BAB: II KEDUDUKAN PESANTREN DALAM UNDANG...

33
15 BAB: II KEDUDUKAN PESANTREN DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 20 TAHUN 2003 TENTANG SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL Pada tahun 2003 bangsa Indonesia telah berhasil merumuskan undang- undang organik mengenai pendidikan. Pembaharuan sistem pendidikan nasional ini dilakukan untuk membaharui visi, misi, dan strategi pembangunan pendidikan nasional, yaitu terwujutnya sistem pendidikan sebagai pranata sosial yang kuat dan berwibawa untuk memberdayakan semua warga negara Indonesia yang berkembang menjadi manusia yang berkualitas adan mampu dan proaktif menjawab tantangan zaman yang selalu berubah. 1 A. Aspek-Aspek Yang Diatur Dalam UU No.20 Tahun 2003 Dalam konsideran UU No. 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional, pada bagian menimbang telah disebutkan alasan ditetapkannya UU dibidang pendidikan. Alasan tersebut adalah: 1. Untuk mewujutkan mengamanatkan Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial; 2. Memberikan amanat kepada Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang- undang; 1 Republik Indonesia, Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, (Yogyakarta: Media Wacana, 2003), hlm. 48

Transcript of BAB: II KEDUDUKAN PESANTREN DALAM UNDANG...

Page 1: BAB: II KEDUDUKAN PESANTREN DALAM UNDANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/9/jtptiain-gdl-s1-2005... · BAB: II KEDUDUKAN PESANTREN DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 20 TAHUN

15

BAB: II

KEDUDUKAN PESANTREN

DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 20 TAHUN 2003 TENTANG

SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL

Pada tahun 2003 bangsa Indonesia telah berhasil merumuskan undang-

undang organik mengenai pendidikan. Pembaharuan sistem pendidikan nasional

ini dilakukan untuk membaharui visi, misi, dan strategi pembangunan

pendidikan nasional, yaitu terwujutnya sistem pendidikan sebagai pranata sosial

yang kuat dan berwibawa untuk memberdayakan semua warga negara Indonesia

yang berkembang menjadi manusia yang berkualitas adan mampu dan proaktif

menjawab tantangan zaman yang selalu berubah.1

A. Aspek-Aspek Yang Diatur Dalam UU No.20 Tahun 2003

Dalam konsideran UU No. 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan

nasional, pada bagian menimbang telah disebutkan alasan ditetapkannya UU

dibidang pendidikan. Alasan tersebut adalah:

1. Untuk mewujutkan mengamanatkan Pemerintah Negara Indonesia yang

melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia

dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan

bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan

kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial;

2. Memberikan amanat kepada Pemerintah mengusahakan dan

menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan

keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa serta akhlak mulia

dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-

undang;

1 Republik Indonesia, Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan

Nasional, (Yogyakarta: Media Wacana, 2003), hlm. 48

Page 2: BAB: II KEDUDUKAN PESANTREN DALAM UNDANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/9/jtptiain-gdl-s1-2005... · BAB: II KEDUDUKAN PESANTREN DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 20 TAHUN

16

3. Untuk menjamin pemerataan kesempatan pendidikan, peningkatan mutu

serta relevansi dan efisiensi manajemen pendidikan untuk menghadapi

tantangan sesuai dengan tuntutan perubahan kehidupan lokal, nasional, dan

global sehingga perlu dilakukan pembaharuan pendidikan secara terencana,

terarah, dan berkesinambungan;

4. Bahwa Undang-undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan

Nasional tidak memadai lagi dan perlu diganti serta perlu disempurnakan

agar sesuai dengan amanat perubahan Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945;

5. Maka berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, b, c,

dan d perlu membentuk Undang-Undang tentang Sistem Pendidikan

Nasional.

Dari kelima alasan tersebut telah tampak bahwa alasan nomor 1, 2 dan 4

bersifat konstitusional, sedang alasan nomor 3 dan 5 cenderung berbentuk

norma–norma yang harus dipedomi dalam merumuskan kaidah-kaidah hukum

dalam setiap bab dan pasal dari UU yang ditetapkan.

Pembaharuan sistem pendidikan nasional dilakukan untuk meperbaharui

visi, misi, dan strategi pembangunan pendidikan nasional. Visi pembangunan

nasional yaitu: terwujutnya sistem pendidikan sebagai pranata sosial yang kuat

untuk memberdayakan semua warga negara Indonesia berkembang menjadi

manusia yang berkalitas sehingga mampu dan proaktif menjawab

perkembangan zaman yang selalu berubah.

Keseluruhan ketatepan yang diputuskan untuk diwujutkan dalam UU

No. 20 tahun 2003, terdiri dari dua puluh dua bab dan 77 (tujuh puluh tujuh)

pasal, yaitu:

1. BAB I tentang Ketentuan Umum (1 pasal ). Dalam bab ini disebutkan

beberapa kata kunci yang dipergunakan dalam UU No. 20 tahun 2003. dari

30 kata kunci akan diketengahkan sembilan (9) diantaranya yang dipandang

sebagai norma-norma sentral bagi pembangunan pendidikan nasional.

Page 3: BAB: II KEDUDUKAN PESANTREN DALAM UNDANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/9/jtptiain-gdl-s1-2005... · BAB: II KEDUDUKAN PESANTREN DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 20 TAHUN

17

a. Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan

suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif

mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual

keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia,

serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan

negara.

b. Pendidikan nasional adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang

berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan

tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman.

c. Sistem pendidikan nasional adalah keseluruhan komponen pendidikan

yang saling terkait secara terpadu untuk mencapai tujuan pendidikan

nasional.

d. Pendidikan berbasis masyarakat adalah penyelenggaraan

pendidikan berdasarkan kekhasan agama, sosial, budaya, aspirasi, dan

potensi masyarakat sebagai perwujudan pendidikan dari, oleh, dan

untuk masyarakat.

e. Standar nasional pendidikan adalah kriteria minimal tentang sistem

pendidikan di seluruh wilayah hukum Negara Kesatuan Republik

Indonesia.

f. Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai

tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai

pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai

tujuan pendidikan tertentu.

g. Masyarakat adalah kelompok warga negara Indonesia nonpemerintah

yang mempunyai perhatian dan peranan dalam bidang pendidikan.

h. Pemerintah adalah Pemerintah Pusat.

i. Pemerintah daerah adalah pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten,

atau pemerintah kota.

Page 4: BAB: II KEDUDUKAN PESANTREN DALAM UNDANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/9/jtptiain-gdl-s1-2005... · BAB: II KEDUDUKAN PESANTREN DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 20 TAHUN

18

2. Bab II tentang Dasar, Fungsi dan Tujuan Pendidikan 2 (dua) pasal, yaitu

pasal 2 tentang dasar pendidikan nasional; pasal 3 mengenai fungsi dan

tujuan pendidikan nasional.

Tujuan pendidikan nasional dalam UU ini telah disesuaikan dengan pasal

31 UUD 1945 hasil amandeman.

3. Bab III tentang Prinsip Penyelenggaraan Pendidikan 1 (satu) pasal (6 ayat),

yaitu pasal 4.

4. Bab IV tentang Hak dan Kewajiban Warga Negara, Orang Tua,

Masyarakat, dan Pemerintah (empat bagian)

a. Bagian kesatu mengenai hak dan kewajiban warga negara 2 (dua )

pasal, yaitu pasal 5 dan pasal 6.

b. Bagian kedua membahas tentang hak dan kewajiban orang tua 1 (satu)

pasal, yaitu pasal 7.

c. Bagian ketiga tentang hak dan kewajiban masyarakat 2 (dua) pasal,

yaitu pasal 8 dan pasal 9.

d. Bagian keempat tentang hak dan kewajiban pemerintah dan pemerintah

daerah 2 (dua) pasal, yaitu pasal 10 dan pasal 11.

5. Bab V tentang Peserta Didik 1 (satu) pasal, yaitu pasal 12.

6. Bab VI tentang Jalur, Jenjang, dan Jenis Pendidikan terdiri 11 bagian dari

19 pasal, yaitu:

a. Bagian kesatu tentang ketentuan umum 4 (empat) pasal, yaitu pasal 13;

pasal 14; pasal 15; dan pasal 16.

b. Bagian kedua tentang pendidikan dasar terdiri atas 1 (satu ) pasal, yaitu

pasal 17.

c. Bagian ketiga mengenai pendidikan menengah terdiri atas 1 (satu)

pasal, yaitu pasal 18.

Page 5: BAB: II KEDUDUKAN PESANTREN DALAM UNDANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/9/jtptiain-gdl-s1-2005... · BAB: II KEDUDUKAN PESANTREN DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 20 TAHUN

19

d. Bagian keempat mengenai pendidikan tinggi terdiri atas 7 (tujuh) pasal,

yaitu pasal 19; pasal 20; pasal 21; pasal 22; pasal 23; pasal 24; pasal

25.

e. Bagian kelima mengenai pendidikan nonformal terdiri atas 1 (satu )

pasal, yaitu pasal 26.

f. Bagian keenam mengenai pendidikan informal terdiri atas 1 (satu)

pasal, yaitu pasal 27.

g. Bagian ketujuh mengenai pendidikan anak usia dini terdiri dari 1 (satu )

pasal, yaitu pasal 28.

h. Bagian kedelapan mengenai pendidikan kedinasan terdiri dari 1 (satu)

pasal, yaitu pasal 29.

i. Bagian kesembilan tentang pendidikan keagamaan terdiri dari 1 (satu)

pasal, yaitu pasal 30.

j. Bagian kesepuluh tentang pendidikan jarak jauh terdiri dari 1 (satu)

pasal, yaitu pasal 31.

k. Bagian kesebelas tentang pendidikan khusus dan pendidikan layanan

khusus terdiri dari 1 (satu) pasal, yaitu pasal 32.

7. BAB VII tentang Bahasa Pengantar. Bab ini terdiri dari 1 (satu) pasal, yaitu

pasal 33.

8. BAB VIII tentang Wajib Belajar terdirir dari 1 (satu) pasal , yaitu pasal 34.

9. BAB IX tenteng Standar Nasional Pendidikan terdiri dari 1 (satu) pasal,

yaitu pasal 35

10. Bab X tentang Kurikulum terdiri dari 3 (tiga) pasal, yaitu pasal 36; pasal

37; pasal 38.

11. BAB XI tentang Pendidik Dan Tenaga Kependidikan terdiri dari 6 (enam)

pasal, yaitu pasal 39; pasal 40; pasal 41; pasal 42; pasal 43; pasal 44

Page 6: BAB: II KEDUDUKAN PESANTREN DALAM UNDANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/9/jtptiain-gdl-s1-2005... · BAB: II KEDUDUKAN PESANTREN DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 20 TAHUN

20

12. BAB XII tentang Sarana Dan Prasarana Pendidikan terdiri dari 1 (satu)

pasal, yaitu pasal 45.

13. BAB XIII tentang Pendanaan Pendidikan terdiri dari 4 (empet) pasal dalam

4 (empat) bagian, yaitu:

a. Bagian kesatu mengenai tanggung jawab pendanaan. Bagian ini terdiri

dari 1(satu) pasal, yaitu pasal 46.

b. Bagian kedua mengenai sumber pendanaan pendidikan. Bagian ini

terdiri dari 1(satu) pasal, yaitu pasal 47.

c. Bagian ketiga mengatur pengelolaan dana pendidikan. Bagian ini terdiri

dari 1(satu) pasal, yaitu pasal 48.

d. Bagian keempat mengatur pengalokasian dana pendidikan. Bagian ini

terdiri dari 1(satu) pasal, yaitu pasal 49.

14. BAB XIV tentang Pengelolaan Pendidikan terdiri dari 4 (empat) pasaal

dalam 2 (dua) bagian, yaitu:

a. Bagian kesatu tentang ketentuan umum dalam pengelolaan pendidikan,

Bagian ini terdiri dari 3 (pasal ), yaitu pasal 50; pasal 51; pasal 52.

b. Bagian Kedua tentang badan hukum pendidikan. Bagian ini terdiri

dari1(satu) pasal, yaitu pasal 53.

15. BAB XVtentang Peran Serta Masyarakat Dalam Pendidikan, terdiri dari

dari 3 (tiga) pasal dalam 3 (tiga) bagian, yaitu:

a. Bagian kesatu mengenai ketentuan umum tentang peran serta

masyarakat dalam pendidikan. Bagian ini terdiri dari1(satu) pasal, yaitu

pasal 54.

b. Bagian kedua tentang pendidikan berbasis masyarakat. Bagian ini

terdiri dari1(satu) pasal, yaitu pasal 55.

c. Bagian ketiga tentang dewan pendidikan dan komite sekolah/madrasah.

Bagian ini terdiri dari1(satu) pasal, yaitu pasal 56.

Page 7: BAB: II KEDUDUKAN PESANTREN DALAM UNDANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/9/jtptiain-gdl-s1-2005... · BAB: II KEDUDUKAN PESANTREN DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 20 TAHUN

21

16. BAB XVI tentang Evaluasi, Akreditasi, Dan Sertifikasi. Bab ini terdiri dari

5 (lima) pasal dalam 3 (tiga) bagian, yaitu:

a. Bagian kesatu tentang evaluasi, bagian ini terdiri dari 3 (tiga) pasal,

yaitu pasal 57; pasal 58; dan pasal 59.

b. Bagian kedua tentang akreditasi, terdiri dari 1 (satu) pasal, yaitu pasal

60.

c. Bagian ketiga tentang sertifikasi, terdiri dari 1 (satu) pasal, yaitu pasal

61.

17. BAB XVII tentang Pendirian Satuan Pendidikan, terdiri dari 2 (dua) pasal,

yaitu pasal 62 dan pasal 63.

18. BAB XVIII tentang Penyelenggaraan Pendidikan oleh Lembaga Negara

lain, terdiri atas 2 (dfua) pasal, yaitu pasal 64 dan pasal 65.

19. BAB XIX tentang Pengawasan, terdiri atas 1 (satu) pasal , yaitu pasal 66.

20. BAB XX tentang Ketentuan Pidana,terdiri atas 5 (lima ) pasal, yaitu pasal

67; pasal 68; pasal 69; pasal 70; dan pasal 71.

Ketentuan pidana yang di atur dalan bab ini ada 3 kelompok berdasarkan

lama tahanan dan jumlah denda yang di berikan pada terdakwa, yaitu:

a. pidana penjara paling lama sepuluh tahuin dan/atau denda paling

banyak

1.000.000.000.

b. Pidana penbjara paling lama lima tahun atau denda paling banyak

500.000.000.

c. Pidana penjara paling lama dua tahun dan/atau denda paling banyak

200.000.000.

21. BAB XXI tentang Ketentuan Peralihan, terdiri dari 3 (tiga) pasal, yaitu

pasal 72; pasal 73; dan pasal 74.

Page 8: BAB: II KEDUDUKAN PESANTREN DALAM UNDANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/9/jtptiain-gdl-s1-2005... · BAB: II KEDUDUKAN PESANTREN DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 20 TAHUN

22

22. BAB XXII tentang Ketentuan Penutup, terdiri dari 3(tiga) pasal, yaitu

pasal 75; pasal 76; dan pasal 77.

B. Eksistensi Pendidikan Agama Dalam UU No.20 Tahun 2003

Keberadaan pendidikan agama secara formal merupakan bagian yang

tidak terpisahkan dari kehidupan berbangsa dan bernegara, dimana Indonesia

bukanlah negara “sekuler” juga bukan negara “teokrasi”2 tetapi Indonesia adalah

negara pancasila yang mengakomodir agama sebagai bagian dari falsafah hidup

bangsa. Oleh karena itu pendidikan sebagai upaya pembagunan bagi masyarakat

Indonesia seutuhnya yang berfalsafahkan pancasila, maka pendidikan agama

perlu diakomodir dalam undang-undang pendidikan nasional.

Agama, baik secara kultural-sosiologis maupun legal-konstitusional,

menduduki posisi yang sangat penting dalam kehidupan bangsa Indonesia.

Kehidupan masyarakat Indonesia yang diwarnai agama mendapat landasan legal-

konstitusional melalui UUD 1945 dan Pancasila dengan sila pertama “Ketuhanan

Yang Maha Esa”. Dengan demikian Indonesia bukanlah negara sekuler, tetapi

pada saat yang sama juga negara agama.3

Eksistensi pendidikan agama dalam UU No. 20 tahun 2003 ini semakin

kuat dan telah terakomodir secara tersurat dalam beberapa pasal yang cukup urgen

dalam proses pembangunan pendidikan di Indonesia derta sudah mencerminkan

seluruh aspirasi agama yang ada di Indonesia4. Penjelasan mengenai pentingnya

pendidikan agama sebagai bagian integral dari sistem pendidikan nasional dan

pembangunan dapat dilihat dalam beberapa hal pada UU No. 20 tahun 2003,

antara lain:

2 M. Saerozi, “Bila Negara Mengatur Agama”, dalam Ulumuna, Vol.VII, Edisi 12 No. 2

Juli-Desember 2003, hlm. 264 3 Azyumardi Azra, Paradigma Baru Pendidikan Nasional, (Jakarta: Kompas Media

Nusantara), hlm. 252 4 Abuddin Nata, “Bukan Intervensi Agama Terhadap Negara Tetapi...” Edukasi

XXVII/II/Th.XI/I/2003

Page 9: BAB: II KEDUDUKAN PESANTREN DALAM UNDANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/9/jtptiain-gdl-s1-2005... · BAB: II KEDUDUKAN PESANTREN DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 20 TAHUN

23

a. Tujuan pendidikan nasional

Dalam tujuan pendidikan nasional, telah disebutkan bahwa

pendidikan diarahkan untuk membentuk peserta didik menjadi manusia yang

beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,

berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis

serta bertanggung jawab. Peran pendidikan agama dalam menciptakan

generasi yang beriman dan bertaqwa serta akhlak mulia sesuai dengan tujuan

diatas sangat dominan, hal tersebut sesuai dengan tujuan pendidikan agama

yaitu mengajar ilmu-ilmu agama agar para pelajar/mahasiswa menjadi

manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.5

Disamping itu banyak ahli agama dari umat Islam maupun non Islam yang

mengatakan bahwa hanya agama yang bisa membimbing umatnya untuk

bersikap lebih empati kepada sesama, dan itu bisa dikatakan bahwa agama

berperan dalam membentuk manusia yang cerdas spiritual ( spritual

Quation).6

b. Prinsip penyelenggaraan pendidikan

Prinsip penyelengaraan pendidikan telah tercantum dalam pasal 4.

Prinsip ini sebagai acuan penyelengaraan pendidikan yang telah disesuaikan

dengan tuntutan dunia pendidikan di era reformasi ini seperti prinsip

demokratis, keadilan dan tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak

asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa.

c. Hak peserta didik

Hak peserta didik dalam setiap satuan pendidikan tertuang dalam

pasal 12. Dalam pasal ini telah diatur beberapa hak yang diberikan kepada

peserta didik, diantaranya hak untuk mendapatkan pendidikan agama.

Pendidikan agama bagi peserta didik sebagai hak asasi, sebagaimana hak

5 A. Hasyimi, Mengapa Umat Islam Mempertahankan Pedidikan Agama Dalam Sistem

Pendidikan Nasional, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), hlm. 10. 6 Mahmudi, ”Kontroversi Agama dalam RUU Sisdiknas”

http://www.pesantrenonline.com/artikel/detailartikel.php3?artikel=183

Page 10: BAB: II KEDUDUKAN PESANTREN DALAM UNDANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/9/jtptiain-gdl-s1-2005... · BAB: II KEDUDUKAN PESANTREN DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 20 TAHUN

24

agama pada manusia dan UU telah menjamin tiap-tiap agama memperoleh

jaminan yang cukup.7 Pada awal pembahasan rancangan UU ini telah terjadi

kontroversi tentang pendidikan agama, banyak yang menolak adanya

pendidikan agama yang diajarkan oleh orang yang seagama terutama dari

unsur non Islam dengan berbagai alasan yang dikemukakan, tetapi sebagian

besar warga negara Indonesia menghendaki untuk tetap adanya pasal tersebut

yang tertuang dalam pasal 12 ayat 1, berbunyi:

Setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama.8

d. Pendidikan keagamaan

Pendidikan keagamaan merupakan pasal yang belum diatur dalam

Undang-Undang pendidikan sebelumnya. Dalam UU No. 20 tahun 2003

pendidikan keagamaan telah diatur dalam pasal 30. Pendidikan keagamaan

menurut pasal ini berfungsi mempersiapkan peserta didik menjadi anggota

masyarakat yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agamanya

dan/atau menjadi ahli ilmu agama yang diselenggarakan oleh pemerintah atau

kelompok masyarakat dari pemeluk agama, sesuai dengan peraturan

perundang-undangan. Pendidikan keagamaan dapat diselenggarakan melalui

jalur pendidikan formal, nonformal, dan informal, seperti diniah, pesantren,

pasraman, pabhaja samanera, dan bentuk lain yang sejenis.

e. Kurikulum ( pasal 36 dan pasal 37)

Kurikulum menurut UU No. 20 tahun 3003 didefinisikan sebagai

seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan

pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan

kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu.

Dalam kurikulum telah dijabarkan dalam beberapa matapelajaran

untuk mewujutkan tujuan pendidikan yang telah disusun sesuai jenjang

7 Malik fajar, Op. Cit., hlm. 2 8 Republik Indonesia, Op. Cit., hlm. 15.

Page 11: BAB: II KEDUDUKAN PESANTREN DALAM UNDANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/9/jtptiain-gdl-s1-2005... · BAB: II KEDUDUKAN PESANTREN DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 20 TAHUN

25

pendidikan dalam rangka Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan

memperhatikan:

a. peningkatan iman dan taqwa;

b. peningkatan akhlak mulia; dan seterusnya.

Dalam pasal 37 disebutkan bahwa kurikulum pendidikan dasar,

menengah dan tinggi minimal memuat:

a. pendidikan agama;

b. pendidikan kewarga negaraan;

c. bahasa.

Pendidikan agama pada pasal ini, dimaksudkan untuk membentuk

peserta didik menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan

Yang Maha Esa serta berahlak mulia.

f. Pendidikan berbasis masyarakat

Pendidikan berbasis masyarakat adalah penyelenggaraan pendidikan

berdasarkan kekhasan agama, sosial, budaya, aspirasi, dan potensi

masyarakat sebagai perwujudan pendidikan dari, oleh, dan untuk masyarakat.

Kekhasan agama dalam penyelenggaraan pendidikan berbasis masyarakat

telah dijamin dan dihargai dengan UU ini, dan pemerintah bertanggun jawab

untuk membantu dan memberdayakan.9 Seperti dalam pasal 55 ayat 1,

menyebutkan bahwa:

Masyarakat berhak menyelenggarakan pendidikan berbasis masyarakat pada pendidikan formal dan non formal sesuai dengan kekhasan agama, lingkungan sosial, dan budaya untuk kepentingan masyarakat.10

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa eksistensi pendidikan

agama sangat kuat. Disamping adanya ketentuan hukum yang secara tegas

9 Ibrahim musa, otonomi penyelenggaraan pendidikan dasar dan menengah

http://202.159.18.43/jp/22ibrahim.htm 10 Republik Indonesia, Op. Cit., hlm. 36

Page 12: BAB: II KEDUDUKAN PESANTREN DALAM UNDANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/9/jtptiain-gdl-s1-2005... · BAB: II KEDUDUKAN PESANTREN DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 20 TAHUN

26

menjamin dan mewajibkan adanya pendidikan agama disetiap jalur dan

jenjang pendidikan serta lembaga-lembaga pendidikan agama telah diakui

dan sejajar dengan lembaga pendidikan lainnya, dan dalam UU No. 20 Tahun

2003 ini pendidikan agama sebagai sarana memperbaiki keterpurukan bangsa

akibat krisis multi dimensi saat ini.

C. Posisi Pesantren dalam UU. No. 20 tahun 2003

Pendidikan pesantren pada hakekatnya tumbuh dan berkembang

sepenuhnya berdasarkan motivasi agama. Dalam pelaksanaanya pesantren

melakukan proses pembinaan pengetahuan, sikap, dan kecakapan yang

menyangkut segi keagamaan. Tujuan inti pesantren adalah mengusahakan

terbentuknya manusia berbudi pakerti yang luhur (al-akhlaqul karimah) dengan

pengamalan agama yang konsisten (istiqamah).11 Sedangkan tujuan pendidikan

nasional sebagaimana pasal 3 adalah: pendidikan diarahkan untuk membentuk

peserta didik menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang

Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi

warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Peran pesantren dalam ikut serta membangun dan mencerdaskan bangsa

telah terbukti sebagaimana fungsinya sebagai lembaga pendidikan, lembaga

dakwah dan lembaga sosial.12 Peran pesantren sebagaimana fungsi tersebut

memiliki potensi besar dalam mewujutkan cita-cita pendidikan nasional.

Keikutsertaan pesantren dalam pewujutan cita-cita pendidikan nasional

telah diakomudir pada UU No. 20 tahun 2003 pasal 30, yaitu:

1. Pendidikan keagamaan diselenggarakan oleh Pemerintah dan/atau kelompok masyarakat dari pemeluk agama, sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

11 Dedi Djubaedi, ”Pemaduan Pendidikan Pesantren-Sekolah Telaah Teoritis Dalam

Perspektif Pendidikan Nasional”, dalam. Sa’id Aqiel Siradj et al. Pesantren Masa Depan, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1999), hlm. 187.

12 Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren: Suatu Kajian Tentang Unsur dan Nilai Sisten Pendidikan Pesantren, ( Jakarta: INIS, 1994) hlm. 59.

Page 13: BAB: II KEDUDUKAN PESANTREN DALAM UNDANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/9/jtptiain-gdl-s1-2005... · BAB: II KEDUDUKAN PESANTREN DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 20 TAHUN

27

2. Pendidikan keagamaan berfungsi mempersiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agamanya dan/atau menjadi ahli ilmu agama.

3. Pendidikan keagamaan dapat diselenggarakan pada jalur pendidikan formal, nonformal, dan informal.

4. Pendidikan keagamaan berbentuk pendidikan diniyah, pesantren, pasraman, pabhaja samanera, dan bentuk lain yang sejenis.

5. Ketentuan mengenai pendidikan keagamaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.

Melalui UU No. 20 tahun 2003 tersebut, pesantren telah menempati

posisi penting yaitu sebagai sub sistem pendidikan nasional dalam rangka

membentuk pranata sosial yang kuat dan berwibawa melalui pendidikan.

Pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan nonformal telah tumbuh

dan berkembang secara mandiri jauh sebelum Indonesia merdeka sampai sekarang

yang kita kenal. Pendidikan nonformal menurut UU No. 20 tahun 2003 adalah

jalur pendidiakn diluar pendidikan formal yang dapat dilaksanakan secara

terstruktur dan berjenjang.

Pesantren sebagai lembaga nonformal diselenggarakan bagi warga

masyarakat yang memerlukan layanan pendidikan yang berfungsi sebagai

penganti, penambah, dan/atau pelenglap pendidiakn formal dalam rangka

mendukung pendidikan sepanjang hayat. Dan berfungsi pendidikan nonformal

adalah mengembangkan potensi peserta didik dengan menekankan pemguasaan

pengetahuan dan keterampilan fungsional serta pengembangan sikap dan

kepribadian professional.13

D. Manajemen Pendidikan Menurut UU No. 20 tahun 2003

Pendidikan di Indonesia telah mengalami perubahan yang cukup

mendasar terhadap pelaksanaanya. Hal ini diawali setelah di undangkannya UU

13 Republik Indonesia, Op. Cit., hlm. 20.

Page 14: BAB: II KEDUDUKAN PESANTREN DALAM UNDANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/9/jtptiain-gdl-s1-2005... · BAB: II KEDUDUKAN PESANTREN DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 20 TAHUN

28

No. 22 tahun 1999 tentang pemerintah daerah dan UU No. 25 tahun 1999 tentang

perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang

ditindaklanjuti dalam peraturan pemerintah Nomor 25 tahun 2000 tentang

kewenangan pemerintah dan kewenangan propinsi sebagai daerah otonom,

sebagai penjabaran dari Tap MPR Nomor: XV/MPR/1998. Sejalan dengan arah

kebijakan otonomi dan desentralisasi yang di tempuh oleh pemerintah,

pelimpahan kewenangan pemerintah pusat kepada daerah semakin banyak dan

tangung jawab pemerintah daerah semakin berat, termasuk dalam pendidikan.

Manajemen dalam desentralisasi pendidikan menempati posisi penting

untuk memperbaiki kualitas pendidikan itu sendiri. Manajemen sering diartikan

sebagai ilmu, kiat, dan profesi. Manajemen sebagai ilmu oleh Luther Gulick

dipandang sebagai suatu bidang pengetahuan yang secara sistematik berusaha

memahami mengapa dan bagaimana orang bekerja. Dikatakan kiat oleh Foller

karena manajemen mencapai sasaran melalui cara-cara dengan mengatur orang

lain menjalankan dalam tugas. Dan dipandang profesi karena manajeman

dilandasi oleh keahlian khusus untuk mencapai suatu prestasi manajer.14

Manajemen didefinisikan sebagai suatu proses sosial yang direncanakan

untuk menjamin kerjasama, partisipasi, intervensi dan keterlibatan orang lain

dalam mencapai sasaran tertentu atau yang telah ditetapkan dengan efektif.15 Dan

menurut Stoner manajemen adalah proses perencanaan, pengorganisasian,

pemimpinan, dan pengendalian upaya anggota organisasi dan penggunaan semua

sumberdaya organisasi untuk mencapai tujuan yamg telah ditetapkan secara

efektif dan efisien.16

Arti manajemen mengalami perkembangan sesuai dengan fungsi dan

penerapan dalam beberapa bidang. Dalam dunia pendidikan manajemen

14 Nanang Fatah, Landasan Manajeman Pendidikan, (Bandung: Remaja Rosdakarya,

2000), Cet. 3, hlm.1. 15 Iwa Sukiswa, Dasar-Dasar Umum Manajemen Pendidikan, (Bandung: Tarsito, 1986),

hlm., 13. 16 Sufyarma, Kapita Selekta Manajemen Pendidikan Nasional, (Bandung: Alfabeta, 2003)

Cet.1, hlm,189.

Page 15: BAB: II KEDUDUKAN PESANTREN DALAM UNDANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/9/jtptiain-gdl-s1-2005... · BAB: II KEDUDUKAN PESANTREN DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 20 TAHUN

29

didefinisikan sebagai seluruh proses kegiatan bersama dalam bidang pendidikan

dengan memanfaatkan semua fasilitas yang ada baik personal, material maupun

spiritual untuk mencapai tujuan pendidika,17 dan manajemen pendidikan

diarahkan kepada peningkatan kualitas pendidikan, yaitu pendidikan yang

mempunyai relevansi serta akuntabilitas.18

Manajemen sisdiknas merupakan bagian dari Sistem Manajemen

Nasional yang pada hakekatnya mengemban kepentingan nasional atau

kepentingan rakyat.19 Dalam UU No. 20 tahun 2003 masalah manajemen atau

pengelolaan telah diataur secara garis besar dalam bab XIV tentang pengelolaan

pendidikan yaitu pasal 50, 51, 52 dan 53. Manajemen/pengelolaan pendidikan ini

dapat dipahami melalui 2 sisi, yaitu:

Pertama, pengelolaan pendidikan dilakukan secara makro (pasal 50),

yaitu pengelolaan pendidikan dilakukan oleh pengelola ditingkat wilayah

kabupaten, propinsi sampai nasional dibawah koordinasi Menteri Pendidikan

Nasional dan Menteri terkait lainnya.20 Seperti Menteri Agama, Menetri Dalam

Negeri.21 Telah disebutkan dalam pasal 50 ayat 1 sampai dengan ayat 7 bahwa:

1. Pengelolaan sistem pendidikan nasional merupakan tanggung jawab menteri.

2. Pemerintah menentukan kebijakan nasional dan standar nasional pendidikan untuk menjamin mutu pendidikan nasional.

3. Pemerintah dan/atau pemerintah daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertaraf internasional.

17 Ibid. hlm., 191. 18 H.A.R. Tilaar, Perubahan Sosial dan Pendidikan, (Jakarta: Grasindo, 2002), hlm. 481. 19 Subagio Atmodiwiro, Menajemen Pendidikan Nasional. (Jakarta: Ardadizya Jaya,

2000), hlm. 12. 20 Ibrahim Musa Otonomi Penyelenggaraan Pendidikan Dasar Dan Menengah

http://202.159.18.43/jp/22ibrahim.htm 21 1) kesepakatan bersama antara Menteri Pendidikan Nasional dan Menteri Agama

Nomor: 1/U/KB/2000. Nomor: MA/89/2000 tentang pondok pesantren salaf sebagai pola wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun. 2) kesepakatan bersama Menteri Agama, Menteri Pendidikan Nasional, dan Menetri Dalam Negeri (SKB 3 menteri) Nomor: 6 tahun 1975, Nomor: 037/U/1975 dan Nomor: 36 tahun 1975

Page 16: BAB: II KEDUDUKAN PESANTREN DALAM UNDANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/9/jtptiain-gdl-s1-2005... · BAB: II KEDUDUKAN PESANTREN DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 20 TAHUN

30

4. Pemerintah daerah provinsi melakukan koordinasi atas penyelenggaraan pendidikan, pengembangan tenaga kependidikan, dan penyediaan fasilitas penyelenggaraan pendidikan lintas daerah kabupaten/kota untuk tingkat pendidikan dasar dan menengah.

5. Pemerintah kabupaten/kota mengelola pendidikan dasar dan pendidikan menengah, serta satuan pendidikan yang berbasis keunggulan lokal.

6. Perguruan tinggi menentukan kebijakan dan memiliki otonomi dalam mengelola pendidikan di lembaganya.

7. Ketentuan mengenai pengelolaan pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.22

Pengelolaan pendidikan ditingkat nasional adalah tanggung jawab

menteri, yaitu menteri pendidikan nasional (mendiknas). Mendiknas adalah

sebagai administrator dibantu oleh Sekretaris Jenderal, Direktur Jenderal,

Inspektur Jenderal dan Kepala Balitbang Diknas yang berperan sebagai penentu

kebijakan stategi nasional, penanggung jawab tertinggi dan pembina dalam

pengelolaan sistem pendidikan nasional secara menyeluruh.23 Jadi Mendiknas dan

menteri terkait memiliki hak untuk menjabarkan dan menerapkan sistem

pendidikan yang telah disepakati dalam undang-undang melalui PPnya.

Walaupun demikian, dualisme pengelolaan pendidikan di Indonesia

masih berlangsung yaitu pengelolaan pendidikan keagamaan (formal dan

nonformal) oleh Departemen Agama dan pendidikan umum oleh Departemen

Pendidikan Nasional. Walau pernah ada upaya dari pemerintah untuk menyatukan

ke-2 pengelolaan pendidikan, namun usaha ini mengalami kegagalan karena

penolakan kaum muslimin yang mempertahankan eksistensi madrasah dibawah

Depag24

22 Republik Indonesia, Op. Cit. hlm. 33-34. 23 Mulyasa, Manajemen Berbasis Sekolah, Lampiran 1: Uraian Umum

KewenanganPemerintah dan Kelwmbagaan Dalam Rangka Desentralisasi Pendidikan (diadopsi dari BPPN dan Bank Dunia, 1999), (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2003),Cet. 4, hlm185.

24 Fuad Jabali dan Jamhari, Op. Cit., hlm. 68.

Page 17: BAB: II KEDUDUKAN PESANTREN DALAM UNDANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/9/jtptiain-gdl-s1-2005... · BAB: II KEDUDUKAN PESANTREN DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 20 TAHUN

31

Pengelolaan pendidikan yang bercirikhas keagamaen secara makro oleh

Departemen Agama meliputi MI, MTs, MA, perguruan tinggi agama negeri dan

swasta serta pondok pesantren bersama-sama dengan departemen lain yang

memiliki kepentingan sama untuk meningkatkan mutu pendidikan, seperi

Depdiknas, Depdagri dan departemen yang lainnya.

Tanggung jawab pemerintah pusat dalam mengelola pendidikan diera

otonomi daerah telah mengalami pergeseran ditandai pelimpahan kewenangan

dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Perintah pusat memiliki

kewenangan menentukan kebijakan nasional dan standar nasional pendidikan

untuk menjamin mutu pendidikan nasional. Guna pengembangan standar

pendidikan nasional serta untuk memantau pencapaiannya, Departemen

Pendidikan Nasional telah membentuk Lembaga Penilaian Mutu Pendidikan.

Pembentukan unit pelaksana teknis Depdiknas yang berada ditingkat provinsi ini

terutama dimaksudkan untuk memenuhi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003

tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 35 Ayat (3).25

Ditingkat pemerintah daerah propinsi, pemerintah memiliki kewenangan

untuk melalukan koordinasi terhadap penyelengaraan pendidikan lintas daerah

kabupaten/kota untuk tingkat pendidikan dasar dan menengah dan membuat

kebijakan pendidikan sebagai penjabaran kebijakan pendidikan ditingkat nasional

untuk dilaksanakan ditingkat propinsi.26Menurut Ibrahim Musa bahwa fungsi

manajemen pendidikan ditingkat propinsi yang selama ini dilaksanakan oleh

Kantor Perwakilan Departemen, akan terpusat pada monitoring terhadap efisiensi

dan efektivitas pelaksanaan kebijakan nasional tersebut oleh manajemen

pendidikan ditingkat kabupaten dan lembaga pendidikan.27

Pemerintah kabupaten dalam pengelolaan pendidikan secara makro

menempati posisi kunci dalam rangka mengimplementasikan kebijakan-kebijakan

25 Sungkowo, “Depdiknas Bentuk Lembaga Penilaian Mutu Pendidikan” , Kompas,

Senin, 05 Januari 2004 http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0401/05/dikbud/782372.htm.., hlm. 1.

26Mulyasa, Op. Cit. hlm. 186 27 Ibrahim Musa. Op. Cit. hlm.

Page 18: BAB: II KEDUDUKAN PESANTREN DALAM UNDANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/9/jtptiain-gdl-s1-2005... · BAB: II KEDUDUKAN PESANTREN DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 20 TAHUN

32

pendidikan pada pengelolaan pendidikan dasar dan pendidikan menengah satuan

pendidikan yang berbasis keunggulan lokal. Manajemen pendidikan ditingkat

kabupaten bertanggung jawab untuk membina secara langsung penyelenggaraan

pendidikan oleh sekolah, madrasah, dan pesantren. Lima fungsi manajemen yang

mencakup perencanaan dan penganggaran, pengorganisasian, pengadaan guru dan

tenaga kependidikan, pembinaan kepemimpinan dan motivasi, dan pengendalian

dan pengawasan menjadi acuan pokok dalam membina lembaga pendidikan di

kabupaten. Secara keseluruhan, tugas dan fungsi utama dari manajemen

pendidikan di kabupaten bertujuan untuk mengendalikan mutu hasil pendidikan

(quality control)28

Pemerintah pusat maupun pemerintah daerah telah diarahkan untuk

penyelenggarakan minimal satu pendidikan yang dapat dikembangkan menjadi

satuan pendidikan yang bertaraf internasional. Untuk itu pemerintah memberikan

rambu-rambu baik bersifat akademik maupun non-akademik seperti kualifikasi

guru, luas bangunan, sarana belajar seperti buku dan proses pembelajaran yang

mengacu pada standar internasional yang harus dipenuhi oleh masyarakat untuk

mendirikan suatu lembaga pendidikan atau sekolah.29

Pengelolaan pendidikan pada perguruan tinggi, bahawa perguruan tinggi

dapat menentukan kebijakan dan memiliki otonomi dalam penyelenggarannya.

Yang dimaksud dengan otonomi perguruan tinggi adalah kemandirian perguruan

tinggi untuk mengelola sendiri lembaganya.30

Pengelolaan pendidikan secara makro yang mengacu pada UU No. 20

Tahun 2003 akan diatur dalam peraturan pemerintah.

Kedua, pengelolaan pendidikan mikro (pasal 51), yaitu pengelolaan yang

dilakukan di sekolah oleh guru dibawah kepemimpinan Kepala

Sekolah\madrasah.31 Madrasah disini diartikan sebagi sekolah, karena secara

28 Ibid. 29 Ibid. hlm. 6 30 Republik Indonesia, Op. Cit, hlm. 67 31 Ibrahim Musa. Op. Cit. hlm.1

Page 19: BAB: II KEDUDUKAN PESANTREN DALAM UNDANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/9/jtptiain-gdl-s1-2005... · BAB: II KEDUDUKAN PESANTREN DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 20 TAHUN

33

teknis keduanya memiliki kesamaan, yaitu sebagai tempat berlangsungnya

pendidikan formal, namun madrasah memiliki karakteristik atau ciri kahas yang

berbeda. Perbedaan karakter antara madrasah dan sekolah itu sera historis

dipengarui perbedaan tujuan antara keduanya. Tujuan pendidikan madrasah

adalah untuk mentrasmisikan nilai-nilai agama Islam dan sekolah diperkenalkan

oleh Belanda untuk untuk menyiapkan calon pegawai Belanda32. Pengeloaan

madrasah sebagai pendidikan formal dan sekolah disebutkan dalam pasal 51 ayat

1,2 dan 3 bahwa:

1. Pengelolaan satuan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah dilaksanakan berdasarkan standar pelayanan minimal dengan prinsip manajemen berbasis sekolah/madrasah.

2. Pengelolaan satuan pendidikan tinggi dilaksanakan berdasarkan prinsip otonomi, akuntabilitas, jaminan mutu, dan evaluasi yang transparan.

3. Ketentuan mengenai pengelolaan satuan pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.33

Pengelolaan pendidikan secara mikro yang disarankan oleh undang-

undang dengan prinsip manajemen berbasis sekolah atau madrasah (MBS) atau

school based manajemen (SBM). Manajemen berbasis sekolah atau school based

manajemen (SBM) dapat didefinisikan sebagai penyerasian yang dilakukan oleh

sekolah dengan melibatkan semua kelompok kepentingan yang terkait dengan

sekolah secara langsung dalam proses pengambilan keputusan untuk memenuhi

kebutuhan mutu atau untuk mencapai tujuan mutu sekolah dalam pendidikan

nasional.34 Manajemen berbasis sekolah ini merupakan bentuk otonomi dalam

satuan pendidikan, yang dalam hal ini kepala sekolah/madrasah dalam mengelola

kegiatan pendidikan.35

32 Azyumardi Azra (pengt) Sejarah Perkembangan Madrasah,(Depag: Direktorat

Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 2001/2002), hlm. 9-10. 33 Republik Indonesia, Op. Cit, hlm. 34 34 Eman Suparman “Manajemen pendidikan Masa Depan”

http://www.depdiknas.go.id/publikasi/Buletin/Pppg_Tertulis/08_2001/manajemen_pendidikan_masa_depan.htm

35 Ibid, hlm, 67

Page 20: BAB: II KEDUDUKAN PESANTREN DALAM UNDANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/9/jtptiain-gdl-s1-2005... · BAB: II KEDUDUKAN PESANTREN DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 20 TAHUN

34

Peran kepala sekolah dalam pengelolaan pendidikan secara mikro pada

satuan pendidikan semakin besar seiring pelimpahan kewenangan pada era

otonomi. Kepala sekoah adalah seorang guru (jabatan fungsional) yang diangkat

untuk menduduki jabatan struktural (kepala sekolah) di sekolah, ia adalah pejabat

yang ditugaskan untuk mengelola sekolah. (Depdikbud, Direktorat Sarana dan

Prasarana Direktur Jendral Dikdasmen , Pedoman Pengelolaan Administrasi

Sekolah Tingkat Pertama, 1973)36 yang memilik dua peran sekaligus yaitu a)

administratif manajerial, b) kepemimpinan pengajaran.

Dengan adanya pengalihan kewenangan pengambilan keputusan ada

level sekolah, maka sekolah diharapkan lebih mandiri dan mampu menentukan

arah pengembangan yang sesuai dengan tuntunan lingkungan masyarakatnya, atau

dengan kata lain sekolah mampu mengembangkan program yang relevan dengan

kebutuhan masyarakat.37 Dengan tujuan utama manajemen berbasis sekolah

adalah meningkatkan efesiensi, mutu, dan pemerataan pendidikan.38

Sedangkan pengelolaan pendidikan tinggi dengan prinsip-prinsip seperti

dalam pasal 51 ayat 2 diatas merupakan kelanjutan dari pasal 50 ayat 6, dimana

perguruan tinggi dalam pengelolaannya memiliki kebijakan dan otonomi, karena

tanpa otonomi perguruan tinggi tidak dapat melakukan inovasi. Dan karena

otonomi tersebut perguruan tinggi dapat memilik prinsip-prinsip yang dapat

diterapkan dalam lingkungan pendidikan tinggi tersebut,39 minimal prinsip-prinsip

yang telah ditentukan dalam pasal 51 ayat 2 yaitu: prinsip otonomi, akuntablitas,

jaminan mutu, dan evaluasi yang transparan dalam penyelenggaraan pendidikan

tinggi seperti dalam pasal 19 sampai dengan pasal 25.

Pengelolaan pada satuan pendidikan harus sesuai dengan prinsip-prinsip

penyelenggaraan pendidikan yang termuat dalam pasal 4, karena prinsip-prinsip

ini memiliki nilai-nilai filosofis yang tinggi dalam rangka mencapai tujuan

36 Subagio Atmodiwiro, Op. Cit., hlm. 161 37 Sufyarma,Op. Cit., hlm, 87 38 Mulyasa, Op. Cit. hlm., 13 39 H.A.R. Tilaar, Membenahi Pendidikan Nasional, (Jakarta: Rineka Cipta, 2002), hlm.17

Page 21: BAB: II KEDUDUKAN PESANTREN DALAM UNDANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/9/jtptiain-gdl-s1-2005... · BAB: II KEDUDUKAN PESANTREN DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 20 TAHUN

35

pendidikan nasional. Mengenai pengelolaan dalam satuan pendidikan dasar,

menengah dan pendidikan tinggi selanjutnya ditentukan dalam peraturan

pemeritah.

Selain pengelolaan pendidikan formal yang telah diatur diatas juga satuan

pendidikan nonformal mendapatkan perhatian dan bagian dari undang-undang ini

terutama pasal 52, dimana pendidikan nonformal dalam pengelolaannya dapat

dilakukan oleh pemerintah, pemerintah daerah, dan/ masyarakat, dan mengenai

ketantuan yang lain di tentukan dalam peraturan pemerintah.

Pondok pesantren dan madrasah diniah merupakan pendidikan nonformal

yang mendampingi pendidikan formal untuk mencapai tujuan pendidikan

nasional. Pengelolaan pendidikan

Penyelenggaraan pendidikan menurut pasal 53 sebagai kelanjutan

pengelolaan satuan pendidikan disebutkan, bahwa

1. Penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh Pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan.

2. Badan hukum pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berfungsi memberikan pelayanan pendidikan kepada peserta didik.

3. Badan hukum pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berprinsip nirlaba dan dapat mengelola dana secara mandiri untuk memajukan satuan pendidikan.

4. Ketentuan tentang badan hukum pendidikan diatur dengan undang-undang tersendiri. 40

Badan hukum pendidikan sebagaimana yang disebutkan dalan pasal

diatas, dimaksudkan sebagai landasan hukum bagi penyelenggaraan dan/atau

satuan pendidikan, antara lain berbentuk Badan Hukum Milik Negara (BUMN).41

Aset yang dimiliki perguruan tinggi negeri (PTN) yang menjadi Badan

Hukum Milik Negara (BHMN) tetap milik negara. Apalagi gaji yang dibayarkan

kepada dosen dan karyawannya tetap merupakan kontribusi rakyat Indonesia yang

dialokasikan pemerintah atas persetujuan DPR. Harus disadari bahwa BHMN

40 Republik Indonesia, Op. Cit, hlm. 35 41 Ibid., hlm., 67

Page 22: BAB: II KEDUDUKAN PESANTREN DALAM UNDANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/9/jtptiain-gdl-s1-2005... · BAB: II KEDUDUKAN PESANTREN DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 20 TAHUN

36

hanyalah cara pengelolaan perguruan tinggi untuk menghadapi perubahan

strategis yang sedang terjadi.42hal ain sesuai dengan peraturan pemerintah Nomor

152 tahun 2000 tentang penetapan Universitas Indonesia sebagai badan hukum

milik negara Pasal 9 ayat 2

Besarnya kekayaan awal universitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah seluruh kekayaan negara yang tertanam pada universitas, kecuali tanah yang nilainya ditetapkan oleh Menteri Keuangan berdasarkan perhitungan yang dilakukan bersama oleh Departemen Pendidikan Nasional dan Departemen Keuangan.43

Dalam konsep Badan Hukum Milik Negara yang telah

dicanangkan, ditetapkan bahwa otonomi diberikan kepada perguruan tinggi negeri

agar dapat berperan sebagai kekuatan moral, dan hal ini merupakan salah satu

aspek penting dalam reformasi pendidikan tinggi yang saat ini sedang dijalankan.

Namun pengertian "kekuatan moral" tersebut masih abstrak dan perlu

penterjemahan dalam bentuk rambu/panduan pelaksanaan untuk tiapperguruan

tinggi. Tanpa adanya kejelasan tersebut, dikhawatirkan terjadinya penterjemahan

otonomi secara bebas oleh setiap pihak yang berkepentingan yang disesuaikan

dengan kepentingan pribadi masing-masing.44

Sedangkan pengelolaan pendidikan dimasyarakat sebagai bentuk peran

serta masyarakat dalam pendidikan berbentuk pendidikan formal atau nonformal

telah diatur sebagaimana dalam pasal 50, 51, 52 dan 53. Peran masyarakat dalam

pendidikan telah menempatkan masyarakat sebagai sumber, pelaksana, dan

pengguna hasil pendidikan sesuai dengan tuntutan otonomi saat ini dimana

masyarakat telah diberi kebebasan untuk menentukan nasibnya sendiri.

42 Kompas,”Perguruan Tinggi Negeri BHMN Tetap Milik Negara “

, http://www.kompas.com/kompas-cetak/0209/19/dikbud/perg09.htm

43 Peraturan Pemerintah Nomor 152 tahun 2000 tentang penetapan Universitas Indonesia

http://www.theceli.com/dokumen/produk/pp/2000/152-2000.htm 44 Satryo Soemantri Brodjonegoro “Landasan Implementasi Perguruan Tinggi Sebagai

Badan Hukum Milik Negara”

http://www.dikti.org/Landasan%20Implementasi%20BHMN.txt

Page 23: BAB: II KEDUDUKAN PESANTREN DALAM UNDANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/9/jtptiain-gdl-s1-2005... · BAB: II KEDUDUKAN PESANTREN DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 20 TAHUN

37

Jadi pengelolaan pendidikan menurut undang-undang ini dapat

dikelompokkan menjadi 2, yaitu 1) pengelolaan pendidikan secara makro, yaitu

pengelolaan pendidikan di level pemerintah pusat dan/atau pemerintah daerah

pada pendidikan formal atau pendidikan nonformal. 2) penegelolaan pendidikan

secara mikro, yaitu pengelolaan pendidikan yang dilakukan pada tingkat satuan

pendidikan (grass root/ rakyat) yaitu sekolah, madrasah dan lain sebagainya.

E. Tujuan dan Fungsi Pendidikan memurut UU No. 20 tahun 2003

Setiap manusia memiliki tujuan hidup, tujuan yang terbentuk dari norma-

norma yang ada menjadi falsafah hidupnya. Tujuan hidup tidak dapat terpisahkan

dari tujuan pendidikan sebagai sarana memepertahankan eksistensinya, dengan

kata lain tujuan pendidikan muncul dan bersumber dari tujuan hidup.

Masalah tujuan pendidikan merupakan masalah sentral dalam

pendidikan. Tanpa perumusan tujuan yang jelas, maka pelaksanaan pendidikan

akan sesat dan kabur tanpa arah. Karena itu perumusan tujuan pendidikan menjadi

inti dari seluruh kegiatan pendidikan dan perenungan filsafati.45

Tujuan pendidikan merupakan kristalisasi dari berbagai aspek kehidupan

suatu bagsa dalam bidang agama, ideologi, politik, ekonomi sosial budaya,

hukum, kependudukan, lingkungan hidup, serta pertahanan dan keamanan.46

Tujuan pendidikan tidak dapat lepas dari fungsi pendidikan, fungsi pendidikan

menurut Seonarya adalah sebagai suatu investasi, proyek ideologi, pelayanan

umum, legitimasi hubungan antar kelompok, fungsi intelektual, moral,

profesional, sosiopolitik, lembaga sosialisasi, institusi untuk mengejar prestasi,

serta lembaga mekanisme pasar, dan proses seleksi.47

45 Kartini Kartono, Tinjauan Holistik Mengenai Tujuan Pendidikan Nasional, (Bandung:

Praja Paramita, 1997).,hlm, 17 46 Endang Soenarya, Pengantar Toeri Perencanaan Pendidikan Berdasarkan Pendekatan

Sistem, (Yogyakarta: Adicita Karta Cipta, 2000), hlm., 84 47 Ibid., hlm., 84

Page 24: BAB: II KEDUDUKAN PESANTREN DALAM UNDANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/9/jtptiain-gdl-s1-2005... · BAB: II KEDUDUKAN PESANTREN DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 20 TAHUN

38

Tujuan pendidikan di Indonesia ada jauh sebelum Indonesia terbentuk

menjadi sebuah negara, dimana masyarakat-masyarakat primitif telah mengenal

bentuk atau jenis pendidikan. Semua peristiwa yang ada di sekitarnya telah

membentuk sejumlah perilaku dan sikap menjadi watak, mentalitas, pribadi

masyarakat primitif tersebut. Tujuan pendidikan sebagai arah dan pencapaian dari

pendidikan telah mengalami barbagai perkembangan yang dipengarui oleh

peradaban dan budaya masyarakat setempet.

Di Indonesia telah mengalami beberapakali perubahan tujuan pendidikan

seiring tuntutan perkembangan zaman yang selalu bergerak secara dinamis, sejak

pendidikan zaman penjajahan (imperalizm) Belanda dan Jepang sampai masa

kemerdekaan dan masa pembagunan,48 dan saat sekarang tujuan pendidikan

nasional telah termaktub dalam UU No. 20 tahun 2003.

Tujuan dan fungsi pendidikan nasioanal terbentuk berdasarkan visi dan

misi pendidikan nasional. Visi dan misi berasal dari kata vision dan mision

(bahasa Inggris) yang berarti; vision adalah pandangan dengan pemikiran yang

mendalam dan jernih jauh kedepan, sedangkan mision adalah berarti tigas yang

diemban.49 Visi dan misi pendidikan nasional telah disebutkan dalam penjelasan

UU No. 20 tahun 2003, sebagai berikut:

Visi :

Terwujutnya sistem pendidikan sebagai pranata sosial yang kuat dan berwibawa untuk memberdayakan semua warga negara Indonesia yang berkembang menjadi manusia yang berkualitas sehingga mampu dan proaktif menjawab tantangan zaman yang selalu berubah

Misi :

1. Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan yang bermutu bagi seluruh rakyat Indonesia;

48 Kartini Kartono, Op. Cit, hlm, 48-58. 49 Fatkhurrahman, Pupuh, “Pengembangann Pondok Pesantren (Analisis Terhadap

Keunggulan Sistem Pendidikan Pesantren Terpadu)”, Lektur, seri XVI/2002., hlm. 315

Page 25: BAB: II KEDUDUKAN PESANTREN DALAM UNDANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/9/jtptiain-gdl-s1-2005... · BAB: II KEDUDUKAN PESANTREN DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 20 TAHUN

39

2. Membantu dan mengfasilitasi pengembangan potensi anak bangsa secara utuh sejak usia dini sampai akhir hayat dalam rangka mewujutkan masyarakat belajar;

3. Mempersiapkan masukan dan kualitas proses pendidikan untuk mengoptimalkan pembentukan kepribadian yang bermoral;

4. Meningkatkan keprofesionalan dan akuntabilitas lembaga pendidikan sebagai pusat pembudayaan ilmu pengetahuan, ketrempilan, pengalaman, sikap, dan nilai berdasarkan standar nasional dan global;

5. Memberdayakan peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan berdasarkan prinsip otonomi dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia.50

Dengan visi dan misi tersebut ditentukan tujuan dan fungsi pendidikan

nasional sebagai arah dan pencapaian pendidikan telah disebutkan dalam pasal 3

UU No. 20 tahun 2003, yaitu:

Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.51

Tujuan dan fungsi pendidikan diatas merupakan draf legal formal yang

telah sesuai dengan UUD 1945 hasil amandemen pasal 31 ayat 3 berbunyi:

Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakn suatu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketaqwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-undang.52

Pasal 31 ayat 5 berbunyi:

50 Republik Indonesia, Op. Cit, hlm. 48-49 51 Ibid., hlm. 12 52 Republik Indonesia, “Undang-Undang Dasar 1945 Hasil Amandemen 2002”, dalam

Kaelan, Kajian Tentang Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Hasil Amandemen Disahkan 10 Agustus 2002 (Analisis Filosofis dan Yuridis), (Yogyajarta: Paradigma, 2002) , hlm. 39

Page 26: BAB: II KEDUDUKAN PESANTREN DALAM UNDANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/9/jtptiain-gdl-s1-2005... · BAB: II KEDUDUKAN PESANTREN DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 20 TAHUN

40

Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk memajukan peradaban serta kesejahteraan umat manusia.53

Apabila dipahami bahwa fungsi pendidikan nasional Menurut UU

sisdiknas memiliki 3 fungsi yaitu: 1) mengembangkan kemampuan bangsa; 2)

membentuk watak bangsa; dan 3) mengembangkan peradapan bangsa yang

bermartabat. Ke-3 fungsi tersebut mengerucut kepada terbentuknya kehidupan

bangsa yang cerdas, yaitu bangsa yang dapat tahan terhadap berbagai situasi dan

kondisi yang selalu bergerak dinamis. Hal ini sesuai dengan pembukaan UUD

1945 alinia ke-4 yaitu ...mencerdaskan kehidupan bangsa....

Fungsi pendidikan diatas juga dapat dilihat pada beberapa bagian yang

secara khusus menjelaskan fungsi pendidikan, seperti pasal 26 ayat 2 tentang

fungsi pendidikan nonformal; pasal 29 ayat 2 tentang fungsi pendidikan

kedinasan; pasal 30 ayat 2 tantang fungsi pendidikan keagamaan.

Tujuan pendidikan nasional bersifat abstrak karena memuat nilai-nilai

yang sangat abstrak bersifat umum, ideal, dan kandungannya sangat luas.54

Tujuan pendidikan tersebut telah mengakomodir berbagai kepentingan dan nilai

ideal suatu bangsa, antara lain falsafah hidup bangsa, agama, dan budaya

Tujuan pendidikan pasal 3 diatas secara formal memiliki 8 hal yang

menjadi tujuan sebagai arah dan pencapaian yang perlu dikembangkan untuk

peserta didik dalam pendidikannyan yaitu pengembangan:

1. Iman dan taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;

2. Akhlak mulia

3. Sehat;

4. Berilmu;

5. Cakap;

6. Kreatif;

7. Mandiri dan

53 Ibid. 54 UmarTirtarahardja, La Sula, Pengantar Pendidikan, (Jakarta: Rineka Cipta, 2000), hlm.

38

Page 27: BAB: II KEDUDUKAN PESANTREN DALAM UNDANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/9/jtptiain-gdl-s1-2005... · BAB: II KEDUDUKAN PESANTREN DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 20 TAHUN

41

8. Menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab.

Ke-8 unsur diatas difahami sebagai cita-cita bersama atas kondisi faktual

bangsa, dimana moralitas bangsa telah mengalami keterpurukan dan terjadinya

krisis multidemensi. Namun ke-8 unsur tersebut merupakan konsep yang

eksplosif, yaitu hal yang mengandung pengertian-pengertian yang besar dan

sangat rumit.55 Untuk itu dibutuhkan perincian operasional yang dapat

mewujutkan nilai-nilai dari berbagai unsur-unsur kehidupan, baik secara filisofis,

ekonomis, agama, politik, dan kebudayaan.

Untuk mewujutkan tujuan pendidikan nasional tersebut maka perlu

dijabarkan menjadi tujuan institusional, dan tujuan intruksional melalui strategi

pendidikan nasional yaitu:

a. pelaksanaan pendidikan agama serta akhlak mulia;

b. pengembangan dan pelaksanaan kurikulum berbasis kompetensi;

c. proses belajar yang mendidik dan dialogis;

d. evaluasi, akreditasi, serta sertifikasi pendidikan yang memperdayakan;

e. penigkatan keprofesionalan pendidik dan tenaga pendidikan;

f. penyediaan sarana pengajara yang mendidik

g. pembiayaan pendidikan yang sesuai dengan prinsip pemerataan dan keadilan

h. penyelenggaraan pendidikan yang terbuka dan merata;

i. pelaksanaan wajib belajar;

j. pemberdayaan peran masyarakat;

k. pelaksanaan otonomi manajemen pendidikan;

l. pusat pembudayaan dan pembangunan masyarakat; dan

m. pelaksanaan pengawasan dalam sistem pendidikan nasional.56

Terbentuknya manusia yang beriman dan bertaqa serta berakhlak mulia

sebagai cita-cita pendidikan nasional sulit terbentuk tanpa adanya peran dari

pendidikan agama, karena pendidikan agama tidak hanya memberikan

55 H.A.R. Marta Tilaar, Pendidikan, Kebudayaan, dan Masyarakat Madani. (Bandung:

Remaja Rosdakarya, 2000). Cet. 2, hlm. 138 56 Republik Indonesia, Op. Cit, hlm. 49-50

Page 28: BAB: II KEDUDUKAN PESANTREN DALAM UNDANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/9/jtptiain-gdl-s1-2005... · BAB: II KEDUDUKAN PESANTREN DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 20 TAHUN

42

pengatehuan yang bersifat kognitif, afektif seperti pendidikan etika dan moral57

serta nilai nilai yang bersifat spiritual.

Pendidikan agama dalam satuan pendidikan telah menjadi sebuah mata

pelajaran yang wajib diberikan oleh institusi pendidikan kepada peserta didiknya.

Pemberian pendidikan agama kepada peserta didik sebagai sarana terwujutnya

tujuan pendidikan nasional. Menurut Salman Harun, bahwa pendidikan agama

yang diberikan di sekolah sudah cukup berhasil, hal ini terbukti religius

masyarakat cukup baik, dan dikatakan lebih lanjut bahwa pendidikan yang

diberikan sampai saat ini mengasilkan koruptor, menurutnya tuduhan tersebut

tidak benar karena tidak berdasar.58 Hal ini menunjukan bahwa harapan cukup

besar terhadap pendidikan agama untuk terwujutnya tujuan pendidikan nasional.

Jadi tujuan dan fungsi pendidikan nasionalmerupakan 2 sisi yang tidak

dapat dipisahkan yang berjalan secara sinergi dalam menghantarkan masyarakat

Indonesia dimasa depan. Tujuan dan fungsi pendidikan nasional didasarkan pada

visi dan misi pendidikan nasional diwujutkan melalui strategi pendidikan

nasional.

F. Kurikulum dalam UU No. 20 tahun 2003

Kurikulum dalam proses pendidikan atau pengajaran merupakan bagian

yang tidak dapat dipisahkan dan memiliki kedudukan penting bagi tercapainya

tujuan pendidikan. Konsep kurikulum berkembang sejalan dengan perkembangan

teori dan praktek pendidikan, juga bervariasi sesuai dengan aliran atau teori

pendidikan yang dianut. Menurut pandang lama, kurikulum merupakan kumpulan

mata pelajaran yang harus disampaikan guru atau di peroleh oleh siswa.

57 Kompas “Pendidikan Agama di Sekolah Dinilai Gagal”

http://www.kompas.com/kompas-cetak/0305/31/dikbud/340513.htm 58 Salman Harun, “pendidikan agama sangat berhasil, cuma...” Edukasi

XXVII/II/Th.XI/I/2003, hlm. 23.

Page 29: BAB: II KEDUDUKAN PESANTREN DALAM UNDANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/9/jtptiain-gdl-s1-2005... · BAB: II KEDUDUKAN PESANTREN DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 20 TAHUN

43

Kurikulum bukan hanya rencana tertulis bagi pengajaran melainkan suatu

yang fungsional yang beroperasi dalam kelas, yang memberi pedoman dan

mengatur lingkungan dan kegiatan yang berlangsung dalam kelas. Rencana

tertulis merupakan dokumen kurikilum (curriculum documen or inert

curriculum), sedangkan kurikulum yang beroperasi dikelas merupakan kurikulum

fungsional (fungsioning, live or operatif curriculum ). 59

Menurut UU No.20 tahun 2003 kurikulum didefinisikan sebagai

seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran

serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan

pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Rumusan yuridis

tersebut menenujukkan adanya dua dimensi pokok kurikulum yakni produk dan

proses, yang secara keseluruhan mencakup aspek materi (content), pengalaman

siswa (experiences), tujuan kegiatan belajar mengajar (objektives) dan hasil

kegiatan belajar mengajar (outcomes). Dimensi pokok tersebut sebagai penyusun

kurikulum.60

Berdasarkan sejarah, kurikulum di Indonesia telah mengalami beberapa

kali perubahan, minimal pada tahun 1954,1961, 1968,1975, 1984, 1994, dan 1994

suplemen tahun 1999, demikian pula pada tahun pelajaran 2002/2003 ini telah

dicanangkan kurikulum baru yang dikenal sebagai kurikulum berbasis kompetensi

(KBK).61

Kurikulum berbasis kompetensi merupakan suatu format yang

menetapkan tentang kemampuan apa yang diharapkan dikuasai siswa dalam setiap

59 Nana Saudih Sukmadinata, Pengembangan Kurikulum Teori Dan Praktek, (Bandung:

Remaja rosdakarya, 1999), Cet. 2, hlm. 4 60 Suke Silverius, “MasaDepan Kurikulum MasaDepan”, Jurnal Pendidikan Dan

Kebudayaan,No. 046, Tahun Ke-10, Januari, hlm. 27 61 Sri Sumarni, penilaian berbasis kelas (PBK) dalam rangka implementasi kurikulum

PAI berbasis kompetensi, dalam Jurnal Pendidikan Islam, Vol. 4, No. I, Januari 2003: 33-46, hlm. 34

Page 30: BAB: II KEDUDUKAN PESANTREN DALAM UNDANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/9/jtptiain-gdl-s1-2005... · BAB: II KEDUDUKAN PESANTREN DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 20 TAHUN

44

tingkatan. Setiap kompetensi menggambarkan tingkat kemapuan siswa menuju

kompetensi pada kemampuan yang lebih tingi.62

KBK sebagai kurikulum terbaru telah tercantum dalan penjelasan UU

No.20 tahun 2003 pada 1 dari 13 strategi pendidikan nasional, berbunyi:

pengembangan dan pelaksanaan kurikum berbasis kompetensi.63 Pengembangan

dan pelaksanaan kurikulum harus memperhatikan 3 kecenderungan agar

terpenuhinya kepentingna nasional, keadaan dan kebutuhan lingkungan, ciri khas

satuan pendidikan, serta kepentingan masa depan anak didik dan masyarakat,

yaitu: 1) ke-kini-an dan ke-disini-an, 2) ke-masa-depan-an, 3) kepantingan satuan

pendidikan.64

Kurikulum pendidikan telah diatur dalam UU No.20 tahun 2003 pada

pasal 36, 37, dan 38, yang masih diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah

untuk dapat diaplikasikan pada tahab pelaksanakan oleh setiap praktisi

pendidikan.

Kurikulum dikembangkan mengacu pada standar pendidikan nasional

yang terdiri dari standar isi, proses, kompetensi lulusan, tenaga kepandidikan,

sarana dan prasarana, pengelolaan, dan pembiayaan.65 Untuk mewujutkan tujuan

pendidikan nasional.66

Standar pendidikan nasional merupakan hal yang penting dalam

meningkatkan mutu dan pemerataan pendidikan nasional yang bersifat dasar bagi

setiap anak didik yang diwujutkan dalam suatu bentuk kurikulum pendidikan

nasional.67 Untuk mewujutkan peningkatan dan pemerataan pendidikan pada

62 Ibid. hlm. 34. 63 Republik Indonesia, Op. Cit, hlm.49 64 Sudardja Adiwikarta, “Kurikulum Yang Berorientasi Pada Kekinian,Kedisinian, Dan

Kemasa Depanan”, dalam, Kurikulum Untuk Abad Ke-21, (Jakarta: Grasaindo, 1994), hlm. 101 65 Pasal 35 UU No.20 tahun 2003 66 pasal 36 ayat 1 UU No.20 tahun 2003 67 H.A.R. Tilaar, Op. Cit., hlm. 372

Page 31: BAB: II KEDUDUKAN PESANTREN DALAM UNDANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/9/jtptiain-gdl-s1-2005... · BAB: II KEDUDUKAN PESANTREN DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 20 TAHUN

45

otonomi daerah bukanlah saat ini bukanlah hal yang mudah tapi bukan pula hal

yang tidak mungkin.

Untuk itu, pengembangan kurikulum menggunakan prinsip diversifikasi

sesuai dengan satuan pendidikan, potensi daerah dan peserta didik.68

Diversifikasi dimaksudkan untuk memungkinkan penyesuaian program

pendidikan pada satuan pendidikan dengan kondisi kekhasan potensi yang ada di

daerah. Kurikulum harus disajikan dalam kerangka pengenalan ilmu pengetahuan

dan pembentukan keterampilan praktis serta pembentukan moral agama (budi

pekerti) yang diperlukan oleh peserta didik dan masyarakat untuk membangun

kehidupan ekonomi, sosial, dan budaya mereka.69 Dengan memperhatikan:

a. peningkatan iman dan takwa;

b. peningkatan akhlak mulia;

c. peningkatan potensi, kecerdasan, dan minat peserta didik;

d. keragaman potensi daerah dan lingkungan;

e. tuntutan pembangunan daerah dan nasional;

f. tuntutan dunia kerja;

g. perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni;

h. agama;

i. dinamika perkembangan global; dan

j. persatuan nasional dan nilai-nilai kebangsaan.70

Beberapa acuan yang menjadi pertimbangan setiap pengembang dan

pelaksana kurikulum diatas diimplementasikan sebagai usaha untuk memenuhi

standar pendidikan nasional dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan dalam

bentuk beberapa mata pelajaran. Pada pendidikan dasar dan menengah menurut

UU No.20 tahun 2003 pasal 37 kurikulum wajib memuat:

a. pendidikan agama;

b. pendidikan kewarganegaraan;

68 pasal 36 ayat 2 UU No.20 tahun 2003 69 Ibrahim Musa. Op. Cit. hlm 70 pasal 36 ayat 3 UU No. 20 tahun 2003

Page 32: BAB: II KEDUDUKAN PESANTREN DALAM UNDANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/9/jtptiain-gdl-s1-2005... · BAB: II KEDUDUKAN PESANTREN DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 20 TAHUN

46

c. bahasa;

d. matematika;

e. ilmu pengetahuan alam;

f. ilmu pengetahuan sosial;

g. seni dan budaya;

h. pendidikan jasmani dan olahraga;

i. keterampilan/kejuruan; dan

j. muatan lokal.

Kurikulum pendidikan dasar dan pendidikan menengah tersebut

dikembangkan dengan relevansinya oleh setiap kelompok atau satuan pendidikan

dan komite sekolah/madrasah di bawah koordinasi dan supervisi dinas pendidikan

atau kantor pendidikan agama kabupatan/kota untuk pendidikan dasar dan

provinsi untuk pendidikan menengah

Untuk pendidikan tinggi kurikulum dikembangkan oleh perguruan tinggi

yang bersangkutan dengan mengacu pada standar nasional pendidikan untuk

setiap program pendidikan, dengan wajib memuat:

a. pendidikan agama;

b. pendidikan kewarganegaraan; dan

c. bahasa.

Dimana kerangka dasar dan struktur kurikulum pendidikannya

dikembangkan oleh pendidikan tinggi yang bersangkutan dengan mengacu pada

standar nasional pendidikan untuk setiap program studi.71

Pendidikan tinggi yang dimaksud adalah perguruan tinggi yang berbentuk

akademi, politeknik, sekolah tinggi, institut, dan universitas yang dapat

memberikan gelar sesuai sesuai bidang setudinya merupakan lembaga yang

otonom dalam mengelolaan termasuk pengembangan kurikulum.

Pelaksanaan pendidikan agama pada lembaga pendidikan dasar, menengah

dan tinggi telah ditetapkan dalam kurikulum pendidikannya sebagai mata

pelajaran wajib yang diberikan satuan pendidikan formal kepada peserta didik

71 pasal 38 ayat 4 UU No.20 tahun 2003

Page 33: BAB: II KEDUDUKAN PESANTREN DALAM UNDANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/9/jtptiain-gdl-s1-2005... · BAB: II KEDUDUKAN PESANTREN DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 20 TAHUN

47

bersama-sama mata pelajaran lainnya, seperti pendidikan kewarganegaraan;

bahasa; matematika; ilmu pengetahuan alam; ilmu pengetahuan sosial; seni dan

budaya; pendidikan jasmani dan olahraga; keterampilan/kejuruan; dan muatan

lokal.

Dalam kurikulum pendidikan nasional pentingnya pendidikan agama dalan

undang-undang telah tereduksi dalam sisdiknas pasal 37 tentang kurikulum

pendidikan dasar, menengah dan tinggi, pasal 12 ayat 1 (a) hak pesera didik dan

pasal 30 ayat 3 tentang pendidikan keagamaan serta 1 dari 13 strategi pelaksanaan

pendidikan nasional.

Jadi, kurikulum yang diatur dalam UU No. 20 tahun 2003 telah berusaha

mengakumudir berbagai kepantingan dan tuntutan dari berbagai aspek kehidupan

terutama kebutuhan pendidikan saat sekarang dan yang akan datang, dengan

memberikan peluang yang besar untuk setiap satuan pendidikan dalam

mengambangkan kurikulumnya sesuai dengan keunggulam yang dimilikinya.