HAK HIDUP vs HUKUMAN MATI - balitbangham.go.id · Human Rights, dan UU HAM sebab ancaman hukuman...
Transcript of HAK HIDUP vs HUKUMAN MATI - balitbangham.go.id · Human Rights, dan UU HAM sebab ancaman hukuman...
HumanisWarta Hak Asasi Manusia
VOLUME 2 TAHUN X DESEMBER 2014 ISSN 1412-3916
Implementasi Perda dalam Perspektif HAM
Kebijakan Kriminal Penanggulangan Tindak Pidana Ekonomi
HAK HIDUP vs
HUKUMAN MATI
Humanis Volume 2 Tahun X Desember 2014 1
HumanisWarta Hak Asasi Manusia
Daftar IsiHalaman
Surat Pembaca 2
Buah Bibir Hak Hidup VS Hukuman Mati dalam Perspektif Hukum dan HAM 3
OpiniImplementasi Perda dalam Perspektif HAM 6
Membuka Kembali Wacana Tentang Reformasi Hukum Di Indonesia Dilihat Dari Teori Hukum 10
Kebijakan KriminalPenanggulangan Tindak Pidana Ekonomi 15
FokusMengenal Jenis Metode Penelitian 19
Peranan Filsafat Ilmu dalam Pengetahuan 24
Mengapa Kita Perlu Indikator Hak Asasi Manusia 30
Agenda 36
Dari RedaksiPelindung
Menteri Hukum dan HAMRepublik Indonesia
PengarahDr. Mualimin, S.H., M.H.
Penanggung JawabIr. Maruahal Simanjuntak, S.H., M.M.
RedakturWahyuning Widayati, S.H., M.H.
Trisasi Dwi Handahyni, S.H.Jumanter Lubis, SH.
Drs. M. Arifin HA, MM.
Redaktur PelaksanaDrs. Halasan Pardede
Penyunting/EditorIndah Kurnianingsih, S.H.
Agustinus, S.H.Petrus Uje Palue, S.H., M.Si.
Rahjanto, SIP., M.Si.Harison Citrawan Damanik, S.H.
Desain Grafis dan Fotografer rubrik Fokus
Sabir R, Bc.KN, S.Sos.Daryono, S.H.
Agus Priyatna, A.Md.Ratidjo Slamet
Desain Grafis dan Fotografer rubrik Opini
Rahjanto, SIP., M.Si.Donny Michael, S.H.
Penny Naluria Utami, S.Sos.Sujatmiko, S.H., M.Si.
SekretariatSyafril M., S.Sos.Tri Wantustri, S.H.
PenerbitBadan Penelitian dan
Pengembangan Hak Asasi Manusia
Alamat RedaksiJl. HR. Rasuna Said Kav. 4-5,
Kuningan-Jakarta Selatan, Telp. 021-2525165, Fax. 2526438website:www.balitbangham.go.id
Redaksi menerima tulisan, artikel, karikatur, yang berkaitan dengan HAM.
Redaksi berhak mengedit tanpa mengubah substansi. Surat dikirim ke redaksi Humanis atau melalui email :
Maraknya peredaran narkoba, pelecehan seksual, dan tindak kejahatan lainnya sudah sangat mengkhawatirkan. Hal ini ber-ujung dengan diberlakukanya kembali hukuman mati di Indo-nesia. Penjatuhan dan pelaksa-naan hukuman mati sampai saat ini masih menimbulkan pro dan kontra di berbagai kalangan ma-syarakat baik di dalam maupun di luar negeri. Dalam pandangan sosial, hukuman mati merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia tetapi bila dilihat mela-lui pandangan hukum, hukuman mati harus dilaksanakan demi keadilan dan perlindungan terha-dap warga negara. Hukuman mati menjadi hal yang rentan terhadap hilangnya hak hidup seseorang. Namun demikian dengan adanya hukuman mati dapat menjadi pel-ajaran agar kejadian serupa tidak terulang. Pada edisi kali ini re-daksi memaparkan topik tentang reformasi hukum, implementasi perda dalam perspektif HAM dan kebijakan kriminal penanggulang-an tindak pidana ekonomi dan be-berapa topik lain yang dijadikan dasar dalam pemenuhan HAM. Kiranya para pembaca akan men-dapat wawasan dari tulisan yang disajikan pada edisi kali ini.
Humanis Volume 2 Tahun X Desember 20142
SURAT PEMBACA
HAM Internasional dan HAM di Indonesia
Redaksi yang terhormatSaya merupakan salah satu pemerhati masalah Hak Asasi Manusia. Dengan adanya majalah Humanis ini, saya menyambut baik dengan pe-nerbitan - penerbitan yang menyangkut masa-lah Hak Asasi Manuisa.Mungkin sebagai usulan kepada Redaksi, seba-iknya perlu ditampilkan pelaksanaan HAM di du-nia Internasional yang disandingkan dengan pe-laksanaan HAM di Indonesia. Dari sini tercermin suatu perbedaan atau mungkin sebagai suatu acuan dari yang kurang di dalam pemahaman, penegakkan dan perlindungan mengenai Hak Asasi Manusia.
Soegito Jl. Batuampar I/ 12 Jakarta Timur
Sdr. SoegitoTerima kasih atas usul yang anda sampaikan. Redaksi sependapat dengan apa yang di usul-kan, seringkali di dalam pemberitaan dunia internasional, penegakkan dan perlindungan mengenai HAM lebih di akui di negara-negara barat. Dimana negara-negara tersebut merupa-kan negara maju yang relatif dapat menghargai, menegakkan dan melindungi Hak Asasi Manu-sia denga baik, namun untuk mengetahui dan memahami HAM perlu adanya suatu persama-an persepsi atau pandangan di setiap negara, karena HAM dapat di tegakkan apabilah ma-sing-masing individu mengetahu apa yang men-jadi hak dan kewajiban.Redaksi berharap suatu saat dan keterbatasan informasi yang ada, kami dapat menyampaikan suatu ganbaran atau pemberitaan aktual me-ngenai pelaksanaan HAM di dunia internasional.
Perlindungan dan Keselamatan Tenaga Kerja Wanita
Redaksi yang terhormatBanyak kasus-kasus yang terjadi akhir-akhir ini terutama sekali yang dialami oleh tenaga kerja wanita, seperti penyiksaan, pemerkosaan dan pelecehan seksual. Pada kasus-kasus tersebut ada yang belum tertangani bahkan belum terpe-cahkan dan terkesan tertutup.Pada kesempatan ini saya ingin menyarankan agar pada Majalah Humanis menyediakan rub-rik yang menampilkan kasus-kasus pelanggaran yang dialami tanaga kerja wanita baik di dalam negeri maupun luar negeri, sehingga publik dapat mengetahui secara gamblang mengenai kasus-kasus tersebut sehingga dapat membuka mata bagai aparatur negara yang menanganinya.
Gunandi Jl. Kalijati Jakarta Pusat
Sdr. GunandiPerlindungan dan keselamatan kerja memang merupakan suatu hak yang di lindungi oleh nega-ra dengan peraturan perundang-undangan yang ada seperti UU No. 13 tahun 2003 tentang ke-tenagakerjaan dan kepmennakertrans No. 104A/MEN/2002 tentang Penempatan TKI ke luar ne-geri.Namun seringkali dengan segala keterbatasan dan kendala pengawasan yang di hadapai oleh para stakeholders, dalam hal penanganan ter-hadap perlindungan dan keselamatan kerja juga acapkali terbentur pada perbedaan hukum dari suatu negara. Redaksi di setiap terbitan beru-saha untuk mengetengahkan suatu topik yang berbeda-beda, oleh karena itu redaksi suatu saat dapat menghadirkan rubrik yang bertemakan per-lindungan dan keselamatan tenaga kerja wanita.
Humanis Volume 2 Tahun X Desember 2014 3
BUAH BIBIR
Hak hidup dijamin dalam
Pasal 28A Undang-
Undang Dasar 1945
(“UUD 1945”) yang berbunyi:
“Setiap orang berhak untuk hidup
serta berhak mempertahankan
hidup dan kehidupannya.” Dasar
hukum yang menjamin hak untuk
hidup di Indonesia juga terdapat
dalam Pasal 9 Undang-Undang
Nomor 39 Tahun 1999 tentang
Hak Asasi Manusia (“UU HAM”)
yang berbunyi:
Setiap orang berhak untuk
hidup, mempertahankan hidup dan
meningkatkan taraf kehidupannya
Setiap orang berhak hidup
tenteram, aman, damai, bahagia,
sejahtera lahir dan batin
Setiap orang berhak atas
lingkungan hidup yang baik dan
sehat.
Lebih lanjut, dalam
Penjelasan Pasal 9 UU HAM
dikatakan bahwa setiap
orang berhak atas kehidupan,
mempertahankan kehidupan, dan
meningkatkan taraf kehidupannya.
Hak atas kehidupan ini bahkan
juga melekat pada bayi yang belum
lahir atau orang yang terpidana
mati. Dalam hal atau keadaan
yang sangat luar biasa yaitu demi
kepentingan hidup ibunya dalam
kasus aborsi atau berdasarkan
putusan pengadilan dalam kasus
pidana mati. Maka tindakan aborsi
atau pidana mati dalam hal dan
atau kondisi tersebut, masih dapat
diizinkan. Hanya pada dua hal
tersebut itulah hak untuk hidup
dapat dibatasi. Dari penjelasan
Pasal 9 UU HAM di atas dapat
diketahui bahwa dalam kondisi
tertentu seperti pidana mati, hak
untuk hidup dapat dibatasi.
Merujuk pada putusan
Mahkamah Konstitusi mengenai
pengujian Pasal 80 Undang-
Undang Nomor 22 Tahun 1997
tentang Narkotika (“UU Narkotika”)
yang memuat sanksi pidana mati
terhadap UUD 1945.
Berkaitan dengan hal ini,
di dalam artikel Terikat Konvensi
Internasional Hukuman Mati
Mesti Jalan Terus, diberitakan
bahwa Mahkamah Konstitusi
(“MK”) dalam putusannya pada 30
Oktober 2007 menolak uji materi
hukuman mati dalam UU Narkotika
dan menyatakan bahwa hukuman
mati dalam UU Narkotika tidak
bertentangan dengan hak hidup
yang dijamin UUD 1945 lantaran
jaminan hak asasi manusia dalam
UUD 1945 tidak menganut asas
kemutlakan. Menurut MK, hak
asasi dalam konstitusi mesti
dipakai dengan menghargai dan
menghormati hak asasi orang lain
demi berlangsungnya ketertiban
umum dan keadilan sosial.
Dengan demikian, MK, hak asasi
manusia harus dibatasi dengan
instrumen Undang-Undang, yakni
Hak untuk hidup itu tidak boleh
dikurangi, kecuali diputuskan oleh
pengadilan.
Alasan lain pertimbangan
putusan MK salah satunya
karena Indonesia telah terikat
dengan konvensi internasional
narkotika dan psikotropika yang
telah diratifikasi menjadi hukum
nasional dalam UU Narkotika.
Sehingga, menurut putusan MK,
Indonesia justru berkewajiban
menjaga dari ancaman jaringan
peredaran gelap narkotika skala
internasional, yang salah satunya
dengan menerapkan hukuman
yang efektif dan maksimal.
Masih dalam artikel yang
sama dijelaskan bahwa dalam
konvensi tersebut Indonesia telah
HAK HIDUP VS HUKUMAN MATIDALAM PERSPEKTIF HUKUM DAN HAM
Harison Citrawan
Humanis Volume 2 Tahun X Desember 20144
BUAH BIBIR
mengakui kejahatan narkotika
sebagai kejahatan luar biasa
serius terhadap kemanusiaan
(extra ordinary) sehingga
penegakannya butuh perlakuan
khusus, efektif dan maksimal.
Salah satu perlakuan khusus itu,
menurut MK, antara lain dengan
cara menerapkan hukuman
berat yakni pidana mati. Dengan
menerapkan hukuman berat
melalui pidana mati untuk
kejahatan serius seperti narkotika,
MK berpendapat, Indonesia
tidak melanggar perjanjian
internasional apa pun, termasuk
Konvensi Internasional Hak
Sipil dan Politik (ICCPR) yang
menganjurkan penghapusan
hukuman mati. Bahkan MK
menegaskan, Pasal 6 ayat 2
ICCPR itu sendiri membolehkan
masih diberlakukannya hukuman
mati kepada negara peserta,
khusus untuk kejahatan yang
paling serius.
Dalam pandangan MK,
keputusan pembikin undang-
undang untuk menerapkan
hukuman mati telah sejalan
dengan Konvensi PBB
1960 tentang Narkotika dan
Konvensi PBB 1988 tentang
Pemberantasan Peredaran Gelap
Narkotika dan Psikotropika,
Pasal 3 Universal Declaration of
Human Rights, dan UU HAM sebab
ancaman hukuman mati dalam
UU Narkotika telah dirumuskan
dengan hati-hati dan cermat, tidak
diancamkan pada semua tindak
pidana Narkotika yang dimuat
dalam UU tersebut.
Lebih lanjut, melihat pada
UU HAM, MK memandang bahwa
UU itu juga mengakui adanya
pembatasan hak asasi seseorang
dengan memberi pengakuan hak
orang lain demi ketertiban umum.
Dalam hal ini, MK menganggap
hukuman mati merupakan bentuk
pengayoman negara terhadap
warga negara terutama hak-hak
korban.
Hal lain yang juga penting
diketahui adalah orang yang dijatuhi
hukuman mati (terpidana mati) oleh
pengadilan masih memiliki upaya
hukum lain sehingga masih ada
peluang tidak dihukum mati. Hal
ini telah kami bahas dalam artikel
Apakah Terpidana Mati Juga Perlu
Pembinaan?
Dengan demikian, hak untuk
hidup dijamin dalam konstitusi
Indonesia, namun hak tersebut
dapat dibatasi dengan instrumen
undang-undang. Konstitusionalitas
hukuman mati yang diatur sejumlah
undang-undang, salah satunya UU
Narkotika, juga telah diperkuat
oleh putusan MK.
Kontroversi mengenai
hukuman mati muncul kembali
di negeri kita, pelaksanaan
hukuman mati yang hingga kini
masih berlangsung di Indonesia
menjadi bahan pembicaraan
di kalangan masyarakat dan
praktisi hukum. Menentang
atau menyetujui hukuman mati
pasti memiliki kelebihan dan
kekurangan masing-masing.
Apakah hukuman mati itu
merupakan suatu kebutuhan
bagi hukum di Indonesia,
dan bagaimana pelaksanaan
hukuman mati itu jika ditinjau dari
UUD 1945 pasal 28A, pasal ayat
1, pasal 28J ayat 1?
Di tengah upaya Indonesia
membangun demokratisasi
dan penghormatan HAM yang
menjadi agenda reformasi di
bidang hukum, negara justru
mengeluarkan ketentuan hukum
yang menerapkan hukuman
mati seperti UU Nomor 5 Tahun
1997 mengenai Psikotropika, UU
Nomor 22 Tahun 1997 mengenai
Narkotika, UU Nomor 26 tahun
2000 mengenai Pengadilan
HAM, UU Nomor 20 tahun 2001
mengenai Perubahan atas UU
No 31 Tahun 1999 tentang
Humanis Volume 2 Tahun X Desember 2014 5
BUAH BIBIR
Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi, UU Nomor 23 mengenai
Perlindungan Anak dan UU Nomor
15 tahun 2003 tentang penetapan
Perpu RI Nomor 1 Tahun 2002
mengenai Pemberantasan
Tindak Pidana Terorisme menjadi
undang-undang.
Presiden Megawati
Sukarnoputri, pernah
mengeluarkan KEPPRES yang
berisi penolakan terhadap grasi
para terpidana mati, baik dalam
kaitan perkara pembunuhan
maupun narkotika, maka
eksekusi terhadap terpidana mati
seperti Ayodya Prasad Chaubey
beberapa waktu lalu akan terjadi
lagi. Hal ini juga terulang di era
pemerintah yang dipimpin Jokowi-
Jusuf Kalla tidak akan memberikan
grasi kepada terpidana kasus
narkoba. Hingga saat ini terpidana
mati kasus narkoba berjumlah 64
orang. Dengan demikian, proses
eksekusi mati terhadap mereka
akan segera dilaksanakan jika
sudah mempunyai kekuatan
hukum.
Perdebatan pro-kontra
mengenai eksistensi hukuman
mati masih terjadi. Hukuman mati
sebenarnya tidak menjadi isu
kontroversial bila pelaksanaannya
segera dilakukan sejak putusan
berkekuatan tetap. Namun,
sebagaimana kita ketahui,
hukuman mati di Indonesia baru
dilaksanakan setelah terpidana
menempuh upaya hukum (banding,
permohonan grasi dan peninjauan
kembali) dan menjalani pidana
bertahun-tahun. Pelaksanaan
hukuman mati pun masih tertunda.
Banyak terjadi perdebatan
yang berkepanjangan mengenai
hukuman mati ini, dan
menimbulkan banyak pendapat.
Pendapat pertama, hukuman mati
menjadi bagian hukum (pidana)
positif Indonesia, karenanya
masih relevan untuk dilaksanakan.
Pendapat kedua, hukuman mati
bertentangan dengan Amandemen
Kedua Pasal 28 A, Pasal 28 I ayat
1 dan Pasal 28 J ayat 1 UUD 1945.
5 Pasal 28 A menyatakan bahwa
setiap orang berhak untuk hidup
serta berhak mempertahankan
hidup dan kehidupannya, Pasal
28 I ayat 1 menyatakan Hak
untuk hidup, hak untuk tidak
disiksa, hak kemerdekaan pikiran
dan hati nurani, hak beragama,
hak untuk tidak diperbudak, hak
untuk diakui sebagai pribadi di
hadapan hukum, dan hak untuk
tidak dituntut atas dasar hukum
yang berlaku surut adalah hak
asasi manusia yang tidak dapat
dikurangi dalam keadaan apa
pun, dan Pasal 28 J ayat 1
UUD 1945 menyatakan Setiap
orang wajib menghormati hak
asasi manusia orang lain dalam
tertib kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara.
Ketiga pasal tersebut secara
tegas menyatakan, s e t i a p
orang berhak untuk hidup
serta berhak mempertahankan
hidup dan kehidupannya. Sesuai
asas konstitusionalitas, legalitas
produk hukum positif di atas yang
masih mempertahankan hukuman
mati, seharusnya menyesuaikan
dengan amandemen konstitusi
agar tidak bertentangan dengan
asas perundang-undangan lex
superior derogat legi inferiori (
hukum yang lebih rendah tidak
boleh bertentangan dengan
hukum yang lebih tinggi) berdasar
Pasal 2 juncto Pasal 4 ayat (1) TAP
MPR No III/MPR/2000 mengenai
Sumber Hukum dan Tata
Peraturan Perundang-undangan,
karena legalitas hukuman mati
sebagai produk hukum yang lebih
rendah bertentangan dengan
produk hukum yang lebih tinggi.
Humanis Volume 2 Tahun X Desember 20146
OPINI
Salah satu tujuan negara
yang utama adalah
penegakan hak asasi
manusia. John Locke (1970:124),
sebagaimana dikutip Saut Sirait,
2000:63), merumuskan tujuan
negara sebagai berikut.
The great and chief
end of means uniting
into commonwealth,
and putting themselves
under government is
the preservation of their
properti.
Pengertian property dalam
pandangan Locke tidak semata-
mata benda-benda yang bernilai
ekonomis, tetapi lebih dari itu,
yakni mencakup hak-hak manusia,
kebebasan dan kehidupan itu sendiri
(Saut Sirait, 2000:63). Hak Asasi
Manusia (HAM) yang dalam bahasa
Indonesia diartikan sebagai hak-
hak mendasar pada diri manusia
harus menjadi akar dari negara,
menghormati perbedaan, menerima
keanekaragaman, menerima
hubungan, serta menghargai
hubungan gender. Kondisi yang
diperlukan adalah negara harus
konsisten terhadap konstitusi,
hak-hak dasar, persamaan lelaki
dan perempuan, persamaan
antara muslim dan non-muslim.
Di dalam Undang-Undang
No. 39 Tahun 1999 Tentang
Hak Asasi Manusia, dijelaskan
tentang pengertian hak asasi
manusia. Salah satu hak asasi
manusia adalah perlakuan
negara yang tidak diskriminatif.
Pada Pasal 3 ayat (1) Undang-
Undang No. 39 Tahun 1999,
disebutkan bahwa diskriminasi
adalah setiap pembatasan,
pelecehan, atau pengucilan yang
langsung ataupun tak langsung
didasarkan pada pembedaan
manusia atas dasar agama,
suku, ras, etnik, kelompok,
golongan, status sosial, status
ekonomi, jenis kelamin, bahasa,
keyakinan politik, yang berakibat
pengurangan, penyimpangan,
atau penghapusan pengakuan,
pelaksanaan, atau penggunaan
hak asasi manusia dan
Implementasi Perda dalam Perspektif Hak Asasi ManusiaHidayat*
Humanis Volume 2 Tahun X Desember 2014 7
OPINI
kebebasan dasar dalam kehidupan
baik individual maupun kolektif
dalam bidang politik, ekonomi,
hukum, sosial, budaya dan aspek
kehidupan lainnya.
Suatu negara, menurut
Aswanto (2007:2), dapat
Rekapitulasi Pembatalan Perda Tahun 2002 sd 2011
No. Tahun Pajak Retribusi
Minuman Beralkohol
Sumbangan Pihak Ketiga
Lain-lain Jumlah
1. 2002 17 - 2 - 192. 2003 95 3 1 6 1053. 2004 220 2 13 1 2364. 2005 118 1 4 3 1265. 2006 114 - - - 1146. 2007 161 1 4 7 1737. 2008 223 4 - 2 2298. 2009 831 11 5 29 876
Jumlah 1179 22 29 48 1876 Sumber data: Kementerian Dalam Negeri Tahun 2011
dikatakan sebagai negara
hukum apabila negara tersebut
memberikan jaminan perlindungan
dan penghargaan hak-hak asasi
manusia, karena ciri negara
hukum adalah: (1) pengakuan
dan perlindungan hak-hak asasi
manusia, yang mengandung
persamaan dalam bidang
politik, hukum, sosial, kultur dan
pendidikan; (2) Peradilan yang
bebas, tidak memihak, tidak
dipengaruhi oleh suatu kekuasaan
atau kekuatan lain apapun; dan
(3) Legalitas dalam arti hukum
dalam semua bentuknya.
Semua ketentuan dalam
UU itu mestinya mengilhami
semua kebijakan politik dan
penegakan hukum termasuk
perdanya agar tidak ada
kebijakan pemerintahan, di pusat,
dan daerah yang melanggar HAM.
Dalam berbagai model panorama
kekejian dan ketidakadilan,
dalam konteks kekinian seiring
dengan perubahan pendulum
kekuasaan politik di negeri kita
dari sentralisasi ke desentralisasi
(otonomi daerah).
Sistem otonomi daerah
telah memberi manfaat yang luar
biasa bagi proses percepatan
pembangunan daerah. Namun
sesungguhnya di dalamnya
juga mengandung sejumlah
potensi ketidakadilan dan
pelanggaran HAM yang kian
lama kian sulit ditoleransi.
Perda dan HAM Salah satunya
adalah lemahnya daya sensitivitas
terhadap asas dan kaidah aspek
HAM dalam penyusunan aneka
Peraturan Daerah (Perda)
yang merupakan payung bagi
penyelenggaraan Otonomi
Daerah (Otda). Baik di bidang
ekonomi, sosial, maupun budaya
(ekosobud) di daerah. Terlihat
pada tahun 2002 sampai 2009
terdapat 1876 Perda diprotes oleh
rakyat di daerah dan dibatalkan
oleh Kementerian Dalam Negeri
karena bertentangan dengan
Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2011 dan bertentangan HAM.
Berikut ini adalah Rekapitulasi
Pembatalan Perda sebagai
berikut:
Tak pelak, ribuan Perda di
berbagai daerah dinyatakan oleh
Kementerian Dalam Negeri tidak
layak diberlakukan karena content
draft-nya tak memenuhi kualifikasi
filosofis dan standar baku dalam
asas dan kaidah penyusunan
peraturan perundang-undangan.
Baik yang diatur dalam Undang-
Undang No.12 Tahun 2011
tentang Penyusunan Peraturan
Perundang-Undangan maupun
Humanis Volume 2 Tahun X Desember 20148
OPINI
tidak sebangun dengan hierarki
peraturan perundang-undangan,
bahkan tidak senapas dengan
UUD 1945.
Belakangan ini sejumlah
daerah (provinsi/kabupaten/kota)
ramai-ramai membuat Perda
untuk mendongkrak pendapatan
asli daerah (PAD) tanpa
mengindahkan beban sosial
ekonomi rakyat di tengah terpaan
krisis. Seperti, perda tentang
retribusi, pajak, dan
aneka pungutan dari
kendaraan, usaha,
radio, sepeda,
bahkan sampai
soal kematian dan
izin keramaian
(hajatan).
Begitu pula
maraknya Perda
yang mengatur tentang
maksiat, lokalisasi, dan
pelaksanaan hukum agama
tertentu. Biasanya Perda jenis ini
cenderung mendiskriminasikan
kaum perempuan dan anak-anak,
pemihakan pada agama tertentu
dan diskriminasi pada agama
minoritas. Ini adalah cermin dari
keragaman perda yang kian
ìmenjauhî dari norma dan asas-
asas hukum di negara demokrasi
yang berpihak pada pluralitas
dan insklusivitas masyarakat.
Semua jenis perda model
ini mencerminkan betapa lemahnya
tingkat sensitivitas pembuat Perda,
yakni DPRD dan kepala daerah
terhadap penempatan perspektif
HAM dan proses perancangan
perda (legal drafting). Akibatnya
Perda di era kebebasan otonomi
daerah ini cenderung
melupakan aspek HAM dan
berpotensi mengeliminasi keadilan
substansial.
Saat ini, Indonesia telah
memiliki perundang-undangan
tentang HAM cukup lengkap. Pada
28 Oktober 2005, pemerintah
telah meratifikasi International
Covenant on Civil and Political
Rights (ICCPR) dan International
Covenant on Economic, Social,
and Cultural Rights (ICESCR).
Kedua kovenan PBB itu telah
menjadi produk hukum yakni
Undang-Undang No 12 Tahun
2005 untuk ICCPR dan Undang-
Undang No 11 Tahun 2005 untuk
ICESCR.
Disyahkannya kedua
kovenan tersebut menjadi
UU, maka secara de
jure mestinya setiap
warga negara dan
anggota masyarakat
lebih terjamin hak-
hak asasinya.
ICCPR mengatur
perlindungan hak-
hak warga di bidang
sipil dan politik,
sedangkan ICESCR
menjamin hak-hak warga
di bidang ekonomi sosial dan
budaya. ICCPR dan ICESCR
melengkapi ketentuan HAM
dalam UUD 1945 seperti Pasal
28A sampai dengan 28J tentang
HAM.
Pasal 29 tentang Agama,
Pasal 31 dan Pasal 32 tentang
Pendidikan dan Kebudayaan,
Pasal 33 dan 34 UUD 1945
tentang Perekonomian Nasional
Pembiaran (omission)
terhadap berlakunya Perda di daerah yang
memuat aturan tentang aspek ekonomi, sosial, politik dan
budaya yang mengabaikan hak-hak asasi masyarakat daerah jelas
merupakan pelanggaran HAM secara terselubung, karena dibungkus dengan prosedur yang demokratis di tingkat
DPRD.
Humanis Volume 2 Tahun X Desember 2014 9
OPINI
dan Kesejahteraan Sosial dengan
UU No 39/1999 tentang HAM
serta UU No 26/2000 tentang
Pengadilan HAM.
Tak pelak lagi, semua
ketentuan dalam undang-undang
HAM itu mestinya mengilhami
semua kebijakan politik dan
penegakan hukum termasuk
perda untuk melindungi hak asasi
(HAM) setiap warganya. Sehingga
tidak ada kebijakan pemerintahan,
di pusat ,dan daerah yang
melanggar HAM.
Karena itu, saatnya
Perancang Peraturan Perundang-
Undangan (legal drafter) memiliki
pemahaman dan sensitivitas
terhadap implementasi HAM
dalam kebijakan pembuatan
Perda. Produk hukum Perda
tidak dirancang sebebas-
bebasnya tanpa memperhatikan
aspek hak ekonomi dan sosial
masyarakat daerah, karena
sesungguhnya Perda dibuat untuk
menjadi garis kebijakan daerah
dalam mengimplementasikan
kemakmuran dan kesejahteraan
secara ekonomi dan sosial-politik
masyarakat daerah otonom.
Di titik ini diperlukan
kearifan pada para Perancang
Peraturan Perundang-Undangan,
misalnya terkait dengan perda
ekonomi tidak boleh hanya
semata-mata mengejar PAD tanpa
mengindahkan hak-hak ekonomi
masyarakat daerah. Begitu pula,
Perda terkait dengan pengaturan
sosial, politik, dan budaya agar
tidak hanya berpihak pada suara
mayoritas partai politik di DPRD
tanpa mengindahkan nurani
minoritas masyarakat.
Pembiaran (omission)
terhadap berlakunya Perda di
daerah yang memuat aturan tentang
aspek ekonomi, sosial, politik dan
budaya yang mengabaikan hak-
hak asasi masyarakat daerah
jelas merupakan pelanggaran
HAM secara terselubung, karena
dibungkus dengan prosedur yang
demokratis di tingkat DPRD.
Fungsi pemerintah dalam
pemajuan dan perlindungan
hak asasi manusia, yaitu
sebagai guardians of human
rights (pengawal hak asasi
manusia) bermakna bahwa fungsi
pemerintah adalah menciptakan
kondisi masyarakat yang kondusif
untuk perlindungan dan pemajuan
hak asasi manusia. Negara
Indonesia merupakan negara
hukum di mana pemerintahnya,
termasuk pemerintah daerah,
sudah hakikatnya memajukan
penegakan hak asasi manusia.
Bukan sebaliknya, mereduksi hak
asasi itu melalui Perda. Perda ini
perlu pengecualian bagi orang-
orang yang terkondisi hal khusus,
sehingga tidak memungkinkan
orang tersebut bisa membaca.
Misalnya, orang yang cacat (buta
atau mental terbelakang/idiot),
dan orang yang baru menganut
agama Islam.
Sebagai contoh, Perda
No. 06 Tahun 2003 Kabupaten
Bulukumba tidak hanya melanggar
HAM berkeluarga dan hak pribadi
yang berhubungan dengan
agama, tetapi sekaligus kurang
sesuai dengan Kompilasi Hukum
Islam Tentang Perkawinan, UU
No. 1 Tahun 1974, UU No 39
Tahun 1999, dan UUD 1945.
Perda No. 06 Tahun 2003
Kabupaten Bulukumba ini telah
melampaui kewenangan karena
persoalan pandai baca Alquran
dan hal perkawinan merupakan
bagian yang tidak terpisahkan dari
hak pribadi di bidang keagamaan.
*) Kepala Sub bidang Evaluasi hasil penelitian pada Puslitbang hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya Balitbang HAM
Humanis Volume 2 Tahun X Desember 201410
OPINI
Perkembangan rezim
hukum yang berkeadilan,
transparan, dan tidak
diskriminatif merupakan salah
satu aspek yang menjadi fokus
kerja pembangunan hukum di
Indonesia saat ini. Banyaknya
penyalahgunaan kekuasaan
untuk menegakan hukum
menjadikan rakyat yang tidak
bersalah menjadi korban, serta
terjerat dengan kompleksitas
prosedur yang diciptakan.
Agenda hukum ‘Kabinet Kerja’
yang dikomandoi Joko Widodo
dan Jusuf Kalla menjadi tumpuan
dan harapan masyarakat.
Gambaran pemerintahan
khususunya hukum yang ideal
tertanam dibenak sebagian besar
Rakyat Indonesia. Sejak Kabinet
Kerja pemerintahan ini berjalan,
pekerjaan rumah terus menuntut
untuk diselesaikan. Semata menanti
perbaikan-perbaikan signifikan
terhadap hukum dan kualitas
koordinasi pimpinan dan pelaksana
di lapangan sejalan seirama.
Dari seluruh susunan ‘Kabinet
Kerja’, yang menjadi perhatian
menarik adalah Kementerian
di bidang Politik, Hukum dan
Keamanan yang selalu menjadi
posisi strategis dalam kabinet.
Menteri Koordinator Politik, Hukum
dan Keamanan akan bekerja sama
dengan Menteri Hukum dan HAM
yang memiliki peran signifikan bagi
pelaksanaan tata kelola, perbaikan,
dan penguatan rezim hukum di
Indonesia saat ini. Tidak hanya
Menkumham, bersama Menteri
Pertahanan, Menteri Dalam Negeri,
Menteri Luar Negeri, Menteri
Pendayaguaan Aparatur Negara
dan Reformasi Birokrasi, diikuti
oleh Menteri Komunikasi dan
Informasi, Kejaksaan Agung dan
Kepolisian, seluruh kementerian/
lembaga diharapkan mampu
mewujudkan semangat perbaikan
hukum di Indonesia.
Tulisan ini akan membuka
kembali wacana dan akan
mengingatkan kembali kepada
kita akan pentingnya reformasi
dibidang hukum yang ditinjau dari
sisi teori serta pendapat para ahli
hukum.
Berawal dari tahun 1998
dikenang dalam sejarah
Indonesia sebagai salah satu
tahun yang menandai perubahan
radikal berbagai tatanan
MEMBUKA KEMBALI WACANA TENTANG REFORMASI HUKUM DI INDONESIA DILIHAT DARI TEORI HUKUMGunawan*
Humanis Volume 2 Tahun X Desember 2014 11
OPINI
kehidupan melalui gerakan
reformasi. Meskipun pada
mulanya reformasi merupakan
gerakan politik karena berkaitan
dengan perjuangan pembaharuan
tatanan politik, namun dampak
yang ditimbulkannya tidak hanya
pada bidang politik, melainkan
m e n y e n t u h
b idang-b idang
lain, misalnya,
h u k u m ,
e k o n o m i ,
s o s i a l ,
budaya, dan
lain-lain1.
Reformasi hukum memiliki
arti yang fundamental bagi
tercapainya tujuan gerakan
reformasi, yaitu menjadikan
Indonesia sebagai Negara hukum
yang demokrasi untuk mencapai
kesejahteraan masyarakat.
Munculnya berbagai aturan dan
institusi baru ataupun penguatan
lembaga-lembaga hukum yang
ada yang mampu membentuk tata
nilai baru yang adil dan mampu
memenuhi kebutuhan masyarakat
dalam memperoleh keadilan dan 1 Susi Dwi Harijanti, “Satu Dasawarsa Reformasi Hukum: Indonesia Diper-simpangan Jalan”, Jurnal Demokrasi dan HAM, vol.7 No. 1, Tahun 2007
kesejahteraan itulah capaian
dalam cita-cita reformasi hukum
Pengertian dan Ruang Lingkup
Reformasi Hukum
Menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia, reformasi
hukum adalah perubahan secara
drastis untuk perbaikan di bidang
hukum dalam suatu masyarakat
atau negara. Sedangkan menurut
Prof. Muladi, reformasi hukum
adalah proses demokratisasi
dalam pembuatan, penegakkan,
dan kesadaran hukum. Dalam
hal pembuatan hukum bukan
aspirasi penguasa saja yang
ditonjolkan melainkan juga harus
mendengarkan aspirasi dari
siapa saja yang berkepentingan
dengan pemerintahan (pemangku
kepentingan). Reformasi hukum
mempunyai arti penting guna
membangun desain kelembagaan
bagi pembentukan negara
hukum yang dicita-citakan.
Untuk kepentingan itu dalam
sistem politik yang demokratis,
hukum harus memberi kerangka
struktur organisasi formal
bagi bekerjanya lembaga-
lembaga negara,menumbuhkan
akuntabilitas normatif
dan akuntabilitas
publik dalam
p r o s e s
p e n g a m b i l a n
k e p u t u s a n
politik, serta
d a p a t
meningkatkan kapasitasnya
sebagai sarana penyelesaian
konflik kepentingan politik.
Bagir Manan menyatakan
bahwa ruang lingkup dan
pengertian hukum dalam
reformasi hukum hukum ‘tidak
diartikan secara parsial, apalagi
hanya fenomena atau persoalan
yang muncul seketika’.2 Misalnya,
apabila terdapat kejadian dimana
seorang pegawai MA terlibat
penipuan perkara, mendadak
2 Bagir Manan, “Peran Pendidikan Tinggi Hukum Dalam Reformasi Hukum”, Makalah disampikan pada Ceramah Ilmiah pada Minahasa Law Center, 16 januari 2007, hlm 3.
Humanis Volume 2 Tahun X Desember 201412
OPINI
timbul gagasan mengocok ulang
semua Hakim Agung. Cara-cara
berpikir sporadic dan cenderung
reaksioner yang tidak didukung
oleh landasan konseptual yang
komprehensif dapat berakibat
pada munculnya tindakan-
tindakan kontra produktif.3 Agar
reformasi hukum dapat menjadi
dasar kokoh reformasi maka
lingkup dan pengertian reformasi
hukum adalah reformasi sistem
hukum.4
Lawrence M. Friedman
menawarkan tiga elemen system
hukum yang meliputi legal
structure (struktur hukum), legal
substance (subtansi hukum)
dan legal culture (budaya
hukum).5 Dalam bukunya
friedman menjelaskan bahwa
struktur hukum menunjuk pada
lembaga-lembaga Negara,
misalnya: legislatif; eksekutif;
dan yudikatif. Substansi hukum
menunjuk pada aturan-aturan,
sedangkan budaya hukum berarti
persepsi masyarakat terhadap
hukum dan sistem hukum. Agar
lebih memahami, friedman
memberikan pangandaian:
struktur adalah semacam
mesin; subtansi merupakan 3 Ibid 4 Ibid hlm.45 Lawrence M. Friedman, American Law:an introduction, 1998, hlm 16-34
sesuatu yang diproduksi oleh
mesin; sedangkan budaya hukum
adalah apapun atau siapapun yang
memutuskan apakah mesin akan
dihidupkan atau dimatikan serta
bagaimana mesin itu digunakan.
Berbeda dengan freidman, Bagir
Manan berpendapat bahwa
elemen-elemen sistem hukum
meliputi: sub sistem aturan hukum;
sub sistem penegakan hukum;
sub system pelayanan hukum; sub
system profesi hukum; sub system
pendidikan hukum; dan sub system
budaya hukum.6 Bagir Manan
memandang perlunya memasukkan
budaya hukum sebagai sub system
karena: hukum tidak lepas dari
masyarakat maka isi budaya hukum
mencakup segala bentuk tingkah
laku sosial, yang disatu pihak
menjadi sumber tatanan hukum,
dipihak lain merupakan refleksi
hukum yang ada.
Reformasi penegakan
hukum menurut Bagir Manan
tidak hanya dikonsentrasikan
pada penindakan, melainkan
mencakup pula membangun sistem
pencegahan atau penyimpangan
terhadap hukum. Selain itu,
reformasi penegakan hukum tidak
hanya semata-mata ditujukan pada
proses peradilan karena harus
6 Bagir manan. Loc.cit.
pula memasukkan reformasi
penegakan hukum dalam proses
birokrasi.7 Terdapat beberapa
alasan kenapa mengapa
penegakan hukum perlu
dimasukkan sebagai unsur sistem
hukum. Pertama, keberhasilan
suatu peraturan perundang-
undangan tergantung pada
penerapannya. Kedua, putusan-
putusan dalam rangka penegakan
hukum merupakan instrument
kontrol dan berfungsi sebagai
feedback bagi pembaharuan
atau penyempurnaan peraturan
perundang-undangan. Ketiga,
penegakan hukum merupakan
dinamisator peraturan
perundang-undangan.8
Dalam kaitan dengan
pelayaan hukum, Bagir Manan
menayatakan bahwa pelayanan
hukum berpusat pada lingkungan
jabatan birokrasi. Oleh Karena
itu, pembaruan birokrasi dalam
rangka mewujudkan konsep the
service state dan the welfare
state merupakan sub sistem dari
reformasi sistem hukum.9 Sub
sistem hukum berkaitan dengan
7 Ibid hlm 6-7 8 Bagir Manan, “Politik Perun-dang-Undangan”, Makalah pada Pena-taran Dosen FH/STH PTS se Indone-sia, Bogor, 26 September-16 Oktober 1993, hlm 4-5.9 Bagir Manan, “peran pendidikan tinggi hukum…, op cit, hlm 7-8
Humanis Volume 2 Tahun X Desember 2014 13
OPINI
pekerjaan pelayanan bebas
atas dasar keahlian tertentu,
misalnya advokat. Sedangkan
sub sistem pendidikan hukum
berkaitan dengan pengajaran dan
penelitian hukum. Dan sub sistem
budaya hukum menyoroti sikap
masyarakat terhadap hukum.10
Sebagai perbandingan,
Moh. Mahfud MD berpendapat
bahwa sistem hukum
nasional Indonesia
adalah: “Sistem hukum
yang berlaku diseluruh
Indonesia yang meliputi
semua unsur hukum
(seperti isi, struktur,
b u d a y a , s a r a n a ,
peraturan perundang-
undangan, dan semua
sub unsurnya) yang antara
satu dengan yang lain saling
tergantung dan yang bersumber
dari Pembukaan dan Pasal-pasal
UUD Negara RI Tahun 1945.11
Perlunya Reformasi Hukum
Berawal dari pemikiran
bahwa hukum seharusnya
menjadi jembatan (instrumen)
dalam mewujudkan apa yang
dicita-citakan oleh bangsa
Indonesia sebagaimana yang 10 Ibid hlm. 4,9,16, dan 1711 Moh.Mahfud MD, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitu-si, 2006, hlm 21
tercantum dalam Pembukaan
UUD 1945, yaitu: melindungi
segenap bangsa Indonesia dan
seluruh tumpah darah Indonesia,
memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa,
ikut melaksanakan ketertiban dunia
yang berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi dan keadilan
sosial.
Disini hukum haruslah
berperan lebih dalam kondisi
dimana pergeseran nilai
berubah dengan sangat cepat
sebagai akibat perubahan yang
mengadung sifat revolusioner.
Menurut Mochtar Kusumaatmadja,
misalnya, berpendapat bahwa
untuk mengetahui fungsi hukum
maka dapat dikembalikan pada
pertayaan dasar, yakni “apakah
tujuan hukum itu”.12 Menurutnya, 12 Otje Salman dan Eddy Damian, Konsep-konsep Hukum dalam Pembangunan: Kumpulan Karya tulis Prof. Dr. Mochtar Kusu-maatmadja, SH, LLM, 2002, hlm.3
tujuan pokok hukum adalah
ketertiban (order) karena ketertiban
merupakan syarat mutlak bagi
adanya suatu masyrakat yang
teratur. Disamping ketertiban,
hukum juga mempunyai tujuan
lain yaitu terwujudnya keadilan
yang berbeda-beda menurut
isi dan ukurannya karena
tergantung pada masyarakat dan
zamannya. Oleh
Karena sangat
menekankan pada
fungsi pencapaian
ketertiban, sifat
hukum pada
dasarnya adalah
k o n s e r v a t i f .
Namun fungsi
ini tidak dapat
dipertahankan sebagai satu-
satunya fungsi utama karena
hukum juga harus berperan
dalam masyarakat yang sedang
membangun. Dalam kaitan
ini Mochtar Kusumaatmadja,
dengan mengadaptasi konsep
fungsi hukum Roscoe Poud
mengenai “law as a tool of social
engineering”, memperkenalkan
konsep hukum sebagai sarana
pembaharuan dan pembangunan.
Menurutnya peranan hukum
dalam pembangunan dan
pembaharuan adalah untuk
peranan hukum dalam pembangunan dan pembaharuan adalah untuk menjamin bahwa perubahan itu terjadi dengan cara yang teratur.
Humanis Volume 2 Tahun X Desember 201414
OPINI
menjamin bahwa perubahan itu
terjadi dengan cara yang teratur.
Dalam pendapatnya
S. Tasrif untuk menanggapi
pendapatnya Mochtar
Kusumaatmadja mengenai
peran hukum dalam masyarakat
“bahwa seluruh produk hukum
yang dihasilkan harus mampu
mewujudkan masyarakat yang
adil dan makmur secara materil
dan spiritual. Memperhatikan
pentingnya fungsi hukum untuk
terwujudnya masyarakat yang
adil dan makmur, maka sudah
sewajarnya seluruh produk
hukum, terutama peraturan
perundang-undangan,13 ditinjau
ulang dan apabila perlu diubah
agar sesuai dengan aspek-aspek
filosofis, yuridis, sosiologis dan
teknik perancangan.14
Dalam periode transisi yang
dalam beberapa hal menunjukkan
perubahan yang penuh gejolak,
antagonisme antara penolakan
tatanan dan nilai lama dnegna
keinginan menciptkan tatanan
dan nilai baru, hukum harus
memainkan peran tambahan. Hal 13 Peraturan perundang-un-dangan masih menjadi sumber hukum utama dalam system hukum di Indonesia14 Pentingnya aspek-aspek ini, lihat Bagir Manan, Dasar-dasar pe-rundang-undangan Indonesia, 1992, hlm 14-20
ini disebabkan “setiap gerakan atau
perubahan yang mengandung sifat
revolusioner atau gerakan rakyat
praktis tidak dapat terhindar dari
situasi “excessive”15, peran-peran
hukum dalam kondisi seperti ini
dapat menjelma dalam berbagai
bentuk:
Pertama, mendorong dan
memberikan arah perubahan
yang dikehendaki atau yang
dicita-citakan. Kedua, menjamin
fungsi kestabilan masyarakat agar
terhindar dari segala bentu excessive
yang timbul akibat refomasi. Guna
manjamin kestabilan tersebut maka
aparat penegak hukum tidak boleh
mempunyai keragu-raguan dalam
upaya penindakan dan penegakan
hukum agar ketentraman dan
ketertiban masyarakt tidak goyah.16
Penutup
Didalam menjalankan
kehidupan berbangsa dan bernegara
haruslah berlandaskan pada nilai-
nilai Pancasila, sehubungan dengan
itu, maka politik pembangunan
hukum semestinya mengikuti hal
tersebut melalui grand design untuk
15 Bagir Manan, “Peran Hukum dalam Pergeseran Nilai sosial budaya masyarakat memasuki era reformasi” makalah disampaikan pada seminar di fakultas hukum ilmu sosial dan ilmu politik UNPAD, Bandung, maret 1999, hlm.816 Ibid hlm.9
merombak tatanan lama menjadi
baru. Disini terjadi tranformasi
nilai-nilai, dimana hukum sebagai
kekuatan pengintegrasian
mengambil peranan yang
penting. Sistem hukum Indonesia
mengemban tugas besar untuk
mentranformasikan nilai-nilai
baru tersebut ke dalam kehidupan
sosial sehari-hari.
Dalam menghadapi tugas
transformasi dan menyusun
grand design tersebut, boleh
memberanikan diri untuk
menggugat asas-asas yang telah
mapan dan mengajukan gagasan
alternatif. Misalnya menggugat
kemapanan Rule of law untuk
digantikan atau setidak-tidaknya
ditandingi oleh Rule of Moral atau
Rule of Justice. (Satjipto Raharjo,
1995, “Transformasi Nilai-nilai
dalam Penemuan Hukum dan
Pembentukan Hukum Nasional”,
Makalah, temu Wicara tentang
Pelaksanaan pembangunan
Hukum PJP II, BPHN – DepKeh,
Jakarta, hal. 26.)
*) Penulis adalah Kepala Sub Bidang Sosialisasi hasil Penelitian pada Puslitbang Hak -hak Kelompok Khusus Balitbang HAM
Humanis Volume 2 Tahun X Desember 2014 15
OPINI
Dalam kehidupan
bermasyarakat dan
bernegara, kegiatan
memenuhi kebutuhan dan
mempertahankan hidup
merupakan bagian penting dari
upaya manusia mewujudkan
kehidupan yang
berkesejahteraan.
Kenyataannya,
upaya manusia
untuk memenuhi
kebutuhan dan
mempertahankan
hidup terkendala
oleh terbatasnya
sumber daya yang ada. Sejarah
mencatat bahwa ribuan tahun
lalu, 3 (tiga) kelompok masyarakat
yang teridentifikasi sebagai
Westia, Tropica, dan Egalia telah
berusaha melakukan pertukaran
komoditas untuk mencukupi
kebutuhan masing-masing.
Perbedaan kondisi geografis
mengakibatkan ketiga kelompok
masyarakat tersebut memiliki
kelebihan dalam bidang tertentu
dan kekurangan pada bidang
lainnya. Pada komunitas Westia
misalnya, dengan kondisi iklim
yang ekstrim berakibat sumber
daya alam yang tersedia sangat
terbatas baik dalam jumlah maupun
jenisnya, namun keterbatasan
tersebut justru mendorong
masyarakatnya untuk lebih mandiri
dan berusaha keras mencukupi
kebutuhan hidupnya. Kondisi
tersebut berbeda dengan yang
terjadi pada komunitas Tropica
yang memiliki sumber daya alam
berlimpah namun kurang mampu
mengelolanya sehingga sebagian
masyarakatnya terpuruk dalam
kemiskinan.1
Pada era globalisasi
saat ini, pertukaran
komoditas untuk
mencukupi kebutuhan
manusia telah
terbingkai dalam
bentuk kegiatan
ekonomi. Kegiatan
ekonomi meliputi
seluruh kegiatan manusia untuk
memenuhi kebutuhan hidup, yang
secara umum dikelompokkan ke
dalam tiga kegiatan utama yaitu,
kegiatan produksi, distribusi,
1 Ralph H. Folsom, et. al, In-ternational Business Transactions A Problem-Oriented Coursebook, Fourth Edition, West Group Publishing, St. Paul Minn, 1999, hlm. 2-11.
Kebijakan KriminalPenanggulangan Tindak Pidana EkonomiEdy Sumarsono*
Berkembangnya tindak pidana perekonomian, menuntut keberadaan kebijakan kriminal dari pemerintah untuk menciptakan kondisi atau situasi perekonomian yang akomodatif.
Humanis Volume 2 Tahun X Desember 201416
OPINI
dan konsumsi. Perkembangan
perekonomian dan dunia usaha
yang semakin pesat, ditambah
lagi dengan kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi,
telah memicu timbulnya
penyimpangan-penyimpangan
dalam aktivitas perekonomian
yang secara faktual
menghadirkan berbagai bentuk
kejahatan yang merupakan
pelanggaran terhadap hukum
pidana. Salah satu dampak
globalisasi ekonomi yang rentan
menimbulkan permasalahan
hukum yang bersifat kompleks,
misalnya penyelenggaraan jasa
transfer dana yang bersifat lintas
negara (cross border), melibatkan
berbagai mata uang dalam
jumlah nominal dan volume yang
besar. Umumnya permintaan
transfer dana dilatar belakangi
dengan adanya suatu kegiatan
antara pengirim dan penerima
(underlying transaction), seperti jual
beli, pembayaran angsuran, tagihan
dan sebagainya namun tidak jarang
kegiatan transaksi tersebut dijadikan
sebagai sarana menyembunyikan
dana hasil kejahatan ke dalam
kegiatan normal dari bisnis.
Di sisi lain proses transfer dana
juga rentan menimbulkan gejolak
perekonomian. Ketika proses
transfer dana gagal di laksanakan
maka dipastikan kegiatan ekonomi
akan terganggu. Kondisi seperti ini
akan memicu timbulnya berbagai
permasalahan di antara para
pihak dalam perekonomian. jika
dilihat dari sisi para pihak yang
terkait didalamnya, kegiatan
transfer dana melibatkan banyak
pihak. Dengan banyaknya
pihak yang terkait didalamnya,
apabila terjadi kegagalan atau
keterlambatan penyampaian
transfer akibat adanya kejahatan
bisnis, dapat berdampak
pada ketidakmampuan bank
atau lembaga penyelenggara
transfer dana lainnya dalam
menyelesaikan transfer dana,
maka kondisi ini berpotensi
secara sistemik menyebabkan
salah satu atau lebih pihak
mengalami kerugian.2
Menghadapi era keterbukaan
dalam bidang perekonomian yang
dipengaruhi oleh kebebasan pasar
yang telah memicu timbulnya
berbagai bentuk kejahatan di
bidang perekonomian, kiranya
perlu dipikirkan perlindungan
atas perekonomian di
Indonesia. Ketika terjadi
gejolak dalam perekonomian,
sering orang berpendapat
hal demikian adalah semata-
mata kesalahan Pemerintah
dalam mengambil kebijakan di
bidang perekonomian.3 Bahkan,
para nasabah bank yang
menjadi korban dilakukannya
likuidasi beberapa bank,
menganggap Pemerintah yang
menjadi penyebabnya. Inipun
2 Lihat Naskah Akademis Rancangan Undang-Undang Transfer Dana, hlm. 4.3 Loebby Loqman, Kapita Selekta Tindak Pidana di bidang Per-ekonomian, Jakarta:Datacom, 2001, hlm. 1.
http
://as
sets
.kom
pasi
ana.
com
/sta
tics/
files
/140
1810
7593
8145
0624
.jpg
Humanis Volume 2 Tahun X Desember 2014 17
dipergunakan oleh pimpinan bank
bersangkutan untuk mencari
kambing hitamnya.4
Atas dasar pemikiran tersebut,
selain diperlukan adanya kajian
dari perspektif ekonomi tentang
keadaan perekonomian berikut
gejolaknya, tidak dapat dipungkiri
bahwa bidang hukum harus
ikut pula melakukan analisis
yuridis terhadap perekonomian
di Indonesia. Berkembangnya
tindak pidana perekonomian,
menuntut keberadaan kebijakan
kriminal dari pemerintah untuk
menciptakan kondisi atau situasi
perekonomian yang akomodatif.
Penegakan hukum pidana
ekonomi pada hakekatnya
merupakan penyampuran dua
nilai, yaitu tujuan hukum pidana
dan tujuan penciptaan kondisi
perekonomian yang kondusif
untuk itu hukum pidana harus
dapat menyeimbangkan dan
menyerasikan kedua nilai tersebut
serta sekaligus bertindak sebagai
4 Ibid.
ultimum remedium.
Paling tidak muncul dua pertanyaan
yang menarik untuk dijawab, yaitu
(1) Bagaimanakah kebijakan
kriminal penanggulangan tindak
pidana ekonomi? (2) Aspek-
aspek socio-legal apa saja
yang perlu dipertimbangkan
dan mendapat perhatian serius
dari pemerintah dalam rangka
pembaharuan kebijakan kriminal
penanggulangan tindak pidana
ekonomi?
Dari sisi hukum, L.M Friedmen
mengungkapkan ada tiga
elemen atau aspek dari suatu
sistem hukum, yaitu structur,
substance dan legal culture. Aspek
pertama adalah structure, yaitu
menyangkut lembaga-lembaga
yang berwenang membuat dan
melaksanakan undang-undang
antara lain lembaga pengadilan
dan lembaga legislatif. Aspek
kedua adalah subtance, yaitu
materi atau bentuk dari peraturan
perundang-undangan. Aspek
ketiga adalah legal culture, yaitu
sikap orang terhadap hukum
dan sistem hukum menyangkut
kepercayaan akan nilai pikiran
atau ide dan harapan mereka.5
Friedman menemukan 4 fungsi
sistem hukum. Pertama, sebagai
bagian dari sistem kontrol sosial
(social control) yang mengatur
perilaku manusia. Kedua, sebagai
sarana untuk menyelesaikan
sengketa (dispute settlemen).
Ketiga, sistem hukum memiliki
fungsi sebagai social engineering
function. Keempat, hukum sebagai
social maintenance, berfungsi
menekan peranan hukum sebagai
pemeliharaan “status quo” yang
tidak menginginkan perubahan.
Sunaryati Hartono berpendapat
bahwa hukum itu tidak hanya
secara pasif menerima dan
mengalami pengaruh dan
nilai-nilai sosial budaya dalam
masyarakat, akan tetapi secara
aktif harus mempengaruhi pula 5. Lawrence M. Friedman, Amirican Law, New York: W.W.Norton & Compa-ny, 1984, hlm. 5-6
OPINI
gam
bar :
http
://w
ww
.pcp
lus.
co.id
/wp-
cont
ent/u
ploa
ds/2
013/
10/c
uci-u
ang.
jpg
Humanis Volume 2 Tahun X Desember 201418
OPINI
timbulnya nilai-nilai sosial budaya
yang baru.6
Mochtar Kusumaatmadja
mengemukakan bahwa hukum
sebagai kaidah sosial, tidak
terlepas dari nilai (values) yang
berlaku di suatu masyarakat,
bahkan dapat dikatakan
bahwa hukum itu merupakan
pencerminan dari nilai-nilai yang
berlaku dalam masyarakat.
Hukum yang baik adalah hukum
yang sesuai dengan hukum
yang hidup (the living law)
dalam masyarakat, yang tentu
sesuai pula atau merupakan
pencerminan dari nilai-nilai yang
berlaku dalam masyarakat itu.
Nilai-nilai itu tidak terlepas
dari sikap (attitude) dan sifat-
sifat yang (seharusnya) dimiliki
orang-orang yang menjadi
anggota masyarakat yang
sedang membangun itu. Tanpa
perubahan sikap-sikap dan sifat
ke arah yang diperlukan oleh
suatu kehidupan yang modern,
maka segala “pembangunan”
dalam arti benda fisik, akan
sedikit sekali artinya. Hal ini sudah
dibuktikan oleh pemborosan-
pemborosan yang terjadi di
banyak negara yang sedang
6. Sunaryati Hartono, Kapita Selekta Hukum Ekonomi, Jakarta:Binacipta, 1976, hlm 5.
berkembang yang mengabaikan
aspek ini. Jadi hakekat dari masalah
pembangunan nasional adalah
masalah pembaharuan cara berfikir
dan sikap hidup.7
Di dalam masyarakat yang modern
atau pramodern terdapat suatu
kecenderungan untuk merumuskan
kaedah-kaedah hukum dalam
bentuk tertulis secara resmi dan
pada umumnya disebut perundang-
undangan (untuk selanjutnya akan
dipergunakan istilah hukum secara
bergantian) yang berisi seperangkat
peraturan dengan hirarki tertentu.
Tujuan utama untuk menjamin
kepastian hukum di dalam
masyarakat dan bagi para penegak
hukum merupakan suatu landasan
yang kokoh untuk menerapkan
atau melaksanakan tugas sebagai
hamba hukum.
Menurut G. Peter Hoefnagels yang
menyatakan, criminal policy is the
rational organization of the social
reaction to crime.8 Hal ini berarti
bahwa politik criminal adalah usaha
yang rasional dari masyarakat
untuk menanggulangi kejahatan.
Kebijakan hukum pidana (penal
7. Mochtar Kusumaatmadja, Fungsi dan Perkembangan Dalam Pembangunan Nasional, Bandung: Lembaga Penelitian Hukum dan Kriminologi Hukum Univer-sitas Padjajaran, 1976, hlm. 10.8. G. Peter #hoefnagels, Op.cit., hlm. 57.
policy) adalah merupakan
suatu ilmu sekaligus seni yang
mempunyai tujuan praktis
untuk memungkinkan peraturan
hukum positif dirumuskan secara
lebih baik untuk memberikan
pedoman kepada pembuat
undang-undang, pengadilan yang
menetapkan undang-undang,
dan kepada para pelaksana
putusan pengadilan. Kebijakan
hukum pidana (penal policy)
tersebut merupakan salah satu
komponen dari modern criminal
science di samping criminology
dan criminal law. Kebijakan non
penal (non penal policy) adalah
kebijakan penanggulangan
dengan menggunakan
sarana di luar hukum pidana,
misalnya penyantunan dan
pendidikan sosial dalam rangka
mengembangkan tanggungjawab
sosial masyarakat, penggarapan
kesehatan jiwa masyarakat
melalui pendidikan moral, agama
dan sebagainya.
*) Penulis adalah Kepala Subbidang Pelaksanaan Penelitian Hak-hak Sipil dan Politik padaPusat Penelitian dan Pengembangan Hak-hak sipil dan PolitikBadan Penelitian dan Pengembangan
Hak Asasi Manusia
Humanis Volume 2 Tahun X Desember 2014 19
FOKUS
Riset atau penelitian sering
dideskripsikan sebagai
suatu proses investiga-
si yang dilakukan dengan aktif,
tekun, dan sistimatik, yang bertu-
juan untuk menemukan, mengin-
terpretasikan, dan merevisi fakta-
fakta. Penyelidikan intelektual ini
menghasilkan suatu pengetahuan
yang lebih mendalam mengenai
suatu peristiwa, tingkah laku,
teori, dan hukum, serta membuka
peluang bagi penerapan praktis
dari pengetahuan tersebut. Istilah
ini juga digunakan untuk men-
jelaskan suatu koleksi informasi
menyeluruh mengenai
suatu subyek tertentu,
dan biasanya dihubung-
kan dengan hasil dari
suatu ilmu atau metode
ilmiah. Kata ini dise-
rap dari kata bahasa
Inggris research yang
diturunkan dari bahasa
Perancis yang memiliki
arti harfiah “menyelidiki
secara tuntas”.
Sebuah riset yang baik
akan menghasilkan:
Produk atau inovasi baru yang da-
pat langsung dipakai oleh industri
(bukan hanya sebatas prototipe)
Paten
Publikasi di jurnal internasional
Penelitian banyak bersinggungan
dengan pemikiran kritis, rasional,
logis (nalar), dan analitis, sehing-
ga akhirnya penggunaan metode
ilmiah (scientific method) adalah
hal yang jamak dan disepakati
umum dalam penelitian. Metode il-
miah juga dinilai lebih bisa diukur,
dibuktikan dan dipahami dengan
indera manusia. Penelitian yang
menggunakan metode ilmiah
disebut dengan penelitian ilmiah
(scientific research).
Ketidakpuasan manusia terhadap
cara-cara non-ilmiah (unscientific)
membuat manusia menggunakan
cara berpikir deduktif atau induk-
tif. Kemudian orang mulai me-
madukan cara berpikir deduktif
dan induktif, dimana perpaduan
ini disebut dengan berpikir reflek-
tif (reflective thinking). Diperke-
nalkan oleh John Dewey, yang
akhirnya menjadi dasar metode
penelitian ilmiah. Tahapannya
adalah:
The Felt Need (adanya
suatu kebutuhan): Sese-
orang merasakan adanya
suatu kebutuhan yang
menggoda perasaanya
sehingga dia berusaha
mengungkapkan kebutuh-
an tersebut.
The Problem (menetapkan
masalah): Dari kebutuh-
an yang dirasakan pada
tahap the felt need di
atas, diteruskan dengan
Mengenal Jenis Metode Penelitian Indah Kurnianingsih, S.H.*
Humanis Volume 2 Tahun X Desember 201420
FOKUS
merumuskan, menempatkan
dan membatasi permasalahan
(kebutuhan). Penemuan terha-
dap kebutuhan dan masalah
boleh dikatakan parameter yang
sangat penting dan menentukan
kualitas penelitian. Studi literatur,
diskusi, dan pembimbingan dila-
kukan sebenarnya untuk mene-
tapkan kebutuhan dan masalah
yang akan diteliti.
The Hypothesis (menyusun hipo-
tesis): Jawaban atau pemecahan
masalah sementara yang masih
merupakan dugaan yang dihasil-
kan misalnya dari pengalaman,
teori dan hukum yang ada.
Collection of Data as Evidance
(merekam data untuk pembuk-
tian): Membuktikan hipotesis
dengan eksperimen, pengujian
dan merekam data di lapangan.
Berbagai data dihubungkan satu
dengan yang lain untuk ditemu-
kan kaitannya. Proses ini disebut
dengan analisis. Kegiatan anali-
sis dilengkapi dengan kesimpul-
an yang mendukung atau meno-
lak hipotesis.
Concluding Belief (kesimpulan
yang diyakini kebenarannya):
Berdasarkan analisis yang di-
lakukan pada tahap ke-4, dibu-
atlah sebuah kesimpulan yang
diyakini mengandung kebenaran,
khususnya untuk kasus yang diuji.
General Value of the Conclusion
(memformulasikan kesimpulan
umum): Kesimpulan yang diha-
silkan tidak hanya berlaku untuk
kasus tertentu, tetapi merupakan
kesimpulan (bisa berupa teori,
konsep dan metode) yang bisa
berlaku secara umum, untuk kasus
lain yang memiliki kemiripan-kemi-
ripan tertentu dengan kasus yang
telah dibuktikan di atas.
Kalau ada pertanyaan untuk apa
penelitian perlu dilakukan? Mung-
kin beberapa jawabannya adalah:
Memecahkan atau menyelesaikan
permasalahan yang dihadapi
Menemukan, mengembangkan dan
memperbaiki teori
Menemukan, mengembangkan dan
memperbaiki metode kerja
Jenis-jenis penelitian sangat
beragam macamnya, disesuaikan
dengan cara pandang dan dasar
keilmuan yang dimiliki oleh para
pakar dalam memberikan klasi-
fikasi akan jenis penelitian yang
diungkapkan. Namun demikian,
jenis penelitian secara umum dapat
digolongkan sebagaimana yang
akan dipaparkan berikut ini.
JENIS PENELITIAN MENURUT
PENDEKATAN ANALITIK
Dilihat dari pendekatan analisisnya,
penelitian dibagi menjadi dua
macam, yaitu: penelitian kuanti-
tatif dan penelitian kualitatif.
1. Jenis penelitian kuantitatif
Penelitian dengan pendekatan
kuantitatif menekankan ana-
lisisnya pada data- numerikal
(angka-angka) yang diolah
dengan metoda statistik. Pada
dasarnya pendekatan kuantitatif
dilakukan pada jenis penelitian
inferensial dan menyandarkan
kesimpulan hasil penelitian pada
suatu probabilitas kesalahan pe-
nolakan hipotesis nihil. Dengan
metoda kuantitatif akan diperoleh
signifikansi perbedaan kelom-
pok atau signifikansi hubungan
antar variabel yang diteliti. Pada
umumnya, penelitian kuantitaif
merupakan penelitian dengan
jumlah sampel besar.
Bila disederhanakan penelitian
berdasarkan pendekatan kuan-
titatif secara mendalam dibagi
menjadi: penelitian deskriptif dan
penelitian inferensial.
a. Penelitian deskriptif
Penelitian deskriptif melakukan
analisis hanya sampai taraf
deskripsi, yaitu menganalisis dan
menyajikan data secara sistema-
tik, sehingga dapat lebih mudah
untuk difahami dan disimpulkan.
Penelitian deskriptif bertujuan
Humanis Volume 2 Tahun X Desember 2014 21
FOKUS
menggambarkan secara sistema-
tik dan akurat fakta dan karak-
teristik mengenai populasi atau
mengenai bidang tertentu. Anali-
sis yang sering digunakan adalah:
analisis persentase dan analisis
kecenderungan. Kesimpulan
yang dihasilkan tidak bersifat
umum. Jenis penelitian deskriptif
yang cukup dikenal adalah peneli-
tian survei.
b. Penelitian inferensial
Penelitian inferensial melakukan
analisis hubungan antar varia-
bel dengan pengujian hipotesis.
Dengan demikian, kesimpulan pe-
nelitian jauh melebihi sajian data
kuantitatif saja, dan kesimpulan-
nya adakalanya bersifat umum.
2. Jenis penelitian kualitatif
Penelitian dengan pendekatan
kualitatif pada umumnya mene-
kankan analisis proses dari pro-
ses berfikir secara deduktif dan
induktif yang berkaitan dengan
dinamika hubungan antar feno-
mena yang diamati, dan senanti-
asa menggunakan logika ilmiah.
Penelitian kualitatif tidak berarti
tanpa menggunakan dukungan
dari data kuantitatif, akan tetapi
lebih ditekankan pada kedalaman
berfikir formal dari peneliti dalam
menjawab permasalahan yang
dihadapi.
Penelitian kualitatif bertujuan
untuk mengembangkan konsep
sensitivitas pada masalah yang
dihadapi, menerangkan realitas
yang berkaitan dengan penelu-
suran teori dari bawah (grounded
theory), dan mengembangkan
pemahaman akan satu atau lebih
dari fenomena yang dihadapi.
JENIS PENELITIAN MENURUT
TUJUAN
1. Penelitian Eksploratif
Jenis penelitian eksploratif adalah
jenis penelitian yang bertujuan
untuk menemukan sesuatu yang
baru. Sesuatu yang baru itu dapat
saja berupa pengelompokkan
suatu gejala, fakta, dan penyakit
tertentu. Penelitian ini banyak
memakan waktu dan biaya.
2. Penelitian Pengembangan
Jenis penelitian pengembangan
bertujuan untuk mengembang-
kan aspek ilmu pengetahuan.
Misalnya: penelitian yang
meneliti tentang pemanfaatan
terapi gen untuk penyakit-
penyakit menurun.
3. Penelitian Verifikatif
Jenis penelitian ini bertuju-
an untuk menguji kebenaran
suatu fenomena. Misalnya saja,
masyarakat mempercayai bahwa
air sumur Pak Daryan mampu
mengobati penyakit mata dan ku-
lit. Fenomena ini harus dibuktikan
secara klinik dan farmakologik,
apakah memang air tersebut me-
ngandung zat kimia yang dapat
menyembuhkan penyakit mata.
JENIS PENELITIAN MENURUT
RANCANGAN
Ada beberapa jenis penelitian
yang didasarkan pada rancangan
yang digunakan untuk memper-
oleh data, misalnya penelitian
korelasional, kausal-komparatif,
eksperimen, dan penelitian tin-
dakan (action research).
1. Penelitian Korelasional (corre-
lational research)
Tujuan penelitian korelasional
adalah
Humanis Volume 2 Tahun X Desember 201422
FOKUS
untuk mendeteksi sejauh mana
variasi-variasi pada suatu faktor
berhubungan dengan variasi-
variasi pada satu atau lebih
faktor lain berdasarkan pada
koefisien korelasi.
Contoh penelitian korela-
sional yang umum dilakukan:
Studi yang mempelajari hubung-
an antara skor pada test masuk
perguruan tinggi dengan indeks
prestasi semester pada maha-
siswa STIKes di Wilayah Jawa
Barat.
Studi analisis faktor mengenai
hubungan antara tingkat penge-
tahuan, pendidikan, dan status
sosial dengan pemilihan jenis
persalinan di desa tertinggal.
2. Penelitian Kausal-Komparatif
(causal-comparative research)
Tujuan penelitian kausal-kom-
paratif adalah untuk menyelidiki
kemungkinan hubungan sebab-
akibat dengan berdasar atas
pengamatan terhadap akibat
yang ada dan mencari kembali
faktor yang mungkin menjadi
penyebab melalui data tertentu.
Penelitian kausal-komperatif
bersifat ex post facto, artinya
data dikumpulkan setelah se-
mua kejadian yang dipersoalkan
berlangsung (lewat). Peneliti
mengambil satu atau lebih akibat
sebagai “dependent variable” dan
menguji data itu dengan mene-
lusuri kembali ke masa lampau
untuk mencari sebab-sebab, saling
hubungan, dan maknanya.
3. Penelitian Eksperimental-Sung-
guhan (true-experimental research)
Tujuan penelitian eksperimental
sungguhan adalah untuk menyeli-
diki kemungkinan saling hubungan
sebab-akibat dengan cara me-
ngenakan kepada satu atau lebih
kelompok eksperimental dengan
satu atau lebih kondisi perlakuan
dan memperbandingkan hasilnya
dengan satu atau lebih kelompok
kontrol yang tidak dikenai kondisi
perlakuan.
Ciri utama dari penelitian eksperi-
men meliputi (a) Pengaturan vari-
abel-variabel dan kondisi-kondisi
eksperimental secara tertib-ketat,
baik dengan kontrol atau mani-
pulasi langsung maupun dengan
randomisasi (pengaturan secara
rambang); (b) Secara khas meng-
gunakan kelompok kontrol sebagai
“garis dasar” untuk dibandingkan
dengan kelompok (kelompok-
kelompok) yang dikenai perlakuan
eksperimental; (c) Memusatkan
usaha pada pengontrolan varians
dengan cara: pemilihan subyek
secara acak, penempatan subyek
dalam kelompok-kelompok secara
rambang, dan penentuan per-
lakuan eksperimental kepada
kelompok secara rambang; (d)
Validitas internal merupakan tuju-
an pertama metode eksperimen-
tal; (e) Tujuan ke dua metode
eksperimental adalah validitas
eksternal; (f) Dalam rancangan
eksperimental yang klasik, se-
mua variabel penting diusahakan
agar konstan kecuali variabel
perlakuan yang secara sengaja
dimanipulasikan atau dibiarkan
bervariasi.
4. Penelitian Eksperimental-
Semu (quasi-experimental
research)
Tujuan penelitian eksperimental-
semu adalah untuk memperoleh
informasi yang merupakan per-
kiraan bagi informasi yang dapat
diperoleh dengan eksperimen
yang sebenarnya dalam keadaan
yang tidak memungkinkan untuk
mengontrol dan/atau memani-
pulasikan semua variabel yang
relevan. Si peneliti harus dengan
jelas mengerti kompromi apa
yang ada pada validitas internal
dan validiti eksternal rancangan-
nya dan berbuat sesuai dengan
keterbatasan-keterbatasan
tersebut.
Ciri penelitian eksperimen semu
meliputi (a) Penelitian eksperi-
Humanis Volume 2 Tahun X Desember 2014 23
FOKUS
mental-semu secara khas me-
ngenai keadaan praktis, yang di
dalamnya adalah tidak mungkin
untuk mengontrol semua variabel
yang relevan kecuali bebera-
pa dari variabel tersebut; (b)
Subyek penelitian adalah manu-
sia, misalnya dalam mengukur
aspek minat, sikap, dan perilaku;
(c) Tetap dilakukan randomisasi
untuk sampel, sehingga validitas
internal masih dapat dijaga.
5. Penelitian Tindakan (action
research)
Penelitian tindakan bertujuan
mengembangkan keterampilan-
keterampilan baru atau cara
pendekatan baru dan untuk
memecahkan masalah dengan
penerapan langsung di dunia ker-
ja atau dunia aktual yang lain.
Contoh penelitian tindakan misal-
nya adalah:
Penelitian tentang pelaksanaan
suatu program inservice training
untuk melatih para konselor be-
kerja dengan anak putus sekolah;
Penelitian untuk menyusun pro-
gram penjajagan dalam pence-
gahan kecelakaan pada pendidik-
an pengemudi;
Penelitian untuk memecahkan
masalah apatisme dalam penggu-
naan teknologi modern atau me-
tode menanam padi yang inovatif.
Ciri penelitian tindakan adalah (a)
Praktis dan langsung relevan un-
tuk situasi aktual dalam dunia ker-
ja; (b) Menyediakan rangka-kerja
yang teratur untuk pemecahan
masalah dan perkembangan baru;
(c) Penelitian mendasarkan diri
kepada observasi aktual dan data
mengenai tingkah laku, dan tidak
berdasar pada pendapat subyektif
yang didasarkan pada pengalam-
an masa lampau; (d) Fleksibel
dan adaptif, membolehkan peru-
bahan selama masa penelitiannya
dan mengorbankan kontrol untuk
kepentingan on-the spot experi-
mentation dan inovasi.
Demikian beberapa jenis peneliti-
an yang dikenal secara umum dari
sisi metodologi. Tantangan bagi
Balitbang HAM sebagai salah satu
institusi penelitian dan pengem-
bangan adalah apakah mampu
mengambil peluang dari berbagai
jenis penelitian tersebut untuk
dapat diterapkan dalam kegiat-
an Balitbang HAM. Hal tersebut
tentunya memperkaya wawasan
dan terapan dari kegiatan inti
organisasi.
Sumber :
Badriah, D.L. 2006. Studi
Kepustakaan, Menyusun
Kerangka Teoritis, Hipotesis
Penelitian dan Jenis
Penelitian.
http://www.kopertis4.or.id/
Pages/data%20
2006/kelembagaan/
studi_kepustakaan_
DR%5B1%5D._Dewi.Doc
Mart, T. 2006. Iptek Indonesia.
Berada di Titik Nadir, Siapa
Bertanggung Jawab?
Kompas, Senin, 8 Mei 2006
http://www.ktiguru.org/index.php/
interpretatif-2
http://id.wikipedia.org/wiki/
Penelitian
*) Penulis adalah Kepala Bidang Penelitian Puslitbang Transformasi
Konflik Badan Penelitian dan
Pengembangan HAM
Humanis Volume 2 Tahun X Desember 201424
FOKUS
Pada awalnya yang pertama
muncul adalah filsafat
dan ilmu-ilmu khusus
merupakan bagian dari filsafat.
Sehingga dikatakan bahwa filsafat
merupakan induk atau ibu dari
semua ilmu (mother scientiarum).
Karena objek material filsafat
bersifat umum, yaitu seluruh
kenyataan, pada hal ilmu-
ilmu membutuhkan
objek khusus. Hal
ini menyebabkan
berpisahnya ilmu dari
filsafat.
Dalam perkembangan
berikutnya, filsafat tidak saja
dipandang sebagai induk dan
sumber ilmu, tetapi sudah
merupakan bagian dari ilmu itu
sendiri, yang juga mengalami
spesialisasi. Dalam taraf
peralihan ini filsafat tidak
mencakup keseluruhan,
tetapi sudah menjadi sektoral.
Contohnya filsafat agama, filsafat
hukum, dan filsafat ilmu adalah
bagian dari perkembangan filsafat
yang sudah menjadi sektoral dan
terkotak dalam satu bidang tertentu.
Dalam konteks inilah kemudian
ilmu sebagai kajian filsafat sangat
r e l e v a n untuk dikaji
dan didalami (Bakhtiar, 2005).
Meskipun pada perkembangannya
masing-masing ilmu memisahkan
diri dari filsafat, ini tidak berarti
hubungan filsafat dengan ilmu-ilmu
khusus menjadi terputus. Dengan
ciri kekhususan yang dimiliki setiap
ilmu, hal ini menimbulkan batas-
batas yang tegas di antara masing-
masing ilmu. Dengan kata lain
tidak ada bidang pengetahuan
yang menjadi penghubung ilmu-
ilmu yang terpisah. Di sinilah
filsafat berusaha untuk menyatu
padukan masing-masing
ilmu. Tugas filsafat adalah
mengatasi spesialisasi
dan merumuskan
suatu pandangan
hidup yang didasarkan
atas pengalaman
kemanusiaan yang luas.
Ada hubungan timbal
balik antara ilmu dengan
filsafat. Banyak masalah filsafat
yang memerlukan landasan
pada pengetahuan ilmiah
apabila pembahasannya tidak
ingin dikatakan dangkal dan
keliru. Ilmu dewasa ini dapat
menyediakan bagi filsafat
sejumlah besar bahan yang
berupa fakta-fakta yang sangat
penting bagi perkembangan ide-
PERANAN FILSAFAT ILMU DALAM PENGETAHUANSabir*
Filsafat ilmu merupakan su-
atu bidang pengetahuan campuran yang eksistensi
dan pemekarannya bergantung pada hubungan timbal-balik dan saling-pengaruh antara
filsafat dan ilmu.
Humanis Volume 2 Tahun X Desember 2014 25
FOKUS
ide filsafati yang tepat sehingga
sejalan dengan pengetahuan
ilmiah (Siswomihardjo, 2003).
Akumulasi penelaahan empiris
dengan menggunakan rasionalitas
yang dikemas melalui metodologi
diharapkan dapat menghasilkan
dan memperkuat ilmu pengetahuan
menjadi semakin rasional. Akan
tetapi, salah satu kelemahan
dalam cara berpikir ilmiah adalah
justru terletak pada penafsiran
cara berpikir ilmiah sebagai
cara berpikir rasional, sehingga
dalam pandangan yang dangkal
akan mengalami kesukaran
membedakan pengetahuan
ilmiah dengan pengetahuan yang
rasional. Oleh sebab itu, hakikat
berpikir rasional sebenarnya
merupakan sebagian dari berpikir
ilmiah sehingga kecenderungan
berpikir rasional ini menyebabkan
ketidakmampuan menghasilkan
jawaban yang dapat dipercaya
secara keilmuan melainkan
berhenti pada hipotesis yang
merupakan jawaban sementara.
Berfilsafat sesungguhnya
dilakukan dalam masyarakat.
Kenyataan ini menunjukkan
bahwa pada hakekatnya filsafat
pun membantu masyarakat
dalam memecahkan masalah-
masalah kehidupan. Salah
satu tujuan tulisan ini adalah
menunjukkan bantuan apa yang
dapat diberikan filsafat kepada
hidup masyarakat. Selain filsafat,
ilmu-ilmu pengetahuan pun pada
umumnya membantu manusia
dalam mengorientasikan diri
dalam dunia. Akan tetapi, ilmu-
ilmu pengetahuan, seperti biologi,
kimia, fisiologi, ekonomi, dan lain
sebagainya secara hakiki terbatas
sifatnya. Untuk menghasilkan
pengetahuan yang setepat
mungkin, semua ilmu tersebut
membatasi diri pada tujuan atau
bidang tertentu. Untuk meneliti
bidang itu secara optimal, ilmu-
ilmu semakin mengkhususkan
metode-metode mereka.
Dengan demikian, ilmu-ilmu
tersebut tidak membahas
pertanyaan-pertanyaan yang
menyangkut manusia sebagai
keseluruhan dan sebagai
kesatuan yang utuh. Padahal
pertanyaan-pertanyaan itu terus-
menerus dikemukakan manusia
dan sangat penting bagi praksis
kehidupan manusia. Pertanyaan-
pertanyaan mendasar tentang
apa arti dan tujuan hidup
manusia, apa kewajiban dan
tanggung jawab saya sebagai
manusia, atau pun pertanyaan
tentang dasar pengetahuan kita,
tentang metode-metode ilmu-
ilmu, dan lain sebagainya, tidak
mampu ditangani ilmu-ilmu
pengetahuan. Padahal jawaban
yang diberikan secara mendalam
dapat mempengaruhi penentuan
orientasi dasar kehidupan
manusia. Di sinilah filsafat
memainkan peranannya.
Pengertian Filsafat
Perkataan Inggris philosophy
yang berarti filsafat berasal dari
kata Yunani “philosophia” yang
lazim diterjemahkan sebagai
cinta kearifan. Akar katanya ialah
philos (philia, cinta) dan sophia
(kearifan). Menurut pengertiannya
yang semula dari zaman Yunani
Kuno itu filsafat berarti cinta
kearifan. Namun, cakupan
pengertian sophia yang semula itu
ternyata luas sekali. Dahulu
sophia tidak hanya
b e r a r t i
kearifan
s a j a ,
me la inkan
meliputi pula
k e b e n a r a n
p e r t a m a ,
pengetahuan
luas, kebajikan
Humanis Volume 2 Tahun X Desember 201426
FOKUS
intelektual, pertimbangan sehat
sampai kepandaian pengrajin
dan bahkan kecerdikan
dalam memutuskan soal-soal
praktis (The Liang Gie, 1999).
Menurut Merriam-Webster
(dalam Soeparmo, 1984),
secara harafiah filsafat berarti
cinta kebijaksanaan. Maksud
sebenarnya adalah pengetahuan
tentang kenyataan-kenyataan
yang paling umum dan kaidah-
kaidah realitas serta hakekat
manusia dalam segala aspek
perilakunya seperti: logika, etika,
estetika dan teori pengetahuan.
Pengertian Filsafat Ilmu
Menurut The Liang Gie (1999),
filsafat ilmu adalah segenap
pemikiran reflektif terhadap
persoalan-persoalan mengenai
segala hal yang menyangkut
landasan ilmu maupun hubungan
ilmu dengan segala segi dari
kehidupan manusia. Filsafat
ilmu merupakan suatu bidang
pengetahuan campuran yang
eksistensi dan pemekarannya
bergantung pada hubungan
timbal-balik dan saling-pengaruh
antara filsafat dan ilmu.
Filsafat ilmu merupakan
penerusan pengembangan
filsafat pengetahuan. Objek
dari filsafat ilmu adalah ilmu
pengetahuan. Oleh karena itu,
setiap saat ilmu itu berubah
mengikuti perkembangan zaman
dan keadaan tanpa meninggalkan
pengetahuan lama. Pengetahuan
lama tersebut akan menjadi pijakan
untuk mencari pengetahuan baru.
Hal ini senada dengan ungkapan
dari Archie J.Bahm (1980) bahwa
ilmu pengetahuan (sebagai teori)
adalah sesuatu yang selalu
berubah.
Dalam perkembangannya filsafat
ilmu mengarahkan pandangannya
pada strategi pengembangan ilmu
yang menyangkut etik dan heuristik.
Bahkan sampai pada dimensi
kebudayaan untuk menangkap tidak
saja kegunaan atau kemanfaatan
ilmu, tetapi juga arti maknanya
bagi kehidupan manusia (Koento
Wibisono dkk., 1997).
Pengertian Ilmu Pengetahuan
Ilmu pengetahuan adalah seluruh
usaha sadar untuk menyelidiki,
menemukan, dan meningkatkan
pemahaman manusia dari berbagai
segi kenyataan dalam alam
manusia. Beberapa pendapat para
ahli tentang ilmu pengetahuan
antara lain disampaikan:
- Harold H. Titus
mendefinisikan “Ilmu
(Science) diartikan
sebagai common
science yang diatur
dan diorganisasikan,
mengadakan pendekatan
terhadap benda-benda
atau peristiwa-peristiwa
dengan menggunakan
metode-metode observasi
yang teliti dan kritis”.
- Dr. Mohammad
Hatta mendefinisikan
“Tiap-tiap ilmu
pengetahuan yang teratur
tentang pekerjaan kausal
dalam satu golongan
masalah yang sama
tabiatnya, baik menurut
kedudukannya tampak
dari luar maupun menurut
bangunannya dari dalam”.
- J. Habarer mendefinisikan
“Suatu hasil aktivitas
manusia yang merupakan
kumpulan teori, metode
dan praktek dan
menjadi pranata dalam
masyarakat”.
- The Liang Gie
mendefinisikan “Ilmu
sebagai pengetahuan,
artinya ilmu adalah
sesuatu kumpulan yang
sistematis, atau sebagai
kelompok pengetahuan
Humanis Volume 2 Tahun X Desember 2014 27
FOKUS
teratur mengenai pokok
soal atau subject matter.
Dengan kata lain bahwa
pengetahuan menunjuk
pada sesuatu yang
merupakan isi substantif
yang terkandung dalam
ilmu”.
Menurut The Liang Gie (1987)
ilmu pengetahuan mempunyai 5
ciri pokok, yaitu:
1. Empiris, pengetahuan itu
diperoleh berdasarkan
pengamatan dan percobaan.
2. Sistematis, berbagai
keterangan dan data yang
tersusun sebagai kumpulan
pengetahuan itu mempunyai
hubungan ketergantungan
dan teratur.
3. Objektif, ilmu berarti
pengetahuan itu bebas dari
prasangka perseorangan dan
kesukaan pribadi.
4. Analitis, pengetahuan ilmiah
berusaha membeda-bedakan
pokok soalnya ke dalam
bagian yang terperinci untuk
memahami berbagai sifat,
hubungan, dan peranan dari
bagian-bagian itu.
5. Verifikatif, dapat diperiksa
kebenarannya oleh siapa pun
juga.
Peranan filsafat dalam Ilmu
pengetahuan
Semakin banyak manusia tahu,
semakin banyak pula pertanyaan
yang timbul dalam dirinya.
Manusia ingin tahu tentang asal
dan tujuan hidup, tentang dirinya
sendiri, tentang nasibnya, tentang
kebebasannya, dan berbagai hal
lainnya. Sikap seperi ini pada
dasarnya sudah menghasilkan
pengetahuan yang sangat
luas, yang secara metodis dan
sistematis dapat dibagi atas
banyak jenis ilmu.
Ilmu-ilmu pengetahuan pada
umumnya membantu manusia
dalam mengorientasikan diri
dalam dunia dan memecahkan
berbagai persoalan hidup.
Berbeda dari binatang, manusia
tidak dapat membiarkan insting
mengatur perilakunya. Untuk
mengatasi masalah-masalah,
manusia membutuhkan kesadaran
dalam memahami lingkungannya.
Di sinilah ilmu-ilmu membantu
manusia mensistematisasikan
apa yang diketahui manusia
dan mengorganisasikan proses
pencariannya.
Pada abad modern ini, ilmu-ilmu
pengetahuan telah merasuki setiap
sudut kehidupan manusia. Hal
ini tidak dapat dipungkiri karena
ilmu-ilmu pengetahuan banyak
membantu manusia mengatasi
berbagai masalah kehidupan.
Prasetya T. W. dalam artikelnya
yang berjudul “Anarkisme dalam
Ilmu Pengetahuan Paul Karl
Feyerabend” mengungkapkan
bahwa ada dua alasan mengapa
ilmu pengetahuan menjadi begitu
unggul. Pertama, karena ilmu
pengetahuan mempunyai metode
yang benar untuk mencapai hasil-
hasilnya. Kedua, karena ada
hasil-hasil yang dapat diajukan
sebagai bukti keunggulan ilmu
pengetahuan. Dua alasan yang
diungkapkan Prasetya tersebut,
dengan jelas menunjukkan bahwa
ilmu pengetahuan memainkan
peranan yang cukup penting dalam
kehidupan umat manusia. Akan
tetapi, ada pula tokoh yang justru
anti terhadap ilmu pengetahuan,
dalam hal ini adalah Paul Karl
Feyerabend. Sikap anti ilmu
pengetahuannya ini, tidak berarti
anti terhadap ilmu pengetahuan
itu sendiri, tetapi anti terhadap
kekuasaan ilmu pengetahuan
yang kerap kali melampaui
maksud utamanya. Feyerabend
menegaskan bahwa ilmu-ilmu
pengetahuan tidak menggunguli
bidang-bidang dan bentuk-bentuk
Humanis Volume 2 Tahun X Desember 201428
FOKUS
pengetahuan lain. Menurutnya,
ilmu-ilmu pengetahuan menjadi
lebih unggul karena propaganda
dari para ilmuan dan adanya
tolak ukur institusional yang
diberi wewenang untuk
memutuskannya.
Sekalipun ada berbagai
kontradiksi tentang keunggulan
ilmu pengetahuan, tidak
dapat disangkal bahwa ilmu
pengetahuan sesungguhnya
memberikan pengaruh yang
besar dalam kehidupan
masyarakat. Hal ini tidak terlepas
dari peranan ilmu pengetahuan
dalam membantu manusia
mengatasi masalah-masalah
hidupnya, walaupun kadang-
kadang ilmu pengetahuan dapat
pula menciptakan masalah-
masalah baru.
Meskipun demikian, pada
kenyataannya peranan ilmu
pengetahuan dalam membantu
manusia mengatasi masalah
kehidupannya sesungguhnya
terbatas. Seperti yang telah
diungkapkan pada bagian
pendahuluan, keterbatasan
itu terletak pada cara kerja
ilmu-ilmu pengetahuan yang
hanya membatasi diri pada
tujuan atau bidang tertentu.
Karena pembatasan itu, ilmu
pengetahuan tidak dapat menjawab
pertanyaan-pertanyaan tentang
keseluruhan manusia. Untuk
mengatasi masalah ini, ilmu-ilmu
pengetahuan membutuhkan filsafat.
Dalam hal inilah filsafat menjadi hal
yang penting.
C.Verhaak dan R.Haryono Imam
dalam bukunya yang berjudul
Filsafat Ilmu Pengetahuan:
Telaah Atas Cara Kerja Ilmu-ilmu,
menjelaskan dua penilaian filsafat
atas kebenaran ilmu-ilmu. Pertama,
filsafat ikut menilai apa yang
dianggap “tepat” dan “benar” dalam
ilmu-ilmu. Apa yang dianggap tepat
dalam ilmu-ilmu berpulang pada
ilmu-ilmu itu sendiri. Dalam hal
ini filsafat tidak ikut campur dalam
bidang-bidang ilmu itu. Akan tetapi,
mengenai apa kiranya kebenaran itu,
ilmu-ilmu pengetahuan tidak dapat
menjawabnya karena masalah
ini tidak termasuk bidang ilmu
mereka. Hal-hal yang berhubungan
dengan ada tidaknya kebenaran
dan tentang apa itu kebenaran
dibahas dan dijelaskan oleh filsafat.
Kedua, filsafat memberi penilaian
tentang sumbangan ilmu-ilmu
pada perkembangan pengetahuan
manusia guna mencapai kebenaran.
Dari dua penilaian filsafat atas
kebenaran ilmu-ilmu di atas,
dapat dillihat bahwa ilmu-ilmu
pengetahuan (ilmu-ilmu pasti)
tidak langsung berkecimpung
dalam usaha manusia menuju
kebenaran. Usaha ilmu-ilmu
itu lebih merupakan suatu
sumbangan agar pengetahuan
itu sendiri semakin mendekati
kebenaran. Filsafatlah yang
secara langsung berperan dalam
usaha manusia untuk mencari
kebenaran. Di dalam filsafat,
berbagai pertanyaan yang
berhubungan dengan kebenaran
dikumpulkan dan diolah demi
menemukan jawaban yang
memadai.
Kritikan dan jawaban yang
diberikan filsafat sesungguhnya
berbeda dari jawaban-jawaban
lain pada umumnya. Kritikan
dan jawaban itu harus dapat
dipertanggungjawabkan secara
rasional. Pertanggungjawaban
rasional pada hakikatnya
berarti bahwa setiap langkah
harus terbuka terhadap segala
pertanyaan dan sangkalan,
serta harus dipertahankan
secara argumentatif dengan
argumen-argumen yang objektif.
Hal ini berarti bahwa kalau ada
yang mempertanyakan atau
menyangkal klaim kebenaran
suatu pemikiran, pertanyaan
dan sangkalan itu dapat dijawab
Humanis Volume 2 Tahun X Desember 2014 29
FOKUS
dengan argumentasi atau alasan-
alasan yang masuk akal dan dapat
dimengerti.
Dari berbagai penjelasan di atas,
tampak jelas bahwa filsafat selalu
mengarah pada pencarian akan
kebenaran. Pencarian itu dapat
dilakukan dengan menilai ilmu-
ilmu pengetahuan yang ada secara
kritis sambil berusaha menemukan
jawaban yang benar. Tentu saja
penilaian itu harus dilakukan
dengan langkah-langkah yang teliti
dan dapat dipertanggungjawabkan
secara rasional. Penilaian dan
jawaban yang diberikan filsafat
sendiri, senantiasa harus terbuka
terhadap berbagai kritikan dan
masukan sebagai bahan evaluasi
demi mencapai kebenaran yang
dicari.
---oOo---
Sumber Pustaka:
Bertens, K., Panorama Filsafat
Modern, Jakarta: Gramedia,
1987.
Koento. Wibisono S. dkk.,
Filsafat Ilmu Sebagai
Dasar Pengembangan Ilmu
Pengetahuan, Klaten: Intan
Pariwara, 1997.
Koento Wibisono S., Filsafat
Ilmu Pengetahuan Dan
Aktualitasnya Dalam Upaya
Pencapaian Perdamaian
Dunia Yang Kita Cita-
Citakan, Fakultas Pasca
Sarjana UGM Yogyakarta,
1984.
______________, Arti
Perkembangan Menurut
Filsafat Positivisme
Auguste Comte, Cet.Ke-2,
Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press, 1996.
________________, ,
Ilmu Pengetahuan
Sebuah Sketsa Umum
Mengenai Kelahiran Dan
Perkembangannya Sebagai
Pengantar Untuk Memahami
Filsafat Ilmu, Makalah, Ditjen
Dikti Depdikbud – Fakultas
Filsafat UGM Yogyakarta,
1999.
Nuchelmans, G., 1982., Berfikir
Secara Kefilsafatan: Bab X,
Filsafat Ilmu Pengetahuan
Alam, Dialihbahasakan
oleh Soejono Soemargono,
Fakultas Filsafat – PPPT
UGM Yogyakarta, 1982.
Sastrapratedja, M., Beberapa
Aspek Perkembangan Ilmu
Pengetahuan, Makalah,
Disampaikan Pada Internship
Filsafat Ilmu Pengetahuan,
UGM Yogyakarta 2-8 Januari
1997.
Soeparmo, A.H., Struktur
Keilmuwan Dan Teori
Ilmu Pengetahuan Alam,
Surabaya: Penerbit
Airlangga University Press,
1984.
*) Penulis adalah Kepala Sub Bagian Humas dan Protokol Bagian Humas dan Informasi pada Sekretariat badan Penelitian dan Pengembangan HAM
Humanis Volume 2 Tahun X Desember 201430
FOKUS
Secara normatif, beban
tanggung jawab negara
terhadap perlindungan dan
pemenuhan hak asasi manusia
dilimpahkan lebih kepada
pemerintah sebagai pelaksana
roda pemerintahan. Sebagai
konsekuensi, seluruh normativitas
hak asasi manusia yang tertera
baik di dalam naskah dokumen
hukum nasional maupun
hukum internasional
dapat menjadi realitas
hanya dengan
tindakan pengukuran
(measurement) terhadap
tindakan negara,
khususnya pemerintah,
dalam melaksanakan
kewajiban legal melindungi
dan memenuhi hak asasi
manusia.
Aktivitas pengukuran
implementasi kewajiban negara
dalam melindungi dan memenuhi
Mengapa Kita Perlu Indikator Hak Asasi
Manusia?Harison Citrawan*
hak asasi manusia tersebut tentu
saja secara langsung memerlukan
alat (tool) yang mampu menyajikan
gambaran tentang kadar dan kualitas
perlindungan suatu hak di suatu
negara. Secara global, diskursus
tentang metodologi studi hak
asasi manusia dalam satu dekade
terakhir cenderung mengarahkan
indikator hak asasi manusia sebagai
alat pengukuran implementasi
perlindungan hak asasi manusia
di suatu negara. Adapun
United Nations Development
Programme (UNDP)
mendefinisikan indikator
hak asasi manusia
adalah “tools for providing
specific information on
the state or condition
of an event, activity or
outcome” (Sudders,
2004). Selain itu, Office of
the High Commissioner of Human
Rights (OHCHR) merumuskan
secara lebih rinci indikator hak
asasi manusia sebagai “specific
information on the state of an
event, activity or an outcome
Tabel 1. Cakupan Kewajiban Negara terhadap Hak Asasi ManusiaPenghormatan Perlindungan Pemenuhan
State must refrain from interfering with the enjoyment of human rights
State must prevent private actors or third parties from violating human rights
State must take positive measures, including adopting appropriate legislation, policies and programmes, to ensure the realization of human rights
Sumber: OHCHR, 2012.
indikator hak asasi manusia merupakan upaya secara sistematis dari pendekatan konseptual (conceptual approach) dan pendekatan metodologis (methodological approach) untuk mengukur dan memantau implementasi hak asasi manusia oleh negara.
Humanis Volume 2 Tahun X Desember 2014 31
FOKUS
that can be related to human
rights norms and standards; that
address and reflect the human
rights concerns and principles;
and that are used to assess and
monitor promotion and protection
of human rights” (OHCHR, 2006b).
Namun demikian, pertanyaan
yang kerap muncul ialah apakah
perbedaan antara indikator
dengan statistik? Secara
ringkas, statistik pada prinsipnya
menyediakan pengukuran
deskriptif terkait beberapa hal
(issues) yang berbeda, sedangkan
indikator bersifat lebih analitik
dan terhubung pada tujuan atau
perhatian tertentu yang bersifat
evaluatif. Dengan demikian, dapat
disimpulkan bahwa indikator hak
asasi manusia merupakan upaya
secara sistematis dari pendekatan
konseptual (conceptual approach)
dan pendekatan metodologis
(methodological approach)
untuk mengukur dan memantau
implementasi hak asasi manusia
oleh negara.
Human Rights Measurement
Framework di the United Kingdom
Selain indikator hak asasi
manusia yang dipromosikan oleh
UN-OHCHR, salah satu bentuk
praktis lain yang dapat menjadi
contoh ialah Human Rights
Measurement Framework (HRMF)
yang diinisasi oleh Equality and
Human Rights Commission di
the United Kingdom (EHRC-
UK). Secara umum, HRMF di
UK merupakan upaya untuk
menyajikan secara menyeluruh
informasi tentang: hukum hak
asasi manusia nasional dan
ratifikasi terhadap perjanjian
internasional dengan bukti
(evidence) luas lainnya meliputi
informasi tentang kerangka kerja
regulasi dan kebijakan publik
dalam rangka perlindungan hak
asasi manusia; informasi tentang
keluaran (outcomes) dari kasus-
kasus hukum (misalnya informasi
tentang terjadinya pelanggaran
hak asasi manusia); isu-isu
yang menjadi sorotan lembaga
pemantau hak asasi manusia di
tingkat domestik dan internasional;
temuan investigasi, inquiries dan
peninjauan (reviews); persoalan-
persoalan yang dimunculkan
oleh regulator, inspektorat, dan
ombudsmen; serta dugaan
pelanggaran serta perhatian
yang disuarakan oleh NGO dan
mekanisme civil society lainnya
seperti media reports dan lain
sebagainya; dan sumber-sumber
statistik termasuk data administratif
dan survey-survey sosial. (EHRC,
2011)
HRMF dalam hal ini
membangun sistem pengukuran
berdasarkan pada rangkaian panel
yang masing-masing terfokus
pada satu hak asasi manusia.
Pada tiap panel hak, HRMF
menyusun ‘indicator dashboard’
yang merupakan komponen
pembentuk hak tersebut. Di
masing-masing ‘dashboard’
HRMF menguraikan sepuluh
indikator kualitatif dan kuantitatif.
Lebih lanjut, konsep ‘evidence
base’ dalam HRMF dimaksudkan
untuk mengumpulkan berbagai
tipe informasi dalam rangka
analisis dan penilaian hak asasi
manusia.
Informasi Kualitatif dan Kuantitatif
Masih dalam kerangka
HRMF, informasi yang bersifat
kualitatif meliputi “information
about regulatory and public
policy frameworks, Information
about concerns raised by
national and international
human rights monitoring bodies,
The findings of investigations,
inquiries and reviews, Findings
of regulators, inspectorates and
ombudsmen, dan NGO and
media reports and allegations.”
Humanis Volume 2 Tahun X Desember 201432
FOKUS
Adapun informasi yang bersifat
kualitatif sangat penting dalam
mendukung penggambaran
implementasi hak asasi manusia
karena, sebagaimana OHCHR
menggariskan, bahwa “human
rights relate to qualitative aspects
of life, which may not be amenable
to being captured by statistical
information.”
Sedangkan Informasi
kuantitatif dalam HRMF ‘evidence
base’ ini meliputi: “official
administrative and social survey
data sources, Administrative
statistics generated from
specific monitoring exercises,
Specialist social surveys run by
regulators and inspectorates,
General population surveys, dan
Disaggregation and separate
identification of the position of at risk
and vulnerable groups.” Tafsiran
terhadap informasi kuantitatif
tersebut perlu diletakkan dalam
konteks informasi tersebut: (i)
providing direct information on
human rights violations and
prima facie evidence of human
rights violations/deficiencies;
(ii) providing information about
overall patterns and variations
and evidence of the vulnerability/
risks of different individuals and
groups and of possible gaps
and/or weaknesses in protection;
(iii) providing information about the
outcomes of relevant regulatory and
inspection processes (for example,
routine statistical monitoring of the
number of deaths in custody and/
or following police contact) and of
other relevant monitoring excises;
(iv) providing relevant contextual
and background information (for
example, general population data
on the prison population, on stop
and search by ethnicity and data
on public attitudes/understanding
of human rights); (v) meeting the
data requests of international
human rights bodies that monitor
the implementation of international
human rights treaties that the UK
is signed up to (such as the UN
Human Rights Committee, the
United Nations Committee on
Economic, Social and Cultural
Rights (UNCESCR) and the
UNCRC). (EHRC, Id.)
Sejalan dengan konsep
implementasi hak asasi manusia
oleh OHCHR yang meliputi
commi tments-e f fo r ts - resu l ts ,
‘indicator dashboard’ dalam HRMF
juda dibagi ke dalam tiga indikator,
yakni: pertama, indikator struktural,
yakni indikator yang menyajikan
basis bukti (evidence base) tentang
komitmen formal negara dalam
melindungi dan memajukan
hak asasi manusia. Indikator
ini juga dianggap sebagai
cerminan dari upaya politik luar
negeri sebuah negara dalam
bentuk ratifikasi instrumen legal
serta gambaran mekanisme
institusional yang dianggap
penting untuk mendukung
implementasi hak asasi manusia;
kedua, indikator proses, yakni
indikator yang mengukur upaya-
upaya konkret dari negara untuk
mengimplementasikan elemen-
elemen struktural agar dapat
dinikmati oleh individu. OHCHR
mencontohkan indikator proses
ke dalam bentuk-bentuk seperti:
alokasi anggaran berdasarkan
indikator, cakupan kelompok
masyarakat yang ditargetkan
dalam program-program publik,
gugatan hak asasi manusia
yang ditujukan kepada negara
dan proporsi penyelesaiannya,
langkah-langkah insentif dan
kesadaran tentang isu hak asasi
manusia tertentu, serta indikator
yang mencerminkan berfungsinya
institusi tertentu seperti Komisi
Hak Asasi Manusia, atau sistem
penegakan hukum. (OHCHR,
2011); ketiga, indikator hasil
(outcome) yakni indikator yang
menggambarkan pencapaian
Humanis Volume 2 Tahun X Desember 2014 33
FOKUS
Tabel 2. Daftar Perjanjian Internasional yang Telah Diratifikasi oleh Indonesia (per Desember 2014)
Treaty Description Treaty Name Signature Date
Ratification Date, Accession(a), Succession(d)
DateConvention against Torture and Other Cruel Inhuman or Degrading Treatment or Punishment
CAT 23 Oct 1985 28 Oct 1998
Optional Protocol of the Convention against Torture CAT-OP
International Covenant on Civil and Political Rights CCPR 23 Feb 2006 (a)Second Optional Protocol to the International Covenant on Civil and Political Rights aiming to the abolition of the death penalty
C C P R -OP2-DP
Convention for the Protection of All Persons from Enforced Disappearance
CED 27 Sep 2010
Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women
CEDAW 29 Jul 1980 13 Sep 1984
International Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination
CERD 25 Jun 1999 (a)
International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights
CESCR 23 Feb 2006 (a)
International Convention on the Protection of the Rights of All Migrant Workers and Members of Their Families
CMW 22 Sep 2004 31 May 2012
Convention on the Rights of the Child CRC 26 Jan 1990 05 Sep 1990Optional Protocol to the Convention on the Rights of the Child on the involvement of children in armed conflict
C R C - O P -AC
24 Sep 2001 24 Sep 2012
Optional Protocol to the Convention on the Rights of the Child on the sale of children child prostitution and child pornography
C R C - O P -SC
24 Sep 2001 24 Sep 2012
Convention on the Rights of Persons with Disabilities CRPD 30 Mar 2007 30 Nov 2011
Sumber: UN-OHCHR
individu atau kelompok yang
merefleksikan penikmatan
(enjoyment) hak asasi manusia
pada konteks tertentu. (OHCHR,
Id.) Bentuk praktis yang dapat
dijadikan contoh pada indikator
ini semisal: angka kematian bayi,
angka harapan hidup, tingkat
partisipasi sekolah, dan lain
sebagainya.
Indikator Hak Asasi Manusia untuk
Indonesia
Secara normatif, politik
hak asasi manusia Pemerintah
Indonesia tercermin dalam
rencana aksi nasional hak asasi
manusia yang diterbitkan setiap
lima tahun, dimana fase ketiga
berakhir pada tahun 2014 ini. Perlu
dipahami bahwa politik hak asasi
manusia dalam format tersebut
tidak akan cukup bagi kita untuk
dapat mengukur implementasi
kewajiban negara tentang hak
asasi manusia. Oleh sebab itu,
pembentukan indikator hak asasi
manusia di Indonesia adalah
sebuah keharusan. Adapun
menuruh hemat penulis, inisiatif
tersebut dapat saja muncul dari
lembaga/unit pemerintah yang
memiliki tugas dan fungsi di
bidang hak asasi manusia.
Humanis Volume 2 Tahun X Desember 201434
FOKUS
Terlepas dari tugas, fungsi,
serta persoalan organisatoris
terkait pembentukan indikator
hak asasi manusia di Indonesia,
indikator hak asasi manusia
di Indonesia harus mampu
menggambarkan secara
konseptual dan metodologis
‘commitments-efforts-results’
Negara Indonesia terhadap
perlindungan hak asasi manusia.
Dalam format ‘commitments-
efforts-results’ tersebut, indikator
hak asasi manusia di Indonesia
dapat beranjak dari hukum hak
asasi manusia domestik (dalam
Undang-Undang Nomor 39
Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia) serta instrumen hak
asasi manusia internasional
yang telah disahkan (lih. Tabel
2). Adapun normativitas masing-
masing hak secara lebih rinci
dan praktis dapat ditemukan
dalam interpretasi treaty bodies
yang berwenang pada masing-
masing instrumen internasional;
selain itu, praktik-praktik yudisial
di tingkat domestik perlu menjadi
acuan dalam menafsirkan
implementasi masing-masing
hak. Secara khusus, perhatian
pada indikator struktural
perlu melihat tafsiran hak
konstitusional warga negara oleh
Mahkamah Konstitusi sebagai
bentuk kontekstualisasi hak asasi
manusia yang berlaku universal.
Menurut hemat penulis, tantangan
dalam penyusunan indikator hak
asasi manusia di Indonesia berada
pada level struktural, mengingat
Berangkat dari praktik HRMF
yang telah disinggung sebelumnya,
beberapa hal praktis yang dapat
dilakukan dalam membangun
indikator hak asasi manusia di
Indonesia meliputi: a) tinjauan
kepustakaan dan telaahan data
awal; b) membangun panel
indikator hak asasi manusia
Indonesia berdasarkan praktik di
level internasional (misal melalui
modifikasi panel yang dibentuk
oleh OHCHR); c) ‘road-testing’ dan
memperbaiki panel awal dengan
expert atau advisory group; d)
menyusun daftar panjang indikator
hak asasi manusia berdasarkan
telaah dan tinjauan data dan pustaka,
termasuk sumber seperti: indikator
OHCHR, Komentar Umum PBB,
dan lain sebagainya; e) menyusun
daftar pendek indikator hak asasi
manusia sesuai dengan kriteria atau
prioritas; f) diskusi dan konsultasi
dengan pemangku kepentingan
(stakeholders) terkait dengan
hak asasi manusia dalam rangka
mencapai kesepakatan tentang
komponen hak dan elemen-
elemen indikator; g) perbaikan
panel dan indikator sesuai
dengan masukan dan feedback
dari diskusi dan konsultasi
sebelumnya; h) membangun
basis bukti berdasarkan indikator
dan ukuran-ukuran yang telah
dibentuk berdasarkan data
statistik administratif, survey
publik, atau data lainnya.
Benchmarking dan Disagregasi
Data
Dalam rangka membangun
serta mendorong perancangan
serta penerapan model indikator
hak asasi manusia di Indonesia,
penulis ingin menaruh perhatian
khusus pada dua hal metodologis
yang menjadi karakteristik riset hak
asasi manusia, yakni: pertama,
benchmarking implementasi
hak asasi manusia. Metodologi
demikian akan bersifat signifikan
dalam rangka pengukuran
terhadap progresivitas
pemenuhan hak, khususnya hak
ekonomi, sosial, dan budaya.
Dalam konteks tersebut, Komite
Hak Ekonomi, Sosial, dan
Budaya dalam Komentar Umum
1 (1989) meminta agar negara-
negara peserta Kovenan Hak
Humanis Volume 2 Tahun X Desember 2014 35
FOKUS
Ekosob untuk menyusun patokan
(benchmark) dalam mengukur
kewajiban negara dalam
memenuhi hak ekonomi, sosial,
dan budaya.
Kedua, disagregasi data
berbasis unsur-unsur diskriminasi.
Disagregasi data ini merupakan
karakteristik studi hak asasi
manusia, mengingat hukum
hak asasi manusia dibentuk
dalam rangka mengurangi
potensi pelanggaran hak asasi
manusia terhadap individu atau
kelompok rentan (vulnerable
groups). Adapun disagregasi data
secara praktis dapat dilakukan
berdasarkan basis diskriminasi
seperti: usia, jenis kelamin, status
ekonomi, agama, maupun wilayah
dari individu atau kelompok
masyarakat tertentu yang diukur
penikmatan haknya.
Berangkat dari uraian
yang telah digambarkan di
atas, tercermin bahwa terdapat
kebutuhan bagi Negara Indonesia,
khususnya pemerintah, untuk
menyusun kerangka pengukuran
implementasi hak asasi manusia
dengan menggunakan indiaktor
hak asasi manusia. Keuntungan
praktis dari tersusunnya indikator
tersebut adalah agar Pemerintah
Indonesia dapat memetakan
secara komprehensif capaian serta
secara terstruktur mengidikasikan
kekurangan serta tantangan dalam
melaksanakan kewajibannya
untuk melindungi dan memenuhi
hak asasi manusia. Selain itu,
dengan adanya indikator hak
asasi manusia, maka akan
memudahkan Pemerintah dalam
pengumpulan data tentang
pemenuhan hak asasi manusia
dalam rangka pelaporan
mekanisme hak asasi manusia di
tingkat internasional.
*) Penulis adalah Peneliti Pertama pada Puslitbang Transformasi Konflik balitbang HAM
Humanis Volume 2 Tahun X Desember 201436
AGENDA
Penyusunan RENSTRA (Rencana Strategis) Badan Litbang HAM Tahun 2015 - 2019
Isu-isu Hak Asasi Manusia meru-pakan agenda Badan Penelitian dan Pengembangan HAM dalam menyusun tema/judul kegiat-an penelitian, pengembangan dan evaluasi. Guna menyusun Rencana Strategis (Renstra) Badan Litbang HAM tahun 2015 -2019 yang hasilnya dapat di manfaatkan oleh para pemang-ku kepentingan (stakeholders) dalam perumusan kebijakan dan bahan pembentukan peraturan perundang-undangan, Badan Litbang HAM telah mengundang beberapa narasumber sebagai acuan dalam penyempurnaan RENSTRA yang diselenggara-kan di Jakarta (27/8). Pemilihan isu-isu HAM yang tepat dan
aktual akan membantu kita agar hasil litbang dapat terman-faatkan dan menjawab Indika-tor Kinerja Utama (IKU) Badan Litbang HAM, sehingga pen-capaian kinerja tidak hanya pada tataran output tetapi juga outcome, demikian yang disampaikan kepala Badan litbang HAM Mualimin da-lam arahannya. Dalam paparannya Yosep Adi Prasetyo dari Dewan Pers yang memprediksi masalah yang akan dihadapi 5 tahun men-datang dapat berupa liberalisasi ekonomi, radikalisme, konflik lahan serta maraknya aksi-aksi komuna-lisme. Untuk itu didalam menyusun kerangka acuan harus menjelaskan asalan tempat pemilihan kegiatan, penjelasan dampak yang terjadi
bila hal itu tak dilakukan, dan pihak-pihak yang akan menjadi penerima manfaat dari kegiatan yang akan dilakukan. Lain halnya yang disampaikan oleh Arist Mer-deka Sirait dari Komisi Nasional Perlindungan Anak yang lebih mengedepankan pada hak dan perlindungan anak dari tindak kekerasan dan pelecahan, ka-rena pada kondisi saat ini dinilai sudah sangat mengkhawatirkan dilihat dari beberapa kasus yang sudah menjadi perhatian publik.
Bimbingan Teknis Penulisan Jurnal Ilmiah
Fungsional peneliti di lingkungan Badan Penelitian dan Pengem-bangan HAM mendapatkan bimbingan teknis penulisan jur-nal ilmiah yang dilaksanakan di Badan Penelitian dan Pengem-bangan HAM (1/10). Kegiatan yang berlangsung selama 2 hari ini para peneliti di bimbing bagaimana menuangkan karya tulis ilmiah hasil penelitiannya ke dalam bentuk jurnal. Standar mutu tulisan jurnal ilmiah pen-ting untuk publikasi ilmiah yang terpercaya dan menilai kinerja
hasil riset ilmiah. Tanpa komit-men pada standar mutu tulisan jurnal ilmiah, maka kepercaya-an dan kinerja hasil riset ilmiah dapat dipertanyakan. Demikian yang disampaikan Erman Ami-nullah narasumber dari Pusbin-diklat LIPI dalam penyampaian materinya. Dalam sesi yang lain di-sampaikan pula aturan yang harus diikuti guna menghasilkan majalah ilmiah yang terakreditasi. Dalam paparannya Edward H. Lumbanto-ruan dari LIPI menyebutkan bah-wa ada beberapa instrumen yang
harus dipenuhi dalam akreditasi yang meliputi Substansi, penyun-ting dan mitra bestari serta gaya penulisan yang konsisten. Selain menekankan kepada peneliti, redaksi juga mendapatkan asu-pan materi dalam pengelolaan majalah ilmiah.
Badan Penelitian dan Pengem-bangan HAM mempunyai peran sangat penting untuk menghasil-kan kebijakan-kebijakan Kemen-terian Hukum dan HAM di bidang Hak Asasi Manusia. Salah satu cara untuk menyebarluaskan
informasi terkait dengan hasil penelitian yang telah dilaksa-nakan serta kebijakan-kebi-jakan yang telah dihasilkan kepa-da masyarakat
dan khalayak luas adalah dengan acara talkshow. Badan Penelitian dan Pengembangan HAM. Bebe-rapa kegiatan penelitian merupa-kan kerjasama dengan melibatkan
Satuan Kerja Pemerintah Daerah (SKPD) dan Pusat Studi HAM Universitas. Tema yang diangkat dalam talkshow kali ini meng-angkat tema mengenai standar Rumah Detensi Imigrasi dalam pencegahan konflik antar deteni, penerapan hak-hak narapidana, perlindungan dan pemberdayaan petani, serta pemenuhan hak kesehatan anak di pesisir.
Humanis Volume 2 Tahun X Desember 2014 37
AGENDA
Pengembangan Fungsional Peneliti di lingkungan Badan Litbang HAM
Penelitian merupakan sebuah proses pencarian atau penelaah-an pengetahuan melalui serang-kaian langkah atau prosedur yang ketat guna mendapatkan kebe-naran dari realitas suatu benda, subjek atau keadaan tertentu. Pertemuan mengenai metodologi penelitian kualitatif ini bertujuan agar peserta dapat memahami apa yang dimaksud dengan penelitian kualitatif, perbedaan-nya dengan penelitian kuantitatif dan bagaimana mengembangkan karya tulis ilmiah dalam rangka meningkatkan kapasitas peneliti di lingkungan Badan Penelitian dan Pengembangan HAM. Kegi-atan yang berlangsung di Jakarta (26/8) ini dimaksudkan untuk
memberikan pemaham-an tentang bagaimana menulis karya tulis ilmiah di bidang hukum mau-pun sosial lainnya yang didasarkan pada hasil kajian atau penelitian dan meningkatkan angka kre-dit peneliti dalam mening-katkan kapasitas peneliti. Diskusi yang melibatkan peneliti di lingkungan Badan Litbang HAM ini menitikberatkan mengenai metodologi penelitian dan teknik penulisan Karya Tulis Ilmiah dan meningkatkan angka kredit. Karya Tulis Ilmiah yang baik sebaiknya tidak sekedar menghadirkan ide atau klaim yang kita buat atas su-atu realitas sosial atau subjek ter-
tentu dengan dukungan informasi yang hanya mendukung argumen kita saja justru seringkali sumber bacaan yang efektif berasal dari pemikiran yang berbeda dari kita, demikian yang disampaikan oleh Lilis Mulyani selaku narasumber dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).
Publikasi Hasil Penelitian dalam Talkshow
Humanis Volume 2 Tahun X Desember 201438
AGENDA
Pusat Peneltian dan Pengem-bangan Hak-hak Kelompok Khusus Badan Litbang HAM mengadakan presentasi akhir Penelitian Perlindungan Hak Anak Korban kekerasan Seksual yang bertempat di kantor Badan Litbang HAM Jakarta (29/8). Acara yang di moderator oleh Agustinus Pardede ini mengha-dirkan narasumber dari Kemen-terian Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Budi Triwinata. Kekeras-an terhadap anak bisa terjadi
dimanapun dan kapanpun, salah satu pemicunya karena adanya anggapan masya-rakat tentang relasi antara anak orang dewasa yang timpang. Anak juga sering dijadikan objek kekerasan oleh orang lain, karena keterbatasan yang dimilik-inya ditambah lagi belum adanya upaya perlindungan yang maksimal baik oleh pemerintah, masyarakat dan penegak hukum. Kenyataan dilapangan menunjukan bahwa pelaku kekerasan seksual pada anak masih berkeliaran bebas
karena tidak adanya pengaduan. Presentasi akhir penelitian yang dibuka oleh kepala Puslitbang Hak-hak Kelompok Khusus M. Arifin yang dihadiri stakeholders dari lembaga-lembaga perlin-dungan anak ini bertujuan untuk mengetahui situasi dan kondisi perlindungan anak yang menjadi korban kekerasan seksual khu-susnya di Bali dan NTB.
Evaluasi Perlindungan Hak Anak Korban Kekerasan Seksual
Gangguan keamanan dan ke-tertiban (kamtib) yang terjadi di berbagai Lapas memiliki dampak terhadap lingkungan internal La-pas pada dasarnya ditimbulkan oleh friksi antar para pihak di da-lam Lapas yang berujung pada terjadinya konflik antar pihak ter-
sebut. Melalui kegiatan Eva-luasi Kebijakan Pencegahan Gangguan Keamanan dan Ketertiban di Lembaga Pema-syarakatan yang diselengga-rakan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Transfor-masi Konflik di Jakarta (4/9) ini secara khusus evaluasi ini
mencoba mengurai interaksi antara kebijakan, petugas dengan warga binaan pemasyarakatan dengan sebab-sebab terjadinya konflik di dalam Lapas. Evaluasi ini menilai bahwa potensi gangguan kamtib di tiga Lapas yang dijadikan studi
kasus belum dikelola secara sistemik dan sistematis dari tingkat UPT sampai ke tingkat pembuat kebijakan, evaluasi ini juga menilai bahwa kebijakan yang dikeluarkan dalam pelaksa-naan mekanisme pengawasan internal belum memuat bentuk analisa gangguan kamtib dalam pendekatan manajemen konflik-dari evaluasi yang dilakukan ini merumuskan beberapa rekomen-dasi dengan memetakan poten-si gangguan kamtib di Lapas, membangun sistem peringatan dini gangguan kamtib, serta dengan melakukan rehabilitasi bangunan Lapas.
Evaluasi Kebijakan Pencegahan Gangguan Keamanan dan Ketertiban di Lembaga Pemasyarakatan
Humanis Volume 2 Tahun X Desember 2014 39
AGENDA
Penganugerahan Bung Hatta Award untuk HAM
Memperingati hari HAM se-Dunia ke 66
Penganugerahan Bung Hatta Award untuk HAM pada tahun ini dimenangkan oleh Pemerin-tah Kota Ambon. Penghargaan ini didasarkan pada pengukuran yang objektif terhadap implemen-tasi HAM di tingkat Kabupaten/Kota, yang berdasarkan indi-kator hak atas pendidikan dan hak atas kesehatan yang telah disusun oleh Badan Penelitian
dan Pengembangan HAM Kementerian Hukum dan HAM. Walikota Ambon menyampaikan ucapan terima kasih yang sebe-sar – besarnya kepada Menteri Hukum dan HAM
RI, Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan HAM Kemen-kumham RI atas penganugerahan Trophy Bung Hatta Award 2014 yang dimana merupakan bentuk dari perhatian pemerintah pusat terhadap pemerintah Kota Ambon, serta menjadi motivasi bagi jajar-an pemerintah Kota Ambon dalam pemenuhan, pengembangan dan
penegakkan Hak Asasi Manusia kedepan. Kegiatan kali ini meng-ambil tema Perlindungan Anak dari Tindak Kekerasan. Beberapa penghargaan lain juga di berikan kepada pemerintah Kabupaten/Kota Peduli HAM yang didasar-kan pada lima kriteria yaitu hak hidup, hak mengembangkan diri, hak atas kesejahteraan, hak atas rasa aman, dan hak perempuan, serta Komunitas Pemuda dan Pelajar Pecinta HAM, dan Penulis HAM sebagai bentuk apresiasi pemerintah terhadap kreativitas dan pengembangan diskursus terhadap HAM di Indonesia.
Dalam menyambut hari HAM se-Dunia yang ke 66 Badan Litbang HAM menyelenggara-kan seminar tentang kesetaraan dan non-Diskriminasi di bidang Pendidikan dan Kesehatan yang bertempat di Graha Pengayom-an, Kamis (4/12). Kegiatan yang dihadiri oleh instansi pemerintah, organisasi internasional, unsur Kementerian/Lembaga pergu-ruan tinggi negeri/swasta serta lembaga swadaya masyarakat ini untuk memproyeksikan peluang dan tantangan bagi pemerintahan
periode 2015-2019 serta untuk menggambarkan secara evaluatif atas capaian dan kendala yang dihadapi pemerintahan sebelum-nya dalam melindungi hak asasi manusia. Dalam sambutannya Menteri Hukum dan HAM Yason-na H Laoly mengatakan “Bebera-pa sifat kewajiban hukum umum yang harus dilaksanakan oleh Indonesia adalah kewajiban untuk menjamin bahwa hak-hak yang berkaitan akan dilaksanakan tan-pa diskriminasi serta untuk meng-ambil langkah – langkah peme-
nuhan hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya serta Hak Sipil dan Politik harus dilaksanakan secara seksama, konkrit dan ditujukan secara jelas untuk memenuhi kewajiban-kewajiban yang di-atur dalam kovenan.” Seminar yang mengangkat tema peluang dan tantangan pemerintahan 2015-2019 di bidang hak asasi manusia : Kesetaraan dan non-Diskriminasi di bidang Pendidikan dan kesehatan ini menghadirkan narasumber di bidang pendidikan
Humanis Volume 2 Tahun X Desember 201440
APA DAN SIAPA
Drs. M. Arifin H.A., MM., lahir di Bima 2 Desember 1959, pernah aktif di Organisasi Prayuana se-jak sekolah di SMPS (Sekolah menengah Pendidikan Sosial) setingkat SMA. Memulai karir sebagai PNS di Departemen Ke-hakiman sejak tahun 1981 s/d 1990 pada Bimbingan Kemasya-rakatan dan Pengentasan Anak (BISPA) (Sekarang BAPAS) di Jakarta Selatan. Kemudian pada tahun 1991 ditempatkan di Pus-diklat Kehakiman sampai dengan tahun 2000. Tahun 2000 s/d 2005 menjabat jabatan Kepala Sub Tata Usaha Menteri pada tahun 2005. Kembali ke Pusdiklat seba-
Drs. M. Arifin HA, MM
Trisasi Dwi Handahyni, S.H.
gai Kepala Bagian Penyelenggara Administrasi sampai dengan tahun 2007. Pada tahun 2007 sampai de-ngan 2009 menjabat sebagai Kepa-la Bagian Mutasi Biro Kepegawaian Sekretariat Jenderal. Tahun 2009 kembali menjabat sebagai Kepala Bidang Penyelenggara Kepemim-pinan dan manajemen di Badan Pengembangan Sumber Daya Ma-nusia (BPSDM) Hukum dan HAM. Pada tahun 2011 dipromosi menjadi Kepala Divisi Administrasi Kantor Wilayah Kemenkumham NTB, ke-mudian mutasi ke Kantor Wilayah Jawa Tengah Kemenkumham ma-sih sebagai Kepala Divisi Adminis-trasi pada tahun 2012-2013 Desem-
Trisasi Dwi Handahyni, S.H., lahir di Makassar 12 Maret 1956. Me-namatkan pendidikan S1 Hukum di UII Yogyakarta. Memulai karir sebagai PNS pada tahun 1982 di Biro Perencanaan Departemen Kehakiman. Menjabat sebagai Kepala Sub Bagian Pengendali-an dan Laporan Biro Perencana-an Sekretariat Jenderal Departe-men Kehakiman RI pada tahun 1985, menjadi Kepala Sub Bagi-an Tata Usaha Bro Perencanaan Sekretariat Jenderal tahun 1991. Kemudian pada tahun 1996 men-
ber 2012 mendapat kepercayaan untuk menjabat sebagai Kepala Biro Umum Sekretariat Jenderal sampai dengan Agustus 2014. Saat ini dipercaya untuk menja-bat sebagai Kepala Pusat Peneli-tian dan pengembangan Hak-hak Kelompok Khusus Badan Pene-litian dan Pengembangan HAM Kemenkumham RI.
jabat sebagai Kepala Bagian Ke-tatalaksanaan Biro Perencanaan Sekretariat Jenderal, Kepala Ba-gian Umum Pusat Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Setjen Kemenkumham pada tahun 2003, Kepala bagian Keuangan pada Ba-dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BPSDM) Kemenkumham pada tahun 2007, dan pada tahun yang sama menjabat sebagai Ke-pala Bagian Penyusunan Program dan kerjasama BPSDM. Bertugas ke daerah menempati jabatan seba-gai Kepala Divisi Administrasi Kan-
tor Wilayah (Kanwil) Kemenkum-ham Bangka Belitung pada tahun 2008, Kanwil Kemenkumham Lampung pada tahun 2010 dan kembali ke Jakarta masih seba-gai Kepala Divisi Administrasi Ke-menkumham Kanwil DKI Jakarta. Saat Ini dipercaya untuk mendu-duki jabatan sebagai Kepala Pu-sat penelitian dan pengembang-an Transformasi Konflik Badan Penelitian dan Pengembangan HAM