I PENDAHULUANrepository.unpas.ac.id/2056/13/LAORAN ISI.docx · Web viewBahan baku utama dalam...

99
I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai: (1) Latar Belakang Masalah, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, (7) Waktu dan Tempat Penelitian. 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia adalah negara yang kaya akan berbagai aspek. Tanah yang sangat subur dengan iklim tropis yang mendukung keanekaragaman hasil pangan tumbuh subur di alam ini. Hasil pangan dari komoditi pertanian seperti padi dan jagung serta komoditi perkebunan seperti sayuran, buah-buahan dan umbi-umbian. Komoditi pangan yang tersedia cukup banyak tersebut dapat dikatakan jika produk pangan di Indonesia begitu beragam. Dari bahan mentah diolah menjadi bahan baku, bahan setengah jadi hingga menjadi produk jadi yang siap saji. 1

Transcript of I PENDAHULUANrepository.unpas.ac.id/2056/13/LAORAN ISI.docx · Web viewBahan baku utama dalam...

I PENDAHULUAN

Bab ini menguraikan mengenai: (1) Latar Belakang Masalah, (2)

Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian,

(5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, (7) Waktu dan Tempat

Penelitian.

1.1 Latar Belakang Masalah

Indonesia adalah negara yang kaya akan berbagai aspek. Tanah yang sangat

subur dengan iklim tropis yang mendukung keanekaragaman hasil pangan tumbuh

subur di alam ini. Hasil pangan dari komoditi pertanian seperti padi dan jagung

serta komoditi perkebunan seperti sayuran, buah-buahan dan umbi-umbian.

Komoditi pangan yang tersedia cukup banyak tersebut dapat dikatakan jika

produk pangan di Indonesia begitu beragam. Dari bahan mentah diolah menjadi

bahan baku, bahan setengah jadi hingga menjadi produk jadi yang siap saji.

Indonesia adalah pasar mie terbesar nomor dua di dunia setelah Cina dengan

jumlah produksi mie yang terus meningkat. Pada tahun 2008 total produksi mie

Indonesia, baik mie instan, mie kering dan mie basah mencapai 1,6 juta ton, pada

tahun 2013 produksinya telah mencapai 2 juta ton dan diprediksi tahun 2014

mencapai 2,2 juta ton (Amin, 2014).

Masyarakat saat ini sudah banyak yang mengkonsumsi mi sebagai bahan

pangan alternatif pengganti beras. Selain mi harganya terjangkau, cara penyajian

yang lebih mudah dan rasa yang tersedia sesuai dengan keinginan. Sehingga mi

sudah tidak asing lagi disebut dengan makanan rakyat karena mudah didapatkan

1

2

dimana saja dan dapat diolah menjadi beragam macam seperti mi ayam, ramen

dan lain-lain.

Mi basah mengandung beberapa komponen kimia diantaranya kandungan

karbohidrat, lemak, air dan mineral. Kandungan yang paling besar di dalam mi

basah adalah kandungan kalori, sedangkan mi mengandung protein yang cukup

kecil dan tidak memiliki serat, padahal serat pangan sangat dibutuhkan untuk

menjaga kesehatan sistem pencernaan.

Bahan baku utama dalam pembuatan mie adalah tepung terigu yang

diformulasikan dengan bahan lain. Menurut ketua umum Asosiasi Produsen

Tepung Terigu Indonesia (Aptindo), menyatakan pada tahun 2013 penggunaan

tepung terigu mencapai 5,43 juta ton, naik 7% dari penggunaan tahun sebelumnya

yang menyentuh 5,08 juta ton. Penggunaan tepung terigu dalam pembuatan mie

instan di PT Bogasari mencapai 60% dari total olahan gandum. Oleh karena itu,

saat ini sudah banyak dilakukan usaha untuk mengurangi bahkan menggantikan

tepung terigu dengan beragam bahan baku lokal yang dibuat menjadi tepung.

Salah satunya adalah pembuatan mie dengan campuran berbagai tepung dari

kacang-kacangan, maupun umbi-umbian.

Kacang kedelai memiliki prospek yang baik untuk dikembangkan karena

mengandung protein yang tinggi (35-38%). Selain itu, kandungan lemak pada

kedelai juga cukup tinggi (±20%). Dari jumlah ini sekitar 85% merupakan asam

lemak esensial (linoleat dan linolenat). Disamping memiliki protein tinggi, kedelai

mengandung serat atau dietary fiber, vitamin dan mineral. Selain kandungan

2

protein yang tinggi, secara kualitatif protein kedelai tersusun dari asam-asam

amino

3

esensial yang lengkap dan baik mutunya kecuali asam amino bersulfur yang

merupakan faktor pembatas pada kedelai (Afandi, 2001).

Protein kedelai memiliki sifat fungsional antara lain sifat pengikat air dan

lemak, sifat mengemulsi dan mengentalkan serta membentuk lapis tipis. Sifat-sifat

ini dapat dimanipulasi untuk memperoleh sistem pangan yang dikehendaki

(Widaningrum, 2005).

Salah satu produk olahan dari kedelai adalah sari kedelai. Pada perusahaan

CV.Dodo-Mis sisa hasil ayakan bubuk kedelai yang tidak lolos mesh 80 yang

dihasilkan mencapai 30% sekitar 52,5 kg dari satu kali produksi 175 kg. Hasil

tersebut dimanfaatkan agar bisa dibuat menjadi suatu produk yang lebih memiliki

nilai jual dan diharapkan dapat mengurangi kebutuhan terigu di Indonesia ini dan

juga dapat memanfaatkan tepung dari komoditas ubi jalar. Oleh karena itu

pemanfaatan dan diversifikasi produk olahan bubuk kedelai yang lebih luas yaitu

pembuatan soy flakes, biskuit dan crackers (Setiaji, 2012).

Tepung kedelai yang tidak lolos pengayakan pada mesh 80 dapat diolah

menjadi bahan baku membuat produk baru yang inovatif dan kreatif dengan tidak

menghilangkan nutrisinya, bahkan bertambah nutrisinya dengan dilakukannya

penambahan bubur dari umbi-umbian. Bubur umbi-umbian tersebut dapat kita

peroleh salah satunya dari umbi bit yang sekaligus dapat menambah warna alami

pada mi basah.

Bit salah satu bahan pangan yang sangat bermanfaat. Salah satu manfaatnya

adalah memberikan warna alami dalam pembuatan produk pangan. Pigmen yang

terdapat pada bit merah adalah betalanin. Betalanin merupakan golongan

4

antioksidan, yang jarang digunakan dalam produk pangan dibandingkan dengan

antosianin dan betakaroten sehingga perlu dimanfaatkan secara maksimal

(Wirakusumah, 2007).

Jumlah produksi umbi bit sampai saat ini belum diketahui secara pasti,

dimana penanganannya belum mendapat perhatian khusus dari masyarakat. Belum

ada data produksi bit di Indonesia, karena sayuran ini belum begitu populer. Umbi

bit di Indonesia banyak ditanam di pulau Jawa, terutama Cipanas Bogor,

Lembang, Pangalengan dan Batu. Jumlah produksi umbi bit yang terdapat di

Cisarua Lembang sebanyak 80 ton/tahun (Ananti, 2008).

Salah satu sumber pewarna alami yang dapat digunakan sebagai pewarna

makanan dan minuman adalah betalanin yang ada pada umbi bit, betalanin yang

terkandung dalam beettroot telah digunakan sebagai pewarna makanan, seperti

ice cream dan makanan penutup beku dengan tanpa mengubah rasa. Hal ini

dibuktikan dengan tidak adanya efek karsinogenik atau efek toksik lainnya

sehingga ekstrak bit merah aman sebagai pewarna makanan (Petriana dkk, 2013).

Adrizal (2002) menyatakan bahwa pengolahan model linier dengan program

linier menggunakan aplikasi komputer, dapat menghasilkan output program

komputer berupa formula dan analisis sensitivitas formula yang berguna untuk

melihat sejauh mana bahan baku dapat digunakam secara optimal dalam bahan

dengan kandungan gizi dan harga yang berlaku.

1.2. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas dapat diketahui identifikasi masalahnya

adalah sebagai berikut :

5

1. Apakah penggunaan program linier dapat menentukan formulasi yang optimal

terhadap nilai gizi protein pada mi basah ?

2. Apakah penggunaan program linier dapat menentukan formulasi yang optimal

terhadap biaya produksi mi basah ?

1.3. Tujuan dan Maksud Penelitian

Tujuan dan maksud dari penelitian ini adalah untuk menentukan formulasi

bahan baku pembuatan mi yang optimal dengan menggunakan program linier

sehingga diharapkan produk mi basah yang sesuai dengan standar mutu SNI.

1.4. Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah :

1. Memanfaatkan umbi bit menjadi suatu bahan yang dapat dijadikan pewarna

alami pada produk mi basah.

2. Memanfaatkan limbah tepung kedelai sebagai bahan yang dapat meningkatkan

nilai gizi mi basah.

3. Memberikan informasi formulasi yang tepat dalam peningkatan nilai gizi

protein mi basah dengan harga yang minimum.

1.5. Kerangka Pemikiran

Mie merupakan bahan pangan yang cukup potensial, selain harganya yang

murah dan mudah serta praktis mengolahnya. Mie juga mempunyai kandungan

gizi yang cukup baik. Dilihat dari kandungan gizinya, mie rendah akan kandungan

kalorinya sehingga cocok untuk orang yang sedang menjalani diet rendah kalori

(Zulkhair, 2009).

6

SNI 01-2987-1992 menyatakan mi basah adalah produk makanan yang

dibuat dari tepung terigu dengan atau tanpa penambahan bahan makanan lain dan

bahan tambahan yang diizinkan, berbentuk khas mi yang tidak dikeringkan.

Sedangkan Widyaningsih (2006) menyatakan mie basah disebut juga mie kuning

adalah jenis mie yang mengalami perebusan dengan kadar air mencapai 52%

sehingga daya tahan atau keawetannya cukup singkat. Pada suhu kamar hanya

bertahan sampai 10-12 jam. Setelah itu mie akan berbau asam dan berlendir atau

basi.

Bahan baku utama mi adalah terigu, dimana jenis tepung terigu sangatlah

penting dalam pembuatan suatu jenis makanan. Terigu berprotein tinggi sekitar

12%-14% ideal untuk pembuatan roti dan mi (Hasya, 2008). Kandungan protein

utama tepung terigu yang berperan dalam pembuatan mi adalah gluten. Gluten

dapat dibentuk dari gliadin (prolamin dalam gandum) dan glutenin

(Koswara, 2005).

Ferrier dan Lopez (1979) dalam Afandi (2001) menyatakan kedelai bila

dibandingkan dengan serealia memiliki kelebihan karena kandungan protein asam

amino lisin yang tinggi dan memiliki asam amino sulfur yang lebih rendah, yang

berguna baik dalam industri pangan maupun non pangan, serta menurut

Yustiareni (2000) dalam Widaningrum (2004) menyatakan kandungan protein

pada tepung kedelai sebesar 46,39% dapat meningkatkan kandungan protein pada

fortifikasi berbagai macam produk bakery seperti pastry, waffel beku, kue-kue

basah dan snack.

7

Widaningrum (2004) dalam penelitian pengayaan tepung kedelai pada

pembuatan mie basah dengan bahan baku tepung terigu yang disubsitusi tepung

garut menyatakan penambahan tepung kedelai sampai tingkat 20% tidak

menunjukan beda nyata dengan penambahan tepung kedelai 5% terhadap

kandungan protein dan tekstur mie basah.

Protein yang terkandung dalam tepung kedelai hasil samping olahan sari

kedelai masih cukup tinggi yaitu 29,41%-32,61%. Sebagai sumber protein dengan

kandungan protein sebesar 10-30%, sehingga dapat meningkatkan kandungan

protein pada pembuatan produk olahan pangan (Yustina, 2012).

Produk olahan kedelai merupakan sumber protein nabati yang banyak

dikonsumsi oleh hampir seluruh lapisan masyarakat Indonesia, sehingga berperan

dalam mendukung ketahanan pangan dan meningkatkan status gizi masyarakat

(Noorlayla, 2015).

Retnaningsih (2007) dan Jayadi dkk (2012) dalam penelitian Noorlayla

(2015) melakukan penelitian tentang aplikasi tepung ubi jalar merah dan tepung

kedelai sebagai pengganti tepung terigu dalam pembuatan mi instan dengan

tingkat subtitusi tepung kedelai yang paling disukai konsumen adalah sebesar

15%, serta hasil penelitian Jayadi menyatakan tingkat kesukaan anak-anak pada

sakko-sakko yang terbuat dari tepung beras dengan tambahan tepung kedelai pada

konsentrasi 10%.

Supriyanto (2013), menyatakan fortifikasi umbi bit dalam adonan mie

dengan nisbah komposisi tepung terigu-umbi bit 8:1 terbukti dapat meningkatkan

8

makronutrien dibandingkan dengan mie kontrol, terutama meningkatkan kadar

karbohidrat.

Penambahan ekstrak bit merah dengan asam askorbat dapat meningkatkan

kandungan abu, protein, karbohidrat, serat kasar, aktivitas antioksidan dan

menurunkan kadar air pada konsentrasi 40% dan asam askorbat 60%, tetapi tidak

mempengaruhi kekenyalan dan rasa mi basah sagu (Oktaviani, 2015).

Yenawaty (2011) dalam penelitian Melisa (2013) melakukan penelitian

dalam rangka penggunaan bit yang dimanfaatkan sebagai pewarna alami pada mie

basah dan menunjukan bahwa kandungan vitamin A, C dan khususnya

antioksidan lebih tinggi jika dibandingkan dengan mie pada umumnya.

Beetroot red (umbi bit merah) salah satu pewarna yang diizinkan menurut

UK. Food Additives and Contaminans Comitte (1979) dalam penelitian Arjuan

(2008), zat warna yang berasal dari umbi itu merah dikategorikan sebagai non-

dyestuff (bukan bahan pewarna sintetik) dan tidak ada batasan konsumsi menurut

rekomendasi EFC (mg/kg berat badan) sehingga tidak ada akumulasi maksimal

zat warna tersebut di dalam tubuh.

Henry (2006) dalam penelitian Arjuan (2008) tentang aplikasi pewarna

bubuk ekstrak umbi bit sebagai pengganti pewarna tekstil pada produk terasi,

mengatakan betasianin memiliki intensitas warna yang lebih kuat dibandingkan

berbagai macam pewarna sintetik lainnya.

Pigmen betasianin cocok digunakan pada produk makanan dengan masa

penyimpanan pendek dengan perlakuan panas minimum, dikemas dalam suasana

kering dan rendah intensitas cahaya, oksigen serta kelembaban (Arjuan, 2008).

9

Betasianin adalah salah satu pewarna alami penting yang banyak digunakan

dalam sistem pangan. Walaupun pigmen betasianin telah digunakan untuk

pewarna alami sejak dahulu tetapi pengembangannya tidak secepat antosianin.

Hal ini karena keterbatasan tanaman yang mengandung pigmen betasianin.

Sampai saat ini pigmen betasianin yang telah diproduksi dalam skala besar hanya

berasal dari buah bit (Beta vulgaris L). Betasianin dari buah bit telah diketahui

memiliki efek antiradikal dan aktivitas antioksidan yang tinggi (Mastuti, 2010).

Purnawiyanti (2009), menyatakan bahan pengenyal berfungsi membentuk

mi yang liat dan kenyal sehingga tidak mudah putus. Bahan pengenyal umumnya

bersifat menyerap air membentuk hidrokoloid sehingga mi mengembang dan

tidak mudah susut selama pemasakan. Oleh karena itu bahan pengenyal juga

berfungsi sebagai bahan pengembang mi. Bahan pengenyal yang aman digunakan

dalam pembuatan mi misalnya CMC dan STPP. Penggunaan STPP pada

umumnya sekitar 0,3% dari berat tepung, sedangkan CMC dapat digunakan

sebanyak 0,5-1%. Penggunaan bahan pengenyal yang berlebihan menyebabkan mi

terlalu kenyal, sehingga seperti karet.

Astina Nur (2007), menyatakan sodium tripolyfosfat atau STPP digunakan

sebagai bahan pengikat air agar air dalam adonan tidak mudah menguap sehingga

permukaan adonan tidak cepat mengering dan mengeras. Sodium tripolyfosfat

dapat digunakan untuk menggantikan penggunaan boraks pada mi basah yang

sekarang kasusnya sedang marak di pasaran. Kelebihan STPP dibandingkan

boraks adalah STPP aman untuk digunakan dalam makanan dan penggunaannya

9

diatur dalam Permenks No. 722.MenKes/Per/IX/1988. Penambahan STPP dengan

konsentrasi

10

0,1% sampai 0,2% dalam formula ini sudah cukup bagus untuk memberikan

kekenyalan.

Menurut Andre (2014) dalam penelitian Hasya (2008), metode least cost

dalam program linier sangat membantu untuk mendapatkan formula yang baik

dan memenuhi kebutuhan nutrisi dengan biaya terendah.

Menurut Hubies et.al (1994) dalam penelitian Hasya (2008), aplikasi

program linier dalam optimalisasi formulasi es krim dengan menggunakan

minyak kelapa sawit sebagai pengganti lemak mentega yaitu untuk mempelajari

penggunaan minyak kelapa sawit sebagai bahan untuk mensubtitusi lemak susu

dan mempelajari formulasi es krim yang optimal, yaitu dengan cara

meminimumkan penggunaan bahan baku tanpa mengurangi mutu es krim yang

dihasilkan dengan harga yang ekonomis.

1.6. Hipotesis Penelitian

Berdasarkan kerangka berfikir yang telah diuraikan, diduga :

1. Program linier dapat menentukan formulasi yang optimal terhadap nilai gizi

protein pada mi basah ?

2. Program linier dapat menentukan formulasi yang optimal terhadap biaya

produksi mi basah ?

1.7. Waktu dan Tempat Penelitian

Waktu penelitian dilakukan pada bulan Desember 2015 hingga Februari

2016. Sedangkan tempat penelitian dilaksanakan di laboratorium Teknologi

Pangan Universitas Pasundan Bandung.

II TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini menguraikan mengenai : (1) Mi Basah, (2) Kacang Kedelai, (3)

Umbi Bit dan (4) Program Linier.

2.1. Mi Basah

Astawan (2005), menyatakan walaupun pada prinsipnya mie dibuat dengan

cara yang sama, tetapi di pasaran dikenal beberapa jenis mie seperti mie

segar/mentah (raw chinese noodle), mie basah (boiled noodle), mie kering (steam

and fried noodle), dan mie instant (instant noodle).

a) Mie Mentah

Mie mentah adalah mie yang tidak mengalami proses tambahan setelah

pemotongan dan mengandung air sekitar 35%. Oleh karena itu, mie ini cepat

rusak. Penyimpanan dalam refrigerator dapat mempertahankan kesegaran mie ini

hingga 50-60 jam. Setelah masa simpan tersebut, warna mie akan menjadi gelap.

b) Mie Basah

Mie basah adalah jenis mie yang mengalami proses perebusan setelah tahap

pemotongan dan sebelum dipasarkan. Kadar airnya dapat mencapai 52% sehingga

daya tahan simpannya relatif singkat (40 jam pada suhu kamar). Di Indonesia, mie

basah dikenal sebagai mie kuning atau mie bakso.

c) Mie Kering

Mie kering adalah mie mentah yang telah dikeringkan hingga kadar airnya

mencapai 8-10%. Pengeringan umumnya dilakukan dengan penjemuran di bawah

sinar matahari atau dengan oven. Karena bersifat kering, maka mie ini mempunyai

daya simpan yang relatif panjang dan mudah penanganannya. Mie kering sebelum

11

12

dipasarkan biasanya ditambahkan telur segar atau tepung telur sehingga mie ini

dikenal dengan nama mie telur. Penambahan telur ini merupakan variasi sebab

secara umum mie oriental tidak mengandung telur. Di Amerika Serikat,

penambahan telur merupakan suatu keharusan karena mie kering harus

mengandung air kurang dari 13% dan padatan telur lebih dari 5,5%.

d) Mie Instan

Standar Nasional Indonesia (SNI) nomor 3551-1994, mie instan

didefenisikan sebagai produk makanan kering yang dibuat dari tepung terigu

dengan atau tanpa penambahan bahan makanan lain dan bahan makanan

tambahan yang diizinkan, berbentuk khas mie dan siap dihidangkan setelah

dimasak atau diseduh dengan air mendidih paling lama 4 menit. Mie instan

dikenal sebagai mie ramen. Mie ini dibuat dengan penambahan beberapa proses

setelah diperoleh mie segar. Tahap-tahap tersebut yaitu pengukusan, pembentukan

dan pengeringan. Kadar air mie instan umumnya mencapai 5-8% sehingga

memiliki daya simpan yang cukup lama.

Mie adalah makanan khas dari Cina. Rasanya yang hambar membuat bahan

makanan ini dapat diolah dengan bumbu yang sesuai dengan selera si

pembuatnya. Biasanya dibuat dari adonan terigu, air, garam, dan minyak.

Pembuatan mie basah lebih sering dibuat dengan mencampur air khi atau kansui

atau lebih dikenal dengan air abu. Dalam proses pembuatan mie, harus

dipertimbangkan dalam memilih terigu terutama adalah kadar protein dan kadar

abunya. Kadar protein mempunyai korelasi erat dengan jumlah gluten. Sedangkan

kadar abu erat dengan kualitas mie yang dihasilkan (Widyaningsih, 2006).

13

Menurut Astawan (2005), Mie merupakan makanan yang sangat populer di

masyarakat, selain karena murah dalam pengolahannya juga lebih praktis. Hal ini

yang mengakibatkan mie sebagai makanan yang bisa menggantikan nasi sebagai

makanan pokok masyarakat Indonesia. Cara mengkonsumsi mie pada masyarakat

yang cenderung tanpa menggunakan lauk dapat memunculkan kekhawatiran

dalam upaya pemenuhan gizi masyarakat, seperti telah diketahui kandungan mie

didominasi oleh kadar karbohidrat yang tinggi.

Tabel 1. Komposisi Kimia Mie Basah dalam 100 g BahanKomposisi JumlahKalori (kal) 86Protein (g) 0,6Lemak (g) 3,3

Karbohidrat (g) 14,0Kalsium (mg) 14Fosfor (mg) 13Besi (mg) 0,8

Air (g) 80,0Bdd (%) 100

Sumber : Departemen Kesehatan RI (1996)

Mie basah merupakan produk makanan yang terbuat dari terigu dengan atau

tanpa penambahan bahan makanan lain dan bahan tambahan makan yang

diizinkan, berbentuk khas mie yang tidak dikeringkan (Badan Standarisasi

Nasional, 1992).

Mie basah disebut juga mie kuning adalah jenis mie yang mengalami

perebusan dengan kadar air mencapai 52% sehingga daya tahan atau keawetannya

cukup singkat. Pada suhu kamar hanya bertahan sampai 10-12 jam. Setelah itu

mie akan berbau asam dan berlendir atau basi (Widyaningsih , 2006).

14

Tabel 2. Syarat Mutu Mie Basah menurut SNI 01-2987-1992 (BSN 1992)No. Kriteria Uji Satuan Persyaratan1. Keadaan:

1.1. Bau1.2. Rasa1.3. Warna

NormalNormalNormal

2. Air %. b/b 20-353. Abu (dihitung atas dasar

bahan kering)%. b/b Maks. 3

4. Protein (N x 6,25) %. b/b Min. 8

5.Bahan tambahan makanan:5.1. Boraks dan asam borat5.2. Pewarna5.3. Formalin

Tidak boleh adaSesuai SNI 0222-M dan peraturan MenKes.No.722/MenKes/Per/IX/88Tidak boleh ada

6. Cemaran Logam6.1. Timnal (Pb)6.2. Tembaga (Cu)6.3. Seng (Zn)6.4. Raksa (Hg)

mg/kgmg/kgmg/kgmg/kg

Maks. 1,0Maks. 10,0Maks. 40,0Maks.0,05

7. Arsen (As) mg/kg Maks. 0,05

8.

Cemaran mikroba8.1. Angka lempeng total8.2. E.coli8.3. Kapang

Koloni/gAPM/gKoloni/g

Maks. 1,0 x 104

Maks. 10Maks. 1,0 x 104

Sumber : BSN, (1992)

2.1.1. Bahan Baku Utama

a. Terigu

Terigu yang digunakan adalah terigu yang memiliki kandungan protein yang

tinggi, dimana terigu berprotein tinggi ini dalam pembuatan mi basah berfungsi

sebagai pembuat gluten dari protein glutenin dan gliadin yang terdapat pada

terigu. Protein gliadin dan gliadin ini akan terhidrasi dengan penambahan air

14

menghasilkan gluten yaitu adonan yang bersifat elastis atau kenyal yang akan

membentuk lapisan

15

film pada permukaan adonan untuk menahan udara atau menyerap air pada saat

proses perebusan.

b. Air

Air berfungsi sebagai reaksi antar gluten dengan karbohidrat, melarutkan

garam dan membentuk sifat kenyal gluten. Air yang digunakan sebaiknya

memiliki pH antara 6-9. Makin tinggi pH air maka mi yang dihasilkan tidak

mudah patah karena absorpsi air meningkat dengan meningkatnya pH. Air yang

digunakan harus air yang memenuhi persyaratan air minum, yaitu tidak berwarna,

tidak berbau dan tidak berasa. Jumlah air yang ditambahkan pada umumnya

sekitar 28-38% dari campuran bahan yang akan digunakan (Astawan, 2005).

c. Garam

Garam berfungsi memberi rasa, memperkuat tekstur mi, meningkatkan

fleksibilitas dan elastisitas mi serta untuk mengikat air. Selain itu garam dapur

dapat menghambat aktivitas enzim protease dan amilase sehingga mi tidak

bersifat lengket dan tidak mengembang secara berlebihan (Astawan, 2005).

d. Telur

Telur memiliki fungsi sebagai bahan pengikat, bahan pengental, bahan

pelindung, bahan pengembang, bahan penyedap, bahan pengemulsi dan pengkilat

(glazzing). Jika ditambahkan bahan kering seperti tepung maka telur akan

mengikatnya menjadi satu adonan. Kandungan lesitin terutama pada kuning telur

merupakan pengemulsi yang baik, dapat mempercepat hidrasi air pada terigu dan

bersifat mengembangkan adonan (Wirakusumah, 2005).

16

2.1.2.Bahan Tambahan

a. Sodium Trypolyphosphate (STPP)

Sodium Trypolyphosphate dapat digunakan sebagai bahan pengikat air.

Penggunaan bahan ini dimaksudkan agar air dalam adonan tidak menguap

sehingga tidak mengalami pengerasan atau pengeringan di permukaan sebelum

pembentukan lembaran adonan.

Menurut FDA (Food and Drugs Administration) penggunaan alkali fosfat

adalah 0,5% pada produk. Menurut permenkes No. 772/IX/1998 membatasi dosis

yang aman diizinkan adalah 3 gram per kilogram berat adonan atau 0,3%

(Widyaningsih, 2006).

2.2. Kacang Kedelai

Kedelai merupakan tanaman pangan berupa semak yang tumbuh

tegak. Kedelai jenis liar Glycine ururiencis, merupakan kedelai yang

menurunkan berbagai kedelai yang kita kenal sekarang (Glycine max (L)

Merril). Berasal dari daerah Manshukuo (Cina Utara). Di Indonesia, yang

dibudidayakan mulai abad ke-17 sebagai tanaman makanan dan pupuk

hijau. Penyebaran tanaman kedelai ke Indonesia berasal dari daerah

Manshukuo menyebar ke daerah Mansyuria: Jepang (Asia Timur) dan ke

negara-negara lain di Amerika dan Afrika.

Kedelai merupakan komoditas tanaman pangan ketiga setelah padi

dan jagung di Indonesia. Tanaman ini dikenal juga sebagai sumber protein

nabati terpenting yang relatif murah, sehingga dapat dijangkau oleh

seluruh lapisan masyarakat (Sriwati dkk, 2011).

16

17

Kedelai utuh mengandung 35-40% protein, paling tinggi dari segala jenis kacang-

kacangan. Ditinjau dari segi mutu, protein kedelai adalah yang paling baik mutu

gizinya yaitu hampir setara dengan protein daging. Diantara jenis kacang-

kacangan, kedelai merupakan sumber protein paling baik karena mempunyai

susunan asam amino esensial paling lengkap. Disamping itu kedelai juga dapat

digunakan sebagai sumber lemak, vitamin, mineral dan serat (Sundarsih, 2009).

Kedelai memiliki beberapa jenis tipe diantaranya, kacang kedelai kuning,

coklat, hitam dan putih. Kacang kedelai yang digunakan pada penelitian ini adalah

jenis kacang kedelai kuning varietas wilis, dimana kedelai wilis adalah hasil

persilangan antara galur no 1682/143-1-10. Varietas ini termasuk tanaman dengan

tipe determinate, tinggi tanaman berkisar antara 40-50 cm dan warna daun hijau.

Pembungaan dimulai pada umur 39 hari, bunga berwarna ungu, polong masak

pada umur 88 hari sehingga umur oanen sekitar 75 hari – 110 hari dengan warna

kulit coklat kehitaman dan berbulu coklat tua, biji berwarna kuning dan berbentuk

oval agak lonjong, berat 100 biji sekitar 10 g dengan kadar protein 375 dan kadar

lemak 18%. Sifat unggul wilis adalah tahan rebah dan agak tahan terhadap

penyakit karat dan virus (Ginting dkk, 2010).

Gambar 1. Tepung Kedelai (Glycine max)

18

Menurut Ginting (2010) kedudukan taksonomi kacang kedelai

adalah sebagai berikut :

Kingdom : Plantae

Divisi : Spermatophyta

Sub Divisi : Angiospermae

Kelas : Dicotyledonae

Ordo : Fabales

Famili : Fabaceae

Genus : Glycine

Species : Glycine max L. Merril

Tabel 3. Komposisi Kimia Tepung Kedelai (Glycine max L. Merril)Komposisi Jumlah

Abu (g) 6,1Protein (g) 46,2Lemak (g) 19,1

Karbohidrat (g) 28,2Serat kasar (g) 3,7Kalsium (mg) 254Fosfor (mg) 781Besi (mg) 11

Vitamin B1 (mg) 0,48Vitamin B12 (mkg) 0,2

Asam amino essensial (g) 17,7Sumber : Noorlayla (2015).

Tepung kedelai merupakan tepung yang terbuat dari biji kedelai kering yang

digiling halus. Tepung kacang kedelai adalah bahan makanan yang biasa

dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia. Tepung kacang kedelai mengandung

energi sebesar 347 kilokalori, protein 35,9 gram, karbohidrat 29,9 gram, lemak

20,6 gram, kalsium 195 miligram, fosfor 554 miligram dan zat besi 8 miligram.

Selain itu di

19

dalam tepung kedelai juga terkandung vitamin dan mineral lainnya

(Widaningrum, dkk).

2.3. Umbi Bit

Bit (Beta vulgaris L) adalah sebuah tanaman berbunga dalam familia

Chenopodiaceae, yang aslinya berasal dari daerah pesisir barat dan selatan Eropa,

dari Swedia selatan dan Kepulauan Britania ke selatan Laut Mediterania.

Tanaman ini penting karena varietasnya yang dikembangkan, bit pakan, bit merah

dan bit gula yang menghasilkan gula (Ananti, 2008).

Bit merupakan tanaman semusim yang berbentuk rumput. Batang bit sangat

pendek, hampir tidak terlihat. Akar tunggangnya tumbuh menjadi umbi. Daunnya

tumbuh terkumpul pada leher akar tunggal (pangkal umbi) dan berwarna

kemerahan. Umbi berbentuk bulat atau menyerupai gasing. Akang tetapi, ada pula

umbi bit berbentuk lonjong. Ujung umbi bit terdapat akar. Bunganya tersusun

dalam rangkaian bunga yang bertangkai panjang banyak (racemus). Tanaman ini

sulit berbunga di Indonesia. Bit banyak digemari karena rasanya enak, sedikit

manis dan lunak (Nugrahini, 2013).

Umbi bit memiliki beberapa jenis diantaranya bit gula, bit pakan dan bit

merah. Umbi bit yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis bit merah atau

yang dikenal dengan sebutan beetroot dengan varietas red ace hybrid. Varietas

red ace hybrid dapat dengan mudah ditemukan di supermarket di Amerika

Serikat, biasanya memiliki akar berwarna merah terang dan daun berwarna hijau

dengan lapisan merah. Red ace hybrid adalah umbi bit yang sangat mudah

19

beradaptasi, memberikan hasil yang besar bahkan di iklim yang varietas lain

menemukan stres.

20

Parabola yang halus dan buat dengan cor merah dalam dan jelas ditandai cincin

konsentris. Rasa halus lembut dan manis (Nuzula, 2013).

Bit merah mulai diperkenalkan pada abad ke-17 dan segera menjadi

populer. Warna merahnya merupakan kombinasi dari pigmen ungu betasianin dan

pigmen kuning betaxanthin. Pigmen tersebut lebih stabil dibandingkan

kebanyakan tumbuhan berpigmen merah lainnya (Ananti, 2008).

Gambar 2. Umbi Bit (Beta vulgaris L)

Menurut Ananti (2008), tanaman bit dalam taksonomi tumbuhan

diklasifikasikan sebagai berikut :

Kerajaann : Plantae

Sub kerajaan : Tracheobionta

Super divisi : Spermatophyta

Divisi : Magnoliophyta

Kelas : Magnoliopsida

Sub kelas : Caryophyllidae

Ordo : Caryphyllales

21

Famili : Chenopodiaceae

Genus : Beta

Spesies : Beta vulgaris L.

Kadar energi pada 100 g bit adalah 42 kkal, sama dengan yang terdapat pada

wortel dan bawang bombay, tetapi lebih rendah dibandingkan kentang.

Sumbangan zat gizi dari secangkir umbi bit terdapat angka kecukupan gizi (AKG)

yang dianjurkan per hari (Ananti, 2008).

Tabel 4. Komposisi Kimia Umbi Bit (Beta vulgaris L)Komposisi Jumlah

Protein 1,6 gVitamin C 10 mg

Kalium 330 mgVitamin A 20 REVitamin B1 0,02 mg

Serat 3,8 gKalsium 27 mgFosfor 43 mg

Asam folat 148 mgZat besi (Fe) 1 mg

Sumber : Anonim, (2013).

Pigmen warna yang terdapat pada umbi bit adalah betasianin, betasianin

merupakan pigmen berwarna merah atau merah-violet dari kelompok pigmen

betalain. Pigmen betalain hanya dapat dijumpai pada tanaman beberapa famili

anggota ordo Caryophyllales, termasuk Amaranthaceae dan bersifat mutual

eksklusif dengan pigmen antosianin. Sifat ini berarti bahwa pigmen betalain dan

antosianin tidak pernah dijumpai bersama-sama pada satu tanaman. Oleh karena

itu pigmen betalain sangat signifikan dalam penentuan taksonomi tanaman tingkat

tinggi (Mastuti dkk, 2010).

22

2.4. Program Linier

Pemograman Linier disingkat PL merupakan metode matematik dalam

mengalokasikan sumber daya yang terbatas untuk mencapai suatu tujuan seperti

memaksimumkan keuntungan dan meminimumkan biaya. Program Linier banyak

diterapkan dalam masalah ekonomi, industri, sosial dan lain-lain. Program Linier

berkaitan dengan penjelasan suatu kasus dalam dunia nyata sebagai suatu model

matematik yang terdiri dari sebuah fungsi tujuan dengan beberapa kendala linier

(Siringoringo, 2005).

Dikenal dua macam fungsi model program linier yaitu fungsi tujuan dan

fungsi kendala. Fungsi tujuan adalah fungsi yang menggambarkan tujuan di dalam

permasalahan yang berkaitan dengan pengaturan secara optimal sumber daya

untuk memperoleh keuntungan, manfaat dan kebaikan yang ingin

dimaksimumkan atau diminimumkan dari segi biaya, kerugian dan sebagainya.

Sedangkan fungsi kendala merupakan bentuk penyajian secara matematis dimana

batasan kapasitas yang akan terjadi dialokasikan secara optimal kedalam berbagai

kegiatan yang dilakukan (Supranto, 1983).

Menurut Dimyati (2004), dalam membangun model dari formulasi suatu

persoalan, diperlukan karakteristik-karakteristik yang biasa digunakan dalam

persoalan program linier, yaitu :

a. Variabel keputusan, adalah variabel yang menguraikan secara lengkap

keputusan-keputusan yang akan dibuat.

b. Fungsi tujuan, merupakan fungsi dari variabel keputusan yang akan

dimaksimumkan atau diminimumkan.

23

c. Pembatas, merupakan kendala yang dihadapi sehingga kita tidak bisa

menentuka harga-harga variabel keputusan secara sembarangan.

2.4.1. Dasar Matematis Program Linier

Menurut Dimyati (2004), persamaan linier berupa ax + by = c dimana x,y

adalah variabel dan a.b.c adalah konstanta, membagi bidang atas 3 bagian, yaitu :

1. Titik-titik yang memenuhi persamaan ax + by = c

2. Titik-titik yang memenuhi pertidaksamaan ax + by < c

3. Titik-titik yang memenuhi pertidaksamaan ax + by > c

Jika dimasukkan kedalam bentuk grafik, maka persamaan ax + by =

c merupakan garis lurus yang berfungsi sebagai garis batas dan titik-titik

yang memenuhi pertidaksamaan ax + by < c atau ax + by > c merupakan

suatu daerah.

Gass (1985) menyatakan, bentuk umum program linier, yaitu C1X1 + C2X2 =

C3X3 + .................................... + CnXn untuk bentuk linier dari fungsi pembatas,

yaitu :

a11X1 + a12X2 + a13X3 + ... + a1nXn { ≥, =, ≤ } b1

a21X1 + a22X2 + a23X3 + ... + a2nXn { ≥, =, ≤ } b1

amjXj + amjXj + amjXj + ... + amnXn { ≥, =, ≤ } bm

dimana untuk setiap fungsi pembatas hanya diperbolehkan menggunakan salah

satu tanda antara ≥, =, ≤ dan nilai untuk variabel Xj ≥ 0, j = 1,2, ..., n. Sedangkan

bentuk linier dari fungsi tujuan (maksimasi atau minimasi), yaitu : Z = C1X1 +

C2X2 + ...+ CnXn.

III BAHAN DAN METODE PENELITIAN

Bab ini menguraikan mengenai : (1) Bahan dan Alat, (2) Metode

Penelitian dan (3) Prosedur penelitian.

3.1. Bahan dan Alat Percobaan

3.1.1. Bahan-bahan yang digunakan

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah bahan-

bahan untuk pembuatan mi basah dan bahan-bahan untuk analisis respon

kimia.

Bahan-bahan yang digunakan dalam pembuatan mi basah adalah

tepung terigu, tepung kedelai, umbi bit, garam, STPP, telur, air, tepung

tapioka dan minyak nabati.

Bahan yang digunakan untuk analisis antioksidan adalah etanol, aquadest

dan larutan DPPH. Bahan yang digunakan untuk analisis kadar protein adalah

asam oxalat, indikator phenopthalien, asam sulfat pekat, katalisator HgO/ Na2SO4,

larutan NaOH 30%, larutan Natrium Tiosulfat, granul seng, larutan NaOH 0,1N

dan larutan baku HCl 0,1N, serta bahan yang digunakan untuk analisis total kadar

betasianin adalah KCl, aquadest, asam sitrat, natrium sitrat dan natrium asetat.

3.1.2. Alat Yang Digunakan

Peralatan yang digunakan adalah peralatan yang digunakan untuk

pembuatan mi basah yaitu timbangan digital, sendok, piring, baskom,

plastik, pencetak mi, panci, saringan dan nampan.

24

Peralatan yang digunakan untuk analisis adalah seperangkat alat analisis

kadar protein, analisis warna spektrofometer, phenetrometer dan analisis kadar

antioksidan metode DPPH spektrofotometer UV Visible yaitu cawan, pembakar

24

25

tanur, penjebit cawan, lumpang, alu, erlenmeyer, gelas kimia, pipet ukur, pipet

volume, botol semprot, tabung reaksi, labu takar, seperangkat alat destilasi dan

kondensor, batang pengaduk, gelas ukur, corong, oven, eksikator, labu kjehdal,

labu destilat, pisau, strakdean, penangas, pipet, gelas buret, klem, statif, pipet

micron, kuvet, spektrofotometer, kertas saring, lakmus merah, lakmus biru, oven,

cawan penguap dan tangkrus.

3.2 Metode Penelitian

Penelitian dilakukan dalam dua tahap, yaitu penelitian pendahuluan

dan penelitian utama.

3.2.1. Penelitian Pendahuluan

Bahan-bahan pembuatan mi basah dilakukan analisis kadar protein pada

tepung kedelai yang tidak lolos pengayakan pada mesh 80, umbi bit dan tepung

terigu protein tinggi. Hasil analisis bahan baku ini kemudian dijadikan sebagai

variabel perubah keputusan (Variabel tetap) dalam pemodelan program linier

sehingga diperoleh formulasi mi basah yang optimal/ feasible berdasarkan

perhitungan program linier.

3.2.2. Penelitian Utama Optimal/ feasible Berdasarkan Perhitungan Program

Linier.

Penelitian utama yang dilakukan ialah penentuan optimalisasi

formulasi pembuatan mi basah dari umbi bit dan limbah tepung kedelai

menggunakan program linier. Formula mi basah umbi bit dan limbah

tepung kedelai yang digunakan adalah formula yang feasible berdasarkan

25

program linier. Jika formulasi yang dihasilkan tidak feasible maka akan

digunakan formulasi lain hingga

26

diperoleh produk mi basah dengan formulasi yang feasible. Diagram alir proses

pembuatan mi basah dapat dilihat pada Gambar 3.

Tabel 5. Model Variabel Komposisi Kimia bahan Baku Mi BasahBahan Baku (Xn) Komposisi Kimia (%) Biaya (Cn)

(Rp/g)Protein (a1)Tepung Terigu (X1) a11 C1

Tepung Kedelai (X2) a12 C2

Umbi Bit (X3) a13 C3

Telur Ayam Ras (X4) a14 C4

Komposisi minimal masing-masing bahan dalam tepung terigu, tepung

kedelai dan umbi bit adalah minimal kadar protein sebesar 8%.

Tahap-tahap optimalisasi formula mi basah dengan program linier sebagai

berikut :

1. Menentukan fungsi tujuan

Menentukan jumlah (dalam gram) masing-masing bahan untuk mi basah.

2. Variabel keputusan

X1 : Tepung terigu

X2 : Tepung kedelai

X3 : Umbi bit

3. Model Program Linier

Fungsi Tujuan :

Maksimal C = C1X1 + C2X2 + C3X3

Fungsi kendala yang didasarkan interaksi (aij Xij) antara jenis bahan

baku (X1 sampai X3) dengan komposisi bahan baku (a1) memaksimalkan :

- Aij = komposisi mi basah ke-1 yang dikandung oleh 1 bahan baku ke-j (i:1-3)

27

- bi = jumlah maksimum atau minimum bahan baku ke-i yang diperlukan untuk

membuat mi basah.

- Xj = banyaknya bahan baku mi basah ke-j yang digunakan untuk membuat mi

basah.

- Cj = biaya perunit bahan baku mi basah ke-j

- Y = jumlah (g) mi basah yang akan dibuat

1) Pembatas Kadar Protein Minimal a1%

a11X1 + a12X2 + a13X3 ≥ a1 (X1,X2,X3)

(a11 – a1) X1 + ...............................+ (a13 – a1) X3 ≥ 0

2) Fungsi Pembatas Bahan Baku

a. Fungsi pembatas bahan baku keseluruhan : X1+X2+X3 = Qr

b. Fungsi pembatas tepung terigu (X1) : X1 = Q1 x Qr

c. Fungsi pembatas tepung kedelai (X2) : X2 = Q2 x Qr

d. Fungsi pembatas umbi bit (X3) : X3 = Q3 x Qr

e. Pembatas nol negatif X1, X2, X3 ≥ 0

3.2.3. Analisis Produk Mi Basah Umbi Bit

3.2.3.1. Analisis Produk Mi Basah Feasible

1. Analisis Kimia

Sampel mi basah feasible selanjutnya dilakukan analisis kimia dengan

parameter uji meliputi kadar protein metode kjedahl (AOAC, 2005) dan analisis

total kadar betasianin dengan metode spektrofotometri (pH-differensial)

(AOAC, 2006).

28

2. Analisis Fisik

Sampel mi basah yang feasible dilakukan uji kekenyalan dengan

menggunakan alat phenetrometer untuk mengetahui mi yang memiliki tingkat

kekenyalan yang paling baik.

3. Uji Organoleptik

Pengujian organoleptik dengan uji hedonik terhadap formulasi yang feasible

berdasarkan pemograman linier. Pengujian ini dilakukan terhadap 15 panelis

dengan 6 kali ulangan untuk menentukan satu formulasi mi basah yang terpilih

berdasarkan penilaian panelis terhadap warna, rasa, aroma dan tekstur. Contoh

kriteria penilaian untuk uji hedonik yang digunakan untuk atribut mi basah adalah

sebagai berikut :

Tabel 6. Kriteria Penilaian Uji Hedonik Penelitian UtamaSkala Skala Numerik

Sangat sukaSukaAgak sukaAgak tidak sukaTidak sukaSangat tidak suka

654321

4. Pemilihan Produk Terpilih

Produk terpilih berdasarkan pemograman linier, uji organoleptik dan

analisis kimia kemudian dibandingkan untuk mengetahui apakah hasil uji tersebut

memiliki persamaan atau tidak. Apabila masing-masing hasil uji berbeda, maka

produk terbaik ditentukan berdasarkan komposisi kimia yang mendekati dengan

komposisi kimia mi basah berdasarkan SNI 01-2987-1992.

29

3.2.3.2. Analisis Produk Terpilih

Analisis ini dilakukan terhadap sampel terpilih mi basah yaitu analisis kimia

yaitu analisis aktivitas antioksidan

3.3. Deskripsi Percobaan

3.3.3. Deskripsi Percobaan Penelitian Utama

Prosedur percobaan pada pembuatan mi basah umbi bit terdiri dari beberapa

tahap, yaitu : Pencucian , trimming, pengukusan, pengecilan ukuran,

pencampuran, pengadukan dan pengulian, pembentukan lembaran, pembentukan

untaian, perebusan, pendinginan, penirisan dan glassing.

a. Pencucian

Pencucian umbi bit dengan menggunakan air bersih untuk menghilangkan

sisa tanah atau kotoran yang masih terdapat pada permukaan kulit umbi bit.

b. Trimming

Pemotongan bagian yang tidak digunakan diantaranya pembuangan akar

umbi bit dan kulit umbi bit, di kupas tipis agar tidak terbuang banyak.

c. Pengukusan

Umbi bit kemudian dibungkus dengan menggunakan kain waring dan

dilakukan blanshing pada suhu ±70oC selama 3 menit.

d. Pengecilan Ukuran dan Penghancuran

Setelah dilakukan pengukusan umbi bit dipotong kecil ukuran dadu 2cm x

2cm agar mempermudah proses penghancuran menjadi bubur umbi bit,

selanjutnya dilakukan penghancurah menggunakan food proccesor sampai umbi

bit hancur menjadi bubur.

30

e. Pencampuran

Pencampuran pertama yang dilakukan adalah pencampuran bahan kering

seperti tepung terigu dan tepung kedelai, garam, STPP hingga tercampur rata.

Kemudian dimasukkan telur sedikit demi sedikit hingga adonan rata, terakhir

masukkan umbi bit dan air sedikit demi sedikit.

f. Pengadukan dan Pengulian

Setelah semua bahan dicampur dilakukan pengadukan dan pengulian hingga

adonan benar-benar kalis, dimana seluruh bahan sudah tercampur sempurna

dengan ciri-ciri adonan tidak lagi menempel pada tangan dan atas permukaan

wadah.

g. Pembentukan Lembaran

Adonan yang sudah kalis dibentuk menjadi lembaran tipis dengan

menggunakan alat pencetak mie, lembaran dibentuk hingga panjang dan lebarnya

sesuai agar memudahkan pada saat pembentukan untaian mi. Pada saat proses

pembentukan lembaran dengan menggunakan mesin, adonan ditaburi dengan

tepung tapioka agar tidak lengket.

h. Pembentukan Untaian

Adonan yang sudah dibentuk lembaran pipih sekitar 1,5-2mm tebalnya,

dilakukan pembentukan untaian dengan alat pencetak mi dengan ukuran 1-2mm.

i. Perebusan

Mi yang telah terbentuk dimasukkan dalam panci berisi air mendidih

(100oC). Mi direbus selama 3 menit sambil diaduk perlahan, apabila waktu

30

perebusan terlalu lama, maka tekstur mi akan lembek akibat air yang masuk

kedalam mi.

31

j. Pendinginan

Mi hasil perebusan kemudian ditiriskan, selanjutnya didinginkan. Proses

pendinginan menggunakan air mengalir ini bertujuan untuk melepaskan sisa-sisa

uap panas dari mi basah hasil perebusan.

k. Penirisan

Setelah mi didinginkan dengan menggunakan air mengalir, kemudian

dilakukan penirisan. Penirisan dilakukan untuk mengurangi kadar air setelah

proses pencucian.

l. Glassing

Tahap terakhir adalah pemberian minyak nabati. Pelumasan mi dengan minyak

goreng dilakukan agar untaian mi tidak menjadi lengket satu sama lain dan

kenampakan mi agar nampak lebih mengkilat.

32

Gambar 3. Pembuatan Bubur Umbi Bit (Beta vulgaris L)

33

Gambar 4. Diagram Alir Pembuatan Mi Basah Umbi Bit (Beta vulgaris L)

IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Bab ini akan menguraikan mengenai : (1) Penelitian Pendahuluan,

(2) Penelitian Utama dan (3) Penentuan Produk Terpilih.

4.1. Penelitian Pendahuluan

Penelitian pendahuluan dilakukan untuk menentukan kadar protein yang

terkandung pada bahan baku yaitu terigu, tepung kedelai dan umbi bit. Hasil

analisis kadar protein yang diperoleh digunakan sebagai data input variabel tetap

dalam pemrograman linier, sehingga diharapkan data output yang dihasilkan

adalah formulasi yang benar-benar optimal dari segi kandungan protein dan dari

segi harga, dimana harga yang didapatkan seminimal mungkin dengan hasil

kandungan sesuai Standar Nasional Indonesia. Hasil analisis kadar protein terigu,

tepung kedelai dan umbi bit dapat dilihat pada tabel 7.

Tabel 7. Hasil Analisis Kadar Protein Terigu, Tepung Kedelai dan Umbi Bit.

BAHAN BAKU KADAR PROTEIN (%)Tepung Terigu Protein Tinggi 12,83Umbi Bit 1,65Tepung Kedelai 36,13Telur Ayam Ras 12,4

Tabel 7. Menunjukan bahwa tepung terigu berprotein tinggi menunjukan

kandungan protein sebesar 12,83%, sedangkan menurut Astawan (2005) tepung

terigu yang berkualitas paling baik yang mengandung protein tinggi atau disebut

dengan Hard flour yang digunakan dalam pembuatan mie dan roti contohnya

tepung cakra kembar yang memiliki kandungan protein sekitar 12%-13%.

34

Perbedaan kandungan protein pada tepung terigu berprotein tinggi ini

dipengaruhi dari bahan baku yaitu gandum yang memiliki kandungan protein

yang

34

35

berbeda sehingga mempengaruhi hasil kadar protein pada terigu berprotein tinggi.

Selain itu rusaknya terigu, terigu yang memiliki kandungan protein tinggi

cenderung memiliki water absorption yang tinggi atau kemampuan menyerap air,

sehingga kekuatan terigu untuk menyerap air pada saat pengolahan akan

berkurang, dan selama penyimpanan terigu terkena cahaya atau panas yang

berlebihan sehingga mempengaruhi rusaknya terigu yang akan menurunkan

kualitas terigu.

Protein didalam terigu terdiri dari gliadin yang akan memberikan elastisitas

dan kekuatan untuk perenggangan terhadap gluten, dan glutenin akan memberikan

struktur dan lapisan flm pada permukaan adonan, sehingga mampu menahan gas

atau udara selama proses pemanggangan pada roti atau perebusan pada mi.

Menurut Damodaran dan Paraf (1997) gliadin dan glutenin akan membentuk

gluten setelah ditambahkan air yang akan terjadi reaksi hidrasi dimana elastisitas

adonan terjadi karena adanya interaksi antar molekul glutenin (ikatan silang

disulfida, ikatan hidrogen, interaksi hidrofobik), yang menghasilkan pembentukan

benang-benang polimer. Polimer linier kemudian berinteraksi satu sama lain

melaluin ikatan hidrogen, interaksi hidrofobik dan ikatan silang disulfida untuk

membentuk jaringan lapisan seperti film yang bersifat elastis.

Bahan makanan golongan serealia yang paling banyak mengandung

glutenin dan gliadin adalah gandum/ tepung terigu. Tepung terigu mengandung

gluten sebanyak 80% dari total protein yang terkandung didalam terigu

( Rahayuni, 2013).

35

Kadar protein umbi bit dari hasil analisis pada penelitian pendahuluan

adalah sebesar 1,65%, sedangkan menurut Arjuan (2008) umbi bit mengandung

kadar

36

protein sebesar 1,10%, perbedaan kandungan protein pada umbi bit ini tergantung

pada varietas, tempat tanam dan cara pengolahan tanam atau penanganan selama

pemanenan.

Tepung kedelai dari hasil analisis mengandung kadar protein sebesar

36,13%, menurut Maulida, Nur (2010) kedelai merupakan sumber protein nabati

yang diketahui aman dan sehat bagi semua umur. Kandungan protein dalam

kedelai sangat tinggi yaitu 35-45%, bahkan pada varietas unggul kadar proteinnya

dapat mencapai 40-43%. Sehingga perbedaan kandungan tepung kedelai yang

dihasilkan dipengaruhi dari varietas kacang kedelai yang digunakan, dan selama

proses pengolahan menjadi tepung terigu yang berbeda sehingga mempengaruhi

kandungan protein didalamnya.

4.2. Penelitian Utama

4.2.1. Penentuan Formulasi Feasible Berdasarkan Pemrograman Linier

Penentuan formulasi bahan baku dalam pembuatan mi basah dilakukan

dengan menggunakan aplikasi program linier dengan satu faktor pembatas, yaitu

pembatas yang membatasi kandungan nutrisi produk akhir dan pembatas yang

membatasi jumlah penggunaan terigu, tepung kedelai dan umbi bit sehingga

fungsi tujuan yang berupa meminimumkan harga dapat tercapai dengan

kandungan nutrisi sesuai acuan. Pembuatan mi basah yang dilakukan dalam

penelitian ini dengan menggunakan program linier dapat dilihat pada tabel 8 dan

lebih lengkapnya dapat dilihat pada lampiran 10.

36

Formulasi yang dihasilkan dari program linier merupakan formula optimal

dengan kandungan nutrisi memenuhi acuan pembatas yang ditetapkan dengan

harga

37

terendah. Pembatas lain yang digunakan adalah pembatas bahan baku tetap dan

pembatas bahan baku berubah. Pembatas bahan baku tetap ialah terigu, Sodium

Tripoly Phosphate (STPP), garam, telur dan air, sedangkan bahan baku berubah

ialah tepung kedelai dan umbi bit.

Tabel 8. Hasil Formulasi Mi Basah menggunakan Program LinierFormulasi Harga Total (Rp) Hasil Analisa Protein (%)

1 Rp. 994,24 7,782 Rp. 869,69 9,743 Rp. 745,20 12,23

Keterangan : Setiap formulasi untuk ±250 gram mi basah yang dihasilkan.

Data pada Tabel 8, menunjukan bahwa formulasi yang dihasilkan dari

program linier dengan perbedaan konsentrasi tepung kedelai dan umbi bit

merupakan formulasi yang optimal yang memenuhi standar pembatas yang telah

ditentukan dengan harga yang minimum.

Pembatas kendala protein minimal 8%. Data pada Tabel 8 menunjukan

bahwa formulasi II dan III feasible dibandingkan dengan formulasi I dalam

pembuatan mi basah, tetapi formulasi II dan III jika dibandingkan dari harga

formulasi III adalah formulasi yang feasible karena memiliki harga yang

minimum.

Batasan yang digunakan untuk menyusun fungsi atau persamaan kendala

adalah jumlah tepung kedelai dan bubur umbi bit yang dicampurkan dalam

pembuatan mi basah dengan pembatas menurut Standar nasional Indonesia. Bahan

baku terigu, garam, Sodium Try Poly Phosphate, air dan telur yang digunakan

dibatasi dalam jumlah tertentu untuk menekan biaya produksi, selain itu mi basah

37

yang dihasilkan karakteristiknya diharapkan dapat diterima oleh konsumen dan

memenuhi standar kadar protein yang terkandung dalam mi basah.

38

Kadar protein yang rendah akan berdampak pada saat proses pembuatan mi,

dimana kadar protein yang diharuskan dalam proses pembuatan mi ini adalah

minimal 8%. Dalam pembuatan mi, protein sangat berpengaruh untuk

menghasilkan gluten dari protein, maka dari itu pembuatan mi basah

menggunakan umbi bit dan tepung kedelai yang berfungsi sebagai bahan

pensubtitusi, sedangkan bahan baku utama yaitu tepung terigu sehingga pada

proses pembuatan mi kadar protein yang diinginkan akan tercapai.

Menurut winarno (2004) protein kedelai 90% terdiri dari globulin yang

sifatnya tidak larut dalam air tetapi larut dalam larutan garam encer, sehingga

penambahan tepung kedelai hanya mempengaruhi kandungan protein pada produk

akhir dan menurunkan daya elastisitas mi yang dihasilkan.

Terigu yang digunakan untuk pembuatan mi adalah terigu yang memiliki

kandungan protein yang tinggi, karena terigu yang memiliki kandungan protein

tinggi mengandung gliadin dan glutenin yang tinggi, dimana glutenin dan gliadin

akan bereaksi dengan air menghasilkan suatu gluten yang akan membuat adonan

lebih kenyal dan elastis, apabila terigu yang digunakan mengandung protein

rendah akan mempengaruhi mi yang dihasilkan menjadi lebih gampang putus/

tidak elastis.

4.2.2. Uji Organoleptik Mi Basah

Mi basah yang dibuat dari ke-3 formula diatas dibandingkan dengan mi

basah control, yaitu produk mi ayam yang memiliki warna putih kekuningan khas

mi basah pada umumnya sehingga tidak mempengaruhi penilaian dalam hal

warna, selanjutnya dipilih satu formulasi terbaik dilakukan uji hedonik dengan

38

jumlah panelis sebanyak 15 orang. Respon uji hedonik terhadap mi basah tersebut

meliputi

39

rasa, aroma, warna dan tekstur. Hasil uji hedonik terhadap mi basah dapat dilihat

pada Tabel 9.

Tabel 9. Hasil Uji Organoleptik Mi Basah Pada Penelitian Utama

Formulasi Nilai Rata-rata OrganleptikRasa Warna Aroma Tekstur

1 4,34b 4.58b 4.37b 4.36b

2 4.21b 4.24b 4.16b 4.21b

3 3.89a 4.20b 4,02a 3.87a

Mi Ayam 4.32b 3.38a 4,18b 4.78c

Keterangan : Setiap huruf kecil dibaca formulasi berbeda nyata pada taraf 5%.

1. Rasa

Data pada Tabel 9 menunjukan bahwa perlakuan formulasi 1 dan 2

memberikan hasil tidak berbeda nyata dibandingkan dengan formulasi 3. Rasa

yang tidak berbeda nyata dapat dipengaruhi oleh komposisi bahan yang digunakan

yaitu garam, air, telur, STPP dan terigu dalam jumlah yang sama sehingga akan

menghasilkan rasa yang tidak berbeda nyata. Untuk formulasi 3 yang berbeda

nyata dengan formulasi 1 dan 2, hal ini dikarenakan jumlah penggunaan tepung

kedelai dan umbi bit berbeda sehingga dapat mempengaruhi perbedaan rasa yang

sangat jelas pada formulasi 3.

Kacang kedelai memililiki rasa yang khas yaitu cita rasa langu (beany

flavor) yang kurang disukai. Cita rasa langu tersebut timbul akibat aktivitas enzim

lipoksigenase yang secara alami terdapat pada biji kedelai. Enzim ini aktif saat biji

kedelai pecah pada proses pengupasan kulit dan penggilingan karena kontak

dengan udara (oksigen) (Ginting, 2010). Sehingga semakin meningkat tepung

kedelai yang ditambahkan, maka rasa kedelai juga akan semakin terasa sehinga

memberikan pengaruh yang nyata terhadap rasa mi basah. Selain itu uji

39

organoleptik bersifat subjektif sehingga penilaian yang diberikan oleh setiap

panelis tidak sama.

40

Faktor-faktor yang menyebabkan adanya rasa pada bahan pangan adalah

beberapa kandungan senyawa yang dimiliki oleh suatu bahan pangan, contohnya

rasa manis yang dihasilkan biasanya berasal dari golongan karbohidrat terutama

karbohidrat sederhana yaitu gula, rasa asin yang dihasilkan biasanya berasal dari

kandungan garam yang berupa garam-garam natrium, rasa pahit ditimbulkan dari

suatu senyawa tannin atau fenolik dan rasa asam dari unsur senyawa asam

contohnya asam sitrat, serta rasa gurih merupakan gabungan atau efek dari

beberapa rasa yang dihasilkan.

2. Warna

Data pada Tabel 9 menunjukan bahwa warna mi tidak berbeda nyata. Hal

ini dapat disebabkan karena penggunaan konsentrasi bubur umbi bit yang

digunakan tidak berbeda jauh sehingga tetap menghasilkan warna pada mi basah,

dibandingkan pada mi control/ mi ayam yang memiliki warna yang putih/

kekuningan khas mi pada umumnya, sehingga dapat disimpulkan dengan adanya

penambahan bubur umbi bit merah sebagai pewarna pada mi dapat diterima

ataupun disukai oleh panelis. Semakin meningkatnya penambahan bubur umbi bit

akan mempengaruhi kecenderungan semakin disukai oleh panelis. Warna

merupakan satu faktor yang menentukan penerimaan terhadap mutu suatu bahan

makanan, sebelum faktor-faktor lain dipertimbangkan secara visual, sehingga

faktor warna lebih berpengaruh dan kadang sangat menentukan pada penerimaan

konsumen.

3. Aroma

40

Data pada Tabel 9. Menunjukan bahwa perlakuan formulasi 1 dan 2

memberikan hasil tidak berbeda nyata dibandingkan dengan formulasi 3.

Perbedaan

41

pada formulasi 3 dapat dipengaruhi pada konsentrasi tepung kedelai yang sangat

tinggi dibandingkan formulasi 1 dan 2. Bau langu pada kacang kedelai

memberikan aroma khusus pada produk yang dihasilkan, bau tersebut berasal dari

enzim lipoksigenase yang secara alami terdapat didalam kacang-kacangan,

sehingga semakin banyak jumlah tepung kedelai yang digunakan semakin tercium

aroma tepung kedelai.

4. Tekstur

Data pada Tabel 9. Menunjukan perlakuan pada formulasi 1 dan 2 tidak

berbeda nyata dibandangkin perlakuan pada formulasi 3. Jumlah penambahan

konsentrasi bubur umbi bit dan tepung kedelai sangat mempengaruhi tekstur pada

mi basah yang dihasilkan. Dimana semakin sedikit jumlah bubur umbi bit yang

ditambahkan berpengaruh terhadap tekstur mi basah, hal ini dikarenakan bubur

umbi bit memiliki kandungan air yang cukup tinggi sehingga mempengaruhi

terhadap kekerasan / kekenyalan pada mi basah. Selain itu konsentrasi tepung

kedelai yang ditambahkan pada formulasi 3 sangat tinggi dibandingkan formulasi

1 dan 2, hal ini dikarenakan kedelai merupakan kacang-kacangan yang memiliki

kandungan protein cukup tinggi, sehingga menjadikan tekstur pada mi basah

sedikit agak keras dan mengurangi elastisitas dari tekstur mi basah.

4.2.3. Analisis Kimia Produk Mi basah

4.2.3.1. Analisis Kadar Protein

Data pada tabel 8. Menunjukan kadar protein hasil analisis mi basah yang

dibuat dari ketiga formulasi hanya formulasi II dan III yang menghasilkan kadar

42

protein lebih tinggi dari Standar Nasional Indonesia yang telah ditetapkan, yaitu

sebesar 8%.

Peningkatan kadar protein mi basah yang dihasilkan dari ketiga

formulasi, berasal dari bahan baku yang digunakan pada pembuatan mi basah.

Kadar protein dalam tepung terigu yang digunakan merek Cakra Kembar yaitu

sebesar 12,83%, tepung kedelai 36,13% dan umbi bit 1,65% dari analisis bahan

baku pada penelitian pendahuluan. Hal ini menyebabkan kandungan protein

didalam mi basah lebih tinggi dari pada acuan Standar Nasional Indonesia yang

telah ditetapkan, akan tetapi pada formulasi I memiliki kadar protein dibawah

Standar Nasional Indonesia yaitu sebesar 7,78% hal ini dipengaruhi pada jumlah

penambahan konsentrasi tepung kedelai yang lebih sedikit dibandingkan

formulasi II dan III, sehingga dapat dikatakan semakin banyak tepung kedelai

yang digunakan dapat mempengaruhi kandungan protein pada produk mi basah

yang dihasilkan.

Kadar protein mi basah yang dihasilkan jika dibandingkan dengan kadar

protein awal dari bahan yang digunakan yaitu tepung kedelai dan bubur umbi bit,

menunjukan kadar protein mi lebih rendah. Hal ini dikarenakan selama proses

terjadi denaturasi protein yang mengakibatkan menurunkan kadar protein pada

produk.

Penurunan kadar protein pada mi basah dapat disebabkan oleh beberapa

tahapan proses pembuatan mi basah, yaitu pada saat proses pengulian adonan

dapat menyebabkan kolapsnya struktur protein yang diakibatkan timbulnya panas

selama pencampuran/ pengulian. Pencampuran/ pengulian menyebabkan energi

42

kinetik dari molekul-molekul bahan dalam adonan menjadi besar, sehingga

menyebabkan

43

perubahan energi dalam dari bahan adonan. Hal ini akan mempengaruhi kapasitas

panas bahan serta menyebabkan penurunan kadar protein.

Proses perebusan dapat mengakibatkan penurunan kadar protein yaitu

akan terjadi proses denaturasi protein yang disebabkan oleh panas pada saat

perebusan mi.

4.2.3.2. Analisis Kadar Betasianin

Umbi bit digunakan sebagai pewarna alami pada mi basah, pigmen warna

yang terkandung pada bit ini adalah betasianin, dimana pigmen betasianin ini

jarang digunakan dalam produk pangan dibandingkan antosianin dan betakaroten.

Hasil analisis kadar betasianin pada produk mi basah dapat dilihat pada Tabel 10

dan lebih lengkapnya dapat dilihat pada lampiran 15.

Tabel 10. Hasil Analisis Total Kadar BetasianinSampel Total Kadar Betasianin ( mg/100 g)

Formulasi I 17,78Formulasi II 9,17Formulasi III 5,32

Bubur Umbi bit 85,25Keterangan : kadar betasianin per 100 gram mi basah.

Data yang ditunjukan pada Tabel 10. Dapat dilihat bahwa semakin banyak

jumlah konsentrasi bubur umbi bit yang digunakan mempengaruhi total kadar

betasianin, dan selama proses pemasakan dari bahan baku bubur umbi bit menjadi

produk mi basah terjadi penurunan total kadar betasianin.

4.2.4. Analisis Fisik Produk Mi Basah

Analisis fisik yang dilakukan pada produk mi basah adalah analisis tekstur

kekenyalan dengan menggunakan penetrometer. Produk mi basah yang baik

43

adalah mi yang memiliki tingkat elastis yang cukup dan tidak mudah putus.

Analisis

44

tekstur kekenyalan ini berdasarkan gaya tekan/ tusuk alat penetrometer terhadap

produk yang diuji, sebanyak 10 kali tekanan pada tempat yang berbeda selama 10

detik dengan ditunjukannya angka pada skala penetrometer. Hasil analisis tekstur/

kekenyalan pada mi basah dapat dilihat pada Tabel 11.

Tabel 11. Hasil Analisis Uji Tekstur kekenyalan Mi BasahSAMPEL TEKSTUR KEKENYALAN (mm/dtk/0g)

Formulasi 1 1,90Formulasi 2 1,88Formulasi 3 1,79Mi Kontrol (Mi Ayam) 1,83

Pada tabel 11. Dapat dilihat hasil pengukuran tekstur kekenyalan terhadap

perlakuan formulasi 1, 2 dan 3 dengan mi kontrol yaitu mi ayam,. Hasil

pengukuran tekstur kekenyalan yang mendekati produk kontrol adalah formulasi

2, perbedaan tingkat kekenyalan ini dipengaruhi dari bahan baku yang digunakan,

jumlah konsentrasi tepung kedelai dan bubur umbi bit mempengaruhi tekstur

kekenyalan pada produk mi basah yang dihasilkan.

Tepung terigu memiliki keistimewaan dibanding dengan tepung

lain karena mampu membentuk gluten saat dibasahi dengan air, akibat

reaksi prolamin yang sedikit gugus polarnya dengan gluten yang banyak

gugus polarnya. Gluten memiliki sifat penting yaitu apabila dibasahi dan

diberi perlakuan mekanis maka akan terbentuk suatu adonan yang elastis,

sebaliknya protein pada tepung kedelai berupa protein asam amino

essensial tetapi tidak mengandung protein gluten.

44

Tepung kedelai merupakan salah satu bahan pengikat yang dapat

meningkatkan daya ikat air pada bahan makanan karena didalam tepung kedelai

memiliki protein dan pati yang bersifat dapat mengikat air, sehingga konsentrasi

45

jumlah tepung kedelai yang digunakan berpengaruh kepada ketersediaan air dan

pati yang akan membuat adonan mi basah lebih keras dan rapuh. Sehingga dapat

disimpulkan bahwa formulasi yang menggunakan tepung kedelai lebih besar

cenderung memiliki tingkat elastisnya lebih kecil atau lebih rapuh.

Menurut Riyanto dkk (2015), tingkat kekerasan mi basah juga dipengaruhi

oleh kadar air mi yang bersangkutan. Tingkat kekerasan berbanding terbalik

dengan kadar air. Semakin banyak kadar air dalam mi basah, semakin rendah

tingkat kekerasan mi basa. Semakin sedikit kadar air dalam mi basah, semakin

tinggi tingkar kekerasan mi basah.

4.3. Penentuan Produk Terpilih

Penentuan produk terpilih dilihat dari hasil beberapa rancangan

respon yaitu, analisis kandungan protein, kadar total betasinain dan

analisis tekstur kekenyalan serta uji kesukaan konsumen yang terdiri dari

beberapa atribut yang meliputi rasa, aroma, warna dan tekstur. Hasil

rancangan respon kimia maupun fisika dapat dilihat pada Tabel 12.

Tabel 12. Hasil Rancangan Respon Kimia dan Fisika Produk Mi Basah

FUji Hedonik Protein

(%)Penetrometri (mm/dtk/0g)

Total Kadar

Betasianin ( mg/100 g)Rasa Aroma Tekstur Warna

1 4,34b 4.37b 4.36b 4.58b 7.78 1,90 17,78

2 4.21b 4.16b 4.21b 4.24b 9.74 1,88 9,17

3 3.89a 4,02a 3.87a 4.20b 12.23 1,79 5,32

4 4,32b 4,18b 4,78c 3,38a 6,71 1,83 -

Keterangan : Huruf kecil dibaca formulasi berbeda nyata pada taraf 5%.

46

Dilihat dari data pada Tabel 12. Dapat diambil kesimpulan bahwa formulasi

2 adalah formulasi yang paling terbaik dilihat dari nilai kesukaan, kadar protein

yang dibandingkan dengan Standar Nasional Indonesia, tingkat kekenyalan dan

total kadar betasianin.

4.3.1. Analisis Produk Terpilih

Mi basah dengan penambahan umbi bit merah digunakan sebagai pewarna,

umbi bit merah memiliki pigmen warna merah atau disebut juga betasianin yang

termasuk golongan antioksidan serta penggunaan tepung kedelai mempengaruhi

kandungan antioksidan yang ada pada produk akhir mi yang dihasilkan, dimana

kedelai memiliki kandungan senyawa isoflavon yang berfungsi sebagai

antioksidan. Hasil analisis aktivitas anitoksidan pada produk terpilih pada IC50

sebesar 109,157 µ/mg atau lebih lengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 16.

Berdasarkan tabel intensitas antioksidan pada nilai IC50 produk mi basah

terpilih memiliki aktivitas antioksidan yang sedang. Menurut Shandiutami dkk

(2015), nilai IC50 adalah konsentrasi ekstrak uji yang mampu menangkap radikal

bebas sebanyak 50% yang diperoleh melalui persamaan regresi, semakin kecil

nilai IC50 suatu senyawa uji maka senyawa tersebut semakin efektif sebagai

penangkal radikal bebas.

Selama proses pembuatan produk mi basah kadar aktivitas antioksidan

menurun, hal ini disebabkan dari saat pencampuran bahan dan pembentukan

menjadi untaian mi menghasilkan energi/ panas, serta pada saat proses perebusan

mi basah, serta pada saat perlakuan analisis antioksidan. Tinggi rendahnya

46

aktivitas antioksidan dipengaruhi oleh berbagai faktor diantaranya adalah sifatnya

yang

47

rusak bila terpapar oksigen, cahaya, suhu tinggi dan pengeringan.

V KESIMPULAN DAN SARAN

Bab ini akan menguraikan mengenai : (1) Kesimpulan, dan (2) Saran.

5.1. Kesimpulan

Setelah dilakukan beberapa penelitian tentang peningkatan nilai gizi mi

basah dengan penambahan tepung kedelai dan umbi bit merah (Beta vulgaris L.

Var. Rubra L) menggunakan program linier, maka diperoleh kesimpulan sebagai

berikut :

1. Berdasarkan Penelitian Pendahuluan didapat kandungan Kadar Protein

Terigu berprotein tinggi sebesar 12,83%, tepung kedelai 36,13% dan umbi

bit 1,65%.

2. Formulasi yang feasible berdasarkan program linier dengan konsentrasi

terigu, tepung kedelai, bubur umbi bit dan telur adalah formulasi I 51%,

25%, 15% dan 9%, formulasi II 51%, 30%, 10% dan 9% serta formulasi III

51%, 35%, 5% dan 9%.

3. Kandungan kadar protein pada formulasi I sebesar 7,78%, formulasi II 9,74,

dan formulasi III 12,23%.

4. Nilai tekstur kekenyalan pada formulasi I sebesar 1,90 mm/dtk/0g,

formulasi II 1,88 mm/dtk/0g dan formulasi III 1,79 mm/dtk/0g.

5. Hasil total kadar betasianin formulasi I sebesar 17,78%, formulasi II 9,17%

dan formulasi III 5,32%.

48

6. Produk terpilih berdasarkan uji hedonik didapat formulasi II dengan nilai

rata-rata kesukaan terhadap, warna, rasa, aroma dan tekstur adalah 4,24,

4,21,

48

49

4,26, 4,21. Dengan hasil analisis aktivitas antioksidan pada nilai IC50

adalah sebesar sebesar 109,157µ/mg termasuk kedalam intensitas sedang.

Program linier dapat menentukan formulasi yang optimal terhadap nilai gizi

protein mi basah dan program linier dapat menentukan formulasi yang

optimal terhadap biaya produksi mi basah.

5.1. Saran

Setelah dilakukan beberapa penelitian dan perlakuan terhadap pembuatan

produk mi basah menggunakan tepung kedelai dan umbi bit terdapat saran-saran

sebagai berikut :

1. Perlu adanya cara penilaian/ pengendalian selama proses pengulian adonan

untuk menghasilkan adonan yang benar-benar kalis.

2. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai umur simpan produk mi

basah umbi bit dan tepung kedelai.

3. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk penyimpanan yang baik dan

mempertahankan warna umbi bit selama proses perebusan dan

penyimpanan.

4. kemudian dalam segi nilai gizi, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut

mengenai optimalisasi peningkatan nilai gizi serat terhadap mi basah.

5. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai kemasan yang tepat untuk

produk mi basah agar menghasilkan produk yang lebih baik dalam hal

warna, rasa dan memiliki umur simpan yang lebih panjang.

DAFTAR PUSTAKA

Afandi, S. (2001). Mempelajari Pembuatan Tepung Kedelai (Glycine max Merr). Fakultas Teknologi Pertanian. Bogor.Afandi, S. 2001.

Amin, Muslimin. (2014). Studi Potensi Bisnis dan Pelaku Utama Industri Mie Edisi Pertama. PT. Central Data Mediatama Indonesia. Jakarta.

Ananti, Riyani. (2008). Kajian Penyimpanan Irisan Bit (Beta vulgaris L) Segar Terolah Minimal dalam Kemasan Atmosfer Termodifikasi. Skripsi IPB. Bogor.

AOAC. (1995). Official Methods Of Analisis of the Assosiation Of Official Of Analutical Chemist. AOAC, Inc. Washington D.C.

AOAC. (2005). Official Methods Of Analisis of the Assosiation Of Official Of Analutical Chemist. AOAC, Inc. Washington D.C.

Arjuan, Herrisdiano. (2008). Aplikasi Pewarna Bubuk Ekstrak Umbi Bit (Beta vulgaris). Journal IPB. Bogor.

Astawan, M. (2005). Membuat Mi dan Bihun Edisi Kedua. Penebar Swadaya. Jakarta.

Astina, Nur. (2007). Pembuatan Mie Basah Dengan Penambahan Wortel. Skripsi Departemen Teknologi Pertanian. Universitas Sumatera Utara. Sumatera.

Departemen Kesehatan RI. (2009). Tabel Komposisi Pangan Indonesia. Bhratara. Jakarta.

Dimyati, T. (2004). Operation research : Model-model Pengambilan Keputusan Edisi 2. Penerbit Sinar Baru Algensindo. Bandung.

Ginting, Erliana. ANtarlina, Sri. Widowato, Sri. (2010). Jurnal Varietas Unggul Kedelai untuk Bahan Baku Industri Pangan. Balai Penelitian Kacang-kacangan dan Umbi-umbian Malang.

Hasya, Lathifah. (2008). Optimasi Formulasi Pembuatan Mi Basah Campuran Pasta Ubi Ungu dengan Program Linier. Tugas Akhir program Studi Teknologi Pangan UNPAS. Bandung

Koswara, S. (2005). Teknologi Pengolahan Mi. Ebook Pangan.

Kristianingsih, Rahayu, T. (2010). Petunjuk Pangan Gizi. Laboratorium Biologi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah. Surakarta.

50

51

Mastuti. (2010). Identifikasi Pigmen Betasianin Pada beberapa jenis Inflorescence. Journal UGM. Jogjakarta.

Maulida, Nur. (2010). Tugas Akhir Pengaruh Konsentrasi NaHCO3 dan Xanthan Gum terhadap Mutu Susu Kedelai Instan dari Biji Kedelai Tergeminasi. Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara. Sumatera.

Melisa, (2013), Pengaruh Penambahan Bit Merah Terhadap Cita Rasa Biskuit, Skripsi Universitas Sumatera Utara, Sumatera.

Noorlayla, (2015), Pemanfaatan Tepung Kedelai Sebagai Bahan Subtitusi Sus Kering Tepung Mocaf dengan Variasi Penambahan Jahe, Skripsi Universitas Muhammadiyah, Surakarta.

Nugrahini, Shintia. (2013). Pembuatan Es krim Probiotik dari Buah Bit (Beta vulgaris L) Sebagai Pewarna dan Perisa Alami dengan Ice Cream maker. Skripsi UNDIP. Semarang.

Oktaviani. (2005). Perubahan Karakteristik dan Kualitas Protein Pada Mi Mentah yang Mengandung Formaldehide dan Boraks. Skripsi Fakultas Teknik Pertanian. IPB. Bogor.

Petriana, Giwang. Ninan, Lidya. Martono, Yohanes. (2013). Pengaruh Intensitas Cahaya Terhadap Degradasi Warna Sirup yang diwarnai Umbi Bit Merah. Journal Universitas Kristen Satya Wacana.

Purnawiyanti, H, A. (2009). Mie Sehat. Penerbit Kanisisus. Edisi Pertama. Yogyakarta.

Riyanto, Cellica. Purwijantiningsih, Lorensia. Pranata, Sinung. (2015). Jurnal Kualitas Mie Basah dengan Kombinasi Edame dan Bekatul Beras Merah. Fakultas Teknobiologi Atma Jaya. Yogyakarta.

Sandhiutami, Ni Made. Rahayu, Lestari. Oktaviani, Tri. Yusnita, Lili. (2015). Jurnal Uji Aktivitas Antioksidan Rebusan Daun Sambang Getih dan Sambang Solok Secara In Vitro. Journal Fakultas Farmasi Universitas Pancasila. Jakarta

Setiaji. (2012). Pengaruh Suhu dan Lama Pemanggangan terhadap Karakteristik Soy Flakes. Tugas Akhir Program Studi Teknologi PanganUNPAS. Bandung.

Siringo. H, (2005), Seri Teknik Riset Operasional Pemograman Linier. Penerbit Graha Ilmu. Edisi Pertama, Yogyakarta.

SNI. (1992). SNI Mie kering. http://sisni.bsn.go.id/. Akses 19 Agustus 2015.

52

Sundarsih, (2009), Pengaruh Waktu dan Suhu Perendaman Kedelai Pada Pengaruh Kesempurnaan Ekstraksi Protein Kedelai dalam Proses Pembuatan Tahu. Article Universitas Diponegoro, Semarang.

Supranto. (1983). Linnier Programming. Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia, Edisi Kedua. Jakarta.

Supriyanto, Budi. (2013). Peningkatan Nilai Gizi Mi Basah dengan Fortifikasi Sawi Hijau dan Umbi Bit. Skripsi IPB. Bogor.

Widaningrum. Widowati, Sri. Soekarto, Soewarno. (2005). Pengayaan Tepung Kedelai Pada Pembuatan Mie Basah dengan Bahan Baku Tepung Terigu yang Disubtitsi Tepung Garut. J.Pascapanen 2(1) 2005 : 41-48. IPB. Bogor.

Widyaningsih, T.D. dan E.S, Murtini. (2006). Alternatif Pengganti Formalin Pada Produk Pangan. Trubus Agrisarana. Surabaya.

Winarno, F.G. (2004). Kimia Pangan dan Gizi. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Wirakusumah, E.S. (2007). Jus Buah dan Sayur Cetakan Pertama. Penebar Plus. Jakarta.

Yustina, (2012), Potensi Tepung dari Ampas Industri Pengolahan Kedelai Sebagai Bahan Pangan. Journal Universitas Senata Dharma, Yogyakarta.

Zulkhair, Hamigia. (2009). Karakteristik Tepung Jagung Lokal dan Mie Basah Jagung yang dihasilkan. Skripsi Institut Pertanian Bogor. Bogor.