BAB II LANDASAN TEORI DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS …eprints.mercubuana-yogya.ac.id/4366/3/BAB II...
-
Upload
truongtuong -
Category
Documents
-
view
216 -
download
0
Transcript of BAB II LANDASAN TEORI DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS …eprints.mercubuana-yogya.ac.id/4366/3/BAB II...
14
BAB II
LANDASAN TEORI DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS
A. Landasan Teori
1. Keuangan Daerah
Berdasarkan PP Nomor 58 tahun 2008 tentang Pengelolaan
Keuangan Daerah menyatakan : “Keuangan Daerah adalah semua hak dan
kewajiban daerah dalam rangka penyelenggaraan pemerintah daerah yang
dapat dinilai dengan uang termasuk didalamnya segala bentuk kekayaan
yang berhubungan dengan hak kewajiban daerah tersebut.
Ruang lingkup Keuangan Daerah meliputi :
a) Hak daerah untuk memungut pajak daerah atau retribusi daerah serta
melakukan pinjaman.
b) Kewajiban daerah untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan
daerah dan membayar tagihan pihak ketiga.
c) Penerimaan daerah.
d) Pengeluaran daerah.
e) Kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa
uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat
dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada
perusahaan daerah.
15
f) Kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah daerah dalam
rangka penyelenggaraan tugas pemerintahan daerah dan atau
kepentingan umum.
2. APBD
a. Pengertian APBD
Berdasarkan UU Nomor 17 Tahun 2003 Pasal 17 Ayat 1 APBD
(Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah) merupakan wujud
pengelolaan keuangan daerah yang ditetapkan setiap tahun dengan
Peraturan Daerah. APBD terdiri atas anggaran pendapatan, anggaran
belanja, dan pembiayaan.
APBD disusun sesuai dengan kebutuhan penyelenggaraan
pemerintahan dan kemampuan pendapatan daerah. Penyusunan
rancangan APBD sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berpedoman
kepada rencana kerja Pemerintah Daerah dalam rangka mewujudkan
tercapainya tujuan negara. Dalam hal anggaran diperkirakan defisit,
ditetapkan sumber-sumber pembiayaan untuk menutup defisit
tersebut dalam Peraturan Daerah tentang APBD. Dalam hal anggaran
diperkirakan surplus, ditetapkan penggunaan surplus tersebut dalam
Peraturan Daerah tentang APBD.
Menurut Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 Pasal 15 tentang
Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah bahwa APBD mempunyai
fungsi otorisasi, perencanaan, pengawasan, alokasi, distribusi, dan
16
stabilisasi. Selanjutnya dijelaskan dalam pasal 16 Permendagri Nomor
13 Tahun 2006 tersebut :
1) Fungsi otorisasi berati bahwa anggaran daerah menjadi dasar dalam
melaksanakan pendapatan dan belanja pada tahun yang
bersangkutan.
2) Fungsi perencanaan berati bahwa anggaran daerah menjadi
pedoman bagi manajemen dalam merencanakan kegiatan pada
tahun yang bersangkutan.
3) Fungsi pengawasan berati bahwa anggaran daerah menjadi
pedoman untuk menilai apakah kegiatan penyelenggaraan
pemerintah daerah sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan.
4) Fungsi alokasi berati bahwa anggaran daerah harus diarahkan
untuk menciptakan lapangan kerja/pengangguran dan pemborosan
sumber daya, serta meningkatkan efisiensi dan efektivitas
perekonomian.
5) Fungsi distribusi berati bahwa kebijakan anggaran daerah harus
memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan.
6) Fungsi stabilisasi berati bahwa anggaran pemerintah daerah
menjadi alat untuk memelihara dan mengupayakan keseimbangan
fundamental perekonomian daerah.
17
b. Struktur APBD
Struktur APBD yang terbaru adalah berdasarkan Peraturan
Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang pedoman
pengelolaan keuangan daerah. Struktur APBD yang didasarkan
Permenagri 13/2006 Pasal 22 dan 23 atas bagian 3 yaitu :
1) Pendapatan daerah, yaitu semua penerimaan uang melalui
rekening kas umum daerah yang menambah ekuitas dana,
merupakan hak daerah dalam satu tahun anggaran dan tidak perlu
dibayar kembali oleh daerah.
2) Belanja daerah, yaitu meliputi semua pengeluaran dari rekening
kas umum daerah yang mengurangi ekuitas dana, merupakan
kewajiban daerah dalam satu tahun anggaran dan tidak akan
diperoleh pembayarannya kembali oleh daerah.
3) Pembiayaan daerah, yaitu meliputi semua transaksi keuangan
untuk menutup defisit atau untuk memanfaatkan surplus.
3. Belanja Modal
a. Pengertian Belanja Modal
Menurut PP Nomor 71 Tahun 2010, belanja modal merupakan
belanja Pemerintah Daerah yang manfaatnya melebihi 1 (satu) tahun
anggaran dan akan menambah aset atau kekayaan daerah dan
selanjutnya akan menambah belanja yang bersifat rutin seperti biaya
pemeliharaan pada kelompok belanja administrasi umum. Belanja
modal adalah pengeluaran anggaran untuk perolehan aset tetap
18
berwujud yang memberi manfaat lebih dari satu periode akuntansi.
Nilai aset tetap dalam belanja modal yaitu sebesar harga beli/ bangun
aset ditambah seluruh belanja yang terkait dengan
pengadaan/pembangunan aset sampai aset tersebut siap digunakan.
Belanja Modal termasuk jenis Belanja Langsung dan digunakan
untuk pengeluaran yang dilakukan dalam rangka pembelian/pengadaan
atau pembangunan aset tetap berwujud yang mempunyai nilai manfaat
lebih dari 12 (dua belas) bulan untuk digunakan dalam kegiatan
pemerintahan, seperti dalam bentuk tanah, peralatan dan mesin, gedung
dan bangunan, jalan, irigasi dan jaringan, dan aset tetap lainnya
(Permendagri No. 13 Tahun 2006). Suatu belanja dikategorikan sebagai
belanja modal apabila :
1) Pengeluaran tersebut mengakibatkan adanya perolehan aset tetap
atau aset lainnya yang menambah masa umur, manfaat, dan
kapasitas.
2) Pengeluaran tersebut melebihi batasan minimum kapitalisasi aset
tetap atau aset lainnya yang telah ditetapkan oleh pemerintah,
perolehan aset tetap tersebut diniatkan bukan untuk dijual atau
dibagikan.
3) Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)
19
b. Peran Belanja Modal
Belanja modal dilakukan dalam rangka pembentukan modal
yang sifatnya menambah aset tetap atau aset lainnya yang memberikan
manfaat lebih dari satu periode akuntansi, termasuk di dalamnya adalah
pengeluaran biaya untuk biaya pemeliharaan yang sifatnya
mempertahankan atau menambah masa manfaat, meningkatkan
kapasitas dan kualitas aset. Sebagaimana dimaksud dalam Peraturan
Mentri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman
Pengelolaan Keuangan Daerah Pasal 53 menyatakan bahwa belanja
modal digunakan untuk pengeluaran yang dilakukan dalam rangka
pembelian/pengadaan atau pembangunan aset tetap berwujud yang
mempunyai nilai manfaat lebih dari 12 (dua belas) bulan untuk
digunakan dalam kegiatan pemerintahan, seperti dalam bentuk tanah,
peralatan dan mesin, gedung dan bangunan, jalan, irigasi dan jaringan,
dan aset tetap lainnya. Nilai pembelian/pengadaan atau pembangunan
aset tetap berwujud yang dianggarakan dalam belanja modal hanya
sebesar harga beli/bangun aset.
c. Jenis-jenis Belanja Modal
Mengenai jenis-jenis belanja modal dikategorikan menjadi 5
bagian, menurut Syaiful (2006) :
1) Belanja Modal Tanah
Belanja modal tanah adalah pengeluaran/biaya yang digunakan
untuk pengadaan/pembelian/pembebasan, penyelesaian, balik nama
20
dan sewa tanah, pengosongan, pengurugan, perataan, pematangan
tanah, pembuatan sertifikat, dan pengeluaran lainnya sehubungan
dengan pemerolehan hak atas tanah, sampai tanah yang dimaksud
dalam kondisi siap pakai.
2) Belanja Modal Peralatan dan Mesin
Belanja modal peralatan dan mesin adalah pengeluaran/biaya yang
digunakan untuk pengadaan/pertambahan/penggantian dan
peningkatan kapasitas peralatan dan mesin serta inventaris kantor
yang memberikan manfaat lebih dari 12 (dua belas) bulan dan
sampai peralatan dan mesin dimaksud dalam kondisi siap pakai.
3) Belanja Modal Gedung dan Bangunan
Belanja modal gedung dan bangunan adalah pengeluaran/biaya
yang digunakan untuk pengadaan/penambahan/penggantian dan
termasuk pengeluaran untuk perencanaan, pengawasan dan
pengelolaan pembangunan gedung dan bangunan yang menambah
kapasitas, sampai gedung dan bangunan dimaksud dalam kondisi
siap pakai.
4) Belanja Modal Jalan, Irigasi dan Jaringan
Belanja modal jalan, irigasi dan jaringan adalah pengeluaran/biaya
yang digunakan untuk pengadaan/penambahan/penggantian atau
peningkatan pembangunan/pembuatan, serta perawatan, dan
termasuk pengeluaran untuk perencanaan, pengawasan dan
21
pengelolaan jalan irigasi jaringan yang menambah kapasitas sampai
jalan, irigasi dan jaringan dimaksud dalam kondisi siap pakai.
5) Belanja Modal Fisik Lainnya
Belanja modal fisik lainnya adalah pengeluaran/biaya yang
digunakan untuk pengadaan/penambahan/penggantian atau
peningkatan pembangunan/pembuatan serta perawatan terhadap
fisik lainnya yang tidak dapat dikategorikan kedalam kriteria
belanja modal tanah, peralatan dan mesin gedung dan bangunan,
jalan irigasi dan jaringan termasuk dalam belanja ini adalah belanja
modal kontrak sewa beli, pembelian barang-barang kesenian,
barang purbakala dan barang untuk museum, hewan ternak dan
tanaman, buku-buku dan jurnal ilmiah.
d. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Belanja Modal
1) Dana Alokasi Umum (DAU) adalah dana yang berasal dari
Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) yang dialokasikan
dengan tujuan pemerataan keuangan antar daerah untuk membiayai
kebutuhan pengeluaran daerah masing-masing dalam rangka
pelaksanaan desentralisasi (PP Nomor 55 Tahun 2005).
2) Dana Alokasi Khusus (DAK) adalah dana yang bersumber dari
pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah tertentu yang
mempunyai kebutuhan khusus dengan tujuan untuk membantu
mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah sesuai
dengan prioritas nasional (PP Nomor 55 Tahun 2005). DAK
22
dimaksudkan untuk membantu daerah dalam mendanai kebutuhan
sarana dan prasarana pelayanan masyarakat seperti pelayanan
pendidikan, kesehatan dan infrastruktur masyarakat dalam rangka
mendorong percepatan pembangunan daerah dan pencapaian
sasaran prioritas nasional.
3) UU RI Nomor 33 tahun 2004 tentang Perimbangan, Pendapatan
Asli Daerah selanjutnya disebut PAD adalah pendapatan yang
diperoleh daerah yang dipungut berdasarkan Peraturan Daerah
sesuai dengan peraturan perundang-undangan. PAD terdiri dari
pajak daerah, retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah
yang dipisahkan dan lain-lain Pendapatan Asli daerah yang sah.
Hal ini yang menjadi pendorong utama agar pemerintah lebih
optimal dalam menggali sumber kekayaan yang ada di daerah
tersebut dengan sebaik-baiknya untuk tujuan peningkatan
Pendapatan Asli daerah untuk melengkapi sarana prasarana
pembangunan daerah guna pelayanan publik yang menjadi
kewajiban pemerintah.
4) UU Nomor 33 Tahun 2004, Luas wilayah merupakan variabel yang
mencerminkan kebutuhan atas penyediaan sarana dan prasarana per
satuan wilayah. Maksudnya semakin besar luas wilayah suatu
daerah pemerintahan maka semakin banyak juga sarana dan
prasarana yang harus disediakan Pemerintah Daerah agar tersedia
pelayanan publik yang baik.
23
5) Dana Bagi Hasil adalah dana yang bersumber dari pendapatan
APBN yang dialokasikan kepada daerah berdasarkan persentase
untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan
Desentralisasi UU Nomor 33 Tahun 2004. Dana Bagi Hasil
merupakan penerimaan daerah diuntungkan karena dapat
mengelola kekayaan daerah dan memberikan penerimaan daerah
dan juga pembangunan infrastruktur.
6) SiLPA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 Ayat (1) huruf a
mencakup pelampauan penerimaan Pendapatan Asli Daerah,
Pelampuan penerimaan dana perimbangan, pelampuan penrimaan
lain-lain pendapatan daerah yang sah, pelampauan penerimaan
pembiayaan, penghematan belanja, kewajiban kepada pihak ketiga
sampai dengan akhir tahun belum terselesaikan, dan sisa dana
kegiatan lanjutan. Dana sisa lebih perhitungan anggaran dapat
digunakan oleh pemerinatah untuk pembangunan infrastuktur
dalam bentuk belanja modal.
4. Pendapatan Asli Daerah
a. Pengertian Pendapatan Asli Daerah (PAD)
Menurut Darise (2006:145) menyatakan PAD adalah
pendapatan yang diperoleh daerah yang dipungut berdasarkan
peraturan daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Pendapatan Asli Daerah sebagai sumber penerimaan daerah sendiri
perlu ditingkatkan agar dapat menanggung sebagian beban belanja
24
yang diperlukan untuk penyelenggaraan pemerintahan dan kegiatan
pembangunan yang setiap tahun meningkat sehingga kemandirian
otonomi daerah yang luas, nyata dan bertanggung jawab dapat
dilaksanakan.
Dalam Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 Pasal 1 Ayat 18
menyebutkan Pendapatan Asli Daerah, selanjutnya disebut PAD
adalah Pendapatan yang diperoleh daerah yang dipungut berdasarkan
peraturan daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Menurut Abdul Halim (2007:96) “Pendapatan Asli Daerah
(PAD) merupakan semua penerimaan daerah yang berasal dari sumber
ekonomi asli daerah”.
Menurut Mardiasmo (2002:132) “PAD adalah penerimaan
daerah dari sektor pajak daerah, retribusi daerah, hasil perusahaan
milik daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan
lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang sah”.
b. Sumber Pendapatan Asli Daerah
Pada Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang
Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah Pasal 6
disebutkan mengenai sumber Pendapatan Asli Daerah sebagai berikut:
1) Pajak Daerah
Menurut Undang-undang Nomor 34 tahun 2000 Pasal 1 Ayat 6
tentang Pajak dan Retribusi Daerah disebutkan bahwa Pajak
Daerah, yang selanjutnya disebut pajak, adalah iuran wajib yang
25
dilakukan oleh orang pribadi atau badan kepada daerah tanpa
imbalan langsung yang seimbang yang dapat dipaksakan berdasar
peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang digunakan untuk
membiayai penyelenggaraan pemerintah daerah dan pembangunan
daerah.
Pajak daerah mempunyai peranan ganda, seperti halnya pajak
pada umumnya yaitu :
a) Sebagai sumber pendapatan daerah (budgetary).
b) Sebagai alat pengukur (regulatory).
Jenis pajak daerah dalam Undang-undang Nomor 34 Tahun
2000 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dan PP Nomor 65
Tahun 2001 tentang Pajak daerah, sebagai berikut :
1) Pajak Provinsi
a) Pajak Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di atas air.
b) Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di atas
air.
c) Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor.
d) Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air
Pemukaan.
2) Pajak Kota/Kabupaten
a) Pajak Hotel
b) Pajak Restoran
c) Pajak Hiburan
26
d) Pajak Reklame
e) Pajak Penerangan Jalan
f) Pajak Pengambilan Bahan Galian Golongan C
g) Pajak Parkir
Sistem pengenaan pajak :
a) Pajak progesif, yaitu sistem pengenaan pajak dimana semakin
tingginya dasar pajak (tax base), seperti tingkat penghasilan
pajak, harga barang mewah dan sebagainya, akan dikenakan
pungutan pajak yang semakin tinggi persentasenya.
b) Pajak proporsional, yaitu sistem pengenaan pajak dimana tarif
pajak (%) yang dikenakan akan tetap sama besarnya walaupun
nilai objeknya berbeda-beda.
c) Pajak degresif, yaitu sistem pengenaan pajak dimana walau
nilai atau objek pajak meningkat dan jumlah pajak yang
dibayar itu semakin kecil.
2) Retribusi daerah
Tidak hanya pajak daerah, retribusi daerah mempunyai peranan
yang cukup besar dalam sumbangsih terhadap Pendapatan Asli
Daerah. Retribusi daerah, yang selanjutnya disebut retribusi, adalah
pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin
tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh
pemerintah daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan
(UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi
27
Daerah Pasal 1 Ayat 64). Selanjutnya dalam hal pemungutan iuran
retribusi ini menganut asas manfaat (benefit principles), dengan
maksud besarnya pungutan ditentukan berdasar manfaat yang
diterima pengguna yang membayar retribusi dan mendapat manfaat
pelayanan dari pemerintah daerah, yang mana semakin efisien
pemerintah daerah dalam pengelolaan pelayanan publik disuatu
daerah maka semakin rendah biaya retribusi yang dibebankan.
Menurut UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak dan
Retribusi Daerah disebutkan jenis-jenis retribusi yang ada di daerah
dibagi atas 3 golongan yaitu :
a) Retribusi Jasa Umum
Adapun yang termasuk dalam jenis Retribusi Jasa Umum yaitu :
1. Retribusi pelayanan kesehatan
2. Pelayanan kebersihan dan persampahan
3. Penggantian biaya cetak Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan
AKTA catatan sipil
4. Pengujian kapal perikanan
b) Retribusi Jasa Usaha
1. Pemakaian kekayaan daerah
2. Pelayanan terminal
3. Pelayanan tempat khusus parker
4. Tempat rekreasi dan olahraga
c) Retribusi Perizinan Tertentu
28
Perizinan tertentu yang retribusinya dipungut antara lain :
1. Izin peruntukkan pengunaan tanah
2. Izin mendirikan bangunan
3. Izin trayek
4. Izin pengambilan hasil hutan
3) Laba Badan Usaha Milik Daerah
Perusahaan daerah adalah perusahaan yang sebagian atau seluruh
modalnya merupakan kekayaan daerah yang dipisahkan kecuali
jika ditentukan yang lain atau berdasarkan UU. Sebagian laba
perusahaan daerah merupakan salah satu sumber PAD yang disebut
bagian laba BUMD, BUMD dibentuk oleh pemerintah daerah,
terdiri dari perusahaan yang bergerak dibidang jasa keuangan dan
perbankan (bank pembangunan daerah dan bank pasar) dan
dibidang lain, seperti jasa air bersih, jasa di sektor industry,
pertanian, perkebunan dan lain-lain. BUMD merupakan cara yang
lebih efisien dalam melayani masyarakat, dan merupakan salah atu
sumber pendapatan daerah. Jenis pendapatan yang termasuk hasil-
hasil pengelolaan kekayaan daerah lainnya yang dipisahkan antara
lain laba, deviden, dan penjualan saham milik daerah.
4) Penerimaan lain-lain
Pengertian penerimaan lain-lain daerah kabupaten atau kota adalah
penerimaan yang diperoleh daerah kabupaten/kota di luar pajak,
retribusi, dan laba BUMD. Berikut beberapa contoh penerimaan
29
yang termasuk ke dalam kategori penerimaan lain-lain. Misalnya
penerimaan dan hasil penjualan aset milik pemerintah daerah dan
jasa giro rekening pemerintah daerah kabupaten dan kota.
5. Dana Perimbangan
Kebijakan pemerintah pusat yang memberikan kewenangan lebih
besar kepada pemerintah daerah dalam program otonomi daerah ini
tentunya meningkatkan tanggung jawab pengelolaan program pada
pemerintah daerah. Program pekerjaan sebelumnya ada pada pemerintah
pusat, kini didelegasikan secara langsung kepada pemerintah daerah. Hal
ini tentunya berimplikasi kepada peningkatan kebutuhan anggaran
pemerintah daerah dalam membiayai program kerja yang meningkat
tersebut. Maka untuk menciptakan satu sistem yang adil dan proporsional
diterbitkanlah Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang
perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah
yang merupakan penyempurnaan dari Undang-Undang nomor 25 Tahun
1999 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah.
Merujuk pada pengertian Dana Perimbangan dalam Undang-Undang
Nomor 33 Tahun 2004 Pasal 1 Ayat 18 tentang perimbangan keuangan
antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, Dana Perimbangan
diartikan sebagai dana yang bersumber dari dana Anggaran Pendapatan
dan Belanja Nasional (APBN) yang dialokasikan kepada daerah untuk
mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi.
30
Perincian pendapatan yang termasuk kedalam Dana Perimbangan
terdapat dalam Undang-Undang Nomor 34 tahun 2004 tentang Dana
Perimbangan pemerintah pusat dan pemerintah daerah, yaitu Dana
Perimbangan yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja
Nasional (APBN) itu terdiri dari Dana Bagi Hasil (DBH), Dana Alokasi
Umum (DAU), dan Dana Alokasi Khusus (DAK).
a. Dana Bagi Hasil
Menurut Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 Pasal 1 Ayat 20,
Dana Bagi Hasil merupakan dana yang bersumber dari Anggaran
Pendapatan dan Belanja Nasional (APBN) yang dialokasikan kepada
daerah berdasarkan angka persentase untuk mendanai kebutuhan
daerah dalam ranagka pelaksanaan desentralisasi. Pembagian Dana
Bagi Hasil ini ditinjau dari kemampuan daerah dalam menghasilkan
sumber daya. Daerah yang memiliki potensi sumber daya alam yang
banyak, akan mendapatkan porsi yang lebih besar sesuai dari kejayaan
alam yang telah ddigali. Selain dari sumber alam, sumber Dana Bagi
Hasil juga didapat dari hasil bagi pajak.
1) Sumber Daya Alam
DBH yang berasal dari sumber daya alam tediri dari kehutanan,
pertambangan umum, perikanan, pertambangan minyak bumi,
pertambangan gas bumi, dan pertambangan panas bumi.
31
2) Pajak
Penetapan alokasi DBH pajak ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
DBH pajak sendiri disalurkan dengan cara pemindahbukuan dari
Rekening Kas Umum Negara ke Rekening Kas Umum Daerah.
a) DBH PBB
Penerimaan Negara dari PBB dibagi dengan imbangan 10%
(sepuluh persen) untuk pemerintah dan 90% (sembilan puluh
persen) untuk daerah . DBH PBB untuk daerah sebesar 90%
(sembilan puluh persen) dibagi dengan rincian sebagai berikut:
16,2% (enam belas dua persepuluh persen) untuk provinsi yang
bersangkutan, 64,8% (enam puluh empat delapan persepuluh
persen) untuk kabupaten/kota yang bersangkutan, dan 9%
(sembilan persen) untuk biaya pemungutan. Bagian pemerintah
sebesar 10% (sepuluh persen) dialokasikan kepada seluruh
kabupaten dan kota. Alokasi untuk kabupaten dan kota
sebagaimana dimaksud dibagi dengan rincian sebagai berikut:
6,5% (enam lima persepuluh persen) dibagikan secara merata
keseluruh kabupaten dan kota, dan 3,5 (tiga lima persepuluh
persen) dibagikan sebagai insentif kepada kabupaten dan kota
yang realisasi penerimaan PBB sektor pedesaan dan perkotaan
pada tahun anggaran sebelumnya mencapai/melampaui rencana
penerimaan yang ditetapkan.
32
b) DBH BPHTB
Penerimaan Negara dari BPHTB dibagi dengan imbangan 20%
(dua puluh persen) untuk pemerintah pusat dan 80% (delapan
puluh persen) untuk daerah. DBH BPHTB untuk daerah sebesar
80% (delapan puluh persen) dibagi dengan rincian sebagai
berikut: 16% (enam belas persen) untuk provinsi yang
bersangkutan, dan 64% (enam puluh empat persen) untuk
kabupaten/kota yang bersangkutan. Bagian Pemerintah sebesar
20% (dua puluh persen) dialokasikan dengan porsi yang sama
besar untuk seluruh kabupaten dan kota. Penyaluran DBH
BPHTB dilaksanakan berdasarkan realisasi penerimaan BPHTB
tahun anggaran berjalan. Penyaluran DBH BPHTB
dilaksanakan secara mingguan. Penyaluran DBH BPHTB
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan
yaitu Peraturan Menteri Keuangan Nomor 205/PMK.07/2009.
c) DBH PPh WPOPDN dan PPh Pasal 21
Penerimaan Negara dari PPh WPOPDN dan PPh pasal 21
dibagikan kepada daerah sebesar 20% (dua puluh persen). DBH
PPh WPOPDN dan PPH Pasal 21 dibagi dengan rincian sebagai
berikut: 8% (delapan persen) untuk Provinsi yang bersangkutan,
dan 12% (dua belas persen ) untuk Kabupaten/Kota dalam
Provinsi yang bersangkutan. DBH PPh WPOPDN dan PPh
Pasal 21 dibagi dengan rincian berikut: 8,4% (delapan empat
33
persepuluh persen) untuk Kabupaten/Kota tempat wajib pajak
terdaftar, dan 3,6% (tiga enam persepuluh persen) untuk seluruh
Kabupaten/Kota dengan Provinsi yang bersangkutan dengan
bagian yang sama besar.
b. Dana Alokasi Umum
1) Pengertian Dana Alokasi Umum
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2005
tentang Dana Perimbangan, Dana Alokasi Umum adalah dana
yang berasal dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN),
yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan
keuangan antar daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam
rangka pelaksanaan desentralisasi. Jumlah keseluruhan DAU
ditetapkan sekurang-kurangnya 26% dari pendapatan dalan negeri
neto dan ditetapkan dalam APBN. Proporsi DAU antara provinsi
dan kabupaten/kota dihitung dari perbandingan antara bobot
urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan provinsi dan
kabupaten/kota.
Menurut Bastian (2003:84), Dana Alokasi Umum adalah
dana perimbangan dalam rangka untuk pemerataan kemampuan
keuangan antar daerah. Sedangkan menurut Halim (2002:160),
Dana Alokasi Umum adalah dana yang berasal dari Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang dialokasikan
dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan daerah untuk
34
membiayai kebutuhan pengeluarannya dalam rangka pelaksanaan
desentralisasi.
Dana Alokasi Umum bertujuan untuk pemerataan
kemampuan keuangan daerah (Djaenuri, 2012:103). Termasuk di
dalam pengertian tersebut adalah jaminan kesinambungan
penyelenggaraan pemerintahan di seluruh daerah dalam rangka
penyediaan pelayanan dasar kepada masyarakat, dan merupakan
satu kesatuan dengan penerimaan umum anggaran pendapatan dan
belanja daerah. Dengan kata lain, tujuan penting alokasi DAU
adalah dalam kerangka pemerataan kemampuan penyediaan
pelayanan publik antar pemerintah daerah di Indonesia.
Dana Alokasi Umum diberikan pemerintah pusat untuk
membiayai kekurangan dari pemerintah daerah dalam
memanfaatkan pendapatan asli daerahnya. Dana Alokasi Umum
adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang
dialokasikan untuk Provinsi dan Kabupaten/Kota dengan tujuan
pemerataan kemampuan keuangan antar daerah untuk mendanai
kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi
(Nurlan, 2006:75). Dalam penelitian Rahmawati (2010) adapun
cara menghitung DAU menurut ketentuan adalah sebagai berikut
a) Dana Alokasi Umum (DAU) ditetapkan sekurang-kurangnya
25% dari penerimaan dalam negeri yang ditetapkan dalam
APBN.
35
b) Dana Alokasi Umum (DAU) untuk daerah provinsi dan untuk
Kabupaten/Kota ditetapkan masing-masing 10% dan 90% dari
Dana Alokasi Umum sebagaimana ditetapkan di atas.
c) Dana Alokasi Umum (DAU) untuk suatu Kabupaten/Kota
tertentu ditetapkan berdasarkan perkalian jumlah Dana Alokasi
Untuk Kabupaten/Kota yang ditetapkan APBN dengan porsi
Kabupaten/Kota yang bersangkutan.
d) Porsi Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud di atas
merupakan proporsi bobot Kabupaten/Kota di seluruh
Indonesia. DAU untuk satu daerah dihitung dengan
menggunakan formula :
DAU = CF (Celah Fiskal) + AD (Alokasi Dasar)
Celah fiskal merupakan selisih antara kebutuhan fiskal dan
kapasitas fiskal. Kebutuhan fiskal daerah merupakan kebutuhan
pendanaan daerah untuk melaksanakan fungsi layanan dasar
umum, antara lain penyediaan layanan kesehatan dan pendidikan,
penyediaan infrastruktur, dan pengentasan masyarakat dari
kemiskinan.
Kapasitas fiskal diukur berdasarkan Pendapatan Asli
Daerah dan Dana Bagi Hasil. Alokasi Dasar dihitung berdasarkan
jumlah gaji Pegawai Negeri Sipil Daerah meliputi gaji pokok,
tunjangan keluarga, dan tunjangan jabatan sesuai dengan
peraturan Penggajian Pegawai Negeri Sipil termasuk di dalamnya
36
tunjangan beras dan tunjangan Pajak Penghasilan. DAU diperoleh
dari lembaga statistik pemerintah dan/atau lembaga pemerintah
yang berwenang menerbitkan data yang dapat
dipertanggungjawabkan.
2) Tahapan Perhitungan Dana Alokasi Umum
Menurut Kementrian Keuangan Republik Indonesia
Direktorat Jendral Perimbangan Keuangan, berikut adalah
tahapan-tahapan perhitungan DAU :
a) Tahapan Akademis
Konsep awal penyusunan kebijakan atas implementasi formula
DAU dilakukan oleh Tim Independen dari berbagai
Universitas dengan tujuan memperoleh kebijakan perhitungan
DAU yang sesuai dengan ketentuan UU dan karakteristik
Otonomi Daerah di Indonesia.
b) Tahapan Administratif.
Dalam tahapan ini Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
melakukan koordinasi dengan instansi terkait untuk penyiapan
data dasar perhitungan DAU termasuk di dalamnya kegiatan
konsolidasi dan verifikasi data untuk mendapatkan validitas
dan kemuktakhiran data yang akan digunakan.
c) Tahapan Teknis.
Merupakan tahapan pembuatan simulasi penghitungan DAU
yang akan dikonsultasikan Pemerintah kepada DPR RI dan
37
dilakukan berdasarkan formula DAU sebagaimana
diamanatkan UU dengan menggunakan data tersedia serta
memperhatikan hasil rekomendasi pihak akademis.
d) Tahapan Politis.
Merupakan tahap akhir, pembahasan penghitungan dan alokasi
DAU antara pemerintah dengan Belanja Daerah Panitia
Anggaran DPR RI untuk konsultasi dan mendapatkan
persetujuan hasil perhitungan DAU.
3) Ketentuan Perhitungan DAU
a) DAU dialokasikan untuk:
1. Provinsi, dan
2. Kabupaten/Kota
b) Jumlah keseluruhan DAU ditetapkan sekurang-kurangnya 26%
(dua puluh enam persen) dari Pendapatan Dalam Negeri Neto.
c) Proporsi DAU antara Provinsi dan Kabupaten/Kota dihitung
dari perbandingan antara bobot urusan pemerintahan yang
menjadi kewenangan Provinsi dan Kabupaten/Kota.
d) Dalam hal penentuan proporsi sebagaimana dimaksud pada
ayat 3 belum dapat dihitung secara kuantitatif, proporsi DAU
antara Provinsi, Kabupaten/Kota ditetapkan dengan imbangan
10% (sepuluh persen) dan 90% (Sembilan puluh persen).
e) Jumlah keseluruhan DAU sebagaimana dimaksud pada ayat 2
ditetapkan dalam APBN (PP Nomor 55 Tahun 2005 Pasal 37).
38
Menurut Kementerian Keuangan Republik Indonesia
Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan bahwa dasar hukum
Dana Alokasi Umum yaitu UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang
Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah
Daerah dan PP Nomor 55 Tahun 2005 tentang Dana
Perimbangan. DAU dialokasikan untuk daerah Provinsi dan
Kabupaten/Kota. Besaran DAU ditetapkan sekurang-kurangnya
26% dari Pendapatan Dalam Negeri (PDN) Netto yang ditetapkan
dalam APBN. Proporsi DAU untuk daerah Provinsi dan untuk
daerah Kabupaten/Kota ditetapkan sesuai dengan perimbangan
kewenangan antara Provinsi dan Kabupaten/Kota.
4) Prinsip Dasar Dana Alokasi Umum (DAU)
(Ririn 2011 dalam Wandira 2013) menyatakan bahwa
prinsip dasar untuk Dana Alokasi Umum adalah sebagai berikut :
a) Kecukupan
Prinsip mendasar yang pertama adalah prinsip kecukupan.
Sebagai suatu bentuk penerimaan, sistem Dana Alokasi Umum
harus memberikan sejumlah dana yang cukup kepada daerah.
Hal ini berarti, perkataan cukup harus diartikan dalam
kaitannya dengan beban fungsi sebagaimana diketahui, beban
finansial dalam menjalankan fungsi tidaklah statis, melainkan
cenderung meningkat karena satu atau berbagai faktor. Oleh
karena itulah maka penerimaan pun seharusnya naik sehingga
39
pemerintah daerah mampu membiayai beban anggarannya.
Bila Dana Alokasi Umum mampu merespon terhadap
kenaikan beban anggaran yang relevan, maka sistem Dana
Alokasi Umum dikatakan memenuhi prinsip kecukupan.
b) Netralitas dan Efisiensi
Desain dari sistem alokasi harus netral dan efisien. Netral
artinya suatu sistem alokasi harus diupayakan sedemikian rupa
sehingga efeknya justru memperbaiki (bukan menimbulkan)
distorsi dalam harga relative dalam perekonomian daerah.
Efisien artinya sistem alokasi Dana Alokasi Umum tidak boleh
menciptakan distorsi dalam strktur harga input, untuk itu
sistem alokasi harus memanfaatkan bergbagai jenis instrument
finansial alternative relevan yang tersedia.
c) Akuntabilitas
Sesuai dengan namanya yaitu Dana Alokasi Umum (DAU),
maka penggunaan terhadap dana fiskal ini sebaiknya
dilepaskan ke daerah.
d) Relevansi dengan tujuan
c. Dana Alokasi Khusus
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 55 tahun 2005 tentang
Dana Perimbangan, Dana Alokasi Khusus (DAK) merupakan dana
perimbangan yang bersumber dari APBN yang diberikan kepada
provinsi/kabupaten/kota tertentu dengan tujuan untuk mendanai
40
kegiatan khusus yang merupakan urusan pemerintahan daerah dan
sesuai dengan prioritas nasional. Besaran Dana Alokasi Khusus
(DAK) ditetapkan setiap tahun dalam APBN.
Dana Alokasi Khusus (DAK) sebagai bagian dari pendapatan
daerah merupakan suatu bentuk transfer pusat guna mendanai
kewenangan yang telah didesentralisasi, yang juga sekaligus
mengemban tugas untuk mendukung prioritas nasional (lubis 2010:
28). Secara lebih rinci Yani (2008:172) menyatakan, bahwa Dana
Alokas Khusus (DAK) dapat dipergnakan oleh pemerintah daerah
untuk mendanai kebutuhan fisik sarana dan prasrana yang menjadi
Menurut UU Nomor 33 Tahun 2004 persyaratan untuk
memperoleh DAK adalah sebagai berikut:
1) Daerah perlu membuktikan bahwa daerah kurang mampu
membiayai seluruh pengeluaran usulan kegiatan tersebut dari
PAD, Bagi Hasil Pajak dan SDA, DAU, Pinjaman Daerah, dan
lain-lain penerimaan yang sah.
2) Daerah menyediakan dana pendamping sekurang-kurangnya 10%
dari kegiatan yang diajukan (dikecualikan untuk DAK dari Dana
Reboisasi).
3) Kegiatan tersebut memenuhi kriteria teknis sektor/kegiatan
ditetapkan oleh menteri /instansi terkait.
41
Adapun kriteria pengalokasian DAK meliputi:
1) Kriteria Umum
Sesuai dengan pasal 40 UU Nomor 33 Tahun 2004 dinyatakan
bahwa alokasi DAK mempertimbangkan kemampuan keuangan
daerah dalam APBD. Kriteria umum dihitung untuk melihat
kemampuan APBD untuk membiayai kebutuhankebutuhan dalam
rangka pembangunan daerah yang dicerminkan dari penerimaan
umum APBD dikurangi belanja pegawai.
2) Kriteria Khusus
Ditetapkan dengan memperhatikan Peraturan Perundang-undangan
dan karakteristik daerah. Karakteristik daerah yang meliputi: untuk
Provinsi (terdiri dari: daerah tertinggal, daerah pesisir atau
kepulauan, daerah perbatasan dengan negara lain, daerah rawan
bencana, daerah ketahanan pangan, dan daerah pariwisata), untuk
Kabupaten/Kota (terdiri dari: daerah tertinggal, daerah pesisir atau
kepulauan, daerah perbatasan dengan negara lain, daerah rawan
bencana, daerah ketahanan pangan, dan daerah pariwisata.
3) Kriteria Teknis
Kriteria teknis dirumuskan oleh kementrian negara atau
departemen teknis terkait. Kriteria teknis tersebut dicerminkan
dengan indikator–indikator yang dapat digunakan untuk
menggambarkan kondisi saran prasarana pada masing–masing
bidang/kegiatan yang akan di danai oleh DAK. Kriteria teknis
42
berdasarkan lingkup kegiatan yaitu, Pendidikan, kesehatan,
infrastruktur, kelautan&perikanan, pertanian, lingkungan hidup,
prasarana pemerintahan, keluarga berencana, kehutanan,
perdagangan, perumahan dan pemukiman, listrik pedesaan, sarana
kawasan, transportasi pedesaan, keselamatan transportasi, dan
sarana prasarana.
6. Luas Wilayah
Wilayah adalah sebuah daerah yang dikuasai atau menjadi teritorial
dari sebuah kedaulatan. Luas wilayah pemerintahan merupakan jumlah
ukuran dari besarnya wilayah suatu pemerintahan, baik itu pemerintahan
Kabupaten, Kota maupun Provinsi. Luas wilayah sangat erat kaitannya
dengan geografis suatu daerah.
Indonesia memiliki wilayah yang sangat luas dan terdiri dari
belasan ribu pulau yang tersebar. Untuk memperlancar proses
pemerintahan di daerah yang luas, maka salah satu tujuan pembangunan
adalah membangun infrastruktur. Infrastruktur merupakan instrument
untuk memperlancar berputarnya roda pemerintahan serta perekonomian
sehingga bisa mempercepat akselerasi pembangunan (Basri, 2002).
Wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta
segenap unsur terkait padanya batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan
aspek administratif dan atau aspek fungsional (Ardhini, 2011). Luas
wilayah dalam hal ini apakah besarannya berpengaruh terhadap jumlah
43
realisasi belanja modal pemerintah yang erat kaitannya dengan
peningkatan pelayanan publik.
Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 luas wilayah merupakan
variabel yang mencerminkan kebutuhan atas penyediaan sarana dan
prasarana per satuan wilayah. Maksudnya semakin besar luas wilayah
suatu daerah pemerintahan maka semakin banyak juga sarana dan
prasarana yang harus disediakan pemerintah daerah agar tersedia
pelayanan peublik yang baik. Dikaitkan dengan pemekaran daerah maka
luas wilayah kemungkinan erat kaitannya dengan penganggaran belanja
modal. Daerah Otonom Baru (DOB) hasil pemekaran tentunya berupaya
membangun daerahnya dengan berbagai fasilitas layanan publik yang lebih
layak terutama di wilayah-wilayah yang belum menikmati pembangunan
layanan publik seperti rumah sakit, puskesmas, gedung sekolah,
pembuatan tower telekomunikasi, pembangunan pasar-pasar tempat
berdagang, pembukaan jalur perhubungan berupa dermaga atau jalan-jalan
kota yang memudahkan mobilitas masyarakat terutama dari wilayah-
wilayah yang belum terjangkau pemerintah sebelumnya. Jadi semakin luas
daerah yang perlu dibangun maka semakin besar belanja modal yang harus
dianggarkan.
Luas wilayah dalam penelitian ini merupakan ukuran besarnya
daerah wewenang suatu pemerintahan yang dapat diukur dengan satuan
angka. Yang mana luas wilayah antara satu daerah dengan daerah lainnya
memiliki luas yang tidak sama, sehingga kebutuhan akan sarana dan
44
prasarana serta potensi yang dimiliki antara satu daerah dengan daerah
yang lainnya pun berbeda.
7. SiLPA
Berdasarkan Lampiran I.02 Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 71 tahun 2010 menjelaskan bahwa SiLPA adalah
“selisih lebih antara realisasi pendapatan-LRA dan belanja serta
penerimaan dan pengeluaran selama satu periode laporan”. SiLPA tahun
sebelumnya merupakan penerimaan pembiayaan yang digunakan untuk
menutupi defisit anggaran apabila realisasi pendapatan lebih kecil daripada
realisasi belanja, mendanai pelaksanaan kegiatan lanjutan atas beban
belanja langsung dan mendanai kewajiban lainnya yang sampai dengan
akhir tahun anggaran belum diselesaikan.
Ada tidaknya SiLPA dan besar kecilnya sangat tergantung pada
tingkat belanja yang dilakukan pemerintah daerah serta kinerja pendapatan
daerah. Jika pada tahun anggaran tertentu tingkat belanja daerah relatif
rendah atau terjadi efisiensi anggaran, maka dimungkinkan akan diperoleh
SiLPA yang lebih tinggi. Tetapi sebaliknya jika belanja daerah tinggi,
maka SiLPA yang diperoleh akan semakin kecil, bahkan jika belanja
daerah lebih besar dari pendapatan daerah sehingga menyebabkan
terjadinya defisit fiskal, maka bisa terjadi (SiKPA).
45
B. Hasil Penelitian Terdahulu
Tabel 2.1
No. Nama
Peneliti
Judul Variabel
Penelitian
Hasil
1. Rahmayani
(2016)
Skripsi
Pengaruh Sisa
Lebih
Pembiayaan
Anggaran,
Pendapatan Asli
Daerah, Dana
Alokasi Umum,
Dana Alokasi
Khusus, dan Dana
Bagi Hasil
Terhadap Belanja
Modal Pada
Pemerintahan
Kabupaten / Kota
di Provinsi
Sumatera Barat
Variabel
Independen :
Pendapatan
Asli Daerah
Sisa Lebih
Pembiayaan
Anggaran
Dana
Alokasi
Umum
Dana
Alokasi
Khusus
Variabel
Dependen :
Belanja
Modal
Secara parsial Sisa Lebih
Pembiayaan Anggaran,
Pendapatan Asli Daerah,
dan Dana Bagi Hasil
berpengaruh positif
terhadap Belanja Modal.
Sedangkan Dana Alokasi
Umum dan Dana Alokasi
Khusus tidak
berpengaruh terhadap
Belanja Modal.
Secara Simultan Sisa
Lebih Pembiayaan
Anggaran, Pendapatan
Asli Daerah, Dana
Alokasi Umum, Dana
Alokasi Khusus, dan
Dana Bagi Hasil
46
berpengaruh positif
secara terhadap Belanja
Modal.
2. Khoiriah
(2014)
Skripsi
Pengaruh
Pertumbuhan
Ekonomi, Sisa
Lebih
Pembiayaan
Anggaran,
Pendapatan Asli
Daerah, Dana
Alokasi Umum,
Dana Alokasi
Khusus dan Dana
Bagi Hasil
terhadap
Pengalokasian
Anggaran Belanja
Modal pada
Pemerintah
Kabupaten/ kota
di Provinsi
Sumatera Utara
Variabel
Independen :
Pertumbuhan
Ekonomi
Sisa Lebih
Pembiayaan
Anggaran
Pendapatan
Asli Daerah
Dana
Alokasi
Umum
Dana
Alokasi
Khusus
Dana Bagi
Hasil
Variabel
Dependen :
Secara Parsial
Pendapatan Asli Daerah
dan Dana Alokasi Umum
mempunyai pengaruh
signifikan terhadap
pengalokasian Anggaran
Belanja Modal.
Sedangkan PDRB, Sisa
Lebih Pembiayaan
Anggaran, Dana Alokasi
Khusus, dan Dana Bagi
Hasil tidak berpengaruh
secara signifikan
terhadap Pengalokasian
Anggaran Belanja Modal
Kabupaten/kota di
Provinsi Sumatera Utara.
Secara Simultan PDRB,
Sisa Lebih Pembiayaan
47
Belanja
Modal
Anggaran, Pendapatan
Asli Daerah, Dana
Alokasi Umum, Dana
Alokasi Khusus dan
Dana Bagi Hasil
berpengaruh signifikan
terhadap Pengalokasian
Anggaran Belanja Modal
Kabupaten/kota di
Provinsi Sumatera Utara.
3. Purnama
(2014)
Skripsi
Pengaruh Dana
Alokasi Umum
(DAU),
Pendapatan
AsliDaerah
(PAD), Sisa
Lebih
Pembiayaan
Anggaran
(SiLPA), Dan
Luas Wilayah
Terhadap Belanja
Modal Pada
Variabel
Independen :
Pendapatan
Asli Daerah
Dana
Alokasi
Umum
Sisa Lebih
Pembiayaan
Anggaran
Luas
Wilayah
Secara Parsial
Pendapatan Asli Daerah
dan Luas Wilayah
mempunyai pengaruh
signifikan terhadap
Belanja Modal.
Sedangkan Dana
Alokasi Umum dan , Sisa
Lebih Pembiayaan
Anggaran tidak
mempunyai pengaruh
signifikan terhadap
Belanja Modal
48
Kabupaten Dan
Kota di Jawa
Tengah Periode
2012-2013
Variabel
Dependen :
Belanja
Modal
4. Aprizay dkk
(2014)
Jurnal
Akuntansi
Pengaruh
Pendapatan Asli
Daerah, Dana
Perimbangan dan
Sisa Lebih
Pembiayaan
Anggaran
terhadap
Pengalokasian
Anggaran Belanja
Modal Pada
Kabupaten/Kota
di Provinsi Aceh
Variabel
Independen :
Pendapatan
Asli daerah
Dana
Perimbangan
Sisa Lebih
Pembiayaan
Anggaran
Variabel
Dependen :
Belanja
Modal
Secara Parsial
Pendapatan Asli Daerah
(PAD), Dana
Perimbangan dan Sisa
Lebih Pembiayaan
Anggaran mempunyai
pengaruh yang signifikan
terhadap Belanja Modal.
secara simultan
Pendapatan Asli Daerah
(PAD), Dana
Perimbangan dan Sisa
Lebih Pembiayaan
Anggaran berpengaruh
secara bersama-sama
terhadap Belanja Modal
49
5. Desak Gede
Yudi Atika
Sari dkk
2017
Pengaruh
Pertumbuhan
Ekonomi,
Pendapatan Asli
Daerah, Dana
Perimbangan Dan
Sisa Lebih
Pembiayaan
Anggaran
Terhadap Alokasi
Belanja Modal
Kabupaten/Kota
Se-Bali
Variabel
Independen :
Pertumbuhan
Ekonomi
Pendapatan
Asli Daerah
(PAD)
Dana
Perimbangan
Sisa Lebih
Pembiayaan
Anggaran
Variabel
Dependen :
Belanja
Modal
Pertumbuhan ekonomi,
dana alokasi umum, dana
bagi hasil, dana alokasi
khusus tidak
berpengaruh terhadap
alokasi belanja dan
pendapatan asli daerah
dan sisa lebih pembiyaan
anggaran berpengaruh
positif terhadap alokasi
belanja modal.
50
6. Wimpi
Priambudi
(2016)
Pengaruh
Pendapatan Asli
Daerah Dan Dana
Alokasi Umum
Terhadap Belanja
Modal Pada
Kabupaten Dan
Kota Di Pulau
Jawa Tahun 2013
Variabel
Independen :
Pendapatan
Asli Daerah
(PAD)
Dana
Alokasi
Umum
(DAU)
Variabel
Dependen :
Belanja
Modal
Secara parsial
Pendapatan Asli Daerah
dan Dana Alokasi
Umum berpengaruh
positif dan signifikan
terhadap
Belanja Modal pada
Kabupaten dan Kota di
Pulau Jawa Tahun 2013.
Pendapatan Asli Daerah
dan Dana Alokasi
Umum berpengaruh
positif dan
signifikan secara
bersama-sama terhadap
Belanja Modal pada
Kabupaten
dan Kota di Pulau Jawa
Tahun 2013
51
7. Eko Candra
Sidabukke
(2016)
Pengaruh SiLPA,
Dana
Perimbangan,
Dana dan Luas
Wilayah
Terhadap Belanja
Langsung Pada
Pemerintah
Provinsi di
Indonesia Periode
2012-2014.
Variabel
Independen :
Sisa Lebih
Pembiayaan
Anggaran
(SiLPA)
Dana
Perimbangan
Luas
Wilayah
Variabel
Dependen :
Belanja
Langsung
Secara Parsial, variabel
independen SiLPA tidak
memberikan pengaruh
yang signifikan, namun
variabel Dana
Perimbangan dan Luas
Wilayah memberikan
pengaruh signifikan
terhadap Belanja
Langsung pada
pemerintah daerah
provinsi Se-Indonesia.
Secara simultan atau
bersama-sama, variabel
SiLPA, Jumlah
Penduduk, dan Luas
Wilayah berpengaruh
signifikan terhadap
Belanja Modal pada
pemerintah daerah
provinsi Se-Indonesia
52
8. Tria
Anindya
Kirana
(2016)
Analisis Pengaruh
Pendapatan Asli
Daerah, Belanja
Modal, Dan Sisa
Lebih
Perhitungan
Anggaran
Terhadap
Pertumbuhan
Ekonomi Daerah
(Studi Kasus 38
Kota/Kabupaten
Se-Jawa Timur
Tahun 2009-
2013)
Variabel
Independen :
Pengaruh
Pendapatan
Asli Daerah
Belanja
Modal
Dan Sisa
Lebih
Perhitungan
Anggaran
Variabel
Dependen :
Pertumbuhan
Ekonomi
Pendapatan Asli Daerah
dan Belanja Modal
berdampak positif
terhadap pertumbuhan
ekonomi yang ada di
Jawa Timur. Sedangkan
Sisa Lebih Perhitungan
Anggaran berpengaruh
negatif terhadap
pertumbuhan ekonomi di
Jawa Timur.
53
C. Pengembangan Hipotesis
1. Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan Pengalokasian Belanja Modal
Pasal 1 ayat 13 UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah yang dimaksud dengan Pendapatan Asli Daerah
Adalah semua hak daerah yang diakui sebagaimana penambahan nilai
kekayaan bersih dalam periode tahun anggaran yang bersangkutan.
Otonomi daerah selain memberikan peluang kepada daerah untuk
mengelola daerahnya sendiri juga menuntut untuk mampu memenuhi
segala tuntutan dan aspirasi masyarakat daerahnya. Untuk dapat
memberikan pelayanan yang maksimal kepada masyarakat, Pemerintah
Daerah memerlukan infrastruktur yang memadai. Pembelanjaan ini
berupa pembelanjaan aset tetap yang dikategorikan sebagai Belanja
Modal sehingga daerah dituntut untuk memaksimalkan pemanfaatan
segala potensi yang dimiliki.
Hasil penelitian Nurzen dan Riharjo (2016) memperoleh bukti
empiris, dengan menyatakan Pendapatan Asli daerah berpengaruh positif
terhadap alokasi Belanja Modal. Besarnya Pendapatan Asli Daerah
merupakan salah satu faktor penentu dalam menentukan Belanja Modal.
Jika Pemerintah Daerah akan mengalokasikan Belanja Modal maka harus
benar-benar disesuaikan dengan kebutuhan daerah dengan
mempertimbangkan Pendapatan Asli Daerah yang diterima. Peningkatan
Pendapatan Asli Daerah juga dapat mempengaruhi pemerintah dalam
pengalokasian Belanja Modal.
54
Hasil penelitian Hermawan, Made dan Wirshandono (2016)
semakin memperkuat bukti empiris tersebut, dengan menyatakan
pendapat bahwa Pendapatan Asli Daerah berpengaruh positif terhadap
alokasi Belanja Modal. Selain itu, temuan tersebut mengindikasi bahwa
besarnya PAD menjadi salah satu fakor dalam pengalokasian Belanja
Modal. Hal ini sesuai dengan PP dengan PP Nomor 58 Tahun 2005
menyatakan bahwa PBD disusun sesuai dengan kebutuhan
penyelenggaraan pemerintah dan kemampuan daerah dalam
menghasilkan pendapatan, sehingga untuk meningkatkan Belanja Modal
untuk pelayanan publik dan kesejahteraan masyarakat, maka Pemerintah
Daerah harus menggali PAD yang sebesar-besarnya. Berdasarkan
landasan teori dari beberapa hasil penelitian diatas, maka peneliti
merumuskan hipotesis sebagai berikut :
H1 : Pendapatan Asli Daerah berpengaruh positif terhadap
Pengalokasian Belanja Modal.
2. Dana Alokasi Umum (DAU) dan Pengalokasian Belanja Modal.
Untuk memberikan dukungan terhadap pelaksanaan otonomi
daerah telah diterbitkan UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan
Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah yang
menyatakan sumber-sumber pembiayaan pelaksanaan desentralisasi salah
satunya terdiri dari Dana Alokasi Umum. Pemerintah Daerah dapat
menggunakan Dana Alokasi Umum untuk memberikan pelayanan kepada
publik yang direalisasikan melalui Belanja Modal (Ardhani, 2011). Hasil
55
penelitian Adytama dan Oktaviani (2015) memperoleh bukti empiris
bahwa Dana Alokasi Umum berpengaruh positif terhadap alokasi Belanja
Modal dengan diserahkannya Dana Alokasi Umum kepada daerah sesuai
prioritas daerah, idealnya dialokasikan untuk belanja yang dapat
meningkatkan efisiensi dan efektivitas pelayanan kepada masyarakat.
Hasil penelitian Susi Susanti dan Heru Fahlevi (2016) semakin
memperkuat bukti empiris tersebut, mereka menyatakan bahwa Dana
Alokasi Umum berpengaruh positif terhadap alokasi Belanja Modal. Hal
ini membuktikan bahwa perilaku Belanja Daerah khususnya Belanja
Modal akan sangat dipengaruhi sumber penerimaan dari Dana Alokasi
Umum. Sehingga dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi Dana Alokasi
Umum maka alokasi Belanja Modal juga semakin meningkat, hal ini
sebabkan karena daerah yang memiliki pendapatan daerah berupa Dana
Alokasi Umum yang besar maka Belanja Modal akan meningkat.
Berdasarkan landasan teori dan beberapa hasil penelitian diatas, maka
peneliti merumuskan hipotesis sebagai berikut :
H2 : Dana Alokasi Umum (DAU) berpengaruh positif terhadap
Pengalokasian Belanja Modal.
3. Luas Wilayah dan Pengalokasian Belanja Modal.
Menurut UU Nomor 33 Tahun 2004, luas wilayah merupakan
variabel yang mencerminkan kebutuhan atas penyediaan sarana dan
prasarana per satuan wilayah. Anggaran belanja modal didasarkan pada
kebutuhan daerah akan sarana dan prasarana, baik untuk kelancaran
56
pelaksanaan tugas pemerintahan maupun untuk fasilitas publik. Daerah
dengan wilayah yang lebih luas membutuhkan sarana dan prasarana yang
lebih banyak sebagai syarat untuk pelayanan kepada publik bila
dibandingkan dengan daerah dengan wilayah yang tidak begitu luas
(Kusnandar dan Siswantoro, 2012). Hasil Ardhini (2011) memperoleh
bukti empiris bahwa Luas Wilayah berpengaruh positif terhadap alokasi
Belanja Modal. Alokasi yang dilakukan oleh daerah sangat dipengaruhi
oleh luas daerah itu sendiri. Luas Wilayah suatu daerah dapat dijadikan
ukuran suatu daerah untuk mengalokasikan anggarannya untuk
pembangunan terutama berupa pembangunan infrastruktur berupa jalan
dan jaringan. Pembangunan infrastruktur berupa jalan akan
mempermudah akses ke suatu daerah dan dapat memperlancar
transportasi sehingga memperlancar arus barang dari daerah satu ke
daerah lainnya. Lancarnya arus barang dapat menarik investor untuk
menanamkan modalnya. Dan hal tersebut dapat meningkatkan
perekonomian daerah itu sendiri.
Hasil penelitian Kusnandar dan Siswantoro (2012) semakin
memperkuat bukti empiris tersebut, mereka menyatakan bahwa Luas
Wilayah berpengaruh positif terhadap alokasi Belanja Modal. Memiliki
infrastruktur yang baik merupakan salah satu tujuan dari pembangunan
daerah, dengan infrastruktur yang maksimal pelaksanaan tugas
pemerintahan dapat berjalan berjalan baik dan lancar. Berdasarkan
57
landasan teori dan beberapa hasil penelitian diatas, maka peneliti
merumuskan hipotesis sebagai berikut :
H3 : Luas Wilayah berpengaruh positif terhadap Pengalokasian
Belanja Modal.
4. Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (SiLPA) dan Pengalokasian Belanja
Modal.
Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (SiLPA) menurut
Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 adalah selisih dari realisasi
penerimaan dan pengeluaran anggaran selama satu tahun periode
anggaran. SiLPA tahun anggaran sebelumnya mencakup pelampauan
penerimaan PAD, dana perimbangan, pelampauan penerimaan lain-lain,
pendapatan daerah yang sah, pelampauan penerimaan pembiayaan,
penghematan belanja, kewajiban kepada pihak ketiga sampai akhir tahun
belum terselesaikan dan sisa dana kegiatan lanjutan. SiLPA digunakan
untuk pembayaran cicilan pokok utang yang jatuh tempo, penyertaan
investasi, dan transfer rekening cadangan. SiLPA meerupakan suatu
indikator yang menggambarkan efisiensi pengeluaran pemerintah.
Kusnandar (2011) menyatakan bahwa SiLPA berpengaruh
positif terhadap alokasi belanja modal, dan hasil penelitian Maryadi
(2014) berpendapat juga bahwa SiLPA berpengaruh positif terhadap
alokasi belanja modal. Berdasarkan pemaparan teori di atas dapat
disimpulkan SiLPA tahun sebelumnya yang merupakan penerimaan
pembiayaan digunakan untuk menutupi defisit anggaran apabila realisasi
58
pendapatan lebih kecil dari pada realisasi belanja, mendanai pelaksanaan
kegiatan lanjutan atas beban belanja modal dan mendanai kewajiban
lainnya yang sampai denga akhir tahun anggaran belum diselesaikan.
Berdasarkan landasan teori dan beberapa hasil penelitian diatas, maka
peneliti merumuskan hipotesis sebagai berikut :
H4 : Sisa Lebih Perhitungan Anggaran berpengaruh positif terhadap
Pengalokasian Belanja Modal.
5. Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Alokasi Umum (DAU), Luas
Wilayah, Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (SiLPA) dan Pengalokasian
Belanja Modal.
Pada dasarnya, ada dua sumber penerimaan daerah yaitu
Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan Dana Perimbangan (Dana Alokasi
Umum, Dana Alokasi Khusus dan Dana Bagi Hasil). Dana Alokasi
Umum, Dana Alokasi Khusus adalah dana yang diberikan Pemerintah
Pusat kepada Pemerintah daerah melalui dana perimbangan, hal ini
diakibatkan karena tidak semua Kabupaten/Kota di Indonesia
mempunyai Pendapatan Asli Daerah yang sama untuk membiayai sarana
dan prasarana dengan melakakukan belanja modal untuk memberikan
pelayanan kepada masyarakat. Semakin luas wilayah suatu daerah ini
tentu akan semakin banyak membutuhkan Belanja Modal dan semakin
besar luas wilayah suatu daerah pemerintahan maka semakin banyak juga
sarana dan prasarana yang harus disediakan Pemerintah Daerah agar
tersedia pelayanan publik yang baik. Hal ini mengindikasi bahwa
59
perilaku Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Alokasi Umum (DAU),
Luas Wilayah dan Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (SiLPA) akan
mempengaruhi Belanja Modal yang memberikan kontribusi sesuai
dengan aspek masing-masing yang dibutuhkan oleh daerah untuk
kepentingan masyarakat.
Junaedy (2015) menyatakan bahwa Pendapatan Asli Daerah (PAD)
dan Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Bagi Hasil, Sisa Lebih
Perhitungan Anggaran dan Luas Wilayah secara simultan berpengaruh
positif terhadap Belanja Modal.
Hasil penelitian Novita Dewi A (2017) semakin memperkuat bukti
empiris tersebut, yang menyatakan bahwa Pendapatan Asli Daerah
(PAD) dan Dana Alokasi Umum (DAU) secara simultan berpengaruh
positif terhadap Belanja Modal. Dari hasil penelitian di atas
menunjukkan bahwa PAD dan DAU secara bersama-sama dapat
meningkatkan besarnya Belanja Modal daerah. Belanja Modal digunakan
untuk melakukan pembangunan di daerah sehingga dapat memberikan
manfaat bagi masyarakat. Meningkatnya pembangunan di daerah
meliputi sarana dan prasarana, dapat menunjang kegiatan perekonomian
bagi masyarakat. Dengan meningkatnya kegiatan perekonomian, akan
mengakibatkan meningkatnya pendapatan masyarakat, dan meningkatkan
kesejahteraan masyarakat. Dengan meningkatnya pendapatan masyarakat
akan meningkatnya pendapatan daerah melalui PAD. Berdasarkan
60
landasan teori dan beberapa hasil penelitian diatas, maka peneliti
merumuskan hipotesis sebagai berikut :
H5 : Pendapatan Asli Daerah, Dana Alokasi Umum, Luas Wilayah
dan Sisa Lebih Perhitungan Anggaran berpengaruh positif
terhadap Pengalokasian Belanja Modal.
D. Kerangka Pemikiran
Berdasarkan landasan teori dan pengembangan hipotesisi yang telah
dikemukan oleh penulis, dimunculkan kerangka berfikir untuk menjelaskan
Pengaruh Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Alokasi Umum (DAU), Luas
Wilayah, dan Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (SiLPA) terhadap
Pengalokasian Belanja Modal. Berikut gambar pemikiran yang skematis :