Pelaksanaan Hukuman Mati di Indonesia menurut Penpres No 2 ...
Transcript of Pelaksanaan Hukuman Mati di Indonesia menurut Penpres No 2 ...
44
BAB III PELAKSANAAN HUKUMAN MATI DI INDONESIA
MENURUT PENPRES NO. 2 TAHUN 1964
A. Tindak Pidana yang Diancam dengan Hukuman Mati
Menurut KUHP, di Indonesia ada sembilan macam kejahatan yang
diancam pidana mati, yaitu:
1. Makar dengan maksud membunuh presiden dan wakil presiden (Pasal
104 KUHP);
2. Melakukan hubungan dengan negara asing sehingga terjadi perang
(Pasal 111 Ayat 2 KUHP);
3. Pengkhianatan memberitahukan kepada musuh di waktu perang (Pasal
124 Ayat 3 KUHP);
4. Menghasut dan memudahkan terjadinya huru-hara (Pasal 124 bis
KUHP);
5. Pembunuhan berencana terhadap kepala negara sahabat (Pasal 140 Ayat
3 KUHP);
6. Pembunuhan berencana (Pasal 340 KUHP);
7. Pencurian dengan kekerasan secara bersekutu mengakibatkan luka berat
atau mati (Pasal 365 Ayat 4 KUHP);
8. Pembajakan di laut mengakibatkan kematian (Pasal 444 KUHP);
Universitas Sumatera Utara
45
9. Kejahatan penerbangan dan sarana penerbangan (Pasal 149 K Ayat 2 &
Pasal 149 O Ayat 2 KUHP).58
Selain dari tindak pidana yang diatur dalam KUHP, ada beberapa
ketentuan-ketentuan di luar KUHP yang juga mengatur tentang kejahatan yang
diancam dengan tindak pidana mati, di antaranya adalah:
1. Tindak Pidana Ekonomi ( UU No 7/Drt/1955 );
2. Tindak Pidana Narkotika (UU No 35 Tahun 2009);
3. Tindak Pidana Korupsi (UU No 31 Tahun 1999 sebagaimana telah
diubah dan ditambah dengan UU No 20 Tahun 2001);
4. Tindak Pidana terhadap Hak Asasi Manusia (39 tahun 1999);
5. Tindak Pidana Terorisme ( Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003).
Dalam setiap ancaman pidana mati tersebut selalu dicantumkan
alternatif berupa pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara selama dua
puluh tahun. Bentuk-bentuk pemidanaan yang dijatuhkan tidaklah terlepas dari
latar belakang filosofi yang melahirkan teori-teori tujuan pemidanaan, maka
apabila pidana mati dimaksudkan sebagai upaya pembalasan (menurut
Vergeldings Theorien) akan mengakibatkan kecenderungan untuk memuaskan
atau dapat saja tidak memuaskan, di mana secara estetika terpidana harus
menerima penderitaan seimbang dengan korbannya. Sementara itu, tujuan
pemidanaan yang lain, adalah lebih menitikberatkan sebagai prevensi dengan
maksud agar orang lain jera untuk tidak melakukan kejahatan.
58 R. Soesilo, Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Bogor, Politea. 1960, hal. 140
Universitas Sumatera Utara
46
Tujuan pemidanaan selain memiliki unsur sebagai pencegahan, juga
untuk memperbaiki terpidana, di samping mempertahankan tata tertib hukum.
Pidana mati apabila bertujuan sebagai pembalasan maupun pembelajaran bagi
masyarakat atau agar masyarakat menjadi jera untuk tidak mengulangi atau
meniru tindakan yang melanggar hukum, ternyata maksud dan tujuan itu
tidaklah tercapai seperti yang diharapkan, karena pada kenyataannya kasus
tindak pidana pembunuhan dan kejahatan narkoba tidak menjadi berkurang,
bahkan meningkat, sekalipun sudah terjadi pemidanaan mati yang dijatuhkan
terhadap pelaku kejahatan tersebut.
Dalam kasus tindak pidana narkoba yang dianggap sebagai kejahatan
yang paling serius dan dapat menjadi alat subversi, bahkan akibat yang
ditimbulkan dapat menghancurkan masa depan anak bangsa. Namun, dalam
sejumlah riset menunjukkan, ternyata tidak ada korelasi antara hukuman mati
dengan berkurangnya tingkat kejahatan tersebut, di Indonesia justru
menunjukkan peningkatan dari pengguna dan pengedar, sampai pada adanya
produsen. Dalam kaitan ini, upaya penanggulangan narkoba di negara-negara
maju sudah mulai dilakukan dengan meningkatkan pendidikan sejak dini dan
melakukan kampanye antinarkoba, serta penyuluhan tentang bahayanya.
Demikian seriusnya penanggulangan masalah narkoba bagi kehidupan manusia
sudah mendorong kerja sama internasional dalam memerangi kejahatan
narkoba tersebut.59
59 Arief Barda Nawawi, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, cetakan kedua,
Bandung, PT. Citra Aditya Bakti, 2002, hal. 56
Universitas Sumatera Utara
47
Filosofis pidana mati bagi bangsa Indonesia tidaklah terlepas dari
pandangan dan sikap bangsa Indonesia sebagaimana dituangkan dalam
Ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1998 yang menyebutkan bahwa pandangan
dan sikap bangsa Indonesia mengenai hak asasi manusia adalah bersumber dari
ajaran agama, nilai moral universal, dan nilai luhur budaya bangsa, serta
berdasarkan Pancasila. Sehingga hak asasi manusia dirumuskan secara
substansi dengan menggunakan pendekatan normatif, empiris, deskriptif, dan
analitis, antara lain disebutkan bahwa hak asasi manusia adalah hak dasar yang
melekat pada diri manusia yang sifatnya kodrati dan universal sebagai karunia
Tuhan Yang Maha Esa dan berfungsi untuk menjamin kelangsungan hidup,
kemerdekaan, perkembangan manusia dan masyarakat, yang tidak boleh
diabaikan, dirampas atau diganggu gugat oleh siapa pun.60
Karena itu, dalam Ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1998 tersebut
Pasal 1 menugaskan kepada Lembaga-lembaga Tinggi Negara dan seluruh
aparatur pemerintah, untuk menghormati, menegakkan, dan menyebarluaskan
pemahaman hak asasi manusia kepada seluruh masyarakat. Pandangan dan
sikap bangsa Indonesia ini di samping termuat dalam Piagam Hak Asasi
Manusia, juga terangkat dalam amandemen kedua UUD 1945 Pasal 28 A, yang
menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup
dan kehidupannya.
Dengan pendekatan filosofis yuridis tersebut di atas, maka seluruh
produk hukum yang ada maupun yang akan ada seharusnya tidak boleh
60 Andi Hamzah dan A. Sumangelipu, Op. cit, hal. 82
Universitas Sumatera Utara
48
bertentangan dengan jiwa, pandangan dan sikap bangsa. Seperti yang dikatakan
oleh Friedrich Carel Von Savigny bahwa hukum tidaklah dibuat melainkan ada
dan tumbuh bersama rakyat.61
Amandemen kedua UUD 1945 Pasal 28 A menyatakan bahwa setiap
orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan
kehidupannya. Sebagai Hukum Dasar yang ditegaskan dalam Tata Urutan
Perundang-undangan yang merupakan pedoman dalam pembuatan aturan
hukum di bawahnya sebagaimana Ketetapan MPR Nomor III/MPR/ 2000,
maka seluruh aturan hukum di bawahnya, baik yang telah ada maupun yang
akan dibentuk harus, sejalan dengan UUD sebagai Hukum Dasar tertinggi atau
yang disebut sebagai Staatgrundgezet.62
Hak asasi manusia sebagaimana yang dirumuskan dalam pandangan
dan sikap bangsa Indonesia adalah juga merupakan jiwa dari
Staatsfundamentalnorm Pancasila yang antara lain mengedepankan dasar
Ketuhanan Yang Maha Esa serta Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, maka
sebagai filosofi yuridis esensi itu sudah berlanjut menjadi konkret ke dalam
Pasal 28 A itu.
Bahwa dalam setiap ancaman pidana mati selalu dicantumkan alternatif
berupa pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara selama dua puluh
tahun, maka memilih alternatif hukuman seumur hidup sebagai hukuman
maksimal, kalau perlu tanpa remisi, sesungguhnya sudah merupakan kematian
61 Ibid, hal. 52 62 Ibid, hal. 74
Universitas Sumatera Utara
49
perdata bagi terpidana atau kematian atas kebebasan hidup, dalam pada itu
terpidana akan dapat merenungkan segala dosanya dan dapat pula menjadi
pembelajaran bagi masyarakat.
Dalam sejarah Beccaria penentang hukuman mati pernah mencatat
seorang yang dijatuhi pidana mati (Jean Callas) karena dituduh telah
membunuh anaknya sendiri, padahal ternyata Voltaire dapat membuktikan
bahwa yang bersangkutan terbukti kemudian tidak bersalah, sehingga nama
Jean Callas direhabilitasi, tetapi apa artinya sebuah rehabilitasi jika yang
bersangkutan telah mati.63
Hukuman Pidana Mati yang berlaku di Indonesia diatur dalam
Penetapan Presiden No. 2 Tahun 1964 tentang tata cara pelaksanaan pidana
mati yang dijatuhkan oleh pengadilan dilingkungan Peradilan Umum dan
Militer. Penetapan tata cara pelaksanaan pidana mati ini ditetapkan oleh
Presiden Sukarno pada tanggal 27 April 1964 dengan pertimbangan bahwa
pelaksanaan hukuman mati yang ada sudah tidak lagi sesuai dengan jiwa
bangsa Indonesia dimana pada saat sebelum Penetapan Presiden yang berlaku
adalah hukuman gantung.
B. Proses Pelaksanaan Eksekusi Mati di Indonesia Menurut Penpres Nomor 2 Tahun 1964
Dalam Penetapan Presiden No. 2 Tahun 1964 ini secara tegas-tegas
menyatakan bahwa pelaksanaan pidana mati yang dijatuhkan oleh Pengadilan,
63 Ibid, hal. 65
Universitas Sumatera Utara
50
baik dilingkungan peradilan umum maupun peradilan militer, dilakukan
dengan ditembak sampai mati (Pasal 1) dengan tata cara sebagai berikut :
1. Dilaksanakan dalam daerah hukum pengadilan yang menjatuhkan
putusan dalam tingkat pertama.
2. Pidana mati yang dijatuhkan atas dirinya beberapa orang didalam satu
putusan, dilaksanakan secara serempak pada waktu dan tempat yang
sama, keculai jika terdapat hal-hal yang tidak memungkinkan
pelaksanaan demikian itu (Pasal 2).
3. Kepala Polisi Daerah (KAPOLDA) bertanggung jawab untuk
pelaksanaannya sekaligus menentukan waktu dan tempat pelaksanaan
pidana mati.
4. Jika dalam penentuan waktu dan tempat itu tersangkut wewenang
KAPOLDA lain, maka KAPOLDA tersebut merundingkannya dengan
KAPOLDA itu.
5. KAPOLDA atau perwira yang ditunjuk olehnya menghadiri
pelaksanaan pidana mati tersebut bersama-sama dengan Jaksa Tinggi
atau jaksa yang bertanggung jawab atas pelaksanaannya.
6. Menunggu pelaksanaan pidana mati, Terpidana ditahan dalam penjara
atau ditempat lain yang khusus ditunjuk oleh Jaksa Tinggi.
7. 3 X 24 jam sebelum saat pelaksanaan pidana mati, Jaksa Tinggi
memberitahukan kepada terpidana tentang akan dilaksanakannya
pidana mati tersebut.
Universitas Sumatera Utara
51
8. Apabila terpidana hendak mengemukakan sesuatu, maka keterangannya
atau pesannya itu diterima oleh jaksa Tinggi/ Jaksa tersebut.
9. Apabila terpidana hamil, maka pelaksanaan pidana mati baru dapat
dilaksanakan 40 hari setelah anaknya dilahirkan.
10. Pembela terpidana atas permintaannya sendiri atau atas permintaan
terpidana, dapat menghadiri pelaksanaan pidana mati.
11. Pidana mati dilaksanakan tidak dimuka umum dan dengan cara
seserdana mungkin, kecuali ditetapkan lain oleh Presiden.
12. Untuk pelaksanaan pidana mati, KAPOLDA yang bertanggung jawab
membentuk sebuah regu penembak yang terdiri dari seorang Bintara
(Brigadir- sekarang), 12 orang tamtama dibawah pimpinan seorang
perwira, semuanya dari Brigade Mobile (Brimob POLRI).
13. Khusus untuk melaksanakan tugasnya ini, regu penembak tidak
mempergunakan senjata organiknya.
14. Regu penembak ini dibawah perintah Jaksa Tinggi/ jaksa sampai
selesainya pelaksanaan pidana mati.
15. Terpidana dibawa ke tempat pelaksanaan pidana dengan pengawalan
polisi yang cukup.
16. Jika diminta, terpidana dapat disertai oleh seorang perawat rokhani.
17. Terpidana berpakaian sederhana dan tertib.
18. Setibanya ditempat pelaksanaan pidana mati, Komandan Pengawal
menutup mata si terpidana dengan sehelai kain, kecuali jika terpidana
tidak menghendakinya.
Universitas Sumatera Utara
52
19. Terpidana dapat menjalani pidananya secara berdiri, duduk atau
berlutut.
20. Jika dipandang perlu, Jaksa Tinggi/ jaksa dapat memerintahkan supaya
terpidana diikat tangan serta kakinya ataupun diikatkan kepada
sandaran yang khusus dibuat untuk itu.
21. Setelah terpidana siap ditempat dimana dia akan menjalankan pidana
mati, maka regu penembak dengan senjata sudah terisi menuju
ketempat yang ditentukan oleh Jaksa.
22. Jarak antara titik dimana terpidana berada dan tempat regu penembak
tidak boleh melebihi 10 meter dan tidak boleh kurang dari 5 meter.
23. Apabila semua persiapan telah selesai, maka Jaksa memerintahkan
untuk memulai pelaksanaan pidana mati.
24. Dengan segera para pengiring terpidana menjauhkan diri dari terpidana.
25. Dengan menggunakan pedangnya sebagai isyarat, Komandan Regu
Penembak memberikan perintah supaya bersiap, kemudian dengan
menggerakkan pedangnya ke atas ia memerintahkan Regunya untuk
membidik pada jantung terpidana dan dengan menyatakan pedangnya
ke bawah secara cepat, dia memberikan perintah untuk menembak.
26. Apabila setelah penembakan itu, terpidana masih memperlihatkan
tanda-tanda bahwa dia belum mati, maka komandan regu penembak
segera memerintahkan kepada Bintara regu penembak untuk
melepaskan tembakan pengakhir dengan menekankan ujung laras
senjatanya pada kepala terpidana tepat di atas telinganya.
Universitas Sumatera Utara
53
27. Untuk memperoleh kepastian tentang matinya terpidana dapat minta
bantuan seorang dokter.
28. Untuk penguburan terpidana diserahkan kepada keluarganya atau
sahabat terpidana, terkecuali jika berdasarkan kepentingan umum Jaksa
memutus lain.
29. Dalam hal terakhir ini, dan juga jika tidak ada kemungkinan
pelaksanaan penguburan oleh keluarganya atau sahabat terpidana maka
penguburan yang ditentukan oleh agama/ kepercayaan yang dianut
terpidana.
Dikatakan dalam Pasal 2 sd. Pasal 16 UU tersebut, sebagai berikut:
Bahwa Kepala Kepolisian Daerah setempat bertanggung-jawab untuk
pelaksanaannya, menentukan waktu dan tempat pelaksanaan pidana mati. Yang
dimaksudkan dengan bertanggung jawab untuk pelaksanaan ialah bertanggung
jawab atas keamanan dan ketertiban sewaktu pelaksanaan pidana mati serta
menyediakan tenaga dan alat-alat yang diperlukan untuk itu.
Tenaga yang dimaksud ialah membentuk sebuah regu penembak yang
terdiri dari seorang bintara, dua belas orang tamtama di bawah pimpinan
seorang perwira, semuanya dari Brigade Mobile. Semuanya ini berada di
bawah perintah jaksa yang bertanggung jawab atas pelaksanaannya sampai
selesainya pelaksanaan pidana mati tersebut.64
Apabila terpidana hendak mengemukakan sesuatu, maka keterangan
atau pesannya itu diterima oleh jaksa tersebut. Pelaksanaan pidana mati tidak
64 J.E. Sahetapy, Op. cit, hal.67
Universitas Sumatera Utara
54
dilaksanakan di muka umum dan dengan cara sesederhana mungkin. Terpidana
berpakaian sederhana dan tertib. Pembela terpidana atas permintaannya sendiri
atau atas permintaan si terpidana dapat menghadiri pelaksanaan pidana mati.
Jika diminta, terpidana dapat disertai oleh seorang perawat rohani. Setibanya di
tempat pelaksanaan pidana mati, komandan pengawal menutup mata si
terpidana dengan sehelai kain kecuali jika terpidana tidak menghendakinya.
Terpidana boleh berdiri, duduk atau berlutut.65
Jika dipandang perlu maka jaksa tersebut dapat memerintahkan supaya
terpidana diikat tangan serta kakinya atau diikat kepada sandaran yang khusus
dibuat untuk itu. Jarak antara titik dimana terpidana berada dan tempat regu
penembak tidak boleh melebihi sepuluh meter dan tidak boleh kurang dari lima
meter. Apabila semua persiapan telah selesai, maka jaksa tersebut
memerintahkan untuk memulai pelaksanaan pidana mati dan dengan segera
para pengiring terpidana menjauhkan diri dari terpidana.
Dengan menggunakan pedangnya sebagai isyarat komandan regu
penembak memberikan perintah supaya bersiap kemudian dengan
menggerakkan pedangnya ke atas ia memerintahkan regunya untuk membidik
pada jantung terpidana dan dengan menyentakkan pedangnya ke bawah secara
cepat, dia memberikan perintah untuk menembak.
Apabila setelah penembakan itu terpidana masih memperlihatkan
tandatanda bahwa ia belum mati maka komandan regu segera memerintahkan
kepada bintara regu penembak untuk melepaskan tembakan pengakhir dengan
65 Ibid, hal. 59
Universitas Sumatera Utara
55
menekankan ujung laras senjatanya pada kepala terpidana tepat di atas
telinganya. Untuk memperoleh kepastian tentang matinya terpidana diminta
bantuan seorang dokter. Untuk penguburan terpidana diserahkan kepada
keluarganya atau sahabat terpidana terkecuali jika berdasarkan kepentingan
umum jaksa tersebut memutuskan lain.Andaikan tidak ada juga kemungkinan
pelaksanaan penguburan oleh keluarga atau sahabat terpidana, maka
penguburan diselenggarakan oleh negara dengan mengindahkan cara
penguburan yang ditentukan oleh agama/kepercayaan yang dianut oleh
terpidana.66
Jaksa tersebut harus membuat berita acara dari keseluruhan pelaksanaan
pidana mati tersebut. Isi dari pada berita acara tersebut harus disalinkan ke
dalam surat keputusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum
tetap dan ditanda-tangani olehnya.67
66 Ibid. hal. 62 67 Ibid, hal. 63
Universitas Sumatera Utara
56
BAB IV ANALISIS HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP TATA CARA
PELAKSANAAN EKSEKUSI HUKUMAN MATI MENURUT PENPRES NO. 2 TAHUN 1964
A. Analisis Hukum Pidana Islam terhadap latar belakang lahirnya Penpres no. 2 tahun 1964
Kebanyakan eksekusi Pidana Mati dilaksanakan dengan menggantung
si penjahat pada tempat penting di tengah-tengah kota (di alun-alun) dengan
dipertontonkan di muka umum, hal ini dimaksudkan supaya sebanyak mungkin
orang yang melihatnya dan menjadi takut untuk melakukan kejahatan. Tiang
gantungan adalah gambaran yang lazim pada jalan masuk kota-kota besar.
Demikianlah gambaran yang terdapat di pelbagai Negara dan daerah-daerah
jajahan, termasuk Indonesia.68 Dalam sejarah bangsa Indonesia, telah tercipta
banyak sekali peraturan. Meskipun regulasi Undang-undang yang berlandaskan
Pancasila, akan tetapi peraturan yang lebih terperinci masih banyak yang
mengikuti hukum Belanda, Seperti halnya di dalam KUHP. Mengenai
pelaksanaan eksekusi pidana mati dibagi pada dua masa, yaitu masa sebelum
perang dan masa sesudah perang, maka dengan sendirinya terdapat suatu masa
peralihan, yaitu selama masa perang berlangsung atau selama masa
pendudukan Jepang di Indonesia.
Pada waktu itu ada dua peraturan dijalankan, yaitu peraturan
dijalankan, yaitu peraturan Pasal 11 KUHP69 dan satu peraturan baru yang
68 Andi Hamzah dan A. Sumangelipu, Op. cit, hal. 79 69 Kitab Undang-undang Hukum Pidana berlaku pada masa pendudukan Jepang,
berdasarkan Aturan Peralihan dari Pemerintah Militer Jepang
Universitas Sumatera Utara
57
diundangkan oleh Pemerintah Jepang yang menghendaki pidana mati
dilaksanakan dengan ditembak mati.70
Keadaan dualisme ini berlangsung hingga bulan-bulan pertama setelah
Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, tetapi daerah-daerah yang diduduki oleh
Belanda semua peraturan Jepang itu dianggap tidak sah setelah pendudukan itu
berakhir. Di daerah-daerah yang dikuasai oleh Belanda diumumkan suatu
peraturan baru yang sesuai dengan pidana mati yang harus dilaksanakan
dengan tembak mati. Di mana sebelum pengakuan kedaulatan ada suatu
perubahan tetap di daerah-daerah territorial tentang berlakunya keduanya, di
Republik Indonesia dan Kekuasaan Hindia Belanda. Setelah tanggal 27
Desember 1949 perubahan ini terus berlangsung karena pengembalian banyak
daerah-daerah RI, yang sekarang merupakan suatu Negara dari Indonesia.
Setelah kesatuan RI tercapai, pidana mati dilakukan dengan pidana
gantung. Pada tanggal 29 September 1958 Badan Legislatif menetapkan
Undang undang 1958 No. 73 untuk mencapai kesatuan dalam menetapkan
Hukum Pidana dengan mengumumkan Undang-undang 1946 No.1 itu adalah
Hukum Pidana pada umumnya kedua-duanya Hukum Pidana yang telah
diundangkan dan hukum pidana di luar kode kriminal. Akibatnya ialah bahwa
undang-undang itu mempunyai juga efek pada peraturan dari Lembaran Negara
1945 No. 123 Pasal 1 dari Undang-undang 1946 No. 1 menetapkan bahwa
peraturan-peraturan Hukum Pidana yang mengikat sekarang ialah peraturan
Hukum Pidana dari 8 Maret 1942.
70 Andi Hamzah dan A. Sumangelipu, Op. cit, hal. 90
Universitas Sumatera Utara
58
Suatu peraturan baru tentang pelaksanaan Pidana Mati ialah Penetapan
Presiden Republik Indonesia Tahun 1964. No. 2 yang menetapkan bahwa
pelaksanaan pidana mati, yang dijatuhkan oleh pengadilan di lingkungan
peradilan umum atau peradilan militer, dilakukan dengan ditembak sampai
mati. Pidana mati itu jika tidak ditentukan lain oleh Menteri Kehakiman,
dilaksanakan di suatu tempat dalam daerah hukum pengadilan yang
menjatuhkan putusan dalam tingkat pertama, sedang pidana mati yang
dijatuhkan atas diri beberapa orang di dalam suatu putusan dilaksanakan secara
serempak pada waktu dan tempat sama, kecuali jika terdapat hal-hal yang tidak
memungkinkan pelaksanaan demikian. Ditentukan selanjutnya bahwa kepala
Polisi Komisariat Daerah tempat kedudukan pengadilan yang menjatuhkan
putusan dalam tingkat pertama itu, setelah mendengar nasihat dari Jaksa
Tinggi/Jaksa yang bertanggung jawab untuk melaksanakannya, menentukan
waktu dan tempat pelaksanaan pidana mati tersebut.
Jika dalam penentuan waktu dan tempat itu tersangkut wewenang
Kepala Polisi Komisariat Daerah lain, maka Kepala Polisi Komisariat Daerah
tempat kedudukan pengadilan yang menjatuhkan putusan dalam tingkat
pertama itu merundingkannya dengan Kepala Polisi Komisariat Daerah lain
tersebut. Dan Kepala Polisi Daerah tempat kedudukan pengadilan yang
menjatuhkan putusan tingkat pertama itulah yang bertanggung jawab atas
keamanan dan ketertiban sewaktu pelaksanaan pidana mati dan menyediakan
tenaga serta alat-alat yang diperlukan untuk itu.
Universitas Sumatera Utara
59
Pelaksanaanya ditunda apabila sesudah diberi putusan terpidana
menjadi gila dan hal ini diakui oleh Hakim yang menjatuhkan pidana mati,
demikian pula terhadap seorang perempuan yang sedang hamil, untuk
terpidana yang menjadi gila pelaksanaanya ditunda sampai sakit jiwanya sudah
sembuh, untuk perempuan yang hamil ditunda sampai melahirkan.
Dasar filosofis pidana mati bagi bangsa Indonesia tidaklah terlepas dari
pandangan dan sikap bangsa Indonesia sebagaimana dituangkan dalam
Ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1998 yang menyebutkan bahwa pandangan
dan sikap bangsa Indonesia mengenai hak asasi manusia adalah bersumber dari
ajaran agama, nilai moral universal, dan nilai luhur budaya bangsa, serta
berdasarkan Pancasila. Sehingga hak asasi manusia dirumuskan secara
substansi dengan menggunakan pendekatan normatif, empiris, deskriptif, dan
analitis, antara lain disebutkan bahwa hak asasi manusia adalah hak dasar yang
melekat pada diri manusia yang sifatnya kodrati dan universal sebagai karunia
Tuhan Yang Maha Esa dan berfungsi untuk menjamin kelangsungan hidup,
kemerdekaan, perkembangan manusia dan masyarakat, yang tidak boleh
diabaikan, dirampas atau diganggu gugat oleh siapa pun.
Penetapan tata cara pelaksanaan pidana mati ini ditetapkan oleh
Presiden Sukarno pada tanggal 27 April 1964 dengan pertimbangan bahwa
pelaksanaan hukuman mati yang ada sudah tidak lagi sesua i dengan jiwa
Universitas Sumatera Utara
60
bangsa Indonesia dimana pada saat sebelum Penetapan Presiden yang berlaku
adalah hukuman gantung.71
Bentuk-bentuk pemidanaan yang dijatuhkan tidaklah terlepas dari latar
belakang filosofi yang melahirkan teori-teori tujuan pemidanaan, maka apabila
pidana mati dimaksudkan sebagai upaya pembalasan (menurut Vergeldings
Theorien) akan mengakibatkan kecenderungan untuk memuaskan atau dapat
saja tidak memuaskan, di mana secara estetika terpidana harus menerima
penderitaan seimbang dengan korbannya. Sementara itu, tujuan pemidanaan
yang lain, adalah lebih menitikberatkan sebagai prevensi dengan maksud agar
orang lain jera untuk tidak melakukan kejahatan.72
Sedang dalam kitab-kitab fikih, pembahasan tentang hukuman mati
menjadi bagian dari pembahasan tentang kriminalitas (al-jinayah) seperti
pencurian (al-sariqah), minuman keras (al-khamr), perzinaan (al-zina), hukum
balas/timbal balik (al-qishas), pemberontakan (al-bughat), dan perampokan
(qutta’u tariq).
Dalam wilayah lain, hukuman mati juga dijatuhkan kepada pelaku
perzinaan dalam bentuk dilempar batu hingga mati (al-rajam) untuk pelaku
perzinaan yang sudah menikah. Juga hukuman mati dilakukan dalam kasus
pemberontakan (al-bug{at) dan pindah agama (al-riddah) yang dikenal sebagai
hukuman (al-had/al-hudud) atas pengingkaran terhadap Islam. Termasuk
dalam kasus meninggalkan ibadah salat, beberapa ulama mempersamakannya
71 Ibid, hal. 89 72 Djoko Prakoso dan Nurwachid, Studi Tentang Pendapat-Pendapat Mengenai
Efektivitas Pidana Mati di Indonesia Dewasa Ini, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1985, hal. 145.
Universitas Sumatera Utara
61
dengan murtad (al-riddah). Imam Ahmad bin Hanbal mengatakan, “Orang
yang meninggalkan salat adalah kafir, kekafiran yang menyebabkan orang
tersebut keluar dari Islam, diancam hukuman mati, jika tidak bertaubat dan
tidak mengerjakan salat.” Sementara Imam Abu Hanifah, Malik dan Syafi’i
mengatakan, “Orang yang meninggalkan adalah fasik dan tidak kafir”, namun,
mereka berbeda pendapat mengenai hukumannya, menurut Imam Malik dan
Syafi’i “diancam hukuman mati (al-hadd/al-hudud)”, dan menurut Imam Abu
Hanifah “diancam hukuman ta’zir, bukan hukuman mati”.73
Hukuman mati merupakan hukuman puncak, terutama untuk tindak
pidana yang dinyatakan sangat berbahaya seperti pembunuhan (al-qital)
dimana jika tidak ada pengampunan dari pihak keluarga dengan membayar
denda pengganti (al-diyat), maka pelakunya dapat dijatuhi hukuman mati
sebagai bentuk hukum balas/timbal balik (al-qishas). Dalam konsepsi ini, maka
kejahatan dibalas dengan hukuman yang serupa. Dalam kasus penetapan
hukuman mati (al-qishas), ditetapkan beberapa syarat antara lain: bahwa yang
bersangkutan telah melakukan pembunuhan terhadap yang tak “boleh” (haq)
dibunuh, atau orang yang “boleh” (haq) dibunuh, akan tetapi belum diputuskan
oleh hakim. Pelaku bisa dihukum mati dengan ketentuan bahwa pada saat
melakukan kejahatan telah cukup umur (baligh) dan berakal (aqil).74
Hukuman mati dalam Islam hanya bisa ditegakkan oleh pemerintahan
Islam, dimana konstitusi dan undang-undang yang berlaku adalah hukum
73 Mawardi A.I, Op. cit, h, 79 74 Marsum, Op. cit, hal. 123
Universitas Sumatera Utara
62
Islam. Itu pun harus melalui mekanisme peradilan, bukan semata-mata
bersandar pada fatwa seorang ulama. Hukuman mati pun hanya berlaku
berdasarkan pertimbangan-pertimbangan yang sangat ketat, seperti konteks
yang melatarbelakangi terjadinya suatu tindakan pidana yang diancam
hukuman mati. Hukum Islam (al-fiqh) membedakan antara mereka yang
sengaja, tidak disengaja, terpaksa atau bahkan dipaksa untuk melakukan suatu
tindak pidana yang membawa konsekuensi jatuhnya hukuman mati. Dalam
kondisi-kondisi demikian, putusan untuk menjatuhkan hukuman mati dapat
dipertimbangkan kembali.
B. Analiss Hukum Pidana Islam terhadap Proses Pelaksanaan Hukuman Mati Menurut Penpres No. 2 tahun 1964
Cara-cara pelaksanaan pidana mati, yang dijatuhkan oleh pengadilan di
lingkungan peradilan umum ditinjau dari hukum Islam sebagai berikut:
10. Alat-alat eksekusi hukuman mati
Di dalam pelaksanaan eksekusi hukuman mati dalam Penetapan
Presiden No. 2 Tahun 1964, tentang peralatan dalam pelaksanaannya adalah
dengan tembak akan tetapi Regu Penembak tidak mempergunakan senjata
organiknya. Di dalam hukum Islam alat yang dipakai untuk membunuh tidak
ada persyaratan khusus, kecuali alat tersebut nantinya bisa mematikan baik
berbentuk tajam maupun yang bersifat membinasakan, yang terpenting
keduanya dapat mengakibatkan tercabutnya nyawa.
Universitas Sumatera Utara
63
Ada catatan khusus tentang pemakaian alat untuk eksekusi hukuman
mati dalam Islam, ada perbedaan pendapat antara fuqaha’ mengenai alat untuk
membunuh. Seperti pendapat Abu Hanifah, bahwa alat untuk membunuh
(qisas) dilakukan dengan pedang. Hal ini berdasarkan hadis| Nabi yang
mengatakan: “Tidak ada hukuman qishas kecuali pedang.” Jadi maksud hadis |
ialah melarang melaksanakan hukuman qisas bukan dengan pedang. Lalu
menurut Imam Maliki, Syafi’i dan beberapa Mahdzab Hambali, alat yang
dipakai untuk menjalankan qis|as harus sama dengan alat yang dipakai oleh
pembunuh dan hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat an-Nahl: 126.
Namun pada dasarnya dalam hukum Islam, pemakaian alat yang sama
seperti si pembunuh untuk membunuh, adalah hak, jadi tanpa memakai alat
tersebut dan menggantinya dengan pedang diperbolehkan.
Di dalam hukum Islam eksekusi hukuman mati berbeda sesuai dengan
kejahatan yang dilakukan oleh terpidana, jika kejahatan itu adalah membunuh
maka dia dibunuh. Jika kejahatannya itu berzina (dalam hal ini zina muhsan,
zina orang yang sudah memiliki ikatan pernikahan) maka dihukum dengan
hukuman rajam. Hukum rajam merupakan hukuman bagi kejahatan zina
muhsan sebagaimana yang dilakukan pada zaman Rasulullah saw, yaitu dengan
menanam tubuh si pelaku sampai batas dada kemudian dilempar dengan batu
hingga mati.
Dari sini dapat dilihat ada perbedaan yang mencolok antara Penetapan
Presiden No. 2 Tahun 1964 dengan Hukum Islam. Di dalam peraturan Penpres
No. 2 Tahun 1964 tidak ada perbedaan antara terpidana mati karena membunuh
Universitas Sumatera Utara
64
dengan terpidana mati karena berzina (zina muhsan). Karena dalam KUHP
sendiri tidak ada aturan tent ang perzinaan yang dihukum mati, sedangkan
dalam Islam ada peraturan bagaimana hukuman untuk orang yang melakukan
zina muhsan. Seperti dalam hadis| oleh Ubadah ibn ash-Shamit.
Dari Ubadah ibn ash-Shamit ia berkata: Rasulullah saw. Telah bersabda: “Ambilah dari diriku, ambilah dari diriku, sesungguhnya Allah telah memberikan jalan keluar bagi mereka (pezina). Jejaka dengan gadis hukumannya dera seratus kali dan pengasingan selama satu tahun. Sedangkan duda dengan janda hukumannya dera seratus kali dan rajam.” Berdasarkan hadis|-hadis| tersebut dan hadis|-hadis| lain yang tidak
dikemukakan, dapat disimpulkan bahwa hukuman rajam sudah disepakati oleh
para fuqaha’, sebagaimana dikatakan oleh as-Syaukani, sebagai hukuman
untuk zina muhsan.
Dalam perkembangannya hukum Islam sendiri bergeser dalam
penerapannya, seperti yang terjadi di Saudi Arabia, yang terjadi pada Putri
Misha dan al-Shaer. Eksekusinya dilakukan dengan digantung dan ditembak,
tidak seperti hukum dasar dari hukuman mati untuk zina muhsan. Hal ini
mempertemukan persamaan dari akibat sangsi hukum yaitu kematian.
Jadi jika dilihat lebih lanjut, tidak ada persoalan yang mendasar tentang
bagaimana cara pelaksanaan eksekusi hukuman mati antara Penpres No. 2
Tahun 1964 dengan Hukum Islam.
11. Waktu dan tempat eksekusi hukuman mati
Waktu pelaksanaan eksekusi hukuman mati dalam Penpres ditentukan
oleh Kepala Polisi Komisariat Daerah setelah mendengar nasehat dari Jaksa
Universitas Sumatera Utara
65
Tinggi/Jaksa,75 dimana terpidana dijatuhi hukuman mati, seperti pada Penpres
No. 2 BAB II Pasal 3 ayat 1. Dalam hukum Islam waktu untuk melaksanakan
eksekusi hukuman mati adalah berdasarkan pada kehadiran ahli waris atau
wakil atau yang berhak terhadap terpidana. Sedangkan mengenai tempatnya di
dalam Penpres tidak diatur secara detail dimana dilaksanakan eksekusi
hukuman mati, hanya saja diberi batasan, bahwa hukuman mati dilaksanakan di
tempat tertutup dan dilakukan dengan sederhana. Di dalam hukum Islam
pelaksanaan eksekusi hukuman mati dilakukan di ruang terbuka. Karena pada
dasarnya eksekusi hukuman mati harus dilakukan di tempat terbuka yang bisa
disaksikan oleh khayalak umum. Hal ini berdasarkan firman Allah dalam surat
an-Nur: 2 Hal ini dimaksudkan disamping hukuman tersebut merupakan
pembalasan. Hukuman tersebut juga bertujuan untuk memberikan pelajaran
kepada masyarakat agar tidak melakukan kejahatan dan bersifat pencegahan.
Dengan dilaksanakannya hukuman di tempat yang dapat disaksikan
oleh masyarakat umum, maka hal ini akan menimbulkan rasa takut di hati
orang-orang yang menyaksikan jangan sampai untuk melakukan kejahatan
serupa. Disamping itu cara ini juga dimaksudkan agar orang menghargai dan
mentaati aturan hukum, dengan demikian maka akan tercegah meluasnya
kejahatan dan keamanan serta ketentraman masyarakat akan terjamin.
Kebahagiaan hidup manusia akan terwujud.76
75 Bab II Pasal 3 ayat (1) Penpres No. 2 Tahun 1964.
76 Noerwahidah, Op. cit, hal. 104
Universitas Sumatera Utara
66
12. Persaksian atas eksekusi hukuman mati
Di dalam Penetapan Presiden No. 2 Tahun 1964 tidak disebutkan
adanya persaksian dalam eksekusi hukuman mati. Karena hampir semua tindak
pidana yang dihukum mati selalu berkaitan langsung dengan negara. meskipun
ada seseorang yang menemani itu bukan dari kelurga terpidana atau ahli waris
dari korban, jika di minta oleh terpidana seorang pendamping itu dari
rohaniawan. Hal ini berbeda sekali dengan hukum Islam. Dalam eksekusi
hukuman mati ahli waris yang berhak terhadap pelaksanaan qisas diharapkan
hadir sendiri dan tidak boleh diwakilkan, menurut pendapat mereka hukuman
qisas, hukuman qisas tidak dapat dijalankan tanpa kehadiran orang-orang yang
berhak terhadapnya, karena kemungkinan waris yang hadir itu akan
memaafkan pembunuh seandainya ia hadir, di saat hukuman akan
dilaksanakan. Tetapi ulama’ lainnya tidak mensyaratkan kehadiran mereka,
akan tetapi cukup dengan kehadiran wakil-wakil mereka saja.
Fleksibilitas hukum Islam terlihat dalam hal pengampunan, dalam kasus
pembunuhan, otoritas diserahkan kepada ahli waris bukan penguasa
(pemerintah). Berbeda dengan Penpres No.2 Tahun 1964, otoritas
pengampunan (grasi) diserahkan kepada Presiden. Inilah pentingnya hadirnya
ahli waris korban atau orang yang berhak terhadap terpidana, dalam
pelaksaanaan eksekusi dalam hukum Islam.
Universitas Sumatera Utara
67
13. Wewenang yang berhak melaksanakan eksekusi hukuman mati
Kewenangan pelaksanaan eksekusi hukuman mati dalam Penetapan
Presiden No. 2 Tahun 1964 dilaksanakan oleh Kepala Polisi Komisariat Daerah
di lingkungan pengadilan di mana terpidana dijatuhi hukuman mati di tingkat
pertama. Dalam hukum Islam kewenangan pelaksanaan hukuman mati adalah
kewenangan Ulil Amri, atas permintaan ahli waris atau keluarga korban (jika
hal kasus ini adalah kasus pembunuhan).
Sudah menjadi kesepakatan para fuqaha’, orang yang boleh
menjalankan hukuman jarimah hudud adalah Kepala Negara yakni Imam atau
wakilnya, yakni petugas yang diberi wewenang, karena hukuman had
merupakan hak Tuhan yang dijatuhkan untuk kepentingan masyarakat. Oleh
karena itu harus diserahkan kepada wakil masyarakat yaitu kepala Negara.77
Dari Rasulullah diriwayatkan sebagai berikut: “Empat perkara
diserahkan kepada penguasa yaitu hukuman had, harta sedekah, sholat Jum’at
dan Fa’i”.78
Untuk jarimah qisas pelaksanaan hukuman bisa dilaksanakan oleh ahli
waris sendiri dengan syarat atas persetujuan penguasa. Di kalangan fuqaha’,
sudah disepakati bahwa wali korban bisa melaksanakan qisas dalam
pembunuhan dengan syarat harus dibawah pengawasan penguasa, sebab
pelaksanaanya memerlukan pemeriksaan dengan teliti dan menjauhi
77 Ibid, hal. 34 78 Ibid, hal. 43
Universitas Sumatera Utara
68
kedzaliman, karena kalau tidak diawasi oleh penguasa dalam pelaksaanaanya,
akan terjadi qisas pula, meskipun ia dianggap mengkhianati kekuasaan Negara.
Melaksanakan qisas merupakan kepentingan umum, maka tidak ada
salahnya kalau diangkat orang-orang yang ahli yang berwenang untuk
melaksanakan hukuman hudud dan qisas dengan mendapat gaji dari
pemerintah. Kalau ahli waris tidak pandai menjalankan qisas, maka
pelaksanaanya diserahkan pada orang-orang ahli tersebut.79
Tampak sekali perbedaan yang mencolok, ada semacam fleksibelitas
hukum yang terjadi dalam hukum Islam. Bahwa keluaga korban bisa
melakukan sendiri qisas. Dengan catatan diawasi oleh pemerintah. Jika ahli
waris tidak mampu melaksanakannya maka pemerintah mencarikan orang yang
ahli dalam hal ini (algojo). Hal ini yang tidak terdapat dalam Penetapan
Presiden. Karena kasus pidana yang berakibat pada hukuman mati dalam
KUHP berhubungan langsung dengan Negara. Jadi meskipun ada perbedaan
dalam peraturannya, namun secara garis besar sama, yaitu kewenanangan
eksekusi mati tetap pada pemerintah (penguasa).
Ada pemisahan bagi terpidana mati dalam pelaksanaan eksekusinya,
antara masyarakat umum yang diatur dalam peradilan umum dan bagi militer
yang diatur dalam peradilan militer. Dalam tata cara pelaksanaannya pun
berbeda. Hal ini, karena secara kelambagaan militer berbeda dengan wilayah
hukum publik.
79 Ibid, hal. 50
Universitas Sumatera Utara
69
Ada banyak perbedaan tata cara pelaksanaan eksekusi mati menurut
Penpres tahun 1964 dengan hukum Islam. Jika di dalam Penpres diatur tentang
detail hukuman mati seperti ditembak, di dalam hukum Islam adalah dengan
memakai pedang atau digantung. Selanjutnya pada perkembangannya hukum
Islam membolehkan hukuman mati selain dari pedang, seperti yang terjadi
pada kasus Putri Misha di Saudi Arabia yang ditembak mati, dan Muslih al-
Shaer yang dihukum gantung. Padahal sudah ditentukan bahwa hukum untuk
zina muhsan adalah dirajam, namun di sini terjadi pergeseran hukum, dari
hukuman rajam menjadi hukuman tembak atau digantung. Hal ini bertujuan
agar mengurangi
Juga dalam hal pelaksanaan hukuman mati, jika di dalam hukum Islam,
pelaksanaan hukuman mati dilaksanakan di tempat ramai yang bisa dilihat oleh
khayalak umum, yang bertujuan agar me nimbulkan ketakutan kepada orang-
orang banyak untuk tidak melakukan perbuatan seperti si terpidana, atau
sebagai antisipasi dan pembalasan dendam. Sedangkan dalam hukum Indonesia
yang diatur dalam Penpres tahun 1964, yaitu eksekusi hukuman mati dilakukan
diruang tertutup, kecuali jika ada keputusan Presiden yang memutuskan lain.
Namun ada kesamaan antara hukum Islam dengan Penpres tahun 1964 yaitu
penundaan eksekusi hukuman mati untuk wanita hamil sampai wanita tersebut
melahirkan.
Hukuman mati merupakan hukuman-hukuman pokok yang disebutkan
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) selain hukuman penjara,
kurungan, dan denda. Di Indonesia sendiri UU tentang hukuman mati
Universitas Sumatera Utara
70
ditetapkan di Jakarta pada 27 April 1964 oleh Presiden Soekarno. UU itu
berbentuk Penetapan Presiden RI No 2/PNPS/1964 tentang Tata Cara
Pelaksanaan Pidana Mati yang Dijatuhkan oleh Pengadilan di Lingkup
Peradilan Umum dan Militer. Dalam UU No 2/PNPS/1964 Bab I Pasal 1
disebutkan, di lingkup peradilan umum atau peradilan militer pelaksanaan
hukuman mati dilakukan dengan cara ditembak sampai mati. Pada Pasal 10
disebutkan eksekutor yang ditunjuk adalah satu bintara, 12 orang tamtama, dan
di bawah pimpinan seorang perwira. Semuanya berasal dari Brigade Mobil.
Hukuman mati memang mengerikan. Dalam hukuman mati ini, manusia
seolah-olah mengambil peran sebagai Tuhan dengan menjadi penentu hidup
atau mati seseorang. Setiap manusia sebenarnya memiliki hak untuk hidup
sehingga pemberlakuan hukuman mati banyak yang menentang. Namun jika
dilihat dari sudut pandang berbeda, seseorang yang melakukan tindak
kejahatan berat dan kejam telah melanggar hak banyak orang. seperti ia
merampok, memperkosa, dan membunuh korbannya atau pembunuhan yang
sadis lainnya, bolehlah dijatuhi hukuman mati. Ini untuk peringatan supaya
orang lain tidak melakukan perbuatan seperti itu lagi.
Demikian pula terhadap pelaku penyelundupan heroin atau sejenisnya
telah menghancurkan masa depan rakyat Indonesia. Jika heroin itu dikonsumsi
oleh jutaan remaja di Indonesia, satu generasi penerus bangsa akan rusak.
Seseorang yang mengonsumsi heroin tidak jarang berakhir dengan kematian,
sehingga heroin dapat membunuh jutaan rakyat Indonesia. Hal tersebut
menjadikan pemberlakuan hukuman mati bagi penyelundup, penjual, maupun
Universitas Sumatera Utara
71
pemasok narkoba sangat layak untuk dilakukan agar tidak muncul kejadian
serupa di bumi Indonesia.
Hukuman mati dilakukan pula terhadap pelaku kejahatan berat lainnya
seperti seorang koruptor. Tindakan korupsi merupakan tindak pidana yang
merugikan banyak orang, bahkan tindak pidana ini lebih fatal dibandingkan
penyelundupan narkoba karena tindak korupsi ini dapat menghancurkan sebuah
negara. Seorang koruptor membuat seluruh rakyat Indonesia menderita karena
perbuatannya, tindak korupsi pun dapat menjadi candu bagi seseorang yang
tidak bisa menahan keinginannya untuk mendapatkan pundi-pundi harta secara
tidak sah. Bau busuk tindak korupsi telah menyengat hidung rakyat, sehingga
hal tersebut harus dihilangkan dengan menghukum mati para koruptor tersebut.
Melalui hukuman mati tersebut diharapkan dapat memberikan efek jera dan
pelajaran bagi koruptor-koruptor lainnya yang belum tersentuh oleh hukum.
Hukuman mati memang masih perlu dijatuhkan untuk memperbaiki
masyarakat. Akan tetapi yang juga perlu diingat, jikalau memang tidak ada
yang meragukan lagi, hukuman mati harus cepat dilaksanakan. Jangan pidana
mati dijatuhkan agar terpidananya dilupakan orang.80
Melaksanakan tindakan segera untuk eksekusi hukuman mati, dalam
Hukum Islam telah memberi beberapa contoh yang diambil dari potret
pelaksanaan hukuman mati pada zaman Rasulullah, hanya beberapa hari
setelah terpidana mengaku / terbukti bersalah dan dijatuhi hukuman mati, maka
segera dilaksanakan hukuman mati, di ruang terbuka. Yang biasa dilakukan
80 Djoko Prakoso dan Nurwachid, Op. cit, hal. 90
Universitas Sumatera Utara
72
oleh Rasulullah setelah salat Jum’at, mengingat setelah salat Jum’at adalah
waktu yang ramai, dimana banyak orang berkumpul.
Pelaksanaan hukuman mati yang dilaksanakan oleh aparat-aparat
pemerintah juga dapat mewakili dari pemerintah, hal ini sah, karena Hukum
Islam sendiri membolehkan (bahkan menganjurkan) adanya
perseorangan/instansi yang berwenang untuk melaksanakan eksekusi mati.
Dari pemaparan di atas, persoalan tata cara pelaksanaan dalam Penpres
No. 2 Tahun. 1964 banyak berbeda dengan tata cara pelaksanaan eksekusi
hukuman mati dalam Hukum Islam. Namun perbedaan itu bukan perbedaan
yang mendasar, perbedaan itu tidak membatalkan Hukum Islam terhadap
Hukum Indonesia yang tertuang dalam Penpres No. 2 Tahun 1964. Karena
secara substansial keduanya sama, yaitu mengangkat harkat martabat manusia.
Universitas Sumatera Utara
73
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
1. Penetapan Presiden Republik Indonesia Tahun 1964. No. 2 yang
menetapkan bahwa pelaksanaan pidana mati, yang dijatuhkan oleh
pengadilan di lingkungan peradilan umum atau peradilan militer,
dengan ditembak mati. Dilaksanakan di suatu tempat tertutup, dalam
wilayah hukum di mana terpidana mati divonis.
2. Pelaksanaan hukuman mati menurut hukum pidana Islam didasarkan
pada ayat-ayat al-Qur’an dan hadits Rasulullah SAW. Beberapa tindak
pidana yang diancam hukuman mati dalam hukum Islam ini adalah
pembunuhan, perzinaan, perampokan, murtad dan pemberontakan.
Pelaksanaan eksekusi mati dilakukan dengan cara dipancung dengan
menggunakan pedang.
3. Tinjauan hukum Islam terhadap Penetapan Presiden RI Tahun 1964 No.
2, bahwa pelaksanaan hukuman mati sesuai dengan hukum Islam dalam
hukum jinayah. Hal ini misalnya tentang alat yang dipakai adalah
pedang, yang mana penggunaan pedang bertujuan untuk memudahkan
terpidana untuk mati, sama seperti hukuman tembak mati, memiliki
tujuan yang sama, atas dasar kemanusiaan. Substansi dari fungsi dari
pelaksanaan hukuman mati, baik dilakukan dengan pedang maupun
dengan ditembak adalah sama.
Universitas Sumatera Utara
74
B. Saran
1. Perlu dipertimbangkan untuk mengganti tata cara eksekusi mati dalam
hukum positif Indonesia, beberapa tata cara lain yang sudah diterapkan
di negara-negara lain yang dianggap lebih baik, dapat diadopsi untuk
menggantikan tata cara eksekusi mati di Indonesia apabila diperlukan.
2. Hukum Islam seperti yang sering dikatakan oleh para ulama’ dan
fuqaha’ selalu tumbuh dan relevan di setiap zaman. Islam telah
meletakkan dasar hukum yang jelas mengenai hukuman mati dalam
qishas-diyat. Maka daripada perlu digali lebih dalam nilai yang
terkandung dalam tata hukum Islam, untuk mencapai kesempurnaan
hidup dan demi kemajuan keilmuan khususnya di bidang Ilmu Hukum
Islam.
3. Pemberlakuan hukuman mati tidak akan berjalan efektif jika tidak
diikuti oleh pembenahan sistem hukum dan peningkatan sumber daya
manusia dalam bidang hukum. Kelemahan sistem hukum Indonesia
dapat dilihat ketika seorang terpidana mati akhirnya dapat melenggang
bebas setelah melakukan beberapa kali banding atau ketika Kejaksaan
Agung mengurangi hukuman mati yang telah diputuskan oleh
pengadilan negeri (PN) dan pengadilan tinggi (PT). Pembenahan
hukum di Indonesia tidak bisa dibebankan pada salah satu pihak
tertentu saja, namun hal ini merupakan tugas seluruh rakyat Indonesia
untuk mengembalikan citra hukum sebagai suatu punishment yang
harus dihormati dan tidak dapat diperjualbelikan.
Universitas Sumatera Utara