Endang Yulianti, Hukuman Mati dalam Wacana Demokrasi

15
Dinamika Kontemporer Hukuman Mati di Indonesia -------ISBN 978-602-73912-0-8 HUKUMAN MATI DALAM WACANA DEMOKRASI (Analisis Perdebatan Antara Hukum Islam dan HAM di Indonesia) ENDANG YULIANTI Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Sains Al-Qur‟an Wonosobo ABSTRAK Pro-kontra seputar penerapan hukuman mati tetap menjadi perdebatan serius di kalangan masyarakat dunia, sementara di Indonesia praktek tersebut justru masih lazim diterapkan bagi pelaku tindak pidana tertentu. Munculnya perdebatan tentang hukuman mati pada akhirnya melahirkan setidaknya dua kelompok besar, yaitu kelompok yang ingin menghapus hukuman mati dan kelompok yang mendukung penerapan hukuman mati dengan mengedepankan argumentasi masing-masing. Dalam menyikapi hal tersebut, harus dilakukan obyektifikasi hukuman mati dalam konteks demokrasi di Indonesia dengan mengadakan kajian secara mendalam tentang eksistensi hukuman mati dan melepaskan diri dari pengaruh atau kepentingan yang meliputinya. Kata kunci : pro kontra pidana mati, HAM, pidana mati Pendahuluan Kontroversi penerapan dan penghapusan hukuman mati (death penalty) dalam konteks hukum Indonesia menjadi perdebatan yang hangat dalam beberapa dekade ini. Perdebatan ini sejalan dengan dinamika hukum nasional dan internasional yang berkembang sangat pesat serta munculnya pendekatan- pendekatan baru dalam melihat dan menilai relevansi hukuman mati dalam konteks sistem hukum, bentuk, asas negara, perubahan sosial, termasuk teknologi. 1 Meski sudah menjadi wacana klasik, pro-kontra seputar penerapan hukuman mati 2 tetap menjadi perdebatan serius di kalangan masyarakat dunia, 1 Dalam perkembangan terakhir, keabsahan hukuman mati terus dipertanyakan. Ini terkait dengan pandangan „Hukum Kodrat‟ yang menyatakan bahwa hak untuk hidup adalah hak yang melekat pada setiap individu yang tidak dapat dirampas dan dikurang-kurang (non-derogable rights) oleh siapapun, atas nama apapun dan dalam situasi apapun termasuk oleh negara, atas nama hukum atau situasi darurat, sebagai hak yang merupakan anugerah Tuhan. Pandangan lain adalah dengan adanya perubahan konsep dari hukuman sebagai pembalasan menjadi hukuman sebagai pendidikan dan pemasyarakatan. Penjara tidak lagi disebut sebagai rumah tahanan, tetapi lembaga pemasyarakatan dengan asumsi bahwa para tahanan akan dididik untuk kembali ke masyarakat, termasuk mereka yang melakukan kejahatan yang „layak‟ diberikan hukuman mati. 2 Hukuman mati adalah suatu hukuman atau vonis hukuman yang diputuskan oleh pengadilan (atau tanpa pengadilan) sebagai bentuk hukuman terberat (maksimal) yang diberikan kepada seseorang akibat perbuatannya. Lihat Andi Hamzah dan A. Simanglipu, Pidana Mati di

Transcript of Endang Yulianti, Hukuman Mati dalam Wacana Demokrasi

Dinamika Kontemporer Hukuman Mati di Indonesia -------ISBN 978-602-73912-0-8

HUKUMAN MATI DALAM WACANA DEMOKRASI

(Analisis Perdebatan Antara Hukum Islam dan HAM di Indonesia)

ENDANG YULIANTI

Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Sains Al-Qur‟an Wonosobo

ABSTRAK

Pro-kontra seputar penerapan hukuman mati tetap menjadi perdebatan

serius di kalangan masyarakat dunia, sementara di Indonesia praktek tersebut

justru masih lazim diterapkan bagi pelaku tindak pidana tertentu. Munculnya

perdebatan tentang hukuman mati pada akhirnya melahirkan setidaknya dua

kelompok besar, yaitu kelompok yang ingin menghapus hukuman mati dan

kelompok yang mendukung penerapan hukuman mati dengan mengedepankan

argumentasi masing-masing. Dalam menyikapi hal tersebut, harus dilakukan

obyektifikasi hukuman mati dalam konteks demokrasi di Indonesia dengan

mengadakan kajian secara mendalam tentang eksistensi hukuman mati dan

melepaskan diri dari pengaruh atau kepentingan yang meliputinya.

Kata kunci : pro kontra pidana mati, HAM, pidana mati

Pendahuluan

Kontroversi penerapan dan penghapusan hukuman mati (death penalty)

dalam konteks hukum Indonesia menjadi perdebatan yang hangat dalam beberapa

dekade ini. Perdebatan ini sejalan dengan dinamika hukum nasional dan

internasional yang berkembang sangat pesat serta munculnya pendekatan-

pendekatan baru dalam melihat dan menilai relevansi hukuman mati dalam

konteks sistem hukum, bentuk, asas negara, perubahan sosial, termasuk

teknologi.1 Meski sudah menjadi wacana klasik, pro-kontra seputar penerapan

hukuman mati2 tetap menjadi perdebatan serius di kalangan masyarakat dunia,

1 Dalam perkembangan terakhir, keabsahan hukuman mati terus dipertanyakan. Ini terkait

dengan pandangan „Hukum Kodrat‟ yang menyatakan bahwa hak untuk hidup adalah hak yang

melekat pada setiap individu yang tidak dapat dirampas dan dikurang-kurang (non-derogable

rights) oleh siapapun, atas nama apapun dan dalam situasi apapun termasuk oleh negara, atas nama

hukum atau situasi darurat, sebagai hak yang merupakan anugerah Tuhan. Pandangan lain adalah

dengan adanya perubahan konsep dari hukuman sebagai pembalasan menjadi hukuman sebagai

pendidikan dan pemasyarakatan. Penjara tidak lagi disebut sebagai rumah tahanan, tetapi lembaga

pemasyarakatan dengan asumsi bahwa para tahanan akan dididik untuk kembali ke masyarakat,

termasuk mereka yang melakukan kejahatan yang „layak‟ diberikan hukuman mati. 2 Hukuman mati adalah suatu hukuman atau vonis hukuman yang diputuskan oleh

pengadilan (atau tanpa pengadilan) sebagai bentuk hukuman terberat (maksimal) yang diberikan

kepada seseorang akibat perbuatannya. Lihat Andi Hamzah dan A. Simanglipu, Pidana Mati di

Endang Yulianti, Hukuman Mati dalam Wacana Demokrasi

130

termasuk di Indonesia.3 Di tengah kecenderungan global akan moratorium

hukuman mati, praktek tersebut justru masih lazim diterapkan di Indonesia.4

Bahkan, dalam kurun sebelas tahun terakhir (tepatnya pasca reformasi, 1998-

2009), Indonesia tercatat telah mengeksekusi mati setidaknya 20 orang. Angka ini

jauh lebih besar ketimbang periode 1945-2003 yang hanya mengeksekusi mati 15

orang.5 Wajar saja, jika Indonesia, menurut catatan Amnesty International, kini

menjadi salah satu negara yang paling banyak menjatuhkan hukuman mati

dibanding negara lain di dunia.6

Secara yuridis formal, penerapan hukuman mati di Indonesia memang

dibenarkan. Hal ini bisa ditelusuri dari beberapa pasal dalam Kitab Undang-

undang Hukum Pidana (KUHP) yang memuat ancaman hukuman mati.7 Di luar

KUHP, tercatat setidaknya ada 6 (enam) peraturan perundang-undangan yang

memiliki ancaman hukuman mati, semisal UU Narkotika, UU Anti Korupsi, UU

Anti Terorisme, UU Pengadilan HAM, UU Intelijen dan UU Rahasia Negara.8

Hal ini menunjukkan bahwa hukuman mati di Indonesia semakin eksis dalam tata

peraturan perundang-undangan di Indonesia.9 Lebih dari itu, eksekusi hukuman

Indonesia di Masa Lalu, Masa Kini dan Masa yang Akan Datang, (Jakarta: Ghalia Indonesia,

1985), Cet. Ke-2, hlm. 2. 3 Perdebatan seputar perlu tidaknya hukuman mati di Indonesia bisa ditemukan lewat

pemberitaan di media massa, baik cetak maupun elektronik. Biasanya perdebatan ini mengemuka

secara sporadis di setiap peringatan hari Anti Hukuman Mati di bulan Oktober dan peringatan

HAM Sedunia di bulan Desember 2007. 4Badan Pekerja Kontras, "Praktik Hukuman Mati di Indonesia", diakses dari

http://www.kontras.org/hmati/data/Working%20Paper_Hukuman_Mati_di_Indonesia.pdf, diunduh

pada 30 Oktober 2010. 5 William Schabas, makalah disampaikan dalam seminar Internasional, Discussion on

Death Penalty Contemporary Challenges, Delegation of European Commission and Departemen

of Philosofy Faculty of Humanities University of Indonesia, di Hotel Mandarin Jakarta, 14

Desember 2004. Tulisan ini kemudian dikutip oleh Komnas HAM dalam websitenya

www.komnasham.go.id, diunduh pada 4 Januari 2009. 6 Sudi Prayitno, "Dilema Hukuman Mati", dalam

http://www.legalitas.org/?q=content/dilema-hukuman-mati diunduh pada 30 Nonember 2009. 7 M. Abdul Kholiq, Penjatuhan Hukuman Pidana Mati dalam Rangka Penegakan Hukum

dan Eksistensinya dalam Pembaharuan KUHP Nasional, Skripsi S-1, Fakultas Hukum UII,

Yogyakarta, 1991. 8 Lihat Badan Pekerja Kontras, "Praktik Hukuman Mati di Indonesia", diakses dari

http://www.kontras.org/hmati/data/Working%20Paper_Hukuman_Mati_di_Indonesia.pdf, diunduh

pada 30 November 2009. 9 Lihat http://www.legalitas.org/?q=content/dilema-hukuman-mati diunduh pada 30

November 2009.

Endang Yulianti, Hukuman Mati dalam Wacana Demokrasi

131

mati di Indonesia menunjukkan kecenderungan meningkat pada tahun-tahun

terakhir.10

Namun, seiring dengan maraknya gagasan humanisme atau nilai-nilai

kemanusiaan universal yang merebak seusai perang dunia kedua, adanya

hukuman mati menjadi tidak logis lagi dalam kehidupan modern saat ini.11

Dengan kata lain, menurut para pembela HAM, dinamisasi hukum pidana di dunia

saat ini telah bergeser dari teori pembalasan ke teori rehabilitasi, di mana teori

tersebut bersifat clinic treatment.12

Pada akhirnya, muncullah perdebatan di kalangan masyarakat seputar perlu

tidaknya penerapan hukuman mati di Indonesia saat ini.13

Alih-alih menemukan

titik temu atau kesepahaman, perdebatan seputar hukuman mati, justru kian

meruncing. Mereka kian kukuh dengan argumennya masing-masing, bahkan

cenderung ekstrem, baik yang mendukung atau menolak hukuman mati.14

Berangkat dari latar belakang masalah di atas, penulis berasumsi bahwa ada

hal yang menarik untuk dikaji, yaitu sejauh mana demokrasi di Indonesia mampu

mengakomodasi dua kepentingan yang saling berlawanan untuk kemudian mampu

melahirkan keputusan demokratis yang bisa diterima oleh warga negara dan

masyarakat secara umum.

Perspektif HAM vis a vis Hukum Islam

Salah satu alasan yang menjadikan hukuman mati sebagai polemik dalam

wacana hukum dan HAM di dunia modern saat ini adalah anggapan bahwa

10

Pada periode Januari-Juli 2008 telah ada 6 terpidana mati yang dieksekusi. Pada

periode 18-19 Juli 2008, eksekusi terjadi dengan jarak waktu yang sangat pendek, yaitu tidak lebih

dari satu jam. Bahkan di bulan Nopember 2008, kita menyaksikan secara tidak langsung eksekusi

mati Trio Bom Bali I. Hasil keputusan sidang paripurna Komnas HAM tentang Laporan Hasil

Kajian Hukuman Mati dalam Pandangan HAM, tanggal 23-24 Sepetember 2008. 11

J.E. Sahetapi, Suatu Studi Khusus Mengenai Ancaman Pidana Mati terhadap

Pembunuhan Berencana, (Jakarta: Rajawali, 1982), hlm. 202. 12

Indriato Seno Adji, "Hukuman Mati, Antara Kebutuhan dan Perlindungan HAM",

KOMPAS, 29 Februari 2003. 13

J.E. Sahetapi, Suatu Studi Khusus Mengenai Ancaman Pidana Mati, hlm. 215. 14

Kelompok ekstrim pertama terdiri dari kalangan aktivis HAM dan ahli hukum,

sedangkan kelompok ekstrim lainnya diisi oleh penguasa (pejabat negara), kelompok agama, dan

sebagian publik yang mengangap hukuman mati sebagai alternatif penegakkan hukum di

Indonesia. Badan Pekerja Kontras, "Praktik Hukuman Mati di Indonesia", diakses dari

http://www.kontras.org/hmati/data/Working%20Paper_Hukuman_Mati_di_Indonesia.pdf, diunduh

pada 30 November 2009.

Endang Yulianti, Hukuman Mati dalam Wacana Demokrasi

132

hukuman mati itu tidak manusiawi.15

Di saat yang bersamaan, gagasan untuk

mempertahankan hukuman mati ternyata kian eksis dengan didukung fakta-fakta,

di mana kejahatan semakin kompleks dan meresahkan masyarakat.16

1. Perspektif HAM

Munculnya gugatan terhadap penerapan hukuman mati di Indonesia

secara lebih rinci didasarkan atas pemikiran sebagai berikut: Pertama,

hukuman mati saat ini tidak mampu memenuhi tuntutan rasa keadilan

masyarakat modern kerena menyerahkan keputusan hidup-mati seseorang

ke tangan hakim yang tidak luput dari kesalahan. Kedua, hukuman mati

tidak selalu efektif sebagai salah satu upaya pencegahan atau membuat

orang jera untuk melakukan kejahatan. Ketiga, atas dasar pertimbangan

kemanusiaan, hukuman mati melanggar nilai-nilai HAM yang menutup

kesempatan seorang terpidana untuk memperbaiki diri.17

Dari sini, para

aktivis HAM menilai hukuman mati merupakan bentuk peninggalan masa

lalu yang harus ditinggalkan. Meski bukan tindakan yang menentang hak

hidup secara langsung, namun penerapan hukuman mati sesungguhnya

merupakan bentuk tindak pembunuhan yang telah direncanakan atas nama

hukum (negara).18

Bagi kelompok yang kurang sepaham dengan hak asasi manusia

universal menganggap bahwa hak asasi manusia di Indonesia harus

menghormati budaya lokal dan agama yang masih menganut hukuman mati.

Di sini terjadi deviasi dalam penafsiran terhadap hak asasi manusia. Paham

hak asasi manusia yang mendasarkan pada cultural realivity kembali hidup

meskipun berbenturan dengan faham universal human rights. Penghapusan

15

Berbagai kritik yang tajam diarahkan terhadap penjatuhan hukuman mati, bahkan

muncul gerakan abolisionis yang menentang hukuman mati. Lihat Khaeron Sirin, “Liku-liku

Hukuman Mati di Indonesia”, Republika, tanggal 28 Agustus 2006. 16

Adnan Buyung Nasution dalam Muhadi Zainal, Pidana Mati Dihapuskan atau

Dipertahankan?, (Yogyakarta: Hanindita Offset, 1984), hlm. 28., lihat juga M. Abdul Kholiq,

Kontroversi Hukuman Mati dan Kebijakan Regulasinya dalam RUU KUHP (Studi Komparatif

Menurut Hukum Islam), dalam Jurnal Hukum Ius Quia Iustium, (Yogyakarta: Fakultas Hukum

Universitas Islam Indonesia, 2007), hlm. 187. 17

Lihat Akhiar Salmi, Eksistensi Hukuman Mati, (Jakarta: Aksara Press Persada, 1985),

hlm. 99. Lihat pula Usman Hamid, "Hukuman Mati Bukan Sekadar Penerapan Hukum Positif",

Kompas, 28 Februari 2008. 18

Barda Nawawi Arief, Kebijakan dalam Penanggulangan Kejahatan dengan Pidana

Penjara, (Semarang: CV Ananta, 1994), hlm. 18.

Endang Yulianti, Hukuman Mati dalam Wacana Demokrasi

133

terhadap hukuman mati telah mulai ada sejak tahun 1764 yang dilakukan

oleh Cesare Beccaria dalam bukunya On Crimes and Punishment, yang

menyatakan :

“Capital punishments, was both inhumane and ineffective: an

unacceptable waepon for a modern enlighneted state to employ,

and less effective than the certainy of imprisonment. Futhermore,

that capital punishment was counterproductive if the purpose of

law was to impart a moral conception of the duties of citizens to

each other. For, if the state were to resort to killing in order to

enforce its will, it would legitimize the very behavirior which the

law sought to repress, namely thr use of deadly force to settle

disputes.”19

Dari perspektif ini, penerapan hukuman mati dapat digolongkan

sebagai bentuk hukuman yang kejam dan tidak manusiawi, sebagaimana

dinyatakan dalam Pasal 3 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia

(Universal Declaration of Human Rights) yang berbunyi, “Setiap orang

berhak atas kehidupan, kebebasan dan keselamatan sebagai individu”20

.

Jaminan ini dipertegas dengan Pasal 6 ayat (1)21

dan Pasal 722

Kovenan

Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil

and Political Rights-ICCPR)23

dan dikuatkan dengan Protokol Opsional

Kedua atas Perjanjian Internasional mengenai Hak-hak Sipil dan Politik

19

Argumen Beccaria ini sangat menarik. Pembunuhan yang banyak terjadi dan terus skan

terjadi. Penjatuhan hukuman mati oleh negara akan memberi justifikasi terhadap serangkaian

pembunuhan yang dilakukan oleh orang-orang partikelir, jadi teori balas dendam, an eye for an

eye mendapatkan legitimasi. Dalam kontek pemidanaan teori balas dendam ini dianggap

ketinggalan jama. Namun pemidanaan di Indonesia sebenarnya bukan didasari atas balas dendam,

tetapi rehabilitasi, reedukasi dan reintegrasi di masyarakat. 20

Karena Universal Declaration of Human Right tidak ada penjelasan, maka sumber

penjelasan tersebut ada pada pendapat para pembuatnya. Eleanor Roosevelt dan Rene Cassin, dua

orang dari perumus Universal Declaration of Human Right mengatakan bahwa hak untuk hidup

itu tidak mengenal pengecualian, dan tujuan pasal hak untuk hidup itu adalah agar kelak hukuman

mati itu dapat dihapuskan. 21

Pasal 6 (1) ICCPR menyatakan bahwa setiap manusia berhak atas hak untuk hidup dan

mendapatkan perlindungan hukum dan tiada yang dapat mencabut hak itu. 22

Pasal 7 ICCPR berbunyi, "Tidak seorang pun boleh disiksa atau diperlakukan secara

kejam, diperlakukan atau dihukum secara tidak manusiawi atau dihina." 23

ICCPR ini masih memiliki ruang untuk hukuman mati terutama di negara-negara yang

masih menjatuhkan hukuman mati pada the most serious crimes terutama yang berkaitan dengan

kejahatan genosida. Namun apabila dibaca pada keseluruhan Pasal 6 ICCPR akan terlihat bahwa

hak untuk hidup adalah semangat yang utama yang harus dihormati sampai dia betul-betul manjadi

hak asasi yang absolut yang bersifat non-derogable dalam keadaan apapun.

Endang Yulianti, Hukuman Mati dalam Wacana Demokrasi

134

tahun 1989 tentang Penghapusan Hukuman Mati.24

Jadi, hukuman mati pada

dasarnya bertentangan dengan prinsip-prinsip kemanusiaan (HAM) dan

harus dihilangkan atau dihapus.25

Hukuman mati mungkin akan membuat kejahatan si pelaku

terbalaskan, setidaknya bagi keluarga korban, dan akan membuat orang lain

takut melakukan kejahatan serupa, namun hal itu jelas tidak akan dapat

memperbaiki diri si pelaku, karena kesempatan hidup sudah tidak ada lagi.

Sebaliknya, tanpa dihukum mati pun, seorang pelaku kejahatan dapat

merasakan pembalasan atas tindakannya dengan bentuk hukuman lain,

misalnya dihukum seumur hidup atau penjara.26

Dari sinilah, hukuman mati

dinilai sudah tidak tidak efektif lagi sebagai sebuah bentuk pemidanaan

yang menjerakan, karena sistem pemidanaan modern terus mengarah ke

upaya merehabilitasi terpidana (treatment).27

2. Perspektif Hukum Islam

Dalam hukum Islam, hukuman mati merupakan bentuk hukuman

maksimal yang memiliki dasar hukum yang kuat.28

Ini menunjukkan bahwa

hukum Islam masih mempertahankan hukuman mati untuk tindak kejahatan

tertentu, di mana esensi penerapannya bertujuan untuk melindungi

kepentingan individu dan masyarakat dari tindak kejahatan yang

membahayakan sendi-sendi dasar kemanusiaan.29

Dalam hal ini, hukuman mati bisa ditemukan dalam tiga bentuk

pemidanaan, yaitu qishash, had (hudud) dan ta'zir. Dalam masalah qishash,

ancaman hukuman mati ditujukan bagi pelaku pembunuhan yang disengaja

atau direncanakan, di mana pelaku pembunuhan yang disengaja juga harus

24

Tim Imparsial, “Jalan Panjang Menghapus Praktek Hukuman Mati; Sebuah Studi

Kebijakan di Indonesia", Laporan Hasil Penelitian, 24 Juni 2004. Tidak dapat dipungkiri bahwa

Indonesia belum meratifikasi Second Optional Protocol yang secara tegas melarang hukuman

mati., tetapi penafsiran otentik historis dari para pembuat instrumen dan hak asasi manusia akan

membawa kita kepada semangat melawan hukuman mati. 25

Tim Imparsial, Laporan Hasil Penelitian, 24 Juni 2004. 26

J.E. Sahetapy, Suatu Studi Khusus Mengenai Ancaman Pidana Mati, hlm. 216-217. 27

Akhiar Salmi, Eksistensi Hukuman Mati, hlm. 99. 28

Lihat misalnya QS. Al-Baqarah: 179. 29

Lihat Abd al-Wahab al-Khalaf, Ilmu Ushul al-Fiqh, (Kuwait: Dar al-Qalam, 1992),

hlm. 198. Lihat pula Muhammad Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh, (Kairo: Maktabah Muhaimar, 1957),

hlm. 351.

Endang Yulianti, Hukuman Mati dalam Wacana Demokrasi

135

menanggung balasan hukum yang sepadan yang ia perbuat.30

Dalam

masalah hudud, ancaman hukuman mati ditujukan bagi pelaku zina

muhshan, hirabah, al-bagyu, dan riddah. Sedangkan dalam masalah ta‟zir,

ancaman hukuman mati ditujukan bagi pelaku kejahatan di luar qishash dan

hudud yang oleh negara (penguasa) dianggap sangat berbahaya bagi

kelangsungan hidup dan kemaslahatan masyarakat.31

Hukuman mati yang diberlakukan untuk kasus-kasus tertentu, semisal

narkoba, terorisme dan korupsi, termasuk kategori hukuman ta‟zir yang

disebut dengan „al-qatlu al-siyasi‟, yaitu hukuman mati yang tidak diatur

oleh al-Quran dan al-Sunnah, tapi diserahkan kepada penguasa atau negara,

baik pelaksanaan ataupun tatacara eksekusinya.32

Hukuman maksimal

(mati) tersebut boleh diberlakukan oleh suatu negara jika dipandang sebagai

upaya efektif menjaga ketertiban dan kemaslahatan masyarakat.33

Adanya ancaman hukuman mati dalam Islam, menurut Barda Nawawi

Arief, pada hakikatnya bukanlah sarana utama untuk mengatur,

menertibkan, atau melindungi masyarakat, tetapi lebih merupakan jalan

hukum terakhir, seperti halnya amputasi dalam kedokteran yang sebenarnya

bukan obat utama, tetapi sebuah pengecualian sebagai sarana pengobatan

terakhir.34

Dengan demikian, ada kriteria-kriteria tertentu yang diatur dalam

hukum Islam yang memungkinkan suatu tindak kejahatan tersebut dapat

dijatuhi hukuman mati.35

Pergulatan Hukuman Mati dalam Aksi

30

Abd al-Qadir Audah, al-Tasyri' al-Jinaiy al-Islami: Muqaranah bi al-al-Qanun al-

Wadh'i, (Beirut: Muassasah al-Risalah, 1992), Juz I, h. 663. 31

Ahmad Fathi Bahantsi, al-Qishaashu fil Fiqhi al-Islaamie, asy-Syirkah al- „Araabiyyah

lit-Tibaa‟ah wan-Nasyr, Kairo, 1964, hlm. 11, baca pula Muhammad Rawwas Qol‟ahjie, Mu‟jam

al-Lughat al-Fuqahaa‟ („Arabie – Inklizie – Afransie), Daar an-Nafaaisi, Beirut, 1996, hlm. 287. 32

Hukuman maksimal (mati) tersebut boleh diberlakukan oleh suatu negara jika

dipandang sebagai upaya efektif menjaga ketertiban dan kemaslahatan masyarakat. Khaeron Sirin,

“Eksekusi Mati Trio Bom Bali”, Koran Tempo, 25 Nopember 2008. 33

Khaeron Sirin, "Eksekusi Mati Trio Bom Bali", Koran Tempo, 25 Nopember 2008. 34

Dengan kata lain, muncul semacam budaya masyarakat modern yang memandang

hubungan seksual, yang dilakukan atas dasar suka sama suka, sebagai hal normal dan hak setiap

individu yang tidak dapat dipertentangkan dengan hukum. Lihat Barda Nawawi Arief, Bunga

Rampai Kebijakan Hukum Pidana, (Bandung: Citra Aditya, 1996), hlm. 99. 35

Muhammad Zafrullah Khan, Islam and Human Rights, (Islamabad: Islam International

Publications Ltd, 1988), hlm. 74.

Endang Yulianti, Hukuman Mati dalam Wacana Demokrasi

136

Munculnya perdebatan tentang hukuman mati sebagaimana telah dijelaskan

pada akhirnya melahirkan setidaknya dua kelompok besar, yaitu kelompok yang

ingin menghapus hukuman mati dan kelompok yang mendukung penerapan

hukuman mati. Bagi kalangan yang menolak (menghapus), hukuman mati

merupakan bentuk pembunuhan yang dilegalkan oleh negara dan hal ini

melanggar hak asasi manusia, karena hak hidup adalah hak dasar yang tidak bisa

dikurangi dengan alasan apapun (non-derogable rights) oleh individu. Sedangkan

kelompok yang mendukung, hukuman mati adalah satu bentuk hukuman yang

masih dibutuhkan untuk membuat efek cegah dan mengurangi kejahatan-

kejahatan yang tergolong besar atau luar biasa di tengah masyarakat.

1. Gerakan Menghapus Hukuman Mati

Lembaga HAM internasional secara tegas menyatakan hukuman mati

bertentangan dengan prinsip yang diatur di dalam Kovenan Internasional

Hak-hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political

Rights, ICCPR).36

Para aktivis HAM dan beberapa organisasi kemanusiaan

internasional menuntut penghapusan hukuman mati, karena dinilai

melanggar hak hidup terpidana, menutup kesempatan untuk memperbaiki

kesalahan dan bersosialisasi kembali ke masyarakat.

Beberapa aktivis HAM menilai bahwa hukuman mati merupakan

hukuman klasik yang sudah ketinggalan zaman (out of date) atau bentuk

peninggalan masa lalu (a vestig of our savage past) yang harus dihindari.37

Sifat penghukuman yang keras dan represif tidak mampu memberikan solusi

bagi permasalahan pidana modern dan sudah tidak relevan lagi dengan

konteks modernitas yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.38

Secara umum, beberapa instrumen internasional yang melarang adanya

hukuman mati di dunia adalah:

a. Universal Declaration of Human Rights, tahun 1948, Pasal 3.

36

Hak untuk hidup (rights to life), yaitu pada Bagian III Pasal 6 (1), menyatakan bahwa

setiap manusia berhak atas hak untuk hidup dan mendapatkan perlindungan hukum dan tiada yang

dapat mencabut hak itu. Tim Imparsial, Terorisme: Definisi, Aksi, dan Regulasi, hlm. 8. 37

Barda Nawawi Arief, Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan Kejahatan, hlm. 18. 38

William Schabas, "Islam and the Death Penalty", dalam William and Mary Bill of

Rights Journal, Desember 2000, hlm. 223.

Endang Yulianti, Hukuman Mati dalam Wacana Demokrasi

137

b. Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik (ICCPR), tahun 1966,

Pasal 6.39

c. Second Optional Protocol of ICCPR aiming of The Abolition of Death

Penalty, tahun 1990.40

d. Protocol No. 6 European Convention for the Protection Human Rights

and Fundamental Freedom, 1950 (berlaku mulai 1 Maret 1985).41

e. The Rome Statute of International Criminal Court, 17 Juli 1998.42

Perjuangan para pembela HAM untuk menghapus hukuman mati lebih

didasarkan pada doktrin kemanusiaan, yaitu cinta kasih kepada sesama.

Dalam hal ini, hukuman mati justru akan memunculkan lingkaran

kekerasan, di mana setiap orang akan berada pada situasi ingin balas

dendam, terluka dan rasa trauma. Dalam perspektif HAM, jika kekerasan

dibalas dengan kekerasan, maka hasilnya adalah kejahatan terus menerus.

Berbeda jika, kekerasan dibalas saling memaafkan dan upaya cinta kasih.43

Jika konstitusi negara telah mengakui bahwa hak untuk hidup tidak dapat

dikurangi atas alasan apapun, maka penghapusan penerapan hukuman mati

adalah sebuah kewajiban konstitusional.44

2. Gerakan Mendukung Hukuman Mati

Selama ini, banyak tuduhan terhadap konsep hukuman mati, utamanya

yang diatur dalam hukum Islam, yang seringkali digambarkan sebagai

sesuatu yang kejam, tidak manusiawi dan sadis.45

Kesan mengerikan di

balik hukuman mati tersebut adalah kesan populer yang menyelimuti

penerapan hukum pidana Islam di masyarakat modern ini.

Kesan ataupun kritik tersebut, yang awalnya dilancarkan oleh Barat,

bukan semata karena mereka tidak suka terhadap konsep hukuman fisik,

39

Kovenan ini merupakan derivasi dari DUHAM bahwa hak untuk hidup termasuk dalam

non derogable rights atau hak yang tak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. Hingga 2

November 2003, tercatat 151 negara telah meratifikasi. 40

Instrumen ini bertujuan untuk penghapusan hukuman mati. Hingga saat ini, tercatat 50

negara telah meratifikasi. 41

Instrumen ini bertujuan untuk penghapusan hukuman mati di kawasan Eropa. 42

Pasal 7 (tujuh) instrumen atau ketentuan tersebut tidak mengatur hukuman mati sebagai

salah satu cara penghukuman. Hingga saat ini, tercatat 94 negara telah meratifikasi. 43

"Eksekusi Hukuman Mati Harus Dikaji Ulang", Kompas, 28 November 2008. 44

Tim Imparsial, Praktek Hukuman mati, hlm. 21. 45

Muhammad Iqbal Siddiqi, The Penal Law of Islam, (Lahore: Kazi Publication, 1985),

hlm. 30.

Endang Yulianti, Hukuman Mati dalam Wacana Demokrasi

138

tetapi lebih disebabkan perasaan moral mereka yang belum terbangun

seutuhnya.46

Adanya kritik tersebut juga dikarenakan tidak disadarinya

alasan keagamaan (spriritual) dari adanya hukuman tersebut, yaitu bahwa

hukuman bukanlah dijatuhkan secara kejam oleh seseorang kepada orang

lain, tetapi semata-mata demi melaksanakan ketentuan-ketentuan yang

tercantum dalam doktrin hukum agama (Islam) yang terlingkup dalam

maqashid al-syariah.47

Dalam hal ini, hukum Islam sangat memperhatikan nilai-nilai dasar

kemanusiaan di dunia yang terlingkup pada lima hal, yaitu agama (al-din),

jiwa (al-nafs), harta (al-mal), akal (al-aql), dan keturunan (al-nasl).

Perlindungan hak-hak ini sama sekali bukan karunia penguasa atau karunia

masyarakat, tetapi merupakan karunia Allah Swt. Demi memelihara kelima

hak dasar kemanusiaan tersebut, hukum Islam secara konsekuen

mencantumkan hukuman mati sebagai salah satu hukuman pokok, sekaligus

hukuman maksimal.

Dari sinilah, para pendukung hukuman mati, yang sebagian besar

terdiri dari masyarakat Islam, mendukung penerapan hukuman mati sebagai

hukuman maksimal di Indonesia. Selain didasarkan atas doktrin keagamaan,

hukuman mati juga didasarkan alasan untuk melindungi masyarakat umum

dan menciptakan ketentraman dan kemaslahatan yang lebih luas secara lebih

efektif.

Perspektif Demokrasi

Indonesia termasuk salah satu negara yang masih mempertahankan

hukuman mati dalam sistem hukum positifnya,48

bahkan mencantumkannya

dalam banyak undang-undang.49

Hanya saja, sebagai negara yang menjunjung

tinggi nilai-nilai HAM, negara Indonesia memberlakukan hukuman mati secara

46

Muhammad Iqbal Siddiqi, The Penal Law of Islam, hlm. 31. 47

Muhammad Iqbal Siddiqi, The Penal Law of Islam, hlm. 32. 48

J.E. Sahetapy, Suatu Studi Khusus Mengenai Ancaman Pidana Mati, hlm. 75. 49

Terkait hak asasi manusia termaktub dalam Bab XA Pasal 28A UUD 1945

(amandemen). Dalam perspektif yang holistik Pasal 28A dan Pasal 28I ini adalah pasal-pasal yang

berada dalam satu payung hak asasi manusia yang dalam teori yang dikenal sebagai „non-

derogable rights‟ sesuai dengan frasa „hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam

keadaan apapun‟. Jadi, hak untuk hidup adalah hak yang tidak dapat dikompromikan dengan hak-

hak yang lain, dan karena hak untuk hidup tersebut bersifat „paramount‟, hak untuk hidup adalah

puncak hak asasi yang merupakan induk dari semua hak asasi yang lain.

Endang Yulianti, Hukuman Mati dalam Wacana Demokrasi

139

khusus, hati-hati, dan selektif.50

Penerapan hukuman mati ini secara filosofis

diakui dan diakomodasi oleh konsep negara hukum Pancasila, meski nantinya bisa

saja hukuman mati bersifat esepsional ataupun pidana bersyarat.51

Dalam hal ini, penetapan hukuman mati dalam beberapa UU di Indonesia

pada dasarnya telah melalui pembahasan di lembaga legislatif, yang notabene

adalah para wakil rakyat, sebagai representasi dari seluruh rakyat Indonesia. Jika

hukuman mati tetap dipertahankan, maka itulah pilihan bangsa Indonesia yang

harus dihormati dan dipatuhi. Jika hukuman mati itu tidak disetujui lagi, maka

rakyatlah yang harus menghapusnya, bukan para ahli, apalagi pihak (negara) lain.

Menurut van Bemmelen, mengutip pendapat J.J. Rousseau, pada dasarnya

hukum secara menyeluruh bersandar pada suatu perjanjian masyarakat yang di

dalamnya dinyatakan kehendak bersama.52

Jika terdapat tingkah laku yang

menurut kehendak bersama tersebut harus dipidana, maka hal itu sejak awal harus

diuraikan atau ditulis dalam undang-undang. Penguraian yang rinci dimaksudkan

untuk menghindari pelanggaran kebebasan individu, sebab dalam perjanjian

masyarakat, setiap orang hanya bersedia melepaskan sebagian kecil kebebasannya

ke dalam wadah bersama itu.53

Begitu pula dengan hukuman mati. Sekiranya

hukuman mati tersebut masih layak diberlakukan dan diterima oleh kehendak

bersama, maka hukuman tersebut harus dituangkan dalam bentuk hukum tertulis

(undang-undang).

Hal itu berarti bahwa ketentuan hukuman mati dalam undang-undang di

negara Indonesia pada dasarnya telah sesuai dengan teori perjanjian masyarakat

ataupun konsitusi. Maka, sangat relevan mengaitkan ketentuan Pasal 28A dan

Pasal 28I Ayat (1) UUD 1945 dengan Pasal 28J UUD 1945. Dalam hal ini, Pasal

28J UUD 1945 menentukan:

50

Menurut Mardjono Reksodiputro, hukuman mati di Indonesia saat ini masih diperlukan

tapi bukan pada pidana pokoknya. “Ia harus menjadi pidana khusus yang diterapkan secara hati-

hati, selektif dikhusus pada kasus-kasus berbahaya dan harus ditetapkan bulat oleh majlis hakim”.

Lihat Todung Mulya Lubis dan Alexander Lay, Kontroversi Hukuman Mati; Perbedaan Pendapat

Hakim Konstitusi, (Jakarta: Gramedia Kompas, 2007), h. 335. 51

Artinya, dalam jangka waktu tertentu seseorang yang dijatuhi pidana mati, misalnya,

dievaluasi selama beberapa tahun, terserah lima atau sepuluh tahun. Kalau dia menunjukkan

perilaku yang baik dan positif, bisa diubah menjadi pidana seumur hidup. 52

J.M. van Bemmelen, Hukum Pidana I; Hukum Pidana Material Bagian Umum,

(Bandung: Bina Cipta, 1987), Edisi Indonesia, hlm. 50. 53

Ibid., hlm. 51

Endang Yulianti, Hukuman Mati dalam Wacana Demokrasi

140

1. Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib

kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

2. Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk

kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud

semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan

kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan

pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum

dalam suatu masyarakat demokratis.54

Dengan demikian, ketentuan Pasal 28A dan Pasal 28I Ayat (1) UUD 1945

tersebut keberlakuannya dibatasi oleh ketentuan Pasal 28J UUD 1945. Karena itu,

untuk melindungi kepentingan hukum nasional yang lebih besar, seharusnya

dalam memahami ketentuan pidana atau hukuman mati di Indonesia tidak hanya

membaca ketentuan Pasal 28A dan Pasal 28I UUD 1945, tetapi harus pula

memperhatikan dan mengaitkannya dengan ketentuan Pasal 28J UUD 1945.

Dengan demikian, perdebatan hukuman mati dalam konteks demokrasi

hendaknya lebih ditempatkan sebagai komoditas politik hukum ketimbang

persoalan "ideologis-keagamaan" tertentu (Islam). Munculnya dukungan kuat dari

kalangan masyarakat terhadap eksistensi penerapan hukuman mati di Indonesia

harus ditempatkan dalam konteks demokrasi, bukan dalam kerangka perjuangan

ideologis. Artinya, hukuman mati yang berlaku di Indonesia sekarang ini adalah

hasil dari proses-proses politik hukum dan demokrasi modern.

Masa Depan Hukuman Mati

Dalam konteks politik hukum dan demokrasi, hukum Islam merupakan

salah satu pilar penting, selain hukum Barat dan hukum Adat, dalam pembentukan

sistem hukum di Indonesia. Karenanya, wajar dan sah jika hukum Islam ikut andil

dan memperjuangkan hukuman mati untuk tetap eksis di Indonesia.55

Di sisi lain,

para aktivis HAM yang mengusung nilai-nilai humanisme juga berkepentingan

54

Lihat Pasal 28J UUD 1945 hasil Amandemen. 55

Jimly Asshiddiqie, Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: Angkasa,

1996), Ed. II, hlm. 33.

Endang Yulianti, Hukuman Mati dalam Wacana Demokrasi

141

untuk menghilangkan hukuman mati dari ketentuan hukum dan perundang-

undangan di Indonesia demi melindungi hak hidup warga negara secara mutlak.56

Sebagai hukum publik, hukum pidana di Indonesia seharusnya lebih

berorientasi kepada perlindungan masyarakat banyak dan pihak korban, meski

tidak harus mengabaikan nasib atau hak-hak pelaku kejahatan itu sendiri.57

Dalam

hal ini, adanya ancaman hukuman mati dimaksudkan untuk memberi efek

psikologis dan shock therapy bagi masyarakat.58

Adanya ketentuan hak hidup dalam konstitusi kita dapat dibatasi dan bahkan

dihilangkan pelaksanaannya dengan syarat: a). Sesuai dengan undang-undang; b).

Sesuai dengan pertimbangan moral; c). Sesuai dengan nilai agama; dan d). Sesuai

dengan keamanan dan ketertiban umum. Jadi, hukuman mati tetap diperlukan

karena tindakan dari pelaku sendiri yang tidak lagi memperhatikan aspek

kehidupan yang berperikemanusiaan (Sila kedua dari Pancasila) dan kehidupan

yang penuh dengan berkeadilan sosial (Sila kelima dari Pancasila).

Ke depan, pemberlakuan hukuman mati hendaknya tidak diperbandingkan

atau dihadapkan (vis a vis) dengan nilai HAM pelaku tindak pidana itu, tetapi

harus dilihat dari kepentingan masyarakat banyak.59

Artinya, adanya hukuman

mati di Indonesia harus dimaknai bahwa kita, sebagai sebuah komunitas bangsa,

memang telah sepakat untuk memberikan hukuman tersebut.

Penutup

Kajian analisis terhadap hukuman mati di Indonesia tentunya tidak bisa

dipisahkan dengan konteks demokrasi di Indonesia. Keterkaitan antara keduanya

tidak dapat dipisahkan. Dalam hal ini, mengkaji penerapan hukuman mati akan

berujung pada produk yang berupa peraturan perundang-undangan yang notabene

merupakan konsekuensi logis dari kehidupan berdemokrasi di Indonesia.

56

Secara kasat mata, gagasan dan perjuangan untuk menghapus hukuman mati di

Indonesia bisa dilihat dari arah perjuangan yang selama ini dilakukan oleh Komnas HAM dan

Kontras (komisi untuk orang hilang dan korban kekerasan) dan lembaga Imparsial (lembaga yang

bergelut di bidang perjuangan HAM). 57

Khaeron Sirin, "Liku-liku Hukuman Mati", Republika, 29 Agustus 2006. 58

Hal ini disebabkan hukuman badan yang diberlakukan selama ini seringkali masih

belum efektif untuk memberi efek psikologis dan shock therapy bagi masyarakat, khususnya

pelaku tindak pidana korupsi.

http://nasional.kompas.com/read/xml/2008/11/28/11000584/indonesia.masih.butuh.hukuman.mati 59

http://nasional.kompas.com/read/xml/2008/11/28/11000584/indonesia.masih.butuh.hukuman.mati.

Diunduh pada tanggal 6 Juli 2011.

Endang Yulianti, Hukuman Mati dalam Wacana Demokrasi

142

Menyikapi adanya perdebatan bahkan pertentangan, kita perlu melakukan

obyektifikasi hukuman mati dalam konteks demokrasi di Indonesia. Artinya, perlu

dilakukan kajian secara mendalam tentang eksistensi hukuman mati dengan

melepaskan diri dari pengaruh atau kepentingan yang meliputinya, baik itu agama

(Islam) ataupun HAM. Dalam hal ini, hukuman mati mesti ditempatkan dalam

perspektif yang lebih luas dan lintas kepentingan, sehingga ketika hukuman mati

itu diterapkan atau tidak diterapkan, maka hal itu tidak berarti mengalahkan atau

menindas salah satu kepentingan. Kajian hukuman mati ini tentunya dilakukan

dengan menggunakan bingkai demokrasi dan demokratisasi yang diharapkan bisa

melahirkan analisis dan gagasan yang tidak lepas dari nilai-nilai demokrasi di

Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA

Adji, Indriato Seno, "Hukuman Mati, Antara Kebutuhan dan Perlindungan

HAM", KOMPAS, tanggal 29 Februari 2003.

Adnan Buyung Nasution dalam Zainal, Muhadi, 1984, Pidana Mati Dihapuskan

atau Dipertahankan?, Yogyakarta, Hanindita Offset.

al-Khalaf, Abd al-Wahab, 1992, Ilmu Ushul al-Fiqh, Kuwait, Dar al-Qalam.

Arief, Barda Nawawi, 1994, Kebijakan dalam Penanggulangan Kejahatan

dengan Pidana Penjara, Semarang, CV Ananta.

Asshiddiqie, Jimly, 1996, Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia, Bandung,

Angkasa.

Audah, Abd al-Qadir, 1992, al-Tasyri' al-Jinaiy al-Islami: Muqaranah bi al-al-

Qanun al-Wadh'i, Beirut, Muassasah al-Risalah.

Bahantsi, Ahmad Fathi, 1964, al-Qishaashu fil Fiqhi al-Islaamie, asy-Syirkah al-

„Araabiyyah lit-Tibaa‟ah wan-Nasyr, Kairo.

Hamid, Usman, "Hukuman Mati Bukan Sekadar Penerapan Hukum Positif",

Kompas, 28 Februari 2008.

Hamzah, Andi dan Simanglipu, A., 1985, Pidana Mati di Indonesia di Masa Lalu,

Masa Kini dan Masa yang Akan Datang, Jakarta, Ghalia Indonesia.

Khan, Muhammad Zafrullah, 1988, Islam and Human Rights, Islamabad, Islam

International Publications Ltd.

Endang Yulianti, Hukuman Mati dalam Wacana Demokrasi

143

Kholiq, M. Abdul, 2007, Kontroversi Hukuman Mati dan Kebijakan Regulasinya

dalam RUU KUHP (Studi Komparatif Menurut Hukum Islam), Jurnal

Hukum Ius Quia Iustium, Yogyakarta, Fakultas Hukum Universitas

Islam Indonesia.

Qol‟ahjie, Muhammad Rawwas, 1996, Mu‟jam al-Lughat al-Fuqahaa‟ („Arabie –

Inklizie – Afransie), Beirut, Daar an-Nafaaisi.

Salmi, Akhiar, 1985, Eksistensi Hukuman Mati, Jakarta, Aksara Press Persada.

Sahetapi, J.E., 1982, Suatu Studi Khusus Mengenai Ancaman Pidana Mati

terhadap Pembunuhan Berencana, Jakarta, Rajawali.

Sirin, Khaeron, “Liku-liku Hukuman Mati di Indonesia”, Republika, tanggal 28

Agustus 2006.

van Bemmelen, J.M., 1987, Hukum Pidana I; Hukum Pidana Material Bagian

Umum, Bandung, Bina Cipta.

William Schabas, "Islam and the Death Penalty", dalam William and Mary Bill of

Rights Journal, Desember 2000.

Zahrah, Muhammad Abu, 1957, Ushul al-Fiqh, Kairo, Maktabah Muhaimar.

____________, 1996, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Bandung, Citra

Aditya.

____________, “Eksekusi Mati Trio Bom Bali”, Koran Tempo, 25 Nopember

2008.

Karya Ilmiah

_____________, 1991, Penjatuhan Hukuman Pidana Mati dalam Rangka

Penegakan Hukum dan Eksistensinya dalam Pembaharuan KUHP

Nasional, Skripsi S-1, Yogyakarta, Fakultas Hukum UII.

_____________, makalah disampaikan dalam seminar Internasional, Discussion

on Death Penalty Contemporary Challenges, Delegation of European

Commission and Departemen of Philosofy Faculty of Humanities

University of Indonesia, di Hotel Mandarin Jakarta, 14 Desember

2004.