ii -...

238

Transcript of ii -...

ii

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002 Tentang

Hak Cipta

Lingkup Hak Cipta

1. Hak Cipta merupakan hak eksklusif bagi Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk mengumumkan atau

memperbanyak Ciptaannya, yang timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa

mengurangi pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Ketentuan Pidana

Pasal 72

1. Barangsiapa dengan sengaja atau tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2

ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat

1(satu) bulan dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah)

2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu

ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,00

(lima ratus juta rupiah).

iii

iv

Penguatan Karakter Bangsa Melalui Inovasi Pendidikan Di Era Digital

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

All Rights Reserved

238 hal (x + 228 hal), 29,7 cm x 21 cm

ISBN: 978-602-52470-8-8

Penulis:

Suwarjo, Hermayawati, Asna Syafitri Sari dan Yulius Agung Saputro, Nur Sya’ban Ratri, Dwi Mulyani dan Siti

Partini Suardiman, Dewi Widowati, Siti Arianti dan Hermayawati, Junita Pandiangan dan Agustinus Hary

Setyawan, Svendriyati Asthari dan Hermayawati,Taufiq Umar, Elysa Hartati, dan Dedi Febrianto, Kusmiati dan

Hermayawati, Dian Arifiah dan Heribertus Binawan, Inge Angelica Valimbo dan Elysa Hartati, Ririn Setyorini

dan Noviea Varahdila Sandi, Lina Prasetia dan Merita Kurnia Putri, Alfi Rachmah Hidayah, Dea Hediyati, dan

Sri Wahyu Setianingsih, Rosalia Prismarini Nurdiarti, Ika Rosyadah Hari Afifah, Noto Prasetiyo, dan Rizki Akhir

Ramadhan,Nurul Setyorini dan Suci Rizkiana, Nurul Liyun, Wahidah Nur Khasanah, dan Nurfahana Azda

Tsuraya, Roichatul Jannah dan Afit Nur Khikmah, Fileksius Gulo, Rima Aksen Cahdriyana dan Arie Purwanto,

Hayu Almar’atus Sholihah, Nurul Fiadhia Koeswardani, dan Visca Kenia Fitriana, Siti Maesaroh, Afifah Hasna,

Yunita DR, Fifi ZN, Asep Ardiyanto, M. Ridho Saputra, Ganjar Suargani, dan Charis Faozi, Muslimin, Fipit Aris

Khikmawati, dan Rizqi Zulfah, Pardi Affandi dan Faisal, Awieta Nirmala Kusumastuti, Laila Nur Hidayah, dan

Ida Sutriani, Nurul Azizah Zain, Umi Fadlilah, dan Fata Shohibudin Pralaska, Retma Sari,Septiana Eka Mufliha,

Khusnul Khotimah, Elvy Ulfiatul Masrurah, dan Antuni Wiyarsi , Tuti Hendriyani, Ulung Giri Sutikno, Erna

Irmawati, dan Fidya Ahlania

Editor:

Hermayawati, Nuryadi, Bangkit Seandi Taroreh, Elysa Hartati,

Antonius Tri Wibowo, Febi Kurniawan, Issy Yuliasri, Kukuh Pambuka Putra

Editor Cetak:

Didik Haryadi Santoso

Achmad Oddy Widyantoro

Perancang Sampul:

Bella Indriani Malista

Penata Letak:

Bella Indriani Malista

Achmad Oddy Widyantoro

Cetakan Pertama, 2018

Diterbitkan oleh:

Mbridge Press

Jl. Ring Road Utara, Condong Catur, Depok, Kabupaten Sleman, D.I. Yogyakarta

Lab. Multipurpose, Lantai 2 Kampus III UMBY

Hp. 081324607360

v

SEKAPUR SIRIH

Puji syukur dipanjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat dan

hidayah yang telah diberikan sehingga Prosiding Konferensi Pendidikan Nasional Fakultas

Keguruan dan Ilmu Pendidikan telah selesai disusun dengan tema Penguatan Karakter

Bangsa Melalui Inovasi Pendidikan di Era Digital.

Prosiding ini memuat karya ilmiah dari para narasumber dan pemakalah. Di dalam

prosiding ini dituliskan hal-hal yang mencakup pembelajaran berbasis teknologi informasi,

karakter, dan implementasinya di era disruktif, serta pendidikan karakter berbasis budaya

lokal. Izinkanlah pada kesempatan yang membahagiakan ini saya atas nama Panitia Konferensi

Pendidikan Nasional mengucapkan terima kasih kepada para pembicara dan pemakalah yang

secara nyata telah menyumbangkan keseluruhan materi dan substansi perbincangan dalam

buku prosiding ini. Panitia telah berusaha secara optimal untuk menjadikan buku prosiding ini

hadir di hadapan pembaca dengan baik. Namun, ibarat pepatah lama yang berbunyi “Tiada padi

kuning setangkai” maka kekurangan dari isi buku ini tentu masih ada. Untuk itu, dengan tulus

Panitia mohon maaf dan membuka atas kritik dan saran yang membangun.

Semoga buku prosiding ini dapat memberi kemanfaatan bagi kita semua, untuk

kepentingan pengembangan dunia kependidikan di Indonesia. Di samping itu, diharapkan juga

dapat menjadi referensi bagi upaya pembangunan bangsa dan negara.

Yogyakarta , 13 September 2018

Ketua Panitia

Elysa Hartati, S.Pd., M.Pd.

vi

DEWAN EDITOR

Dr. Dra. Hermayawati, S.Pd., M.Pd.

(Universitas Mercu Buana Yogyakarta, Yogyakarta)

Nuryadi, S.Pd.Si., M.Pd.

(Universitas Mercu Buana Yogyakarta, Yogyakarta)

Dr. Bangkit Seandi Taroreh, S.Pd., M.Pd.

(Universitas Bina Dharma, Palembang)

Elysa Hartati, S.Pd.,M.Pd (Universitas Mercu Buana Yogyakarta, Yogyakarta)

Antonius Tri Wibowo,S.Pd.Kor.,M.Or.

(Universitas Mercu Buana Yogyakarta, Yogyakarta)

Dr. Febi Kurniawan, M.Or

(Universitas Singa Perbangsa, Karawang)

Dr. Issy Yuliasri, M.Pd.

(Universitas Negeri Semarang, Semarang)

Kukuh Pambuka Putra, S.Or., M.Kes

(Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga )

STAF ADMINISTRASI

Tri Andi,S.T.

(Universitas Mercu Buana Yogyakarta, Yogyakarta)

vii

DAFTAR PEMAKALAH

No. Nama Asal Instansi

1 Suwarjo Universitas Negeri Yogyakarta

2 Hermayawati Universitas Mercu Buana

Yogyakarta

3 Asna Syafitri Sari dan Yulius Agung Saputro Universitas Mercu Buana

Yogyakarta

4 Nur Sya’ban Ratri Dwi Mulyani dan Siti Partini

Suardiman

Universitas Negeri Yogyakarta

5 Dewi Widowati Universitas Sahid Jakarta

6 Siti Arianti dan Hermayawati Universitas Mercu Buana

Yogyakarta

7 Junita Pandiangan dan Agustinus Hary

Setyawan

Universitas Mercu Buana

Yogyakarta

8 Svendriyati Asthari dan Hermayawati Universitas Mercu Buana

Yogyakarta

9 Taufiq Umar, Elysa Hartati, dan Dedi Febrianto Universitas Mercu Buana

Yogyakarta

10 Kusmiati dan Hermayawati Universitas Mercu Buana

Yogyakarta

11 Dian Arifiah dan Heribertus Binawan Universitas Mercu Buana

Yogyakarta

12 Inge Angelica Valimbo dan Elysa Hartati Universitas Mercu Buana

Yogyakarta

13 Ririn Setyorini dan Noviea Varahdila Sandi Universitas Peradaban

14 Lina Prasetia dan Merita Kurnia Putri Universitas Negeri Semarang

15 Alfi Rachmah Hidayah, Dea Hediyati, dan Sri

Wahyu Setianingsih

Universitas Negeri Semarang

16 Rosalia Prismarini Nurdiarti Universitas Mercu Buana

Yogyakarta

17 Ika Rosyadah Hari Afifah, Noto Prasetiyo, dan

Rizki Akhir Ramadhan

Universitas Negeri Semarang

18 Nurul Setyorini dan Suci Rizkiana Universitas Muhammadiyah

Purworejo

viii

19 Nurul Liyun, Wahidah Nur Khasanah, dan

Nurfahana Azda Tsuraya

Universitas Negeri Semarang

20 Roichatul Jannah dan Afit Nur Khikmah Universitas Negeri Semarang

21 Fileksius Gulo Universitas Sanata Dharma

22 Rima Aksen Cahdriyana dan Arie Purwanto Universitas Ahmad Dahlan dan

Univeritas Mercu Buana

Yogyakarta

23 Hayu Almar’atus Sholihah, Nurul Fiadhia

Koeswardani, dan Visca Kenia Fitriana

Universitas Negeri Semarang

24 Siti Maesaroh, Afifah Hasna, Yunita DR, Fifi

ZN

Universitas Negeri Semarang

25 Asep Ardiyanto Universitas PGRI Semarang

26 M. Ridho Saputra, Ganjar Suargani, dan Charis

Faozi

Universitas Negeri Semarang

27 Muslimin, Fipit Aris Khikmawati, dan Rizqi

Zulfah

Universitas Negeri Semarang

28 Pardi Affandi dan Faisal Universitas Lambung Mangkurat

29 Awieta Nirmala Kusumastuti, Laila Nur

Hidayah, dan Ida Sutriani

Universitas Tidar

30 Nurul Azizah Zain, Umi Fadlilah, dan Fata

Shohibudin Pralaska

Universitas Negeri Semarang

31 Retma Sari Universitas Tidar

32 Septiana Eka Mufliha, Khusnul Khotimah, Elvy

Ulfiatul Masrurah, dan Antuni Wiyarsi

Universitas Negeri Yogyakarta

33 Tuti Hendriyani Universitas Negeri Malang

34 Ulung Giri Sutikno, Erna Irmawati, dan Fidya

Ahlania

Universitas Negeri Semarang

ix

DAFTAR ISI

SEKAPUR SIRIH…………………………………………………………………………... v

DEWAN EDITOR………………………………………………………………………….. vi

DAFTAR PEMAKALAH…………………………………………………………………... vii

DAFTAR ISI………………………………………………………………………………... ix

Penguatan Karakter Peserta Didik dalam Menghadapi Era Digital (oleh Dr. Suwarjo, M.Si.) ............. 1

Guru Berkualitas Menuju Indonesia Cerdas (oleh Dr.Dra. Hermayawati, S.Pd., M.Pd.) ...................... 6

Persepsi Pencegahan dan Perawatan Cedera Terhadap Pembelajaran Pendidikan Jasmani Olahraga

Kesehatan Siswa Sekolah Dasar di Kabupaten Sleman Daerah Istimewa Yogyakarta (oleh Asna Syafitri

Sari dan Yulius Agung Saputro) ...................................................................................................... 15

Efektifitas Pendekatan Deep Learning Terhadap Kontrol Diri dalam Menggunakan Internet pada

Remaja (oleh Nur Sya’ban Ratri Dwi Mulyani dan Siti Partini Suardiman) ...................................... 23

Komunikasi Pendidikan dalam Upaya Penguatan NKRI pada Siswa SMPN Pamarayan (oleh Dewi

Widowati) ....................................................................................................................................... 32

E-Assessment Design for Junior High School (oleh Siti Arianti dan Hermayawati) .......................... 40

Analysis of Code Switching and Code Mixing Performed by Viavia Travel’s Staff Yogyakarta on Their

WhatsApp Group (oleh Junita Pandiangan dan Agustinus Hary Setyawan) ...................................... 50

Persepsi Pencegahan dan Perawatan Cedera Terhadap Pembelajaran Pendidikan Jasmani Olahraga

Score Mark-Up in English Assessment (oleh Svendriyati Asthari dan Hermayawati) ....................... 58

A Pragmatic Analysis of Presuppositon Found in The Conjuring Movie (oleh Taufiq Umar, Elysa

Hartati, dan Dedi Febrianto) ............................................................................................................ 67

Do The English Teachers Understand The 2013th Curriculum? (oleh Kusmiati dan Hermayawati) ... 72

Digital Storytelling: An Interactive Media for Teaching Speaking (oleh Dian Arifiah dan Heribertus

Binawan) ......................................................................................................................................... 80

Vlog to Improve Students Speaking Skill: A Classroom Action Research (oleh Inge Angelica Valimbo

dan Elysa Hartati) ............................................................................................................................ 89

Relevansi Nilai Pendidikan Karakter dalam Novel Maryam Karya Okky Madasari dengan Pembelajaran

Sastra di Perguruan Tinggi (oleh Ririn Setyorini dan Noviea Varahdila Sandi) ................................. 96

Implementasi Bimbingan dan Konseling dalam Pembentukan Karakter Anak Usia Dini (oleh Lina

Prasetia dan Merita Kurnia Putri) ................................................................................................... 103

Penanaman Nilai Kejujuran Melalui Pendidikan Karakter Pada Anak Usia Dini dengan Teknik

Modeling (oleh Alfi Rachmah Hidayah, Dea Hediyati, dan Sri Wahyu Setianingsih) ..................... 107

Pendidikan Karakter dalam Perspektif Etika Komunikasi di Era Masyarakat Informasi (oleh Rosalia

Prismarini Nurdiarti) ..................................................................................................................... 113

x

Penanaman Nilai Karakter Kepedulian Sosial Pada Anak Usia Dini dalam Permainan Tradisional

Kucing Tikus di TK IT Mutiara Hati (oleh Ika Rosyadah Hari Afifah, Noto Prasetiyo, dan Rizki Akhir

Ramadhan) .................................................................................................................................... 122

Pengaruh Penggunaan Bahan Ajar Apresiasi Puisi Berbaasis Bela Negara Bagi Mahasiswa Pendidikan

Bahasa dan Sastra Indonesia Terhadap Hasil Belajar Mahasiswa (oleh Nurul Setyorini dan Suci

Rizkiana) ....................................................................................................................................... 127

Menanamkan Karakter Cinta Lingkungan Pada Anak melalui Program “Green And Clean” (oleh Nurul

Liyun, Wahidah Nur Khasanah, dan Nurfahana Azda Tsuraya) ...................................................... 134

Implementasi Nilai-Nilai Luhur Budaya Pencak Silat Sebagai Pendidikan Karakter Siswa di Sekolah

(oleh Roichatul Jannah dan Afit Nur Khikmah) ............................................................................. 138

Sejarah Alternatif Sebagai Sumber Penguatan Pendidikan Karakter (oleh Fileksius Gulo) .............. 144

Efektivitas Pembelajaran Berbasis Masalah Terhadap Prestasi Belajar Siswa (oleh Rima Aksen

Cahdriyana dan Arie Purwanto) ..................................................................................................... 151

Metode Pembelajaran Jigsaw dalam Meningkatkan Keterampilan Komunikasi Siswa SMP (oleh Hayu

Almar’atus Sholihah, Nurul Fiadhia Koeswardani, dan Visca Kenia Fitriana) ................................ 157

Penerapan Metode Cooperative Learning dengan Memanfaatan Aplikasi Google Classroom Sebagai

Upaya Meningkatkan Nilai Karakter Kebaikan Siswa Menengah Pertama (oleh Siti Maesaroh, Afifah

Hasna, Yunita DR, Fifi ZN) ........................................................................................................... 165

Permainan Tradisional sebagai Wujud Penanaman Nilai Karakter Anak Usia Dini (oleh Asep

Ardiyanto) ..................................................................................................................................... 170

Peran Orang Tua dalam Pembentukan Karakter Tanggung Jawab pada Anak Berdasarkan Metode

Simulasi (oleh M. Ridho Saputra, Ganjar Suargani, dan Charis Faozi) ........................................... 173

“Angry Box” Sebagai Media Untuk Meningkatkan Minat Bercerita Untuk Mengurangi Emosi Siswa

SD (oleh Muslimin, Fipit Aris Khikmawati, dan Rizqi Zulfah)....................................................... 177

Penerapan Metode Cooperative Learning dengan Memanfaatan Aplikasi Google Classroom Sebagai

Upaya Kendali Optimal Pada Model Penyakit Scabies (oleh Pardi Affandi dan Faisal) .................. 182

Implementasi Smart People Kampung IT Kramat Utara Sebagai Penunjang Visi Smart City di Kota

Magelang (oleh Awieta Nirmala Kusumastuti, Laila Nur Hidayah, dan Ida Sutriani) ...................... 192

“Johari Windows Games” Sebagai Sarana Untuk Menghargai Diri di Siswa SMP (oleh Nurul Azizah

Zain, Umi Fadlilah, dan Fata Shohibudin Pralaska) ........................................................................ 199

Improving English Mediated By Local Wisdom And Technology in Global Era (oleh Retma Sari) 206

Penananman Karakter Jujur Melalui Media Ular Tangga Karakter Pada Anak Usia Pendidikan Dasar

(oleh Septiana Eka Mufliha, Khusnul Khotimah, Elvy Ulfiatul Masrurah, dan Antuni Wiyarsi)...... 211

Implementasi Pendidikan Karakter Dalam Konteks Pembelajaran Formal (oleh Tuti Hendriyani) .. 214

Pendidikan Karakter Tepa Salira Berbasis Experiental Learning Dalam Bimbingan Kelompok (oleh

Ulung Giri Sutikno, Erna Irmawati, dan Fidya Ahlania) ................................................................. 222

Prosiding Konferensi Pendidikan Nasional “Penguatan Karakter Bangsa Melalui Inovasi Pendidikan di Era Digital”

1

PENGUATAN KARAKTER PESERTA DIDIK DALAM MENGHADAPI ERA DIGITAL

Dr. Suwarjo, M.Si. Universitas Negeri Yogyakarta

PENDAHULUAN Di banyak kesempatan (forum resmi maupun perbincangan santai di masyarakat), era digital

hangat diperbincangan. Teknologi baru digital di dunia telah dikenal sejak era 1980an dengan dikembangkannya personal komputer dan diperluas pada 1992 ketika pertama kali world wide web (www) diperkenalkan dan disusul dengan teknologi internet pada 1996 (wikipedia.org) yang memungkinkan orang dari berbagai belahan bumi terhubung satu sama lain. Di Indonesia, era digital mulai terasa dan deras membanjiri berbagai sendi kehidupan mulai era 2000an, yang pertumbuhan penggunanya kian hari kian meningkat.

Era digital membawa banyak perubahan kehidupan masyarakat. Dengan berkembanganya alat komunikasi digital yang dilengkapi dengan piranti internet, cara hidup, gaya hidup dan berkehidupan manusia berubah pesat dan dalam waktu yang sangat cepat. Sebagai contoh, di Tahun 1980an belum semua daerah memiliki sambungan telepon otomatis sehingga ketika seseorang akan bertelepon dengan orang lain di luar daerah harus menghubungi operator untuk meminta sambungan interlokal (membutuhkan waktu relatif lama). Pada tahun 90an, jaringan antar daerah telah terbangun yang ini membuat bisnis wartel (warung telekomunikasi) menjamur dan laris manis. Demikian pula dengan bisnis kartu lebaran dan telegram indah (sarana memberi ucapan di momen penting) yang kebanjiran order menjelang hari raya. Hal demikian membuat kantor pos dan kantor telkom sangat sibuk. Tidak lama kemudian, dengan berkembangnya telepon genggam di tahun 2000an yang semakin lama semakin canggih dan murah, bisnis wartel gulung tikar. Demikian pula dengan bisnis warnet (warung internet) yang menjamur di dekade 2010 kini meredup karena kemunculan telepon pintar (smart phone).

Paparan di atas baru merupakan sebagian kecil dari perubahan yang terjadi akibat kemunculan era digital. Perubahan juga terjadi pada perilaku individu-individu dalam masyarakat. Perkembangan teknologi informasi yang sangat pesat membuat dunia menjadi “kecil” dan kehidupan semakin mengglobal. Apa yang terjadi di suatu belahan bumi dengan cepat akan dapat diketahui bahkan dilihat bersama-sama oleh orang-orang di belahan lain. Hal demikian seringkali menimbulkan paradoks. Banyak individu kenal dan akrab dengan orang-orang yang sangat jauh (beda benua, beda negara), tetapi dengan tetangga dekat tidak kenal. Individu mengenal dan gandrung dengan nilai-nilai dan norma-norma baru dari luar, sementara nilai-nilai dan norma-norma sendiri yang berlaku di lingkungan terdekatnya tidak dikenalnya. Akibatnya keterasingan dialami yang sekaligus rawan munculnya konflik antar generasi. Bukan hanya itu saja, kehidupan dalam keluarga juga berubah. Kini tidak sedikit keluarga yang kurang memiliki waktu untuk bersama. Anggota keluarga sibuk dengan kesibukannya masing-masing. Jika mereka berkumpul di rumah, masing-masing juga sibuk dengan telepon pintarnya. Mereka kumpul dalam satu ruangan, duduk dalam satu sofa, akan tetapi mereka tidak berkomunikasi satu sama lain karena masing-masing sibuk berkomunikasi dengan pihak-pihak yang jauh di luar rumah mereka.

Bagaimana halnya dengan sekolah? Di semua jenjang, sekolah berusaha menyesuaikan dengan tuntutan era digital. Sejak sekolah dasar anak-anak mulai dikenalkan dengan internet untuk mengakses banyak informasi yang diperlukan bagi proses pembelajaran. Di era sekarang penulis mencermati sekolah sering tertinggal dari siswanya dalam hal penggunaan piranti digital ini. Pada umumnya, anak-anak menggunakan dan mengakses internet lebih banyak dari yang dituntutkan dan dibutuhkan untuk keperluan pembelajaran. Bisa jadi hal ini karena sekolah yang kurang menyesuaikan pembelajarannya dengan perkembangan teknologi, atau bisa jadi karena porsi anak-anak mengakses jaringan luas terlalu banyak akibat kurangnya kontrol dari pendidik dan orang tua. Beberapa kasus menunjukkan anak-anak banyak mengakses internet bukan untuk kepentingan

Prosiding Konferensi Pendidikan Nasional “Penguatan Karakter Bangsa Melalui Inovasi Pendidikan di Era Digital”

2

pembelajaran. Kasus-kasus kecanduan game on-line, perjudian online, pornografi, dan bullying yang dilakukan via on-line seringkali terjadi.

Fenomena lain yang penulis amati adalah adanya pergeseran cara pengasuhan anak yang dilakukan keluarga saat ini (terutama keluarga muda). Dengan dalih kesibukan (“sing penting anake meneng”), atau agar anak mampu beradaptasi dengan kemajuan teknologi, atau karena alasan lain, orang tua memberikan fasilitas kepada anak sejak balita berakrab-ria dengan piranti elektronik canggih. Banyak orang tua membiarkan balitanya bermain smart phone yang terhubung dengan internet. Ketika para ibu berkumpul di acara penimbangan balita di suatu dusun, beberapa ibu sangat antusias bercerita bahwa anaknya yang belum genap 2 tahun sudah mahir menjari situs dangdut di you tube. Ibu lain menceritakan bahwa setiap kali anaknya bangun tidur yang dicari adalah telepon genggam yang dengan cara acak akhirmnya anaknya mampu menemukan film-film kartun di you tube. “Lha tinimbang anaku nangis yo ben dolanan HP, sing penting meneng iso disambi mberesi omah”, itu sahut ibu yang lain.

Dari paparan di atas muncullah pertanyaan bagaimana era digital harus dihadapi? Bagaimana penguatan karakter positif bagi peserta didik harus dilakukan? Nilai-nilai dan norma-norma yang mana yang harus dipertahankan, ditanamkan dan dikembangkan pada anak-anak dan peserta didik? Bagaimana seharusnya literasi digital dilakukan kepada anak dan orang tua agar manfaat positif dapat dipetik dan dampak negatif dapat dieleminasi? PEMBAHASAN A. Tantangan Pendidikan Karakter

Banyak negara saat menghadapi krisis menempatkan pembangunan karakter sebagai fokus untuk menemukan solusi (Suyata, 2011 : 4). Lebih lanjut Suyata mencontohkan, revitalisasi Jerman usai kekalahan perang atas Perancis dilakukan dengan pendidikan karakter dan spiritualitas. Bangsa Jepang pasca Perang Dunia II menata ulang negerinya menghadapi urbanisasi dengan mengintroduksi pendidikan moral. Bangsa Amerika yang banyak menghadapi masalah pada akhir abad keduapuluh mengintroduksi kembali pendidikan karakter. Dari contoh beberapa negara besar tampak jelas bahwa pendidikan karakter menjadi solusi atas berbagai masalah yang membelit bangsa.

Jika pendidikan karakter menjadi rujukan bagi diselesaikannya berbagai masalah yang timbul, pertanyaan yang muncul adalah karakter seperti apa yang harus dikembangkan. Melalui berbagai forum (diskusi, penataran, siaran media masa) sudah lama dikenalkan dan ditanamkan suatu kesadaran bahwa masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang majemuk. Kemajemukan ini telah, sedang, dan akan terus berlangsung selamanya. Sudah lama pula ditanamkan pada anak bangsa ini bahwa ketika seorang anak Indonesia ditanya jati dirinya sebagai bangsa maka dengan cepat akan menjawab “manusia Indonesia yang Pancasilais”. Namun pada kenyataannya, pribadi utuh yang didasari oleh nilai-nilai Pancasila masih belum mudah ditemukan. Bahkan, harapan yang sudah lama ditanamkan seperti, Indonesia yang adil, Indonesia yang berkemakmuran, Indonesia yang utuh, Indonesia yang teguh bersatu, Indonesia yang berdasarkan ketakwaan pada Tuhan Yang Maha Esa, kini mulai mendapat tantangan. Kenyataan yang terjadi seringkali jauh dan teramat jauh dari nilai-nilai luhur Pancasila yang disepakati sebagai karakter bangsa. Sudahkah para pejabat publik yang setiap saat disorot kamera TV, para orang tua yang memiliki arti penting bagi anak-anak mereka, para pendidik yang potensial dimodel oleh peserta didik, berperilaku dengan dasar nilai-nilai luhur itu. Salahkah jika para siswa tidak mengenal dan menjadikan nilai-nilai Pancasila sebagai jiwa-jiwa mereka?. Salahkah mereka jika mereka dengan “suka cita” mengambil dan memakai nilai-nilai yang jauh dari nilai-nilai luhur kita?. Kenyataan itu kini sudah di depan mata. Sebagian siswa lebih menikmati cara hidup hedonis ketimbang prihatin dan kerja keras, lebih memilih berlaku culas dan curang ketika mendapatkan situasi yang dianggap tidak nyaman. Celakanya, mereka berlaku demikian diilhami oleh perilaku tokoh-tokoh hebat mereka di media masa dan didorong oleh hasil belajarnya bersama para guru mereka ketika mendapat “pertolongan” saat mengerjakan UAN. Mereka pada akhirnya menyimpulkan bahwa hidup itu memang mudah, mengapa mesti repot-repot kerja keras. Mereka juga menyimpulkan bahwa hanya orang-orang bodoh sajalah yang teguh memegang kejujuran karena kenyataan yang sering mereka jumpai adalah, kecurangan membawa kemujuran, dan kejujuran membawa kehancuran, astaghfirullah.

Kata kunci yang sudah cukup lama langka dan perlu ditemu kenali kembali adalah tauladan dan pembiasaan untuk berperilaku terpuji. Tauladan dan pembiasaan berperilaku terpuji merupakan

Prosiding Konferensi Pendidikan Nasional “Penguatan Karakter Bangsa Melalui Inovasi Pendidikan di Era Digital”

3

salah satu kunci pembentukan karakter yang baik (good character). Terkait dengan karakter sebagai hasil pembiasaan, Lickona (2004 : 3-4) mengingatkan pentingnya pikiran, perkataan, perbuatan, kebiasaan, dalam pembentukan karakter dan nasib atau keberuntungan seseorang:

Be careful of your thoughts, for your thoughts become your words. Be careful of your words, for your words become your deeds. Be careful of your deeds, for your deeds become your habits. Be careful of your habits, for your habits become your character. Be careful of your character, for your character become your destiny.

Mencermati pendapat Lickona, untuk membentuk karakter yang baik, pendidik harus

memulai dari pikiran-pikiran yang baik dan positif, dan mencermati perkataan-perkataan yang muncul atau dimunculkan oleh peserta didik dan pendidik. Perkataan-perkataan yang positif perlu terus dikondisikan agar muncul menjadi tindakan nyata yang positif. Tindakan-tindakan yang baik jika dilakukan secara konsisten akan menjadi kebiasaan positif, dan kebiasaan positif yang dilakukan terus menerus akan menjadi bagian dari pribadi yang bernama karakter baik. Karakter baik jika terus dipelihara akan menjadi keberuntungan bagi sipemiliknya.

Karakter, menurut Lickona (1991 : 51) memiliki tiga bagian yang saling terkait yaitu pengetahuan moral (moral knowing), perasaan moral (moral feeling), dan tindakan atau perilaku moral (moral behavior/moral action). Karakter yang baik berisi pikiran-pikiran dan kebiasaan-kebiasaan untuk mengetahui hal-hal baik, menginginkan kebaikan, dan melakukan kebaikan. Ketiga aspek tersebut menurut Lickona diperlukan untuk mengarahkan pada suatu kehidupan yang bermoral, dan ketiganya akan meningkatkan kematangan moral. Dengan menggunakan gambar, ketiga komponen karakter yang baik digambarkan Lickona (1991 : 53) sebagai berikut:

MORAL KNOWING

1. Moral awareness 2. Knowing moral values 3. Perspective-taking 4. Moral reasoning 5. Decision-making 6. Self-knowledge

MORAL FEELING

1. Conscience 2. Self-esteem 3. Empathy 4. Loving the good 5. Self-control 6. Humility

MORAL ACTION

1. Competence 2. Will 3. Habit

Pengetahuan moral (moral knowing) akan meningkatkan perasaan moral (moral feeling) dan perasaan moral akan mempengaruhi tindakan atau perilaku moral (moral behavior/moral action). Ketiga aspek moral tersebut tidak akan berfungsi secara terpisah-pisah tetapi saling mempengaruhi satu sama lain.

Pendidikan karakter perlu dilakukan secara komprehensif dan melibatkan seluruh pihak terkait. Sekolah dapat memerankan guru, orang tua, dan teman sebaya sebagai apa yang oleh Lickona (1991 : 68) disebut sebagai pendidik yaitu: 1) menjadi model, dan mentor, yang memperlakukan siswa, anak, dan teman sebayanya dengan cinta dan respek, mendukung perilaku prososial, dan mengoreksi perilaku-perilaku yang menyakiti; 2) membangun komunitas moral di kelas yang membuat warga kelas memahami satu sama lain, respek dan peduli satu sama lain, dan membangun rasa berharga sebagai anggota suatu kelompok; 3) mempraktikkan disiplin, menggunakan kreasi dan penguatan aturan-aturan sebagai peluang untuk memperjelas penalaran moral, self-kontrol, dan menerapkan sikap respek pada semua orang; 4) mendukung terwujudnya lingkungan kelas yang demokratis, melibatkan siswa dalam pembuatan keputusan, dan berbagi tanggung jawab untuk menjadikan sekolah sebagai tempat belajar dan tempat diri berkembang; 5) bersama siswa mempelajari keterampilan menolong dan bekerja sama satu sama lain; 6) mengembangkan kesadaran tanggung jawab akademik dan hal-hal yang terkait dengan nilai belajar dan nilai kerja; dan 7) belajar melakukan resolusi konflik sehingga memiliki kemampuan dan komitmen untuk memecahkan konflik secara adil dengan tanpa kekerasan.

B. Penguatan Karakter Baik (Good Character) sebagai Kekayaan Era Digital

Issu pendidikan karakter terkait dengan fenomena global. Di era Digital, globalisasi akan terus berjalan, dan tak seorangpun dapat menghentikannya. Suka atau tidak suka, tiap-tiap bangsa, tiap-tiap negara yang “bergaul dengan” dan tidak mengisolasikan diri dari peradaban dunia abad ini pasti berhadapan dengan globalisasi yang difasilitasi oleh teknologi digital. Kalimat yang cukup arif adalah bagaimana kita mengendalikan globalisasi itu sehingga globalisasi sedapat mungkin dapat mendatangkan keuntungan dan kekayaan masa depan (future wealth), bukan kerugian-kerugian. Dalam bidang ekonomi, cara-cara yang dapat dilakukan untuk mengendalikan globalisasi adalah seperti disarankan Ohmae (2000 : 2) yaitu dengan invention, commercialisation, dan competition. Ketiga hal ini dianggap penting terutama dalam menghadapi era dimana dunia tidak lagi mengenal batas-batas ekonomi (interlinked economy) dalam konteks persaingan bebas (free competitions).

Meskipun Ohmae lebih menekankan pada bidang ekonomi dan bisnis, menurut hemat penulis ketiga tawaran Ohmae dapat juga berlaku untuk bidang-bidang kehidupan yang lain seperti bidang politik, sosial, dan budaya dan termasuk di dalamnya bidang pendidikan. Untuk dapat mewujudkan invention, menggelindingkan commercialisation, dan meningkatkan daya competition dibutuhkan kualitas sumber daya manusia yang memadai. Oleh karena itu, untuk dapat mengendalikan globalisasi, peningkatan kualitas sumber daya manusia merupakan suatu keharusan. Selain itu agar kita tidak diombang-ambingkan oleh arus globalisasi, maka nilai-nilai lokal yang tidak bertentangan dengan nilai universal harus kita pertahankan. Nilai lokal perlu dijadikan sebagai penyaring nilai-nilai luar yang kurang sesuai dengan bangsa kita. Dengan kata lain, kita tidak boleh kehilangan karakter, identitas diri dan rasa nasionalisme dalam “pergaulan” global.

Sumber daya manusia yang handal sebagai hasil proses pendidikan, pengetahuan, nilai-nilai lokal, nilai-nilai global, serta berbagai modal manusia (human capital) lainnya merupakan aset-aset bagi kekayaan masa depan (Davis and Meyer, 2000 : 58). Kekayaan masa depan (future wealth) tidak lagi mengandalkan pada melimpahnya warisan sumber daya alam, melainkan harus beralih kepada human capital. Untuk dapat menciptakan human capital yang handal, pendidikan harus secara intensif berbenah dan meningkatkan diri. Kreatifitas, bakat, sikap, kepribadian, pengetahuan, teknologi dan aspek-aspek kemanusiaan yang lain hanya dapat dikembangkan melalui proses pendidikan baik pendidikan formal maupun pendidikan non formal dengan tetap memupuk-suburkan karakter-karakter yang baik (good character).

Penguatan karakter tidak cukup dilakukan di sekolah. Di era digital seperti sekarang ini, keluarga harus terlibat aktif dalam memfasilitasi anak menemukan dan mengembangkan karakter yang baik. Karena setiap anak sangat akrab dengan piranti digital yang di dalamnya menawarkan “apa saja” (bisa hal positif dan negatif), maka tidak berlebihan jika dikatakan bahwa di era digital karakter anak sangat dipengaruhi oleh informasi digital yang paparkan melalui piranti digital. Oleh

Prosiding Konferensi Pendidikan Nasional “Penguatan Karakter Bangsa Melalui Inovasi Pendidikan di Era Digital”

5

karena itu orang tua perlu memahami cara-cara mendampingi anak dalam menghadapi media digital. Herlina, Setiawan, dan Adikara, (2018 : 23-28) memberikan tips pengasuhan digital sebagai berikut. 1) Dampingi anak mengakses gawai, dimana orang tua perlu bersama anak dalam menggunakan media digital, menegosiasi waktu akses, dan memilih media dan saluran. Waktu akses bagi anak-anak disarankan tidak lebih dari 2 jam dan bisa lebih panjang jika untuk kepentingan membangun kedekatan dengan keluarga yang jauh. 2) Seleksi konten yang sesuai untuk anak yang dapat dilakukan dengan piranti lunak dan pemahaman. Orang tua dapat menggunakan kategorisasi atau rating yang digunakan penyedia konten. 3) Pahami informasi yang disediakan media digital, selektiflah mana yang tepat dan mana yang tidak tepat untuk anak. 4) Analisislah konten digital untuk menemukan pola positif dan negatif. 5) Verifikasilah media digital. 6) Evaluasilah konten media dengan mendiskusikannya dengan anak. 7) Distribusikan konten media berdasarkan nilai-nilai yang disepakati. Orang tua dan anak dapat saling berbagi konten media yang disepakati. 8) Memproduksi konten positif dan produktif bersama. 9) Berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan produktif terkait media digital. 10) Berkolaborasi menciptakan konten digital. Lebih lanjut Herlina, Setiawan, dan Adikara, (2018 : 29) mengingatkan bahwa pengasuhan digital harus disesuaikan dengan fase perkembangan anak.

SIMPULAN

Penguatan karakter anak harus dipandang sebagai tanggung jawab bersama orang tua, keluarga, sekolah, masyarakat, pemerintah dan seluruh komponen bangsa. Di era digital di mana informasi begitu deras mengalir dan tidak dapat dibendung dengan bendungan fisik, maka literasi digital menjadi salah satu jawabannya. Literasi digital memungkinkan anak, orang tua, sekolah dan semua pihak menjadi dewasa dan arif dalam menyikapi berbagai konten digital yang diaksesnya. Anak (peserta didik) menjadi “melek” memilih, memilah, dan menggunakan berbagai piranti digitas sekaligus menyaring nilai-nilai dan norma-norma mana yang diambil untuk dipakai dan mana yang harus diabaikan atau dibuang ketika memanfaatkan piranti digital. Dengan cara demikian anak-anak akan lebih imun (memiliki kekebalan) terhadap ancaman negatif yang terkandung dalam sebagian piranti dan pesan digital, yang pada gilirannya akan memiliki kararakter baik (good character). DAFTAR PUSTAKA Davis, S. and Meyer, C. (2000). Future Wealth. Boston : Harvard Business School Press. Herlina, D.S., Setiawan, B., dan Adikara, G.J. (2018). Digital Parenting: Mendidik Anak di Era

Digital. Bantul : Samudra Biru. https://id.wikipedia.org/wiki/Revolusi_Digital#Sejarah_Teknologi (diakses 25 September 2018) https://www.amazon.com/Generation-Americans-Confident-Assertive-

Entitled/dp/1476755566#reader_1476755566 Lickona, T. 2004. Character Matters. New York : Simon and Schuster. -------------- 1991. Educating for Character. New York : Bantam Books. Ohmae, K. (2000). The Borderless World: Power and Strategy in The Interlinked economy. New

York: Harper Collins Publishers. Suyata. (2011). Pendidikan Karakter: Dimensi Filosofis. dalam Darmiyati Zuhdi (ed). Pendidikan

Karakter dalam Perspektif Teori dan Praktik. Yogyakarta: UNY Press. Twenge, J.M. (2014). Generation Me: Why Today’s Young Americans Are More Confident,

Asertive, Entitled and More Miserable than Ever Before. New York : Atria Paperback.

GURU BERKUALITAS MENUJU INDONESIA CERDAS

Dr. Dra. Hermayawati, S.Pd., M.Pd. Universitas Mercu Buana Yogyakarta

[email protected]

PENDAHULUAN

Telah disadari bersama bahwa kemajuan di bidang ilmu pengetahuan, teknologi dan seni (Ipteks) dewasa ini terus melesat dan telah merasuk ke berbagai bidang, termasuk dalam bidang pendidikan. Keberadaan gawai (gadgets) bukan merupakan hal baru bagi para pemangku kepentingan termasuk pembelajar di berbagai tataran pendidikan. Bahkan di berbagai negara maju seperti Singapura, Jepang, Australia kepemilikan serta pemanfaatan buku pintar (Smartphone) bukan barang baru lagi di sekolah dasar. Seiring dengan kemajuan teknologi yang membawa pengaruh terhadap ketergantungan penggunaan gawai di kalangan pembelajar perlu kiranya disikapi secara positif oleh para guru. Pada kenyataannya, alat komunikasi canggih tersebut masih belum berterima di lingkungan sekolah dasar dan menengah. Buktinya, masih banyak sekolah yang melarang siswanya membawa serta HP (handphone) mereka pada saat belajar karena dikhawatirkan mengganggu kegiatan belajar. Biasanya para siswa diminta mengumpulkan HP mereka di tempat yang tersedia dan boleh diambil pada saat kegiatan belajar selesai.

Alih-alih ‘ditahan’ selama kegiatan belajar berlangsung, alat tersebut justeru sebenarnya dapat dimanfaatkan sebagai media atau perangkat keras (hardware) sekaligus program (software)-nya. Belajar dengan memanfaatkan keberadaan gawai justeru dapat meningkatkan motivasi belajar. Namun tentunya penggunaannya harus benar-benar dikontrol. Berbagai program banyak tersedia baik situs ‘You Tube’, Yahoo Messenger, Jurnal, berbagai berita Surat Khabar Online dan sebagainya yang dapat diunduh sebagai materi pembelajaran. Namun demikian pemanfaatan gawai sebagai perangkat pembelajaran tentunya memerlukan kesiapan guru, baik dalam hal penggunaannya secara teknis maupun dalam penelaahan muatan materi yang dibahas. Guru juga harus berhati-hati dalam memilih materi yang akan dibahas di kelas.

Perkembangan IPTEKS tentunya berdampak pada perkembangan di berbagai bidang termasuk dalam pendidikan, yaitu menyangkut metode, pendekatan dan teknik pembelajaran. Pembelajaran yang sebelumnya berfokus pada dominasi aktivitas guru (teacher’s-centered) yang biasanya disampaikan dalam bentuk ceramah (lecturing), saat ini lebih ditekankan pada aktivitas peserta didik (learners’centered). Dalam hal ini, guru sudah semestinya melaksanakan perkembangan seperti tersebut di atas, dengan cara memposisikan peserta didik sebagai pelaku atau aktor dalam proses belajarnya. Seiring dengan fenomena perubahan tersebut di atas, kepemilikan gawai oleh setiap peserta didik, termasuk pada tataran sekolah menengah sebenarnya dapat difungsikan secara lebih positif daripada hanya sekedar ‘ditahan’ oleh guru di kelas.

Permasalahannya, belum semua guru memiliki kesiapan dan/atau kiat dalam memanfaatkan gawai sebagai alat bantu tugasnya. Bahkan berbagai kajian membuktikan bahwa masih banyak guru baik pada tataran dasar dan menengah yang belum secara optimal memahami tugasnya (Nurkamto, 2000; Hermayawati, 2006; 2010; 2015; 2017). Secara garis besar, hal ini dapat dilihat dari berbagai kenyataan menyangkut eksistensi guru, yang melibatkan tiga aspek utama berikut.

Pertama, pemahaman terhadap kurikulum yang berlaku. Sejak diberlakukannya Kurikulum 2013 (K-13) hingga saat ini, masih banyak guru yang belum sepenuhnya memahami terutama cara mengembangkannya (Hermayawati, 2017). Padahal, guru mestinya merupakan pengembang kurikulum guna merancang program pembelajaran yang meliputi menyusun rancangan pembelajaran berikut materi dan evaluasinya (Richard, 2001; Brown, 2007; Tomlinson, 2000). Faktanya, hasil penelitian menunjukkan masih banyak guru yang menggunakan rancangan pembelajaran dan kelengkapannya secara mandiri.

Prosiding Konferensi Pendidikan Nasional “Penguatan Karakter Bangsa Melalui Inovasi Pendidikan di Era Digital”

7

Kedua, pemahaman hakikat mendidik dan/atau mengajar. Menurut PP No. 74/2008 tentang Guru khususnya pada Bab I Pasal 1 dijelaskan bahwa selain mengajar, tugas utama guru profesional adalah mendidik, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi peserta didik pada PAUD jalur pendidikan formal, pendidikan dasar dan pendidikan menengah (Depdiknas, 2008). Dalam hal ini, penelitian Nurkamto (2000) dan Hermayawati (2017) menunjukkan bahwa pada kurun waktu tersebut hingga saat ini masih banyak guru yang belum sepenuhnya memahami hakikat mendidik dan mengajar. Sebagai contoh, banyak guru yang tidak merancang rencana pembelajaran, materi dan evaluasinya secara mandiri. Demikian pula menyangkut pemberian hukuman (punishment) yang bersifat mendidik dan berkaitan dengan mata pelajaran yang diampunya. Fakta menunjukkan bahwa banyak guru yang menghukum peserta didik melenceng dengan tujuan pendidikan terkait bidangnya. Misalnya, ada guru matematik yang jika ada siswa terlambat diminta keluar tanpa diberi tugas apapun. Jika tidak mengerjakan tugas, dihukum dengan membayar denda, lari keliling halaman sekolah beberapa kali, bahkan ada yang menghukum dengan melakukan kekerasan baik fisik maupun verbal. Andaikata guru menyadari perilakunya tersebut bertentangan dengan Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 (UU No. 23/2002) tentang Perlindungan Anak dan UU No. 34/2014 tentang Perubahan UU No.23/2002 mungkin hal itu tidak akan terjadi.

Ketiga, kurang termotivasi dalam mengembangkan diri untuk kepentingan tugasnya. Fakta menunjukkan bahwa relatif tidak banyak guru yang memiliki motivasi untuk mengembangkan diri secara optimal, meskipun ada kesempatan untuk itu. Kebanyakan guru memilih untuk tetap berijasah minimal, yaitu S-1. Demikian pula dalam rangka melaksanakan penelitian, menjadi pemakalah dalam seminar, atau pun berkarya tulis. Jika ada, jumlahnya relatif tidak banyak. Jika ada, upaya peningkatan diri lebih cenderung karena ‘keterpaksaan’ (extrinsic motivation) belum sepenuhnya didasari oleh ‘kesadaran diri’ (intrinsic motivation). Kehadiran berbagai undang-undang dan peraturan pemerintah terkait dengan profesi guru mewajibkan para ‘pahlawan tanpa tanda jasa’ tersebut untuk melaksanakan amanat UU dan PP karena ada konsekuensi yang harus ditanggungnya jika tidak melaksanakan tugas dan fungsinya secara konsisten.

Atas dasar permasalahan tersebut di atas, makalah ini dimaksudkan untuk memberikan gambaran serta mendiskusikan tentang kriteria ‘guru berkualitas’ dalam upaya ‘menuju Indonesia Cerdas dan Bermartabat’ baik secara teori maupun praktik.

PEMBAHASAN A. Guru Berkualitas

Gage & Berliner (1984: 4) menyatakan bahwa guru dapat dikatakan berkualitas jika memenuhi 9 (sembilan) kriteria seperti berikut: (1) mampu mendorong peserta didik mengoptimalkan hasil belajarnya (pushed them to get the best from them); (2) benar-benar mendedikasikan waktunya untuk memahami peserta secara manusiawi dan apa adanya (really spent time trying to understand them as people); (3) mampu mengelola proses pembelajaran dengan baik (were well organized); (4) memiliki selera humor (had a sense of humor); (5) mampu membuat peserta didik nyaman belajar (make them feel good when they learnt something); (6) antusias atau memiliki semangat tinggi dalam mengajar (were anthusiastic about what they taught); (7) bersifat adil kepada setiap individu peserta didik (were fair); (8) mampu mendorong peserta didik memiliki rasa tanggung jawab (terhadap tugas belajarnya) (made them feel responsible); dan (9) mampu menggunakan berbagai cara (dengan menggunakan berbagai metode, pendekatan, strategi, teknik pembelajaran) agar peserta didik memiliki kemampuan dalam memahami materi pembelajarannya (put things in ways each of them could understand). Kondisi kualitas guru sebagaimana dipaparkan di atas dapat ditingkatkan jika ada komitmen bersama antara pemerintah institusi pendidikan dan guru yang bersangkutan. Tanpa adanya kesepakatan dan keinginan bersama dalam mewujudkan salah satu misi pencerdasan kehidupan bangsa niscaya cita-cita mulia tersebut sulit dicapai.

Sehubungan dengan pencerdasan kehidupan bangsa, sebenarnya pemerintah telah melakukan berbagai upaya melalui peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) Indonesia. Upaya tersebut hingga saat ini masih menjadi target utama yang wajib dilakukan secara sistemik oleh semua pemangku kepentingan (stakeholders). Hal ini perlu disikapi secara serius dengan mengingat fenomena hasil kajian United Nations Development Programme (UNDP) melalui Human Development Report-nya tahun 2016 (HDR 2016) yang mencatat bahwa Indeks Pembangunan

Prosiding Konferensi Pendidikan Nasional “Penguatan Karakter Bangsa Melalui Inovasi Pendidikan di Era Digital”

8

Manusia (IPM) Indonesia pada tahun 2015 turun peringkat dari posisi ke-110 (pada tahun 2014) menjadi peringkat ke-113 dari 188 negara di dunia (Fauzi, 2017).

Upaya peningkatan SDM Indonesia terutama dapat diwujudkan melalui peningkatan kualitas pendidikan, yang tentunya melibatkan guru di berbagai jenjang pendidikan. Artinya, peningkatan kualitas pendidikan salah satunya berkaitan dengan peningkatan kualitas guru, utamanya melalui peningkatan kualifikasi dan kompetensi serta sertifikasi pendidik. Peningkatan ketiga aspek tersebut merupakan condicio sine qua non (Sunhaji, 2014). Condicio sine qua non yaitu suatu kondisi yang mutlak diperlukan (indispensable condition) bagi perkembangan suatu bangsa.

Persyaratan tersebut sebenarnya telah termaktub secara eksplisit di dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 (UU No. 20/2003) tentang Sistem Pendidikan Nasional serta Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen (UU No. 14/2005) terutama yang tercantum dalam Bab IV, Bagian Satu Pasal 8, 9 dan 10. Undang-Undang No. 20/2003, tepatnya pada Bab XI Pasal 42 memuat kriteria minimum bagi profesi guru, yaitu sebagai berikut: (1) Pendidik harus memiliki kualifikasi minimum dan sertifikasi sesuai dengan jenjang kewenangan mengajar, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan unutk mewujudkan tujuan pendidikan Nasional; (2) Pendidik untuk pendidikan formal pada jenjang pendidikan usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi dihasilkan oleh perguruan tinggi terakreditasi; dan (3) Ketentuan mengenai kualifikasi pendidik sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dan ayat 2 diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.

Selain itu, UU No. 14/2005 Bab IV, Bagian Kesatu Pasal 8, 9 dan 10 secara rinci menuntut guru sebagai berikut: (1) Pada Pasal 8, Guru diwajibkan memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikasi pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional; (2) Pasal 9 menjelaskan bahwa kualifikasi akademik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 diperoleh melalui pendidikan tinggi program sarjana atau program diploma empat; (3) Pasal 10, menjelaskan bahwa kompetensi guru meliputi kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial dan profesional yang dapat diperoleh melalui pendidikan profesi. Pada Pasal 10 juga dijelaskan bahwa untuk ketentuan lebih lanjut menyangkut kompetensi guru sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah (PP).

Tabel 1. Kualifikasi Guru menurut SNP Nomor 19 tahun 2005 No Jenjang Kualifikasi Pendidikan 1. PAUD

(TK /RA) 1. Kualifikasi akademik pendidikan minimum diploma IV atau sarjana (S-1); 2. Latar belakang pendidikan tinggi dibidang anak usia dini, kependidikan lain

atau psikolog; 3. Sertifikasi profesi guru untuk PAUD.

SD / MI 1. Kualifikasi akademik pendidikan minimum diploma IV atau sarjana (S-1); 2. Latar belakang pendidikan tinggi dibidang pendidikan SD / MI, kependidikan

lainh dan psikolog; 3. Sertifikasi profesi guru untuk SD/MI.

3. SMP/MTs 1. Kualifikasi akademik pendidikan minimum diploma IV atau sarjana (S-1); 2. Latar belakang pendidikan tinggi dengan program pendidikan yang sesuai

dengan mata pelajaran yang diajarkan; 3. Sertifikasi profesi guru untuk SMP /MTs

4. SMA/MA 1. Kualifikasi akademik pendidikan minimum diploma empat atau sarjana (S-1); 2. Latar belakang pendidikan tinggi dengan program pendidikan yang sesuai

dengan mata pelajaran yang diajarkan; 3. Sertifikasi profesi guru untuk SMA/MA.

5. SDLB/SMPLB/ SMA LB

1. Kualifikasi akademik pendidikan umum diploma empat atau sarjana (S-1); 2. Latar belakang pendidikan tinggi dengan program pendidikan khusus atau

sarjana yang sesuai dengan mata pelajaran yang diajarkan; 3. Sertifikasi profesi guru untuk SDLB / SMPLB / SMALB

6. SMK/MAK 1. Kualifikasi akademik pendidikan minimum diploma empat atau sarjana (S-1); 2. Latar belakang pendidikan tinggi dengan program pendidikan yang sesuai

dengan mata pelajaran yang diajarkan; 3. Sertifikasi profesi guru untuk SMK / MAK.

Prosiding Konferensi Pendidikan Nasional “Penguatan Karakter Bangsa Melalui Inovasi Pendidikan di Era Digital”

9

Peraturan Pemerintah dimaksud adalah PP Nomor 19 tahun 2005 (PP No. 19/2005) tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP), yang di antaranya mengatur tentang standar minimum kualifikasi guru pada berbagai tataran pendidikan, yang meliputi: (1) Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD); (2) Taman Kanak-Kanak atau Raudatul Athfal (TK/RA); (3) Sekolah Dasar atau Madrasah Ibtidaiyah (SD/MI); (3) Sekolah Menengah Pertama atau Madrasah Tsanawiyah (SMP/MTs); (4) Sekolah Menengah Atas atau Madrasah Aliyah (SMA/MA); (5) Sekolah Dasar Luar Biasa, Sekolah Menengah Pertama Luar Biasa dan Sekolah Menengah Atas Luar Biasa (SDLB/SMPLB/SMA LB); dan (6) Sekolah Menengah Kejuruan atau Madrasah Aliyah Kejuruan (SMK/MAK) atau vokasi. Kriteria tentang kualifikasi guru sebagaimana disebutkan di atas dapat dilihat pada Tabel 1.

B. Urgensi Pemahaman Guru tentang Undang-Undang Terkait dengan Profesinya

Berbagai undang-undang serta peraturan pemerintah tersebut di atas perlu dikaji secara mendalam agar guru memahami hak dan kewajibannya. Selain UU No. 20/2003, UU No. 14/2005 dan PP No. 19/2005 sebagaimana diuraikan di muka, ada lagi undang-undang yang wajib dipahami guru dalam kaitannya sebagai pendidik, yaitu Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 tahun 2014 (UURI No.35/2014 tentang Perubahan UU No. 23/2002 tentang Perlindungan Anak (UUPA). Hemat penulis, pemahaman undang-undang ini wajib bagi guru sebagai payung hukum untuk menghindarkan berbagai permasalahan berkaitan dengan profesinya. Minimnya pemahaman guru terhadap eksistensi UUPA dapat ditengarai dari berbagai fakta kekerasan guru terhadap peserta didik. Untuk itu, perlu kiranya bagi guru untuk memahami UU terutama yang langsung berkaitan dengan tugasnya, di antaranya adalah sebagai berikut.

Pasal 1 Ayat (15a) menyebutkan bahwa kekerasan terhadap anak meliputi: perbuatan yang menimbulkan kesengsaraan atau penderitaan fisik, psikis, seksual dan/atau penelantaran, termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum pada anak (yang dalam hal ini adalah peserta didik). Anak juga memiliki hak yang merupakan hak asasi manusia (HAM) yang wajib dijamin, dilindungi, dan wajib dipenuhi oleh orang tua, keluarga, masyarakat, negara, pemerintah dan pemerintah daerah (Lihat Pasal 1 Ayat 12). Pasal 9 Ayat (1) menyatakan: Setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakatnya. Ayat (1a) berbunyi: Setiap anak berhak mendapatkan perlindungan di satuan pendidikan dari kejahatan seksual dan kekerasan yang dilakukan oleh pendidik, tenaga kependidikan, sesama peserta didik dan/atau pihak lain. Pasal 54 berbunyi: Anak di dalam dan di lingkungan satuan pendidikan wajib mendapatkan perlindungan dari tindak kekerasan fisik, psikis, kejahatan seksual dan kejahatan lainnya yang dilakukan oleh pendidik, tenaga kependidikan, sesama peserta didik dan/atau pihak lain.

Ketiga pasal tersebut di atas hendaknya bukan hanya perlu dipahami melainkan juga harus dilaksanakan oleh para guru sebagai pendidik agar tidak salah langkah yang dapat menimbulkan permasalahan. Eksistensi undang-undang dengan peraturan pemerintahnya memang tidak pernah secara langsung disosialisasikan kepada guru. Oleh sebab itu, guru perlu proaktif dalam mencari tahu tentang keberadaan UU karena pada umumnya setiap UU dan perubahannya selalu dimuat di berbagai media baik cetak maupun elektronik, termasuk melalui internet. Untuk itu guru wajib melek teknologi agar tidak ketinggalan informasi yang dapat berdampak pada rendahnya kualitas guru khususnya, serta kualitas pendidikan pada umumnya.

C. Hubungan Kualitas Guru dan Peningkatan Kualitas SDM

Semboyan “Belajar sepanjang hayat (life-long education)” bukan hanya harus dilakukan oleh peserta didik usia muda pada jenjang pendidikan formal saja, melainkan juga sebaiknya diikuti dan dilaksanakan oleh siapa pun termasuk guru. Apalagi di era digital saat ini. Jika tidak, negara akan terus semakin tertinggal dengan negara-negara lain di dunia. Empat pilar utama pendidikan yang telah dicanangkan oleh lembaga dunia yang menangani masalah pendidikan dan budaya (UNESCO) yaitu: ‘Learning to know’, ‘learning to do’, ‘learning to be’, dan ‘learning to live together’.

Prosiding Konferensi Pendidikan Nasional “Penguatan Karakter Bangsa Melalui Inovasi Pendidikan di Era Digital”

10

Harus diakui selama ini pendidikan di Indonesia baru sebatas retorika teoretis dalam mengamalkan empat pilar pendidikan (Hermayawati, 2018) sebagaimana diamanatkan United Nations Educational Scientific and Cultural Organization (UNESCO) yaitu cabang organisasi Perserikatan Bangsa Bangsa yang mengatur bidang pendidikan, keilmuan, budaya dan komunikasi. Empat pilar tersebut adalah learning to know, learning to do, learning to be, learning to live together yang oleh berbagai bangsa lain telah diamalkan secara konsisten dan konsekuen. Bagaimana dengan kita, apakah semua institusi pendidikan di Indonesia sudah mengamalkannya? Empat pilar sebagaimana tersebut di atas tentunya bukan hal yang bisa disepelekan implementasinya, mengingat telah disepakati bersama dalam suatu konvensi internasional. Mengacu pada empat pilar tersebut di atas, pendidikan mestinya bukan hanya mampu mengarahkan peserta didik pada penguasaan keilmuan (knowing) dan implementasinya (doing). Seharusnya juga mampu membentuk manusia yang berkepribadian normatif (being) serta mampu beradaptasi dan bertoleransi di manapun, di lingkungan manapun mereka berpijak atau berada (living together).

Hasil pendidikan di Indonesia secara nyata masih menunjukkan kelemahan dalam menghasilkan lulusan yang memiliki budi pekerti luhur yang mampu menghormati orang lain. Terkadang hak-hak orang lain pun diabaikan. Banyak contoh yang terjadi di sekitar kita yang biasa kita alami sehari-hari, misalnya dalam berlalu-lintas, berkendara, merokok di depan umum, meludah di jalan saat berkendara, membuang sampah sembarangan. Juga mencaci-maki orang lain secara tidak proporsional, mengeraskan knalpot kendaraan, membunyikan klakson keras-keras saat jalanan macet dan sejenisnya. Semua kejadian tersebut jarang terjadi di banyak kota di mancanegara. Lalu apakah yang salah dengan pendidikan kita?

Hemat penulis, permasalahan pendidikan di negara ini disebabkan beberapa faktor yang di antaranya adalah seperti berikut. Pertama, sistem pendidikan masih menitik-beratkan pada aspek knowing dan doing dan belum secara konsisten dan konsekuen berfokus pada penanaman pilar aspek being (sikap atau perilaku normatif) dan living together (menyesuaikan diri dengan lingkungan atau bertoleransi) dalam lingkup kependidikan di Indonesia. Kedua, sistem pendidikan di Indonesia selama ini belum secara serius menyentuh dua pilar penanggung jawab pendidikan, yang seharusnya ditanggung oleh keluarga (pendidikan informal) sebagai basisnya, masyarakat (pendidikan non-formal) dan sekolah (pendidikan formal). Ketiga, pola pikir (mindset) sebagian masyarakat di Indonesia yang masih menilai bahwa perilaku lulusan identik dengan hasil pendidikan formal. Keempat, harus diakui bahwa di dalam proses pendidikan kita, masih banyak terjadi bias atau penyimpangan sebagai akibat dari kurang profesionalnya sumber daya institusi pendidikan di berbagai tataran. Kelima, terkesan adanya pembiaran terhadap mal-administrasi akreditasi institusi sehingga menghasilkan mutu pendidikan yang bias. Keenam, masih banyak orangtua yang kurang peduli terhadap perilaku anggota keluarganya dengan berbagai alasan.

Penulis menyadari, solusi permasalahan seperti tersebut di atas sangat tidak semudah membalik tangan. Namun demikian, tentu saja hal ini menjadi tugas bersama para guru sebagai pendidik untuk membenahi bukan hanya mutu melainkan juga tentang cara berperilaku dalam kehidupan bersama di setiap lingkungan kehidupan. Paling tidak, masing-masing elemen ketiga pilar yaitu keluarga, institusi pendidikan dan masyarakat saling bahu membahu secara bertanggung jawab dalam rangka mendidik generasi penerus bangsa. Tanggung jawab yang berat ini akan dapat terlaksana jika dimotori oleh sekolah, yang notabene adalah guru. Dalam melaksanakan tugas mulianya sebagaimana dipaparkan di atas, guru terkadang mengalami berbagai kendala baik yang bersifat teoretis, teknis maupun praksis sehubungan dengan fenomena perkembangan Ipteks dewasa ini. Pesatnya perkembangan teknologi menghasilkan berbagai produk gawai (gadgets) dengan harga relatif terjangkau, memungkinkan setiap peserta didik memiliki benda canggih tersebut.

Masalahnya, muatan perangkat lunak yang tersedia di berbagai situs terkadang tidak terkontrol dan banyak muatan yang tidak mendidik. Jika peserta didik ada di sekolah, tentu mereka menjadi tanggung jawab sekolah dan guru. Namun demikian, kebijakan menyita gawai atau melarang membawa serta benda tersebut pada saat jam belajar tentu bukan solusi yang tepat, karena benda tersebut justeru dapat dimanfaatkan sebagai alat bantu belajar. Banyak sumber yang ada di dalam program gawai yang dapat digunakan sebagai sumber belajar (Blended Learning), seperti: jurnal, berbagai produk budaya, seni, teknik keterampilan, ilmu pengetahuan yang otentik dan aktual.

Prosiding Konferensi Pendidikan Nasional “Penguatan Karakter Bangsa Melalui Inovasi Pendidikan di Era Digital”

11

Pembiasaan menggunakan gawai secara bijak dan bermanfaat baik di saat belajar di sekolah atau pun di rumah (manakala ada penugasan di rumah) secara terus menerus (Operant-Conditioning) diharapkan dapat mengurangi penggunaan benda tersebut untuk berbagai hal negatif. Tentu saja, pemanfaatannya memerlukan kesiapan, kreativitas, bimbingan dan pengawasan guru yang bersangkutan. Kesanggupan guru dalam melakukan tugasnya secara dedikatif dan penuh tanggung jawab sangat diharapkan karena telah diatur dalam UU No. 14/2005 Bab IV, Bagian Kesatu Pasal 8, 9 dan 10 sebagaimana telah dipaparkan di muka.

D. Hak, Kewajiban dan Perlindungan Guru

Dalam pelaksanaan tugasnya, guru memiliki hak, kewajiban serta mendapatkan jaminan perlindungan hukum. Pasal 14 Ayat (1) UU No. 14/2005 tentang Guru dan Dosen (UUGD) memuat 11 (sebelas) butir hak dan kewajiban guru dalam pelaksanaan tugasnya, yaitu sebagai berikut: (a) memperoleh penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum dan jaminan kesejahteraan sosial; (b) mendapatkan promosi dan penghargaan sesuai dengan tugas dan prestasi kerja; (c) memperoleh perlindungan dalam melaksanakan tugas dan hak atas kekayaan intelektual; (d) memperoleh kesempatan untuk meningkatkan kompetensi; (e) memperoleh dan memanfaatkan sarana dan prasarana pembelajaran untuk menunjang kelancaran tugas keprofesionalan; (f) memiliki kebebasan dalam memberikan penilaian dan ikut menentukan kelulusan, penghargaan, dan/atau sanksi kepada peserta didik sesuai dengan kaidah pendidikan, kode etik guru, dan peraturan perundang-undangan; (g) memperoleh rasa aman dan jaminan keselamatan dalam melaksanakan tugas; (h) memiliki kebebasan untuk berserikat dalam organisasi profesi; (i) memiliki kesempatan untuk berperan dalam penentuan kebijakan pendidikan; (j) memperoleh kesempatan untuk mengembangkan dan meningkatkan kualifikasi akademik dan kompetensi; dan/atau (k) memperoleh pelatihan dan pengembangan profesi dalam bidangnya.

Selain butir-butir menyangkut hak dan kewajiban guru tersebut di atas, UUGD juga mengatur tentang perlindungan guru. Perlindungan bagi guru termaktub dalam UUGD terutama Pasal 39 Ayat 1 sampai dengan 5 yang berbunyi sebagai berikut: (1) Pemerintah, pemerintah daerah, masyarakat, organisasi profesi, dan/atau satuan pendidikan wajib memberikan perlindungan terhadap guru dalam pelaksanaan tugas; (2) Perlindungan tersebut meliputi perlindungan hukum, perlindungan profesi, serta perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja; (3) Perlindungan hukum tersebut mencakup perlindungan hukum terhadap tindak kekerasan, ancaman, perlakuan diskriminatif, intimidasi, atau perlakuan tidak adil dari pihak peserta didik, orang tua peserta didik, masyarakat, birokrasi, atau pihak lain; (4) Perlindungan profesi mencakup perlindungan terhadap pemutusan hubungan kerja yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan, pemberian imbalan yang tidak wajar, pembatasan dalam menyampaikan pandangan, pelecehan terhadap profesi, dan pembatasan/ pelarangan lain yang dapat menghambat guru dalam melaksanakan tugas; (5) Perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja mencakup perlindungan terhadap risiko gangguan keamanan kerja, kecelakaan kerja, kebakaran pada waktu kerja, bencana alam, kesehatan lingkungan kerja, dan/atau risiko lain.

Perlindungan bagi guru perlu adanya, karena pada kenyataannya, telah seringkali terjadi ada guru dianiaya peserta didik dan/atau orang tuanya baik secara verbal maupun fisik. Hal ini dimungkinkan terjadi sebagai akibat dari perkembangan teknologi yang terkadang memperlihatkan tontonan berupa kekerasan sehingga berdampak pada perubahan sikap perilaku peserta didik yang terkadang membangkang instruksi guru, berkata-kata tidak sopan dan sebagainya, yang disebabkan oleh tontonan yang tidak mendidik. Masalahnya adalah, masih banyak guru di berbagai tataran pendidikan yang belum memahami tugas, hak dan kewajibannya sebagai pengajar sekaligus pendidik secara profesional. Oleh karena itu, forum komunikasi guru secara konsisten dan berkesinambungan sangat diperlukan mulai dari level sekolah hingga provinsi bahkan nasional yang tentunya dimotori oleh guru.

E. Kiat Meningkatkan Kualitas Pendidikan Menuju Indonesia Cerdas dan Bermartabat

Peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) tentu tidak terlepas dari peningkatan kualitas pendidikan peserta didik, baik melalui pendidikan formal (di sekolah), informal (di dalam keluarga) maupun non-formal (di dalam masyarakat). Sejalan dengan amanah UU No.14/2005

Prosiding Konferensi Pendidikan Nasional “Penguatan Karakter Bangsa Melalui Inovasi Pendidikan di Era Digital”

12

khususnya Pasal 10, guru diwajibkan memiliki kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial dan profesional dalam melaksanakan tugasnya secara holistik. Kompetensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 merupakan seperangkat pengetahuan, keterampilan, dan perilaku yang harus dimiliki, dihayati, dikuasai, dan diaktualisasikan oleh guru dalam melaksanakan tugas keprofesionalan. Peraturan Pemerintah (PP) No 78/2008 secara detail telah menjelaskan tentang maksud keempat kompetensi tersebut.

Kompetensi pedagogik sebagaimana dimaksud pada Pasal 3 Ayat (2) merupakan kemampuan guru dalam pengelolaan pembelajaran peserta didik yang sekurang-kurangnya meliputi: (1) pemahaman wawasan atau landasan kependidikan; (2) pemahaman terhadap peserta didik; (3) pengembangan kurikulum atau silabus; (4) perancangan pembelajaran; (5) pelaksanaan pembelajaran yang mendidik dan dialogis; (6) pemanfaatan teknologi pembelajaran; (7) evaluasi hasil belajar; dan (8) pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya.

Kompetensi kepribadian sekurang-kurangnya mencakup: (1) beriman dan bertakwa; (2) berakhlak mulia; (3) arif dan bijaksana; (4) demokratis; mantap; (5) berwibawa; (6) stabil; (7) dewasa; (8) jujur; (9) sportif; (10) menjadi teladan bagi peserta didik dan masyarakat; (11) secara obyektif mengevaluasi kinerja sendiri; dan (12) mengembangkan diri secara mandiri dan berkelanjutan.

Kompetensi sosial sekurang-kurangnya meliputi kompetensi untuk: (1) berkomunikasi lisan, tulis, dan/atau isyarat secara santun; (2) menggunakan teknologi komunikasi dan informasi secara fungsional; (3) bergaul secara efektif dengan peserta didik, sesama pendidik, tenaga kependidikan, pimpinan satuan pendidikan, orang tua atau wali peserta didik; (4) bergaul secara santun dengan masyarakat sekitar dengan mengindahkan norma serta sistem nilai yang berlaku; dan (5) menerapkan prinsip persaudaraan sejati dan semangat kebersamaan.

Kompetensi profesional merupakan kemampuan guru dalam menguasai pengetahuan bidang ilmu pengetahuan, teknologi, dan/atau seni dan budaya yang diampunya yang sekurang-kurangnya meliputi penguasaan: (1) materi pelajaran secara luas dan mendalam sesuai dengan standar isi program satuan pendidikan, mata pelajaran, dan/atau kelompok mata pelajaran yang akan diampu; dan (2) konsep dan metode disiplin keilmuan, teknologi, atau seni yang relevan, yang secara konseptual menaungi atau koheren dengan program satuan pendidikan, mata pelajaran, dan/atau kelompok mata pelajaran yang akan diampu.

Secara holistik komprehensif, keempat kompetensi tersebut wajib diaktualisasikan dalam melaksanakan tugasnya. Artinya, setiap guru wajib memiliki pengetahuan akademis yang luas, terus berupaya mengembangkan dirinya, berkemampuan mengajar, mendidik, menjadi model yang baik bagi lingkungan secara normatif sesuai dengan kaidah-kaidah teoretis dan payung hukum (yuridis) yang berkaitan dengan tugasnya. Pertanyaannya adalah, sudahkah ketentuan-ketentuan tersebut dilaksanakan secara konsisten dan konsekuen oleh setiap guru? Jawabannya tentu berpulang pada individu guru yang bersangkutan. Seberapa jauh ia berkomitmen dan bertanggung jawab terhadap tugasnya. Memang disadari bahwa pendidikan merupakan suatu sistem yang tentunya melibatkan berbagai komponen. Namun setidaknya upaya peningkatan kualitas peserta didik secara formal dapat mendongkrak kualitas SDM peserta didik sebagai aset bangsa.

Gambar 1. Diagram Pendidikan Sistemik Gambar 1 menunjukkan proses pendidikan yang berlangsung sistemik antara pendidikan

formal, informal dan non-formal yang diawali dengan pendidikan dalam keluarga dan pendidikan

Prosiding Konferensi Pendidikan Nasional “Penguatan Karakter Bangsa Melalui Inovasi Pendidikan di Era Digital”

13

dalam lingkungan kehidupan atau masyarakat. Proses tersebut berlangsung secara berkesinambungan dan merupakan tanggung jawab bersama antarkomponen tersebut. Di dalam pendidikan formal, guru memiliki peranan penting dalam upaya meningkatkan kecerdasan peserta didik. Untuk itu ia dituntut selalu mengembangkan diri secara terus menerus termasuk dalam mengikuti perkembangan teknologi sebagai basis kesiapannya dalam melaksanakan tugasnya.

Sebagaimana kita ketahui bahwa Krathwohl (2002) mengembangkan enam tataran berpikir taksonomi Bloom yang mestinya secara holistik dibiasakan ditanamkan sejak dini, selain tataran berkepribadian (domain afektif) dan berketerampilan (domain psikomotor). Keenam domain berpikir yaitu: mengingat, memahami, menerapkan, menganalisis, mengevaluasi dan berkreasi mestinya dipraktekkan secara holistik dan dibiasakan sejak dini. Pengembangan keenam ranah kemampuan berpikir tersebut juga dapat menyeimbangkan penggunaan otak kiri dan otak kanan. Penyeimbangan otak kiri dan kanan dapat mendorong peserta didik untuk belajar secara mandiri, menyenangkan, dan kreatif sehingga ia mampu menerima berbagai informasi baru lebih mudah (Nirmalasari, 2011: 178).

SIMPULAN

Atas dasar berbagai paparan menyangkut tugas profesi guru, hak, perlindungan serta kiatnya dalam meningkatkan kualitas SDM melalui peningkatan kualitas peserta didiknya, dapat disimpulkan bahwa setiap guru wajib melaksanakan tugasnya melalui aktualisasi amanah UURI No. 20/2003 tentang Sisdiknas, UURI No.14/2005 tentang Guru dan Dosen, UURI No. 23/2002 yuncto UU No.35/2014 tentang Perlindungan Anak, serta PP No. 19/2005 dan PP No.78/2008. Aktualisasi berbagai aturan yuridis tersebut dapat dilakukan di antaranya melalui kegiatan berikut: (1) menyadari tugas profesinya melalui upaya pengembangan empat kompetensi secara berkelanjutan; (2) mengoptimalkan tiga ranah potensi peserta didik, yaitu kognitif, afektif dan psikomotor sesuai dengan kapasitas masing-masing; (3) memberikan kebebasan yang bertanggung-jawab kepada peserta didik sesuai dengan bakat dan minat masing-masing agar belajar menjadi menyenangkan; (4) mendorong peserta didik untuk memperoleh pengalaman belajar yang kompetitif di luar kelas atau pun di luar sekolah untuk membiasakan diri berkompetisi dalam hidup di masa depan. DAFTAR PUSTAKA (1) Anonim. 2003. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Jakarta: Depdiknas. (2) Anonim. 2005. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan

Dosen. Jakarta: Depdiknas. (3) Brown, H., Douglass. 2007. Teaching by Principles: An Interactive Approach to Language

Pedagogy. NY: Pearson Education, Inc. (4) Depdiknas. 2008. Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2008 tentang Guru. Jakarta:

Depdiknas. (5) Fauzi, Yuliyanna. 2017. Ranking Indeks Pembangunan Manusia Indonesia Turun ke-113.

Jakarta: CNN Indonesia. (Retrieved from https://www.cnnindonesia.com/ ekonomi/20170322182446-78-202081/ranking-indeks-pembangunan-manusia-indonesia-turun-ke-113, June 13, 2018)

(6) Gage, N.L. & Berliner, David C. 1984. Educational Psychology: Third Edition. Boston: Houghton Mifflin Company.

(7) Hermayawati. 2005. Relevansi Materi Pembelajaran Bahasa Inggris di SMA dengan Pelestarian Budaya dan Pengembangan Pariwisata Kota Yogyakarta (Laporan Hasil Penelitian atas Biaya Pemprov DIY). Yogyakarta: BAPPEDA Kota Yogyakarta.

(8) Hermayawati. 2017. Analysis on the English Teachers’ Understanding in Implementing the 2013 Curriculum : A paper presented in the 4th AECon 2017. UM Purwokerto: Atlantis Press.

(9) Hermayawati. 2018. Empat Pilar Pendidikan UNESCO:Artikel dimuat pada SKH Kedaulatan Rakyat dan KRJogja (http://krjogja.com/web/news/read/57325/ Empat_Pilar_Pendidikan_UNESCO.

(10) Johnson, Elaine B. 2007. Contextual Teaching and Learning (Edisi Terjemahan). Bandung: MLC.

Prosiding Konferensi Pendidikan Nasional “Penguatan Karakter Bangsa Melalui Inovasi Pendidikan di Era Digital”

14

(11) KPAI. 2014. Undang-Undang RI Nomor 35/2014 tentang Perubahan atas UURI No.23/2002 tentang Perlindungan Anak.

(12) Krathwohl, David R. 2002. A Revision of Bloom’s Taxonomy: An Overview. Available from https://www.depauw.edu/files/resources/krathwohl.pdf

(13) Nirmalasari, Marintan. 2011. Pengembangan Model Memorization Learning dalam Meningkatkan Pemahaman Peserta Didik pada Pelajaran Kimia SMA. http://repository.uinsu.ac.id

(14) Nurkamto, Joko. 2000. Pendekatan Komunikatif: Penerapan dan Pengaruhnya terhadap Pemelajaran Bahasa Inggris (Laporan Hasil Penelitian untuk Disertasi). Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Negeri Jakarta.

(15) Sunhaji. 2014. Kualitas Sumber Daya Manusia (Kualifikasi, Kompetensi dan Sertifikasi Guru). Jurnal Kependidikan, Vol. II No. 1 Mei 2014 (Available from https://media.neliti.com/media/publications/104619-ID-kualitas-sumber-daya-manusia-kualifikasi.pdf.

Prosiding Konferensi Pendidikan Nasional “Penguatan Karakter Bangsa Melalui Inovasi Pendidikan di Era Digital”

15

PERSEPSI PENCEGAHAN DAN PERAWATAN CEDERA TERHADAP PEMBELAJARAN PENDIDIKAN JASMANI OLAHRAGA KESEHATAN

SISWA SEKOLAH DASAR DI KABUPATEN SLEMAN DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

Asna Syafitri Sari1, Yulius Agung Saputro2 [email protected] [email protected]

Abstrak Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui tentang persepsi pencegahan dan perawatan cedera terhadap pembelajaran pendidikan jasmani olahraga kesehatan siswa. Sampel dalam penelitian ini menggunakan teknik sampling area dengan jumlah sampel adalah 68 siswa (53 orang dari SD Negeri Gejayan dan 15 orang dari SD Negeri 1 Sleman). Sedangkan untuk teknik pengumpulan datanya dengan teknik angket yang berisi 54 pernyataan tentang hubungannya dengan pembelajaran Pencegahan Perawatan Cedera (PPC) yang terdiri dari 4 faktor yaitu, lingkungan belajar, sarana dan prasarana, bentuk cedera, dan perbedaan persepsi saat pembelajaran. Teknik analisis dalam penelitian ini menggunkan menggunakan perhitungan statistik deskriptif prosentase, ditambah dengan uji validitasnya menggunakan rumus product moment taraf signifikasi 5% (r1 = 0.05), dan uji realiabilitasnya menggunakan SPSS 16 for Windows. Hasil penelitian diperoleh: 1) frekuensi terbanyak persepsi pencegahan dan perawatan cedera terhadap pembelajaran pendidikan jasmani olahraga kesehatan pada siswa kelas 4 dan 5 SD Negeri Gejayan dan SD Negeri 1 Sleman dalam kategori cukup baik yaitu 9 siswa (60%). 2) persepsi pencegahan dan perawatan cedera terhadap pembelajaran pendidikan jasmani olahraga kesehatan siswa kelas 4 dan 5 berdasarkan faktor lingkungan belajar memiliki frekuensi terbanyak pada kategori cukup baik yaitu 7 (46,67%) siswa dari SD Negeri 1 Sleman. 3) persepsi pencegahan dan perawatan cedera terhadap pembelajaran pendidikan jasmani olahraga kesehatan siswa kelas 4 dan 5 berdasarkan faktor sarana dan prasarana memiliki frekuensi terbanyak pada kategori baik yaitu 25 (47,17%) siswa dari SD Negeri Gejayan. 4) persepsi pencegahan dan perawatan cedera terhadap pembelajaran pendidikan jasmani olahraga kesehatan siswa kelas 4 dan 5 berdasarkan faktor bentuk cedera memiliki frekuensi terbanyak pada kategori cukup baik yaitu 19 (35,85%) siswa dari SD Negeri Gejayan. 5) persepsi pencegahan dan perawatan cedera terhadap pembelajaran pendidikan jasmani olahraga kesehatan siswa kelas 4 dan 5 berdasarkan faktor perbedaan persepsi saat pembelajaran memiliki frekunesi terbanyak pada kategori baik yaitu 24 (45,28%) siswa dari SD Negeri Gejayan.

Kata Kunci: Persepsi Siswa, Pencegahan Perawatan Cedera (PPC). PENDAHULUAN

Olahraga merupakan penyebab terjadinya cedera yang paling sering, menurut Muchtamadji (2004: 54) kemungkinan terjadinya kecelakaan di sekolah lebih sering dialami saat proses belajar mengajar pendidikan jasmani baik di luar maupun di dalam ruangan, dibandingkan dengan pada saat proses belajar mengajar mata pelajaran lain yang umumnya berlangsung dalam ruangan. Beliau menuturkan kembali, bahwa cedera dapat terjadi disebabkan beberapa kemungkinan faktor sebagai berikut: 1) Faktor lingkungan belajar, 2) Faktor fasilitas, 3) Faktor peralatan, 4) Faktor manajemen pembelajaran, 5) Faktor teknik bantuan, 6) Faktor perencanaan tugas ajar. Sedangkan menurut Moeslim dalam Matho Yani Irfa’(2013: 45), yaitu: 1) kurangnya kepemimpinan, 2) ketidakbaikan alat-alat, 3) tingkah laku anak-anak yang tidak bisa dipertanggung jawabkan, 4) keterampilan yang tidak memadai, 5) kondisi fisik yang tidak baik, 6) resiko yang terdapat dalam kegiatan tersebut. Sejalan dengan adanya kemungkinan terjadinya cedera saat pembelajaran tersebut.

Pencegahan merupakan usaha dalam bentuk tindakan dari pihak yang dimaksud untuk menghalangi, menghentikan atau mengurangi dampak dari akibat yang akan terjadi. Cedera merupakan suatu kerusakan pada organ tubuh yang terjadi dengan sebab atau akibat dari perbuatan tersendiri terhadap tubuh yang melampaui batas kemampuan tubuh untuk diatasinya baik di sengaja ataupun tidak sehingga mengakibatkan terjadinya cedera. perawatan juga dapat di definisikan sebagai suatu aktivitas untuk memelihara dengan mengadakan perbaikan peralatan secara terprogram

Prosiding Konferensi Pendidikan Nasional “Penguatan Karakter Bangsa Melalui Inovasi Pendidikan di Era Digital”

16

agar tetap berfungsi sesuai dengan apa yang direncanakan. Aspek kesehatan merupakan aspek tersendiri, dan secara implisit masuk ke dalam semua aspek”. Namun untuk standar kompetensi dan kompetensi dasar belum dicantumkan. Tetapi hal tersebut, dalam kurikulum 2013 mendapatkan tempat pada kompetensi dasar (KD) kelas 4 yang berbunyi “Memahami jenis cedera dan mampu melakukan penanggulangan sederhana selama melakukan aktivitas fisik” pada kompetensi inti (KI) dan KD 3.4. Dengan adanya hal tersebut, maka perlu adanya pembelajaran pencegahan dan perawatan cedera (PPC). Sesuai dengan tujuan mata kuliah PPC, yang mana PPC perlu diberikan pembelajaran kepada peserta didik.

Persepsi (dari bahasa Latin perceptio, percipio) adalah tindakan menyusun, mengenali, dan menafsirkan informasi sensoris guna memeberikan gambaran dan pemahaman tentang lingkungan. Persepsi meliputi semua sinyal dalam sistem saraf, yang merupakan hasil dari 3 stimulasi fisik atau kimia dari organ pengindra, misalnya penglihatan yang merupakan cahaya yang mengenai retina pada mata, pencium yang memakai media molekul bau (aroma), dan pendengaran yang melibatkan gelombang suara. Persepsi bukanlah penerimaan isyarat secara pasif, tetapi dibentuk oleh pembelajaran, ingatan, harapan, dan perhatian. Persepsi bergantung pada fungsi kompleks sistem saraf, tetapi tampak tidak ada karena terjadi di luar kesadaran. Menurut Hamka (2002:81) proses terjadinya persepsi melalui tahap–tahap sebagai berikut: 1) Tahap pertama, merupakan tahap yang dikenal dengan nama proses kealaman atau proses fisik, yaitu proses ditangkapnya suatu stimulus (objek) oleh panca indera. 2) Tahap kedua, merupakan tahap yang dikenal dengan proses fisiologis, yaitu proses diteruskanya stimulus atau objek yang telah diterima alat indera melalui syaraf-syaraf sensoris ke otak. 3) Tahap ketiga merupakan proses yang dikenal dengan nama proses psikologis, yaitu proses dalam otak, sehingga individu mengerti, menyadari, menafsirkan dan menilai objek tersebut. 4) Tahap keempat, merupakan hasil yang diperoleh dari proses persepsi yaitu berupa tanggapan, gambaran atau kesan. Di samping itu ada faktor lain yang dapat mempengaruhi proses persepsi, antara lain: 1) Faktor Internal. Individu sebagai faktor internal saling berinteraksi dalam individu mengadakan persepsi. Mengenai keadaan individu yang dapat mempengaruhi hasil persepsi datang dari dua sumber, yaitu berhubungan dengan segi kejasmanian dan segi psikologis. Bila sistem fisiologis terganggu, hal tersebut akan berpengaruh dalam persepsi seseorang. Sedangkan segi psikologis yaitu antara lain mengenai pengalaman, perasaan, kemampuan berpikir, kerangka acuan, dan motivasi akan berpengaruh pada seseorang dalam mengadakan persepsi. 2) Faktor Eksternal: a) Stimulus. Agar stimulus dapat dipersepsikan, maka stimulus harus cukup kuat. Kejelasan stimulus akan banyak berpengaruh dalam persepsi. Stimulus yang kurang jelas akan berpengaruh dalam ketepatan persepsi. Bila stimulus berwujud benda bukan manusia, maka ketepatan persepsi lebih terletak pada individu yang mengadakan persepsi, karena benda yang dipersepsi tersebut tidak ada usaha untuk mempengaruhi yang mempersepsi. b) Lingkungan atau situasi. Khususnya yang melatar belakangi stimulus juga akan berpengaruh dalam persepsi bila obyek persepsi adalah manusia. Obyek dan lingkungan yang melatar belakangi obyek merupakan kesatuan yang sulit dipisahkan. Obyek yang sama dengan situasi sosial yang berbeda dapat menghasilkan persepsi yang berbeda. Sesuai dengan tahapan tersebut, berjalan saat pembelajaran PPC yang berperan sebagai stimulus bagi siswa. Dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor internal yang berada pada masing-masing individu dan faktor eksternal yang dipengaruhi oleh stimulus dan lingkungan. Dari kedua faktor tersebut, bila diaplikasikan yaitu siswa sebagai individu, pembelajaran pendidikan jasmani olahraga kesehatan sebagai stimulus, maka lingkungan sekitar sekolah juga berperan. Sehubungan dengan itu, maka lingkungan sekolah yang letaknya di desa atau di kota juga akan berpengaruh terhadap persepsi seseorang. Dikarenakan karakteristik wilayah, sosialisasi dan serta hal lain di kedua lingkungan mempunyai andil.

Berdasarkan latar belakang di atas, maka perlu dirumuskan permasalahan yaitu, bagaimana persepsi pencegahan dan perawatan cedera terhadap pembelajaran pendidikan jasmani olahraga kesehatan siswa Sekolah Dasar di Kabupaten Sleman Daerah Istimewa Yogyakarta. Dan dapat dirumuskan pula tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui tentang persepsi pencegahan dan perawatan cedera terhadap pembelajaran pendidikan jasmani olahraga kesehatan siswa Sekolah Dasar di Kabupaten Sleman Daerah Istimewa Yogyakarta.

Prosiding Konferensi Pendidikan Nasional “Penguatan Karakter Bangsa Melalui Inovasi Pendidikan di Era Digital”

17

METODE Penelitian ini merupakan jenis penelitian deskriptif komparasi. Penelitian yang dimaksud

yaitu mengadakan perbandingan kondisi yang ada di dua tempat, apakah kedua kondisi tersebut sama, atau ada perbedaan dan kalau ada perbedaan, kondisi di tempat mana yang lebih baik (Suharsimi Arikunto, 2010; 03). Variabel dalam penelitian ini adalah persepsi pencegahan dan perawatan cedera terhadap pembelajaran pendidikan jasmani olahraga kesehatan siswa SD Negeri 1 Sleman dan SD Negeri Gejayan yang mewakili sekolahan di wilayah desa dan kota. Persepsi siswa tersebut dimaksud dalam penelitian ini adalah tanggapan siswa sekolah dasar tentang pencegahan dan perawatan cedera dalam pembelajaran pendidikan jasmani olahraga kesehatan. Konsep dari penelitian ini mencakup 4 faktor, yaitu: 1) faktor lingkungan belajar, 2) faktor sarana dan prasarana, 3) faktor bentuk cedera, 4) faktor perbedaan persepsi saat pembelajaran. Dalam penelitian ini populasi yang diteliti adalah siswa kelas 4 dan 5 sekolah dasar yang mewakili sekolah desa dan kota dengan jumlah total 68 siswa.

Teknik sampling yang digunakan pada penelitian ini adalah sampel wilayah yang mengambil sebagian wakil wilayah yaitu SD Negeri 1 Sleman (wilayah desa) dan SD Negeri gejayan (wilayah kota). Pada kedua sekolah itu, dua kelas yang menjadi sample adalah kelas 4 dan 5 dengan rincian, 53 orang dari SD Negeri Gejayan dan 15 orang dari SD Negeri 1 Sleman. Pengambilan sampel ini juga didasari dengan ciri-ciri wilayah kota dan desa yang bersangkutan. Instrumen yang digunakan untuk mengumpulkan data dalam penelitian ini yaitu angket dengan sejumlah pertanyaan dilengkapi dengan alternatif jawaban yang disusun berdasarakan skala likert yang dimodifikasi terdiri atas dua alternatif jawaban, yaitu “Ya” dan “Tidak”. Pengisian angket dilakukan dengan memberikan tanda (√) pada jawaban yang telah disediakan. Penskoran jawaban dari setiap responden pada jawaban “Ya” diberi skor 1 dan untuk jawaban “Tidak” diberi skor 0.

Dalam penelitian ini cara analisis data yang digunakan adalah teknik analisis data deskriptif kuantitatif. Perhitungan statistik deskriptif menggunakan statistik deskriptif prosentase. Sebelumnya dilakukan uji validitas menggunakan rumus Pearson Product Moment dengan taraf signifikasi 5% (r1 = 0.05). dan uji reliabilitasnya menggunakan Peneliti menggunakan SPSS 16 for Windows.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil penelitian yang telah dilakukan pada SD Negeri Gejayan, memperoleh nilai maksimum 42 dan nilai minimum 21. Mean diperoleh sebesar 31,13 dan standar deviasi sebesar 5,98. Pada SD Negeri 1 Sleman nilai maksimum 34 dan minimum 18. Mean diperoleh sebesar 24,07 dan standar deviasi sebesar 4, 38.

Tabel 1. Distribusi Frekuensi Siswa Kelas 4 dan 5 SD Negeri Gejayan

Tabel 2. Distribusi Frekuensi Siswa Kelas 4 dan 5 SD Negeri 1 Sleman

Dari tabel di atas dapat dijelaskan bahwa secara keseluruhan persepsi pencegahan dan

perawatan cedera terhadap pembelajaran pendidikan jasmani olahraga kesehatan pada siswa kelas 4 dan 5 SD Negeri Gejayan terdapat 3 siswa (5,66%) dalam kategori sangat baik, 14 siswa (26,42%) dalam kategori baik, 16 siswa (30,19%) pada kategori cukup baik, 18 siswa (33,96%) kategori kurang

Prosiding Konferensi Pendidikan Nasional “Penguatan Karakter Bangsa Melalui Inovasi Pendidikan di Era Digital”

18

baik, 2 siswa (3,77%) dalam kategori sangat kurang. Sedangkan pada SD Negeri 1 Sleman, terdapat 2 siswa (13,33%) dalam kategori sangat baik, 1 siswa (6,67%) dalam kategori baik, 9 siswa (60%) pada kategori cukup baik, 3 siswa (20 %) kategori kurang baik dan kategori sangat kurang baik 0 siswa (0,0%). Frekuensi terbanyak pada dua sekolah tersebut pada kategori cukup baik, sehingga dapat disimpulkan bahwa persepsi pencegahan dan perawatan cedera terhadap pembelajaran pendidikan jasmani olahraga kesehatan pada seluruh siswa kelas 4 dan 5 tersebut dalam kategori cukup baik. Berikut akan dibahas satu persatu pada setiap faktor yang mendasari penelitian ini: 1) Persepsi pencegahan dan perawatan cedera terhadap pembelajaran pendidikan jasmani olahraga

kesehatan siswa SD Negeri 1 Sleman dan SD Negeri Gejayan berdasarkan faktor lingkungan belajar

Gambar 1. Histogram SD Negeri Gejayan Berdasarkan Faktor Lingkungan Belajar

Gambar 2. Histogram SD Negeri 1 Sleman

Berdasarkan Faktor Lingkungan Belajar

Dari gambar histogram di atas, dapat diartikan, sebagai berikut: ada 18 siswa (33,96%) dalam kategori baik, 22 siswa (41,51%) pada kategori cukup baik, 7 siswa (13,21%) kategori kurang baik, 6 siswa (11,32%) dalam kategori sangat kurang pada siswa SD Negeri Gejayan. Sedangkan pada SD Negeri 1 Sleman, terdapat 1 siswa (6,67%) dalam kategori sangat baik, 4 siswa (26,67%) dalam kategori baik, 7 siswa (46,67%) pada kategori cukup baik, 2 siswa (13,33%) kategori kurang baik, 1 siswa (6,67%) kategori sangat kurang. Frekuensi terbanyak pada dua sekolah tersebut pada kategori cukup baik, sehingga dapat disimpulkan bahwa persepsi pencegahan dan perawatan cedera terhadap pembelajaran pendidikan jasmani olahraga kesehatan siswa kelas 4 dan 5 berdasarkan faktor lingkungan belajar adalah cukup baik.

Prosiding Konferensi Pendidikan Nasional “Penguatan Karakter Bangsa Melalui Inovasi Pendidikan di Era Digital”

19

2) Persepsi pencegahan dan perawatan cedera terhadap pembelajaran pendidikan jasmani olahraga kesehatan siswa SD Negeri 1 Sleman dan SD Negeri Gejayan berdasarkan faktor sarana dan prasarana

Gambar 3. Histogram SD Negeri Gejayan Berdasarkan Faktor Sarana dan Prasarana

Gambar 4. Histogram SD Negeri 1 Sleman Berdasarkan Faktor Sarana dan Prasarana

Dari gambar histogram di atas, dapat diartikan, sebagai berikut: ada 1 siswa (1,89%) dalam

kategori sangat baik, 25 siswa (47,17%) dalam kategori baik, 7 siswa (13,21%) kategori cukup baik, 20 siswa (37,74%) kategori kurang baik, 0 siswa (0,0%) kategori sangat kurang pada SD Negeri gejayan. Sedangkan pada siswa SD Negeri 1 Sleman, terdapat 1 siswa (6,67%) dalam kategori sangat baik, 4 siswa (26,67%) dalam kategori baik, 4 siswa (26,67%) pada kategori cukup baik, 6 siswa (40%) kategori kurang baik, 0 siswa (0,0%) kategori sangat kurang. Frekuensi terbanyak pada dua sekolah tersebut dalam kategori baik, sehingga dapat disimpulkan bahwa persepsi pencegahan dan perawatan cedera terhadap pembelajaran pendidikan jasmani olahraga kesehatan siswa kelas 4 dan 5 berdasarkan faktor sarana dan prasarana adalah baik.

3) Persepsi pencegahan dan perawatan cedera terhadap pembelajaran pendidikan jasmani olahraga

kesehatan siswa SD Negeri 1 Sleman dan SD Negeri Gejayan berdasarkan faktor bentuk cedera

Gambar 5. Histogram SD Negeri Gejayan Berdasarkan Faktor Bentuk Cedera

Prosiding Konferensi Pendidikan Nasional “Penguatan Karakter Bangsa Melalui Inovasi Pendidikan di Era Digital”

20

Gambar 6. Histogram SD Negeri 1 Sleman Berdasarkan Faktor Bentuk Cedera

Dari gambar histogram di atas, dapat diartikan, sebagai berikut: 1 siswa (1,89%) dalam kategori sangat baik, 14 siswa (26,42%) dalam kategori baik, 19 siswa (35,85%) pada kategori cukup baik, 14 siswa (26,42%) kategori kurang baik, 5 siswa (9,43%) dalam kategori sangat kurang pada SD Negeri Gejayan. Sedangkan pada SD Negeri 1 Sleman, terdapat 1 siswa (6,67%) dalam kategori sangat baik, 4 siswa (26,67%) dalam kategori baik, 5 siswa (33,33%) pada kategori cukup baik, 4 siswa (26,67%) kategori kurang baik, 1 siswa (6,67%) kategori sangat kurang. Frekuensi terbanyak pada dua sekolah tersebut dalam kategori cukup baik, sehingga dapat disimpulkan bahwa persepsi pencegahan dan perawatan cedera terhadap pembelajaran pendidikan jasmani olahraga kesehatan siswa kelas 4 dan 5 berdasarkan faktor bentuk cedera adalah cukup baik.

4) Persepsi pencegahan dan perawatan cedera terhadap pembelajaran pendidikan jasmani olahraga

kesehatan siswa SD Negeri 1 Sleman dan SD Negeri Gejayan berdasarkan faktor perbedaan persepsi saat pembelajaran

Gambar 7. Histogram SD Negeri Gejayan

BerdasarkanFaktor Perbedaan Persepsi Saat Pembelajaran

Gambar 8. Histogram SD Negeri 1 Sleman

Berdasarkan Faktor Perbedaan Persepsi Saat Pembelajaran Dari gambar histogram di atas, dapat diartikan, sebagai berikut: terdapat 2 siswa (3,77%)

dalam kategori sangat baik, 24 siswa (45,28%) dalam kategori baik, 9 siswa (16,98%) pada kategori cukup baik, 11 siswa (20,75%) kategori kurang baik, 7 siswa (13,21%) dalam kategori sangat kurang pada SD Negeri Gejayan. Sedangkan pada SD Negeri 1 Sleman, terdapat 1 siswa (6,67%) dalam kategori sangat baik, 4 siswa (26,67%) dalam kategori baik, 4 siswa (26,67%) pada kategori cukup baik, 6 siswa (40%) kategori kurang baik, 0 siswa (0,0%) kategori sangat kurang. Frekuensi

Prosiding Konferensi Pendidikan Nasional “Penguatan Karakter Bangsa Melalui Inovasi Pendidikan di Era Digital”

21

terbanyak pada dua sekolah tersebut dalam kategori baik, sehingga dapat disimpulkan bahwa persepsi pencegahan dan perawatan cedera terhadap pembelajaran pendidikan jasmani olahraga kesehatan siswa kelas 4 dan 5 berdasarkan faktor perbedaan persepsi saat pembelajaran adalah baik.

Pencegahan merupakan usaha dalam bentuk tindakan dari pihak yang dimaksud untuk menghalangi, menghentikan atau mengurangi dampak dari akibat yang akan terjadi. Cedera merupakan suatu kerusakan pada organ tubuh yang terjadi dengan sebab atau akibat dari perbuatan tersendiri terhadap tubuh yang melampaui batas kemampuan tubuh untuk diatasinya baik di sengaja ataupun tidak sehingga mengakibatkan terjadinya cedera. perawatan juga dapat di definisikan sebagai suatu aktivitas untuk memelihara dengan mengadakan perbaikan peralatan secara terprogram agar tetap berfungsi sesuai dengan apa yang direncanakan.

Para siswa dapat mengalami cedera pada berbagai keadaan, seperti ketika bermain di halaman sekolah, pada saat istirahat, dan pada saat menerima pembelajaran pendidikan jasmani. Olahraga merupakan penyebab terjadinya cedera yang paling sering, menurut Muchtamadji (2004:54). Kemungkinan terjadinya kecelakaan di sekolah lebih sering dialami saat proses belajar mengajar pendidikan jasmani baik di luar maupun di dalam ruangan, dibandingkan dengan pada saat proses belajar mengajar mata pelajaran lain yang umumnya berlangsung dalam ruangan. Kurangnya perhatian dan pengetahuan tentang tata cara pencegahan akan terjadinya kecelakaan, mengakibatkan lebih seringnya terjadi kecelakaan yang mengakibatkan cedera pada para siswa.

Persepsi merupakan proses pemberian arti atau makna setelah merasakan stimulus. Dakir (1993: 4), menyatakan bahwa persepsi seseorang dapat muncul jika terjadi seleksi terhadap stimulasi yang datang dari luar yaitu melalui indera, kemudian orang tersebut menginterprestasi atau mengorganisasikan informasi tersebut sehingga muncul arti bagi orang tersebut, dan akhirnya timbul reaksi yaitu tingkah laku akibat interprestasi. Stimulus yang dirasakan seseorang akan diterima, ditafsirkan dan diberi arti sesuai dengan kesimpulan yang diterima dan dirasakan oleh indera. Persepsi pencegahan dan perawatan cedera terhadap pembelajaran pendidikan jasmani olahraga kesehatan siswa kelas 4 dan 5 SD Negeri Gejayan dan SD Negeri 1 Sleman dalam kategori baik, diartikan bahwa pencegahan perawatan cedera terhadap pembelajaran pendidikan jasmani olahraga kesehatan sebagai stimulus, telah dirasakan oleh siswa mampu mengubah arti. Hal ini dapat dijelaskan bahwa pencegahan dan perawatan cedera terhadap pembelajaran pendidikan jasmani olahraga kesehatan sangat membantu sekali untuk menangkal, menghentikan, menolak terjadinya kecelakaan atau lebih seringnya terjadi kecelakaan yang mengakibatkan cedera pada para siswa. Dan apabila siswa tersebut mengalami cedera setidaknya dengan bekal pengetahuan tentang tata cara pencegahan dan perawatan cedera siswa yang bersangkutan dapat melakukan perawatan (maintenance) atau aktivitas yang terprogram untuk tahapan yang akan menuju pada suatu perbaikan yaitu sembuh dan sehat kembali (Sunaryo, 2002: 11).

Teknik angket yang terdiri dari 4 faktor, yaitu: 1) faktor lingkungan belajar, 2) faktor sarana dan prasarana, 3) faktor bentuk cedera, 4) faktor perbedaan persepsi saat pembelajaran digunakan untuk mengetahui seperti apa atau bagaimana persepsi pencegahan dan perawatan cedera terhadap pembelajaran pendidikan jasmani olahraga kesehatan menyebabkan timbulnya persepsi yang baik pada siswa. Tahap ini disebut sebagai tahap intepretasi yaitu merupakan suatu aspek kognitif dari persepsi yang sangat penting yaitu proses memberikan arti kepada stimulus yang diterimanya. Semakin baik stimulus yang dirasakan maka akan semakin baik persepsi yang terbentuk. SIMPULAN

Hasil penelitian yang telah dilakukan memperoleh nilai maksimum 42 dan nilai minimum 21. Mean diperoleh sebesar 31,13 dan standar deviasi sebesar 5,98 pada SD Negeri Gejayan. Dan pada SD Negeri 1 Sleman nilai maksimum 34 dan minimum 18. Mean diperoleh sebesar 24,07 dan standar deviasi sebesar 4, 38. Frekuensi terbanyak pada dua sekolah tersebut pada kategori cukup baik yaitu 9 siswa (60%), sehingga dapat disimpulkan bahwa persepsi pencegahan dan perawatan cedera terhadap pembelajaran pendidikan jasmani olahraga kesehatan pada seluruh siswa kelas 4 dan 5 tersebut dalam kategori cukup baik.

Prosiding Konferensi Pendidikan Nasional “Penguatan Karakter Bangsa Melalui Inovasi Pendidikan di Era Digital”

22

Konsep dari penelitian ini mencakup 4 faktor, yaitu: 1) faktor lingkungan belajar, 2) faktor sarana dan prasarana, 3) faktor bentuk cedera, 4) faktor perbedaan persepsi saat pembelajaran. 1. Persepsi pencegahan dan perawatan cedera terhadap pembelajaran pendidikan jasmani olahraga

kesehatan siswa kelas 4 dan 5 berdasarkan faktor lingkungan belajar memiliki frekuensi terbanyak pada kategori cukup baik yaitu 7 (46,67%) siswa dari SD Negeri 1 Sleman.

2. Persepsi pencegahan dan perawatan cedera terhadap pembelajaran pendidikan jasmani olahraga kesehatan siswa kelas 4 dan 5 berdasarkan faktor sarana dan prasarana memiliki frekuensi terbanyak pada kategori baik yaitu 25 (47,17%) siswa dari SD Negeri Gejayan.

3. Persepsi pencegahan dan perawatan cedera terhadap pembelajaran pendidikan jasmani olahraga kesehatan siswa kelas 4 dan 5 berdasarkan faktor bentuk cedera memiliki frekuensi terbanyak pada kategori cukup baik yaitu 19 (35,85%) siswa dari SD Negeri Gejayan.

4. Persepsi pencegahan dan perawatan cedera terhadap pembelajaran pendidikan jasmani olahraga kesehatan siswa kelas 4 dan 5 berdasarkan faktor perbedaan persepsi saat pembelajaran memiliki frekunesi terbanyak pada kategori baik yaitu 24 (45,28%) siswa dari SD Negeri Gejayan.

Berdasarkan kesimpulan penelitian di atas, saran relevan yang dapat diberikan adalah sebagai berikut: 1. Bagi siswa

Apabila memiliki kekurangan persepsi terhadap penceghan perawatan cedera, hendaknya lebih memperhatikan saat pembelajaran berlangsung.

2. Bagi guru Lebih fokus untuk memberi pemahaman terhadap pencegahan perawatan cedera saat pembelajaran pendidikan jasmani olahraga kesehatan.

3. Bagi peneliti selanjutnya Dapat dilakukan penelitian dengan populasi dan sampel yang lebih luas lagi sehingga penelitian tentang persepsi pencegahan perawatan cedera dapat ditingkatkan lagi.

DAFTAR PUSTAKA Dakir. (1993). “Dasar-Dasar Psikologi”. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hamka, Muhammad. 2002. Hubungan Antara Persepsi Terhadap Pengawasan Kerja dengan

Motivasi Berprestasi. Surakarta: Universitas Muhammadiyah Fakultas Psikologi H. Muchtamadji, M. Ali, 2004. Pendidikan Keselamatan, Konsep dan Penerapan. Jakarta:

Depdiknas. Matho Yani Irfa’.2013. Tingkat Pemahaman Guru Penjasorkes Sekolah Negeri SeKecamatan

Bambanglipuro Kabupaten Bantul Terhadap Faktor-faktor Penyebab Cedera Pada Saat Pembelajaran. Skripsi. UNY

Suharsimi Arikunto, 2010. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta Sunaryo, 2002. Psikologi Untuk Keperawatan. Jakarta:EGC

Prosiding Konferensi Pendidikan Nasional “Penguatan Karakter Bangsa Melalui Inovasi Pendidikan di Era Digital”

23

EFEKTIFITAS PENDEKATAN DEEP LEARNING TERHADAP KONTROL DIRI DALAM MENGGUNAKAN INTERNET PADA REMAJA

Nur Sya’ban Ratri Dwi Mulyani1, Siti Partini Suardiman2

1,2Universitas Negeri Yogyakarta [email protected]

Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk menguji keefektifan pendekatan deep learning terhadap kontrol diri remaja dalam penggunaan internet. Penelitian ini termasuk penelitian kuasi eksperimen dengan desain penelitian one group pre-test post-test design. Penelitian dilaksanakan di SMP IT Masjid Syuhada Yogyakarta dengan subyek penelitian sebanyak 20 siswa yang kurang memiliki kontrol diri. Teknik sampling yang digunakan adalah purposive sampling, dimana subyek penelitian yang diambil memiliki kontrol diri yang kurang diantara subyek penelitian yang lain. Data diperoleh dari skala kontrol diri dalam penggunaan internet. Validitas instrument ditentukan dari validitas konstruk. Reliabilitas instrument ditentukan oleh hasil Alpha Cronbach yaitu sebesar 0,921. Teknik analisis data yang digunakan adalah uji-t. Hasil analisis data menunjukkan adanya perubahan yang signifikan pada 20 siswa SMP IT Masjid Syuhada. Hasil pre-test adalah 143,5. Hasil post-test adalah 159,6. Hasil t-test adalah 9,447. Dikatakan ada perbedaan jika p sig < 0,05 dan t hitung > t tabel (N 20= 2,093). Dengan demikian pendekatan deep learning efektif meningkatkan kontrol diri dalam menggunakan internet siswa SMP IT Masjid Syuhada Yogyakarta.

Kata Kunci: deep learning, kontrol diri, internet PENDAHULUAN

Proses pembelajaran di era saat ini tidak lepas dari peran teknologi yang memfasilitasi dan mampu sebagai sumber belajar para peserta didik. Perkembangan teknologi menuntut pendidik untuk memanfaatkan teknologi dalam pembelajaran, termasuk salah satunya adalah internet. Hasil penelitian yang dilakukan di Korea menyatakan bahwa sebanyak 98,7% anak-anak korea antara usia 6 dan 19 tahun menggunakan internet untuk tujuan belajar, bersosialisasi dan rekreasi. Remaja korea dalam sehari-harinya lebih sering mengakses internet untuk tujuan pendidikan dan pada saat akhir pekan remaja lebih sering mengakses internet untuk kepentingan sosial serta rekreasi. Pemakaian internet pada remaja wanita dan laki-laki pun mengalami perbedaan. Pada Remaja wanita lebih banyak mengakses internet untuk melihat video pembelajaran serta mengakses blog, sedangkan pada remaja laki-laki lebih banyak mengakses internet untuk bermain game internet. Hasil penelitian juga menyebutkan bahwa penggunaan internet untuk tujuan pendidikan juga berhubungan dengan prestasi akademik (Kim, 2011)..

Sesuai dengan artikel di atas, artikel dengan judul Hasil Survei Pemakaian Internet Remaja Indonesia mencatat pengguna internet di Indonesia yang berasal dari kalangan anak-anak dan remaja diprediksi mencapai 30 juta. Penelitian ini menunjukkan sebanyak 98 persen dari anak dan remaja mengaku tahu tentang internet dan 79,5 persen di antaranya adalah pengguna internet. Beberapa motivasi yang menjadi alasan dalam menggunakan internet adalah untuk mencari informasi, untuk terhubung dengan teman dan untuk hiburan. Pencarian informasi yang dilakukan sering didorong oleh tugas-tugas sekolah, sedangkan penggunaan media sosial dan konten hiburan didorong oleh kebutuhan pribadi (Panji, 2014).

Deep learning adalah proses konstruksi pengetahuan permanen dimana ketika peserta didik menghadapi masalah atau sebuah pertanyaan, peserta didik akan merasakan konflik kognitif yang berasal dari interaksi sosial dengan teman sebaya sehingga peserta didik akan merasa termotivasi untuk menyelesaikannya (Hermida, 2015). Karakteristik deep learning adalah: membuat peserta didik aktif berusaha untuk memahami materi atau subyek, berinteraksi dengan penuh semangat, mampu memanfaatkan sumber-sumber yang telah diberikan dan mengevaluasi seberapa besar pengaruhnya, mampu mengambil pandangan yang luas, menghubungkan ide satu dengan yang lain,

Prosiding Konferensi Pendidikan Nasional “Penguatan Karakter Bangsa Melalui Inovasi Pendidikan di Era Digital”

24

mengaitkan ide-ide baru bagi pengetahuan sebelumnya, berkaitan dengan konsep kehidupan sehari-hari, cenderung untuk membaca dan belajar di luar (Lublin, 2003).

Perkembangan teknologi menuntut pendidik untuk memanfaatkan teknologi dalam pembelajaran, termasuk salah satunya adalah internet. Penggunaan internet dapat menimbulkan dampak negatif maupun dampak positif. American Psychological Association (APA) menyebutkan bahwa menghabiskan waktu di depan internet dapat memberikan efek negatif dan positif pada remaja diperoleh dari latihan pengobatan untuk perbaikan akademik dan kesadaran akan kesehatan. Dampak positif penggunaan internet atau keuntungan memanfaatkan internet dalam pembelajaran antara lain: meningkatkan kreativitas, inovasi, dan minat peserta didik di dalam pembelajaran (Suprapto, 2006). Seorang pecandu internet akan menghabiskan waktu berjam-jam atau bahkan berhari-hari untuk online menggunakan internet (Young, 1999). Dalam penelitian yang dilakukan oleh Young diperoleh hasil bahwa kecanduan internet dapat mengakibatkan kegagalan akademik, menurunkan kinerja, perselisihan dalam perkawinan bahkan perceraian (Young, 1999).

Deep learning dalam belajar ditandai dengan niat untuk memahami dan melihat makna, mengarahkan siswa untuk mencoba menghubungkan konsep pemahaman yang ada dan satu sama lainnya, untuk membedakan antara ide-ide baru dan pengetahuan yang ada, dan untuk mengevaluasi secara kritis dan menentukan tema dan konsep-konsep kunci (Fry, Ketteridge, Marshall, 2009). Karakteristik pendekatan deep learning ditandai dengan niat dalam belajar untuk memahami materi pembelajaran, mencari makna dan memahami ide-ide di dalamnya. Siswa yang menggunakan pendekatan deep learning mencari prinsip-prinsip dasar dan usaha untuk menghubungkan pengetahuan sebelumnya dan pemahaman. Siswa akan mempertanyakan logika dan argumen. (Moon, 2005). Pendekatan deep learning mencari makna didukung dengan menggunakan bukti dan pemeriksaan logika argumen. (Enwistle, 2000). Pendekatan deep learning secara intrinsik lebih memotivasi siswa dan melakukan kegiatan belajar yang bermakna. Memotivasi peserta didik untuk mencari nilai yang berarti dan untuk memotivasi diri mereka sendiri untuk belajar. (Moore dan Telfer, 1990). Pendekatan deep learning didasari dengan keterlibatan individual terhadap proses belajar, pengetahuan yang memadai dan keingintahuan yang tinggi mengenai materi pelajaran. (Ganda, Ngwakwe, Ambe, 2014). Teknik dalam pendekatan deep learning adalah Workload, Assessment and Learning Objective, Teaching, Choice, Jigsaw Using a Graphic Organizer, Cooperative Debates, Pro-Con-Caveat Grid

Kontrol diri dalam penggunaan internet adalah pengendalian tingkah laku dalam menggunakan internet, memanfaatkan internet dengan pertimbangan-pertimbangan tertentu, dan menggunakan internet untuk kegiatan yang positif. Dengan demikian remaja yang mampu mengontrol diri dalam menggunakan internet memiliki kemampuan untuk mengendalikan waktu dan konsumsi internet menurut kebutuhannya. Seperti misalnya menggunakan internet untuk mencari informasi dan memanfaatkan internet sebagai media sosialisasi pada waktu-waktu tertentu dan mengendalikan waktu yang dihabiskan untuk menggunakan internet. Remaja dapat menunjukkan hal yang luar biasa dalam mengendalikan kebiasaan-kebiasaan tingkah laku namun cenderung gagal ketika ada respon positif yang mempengaruhi (Casey & Caudle, 2013). Kontrol diri memfasilitasi kesuksesan seseorang dalam kehidupan pada banyak bidang (Baumeister, Vohs, & Tice, 2007).

Fungsi kontrol terhadap penggunaan internet sendiri adalah remaja mampu mengontrol perilakunya terutama saat menggunakan internet. Remaja pada intinya mampu mengontrol penggunaan internet agar tidak mengarah pada perilaku yang sia-sia dan membuang-buang waktu seperti bermain game online dan mengakses media sosial pada waktu belajar. Dengan kontrol diri menggunakan internet remaja diharapkan dapat sukses mencapai cita-citanya. Internet dapat membantu remaja untuk belajar, mencari informasi, dan wadah sosialisasi yang bermanfaat untuk pengembangan diri remaja. Dewi (2012) berpendapat bahwa aspek-aspek dalam kontrol diri adalah aspek behavioral control,cognitive control, decisional control. Necka (2015) menjelaskan bahwa kontrol diri terdapat ada 2 cognitive self control dan behavior self-control.

Remaja pada masanya masih kurang mengontrol dirinya. Saat melakukan sesuatu remaja hanya memikirkan kesenangan, mengejar kegembiraan tanpa memikirkan akibat dan resiko yang akan remaja dapatkan. Tindakan yang beresiko terjadi ketika remaja sedang berada di sekitar teman-teman mereka dan adanya rangsangan emosi (Sigelman, Rider, 2018). Faktor yang mempengaruhi kontrol diri remaja salah satunya adalah teman sebaya. Teman sebaya membuat remaja berani

Prosiding Konferensi Pendidikan Nasional “Penguatan Karakter Bangsa Melalui Inovasi Pendidikan di Era Digital”

25

mengambil resiko (Brier, 2015). Beberapa tantangan dalam diri remaja saat mengontrol diri dalam menggunakan internet juga harus dihadapi oleh remaja. Remaja ditempatkan pada posisi memutuskan sendiri apa yang dimaksud dengan informasi yang baik, dan apa yang tidak (Suler, 2005). Beberapa informasi dan keterampilan yang mungkin dicari remaja lebih baik dibiarkan begitu saja. Pornografi, obat-obatan, metode kekerasan semuanya ada di internet (Suler, 2005). Kebebasan informasi, kontrol informasi, dan nilai-nilai yang memengaruhi sikap adalah semua masalah yang semua orang harus hadapi.

Karakteristik kontrol diri pada remaja berkaitan dengan moral dan pengendalian diri pada sikap dan perilaku remaja. Kaitannya pada moral adalah remaja masih mengikuti keinginannya berdasarkan kesenangan saja, menuruti kata hati sendiri, dan kurang mampu bertanggung jawab. Namun beberapa remaja sudah mampu untuk memahami manakah hal yang baik dan buruk bagi diri remaja. Kaitannya dengan kontrol diri terhadap penggunaan internet beberapa remaja masih mengikuti keinginannya tanpa tahu dampak penggunaan internet. Dapat didefinisikan bahwa remaja masih kurang mempertimbangkan segala sesuatu yang baik bagi diri sendiri. Kontrol diri pada remaja juga dipengaruhi oleh lingkungan. Oleh karena itu penggunaan internet pada remaja juga distimulasi oleh teman sebaya yang mengajak untuk menggunakan internet pada waktu belajar. Perlu adanya peningkatan kontrol diri dalam diri remaja. Hal ini diperlukan agar remaja berfikir kembali dan mampu memisahkan mana yang baik dan mana yang berakibat buruk.

METODE

Jenis penelitian ini adalah penelitian kuasi eksperimen. Desain yang dipilih dalam penelitian ini adalah one group pre-test post-test. Peneliti mengambil subyek penelitian sebanyak 20 siswa. Penelitian ini dilaksanakan di SMP IT Masjid Syuhada Yogyakarta. Penentuan subjek penelitian dalam penelitian ini menggunakan teknik purposive sampling. Data diperoleh dari skala kontrol diri terhadap penggunaan internet. Instrumen skala kontrol diri ini diberikan kepada siswa saat pretest dan posttest dalam penelitian. Uji validitas terhadap instrument ditentukan dari validitas konstruk. Validitas instrument kemudian dianalisis menggunakan korelasi Product Moment. Item dikatakan valid jika r hitung > r tabel (N= 50 lihat r tabel 5% = 0,279 atau p sig <0,05). Peneliti menganalisis uji reliabilitas instrument menggunakan SPSS. Dikatakan reliabel jika alpha cronbach > 0,70 semakin mendekati 1,0 semakin tinggi reliabelnya. Uji normalitas data dilakukan dengan menggunakan uji kologrov smirnov. Data dikatakan normal jika p sig > 0,05. Data kemudian diuji homogenitas menggunakan uji levene test. Data dikatakan homogen jika p sig > 0,05. Teknik analisis data yang digunakan adalah uji-t. Analisis tersebut dilakukan terhadap data yang diperoleh dari angket pre-test dan post-test. Syarat penggunaan uji-t adalah sebaran data berdistribusi normal serta variabel pre-test dan post-test homogen. Data dikatakan ada perbedaan jika p sig < 0,05 dan t hitung > t tabel (N 20= 2,093).

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Peneliti mendapatkan hasil perhitungan sebagai berikut:

Tabel 1. Data Hasil Pre-Test Kontrol Diri Kontrol Diri

Pretest

N Valid 20 Missing 0

Mean 143,5 Median 142,0000 Mode 142,00 Std. Deviation 4,16091 Minimum 136,00 Maximum 151,00 Kategori Sedang

Prosiding Konferensi Pendidikan Nasional “Penguatan Karakter Bangsa Melalui Inovasi Pendidikan di Era Digital”

26

Pada tabel 1 di atas menunjukkan bahwa hasil pre-test adalah sebagai berikut: skor rata-rata pre-test berada pada kategori sedang. Tabel di atas menunjukkan bahwa skor rata-rata (mean) sebesar 143,5. Hasil skor pre-test pada siswa dapat dilihat sebagai berikut:

Tabel 2. Data Skor Hasil Pre-test Kontrol Diri No Nama Skor Keterangan 1 Am 142 SEDANG 2 Aa 140 SEDANG 3 Aw 148 SEDANG 4 Az 148 SEDANG 5 Azn 141 SEDANG 6 Bh 147 SEDANG 7 Ds 142 SEDANG 8 Dt 142 SEDANG 9 Fk 141 SEDANG 10 Fc 136 SEDANG 11 Ic 144 SEDANG 12 Lf 150 SEDANG 13 Nr 145 SEDANG 14 Pr 146 SEDANG 15 Rn 151 SEDANG 16 Ra 147 SEDANG 17 Sf 138 SEDANG 18 Sr 138 SEDANG 19 Sd 141 SEDANG 20 Yf 142 SEDANG

Hasil pre-test pada tabel 2 menunjukkan bahwa sebanyak 20 siswa memiliki kontrol diri

pada kategori sedang dengan skor minimal 136 dan skor maksimal adalah 151. Peneliti mendapatkan hasil perhitungan post-test sebagai berikut:

Tabel 3. Data Hasil Post-Test Kontrol Diri

Kontrol Diri Posttest

N Valid 20 Missing 0

Mean 159,6 Median 160,5000 Mode 162,00 Std. Deviation 6,72368 Minimum 148,00 Maximum 172,00 Kategori Tinggi

Pada tabel 3 di atas menunjukkan bahwa hasil post-test adalah sebagai berikut: Tingkat

kontrol diri dalam menggunakan internet berada pada kategori tinggi. Skor rata-rata pada post-test adalah sebesar 159,6. Hasil post-test menunjukkan bahwa ada perubahan yang signifikan. Hasil skor post-test pada siswa dapat dilihat sebagai berikut:

Prosiding Konferensi Pendidikan Nasional “Penguatan Karakter Bangsa Melalui Inovasi Pendidikan di Era Digital”

27

Tabel 4. Data Skor Hasil Post-Test Kontrol Diri

No Nama Skor Keterangan 1 Am 159 TINGGI 2 Aa 159 TINGGI 3 Aw 168 TINGGI 4 Az 162 TINGGI 5 Azn 170 TINGGI 6 Bh 152 TINGGI 7 Ds 151 TINGGI 8 Dt 150 SEDANG 9 Fk 160 TINGGI 10 Fc 162 TINGGI 11 Ic 172 TINGGI 12 Lf 162 TINGGI 13 Nr 148 SEDANG 14 Pr 161 TINGGI 15 Rn 162 TINGGI 16 Ra 163 TINGGI 17 Sf 165 TINGGI 18 Sr 160 TINGGI 19 Sd 152 TINGGI 20 Yf 153 TINGGI

Pada tabel 4 di atas dapat dilihat bahwa terdapat perubahan skor hasil post-test sebanyak 18

siswa memiliki skor yang berkategori tinggi, dan 2 siswa memiliki skor berkategori sedang. Skor minimal hasil post-test siswa adalah sebesar 148 dan skor maksimal hasil post-test siswa adalah sebesar 172. Perbandingan hasil skor rata-rata pada saat sebelum perlakuan dilakukan (pre-test) dan setelah perlakuan diberikan (post-test) dapat dilihat pada gambar berikut ini:

Gambar 1. Perbandingan Hasil Skor rata-rata Pre-test dan Post-test

Prosiding Konferensi Pendidikan Nasional “Penguatan Karakter Bangsa Melalui Inovasi Pendidikan di Era Digital”

28

Berikut ini adalah tabel perbandingan hasil t-test kontrol diri sebelum perlakuan (pre-test) dan setelah perlakuan (post-test):

Tabel 5. Data Hasil Perbandingan Hasil t-test Kontrol Diri

Mean N Std. Deviation Std. Error Mean Pai

r Kontrol Diri Posttest 159,6 20 6,72368 1,50346 Kontrol Diri Pretest 143,5 20 4,16091 ,93041

Pada tabel 5 data menunjukkan bahwa terdapat peningkatan hasil setelah perlakuan

diberikan.Data pre-test menunjukan rata-rata skor adalah 143,5 setelah mendapatkan perlakuan (post-test) skor rata-rata meningkat menjadi 159,6. Berikut selisih perbandingan rata-rata sebelum perlakuan (pre-test) dan setelah perlakuan (post-test).

Tabel 6. Data Selisih Perbandingan Rata-rata Pre-test dan Post-test

Paired Differences t df Sig. (2-tailed) Mean Std. Deviation Std. Error Mean 95% Confidence Interval of

the Difference Lower Upper

Pair

Kontrol Diri Posttest - Kontrol Diri Pretest

16,1 7,62199 1,70433 12,53280 19,66720 9,447 19 ,000

Pada tabel 6 dapat diketahui bahwa selisih perubahan cukup signifikan.Selisih perubahan antara pre-test danpost-testadalah 16,1.Hasil t-test menunjukkan bahwa terdapat perubahan signifikan pada subyek.Dikatakan ada perbedaan jika p sig < 0,05 dan t hitung > t tabel (N 20= 2,093). Pada tabel 7 dapat dilihat hasil t hitung pada post-test> t tabel yaitu 9,447.

Pembahasan

Pendekatan Deep learning dalam belajar ditandai dengan niat untuk memahami dan melihat makna, mengarahkan siswa untuk mencoba menghubungkan konsep pemahaman yang ada dan satu sama lainnya, untuk membedakan antara ide-ide baru dan pengetahuan yang ada, dan untuk mengevaluasi secara kritis dan menentukan tema dan konsep-konsep kunci (Fry,Ketteridge, & Marshall, 2009). Di dalam proses penelitian siswa aktif selama proses kegiatan berlangsung. Beberapa siswa memiliki pengalaman yang berbeda di dalam menggunakan internet. Hal tersebut dapat memberikan gambaran fakta dan obyektif serta bukti sehingga pemahaman siswa akan lebih mendalam. Diskusi di dalam kelompok membangun komunikasi yang efektif karena muncul ide-ide baru yang membantu pemahaman siswa dalam pemecahan masalahnya. Kegiatan peserta didik tidak hanya berkaitan dengan teori melainkan juga dengan praktek dan menuntut keaktifan dalam pembelajaran.

Karakteristik deep learning yaitu, menghubungkan fakta-fakta, ide-ide dan konsep dalam menafsirkan, mengusulkan atau menilai, mengusulkan elemen baru dalam informasi, membuat informasi baru dari informasi yang dikumpulkan, menggunakan hipotesis dan kutipan, mengusulkan satu atau lebih solusi dalam hal penilaian, mengasumsikan keuntungan dan kerugian situasi atau solusi, menyajikan dukungan bukti dengan contoh-contoh, penilaian didukung oleh spesifikasi yang membenarkan, penanganan masalah yang lebih dalam perspektif luas, mengembangkan strategi baru dengan kerangka yang luas (Offir, Lev, Bezalel, 2008). Aspek dari pendekatan deep learning adalah, tugas yang terfokus, peserta didik belajar untuk memahami konten yang dipelajari, mencari materi secara luas, menghasilkan tingkat pemahaman yang dalam, membentuk kembali pemikiran baru dalam materi pelajaran, secara kritis menghubungkannya dengan pengalaman dan ide lain, mengintegrasikan pengetahuan formal dengan pengalaman individu, menghubungkan fakta dengan kesimpulan (Hasnora, Ahmadb, Nordin, 2013). Pendekatan deep learning tidak hanya menuntut seseorang untuk memahami secara kognitif saja, melainkan juga mengintegrasikannya di dalam pengalaman seseorang sehingga mewujudkan pemahaman yang mendalam pada seseorang.

Kontrol diri dalam menggunakan internet mengukur kemampuan seseorang mengendalikan waktu yang dihabiskan untuk internet (Highfield, 2012). Kontrol diri memfasilitasi kesuksesan

Prosiding Konferensi Pendidikan Nasional “Penguatan Karakter Bangsa Melalui Inovasi Pendidikan di Era Digital”

29

seseorang dalam kehidupan pada banyak bidang (Baumeister, Vohs, & Tice, 2007). Kontrol diri dalam menggunakan internet diharapkan akan memunculkan motivasi dan upaya untuk menggunakan internet menjadi media yang lebih bermanfaat dan adanya manajemen waktu yang baik saat internet digunakan.

Faktor-faktor dari kontrol diri meliputi lingkungan internal serta eksternal (Larasati dan Budiani, 2014). Motivasi juga berperan dalam pembentukan kontrol diri (Muraven & Slessareva, 2003). Adanya hubungan yang berkesinambungan antara kemauan dan kontrol diri. Individu yang dapat menjalankan kemauan secara teratur maka akan meningkatkan kontrol diri individu tersebut (Weir, 2012). Salah satu faktor dalam kontrol diri dalam menggunakan internet adalah motivasi. Pendekatan deep learning secara intrinsik lebih memotivasi siswa dan melakukan kegiatan belajar yang bermakna. Memotivasi peserta didik untuk mencari nilai yang berarti dan untuk memotivasi diri mereka sendiri untuk belajar (Moore& Telfer, 1990). Sesuai dengan pendapat tersebut, peneliti bermaksud meningkatkan motivasi siswa sehingga meningkat juga kontrol diri dalam menggunakan internet pada diri siswa.

Kontrol diri dapat mengubah diri seseorang menjadi lebih baik secara optimal sehingga seseorang dapat beradaptasi dengan baik dengan lingkungan sosial (Tangney, Baumeister, & Boone, 2004). Kontrol diri menekan dorongan untuk berbuat agresi dan berbuat kejahatan (Pung, Yaacob, Baharudin dan Osman, 2015: 193-194). Kontrol diri penting karena membantu siswa dapat diandalkan ketika kelas di antaranya adalah memulai pekerjaan rumah mereka lebih awal, dan menghabiskan banyak waktu untuk bekerja dan lebih sedikit waktu untuk menonton televisi (Baumeister dan Tierney, 2011: 12). Kontrol diri dapat mendorong seseorang memiliki motivasi untuk meraih keberhasilan dalam hidupnya. Kontrol diri membuat seseorang memiliki hasil yang positif dalam kehidupan (Tangney, Baumeister, & Boone, 2004: 275).

Fungsi kontrol terhadap penggunaan internet sendiri adalah remaja mampu mengontrol perilakunya terutama saat menggunakan internet. Remaja pada intinya mampu mengontrol penggunaan internet agar tidak mengarah pada perilaku yang sia-sia dan membuang-buang waktu seperti bermain game online dan mengakses media sosial pada waktu belajar. Dengan kontrol diri menggunakan internet remaja diharapkan dapat sukses mencapai cita-citanya. Internet dapat membantu remaja untuk belajar, mencari informasi, dan wadah sosialisasi yang bermanfaat untuk pengembangan diri remaja. Diperoleh sebanyak 20 siswa SMP IT Masjid Syuhada yang diberikan perlakuan yaitu pendekatan deep learning untuk meningkatkan kontrol diri siswa. Keberhasilan dapat dilihat dari adanya perbedaan yang signifikan dari hasil pre-test dan post-test pada siswa serta dilihat dari hasil uji hipotesis penelitian.Jika terdapat perubahan tingkat kontrol diri pada subyek penelitian maka pendekatan deep learning dinyatakan efektif digunakan

. SIMPULAN

Hasil t-test menunjukkan bahwa terdapat perubahan signifikan pada subyek. Dikatakan ada perbedaan jika p sig < 0,05 dan t hitung > t tabel (N 20= 2,093). Hasil t hitung pada post-test > t tabel yaitu 9,447. Dengan demikian pendekatan deep learning efektif meningkatkan kontrol diri dalam menggunakan internet siswa SMP IT Masjid Syuhada Yogyakarta. Pendekatan deep learning menghubungkan fakta-fakta, ide-ide dan konsep dalam menafsirkan, mengusulkan atau menilai, mengusulkan elemen baru dalam informasi, membuat informasi baru dari informasi yang dikumpulkan. Dengan demikian siswa dapat mengembangkan strategi bagaimana mengontrol diri ketika menggunakan internet dan mengetahui hal yang paling penting yang berpengaruh dalam mengontrol dirinya saat menggunakan internet. Berdasarkan hasil penelitian, pembahasan, kesimpulan, dan implikasi penelitian di atas, maka diajukan saran-saran sebagai berikut: 1. Mahasiswa Bimbingan dan Konseling dapat menerapkan teknik-teknik pendekatan deep

learning sebagai salah satu cara mengubah tingkat kontrol diri dalam menggunakan internet. 2. Konselor sekolah atau praktisi Bimbingan dan Konseling dapat menggunakan pendekatan

deep learning sebagai salah satu teknik bimbingan untuk mengubah kontrol diri dalam menggunakan internet pada diri individu.

3. Para peneliti dan pengembang keilmuan Bimbingan dan Konseling perlu menyelenggarakan penelitian pengembangan atau penelitian lanjutan tentang efektivitas pendekatan deep learning terhadap variabel lain selain kontrol diri dalam menggunakan internet.

Prosiding Konferensi Pendidikan Nasional “Penguatan Karakter Bangsa Melalui Inovasi Pendidikan di Era Digital”

30

DAFTAR PUSTAKA American Psychological Association. (2015). Internet Use; Internet use can provide positive and

negative health information for children and adolescents. ( Proquest Family Health 1-3). Proquest document Link.

Baumeister, R. F. & Tierney, J. (2011). Willpower Rediscovering The Greatest Human Strength. New York: The Pinguin Press.

Baumeister, R. F., Vohs, K. D., & Tice, D. M. (2007). The Strength Model of Self-Control. Journal of Psychological Science. Volume 16 No 6 Page 351-355

Brier, N. M. (2015). Enhancing Self Control in Adolescents Treatment Strategies Derived from Psychological Science. Routledge: New York.

Brier, N. M. (2015). Enhancing Self Control in Adolescents Treatment Strategies Derived from Psychological Science. Routledge: New York.

Casey, B. J., & Caudle, K. (2013). The Teenage Brain : Self Control. Psychological Science Vol 22 No 2 page 82-87. DOI: 10.1177/0963721413480170

Dariyo, A. (2004). Psikologi Perkembangan Remaja. Bogor: Halia. Dewi, S. (2012). Hubungan antara Self Control dengan Internet Addiction pada Mahasiswa. Jurnal

Psikologi Pendidikan FIP UNNES. Vol 1 No 1. Entwistle, N. (2000). Promoting Deep Learning Through Teaching and Assessment: Conceptual

Frameworks and Educational Contexts. Paper to be Presented at TLRp Conference, Leicester, hlm 1-12.

Entwistle, N. (2000). Promoting Deep Learning Through Teaching and Assessment: Conceptual Frameworks and Educational Contexts. Paper to be Presented at TLRp Conference, Leicester, hlm 1-12.

Fry, H., Ketteridge, S., & Marshall, S. (2009). A handbook for teaching and learning in higher education enhancing academic practice third edition. New York: Routledge

Ganda, F., Ngwakwe, C.C., Ambe, C. M. (2014). Independent Research and a Deep Approach to Learning of Accounting Concepts: Students’ View. Mediterranean Journal of Social Sciences Vol 5 No 6. Hal. 75-89, ISSN 2039-2117 (online), Doi:10.5901/mjss.2014.v5n6p75

Ghufron, M. N., & Risnawita S., R. (2010). Teori-teori Psikologi. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media. Hasnora, H.N. , Ahmadb, Z. , Nordin, N. (2013). The Relationship Between Learning Approaches

And Academic Achievement Among Intec Students, Uitm Shah Alam. Procedia - Social and Behavioral Sciences 90, hal 178 – 186, doi: 10.1016/j.sbspro.2013.07.080

Hasnora, H.N. , Ahmadb, Z. , Nordin, N. (2013). The Relationship Between Learning Approaches And Academic Achievement Among Intec Students, Uitm Shah Alam. Procedia - Social and Behavioral Sciences 90, hal 178 – 186, doi: 10.1016/j.sbspro.2013.07.080

Hermida, J. (2015). Facilitating Deep Learning. Canada: Apple Academic Press Highfield, J. J. B. (2012). Internet Use and Self-Control in Children In Grades 4 Through 6. Thesis.

The Faculty at Humboldt State University. Jensen, E dan Nickelsen, L. (2008). Deeper Learning 1 Strategi untuk DELC. Indeks: Jakarta Kim, S. (2011). The Effects Of Internet Use On Academic Achievement And Behavioral Adjustment

Among South Korean Adolescents: Mediating And Moderating Roles Of Parental Factors. Disertasi, M.A. Drexel University.

Larasati, M.A. & Budiani, M.S. (2014). Hubungan antara Kontrol Diri dengan Pembelian Impulsif Pakaian pada Mahasiswi Psikologi Universitas Negeri Surabaya yang Melakukan Pembelian secara Online. Jurnal Character. Volume 02 Nomor 3.

Lublin, J. (2003). Deep, Surface, and Strategic Approach to Learning. Dublin: UCD. Moon, J. A. (2005). A Handbook of reflective and experiential learning theory and practice. New

York: Routledge Farmer Moon, J. A. (2005). A Handbook of reflective and experiential learning theory and practice. New

York: Routledge Farmer Moore, P. J., & Telfer, R. A. (1990). Approaches to Learning: Relationships with Pilot Performance.

Journal of Aviation/Aerospace Education & Research, Vol 1 No 1. Hal 1-16. https://doi.org/10.15394/JAAER.1999.1000

Prosiding Konferensi Pendidikan Nasional “Penguatan Karakter Bangsa Melalui Inovasi Pendidikan di Era Digital”

31

Muraven, M. & Slessareva, E. (2003). Mechanisms of Self-Control Failure: Motivation and Limited Resources. Personality and Social Psychology Bulletin, Vol. 29 No. 7 page 894-906. DOI: 10.1177/0146167203253209

Nęcka, E. (2015). Self Control Scale AS-36: Construction and validation study. Polish Psychological Bulletin, vol. 46(3) 488–497. DOI - 10.1515/ppb-2015-0055

Offir, B., Lev, Y., & Bezalel, R. (2008). Surface and deep learning processes in distance education: Synchronous versus asynchronous systems. Journal of Computers & Education ed 51. Hal 1172-1183

Panji, A. (2014). Hasil Survei Pemakaian Internet remaja Indonesia. Diambil pada tanggal 31 Juli 2015, dari http://tekno.kompas.com/read/2014/02/19/1623250/hasil.survei.pemakaian.internet.remaja.indonesia

Pung, P. W., Yaacob, S. N., Baharudin , R., & Osman, S. (2015). Low Self-Control, Peer Delinquency and Aggression among Adolescents in Malaysia. Asian Social Science, Vol. 11, No. 21 pp 193-202, ISSN 1911-2017, E-ISSN 1911-2025, doi:10.5539/ass.v11n21p193

Sigelman, C. K., & Rider, E. A.. (2018). Life Span Human Development. Cengage Learning: USA. Suler, J. (2005). Adolescents in Cyberspace The Good, the Bad, and the Ugly. Psychology of

Cyberspace, Vol 1 No 5 page 1-8 Suprapto. (2006). Peningkatan Kualitas Pendidikan Melalui Media Pembelajaran Menggunakan

Teknologi Informasi Di Sekolah. Jurnal Ekonomi dan Pendidikan UNY, Volume 3 No 1: halaman 34-41.

Syukron, B. (2014). Deep Dialogue / Critical Thinking Konsep Solusi Pembelajaran Inovatif). TAPIS Vol 14 No 02 hal 291-309. Haditono, S. R., dkk. (2002) Psikologi Perkembangan Pengantar dalam Berbagai Bagiannya. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Tangney, J. P., Baumeister, R. F., & Boone, A. L. (2004). High Self-Control Predicts Good Adjustment, Less Pathology, Better Grades, and Interpersonal Success. Journal of Personality 72 (2). Page 271-322

Weir, K. (2012). What You Need to Know about Willpower: The Psychological Science of Self-Control. Washington D.C. : American Psychological Association.

Young, K. S. (1999). Internet Addiction: Symptoms, Evaluation, And Treatment (versi elektronik). Sarasota, volume 17, Proffesional Resource Press

KOMUNIKASI PENDIDIKAN DALAM UPAYA PENGUATAN NKRI PADA SISWA SMPN PAMARAYAN

Dewi Widowati [email protected]

Abstrak Pendidikan menjadi hal yang sangat penting dalam membentuk karakter siswa. Oleh karena itu perlu dilakukan upaya yang berkesinambungan dalam memberikan materi mengenai NKRI kepada para siswa. Judul penelitian ini yaitu, “Komunikasi Pendidikan Dalam Upaya Penguatan NKRI Pada Siswa SMPN Pamarayan, Kec.Pamarayan., Kab. Serang”. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis implementasi materi NKRI melalui metode pembelajaran “Tatap Muka” dan menganalisis proses belajar mengajar pada siswa SMPN Pamarayan, Kec. Pamarayan, Kab. Serang. Teori yang, yaitu “Teori Coordinated Management of Meaning (CMM)”, yang mengemukakan tentang komunikasi yang dilakukan seseorang melalui tatap muka, sehingga guru dapat mengetahui apakah siswa menerima pesan yang disampaikan atau tidak melalui feedback (umpan balik) berupa lambang verbal dan non-verbal siswa. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Teknik pengumpulan data melalui observasi, kepustakaan, wawancara dengan guru dan siswa. Metode analisis pembahasan yaitu analisis interpretatif. Hasil penelitian menunjukkan, metode komunikasi kelompok dan tatap muka, relatif mudah diterima oleh siswa dalam memahami materi NKRI. Materi yang diberikan yaitu mengenai bahasa, suku bangsa, character building, budaya saling sapa, dan nilai-nilai sosial yang dapat mempersatukan keragaman suku di Indonesia. Kata Kunci: Komunikasi, Pendidikan, Coordinated Management of Meaning, Character building, NKRI. PENDAHULUAN

Bidang Pendidikan merupakan bidang yang menjadi salah satu cara untuk meningkatkan martabat bangsa. Melalui pendidikan, terbuka peluang untuk meningkatkan kehidupan yang sejahtera serta melalui pendidikan pula kita punya kesempatan untuk mendidik anak-anak menjadi generasi penerus yang mandiri, “membumi”, dan yang utama adalah menjadi generasi yang sangat mencintai bangsa dan negaranya. Perlu sebuah proses panjang untuk menerapkan sikap mencintai bangsa dan negara kepada anak-anak, dan tentu saja bukan sebuah pekerjaan yang mudah. Terutama dalam menyampaikan nilai-nilai sosial dan budaya Indonesia kepada mereka di tengah gencarnya budaya asing yang masuk melalui media internet. Oleh karena itu perlu untuk menyampaikan nilai-nilai sosial tersebut sejak dini. Penyampaian pesan tersebut memerlukan cara tersendiri sehingga pesan dapat diterima dengan mudah oleh siswa.

Pembahasan mengenai pendidikan dan upaya penguatan NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) ini tidak dapat lepas dari bidang komunikasi. Pada proses pendidikan terjadi interaksi antara guru dan murid, antara dosen dengan mahasiswa. Proses ini menjadi sebuah kesempatan bagi guru untuk memasukkan nilai-nilai pendidikan, seperti misalnya bagaimana berperilaku sopan, belajar menghargai orang lain selain memberikan pengetahuan keilmuan, dan yang utama adalah bagaimana mencintai bangsa dan negara. Hal ini penting dilakukan agar materi dapat berjalan seimbang. Kita tidak menginginkan siswa menjadi sangat pandai tetapi tidak sopan, atau pun sebaliknya. Penggabungan antara konsep pendidikan dan konsep komunikasi menjadi sebuah kekuatan untuk keberhasilan proses belajar mengajar di sekolah, terutama yang berkaitan dengan pemahaman NKRI.

Rumusan Masalah dalam penelitian ini, yaitu bagaimana upaya yang dilakukan oleh guru SMPN Pamarayan dalam memberikan penguatan NKRI kepada siswa? Serta bagaimana hambatan yang dihadapi oleh guru SMPN Pamarayan dalam memberikan penguatan NKRI kepada siswa?

Tujuan Penelitian ini untuk menganalisis bagaimana upaya yang dilakukan oleh guru SMPN Pamarayan dalam memberikan penguatan mengenai NKRI kepada siswa? Serta untuk menganalisis bagaimana hambatan yang dihadapi oleh guru SMPN Pamarayan dalam memberikan penguatan NKRI kepada siswa?

Prosiding Konferensi Pendidikan Nasional “Penguatan Karakter Bangsa Melalui Inovasi Pendidikan di Era Digital”

33

METODE Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dan metode tatap muka sehingga guru

dapat langsung mengetahui bagaimana kemampuan para siswa dalam menerima materi yang disampaikan terutama yang berkaitan dengan materi NKRI.

Sumber data penelitian yaitu data primer dan data sekunder. Data primer berupa hasil wawancara yang didapat dari informan. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan melakukan observasi, wawancara, dan kepustakaan. Penetapan narasumber dilakukan dengan teknik purposive sampling, di mana narasumber dianggap sangat kredibel dalam memberikan data dan memahami permasalahan.

Tempat penelitian yaitu di SMPN Pamarayan, Kecamatan Pamarayan, Kabupaten Serang. Subjek penelitian adalah para guru dan siswa, sementara objek penelitian ini mengenai upaya penguatan NKRI terhadap para siswa SMPN Pamarayan. Teknik pengumpulan data melalui teknik wawancara mendalam terhadap guru sekaligus juga sebagai Wakil Kepala Sekolah Urusan Kurikulum SMPN Pamarayan yang baru-baru ini dianugerahi sebagai Juara ke 2 Guru Teladan Tingkat Kabupaten Serang. Selain itu data diperoleh melalui observasi dan studi literatur. Teknik analisis data menggunakan analisis interpretatif terhadap permasalahan penelitian, di mana peneliti memberikan analisis terhadap hasil wawancara dan observasi selama penelitian dilakukan. Waktu penelitian dilakukan pada bulan Juli 2018. HASIL DAN PEMBAHASAN Penguatan NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia)

Hari Ulang Tahun (HUT) Kemerdekaan Republik Indonesia telah kita peringati beberapa waktu lalu, yaitu tanggal 17 Agustus 2018, sebagai hari bersejarah bagi bangsa Indonesia. Usia 73 tahun merupakan kurun waktu yang cukup matang dalam berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Jauh sebelum kemerdekaan bangsa Indonesia, pada 1928 telah dipancangkan tonggak sejarah bersatunya para pemuda Indonesia dalam satu ikatan. Delapan puluh tiga tahun yang lalu, tanggal 28 Oktober 1928, para pemuda Indonesia mengikrarkan diri. Mereka, para pemuda berikrar dalam satu format: Kami pemuda Indonesia, dengan ini menyatakan bertanah air satu, tanah air Indonesia. Berbangsa satu, bangsa Indonesia. Berbahasa satu, bahasa Indonesia”.

Pernyataan ini sering dibacakan oleh para siswa sekolah dari tingkat SD sampai SMA saat upacara bendera yang menunjukkan bahwa walaupun Indonesia terdiri atas berbagai suku bangsa, tetapi tetap dalam satu kebangsaan, yaitu bangsa Indonesia. Sejalan juga dengan makna dari Bhineka Tunggal Ika-yang tertulis di bawah kaki Sang Burung Garuda-lambang Negara kita-yang artinya: “Walaupun berbeda-beda suku bangsa, tetap satu tujuan”. Bila dijabarkan, maka ini akan memberi makna yang amat luas dan mendalam, apalagi bila dikaitkan dengan wacana putera daerah.

Presiden Joko Widodo mengatakan di media televisi, bahwa Indonesia memiliki 714 suku bangsa. Berbeda dengan Negara-negara lain yang jumlah suku bangsanya relatif sedikit. Dalam bentuk suku-suku bangsa, usianya memang sudah puluhan abad, tetapi sebagai bangsa Indonesia, belum sampai satu abad. Itulah alasannya mengapa Bung Karno dan para pemimpin yang lain perlu mengulang-ulang doktrin “nation and character building”, pembangunan bangsa dan karakter, karena memang belum kuat benar. Menurut Syafi’i Ma’arif, salah satu cara untuk pembangunan bangsa dan karakter adalah perlu diintesifkannya “budaya saling menyapa” antar anak-anak bangsa yang sangat beragam ini (Kompas, 11 Maret 2007).

Dengan jumlah suku yang sebanyak itu, berarti secara otomatis sejumlah itu pula komunitas pemuda yang terbentuk di Indonesia. Misalnya saja, perkumpulan pemuda Jawa (Betawi, Banten, Sunda, Yogyakarta, Banyumas, Jawa Timur, dan lain-lain); Kalimatan (Babak, Dalam, Otdanum, dan-lain-lain; Papua (Amungme, Aero, Asmat, dan lain-lain); Bali dan Nusa Tenggara (Loloan, Trunyan, Nyama Selam, Ende, Flores, dan lain-lain); Sumatera (Minangkabau, batak, Aceh, dan lain-lain) dan sebagainya. Ini baru sebagian kecil saja dari beberapa provinsi, belum lagi dari provinsi yang lain. Keberagaman ini mengindikasikan adanya multi identitas kultur yang semestinya hanya diyakini sebatas kekayaan dan perbedaan budaya saja, bukan menjadikannya sebagai alasan yang mempertinggi etnosentris, yaitu anggapan “(suku) saya lebih hebat dari (suku) yang lain” atau “saya lebih mampu dari yang lain. Jika etnosentrisme dibiarkan terus akan makin memperdalam dan

Prosiding Konferensi Pendidikan Nasional “Penguatan Karakter Bangsa Melalui Inovasi Pendidikan di Era Digital”

34

memperuncing perbedaan antarbudaya, yang selanjutnya akan memicu konflik berkepanjangan dan akhirnya jurang pemisah pun makin dalam menganga.

Akar umbinya adalah kebelumberhasilan kita menterjemahkan dokrin “pembangunan bangsa dan karakter” dan cakupannya yang luas. Karena persoalan etnis cenderung sudah terpatri sejak lama. Ia menyangkut pada nilai-nilai sosial, budaya, bahkan agama yang mengakar kuat dalam jiwa sehingga cenderung sulit diubah. Persoalannya kini, bagaimana agar perbedaan suku bangsa dan budaya dapat dipahami hanya sebatas keberagaman? Tentunya harus dimulai dari diri sendiri dengan mau membuka pikiran dan hati untuk kembali memahami makna yang terkandung dalam Sumpah Pemuda dan Bhineka Tunggal Ika. Setelah itu, sampaikan pada kelompok atau komunitas masing-masing dengan tulus dan hati bersih.

Orang Papua akan merasa berada di kampungnya sendiri walau berada di Sulawesi. Orang Sunda dapat memberi kontribusi maksimal di Kalimantan, atau orang Jawa dapat diterima dengan tangan terbuka di Sumatera, begitu juga sebaliknya. Inilah makna kebangsaan, di mana pun kita berada, kita akan selalu berada di kampung halaman, karena kita merasa satu bangsa, bangsa Indonesia. Diperlukan sikap legowo, besar hati untuk menerima kehadiran etnis-etnis lain dalam kehidupan kita, baik itu di lingkungan tempat tinggal, dalam hubungan kekerabatan, dalam organisasi, di lingkungan kerja, di pemerintahan, di pasar, dan lain-lain. Bila seseorang dari etnis lain lebih mampu untuk memimpin, kenapa tidak kita dukung sepanjang memang dapat memimpin dengan baik, punya kompetensi dan juga punya komitmen yang kuat untuk membangun masyarakat daerah tersebut. Apalagi, ditambah sudah menetap lama dan merasa sudah menjadi bagian hidupnya. Jadi, untuk ke depannya konotasi putera daerah bukan saja mereka yang lahir dan dibesarkan di daerahnya, tetapi juga berlaku bagi mereka yang berasal dari daerah lain tetapi sudah banyak memberikan kontribusinya bagi daerah di mana ia bekerja, tinggal serta telah menetap dalam jangka waktu lama.

Mengingat hal ini, ternyata bahwa siapapun ia, dari etnis apapun ia, kalau sudah memiliki rasa kebangsaan, tidak lagi merasa di negeri orang, tapi di manapun ia berada selalu merasa berada di kampung halamannya yang harus dirawat dan dibina untuk maju. Seperti kata pepatah yang berbunyi: “Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung”. Penting untuk menggalang persatuan dan kesatuan demi keutuhan Bangsa Indonesia dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Perbedaan budaya perlu disikapi secara positif, karena pada dasarnya hal itu merupakan salah satu kekayaan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Komunikasi Pendidikan Sebagai Jembatan Dalam Memahami NKRI

Komunikasi pendidikan merupakan dua konsep yang menjadi satu. Komunikasi didefinisikan sebagai penyampaian pesan dari seseorang kepada orang lain melalui lambang-lambang verbal maupun nonverbal (Mulyana, 2005:62). Pesan dikemas sedemikian rupa hingga sesuai dengan tingkat kederajatan orang yang diajak berkomunikasi. Selanjutnya adalah pengelolaan pesan, yaitu menyampaikan pesan di waktu yang tepat. Terkait dengan pendidikan, dalam UU Sistem Pendidikan Nasional dikenal tiga jalur pendidkan, yaitu pendidikan formal, pendidikan nonformal, dan pendidikan informal. Bila dilihat dari perspektif ilmu komunikasi, maka latar komunikasi melekat dalam komunikasi pembelajaran, yaitu formal dan informal. Latar komunikasi yang berbeda ini melahirkan suasana komunikasi yang berbeda, serta bentuk dan dampak komunikasi yang berbeda pula (Iriantara, 2013:30). Terdapat pembelajaran di dalam kelas dengan berbagai bentuk komunikasi, seperti komunikasi satu arah dari guru kepada siswa atau komunikasi kelompok dalam bentuk diskusi. Semua ini menunjukkan bahwa bidang komunikasi dan bidang pendidikan sangat erat hubungannya, yang kemudian muncul kajian baru yaitu “komunikasi pendidikan”. Selain itu, diperlukan pula pendekatan komunikasi antarbudaya yang menjembatani perbedaan budaya di antara siswa-siswa. Sehingga guru tahu apa yang harus dilakukan ketika misalnya terjadi konflik antar siswa.

Pemahaman NKRI perlu ditanamkan kepada para siswa sehingga dari awal siswa sudah mampu empati dan memiliki sikap toleransi terhadap keragaman budaya Indonesia. Dengan mengetahui ciri dasar budaya dari tiap-tiap suku bangsa, akan mengurangi keterkejutan budaya atau shock culture (gegar budaya), memberi pemahaman yang mendalam kepada siswa dan memudahkan

Prosiding Konferensi Pendidikan Nasional “Penguatan Karakter Bangsa Melalui Inovasi Pendidikan di Era Digital”

35

siswa untuk berinteraksi dengan siswa dari suku lain. Dari interaksi ini selanjutnya akan cenderung terjadi hubungan yang harmonis. Teori Coordinated Management of Meaning (CMM)

Teori CMC dikembangkan oleh W. Barnett Pearce, Vernon, Cronen. Teori ini merupakan sebuah pendekatan komprehensif terhadap interaksi sosial yang memakai tata cara kompleks dari tindakan dan makna yang selaras dalam komunikasi (Gudykunst, 2005:35-54). Teori ini menggunakan semua konteks komunikasi, dari interaksi mikro sampai proses bermasyarakat dan berbudaya. Hasilnya CMM adalah sebuah teori dengan cakupan luas yang dapat saja disertakan ke dalam banyak jenis interaksi. Asumsi teori ini, yaitu: 1) Ketika berada dalam sebuah percakapan, kita memberikan makna terhadap situasi tersebut serta perilaku dan pesan dari orang lain. 2) Kita memutuskan bagaimana menanggapi atau bertindak dalam situasi tersebut. CMM membantu kita memahami proses pemaknaan dan tindakan. Bagaimanapun, teori ini juga mengakui Anda bahwa pekerjaan Anda lebih dari menafsirkan dan bertindak; Anda harus menyelaraskan tindakan Anda dengan orang lain dalam proses interaksi (Littlejohn dan Foss, 2009:255). Ketika seseorang akan memberikan pemaknaan tentang sesuatu pada orang lain, perlu mempertimbangkan faktor budaya yang terkait dengan nilai-nilai dan pandangan orang lain. Dengan demikian penting dilakukan oleh para guru ketika akan memberikan materi tertentu kepada siswa-siswanya. Terutama dengan latar belakang siswa berasal dari budaya yang berbeda. Selain itu perlu juga dipertimbangkan kajian komunikasi antarbudaya.

Menurut Gerhard Malatzke, komunikasi antarbudaya adalah proses pertukaran pikiran an makna antara orang-orang berbeda budaya. Komunikasi antarbudaya pertama kali diperkenalkan oleh antropolog Edward T. Hall (Liliweri, 2005). Bidang ini sebenarnya bukan fenomena baru, komunikasi antarbudaya sudah ada sejak pertama kali orang-orang berbeda budaya saling bertemu dan berinteraksi, meskipun studi sistematik mengenai bidang ini baru dilakukan selama 30 tahun terakhir. Ketika komunikasi terjadi antara orang-orang berbeda suku bangsa, kelompok ras, atau komunitas bahasa, maka komunikasi tersebut disebut komunikasi antarbudaya. Komunikasi antarbudaya pada dasarnya mengkaji bagaimana budaya berpengaruh terhadap aktivitas komunikasi, apa makna pesan verbal dan nonverbal menurut budaya bersangkutan, apa yang layak dokomunikasikan, bagaimana cara mengkomunikasikan pesan-pesan tersebut.

Dengan mengetahui ciri dasar budaya dari tiap-tiap suku bangsa, akan mengurangi keterkejutan budaya atau shock culture (gegar budaya), memberi kepada kita wawasan terlebih dahulu dan memudahkan kita untuk berinteraksi dengan suku bangsa lain, yang sebelumnya sulit kita lakukan. Dari interaksi ini selanjutnya akan cenderung terjadi relasi. Fenomena Penguatan NKRI di SMPN Pamarayan

Penelitian ini dilakukan di SMPN Pamarayan yang terletak di Kecamatan Pamarayan, Kabupaten Serang, Provinsi Banten. Warga masyarakat di Kecamatan Pamarayan termasuk masyarakat heterogen, yang berasal dari dua etnis yaitu suku Sunda dan suku Jawa. Bahasa yang digunakan cenderung bahasa Sunda kasar dan bahasa Jawa kasar. Bahasa Indonesia digunakan saat berkomunikasi di sekolah dan acara resmi saja. Fenomena yang ada di masyarakat Kecamatan Pamarayan, yaitu sering terjadi konflik antar etnis yang bahkan berujung kematian.

Salah satu SMP yang ada di Kecamatan Pamarayan, yaitu SMPN Pamarayan. Hal yang sangat miris, konflik ini juga sampai terjadi dan melibatkan murid di SMPN Pamarayan yang memiliki 885 siswa. Menurut wawancara dengan Bapak Adang Sutarman, S.Pd., M.Pd, selaku Wakil Kepala Sekolah Urusan Kurikulum (wawancara, Senin 16 Juli 2018), masyarakat Pamarayan termasuk masyarakat yang memiliki kepribadian keras. Penyebab konflik antar siswa, biasanya hanya dipicu oleh masalah kecil, misalnya karena lengan yang tersenggol oleh siswa lain dapat menyebabkan masalah besar. Hal ini kemudian berimbas ke siswa-siswa lainnya.

Menurut penuturan informan, pernah terjadi kasus konflik antar siswa disebabkan karena dendam keluarga yang berujung kematian. Seperti diungkapkan sebelumnya bahwa masyarakat di Kecamatan Pamarayan terdiri dari dua suku dominan yaitu suku Sunda dan suku Jawa. Permasalahan konflik biasanya diturunkan dari orangtua ke anak-anak mereka, sehingga ketika anak-anak mereka sekolah di SMPN Pamarayan, dendam tersebut menjadi sebuah “bom waktu” yang bisa meledak

Prosiding Konferensi Pendidikan Nasional “Penguatan Karakter Bangsa Melalui Inovasi Pendidikan di Era Digital”

36

sewaktu-waktu tergantung faktor pemicunya. Latar belakang konflik ini menyebabkan masyarakat cenderung sensitif dan mudah dipengaruhi oleh pihak-pihak yang memanfaatkan situasi. Seperti mulai terciumnya penyusupan paham radikalisme yang secara perlahan masuk ke dalam benak siswa. Kenyataan ini membuat pihak sekolah harus ekstra keras memasukkan materi Kewarganegaraan dan materi tentang NKRI ke dalam benak siswa. Langkah yang dilakukan oleh pihak sekolah dalam upaya penguatan NKRI a. Penyuluhan

Pihak sekolah bekerja sama dengan Kepolisian dengan memberikan materi mengenai apa itu radikalisme dan bahayanya terhadap NKRI, serta juga penyuluhan mengenai narkoba. Di mana kedua hal tersebut disinyalir mulai menyusup di masyarakat maupun di sekolah-sekolah, sehingga perlu diantisipasi dengan mengadakan penyuluhan secara rutin di sekolah.

b. Upacara Bendera setiap hari Senin

Upacara Bendera yang biasa dilakukan setiap hari Senin dijadikan kesempatan oleh pihak sekolah untuk memberikan penjelasan mengenai berbagai hal terkait pendidikan. Selain mengenai pembelajaran juga dijelaskan mengenai pentingya memahami dan menganggap bahwa keberagaman budaya merupakan suatu yang indah dan patut menjadi kebanggaan bangsa Indonesia. Selain itu diselipkan juga mengenai paham radikalisme yang saat ini perlu diwaspadai, baik oleh pihak sekolah maupun para siswa.

c. Pengajaran di kelas

Materi khusus mengenai NKRI dan Pancasila diberikan oleh guru yang mengampu Mata pelajaran PPKN (Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan). Selain itu pula guru mata pelajaran Agama juga memberikan materi terkait bagaimana manusia harus hidup berdampingan walaupun berbeda suku bangsa maupun agama. Sehingga pemahaman mengenai keragaman budaya dan praktiknya dalam kehidupan sehari-hari diterima secara utuh oleh siswa. Hal ini dilakukan untuk menghindari pengaruh dari luar yang hendak memecah belah bangsa melalui keragaman suku bangsa dan agama.

d. Metode Pembelajaran

Metode pendekatan yang dilakukan oleh para guru SMPN Pamarayan dalam mengantisipasi konflik di sekolah, yaitu melalui tatap muka dengan memberikan materi mengenai pentingnya menjaga kebersamaan, saling menghargai. Metode tatap muka sampai saat ini masih dianggap sebagai metode yang ampuh dalam memahami pesan, baik itu di bidang pendidikan maupun komunikasi. Dalam bidang komunikasi disebut sebagai komunikasi interpersonal, di mana guru dapat secara langsung melihat bagaimana tingkat pemahaman siswa terhadap materi. Siswa menunjukkan feedback (umpan balik) langsung saat itu juga ketika guru menjelaskan di depan kelas. Berbagai macam umpan balik, seperti raut wajah yang serius, duduk santai tanda lelah atau duduk tegak tanda bersemangat, kening yang mengerut tanda menyimak atau bahkan belum mengerti, bibir yang tersenyum, atau muka cemberut, dan lain-lain. Semua umpan balik ini memberi tanda pada guru bagaimana penerimaan siswa pada materi NKRI yang disampaikan. Selanjutnya guru dapat cepat mencari cara lain untuk membangkitkan kembali motivasi siswa untuk menyimak materi.

(Sumber: Hasil wawancara dengan Bpk. Adang Soetarman, S.Pd., M.Pd., hari Kamis, tanggal 19 Juli 2018).

Berikut bagan mengenai kerangka pemikiran dalam upaya penguatan NKRI berdasarkan pada hasil observasi dan wawancara dengan Bapak Adang Soetarman, S.Pd., M.Si.

Prosiding Konferensi Pendidikan Nasional “Penguatan Karakter Bangsa Melalui Inovasi Pendidikan di Era Digital”

37

Bagan 1. Kerangka Pemikiran Upaya Penguatan NKRI

Bagan ini merupakan alur yang menunjukkan upaya penguatan NKRI sangat penting dilakukan oleh pihak sekolah SMPN Pamarayan, mengingat banyaknya masalah yang ada, yaitu mulai terendusnya radikalisme, yang bukan hanya sekedar isu tetapi realitas yang ada di lapangan. Selain itu hal yang memang sudah ditemui sejak lama, yaitu adanya perbedaan budaya yang sangat menonjol. Masyarakat Pamarayan berasal dari dua etnis, yaitu etnis Jawa dan etnis Sunda. Bahasa yang digunakan juga adalah bahasa Jawa kasar dan bahasa Sunda kasar. Perbedaan budaya ini sering menimbulkan gesekan di antara warga masyarakat Kecamatan Pamarayan. Sering terjadi konflik besar, bahkan sampai berujung maut yang hanya disebabkan oleh masalah kecil. Konflik antar keluarga sangat sering terjadi, bahkan imbasnya sampai pada anak-anak mereka yang bersekolah di sekolah yang sama, yaitu di SMPN Pamarayan. Permasalahan lainnya yang perlu diantisipasi oleh pihak sekolah adalah masalah narkoba. Jenjang SMP yang rata-rata siswanya masuk pada usia remaja, rentan terhadap bujukan dan masih lemah pendiriannya untuk menghindar dari hal-hal yang negatif termasuk narkoba. Sehingga sangat dikhawatirkan mudah terbujuk untuk mencoba. Hal lainnya yaitu renggangnya hubungan antar anak dengan orang tua, serta juga antar keluarga yang menjadi warga masyarakat Pamarayan. Ini diakibatkan belum pahamnya para orang tua mengenai pentingnya komunikasi yang harus diintensifkan dalam keluarga, sehingga anak melampiaskan ketidakpuasannya di lingkungan sekolah. Masalah-masalah ini berakibat pada timbulnya ideologi radikal, tindakan tawuran siswa sekolah, munculnya konflik pribadi dan konflik antar keluarga warga masyarakat Pamarayan.

Dalam hal ini pihak sekolah melakukan kerjasama dengan berbagai pihak dalam upaya penguatan NKRI, yaitu dengan Kepolisian untuk memberikan penyuluhan mengenai radikalisme dan penangkalannya. Para Ulama juga dilibatkan dalam memberikan siraman rohani bagi siswa, agar siswa dapat menjaga sikap dalam berperilaku yang dikaitkan dengan agama. Pihak Kecamatan juga Pemerintah Kabupaten, Dinas Kesehatan terkait pengaruh narkoba bagi kesehatan, Pakar Psikologi, BNN (Badan Narkotika Nasional), Babinsa (Bintara Pembina Desa), Bhabinkatibmas (Bhayangkara Pembina Keamanan dan Ketertiban Masyarakat) perlu dilibatkan dalam hal ini sehingga penanganan akan lebih terintegrasi.

Selain itu pentingnya hubungan yang terjalin antara guru dan pihak orang tua melalui pertemuan rutin di luar yang kaitannya dengan pembajaran. Dalam hal ini orang tua juga perlu diinformasikan mengenai sikap dan perilaku anaknya. Pemahaman mengenai pendidikan dan budaya di rumah pun menjadi hal yang penting diperhatikan, sebab sikap yang terbentuk pada diri anak

Prosiding Konferensi Pendidikan Nasional “Penguatan Karakter Bangsa Melalui Inovasi Pendidikan di Era Digital”

38

merupakan refleksi bagaimana sebenarnya pendidikan yang didapat anak di rumah. Ini merupakan hambatan yang dihadapi pihak sekolah. Sehingga penanganannya bukan hanya pada diri siswa saja tetapi juga para orang tua, mengingat kasus konflik yang terjadi di sekolah dan di masyarakat lebih sering diakibatkan oleh konflik antar etnis yang berimbas pada anak di sekolah.

Semua ini perlu penanganan serius, dari pihak sekolah maupun pihak-pihak yang terlibat untuk mengantisipasi dan menolak segala hal yang bersifat negatif, baik itu paham radikalisme, perbedaan budaya, narkoba dan sebagainya demi terwujudnya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Foto 1

Tampak dalam gambar Guru Pembina Pramuka sedang memberikan materi mengenai pentingnya membangun rasa kebangsaan dan membangun karakter bagi siswa SMPN Pamarayan di halaman sekolah.

Foto 2

Tampak dalam gambar Kepala Sekolah SMPN Pamarayan, Bapak Surahman, S.Pd., M.Pd sedang memberikan motivasi belajar dan nasehat kepada para siswa.

Prosiding Konferensi Pendidikan Nasional “Penguatan Karakter Bangsa Melalui Inovasi Pendidikan di Era Digital”

39

Foto 3

Tampak dalam gambar, Wakil Kepala Sekolah Urusan Kurikulum, Bapak Adang Soetarman, S.Pd., M.Pd. sedang memberikan penjelasan mengenai tugas kelompok kepada para siswa SMP Pamarayan.

SIMPULAN Rekomendasi 1. Diperlukan kerjasama penyuluhan yang rutin mengenai pemahaman NKRI, pembangunan

kebangsaan dan karakter dari pakar bidang Ilmu Komunikasi, Psikologi, pihak BNN, Babinsa (Bintara Pembina Desa) dan Bhabinkamtibmas (Bhayangkara Pembina Keamanan dan Ketertiban Masyarakat).

2. Diperlukan kerjasama terintegrasi antara pihak sekolah dengan pihak-pihak terkait dalam mengantisipasi radikalisme, masalah narkoba, tawuran, dan lain-lain.

3. Diperlukan pendekatan budaya, yang dilakukan bukan saja oleh pihak sekolah tetapi juga pihak Kecamatan, maupun Pemerintah Kabupaten sehingga tercipta hubungan antar etnis yang harmonis dan terwujudnya kebersamaan baik di lingkungan sekolah maupun di masyarakat Pamarayan dalam rangka penguatan NKRI.

DAFTAR PUSTAKA Gudykunst, William B. (2005). Theorizing About Intercultural Communication. Thousand Oaks,

CA: Sage. Iriantara, Yosal dan Usep Syaripudin, M.Ed. 2013. Komunikasi Pendidikan. Bandung. Simbiosa

Rekatama Media. Liliweri, Alo. (2005). Gatra-gatra Komunikasi Antarbudaya. Yogyakarta. Pustaka Pelajar. Littlejohn, Stephen W. & Karen A. Foss. (2009). Teori Komunikasi. Salemba. Jakarta. Sumber Lain Harian Kompas, 11 Maret 2007.

E-ASSESSMENT DESIGN FOR JUNIOR HIGH SCHOOL

Siti Arianti1, Hermayawati 2 1,2University of Mercu Buana Yogyakarta, Indonesia

[email protected] [email protected]

Abstract Technologically advanced era brings electronic assessment (E-assessment) as the more effective alternative way for assessing learners. However, the limited ability in creating technology-based assessment was hampering this evaluation form. This paper focused on describing the procedure of designing e-assessment. This study was a Research and Development (R&D) which followed some phases such as Analysis, Design, Develop, Implementation, and Evaluation (ADDIE) in creating a research product. In the data collection process, some instruments like interview, document analysis, documentation, questionnaire, and test were applied. The compiled data were analyzed using qualitative and quantitative data analysis. The result was a soft file product consisted of 50 multiple-choice items namely HOTS Quiz. The design was stated as applicable and acceptable as very appropriate by 1) the material and language testing expert with the average 84% achievement; 2) the IT experts with the average 87,5%. Furthermore, the result of the first and second implementation showed an improvement, where the students’ average score in the first implementation was 65, 7 while the second implementation reached 79, 4. Thus, it can be concluded that the designed HOTS Quiz was appropriate to use as the alternative for assessing ninth graders’ higher order thinking skills. Keywords: E-Assessment, Design, Thinking Skills INTRODUCTION

As the bridge between teaching and learning, assessments may become one of the most powerful ways of improving student achievement. The assessment of learning result is the information or data collecting process about student's achievements in attitude, knowledge, and skills aspect which is done systematically to observe the process, study progress, and study result improvement by giving an assignment and evaluation as stated in Ministry of Education and Culture regulation (Permendikbud) number 53, 2015. In line with the core frameworks of 21st-century skills as stated by Scott (2017) such as 1) learning and innovation skills, 2) life and career skills, and 3) information, media, and technology skills, it was very crucial to upgrade the quality of assessment to meet those demand. Hence, Indonesian education sector began to modify Paper-Based National Exam (PBNE) to Computer-Based National Exam (CBNE) in the academic year of 2014/2015. It was considered as an effective solution for carrying out the evaluation or educational assessment conducted on a large number of students (Sulistyaningsih, 2016) because of its efficiency and immediate scoring.

In the early investigation, it was found that School A, one of Junior High School in Yogyakarta, has implemented the CBNE since the academic year 2015/2016. However, the final year students were not very well-acquainted with the questions which has been designed to assess their analyzing (C4), evaluating (C5), and creating (C6) skills or known as Higher Order Thinking Skills (HOTS) questions. A learner is considered having HOTS when he/she can apply the gained knowledge in a new context (Wardhani, 2005). However, the result of computer-based PISA in 2015 which was released by OECD (2016) showed that Indonesian students' achievement was still below the average of all OECD countries. Whereas, an international community, the global perspective about the quality of education is important to prove that the policymakers are successful in improving the international standard demand in the education sector.

HOTS questions have several essential roles according to Direktorat Pembinaan SMA Ditjen Pendidikan Dasar dan Menengah (2017), they are: 1) Preparing learners' competence in facing 21st century challenge; 2) Increasing loving and caring sense to regional advancement; 3) Improving the students' learning motivation; and 4) Upgrading the quality of assessment. Furthermore, according to Direktorat Pembinaan SMA Ditjen Pendidikan Dasar dan Menengah (2017), the policymaker also

Prosiding Konferensi Pendidikan Nasional “Penguatan Karakter Bangsa Melalui Inovasi Pendidikan di Era Digital”

41

increased the embedded HOTS questions in UN 2015/2016 to improve its quality. In contrast, a tendency of the assessment techniques used in schools was recalling information or doing routine questions, which will not help students in enhancing their higher-order thinking skills. As an example, HOTS questions have not been embedded yet in semester test. Consequently, students were not well acquainted in solving HOTS questions. Whereas, learners must deal with HOTS questions in UN. Therefore, it is very essential for policymakers and educators to habituate learners with HOTS in teaching and learning and assessment. Moreover, teacher's less ability in designing E-Assessment also influenced the number of Computer Based Test (CBT) simulation in the school which were not very optimal.

Concerning to the mentioned problem, the aim of the present study was to describe procedure in designing E-Assessment as alternative media for the Junior High School students, especially ninth graders' high order thinking skills, preparing them in facing their next level of schooling which requires them to have higher critical thinking ability, and serve their demand as millennial. According to a survey conducted by Paul and Scott (2010), the first generation to appear in the new millennium are those born after 1980. The survey reports that in comparison to other generations, the digital natives believe that their unique identity is due to their affiliation with technology such as social networking sites, wireless technology, video games, and self-created videos. A further study reports that 74 percent of teens aged twelve to seventeen have mobile access to the Internet (e.g., phone, tablet, and similar devices), while 24 percent have posted videos of themselves on social media (Scott and Paul, 2012). Therefore, the product of E-Assessment consisted of multiple choice questions which have been taken from the previous English National Examination. The questions were limited with the questions assessing the students' higher thinking level, especially in reading and writing skills. Furthermore, the media can be used in computer and smartphone. Thus, students can access it anytime and anywhere they want. METHODOLOGY

The product of e-assessment only focused on ninth graders chosen by random sampling. Since it required the computer as main equipment, the implementation process was conducted in the computer laboratory. This study was categorized as Research and Development (R&D). According to Woessmann, new innovation and technological progress can be generated from individuals' knowledge, skills, and idea by the role of education. Additionally, Sasso and Ritzen (2016) stated that the purpose of R&D activities was to enlarge the stock of knowledge and ideas and discover new solutions. The product was expected to solve the existing problem in the research setting. The focus of this research was to design e-assessment to habituate the students to the CBT of English subject containing HOTS questions. Thus, it was very appropriate for this research to use R&D as the research design. The researcher used ADDIE model as the guide to build the product. Aldoobie (2015) investigated that ADDIE model was commonly used by instructional designers, any content's developer, or even teachers as an approach or guide in producing an efficient, effective teaching design by applying the processes of the ADDIE model on any instructional product. Furthermore, the acronym ADDIE which stands for Analysis, Design, Development, Implementation, and Evaluation represented the systematic process and essential components of creating the instructional design.

Some instruments in the forms of interview, content analysis, documentation, questionnaire, and test. There were two types of data in this study, such as qualitative and quantitative data. The qualitative data were gained from analyzing the English national examination questions. To acquire the authentic evidence, a documentation process of the Paper Based Test (PBT) of English National Examination (ENE) and interview with the English teacher to comprehend the deeper analysis. From the data, the researcher obtained some necessary result about the ENE which assessed the students' higher order thinking level. The qualitative data were obtained from questionnaires given to English education lecturers as a material expert judgment, IT experts, English teachers, and participants.

Prosiding Konferensi Pendidikan Nasional “Penguatan Karakter Bangsa Melalui Inovasi Pendidikan di Era Digital”

42

FINDING AND DISCUSSION The first phase in designing e-assessment was analysis. An interview was done to get

information about the real situation and needs in the research setting. Some essential result of the interview such as students' difficulty in solving higher order thinking skills questions, the accessibility of the product, and the limited number of available computers became the consideration in designing the soft file of e-assessment. While the analyzed documents were the English National Examination (ENE) document from academic year 2012/2013, 2013/2014, 2014/ 2015, 2015/2016, and 2016/2017. The HOTS Questions were categorized using the main guidelines according to Krathwohl (2002) theory about high order thinking skills was the supporting guidelines in selecting the questions which assess analyzing, evaluating, and creating skills. Besides that, the instrument in analyzing the high order thinking skills questions according to Direktorat Pembinaan SMA Ditjen Pembinaan Dasar dan Menengah (2017) was also used as the following figure:

Figure 1 Instrument to analyze multiple-choice HOTS The design stage was conducted after the analysis phase. The test item in the designed quiz

were questions to assess the students' higher thinking level. The type of the questions were multiple choice items with four options. The questions were about short functional texts, descriptive, recount, and narrative text, cloze test, jumbled words, and jumbled sentences. In addition, the researcher also examined the blueprint of English National Based School Exam as the references format in making quiz blueprint. The ENE documents were taken from the internet sources. There were 50 questions in each ENE scripts. The ENE in Junior High School was given in the written form, whether in the Paper Based National Exam (PBNE) or Computer Based National Exam (CBNE). The instrument to analyze HOTS in multiple-choice questions was used as follows:

Prosiding Konferensi Pendidikan Nasional “Penguatan Karakter Bangsa Melalui Inovasi Pendidikan di Era Digital”

43

Figure 2 ENE 2013/2014 number 1

The question number 1 in ENE 2013/2014 above was using a picture of notice (short functional text) as a stimulus to be read. The stimulus was contextual since it is also used in the real life. To answer the question, students not only have to understand the meaning but also analyze the correct functional use of the notice in the given options. Therefore, the question was included as high order thinking skills question which measures the students' analyzing ability.

Figure 3 ENE 2013/2014 number 2

The question number 2 in ENE 2013/2014 above was using a picture of an announcement

(short functional text) as a stimulus to be read. The stimulus was contextual since it is also used in the real life. To answer the question, students have to check the correct option which was match with the given information in the announcement. It did not require the students to analyze, evaluate, or even create. Therefore, the question was included as lower order thinking skills question which measures the students' understanding ability by identifying the correct information.

The researcher utilized iSpring Suite 9.1.0 to design HOTS Quiz considering its practicality and various features for designing educational materials.

Figure 4 iSping Suite 9 Software

Prosiding Konferensi Pendidikan Nasional “Penguatan Karakter Bangsa Melalui Inovasi Pendidikan di Era Digital”

44

iSpring Suite 9 is the current update of iSpring Suite products. This software is very useful to design various interactive quiz, such as multiple choice items, matching, short answer, jumbled sentence, and so on. The software can stand alone or support the function of another software, such as Ms. PowerPoint. The combination of both software could produce well-designed of interactive assessment which can be converted to flash or HTML formats. Therefore, it is used as the main software to design the test prototype. The quiz product can be open from both computer and mobile phones. The following are the steps of designing e-assessment using iSpring Suite 9.1.0. a. The installation process of iSpring Suite Software

After the iSpring Suite downloaded, the program must be installed in the computer. The installation process will run after clicking the button like below.

Figure 5 Installing iSping Suite 9 Software

b. The quick start of iSpring Suite Software

After the installation process has finished, the quick start of iSpring Suite will appear. Then, click the Quizzes to start designing the quiz.

Figure 6 Quick Start of iSping Suite 9 Software

Prosiding Konferensi Pendidikan Nasional “Penguatan Karakter Bangsa Melalui Inovasi Pendidikan di Era Digital”

45

c. iSpring QuizMaker iSpring QuizMaker is available to help educators/ researcher designing quiz. There are

graded quiz and survey. To design the HOTS Quiz, the graded quiz is chosen.

Figure 7 iSping QuizMaker

After choosing the graded quiz, the process of developing HOTS Quiz will be started as

follows: 1. User Info Slide

The first slide is user info slide. It is used to collect the user main data. It consist of three main info such as name, class, and school. The user has to fill the blank form before starting the quiz.

Figure 8 Designing User Info Slide Figure 9 User Info Slide Design

2. General Quiz Instruction

The general quiz instruction is the instruction about how to finish the whole quiz. It consists of six points about the technical instructions.

Figure 10 Designing General Quiz Instructions Figure 11 General Quiz Instructions Slide Design

Prosiding Konferensi Pendidikan Nasional “Penguatan Karakter Bangsa Melalui Inovasi Pendidikan di Era Digital”

46

Users can continue to the next slide by clicking the continue button or by pressing “enter” if they use the keyboard.

3. Welcoming Slide

The welcoming slide contains the information about the HOTS Quiz, such as the objectives and the author.

Figure 12 Designing Welcoming Slide Figure 13 Welcoming Slide Design

4. Section Instruction Section instruction slides show the instruction about the quiz in each sections, such as the

type of quiz, types of short functional text and short paragraphs, and detail instruction about how to answer the quiz. There are 4 slides of section instruction: section 1 about reading comprehension, section 2 about cloze test, section 3 about jumbled words, and the last is section 4 about jumbled sentence. Each slide stays right before the changing of each section.

Figure 14 Designing Section Instruction Figure 15 Section Instruction Design

5. Questions

The questions slide presents the HOTS questions items. There are 50 number of question items which were taken from the previous English National Examination (ENE). This section contains picture of the short functional text or short paragraphs which displayed in a small icon. However, users can zoom the picture by clicking the picture.

Figure 16 Designing Questions Figure 17 Questions Design

Prosiding Konferensi Pendidikan Nasional “Penguatan Karakter Bangsa Melalui Inovasi Pendidikan di Era Digital”

47

Users may do the questions in a random numbers. It can be done by clicking the question list

which showed all list of questions. While the tag symbol was important to be used in order to tag the difficult questions which users may leave first or even answered with hesitation which may change later. However, all questions must be done before clicking submit all button.

Figure 18 Question List Figure 19 The Unfinished Questions

Notification

As a result, users cannot submit their answer before answering the whole questions. This feature presented to prevent the unanswered questions which can decrease the result of the quiz. 6. Quiz Result Slide

As its name, the quiz result slide showed the final result of the users after finishing the quiz. Besides displaying the score to the users, it sent the score and the detail answers automatically to the teacher’s email.

Figure 20 Designing Quiz Result Slide Figure 21 Quiz Result Slide Design

The passing score was based on the criteria of minimum learning mastery (75%).

Furthermore, users can review the quiz to know whether their answers in each number was correct or not. The detail report button also presented the whole answers report of the quiz.

The next phase after the design phase is the implementation. In this phase, the researcher implemented the product in the research setting. It was conducted at two cycles of implementation, remembering the purpose of this research was to habituate the students in dealing with the HOTS questions.

Table 1 Research Participants

Class Total of Students Sex

Male Female IX 20 5 15 Total 20 20

Prosiding Konferensi Pendidikan Nasional “Penguatan Karakter Bangsa Melalui Inovasi Pendidikan di Era Digital”

48

All participants did the HOTS Quiz at the same time. After conducting the implementation process, the researcher investigated that the mean score of the students' achievement was 65, 7. However, it has not reached the purpose of the designed assessment which aimed at habituating the students in solving the high order thinking skills questions. The reason made the researcher decided to conduct the next cycle of implementation. After conducting the second cycle of the implementation process, the researcher examined that the students' scores have improved into 79, 4. There were only three students whose scores were below the minimum criteria of learning mastery. The result of the second implementation has fulfilled the minimum criteria of learning mastery (Kriteria Ketuntasan Minimal or KKM) which decided by the teacher. Therefore, the researcher finished the implementation process until the second cycle.

The expert judgment was done gradually before the implementation and after the implementation of the product. Before the implementation process, the researcher consulted the product to the researcher's consultant as Doctor in ELT, English teacher of ninth graders, and also to the IT teacher. There were some suggestions given to the researcher as follows: 1) The designed product must be accessible on both computer and phone; 2) The designed product must be user-friendly and not complicated because the user is the ninth graders of Junior High School; 3) The product must not depend on internet access or Wi-Fi to prevent the unwanted situation in the implementation process; 4) The choice of background must be appropriate with the topic of the quiz; and 5) The product must have a number of features which made the students free to do any number of the questions items.

The next expert judgment was done after the implementation process. The researcher gave questionnaires to English teacher of ninth graders, IT teacher, lecturer of English Education Department as language testing experts, IT expert, and also participants or users to judge the designed HOTS quiz. The expert judgment from English teacher (86%), English Education Lecturer (82%), IT teacher (90%), IT Lecturer (85%) showed that the designed product was appropriate to be implemented in the research setting. CONCLUSION

The essential role of HOTS questions to prepare learners' competence in facing the 21st-century challenge, increase loving and caring sense to regional advancement, improve the students' learning motivation, and upgrade the quality of assessment. Therefore, it is very crucial for policymakers and educators to habituate learners with HOTS in teaching and learning and assessment. Besides, the limited number of computer and teacher's less ability in designing CBT also influenced the number of CBT simulation in the school which were not very optimal. The product of e-assessment only focused on ninth graders chosen by random sampling. This study was categorized as Research and Development (R&D). The product was expected to solve the existing problem in the research setting. The focus of this research was to design e-assessment to habituate the students to the CBT of English subject containing HOTS questions. The researcher used ADDIE model as the guide to build the product. Furthermore, the acronym ADDIE which stands for Analysis, Design, Development, Implementation, and Evaluation represented the systematic process and essential components of creating the instructional design. The ninth graders could use the HOTS Quiz as the simulation of the national exam, whether in school or in their own house. The simple way to operate this quiz may help the students in using the product easily. Moreover, it can also be accessed using a phone, not only using a computer or laptop. The English teacher of ninth graders might use the HOTS Quiz for evaluating the next ninth graders since the questions were taken from the previous national examinations. Thus, it will still appropriate to be implemented for the next ninth graders. However, the technical problem like the electricity problem might still happen in the research setting as what the researcher experienced. It can be solved by anticipating the electricity problem by using utilizing any tools to manage the electric power or using the phone as the testing media. This HOTS Quiz might be useful for the next researcher who had the same research and background. This product would be used as the references. This HOTS Quiz might be beneficial for language testing designer. Especially in redesigning the paper-based into a computer-based test.

Prosiding Konferensi Pendidikan Nasional “Penguatan Karakter Bangsa Melalui Inovasi Pendidikan di Era Digital”

49

REFERENCES Aldoobie, N. (2015). ADDIE Model. American International Journal of Contemporary Research,

68. Brown, H. D. (2004). Language Assessment Principles and Practices. New York: Pearson Education

Limited. Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Atas Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. (2017). Modul Penyusunan Soal High Order Thinking Skill (HOTS). Jakarta

OECD. (2016), PISA 2015 Results (Volume I): Excellence and Equity in Education, PISA, OECD Publishing,Paris.http://dx.doi.org/10.1787/9789264266490-en (accessed 7 July. 2018)

Paul, T., and Scott, K.: Millennials: A Portrait of Generation Next: Confident, Connected, Open to Change. Pew Research Center (2010). http://www.pewinternet.org/2010/02/24/millennials-confident-connected-open-to-change/ (accessed 20 July. 2018)

Permendikbud. (2015). Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia nomor 53 tahun 2015, tentang Penilaian hasil belajar Pendidik pada pendidikan dasar dan pendidikan menengah.

Sasso, S., & Ritzen, J. (2016). Sectoral Cognitive Skills, R&D, and Productivity:. IZA – Institute of Labor Economics, 2.

Scott, K., and Paul, T.: Teen Fact Sheet. Pew Research Center (2012). http://www.pewinternet.org/fact-sheets/teens-fact-sheet/ (accessed 7 July. 2018)

Scott, L. A. (2017). 21st century skills early learning framework. Partnership for 21st Century Skill (P21). Retrieved from http://www.p21.org/storage/documents/EarlyLearning_Framework/P21_ELF_Framework_Final.pdf(accessed 7 July. 2018)

Sulistyaningsih, E. (2016). Students’ Anxiety Facing Computer Based Test (CBT) System of National Examination. Proceeding of 3rd International Converence on Research Implementation and Education of Mathematics and Science. Yogyakarta.

Wardhani, Sri. (2005). Pembelajaran dan Penilaian Aspek Pemahaman Konse, Penalaran dan Komunikasi, Pemecahan Masalah. Jogjakarta: Materi Pembinaan matematika SMP di Daerah Tahun 2005 (PPPG Matematika)

Wilson, L. O. (2016). A succinct discussion of the revisions to Bloom's classic cognitive taxonomy by Lorin Anderson and David cwohl and how to use them effectively.

Prosiding Konferensi Pendidikan Nasional “Penguatan Karakter Bangsa Melalui Inovasi Pendidikan di Era Digital”

50

ANALYSIS OF CODE SWITCHING AND CODE MIXING PERFORMED BY VIAVIA TRAVEL’S STAFF YOGYAKARTA

ON THEIR WHATSAPP GROUP

Junita Pandiangan1, Agustinus Hary Setyawan2

University of Mercu Buana Yogyakarta [email protected]

[email protected]

Abstract The aim of the research is to analyze the Code Switching and Code Mixing that is performed by ViaVia Travel's staffs. The staffs use Code Switching and Code Mixing in their daily conversation on their WhatsApp group. The focus of the research is to find the types of Code Switching and Code Mixing that are found on the WhatsApp group by the researcher. Furthermore, the researcher analyses the reasons why ViaVia Travel's staffs use Code Mixing and Code Switching. This research uses qualitative methods to analyze the data which is obtained from the conversation history stored in the researcher's personal computer. To conduct this research, the researcher uses several theories from different sociolinguists. Keyword: Code Switching, Code Mixing, Whats App Conversation, Bilingual, Multilingual INTRODUCTION

Indonesia is known as a bilingual community. This can be seen in the fact that many different ethnicities live in Indonesia such as Javanese, Sundanese, Malay, Bataknese, Madurese, Betawi and many other ethnics. All these ethnics speak their own tribe's language, which can also be called dialect. According to Paauw (2009), the different ethnic groups speak about 600 different languages. Even though they are all different ethnics with different languages, they are all still considered Indonesian. That means there should be one language that can be used to communicate with each other. In this case, Bahasa Indonesia becomes a national language, also a language to unite all ethnicities that live in Indonesia (Paauw, 2009). Therefore, most of Indonesians are able to speak more than one language, which is their tribe's language and Bahasa Indonesia.

Having many different ethnics as a country makes Indonesia become a unique country. Moreover, it is not only from having a beautiful culture, but Indonesia also has a lot of beautiful lands. This adds benefits to Indonesia as a tourism destination. Having many foreigners in Indonesia, Indonesian people are exposed to many foreign languages, but the most common one is English. The combination of tourism and multiple local languages makes Indonesians alternate between different languages quite often. The alternation is defined as Code Switching and Code Mixing in linguistic studies. According to Wardhaugh (2006:110) "People, then, are usually required to select a particular code whenever they choose to speak, and they may also decide to switch from one code to another or to mix codes even within sometimes very short utterances and thereby create a new code in a process known as code-switching". This often happens in multilingual communities in Indonesia that are also sometimes joined by foreigners. In this situation, Indonesians switch and mix their language in order to communicate with the foreign friends in English.

This phenomenon does not only happen in casual or private environments but also in working environments. One example is in ViaVia Travel. ViaVia Travel is one of many travel agencies in Yogyakarta. This Travel agency is located in Jl. Prawirotaman 30 and is known well all over the world. There are many people from different countries who use their services such as from Europe, America, Australia and many others. Therefore, the staffs are also required to be able to speak English in order to provide services to customers from all over the world. This creates a bilingual or even multilingual environment as the staff speaks their own tribe's languages which are Javanese and Ambonese. Therefore, Code Switching and Code Mixing also happen quite often in their communication, especially on their WhatsApp group related to their job.

Prosiding Konferensi Pendidikan Nasional “Penguatan Karakter Bangsa Melalui Inovasi Pendidikan di Era Digital”

51

Their conversations get the interest of the writer to find out: why do the participants of that group not use full English or Bahasa Indonesia? Why do they mix their language? Is there any classification of Code Switching and Code Mixing from their conversations?

An analysis of different aspects of computer-mediated communication such as social media or online chats has been conducted by Fišer and Beißwenger (2017). However, while their analysis does consider sociolinguistic aspects, the presented research on WhatsApp conversation is only focused on the adoption of certain words to the chat terminology. To extend the study of computer-mediated communication in general and the analysis of WhatsApp communication in particular, this article will use the theories of Janet Holmes and other supporting theories to analyze the types and reasons for Code Switching and Code Mixing in the WhatsApp group of ViaVia Travel's staff. Code Switching in Written Text

Analyses of Code Switching and Code Mixing have happened a number of times in the past. Sebba, Mahootian, and Jonsson (2012) give an overview of different analyses of various sources of written text. The compiled analyses use different approaches and theories to examine cases of Code Switching and Code Mixing in written sources. Most analyses on written text have often been focused on literature. With the rise of the internet, researchers have also begun to analyze new forms of written text, such as online chat and instant messaging. From their research, it can be concluded, that written conversation (e.g. online chat and Instant Messaging) is similar or at least very close to the spoken conversation. As Kristin Vold Lexander states, this new type of communication enabled through technology shares "a number of features with spoken language and […] has been described as ‘talking in writing'". She further concludes, that "instant messaging resembles conversation, with short answers, quick exchange and references to body language" (Sebba, Mahootian, and Jonsson, 2012:149).

The research on spoken conversation has already generated many established theories. Combining this with the found similarities between spoken and written conversations (as in online messaging) leads to the conclusion that the type of written data used in this research is best analyzed using theories on Code Switching and Code Mixing in spoken conversations.

Definition and Types of Code Switching

According to Holmes, in the context of sociolinguistics, language can be referred to as variety or code. In this term, variety is a set of a language used in a specific social context (2013:6). This means, that the language, or code, that we use to communicate with others has different varieties based on the social context in which it is applied. In comparison to that, Wardhaugh (2006:9) stated, that a system used by two or more people communicating with one another in speech, can be called a code. Moreover, he also added that most of the time, the code may be called language. Therefore, a system of communication that people use to communicate with others is called language or code. He explained that it is unlikely that someone only uses one code or language in communication. People tend to shift from one code to another. They tend to choose a particular code, even in the same language, in their communication in order to provide an appropriate meaning based on the situation and the person they are talking to (Wardhaugh, 2006:88). In this part, Holmes agreed as she stated people use different styles of language in different social contexts. These situations cause people to shift or switch their language. Therefore, the shifting or switching from one particular code to another particular code can be referred to as Code Switching even in a monolingual community. However, in this work, the writer will focus on the Code-Switching in bi- or multilingual communities.

Holmes (2013) named different types of Code-Switching that can occur depending on the situational context of the conversation. 1. Switching for affective functions (Aff)

To reduce a message to its affective meaning, people may switch their code in order to exclude the listener from the actual content of the message. This type establishes only a partial boundary between the participants because the person performing the code switch still wants the listener to understand the emotional part of the message. School children may for example curse at the teacher in a local language or code that the teacher doesn't understand. Even though the teacher won't know the meaning of what was said, he will understand the way that it was said and whether it was meant as an insult or not. While this type of code switch will often be used to transfer negative emotions it is not limited to that and may also be used for joking or humorous anecdotes.

Prosiding Konferensi Pendidikan Nasional “Penguatan Karakter Bangsa Melalui Inovasi Pendidikan di Era Digital”

52

2. Metaphorical switching (Met) When people code switch to make use of the associated social meanings of certain words or

languages, it is called metaphorical switching. In many cultures and communities, a certain language is considered to be more formal and related to business while another is more commonly used in everyday conversations. A speaker will use metaphorical switching between those languages to associate him with both of them and to define his identity within a group. In an example given by Holmes, a businessman creates closeness to the community by using the local language while establishing his identity as a professional through the use of a business associated language. Metaphorical switching requires rhetorical skills and can be used by a person to cross the boundaries between different identities. 3. Lexical borrowing (Lex)

The skills of the learned languages of bi- and multilingual speakers often naturally differ from the skill they possess in their first language. This difference of skill can lead to borrowing of single words from their first language when there is a lack of vocabulary while talking in a second language. Another type of lexical borrowing happens when there is no equivalent word in the second language. If the exact meaning is important, then a word of the first language may be borrowed by the speaker. Lexical borrowing reduces the boundaries of a conversation because the speaker can form complete sentences even with a lack of vocabulary. That will make it easier for the listener to understand the meaning, even if he may not know the borrowed word himself. In an ideal case, where both participants are bi- or multilingual in the same languages, lexical borrowing can eliminate the boundaries of one language used in the communication by combining the vocabulary of the shared languages. However, this case goes beyond the common definition of lexical borrowing and rather refers to the term of Code Mixing as discussed in the next section. Definition and Types of Code Mixing

According to Wardhaugh, Code Mixing generally is the same as Code Switching. He mentions that "code-switching (also called code-mixing) can occur in the conversation between speakers' turns or within a single speaker's turn" (2006:104). That means the Code-Switching happens when the second person in the conversation switches their language to a different language than one of the previous speakers. Alternatively, it may also be the first person in the conversation that, while talking, will switch from one language into another language.

Even though Wardhaugh describes the two terms as synonymous and they are often used that way in the literature, Sridhar and Sridhar define a clear difference between Code Mixing and Code Switching. They stated, Code Mixing only happens within single sentences and is defined by the transfer of words or phrases from one language to another (1980:3).

According to Muysken, there are three types or patterns of Code Mixing. They are insertion, alternation and congruent lexicalization. Here the writer will try to elaborate on each of them. 1. Insertion (In)

Insertion is quite similar to the Code-Switching type of lexical borrowing. Muysken stated they can be distinguished by the type and length of the inserted item. In the lexical borrowing, the inserted item may only be a noun or idiom while in the insertion it would be a noun phrase. In insertion, the grammar of the sentence is determined by one language and an element from another language or code is inserted into the sentence. In this type of Code Mixing, there is no grammar change within the sentence and it has the same meaning even though there are embedded words. 2. Alternation (Al)

Alternation is comparable to Code Switching within an utterance with the difference that it happens in a single sentence. This pattern of mixing happens in one sentence which consists of two clauses of different languages. The grammatical structure of the two clauses differs for this type or pattern of mixing. 3. Congruent lexicalization (Cl)

This pattern concerns the grammar of the two languages that are used within a sentence. It requires a shared grammatical structure for the used languages. That means a certain element of grammar exists in both languages which can be used to connect different clauses without changing the meaning or grammatical structure in either language. This pattern requires the speaker to possess a high level of language proficiency because elements of the different languages may be used randomly.

Prosiding Konferensi Pendidikan Nasional “Penguatan Karakter Bangsa Melalui Inovasi Pendidikan di Era Digital”

53

The Reasons Why People Switch and Mix Code Even though the types of Code Switching and Code Mixing differ from each other, the triggers

and reasons that cause them are the same. Therefore, in this section, there is no distinction between the reasons for Code Switching and Code Mixing. As Holmes stated in her book, sometimes people switch their code or language when there is a certain situational change. (Holmes, 2013:35). Holmes refers to four aspects that can trigger a switch of code. They are as follows: 1. Topic

Bilinguals often find it easier to discuss particular topics in one code rather than another (Holmes, 2013:37). This causes someone to switch or mix his or her code or language from one language to other. Holmes also added that "for many bilinguals, certain kinds of referential content are more appropriately or more easily expressed in one language than the other" (Holmes, 2013:37). 2. Participant (Par)

This situation requires the current two or more speakers to switch their code or language if a new member arrives who does not speak their language. For example: If two Javanese people, who also speak English well, are talking to each other and suddenly a German, who does not speak Javanese, joins the conversation, the Javanese people will automatically switch their language in order to let the German join and understand the conversation. 3. Solidarity (Sol)

Holmes gives an example in her book, how a Maori greeting is used to show solidarity with another person. Even though the conversation will be held in English, the Code-Switching to greet a participant in their language shows respect and expresses solidarity towards them. This switch is often called a language tag which serves as an identity marker (Holmes 2013:35). 4. Status (Stat)

Holmes explained how status can actually cause people to switch code or language in their communication. She already explained in the first chapter of her book that status defines the relation between two speakers who have a conversation. The relationship of the speakers can define how serious or formal the conversation will be. As examples of conversations defined by the status of the participants serve the communications between doctor and patient, teacher and student, student and student or teacher and teacher. The status of the speakers in each situation will be reflected by the code that they use in communication. METHODOLOGY Research Design

The type of this research is a qualitative research. According to U. Flick, qualitative research is purposed to know the world better, understand, describe and explain the phenomenon that is happening (2007:10). This can be done in three ways. One of them is by analyzing documents (text, images, film or music) or by experiencing and interacting with the world itself. Muhammad in Muhammad (2014:31) also stated that communication is one of the phenomena that can be the object of qualitative research. Data and Source of the Data

According to Wasito (1995:69), based on the resource, data can be divided into two types, they are primary and secondary data. The data of this research can be identified as primary data as the researcher is the one who collected the data. The data is taken from the WhatsApp group chat of the ViaVia Travel. ViaVia Travel is one of the travel agencies in Yogyakarta and is located in Jalan Prawirotaman. There are three front officers and two managers in the WhatsApp group. They each have their own tribal language but as they are all Indonesian they also speak Indonesian and are able to speak English as their job requires them to deal with people from all around the world in the English language. The data of the research is non-verbal data in the form of written sentences or conversations on the WhatsApp group of ViaVia Travel. The WhatsApp group is used by the staff to communicate with each other regarding the tours or their daily duties and activities. The staff also gives important information through this group exchange, solving problems and discussing topics related to their work.

Furthermore, the style of the sentences on the group is quite varied. Sometimes they use formal sentences, sometimes informal and the languages used range from Javanese, their local language, to Bahasa Indonesia and English. However, this analysis only focuses on Indonesian and English and the switches of these languages as the data of the research.

Prosiding Konferensi Pendidikan Nasional “Penguatan Karakter Bangsa Melalui Inovasi Pendidikan di Era Digital”

54

Research Instrument In this research, the researcher is the one to do the analysis and can be considered the main

instrument. Besides that, the researcher used her computer as the research instrument. The researcher received the history of the group chat through email. Therefore, the data is stored and analyzed on her computer. However, all the staff of the company, including the managers, have the WhatsApp App in their phone and with it a copy of the group chat history. Data Collecting Technique

According to Muhammad (2014:194), there are three techniques to collect data in qualitative descriptive research; they are observation, interview, and introversion. The data collecting technique used in this research is observation. The researcher has observed the data from the WhatsApp group of ViaVia Travel's staffs when she worked there as they used the group chat for their communication. Data Analysis Technique

According to Prastowo, data analysis in qualitative research is a systematic process (2012:54). The analysis started with the observations of the researcher and continued to the collection of the data and the analysis with regards to the proposed research questions. The process of collecting the data can be divided into four steps, they are: 1) Reading the data, 2) Selecting the data, 3) Categorizing the data and 4) Analyzing the data. FINDING AND DISCUSSION

Based on Holmes theory that is used to analyze the data from the WhatsApp group chat of ViaVia Travel, there are three types of Code Switching. They are switching for affective functions, metaphorical switching, and lexical borrowing. In total, 70 utterances were used for the analysis.

Figure 1. Percentage Chart of Code Switching

As can be seen from the pie chart above, the result shows that there is only one datum (1%) categorized to be the type of switching for affective functions. This type of switching means to show or reveal feelings of the speaker. However, people usually tend to show their feelings in a verbal way. Therefore, there is only one datum in the analyzed sample on which this theory applies. Furthermore, this theory might be more applicable to different contexts outside of a working environment. The result also shows that there is 18% of Code-Switching that can be categorized as metaphorical switching. In this case, the data that is categorized to be the metaphorical switching is from when the members of the group chat switch their language for the professional context of their communication. The switches that are happening in this type are all related to the tours that they are selling at the travel agency. Even though the speakers can find the translation in Indonesian, they are still required to use English to refer to their tours or otherwise it will create confusion. The results from the analysis also show that 81% of the analyzed code switches are of the lexical borrowing type. In these occurrences, the switching is simply used to substitute an Indonesian word. Therefore, they are categorized to be the third type of Code-Switching which is the type of lexical borrowing.

1%

18%

81%

CodeSwitching

Aff Met Lex

Prosiding Konferensi Pendidikan Nasional “Penguatan Karakter Bangsa Melalui Inovasi Pendidikan di Era Digital”

55

In addition to the analysis of Code Switching, the researcher used Muysken's theory to analyze the types of Code Mixing that occur in the group chat of ViaVia Travel. The results are summarized in the pie chart below.

Figure 2. Percentage Chart of Code Mixing

From the chart above, it can be seen that the result for congruent lexicalization shows 0% for the utterances that happened in the group chat of ViaVia Travel. This type of Code Mixing allows two languages to share a grammatical structure in one sentence and both languages can be used either way, in this case, that would be Indonesian and English. However, Indonesian and English have very different grammar and very rarely share a common lexical structure and can therefore not commonly be used to replace each other without a change in grammar. This can also be seen from the conducted analysis, as the result does not show any data that can be categorized into this type of Code Mixing. From figure 2 it can also be seen that 92% of the data can be categorized as the type of insertion. This type of Code Mixing happens in the form of inserting phrases into a sentence without changing the meaning of the matrix sentence. The final result that can be seen from this pie chart is that 8% of Code Mixing occurrences are of the type of alternation. This type of Code Mixing happens when the language of a sentence gets replaced by another language halfway through the utterance.

Figure 3 shows the result of the analysis for the reasons for switching and mixing language that occurred in the group chat of ViaVia Travel.

Figure 3. Percentage Chart of Reason for Code Switching and Mixing

From the pie chart above, it can be seen that the topic is the most found reason to switch or to mix code. From the analyzed data, 86% of utterances belong to the category of the topic. Through the analysis, the researcher found that most of the time the group members switch their language when they are talking about a certain topic. In this case, most of the discussed topics are related to their work, such as tours that they are selling to their customers. The members of the group also often discuss problems that happen when they are dealing with their customers. Therefore, they have to switch or mix their language in order to avoid misunderstandings among them. It is easier for them to use code that they are accustomed to even

92%

8%

0%

CodeMixing

In Al Cl

0%8%6%

86%

Reason

Par Sol Stat Topic

Prosiding Konferensi Pendidikan Nasional “Penguatan Karakter Bangsa Melalui Inovasi Pendidikan di Era Digital”

56

though they might be able to find a similar code in Indonesian. Furthermore, figure 3 also shows that in 6% of the utterances, status causes the members of the group chat to switch or mix their language. As the researcher has mentioned before, two of the members in the group are managers at the company. Therefore, the managers sometimes switch or mix their language in order to emphasize a certain action that the front officers have to do. In this switching, the managers show their authority on giving the commands. By emphasizing a certain action, the managers relate to their work environment which is a formal situation. Due to the close relationships between the participants, the managers do not do it as often as might be expected in the given environment and sometimes they switch their language for a friendly greeting before giving a command in their utterance. Friendly greetings indicate the speaker wants to decrease the distance of the existing status between the participants. The switching happened in the greeting instead of the certain action. This reason for switching and mixing language due to solidarity can also be found in the pie chart and shows a result of 8%. The lowest percentage that this pie chart shows is 0% for the reason of participation that causes people to switch or mix their language. The members of the group are consistent, three of the front officers and two of the managers, and no new participants join the group. In addition to this, there is no person who does not speak the same languages as all the other members of the group. Due to this, this reason does not encourage the members of the group to switch or mix their language and can therefore not be found in the analyzed data. CONCLUSION

After analyzing the group chat history from ViaVia Travel Agency, the researcher can conclude the analysis that among all types of Code Switching and Code Mixing, the most often used type is lexical borrowing. The theory presented earlier described the fact that a person who masters two languages (bilingual), tends to shift from one language to another language more often and fluently. Based on this theory, it can be seen that ViaVia Travel's staff are accustomed to switching their code or language by borrowing lexical terms from English to include it into their Indonesian utterance. They are speaking in English every day with tourists from all over the world who visit their office but at the same time, they are still actively speaking in Indonesian to other colleagues at the office. Therefore, they get used to switching their code by taking words or expressions of one code to use it in the other, which is defined as lexical borrowing.

Besides the types of Code Switching and Mixing, it can be also concluded that the most common reason for performing Code Mixing and Code Switching. In the analysis, the researcher found that the topic is the most used reason for ViaVia Travel's staff to switch and mix their language during their communication in the group chat. The communications are all related to their work which is providing travel and tour services that are written in English. Moreover, the amount of time that they spend communicating with foreign guests and tourists is quite high which leads to them knowing many words that are related to the topic of tourism. This then becomes the reason for them to switch and mix their language.

In this era, there are many new types of exchange between people such as social media platforms. On these platforms, different types of conversations occur from private exchange to public direct conversations and public posts and comments that turn into conversations. These new means of communication are likely to bring various types of Code Switching and Code Mixing with them. Therefore, the following research can focus on the analysis of these new forms of conversation. REFERENCES Astuti, Mini. 2007. An Analysis of Code Switching Performed by the Staff and the Foreigner Guests of

“Istana Griya” Homestay in Surakarta. Surakarta: Teachers Training and Education Faculty, Sebelas Maret University of Surakarta.

Cakrawarti, Dias Astuti. 2011. Analysis of Code Switching and Code Mixing in the Teenlit Canting Cantiq by Dyan Nuranindy. Semarang: Faculty of Humanities Diponegoro University

Chaer, Abdul, and Leonie Agustina. 2004. Sosiolinguistik: perkenalan awal. Jakarta: Penerbit PT Rineka Cipta.

Fišer, Darja, and Michael Beißwenger, eds. 2017. Investigating Computer-Mediated Communication: Corpus-Based Approaches to Language in the Digital World. Ljubljana: Ljubljana University Press, Faculty of Arts.

Flick, Uwe. 2007. Designing Qualitative Research. London: Sage Publication.

Prosiding Konferensi Pendidikan Nasional “Penguatan Karakter Bangsa Melalui Inovasi Pendidikan di Era Digital”

57

Gulo, W. 2007. Metodologi Penelitian. Jakarta: PT. Grasindo. Holmes, Janet. 2013. An introduction to sociolinguistics. Abingdon: Routledge. Muhammad, 2014. Metode Penelitian Bahasa. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media. Mulyani, Nopita. 2011. Code Mixing Analysis of the Judges Comments and the Host Utterances on Five

Episode of Workshop Round in Indonesian Idol Singing Competition Season 6. Jakarta: Faculty of Adab and Humanities, State Islamic University Syarif Hidayatullah.

Muysken, Pieter. 2000. Bilingual Speech: A Typology of Code-Mixing. Cambridge: Cambridge University Press.

Paauw, Scott. 2009. One Land, One Nation, One Language: An Analysis of Indonesia’s National Language Policy. In University of Rochester Working Papers in the Language Sciences Volume 5 Number 1. Rochester: Department of Linguistics, University of Rochester.

Prastowo, Andi. 2012. Metode Penelitian Kualitattive Dalam Perspektif Rancangan Penelitian. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.

Romaine, Suzanne. 2000. Language in Society - An Introduction to Sociolinguistics. United States: Oxford University Press Inc.

Rouse, Margaret. 2013. Definition - WhatsApp. Retrieved July 14th, 2018, from http://searchmobilecomputing.techtarget.com/definition/WhatsApp.

Sebba, Mark, Shahrzad Mahootian, and Carla Jonsson, eds. 2012. Language Mixing and Code-Switching in Writing - Approaches to Mixed-Language Written Discourse. New York: Routledge

Sobariyah, Emi Zulfiati. 2017. An Analysis of Code Switching and Code Mixing in the English Teacher’s Utterances in SMA N 1 Seyegan. Yogyakarta: Mercu Buana University of Yogyakarta.

Trudgill, Peter. 2000. Sociolinguistics: An introduction to language and society. London: Penguin Books. Wardhaugh, Ronald. 2006. An introduction to sociolinguistics. Malden: Blackwell Publishing Ltd

Wasito, Hermawan. 1995. Pengantar Metodology Penelitian. Jakarta: Sun Printing.

Prosiding Konferensi Pendidikan Nasional “Penguatan Karakter Bangsa Melalui Inovasi Pendidikan di Era Digital”

58

SCORE MARK-UP IN ENGLISH ASSESSMENT

Svendriyati Asthari1, Hermayawati 2 1,2University of Mercu Buana Yogyakarta

[email protected] [email protected]

Abstract Score markup is a bad phenomenon in educational research, but it is not widespread researched. Thus this research was aroused because of the aforesaid phenomenon. Based on the aforesaid issue this research was generally aimed at analysis of avoidable score mark-up in English assessment in senior secondary school and involving three variables that are: 1) strategy of avoidable score markup; 2) manner of teachers assess students' English learning; 3) English teachers to assess students with low comprehension of English subjects deduction. Then, it belongs to a case study that is qualitative research, and then, it involves with SMAN 1 Yogyakarta as a research setting. Then, the research instrument is questionnaires, interviews, documentation, and peers debriefing. Further, the research participants are English teachers, non-English Language teacher, students (graders). In this case, the result of the research has research validity i.e = 0.751; the average of National Examination is about 82.00 that it is higher than the School Examination is 66.78 that means the phenomenon of score markup does not occur. Remedial teaching and remedial tests have been solutions to enhance graders' motivation. The effectiveness of the Layanan Klinis is a solution for lower students who still need enhancement of the teaching method. Keywords: English Assessment, Score Mark-Up, Qualitative Approach, Motivation, Teaching Strategy INTRODUCTION

National Examination (NE) as one of the final requirements be promoted at the secondary schools is a summative assessment which has not again become the only one of the successful graduations. Also, it requires precision and honesty to achieve the education's objectives namely, bravery to face educational problems in the daily life and doing problem-solving in each innovation of cultural and religious matters; those matters are not just about academic problems. The problems are exactly difficult to be solved in quickly, so the cultural and religion matter is not only in any concept, but they are also must be implemented in each daily life through education.

Hermayawati (2011) stated, "If the NE's goal is to enhance the quality of graduates moreover to the interest of the quality of education nation wide-mapping, doing score mark-up of graduation must lose in the educational life. If it is still done, improving the quality of graduates through an increase in the average number of NE standards there would be no point." Then another example of why the researcher can get the phenomenon that is based on the other news i.e. Rachman (2013) argued that National Selection of State Universities as Committee General Secretary Rochmat Wahab argued in 2013 "more and more senior secondary schools are subjected to sanction or ‘blacklist' for committing fraud with the competing of ‘score mark-up' the students' grades to qualify and be accepted in the determined state universities."

Also, Rachman insists that Wahab said in Rachman that "team will conduct an investigation related to the parties involved in fraudulent practices of the student grades score mark-up." (Rachman, 2013, p.1). However, aforesaid assumptions are said by some experts, but nowadays we need more than news or any issue that becomes an assumption without the transportation of scientific writing. The reason of the assumption is not scientific writing is based on the Oxford Advanced Learner's Dictionary, Hornby (2015, p.79) defines assumption "is a belief or feeling that something is true or that something will happen, although there is no proof." Therefore the researcher can attempt to give the proof of the student grades scores mark-up, then it can be scientific writing with certain teaching documents.

With granted, the score mark-up does not become a possible occurrence in a school that involved name with model school. Then, the experts who do the research or to get a score mark-up fact can continue their job, meanwhile, the researcher learns how to teach based on the data from the school that had been assumed it does not need to do score mark-up, but it must fulfill the MCML. Therefore, the researcher can learn how to score well to her forthcoming teaching, assessments, and tests in her future career as a teacher

Prosiding Konferensi Pendidikan Nasional “Penguatan Karakter Bangsa Melalui Inovasi Pendidikan di Era Digital”

59

with an appropriate teaching method. All in all, the researcher processes result of the research to develop the method to avoid the score mark-up common occurrence.

The 2013 Curriculum has chapter 17 of Education Affairs Minister Effendy in BSNP (2018, p.12) stated that the NE result are used as basis for these variable: 1) mapping the quality of programs and education units; 2) selection considerations entered next education level; 3) guidance and assistance to the education unit as effort to improve education quality. That NE is a kind of summative assessment that a crucial matter in educational life. Hence, it is observed as the English assessment in 2013 Curriculum development. Then, the assessment itself has its branches functions.

Here is the assessment's definition of assessment is "a systematic approach for collecting information on student learning or performance, usually based on various sources of evidence."(O'Malley and Pierce, 1996, p. 237). For information, it is from old quotation because O'Malley is an expert in assessment English Language Learning (ELL) world. In line with O'Malley and Pierce then according to Brown (2004, p.4) assessment is "whenever a student responds to a question, offers a comment, or tries out a new word or structure, the teacher subconsciously makes an assessment of the student's performance."

Assessment in 2013 Curriculum is a useful matter to be learnt, because the curriculum has chapter 17th of Education Affairs Minister Effendy in BSNP (2018, p.12) stated that the NE result are used as basis for these variable: 1) mapping the quality of programs and education units; 2) selection considerations entered next education level; 3) guidance and assistance to the education unit as effort to improve education quality in this research has types such as: 1) assessment criteria and orientation Richards and Schmidt (2010, p.36); 2) assessment based on time of holding Harlen (2007, p.15-16); (O'Malley and Pierce, 1996, p.238 and 240); 3) assessment based on method of scoring i.e. authentic assessment/ portfolio and conventional assessment. (Hermayawati, 2016; Koh and Luke, 2009, 2013, p.3); 4) assessment based on its purpose (Brown, 2007, p.7); assessment based on its form (Weimer, 2015). Theis research involves the psychological aspect that is motivation.

The motivation here discussed practical teaching strategies in senior secondary school that is usually called as senior high school (upper secondary schools), students are classified by random ages, ethnic, and other sociocultural that related to the background of their religions. In addition, students live in heterogeneous learning style based on willing, so that they can adapt in the different person means different learning style. In line with, the meaning of adaptation is "including and adjusting to new information that increases understanding." (Rice and Dolgin, 2008,p. 449).

The researcher formulates research objectives based on the research problems. Then, the research

objectives are lists of some aims of this undergraduate thesis such as 1) to describe how the English teachers conduct manner to avoid score mark-up for the students' learning; 2) to illustrate how the English teachers score the students of English learning teaching; 3) to describe teachers commonly do to increase lower students' score.

Prosiding Konferensi Pendidikan Nasional “Penguatan Karakter Bangsa Melalui Inovasi Pendidikan di Era Digital”

60

METHODOLOGY This research belongs to case study research which is a kind of qualitative research. It carried out

2016/2017 academic year to focuses on eleventh graders score in it is stopped to run in 2017/2018 academic year of SMAN 1 Teladan Yogyakarta. Because the case study is qualitative research this research adopted the circle steps of qualitative research as the Figure 1.

Figure 1. Steps in a Qualitative Research Study Adopted from Clandinin and Johnson in Johnson and Christensen, (2014, p.419)

Explanation of the illustration steps of the above figure are as follows: Step 1. Select research topic

In this case, the researcher attempts to provide her knowledge which remembers about the possible data gathered after the condition that it occurred to the respondents or research participants. It focuses on issues or a kind of problems in the educational milieu. Step 2. Determine research questions

The research question which is a simplification of the research objectives is how the research study conducts the aims of the research. Thus, the researcher does not need to do the step to next in a linear method in line with Clandinin and Johnson in Johnson and Christensen (2014, p. 419) "the qualitative researcher does not follow the eight steps in a linear fashion (i.e., step 1, then step 2, then step 3, and so on)." Step 3. Design the study

In fact, a research needs a kind of design to be the principle in order to achieve the research objectives. As a consequence, the researcher quoted from Clandinin and Johnson in Johnson and Christensen (2014, p.419) that needed a design of qualitative approach in this study that is a quote in a paragraph.

The questions can be changed or modified, however, during data collection and analysis if any are found to be naive or less important than other questions. This is one reason why qualitative research is often said to be an emergent or fluid type of research. During the conduct of a qualitative research study, the researcher acts as a detective or novelist and goes wherever interesting and enlightening information may be.

Hence, the researcher is capable to be a novelist rather than detective as her potency to narrate what she got in the research setting. Step 4. Collect Data

This researcher collects data to analyze the data as data analysis so that the data collection concurrent with analysis of data which can save time and effort. The meaning of the aforesaid statement posits a quotation that "Data collection and data analysis are often done concurrently or in cycles in

Prosiding Konferensi Pendidikan Nasional “Penguatan Karakter Bangsa Melalui Inovasi Pendidikan di Era Digital”

61

qualitative research (e.g., the researchers collect some data, analyze those data, collect more data, analyze those data, and so on)." Clandinin and Johnson in Johnson and Christensen (2014, p.419). Step 5. Analyze Data

After collecting the data, the forthcoming step is the analysis step. It is sure in the qualitative form, but it applies the numerical data because of assessment term. So far the assessment term is never about the words except for the description. In fact, the researcher cannot carries out longitudinal research, so that she mixed the research with the quantitative research. Step 6. Generate findings

In this case study, the researcher attempts to find the aim of this research, it is research findings which need discussions that it is like establish the research validity. For instance, construct validity— In case, the validity must identify specific concepts of research objectives, then match any concepts which got. (Yin, 2014,p. 46-47); internal validity— in experimental and quasi-experimental, research are greater to apply internal validity, but it needs in the case study to led the factors to get the aim of research, getting causal relationship, and making inference or the assumption in the research objectives (Yin, 2014, p.47-48); external validity—extremely helpful to explain research objective in research questions as a ‘how' and is not about documenting social trend (Yin, 2014, p.48); reliability—document to establish appropriateness of case study research as a satisfy requirement. (Yin, 2014, 48-49). Step 7. Validate findings

Although this research involves with the qualitative research, this researcher strives to validate the data collection in line with "the researcher also attempts to validate the data and his or her interpretations throughout the research study)." Clandinin and Johnson in Johnson and Christensen (2014, p.419). Validation or validate findings are beneficial to the level confidence of the forthcoming conclusion and suggestion. Insofar as the interpretations can save this research validation, the interpretation must be done to get the level of confidence as high as possible. Step 8. Write research report

This step is the last step for the cycle of pure qualitative research, thus, this research prepares to write the research report. According to Clandinin and Johnson in Johnson and Christensen (2014, p.420) argue that "at the end of the research study, the researcher finishes the research report (step 8)." Hence, the researcher does not need to lose her research steps, albeit it is not linear from step 1 until step 8 as if the research report is not in the course; the researcher saw the step 1. Afterward, the researcher must research in the research participants in the format of the documents of the scores in the assessments based on the time holding i.e. formative assessment, sub-summative assessment, and summative assessment.

Here is the procedure of this research that simplifies the research procedure that any step is ignored, but the procedure adjusted state. Then, the description of the steps is very simple that to obtain the research finding. Granted that, Figure 2 is the illustration of a single study this case study.

Figure 2. Convergence of Evidence (Single Study) Adopted from (Yin, 2014, p.121)

Note: The researcher must carry out the data then making ‘findings', but she has the ability to consider

the most appropriate methods that entire convergence has each weakness and strengthen; on the other hand, the weakness and strength are not discussed in this chapter because this chapter solely tell the reasons to do research method in the surface. Then the convergence of evidence as the instrument of the research that she carries out in what she did such as:

Prosiding Konferensi Pendidikan Nasional “Penguatan Karakter Bangsa Melalui Inovasi Pendidikan di Era Digital”

62

a. Documents : Getting some information from random students, especially grade 11 of 2016/2017 academic year

b. Archival Records : English assessments history recently 2016/2017 academic year at 11th graders

c. Open-ended Interviews : Obtaining information about English teaching and learning in the 2016/2017 academic year at 11th graders

d. Focus Interviews : MCML and English assessment strategies e. Structured interviews and surveys : Implementation of assessment in the total score of

assessments f. Observations (direct and participant) : The researcher obtains the total score of each graders

in the SMAN; it is about how deduce method to teach and to learn English Language.

Instrument Validity This research applied triangulation to look for the validity that uses check and repeat check the

data founded with the theory (Johnson and Christensen (2014); Golafshani (2003). Data Collecting Technique

This research carried out questionnaires, documentation of learning teaching (raport documents,data average of School Examination (SE) and National Examination (NE), depth interview, and peers debriefing. FINDING AND DISCUSSION

In fact, the measurement result of students and their scores is as clear as the table 4.1 lists of explanations such as: (1) There are 9 groups of natural science and 1 group of social science.; (2) IPS group has fewer students rather than entire natural science.; (3) almost skills score of IPA and IPS students are higher than the knowledge. As the results, this research concerns on the reasons why the research of the learning achievement, are divided into different terminologies i.e. skill and knowledge that involved with the data of method to score English score of the students.

National Examination (NE) is translated from H.A.R Tilaar that the statement is implied in the paraphrase i.e. in a paraphrase function of national standard education is strategy building and development planning after getting data from learning evaluation result nationally as a national examination. Then, he added that the National Examination is a way to control the national education standardization (Tilaar, 2009, p.109). To obtain the need of relationship between summative assessment and formative assessment based on the observation of Brown, The students' feedback have motivational result according to Brown (2007, p.91) "from extrinsic to intrinsic motivation in educational institutions." In other words, the intrinsic is in processing to be developed in the educational practice

This research is described that SMA belongs to pedagogy methods that are valid and reliable in the Cronbach's Alpha and Pearson Product Moment. The distinction between andragogy and pedagogy are obvious terms according to Harmer (2007, p.83-84) and Brown (2007, p.106) stated that Pedagogy is a teaching method to guide from early young learners until the latest teen or learner in the senior secondary high school; Andragogy is a teaching method which focuses to teach the latest adolescents to the adults. As the result, the researcher found that students were in the grade 11 with English ability involved with pedagogy term.

In addition, this research lavishes in pedagogy and andragogy that based on Knowles theory in Duverge (2016) stated that Knowles' theory includes five assumptions about adult learners such as: (1) They are self-directed learners.; (2) They use their past experiences as a resource for future learning.; (3) They are ready to learn related to their social roles.; (4) They apply lessons to solve problems immediately.; (5) They have an internal motivation to learn. In line with the aforesaid habit of adult learners, adolescence belongs to pedagogy. Whereas the 11th graders are adolescents or they belong in adolescence with pedagogy method to teach.

Further, the scores specify into Table 1 to prove that the average scores both of knowledge and skills are above the MCML score. In addition, the researcher finds that the information about the skills and the knowledge are the method to measure the students' knowledge is like the theory, and then the skill is like the practice of the English, to make the theory the average score below:

Prosiding Konferensi Pendidikan Nasional “Penguatan Karakter Bangsa Melalui Inovasi Pendidikan di Era Digital”

63

Table 1. Average Total Scores Both of IPA and IPS No. Average Scores of

Knowledge Average Scores of

Skills Value of Average Total Scores

IPA IPS IPA IPS IPA IPS

1. 87.21 86.61 87.73 87.54 Knowledge = 87.19 Skill =87.89

Average of Knowledge and

Skill = 87.54

87.08

2. 88.03 88.85

3. 86.48 87.68

4. 87.26 88.52

5. 86.96 87.71

6. 87.7 87.57

7. 88.87 89.03

8. 88.03 88.53

9. 84.68 85.39

The aforementioned table illustrated the research findings that the score of the students has the standardized measurement that it is more than Minimum Criteria of Mastery Learning (MCML). On the contrary, the research conducted NE and SE. Both of the examinations illustrate the score mark-up existence. Then, the score of the NE is higher than the SE, so that the fact said that there is no score mark-up. Clearly, the English NE score is about 82.00 and the English SE is 66.78.

The motivation needs a validity to perfect a questionnaire as the instrument to do this research according to Tavakol & Dennick "validity is concerned with the extent to which an instrument measures what it is intended to measure. Reliability is concerned with the ability of an instrument to measure consistently. It should be noted that the reliability of an instrument is closely associated with its validity." (2011, p. 53). Thus, this researcher only obtained information from Septiani that solely quotes from other researchers in line with Septiani (2013, p.27) comes from Sayuti in Saputri (2010, p.30) that the original reference is in Arikunto (2013, p.89). It is translated as the questionnaire which is stated as reliable if it has alpha coefficient value, hence used the stability of the following interpretation in Table 2.

Table 2 Cronbach’s Alpha and Qualification Value

Cronbach’s Alpha Qualifying Value 0.00- 0.20 Less Reliable 0.21- 0.40 Somewhat Reliable 0.41- 0.60 Quite Reliable 0.61- 0.80 Reliable 0.81- 1.00 Very Reliable

In case, the high value is > 0.90 according to expert high value or very reliable of coefficient alpha

in the data calculation is somewhat ‘> 0.90' according to Tavakol and Dennick (2011, p.54) "A longer test increases the reliability of a test regardless of whether the test is homogenous or not. A high value of Alpha (> 0.90)." The alpha value is 0.751 that is a proof reliable; then the validity is valid in Appendix L, it occurred because the questionnaire consists of core competency and basic competence of 11th graders of 2013 Curriculum. The Alpha value here is the appropriateness of the aforesaid table.

To continue, this research discusses the score of the students who actively learn curricular and without curricular can fulfill the MCML of the score around 82.00 of NE in 2017/2018 academic year. Therefore, the English assessment needs the extracurricular and intra-curricular activities to change the learning of English and incidentally self-efficacy. To get the evidence, this research obtained the interview from English teacher, the content interview from another English teacher, and peer debriefing from a chemistry teacher. Then, these research adopted Regier method to format the formative assessment strategies to teach., unfortunately, is not yet an expert and the strategies have not been listed in any journal, but Regier is a master of education that is higher level in education more intelligent than the researcher, thus, she carries out the Regier concepts these are the concept of Regier with the interviews with students

Prosiding Konferensi Pendidikan Nasional “Penguatan Karakter Bangsa Melalui Inovasi Pendidikan di Era Digital”

64

of the SMAN 1 Yogyakarta i.e. Demonstration Stations; Exit Cards; Peer Assessments; Sentence Prompts, Product exemplars. The description is 1) Demonstration Stations —Playing how to determine what the classroom is going to learn about; 2) Exit Cards —Students are asked to solve any problem (make short writing in any scrap of paper or other pieces of paper) before end of the classrooms activity; 3) Peer Assessments —Students can use a set criteria to assess the work of their classmates.; 4) Sentence Prompts —A variety of ways to informally assess students and gather information to inform instruction, i.e. "I don't understand ..., I need more information about..." 5) Product exemplars i.e. Students write any narrative paragraph in any exemplars then they compare to their classmates, to change or to add in order to their demonstrate mastery.

To pinpoint the method to avoid a score mark-up, the researcher makes an analogy between the second language (L2) and motivation. In line with the L2 motivation framework is like Dӧrnyei's framework of L2 motivation (Dornyei, 1994a: 280) in Dӧrnyei (2001, p.113). In language level, Dӧrnyei suggests to do integrative motivational subsystem and instrumental motivational subsystem; in learner level he attends to 1) need for achievement, 2) self-confidence i.e. (a) language use anxiety, (b) perceived L2 competence, (c) causal attributions, (d) self-efficacy. In a learning situation level, he divided the term into three components namely, 1) course-specific motivational components, 2) teacher-specific motivational components, 3) group-specific motivational components. Then each of the components has their own parts which will be summarized here.

That the first, it is course-specific motivational components involving (a) interest (in the course), (b) relevance (of the course to one's needs), (c) expectancy (of success), and satisfaction (one has in the outcome). Next the second, it is teacher-specific motivational components including (a) affiliative motive (to please the teacher), (b) authority type (controlling vs. autonomy-supporting), c) direct socialization of motivation containing modeling, task presentation, and feedback. Then the third, group-specific motivational components having (a) goal-orientedness; (b) norm and reward system; (c) group cohesiveness; (d) classroom goal structure (cooperative, competitive or individualistic).

After discussing of motivational issue, the English teachers should have strategies to facilitate the students in the adolescence. It is an observable data of examples according to Brookhart and Nitko (2008, p.181) strategies of the teaching based on their experience to students as follows: 1) Monitoring individual students to be sure they are making regular progress and keep them focused

on completing the project. 2) Mentoring students to help them overcome operational problems that is beyond their control. 3) Monitoring the procedures and processes the students are using to ensure they will be able to address

the learning targets set for the project. 4) Clarify the outcome(s) you expect. Each student should understand both the purpose(s) of the project

(the learning target being assessed) and what you expect the project to look like. 5) Putting expectations in writing 6) Clarify the standards teachers will use to evaluate the project. 7) Let students participate in setting standards. Each student should internalize the quality standards and

have a sense of ownership of them. 8) Clarify deadlines 9) Require progress reports 10) Teachers must minimize plagiarism opportunities. Each student should do his or her work to the best

of his or her ability. The researcher found that the number of students should motivate in extrinsic motivation. It is not

just intrinsic motivation, because each students are heterogeneous motivating themselves. Here the English teachers have to help the students to deduce their intrinsic motivations. Therefore, the English teachers need to meet need of the students that can be discussed with the other English teachers. CONCLUSION

The students are adolescents or teens who like to challenge themselves in learning English through practice English as daily communication through the game, daily conversation at speaking etc. In addition, the English teachers are given the incentive to remedy the students that use some strategies of teaching in this time named as Layanan Klinis. Some of the teaching strategies used some strategies such as 1) Demonstration Stations; 2) Exit; 3) Peer Assessments; 4) Sentence Prompts; 5) Product exemplars. They

Prosiding Konferensi Pendidikan Nasional “Penguatan Karakter Bangsa Melalui Inovasi Pendidikan di Era Digital”

65

need their classmates to interact with them through the topic or unit they learnt. Furthermore, the research setting applied the traditional test that transformed paradigm to only do the formative assessment in a model school.

English teachers should match the strategies with the needs of the students, albeit with avoidable score mark-up in English assessment. Because score mark-up becoming phenomena, these research findings are beneficial to avoid score mark-up. Hence these phenomena are not as difficult as fraudulence to be removed; it is expected to anyone who wants to remove the score mark-up to apply varieties of creative ideas to avoid the score mark-up, albeit doing program remedial teaching and test. For instance, the English teachers apply portfolio to assess students in enhancing students' self-efficacy; then the other teachers should do the sub-summative assessment and formative assessment that can be prepared to succeed summative assessment i.e. National Examination rather than School Examination. In a nutshell, the score mark-up is a teaching method with teaching strategies to amuse the students in revising their learning.

REFERENCES Arikunto, S. 2012. Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan. 2nd Ed. Jakarta: Bumi Aksara. BSNP. (2018). Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2018.

Available at: http://bsnp-indonesia.org/wp-content/uploads/2018/02/Permen-4-Tahun-2018.pdf. [Accessed: 12th August 2018]

Brookhart, S.M. & Nitko, A. J. 2008. Assessment and Grading in Classrooms. New Jersey: Pearson Education, Inc.

Brown, H.D. (2004). Language Assessment: Principles and Classroom Practices. 4th Ed. New York: Pearson Education, Inc.

___________. (2007). Teaching by Principles: An Interactive Approach to Language Pedagogy. 3rd Ed. New York: Addison Wesley Inc.

Dӧrnyei, Z. (2001). Teaching and Researching Motivation. Essex: Pearson Education Limited. Duverge, G. (2016). Constrasting classrooms: instructional differences between between pedagogy vs.

andragogy. Available at: https://online.pointpark.edu/education/pedagogy-vs-andragogy/. [Accessed: 28th June 2018].

Golafshani, N. (2003). Understanding Reliability and Validity in Qualitative Research. The Qualitative Report, 8(4), 597-606. Available at: http://nsuworks.nova.edu/tqr/vol8/iss4/6/. [Accessed: 13rd December 2016].

Harmer, J. 2007. The Practice of English language Teaching 4th Ed.. Essex: Pearson Education Limited. Hermayawati. (2011). Budaya Dongkrak Nilai. Available at: http://maya.mercubuana-yogya.ac.id/wp-

content/uploads/2012/01/KR-ONLINE-BUDAYA-DONGKRAK-NILAI.htm. [Accessed: 27th October 2016].

Hornby, A.S. et.al. (2015). Oxford Advanced Learner’s Dictionary. 9th Ed. Oxford: United Kingdom. Johnson, R. B. & Christensen, L.B. (2014). Educational Research: Quantitative, Qualitative, and Mixed

Approaches. 5th ed. Thousand Oaks, California: SAGE Publications, Inc. O’Malley, J. M. & Pierce, L. V. (1996). Authentic Assessment for English Language Learners: Practical

Approaches for Teachers. New York: Addison Wesley. Rachman, T. (2013). Sekolah Curang di SNMPTN Harus Dikenai Sanksi. Republika. [Online] 1st

February. P.1. Available at: http://www.republika.co.id/berita/pendidikan/dunia-kampus/13/02/01/mhjfpj-sekolah-curang-di-snmptn-harus-dikenai-sanksi. [Accessed: 27th October 2016].

Rice, F. P., & Dolgin, K. G. (2008). The Adolescent: Development, Relationships, and Culture. 12th Ed. Boston: Pearson Education, Inc.

Septiani, A. (2013). 24 III.METODE PENELITIAN A.Populasi Penelitian Penelitian ini. Available at: http://digilib.unila.ac.id/1717/9/Bab%203.pdf. [Accessed: 1st July 2018].

Tavakol, M. & Dennick, R. (2011). Making Sense of Cronbach’s Alpha. Available at: https://www.ijme.net/archive/2/cronbachs-alpha.pdf. [Accessed: 9th June 2018].

Tilaar. H. A. R. (2006). Standarisasi Pendidikan Nasional: Suatu Tinjuan Kritis. Jakarta: Rineka Cipta.

Prosiding Konferensi Pendidikan Nasional “Penguatan Karakter Bangsa Melalui Inovasi Pendidikan di Era Digital”

66

Weimer, M. (2015). Advantages and Disadvantages of Different Types of Test Questions. Available at: http://www.facultyfocus.com/articles/educational-assessment/advantages-and-disadvantages-of-different-types-of-test-questions/. [Accessed: 11th December 2016].

Yin, R. K. (2014). Case Study Research: Design and Methods, 5th Ed. Thousand Oaks, California: SAGE Publications, Inc.

Prosiding Konferensi Pendidikan Nasional “Penguatan Karakter Bangsa Melalui Inovasi Pendidikan di Era Digital”

67

A PRAGMATIC ANALYSIS OF PRESUPPOSITON FOUND IN THE CONJURING MOVIE

Taufiq Umar1, Elysa Hartati2, Dedi Febrianto3

1,2,3University of Mercu Buana Yogyakarta [email protected]

[email protected] [email protected]

Abstract The objectives of this research are describing the types of presupposition and interpreting the implied meaning of the presupposition through characters' utterance in the movie entitled The Conjuring. Yule's theory of presupposition and context are used to answer the research questions in this research. This research was a qualitative study. The object of this research was The Conjuring movie that released in 2013. The data of this research were taken from the conversation between the character's utterances in the movie and the data analysis was conducted by classifying and analyzing according to Yule's theory. Meanwhile, in order to interpret the implied meaning of the data of presupposition, the writer considered the context to interpret the implied meaning of the presupposition. The findings of the research were as follows: all Yule's types of presupposition were found in this research. Those were lexical presupposition is the most-occurred in this study with 9 data of 23 data gained in this movie. The second type presupposition most occurred was existential presupposition with 6 data found in this study. The third type of presupposition occurred in this study was factive presupposition which 3 data found in this study. The fourth type presupposition occurred in this study was non-factive with 2 data found and the fifth presupposition occurred was structural presupposition with 2 data found of all 23 data found in this study. The last type of presupposition occurred in this study was the counterfactual presupposition. The writer only found 1 datum of the counterfactual presupposition of 23 data found in this study. After conducting the research, the writer concludes that all types' presupposition were found and the implied meaning for each type presupposition can be interpreted by considering the context. In this study, lexical presupposition mostly occurred because the use of this presupposition could reveal two assumptions in one utterance and counterfactual presupposition rarely occurred in this research because counterfactual conditional seldom found in this movie situation. Keyword: Pragmatics, Presupposition, the Conjuring Movie INTRODUCTION

In order to interpret the implied meaning of speaker, the assumption is not merely based on interpretation of the word of the utterance but it must look at the background of the situation when the utterance is stated. Speaker's assumption or presupposition is something the speaker assumes to be the case prior to making an utterance. Speaker, not sentence has presupposition (Yule, Pragmatics 25). It means that there is something in speaker's mind before making an utterance. Presupposition becomes important to be studied because it discusses the implied meaning that usually does not state directly in the utterance. Speaker assumes that the information is known by the listener, although the information does not mention directly but sometimes is not easy to get the information which un-stated by the speaker. Addressee needs to look the word meaning and the situation when the information is stated in order to interpret the meaning itself. It means context or background situation is something that helps in determining the utterance (Grundy 10). It can be said that context can be used in order to interpret the implied meaning of an utterance. In the study of meaning which it communicates between the speaker and the listener, they need to consider about pragmatic. Pragmatic is study relation between language and context which are grammaticalized or encoded in the structure of a language (Levinson 1). It can be said that pragmatic studies about the linguistic content and the background of the utterance.

To find presupposition phenomena, the writer use horror movie entitle The Conjuring as the object of this study. The Movie was chosen as the object of this study because the language used by the character's utterance in the movie can be examined as data presupposition. Based the reason above this study concern about what the types of presupposition and what the interpretation of the implied meaning of the presupposition found in The Conjuring movie and the objectives of this research are to describe

Prosiding Konferensi Pendidikan Nasional “Penguatan Karakter Bangsa Melalui Inovasi Pendidikan di Era Digital”

68

presupposition types in The Conjuring movie and to interpret the implied meaning of the presupposition found in The Conjuring movie.

To study about presupposition, we must understand some theory related to the topic as pragmatic, presupposition, context and interpretation. Pragmatic is another branch of linguistics that is concerned with the meaning (Kreidler 18). It focuses on someone's ability to find the meaning of conversation by considering the certain situation. It can be said that to gain the meaning speaker's utterance, the listener needs to consider about the pragmatics because we can analyze of the meaning people utterances rather than the words or phrase in those utterances. According to Yule (Pragmatics 3), It requires a consideration that speaker organizes how they can interpret the meaning by looking the situation when and where it stated because pragmatic is a study of contextual meaning. Furthermore, pragmatic is the study of how more gets communicated than is said (Yule, Pragmatics 3). It can be said that pragmatic studies the implied meaning which does not state by the speaker. The un-stated information implied information or speaker's assumption is called presupposition. The presupposition is something speaker assumes to be the case prior to making an utterance. Speaker, not sentence has presupposition (Yule, Pragmatics 25). It can be said that it is speaker assumption that has in mind as background before making an utterance. Yule classifies six types of presupposition. Those are: a. Existential Presupposition.

Existential presupposition is not only assumed to be present in possessive construction, but more generally in any definite noun phrase. Example: Ali’s new car.

In producing the utterance above, the speaker will normally be expected to have presupposition that person called Ali exist, he has new car and probably he is a rich man.

b. Factive Presupposition Factive presupposition is the presupposed information following verb as ‘know, realize’ or

phrases involving be with ‘aware, glad’ can be treated as a fact. Example: She did not realize she was ill (>> she was ill)

The utterance above presupposes she was ill. The use of verb ‘realize’ can be denoted as of fact when the statement is stated.

c. Lexical Presupposition Lexical presupposition is the use of one form with its asserted meaning is conventionally

interpreted with the presupposition that another (non-asserted) meaning is understood. Example: He stopped smoking. (>> He used to smoke)

d. Structural presupposition The use of structure to treat information as presupposed and hence to be accepted as true by

listener. Example: Where did you buy the bike? (>> you bought a bike)

e. Non- factive presuppostition The presupposed that is assumed not to be true. The use of verb ‘dream, imagine, and pretend’

are use that presupposition that what follows is not true. Example: I dreamed that I was reach (>> I was not reach)

f. Counter- factual presupposition The meaning what is presupposed is contradict with true. The used of counterfactual

conditional, presupposes that information after If-clause is not true. Example: If I were not ill. (>> I am ill)

It can be concluded that counter factual is the meaning what it presupposed is not true.

The most important problem in study language use is the interpretation of the utterance. In the way addressee interprets the message is not only merely depend on grammatical or linguistic knowledge addressee but there is a gap between the information or meaning which an addressee can recover from an utterance on the basis the linguistic knowledge and the information or meaning which communicator

Prosiding Konferensi Pendidikan Nasional “Penguatan Karakter Bangsa Melalui Inovasi Pendidikan di Era Digital”

69

intends to convey by means this utterance (Sinclair 130). In another word, the way interpret the meaning is by considering the word as literal meaning and looking the situation background of the utterance stated. The situation of when and where the utterance stated is called context. Context cannot separate in interpreting of the meaning. Context is something that helps in determining the utterance (Grundy 10) It can be said by considering about context, it can help listener or reader to understand the meaning. Another theory states that context has two points of view. Context is situation surrounding when the utterance is stated and Co-text is the word which is used in the same sentence or utterance (Yule, The Study of Language 129). The utterances can be easily understood by the listener if only the listener can catch the meaning within the known context. The function of context is to reduce the ambiguities of meaning since different context will result in different meaning or information of the similar utterance. METHODOLOGY Research Method

Research is an activity which is conducted in a small set of logical step (John W Creswell 2). This research applied the qualitative method. Qualitative research is an approach for exploring and understanding the meaning using a word (John W. Creswell 32). The writer wanted to obtain information and understood about the utterances consisting presupposition taken from characters in this movie. Additionally, (Maxwell 27) remarked that qualitative design was to understand the meaning of the events, situations, and actions that participants in the study involved.

Based on the explanation above, this study uses a qualitative approach because the subject is a human and the outcomes was a narrative data of exploring and understanding the meaning by using words. Even though this study is a qualitative study, there are some numeric data that are used to make a reader easy to understand. Data and Source data

Movie entitles The Conjuring was an object of this research. Character's utterance was the data in this study. The data utterance gained by the researcher were combined with subtitle and movie script to avoid listening error. Research Instrument

The instrument is an important aspect of the research. Qualitative research has the natural setting as the direct source of data where the writer becomes the important instrument (Bogdan and Biklen 27). In this study, the writer is the main instrument in qualitative data because the qualitative study cannot be separated with the role of the writer who is the determinant scenario of this research. Furthermore, the writer plays roles as the planner, implementer of data collection and data analysis, data interpreter and finally as the pioneer of the research result (Moleong. J 167). Data Collecting

The data collecting technique used in this study are observation, taking note and data reduction. The writer observed the movie and took note of data with potential presupposition into data classification table. After gaining the data the writer reduces the data which do not contain potential presupposition. Data Analyzing

The writer used several activities in analyzing the data, those were selecting, identifying, analyzing and interpreting the data. After gained all presupposition, the writer selected the data found and identified into the type of presupposition. After that, the writer analyzed the data and interpreted the implied meaning of presupposition data. FINDING AND DISCUSSION

As mentioned at the beginning of this research that the objectives of this research were to describe the types of the presupposition and to interpret the implied meaning of presupposition found in The Conjuring movie. After the writer analyzed the data finding and explained the implied meaning of each presupposition in this study, it can be concluded that the writer found all six types of presupposition based on Yule's theory. Those the types of presupposition were the existential presupposition, factive

Prosiding Konferensi Pendidikan Nasional “Penguatan Karakter Bangsa Melalui Inovasi Pendidikan di Era Digital”

70

presupposition, non- factive presupposition, lexical presupposition, structural presupposition, and counterfactual presupposition.

The data gained were 23 data of presupposition that consisted of 6 data existential presupposition, 3 data of factive presupposition, 2 data non- factive presupposition, 9 data of lexical presupposition, 2 data of structural presupposition and 1 datum of counterfactual presupposition

To make easy to understand the data found, the writer served data into the table below: Table 1: Table Data Finding

No Presupposition Frequency %

1 Existential 6 26.1%

2 Factive 3 13.1%

3 Non-factive 2 8.7%

4 Lexical 9 39.1%

5 Structural 2 8.7%

6 Counter-factual 1 4.3%

TOTAL 23 100% It could be seen based on the table. There was data presupposition occurring in this study. The

writer found 23 presuppositions used by characters in The Conjuring movie of this study. The writer found 6 data existential presupposition or 26.1% occurred in this study. It means that existential presupposition was the second presupposition which often occurred through characters utterances in the movie. The next type of presupposition occurred in this study was the factive presupposition. The writer found 3 data or 13.1% of factive presupposition. It could be said that factive presupposition was the third presupposition which often occurred in this study. The next type presuppositions which have the same amount occurred in this study were non- factive presupposition and structural presupposition. The writer found 2 data of Structural and non- factive presupposition which had the same percentage 8.7% of 23 data presupposition found. The next type of presupposition found in this study was the lexical presupposition. Lexical presupposition had 9 data or 39.1% of 23 data found. It denoted that lexical presupposition mostly occurred in this study.

The last type of presupposition found in this study is the counter-factual presupposition. The writer found 1 datum counter-factual presupposition or 4.3% data of 23 data found in this study. It meant that counterfactual presupposition was rarely used by movie character in the movie. CONCLUSION

All six types of Yule's presupposition are found in this study. The lexical presupposition was the most-occurred in this study with 9 data of 23 data gained in this movie. The use of this type by characters movie because it can reveal two assumptions in the one utterance. The use of this type could reveal two assumptions in the one utterance. This referred to the benefit of the study pragmatics that study of how more gets communicated that was said. It could be said that what was unsaid was recognized as part of what was communicated. Second type presupposition occurred in this study was existential presupposition with 6 data found in this study. The existential presupposition was used by movie character to denote someone existence. In the horror movie, existential presupposition used by the character to state someone existence even it was human or spirits. The third type of presupposition occurred in this study was factive presupposition with 3 data found in this study. It could be analyzed that the use of factive presupposition in their utterance to treat someone that it was a fact. Forth type of presupposition occurred in this study were non-factive presupposition and structural presupposition with 2 data found of all 23 data found in this study. The non- factive presupposition used by characters to describe something probably happen even it would difficult to be the case. Whereas, the structural presupposition found in this study used by characters to presuppose that after certain used a pattern of English was already to be the case. The last type of presupposition occurred in this study was the counterfactual presupposition. The writer only found 1 datum of the counterfactual presupposition of 23 data found in this study. This type rarely used by

Prosiding Konferensi Pendidikan Nasional “Penguatan Karakter Bangsa Melalui Inovasi Pendidikan di Era Digital”

71

character because this type rarely used by character because counterfactual conditional rarely found in this movie situation.

After analyzing presupposition found in The Conjuring movie, the writer concluded that the writer got all the presupposed that uttered by the characters among conversation in this movie. The interpretation of the implied meaning for each presupposition could be done by considering Yule's presupposition theory and context of the background of the utterances. Context to be the essential part in the interpretation of implied meaning because by considering context, the listener could easily understand the meaning which stated or not stated.

Recommendation for the lecturer. The finding of this research can be used as one of the references to be considered in the teaching and learning process. This is suggested to the lecturers who study deeply about pragmatics especially presupposition because it is deal with implied meaning which cannot be understood merely in literary meaning.

Recommendation for next researcher. This study has many weaknesses. It is a limited explanation of the types and the interpretation of the implied meaning of presupposition. Therefore, the findings of this research expected can be developed knowledge for the next researcher for further studying presupposition.

Recommendation for the English Department. This study is expected to give the contribution to the English Department of Mercu Buana University as basis references for studying pragmatics, especially in presupposition topic. Furthermore, this thesis can be used as the complement of the kinds of study pragmatics which have done by previous student's English Department of Mercu Buana University. REFERENCES Bogdan, Robert, and Sari Knopp Biklen. Qualitative Research for Education : An Introduction to Theories

and Methods. 5th ed., Pearson A & B, 2007. Library Genesis, http://gen.lib.rus.ec/book/index.php?md5=bf9470930a18b5e296e8e40ca04921a5.

Creswell, John W. “Educational Research: Planning, Conducting, and Evaluating Quantitative and Qualitative Research.” 2012, p. 673.

Creswell, John W. Research Design: Qualitative, Quantitative, and Mixed Methods Approaches. Fourth Edition, SAGE Publications, Inc, 2013. Library Genesis, http://gen.lib.rus.ec/book/index.php?md5=4dd8ec34ba58a24704851167d8481ced.

Grundy, Peter. Doing Pragmatics. 3rd ed., Routledge, 2008. Library Genesis, http://gen.lib.rus.ec/book/index.php?md5=25a3bcb79e11a5eba02a2d3e5f643b03.

Kreidler, Charles W. Introducing English Semantics. p. 345. Levinson, Stephen C. Pragmatics. Cambridge University Press, 1983. Maxwell, Joseph A. Qualitative Research Design: An Interactive Approach (Applied Social Research

Methods). Sage Publications, Inc, 1996. Library Genesis, http://gen.lib.rus.ec/book/index.php?md5=BACE69ADB72C113D9A95590560737927.

Moleong. J. Metodologi Penulisan Kualitatife. Revised, Remaja Roksadaya, 2004. Sinclair, Melinda. “The Effects of Context on Utterance Interpretation:Some Questions and Some

Answers.” Stellenbosch Papers in Linguistics, vol. 25, no. 0, Dec. 2012. Crossref, doi:10.5774/25-0-78.

Yule, G. Pragmatics. 1st ed., Oxford University Press, 1996. Yule, George. Pragmatics. Oxford University Press, USA, 1996. Library Genesis,

http://gen.lib.rus.ec/book/index.php?md5=1cbab90e792b235d81119117ebb7c9b4. ---. The Study of Language. 4th ed., Cambridge University Press, 2010. Library Genesis,

http://gen.lib.rus.ec/book/index.php?md5=0C87D2F495DA903F0B7846273FF28DB3.

Prosiding Konferensi Pendidikan Nasional “Penguatan Karakter Bangsa Melalui Inovasi Pendidikan di Era Digital”

72

DO THE ENGLISH TEACHERS UNDERSTAND THE 2013 CURRICULUM?

Kusmiati1, Hermayawati 2 1,2University of Mercu Buana Yogyakarta

[email protected] [email protected]

Abstract Nowadays, the used Curriculum in Indonesia is the 2013 Curriculum. Since 2016 ago, all secondary schools have been recommended to implement the 2013 Curriculum. Even though the curriculum had been implemented in several years, but the teachers still got difficulties in implementing it normatively. This study was intended to describe the implementation of the 2013 Curriculum and to present the English teachers’ problems in implementing such current curriculum. This was a qualitative research which was classified as a case study. This method was used to compile the problems faced by the Junior High School English teachers in five schools located at Bantul Regency. The data was collected through the questionnaire, interview, and documentation. It involved the English teachers of Junior High Schools. The qualitative data was analyzed by identifying, classifying, and describing the problems faced by the English teachers in implementing the 2013 Curriculum in SMP (Junior High Schools) around Bantul Regency. The results showed that the English teachers teaching in the research setting still had problems in implementing of the 2013 Curriculum, namely: 1) teachers’ difficulties in designing the lesson plan especially in choosing appropriate methods in accordance with the students’ characteristics and teaching procedures; 2) teachers’ difficulties in choosing appropriate methods with the students’ characteristics; 3) the students ability and interest in English; 4) teachers’ difficulties in finding the right instrument of authentic assessment; 5) teachers’ problem related to the facilities of teaching learning process. Those problems factually influenced the students’ outcomes quality. Keyword: English teachers’ problem, the 2013 Curriculum INTRODUCTION

English is an international language that has special function in worldwide today for communication. This study believed that English has important roles in many countries including Indonesia. Nowadays, English becomes one of subject that is examined in the Final Examination of secondary schools. It means that Indonesian Government has a high awareness to the needs of English for students in this country. Indonesian government believes that students should be able to speak English so that they would be ready to compete globally in their future life.

The development of English for students in Indonesia is influenced by some aspects such as the curriculum and teachers awareness toward the implementation of the curriculum. Indonesian Government Regulation No. 19 of 2005 on National Education Standards defines that the curriculum is a set of plans and arrangements regarding the objectives, content and teaching materials and methods used as a guideline organization of learning activities to achieve educational goals specific. According to Permendikbud No 74 in the year of 2008, teachers are considered as professional educators with the main roles of educating, teaching, guiding, directing, training, assessing, and evaluating the students. As professional educators, they must have characteristics of teachers’ professionalism. One characteristic of teachers’ professionalism is having competences that needed, related with the duties field. One competence that must be needed by the teacher is pedagogic competence. Pedagogic competence is the ability of the teacher in the learning management of students, namely: understanding of insight or educational foundation, understanding of students, development of curriculum or syllabus, learning design, the implementation of educational and dialogical learning, utilization of learning technology, evaluation of learning outcomes; and the development of students to actualize their various potentials (Permendikbud, 2008). It can be concluded that the teachers have responsibility to be able to develop the current used curriculum and syllabus, design the teaching planning, teach the student, and conduct evaluation on the students’ learning process. Teaching plan is done in the form of a syllabus and lesson plan. Syllabus is a reference for the preparation of the learning framework for each subject matter of study in the form of lesson plan (Permendikbud, 2013). Learning process is an implementation of lesson plan. The time allocation that

Prosiding Konferensi Pendidikan Nasional “Penguatan Karakter Bangsa Melalui Inovasi Pendidikan di Era Digital”

73

provided in the 2013 curriculum was four hours, an hour equals to fifty minutes a week for Junior High School (Kemendikbud, 2012). Related to the assessment aspect is held with the purpose of obtaining information about the learners’ outcomes by the teachers. According to the Permendikbud No. 66 in the year of 2013 regarding educational assessment standard states that educational assessment standard is a criteria about mechanism, procedure, and assessment instrument as a result of students learning.

Nowadays, Indonesia implements the 2013 Curriculum which is intended for the better future of Indonesian education in facing the tighter competition in global era (Saroso, 2014). The 2013 Curriculum is a curriculum of values that primarily focused on character building (Ministry of Education and Culture, 2012). Therefore, the aim of the 2013 Curriculum is to prepare the Indonesian in order to have ability to live as individual and citizen that is faithful, productive, innovative, affective, and able to contribute in the social life, nation, country, and the world civilization (Permendikbud, 2013). In the 2013 Curriculum, the teacher has a role as a facilitator for the students. English teachers should be creative and imaginative in conducting teaching learning process in classroom (Saroso, 2014). Besides, the students have to be active in learning process. As a facilitator the teachers have to know the students’ needs by understanding the curriculum especially the 2013 curriculum. But in facts, early data showed that even though it has been implemented for several years, the teachers still got difficulties in implementing such curriculum (Lianawati, 2017). It is said that they still got confused particularly on how to teach effectively by using a scientific approach, finding the appropriate books as the teaching materials based on the 2013 Curriculum. The teachers also got still got difficulties in assessment process, the limitation of time in teaching, and the differences in the abilities of student to understand the materials provided by the teacher. On the other hand, Saroso showed that teachers still got difficulties of implementing the 2013 curriculum in their teaching learning process, beside they did not really know on how to actualize the demanded content of the curriculum. They are still grasping, thinking, and learning how to teach English using 2013 Curriculum.

Based on the aforementioned issues, this study was conducted to describe the implementation of the 2013 Curriculum of Junior High School on English course in SMP (Junior High Schools) and to find out the English teachers’ problems in implementing the 2013 Curriculum of SMP. The result of this research is in the form of an accurate data which can be used as the basis for determining both the practical and theoretical policies. Practical policies are needed by the relevant stakeholders, whereas theoretical policy can be used as a basis to advance the next relevant study. METHODOLOGY Research design This was a qualitative research a case study design. The compiled data was the results of questionnaire, interview with the English teachers, and documentation. The research participants were Junior High School English teachers in the schools located at Bantul Regency. It involved 5 schools that consisted of three private schools and two public schools. Data Collecting Technique

Accurate and systematic data collection is critical to conduct the research, data collection allows to collect the information that the study needs to collect related to the research (Sugiyono, 2013). According to Suryana (2010) the researcher is considered as a key instrument, so in this case, the researchers must have extensive insight and knowledge to be able to questioning, analyzing, and constructing the social situation under-studied to gain the clearer and meaningful accurate information. The primary data sources and the data collection techniques were compiled through the results of questionnaire, in depth interviews, and documentation.

Questionnaire was used as the instrument to gather the data by distributing the structured questionnaire to the English teachers. The questionnaire was used to get the information about the English teachers’ problems in implementing the 2013 Curriculum in junior high school. It was in the form of a list of written questions about teaching planning, teaching learning process, and assessment. The results of this questionnaire were represented whether or not the teachers have problems in implementing the current curriculum to be used.

Interview was used to gather the data by doing recorded structured interview. This was done to anticipate something missing in transferring the data to the English teachers. This interview was intended to get the data about the English teachers’ problems in implementing the 2013 Curriculum of junior high

Prosiding Konferensi Pendidikan Nasional “Penguatan Karakter Bangsa Melalui Inovasi Pendidikan di Era Digital”

74

school. The interview consisted of some questions that contained about teaching planning, learning process, and assessment.

Documentation relates to the specific activity in the collection, processing, storage, and dissemination of information. According to Sugiyono (2016), documentation is a record of past events. It can be in the forms of written reports or notes, images, or monumental works of a person. The compiled documents in this research were in the forms of syllabus, module, and lesson plan. The documents were, then, analyzed to find the accurate data related to the teachers’ actualization in using the 2013 Curriculum principles. Research Procedures

This research was started by problem identification or the appeared issue to analyze. The problem was in accordance with the government regulation and the expert arguments that were used as the measurement tool to conduct this research. Those terms were used as the setting and scope of the research. The next step was collecting data by utilizing some techniques such as questionnaire, interview, and documentation. All of the obtained data were interpreted and checked their validity by the credibility, transferability, dependability, conformability, and triangulation techniques. The analysis of data used four techniques, namely: data elaboration, reduction, presentation, and conclusion draw. All of the procedures were conducted by the defined principles naturally, originally and procedurally to conduct the credible result of research. FINDING AND DISCUSSION

This study involved 10 English teachers in 5 Junior High Schools situated at Bantul Regency which consisted of three private and two public schools. One of the instrument to be used in this research was questionnaire. This was distributed to the English teachers currently teaching at the understudied Junior High Schools. The questionnaire contained three types of teaching administration tools, namely: planning or teaching documents such Syllabus, lesson plan, and materials, learning process, and assessment.

Related to teaching design, some questions were formulated to get information about teaching documents that the teachers used. Those questions were used to find information whether the current teaching documents were their own designs. The questions were addressed on how the teachers designed their syllabus, lesson plan, package book, worksheet, and handout or materials that the teachers used. In this case, the questionnaire results showed that eighty percent of teachers did not use their own design syllabus. In addition, eighty percent of teachers developed lesson plan together with other teachers. In fact, there were only twenty percent of teachers who developed their own syllabus and lesson plan. A hundred percent of teachers used package books and worksheet from other person or publishers. Meanwhile, there were only four teachers among the involved ten teachers who developed their own teaching materials in the form of students’ handout and developed their own students’ worksheet. Eighty percent of teachers made authentic materials by connecting with the students’ daily activities. Sixty percent of the teachers taught the language components and moral value separately with content of the materials.

Concerning with the learning process aspect, some questions were addressed to find the data about the way of teachers in starting the class, the activities in the main learning process about how the teacher delivered the materials, the media that the teachers used, and the way of teacher in ending the class based on the 2013 Curriculum. A hundred percent of teachers started the class by asking the students some questions related to the materials that they learnt, which is called ‘brainstorming’.

Besides, they also explained the learning indicators that the students should achieve. They commonly made group discussion and monitored the students. A hundred percent of teachers gave their students opportunity to ask question and expressed their opinion. In the end of learning process, a hundred percent of teachers gave conclusion to the students about the materials they learnt.

Related to the teaching assessment, some questions were intentionally addressed to find the data related to the assessment aspect as follows: It was about how the way of teachers design the students’ worksheet and how the way of teachers evaluated their students’ speaking skill. The result showed that a hundred percent of teachers conducted evaluation by giving assignments to the students concerning to the language skills in integrated form. Besides, they also tested the students’ speaking skill by asking them to practice dialogue or monologue directly. In this case, the teachers understanding on the 2013 Curriculum was classified as good. Almost all teachers to be investigated had been implemented it optimally. It was

Prosiding Konferensi Pendidikan Nasional “Penguatan Karakter Bangsa Melalui Inovasi Pendidikan di Era Digital”

75

known from the result of the questionnaire about teaching-learning process. The teachers knew how to input the moral value aspects they actualized on the learning process. Besides, they knew how to deliver the materials in the learning process based on the 2013 Curriculum. This report showed that the teachers did not have any difficulties in implementing the 2013 Curriculum in the learning process aspect.

The interview was conducted toward the English teachers currently working for the five Junior High Schools located at Bantul Regency. The interview contained four aspects of teachers’ experiences in teaching English, their understanding on the 2013 Curriculum, and their knowledge on teaching documents and teaching-learning process, such as: syllabus, lesson plan, media and method of teaching based on the 2013 Curriculum, and evaluation. Related to the teachers’ experiences this research was intended to discover two points, namely: how long the teachers have been teaching English and the place they taught before joining the schools where they currently worked for. Ninety percent of the teachers had experienced on teaching English more than five years. However, there were many teachers who factually faced difficulties in understanding the curriculum change from the 2006 to the 2013 Curriculum.

Concerning the teachers’ understanding toward the 2013 Curriculum, this research included the following questions: teachers’ opinion about the differences between the 2006 and the 2013 Curriculum, teachers’ opinion in facing the changing of 2006 curriculum to 2013 curriculum, and about the principles of the 2013 Curriculum. A hundred percent of teachers to be investigated argued that the differences between the two aforementioned curriculums were on the content of lesson plan, the activities, and its assessment. They argued that the 2013 Curriculum is good because it is considered matched with the students need in facing the globalization era, but the teachers still had difficulties in implementing it. On the other hand, both the teachers and students are still needs time to adapt this curriculum, especially for the private schools.

Furthermore, a hundred percent of the understudied teachers argued that the basis of the 2013 Curriculum are, the students required to be more active. Besides, the students’ interest becomes an important aspects in the learning process. In addition, since the 2013 Curriculum has been implemented in the secondary schools, they stated that the students were not interested in the English subject. In fact, the students had less motivations so that it affects to the students ability in their English learning. It was a challenge for the teachers to generate the students’ interest in the English lesson. If they were interested in the subject they would have good motivation in the learning process, but if they were not interested in the subject, they would not have any motivations.

Concerning the teachers’ knowledge about teaching documents, some questions were designed to collect the data related to how to design teaching document based on the 2013 Curriculum. The questions were : how to design the learning programs, how to teach moral value and language components in their learning process, teachers’ difficulties in finding the materials in line with the 2013 Curriculum, the method and teaching media that they used to teach, and how the teachers evaluated their students. The interview result showed that eighty percent of teachers’ understanding on how to teach the moral value and language components aspects in their learning process. They taught the moral value and language components aspects by inserting those aspects in the learning materials. However, eighty percent of teachers admitted that they still got difficulties in designing the lesson plan, especially when choosing an appropriate method with the needs of students in order to achieve the learning objectives and determine the learning activity. Those terms became the obstacles because the teacher realized that even though they had determined the method and activity on their lesson plans, but in the reality when they taught in the class they had to use the method appropriate with the student’s characteristics and background, then they would change some activities. On the other hand, each class has different characteristics. In this case, a hundred percent of teachers used scientific approach but they still mixed the method with the 2006 Curriculum. Fortunately, the teachers did not get any difficulty in finding the learning materials because they had the package books that were already available at schools. However, seventy percent of teachers still got difficulties in using the media. They admitted that the schools where they teach had not provided adequate media yet. Four of the five schools understudied had not adequate media to support the learning process, such as LCD. They only had one or two LCD in the school. If they wanted to use the LCD, they have to ask others teacher whether they wanted to use the LCD or not. It means they needed more time to prepare the media if they wanted to use it.

For the teachers’ knowledge about learning process showed that a hundred percent began the class by greeting the students and they did brainstorming to the students. They stated that in the main activities they must use scientific approach which consisted of observing, questioning, exploring/experimenting,

Prosiding Konferensi Pendidikan Nasional “Penguatan Karakter Bangsa Melalui Inovasi Pendidikan di Era Digital”

76

associating, and communicating activities. In fact, the students needed time to adapt that activities. A hundred percent of teachers admitted that they still had difficulties in managing the time allocation provided in the 2013 Curriculum.

Related to the interpretation of the core competence and basic competence in the class, the teacher was still in process to make the right instrument of evaluation. It was difficult for the teachers to assess the students since they must observe many students in many aspects, such as students’ knowledge, skills, and attitude. In this case, ninety percent of teachers admitted that they still got difficulties in assessing the students’ learning achievement. They still thought hard on how to assess the students’ attitude and religious as stated in the core competence. Related to the skills, there are four skills that must be achieved by students in learning language program, namely listening, speaking, reading, and writing. The teacher should consider in finding the way to teach those skills in integrative way. However, some teachers admitted that they still had difficulties in evaluating the speaking skill. It became another obstacle for the English teacher in evaluating the students’ skills aspect. Besides, almost all investigated teachers indicated that they still got confused in assessing students’ attitude or behavior.

The result showed that only eighty percent of teachers have really understood about the 2013 Curriculum, but practically a hundred percent of teachers still got difficulties in implementing it both in the learning process and assessment aspects. Meanwhile, other teachers still had difficulties in understanding the 2013 Curriculum especially in designing the learning materials related to the core competences.

A hundred percent of English teachers had been developed their lesson plan based on the syllabus and completed all components based on the 2013 curriculum. The learning objectives written are in line with Core and Basic Competence. The approach is scientific approach where the main activity covers all logical learning sequence (observing, questioning, experimenting, associating, and communicating) in several meetings of one topic. The teachers also put the score rubric of all competencies as what emphasized by 2013 curriculum. A hundred percent of teachers used scientific approach, but they did not mention the strategies or the method that they used in the learning process. However, they utilized the media to support the teaching learning process.

The result showed that he implementation of the 2013 curriculum in SMP schools of Bantul Regency is still in the process. Overall, the efforts of the teachers in implementing the 2013 curriculum in teaching learning process, teaching documents design, and assessment were still in the process. A hundred percent of teachers argued that they still got problems related to designing teaching planning, teaching learning process, and assessment in implementing the 2013 curriculum. A. Teachers’ Problem related to the Teaching Planning

Teaching plan is done in the form of a syllabus and lesson plan (Permendikbud, 2013). Syllabus is a reference for the preparation of the learning framework for each subject matter of study in the form of lesson plan. Designing the lesson plan was teachers’ responsibility. This study found that a hundred percent of the understudied teachers developed their lesson plans based on the 2013 Curriculum. They designed the lesson plan which consisted of all aspects based on the Permendikbud No 65 in the year of 2013 regarding standard of elementary and secondary learning process, namely: (1) the identity of the school, subject or theme, class/semester, and the allocation of time; (2) Core Competence, Basic Competence and indicators of competencies achievement; (3) learning materials;(5) learning method; (6) Learning activities that include preliminary activities, Main activities, and the post activities; (7) assessment, Remedial learning and enrichment; and (8) media, tools, materials, and learning resources (Permendikbud, 2013).

From the lesson plan, it can be said that ninety percent of teachers designed their lesson plans by concerning almost all aspects of the principles of lesson plan mandated within the Permendikbud No 65 in the year of 2013, containing the following aspects: (1) the different of students’ characteristics; (2) students’ active to participate in the learning process; (3) students’ centered to encourage students’ creativity, motivation, interest and inspiration; (4) providing feedback and follow up of lesson plan; (5) improving students’ skills in listening, reading, speaking and writing; (6) emphasis on the interrelation and integration between the Basic Competences, learning materials, learning activities, indicators of achievement, assessment, and learning resources in a single learning experience; (7) accommodate thematic-integrated learning, cross-subject integration, cross-learning aspects, and cultural diversity; (8)

Prosiding Konferensi Pendidikan Nasional “Penguatan Karakter Bangsa Melalui Inovasi Pendidikan di Era Digital”

77

the application of information technology and communication must be integrated, systematic, and effective in accordance with the situation and conditions.

The aforementioned principles should be actualized either in the teaching learning process or evaluation. Therefore, the teaching learning design is a big influence in the learning process and evaluation. One of aspect of making the lesson plan is determining the method which used to decide the teaching procedures. Related to the teaching procedure on teaching strategies and method, the used 2013 curriculum is the scientific approach as the basic procedure in teaching learning process for all subjects including English subject. According to Freeman in Ilankumaran (2014), the current method used in English Language Teaching (ELT) are cooperative learning, Content and language integrated learning, computer assisted language learning, etc. The method chosen and used in the learning process must be in line with the students’ characteristics so they could achieve the learning competences (Permendikbud, 2013).

This study found that the teachers still got difficulties in determining the appropriate method for their students. Even though, they had been decided the method on their teaching planning or lesson plan, but in the reality they have many students and several class in one level. In addition, every class had different characteristics of model study and each class had different characteristics of the students. Some teachers argued that there was class which could not use interactive learning method and they still need teacher’s guidance on all of the learning process. In fact, a hundred percent of teachers admitted that they still used the 2006 Curriculum by using lecturing method.

B. Teachers’ Problem Related to the Teaching Learning Process

Learning process is an implementation of lesson plan. The time allocation provided in the 2013 Curriculum for junior high schools was four hours. An hour equals to fifty minutes a week (Kemendikbud, 2012). Based on that time allocation, the teachers had to achieve the core competence, basic competence, and learning indicators in every meeting. Ninety percent of the schools divided the time allocation into two meetings in a week and two hours in each meeting. This means that the teacher only had eighty minutes in every meeting and 160 minutes in a week. Besides, they should made the students to be active in the class and used a scientific approach in the learning process. Scientific approach is a scientific process based approach that can be done through the process of observing, questioning, exploring/experimenting, associating, and communicating (Kemendikbud, 2014). In this case, the students are required to be able to observe every topic or materials that they learned. Moreover, they should understand and apply what they had learned or used it in the communication. Meanwhile, they needed more time to do it.

The interview result showed that a hundred percent of teachers said even though the time allocation had been decided in the lesson plan but they still had not enough time to finish all activities. It means that a hundred percent of teachers had difficulties in managing the time allocation during the learning process. They stated that they got difficulties to make their students to be active in the class because they needed time to change students’ habits. Furthermore, in the implementation of the 2013 Curriculum, teachers had roles as a facilitator and motivator for the students. It means that the teacher has responsible in facilitating and monitoring the students during the learning process. In fact, they have to know what the students’ needs.

Since the 2013 Curriculum has been launched, some of the English teachers stated that most students were not interested in the English subject. They did not know the function of learning English, it caused they had less motivated in learning English. The teacher argued that the important things of teaching learning processes are the students’ abilities and students’ motivation in English subject. This of course, influenced the students’ ability in understanding the materials. In fact, as a facilitator and motivator the teacher should motivate their students and aroused them to be interested in learning English. This must be aware by all teachers by remembering that one of the principles in the 2013 Curriculum demands the teachers to encourage the students’ motivations of learning, motivation, interest, creativity, initiative, inspiration, innovation and independence. Meanwhile, encouraging students’ interest and motivation are the teacher responsible.

In relation to the aforementioned facts, it was found that there was a hundred percent teachers stated that media played important role in drawing the students’ interest to involve in their learning process. However, almost the understudied private schools did not provide adequate facilities yet, such as LCD, loud-speaker, and other teaching aids to support the teaching and learning process. In this case, eighty percent teachers admitted that they got difficulties in implementing the 2013 Curriculum without

Prosiding Konferensi Pendidikan Nasional “Penguatan Karakter Bangsa Melalui Inovasi Pendidikan di Era Digital”

78

adequate media and teaching aids. Even though they had package books but they still needed those means of teaching to support their teaching learning process to arouse the students’ motivation. It was clearly stated in the Permendikbud No 68 in the of year 2013 that one of the strengthening aspect in the 2013 Curriculum is the provision of facilities and infrastructure management and learning process (Permendikbud, 2013). It means that the provision of education facilities is considered very crucial as the supporting media in making better the implementation of the 2013 Curriculum.

C. Teachers’ Problem Related to the Assessment

One aspect that must be conducted in the teaching program is assessment. One characteristic of teachers’ professionalism is the teacher must be responsible to monitor students’ learning outcomes through various means of evaluation (The Law of Teachers and lecturers, 2005). It means that the teachers are demanded to evaluate the students’ learning achievement. The assessment aspect was held with the purpose of obtaining information about the learners’ outcomes. Meanwhile, in the 2013 Curriculum, assessment is suggested to conduct through the non-authentic assessment and authentic assessment. Authentic assessment is a comprehensive assessment to assess starting from input, process, and output of learning. Non-authentic assessment is the assessment lasted in a certain period such as mid-term test, final examination, and national exam. According to Permendikbud No 66 in the year of 2013, the scope of the evaluation of students’ learning outcomes include students’ attitude, spiritual, knowledge, and skills. Based on the taxonomic theory those terms are categorized into three domains, namely: cognitive, affective and psychomotor domains (Permendikbud, 2013).

In accordance with the concept written above, this study found that ninety percent of the teachers to be interviewed stated that they had difficulties in conducting the authentic assessment. They admitted that they conducted non-authentic assessment as the main approach to assess the students’ learning result. They said that assessing the students’ attitude and knowledge were not an easy matter. Besides, they had to assess many aspects while they had so many students. The learning aspects that the teachers must be assessed in connection to the current used curriculum were: students’ attitude and spiritual, knowledge, and skills. The teachers must think hard to find the appropriate instruments to measure the above aspects based on the 2013 Curriculum. So far, they only observed their students’ daily activities and it tended to be subjective even though they put the scoring rubrics in their lesson plans.

The findings as written above are, (according to the concepts defined in the Law No. 14 /2005 regarding Teachers and Lectures duties) considered naïve as teachers should be well-acquired the four demanded skills such as: professional, pedagogic, social and good personality. As a professionals they must continually and intensively work harder to solve any educational problems they face in many ways like sitting together with the other teachers (for instance in a teachers association) to discuss their problems for the sake of improving their students better learning achievement. In facts, most teachers felt that implementing the 2013 Curriculum is difficult. Implicitly, that they were lack of efforts to really understand the current used Curriculum (Hermayawati, 2017). Such reality may, of course affect to the students’ low English competence and their lack of learning interests. CONCLUSION

Based on the research findings as written above, it can be concluded that: (1) The implementation of the 2013 Curriculum in the 5 Junior High Schools involving 10 English teachers in Bantul Regency is still in the process improvement. Not all of the teachers had well- understood about the 2013 Curriculum implementation normatively. Furthermore, a hundred percent of teachers still used the 2006 Curriculum method; (2) ninety percent of teachers had difficulties in designing lesson plan especially in choosing appropriate methods with the students characteristics and in managing the teaching procedure; (3) a hundred percent of teachers had difficulty in managing the time allocation of teaching learning process. It is known that the 2013 Curriculum has 5 steps in the main teaching procedure, namely: observing, questioning, exploring/experimenting, associating, and communicating. Therefore, the teachers did not have enough time to achieve it. Meanwhile the students need long time to pass each step. Besides, the teachers have to assess many aspects every meeting to many students. In fact, the teacher needs more time to actualize all of the aforementioned aspects demanded in the 2013 Curriculum; (4) Some teachers got problem related to the students’ ability in mastering English. The students had less ability in learning English and less interested in English subject; (5) Teachers got a problem related to the facilities to support teaching learning process in order to use as a media. Almost the schools especially for private schools still

Prosiding Konferensi Pendidikan Nasional “Penguatan Karakter Bangsa Melalui Inovasi Pendidikan di Era Digital”

79

have no an adequate media to support the implementation of the 2013 Curriculum; Teachers had difficulties related to assessing the students. They had not found appropriate instruments in assessing their students’ knowledge and attitude based on the 2013 Curriculum.

Referring to the findings written above, the writers suggest several terms for the quality improvement of the future English Education, especially for the Junior High Schools, as follows. Firstly, practically it needs sustainable supervision from the authorized superintendent regarding the actualization of the current used curriculum and evaluation of the teaching and learning process from the schools principals. Those two efforts may arouse teachers to be more responsible in conducting their duties as demanded by the Laws Teachers and Lecturers and the Law of National Education System. Besides, it would be better if all relevant teachers must establish and/or more active teachers association starting from the smallest scope until to the higher scope levels such as: subject school teachers group, district level, regional and national teachers’ association. Teachers association is demanded in the Law of Teachers. Secondly, it is suggested for the future relevant research to be more highlight the Curriculum Implementation at schools by remembering that the curriculum content actualization may affect to the learning achievement and implicitly may influence the future of national human resource quality. REFERENCES Anonymous. (2005a). Peraturan Pemerintah No 14 tahun 2005 tentang Prinsip-Prinsip Guru dan Dosen

professional. Anonymous. (2005b). Peraturan Pemerintah No 19 tahun 2005 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Anonymous. (2008). Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 74 Tahun 2008 Tentang Guru.

https://doi.org/10.1017/CBO9781107415324.004 Anonymous. (2012). Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan tentang Kurikulum 2013. Anonymous. (2013a). Peraturan Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan Nomor 54 Tahun 2013 2013

tentang Standar Kompetensi Kelulusan Sekolah Dasar dan Menengah. https://doi.org/10.1155/2014/603085

Anonymous. (2013b). Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 68 Tahun 2013 tentang Kerangka Dasar dan Struktur Kurikulum Sekolah Menengah Pertama/Madrasah Tsanawiyah.

Anonymous. (2013c). Peraturan Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 65 Tahun 2013 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Anonymous. (2013d). Peraturan Pemerintah No 66 tahun 2013 tentang Standar Penilaian pendidikan. Anonymous. (2014). Peraturan Pemerintah No 58 tahun 2014 tentang Kurikulum 2013 Sekolah Menengah

Pertama. Hermayawati. (2017). Analysis on the English Teachers’ Understanding in Implementing the 2013

Curriculum, 109(Aecon), 1–9. Lianawati, T. (2014). The English Teachers’ Problems In Implementing Curriculum 2013 of SMA N 1

Kudus. Moleong, Lexy J. (2012). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosda karya. Saroso, T. (2014). Implementing Curriculum 2013 by Using Communicative Language Teaching. The 3rd

UAD TEFL International Conference 2014. Indonesia: Sebelas Maret University. (2014), 1–6. Sugiyono. (2013). Metode Penelitian kuantitatife, Kualitatife, dan R & D. Bandung: Alfabeta. Sugiyono. (2016). Memahami Metode Penelitian Kuantitatif. Bandung: Alfabeta. Suryana. (2010). Metodologi Penelitian Model Prakatis Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif.

https://doi.org/10.1007/s13398-014-0173-7.2 Westbrook, J. et al. (2014). Pedagogy, Curriculum, Teaching Practices and Teacher Education in

Developing Countries. https://doi.org/10.1080/19452829.2014.991706

Prosiding Konferensi Pendidikan Nasional “Penguatan Karakter Bangsa Melalui Inovasi Pendidikan di Era Digital”

80

DIGITAL STORYTELLING: AN INTERACTIVE MEDIA FOR TEACHING SPEAKING

Dian Arifiah1, Heribertus Binawan 2 1,2University of Mercu Buana Yogyakarta

[email protected] [email protected]

Abstract This research aimed to improve the seventh graders' speaking skill and their classroom activities through the implementation of digital storytelling media. The students were expected to be more confident in speaking English, enriching their vocabulary and developing their idea. Therefore, this study was directed to (1) implement the benefits of digital storytelling media related to the seventh graders' speaking activities at home and school (2) explore how digital storytelling could be an effective tool for learning and supporting students' speaking skill. The data were collected from SMPN 1 Seyegan through observation, interview, questioner, and tests. The researcher gave the material using digital storytelling media, then the students described what they had got from the story. The researcher applied a Classroom Action Research that contained four stages namely planning, action, observation, and reflection. The result showed that there was a significant improvement from the pre-test and post-test. The mean score of the pre-test was 5.6 while the result of the cycle 1 post-test was 7.8 and the post-test was 8.0. The interview and questioner showed that digital storytelling could improve the students' motivation and interest in speaking and eventually develop their English - speaking skill. In conclusion, the digital storytelling succeeded in improving the seventh graders' speaking skill in SMPN 1 Seyegan. As a recommendation, digital storytelling could be one of the effective media in teaching speaking and used as one of the sources for learning English. Keyword: Speaking Skill, Digital Storytelling, Seventh Graders INTRODUCTION

Globalization era has some impacts to Indonesian students. They have to communicate using English with good speaking competence at school mainly in their English class. Teaching speaking becomes a priority for foreign language learners since English is considered an international language which is learned by most of the people around the world. Consequently, learners have to evaluate their achievement in language learning as well as the effectiveness of their English course on the basis of how much they have improved in their spoken language proficiency. Teachers make use of a variety of approaches, ranging from direct approaches focusing on specific features of oral interaction (e.g., turn-taking, topic management, and questioning strategies) to indirect approaches that create conditions for oral interaction through group work, task work, and other strategies (Richards, 2008).

English is an important subject that should be mastered by students at the school. Most of the technology, resources, and products use English as the language to bridge among people in the world. Teachers are expected to be the good monitor for the students based on curriculum 2013. It should be students centered learning, so students are demanded to be more active and more productive. Here the teacher should help the students in the learning process to be an active and independent student.

However, in Indonesia, English is introduced in Junior High School as the main subject. In Junior High School, speaking skill is important for the students because by mastering speaking skill, they can carry out conversation with others, give ideas and change the information with interlocutor and people are able to know the situation that happens in the world. Students need to improve their speaking skill to adapt them to speak English, so English is not just about theory but practicing become a habit. The components of English-speaking skill that should be given and studied in English speaking class are pronunciation, vocabulary, grammar, fluency, accuracy, and comprehension.

Teachers are expected to have adequate in choosing the material, appropriate media, and the technique. In a digital era today, many kinds of media are created. The media can be in the form of multimedia or interactive. In speaking learning process, contextual media are required. According to Madhuri (2013), Audio Visual Media tools for students can improve speaking skills several times over, more than other methods. Speaking can be taught in several techniques, such as discussions, role plays,

Prosiding Konferensi Pendidikan Nasional “Penguatan Karakter Bangsa Melalui Inovasi Pendidikan di Era Digital”

81

simulations, information gaps, storytelling, narrating and describing pictures, and also watching videos. With these techniques, students will have numerous exposures in the target language.

Therefore, the teacher has to consider the other media that can improve the students' ability in English speaking skill. One of the media which can be useful in the speaking process is Digital Storytelling Media. Joe Lambert and Dana Atchley blended their philosophies and talents to create the media format that we now call digital storytelling (Lambert stated in Alismail 2015).

Digital Storytelling Media is used to help the learners to create an easier way to study speaking skill to the target language by retelling the story based on the media. Digital Storytelling Media is the combination of text, voice, narration, music, sound effects, images and graphics to create a fictional or non-fictional multimedia narration (Robin, 2008). The process of telling the stories called Digital Story Media telling. At its core, Digital Storytelling is used as the media, so the students can get information or story from the video then retelling using their own words.

Digital storytelling media is appropriate media to teach speaking because it is related to the modern technology, attractive media, and understandable (Brown, 2007). Students in Junior High School need high motivation to learn English. By giving interactive media, students will not be bored while study. In grades VII of school X, students were really in Basic English, so they need to enrich their vocabulary and also their confidence in speaking. Besides, by retelling the story and describe things, students also improve their critical thinking based on the context of the story. They also can give their opinion and find the moral value from the story.

O'Malley and Chamot in Wallace (2004) stated that speaking as an example of a complex cognitive skill that can be differentiated into various hierarchal sub-skills, some of which might require controlled processing while others could be processed automatically. In other words, it involves many skills in a human's brain including some automatic processes. Speaking is one of the most important skills in a language.

According to Richards and Renandya (2008) that speaking is one of the elements of communication. Where communication is the output modality and learning is the input modality of language acquisition. In other views, speaking is fundamental and instrumental. Speakers talk in order to have some effect on their listeners. They assert things to change their state of knowledge. They ask them questions to get them to provide information. They request things to get them to do things for them, and they promise, warn, and exclaim to affect them in still other ways. Brown (2004: 271) defined six types of classroom speaking performance that students are expected to carry out in the classroom: Imitative, intensive, responsive, transactional, interpersonal, and extensive.

Robin (2006: 01) states Digital Storytelling Media is the process of combining the arts of telling stories with the variety of digital multimedia, such as images, audio, and video. In 1990, Joe Lambert developed Digital Storytelling in the virtual world as the co-founder of the Center for Digital Storytelling (CDS). Since then, Lambert and the CDS have worked to provide training and assistance to people interested in creating and sharing their personal narratives (Robin, 2008). Moreover, today, the CDS is working to develop and disseminate the Seven Elements of Digital Storytelling (see Table 1.2), which aids teachers in creating digital stories with their students (Robin, 2008).

Table 1. The Seven Elements of Digital Story Media

No Center for Digital Storytelling’s Seven Elements of Digital Storytelling

1 Point of view What is the main point of the story and what is the perspective of the author.

2 A dramatic question A key question that keeps the viewers’ attention and will be answered by the end of the story.

3 Emotional content Serious issues that come alive in a personal and powerful way and connects the story to the audience.

4 The gift of your voice A way to personalize the story to help the audience understand the context.

5 The power of the soundtrack Music or other sounds that support and embellish the storyline.

6 Economy Using just enough content to tell the story without overloading the viewer.

7 Pacing The rhythm of the story and how slowly or quickly it progresses.

Prosiding Konferensi Pendidikan Nasional “Penguatan Karakter Bangsa Melalui Inovasi Pendidikan di Era Digital”

82

The research objectives of this research are as follows: To implement the digital storytelling as

the teaching media to improve the seventh graders’ speaking skill of Junior High School in SMPN 1 Seyegan and to find out the improvement of students’ speaking skill using digital storytelling media to teach speaking for the seventh graders of Junior High School.

This Classroom Action Research will limit the scope of the research that is related to apply the digital storytelling media in the classroom to improve the students’ speaking skill of seventh graders of SMPN 1 Seyegan, Sleman for the second semester. The material was about descriptive animal that used narrative story of fable. Thus, digital storytelling media is needed to make teaching atmosphere in learning process become more fun and comfortable. METHODOLOGY Research Design

In this section, the researcher would like to try to answer some questions concerning the research problems and solve the problem by conducting an Action Research. It was to see the improvement the students' speaking skill use Digital Storytelling Media. The research method of this research was Classroom Action Research (CAR). The research was conducted in two cycles and the procedure consisted of four main steps: planning the action, implementation, observation, and reflection. Research Subject

The research participants of this research were the seven graders of SMP N 1 Seyegan Yogyakarta. There were 6 classes of seventh graders (A, B, C, D, E, and F). From classroom observation, the researcher got the result that 7F students' speaking skill was the lowest, but they have high motivation in learning English. This study will use purposive sampling on the second semester of 7F of the academic year 2017/2018. Research Procedure

According to Kemmis and McTaggart in Burns (2010:8), action research typically involves four phases in a cycle of research. The cycle is recursive, means it goes back to previous steps again when the aim has not been fulfilled. Only when a satisfactory outcome has achieved, feels it is time to stop. The four phases are described as follows:

Figure 1. Action Research by Kemmis and McTaggart

Prosiding Konferensi Pendidikan Nasional “Penguatan Karakter Bangsa Melalui Inovasi Pendidikan di Era Digital”

83

Data Collecting Technique The researcher used the instruments in the forms of observation, interview, test, and

questionnaires. Therefore, the data of the study would be in the forms of the questionnaire result scores, percentages of the questionnaire result, interview transcripts, observation notes, and students' scores. Observation

The observation would be used to help the researcher in describing the situation in the classroom learning activities. The researcher would observe the students' attention toward the teacher's explanation, the students' activeness in the discussion, and students' responses toward the teacher's instructions. Then, the data of the observation guidelines results would be in the form of field-notes. Interview Guidelines

The interview conducted by interviewing the seventh graders of school X Yogyakarta. This interview was conducted before implementing the media. The interview guidelines will be used to obtain the information on the students' needs and interests in learning English. The result of data collection about the interviews would be in the form of interview transcripts. Test

This research used tests to measure students' improvement after using Digital Storytelling as the media in teaching learning process. The researcher will conduct two kinds of tests; pre-test and post-test. The pre-test aims to know the students' condition before implementing the media. The post-test will be conducted to know whether Digital Storytelling can successfully help students in improving their speaking skill in retelling story.

The students' performance in pre-test and post-test would be limited in terms of five aspects which are vocabulary, fluency, pronunciation, comprehension, and grammar. Questionnaires

The researcher distributed closed-ended questioner to the students at the end of the classroom action research. This instrument helped the researcher to figure out the students' opinion and responses toward the new method that the researcher used to improve the students' speaking skill. These questioners helped the researcher in reflecting on the teaching-learning process and giving the recommendation for the future researcher. Data Analysis Technique

This data was quantitative, and it was analyzed using statistic procedure. The students’ scores on pre-test and post-test were presented in column chart and it was described separately.

The researcher used formula of mean:

Notes:

X ∑ X n

: : :

Mean Total students score Total of the students

To get the percentage which passed the minimal mastery of criterion (KKM) by considering English

subject score of 70 (seventy), the researcher used this formula: P= !

"×100%

P= Percentage F= Total Percentage Score N= Number of Students To identify the students’ improvement, the researcher used the formula below:

X= ∑()

Prosiding Konferensi Pendidikan Nasional “Penguatan Karakter Bangsa Melalui Inovasi Pendidikan di Era Digital”

84

P= *+,**

×100% P= Percentage of students’ improvement 𝛾 = 𝑝𝑟𝑒 − 𝑡𝑒𝑠𝑡𝑟𝑒𝑠𝑢𝑙𝑡 𝛾1 = 𝑝𝑜𝑠𝑡𝑡𝑒𝑠𝑡1 FINDING AND DISCUSSION Comparison between the Two Cycles

In this part, the researcher presents how is the students' improvement by using digital storytelling in the seventh graders of Junior High School from the result of pre-test, post-test 1, and post-test 2. Besides, the researcher also analyzed the questionnaires result. The data was used to answer the second research question. From the observation result, the problem faced by the students and teacher was the students felt unmotivated. One of the factor students felt unmotivated was because the teacher rarely provides teaching media maximally even students rarely practice. According to Brown in Goh and Burn in Rositasari (2017) one of the teaching speaking principle was the providing motivation technique. Therefore, the researcher chose digital storytelling media as the solution. The effectiveness of using digital storytelling was proven in the result of pre-test and post-test. The researcher tried to examine and compare the result of pre-test and post-test to examine how the teaching media affect students' speaking performance. The data are presented separately in the form of table and chart.

Table 1. The Result of Pre-test

No The Result of Pre-test Class (mark) Frequency Category

1 40- 45 3 Very Poor 2 46- 50 2 Very Poor 3 51- 55 6 Poor 4 56- 60 14 Poor 5 61-65 4 Poor 6 66-70 2 Good 7 71- 75 1 Good

Total 32

The researcher classified the scores into four categories which were very poor, poor, good, and

excellent. The very poor category was the score in the range of 0-50, the poor category was the score in the range of 51-70, the good category was the score in the range of 71- 80, and the excellent category was the score in the range of 81-100. Below is the table of the post-test 1 result:

Table 2. The Result of Post-test 1

No The Result of Post-test Class (mark) Frequency Category

1 56- 60 7 Poor 2 61-65 4 Poor 3 66-70 4 Poor 4 71- 75 8 Good 5 76- 80 9 Good Total 32

The score category was the same with pre-test, none of them was in very poor and excellent

category. 15 students were in the poor category and 17 students were in a good category. The result showed that there was improvement between pre-test and post-test 1. Besides, the different result was also shown in the post-test 1 result below:

Table 3. The Result of Post-test 1

Prosiding Konferensi Pendidikan Nasional “Penguatan Karakter Bangsa Melalui Inovasi Pendidikan di Era Digital”

85

No The Result of Post-test Class (mark) Frequency Category

1 66-70 2 Poor 2 71- 75 4 Good 3 76- 80 11 Good 4 81- 85 12 Excellent 5 86- 90 3 Excellent Total 32

The result of post-test 2 shown that there were no students in the very poor category. Just 2 students

were in the poor category and 15 students were in a good category, even 15 students got the excellent category. The researcher also compared the students' average from the result of pre-test, post-test 1, and post-test 2. To get the result of pre-test, the researcher calculated the average score:

X= Ƹ:)

X= +;<<=>

X= 56

The average of post-test cycle 1: X= >><

=>

X= 68.7 The average of post-test cycle 2

X= >?@<=>

X= 80

Here is the figure of each average score:

Figure 1. The comparison results of pre-test, post-test 1, and post-test 2 There was a significant difference between the result of pre-test, post-test 1, and post-test 2. The

average students' pre-test increased from 56 to 68 and the average of post-test 1 increased from 68 to 80. There was a significant increase which was 12.5 from post-test 1 and 11.5 from post-test 2. Besides, the researcher also calculated the students who passed the minimal mastery criterion of students' mastery learning (MCSML). To know the students who passed the minimal mastery criteria of students' mastery learning (MCSML), the researcher calculated the percentages:

PRE-TEST POST-TEST1 POST-TEST2

56

68

80

TheComparison ResultofPre-test,Post-test1,andPost-test2

Average

Prosiding Konferensi Pendidikan Nasional “Penguatan Karakter Bangsa Melalui Inovasi Pendidikan di Era Digital”

86

Formula: P= !

"𝑥100%

Pre-test P= +

=>𝑥100

P= 3.125% Post test cycle 1 P= +B

=>𝑥100

P= 53.1% Post test cycle 2 P= =<

=>𝑥100

P= 93. 7%

Figure 2. Percentage of the Students Who Passed the MCSML (KKM)

The students who passed the minimal mastery of criterion (KKM) from the pre-test and post-test 1 was 3.1% and 53.1%, so it increased 50%. In post-test cycle 1 and in post-test 2, it increased by 40.6% from 53.1 to 93.7%. Moreover, the researcher also presented the students result on the pre-test, post-test 1, and post-test2 in all speaking aspect. This was to analyze the students' speaking performance improvement and to know whether the digital storytelling media improved all of speaking aspect or not. Below is the chart of the comparison result from all speaking aspect:

Figure 3. Comparison Result from All Speaking Aspects

There were significant differences in all aspects of speaking from the result of pre-test, post-test 1, and post-test 2. The students' vocabulary aspect increased from 2.95 to 3.5 and to 4.3, so the increasing

Pre-Test Post-Test1 Post-Test2PassedKKM 3.1 53.1 93.7

0

20

40

60

80

100

Pencentage of the Students Who Passed The MCSML (KKM)

Vocabulary Fluency Comprehension

Pronounciation Grammar

Pre-Test 2.95 2.5 3 2.59 2.75

Post-Test1 3.5 3.28 3.09 3.12 3.65

Post-test2 4.3 4.6 4 3.5 4

0

1

2

3

4

5COMPARISON RESULT FROM ALL

SPEAKING ASPECTS

Prosiding Konferensi Pendidikan Nasional “Penguatan Karakter Bangsa Melalui Inovasi Pendidikan di Era Digital”

87

score of students' vocabularies was 0.55 and 0.8. The students' fluency aspect increased from 2.5 to 3.28, then to 4.6. The increasing score was 0.75 from pre-test to post-test 1 and 1.35 from post-test 1 to post-test 2. The students' comprehension aspect increased from 3 to 3.09, then it increased to 4 in post-test 2. The increasing score of students' comprehensions was 0.09 and 0.91. The students' pronunciation aspect increased from 2.59 to 3.12 and 3.5. The increasing score was 0.53 and 0.38. The last is the students' grammar aspect, which increased from 2.75 to 3.65, then to 4. The increasing score of students' grammars was 0.9 and 0.35.

Therefore, the higher improvement was fluency aspect and the lowest improvement was pronunciation. Although the pronunciation aspect was the lowest, it was already good than in the pre-test. Considering the result above, it can be included that digital storytelling media could improve the seventh graders' speaking skill.

The Discussion of the Students’ Interest in improving Speaking Skill Using Digital Storytelling Media

The students' interest affected the result of the learning, which was the reason why motivation was very important by the students. Based on the observation and analysis, students needed the motivation to improve their speaking skill. That was why the researcher should provide the digital storytelling media as the solution. They followed the teaching-learning process well and they became more active, enthusiastic, and confident. They also enjoyed the material and always gave the good response, such as when they watch the video digital storytelling they gave the comment, discussed with their friend, or just laughing.

The researcher could improve the students' speaking skill using digital storytelling media. It was shown from the improvement of cycle 1 and cycle 2. It could be seen from pre-test average score that was just 56. Then, it improved becoming 68 in the post-test of cycle 1. The score of cycle 1 was higher than pre-test, but it still needed improvement because the score had passed the KKM yet. So, in cycle 2 the researcher revised the media and also the technique. Furthermore, the result of cycle 2 was higher than pre-test and post-test 1. The average score of post-test 2 was 80, it improved 24 from pre-test result. It showed that they got the improvement step by step and it proved that they were more interested and motivated.

The students were more enthusiastic and active to speak when together answering questions and guessing the pictures described. The researcher could observe their behavior in the group working from their attention and respond. From independent practice, the researcher tried them to be more confident and explore their understanding in describing things. It could improve their speaking aspects such as vocabulary, fluency, comprehension, pronunciation, and grammar because the researcher directly listens and correct their speaking. Therefore, it could be said that digital storytelling media improved the seventh graders' speaking skill. It also improved their motivation and interest which can be seen from the pre-test result to the post-test 2 results. CONCLUSION

To answer the research questions, the researcher tried to analyze and interpret the data from the research instruments. The research instruments were observation, interview, questioners, and test. The main data was the result of pre-test and post-test while others were used as the supporting data.

Based on the data which had been analyzed, the research carried out in the seventh graders of SMPN 1 Seyegan concluded as the use of digital storytelling media improves students' speaking skill. Digital storytelling was used as media to show the material in an interesting way to motive the students in learning English and gave them the wider knowledge. There was a significant effect that influenced students' speaking skill after implementing digital storytelling media based on the result of pre-test and post-test. Moreover, the average result of students' post-test was higher than the average result of students' pre-test. In the pre-test, the average was 56; however, the students could achieve 68 in the post-test of cycle 1, then achieve 80 in post-test of cycle 2. It concluded that digital storytelling could improve the students' speaking skill in five aspects of vocabulary, fluency, comprehension, pronunciation, and grammar. In addition, the students' self-confident was also improved to speak in front of the class and share their ideas. The result of post-questioner supported the result of the tests. Most of the students agreed with the statement given in the questioner. Moreover, the result showed that digital storytelling could effectively improve the students' motivation in learning English since it was presented in the fascinating form.

Prosiding Konferensi Pendidikan Nasional “Penguatan Karakter Bangsa Melalui Inovasi Pendidikan di Era Digital”

88

After learning to speak using digital storytelling media, the students are suggested to keep using it outside the class. The students can download many digital storytelling videos from internet or YouTube to understand the material beside the teacher's explanation in the class. Although in this research the researcher used digital storytelling as media to improve speaking skill, the students can use it to improve other English skill such as listening and writing. The digital storytelling also can help the students to understand the story.

In addition, the teacher should consider the media used that appropriate with the students' characteristics and interest. The teacher in the 21st century have to realize that nowadays students are familiar with the technology, so the teacher should take advantages of technology to learn that it is used for unuseful things. After this research, the researcher suggests the teachers use digital storytelling as media in the class because it helps the students to enhance their speaking skill. It is presented in the fascinating and interesting way with audio and back music sound. The illustration and pictures also help the students to understand the complete description things and story. Finally, digital storytelling is easy to be found from the internet and YouTube or teachers can modify the digital storytelling by themselves. The teachers can use school facilities such as the projector, speaker, and LCD to support the media. Therefore, the researcher expects that this research will inspire and motivate other researchers who have the desire for the implementation of digital storytelling media in the class. The researcher hopes that the future researchers can use digital storytelling to improve other skills such as listening, writing, and reading. However, the use of digital storytelling media should be supported by other activities such as game and discussion and addition media. Finally, the researcher suggests the future researcher should be more creative and active in using digital storytelling combined with the interesting activities and other fascinating supporting media. REFERENCES Alismail. (2015). Integrated Digital Storytelling in Education. Department Curriculum and Instruction,

School of Education, Colorado: University of Colorado. Brown, H. (2001). Teaching by Principle an Interactive Approach to Language Pedagogy. Addison

Wesley Longman. Brown, H. Douglas. (2004). Language Assessment: Principles and Classroom Practices. San Francisco:

Longman. Brown H.D. (2011). Teaching by Principles: An Interactive Approach to Language Pedagogy. New York:

Addison Wesley Longman, Inc. Burns, Anne. (1999). Collaborative Action Research for English for English Language Teachers. United

Kingdom: Cambridge University Press. Burns. (2010). Collaborative Action Research for English Language Teaching South Asian Edition.

Cambridge Language Teaching: Cambridge University Press. Digital Storytelling Association. (2002). Digital Storytelling. [Online] http://www.dsaweb.org/ [6 March

2018] Madhuri. (2013). Design and Development of Automated and Reliable Service Provisioning Cloud

Architecture for Engineering Educational Domain. India: Exel India Pvt Ltd. Richards. (2008). Teaching Listening and Speaking. From Theory to Practice. New York: Cambridge

University. Robin, B. (2006). The Educational Uses of Digital Storytelling. United States: University of Houston. Robin, B. (2008). Digital Storytelling: A Powerful Technology Tool for the 21st Century Classroom.

Theory into Practice. Ohio: The Ohio State University. Rositasari. (2017). The Use Of Digital Storytelling to Improve the Students’ Speaking Skill in Retelling

Story. A Sarjana Pendidikan Thesis. Yogyakarta: Sanata Dharma University Wallace. (2004). Teaching English, Listening, Speaking, and Writing for Teaching Young Adolescent.

Prosiding Konferensi Pendidikan Nasional “Penguatan Karakter Bangsa Melalui Inovasi Pendidikan di Era Digital”

89

VLOG TO IMPROVE STUDENTS SPEAKING SKILL: A CLASSROOM ACTION RESEARCH

Inge Angelica Valimbo1, Elysa Hartati2

1,2University of Mercu Buana Yogyakarta [email protected]

[email protected]

Abstract The research was to examine if the video blog (vlog) can improve students' speaking skill and to investigate how far the improvement students' speaking skill is. This research was applied to the seventh-grade students. The research was categorized into classroom action research. The aim of this study was to show the processed of the students' speaking improvement. The participant from the teaching and learning activity in class VII D. This study involved two type of data. The data are taken from the qualitative and quantitative data. The qualitative were obtained by observation and interview. The qualitative data were obtained by speaking test and questionnaire. The preliminary study was an action to prepare before doing the treatment. In the pre-test, the data showed that students score was not good. Students’ ability to speak up was still low during the teaching and learning process. Vlog techniques were given to the students to help them improve their speaking skill. The average score of students speaking in the first cycle was not been improved. In cycle two the students already achieve the KKM score. Based on the students, it could be concluded that there was a good improvement from the pre-test to the post-test. The use of vlog for the students, they get more chance to speak up and they can build their idea and imagination while for the teachers, he or she can use the media to catch students' attention and focus on the material. Based on those findings, that vlog was an efficient and effective way to improve speaking skill of the students of Middle School. Keyword: Vlog, Students’ Speaking Skill, Classroom Action Research INTRODUCTION

Language is a powerful part of communication which is useful in human life. Communication to help us show our opinions. Since language has an important role in life, learners have to learn how to use speaking effectively in their daily conversation or to interact with others in English.

There are four skills in teaching a language: listening, speaking, reading, and writing but out of that speaking seems absolutely the most powerful. (Holtzclaw) states that "your voice is your most powerful and important asset while you are on the stage". Thus, it should be learned and practiced by the learners. The learners must try to communicate with each other by using English not only inside but also outside the classroom.

Moreover, getting learners to speak in front of the people may be the most difficult task and a challenge for the teacher to have creative idea creating the media which can make students pay attention to the materials. Based on the result of an observation in Middle School in one of the regencies in Yogyakarta, Indonesia. That is learning and teaching process the teacher already used a very good method but the students still could not maximize the way of learning; sometimes they were busy with their gadget and made them did not pay attention to the material.

Some students never asked a question so the teachers did not know whether the students understood about materials or not. According to (Curriculum) states that "teachers will be more creative, while learners will be more active". It means teachers try to find another media that can make the learners producing sentences.

(Henderson) states that "an important new study by the Kaiser Family Foundation shows that kids spend much more time entertaining themselves with cell phones and iPods than they spend reading or even in the classroom". It means the students spend so much of that time using the media. Observation showed that the learners use their gadget as their soulmate. On their phone, there is an application called as video. (Harmer), (Intajuck), (Canning) "video clips provide important visual stimulus for language production and practice such as settings, emotions, expressions, gestures, illustrations, visuals, pictures, perceptions, mental images, figures, impressions, likeness, cartoon, charts, graphs, color, replicas, and reproductions". Thus, the video is a real thing that can be authentic assessments as a real to check the

Prosiding Konferensi Pendidikan Nasional “Penguatan Karakter Bangsa Melalui Inovasi Pendidikan di Era Digital”

90

English progress of the learners. According to the statement above, students could be more interested and used it to help them improve their speaking ability. Therefore, the study of the title "Vlog to Improve Students Speaking Skill: A Classroom Action Research" was conducted. The Essence of Vlog in Teaching and Learning Process

According to (Saric), "as a vlogger (video blogger) you record videos of your life, thoughts, experiences, and opinions, and share them with the world. It means vlog was helpful to support all the activities in teaching and learning process. In this research, vlog can consist of some minutes not too long but useful to practice students' learning process. These vlogs can be accessed to the gadget and computer. It is easy to access.

It is clear that short segments of vlog are more effective in the teaching-learning process because the teacher can choose any part which of certain language that will be learned and practiced by the students. At least, they can be easier to use a gadget to record their video. Not only record but the learners also can check how far the progress their speaking skill. Vlog Selecting Criteria

Learners can make vlog without spent much money because they can use their handphone. They can use the camera to record it. But to make real vlog they need to speak more clearly and have one topic to make a vlog. When the students want to make a vlog, the first thing that he or she has to know is deciding the topic. The learners prepare the topic about what they want to tell into the vlog. They prepare the gesture when they want to deliver the topic. So then they need to combine topic between gestures before record the video. Here, learners should pay attention before taking vlog.

According to (Petter), first "you need to talk to people on your level and then everybody grows at the same time together". It means the students could collaborate. Second "right now on Youtube, there is a trend of drama". It means the students, to be honest. Third "the students have to be consistent in its message".

If learners are not confident about the record, she or he can repeat again as long she or he believes that the video is satisfied. When the students finish making the video, they can show to their parents and also friends. They can also ask opinion from the other person. From that learners also learn how to know their lack of without getting angry from other opinions. METHODOLOGY Research Design

Classroom action research was a way that could be used to fix how the learners get better output and input in learning. It is in line with (Jung) "action research something called "practitioner research", was a reflective investigation of person interested, problem or challenge". Research Setting and Participants

This research applied to the seventh-grade students in a Middle School. It was located in the Village Sidomoyo District Sleman Province Daerah Istimewa Yogyakarta. The class consisted of 32 students, which were distributed into 10 males and 22 females with the range of age between 12 to 14 years old. The other side, the teachers were visited and contacted to support the teaching and learning process. Data Collecting Technique

In this research, the data analysis was taken by two types of data. First, the qualitative data were obtained through observation and interview. Second, the quantitative data were obtained by speaking test and questionnaire. a. Observation "is to obtain data about everything that would happen in the class". For example, the

observation was to know the students' attention to the teacher's explanation. The note was written to know what happened in the teaching and learning process.

b. Interview "is to know the effectiveness of the actions". For example, vlog was used to know sufficient or not in teaching and learning process.

c. Questionnaire "is to know of gathering information from respondents. At the end of the treatment, the learners would fill the questionnaire that consisted of ten questions related to it.

Prosiding Konferensi Pendidikan Nasional “Penguatan Karakter Bangsa Melalui Inovasi Pendidikan di Era Digital”

91

d. Test "is conducted at the beginning of the treatment as a pre-test and at the end of the treatment as a post-test". The rubric speaking was taken from (Madrid) and the data were in the form of scores from 1 to 55.

Data Analysis Technique

The most important aspects in learning and teaching process will be asked inside and outside the class. Interviewed was used communicative question which is simple but clear to answer. To know the students' speaking skill ability. The learners were given such as a test to know their speaking ability. To know the average of students score, the formula was used as follows:

NxX ∑=

X = Average of students score ∑ = Total value N = The number of students in the class

To know the percentage of students who passed the minimal mastery level criterion (KKM)

formula as follows: P = F x 100%

N P = The percentage of students who got score 70 F = The number of students who got score above 70 N = Total students who took the test Validity of Data

There were five validity criteria in applying action research in practices by (Burns). First, the discussion was conducted with the English teacher as the collaborator to give feedback and

solutions on the teaching and learning process called Democratic Validity. Second, the improvement of speaking skills learners was conducted in purpose to feel satisfied with

the result called as Outcome Validity. Third, the important note was written in the teaching and learning process called Process Validity. Fourth, the English teacher got new techniques on how to teach speaking more effectively called as

Catalytic Validity. Fifth, the English teacher gave comments on the teaching and learning materials called Dialogic

Validity. Reliability of Data

The triangulation technique was conducted in this research. The technique in collected data was used to get reliability. (Cohen, L., Manion, L, and Morrison) "Triangulation might be defined as the used of two or more methods of data collection in the study of some aspect of human behavior". The technique consisted of three triangulation (Denzin) and (Patton): a. Time Triangulation “is for the reliability of data relating to changes in a processed over time. The

observation was hold more than one to obtain the valid data. English Teacher Advisor Figure 1 Triangulation with two data sources

b. Investigator Triangulation “is when more than one person conducted observations or interviews”. For example, every person had different perceptions in observed a problem, the observed results may differ in observing the same phenomena. Discussion was shared in one team, to get better output.

Observation Interview

Questionnaire Figure 2 Triangulation with three data collection techniques

Prosiding Konferensi Pendidikan Nasional “Penguatan Karakter Bangsa Melalui Inovasi Pendidikan di Era Digital”

92

c. Theoretical “is to use two or more theories to be put together”. It needed to design a more complete data research in order to get more efficient results. According to (Parker C) “videoblogging offers a richer experience because it combines movies, sound, still images, and text, increasing the information and potentially emotions and also can with other people”. Another word this was the reason could be called by online diaries. By this vlog, learners can practice the target of languages. The other side, Thomas (in Rakhmania journal) “doing the videos online gave learners opportunity to practice their language skills, anywhere and with little preparation, which keeps them involved in the process”.

Morning Afternoon Figure 3 Triangulation with two time data collection

Research Procedures

The method was used from a basic of action classroom research proposed by (Madrid).

Figure 4 Basic Stages of Action Research (Madrid) The procedure consists of four steps such as: a. Develop a plan of action, the discussion was conducted to know learners speaking ability. b. Action, was conducted to plan the action. It was needed to work together with the Teacher. c. Observation, was conducted to observe the teaching and learning process during the classroom. d. Reflection, was to know to the activities, it could be continued or not. FINDING AND DISCUSSION The Improvement of Using Vlog

Figure 5 The Average of Each Test

Develop a Plan of Action

Reflect Act

Observe

556065707580

Average

Average

Prosiding Konferensi Pendidikan Nasional “Penguatan Karakter Bangsa Melalui Inovasi Pendidikan di Era Digital”

93

Some tests were conducted to the students. Each test consisted of pre-test, post-test I, and post-test II. The average score of the students speaking skill in the pre-test. The pre-test result was 65. The average score of the students speaking skill in the post-test I. The post-test I of two meetings was 69. The average score of the students speaking skill in the post-test II. The post-test II of two meeting was 77. Here was the chart of the score result of the pre-test, post-test I, and post-test II, to show that students speaking skill were improved.

Figure 6 The Percentage of Each Test

Note: There were 26% percentage of 8 students who achieve the KKM on Pre-Test There were 46% percentage of 15 students who achieve the KKM on Post-Test I There were 84% percentage of 27 students who achieve the KKM on Post-Test II Each percentage would consist of pre-test, post-test I, and post-test II to show of percentage that

students speaking skill were improved. The students who achieve the KKM in pre-test were 26%. The result showed that so many students still did not achieve the KKM score. The action has conducted the action to solve the problem. The researcher conducted the post-test I. The percentage of the students speaking skill in the post-test I. The students who achieve the KKM in post-test I were 46%. The score was not really improved. The post-test II was conducted. The percentage of the students speaking skill in the post-test II. The students who achieve the KKM in post-test II were 84%. It could be seen in the post-test II many students already achieve the KKM score.

The Result of Questionnaire

The questionnaire was conducted on Thursday, May 17th, 2018. From the data showed the students speaking ability. The interview was given to clarity and support the result of the students' responses in the questionnaire.

First, their speaking ability was improved by using vlog. They got more opportunity to speak up through this media. They could fix their lack of pronunciation, vocabulary, and grammar.

Second, the students enjoyed and happy in learning English used vlog. They became the different person in the classroom situation. They looked to have fun doing the activity and the students became more comfortable to learn and deliver their questions together.

Third, the students became more motivated to learn English lesson. Last, the students were motivated to learn their speaking skill used vlog. The students' motivation showed 90% or 28 the students said they could speak up used video blog. When the students feel interested and excited about the lesson. The Comparison Between Each Cycle

The interview was conducted on the students. The students said that they felt did unable to speak because they did not get the chance to speak up. The students were given the pre-test to find out what was students speaking ability and the students score. Based on the students' pre-test score result, their average pre-test score was 65. They still got problems in speaking which was still low. The students were not focused and paid attention to the material, and they became busy with their gadget. The others just talking to each other. After that, the researcher started treatment cycle I. In cycle I, students could not reach the KKM or Minimum Mastery Criterion. Unfortunately, they got difficulties used vlog, thus they still needed to be helped on how to use it correctly. The other side, they thought that the score of the research was not

Post-TestII,84%

Post-TestI,46%

Pre-Test,26%

Prosiding Konferensi Pendidikan Nasional “Penguatan Karakter Bangsa Melalui Inovasi Pendidikan di Era Digital”

94

influenced their real score of English, thus they did not make it seriously. The student average post-test I score was 69. Their speaking skill has not been improved. In the first cycle the students did not achieve the KKM yet. Thus, the two-cycle was conducted in this research.

In cycle II, interesting lesson, picture, and the video were conducted as the example. As the consequence, they became more serious, paid attention and more seriously. They did not talk with their seatmate, did not doing something else with their gadget. The score result showed that students could reach the KKM. The students average post-test II was 77. It means there was a good improvement of the students. It means video blog could bring advantages to improve students speaking skill and helped them speak up their ability. The researcher and the English teacher decided to stop the action. At the end of the lesson the students able to improve their speaking ability used vlog.

The action of vlog got positive and enthusiastic responses from the students in the learning-teaching process. It could be said that the action was successful based on the result of the students post-test and also from the questionnaire. After the used of vlog in teaching-learning processed, she distributed the questionnaire. The questionnaire showed students were motivated and they happy improve their speaking skill used vlog. The vlog can be used one of the modern technology which gave students to speak up more than one times, in purpose to practice their speaking ability more good than before. They very enthusiastic about learning English, based on the students' questions. The researcher also should be careful to manage the time because some of the students did not seriously work on the activity.

There was also big difference before conducted the action that was the students did not pay attention to the material, talking to their friends but after conducted the action, the students became paid attention to the material, focused on the lesson, more active and talkative to give their answers and opinions. They enjoyed the lesson and changed their behavior. It could be said from students’ enthusiasm. The teaching-learning process became very interesting because of the user of the vlog. The students could use gadget not only for play but also could help them to practice their speaking skill independently. Vlog could be used every time and it was effective in the learning process. CONCLUSION

Based on the findings and discussion, it can be concluded that the use of the video blog was more efficient and effective for teaching speaking to the seventh-grade students of Middle School. The students could fix their lack of such as pronunciation, vocabulary, and grammar. Besides, students became enjoy, happy, have fun and also comfortable to learn English together or independently. They became the different person in the classroom. During the teaching-learning process, students gave their opinion or asked something if they got difficulties. Thus, vlog had been the efficient and effective way to make other students who had low motivation became interested and excited about the lesson. REFERENCES Burns, Anne. Doing Action Research English Language Teaching: A Guide for Practitioners. Routledge,

2010. Canning, C. and Wilson. “Current Theory on the Use of Video as an Educational Medium of Instruction.”

Practical Aspects of Using Video in the Foreign Language Classroom, 2000, http://iteslj.org/Articles/Canning-Video.

Cohen, L., Manion, L and Morrison, K. Research Methods in Education (5thed). Routledge, 2000. Denzin, NK. Qualitative Inquiry and Research Design Choosing Among Five Traditions. Sage

Publications, 1978. Harmer, J. The Practice of English Language Teaching (3rd Ed). Longman, 2001. Henderson, J. Students Spend More Time with Digital Gadgets than in Class. 2010,

https://www.stltoday.com/entertainment/books-and-literature/book-blog/students-spend-more-time-with-digital-gadgets-than-in-class/article_cfa3d57a-a515-579f-87ab-af4b91fb6a75.html.

Holtzclaw, E. Already a Decent Speaker? Here Are 5 Expert Tips. 2012, https://www.inc.com/eric-v-holtzclaw/public-speaking-leadership-expert-tips.html.

Intajuck, Y. Maximizing the Utilization of Video in the EFL/ESL Classroom. http://citeseerx.ist.psu.edu/viewdoc/download?doi=10.1.1.602.2109&rep=rep1&type=pdf.

Jung, B. Alternative Perspectives on Action Research. Taylor & Francis, Ltd., 1990. Madrid, D. Observation and Research in the Classroom. Teaching English as a Foreign Language. The

Australian Institude, 2000, http://www.ugr.es/~dmadrid/Publicaciones/Learning Strategies.htm.

Prosiding Konferensi Pendidikan Nasional “Penguatan Karakter Bangsa Melalui Inovasi Pendidikan di Era Digital”

95

Parker C., and Pfeiffer S. Video Blogging: Content to the Max. Multimedia, IEEE. 2005. Patton, MQ. Enhancing The Quality and Credibility of Qualitative Analysis. Sage Publications, 1991. Petter, O. How to Become A Successful Vlogger: The Eight Golden Rules. 2018,

https://www.independent.co.uk/life-style/youtube-how-to-be-a-vlogger-rules-success-a8097491.html.

Rakhmania, L. The Effectiveness of Video Blogging in Teaching Speaking Viewed from Student’s Learning Motivation. 2017, http://ejournal.unp.ac.id/index.php/selt/article/viewFile/7980/6083.

Saric, M. How to Start A Vlog and Become A Youtube Star. 2018, https://howtomakemyblog.com/blog-or-vlog/.

Prosiding Konferensi Pendidikan Nasional “Penguatan Karakter Bangsa Melalui Inovasi Pendidikan di Era Digital”

96

RELEVANSI NILAI PENDIDIKAN KARAKTER DALAM NOVEL MARYAM KARYA OKKY MADASARI

DENGAN PEMBELAJARAN SASTRA DI PERGURUAN TINGGI

Ririn Setyorini1, Noviea Varahdila Sandi2

1,2Universitas Peradaban Bumiayu [email protected]

Abstrak Tingginya perangaruh negatif dari dunia luar dan media sosial menjadikan orangtua dan para pendidikan untuk giat memupuk karakter anak atau peserta didik. Pendidikan karakter tentu sangatlah berharga dan wajib dimiliki oleh setiap peserta didik. Pendidikan karakter bisa didapat dari mana saja termasuk karya sastra novel. Seorang penulis novel pasti menyisipkan pendidikan karakter dalam setiap tokoh untuk memberi amanat bagi pembacanya. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif. Data dalam penelitian ini berupa paragraf yang terdapat dalam novel Maryam Karya Okky Madasari dan sumber data novel dan buku acuan yang berkenaan dengan penelitian. Teknik sampling yang digunakan adalah purposive sampling, teknik pengumpulan data dengan 3 teknik yaitu teknik baca dan teknik catat. Teknik validitas data dalam penelitian ini dengan triangulasi data. Teknik analisis data dala penelitian ini dengan analisis isi. Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui nilai pendidikan karakter religius dan kerja keras pada tokoh Maryam dalam novel Maryam karya Okky Madasari serta relevansinya dengan pembelajaran sastra di perguruan tinggi. Hasil dari penelitian ini adalah adanya nilai pendidikan karakter kerja keras yang terelevansi dengan pembelajaran sastra di perguruan tinggi khususnya mata kuliah Sosiologi sastra. Kata Kunci: nilai pendidikan karakter, novel Maryam, pembelajaran sastra, perguruan tinggi. PENDAHULUAN

Pendidikan karakter eprlu ditanamkan pada anak sedini mungkin. Era milenial seperti sekarang ini menuntut untuk kita sebagai tenaga pendidik membiming peserta didik dalam menguatkan karakter yang ada dalam dirinya. Menguatkan karakter dalam diri peserta didik tentu dapat berbagai macam cara. Cara yang digunakan untuk membimbing peserta didik tentu dilakukan semenarik mungkin agar mereka tidak mudah bosan dan dapat menyerap baik apa yang kita ajarkan.

Pendidikan karakter pada hakikatnya merupakan bentuk kegiatan yang dilakukan oleh seseorang berupa suatu tindakan yang mendidik dan diperuntukkan bagi seseorang yang lainnya. Tujuannya adalah untuk membentuk dan penyempurnaan diri individu dan melatih kemampuan diri demi menuju kearah hidup yang lebih baik.

Nilai pendidikan karakter sesuai dengan UU No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Pasal 3 menyebutkan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk karakter serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendidikan nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Banarwi dan Arifin (2014:22) berpendapat bahwa pendidikan karakter adalah pendidikan ihwal karakter, atau pendidikan yang mengajarkan hakikat karakter dalam ketiga ranah, yaitu cipta, rasa, dan karsa. Proses dan tujuan dari pendidikan karakter yaitu adanya perubahan kualitas tiga aspek pendidikan, yakni kognitif, afektif, dan psikomotorik. Agus Wibowo (2012:43) menjabarkan 18 butir pendidikan karakter yang sesuai dengan kemendiknas tahun 2010, yaitu (1) religius, (2) jujur, (3) toleransi, (4) disiplin, (5) kerja keras, (6) kreatif, (7) mandiri, (8) demokratis, (9) rasa ingin tahu, (10) semangat kebangsaan, (11) cinta tanah air, (12) menghargai prestasi, (13) bersahabat atau komunikatif, (14) cinta damai, (15) gemar membaca, (16) peduli lingkungan, (17) peduli sosial, (18) tanggung jawab.

Berkaitan dengan 18 butir nilai pendidikan karakter yang sesuai dengan kemendiknas, nilai pendidikan karakter yang perlu dikuatkan dala diri peserta didik adalah nilai pendidikan religius, kerja keras, dan mandiri. Perlunya kita engasah dan menguatkan ke tiga nilai karakter tersebut karena, bekal yang kokoh yang wajib dimiliki oleh peserta didik adalah 1) religius, keimanan kepada Tuhan adalah

Prosiding Konferensi Pendidikan Nasional “Penguatan Karakter Bangsa Melalui Inovasi Pendidikan di Era Digital”

97

wajib ada dalam diri seorang anak. Ini akan sangat diperlukan ketika seorang anak beranjak remaja dan dewasa, yaitu ketika mereka ada dalam situasi-situasi yang mendesak dan ada di dalam jalan yang melenceng dari ajaran agama; 2) kerja keras, karakter kerja keras juga sangat diperlukan bagi seorang anak. Ini juga menjadi bekal ketika mereka remaja dan dewasa bahwa semua yang mereka dapatkan harus berdasarkan dari kerja keras mereka sendiri. Karakter kerja keras ini harus menjadi pondasi yang kuat, sebab ketika anak yang dilatih menjadi seorang yang pekerja keras, maka ketika mereka tertimpa masalah mereka akan mudah melewatinya.

Sejatinya arti dari religius yaitu sikap dan perilaku yang patuh dalam melaksanankan ajaran agama yang dianutnya, toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama lain, hidup rukun dengan pemeluk agama lain. Kerja keras merupakan perilaku yang menunjukan upaya sungguh-sungguh dalam mengatasi berbagai hambatan belajar dan tugas, serta menyelesaikan tugas dengan sebaik-baiknya. (Wibowo, 2012:43).

Pendidikan karakter yang perlu dikuatkan dalam diri peserta didik dapat diperoleh dalam berbagai cara. Salah satunya adalah dengan menggunakan karya sastra. dewasa ini, peserta didik lebih gemar membaca karya sastra bentuk novel atau cerpen daripada membaca buku pelajaran. Untuk itu strategi yang dapat digunakan oleh pendidik adalah mengaitkan dan menggunakan karya sastra sebagai media penyampaikan nilai pendidikan karakter.

Berkaitan dengan hal tersebut di atas, penelitian ini bertujuan untuk 1) mendeskripsikan bagaimana novel Maryam karya Okky Madasari memiliki nilai pendidikan karakter dalam hal ini adalah nilai pendidikan religius, kerja keras, dan mandiri. 2) mendeskripsikan bagaimana media karya sastra dalam membantu pendidikan untuk menyampaikan nilai-nilai pendidikan karakter yang perlu dikuatkan oleh peserta didik. Penelitian ini menggunakan novel Maryam karya Okky Madasari sebagai media pebelajarannya. Diabilnya novel ini karena novel ini sangat kental dengan nilai pendidikan karakter relligius , kerja keras, dan juga mandiri. Sehingga pendidik akan dengan mudah menyampaikan bagaimana contoh dari ketiga nilai pendidikan yang akan dipelajari tersebut.

Mata kuliah Sosiologi Sastra adalah mata kuliah yang terfokus pada masalah manusia. Sastra sering mengungkapkan perjuangan umat manusia dalam menentukan masa depannya, berdasarkan imajinasi, perasaan, dan intuisi. Dari pendapat ini, tampak bahwa perjuangan panjang hidup manusia akan selalu mewarnai teks sastra.

Goldmann (dalam Endraswara, 2011: 79) mengemukakan tiga ciri dasar manusia dalam bersosial adalah, yaitu: (1) kecenderungan manusia untuk mengadaptasikan dirinya terhadap lingkungan, dengan demikian ia dapat berwatak rasional dan signifikan di dalam korelasinya dengan lingkungan, (2) kecenderungan pada koherensi dalam proses penstrukturan yang global, dan (3) dengan sendirinya ia mempunyai sifat dinamik serta kecenderungan untuk merubah struktur walaupun manusia menjadi bagian struktur tersebut.

Sosiologi sastra dapat meneliti sastra sekurang-kurangnya melalui tiga perspektif. Pertama, perspektif teks sastra, artinya peneliti menganalisis sebagai sebuah refleksi kehidupan masyarakat dan sebaliknya. Kedua, perspektif biografis, yaitu peneliti menganalisis pengarang. Perspektif ini akan berhubungan dengan life history seorang pengarang dan latar belakang sosialnya. Ketiga, perspektif reseptif, yaitu penelitian menganalisis penerimaan masyarakat terhadap teks sastra (Endraswara, 2008:80). Artinya, sosiologi sastra dapat dipergunakan untuk mencari data mengenai pengarang, hubungan antara pengarang dan lingkungannya, serta tanggapan dari masyarakat mengenai teks sastra. METODE

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualatitatif dengan data berupa paragraf yang terdapat novel. Sumber data yang digunakan adalah novel Maryam karya Okky Madasari dan buku-buku yang mengacu pada penelitian. Teknik sampling yang digunakan adalah purposive sampling, dan teknik pengumpulan data dengan 2 teknik yaitu teknik baca dan catat. Trianggulasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah trianggulasi data dan teori. Teknik analisis data dalam penelitian ini adalah analisis isi.

Prosiding Konferensi Pendidikan Nasional “Penguatan Karakter Bangsa Melalui Inovasi Pendidikan di Era Digital”

98

HASIL DAN PEMBAHASAN Pentingnya penguatan pendidikan karakter sejak dini mengharuskan pendidik untuk memilih

metode yang tepat guna tersampainya pembelajaran nilai pendidikan karakter khususnya karakter religus, kerja keras, dan mandiri. Untuk itu, seorang pendidik harus mencari media yang menyenangkan agar nilai pendidikan tersebut dapat mudah diserap oleh peserta didik.

Novel Maryam karya Okky Madasari memiliki nilai pendidikan karakter yaitu religius, kerja keras, dan mandiri. Hal tersebut dapat kita lihat pada penjelasan di bawah ini. Nilai Pendidikan Karakter dalam Novel Entrok Karya Okky Madasari a. Religius

Novel Maryam merupakan novel dengan latar belakang cerita keluarga yang menganut agama Islam Ahmadiyah atau Ahmadi. Ketaatan keluarga Maryam dalam menganut ajaran tersebut membuat Maryam dan keluarga diusir dari kampung mereka. Hal yang dapat diambil dari cerita dalam novel ini adalah religiusitas tokoh-tokoh dalam cerita yang patut dicontoh oleh pembaca. Hal itu dapat dilihat dalam kutipan berikut ini.

Menyisihkan waktu dari jam 17.00 sampai 20.00. pengajian-pengajian ini seperti aturan baku yang tak boleh dilanggar. Maryam yang menumpang tahu diri dan merasa tak keberatan. (hlm. 22)

Kutipan di atas menyebutkan bahwa adanya religiusitas dalam novel Maryam. Hal tersebut terlihat pada tokoh Maryam yang setiap minggunya mengikuti pengajian yang diadakan oleh penganut alirannya. Maryam tidak merasa terbebani ketika harus hadir dan pengajian tersebut menjadi suatu aktifitas rutin yang tidak boleh dilanggar dan wajib diikuti oleh Marya dan pengikut Ahadiyah yang lain. Hal tersebut Maryai jalani dengan ikhlas karena sedari Maryam kecil sudah menjadi kebiasaan Maryam dan keluarganya untuk mengikuti pengajian Ahmadi tersebut. Maryam yang kemudian berkuliah di Surabaya dan tinggal dengan keluarga Ahmadi pun melakukan hal yang sama seperti ketika ia tinggal di rumahnya sendiri. Ibadah sholat lima waktu pun tidak pernah ditinggalkan begitu juga dengan dua anak tuan rumah yang ditinggali oleh Maryam. Hal tersebut dapat dilihat dalam kutipan berikut ini.

Dua anak Pak dan Bu Zul telah menjadikan ini kewajiban, sebagai mana mereka sejak kecil dididik untuk salat lima waktu. (hlm. 22)

Kutipan di atas menunjukan bahwa ibadah sholat itu tidak boleh ditinggalkan satu waktu pun. Pak dan Bu Zul adalah orang yang rumahnya ditinggali oleh Maryam. Dia sudah menganggap Pak dan Bu Zul seperti orang tuanya sendiri. Pak dan Bu Zul memiliki dua orang anak dan keduanya juga dididik untuk tidak meninggalkan sholat lima waktu. Sebab itu, ketika Maryam ada di rumah tersebut Maryam semakin kuat beribadahnya meski pun hidup di kota. Begitu juga dua anak Pak dan Bu Zul, meski pun dibesarkan di lingkungan perkotaan agamanya tetap kuat dala diri anak-anak Pak dan Bu Zul. Hal tersebut dapat dilihat pada kutipan berikut ini.

Dua anak Pak dan Bu Zul, perempuan dan laki-laki, besar di kota besar dan menikmati segala kemajuan tanpa kendor dalam beribadah. Semuanya sudah seperti menempel pada alam bawah sadar. (hlm. 22)

Kutipan di atas menunjukan bahwa dua anak Pak dan Bu Zul yang tinggal dan dibesarkan di lingkungan perkotaan pun tetap menjaga ibadahnya. Meski pun mereka yang tinggal di lingkungan yang serba maju tidak membuat kedua anak Pak dan Bu Zul kendor dalam beribadah. Hal tersebut karena didikan dari Pak dan Bu Zul yang sangat ketat dalam soal ibadah, termasuk soal pengajian. Ibadah dan pengajian bagi keluarga Pak dan Bu Zul dan penganut Ahmadi yang lainnya adalah wuatu kewajiban, bukan lagi tentang kebiasaan. Hal tersebut dapat dilihat pada kutipan berikut ini.

Ibadah dan pengajian tidak lagi sekadar kebiasaan dan kewajiban, tapi juga kebutuhan. Begitu juga Maryam. Tinggal di kota besar justru makin menguatkan iman. Ia kuliah dan bergaul

dengan teman-teman seperti biasa tiap hari. Tapi begitu pulang, hari-harinya dipenuhi dengan ibadah, pembicaraan-pembicaraan tentang keyakinan bersama Pak dan Bu Zul, lalu pengajian di rumah salah satu keluarga Ahmadi seminggu sekali. (hln. 22)

Kutipan di atas menunjukan ketika keluarga Ahmadi merupakan keluarga yang sangat menunjung tinggi nilai ibadah. Hal tersebut dibuktikan ketika Pak dan Bu Zul mengajari anak-anak mereka untuk tetap taat beribadah meski pun mereka tinggal di kota besar. Hal itu pun berlaku pada Maryam. Meski pun Maryam seorang anak kuliahan, dia tetap menjalankan ibadahnya dengan baik. Saat di kampus dia bergaul dengan teman-temannya seperti biasa walau mereka berbeda aliran, namun ketika di rumah hari-hari Maryam dipenuhi dengan kegiatan-kegiatan spiritual. Dia juga sering mengobrol dengan Pak dan Bu Zul

Prosiding Konferensi Pendidikan Nasional “Penguatan Karakter Bangsa Melalui Inovasi Pendidikan di Era Digital”

99

soal agama dan aliran yang di anut mereka agar iman mereka semakin bertambah dan tak kendor walau berada di lingkungan yang berbeda. Keimanan Maryam diuji ketika ia bertemu dengan orang tua calon suaminya, Alam. Orang tua Alam yang mengetahui Maryam adalah seorang Ahmadi secara tidak langsung menyuruh Maryam untuk keluar dari ajaran yang dianutnya dan keluarganya. Hal tersebut terlihat dalam kutipan berikut ini.

“Suami adalah imam seorang istri. ketika sudah menikah nanti, istri harus mengikuti suaminya, menuruti suaminya, apalagi soal agama,” kata ibu Alam. (hlm. 36)

Kutipan di atas menunjukan ketika Ibu Alam secara tidak langsung menyuruh Maryam untuk keluar dari alirannya tersebut. Dengan mengatakan hal seperti kutipan tersebut di atas artinya Ibu Alam menyuruh untuk Maryam mengikuti agama sang suami. Ibu Alam berkata bahwa “suami adalah ima seorang istri, ketika sudah menikah nanti, istri harus mengikuti suaminya, menuruti suaminya, apalagi soal agama” artinya Ibu Alam ingin Maryam tidak lagi berkumpul dengan orang-orang Ahmadi. Ibu Alam menganggap bahwa ajaran Isla Ahadi adalah Islam yang sesat. Untuk itu Ibu Alam tidak senang dan tidak setuju apabila Alam menikah dengan golongan dari mereka terasuk Maryam. Katika Ibu Alam berbicara seperti itu, Maryam sangat kesal dan berfikir engapa hal tersebut dipermasalahkan. Maryam berpikir bahwa dia dan Alam sama-sama beragama Islam. Maryam dilahirkan dari seorang yang taat dengan agama Islam, bukan hanya orang tuanya tapi kakek dan kakek buyutnya juga adalah orang yang yang sangat taat dengan Islam. Hal tersebut dapat dilihat dalam kutipan berikut.

Kakek Maryam bukan orang yang belum kenal agama. Ia adalah pemeluk Islam yang taat, membaca alquran dengan indah, hafal banyak surat, dan tahu banyak cerita tentang malaikat-malaikat dan nabi-nabi. Semua diajarkan oleh bapaknya, kakek bunyut Maryam. (hlm. 53).

Kutipan di atas menunjukan bahwa Maryam adalah keturunan dari orang-orang yang sangat taat beribadah dan taat dengan agama Islam, hanya saja mereka memiliki perbedaan dalam hal Kiai atau imam yang diikutinya. Keluarga Maryam mengikuti golongan Ahmadiyah atau ahmadi yang membuat mereka dan dan orang-orang yang termasuk dalam golongan Ahmadi dikucilkan di kampung mereka. Namun, meski begitu tidak menyurutkan kakek Maryam untuk tetap menimba ilmu di golongannya tersebut. Hal itu dapat diliht pada kutipan berikut ini.

Rasa ingin tahu lebih banyak tentang agamanya membuat kakek Maryam tak ragu-ragu saat diajak ikut pengajian. Baginya, yang bermuara pada Tuhannya adalah jalan kebaikan. (hlm. 54)

Kutipan di atas menunjukan ketika Kakek Maryam tidak ragu-ragu untuk mengikuti pengajian yang diadakan oleh golongan atau aliran Islam Ahmadiyah. Kakek Maryam berpikir bahwa apapun perbuatan atau pekerjaan yang bertujuan untuk menyembah diri dan karena Alloh/ Tuhan itu adalah jalan kebaikan.

Berdasarkan kutipan-kutipan tersebut di atas dapat ditarik simpulan bahwa novel Maryam karya Okky Madasari mengandung nilai-nilai pendidikan religus. Hal tersebut dapat terlihat ketika Maryam dan keluarga begitu taat pada agamanya. Mereka tidak pernah meninggalkan salat dan setiap minggu mereka mengikuti pengajian-pengajian yang diadakan oleh golongan mereka. Hal ini tentu sangat baik jika diajarkan pada para pembaca agar mereka pun taat pada ajaran dan agama para pembaca. b. Kerja Keras

Keluarga Maryam tak hanya berlatar belakang keluarga yang menganut ajaran Islam Ahmadi, cerita dalam novel ini juga menceritakan tentang Maryam yang bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan sendiri dan juga keluarga. Selain itu, Maryam juga bekerja keras mencari keluarganya yang diusir oleh warga karena menganut ajaran Ahmadi yang menurut masyarakat adalah sesat. Ketika Maryam bekerja di Jakarta, Maryam menemukan seseorang yang membuatnya jatuh cinta, namun dia bukan dari golongan Ahmadi. Kemudian Maryam yang menikah tanpa restu orang tua dan ahirnya diusir oleh orang tuanya.

Setelah beberapa tahun menikah dan ahirnya kandas di tengah jalan, Maryam hendak pulang ke desanya dan mendapati perubahan yang sangat mencolok di desanya tersebut, perubahan itu juga ada pada rumah keluaga Maryam yang kini menjadi sebuah gedung pertemuan, sejak itulah Maryam bekerja keras mencari keberadaan keluarganya. Hal itu dapat dilihat dalam kutipan berikut.

Maryam sudah seperti kakak bagi dua anak itu. Maryam membantu mereka mengerjakan tugas-tugas sekolah. Maryam juga diikutkan dalam pebagian pekerjaan-pekerjaan rumah. Semuanya dibagi sama rata, siapa yang menyapu halaman dan mencuci piring diatur bergantian setiap hari. (hlm. 22)

Kutipan di atas menunjukan bahwa ada nilai kerja keras pada kutipan tersebut. Hal tersebut terlihat ketika Maryam yang setiap hari membantu membereskan pekerjaan rumah dan membantu mengerjakan

Prosiding Konferensi Pendidikan Nasional “Penguatan Karakter Bangsa Melalui Inovasi Pendidikan di Era Digital”

100

tugas-tugas sekolah dari anak Pak dan Bu Zul. Sisi kerja keras Maryam dapat dilihat pada perjuangan Maryam yang rela membantu Pk dan Bu Zul serta anak-anaknya dalam segala hal, sebab Maryam berpikir bahwa dia menumpang pada rumah orang yang hendaknya dia memberi timbal balik pada keluarga yanag ditumpanginya. Kerja keras berikutnya terlihat pada saat Maryam mencari keberadaan kelurganya pasca ditinggal dia bekerja di Jakarta. Hal tersebut dapat lihat dalam kutipan berikut.

“Tiang Maryam, Bu. Anaknya Pak Khairuddin...” Pelan-pelan ia mulai mengenal perempuan yang menyapanya. Dari kecil ia memanggilnya Bu

Ahmad. Tapi Bu Ahmad tak berkata apa-apa. Ia malah berpandangan dengan ibu-ibu yang lain.marya tak

sabar. Ia meninggalkan kumpulan ibu-ibu itu tanpa berkata apa-apa, berjalan ke arah rumahnya. (hlm 44) Kutipan di atas menunjukan kerja keras Maryam ketika mencari keberadaan keluarganya. Dia

mencari keluarganya sendirian. Tanpa lelah dia terus mencari walau ketika dia bertanya pada seseorang yang pada saat kecil Maryam sangat mengenalnya, namun sang Ibu enggan untuk menanggapi pertanyaan Maryam, Maryam pun tak lantas putus asa dan kembali mencari orang yang dapat ia tanyai terkait keberadaan keluarganya. Kemudian, Maryam pun kembali bertemu dengan seorang pemuda. Maryam bertanya pada pemuda tersebut dan jawabannya pun mengecewakan Maryam. Hal tersebut dapat dilihat pada kutipan sebagai berikut.

Maryam bergegas meninggalkan pemuda itu. Mempercepat langkah menuju ruah orang tuanya. Pemuda itu berteriah,

“Pak Khairuddin sudah tidak di situ lagi!” Maryam kaget. Tapi ia pura-pura tidak mendengar. Ia yakin pemuda itu hanya ingin

mempermainkannya. (hlm.46) Kutipan di atas menunjukan ketika Maryam bertanya pada pemuda perihal keluarganya dan

jawabannya sama dengan Bu Ahmad. Namun setelah Maryam beranjak me inggalkan pemuda tersebut, sang pemuda berteriak dan mengatakan bahwa keluarganya sudah tidak tinggal di sana. Maryam pun tak menghiraukan ucapan pemuda tersebut dan kembali pergi mencari keberadaan keluarganya sampai dia bertemu dengan seorang lelaki paruh baya dan sangat berharap dia mengenalinya dan tau di mana keberadaan keluarganya. Hal tersebut dapat dililhat pada kutipan di bawah ini.

Maryam turun dari berugak. Ia kini berdiri tepat di depan laki-laki itu. Tangannya bergerak cepat mengikat rambutnya, digulung agar tak menutupi wajah sedikit pun.

“tiang Maryam, Pak.... Maryam...” katanya sambil menepuk-nepuk dadanya sendiri. (hlm. 48) Kutipan di atas menunjukan ketika Maryam yang sangat ingin lelaki patuh baya tersebut tau siapa

dirinya dan tau di mna keberadaan keluarganya. Segala cara diperbuat Maryam supaya lelaki yang ditanyai tersebut mau mengakui bahwa dia mengenal Maryam dan mau menunjukan di mana sebenarnya keluarganya berasal. Maryam berdiri di depan lelaki tersebut dan dengan sigap mengikat rambut yang terurai. Maryam juga menepuk dadanya dan seolah dia kesal karna lelaki tersebut tak juga mengenali dirinya. Sampai akhirnya dia mengaku bahwa dia mengenal Maryam dan keluargany lalu menunjukan di mana keberadaannya. Kemudian setalah perbincan panjang, Maryam pergi meninggalkan tempat tersebut dan lelaki paruh baya itu untuk mencari keluarganya berdasarkan infonrmasi yang dia dapat. Hal tersebut dapat dilihat dalam kutipan berikut ini.

Hari itu Maryam meninggalkan daerah selatan. Menyusuri jalan raya, menuju utara. Melewati pusat kecaatan Sengkol, tepat ia bersekolah SMP dan SMA, juga tempat bapaknya dulu tiap hari membawa keranjang-keranjang berisi ikan untuk dijual di pasar. Terus berjalan melalui kota-kota kecamatan lain; Panujak, Praya Kediri, Cakranegara, hingga Mataram. Dari pusat Lombok itulah ia akan mencari di mana bapak, ibu, dan adiknya berada. (hlm. 60)

Kutipan di atas menunjukan ketika Maryam kembali mencari keluarganya. Kini Maryam beralih ke bagian utara atau di pusat Lombok di mana dahulu ia bersekolah dan dahulu tempat bapaknya membawa keranjang yang berisi ikan unuk dijual di pasar. Masyam menyusuri di setiap jalan. Sudah berhari-hari ia mencari namun belum juga mendapat kabar keberadaan keluarganya tersebut. Tanpa lelah dia mencari hingga dia harus membolos bekerja dan tanpa memberi kabar pada kantornya. Maryam pun bertemu dengan seorang lelaki tua bernama Zulkhair, dia bertanya di mana keberadaan keluarga tersebut. Hal tersebut dapat dilihat dalam kutipan berikut ini.

“keluarga saya sekarang ada di mana Pak?” tanya Maryam pelan. Zulkhair mengehla napas panjang. Dia dia menatap Maryam. Maryam tak bisa menebak apa yang

ada di dalam pikiran itu. Lalu Zulkhair berkata,

Prosiding Konferensi Pendidikan Nasional “Penguatan Karakter Bangsa Melalui Inovasi Pendidikan di Era Digital”

101

“Di sana... “ dambil menunjuk ke arah jalan. (hlm. 67) Kutipan di atas menunjukan katika Maryam bertemu dengan seorang lelaki tua yang bernama

Zulkhair. Zulkhair mengenal baik keluarganya dan dia tahu di mana keberadan keluarganya sekarang. Maryam pun kini semakin bersemngat untuk bertemu dengan keluarganya setelah bertahun-tahun tak berteu dengan kondisi marah dan mungkin sudah tidak diakui sebagai anak. Zulkhair menunjukan di mana keluarganya tinggal sekarang dan Maryam pun dengan senyum mencari dengan informasi yan ditunjukan oleh Zulkhair tersebut. Relevansi Nilai Pendidikan Karakter dalam Novel Maryam Karya Okky Madasari dengan Pembelajaran Sastra

Pembelajaran sastra adalah pembelajaran perihal sosial. Karya-karya sastra yang sering dimuat berdasarkan cerita atau keadaan yang ada di lingkungan sang pencipta membuat para pembaca seperti mendapat informasi baru tentang tradisi, kondisi, atau konflik yang pernah ada dalam suatu tempat.

Karya sastra juga mampu dijadikan sebagai media untuk belajar pendidikan karakter. Hal tersebut karena karya sastra yang diambil lingkungan sekitar pasti memiliki nilai positif yang dapat diambil dan tentunya kita harus bisa memilah dan memilih mana yang patut dijadikan sebagai contoh dalam belajar pendidikan karakter.

Berdasarkan temuan yang didapat, novel Maryam karya Okky Madasari memiliki banyak pelajaran yang memuat nilai pendidikan karakter. Kita ketahui bahwa pendidikan karakter menurut KEMENDIKNA tahun 2010 ada 18 macam salah satunya adalah religius dan kerja keras. Nilai pendidikan religius yang ditemukan dalam novel tersebut sangat beragam dan banyak meskipun di dalam cerita yang dimuat adalah ketakwaan seorang terhadapt Islam Ahmadiyah yang dianggap sesat. Namun, bukan sesatnya yang kita patut dijadikan contoh, yaitu tentang penganut-penganut Ahamdi yang sealu rutin mengadakan dan mengikuti pengajian yang diadakan. Kemudian bagaimana keimanan mereka terhadapt menjaga ibadah wajib dan sunah mereka, dan tidak hanya para orang tua yang taat kepada Kiai atau ajaran yang mereka anut, tetapi anak kecil pun diajarkan untuk taat beribadah kapada Tuhan. Hal itu lah yang patut kita ambil contoh sebagai nilai pendidikan karakter religius untuk diterapkan dalam sehari-hari.

Selain religius, novel Maryam karya Okky Madasari juga banyak yang mengangkat tema kerja keras atau memiliki nilai pendidikan karakter kerja keras. Nilai kerja keras yang ditemukan adalah ketika Maryam mencari keluarganya dengan tanpa lelah. Maryam mencari dari ujung hingga ujung mencari keberadaan keluarganya tersebut. Orang-orang yang ditemui di setiap jalan pun ditanyai ole Maryam, apakah dia mengenal dirinya dan kelluarganya, apakah mereka tahu di mana keberadaan keluarganya, namun tak ada orang yang mau menjawab pertanyaan Maryam tersebut karena mereka tau Maryam dan keluarganya adalah seorang Ahmadi. Keluarga Maryam diusir dari kampungnya saat Maryam berada di Jakarta. Maryam yang tahu dan setelah beberapa tahun rindu ingin betemu akhrinya pulang ke kampungnya dan mendapati banyak perbedaan di kampungnya tersebut termasuk rumah yang dulu tinggalinya berubah menjadi gedung pertemuan warga. Oleh sebab orang-orang Ahmadi yang diusir tersebut, warga kampung tersebut sekarang seolah ingin menutup rapat semua yang berhubungan dengan Ahmadi termasuk yang berhubungan dengan keluarga Maryam. Keluarga Maryam adalah orang yang baik, namun karena keluraga Maryam adalah orang Ahamadi, mereka para tetangga Maryam tidak mau lagi berhubungan atau bahkan mengenal Maryam dan keluarganya.

Kerja keras Maryam juga terlihat tidak hanya ketika mencari keluraga Maryam. Kerja keras Marya saat berkuliah juga menjadi patut dicontoh oleh mahasiswa atau pembaca. Kerja keras Maryam ketika mencari cinta sejatinya pun dapat dijadikan pembelajaran tentunya dengan mengambil yang positif.

Menggunakan karya sastra atau novel sebagai media pembelajaran khususnya mempelajari nilai pendidian karakter tidak harus dalam pengawasan. Meski begitu, adanya pengawasan dari dosen akan lebih membuat mahasiswa mengerti mana yang harus diambil sebgai contoh baik dan mana yang tidak.

Nilai pendiidkan karakter dalam novel relevan dengan pembelajaran dalam mata kuliah Sosiologi Sastra. mata kuliah Sosiologi Sastra adalah kajian tentang segala sesuatu yang menyangkut masyarakat. Termasuk permasalahannya dan kaitannya dengan hajat hidup orang banyak. Sosiologi mencari tahu bagaimana masyarakat dimungkinkan, bagaimana masyarakat berlangsung, dan bagaimana ia tetap ada. Dengan mempelajari lembaga sosial dan segala masalah perekonomian, keagamaan, politik, dan lain-lain kesemuanya itu merupakan struktur sosial. Kita mendapatkan gambaran tentang cara-cara manusia menyesuaiakn diri dengan lingkungannya, tentang mekanisme sosialisasi, proses pembudayaan yang menempatkan anggota masyarakat pada tempatnya masing-masing.

Prosiding Konferensi Pendidikan Nasional “Penguatan Karakter Bangsa Melalui Inovasi Pendidikan di Era Digital”

102

Mata kuliah Sosiologi Sastra pada Pendikan Bahasa Indonesia di Universitas Peradaban dijalankan dengan 2 SKS pada semester genap (4) dengan standar kompetensi setelah selesai perkuliahan ini mahasiswa diharapkan agar mahasiswa mampu melakukan analisis sosiologi sastra terhadap karya sastra dengan menggunakan teori sosiologi sastra yang ada. SIMPULAN

Berdasarkan hasi dan pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahawa novel Maryam karya Okky Madasari memiliki nilai pendidikan karakter khususnya pada nilai pendiidkan religius dan kerja keras. Religius ditunjukan pada Maryam dan para penganut Ahmadi yang sangat taat dalam beribadah dan beriman kepada Tuhan. Kemudian kerja keras ditunjuan pada Maryam ketika Maryam mencari keberadaan keluarganya yang diusir oleh warga kampung saat Maryam berada di Jakarta. Nilai pendidikan karakter religius dan kerja ini juga dapat direlevansikan dalam pembelajaran sastra khsuusnya pada mata kuliah sosiologi sastra. hal tersebut karena dalam nilai pendidikan karakter mengambil media novel yang dalam hakikatnya novel adalah sebuah cerita yang diambil dari lingkungan masyarakat. DAFTAR PUSTAKA Endraswara, Suwardi. 2013. Metodologi Penelitian Sastra (Epistemologi, Model, Teori, dan Aplikasi).

Yogyakarta: CAPS. Barnawi dan M. Arifin. 2014. Strategi dan Kebijakan Pembelajaran Pendidikan Karakter. Yogyakarta:

Ar-ruzz Media. Nurgiyantoro, Burhan. 2015. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Naim, Ngainun. 2012. Character Building: Optimalisasi Peran Pendidikan dalam Pengembangan Imu &

Pembentukan Karakter Bangsa. Yogjakarta: Ar-ruzz Media. Madasari, Okky. 2013. Maryam. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Winarni, Retno. 2013. Kajian Sastra. Salatiga: Widya Sari.

Prosiding Konferensi Pendidikan Nasional “Penguatan Karakter Bangsa Melalui Inovasi Pendidikan di Era Digital”

103

IMPLEMENTASI BIMBINGAN DAN KONSELING DALAM PEMBENTUKAN KARAKTER ANAK USIA DINI

Lina Prasetia¹ , Merita Kurnia Putri² 1,2Universitas Negeri Semarang

[email protected] ²[email protected]

Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan Implementasi Bimbingan dan Konseling dalam Pembentukan Karakter Anak Usia Dini. Penelitian ini menggunakan metode penelitian design research. Berdasarkan hasil design research disimpulkan bahwa penerapan Bimbingan dan Konseling yang tepat dapat membantu mempengaruhi pembentukan karakter anak karena selain orang tua guru BK juga memegang peranan penting dalam masa perkembangan anak. Selama proses perkembangan tidak menutup kemungkinan anak mengalami berbagai masalah yang menghambat proses perkembangan. Permasalahan anak dapat mengganggu kehidupan anak menyebabkan adanya ketidakselarasan pada perkembangannya (Anonim, 2006:9). Faktor permasalahan anak tidak hanya dari lingkungan bermain tetapi juga dari lingkungan internal seperti keluarga. Dampak permasalahan tersebut dapat menimbulkan tindakan seperti arogan, emosional yang berlebihan, kecemasan dll. Permasalahan anak usia dini perlu diatasi melalui intervensi konseling, konselor sekolah perlu menerapkan teknik konseling yang sesuai dengan usia anak serta membentuk karakter anak agar lebih baik lagi. Oleh karena itu pelaksanaan Bimbingan dan Konseling bagi anak usia dini sangat berpengaruh untuk pembentukan karakter di masa depan. Kata Kunci: bimbingan dan konseling, pembentukan karakter, anak usia dini PENDAHULUAN

Bangsa Indonesia saat ini sedang mengalami penurunan etika, tata krama, dan sopan santun yang disebabkan melemahnya pendidikan karakter. Bahkan permasalahan peserta didik sekarang sudah mulai merajalela dikalangan anak SMP dan SMA dengan adanya tawuran, kekerasan, bullying, tidak seksual, dan lain-lain. Pendidikan karakter harus terus ditingkatkan dalam dunia pendidikan terlebih untuk anak usia dini. Kasus perkelahian diakhiri dengan pembunuhan oleh anak SD banyak terjadi di Indonesia hanya karena hal sepele. Tentu saja hal ini membuat orang tua dan guru harus berusaha lebih keras untuk menanamkan karakter yang baik sejak dini kepada anak usia dini.

Anak usia dini adalah anak yang berada pada rentan usia 0-6 tahun (Undang-Undang Sisdiknas tahun 2003) dan 0-8 tahun menurut para pakar pendidikan anak. Menurut Mansur dalam Ferdiansyah (2014) anak usia dini adalah kelompok anak yang berada dalam proses pertumbuhan dan perkembangan yang bersifat unik. Anak usia dini memiliki karakteristik yang berbeda dengan orang dewasa, Sofia Hartati dalam Ferdiansyah (2014) menjelaskan bahwa anak usia dini memiliki karakter sebagai berikut: 1) memiliki rasa ingin tahu yang besar, 2) merupakan pribadi yang unik, 3) suka berfantasi dan berimajinasi, 4) masa potensial untuk belajar, 5) memiliki sikap egosentris, 6) memiliki rentan daya konsentrasi pendek, 7) merupakan bagian dari makhluk sosial.

Sedangkan karakter bangsa Indonesia yang hendak diwujudkan tersurat pada tujuan pendidikan nasional sebagaimana diatur dalam pasal 3 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yaitu beriman dan bertakwa epada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertangggung jawab.

Merujuk pada pernyataan tersebut, kerjasama antara orang tua dan pihak sekolah sangat dibutuhkan untuk membantu mengembangkan segenap potensi pada peserta didik baik itu dari segi bakat, minat, dan kecenderungan umum peserta didik. Sekolah sebagai lingkungan pendidikan formal menyelenggarakan program pendidikan yang dikemas ke dalam program managemen dan supervisi, pembelajaran bidang studi, dan bimbingan dan konseling. Guru BK memiliki peran yang sangat penting dalam membantu peserta didik baik dati tingkat TK hingga Perguruan Tinggi agar dapat mengembangkan potensi dan kemampuan pada dirinya. Anak usia dini sangat membutuhkan bimbingan untuk pencegahan dan pengembangan perilaku sejak usia dini.

Prosiding Konferensi Pendidikan Nasional “Penguatan Karakter Bangsa Melalui Inovasi Pendidikan di Era Digital”

104

METODE Tujuan akhir dari penelitian ini adalah tersusunnya model bimbingan dan konseling untuk anak usia

dini, oleh karena itu metode yang digunakan adalah design research, tahapan pelaksanaannya menurut Gravemeijer & Cobb dalam lestari (2014) adalah 1) preparing for the experiment (persiapan penelitian), 2) design experiment (pelaksanaan desain eksperimen), dan 3) retrospective analysis (analisis data yang diperoleh dari penelitian sebelumnya. Teknik pengumpulan data pada penelitian ini adalah dengan pengamatan atau observasi dilingkungan sekitar anak, wawancara dengan orang tua dan guru pengampu. Penelitian ini dilakukan pada komunitas anak jalanan didaerah johar (Komunitas Harapan). Analisis data dalam penelitian ini yaitu berdasarkan hasil dari olah data wawancara atau observasi yang sudah dilakukan oleh partisipan. Bimbingan dan konseling pada anak usia dini salah satunya diterapkan dengan menggunakan media bermain yaitu boneka jari. Pada jenis permainan ini terbagi menjadi beberapa tata cara yang harus dilakukan oleh pendidik yaitu: ambil boneka jari kemudian pakai dan gunakan untuk bercakap-cakap dengan anak dengan tema yang berbeda. Contohnya dari segi bidang karir yaitu berbicara mengenai cita-cita. Kemudian dari segi pribadi dan sosial anak diajarkan untuk bermain peran atau (role playing), yaitu anak diajak untuk memainkan sebuah peran dengan tema tertentu, contohnya dengan cara bertoleransi, atau sikap saling tolong menolong, dll. Dari segi bidang belajar anak diajarkan untuk bermain menyusun balok secara bertingkat berdasarkan urutan nomor, hal ini melatih anak untuk berpikir dalam pengaplikasian dari segi motorik anak. Selain dari segi peserta didik, partisipan juga melakukan sosialisasi dengan orang tua atau wali murid yaitu dengan melaksanakan kegiatan seminar parenting hal ini bertujuan bahwa bimbingan dan konseling tidak hanya diterapkan dari segi pendidikan disekolah saja, melainkan dari sisi keluarga. Hal ini dikarenakan mayoritas kegiatan anak dilakukan diranah lingkungan keluarga, harapannya orang tua bisa melakukan kegiatan atau peran yang baik bagi pembentukan karakter anak. HASIL DAN PEMBAHASAN Bimbingan dan Konseling

Crow & Crow (dalam Prayitno & Erman Amti, 1999) menyatakan bahwa “bimbingan adalah bantuan yang diberikan oleh seseorang, laki-laki atau perempuan yang memiliki kepribadian yang memadai dan terlatih dengan baik kepada individu-individu setiap usia untuk membantunya mengatur kegiatan hidupnya sendiri, mengembangkan pandangan hidupnya sendiri, membuat keputusan sendiri, dan menanggungnya sendiri.”

Sedangkan pengertian konseling menurut Jones (dalam Prayitno & Erman Amti, 1999) adalah “kegiatan dimana semua fakta dikumpulkan dan semua pengalaman siswa difokuskan pada masalah tertentu untuk diatasi sendiri oleh yang bersangkutan, dimana ia diberi bantuan pribadi dan langsung dalam pemecahan masalah itu. Konselor tidak memecahkan masalah untuk klien. Konseling harus ditujukan pada perkembangan yang progresif dari individu untuk memecahkan masalah-masalahnya sendiri tanpa bantuan.”

Berdasarkan uraian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa bimbingan dan konseling adalah proses pemberian bnatuan yang diberikan oleh konselor atau pembimbing kepada seorang klien atau siswa secara terus menerus dan menyeluruh, agar mereka daoat menentukan pilihan-pilihan untuk menyesuaikan diri dan memahami dirinya dalam mencapai kemampuan yang optimal untuk memikul tanggung jawab. Anak Usia Dini

Anak usia dini memiliki batasan usia tertentu, karakteristik yang unik, dan berada pada suatu proses perkembangan yang sangat pesat dan fundamental bagi kehidupan berikutnya. Selama ini orang dewasa mengidentikkan anak usia dini sebagai orang dewasa mini, masih polos dan belum bisa berbuat apa-apa karena belum mampu berpikir. Pandangan ini berdampak pada pola perlakuan yang diberikan pada anak, antara lain sering memperlakukan anak sebagaimana orang dewasa. Saat mendidik atau membimbing anak dipaksa mengikuti pola pikir dan aturan orang dewasa.

Beberapa ahli pendidikan anak usia dini mengategorikan anak usia dini sebagai berikut: (1) kelompok bayi (infancy) berada pada usia 0-1 tahun, (2) kelompok awal berjalan (toddler) berada pada rentang usia 1-3 tahun, (3) kelompok pra-sekolah (preschool) berada pada rentang usia 3-4 tahun, (4) kelompok usia sekolah (kelas awal SD) berada pada rentang usia 5-6 tahun, (5) kelompok usia sekolah (kelas lanjut SD) berada pada rentang usia 7-8 tahun. Hal ini mengisyaratkan bahwa anak usia dini adalah individu yang unik yang memiliki pola pertumbuhan dan perkembangan fisik, kognitif, sosio-emosional,

Prosiding Konferensi Pendidikan Nasional “Penguatan Karakter Bangsa Melalui Inovasi Pendidikan di Era Digital”

105

kreativitas, bahasa dan komunikasi yang khusus sesuai dengan tahapan yang sedang dilalui oleh anak tersebut.

Anak usia dini merupakan masa keemasan dimana semua potensi anak berkemabang dengan cepat. Beberapa konsep yang disandingkan pada anak usia dini yaitu masa eksplorasi, masa identifikasi/imitasi, masa peka, masa bermain, masa membangkang tahap awal. Namun disisi lain masa anak usia dini merupakan masa kritis yaitu masa keemasan anak tidak akan diulang kembali pada masa berikutnya. Jika potensi-potensinya tidak distimulasikan pada anak usia dini. Dampak dari tidak teraplikasikannya potensi pada anak usia dini akan berpengaruh pada penghambatan perkembangan anak usia dini. Jadi, usia emas hanya sekali dan tidak dapat diulang lagi. Bimbingan Dan Konseling Pada Anak Usia Dini

Berdasarkan pendapat para ahli tentang konsep bimbingan dan konseling dan konseling maka bimbingan dan konseling pada anak usia dini dapat diartikan sebagai upaya bantuan yang dilakukan guru/pendamping terhdap anak usia dini agar anak dapat tumbuh dan berkembang secara optimal serta mampu mengatasi permasalahan-permasalahan yang dihadapinya.

Adapun secara khusus layanan bimbingan dan konseling pada anak usia dini dilakukan untuk membantu mereka untuk dapat: 1) lebih mengenal dirinya, kemampuannya, sifatnya, kebiasaannya dan kesenangannya; 2) mengembangkan potensi yang dimilikinya; 3) mengatasi kesulitan-kesulitan yang dihadapinya; 4) menyiapkan perkembangan mental dan sosial anak untuk masuk ke lembaga pendidikan selanjutnya. Sedangkan fungsi bimbingan untuk anak usia dini adalah: 1. Fungsi pemahaman, meliputi pemahaman diri anak oleh guru dan orang tua, hambatan yang dihadapi

anak, lingkungan anak, lingkungan luar rumah, dan cara penyesuaian diri. 2. Fungsi pencegahan, yaitu usaha bimbingan yang menghasilkan tercegahnya anak dari berbagai

permasalahan yang dapat mengganggu, menghambat, atau menimbulkan kesulitan dalam proses perkembangan.

3. Fungsi perbaikan, diarahkan pada terselesaikannya berbagai hambatan atau kesulitan yang dihadapi anak didik.

4. Fungsi pemeliharaan dan pengembangan, merupakan usaha bimbingan yang menghasilkan tepeliharanya dan berkembangnya berbagai potensi dan kondisi positif anak didik dalam rangka perkembangan dirinya secara mantab dan berkelanjutan.

Pelayanan bimbingan dan konseling sejak usia dini secara khusus ertujuan untuk membantu siswa agar dapat memenuhi tugas-tugas perkembangan yang meliputi aspek pribadi, sosial, pendidikan, dan karir sesuai dengan tuntutan lingkungan. Purwati (2003) menjelaskan bahwa dalam aspek perkembangan pribadi sosial layanan bimbingan membantu siswa agar (1) memiliki pemahaman diri; (2) mengembangkan kemampuan positif; (3) membuat pilihan kegiatan yang sehat; (4) mampu menghargai orang lain; (5) memiliki rasa tanggung jawab; (6) mengembangkan keterampilan hubungan antar pribadi; (7) serta dapat membuat keputusan secara baik. Sedangkan dalam aspek perkembangan pendidikan, layanan bimbingan membantu siswa agar (1) melaksanakan cara-cara yang benar; (2) menciptakan tujuan dan rencana pendidikan; (3) mencapai prestasi belajar secara optimal sesuai bakat dan kemampuannya; (4) serta memiliki keterampilan untuk menghadapi ujian. Pembentukan Karakter Sejak Dini

Keluarga merupakan wahana pertama dan utama dalam membangun karakter anak karena sebagian besar waktu anak sering dihabiskan bersama keluarga. Oleh sebab itu sebagai orang tua hendaknya memanfaatkan masa emas anak untuk memberikan pendidikan karakter yang baik, sehingga anak bisa meraih keberhasilan dan kesuksesan dalam kehidupannya di masa mendatang. Orang tua kadang tidak sadar sikapnya kepada anak justru sering menjatuhkan anak. Orang tua harus mengenal watak anaknya dengan baik dan memiliki moral yang tinggi ditunjukkan dengan perilaku jujur, disiplin, dapat menjadi contoh yang baik, pembimbing dan pengawas tanpa melakukan kekerasan. Menurut Prasetiawan (2016) karakter merupakan karakteristik seseorang sejumlah kualitas seseorang yang terdiri dari tiga bagian yang saling terkait, yaitu pengetahuan, perasaan dan perilaku bermoral. Artinya manusia yang berkarakter adalah individu yang mengetahui, mencintai, serta melakukan kebaikan.

Prosiding Konferensi Pendidikan Nasional “Penguatan Karakter Bangsa Melalui Inovasi Pendidikan di Era Digital”

106

Cara Membentuk Karakter Anak Orang tua berkarakter akan membentuk anak-anaknya berkarakter pula, untuk mengembangkan

karakter anak orang tua sebaiknya memperhatikan: (1) mendidik anak balita berbeda dengan mendidik remaja dan dewasa; (2) mendidik anak balita lebih dititikberatkan pada penanaman nilai-nilai moral keagamaan, budi pekerti, etika, dan adat istiadat yang berlaku; (3) mendidik anak balita tidak dengan kekerasan atau memarahinya; (4) mendidik anak harus dengan penteladanan orang tua dan percontohan perilaku; (5) memberikan pujian bila berperilaku sesuai norma. Metode yang bisa digunakan adalah keteladanan, pembiasaan, dan pemberian penghargaan dan konsekuensi atas tingkah laku anak (Prasetiawan:2016)

Hasil telaah model media awal bimbingan dan konseling dalam membentuk karakter mandiri anak usia dini diharapakan dapat di aplikasikan dengan mudah dan di terima oleh anak-anak dengan suka cita. Untuk itu perlu di susun secara konsep maupun praktis operasional media bimbingan dan konseling dalam membentuk karakter pada anak usia dini melalui perumusan sebuah model lengkap dengan aturan yang akan digunakan sebagai dasar dalam pelaksanaan tindakan bimbingan dan konseling pada anak usia dini. SIMPULAN

Pelayanan bimbingan dan konseling di sekolah merupakan usaha untuk membantu peserta didik dalam pengembangan kehidupan pribadi, kehidupan sosial, kegiatan belajar, serta perencanaan dan pengembangan karir peserta didik. Karakter perlu dibentuk sejak dini karena usia dini merupakan masa-masa kritis yang akan menentukan sikap dan perilaku seseorang di masa depan. Mengembangkan karakter anak merupakan tugas utama orang tua yang dilakukan melalui enanaman moral sebagai dasar norma yang dianut. Selain itu peran guru BK di sekolah juga sangat penting mengingat bahwa anak yang mulai memasuki bangku sekolah akan menghadapi masalah atau hambatan pada dirinya. DAFTAR PUSTAKA Amti, E dan Prayitno. 199. Dasar-Dasar Bimbingan dan Konseling. Jakarta: Rineka Cipta Prasetiawan, Hardi. 2016. Peran Bimbingan dan Konseling dalam Pendidikan Ramah Anak Terhadap

Pembentukan Karakter Sejak Usia Dini. Jurnal Care. 4(1) Purwati. 2003. Model Bimbingan dan Konseling Perkembangan di Sekolah Dasar. Tesis. Unnes. Tidak

diterbitkan Syaodih, Ernawulan and Agustin, Mubiar (2014) Bimbingan Konseling untuk Anak Usia Dini. In: Hakikat

Bimbingan dan Konseling untuk Anak Usia Dini. Universitas Terbuka, Jakarta, pp. 1-31. Lestari, indah. 2014. Pengembangan Media Bimbingan dan Konseling Berbasis Islami untuk Membentuk

Karakter Mandiri Anak Usia Dini. Jurnal Prosiding. 4(1). Universitas Muria Kudus Ferdiansyah. 2014. Pelayanan Konseling Untuk Anak Usia Dini. Jurnal: Wahana Didaktika. 12 (2).

Universitas PGRI Palemban

Prosiding Konferensi Pendidikan Nasional “Penguatan Karakter Bangsa Melalui Inovasi Pendidikan di Era Digital”

107

PENANAMAN NILAI KEJUJURAN MELALUI PENDIDIKAN KARAKTER PADA ANAK USIA DINI DENGAN TEKNIK MODELING

Alfi Rachmah Hidayah1, Dea Hediyati2, Sri Wahyu Setianingsih3

1,2,3Universitas Negeri Semarang [email protected]

[email protected] [email protected]

Abstrak Pendidikan karakter menjadi hal yang wajib untuk diberikan kepada anak. Mengingat generasi muda saat ini sangat memprihatinkan, nilai- nilai karakter yang diberikan pun harus optimal dimasa usia dini, karena masa ini merupakan usia golden age (masa keemasan), dimana karakter mudah di bentuk pada usia ini. Sejumlah studi mengatakan bahwa anak-anak sangat mudah menirukan yang berada disekitarnya, oleh karena itu kami mengambil teknik modeling untuk menanamkan nilai kejujuran. Untuk menghindarkan generasi muda penerus bangsa dari krisis karakter seperti korupsi maka sangat diperlukan penanaman nilai kejujuran melalui pendidikan karakter pada usia dini. Penanaman karakter sejak dini menjadi penting untuk menumbuhkan pribadi yang cerdas dan bermoral untuk tahap kehidupan berikutnya. Tulisan ini berfokus pada penanaman nilai kejujuran melalui pendidikan karakter pada anak usia dini dengan teknik modeling dengan menggunakan metode penelitian studi pustaka yang mengambil inti dari beberapa buku serta jurnal-jurnal ilmiah. Hasil studi pustaka menunjukan bahwa ada hubungan antara nilai kejujuran dengan teknik modeling yang dapat membentuk karakter anak usia dini. Kata Kunci: nilai kejujuran, pendidikan karakter, teknik modeling, anak usia dini PENDAHULUAN

Pendidikan merupakan salah satu upaya untuk mewujudkan cita- cita seorang individu atau bahkan cita- cita bangsa, pendidikan dimulai dari anak usia dini, pendidikan anak usia dini itu sendiri bertujuan untuk menanamkan nilai- nilai karakter yang akan dibawa untuk masa dewasanya kelak, pendidikan karakter anak begitu penting, sebab karakter seorang individu dapat dibentuk sejak usia dini. Disinilah pentingnya pendidikan karakter anak pada usia dini, ibarat bangunan, tentuya pondasi yang kuat akan menahannya dari terjangan angin dan badai, begitu pula dengan seorang individu, jika individu sudah ditanamkan nilai nilai karakter sejak dini, maka akan semakin kuat karakter itu melekat pada diri seseorang. Dalam beberapa tahun terakhir ini bangsa ini mengalami penurunan karakter, khususnya karakter jujur, hal ini dapat dilihat dari semakin meningkatnya kasus korupsi, dari kasus yang ada pada tahun 2014- 2015 tercatat 803 kasus angka ini meningkat dari tahun 2012- 2013 dengan angka 229 kasus yang ada. Sehinga lembaga Survey and Ekonomic Risk Consultancy, memberikan predikat kepada Indonesia yaitu Negara terkorup di Asia Pasifik. ( Oktriani, 2017 : p : 1 ). Kasus diatas terjadi karena pendidikan telah kehilangan jiwanya. Menurut Marthin Buber (‘”Education worthy of the name is essentially education character”). Tujuan pembelajaran iaalah menghasilkan anak didik yang lulus dalam ujian hidup. Hasil pendidikan adalah karakter. Sementara menurut Thomas Likona “ The dimentions of character are knowing loving, and doing the good”. Saya yakin bahwa para pendidik bangsa ini dahulu mendirikan sekolah agar anak- anak didik mereka mengetahui yang baik, mencintai yang baik, dan mengamalkan yang baik.

Berdasarkan UU No. 20 tahun 2003 tentang system pendidikan Nasional berkaitan dengan Pendidikan Anak Usia Dini tertulis pada pasal 28 ayat 1 yang berbunyi “ pendidikan Anak Usia Dini diselenggarakn pada anak sejak lahir sampai dengan umur 6 tahun dan bukan merupakan prasyarat untuk mengikuti Pendidikan Dasar”. Selanjutnya pada Bab 1 pasal 1 ayat 14 ditegaskan bahwa pendidikan Anak Usia Dini Adalah upaya pembinaan yang ditunjukan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia 6 tahun, perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan untuk mengikuti pendidikan yang lebih lanjut.Dalam hal ini tentunya anak memerlukan figure (model) dalam upaya membangun karakter. Yang akan dibahas pada artikel ini adalah karakter jujur, anak perlu diberikan contoh,baik itu melalui video, film, atau pun dengan figure yang ada di dunia nyata. Komalasari, dkk (2011) menyatakan “ Teknik

Prosiding Konferensi Pendidikan Nasional “Penguatan Karakter Bangsa Melalui Inovasi Pendidikan di Era Digital”

108

modeling adalah belajar melalui observasi dangan menambah atau mengurangi tingkah laku yang teramati, menggenelalisir berbagai pengamatan sekaligus melibatkan proses kognitif”. Pengamatan yang dilakukan oleh anak kepada model akan gambaran gambaran perilaku model pada otak sehingga perilaku anak cenderung akan berubah . perubahan perilaku bisa bertambah atau berkurang berdasarkan hasil pengamatan anak kepada model. Sedangkan menurut Rumiani, dkk (2014) menyatakan “ Teknik modeling adalah proses individu mengamati seorang model dan kemudian dipertkuat untuk mencontoh tingkah laku sang model”. Anak akan memperhatikan suatu model, kemudian anak diberikan suatu penguatan (reward). Penguatan yang diberikan diiringi dengan mencontoh tingkah laku model. Dari beberapa pemaparan diatas, dapat disimpulkan ,bahwa teknik modeling adalah peroses pembentukan perilaku baik menambah, mengurangi, memeperbaiki perilaku dengan cara mengamati seorang model / tokoh, berdasarkan apa yang difikirkan anak sehingga dapat membentuk perilaku baru. Berikut penelitian yang terkait dengan teknik modeling, “Meningkatkan Budaya Antri Melalui Teknik Modelling” berdasarkan hasil penelitian (Dhinda Annisa Ermathisa, Erhamwida, Arif Hakim, 2017. p.1, vol.1 ). Penggunaan teknik modeling dalam meningkatkan budaya antri sangat berkembang dengan baik karena hampir semua anak sudah dapat sabar dalam menunggu giliran saat bermain outdoor sudah ada 13 anak (92,8%), cuci tangan 12 anak (85,7%), dan keluar kelas 13 anak (92,8%)

Semakin dini kita menanamkan nili nilai kejujuran pada anak, maka semakin melekat pula nilai itu pada diri anak, anak sangat memerlukan pendidikan karakter sejak dini, ini bertujuan untuk mengajarkan betapa pentingnya nilai kejujuran untuk dirinya, orang lain bahkan bangsa, nilai ini bergitu penting, karena individu yang jujur akan menguatkan karakter diri, dan juga bangsa, bangsa yang hebat dimulai dengan generasi muda yang jujur dan kuat. Memilih teknik modeling untuk menanamkan nilai kejujuran, karena teknik ini anak dapat memilih, melihat model atau figure yang ada, baik itu lewat cerita,film, maupun figure nyata yang ada disekelilingnya. Kegunaan penelitian ini sendiri sebagai bahan rujukan untuk orang tua, guru, dll. Untuk menanamkan nilai- nilai kejujuran pada anak usia dini, khusunya dengan menggunakan teknik modeling. METODE

Metode penelitian pendidikan dapat diartikan sebagai cara ilmiah untuk mendapatkan data yang valid dengan tujuan dapat ditemukan, dikembangkan, dan dibuktikan, suatu pengetahuan tertentu sehingga pada gilirannya dapat digunakan untuk memahami, memecahkan, dan mengantisipasi masalah dalam bidang pendidikan (Sugiyono,2016). Jenis penelitian yang di gunakan adalah studi pustaka/ library research yaitu pengumpulan data yang bersifat kepustakaan, atau telaah yang digunakan untuk memecahkan masalah yang pada dasarnya tertumpu pada penelaahan kritis dan mendalam terhadap bahan-bahan pustaka yang relevan. HASIL DAN PEMBAHASAN Konsep Kejujuran

Jujur merupakan karakter yang terbentuk dari sikap amanah. Yaumi (2014: 62) mengungkapkan bahwa amanah adalah bersikap jujur dan dapat diandalkan dalam menjalankan komitmen, tugas, dan kewajiban. Kesuma (2011: 16) menambahkan bahwa jujur merupakan keputusan seseorang untuk mengungkapkan dalam bentuk perasaan, perkataan, dan perbuatan sesuai dengan realitas yang ada dan tidak memanipulasi dengan berbohong atau menipu untuk keuntungan dirinya.

Kesuma (2011: 17) mencirikan orang-orang yang memiliki karakter jujur, yaitu; 1) jika bertekad untuk melakukan sesuatu, tekadnya adalah kebenaran dan kemaslahatan; 2) jika berkata tidak berbohong, 3) jika adanya kesamaan antara yang dikatakan hatinya dengan apa yang dilakukannya.

Menurut Direktorat Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini Nonformal dan Informal tahun 2012 terdapat beberapa indikator nilai karakter jujur yaitu: 1) Anak mengerti mana milik pribadi mana dan milik bersama, 2) Anak merawat dan menjaga benda milik bersama, 3) Anak terbiasa berkata jujur, 4) Anak terbiasa mengembalikan benda yang bukan miliknya, 5) Menghargai milik bersama, 6) Mau mengakui kesalahan, 7) Meminta maaf jika salah, dan memaafkan teman yang berbuat salah, 8) Menghargai keunggulan orang lain, 9) Tidak menumpuk mainan atau makanan untuk diri sendiri.

Pentingnya menanamkan kejujuran sejak usia dini diungkapkan oleh schiller dalam Yaumi (2014: 65) bahwa hanya dengan kejujuranlah yang dapat mengembangkan kondisi kehidupan kearah yang lebih baik, tanpa kejujuran akan membawa dampak pada kemunduran dari segala upaya yang dilakukan.

Prosiding Konferensi Pendidikan Nasional “Penguatan Karakter Bangsa Melalui Inovasi Pendidikan di Era Digital”

109

Konsep Pendidikan Karakter Istilah pendidikan berasal dari kata paedagogi, dalam bahasa Yunani pae artinya anak dan ego

artinya aku membimbing. UU RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional , Pasal 1 dikatakan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.

Dalam Ensiklopedia Indonesia, karakter memiliki arti antara lain; keseluruhan dari perasaan dan kemauanyang tampak dari luar sebagai kebiasaan seseorang bereaksi terhadap dunia luar dan impian yang diidam-idamkan (Tan Giok Lie, 2007). Pengertian karakter dilihat dari sudut pandang pendidikan, didefinisikan sebagai struktur rohani yang terlihat dalam perbuatan, dan terbentuk oleh faktor bawaan dan pengaruh lingkungan. Karakter mengacu pada kehidupan moral dan etis seseorang untuk mengasihi Tuhan dan sesama, yaitu kebajikan moral untuk berbuat baik.

Yaumi (2014: 7-8) mengemukakan bahwa karakter adalah moralitas, kebenaran, kebaikan, kekuatan, dan sikap seseorang yang ditunjukkan kepada orang lain melalui tindakan. Dengan demikian jelaslah bahwa karakter merupakan sifat kejiwaan yang terdapat dalam diri manusia dan menjadi ciri khas untuk membedakan individu dengan individu lainnya yang diwujudkan melalui tindakan.

Mulyasa (2013: 1) menyatakan bahwa pendidikan karakter merupakan upaya untuk membantu perkembangan jiwa anak-anak baik lahir maupun batin dari sifat kodratinya menuju kearah peradaban yang manusiawi dan lebih baik.

Mulyasa (2013: 9) pendidikan karakter bertujuan meningkatkan mutu proses dan hasil pendidikan bagi peserta didik agar mampu secara mandiri meningkatkan dan menggunakan pengetahuan, mengkaji dan menginternalisasikan nilai-nilai karakter sehingga terwujud dalam perilaku sehari-hari. Konsep Anak Usia Dini

Anak usia dini menurut undang-undang Sisdiknas tahun 2003 adalah anak yang berada pada rentan usia antara 0 sampai 6 tahun dan usia 0- sampai 8 tahun menurut pakar pendidikan. Anak usia dini adalah kelompok anak yang berada pada proses pertumbuhan dan perkembangan yang bersifat unik. Mereka memiliki pola pertumbuhan dan perkembangan yang khusus disetiap tahap pertumbuhan dan perkembangannya. Mansur (2005). Masa kanak-kanak terutama usia 0-5 tahun merupakan masa emas atau sering disebut dengan istilah golden age. Karena pada masa ini merupakan penentuan perilaku anak dimasa yang akan datang. Menurut beberapa penelitian neurologi 50% kecerdasan anak terbentuk dalam kurun waktu 4 tahun pertama. Setelah anak berusia 8 tahun perkembangan otaknya mencapai 80% dan pada usia 18 tahun sudah mencapai 100% Slamet Suyanto (2005)

Sesuai dengan Undang-undang Sisdiknas tahun 2003 pasal 1 ayat 14 upaya pembinaan yang ditunjukan bagi anak usia 0-6 tahun dilakukan melalui pendidikan anak usia dini atau PAUD. Paud dapat dilaksanakan melalui pendidikan formal, nonformal maupun informal. Pendidikan usia dini yang berbentuk formal berbentuk taman-kanak-kanak (TK) dan raudatul afthal (RA) dan bentuk lainnya yang sederajat. Sedangkan pendidikan usia dini nonformal dapat berbentuk kelompok bermain (KB), taman penitipan anak (TPA).

Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa anak usia dini merupakan anak yang berusia dari 0 sampai 6 tahun. Pada masa usia ini anak sedang mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang sangat pesat, sehingga dibutuhkan stimulasi yang tepat supaya anak dapat tumbuh dan mencapai perkembangan maksimal. Pemberian stimulasi tersebut bisa dilakukan melalui lingkungan keluarga juga dengan menyekolahkan anak dilembaga pendidikan yang sesuai dengan anak usia dini, dengan melalui sekolah PAUD diharapkan dapat menstimulasi anak untuk mencapai perkembangan fisik dan psikologis yang optimal. Teknik Modeling

Modeling merupakan belajar melalui observasi teramati, menggeneralisir berbagai pengamatan sekaligus, melibatkan proses kognitif. Modeling sebagai proses belajar melalui observasi dimana tingkah laku dari seorang individu atau kelompok, sebagai model, berperan sebagai rangsangan bagi pikiran-pikiran, sikap-sikap, atau tingkah laku sebagai bagian dari individu yang lain yang mengobservasi model yang ditampilkan. Modeling menurut Bandura (dalam Erford, 2016: 340) yaitu proses bagaimana individu belajar dari mengamati orang lain.

Prosiding Konferensi Pendidikan Nasional “Penguatan Karakter Bangsa Melalui Inovasi Pendidikan di Era Digital”

110

Corey (2005: 426) mengatakan istilah pemodelan dapat diartikan sebagai belajar dengan mengamati, menirukan, belajar sosialisasi dan belajar dengan menggantikan telah digunakan dengan pengertian yang sama secara bergantian. Semuanya berarti proses berbuat yang dilakukan oleh perilaku seseorang individu atau kelompok (model) sebagai stimulus terjadinya pikiran sikap, dan perilaku yang serupa di pihak pengamat. Melalui belajar untuk menunjukkan perbuatan yang dikehendaki tanpa harus belajar lewat trial and eror.

Menurut Alwisol (2009: 292), teknik modeling bukan sekedar menirukan atau mengulangi apa yang dilakukan orang model (orang lain), tetapi modeling melibatkan penambahan dan atau pengurangan tingkah laku yang taramati, menggenalisir berbagai pengamatan sekaligus dan melibatkan proses kognitif.

Menurut Jones (2011: 434) modeling merupakan teknik untuk mengajari si pengamat keterampilan dan aturan aturan perilaku. Dalam modeling, perilaku orang yang dijadikan model dapat berfungsi sebagai pengingat atau isyarat bagi orang yang mengamatinya. Tujuan Modeling

Tujuan teknik modeling yaitu untuk membentuk tingkah laku baru pada klien. Menurut Willis (dalam Ratna, 2013:49) perilaku model digunakan untuk: (1) membentuk perilaku baru pada klien, (2) memperkuat perilaku yang sudah terbentuk. Tujuan teknik modeling lainnya adalah: (1) Membantu konseli untuk merespon hal-hal yang baru, (2) Mengurangi respon-respon yang tidak sesuai, (3) Untuk perolehan tingkah laku sosial yang lebih adaptif. Manfaat Modeling

Manfaat modeling menurut Corey (dalam Ratna, 2013:49) menyatakan bahwa kecakapan-kecakapan sosial tertentu bisa diperoleh dengan mengamati dan mencontoh tingkah laku model-model yang ada. Juga reaksi-reaksi emosional yang terganggu yang dimiliki seseorang bisa dihapus dengan cara orang itu mengamati orang lain yang mendekati objek-objek atau situasi-situasi yang ditakuti tanpa mengalami akibat-akibat yang menakutkan dengan tindakan yang dilakukannya. Dengan kata lain teknik modeling sangat berguna untuk membentuk perilaku-perilaku baru klien melalui cara mengamati dan mencontoh tindakan orang lain sebagai modelnya. Jenis Modeling

Cormier & Cormier (dalam Abimanyu, 1996: 257) mengemukakan ada enam jenis modeling yaitu modeling langsung, modeling simbolis, diri sendiri sebagai model, modeling partisipan, modeling tertutup, dan modeling kognitif. Sedangkan Corey (1995: 427) mengklasifikasikan teknik modeling menjadi tiga jenis yaitu modeling langsung, modeling simbiosis, dan gabungan antara keduanya/ model ganda. Berikut akan diberikan penjelasan mengenai tiga jenis teknik modeling tersebut. 1. Modeling langsung

Modeling langsung merupakan cara/prosedur yang dilakukan dengan menggunakan model langsung seperti konselor, guru, teman sebaya maupun pihak lain dengan cara mendemonstrasikan perilaku yang dikehendaki atau hendaknya dimiliki oleh individu. 2. Modeling simbolis

Modeling simbiosis merupakan cara/ prosedur yang dilakukan dengan menggunakan media seperti film, video, buku, pedoman, dll dengan cara mendemonstrasikan perilaku yang dikehendaki atau hendaknya dimiliki oleh individu. 3. Modeling ganda

Modeling ini relevan digunakan dalam situasi kelompok. Individu dapat mengubah perilaku melalui pengamatan terhadap beberapa model. Prosedur Modeling

Bandura mengembangkan empat tahap belajar melalui modeling, yaitu perhatian, retensi, reproduksi, dan motivasional serta perilaku. 1. Tahap perhatian

Pada tahap perhatian individumemperhatikan model, mengamati dan mengingat bagaimana cara orang lain berpikir dan bertindak.

Prosiding Konferensi Pendidikan Nasional “Penguatan Karakter Bangsa Melalui Inovasi Pendidikan di Era Digital”

111

2. Tahap retensi Pada tahap retensi individu memilih informasi yang masuk, mengingat secara imajiner dan

memberi kesempatan kepada konseli untuk mempraktikkan dan meniru perilaku yang ditampilkan. 3. Tahap reproduksi

Pada tahap reproduksi individu melakukan kembali perilaku yang ditampilkantetapi dengan adanya modifikasi, menyesuaikan diri dengan perilaku model, dan tahap kreatif (tahap mengimajinasikan). 4. Tahap motivasional

Tahap menirukan model karena merasakan bahwa melakukan pekerjaan yang baik akan meningkatkan kesempatan untuk memperoleh penguatan dan melakukan modifikasi terhadap perilaku yang diamati.

Kelemahan dan Kelebihan Teknik Modeling

Kelemahan teknik modeling antara lain:1) Sulit diterapkan untuk individu yang kurang kreatif, 2) Konseli bisa merasakan kebosanan, 3) Tidak selalu mudah untuk mendapatkan model yang relevan dan kredibel.

Kelebihan teknik modeling antara lain: 1) Dengan teknik ini konseli belajar mengembangkan perilaku, pemecahan masalah yang diperlukan dalam kehidupan, 2) Teknik ini tidak membutuhkan alat yang mahal, 3) Menggunakan waktu secara efektif dan efisien karena belajar dimulai dari mengobservasi, bukan langsung dengan cara trial and eror, 4) Konseli berpikir untuk dapat mengatur perilaku mereka, 5) Tidak sulit untuk dipelajari dan di praktikan. SIMPULAN

Anak usia dini adalah kelompok anak yang berada pada proses pertumbuhan dan perkembangan yang bersifat unik. Karena masa kanak-kanak terutama usia 0-5 tahun merupakan masa emas atau sering disebut dengan istilah golden age. Dimana pada masa ini informasi yang diterima dapat mudah terserap. Pada masa ini merupakan penentuan perilaku anak dimasa yang akan datang. Kejujuran merupakan suatu kebiasaan yang sering dilakukan. Oleh karena itu penanaman nilai kejujuran dapat dimulai sejak dini pada masa keemasan anak-anak melalui pendidikan karakter yang dapat diterima melalui orang-orang di sekelilingnya seperti orang tua dan gurunya agar pada masa remaja maupun dewasa telah tertanam nilai kejujuran yang berakar. Teknik modeling merupakan belajar melalui observasi teramati, menggeneralisir berbagai pengamatan sekaligus, melibatkan proses kognitif. Pendidikan karakter dengan teknik modeling memiliki tujuan yang sama yaitu menuju arah perubahan yang lebih baik sehingga untuk menamankan nilai kejujuran melalui pendidikan karakter pada anak usia dini dengan teknik modeling saling berhubungan. DAFTAR PUSTAKA Alwisol. (2009). Psikologi Kepribadian. Malang: UMM Corey, Gerald. (2005). Theory and Practice of Counseling & Psichoterapy. Seventh edition. USA:

Broks/Cole Thompson Direktorat Jendral Pendidikan Anak Usia Dini Nonformal dan Informal tahun 2012 Erford, B.T. (2016). 40 Teknik yang Harus diketahui Setiap Konselor (Edisi Kedua). Yogyakarta: Pustaka

Pelajar Kementrian Pendidikan Nasional. (2010). Panduan Pendidikan Karakter. Jakarta : Kemdiknas Kesuma, Darma., dkk. (2011). Pendidikan Karakter Kajian Teori dan Praktik di Sekolah. Bandung. Rosda

Karya Komalasari, Gantina, dkk . (2011). Teori dan Teknik Konseling. Jakarta: Indeks Lie, Tan Giok. (2007). Pendidikan Dini: Pembentukan Karakter Individu. Bandung: STT INTI Mansur. (2005). Pendidikan Anak Usia Dini dalam Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Mansyur, S dan Rasyid, H. (2009). Asesmen Perkembangan Anak Usia Dini. Yogyakarta: Multi Pressindo Mulyasa, H. E. (2013). Manajemen Pendidikan Karakter. Jakarta: Bumi Aksara Rumiani Ni Wayan, dkk. (2014). “ Penerapan Konseling Behavioral Teknik Modeling Melalui Konseling

Kelompok Untuk MeningkakanMotivasi Belajar Siswa Kelas VIII SMPN 2 Singaraja Tahun Pelajaran 2013/2014”. Universias Pendidikan Ganesha Singaraja. E- Journal Pendidikan Anak Usia Dini, Vol : 2 No : 1

Prosiding Konferensi Pendidikan Nasional “Penguatan Karakter Bangsa Melalui Inovasi Pendidikan di Era Digital”

112

Ratna, Lilis. (2013). Teknik-Teknik Konseling. Yogyakarta: Deepublish Suyanto, S. 2005. Pembelajaran untuk Anak TK. Jakarta: Depdiknas Undang-undang No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional Yaumi, Muhammad. 2014. Pendidikan Karakter: Landasan, Pilar, dan Implementasi. Jakarta:

Prenadamedia Group

Prosiding Konferensi Pendidikan Nasional “Penguatan Karakter Bangsa Melalui Inovasi Pendidikan di Era Digital”

113

PENDIDIKAN KARAKTER DALAM PERSPEKTIF ETIKA KOMUNIKASI DI ERA MASYARAKAT INFORMASI

Rosalia Prismarini Nurdiarti Universitas Mercu Buana Yogyakarta

[email protected]

Abstrak Pendidikan telah menjadi kebutuhan mendasar, sehingga jika tanpa pendidikan manusia seakan telah kehilangan separuh hidupnya. Tetapi sekian waktu berjalan, problem pendidikan justru tidak berkurang. Salah satu yang akan menjadi sorotan adalah pendidikan karakter yang menyentuh aspek sensibilitas-kesadaran, nilai dan moral. Beberapa fenomena menunjukkan kecerdasan sosial cenderung menurun, apalagi di tengah pesatnya perkembangan teknologi informasi hari ini. Dengan melihat fenomena tersebut, tulisan ini hendak menguraikan bagaimana mengembangkan pendidikan karakter pada mahasiswa dalam perspektif etika komunikasi di era masyarakat informasi. Metode yang digunakan adalah kualitatif dengan pendekatan partisipatif dan mengelaborasi pengalaman empiris, serta studi pustaka. Hasil observasi menggambarkan pendidikan karakter berdasarkan tiga dimensi dalam perspektif etika komunikasi. Pertama, dimensi tujuan meliputi nilai-nilai demokrasi dan memberikan informasi yang benar dalam proses pembelajaran. Kedua, dimensi sarana melingkupi tata aturan, sistem kelembagaan dan relasi antar entitas pendidikan. Ketiga, dimensi aksi melihat pada aspek kesadaran moral dan implementasi pendidikan karakter pada lingkungan dan masyarakat. Kata Kunci: dimensi etika, karakter, moral, pendidikan, era digital PENDAHULUAN

Pendidikan karakter kembali menjadi perbincangan hangat dalam ruang publik sejak setahun terakhir ini. Hal tersebut menguat sejak diterbitkannya Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 87 Tahun 2017 tentang Penguatan Pendidikan Karakter (PPK). Perpres ini diyakini sebagai jalan keluar jangka pendek berkaitan dengan polemik Permendikbud Nomor 23 Tahun 2017 tentang Hari Sekolah. Melalui peraturan yang baru diterbitkan itu, setiap sekolah diberi kuasa untuk menentukan sekolah 6 hari atau 5 hari dalam sepekan. Secara normatif, PPK ini menjadi salah satu cara untuk membangun dan membekali anak Indonesia sebagai generasi emas pada 2045. Bila menilik dari tujuan Perpres tersebut menargetkan pada penguatan nilai – nilai religius, jujur, toleran, disiplin, bekerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, komunikatif, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial dan bertanggungjawab1.

Nilai – nilai Pendidikan karakter tersebut terangkum dalam kurikulum yang sudah dikemas sedemikian rupa. Namun sayang, apa yang menjadi spirit dari PPK ini tidak linier dengan kondisi yang terjadi di lapangan. Beberapa kasus yang mengemuka, bertentangan dengan nilai-nilai yang dipaparkan tersebut. Awal tahun 2018 dikejutkan dengan pemberitaan seorang siswa SMAN Sampang, Madura yang menganiaya seorang Guru hingga berujung pada kematian, ini disebabkan karena rasa kesal sang siswa setelah ditegur karena kurang memperhatikan pelajaran yang diberikan2. Peristiwa lain yang juga marak adalah tindakan bullying di kalangan pendidikan. Berdasarkan riset yang dilakukan LSM Plan International dan International Center fo Research on Woman (IRCW) pada 20153, terdapat 84 persen anak Indonesia mengalami bullying. Data tersebut lebih tinggi dari negara-negara lain di Kawasan Asia, yakni sebesar 70 persen. Selain bullying, pada akhir 2017 juga sempat viral di media sosial aksi kekerasan yang dilakukan oleh oknum Guru di Pangkalpinang-Bangka Belitung. Dari data KPAI diperoleh bahwa kasus penanganan kekerasan di sekolah mencapai 34 persen dari total kasus yang terhirung dari

1 https://tirto.id/pendidikan-karakter-dari-pengalaman-negara-lain-cwck akses 5 September 2018 2 https://regional.kompas.com/read/2018/02/03/10041991/penganiayaan-guru-oleh-siswa-di-sampang-begini-

kronologinya akses 5 September 2018 3 http://radarsemarang.com/2017/09/23/stop-bullying-dengan-penguatan-pendidikan-karakter/ akses 5 September

2018

Prosiding Konferensi Pendidikan Nasional “Penguatan Karakter Bangsa Melalui Inovasi Pendidikan di Era Digital”

114

pertengahan Juli hingga awal November 20174. Beberapa problem tersebut adalah potret sekelumit dari spesies-spesies masalah di dunia Pendidikan yang lebih rumit dan kompleks.

Hadirnya peraturan tentang pendidikan karakter tidak serta merta menjadi jawaban atas masalah- masalah pendidikan yang ada. Perlu pembiasaan dan keteladanan yang dilakukan dari pihak keluarga sebagai lingkungan terkecil yang mengajarkan pertama kali penanaman nilai- nilai tersebut. Membaca persoalan Pendidikan pada kasus-kasus yang manifes dan spontan agak lebih mudah. Sebaliknya, perlu analisis mendalam pada soal Pendidikan yang lebih diakibatkan dari akar problem yang lebih terstruktur dan sistematis. Isu tentang mahalnya biaya Pendidikan, privatisasi dan swastanisasi Pendidikan, problem kesejahteraan guru, kekacauan sistem ujian nasional, kekerasan dunia Pendidikan, problem kebijakan anggaran sampai menurunnya kualitas nak didik hanyalah sebagian tampakan masalah Pendidikan yang hingga hari ini terus mengemuka. Kerumitan dalam pembacaan tentang “problem pendidikan”, hadir sejalan dengan kerumitan menemukan problem mendalam tentang “manusia” dan “kemanusiaan”. Bagaimana nalar Pendidikan meletakkan “subyek manusia” dalam seluruh orientasi yang dikembangkannya.

Ketegangan yang bertahan hingga hari ini adalah upaya mendiskusikan pijakan gagasan pendidikan yang berorientasi pada spirit “humanisme” yang lebih “antroposentris”, dengan pijakan pendidikan yang lebih berorientasi pada “teosentrisme” dengan keutamaan “religiositas”, “akhlak” dan “moralitas”. Keduanya tidak untuk diakhiri dengan sebuah perdebatan bahwa pendekatan “kemanusiaan” lebih membumi daripada ajaran-ajaran doktrin tentang Ketuhanan, ataupun sebaliknya. Dua orientasi tersebut seharusnya bisa ditemukan simpul sintesanya, sehingga mampu diintegrasikan bersama-sama, akhirnya tawaran solusi atas problem pendidikan menjadi cukup beragam. Secara historis problem pendidikan bertumbuh seiring dengan pertumbuhan Indonesia sebagai bangsa. Pendidikan bukanlah entitas yang berdiri sendiri. Ada mata rantai yang kerap teruputus dalam membaca proses pendidikan. Hingga beberapa penelitian berkaitan dengan hal mendasar, salah satunya pendidikan karakter, mencoba untuk mengurai benang kusut tersebut.

Penelitian yang dilakukan oleh Saiful Bahri melihat tentang fenomena dekadensi moral di kalangan para remaja karena pengaruh perkembangan teknologi. Secara khusus menyorot media internet sebagai salah satu mata rantai yang memberikan dampak lunturnya budaya – budaya lokal dan berkurangnya rasa nasionalisme karena pengaruh budaya luar. Dengan mencermati sikap remaja yang mengikuti perkembangan mode, mulai fashion, gaya rambut, cashing handphone, cara makan hingga cara bertutur yang kurang sopan. Berangkat dari peristiwa tersebut, riset ini menawarkan sebuah implementasi integrasi Pendidikan karakter di sekolah yang dilakukan dalam tiga wilayah, yaitu melalui pembelajaran, ekstrakurikuler dan melalui budaya sekolah. Pada kegiatan pembelajaran dirancang agar peserta didik mengenal, menyadari atau peduli dan menginternalisasikan nilai-nilai dan menjadikannya perilaku. Sementara di lingkungan sekolah, menumbuhkan budaya sekolah yang efektif dan berkarakter baik itu kepala sekolah, para pendidik dan juga kerjasama dengan masyarakat (Bahri, 2015, p.69-74)

Penelitian berikutnya melihat Pendidikan karakter dalam perspektif kebangsan. Dalam program pembelajarannya, demi memperkuat rasa kebangsaan mencoba dengan menghilangkan etnosentrisme, prasangaka, diskriminasi dan stereotipe. Peserta didik juga tetap diperkenalkan dengan budaya lokal, dijak berpikir tentang apa yang ada di sekitarnya serta diajak berpikir secara internasional dengan tetap peduli pada kondisi sosio budayanya (act locally and globally). Pendidikan karakter dengan pendekatan pembangunan karakter bangsa ini berprinsip pada : meaningful bagi perannya sebagai figur generasi bangsa. Kedua, integratif bagi perannya dalam membangun persatuan dan kesatuan, berbasis nilai (value based) bagi perannya sebagai gerakan moral. Challenging bagi perannya dalam menyongsong masa depan, aktif bagi perannya sebagai dinamisator bangsa. Pendidikan karakter dengan perspektif ini juga dapat membekali generasi bangsa dengan pengetahuan, sikap yang berpangkal pada kebijakan dengan sejumlah nilai moral serta ketrampilan sebagai kompetensi yang dapat berkontribusi bagi eksistensi dan kemajuan hidup berbangsa dan bernegara (Setiawan, 2017, p. 23-24)

Berkaitan dengan perkembangan teknologi dan pendidikan, sebuah penelitian menyoroti tentang integrasi tujuan pendidikan nasional abad 21 dengan domain Digital Age Literacy. Integrasi yang dimaksud adalah menetapkan standar pendidikan yang sesuai dengan karakter pendidikan di Indonesia pada domain Digital Age Literacy. Kemampuan literasi di abad 21 tidak hanya terbatas pada kemampuan 4 https://news.okezone.com/read/2017/11/06/65/1809180/oknum-guru-aniaya-murid-hingga-pingsan-kpai-temui-

mendikbud akses 5 September 2018.

Prosiding Konferensi Pendidikan Nasional “Penguatan Karakter Bangsa Melalui Inovasi Pendidikan di Era Digital”

115

membaca, mendengar, menulis dan berbicara secara lisan, namun lebih daripada itu, kemampuan literasi ditekankan pada kemampuan literasi yang terkoneksi satu sama lainnya di era digital. Literasi tersebut mencakup beberapa komponen, yakni : literasi dasar-kemampuan bahasa dan matematis. Literasi sains- pemahaman tentang konsep dan proses sains. Literasi teknologi, pengetahuan tentang apa itu teknologi, bagaimana cara kerjanya dan cara menggunakan secara efektif dan efisien. Literasi ekonomi, literasi visual, literasi informasi, literasi multikultural dan terakhir kesadaran global (Afandi, dkk, 2016, p. 116-117).

Beberapa landskap penelitian di atas mencoba memberikan analisis dan hasil konstruksi sebuah pendidikan karakter di era digital dengan kontribusi pada perspektif literasi, lalu pendidikan karakter dengan perspektif kebangsaan dan pendidikan karakter yang berusaha dilihat dalam domain proses pembelajaran dan budaya di lingkungan sekolah, ditinjau dari bangunan kurikulum hingga entitas yang terlibat serta menjadi bagian di lingkungan pendidikan. Oleh karena itu, pada tulisan ini hendak mengupas tentang pendidikan karakter melalui perspektif etika komunikasi di era digital. Sebagai pintu masuk melihat permasalahan ini, akan berangkat dari fenomena tentang komunikasi antara mahasiswa dan dosen melalui media sosial, salah satunya Whatsapp. Perkembangan teknologi membawa perubahan pada nalar dan pola komunikasi. Perbedaan gaya komunikasi generasi milenial dengan genarasi kalangan dosen, ditengarai menjadi polemik tersendiri. Sehingga Universitas Indonesia menerapkan aturan baku dalam etika berbahasa dengan dosen. Hal ini kemudian diikuti oleh kampus terkemuka lain seperti UGM, ANAIR, UNPAD dan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta5

Evolusi dan inovasi yang ada pada era digital menunjukkan pembaharuan pada perangkat lunak dan keras, tapi lebih dari itu manusi sebagai entitas yang menggunakannya juga dipengaruhi oleh teknologi, mulai dari cara berinteraksi hingga pola pikir mereka. Praktik sosial maupun nilai-nilai dari komunikasi dan interaksi antar pengguna yang muncul di ruang siber memunculkan sebuah budaya siber. Kemudian, budaya tersebut diproduksi, didistribusikan dan dikonsumsi melalui jaringan internet dan jaringan yang terbentuk antara pengguna. Hubungan offline dengan online di ruang media sosial dalam perspektif kebudayaan melihat bagaimana interaksi diantara pengguna media sosial melahirkan nilai, dan nilai itu menjadi semacam aturan yang berlaku universal. Realitas yang di media sosial dilihat melalui konsep konten dan bentuk. Lebih jauh, sebuah aksi dari komunikasi dan interaksi yang terjadi di ruang virtual harus dilihat pula dari apa yang membawa (site) komunikasi itu dan apa yang tampak dari yang disampaikan (surface) (Taylor dan Every dalam Nasrullah, 2015, p. 59, 75).

Realitas ruang virtual ini rentan terhadap ketegangan, manipulasi informasi hingga kekerasan verbal maupun non verbal. Semakin rumit ketika pendidikan karakter menghadapi tantangan era informasi dan digital yang akan acap berbenturan dengan kebebasan berkespresi, yang sering berujung pada kritik hingga menyerang masing-masing pribadi. Maka perlu untuk memahami sejauh mana rambu- rambu yang bisa diterapkan dengan melihat pada beberapa perspektif etika berikut. Kerangka etisnya terutama terletak pada bahasa yang merupakan derivasi dari teori tindakan komukasional Habermas. Model ini mengandaikan partisipan berupaya mencapai kesepahaman dan potensi rasionalitasnya agar dapat memenuhi tiga pendakuan kebenaran ; kebenaran pernyataan, ketepatan rumusan tindakan yang legitim dan konteks normatifnya, serta ketulusan komunikasi pengalaman yang dihayati secara subyektif. Di sisi lain, tindakan komunikasional terkait dengan tiga dunia, yakni dunia obyektif, dunia sosial dan dunia subyektif (Haryatmoko, 2011, p. 40-41).

Gagasan Jurgen Habermas (Narwaya, 2015, p.9-10) tentang tindakan komunikasional banyak mengandaikan bahwa jenis relasi komunikasi yang terbentuk harusnya menjadi ‘medium’ dan ‘ruang’ saling pemahaman. Ia terhindar dari manipulasi, pengkondisian, dan tipuan. Teori tindakan komunikasi Habermas dengan dimensi interaksi bahasanya menyumbang cukup berharga bagi penciptaan pemahaman tindakan komunikasi yang bisa meminimalisir distorsi. Ia sekaligus membangun fondasi etis untuk visi baru komunikasi bagi masyarakat modern. Apa yang terpenting dari komunikasi manusia adalah cara menemukan kesamaan dasar dan membangun “konsensus makna” dengan pihak lain secara egaliter. Terciptanya konsensus amat penting untuk mendorong rasionalitas komunikasi yang bisa menjembatani berbagai perbedaan dan distorsi lintas budaya manapun. Ketakutan akan meluasnya problem keretakan

5 https://news.okezone.com/read/2017/10/07/65/1790742/waduh-beda-generasi-kampus-terapkan-etika-

berkomunikasi-antara-dosen-mahasiswa akses 5 September 2018.

Prosiding Konferensi Pendidikan Nasional “Penguatan Karakter Bangsa Melalui Inovasi Pendidikan di Era Digital”

116

dan krisis pendidikan karakter akibat era digital ini akan semakin mendapat lahan basahnya jika masyarakat, negara dan juga peran institusi pendidikan tidak bersama-sama mendialogkan problem ini. METODE

Tulisan ini menggunakan metode kualitatif dengan jenis penelitian studi pusta. Ada beberapa kunci utama dalam penelitian literatur (pustaka) dengan pendekatan kualitatif, yaitu : peneliti sebagai instrument utama yang membaca literatur secara akurat. Kedua peneliti melakukannya secara deskriptif, yang berarti menderskripsikan dalam bentuk narasi dan bukan angka. Penelitian studi literatur lebih menekankan pada proses dan bukan hasil, karena beberapa literatur yang dikerjakan dengan multi interpretasi. Berkaitan dengan analisis yang dilakukan akan cenderung bersifat induktif, karena mengumpulkan data – data empiris yang ada melalui media maupun dokumen yang lain. Proses pemaknaan dan analisis menjadi poin utama dalam sebuah studi literatur (Bahri, 2015, p.60).

Berkaitan dengan studi literatur, ada kemungkinan peneliti membuang sebagian data yang diyakini kurang relevan, dan diganti dengan pandangan teoritik yang lain. Beberapa tujuan dalam studi literatur adalah memperoleh pijakan untuk dapat mengemukakan penjelasan-penjelasan teoritik tentang pendekatan yang digunakan peneliti dalam menjawab pertanyaan penelitian. Memperoleh ilustrasi penelitian sejenis baik dilihat dari segi metode dan atau prosedur penelitian yang digunakan maupun temuan yang dihasilkan peneliti lain. Membantu menemukan catatan kritis terhadap penelitian lain yang sudah ada, baik berkenaan dengan prosedur penelitian maupun pendekatan-pendekatan yang digunakan. Di sisi lain juga dapat mengemukakan gagasan mengenai posisi hasil (temuan) penelitian yang dilakukan diantara hasil (temuan) penelitian lain (Pawito, 2008, p.82-83).

Metode pengumpulan data yang digunakan adalah metode dokumentasi. Data terkait dengan variabel yangb berupa buku, catatan, media online, jurnal dan juga pengalaman observasi empiris oleh peneliti. Media online yang dijadikan rujukan adalah beragam kasus terkait dengan pola komunikasi dosen dan mahasiswa melalui telepon genggam, bullying, tindak kekerasan oleh siswa maupun Guru dan beberapa kasus lain yang relevan dalam penelitian ini. Liteatur utama berkaitan dengan gagasan Habermas dan juga buku- buku yang banyak membahas tentang etika komunikasi. Beberapa jurnal dengan tema penelitian pendidikan karakter juga menjadi rujukan sebagai isu utama yang akan dikaji dan dielaborasikan dengan perspektif etika komunikasi.

Teknik analisis data yang digunakan adalah deskriptif analisis dengan menggunakan serangakain konsep logis yang dipakai untuk mengkonstruksikan sejumlah konsep. Tata pikir yang digunakan adalah perseptif, ini untuk mepersepsi data yang sesuai dan relevan dengan pokok permasalahan yang diteliti. Kedua tata fikir deskriptif, digunakan untuk mendeskripsikan data secara sistematis sesuai dengan sistematika pembahasan dalam penelitian (Moleong dalah Bahri, 2017, p. 60). Peneliti menarik kategori konseptual dari fakta dan data yang ada dalam dokumen yang dijadikan rujukan. Apa yang ditemukan tidak dimaksudkan untuk digeneralisir, tetapi akan ditemukan kekhasan analisis sesuatu dengan rumusan masalah yang telah diangkat. HASIL DAN PEMBAHASAN Pengembangan Karakter dalam Berkomunikasi di Era Digital

Beberapa nilai dalam penguatan pendidikan karakter yang telah diundangkan oleh Pemerintah adalah nilai kejujuran, demokratis dan komunikatif. Secara khusus etika komunikasi di Perguruan Tinggi akhir-akhir ini mulai dipertanyakan. Salah satu yang marak adalah terkait dengan aturan menghubungi Dosen melalui telpon genggam. Beberapa poin yang dituliskan dalam aturan tersebut yaitu ; Waktu yang tepat dalam menghubungi Dosen, sapaan atau salam untuk mengawali pembicaraan, ucapan kata maaf untuk menunjukkan sopan santun dan kerendahan hati, menyampaikan identitas di awal percakapan. Hal lain yang ditekankan ialah penggunaan bahasa yang digunakan mudah dimengerti disertai dengan tanda baca dan dalam konteks formal, tanpa menyingkat kata atau menghindari kata ganti non formal. Pesan yang disampaikan singkat dan jelas, serta terakhir pesan ditutup dengan mengucapkan terimakasih atau salam . Kesenjangan dalam berkomunikasi dan misinterpretasi dalam mengirimkan pesan ini dapat berujung pada kerenggangan relasi Dosen dan mahasiswa. Ada beberapa kasus terkait etika komunikasi yang tidak hanya menyasar pada relasi di dunia maya, tetapi juga yang lebih penting adalah etika berkomunikasi saat tatap muka di kelas dan dalam proses pembelajaran.

Prosiding Konferensi Pendidikan Nasional “Penguatan Karakter Bangsa Melalui Inovasi Pendidikan di Era Digital”

117

Melihat persoalan ini tampaknya kurang tepat jika hanya dari sudut permukaan saja, “sekedar” sopan santun dalam berkomunikasi atau penghormatan terhadap yang lebih tua. Tetapi terjadi “lompatan” cara bertutur yang diperantarai oleh teknologi dalam hal ini telepon genggam. Tulisan di saat yang sama, memiskinkan bahasa kita dengan mereduksi bahasa lisan yang hidup dengan bahasa tubuh, cara bercakap-cakap dan intonasi suara kepada sesuatu yang tetap dan kaku (Liem, 2012, p.94). Ketika seseorang menyampaikan pesan (tulisan) melalui whatsapp atau media sosial lain, tidak pernah diketahui bagaimana sesungguhnya reaksi orang yang membacanya. Kemudian yang hadir dalam benak pembaca pesan adalah sebuah perkiraan, persepsi atau bahkan prasangka. Meskipun beberapa fitur telepon pintar hari ini membantu kita memahami ekspresi lawan bicara melalui video call, voice note maupun aplikasi seperti skype tetap belum mampu menggantikan sentuhan dan face to face. Logika “pesan singkat” di media sosial telah turut mereduksi kedalaman informasi dan pesan yang disampaikan. Media baru memberi harapan bahwa “setiap orang” bisa melakukan pilihan apapun dengan bebas.

Dalam mengembangkan pendidikan karakter di tengah perkembangan teknologi dan masyarakat informasi, sangat diperlukan etika di media sosial dengan demikian latar belakang munculnya spanduk etika berkomunikasi dengan dosen melalui telepon genggam bisa dimengerti. Beberapa alasan yang menjadi latar belakang adalah komunikasi yang terjadi di media sosial cenderung didominasi oleh teks semata. Teks tentunya memerlukan upaya penafsiran dan pembentukan serta proses yang berlangsung secara terus-menerus. Sementara itu pengguna media sosial ini heterogen latar belakang maupun lingkungannya. Perbedaan ini disadari atau tidak membawa kebiasaan dan aturan yang berbeda. Belum lagi jika berkaitan dengan norma yang berlaku di masyarakat seperti norma sosial dan agama, perbedaan tersebut bisa berdampak negatif dan positif. Media sosial tidak serta merta dianggap sebagai media yang berbeda di dunia nyata. Hubungan antara pengguna dengan perantara teknologi di media sosial pada kenyataannya merupakan trasnformasi dari hubungan di dunia nyata. Meski etika di media sosial telah ada, sifat internet (alat komunikasi lain) memiliki peluang terhadap pelanggaran- pelanggaran dan perbuatan yang kontraproduktif (Nasrullah, 2015, p. 183-184).

Peluang atas pelanggaran – pelanggaran tersebut berusaha diminimalkan dengan memperkuat pendidikan karakter yang mengutamakan nilai demokrasi, kejujuran, kepedulian dan nilai-nilai lain yang menjadi mandat dari Undang-Undang. Nilai – nilai tersebut terkandung dalam kerangka etika, sebelumnya akan dijelaskan konsep dan makna etika dalam penerapan sehari-hari. Etika sendiri bisa dimengerti sebagai sarana orientasi bagi usaha manusia untuk menjawab suatu pertanyaan yang amat fundamental : bagaimana saya harus hidup dan bertindak. Jika ajaran moral dimaksudkan sebagai ajaran-ajaran, petuah, peraturan dan patokan tindakan tentang bagaimana manusia harus hidup dan bertindak agar ia menjadi manusia baik. Sementara etika, merupakan filsafat atau pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaran dan pandangan moral. Etika bukan menjadi sarana untuk menuju kebaikan, tetapi memhami secara kritis mengapa sebuah moralitas tertentu harus kita pegang dan kita jalankan. Etika memeriksa berbagai praktik nilai dan dasar-dasar moralitas hidup manusia (Narwaya, 2015, p. 4).

Pada sikap dasar yang ada dalam penguatan pendidikan karakter, bisa ditelusuri mengapa pemerintah merumuskan nilai-nilai itu. Dimensi demokrasi yang hendak diinternalisasikan dalam pendidikan karakter apakah mampu membawa pada sebuah transformasi sosial. Jika ditilik lebih jauh fenomena hari ini masih muncul sikap arogansi dari aliansi-aliansi politik. Di lingkungan pendidikan bisa dicermati bagaimana kasus oknum pendidik yang menganiaya atau melakukan tindakan kekerasan lain pada muridnya. Penanaman pendidikan karakter seyogyanya memberi kesempatan juga bagi peserta didik untuk mengerti dan memahami pengalaman komitmen, kekuasaan, dan tanggungjawab yang bekerja pada dirinya dan melalui mereka di luar sekolah. Pesatnya arus industri budaya seperti game, internet, iklan maupun multimedia membuat urgensi perspektif etika dalam pendidikan karakter semakin menguat. Berangkat dari perspektif etis ini membawa kontribusi pemahaman bahwa pendidikan bukan sekedar transfer pengetahuan tetapi bagaimana menghadapi persoalan. Para siswa / mahasiswa perlu dibekali dengan sikap kritis ilmiah dalam memecahkan masalah- masalah sosial.

Oleh karena itu etika komunikasi selalu dihadapkan pada harapan untuk mengembangkan demokrasi secara baik. Hak berkomunikasi dalam ranah publik merupakan hak yang dimiliki oleh setiap orang. Ketika hak ini disalahgunakan di era keterbukaan infomasi, maka akan memicu kebebasan yang akan melanggar hak asasi orang lain tak terkecuali di bidang pendidikan. Secara garis besar, pemahaman etika komunikasi ini penting untuk mengurai dimensi-dimensinya. Pertama, yang langsung terkait dengan perilaku komunikasi (Haryatmoko, 2011, p.43). Aspek etisnya ditunjukkan pada kehendak baik untuk bertanggungjwab. Jadi dalam sebuah pendidikan karakter, esensi tanggungjawab bukanlah kondisi

Prosiding Konferensi Pendidikan Nasional “Penguatan Karakter Bangsa Melalui Inovasi Pendidikan di Era Digital”

118

antagonis ataupun pembatasan pda kebebasan. Jika dimaknai sebagai pembatasan, maka yang terjadi tanggungjawab hanya dimengerti sebagai prasyarat instrumental yang pada dirinya bisa dilanggar dengan mudah. Sejatinya bila tanggungjawab semakin tinggi, manusia akan mengaktualisasikan kebebasannya secara lebih. Akhirnya sikap bertanggungjawab dalam memperjuangkan kebebasan harus dilakukan dengan penuh kesadaran dan terbuka dengan menghindari upaya manipulasi demi pelarian dari tanggungjawab.

Dimensi kedua, ialah dimensi sarana yang lebih banyak menjawab etika strategi. Aspek moral terletak pada upaya menegakkan asas keadilan dan kesetaraan. Keadilan ini merujuk pada keadilan prosedural yang menyangkut aturan dan proses. Sementara kesetaraan bercermin pada akses keterbukaan informasi publik dan pemberdayaan publik melalui asosiasi warga negara (Haryatmoko, 2011, p.49). Maka penanaman pendidikan karakter dengan dimensi sarana ini, memberikan pemahaman pada anak didik bahwa peraturan atau hukum yang ada di lingkungan pendidikan harus mampu menjadi pengawas dan kontrol untuk mencegah penyalahgunaan dan ketidakadilan, serta mengantisipasi langgengnya sebuah kekuasaan. Pendidikan karakter kiranya penting untuk menumbuhkan kesadaran akan kebijakan- kebijakan dalam sistem pendidikan yang tidak berorientasi untuk memanusiakan manusia. Sebagai turunan dari kesetaraan, pendidikan karakter seharusnya memahami tentang literasi informasi dan media agar masyarakat semakin mandiri dan kritis menjadi bagian dari perjuangan yang egaliter.

Dimensi ketiga, adalah dimensi menyangkut nilai demokrasi terutama kebebasan berkespresi, kebebasan pers dan juga informasi yang benar. Dimensi ini terkait dengan meta etika yang mau merefleksikan masalah status, rasionalitas atau legitimasi aktor komunikasi (Haryatmoko, 2011, p.50-51). Melalui pendidikan karakter akan nilai demokrasi wacana dan pendekatan etika dalam hal kebebasan berekspresi dan hak akan informasi menemukan muaranya. Di bidang pendidikan, kebebasan berkeskpresi ini mewujud melalui pengembangan kreatifitas anak didik dan kemampuan pendidik dalam memberikan keteladanan. Dalam beberapa hal kebebasan berekspresi ini beririsan dengan persoalan hormat terhadap kehidupan pribadi, praduga tak bersalah, hak akan nama baik, dan hak akan citra diri. Jika hal ini tidak ditanamkan, maka kebebasan berekspresi bisa jatuh pada pemaknaan kebebasan tak terbatas sehingga melanggar hak – hak orang lain. Di sisi lain, penempaan karakter berbasis juga pada pemberian informasi yang benar. Di tengah bertebarannya berita hoax masalah kebenaran informasi ini menjadi bagian mendesak dari cara lingkungan pendidikan dalam mengemban tanggungjawab moral dan sosial pada publik.

Dimensi- dimensi etika di atas akan menjadi pegangan ketika terjadi perubahan dan pembentukan wajah kekinian budaya komunikasi secara lebih luas. Hadirnya etika dalam menghubungi dosen lewat smartphone, hanyalah potret sebagian kecil bahwa bentuk teknologi virtual turut menyumbang pada transformasi “peradaban material” baru, dan sekaligus berkontribusi pada dinamika sistem kebudayaan masyarakat yang kian pesat. Teknologi di era masyarakat informasi hari ini tidak hanya dikonsepsikan sebatas persoalan “perangkat teknis”, tetapi sebuah entitas maha luas yang menjadi bagian utuh dari bangunan karakter peradaban manusia. Modernitas membawa pembaharuan dan emansipasi manusia, tapi di sisi lain justru mengangkut potensi krisis kemanusiaan, terutama lunturnya kohesi dan solidaritas sosial. Beberapa menjadi lebih senang bersikap egois, acuh dan mementingkan dirinya sendiri. Sehingga memunculkan sikap primordial yang berjalan seiring dengan semangat “anti dialog” dengan “yang lain”. Pendidikan Karakter Melalui Spirit Tindakan Komunikasional

Ketika masyarakat modern terobsesi dengan teknologi sebagai sarana, maka “alat kemudian menjadi tujuan darinya. Hingga seolah-oleh kehadiran teknologi dapat menyelesaikan semuanya, tidak terkecuali saat komunikasi dengan pendidik disederhanakan cukup dengan bertanya, mengirim pesan atau berkonsultasi melalui media. Pada satu sisi penggunaan teknologi dilihat dari aspek interaksional antara manusia sebagai individu ataupun masyaakat dengan lingkungan teknologinya. Teknologi menjadi sebuah sistem. Dunia di bawah sistem teknologi dikuasai oleh teknologi dengan rasionalitasnya yang bersifat teknis, instrumental, berorientasi pada penyelesaian masalah serta efisiensi. Maka bagi Habermas (Lim, 2012, p.19-20) bukan teknologi pada dirinya yang mengancam kebebsan manusia, melainkan gangguan dalam dimensi komunikatif, Dalam sistem dunia teknologis harus ada rasionalitas komunikatif untuk menjadikannya lebih manusiawi. Di era digital yang begitu massif, pendidikan karakter dengan memasukkan spirit rasional komunikatif (tindakan komunikasional) ini menjadi salah satu yang utama untuk membentuk budaya komunikasi manusia yang lebih bermartabat.

Prosiding Konferensi Pendidikan Nasional “Penguatan Karakter Bangsa Melalui Inovasi Pendidikan di Era Digital”

119

Tindakan Komunikasional yang digagas Habermas memiliki keyakinan bahwa tindakan antarmanusia atau interaksi dalam masyarakat tidak terjadi “semena-mena”, tetapi bersifat rasional. Sifat rasional tindakan mengacu pada persetujuan (Einverstandnis) atau konsensus (Konsens). Tindakan manusia bersifat rasional, karena tindakan itu berorientasi pada konsensus atau pencapaian kesepakatan. Jadi rasio komunikatif “membimbing” tindakan komunikatif untuk mencapai tujuannya, yaitu bersepakat mengenai sesuatu atau mencapai konsensus tentang sesuatu. Rasio komunikatif mengarahkan seluruh proses memakai bahasa, ungkapan – ungkapan non verbal dan pengambilalihan perspektif orang lain sedemikian rupa, sehingga dapat saling mengerti satu sama lain. Saling mengerti adalah syarat mutlak pencapaian konsensus bebas kekerasan. Dalam prakteknya sebuah interaksi sosial tidak hanya ditandai oleh konsensus yang dicapai secara rasional dan bebas tekanan, melainkan juga ditandai oleh paksaan dan kekerasan. Bagi Habermas, percakapan juga berfungsi sebagai medium kekuasaan yang mampu mempengaruhi bahkan memaksakan kehendak (Hardiman, 2013, p.34-36).

Proses pendidikan karakter jika ditilik lebih jauh bisa dikembangkan dengan menggunakan pendekatan etika komunikasi dari Habermas ini. Karakter merupakan cara berpikir dan berperilaku yang menjadi ciri khas setiap individu untuk hidup dan bekerjasama dalam lingkungan keluarga, masyarakat dan negara. Individu yang berkarakter adalah individu yang bisa membuat keputusan dan siap bertanggungjawab sebagai konsekuensi dari keputusan yang dibuatnya (Suyatno dalam Setiawan, 2017, p.21). Sebagaimana yang sudah dijelaskan sebelumnya esensi tanggungjawab akan menemukan rohnya ketika seseorang memahami makna kebebasan sebagai bagian otonom yang melekat dalam dirinya serta kesadaran akan setiap pilihan pertimbangan dan keputusannya. Ini kemudian dikuatkan oleh Thomas Lickona bahwa pendidikan karakter adalah pendidikan budi pekerti yang melibatkan aspek pengetahuan (cognitive), perasaan (feeling) dan tindakan (action). Tanpa ketiga aspek ini pendidikan karakter tidak akan efektif (Setiawan, 2017, p.21). Ketika tiga elemen ini diintegrasikan dimungkinkan bisa melalui proses tindakan komunikatif yang telah dicetuskan oleh Habermas.

Pendidikan karakter dalam spirit tindakan komunikasi, diawali dengan menelisik bahwa dalam komunikasi diambil tiga macam sikap performatif terhadap dunia. Petama dunia obyektif (alam), kedua dunia subyektif (individu), ketiga dunia intersubyektif (masyarakat). Pada saat kita berbicara tentang kenyataan empiris, tentang pengambilan sikap sosial-normatif dan tentang pengalaman – pengalaman subyektif, kita mengarahkan pendapat, alasan atau pernyataan kita berturut – turut pada ketiga dunia tersebut. Para pelaku tindakan komunikatif mengeluarkan klaim-klaim kesahihan, yaitu klaim bahwa pernyataan mereka itu benar, tepat dan jujur. Sehingga kita dapat memahami ketiga dunia tersebut sebagai dimensi kesahihan dari pernyataan – pernyataan (Hardiman, 2013, p.37). Maka, keberhasilan sebuah proses komunikasi tergantung kemampuan pendengar untuk “menerima atau menolak” klaim kesahihan itu. Artinya, klaim tersebut harus serentak benar, tepat dan jujur supaya lawan bicara dapat mengambil sikap. Oleh karenanya dalam mencapai sebuah konsensus diperlukan penerimaan serentak klaim kebenaran, ketepatan dan kejujuran ini.

Nilai demokrasi, kejujuran dan komunikatif yang diinternalisasikan dalam sebuah pendidikan karakter kiranya perlu melihat pertama pada dunia obyektif. Dunia obyektif mengandaikan keseluruhan entitas dimana pernyataan yang benar dimungkinkan. Secara konkrit hal ini berhubungan dengan kondisi yang koheren antara yang diucapkan dengan realitas atau kondisi yang sebenarnya. Sebuah pendidikan karakter akan melihat sejauh mana seorang mampu obyektif dalam memberikan keputusan dan pertimbangan. Ketegangan seringkali muncul ketika keputusan yang diambil bersifat sangat subyektif hingga lebih menitikberatkan pada kepentingan pribadi atau golongan. Sebuah konsensus akan relatif mudah dicapai apabila pembicara dan pendengar selalu berdiri di dalam tradisi- tradisi kultural yang mereka pakai sekaligus mereka perbaharui. Varibel lain yang juga penting adalah akses yang adil bagi semua untuk menentukan apa dan bagaimana pesan yang harus dikonsumsi oleh masyarakat. Beberapa aturan hukum dan aturan main dalam sistem pendidikan perlu ditegaskan kembali, supaya individu – individu di dalamnya benar- benar mampu memahami kondisi obyektif pendidikan hari ini.

Ide berikutnya berhubungan dengan tindakan komunikasional dalah dunia subyektif. Dalam pendidikan karakter, poin kedua ini juga urgen karena dunia subyetif menempatkan keseluruhan pengalaman subyek yang pernah dihayati dan dibatinkan dalam hidupnya. Di sini terkandung dimensi kebahasaan dan klaim kejujuran. Melalui pengalaman – pengalaman subyektif yang pernah dialami, individu memiliki kekayaan dalam proses interpretasi bahasa dan pesan serta. Dalam proses percakapan atau dialektika yang terjadi sehari-hari, acapkali bahasa yang dipakai menjadi sangat mendeterminasi, mengancam atau mengintimidasi. Lontaran berbau sara secara khusus di dunia maya turut menambah

Prosiding Konferensi Pendidikan Nasional “Penguatan Karakter Bangsa Melalui Inovasi Pendidikan di Era Digital”

120

kerumitan pola-pola interaksi dan komunikasi yang terjadi. Apalagi menyadari bahwa bahasa diajarkan pertama kali pada lingkungan keluarga, perlu kiranya disadarkan kembali bahwa pengalaman berbahasa, mencerna pesan dan proses interpretasi itu dipupuk dari keluarga sebagai lingungan inti. Pendidikan karakter yang mungkin untuk dikembangkan adalah ketika peserta didik mampu menjembatani perbedaan dari mozaik pengalaman keluarga, teman dan orang- orang di sekitarnya, untuk kemudian menyelaraskan dan mengkoordinasikan tindakan untuk sesuatu yang lebih bermanfaat bagi kehidupan mereka.

Tindakan komunikasional tidak terlepas dari dunia intersubyektif yang melibatkan masyarakat di dalamnya. Tujuan sebuah diskursus adalah pemahaman timbal balik atas norma- norma yang telah dipatuhi bersama. Catatan khususnya adalah bahwa konsensus yang dihasilkan dalam keputusan tersebut harus juga dapat diterima oleh mereka yang tidak hadir, artinya memiliki prinsip “universalisasi” (U). “U” ini dipakai khususnya dalam diskursus untuk mencari pendasaran moral. Misal, diskursus tentang apakah negara boleh mengintervensi wilayah privat, jika terjadi kekerasan di dalamnya atau tentang larangan/izin cloning manusia ? Habermas menyamakan “U” ini dengan “prinsip moral” (Hardiman, 2013, p. 51-52). Apa yang bisa dipelajari dari konsep tersebut adalah bahwa pendidikan karakter, perlu melihat kondisi dunia intersubyektif yang itu berkaitan dengan moral, aturan dan norma yang ada dalam masyarakat. Esensinya adalah memahami bahwa aturan atau norma yang hadir tersebut merupakan perjuangan Panjang dari proses diskursus dan argumentasi yang terjadi tanpa determinasi, tanpa paksaan, tanpa intimidasi sehingga norma- norma perilaku yang ada telah teruji secara intersubyektif. “Syarat” ini menjadi tantangan tersendiri di tengah perkembangan masyarakat informasi yang demikian luas, masing – masing lebih banyak bertahan dengan argumentasi dan kebenaran individu daripada memperhatikan nalar- nalar untuk membangun peradaban yang lebih baik. SIMPULAN

Memupuk pendidikan karakter dengan perspektif etika komunikasi menjadi pekerjaan rumah tersendiri di tengah geliat era digital hari ini. Seringkali logika “pemiskinan makna” terjadi bahkan mengalami residu di tengah keberlimpahan infomasi yang diterima di dunia maya. Beberapa aplikasi dalam wadah teknologi mengakomodir untuk setiap orang melakukan piilhan apapun dengan mudah dan bebas tanpa terbatas ruang dan waktu. Asumsi “percepatan”, “efisiensi” dan “penguasaan” dalam beberapa kasus masih problematis saat diletakkan dalam spirit dasar “komunikasi” yang lebih manusiawi yakni membangun kesalingpahaman dan kesetaraan. Oleh karena itu untuk membaca fenomena tersebut, peneliti memilih meletakkan perspetif etika komunikasi, sebab dia berhubungan dengan praktek institusi, hukum, komunitas, struktur sosial, politik dan ekonomi. Aspek sarana etika dan strategi dalam membentuk regulasi sangat perlu. Intervensi negara masih diperlukan untuk memberikan tata kelola yang lebih operasional agar cita-cita pendidikan karakter yang berkelanjutan ini mampu diwujudkan secara konsisten.

Melalui dimensi dalam etika komunikasi yakni dimensi tujuan, dimensi sarana dan dimensi aksi, permasalahan pendidikan karakter mencoba dibedah. Kemudian dipertajam dengan memakai pemikiran Jurgen Habermas tentang tindakan komunikasional. Dari situ ditemukan bahwa pendidikan karekter perlu menempatkan kembali dunia obyektif, dunia subyektif dan dunia intersubyektif agar lebih komprehensif dan holistik memahami persoalan- persoalan yang mengemuka di dunia pendidikan. Beragamnya penelitian berkait dengan pendidikan karakter, peru dibarengi dengan komitmen negara, masyarakat dan juga stakeholder terkait dalam mengawal spirit pendidikan karakter yang lebih implementatif dan aplikatif serta evaluatif. Sehingga tidak hanya sebatas normatif hitam di atas putih bahwa negara mencanangkan hal tersebut. Dengan demikian, seluruh kerja dan hasil penelitian khususnya aspek-aspek dalam pendidikan karakter dapat diwujudkan untuk membangun dunia yang lebih beradab. DAFTAR PUSTAKA Afandi, J. & Afriani, R. (2016). Implementasi digital-age literacy dalam Pendidikan abad 21, Prosiding

Seminar Nasional Pendidikan Sains (113-119). Surakarta: Universitas Negeri Sebelas Maret Surakarta

Bahri, S. (2015). Implementasi pendidikan karakter dalam mengatasi krisis moral di sekolah. TA’ALLUM, 3 (1), 57-76

Hardiman, F. (2013). Demorasi deliberatf, menimbang ‘negara hukum’ dan ‘ruang publik’ dalam teori diskursus Jurgen Habermas. Yogyakarta: Kanisius.

Haryatmoko. (2011). Etika komunikasi : manipulasi media, kekerasan dan pornografi. Yogyakarta: Kanisius

Prosiding Konferensi Pendidikan Nasional “Penguatan Karakter Bangsa Melalui Inovasi Pendidikan di Era Digital”

121

http://radarsemarang.com/2017/09/23/stop-bullying-dengan-penguatan-pendidikan-karakter/ akses 5 September 2018

https://news.detik.com/berita/3673270/dear-mahasiswa-jaman-now-ui-bikin-etika-kontak-dosen-via-wa akses 5 September 2018

https://news.okezone.com/read/2017/11/06/65/1809180/oknum-guru-aniaya-murid-hingga-pingsan-kpai-temui-mendikbud akses 5 September 2018.

https://regional.kompas.com/read/2018/02/03/10041991/penganiayaan-guru-oleh-siswa-di-sampang-begini-kronologinya akses 5 September 2018

https://tirto.id/pendidikan-karakter-dari-pengalaman-negara-lain-cwck akses 5 September 2018 Lim, F. (2012). Filsafat teknologi, Don Ihde tentang dunia, manusia dan alat. Yogyakarta: Kanisius Narwaya, G. (2015). Teknologi, kebudayaan, dan etika komunikasi : media online sebagai kasus. Modul

Mata Kuliah Etika dan Filsafat Komunikasi, tidak dipublikasikan. Universitas Mercu Buana Yogyakarta

Nasrullah, R. (2015). Media sosial, perspektif komunikasi, budaya dan sosioteknologi. Bandung: Simbiosa Rekatama Media.

Pawito. (2008). Penelitian komunikasi kualitatif. Yogyakarta: LKiS Setiawan, D. (2017). Implementasi pendidikan karakter di era global, Prosiding Seminar Nasional

Tahunan Fakultas Ilmu Sosial (20-25). Medan: Universitas Negeri Medan Yuliana, D. (2010). Pentingnya pendidikan karakter bangsa guna merevitalisasi ketahanan bangsa.

Udayana Mengabdi, 9 (2), 92-100

Prosiding Konferensi Pendidikan Nasional “Penguatan Karakter Bangsa Melalui Inovasi Pendidikan di Era Digital”

122

PENANAMAN NILAI KARAKTER KEPEDULIAN SOSIAL PADA ANAK USIA DINI DALAM PERMAINAN TRADISIONAL

KUCING TIKUS DI TK IT MUTIARA HATI

Ika Rosyadah Hari Afifah1, Noto Prasetiyo2, Rizki Akhir Ramadhan3

1,2,3Universitas Negeri Semarang [email protected] [email protected]

[email protected]

Abstrak Seiring dengan perkembangan zaman, di era globalisasi ini nilai karakter kepedulian sosial terus mengalami degradasi khususnya dikalangan generasi muda. Nilai karakter kepedulian sosial yang saat ini mulai luntur contohnya sikap acuh tak acuh, sikap ingin menang sendiri, tidak setia kawan, dll. Penyebab lunturnya nilai-nilai tersebut sangat beragam, diantaranya karena kesenjangan sosial atau status sosial, karena sikap egois masing-masing individu, kurangnya pemahaman atau penanaman tentang nilai-nilai peduli sosial, kurangnya sikap toleransi, simpati dan empati. Rendahnya nilai kepedulian sosial tidak cukup hanya dengan melakukan suatu tindakan represif, namun yang lebih mendasar lagi adalah melakukan tindakan preventif. Tindakan yang dimaksud ditujukan kepada anak usia dini dengan menggunakan permainan tradisional kucing tikus. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan proses pengembangan nilai karakter peduli sosial melalui permainan tradisional kucing tikus di TK IT Mutira Hati. Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif. Pengumpulan data dengan cara triangulasi sumber dan teknik analisis data menggunakan pengumpulan data, seleksi data, dan penarikan kesimpulan. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa, anak lebih bisa bergaul bersama temannya dengan baik, pandai bekerja sama, menghargai sesama teman, saling memotivasi, tidak pernah mempunyai niat untuk menyakiti orang lain, saling memahami, toleran terhadap perbedaan, tidak merendahkan orang lain, dan saling memiliki rasa menyayangi satu sama lain. Kata Kunci: Permainan kucing tikus, Peduli sosial, Anak usia dini PENDAHULUAN

Anak usia dini merupakan usia pembentukan mental anak dalam mengenal lingkungan sekitarnya. Menurut Hurlock (1997:38) mengemukakan bahwa anak usia prasekolah atau prakelompok disebut juga masa kanak-kanak dini yaitu anak yang berumur 2-6 tahun. Pada usia ini anak sangat senang degan hal hal yang baru. Anak harus dibantu dalam mengenal lingkungannya, anak akan mudah menerima dan meniru apa yang dilihatnya tanpa berfirkir dampak baik atau buruknya bagi mereka. Anak memiliki dunia dan karakter sendiri, mereka sangat dinamis, aktif, antusias, dan hampir dari mereka memiliki rasa ingin tau yang besar terhadap apa yang dia lihat maupun yang mereka dengar dan seolah-olah tidak pernah berhenti belajar.

Kepribadian anak setelah dewasa tidak bisa lepas dari bagaimana pola pendidikan yang diterapkan orang tua kepada anak di usia dini. Dengan mengarahkannya semenjak usia dini, maka kemungkinan besar anak menjadi pribadi yang diharapkan oleh orang tua menjadi lebih besar, dan tentunya setiap orang tua menginginkan anaknya menjadi pribadi yang sebaik-baiknya bahkan lebih dari orang tuanya.

Dengan demikian anak usia dini harus mulai diperkenalkan pendidikan karakter, karena jika sejak usia dini karakter anak sudah dibangun, diharapkan mereka sudah memiliki pondasi atau dasar karakter yang kuat, sehingga pada perkembangan selanjutnya tinggal memupuk serta memperkaya perspektif karakter anak (Wibowo, 2012: 70). Karakter merupakan nilai-nilai yang terlekat dalam diri anak melalui pendidikan, pengalaman, pengorbanan dan pengaruh lingkungan, serta menjadi landasan sikap dan perilaku anak. Karakter tidak datang dengan sendirinya, melainkan harus dibentuk, ditumbuh kembangkan dan dibangun kemauan yang teguh merupakan salah satu wujud dari karakter seseorang.

Eliyawati (2005: 18) menjabarkan karakteristik anak usia dini adalah: (a) anak bersifat unik, (b) anak bersifat egosentris, (c) anak bersifat energik, (d) anak memiliki rasa ingin tahu yang kuat dan antusias terhadap banyak hal, (e) anak bersifat eksploratif dan berjiwa petulang, (f) anak mengeskpresikan perilakukunya secara relatid spontan, (g) anak senang dan kaya dengan fantasi atau daya khayal, (h) anak masih mudah frustasi, (i) anak masih kurang pertimbangan dalam melakukan sesuatu, (j) anak memiliki

Prosiding Konferensi Pendidikan Nasional “Penguatan Karakter Bangsa Melalui Inovasi Pendidikan di Era Digital”

123

daya perhatian yang pendek, (k) anak bergairah untuk belajar dan banyak belajar dari pengalaman, (l) anak semakin menunjukkan minat terhadap teman.

Salah satu nilai karakter yang harus ditanamkan yaitu nilai kepedulian sosial supaya anak mempunyai daya perhatian lebih dan semakin menunjukan minat terhadap temannya. Menurut Zuchdi (2011:170) Kepedulian sosial adalah sikap dan tindakan yang selalu ingin memberi bantuan pada orang lain dan masyarakat yang membutuhkan. Kepedian sosial merupakan keterlibatan pihak yang satu kepada pihak yang lain dalam merasakan apa yang sedang dialami atau dirasakan oleh orang lain.

Anak membutuhkan kurang lebih 9-10 jam untuk belajar di lingkup sekolah, selebihnya anak gunakan untuk berinteraksi di lingkungan rumahnya. Waktu yang digunakan anak untuk sekolah ini merupakan waktu yang tidak sedikit, itu artinya bahwa sekolah merupakan hal penting untuk menunjang perkembangan anak. Sekolah pradasar merupakan salah satu penyelenggara pendidikan yang mempunyai tugas menanamkan nilai-nilai karakter kepada anak usia dini. Hal ini dikarenakan memudarnya rasa empati terhadap sesama, misalnya saja sikap egois dan acuh tak acuh dengan keadaan teman, perkelahiran antar anak, kurangnya kepeduian membantu teman yang kurang pandai dan lain sebagianya. Maka sangat penting adanya internalisasi nilai peduli sosial yang dilakukan guru di sekolah pradasar melalui pembelajaran.

Pembelajaran yang dilakukan dengan menggunakan metode dan media yang bervariasi akan memberikan pengalaman langsung kepada anak. Disadari atau tidak dari berbagai macam metode, penggunaan metode permainan didalamnya dapat bermanfaat dalam menanamkan nilai karater salah satunya nilai karakter peduli sosial. Sebagaimana dikemukakan Haerani (2013:4) permainan tradisional dapat menstimulasi anak dalam mengembangkan kerjasama, membantu anak menyesuaikan diri, saling berinteraksi secara positif, dapat mengkondisikan anak dalam mengontrol diri, mengembangkan sikap empati terhadap teman, menaati aturan, serta menghargai orang lain. Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka peneliti bermaksud untuk melakukan penelitian mengenai penanaman nilai karakter kepedulian sosial pada anak usia dini dalam permainan tradisional kucing tikus. METODE

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif kualitatif. Dalam menentukan subjek penelitian ini dilakukan teknik purposive yaitu pengambilan sumber data didasarkan atas adanya tujuan tertentu yang menjadi fokus penelitian dan juga tidak mempersoalkan tentang ukuran dan jumlah dalam pengambilan sumber data atau subjek penelitian Arikunto (2010:183).

Namun dalam penelitian yang memiliki jumlah populasi yang besar, tidaklah mungkin untuk mengambil seluruh populasi melainkan seluruh populasi melainkan diambil beberapa representatif dari populasi tersebut atau yang biasa disebut dengan sample. Pemilihan sample atau sampling dalam penelitian kualitatif dimaksudkan untuk menjaring sebanyak mungkin informasi dari berbagai macam sumber dengan tujuan untuk merinci kekhususan yang ada di paper. Oleh karena itu, dalam penelitian kualitatif tidak ada sample acak melainkan sample atau pusposive sample (menggunakan pertimbangan tertentu), adapun sample dalam penelitian ini terdiri dari 13 siswa yang terdiri dari 9 anak laki- laki dan 4 anak perempuan serta satu orang pendidik TK IT Mutiara Hati, Desa Patemon, Kecamatan Gunungpati, Kota Semarang.

Teknik pengumpulan data yang digunakan oleh peneliti untuk memperoleh data yang diperlukan dalam penelitian ini adalah observasi (pengamatan) dan wawancara. Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini dimulai dari seluruh data yang terkumpul dari pengamatan dan wawancara. Aktivitas dalam analisis data kualitatif dilakukan secara interaktif dan berlangsung secara terus menerus sampai tuntas. Hal ini dikarenakan proses analisis data kualitatif berlangsung selama dan pasca pengumpulan data. Analisis yang dipakai untuk menganalisa data dalam penelitian ini adalah analisis kualitatif yaitu: (1) Pengumpulan data, (2) Seleksi data, dan (3) Penarikan kesimpulan dan verifikasi. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian 1. Pelaksanaan Permainan Tradisional Kucing Tikus

Dari penelitian yang dilakukan diketahui bahwa kegiatan permainan tradisional kucing tikus mendukung peserta didik mengembangkan karakter kepedulian sosial melalui proses belajar dari pengalaman yang diperoleh saat bermain. Berdasarkan hasil penelitian di TK IT Mutiara Hati,

Prosiding Konferensi Pendidikan Nasional “Penguatan Karakter Bangsa Melalui Inovasi Pendidikan di Era Digital”

124

pelaksanaan permainan tradisional kucing tikus dalam mendukung pengembangan karakter kejujuran anak usia dini meliputi beberapa tahap perencanaan, proses pelaksanaan, dan evaluasi. a. Perencanaan

Persiapan permainan tradisional kucing tikus dilakukan oleh peneliti dan pendidik. Persiapan jenis-jenis permainan dilakukan oleh pendidik yaitu menentukan anak yang akan ikut serta dalam permainan dan menentukan waktu dan pelaksanaan. Sedangkan peneliti melakukan persiapan segala sesuatu yang digunakan dalam permainan, seperti menyiapkan 2 lembar sapu tangan sebagai tanda pengenal serta konsumsi yang akan diberikan oleh siswa yang mengikuti permainan. b. Pelaksanaan kegiatan permainan tradisional

Dari hasil penelitian, pelaksanaan kegiatan pembelajaran dengan permainan tradisional kucing tikus dilakukan dalam beberapa pijakan yang berisi sejumlah pengalaman belajar peserta didik melalui bermain yang diberikan pada anak usia dini berdasarkan potensi dan tugas perkembangan yang harus dikuasainya dalam rangka pencapaian kompetensi yang harus dimiliki anak. Kegiatan permainan dilakukan dalam kelompok kecil, yang terdiri dari 3 kegiatan pokok yaitu kegiatan pembukaan, kegiatan inti dan kegiatan penutup.

Dari hasil pengamatan diketahui pelaksanaan permainan tradisional kucing tikus mencakup: 1) Kegiatan pembuka

Kegiatan diawali dengan duduk melingkar atau berdiri melingkar untuk kegiatan berdoa, membaca surat-surat pendek seperti Al-Fatikhah, Al-Falaq, membaca doa sehari-hari, selanjutnya salam sapa sekaligus presensi yang dilakukan dengan bersama-sama untuk mengetahui siapa saja teman yang mengikuti permainan. Selanjutnya, peneliti menjelaskan jenis permainan beserta aturan permainan yang akan dilakukan dan disepakati oleh semua peserta didik. 2) Kegiatan inti

a) Pijakan Saat Main Pemain melakukan hompimpah, Lalu dua anak diakhir hompimpa melakukan pingsut

untuk menjadi kucing dan tikus. Setelah selesai hompimpa atau mendapatkan pemain yang berperan menjadi tikus dan kucing semua pemain bergandeng tangan membuat kandang (lingkaran) kecuali kucing dan tikus.

Pemain yang telah menjadi tikus diberikan tanda menggunakan slayer yang diikat di tangan, kemudian menempatkan dirinya berada di dalam lingkaran yang di bentuk dari pemain yang lain. Sedangkan pemain yang telah menjadi kucing diberikan tanda slayer yang diikat dikapalanya, kemudian menempatkan diri di luar lingkaran pemain lain. Setelah aba-aba dimulai kucing harus berlari dan menerobos lingkaran pemain untuk mengejar tikus dan menangkapnya. Tikus harus berusaha mengelabui atau menghindar dari kejaran si kucing. Pemain yang menjadi lingkaran harus menghalangi kucing yang berusaha masuk kedalam lingkaran untuk menangkap tikus. Namun, apabila kucing masuk ke dalam lingkaran pemain yang menjadi lingkaran harus membebaskan si tikus agar tikus tidak dimangsa kucing.

Pendidik berkeliling di antara peserta didik yang sedang bermain dan pendidik memberikan

penilaian observasi, serta pendidik memberikan pujian terhadap pekerjaan peserta didik. b) Pijakan setelah main

Permainan dikatakan selesai jika tikus sudah tertangkap dan berganti pemain yang menjadi tikus dan kucing kepada pemain yang menjadi lingkaran. Pendidik mengajak peserta didik bernyanyi lagu-lagu dolanan untuk menambah semangat peserta didik atau yang disebut dengan kegiatan refreshing setelah kegiatan permainan selesai. Kemudian dilanjutkan dalam barisan atau lingkaran untuk melakukan recalling dengan menanyakan kegiatan apa yang dilakukan, dan tujuan dari permainan, hingga menanyakan hal-hal yang dihadapi peserta didik dalam bermain, hal ini untuk melatih anak agar dapat dalam menyelesaikan masalah. Selanjutnya, berdoa selesai belajar untuk mengakhiri kegiatan bermain.

3) Kegiatan Penutup Berdoa pulang dan salam.

Permainan ini dapat dilakukan untuk anak laki-laki maupun anak perempuan semakin banyak pemain maka akan semakin meriah. Dari hasil wawancara dan permainan tersebut peneliti menemukan nilai karakter kepedulian sosial yang terdapat dipermainan kucing tikus yaitu pada

Prosiding Konferensi Pendidikan Nasional “Penguatan Karakter Bangsa Melalui Inovasi Pendidikan di Era Digital”

125

saat pemain yang menjadi lingkaran harus bekerjasama dan peduli terhadap tikus agar tikus tidak ditangkap atau dimangsa oleh si kucing.

c. Evaluasi

Teknik penilaian yang digunakan dalam penelitian ini adalah observasi, interview dan tes skala sikap menggunakan soal cerita. Hasil pretest menunjukkan bahwa terdapat anak yang belum cukup memahami tentang karakter kepedulian sosial. Misalnya, pada sebuah cerita yang menceritakan tentang seorang teman yang tidak membawa bekal di sekolah, apa yang akan dilakukan? Ada dengan jelas mengatakan bahwa dia akan membagi bekal dengan temanya tersebut. Ada pula yang mengatakan enggan untuk berbagi karena berfikir jika bekal yang dibawanya hanya sedikit. Hasil postest menunjukkan bahwa sebagian besar anak mengerti karakter kepedulian sosial. Anak yang pada saat pretest menunjukkan jawaban belum mengerti dari cerita yang ada, pada saat posttest sebagian besar cukup mengerti dan sangat mengerti tentang karakter kepedulian sosial. Anak-anak belajar memahami nilai-nilai karakter kepedulian sosial dengan gembira yaitu melalui permainan tradisional kucing tikus. Sesuatu yang dilakukan dengan gembira itu lebih mudah di terima oleh anak. Gembira biasanya ditandai dengan tertawa. Seperti yang telah dijelaskan di atas bahwa permainan tradisional kucing tikus bisa menjadi salah satu media dalam mengembangkan karakter kepedulian sosial pada anak di sekolah. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa penggunaan permainan tradisional kucing tikus merupakan suatu metode pembelajaran yang bisa digunakan untuk mengembangkan karakter kepedulian sosial pada anak usia dini.

2. Hasil Permainan Tradisional Kucing Tikus dalam Penanaman Nilai Karakter Kepedulian Sosial Anak

Usia Dini Dari hasil wawancara dan observasi dapat disimpulkan bahwa hasil permainan tradisional dalam

mendukung pengembangan karakter kepedulian sosial anak usia dini di TK IT Mutiara Hati adalah anak lebih bisa bergaul bersama temannya dengan baik, pandai bekerja sama, menghargai sesama teman, saling memotivasi, tidak pernah mempunyai niat untuk menyakiti orang lain, saling memahami, toleran terhadap perbedaan, tidak merendahkan orang lain, dan saling memiliki rasa menyayangi satu sama lain. 3. Faktor Pendukung dan Penghambat Pelaksanaan Permainan Tradisional

a. Faktor Pendukung Faktor pendukung dalam setiap kegiatan merupakan suatu kekuatan dalam melaksanakan

kegiatan yang telah direncanakan. Adapun faktor yang mendukung antara lain: 1) Pihak sekolah terbuka dan menerima peneliti dengan baik 2) Adanya motivasi bermain permainan tradisional kucing tikus dari peserta didik yang cukup tinggi. 3) Fasilitas dan lingkungan yang cukup memadai mendukung untuk proses pelaksanaan permainan

tradisional kucing tikus. b. Faktor Penghambat

Adapun faktor-faktor yang menghambat dalam pelaksanaan kegiatan antara lain: 1) Perbedaan tingkat konsentrasi pada anak usia dini yang mudah berubah-ubah. 2) Kurangnya waktu yang digunakan untuk pelaksanaan kegiatan permainan tradisonal kucing tikus.

B. Pembahasan

Berdasarkan hasil diatas dalam permainan kucing tikus adanya nilai karakter peduli sosial yang dapat diberikan kepada pemain. Dalam permainan kucing tikus terintegrasi perkembangan karakter individu meliputi: (1) Cooperation yaitu bekerja untuk mencapai tujuan. Dimana tujuan dari permainan ini tercapai (2) Kindness yaitu menolong sesama, perhatian kepada orang lain. Pemain yang melingkar diharuskan menolong tikus agar tikus tidak dimangsa atau ditangkap oleh kucing (3) Compassion yaitu peduli terhadap orang lain. Pemain yang melingkar harus peduli dengan pemain yang menjadi tikus (4) Dependability yaitu dapat diandalkan dan dapat dipercaya. Pemain yang menjadi lingkaran harus bisa diandalkan oleh tikus untuk tidak meloloskan kucing masuk ke dalam lingkaran.

Adapun perilaku overt yang ada. Perilaku overt memiliki dua aspek yaitu aspek personal virtues dan sosial virtues, yang termasuk aspek personal virtues yaitu keberanian dan kedisiplinan sedangkan aspek sosial virtues adalah sopan santun, dan dapat dipercaya, memiliki perasaan peduli pada orang lain. Jika hal tersebut dapat berlangsung, maka akan terbentuk menjadi karakter yang berguna untuk orang lain.

Prosiding Konferensi Pendidikan Nasional “Penguatan Karakter Bangsa Melalui Inovasi Pendidikan di Era Digital”

126

SIMPULAN Kegiatan permainan tradisional kucing tikus yang dilaksanakan di TK IT Mutiara Hati dalam

proses pengelolaan kegiatannya diselenggarakan dengan tujuan untuk penanaman nilai karakter kepeduian sosial kepada anak usia dini melalui kegiatan bermain. Proses pengelolaan permainan tradisional dalam meningkatkan pengembangan karakter kejujuran anak usia dini TK IT Mutiara Hati meliputi: (1) Tahap perencanaan, (2) Tahap pelaksanaan kegiatan permainan tradisional yang terdiri dari tiga kegiatan yaitu kegiatan pembuka, kegiatan inti dan kegiatan penutup, (3) Tahap evaluasi yang meliputi observasi, interview, dan tes skala sikap dalam bentuk soal cerita. Dari hasil pretest dan posttest dapat disimpulkan bahwa hasil permainan tradisional dalam mendukung pengembangan karakter kepedulian sosial anak usia dini di TK IT Mutiara Hati adalah anak lebih bisa bergaul bersama temannya dengan baik, pandai bekerja sama, menghargai sesama teman, saling memotivasi, tidak pernah mempunyai niat untuk menyakiti orang lain, saling memahami, toleran terhadap perbedaan, tidak merendahkan orang lain, dan saling memiliki rasa menyayangi satu sama lain. DAFTAR PUSTAKA Arikunto. 2010. Prosedur Penelitian. Rineka Cipta: Jakarta. Hal. 183. Eliyawati. 2005. Pemilihan dan Pengembangan Sumber Belajar Untuk Anak Usia Dini. Jakarta:

Departemen Pendidikan Nasional. Haerani Nur. 2013. Membangun Karakter Anak Melalui Permainan Anak Tradisional. Universitas Negeri

Makasar. Hurlock,Elizabeth.1997. Psikologi Perkembangan Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan.

Jakarta: Penerbit Erlangga. Wibowo, Agus. 2012. Pendidikan Karakter: Strategi Membangun Karakter Bangsa Berperadaban.

Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Zuchdi, Darmiyati. 2011. Pendidikan Karakter Dalam Prespektif Teori dan Praktek. Yogyakarta: UNY

Press.

Prosiding Konferensi Pendidikan Nasional “Penguatan Karakter Bangsa Melalui Inovasi Pendidikan di Era Digital”

127

PENGARUH PENGGUNAAN BAHAN AJAR APRESIASI PUISI BERBAASIS BELA NEGARA

BAGI MAHASISWA PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA TERHADAP HASIL BELAJAR MAHASISWA

Nurul Setyorini1, Suci Rizkiana2

1,2Universitas Muhammadiyah Purworejo [email protected]

[email protected]

Abstrak Bela Negara adalah sebuah konsep yang disusun oleh perangkat perundangan dan petinggi suatu negara tentang patriotisme seseorang, suatu kelompok atau seluruh komponen dari suatu negara dalam kepentingan mempertahankan eksistensi negara tersebut. Secara fisik, hal ini dapat diartikan sebagai usaha pertahanan menghadapi serangan fisik atau agresi dari pihak yang mengancam keberadaan negara tersebut, sedangkan secara non-fisik konsep ini diartikan sebagai upaya untuk serta berperan aktif dalam memajukan bangsa dan negara, baik melalui pendidikan, moral, sosial maupun peningkatan kesejahteraan orang-orang yang menyusun bangsa tersebut. Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, merupakan salah satu aset bangsa. Mahasiswa merupakan pemuda bangsa yang harus menjunjung dan memajukan negara. Semangat perjuangan tersebut bisa dilakukan dengan memahami hakikat bela negara. Hakikat bela negara tersebut, bisa diimplementasikan melalui pembelajaran yang ada di kampus, misalnya pembelajaran Apresiasi Puisi. Dengan adanya bahan ajar apresiasi puisi berbasis bela negara diharapkan mahasiswa mampu memahami hakikat bela negara dan mengimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Metode penelitian yang digunakan adalah eksperimen. Sumber data berupa hasil karangan siswa. Sampel adalah semester 3A sebagai kelas kontrol dan semester 3B sebagai kelas eksperimen. Instrument penelitian terdiri dari dua jenis, yaitu tes dan non tes. Tes berkaitan dengan uji soal apresiasi puisi, sedangkan non tes berupa angket. Teknik analisis data menggunakan SPSS. Kata Kunci: eksperimen, bela negara, apresiasi puisi PENDAHULUAN

Bangsa Indonesia memproklamasikan kemerdekaanya pada tanggal 17 Agustus 1945. Bangsa Indonesia bertekad bulat untuk membela, mempertahankan dan menegakkan kemerdekaan, serta kedaulatan negara berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Sebagai anak bangsa dan warga negara perlu memiliki kemampuan partisipasi dalam usaha pembelaan negara. Kemampuan ini sangat penting agar Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) tercinta dapat melakukan fungsinya yakni mewujudkan tujuan bernegara. Tujuan NKRI sangat mulia, yaitu: melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan perdamaian abadi dan keadilan sosial. Dengan berpartisipasi dalam usaha pembelaan negara sesuai dengan kemampuan masing–masing, berarti telah melaksanakan hak dan kewajiban sebagai warga negara. Partisipasi ini dapat menunjang usaha NKRI dalam mewujudkan tujuan bernegara dan menjaga kelangsungan hidupnya.

Akhir-akhir ini isu bela negara mungkin menjadi familiar di telinga kita semua. Isu bela negara seolah menjadi gebrakan baru di Pemerintahan saat ini yang telah seringkali melempar isu-isu lain. Belum program “Revolusi Mental” yang saat ini entah sampai mana implementasinya muncul lagi isu baru. Bela negara ini sendiri banyak menuai pro kontra di masyarakat. Pemerintah beralasan mengenai pentingnya program ini dikarenakan empat pilar kebangsaan (Pancasila, UUD 1945, NKRI, Bhinneka Tunggal Ika) sudah mulai terkikis nilainya di masyarakat.

Hal tersebut nampak pada kasus yang ada di skekitar kita terkait adanya penyimpangan bela negara. Penyimpangan tersebut nampak pada tindakan araogan dan melecehkan simbol-simbol negara melalui akun sosial media, mengacungkan jari tengah ke foto pahlawan, melecehkan ras, korupsi, penyimpangan konsistusi, penggelapan, nepotisme, penyogokan, kriminalitas,terorisme, kolonialisme, globalisme, intoleransi beragama, dll,

Prosiding Konferensi Pendidikan Nasional “Penguatan Karakter Bangsa Melalui Inovasi Pendidikan di Era Digital”

128

Baru-baru ini melalui sosial media tersebar penyimpangan Bela Negara. Hal tersebut dilakukan oleh beberapa orang yang melakukan perbincangan di salah satu akun media sosial dengan menampakkan foto pahlawan. Secara etika tindakan tersebut merupakan penyimpangan terhadap bela negara, sebab telah melakukan aksi pelecehan terhadap foto dan jasa pahlawan. Melihat gejala seperti kasus tersebut sangat ironis sekali karena menunjukan bahwa bela negara telah terkikis. Seseorang yang berjasa bagi negara Indonesia telah dilecehkan oleh beberapa pengguna akun media sosial. Hal tersebut, juga menunjukkan kurangnya pengetahuan mereka tentang ilmu Sejarah di Indonesia. Padahal, foto tersebut adalah foto Frans Kaiseipo. Dia adalah salah satu pahlawan dari Papua. Frans pernah terlibat dalam konferensi Malino tahun 1946 yang membicarakan mengenai pembentukan Republik Indonesia Serikat sebagai wakil Papua.

Terkikisnya nilai bela negara, menunjukkan pula terkikisnya karakter bangsa. Hal ini membuat kekhawatiran kita akan generasi penerus dan imbasnya bangsa kita akan terpuruk. Dengan demikian, maka perlu dilakukan pemahaman kembali terhadap hakikat bela negara. Salah satu hal yang dapat dilakukan melalui pembinaan dalam pembelajaran di Perguruan Tinggi.

Bela Negara adalah sebuah konsep yang disusun oleh perangkat perundangan dan petinggi suatu negara tentang patriotisme seseorang, suatu kelompok atau seluruh komponen dari suatu negara dalam kepentingan mempertahankan eksistensi negara tersebut. Secara fisik, hal ini dapat diartikan sebagai usaha pertahanan menghadapi serangan fisik atau agresi dari pihak yang mengancam keberadaan negara tersebut, sedangkan secara non-fisik konsep ini diartikan sebagai upaya untuk serta berperan aktif dalam memajukan bangsa dan negara, baik melalui pendidikan, moral, sosial maupun peningkatan kesejahteraan orang-orang yang menyusun bangsa tersebut.

Kesadaran bela negara merupakan satu hal yang esensial dan harus dimiliki oleh setiap warga negara Indonesia (WNI), sebagai wujud penunaian hak dan kewajibannya dalam upaya bela negara. Kesadaran bela negara menjadi modal dasar sekaligus kekuatan bangsa, dalam rangka menjaga keutuhan, kedaulatan serta kelangsungan hidup bangsa dan negara Indonesia. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) mengatur mengenai Upaya Bela Negara yaitu ketentuan Pasal 27 Ayat (3): “Setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya pembelaan Negara,” dan Pasal 30 Ayat (1): “Tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pertahanan dan keamanan negara”. .

“UUD 1945 mengamanatkan kepada pemerintah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan memajukan kesejahteraan umum. Oleh karena itu, pemerintah bertanggung jawab menyelenggarakan pendidikan dalam rangka memenuhi hak dasar setiap warga negara untuk memperoleh layanan pendidikan yang berkualitas. Untuk itu, pemerintah telah menempatkan pendidikan sebagai salah satu prioritas utama dalam agenda pembangunan nasional”. (Slameto, 2012: 31)

Mahasiswa adalah bagian dari warga negara republik Indonesia. Mahasiswa acapkali dikaitkan dengan bela negara karena yang ada dalam benak masyarakat saat ini mahasiswa sebagai Agent Of Change atau Agen Perubahan. Hal ini memberikan konsekuensi logis kepada mahasiswa untuk bertindak dan berbuat sesuai dengan gelar yang disandangnya. Mahasiswa harus tetap memiliki sikap kritis, dengan mencoba menelusuri permasalahan sampai ke akar-akarnya. Dengan adanya sikap kritis dalam diri mahasiswa diharapkan akan timbul sikap korektif terhadap kondisi yang sedang berjalan.

Peran mahasiswa sangat penting dalam meningkatkan wawasan kebangsaan yang membuat maju bangsa ini kelaknya. Jadi, mahasiswa memegang peranan penting untuk mengembangkan dan memajukan bangsa ini karena, mahasiswa merupakan salah satu aset Negara dan penerus yang nantinya akan menggantikan kedudukan para pejabat menteri dan presiden dalam mengurus dan mengembangkan Negara ini lebih maju lagi.

Oleh karena itu, penanaman terhadap bela negara itu sangat penting untuk diintergrasikan dalam setiap Mata Kuliah yang ada di Perguruan Tinggi. Salah satu Mata Kuliah Wajib yang memungkinkan dapat mengintegrasikan ini adalah Apresiasi puisi. Apresiasi puisi terdapat pada jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia. Melalui mata kuliah Apresiasi Puisi, mahasiswa diharapkan untuk dapat melihat, mendengar, menghayati, menilai, menjiwai, dan membandingkan atau menghargai suatu karya sastra puisi. Dengan mengintergrasikan bela negara dalam pembelajaran puisi maka mahasiswa juga dapat mengihami bela negara.

Meningkatnya pemahaman mahasiswa terhadap nilai bela negara, menunjukkan pula peningkatan karakter bagi mahasiswa. Peningkatan nilai karakter mahasiswa menunjukkan pula peningkatan terhadap ESQ mahasiswa. Tingginya ESQ seseorang ditunjukkan dengan tidakan tanggung jawab dan bermanfaat bagi diri sendiri dan banyak orang. Hali ini menunjukkan bahwa kecerdasan para

Prosiding Konferensi Pendidikan Nasional “Penguatan Karakter Bangsa Melalui Inovasi Pendidikan di Era Digital”

129

penerus bangsa tidak hanya ditinjau dari sudut intelektual saja, tetapi juga dari sudut emotional quention dan spiritual quention. Menurut Agustian ESQ adalah kemampuan untuk‘’merasa’’, berdasarkan pada kejujuran yang mendalam pada suara hati dalam menghadapi persoalan hidup sehingga hidup penuh makna dan mengedepankan nilai-nilai (values) dalam bertindak (Zayati, 2013:17).

Menurut peneliti bahan ajar adalah cara yang tepat untuk mengintegrasikan nilai bela negara. Dengan demikian, penanaman terhadap nilai bela negara terwujud dalam sebuah sektor pendidikan. Instansi Pendidikan pun juga turut berpartisipasi dalam mewujudkan tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam pendidikan, banyak hal yang menjadi faktor yang menentukan mutu pendidikan. Mutu dalam pendidikan ditentukan oleh factor input dan faktor proses. Faktor input di antaranya siswa, kurikulum bahan ajar, metode/strategi pembelajaran, sarana sekolah, dukungan administrasi dan prasarana sekolah. Faktor proses di antaranya penciptaan suasana yang kondusif, koordinasi proses pembelajaran, dan juga interaksi antar unsur-unsur di sekolah, baik guru dengan guru, siswa dengan siswa, maupun guru dan staf administrasi sekolah, dalam konteks akademis maupun nonakademis, kurikuler maupun non kurikuler (Muhson, 2012: 205)

Bahan ajar yang digunakan dalam penelitian ini berupa buku ajar Apresiasi Puisi yang mengintegrasikan unsur-unsur bela negara. Buku ajar tersebut, berisi tentang RPS, teori, dan tugas. Dengan adanya bahan ajar tersebut, peneliti berharap dapat meningkatkan hasil belajar siswa, baik dari segi nilai maupun esq mahasiswa. Berdasarkan pemaparan di atas, maka peneliti mengusulkan sebuah judul penelitian “Pengaruh Bahan Ajar Apresiasi puisi Berbasis Bela Negara bagi Mahasiswa di Universitas Muhammadiyah Purworejo”. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui pengaruh Bahan Ajar Apresiasi puisi Berbasis Bela Negara bagi Mahasiswa di Universitas Muhammadiyah Purworejo”.

Bahan ajar adalah segala bentuk bahan yang digunakan untuk membantu guru/instruktur dalam melaksanakan kegiatan belajar mengajar. Bahan yang dimaksud bisa berwujud bahan tertulis maupun tidak tertulis (Majid, 2012: 173).

Bahan ajar digunakan oleh guru/ dosen sebagai alat dalam pelaksanaan pembelajaran. Bahan ajar di sini seharusnya tidak hanya digunakan sebagai alat pegangan guru/dosen saja, tetapi juga sebagai alat untuk membantu peserta didik yang bisa digunakan untuk mencapai tujuan pembelajaran. Bahan ajar atau materi kurikulumadalah isi atau muatan kurikulum yang harus dipahami oleh siswa dalam upaya mencapai tujuan kurikulum (Mustofa, 2016: 37).

Sebuah bahan ajar harus memiliki daya tarik untuk dapat menarik perhatian dan keinginan siswa dalam mempelajarinya. Daya tarik bahan ajar dapat ditempatkan di beberapa bagian seperti: bagian sampul, bagian isi dengan menempatkan rangsangan-rangsangan berupa gambar atau ilustrasi, dan latihan dikemas secara menarik. ―Perkenalkan set iap bab atau bagian baru dengan cara yang berbedaǁ (Arsyad, 2011: 89). Isi maupun sampul bahan ajar dapat dikemas dengan mengkombinasikan warna-warna yang menarik. Warna digunakan sebagai alat penentu dan penarik perhatian pada informasi yang penting (Arsyad, 2011: 91).

Membela negara adalah hak dan sekaligus kewajiban bagi warga negara. Bela negara adalah tekad dan tindakan warga negara yang dilandasi kecintaan pada tanah air, untuk menjalin kelangsungan hidup, dan kejayaan bangsa dan negaranya. Sulaiman (2016: 145-146), menjelaskan bahwa bela negara merupakan hak dan kewajiban bagi setiap warga negara. Menurut Subagyo (2015:59), bela negara merupakan sebuah keharusan bagi setiap warga negara. Artinya, membela negara merupakan kewajiban yang harus dimiliki setiap warga negara. Lebih lanjut, Andriyanto (2015:28) mengungkapkan bahwa bela negara merupakan suatu tekad, sikap, dan tindakan warga negara yang teratur, menyeluruh, terpadu dan berlanjut dengan dilandasi kecintaan pada tanah air indonesia. Kesadaran bela negara pada hakikatnya kesediaan setiap warga negara Indonesia untuk berbakti pada negara dan kesediaan berkorban untuk membela negara. Ciri-ciri bela negara menurut (Andriyanto, 2015: 109-110)

1) Cinta tanah air 2) Sadar berbangsa Indonesia 3) Sadar bernegara Indonesia 4) Berkeyakian akan kesaktian Pancasila sebagai Ideologi negara 5) Rela berkorban untuk bangsa dan negara 6) Memiliki kemampuan awal bela negara

a) Secara psikis memiliki sifat mental, ulet, kerja keras, taat pada undang-undang, percaya diri, tahan uji, dan pantang menyerah.

Prosiding Konferensi Pendidikan Nasional “Penguatan Karakter Bangsa Melalui Inovasi Pendidikan di Era Digital”

130

b) Secara fisik memiliki sehat jasmani rohani. METODE

Penelitian ini dilaksanakan di Universitas Muhammadiyah Purworejo. Jenis penelitian adalah eksperimen. Data diolah menggunakan program SPSS 16. Teknik pengumpulan data menggunakan observasi dan wawancara.Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah quasi exsperimental design (tes awal dan tes akhir). Dalam desain ini terdapat satu kelompok eksperimen yang dipilih kemudian diberi tes awal untuk mengetahui keadaan awal adakah perbedaan antara kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Sampel penelitian ini adalah hasil belajar mahasiswa semester 3 Universitas Muhammadiyah Purworejo. Penentuan sampel dalam penelitian ini ditentukan oleh peneliti berdasarkan pertimbangan tertentu. Kelas eksperimen adalah semester 3A dengan jumlah 25 mahasiswa dan semester 3B untuk kelas kontrol dengan jumlah 25 mahasiswa. Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan teknik tes dan nontes. Wujud data dalam penelitian ini berupa nilai hasil tes apresiasi puisi mahasiswa. Data yang berupa nilai kemampuan apresiasi puisi tersebut, proses penilaiannya didasarkan pada instrumen penilaian kemampuan apresiasi puisi yang telah teruji validitas dan reliabilitasnya dalam bentuk kisi-kisi standar penilaian. Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini analisis normalitas, homogenitas, dan uji hipotesis. HASIL DAN PEMBAHASAN

Test awal diberikan sebelum pelaksanaan perlakuan. Tes awal diberikan kepada kedua kelompok, yaitu kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Hasil tes awal dihitung menggunakan bantuan program SPSS versi 16 dengan rincian kelmpok eksperimen dari semester 3A berjumlah 25 mahasiswa, sedangkan kelompok kontrol berjumlah 25 mahasiswa dari kelas 3B. Uji normalitas Uji normalitas tes awal kelompok eksperimen dan kelas kontrol

Uji normalitas dilakukan untuk mengetahui apakah populasi berdistribusi normal. Perhitungan uji normalitas data dalam penelitian ini menggunakan uji Kolmogrov-Smirnov Test dengan program SPSS versi 16. Data penelitian dikatakan menyebar dengan normal apabila nilai Kolmogrov-Smirnov atau nilai Asymp. Sig. (2-tailed) > a =0,05. Data penelitian yang diuji adalah kemampuan mengapresiasi puisi mahasiswa semester III Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Muhammadiyah Purworejo. Uji normalitas kemampuan mengapresiasi puisi meliputi kemapuan mengapresiasi kelas eksperimen dan kontrol.

Tabel 1 Uji Normalitas Nilai Tes Awal One Sample Kolmogrov Smirnov Test

Kelas Eksperimen Kelas kontrol N 25 25 Normal Parametersa Mean .0000000 .0000000

Std. Deviation 11.69126257 8.77056227 Most Extreme Differences Absolute .132 .095

Positive .075 .090 Negative -.132 -.095

Kolmogorov-Smirnov Z .662 .473 Asymp. Sig. (2-tailed) .774 .979 a. Test distribution is Normal.

Hasil uji normalitas tes awal kelompok eksperimen dan kelas kontrol menggunakan uji Kolmogrov Smirnov Test dapat disimpulkan sebagai berikut.

1) Nilai test awal kelompok eksperimen dihasilkan nilai sig> adalah 0,774 >0,05 sehingga nilai tes awal kelompok eksperimen berdistribusi normal.

2) Nilai tes awalkelompok kontrol dihasilkan nilai sig> adalah 0,979 >0,05 sehingga nilai tes awal kelompok kontrol berdistribusi normal.

Prosiding Konferensi Pendidikan Nasional “Penguatan Karakter Bangsa Melalui Inovasi Pendidikan di Era Digital”

131

Hasil uji normalitas tes akhir kelompok eksperimen dan kelas kontrol Uji normalitas dilakukan untuk mengetahui apakah populasi berdistribusi normal. Perhitungan uji

normalitas data dalam penelitian ini menggunakan uji Kolmogrov-Smirnov Test dengan program SPSS versi 16. Data penelitian dikatakan menyebar dengan normal apabila nilai Kolmogrov-Smirnov atau nilai Asymp. Sig. (2-tailed) > a =0,05. Data penelitian yang diuji adalah kemampuan mengapresiasi puisi mahasiswa semester III Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Muhammadiyah Purworejo. Uji normalitas kemampuan mengapresiasi puisi meliputi kemapuan mengapresiasi kelas eksperimen dan kontrol.

Tabel 2 Uji Normalitas Nilai Tes Akhir One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test

nilai_akhir _kelas_eksperimen

nilai_akhir_kelas_kontrol

N 25 25 Normal Parametersa Mean 74.80 50.6000

Std. Deviation 11.769 8.69866 Most Extreme Differences Absolute .147 .207

Positive .073 .207 Negative -.147 -.193

Kolmogorov-Smirnov Z .734 1.037 Asymp. Sig. (2-tailed) .654 .232 a. Test distribution is Normal.

Hasil uji normalitas tes akhir kelompok eksperimen dan kelas kontrol menggunakan uji Kolmogrov Smirnov Test di atas dapat disimpulkan sebagai berikut.

1) Nilai test akhir kelompok eksperimen dihasilkan nilai sig> adalah 0,654 >0,05 sehingga nilai tes awal kelompok eksperimen berdistribusi normal.

2) Nilai tes awalkelompok kontrol dihasilkan nilai sig> adalah 0,232 >0,05 sehingga nilai tes awal kelompok kontrol berdistribusi normal.

Uji Homogenitas

Uji homogenitas varian digunakan untuk menentukan persamaan nilai yang dihasilkan mahasiswa kelompok eksperimen maupun kontrol pada nilai yang dihasilkan pada tes awal dan akhir pada saat kegiatan mengapresiasi puisi.nilai berdistribusi homogen jika nilaihitung lebih besardari 0,05 Homogenitas dihitung menggunakan SPSS versi 16. Uji Homogenitas Nilai Tes Awal

Nilai tes awal mengapresiasi puisi yang dihasilkan oleh kelompok eksperimen dan kontrol dapat dilihat berdasarkan table berikut.

Tabel 3 Homogenitas Tes Awal Levene Statistic df1 df2 Sig. 1.809 1 48 .185

Kriteria uji Lavene Statistic adalah jika nilai Lavene Statistic > 0,05 maka dapat dikatakan variasi data adalah homogen. Berdasarkan tabel di atas, dapat diketahui bahwa F hitung= 1.809 dengan p-value= 0,185. Karena p> 0,05 maka kedua kelompok memiliki varian homogen.

Uji Homogenitas Nilai Tes Akhir

Nilai tes awal mengapresiasi puisi yang dihasilkan oleh kelompok eksperimen dan kontrol dapat dilihat berdasarkan table berikut.

Tabel 4 Homogenitas Tes Akhir Levene Statistic df1 df2 Sig. .109 1 48 .742

Prosiding Konferensi Pendidikan Nasional “Penguatan Karakter Bangsa Melalui Inovasi Pendidikan di Era Digital”

132

Kriteria uji Lavene Statistic adalah jika nilai Lavene Statistic > 0,05 maka dapat dikatakan variasi data adalah homogen. Berdasarkan tabel di atas, dapat diketahui bahwa F hitung= 109 dengan p-value= 0,742 Karena p> 0,05 maka kedua kelompok memiliki varian homogeny

Uji Hipotesis

Uji hipotesis 2 menguji pengaruh bahan ajar 1 berbasis nilai bela negara terhadap hasil belajar mahasiswa semester 3, jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Muhammadiyah Purworejo. Berikut pengujian hipotesis 2 dengan menggunakan uji t dua pihak.

Tabel 5 Hasil Uji Hipotesis 2 Paired Samples Statistics

Mean N Std. Deviation Std. Error Mean Pair 1 PRETEST EKSPERIMEN 53.6000 25 11.94780 2.38956

POSTTEST EKSPERIMEN 74.8000 25 11.76860 2.35372

Paired Samples Correlations N Correlation Sig.

Pair 1 PRETEST EKSPERIMEN & POSTTEST EKSPERIMEN 25 .413 .040

Hipotesis Ho2 : tidak ada pengaruh bahan ajar berbasisi bela negara terhadap hasil belajar mahasiswa Ha2 : ada pengaruh bahan ajar berbasisi bela negara terhadap hasil belajar mahasiswa Kriteria Pengujian

Ho : diterima jika asym. Sig 0,05

Ho : ditolak jika asym. Sig 0,05 Keputusan Uji

Berdasarkan tabel di atas disimpulkan bahwa nilai thitung adalah -8,248. Tabel distribusi t pihak

kanan dicari pada (two tail test) diperoleh ttabel sebesar 1,71088 dan sig 0,000 < (0,05). Nlai thitung jauh pada penerimaan ttabel yakni thitung 8,248 >ttabel atau –(8,248) < ttabel sehingga berada di daerah penolakan Ho. Dengan demikian, Ho ditolak dan Ha diterima. Hal tersebut berarti bahan ajar apresiasi berbasis nilai bela negara berpengaruh terhadap hasil belajar mahasiswa. SIMPULAN

Analisis data dalam penelitian ini meliputi uji normalitas, homogenitas, dan uji hipotesis. Berdasarkan analisis tersebut dapat disimpulkan bahwa buku ajar berbasis nilai bela negara berpengaruh terhadap hasil belajar mahasiswa.

Paired Samples Test Paired Differences

t df Sig. (2-tailed)

Mean Std.

Deviation Std. Error

Mean

95% Confidence Interval of the Difference

Lower Upper Pair 1 PRETEST

EKSPERIMEN - POSTTEST EKSPERIMEN

-2.12000E1 12.85172 2.57034 -26.50493 -15.89507 -8.248 24 .000

Prosiding Konferensi Pendidikan Nasional “Penguatan Karakter Bangsa Melalui Inovasi Pendidikan di Era Digital”

133

DAFTAR PUSTAKA Arsyad, Azhar. 2016. Media Pembelajaran. Jakarta: Raja Grafindo Persada Majid, Abdul. 2012. Perencanaan Pembelajaran Mengembangkan Standar Kompetensi Guru. Bandung:

PT Remaja Rosdakarya. Muhson, Ali. 2012. “Peta Penguasaan Kompetensi Siswa SMA untuk Mata Pelajaran Ekonomi di

Kabupaten Magelang dan Kabupaten Magelang Jawa Tengah”. Makalah diseminarkan pada Dies Natalis ke-48 UNY 2012, Yogyakarta.

Mustofa, Deny Anggrany Ina. 2016. “Pengembangan Bahan Ajar Pembelajaran Menulis Cerita Berbasis Pendekatan Proses bagi Siswa SMP”. Makalah ini Disampaikan dalam Seminar Nasional Inovasi Pembelajaran Berbasis Karakter Dalam Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) 2016, Agustus 26, Kebumen

Slameto. 2012. “Monitoring dan Evaluasi Implementasi Program Sertifikasi Guru Kota Salatiga”. Makalah diseminarkan pada Dies Natalis ke-48 UNY 2012, Yogyakarta.

Zayati, Choirul. 2013. “Hubungan Antara Tingkat Kecerdasan Emosional Spiritual (ESQ) dengan Tingkat Aktualisasi Diri pada Dosen Universitas Muhamadiyah Gresik”. Jurnal Psikosains, 6(1), 15-34.

Prosiding Konferensi Pendidikan Nasional “Penguatan Karakter Bangsa Melalui Inovasi Pendidikan di Era Digital”

134

MENANAMKAN KARAKTER CINTA LINGKUNGAN PADA ANAK MELALUI PROGRAM “GREEN AND CLEAN”

Nurul Liyun1, Wahidah Nur Khasanah2, Nurfahana Azda Tsuraya3 1,2,3 Universitas Negeri Semarang

[email protected] [email protected]

[email protected]

Abstrak Karakter adalah sesuatu yang ada pada diri individu yang dibentuk dalam lingkungan keluarga pada masa kecil. Namun, karakter juga merupakan bawaan individu sejak lahir. Karakter yang baik dapat dibentuk melalui pendidikan karakter, salah satunya dapat melalui pendidikan karakter di sekolah. Untuk mewujudkan pendidikan yang berkarakter dapat dilakukan dengan menanamkan nilai-nilai karakter kepada peserta didik. Salah satu karakter yang harus dibentuk sejak dini adalah karakter cinta lingkungan. Pembentukan karakter cinta lingkungan dapat diwujudkan salah satunya melalui Program “green and clean”. Program “green and clean” bertujuan untuk melatih siswa agar dapat mencintai lingkungannya sejak dini serta dapat memelihara keindahan lingkungan yang dimulai dari lingkungan sekolah. Metode “green and clean” dilakukan melalui Program pra pembelajaran dikelas dengan mengajak siswa untuk melakukan Program yang terdapat unsur K3 (Kebersihan, Keindahan, Kerapian). Program tersebut meliputi Program piket bersama di kelas dan lingkungan sekitar sekolah serta belajar merawat tumbuhan yang ada di depan kelas. Program tersebut juga dapat memperkuat dan meningkatkan kesadaran siswa bahwa lingkungan yang bersih dan indah dapat meningkatkan kenyamanan siswa dalam menjalankan aktifitas di sekolah, khususnya dalam Program belajar. Kata Kunci: Cinta Lingkungan, Pendidikan Karakter, Green and Clean PENDAHULUAN

Berisi latar belakang, rasional, dan/ atau urgensi penelitian. Referensi (pustaka atau penelitian relevan), perlu dicantumkan dalam bagian ini, hubungannya dengan justifikasi urgensi penelitian, pemunculan permasalaha Menurut Syarbaini (dalam Silahuddin: 2017), karakter bisa diartikan sebagai sistem daya juang (daya dorong, daya gerak, dan daya hidup) yang berisikan tata nilai kebajikan akhlak dan moral yang terpatri dalam diri manusia. Proses pembentukan karakter yang dimulai sejak dini pada diri seseorang akan mempengaruhi cara individu tersebut berperilaku dalam kehidupan. Untuk membentuk karakter yang baik dalam diri seseorang maka dibutuhkan pendidikan karakter. Pendidikan karakter adalah suatu sistem penanaman nila-nilai karakter pada individu, yang wajib dikenalkan dan ditanamkan kepada anak sejak usia dini. Pendidikan karakter berperan sangat penting karena membentuk karakter maupun perilaku individu yang mencakup potensi kognitif, afektif, dan psikomotorik dan fungsi sosial dalam berinteraksi dengan lingkungannya.

Pendidikan karakter merupakan proses yang berkelanjutan dan tidak pernah berakhir. Berlangsung sejak manusia ada dan berakhir ketika manusia tiada. Pendidikan karakter sebagai suatu proses terpadu untuk menyiapkan generasi penerus bangsa, yang disesuaikan dengan kebutuhan manusia masa depan. Banyaknya perilaku buruk yang dilakukan oleh anak-anak membuat pendidikan karakter menjadi sesuatu yang wajib diterapkan sejak dini kepada anak. Bukan hanya sekedar mengajarkan mana yang baik dan mana yang salah, pendidikan karakter juga menanamkan kebiasaan tentang bagaimana berperilaku dengan baik sehingga anak akan paham dan dapat menerapkan kebiasaan tersebut dalam kehidupan sehari-hari.

Salah satu karakter yang harus diterapkan sejak dini kepada anak adalah karakter cinta lingkungan. Menurut Al-Anwari (2014), peduli lingkungan merupakan sikap dan tindakan yang selalu berupaya mencegah kerusakan lingkungan alam di sekitarnya dan pengembangkan upaya-upaya untuk memperbaiki kerusakan alam yang sudah terjadi. Karakter peduli lingkungan alam merupakan sikap yang ditunjukkan dengan perbuatan menjaga lingkungan alam sekitarnya. Sikap ini juga ditunjukan dengan tindakan memperbaiki kerusakan lingkungan yang terjadi. Karakter ini membuat kelangsungan alam terjaga. (Harlistyarintica, dkk, 2016). Banyak siswa, terutama siswa Sekolah Dasar yang tidak menyadari betapa

Prosiding Konferensi Pendidikan Nasional “Penguatan Karakter Bangsa Melalui Inovasi Pendidikan di Era Digital”

135

pentingnya menjaga lingkungan. Terbukti dengan banyaknya siswa yang sering membuang sampah sembarangan dan tidak menjaga lingkungannya dengan baik.

Penanaman karakter cinta lingkungan kepada siswa Sekolah Dasar dapat dilakukan oleh pihak sekolah dengan memberikan Program-Program yang berhubungan dengan karakter cinta lingkungkan yang melibatkan siswa secara langsung dalam Program tersebut. Salah satu Program yang dapat memberikan pemahaman secara langsung tentang karakter cinta lingkungan pada anak adalah Program “Green and Clean”. Melalui Program “Green and Clean”, siswa akan berpartisipasi secara langsung dan mempraktekan bagaimana cara menjaga lingkungan sekitar dengan cara-cara yang sederhana. Selain itu, siswa juga akan diberikan evaluasi dengan media-media lucu dan sederhana mengenai dampak-dampak yang akan ditimbulkan jika lingkungan tidak dijaga dengan baik. Pendidikan Karakter

Kata karakter juga sering diartikan sebagai watak. Ahli pendidikan Darmiyati Zuchdi dalam Adisusilo (2013: 77), memaknai watak (karakter) sebagai perangkat sifat-sifat yang dikagumi sebagai tanda- tanda kebajikan, dan kematangan moral seseorang. Untuk mewujudkan karakter tersebut tidaklah mudah. Karakter yang berarti mengukir hingga terbentuk pola itu memerlukan proses yang panjang melalui pendidikan. Pendidikan kerakter adalah usaha aktif untuk membentuk kebiasaan (habit) sihingga sifat anak akan terukir sejak dini, agak dapat mengambil keputusan dengan baik dan bijak serta dapat mempraktikkannya dalam kehidupan sehari-hari (Fitri, 2012: 21). Individu yang berkarakter baik adalah yang dapat membuat keputusan dan siap mempertanggungjawabkan setiap akibat dari keputusannya. Ciri ini lahir dari konsekuensi pemaknaan karakter sebagai cara berpikir dan berperilaku yang khas tiap individu untuk hidup dan bekerja sama, baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, bangsa, dan negara

Pendidikan karakter merupakan upaya untuk membantu perkembangan jiwa anak baik lahir maupun batin, dari sifat alami menuju ke arah peradaban manusiawi yang lebih baik. Seperti anjuran orang tua yang diberikan kepada anaknya agar duduk dengan baik, tidak berteriak-teriak, tidak jahil, menghormati orang tua, saling tolong- menolong dengan teman, bertanggung jawab dengan pekerjaannya, dan lain-lain. Sehubungan dengan hal tersebut pendidikan karakter mengajarkan kepada manusia tentang tabiat, moral, tingkah laku maupun kepribadian yang baik (Fadlillah & Khorida, 2013: 22). Hal ini menunjukkan bahwa di dalam pendidikan karakter harus diawali dengan tekad yang baik, dirasakan dan tidak hanya dipikirkan saja namun dilakukan

Pendidikan karakter pada anak adalah sebuah sistem yang berusaha untuk menanamkan nilai-nilai, meliputi: pengetahuan, kesadaran kemauan, serta tindakan untuk melakukan nilai-nilai tersebut. Yati (2016: 127), menyatakan bahwa para pakar tumbuh-kembang anak di seluruh dunia mengakui bahwa masa usia dini merupakan masa emas (the golden age) dan peletak dasar bagi pertumbuhan dan perkembangan selanjutnya. Dalam kajian neurosains disebutkan bahwa setiap anak yang baru dilahirkan perkembangan sel saraf pada otak mencapai 25%, sampai usia 4 tahun mengalami perkembangan 50%, dan sampai usia 8 tahun mencapai 80%, selebihnya berkembang sampai usia 18 tahun (Mulyasa, 2012: 2). Oleh karenanya, masa-masa tersebut harus dimanfaatkan dan dioptimalkan sebaik-baiknya untuk penanaman nilai-nilai karakter anak. Karakter Cinta Lingkungan pada Anak

Lingkungan adalah semua faktor luar, fisik, dan biologis yang secara langsung berpengaruh terhadap ketahanan hidup, pertumbuhan, perkembangan, dan reproduksi organisme, sedangkan yang dimaksud dengan lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk di dalamnya manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia secara makhluk hidup lainnya (Mustofa 2000:72). Menurut UU No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, menjelaskan bahwa lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan perikehidupan, dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain.

Masalah tentang lingkungan hidup merupakan salah satu perhatian utama dunia internasional saat ini. Hal ini dipicu oleh perilaku manusia yang kurang peduli pada lingkungannya yang menyebabkan kondisi lingkungan alam semakin hari semakin memprihatinkan. Menurut Wiyani (2012:4) “Salah upaya untuk perbaikan kualitas sumber daya manusia adalah munculnya gagasan pendidikan karakter dalam dunia pendidikan di Indonesia”. Pendidikan karakter untuk menjaga lingkungan hidup haruslah menyentuh kepada usia dini. Lembaga- lembaga pendidikan pengajaran yang langsung membangun pola

Prosiding Konferensi Pendidikan Nasional “Penguatan Karakter Bangsa Melalui Inovasi Pendidikan di Era Digital”

136

pikir peserta didik untuk dapat menjaga lingkungan. Salah satu upaya untuk menjaga lingkungan agar tidak semakin rusak adalah menanamkan pendidikan karakter cinta lingkungan kepada semua manusia, terutama anak-anak sebagai generasi mendatang. Anak-anak yang sejak dini sudah diajari hal-hal yang baik, maka kelak ketika dewasa dia akan menjadi orang yang bermanfaat.

Karakter peduli lingkungan perlu dibangun dalam diri anak. Karakter ini meliputi peduli lingkungan sosial dan lingkungan alam. Karakter peduli lingkungan sosial merupakan sebuah sikap dan tindakan yang menunjukkan upaya untuk memberikan bantuan baik moril maupun materil bagi orang lain yang membutuhkan. Sikap ini menunjukkan kepekaan terhadap kondisi sekitar. Karakter peduli lingkungan alam merupakan sikap yang ditunjukkan dengan perbuatan menjaga lingkungan alam sekitarnya. Sikap ini juga ditunjukan dengan tindakan memperbaiki kerusakan lingkungan yang terjadi. Karakter ini membuat kelangsungan alam terjaga. Kedua karakter ini perlu dibangun dalam diri anak-anak supaya dapat memiliki sikap yang peka terhadap lingkungan baik sosial dan alam. Karakter ini akan membuat anak mengerti kondisi sesama manusia dan lingkungan alamnya. Tak dapat dipungkiri kedua hal ini merupakan kesatuan yang berjalan beriringan (Azzet, 2013:96-97).

Adapun indikator peduli lingkungan untuk siswa Kelas 1 - 3: buang air besar dan kecil di WC, Membuang sampah di tempatnya, membersihkan halaman sekolah, tidak memetik bungan di taman sekolah, menjaga kebersihan rumah. Kelas 4 - 6, membersihkan WC, membersihkan tempat sampah, membersihkan lingkungan sekolah, memperindah kelas dan sekolah dengan tanaman, ikut memelihara taman di halaman sekolah. (Kementerian Pendidikan Nasional Badan Penelitian Dan Pengembangan Pusat Kurikulum, 2010: 37).

Tabel berikut menggambarkan keterkaitan antara nilai, jenjang kelas, dan indikator untuk nilai itu. Indikator itu bersifat berkembang secara progresif. Artinya, perilaku yang dirumuskan dalam indikator untuk jenjang kelas 1 - 3 lebih sederhana dibandingkan perilaku untuk jenjang kelas 4 – 6 (Kementerian Pendidikan Nasional Badan Penelitian Dan Pengembangan Pusat Kurikulum, 2010: 31.

Tabel 1 Keterkaitan Nilai, Jenjang Kelas dan Indikator Untuk SD/MI

Nilai Indikator

1-3 4-6 Peduli Lingkungan: Sikap dan tindakan yang selalu berupaya mencegah kerusakan lingkungan alam di sekitarnya dan mengembangkan upaya-upaya untuk memperbaiki kerusakan alam yang sudah terjadi

Buang air besar dan kecil di WC Membersihkan WC Membuag sampah pada tempatnya Membersihkan tempat sampah Membersihkan halaman sekolah Membersihkan lingkungan sekolah Tidak memetik bunga di taman sekolah

Memperindah kelas dan sekolah dengan tanaman

Tidak menginjak rumput di taman sekolah

Ikut memelihara taman di halaman sekolah

Menjaga kebersihan rumah Ikut dalam Program menjaga kebersihan lingkungan

Program Green And Clean Sebagai Upaya Penanaman Karakter Cinta Lingkungan Definisi Program Green and Clean

Program Green and Clean merupakan Program yang dilakukan oleh siswa Sekolah Dasar dimana siswa belajar mencintai lingkungannya dengan praktek secara langsung. Program Green and Clean dilakukan sebelum Program belajar mengajar dimulai Program ini bertujuan untuk menciptakan karakter peduli lingkungan pada anak. Program ini bukan hanya sekedar mengajarkan siswa untuk mencintai dan menjaga lingkungan sekitarnya, melainkan juga mengajak siswa untuk praktek dan terjun secara langsung sehingga siswa mengetahui bagaimana cara menjaga dan mencintai lingkungan sekitarnya. Lokasi diadakannya Program “Green and Clean” harus pada tempat yang jauh, akan tetapi tempat-tempat yang berada di lingkungan sekolah.

Program Green and Clean ini sangat berperan penting dalam memberikan pendidikan karakter peduli lingkungan pada siswa. Karena dalam Program ini siswa diajarkan untuk mencintai lingkungannya, dengan membuang sampah pada tempatnya, tidak merusak tanamannjaga lingkungan tetap bersih, dan lain sebagainya. Melalui Program ini dapat menciptakan lingkungan sekolah menjadi hijau untuk menunjang kesehatan fisik mental dan kecerdasan otak siswa. Selain mengurangi global warming, masih banyak efek baik dari lingkungan sekolah yang hijau terlebih bagi siswa, jika mereka belajar di tempat-tempat area hijau pastilah dapat mempengaruhi perkembangan otak dalam belajar

Prosiding Konferensi Pendidikan Nasional “Penguatan Karakter Bangsa Melalui Inovasi Pendidikan di Era Digital”

137

Program Green and Clean pada dasarnya adalah pengenalan kepada siswa bagaimana siswa bisa mencintai dan menjaga lingkungannya melalui hal-hal yang sederhana. Program Green and Clean dilaksanakan dalam beberapa kegiatan, antara lain sebagai berikut; 1. Kegiatan Olah Sampah

Kegiatan olah sampah adalah kegiatan berupa pengumpulan, pengangkutan, pemrosesan, daur ulang, atau pembuangan dari material sampah.

2. Kegiatan Piket Pagi Kegiatan piket pagi adalah kegiatan yang dilakukan oleh setiap siswa dengan membersihkan

ruang kelas, seperti menyapu, menghapus papan tulis, mengambil buku di perpustakaan, menata ruang kelas agar tetap rapi.

3. Kegiatan Cuci Tangan yang Baik dan Benar Kegiatan cuci tangan yang baik dan benar adalah suatu tindakan sanitasi dengan membersihkan

tangan dan jari jemari dengan menggunakan air ataupun cairan lainnya dengan tujuan untuk menjadi bersih, sebagai bagian dari ritual keagamaan, ataupun tujuan-tujuan lainnya.

4. Kegiatan Kerapian Diri Kegiatan kerapian diri adalah kegiatan yang dimaksudkan untuk menjaga kerapian diri yang

meliputi kerapian dalam berpakaian siswa saat mengikuti proses belajar mengajar disekolah. 5. Kegiatan Perawatan Taman dan Lingkungan Sekolah

Kegiatan perawatan taman dan lingkungan sekolah adalah kegiatan menjaga keandalan taman sekolah dan lingkungan beserta prasarana dan sarananya agar taman dan lingkungan sekolah selalu layak fungsi (preventive maintenance)

Tujuan Program Green and Clean 1. Membantu upaya pelestarian lingkungan sekolah melalui kegiatan Penghijauan, Pemeliharan dan

perawatan lingkungan sekolah yang tertata dan bersih. 2. Menarik perhatian siswa dalam kepedulian lingkungan sekolah. 3. Meningkatkan kepekaan dan motivasi siswa akan pentingnya berpartisipasi dalam penghijauan dan

kebersihan lingkungan sekolah. 4. Mengembangkan semangat kerelawanan di kalangan siswa yang terlibat langsung dalam kegiatan ini.

SIMPULAN

Pelaksanaan menanamkan karakter cinta lingkungan pada anak melalui program “green and clean” dilakukan dengan cara kegiatan olah sampah, kegiatan piket pagi, kegiatan cuci tangan yang baik dan benar, kegiatan kerapian diri dan kegiatan perawatan taman dan lingkungan sekolah. Program Green and Clean ini memberikan manfaat bertujuan untuk melatih siswa agar dapat mencintai lingkungannya sejak dini serta dapat memelihara keindahan lingkungan yang dimulai dari lingkungan sekolah. Kegiatan program Green and Clean ini dilakukan secara rutin disekolah agar tercipta suasana lingkungan yang asri nan indah yang dapat menunjang kegiatan belajar mengajar.

DAFTAR PUSTAKA Yati, Padmi. 2016. Pendidikan Karakter Anak Usia Dini Melalui Metode Pembelajaran Field Trip. Jurnal

LenteraI. 28(1);123-139. Samani, Muchlas dan Hariyanto. 2012. Konsep dan Model Pendidikan Karakter. Bandung: PT Remaja

Rosdakarya Harlistyarintica, Yora, dkk. 2017. Penanaman Pendidikan Karakter Cinta Lingkungan Melalui Jari Kreasi

Sampah Bocah Cilik Di Kawasan Parangtritis. Jurnal Pendidikan Anak. 6(1);20-30 Fadlillah, M. 2016. Penanaman Nilai-Nilai Karakter Pada Anak Usia Dini Melalui Permainan-Permainan

Edukatif. Prosiding Seminar Nasional dan Call for Paper ke-2 “Pengintegrasian Nilai Karakter dalam Pembelajaran Kreatif di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN.

Silahuddin. 2017. Urgensi Membangun Karakter Anak Sejak Usia Dini. 3(2);18-41 http://www.greenradio.fm/index.php?option=com_content&view=article&id=536:anak-lebih-cerdas-di-

lingkungan-hijau&catid=1:latest-news&Itemid=336 (Diakses pada, Rabu 29 Agustus 2018) http://infovilani.com/index.php?option=com_content&view=article&id=104:menuju-lingkungan-

hijau&catid=36:lingkungan&Itemid=61 (Diakses pada, Rabu 29 Agustus 2018) http://akuinginhijau.org (Diakses pada, Rabu 29 Agustus 2018)

Prosiding Konferensi Pendidikan Nasional “Penguatan Karakter Bangsa Melalui Inovasi Pendidikan di Era Digital”

138

IMPLEMENTASI NILAI-NILAI LUHUR BUDAYA PENCAK SILAT SEBAGAI PENDIDIKAN KARAKTER SISWA DI SEKOLAH

Roichatul Jannah1, Afit Nur Khikmah2

1,2 Universitas Negeri Semarang [email protected]

[email protected]

Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengimplementasikan nilai-nilai luhur budaya pencak silat dalam membentuk karakter siswa yang sesuai dengan budaya bangsa Indonesia. Penelitian ini menggunakan metode studi kepustakaan. Metode studi kepustakaan adalah metode yang digunakan dengan mengutamakan literatur dan referensi dengan mengaitkan masalah yang ada di lapangan dan teori yang terkait. Berdasarkan hasil studi kepustakaan yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa pencak silat dapat dijadikan salah satu cara pendidikan karakter melalui nilai luhur budaya yang tertanam di dalam pencak silat tersebut. Berbagai aspek dapat dicapai dalam rangka pendidikan karakter melalui pencak silat, yaitu pada aspek pengembangan mental spiritual (cinta kepada Tuhan YME), pada aspek pengembangan seni budaya (cinta tanah air), kemudian pada aspek pengembangan bela diri (menggunakan keahliannya hanya dalam hal kebaikan), dan pada aspek pengembangan olahraga (menjunjung tinggi sportifitas). Hakikatnya, tujuan pendidikan karakter melalui pencak silat adalah rekulturisasi kearifan lokal sebagai upaya meningkatkan karakter siswa. Dengan nilai-nilai yang terkandung dalam pencak silat maka cara ini dianggap tepat untuk meningkatkan karakter siswa karena diambil dari kearifan lokal budaya setempat. Kata Kunci: Karakter, Pencak Silat, Nilai Luhur PENDAHULUAN

Pendidikan sangat berperan dalam membentuk manusia yang berilmu dan berbudi pekerti luhur. Pendidikan yang ada saat ini masih banyak berfokus pada peningkatan kecerdasan secara kognitif. Kecerdasan kognitif masih dianggap yang paling utama dalam menentukan kesuksesan seorang anak di masa yang akan datang. Lembaga penyelenggara pendidikan umumnya hanya intensif melakukan pembelajaran dan pendidikan yang berorientasi pada kecerdasan kognitif siswa. Hal ini bisa dimaklumi, mengingat pendidik yang ada di sekolah lebih banyak diajarkan untuk memberikan penilaian secara kognitif. Namun sebagai seorang guru yang memiliki latar belakang pendidikan di perguruan tinggi akan mudah rasanya jika harus menyesuaikan dengan sistem yang baru. Hal ini terbukti ketika pemerintah melakukan pembaruan kurikulum. Sistem pengajaran dan administrasi yang sangat berbeda bisa dengan cepat diterapkan oleh guru melalui pelatihan-pelatihan yang diselenggarakan pemerintah. Penilaian selain penilaian kognitif adalah penilaian secara afektif. Tetapi penilaian ini dirasa masih sangat abstrak dan sulit diukur. Apalagi jika melihat perbedaan nilai pada setiap daerah di Indonesia. Sebagai contoh dalam penggunaan bahasa. Penggunaan bahasa akan terlihat jelas antara bahasa jawa daerah Jogjakarta dengan bahasa jawa daerah Banyumas. Padahal kedua daerah tersebut masih memiliki kesamaan Suku Jawa. Namun, secara perilaku antar daerah memiliki banyak kesamaan.

Kasus yang akhir-akhir ini kita dengar adalah banyaknya siswa yang melakukan kekerasan terhadap siswa lain. Baik di lingkup sekolah maupun diluar sekolah. Tercatat, pada sepanjang tahun 2013 total telah terjadi 255 kasus kekerasan yang menewaskan 20 siswa di seluruh Indonesia. Jumlah ini hampir dua kali lipat lebih banyak dari tahun 2012 yang mencapai 147 kasus dengan jumlah tewas mencapai 17 siswa (http://indonesianreview.com/wira-anoraga/pendidikan-kian-loyo, 2017). Hal ini tentu sangat mengkhawatirkan mengingat generasi muda adalah asset bangsa yang akan berperan utama dalam pengelolaan sumber daya alam yang sangat melimpah.

Indonesia dengan segala perbedaannya menyimpan potensi yang sangat beragam. Budaya antar daerah yang beragam ini dapat dimanfaatkan sebagai referensi dalam pembelajaran. Salah satu budaya bangsa yang dapat digunakan adalah pencak silat. Pencak silat adalah beladiri asli Indonesia yang digali dari nilai-nilai setempat dan diekspresikan melalui gerakan-gerakan yang bermakna. Gerakan-gerakan dalam pencak silat tidak hanya berorientasi pada fisik, akan tetapi memiliki banyak makna yang

Prosiding Konferensi Pendidikan Nasional “Penguatan Karakter Bangsa Melalui Inovasi Pendidikan di Era Digital”

139

mencerminkan nilai-nilai karakter. Nilai-nilai karakter inilah yang nantinya akan dipelajari dan ditemukan oleh siswa sesuai dengan arahan orang lain. METODE

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan studi kepustakaan atau studi literatur. Menurut Sugiyono (2012:291), bahwa studi kepustakaan berkaitan dengan kajian teoritik dan referensi lain yang berkaitan dengan nilai, budaya, dan norma yang berkembang dalam situasi sosial yang diteliti, selain itu studi kepustakaan sangat penting dalam melakukan penelitian, karena penelitian tidak akan terlepas dari literatur-literatur ilmiah. Jadi, dapat dikatakan bahwa studi kepustakaan merupakan jenis penelitian yang mengutamakan referensi sebaga bahan utama untuk mengaitkan masalah yang ada di lapangan dan teori para ahli yang ada. Penelitian ini menggunakan studi kepustakaan krena penelitian ini mnegacu kepada referensi maupun literatur yang menjadi sumber penelitian. Sehingga hasil yang didapatkan sesuai dengan tujuan telah ditentukan. HASIL DAN PEMBAHASAN Pendidikan Karakter

Pendidikan merupakan suatu hal yang sangat penting bagi setiap individu. Menurut Undang- Undang No.20 Tahun 2003, tentang Sistem Pendidikan Nasional, “pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan susasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.” Sehingga pendidikan harus didapatkan oleh individu sedini mungkin, karena melalui pendidikan, seseorang akan lebih memahami hal-hal yang bermanfaat bagi dirinya sendiri maupun orang lain sepanjang kehidupannya.

Aristoteles (dalam Lickona 2013:81), menyatakan bahwa karakter yang baik sebagai kehidupan dengan melakukan tindakan- tindakan yang diangap benar sehubungan dengan diri sendiri dan orang lain. Sedangkan menurut Lickona (2012:13), karakter adalah kepemilikan akan “hal-hal yang baik.” Sjarkawi (2006:1) karakter adalah ciri atau karakteristik atau gaya atau sifat khas dari diri seseorang yang bersumber dari bentukan-bentukan yang diterima dari lingkungan, misalnya keluarga pada masa kecil dan juga bawaan dari seseorang sejak lahir.

Dari beberapa pendapat yang telah dikemukaan dapat disimpulkan bahwa karakter adalah sifat khas seseorang yang dibawa sejak lahir dan dipengaruhi oleh lingkungan yang dianggap baik dan benar oleh diri sendiri dan orang lain. Hal-hal yang baik itu dapat berupa nilai-nilai yang telah dianut dan dipercayai oleh masyarakat secara luas. Masyarakat secara sadar mengakui suatu nilai yang mereka pegang tanpa adanya suatu paksaan dari siapun. Karakter sangat dihormati oleh seluruh masyarakat. Disisi lain, karakter juga dianggap sangat penting, bahkan karakter lebih penting dibandingkan dengan kecerdasan. Karena karakter seseorang bukan hanya diukur dari kecerdasannya saja, sebaliknya seseorang yang cerdas belum tentu memiliki karakter yang baik.

Raharjo (2010), pendidikan karakter adalah suatu proses pendidikan yang holistik yang menghubungkan dimensi moral dengan ranah sosial dalam kehidupan peserta didik sebagai pondasi bagi terbentuknya generasi yang berkualitas yang mampu hidup mandiri dan memiliki prinsip suatu kebenaran yang dapat dipertanggungjawabkan. Pendidikan karakter menurut Prasetyo & Rivasintha (2013) pengertian pendidikan karakter sebagai sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada peserta didik yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut, baik terhadap Tuhan, diri sendiri, sesama, lingkungan maupun bangsa sehingga menjadi manusia insan kamil. Dapat disimpulkan bahwa pendidikan karakter merupakan proses penanaman nilai-nilai karakter seseorang dalam kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, sehingga terbentuk generasi yang berkualitas yang mandiri dan bertanggungjawab.

Kepribadian yang baik dapat dirinci lebih lanjut sesuai dengan kebutuhan yang ada. Menurut Maemonah (2012), secara umum kisi- kisi karakter atau kepribadian yang baik adalah sebagai berikut: 1) Trustworthiness, bentuk karakter yang membuat seseorang memiliki kepribadian yang berintegritas,

jujur dan loyal. 2) Fairness, bentuk karakter yang membuat seseorang dapat terbuka, tidak suka memanfaatkan orang

lain, tidak curang.

Prosiding Konferensi Pendidikan Nasional “Penguatan Karakter Bangsa Melalui Inovasi Pendidikan di Era Digital”

140

3) Caring, bentuk karakter yang membuat seseorang memiliki sikap peduli, perhatian terhadap lingkungan sekitarnya.

4) Respect, bentuk karakter yang membuat seseorang mampu menghargai dan menghormati orang lain. 5) Citizenship, bentuk karakter yang membuat seseorang sadar hukum dan peraturan serta perhatian

terhadap lingkungan alamnya. 6) Responsibility, bentuk karakter yang membuat seseorang dapat bertanggungjawab, disiplin, dan

melakukan yang terbaik.

Aspek- Aspek Pendidikan Karakter Karakter merupakan nilai-nilai yang terpatri dalam diri individu melalui pendidikan, pengalaman,

pengorbanan, dan pengaruh lingkungan yang dipadukan dengan nilai-nilai dari dalam diri manusia yang menjadi semacam nilai-nilai intrinsik yang terwujud dalam sistem daya juang yang melandasi pemikiran, sikap dan perilakunya. Dalam pendidikan karakter, terdapat beberapa aspek. Menurut Maemonah (2012), beberapa aspek dalam pendidikan karakter tersebut adalah sebagai berikut: 1) Aspek Moralitas, menurut Lickona (dalam Maemonah,2012) dengan pendekatan pengembangan

moral, pendidikan karakter difokuskan kepada pendidikan yang berorientasi lahirnya suatu tindakan atau tingkah laku yang sesuai dengan kaidah yang ditentukan dengan suatu kesadaran yang berdialegtik antara moral feeling, moral knowing, moral action. a) Moral Knowing, bentuk dari Moral Knowing antara lain kesadaran akan nilai moral (moral

awarness), mengetahui moral (knowing moral values), adanya perspektif (perspective taking), alasan pentingnya suatu nilai moralitas (moral reasoning), menentukan pilihan (decision making) dan memiliki pengetahuan atas diri (self knowledge).

b) Moral Feeling, adalah hati nurani (conscience), percaya diri (self esteem), empati (empathy), menyukai kebenaran (loving the good), kontrol (self control), dan kerendahan hati (humanity).

c) Moral Action, diantaranya kompetensi (competence), niat baik (will), dan kebiasaan (habbit). 2) Aspek Religius, posisi agama dalam pendidikan karakter disamping sebagai fondasi, juga menjadi

kontributor bagi rumusan tolak ukur batasan-batasan good characteer. Tanpa menempatkan agama sebagai aspek dalam menimbang rumuskan pendidikan karakter akan menjadikan pendidikan karakter kering dari nuansa dinamis didalamnya. harus dipertimbangkan juga bahwa karakter manusia baik dalam konteks individu maupun sosial menunjukan kompleksitas disorientasinya sehingga muncul manusia-manusia yang tidak berkarakter. Kondisi demikian, juga tidak terlepas dari dimensi keagamaan yang dianutnya. Menurt Maemonah (2012) aspek-aspek positif eksistensi agama dalam proses pendidikan karakter, juga perlu ditelaah lebih mendalam persoalan-persoalaan yang muncul dari proses doktrinasi agama. Dalam perspektif agama, pendidikan terkait dengan suatu nilai ketuhanan untuk itu didalam suatu pendidikan terdapat perpaduan antara spiritual dan kultural. Dengan demikian manusia yang beragama dalam menjalankan ketaatnnya akan membentuk kepribadian diri yang memiliki good character baik secara individual maupun sosial

Aspek Psikologi, merupakan pondasi dalam merancang bangun karakter manusia. Menurut Lickona (dalam Maemonah, 2012) menjelaskan aspek-aspek emosional (psikologis) dalam proses perumusan dan pengembangan pendidikan karakter adalah sebagai berikut: (a) kesadaran (consciousness), (b) percaya diri (self esteem), rasa peduli kepada orang lain (empathy), mencintai kebaikan (loving the good), jaga diri (self control), terbuka (humility).

Moral Knowing Moral Feeling Moral Action

Prosiding Konferensi Pendidikan Nasional “Penguatan Karakter Bangsa Melalui Inovasi Pendidikan di Era Digital”

141

Pencak Silat Pencak silat menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), pencak “permainan atau keahlian

untuk mempertahankan diri dengan kepandaian menangkis, mengelak, dan sebagainya.” Sedangkan silat “olahraga (permainan yang didasarkan pada ketangkasan menyerang dan membela diri, baik dengan menggunakan senjata maupun tidak.” Menurut Kholis (2016) menjelaskan pencak silat berasal dari dua suku kata yaitu pencak dan silat. Pencak berarti gerakan dasar beladiri yang terkait pada peraturan. Sedangkan silat mempunyai arti gerak bela diri yang sempurna yang bersumber pada kerohanian yang suci murni, guna keselamatan diri atau keselamatan bersama, menghindarkan diri/manusia dari bala atau bencana. Alwi, dkk (2008: 1043). Dari beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa pencak silat adalah keahlian bela diri untuk mempertahankan diri dari bala atau bencana dengan ketangkasan menangkis, mengelak yang memiliki peraturan dan bersumber dari kerohanian.

Pencak silat merupakan salah satu cabang olahraga yang berkembang dengan baik di Indonesia yang merupakan salah satu bentuk seni bela diri khas bangsa Indonesia. Ikatan Pencak Silat Indonesia dalam (Nusufi, 2015) mengemukakan bahwa pencak silat yang berkembang selama ini telah mencakup 4 aspek yaitu seni, olahraga, beladiri, dan spiritual. Hal tersebut menunjukan bahwa pencak silat merupakan hasil budaya bangsa Indonesia yang perlu ditingkatkan dan dikembangkan karena jika hal itu terlambat maka kemungkinan pencak silat akan kehilangan peran dalam membangun identitas kepribadian bangsa.

Pencak silat sebagai seni beladiri bangsa Indonesia memiliki tiga macam bentuk pencak silat, Muhyi & Purbojati (2014) meyatakan bahwa dilihat dari sisi gambaran atau profil pencak silat dan kedua dari sisi tampilan pencak silat di Indonesia, yaitu (1) Pencak silat asli, ialah pencak silat yang memang lahir dari masyarakat setempat atau masyarajat asli atau dari suku yang ada di masyarakat, (2) Pencak silat bukan asli, ialah macam pencak silat tersebut lahir dan tumbuh bukan dari masyarakat setempat tetapi justru banyak dari luar seperti kungfu dari China, jujitsu dari Jepang, dll, (3) pencak silat campuran, ialah campuran antara pencak sila dan beladiri asing (bela diri asing yang ingin bergabung dengan nama pencak silat sesuai peraturan). Pencak silat merupakan jenis olahraga beladiri yang memerlukan beberapa kemampuan fisik yang dominan dalam pertandingan pencak silat. Selain itu di dalam pencak silat juga memerlukan penguasaan fisik, teknik, taktik dan mental atlet dalam berupaya untuk mengalahkan lawan.

Beladiri asli Indonesia atau biasa disebut dengan pencak silat merupakan metode efektif yang bisa membuat seseorang menjadi pemberani. Penerapan metode tersebut harus dibarengi dengan pendidikan sikap mental agar dapat dikendalikan dengan baik. Maksud dari pendidikan mental ini pada dasarnya bertujuan untuk membentuk manusia yang konsisten dan konsekuen dalam setiap jiwanya, mampu mentaati kaidah peraturan yang ada, sehingga tercipta manusia yang berbudi pekerti luhur, bersusila, menjunjung tinggi kebenaran dan bermartabat. Nilai-nilai luhur pencak silat yang ditanam dalam setiap orang adalah nilai-nilai falsafah budi pekerti luhur yang dijiwai oleh nilai-nilai luhur falsafah pancasila. Nilai-Nilai Luhur Budaya Pencak Silat sebagai Pendidikan Karakter Siswa di Sekolah

Pendidikan di Indonesia saat ini sudah dapat dikatakan lebih baik, namun dalam hal pemberian pendidikan karakter kepada siswa dirasa masih belum maksimal. Walaupun secara tidak langsung di setiap mata pelajaran disisipkan materi pendidikan karakter. Menurut Ginanjar (2008) mengatakan bahwa krisis moral ditandai oleh: 1) hilangnya kejujuran, 2) hilangnya tanggungjawab, 3) tidak mampu berpikir jauh kedepan, 4) rendahnya disiplin, 5) krisis kerjasama, 6) krisis keadilan, dan 7) krisis kedadilan. Hal tersebut menunjukan bahwa jiwa sportivitas, kepercayaan diri, kejujuran, toleranasi, dan saling menghargai yang seharusnya tertanam di dalam jiwa seseorang, namun saat ini telah hilang. Sehingga pendidikan karakter sangat dibutuhkan tidak hanya melalui pendidikan formal saja, melainkan dari hal yang lain, seperti pengembangan diri siswa melalui kegiatan di luar jam pelajaran. Maka untuk meningkatkan pendidikan karakter siswa dapat mengikuti kegiatan bela diri pencak silat.

Kholis (2016) menjelaskan nilai luhur dalam pencak silat dikembangkan empat aspek dalam satu kesatuan, yaitu aspek spiritual, aspek seni gerak, aspek beladiri, dan aspek olahraga. Dalam empat aspek tersebut terdapat makna yang terkandung di dalamnya. Adapun makna yang terkandung yaitu pengendalian diri, gerakan seni, dan sportifitas. 1) Aspek Pengembangan Mental Spiritual

Pencak silat membangun dan mengembangkan kepribadian dan karakter mulia seseoarng. Para pendekar dan maha guru pencak silat zaman dahulu seringkali harus melewati tahapan semedi, tanpa atau aspek kebatinan lain untuk mencapai tingkat tinggi ilmunya. Saat ini pengembangan aspek

Prosiding Konferensi Pendidikan Nasional “Penguatan Karakter Bangsa Melalui Inovasi Pendidikan di Era Digital”

142

spiritual dalam pencak silat yang harus diajarkan adalah pengembangan aspek mental. Adapun aspek mental sebagai berikut: a) Bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi luhur, pesilat wajib melaksanakan segala

perintah dan menjauhi larangan –Nya. Selain itu pesilat juga harus selalu menghormati orang tua dan selalu bersikapsopan santun kepada sesama.

b) Percaya diri, tenggang rasa dan disiplin,pesilat harus bisa menempatkan dirinya dimana pun ia berada, suka menolong, berani, dan tidak mudah putus asa, juga mematuhi norma-norma yang berlaku di masayarakat.

c) Persaudaraan, pengendalian diri dan tanggung jawab sosial, pesilat harus dapat hidup secara rukun, bergotong royong, hidup berbaur dengan masyarkat, dapat mengatasi masalah secara kekluargaan, dan selalu mendahulukan kepentingan bersama di atas kepentingan pribadinya.

2) Aspek Pengembangan Seni Budaya Melalui pencak silat diharapkan serarng pesilat dapat menguasai keterampilan gerak tubuhnya

sesuai dengan gerakan pada pencak silat. Pada asepk pengembangan seni budaya di dalam pencak silat secara tidak langsung pesilat menjaga kelestarian budaya Indonesia. Hal ini berguna untuk meningkatkan rasa nasionalisme, memperkuat keutuhan dan kesatuan bangsa.

3) Aspek Pengembangan Beladiri Pengembangan aspek beladiri artinya pesilat dapat mebggunakan kemampuannya secara efektif

dan efisien. Artinya pesilat hanya menggunaka kemampuannya pada saat mengahdapi situasi mala bahaya yang mengancam dirinya maupun orang lain. Saat melakukan pencak silat seorang pesilat juga harus dapat mengendalikan dirinya seperti pengendalian emosi. Seorang pesilat juga di wajiban untuk:

a) Selalu menjunjung tinggi kejujuran b) Dapat menahan diri dari segala cobaan dan godaan. c) Tangguh dan berani dalam meraih cita-cita dan usaha, d) Tanggap, cermat, cepat dan tepat dalam menghadapi dan menyelesaikan suatu permasalahan, e) Selalu melaksanakan “Ilmu Padi” tidak sombong dan takabur.

4) Aspek Pengembangan Olahraga Aspek olahraga diharapkan seoarang pesilat mempunyai keterampilan gerak untuk

meningkatkan kesegaran jasmani dan kematangan rohani yang dilandaskan pada hidup sehat. Maka pesilat harus memiliki kesadaran untuk: a) Berlatih dan melaksanakan olahraga pencak silat sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari, b) Selalu menyempurnakan prestasi jika latihan dan pelaksanaan olahraga terebut terbentuk

pertandingan Nilai Positif Pencak Silat

Selain mengandung nilai-nilai luhur budaya, pencak silat juga memiliki nilai-nilai positif. Nilai-nilai positif tersebut antara lain: 1) Meningkatkan ketaqwaan kepada Tuhan. 2) Cinta Tanah Air dan Bangsa 3) Kesehatan dan Kebugaran 4) Membangkitkan kepercayaan diri 5) Melatih ketahanan mental 6) Mengembangkan kewaspadaan diri 7) Membina sportivitas dan jiwa ksatria 8) Disiplin dan keuletan yang tinggi

Pencak silat dirasa mampu menjadi salah satu cara untuk meningkatkan pendidikan karakter siswa. Dibuktikan dari nilai-nilai luhur budaya dan nilai-nilai porsitif yang terkandung di dalam pencak silat. Pencak silat merupakan budaya bangsa yang dapat membentuk karakter siswa yang positif, baik dalam aspek pribadi, sosial, dan budaya.

SIMPULAN

Pada dasarkan pendidikan sangat diperlukan, maka pendidikan karakter seseorang harus ditanamkan sejak dini. Kehidupan seseorang dapat ditentukan melalui karakter dirinya. Hal-hal yang harus dicapai dalam pendidikan karakter meliputi aspek moralitas, aspek religius, dan aspek psikologis.

Prosiding Konferensi Pendidikan Nasional “Penguatan Karakter Bangsa Melalui Inovasi Pendidikan di Era Digital”

143

Pendidikan karakter tidak hanya melalui pendidikan formal saja seperti dalam pembelajaran di kelas, tetapi juga melalui kegiatan untuk mengembangkan diri. Pencak silat dapat dijadikan sebagai wadah dalam meningkatkan pendidikan karakter siswa. Karena pencak silat tidak hanya mengandalkan kemampuan fisik saja, tetapi juga pencak silat mengandung nilai-nilai luhur seperti aspek pengembangan mental spiritual, aspek pengembangan seni budaya, aspek pengembangan bela diri, dan aspek pengembangan olahraga. Salain itu juga terdapat beberpa nilai positif yang terkandung dalam pencak silat.

DAFTAR PUSTAKA Alwi, Hasan. dkk. (2008). Sejarah Perkembangan Pencak Silat. Yogyakarta: Andi Yogyakarta Ginanjar, Arya. 2018. Pembentukan Habit Menerapkan Nilai-nilai Reigious, Sosial, dan Akademik.

Semiloka Pendidikan Karakter. Yogyakarta: UNY. Kholis, M. Nur. 2016. Aplikasi Nilai- Nilai Luhur Pencak Silat Sarana Membentuk Moralitas Bangsa.

Jurnal Sportif. 2(2). 76-84. Lickona, Thomas. 2012. Character Matters. Jakarta: PT. Bumi Aksara. Lickona, Thomas. 2013. Pendidikan Karakter: Panduan Lengkap Mendidik Siswa. Menjadi Pintar dan

Baik. Bandung: Penerbit Nusa Media. Maemonah. 2012. Aspek- Aspek Pendidikan Karakter. Forum Tarbiyah. 1(10). 1-13. Muhyi & Purbojati. 2014. Penguatan Olahraga Pencak Silat sebagai Warisan Budaya Nusantara. Jurnal

Budaya Nusantara. 1(2). 141-147. Nusufi, Maimun. 2015. Hubungan Kelentukan Dengan Kemampuan Kecepatan Tendangan Sabit Pada

Atlet Pencak Silat Binaan Dispora Aceh (PPLP dan DIKLAT) Tahun 2015. Jurnal Ilmu Keolahragaan. 14(1). 25-46.

Prasetyo, Agus& Rivasintha. 2011. Konsep Urgensi dan Implementasi Pendidikan Karakter di sekolah. Diunduh dari https://www.kompasiana.com/agusprasetyo/ pada 16 Agustus 2018.

Raharjo, S.E. 2010. Pendidikan Karakter Sebagai Upaya Menciptakan Akhlak Mulia: Balitbang Kemendiknas di Jakarta. Dalam Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan. 3:339-238.

Sjarkawi. 2006. Pembentukan Kepribadian Anak. Jakarta: Bumi Aksara. Sugiyono. 2012. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta.

Prosiding Konferensi Pendidikan Nasional “Penguatan Karakter Bangsa Melalui Inovasi Pendidikan di Era Digital”

144

SEJARAH ALTERNATIF SEBAGAI SUMBER PENGUATAN PENDIDIKAN KARAKTER

Fileksius Gulo Universitas Sanata Dharma Yogyakarta

[email protected]

Abstrak Penulisan artikel ilmiah ini bertujuan untuk: pertama, mendeskripsikan sejarah alternatif; kedua, mengkomparasikan hubungan antara sejarah alternatif dengan pendidikan karakter; dan ketiga, menjelaskan implementasi penguatan pendidikan karakter melalui sejarah alternatif. Metode yang digunakan dalam penulisan ini adalah metodologi penelitian pendidikan sejarah, yaitu melalui tahap-tahap pemilihan topik, pengumpulan data (sumber), kritik dan verfikasi data (sumber), interpretasi dan analisis data serta penulisan laporan (historiografi). Hasil penelitian menunjukkan bahwa: Pertama, sejarah alternatif adalah penelitian yang berusaha sejauh mungkin mencari “kebenaran” historis dari setiap fakta-fakta sejarah yang telah terkonstruksi sebelumnya. Pencarian itu bermula dari suatu pertanyaan-pertanyaan kritis-akademis. Kedua, sejarah alternatif dapat menjadi salah satu sumber penguatan pendidikan karakter. Disamping itu, penulisan kembali sejarah alternatif juga berorientasi untuk membongkar konstruk-konstruk penjajahan karakter atas dominasi dan hegemoni dalam historiografi Indonesia. Ketiga, implementasi penguatan pendidikan karakter melalui sejarah alternatif dapat dilakukan lewat gerakan literasi, baik dalam lingkup pendidikan formal, informal, maupun nonformal. Kata Kunci : Sejarah Alternatif, Pendidikan Karakter, Dominasi, Hegemoni. PENDAHULUAN

Belakangan ini persoalan degradasi karakter bangsa selalu “menghantui” sektor kehidupan. Persoalan itu muncul akibat lemahnya kuriositas dan komitmen bersama dalam menguraikan dan memecahkannya dengan pendekatan multidimensional. Salah satu pendekatan tersebut adalah dengan menggunakan perspektif kesejarahan. Masalah degradasi karakter mesti diuraikan secara kesejarahan dalam konteks yang kekinian. Pendekatan tersebut tentunya juga mengusut hubungan variabel antara tujuan (kehidupan) bernegara, sistem pendidikan, dan fenomena degradasi karakter bangsa.

Munculnya “budaya” koruptif hingga krisis identitas sejak di bangku sekolah menunjukkan adanya kepincangan antara variabel tujuan hidup bernegara (bermasyarakat) dengan konsep dan implementasi sistem pendidikan nasional. Disparitas tersebut menyebabkan adanya ketidakseimbangan dalam membangun kepribadian dan kecerdasan generasi muda sehingga makin menambah (suramnya) persoalan baru dalam dunia pendidikan. Adanya kepincangan dalam membangun karakter generasi muda secara tidak langusng berimplikasi pada kegagalan sektor pendidikan dalam mencerdaskan kehidupan bangsa.

Pendidikan bagi generasi muda merupakan jalan satu-satunya untuk mencapai kesusksesan dan kemajuan dalam mengelola peradaban yang lebih bermartabat. Eksistensi pendidikan pada esensinya bertujuan untuk memecahkan problematika kehidupan berbangsa dan bernegara, terutama di era globalisasi ini. Dalam menghadapi tantangan globalisme, tuntutan terhadap kemajuan pendidikan menjadi sangat mendesak untuk digalakkan mengingat peranan penting pendidikan masih dianggap strategis dalam membina generasi penerus bangsa agar mampu mengelola sumber daya alam yang (memang sangat) kaya ini demi kesejateraan masyarakat secara luas.

Sektor pendidikan masih dianggap memiliki peranan signifikan dalam menumbuhkembangkan potensi dan keterampilan generasi muda kearah yang lebih bermartabat dan berkemajuan. Salah satu langkah dalam mewujudkannya adalah melalui penulisan (kembali) sejarah alternatif. Sejarah alternatif penulis teliti bertolak pada bentuk-bentuk neokolonialisme dalam penulisan sejarah kita. Dalam konteks ini, penulis mengistilahkannya sebagai dominasi dan hegemoni sejarah. Ada pun beberapa penelitian terdahulu dari tulisan ini adalah sebagai berikut.

Prosiding Konferensi Pendidikan Nasional “Penguatan Karakter Bangsa Melalui Inovasi Pendidikan di Era Digital”

145

Tabel 1. Daftar Penelitian yang Relevan (Untuk lebih detail, lihat daftar pustaka) No Penulis/Peneliti Judul Tulisan

1 Sri Handayani Pembelajaran Sejarah Dalam Membangun Budaya Karakter Bangsa.

2 Said Hamid Hasan Pendidikan Karakter Dalam Pendidikan Sejarah Kurikulum 2013.

3 Fahreza Erico Pratama Pendidikan Karakter Dalam Pembelajaran Sejarah Lokal.

4 Aisiah Peran Searah Sebagai Basis Untuk Membangun Karakter Peserta Didik Melalui Biografi Tokoh.

5 Uun Lionar Peran Guru Sejarah Dalam Pendidikan Nilai : Suatu Refleksi.

6 Salvetri Pembelajaran Sejarah: Kontribusinya Dalam Membangun Karakter Bangsa.

7 Wisnu Subroto Pembelajaran Sejarah Untuk Penanaman Nilai-Nilai Lokal.

8 S. Hamid Hasan Pendidikan Sejarah Untuk Memperkuat Pendidikan Karakter.

METODE

Metode penulisan artikel ilmiah ini mengacu pada metodologi penelitian pendidikan sejarah (Priyadi, 2012) serta sekaligus refleksi pemikiran kritis dari penulis. Dalam penulisan dan penelitian pendidikan sejarah, ada lima tahap yang harus dilalui yaitu: pemilihan topik, pengumpulan data (berupa sumber-sumber), verifikasi data (kritik sejarah dan keabsahan data/sumber), interpretasi (analisis dan sintesis data) dan penulisan laporan (historiografi).

Pemilihan topik dari penelitian ini yaitu, “sejarah alternatif dan pendidikan karakter”. Topik ini cukup menarik, sebab berorientasi untuk menguji secara kritis metodologi sejarah yang digunakan oleh para sejarawan untuk merekonstruksi masa lalu. Rekonstruksi dari masa lalu tersebut tak lepas dari unsur subjektivitas sejarawan. Oleh karena itu, menguji secara kritis metodologi tersebut dapat berorientasi pada penemuan fakta-fakta baru. Proses tersebut mengarah untuk memunculkan “sejarah alternatif”. Sejarah altenatif dimaksudkan sebagai narasi tandingan untuk menangkal subjektivitas yang berlebihan dalam suatu karya sejarah. Harus diakui bahwa penulisan sejarah tak pernah lepas dari subjektivitas dari sejarawan.

Pemilihan topik di atas berlandas pada kedekatan emosional dan kedekatan intelektual. Dua syarat itu memang subjektif dan objektif, tetapi penting untuk diperhitungkan sebab peneliti akan “bekerja” dengan baik dan benar jikalau senang dan berminat pada pembahasan topik yang dimaksud. Setelah itu, tahap berikutnya adalah pengumpulan data/sumber (heuristik). Data dan sumber-sumber penelitian ini dapat berupa catatan, kesaksian, dan fakta-fakta lain yang telah terkonstruksi-rekonstruksi dalam karya-karya sejarah terdahulu.

Setelah pengumpulan data (sumber) peneliti lakukan, selanjutnya masuk pada tahap verifikasi data, yaitu tahap untuk mengklarifikasi atau menguji data-data dan sumber-sumber di atas dengan melakukan serangkaian kritik, baik yang bersifat internal maupun eksternal. Tujuan dari langkah verifikasi adalah untuk menguji autentisitas dann kredibilitas data-data dan sumber-sumber tersebut. Kritik internal dilakukan untuk menilai kelayakan dan kredibilitas data/sumber. Kelayakan dan kredibilitas data/sumber biasanya mengacu pada kemampuan data/sumber untuk mengungkap kebenaran suatu peristiwa sejarah.

Kemampuan sumber meliputi kompetensi, kedekatan atau kehadiran data/sumber dalam persitiwa sejarah. Selain itu, kepentingan atau subjektivitas data/sumber serta ketersediaan data/sumber untuk mengungkap kebenaran sejarah. Konsistensi data/sumber terhadap isi atau konten. Sedangkan kritik eksternal dilakukan untuk mengetahui sejauhmana keabsahan dan autensitas data dan sumber. Kritik terhadap autensitas tersebut misalnya dengan melakukan pengecekkan pada tanggal penerbitan dokumen-dokumen, pengecekkan data/sumber tersebut asli atau salinan, serta pengecekkan data-data dan sumber-sumber sezaman.

Selanjutnya interpretasi dilakukan untuk “analisis” bahan-bahan (sumber) dan data-data sejarah yang telah diverifikasi. Jadi interpretasi dilakukan dengan menelaah (menguraikan) dan mensintesiskan (menggabungkan) data-data atau bahan-bahan sejarah yang telah dikritik secara internal dan eksternal.

Prosiding Konferensi Pendidikan Nasional “Penguatan Karakter Bangsa Melalui Inovasi Pendidikan di Era Digital”

146

Interpretasi atau analisis data dalam metodologi penelitian sejarah sering disebut sebagai biang subjektivitas. Sebagian itu benar, tetapi sebagian salah. Benar, karena tanpa analisis data dari sejarawan, data-data tersebut tidak bisa “berbicara” dan mengungkap sesuatu di masa lalu. Sejarawan yang jujur, akan mencantumkan data dan keterangan dari mana data itu diperoleh. Orang lain dapat melihat kembali dan menganalisisnya ulang. Itulah sebabnya subjektivitas penulis sejarah diakui, tetapi untuk dihindari atau diminimalisir. Dan terakhir, tahap penulisan laporan (historiografi) pun dilaksanakan. PEMBAHASAN

Pembahasan dari penelitian ini dibagi menjadi dua, yaitu pembahasan mengenai sejarah alternatif sebagai kritik terhadap dominasi dan hegemoni dalam sejarah dan hubungan antara pendidikan karakter dengan sejarah alternatif serta konsep dan implementasinya dalam rangka penguatan pendidikan karakter. Penjelasannya adalah sebagai berikut. 1) Sejarah Alternatif: Kritik Terhadap Dominasi dan Hegemoni Sejarah

Menulis sejarah, terutama sejarah nasional, bukan sekedar kegiatan intelektual atau akademis, tetapi juga kegiatan yang bermakna politis. Berbagai klaim mengenai asal-usul, kedaulatan wilayah, legitimasi pemegang kekuasaan, status pahlawan nasional, siapa musuh dan siapa korban, peran atau nasib pengkhianat dan penjahat, siapa kaum elit dan siapa kaum tersisih, sudah lama menjadi pokok perdebatan sejarah, baik bagi pelaku politik maupun sejarawan (Nordholt, dkk (ed), 2008). Disamping itu, berbagai kecenderungan dalam historiografi Indonesia mencerminkan betapa berat dan menyiksanya upaya yang lengah dilakukan para sejarawan Indonesia untuk memecahkan permasalahan-permasalahan tersebut, termasuk problematika metodologi dan sentrisme dalam (penulisan) sejarah (Soedjatmoko, dkk (ed), 1995).

Dalam perkembanganya, kemunculan historiografi Indonesia sentris merupakan antitesis atas “pembenaran” sejarah yang telah diberlakukan oleh kolonial dan menjadi sebuah dekolonialisasi sejarah Indonesia. Pada dasarnya ketika penulisan sejarah Indonesia berprinsipkan menghilangkan aspek-aspek kolonial dalam sangkut paut sejarah sebagai imbas dari idealisme historiografi Indonesia sentris, maka banyak hal yang muncul pada akhrinya, semisal timbulnya sejarah yang anakronis dalam memahami suatu peristiwa sejarah. Persfektif ini disebabkan oleh peranan sejarah yang ingin menghilangkan kultur kolonial itu sendiri. Padahal jika kita ingin menyadarinya, tidak ada suatu peristiwa sejarah dimana aktor utamanya adalah aktor tunggal. Pasti selalu ada minimal dua aktor yang menyebabkan sebuah peristiwa itu terjadi. Dalam konteks ini adalah aktor kolonial Belanda sebagai pemicu peristiwa sejarah tersebut disamping adanya aktor (peran) dari orang Indonesia itu sendiri (Purwanto, 2006).

Pada akhirnya prinsip dekolonialisasi sejarah yang pada awalnya hanya untuk mengeliminasi peran dan pengaruh kolonial dalam lintas waktu sejarah Indonesia dalam konteks rekontrusksi sejarah, malah menjadi sebuah pembenaran sejarah. Padahal upaya tersebut menjadikan tradisi penulisan sejarah jauh dari kesan kritis bahkan menimbulkan sebuah kesan parsial dalam historiografi. Dengan demikian, motifnya adalah kepentingan politik ideologis yang tidak mengakui adanya keberagaman (peran) sejarah. Dengan kata lain, historiografi Indonesia sentris yang idealnya adalah sebagai antitesis atas lahirnya historiografi kolonial, telah gagal mengembangkan perannya.

Oleh karena itu, Sartono Kartodirdjo (1982) pernah mengemukakan pemikiran-pemikiran kritis dan komprehensif dalam rangka penulisan (kembali) sejarah Indonesia. Pada dasarnya, sejarawan perlu untuk tidak “puas” dengan historiografi kolonial dan konvensional, karena tidak sesuai lagi untuk menuliskan kembali periode kolonial dalam rangka sejarah nasional Indonesia. Sartono Kartodirdjo mencoba membuka jalan baru dengan merisntis historiografi Indonesia melalui pendekatan multidimensional dan metode interdisipliner. Pemikiran ini mencoba (bahkan terus-menerus) “menggugat” para sejarawan Indonesia lebih berani lagi untuk meruntuhkan lambang-lambang (pemikiran) kolonialisme dan sentrisme dalam historiografi Indonesia.

Pada perkembangannya, pemikiran di atas dihadapkan pada dominasi dan hegemoni sejarah. Narasi sejarah (kebanyakan) dipahami sebagai legitimasi kekuasaan ditengah merebaknya krisis identitas yang bersifat politis. Sentrisme sejarah yang objektif masih tersandung dengan dominasi identitas. Identitas-identitas dalam narasi sejarah jadinya berkiblat pada kekuasaan regiosentrisme (bisa berdasarkan suku, agama, ras, dan antargolongan). Pada sisi lain, kekurangpahaman pada dasar-dasar metodologi dan epistemologi menambah deretan permasalahan ditengah kacau-balaunya historiografi Indonesia. Kekacauan historiografi tersebut terhegemoni melalui bahan ajar sejarah di sekolah-sekolah, film-film sejarah, nama-nama fasislitas umum, bahkan merebak pada (politisasi) gelar pahlawan nasional.

Prosiding Konferensi Pendidikan Nasional “Penguatan Karakter Bangsa Melalui Inovasi Pendidikan di Era Digital”

147

Meminjam istilah Henk Schulte Nordholt, dkk (2008) mengutarakan dua faktor utama yang turut membentuk situasi tersebut. Pertama pembentukan pengetahuan sejarah (historical knowledge) tergantung pada penguasaan terhadap sejumlah sumber daya institusional yang memungkinkan rekonstruksi, produksi dan sirkulasi pengetahuan tentang masa lalu. Sumber-sumber daya itu (sampai batas tertentu) dikendalikan oleh negara, baik pada masa kolonial maupun pada pascakolonial. Kedua, tantangan terhadap narasi besar (grand narratives) tentang masyarakat dan masa lalu juga merupakan bagian dari dinamika hubungan kekuasaan. Tantangan yang berupa narasi-narasi alternatif ini dapat muncul dari kaum intelektual dan anggota masyarakat yang berada di pinggir kekuasaan. Narasi-narasi alternatif ini dimaksudkan sebagai penolakan total atau pun sebagian narasi-narasi besar terhadap momen-momen sejarah tertentu.

Oleh karena itu, sebagai sejarawan harus lebih kritis dalam merekonstrusi sejarah. Intinya menelaah istilah Taufik Abdullah, dkk (1985), sejarah bukanlah sesuatu yang absolut sehingga tidak dapat direkonstruksi kembali kebenarannya secara ilmiah. Pada dasarnya, sebuah rekotruksi sejarah mutlak dilakukan, dengan catatan ditemukannya sumber-sumber baru yang dapat merubah (bahkan meruntuhkan) paradigma sebelumnya. Dalam bahasa yang sederhana, dapat dikatakan bahwa penulisan (kembali) adalah puncak segala-galanya. Sebab apa yang dituliskan itulah sejarah -yaitu histoire-recite, sejarah-sebagaimana- ia dikisahkan, yang mencoba menangkap dan memahami histoire-realite, sejarah-sebagaimana-terjadi. Dan hasil penulisan (kembali) sejarah inilah yang disebut sebagai sejarah alternatif (atau historiografi alternatif). Penulisan kembai sejarah alternatif berusaha sejauh mungkin mencari “kebenaran” historis dari setiap fakta-fakta sejarah. Pencarian itu bermula dari suatu pertanyaan pokok. Dari pertanyaan inilah berbagai keharusan konseptual dilakukan dan bermacam proses pengerjaan penelitian dan penulisan dijalani.

Skema 1. Sejarah alternatif dan hubungannya sebagai kritik terhadap dominasi dan hegemoni sejarah

Dalam konteks ini, sejarah alternatif tidak saja menguji secara kritis metodologi sejarah, melainkan juga menguji dan merumuskan kembali berbagai klaim kebenaran dan pembenaran historiografi serta menyelidiki terbentuknya klaim kebenaran secara historis. Penulisan kembali sejarah alternatif menawarkan historiografi kritis dalam membedah dominasi dan hegemoni “negara” lewat sejarah. Dengan kata lain, sejarah alternatif berusaha membuka perspektif baru terhadap narasi-narasi sejarah yang selama ini dibungkam (terutama oleh negara). Sebelumnya, narasi-narasi tersebut memang sengaja dibungkam dari pihak-pihak tertentu karena dianggap megganggu dan mengancam eksistensi (legitimasi) kekuasaan.

2) Konsep dan Implementasi Penguatan Pendidikan Karakter Melalui Sejarah Alternatif

Dalam konteks humanisasi, pendidikan merupakan suatu konsep yang normatif dan sarat dengan nilai. Dalam kosep pendidikan itu sendiri sudah terkandung keharusan adanya “pendidikan nilai”. Dengan lain perkataan, pendidikan nilai merupakan bagian integral dari pendidikan dan “built in” dalam konsep pendidikan. Pendidikan sebagai “humanisasi”, yaitu membantu manusia berkembang dalam dimensi intelektual, moral, psikologis, dan estetik tentulah memuat nilai-nilai. Tetapi “pendidikan nilai” dapat juga

SejarahAlternatif

KonstruksiNarasiMasa

Lalu

DekonstruksiNarasiMasa

Lalu

RekonstruksiNarasiMasa

Lalu

Prosiding Konferensi Pendidikan Nasional “Penguatan Karakter Bangsa Melalui Inovasi Pendidikan di Era Digital”

148

merupakan suatu aktivitas yang secara khusus bertujuan menanamkan nilai-nilai tertentu, misalnya nilai moral, nilai estetik dan religious. Dalam pendidikan nilai, diskursus normatif memainkan peran sentral (Sastrapratedja SJ, 2013).

Pendidikan karakter adalah upaya yang dirancang secara sengaja untuk memperbaiki karakter para siswa. Pendidikan karakter dimaksudkan sebagai upaya yang sungguh-sungguh untuk membangun seseorang memahami, peduli dan bertindak dengan landasan inti nilai-nilai estetis (Lickona, 2012). Dengan kata lain, pendidikan karakter dapat disebut juga sebagai pendidikan nilai, pendidikan moral, pendidikan watak, pendidikan budi pekerti yang bertujuan untuk mengembangkan kemampuan anak didik untuk menentukan benar-salah dan memberikan keputusan baik-buruk dengan sepenuh hati. Konsep dan implementasinya dapat dilihat dari skema berikut ini.

Skema 2. Hubungan antara Konsep Moral, Sikap Moral dan Perilaku Moral (Diadaptasi dari Lickona, 2012)

Sejarah sebagai karya sastra, seni, dan budaya pada hakikatnya adalah sebagai inti dari pendidikan karakter yang menyarankan bahwa karya tersebut baik secara langsung maupun tidak langsung memegang peranan penting. Alasannya jelas oleh karena di dalam karya sastra tersebutlah terkandung berbagai narasi yang berisi contoh dan keteladanan, hikmat dan nasihat, ganjaran dan sebaliknya hukuman yang berkaitan dengan pembentukan karakter. Pada hakikatnya, nilai-nilai kebudayaan sebagaian atau seluruhnya bertumpu pada sejarah, sastra, seni, dan filsafat. Dengan kalimat lain, sejarah, sastra, seni, dan filsafat mengekspresikan gaya hidup, pandangan dunia secara keseluruhan. Karya-karya tersebut pada dasarnya sudah ada bahkan mungkin sudah dipelajari sebelumnya, tetapi tidak disadari.

Karakter

KonsepMoral

PerilakuMoral

SikapMoral

Prosiding Konferensi Pendidikan Nasional “Penguatan Karakter Bangsa Melalui Inovasi Pendidikan di Era Digital”

149

Skema 3. Sejarah sebagai Sumber Nilai-Nilai Karakter

Pendidikan karakterlah yang menyadarkan pembaca, masyarakat pada umumnya untuk mengenali kembali karya-karya tersebut sehingga benar-benar bermanfaat. Pengertian sejarah sebagai inti pendidikan karakter juga didasarkan atas pemahaman bahwa karya tersebut memiliki kemungkinan paling besar yang dapat mengubah perilaku dengan pertimbangan disampaikan secara tak langsung di satu pihak, kualitas estetis di pihak lain. Keberagaman, kekayaaan, karya dalam kaitannya dengan khazanah bangsa pada keseluruhan merupakan alasan lain untuk menopang pendidikan karakter (Ratna, 2014). Peran karya sejarah, sastra, seni, dan budaya di samping sebagai inti pendidikan karakter itu sendiri juga berfungsi untuk menanamkan rasa kebangsaan, kebanggan, kepahlawanan dan kesetiaan terhadap negara dan tanah air.

Lanjut (Ratna, 2014) menguraikan bahwa memanfaatkan sejarah dalam rangka menopang pendidikan karakter berarti menghargai, melestarikan warisan nenek moyang sekaligus membatasi budaya asing, sebab segala sesuatu yang terkandung didalamnya adalah khazanah kultural suatu bangsa. Bangsa yang besar adalah mereka yang menghargai sejarahnya, masa lampaunya dan warisan nenek moyangnya. Kualitas pendidikan karakter yang sesungguhnya adalah nilai-nilai yang diturunkan melalui kesadaran kolektif, memori masa lampau yang sudah tertanam sejak ratusan bahkan ribuan tahun.

• Gemarmembaca• Pedulilingkungan

• Pedulisosial• Tanggungjawab

• Semangatkebangsaan• Cintatanahair• Menghargaiprestasi• Komunkatif/bersahabat• Cintadamai

• KerjaKeras• Kreatif• Mandiri

• Demokratis• RasaInginTahu

• Religius• Jujur• Toleransi• Disiplin

LOGIKA dlmSejarahAlternatif

KINESTETIKAdlmSejarahAlternatif

ETIKAdlmSejarahAlternatif

ESTETIKAdlmSejarahAlternatif

Prosiding Konferensi Pendidikan Nasional “Penguatan Karakter Bangsa Melalui Inovasi Pendidikan di Era Digital”

150

Skema 4. Hubungan antara Gerakan Literasi (Sejarah) dengan Implementasi Penguatan Pendidikan Karakter

Dengan demikian, penguatan pendidikan karakter melalui sejarah alternatif dapat diimplementasikan melalui gerakan-gerakan literasi, yang menyasar bidang kognitif, afektif dan psikomotorik. Sejarah alternatif adalah narasi-narasi dari masa lampau yang sarat dengan nilai-karakter yang sangat berguna untuk masa depan. Narasi sejarah merupakan suatu proses perjuangan manusia dalam mencapai gambaran tentang segala aktivitasnya yang disusun secara ilmiah dengan memperhatikan urutan waktu, diberi tafsiran dan analisis kritis, sehingga mudah dimengerti dan dipahami. Narasi sejarah dapat memberikan gambaran dan tindakan maupun perbuatan manusia dengan segala perubahannya. Dengan demikian, narasi sejarah bukan semata-mata gambaran mengenai masa lalu, tetapi sebagai suatu cermin masa depan (Susanto, 2014; Aman, 2011).

SIMPULAN

Sejarah alternatif sebagai memori kolektif dari tiap-tiap bangsa dapat menjadi sumber pendidikan karakter. Penguatan pendidikan karakter melalui sejarah alternatif dapat diimplementasikan melalui gerakan-gerakan literasi, baik dalam lingkup pendidikan formal, informal, maupun nonformal. Sejarah alternatif adalah narasi-narasi alternatif dari masa lampau yang sarat dengan nilai-karakter untuk kehidupan masa kini. Dalam hal ini, sejarah alternatif secara fundamental mengeksplorasikan nilai-nilai karakter tersebut untuk memunculkan kesadaran sejarah. Kesadaran sejarah tersebut pada akhirnya memperkokoh solidaritas dalam kehidupan berbangsa dan sekaligus menjadi nilai-karakter dari bangsa itu sendiri. DAFTAR PUSTAKA A, Doni Koesoema. (2007). Pendidikan Karakter Strategi Mendidik di Zaman Global, Jakarta: Grasindo. Abdullah, Taufik dan Abdurrachman Surjomihardjo, dkk (ed). (1985). Ilmu Sejarah dan Historiografi

Arah dan Perspektif, Jakarta: PT Gramedia kerjasama dengan Yayasan Ilmu-Ilmu Sosial (YIIS) dan LEKNAS-LIPI.

Adisusilo J.R, Sutarjo, dkk (ed). (2001). Strategi Pembelajaran Sejarah, Yogyakarta: Penerbitan Universitas Sanata Dharma.

Aisiah. (2016). Peran Sejarah sebagai Basis untuk membangun Karakter Peserta Didik melalui Biografi Tokoh. Prosiding Seminar Nasional Program Studi Pendidikan Sejarah se-Indonesia: Kajian Muatan dan Posisi Mata Pelajaran Sejarah di Kurikulum 2013, Yogyakarta: FIS UNY, hlm. 1-12.

Aman. (2011). Model Evaluasi Pembelajaran Sejarah, Yogyakarta: Ombak. Garvey, Brian dan Mary Krug. (2015). Model-Model Pembelajaran Sejarah di Sekolah Menengah,

(terjemahan) Yogyakarta: Ombak. Gulo, Fileksius. (2015). Pendidikan Sejarah dan Karakter Bangsa, Suara Merdeka (edisi 21/10/2015).

ImplementasiPPK

PPKmelaluiKegiatanSeni,Budaya,dst.

PPKmelaluiManajemen

Kelas

PPKmelaluiGerakanLiterasi

(Sejarah)

PPKmelaluiPembelajaran

Prosiding Konferensi Pendidikan Nasional “Penguatan Karakter Bangsa Melalui Inovasi Pendidikan di Era Digital”

151

Handayani, Sri. (2014). Pembelajaran Sejarah Dalam Membangun Budaya Karakter Bangsa. Prosiding Seminar Nasional: Pembelajaran Sejarah di Tengah Perubahan, Malang: FIS UM kerjasama dengan Asosiasi Pendidikan dan Peneliti Sejarah, hlm. 180-187.

Hasan, S. Hamid. (2012). Pendidikan Sejarah Untuk Memperkuat Pendidikan Karakter. Jurnal Paramita Vol. 1 Jan, hlm. 81-95

.......................... (2014). Pendidikan Karakter dalam Pendidikan Sejarah Kurikulum 2013. Prosiding Seminar Nasional: Pembelajaran Sejarah di Tengah Perubahan, Malang: FIS UM kerjasama dengan Asosiasi Pendidikan dan Peneliti Sejarah, hlm. 17-30.

Kartodirdjo, Sartono. (1982). Pemikiran dan Perkembangan Historiografi Indonesia Suatu Alternatif, Jakarta: PT Gramedia.

.................................. (1993). Pembangunan Bangsa, tentang Nasionalisme, Kesadaran dan Kebudayaan Nasional, Yogyakarta: Aditya Media.

Lickona, Thomas. (2012). Educating For Character: Mendidik Untuk Membentuk Karakter, (terjemahan) Jakarta: Bumi Aksara.

Lionar, Uun. (2016). Peran Guru Sejarah Dalam Pendidikan Nilai: Suatu Refleksi. Prosiding Seminar Nasional Program Studi Pendidikan Sejarah se-Indonesia: Kajian Muatan dan Posisi Mata Pelajaran Sejarah di Kurikulum 2013, Yogyakarta: FIS UNY, hlm. 81-90.

Nordholt, Henk Schulte, Bambang Purwanto, dan Ratna Saptari (ed). (2008). Perspektif Baru Penulisan Sejarah Indonesia, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia kerjasama dengan KITLV-Jakarta dan Pustaka Larasan.

Pratama, Fahreza Erico. (2017). Pendidikan Karakter dalam Pembelajaran Sejarah Lokal. Prosiding Seminar Nasional (Sejarah Lokal: Tantangan dan Masa Depan), Malang: FIS UM, hlm 238-245.

Priyadi, Sugeng. (2012). Metodologi Penelitian Pendidikan Sejarah, Yogyakarta: Ombak. Priyatni, Endah Tri dan Nurhadi. (2017). Membaca Kritis dan Literasi Kritis, Tangerang: Tira Smart. Ratna, Nyoman Kutha. (2014). Peranan Karya Sastra, Seni dan Budaya Dalam Pendidikan Karakter,

Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Salvetri. (2016). Pembelajaran Sejarah: Kontribusinya dalam Membangun Karakter Bangsa. Prosiding

Seminar Nasional Program Studi Pendidikan Sejarah se-Indonesia: Kajian Muatan dan Posisi Mata Pelajaran Sejarah di Kurikulum 2013, Yogyakarta: FIS UNY, hlm. 112-119.

Samani, Muchalis dan Hariyanto. (2012). Konsep dan Model Pendidikan Karakter, Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Sastrapratedja SJ, M. (2013). Pendidikan Sebagai Humanisasi, Jakarta: Pusat Kajian Filsafat dan Pancasila.

Soedjatmoko, Mohammad Ali, G. J Resink, G. McTurnan Kahin (ed). (1995). Historiografi Indonesia Sebuah Pengantar, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Subroto, Wisnu. (2016) Pembelajaran Sejarah untuk Penanaman Nilai-Nilai Lokal. Prosiding Seminar Nasional Program Studi Pendidikan Sejarah se-Indonesia: Kajian Muatan dan Posisi Mata Pelajaran Sejarah di Kurikulum 2013, Yogyakarta: FIS UNY, hlm. 382-388.

Susanto, Heri. (2014). Seputar Pembelajaran Sejarah: Isu, Gagasan, dan Strategi Pembelajaran, Yogyakarta: Aswaja Pressindo

Tilaar, H.A.R. (2012). Perubahan Sosial dan Pendidikan, Pengantar Pedagogik Transformatif untuk Indonesia, Jakarta: Rineka Cipta

Prosiding Konferensi Pendidikan Nasional “Penguatan Karakter Bangsa Melalui Inovasi Pendidikan di Era Digital”

152

EFEKTIVITAS PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH TERHADAP PRESTASI BELAJAR SISWA

Rima Aksen Cahdriyana1, Arie Purwanto 2 1Universitas Ahmad Dahlan

2Universitas Mercu Buana Yogyakarta [email protected]

[email protected]

Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah prestasi belajar siswa yang diajar menggunakan model pembelajaran berbasis masalah lebih baik daripada prestasi belajar siswa yang diajar menggunakan model pembelajaran konvensional. Populasi dalam penelitian ini adalah semua siswa kelas VII pada semester genap di salah satu SMP di Yogyakarta. Sampel dalam penelitian ini terdiri atas dua kelas, yaitu kelas eksperimen dan kelas kontrol. Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah cluster random sampling. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah metode tes dan dokumentasi. Teknik analisis data yang digunakan adalah uji-z yang sebelumnya dilakukan uji normalitas dan uji homogenitas. Instrumen yang digunakan adalah tes prestasi belajar. Sebelum dikenakan pada sampel, instrumen diujicobakan terlebih dahulu untuk melihat apakah tes yang telah disusun memenuhi syarat-syarat tes yang baik atau belum, yaitu melalui uji validitas dan reliabilitas. Dari hasil penelitian pada α = 5% , diperoleh zhitung sebesar 11,826 sedangkan nilai dari ztabel = 1,645. Karena zhitung > ztabel maka H0 ditolak, sehingga dapat disimpulkan bahwa prestasi belajar siswa yang diajar menggunakan metode pembelajaran berbasis masalah lebih baik daripada prestasi belajar siswa yang diajar menggunakan metode konvensional. Kata Kunci: pembelajaran berbasis masalah, prestasi belajar PENDAHULUAN

Perubahan kurikulum yang terjadi di Indonesia merupakan salah satu upaya yang dilakukan oleh pemerintah untuk memperbaiki profesionalitas guru. Salah satu kemampuan yang harus dimiliki untuk menunjukkan profesionalitas guru adalah kemampuan pedagogik. Keterbatasan keterampilan guru baik dalam menyampaikan materi pelajaran maupun dalam mengelola kelas merupakan suatu masalah yang terus diupayakan bagaimana solusinya. Dahulu, guru begitu terbiasa menyampaikan materi dengan ceramah. Namun sekarang, metode itu bukan lagi menjadi bagian utama dalam pembelajaran. Model-model pembelajaran yang dikedepankan dewasa ini lebih mengutamakan penalaran induktif daripada penalaran deduktif.

Sejatinya, perubahan paradigma dari penalaran deduktif ke penalaran induktif tidak hanya tercantum dalam kurikulum 2013 saja, bahkan kurikulum-kurikulum sebelumnya telah menunjukkan esensi yang sama. Penalaran induktif mengarah pada pendekatan konstruktivis. Dalam tahap-tahap pembelajaran yang menerapkan pendekatan konstruktivis, terdapat self development, dimana siswa diberi kesempatan untuk memupuk kemampuan secara mandiri dan mengasah kekreativitasannya melalui pengalaman yang telah ada. Selain itu, terdapat tahap perkembangan potensial, dimana dalam membangun pengetahuan, siswa dibantu oleh guru melalui teknik scaffolding. Dalam teknik ini, guru tidak serta merta memberikan pengetahuan kepada siswa, tetapi guru memberikan bantuan atau pertanyaan-pertanyaan pancingan untuk mengarahkan siswa pada suatu penyelesaian masalah tertentu. Melalui pembelajaran dengan pendekatan konstruktivis tersebut, pengetahuan yang sudah dibangun

Prosiding Konferensi Pendidikan Nasional “Penguatan Karakter Bangsa Melalui Inovasi Pendidikan di Era Digital”

153

dapat terinternalisasi dalam mental siswa, sehingga pengetahuan yang dipelajari dapat ditangkap secara menyeluruh.

Senada dengan pembelajaran yang menerapkan pendekatan konstruktivis, dalam langkah-langkah pembelajaran dengan pendekatan saintifik dijelaskan adanya networking, dimana siswa diminta untuk berdiskusi, baik dalam kelompok kecil maupun kelompok besar (diskusi kelas). Dalam pelaksanaan diskusi ini, peranan guru sangat dibutuhkan melalui teknik scaffolding, suatu teknik yang dapat dijumpai dalam pembelajaran yang menggunakan pendekatan konstruktivis tahap perkembangan potensial. Saat guru menggunakan teknik scaffolding berupa pengajuan pertanyaan, terdapat wait-time, yaitu jeda antara pengajuan pertanyaan dengan respon terhadap pertanyaan tersebut. Jika siswa lambat dalam merespon, guru dapat menggunakan pertanyaan lain untuk merangsang jawaban yang diinginkan. Hal ini disebut probe (teknik probing) yang didefinisikan sebagai pertanyaan lanjutan yang digunakan untuk mencari klarifikasi respon siswa. Probe adalah pertanyaan yang digunakan untuk mengeksplorasi kedalaman dan luasnya jawaban dari pertanyaan sebelumnya (Cole & Chan, 1994: 170).

Banyak model pembelajaran yang dikembangkan dan hal itu merupakan penerapan dari paham konstruktivis. Salah satunya adalah model pembelajaran berbasis masalah (PBM). Poin utama dalam PBM berada pada pemberian masalah, dan masalah sering diekspresikan dalam bentuk pertanyaan. Bereiter & Scardamalia (2003) mengatakan bahwa dalam mengonstruksi pengetahuan, mencari solusi dari suatu masalah lebih baik daripada sekedar menjawab pertanyaan. Karena jawaban memiliki a certain finality, sedangkan solusi umumnya continually improvable. Melalui masalah, pengetahuan dapat terinternalisasi dalam mental siswa, sehingga prestasi belajar siswa yang diajar menggunakan pendekatan konstruktivis akan jauh lebih baik daripada prestasi belajar siswa yang diajar menggunakan pembelajaran langsung (konvensional). METODE

Penelitian ini dilaksanakan di salah satu SMP di Yogyakarta dan termasuk dalam penelitian kuasi eksperimental. Populasi dalam penelitian ini adalah siswa kelas VII yang terdiri atas enam kelas. Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah random sampling. Dari enam kelas yang ada diperoleh dua kelas dan digunakan sebagai kelas eksperimen dan kelas kontrol. Sebelum kelas eksperimen diberikan praktik pembelajaran menggunakan metode pembelajaran berbasis masalah dan kelas kontrol diberikan praktik menggunakan metode pembelajaran konvensional, harus dipastikan terlebih dahulu bahwa subjek pada kedua kelas mempunyai kemampuan yang seimbang. Uji untuk mengetahui apakah kemampuan subjek dari kedua kelas tersebut seimbang adalah dengan menggunakan uji-z. Uji keseimbangan menggunakan data nilai ujian tengah semester genap siswa kelas VII yang sebelumnya telah dilakukan uji normalitas dan uji homogenitas.

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah tes prestasi belajar siswa yang berupa soal uraian. Tes prestasi belajar yang telah disusun, diujicobakan terlebih dahulu sebelum dikenakan kepada sampel. Tujuan uji coba ini adalah untuk melihat apakah tes yang telah disusun memenuhi syarat-syarat tes yang baik atau belum. Tes yang baik harus valid dan reliabel. Untuk menguji validitas tes digunakan rumus korelasi product moment dari Karl Pearson. Butir soal tes yang digunakan adalah jika indeks validitasnya (rxy) lebih dari atau sama dengan 0,30. Untuk menguji reliabilitas tes digunakan teknik Cronbach Alpha. Instrumen tes dikatakan reliabel apabila koefisien reliabilitasnya 0,70 atau lebih.

Sebelum dilakukan uji hipotesis terhadap data prestasi belajar siswa, terlebih dahulu dilakukan uji prasyarat analisis yaitu uji normalitas dan homogenitas. Uji normalitas digunakan untuk mengetahui apakah sampel yang diambil dari populasi yang berdistribusi normal atau tidak. Metode yang digunakan adalah metode Lilliefors. Sedangkan uji homogenitas digunakan untuk menguji apakah sampel mempunyai variansi sama. Untuk menguji homogenitas digunakan uji homogenitas variansi. HASIL DAN PEMBAHASAN

Sebelum dilakukan penerapan pembelajaran di kelas eksperimen dan kontrol, peneliti melakukan uji untuk mengetahui apakah kedua kelas memiliki kemampuan awal yang sama atau tidak, dengan menggunakan nilai ujian tengah semester. Dari nilai tersebut, dilakukan uji normalitas pada kelompok eksperimen diperoleh Lmaks hitung = 0,1147, sedangkan pada kelompok kontrol diperoleh Lmaks hitung = 0,1022. Karena Lmaks hitung < Ltabel = 0,1519 maka H0 diterima. Hal ini berarti bahwa kelas eksperimen dan kelas kontrol berasal dari populasi yang berdistribusi normal. Sedangkan hasil perhitungan untuk uji

Prosiding Konferensi Pendidikan Nasional “Penguatan Karakter Bangsa Melalui Inovasi Pendidikan di Era Digital”

154

homogenitas diperoleh Fhitung = 1,0824 dan Ftabel = 1,7625. Karena Fhitung < Ftabel, maka H0 diterima, sehingga dapat disimpulkan bahwa sampel berasal dari populasi yang homogen. Hasil perhitungan untuk uji keseimbangan diperoleh zhitung sebesar 0, 6040 dan ztabel sebesar 1,96. H0 ditolak jika zhitung < - 1, 96 atau zhitung > 1, 96. Karena nilai zhitung tidak pada kriteria tersebut, maka H0 diterima, sehingga dapat disimpulkan bahwa kelas eksperimen dan kelas kontrol mempunyai kemampuan matematika yang seimbang sebelum perlakuan.

Instrumen utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah soal tes prestasi belajar siswa. Soal tes diujicobakan kepada 32 siswa yang bukan termasuk dalam subjek penelitian. Validitas tes prestasi belajar menggunakan korelasi product moment dan diperoleh hasil perhitungan bahwa dua butir soal dinyatakan valid karena rxy ≥ 0,30. Untuk butir soal pertama diperoleh nilai rxy sebesar 0,9179, sedangkan butir soal kedua diperoleh nilai rxy sebesar 0,8992. Soal tes yang valid kemudian diuji reliabilitasnya. Berdasarkan hasil perhitungan diperoleh koefisien reliabilitas (r11) sebesar 0,787. Karena r11 ≥ 0,70 maka dapat disimpulkan bahwa soal tes dinyatakan reliabel.

Langkah selanjutnya adalah memberikan perlakukan pada kedua kelas. Soal tes diberikan kepada siswa pada kelas eksperimen setelah mendapatkan perlakukan menggunakan metode pembelajaran berbasis masalah dan diberikan kepada siswa pada kelas kontrol setelah mendapatkan perlakuan menggunakan metode pembelajaran konvensional. Sebelum dilakukan uji hipotesis terhadap skor tes prestasi belajar matematika siswa, terlebih dahulu peneliti melakukan uji prasyarat yaitu uji normalitas. Dari hasil skor tes prestasi belajar matematika siswa pada kelompok eksperimen diperoleh Lmaks hitung = 0,2185, sedangkan pada kelompok kontrol diperoleh Lmaks hitung = 0,2095. Karena Lmaks hitung > Ltabel = 0,1542 maka H0 ditolak. Hal ini berarti bahwa kelas eksperimen dan kelas kontrol berasal dari populasi yang tidak berdistribusi normal. Berdasarkan hasil uji normalitas tersebut, maka uji hipotesis tidak dapat menggunakan uji beda rerata independen (uji-z). Uji hipotesis yang dipilih menggunakan uji non-parametris yaitu Mann Whitney U Test.

Tabel 1. Hasil Uji Mann Whitney U Test menggunakan SPSS Test Statisticsa Nilai

Mann-Whitney U 60.500

Wilcoxon W 621.500

Z -6.263

Asymp. Sig. (2-tailed) .000

Tabel di atas merupakan hasil uji Mann Whitney U Test menggunakan SPSS yang menunjukkan

nilai U sebesar 60,50 dan apabila dikonversikan ke nilai z maka nilainya - 6,263. Berdasarkan tabel tersebut dapat disimpulkan bahawa H0 ditolak karena nilai z berada pada rentang: zhitung < - 1,96 atau zhitung > 1,96 dan p-value sebesar 0,00 yang menunjukkan kurang dari batas kritis sebesar 0,05, sehingga dapat disimpulkan bahwa prestasi belajar matematika siswa yang diajar menggunakan metode pembelajaran berbasis masalah lebih baik daripada prestasi belajar matematika siswa yang diajar menggunakan metode konvensional.

Hasil penelitian ini senada dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Ajai, Imoko, & O’kwu (2013) bahwa prestasi belajar siswa yang diajar menggunakan model pembelajaran berbasis masalah lebih baik daripada prestasi belajar siswa yang diajar menggunakan model konvensional. Emmanuel, Abonyi, Okafor, & Omebe (2015) juga menguatkan melalui hasil penelitiannya yang menyatakan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara prestasi belajar siswa yang diajar menggunakan model pembelajaran berbasis masalah dengan prestasi belajar siswa yang diajar menggunakan model konvensional. Prestasi belajar yang dimaksud dari hasil penelitian Emmanuel, dkk tersebut merupakan prestasi belajar siswa pada materi aljabar. Meskipun dalam mengajarkan materi aljabar menggunakan pembelajaran berbasis masalah terlihat lebih unggul dibandingkan dengan pembelajaran konvensional, namun seharusnya tidak menutup pandangan bahwa sejatinya tidak semua materi pelajaran cocok diajarkan menggunakan model pembelajaran berbasis masalah. Oleh karena itu, sebelum menerapkan model pembelajaran berbasis masalah kepada siswa seharusnya guru menganalisis karakteristik dari materi yang akan diajarkan.

Prosiding Konferensi Pendidikan Nasional “Penguatan Karakter Bangsa Melalui Inovasi Pendidikan di Era Digital”

155

Dalam penelitian ini, beberapa masalah matematika yang diberikan kepada siswa saat penerapan pembelajaran berbasis masalah didasarkan pada (1) soal-soal yang berbentuk real-world, atau (2) soal-soal baru yang tidak dapat dipecahkan menggunakan prosedur rutin yang telah diketahui siswa. Materi segiempat yang diajarkan kepada siswa melalui penelitian ini mampu dimodifikasi ke dalam bentuk-bentuk masalah sesuai dengan kedua ciri tersebut. Hal ini menguatkan bahwa karakteristik dari materi segiempat dapat disajikan dalam bentuk masalah matematika sehingga cocok digunakan pada penerapan pembelajaran berbasis masalah. Berikut ini salah satu contoh masalah yang disampaikan dalam penerapan pembelajaran berbasis masalah.

Seorang penjual kue memiliki jenis kue berbentuk daerah persegipanjang dengan luas daerah permukaannya 96 cm2. Sebelum kue tersebut dijual, terlebih dahulu dipotong-potong dalam potongan kecil berbentuk daerah jajargenjang dengan alas 3 cm dan tinggi 4 cm. Setelah dipotong, banyak kue berbentuk daerah jajargenjang sebanyak 6 kue. Ternyata dari hasil potongan ada sisa kue yang tidak berbentuk daerah jajargenjang. Berapa luas daerah permukaan kue yang tidak berbentuk daerah jajar genjang? (Sinaga dkk, 2013: 215)

Gambar 1. Contoh jawaban siswa menggunakan representasi visual

Saat menjawab pertanyaan di atas, dua kelompok siswa mereprentasikan soal tersebut dengan gambar. Awal mula, salah satu kelompok membuat daerah persegi panjang dengan panjang 24 cm dan lebar 4 cm. Sedangkan kelompok lain, membuat daerah persegi panjang dengan panjang 12 cm dan lebar 8 cm. Perbedaan daerah persegi panjang yang terbentuk menghasilkan perbedaan potongan jajargenjang. Salah satu kelompok membuat keenam potongan jajargenjang berjajar kanan-kiri, sedangkan kelompok lain membuat keenam potongan jajargenjang berjajar kanan-kiri dan atas-bawah. Lain halnya dengan kedua kelompok di atas (Gambar 1), terdapat kelompok siswa yang mereprentasikan soal tersebut tanpa dengan gambar (Gambar 2). Siswa dalam kelompok tersebut langsung menghitung jumlah luasan dari 6 potongan kue yang berbentuk jajar genjang. Sehingga didapat luas sisa dari potongan kue yang berbentuk jajargenjang dengan mengurangkan jumlah luasan keenam potongan kue dari luas kue seluruhnya yang berbentuk persegi panjang.

Gambar 2. Contoh jawaban siswa menggunakan representasi numerik

Prosiding Konferensi Pendidikan Nasional “Penguatan Karakter Bangsa Melalui Inovasi Pendidikan di Era Digital”

156

Berdasarkan ketiga jawaban kelompok siswa di atas menunjukkan bahwa masalah yang diberikan

siswa dapat memunculkan ide-ide baru yang terlihat dari beragamnya langkah penyelesaian yang dituliskan siswa. Siswa tidak lagi terpaku dengan langkah penyelesaian yang biasanya diajarkan oleh guru, namun siswa mendapat kesempatan untuk mengeksplorasi ide-idenya sendiri sehingga dapat meningkatkan kreativitasnya dalam memecahkan suatu masalah.

Selain itu, Fatade, Mogari, & Arigbabu (2013) juga melakukan penelitian yang menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan antara prestasi belajar siswa yang diajar menggunakan model pembelajaran berbasis masalah dengan model pembelajaran konvensional. Uraian hasil penelitiannya menekankan bahwa langkah-langkah dalam pembelajaran berbasis masalah itu termasuk ke dalam pendekatan konstruktivis. Sejalan dengan apa yang dilakukan dalam penelitian ini, melalui lembar observasi yang dikembangkan diperoleh keterlaksanaan pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran berbasis masalah sebesar 85%. Oleh karena itu dapat diambil suatu hubungan bahwa mengapa prestasi belajar siswa yang diajar menggunakan model pembelajaran berbasis masalah itu lebih baik, karena saat pembelajaran berlangsung peneliti benar-benar mengupayakan keterlaksanaan dari langkah-langkah dalam pembelajaran berbasis masalah.

Fatade, Mogari, & Arigbabu (2013) juga menjelaskan bahwa model pembelajaran berbasis masalah dapat membuat siswa menjadi lebih aktif, mampu bertindak secara sadar, berfikir rasional, dan menjalin hubungan dengan teman sebaya secara efektif. Melalui penerapan model pembelajaran berbasis masalah, guru juga dituntut untuk mengetahui kapan dan bagaimana memberikan scaffolding selama pembelajaran berlangsung. Tentunya, hal ini dapat membantu guru untuk melakukan diagnosis terhadap kesiapan siswa pada pembelajaran.

Beberapa hasil penelitian yang sejenis juga memberikan gambaran bahwa guru matematika seharusnya memperoleh pelatihan secara teratur untuk membuat mereka kompeten dalam menyiapkan siswa supaya mampu menghadapi berbagai tantangan pada abad ke-21. Pemerintah seharusnya memberikan pelayanan pendidikan untuk guru. Berbagai perubahan dalam masyarakat dan perubahan-perubahan yang dihasilkan melalui kebijakan pendidikan seperti perubahan kurikulum maka dibutuhkanlah pelatihan yang berkesinambungan bagi guru (Fatade, Mogari, & Arigbabu, 2013). Sebagai contoh, perubahan paradigma pendidikan dari penalaran deduktif menuju penalaran induktif dapat mempengaruhi guru untuk mengetahui beragam model pembelajaran seperti model pembelajaran berbasis masalah. Hal ini menjadikan guru sebagai salah satu pelaku pemegang keberhasilan pembelajaran tidak seharusnya luput untuk selalu dijaga kompetensinya. SIMPULAN

Model-model pembelajaran yang mengedepankan penalaran deduktif menuntut guru untuk mengasah keterampilannya. Salah satu ciri dalam pembelajaran konstruktivis adalah memberikan bantuan dengan teknik scaffolding, yang merupakan suatu bentuk tantangan yang harus dihadapi guru memasuki paradigma pembelajaran dengan penalaran induktif. Tentunya dalam pembelajaran ini guru tidak hanya sekedar memberikan pengetahuan kepada siswa, tetapi memberikan pancingan-pancingan menuju ke arah pengetahuan yang dituju. Oleh karena ada banyak manfaat yang diperoleh dari pembelajaran dengan penalaran induktif, guru matematika seharusnya memperoleh pelatihan secara teratur untuk membuat mereka kompeten dalam menyiapkan siswa supaya mampu menghadapi berbagai tantangan pada abad ke-21. DAFTAR PUSTAKA Emmanuel, O., Abonyi, O.S., Okafor, G., & Omebe, C. (2015). Effects of Problem-Based Learning

Approach on Junior Secondary School Students’ Achievement in Algebra. Journal of the Science Teachers Association of Nigeria, 50(1), 57-68.

Fatade, A.O., Mogari, D., & Arigbabu, A.A. (2013). Effect of Problem-Based Learning on Senior Secondary School Students’ Achievements in Further Mathematics. Acta Didactica Napocensia, 6(3), 27-43.

Ajai, J.T., Imoko, B.I., & O’kwu, E.I. (2013). Comparison of the Learning Effectiveness of Problem-Based Learning (PBL) and Conventional Method of Teaching Algebra. Journal of Education and Practice, 4(1), 131-135.

Prosiding Konferensi Pendidikan Nasional “Penguatan Karakter Bangsa Melalui Inovasi Pendidikan di Era Digital”

157

Aydin, Yusuf. (2014). The Effects of Problem Based Approach on Student’s Conceptual Understanding in a University Mathematics Classroom. Procedia-Social and Behavioral Sciences, 152, 704-707.

Sinaga, B., dkk. 2013. Matematika SMP/MTs Kelas VII. Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Bereiter, C., & Scardamalia, M. (2003). Learning to Work Creatively with Knowledge. In: E. De Corte, L. Verschaffel, N. Entwistle, & J. van Merriënboer (eds.), Unravelling Basic Components and Dimensions of Powerful Learning Environments. EARLI Advances in Learning and Instruction Series.

Cole, P. G., & Chan, L. K. S. (1994). Teaching Principles and Practice (2nd ed.). Sidney: Prentice Hall.

Prosiding Konferensi Pendidikan Nasional “Penguatan Karakter Bangsa Melalui Inovasi Pendidikan di Era Digital”

158

METODE PEMBELAJARAN JIGSAW DALAM MENINGKATKAN KETERAMPILAN KOMUNIKASI SISWA SMP

Hayu Almar’atus Sholihah1, Nurul Fiadhia Koeswardani2, Visca Kenia Fitriana3 1,2,3Universitas Negeri Semarang

[email protected] [email protected]

[email protected]

Abstrak Manusia dalam kegiatan sehari hari tidak lepas dari interaksi sesama manusia, baik yang positif dan negative. Pada hakekatnya, manusia adalah makhluk sosial yang sejatinya tidak bisa hidup sendiri. Sebagai makhluk sosial, manusia senantiasa membangun dan memiliki hubungan dengan orang lain. Senada dengan itu, pendapat yang di kemukakan oleh Kay dalam Yusuf (2009:72) mengenai tugas-tugas perkembangan remaja adalah belajar bergaul dengan teman sebaya atau orang lain baik secara individu maupun kelompok. Permasalahan yang muncul dalam komunikasi adalah tidak semua individu dapat melakukan komunikasi dengan baik, hal itu bisa terlihat pada masalah yang dialami oleh anak yang gugup. Metode jigsaw adalah salah satu tipe pembelajaran aktif yang terdiri dari tim-tim belajar heterogen beranggotakan 4-5 orang dan setiap peserta didik bertanggung jawab atas penguasaan bagian materi belajar dan mampu mengajarkan bagian tersebut kepada anggota lain. Manfaat pengggunaan metode jigsaw adalah sebagai berikut: 1) Meningkatkan kemampuan diri tiap individu, 2) Saling menerima kekurangan terhadap perbedaan individu yang lebih besar, 3) Konflik antar pribadi berkurang, 4) Sikap apatis berkurang, 5) Pemahaman yang lebih mendalam, 6) Motivasi lebih besar, 7) Hasil belajar lebih tinggi, 8) Retensi atau penyimpanan lebih lama, 9) Meningkatkan kebaikan budi, kepekaan dan toleransi, 10) Cooperative learning. Kata Kunci: Metode Jigsaw, Pembelajaran, Komunikasi, Remaja

PENDAHULUAN

Manusia merupakan makhluk sosial, artinya manusia memiliki kebutuhan dan kemampuan serta kebiasaan untuk berkomunikasi dan berinteraksi dengan manusia yang lain. Masa remaja disebut sebagai masa sosial karena sepanjang masa remaja hubungan sosial semakin tampak jelas dan sangat dominan. Kesadaran akan kesunyian dan dorongan akan pergaulan mendorong remaja untuk berkomunikasi dan mengembangkan hubungan sosialnya. Keinginan membangun hubungan sosial dengan lawan jenis dan kecenderungan memilih karir tertentu juga mendorong remaja untuk mengembangkan hubungan sosial dan keterampilan komunikasinya (Ali & Asrori, 2015, p.91-92).

Keterampilan merupakan sebuah kemampuan dalam mengoperasikan pekerjaan secara lebih mudah dan tepat. Sedangkan komunikasi adalah aktivitas utama manusia dalam kehidupan sehari-hari. Komunikasi merupakan kunci sukses dalam pergaulan dan karir, karena dengan komunikasi yang baik, maka dapat dibangun hubungan yang baik. Jadi, keterampilan komunikasi adalah keterampilan utama yang harus dimiliki untuk mampu membina hubungan baik dengan orang lain.

Individu yang dapat berkomunikasi secara efektif dengan siapapun atau dimanapun, akan membawa pertumbuhan kepribadian. Sebaliknya individu tidak dapat berkomunikasi secara efektif, Ia akan mengalami hambatan pertumbuhan kepribadian (Davis, 1940; Wasserman, 1924) dalam (Rakhmat, 2003, p.2). Keterampilan komunikasi penting dimiliki oleh remaja, karena selain untuk memenuhi tugas-tugas perkembangannya menuju masa dewasa, keterampilan komunikasi seperti jurnalistik (menulis) dan public speaking (berbicara di depan umum) banyak dibutuhkan dalam bidang pekerjaan, bahkan menjadi karir tersendiri. Keterampilan komunikasi juga dibutuhkan dalam pengembangan usaha, pengembangan dan pemberdayaan diri.

Penelitian yang dilakukan Mustakim dan Solikhin (2015, p.87) selama mengajar di kelas VII-A, menghasilkan ada 12 siswa (44%) yang berani mengajukan pertanyaan kepada guru apabila menjumpai hal-hal yang menurut mereka tidak paham, sedangkan 15 siswa (56%) tidak berani bertanya kepada guru dengan alasan takut, malu dikira oleh temannya sebagai siswa yang bodoh sehingga berakibat prestasi

Prosiding Konferensi Pendidikan Nasional “Penguatan Karakter Bangsa Melalui Inovasi Pendidikan di Era Digital”

159

belajar mereka juga belum memuaskan. Dari 27 siswa hanya 12 siswa yang tuntas belajar. Kondisi seperti ini terjadi karena guru dalam melakukan pembelajaran di kelas masih menggunakan model dan metode mengajar kurang bervariasi, monoton hanya mengedepankan ceramah dan tugas saja apalagi memberi tugas yang menantang bagi siswa untuk mencoba cara lain atau bahkan menemukan cara sendiri yang tetap logis. Untuk mengatasi masalah di atas, salah satu solusinya adalah guru menerapkan model pembelajaran yang tepat. Karena ketidaktepatan guru dalam merancang dan melaksanakan pembelajaran menjadi salah satu faktor penyebab kesulitan belajar pada siswa.

Keterampilan komunikasi siswa dapat dimunculkan dan dikembangkan melalui aktivitas pembelajaran yang dikendalikan oleh guru melalui model dan metode pembelajaran. Model dan metode pembelajaran yang dapat melatihkan keterampilan komunikasi siswa antara lain model pembelajaran kooperatif jigsaw (Vanalita, Jalmo, & Marpaung, 2014, p.3). Jigsaw mampu meningkatkan keterampilan komunikasi siswa melalui diskusi kelompok ahli dan kelompok asal yang dapat meningkatkan pemahaman siswa terhadap materi (Nurhaeni, 2011). Jigsaw melibatkan siswa untuk berinteraksi satu sama lain melalui kelompok ahli dan kelompok asal sehingga siswa terbiasa untuk aktif (Aryanti, 2015). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh metode pembelajaran jigsaw dalam meningkatkan keterampilan komunikasi siswa SMP.

METODE

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kepustakaan. Menurut Sugiyono (201 2: 291) bahwa studi kepustakaan berkaitan dengan kajian teoritis dan referensi lain yang berkaitan dengan nilai, budaya, dan norma yang berkembang pada situasi sosial yang diteliti, selain itu studi kepustakaan sangat penting dalam melakukan penelitian, hal ini karena penelitian tidak akan terlepas dari literatur-literatur ilmiah. Sedangkan menurut Surakmad (1992 : 63) penyelidikan bibliografis tidak dapat diabaikan sebab disinilah penyelidik berusaha menemukan keterangan mengenai segala sesuatu yang relevan dengan masalahnya, yakni teori yang dipakainya, pendapat para ahli, penyelidikan yang sedang berjalan atau masalah-masalah yang disarankan para ahli. Jadi dapat dikatakan bahwa studi kepustakaan merupakan jenis penelitian yang mengutamakan literatur atau referensi sebagai bahan utama untuk mengaitkan masalah yang ada di lapangan dan teori para ahli. Dalam penelitian ini menggunakan metode penelitian yakni studi kepustakaan karena dalam hal ini penelitian didukung oleh studi kepustakaan yag bersumber dari literatur maupun referensi sebagai acuan sehingga hasilnya sesuai dengan tujuan yang diharapkan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengertian Metode Pembelajaran Metode dapat diartikan sebagai cara yang dapat digunakan untuk melaksanakan

strategi. Sanjaya (2008: 147) juga menyatakan bahwa Metode adalah cara yang digunakan untuk mengimplementasikan rencana yang sudah disusun dalam kegiatan nyata agar tujuan yang telah disusun tercapai secara optimal. Metode ini merupakan langkah-langkah operasional dari strategi pembelajaran yang digunakan untuk mencapai tujuan belajar.

Sedangkan Achmad Sugandi (2004:9) mendefinisikan pembelajaran sebagai cara guru memberikan kesempatan kepada si belajar untuk berfikir agar memahami apa yang dipelajari. Isjoni (2009: 14) juga mendefinisikan pembelajaran sebagai upaya guru untuk membantu siwa melakukan kegiatan belajar. Tujuan pembelajaran adalah terwujudnya efisiensi dan efektivitas kegiatan belajar yang dilakukan peserta didik.

Menurut Ginting (2008:42), metode pembelajaran dapat diartikan cara atau pola yang khas dalam memanfaatkan berbagai prinsip dasar pendidikan serta berbagai teknik dan sumberdaya terkait lainnya agar terjadi proses pemblajaran pada diri pembelajar. Sedangkan menurut Achamdi dan Prasetya (2005, 52) metode pembelajaran adalah teknik penyajian yang dikuasai oleh seorang guru untuk menyajikan materi pelajaran kepada murid di dalam kelas baik secara individual atau secara kelompok agar materi pelajaran dapat diserap, dipahami dan dimanfaatkan oleh murid dengan baik.

Prosiding Konferensi Pendidikan Nasional “Penguatan Karakter Bangsa Melalui Inovasi Pendidikan di Era Digital”

160

Dari penjelasan di atas dapat di tarik kesimpulan bahwa metode pembelajaran adalah cara atau teknik yang di gunakan oleh guru untuk menyampaikan bahan ajar kepada siswa dalam bentuk nyata atau praktis untuk mencapai tujuan pembelajaran. Tujuan Penggunaan Metode Pembelajaran

Beberapa tujuan penting yang seharusnya dimiliki suatu metode pembelajaran menurut Joyne & Weil (1980) adalah sbb :

a. Bimbingan, maksudnya suatu metode pembelajaran berfungsi menjadi acuan bagi guru dan siswa mengenai apa yang seharusnya dilakukan, memiliki desian instruksional yang komprehensif, dan mampu membawa guru dan siswa kearah tujuan pembelajaran.

b. Mengembangkan kurikulum, maksudnya metode pembelajaran selanjutnya berfungsi untuk dapat membantu mengembangkan kurikulum pada setiap kelas atau tahapan pendidikan.

c. Spesifikasi alat pelajaran, maksudnya metode pembelajaran berfungsi merinci semua alat pembelajaran yang akan digunakan guru dalam upaya membawa siswa kepada perubahan-perubahan perilaku yang dikehendaki.

d. Memberikan perbaikan terhadap pembelajaran. Maksudnya metode pembelajaran dapat membantu meningkatkan aktivitas proses belajar mengajar sekaligus meningkatkan hasil belajar siswa.

Pengertian Metode Jigsaw Teknik mengajar jigsaw dikembangkan oleh Aroson et al. sebagai metode Coopertaive Learning.

Lie (2008 : 69) mengemukakan bahwa metode jigsaw adalah suatu metode kooperatif yang memperhatikan skemata atau latar belakang pengalaman siswa dan membantu mengaktifkan skemata tersebut agar bahan pelajaran lebih bermakna. Jigsaw learning atau pembelajaran tipe Jigsaw merupakan sebuah teknik yang dipakai secara luas yang memiliki kesamaan dengan teknik pertukaran dari kelompok ke kelompok (group-to-group exchange) dengan suatu perbedaan penting yaitu setiap peserta didik mengajarkan sesuatu. Dalam teknik ini peserta didik belajar dengan sebuah kelompoknya, dimana dalam kelompok tersebut terdapat satu orang ahli yang membahas materi tertentu (Silberman, 2002: 168)

Model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw menitik beratkan kepada kerja kelompok dalam bentuk kelompok kecil. Metode atau tipe Jigsaw merupakan metode belajar kooperatif dengan cara siswa belajar dalam kelompok kecil yang terdiri atas empat sampai dengan enam orang secara heterogen. Siswa bekerja sama saling ketergantungan positif dan bertanggung jawab secara mandiri. Dalam pembelajaran ini, siswa juga memiliki banyak kesempatan untuk mengemukakan pendapat dan dapat meningkatkan keterampilan berkomunikasi. Anggota kelompok bertanggung jawab atas keberhasilan kelompoknya dan ketuntasan bagian materi yang dipelajari dan dapat menyampaikan kepada kelompoknya (Rusman dalam Shoimin, 2014:90).

Metode jigsaw adalah salah satu tipe pembelajaran aktif yang terdiri dari tim-tim belajar heterogen beranggotakan 4-5 orang (materi disajikan peserta didik dalam bentuk teks) dan setiap peserta didik bertanggung jawab atas penguasaan bagian materi belajar dan mampu mengajarkan bagian tersebut kepada anggota lain. Metode jigsaw telah dikembangkan dan diuji coba oleh Elliot Aronson dan teman-teman di Universitas Texas, dan teman-teman di Universitas John Hopkins pada tahun 1978. Jigsaw merupakan model pembelajaran kooperatif, dengan siswa belajar dalam kelompok kecil yang terdiri dari 4-6 orang secara heterogen.

Materi pembelajaran yang diberikan kepada siswa berupa teks dan setiap anggota bertanggung jawab atas ketuntasan bagian materi pelajaran yang harus dipelajari. Teknik ini serupa dengan pertukaran antar kelompok.. Tiap siswa mempelajari setiap bagian yang bila digabungkan akan membentuk pengetahuan yang padu. Para anggota dari kelompok asal yang berbeda bertemu dengan topik yang sama dalam kelompok untuk berdiskusi dan membahas materi yang ditugaskan pada masing-masing anggota kelompok serta membantu satu sama lain untuk mempelajari topik mereka tersebut. Setelah pembahasan selesai, para anggota kelompok kemudian kembali kepada kelompok asal dan berusaha mengajarkan pada teman sekelompok nya apa yang mereka dapatkan saat pertemuan di kelompok ahli.

Dari beberapa pendapat yang di sampaikan di atas, motode jigsaw merupakan salah satu metode kooperatif yang lakukan dengan membagi beberapa siswa menjadi beberapa kelompok yang kemudian di beri tugas untuk membahas materi dengan kelompoknya. Dalam metode jigsaw ini juga terdiri atas kelompok asal dan kelompok ahli.

Prosiding Konferensi Pendidikan Nasional “Penguatan Karakter Bangsa Melalui Inovasi Pendidikan di Era Digital”

161

Tujuan Metode Jigsaw

Tujuan dari metode jigsaw memiliki tujuan kognitif, yaitu pengetahuan faktual akademis, dan tujuan sosial, yaitu kerjasama kelompok. Selain itu tujuan pembelajaran metode jigsaw adalah untuk melatih peserta didik agar terbiasa berdiskusi dan bertanggiungjawab secara individu untuk membantu memahamkan tentang sesuatu materi pokok kepada teman sekelasnya. Manfaat Metode Jigsaw

Abdau (2016) menyampaikan ada beberapa manfaat yang dapat di peroleh ketika seorang guru menggunakan metode jigsaw kepada siswa ketika melakukan proses belajar mengajar. Manfaat metode jigsaw, antara lain: 1) Meningkatkan kemampuan diri tiap individu, 2) Saling menerima kekurangan terhadap perbedaan individu yang lebih besar, 3) Konflik antar pribadi berkurang, 4) Sikap apatis berkurang, 5) Pemahaman yang lebih mendalam, 6) Motivasi lebih besar, 7) Hasil belajar lebih tinggi, 8) Retensi atau penyimpanan lebih lama, 9) Meningkatkan kebaikan budi, kepekaan dan toleransi, 10) Cooperative learning dapat mencegah keagresifan dalam sistem kompetensi dan keterasingan dalam sistem individu tanpa mengorbankan aspek kognitif. Langkah-langkah metode Jigsaw

Prosedur metode pembelajaran jigsaw meliputi langkah-langkah sebagai berikut : 1) Pemilihan materi yang dapat dibagi menjadi beberapa segmen / bagian. 2) Guru membagi siswa menjadi beberapa beberapa kelompok-kelompok kecil sesuai dengan

segmen / bagian materi. Dalam metode jigsaw ini terdapat kelompok asal dan kelompok ahli. Kelompok asal adalah kelompok awal siswa terdiri dari beberapa anggota kelompok ahli yang dibentuk dengan memperhatikan keragaman dan latar belakang. Sedangkan kelompok ahli, yaitu kelompok siswa yang terdiri dari anggota kelompok lain (kelompok asal) yang ditugaskan untuk mendalami sub topik tertentu untuk kemudian dijelaskan kepada anggota kelompok asal.

3) Setiap kelompok mendapat tugas membaca dan memahami materi atau sub topik yang berbeda-beda.

4) Setiap kelompok asal mengirimkan anggotanya ke kelompok lain atau kelompok ahli. Di dalam kelompok ahli, siswa mendiskusikan bagian materi pembelajaran yang sama.Kemudian setiap anggota merencanakan bagaimana mengajarkan sub topik yang menjadi bagian anggota kelompoknya semula (kelompok asal).

5) Setelah pembahasan selesai para anggota kelompok kemudian kembali pada kelompok asal dan mengajarkan pada teman sekelompoknya pengetahuan apa yang telah mereka dapatkan saat pertemuan di kelompok ahli.

6) Selanjutnya dilakukan presentasi masing-masing kelompok atau dilakukan pengundian salah satu untuk menyajikan hasil diskusi kelompok yang telah dilakukan agar guru dapat menyamakan persepsi pada materi pembelajaran yang telah didiskusikan.

7) Guru memberikan kuis untuk siswa secara individual. 8) Guru memberikan penghargaan pada kelompok melalui skor penghargaan berdasarkan

perolehan nilai peningkatan hasil belajar individual dari skor dasar ke skor kuis berikutnya. Hubungan antara kelompok asal dan kelompok ahli oleh Arends seperti yang

dikutip oleh Novi Emildadiany (2008) dapat digambarkan sebagai berikut :

Prosiding Konferensi Pendidikan Nasional “Penguatan Karakter Bangsa Melalui Inovasi Pendidikan di Era Digital”

162

Pembelajaran metode jigsaw ini mempunyai kelebihan-kelebihan sebagai berikut :

1) Memacu siswa untuk berpikir kritis 2) Memaksa siswa untuk membuat kata-kata ynag tepat agar dapat menjelaskan kepada

teman yang lain.Hal ini akan membantu siswa mengembangkan kemampuan sosialnya. 3) Diskusi yang terjadi tidak didominasi oleh siswa-siswa tertentu tapi semua siswa

dituntut menjadi aktif. 4) Jigsaw dapat digunakan bersama strategi belajar yang lain. 5) Jigsaw mudah dilakukan. 6) Selain kelebihan-kelebihan di atas, metode jigsaw ini juga mempunyai 7) beberapa kelemahan diantaranya : 8) Kegiatan belajar mengajarnya membutuhkan lebih banyak waktu dibanding metode

ceramah. 9) Guru membutuhkan konsentrasi dan tenaga lebih ekstra karena setiap kelompok membutuhkan

penanganan yang berbeda-beda. Keterampilan komunikasi

Komunikasi adalah peristiwa yang terjadi ketika manusia berinteraksi dengan manusia yang lain. Komunikasi menyentuh segala aspek kehidupan manusia, menurut penelitian mengungkapkan bahwa 70% waktu bangun manusia digunakan untuk berkomunikasi. Komunikasi menentukan kualitas kehidupan manusia.

Menurut Poniran (2000:2) komunikasi antar manusia itu menggunakan alat penghubung berupa lambang-lambang dalam bentuk bahasa lisan, bahasa tulisan, bahasa tubuh dan lain-lainnya, sehingga pesan mudah dimengerti dan dipahami oleh penerima pesan. Apabila masing-masing pihak yang berkomunikasi mengerti dan memahami apa yang dimaksud maka hubungan akan menjadi lancar, demikian sebaliknya. Oleh karena itu komunikasi merupakan proses pengoperasian isi pesan berupa lambang-lambang dari pengirim kepada penerima pesan.

Komunikasi merupakan sarana untuk memenuhi kebutuhan sosial. Melalui komunikasi seseorang dapat memenuhi kebutuhan akan rasa ingin tahu, kebutuhan aktualisasi diri, dan kebutuhan untuk menyampaikan ide, pemikiran, pengetahuan dan informasi secara timbal balik kepada orang lain. Komunikasi yag tidak berjalan efektif, menyebabkan perilaku komunikasi mengembangkan sikap ketidaksenangan dan menutup diri (Rakhmat, 1998). Salah satu dari keterampilan proses yang dikembangkan dalam diri siswa adalah keterampilan berkomunikasi (Firman, 2000).

Agar mampu memulai, mengembangkan dan memelihara komunikasi yang akrab, hangat, dan produktif dengan orang lain, manusia perlu memiliki sejumlah keterampilan dasar berkomunikasi. Menurut Johnson (dalam Supratiknya, 1995), beberapa keterampilan dasar yang dimaksud adalah 1) harus mampu saling memahami, 2) harus mampu mengkomunikasikan pikiran dan perasaan secara tepatdan jelas, 3) mampu saling menerima dan saling

Prosiding Konferensi Pendidikan Nasional “Penguatan Karakter Bangsa Melalui Inovasi Pendidikan di Era Digital”

163

memberikan dukungan atau saling menolong, 4) mampu memecahkan konflik dan bentuk-bentuk masalah antar pribadi lain yang muncul dalam komunikasi dengan orang lain.

Nelson (2012) mengungkapkan, aspek-aspek keterampilan komunikasi ada tiga, antara lain : keterampilan verbal meliputi bahasa formal, bahasa informal, isi materi. Keterampilan vokal terkait dengan suara meliputi artikulasi, intonasi (tinggi -rendah), tempo (kecepatan bicara), aksentuasi (penekanan) dan volume. Keterampilan tubuh terdiri atas pesan-pesan yang dikirim melalui gerakan tubuh sebagai ekspresi yang sedang diungkapkan meliputi, ekspresi wajah, kontak mata, gesture, dan penampilan. Faktor-faktor keterampilan komunikasi meliputi interaksi, symbol, dan media. Keterampilan komunikasi merupakan kemampan yang sangat mendasar untuk berinteraksi dan mengekspresikan gagasan kepada orang lain sehingga mudah dipahami. Dalam penelitian (Raras Pandu Respati Ningrum, 2015) Dampak yang muncul dari kegiatan komunikasi interpersonal yang rendah adalah sulitnya mengungkapkan perasaan siswa terhadap siswa lainnya ataupun terhadap guru mengenai permasalahan yang sedang dihadapinya, keengganan dalam melakukan interaksi komunikasi dalam kegiatan pembelajaran, munculnya sikap minder, dan sering terjadi konflik antar siswa.

Ciri-ciri siswa yang terampil komunikasi

Siswa yang dapat berkomunikasi dengan lingkungannya dengan baik memiliki tingkat kecerdasan interpersonal yang tinggi. Safaria (2005) mengungkapkan ciri-ciri individu yang memiliki kecerdasan interpersonal yang tinggi dan yang rendah. Berikut karakteristik anak yang memiliki kecerdasan interpersonal yang tinggi, yaitu :

1. Anak mampu mengembangkan dan menciptakan relasi sosial baru secara efektif. 2. Anak mampu berempati dengan orang lain atau memahami orang lain secara total. 3. Anak mampu mempertahankan relasi sosialnya secara efektif sehingga tidak

musnah dimakan waktu dan senantiasa berkembang semakin intim/mendalam/penuh makna. 4. Anak mampu menyadari komunikasi verbal maupun non verbal yang dimunculkan orang lain,

atau dengan kata lain sensitif terhadap perubahan situasi sosial dan tuntutan tuntutannya. Sehingga anak mampu menyesuaikan dirinya secara efektif dalam segala macam situasi.

5. Anak mampu memecahkan masalah yang terjadi dalam relasi sosialnya dengan pendekatan win-win solution, serta yang paling penting adalah mencegah munculnya masalah dalam relasi sosialnya.

6. Anak memiliki ketrampilan komunikasi yang mencakup ketrampilan mendengarkan efektif, berbicara efektif dan menulis secara efektif. Termasuk pula di dalamnya mampu menampilkan penampilan fisik (model busana) yang sesuai dengan tuntutan lingkungan sosialnya. Sedangkan menurut (Anderson dalam Dedy Wahyudi) ciri-ciri peserta didik dengan Kecerdasan

Interpersonal di antaranya: 1. Biasanya mempunyai kemampuan yang baik dalam mengetahui dan memahami

orang lain/temannya baik dalam minat, keinginan atau motivasinya. 2. Biasanya bersikap ekstrovert dan bisa bersifat kharismatik karena dapat meyakinkan orang lain

serta cukup diplomatis. 3. Menyukai perdamaian, keharmonisan, kerjasama dan tidak menyukai konfrontasi.

Dampak siswa tidak terampil komunikasi

Menurut Johnson (dalam Supratiknya 1995: 52) terdapat beberapa akibat yang akan timbul apabila perasaan individu tidak dikomunikasikan secara baik, yaitu dapat menciptakan berbagai masalah dalam hubungan interpersonal, dapat menyulitkan dalam memahami dan mengatasi berbagai masalah yang timbul dalam hubungan interpersonal, dapat meningkatkan kecenderungan untuk melakukan persepsi secara selektif, dapat menimbulkan distorsi atau penyimpangan dalam penilaian, dan dalam pengungkapan perasaan yang tidak efektif justru tersirat tuntutan-tuntutan tertentu.

Prosiding Konferensi Pendidikan Nasional “Penguatan Karakter Bangsa Melalui Inovasi Pendidikan di Era Digital”

164

SIMPULAN

Simpulan dari penelitian ini adalah kemampuan komunikasi siswa SMP dapat dikembangkan dengan metode jigsaw karena metode Jigsaw mampu mengingkatkan keterampilan komunikasi siswa melalui diskusi kelompok ahli dan kelompok asal yang dapat meningkatkan pemahaman siswa terhadap materi. Metode Jigsaw ini melibatkan siswa untuk berinteraksi satu sama lain melalui kelompok ahli dan kelompok asal sehingga siswa terbiasa untuk aktif.

DAFTAR PUSTAKA

Abu Ahmadi, Joko Tri Prastya. (2005). Strategi Belajar Mengajar. Bandung: CV Pustaka Setia. Abdau, I. (2016). Implementasi Penggunaan Metode Jigsaw Learning dalam Pembelajaran PAI di SMA

Darus Syahid Sampang Madura. Surabaya. UIN Sunan Ampel Surabaya. Abdurrahman Ginting. (2008). Esensi Praktis Belajar dan Pembelajaran. Bandung : Humaniora. Acmad Sugandi & Haryanto. (2004). Teori Pembelajaran. Semarang: Unnes Pers. Ali, M & Asrori, M. (2015). Psikologi Remaja Perkembangan Peserta Didik. Jakarta: PT Bumi Aksara. Aryanti, R. D. (2015). Perbandingan Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw Dengan Tipe

Belajar Bersama (Learning Thogether) Pada Mata Pelajaran Konstruktifis Bangunan Kelas X di SMK Negeri 9 Garut. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia.

Kusharyanti, Indah. (2009). Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif dengan Metode Jigsaw untuk Meningkatkan Penguasaan Konsep dalam Pembelajaran Akuntansi Siswa Kelas XI IS 5 SMA Negeri 8 Surakarta Tahun Ajaran 2008/2009. Skripsi. Surakarta : Universitas Sebelas Maret.

Lie, Anita. (2008). Cooperative Learning :Mempraktikkan Cooperative Learning di Ruang-Ruang Kelas. Jakarta : Gramedia Widiasarana Indonesia.

Mel Siberrnen. (2004). 101 Strategi Pembelajaran Aktif (Active Learning). Bandung: Nusa Media. hlm. 653.

Mustakim & Solikhin. (2015). Upaya Meningkatkan Keberanian Siswa Bertanya dan Prestasi Belajar dengan Pembelajaran Think Pair Share (TPS) Berbantuan Media. Jurnal Pendidikan, Volume 16, Nomor 2, hlm 74-99. e-ISSN 2443-3586.

Ningrum, Raras. (2015). Upaya Meningkatkan Komunikas Interpersonal melalui Teknik Konseling Kelompok pada Siswa Kelas VII B SMP Negeri 1 Pakem. Artikel E-Journal. Yogyakarta : Universitas Negeri Yogyakarta.

Nurhaeni, Yani. (2011) Meningkatkan Pemahaman Siswa pada Konsep Listrik melalui Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw pada Siswa Kelas IX SMPN 43 Bandung. Bandung. Jurnal Penelitian Pendidikan Vol 12, No 1, hlm 69-80. ISSN 1412-565X.

Rakhmat, Jalaludin. (2003). Psikologi Komunikasi. Bandung: Remaja Rosdakarya. Robert E. Slavin. (2005). Cooperative Learning. Bandung: Nusa Media. hlm. 235. Poniran. (2000). Keterampilan berkomunikasi siswa SMU N 10 Jambi. Skripsi. Padang: Universitas

Negeri Padang. Sanjaya, Wina. (2008). Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan.

Jakarta: Kencana. Shoimin, Aris. (2014). 68 Model Pembelajaran Inovatif dalam Kurikulum 2013. Yogyakarta: Ar-Ruzz

Media. Silberman, Melvin L. (2002). Active Learning 101 Stategi Pembelajarn Aktif. Yogyakarta: Yappendis. Silberman, Melvin L. (2004). Active Learning : 101 Cara Belajar Siswa Aktif. Bandung : Nusamedia dan

Nuansa. Sugiyono. (2012). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung : Alfabeta. Supraktiknya. (1995). Komunikasi antar pribadi. Yogyakarta: Kanisius. Susanto, Hadi. (2016). Model Pembelajaran Jigsaw.

https://bagawanabiyasa.wordpress.com/2016/01/20/model-pembelajaran-jigsaw/ di akses pada tanggal 22 Agustus 2018 pukul 22.00.

Sutikno Sobry. (2013). Belajar dan Pembelajaran. Lombok: Holistica. Trianto. (2011). Model Pembelajaran Terpadu Konsep,Strategi, Dan Implementsainya Dalam Kurikulum

Tingkat Satuan Pelajaran KTSP, Jakarta: Bumi Aksara.

Prosiding Konferensi Pendidikan Nasional “Penguatan Karakter Bangsa Melalui Inovasi Pendidikan di Era Digital”

165

Vanalita, Mila, Jalmo T & Marpaung. (2014). Pengaruh Pembelajaran Jigsaw terhadap Kemampuan Komunikasi Lisan dan Hasil Belajar Siswa. Jurnal Bioterdidik Vol 2, No 9. Bandar Lampung. (Universitas Lampung).

Wahyudi, Dedy. (2011). Pembelajaran IPS Berbasis Kecerdasan Intrapersonal, Interpersonal dan Eksistensial. Edisi Khusus No. 1, Agustus 2011. ISSN 1412-565X.

Wahyuni, Endang. (2015). Hubungan Self-Effecacy dan Keterampilan Komunikasi dengan Kecemasan Berbicara di Depan Umum. Jurnal Komunikasi Islam Volume 05, Nomor 01. Surabaya. (UIN) Sunan Ampel Surabaya.

Prosiding Konferensi Pendidikan Nasional “Penguatan Karakter Bangsa Melalui Inovasi Pendidikan di Era Digital”

166

PENERAPAN METODE COOPERATIVE LEARNING DENGAN MEMANFAATAN APLIKASI GOOGLE CLASSROOM SEBAGAI UPAYA

MENINGKATKAN NILAI KARAKTER KEBAIKAN SISWA MENENGAH PERTAMA

Siti Maesaroh1, Afifah Hasna2, Yunita DR3, Fifi ZN4

1,2,3,4Universitas Negeri Semarang [email protected]

Abstrak Pendidik adalah central vital bagi keberhasilan peserta didik dalam mengemban tugas belajar di sekolah. Oleh karena itu guru dianggap sebagai unsur yang sangat penting dalam keseluruhan sistem pendidikan di Indonesia. Maka, peranan dan kedudukan guru sangat di perhitungkan dengan sungguh-sungguh dalam meningkatkan mutu dan kualitas peserta didik. Guru di tuntut untuk bisa menjadi inspirasi bagi setiap siswa di sekolah. Di era globalisasi yang tengah kita hadapi yaitu zaman 4.0 membuat guru juga tidak boleh ketinggalan zaman. Nabi Muhammad SAW bersabda: “Didiklah anak sesuai dengan zamannya”. Penggunaan gadget sudah hampir menyeluruh di indonesia. Bahkan anak usia 3 tahun sudah di jejali gadget oleh kedua orang tuannya dengan alasan agar anak mereka diam di rumah dan tidak nakal. Namun hal tersebut tidaklah benar karena, ketika anak sudah mengalami kecanduan gadget maka banyak dampak buruk psikologis yang terjadi ke depannya seperti anak menjadi anti sosial, egois dan over ambisius negatif serta banyak hal negatif lainnya. Salah satu peran guru dalam menanamkan nilai-nilai kebaikan di era 4.0 adalah dengan memanfaatkan kecanggihan teknologi yang ada tanpa mengubah hal yang sudah ada salah satunya aplikasi google classroom yang di gagas oleh google. Dari hasil penelitian yang di lakukan peneliti di salah satu sekolah menengah pertama menemukan banyak manfaat dari aplikasi ini. Salah satunya sangat bermanfaat untuk meningkatkan motivasi siswa dalam belajar, konservasi paperless dan mempermudah siswa melakukan pembelajaran kontekstual dengan melihat diskusi belajar serta analisis video pembelajaran yang ada di google classroom. Kata Kunci: Cooperative Learning,Google Classroom, Nilai Karakter Kebaikan PENDAHULUAN

Aspek Pendidikan merupakan salah satu mobilitas sosial bagi kaum ekonomi sosial menengah ke bawah. Pendidikan juga di jadikan sebagai pedoman utama kemajuan suatu bangsa di dunia. Pendidikan di harapkan dapat meningkatkan kualitas sumber daya manusia di dalamnya. Salah satu cara yang dapat digunakan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia adalah meningkatkan mutu pendidikan di barengi dengan keseimbangan kemajuan dunia ilmu pengetahuan dan teknologi. Oleh karena itu, pembaharuan di bidang pendidikan demi kemajuan suatu bangsa harus selalu dilakukan agar dapat menciptakan kualitas pendidikan nasional yang mampu bersaing di dunia internasional.

Hal ini sejalan dengan tujuan dari Pendidikan Nasional yang tertuang dalam Undang-undang RI No.20 tahun 2003 menyebutkan “Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat”.

Sejalan dengan pendapat Bapak Pendidikan Nasional Indonesia yaitu Ki Hajar Dewantara menjelaskan pengertian Pendidikan yaitu tuntutan di dalam hidup tumbuhnya anak-anak, adapun maksudnya bahwa pendidikan menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak itu, agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapatlah mencapai keselamatan dan kebahagiaan setinggi - tingginya.

Pendidikan juga harus menyesuaikan diri dan lebih tanggap terhadap perubahan dan perkembangan zaman. Hal ini dikarenakan perwujudan masyarakat yang berkualitas menjadi tanggung jawab pendidikan, terutama dalam menyiapkan peserta didik menjadi subyek yang semakin berperan dalam menampilkan keunggulan dirinya yang tangguh, kreatif, mandiri dan profesional (Mulyasa, 2004:3). Hal ini bisa dilakukan melalui peningkatan mutu kreatifitas dalam proses pembelajaran guna

Prosiding Konferensi Pendidikan Nasional “Penguatan Karakter Bangsa Melalui Inovasi Pendidikan di Era Digital”

167

untuk mempermudah siswa dalam memahami suatu materi pembelajaran dengan sangat antusias dan penuh semangat. HASIL DAN PEMBAHASAN Pengertian Cooperative Learning

Slavin, Hurley, dan Chamberlain dalam penelitiannya menyajikan tinjauan historis pembelajaran kooperatif. Empat perspektif teoritis tentang pembelajaran kooperatif dan prestasi disajikan: Motivasi, Kohesi Sosial, Perkembangan Kognitif, dan Perspektif Elaborasi Kognitif. Pada bagian berikutnya, perbedaan filosofis penting disajikan, terutama tentang di mana menempatkan motivasi untuk perilaku belajar, bagaimana struktur interaksi di antara siswa, dan bagaimana struktur insentif dan tugas berdampak pada bentuk pembelajaran kooperatif. Di bagian akhir, area prospektif untuk penelitian disajikan, dan termasuk model teoritis terpadu yang dapat memandu upaya penelitian di masa depan, menginformasikan praktik pendidikan, dan mendorong desain pelatihan dan pengembangan profesional yang efektif.

Serupa dengan pendapat Sugandi menyebutkan bahwa sistem pembelajaran cooperative learning merupakan system pengajaran yang memberi kesempatan kepada anak didik untuk bekerja sama dengan sesama siswa dalam tugas-tugas yang terstruktur. Pembelajaran cooperative dikenal dengan pembelajaran secara berkelompok.

Namun belajar kooperatif lebih dari sekedar belajar kelompok atau kerja kelompok karena dalam belajar kooperatif ada struktur dorongan atau tugas yang bersifat kooperatif sehingga memungkinkan terjadinya interaksi secara terbuka dan hubungan yang bersifat interdepedensi efektif diantara anggota kelompok.

Karakteristik pembelajaran dengan cooperative learning diantaranya: a) Siswa bekerja dalam kelompok kooperatif untuk menguasai materi akademis b) Anggota- anggota dalam kelompok diatur terdiri dari siswa yang berkemampuan rendah,

sedang, dan tinggi c) Jika memungkinkan, masing - masing anggota kelompok kooperatif berbeda suku, budaya, dan

jenis kelamin d) Sistem penghargaan yang berorientasi kepada kelompok daripada individu.

Selain itu, terdapat empat tahapan keterampilan kooperatif yang harus ada dalam model

pembelajaran kooperatif yaitu: a) Forming (pembentukan) yaitu keterampilan yang dibutuhkan untuk membentuk kelompok dan

membentuk sikap yang sesuai dengan norma. b) Functioniong (pengaturan) yaitu keterampilan yang dibutuhkan untuk mengatur aktivitas

kelompok dalam menyelesaikan tugas dan membina hubungan kerja sama diantara anggota kelompok.

c) Formating (perumusan) yaitu keterampilan yang akan dibutuhkan untuk siswa pembentukan pemahaman yang lebih dalam terhadap bahan-bahan yang dipelajari, merangsang penggunaan tingkat berpikir yang lebih tinggi, dan menekankan

Pengertian Media Sosial Sedangkan social menurut Tonnies (dalam Nasrulloh, 2015:7) merujuk pada kata komunikasi,

artinya bahwa eksistensi dari komunitas merujuk pada kesadaran dari anggota komunitasitu bahwa mereka saling memiliki dan afirmasi dari kondisi tersebut adalah kebersaman yang saling bergantung satu sama lain.

Jadi bisa disimpulkan bahwa media social adalah suatu alat yang digunakan untuk berkomunikasi, berinteraksi dengan oranglain dan membentuk ikatan baru.

Jenis-Jenis Media Sosial a. Blog

Blog merupakan suatu bentuk situs pribadi yang berisi kumpulan tautan ke situs lain yang dainggap menarik dan diperbarui setiap harinya, pada perkembangan selanjutnya blog memuat banyak jurnal (jurnal keseharian pribadi) pemilik media dan terdapat kolom komentar yang bisa diisi oleh pengunjung (blood dalam Nasrullah, 2015:41).

Prosiding Konferensi Pendidikan Nasional “Penguatan Karakter Bangsa Melalui Inovasi Pendidikan di Era Digital”

168

b. Media sharing Media sharing adalah media social yang memungkinkan anggota untuk menyimpann dan berbagi

gambar, podcast, dan video secara online. Kebanyakan dari media social ini adalah gratis meskipun beberapa juga menggunakan biaya keanggotaan, berdasarkan fitur dan layanan yang mereka berikan,”(suxena dalam Nasrullah, 2015:44) c. Wiki

Menurut Nasrullah (2015:46) wiki menghadirkan kepada pengguna pengertian, sejarah, hingga rujukan buku, atau tautan satu kata.

Penggunaan Media Sosial Ditinjau dari Tujuan

Tujuan yang melatar-belakangi seseorang menggunakan social media dalam kehidupan sehari-hari adalah:

a) Entertainment atau sebagai hiburan bagi pengguna social media,individu menggunakan social media dengan berbagai motivasi, salah atunya adalah sebagai pencarian hiburan atau membagikan sebuah hiburan

b) Personal utility, sebagai pengguna untuk kepentingan pribadi seperti melakukan interaksi dengan orang lain, membentuk suatu komunitas, melakukan bsinis di dunia maya, dsb.

c) Information seeking, digunakan sebagai pencarian informasi baik secara akademik maupun non akademik. Biasanya indivdu mengakses melalui situs google, yahoo, blogging, dan lain sebagainya.

d) Altruism, sebuah perilaku utnuk menolong seseorang yang dilakukan secara ikhlas tanpa mengharapkan imbalan apapun.

Pengertian Google Classroom Google Classroom dirancang untuk membantu pengajar membuat dan mengumpulkan tugas

tanpa kertas, termasuk fitur yang menghemat waktu seperti kemampuan untuk membuat salinan dokumen secara otomatis bagi setiap siswa. Kelas elektronik ini juga dapat membuat folder penyimpanan untuk setiap tugas dan setiap siswa, agar semuanya tetap teratur. Siswa dapat melacak setiap tugas yang hampir mendekati batas waktu pengumpulan di halaman tugas, dan mulai mengerjakannya cukup dengan satu klik. Pengajar dapat melihat dengan cepat siapa saja yang belum menyelesaikan tugas, serta memberikan masukan dan nilai langsung di kelas elektronik.

Manfaat Google Classroom

a) Penyiapan yang mudah Pengajar dapat menambahkan siswa secara langsung atau berbagi kode dengan kelasnya untuk bergabung. Hanya perlu beberapa menit untuk menyiapkannya.

b) Hemat waktu Alur tugas yang sederhana dan tanpa kertas memungkinkan pengajar membuat, memeriksa, dan menilai tugas dengan cepat, di satu tempat.

c) Meningkatkan pengorganisasi -an Siswa dapat melihat semua tugasnya di laman tugas, dan semua materi kelas secara otomatis disimpan ke dalam folder di Google Drive.

d) Meningkatkan komunikasi Kelas memungkinkan pengajar untuk mengirim pengumuman dan memulai diskusi secara langsung. Siswa dapat berbagi sumber daya satu sama lain atau memberikan jawaban atas pertanyaan di aliran.

e) Terjangkau dan aman Seperti layanan aplikasi edukasi lainnya, Google Classroom tidak mengandung iklan, tidak pernah menggunakan konten Anda atau data siswa untuk iklan, dan gratis untuk sekolah. Mengintegrasikan teknologi ruang kelas di sekolah-sekolah saat ini bukanlah pilihan, ini adalah

sesuatu yang perlu dilakukan jika Anda ingin siswa Anda dipersiapkan untuk masa depan. Kami berada di era digital dan siswa harus tahu bagaimana berbicara bahasa dengan benar dan tepat jika mereka ingin sukses.

Menurut Bill and Melinda Gates Foundation, 93% guru sudah menggunakan beberapa bentuk teknologi ruang kelas atau alat digital saat di kelas. Hal ini juga mengungkap perlunya inovasi lebih dalam alat pendidikan digital, dengan 67% mengatakan bahwa mereka “tidak sepenuhnya puas dengan efektivitas data atau alat untuk bekerja dengan data.”

Prosiding Konferensi Pendidikan Nasional “Penguatan Karakter Bangsa Melalui Inovasi Pendidikan di Era Digital”

169

Bagi para guru, tantangan terbesar adalah bagaimana menerapkan alat digital secara efektif ketika sebagian besar dari Anda tidak sepenuhnya memahami cara kerjanya. Membiasakan diri dengan perangkat lunak dan peralatan, serta mencari tahu bagaimana mengintegrasikannya dalam rencana pelajaran, hanyalah sedikit dari kurva pembelajaran yang harus Anda lalui. Disinilah Google Classroom dapat membawa banyak nilai.

Bagian dari Google Apps for Education, platform pengelolaan kelas ini dirancang khusus untuk membantu para guru memahami dan mengintegrasikan teknologi ruang kelas dengan mudah dengan menyederhanakan proses menjadi digital.

Google Kelas akan membantu kita membuat ruang kelas virtual. Meskipun itu bukan sistem manajemen pembelajaran penuh, ada fitur serupa untuk LMS yang khas seperti Blackboard . Google Classroom berfungsi paling baik bersama dengan LMS Anda yang ada.

Google Kelas dalam banyak hal membantu Anda mengelola Google Drive. Jika sekolah Anda menggunakan Google Apps for Education atau benar-benar hanya menggunakan Gmail dan Google Drive, maka platform baru ini membantu Anda mengelola alat tersebut dengan jauh lebih efektif dan efisien.

Ada banyak hal yang dapat Anda lakukan dengan Google Kelas. Alice Keeler menyebutkan beberapa manfaatnya yang paling menonjol dalam bukunya “50 Hal yang Dapat Anda Lakukan dengan Google Kelas,” bacalah beberapa poinnya di bawah ini:

a) Dorong kolaborasi antara siswa b) Menggunakan alat Google lainnya dengan mulus, seperti Google Documents c) Berikan umpan balik yang tepat waktu untuk membuat siswa tetap terlibat dalam proses

pembelajaran d) Atur tugas dan buat ruang kelas tanpa kertas e) Siapkan dan tambahkan siswa ke Google Kelas Anda f) Buat pelajaran melalui aplikasi g) Bagikan pengumuman dan tugas dengan beberapa kelas h) Kurangi peluang untuk berselingkuh i) Pantau siapa yang benar-benar mengerjakan proyek tim j) Menawarkan jam kantor virtual k) Personalisasi pengalaman belajar

Google Classroom tidak sepenuhnya baru dan sudah ada sejak tahun lalu. Namun memang meluncurkan beberapa fitur baru yang menarik baru-baru ini.

Fitur baru terbesar adalah SRS yang terpasang di platform. Ini memungkinkan Anda untuk memasukkan pertanyaan ke halaman aliran kelas dan memulai diskusi berdasarkan pertanyaan dengan siswa menanggapi jawaban masing-masing.

Misalnya, Anda dapat memposting video, foto atau artikel dan memasukkan pertanyaan yang Anda ingin siswa menjawab tentang itu. Ini adalah kegiatan mendasar bagi para guru untuk ingin memahami dan memeriksa kemajuan siswa mereka. Dengan fitur baru ini mereka dapat melakukan ini dengan sangat cepat, kapan saja dari mana saja.

Fitur baru lainnya adalah kemampuan untuk menggunakan kembali tugas lama atau pengumuman dari kelas Anda yang lain, menghemat waktu Anda dalam membuat konten serupa. Anda juga akan dapat merevisinya sebelum memposting.“Fitur posting menggunakan kembali memberi para guru karunia waktu. Membuat perubahan pada sesuatu yang sudah dibuat jauh lebih mudah daripada memulai dari awal, ”kata Heather Breedlove, Koordinator Integrasi Teknologi di Flagstaff Unified School District di Arizona. "Ini bekerja lebih cerdas, bukan lebih keras." Segera Anda juga dapat menyinkronkan Kelas dengan Google Kalender. Ini secara otomatis menempatkan tugas dan acara dari Kelas ke kalender Anda. Anda dapat melihat kalender Anda di Kelas atau di Kalender Google.

Penyempurnaan lainnya termasuk menabrak pos ke bagian atas aliran sehingga siswa Anda dapat melihatnya; membuat tugas tanpa tanggal jatuh tempo untuk proyek jangka panjang atau tugas yang digerakkan oleh siswa; dan melampirkan Formulir Google ke sebuah pos sehingga Anda dapat dengan mudah menetapkan kuis atau survei.

Google terus menambahkan fitur ke Kelas dan akan segera menjadi lebih dari apa yang diinginkan oleh para guru dari LMS, membuatnya mudah untuk menjalankan kelas digital atau pembelajaran campuran. Tentu saja, teknologi ruang kelas baru seperti Google Classroom sangat bagus tetapi mereka dapat menciptakan banyak masalah jika infrastruktur nirkabel Anda tidak dapat mendukung masuknya

Prosiding Konferensi Pendidikan Nasional “Penguatan Karakter Bangsa Melalui Inovasi Pendidikan di Era Digital”

170

perangkat yang terhubung dan permintaan bandwidth. Inilah sebabnya mengapa kami selalu menyarankan agar Anda menganalisis dan memperbarui jaringan nirkabel Anda sebelum penerapan baru. DAFTAR PUSTAKA Slavin, R. E., Hurley, E. A., & Chamberlain, A. (2003). Cooperative learning and achievement: Theory

and research. Handbook of psychology, 177-198. Nasrullah, R. 2015. Media Sosial: Perspektif Komunikasi , budaya dan sosioteknologi . Bandung:

Simbiosa Rekatama Media. Pratama, Dicky. Dan Hendri Soprayadi. 2016. Analisis Pengaruh Pemanfaatan Google Classroom

Terhadap Efisiensi Pada Stmik Xyz. STMIK GI MDP. E , Mulyasa. 2004. Kurikulum Berbasis Kompetensi, Konsep, Karakteristik dan Implementasi. Bandung

: Remaja Rosda Karya. Sugandi, A.I. (2002). Pembelajaran Pemecahan Masala Matmatika Melalui model Belajar Kooperatif

Tope Jigsaw. (Studi Eksperimen terhadap Siswa Kelas Satu SMU Negeri di Tasikmalaya). Tesis PPS UPI: Tidak diterbitkan.

Prosiding Konferensi Pendidikan Nasional “Penguatan Karakter Bangsa Melalui Inovasi Pendidikan di Era Digital”

171

PERMAINAN TRADISIONAL SEBAGAI WUJUD PENANAMAN NILAI KARAKTER ANAK USIA DINI

Asep Ardiyanto

Universitas PGRI Semarang

[email protected]

Abstrak Permainan tradisional adalah jenis olah permainan rakyat yang merupakan warisan kebudayaan nenek moyang bangsa Indonesia yang tumbuh dan berkembang dalam suatu komunitas masyarakat tertentu, diwariskan secara turun temurun dari generasi ke generasi. Salah satu bentuk manfaat dari permainan tradisional yaitu untuk penanaman nilai-nilai karakter. Nilai karakter adalah suatu konsep dasar yang diterapkan ke dalam pemikiran seseorang untuk menjadikan aspek jasmani, rohani maupun budi pekerti agar lebih berarti dari sebelumnya dan mengurangi krisis moral. Karakter yang diharapkan meliputi 1) cinta Tuhan beserta alam semesta beserta isinya; 2) tanggung jawab, kedisiplinan, dan kemandirian; 3) kejujuran; 4) hormat dan santun; 5) kasih sayang, kepedulian, dan kerjasama; 6) percaya diri, kreatif, kerja keras, dan pantang menyerah; 7) keadilan dan kepemimpinan; 8) baik dan rendah hati; 9) toleransi, cinta damai, dan persatuan. Pendidikan karakter tingkat dasar haruslah menitikberatkan kepada sikap maupun keterampilan. Dengan pendidikan dasar inilah seseorang diharapkan akan menjadi pribadi yang baik hingga ke tahapan berikutnya. Pendidikan dasar berawal dari anak usia dini, ditujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun (0-6 tahun) yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani yang optimal. Anak usia dini merupakan fase golden age dimana masa anak untuk mengeksplorasi hal-hal yang ingin dilakukan, seperti bermain dan peka terhadap lingkungan sosial. Kata Kunci: Permainan Tradisional, Karakter, Anak Usia Dini

PENDAHULUAN

Salah satu pembelajaran yang menarik untuk anak salah satunya dengan bermain, tidak terkecuali juga dengan anak usia dini. Melalui kegiatan bermain anak bisa mencapai perkembangan fisik, intelektual, dan emosi. Perkembangan secara fisik dapat dilihat saat bermain. Perkembangan intelektual bisa dilihat dari kemampuannya mengunakan atau memanfaatkan lingkungannya. Perkembangan emosi dapat dilihat ketika anak merasa senang, marah, menang dan kalah.

Seiring perkembangan zaman, jenis permainan yang ada pun semakin beragam. Ternyata permainan tradisional berpengaruh dan bermanfaat bagi pertumbuhan dan perkembangan anak usia dini. Permainan tradisional merupakan warisan kebudayaan nenek moyang bangsa Indonesia. Permainan tradisional atau yang sering disebut dengan olahraga tradisional harus memenuhi dua persyaratan yaitu berupa “olahraga” dan sekaligus juga “tradisional” baik dalam memiliki tradisi yang telah berkembang selama beberapa generasi, maupun dalam arti sesuatu yang terkait dengan tradisi budaya suatu bangsa secara lebih luas. Berat ringannya persyaratan teknik dari berbagai bentuk olahraga tradisional di Indonesia sangat bervariasi. Persyaratan teknik yang ada di dalam olahraga tradisional di antaranya adalah (1) kekuatan tubuh, (2) kelenturan tubuh, (3) kecepatan gerak, dan (4) kemampuan reaksi. Nilai-nilai budaya yang terkandung di dalam bentuk olahraga tradisional adalah penghargaan pada usaha yang keras untuk mencapai prestasi unggul, penghargaan pada prestasi orang lain, pesaing, ikatan kelompok religiusitas dan lain-lain. Selain itu permainanan tradisional juga dapat menumbuhkan nilai-nilai karakter/sosial yang ada pada anak usia dini. Perkembangan sosial bisa dilihat dari hubungannya dengan teman sebaya, seperti suka menolong, antri dalam menunggu permainan dan memperhatikan kepentingan orang lain, rela berkorban, berjuang untuk meraih kemenangan tanpa menyakiti teman sebaya, jujur dalam melakukan permainan dan lain sebagainya.

Prosiding Konferensi Pendidikan Nasional “Penguatan Karakter Bangsa Melalui Inovasi Pendidikan di Era Digital”

172

Permainan Tradisional Menurut Rosdiani (2012: 108) permainan tradisional atau sering disebut olahraga tradisional

adalah jenis olah permainan rakyat yang tumbuh dan berkembang dalam suatu komunitas masyarakat tertentu, diwariskan secara turun temurun dari generasi ke generasi. Olahraga tradisional sesungguhnya tidak sebatas permainan, tapi lebih mengandung nilai-nilai luhur dari kultur dan kebiasaan masyarakat di suatu daerah, di mana di dalamnya terkandung juga unsur magis dan olah seni. Pengertian olahraga tradisional sendiri mengarah kepada karakteristik suatu budaya gerak di daerah tertentu, yang dalam perkembangan kemudian dinamakan olahraga tradisional yang menjadi identitas komunitas tersebut. Olahraga tradisional perlu dikembangkan demi ketahanan budaya bangsa, bahwa kebudayaan merupakan nilai-nilai luhur bagi bangsa Indonesia, untuk diketahui dan dihayati tata cara kehidupannya sejak dahulu, saat ini dan untuk masa yang akan datang. Selain itu olahraga tradisional merupakan salah satu aspek yang perlu mendapatkan prioritas utama untuk dilindungi, dibina, dikembangkan, diberdayakan yang selanjutnya diwariskan. (Ardiwinata, 2006: 3) Manfaat Permainan Tradisional

Menurut Achroni (2012: 46) berbagai kelebihan dan manfaat dari olahraga tradisional antara lain sebagai berikut: 1) Melatih kreativitas anak; 2) Mengembangkan kecerdasan sosial dan emosional anak; 3) Sebagai media pembelajaran nilai-nilai; 4) Mengembangkan kemampuan motorik dan kemampuan biomotorik anak; 5) Bermanfaat untuk kesehatan; 6) Mengoptimalkan kemampuan kognitif anak; 7) Memberikan kegembiraan dan keceriaan. Pendidikan Karakter

Zuriah (2007: 19) menyatakan; Pendidikan karakter yang disamakan dengan pendidikan budi pekerti merupakan program pengajaran di sekolah yang bertujuan mengembangkan watak atau tabiat siswa dengan cara menghayati nilai-nilai dan keyakinan masyarakat sebagai kekuatan moral dalam hidupnya melalui kejujuran, dapat dipercaya, disiplin, dan kerjasama yang menekankan ranah afektif (perasaan dan sikap) tanpa meninggalkan ranah kognitif (berpikir rasional) dan ranah skill/psikomotorik (keterampilan, terampil mengolah data, mengemukakan pendapat, dan kerja sama). Di Indonesia, sebuah lembaga yang peduli akan pengembangan karakter bangsa yaitu Indonesian Heritage Foundation (2007) telah merumuskan sembilan karakter dasar yang menjadi tujuan pengembangan karakter. Kesembilan karakter dasar tersebut adalah: 1) cinta Tuhan dan alam semesta beserta isinya; 2) tanggung jawab, kedisiplinan, dan kemandirian; 3) kejujuran; 4) hormat dan santun; 5) kasih sayang, kepedulian, dan kerjasama; 6) percaya diri, kreatif, kerja keras, dan pantang menyerah; 7) keadilan dan kepemimpinan; 8) baik dan rendah hati; dan 9) toleransi, cinta damai, dan persatuan. Anak Usia Dini

Menurut UU RI Nomor 20 Tahun 2003 yang dimaksud anak usia dini yaitu anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun (0-6 th). Proses pembelajaran dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut. Perkembangan anak usia dini diantaranya 1) perkembangan moral, 2) perkembangan fisik, 3) perkembangan Bahasa, 4) perkembangan kognitif, 5) perkembangan sosial dan emosi, dan 6) perkembangan seni.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Adapun manfaat permainan tradisional dijelaskan sebagai berikut; 1) melatih kreativitas anak usia dini. Pada permainan tradisional yang membutuhkan alat, anak-anak tidak bermain menggunakan peralatan atau mainan dalam bentuk jadi yang dapat dibeli di toko. Namun, anak-anak menciptakan dan memodifikasi sendiri peralatan atau mainan yang akan digunakan untuk bermain, misalnya membuat mobil-mobilan dari kulit jeruk Bali, membuat peralatan engrang dari bambu, membuat pistol dengan cabang bambu (carang), dan sebaginya. Cara ini sangat bermanfaat untuk meningkatkan kreativitas dan menstimulasi imajinasi anak-anak. 2) mengembangkan kecerdasan sosial dan emosional anak usia dini. Pada umumnya, permainan tradisional dimainkan secara kolektif. Karena dimainkan secara bersama-sama, permainan tradisional menjadi media pembelajaran bagi anak-anak untuk bersosialisasi, berinteraksi, bekerja sama, saling mendukung, saling percaya, saling menolong, dan membangun

Prosiding Konferensi Pendidikan Nasional “Penguatan Karakter Bangsa Melalui Inovasi Pendidikan di Era Digital”

173

kepercayaan diri. 3) sebagai pembelajaran nilai-nilai karakter. Permainan tradisional menuntut adanya cinta Tuhan dan alam semesta beserta isinya; tanggung jawab, kedisiplinan, dan kemandirian; kejujuran; hormat dan santun; kasih sayang, kepedulian, dan kerjasama; percaya diri, kreatif, kerja keras, dan pantang menyerah; keadilan dan kepemimpinan; baik dan rendah hati; dan toleransi, cinta damai, dan persatuan. Dengan itu secara tidak langsung permainan tradisional sebagai media pembelajaran dalam nilai-nilai moral kehidupan. 4) mengembangkan kemampuan keterampilan motorik dan kemampuan biomotorik anak usia dini. Permainan tradisional sarat dengan gerakan, seperti melompat, meloncat, berlari, berjalan, melompat, melempar dengan alat, gerakan tubuh atau gerakan tangan. Gerakan dan aktivitas ini bermanfaat untuk mengembangkan kemampuan motorik dan biomotorik anak, baik motorik halus maupun motorik kasar. 5) bermanfaat untuk kesehatan. Permainan tradisional yang kebanyaan menuntut tubuh bergerak secara intens juga bermanfaat bagi pertumbuhan fisik dan kesehatan anak. Dengan banyak bergerak, anak-anak akan terhindar dari resiko mengalami obesitas. 6) mengoptimalkan kemampuan kognitif anak. Permainan tradisional bermanfaat untuk mengembangkan kemampuan kognitif anak, seperti melatih konsentrasi dan kemampuan berhitung pada permainan congklak. Selain itu dalam permainan tradisional yang bersifat gerak jasmani seperti gobak sodor, engkling anak dituntut untuk dapat menghitung jumlah kotak yang dapat dilewati. 7) memberikan kegembiraan dan keceriaan. Salah satu karakteristik yang melekat pada permainan tradisional adalah bersifat rekreatif. Permainan tradisional mampu memberikan kegembiraan dan keceriaan pada anak-anak saat bermain.

SIMPULAN

Dunia anak adalah bermain, salah satunya dengan melakukan permainan tradisional. Aspek perkembangan kognitif, afektif dan psikomotorik akan tumbuh dengan baik. Selain itu Permainan tradisional sangat tepat sebagai wujud penanaman nilai-nilai karakter. Nilai karakter yang dapat dikembangkan pada permainan tradisional yaitu cinta Tuhan dan alam semesta beserta isinya; tanggung jawab, kedisiplinan, dan kemandirian; kejujuran; hormat dan santun; kasih sayang, kepedulian, dan kerjasama; percaya diri, kreatif, kerja keras, dan pantang menyerah; keadilan dan kepemimpinan; baik dan rendah hati; dan toleransi, cinta damai, dan persatuan.

DAFTAR PUSTAKA

Achroni, K. (2012). Mengoptimalkan tumbuh kembang anak melalui permainan tradisional. Yogyakarta: Javalitera.

Ardiwinata A.A, Suherman, & Dinata, M. (2006). Kumpulan permainan rakyat olahraga tradisional. Tangerang: Penerbit Cerdas Jaya.

Rosdiani, D. (2012). Dinamika olahraga dan pengembangan nilai. Bandung: Alfabeta. Zuriah, N. (2007). Pendidikan moral dan budi pekerti dalam perspekti perubahan: menggagas platform

pendidikan budi pekerti secara kontekstual dan futuristik. Jakarta: Bumi Aksara. http://file.upi.edu/Direktori/FIP/JUR._PSIKOLOGI_PEND_DAN_BIMBINGAN/196007041986012-

ANNE_HAFINA/KARAKTERISTIK_ANAK_USIA_DINI.pdf (diakses hari Senin tanggal 3 September 2018, pukul 14.35 WIB)

http://kelembagaan.ristekdikti.go.id/wp-content/uploads/2016/08/UU_no_20_th_2003.pdf (diakses Senin tanggal 3 September 2018, pukul 15.05 WIB)

Prosiding Konferensi Pendidikan Nasional “Penguatan Karakter Bangsa Melalui Inovasi Pendidikan di Era Digital”

174

PERAN ORANG TUA DALAM PEMBENTUKAN KARAKTER TANGGUNG JAWAB PADA ANAK BERDASARKAN METODE SIMULASI

M. Ridho Saputra1, Ganjar Suargani 2, Charis Faozi 3 1,2,3Universitas Negeri Semarang

[email protected] 2 [email protected]

[email protected]

Abstrak Orang tua merupakan tempat pertama dan utama pembentukan karakter pada anak. Hal tersebut disebabkan karena orang tua merupakan tempat pertama yang disinggahi sesudah masa kelahirannya, selain itu orang tua merupakan seseorang yang paling lama berinteraksi dengan anak-anak. Pembentukan karakter pada anak meliputi banyak hal, salah satunya adalah pembentukan karakter tanggung jawab pada anak. Pembentukan karakter tanggung jawab pada anak sangat ditentukan oleh orang tua, yaitu dengan menggunakan berbagai metode, salah satunya dengan metode simulasi dalam membentuk karakter tanggung jawab pada anak. Dimana metode simulasi dilakukan dengan tujuan agar anak-anak memperoleh keterampilan tertentu, pemahaman suatu konsep atau prinsip, serta bertujuan untuk memecahkan suatu masalah yang relevan dengan pendidikan karakter. Metode tersebut dilakukan dengan cara memainkan sebuah peran yang bertujuan untuk membentuk karakter tanggung jawab pada anak. Kata Kunci: Peran Orang Tua, Tanggung jawab, Metode Simulasi

PENDAHULUAN

Karakter merupakan salah satu bagian yang sangat berpengaruh dalam kehidupan bermasyarakat dan masa depan anak. Contohnya seseorang akan lebih mudah di terima di lingkungan sekitar, apabila mempunyai karakter yang baik, seperti peduli terhadap sesama, tanggung jawab, dan jujur. Namun apabila seseorang tidak mempunyai karakter yang baik, ia akan sulit bersosialisasi dengan lingkungan sekitar, bahkan ia akan dikucilkan oleh lingkungan sekitar.

Pembentukan karakter sangatlah penting, salah satunya pembentukan karakter tanggung jawab. Pembentukan karakter tanggung jawab dapat melalui berbagai pihak seperti orang tua, guru, dan teman sebaya. Namun, diantara ketiga pihak tersebut ada salah satu pihak yang terpenting dalam pembentukan karakter, yaitu orang tua.

Peran orang tua dalam pembentukan karakter tanggung jawab pada sangatlah penting, karena orang tua merupakan tempat dimana anak akan memperoleh pendidikan pertama sejak ia dilahirkan. Hal tersebut sejalan dengan (Sukaimi, 2013) yang menyatakan peran kedua orang tua terutama dan termasuk keluarga, sangat besar pengaruhnya, bahkan sangat menentukan perilaku kehidupan jiwa dan kepribadian anak dan keluarganya. Oleh karena itu, baik buruknya akhlak seorang anak sangat ditentukan oleh sistem pembinaan, latihan dan pendidikan yang diberikan oleh orang tua kepada anaknya.

Terciptanya karakter tanggung jawab pada anak, sangat ditentukan bagaimana cara orang tua, mendidiknya. Oleh karena itu diperlukan sebuah cara atau metode untuk membangun karakter tanggung jawab pada anak. Metode tersebut yaitu metode simulasi/ role playing. Menurut (Mulia, 2017) metode role playing merupakan metode yang melibatkan interaksi antara dua anak atau lebih tentang suatu topik atau situasi, dimana anak akan melakukan peran masing-masing sesuai dengan tokoh yang ia perankan sehingga mereka berinteraksi sesama melakukan peran terbuka. Berdasarkan uraian diatas, peneliti tertarik untuk membahas pembentukan karakter tanggung jawab oleh orang tua melalui metode simulasi (role playing).

Prosiding Konferensi Pendidikan Nasional “Penguatan Karakter Bangsa Melalui Inovasi Pendidikan di Era Digital”

175

METODE

Penelitian ini menggunakan jenis metode penelitian kajian literatur dengan mencari teori-teori yang relefan dengan kasus atau permasalahan yang sesuai dengan variabel yang dibahas dalam penelitian. Penelitian ini mengumpulkan informasi dan bahan kajian baik dari jurnal ilmiah, buku, dan juga internet. Informasi-informasi yang diperoleh dari sumber-sumber literature akan dihubungkan dan menjadi landasar dasar dalam menentukan pembahasan dalam penelitian ini. Sesuai dengan pendapat Menurut Sugiyono (2012:291) bahwa studi kepustakaan berkaitan dengan kajian teoritis dan referensi lain yang berkaitan dengan nilai, budaya, dan norma yang berkembang pada situasi sosial yang diteliti, selain itu studi kepustakaan sangat penting dalam melakukan penelitian, hal ini dikarenakan penelitian tidak akan terlepas dari literatur-literatur ilmiah.

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Peran Orang tua Manurut Sukaimi (2013) tugas dan kewajuban kedua orangtua sebagai home base keluarga adalah

sebagai berikut. 1. Sebagai pemelihara dan pelindung keluarga. Orang tua sebagai kepala keluarga memiliki tugas

sebagai pelindung dan pemelihara anggota keluarganya baik moral maupun materilnya. Dijelaskan dalam Firman Allah SWT dalam surat al-Thalaq ayat 6, yang artinya “tempatkanlah mereka itu dimana saja kamu bertempat tinggal dan janganlah kamu memberi mudharat kepada mereka untuk menyempitkan atas mereka”. Karena hanya dengan jiwa yang telindungi dan merasa aman anak akan dapat tumbuh dan berkembang dengan kepribadian yang baik dan stabil.

2. Sebagai pendidik. Secara kodrat orang tua berperan dan berfungsi sebagai pendidik, dimana selain memberikan perlindungan kepada anaknya, orang tua juga memberikan bimbingan dan pendidikan kepada anaknya, karena melalui pendidikan ini anak memperoleh pengalaman dan dapat mengembangkan diri secara aktif dan optimal. Sukaimi (2013) juga menambahkan tugas orangtua secara pedagogis dijelaskan dalam salah satu

sabda Rasulullah SAW yang artinya sebagai berikut: “Anas berkata bahwa Rasulullah SAW bersbda: anak itu pada hari ke-7 dari lahirnya disembelihkan aqiqah, serta diberi nama dan disingkirkan dari segala kekotorannya, jika ia telah berumur 6 tahun, ia dididik beradab susila, jika ia sudah berumur 10 tahun dipisahkan tempat tidurnya, dan jika ia berumur 13 tahun, dipukul agar mau sembahyang (diharuskan). Bila ia telah berumur 16 tahun, ayahnya di izinkan mengawinkannya, setelah itu ayah berjabat tangan dengannya dan mengatakan: saya telah mendidik, mengajar dan mengawinkan kamu, saya mohon perlindungan Allah SWT dari fitnahan-fitnahan di dunia dan siksaan di akhirat”.

Hal ini menunjukkan bahwa tugas dan kewajiban orang tua tidaklah ringan sebagai pendidik. Bahkan sebenarnya tugas dan kewajiban orangtua belumlah dianggap selesai ketika anak sudah berumah tangga.

B. Karakter Tanggung Jawab

Kemendiknas (2010: 10) mendeskripsikan tanggung jawab sebagai sikap dan perilaku seseorang untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya, yang seharusnya dia lakukan, terhadap diri sendiri, masyarakat, lingkungan (alam, sosial dan budaya), negara dan Tuhan Yang Maha Esa. Kemudian tanggung jawab menurut Thomas Lickona (2012: 73) berarti melaksanakan sebuah pekerjaan atau kewajiban dalam keluarga, di sekolah, maupun di tempat bekerja dengan sepenuh hati dan memberikan yang terbaik.

Menurut Kemendiknas (2010: 27) indikator dari nilai tanggung jawab ialah sebagai berikut: a) Pelaksanaan tugas piket secara teratur. b) Peran serta aktif dalam kegiatan sekolah. c) Mengajukan usul pemecahan masalah.

Sedangkan menurut Sukadiyanto (Darmiyati, 2011: 450) penjabaran nilai tanggung jawab ialah

sebagai berikut: a) Memenuhi kewajiban diri.

Prosiding Konferensi Pendidikan Nasional “Penguatan Karakter Bangsa Melalui Inovasi Pendidikan di Era Digital”

176

b) Dapat dipercaya. c) Dapat mengontrol diri sendiri. d) Gigih, e) Persiapkan diri untuk menjadi yang terbaik. f) Tepat waktu saat berlatih dan bermain. g) Disiplin diri. h) Dapat bekerja sama dengan teman satu tim.

C. Metode Simulasi (Role Playing) Metode simulasi atau bisa disebut role playing adalah metode yang melibatkan interaksi antara

dua anak atau lebih tentang suatu topik atau situasi, anak melakukan peran masing-masing sesuai dengan tokoh yang ia perankan (Mulia, 2017). Metode role playing secara umum dapat mendorong anak untuk mengekpresikan perasannya yang mudah dipahami oleh orang lain. Dengan menggunakan metode simulasi (role playing) anak diharapkan mampu belajar mengembangkan pendidikan karakter slah satunya karakter tanggung jawab.

Selain itu metode Role Playing (bermain peran) merupakan salah satu pem-belajaran alternatif yang memberikan nuansa baru dalam pembelajaran yang cenderung kreatif. Menurut Martinis Yamin, (2013: 147) “Metode pem-belajaran bermain peran dalam pembelajaran role play merupakan salah satu pembelajaran kreatif dan model baru dalam pemecahan masalah pembelajaran”.

Metode role playing atau bermain peran anak akan memberikan secara langsung bagaimana situasi atau keaadan yang menggambarkan kondisi dan menciptakan hubungan sesuai tatanan latar yang diharapkan, seperti yang dikemukakan oleh Suharto (1997) bahwa bermain peran adalah suatu gambaran spontan dari situasi, kondisi atau keadaan yang khusus dilakukan oleh sekelompok orang yang terdiri dari siswa atau anak-anak.

Dari beberapa pendapat diatas metode simulasi dirasa mampu dan dapat menanamkan karakter tanggung jawab karena metode simulasi role playing ini dapat menciptakan hubungan antara siswa atau anak dalam situasi kondisi tertentu.

Hasil yang diperoleh dari penelitian ini mengungkap peran orang tua dalam pembentukan karakter anak. Orang tua adalah peran pertama dalam pembentukan karakter anak. Peran orang tua sangat besar karena merekalah yang menjadi pondasi awal sebelum seorang anak keluar kepada masyarakat. Permono (2013) menjelaskan bahwa peran keluarga dapat dikatakan sebagai pondasi awal pembentukan karakter anak melalui pembiasaan-pembiasaan sesuai dengan budaya tertentu hingga menjadi sebuah karakter yang diharapkan. Hal ini menunjukkan bahwa besarnya peran orang tua terhadap tumbuh dan berkembangnya karakter seorang anak. Pramono (2013) juga mengungkapkan bahwa berbagai penelitian di bidang neurologi terbukti bahwa 50% kapasitas kecerdasan anak terbentuk pada kurun waktu empat tahun pertama sejak kelahirannya. Pada saat anak mencapai usia delapan tahun maka perkembangan otak anak telah mencapai 80% hingga pada usia 18 tahun mencapai 100%.

Metode simulai menjadi salah satu metode yang cukup efektif karena anak secara langsung dapat mengamati, menahami dan mereproduksi perilaku-perilaku yang dilakukan oleh orang tua. Pembelajaran atau pembentukan karakter anak melalui metode simulasi yang dilakukan oleh orang tua akan berdampak pada perilaku anak diluar lingkungan keluarga. Karakter tanggungjawab anak akan secara langsung dilakukan oleh anak yang telah terbiasa dengan tanggungjawabnya dirumah. Anak akan siap menghadapi pola kehidupan sosial di masyarakat dan mampu menempatkan diri sesuai dengan kondisi dan perannya sehingga berdampak pada mudahnya penerimaan masyarakat kepada anak/individu yang memiliki karakter tanggungjawab.

SIMPULAN

Berdasarkan pemaparan diatas menunjukan bahwa metode simulasi atau teori simulasi cukup berdampak pada pembentukan karakter tanggung jawab sehingga dapat diterapkan dalam sistem pendidikan karakter , yang diharapkan mampu menjadi jawaban sebagai salah satu cara menanamkan karakter pada anak atau siswa.

Prosiding Konferensi Pendidikan Nasional “Penguatan Karakter Bangsa Melalui Inovasi Pendidikan di Era Digital”

177

DAFTAR PUSTAKA

Darmiyati Zuchdi. (2011). Pendidikan Karakter dalam Perspektif Teori dan

Praktik. Yogyakarta : UNY Press

Kemendiknas . 2010. Rencana Aksi Pendidikan Nasional Pendidikan Karakter. Jakarta

Kemendiknas . 2010. Buku Induk Pembangunan Karakter. Jakarta.

Lickona, Thomas. (1991). Educating for Character: How Our School Can Teach Respect and Responsibility. New York, Toronto, London, Sydney, Aucland: Bantam books.

Permono, H. (2013). Peran orangtua dalam optimalisasi tumbuh kembang anak untuk membangun karakter anak usia dini.Suharto, Bohar. 1997. Pendekatan Dan Teknik Belajar Dalam Proses Belajar

Mengajar. Bandung: Tarsito

Sugiyono. (2012) Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Alfabeta.

Sukaimi, Syafi’ah. (2013) Peran Orangtua dalam Pembentukan Kepribadian Anak (Tinjauan Psikologi Perkembangan Islam). Warwah, Vol. XII No. 1

Yamin, Martinis.2013. Strategi dan Metode dalam Model Inovasi Pembelajaran . Jakarta : Gaung Persada Press group

Prosiding Konferensi Pendidikan Nasional “Penguatan Karakter Bangsa Melalui Inovasi Pendidikan di Era Digital”

178

“ANGRY BOX” SEBAGAI MEDIA UNTUK MENINGKATKAN MINAT BERCERITA UNTUK MENGURANGI EMOSI SISWA SD

Muslimin1, Fipit Aris Khikmawati2, Rizqi Zulfah3

1,2,3Universitas Negeri Semarang [email protected]

[email protected] [email protected]

Abstrak Secara psikologis, membaca atau bercerita merupakan salah satu bentuk bermain yang paling sehat untuk anak-anak, terdapat bukti bahwa mereka lebih menyukai cerita tentang hal-hal yang terjadi. Dengan kata lain, mereka lebih menyukai cerita yang dibumbui dengan sedikit khayal ketimbang yang terjadi sebenarnya atau tentang sesuatu yang jauh di luar jangkauan pengalamannya, sehingga tidak dapat mereka pahami. Menceritakan cerita memberikan cara yang menyenangkan untuk mengembangkan rapport dan belajar tentang anak. Ketika anak bercerita, mereka mengkomunikasikan informasi penting tentang diri mereka sendiri dan keluarga mereka sambil belajar mengekspresikan dan menguasai perasaan mereka. Cara penggunaan Angry Box yaitu konselor meminta siswa menuliskan pengalaman marah terhadap teman dan dimasukan ke dalam angry box, kemudian konselor mengambil dan membaca beberapa pengalaman yang sudah ditulis siswa kemudian mendiskusikan bersama solusinya. Kecerdasan emosi terus berkembang semenjak anak lahir dan mulai berkembang pesat dan kompleks pada masa kanak-kanak tengah dan akhir atau usia anak sekolah (6-11 tahun). Perubahan terjadi dalam pengalaman menyadari emosi diri, pemahaman mengenai emosi, dan regulasi emosi diri. Oleh karena itu, pada masa kanak-kanak tengah dan akhir, anak perlu mendapatkan stimulus dan pengarahan yang tepat bagi perkembangan kecerdasan emosinya. Kata Kunci: Emosi, Komunikasi, Anak, Bercerita

PENDAHULUAN

Cerita anak-anak melibatkan orang, hewan, figur fantasi, dan semua jenis objek tidak bernyawa seperti kereta api, batu, jam, dan vas bunga, atau segala jenis yang ada di sekitar anak. Yang terpenting ketika cerita telah terjadi ialah tema berkembang, masalah muncul, dan karakter serta objek dalam cerita meresponsnya dengan pikiran, emosi, dan perilaku tertentu. Ketika anak-anak mendengar sebuah cerita, mereka akan mengenali karakter, atau tema, atau kejadian dalam cerita. Jika mereka melakukan hal ini, maka mereka hampir pasti merefleksikan situasi hidup mereka sendiri.

Menurut Majid (2001:9) bercerita berarti menyampaikan cerita kepada pendengar atau membacakan cerita bagi mereka. Dari batasan yang dikemukakan oleh Abdul Majid ini menunjukkan paling tidak ada 3 komponen dalam bercerita, yaitu: (1) pencerita, orang yang menuturkan atau menyampaikan cerita, cerita dapat disampaikan secara lesan maupun tertulis; (2) cerita atau karangan yang disampaikan, cerita ini bisa dikarang sendiri oleh pencerita atau cerita yang telah dikarang atau ditulis oleh pengarang lain kemudian disampaikan oleh pencerita; (3) penyimak yaitu individu atau sejumlah individu yang menyimak cerita yang disampaikan baik dengan cara mendengarkan maupun membaca sendiri cerita yang disampaikan secara tertulis.

Ketertarikan mereka dalam pikiran, emosi, dan perilaku karakter dalam cerita membuat mereka pada beberapa tingkatan membagi pengalaman karakter buku cerita dan memproyeksikan keyakinan, pikiran, dan emosi karakter tersebut terhadap diri mereka sendiri. Dengan demikian, mereka dapat melalui gejolak emosi mereka sendiri. Disamping itu, anak-anak juga akan mengenali hubungan antara peristiwa dan tema dalam cerita, serta tema dalam hidup mereka. Ketika hal ini terjadi, merka memiliki kesempatan untuk bekerja secara langsung pada masalah mereka.

Sebagai konselor terkadang kita harus mengajarkan pada anak-anak perilaku baru yang lebih tepat daripada perilaku yang sebelumnya mereka pelajari. Misalnya, perhatikanlah anak-anak yang dilecehkan secara seksual. Seringkali anak-anak tersebut telah belajar untuk mempercayai dan memiliki batasan

Prosiding Konferensi Pendidikan Nasional “Penguatan Karakter Bangsa Melalui Inovasi Pendidikan di Era Digital”

179

terbuka. Di samping itu, mereka juga mungkin diajarkan untuk bersikap sopan pada orang dewasa dan harus menurut. Anak-anak seperti ini harus belajar menganai batasan yang tepat dan menyadari bahwa merupakan hal yang tepat dan pendting untuk mengatakan “tidak” ketika batasan mereka dilanggar. Media dapat digunakan sebagai cara mendidik terkait dengan sejumlah masalah dan atau area pengetahuan, termasuk pelecehan, kekerasan, keterampilan sosial, pengelolaan kemarahan, pendidikan seks, perpisahan, perceraian, dan kematian.

Menceritakan cerita memberikan cara yang menyenangkan untuk mengembangkan hubungan, pemahaman, dan belajar tentang anak. Ketika anak menceritakan cerita mereka, mereka mengkomunikasikan informasi penting tentang diri mereka sendiri dan keluarga mereka sambil belajar mengekspresikan dan menguasai perasaan mereka. Dengan mendengarkan cerita anak, Konselor dapat lebih memahami lebih baik pertahanan diri anak, konflik anak, dan dinamika keluarga (Gadner, dalam Djiwandono, 2005:328). Dalam menganalisis cerita-cerita anak, Konselor harus mencari tema-tema yang diulang, yang dapat memberikan kunci penting tentang perasaan-perasaan dan perjuangan anak. Ketika konselor menginterpretasikan cerita, tema-tema umum dalam cerita anak harus diinterpretasikan dengan jelas, apapun yang dikatakan anak. Karena setiap situasi adalah unik, menginterpretasi cerita anak adalah untuk melihat kemungkinan apa yang terjadi dan mengacaukan anak. Dalam menginterpretasi, Konselor harus mempertimbangkan kemampuan anak dalam imajinasi, umur, dan perkembangan. Ditambah, Konselor harus sangat akrab dan terampil dalam menginterpretasikan komunikasi simbolik secara wajar. Interpretasi dari cerita anak tergantung sebagian besar pada keterampilan dan pertimbangan Konselor.

Angry Box adalah sebuah cara untuk memfasilitasi anak menyampaikan dan menyalurkan kecemasan, kemarahan, ketakutan, dan segala pemikiran dari siswa yang kemudian diolah dan diinterpretasikan oleh konselor dalam memahami siswa, membentuk karakter, dan pendidikan (knowledge) bagi siswa. Pembentukan karakter siswa atau peserta didik adalah faktor utama terhadap keberhasilan siswa dalam menempuh pendidikan di sekolah atau di luar sekolah. Tanpa disadari, guru dan orang tua sering mengabaikan atau lupa untuk peduli terhadap karakter siswa. Hal ini disebabkan karena orang tua atau guru lebih memperhatikan kemampuan knowledge atau pengetahuan siswa. Di Indonesia pelaksanaan pendidikan karakter saat ini memang mendesak. Gambaran situasi masyarakat bahkan situasi dunia pendidikan di Indonesia menjadi sangat memprihatinkan. Kondisi moral/akhlak generasi muda yang rusak/hancur. Hal ini ditandai dengan maraknya seks bebas di kalangan remaja (generasi muda), peredaran narkoba di kalangan remaja, tawuran pelajar, peredaran foto, dan video porno pada kalangan pelajar, dan sebagainya. Mencari siswa yang berkarakter baik untuk saat ini sangat susah. Bukan karena kesalahan siswanya, tetapi pengaruh kemajuan teknologi, lingkungan sekolah, dan tempat tinggal siswa.

Sikap siswa terhadap guru pada saat ini jauh berbeda dengan masa lalu. Siswa masa kini yang menghormati guru sudah berkurang atau mengalami penurunan. Banyak guru yang mengeluhkan hal itu, guru menjadi serba salah untuk menghadapi situasi seperti ini. Terkadang guru bersikap tegas agar siswanya memiliki budi pekerti yang baik atau menghormati guru tetapi sering disalahartikan oleh beberapa pihak. Kondisi siswa yang kerap kali susah diatur dan tidak mempan terhadap nasihat guru, membuat guru lepas kontrol memberikan hukuman yang dianggap kelewat batas. Seandainya semua siswa sopan mau menuruti nasihat guru, kejadian-kejadian kekerasan guru terhadap siswa tidak sampai terjadi.

Pembentukan karakter siswa, sejatinya dimulai dalam keluarga. Keluarga memegang peranan penting dalam membentuk karakter siswa. Figur seorang ayah dalam keluarga sangat mempengaruhi karakter siswa. Demikian juga kedekatan antara ibu dan anak juga menjadi salah satu faktor pembentukan karakter siswa. Untuk mengembangkan karakter seseorang terutama peserta didik, seorang pendidik terlebih dahulu perlu mengenal atau memahami perkembangan peserta didik. Pada masa kanak-kanak akhir yaitu usia anak-anak SD (usia 7-12 tahun) sudah semakin luas lingkungan pergaulannya. Anak sudah banyak bergaul dengan orang-orang di luar rumah, yaitu dengan teman bermain di sekitar rumah, dengan teman di sekolah. Masyarakat mengharapkan agar anak menguasai dan menyelesaikan tugas-tugas perkembangannya agar diterima dengan baik oleh lingkungannya. Guru di sekolah memiliki andil yang besar dalam membantu siswa untuk menyelesaikan tugas perkembangan dengan baik.

Pada masa kanak-kanak akhir pula, emosi siswa mulai terpendam, siswa sudah bisa merasakan segala bentuk kekesalan, memahami semua kesalahan yang telah diperbuat, dan mengambil langkah dalam mencapai solusi terdamai dengan sekitarnya. Apabila emosi ini terus terpendam, maka akan dimunculkan kembali dalam waktu dan kondisi yang kurang tepat dikemudian hari, yang artinya akan menimbulkan masalah bagi siswa itu sendiri.

Prosiding Konferensi Pendidikan Nasional “Penguatan Karakter Bangsa Melalui Inovasi Pendidikan di Era Digital”

180

HASIL DAN PEMBAHASAN

Perkembangan Peserta Didik Masa Sekolah Dasar Guru atau pendidik perlu memahami bahwa semua siswa memiliki kebutuhan meskipun intensitas

kebutuhan bervariasi antara siswa yang satu dengan yang lain. Kebutuhan siswa juga bervariasi sesuai dengan tahapan perkembangannya, meski pada umumnya meliputi kebutuhan fisik, kognitif, emosi, sosial dan intelektual. Hal ini akan menentukan bagaimana siswa dalam masing-masing tahapan akan belajar dan berkembang sesuai dengan kemampuannya. Masuk sekolah dasar untuk pertama kalinya memberikan pengalaman baru yang menuntut anak untuk mengadakan penyesuaian dengan lingkungan sekolah.

Pengalaman siswa masuk kelas 1 SD merupakan peristiwa penting bagi kehidupan anak sehingga mengakibatkan perubahan dalam sikap, nilai dan perilaku. Pada awal masuk sekolah sebagian anak mengalami gangguan keseimbangan dalam penyesuaian diri dengan lingkungan sekolah. Masa kanak-kanak akhir menurut Piaget (Partini, 1995: 52-53) tergolong pada masa ‘Operasi Konkret’ dimana anak berfikir logis terhadap objek yang konkret. Berkurang rasa egonya dan mulai bersikap sosial. Terjadi peningkatan dalam hal pemeliharaan, misalnya mulai mau memelihara alat permainannya. Mengelompokkan benda-benda yang sama ke dalam dua atau lebih kelompok berbeda. Ia mulai banyak memperhatikan dan menerima pandangan orang lain.

Materi pembicaraan lebih ditujukan kepada lingkungan sosial, tidak pada dirinya sendiri. Pada masa kanak akhir, perkembangan moral ditandai dengan kemampuan anak untuk memahami aturan, norma dan etika yang berlaku di masyarakat. Perkembangan moral terlihat dari perilaku moralnya di masyarakat yang menunjukkan kesesuaian dengan nilai dan norma di masyarakat. Perilaku moral ini banyak dipengaruhi oleh pola asuh orang tua serta perilaku moral dari orang-orang sekitarnya. Perkembangan moral ini juga tidak terlepas dari perkembangan kognitif dan emosi anak. Menurut Piaget, antara usia 5 sampai 12 tahun konsep anak mengenai keadilan sudah berubah. Pengertian yang kaku tentang benar dan salah yang telah dipelajari dari orang tua menjadi berubah. Piaget menyatakan bahwa relativisme moral menggantikan moral yang kaku. Misalnya, bagi anak usia 5 tahun, berbohong adalah hal yang buruk, tetapi bagi anak yang lebih besar sadar bahwa dalam beberapa situasi, berbohong adalah dibenarkan, dan oleh karenanya berbohong tidaklah terlalu buruk. Piaget berpendapat bahwa anak yang lebih muda ditandai dengan moral yang heteronomous sedangkan anak pada usia 10 tahun mereka sudah bergerak ke tingkat yang lebih tinggi yang disebut moralitas autonomous. Kohlberg memperluas teori Piaget dan menyebut tingkat kedua dari perkembangan moral masa ini sebagai tingkat moralitas dari aturan-aturan dan penyesuaian konvensional. Dalam tahap pertama dari tingkat ini oleh Kohlberg disebut moralitas anak baik, anak mengikuti peraturan untuk mengambil hati orang lain dan untuk mempertahankan hubungan-hubungan yang baik. Dalam tahap kedua Kohlberg menyatakan bahwa bila kelompok sosial menerima peraturan-peraturan yang sesuai bagi semua anggota kelompok, ia harus menyesuaikan diri dengan peraturan untuk menghindari penolakan kelompok dan celaan (Hurlock, 1993 : 163). Kohlberg (Duska & Whelan, 1981 : 59-61) menyatakan adanya enam tahap perkembangan moral. Keenam tahap tersebut terjadi pada tiga tingkatan, yakni tingkatan : (1) pra-konvensional; (2) konvensional dan (3) pasca konvensional.

Pada pra-konvensional, anak peka terhadap peraturan-peraturan yang berlatar belakang budaya dan terhadap penilaian baik buruk, benar-salah tetapi anak mengartikannya dari sudut akibat fisik suatu tindakan. Pada tahap konvensional, memenuhi harapan-harapan keluarga, kelompok atau agama dianggap sebagai sesuatu yang berharga pada dirinya sendiri, anak tidak peduli apa pun akan akibat-akibat langsung yang terjadi. Sikap yang nampak pada tahap ini terlihat dari sikap ingin loyal, ingin menjaga, menunjang dan memberi justifikasi pada ketertiban. Pada tahap pasca-konvensional ditandai dengan adanya usaha yang jelas untuk mengartikan nilai-nilai moral dan prinsipprinsip yang sahih serta dapat dilaksanakan, terlepas dari otoritas kelompok atau orang yang memegang prinsip-prinsip tersebut terlepas apakah individu yang bersangkutan termasuk kelompok itu atau tidak.

Emosi memainkan peran yang penting dalam kehidupan anak. Akibat dari emosi ini juga dirasakan oleh fisik anak terutama bila emosi itu kuat dan berulang-ulang. Pergaulan yang semakin luas membawa anak belajar bahwa ungkapan emosi yang kurang baik tidak diterima oleh teman-temannya. Anak belajar mengendalikan ungkapanungkapan emosi yang kurang dapat diterima seperti: amarah, menyakiti perasaan teman, ketakutan dan sebagainya. Perkembangan emosi pada masa kanak-kanak akhir tak dapat dipisahkan dengan perkembangan sosial, yang sering disebut sebagai perkembangan tingkah laku sosial. Orang-orang di sekitarnya-lah yang banyak mempengaruhi perilaku sosialnya. Dunia

Prosiding Konferensi Pendidikan Nasional “Penguatan Karakter Bangsa Melalui Inovasi Pendidikan di Era Digital”

181

sosioemosional anak menjadi semakin kompleks dan berbeda pada masa ini. Interaksi dengan keluarga, teman sebaya, sekolah dan hubungan dengan guru memiliki peran yang penting dalam hidup anak. Pemahaman tentang diri dan perubahan dalam perkembangan gender dan moral menandai perkembangan anak selama masa kanak-kanak akhir. Bermain secara berkelompok memberikan peluang dan pelajaran kepada anak untuk berinteraksi, bertenggang rasa dengan sesama teman. Permainan yang disukai cenderung bermain kelompok. Pengaruh teman sebaya sangat besar baik yang bersifat positif seperti pengembangan konsep diri dan pembentukan harga diri, maupun negatif. Guru perlu mengamati dan mendengar apa yang dilakukan oleh siswa dan mencoba menganalisisnya bagaimana siswa berfikir. Salah satu cara dalam menginterpretasikan emosi siswa dalam dunia kelompoknya ialah dengan cara bercerita, karena teknik ini adalah teknik yang sangat mudah dipahami dan dipaktekkan, siswa bebas menambah dan mengungkapkan segala emosinya ke dalam cerita yang ia buat dalam kelompok.

Pernyataan-pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa hal-hal yang mempengaruhi pengembangan karakter peserta didik adalah fisik, kognitif, emosi, sosial dan intelektual. Masa kanak-kanak akhir, bermain secara berkelompok merupakan pembelajaran untuk berinteraksi, bertenggang rasa dengan sesama teman. Pengaruh teman sebaya, keluarga, dan sekitarnya sangat besar baik yang bersifat positif maupun negatif oleh sebab itu lingkungan keluarga, lingkungan sekitarnya maupun sekolahnya baik maka karakter yang terbentuk akan baik tetapi jika lingkungan keluarga, lingkungan sekitarnya atau sekolahnya kurang baik kemungkinan karakter yang terbentuk kurang baik juga. Angry Box sebagai Media Bercerita Siswa

Angry Box (Kotak Kemarahan) saat pengajaran berlangsung yang ditaruh di depan kelas, dan secara sukarela diisi oleh siswa yang mengungkapkan kecemasan dan emosi siswa, kemudian konselor menginterpretasikan beberapa kecemasan emosi siswa di depan kelas. Cara lain membaca cerita atau menginterpretasikan kecemasan siswa adalah mendorong anak-anak menciptakan cerita mereka sendiri. Anak-anak diyakinkan untuk memproyeksikan ide dari hidup mereka pada karakter dan tema dalam cerita. Bahkan, anak-anak dapat menyertakan diri mereka sebagai karakter dalam cerita, atau dapat menjelaskan peristiwa yang telah terjadi dalam hidup mereka dalam cerita. Sekali lagi, seperti saat membaca cerita, anak-anak diberikan kesempatan untuk menggali masalah, pikiran, emosi dan perilaku mereka baik secara proyektif atau secara langsung.

Tujuan khusus dari Angry Box sebagai media bercerita bagi siswa, ialah; (a) Membantu anak-anak menormalkan peristiwa dalam hidup mereka dengan membuat mereka mengetahui bahwa orang lain juga memiliki pengalaman yang serupa. Tujuan ini dapat tercapai dengan membaca cerita yang memiliki tema serupa dengan pengalaman mereka. (b) Membantu mengurangi stigma terkait dengan pengalaman tidak diterima secara sosial. Anak-anak yang merasakan pelecehan seksual atau kekerasan dalam rumah tangga akan merasa lebih baik ketika mengetahui bahwa anak-anak lain melalui pengalaman yang sama dan memiliki perasaan yang sama. Mereka dapat menemukannya dengan bercerita mengenai anak-anak lain yang memiliki pengalaman serupa. (c) Membantu anak-anak menyadari bahwa beberapa kejadian tidak dapat dihindari. Misalnya, anak-anak yang sakit dan harus ke rumah sakit dapat dibantu dengan membacakan buku mengenai anak-anak lain yang dirawat dirumah sakit dan mengenali beberapa rasa takut dan harapan anak-anak.

Sehubungan dengan hal itu maka Angry Box digunakan untuk membantu anak-anak (siswa) mengekspresikan harapan, keinginan, dan fantasi. Hal ini bermanfaat khususnya bagi anak-anak yang mengalami situasi kehidupan yang menyakitkan dan diceritakan kisah yang tidak benar untuk menghindari rasa sakit menghadapi kenyataan. Misalnya, anak-anak yang tidak memiliki orang tua akan merasa malu karena berbeda dari temannya dan akan begitu menyakitkan mengatakan kebenaran pada mereka. Akibatnya, mereka akan mengatakan pada teman mereka bahwa orang tua mereka merupakan orang terkenal yang bekerja di luar negeri. Dengan menggunakan dongeng konselor mampu membantu anak-anak menyadari bahwa cerita mereka tidaklah benar, tetapi lebih kepada pengekspresian keinginan.

Tahap pelaksanaan menyampaikan cerita kepada siswa, sesuai dengan rencana yang telah disiapkan. Langkah-langkah dalam pelaksanaan ini yaitu; (a) Pembukaan, awal pertemuan dengan siswa, pembimbing membuka kegiatan yang akan dilaksanakan. Pada saat pembukaan aktivitas pembimbing yaitu: (1) Menciptakan rapport dan memotivasi siswa dalam mengikuti kegiatan dengan menginformasikan kegiatan dan tujuan yang hendak dicapai; (2) Mengatur tempat duduk siswa sesuai dengan formasi yang dirancang, bisa dalam bentuk melingkar, setengah lingkaran, bentuk huruf U, dan sebagainya. Di samping itu bisa duduk di kursi atau lesehan di tikar/ karpet; (3) Menyiapkan media yang

Prosiding Konferensi Pendidikan Nasional “Penguatan Karakter Bangsa Melalui Inovasi Pendidikan di Era Digital”

182

akan digunakan, yang kali ini ialah Angry Box; (4) menggali pengalaman awal siswa terkait dengan materi bimbingan yang akan disampaikan melalui bercerita; (5) menyampaikan topik dan tujuan bimbingan serta; (6) aturan-aturan yang harus diikuti selama proses bercerita. (b) Kegiatan inti, yaitu menuturkan atau menyampaikan cerita yang telah disiapkan kepada siswa, atau pun dapat meminta siswa bercerita sebagian. Aspek-aspek yang perlu diperhatikan meliputi: (1) Vocal, pembimbing hendaknya memperhatikan suaranya saat menyampaikan cerita, aspek yang diperhatikan meliputi volume suara, intonasi, warna suara irama dan cara pengucapannya; (2) Mimik pantomimik, yaitu peragaan tubuh dan ekspresi wajah saat menyampaikan cerita; (3) pengelolaan kelas, pembimbing memperhatikan keterlibatan siswa saat bercerita, perhatian yang merata kepada seluruh siswa; (4) penggunaan media disesuaikan dengan teknik cerita yang akan dipilih. (c) Diskusi/ Tanya jawab, setelah selesai bercerita, maka pembimbing mendiskusikan dengan para siswa dalam rangka memahami materi bimbingan yang disampaikan melalui cerita. (d) Penutupan, pembimbing mengakhiri kegiatan dengan membuat kesimpulan dan memberi penekanan-penekanan pada pesan-pesan bimbingan yang disampaikan. (e) Evaluasi, yaitu memberikan penilaian terhadap siswa. Evaluasi dimaksudkan untuk melihat keberhasilan siswa dalam menerima dan memahami materi bimbingan yang disampaikan melalui cerita.

SIMPULAN

Penyaluran emosi yang sesuai dengan kebutuhan siswa atau peserta didik adalah faktor utama terhadap keberhasilan siswa dalam menempuh pendidikan di sekolah maupun di luar sekolah. Guru atau pendidik perlu memahami bahwa semua siswa memiliki kebutuhan meskipun intensitas kebutuhan bervariasi antara siswa yang satu dengan yang lain. Kebutuhan siswa juga bervariasi sesuai dengan tahapan perkembangannya, meski pada umumnya meliputi kebutuhan fisik, kognitif, emosi, sosial dan intelektual. Masa kanak-kanak akhir, bermain secara berkelompok merupakan pembelajaran untuk berinteraksi, bertenggang rasa dengan sesama teman. Pengaruh teman sebaya, keluarga, dan sekitarnya sangat besar baik yang bersifat positif maupun negatif oleh sebab itu lingkungan keluarga, lingkungan sekitarnya maupun sekolahnya baik maka karakter yang terbentuk akan baik tetapi jika lingkungan keluarga, lingkungan sekitarnya atau sekolahnya kurang baik kemungkinan karakter yang terbentuk kurang baik juga., sehingan semua itu menyimpan emosi yang mendalam bagi siswa yang belum sempat tercurahkan dengan benar. Dalam pembelajaran teknik bercerita ini dilakukan dengan tujuan agar peserta didik memperoleh keterampilan tertentu, baik yang bersifat profesional maupun yang berguna bagi kehidupan sehari-hari. Dapat pula teknik bercerita ini ditujukan untuk memperoleh pemahaman tentang suatu kecemasan dan emosi siswa, serta bertujuan untuk memecahkan suatu masalah yang sedang dihadapi oleh peserta didik.

DAFTAR PUSTAKA

Djiwandono, Sri Esti Wuryani. 2005. Konseling dan Terapi dengan Anak dan Orang Tua. Jakarta: PT Gramedia.

Geldard, Kathryn, dan David Geldrard. 2011. Konseling anak-Anak Panduan Praktis. edisi Ketiga. Yogyakarta. Pustaka Pelajar.

Kesuma, Dharma, dkk. 2013. Pendidikan Karakter Kajian Teori dan Praktik di Sekolah. Bandung : Remaja Rosdakarya.

Majid, Abdul & Abdul Aziz. 2001. Mendidik dengan Cerita. Bandung: ROSDA Karya

S, Partini. 1996. Psikologi Perkembangan. Yogyakarta : IKIP Yogyakarta.

Samani, Muchlas dan Hariyanto. 2013. Konsep dan Model Pendidikan Karakter. Bandung : Remaja Rosdakarya.

Rantauwati, Henny Sri.2014. Jurnal Ilmiah Guru “COPE”, No. 01/Tahun XVIII/Mei 2014. Pengembangan Karakter Siswa SD melalui Bermain Peran; 58-65.

Prosiding Konferensi Pendidikan Nasional “Penguatan Karakter Bangsa Melalui Inovasi Pendidikan di Era Digital”

183

Zen, Ella Faridati. 2008. Teknik Bercerita dalam Bimbingan dan Konseling. Diakses dari laman www.usd.ac.id.

KENDALI OPTIMAL PADA MODEL PENYAKIT SCABIES

Pardi Affandi1, Faisal2 1,2ULM

[email protected]

Abstrak Scabies adalah penyakit kulit yang disebabkan oleh kutu Sarcoptes scabies yang menimbulkan gatal. Scabies termasuk zoonosis yang menyerang kulit dan dapat mengenai semua golongan di seluruh dunia. Penyebab penyakit Scabies sudah lama dikenal sebagai akibat infestasi tungau yang dinamakan Acarusscabiei atau pada manusia disebut Sarcoptes scabiei varian hominis. Sarcoptes scabiei termasuk filum Arthropoda, kelas Arachnida, ordo Acarina, super famili Sarcoptes (Djuanda, 2010).Tujuan penelitian ini membahas terbentuknya model penyakit Scabies mengikuti model SEIRS yang terdiri dari empat kompartemen kelompok susceptible (rentan), Exposed ( kelas populasi yang laten), kelompok infected (terinfeksi) dan kelompok recovered (sembuh). Terlebih dahulu dibentuk model persamaan diferensialnya. Dari model ditentukan titik kestabilan dari sistem Sehingga diperoleh titik endemik dan titik ekuilibrium bebas penyakit. Langkah selanjutnya menggunakan Kendali optimal berupa pengaruh treatment pada model yang terbentuk dengan melibatkan Hamiltonian dan maksimum Pontryagin. Hasilnya akan diperoleh solusi optimal kontrol dengan pemberian treatment pengobatan untuk mencegah penyakit Scabies. Kata Kunci: Scabies, model SEIRS maksimum Pontryagin.

PENDAHULUAN

Banyak permasalahan yang melibatkan teori sistem dan teori kendalil serta aplikasinya. Beberapa referensi teori yang mengaplikasikan teori kontrol ke dalam masalah inventori adalah Sprzeuzkouiski (1967), Hwang, Fan dan Erickson (1967), Pekelman (1974), Bensoussan, Affandi P. (2011). Selain dalam bidang industri teori kendali juga banyak digunakan untuk menyelesaikan permasalahan dalam masalah kesehatan. Diantaranya penentuan interval waktu dan dosis optimal pada penyakit yang sangat laten pada wilayah rawa yaitu penyakit malaria. Selain pada penyakit malaria juga dapat digunakan untuk menyelesaikan model penyakit Scabies.

Penyebab penyakit Scabies sudah lama dikenal sebagai akibat infestasi tungau yang dinamakan Acarus scabiei atau pada manusia disebut Sarcoptes scabiei varian hominis. Sarcoptes scabiei termasuk filum Arthropoda, kelas Arachnida, ordo Acarina, super famili Sarcoptes (Djuanda, 2010). Gejala yang menandai Scabies adalah gatal luar biasa, sering kali parah dan memburuk di malam hari, muncul di kulit menyerupai bulatan seperti galian yang tipis dan tidak teratur, kulit agak melepuh atau terdapat benjolan seperti jerawat yang kecil atau berubah warna, selanjutnya kulit mengeras dengan kerak tebal yang mengandung ribuan tungau dan telur, dan mudah terkelupas saat disentuh.

Pemberantasan penyakit Scabies selalu dilakukan oleh pemerintah melalui Dinas Kesehatan Kalimantan Selatan (2016) dan pencapaiannya sudah mengalami peningkatan apalagi kondisi pasca terjadi genangan air, namun masih menjadi suatu masalah dan perlu upaya yang lebih keras untuk mencapai target bebas penyakit Scabies 2020. Selain melakukan pengobatan, juga dibutuhkan treatment yang tepat, treatment adalah suatu langkah yang dilakukan untuk mengatasi masalah yang ada. Selain itu cara lain untuk memberantas penyakit yaitu dengan mengendalikannya. Pengendalian tersebut dapat dilakukan melalui pemodelan matematika. Ross (1911) pertama kali memodelkan penyebaran penyakit menggunakan model matematika. Kemudian Kermack & McKendrick (1927) mengenalkan salah satu model epidemik dasar yaitu SIR. Model ini terdiri dari tiga kompartemen yaitu Sucseptible (rentan), Infected (infeksi), dan Recovered (sembuh).

Padapenelitian Nyamun dkk (2016) dibahas Analisa Kestabilan Model SEIS Penyakit Scabies dengan melibatkan populasi tertentu, tingkat infeksi Penyakit Scabies dapat dianalisis dengan memodelkan penyebaran penyakit Scabies menggunakan model SEIS. Namun, model yang akan dibahas

Prosiding Konferensi Pendidikan Nasional “Penguatan Karakter Bangsa Melalui Inovasi Pendidikan di Era Digital”

184

pada penelitian ini menggunakan model SEI. Model ini terdiri dari tiga kompartemen yaitu Sucseptible (rentan),Exposed ( kelaspopulasi yang laten), Infectious ( kelas populasi yang terinfeksi).

Selanjutnya dengan menggunakan kontrol optimal melalui kendali penggunaan treatment pengobatan.Terlebih dahulu dipresentasikan terbentuknya model penyakit Scabies, selanjutnya menyelesaikan masalah kestabilan dari model dan memberikan faktor kendali pada model dengan menggunakan prinsip Pontryagin dengan melibatkan fungsi Hamilthonian akan diperoleh solusi kontrol dengan pemberian treatment pengobatan untuk mencegah penyakit Scabies.n

METODE

Metode penelitian yang digunakan adalah dengan menggunakan literatur jurnal – jurnal dan buku – buku yang berhubungan dengan penyakit Scabies, khususnya model SEI. Oleh karenanya materi yang berasaldari hasil karya ilmiah para pakar matematika dalam bentuk jurnal. Prosedur penelitian diawali dengan mengkaji tentang yang mendasari dan yang berkaitan dengan model epidemiologi SEI dengan adanya pengobatan, menentukan asumsi dan mendefinisikan parameter yang digunakan pada model. Setelah itu, dibuat diagram transfer model epidemi SEI dan berdasarkan diagram transfer tersebut dituliskan terbentuknya sistem persamaan diferensial untuk model epidemiologi SEI dengan adanya pengobatan sehingga terbentuk model matematika epidemi SEI.

Selanjutnya, menentukan titik–titik ekuilibrium model tersebut dengan menggunakan definisi titik ekuilibrium suatu sistem persamaan diferensial. Setelah menentukan titik–titik ekuilibrium model tersebut, langkah selanjutnya menyelidiki sifat kestabilan lokal titik–titik ekuilibrium model tersebut. Untuk menyelidiki kestabilan lokal dilakukan linearisasi pada sistem dengan menentukan matriks Jacobian di titik ekuilibrium. Sifat kestabilan lokal titik ekuilibrium dapat ditentukan asalkan titik tersebut hiperbolik. Selanjutnya menentukan nilai eigen dari matriks Jacobian tersebut dengan menggunakan definisi polinomial karakteristik suatu matriks. Salah satu alternatif menentukan nilai eigen dari polinomial karakteristik suatu matriks digunakan juga Teorema Routh–Hurwitz.

Untuk mengurangi populasi susceptible dapat menggunakan kontrol optimal yang berupa pengobatan, dimana obat tersebut diberikan kepada populasi susceptible sehingga populasi tersebut masuk ke dalam populasi recovered. Kontrol optimal tersebut dapat diperoleh dengan menggunakan prinsip maksimum pontryagin. Prinsip maksimum pontryagin merupakan prinsip yang menyatakan kondisi yang diperlukan agar diperoleh solusi yang optimal dengan kontrol u yang dapat meminimumkan fungsi Hamilton pada waktu t (Elly, 2016).

Kendali terhadap model penyakit Scabies akan diperoleh nilai hasil kendali u* yang merupakan upaya pemberian obat yang diberikan untuk mengurangi jumlah individu yang rentan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pembentukan Model Epidemiologi SEI dengan adanya Pengobatan Proses pembentukan model epidemiologi SEI dengan pengobatan dimulai dengan membentuk

model yang sesuai dengan model penyakit Scabies dengan mengikuti kerangka model SEI di mana individu pada awalnya rentan (S), kemudian setelah terjadi infeksi menghabiskan beberapa waktu di kelas 'terbuka' (E) laten. Setelah tungau betina yang telah dibuahi dipindahkan ke individu yang rentan, waktu tungau berarti ada penundaan, antara 7 sampai 14 hari, sebelum inang dapat menjadi infektif. Namun selama periode ini, liang kutu masih dapat diamati pada kulit inang. Akhirnya, individu menjadi menular (I), yang dapat menulari orang lain.

Sehingga pembentukan itik awal model SEI dalam populasi tertutup ukuran N yang terdiri dari tiga variabel, S(t), E(t) dan I(t) sehingga S(t) + E(t) + I(t) = N, untuk semua nilai t, mewakili jumlah individu yang tidak terinfeksi dengan Scabies (Rentan), yang telah terinfeksi tetapi tidak dapat menginfeksi orang lain (Paparan), dan yang telah terinfeksi dan mampu menginfeksi masing-masing orang lain (Infectious).

Model SEI diterapkan pada penyakit yang memiliki masa inkubasi sekitar 7 sampai 14 hari. Pada umumnya selama masa laten tersebut individu tidak bisa menularkan penyakit, tetapi pada beberapa penyakit, individu yang berada dalam masa laten, infeksi dan sembuh mempunyai kemungkinan untuk menularkan penyakit. Pada model SEI populasi dibagi menjadi 3 kelas (subpopulasi) yaitu

Prosiding Konferensi Pendidikan Nasional “Penguatan Karakter Bangsa Melalui Inovasi Pendidikan di Era Digital”

185

a. Kelas S (Susceptible) menyatakan kelas individu yang rentan b. Kelas E(Exposed) menyatakan kelas individu yang telah terinfeksi tapi belumsakit (laten) c. Kelas I (Infectious) menyatakan kelas individu yang sudah terjangkit penyakit

Pada pemodelan yang akan dibentuk, digunakan asumsi–asumsi sebagai berikut, Populasi terbuka, individu yang berada dalam kelas laten, infeksi dan sembuh mempunyai kemungkinan untuk menularkan penyakit, dan masa inkubasi sekitar7 samapi 14 hari.

Definisi dari parameter – parameter yang digunakan pada model adalah sebagai berikut V menyatakan konstanta rekruitmen dari S a11 menyatakan laju dari kontak efektif pada periode laten a22 menyatakan laju dari kontak efektif pada periode infeksi 𝜇 menyatakan laju kematian alami 𝛼+< menyatakan laju kematian karena penyakit pada kelas 𝐸 𝛼>< menyatakan laju kematian karena penyakit pada kelas 𝐼 𝛾< menyatakan laju dari kelas 𝐸 ke kelas 𝐼 Berdasarkanpermasalahan diatasdapatdibuat diagram transfer sebagaiberikut V a11SE b0E

a22SI

𝜇𝑆 𝜇 + 𝛼+< 𝐸 𝜇 + 𝛼>< 𝐼

Gambar 1.Diagram transfer kompartemen dari populasi manusia. Dinamika epidemiologi penyakait Scabies SEI dengan adanya pengobatan berdasarkan diagram

alir di atas dapat diilustrasikan sebagai berikut: Berdasarkan diagram transfer di atas dapat diformulasikan modelnya sebagai berikut IJIK= V − a++SE − a>>SI − µS (3.1)

IRIK= a++SE + a>>SI − b<E − µ + α+< E (3.2)

IUIK= b<E − µ + α>< I (3.3)

Diberikan N(t) menyatakan ukuran populasi pada saat t, maka N t = S t + E t + I t . Berdasarkan Sistem (3.1) s.d (3.3) dan Persamaan N t = S t + E t + I t maka

IZIK= V − µN − α+<E − α><I, kemudian pada saat individu manusia yang laten dan terinfeksi nol maka

laju populasi manusia menjadi dNdt

= V − µN ⇔dNdt+ µN = V.

Diberikan N(t) menyatakan ukuran populasi pada saat t, maka N t = S t + E t + I t . Kemudian pada saat individu manusia yang laten dan terinfeksi nol maka laju populasi manusia

menjadi ^"^_= 𝑉 − 𝜇𝑁 ⇔ ^"

^_+ 𝜇𝑁 = 𝑉. (3.4)

Jika disubstitusikan syarat awal 𝑁 0 = 𝑁< maka diperoleh solusi persamaan (3.4) menjadi 𝑁 𝑡 = 𝑁<𝑒,b_ +

cb1 − 𝑒,b_ .

Untuk menyederhanakan Sistem (3.1) s.d (3.4) dimisalkan 𝜇𝑑𝑡 = 𝑑𝜏 atau 𝜏 = 𝜇𝑡, maka Sistem (3.1) s.d (3.3) menjadi

^g^h= c

b− 𝑎+𝑆𝐸 − 𝑎>𝑆𝐼 − 𝑆 (3.5)

^j^h= 𝑎+𝑆𝐸 + 𝑎>𝑆𝐼 − 1 + 𝑏 + 𝛼+ 𝐸 (3.6)

^l^h= 𝑏𝐸 − 1 + 𝛼> 𝐼 (3.7)

S E I

Prosiding Konferensi Pendidikan Nasional “Penguatan Karakter Bangsa Melalui Inovasi Pendidikan di Era Digital”

186

Titik ekuilibrium Sistem (3.5) s.d (3.7) diperoleh dengan menjadikan ruas kanan masing–masing persamaan sama dengan nol, yaitu cb− 𝑎+𝑆𝐸 − 𝑎>𝑆𝐼 − 𝑆 = 0, (3.8)

𝑎+𝑆𝐸 + 𝑎>𝑆𝐼 − 1 + 𝑏 + 𝛼+ 𝐸 = 0, (3.9) 𝑏𝐸 − 1 + 𝛼> 𝐼 = 0, (3.10) mb− 𝑁 − 𝛼+𝐸 − 𝛼>𝐼 = 0. (3.11)

Jika 𝐼 = 0, maka dari Persamaan (3.10) diperoleh 𝑏𝐸 = 0 ⇔ 𝐸 = 0.

Dari Persamaan (3.11) diperoleh 𝑅 = 0, diperoleh 𝐴𝜇− 𝑆 = 0

⇔ 𝑆 =𝐴𝜇.

Jadi diperoleh titik ekuilibrium bebas penyakit P< S, E, I = qr, 0,0 . Selanjutnya akan dicari titik

ekuilibrium endemik yaitu jika I > 0. Dari persamaan akan diperoleh titik ekuilibrium endemik S = q(tuvwtxy)

zuvwzxy q,rZ wr(tuvwtx{) (3.13)

E = v q,rZr(vtuw{tx)

(3.14)

I = y q,rZr tuvwtx{

(3.15)

Kestabilan Titik Ekuilibrium Bebas Penyakit Selanjutnyaakandicarititikekuilibriumendemikyaitujika𝐼 > 0.

Dari persamaanakandiperoleh 𝑆 = c(|u}w|x*)

~u}w~x* c,b" wb(|u}w|x�) (3.13)

𝐸 = } c,b"b(}|uw�|x)

(3.14)

𝐼 = * c,b"b |u}w|x�

(3.15) Jika Sistem (3.13) s.d (3.15) disubstitusikan ke dalam Persamaan (3.9) diperoleh

⇔ 𝐹 𝑁 𝑉 − 𝜇𝑁 = 0, (3.16) dengan

𝐹 𝑁 = 𝜇𝑁𝛿𝜔 − 𝑉 𝛿𝜔 − 𝛼+𝜔 − 𝛼>𝛾 (𝑏+𝜔 + 𝑏>𝛾) − 𝛿𝜔𝜇(𝛼+𝜔 + 𝛼>𝑏). Untuk 𝑉 − 𝜇𝑁 > 0, maka dari Persamaan (3.16) haruslah 𝐹 𝑁 = 0. Untuk 𝑁 = 0 diperoleh

𝐹 0 = −𝐴 𝛿𝜔 − 𝛼+𝜔 − 𝛼>𝛾 𝛽+𝜔 + 𝛽>𝛾 + 𝛽=𝑘𝛾 − 𝛿𝜔𝜇 𝛼+𝜔 + 𝛼>𝛾 < 0. Untuk𝑁 = c

b diperoleh

𝐹𝑉𝜇

= 𝜇𝛿𝜔𝑉𝜇

− 𝑉 𝛿𝜔 − 𝛼+𝜔 − 𝛼>𝛾 𝑏+𝜔 + 𝑏>𝛾 − 𝛿𝜔𝜇 𝛼+𝜔 + 𝛼>𝛾

= 𝛿𝜔𝑉 − 𝑉 𝛿𝜔 − 𝛼+𝜔 − 𝛼>𝛾 𝑏+𝜔 + 𝑏>𝛾 − 𝛿𝜔𝜇 𝛼+𝜔 + 𝛼>𝛾 = 𝜇 𝛼+𝜔 + 𝛼>𝛾 𝛿𝜔 𝑅< − 1 ,

Dengan 𝑅< =c �u}w�x*

�}b.

Karena 𝐹� 𝑁 > 0 maka 𝐹(𝑁) adalah fungsi monoton naik, jika 𝑅< > 1 maka 𝐹 m

b> 0 dan terdapat suatu 𝑁 = 𝑁∗ dengan 𝑁∗ ∈ 0, m

b sedemikian sehingga 𝐹 𝑁∗ = 0 . Jadi

Sistem (3.5) s.d (3.7) mempunyai titik ekuilibrium endemik tunggal 𝑃∗ 𝑆∗, 𝐸∗, 𝐼∗ ,dengan 𝑆∗, 𝐸∗, 𝐼∗ ditentukan oleh Persamaan (3.14) s.d (3.16).

Prosiding Konferensi Pendidikan Nasional “Penguatan Karakter Bangsa Melalui Inovasi Pendidikan di Era Digital”

187

Setelah Sistem (3.5) s.d (3.7) mempunyai titik ekuilibrium endemik tunggal selanjutnya akan dilihat masalah kestabilan sistem. Perhatikan kembali Sistem (3.14) s.d (3.16), kemudian fungsi–fungsi tersebut diturunkan secara parsial yaitu

1. Untuk fungsi 𝑔+ 𝑆, 𝐸, 𝐼 = cb− 𝑏+𝑆𝐸 − 𝑏>𝑆𝐼 − 𝑆 diturunkan terhadap 𝑆, 𝐸, 𝐼 diperoleh 𝜕𝑔+𝜕𝑆

= −𝛽+𝐸 − 𝛽>𝐼 − 1 𝜕𝑔+𝜕𝐸

= −𝛽+𝑆 𝜕𝑔+𝜕𝐼

= −𝛽>𝑆

2. Untuk fungsi 𝑔> 𝑆, 𝐸, 𝐼 = 𝑏+𝑆𝐸 + 𝑏>𝑆𝐼 − 𝛿𝐸 diturunkan terhadap 𝑆, 𝐸, 𝐼 diperoleh 𝜕𝑔>𝜕𝑆

= 𝑏+𝐸 + 𝑏>𝐼 𝜕𝑔>𝜕𝐸

= 𝑏+𝑆 − 𝛿 𝜕𝑔>𝜕𝐼

= 𝑏>𝑆

3. Untuk fungsi 𝑔= 𝑆, 𝐸, 𝐼 = 𝛾𝐸 − 𝜔𝐼 diturunkan terhadap 𝑆, 𝐸, 𝐼 diperoleh 𝜕𝑔=𝜕𝑆

= 0 𝜕𝑔=𝜕𝐸

= 𝛾 𝜕𝑔=𝜕𝐼

= −𝜔 Setelah fungsi–fungsi tersebut di atas diturunkan secara parsial terhadap 𝑆, 𝐸, 𝐼 diperoleh matriks

Jacobian Sistem (3.5) s.d (3.7) sebagai berikut

𝐽 𝑔 𝑆, 𝐸, 𝐼 =

𝜕𝑔+ 𝑆, 𝐸, 𝐼𝜕𝑆

𝜕𝑔+ 𝑆, 𝐸, 𝐼𝜕𝐸

𝜕𝑔> 𝑆, 𝐸, 𝐼𝜕𝑆

𝜕𝑔> 𝑆, 𝐸, 𝐼𝜕𝐸

𝜕𝑔+ 𝑆, 𝐸, 𝐼𝜕𝐼

𝜕𝑔> 𝑆, 𝐸, 𝐼𝜕𝐼

𝜕𝑔= 𝑆, 𝐸, 𝐼𝜕𝑆

𝜕𝑔= 𝑆, 𝐸, 𝐼𝜕𝐸

𝜕𝑔= 𝑆, 𝐸, 𝐼𝜕𝐼

= −𝑏+𝐸 − 𝑏>𝐼 − 1 −𝑏+𝑆𝑏+𝐸 + 𝑏>𝐼 𝑏+𝑆 − 𝛿

−𝑏>𝑆𝑏>𝑆

0 𝛾 −𝜔.

Untuk menyelidiki kestabilan titik ekuilibrium bebas penyakit dapat dilihat dari teorema berikut ini. Teorema 3.1 Misalkan 𝑅< =

c �u}w�x*�}b

. Jika 𝑅< < 1, maka titik ekuilibrium beba spenyakit

𝑃<mb, 0,0 pada Sistem (3.5) s.d (3.7) adalah stabi lasimtotik global. Bukti

Matriks Jacobian di titik ekuilibrium 𝑃<mb, 0,0 adalah 𝐽𝑓 𝑃< = 𝐽 𝑓 m

b, 0,0

=

−1−𝑏+𝑉𝜇

0𝑏+𝑉𝜇

− 𝛿

−𝑏>𝑉𝜇𝑏>𝑉𝜇

0 𝛾 −𝜔

.

Polinomial karakteristik 𝐽𝑓 𝑃< adalah 𝑃 𝜆 = det 𝜆𝐼 − 𝐽𝑓 𝑃< = 𝜆𝐼 − 𝐽𝑓 𝑃< . Persamaan karakteristiknya adalah 𝜆𝐼 − 𝐽𝑓 𝑃< = 0

Prosiding Konferensi Pendidikan Nasional “Penguatan Karakter Bangsa Melalui Inovasi Pendidikan di Era Digital”

188

⇔ 𝜆 + 1 𝜆= + 1 + 𝛿 + 𝜔 − �ucb

𝜆> + 𝛿 + 𝛿𝜔 + 𝜔 − �ucb− �uc}

b− �xc*

b𝜆 +

𝛿𝜔 − �uc}b

− �xc*b

− ��c*�b

= 0. (3.17) Persamaan (3.17) dapat ditulis menjadi 𝜆 + 1 𝜆= + 𝐴𝜆> + 𝐵𝜆 + 𝐶 = 0, (3.18)

dengan

𝐴 = 1 + 𝛿 + 𝜔 −𝑏+𝑉𝜇

𝐵 = 𝛿 + 𝛿𝜔 + 𝜔 −𝑏+𝐴𝜇

−𝑏+𝑉𝜔𝜇

−𝑏>𝑉𝛾𝜇

𝐶 = 𝛿𝜔 −𝑏𝑉𝜔𝜇

−𝑏>𝑉𝛾𝜇

−𝑏=𝑉𝛾𝑘𝜇

.

Salah satu nilai eigen dari persamaan (3.18) adalah−1, nilai – nilai eigen yang lain merupakan akar – akar dari polinomial berikut

𝑄 𝜆 = 𝜆= + 𝐴𝜆> + 𝐵𝜆 + 𝐶. (3.19) Perhatikanbahwa

𝐴 = 1 + 𝛿 + 𝜔 −𝑏+𝑉𝜇.

Karena 𝑅< =c �u}w�x*

�}b< 1, maka

Jadi 𝐴 = 1 + 𝛿 + 𝜔 − �ucb> 0. (3.20)

Selanjutnya

𝐵 = 𝛿 + 𝛿𝜔 + 𝜔 −𝑏+𝑉𝜇

−𝑏+𝑉𝜔𝜇

−𝑏>𝑉𝛾𝜇

Dari (3.12) diketahui bahwa 𝛿 − �ucb

> 0, dan dari (3.17) diketahui bahwa 𝑏+𝑉𝜇

+𝑏>𝑉𝛾𝜔𝜇

< 𝛿

⇔ 𝛿𝜔 −𝑏>𝑉𝛾𝜇

> 0.

Perhatikan bahwa

𝜔 −𝑏+𝑉𝜔𝜇

= 1 −𝑏+𝑉𝜇

𝜔.

Dari (3.17) diketahui Akibatnya 1 − �uc

b> 0, sehingga 𝜔 − �uc}

b= 1 − �uc

b𝜔 > 0.

Jadi 𝐵 = 𝛿 − �ucb

+ 𝛿𝜔 − �xc*b

+ 𝜔 − �uc}b

> 0. (3.21) Selanjutnya

𝐶 = 𝛿𝜔 −𝑏+𝑉𝜔𝜇

−𝑏>𝑉𝛾𝜇

= 𝛿𝜔 − c �u}w�x*b

.

Karena 𝑅< =c �u}w�x*

�}b< 1, maka

Jadi 𝐶 = 𝛿𝜔 − c �u}w�x*b

> 0. (3.22) Selanjutnya akan ditunjukkan 𝐴𝐵 > 𝐶. Karena 𝐴 = 1 + 𝛿 + 𝜔 − �uc

b dan 𝛿 − �uc

b> 0 maka jelas 𝐴 > 1. Selanjutnya karena

𝐴 > 1, 𝐵 > 0 dan 𝐶 > 0 maka 𝐴𝐵 > 𝐵, jadi cukup ditunjukkan bahwa 𝐵 > 𝐶. Perhatikanbahwa

𝐵 = 𝛿 + 𝛿𝜔 + 𝜔 −𝑏+𝑉𝜇

−𝑏+𝑉𝜔𝜇

−𝑏>𝑉𝛾𝜇

Prosiding Konferensi Pendidikan Nasional “Penguatan Karakter Bangsa Melalui Inovasi Pendidikan di Era Digital”

189

> 𝛿𝜔 −𝑏+𝑉𝜔𝜇

+𝑏>𝑉𝛾𝜇

> 𝛿𝜔 − �uc}b

+ �xc*b

= 𝐶. (3.22) Dari Persamaan (3.19), (3.20), (3.21) dan (3.22) diperoleh bahwa 𝐴 > 0, 𝐵 > 0, 𝐶 > 0 dan 𝐵 > 𝐶 . Berdasarkan nilai koefisien polynomial 𝑄(𝜆) pada Persamaan (3.14) diperoleh

𝑎< = 1, 𝑎+ = 𝐴, 𝑎> = 𝐵 𝑎= = 𝐶, 𝑎� = 0, 𝑎? = 0. Dari nilai di atas, dapat dibentuk matriks Hurwitz sebagai berikut

𝐻 =𝑎+ 𝑎< 0𝑎= 𝑎> 𝑎+𝑎? 𝑎� 𝑎=

=𝐴 1 0𝐶 𝐵 𝐴0 0 𝐶

.

Berdasarkan matriks Hurwitz di atas dapat ditentukan determinan Hurwitz yaitu Δ+ = 𝑎+ = 𝐴

Δ> =𝑎+ 𝑎<𝑎= 𝑎> = 𝐴 1

𝐶 𝐵 = 𝐴𝐵 − 𝐶

Δ= =𝐴 1 0𝐶 𝐵 𝐴0 0 𝐶

= 𝐴𝐵𝐶 − 𝐶> = 𝐴𝐵 − 𝐶 𝐶 .

Berdasarkannilai𝐴, 𝐵dan 𝐶, maka dapatditentukanbahwa 1. Karenanilai𝐴 > 0 maka Δ+ = 𝐴 > 0 2. Karenanilai𝐴 > 0, 𝐵 > 0, 𝐶 > 0 dan 𝐴𝐵 > 𝐶, maka

Δ> = 𝐴𝐵 − 𝐶 > 0 3. Karenanilai𝐴 > 0, 𝐵 > 0, 𝐶 > 0 dan 𝐴𝐵 > 𝐶, maka Δ= = 𝐴𝐵 − 𝐶 𝐶 > 0 .

Karena nilai Δ+ > 0, Δ> > 0 dan Δ= > 0, maka polinomial Q(𝜆) mempunyai pembuat nol yang bagian realnya negatif. Hal ini berakibat semua bagian real nilai eigen pada matriks 𝐽𝑓 𝑃∗ bernilai negatif untuk 𝑅< > 1. Jadi titik ekuilibrium 𝑃∗ = 𝐸∗, 𝐼∗, 𝑁∗ stabil asimtotik lokal. Kontrol Optimal Model Penyakit Scabies

Telah diketahui bahwa model Penyakit Scabies bersifat stabil asimtotik lokal pada kedua titik ekuilibrium yang diperoleh. Selanjutnya karena penyebaran model stabil maka model tersebut akan diberi kontrol. Kontrol yang diberikan berupa pengobatan dimana obat tersebut diberikan kepada individu yang rentan terinfeksi.

Berdasarkan penggunaan pemberian pengobatan, maka model matematika Penyakit Scabies dengan kontrol adalah sebagai berikut : ^g^_= V − a++SE − a>>SI − µS − 𝑢𝑆

^j^_= a++SE + a>>SI − b<E − µ + α+< E (3.23)

^l^_= b<E − µ + α>< I

dengan 𝑢 merupakan tingkat pengobatan pada waktu 𝑡 dan diberikan kondisi awal 𝑆 0 = 𝑆< , 𝐼 0 = 𝐼<, dan 𝑅 0 = 𝑅<. Performance index dalam bentuk Lagrange untuk model penyakit Scabies adalah sebagai berikut :

𝐽 𝑢 = 𝐼 𝑡 − m>𝑢> 𝑡 𝑑𝑡_�

< (3.24)

dengan 𝐴 ≥ 0 merupakan variabel bobot dari biaya obat, 𝑢 merupakan tingkat pengobatan dan 𝑡� merupakan lama waktu program pengobatan. Kemudian akan dicari kontrol yang optimum 𝑢∗ dengan meminimumkan performance index sebagai berikut :

𝐽 𝑢∗ = min 𝐼 𝑡 − m>𝑢> 𝑡 𝑑𝑡_�

< (3.25)

Dimana 𝑈 merupakan himpunan dari beberapa kontrol yang layak, didefinisikan sebagai berikut : 𝑈 = 𝑢 𝑡 ∶ 0 ≤ 𝑢 ≤ 0.9, 0 ≤ 𝑡 ≤ 𝑡�

Misalkan :

Prosiding Konferensi Pendidikan Nasional “Penguatan Karakter Bangsa Melalui Inovasi Pendidikan di Era Digital”

190

𝑓+(𝑆, 𝐸, 𝐼, 𝑢) = V − a++SE − a>>SI − µS − 𝑢𝑆 𝑓>(𝑆, 𝐸, 𝐼, 𝑢) = a++SE + a>>SI − b<E − µ + α+< E

𝑓=(𝑆, 𝐸, 𝐼, 𝑢) = b<E − µ + α>< I

Berdasarkan pada tinjauan pustaka persamaan (2.19) maka diperoleh persamaan state sebagai berikut : 𝑆 = 𝑓+(𝑆, 𝐸, 𝐼, 𝑢) = V − a++SE − a>>SI − µS − 𝑢𝑆 𝐸 = 𝑓>(𝑆, 𝐸, 𝐼, 𝑢) = a++SE + a>>SI − b<E − µ + α+< E (3.26)

𝐼 = 𝑓=(𝑆, 𝐸, 𝐼, 𝑢) = b<E − µ + α>< I Kemudian berdasarkan prinsip maksimum potryagin, langkah – langkah untuk menyelesaikan

permasalahan kontrol optimal adalah sebagai berikut : Langkah pertama adalah membentuk persamaan Hamiltonian. Pada persamaan performance index

untuk model model penyakit Scabies dengan kontrol (3.24) merupakan performance index dalam bentuk lagrange, sehingga berdasarkan persamaan (3.24) dan (2.21) diperoleh sebagai berikut :

𝐿 𝑥 𝑡 , 𝑢 𝑡 , 𝑡 = 𝐼 𝑡 − m>𝑢> 𝑡 (3.27)

Dari persamaan (3.27) dan persamaan state (3.26) maka diperoleh persamaan Hamiltonian adalah sebagai berikut :

𝐻 = 𝐿 𝑥 𝑡 , 𝑢 𝑡 , 𝑡 + 𝜆¥ 𝑡 𝑓¥ 𝑥 𝑡 , 𝑢 𝑡 , 𝑡)¥¦+

= 𝐼 𝑡 − m>𝑢> 𝑡 + 𝜆¥𝑓¥=

¥¦+ (𝑆, 𝐸, 𝐼, 𝑢)

= 𝐼 𝑡 − m>𝑢> 𝑡 + 𝜆+𝑓+(𝑆, 𝐸, 𝐼, 𝑢) + 𝜆>𝑓>(𝑆, 𝐸, 𝐼, 𝑢) + 𝜆=𝑓=(𝑆, 𝐸, 𝐼, 𝑢)

= 𝐼 𝑡 − m>𝑢> 𝑡 + 𝜆+ V − a++SE − a>>SI − µS − 𝑢𝑆 + 𝜆> a++SE + a>>SI − b<E − µ + α+< E +

𝜆= 𝑟𝐼 − 𝜇𝑅 + 𝑢𝑆 (3.28) Langkah ke dua yaitu memperoleh persamaan costate. Persamaan costate berdasarkan persamaan

(2.23) dapat diperoleh dengan cara :

𝜆¥ = −𝜕𝐻𝜕𝑥¥

, (𝑖 = 1,2, … 𝑛)

Karena pada persamaan state (3.26) terdapat tiga variabel state maka diperoleh tiga persamaan costate sebagai berikut :

𝜆+ =,«¬«g

(3.29)

𝜆> =,«¬«j

(3.30)

𝜆= =,«¬«l

(3.31) Langkah ke tiga adalah memperoleh persamaan state. Berdasarkan persamaan (2.24), persamaan

state dapat diperoleh dengan cara :

𝑥¥ =𝜕𝐻𝜕𝜆¥

, (𝑖 = 1,2, … , 𝑛)

Karena pada persamaan state (3.26) terdapat tiga variabel state yaitu 𝑆, 𝐼, dan 𝑅 maka diperoleh tiga persamaan state sebagai berikut : ^g^_= V − a++SE − a>>SI − µS − 𝑢𝑆

^j^_= a++SE + a>>SI − b<E − µ + α+< E (3.32)

^l^_= b<E − µ + α>< I

Langkah ke empat adalah mencari nilai kontrol 𝑢 . Nilai kontrol 𝑢 dapat diperoleh melalui persamaan (2.25) yaitu dengan cara :

𝜕𝐻𝜕𝑢

= 0

𝑉𝑢 − 𝜆+𝑆 + 𝜆=𝑆 = 0 Sehingga diperoleh 𝑢 = (­u,­�)g

c (3.33)

Prosiding Konferensi Pendidikan Nasional “Penguatan Karakter Bangsa Melalui Inovasi Pendidikan di Era Digital”

191

Karena 𝑢 terdefinisi di 0 ≤ 𝑢 ≤ 0.9 maka untuk nilai 𝑢 yang optimal (𝑢∗) juga berada di antara 0 sampai 0.9 sehingga berdasarkan persamaan (2.26) terdapat tiga kemungkinan yaitu :

𝑢∗ =

0,(𝜆+ − 𝜆=)𝑆

𝑉≤ 0

𝑢,0 <(𝜆+ − 𝜆=)𝑆

𝑉< 0.9

0.9,(𝜆+ − 𝜆=)𝑆

𝑉≥ 0.9

Apabila (­u,­�)gc

≤ 0 maka nilai 𝑢∗ = 0 karena 0 merupakan nilai minimum dari batas 𝑢∗ .

Kemungkinan kedua apabila 0 < (­u,­�)gm

< 0.9 maka nilai 𝑢∗ akan berada di antara 0 sampai 0.9 dan

kemungkinan ke tiga apabila (­u,­�)gc

≥ 0.9 maka nilai 𝑢∗ = 0.9 karena 0.9 merupakan nilai maksimum dari batas 𝑢∗.

Sehingga berdasarkan ketiga kemungkinan di atas diperoleh kontrol 𝑢 yang optimal 𝑢∗ adalah sebagai berikut :

𝑢∗ = min 0.9, max 0,(𝜆+ − 𝜆=)𝑆

𝑉

DAFTAR PUSTAKA

Anton, H., 1988. Calculus. Drexel University, John Wiley & Sons, New York. Affandi, P., (2015).Optimal Inventory Control System With Stochastic Demand. Ethar , Indonesia.

2016(3), 302 – 313. Affandi, P., (2015).Optimal Inventory Control Stochastic With Production Deteriorating. IOP Conference

Series: Materials Science and Enginering, 300 (2018) 012019 doi:10.1088/1757-899X/300/1/012019.

Bellomo N., Preziosi L. and Romano A. 2000. Mechanis and Dynamical Systems with Mathematica, Birkhauser, Boston.

Burghes, D.N. 1980. Introduction to Control Theory Including Optimal Control. Springer-Verlag. New York.

Cain, J.W. dan Angela M.R. 2010.Ordinary and Partial Differential Equations An Introduction to Dnamical Systems.Richmond. Virginia

El-Gohary, A. and Bukhari, F. (2003). Optimal control of stochastic preyperdator models, Applied Mathematics and Computations, Vol. 146, 11, 403-415.

Prosiding Konferensi Pendidikan Nasional “Penguatan Karakter Bangsa Melalui Inovasi Pendidikan di Era Digital”

192

IMPLEMENTASI SMART PEOPLE KAMPUNG IT KRAMAT UTARA SEBAGAI PENUNJANG VISI SMART CITYDI KOTA MAGELANG

Awieta Nirmala Kusumastuti1, Laila Nur Hidayah2,Ida Sutriani3 1,2,3 Universitas Tidar

[email protected] [email protected]

[email protected]

Abstrak Pada tahun 2015 Magelang ditetapkan sebagai smart city, dengan visi Magelang sebagai kota jasa yang modern dan cerdas dilandasi masyarakat sejahtera dan religius”. Kampung IT Kramat Utara adalah sebuah komunitas yang menunjang visi smart city kota Magelang. Smart city adalah kota yang secara cerdas dapat memaksimalkan potensi yang menjadi modal utama pembangunan, yakni meliputi; (a) modal manusia (SDM yang kreatif dan terdidik),(b) modal infrastruktur (berkaitan dengan fasilitas & pengembangan teknologi informasi), serta (c) faktor kelembagaan (sinergitas pemerintah, pebisnis, masyarakat, dan keputusan bijaksana). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kegiatan di kampung IT seperti pembentukan kelas-kelas dan pembuatan alat inovasi, sehingga dapat menunjang visi smart city kota Magelang, serta upaya apa yang dapat dilakukan sebagai upaya optimalisasi kegiatan yang ada di Kampung IT Kramat Utara. Metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif deskriptif dengan teknik pengumpulan data berupa wawancara, observasi, dan dokumentasi. Hasil penelitian ini adalah mengetahui manfaat kegiatan Kampung IT dari segi ekonomi, sosial, dan lingkungan, peran dan kegiatan kampung IT sehingga dapat menunjang visi smart city Kota Magelang, serta upaya yang dapat dlakukan sebagai upaya optimalisasi kegiatan yang ada di Kampung IT Kramat Utara. Kata Kunci: Kampung IT, Smart City, Kramat Utara.

PENDAHULUAN

Kota Magelang merupakan kota yang asri dan dikenal dengan julukan kota sejuta bunga. Banyak potensi sumber daya alam yang dapat ditemukan di kota Magelang. Untuk mengelola seluruh potensi yang ada, diperlukan dukungan sumber daya manusia yang unggul.

Dilansir dari website pemerintah kotawww.magelangkota.go.id, visi pembangunan daerah Kota Magelang tahun 2016-2021 yang telah ditetapkan oleh Walikota dan Wakil Walikota Magelang adalah “Magelang sebagai kota jasa yang modern dan cerdas dilandasi masyarakat sejahtera dan religius”. Unsur-unsur kota cerdas yang dimaksud dalam visi ini meliputi (1) smart governance, (2) smart infrastructure, (3) smart economy, (4) smart environment, (5) smart people, dan (6) smart living [1].

Visi pembangunan kota Magelang ini diharapkan akan mewujudkan keinginan dan amanat masyarakat kota Magelang dengan tetap mengacu pada pencapaian tujuan nasional seperti yang diamanatkan dalam Pembukaan UUD 1945.

Dalam aspek smart people yang selaras dengan inovasi teknologi, Kelurahan Kramat Utara Kota Magelang berusaha merintis Kampung Informasi Teknologi yang selanjutnya diberi nama sebagai Kampung IT. Tujuan didirikannya kampung IT ini lebih menekankan pada aspek sosial dimana masyarakat dapat “melek” teknologi serta menciptakan suatu produk yang bernilai sosial pula.

Ada beberapa kegiatan yang telah dilakukan oleh perintis kampung IT ini bersama-sama dengan masyarakat seperti; pembukaan kelas robotik, website, dan animasi. Selain itu, beberapa produk sosial yang telah dihasilkan adalah sepatu khusus tuna netra dan kentongan digital.

Kreativitas kampung IT Kramat Utara ini telah mendapat apresiasi baik nasional maupun internasional. Di tingkat nasional, komunitas Kampung IT memenangkan Lomba Kreativitas dan Inovasi(Kreanova) tahun 2017, INAICTA (Indonesia Information and Communication Technology Award) tahun 2014, dan Indosat Wireless Innovation Contest tahun 2014. Adapun di tingkat internasional, telah mengikuti ajang APICTA (Asia Pacific Information and Communication Technology Award) tahun 2014.

Prosiding Konferensi Pendidikan Nasional “Penguatan Karakter Bangsa Melalui Inovasi Pendidikan di Era Digital”

193

Dari sederet prestasi tersebut, perlu dilakukan suatu penelitian untuk mengetahui bagaimana kegiatan dan implementasi smart people di kampung IT Kramat Utara sehingga dapat menunjang visi smart city kota Magelang.

Berdasarkan pemaparan latar belakang di atas maka rumusan masalah yang kami angkat dalam penelitian ini adalah: Bagaimana implementasi karakter smart people di Kampung IT sehingga dapat menunjang visi smart city kota Magelang.

KAJIAN LITERATUR Kota Cerdas

Kota cerdas atau yang lebih dikenal dengan nama smart city sangat popular dikembangkan sebagai salah satu konsep penataan kota-kota di dunia beberapa tahun belakangan ini seiring dengan pesatnya perkembangan teknologi. Boyd Cohen (2013) menguraikan bahwa smart city adalah sebuah pendekatan yang luas, terintegrasi dalam meningkatkan efisiensi pengoperasian sebuah kota, meningkatkan kualitas hidup penduduknya dan menumbuhkan ekonomi daerahnya. Selanjutnya, Ahmad nurman dalam manajemen perkotaan menambahkan bahwa smarty city didasarkan pada tiga hal, pertama faktor manusia kota dengan manusia-manusia yang kreatif dalam pekerjaan, jejaring pengetahuan, lingkungan yang bebas dari kriminal. Kedua faktor teknologi, kota yang berbasis teknologi dan informasi. Ketiga faktor kelembagaan, masyarakat kota (pemerintah, kalangan bisnis dan penduduk) yang memahami teknologi informasi dan membuat keputusan berdasarkan pada teknologi informasi.

Penjelasan lebih lanjut, kemunculan smart city merupakan gabungan modal sumber daya manusia (contohnya angkatan kerja terdidik), modal infrastruktur (contohnya fasilitas komunikasi yang berteknologi tinggi), modal sosial (contohnya jaringan komunitas yang terbuka) dan modal entrepreuneurial (contohnya aktifitas bisnis kreatif). Pemerintahan yang kuat dan dapat dipercaya disertasi dengan orang-orang yang kreatif dengan orang-orang yang kreatif dan berfikiran terbuka akan meningkatkan produktifitas lokal dan mempercepat pertumbuhan ekonomi kota (Kourtit&Nijkamp: 2012).

Hal yang serupa juga dikemukakan oleh Caragliu (Schaffers: 2010) di mana smart city didefinisikan sebagai kota yang mampu menggunakan SDM, modal sosial, dan infrastruktur telekomunikasi modern untuk mewujudkan pertumbuhan ekonomi berkelanjutan dan kualitas kehidupan yang tinggi, dengan manajemen sumber daya yang bijaksana melalui pemerintahan berbasis partisipasi masyarakat.

The UK Department Of Business: Smart City berarti bahwa inovasi dan ketrampilan merupakan hal yang diutamakan dari pada hasil yang statis, meningkatkan keterlibatan masyarakat, infrastuktur, modal, dan teknologi digital sehingga membuat kota menjadi layak huni, tangguh dan lebih mampu merespon tantangan (Patel &Padhya, 2014).

Dengan berbagai pengertian diatas dapat diambil kesimpulan bahwa smart cityadalah kota yang secara cerdas dapat memaksimalkan potensi yang menjadi modal utama pembangunan, yakni meliputi; (a) modal manusia (SDM yang kreatif dan terdidik), (b) modal infrastruktur (berkaitan dengan fasilitas & pengembangan teknologi informasi), serta (c) faktor kelembagaan (sinergitas pemerintah, pebisnis, masyarakat dan keputusan bijaksana).

Dimensi Smart People dalam Smart City

Menurut IEEE smart city adalah sebuah kota pintar yang rmenyatukan teknologi, pemerintahan, dan masyarakat untuk memungkinkan karakteristik sebagai berikut:

1. Ekonomi pintar(smart economy) 2. Mobilitas cerdas (smart mobility) 3. Lingkungan cerdas (smart environtment) 4. Orang pintar(smart people) 5. Hidup cerdas(smart living) 6. Pemerintahan cerdas(smart government)

Smart city adalah kota yang secara antisipatif mampu mengelola sumber daya secara inovatif dan berdaya saing, dengan dukungan teknologi dalam rangka mewujudkan kota yang nyaman dan berkelanjutan dengan definisi operasional kota yang responsif, inovatif, dan kompetitif.

Adanya smart city tidak dapat dipisahkan dengan aspek smart people yang menjadi promotor penciptaan inovasi baru dan pembangunan kota. Walikota Denpasar IB Rai Dharma wijaya menjelaskan

Prosiding Konferensi Pendidikan Nasional “Penguatan Karakter Bangsa Melalui Inovasi Pendidikan di Era Digital”

194

bahwa dalam Kota Cerdas tersebut harus ada beberapa unsur yang mendukung dan yang paling penting dari semuanyaa dalah smart people yang merupakan kunci utamadari smart city yakni orang-orang yang cerdas.

Smart people atau masyarakat cerdas yaitu modal manusia yang berpendidikan baik secara formal maupun non formal dan terwujud dalam individu atau komunitas-komunitas yang kreatif.

Salah satu karakter yang menjadi prioritas dalam smart city adalah karakter smart peopleyang merupakan aktor utama yang berkontribusi langsung terhadap pembanguan. Pembentukan smart people atau masyarakat cerdas dapat diupayakan dengan mengoptimalkan pendidikan formal dan non formal masyarakat serta pembinaaan keberadaan komunitas-komunitas kreatif.

Giffinger (2007) menyebutkan ada beberapa faktor yang penting dalam karakter ini, yaitu meliputi:

a. Level of qulification (tingkat kualifikasi) b. Affinity to long life learning (keinginan untuk pembelajaran seumur hidup) c. Social and ethnic plurality (keberagaman sosial dan budaya) d. Flexibility (fleksibilitas) e. Creativity (kreativitas) f. Cosmopolitasnism/open mindedness (keterbukaan), dan g. Participation in public life (partisipasi masyarakat)

METODE PENELITIAN Metode yang digunakan dalan penelitian ini adalah kualitatif deskriptif. Dengan metode ini maka

akan dilakukan proses mengamati, menganalis dan menggambarkan fenomena yang terjadi. Penelitian kualitatif digunakan untuk mengkaji lebih dalam suatu masalah berdasarkan data-data yang diperoleh melalui tahapan dan teknik pengumpulan data. Pendekatan kualitatif bersifat induktif. Mengumpulkan data-data melalui pendekatan kualitatif akan membantu peneliti memperkuat hasil penelitian. Metode pengumpulan data menggunakan wawancara mendalam, observasi dan dokumentasi(Sugiyono, 2008).

Tabel 1. Fokus Kajian Penelitian No Fokus Kajian Aspek Sub Aspek 1 Kegiatan Kampung IT Inovasi a. Latar belakang pembentukan

komunitas kreatif b. Hasil karya yang pernah

diciptakan Bentuk kegiatan a. Kegiatan apa yang dilakukan

Kampung IT b. Manfaat bagi masyarakat

Smart people -Tingkat kualifikasi -Keinginan Belajar - Kreativitas -Keterbukaan

2 Optimalisasi Aspek penghambat

Tantangan atau ancaman yang dihadapi

Langkah optimalisasi

a. Kerja sama b. Pendanaan

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Kampung IT (informasi Teknologi) Kampung IT adalah sebuah wilayah yang ada di Perum Depkes, Kramat Utara, Kota Magelang,

menunjuk pada sebuah komunitas yang melakukan inovasi-inovasi di bidang teknologi. Komunitas kreatif ini diprakarsai oleh Tim Kampung IT yang terdiri dari empat orang dan memiliki latar belakang pendidikan teknik elektro maupun sistem informasi yakni Bapak Naskan, Bapak Tris, Bapak Wahyu, dan Ibu Evi.

Prosiding Konferensi Pendidikan Nasional “Penguatan Karakter Bangsa Melalui Inovasi Pendidikan di Era Digital”

195

Berangkat dari temuan -temuan yang telah dihasilkan, Tim Kampung IT pada tahun 2016 mengikuti kompetisi KREANOVA (Kreativitas dan Inovasi Masyarakat) yang secara rutin setiap satu tahun sekali diselenggarakan oleh BALITBANG Kota Magelang.

Terdapat empat benda yang merupakan inovasi hasil karya Kampung IT, yakni; sepatu tuna netra, kentongan digital (Kandig), alat pengukur kesuburan tanah (akrubutan), dan kunci password (kuword).

Selain itu, sebagai upaya untuk memberdayakan masyarakat di lingkungan sekitar, secara inisiatif Tim Kampung IT menyelenggarakan kelas-kelas kursus seperti robotika, website, dan animasi.

B. Bentuk Kegiatan Kampung IT dalam Menunjang Visi Smart City Kota Magelang

Dalam sistem perkotaan wilayah provinsi jawa tengah, kota magelang sebagai pusat kegiatan wilayah (PKW) Porwomanggung (Purworejo, Wonosobo, Magelang, Temanggung). Luas wilayah 18,12 km2, merupakan kota terkecil di Pulau Jawa dengan jumlah penduduk 132.911.

Visi kota Magelang tahun 2016-2021 yang telahditetapkan oleh Walikota dan Wakil Walikota Magelang adalah “Magelang sebagai kota jasa yang modern dan cerdas dilandasi masyarakat sejahtera dan religius”.

Untuk mencapai visi tersebut salah satu misi yang dapat dilakukan adalah meningkatkan sumber daya manusia aparatur yang berkualitas dan profesional dengan mengoptimalkan kemajuan teknoogi (magelangkota.go.id).

Di level masyarakat, potensi komunitas kreatif yang ada di kota Magelang merupakan sebuah peluang untuk menigkatkan kualitas SDM masyarakat. Salah satu komunitas kreatif di bidang inovasi informasi teknologi adalah Kampung IT yang terbentuk pada tahun 2017 dengan latar belakang mewujudkan masyarakat yang paham mengenai pemanfaatan teknologi secara positif dan orientasi kegunaan sosial melaui karya-karya yang diciptakan.

Kegiatan yang dilakukan meliputi pelatihan robotik dan pelatihan website yang diberikan kepada masyarakat oleh Tim IT yang berjumlah 4 orang. Smart People

Dari 239 juta juta penduduk Indonesia, orang yang melek teknologi hanya 10% atau 23.9 juta, Michael S. Sunggiardi, Innovator dan experts in computer technology (tekno.tempo.co).

Pelatihan website dan robotik di Kampung IT berkontribusi terhadap terbentuknya smart people yang berpendidikan dan melek teknologi. Tujuan subtansial yang dapat dicapai dalam kegiatan pelatihan adalah terciptanyamodal intelektual (intelectual capital) berupa sumber daya, kemampuan, dan keterampilan masyarakat dalambidang IT. Kaitannya dengan visi kota cerdas Magelang maka, kegiatan perwujudan karakter smart people melalui Kampung IT dijabarkan dalam beberapa aspek berikut ini: 1. Tingkat kualifikasi (level of qualification)

Kualifikasi masyarakat didasarkan pada penerapan materi yang didapatkan terhadap keterampilan praktik Level atas dari pelatihan robotik yakni mampu dan terampil mengidentifikasi komponen robotika dan merakit secara mandiri. Di level bawah, kualifikasi hanya sebatas keterampilan untuk meniru perakitan dan melakukan uji coba. Sedangkan dalam pelatihan website hingga dapat mendapatkan penghasilan pribadi melalui online marketting. 2. Keinginan untuk belajar seumur hidup (affinity to long life learnig)

Kegiatan inovasi Kampung IT menarik partisipasi masyarakat baik anak-anak amupun dewasa yang ingin belajar dan terbuka terhadap pesatnya perkembangan teknologi.

“Saya senang ada kegiatan kampung IT. Dan masyarakat juga antusias”, ujar Pak Rita ketua RT Perum Depkes.

Keinginan untuk belajar ini ditunjukkan dengan adanya peserta kelas baik dari kalangan anak-anak maupun dewasa. 3. Memiliki kreativitas (creativity)

Terciptanya beberapa hasil karya dengan nilai guna sosial tinggi seperti sepatu tuna netra(blind shoes) bagi disabilitas, kentongan digital untuk penginformasian bahaya, alat pengukur kesuburan tanah(akurbutan), dan kunci password. 4. Fleksibilitas

Komunitas Kampung IT tanggap terhadap perubahan zaman serta mampu mengikuti perkembangan teknologi dan menciptakan inovasi.

Prosiding Konferensi Pendidikan Nasional “Penguatan Karakter Bangsa Melalui Inovasi Pendidikan di Era Digital”

196

5. Keterbukaan Melalui komunitas kreatif Kampung IT maka pemberdayaan dapat dikatakan berlangsung mandiri

dilihat dari pembentukan komunitas dan pelaksanaan kegiatan. Saling berbagi ilmu dilakukan secara terbuka bagi siapa saja yang ingin sama-sama belajar. Selain itu, dilakukan pula publikasi kepada masyarakat luas maupun pemerintah melalui berbagai perlombaan yang diikuti sebagai bentuk aktualisasi diri.

Perwujudan masyarakat sejahtera melalui pengembangan kewirausahaanmerupakan salah satu output kegiatan Kampung IT yang mendukung visi Smart City kota Magelang dalam menciptakan kemandirian ekonomi.

Gambar 1. Gajian Blogger

Pengenalan teknik dasar mengenai pembuatan blog, memndesain tampilan blog secara menarik,

hingga pemanfaatan blog untuk melakukan online marketing dan mneghasilkan uang merupakan kegiatan pelatihan kelas website di Kampung IT di Kramat Utara.

Dalam pengembangan kota cerdas khusunya yang berkaitan dengan ekonomi cerdas (smart economy), Kampung IT melakukan elektronifikasi dengan mengubah teknik berwirausaha dari manual menjadi online serta dari transaksi manual menjadi elektronik.

Masyarakat memiliki peluang untuk malakukan aktivitas ekonomi yang efektif dan efisien dengan tingkat produktifitas yang lebih tinggi dan biaya operasional yang lebih minim.

Dalam dunia bisnis, suatu istilah yang digunakan untuk menunjukkan kegiatan tersebut adalah e-commerce.

Melalui pelatihan website maka Kampung IT berperan dalam mewujudkan kemandirian ekonomi dan memberikan solusi terhadap permasalahan ekonomi masyarakat.

Aspek keberlanjutan dan kontinuitas kegiatanmenjadi faktor yang menentukan keberhasilan peningkatan penghasilan masyarakat dalam mewujudkan kemandirian ekonomi.

Selain itu, pengelolaan lingkungan berbasis IT merupakan salah satu target capaian sesuai visi kota cerdas Magelang dalam unsur smart environment.

Sebagai contoh yaitu pengelolaan keamanan lingkungan dengan menggunakan kentongan digital (kandig) yang dipasang pada setiap rumah warga untuk menyebarkan informasi ketika terjadi insiden atau masalah yang membutuhkan pertolongan orang lain dengan segera.

Hasil karya inovasi yang diciptakan oleh Tim Kampung IT dilatar belakangi dengan adanya kepedulian sosial terhadap lingkungan sekitar sehingga memunculkan ide untuk saling bertukar informasi dalam satu kompleks perumahan melalui pemanfaatan teknologi informasi

Setiap kandig yang terpasang dirumah warga akan dihubungkan ke dalam jaringan lokal suatu perumahan/desa untuk dihubungkan ke server yang ada perumahan/desa tersebut. Dari server ini bisa dikoneksikan ke jaringan internet atau tidak dihubungkan ke dalam jaringan internet atau tidak dihubungkan maka akan dapat diakses dari manapun selama pengakses terkonesi dengan jaringan internet.

Tingkat produktifitas dan mobilitias masyarakat perkotaan menuntut adanya penyesuaian interaksi sosial dengan pemanfaatan tekonlogi sebagai media perantara dan pengelola lingkungan.

Prosiding Konferensi Pendidikan Nasional “Penguatan Karakter Bangsa Melalui Inovasi Pendidikan di Era Digital”

197

Berdasarkan hasil penelitian di lapangan, ditemukan beberapa faktor penghambat yang dihadapi dalam melaksanakan suatu kegiatan menuntut adanya sebuah jalan penyelesaian sebagai upaya optimalisasi kegiatan.

Kampung IT sebagai komunitas kreatif yang bergerak di bidang sosial menghadapi dua faktor penghambat utama;

Pertama, masalah sumberdaya manusia dimana jumlah tim inti Kampung IT hanya terdiri dari 4 orang saja (1 orang tidak aktif). Kesibukan profesi masing-masing menyebabkan kendala pada kegiatan pelatihan kelas kepada masyarakat.

“Karena kesibukan pekerjaan masing-masing dan jumlah SDM yang terbatas pelatihan agak susah dilakukan “, Pak Naskan Tim Kampung IT.

Kedua, keterbatasan anggaran dalam hal belanja operasional kegiatan kelas pelatihan dan penyempurnaan prototype untuk hasil karya sebelumnya masih berasal dari dana pribadi maupun hadiah dari perlombaan yang pernah diikuti.

Ketiga, belum maksimalnya pendampingan yang dilakukan oleh pemerintah. Alokasi dana untuk proposal inovasi dianggarkan setiap tahun sehingga kontinuitas pendampingan untuk inovasi tahun lalu menjadi tidak maksimal dikarenakan fokus pada banyaknya pengajuan proposal inovasi di tahun yang saat ini sedang berlangsung.

Dari beberapa faktor penghambat yang telah dipaparkan diatas maka berikut ini ada beberapa rekomendasi yang dapat diterapkan sebagai langkah optimalisasi kegiatan Kampung IT : ü Mewujudkan collaborative management dari pemerintah, masyarakat, swasta dan mahasiswa. Perlu

perencanaan dan alur koordinasi yang jelas. -Kerja sama dengan mahasiswa yang berkompeten dibidangnya dapat dilakukan untuk mengatasi kekurangan pengajar di kelas pelatihan terutama ketika Tim IT sedang memiliki kesibukan tertentu yang harus diselesaikan segera. Kerja sama ini sekaligus mewujudkan peran mahasiswa untuk mengabdi kepada masyarakat.

ü Dalam level pemerintah maka fungsi pemerintahadalah sebagai penjaring inovasi di tingkat masyarakat, melakukan pendampingan hingga kegiatan komunitas kreatif dapat berlangsung secara kontinu.

SIMPULAN

Kegiatan Kampung IT di Kelurahan Kramat Utara menunjang visi Smart City Kota Magelang. Hal ini dapat dilihat dari beberapa karakteristik smart people yang tercemin dari kegiatan yang ada dan dilakukan oleh komunitas kreatif Kampung IT, serta pengembangan kegiatan dalam bentuk kelas pelatihan, dan terciptanya hsil karya inovatif,

Sebagai sebuah rekomendasi, adapun hal-hal yang dapat dilakukan sebagai sarana alternatif untuk mengatasi permasalahan yang ada yakni sebagai berikut : a) Mengajak mahasiswa yang berkompeten dibidangnya untuk ikut mengajar sehingga jumlah tenaga

pengajar bertambah. Dalam hal ini, mahasiswa dapat mempraktikan ilmunya sekaligus melakukan fungsi pengabdian kepada masyarakat.

b) Menjalin kerja sama dengan pihak swasta dalam hal pendanaan dengan peran pemerintah sebagai perantara dalam mencari relasi.

Melakukan evaluasi pendampingan. Penjaringan inovasi yang telah dilakukan diharapkan mencapai tahapan pendampingan dimana kegiatan yang dilakukan oleh Kampung IT dapat berjalan secara kontinu. Perlu adanya koreksi terhadap kegiatan pendampingan yang saat ini hanya terfokus pada mencari banyaknya inovasi di masyarakat tanpa mempertimbangkan pendampingan kegiatan inovasi masyarakat untuk bisa tetap eksis.

DAFTAR PUSTAKA

Saruffudin, S. (2015). “Peluang Pengembangan Smart City Untuk Mewujudkan Kota Tangguh di Kota Semarang”. Jurnal Teknik Vol.36 No.1 hal 32-28

Amri. (2016). “Analisis Pemanfaatan Teknologi Informasi dan Komunikasi dalam Menunjang Terwujudnya Makasar sebagai Smart city”. Jurnal Komunikasi KAREBA Vol.5 No.2

Prosiding Konferensi Pendidikan Nasional “Penguatan Karakter Bangsa Melalui Inovasi Pendidikan di Era Digital”

198

Putro, M.Dwisnanto, Litouw Jane. (2017). “Robot Pinter Penyambut Costumer pada Pusat Perbelanjaan Kota Manado”. Jurnal Rekayasa Elektrika. Vol. 13 No.1

Cedillo, Alvares Jesus, Gonzaga, Elisabeth Acosta,dkk. (2017). “Internet Prospective”. Bulletin of Electrical Engineering

Prosiding Konferensi Pendidikan Nasional “Penguatan Karakter Bangsa Melalui Inovasi Pendidikan di Era Digital”

199

“JOHARI WINDOWS GAMES” SEBAGAI SARANA UNTUK MENGHARGAI DIRI DI SISWA SMP

Nurul Azizah Zain1, Umi Fadlilah2, Fata Shohibudin Pralaska3

1,2,3Univesitas Negeri Semarang [email protected] [email protected]

[email protected]

Abstrak Hormat pada diri sendiri mempunyai arti yaitu memilih dan menentukan perbuatan yang tidak menyakiti, mencelakai, mengotori, menodai, dan merusak diri sendiri (jasmani dan rohani). Dalam hormat pada diri sendiri membuat penilaian yang tepat terhadap semua perbuatan berdasarkan norma-norma kehidupan yang berlaku itu sangatlah penting karena hal tersebut akan menimbulkan pencritaan yang baik pada diri kita. Menurut Hurlock (2009: 207) masa remaja merupakan masa yang sangat berhubungan pada penentuan kehidupan di masa depan, karena perilaku dan aktivitas yang dilakukan pada masa remaja menjadi masa awal dalam mengukir kehidupan yang lebih baik dimasa depan mereka. Joseph Luft dan Harrington Ingham, mengembangkan konsep Johari Window sebagai perwujudan bagaimana seseorang berhubungan dengan orang lain yang digambarkan sebagai sebuah jendela. “Jendela‟ tersebut terdiri dari matrik 4 sel, masing-masing sel menunjukkan daerah self (diri) baik yang terbuka maupun yang disembunyikan. Keempat sel tersebut adalah daerah publik, daerah buta, daerah tersembunyi, dan daerah yang tidak disadari. Dari konsep tersebut dapat dibentuk. Cara bermain Johari Windows Games adalah dengan membuat kelompok masing-masing 4 orang. Dimana dalam games tersebut setiap anak diberikan 2 kertas kosong. Nantinya Pada akhirnya permainan ini siswa dapat menyadari seberapa orang lain mengenal dirinya dan apa yang tidak diketahui mengenai dirinya. Kata Kunci: Johari Windows Games, Remaja, Karakter, Hormati Diri

PENDAHULUAN

Remaja merupakan periode perkembangan manusia yang merupakan transisi dari masa kanak-kanak ke masa dewasa yang rata-rata berusia 12-20 tahun.. Data yang di dapatkan dari pusat penelitian dan pengembangan kependudukan BKKBN (2011), jumlah penduduk Indonesia tahun 2010 sebanyak 237,6 juta jiwa, 26,67 % diantaranya adalah remaja. Masa remaja merupakan periode kehidupan yang penuh dengan dinamika, dimana pada masa tersebut terjadi perkembangan dan perubahan yang sangat pesat sehingga akan mengalami berbagai perubahan baik fisik, seksual, psikologis maupun perubahan perilaku sosial. Dengan terjadinya perubahan tersebut, maka remaja akan dihadapkan pada keadaan yang memerlukan penyesuaian untuk dapat menerima perubahan perubahan yang terjadi,

Pola emosi pada masa remaja awal emosinya seringkali menunjukkan sifat sensitif, reaktif yang kuat, emosi yang bersifat negatif dan tempramental (mudah marah), mudah dirangsang, dan cenderung meledak. Kontrol terhadap dirinya bertambah sulit sehingga mereka cepat marah dengan cara-cara yang kurang wajar untuk meyakinkan dunia sekitarnya. Perilaku ini muncul sesungguhnya terjadi karena adanya kecemasan terhadap dirinya sehingga muncul dengan reaksi yang kadang-kadang tidak wajar. Kematangan emosi pada remaja: jika pada akhir masa remaja sudah tidak meledakkan emosinya dihadapan orang lain melainkan menunggu saat yang tepat dengan cara-cara yang lebih tepat dan dapat diterima (Santrock, 2007).

Mencapai potensi bukanlah tentang merangkum puncak, yang merupakan interpretasi umum hierarki kebutuhan Maslow (1998). Namun, ini tentang berjuang untuk memanfaatkan penggunaan penuh potensi seseorang, yang terkadang paling baik diungkapkan dalam penerimaan ketidakberdayaan atau keterbatasan seseorang. Self – awareness atau kesadaran diriadalah wawasan kedalam atau wawasan mengenai alasan-alasan dari 20 tingkahlaku sendiri atau pemahaman diri sendiri. Self - awarenessatau kesadaran diri dalah bahan baku yang penting untuk menunjukkan kejelasan dan pemahaman tentang perilaku seseorang. Kesadaran diri juga merupakan suatu yang bisa memungkinkan oranglain mampu

Prosiding Konferensi Pendidikan Nasional “Penguatan Karakter Bangsa Melalui Inovasi Pendidikan di Era Digital”

200

mengamati dirinya sendiri maupun membedakan dirinya dari dunia (orang lain), serta yang memungkinkan oranglain mampu menempatkan diri dari suatu waktu dan keadaan (Maharani, 2016)

Di samping harus menyesuaikan diri terhadap perubahan-perubahan jasmaniah yang sangat cepat yang dialami pada masa remaja, remaja juga harus mengadakan penyesuaian sosial yang baru, yang meskipun tidak menyolok dapat menimbulkan banyak tantangan dan gangguan. Sudah barang tentu masalah penyesuaian tersebut terasa cukup berat dan pada segi-segi tertentu menimbulkan ketegangan dalam kehidupan remaja pada umunya Itu berarti Remaja mendapatkan berbagai macam halangan yang dimiliki dan harus mendapatkan perhatian khusus dari semua aspek lingkungan baik pemerintah dan masyarakat sekitar.

Anak Usia Remaja sudah punya perkembangan daya pikir dan ketajaman daya ingat. Ibarat fondasi sebuah rumah yang terbentuk, masa ini adalah awal pembangunan rumah tersebut maka dari itu memerlukan adanya dukungan dan pengawasan. Apabila keadaan lingkungan tidak ada upaya untuk mendukung khususnya di tempat yang dekat dengan lingkungan akan membentuk pola pikir anak.

Kesadaran diri (self awareness) merupakan ”modal dasar” Individu dalam menjalankan tugas (Flurentin, 2001). Pemahaman diri sendiri merupakan suatu kondisi yang diperlukan sebelum memulai proses pemahaman terhadap orang lain. Selanjutnya, pemahaman multikultural harus dimiliki oleh anak didik, baik secara makro maupun mikro. Keragaman dapat dijadikan rahmat yang mendorong kreativitas, pemerkayaan intelektual, dan pengembangan sikap-sikap toleran terhadap perbedaan. Remaja dilatih peka, bersikap empati, menghormati keragaman dan perubahan, serta dapat memahami diri dan lingkungannya. Dimulai dari lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat, mulai jenjang pendidikan taman kanak-kanak sampai perguruan tinggi. Dengan pemahaman multikultural memungkinkan Remaja dapat menjembatani perbedaan antara dirinya dengan lingkungannya.

Life skills merupakan orientasi pembelajaran yang bertujuan agar setiap komponen pembelajaran mengikuti tuntutan orientasi tersebut. Pendidik berusaha merencanakan, mengorganisasikan, melaksanakan dan menilai hasil pembelajaran dengan selalu berorientasi kepada life skills, sedangkan Remaja menyiapkan diri untuk belajar dan menguasai kecakapan hidup agar dapat hidup mandiri atau berkemampuan dengan optimalisasi pemanfaatan potensi diri dan lingkungannya. Life skiils adalah interaksi berbagai pengetahuan dan kecakapan yang sangat penting dimiliki oleh seseorang sehingga dapat hidup mandiri. Menurut Kent Davis (Anwar, 2004) kecakapan hidup adalah ”manual pribadi” bagi tubuh seseorang. Kecakapan ini membantu seseorang belajar bagaimana memelihara tubuhnya, tumbuh menjadi dirinya, bekerjasama secara baik dengan orang lain, membuat keputusan yang logis, melindungi diri dan mencapai tujuan dalam kehidupannya. World Health Organization (WHO) memberi pengertian bahwa kecakapan hidup adalah berbagai keterampilan/kemampuan untuk dapat beradaptasi dan berperilaku positif, yang memungkinkan seseorang mampu menghadapi berbagai tuntutan dan tantangan dalam hidupnya sehari-hari secara efektif. WHO mengelompokkan kecakapan hidup ke dalam lima kelompok, yaitu (1) kecakapan mengenal diri (self awareness) atau kecakapan pribadi (personal skill), (2) kecakapan sosial (social skill), (3) kecakapan berpikir (thinking skill), (4) kecakapan akademik (academic skill), dan (5) kecakapan kejuruan (vocational skill)

Latihan kesadaran diri adalah latihan sepanjang hayat dan tidak pernah ada batas akhirnya. Sepertinya belum pernah ada bahwa individu telah mencapai titik kesadaran. Kesadaran diri termasuk ke dalam ranah afektif, namun untuk mewujudkannya berkaitan dengan ranah kognitif dan psikomotorik. Ranah kognitif dimaksudkan ketika individu diharapkan memahami dan mengerti suatu konteks tentang dirinya dan tentang lingkungannya. Ranah psikomotorik berkenaan dengan tindakan atau performansi atau kecenderungan bertindak individu, yang merupakan perwujudan bahwa ia telah memiliki kesadaran diri.

Remaja yang memiliki masa tahap dalam perkembangan dan permasalahan di ligkungan. Maka dengan adanya Self Awereness dapat membuat Remaja menjadi semakin menerima akan konsep dirinya dan memiliki kesadaran diri agar tidak mengambil nilai yang tidak baik dari lingkungannya.

Nama, JOHARI Window, membuatnya terdengar seperti alat yang rumit. Pada kenyataannya, Joseph Luft dan Harrington Ingham menciptakan nama yang mudah diingat untuk model mereka dengan menggabungkan nama pertama mereka, Joe dan Harry. Ini pertama kali digunakan pada tahun 1955 dan sejak itu kemudian telah menjadi model yang banyak digunakan untuk pemahaman dan pelatihan dalam berbagai aktivitas yang tergantung pada kesadaran diri seperti: pengembangan pribadi, komunikasi, hubungan interpersonal, dinamika kelompok, tim pengembangan dan hubungan antar kelompok.

Jendela JOHARI menyediakan format yang berguna untuk mewakili pribadi dan / atau informasi kelompok seperti perasaan, pengalaman, pandangan, sikap, keterampilan, niat, motivasi, dll dari empat

Prosiding Konferensi Pendidikan Nasional “Penguatan Karakter Bangsa Melalui Inovasi Pendidikan di Era Digital”

201

perspektif. Label mengacu pada 'diri' dan 'orang lain': 'diri' berarti diri sendiri sementara 'orang lain' berarti orang lain dalam orang itu kelompok atau tim. Ini adalah alat yang sangat bagus untuk membandingkan persepsi diri dengan publik persepsi dan menjadi panduan pengembangan perbaikan peta.

Kuadran Tempat Terbuka/ Free Area juga dikenal sebagai 'area aktivitas bebas'. Ini adalah informasi perilaku dan emosional tentang orang tersebut diketahui oleh orang ('diri') dan orang lain. Contoh informasi tersebut dapat termasuk tingkat kepercayaan, gaya komunikasi, kompetensi di tempat kerja dan kepemimpinan efektivitas. Dalam tim dan kelompok kerja, tujuan harus menjadi pengembangan dan perluasan 'area terbuka' untuk setiap orang, karena kapan daerah ini diperluas, orang paling efektif dan produktif, dan, akibatnya, begitu juga tim dan kelompok kerja. Terbuka/ Area bebas, meminimalkan distorsi dan ketidakpercayaan dengan menyediakan peluang untuk berdialog tentang topik yang diakui secara terbuka sama pentingnya. Ukuran area Open / Free adalah hasil perkembangan kerja hubungan. Orang-orang dengan hubungan kerja yang mapan akan memiliki bir daerah dan mereka yang baru akan memiliki area yang lebih kecil. Area Terbuka / Gratis adalah biasanya diperluas dengan menyusup ke area Blind dan Hidden. Itu berarti bahwa pembesaran kuadran Buka / Gratis berasal dari mengatakan apa itu tersembunyi dan bertanya tentang titik buta. Seringkali, ini datang melalui alam proses mengembangkan pengalaman kerja, tetapi juga dapat dipercepat dengan aktif terlibat dalam proses umpan balik pribadi.

TUJUAN 1. Kecenderungan Mengaktualisasi

Rogers beranggapan bahwa organism manusia adalah unik dan memiliki kemampuan untuk mengarahkan, mengatur, menontrol dirinya, dan mengembangkan potensinya. Oleh karena itu, manusia berkecenderungan untuk mengaktualisasikan diri, yaitu untuk mengembangkan seluruh kemampuannya dengan jalan memelihara dan meningkatkan organisme ke arah otonomi. Kecenderungan mengaktualisasikan diri ini sifatnya terarah, konstruktif, dan ada dalam kehidupannya. Kecenderungan mengaktualisasi sebagai daya dorong (motive force) individu yang bersifat inherent, karena sudah dimiliki sejak dilahirkan, hal ini ditunjukkan dengan kemampuan bayi untuk memberikan penilaian apa yang terasa baik (actualizing) dan yang terasa tidak baik (nonaktualizing) terhadap peristiwa yang diterimanya. 2. Penghargaan Positif dari Orang Lain

Self berkembang dari interaksi yang dilakukan organisme dengan realitas lingkungannya, dan hasil interaksi ini menjadi pengalaman bagi individu. Lingkungan sosial yang sangat berpengaruh adalah orang–orang yang bermakna baginya, seperti orang tua atau terdekat lainnya. Seseorang akan berkembang secara positif didalam berinteraksi itu mendapat penghargaan, penerimaan, dan cinta dari orang lain (positive regard).

Sepanjang berinteraksi dengan orang lain itulah individu membutuhkan penghargaan secara positif. Jika kebutuhan ini diperolehnya, maka individu juga akan belajar dan merasakan dirinya sebagai orang yang berharga, dapat menerima dan mencintai dirinya sendiri (self – regard). Memperoleh penghargaan positif dari orang lain tanpa syarat dan penghargaan diri secara positif pada hakikatnya adalah kebutuhan setiap individu (Pescitelli dalam garett, 1997). Tentunya penghargaan positif yang diberikan kepada individu tidak diberikan dengan cara memaksa atau bersyarat (condition of worth). Pemberian penghargaan yang bersyarat akan menghambat pertumbuhannya. 3. Person yang Berfungsi Secara Utuh

Individu yang terpenuhi kebutuhannya, yaitu memperoleh penghargaan positif tanpa syarat dan mengalami penghargaan diri, akan dapat mencapai kondisi yang kongruensi antara self dan pengalamannya, pada akhirnya dia akan dapat mencapai penyesuaian psikologis secara baik. Rogers menegaskan bahwa orang yang demikian ini menjadi pribadi yang berfungsi secara sempurna (fully functioning person), yang ditandai oleh keterbukaan terhadap pengalaman, percaya kepada organismenya sendiri, dapat mengekspresikan perasaan–perasaannya secara bebas, bertindak mandiri, dan kreatif. Fully functioning ini pada dasarnya sebagai tujuan kehidupan manusia.

KAJIAN PUSTAKA

1. Asal Mula Johari Window Pelatihan personil militer membutuhkan pendekatan yang berbeda dari bahwa dari pedagogi

klasik, pendekatan yang berfokus pada pelatihan orang dewasa (awalnya disebut andragogy). Meskipun mungkin tampak sederhana perubahan terminologi, itu membungkus perbedaan yang konsisten: semua

Prosiding Konferensi Pendidikan Nasional “Penguatan Karakter Bangsa Melalui Inovasi Pendidikan di Era Digital”

202

orang yang memiliki berpartisipasi dalam setidaknya satu sesi pelatihan (istilah yang digunakan oleh Manusia departemen sumber daya dari organisasi terbaik) tahu kepemimpinan itu keterampilan dan keterampilan pemecahan masalah tidak dikembangkan melalui kelas, sesi praktis atau seminari, tetapi melalui pelatihan. Siswa tidak diajarkan oleh instruktur, tetapi mereka berkolaborasi sebagai orang dewasa harus menjadi peserta aktif dalam proses pembelajaran.Orang dewasa datang dengan paket pengalaman yang perlu diperhatikan pertimbangan. Sangat tidak mungkin untuk seorang perwira mengambil bagian dalam lanjutan pelatihan untuk tidak pernah memenuhi kewajiban komandannya, bahkan jika untuk jangka waktu singkat. Selanjutnya, pilih spesialisasi tertentu pelatihan dilakukan untuk membuktikan petugas tertarik pada bidang tertentu.

Ini dari perspektif ini bahwa instruktur perlu memastikan dasar untuk diri sendiri bimbingan dan pembelajaran berkelanjutan dari para siswa. Model profesional pascasarjana (tuntutan sosial), memang mewakili standar untuk semua personel yang terlibat dalam proses pelatihan, tetapi merupakan suatu keharusan untuk mempertimbangkan bahwa setiap persyaratan yang ditentukan oleh model sudah ada dalam latar belakang trainee pada suatu baru jadi tingkat. Selain itu, setelah menyelesaikan pelatihan, siswa akan mengisi posisi yang secara hirarkis setara namun berbeda, yang berarti bahwa program pelatihan perlu dikorelasikan dengan kebutuhan pelatihan peserta dan ketersediaan untuk ikut serta dalam pelatihan. Pelatihan kebutuhan siswa akan digunakan sebagai motivasi, sebagaimana instruktur perlu mengatasi hambatan siswa (dipicu oleh pelatihan yang datang sebagai pembebanan eksternal). Mencapai tujuan-tujuan ini dapat dilakukan secara optimal dengan menempatkan pelatihan orang dewasa dalam kerangka pelatihan pengalaman dan dengan menggunakan grup sebagai lingkungan pelatihan.

Kondisi pertama mengharuskan memastikan kondisi ht untuk individu kritis menganalisis aktivitas yang sedang berlangsung, untuk mengekstrak informasi yang diperlukan dan menerapkannya. Ada lima tahap untuk ini: mengalami, berdiskusi pengalaman individu, memproses pengalaman ini, generalisasi dan menerapkan hasilnya. Menggunakan kelompok sebagai lingkungan pelatihan menawarkan dukungan emosional kepada para siswa dan mendorong sikap analitis, mengalami hal baru konsep, mendapatkan umpan balik mengenai reaksi terhadap ide-ide baru. Memberi dan menerima umpan balik merupakan dimensi penting dari kelompok kecil. mewakili standar untuk semua personel yang terlibat dalam proses pelatihan, tetapi merupakan suatu keharusan untuk mempertimbangkan bahwa setiap persyaratan yang ditentukan oleh model sudah ada dalam latar belakang trainee pada suatu baru jadi tingkat. Selain itu, setelah menyelesaikan pelatihan, siswa akan mengisi posisi yang secara hirarkis setara namun berbeda, yang berarti bahwa program pelatihan perlu dikorelasikan dengan kebutuhan pelatihan peserta dan ketersediaan untuk ikut serta dalam pelatihan. Pelatihan kebutuhan siswa akan digunakan sebagai motivasi, sebagaimana instruktur perlu mengatasi hambatan siswa (dipicu oleh pelatihan yang datang sebagai pembebanan eksternal).Mencapai tujuan-tujuan ini dapat dilakukan secara optimal dengan menempatkan pelatihan orang dewasa dalam kerangka pelatihan pengalaman dan dengan menggunakan grup sebagai lingkungan pelatihan.Kondisi pertama mengharuskan memastikan kondisi ht untuk individu kritis menganalisis aktivitas yang sedang berlangsung, untuk mengekstrak informasi yang diperlukan dan menerapkannya. Ada lima tahap untuk ini: mengalami, berdiskusi pengalaman individu, memproses pengalaman ini, generalisasi dan menerapkan hasilnya. Menggunakan kelompok sebagai lingkungan pelatihan menawarkan dukungan emosional kepada para siswa dan mendorong sikap analitis, mengalami hal baru konsep, mendapatkan umpan balik mengenai reaksi terhadap ide-ide baru.Memberi dan menerima umpan balik merupakan dimensi penting dari kelompok kecil

2. Implikasi

Artikel Epicentral Development Grup (2011) buletin bulan ini menganggap Jendela Johari. Jendela Johari adalah game yang duludibuat oleh Joseph Luft dan Harry Ingham pada 1950-an. Tujuan asli dari permainan ini adalah untuk membantu orang lebih memahami "ketidakstabilan mental" mereka melalui serangkaian diri dan penilaian orang lain . Hari ini, permainan dan konsep Jendela Johari digunakan untuk membantu orang menjadi lebih baik dan efektif dalam karier mereka melalui peningkatan pemahaman diri dan kesadaran.

Prosiding Konferensi Pendidikan Nasional “Penguatan Karakter Bangsa Melalui Inovasi Pendidikan di Era Digital”

203

Proses: Meskipun ada metode yang berbeda untuk menyelesaikan latihan ini, yang asli dan, mungkin,

metode termudah adalah sebagai berikut: 1) Rapport dan membina hubungan baik. 2) Orang-orang pertama diberikan daftar 56 kata sifat yang berbeda dan diminta untuk memilih lima

kata atau enam yang mereka rasa sangat cocok dengan kepribadian mereka sendiri (lihat di bawah untuk daftar): mampu, menerima, mudah beradaptasi, berani, berani, tenang, peduli, ceria, pintar, kompleks, percaya diri, dapat diandalkan, bermartabat, energik, ekstrover, ramah, memberi, bahagia, membantu, idealis, mandiri, cerdik, cerdas, introvert, baik hati, berpengetahuan, logis, penuh kasih, dewasa, sederhana, gugup, jeli, teratur,sabar, kuat, bangga, pendiam, reflektif, santai, religius, responsif, mencari, self-assertive, self-conscious, sensible, sentimental, pemalu, konyol, pintar,spontan, simpatik, tegang, dapat dipercaya, hangat, bijaksana, jenaka.

3) Teman-teman dalam kelompok orang itu kemudian diberi kata sifat yang sama dan diminta untuk memilih lima atau enam yang mereka merasa paling dekat menggambarkan setiap subjek.

4) Hasil seleksi dipetakan ke grid Johari Window sebagai berikut: a. Buka - Kata sifat yang dipilih oleh subjek dan rekan-rekan mereka tercantum dalam Kuadran

"Terbuka" dari grid. b. Blind Spot - Adjectives yang dipilih oleh rekan-rekan tetapi tidak subjek terdaftar kuadran

"Blind Spot" dari grid. Tersembunyi - Kata sifat yang dipilih oleh subjek tetapi bukan rekan-rekan yang terdaftar di Kuadran "tersembunyi" dari grid.

c. Tidak diketahui - Kata sifat yang tidak terdaftar baik oleh subjek atau rekan-rekan terdaftar di kuadran "Tidak dikenal" dari grid. Baik dari Individu maupun kelompok

Gambar 1. Hasil Seleksi Dipetakan ke Grid Johari Window

Open area: informasi yang Anda ketahui tentang diri Anda dan orang lain juga tahu. Ini adalah hal yang jelas, mis. ras, nama, tinggi badan, berat badan, dll. Itu adalah hal-hal yang Anda katakan kepada orang lain ketika Anda memperkenalkan diri kepada kelas. Ini juga perasaan yang telah Anda bagikan selama "Pikiran untuk Hari, "gaya belajar, proses komunikasi, dan kepribadian

pelajaran. Itu adalah semua informasi yang Anda inginkan dari orang lain tahu. Ini adalah area yang sangat terbuka untuk dilihat semua orang. Dengan berjalannya waktu, lempar pertanyaan ke siswa apakah Anda akan menceritakan dan mengungkapkan lebih banyak tentang diri Anda ke kelas? Mengapa?

Hidden Area: Area tersembunyi berisi semua informasi yang tidak kami inginkan orang lain untuk mengetahui tentang kami. Itu adalah lemari perasaan, ketidakamanan, dan tidak terlalu bagus pengalaman. Itu adalah informasi pribadi.

Blind Spot: Titik buta adalah informasi yang orang lain tahu tentang Anda, tetapi Anda tidak tahu tahu tentang dirimu sendiri. Contoh lucu adalah murid perempuan yang suaminya Katanya dia mendengkur. Dia tidak mengira dia melakukannya, tetapi dia tahu dia melakukannya. Apa beberapa hal yang orang katakan tentang Anda yang tidak Anda ketahui? Ada juga hal-hal positif seperti menjadi pendengar atau pembicara yang baik. Kita mungkin merasa bahwa kita bukan pendengar atau pembicara yang baik, tetapi teman-teman kita mungkin merasa berbeda.

Unknown Area: Area tak dikenal berisi informasi yang tidak Anda ketahui dan yang lainnya tidak tahu. Itu bisa berupa kemampuan dan potensi yang belum Anda temukan tentang dirimu sendiri. Contohnya bisa jadi Anda mungkin hebat tenaga penjual atau perwakilan layanan pelanggan, tetapi untuk saat ini Anda tidak tahu apakah Anda memiliki kemampuan itu atau tidak.

Prosiding Konferensi Pendidikan Nasional “Penguatan Karakter Bangsa Melalui Inovasi Pendidikan di Era Digital”

204

Dalam kelompok yang dibuat dengan tujuan pelatihan atau pribadi pembangunan, setiap anggota dapat melakukan upaya untuk mencapai individu obyektif, dan tujuan kelompok pada saat yang sama. Mari kita asumsikan, untukMisalnya, kami bertujuan untuk mengurangi ukuran "Blind Zone" (BZ), yang melibatkan memindahkan batas vertikal yang memisahkan panel ke kanan. The "Arena" (A) dan "Façade" (F) akan mendapatkan lebih banyak ruang, sedangkan BZ dan "Tidak dikenal" (U) akan dikurangi. Satu-satunya cara untuk mengambil keuntungan dari informasi yang terkandung dalam BZ adalah untuk meminta umpan balik dari kelompok. Asalkan individu selalu meminta umpan balik dan terbuka untuk apa yang dia terima, dimensi BZ akan berkurang. Mengkritisi Hasil:

Hasil dari latihan ini dapat digunakan dalam beberapa cara, tetapi beberapa hal yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut: • Terbuka - Jumlah kata sifat dalam kuadran "Terbuka" merupakan cerminan dari seberapa baik Anda.

pemahaman tentang bagaimana Anda menampilkan diri selaras dengan bagaimana orang memandang Anda. Jika kuat saling pengertian itu penting untuk hubungan tim dan kerja yang efektif, maka Anda akan melakukannya baik untuk mendorong pertumbuhan di bidang ini.

• Blind Spot - Setiap orang memiliki blind spot. Latihan ini dapat membantu orang menjadi lebih baik memahami bagaimana mereka benar-benar menampilkan diri kepada orang lain di tempat kerja. Mereka mungkin terkejut, misalnya, bahwa beberapa orang menganggap mereka pemalu atau gugup ketika mereka merasa percaya diri dan terbuka. Pemahaman yang lebih baik tentang bagaimana orang memandang Anda bisa sangat membantu ketika mempertimbangkan area yang mungkin untuk peningkatan profesional dalam komunikasi, kepemimpinan dan keterampilan berbasis tim.

• Tersembunyi - kata sifat Tersembunyi mencerminkan seberapa banyak Anda mengungkapkan kepada orang lain di Anda hubungan. Pada dasarnya orang dengan banyak kata sifat dalam kuadran ini menyembunyikan kebenarannya diri dari orang lain. Terserah masing-masing orang untuk menentukan berapa banyak yang harus diungkapkan dan dipertimbangkan bagaimana pemotongan dapat mempengaruhi kemampuan mereka untuk bekerja dengan orang lain di sekolah. Juga pertimbangkan itukebanyakan orang dapat merasakan ketika seseorang menyembunyikan sesuatu, dan ini dapat menyebabkan ketidakpercayaan dan konflik.

• Tidak diketahui - Kuadran akhir ini adalah untuk semua kata sifat yang tidak digunakan karena keduanya tidak relevan di tempat kerja atau ada ketidaktahuan kolektif dari sifat-sifat ini. Jika Anda melihat kata sifat di kuadran ini yang Anda cita-citakan (seperti saya ingin dilihat sebagai lebih dapat diandalkan) maka ini bisa menjadi daftar area untuk fokus pada peningkatan.

Pertimbangan: • Alat dan model ini dapat digunakan dalam berbagai pengaturan (individu, kelompok, tim, pribadi,

profesional, keluarga) dan dimodifikasi untuk berbagai tujuan. Poin utamanya adalah mempertimbangkan bahwa semua orang memiliki empat "kuadran" ini dan bahwa pemahaman yang lebih baik tentang diri sendiri dan yang lain merupakan dasar utama untuk perbaikan.

• Episenter mendorong klien dan mitra bisnisnya untuk mengembangkan "kotak peralatan" standar mereka sendiri alat yang dapat mereka gunakan secara efektif untuk merencanakan, merancang, dan meningkatkan operasi mereka.

• Internet memiliki banyak informasi di sekitar Johari Windows dan bahkan beberapa alat online untuk penilaian.

Kekurangan

Dalam kelompok yang dibuat dengan tujuan pelatihan atau pribadi pembangunan, setiap anggota dapat melakukan upaya untuk mencapai individu obyektif, dan tujuan kelompok pada saat yang sama. Mari kita asumsikan, untuk Misalnya, kami bertujuan untuk mengurangi ukuran "Blind Zone" (BZ), yang melibatkan memindahkan batas vertikal yang memisahkan panel ke kanan.

The "Arena" (A) dan "Façade" (F) akan mendapatkan lebih banyak ruang, sedangkan BZ dan "Tidak dikenal" (U) akan dikurangi. Satu-satunya cara untuk mengambil keuntungan dari informasi yang terkandung dalam BZ adalah untuk meminta umpan balik dari kelompok. Asalkan individu selalu meminta umpan balik dan terbuka untuk apa yang dia terima, dimensi BZ akan berkurang. peningkatan harga diri dan citra diri yang jauh lebih stabil. Bahkan itu adalah salah satu teknik yang paling sering digunakan dalam konseling psikologis dan dalam psikoterapi humanis. Kapasitas tinggi untuk

Prosiding Konferensi Pendidikan Nasional “Penguatan Karakter Bangsa Melalui Inovasi Pendidikan di Era Digital”

205

mengungkapkan diri dianggap sebagai indikator yang baik fungsi mental. Ini melibatkan kepercayaan pada orang lain dan penerimaan diri, mengurangi posisi defensif dan potensi gangguan normal berfungsi. Mengungkapkan diri adalah tanda kepercayaan diri dan seringkali mutual: ketika seseorang mengungkapkan sesuatu tentang diri mereka, yang lain adalah didorong untuk melakukan hal yang sama. Pada saat yang sama ada keterbatasan pada teknik selfrevealing. Misalnya, dalam masyarakat kontemporer (Eropa dan Utara Orang Amerika keduanya) dalam strata sosial yang tinggi jarang mengungkapkan diri kepada mereka dengan undang-undang yang lebih rendah; wanita secara umum mengungkapkan banyak hal lebih mudah untuk wanita lain daripada pria. Di sisi lain, self-disclaling tidak tidak harus keliru karena memberikan informasi rahasia (pribadi atau profesional), dalam hal ini orang tersebut akan menyebabkan dirinya besar kerusakan. Seperti yang saya sebutkan sebelumnya, membuka diri; seperti umpan balik, mengacu pada emosi dan persepsi seseorang sendiri. Dalam situasi pelatihan, keterbatasan ini tidak signifikan, sebagaimana kelompok-kelompok bersifat homogen, dan umpan balik yang diperlukan merujuk secara eksplisit pada situasi pendidikan.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmadi, Abu. 1991. Psikologi Perkembangan. Jakarta: Rineka Cipta. Beth A Miller. Johari Windows game diakses di beth.miller@executive--- velocity.com Darajati,Wahyuningsih. 2016 Upaya Pencapaian Target Pembangunan Berkelanjutan . Online. http://sdgcenter.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2016/07/Wahyuningsih-Darajati-Upaya-

Pencapaian-Target-SDGs.pdf (diakses pada 10 Maret 2017) Desmita. 2002. Psikologi Perkembangan. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Epicentral Development Group. (2011) The Johari Window - Peaking Behind the Drapes Flurentin, Elia. 2012. Latihan Kesadaran Diri (self awareness) dan kaitannya dengan penumbuhan

karakter. Tersedia di download.portalgaruda.org/article.php?article=274214&val=6273&title=LATIHAN%20KESADARAN

%20DIRI%20(SELF%20AWARENESS)%20DAN%20KAITANNYA%20DENGAN%20PENUMBUHAN%20KARAKTER (diakses pada 12 Maret 2017)

Hariyadi,Sigit.2013 Perkembangan Individu. Yogyakarta: Dee Publish Hurlock, 2009 . Psikologi Perkembangan. Jakarta : Erlangga Press Irawan,dkk. 2015. Pengembangan Teknik Permainan dalam Layanan Bimbingan Kelompok untuk

Meningkatkan Penyesuaian diri Siswa. Tersedia di http://ejournal.stkipmpringsewu-lpg.ac.id/index.php/fokus/article/download/67/18 (diakses pada 13 Maret 2017)

J & S Garrett. Person-Centred Threapy a Guide To Counseling Therapies (DVD). Journal. Australian Instute of Professional Counsellors

Kadek Vivien Windayani, dkk. (2014). Penerapan Konseling Client-Centered dengan Teknik Permisif untuk Meningkatkan Harga Diri Siswa Kelas X. Iis 2 sma negeri 2 singaraja. e-journal Undiksa Jurusan Bimbingan Konseling. Volume: 2 No 1. Singaraja.

Latipun. 2001. Psikologi Konseling. Malang: UMM Maharani, Laila. & Mustika Meri. (2016). Hubungan Self Awareness dengan Kedisiplinan Peserta Didik Kelas viii di Smp Wiyatama Bandar Lampung ( Penelitian Korelasional Bidang Bk Pribadi

). Konseli: Jurnal Bimbingan dan Konseling 03 (1) (2016) 17-31 Mahlawi,2012. Permasalahan Remaja yang tinggal di area lokalisasi Gambilangu Semarang. Tersedia di

http://jurnal.unimus.ac.id/index.php/psn12012010/article/viewFile/1282/1335 (diakses pada 10 Maret 2017)

PKBI DIY.2009. Siapa Sich Remaja?. Online. http://pkbi-diy.info/?p=3005 (diakses pada 12 Maret 2017)

Santrock, John W.(2009). Perkembangan Anak. Edisi 11. Jakarta. Erlangga

Prosiding Konferensi Pendidikan Nasional “Penguatan Karakter Bangsa Melalui Inovasi Pendidikan di Era Digital”

206

IMPROVING ENGLISH MEDIATED BY LOCAL WISDOM AND TECHNOLOGY IN GLOBAL ERA

Retma Sari Universitas Tidar

[email protected]

Abstract Most Indonesian learners understand if they must improve their abilities in English skills. They know that big effort they make will use to survive in this era. They have to master both skills and strategies to show then compete with others to position themselves. Mastering International language collaborated with technology has significant role in this part in reaching this aims. This era serves many spots in realizing this goals. But in other context they have to understand that they are civilized people, making competition in global era without leaving good norm and culture. In this case, Indonesia education system has prioritized using local wisdom collaborated with ICT to be the core of human resource development to enter a global living. This strategy is important for Indonesia to face the golden age in 2045 indicated by having a golden generation of competitive and high quality human resources. For this purpose, learning English as international language can be a bridge to get and spread sources in competition combined with mastering high technology. Unfortunately, because it serves many modern devices and styles, learning activities fail to lead students’ understanding on their living philosophy. Consequently, the students seem insensitive to their natural, social, and local environments by means of wisdom even forgetting who they are. Although they look good in using technology devices and English, they seem empty in understanding their living, future orientation, and goals. Based on those facts this paper presents how important local wisdom collaborated technology as media (ICT) should be referred as learning resources in forming good skills and attitudes to English learners. Keyword: Local Wisdom, Technology (ICT), English Learning

INTRODUCTION

Indonesian learners (EFL) has problem is not only concerned with developing students’ knowledge and competence of technical skills, but also related to developing an understanding on meanings and concepts of what the students learn. It is not such as theoritacally but it can also effect with lifestyle daily. It is also related with the way the students understand something. The way students view the world will make them comprehend problems, and enable them to encounter the problems in their life wisely. Language or literacy education could be regarded as a subject that may lead students to develop a better understanding to see the world. This includes English subject . It should not simply refer to an ability to read and write or mastering fourskill as its general definition, but it is more than what they just see or hear it is talking about feeling and understanding.

In spite of this, this subject should at least cover the main aspect of literacy, which begin with an ability to understand spoken words, decode written words, and conclude some deep understanding of texts but also how to share to everyone in society. For this purpose, local wisdom related materials could be used to encourage students learning experience to develop their English literacy skills. Local wisdom is the source of conventional value naturally grown up and derived from the social and natural environments that then become philosophical-deep thoughts in controlling and developing better socio-cultural system of students where they live as members of a certain group of people. Such socio-cultural value is contained in local wisdom. Then understanding the local wisdom could develop the literacy skills. Therefore, implementing local wisdom in English language teaching would lead students to develop their English proficiency along with their characters according to the local socio-cultural values (Septy, 2016).

Related to the explanation above students must understand besides the four skill s also how to communicte with society. It will lead students to better view and act as a member of national and global community wisely. The objective also applies to English language teaching in schools. The goal of English language teaching (ELT) should not only develop students’ English literacy skills, but also build

Prosiding Konferensi Pendidikan Nasional “Penguatan Karakter Bangsa Melalui Inovasi Pendidikan di Era Digital”

207

appropriate characters in connection with local/national norms and values, so in other words, students’ English literacy skills (i.e., integrating listening, speaking, reading, and writing skills (Arslan, 2008)) are supposed to strengthen developing appropriate characters according to the cultural values. This could be implemented in what and the way how they are taught in viewing the world.

In other hand, besides we are talking about the wisely life with society,it is needed to remain that we live in the era that much needed high technology. Such a good learner we have to understand that tevhnology must be used in this case to compete and fight in global era to prepare the smart generation. It’s why it must be balance between the way of communication and the improvement of golden age. So here not only talks about the management of teaching and learning by organizing such local wisdom oriented materials also ICT as media of learning and presenting.

FINDING AND DISCUSSION

Learning English and Local Wisdom Learning English is really important to face many challenging. Without mastering English it will

border even close the chance for keeping the better life. Indonesian learners as EFL student must be smart in adopting language also it’s culture as the effect when they learn new language. Sometimes they never understand if their life is gradually moving. Unfortunately if they do not understand they can change theirselves into bad habit. It;’s why they have to obey some regulation in kearning and adopting the new languge(s) included it (their) effects.

Language learning may contain some basic principles of life that are socio-culturally transferred through some socio-cultural values and norms (Diaz-Rico, 2004; Septy & Yatim, 2016a). Such socio-cultural values and norms could be used as guidelines in daily life. According to Diaz-Rico (2004:266), culture involves belief and values, rhymes, rules, and roles. The culture has explicit and implicit patterns for living, the dynamic system of commonly agreed-on symbols and meaning, knowledge, belief, art, morals, law, customs, behaviors, traditions, and/or habits shared and make up the total way of life in constructing a personal identity. In particular, local wisdom is the source of conventional value naturally grown up and derived from the social and natural environment that then become philosophical-deep thoughts in controlling and developing better socio-cultural system of a certain group of people. To be more specific, local wisdom could be regarded as both universal and specific values possessed by groups of people.

Originally, local wisdom varies among societies, and it is frequently used as the basis for a group member to have normative and ideal patterns to manage and to organize their socio-cultural system. As a multi-cultural nation, Indonesia has many local values of its traditional-socio-cultural life that could be referred to as learning resources to especially undertake character-based education. So, in this relation, literacy learning should let students understand cultures, more importantly how they could live in their own cultural values reflecting their identity and integrity. It is the essence of character based teaching. Then, it is the role of teachers to manage lesson materials containing such cultural values-local wisdom in English language teaching. Language is used for communication and, in particular, for social and personal interactions. In a communication practice, a speaker reflects his/her personality. So, in a language learning process, developing personality becomes important as well as developing communicative competence.

What makes human becomes human is the way how human beings communicate by means of language. In this circumstance, language expressions are naturally influenced by the way they have socio-cultural features (Nuraeni & Alfan, 2012:66-70). As English language learning is concerned, then English language teaching will include learning the way to communicate according to the contexts of socio-cultural values (Sun, 2014; Septy, 2015a).

Furthermore, character based teaching has also been signaled in the current system of national curriculum. Despite some weaknesses, the current national curriculum of 2013 has outlined to integrate competence and character into four main competencies; knowledge and skill (competence) and spiritual and social attitudes (characters) (Ministry of Education and Culture, 2013). Related to this issue, language lessons should be managed to develop not only students’ linguistic mastery (i.e. sentence structures, vocabulary, pronunciation, etc.), but also characters (attitude and values). The attitudes relate to students’ personality religiously and socio-culturally. Although it is not clear what resources to refer to in developing students’ spiritual and social attitudes, this paper suggests to consider relevant religious reference (i.e., Al Qur’an and Al Hadist) and local wisdom in developing communicative competence of

Prosiding Konferensi Pendidikan Nasional “Penguatan Karakter Bangsa Melalui Inovasi Pendidikan di Era Digital”

208

character values. As the objective of national education is referred to in English language teaching, students’ English literacy learning is not only to develop English competence, but also to build character according to eastern philosophy.

There are a number of aspects related to characters referred to in the English language competence. The aspects include linguistic and discourse mastery as well as social-cultural awareness and understanding, and communication strategy appropriateness (Canale& Swain, 1980; Septy, 2015b:7). Similarly, according to Lane (2001), communicative competence may include (1) ability to adapt (adaptability/flexibility), (2) ability to involve in conversation (conversational involvement), (3) ability to control conversation (conversational management), (4) ability to express empathy (empathy), (5) ability to act effectively (effectiveness), and (6) ability to act appropriately (appropriateness). This means that such communicative competence reflects character values that speakers may refer to as their cultures and these are important to be developed in students’ spokenand/or written communication skills.

From those explanations above, we can say that actually learning foreign languages example English, it can not be left from the culture. Each learner has their own characteristic which is not far from their habit or surrounding. This can support their ability because by using their owns it will be easier to adopt. Learning western languages means that they also learns about the culture. So to avoid about missing in adopting the knowledge learning foreign language must be not ignored the orgininal one. Shortly, cultural awareness/understanding may become an important issue in English communicative competence. The ability to communicate should not disregard character values that are generated from cultural values, and this could be a determining resource in improving students’ English proficiency. Besides, this cultural resource could relate to the process of character building. Therefore, the culturally based resources have to be considered in selecting teaching-learning materials. But in other way, we have to understand that the learning must be followed by the development of ICT in order to keep the competition.

ICT Media In Learning English Combining Local Wisdom

When talking about Technology it is not separated with the media used in education. Contextually the material talks about very traditional orconventional but it must be covered with the high technology. It is used to prepare the facing of the golden era which required the high information, technology and communication.

Information-Communication-Technology (ICT) media might be generally referred to as audio tape, mobile phone, computer, television, radio, video tape and emails (Thapaliya, 2014: 251). In education, ICT media refers to computer based or computer assisted learning in which lesson materials are organized into digital presentations. As computer becomes the main tool in presenting lesson materials, organizing lesson materials into computer will make learning more attractive and advantageous (Ibrahim, 2010; Susikaran, 2013; Ebrahimiet al., 2013; Sadeghi & Dousty, 2013; Septy, 2015a). This also suggests organizing English lesson materials of local wisdom content into ICT based media would benefit both students and teacher.

Using ICT media for teaching has some advantages; (a) to facilitate teaching and learning, (b) to organize lesson materials, (c) assesesment and (d) giving corectionor feedback. To facilitate the teaching and learning meansthat ICT media will ease students to understand lesson materials, as well as to ease teachers to manage classroom activities. On the other hand, the ICT media will also help teachers organize massive lesson materials into friendly-user formats.Moreover, there are also other benefits in having the ICT media in the classroom. First, students may feel that they experience the learning in a real context. The ICT media can display still or animated materials that may be impossible to have in a traditional teaching mode and classroom or it is called authentic learning. So from this case will have some benefits such as (1) affect students’ positive motivation, (2) provide actual cultural information, (3) provide a real exposure on the target language, (4) relate to students’ needs and (5) support creative approaches to learning

In this case , some component in teaching learning process must be involved in active activities. The material designed in the ICT-media packaged in an interesting topic so the students can learn it comfortably. If ths atmosphere can happen continually, the learning target can be achieved easily.

Prosiding Konferensi Pendidikan Nasional “Penguatan Karakter Bangsa Melalui Inovasi Pendidikan di Era Digital”

209

CONCLUSION

Developing English competence should be related to cultural and local wisdom as learning materials in order to the learners never ignore about their actually owned. When they learn about language which never leaves on local cultire they should be understand that the time goes on. Every year information and technology develop rapidly. So being a good competitor we have to remember that we also learn ICT. It’s why this paper also offers how to organize such local wisdom oriented materials into relevant ICT media of interesting audio and visual presentations that provide many advantages in the management of teaching and learning of English literacy skills.

So, English literacy education would need to include local wisdom related resources in teaching/learning materials. Learning socio-cultural values of local wisdom could make learning the literacy skills possible; the students develop their English proficiency along with their character building according to the local socio-cultural values and to facilitate the teaching and learning means that ICT media will ease students to understand lesson material.

REFERENCES

Adimihardja, K. 2003. Budaya Tradisional dan Lokal di Tengah Multikultural Nasional dan Arus Globalisasi. In Badudu. (Ed.) Sastra & Budaya (hlm. 92-99).

Aly, M A Safaa. (2014). Enhancing English Prospective Teachers’ Presentational Communication Skills and Intercultural Competence: Post Process Based Program. International Journal of English Language Teaching, 2(3), 15-36.

Arslan,A. 2008.“Implementing a Holistic Teaching in Modern ELT Classes: Using Technology and Integrating Four Skills”.International Journal of Human Sciences. [Online] http://mpra.ub.uni-muenchen.de/20707/. accessed on 2nd September 2018

Bhawuk, Dharm P.S. 2008. Globalization and Indigenous Cultures: Homogenization Or Differentiation?International Journal of Intercultural Relations No. 32 tahun 2008 hal. 305–317. accessed on 2nd September 2018

Brown, K., & Kennedy, H. 2011. Learning through conversation: Exploring and extending teacher and children’s involvement in classroom talk. School Psychology International, 32(4), 377-396.

Colvin, C. A. and Bruning, R. 1989. Creating the Conditions for Creativity in Reader Response to Literature. In Glover, et al. (Ed.) Handbook of Creativity:Perspectives on Individual Differences (hlm. 323-339). New York: Plenum Press.

Ebrahimi, N. A., Eskandari , Z., &Rahimi, A. 2013. The Effects of Using Technology And The Internet On Some Iranian EFL Students’ Perceptions Of Their Communication Classroom Environment. Teaching English with Technology, 13(1), 3-19 http://www.tewtjournal.org Pp. 319. accessed on 2nd September 2018

Ellen, Roy, Parkes, Peter and Bicker, Alan. (2005). Indigeneous Environmental Knowledge and Its Transformations. Harwood Academic Publishers. Singapore

Hall, J.K. 2013. Teaching and Researching: Language and Culture. New York : Routledge. Moechram, Y Niecke. (2014). Let’s Talkand Tolerates: Strengthening Students Cultural Awareness

through Literature Circles. Indonesian Journal of Applied Linguistics, 3 (2). 117-127. accessed on 2nd September 2018

Ibrahim, A M I. 2010. “Information & Communication Technologies in ELT”.Journal of Language Teaching and Research, Vol. 1, No. 3, pp. 211-214, May 2010. accessed on 2nd September 2018

Kilickaya, F. 2004. “Authentic Materials and Cultural Content in EFL Classrooms”.The Internet TESL Journal. Vol. X, No. 7, July 2004 [Online] http://iteslj.org/Techniques/Kilickaya-AutenticMaterial.html. accessed on 2nd September 2018

Prastiwi, Yeni. (2013). Transmitting Local Culture Knowledge through English as Foreign Languagea (EFL). Academic Journal of Interdisciplinary Studies, 2(3), 507-513.

Septy, A.P. 2007. Penerapan KBK-KTSP Mata Pelajaran Bahasa Inggris dan Kaitannya dengan PAKEM. A paper presented on the Seminar on IT Based ELT at Univ Bung Hatta TEFLIN Branch, 26 July 2007

Septy, A.P. 2015a. ICT Media in English Teaching of Character-Competence Development.

Prosiding Konferensi Pendidikan Nasional “Penguatan Karakter Bangsa Melalui Inovasi Pendidikan di Era Digital”

210

Proceedings the 2nd International Seminar on Lingusitics (ISOL 2) “Language and Civilization”. Padang: UniversitasAndalas Padang

Septy, A.P. 2015c.The Arts of Technology Based Media in Teaching: Developing Character Competence through Teachers’ Designed ICT Media. Proceedings the 9th International Conference “Capacity building for English Education in a Digital Age”.Salatiga: Universitas Kristen SatyaWacana

Septy, A.P. &Yatim, Y. 2016.Language Potential, Communicative Competence, Culture- Character Adaptation, and the English Language Teaching-Learning.Proceedings 2016 Jambi International Seminar on Education (2016 JISE). Jambi: Universitas Jambi

Sun, Y. 2014. Major Trends in the Global ELT Field: A Non-Native English-Speaking Professional’s Perspective. Plenary Paper in Language Education in Asia, Volume 5, Issue 1, 2014. accessed on 2nd September 2018

Susikaran, R. S. A. 2013. “Integrating ICT into Teaching & Learning: A 21st Century Technology Tool for Continuing Education” .International Journal of English and Education [Volume:2, Issue:1, January 2013. accessed on 2nd September 2018

Zheng, Jing. (2014). Assessing Intercultural Communicative Competence in College English Teaching. International Journal of English Language Teaching, 1(1), 73- 77.

Prosiding Konferensi Pendidikan Nasional “Penguatan Karakter Bangsa Melalui Inovasi Pendidikan di Era Digital”

211

PENANANMAN KARAKTER JUJUR MELALUI MEDIA ULAR TANGGA KARAKTER PADA ANAK USIA PENDIDIKAN DASAR

Septiana Eka Mufliha1, Khusnul Khotimah 2, Elvy Ulfiatul Masrurah 3, Antuni Wiyarsi 4 1,2,3,4 Universitas Negeri Yogyakarta

[email protected] 2@[email protected]

[email protected] [email protected]

Abstrak Penanaman karakter sejak usia kanak-kanak sangatlah penting dalam membentuk karakter seseorang. Karakter jujur merupakan salah satu karakter yang sangat penting untuk dimiliki oleh seseorang. Seperti yang kita ketahui, saat ini di Indonesia marak terjadi kasus korupsi yang diakibatkan oleh oknum-oknum yang tidak memiliki karakter jujur. Oleh karena itu, perlu adanya penanaman karakter pada anak usia dasar yang dapat dilakukan dengan media “Ular Tanggga Karakter”. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektifitas dari media “Ular Tangga Karakter” terhadap penanaman karakter jujur pada anak usia pendidikan dasar. Penelitian ini menggunakan metode embedded experimental model melalui analisis kualitatif dan kuantitatif. Jumlah responden yaitu sebanyak 37 siswa. Instrumen yang digunakan dalam pengumpulan data berupa angket dan lembar observasi, dan teknik analisis data yang digunakan yaitu uji paired t-test dan nilai n-gain. Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa didapatkan bahwa pada uji paired t-test, terdapat beda antara angket awal dan angket akhir karakter jujur pada saat menggunakan media “Ular Tangga Karakter”. Selain itu, untuk nilai n-gain, didapatkan hasil pada kategori tinggi yaitu sebesar 45.94%, kategori sedang sebesar 0%, kategori rendah sebesar 27,03% dan kategori tetap juga sebesar 27,03%. Oleh karena itu, media “Ular Tangga Karakter” dapat dinyatakan efektif sebagai media penanaman karakter jujur pada anak usia pendidikan dasar. Kata Kunci: Karakter Jujur, Anak Usia Pendidikan Dasar, Ular Tangga

PENDAHULUAN

Saat ini Indonesia sedang mengalami krisis kejujuran dimana banyak terjadi kasus korupsi yang terjadi di semua elemen pemerintahan. Dilansir dari laman www.beritasepuluh.com, survei terbaru Transparency International yaitu “Barometer Korupsi Global”, menempatkan partai politik di Indonesia sebagai institusi terkorup dengan nilai 4,2 (dengan rentang penilaian 1-5, 5 untuk yang terkorup). Di kalangan negara terkorup Asia, Indonesia menduduki prestasi sebagai negara terkorup dengan skor 9.25 (terkorup 10) di atas India (8,9), Vietnam (8,67), Filipina (8,33) dan Thailand (7,33). Berdasarakan data tersebut, diketahui bahwa saat ini Indonesia memang sedang berada dalam krisis karakter jujur, terutama jika ditinjau dari maraknya kasus korupsi.

Untuk itu, perlu adanya penanaman pendidikan karakter sejak usia dini. Pendidikan karakter tidak sekedar mengajarkan mana yang benar dan mana yang salah kepada anak, tetapi lebih dari itu pendidikan karakter menanamkan kebiasaan (habituation) tentang yang baik sehingga peserta didik paham, mampu merasakan, dan mau melakukan yang baik. Jadi, pendidikan karakter ini membawa misi yang sama dengan pendidikan akhlak atau pendidikan moral (Lickona, 1992).

Usia kanak-kanak merupakan usia dimana semua yang diajarkan dapat diserap dengan cepat dan memiliki ikatan yang sangat kuat. Oleh karena itu, sangat penting untuk menanamkan karakter jujur sejak usia kanak-kanak. Dalam naskah akademik Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, jujur dideskripsikan sebagai perilaku yang dilaksanakan pada upaya menjadikan dirinya sebagai orang yang selalu dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan.

Penanaman karakter pada anak ini dapat dilakukan oleh lembaga keluarga, masyarakat dan sekolah, tetapi dalam kenyataannya karakter anak lebih banyak dibangun oleh tayangan media TV dan internet yang hanya menonjolkan sisi bisnis (Warsono, 2011).

Prosiding Konferensi Pendidikan Nasional “Penguatan Karakter Bangsa Melalui Inovasi Pendidikan di Era Digital”

212

Ular tangga merupakan permainan konvensional yang masih sering dimainkan oleh anak-anak, dan sebagian besar anak-anak menyukai permainan ini. Permainan ini dinilai mengasyikkan dan tidak membosankan karena banyak terdapat kejuta-kejutan tidak terduga saat memainkannya. Dengan demikian, penulis memiliki gagasan untuk menggunakan media “Ular Tangga Karakter” atau ular tangga karakter yang merupakan inovasi dari permainan ular tangga yang telah dimodifikasi agar dapat dijadikan sebagai media penanaman karakter jujur pada anak usia pendidikan dasar.

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, penelitian ini bertujuan untuk (1) menganalisis efektivitas media “Ular Tangga Karakter” sebagai penanaman karakter jujur pada anak usia pendidikan dasar.

METODE

Penelitian ini menggunakan desain embedded experimental model dengan teknik observasi, angket dan wawancara untuk mengumpulkan data. Lokasi penelitian adalah di Sekolah Dasar NU dan Sekolah Dasar Negeri Panggang, Daerah Istimewa Yogyakarta. Penentuan lokasi dipilih secara sengaja (purposive). Penelitian dilakukan selama 3 bulan dari bulan Mei hingga Juli 2018.

Populasi penelitian adalah anak usia sekolah dasar kelas 3 dan 4. Terpilih sebanyak 37 siswa kelas 3 dan 4 dari dua sekolah yang berbeda yang kemudian menjadi responden.

Data penelitian terdiri atas nilai dari angket dan hasil wawancara. Tingkat efektivitas media ular tangga karakter dapat diukur dengan menggunakan instrumen angket. Alat ukur yang digunakan yaitu berdasarkan nilai n-gain. Efektivitas berdasarkan jawaban responden terhadap 10 pertanyaan dengan pilihan jawaba tiap pernyataan menggunakan skala Linkert mulai dari 1 hingga 3 (1= setuju, 2= kurang setuju, dan 3= tidak setuju).

Selain itu efektivitas penggunaan media ular tangga karakter sebagai penanaman karakter jujur dapat menggunakan observasi langsung serta melalui wawancara. Hasil dari observasi dan wawancara kemudian dianalisis untuk didapatkan hasil. Data diolah menggunakan Microsoft Excel dan SPSS. Skor indeks dimasukkan dalam tiga kategori, yaitu tinggi (g > 0,70), sedang (0,3 < g ≤ 0,70) dan rendah (g ≤ 0,30). Data dianalisis secara statistik deskriptif menggunakan uji paired t-test.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Data dari hasil angket awal dan angket akhir yang disebarkan kepada siswa kemudian diolah dalam bentuk tabel. Tujuan pengolahan ini agar data yang diperoleh dapat memberikan arti dan penjelasan. Karakter jujur Untuk angket awal dan akhir, diperoleh data sebagai berikut. 1. Uji paired t-test

Variable Mean Std. Deviation t Sig. (2-tailed) Angket awal-angket akhir

-2.67568 2.75937 -5.898 .000

Hasil uji Paired T-Test pada angket awal dan angket akhir diperoleh nilai Sig. 0,000 yang berarti < 0,05. Hal ini menunjukan bahwa antara angket awal dan angket akhir, ternyata memiliki perbedaan yang signifikan, yang berarti adanya keberhasilan peningkatan karakter jujur siswa setelah memainkan permainan “Ular Tangga Karakter”.

2. Mengukur nilai n-gain

No Kategori Frekuensi Siswa Persentase 1 Tinggi 17 45.94% 2 Sedang 0 0% 3 Rendah 10 27.03% 4 Tetap 10 27.03% Total 37 100%

Prosiding Konferensi Pendidikan Nasional “Penguatan Karakter Bangsa Melalui Inovasi Pendidikan di Era Digital”

213

Dari hasil nilai n-gain terdapat sebanyak 27,03% pada kategori tetap. Hal ini menandakan bahwa

terdapat siswa yang tidak terjadi perubahan pada karakter jujur sebelum dan sesudah memainkan media “Ular Tangga Karakter”. Bentuk pendidikan karakter jujur yang terdapat dalam permainan ini yaitu jujur ketika menjalankan angka yang diperoleh, jujur ketika membaca cerita di kartu, jujur ketika dikotak (tidak lari ke kotak yang lain) dan jujur pada urutan bermain.

SIMPULAN

Permainan Ular Tangga Karakter dapat dijadikan sebagai media untuk menanamkan karakter jujur pada anak usia pendidikan dasar. Efektifitas kategori tinggi dengan menggunakan analisis nilai n-gain sebesar 45,94%.

DAFTAR PUSTAKA

Creswell, John W. 2010. Research Design: Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif dan Mixed. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Hake, R.R. 1998. Interactive Engagement V.S Traditional Methods: Six-Thousand Student Survey Of Mechanics Test Data For Introductory Physics Courses. American Journal of Physics. Vol. 66.No.1.

Lickona, Thomas. 1992. Educating for Character, How Our Schools Can Teach Respect and Responbility. New York: Bantam Books.

Mustari, Mohamad. 2011. Nilai Karakter Refleksi untuk Pendidikan Karakter. Yogyakarta: Laksbang Pressindo.

Vincent P. Colettaa, Interpreting FCI scores: Normalized gain, preinstruction scores, and scientific reasoning ability, 2005, Jurnal Internasional.

Warsono. 2011. Bunga Rampai Pendidikan Karakter Strategi Mendidik Generasi Masa Depan: Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa di Sekolah Dasar. Surabaya: Unesa Universty Press

Prosiding Konferensi Pendidikan Nasional “Penguatan Karakter Bangsa Melalui Inovasi Pendidikan di Era Digital”

214

IMPLEMENTASI PENDIDIKAN KARAKTER DALAM KONTEKS PEMBELAJARAN FORMAL

Tuti Hendriyani Universitas Negeri Malang [email protected]

Abstrak Pendidikan memiliki peran dalam pembentukan karakter peserta didik karena tujuan pendidikan nasional mengarah pada pengembangan karakter peserta didik. Pembentukan karakter peserta didik dapat diperoleh dari proses pembelajaran formal di sekolah. Pembelajaran merupakan pemberdayaan potensi peserta didik menjadi sebuah kompetensi. Suatu pembelajaran bisa dikatakan berhasil secara baik jika guru mampu memfasilitasi peserta didik menjadi berkarakter serta mampu menumbuhkembangkan kesadaran untuk belajar sehingga pengalaman yang diperoleh peserta didik selama proses pembelajaran itu dapat dirasakan manfaatnya. Pengembangan karakter peserta didik berkaitan dengan sikap, perkataan, dan tindakan. Untuk itu, dalam upaya mengembangkan pendidikan karakter, sekolah atau guru perlu memfasilitasi dan membantu siswa agar mereka memahami nilai-nilai, berkomitmen terhadap nilai-nilai, dan kemudian menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Menyadari pentingnya karakter, banyak pihak menuntut peningkatan intensitas dan kualitas pelaksanaan pendidikan karakter pada pendidikan formal. Peran dalam menciptakan pendidikan karakter tidak hanya dilakukan oleh guru namun seluruh komponen tenaga kependidikan juga memiliki peran dalam mengupayakan pendidikan karakter dalam konteks pembelajaran di sekolah. Lembaga pendidikan formal sebagai wadah resmi proses pembelajaran diharapkan dapat meningkatkan peranannya dalam pembentukan kepribadian peserta didik melalui peningkatan intensitas dan kualitas pendidikan karakter. Kata Kunci: Pendidikan Karakter, Pembelajaran

PENDAHULUAN

Pendidikan merupakan kepentingan masyarakat yang akhirnya menjadi kepentingan negara dalam mencapai kemajuan bangsa. Seperti yang tercantum dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional dalam bab 2 pasal 3 mendefinisikan pendidikan sebagai berikut: “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermatabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.” Berdasarkan hal tersebut maka lembaga pendidikan memiliki peran penting dalam mengembangkan kemampuan serta membentuk karakter peserta didik. Sehingga, pendidikan memiliki peran dalam pembentukan karakter peserta didik karena tujuan pendidikan nasional mengarah pada pengembangan karakter peserta didik.

Pengembangan karakter peserta didik dapat diperoleh dari proses pembelajaran formal di sekolah. Pembelajaran merupakan pemberdayaan potensi peserta didik menjadi sebuah kompetensi. Suatu pembelajaran bisa dikatakan berhasil secara baik jika guru mampu memfasilitasi peserta didik menjadi berkarakter serta mampu menumbuhkembangkan kesadaran untuk belajar sehingga pengalaman yang diperoleh peserta didik selama proses pembelajaran itu dapat dirasakan manfaatnya.

Munandar (dalam Suyono dan Hariyanto, 2011:207) menyatakan bahwa pembelajaran dikondisikan agar mampu mendorong kreativitas anak secara keseluruhan, membuat peserta didik aktif, mencapai tujuan pembelajaran secara efektif dan berlangsung dalam kondisi menyenangkan. Kondisi lingkungan sekitar peserta didik sangat berpengaruh terhadap kreativitas yang akan diciptakan oleh peserta didik. Disaat siswa merasa nyaman, maka tujuan pembelajaran akan lebih mudah untuk dicapai karena keberhasilan dalam proses pembelajaran dapat menumbuhkan suasana sekolah yang menyenangkan dan pembelajaran yang kondusif. Pembelajaran yang kondusif dapat meningkatkan konsentrasi peserta didik sehingga mampu mengoptimalkan kemampuan yang dimilikinya seperti kognitif, afektif dan

Prosiding Konferensi Pendidikan Nasional “Penguatan Karakter Bangsa Melalui Inovasi Pendidikan di Era Digital”

215

psikomotorik. Hal ini sesuai dengan pernyataan Abdurrahman (2007: 74) proses pembelajaran meliputi keseluruhan unsur baik kognitif, afektif dan psikomotorik.

Keseluruhan unsur kognitif, afektif dan psikomotorik sesuai dengan pengembangan karakter peserta didik yang berkaitan dengan sikap, perkataan, dan tindakan karena karakter yang baik terdiri dari pengetahuan yang baik, keinginan yang baik, dan perbuatan yang baik. Untuk itu, dalam upaya mengembangkan pendidikan karakter, sekolah atau guru perlu memfasilitasi dan membantu siswa agar mereka memahami dan berkomitmen terhadap nilai-nilai, dan kemudian menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, kegiatan pembelajaran bertujuan agar peserta didik mampu memahami nilai-nilai yang tercermin dalam perilaku. Perilaku tersebut dapat terbentuk melalui pendidikan karakter dalam pembelajaran di sekolah.

Kesuma (2013:5) mendefinisikan pendidikan karakter dalam setting sekolah sebagai “pembalajaran yang mengarah pada kekuatan dan pengembangan perilaku anak secara utuh yang didasarkan pada suatu nilai tertentu yang dirujuk oleh sekolah”. Oleh karena itu, implementasi pendidikan karakter sangat dipengaruhi oleh lingkungan pendidikan. Ramdani (2014) Hasil penelitiannya menunjukan bahwa lingkungan pendidikan memberikan pengaruh besar dalam pendidikan karakter sehingga penyelenggaraan pendidikan karakter perlu ditopang oleh lingkungan pendidikan yang baik agar mampu membendung ancaman hilangnya karakter.

Di era seperti sekarang ini, ancaman hilangnya karakter semakin nyata. Nilai-nilai karakter yang luhur mulai memudar karena masih ada beberapa permasalahan yang dialami peserta didik dalam bentuk tindak kriminal, seperti kekerasan, tawuran antar pelajar, minum-minuman keras, seks bebas, dan konsumsi obat-obatan terlarang, justru banyak dilakukan oleh anak-anak yang masih di bangku sekolah. Berdasarkan data dari KPAI Sekolah dasar tercatat paling sering menjadi kekerasan di dunia pendidikan selama tahun 2018, dengan persentase 50%, di susul SMA (34,7%) dan SMP (19,3%). (BBC, 2018)

Permasalahan ini, sudah jelas bertentangan dengan tujuan pendidikan yang menginginkan pelajarnya menjadi pelajar yang berakhlak mulia, bertaggung jawab serta beriman kepada Tuhan YME. Penanaman kembali secara detail, terstruktur, dan terprogram terhadap pendidikan yang berkarakter adalah alternatif pemecahan masalah untuk mengatasi permasalahan-permasalahan tersebut. Pendidikan karakter dapat diterapkan di segala jenjang pendidikan formal. Penumbuhan karakter sebagai ciri bangsa Indonesia ini, dapat tercermin dalam semua mata pelajaran yang mempunyai kewajiban untuk membentuk karakter peserta didik. Oleh karena itu pendidikan karakter dapat di implementasikan dalam pembelajaran formal. Berdasarkan hasil penelitian Usmeldi (2013) menunjukan bahwa pendidikan karakter melalui pembelajaran berbasis masalah efektif dalam meningkatkan hasil belajar fisika, yang ditinjau dari: (1) ketuntasan belajar siswa kelas eksperimen mencapai 87,5%. (2) peningkatan hasil belajar fisika siswa kelas eksperimen termasuk kategori sedang, (3) rata-rata skor hasil belajar fisika siswa kelas eksperimen lebih tinggi daripada siswa kelas kontrol, (4) Karakter positif sebagian besar siswa termasuk kategori mulai terlihat (59,6%) dan mulai berkembang (25,7%).

Berdasarkan hasil penelitian tersebut maka, pendidikan karakter dapat diimplikasikan pada mata pelajaran di sekolah. Sekolah sebagai media interaksi antara peserta didik dan guru dalam pembentukan karakter. Guru memberikan kesempatan pada siswa untuk melakukan internalisasi karakter positif yang dimiliki dan menunjukkannya dalam perilaku yang sesuai. Pendidikan karakter bukan sekedar mengajarkan mana yang benar dan mana yang salah. Pendidikan karakter menanamkan kebiasaan tentang hal mana yang baik sehingga siswa menjadi paham tentang apa yang benar dan salah, mampu merasakan nilai-nilai yang baik dan biasa melakukannya.

Menyadari pentingnya karakter, banyak pihak menuntut peningkatan intensitas dan kualitas pelaksanaan pendidikan karakter pada lembaga pendidikan formal. Lembaga pendidikan formal sebagai wadah resmi proses pembelajaran diharapkan dapat meningkatkan peranannya dalam pembentukan kepribadian peserta didik melalui peningkatan intensitas dan kualitas pendidikan karakter.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakter menurut bahasa (etimologis) istilah karakter berasal dari bahasa latin kharakter, kharassein, dan kharax, dalam bahasa yunani character dari kata charassein, yang berarti membuat tajam dan membuat dalam (Majid dalam Gunawan, 2012: 1). Karakter juga dapat dimaknai sebagai kepribadian, karakteristik, atau sifat khas dari seseorang. Menurut Winnie (Barnawi & Arifin, 2011: 21) istilah karakter memiliki dua pengertian, pertama menunjukan bagaimana seseorang bertingkahlaku. Apabila seseorang

Prosiding Konferensi Pendidikan Nasional “Penguatan Karakter Bangsa Melalui Inovasi Pendidikan di Era Digital”

216

berperilaku jujur dan suka menolong tentulah orang tersebut memanifestasikan karakter mulia. Kedua, istilah karakter erat kaitannya dengan “personality”. Seseorang baru bisa disebut “orang yang berkarakter” (a person of character) apabila tingkah lakunya sesuai dengan kaidah moral. Sedangkan menurut Gunawan (2012: 3) karakter adalah keadaan asli yang ada dalam diri individu seseorang yang membedakan antara dirinya dan orang lain. Seseorang yang perilakunya sesuai dengan norma-norma disebut berkarakter mulia. Karakter mulia berarti individu memiliki pengetahuan tentang dirinya, kesadaran untuk berbuat baik dan mampu bertindak sesuai potensinya. Oleh karena itu, untuk menumbuhkembangkan seseorang memiliki karakter mulia maka diperlukan adanya pembelajaran yang mencerminkan pendidikan karakter.

Pendidikan karakter merupakan pendidikan untuk membentuk kepribadian seseorang melalui pendidikan budi pekerti, yang hasilnya terlihat dalam tindakan nyata seseorang yaitu tingkahlaku yang baik, jujur bertanggung jawab, menghormati hak orang lain, kerja keras dan sebaginya (Lickona dalam Gunawan, 2012: 23). Sedangkan menurut Barnawi & Arifin (2012: 22) pendidikan karakter pada prinsipnya adalah upaya untuk menumbuhkan kepekaan dan tanggungjawab sosial, membangun kecerdasan emosional, dan mewujudkan siswa yang memiliki etika tinggi. Merujuk pada definisi diatas pendidikan karakter bertujuan membentuk individu yang berakhlak mulia, bermoral, serta mampu mengembangkan potensi dasar yang dimilikinya yang terwujud dalam perilaku.

Tumbuh dan berkembangnya karakter yang baik akan mendorong peserta didik tumbuh dengan kapasitas dan komitmen untuk melaksanakan berbagai hal yang terbaik dan melakukan segalanya dengan benar dan memiliki tujuan hidup. Karakter dikembangkan melalui tahap pengetahun (knowing), pelaksanaan (acting), dan kebiasaan (habit). Dengan demikian, diperlukan tiga komponen karakter yang baik (components of good character) yaitu moral knowing (pengetahuan tentang moral), moral feeling atau perasaan (penguatan emosi) tentang moral, dan moral action atau perbuatan bermoral (Fathurrohman dkk, 2013: 146). Pendidikan karakter menekankan pada kebiasaan yang terus-menerus dilakukan. Dalam pengintegrasian pendidikan karakter ke dalam mata pelajaran yang ada, hal yang perlu diperhatikan adalah proses belajar mengajar yang dilakukan guru dan peserta didik. Proses belajar mengajar sebagai proses interaksi peserta didik dengan lingkungan, seperti guru, wali kelas maupun seluruh kompenen yang ada di sekolah yang dapat membantu mewujudkan pendidikan karakter dalam proses pembelajaran.

Peran dalam menciptakan pendidikan karakter tidak hanya dilakukan oleh guru namun seluruh komponen tenaga kependidikan juga memiliki peran dalam mengupayakan pendidikan karakter dalam konteks pembelajaran di sekolah. Artinya pendidikan karakter disekolah tidak lagi terpisah dengan pendidikan yang sifatnya kognitif. Pada tingkat pendidikan dasar dan menengah, pendidikan karakter tidak harus menjadi mata pelajaran sendiri, tetapi menjadi salah satu bagian dari mata pelajaran secara terpadu.

Merurut Fathurrohman dkk (2013:149) pendidikan karakter secara terpadu di dalam pembelajaran adalah pengenalan nilai-nilai, fasilitasi diperolehnya kesadaran akan pentingnya nilai-nilai ke dalam tingkah laku peserta didik sehari-hari melalui proses pembelajaran baik yang berlangsung di dalam maupun di luar kelas pada semua mata pelajaran. Dalam struktur kurikulum pada dasarnya setiap mata pelajaran memuat materi-materi yang berkaitan dengan karakter. Secara subtantif terdapat dua mata pelajaran yang terkait langsung dengan pengembangan karakter yaitu Pendidikan Agama dan Pendidikan Kewarganegaraan. Kedua mata pelajaran tersebut merupakan mata pelajaran yang secara langsung mengenalkan nilai-nilai dan sampai taraf tertentu menjadikan peserta didik peduli dan menginternalisasi nilai-nilai. Pada setiap mata pelajaran perlu diselipkan poin-poin penting dalam pembentukan karakter diri peserta didik yang dapat diterapkan pada proses pembelajaran. Hal ini tentunya agar pencapaian yang menjadi tujuan dari pendidikan berkarakter dapat terwujud melalui proses pembelajaran.

Winataputra (2007: 1) menyatakan bahwa arti pembelajaran adalah kegiatan yang dilakukan untuk menginisiasi, memfasilitasi dan meningkatkan intensitas dan kualitas belajar pada diri peserta didik. Kegiatan pembelajaran sangat berkaitan erat dengan hasil belajar dan proses pembelajaran tersebut. Adapun menurut pendapat Aqib (2013: 66) proses pembelajaran adalah upaya secara sistematis yang dilakukan guru untuk mewujudkan proses pembelajaran berjalan secara efektif dan efisien yang dimulai dari perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi. Merujuk pada definisi diatas, maka dapat disimpulkan bahwa pembelajaran adalah suatu proses interaksi antara siswa dengan guru beserta seluruh sumber belajar lainnya yang menjadi sarana belajar guna mencapai tujuan yang diinginkan dalam rangka untuk perubahan sikap serta pola pikir siswa.

Prosiding Konferensi Pendidikan Nasional “Penguatan Karakter Bangsa Melalui Inovasi Pendidikan di Era Digital”

217

Implementasi Pendidikan Karakter dalam Pembelajaran Pendidikan karakter secara terigrasi di dalam mata pelajaran adalah pengenalan nilai-nilai,

diperolehnya kesadaran akan pentingnya nilai-nilai, dan mengimplementasikan nilai-nilai ke dalam tingkah laku peserta didik melalui proses pembelajaran, baik yang berlangsung di dalam maupun di luar kelas pada semua mata pelajaran. Implementasi pendidikan karakter di dalam proses pembelajaran dilaksanakan mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi pembelajaran pada semua mata pelajaran. Adapun penjabaran tahapan dalam pembelajaran berwawasan pendidikan karakter menurut Gunawan (2012: 224-226) sebagai berikut: A. Tahap Perencanaan

Pada tahap ini silabus, RPP dan bahan ajar disusun dan dirancang dengan berwawasan pendidikan karakter. Silabus, RPP, dan bahan ajar yang telah dibuat dengan mengadaptasi kegiatan pembelajarn yang bersifat memfasilitasi dikenalnya nilai-nilai, disadarinya pentingnya nilai-nilai dan diinternalisasinya nilai-nilai. Berikut adalah contoh model silabus, RPP dan bahan ajar yang telah mengintegraskan pendidikan karakter 1) Silabus pembelajaran

Silabus dikembangkan dengan rujukan Standar Isi Permen Diknas nomor 22 tahun 2006. Silabus tersebut memuat SK, KD, materi pembelajarn, kegiatan pembelajaran, indikator pencapaian, penilaian, alokasi waktu, dan sumber belajar. Materi pembelajaran, kegiatan pembelajaran, indikator pembelajaran, indikator pencapaian, penilaian, alokasi waktu, dan sumber belajar yang dirumuskan di dalam silabus pada dasarnya ditunjukan untuk memfasilitasi terjadinya pembelajaran yang membantu peserta didik menguasai SK/KD. Agar memfasilitasi terjadinya pembelajaran yang membantu peserta didik mengembangkan karakter, setidak-tidaknya perlu dilakukan perubahan pada tiga komponen silabus berikut: a) Penambahan dan/atau memodifikasi kegiatan pembelajaran sehingga ada kegiatan pembelajaran

yang mengembangkan karakter. b) Penambahan dan/atau modifikasi indikator pencapaian sehingga ada indikator yang terkait dengan

pencapaian peserta didik dalam hal karakter. c) Penambahan dan/atau modifikasi teknik penilaian yang dapat mengembangkan atau mengukur

perkembangan karakter.

2) Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) disusun berdasarkan silabus yang telah dikembangkan

oleh sekolah. RPP secara umum tersusun atas SK, KD, tujuan pembelajaran, materi pembelajaran, metode pembelajaran, langkah-langkah pembelajaran, sumber belajar, dan penilaian. Seperti yang terumuskan pada silabus, tujuan pembelajaran, materi pembelajaran, metode pembelajaran, langkah-langkah pembelajaran, sumber belajar, dan penilaian yang dikembangkan di dalam RPP pada dasarnya dipilih untuk menciptakan proses pembelajaran untuk mencapai SK dan KD. Oleh karena itu agar RPP menjadi petunjuk pada guru dalam menciptakan pembelajaran yang berwawasan pada pengembangan karakter, RPP perlu didaptasi. Seperti pada adaptasi terhdap silabus, adaptasi tersebut meliputi: a) Penambahan dan/atau memodifikasi kegiatan pembelajaran sehingga ada kegiatan pembelajaran

yang mengembangkan karakter. b) Penambahan dan/atau modifikasi indikator pencapaian sehingga ada indikator yang terkait dengan

pencapaian peserta didik dalam hal karakter. c) Penambahan dan/atau modifikasi teknik penilaian yang dapat mengembangkan atau mengukur

perkembangan karakter.

3) Bahan/buku Ajar Bahan buku ajar merupakan komponen pembelajaran yang paling berpengaruh terhadap apa yang

sesungguhnya terjadi pada proses pembelajaran. Banyak guru yang mengajar dengan semata-mata mengikuti urutan penyajian dan kegiatan-kegiatan pembelajaran (task ) tanpa melakukan adaptasi. Sesuai dengan silabus dan RPP yang berwawasan pendidikan karakter, bahan ajar perlu diadaptasi. Adaptasi yang mungkin dilakukan oleh guru adalah dengan cara menambah kegiatan pembelajaran yang sekaligus dapat mengembangkan karakter.

Prosiding Konferensi Pendidikan Nasional “Penguatan Karakter Bangsa Melalui Inovasi Pendidikan di Era Digital”

218

B. Pelaksanaan Kegiatan pembelajran dari tahapan kegiatan pendahuluan, inti, dan penutup dipilih dan

dilaksankan agar peserta didik mempraktekan nilai-nilai karakter yang ditargetkan. Pelaksanaan pembelajaran berbasis pendidikan karakter memiliki tiga tahapan kegiatan sebagai berikut: 1) Pendahuluan

Berdasarkan Standar Proses, pada kegiatan pendahuluan, guru: a) Menyiapkan peserta didik secara psikis dan fisik untuk mengikuti proses pembelajaran b) Mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang mengaitkan pengetahuan sebelumnya dengan materi

yang akan dipelajari c) Menjelaskan tujuan pembelajaran atau kompetensi dasar yang akan dicapai. d) Menyampaikan cakupan materi dan penjelasan uraian kegiatan sesuai silabus.

2) Inti Berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 41 Tahun 2007, kegiatan inti

pembelajaran terbagi atas tiga tahap, yaitu eksplorasi, elaborasi, dan konfirmasi. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa pada tahap eksplorasi peserta didik difasilitasi untuk memperoleh pengetahuan dan keterampilan dan mengembangkan sikap melalui kegiatan pembelajaran yang berpusat pada siswa. Pada tahap elaborasi, peserta didik diberi peluang untuk memperoleh pengetahuan dan keterampilan serta sikap lebih lanjut melalui sumber-sumber dan kegiatan-kegiatan pembelajaran lainnya sehingga pengetahuan, keterampilan, dan sikap peserta didik lebih luas dan dalam. Pada tahap konfirmasi, peserta didik memperoleh umpan balik atas kebenaran dan kelayakan dari pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang diperoleh oleh siswa. 3) Penutup

Dalam kegiatan penutup, guru: a) Bersama-sama dengan peserta didik dan/atau sendiri membuat rangkuman/simpulan pelajaran. b) Melakukan penilaian dan/atau refleksi terhadap kegiatan yang sudah dilaksanakan secara

konsisten dan terprogram. c) Memberikan umpan balik terhadap proses dan hasil pembelajaran. d) Merencanakan kegiatan tindak lanjut dalam bentuk pembelajaran remedi, program pengayaan,

layanan konseling dan/atau memberikan tugas, baik tugas individual maupun kelompok sesuai dengan hasil belajar peserta didik

e) Menyampaikan rencana pembelajaran pada pertemuan berikutnya. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan agar internalisasi nilai-nilai terjadi dengan lebih intensif

selama tahap penutup. a) Selain simpulan yang terkait dengan aspek pengetahuan, agar peserta didik difasilitasi membuat

pelajaran moral yang berharga yang dipetik dari pengetahuan/keterampilan dan/atau proses pembelajaran yang telah dilaluinya untuk memperoleh pengetahuan dan/atau keterampilan pada pelajaran tersebut.

b) Penilaian tidak hanya mengukur pencapaian siswa dalam pengetahuan dan keterampilan, tetapi juga pada perkembangan karakter mereka.

c) Umpan balik baik yang terkait dengan produk maupun proses, harus menyangkut baik kompetensi maupun karakter, dan dimulai dengan aspek-aspek positif yang ditunjukkan oleh siswa.

d) Karya-karya siswa dipajang untuk mengembangkan sikap saling menghargai karya orang lain dan rasa percaya diri.

e) Kegiatan tindak lanjut dalam bentuk pembelajaran remedi, program pengayaan, layanan konseling dan/atau memberikan tugas baik tugas individual maupun kelompok diberikan dalam rangka tidak hanya terkait dengan pengembangan kemampuan intelektual, tetapi juga kepribadian.

f) Berdoa pada akhir pelajaran.

C. Evaluaasi Pembelajaran Pada dasarnya authentic assessment diaplikasikan. Teknik dan instrument penilaian yang dipilih

dan dilaksanakan tidak hanya mengukur pencapaian akademik/kognitif siswa, tetapi juga mengukur perkembangan kepribadian siswa. Bahkan perlu diupayakan bahwa teknik penilaian yang diaplikasikan mengembangkan kepribadian siswa sekaligus. Pedoman penilaian untuk lima kelompok mata pelajaran

Prosiding Konferensi Pendidikan Nasional “Penguatan Karakter Bangsa Melalui Inovasi Pendidikan di Era Digital”

219

yang diterbitkan oleh BSNP tahun 2007 menyebutkan bahwa sejumlah teknik penilaian dianjurkan untuk dipakai oleh guru menurut kebutuhan.

Penjabaran Nilai-Nilai Karakter dalam Mata Pelajaran

Setiap mata pelajaran memfokuskan pada penenaman nilai-nilai tertentu terkait dengan karakteristik mata pelajaran yang bersangkutan. Pembelajaran yang dilakukan dalam pendidikan formal memiliki nilai yang ditamankan oleh guru terhadap peserta didik berdasarkan mata pelajaran tertentu yang mengacu pada pendidikan karakter. Pendidikan karakter dapat ditumbuh kembangkan melalui proses pembelajaran. Oleh karena itu, dalam menumbuhkembangkan karakter pada peserta didik tidak hanya melalui mata pelajaran Pendidikan Agama dan PPKN saja, namun melalui semua mata pelajaran agar hasil yang ingin dicapai lebih optimal. Adapun penjabaran nilai yang tertanam dalam setiap mata pelajaran dalam proses pembelajaran formal sebagai berikut:

Tabel : Distribusi nilai-nilai karakter dalam mata pelajaran No Mata pelajaran Nilai yang ditanamkan 1 Pendidikan Agama Islam Religius, jujur, santun, disiplin, bertanggungjawab, cinta ilmu,

ingin tahu, percaya diri, menghargai keberagaman, patuh pada aturan sosial, bergaya hidup sehat, sadar akan hak dan kewajiban, kerja keras, peduli

2 PPKN Nasionalis, patuh pada aturan sosial, demokratis, jujur, menghargai keberagaman, sadar akan hak dan kewajiban diri dan orang lain

3 Bahasa Indonesia Berfikir logis, kritis, kreatif dan inovatif, percaya diri, bertanggung jawab, ingin tahu, santun, nasionalis

4 Matematika Berfikir kritis, jujur, kerja keras, ingin tahu, mandiri, percaya diri

5 Ilmu Pengetahuan Sosial Nasionalis, menghargai keberagaman, berfikir logis, kritis, kreatif, dan inovatif, peduli sosial dan lingkungan, berjiwa wirausaha, jujur, kerja keras

6 Ilmu Pengetahuan Alam Ingin tahu, berfikir logis, kritis, logis, kreatif dan inovatif, jujur, bergaya hidup sehat, percaya diri, menghargai keberagaman, disiplin, mandiri, bertanggung jawab, peduli lingkungan, cinta ilmu

7 Bahasa Inggris Menghargai keberagaman, santun percaya diri,mandiri, kerjasama, patuh pada aturan sosial

8 Seni Budaya Menghargai keberagaman, nasionalis, menghargai karya orang lain, ingin tahu, jujur, disiplin, demokratis

9 Penjaskes Bergaya hidup sehat, kerja keras, disiplin, jujur, percaya diri, mandiri, menghargai karya dan prestasi orang lain

10 TIK/Keterampilan Berfikir logis, kritis, kreatif dan inovatif, mandiri, bertanggung jawab, dan menghargai karya orang lain

11 Muatan Lokal Menghargai keberagaman, menghargai karya orang lain, nasionalis,peduli

Sumber : Gunawan (2012: 223) Berdasarkan tabel diatas, dapat disimpulkan bahwa pengembangan karekter peserta didik dapat

melalui pembelajaran formal di sekolah. Setiap mata pelajaran memiliki nilai-nilai yang ditanamkan untuk menumbuhkembangkan karakter pada diri peserta didik. Oleh karena itu, guru dan komponen sekolah memiliki peran mengimplementasikan pendidikan karakter di sekolah melalui kegiatan pembelajaran. Kegiatan pembelajaran dalam rangka pengembangan karakter peserta didik dapat menggunakan pendekatan kontekstual sebagai konsep proses belajar dan mengajar yang mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata, sehingga peserta didik mampu untuk membuat hubungan antara pengetahuan yang dimiliki dengan penerapan dalam kehidupan mereka. Pembelajaran kontekstual mencakup beberapa strategi yaitu pembelajarn berbasis masalah, pembelajarn kooperatif, pembelajaran berbasis proyek pembelajaran pelayanan dan pembelajaran berbasis kerja. Kelima strategi tersebut dapat memberikan nurturant effect pengembangan karakter peserta didik, seperti katakter cerdas, berpikir terbuka, tanggung jawab dan rasa ingin tahu (Gunawan, 2012: 195).

Barnawi & Arifin (2012: 67) ada empat model yang ditawarkan untuk mengimplementasikan pendidikan karakter di sekolah. Pertama, model otonomi, yaitu dengan menempatkan pendidikan karakter

Prosiding Konferensi Pendidikan Nasional “Penguatan Karakter Bangsa Melalui Inovasi Pendidikan di Era Digital”

220

sebagai mata pelajaran tersendiri. Kedua, model integrasi dengan menyatukan nilai-nilai dan karakter-karakter yang akan dibentuk dalam setiap mata pelajaran. Ketiga, model ekstrakulikuler melalui sebuah kegiatan tambahan yang berorientasi pembinaan karakter siswa. Keempat, model kolaborasi dengan menggabungkan model tersebut dalam seluruh kegiatan sekolah.

Amri dkk (2011: 57) menyatakan bahwa tujuan model pendidikan berbasis karakter adalah membentukan manusia yang utuh yang berkarakter, yaitu mengembangkan aspek fisik, emosi, sosial, kreativitas, spiritual, dan intelektual peserta didik secara optimal. Adapun langkah yang dapat dilakukan sebagai berikut: a. Menerapkan metode belajar yang melibatkan partisipasi aktif peserta didik, yaitu metode yang dapat

meningkatkan motivasi peserta didikkarena seluruh dimensi manusia terlibat secara aktif dengan diberikan materi pelajaran yang konkrit, bermakna, serta relevan dalam konteks kehidupannya (student active learning, contextual learning, inquiry-based learning, integrated learning).

b. Menciptakan lingkungan belajar yang kondusif (condicive learning community),sehingga peserta didik dapat belajar secara efektif di dalam suasana yang memberikan rasa aman, penghargaan, tanpa ancaman, dan memberikan semangat.

c. Memberikan pendidikan karakter secara eksplisit, sistematis, dan berkesinambungan. Metode pengajaran yang memperhatikan keunikan masing-masing peserta didik, yang

menerapkan seluruh aspek kecerdasan manusia.

SIMPULAN

Lembaga pendidikan memiliki peran penting dalam mengembangkan kemampuan serta membentuk karakter peserta didik. Sehingga, pendidikan memiliki peran dalam pembentukan karakter peserta didik karena tujuan pendidikan nasional mengarah pada pengembangan karakter peserta didik. Pengembangan karakter peserta didik dapat diperoleh dari proses pembelajaran formal di sekolah. Pendidikan karakter perlu untuk ditumbuhkembangkan melalui pendidikan di sekolah karena di era milenial seperti sekarang ini, ancaman hilangnya karakter semakin nyata. Nilai-nilai karakter yang luhur mulai memudar karena masih ada beberapa permasalahan yang dialami peserta didik dalam bentuk tindak kriminal, seperti kekerasan, tawuran antar pelajar, minum-minuman keras, seks bebas, dan konsumsi obat-obatan terlarang, justru banyak dilakukan oleh anak-anak yang masih di bangku sekolah. Penanaman kembali secara detail, terstruktur, dan terprogram terhadap pendidikan yang berkarakter adalah alternatif pemecahan masalah untuk mengatasi permasalahan-permasalahan tersebut. Pendidikan karakter dapat diterapkan di segala jenjang pendidikan formal. Penumbuhan karakter sebagai ciri bangsa Indonesia ini, dapat tercermin dalam semua mata pelajaran yang mempunyai kewajiban untuk membentuk karakter peserta didik.

Sekolah sebagai media interaksi antara peserta didik dan guru dalam pembentukan karakter. Guru memberikan kesempatan pada siswa untuk melakukan internalisasi karakter positif yang dimiliki dan menunjukkannya dalam perilaku yang sesuai. Pendidikan karakter bukan sekedar mengajarkan mana yang benar dan mana yang salah. Pendidikan karakter di sekolah dapat tercermin dalam setiap mata pelajaran. Setiap mata pelajaran memfokuskan pada penenaman nilai-nilai tertentu terkait dengan karakteristik mata pelajaran yang bersangkutan. Pembelajran yang dilakukan dalam pendidikan formal memiliki nilai yang ditamankan oleh guru terhadap peserta didik berdasarkan mata pelajaran tertentu yang mengacu pada pendidikan karakter. Pendidikan karakter dapat ditumbuh kembangkan melalui proses pembelajaran.

Pendidikan karakter menanamkan kebiasaan tentang hal mana yang baik sehingga siswa menjadi paham tentang apa yang benar dan salah, mampu merasakan nilai-nilai yang baik dan biasa melakukannya. Menyadari pentingnya karakter, banyak pihak menuntut peningkatan intensitas dan kualitas pelaksanaan pendidikan karakter pada lembaga pendidikan formal. Lembaga pendidikan formal sebagai wadah resmi proses pembelajaran diharapkan dapat meningkatkan peranannya dalam pembentukan kepribadian peserta didik melalui peningkatan intensitas dan kualitas pendidikan karakter.

Prosiding Konferensi Pendidikan Nasional “Penguatan Karakter Bangsa Melalui Inovasi Pendidikan di Era Digital”

221

DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman. 2007. Meaningful Learning Re-Invensi Kebermaknaan Pembelajaran. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Amri dkk. 2011. Implementasi Pendidikan Karakter dalam Pembelajaran: Strategi Analisis dan Pengembangan Karakter Siswa dalam Proses Pembelajaran. Jakarta: Prestasi Pustakarata.

Aqib, Zainal. 2013. Model-model, Media, dan Strategi Pembelajaran Kontekstual (Inovatif). Bandung : Yrama Widya.

Barnawi dan Arifin, M. 2012. Strategi Dan Kebijakan Pembelajaran Pendidikan Karakter. Yogyakrta: Ar-Ruzz Media.

BBC. 2018. Kekerasan terhadap siswa masih marak, guru berdalih ‘demi kedisiplinan'. https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-44925805. Diakses 1 September 2018.

Departemen Pendidikan Nasional. 2003. Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidian Nasional.

Fathurrohman, Pupuh dkk. 2013. Pengembangan Pendidikan Karakter. Bandung: PT Refika Aditama Gunawan, Heri. 2012. Pendidikan Karakter Konsep Dan Implementasi. Bandung: Alfabeta Kesuma, Dharma dkk. 2013. Pendidikan Karakter Kajian Teori Dan Praktik Di Sekolah. Bandung: PT

Remaja Rosda karya Ramdhani, Muhammad Ali. 2014. Lingkungan Pendidikan dalam Implementasi Pendidikan Karakter.

Jurnal Pendidikan Universitas Garut Vol. 08; No. 01; 2014; 28-37 Suyono dan Hariyanto. 2011. Belajar dan Pembelajaran Teori dan Konsep Dasar. Surabaya : Rosda. Usmeldi. 2013. Penerapan Pendidikan Karakter Melalui Pembelajaran Berbasis Masalah untuk

Meningkatkan Kompetensi Fisika Siswa SMK Negeri 1 Padang. Prosiding Semirata FMIPA Universitas Lampung

Winataputra, Udin S. 2007. Teori Belajar dan Pembelajaran. Jakarta : Universitas Terbuka.

Prosiding Konferensi Pendidikan Nasional “Penguatan Karakter Bangsa Melalui Inovasi Pendidikan di Era Digital”

222

PENDIDIKAN KARAKTER TEPA SALIRA BERBASIS EXPERIENTAL LEARNING DALAM BIMBINGAN KELOMPOK

Ulung Giri Sutikno1, Erna Irmawati2, Fidya Ahlania3

1,2,3Universitas Negeri Semarang [email protected]

[email protected] [email protected]

Abstrak Tepa salira adalah sebuah tindakan atau perbuatan yang merupakan gabungan dari toleransi dan tenggang rasa, sedangkan toleransi adalah bagaimana kita bisa menjaga perasaan diri terhadap perbuatan orang lain ditengah-tengah lingkungan yang multikultur. Kondisi lingkungan di Indonesia sangat beragam yang terdiri dari berbagai macam budaya, oleh karena itu penanaman pendidikan karakter tepa salira pada peserta didik sangat penting. Pendidikan karakter sangat penting diterapkan di sekolah. Tulisan ini menganalisis bahwa tahapan dalam layanan bimbingan kelompok berbasis experiental learning dapat mengembangkan karakter tepa salira pada peserta didik. Banyaknya kasus penyimpangan nilai moral perilaku peserta didik yang terjadi akibat rendahnya karakter tepa salira . Pembelajaran di sekolah terkesan hanya bermuara pada capaian akademik saja, sedangkan capaian pribadi yang unggul diabaikan. Bimbingan dan konseling sebagai komponen dan pilar pendidikan di sekolah sesungguhnya dapat mengambil peranan dalam pengembangan karakter peserta didik. Salah satu layanan bimbingan dan konseling yang memuat pendidikan karakter tepa salira adalah bimbingan kelompok. Hal ini dikarenakan dalam setiap tahapan pelaksanaan bimbingan kelompok memuat pengembangan karakter tepa salira. Dalam implementasinya harus dikolaborasikan dan berbasis pendekatan experiental learning agar muatan karakter tepa salira lebih mengena dan bermakna pada diri konseli. Kata Kunci: Tepa salira, Experiental Learning, Bimbingan Kelompok

PENDAHULUAN

Pentingnya pendidikan karakter peserta didik di sekolah menjadi salah satu tujuan pendidikan yang ada di Indonesia. Permasalahan karakter peserta didik muncul saat sekolah tidak berhasil dalam mengembangkan karakter peserta didik secara maksimal. Permasalahan karakter peserta didik yang sering mucul di sekolah meliputi perilaku menyontek, berperilaku tidak sopan terhadap guru, tidak memiliki rasa empati terhadap teman hingga perilaku bulliying.

Kegagalan dalam penanaman karakter peserta didik tidak bisa begitu saja dititikberatkan pada sekolah. Faktanya anak lebih banyak menghabiskan waktu ditengah-tengah keluarga dan di masyarakat dibanding di sekolah. Ki Hajar Dewantoro menekankan bahwa proses pendidikan berlangsung di tri pusat pendidikan yaitu: keluarga, sekolah dan masyarakat. Namun saat muncul perilaku negatif peserta didik masayarakat cenderung mengaitkan dengan peran dan tugas sekolah.

Pendidikan di Indonesia berupaya mengejar ketertinggalan mutu pendidikan dibanding negara lain melalui peningkatan mutu akademis. Hal tersebut dilakukan melalui penggunaan berbagai perangkat pendidikan yang canggih untuk memudahkan guru maupun peserta didik dalam kegiatan belajar mengajar. Apabila dicermati lebih dalam, perkembangan pembelajaran sekolah lebih didominasi oleh aspek kognitif seperti kemampuan guru dalam menggunakan teknologi pembelajaran untuk meningkatkan kognitif peserta didik, maupun kemampuan peserta didik itu sendiri yang mengharuskan mampu menguasai berbagai teknologi informasi dan komunikasi untuk menunjuang proses pembelajaran. Kemajuan tersebut belum diimbangi dengan aspek afektif seperti karakter peserta didik, sehingga sering terjadi permasalahan yang berkaitan dengan karakter peserta didik.

Salah satu karakter peserta didik yang perlu dikembangkan yaitu tepa salira. Sebagaimana diketahui tepa salira merupakan sikap yang menunjukan dapat menjaga perasaan orang lain sehingga tidak menyinggung. Maraknya perilaku negatif yang terjadi di sekolah seperti bulliying, menandakan rendahnya kesadaran dalam memaknai perbedaan yang ada. Oleh karena itu, perlu adanya pendidikan karakter tepa

Prosiding Konferensi Pendidikan Nasional “Penguatan Karakter Bangsa Melalui Inovasi Pendidikan di Era Digital”

223

salira pada peserta didik di sekolah. Salah satu upaya yang dapat dilakukan oleh pihak sekolah adalah melalui peran bimbingan dan konseling.

Bimbingan dan Konseling merupakan salah satu komponen penting dalam pendidikan. Bimbingan dan konseling memiliki peran dan fungsi dalam pembentukan karakter peserta didik melalui kegiatan layanan yang diselenggarakan, salah satu layanan dalam bimbingan dan konseling adalah bimbingan kelompok. Bimbingan kelompok dilakukan dengan memanfaatkan dinamika kelompok.Di setiap tahapan pelaksanaan bimbingan kelompok, peserta didik diajarkan mengembangkan karakter tepa salira. Layanan bimbingan kelompok berbasis experiental learning merupakan alternatif dalam pengembangan karakter tepa salira pada peserta didik. Sehingga penulis tertarik untuk menganalisis tahapan dalam bimbingan kelompok berbasis experiental learning yang berpeluang untuk meningkatkan pendidikan karakter pada peserta didik.

METODE

Pada penelitian ini menggunakan metode studi kepustakaan merupakan usaha yang dilakukan oleh peneliti untuk memperoleh informasi yang berhubungan dengan masalah yang sedang diteliti. Informasi yang dapat diperoleh dari buku, laporan penelitian, karangan ilmiah, tesis atau disertasi, peraturan-peraturan, ketetapan-ketetapan, ensiklopedia dan sumber tertulis lainnya. Teori yang mendasari masalah yang akan diteliti dapat ditemukan melalui dengan melakukan studi pustaka. Strategi dalam melakukan studi kepustakaan peneliti sebaiknya menentukan terlebih dahulu sumber informasi yang akan diperiksa.

Penelitian studi pustaka ini menganalisis bimbingan kelompok berbasis metode pembelajaran experiental learning dapat meningkatkan karakter tepa salira pada peserta didik. Studi pustaka pada bimbingan kelompok, dikaji setiap tahapan yang dilakukan dalam layanan bimbingan kelompok yang diarahkan untuk mengembangkan nilai-nilai karakter tepa salira dalam bimbingan kelompok, peserta didik pada kegiatan ini diajak untuk merasakan pengalaman secara langsung. Studi pustaka dalam bimbingan kelompok berbasis experiental learning memudahkan guru bimbingan dan konseling untuk mengembangkan karakter yang tepa salira pada peserta didik.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakter Tepa Salira

Tepa salira merupakan salah satu filosofi kebudayaan jawa yang menitikberatkan pada sikap toleransi menjaga perasaan orang lain bahkan berusaha membantu permasalahan yang dihadapi orang lain agar tertuntaskan. Sikap tersebut sangat penting dimiliki oleh masayarakat Indonesia, adanya keberagaman suku dan budaya rentan terjadi perselisihan, kesalahpahaman, sikap stereotip terhadap perbedaan lain. Hal tersebut dapat memecah persatuan Indonesia jika tidak diimbangi dengan sikap saling menghargai (toleransi). Secara mendalam, tepa salira merupakan kemampuan untuk merasakan (menjaga) perasaan (beban orang lain) sehingga tidak menyinggung perasaan atau dapat meringankan beban orang lain. Selain itu, menurut Bratakesava dalam Darmita yang dikutip Andayani menyebutkan bahwa tepa salira merupakan tingkatan ketiga setelah nandhang salira dan ngukur salira. Pendidikan Karakter

Pendidikan karakter di sekolah dinilai penting dalam membentuk jati diri bangsa. Karena yang berkarakter adalah cita-cita luhur bangsa Indonesia. Menurut Fitri dalam (Haryati, tt) pendidikan karakter dapat diintegrasikan dalam setiap mata pelajaran. Artinya setiap mata pelajaran yang diajarkan di sekolah berpeluang memberikan pendidikan karakter kepada siswa melalui pemberian contoh nyata yang berkaitan dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu materi pembelajaran yang memuat nilai, norma penting untuk diimplisitkan, dicantumkan maupun diasosiasikan dengan kehidupan sekitar agar lebih konkrit bagi siswa. Upaya pendidikan karakter di sekolah telah mendapat dukungan penuh dari pihak Pemerintah dengan memberlakukan Kurikulum yang memuat pendidikan karakter pada setiap mata pelajaran. Hal tersebut merupakan wujud kepedulian pemerintah terhadap aspek karakter yang dipandang penting bagi pertumbuhan dan perkembangan peserta didik dalam mencapai tujuan nasional pendidikan maupun cita-cita pendidikan nasional.

Prosiding Konferensi Pendidikan Nasional “Penguatan Karakter Bangsa Melalui Inovasi Pendidikan di Era Digital”

224

Hakikat Karakteristik Peserta Didik Peserta didik adalah subjek pertama dalam layanan bimbingan konseling di sekolah. Sebagai

subjek layanan karakteristik peserta didik menjadi dasar pertimbangan dalam rancang serta melaksanakan layanan di sekolah. Karakteristik peserta didik secara umum sering diartikan sebagai perilaku kejiwaan, budi pekerti, akhlak yang menjadi ciri khas seseorang yang menyebabkan dirinya memiliki watak untuk bertindak. Selain itu karakter dalam arti sempit sebagai kebiaasan dari perilaku seseorang yang sering dilakukan setiap hari. Pada hakikatnya karakter merupakan sesuatu hal yang dipelajari dari interaksi lingkungan sekitar. Secara umum pada karakter manusia termasuk peserta didik memiliki dua kutub yang bertolak belakang, yakni karakter baik dan karakter buruk. Secara ideal, karakteristik peserta didik remaja tidak jauh dari karakteristik peserta didik pada jenjang sekolah menengah.

Karakteristik peserta didik diartikan sebagai ciri yang melekat pada peserta didik yang bersifat khas dan membedakan peserta didik satu dengan yang lainnya. Karakteristik peserta didik meliputi aspek-aspek fisik, kognitif, sosial, emosi, moral, dan religius. Pada aspek fisik peseta didik pada masa remaja telah mencapai kematangan fisik diiringi dengan perkembangan psikoseksual, sedangkan pada aspek kognitif perkembangan pemikiran peserta didik mulai menunjukkan kemampuan berfikir logis yang lebih baik dan mulai mampu menghubungkan sebab akibat. Peserta didik cenderung berfikir secara ideal, sehingga seringkali mengkritisi maupun menentang pemikiran orang lain.

Dalam aspek sosial peserta didik mulai tumbuh kemampuan memahami orang lain. Kemampuan tersebut mendorong peserta didik untuk menjalin hubungan sosial dengan teman sebaya dan seringkali menciptakan identitas kelompok. Dalam aspek sosial peserta didik ditandai dengan sikap konformitas. Konformitas dapat berdampak positif maupun negatif. Terdapat beberapa sikap yang seringkali ditampilkan peserta didik pada usia remaja antara lain kompetisi atau persaingan, konformitas, menarik perhatian, menentang otoritas, menolak aturan dan campur tangan orang dewasa dalam urusan pribadinya. Di lingkungan sekolah peserta didik tidak hanya berhubungan dengan teman sebaya namun juga dengan guru dan staf di sekolah, hubungan sosial dengan masyarakat. Hal tersebut yang menjadikan karakter tepa salira perlu dikembangkan.

Aspek emosi pada peserta didik digambarkan dalam keadaan yang tidak menentu, tidak stabil dan emosi yang meledak-ledak. Sedangkan pada aspek moral melalui pengalaman berinteraksi sosial dengan orang tua, guru, teman sebaya dan masyarakat, peserta didik mulai dapat mengendalikan diri. Pada aspek religius peserta didik mulai meyakini agama dan melakukan ibadah sesuai aturan agama. Pendekatan Experiental Learning

Paradigma pelayanan bimbingan dan konseling adalah Psikopaedagogis Berbingkai Budaya. Paradigma itulah yang menjadi pembeda bimbingan dan konseling dengan pelajaran yang ada di sekolah. Makna dari paradigma tersebut adalah Pemaksimalan potensi siswa melalui pendidikan yang bernuansa psikologis dengan memperhatikan keunikan dan ciri khas budaya yang ada pada masing-masing peserta didik. Pendidikan adalah mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran, oleh karena itu tugas guru bimbingan dan konseling atau seorang konselor adalah menciptakan suasana layanan yang hangat dan bersahabat dengan peserta didik dalam proses layanan yang efektif dan efisien.

Ada banyak model pembelajaran yang sering dipakai dalam dunia pendidikan. Salah satu model pembelajaran yang dapat dikaitkan dengan layanan bimbingan dan konseling di sekolah adalah model pembelajara experiental learning. Model pembelajaran experiental learning ini peserta didik akan belajar dari pengalaman. Model ini akan bermakna bila siswa berperan serta dalam melakukan kegiatan. Model pembelajaran Experiential Learning dapat meningkatkan semangat belajar karena belajar bersifat aktif mendorong serta mengembangkan berpikir kritis karena siswa partisipatif untuk menemukan sesuatu serta mengambil tindakan solusi yang paling tepat untuk penyelesaian suatu masalah.

Model belajar dari pengalaman dilakukan melalui tahapan sebagai berikut : 1) Tahap Pengalaman Konkret, proses belajar dimulai dari pengalaman konkret yang dialami

peserta didik. Pada tahap ini, seorang peserta didik diupayakan ikut mengalami suatu kejadian, dimana peserta didik belum mengerti bagaimana dan mengapa suatu kejadian harus terjadi seperti itu.

2) Tahap Observasi Refleksi, pengalaman konkret tersebut kemudian direfleksikan secara individu. Dalam proses refleksi, para peserta didik akan berusaha memahami apa yang terjadi atau apa yang dialaminya.

Prosiding Konferensi Pendidikan Nasional “Penguatan Karakter Bangsa Melalui Inovasi Pendidikan di Era Digital”

225

3) Tahap Konseptualisasi atau berpikir abstrak, proses refleksi menjadi dasar proses konseptualisasi atau proses pemahaman prinsip-prinsip yang mendasari pengalaman yang dialami serta perkiraan kemungkinan aplikasinya dalam situasi atau konteks yang lain (baru). Pada tahap ini, peserta didik mulai belajar membuat abstraksi atau “teori” tentang hal yang pernah diamatinya. Diharapkan pada tahap ini peserta didik sudah mampu untuk membuat aturan-atuan umum dari berbagai contoh kejadian yang meskipun tampak berbeda-beda tetapi mempunyai landasan aturan yang sama.

4) Tahap Pengalaman aktif atau penerapan, proses implementasi merupakan situasi dan konteks yang memungkinkan penerapan konsep yang sudah dikuasai. Kemungkinan belajar melalui pengalaman-pengalaman nyata kemudian direfleksikan dengan mengkaji ulang apa yang telah dilakukannya tersebut.

Model pembelajaran David Kolb didasarkan pada Teori Pembelajaran Eksperiensial (Experiential Learning Theory). Model ELT menggarisbawahi dua pendekatan yang saling berkaitan dalam memahami pengalaman, yaitu pengalaman konkret dan pengalaman konseptualisasi abstrak, serta dua pendekatan dalam mengubah pengalaman, yaitu observasi reflektif dan eksperimentasi aktif.Karakteristik Experiential Learning David Kolb (1984: 25-37) berpendapat bahwa “There Is Six Characteristic of Experiental Learning”. Experiential Learning mempunyai enam karakteristik utama: (a) Belajar merupakan suatu proses bukan hasil, (b) Belajar merupakan proses yang berkesinambungan didasarkan pada pengalaman, (c) Belajar memerlukan resolusi konfik antara gaya yang berlawanan secara dialektis, (d) Belajar adalah suatu proses yang holistik, (e) Belajar melibatkan hubungan antara seseorang dengan lingkungan, dan (f) Belajar adalah proses tentang menciptakan pengetahuan.

Experiential learning merupakan pendekatan belajar dari pengalaman yang konkrit, dengan cara bermain, bermain peran, simulasi, dan diskusi kelompok. Dimana terjadi kombinasi antara mendengar, melihat dan mengalami. Dalam experiental learning pengalaman menjadi sentral dalam proses belajar. Fokus itulah yang membedakan experiental learning dengan model pembelajaran lainnya.

Istilah “experiential learning” disini untuk membedakan antara teori belajar kognitif yang cenderung menekankan kognisi lebih daripada afektif, dan teori belajar behavior yang menghilangkan peran pengalaman subyektif dalam proses belajar.Teori ini mendefinisikan belajar sebagai proses dimana pengetahuan diciptakan melalui transformasi pengalaman (experience). Pengetahuan merupakan hasil perpaduan antara memahami dan mentransformasi pengalaman (Kolb, 1984).

Dalam konteks bimbingan dan konseling model experiental learning memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk menentukan pengalaman apa yang menjadi fokus mereka, keterampilan-keterampilan apa yang mereka ingin kembangkan, serta peserta didik belajar membuat konsep dari pengalaman yang dialami. Hal ini yang berbeda dari pendekatan konseling yang bersifat tradisional, konseli pasif hanya mendengarkan konselor tidak terlibat seutuhnya dalam proses layanan yang diberikan. Layanan Bimbingan Kelompok

Bimbingan kelompok merupakan suatu bentuk layanan bimbingan konseling dimana siswa diajak secara bersama sama untuk saling bertukar informasi tentang topik-topik yang dibicarakan dan mengembangkan bersama permasalahan yang dibicarakan pada kelompok. Hal ini diperkuat dengan apa yang disampaikan oleh Gazda dalam Prayitno (2004:309) mengungkapkan bahwa bimbingan kelompok merupakan kegiatan informasi kepada sekelompok siswa untuk membantu mereka menyusun rencana dan keputusan yang tepat. Selanjutnya ditegaskan bahwa layanan bimbingan kelompok dimaksudkan untuk memungkinkan siswa secara bersama-sama memperoleh berbagai bahan dari nara sumber (terutama dari Guru bimbingan dan konseling) yang bermanfaat untuk kehidupan sehari-hari baik sebagai individu maupun sebagai pelajar, anggota keluarga dan masyarakat (Sukardi, 2003:48).

Melalui bimbingan kelompok ini secara langsung peserta didik berperan sebagai anggota kelompok belajar berperilaku dalam berinteraksi dengan orang lain dan mengembangkan hubungan interpersonal dengan sesama. Prayitno (2004:3) mengungkapkan terdapat tujuh tujuan pelaksanaan bimbingan kelompok: (1) melatih untuk berani berpendapat, (2) dapat bersikap terbuka, (3) dapat membina hubungan akrab, (4) melatih peserta didik mengendalikan diri dalam kelompok, (5) dapat bersikap tenggang rasa dengan orang lain, (6) peserta didik memperoleh ketrampilan sosial, dan (7) peserta didik mampu mengenali dan memahami dirinya dan orang lain. Dari ketujuh tujuan layanan bimbingan kelompok setidaknya terdapat tujuan bimbingan kelompok dalam pembentukan karakter tepa salira bagi peserta

Prosiding Konferensi Pendidikan Nasional “Penguatan Karakter Bangsa Melalui Inovasi Pendidikan di Era Digital”

226

didik. Karakter tepa salira tersebut diwujudkan dalam bentuk perilaku anggota kelompok dalam proses penyampaian pendapat hendaknya menghargai, menghormati pendapat orang lain serta mampu menjaga hubungan baik melalui sikap saling tolong menolong, berbagi informasi, dan berempati.

Proses berkembangnya karakter tepa salira anggota kelompok terjadi pada keseluruhan tahapan bimbingan kelompok. Dalam hal ini yang menjadi dasar penerapan bimbingan kelompok adalah model konseling kelompok yang dikemukakan oleh Glading (1994) bahwa terdapat empat tahapan dalam pelaksanaan konseling bentuk kelompok yaitu: (1) tahap awal (Beginning a Group), (2) tahap peralihan (The Transition Stage in a Group), (3) tahap kerja (The Working Stage in a Group), dan (4) tahap pengakhiran (Termination of a Group). Pada keempat tahapan bimbingan kelompok tersebut jika dianalisis akan dijumpai bahwa masing-masing tahapan mengandung pembelajaran dan pengembangan karakter tepa salira. Berikut tabel analisis terhadap masing-masing tahapan bimbingan kelompok dan muatan pengembangan karakter tepa salira pada peserta didik.

Tabel 1. Tahapan Bimbingan Kelompok dan Muatan Pengembangan Karakter Tepa Salira

Tahapan Bimbingan Kelompok

Kegiatan dalam Kelompok Aspek Karakter

Tahap Awal (Beginning a Group)

a. Menyampaikan salam Sopan santun, saling menghormati b. Menerima kehadiran anggota kelompok secara terbuka

Toleransi, menerima apa adanya, keterbukaan, tidak membeda-bedakan,

c. Berdoa Keimanan dan ketaqwaan d. Penstrukturan Tertib, disiplin, komitmen e. Perkenalan dilanjut permainan Keakraban, percaya diri

Tahap Peralihan (The Transition Stage in a Group)

a. Mendengarkan konselor dalam memberikan pengarahan

Peduli, tanggap, mengahragai, menghormati

b. Mempersiapkan diri memasuki kegiatan inti bimbingan kelompok

Tanggung jawab, komitmen

Tahap Kerja (The Working Stage in a Group)

a. Anggota kelompok dipersilahkan mengemukakan topik secara bergantian (topik bebas)

Demokratis, keterbukaan, berbagi, saling menghargai

b. Memilih topik yang akan dibahas

Demokratis

c. Pembahasan topik yang telah dipilih dengan tanya jawab

Kerjasama, saling menghargai pendapat anggota lain, percaya diri dalam mengungkapkan pendapat, altruis, empati

d. Menjaga kebersamaan kelompok

Solidaritas sosial

e. Menenggang rasa terhadap sesama anggota

Peduli, empati atau tepa salira

f. Mematuhi norma Tanggung jawab, normatif dan kepekaan sosial

Tahap Pengakhiran (Termination of a Group)

a. Merangkum hasil konseling kelompok

Percaya diri

b. Menyampaikan kesan dan pesan

Keterbukaan, kejujuran, mawas diri

c. Evaluasi diri Kejujuran, mawas diri, tanggungjawab

d. Pengakraban Solidaritas sosial

Dari hasil analisis tabel diatas, maka dapat dilihat bahwa secara tidak langsung proses layanan

bimbingan kelompok mengandung muatan pengembangan karakter salah satu diantaranya yaitu karakter tepa salira. Hal ini juga sejalan dengan tujuan dilakukannya bimbingan kelompok agar peserta didik memperoleh wawasan disamping itu juga dapat mengembangkan diri peserta didik termasuk

Prosiding Konferensi Pendidikan Nasional “Penguatan Karakter Bangsa Melalui Inovasi Pendidikan di Era Digital”

227

pengembangan karakter tepa salira pada peserta didik. Namun selama ini terkadang konselor lupa dalam mengakhiri layanan bimbingan kelompok melewatkan kegiatan refleksi diri pada tiap-tiap anggota dalam kelompok. Kegiatan refleksi diri ini bertujuan untuk mengetahui seberapa jauh peserta didik memperoleh pembelajaran mengenai nilai-nilai karakter yang telah mereka peroleh selama mengikuti layanan bimbingan kelompok serta untuk mengetahui komitmen yang akan peserta didik lakukan setelah mengikuti layanan bimbingan kelompok.

SIMPULAN

Bimbingan dan konseling merupakan salah satu komponen penting dalam pendidikan. Oleh karena itu setiap layanan bimbingan dan konseling harus sesuai dengan tujuan pendidikan. Salah satu tujuan pendidikan adalah mengembangkan karakter peserta didik. Maka layanan bimbingan dan konseling yang diberikan kepada peserta didik harus dapat mengembangkan karakter peserta didik. Fungsi dari layanan bimbingan dan konseling di sekolah adalah pemahaman, pencegahan, pengembangan, dan pengentasan. Jenis layanan bimbingan konseling adalah bimbingan kelompok. Dalam layanan tersebut memanfaatkan dinamika kelompok, dimana siswa dapat berinteraksi seacara langsung dengan anggota kelompok yang lain. Fungsi layanan bimbingan kelompok yaitu pemahaman, pencegahan dan pengembangan. Layanan bimbingan kelompok ini membantu konselor dalam mengembangkan karakter peserta didik melalui tahapan-tahapan dalam bimbingan kelompok. Layanan bimbingan kelompok akan lebih efektif jika dipadukan dengan model pembelajaran experiental learning. Model tersebut memfokuskan pada refleksi atas pengalaman yang diperoleh peserta didik melalui kegiatan bimbingan kelompok. Pada layanan bimbingan kelompok dengan model experiental learning dapat mengembangkan karakter tepa salira pada peserta didik. Hal ini dikarenakan dalam setiap tahapan bimbingan kelompok mengandung nilai-nilai karakter tepa salira.

DAFTAR PUSTAKA

Andayani, Tri Rejeki. 2013. Meningkatkan Toleransi Melalui Budaya Salira (Pengembangan Model Pendidikan Karakter Berbasis Kearifan Lokal). Prosiding Seminar Nasional Parenting. 397-406.

Astuti, Yani Kusuma. (2016). Pembelajaran Berbasis Pengalaman (Eksperiental Learning) untuk Meningkatkan Ketrampilan Berpikir Kritis dan Aktivitas Mahasiswa. Abstrak Hasil Penelitian STKIP NU Indramayu Jawa Barat. 3, 7-10.

Gladding, S. T. (1994). Group Work: A Counseling Specialty. New Jersey: Englewood Cliffs, Prentice-Hall.

Haryati, Sri. Pendidikan Karakter Kurikulum 2013. Naskah Publikasi. Diambil dari http://lib.untidar.ac.id/wp-content/uploads/2017/01/Pendidikan-Karakter-dalam-kurikulum.pdf diunduh pada 29 Agustus 2018.

Huda, Miftahul. (2014). Model-Model Pengajaran dan Pembelajaran. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Kemendikbud. (2016). Panduan Operasional Penyelenggaraan Bimbingan dan Konseling Sekolah

Menengah Atas. Jakarta: Kemendikbud Dirjen Guru dan Tenaga Kependidikan. Kolb, David A. (1984). Experiential Learning.New Jersey : Prentice Hall, Inc. Englewood Cliffs. Prasetiawan, Hardi. 2016. Peran Bimbingan dan Konseling Dalam Pendidikan Ramah Anak Terhadap

Pembentukan Karakter Sejak Usia Dini. Jurnal Pendidikan. 4, 50-60. Prayitno, (2004). Layanan Bimbingan dan konseling kelompok. Padang: FIP Universitas Negeri Padang Prayitno. (2004). Layanan L.1-L.9 Padang : Universitas Negeri Padang. Sukardi, Dewa K. (2003). Manajemen Bimbingan dan Konseling di Sekolah. Bandung: Alfabeta.

Prosiding Konferensi Pendidikan Nasional “Penguatan Karakter Bangsa Melalui Inovasi Pendidikan di Era Digital”

228

SPONSORSHIP & MEDIA PARTNER