Pelaksanaan Hukuman Mati di Indonesia menurut Penpres No 2 ...

31
44 BAB III PELAKSANAAN HUKUMAN MATI DI INDONESIA MENURUT PENPRES NO. 2 TAHUN 1964 A. Tindak Pidana yang Diancam dengan Hukuman Mati Menurut KUHP, di Indonesia ada sembilan macam kejahatan yang diancam pidana mati, yaitu: 1. Makar dengan maksud membunuh presiden dan wakil presiden (Pasal 104 KUHP); 2. Melakukan hubungan dengan negara asing sehingga terjadi perang (Pasal 111 Ayat 2 KUHP); 3. Pengkhianatan memberitahukan kepada musuh di waktu perang (Pasal 124 Ayat 3 KUHP); 4. Menghasut dan memudahkan terjadinya huru-hara (Pasal 124 bis KUHP); 5. Pembunuhan berencana terhadap kepala negara sahabat (Pasal 140 Ayat 3 KUHP); 6. Pembunuhan berencana (Pasal 340 KUHP); 7. Pencurian dengan kekerasan secara bersekutu mengakibatkan luka berat atau mati (Pasal 365 Ayat 4 KUHP); 8. Pembajakan di laut mengakibatkan kematian (Pasal 444 KUHP); Universitas Sumatera Utara

Transcript of Pelaksanaan Hukuman Mati di Indonesia menurut Penpres No 2 ...

Page 1: Pelaksanaan Hukuman Mati di Indonesia menurut Penpres No 2 ...

44

BAB III PELAKSANAAN HUKUMAN MATI DI INDONESIA

MENURUT PENPRES NO. 2 TAHUN 1964

A. Tindak Pidana yang Diancam dengan Hukuman Mati

Menurut KUHP, di Indonesia ada sembilan macam kejahatan yang

diancam pidana mati, yaitu:

1. Makar dengan maksud membunuh presiden dan wakil presiden (Pasal

104 KUHP);

2. Melakukan hubungan dengan negara asing sehingga terjadi perang

(Pasal 111 Ayat 2 KUHP);

3. Pengkhianatan memberitahukan kepada musuh di waktu perang (Pasal

124 Ayat 3 KUHP);

4. Menghasut dan memudahkan terjadinya huru-hara (Pasal 124 bis

KUHP);

5. Pembunuhan berencana terhadap kepala negara sahabat (Pasal 140 Ayat

3 KUHP);

6. Pembunuhan berencana (Pasal 340 KUHP);

7. Pencurian dengan kekerasan secara bersekutu mengakibatkan luka berat

atau mati (Pasal 365 Ayat 4 KUHP);

8. Pembajakan di laut mengakibatkan kematian (Pasal 444 KUHP);

Universitas Sumatera Utara

Page 2: Pelaksanaan Hukuman Mati di Indonesia menurut Penpres No 2 ...

45

9. Kejahatan penerbangan dan sarana penerbangan (Pasal 149 K Ayat 2 &

Pasal 149 O Ayat 2 KUHP).58

Selain dari tindak pidana yang diatur dalam KUHP, ada beberapa

ketentuan-ketentuan di luar KUHP yang juga mengatur tentang kejahatan yang

diancam dengan tindak pidana mati, di antaranya adalah:

1. Tindak Pidana Ekonomi ( UU No 7/Drt/1955 );

2. Tindak Pidana Narkotika (UU No 35 Tahun 2009);

3. Tindak Pidana Korupsi (UU No 31 Tahun 1999 sebagaimana telah

diubah dan ditambah dengan UU No 20 Tahun 2001);

4. Tindak Pidana terhadap Hak Asasi Manusia (39 tahun 1999);

5. Tindak Pidana Terorisme ( Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003).

Dalam setiap ancaman pidana mati tersebut selalu dicantumkan

alternatif berupa pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara selama dua

puluh tahun. Bentuk-bentuk pemidanaan yang dijatuhkan tidaklah terlepas dari

latar belakang filosofi yang melahirkan teori-teori tujuan pemidanaan, maka

apabila pidana mati dimaksudkan sebagai upaya pembalasan (menurut

Vergeldings Theorien) akan mengakibatkan kecenderungan untuk memuaskan

atau dapat saja tidak memuaskan, di mana secara estetika terpidana harus

menerima penderitaan seimbang dengan korbannya. Sementara itu, tujuan

pemidanaan yang lain, adalah lebih menitikberatkan sebagai prevensi dengan

maksud agar orang lain jera untuk tidak melakukan kejahatan.

58 R. Soesilo, Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Bogor, Politea. 1960, hal. 140

Universitas Sumatera Utara

Page 3: Pelaksanaan Hukuman Mati di Indonesia menurut Penpres No 2 ...

46

Tujuan pemidanaan selain memiliki unsur sebagai pencegahan, juga

untuk memperbaiki terpidana, di samping mempertahankan tata tertib hukum.

Pidana mati apabila bertujuan sebagai pembalasan maupun pembelajaran bagi

masyarakat atau agar masyarakat menjadi jera untuk tidak mengulangi atau

meniru tindakan yang melanggar hukum, ternyata maksud dan tujuan itu

tidaklah tercapai seperti yang diharapkan, karena pada kenyataannya kasus

tindak pidana pembunuhan dan kejahatan narkoba tidak menjadi berkurang,

bahkan meningkat, sekalipun sudah terjadi pemidanaan mati yang dijatuhkan

terhadap pelaku kejahatan tersebut.

Dalam kasus tindak pidana narkoba yang dianggap sebagai kejahatan

yang paling serius dan dapat menjadi alat subversi, bahkan akibat yang

ditimbulkan dapat menghancurkan masa depan anak bangsa. Namun, dalam

sejumlah riset menunjukkan, ternyata tidak ada korelasi antara hukuman mati

dengan berkurangnya tingkat kejahatan tersebut, di Indonesia justru

menunjukkan peningkatan dari pengguna dan pengedar, sampai pada adanya

produsen. Dalam kaitan ini, upaya penanggulangan narkoba di negara-negara

maju sudah mulai dilakukan dengan meningkatkan pendidikan sejak dini dan

melakukan kampanye antinarkoba, serta penyuluhan tentang bahayanya.

Demikian seriusnya penanggulangan masalah narkoba bagi kehidupan manusia

sudah mendorong kerja sama internasional dalam memerangi kejahatan

narkoba tersebut.59

59 Arief Barda Nawawi, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, cetakan kedua,

Bandung, PT. Citra Aditya Bakti, 2002, hal. 56

Universitas Sumatera Utara

Page 4: Pelaksanaan Hukuman Mati di Indonesia menurut Penpres No 2 ...

47

Filosofis pidana mati bagi bangsa Indonesia tidaklah terlepas dari

pandangan dan sikap bangsa Indonesia sebagaimana dituangkan dalam

Ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1998 yang menyebutkan bahwa pandangan

dan sikap bangsa Indonesia mengenai hak asasi manusia adalah bersumber dari

ajaran agama, nilai moral universal, dan nilai luhur budaya bangsa, serta

berdasarkan Pancasila. Sehingga hak asasi manusia dirumuskan secara

substansi dengan menggunakan pendekatan normatif, empiris, deskriptif, dan

analitis, antara lain disebutkan bahwa hak asasi manusia adalah hak dasar yang

melekat pada diri manusia yang sifatnya kodrati dan universal sebagai karunia

Tuhan Yang Maha Esa dan berfungsi untuk menjamin kelangsungan hidup,

kemerdekaan, perkembangan manusia dan masyarakat, yang tidak boleh

diabaikan, dirampas atau diganggu gugat oleh siapa pun.60

Karena itu, dalam Ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1998 tersebut

Pasal 1 menugaskan kepada Lembaga-lembaga Tinggi Negara dan seluruh

aparatur pemerintah, untuk menghormati, menegakkan, dan menyebarluaskan

pemahaman hak asasi manusia kepada seluruh masyarakat. Pandangan dan

sikap bangsa Indonesia ini di samping termuat dalam Piagam Hak Asasi

Manusia, juga terangkat dalam amandemen kedua UUD 1945 Pasal 28 A, yang

menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup

dan kehidupannya.

Dengan pendekatan filosofis yuridis tersebut di atas, maka seluruh

produk hukum yang ada maupun yang akan ada seharusnya tidak boleh

60 Andi Hamzah dan A. Sumangelipu, Op. cit, hal. 82

Universitas Sumatera Utara

Page 5: Pelaksanaan Hukuman Mati di Indonesia menurut Penpres No 2 ...

48

bertentangan dengan jiwa, pandangan dan sikap bangsa. Seperti yang dikatakan

oleh Friedrich Carel Von Savigny bahwa hukum tidaklah dibuat melainkan ada

dan tumbuh bersama rakyat.61

Amandemen kedua UUD 1945 Pasal 28 A menyatakan bahwa setiap

orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan

kehidupannya. Sebagai Hukum Dasar yang ditegaskan dalam Tata Urutan

Perundang-undangan yang merupakan pedoman dalam pembuatan aturan

hukum di bawahnya sebagaimana Ketetapan MPR Nomor III/MPR/ 2000,

maka seluruh aturan hukum di bawahnya, baik yang telah ada maupun yang

akan dibentuk harus, sejalan dengan UUD sebagai Hukum Dasar tertinggi atau

yang disebut sebagai Staatgrundgezet.62

Hak asasi manusia sebagaimana yang dirumuskan dalam pandangan

dan sikap bangsa Indonesia adalah juga merupakan jiwa dari

Staatsfundamentalnorm Pancasila yang antara lain mengedepankan dasar

Ketuhanan Yang Maha Esa serta Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, maka

sebagai filosofi yuridis esensi itu sudah berlanjut menjadi konkret ke dalam

Pasal 28 A itu.

Bahwa dalam setiap ancaman pidana mati selalu dicantumkan alternatif

berupa pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara selama dua puluh

tahun, maka memilih alternatif hukuman seumur hidup sebagai hukuman

maksimal, kalau perlu tanpa remisi, sesungguhnya sudah merupakan kematian

61 Ibid, hal. 52 62 Ibid, hal. 74

Universitas Sumatera Utara

Page 6: Pelaksanaan Hukuman Mati di Indonesia menurut Penpres No 2 ...

49

perdata bagi terpidana atau kematian atas kebebasan hidup, dalam pada itu

terpidana akan dapat merenungkan segala dosanya dan dapat pula menjadi

pembelajaran bagi masyarakat.

Dalam sejarah Beccaria penentang hukuman mati pernah mencatat

seorang yang dijatuhi pidana mati (Jean Callas) karena dituduh telah

membunuh anaknya sendiri, padahal ternyata Voltaire dapat membuktikan

bahwa yang bersangkutan terbukti kemudian tidak bersalah, sehingga nama

Jean Callas direhabilitasi, tetapi apa artinya sebuah rehabilitasi jika yang

bersangkutan telah mati.63

Hukuman Pidana Mati yang berlaku di Indonesia diatur dalam

Penetapan Presiden No. 2 Tahun 1964 tentang tata cara pelaksanaan pidana

mati yang dijatuhkan oleh pengadilan dilingkungan Peradilan Umum dan

Militer. Penetapan tata cara pelaksanaan pidana mati ini ditetapkan oleh

Presiden Sukarno pada tanggal 27 April 1964 dengan pertimbangan bahwa

pelaksanaan hukuman mati yang ada sudah tidak lagi sesuai dengan jiwa

bangsa Indonesia dimana pada saat sebelum Penetapan Presiden yang berlaku

adalah hukuman gantung.

B. Proses Pelaksanaan Eksekusi Mati di Indonesia Menurut Penpres Nomor 2 Tahun 1964

Dalam Penetapan Presiden No. 2 Tahun 1964 ini secara tegas-tegas

menyatakan bahwa pelaksanaan pidana mati yang dijatuhkan oleh Pengadilan,

63 Ibid, hal. 65

Universitas Sumatera Utara

Page 7: Pelaksanaan Hukuman Mati di Indonesia menurut Penpres No 2 ...

50

baik dilingkungan peradilan umum maupun peradilan militer, dilakukan

dengan ditembak sampai mati (Pasal 1) dengan tata cara sebagai berikut :

1. Dilaksanakan dalam daerah hukum pengadilan yang menjatuhkan

putusan dalam tingkat pertama.

2. Pidana mati yang dijatuhkan atas dirinya beberapa orang didalam satu

putusan, dilaksanakan secara serempak pada waktu dan tempat yang

sama, keculai jika terdapat hal-hal yang tidak memungkinkan

pelaksanaan demikian itu (Pasal 2).

3. Kepala Polisi Daerah (KAPOLDA) bertanggung jawab untuk

pelaksanaannya sekaligus menentukan waktu dan tempat pelaksanaan

pidana mati.

4. Jika dalam penentuan waktu dan tempat itu tersangkut wewenang

KAPOLDA lain, maka KAPOLDA tersebut merundingkannya dengan

KAPOLDA itu.

5. KAPOLDA atau perwira yang ditunjuk olehnya menghadiri

pelaksanaan pidana mati tersebut bersama-sama dengan Jaksa Tinggi

atau jaksa yang bertanggung jawab atas pelaksanaannya.

6. Menunggu pelaksanaan pidana mati, Terpidana ditahan dalam penjara

atau ditempat lain yang khusus ditunjuk oleh Jaksa Tinggi.

7. 3 X 24 jam sebelum saat pelaksanaan pidana mati, Jaksa Tinggi

memberitahukan kepada terpidana tentang akan dilaksanakannya

pidana mati tersebut.

Universitas Sumatera Utara

Page 8: Pelaksanaan Hukuman Mati di Indonesia menurut Penpres No 2 ...

51

8. Apabila terpidana hendak mengemukakan sesuatu, maka keterangannya

atau pesannya itu diterima oleh jaksa Tinggi/ Jaksa tersebut.

9. Apabila terpidana hamil, maka pelaksanaan pidana mati baru dapat

dilaksanakan 40 hari setelah anaknya dilahirkan.

10. Pembela terpidana atas permintaannya sendiri atau atas permintaan

terpidana, dapat menghadiri pelaksanaan pidana mati.

11. Pidana mati dilaksanakan tidak dimuka umum dan dengan cara

seserdana mungkin, kecuali ditetapkan lain oleh Presiden.

12. Untuk pelaksanaan pidana mati, KAPOLDA yang bertanggung jawab

membentuk sebuah regu penembak yang terdiri dari seorang Bintara

(Brigadir- sekarang), 12 orang tamtama dibawah pimpinan seorang

perwira, semuanya dari Brigade Mobile (Brimob POLRI).

13. Khusus untuk melaksanakan tugasnya ini, regu penembak tidak

mempergunakan senjata organiknya.

14. Regu penembak ini dibawah perintah Jaksa Tinggi/ jaksa sampai

selesainya pelaksanaan pidana mati.

15. Terpidana dibawa ke tempat pelaksanaan pidana dengan pengawalan

polisi yang cukup.

16. Jika diminta, terpidana dapat disertai oleh seorang perawat rokhani.

17. Terpidana berpakaian sederhana dan tertib.

18. Setibanya ditempat pelaksanaan pidana mati, Komandan Pengawal

menutup mata si terpidana dengan sehelai kain, kecuali jika terpidana

tidak menghendakinya.

Universitas Sumatera Utara

Page 9: Pelaksanaan Hukuman Mati di Indonesia menurut Penpres No 2 ...

52

19. Terpidana dapat menjalani pidananya secara berdiri, duduk atau

berlutut.

20. Jika dipandang perlu, Jaksa Tinggi/ jaksa dapat memerintahkan supaya

terpidana diikat tangan serta kakinya ataupun diikatkan kepada

sandaran yang khusus dibuat untuk itu.

21. Setelah terpidana siap ditempat dimana dia akan menjalankan pidana

mati, maka regu penembak dengan senjata sudah terisi menuju

ketempat yang ditentukan oleh Jaksa.

22. Jarak antara titik dimana terpidana berada dan tempat regu penembak

tidak boleh melebihi 10 meter dan tidak boleh kurang dari 5 meter.

23. Apabila semua persiapan telah selesai, maka Jaksa memerintahkan

untuk memulai pelaksanaan pidana mati.

24. Dengan segera para pengiring terpidana menjauhkan diri dari terpidana.

25. Dengan menggunakan pedangnya sebagai isyarat, Komandan Regu

Penembak memberikan perintah supaya bersiap, kemudian dengan

menggerakkan pedangnya ke atas ia memerintahkan Regunya untuk

membidik pada jantung terpidana dan dengan menyatakan pedangnya

ke bawah secara cepat, dia memberikan perintah untuk menembak.

26. Apabila setelah penembakan itu, terpidana masih memperlihatkan

tanda-tanda bahwa dia belum mati, maka komandan regu penembak

segera memerintahkan kepada Bintara regu penembak untuk

melepaskan tembakan pengakhir dengan menekankan ujung laras

senjatanya pada kepala terpidana tepat di atas telinganya.

Universitas Sumatera Utara

Page 10: Pelaksanaan Hukuman Mati di Indonesia menurut Penpres No 2 ...

53

27. Untuk memperoleh kepastian tentang matinya terpidana dapat minta

bantuan seorang dokter.

28. Untuk penguburan terpidana diserahkan kepada keluarganya atau

sahabat terpidana, terkecuali jika berdasarkan kepentingan umum Jaksa

memutus lain.

29. Dalam hal terakhir ini, dan juga jika tidak ada kemungkinan

pelaksanaan penguburan oleh keluarganya atau sahabat terpidana maka

penguburan yang ditentukan oleh agama/ kepercayaan yang dianut

terpidana.

Dikatakan dalam Pasal 2 sd. Pasal 16 UU tersebut, sebagai berikut:

Bahwa Kepala Kepolisian Daerah setempat bertanggung-jawab untuk

pelaksanaannya, menentukan waktu dan tempat pelaksanaan pidana mati. Yang

dimaksudkan dengan bertanggung jawab untuk pelaksanaan ialah bertanggung

jawab atas keamanan dan ketertiban sewaktu pelaksanaan pidana mati serta

menyediakan tenaga dan alat-alat yang diperlukan untuk itu.

Tenaga yang dimaksud ialah membentuk sebuah regu penembak yang

terdiri dari seorang bintara, dua belas orang tamtama di bawah pimpinan

seorang perwira, semuanya dari Brigade Mobile. Semuanya ini berada di

bawah perintah jaksa yang bertanggung jawab atas pelaksanaannya sampai

selesainya pelaksanaan pidana mati tersebut.64

Apabila terpidana hendak mengemukakan sesuatu, maka keterangan

atau pesannya itu diterima oleh jaksa tersebut. Pelaksanaan pidana mati tidak

64 J.E. Sahetapy, Op. cit, hal.67

Universitas Sumatera Utara

Page 11: Pelaksanaan Hukuman Mati di Indonesia menurut Penpres No 2 ...

54

dilaksanakan di muka umum dan dengan cara sesederhana mungkin. Terpidana

berpakaian sederhana dan tertib. Pembela terpidana atas permintaannya sendiri

atau atas permintaan si terpidana dapat menghadiri pelaksanaan pidana mati.

Jika diminta, terpidana dapat disertai oleh seorang perawat rohani. Setibanya di

tempat pelaksanaan pidana mati, komandan pengawal menutup mata si

terpidana dengan sehelai kain kecuali jika terpidana tidak menghendakinya.

Terpidana boleh berdiri, duduk atau berlutut.65

Jika dipandang perlu maka jaksa tersebut dapat memerintahkan supaya

terpidana diikat tangan serta kakinya atau diikat kepada sandaran yang khusus

dibuat untuk itu. Jarak antara titik dimana terpidana berada dan tempat regu

penembak tidak boleh melebihi sepuluh meter dan tidak boleh kurang dari lima

meter. Apabila semua persiapan telah selesai, maka jaksa tersebut

memerintahkan untuk memulai pelaksanaan pidana mati dan dengan segera

para pengiring terpidana menjauhkan diri dari terpidana.

Dengan menggunakan pedangnya sebagai isyarat komandan regu

penembak memberikan perintah supaya bersiap kemudian dengan

menggerakkan pedangnya ke atas ia memerintahkan regunya untuk membidik

pada jantung terpidana dan dengan menyentakkan pedangnya ke bawah secara

cepat, dia memberikan perintah untuk menembak.

Apabila setelah penembakan itu terpidana masih memperlihatkan

tandatanda bahwa ia belum mati maka komandan regu segera memerintahkan

kepada bintara regu penembak untuk melepaskan tembakan pengakhir dengan

65 Ibid, hal. 59

Universitas Sumatera Utara

Page 12: Pelaksanaan Hukuman Mati di Indonesia menurut Penpres No 2 ...

55

menekankan ujung laras senjatanya pada kepala terpidana tepat di atas

telinganya. Untuk memperoleh kepastian tentang matinya terpidana diminta

bantuan seorang dokter. Untuk penguburan terpidana diserahkan kepada

keluarganya atau sahabat terpidana terkecuali jika berdasarkan kepentingan

umum jaksa tersebut memutuskan lain.Andaikan tidak ada juga kemungkinan

pelaksanaan penguburan oleh keluarga atau sahabat terpidana, maka

penguburan diselenggarakan oleh negara dengan mengindahkan cara

penguburan yang ditentukan oleh agama/kepercayaan yang dianut oleh

terpidana.66

Jaksa tersebut harus membuat berita acara dari keseluruhan pelaksanaan

pidana mati tersebut. Isi dari pada berita acara tersebut harus disalinkan ke

dalam surat keputusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum

tetap dan ditanda-tangani olehnya.67

66 Ibid. hal. 62 67 Ibid, hal. 63

Universitas Sumatera Utara

Page 13: Pelaksanaan Hukuman Mati di Indonesia menurut Penpres No 2 ...

56

BAB IV ANALISIS HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP TATA CARA

PELAKSANAAN EKSEKUSI HUKUMAN MATI MENURUT PENPRES NO. 2 TAHUN 1964

A. Analisis Hukum Pidana Islam terhadap latar belakang lahirnya Penpres no. 2 tahun 1964

Kebanyakan eksekusi Pidana Mati dilaksanakan dengan menggantung

si penjahat pada tempat penting di tengah-tengah kota (di alun-alun) dengan

dipertontonkan di muka umum, hal ini dimaksudkan supaya sebanyak mungkin

orang yang melihatnya dan menjadi takut untuk melakukan kejahatan. Tiang

gantungan adalah gambaran yang lazim pada jalan masuk kota-kota besar.

Demikianlah gambaran yang terdapat di pelbagai Negara dan daerah-daerah

jajahan, termasuk Indonesia.68 Dalam sejarah bangsa Indonesia, telah tercipta

banyak sekali peraturan. Meskipun regulasi Undang-undang yang berlandaskan

Pancasila, akan tetapi peraturan yang lebih terperinci masih banyak yang

mengikuti hukum Belanda, Seperti halnya di dalam KUHP. Mengenai

pelaksanaan eksekusi pidana mati dibagi pada dua masa, yaitu masa sebelum

perang dan masa sesudah perang, maka dengan sendirinya terdapat suatu masa

peralihan, yaitu selama masa perang berlangsung atau selama masa

pendudukan Jepang di Indonesia.

Pada waktu itu ada dua peraturan dijalankan, yaitu peraturan

dijalankan, yaitu peraturan Pasal 11 KUHP69 dan satu peraturan baru yang

68 Andi Hamzah dan A. Sumangelipu, Op. cit, hal. 79 69 Kitab Undang-undang Hukum Pidana berlaku pada masa pendudukan Jepang,

berdasarkan Aturan Peralihan dari Pemerintah Militer Jepang

Universitas Sumatera Utara

Page 14: Pelaksanaan Hukuman Mati di Indonesia menurut Penpres No 2 ...

57

diundangkan oleh Pemerintah Jepang yang menghendaki pidana mati

dilaksanakan dengan ditembak mati.70

Keadaan dualisme ini berlangsung hingga bulan-bulan pertama setelah

Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, tetapi daerah-daerah yang diduduki oleh

Belanda semua peraturan Jepang itu dianggap tidak sah setelah pendudukan itu

berakhir. Di daerah-daerah yang dikuasai oleh Belanda diumumkan suatu

peraturan baru yang sesuai dengan pidana mati yang harus dilaksanakan

dengan tembak mati. Di mana sebelum pengakuan kedaulatan ada suatu

perubahan tetap di daerah-daerah territorial tentang berlakunya keduanya, di

Republik Indonesia dan Kekuasaan Hindia Belanda. Setelah tanggal 27

Desember 1949 perubahan ini terus berlangsung karena pengembalian banyak

daerah-daerah RI, yang sekarang merupakan suatu Negara dari Indonesia.

Setelah kesatuan RI tercapai, pidana mati dilakukan dengan pidana

gantung. Pada tanggal 29 September 1958 Badan Legislatif menetapkan

Undang undang 1958 No. 73 untuk mencapai kesatuan dalam menetapkan

Hukum Pidana dengan mengumumkan Undang-undang 1946 No.1 itu adalah

Hukum Pidana pada umumnya kedua-duanya Hukum Pidana yang telah

diundangkan dan hukum pidana di luar kode kriminal. Akibatnya ialah bahwa

undang-undang itu mempunyai juga efek pada peraturan dari Lembaran Negara

1945 No. 123 Pasal 1 dari Undang-undang 1946 No. 1 menetapkan bahwa

peraturan-peraturan Hukum Pidana yang mengikat sekarang ialah peraturan

Hukum Pidana dari 8 Maret 1942.

70 Andi Hamzah dan A. Sumangelipu, Op. cit, hal. 90

Universitas Sumatera Utara

Page 15: Pelaksanaan Hukuman Mati di Indonesia menurut Penpres No 2 ...

58

Suatu peraturan baru tentang pelaksanaan Pidana Mati ialah Penetapan

Presiden Republik Indonesia Tahun 1964. No. 2 yang menetapkan bahwa

pelaksanaan pidana mati, yang dijatuhkan oleh pengadilan di lingkungan

peradilan umum atau peradilan militer, dilakukan dengan ditembak sampai

mati. Pidana mati itu jika tidak ditentukan lain oleh Menteri Kehakiman,

dilaksanakan di suatu tempat dalam daerah hukum pengadilan yang

menjatuhkan putusan dalam tingkat pertama, sedang pidana mati yang

dijatuhkan atas diri beberapa orang di dalam suatu putusan dilaksanakan secara

serempak pada waktu dan tempat sama, kecuali jika terdapat hal-hal yang tidak

memungkinkan pelaksanaan demikian. Ditentukan selanjutnya bahwa kepala

Polisi Komisariat Daerah tempat kedudukan pengadilan yang menjatuhkan

putusan dalam tingkat pertama itu, setelah mendengar nasihat dari Jaksa

Tinggi/Jaksa yang bertanggung jawab untuk melaksanakannya, menentukan

waktu dan tempat pelaksanaan pidana mati tersebut.

Jika dalam penentuan waktu dan tempat itu tersangkut wewenang

Kepala Polisi Komisariat Daerah lain, maka Kepala Polisi Komisariat Daerah

tempat kedudukan pengadilan yang menjatuhkan putusan dalam tingkat

pertama itu merundingkannya dengan Kepala Polisi Komisariat Daerah lain

tersebut. Dan Kepala Polisi Daerah tempat kedudukan pengadilan yang

menjatuhkan putusan tingkat pertama itulah yang bertanggung jawab atas

keamanan dan ketertiban sewaktu pelaksanaan pidana mati dan menyediakan

tenaga serta alat-alat yang diperlukan untuk itu.

Universitas Sumatera Utara

Page 16: Pelaksanaan Hukuman Mati di Indonesia menurut Penpres No 2 ...

59

Pelaksanaanya ditunda apabila sesudah diberi putusan terpidana

menjadi gila dan hal ini diakui oleh Hakim yang menjatuhkan pidana mati,

demikian pula terhadap seorang perempuan yang sedang hamil, untuk

terpidana yang menjadi gila pelaksanaanya ditunda sampai sakit jiwanya sudah

sembuh, untuk perempuan yang hamil ditunda sampai melahirkan.

Dasar filosofis pidana mati bagi bangsa Indonesia tidaklah terlepas dari

pandangan dan sikap bangsa Indonesia sebagaimana dituangkan dalam

Ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1998 yang menyebutkan bahwa pandangan

dan sikap bangsa Indonesia mengenai hak asasi manusia adalah bersumber dari

ajaran agama, nilai moral universal, dan nilai luhur budaya bangsa, serta

berdasarkan Pancasila. Sehingga hak asasi manusia dirumuskan secara

substansi dengan menggunakan pendekatan normatif, empiris, deskriptif, dan

analitis, antara lain disebutkan bahwa hak asasi manusia adalah hak dasar yang

melekat pada diri manusia yang sifatnya kodrati dan universal sebagai karunia

Tuhan Yang Maha Esa dan berfungsi untuk menjamin kelangsungan hidup,

kemerdekaan, perkembangan manusia dan masyarakat, yang tidak boleh

diabaikan, dirampas atau diganggu gugat oleh siapa pun.

Penetapan tata cara pelaksanaan pidana mati ini ditetapkan oleh

Presiden Sukarno pada tanggal 27 April 1964 dengan pertimbangan bahwa

pelaksanaan hukuman mati yang ada sudah tidak lagi sesua i dengan jiwa

Universitas Sumatera Utara

Page 17: Pelaksanaan Hukuman Mati di Indonesia menurut Penpres No 2 ...

60

bangsa Indonesia dimana pada saat sebelum Penetapan Presiden yang berlaku

adalah hukuman gantung.71

Bentuk-bentuk pemidanaan yang dijatuhkan tidaklah terlepas dari latar

belakang filosofi yang melahirkan teori-teori tujuan pemidanaan, maka apabila

pidana mati dimaksudkan sebagai upaya pembalasan (menurut Vergeldings

Theorien) akan mengakibatkan kecenderungan untuk memuaskan atau dapat

saja tidak memuaskan, di mana secara estetika terpidana harus menerima

penderitaan seimbang dengan korbannya. Sementara itu, tujuan pemidanaan

yang lain, adalah lebih menitikberatkan sebagai prevensi dengan maksud agar

orang lain jera untuk tidak melakukan kejahatan.72

Sedang dalam kitab-kitab fikih, pembahasan tentang hukuman mati

menjadi bagian dari pembahasan tentang kriminalitas (al-jinayah) seperti

pencurian (al-sariqah), minuman keras (al-khamr), perzinaan (al-zina), hukum

balas/timbal balik (al-qishas), pemberontakan (al-bughat), dan perampokan

(qutta’u tariq).

Dalam wilayah lain, hukuman mati juga dijatuhkan kepada pelaku

perzinaan dalam bentuk dilempar batu hingga mati (al-rajam) untuk pelaku

perzinaan yang sudah menikah. Juga hukuman mati dilakukan dalam kasus

pemberontakan (al-bug{at) dan pindah agama (al-riddah) yang dikenal sebagai

hukuman (al-had/al-hudud) atas pengingkaran terhadap Islam. Termasuk

dalam kasus meninggalkan ibadah salat, beberapa ulama mempersamakannya

71 Ibid, hal. 89 72 Djoko Prakoso dan Nurwachid, Studi Tentang Pendapat-Pendapat Mengenai

Efektivitas Pidana Mati di Indonesia Dewasa Ini, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1985, hal. 145.

Universitas Sumatera Utara

Page 18: Pelaksanaan Hukuman Mati di Indonesia menurut Penpres No 2 ...

61

dengan murtad (al-riddah). Imam Ahmad bin Hanbal mengatakan, “Orang

yang meninggalkan salat adalah kafir, kekafiran yang menyebabkan orang

tersebut keluar dari Islam, diancam hukuman mati, jika tidak bertaubat dan

tidak mengerjakan salat.” Sementara Imam Abu Hanifah, Malik dan Syafi’i

mengatakan, “Orang yang meninggalkan adalah fasik dan tidak kafir”, namun,

mereka berbeda pendapat mengenai hukumannya, menurut Imam Malik dan

Syafi’i “diancam hukuman mati (al-hadd/al-hudud)”, dan menurut Imam Abu

Hanifah “diancam hukuman ta’zir, bukan hukuman mati”.73

Hukuman mati merupakan hukuman puncak, terutama untuk tindak

pidana yang dinyatakan sangat berbahaya seperti pembunuhan (al-qital)

dimana jika tidak ada pengampunan dari pihak keluarga dengan membayar

denda pengganti (al-diyat), maka pelakunya dapat dijatuhi hukuman mati

sebagai bentuk hukum balas/timbal balik (al-qishas). Dalam konsepsi ini, maka

kejahatan dibalas dengan hukuman yang serupa. Dalam kasus penetapan

hukuman mati (al-qishas), ditetapkan beberapa syarat antara lain: bahwa yang

bersangkutan telah melakukan pembunuhan terhadap yang tak “boleh” (haq)

dibunuh, atau orang yang “boleh” (haq) dibunuh, akan tetapi belum diputuskan

oleh hakim. Pelaku bisa dihukum mati dengan ketentuan bahwa pada saat

melakukan kejahatan telah cukup umur (baligh) dan berakal (aqil).74

Hukuman mati dalam Islam hanya bisa ditegakkan oleh pemerintahan

Islam, dimana konstitusi dan undang-undang yang berlaku adalah hukum

73 Mawardi A.I, Op. cit, h, 79 74 Marsum, Op. cit, hal. 123

Universitas Sumatera Utara

Page 19: Pelaksanaan Hukuman Mati di Indonesia menurut Penpres No 2 ...

62

Islam. Itu pun harus melalui mekanisme peradilan, bukan semata-mata

bersandar pada fatwa seorang ulama. Hukuman mati pun hanya berlaku

berdasarkan pertimbangan-pertimbangan yang sangat ketat, seperti konteks

yang melatarbelakangi terjadinya suatu tindakan pidana yang diancam

hukuman mati. Hukum Islam (al-fiqh) membedakan antara mereka yang

sengaja, tidak disengaja, terpaksa atau bahkan dipaksa untuk melakukan suatu

tindak pidana yang membawa konsekuensi jatuhnya hukuman mati. Dalam

kondisi-kondisi demikian, putusan untuk menjatuhkan hukuman mati dapat

dipertimbangkan kembali.

B. Analiss Hukum Pidana Islam terhadap Proses Pelaksanaan Hukuman Mati Menurut Penpres No. 2 tahun 1964

Cara-cara pelaksanaan pidana mati, yang dijatuhkan oleh pengadilan di

lingkungan peradilan umum ditinjau dari hukum Islam sebagai berikut:

10. Alat-alat eksekusi hukuman mati

Di dalam pelaksanaan eksekusi hukuman mati dalam Penetapan

Presiden No. 2 Tahun 1964, tentang peralatan dalam pelaksanaannya adalah

dengan tembak akan tetapi Regu Penembak tidak mempergunakan senjata

organiknya. Di dalam hukum Islam alat yang dipakai untuk membunuh tidak

ada persyaratan khusus, kecuali alat tersebut nantinya bisa mematikan baik

berbentuk tajam maupun yang bersifat membinasakan, yang terpenting

keduanya dapat mengakibatkan tercabutnya nyawa.

Universitas Sumatera Utara

Page 20: Pelaksanaan Hukuman Mati di Indonesia menurut Penpres No 2 ...

63

Ada catatan khusus tentang pemakaian alat untuk eksekusi hukuman

mati dalam Islam, ada perbedaan pendapat antara fuqaha’ mengenai alat untuk

membunuh. Seperti pendapat Abu Hanifah, bahwa alat untuk membunuh

(qisas) dilakukan dengan pedang. Hal ini berdasarkan hadis| Nabi yang

mengatakan: “Tidak ada hukuman qishas kecuali pedang.” Jadi maksud hadis |

ialah melarang melaksanakan hukuman qisas bukan dengan pedang. Lalu

menurut Imam Maliki, Syafi’i dan beberapa Mahdzab Hambali, alat yang

dipakai untuk menjalankan qis|as harus sama dengan alat yang dipakai oleh

pembunuh dan hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat an-Nahl: 126.

Namun pada dasarnya dalam hukum Islam, pemakaian alat yang sama

seperti si pembunuh untuk membunuh, adalah hak, jadi tanpa memakai alat

tersebut dan menggantinya dengan pedang diperbolehkan.

Di dalam hukum Islam eksekusi hukuman mati berbeda sesuai dengan

kejahatan yang dilakukan oleh terpidana, jika kejahatan itu adalah membunuh

maka dia dibunuh. Jika kejahatannya itu berzina (dalam hal ini zina muhsan,

zina orang yang sudah memiliki ikatan pernikahan) maka dihukum dengan

hukuman rajam. Hukum rajam merupakan hukuman bagi kejahatan zina

muhsan sebagaimana yang dilakukan pada zaman Rasulullah saw, yaitu dengan

menanam tubuh si pelaku sampai batas dada kemudian dilempar dengan batu

hingga mati.

Dari sini dapat dilihat ada perbedaan yang mencolok antara Penetapan

Presiden No. 2 Tahun 1964 dengan Hukum Islam. Di dalam peraturan Penpres

No. 2 Tahun 1964 tidak ada perbedaan antara terpidana mati karena membunuh

Universitas Sumatera Utara

Page 21: Pelaksanaan Hukuman Mati di Indonesia menurut Penpres No 2 ...

64

dengan terpidana mati karena berzina (zina muhsan). Karena dalam KUHP

sendiri tidak ada aturan tent ang perzinaan yang dihukum mati, sedangkan

dalam Islam ada peraturan bagaimana hukuman untuk orang yang melakukan

zina muhsan. Seperti dalam hadis| oleh Ubadah ibn ash-Shamit.

Dari Ubadah ibn ash-Shamit ia berkata: Rasulullah saw. Telah bersabda: “Ambilah dari diriku, ambilah dari diriku, sesungguhnya Allah telah memberikan jalan keluar bagi mereka (pezina). Jejaka dengan gadis hukumannya dera seratus kali dan pengasingan selama satu tahun. Sedangkan duda dengan janda hukumannya dera seratus kali dan rajam.” Berdasarkan hadis|-hadis| tersebut dan hadis|-hadis| lain yang tidak

dikemukakan, dapat disimpulkan bahwa hukuman rajam sudah disepakati oleh

para fuqaha’, sebagaimana dikatakan oleh as-Syaukani, sebagai hukuman

untuk zina muhsan.

Dalam perkembangannya hukum Islam sendiri bergeser dalam

penerapannya, seperti yang terjadi di Saudi Arabia, yang terjadi pada Putri

Misha dan al-Shaer. Eksekusinya dilakukan dengan digantung dan ditembak,

tidak seperti hukum dasar dari hukuman mati untuk zina muhsan. Hal ini

mempertemukan persamaan dari akibat sangsi hukum yaitu kematian.

Jadi jika dilihat lebih lanjut, tidak ada persoalan yang mendasar tentang

bagaimana cara pelaksanaan eksekusi hukuman mati antara Penpres No. 2

Tahun 1964 dengan Hukum Islam.

11. Waktu dan tempat eksekusi hukuman mati

Waktu pelaksanaan eksekusi hukuman mati dalam Penpres ditentukan

oleh Kepala Polisi Komisariat Daerah setelah mendengar nasehat dari Jaksa

Universitas Sumatera Utara

Page 22: Pelaksanaan Hukuman Mati di Indonesia menurut Penpres No 2 ...

65

Tinggi/Jaksa,75 dimana terpidana dijatuhi hukuman mati, seperti pada Penpres

No. 2 BAB II Pasal 3 ayat 1. Dalam hukum Islam waktu untuk melaksanakan

eksekusi hukuman mati adalah berdasarkan pada kehadiran ahli waris atau

wakil atau yang berhak terhadap terpidana. Sedangkan mengenai tempatnya di

dalam Penpres tidak diatur secara detail dimana dilaksanakan eksekusi

hukuman mati, hanya saja diberi batasan, bahwa hukuman mati dilaksanakan di

tempat tertutup dan dilakukan dengan sederhana. Di dalam hukum Islam

pelaksanaan eksekusi hukuman mati dilakukan di ruang terbuka. Karena pada

dasarnya eksekusi hukuman mati harus dilakukan di tempat terbuka yang bisa

disaksikan oleh khayalak umum. Hal ini berdasarkan firman Allah dalam surat

an-Nur: 2 Hal ini dimaksudkan disamping hukuman tersebut merupakan

pembalasan. Hukuman tersebut juga bertujuan untuk memberikan pelajaran

kepada masyarakat agar tidak melakukan kejahatan dan bersifat pencegahan.

Dengan dilaksanakannya hukuman di tempat yang dapat disaksikan

oleh masyarakat umum, maka hal ini akan menimbulkan rasa takut di hati

orang-orang yang menyaksikan jangan sampai untuk melakukan kejahatan

serupa. Disamping itu cara ini juga dimaksudkan agar orang menghargai dan

mentaati aturan hukum, dengan demikian maka akan tercegah meluasnya

kejahatan dan keamanan serta ketentraman masyarakat akan terjamin.

Kebahagiaan hidup manusia akan terwujud.76

75 Bab II Pasal 3 ayat (1) Penpres No. 2 Tahun 1964.

76 Noerwahidah, Op. cit, hal. 104

Universitas Sumatera Utara

Page 23: Pelaksanaan Hukuman Mati di Indonesia menurut Penpres No 2 ...

66

12. Persaksian atas eksekusi hukuman mati

Di dalam Penetapan Presiden No. 2 Tahun 1964 tidak disebutkan

adanya persaksian dalam eksekusi hukuman mati. Karena hampir semua tindak

pidana yang dihukum mati selalu berkaitan langsung dengan negara. meskipun

ada seseorang yang menemani itu bukan dari kelurga terpidana atau ahli waris

dari korban, jika di minta oleh terpidana seorang pendamping itu dari

rohaniawan. Hal ini berbeda sekali dengan hukum Islam. Dalam eksekusi

hukuman mati ahli waris yang berhak terhadap pelaksanaan qisas diharapkan

hadir sendiri dan tidak boleh diwakilkan, menurut pendapat mereka hukuman

qisas, hukuman qisas tidak dapat dijalankan tanpa kehadiran orang-orang yang

berhak terhadapnya, karena kemungkinan waris yang hadir itu akan

memaafkan pembunuh seandainya ia hadir, di saat hukuman akan

dilaksanakan. Tetapi ulama’ lainnya tidak mensyaratkan kehadiran mereka,

akan tetapi cukup dengan kehadiran wakil-wakil mereka saja.

Fleksibilitas hukum Islam terlihat dalam hal pengampunan, dalam kasus

pembunuhan, otoritas diserahkan kepada ahli waris bukan penguasa

(pemerintah). Berbeda dengan Penpres No.2 Tahun 1964, otoritas

pengampunan (grasi) diserahkan kepada Presiden. Inilah pentingnya hadirnya

ahli waris korban atau orang yang berhak terhadap terpidana, dalam

pelaksaanaan eksekusi dalam hukum Islam.

Universitas Sumatera Utara

Page 24: Pelaksanaan Hukuman Mati di Indonesia menurut Penpres No 2 ...

67

13. Wewenang yang berhak melaksanakan eksekusi hukuman mati

Kewenangan pelaksanaan eksekusi hukuman mati dalam Penetapan

Presiden No. 2 Tahun 1964 dilaksanakan oleh Kepala Polisi Komisariat Daerah

di lingkungan pengadilan di mana terpidana dijatuhi hukuman mati di tingkat

pertama. Dalam hukum Islam kewenangan pelaksanaan hukuman mati adalah

kewenangan Ulil Amri, atas permintaan ahli waris atau keluarga korban (jika

hal kasus ini adalah kasus pembunuhan).

Sudah menjadi kesepakatan para fuqaha’, orang yang boleh

menjalankan hukuman jarimah hudud adalah Kepala Negara yakni Imam atau

wakilnya, yakni petugas yang diberi wewenang, karena hukuman had

merupakan hak Tuhan yang dijatuhkan untuk kepentingan masyarakat. Oleh

karena itu harus diserahkan kepada wakil masyarakat yaitu kepala Negara.77

Dari Rasulullah diriwayatkan sebagai berikut: “Empat perkara

diserahkan kepada penguasa yaitu hukuman had, harta sedekah, sholat Jum’at

dan Fa’i”.78

Untuk jarimah qisas pelaksanaan hukuman bisa dilaksanakan oleh ahli

waris sendiri dengan syarat atas persetujuan penguasa. Di kalangan fuqaha’,

sudah disepakati bahwa wali korban bisa melaksanakan qisas dalam

pembunuhan dengan syarat harus dibawah pengawasan penguasa, sebab

pelaksanaanya memerlukan pemeriksaan dengan teliti dan menjauhi

77 Ibid, hal. 34 78 Ibid, hal. 43

Universitas Sumatera Utara

Page 25: Pelaksanaan Hukuman Mati di Indonesia menurut Penpres No 2 ...

68

kedzaliman, karena kalau tidak diawasi oleh penguasa dalam pelaksaanaanya,

akan terjadi qisas pula, meskipun ia dianggap mengkhianati kekuasaan Negara.

Melaksanakan qisas merupakan kepentingan umum, maka tidak ada

salahnya kalau diangkat orang-orang yang ahli yang berwenang untuk

melaksanakan hukuman hudud dan qisas dengan mendapat gaji dari

pemerintah. Kalau ahli waris tidak pandai menjalankan qisas, maka

pelaksanaanya diserahkan pada orang-orang ahli tersebut.79

Tampak sekali perbedaan yang mencolok, ada semacam fleksibelitas

hukum yang terjadi dalam hukum Islam. Bahwa keluaga korban bisa

melakukan sendiri qisas. Dengan catatan diawasi oleh pemerintah. Jika ahli

waris tidak mampu melaksanakannya maka pemerintah mencarikan orang yang

ahli dalam hal ini (algojo). Hal ini yang tidak terdapat dalam Penetapan

Presiden. Karena kasus pidana yang berakibat pada hukuman mati dalam

KUHP berhubungan langsung dengan Negara. Jadi meskipun ada perbedaan

dalam peraturannya, namun secara garis besar sama, yaitu kewenanangan

eksekusi mati tetap pada pemerintah (penguasa).

Ada pemisahan bagi terpidana mati dalam pelaksanaan eksekusinya,

antara masyarakat umum yang diatur dalam peradilan umum dan bagi militer

yang diatur dalam peradilan militer. Dalam tata cara pelaksanaannya pun

berbeda. Hal ini, karena secara kelambagaan militer berbeda dengan wilayah

hukum publik.

79 Ibid, hal. 50

Universitas Sumatera Utara

Page 26: Pelaksanaan Hukuman Mati di Indonesia menurut Penpres No 2 ...

69

Ada banyak perbedaan tata cara pelaksanaan eksekusi mati menurut

Penpres tahun 1964 dengan hukum Islam. Jika di dalam Penpres diatur tentang

detail hukuman mati seperti ditembak, di dalam hukum Islam adalah dengan

memakai pedang atau digantung. Selanjutnya pada perkembangannya hukum

Islam membolehkan hukuman mati selain dari pedang, seperti yang terjadi

pada kasus Putri Misha di Saudi Arabia yang ditembak mati, dan Muslih al-

Shaer yang dihukum gantung. Padahal sudah ditentukan bahwa hukum untuk

zina muhsan adalah dirajam, namun di sini terjadi pergeseran hukum, dari

hukuman rajam menjadi hukuman tembak atau digantung. Hal ini bertujuan

agar mengurangi

Juga dalam hal pelaksanaan hukuman mati, jika di dalam hukum Islam,

pelaksanaan hukuman mati dilaksanakan di tempat ramai yang bisa dilihat oleh

khayalak umum, yang bertujuan agar me nimbulkan ketakutan kepada orang-

orang banyak untuk tidak melakukan perbuatan seperti si terpidana, atau

sebagai antisipasi dan pembalasan dendam. Sedangkan dalam hukum Indonesia

yang diatur dalam Penpres tahun 1964, yaitu eksekusi hukuman mati dilakukan

diruang tertutup, kecuali jika ada keputusan Presiden yang memutuskan lain.

Namun ada kesamaan antara hukum Islam dengan Penpres tahun 1964 yaitu

penundaan eksekusi hukuman mati untuk wanita hamil sampai wanita tersebut

melahirkan.

Hukuman mati merupakan hukuman-hukuman pokok yang disebutkan

dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) selain hukuman penjara,

kurungan, dan denda. Di Indonesia sendiri UU tentang hukuman mati

Universitas Sumatera Utara

Page 27: Pelaksanaan Hukuman Mati di Indonesia menurut Penpres No 2 ...

70

ditetapkan di Jakarta pada 27 April 1964 oleh Presiden Soekarno. UU itu

berbentuk Penetapan Presiden RI No 2/PNPS/1964 tentang Tata Cara

Pelaksanaan Pidana Mati yang Dijatuhkan oleh Pengadilan di Lingkup

Peradilan Umum dan Militer. Dalam UU No 2/PNPS/1964 Bab I Pasal 1

disebutkan, di lingkup peradilan umum atau peradilan militer pelaksanaan

hukuman mati dilakukan dengan cara ditembak sampai mati. Pada Pasal 10

disebutkan eksekutor yang ditunjuk adalah satu bintara, 12 orang tamtama, dan

di bawah pimpinan seorang perwira. Semuanya berasal dari Brigade Mobil.

Hukuman mati memang mengerikan. Dalam hukuman mati ini, manusia

seolah-olah mengambil peran sebagai Tuhan dengan menjadi penentu hidup

atau mati seseorang. Setiap manusia sebenarnya memiliki hak untuk hidup

sehingga pemberlakuan hukuman mati banyak yang menentang. Namun jika

dilihat dari sudut pandang berbeda, seseorang yang melakukan tindak

kejahatan berat dan kejam telah melanggar hak banyak orang. seperti ia

merampok, memperkosa, dan membunuh korbannya atau pembunuhan yang

sadis lainnya, bolehlah dijatuhi hukuman mati. Ini untuk peringatan supaya

orang lain tidak melakukan perbuatan seperti itu lagi.

Demikian pula terhadap pelaku penyelundupan heroin atau sejenisnya

telah menghancurkan masa depan rakyat Indonesia. Jika heroin itu dikonsumsi

oleh jutaan remaja di Indonesia, satu generasi penerus bangsa akan rusak.

Seseorang yang mengonsumsi heroin tidak jarang berakhir dengan kematian,

sehingga heroin dapat membunuh jutaan rakyat Indonesia. Hal tersebut

menjadikan pemberlakuan hukuman mati bagi penyelundup, penjual, maupun

Universitas Sumatera Utara

Page 28: Pelaksanaan Hukuman Mati di Indonesia menurut Penpres No 2 ...

71

pemasok narkoba sangat layak untuk dilakukan agar tidak muncul kejadian

serupa di bumi Indonesia.

Hukuman mati dilakukan pula terhadap pelaku kejahatan berat lainnya

seperti seorang koruptor. Tindakan korupsi merupakan tindak pidana yang

merugikan banyak orang, bahkan tindak pidana ini lebih fatal dibandingkan

penyelundupan narkoba karena tindak korupsi ini dapat menghancurkan sebuah

negara. Seorang koruptor membuat seluruh rakyat Indonesia menderita karena

perbuatannya, tindak korupsi pun dapat menjadi candu bagi seseorang yang

tidak bisa menahan keinginannya untuk mendapatkan pundi-pundi harta secara

tidak sah. Bau busuk tindak korupsi telah menyengat hidung rakyat, sehingga

hal tersebut harus dihilangkan dengan menghukum mati para koruptor tersebut.

Melalui hukuman mati tersebut diharapkan dapat memberikan efek jera dan

pelajaran bagi koruptor-koruptor lainnya yang belum tersentuh oleh hukum.

Hukuman mati memang masih perlu dijatuhkan untuk memperbaiki

masyarakat. Akan tetapi yang juga perlu diingat, jikalau memang tidak ada

yang meragukan lagi, hukuman mati harus cepat dilaksanakan. Jangan pidana

mati dijatuhkan agar terpidananya dilupakan orang.80

Melaksanakan tindakan segera untuk eksekusi hukuman mati, dalam

Hukum Islam telah memberi beberapa contoh yang diambil dari potret

pelaksanaan hukuman mati pada zaman Rasulullah, hanya beberapa hari

setelah terpidana mengaku / terbukti bersalah dan dijatuhi hukuman mati, maka

segera dilaksanakan hukuman mati, di ruang terbuka. Yang biasa dilakukan

80 Djoko Prakoso dan Nurwachid, Op. cit, hal. 90

Universitas Sumatera Utara

Page 29: Pelaksanaan Hukuman Mati di Indonesia menurut Penpres No 2 ...

72

oleh Rasulullah setelah salat Jum’at, mengingat setelah salat Jum’at adalah

waktu yang ramai, dimana banyak orang berkumpul.

Pelaksanaan hukuman mati yang dilaksanakan oleh aparat-aparat

pemerintah juga dapat mewakili dari pemerintah, hal ini sah, karena Hukum

Islam sendiri membolehkan (bahkan menganjurkan) adanya

perseorangan/instansi yang berwenang untuk melaksanakan eksekusi mati.

Dari pemaparan di atas, persoalan tata cara pelaksanaan dalam Penpres

No. 2 Tahun. 1964 banyak berbeda dengan tata cara pelaksanaan eksekusi

hukuman mati dalam Hukum Islam. Namun perbedaan itu bukan perbedaan

yang mendasar, perbedaan itu tidak membatalkan Hukum Islam terhadap

Hukum Indonesia yang tertuang dalam Penpres No. 2 Tahun 1964. Karena

secara substansial keduanya sama, yaitu mengangkat harkat martabat manusia.

Universitas Sumatera Utara

Page 30: Pelaksanaan Hukuman Mati di Indonesia menurut Penpres No 2 ...

73

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Penetapan Presiden Republik Indonesia Tahun 1964. No. 2 yang

menetapkan bahwa pelaksanaan pidana mati, yang dijatuhkan oleh

pengadilan di lingkungan peradilan umum atau peradilan militer,

dengan ditembak mati. Dilaksanakan di suatu tempat tertutup, dalam

wilayah hukum di mana terpidana mati divonis.

2. Pelaksanaan hukuman mati menurut hukum pidana Islam didasarkan

pada ayat-ayat al-Qur’an dan hadits Rasulullah SAW. Beberapa tindak

pidana yang diancam hukuman mati dalam hukum Islam ini adalah

pembunuhan, perzinaan, perampokan, murtad dan pemberontakan.

Pelaksanaan eksekusi mati dilakukan dengan cara dipancung dengan

menggunakan pedang.

3. Tinjauan hukum Islam terhadap Penetapan Presiden RI Tahun 1964 No.

2, bahwa pelaksanaan hukuman mati sesuai dengan hukum Islam dalam

hukum jinayah. Hal ini misalnya tentang alat yang dipakai adalah

pedang, yang mana penggunaan pedang bertujuan untuk memudahkan

terpidana untuk mati, sama seperti hukuman tembak mati, memiliki

tujuan yang sama, atas dasar kemanusiaan. Substansi dari fungsi dari

pelaksanaan hukuman mati, baik dilakukan dengan pedang maupun

dengan ditembak adalah sama.

Universitas Sumatera Utara

Page 31: Pelaksanaan Hukuman Mati di Indonesia menurut Penpres No 2 ...

74

B. Saran

1. Perlu dipertimbangkan untuk mengganti tata cara eksekusi mati dalam

hukum positif Indonesia, beberapa tata cara lain yang sudah diterapkan

di negara-negara lain yang dianggap lebih baik, dapat diadopsi untuk

menggantikan tata cara eksekusi mati di Indonesia apabila diperlukan.

2. Hukum Islam seperti yang sering dikatakan oleh para ulama’ dan

fuqaha’ selalu tumbuh dan relevan di setiap zaman. Islam telah

meletakkan dasar hukum yang jelas mengenai hukuman mati dalam

qishas-diyat. Maka daripada perlu digali lebih dalam nilai yang

terkandung dalam tata hukum Islam, untuk mencapai kesempurnaan

hidup dan demi kemajuan keilmuan khususnya di bidang Ilmu Hukum

Islam.

3. Pemberlakuan hukuman mati tidak akan berjalan efektif jika tidak

diikuti oleh pembenahan sistem hukum dan peningkatan sumber daya

manusia dalam bidang hukum. Kelemahan sistem hukum Indonesia

dapat dilihat ketika seorang terpidana mati akhirnya dapat melenggang

bebas setelah melakukan beberapa kali banding atau ketika Kejaksaan

Agung mengurangi hukuman mati yang telah diputuskan oleh

pengadilan negeri (PN) dan pengadilan tinggi (PT). Pembenahan

hukum di Indonesia tidak bisa dibebankan pada salah satu pihak

tertentu saja, namun hal ini merupakan tugas seluruh rakyat Indonesia

untuk mengembalikan citra hukum sebagai suatu punishment yang

harus dihormati dan tidak dapat diperjualbelikan.

Universitas Sumatera Utara