MADRASAH, PENDIDIKAN KEAGAMAAN DAN PESANTREN...

15
MADRASAH, PENDIDIKAN KEAGAMAAN DAN PESANTREN Sebuah Dilema Baru Pasca Otonomi Daerah Oleh: Fauzan, MA 1 Prolog Salah satu dampak positif dari reformasi bidang pemerintahan adalah terjadinya pergeseran paradigma politik pemerintahan dari sentralistik kepada desentralistik, yang diwujudkan dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah dan kemudian dirubah menjadi Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, serta Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 Tentang Pembagian Keuangaan antara Pusat dan Daerah. Lahirnya produk hukum tentang otonomi daerah tersebut dimaksudkan untuk menciptakan kemandirian daerah di dalam kerangka Negara Kesatuan RI, karenanya otonomi tersebut tidak dapat diartikan sebagai suatu kebebasan obsolut tanpa mempertimbangkan kepentingan nasional secara keseluruhan. Karena itu, desentralisasi bukanlah merupakan sistim yang berdiri sendiri, melainkan dia merupakan rangkaian kesatuan dari suatu sistim yang lebih besar, yaitu Negara Kesatuan RI. Realitas ini tidak saja mengabaikan keberadaan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004, juga bertentangan dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 11, Ayat (2), yang menyebutkan bahwa Pemerintah dan pemerintah daerah wajib menjamin tersedianya dana guna terselenggaranya pendidikan bagi setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun. Pasal tersebut tentu saja memasukkan di dalamnya adalah penyelenggaraan Pendidikan Agama. Lebih lanjut dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional tersebut dijelaskan dalam bagian Menimbang point (c) disebutkan bahwa “sistem pendidikan nasional harus mampu menjamin pemerataan kesempatan pendidikan, peningkatan mutu serta relevansi dan efisiensi manajemen pendidikan untuk menghadapi tantangan sesuai dengan tuntutan perubahan kehidupan lokal, nasional, dan global sehingga perlu dilakukan 1 Penulis adalah Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Transcript of MADRASAH, PENDIDIKAN KEAGAMAAN DAN PESANTREN...

Page 1: MADRASAH, PENDIDIKAN KEAGAMAAN DAN PESANTREN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28137/3/FAUZAN...Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah dan ...

MADRASAH, PENDIDIKAN KEAGAMAAN DAN PESANTREN Sebuah Dilema Baru Pasca Otonomi Daerah

Oleh: Fauzan, MA1

Prolog

Salah satu dampak positif dari reformasi bidang pemerintahan adalah terjadinya pergeseran

paradigma politik pemerintahan dari sentralistik kepada desentralistik, yang diwujudkan dalam

Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah dan kemudian dirubah menjadi

Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, serta Undang-undang

Nomor 25 Tahun 1999 Tentang Pembagian Keuangaan antara Pusat dan Daerah.

Lahirnya produk hukum tentang otonomi daerah tersebut dimaksudkan untuk

menciptakan kemandirian daerah di dalam kerangka Negara Kesatuan RI, karenanya otonomi

tersebut tidak dapat diartikan sebagai suatu kebebasan obsolut tanpa mempertimbangkan

kepentingan nasional secara keseluruhan. Karena itu, desentralisasi bukanlah merupakan sistim

yang berdiri sendiri, melainkan dia merupakan rangkaian kesatuan dari suatu sistim yang lebih

besar, yaitu Negara Kesatuan RI.

Realitas ini tidak saja mengabaikan keberadaan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004,

juga bertentangan dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan

Nasional, Pasal 11, Ayat (2), yang menyebutkan bahwa Pemerintah dan pemerintah daerah wajib

menjamin tersedianya dana guna terselenggaranya pendidikan bagi setiap warga negara yang

berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun. Pasal tersebut tentu saja memasukkan di dalamnya

adalah penyelenggaraan Pendidikan Agama.

Lebih lanjut dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan

Nasional tersebut dijelaskan dalam bagian Menimbang point (c) disebutkan bahwa “sistem

pendidikan nasional harus mampu menjamin pemerataan kesempatan pendidikan, peningkatan

mutu serta relevansi dan efisiensi manajemen pendidikan untuk menghadapi tantangan sesuai

dengan tuntutan perubahan kehidupan lokal, nasional, dan global sehingga perlu dilakukan 1 Penulis adalah Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Page 2: MADRASAH, PENDIDIKAN KEAGAMAAN DAN PESANTREN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28137/3/FAUZAN...Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah dan ...

pembaharuan pendidikan secara terencana, terarah, dan berkesinambungan”. Sedangkan, layanan

dan kemudahan seperti disebutkan dalam Pasal 11 Ayat (1): “Pemerintah dan Pemerintah Daerah

wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang

bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi”. Atas dasar tersebut, Pemerintah dan

Pemerintah Daerah menjamin berlangsungnya pelaksanaan pendidikan, dengan tidak

membedakan apakah pendidikan tersebut dikategorikan “umum” atau berbasiskan “agama”.

Diperjelas lagi dalam Ayat (2), Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 yang menyebutkan bahwa

“Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib menjamin tersedianya dana guna terselenggaranya

pendidikan bagi setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun”.

Masalah belum adanya perhatian pemerintah daerah terhadap penyelenggaraan pendidikan

agama tersebut muncul, banyak disebabkan oleh pemahaman, interpretasi dan implementasi yang

tidak komprehensif mengenai keberadaan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang

Pemerintahan Daerah sebagaimana dalam Pasal 10 Ayat (3) poin (f) yang di dalamnya memuat

tentang sentralisasi masalah “agama” oleh Pemerintah (Pusat). Dalam pasal tersebut disebutkan

bahwa “yang dimaksud dengan urusan agama, misalnya menetapkan hari libur keagamaan yang

berlaku secara nasional, memberikan pengakuan terhadap keberadaan suatu agama, menetapkan

kebijakan dalam penyelenggaraan kehidupan keagamaan dan sebagainya; dan bagian tertentu

urusan pemerintah lainnya yang berskala nasional, tidak diserahkan kepada daerah. Khusus di

bidang keagamaan sebagian kegiatannya dapat ditugaskan oleh Pemerintah kepada Daerah sebagai

upaya meningkatkan keikutsertaan dalam menumbuhkembangkan kehidupan keagamaan”.

Atas dasar Pasal 10 tersebut, banyak Pemerintah Daerah yang memahami bahwa

penyelenggaraan Pendidikan Agama dengan merujuk dianggap menjadi tanggung jawab

Pemerintah Pusat cq. Departemen Agama Republik Indonesia. Padahal, jika merujuk pada Pasal 14

Ayat (1) Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 disebutkan bahwa “urusan wajib yang menjadi

kewenangan pemerintah daerah untuk kabupaten/kota merupakan urusan yang berskala

kabupaten/kota” dikaitkan dengan poin (f) dalam pasal tersebut “penyelenggaraan pendidikan”.

Karena keterbatasan kemampuan Pemerintah Pusat dan adanya anggapan bahwa Pendidikan

Agama bukan wewenang Pemerintah Daerah, menyebabkan Pendidikan Agama menjadi

Page 3: MADRASAH, PENDIDIKAN KEAGAMAAN DAN PESANTREN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28137/3/FAUZAN...Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah dan ...

terabaikan, dan cenderung tidak diperhatikan, baik dalam konteks pembinaan tenaga guru, tenaga

kependidikan, desain kurikulum, penyediaan sarana dan juga pendanaan penyelenggaraan

pendidikan agama di daerah. Dengan demikian masalah pendidikan agama dan keagamaan yang di

kelola Departemen Agama menjadi posisi yang remang-remang dan bila hal ini tidak terperhatikan

maka dia dapat merugikan berbagai fihak, terutama para penyelenggara dan peserta didik

dilingkungan Departemen Agama.

Madrasah, Pendidikan Keagama, dan Pesantren

Madrasah Menurut Munir Ud-Din Ahmed yang juga dikutip oleh Azyumardi, sebelum

munculnya madrasah, pendidikan muslim sejak masa Nabi Muhammad berlangsung terutama di

seputar masjid dan rumah guru. Pendidikan dilaksanakan dalam halaqoh, majlis alo-Tadris, dan

kuttab 2 . Pendidikan madrasah merupakan pengembangan dari pendidikan yang sudah ada

sebelumnya, menurut hemat penulis, dilihat dari kronologi sejarahnya, pendidikan Islam

disampaikan pertama kalinya mulai dari rumah, lalu seiring dengan berkembangnya Islam dan

terbentuknya masyarakat muslim maka masjid dijadikan tempat pendidikan berikutnya.

Selanjutnya dengan makin banyaknya peminat (pelajar) dan juga pengetahuan tentang keagamaan

makin merata sehingga sering kali terjadi soal-jawab dan debat dalam masjid yang mengganggu

suasana ketenangan masjid sebagai tempat ritual vertikal khususnya, maka muncullah kuttab3

sebagai implikasi-logis suasana masjid yang tidak begitu kondusif. Syalabi menggambarkan ini:

Sejak masa awal Islam, banyak orang berminat untuk mempelajari Islam. Bertambah tahun, semakin banyak orang yang menghadiri pertemuan untuk belajar ilmu (halaqah 'ilm). Dari setiap grup pertemuan terdengar suara dari seorang furu yang memberikan pelajarannya dan dari suara-suara peserta didik yang bertanya dan saling berdebat. Maka terjadilah suara keras dari beberapa frupo pertemuan itu. Sedikit banyak hal itu menimbulkan gemuruh yang mengganggu pelaksanaan

2 Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII

Melacak Akar-Akar Pembaharuan Pemikiran Islam Di Indonesia (Bandung: Mizan, 1998), Cet.IV, h.11 3 Menurut Asma Hasan Fahmi, Kuttab merupakan Institusi pendidikan Islam yang didirikan oleh orang

Arab pada masa Abu BAkar dan Umar. Kemunculan Institusi ini berkaitan dengan keberhasilan orang-orang Arab muslim menguasai wilayah-wilayah baru. (lihat: Asma Hasan Fahmi, Sejarah dan Filsafat Pendidikan Islam, terj. Ibrahim Husen, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), Cet.1, h.30

Page 4: MADRASAH, PENDIDIKAN KEAGAMAAN DAN PESANTREN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28137/3/FAUZAN...Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah dan ...

ibadah sebagai mestinya. Jelaslah masjid menjadi sulit untuk dijadikan tempat ibadah dan tempat belajar sekaligus4.

Menurut George Makdisi, perpindahan lembaga pendidikan Islam dari masjid ke madrasah

terjadi secara tidak langsung, tetapi melalui tahapan perantara, yaitu masjid. Lebih lanjut ia

mengemukakan teori, bahwa asal muasal pertumbuhan madrasah merupakan hasil tiga tahap:

tahap masjid, tahap masjid khon, dan tahap madrasah.5 Masjid dalam tahap pertama yang dimaksud

adalah masjid biasa, bukan masjid jami yang biasanya didirikan oleh pemerintah. Karena biasanya

masjid seperti itu tidak terbuka untuk pendidikan agama bagi umum. Sedangkan yang dimaksud

dengan masjid khon adalah masjid yang dilengkapi fasililtas menginap, seperti asrama atau

pemondokan. Letaknya biasanya bergandengan ataudekat dengan masjid itu sendiri. Tahap

selanjutnya terntulah madrasah yang menjadi lembaga pendidikan sebagai pengembangan dari

masjid dan kuttab.

Lain lagi halnya dengan Ahmad Syalabi, Menurutnya perkembangan dari masjid ke

madrasah terjadi secara langsung, tidak memakai lembaga perantara.6 Nampaknya, Syalabi melihat

adanya madrasah merupakan implikasi logis dari semakin ramainya kegiatan pengajian di masjid

dan juga hal yang wajar dari kemajuan pemikiran karena pengaruh perkembangan zaman yang

tidak menutup kemungkinan perlunya ada inovasi-inovasi tertentu.

Munculnya madrasah ini nampaknya sudah ada sejak zaman Abbasiyah, sebagaimana

sedikit telah disinggung di atas. Hassan Muhammad Hassan dan Nadiyah Muhammad Jamaluddin

menyebutkan lima sistem pendidikan yang ada pada abad keempat hijrah dengan pendeskripsian

sebagai berikut:

1. Filosof menggunakan: Dar al-Hikamah, al-Muntadiyat, Hawanit dan Warraqin. 2. Orang-orang sufi menggunakan: al-Zawaya, al-Masajid dan Halaqot al-Dzikr. 3. Orang-orang Syiah menggunakan: Dar al-Hikmah, al-Masajid, al-Maktabat, Hawanit, al-

Warraqin, dan al-Muntadiyat.

4 Ahmad Syalabi, al-Tarbiyah al-Islamiyah, Nuzumuha, falsafatuha, Tarikhuha (Kairo, Maktabah al-

Nahdah al-Mishriyah, 1987), Cet. 1, h.43 (dalam footnote "Madrasah Sejarah dan perkembangan", karya: Dr. H. Maksum, h. 55)

5 George Makdisi, Muslim Institutions of Learning in Eleventh-Century Baghdad, dalam Buletting of the School of oriental and African Studies 25:1961, h. 1-56 (dalam footnote "Madrasah Sejarah dan perkembangannya", Karya: Dr. H. Maksum, H. 56-57)

6 Ahmad Syalabi, History of Muslim Education, (Beirut: Dar al-al-Kasyaf, 1954), h. 257-259

Page 5: MADRASAH, PENDIDIKAN KEAGAMAAN DAN PESANTREN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28137/3/FAUZAN...Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah dan ...

4. Mutakallimin menggunakan: al-Masajid, al-Maktabat, Hawanit, al-Warraqin, dan al-Muntadiyat.

5. Fuqoha dan Ahli Hadist menggunakan: Al-Katatib, al-Madaris, al-Masajid.7 Meskipun istilah madrasah telah ada pada masa Abbasiyah, namun menurut Al-Suyuthi

sebagai dikutip oleh Abu al-Falah, Istilah 'madrasah' baru digunakan agak luas sejak abad

kesembilan masehi. Institusi yang memperlihatkan ciri-ciri madrasah sebagaimana dikenal

sekarang, didirikan di Nisyapur, Iran, sekitar perempatan pertama abad kesebelas masehi.8 Kajian

tentang sejarah munculnya madrasah pertama didunia Islam masih di debatkan. Syalabi

menyatakan bahwa madrasah yang mula-mula muncul di dunia adalah Nizhamiyah yang didirikan

oleh Nizham Al-Mulk, perdana mentri dari Saljuk, pada tahun 1065-1067 M/ (457- 459 H).

Pendapat ini juga dikemukakan oleh Phlilip.K.Hitti dalam bukunya "History of the Arabs" (lihat,

Philip K. Hitti 1974:410). Sedangkan Richard W. Bulliet berpendapat bahwa dua abad sebelum

Madrasah Nizamiyah muncul, di Nisapur (Naisabur) sudah berdiri madrasah, yaitu Miyan Dahiyah9

Athiyah Al-Abrasyi, mengutip dari Al-Maqrizi,10 mengemukakan bahwa madrasah al-Baihaqiyah

adalah madrasah yang pertama didirikan pada akhir abad keempat hijrah (abad kesebelas Masehi).11

Hasal Abd al-'Al, yang secara khusus melakukan kajian mengenai pendidikan Islam pada abad

keempat hijrah, mengemukakan bahwa madrasah telah berdiri sejak abad keempat hijrah dan

dihubungkan dengan penduduk Naisabur. Ia memperkuat pendapatnya dengan mengajukan bukti-

bukti berdasar karya penulis-penulis abad keempat sendiri. Beberapa sumber yang ia kutip antara

lain Ahsan alTaqosim fi Ma'rifat al-"Aqolim karya al-Maqdisi (wafat 378 H), Tobaqot al-Syafi'iyah

al-kubro karya al-Subki (316-388 H), al-Rasail karya Badi' al-Zaman al-Hamadani (wafat 398 H)12

7Hassan Muhammad Hassan dan Nadiyah Jamaluddin, Madaris al-Tarbiyah fi al-Hadarah al-Islamiyat,

(Kairo: Dar al-Fikr al-'Arabi, 1988), Cet. I h. 16-23 (Dalam Footnote: "Madrasah Sejarah dan Perkembangannya", karya: Dr. H. Maksum, h. 52)

8 Abu Al-Falah ibn "Abd Al-Hay ibn Al-'Imad, Syadzarat al-Dzahab fi akhbar man Dzahab, 8 Jilid, (Kairo: Makatabat al-Quds, 1350) cet. II, h. 181-2 (Dalam Footnote, Azumardi Loct.cit h. 11)

9 Richard W. Bulliet, The Patrician of Nisaphur: a study in Medieval Islamic Social History, (Harvard: Harvard University Press, 1972) cet. I, h. 48 ( Dalam Footnote: Sejarah Pendidikan Islam, Karya: Hanun Asrohah, M.Ag, h. 100)

10 Al-Maqrizi adalah ahli sejarah di Dar al-'Ilm pada masa dinasti Fatimiyah (lihat: M. Yunus: 1966, h. 57)

11 Athiyah al-Abrasyi, Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam, terjemahan Bustami A. Gani dan Djohar Basri (Jakarta: Bulan Bintang, 1993) cet. VII, h. 79

12 Maksum, Madrasah Sejarah danperkembangannya, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), cet. II, h. 60.

Page 6: MADRASAH, PENDIDIKAN KEAGAMAAN DAN PESANTREN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28137/3/FAUZAN...Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah dan ...

nampaknya pendapat Hasal ini berdekatan dengan Richard W. Bulliet, hanya saja ia tidak

menyebutkan madrasah di Naisabur tersebut. Richard Bulliet menjelaskan bahwa madrasah di

Nisapur ini, yang merupakan madrasah periode pertama (awal), nampaknya didirikan oleh ulama

fiqh dengan tujuan utama mengembangkan ajaran mazhabnya. Miyan Dahiya merupakan

madrasah tertuanya yang mengajarkan fiqh Maliki.13

Sementara Pendidikan Keagamaan dimaksudkan sebagai pendidikan yang memberikan

pengetahuan, keterampilan, dan membentuk sikap peserta didik dalam mengamalkan ajaran agama

pada semua jalur, jenjang, dan jenis pendidikan. Pendidikan agama dan Keagamaan ini secara

umum berfungsi untuk membentuk manusia Indonesia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan

Yang Maha Esa serta berakhlak mulia dan mampu menjaga kerukunan hubungan antar umat

beragama. Selain itu, pendidikan agama dan keagamaan juga bertujuan untuk

menumbuhkembangkan kemampuan peserta didik dalam memahami, menghayati, dan

mengamalkan nilai-nilai agama yang mengimbangi penguasaannya dalam ilmu pengetahuan,

teknologi dan seni. Secara operasional, pendidikan keagamaan bisa berupa diniyah dan pondok

pesantren. Karena itu, ada yang bersifat format dan non-formal.

Dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, tidak

seperti madrasah yang sudah secara eksplisit disebut di dalamnya, term pendidikan agama belum

secara eksplisit muncul dalam pembahasan, sehinggan istilah pendidikan agama lebih

diintegralisasikan dengan pelaksanaan pendidikan secara umum. Dengan kata lain bahwa istilah

pendidikan agama menjadi kajian yang tidak dipisahkan dengan pendidikan secara umum sesuai

yang tertuang dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003. Sedangkan untuk pendidikan

keagamaan, Undang-undang tersebut sudah menyebutkannya secara eksplisit, sebagaimana

disebutkan dalam Pasal 1 ayat (1-5), yakni “Pendidikan Keagamaan berbentuk pendidikan diniyah,

pesantren, pasraman, pabhaja, samanera, dan bentuk lainnya yang sejenis.

Permasalahan Klise Pendidikan Islam

Di kalangan umat Islam, masalah pendidikan mendapat perhatian khusus, karena

berkembangnya Islam sendiri tidak lepas dari peran pendidikan yang begitu besar. Oleh karena itu 13 Richard W. Bulliet, The Patricians of Nishapur, (Cabridge: HUP, 1972),cet. I, h. 48

Page 7: MADRASAH, PENDIDIKAN KEAGAMAAN DAN PESANTREN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28137/3/FAUZAN...Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah dan ...

walaupun perkembangan politik suatu negara (Islam) sedang tidak menentu, atau singkatnya

adanya perkembangan yang menutup ruang partisipasi masyarakat dalam menentukan arah

negaranya, maka bagi dunia pendidikan tetap saja terbuka. Hal ini bisa dilihat dari antusiasme

masyarakat terhadap pentingnya pendidikan yang mendorong munculnya berbagai lembaga-

lembaga pendidikan yang menawarkan berbagai jenjang. Ini merupakan pandangan profetis

masyarakat khususnya kaum muslimin dalam merencanakan masa depannya menjadi lebih baik.

Pandangan positif masyarakat tersebut di atas akan menjadi sia-sia jika tanpa didukung

oleh pembaharuan di bidang pendidikan itu sendiri, dalam hal ini pendidikan Islam. Pendidikan

Islam khususnya madrasah masih belum menunjukan perkembangan pembaharuan yang

memuaskan. Madrasah ternyata masih kalah bersaing dengan sekolah-sekolah umum yang berada

dalam naungan Departemen Pendidikan Nasional.

Sejalan dengan perkembangan Indonesia, madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam juga

terus berkembang namun perkembangan itu cukup eksklusif, di mana aksentuasi pada

pengetahuan keagamaan (Islam) lebih diutamakan. Hal ini juga yang menyebabkan perkembangan

madrasah hanya ada pada kantong-kantong masyarakat Islam. Ekspansi yang dilakukan pun hanya

berkisar di daerah pedesaan sedangkan untuk di perkotaan sangat jarang. Oleh karena itu hingga

saat ini keberadaan madrasah lebih banyak di pedesaan daripada di perkotaan. Dan hal ini juga

yang memicu lambannya perkembangan madrasah, madrasah seakan jauh dari atmosfir

pembaharuan sistem pendidikan, baik secara kelembagaan maupun sistem dari proses pembelajaran

itu sendiri.

Pada tahun 1994, perkembangan madrasah mengalami suatu periode yang sangat penting,

di mana pada tahun tersebut Departemen Agama, tempat di mana madrasah bernaung

memberlakukan sebuah kurikulum baru yang selanjutnya disebut "kurikulum 1994". Pada

kurikulum tersebut mensyaratkan agar madrasah melaksanakan sepenuhnya kurikulum sekolah-

sekolah umum yang ada dalam naungan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan-sekarang

Departemen Pendidikan Nasional. Hal ini tentunya sangat berbeda dengan kurikulum 1995, di

mana kurikulum madrasah memuat 70% mata pelajaran umum dan 30% mata pelajaran agama

Islam, maka pada kurikulum 1994 ini madrasah wajib melaksanakan 100% dari kurikulum yang

Page 8: MADRASAH, PENDIDIKAN KEAGAMAAN DAN PESANTREN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28137/3/FAUZAN...Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah dan ...

dibebankan pada sekolah-sekolah umum. Sebagai konsekuensinya madrasah mesti menghapus 30%

muatan pendidikan agama Islam dari kurikulumnya dan kedudukannya adalah setaraf dengan

sekolah-sekolah umum lainnya yang berada dalam naungan Departemen Pendidikan Nasional. Hal

ini telah ditegaskan dalam UU RI No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yaitu

pada pasal 17 ayat 2 dan pasal 18 ayat 3, yaitu:14 Pasal 17 ayat 2 " Pendidikan dasar berbentuk

Sekolah Dasar (SD) dan Madrasah Ibtidaiyah (MI) atau bentuk lain yang sederajat serta Sekolah

Menengah Pertama (SMP) dan Madrasah Tsanawiyah (MTs), atau bentuk lain yang sederajat".

Sedangkan pasal 18 ayat 3 yaitu, "Pendidikan menengah berbentuk Sekolah Menegah Atas (SMA),

Madrasah Aliyah (MA), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), dan Madrasah Aliyah Kejuruan

(MAK), atau bentuk lain yang sederajat."

Di samping konsekuensi di atas, eksistensi madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam pun

mulai dipertanyakan masyarakat. Madrasah yang pada awalnya diharapkan akan mampu

memunculkan ahli-ahli agama dan para pemimpin Islam mulai diragukan, apakah dengan kondisi

yang seperti itu masih bisa. Seperti yang kita ketahui bahwa paling tidak, ada tiga fungsi tradisional

madrasah, yaitu; pertama, sebagai media penyampai pengetahuan agama (transfer of Islamic

knowledge), kedua, sebagai media pemelihara tradisi Islam (maintenance of Islamic tradition) dan

yang ketiga, sebagai media pencetak ulama (reproduction of ulama).15

Walupun mempunyai kedudukan yang setingkat dengan sekolah-sekolah umum,

perjalanan madrasah tetap berbeda dengan sekolah-sekolah umum tersebut. Madrasah masih

dianggap lembaga pendidikan "kelas dua", di mana ada pandangan "daripada tidak sekolah lebih

baik masuk madrasah". Ironisnya pandangan ini muncul dari kalangan umat Islam sendiri. Namun

apakah mereka patut disalahkan? Selama madrasah tidak mampu membenahi dirinya agar sesuai

dengan tuntutan dan kebutuhan masyarakat, maka mereka tidak dapat disalahkan.

Perbedaan mencolok antara madrasah dan sekolah-sekolah umum selain dapat dilihat dari

tradisi proses pembelajaran juga akses para alumni terhadap perguruan tinggi dan dunia kerja.

Tradisi proses pembelajaran di madrasah yang lebih memperhatikan gaya-gaya tradisional di mana

14 Lembaran Negara Republik Indonesia No. 78, 2003 tentang Undang-undang Republik Indonesia No

20 Tahun 2003, tentang Sistem Pendidikan Nasional, h. 9 15 Jurnal Madrasah, Vol. I, No. 4, 1998, h. 6

Page 9: MADRASAH, PENDIDIKAN KEAGAMAAN DAN PESANTREN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28137/3/FAUZAN...Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah dan ...

proses pembelajaran lebih didominasi oleh para pendidik atau guru, juga diwarnai dengan kualitas

tenaga pengajar yang kurang memadai. Banyak tenaga pengajar yang mengajar tidak sesuai dengan

keahlian yang dimilikinya.

Dilihat dari akses lulusan, ini sangat berbeda dengan lulusan dari sekolah-sekolah umum di

mana mereka memiliki akses yang lebih terbuka untuk masuk ke perguruan-perguruan tinggi

umum, sementara bagi lulusan madrasah, keterbukaan itu hanya ada pada perguruan-perguruan

tinggi Islam. Dari segi akses ke lapangan kerja, tampaknya kalangan dunia usaha lebih

mempercayai lulusan sekolah-sekolah umum daripada madrasah. Lulusan sekolah-sekolah umum

lebih mampu bersaing dengan lulusan dari madrasah.16 Ini merupakan permasalahan besar bagi

para pemerhati dan para pengelola lembaga-lembaga pendidikan Islam khususnya. Mengapa hal ini

bisa terjadi, padahal muatan pelajaran umum antara mdrasah dengan sekolah-sekolah umum

adalah "sama", pada kasus ini sebenarnya madrasah masih memiliki keunggulan karena muatan

pendidikan agama jelas lebih banyak daripada sekolah-sekolah umum, ini berarti pendidikan moral

yang dikandung dalam pendidikan agama lebih banyak diberikan pada madrasah. Namun

persoalan selanjutnya adalah kenapa dengan keunggulan tersebut madrasah masih kurang mampu

bersaing dengan sekolah-sekolah umum.

Dari keterangan-keterangan di atas nampak adanya persoalan-persoalan mendasar yang

dihadapi madrasah. Persoalan-persoalan tersebut mulai dari kurikulum, managemen, tenaga

pengajar, proses pembelajaran, sarana prasaran, adanya persoalan atau konflik antara tradisi

pemikiran dan pendidikan Islam dengan modernitas, adanya anggapan negatif masyarakat terhadap

madrasah seperti yang disinggung di atas, persoalan kelembagaan hingga pada persoalan legalitas

hukum keberadaan madrasah. Dalam pembahasaan ini, persoalan-persoalan tersebut menjadi

ladang pembaruan pendidikan Islam.

Persoalan pertama, kurikulum bagi suatu madrasah bukanlah hal yang bisa diremehkan

begitu saja, karena pada hakekatnya kurikulum adalah "ruh" dari kegiatan pendidikan itu sendiri.

Kurikulum merupakan alat yang sangat penting dalam keberhasilan sutau pendidikan, tanpa

adanya kurikulum yang tepat maka akan sulit untuk mencapai tujuan ataupun sasaran yang telah

16 Mastuhu, Memberdayakan Sistem Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos, 1999), cet. ke-2, h. 57

Page 10: MADRASAH, PENDIDIKAN KEAGAMAAN DAN PESANTREN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28137/3/FAUZAN...Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah dan ...

digariskan.17 Kurikulum di madrasah yang sarat materi (overloaded) dan bahkan tidak memiliki

keterkaitan di antara mata pelajaran-mata pelajaran yang ada, lagi pula kurikulum tersebut lebih

ditekankan pada ranah kognitif sementara ranah afektif dan psikomotorik menjadi terabaikan,

kondisi ini jelas merupakan area pemabaharuan yang mesti cepat dilakukan. Belum lagi persoalan

kesesuaian antara kebutuhan user atau masyarakat dengan konsep kurikulum yang ada sekarang ini

masih belum mencerminkan sebuah

Persoalan kedua, adalah managemen. Seperti diketahui bahwa managemen adalah "ruh"

bagi jalannya suatu roda organisasi, termasuk juga madrasah. Persoalannya muncul ketika

madrasah didirikan oleh perorangan dan yayasan keagamaan, hal ini karena pihak pendiri

berkedudukan sebagai "pemilik" di mana segala kegiatan yang dilakukan harus dengan seizinnya.

Pada kasus ini, muatan intervensi khususnya dari orang-orang yang merasa lebih berjasa

terhadap pendirian madrasah sulit dihindari, apalagi jika lahan yang digunakan untuk madrasah

tersebut adalah lahan miliknya pribadi. Hal ini mengakibatkan "rancuh"nya suatu managemen

yang diterapkan pada madrasah tersebut. Padahal managemen menduduki posisi vital terhadap

eksistensi suatu lembaga termasuk lembaga pendidikan Islam dalam hal ini madrasah. Sulit

dibayangkan suatu madrasah akan maju, berkembang, menjadi center of excellence dan mampu

berkompetisi dengan lembaga-lembaga pendidikan lainnya jika tidak memiliki managemen

pendidikan yang tangguh.

Persoalan ketiga adalah tenaga pengajar atau pendidik atau sering juga disebut guru.

Keberadaannya merupakan komponen penting dalam pendidikan, karena itu guru adalah garda

terdepan dalam dunia pendidikan. Ia merupakan jabatan profesi yang mengabdikan jasanya dalam

dunia pendidikan. Ia juga merupakan motor penggerak roda pendidikan. Seorang tenaga pengajar

atau guru diharapkan mampu menciptakan situasi pembelajaran yang kondusif sehingga mampu

mengembangkan daya kognitif, afektif dan psikomotorik peserta didik.18

Pada madrasah banyak sekali guru yang mengajar bukan pada bidang keahliannya. Di sini

aspek profesionalisme guru menjadi terabaikan. Mungkin hanya pada madrasah-madrasah yang

17 Abdullah Idi, Pengembangan Kurikulum; Teori dan Praktik, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999),

cet. ke-1, h. 3 18 H.M. Irsyad Djuwaeli, Pembaharuan Kembali Pendidikan Islam, (Ciputat: Yayasan Karsa Utama

Mandiri dan PB. Mathlaul Anwar, 1998), cet. ke-1, h. 20-21

Page 11: MADRASAH, PENDIDIKAN KEAGAMAAN DAN PESANTREN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28137/3/FAUZAN...Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah dan ...

sudah maju saja yang sudah mensyaratkan agar guru yang mengajar haruslah profesional dalam

bidangnya.

Persoalan keempat adalah menyangkut proses pembelajaran itu sendiri. Proses

pembelajaran di sini merupakan interaksi antara komponen-komponen pembelajaran yang di

dalamnya terdapat suatu hubungan yang saling mendukung. Komponen-komponen tersebut paling

tidak meliputi guru, media, ruang dan peserta didik itu sendiri. Komponen-komponen tersebut

merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dalam suatu proses pembelajaran. Jika salah satunya

tidak ada atau katakanlah tidak dapat berfungsi maksimal, maka dapat ditebak proses pembelajaran

tidak akan berjalan maksimal.

Pada madrasah yang terjadi adalah proses pembelajaran di man guru menjadi faktor sentral,

ia menjadi sumber utama pembelajaran. Bahkan proses pembelajaran menjadi superfisialisasi proses

pendidikan, di mana dari luar tampak serius akan tetapi sebenarnya tidak memiliki bobot seperti

yang diharapkan. Dalam hal ini telah terjadi banyak kepura-puraan baik yang dilakukan oleh

pendidik maupun oleh peserta didik itu sendiri. Untuk itu aksentuasi proses pembelajaran pada

peserta didik mesti ditegaskan kembali.

Persoalan kelima adalah sarana prasarana. Persoalan ini terutama menyangkut "tempat" di

mana proses pendidikan itu diselenggarakan. Kita sering mendengar banyaknya tempat-tempat

belajar termasuk juga madrasah yang keberadaannya sudah tidak memungkinkan lagi untuk

menyelenggarakan kegiatan-kegiatan pendidikan. Dalam hal ini banyak sekali sarana dan

prasarana pada madrasah sudah tidak memadai.

Kondisi bangunan yang kurang layak bagi proses pendidikan nampaknya sudah menjadi

pemandangan bagi madrasah, biasanya mereka masih bisa menghibur diri dengan mengatakan

yang penting adalah kualitas proses pembelajarannya. Kalau diamati secara lebih cermat bagaimana

proses pendidikan mau berkualitas jika sarana dan prasarananya tidak mendukung.

Oleh karena itu berkaitan dengan sarana dan prsarana pendidikan adalah bagaimana

menjadikan peserta didik "betah" di madrasah, menjadikan madrasah rumah keduanya pendek kata

menjadikan madrasah sebagai tempat yang aman dan nyaman. Sehingga hal ini akan membuat

peserta didik senang berlama-lama berada di madrasah.

Page 12: MADRASAH, PENDIDIKAN KEAGAMAAN DAN PESANTREN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28137/3/FAUZAN...Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah dan ...

Persoalan keenam adalah adanya persoalan atau konflik antara tradisi pemikiran dan

pendidikan Islam dengan modernitas, ini bermula dari pandangan bahwa modern sama dengan

Barat. Barat sudah terlanjur di cap negatif, adanya pergaulan bebas, sex bebas dan perilaku-perilaku

yang tidak sesuai dengan Islam dianggap datang dari Barat. Untuk itu hal-hal yang berbau Barat

ditolak. Pandangan ini sebenarnya telah ada sejak zaman penjajahan Belanda, dan Belanda sendiri

ada pada golongan Barat.

Ciri-ciri modernitas yang sering tidak cocok yang sering tidak cocok dengan pemikiran

pendidikan Islam antara lain; 19 paradigma modernitas yang bertolak pada rasionalitas,

individualitas, kajian-kajian atau inquery scientific yaitu penelitian kajian ilmiah yang lebih

menekankan pada lapangan kerja setelah peserta didik menyelesaikan masa pendidikannya. Ini

sangat berbeda sekali dengan tradisi Isalm, di mana pekerjaan bukanlah merupakan hal yang

penting, karena yang terpenting adalah proses mencari ilmunya, sedangkan persoalan pekerjaan

adalah persoalan kemudian.

Persoalan ketujuh adalah adanya anggapan negatif sebagian masyarakat. Anggapan tersebut

bermula dari kurang mampunya madrasah memecahkan persoalan-persoalan di atas. Anggapan

tersebut dapat berupa bahwa madrasah kurang mampu bersaing dengan sekolah-sekolah umum,

perlengkapan belajar yang masih kurang memadai, kurikulum yang overloaded, peluang lulusan

dari madrasah terhadap perguruan-perguruan tinggi umum dan dunia kerja lebih sedikit

dibandingkan dengan lulusan dari sekolah-sekolah umum hingga adanya anggapan bahwa

madrasah adalah lembaga pendidikan kelas dua.

Persoalan kedelapan, adalah masalah kelembagaan. Kelembagaan pada suatu lembaga

pendidikan menjadi signifikan karena adanya pembaharuan dimulai dari kemauan dan kesiapan

lembaga tersebut. Derasnya gelombang pembaharuan tanpa diiringi kemauan dan kesiapan suatu

lembaga maka perubahan tersebut tidaklah mempunyai arti, karena dominasi suatu lembaga

pendidikan terhadap kegiatan-kegiatan pendidikan sangat kuat.

Pendidikan Islam dan Otonomi Daerah

19 Azyumardi Azra, Paradigma Baru Nasional Rekonstruksi dan Demokratisasi, (Jakarta: Kompas,

2002), cet. ke-1, h. 119-120

Page 13: MADRASAH, PENDIDIKAN KEAGAMAAN DAN PESANTREN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28137/3/FAUZAN...Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah dan ...

Kebijakan pengelolaan pendidikan agama, sejatinya tidak bisa dipisahkan dengan kebijakan

pelaksanaan pendidikan secara umum, karena sesuai dengan amanat Undang-undang Nomor 22

Tahun 1999 tentang otonomi daerah dan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang sistem

pendidikan nasional. Namun demikian, pelaksanaan pendidikan agama di daerah masih saja

mendapatkan perlakuan yang “diskriminatif” dari pemerintah daerah. Hal ini banyak disebabkan

masih belum komprehensifnya pemahaman pemerintah daerah pada terminologi “pendidikan” dan

“agama” yang termuat dalam kedua Undang-undang tersebut, sehingga banyak memunculkan

penafsiran secara parsial bahwa yang menjadi kewenangan pemerintah daerah adalah pendidikan

yang berada di bawah naungan Departemen Pendidikan Nasional. Sementara, pendidikan yang

berada di bawah naungan Departemen Agama yang berbentuk Madrasah dan sekolah agama

lainnya belum banyak diterima sebagai bagian dari pendidikan.

Sejak diberlakukannya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang otonomi daerah,

maka secara eksplisit pelaksanaan pendidikan tidak lagi hanya menjadi tanggung jawab pemerintah

pusat tapi juga sudah menjadi tanggung jawab pemerintah daerah. Dengan kata lain bahwa

pelaksanaan pendidikan menjadi tanggung jawab pemerintah daerah, baik dalam konteks

bimbingan maupun dalam konteks subsidi pendanaan pendidikan.

Secara yuridis formal, salah satu tujuan pelaksanaan otonomi daerah antara lain adalah

untuk memberdayakan daerah, yakni dengan memberikan kewenangan tertentu bagi daerah dalam

mengatur dan mengurus sendiri segala sesuatu yang dibutuhkan demi kesejahteraan/ keselamatan

semua. Ini berarti bahwa pusat memberikan kepercayaan atau percaya kepada daerah dan

menghargai kemampuan dan “jati diri” daerah. Di samping itu, sesuai dengan spirit otonomi daerah,

maka pelaksanaan otonomi daerah sebagai realisasi atas pengakuan akan kebhinekaan di daerah

juga meniscayakan adanya pelaksanaan otonomi pendidikan. Otonomi pendidikan dimaksudkan

sebagai bentuk keterlibatan dan kepedulian pemerintah daerah dalam mengembangkan dan

meningkatkan mutu pelaksanaan pendidikan di daerah masing-masing.

Salah satu hal yang yang terkandung dalam prinsip otonomi daerah adalah bahwa

pembiayaan pendidikan merupakan tanggung jawab bersama antara pemerintah (pusat dan daerah),

masyarakat dan orang tua. Oleh karenanya, pemerintah daerah memiliki tanggung jawab yang

Page 14: MADRASAH, PENDIDIKAN KEAGAMAAN DAN PESANTREN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28137/3/FAUZAN...Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah dan ...

sama dengan pemerintah pusat, masyarakat dan orang tua dalam mengalokasikan anggaran

(pembiayaan) untuk penyelenggaraan pendidikan.

Pada tataran selanjutnya, otonomi pendidikan tidak sekadar dipahami sebagai pemindahan

wewenang penyelenggaraan pendidikan dari departemen kepada sekolah dan masyarakat, tetapi

juga mengandung makna pemberdayaan lembaga pendidikan dalam melakukan inovasi dan

rekayasa organisasi untuk meningkatkan kinerja sekolah dan madrasah. Peran serta masyarakat

dalam manajemen pendidikan dasar dan menengah diwujudkan melalui pembentukan Dewan

Pendidikan (school council) di tingkat Nasional, provinsi dan kabupaten/kota. Sementara di tingkat

sekolah dan madrasah, peran serta tersebut diwujudkan dalam bentuk Komite Sekolah (school

committee) (Ramly, 2005: 49).

Dalam konteks pelaksanaan otonomi daerah, pendidikan memerlukan pola pembiayaan

yang tidak diskriminatif dan harus mencerminkan keadilan. Hal ini dapat ditempuh dengan cara

melakukan subsidi silang, imbal swadaya, block grant, dan menerapkan formula subsidi

kontekstual. Subsidi silang harus dilakukan oleh pemerintah pusat untuk menghindari timbulnya

kesenjangan antara sekolah (madrasah) daerah miskin dan daerah kaya. Imbal swadaya dapat

dilakukan baik oleh pemerintah pusat maupun oleh pemerintah daerah untuk mendorong

berkembang dan meningkatnya program-program yang menjadi unggulan pusat dan daerah. Block

grant dapat diberikan dengan oleh pemerintah pusat dan daerah untuk meningkatkan kualitas

program-program yang memiliki prospek untuk berkembang lebih lanjut dengan cara

berkompetisi.

Pelaksanaan otonomi pendidikan ini sejalan dengan pelaksanaan otonomi daerah

berdasarkan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah terutama

terkait dengan pendanaan dan pembiayaan pendidikan. Berdasarkan pada Undang-undang Nomor

32 Tahun 2004 dan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tersebut, maka kebijakan pengelolaan

pendidikan dasar dan menengah menjadi tanggung jawab pemerintah daerah. Sebelumnya hanya

Pendidikan Dasar (SD/MI dan SMP/MTs) yang berada di bawah naungan pemerintah daerah dalam

hal ini Dinas Pendidikan Nasional.

Page 15: MADRASAH, PENDIDIKAN KEAGAMAAN DAN PESANTREN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28137/3/FAUZAN...Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah dan ...

Penyerahan kewenangan pendidikan dari pusat (Departemen Pendidikan Nasional) ke

pemerintah daerah bukan hanya sekadar dilihat dari sisi pembiayaan pendidikan, tetapi juga secara

keseluruhan penyelenggaraan teknis pendidikan di daerah. Dalam konteks ini maka selain

kurikulum nasional dan standar pelayanan minimal (SPM), maka pelaksanaan pendidikan di

daerah menjadi tanggung jawab pemerintah daerah.

Kesimpulan

Dari uraian singkat di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa bahwa madrasah, diniyah,

wustho, ma’had ‘aly dan pesantren sebagai bagian dari pendidikan keagamaan yang lahir dari

bagian masyarakat menjadi sebuah dilemma manakala keberadaanya tidak diperhatikan. Walaupun

banyak persoalan menyangkut keberadaan madrasah, baik menyangkut kesiapan SDM, manajemen,

pembiayaan dan sebagainya, namun semua itu dapat diatasi ketika semua pihak bersatu padu

memberikan kontribusi posistif demi sebuah kemajuan bersama. Ide pengembangan tersebut tidak

saja diperlukan dari masyarakat setempat, namun dari semua lapisan masyarakat di penjuru

Indonesia, Lembaga Swadaya Masyarakat, orang tua siswa, dan terlebih lagi sikap pemerintah

dalam membuat kebijakan tidak lagi diskriminatif, karena bagaimanapun juga baik madrasah,

diniyah dan pesantren merupakan bagian integrative dari pendidikan nasional.