring dan Evaluasi dilakukan baik secara internal oleh instansi/lembaga pemerintah maupun eksternal oleh masyarakat, LSM dan profesional lainnya. Keterlibatan secara aktif komponen external dapat diakomodasikan dalam bentuk

kelompok kerja yang dikoordinasikan oleh Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara (MenPAN). Adapun bagan mekanisme Monitoring untuk keterlibatan pihak internal dan eksternal pemerintahan adalah sebagai berikut:

1. MonitoringDalam melakukan pemantauan pelaksanaan RAN - PK perlu dilakukan beberapa tahap kegiatan, antara lain:

1) Penyusunan Rancangan Kerja

28

Monev

Pengumpulan DataInternal Eksternal

Pengolahan Data/ Informasi

Evaluasi dan Analisisis

Verifikasi

Output

Pending

Page 14: II. Rencana Aksi Nasional Pemberantasan Korupsi 2004-2009

Penanggung jawab pelaksanaan issue/ sub issue/ kegiatan harus menyiapkan rancangan kerja tahunan yang menjelaskan secara detil/ rinci tentang masukan-masukan, aktivitas yang dilakukan (yang mana dan bagaimana), serta hasil yang diinginkan. Rancangan itu harus dengan jelas menunjukkan daftar kegiatan dan orang/ pribadi dan atau lembaga/ institusi yang bertanggung jawab dalam penyediaan input dan memberikan hasil akhir. Rancangan kerja harus digunakan sebagai dasar dalam mengawasi kemajuan pelaksanaan RAN - PK .

2) Kunjungan Kerja (Site Visit)Penanggung jawab issue/ sub issue/ kegiatan dapat melakukan kunjungan kerja dalam jangka waktu tertentu. Kunjungan kerja

harus memfokuskan pada kelompok target untuk mendapatkan pandangan/ masukan mereka tentang bagaimana pelaksanaan kegiatan mempengaruhi kelompok sasaran.

Pejabat atau staf yang menangani pemantauan harus meninjau lokasi kegiatan, paling tidak dua kali setahun. Dalam beberapa kasus, lebih bermanfaat mengadakan kunjungan kerja bersama-sama dengan pihak yang terkait dalam pelaksanaan kegiatan serta unsur lembaga swadaya masyarakat. Hal ini memungkinkan suatu pendekatan yang lebih terbuka dalam membahas masalah-masalah yang sama dengan kelompok target dan pihak-pihak yang terkait dengan pelaksanaan suatu kegiatan. Staf yang melakukan kunjungan kerja harus menyiapkan laporan sesegera mungkin setelah kunjungan kerja.

3) Rapat/PertemuanTujuan dari pertemuan ini adalah untuk melibatkan pihak yang terkait dalam penyampaian masalah-masalah yang berkenaan

dengan pelaksanaan suatu isue/sub-isue/kegiatan, termasuk dari kelompok lembaga swadaya masyarakat. Berdasarkan isu dan masalah yang dikemukakan maka pertemuan dapat dilakukan pada tingkat dan tempat yang berbeda

dengan frekuensi yang beragam. Hal-hal teknis mungkin ditangani pada tingkat organisasi kegiatan, sedangkan isue-isue kebijakan yang memiliki implikasi penting dapat didiskusikan pada tingkat yang lebih tinggi. Pertemuan pada tingkat issue/ sub issue/ kegiatan harus dilakukan secara teratur.

4) Laporan AkhirDalam penyelesaian suatu issue/sub issue/kegiatan, pihak pelaksana/ penanggung jawab harus menyiapkan sebuah laporan

akhir yang menitikberatkan pada relevansi dan pelaksanaan suatu issue/sub issue/kegiatan RAN - PK , kemungkinan keberhasilan/kegagalan. Laporan juga harus berisi saran/ rekomendasi untuk kegiatan/tindakan lanjutan bagi instansi/lembaga-lembaga tertentu jika diperlukan.

5) Pelaporan Teratur/Sistematis dan Berjenjang selama Pelaksanaan

29

Page 15: II. Rencana Aksi Nasional Pemberantasan Korupsi 2004-2009

Pelaporan dilaksanakan secara triwulanan dengan menggunakan formulir yang telah ditetapkan (terlampir) dan disampaikan oleh pihak pelaksana/ penanggung jawab issue/ sub issue/ kegiatan secara berjenjang. Setiap instansi pelaksana diwajibkan menyampaikan laporan monitoring secara berjenjang dan berkala setiap triwulan terhadap pencapaian indikator kinerja yang telah ditetapkan dalam dokumen RAN - PK, sebagai berikut::

1. Bupati/ Walikota melaporkan hasil monitoring dan evaluasi kepada Gubernur selambat-lambatnya 2 (dua) minggu setelah berakhirnya triwulan yang bersangkutan. Laporan ini sudah harus menampung informasi dari masyarakat yang sudah diverifikasi. Tembusan laporan ini ditujukan kepada Irjen Depdagri.

2. Sesmenko/ Sekjen/ Sesmeneg/ Irjen/ Irtama/ Departemen/LPND melaporkan hasil monitoring dan evaluasi kepada Menko/ Menteri/ Menteri Negara/ Kepala LPND selambat-lambatnya 2 (dua) minggu setelah berakhirnya triwulan yang bersangkutan. Laporan ini sudah harus menampung informasi dari masyarakat yang sudah diverifikasi. Tembusan laporan ini ditujukan kepada Sesmeneg PAN dan Irtama Bappenas.

3. Menko/ Menteri/ Menteri Negara/ Kepala Departemen/LPND/ Gubernur melaporkan hasil monitoring dan evaluasi kepada Meneg PAN selambat-lambatnya 3 (tiga) minggu setelah berakhirnya triwulan yang bersangkutan. Laporan ini sudah harus menampung informasi dari masyarakat yang sudah diverifikasi. Tembusan laporan ini ditujukan kepada Meneg PPN/ Kepala Bappenas.

4. Menteri Negara PAN melaporkan hasil konsolidasi monitoring kepada Presiden, selambat-lambatnya 4 (empat) minggu setelah berakhirnya triwulan yang bersangkutan. Laporan ini sudah harus menampung informasi dari masyarakat yang sudah diverifikasi. Tembusan laporan ini ditujukan kepada Kepala KPK. Dalam hal disinyalir adanya dugaan tindak pidana korupsi, Meneg PAN juga menyampaikan tembusan laporan ini kepada instansi penegak hukum terkait.

5. Disamping itu, masyarakat setiap saat dapat secara aktif memberikan laporan dan informasi kepada instansi terkait.

Tata cara pelaporan dapat dilihat pada Bagan terlampir.

2. Evaluasi

30

Page 16: II. Rencana Aksi Nasional Pemberantasan Korupsi 2004-2009

Evaluasi terhadap pelaksanaan RAN - PK dilakukan minimal satu kali dalam satu tahun. Langkah-langkah yang harus ditempuh di dalam persiapan evaluasi terdiri atas 3 komponen: (a) persiapan awal evaluasi; (b) identifikasi program; dan (c) penyusunan kerangka acuan kerja (KAK).

a) Persiapan awal evaluasiLangkah ini dimulai dengan menyusun hal-hal penting yang harus dilakukan sebelum evaluasi dilaksanakan, yang

meliputi serangkaian langkah-langkah logis mulai dari masalah-masalah pokok dan maksud-maksud yang mendorong dilakukannya evaluasi sampai dengan pertanyaan-pertanyaan yang dapat digali dengan cara yang secara analitik dapat diterima. Persiapan awal evaluasi ditempuh melalui langkah-langkah:

(i) Identifikasi tujuan evaluasi: antara lain memperbaiki sistem pengelolaan program; menjamin adanya kebertanggung-gugatan; dan membantu dalam meningkatkan efisiensi dan efektivitas pengalokasian sumber-sumber penganggaran.

(ii) Menentukan lingkup evaluasi: menentukan apa (termasuk identifikasi program prioritas) yang akan dievaluasi dan sejauh mana.

(iii) Menyusun agenda analisis: menyusun kerangka logis (logical structure) yang dapat digunakan untuk menjawab berbagai pertanyaan yang diajukan dalam evaluasi. Kerangka ini juga merupakan suatu cara untuk menjabarkan pertanyaan-pertanyaan umum ke dalam pertanyaan-pertanyaan yang lebih rinci, cermat dan tepat.

(iv) Menentukan tingkat pencapaian baku/normal (benchmarking): membuat penilaian tentang derajat kinerja program (baik/buruk) dan seharusnya secara ideal memungkinkan kita melakukan perbandingan dengan perangkat kebijakan lain yang terkait atau yang bidangnya sama.

(v) Mengumpulkan informasi yang tersedia: untuk hampir semua program, sistem pemantauan seharusnya menjadi sumber pertama bagi informasi yang ada dan dibutuhkan.

(vi) Menyusun rencana kerja dan memilih evaluator: pemilihan evaluator antara lain didasarkan pada beberapa kriteria tertentu.

2) Penyiapan Kerangka Acuan Kerja (KAK)Suatu kajian evaluasi, baik yang dilakukan oleh evaluator internal maupun yang dilakukan oleh evaluator eksternal,

membutuhkan adanya Kerangka Acuan Kerja – KAK (terms of reference – TOR) yang jelas. Secara umum KAK memberikan panduan mengenai pekerjaan yang harus dilaksanakan oleh evaluator dalam kajian evaluasi, termasuk sejumlah aspek yang menjadi fokus kajian dan jadwal pelaksanaannya. KAK menjadi media bagi penanggung jawab evaluasi atau pihak sponsor dari kegiatan evaluasi untuk menetapkan prasyarat evaluasi sesuai dengan tujuan dan kebutuhan. Struktur dan isi KAK harus mencerminkan kondisi spesifik dari program yang akan dievaluasi agar dapat menjadi landasan pemahaman evaluator

31

Page 17: II. Rencana Aksi Nasional Pemberantasan Korupsi 2004-2009

mengenai harapan dari pekerjaan yang akan dilaksanakannya. Pelaksanaan Evaluasi terhadap RAN - PK dilakukan melalui 2 (dua) cara yaitu: a. Membandingkan antara target dan pencapaian indikator kinerja yang telah disepakati dan ditetapkan dalam RAN PK b. Studi evaluasi kinerja pelaksanaan RAN PK berdasarkan dampak yang ditimbulkan.Kedua cara tersebut dibutuhkan dalam pelaksanaan evaluasi dan saling mendukung untuk memberikan informasi yang bermanfaat untuk kepentingan perencanaan dan pengendalian pelaksanaan RAN PK.

Cara pertama dapat dilaksanakan tanpa melakukan analisis yang mendalam, sedangkan untuk melaksanakan cara kedua diperlukan penyusunan indikator kinerja sebagaimana dilakukan pada cara pertama. Ketersediaan indikator kinerja dari hasil pelaksanaan cara pertama akan memudahkan pelaksanaan studi evaluasi kinerja; sedangkan cara kedua dapat membantu dalam mengidentifikasi indikator-indikator kinerja baru yang lebih relevan.Secara rinci mekanisme pelaksanaan pelaporan hasil monitoring dan evaluasi disajikan pada Lampiran Tabel-1.

32

Page 18: II. Rencana Aksi Nasional Pemberantasan Korupsi 2004-2009

Tabel-1. MEKANISME PELAPORAN MONITORING DAN EVALUASIPELAKSANAAN RAN PK

No. PELAPOR PENERIMA LAPORAN TEMBUSAN PERIODE PELAPORAN WAKTU PENYAMPAIAN

1 Bupati/ Walikota Gubernur Irjen Depdagri Triwulan Paling lambat 2 (dua) minggu setelah berakhirnya triwulan bersangkutan

2 Sesmenko Menko 1. Sesmeneg PAN Triwulan Paling lambat 2 (dua) minggu setelah berakhirnya triwulan bersangkutan

  Irjen Menteri 2. Irtama Bappenas    Sesmeneg Menteri Negara      Irtama LPND Kepala LPND    3 Menko Meneg PAN Meneg PPN/ Kepala Triwulan Paling lambat 3 (tiga) minggu

setelah berakhirnya triwulan bersangkutan

  Menteri   Bappenas    Menteri Negara        Jaksa Agung        Panglima TNI        Kapolri        Kepala LPND        Gubernur      4 Meneg PAN Presiden 1. KPK Triwulan Paling lambat 4 (empat) minggu

setelah berakhirnya triwulan bersangkutan

    2. Instansi Penegak        Hukum Terkait  5 Masyarakat Instansi yang terkait

dengan pelaksanaan INPRES No. 5 tahun 2004

Sesuai dengan Kepentingan Masyarakat

Insidentil -

33

Page 19: II. Rencana Aksi Nasional Pemberantasan Korupsi 2004-2009

LAMPIRAN: FORMULIR PELAPORAN DAN JADUAL WAKTU LAPORAN PELAKSANAANRENCANA AKSI NASIONAL PEMBERANTASAN KORUPSI

TAHUN 2004 - 2009PERIODE LAPORAN: TRIWULAN ……… TAHUN ……………

INSTANSI:

NO. ISSUE/SUB ISSUE KEGIATAN

INDIKATOR KINERJA KETERANGAN RINGKAS

PENCAPAIAN INDIKATOR KINERJA

NARASI INDIKATORSATUAN

INDIKATOR RENCANA

SATUAN INDIKATOR REALISASI

(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)                                                                              

Keterangan: Jakarta,………………………

20051. Laporan dibuat per Triwulan

2.Periode Laporan diisi dengan bulan saat laporan dibuat Instansi

3. Diisi dengan nama Instansi Pelaksana

4.Kolom (1) diisi nomor urut

5. Kolom (2), (3), dan (4) diisi dari Matriks RAN - PK Tahun 2004 - 2009

6.Kolom (5) diisi dengan Indikator Kinerja yang dikuantitatifkan dalam satuan indikator kinerja

7. Kolom (6) diisi dengan pencapaian realisasi pelaksanaan rencana

34

Page 20: II. Rencana Aksi Nasional Pemberantasan Korupsi 2004-2009

8.Kolom (7) diisi dengan Keterangan Ringkas tentang hambatan, kendala dalam pelaksanaan dan/atauketerangan lain yang dihadapi dalam masa pelaksanaan periode laporan, serta saran tindak lanjut ( …………………………………… )

35

Presiden

MenPANM

A

S

Y

A

R

A

K

A

T

Bupati/ Walikota

GubernurInstansi PusatInstansi

Pelaksana Instruksi Khusus

Instansi Pelaksana

Instruksi Khusus

Instansi Pelaksana

Instruksi Khusus

Irjen Depdagr

i

Meneg PPN/ Ka.Bappenas

Sesmeneg PANIrtama BappenasSesmeneg PAN

Irtama Bappenas

KPK

LaporanTembusanPengaduan

BAGAN MEKANISME PELAPORAN RAN - PK

Umpan Balik

KOMISI

OMBUDSMAN

Page 21: II. Rencana Aksi Nasional Pemberantasan Korupsi 2004-2009

III. Penyesuaian Terhadap Rencana Aksi Nasional Pemberantasan Korupsi

Mengingat pemberantasan korupsi mempunyai pola yang berubah-ubah sesuai konteks waktu dan tempat terjadinya pemberantasan korupsi, maka isu prioritas dan kegiatan yang tercantum dalam Rencana Aksi Nasional Pemberantasan Korupsi 2004-2009 akan terus menerus disesuaikan dengan kebutuhan dan prioritas masing-masing pelaku pelaksana dalam Rencana Aksi Nasional Pemberantasan Korupsi 2004-2009.

Untuk tercapainya Rencana Aksi Nasional Pemberantasan Korupsi 2004-2009 dibutuhkan terciptanya suatu lingkungan kondusif dengan visi dan komitmen Pimpinan, pengadaan sumber daya yang memadai dengan penerapan strategi, perencanaan dan pendekatan yang terdiri dari tindakan Pencegahan dan tindakan Penindakan serta Monitoring dan evaluasi dari pelaksanaan Rencana Aksi Nasional Pemberantasan Korupsi 2004-2009.

Dengan dilakukannya Monitoring dan Evaluasi pelaksanaan Rencana Aksi Nasional Pemberantasan Korupsi 2004 – 2009, maka diharapkan akan terjadi suatu siklus manajemen yang menghasilkan masukan bagi penyesuaian Rencana Aksi Nasional pada periode tertentu. Dengan demikian, maka dokumen Rencana Aksi Nasional Pemberantasan Korupsi 2004 – 2009 ini akan menjadi suatu dokumen yang hidup (living document), yang dapat selalu diperbaharui, sesuai dengan kebutuhan yang telah teridentifikasi dalam rangka meniadakan tindak pidana korupsi di Indonesia.

IV. Penutup

1. Upaya pemberantasan korupsi memerlukan proses dan waktu tidak singkat, sumber daya yang memadai serta partisipasi seluruh komponen bangsa. Untuk itu, pelaksanaan semua rencana tindak dalam Rencana Aksi Nasional ini, pemantauan dan evaluasinya perlu melibatkan semua pihak, termasuk pihak eksekutif, legislatif, yudikatif, swasta, pers, partai politik, organisasi kemasyarakatan, dan lembaga swadaya masyarakat.

2. Indonesia menyambut baik kerjasama internasional, termasuk kerjasama bantuan hukum timbal balik dan bantuan teknis, dalam memperkuat kemampuan nasional guna melaksanakan program pemberantasan korupsi serta pengembalian aset negara yang dijarah, sesuai dengan semangat kerjasama internasional yang digariskan oleh Piagam Perserikatan Bangsa Bangsa serta prinsip saling menghormati dan hubungan baik antar negara.

19