Hukuman Mati

26
Ikuti kami: English Minggu, 3 Mei 2015 Awal Berita Pusat Data Klinik » Talks » Karier Produk dan Jasa English <a href='http://ads.hukumonline.com/www/delivery/ck.php? n=a0c96e08&amp;cb=INSERT_RANDOM_NUMBER_HERE' target='_blank'><img src='http://ads.hukumonline.com/www/delivery/avw.php? zoneid=13&amp;cb=INSERT_RANDOM_NUMBER_HERE&amp;n=a0c96e08' border='0' alt='' /></a> Berita Terbaru Prostitusi Online Tidak Bisa Dikenakan UU ITE Novel Baswedan Berencana Ajukan Praperadilan Polri Tangkap Novel Karena Didesak Kejaksaan Mahasiswa FH Unlam Berunjuk Rasa UUD 45 Ditegakkan untuk Buruh FH Unand Bersama FHUI Gelar Workshop Klinik Hukum Jika Novel Tetap Ditahan, Pimpinan KPK 'Ancam' Mundur Dinilai Tak Demokratis, UU Pilkada Kembali Digugat ke MK Otto Hasibuan: UU Contempt of Court Akan Mendidik Advokat Tim Pengacara Sulit Temui Novel Baswedan Tim Ekonomi Jokowi Dinilai Tak Kompeten Indeks Berita

Transcript of Hukuman Mati

Page 1: Hukuman Mati

Ikuti kami: English

Minggu, 3 Mei 2015

Awal Berita Pusat Data Klinik » Talks » Karier Produk dan Jasa English

<a href='http://ads.hukumonline.com/www/delivery/ck.php?n=a0c96e08&amp;cb=INSERT_RANDOM_NUMBER_HERE' target='_blank'><img src='http://ads.hukumonline.com/www/delivery/avw.php?zoneid=13&amp;cb=INSERT_RANDOM_NUMBER_HERE&amp;n=a0c96e08' border='0' alt='' /></a>

Berita Terbaru

Prostitusi Online Tidak Bisa Dikenakan UU ITE Novel Baswedan Berencana Ajukan Praperadilan Polri Tangkap Novel Karena Didesak Kejaksaan Mahasiswa FH Unlam Berunjuk Rasa UUD 45 Ditegakkan untuk Buruh FH Unand Bersama FHUI Gelar Workshop Klinik Hukum Jika Novel Tetap Ditahan, Pimpinan KPK 'Ancam' Mundur Dinilai Tak Demokratis, UU Pilkada Kembali Digugat ke MK Otto Hasibuan: UU Contempt of Court Akan Mendidik Advokat Tim Pengacara Sulit Temui Novel Baswedan Tim Ekonomi Jokowi Dinilai Tak Kompeten

Indeks Berita

<a href='http://ads.hukumonline.com/www/delivery/ck.php?n=a137b0da&amp;cb=INSERT_RANDOM_NUMBER_HERE' target='_blank'><img src='http://ads.hukumonline.com/www/delivery/avw.php?zoneid=14&amp;cb=INSERT_RANDOM_NUMBER_HERE&amp;n=a137b0da' border='0' alt='' /></a> <a href='http://ads.hukumonline.com/www/delivery/ck.php?n=acc2db6a&amp;cb=INSERT_RANDOM_NUMBER_HERE' target='_blank'><img

Page 2: Hukuman Mati

src='http://ads.hukumonline.com/www/delivery/avw.php?zoneid=15&amp;cb=INSERT_RANDOM_NUMBER_HERE&amp;n=acc2db6a' border='0' alt='' /></a> Kamis, 19 April 2007 Saling Adu Ahli dalam Sidang UU NarkotikaMeski sama-sama menganggap sebagai kejahatan yang serius, tapi untuk urusan jenis hukumannya, para ahli berbeda pendapat.IHW Dibaca: 4397 Tanggapan: 4

Ruang sidang Mahkamah Konstitusi hari Rabu (18/4) seakan menjadi ajang debat bagi para ahli hukum, baik yang berprofesi sebagai akademisi maupun praktisi. Isu yang menjadi bahan perdebatan adalah masih layak atau tidakkah pidana mati dicantumkan dalam UU No 22 Tahun 1997 tentang Narkotika. Seperti pernah diberitakan sebelumnya, MK saat ini sedang menguji permohonan uji materil UU Narkotika, khususnya pasal yang mengatur pidana mati terhadap terpidana kasus narkotika. Agenda sidang adalah mendengarkan keterangan ahli yang diajukan para pihak. Pihak pemohon mengajukan Philip Alston, JE Sahetapy dan Rachland Nashidik sebagai ahli. Sedangkan pihak Pemerintah dan Badan Narkotika Nasional (BNN) menghadirkan Achmad Ali, Rudi Satriyo, Brigjen Pol (Purn) Jeane Mandagi dan Henry Yosodiningrat. Philip Alston, Special Rapporteur PBB, melalui teleconference, memulai perdebatan dengan mengutarakan bahwa di beberapa negara seperti Zimbabwe, Yugoslavia dan Rwanda hukuman mati sudah dihapuskan. China dan Korea Selatan, kata Alston, juga akan menghapusnya. Saya berharap itu juga terjadi di Indonesia, tuturnya. Namun demikian, lanjut Alston, komunitas internasional sudah bersepakat untuk menyatakan bahwa hukuman mati pantas diberikan kepada pelaku kejahatan yang tergolong serius, yang berujung pada penghilangan nyawa orang. Atas keterangan Alston, Abdul Rahman Saleh, Jaksa Agung yang mewakili pemerintah, tidak mau mengajukan pertanyaan apa pun. Bahkan Arman, nama sapaan Jaksa Agung, menyatakan bahwa beberapa pendapat Alston malah menguatkan untuk keberadaan hukuman mati di Indonesia. Beliau (Alston) malah mengakui bahwa kepada negara-negara diberikan pilihan untuk tetap mempertahankan atau malah menghapuskan hukuman mati, terang Arman. Selain itu, ia berpendapat berdasarkan keterangan Alston, tidak ada negara yang mendapat sanksi dari dunia internasional jika tetap mempertahankan hukuman mati. Hanya himbauan moral saja, ujarnya Saat ditanya oleh Harjono, salah seorang panel hakim, mengenai dapatkah kejahatan peredaran gelap narkotika diklasifikasikan ke dalam kejahatan berat, Alston menjelaskan kejahatan peredaran gelap narkotika pantas untuk dikenakan hukuman yang berat, tapi bukan hukuman mati. Karena kejahatan narkotika tidak mengakibatkan kematian secara langsung, kata Alston. 

Page 3: Hukuman Mati

Prof. J.E Sahetapy, menyatakan bahwa hukuman mati bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila. Hukuman mati jangan hanya dipandang dari sisi positivistik-legalistik. Coba pahami dari sudut pandang kriminologi-viktimologi, ujar Ketua Komisi Hukum Nasional ini.  Dari sudut pandang kriminologi, Sahetapy mempertanyakan sejauh mana efektifitas hukuman mati terhadap penegakkan hukum. Sedangkan secara sosiologis, Sahetapy berpendapat bahwa masalah peredaran narkotika harus juga dikaitkan dengan motif yang ada di belakangnya. Berdasarkan fakta yang sering kita lihat di media, sebagian besar pengedar narkotika diakibatkan oleh kemiskinan. Jadi tidak ada niat untuk menghancurkan generasi muda dan sebagainya, tuturnya. Henry Yosodiningrat, yang juga Ketua Umum DPP Gerakan Anti Narkotika (Granat) itu, membantah pernyataan Sahetapy. Menurutnya, ancaman hukuman mati hanya dikenakan kepada pengedar narkotika yang terkait dalam sindikat pengedar yang lebih besar. Sedangkan pada pengedar biasa yang motifnya memang benar-benar sekedar untuk mengisi perut, ancaman hukumannya tidak seperti itu (hukuman mati, red), kata Henry kepada hukumonline. Jeane Mandagi yang merupakan konsultan ahli Badan Narkotika Nasional (BNN) menguatkan pendapat Henry. Jeane mengatakan, berdasarkan Pasal 80 jo Pasal 81 jo Pasal 82 UU No 22 tahun 1997 tentang Narkotika, ancaman hukuman mati hanya dikenakan kepada mereka yang memproduksi, mengedarkan, menjual narkotika golongan I saja. Sedangkan terhadap narkotika golongan II dan III, ancaman hukuman mati tidak diberlakukan. Penjelasan Pasal 2 UU NarkotikaNarkotika Golongan I adalah narkotika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan.Narkotika Golongan II adalah narkotika yang berkhasiat pengobatan digunakan sebagai pilihan terakhir dan dapat digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi tinggi mengakibatkan ketergantungan.Narkotika Golongan III adalah narkotika yang berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi dan/atau tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan ketergantungan.

 Lebih jauh, Jeane mengatakan bahwa UU Narkotika tidak lahir dengan sendirinya. UU Narkotika ternyata merupakan undang-undang hasil harmonisasi terhadap Konvensi PBB tentang Pemberantasan Peredaran Gelap Narkotika dan Psikotropika tahun 1988, yang sebelumnya sudah diratifikasi melalui UU No 7 Tahun 1977.  Rudi Satriyo, ahli Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI) menilai pidana mati masih dibutuhkan dalam sistem hukum di Indonesia. Hukuman mati berfungsi untuk memberikan efek jera kepada anggota masyarakat yang lain, tutur Rudi. Selain itu, sambung Rudi, pidana mati memiliki manfaat secara sosiologis yaitu melindungi masyarakat dari kejahatan. 

Page 4: Hukuman Mati

Di penghujung persidangan, Rachlan Nashidik membuat sebuah testimoni bahwa dirinya dan salah seorang anggota keluarganya pernah menjadi korban dari kejahatan Narkotika. Oleh karenanya ia sangat sependapat bahwa penegakkan hukum terhadap kejahatan narkotika harus benar-benar dilakukan. Tapi bukan dengan hukuman mati. Karena hak seseorang untuk hidup adalah hak asasi yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun, tandasnya. 

Page 5: Hukuman Mati

PENDAHULUAN

LATAR BELAKANG PERMASALAHAN.

Pergumulan antara membangun dan merusak adalah pergumulan abadi yang tak berujung, adalah pergumulan antara permusuhan dan kebencian diantara kehidupan manusia, diantara negara, suku, antara keluarga bahkan antar saudara. Permusuhan ini kembali kepada kebutuhan atau hajat manusia itu sendiri untuk berkuasa dan memiliki sehingga terjadi konfrontasi antara instink untuk hidup dan cinta (Eros) dan instink merusak dan membunuh (thenatos), yaitu pergumulan yang bertolak dari dua macam sumber emosional, yaitu sifat membangun dan sifat menghancurkan yang saling bertolak belakang sehingga menjadi fenomenial kehidupan jiwa manusia yang unik yaitu fenomena kontradiksi kejiwaan (ambivalence).Kontroversi hukuman mati sudah sejak lama ada dihampir seluruh masyarakat dan Negara di dunia. Indonesia pun tak luput dari kontraversi ini. Sampai hari ini pihak yang pro hukuman mati dan yang kontra hukuman mati masih silang sengketa. Masing-masing datang dengan rasional dan tumpukan bukti yang berseberangan dan dalam banyak hal seperti mewakili kebenaran itu sendiri.Sejak dahulu bahwa masyarakat yunani kuno, romania, peradaban Mesir dan Persia semuanya mempraktekkan hukuman mati, dan ini tidak dilaksanakan pada tindakan kriminal sadis saja, bahkan juga diberlakukan pada pelanggaran yang cukup berbahaya seperti pencurian dan praktek sihir. Ditambah kemudian bahwa masyarakat tersebut mempraktekkan hukuman mati itu pada pelanggaran yang berhubungan dengan pelanggaran perdagangan seperti monopoli dan menaikkan harga makanan pokok sebagaimana Mesir kuno menghukum mati yang melakukan pelanggaran ini dan juga kepada dokter yang melakukan malpraktek atau gagal dalam menyembuhkan pasiennya.Dilain pihak banyak golongan yang anti hukuman mati dengan alasan bahwa hukuman ini tidak berhasil menciptakan efek jera, dan banyak terjadinya eksekusi hukuman mati dan dikemudian hari terpidana terbukti bukan sebagai pelaku sebenarnya. Sejak 1973, 123 terpidana mati dibebaskan di AS setelah ditemukan bukti baru bahwa mereka tidak bersalah atas dakwaan yang dituduhkan kepada mereka. Dari jumlah itu 6 kasus di tahun 2005 dan 1 kasus di tahun 2006. Beberapa diantara mereka dibebaskan di saat-saat terakhir akan dieksekusi. Kesalahan-kesalahan ini umumnya terkait dengan tidak bekerja baiknya aparatur kepolisian dan kejaksaan, atau juga karena tidak tersedianya pembela hukum yang baik.Di Indonesia sudah puluhan orang dieksekusi mati mengikuti sistem KUHP peninggalan kolonial Belanda. Bahkan selama Orde Baru korban yang dieksekusi sebagian besar merupakan narapidana politik.Walaupun amandemen kedua konstitusi UUD ’45, pasal 28 ayat 1, menyebutkan: “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di depan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun”, tapi peraturan perundang-undangan dibawahnya tetap mencantumkan ancaman hukuman mati.Kelompok pendukung hukuman mati beranggapan bahwa bukan hanya pembunuh saja yang punya hak untuk hidup dan tidak disiksa. Masyarakat luas juga punya hak untuk hidup dan tidak disiksa. Untuk menjaga hak hidup masyarakat, maka pelanggaran terhadap hak tersebut patut dihukum mati.

Page 6: Hukuman Mati

Hingga 2006 tercatat ada 11 peraturan perundang-undangan yang masih memiliki ancaman hukuman mati, seperti: KUHP, UU Narkotika, UU Anti Korupsi, UU Anti terorisme, dan UU Pengadilan HAM. Daftar ini bisa bertambah panjang dengan adanya RUU Intelijen dan RUU Rahasia Negara.Di Indonesia, sejumlah perundangan menetapkan adanya hukuman mati pada para pelaku kasus pidana. Beberapa vonis mati pernah dijatuhkan hakim antara lain:• Kolonel Laut (S) M. Irfan Djumroni. Dia divonis mati oleh Majelis Hakim Pengadilan Militer Tinggi (Dilmilti) III-Surabaya pada 2 Februari 2006. Dia dipecat dari kesatuan TNI-AL karena membunuh isterinya Ny Eka Suhartini dan Ahmad Taufik SH, hakim pada Pengadilan Agama Sidoarjo, pada 21 September 2005 bersamaan sidang putusan gono gini perceraiannya di Pengadilan Agama Sidoarjo. Dia dinilai melanggar pasal 340 KUHP tentang pembunuhan berencana, pasal 351 KUHP tentang pembunuhan, dan melanggar UU Nomor 12 tahun 1951 tentang kepemilihan senjata tanpa izin.• Fabianus Tibo, Dominggus da Silva, dan Marinus Riwu. Dijatuhi vonis mati pada April 2001 di Pengadilan Negeri Palu, dan ditegaskan kembali dengan Pengadilan Tinggi Sulawesi Tenggara pada 17 Mei 2001. Pengadilan memutuskan bahwa mereka bersalah atas tuduhan pembunuhan, penganiayaan, dan perusakan di tiga desa di Poso, yakni Desa Sintuwu Lemba, Kayamaya, dan Maengko Baru. Kasus vonis mati mereka menimbulkan banyak kontroversi sehingga menyebabkan rencana vonis mati mereka tertunda beberapa kali. Ketiganya dieksekusi mati pada dinihari 22 September 2006 di Palu.

Merespons permasalahan pro kontra efektif atau tidak efektifnya hukuman mati maka perlu peninjauan secara cermat apakah hukuman mati masih perlu dicantumkan dalam undang-undang positif kita, untuk itu penulis mencoba mengemukakan permasalahan ini dalam sudut pandang antara Hukuman Mati, HAM dan nilai-nilai filosofis Pancasila.

TINJAUAN PUSTAKA

1. PROBLEMATIKA PIDANA MATI.

Pidana mati suatu pidana yang memiliki ciri yang khas, bersifat istimewa, dan berbeda dengan jenis pidana pokok lainnya. Pidana mati sekali dijalankan, tidak mungkin untuk diubah atau diperbaiki lagi, jika ternyata ada kekeliruan ataupun kekhilafan atau ditemukan unsur “novum” (baru) dalam kasus tersebut. Dengan perkataan lain, sekali eksekusi pidana mati telah dijalankan, orang yang sudah kehilangan nyawa itu, tidak mungkin dihidupkan lagi. Ilmu kedokteran yang canggih apapun tidak mungkin bisa menghidupkan orang yang telah ditembak mati.Problematika eksekusi pidana mati ada yang pro dan ada pula yang kontra. Sesungguhnya kontroversi tentang pidana mati sudah dimulai lebih kurang sejak abad ke-17. pada waktu itu di Inggris si pencopet, bahkan anak baru gede yang mencuri sendok teh pun di pidana mati.Pidana mati dahulu kala lazimnya dilakukan “extra mural”. Artinya, dilaksanakan di luar tembok penjara. Pada waktu itu bentuk pelaksanaan pidana mati melalui tiang gantungan dengan seorang algojo sebagai pelaksana. Pidana mati diselenggarakan dilapangan terbuka dengan harapan agar pidana mati berupa di gantung di tiang gantungan akan dijadikan semacam “deterrent” alias menakutkan calon penjahat. Akan tetapi, apa yang terjadi berdasarkan literatur sejarah pidana mati, ketika kerumunan orang banyak datang untuk menyaksikan penggantungan sang pencopet, para pencopet lainnya tidak takut, tetapi memakai kesmpatan itu dengan menggerayangi saku

Page 7: Hukuman Mati

para penonton yang tengah asyik menikmati bagaimana maut datang merampas nyawa si terpidana.Tidaklah mengherankan jika pada abad ke-18 seorang hakim pidana di Inggris ketika menjatuhkan pidana mati terhadap seorang pencuri kuda mengucapkan di depan sidang pengadilan: “kamu (sipencuri kuda) akan digantung sebagai penghukuman atas perbuatan pencurian, bukan karena kamu mencuri kuda, melainkan agar dimasa depan kuda-kuda tidak akan dicuri lagi.” Namun apa lacur? Kuda-kuda tetap di curi sampai sekarang.Di Amerika Serikat pidana mati juga merupakan isu yang kontroversial, apalagi menjelang pemilihan umum. Di negara bagian yang melaksanakan pidana mati jika dibandingkan dengan negara bagian yang tidak mengenal pidana mati, tidak ada perubahan yang mencolok tentang angka kejahatan. Dengan perkataan lain, frekuensi yang bertalian dengan kejahatan dengan ancaman pidana mati tidak mempunyai pengaruh atau implikasi yang segnifikan.Bagaimana dengan kita di Indonesia? Pidana mati sudah merupakan suatu ketentuan hukum positif. Di Belanda sebagai negara penjajah pidana mati sudah dihapuskan sejak 1870. Di Indonesia (Hindia Belanda) pidana mati dipertahankan dengan pertimbangan kolonial. Kini bergantung pada kemandirian para hakim dengan kebebasan yang dibatasi undang-undang dan dengan berpedoman pada hati nurani untuk menentukan akan dijatuhkan pidana mati atau tidak. Penelitian secara kriminologis menunjukkan bahwa efek menakutkan dari pidana mati tidak ada. Pada zaman Soeharto dilaksanakan apa yang dinamakan “petrus” alias penembakan misterius secara arbitrer terhadap para penjahat tanpa proses peradilan yang berdasarkan “rule of law”. Penguasa pada waktu itu dengan asumsi atau indikasi mereka yang bertato atau yang mempunyai “track record” sebagai residivis, lazimnya dijemput dari rumah mereka pada waktu malam dan kemudian ditembak oleh aparat keamanan.Tidak ada yang mau mengaku siapa yang bertanggung jawab pada waktu itu. Orang hanya menduga saja. Dan meskipun kemudian ada yang mengakui, kasus petrus dan matius (alias mati misterius) hilang begitu saja. Padahal, dari segi HAM hal seperti itu perlu diungkapkan sekedar sebagai catatan sejarah hukum rimba yang kelam. Akibat dari petrus memang ada efek psikologis, tetapi itu tidak bertahan lama sebab bagaimanapun manusia tidak mungkin hidup terus dalam ancaman dengan duduk diatas bayonet bedil.Akan tetapi bagaimana dengan kejahatan terorisme dan narkoba? Ini begantung pada kebijakan (politik), selain para hakim yang sudah disinggung diatas, bergantung pula sampai sejauh mana “wisdom” dari presiden yang memiliki kata akhir dalam soal grasi dalam pelaksanaan pidana mati, kalau masih ada wisdom itu.Kejahatan terorisme dilakukan berdasarkan suatu keyakian tertentu. Oleh karena itu, para teroris tidak akan gentar terhadap ancaman pidana mati. Patah tumbuh, hilang berganti. Berlainan mungkin dengan kejahatan narkoba. Orang yang melakukan kejahatan narkoba tidak memiliki keyakinan politik dibandingkan dengan seorang teroris. Motivasi mereka berlainan.Dalam pada itu, membasmi narkoba dengan pidana mati melalui hukum pidana sah-sah saja, tetapi tidak akan menyelesaikan persoalan. Bandingkan Malaysia dan Singapura. Untuk itu, menurut hemat saya harus disosialisasikan sejak dari SD, SMP, sampai SMU betapa bahayanya serta merusak fisik dan masa depan mereka yang menggunakan narkoba. Hukum pidana bisa saja digunakan sebagai “ultimum remedium” atau sarana terakhir, terlepas dari pro dan kontra menggunakan pidana mati. Dari aspek kriminologi, pidana mati, baik sebagai sarana retributif maupun sebagai sarana ‘deterent’ tidak akan menyelesaikan persoalan. Lagi pula, badan-badan internasional pada umumnya menolak diterapkannya pidana mati. (Quo vadis pidana mati).Dahulu kala, hukuman mati dipandang sebagai semacam “shock therapy” agar kejahatan serupa

Page 8: Hukuman Mati

tidak dilakukan oleh orang lain. Pandangan ini masih dianut sampai sekarang oleh banyak ahli hukum dan filsafat. Dengan menjatuhkan hukuman mati maka dipastikan orang lain akan menjadi jera dan tidak melakukannya. Tetapi pandangan ini tidak menunjukkan korelasi yang signifikan antara penjatuhan hukuman mati dan berkurangnya tindak kriminalitas yang diancam dengan hukuman mati. Di Indonesia misalnya, hukuman mati yang diberikan kepada pelaku kejahatan narkoba kelas kakap tidak serta merta membuat kejahatan narkoba langsung menurun secara drastis.Fakta sejarah menunjukkan bahwa hukum itu tidak sempurna. Banyak kita lihat, baik di Indonesia maupun di seluruh dunia, kasus terhukum yang diubah hukumannya setelah mendapat bukti-bukti baru. Kasus Pakde di tahun 80-an yang saat itu terbukti bersalah membunuh artis Suzana, yang kemudian dibebaskan bertahun-tahun kemudian, karena ada bukti-bukti baru dan terjadinya kesalahan proses peradilan masa itu, yang menunjukkan bahwa Pakde tidak bersalah. Pelaksanaan hukuman mati menyebabkan revisi terhadap fakta ini tidak bisa terjadi, karena sang terhukum sudah terlanjur mati (dan kenyataan ini pernah terjadi di Amerika, di mana ditemukan seseorang ternyata tidak bersalah terhadap suatu kasus, padahal orang tersebut sudah terlanjur dihukum mati).Ada empat analisis utama dalam pemberian hukuman dalam yurisprudensi hukum di dunia, tiga diantaranya adalah : (1) analisis literal yang menganggap bahwa jenis hukuman yg harus dilarang adalah hukuman yg membawa penderitaan fisik yang parah, (2) anlisis historis yang menganggap hukuman yg harus dilarang adalah hukuman yg dianggap kejam dan tidak manusiawi, (3) analisis konsensus, bahwa jenis hukuman yg harus dilarang adalah yg bertentangan dgn kesadaran MORAL warga negara. Kalau kita menempatkan hukuman mati dalam analisis hukum yurisprudensi seperti diatas, maka hukuman mati selayaknya dilarang secara hukum.Semua orang wajib menghargai hidup orang lain, tapi bertindak sebaliknya tidak otomatis menyebabkan dia tercabut hak hidupnya karena hak hidup diberikan oleh Tuhan, maka selayaknya dicabut oleh Tuhan. Tanggung jawab si pembunuh adalah pada Tuhan, dan kewajiban manusia yang lain yang maksimal adalah dengan membuat pembunuh ini tidak mengulangi perbuatannya pada manusia lain, tanpa berhak mencabut hak hidupnya.

2. MENIMBANG EKSESTENSI HUKUMAN MATI.

Beberapa kelompok yang saya sebutkan pada uraian diatas menginginkan penghapusan hukuman mati dengan alasan hukuman mati tidak manusiawi. Namun mereka lupa bahwa hukuman mati itu hanya dikenakan pada penjahat yang memang sadis seperti memperkosa dan membunuh korbannya. Jika mereka tidak membunuh orang yang tidak berdosa, niscaya tidak akan dijatuhkan hukuman mati.Jika hukuman mati dihapuskan, maka para pembunuh sadis (dan juga pengacaranya) akan bergembira ria. Mereka tidak akan segan-segan untuk membunuh orang karena toh hukumannya juga ringan. Toh dipenjara beberapa tahun juga bebas. Akibatnya kejahatan yang sadis seperti pembunuhan, perampokan, perkosaan akan merajalela. Toh hukumannya sangat ringan.Jika hukuman mati diterapkan, masyarakat akan merasa aman. Karena para calon pembunuh akan berpikir 7 kali untuk membunuh korbannya. Jika mereka membunuh, mereka akan dihukum mati. Seandainya mereka nekat membunuh dan dihukum mati, niscaya itu adalah pembunuhan terakhir yang mereka lakukan. Mereka tidak akan bisa membunuh lagi. Tidak akan ada istilah penjahat kambuhan/residivis bagi pembunuh. Oleh karena itu Allah menyatakan hidup akan

Page 9: Hukuman Mati

aman dengan adanya qishaash:”Dan dalam qishaash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa.” [Al Baqarah:179]Dalam Alkitab sendiri sebenarnya diperintahkan hukuman mati untuk pembunuh:”Janganlah engkau merasa sayang kepadanya, sebab berlaku: nyawa ganti nyawa, mata ganti mata, gigi ganti gigi, tangan ganti tangan, kaki ganti kaki.” [Ulangan 19:21]Di bawah terdapat beberapa artikel media massa yang menunjukkan kebiadaban para penjahat seperti pembunuh yang memperkosa dan membunuh anak kecil di depan ibu kandungnya. Jika hukuman mati dihapuskan, niscaya para penjahat macam itu akan gembira dan kejahatan akan merajalela karena tidak ada lagi hukuman mati. Yang ada adalah hukuman ringan berupa tempat tinggal dan makan gratis di penjara. Olehnya itu kita perlu berpikir lebih bijak lagi tentang eksestensi hukuman mati dalam perundang-undangan kita. Berikut beberapa artikel berita dari beberapa jurnal berita tentang tindakan sadis terhadap korbannya dan pendapat para ahli hukum yang pro hukuman mati:Perkosa dan Bunuh Anak di Depan Ibu KandungnyaSinar Indonesia Baru. Atia Hulu dibunuh Yafonaso Laia dengan menggunakan tombak di rumah terpidana sendiri di Desa Hiliimbou, Gumo, Nisel (Nias Selatan) Kamis malam (16/11/2006) sekira pukul 23.30 WIB. Sebelum dibunuh korban 2 (dua) kali diperkosa di hadapan ibu kandungnya. Pertama tgl 13/11/2006 kedua tgl 15/11/2006. Marina Hulu (15) kakak korban juga diperkosa 4 (empat) kali juga disaksikan ibu kandungnya.

Perampok Perkosa Korban di Depan AnaknyaKompas Rabu, 22 Oktober 2003Seorang perampok yang menyatroni rumah korban pada hari Senin sekitar pukul 22.30 bertindak keterlaluan. Dia tidak hanya menjarah perhiasan yang melekat di tubuh Jry dan mengobrak-abrik lemari pakaian, tetapi juga memerkosa Jry di depan anak dan ibu mertuanya.Remaja Rampok dan Bunuh Supir TaksiSelasa, 08 Agustus 2006 | 12:42 WIBTEMPO Interaktif, Jakarta:Sepasang remaja berusia 17 tahun merampok dan membunuh seorang supir Koperasi Taksi di Cilandak, Jakarta Timur, dini hari ini. Korban, Marsudi, dijerat lehernya dengan kawat dan digorok menggunakan pisau cutter.Tiga Remaja Putri di Bekasi Diperkosa secara BergiliranBekasi, Kompas Kamis, 04 September 2003– Tiga remaja putri, W (17), A (14), siswa kelas dua SMP, dan E (16), warga Kawasan Pondok Ungu Permai, Bekasi Utara, mengaku diperkosa secara bergiliran oleh beberapa tukang ojek yang mereka kenal di sekitar Danau Candrabaga, Kompleks Kavling Taman Wisata, Desa Bahagia, Babelan, Kabupaten Bekasi.Pemuda Perkosa dan Bunuh Nenek-NenekBANJARMASIN, SABTU – Seorang pemuda di Kabupaten Hulu Sungai Tengah (HST) Kalimantan Selatan (Kalsel) Tursam alias Atur (24) tega melakukan pemerkosaan dan pembunuhan terhadap seorang nenek berusia enam puluh tahun yang masih merupakan tetangga tersangka.“If we execute murderers and there is in fact no deterrent effect, we have killed a bunch of murderers. If we fail to execute murderers, and doing so would in fact have deterred other murders, we have allowed the killing of a bunch of innocent victims. I would much rather risk

Page 10: Hukuman Mati

the former. This, to me, is not a tough call.”John McAdams – Marquette University/Department of Political Science, on deterrenceJika kita menghukum mati para pembunuh dan ternyata tidak ada efek menggentarkan bagi calon pembunuh lain, kita telah membunuh segerombolan pembunuh.Jika kita tidak menghukum mati para pembunuh dan ternyata menghukum mati mereka akan membuat takut calon pembunuh untuk membunuh, berarti kita membiarkan pembunuhan warga yang tidak berdosa. Saya lebih memilih yang pertama. Bagiku, ini bukan pilihan yang sulitJohn McAdams – Marquette University/Department of Political Science, on deterrence“Hukuman mati itu bukan ciptaan manusia, namun ciptaan pencipta manusia.Maka oleh karenanya kita sebagai manusia yang diciptakan-Nya tidak berhak untuk menghapusnya”. (Hamami – simpatisan pro hukuman mati).

3. TAFSIR MAHKAMAH KONSTITUSI: HUKUMAN MATI TIDAK BERTENTANGAN DENGAN UUD 1945.

Tafsir UUD 1945 oleh Mahkamah Konstusi terkait dengan konstitusionalitas “Hukuman Mati” yang telah ditunggu lama akhirnya tiba juga. Berikut merupakan kutipan berita resmi yang diturunkan oleh Mahkamah dari ruang persidangan sesaat setelah palu Majelis diketukkan sebagai tanda diputusnya perkara dengan sifat final dan binding.Ketentuan Pasal 80 ayat (1) huruf a, ayat (2) huruf a, ayat (3) huruf a; Pasal 81 ayat (3) huruf a; Pasal 82 ayat (1) huruf a, ayat (2) huruf a, dan ayat (3) huruf a UU Narkotika, sepanjang mengenai ancaman pidana mati, tidak bertentangan dengan Pasal 28A dan Pasal 28I ayat (1) UUD 1945.Hal tersebut dinyatakan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam sidang pembacaan putusan permohonan pengujian UU No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika (UU Narkotika) yang diajukan para Pemohon perkara 2/PUU-V/2007 (Edith Yunita Sianturi, Rani Andriani, Myuran Sukumaran, Andrew Chan) dan Pemohon perkara 3/PUU-V/2007 (Scott Anthony Rush), Selasa (30/10) di Ruang Sidang MK. Para Pemohon yang sebagian merupakan warga negara asing yang telah dipidana mati tersebut merasa hak konstitusionalnya terlanggar dengan adanya ancaman pidana mati dalam UU Narkotika.Dalam konklusinya, terkait dengan kedudukan hukum (legal standing) pemohon warga negara asing tersebut, MK menyatakan bahwa para Pemohon yang berkewarganegaraan asing tidaklah mempunyai kedudukan hukum, sehingga permohonan Myuran Sukumaran, Andrew Chan dan Scott Anthony Rush tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard).Menanggapi argumentasi pokok yang diajukan para Pemohon bahwa pidana mati bertentangan dengan hak untuk hidup (right to life) yang menurut rumusan Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 merupakan salah satu hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun, MK mendasarkan pada original intent pembentuk UUD 1945 yang menyatakan bahwa hak asasi manusia dapat dibatasi. Hal ini diperkuat pula dengan penempatan Pasal 28J sebagai pasal penutup dari seluruh ketentuan yang mengatur tentang hak asasi manusia dalam Bab XA UUD 1945. Jadi, secara penafsiran sistematis (sistematische interpretatie), hak asasi manusia yang diatur dalam Pasal 28A sampai dengan Pasal 28I UUD 1945 tunduk pada pembatasan hak asasi manusia yang diatur dalam Pasal 28J UUD 1945.Ketidakmutlakan hak untuk hidup (right to life), baik yang berwujud ketentuan-ketentuan yang membolehkan diberlakukannya pidana mati dengan pembatasan-pembatasan tertentu ataupun ketentuan-ketentuan tentang penghilangan nyawa secara absah, dapat juga ditemukan dalam sejumlah instrumen hukum internasional yang mengatur tentang atau berkait dengan hak asasi

Page 11: Hukuman Mati

manusia, di antaranya, International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR), Protocol Additional I to the 1949 Conventions and Relating to the Protection of Victims of International Armed Conflict, Protocol Additional II to the 1949 Conventions and Relating to the Protection of Victims of Non-International Armed Conflict, Rome Statute of International Criminal Court, Convention for the Protection of Human Rights and Fundamental Freedoms (European Convention on Human Rights), American Convention on Human Rights, Protocol No. 6 to the Convention for the Protection of Human Rights and Fundamental Freedoms Concerning the Abolition of the Death Penalty.Sebagai contoh, ICCPR yang digunakan para Pemohon untuk mendukung dalil-dalilnya, tidaklah melarang negara-negara pihak (state parties) untuk memberlakukan pidana mati, tetapi ada pembatasan diberlakukan hanya terhadap kejahatan-kejahatan yang paling serius sesuai dengan hukum yang berlaku pada saat dilakukannya kejahatan tersebut (the most serious crimes in accordance with the law in force at the time of the commission of the crime..) [Pasal 6 ayat (2) ICCPR]. Artinya, dengan dimungkinkannya suatu negara memberlakukan pidana mati (meskipun dengan pembatasan-pembatasan), hal itu merupakan bukti bahwa hak untuk hidup tidaklah bersifat mutlak.Terkait dengan itu, MK menyatakan bahwa kejahatan-kejahatan yang diatur dalam Pasal 80 ayat (1) huruf a, ayat (2) huruf a, dan ayat (3) huruf a; Pasal 81 ayat (3) huruf a; serta Pasal 82 ayat (1) huruf a, ayat (2) huruf a, dan ayat (3) huruf a UU Narkotika tergolong ke dalam kelompok kejahatan yang paling serius baik menurut UU Narkotika maupun menurut ketentuan hukum internasional yang berlaku pada saat kejahatan tersebut dilakukan. Dengan demikian, kualifikasi kejahatan pada pasal-pasal UU Narkotika di atas dapat disetarakan dengan “the most serious crime” menurut ketentuan Pasal 6 ICCPR.MK juga memberikan beberapa catatan penting, sebagaimana dituangkan dalam pertimbangan hukum putusan, salah satunya adalah ke depan, dalam rangka pembaruan hukum pidana nasional dan harmonisasi peraturan perundang-undangan yang terkait dengan pidana mati, maka perumusan, penerapan, maupun pelaksanaan pidana mati dalam sistem peradilan pidana di Indonesia hendaklah memperhatikan dengan sungguh-sungguh: bahwa pidana mati bukan lagi merupakan pidana pokok, melainkan sebagai pidana yang bersifat khusus dan alternatif; pidana mati dapat dijatuhkan dengan masa percobaan selama sepuluh tahun yang apabila terpidana berkelakuan terpuji dapat diubah dengan pidana penjara seumur hidup atau selama 20 tahun; pidana mati tidak dapat dijatuhkan terhadap anak-anak yang belum dewasa; eksekusi pidana mati terhadap perempuan hamil dan seseorang yang sakit jiwa ditangguhkan sampai perempuan hamil tersebut melahirkan dan terpidana yang sakit jiwa tersebut sembuh. Selain itu, demi kepastian hukum yang adil, MK juga menyarankan agar semua putusan pidana mati yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde) segera dilaksanakan.Terhadap putusan ini, empat orang Hakim Konstitusi mempunyai pendapat berbeda (dissenting opinions). Pendapat berbeda Hakim Konstitusi H. Harjono khusus mengenai kedudukan hukum (legal standing) Pemohon Warga Negara Asing. Hakim Konstitusi H. Achmad Roestandi mempunyai pendapat berbeda mengenai Pokok Permohonan. Sedangkan Hakim Konstitusi H.M. Laica Marzuki dan Hakim Konstitusi Maruarar Siahaan mempunyai pendapat berbeda baik mengenai kedudukan hukum (legal standing) maupun Pokok Permohonan.Pertanyaannya sekarang, apakah rezim hukuman mati di Indonesia sudah pasti terus bertahan? Jawabannya adalah iya dan tidak. “Iya” karena hukuman mati dapat dijatuhkan dengan syarat-syarat khusus dan spesifik, dan “Tidak” karena Mahkamah hanya memutuskan konstitusionalitas Hukuman Mati pada UU Narkotika. Bagaimana dengan ketentuan hukuman mati pada UU

Page 12: Hukuman Mati

lainnya, misalnya dalam KUHP atau UU Darurat? Mulai saat ini, pertimbangan hukum Mahkamah dapat dijadikan senjata pamungkas untuk memangkas berbagai ketentuan hukuman mati di berbagai UU yang tidak sesuai dengan tafsir Mahkamah.

4. HUKUMAN MATI TETAP BERLAKU

Hukuman mati masih tetap berlaku di Indonesia. Mahkamah Konstitusi atau MK menegaskan, hukuman mati tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945. Pencantuman pidana mati dalam UU Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika telah dirumuskan dengan hati-hati dan cermat.Permohonan pengujian pasal hukuman mati dalam UU Narkotika diajukan dua warga negara Indonesia, Edith Yunita Sianturi dan Rani Andriani alias Melisa Aprilia, serta tiga warga negara Australia, Myuran Sukumaran, Andrew Chan, dan Scott Anthony Rush. Warga Australia itu, yang termasuk kelompok Bali Nine, tertangkap dan dihukum mati karena menyelundupkan heroin.Sidang dihadiri kuasa hukum pemohon, antara lain Denny Kailimang dan Todung Mulya Lubis, sejumlah pejabat, serta Ketua Badan Narkotika Nasional I Made Mangku Pastika.Putusan MK dalam perkara ini terbelah dua. Enam hakim konstitusi menilai hukuman mati tetap berlaku, sedangkan tiga hakim lainnya, yakni Laica Marzuki, Achmad Roestandi, dan Maruarar Siahaan, mengabulkan permohonan agar pasal hukuman mati itu dicabut.Dalam putusannya, MK mempersoalkan kedudukan hukum (legal standing) pemohon sebagai warga negara asing dan substansi hukuman mati. Mayoritas hakim konstitusi menilai warga negara asing tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan pengujian atas UU terhadap UUD.Namun, tiga hakim konstitusi, yakni Harjono, Maruarar, dan Laica, berpendapat warga negara asing berhak mengajukan pengujian UU di Indonesia. Ini berlandaskan pada frasa “setiap orang berhak…” yang tercantum dalam Bab XA UUD 1945. Seharusnya tak ada pembedaan antara hak asasi warga negara Indonesia dan warga negara asing.Maruarar juga mencantumkan praktik di negara lain yang memperbolehkan warga negara asing memperoleh perlindungan hak asasi yang dilanggar UU negara yang menerimanya. Misalnya, gugatan Asakura (warga negara Jepang pemilik rumah gadai di Seattle, Amerika Serikat). Ia menguji peraturan kota Seattle, yang melarang orang asing berusaha di bidang pegadaian. Kasus lainnya adalah Cabell versus Chavez-Salido, Salim Ahmed Hamdan versus Donald H Rumsfeld (Sekretaris Pertahanan), dan Konstitusi Dominika tahun 1978.Tentang pokok perkara, enam hakim konstitusi, termasuk Ketua MK Jimly Asshiddiqie selaku ketua majelis hakim, menyatakan, penjatuhan hukuman mati tidak bertentangan dengan konstitusi. Namun, hakim tidak boleh sewenang-wenang menjatuhkan hukuman mati karena harus sesuai dengan ketentuan International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR).Jimly pun menjelaskan, pembaruan hukum pidana nasional dan harmonisasi peraturan, perumusan, penerapan, dan pelaksanaan pidana mati di Indonesia harus benar-benar memperhatikan bahwa hukuman mati bukan merupakan pidana pokok. Hukuman mati bersifat pidana khusus dan alternatif. MK meminta eksekusi hukuman mati bisa segera dilaksanakan bagi terpidana yang perkaranya sudah berkekuatan hukum tetap.Kepala Divisi Pemasyarakatan Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM Jawa Tengah Bambang Winahyo menyambut baik putusan MK yang melegalkan hukuman mati. Hal itu diharapkan akan memberikan kepastian hukum bagi pelaksanaan eksekusi terpidana mati.

Page 13: Hukuman Mati

Di LP Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah, kini terdapat 54 terpidana mati, termasuk terpidana kasus peledakan bom di Bali tahun 2003.

ANALISIS DATA

I. EKSISTENSI PIDANA MATI

Dalam skala global tidak sedikit negara masih mempertahankan pidana mati, disamping tidak sedikit pula yang telah menghapuskannya, baik secara defacto maupun deyure. Bagi negara yang masih mempertahankan pidana mati, berbagai cara dilakukan untuk mengeliminir dampak negatif pelaksanaan eksekusi pidana mati, maupun persyaratan pengenaan pidana mati. Sehingga memunculkan cara-cara pelaksanaan (eksekusi) pidana mati yang bersifat lebih manusia dan tidak manyakitkan, disamping menggunakan persyaratan yang sangat ketat (limitative) dan bersifat pengecualian (eksepsional) dalam penerapannya.Pemberlakuan pidana mati secara umum terkait dengan tiga permasalahan pokok didalamnya, yaitu: 1. masalah landasan filosofis pemberlakuannya, 2. penetuan jenis tindak pidana yang diancam dengan pidana mati, 3. cara pelaksanaan (eksekusi) pidana mati.1. Landasan Filosofis.Golongan atau kelompok yang menolak pidana mati selalu menggugat dengan pertanyaan yang menukik dalam tataran filsafat, yaitu apakah manusia punya hak untuk mengakhiri kehidupan manusia yang lain, walaupun dilandasi oleh aturan hukum, bukankah penentu kematian adalah mutlak hak Tuhan? Hal ini diperkuat oleh satu dogma yang oleh semua umat beragama selalu diyakini bahwa hidup, mati, jodoh dan rezeki adalah rahasia (ditangan) Tuhan. Pada abad ke-18 Cesare Beccaria sudah mengadakan penolakan terhadap pidana mati, dengan mengatakan bahwa hidup adalah suatu yang tidak dapat dihilangkan secara legal dan membunuh adalah tercela, karena pembunuhan yang manapun juga, yang mengizinkan untuk pidana mati dalam kontrak sosial adalah immoral. Dalam kacamata Beccaria, dalam konsep kontrak sosial setiap individu telah menyerahkan kebebasan/kemerdekaannya secukupnya kepada negara agar masyarakat itu dapat hidup (berlangsung terus/viable), oleh karenanya hukum seharusnya hanya ada untuk melindungi/mempertahankan kehidupan manusia. Selain Beccaria masih banyak sarjana lain yang menolak pidana mati, seperti Ferri, Von Hentig, van Bemmelen, Ernest Bowen dan lain-lain.Pidana mati adalah suatu realitas sosial, sekalipun dibanyak negara dan banyak kalangan menolak, eksistensi pidana mati tetap ada. Bahkan ada beberapa negara yang semula menghapus, kemudian menghidupkan kembali pidana matidengan alasan keamanan, untuk menjaga keutuhan sosial dan menjaga eksistensi negara. Bagi yang pro, pidana mati adalah merupakan sarana ultimum remedium (obat terakhir) dan sebagai sarana filosofis ada argumentasi bahwa pidana adalah upaya perlindungan kehidupan bersama.Kalau toh Indonesia tetap mempertahankan pidana mati sebagai salah satu sanksi dalam hukum pidan positifnya, pengaturannya adalah dalam kerangka melakukan kebijakan hukum pidananya di mana sebagai negara merdeka Indonesia harus mengatur dan menentukan hukumnya sendiri. Dalam artian apa yang ditetapkan sebagai pidana mati harus dilandasi dan sesuai dengan sistim nilai dan kultural yang dianutnya. Dari penulusuran sejarah hukum tersebut diatas, pemberlakuan sanksi pidana mati, bukanlah suatu alasan yang sesuai dengan eksisitensi Indonesia sebagai negara merdeka, oleh karena pidana mati yang berlaku sekarang merupakan produk politik dari kolonial Belanda yang bersifat diskriminatif rasial.oleh karena itu perlu kita kaji dan diberikan

Page 14: Hukuman Mati

landasan filosofis sehingga pemberlakuan sanksi pidana mati pada era Indonesia merdeka saat ini secara sosiologis dapat diterima dan sesuai dengan nilai-nilai bangsa Indonesia sendiri. Dalam hal ini yang ingin dicari adalah landasan filosofis berlakunya pidana mati tersebut perspektif nilai-nilai Pancasila sebagai Rechtsbeginsel (asas hukum) adalah merupakan sumber hukum tertinggi (sumber dari segala sumber hukum) bagi tertib hukum di Indonsia harus menjiwai dan menjadi dasar tertib hukum. Ini berarti bahwa masalah hukum di Indonesia harus diselesaikan dan bersumber dari nilai-nilai Pancasila, tak terkecuali aturan hukum tetntang sanksi pidana mati.2. Penentuan Tindak Pidana Yang Diancam Pidana Mati.Kebijakan formulatif yang digunakan oleh pembuat undang-undang dalam menentukan perbuatan-perbuatun (tindakan pidana) mana yang diancam dengan pidana mati, menggunakan pendekatan selektif kondisional. Selektif maksudnya tidak terhadap semua tindak pidana diancam dengan sanksi pidana mati, akan tetapi terbatas terhadap tindak pidana-tindak pidana tertentu, yang oleh pembuat undang-undang dipandang sebagai tindak pidana serius. Salah satu contoh kongkrit dalam KUHP misalnya, pembunuhan yang diancam dengan pidana mati hanyalah terhadap tindak pidana pembunuhan yang direncanakan (Pasal 340 KUHP), sedangkan pembunuhan yang dilakukan tanpa perencanaan terlebih dahulu/pembunuhan biasa (Pasal 338 KUHP) tidak diancam dengan pidana mati. Berpijak dari kebijakan tersebut tindak pidana-tindak pidana dalam KUHP yang diancam dengan pidana mati terbatas antara lain:Pasal 104 KUHP (Makar terhadap Presiden dan Wakil Persiden);Pasal 111 ayat (2) KUHP (membujuk negara asing untuk bermusuhan atau berperang, jika permusuhan itu dilakukan atau jadi perang);Pasal 124 ayat (1) (membantu musuh waktu perang);Pasal 124 bis KUHP (menyebabkan atau memudahkan atau menganjurkan huru-hara);Pasal 140 ayat (3) KUHP (Makar terhadap Raja atau Kepala Negara-negara sahabat yang direncanakan dan berakibat maut);Pasal 340 KUHP (Pembunuhan berencana);Pasal 365 ayat (4) KUHP (pencurian dengan kekerasan yang mengakibatkan luka berat atau mati);Pasal 479 k ayat (2) KUHP (Pembajakan pesawat udara);Pasal 479 o ayat (2) KUHP (melakukan perbuatan kekerasan dalam pesawat, apabila mengakibatkan hancurnya pesawat atau matinya orang).Selain dalam KUHP ada beberapa ketentuan pidana diluar KUHP juga diancam dengan pidana mati, antara lain dalam undang-undang tentang korupsi (Pasal 2 ayat (2) Undang-undang no. 31 tahun 1999 tentang pemberantasan Tindak Pidan Korupsi, sebagaimana telah dirubah dan diperbaiki dengan undang-undang No. 20 Tahun 2001).

II. REFLEKSI PIDANA MATI DALAM NILAI-NILAI PANCASILA

1. Pidana Mati dan Nilai Ketuhanan Yang Maha EsaUntuk menemukan landasan filosofois keberlakuan pidana mati dalam konteks nilai Ketuhanan yang maha esa, terlebih dahulu hendaknya dipahami pengertian tentang Ketuhanan yang maha esa. Notonagoro berpendapat bahwa Ketuhanan yang maha esa adalah causa prima. Pengakuan dan keyakinan atas Tuhan yang maha esa adalalah diamalkan oleh bangsa Indonesia, bagi hampir seluruh bangsa Indonesi.Di dalam ajaran Islam dikenal adanya qishash yang oleh T. Moch. Hasbi Ash-Shiddieqy ditafsirkan sebagai ‘perbuatan terhadap seseorang sebanding perbuatannya terhadap orang lain’.

Page 15: Hukuman Mati

Dilain pihak Rachmat Jatmiko dalam sebuah pidatonya menjelaskan bahwa hukum qishash tidak bertentangan dengan Ketuhanan yang maha esa, karena diwahyukan oleh Tuhan yang maha esa kepada nabi-nabinya untuk menjadi hukum bagi umatnya. Bahkan menurut hukum Islam pidana mati adalah suatu keharusan bagi mereka yang telah menghilangkan nyawa orang lain. Hukum qishash secara tegas terlihat dalam Al-qur’an surat Al-Baqarah ayat 178.Pembenaran hukuman mati dari segi Ketuhanan juga dibenarkan oleh ajaran agama Kristen dengan didasarkan pada Kitab Injil Perjanjian Lama, di mana dikatakan oog om oog, tand on tand. Meskipun demikian menurut para ulama Kristen, baik katolik maupun Protestan pada prinsipnya setuju penerapan pidana mati, digunakan khusus untuk kejahatan terhadap negara.2. Pidana Mati dan Nilai KemanusiaanRachmat Jatmiko berpendapat, pidana mati tidak bertentangan dengan perikemanusiaan karena dasar Keadilan pidana mati adalah perikemanusiaan yang menjaga pertumpahan darah secara sewenang-wenang. Pandangan ini sejalan dengan pandangan Jaksa N.N Temadjaja, bahwa sanksi pidana mati pada intinya memberikan perlindungan bagi orang-orang yang tidak mempunyai perikemanusiaan dari pembalasan yang sewenang-wenang yaitu pembalasan yang tak terkendali. Mencermati pandangan tersebut pidana mati merupakan alat yang radikal untuk mencegah tindakan-tindakan di luar batas perikemanusiaan demi tercapainya masyarakat adil makmur.3. Pidana Mati dan Nilai KebangsaanMohammad Hatta berpendapat terhadap pengertian persatuan kebangsaan Indonesia bahwa Tanah Air Indonesia adalah satu dan tidak dapat dibagi-bagi. Persatuan Indonesia mencerminkan susunan negara nasional yang bercorak Bhineka Tunggal Ika, bersatu dalam berbagai suku bangsa yang batasnya ditentukan dalam Proklamasi Indonesia.Dari pandangan tersebut mengisyaratkan bahwa Kesatua dalam konteks kesatuan wilayah, kesatuan dalam kebhinekaan dan kesatuan kehidupan bermasyarakat adalah merupakan hal yang mutlak harus ada dan harus dipertahankan dalam bernegara. Setiap rong-rongan dan perilaku yang berupaya memecah dan memperlemah kesatuan, harus mendapat tindakan yang tegas sebagai tindakan pencegahan. Jika kita hubungkan antara nilai kebangsaan dan eksestensi pidana mati dapat ditarik satu pemikiran bahwa pidana mati adalah merupakan sarana atau alat untuk mencegah segala tindakan yang berupaya untuk memecah kesatuan kebangsaan. Dan ini sejalan dengan prinsip qishash dalam agama Islam, bahwa qishash ini tidak bertentangan dengan rasa kebangsaan, bahkan sebagai sarana untuk mempertahanka hak-hak asasi dan kemerdekaan bangsa dari kelaliman, inperialisme dan kolonialisme.4. Pidana Mati dan Nilai Kerakyatan.Demokrasi sebagai prinsip yang menyebabkan para warga masyarakat saling memandang, menghormati, menerima dan kerjasama, dalam kesatuan, sehingga masyarakat dapat bertindak sebagai satu subjek yang menyelenggarakan kepentiangan bersama. Dan dengan asas kerakyatan akan tercipta pemerintahab yang adil yang dilaksanakan dengan rasa tanggung jawab, sehingga tersusun sebaik-baiknya Demokrasi Indonesia yang mencakup demokrasi ekonomi dan politik.Untuk menjaga demokrasi dan menghindari sikap diktator dari setiap pemimpin yang menjalankan pemerintahan yang melanggar asas kerakyatan hingga masyarakat tidak dapat bertindak sebagai satu subjek yang menyelenggarakan kepentingan bersama dan tidak tercapai pemerintahab yang adil, maka diperlukan sarana ampuh seperti halnya pidana mati.5. Pidana Mati dan Nilai Keadilan Sosial.Perwujudan masyarkat yang adil dan makmur, berbahagia semua orang, tidak ada penghinaan, tidak ada penindasan dari manusia yang satu dengan yang lain, tidak akan terwujud tanpa

Page 16: Hukuman Mati

kesungguhan untuk mewujudkannya. Selain dibutuhkan prakondisi yang kondusif dalam bidang pertahanan keamanan dan stabilitas politik, diperlukan tindakan tegas terhadap setiap perbuatan atau tindakan yang menyerang sendi-sendi kehidupan masyarakat. Maka setiap upaya memepertahankan itu semua harus dilakukan dalam konteks yang kondisional dan proposional. Dalam kaitan ini kehadiran pidana mati untuk menjaga teutuhan sendi-sendi kehidupan manusia dirasa sangat relevan.

Bertumpu pada uraian uraian ini terlihat bahwa eksistensi dan filosofi pemberlakuan pidana mati terkait erat dan tidak dapat dipisahkan dengan nilai-nilai Pancasila itu sendiri. Sehingga tidak mengherankan, walaupun pidana mati dirasa sebagai sanksi pidana yang keras dan kejam, tetap dipertahankan dan digunakan dalam ketentuan hukum positif Indonesia baik dalam KUHP maupun ketentuan pidana diluar KUHP.

KESIMPULAN DAN SARAN-SARAN.

Dari uraian-uraian diatas dapat disimpulakan bahwa pembuatan konsep KUHP, pidana pada hakekatnya hanya merupakan salah satu alat untuk mencapai tujuan. Bertitiktolak dari pandangan yang demikian maka pertama-tama pembuat konsep KUHP mencantumkan perumusan tentang tujuan pemidanaan. (pasal 51 Konsep KUHP 2000/2001). Dalam mengidentifikasi pemidanaan, konsep bertitiktolak dari keseimbangan dua sasaran pokok, yaitu “perlindungan masyarakat” dan “perlindungan/pembinaan personal pelaku tindak pidana”.Bertolak dari keseimbangan dua sasaran pokok itu, maka syarat pemidanaan menurut konsep juga bertitiktolak dari keseimbangan monodualistik antara kepentingan masyarakat dan kepentingan individu, antara faktor subjektif dan faktor objektif. Oleh karena itu syarat pemidanaan juga bertotaktolak dari dua pilar yang sangat fundamental dalam hukum pidana, yaitu asas legalitas yaitu asas kemasyarakatan dan asas kesalahan yaitu merupakan asas kemanusiaan. Dengan perkataan lain, pokok pikiran mengenai pemidanaan berhubungan erat dengan pokok pikiran mengenai pidana dan pertanggungjawaban pidana.Dilihat dari pokok pemikiran yang lebih menitikberatkan pada perlindungan kepentingan masyarakat, maka wajar konsep masih tetap mempertahankan jenis-jenis sanksi pidana yang berat, seperti sanksi pidana seumur hidup dan pidana mati. Meskipun demikian Menurut konsep KUHP tahun 2000/2001 sanksi pidana mati bukan merupakan salah satu sanksi pidana pokok, dan ditempatkan tersendiri sebagai janji sanksi pidana yang bersifat khusus atau eksepsional.Pidana mati bukanlah sarana yang utama untuk mengatur, menertibkan, dan memperbaiki masyakat. Pidana mati hanya merupakan sarana pengecualian dan bersifat subsider, artinya apabila sarana lain tidak memadai baru dipakai pidan mati.Olehnya itu, sekalipun kita mempertahankan pidana mati ini namun dalam penerapannya harus bersifat selektif, hati-hati dan berorientasi pada perlindungan / kepentingan individu (pelaku tindak pidana). Oleh karena itu dalam konsep ada ketentuan mengenai “pidana mati bersyarat” dengan masa percobaan selama 10 tahun. Ketentuan tersebut dituangkan dalam pasal 80 Konsep tahun 2000/2001. pidana mati ditempatkan sebagai pidana yang bersifat khusus (eksepsional), dan dimungkinkan adanya penundaan pelaksanaan pidana mati (pidana mati bersyarat).Terlepas adanya pro dan kontra terhadap pidana mati, penulis berpendapat dalam era globalisasi di mana perkembangan teknologi dan informasi berkembang sangat pesat, telah membawa pola hubungan yang bersifat kompleks termasuk semakin berkembangnya kejahatan dengan demensi yang sangat luas, sehungga tidak jarang membahayakan integritas sosial, maka untuk menjaga

Page 17: Hukuman Mati

keutuhan integritas kehidupan manusia itu sendiri pidana mati masih sangat diperlukan.Sekalipun demikian pidana mati hendaknya digunakan dengan memperhatikan prinsip-prinsip subsidieritas, ultimum remidium (obat terakhir), bersifat eksepsional dan memperhatikan perasaan keadilan masyarakat serta diterapkan berdasarkan prinsip kehati-hatian.

(Oleh: Syahruddin)

DAFTAR KEPUSTAKAAN– Prof. (Em). Dr. J. E. Sahetafy, SH. MA, Pidana Mati dalam Negara Pancasila, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, Bandung 2007.– Pujiyono, SH. M.Hum, Kumpulan Tulisan Hukum Pidana, Pen. Mandar Maju, Bandung 2007.– Bambang Waluyo, SH. Penelitian Hukum Dalam Praktek, Sinar Grafika, Jakarta 2002.– Todung Mulya Lubis, Catatan Hukum – Mengapa Saya Mencintai Negeri Ini?, Penerbit Buku Kompas, Jakarta 2007.– Pan Mohamad Faiz, Tafsir Mahkamah Konstitusi: Hukuman Mati Tidak Bertentangan Dengan UUD 1945, opini dari Internet.– Petisi Pro / Setuju Hukuman Mati, Media Islam, jurnal Internet.– Hukuman Mati Tetap Berlaku, KOMNAS HAM Indonesia, Jurnal Internet.