I PENDAHULUANrepository.unpas.ac.id/2056/13/LAORAN ISI.docx · Web viewBahan baku utama dalam...
Transcript of I PENDAHULUANrepository.unpas.ac.id/2056/13/LAORAN ISI.docx · Web viewBahan baku utama dalam...
I PENDAHULUAN
Bab ini menguraikan mengenai: (1) Latar Belakang Masalah, (2)
Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian,
(5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, (7) Waktu dan Tempat
Penelitian.
1.1 Latar Belakang Masalah
Indonesia adalah negara yang kaya akan berbagai aspek. Tanah yang sangat
subur dengan iklim tropis yang mendukung keanekaragaman hasil pangan tumbuh
subur di alam ini. Hasil pangan dari komoditi pertanian seperti padi dan jagung
serta komoditi perkebunan seperti sayuran, buah-buahan dan umbi-umbian.
Komoditi pangan yang tersedia cukup banyak tersebut dapat dikatakan jika
produk pangan di Indonesia begitu beragam. Dari bahan mentah diolah menjadi
bahan baku, bahan setengah jadi hingga menjadi produk jadi yang siap saji.
Indonesia adalah pasar mie terbesar nomor dua di dunia setelah Cina dengan
jumlah produksi mie yang terus meningkat. Pada tahun 2008 total produksi mie
Indonesia, baik mie instan, mie kering dan mie basah mencapai 1,6 juta ton, pada
tahun 2013 produksinya telah mencapai 2 juta ton dan diprediksi tahun 2014
mencapai 2,2 juta ton (Amin, 2014).
Masyarakat saat ini sudah banyak yang mengkonsumsi mi sebagai bahan
pangan alternatif pengganti beras. Selain mi harganya terjangkau, cara penyajian
yang lebih mudah dan rasa yang tersedia sesuai dengan keinginan. Sehingga mi
sudah tidak asing lagi disebut dengan makanan rakyat karena mudah didapatkan
1
2
dimana saja dan dapat diolah menjadi beragam macam seperti mi ayam, ramen
dan lain-lain.
Mi basah mengandung beberapa komponen kimia diantaranya kandungan
karbohidrat, lemak, air dan mineral. Kandungan yang paling besar di dalam mi
basah adalah kandungan kalori, sedangkan mi mengandung protein yang cukup
kecil dan tidak memiliki serat, padahal serat pangan sangat dibutuhkan untuk
menjaga kesehatan sistem pencernaan.
Bahan baku utama dalam pembuatan mie adalah tepung terigu yang
diformulasikan dengan bahan lain. Menurut ketua umum Asosiasi Produsen
Tepung Terigu Indonesia (Aptindo), menyatakan pada tahun 2013 penggunaan
tepung terigu mencapai 5,43 juta ton, naik 7% dari penggunaan tahun sebelumnya
yang menyentuh 5,08 juta ton. Penggunaan tepung terigu dalam pembuatan mie
instan di PT Bogasari mencapai 60% dari total olahan gandum. Oleh karena itu,
saat ini sudah banyak dilakukan usaha untuk mengurangi bahkan menggantikan
tepung terigu dengan beragam bahan baku lokal yang dibuat menjadi tepung.
Salah satunya adalah pembuatan mie dengan campuran berbagai tepung dari
kacang-kacangan, maupun umbi-umbian.
Kacang kedelai memiliki prospek yang baik untuk dikembangkan karena
mengandung protein yang tinggi (35-38%). Selain itu, kandungan lemak pada
kedelai juga cukup tinggi (±20%). Dari jumlah ini sekitar 85% merupakan asam
lemak esensial (linoleat dan linolenat). Disamping memiliki protein tinggi, kedelai
mengandung serat atau dietary fiber, vitamin dan mineral. Selain kandungan
3
esensial yang lengkap dan baik mutunya kecuali asam amino bersulfur yang
merupakan faktor pembatas pada kedelai (Afandi, 2001).
Protein kedelai memiliki sifat fungsional antara lain sifat pengikat air dan
lemak, sifat mengemulsi dan mengentalkan serta membentuk lapis tipis. Sifat-sifat
ini dapat dimanipulasi untuk memperoleh sistem pangan yang dikehendaki
(Widaningrum, 2005).
Salah satu produk olahan dari kedelai adalah sari kedelai. Pada perusahaan
CV.Dodo-Mis sisa hasil ayakan bubuk kedelai yang tidak lolos mesh 80 yang
dihasilkan mencapai 30% sekitar 52,5 kg dari satu kali produksi 175 kg. Hasil
tersebut dimanfaatkan agar bisa dibuat menjadi suatu produk yang lebih memiliki
nilai jual dan diharapkan dapat mengurangi kebutuhan terigu di Indonesia ini dan
juga dapat memanfaatkan tepung dari komoditas ubi jalar. Oleh karena itu
pemanfaatan dan diversifikasi produk olahan bubuk kedelai yang lebih luas yaitu
pembuatan soy flakes, biskuit dan crackers (Setiaji, 2012).
Tepung kedelai yang tidak lolos pengayakan pada mesh 80 dapat diolah
menjadi bahan baku membuat produk baru yang inovatif dan kreatif dengan tidak
menghilangkan nutrisinya, bahkan bertambah nutrisinya dengan dilakukannya
penambahan bubur dari umbi-umbian. Bubur umbi-umbian tersebut dapat kita
peroleh salah satunya dari umbi bit yang sekaligus dapat menambah warna alami
pada mi basah.
Bit salah satu bahan pangan yang sangat bermanfaat. Salah satu manfaatnya
adalah memberikan warna alami dalam pembuatan produk pangan. Pigmen yang
terdapat pada bit merah adalah betalanin. Betalanin merupakan golongan
4
antioksidan, yang jarang digunakan dalam produk pangan dibandingkan dengan
antosianin dan betakaroten sehingga perlu dimanfaatkan secara maksimal
(Wirakusumah, 2007).
Jumlah produksi umbi bit sampai saat ini belum diketahui secara pasti,
dimana penanganannya belum mendapat perhatian khusus dari masyarakat. Belum
ada data produksi bit di Indonesia, karena sayuran ini belum begitu populer. Umbi
bit di Indonesia banyak ditanam di pulau Jawa, terutama Cipanas Bogor,
Lembang, Pangalengan dan Batu. Jumlah produksi umbi bit yang terdapat di
Cisarua Lembang sebanyak 80 ton/tahun (Ananti, 2008).
Salah satu sumber pewarna alami yang dapat digunakan sebagai pewarna
makanan dan minuman adalah betalanin yang ada pada umbi bit, betalanin yang
terkandung dalam beettroot telah digunakan sebagai pewarna makanan, seperti
ice cream dan makanan penutup beku dengan tanpa mengubah rasa. Hal ini
dibuktikan dengan tidak adanya efek karsinogenik atau efek toksik lainnya
sehingga ekstrak bit merah aman sebagai pewarna makanan (Petriana dkk, 2013).
Adrizal (2002) menyatakan bahwa pengolahan model linier dengan program
linier menggunakan aplikasi komputer, dapat menghasilkan output program
komputer berupa formula dan analisis sensitivitas formula yang berguna untuk
melihat sejauh mana bahan baku dapat digunakam secara optimal dalam bahan
dengan kandungan gizi dan harga yang berlaku.
1.2. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas dapat diketahui identifikasi masalahnya
adalah sebagai berikut :
5
1. Apakah penggunaan program linier dapat menentukan formulasi yang optimal
terhadap nilai gizi protein pada mi basah ?
2. Apakah penggunaan program linier dapat menentukan formulasi yang optimal
terhadap biaya produksi mi basah ?
1.3. Tujuan dan Maksud Penelitian
Tujuan dan maksud dari penelitian ini adalah untuk menentukan formulasi
bahan baku pembuatan mi yang optimal dengan menggunakan program linier
sehingga diharapkan produk mi basah yang sesuai dengan standar mutu SNI.
1.4. Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah :
1. Memanfaatkan umbi bit menjadi suatu bahan yang dapat dijadikan pewarna
alami pada produk mi basah.
2. Memanfaatkan limbah tepung kedelai sebagai bahan yang dapat meningkatkan
nilai gizi mi basah.
3. Memberikan informasi formulasi yang tepat dalam peningkatan nilai gizi
protein mi basah dengan harga yang minimum.
1.5. Kerangka Pemikiran
Mie merupakan bahan pangan yang cukup potensial, selain harganya yang
murah dan mudah serta praktis mengolahnya. Mie juga mempunyai kandungan
gizi yang cukup baik. Dilihat dari kandungan gizinya, mie rendah akan kandungan
kalorinya sehingga cocok untuk orang yang sedang menjalani diet rendah kalori
(Zulkhair, 2009).
6
SNI 01-2987-1992 menyatakan mi basah adalah produk makanan yang
dibuat dari tepung terigu dengan atau tanpa penambahan bahan makanan lain dan
bahan tambahan yang diizinkan, berbentuk khas mi yang tidak dikeringkan.
Sedangkan Widyaningsih (2006) menyatakan mie basah disebut juga mie kuning
adalah jenis mie yang mengalami perebusan dengan kadar air mencapai 52%
sehingga daya tahan atau keawetannya cukup singkat. Pada suhu kamar hanya
bertahan sampai 10-12 jam. Setelah itu mie akan berbau asam dan berlendir atau
basi.
Bahan baku utama mi adalah terigu, dimana jenis tepung terigu sangatlah
penting dalam pembuatan suatu jenis makanan. Terigu berprotein tinggi sekitar
12%-14% ideal untuk pembuatan roti dan mi (Hasya, 2008). Kandungan protein
utama tepung terigu yang berperan dalam pembuatan mi adalah gluten. Gluten
dapat dibentuk dari gliadin (prolamin dalam gandum) dan glutenin
(Koswara, 2005).
Ferrier dan Lopez (1979) dalam Afandi (2001) menyatakan kedelai bila
dibandingkan dengan serealia memiliki kelebihan karena kandungan protein asam
amino lisin yang tinggi dan memiliki asam amino sulfur yang lebih rendah, yang
berguna baik dalam industri pangan maupun non pangan, serta menurut
Yustiareni (2000) dalam Widaningrum (2004) menyatakan kandungan protein
pada tepung kedelai sebesar 46,39% dapat meningkatkan kandungan protein pada
fortifikasi berbagai macam produk bakery seperti pastry, waffel beku, kue-kue
basah dan snack.
7
Widaningrum (2004) dalam penelitian pengayaan tepung kedelai pada
pembuatan mie basah dengan bahan baku tepung terigu yang disubsitusi tepung
garut menyatakan penambahan tepung kedelai sampai tingkat 20% tidak
menunjukan beda nyata dengan penambahan tepung kedelai 5% terhadap
kandungan protein dan tekstur mie basah.
Protein yang terkandung dalam tepung kedelai hasil samping olahan sari
kedelai masih cukup tinggi yaitu 29,41%-32,61%. Sebagai sumber protein dengan
kandungan protein sebesar 10-30%, sehingga dapat meningkatkan kandungan
protein pada pembuatan produk olahan pangan (Yustina, 2012).
Produk olahan kedelai merupakan sumber protein nabati yang banyak
dikonsumsi oleh hampir seluruh lapisan masyarakat Indonesia, sehingga berperan
dalam mendukung ketahanan pangan dan meningkatkan status gizi masyarakat
(Noorlayla, 2015).
Retnaningsih (2007) dan Jayadi dkk (2012) dalam penelitian Noorlayla
(2015) melakukan penelitian tentang aplikasi tepung ubi jalar merah dan tepung
kedelai sebagai pengganti tepung terigu dalam pembuatan mi instan dengan
tingkat subtitusi tepung kedelai yang paling disukai konsumen adalah sebesar
15%, serta hasil penelitian Jayadi menyatakan tingkat kesukaan anak-anak pada
sakko-sakko yang terbuat dari tepung beras dengan tambahan tepung kedelai pada
konsentrasi 10%.
Supriyanto (2013), menyatakan fortifikasi umbi bit dalam adonan mie
dengan nisbah komposisi tepung terigu-umbi bit 8:1 terbukti dapat meningkatkan
8
makronutrien dibandingkan dengan mie kontrol, terutama meningkatkan kadar
karbohidrat.
Penambahan ekstrak bit merah dengan asam askorbat dapat meningkatkan
kandungan abu, protein, karbohidrat, serat kasar, aktivitas antioksidan dan
menurunkan kadar air pada konsentrasi 40% dan asam askorbat 60%, tetapi tidak
mempengaruhi kekenyalan dan rasa mi basah sagu (Oktaviani, 2015).
Yenawaty (2011) dalam penelitian Melisa (2013) melakukan penelitian
dalam rangka penggunaan bit yang dimanfaatkan sebagai pewarna alami pada mie
basah dan menunjukan bahwa kandungan vitamin A, C dan khususnya
antioksidan lebih tinggi jika dibandingkan dengan mie pada umumnya.
Beetroot red (umbi bit merah) salah satu pewarna yang diizinkan menurut
UK. Food Additives and Contaminans Comitte (1979) dalam penelitian Arjuan
(2008), zat warna yang berasal dari umbi itu merah dikategorikan sebagai non-
dyestuff (bukan bahan pewarna sintetik) dan tidak ada batasan konsumsi menurut
rekomendasi EFC (mg/kg berat badan) sehingga tidak ada akumulasi maksimal
zat warna tersebut di dalam tubuh.
Henry (2006) dalam penelitian Arjuan (2008) tentang aplikasi pewarna
bubuk ekstrak umbi bit sebagai pengganti pewarna tekstil pada produk terasi,
mengatakan betasianin memiliki intensitas warna yang lebih kuat dibandingkan
berbagai macam pewarna sintetik lainnya.
Pigmen betasianin cocok digunakan pada produk makanan dengan masa
penyimpanan pendek dengan perlakuan panas minimum, dikemas dalam suasana
kering dan rendah intensitas cahaya, oksigen serta kelembaban (Arjuan, 2008).
9
Betasianin adalah salah satu pewarna alami penting yang banyak digunakan
dalam sistem pangan. Walaupun pigmen betasianin telah digunakan untuk
pewarna alami sejak dahulu tetapi pengembangannya tidak secepat antosianin.
Hal ini karena keterbatasan tanaman yang mengandung pigmen betasianin.
Sampai saat ini pigmen betasianin yang telah diproduksi dalam skala besar hanya
berasal dari buah bit (Beta vulgaris L). Betasianin dari buah bit telah diketahui
memiliki efek antiradikal dan aktivitas antioksidan yang tinggi (Mastuti, 2010).
Purnawiyanti (2009), menyatakan bahan pengenyal berfungsi membentuk
mi yang liat dan kenyal sehingga tidak mudah putus. Bahan pengenyal umumnya
bersifat menyerap air membentuk hidrokoloid sehingga mi mengembang dan
tidak mudah susut selama pemasakan. Oleh karena itu bahan pengenyal juga
berfungsi sebagai bahan pengembang mi. Bahan pengenyal yang aman digunakan
dalam pembuatan mi misalnya CMC dan STPP. Penggunaan STPP pada
umumnya sekitar 0,3% dari berat tepung, sedangkan CMC dapat digunakan
sebanyak 0,5-1%. Penggunaan bahan pengenyal yang berlebihan menyebabkan mi
terlalu kenyal, sehingga seperti karet.
Astina Nur (2007), menyatakan sodium tripolyfosfat atau STPP digunakan
sebagai bahan pengikat air agar air dalam adonan tidak mudah menguap sehingga
permukaan adonan tidak cepat mengering dan mengeras. Sodium tripolyfosfat
dapat digunakan untuk menggantikan penggunaan boraks pada mi basah yang
sekarang kasusnya sedang marak di pasaran. Kelebihan STPP dibandingkan
boraks adalah STPP aman untuk digunakan dalam makanan dan penggunaannya
10
0,1% sampai 0,2% dalam formula ini sudah cukup bagus untuk memberikan
kekenyalan.
Menurut Andre (2014) dalam penelitian Hasya (2008), metode least cost
dalam program linier sangat membantu untuk mendapatkan formula yang baik
dan memenuhi kebutuhan nutrisi dengan biaya terendah.
Menurut Hubies et.al (1994) dalam penelitian Hasya (2008), aplikasi
program linier dalam optimalisasi formulasi es krim dengan menggunakan
minyak kelapa sawit sebagai pengganti lemak mentega yaitu untuk mempelajari
penggunaan minyak kelapa sawit sebagai bahan untuk mensubtitusi lemak susu
dan mempelajari formulasi es krim yang optimal, yaitu dengan cara
meminimumkan penggunaan bahan baku tanpa mengurangi mutu es krim yang
dihasilkan dengan harga yang ekonomis.
1.6. Hipotesis Penelitian
Berdasarkan kerangka berfikir yang telah diuraikan, diduga :
1. Program linier dapat menentukan formulasi yang optimal terhadap nilai gizi
protein pada mi basah ?
2. Program linier dapat menentukan formulasi yang optimal terhadap biaya
produksi mi basah ?
1.7. Waktu dan Tempat Penelitian
Waktu penelitian dilakukan pada bulan Desember 2015 hingga Februari
2016. Sedangkan tempat penelitian dilaksanakan di laboratorium Teknologi
Pangan Universitas Pasundan Bandung.
II TINJAUAN PUSTAKA
Bab ini menguraikan mengenai : (1) Mi Basah, (2) Kacang Kedelai, (3)
Umbi Bit dan (4) Program Linier.
2.1. Mi Basah
Astawan (2005), menyatakan walaupun pada prinsipnya mie dibuat dengan
cara yang sama, tetapi di pasaran dikenal beberapa jenis mie seperti mie
segar/mentah (raw chinese noodle), mie basah (boiled noodle), mie kering (steam
and fried noodle), dan mie instant (instant noodle).
a) Mie Mentah
Mie mentah adalah mie yang tidak mengalami proses tambahan setelah
pemotongan dan mengandung air sekitar 35%. Oleh karena itu, mie ini cepat
rusak. Penyimpanan dalam refrigerator dapat mempertahankan kesegaran mie ini
hingga 50-60 jam. Setelah masa simpan tersebut, warna mie akan menjadi gelap.
b) Mie Basah
Mie basah adalah jenis mie yang mengalami proses perebusan setelah tahap
pemotongan dan sebelum dipasarkan. Kadar airnya dapat mencapai 52% sehingga
daya tahan simpannya relatif singkat (40 jam pada suhu kamar). Di Indonesia, mie
basah dikenal sebagai mie kuning atau mie bakso.
c) Mie Kering
Mie kering adalah mie mentah yang telah dikeringkan hingga kadar airnya
mencapai 8-10%. Pengeringan umumnya dilakukan dengan penjemuran di bawah
sinar matahari atau dengan oven. Karena bersifat kering, maka mie ini mempunyai
daya simpan yang relatif panjang dan mudah penanganannya. Mie kering sebelum
11
12
dipasarkan biasanya ditambahkan telur segar atau tepung telur sehingga mie ini
dikenal dengan nama mie telur. Penambahan telur ini merupakan variasi sebab
secara umum mie oriental tidak mengandung telur. Di Amerika Serikat,
penambahan telur merupakan suatu keharusan karena mie kering harus
mengandung air kurang dari 13% dan padatan telur lebih dari 5,5%.
d) Mie Instan
Standar Nasional Indonesia (SNI) nomor 3551-1994, mie instan
didefenisikan sebagai produk makanan kering yang dibuat dari tepung terigu
dengan atau tanpa penambahan bahan makanan lain dan bahan makanan
tambahan yang diizinkan, berbentuk khas mie dan siap dihidangkan setelah
dimasak atau diseduh dengan air mendidih paling lama 4 menit. Mie instan
dikenal sebagai mie ramen. Mie ini dibuat dengan penambahan beberapa proses
setelah diperoleh mie segar. Tahap-tahap tersebut yaitu pengukusan, pembentukan
dan pengeringan. Kadar air mie instan umumnya mencapai 5-8% sehingga
memiliki daya simpan yang cukup lama.
Mie adalah makanan khas dari Cina. Rasanya yang hambar membuat bahan
makanan ini dapat diolah dengan bumbu yang sesuai dengan selera si
pembuatnya. Biasanya dibuat dari adonan terigu, air, garam, dan minyak.
Pembuatan mie basah lebih sering dibuat dengan mencampur air khi atau kansui
atau lebih dikenal dengan air abu. Dalam proses pembuatan mie, harus
dipertimbangkan dalam memilih terigu terutama adalah kadar protein dan kadar
abunya. Kadar protein mempunyai korelasi erat dengan jumlah gluten. Sedangkan
kadar abu erat dengan kualitas mie yang dihasilkan (Widyaningsih, 2006).
13
Menurut Astawan (2005), Mie merupakan makanan yang sangat populer di
masyarakat, selain karena murah dalam pengolahannya juga lebih praktis. Hal ini
yang mengakibatkan mie sebagai makanan yang bisa menggantikan nasi sebagai
makanan pokok masyarakat Indonesia. Cara mengkonsumsi mie pada masyarakat
yang cenderung tanpa menggunakan lauk dapat memunculkan kekhawatiran
dalam upaya pemenuhan gizi masyarakat, seperti telah diketahui kandungan mie
didominasi oleh kadar karbohidrat yang tinggi.
Tabel 1. Komposisi Kimia Mie Basah dalam 100 g BahanKomposisi JumlahKalori (kal) 86Protein (g) 0,6Lemak (g) 3,3
Karbohidrat (g) 14,0Kalsium (mg) 14Fosfor (mg) 13Besi (mg) 0,8
Air (g) 80,0Bdd (%) 100
Sumber : Departemen Kesehatan RI (1996)
Mie basah merupakan produk makanan yang terbuat dari terigu dengan atau
tanpa penambahan bahan makanan lain dan bahan tambahan makan yang
diizinkan, berbentuk khas mie yang tidak dikeringkan (Badan Standarisasi
Nasional, 1992).
Mie basah disebut juga mie kuning adalah jenis mie yang mengalami
perebusan dengan kadar air mencapai 52% sehingga daya tahan atau keawetannya
cukup singkat. Pada suhu kamar hanya bertahan sampai 10-12 jam. Setelah itu
mie akan berbau asam dan berlendir atau basi (Widyaningsih , 2006).
14
Tabel 2. Syarat Mutu Mie Basah menurut SNI 01-2987-1992 (BSN 1992)No. Kriteria Uji Satuan Persyaratan1. Keadaan:
1.1. Bau1.2. Rasa1.3. Warna
NormalNormalNormal
2. Air %. b/b 20-353. Abu (dihitung atas dasar
bahan kering)%. b/b Maks. 3
4. Protein (N x 6,25) %. b/b Min. 8
5.Bahan tambahan makanan:5.1. Boraks dan asam borat5.2. Pewarna5.3. Formalin
Tidak boleh adaSesuai SNI 0222-M dan peraturan MenKes.No.722/MenKes/Per/IX/88Tidak boleh ada
6. Cemaran Logam6.1. Timnal (Pb)6.2. Tembaga (Cu)6.3. Seng (Zn)6.4. Raksa (Hg)
mg/kgmg/kgmg/kgmg/kg
Maks. 1,0Maks. 10,0Maks. 40,0Maks.0,05
7. Arsen (As) mg/kg Maks. 0,05
8.
Cemaran mikroba8.1. Angka lempeng total8.2. E.coli8.3. Kapang
Koloni/gAPM/gKoloni/g
Maks. 1,0 x 104
Maks. 10Maks. 1,0 x 104
Sumber : BSN, (1992)
2.1.1. Bahan Baku Utama
a. Terigu
Terigu yang digunakan adalah terigu yang memiliki kandungan protein yang
tinggi, dimana terigu berprotein tinggi ini dalam pembuatan mi basah berfungsi
sebagai pembuat gluten dari protein glutenin dan gliadin yang terdapat pada
terigu. Protein gliadin dan gliadin ini akan terhidrasi dengan penambahan air
15
film pada permukaan adonan untuk menahan udara atau menyerap air pada saat
proses perebusan.
b. Air
Air berfungsi sebagai reaksi antar gluten dengan karbohidrat, melarutkan
garam dan membentuk sifat kenyal gluten. Air yang digunakan sebaiknya
memiliki pH antara 6-9. Makin tinggi pH air maka mi yang dihasilkan tidak
mudah patah karena absorpsi air meningkat dengan meningkatnya pH. Air yang
digunakan harus air yang memenuhi persyaratan air minum, yaitu tidak berwarna,
tidak berbau dan tidak berasa. Jumlah air yang ditambahkan pada umumnya
sekitar 28-38% dari campuran bahan yang akan digunakan (Astawan, 2005).
c. Garam
Garam berfungsi memberi rasa, memperkuat tekstur mi, meningkatkan
fleksibilitas dan elastisitas mi serta untuk mengikat air. Selain itu garam dapur
dapat menghambat aktivitas enzim protease dan amilase sehingga mi tidak
bersifat lengket dan tidak mengembang secara berlebihan (Astawan, 2005).
d. Telur
Telur memiliki fungsi sebagai bahan pengikat, bahan pengental, bahan
pelindung, bahan pengembang, bahan penyedap, bahan pengemulsi dan pengkilat
(glazzing). Jika ditambahkan bahan kering seperti tepung maka telur akan
mengikatnya menjadi satu adonan. Kandungan lesitin terutama pada kuning telur
merupakan pengemulsi yang baik, dapat mempercepat hidrasi air pada terigu dan
bersifat mengembangkan adonan (Wirakusumah, 2005).
16
2.1.2.Bahan Tambahan
a. Sodium Trypolyphosphate (STPP)
Sodium Trypolyphosphate dapat digunakan sebagai bahan pengikat air.
Penggunaan bahan ini dimaksudkan agar air dalam adonan tidak menguap
sehingga tidak mengalami pengerasan atau pengeringan di permukaan sebelum
pembentukan lembaran adonan.
Menurut FDA (Food and Drugs Administration) penggunaan alkali fosfat
adalah 0,5% pada produk. Menurut permenkes No. 772/IX/1998 membatasi dosis
yang aman diizinkan adalah 3 gram per kilogram berat adonan atau 0,3%
(Widyaningsih, 2006).
2.2. Kacang Kedelai
Kedelai merupakan tanaman pangan berupa semak yang tumbuh
tegak. Kedelai jenis liar Glycine ururiencis, merupakan kedelai yang
menurunkan berbagai kedelai yang kita kenal sekarang (Glycine max (L)
Merril). Berasal dari daerah Manshukuo (Cina Utara). Di Indonesia, yang
dibudidayakan mulai abad ke-17 sebagai tanaman makanan dan pupuk
hijau. Penyebaran tanaman kedelai ke Indonesia berasal dari daerah
Manshukuo menyebar ke daerah Mansyuria: Jepang (Asia Timur) dan ke
negara-negara lain di Amerika dan Afrika.
Kedelai merupakan komoditas tanaman pangan ketiga setelah padi
dan jagung di Indonesia. Tanaman ini dikenal juga sebagai sumber protein
nabati terpenting yang relatif murah, sehingga dapat dijangkau oleh
seluruh lapisan masyarakat (Sriwati dkk, 2011).
17
Kedelai utuh mengandung 35-40% protein, paling tinggi dari segala jenis kacang-
kacangan. Ditinjau dari segi mutu, protein kedelai adalah yang paling baik mutu
gizinya yaitu hampir setara dengan protein daging. Diantara jenis kacang-
kacangan, kedelai merupakan sumber protein paling baik karena mempunyai
susunan asam amino esensial paling lengkap. Disamping itu kedelai juga dapat
digunakan sebagai sumber lemak, vitamin, mineral dan serat (Sundarsih, 2009).
Kedelai memiliki beberapa jenis tipe diantaranya, kacang kedelai kuning,
coklat, hitam dan putih. Kacang kedelai yang digunakan pada penelitian ini adalah
jenis kacang kedelai kuning varietas wilis, dimana kedelai wilis adalah hasil
persilangan antara galur no 1682/143-1-10. Varietas ini termasuk tanaman dengan
tipe determinate, tinggi tanaman berkisar antara 40-50 cm dan warna daun hijau.
Pembungaan dimulai pada umur 39 hari, bunga berwarna ungu, polong masak
pada umur 88 hari sehingga umur oanen sekitar 75 hari – 110 hari dengan warna
kulit coklat kehitaman dan berbulu coklat tua, biji berwarna kuning dan berbentuk
oval agak lonjong, berat 100 biji sekitar 10 g dengan kadar protein 375 dan kadar
lemak 18%. Sifat unggul wilis adalah tahan rebah dan agak tahan terhadap
penyakit karat dan virus (Ginting dkk, 2010).
Gambar 1. Tepung Kedelai (Glycine max)
18
Menurut Ginting (2010) kedudukan taksonomi kacang kedelai
adalah sebagai berikut :
Kingdom : Plantae
Divisi : Spermatophyta
Sub Divisi : Angiospermae
Kelas : Dicotyledonae
Ordo : Fabales
Famili : Fabaceae
Genus : Glycine
Species : Glycine max L. Merril
Tabel 3. Komposisi Kimia Tepung Kedelai (Glycine max L. Merril)Komposisi Jumlah
Abu (g) 6,1Protein (g) 46,2Lemak (g) 19,1
Karbohidrat (g) 28,2Serat kasar (g) 3,7Kalsium (mg) 254Fosfor (mg) 781Besi (mg) 11
Vitamin B1 (mg) 0,48Vitamin B12 (mkg) 0,2
Asam amino essensial (g) 17,7Sumber : Noorlayla (2015).
Tepung kedelai merupakan tepung yang terbuat dari biji kedelai kering yang
digiling halus. Tepung kacang kedelai adalah bahan makanan yang biasa
dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia. Tepung kacang kedelai mengandung
energi sebesar 347 kilokalori, protein 35,9 gram, karbohidrat 29,9 gram, lemak
20,6 gram, kalsium 195 miligram, fosfor 554 miligram dan zat besi 8 miligram.
Selain itu di
19
dalam tepung kedelai juga terkandung vitamin dan mineral lainnya
(Widaningrum, dkk).
2.3. Umbi Bit
Bit (Beta vulgaris L) adalah sebuah tanaman berbunga dalam familia
Chenopodiaceae, yang aslinya berasal dari daerah pesisir barat dan selatan Eropa,
dari Swedia selatan dan Kepulauan Britania ke selatan Laut Mediterania.
Tanaman ini penting karena varietasnya yang dikembangkan, bit pakan, bit merah
dan bit gula yang menghasilkan gula (Ananti, 2008).
Bit merupakan tanaman semusim yang berbentuk rumput. Batang bit sangat
pendek, hampir tidak terlihat. Akar tunggangnya tumbuh menjadi umbi. Daunnya
tumbuh terkumpul pada leher akar tunggal (pangkal umbi) dan berwarna
kemerahan. Umbi berbentuk bulat atau menyerupai gasing. Akang tetapi, ada pula
umbi bit berbentuk lonjong. Ujung umbi bit terdapat akar. Bunganya tersusun
dalam rangkaian bunga yang bertangkai panjang banyak (racemus). Tanaman ini
sulit berbunga di Indonesia. Bit banyak digemari karena rasanya enak, sedikit
manis dan lunak (Nugrahini, 2013).
Umbi bit memiliki beberapa jenis diantaranya bit gula, bit pakan dan bit
merah. Umbi bit yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis bit merah atau
yang dikenal dengan sebutan beetroot dengan varietas red ace hybrid. Varietas
red ace hybrid dapat dengan mudah ditemukan di supermarket di Amerika
Serikat, biasanya memiliki akar berwarna merah terang dan daun berwarna hijau
dengan lapisan merah. Red ace hybrid adalah umbi bit yang sangat mudah
20
Parabola yang halus dan buat dengan cor merah dalam dan jelas ditandai cincin
konsentris. Rasa halus lembut dan manis (Nuzula, 2013).
Bit merah mulai diperkenalkan pada abad ke-17 dan segera menjadi
populer. Warna merahnya merupakan kombinasi dari pigmen ungu betasianin dan
pigmen kuning betaxanthin. Pigmen tersebut lebih stabil dibandingkan
kebanyakan tumbuhan berpigmen merah lainnya (Ananti, 2008).
Gambar 2. Umbi Bit (Beta vulgaris L)
Menurut Ananti (2008), tanaman bit dalam taksonomi tumbuhan
diklasifikasikan sebagai berikut :
Kerajaann : Plantae
Sub kerajaan : Tracheobionta
Super divisi : Spermatophyta
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Magnoliopsida
Sub kelas : Caryophyllidae
Ordo : Caryphyllales
21
Famili : Chenopodiaceae
Genus : Beta
Spesies : Beta vulgaris L.
Kadar energi pada 100 g bit adalah 42 kkal, sama dengan yang terdapat pada
wortel dan bawang bombay, tetapi lebih rendah dibandingkan kentang.
Sumbangan zat gizi dari secangkir umbi bit terdapat angka kecukupan gizi (AKG)
yang dianjurkan per hari (Ananti, 2008).
Tabel 4. Komposisi Kimia Umbi Bit (Beta vulgaris L)Komposisi Jumlah
Protein 1,6 gVitamin C 10 mg
Kalium 330 mgVitamin A 20 REVitamin B1 0,02 mg
Serat 3,8 gKalsium 27 mgFosfor 43 mg
Asam folat 148 mgZat besi (Fe) 1 mg
Sumber : Anonim, (2013).
Pigmen warna yang terdapat pada umbi bit adalah betasianin, betasianin
merupakan pigmen berwarna merah atau merah-violet dari kelompok pigmen
betalain. Pigmen betalain hanya dapat dijumpai pada tanaman beberapa famili
anggota ordo Caryophyllales, termasuk Amaranthaceae dan bersifat mutual
eksklusif dengan pigmen antosianin. Sifat ini berarti bahwa pigmen betalain dan
antosianin tidak pernah dijumpai bersama-sama pada satu tanaman. Oleh karena
itu pigmen betalain sangat signifikan dalam penentuan taksonomi tanaman tingkat
tinggi (Mastuti dkk, 2010).
22
2.4. Program Linier
Pemograman Linier disingkat PL merupakan metode matematik dalam
mengalokasikan sumber daya yang terbatas untuk mencapai suatu tujuan seperti
memaksimumkan keuntungan dan meminimumkan biaya. Program Linier banyak
diterapkan dalam masalah ekonomi, industri, sosial dan lain-lain. Program Linier
berkaitan dengan penjelasan suatu kasus dalam dunia nyata sebagai suatu model
matematik yang terdiri dari sebuah fungsi tujuan dengan beberapa kendala linier
(Siringoringo, 2005).
Dikenal dua macam fungsi model program linier yaitu fungsi tujuan dan
fungsi kendala. Fungsi tujuan adalah fungsi yang menggambarkan tujuan di dalam
permasalahan yang berkaitan dengan pengaturan secara optimal sumber daya
untuk memperoleh keuntungan, manfaat dan kebaikan yang ingin
dimaksimumkan atau diminimumkan dari segi biaya, kerugian dan sebagainya.
Sedangkan fungsi kendala merupakan bentuk penyajian secara matematis dimana
batasan kapasitas yang akan terjadi dialokasikan secara optimal kedalam berbagai
kegiatan yang dilakukan (Supranto, 1983).
Menurut Dimyati (2004), dalam membangun model dari formulasi suatu
persoalan, diperlukan karakteristik-karakteristik yang biasa digunakan dalam
persoalan program linier, yaitu :
a. Variabel keputusan, adalah variabel yang menguraikan secara lengkap
keputusan-keputusan yang akan dibuat.
b. Fungsi tujuan, merupakan fungsi dari variabel keputusan yang akan
dimaksimumkan atau diminimumkan.
23
c. Pembatas, merupakan kendala yang dihadapi sehingga kita tidak bisa
menentuka harga-harga variabel keputusan secara sembarangan.
2.4.1. Dasar Matematis Program Linier
Menurut Dimyati (2004), persamaan linier berupa ax + by = c dimana x,y
adalah variabel dan a.b.c adalah konstanta, membagi bidang atas 3 bagian, yaitu :
1. Titik-titik yang memenuhi persamaan ax + by = c
2. Titik-titik yang memenuhi pertidaksamaan ax + by < c
3. Titik-titik yang memenuhi pertidaksamaan ax + by > c
Jika dimasukkan kedalam bentuk grafik, maka persamaan ax + by =
c merupakan garis lurus yang berfungsi sebagai garis batas dan titik-titik
yang memenuhi pertidaksamaan ax + by < c atau ax + by > c merupakan
suatu daerah.
Gass (1985) menyatakan, bentuk umum program linier, yaitu C1X1 + C2X2 =
C3X3 + .................................... + CnXn untuk bentuk linier dari fungsi pembatas,
yaitu :
a11X1 + a12X2 + a13X3 + ... + a1nXn { ≥, =, ≤ } b1
a21X1 + a22X2 + a23X3 + ... + a2nXn { ≥, =, ≤ } b1
amjXj + amjXj + amjXj + ... + amnXn { ≥, =, ≤ } bm
dimana untuk setiap fungsi pembatas hanya diperbolehkan menggunakan salah
satu tanda antara ≥, =, ≤ dan nilai untuk variabel Xj ≥ 0, j = 1,2, ..., n. Sedangkan
bentuk linier dari fungsi tujuan (maksimasi atau minimasi), yaitu : Z = C1X1 +
C2X2 + ...+ CnXn.
III BAHAN DAN METODE PENELITIAN
Bab ini menguraikan mengenai : (1) Bahan dan Alat, (2) Metode
Penelitian dan (3) Prosedur penelitian.
3.1. Bahan dan Alat Percobaan
3.1.1. Bahan-bahan yang digunakan
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah bahan-
bahan untuk pembuatan mi basah dan bahan-bahan untuk analisis respon
kimia.
Bahan-bahan yang digunakan dalam pembuatan mi basah adalah
tepung terigu, tepung kedelai, umbi bit, garam, STPP, telur, air, tepung
tapioka dan minyak nabati.
Bahan yang digunakan untuk analisis antioksidan adalah etanol, aquadest
dan larutan DPPH. Bahan yang digunakan untuk analisis kadar protein adalah
asam oxalat, indikator phenopthalien, asam sulfat pekat, katalisator HgO/ Na2SO4,
larutan NaOH 30%, larutan Natrium Tiosulfat, granul seng, larutan NaOH 0,1N
dan larutan baku HCl 0,1N, serta bahan yang digunakan untuk analisis total kadar
betasianin adalah KCl, aquadest, asam sitrat, natrium sitrat dan natrium asetat.
3.1.2. Alat Yang Digunakan
Peralatan yang digunakan adalah peralatan yang digunakan untuk
pembuatan mi basah yaitu timbangan digital, sendok, piring, baskom,
plastik, pencetak mi, panci, saringan dan nampan.
24
Peralatan yang digunakan untuk analisis adalah seperangkat alat analisis
kadar protein, analisis warna spektrofometer, phenetrometer dan analisis kadar
antioksidan metode DPPH spektrofotometer UV Visible yaitu cawan, pembakar
24
25
tanur, penjebit cawan, lumpang, alu, erlenmeyer, gelas kimia, pipet ukur, pipet
volume, botol semprot, tabung reaksi, labu takar, seperangkat alat destilasi dan
kondensor, batang pengaduk, gelas ukur, corong, oven, eksikator, labu kjehdal,
labu destilat, pisau, strakdean, penangas, pipet, gelas buret, klem, statif, pipet
micron, kuvet, spektrofotometer, kertas saring, lakmus merah, lakmus biru, oven,
cawan penguap dan tangkrus.
3.2 Metode Penelitian
Penelitian dilakukan dalam dua tahap, yaitu penelitian pendahuluan
dan penelitian utama.
3.2.1. Penelitian Pendahuluan
Bahan-bahan pembuatan mi basah dilakukan analisis kadar protein pada
tepung kedelai yang tidak lolos pengayakan pada mesh 80, umbi bit dan tepung
terigu protein tinggi. Hasil analisis bahan baku ini kemudian dijadikan sebagai
variabel perubah keputusan (Variabel tetap) dalam pemodelan program linier
sehingga diperoleh formulasi mi basah yang optimal/ feasible berdasarkan
perhitungan program linier.
3.2.2. Penelitian Utama Optimal/ feasible Berdasarkan Perhitungan Program
Linier.
Penelitian utama yang dilakukan ialah penentuan optimalisasi
formulasi pembuatan mi basah dari umbi bit dan limbah tepung kedelai
menggunakan program linier. Formula mi basah umbi bit dan limbah
tepung kedelai yang digunakan adalah formula yang feasible berdasarkan
25
program linier. Jika formulasi yang dihasilkan tidak feasible maka akan
digunakan formulasi lain hingga
26
diperoleh produk mi basah dengan formulasi yang feasible. Diagram alir proses
pembuatan mi basah dapat dilihat pada Gambar 3.
Tabel 5. Model Variabel Komposisi Kimia bahan Baku Mi BasahBahan Baku (Xn) Komposisi Kimia (%) Biaya (Cn)
(Rp/g)Protein (a1)Tepung Terigu (X1) a11 C1
Tepung Kedelai (X2) a12 C2
Umbi Bit (X3) a13 C3
Telur Ayam Ras (X4) a14 C4
Komposisi minimal masing-masing bahan dalam tepung terigu, tepung
kedelai dan umbi bit adalah minimal kadar protein sebesar 8%.
Tahap-tahap optimalisasi formula mi basah dengan program linier sebagai
berikut :
1. Menentukan fungsi tujuan
Menentukan jumlah (dalam gram) masing-masing bahan untuk mi basah.
2. Variabel keputusan
X1 : Tepung terigu
X2 : Tepung kedelai
X3 : Umbi bit
3. Model Program Linier
Fungsi Tujuan :
Maksimal C = C1X1 + C2X2 + C3X3
Fungsi kendala yang didasarkan interaksi (aij Xij) antara jenis bahan
baku (X1 sampai X3) dengan komposisi bahan baku (a1) memaksimalkan :
- Aij = komposisi mi basah ke-1 yang dikandung oleh 1 bahan baku ke-j (i:1-3)
27
- bi = jumlah maksimum atau minimum bahan baku ke-i yang diperlukan untuk
membuat mi basah.
- Xj = banyaknya bahan baku mi basah ke-j yang digunakan untuk membuat mi
basah.
- Cj = biaya perunit bahan baku mi basah ke-j
- Y = jumlah (g) mi basah yang akan dibuat
1) Pembatas Kadar Protein Minimal a1%
a11X1 + a12X2 + a13X3 ≥ a1 (X1,X2,X3)
(a11 – a1) X1 + ...............................+ (a13 – a1) X3 ≥ 0
2) Fungsi Pembatas Bahan Baku
a. Fungsi pembatas bahan baku keseluruhan : X1+X2+X3 = Qr
b. Fungsi pembatas tepung terigu (X1) : X1 = Q1 x Qr
c. Fungsi pembatas tepung kedelai (X2) : X2 = Q2 x Qr
d. Fungsi pembatas umbi bit (X3) : X3 = Q3 x Qr
e. Pembatas nol negatif X1, X2, X3 ≥ 0
3.2.3. Analisis Produk Mi Basah Umbi Bit
3.2.3.1. Analisis Produk Mi Basah Feasible
1. Analisis Kimia
Sampel mi basah feasible selanjutnya dilakukan analisis kimia dengan
parameter uji meliputi kadar protein metode kjedahl (AOAC, 2005) dan analisis
total kadar betasianin dengan metode spektrofotometri (pH-differensial)
(AOAC, 2006).
28
2. Analisis Fisik
Sampel mi basah yang feasible dilakukan uji kekenyalan dengan
menggunakan alat phenetrometer untuk mengetahui mi yang memiliki tingkat
kekenyalan yang paling baik.
3. Uji Organoleptik
Pengujian organoleptik dengan uji hedonik terhadap formulasi yang feasible
berdasarkan pemograman linier. Pengujian ini dilakukan terhadap 15 panelis
dengan 6 kali ulangan untuk menentukan satu formulasi mi basah yang terpilih
berdasarkan penilaian panelis terhadap warna, rasa, aroma dan tekstur. Contoh
kriteria penilaian untuk uji hedonik yang digunakan untuk atribut mi basah adalah
sebagai berikut :
Tabel 6. Kriteria Penilaian Uji Hedonik Penelitian UtamaSkala Skala Numerik
Sangat sukaSukaAgak sukaAgak tidak sukaTidak sukaSangat tidak suka
654321
4. Pemilihan Produk Terpilih
Produk terpilih berdasarkan pemograman linier, uji organoleptik dan
analisis kimia kemudian dibandingkan untuk mengetahui apakah hasil uji tersebut
memiliki persamaan atau tidak. Apabila masing-masing hasil uji berbeda, maka
produk terbaik ditentukan berdasarkan komposisi kimia yang mendekati dengan
komposisi kimia mi basah berdasarkan SNI 01-2987-1992.
29
3.2.3.2. Analisis Produk Terpilih
Analisis ini dilakukan terhadap sampel terpilih mi basah yaitu analisis kimia
yaitu analisis aktivitas antioksidan
3.3. Deskripsi Percobaan
3.3.3. Deskripsi Percobaan Penelitian Utama
Prosedur percobaan pada pembuatan mi basah umbi bit terdiri dari beberapa
tahap, yaitu : Pencucian , trimming, pengukusan, pengecilan ukuran,
pencampuran, pengadukan dan pengulian, pembentukan lembaran, pembentukan
untaian, perebusan, pendinginan, penirisan dan glassing.
a. Pencucian
Pencucian umbi bit dengan menggunakan air bersih untuk menghilangkan
sisa tanah atau kotoran yang masih terdapat pada permukaan kulit umbi bit.
b. Trimming
Pemotongan bagian yang tidak digunakan diantaranya pembuangan akar
umbi bit dan kulit umbi bit, di kupas tipis agar tidak terbuang banyak.
c. Pengukusan
Umbi bit kemudian dibungkus dengan menggunakan kain waring dan
dilakukan blanshing pada suhu ±70oC selama 3 menit.
d. Pengecilan Ukuran dan Penghancuran
Setelah dilakukan pengukusan umbi bit dipotong kecil ukuran dadu 2cm x
2cm agar mempermudah proses penghancuran menjadi bubur umbi bit,
selanjutnya dilakukan penghancurah menggunakan food proccesor sampai umbi
bit hancur menjadi bubur.
30
e. Pencampuran
Pencampuran pertama yang dilakukan adalah pencampuran bahan kering
seperti tepung terigu dan tepung kedelai, garam, STPP hingga tercampur rata.
Kemudian dimasukkan telur sedikit demi sedikit hingga adonan rata, terakhir
masukkan umbi bit dan air sedikit demi sedikit.
f. Pengadukan dan Pengulian
Setelah semua bahan dicampur dilakukan pengadukan dan pengulian hingga
adonan benar-benar kalis, dimana seluruh bahan sudah tercampur sempurna
dengan ciri-ciri adonan tidak lagi menempel pada tangan dan atas permukaan
wadah.
g. Pembentukan Lembaran
Adonan yang sudah kalis dibentuk menjadi lembaran tipis dengan
menggunakan alat pencetak mie, lembaran dibentuk hingga panjang dan lebarnya
sesuai agar memudahkan pada saat pembentukan untaian mi. Pada saat proses
pembentukan lembaran dengan menggunakan mesin, adonan ditaburi dengan
tepung tapioka agar tidak lengket.
h. Pembentukan Untaian
Adonan yang sudah dibentuk lembaran pipih sekitar 1,5-2mm tebalnya,
dilakukan pembentukan untaian dengan alat pencetak mi dengan ukuran 1-2mm.
i. Perebusan
Mi yang telah terbentuk dimasukkan dalam panci berisi air mendidih
(100oC). Mi direbus selama 3 menit sambil diaduk perlahan, apabila waktu
31
j. Pendinginan
Mi hasil perebusan kemudian ditiriskan, selanjutnya didinginkan. Proses
pendinginan menggunakan air mengalir ini bertujuan untuk melepaskan sisa-sisa
uap panas dari mi basah hasil perebusan.
k. Penirisan
Setelah mi didinginkan dengan menggunakan air mengalir, kemudian
dilakukan penirisan. Penirisan dilakukan untuk mengurangi kadar air setelah
proses pencucian.
l. Glassing
Tahap terakhir adalah pemberian minyak nabati. Pelumasan mi dengan minyak
goreng dilakukan agar untaian mi tidak menjadi lengket satu sama lain dan
kenampakan mi agar nampak lebih mengkilat.
IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Bab ini akan menguraikan mengenai : (1) Penelitian Pendahuluan,
(2) Penelitian Utama dan (3) Penentuan Produk Terpilih.
4.1. Penelitian Pendahuluan
Penelitian pendahuluan dilakukan untuk menentukan kadar protein yang
terkandung pada bahan baku yaitu terigu, tepung kedelai dan umbi bit. Hasil
analisis kadar protein yang diperoleh digunakan sebagai data input variabel tetap
dalam pemrograman linier, sehingga diharapkan data output yang dihasilkan
adalah formulasi yang benar-benar optimal dari segi kandungan protein dan dari
segi harga, dimana harga yang didapatkan seminimal mungkin dengan hasil
kandungan sesuai Standar Nasional Indonesia. Hasil analisis kadar protein terigu,
tepung kedelai dan umbi bit dapat dilihat pada tabel 7.
Tabel 7. Hasil Analisis Kadar Protein Terigu, Tepung Kedelai dan Umbi Bit.
BAHAN BAKU KADAR PROTEIN (%)Tepung Terigu Protein Tinggi 12,83Umbi Bit 1,65Tepung Kedelai 36,13Telur Ayam Ras 12,4
Tabel 7. Menunjukan bahwa tepung terigu berprotein tinggi menunjukan
kandungan protein sebesar 12,83%, sedangkan menurut Astawan (2005) tepung
terigu yang berkualitas paling baik yang mengandung protein tinggi atau disebut
dengan Hard flour yang digunakan dalam pembuatan mie dan roti contohnya
tepung cakra kembar yang memiliki kandungan protein sekitar 12%-13%.
34
Perbedaan kandungan protein pada tepung terigu berprotein tinggi ini
dipengaruhi dari bahan baku yaitu gandum yang memiliki kandungan protein
yang
34
35
berbeda sehingga mempengaruhi hasil kadar protein pada terigu berprotein tinggi.
Selain itu rusaknya terigu, terigu yang memiliki kandungan protein tinggi
cenderung memiliki water absorption yang tinggi atau kemampuan menyerap air,
sehingga kekuatan terigu untuk menyerap air pada saat pengolahan akan
berkurang, dan selama penyimpanan terigu terkena cahaya atau panas yang
berlebihan sehingga mempengaruhi rusaknya terigu yang akan menurunkan
kualitas terigu.
Protein didalam terigu terdiri dari gliadin yang akan memberikan elastisitas
dan kekuatan untuk perenggangan terhadap gluten, dan glutenin akan memberikan
struktur dan lapisan flm pada permukaan adonan, sehingga mampu menahan gas
atau udara selama proses pemanggangan pada roti atau perebusan pada mi.
Menurut Damodaran dan Paraf (1997) gliadin dan glutenin akan membentuk
gluten setelah ditambahkan air yang akan terjadi reaksi hidrasi dimana elastisitas
adonan terjadi karena adanya interaksi antar molekul glutenin (ikatan silang
disulfida, ikatan hidrogen, interaksi hidrofobik), yang menghasilkan pembentukan
benang-benang polimer. Polimer linier kemudian berinteraksi satu sama lain
melaluin ikatan hidrogen, interaksi hidrofobik dan ikatan silang disulfida untuk
membentuk jaringan lapisan seperti film yang bersifat elastis.
Bahan makanan golongan serealia yang paling banyak mengandung
glutenin dan gliadin adalah gandum/ tepung terigu. Tepung terigu mengandung
gluten sebanyak 80% dari total protein yang terkandung didalam terigu
( Rahayuni, 2013).
35
Kadar protein umbi bit dari hasil analisis pada penelitian pendahuluan
adalah sebesar 1,65%, sedangkan menurut Arjuan (2008) umbi bit mengandung
kadar
36
protein sebesar 1,10%, perbedaan kandungan protein pada umbi bit ini tergantung
pada varietas, tempat tanam dan cara pengolahan tanam atau penanganan selama
pemanenan.
Tepung kedelai dari hasil analisis mengandung kadar protein sebesar
36,13%, menurut Maulida, Nur (2010) kedelai merupakan sumber protein nabati
yang diketahui aman dan sehat bagi semua umur. Kandungan protein dalam
kedelai sangat tinggi yaitu 35-45%, bahkan pada varietas unggul kadar proteinnya
dapat mencapai 40-43%. Sehingga perbedaan kandungan tepung kedelai yang
dihasilkan dipengaruhi dari varietas kacang kedelai yang digunakan, dan selama
proses pengolahan menjadi tepung terigu yang berbeda sehingga mempengaruhi
kandungan protein didalamnya.
4.2. Penelitian Utama
4.2.1. Penentuan Formulasi Feasible Berdasarkan Pemrograman Linier
Penentuan formulasi bahan baku dalam pembuatan mi basah dilakukan
dengan menggunakan aplikasi program linier dengan satu faktor pembatas, yaitu
pembatas yang membatasi kandungan nutrisi produk akhir dan pembatas yang
membatasi jumlah penggunaan terigu, tepung kedelai dan umbi bit sehingga
fungsi tujuan yang berupa meminimumkan harga dapat tercapai dengan
kandungan nutrisi sesuai acuan. Pembuatan mi basah yang dilakukan dalam
penelitian ini dengan menggunakan program linier dapat dilihat pada tabel 8 dan
lebih lengkapnya dapat dilihat pada lampiran 10.
36
Formulasi yang dihasilkan dari program linier merupakan formula optimal
dengan kandungan nutrisi memenuhi acuan pembatas yang ditetapkan dengan
harga
37
terendah. Pembatas lain yang digunakan adalah pembatas bahan baku tetap dan
pembatas bahan baku berubah. Pembatas bahan baku tetap ialah terigu, Sodium
Tripoly Phosphate (STPP), garam, telur dan air, sedangkan bahan baku berubah
ialah tepung kedelai dan umbi bit.
Tabel 8. Hasil Formulasi Mi Basah menggunakan Program LinierFormulasi Harga Total (Rp) Hasil Analisa Protein (%)
1 Rp. 994,24 7,782 Rp. 869,69 9,743 Rp. 745,20 12,23
Keterangan : Setiap formulasi untuk ±250 gram mi basah yang dihasilkan.
Data pada Tabel 8, menunjukan bahwa formulasi yang dihasilkan dari
program linier dengan perbedaan konsentrasi tepung kedelai dan umbi bit
merupakan formulasi yang optimal yang memenuhi standar pembatas yang telah
ditentukan dengan harga yang minimum.
Pembatas kendala protein minimal 8%. Data pada Tabel 8 menunjukan
bahwa formulasi II dan III feasible dibandingkan dengan formulasi I dalam
pembuatan mi basah, tetapi formulasi II dan III jika dibandingkan dari harga
formulasi III adalah formulasi yang feasible karena memiliki harga yang
minimum.
Batasan yang digunakan untuk menyusun fungsi atau persamaan kendala
adalah jumlah tepung kedelai dan bubur umbi bit yang dicampurkan dalam
pembuatan mi basah dengan pembatas menurut Standar nasional Indonesia. Bahan
baku terigu, garam, Sodium Try Poly Phosphate, air dan telur yang digunakan
dibatasi dalam jumlah tertentu untuk menekan biaya produksi, selain itu mi basah
37
yang dihasilkan karakteristiknya diharapkan dapat diterima oleh konsumen dan
memenuhi standar kadar protein yang terkandung dalam mi basah.
38
Kadar protein yang rendah akan berdampak pada saat proses pembuatan mi,
dimana kadar protein yang diharuskan dalam proses pembuatan mi ini adalah
minimal 8%. Dalam pembuatan mi, protein sangat berpengaruh untuk
menghasilkan gluten dari protein, maka dari itu pembuatan mi basah
menggunakan umbi bit dan tepung kedelai yang berfungsi sebagai bahan
pensubtitusi, sedangkan bahan baku utama yaitu tepung terigu sehingga pada
proses pembuatan mi kadar protein yang diinginkan akan tercapai.
Menurut winarno (2004) protein kedelai 90% terdiri dari globulin yang
sifatnya tidak larut dalam air tetapi larut dalam larutan garam encer, sehingga
penambahan tepung kedelai hanya mempengaruhi kandungan protein pada produk
akhir dan menurunkan daya elastisitas mi yang dihasilkan.
Terigu yang digunakan untuk pembuatan mi adalah terigu yang memiliki
kandungan protein yang tinggi, karena terigu yang memiliki kandungan protein
tinggi mengandung gliadin dan glutenin yang tinggi, dimana glutenin dan gliadin
akan bereaksi dengan air menghasilkan suatu gluten yang akan membuat adonan
lebih kenyal dan elastis, apabila terigu yang digunakan mengandung protein
rendah akan mempengaruhi mi yang dihasilkan menjadi lebih gampang putus/
tidak elastis.
4.2.2. Uji Organoleptik Mi Basah
Mi basah yang dibuat dari ke-3 formula diatas dibandingkan dengan mi
basah control, yaitu produk mi ayam yang memiliki warna putih kekuningan khas
mi basah pada umumnya sehingga tidak mempengaruhi penilaian dalam hal
warna, selanjutnya dipilih satu formulasi terbaik dilakukan uji hedonik dengan
39
rasa, aroma, warna dan tekstur. Hasil uji hedonik terhadap mi basah dapat dilihat
pada Tabel 9.
Tabel 9. Hasil Uji Organoleptik Mi Basah Pada Penelitian Utama
Formulasi Nilai Rata-rata OrganleptikRasa Warna Aroma Tekstur
1 4,34b 4.58b 4.37b 4.36b
2 4.21b 4.24b 4.16b 4.21b
3 3.89a 4.20b 4,02a 3.87a
Mi Ayam 4.32b 3.38a 4,18b 4.78c
Keterangan : Setiap huruf kecil dibaca formulasi berbeda nyata pada taraf 5%.
1. Rasa
Data pada Tabel 9 menunjukan bahwa perlakuan formulasi 1 dan 2
memberikan hasil tidak berbeda nyata dibandingkan dengan formulasi 3. Rasa
yang tidak berbeda nyata dapat dipengaruhi oleh komposisi bahan yang digunakan
yaitu garam, air, telur, STPP dan terigu dalam jumlah yang sama sehingga akan
menghasilkan rasa yang tidak berbeda nyata. Untuk formulasi 3 yang berbeda
nyata dengan formulasi 1 dan 2, hal ini dikarenakan jumlah penggunaan tepung
kedelai dan umbi bit berbeda sehingga dapat mempengaruhi perbedaan rasa yang
sangat jelas pada formulasi 3.
Kacang kedelai memililiki rasa yang khas yaitu cita rasa langu (beany
flavor) yang kurang disukai. Cita rasa langu tersebut timbul akibat aktivitas enzim
lipoksigenase yang secara alami terdapat pada biji kedelai. Enzim ini aktif saat biji
kedelai pecah pada proses pengupasan kulit dan penggilingan karena kontak
dengan udara (oksigen) (Ginting, 2010). Sehingga semakin meningkat tepung
kedelai yang ditambahkan, maka rasa kedelai juga akan semakin terasa sehinga
memberikan pengaruh yang nyata terhadap rasa mi basah. Selain itu uji
39
organoleptik bersifat subjektif sehingga penilaian yang diberikan oleh setiap
panelis tidak sama.
40
Faktor-faktor yang menyebabkan adanya rasa pada bahan pangan adalah
beberapa kandungan senyawa yang dimiliki oleh suatu bahan pangan, contohnya
rasa manis yang dihasilkan biasanya berasal dari golongan karbohidrat terutama
karbohidrat sederhana yaitu gula, rasa asin yang dihasilkan biasanya berasal dari
kandungan garam yang berupa garam-garam natrium, rasa pahit ditimbulkan dari
suatu senyawa tannin atau fenolik dan rasa asam dari unsur senyawa asam
contohnya asam sitrat, serta rasa gurih merupakan gabungan atau efek dari
beberapa rasa yang dihasilkan.
2. Warna
Data pada Tabel 9 menunjukan bahwa warna mi tidak berbeda nyata. Hal
ini dapat disebabkan karena penggunaan konsentrasi bubur umbi bit yang
digunakan tidak berbeda jauh sehingga tetap menghasilkan warna pada mi basah,
dibandingkan pada mi control/ mi ayam yang memiliki warna yang putih/
kekuningan khas mi pada umumnya, sehingga dapat disimpulkan dengan adanya
penambahan bubur umbi bit merah sebagai pewarna pada mi dapat diterima
ataupun disukai oleh panelis. Semakin meningkatnya penambahan bubur umbi bit
akan mempengaruhi kecenderungan semakin disukai oleh panelis. Warna
merupakan satu faktor yang menentukan penerimaan terhadap mutu suatu bahan
makanan, sebelum faktor-faktor lain dipertimbangkan secara visual, sehingga
faktor warna lebih berpengaruh dan kadang sangat menentukan pada penerimaan
konsumen.
3. Aroma
40
Data pada Tabel 9. Menunjukan bahwa perlakuan formulasi 1 dan 2
memberikan hasil tidak berbeda nyata dibandingkan dengan formulasi 3.
Perbedaan
41
pada formulasi 3 dapat dipengaruhi pada konsentrasi tepung kedelai yang sangat
tinggi dibandingkan formulasi 1 dan 2. Bau langu pada kacang kedelai
memberikan aroma khusus pada produk yang dihasilkan, bau tersebut berasal dari
enzim lipoksigenase yang secara alami terdapat didalam kacang-kacangan,
sehingga semakin banyak jumlah tepung kedelai yang digunakan semakin tercium
aroma tepung kedelai.
4. Tekstur
Data pada Tabel 9. Menunjukan perlakuan pada formulasi 1 dan 2 tidak
berbeda nyata dibandangkin perlakuan pada formulasi 3. Jumlah penambahan
konsentrasi bubur umbi bit dan tepung kedelai sangat mempengaruhi tekstur pada
mi basah yang dihasilkan. Dimana semakin sedikit jumlah bubur umbi bit yang
ditambahkan berpengaruh terhadap tekstur mi basah, hal ini dikarenakan bubur
umbi bit memiliki kandungan air yang cukup tinggi sehingga mempengaruhi
terhadap kekerasan / kekenyalan pada mi basah. Selain itu konsentrasi tepung
kedelai yang ditambahkan pada formulasi 3 sangat tinggi dibandingkan formulasi
1 dan 2, hal ini dikarenakan kedelai merupakan kacang-kacangan yang memiliki
kandungan protein cukup tinggi, sehingga menjadikan tekstur pada mi basah
sedikit agak keras dan mengurangi elastisitas dari tekstur mi basah.
4.2.3. Analisis Kimia Produk Mi basah
4.2.3.1. Analisis Kadar Protein
Data pada tabel 8. Menunjukan kadar protein hasil analisis mi basah yang
dibuat dari ketiga formulasi hanya formulasi II dan III yang menghasilkan kadar
42
protein lebih tinggi dari Standar Nasional Indonesia yang telah ditetapkan, yaitu
sebesar 8%.
Peningkatan kadar protein mi basah yang dihasilkan dari ketiga
formulasi, berasal dari bahan baku yang digunakan pada pembuatan mi basah.
Kadar protein dalam tepung terigu yang digunakan merek Cakra Kembar yaitu
sebesar 12,83%, tepung kedelai 36,13% dan umbi bit 1,65% dari analisis bahan
baku pada penelitian pendahuluan. Hal ini menyebabkan kandungan protein
didalam mi basah lebih tinggi dari pada acuan Standar Nasional Indonesia yang
telah ditetapkan, akan tetapi pada formulasi I memiliki kadar protein dibawah
Standar Nasional Indonesia yaitu sebesar 7,78% hal ini dipengaruhi pada jumlah
penambahan konsentrasi tepung kedelai yang lebih sedikit dibandingkan
formulasi II dan III, sehingga dapat dikatakan semakin banyak tepung kedelai
yang digunakan dapat mempengaruhi kandungan protein pada produk mi basah
yang dihasilkan.
Kadar protein mi basah yang dihasilkan jika dibandingkan dengan kadar
protein awal dari bahan yang digunakan yaitu tepung kedelai dan bubur umbi bit,
menunjukan kadar protein mi lebih rendah. Hal ini dikarenakan selama proses
terjadi denaturasi protein yang mengakibatkan menurunkan kadar protein pada
produk.
Penurunan kadar protein pada mi basah dapat disebabkan oleh beberapa
tahapan proses pembuatan mi basah, yaitu pada saat proses pengulian adonan
dapat menyebabkan kolapsnya struktur protein yang diakibatkan timbulnya panas
selama pencampuran/ pengulian. Pencampuran/ pengulian menyebabkan energi
43
perubahan energi dalam dari bahan adonan. Hal ini akan mempengaruhi kapasitas
panas bahan serta menyebabkan penurunan kadar protein.
Proses perebusan dapat mengakibatkan penurunan kadar protein yaitu
akan terjadi proses denaturasi protein yang disebabkan oleh panas pada saat
perebusan mi.
4.2.3.2. Analisis Kadar Betasianin
Umbi bit digunakan sebagai pewarna alami pada mi basah, pigmen warna
yang terkandung pada bit ini adalah betasianin, dimana pigmen betasianin ini
jarang digunakan dalam produk pangan dibandingkan antosianin dan betakaroten.
Hasil analisis kadar betasianin pada produk mi basah dapat dilihat pada Tabel 10
dan lebih lengkapnya dapat dilihat pada lampiran 15.
Tabel 10. Hasil Analisis Total Kadar BetasianinSampel Total Kadar Betasianin ( mg/100 g)
Formulasi I 17,78Formulasi II 9,17Formulasi III 5,32
Bubur Umbi bit 85,25Keterangan : kadar betasianin per 100 gram mi basah.
Data yang ditunjukan pada Tabel 10. Dapat dilihat bahwa semakin banyak
jumlah konsentrasi bubur umbi bit yang digunakan mempengaruhi total kadar
betasianin, dan selama proses pemasakan dari bahan baku bubur umbi bit menjadi
produk mi basah terjadi penurunan total kadar betasianin.
4.2.4. Analisis Fisik Produk Mi Basah
Analisis fisik yang dilakukan pada produk mi basah adalah analisis tekstur
kekenyalan dengan menggunakan penetrometer. Produk mi basah yang baik
44
tekstur kekenyalan ini berdasarkan gaya tekan/ tusuk alat penetrometer terhadap
produk yang diuji, sebanyak 10 kali tekanan pada tempat yang berbeda selama 10
detik dengan ditunjukannya angka pada skala penetrometer. Hasil analisis tekstur/
kekenyalan pada mi basah dapat dilihat pada Tabel 11.
Tabel 11. Hasil Analisis Uji Tekstur kekenyalan Mi BasahSAMPEL TEKSTUR KEKENYALAN (mm/dtk/0g)
Formulasi 1 1,90Formulasi 2 1,88Formulasi 3 1,79Mi Kontrol (Mi Ayam) 1,83
Pada tabel 11. Dapat dilihat hasil pengukuran tekstur kekenyalan terhadap
perlakuan formulasi 1, 2 dan 3 dengan mi kontrol yaitu mi ayam,. Hasil
pengukuran tekstur kekenyalan yang mendekati produk kontrol adalah formulasi
2, perbedaan tingkat kekenyalan ini dipengaruhi dari bahan baku yang digunakan,
jumlah konsentrasi tepung kedelai dan bubur umbi bit mempengaruhi tekstur
kekenyalan pada produk mi basah yang dihasilkan.
Tepung terigu memiliki keistimewaan dibanding dengan tepung
lain karena mampu membentuk gluten saat dibasahi dengan air, akibat
reaksi prolamin yang sedikit gugus polarnya dengan gluten yang banyak
gugus polarnya. Gluten memiliki sifat penting yaitu apabila dibasahi dan
diberi perlakuan mekanis maka akan terbentuk suatu adonan yang elastis,
sebaliknya protein pada tepung kedelai berupa protein asam amino
essensial tetapi tidak mengandung protein gluten.
44
Tepung kedelai merupakan salah satu bahan pengikat yang dapat
meningkatkan daya ikat air pada bahan makanan karena didalam tepung kedelai
memiliki protein dan pati yang bersifat dapat mengikat air, sehingga konsentrasi
45
jumlah tepung kedelai yang digunakan berpengaruh kepada ketersediaan air dan
pati yang akan membuat adonan mi basah lebih keras dan rapuh. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa formulasi yang menggunakan tepung kedelai lebih besar
cenderung memiliki tingkat elastisnya lebih kecil atau lebih rapuh.
Menurut Riyanto dkk (2015), tingkat kekerasan mi basah juga dipengaruhi
oleh kadar air mi yang bersangkutan. Tingkat kekerasan berbanding terbalik
dengan kadar air. Semakin banyak kadar air dalam mi basah, semakin rendah
tingkat kekerasan mi basa. Semakin sedikit kadar air dalam mi basah, semakin
tinggi tingkar kekerasan mi basah.
4.3. Penentuan Produk Terpilih
Penentuan produk terpilih dilihat dari hasil beberapa rancangan
respon yaitu, analisis kandungan protein, kadar total betasinain dan
analisis tekstur kekenyalan serta uji kesukaan konsumen yang terdiri dari
beberapa atribut yang meliputi rasa, aroma, warna dan tekstur. Hasil
rancangan respon kimia maupun fisika dapat dilihat pada Tabel 12.
Tabel 12. Hasil Rancangan Respon Kimia dan Fisika Produk Mi Basah
FUji Hedonik Protein
(%)Penetrometri (mm/dtk/0g)
Total Kadar
Betasianin ( mg/100 g)Rasa Aroma Tekstur Warna
1 4,34b 4.37b 4.36b 4.58b 7.78 1,90 17,78
2 4.21b 4.16b 4.21b 4.24b 9.74 1,88 9,17
3 3.89a 4,02a 3.87a 4.20b 12.23 1,79 5,32
4 4,32b 4,18b 4,78c 3,38a 6,71 1,83 -
Keterangan : Huruf kecil dibaca formulasi berbeda nyata pada taraf 5%.
46
Dilihat dari data pada Tabel 12. Dapat diambil kesimpulan bahwa formulasi
2 adalah formulasi yang paling terbaik dilihat dari nilai kesukaan, kadar protein
yang dibandingkan dengan Standar Nasional Indonesia, tingkat kekenyalan dan
total kadar betasianin.
4.3.1. Analisis Produk Terpilih
Mi basah dengan penambahan umbi bit merah digunakan sebagai pewarna,
umbi bit merah memiliki pigmen warna merah atau disebut juga betasianin yang
termasuk golongan antioksidan serta penggunaan tepung kedelai mempengaruhi
kandungan antioksidan yang ada pada produk akhir mi yang dihasilkan, dimana
kedelai memiliki kandungan senyawa isoflavon yang berfungsi sebagai
antioksidan. Hasil analisis aktivitas anitoksidan pada produk terpilih pada IC50
sebesar 109,157 µ/mg atau lebih lengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 16.
Berdasarkan tabel intensitas antioksidan pada nilai IC50 produk mi basah
terpilih memiliki aktivitas antioksidan yang sedang. Menurut Shandiutami dkk
(2015), nilai IC50 adalah konsentrasi ekstrak uji yang mampu menangkap radikal
bebas sebanyak 50% yang diperoleh melalui persamaan regresi, semakin kecil
nilai IC50 suatu senyawa uji maka senyawa tersebut semakin efektif sebagai
penangkal radikal bebas.
Selama proses pembuatan produk mi basah kadar aktivitas antioksidan
menurun, hal ini disebabkan dari saat pencampuran bahan dan pembentukan
menjadi untaian mi menghasilkan energi/ panas, serta pada saat proses perebusan
mi basah, serta pada saat perlakuan analisis antioksidan. Tinggi rendahnya
V KESIMPULAN DAN SARAN
Bab ini akan menguraikan mengenai : (1) Kesimpulan, dan (2) Saran.
5.1. Kesimpulan
Setelah dilakukan beberapa penelitian tentang peningkatan nilai gizi mi
basah dengan penambahan tepung kedelai dan umbi bit merah (Beta vulgaris L.
Var. Rubra L) menggunakan program linier, maka diperoleh kesimpulan sebagai
berikut :
1. Berdasarkan Penelitian Pendahuluan didapat kandungan Kadar Protein
Terigu berprotein tinggi sebesar 12,83%, tepung kedelai 36,13% dan umbi
bit 1,65%.
2. Formulasi yang feasible berdasarkan program linier dengan konsentrasi
terigu, tepung kedelai, bubur umbi bit dan telur adalah formulasi I 51%,
25%, 15% dan 9%, formulasi II 51%, 30%, 10% dan 9% serta formulasi III
51%, 35%, 5% dan 9%.
3. Kandungan kadar protein pada formulasi I sebesar 7,78%, formulasi II 9,74,
dan formulasi III 12,23%.
4. Nilai tekstur kekenyalan pada formulasi I sebesar 1,90 mm/dtk/0g,
formulasi II 1,88 mm/dtk/0g dan formulasi III 1,79 mm/dtk/0g.
5. Hasil total kadar betasianin formulasi I sebesar 17,78%, formulasi II 9,17%
dan formulasi III 5,32%.
48
6. Produk terpilih berdasarkan uji hedonik didapat formulasi II dengan nilai
rata-rata kesukaan terhadap, warna, rasa, aroma dan tekstur adalah 4,24,
4,21,
48
49
4,26, 4,21. Dengan hasil analisis aktivitas antioksidan pada nilai IC50
adalah sebesar sebesar 109,157µ/mg termasuk kedalam intensitas sedang.
Program linier dapat menentukan formulasi yang optimal terhadap nilai gizi
protein mi basah dan program linier dapat menentukan formulasi yang
optimal terhadap biaya produksi mi basah.
5.1. Saran
Setelah dilakukan beberapa penelitian dan perlakuan terhadap pembuatan
produk mi basah menggunakan tepung kedelai dan umbi bit terdapat saran-saran
sebagai berikut :
1. Perlu adanya cara penilaian/ pengendalian selama proses pengulian adonan
untuk menghasilkan adonan yang benar-benar kalis.
2. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai umur simpan produk mi
basah umbi bit dan tepung kedelai.
3. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk penyimpanan yang baik dan
mempertahankan warna umbi bit selama proses perebusan dan
penyimpanan.
4. kemudian dalam segi nilai gizi, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut
mengenai optimalisasi peningkatan nilai gizi serat terhadap mi basah.
5. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai kemasan yang tepat untuk
produk mi basah agar menghasilkan produk yang lebih baik dalam hal
warna, rasa dan memiliki umur simpan yang lebih panjang.
DAFTAR PUSTAKA
Afandi, S. (2001). Mempelajari Pembuatan Tepung Kedelai (Glycine max Merr). Fakultas Teknologi Pertanian. Bogor.Afandi, S. 2001.
Amin, Muslimin. (2014). Studi Potensi Bisnis dan Pelaku Utama Industri Mie Edisi Pertama. PT. Central Data Mediatama Indonesia. Jakarta.
Ananti, Riyani. (2008). Kajian Penyimpanan Irisan Bit (Beta vulgaris L) Segar Terolah Minimal dalam Kemasan Atmosfer Termodifikasi. Skripsi IPB. Bogor.
AOAC. (1995). Official Methods Of Analisis of the Assosiation Of Official Of Analutical Chemist. AOAC, Inc. Washington D.C.
AOAC. (2005). Official Methods Of Analisis of the Assosiation Of Official Of Analutical Chemist. AOAC, Inc. Washington D.C.
Arjuan, Herrisdiano. (2008). Aplikasi Pewarna Bubuk Ekstrak Umbi Bit (Beta vulgaris). Journal IPB. Bogor.
Astawan, M. (2005). Membuat Mi dan Bihun Edisi Kedua. Penebar Swadaya. Jakarta.
Astina, Nur. (2007). Pembuatan Mie Basah Dengan Penambahan Wortel. Skripsi Departemen Teknologi Pertanian. Universitas Sumatera Utara. Sumatera.
Departemen Kesehatan RI. (2009). Tabel Komposisi Pangan Indonesia. Bhratara. Jakarta.
Dimyati, T. (2004). Operation research : Model-model Pengambilan Keputusan Edisi 2. Penerbit Sinar Baru Algensindo. Bandung.
Ginting, Erliana. ANtarlina, Sri. Widowato, Sri. (2010). Jurnal Varietas Unggul Kedelai untuk Bahan Baku Industri Pangan. Balai Penelitian Kacang-kacangan dan Umbi-umbian Malang.
Hasya, Lathifah. (2008). Optimasi Formulasi Pembuatan Mi Basah Campuran Pasta Ubi Ungu dengan Program Linier. Tugas Akhir program Studi Teknologi Pangan UNPAS. Bandung
Koswara, S. (2005). Teknologi Pengolahan Mi. Ebook Pangan.
Kristianingsih, Rahayu, T. (2010). Petunjuk Pangan Gizi. Laboratorium Biologi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah. Surakarta.
50
51
Mastuti. (2010). Identifikasi Pigmen Betasianin Pada beberapa jenis Inflorescence. Journal UGM. Jogjakarta.
Maulida, Nur. (2010). Tugas Akhir Pengaruh Konsentrasi NaHCO3 dan Xanthan Gum terhadap Mutu Susu Kedelai Instan dari Biji Kedelai Tergeminasi. Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara. Sumatera.
Melisa, (2013), Pengaruh Penambahan Bit Merah Terhadap Cita Rasa Biskuit, Skripsi Universitas Sumatera Utara, Sumatera.
Noorlayla, (2015), Pemanfaatan Tepung Kedelai Sebagai Bahan Subtitusi Sus Kering Tepung Mocaf dengan Variasi Penambahan Jahe, Skripsi Universitas Muhammadiyah, Surakarta.
Nugrahini, Shintia. (2013). Pembuatan Es krim Probiotik dari Buah Bit (Beta vulgaris L) Sebagai Pewarna dan Perisa Alami dengan Ice Cream maker. Skripsi UNDIP. Semarang.
Oktaviani. (2005). Perubahan Karakteristik dan Kualitas Protein Pada Mi Mentah yang Mengandung Formaldehide dan Boraks. Skripsi Fakultas Teknik Pertanian. IPB. Bogor.
Petriana, Giwang. Ninan, Lidya. Martono, Yohanes. (2013). Pengaruh Intensitas Cahaya Terhadap Degradasi Warna Sirup yang diwarnai Umbi Bit Merah. Journal Universitas Kristen Satya Wacana.
Purnawiyanti, H, A. (2009). Mie Sehat. Penerbit Kanisisus. Edisi Pertama. Yogyakarta.
Riyanto, Cellica. Purwijantiningsih, Lorensia. Pranata, Sinung. (2015). Jurnal Kualitas Mie Basah dengan Kombinasi Edame dan Bekatul Beras Merah. Fakultas Teknobiologi Atma Jaya. Yogyakarta.
Sandhiutami, Ni Made. Rahayu, Lestari. Oktaviani, Tri. Yusnita, Lili. (2015). Jurnal Uji Aktivitas Antioksidan Rebusan Daun Sambang Getih dan Sambang Solok Secara In Vitro. Journal Fakultas Farmasi Universitas Pancasila. Jakarta
Setiaji. (2012). Pengaruh Suhu dan Lama Pemanggangan terhadap Karakteristik Soy Flakes. Tugas Akhir Program Studi Teknologi PanganUNPAS. Bandung.
Siringo. H, (2005), Seri Teknik Riset Operasional Pemograman Linier. Penerbit Graha Ilmu. Edisi Pertama, Yogyakarta.
SNI. (1992). SNI Mie kering. http://sisni.bsn.go.id/. Akses 19 Agustus 2015.
52
Sundarsih, (2009), Pengaruh Waktu dan Suhu Perendaman Kedelai Pada Pengaruh Kesempurnaan Ekstraksi Protein Kedelai dalam Proses Pembuatan Tahu. Article Universitas Diponegoro, Semarang.
Supranto. (1983). Linnier Programming. Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia, Edisi Kedua. Jakarta.
Supriyanto, Budi. (2013). Peningkatan Nilai Gizi Mi Basah dengan Fortifikasi Sawi Hijau dan Umbi Bit. Skripsi IPB. Bogor.
Widaningrum. Widowati, Sri. Soekarto, Soewarno. (2005). Pengayaan Tepung Kedelai Pada Pembuatan Mie Basah dengan Bahan Baku Tepung Terigu yang Disubtitsi Tepung Garut. J.Pascapanen 2(1) 2005 : 41-48. IPB. Bogor.
Widyaningsih, T.D. dan E.S, Murtini. (2006). Alternatif Pengganti Formalin Pada Produk Pangan. Trubus Agrisarana. Surabaya.
Winarno, F.G. (2004). Kimia Pangan dan Gizi. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Wirakusumah, E.S. (2007). Jus Buah dan Sayur Cetakan Pertama. Penebar Plus. Jakarta.
Yustina, (2012), Potensi Tepung dari Ampas Industri Pengolahan Kedelai Sebagai Bahan Pangan. Journal Universitas Senata Dharma, Yogyakarta.
Zulkhair, Hamigia. (2009). Karakteristik Tepung Jagung Lokal dan Mie Basah Jagung yang dihasilkan. Skripsi Institut Pertanian Bogor. Bogor.