BAB II PENDETA DAN NARAPIDANA HUKUMAN MATI...20 BAB II PENDETA DAN NARAPIDANA HUKUMAN MATI Menurut...
Transcript of BAB II PENDETA DAN NARAPIDANA HUKUMAN MATI...20 BAB II PENDETA DAN NARAPIDANA HUKUMAN MATI Menurut...
-
20
BAB II
PENDETA DAN NARAPIDANA HUKUMAN MATI
Menurut Erikson ada 3 (tiga) pondasi yang digunakan Erikson untuk mengembangkan
teori kepribadiannya. Adapun teori Erikson sebgai berikut :
1) Prinsip Epigenitik
2) Krisis
3) Ritualisasi dan Ritualisme
1) Prinsip Epigenetik
Prinsip yang ditentukan secara genetik bagi perkembangan kepribadian manusia adapun
menurut Erikson mendeskrisikan prinsip ini sebagai berikut:
Kapanpun kita berusaha memahami pertumbuhan manusia, harus diingat kalau prinsip
epigenetik yang mengaturnya sudah mulai beroperasi sejak organisme masih di dalam rahim.
Secara umum bisa dikatakan, prinsip ini menegaskan bahwa apa pun yang bertumbuh
memiliki suatu rancangan dasar, dari dalam rancangan inilah bagian-bagian pertumbuhan
muncul, di mana setiap bagian memiliki asal tertentunya, sampai semua bagian itu akhirnya
tampil penuh untuk mengerjakan suatu fungsi secara lengkap. (1968, hlm. 92).
Meskipun, menurut Erikson, seluruh kepribadian terbentuk di sepanjang delapan tahap
perkembangan, namun semua tahapan itu sudah ada dalam bentuk benih saat manusia lahir.
Ketika setiap karakteristik kepribadian kemudian menyingkapkan dirinya, mereka harus
berpadu dengan karakteristik-karakteristik yang sudah berkembang di tahap sebelumnya,
sehingga menciptakan sebuah konfigurasi karakteristik kepribadian yang sama sakali baru di
tahap berikutnya. Dengan kata lain, setiap tahap, ketika karakteristik-karakteristik ini
-
21
muncul, dibangun dari yang sudah mendahuluinya, dan menjadi dasar bagi pembentukan
yang akan muncul sesudahnya. Erikson (1985) menyatakan, “Kekuatan yang diperoleh di
setiap tahap perkembangan dites oleh keniscayaannya untuk melapaui tahap berikutnya
mengembangkan kekuatan yang awalnya rapuh di tahap sebelumnya” (hlm. 263). Menurut
prinsip epigenitik, karakteristik kepribadian yang jadi mengemuka di suatu tahap
perkembangan, sudah eksis sebelum tahap itu muncul, dan akan terus eksis setelah tahapan
itu dilalui. Namun karena ada alasan-alasan sosial dan biologis, hanya satu perkembangan
karakteristik kepribadian tertentu saja yang menjadi fokus di suatu tahap, lalu perkembangan
karakteristik yang lain yang menjadi fokus di tahap lainnya.
2) Krisis
Kata krisis disini mengandung arti sebagai titik balik yang penting. Titik balik yang
penting disni mengandung pengertian bahwa setiap tahap perkembangan ini memunculkan
resolusi positif yang memungkinkan, atau jika gagal diselesaikan, sebuah resolusi negatif.
Resolusi positif berkontribusi bagi penguatan ego dan karenanya, memperbesar kemampuan
manusia beradaptasi. Resolusi negatif sebaliknya melemahkan ego dan menghambat manusia
beradaptasi. Lebih jauh lagi. Resolusi krisis yang positif di sebuah tahap akan meningkatkan
kemungkinan diraihnya resolusi positif bagi krisis yang muncul di tahap berikutnya dan
sebaliknya. Berdasaarkan prinsip epigenetik, setiap krisis selalu eksis dalam tiga fase berikut:
fase tidak matang/ dewasa atau belum berkembang (immature) yaitu ketika krisis tidak
menjadi Titik fokus perkembangan kepribadian, fase kritis yaitu ketika disebakan berbagai
alasan biologis, psikologis, dan sosial. Ia menjadi titik fokus perkembangan kepribadian, dan
fase resolusi, ketika Resolusi atas krisis mempengarui perkembangan kepribadian di tahap
selanjutnya. Jika krisis krisis yang berkaitan dengan delapan tahap perkembangan ini
-
22
terselesaikan secara positif, perkembangan kepribadaian normal yang akan muncul. Jika satu
atau lebih krisis terselesaikan secara negatif, perkembangan normal tersebut akan teerhambat.
Dengan kata lain, setiap krisis di suatu tahap harus bisa diselesaikan secara positif di tahap
tersebut sebelum individu sepenuhnya siap untuk mengatasi krisis lain yang akan
mendominasi tahap berikutnya. Kendati factor biologis yang menentukan kapan delapan
tahap perkembangan kepribadian ini muncul, yaitu karena proses pematangan fisiologis
penentu kapan sebuah pengalaman jadi memungkinkan, namun lingkungan sosial yang
menentukan benar atau tidaknya suatu krisis di sebuah tahap peekembangan dapat
terselesaikan secara positif. Karena alasan inilah tahap perkembangan yang di usulkan
Erikson dinamai tahap-tahap psikososial perkembangan, untuk mengontraskannya dengan
tahap-tahap psikososial ’’ Freud.
3) Ritualisasi dan Ritualisme
Bagi Erikson, penting sekali mengakui perkembangan kepribadian muncul di sebuah seting
budaya. Alih-alih melihat manusia terjebak di dalam budayanya, seperti yang dilakukan
Freud, Erikson menekankan kesesuaian antara individu dan budayanya. Faktanya, di taraf
yang lebih besar, kerja budaya adalah menyediakan cara-cara yang efektif untuk memenuhi
kebutuhan biologis maupun psikologis manusia. Menurut Erikson, pengalaman internal dan
eksternal manusia mestinya sama, minimal di beberapa tarafnya, jika seorang individu
berkembang dan berfungsi normal di budayanya masing-masing. Erikson (1985)
menyatakan, “Setiap tahap dan krisis yang berurutan ini memiliki relasi yang khusus dengan
salah satu elemen dasar masyarakat, dan karena alasan yang sederhana inilah siklus hidup
manusia seiring komponen-komponen kepribadiannya mulai berkembang” (hlm. 250).
-
23
Saling jalinan yang harmonis antara penyingkapan syarat-syarat kepribadian dan kondisi-
kondisi sosial dan budaya yang ada ini dimungkinkan lewat ritualisasi. Menurut Erikson
(1977), ritualisasi adalah pola-pola perilaku yang muncul berulang yang mencerminkan nilai-
nilai, keyakinan-keyakinan, kebiasaan-kebisaan dan perilaku-perilaku yang diatur dan diberi
sanksi oleh masyarakat dan budaya tertentu. Meski ritualisasi-ritualisasi yang telah
menjadikan hidup bermakna di masyarakat atau budaya tertentu, namun kebanyakan individu
terlibat di dalam hal-hal tersebut tanpa tahu kenapa mereka berbuat demikian:
[Setiap anak harus] diyakinkan dan diwajibkan untuk menjadi ‘terspesieskan’selama masa
kanak-kanak yang panjang lewat beberapa bentuk keluarga: dia harus diakrabkan lewat
ritualisasi dengan suatu versi eksistensi manusia. Karenanya ia mengembangkan perasaan
yang berbeda bagi identitas berkelompoknya. Kita harus mengakui dari luar kalau ritualsasi
adalah sebuah aspek dari hidup sehari-hari yang lebih jelas terlihat di budaya dan kelas
berbeda, atau bahkan keluarga yang berbeda dari yang kita punya, di mana faktanya,
ritualisasi lebih sering daripada tidak dialami sekedar sebagai satu-satunya cara yang tepat
untuk melakukan hal-hal tertentu; sehingga pertanyaan yang kemudian muncul lalu kenapa
tidak setiap orang melakukan seperti yang kita lakukan.
Ritualisasi, kalau begitu, adalah pola-pola perilaku sehari-hari yang disetujui secara kultural
yang memampukan seseorang menjadi anggota yang diterima di suatu budaya. Mereka
meliputi karakteristik-karakteristik di mana ktia berhubungan dengan orang lain seperti
berjabat tangan, berpelukan dan berciuman. Mereka menyediakan mereka menyediakan
panduan-panduan yang menetapkan batas-batas antara perilaku yang bisa diterima dan tidak.
Contohnya, Anda mungkin diizinkan untuk membuat sebuah kontak badan dengan orang
asing di sebuah dansa, namun perilaku itu tidak bisa ditolerir di situasi lain. Dengan cara
-
24
yang sama, mungkin diperbolehkan bagi seorang warnita mengenakan bikini di pantai,
namun pakaian seperti ini jelas menyebabkan kegaduhan di tempat kerja atau di sekolah.
Ritualisasi-ritualisasi memandu hampir setiap aspek perilaku sosial dan menjadi mekanisme-
mekanisme di mana individu di budayanya masing-masing menjadi ‘tersosialisasikan’.
Erikson mendefinisikan budaya sebagai ‘versi tertentu tentang keberadaan manusia’,
menunjukkan kalau banyak versi yang sama sahihnya eksis. Bahkan Erikson yakin, kecuali
syarat ritualisasi dapat memuaskan kebutuhan dasar manusia, budaya sebenarnya arbitret.
Contohnya, banyak variasi budaya eksis bagi praktik-praktik kencan, perkawinan dan
membesarkan anak, namun perbedaan-perbedaan ini kurang begitu penting ketimbang fakta
bahwa itu semua mendukung reproduksi dan pelanggengan budaya yang didalamnya hal-hal
tersebut muncul. Bagi beberapa orang, hakikatnya arbitret ritualisasi ini hilang dan nilai
fungsional mereka terlalu berlebihan dilihat. Bagi individu-individu ini, ritualisasi-ritualisasi
menjadi terlalu dipentingkan lebih dari yang dimungkinkan. Erikson menyebut pelebihan
atau sebaliknya, terdistorsinya ritualisasi-ritualisasi ini sebagai ritualisme. Ritualisme adalah
ritualisasi yang tidak tepat atau keliru, dan mereka adalah penyebab-penyebab di banyak
patologi sosial dan psikologis. Contohnya sebuah ritualisasi individu yang berprestasi dan
karenanya menguatkan perasaan diri berharga akan status-status tersebut. Namun,
mengidolakan atau memuja orang-orang demikian akan menjadi sebuah pelebihan yang tidak
tepat bagi ritualisasi, dan karenanya menjadi sebuah ritualisme. Sebuah ritualisme kalau
begitu adalah sebuah ritualisasi yang telah menjadi mekanisme dan stereotip kalau begitu
adalah sebuah ritualisasi yang telah menjadi mekanisme dan stereotip. Upacara-upacara
-
25
hampa ini . tidak punya daya untuk mengikat individu-individu di sebuah budaya bersama-
sama, karenanya menyimpangkan tujuan orisinil ritualisme.1
2.1. Tahapan Psikososial Erikson
1. Masa Bayi: Rasa Percaya Versus Rasa Tidak Percaya
Menurut dalam bukunya Mathew untuk teori Erikson Jika pengasuhan terhadap bayi-
bayi ini dapat memuaskan kebutuhan mereka lewat cara-cara yang konsisten dan penuh cinta,
bayi pun akan mengembangkan perasaan kepercayaan dasar. Namun jika orang tua menolak
dan memuaskan kebutuhan mereka dengan cara yang tidak konsisten, yang muncul adalah
ketidak percayaan dasar.
Jika pengasuhan dipenuhi rasa sayang dan diberikan secara konsisten, bayi belajar
mereka tidak perlu khawatir terhadap orang tua yang penuh kasih dan bisa diandalkan, dan
karenanya tidak begitu terganggu saat orang tua hilang dari pandangan mereka
Prestasi sosial pertama bayi, kalau begitu, adalah kesediaannya membiarkan ibu
hilang dari pandangan tanpa menimbulkan rasa cemas atau marah, karena ibu telah menjadi
sebuah kepastian batin yang sama besarnya dengan prediktibilitas dunia luar. Konsistensi,
kontinuitas dan kesamaan pengalaan yang seperti ini menyediakan sebuah basis mentah bagi
perasaan identita ego yang bergantung, saya kira, kepada kognisi bahwa terdapat sebuah
populasi batin kenangan dan antisipasi sensasi dan imaji, yang berkorelasi erat dengan
populasi diluar diri yaitu benda-benda dan orang-orang yang dikenal dan dapat diprediksi
(Erikson, 1985, hlm.247)
1 Matthew H. Olson B.R. Hergenhahn, Pengantar Teori-Teori Kepribadian, Edisi Kedelapan (Pustaka Pelajar,
Yogyakarta: 2013) 284-289
-
26
Krisis rasa percaya dasar lawan rasa tidak percaya dasar disebut terselesaikan secara
positif ketika anak lebih banyak mengembangkan rasa percaya daripada tidak. Menurut
Erikson, rasa tidak percaya tetap dialami anak yang pengasuhan orangtuanya penuh cinta dan
konsisten bukan karena negatifnya pengasuhan itu, melainkan anak mulai belajar, bahwa jika
dia memercayai setiap orang dan segala sesuatu sama besarnya seperti ia percaya orangtua
mereka, kesulitan kadang muncul. Sejumlah kecil rasa tidak percaya sehat adanya, dan justru
kondusif bagi upaya anak menjaga kelangsungan hidupnya. Namun, anak yang dominan
dengan rasa percayalah yang memiliki keberanian untuk mengambil resiko dan tidak mudah
dikalahkan rasa kecewa dan putus asa.
Erikson menyatakan bahwa ketika krisis yang mencirikan suatu tahap dapat
terselesaikan secara positif, sebuah kebajikan akan muncul. Kebajikan ini menambahkan
kekuatan bagi egonya. Ditahap ini, ketika anak memiliki rasa percaya lebih besar daripada
rasa tidak percaya, kebajikan berupa harapan yang akan muncul. Erikson mendefinisikan
harapan sebagai “keyakinan yang bertahan lama tentang bisa diraihnya keinginan-keinginan
yang sangat didamba, tak peduli tekanan gelap dan kemarahan menandai awal
eksistensinya”2
Menurut John W. Santrock Kepercayaan vs. Ketidapercayaan Dasar menurut teori
Erikson, menerima penekanan Freud pada pentingnya hubungan orangtua-bayi selama
penyusuan, tapi dia memperluas dan memperkaya pandangan Freud ini. Hasil baik selama
masa bayi, Erikson percaya, tidak bergantung pada jumlah makanan atau stimulasi oral yang
ditawarkan, melainkan pada kualitas pengasuhan: mengurangi ketidaknyamanan dengan
segera dan sepeka mungkin, menggendong bayi dengan lembut, menunggu dengan sabar
2Matthew H. Olson B.R. Hergenhahn, Pengantar Teori-Teori Kepribadian, Edisi Kedelapan (Pustaka Pelajar,
Yogyakarta: 2013), 290-291
-
27
sampai bayi cukup menyusu, dan menyapihnya bila bayi tampak tidak berminat pada ASI
atau susu botol.
Menurut Erikson, mustahil orangtua bisa memenuhi semua kebutuhan bayi. Banyak
faktor yang memengaruhi kebahagiaan pribadi, kondisi hidup saat ini (misalnya,
bertambahnya anak kecil dalam keluarga), dan praktik budaya pengasuhan dari orang tua.
Akan tetapi, bila keseimbangan pengasuhan sarat dengan perhatian dan kasih sayang, konflik
psikologis di tahun pertama – kepercayaan dasar vs. ketidakpercayaan (basic trust versus
mistrust) – bisa diatasi dengan baik. Bayi yang percaya berharap dunia itu baik dan
menyenangkan, sehingga dia yakin untuk berpetualang dan melakukan eksplorasi di
dalamnya. Bayi yang tidak percaya tidak mau mengandalkan kasih dan kebaikan hati orang
lain, sehingga dia melindungi dirinya dengan menarik diri dari orang dan sesuatu di
sekitarnya.
Kepercayaan versus ketidakpercayaan (trust versus mistrust) adalah tahap pertama
dari perkembangan psikososial menurut Erikson, yang dialami dalam satu tahun pertama
dari kehidupan seseorang. Di masa bayi, kepercayaan akan menentukan landasan bagi
ekspektasi seumur hidup bahwa dunia akan menjadi tempat tinggal yang baik dan
menyenangkan.3
Rasa percayaMenurut Erik Erikson (1968), satu tahun pertama dalam kehidupan
ditandai oleh tahap perkembangan rasa percaya versus rasa tidak percaya (trust-versus
mistrust). Bayi tadinya merasakan adanya kehidupan yang teratur , hangat, dan terlindungi
dalam kandungan ibu, kemudian sang bayi menghadapi sebuah dunia yang kurang aman.
Erikson berpendapat bahwa bayi mempelajari rasa percaya jika mereka diasuh secara
3John W. Santrock, Life Span Development (Jakarta: Erlangga, 2012), 26
-
28
konsisten dan hangat. Jika bayi tidak diberi makan dengan baik dan tidak ditempatkan dalam
suasana hangat secara konsisten maka bayi cenderung mengembangkan rasa tidak percaya.
Rasa percaya versus rasa tidak percaya tidaklah sama sekalil berakhir dalam satu
tahun pertama kehidupan. Rasa percaya versus rasa tidak percaya muncul lagi dalam tahap-
tahap perkembangan selanjutnya. Sebagai contoh, anak-anak yang meninggalkan masa bayi
dengan rasa percaya masih dapat memiliki rasa tidak percaya yang muncul pada tahap
berikutnya, yang mungkin terjadi apabila orang tua mereka terpisah atau bercerai karena
konflik berkepanjangan.4
Menurut Penney Upton usia bayi (lahir hingga 18 bulan) memiliki Konflik dasar
kepercayaan versus ketidakpercayaan, peristiwa penting makannya, hasil anak-anak
mengembangkan rasa percaya bila orang-orang yang mengasuhnya memberikan keandalan,
perhatian, dan kasih sayang. Ketiadaan hal tersebut akan menimbulkan ketidakpercayaan5
Tabel . Pentahapan Freud dan Erikson
Usia Pentahapan
Freud Pentahapan Umum Erikson
Lahir – 1 tahun Oral Rasa percaya vs tidak percaya: Harapan
1 – 3 tahun Anal Otonomi vs rasa malu, ragu-ragu:
Kehendak
3 – 6 tahun Falik (Odipal) Inisiatif vs rasa bersalah: Tujuan
6 – 11 tahun Latensi Kegigihan/industri vs inferioritas:
Kompetensi
Masa remaja Genital Identitas vs kebingungan peran:
Kesetiaan
Dewasa muda Keintiman vs isolasi: Cinta
Dewasa Semangat-berbagi vs penyerapan diri dan
4John W. Santrock, Life Span Development (Jakarta: Erlangga, 2012),214 5Penney Upton. Psikologi Perkembangan. (Jakarta: Erlangga, 2012), 22-23
-
29
Usia Pentahapan
Freud Pentahapan Umum Erikson
stagnasi : Perhatian
Usia senja Integritas ego vs rasa putus asa: Hikmat
Menurut William Crain Tahap paling umum: Kepercayaan vs ketidakpercayaan
Mendasar merupakanTahap umum periode oral ini terdiri atas perkenalan umu ego anak yang
sedang perkembang dengan dunia sosial. Di tahap pertama, ketika bayi berusaha
memasukkan hal-hal yang mereka butuhkan, mereka berinteraksi dengan para pengasuhnya,
mengikuti cara budaya bertindak pada dirinya yang terpenting dari interaksi-interaksi ini
adalah bayi berusaha menemukan sejumlah konsistensi, prediksi dan reliabilitas di dalam
tindakan-tindakan mengasuh mereka. Ketika memahami bahwa orang tua cukup konsisten
dan bisa diandalkan, mereka mulai mengembangkan pemahaman tentang kepercayaan
mendasar kepada orang tua. Bayi menjadi paham jika mereka merasa dingin, basah atau
lapar, maka orang tua bisa diandalkan untuk membebaskan rasa sakit itu. Beberapa orang tua
mungkin akan lebih sering datang menengok bayi mereka, sementara yang lain menengok
sesuai jadwal tertentu, namun di kedua kasus ini bayi belajar bahwa orang tua bisa
diandalkan dan karena itu bisa dipercaya. Kebalikan dari hal ini adalah rasa tidak percaya,
perasaan bahwa orang tua tidak bisa diprediksi dan tidak bisa dipercaya dan mungkin tidak
akan pernah hadir jika dibutuhkan (1963,h.247).
Di sisi lain, bayi juga harus belajar memercayai dirinya sendiri. Karena masalah ini
menjadi semakin akut waktu mereka mengetahui besarnya konsekuensi dari giginya yang
gatal telah menyakiti puting ibu lewat gigitan yang tajam dan genggaman yang keras. Ketika
bayi belajar mengatur dorongan ini – yaitu menyedot tanpa menggigit, menggenggam tanpa
menyakiti – bayi mulai melihat dirinya “cukup bisa diperacaya sehingga para pengasuhnya
-
30
tidak perlu khawatir akan digigit” (1963, h.248). Untuk ibu sendiri, Erikson menyarankan
agar mereka tidak menarik diri terlalu menyolok atau menyapih terlalu cepat bayinya. Karena
jika hal ini terjadi, si bayi akan merasa perawatannya tidak bisa dipercaya karena tiba-tiba
dihentikan begitu saja.
Setelah berhasil mengembangkan rasa percaya kepada pengasuh, bayi akan
menunjukkannya di dalam tingkah laku, Erikson melihat tanda pertama kepercayaan pada ibu
ini muncul ketika bayi rela “membiarkan ibu menghilang dari pandangan matanya tanpa rasa
cemas atau marah yang tidak perlu” (1963, h.47). istilah ‘tidak perlu’ ini penting untuk
dijelaskan, karena kita melihat di dalam uraian Bowlby bahwa kebanyakan bayi mengalami
kecemasan akan perpisahan. Namun jika orang tuanya bisa diandalkan, kata Erikson, maka
bayi bisa belajar mentolerir ketidakhadiran mereka. Hanya jika orang tuanya tidak bisa
diandalkan, barulah bayi tidak membiarkan mereka pergi, dan terserang paning bila memaksa
pergi juga.6
Menurut Jest dan Feist Rasa Percaya Mendasar versus Rasa Tidak Percaya Mendasar
merupakan Hubungan antarpribadi bayi yang paling signifikan adalah dengan pengasuh
utama mereka, biasanya ibu. Ketika sadar bahwa ibu selalu menyediakan makanan secara
teratur, mereka pun mulai belajar rasa percaya dasar. Jika mereka terus belajar mendengarkan
secara konsisten suara ibu yang menyenangkan dan ritmis, mereka mengembangkan lebih
banyak lagi rasa percaya mendasar. Ketika mereka dapat bersandar kepada lingkungan
visual yang menyenangkan, mereka dapat memadatkan rasa percaya dasar mereka lebih kuat
lagi. Dengan kata lain, jika pola mereka menerima hal-hal yang berkaitan dengan cara
budaya memberikan hal-hal, maka bayi dapat belajar rasa percaya dasar. Sebaliknya, bayi
6William Crain. Teori Perkembangan. ( Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2007),428-431
-
31
akan belajar rasa tidak percaya mendasar jika tidak menemukan kaitan antara kebutuhan-
kebutuhan oral-pengindraan mereka dengan lingkungan tempat mereka tinggal.
Rasa percaya dasar biasanya bersifat sintonik, sedangkan rasa tidak percaya mendasar
bersifat distonik. Meskipun begitu, bayi harus mengembangkan kedua sikap ini. Terlalu
banyak rasa percaya membuat mereka naif dan rapuh terhaap tipu muslihat ddunia,
semantara terlalu sedikit rasa percaya membawa kepada rasa frustasi, kemarahan, kebencian,
sinisme, atau depresi.
Keduanya, rasa percaya an tidak percaya mendasar, merupakan pengalaman yang
tidak terelakkan bagi bayi. Semua bayi yang bertahan hidup sudah mendapatkan makan dan
perawatan yang baik sehingga mereka cukup memiliki alasan untuk percaya. Selain itu
semua bayi yang sudah difrustasikan oleh sakit, lapar, dan tidak nyaman memiliki alasan
yang cukup untuk tidak p Erikson yakin bahwa rasio percaya dan tidak percaya cukup kritis
bagi kemampuan manusia untuk beradaptasi.
Dalam Masa Kanak-kanak Awal, Sekali lagi Erikson mengambil sebuah panangan
yang lebih luas. Baginya, anak kecil menerima kesenangan bukan hanya dari menguasai otot-
otot anus dan perut namun, juga dari menguasai fungsi-fungsi tubuh lainnya serpti buang air
kecil, berjalan, melempar, memeluk, dan sebagainya. Selain itu, anak-anak mengembangkan
perasaan kontrol atas lingkungan antarpribadi mereka, sama seperti mengukur kontrol diri
mereka. Meskipun begitu, masa kanak-kanak awal juga merupakan waktu untuk mengalami
keraguan dan rasa malu ketika anak belajar bahwa sebagian besar upaya mereka mencapai
otonomi tidak berhasil.7
Menurut pendapat Erik H Erikson kepercayaan dasar vs ketidakpercayaan dasar ,Ibu
menciptakan perasaan percaya pada diri anak-anaknya melalui administrasi yang kualitasnya
7Jess Feist dan Gregory J. Feist. Theories of Personalitiy. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), 218-219
-
32
merupakan kombinasi antara perhatian yang sensitif terhadap kebutuhan-kebutuhan
individual si bayi dan perasaan sebagai pribadi yang dapat dipercaya yang kuat di dalam
kerangka gaya hidup budaya yang dapat dipercaya. Hal itu membentuk dasar untuk perasaan
identitas di dalam diri anak yang kelak akan mengombinasikan perasaan “baik-baik saja”,
perasaan menjadi diri sendiri, dan menjadi seperti apa dirinya kelak sebagaimana yang
dipercaya oleh orang-orang lain. Jadi, (di dalam batas-batas tertentu yang sebelumnya
didefinisikan sebagai hal-hal yang “harus” di dalam perawatan anak) ada beberapa frustrasi
di tahap-tahap selanjutnya, yang tidak dapat dipikul oleh anak yang sedang tumbuh jika
frustrasinya menghasilkan pengalaman kesamaan yang semakin besar dan kontinuitas
perkembangan yang semakin kuat, yang terus menerus di perbarui, menuju ke arah integrasi
siklus akhir kehidupan individual dengan rasa memiliki yang lebih luas dan bermakna.
Orangtua tentu bukan hanya memiliki cara-cara tertentu untuk membimbing melalui larangan
dan ijin; mereka juga harus mampu merepresentasikan kepada anak tentang sebuah
keyakinan yang mendalam, yang nyaris somatis, bahwa ada makna untuk hal-hal yang
sedang mereka lakukan. Akhirnya anak-anak menjadi neurotik bukan karena frustrasi, tetapi
karena kurang atau hilangnya makna sosial untuk frustrasi-frustrasinya8.
Menurut pendapat dari Laura Berk kepercayaan vs. ketidapercayaan dasar erikson,
erikson menerima penekanan Freud pada pentingnya hubungan orangtua-bayi selama
penyusuan, tapi dia memperluas dan memperkaya pandangan Freud ini. Hasil baik selama
masa bayi, Erikson percaya, tidak bergantung pada jumlah makanan atau stimulasi oral yang
ditawarkan, melainkan pada kualitas pengasuhan: mengurangi ketidaknyamanan dengan
segera dan sepeka mungkin, menggendong bayi dengan lembut, menunggu dengan sabar
8 Erik H. Erikson, Childhood and Society, (Pustaka Pelajar, Yogyakarta: 2010) p. 294
-
33
sampai bayi cukup menyusu, dan menyapihnya bila bayi tampak tidak berminat pada ASI
atau susu botol.
Menurut Erikson, mustahil orangtua bisa memenuhi semua kebutuhan bayi. Banyak
faktor yang memengaruhi kebahagiaan pribadi, kondisi hidup saat ini (misalnya,
bertambahnya anak kecil dalam keluarga), dan praktik budaya pengasuhan dari orang tua.
Akan tetapi, bila keseimbangan pengasuhan sarat dengan perhatian dan kasih sayang, konflik
psikologis di tahun pertama – kepercayaan dasar vs. ketidakpercayaan (basic trust versus
mistrust) – bisa diatasi dengan baik. Bayi yang percaya berharap dunia itu baik dan
menyenangkan, sehingga dia yakin untuk berpetualang dan melakukan eksplorasi di
dalamnya. Bayi yang tidak percaya tidak mau mengandalkan kasih dan kebaikan hati orang
lain, sehingga dia melindungi dirinya dengan menarik diri dari orang dan sesuatu di
sekitarnya.9
Menurut pendapat John W. Santrock Rasa percayaMenurut Erik Erikson (1968),
satu tahun pertama dalam kehidupan ditandai oleh tahap perkembangan rasa percaya versus
rasa tidak percaya (trust-versus mistrust). Bayi tadinya merasakan adanya kehidupan yang
teratur , hangat, dan terlindungi dalam kandungan ibu, kemudian sang bayi menghadapi
sebuah dunia yang kurang aman. Erikson berpendapat bahwa bayi mempelajari rasa percaya
jika mereka diasuh secara konsisten dan hangat. Jika bayi tidak diberi makan dengan baik
dan tidak ditempatkan dalam suasana hangat secara konsisten maka bayi cenderung
mengembangkan rasa tidak percaya.
Rasa percaya versus rasa tidak percaya tidaklah sama sekalil berakhir dalam satu
tahun pertama kehidupan. Rasa percaya versus rasa tidak percaya muncul lagi dalam tahap-
9Laura E. Berk. Development Through The Lifespan. Edisi Kelima Dari Prenatal sampai remaja(Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2012) p.240
-
34
tahap perkembangan selanjutnya. Sebagai contoh, anak-anak yang meninggalkan masa bayi
dengan rasa percaya masih dapat memiliki rasa tidak percaya yang muncul pada tahap
berikutnya, yang mungkin terjadi apabila orang tua mereka terpisah atau bercerai karena
konflik berkepanjangan.
Kemandirian
Erik Erikson (1968) mengedapankan bahwa kemandirian merupakan isu yang penting
pada pada tahun kedua kehidupan. Erikson menggambarkan tahap kedua perkembangan
sebagai tahap otonomi versus rasa malu dan ragu-ragu. Otonomi dibangun seiring dengna
berkembangnya kemampuan mental dan motorik. Pada tahap ini, bayi tidak hanya mampu
berjalan, namun mereka juga mampu memanjat, membuka dan menutup, menjatuhkan,
mendorong dan menarik, serta memegang dan melepaskan. Bayi merasa bangga dengan
semua prestasi ini dan ingin melakukan segala sesuatunya sendiri, apakah itu menyiram
toilet, membuka bungkusan paket, atau memutuskan apa yang hendak dimakan. Penting bagi
orang tua untuk mengenali motivasi balita dalalm melakukan apa yang dapat dilakukan
sesuai dengan kemampuan mereka. Mereka dapat belajar mengendalikan otot dan dorongan-
dorongan mereka. Namun, ketika pengasuh tidak sabar dan melakukan hal-hal yang
ebetulnya dapat dilakukan oleh balita itu sendiri maka yang berkembang adalah rasa malu
dan ragu-ragu. Setiap orang tua membuat anaknya menjadi terburu-buru dari waktu ke
waktu. Apabila orang tua selalu bersikap terlalu melindungi anaknya ataupun terlalu banyak
mengkritik kecelakaan-kecelakaan kecil yang terjadi (misalnya, kencing di celana, bermain
tanah, menumpahkan, atau memecahkan), anak tersebut akan mengembangkan rasa malu dan
ragu-ragu yang berlebihan mengenai kemampuan mereka untuk mengendalikan diri sendiri
dan dunianya. Sebagaimana yang akan didiskusikan di bab-bab selanjutnya, Erikson
-
35
berpendapat bahwa tahap otonomi versus rasa malu dan ragu-ragu memiliki implikasi
penting bagi perkembangan individu di masa depan.
Sampai sejauh ini, kita telah berdiskusi mengenai bagaiana emosi dan kompetensi
emosi berubah seiring dengan perkembangan anak-anak. Kita juga telah mengkaji peran gaya
emosional; sebagai dampaknya, kita telah melihat bagaimana emosi memberikan nada-nada
pada pengalaman kita. Meskipun demikian, emosi juga menuliskan liriknya karena emosi
terdapat dala inti relasi kita dengan orang lain.10
2. Kanak-kanak Awal: Otonomi versus Rasa Malu dan Ragu
Menurut pendapat dalam bukunya Matthew, tahap ini mencul sejak akhir tahun
pertama hidup manusia, kurang lebih, sampai akhir tahun ketiga, dan berkorelasi erat dengan
tahap anal perkembangan psikoseksual Freud. Selama tahap ini, anak dengan cepat belajar
banyak keterampilan. Mereka belajar berjalan, memanjat, menarik, mendorong dan bicara.
Secara umum, mereka belajar bagaimana menahan dan melapas sesuatu. Bukan hanya
diaplikasikan ke objek-objek fisik, namun menahan dan melepas juga berkaitan dengan feses
dan urine juga. Dengan kata lain, anak sekarang bisa memutuskan ‘dari dirinya’ untuk
melakukan sesuatu atau tidak. Kalau begitu anak menjadi terlibat di dalam peperangan
kehendak dengan orangtuanya.
Tahap ini, kalau begitu, menjadi sangat menentukan bagi perbandingan cinta dan
benci, kerjasama dan kesediaan, kebebasan mengekspresikan diri dan pensupresiannya. Dari
rasa boleh mengendalikan diri tanpa harus kehilangan penghargaan diri, datanglah rasa
kehendak baik dan kebanggaan yang akan berthan lama, dari hilangnya rasa boleh
mengendalikan diri selain harus takluk pada kendali dari luar, datanglah rasa ragu dan rasa
malu yang memberatkan. (Erikson, 1985, hlm.254).
10John W. Santrock, Life Span Development (Jakarta: Erlangga, 2012) p.214-217.
-
36
Erikson mendefinisikan kehendak sebagai “kegigihan tak tertembus untuk
menggunakan kehendak bebas selain juga pembatasan diri, tak peduli pengalaman rasa malu
dan ragu yang dirasakan dimasa bayi”. Sekali lagi penting untuk dicatat kalau resolusi yang
positif bagi krisis yang mencirikan di tahap ini tidak berarti anak tidak lagi mengalami rasa
malu dan ragu. Sebaliknya, ego anak menjadi cukup kuat untuk menghadapi secara tepat
pengalaman-pengalaman malu dan ragu yang tak terelakkan datangnya itu.
Perhatikan kalau kebajikan-kebajikan yang muncul sebagai hasil dari resolusi positif
krisis-krisis ini bukan lain adalah fungsi-fungsi ego. Contohnya kebajikan harapan dan
kehendak memiliki sejumlah pengaruh bagi kualitas hidup manusia namun kecil saja bagi
kelangsungan hidup, artinya mereka mampu memenuhi kebutuhan-kebutuhan
biologisnya(id), tetapi tidak sefleksibel, opyimis atau sebahagia mereka yang umumnya
memiliki harapan dan kehendak.11
Otonomi vs. Rasa Malu dan Ragu menurut pandangan dari Laura berk merupakan
peralihan menuju masa balita, Freud menganggap cara orangtua dalam mengajarkan buang
air dengan benar (toilet training) sangat menentukan kesehatan psikologis. Akan tetapi bagi
Erikson, pelatihan ini hanyalah salah satu dari sekian banyak pengalaman yang berpengaruh.
Penghindaran lazim oleh balita yang baru bisa berjalan dan bicara – “Tidak!”, “Akan
kulakukan sendiri” – memperlihatkan bahwa mereka telah memasuki periode munculnya rasa
percaya diri. Mereka mau melakukan sendiri bukan hanya di toilet, tetapi juga dalam situasi
lain. Konflik pada diri balita, otonomi vs. rasa malu dan ragu (autonomy versus shame and
doubt), bisa diatasi dengan baik bila orangtua memberikan bimbingan tepat dan pilihan wajar
pada anak-anak mereka. Seorang anak usia 2 tahun yang penuh percaya diri memiliki
11Matthew H. Olson B.R. Hergenhahn, Pengantar Teori-Teori Kepribadian, Edisi Kedelapan (Pustaka Pelajar,
Yogyakarta: 2013), 292-293
-
37
orangtua yang tidak suka mengkritik atau menyerang dia saat gagal dalam keterampilan baru
– menggunakan toilet, makan dengan sendok, atau membereskan mainan. Mereka memenuhi
tuntutan akan otonomi diri melalui toleransi dan pengertian – misalnya, memberikan
tambahan waktu untuk menyelesaikan permainan sebelum berangkat ke toko grosir.
Sebaliknya, bila orangtua berlebihan atau kurang dalam pengendalian, hasilnya adalah anak
akan merasa terpaksa dan malu atau ragu akan kemampuannya untuk mengendalikan
dorongannya dan bertindak sendiri dengan benar.
Pendek kata, kepercayaan dasar dan otonomi menumbuhkan pengasuhan hangat dan
peka serta harapan wajar bagi pengendalian terhadap dorongan yang mulai muncul di tahun
kedua. Bila anak memasuki beberapa tahun pertamanya tanpa rasa percaya yang cukup pada
pengasuh dan perasaan positif mengenai individualitas, dia sama saja sedang menabur
benih-benih masalah. Orang dewasa yang kesulitan membangun ikatan dekat, terlalu
mengandalkan orang tercinta, atau terus-menerus ragu akan kemampuan diri untuk mengatasi
tantangan baru, tidak akan bisa sepenuhnya menguasai tugas-tugas kepercayaan dan otonomi
selama masa bayi dan balita.12
Menurut pendapat John W Shartok Otonomi versus rasa malu dan keragu-raguan
(autonomy versus shame and doubt) adalah tahap kedua dari perkembangan menurut
Erikson, yang berlangsung pada akhir masa bayi dan masa baru mulai berjalan (1 hingga 3
tahun). Setelah memperoleh kepercayaan dari pengasuhnya, bayi mulai menemukan bahwa
perilaku mereka adalah keputusan mereka sendiri. Mereka mulai menyatakan rasa
12Laura E. Berk. Development Through The Lifespan. Edisi Kelima Transisis Menjelang Dewasa (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2012) p.240-241
-
38
kemandirian atau otonominya. Jika bayi terlalu banyak dibatasi dan dihukum terlalu keras,
mereka cenderung mengembangkan rasa malu dan ragu-ragu.13
Kemandirian menurut John W. Santrock menurut teori Erik Erikson (1968)
mengedapankan bahwa kemandirian merupakan isu yang penting pada pada tahun kedua
kehidupan. Erikson menggambarkan tahap kedua perkembangan sebagai tahap otonomi
versus rasa malu dan ragu-ragu. Otonomi dibangun seiring dengna berkembangnya
kemampuan mental dan motorik. Pada tahap ini, bayi tidak hanya mampu berjalan, namun
mereka juga mampu memanjat, membuka dan menutup, menjatuhkan, mendorong dan
menarik, serta memegang dan melepaskan. Bayi merasa bangga dengan semua prestasi ini
dan ingin melakukan segala sesuatunya sendiri, apakah itu menyiram toilet, membuka
bungkusan paket, atau memutuskan apa yang hendak dimakan. Penting bagi orang tua untuk
mengenali motivasi balita dalalm melakukan apa yang dapat dilakukan sesuai dengan
kemampuan mereka. Mereka dapat belajar mengendalikan otot dan dorongan-dorongan
mereka. Namun, ketika pengasuh tidak sabar dan melakukan hal-hal yang ebetulnya dapat
dilakukan oleh balita itu sendiri maka yang berkembang adalah rasa malu dan ragu-ragu.
Setiap orang tua membuat anaknya menjadi terburu-buru dari waktu ke waktu. Apabila orang
tua selalu bersikap terlalu melindungi anaknya ataupun terlalu banyak mengkritik
kecelakaan-kecelakaan kecil yang terjadi (misalnya, kencing di celana, bermain tanah,
menumpahkan, atau memecahkan), anak tersebut akan mengembangkan rasa malu dan ragu-
ragu yang berlebihan mengenai kemampuan mereka untuk mengendalikan diri sendiri dan
dunianya. Sebagaimana yang akan didiskusikan di bab-bab selanjutnya, Erikson berpendapat
bahwa tahap otonomi versus rasa malu dan ragu-ragu memiliki implikasi penting bagi
perkembangan individu di masa depan.
13John W. Santrock, Life Span Development (Jakarta: Erlangga, 2012), 26
-
39
Sampai sejauh ini, kita telah berdiskusi mengenai bagaiana emosi dan kompetensi
emosi berubah seiring dengan perkembangan anak-anak. Kita juga telah mengkaji peran gaya
emosional; sebagai dampaknya, kita telah melihat bagaimana emosi memberikan nada-nada
pada pengalaman kita. Meskipun demikian, emosi juga menuliskan liriknya karena emosi
terdapat dala inti relasi kita dengan orang lain.14
Menurut penney upton Masa kanak-kanak awal (2 hingga 3 tahun) ini merupakan
Konflik dasar otonomi versus rasa malu dan ragu, peristiwa penting latihan ke toilet, hasil
anak-anak perlu mengembangkan rasa pengendalian pribadi atas keterampilan-keterampilan
fisik dan rasa kemandirian. Keberhasilan tahap ini akan mendorong perasaan otonom;
kegagalan menimbulkan perasaan malu dan ragu.15
Menurut William Crain Tahap umum: Otonomi vs Rasa Malu dan Ragu-ragu,
Erikson mendefinisikan konflik di titik ini sebagai otonomi versus rasa malu dan ragu-ragu.
Otonomi muncul dari dalam, sebuah pendewasaan biologis yang mengasuh kemampuan anak
untuk melakukan segala hal dengan caranya sendiri – mengontrol otot perut mereka sendiri,
berdiri di atas kaki sendiri, menggunakan tangannya sendiri, dan sebagainya. Rasa malu dan
ragu-ragu, sebaliknya, datang dari kesadaran akan ekspektasi dan tekanan sosial. Contohnya,
seorang gadis kecil yang mengompol di celana jadi sadar diri, khawatir kalau orang lain
melihatnya dalam kondisi itu. Rasa ragu berasal dari kesadaran bahwa dirinya tidak begitu
berkuasa, sehingga orang lain bisa mengontrol dia dan bertindak lebih baik daripada dia.
Harapan idealnya, anak bisa belajar menyesuaikan diri dengan aturan-aturan sosial
tanpa banyak kehilangan pemahaman awal mereka mengenai otonomi. Orang tua di sejumlah
budaya berusaha membantu anak mereka mengalami hal ini. Dengan lembut mereka
14John W. Santrock, Life Span Development (Jakarta: Erlangga, 2012),217. 15Penney Upton. Psikologi Perkembangan. (Jakarta: Erlangga, 2012), p.22-23
-
40
berusaha membantu anak belajar perilaku sosial tanpa menghancurkan independensinya.
Namun sayang, orang tua lain tidak sesensitif ini, malah mempermalukan anak mereka secara
berlebihan, contohnya saat mereka buang angin. Orang tua mematahkan hati anak dengan
sikap bermusuhan, atau menertawakan upaya mereka melakukan hal-hal tertentu dengan
caranya sendiri. Dalam kondisi yang demikian, anak bisa mengembangkan rasa malu dan
ragu-ragu yang abadi, yang ujung-ujungnya malah menggiring impuls-impuls mereka kepada
pembatasan diri sendiri.
Maka mereka akan mengembangkan kekuatan ego dalam bentuk kehendak yang
kokoh. “Kehendak”, kata Erikson, “merupakan kebulatan tekad yang tidak bisa dipatahkan
untuk melatih pilihan bebas dan pengendalikan diri” (1964, h.119). Erikson memasukkan
pengendalian-diri di dalam definisi ini karena percaya bahwa penting bagi anak untuk belajar
mengontrol ipuls-impuls mereka sendiri, dan menentukan apa yang tidak pantas (tidak boleh)
dilakukan. Jadi anaklah yang seharusnya berinisiatif demikian – bukannya kekuatan
eksternal.16
Menurut Jess Feist dan georgry Otonomi versus Rasa Malu dan Ragu-Ragu menurut
teori erikson, jika masa kanak-kanak awal adalah waktunya pengekspresian-diri dan otonomi,
maka ini juga menjadi waktu bagi rasa malu dan ragu-ragu (shame and doubt) saat anak-anak
gigih untuk mengekspresikan ode muskuler-uretra-anal, mereka tampaknya menemukan
sebuah budaya yang berusaha melarang sejumlah pengekspresian-diri seperti itu. Orangtua
mungkin mempermalukan anak ketika mereka mengotori celana dengan urin atau feses, atau
ketika mereka mengacak-acak makanan mereka. Orangtua bisa juga menanamkan keraguan
dengan mempertanyakan kemampuan anak-anak untuk memenuhi standar-standar orangtua.
16William Crain. Teori Perkembangan.(Yogyakarta: Pustaka Pelajar: 2007), 436-437
-
41
Konflik antara otonomi dan rasa malu dan keraguan ini menjadi krisis psikososial utama
masa kanak-kanak awal.
Idealnya, anak-anak harus mengembangkan sebuah proporsi yang tepat antara
otonomi dan rasa malu dan keraguan, dan proporsi ini mestinya mendukung otonomi-kualitas
sintonik masa kanak-kanak awal. Anak-anak yang terlalu sedikit mengembangkan otonomi
akan mengalami kesulitan-kesulitan di tahap-tahap selanjutnya, kehilangan kesempatan
untuk meraih kekuatan dasar tahap-tahap berikutnya.
Otonomi berkembang dari rasa percaya mendasar. Jika rasa percaya mendasar sudah
terbangun pada masa bayi, anak-anak akan belajr untuk memiliki keyakinan pada diri mereka
sendiri, dan dunia mereka akan tetap utuh sekalipun anak-anak mengalami krisis psikososial
ringan. Jika mereka tidak dapat mengembangkan rasa percaya menasr selama masa bayi,
maka upaya-upaya untuk meraih kendali atas organ-organ otot anal dan uretra selama masa
kanak-kanak awal akan menemui perasaan malu dan ragu-ragu yang kuat, menyiapkan
tahapan bagi sebuah krisis psikososial yang serius. Rasa disingkapkan. Rasa ragu, di sisi lain,
adalah perasaan tidak pasti, perasaan bahwa sesuatu masih tetap tersembunyi dan tidak bisa
dilihat. Rasa malu dan ragu-ragu adalah kualitas distonik, dan keduanya tumbuh dari rasa
tidak percaya mendasar yang sudah terbentuk pada masa bayi.
Kehendak: Kekuatan Dasar Masa Kanak-Kanak Awal
Anak baru dapat berkembang hanya jika lingkungan mengizinkan sejumlah
pengekspresian-diri dalam cara mereka mengontrol otot anus dan otot-otot lainnya. Ketika
pengalaman mereka menghasilkan terlalu banyak rasa malu dan ragu-ragu, anak tidak akan
bisa mengembangkan secara adekuat kekuatan dasar kedua yang penting ini. Kehendak yang
tidak adekuat akan terekspresikan sebagai kompulsi, patologi inti masa kanak-kanak awal.
-
42
Kehendak yang terlalu sedikit dan kompulsivitas yang terlalu banyak akan terbawa ke dalam
usia bermain sebagai lemahnya tujuan, dan ke dalam usia sekolah sebagai kurangnya rasa
percaya diri.17
Menurut bukunya Erik H erikson otonomi versus rasa malu dan ketidapercayaan.
Tahap ini menjadi penentu bagi rasio antara cinta dan benci, kerja sama dan keras kepala,
kebebasan untuk mengekspresikan diri dan menekannya. Dari perasaan pengendalian diri
tanpa kehilangan penghargaan diri timbul perasaan kehilangan penghargaan diri timbul
perasaan akan keinginan kontrol diri dan perasaan bangga yang abadi; dari perasaan
kehilangan kontrol diri dan perasaan terlalu dikuasai orang lain timbul kecenderungan abadi
untuk selalu ragu-ragu dan malu.
Jika, bagi sebagian pembaca, potensi-potensi “negatif” tahapan-tahapan kami tampak
mendapat penekanan yang terlalu keras, kami harus mengingatkan bahwa hal itu bukan
hanya akibat dari terpreokupasi dengan data klinis. Orang dewasa, yang tampaknya matang
dan tidak neurotik, menunjukkan sensitivitas tentang kemungkinan timbulnya rasa malu
karena “kehilangan muka” dan ketakutan untuk “diserang dari belakang”, yang bukan hanya
tidak rasional dan berlawanan dengan pengetahuan yang mereka miliki, tetapi juga dapat
menjadi makna yang menentukan bila sentimen-sentimen yang terkait memengaruhinya,
misalnya kebijakan antarras dan internasional.
Perasaan memiliki martabat yang sah dan kebebasan yang sah secara hukum di pihak
orang-orang dewasa di sekitarnya memberikan ekspektasi yang pasti kepada anak yang
berkemauan baik bahwa jenis otonomi yang dibantu perkembangnya pada masa kanak-kanak
tidak akan menghasilkan keragu-raguan atau rasa malu yang tidak semestinya di kehidupan
dewasanya kelak. Jadi, perasaan otonomi yang dibantu perkembangannya pada anak dan
17Jess Feist dan Gregory J. Feist. Theories of Personalitiy. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), 220-221
-
43
dimodifikasi sepanjang hidupnya akan membantu (dan dibantu oleh) terpeliharanya rasa
keadilan di dalam kehidupan ekonoi maupun politik.18
3. Usia Prasekolah: Inisiatif versus Rasa Bersalah
Menurut Matthew dalam teori EriksonTahap ini muncul dari sekitar tahun keempat
sampai tahun kelima, dan berkorelasi dengan tahap falik perkebangan psikoseksual Freud.
Menurut Ericson, anak ditahap ini “siap untuk mengembangkan sebuha keingintahuan yang
tidak kenal lelah tentang perbedaan-perbedaan ukuran pada umumnya, dan perbedaan jenis
kelamin pada khususnya.. belajar sekarang semakin aktif dan detail; membawa dia menjauh
dari keterbatasan dirinya menuju kemungkinan-kemungkinan di masa depan”(1959, hlm.76).
Ditahap ini batas-batas dites untuk dipelajari apa saja yang diperbolehkan dan apa
saja yang tidak. Jika orangtua menguatkan perilaku dan fantasi yang diinisiatifkan sendiri
oleh anak, mereka akan meninggalkan tahap ini dengan rasa isnisiatif yang sehat. Namun,
jika orang tua mengolok, mengejek, tidak memedulikan atau memarahi perilaku dan
imajinasi yang diinisiatifkan sendiri oleh anak, mereka akan meninggalkan tahap ini dengan
rendahnya rasa kemandirian. Bukannya bersemangat mengambil inisiatif, mereka cenderung
mengalami rasa bersalah ketika melakukan perilaku-perilaku jenis itu dan karenanya,
cenderung menjalani hidup dalam batas-batas sempit yang ditetapkan orang lain bagi mereka.
Erikson mendefinisikan tujuan sebagai “keberanian untuk merancang dan mengejar
tujuan-tujuan bernilai yang tidak akan bisa terhambat oleh dikalahkannya fantasi-fantasi
infantil, oleh rasa bersalah, dan oleh rasa takut yang teramat sangat akan penghukuman”
18 Erik H. Erikson, Childhood and Society, (Pustaka Pelajar, Yogyakarta: 2010) , 300-301
-
44
(1964, hlm. 122). Anak-anak yang secara positif menyelesaikan krisis-krisis di tiga tahap
pertama ini akan memiliki kebajikan-kebajikan berupa harapan, kehendak dan tujuan.19
Dalam bukunya laura berk di dalam teori Erikson: Inisiatif vs. Rasa Bersalah,
Erikson (1950) menguraikan masa kanak-kanak awal sebagai periode “penuh semangat”.
Setelah anak-anak memiliki rasa otonomi, mereka menjadi sedikit lebih tenang dibanding
ketika balita. Energi mereka tercurahkan untuk mengatasi konflik psikologis selama masa
prasekolah: inisiatif vs. rasa bersalah (iniative versus guilt). Seperti bisa dilihat dari kata
initiative versus guilt). Seperti bisa dilihat dari kata initiative, anak-anak memiliki rasa
kebertujuan. Mereka ingin sekali melakukan tugas-tugas baru, mengikuti aktivitas teman
sebaya, dan mencari tahu apa yang bisa mereka lakukan dengan bantuan orang dewasa.
Mereka juga mengalami kemajuan dalam perkembangan kesadaran diri.
Erikson menganggap permainan sebagai cara anak-anak belajar tentang diri dan dunia
sosial mereka. Permainan memberikan kesempatan pada anak-anak prasekolah untuk
mencoba berbagai keterampilan baru dengan sedikit risiko gagal dan menerima kritik.
Permainan juga menciptakan sebuah organisasi sosial kecil anak-anak yang harus bekerja
sama demi mencapai peran keluarga dan pekerjaan yang sangat jelas – polisi, dokter, dan
perawat dalam masyarakat Barat, pemburu kelinci dan pembuat tembikar dalam masyarakat
Suku India Hopi, tukang bangunan dan pembuat tombak dalam masyarakat baka di Afrika
Barat (Goncu, Patt, & Kouba, 2004).
Ingat bahwa teori Erikson dibangun di atas tahapan psikososial Freud (lihat Bab 1).
Dalam konflik Oedipus dan Electra Freud, untuk menghindari hukuman dan memelihara
kasih sayang orangtua, anak-anak membentuk superego (superego), atau hati nurani, melalui
19 Matthew H. Olson B.R. Hergenhahn, Pengantar Teori-Teori Kepribadian, Edisi Kedelapan (Pustaka Pelajar,
Yogyakarta: 2013), 294-295
-
45
identifikasi dengan orangtua berjenis kelamin sama. Walhasil, mereka mengadopsi standar
peran gender dan moral dari masyarakat mereka. Setiap kali anak melanggar standar hati
nurani, dia akan merasa bersalah. Bagi Erikson, dampak negatif masa kanak-kanak awal
adalah terlalu ketatnya superego sehingga anak-anak merasa sangat bersalah karena mereka
terlalu sering ditekan, dikritik, dan dihukum oleh orang dewasa. Bila ini terjadi, permainan
dan upaya anak-anak prasekolah untuk menguasai tugas-tugas baru menjadi berantakan.
Meskipun gagasan Freud tidak lagi diterima sebagai penjelasan yang memadai
mengenai perkembangan hati nurani, gambaran Erikson tentang inisiatif mampu menangkap
berbagai perubahan kehidupan emosional dan sosial pada diri anak-anak. Sejatinya, masa
kanak-kanak awal adalah sebuah masa ketika anak-anak mengembangkan citra diri yang
penuh dengan rasa percaya diri, pengendalian lebih efektif atas emosi mereka, keterampilan
sosial baru, landasan moralitas, dan pemahaman jelas tenang diri sendiri sebagai seorang
anak laki-laki atau perempuan.20
Menurut bukunya Laura berk diambil dalam Teori Erikson: Inisiatif vs Rasa Bersalah
dalam bukunya perubahan kepribadian apa saja yang terjadi selama tahapan inisiatif vs. rasa
bersalah Erikson?
Gambaran Erikson mengenai inisiatif vs rasa bersalah (initiative versus guilt)
menangkap perubahan emosional dan sosial selama masa kanak-kanak awal. Pikiran sehat
mengenai inisiatif bergantung pada eksplorasi dunia sosial melalui permainan, pembentukan
nurani melalui identifikasi dengan orantua dari jenis kelamin yang sama, dan penerimaan
terhadap pengasuhan yang mendukung.21
20Laura E. Berk. Development Through The Lifespan. Edisi Kelima Transisi Menjelang Dewasa (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2012) p.342-343 21Laura E. Berk. Development Through The Lifespan. Edisi Kelima Transisi Menjelang Dewasa (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2012) p.382
-
46
Menurut John W santrock Prakarsa versus rasa bersalah (initiative versus guilt),
yang merupakan tahap ketiga dari perkembangan menurut Erikson, berlangsung selama masa
prasekolah. Ketika anak-anak prasekolah mulai memasuki dunia sosial yang luas, mereka
dihadapkan pada tantangan-tantangan baru yang menuntut mereka untuk mengembangkan
perilaku yang aktif dan bertujuan. Anak-anak diharapkan mampu bertanggung jawab
terhadap tubuh, perilaku, mainan, dan hewan peliharaan mereka. Namun, perasaan bersalah
dapat muncul apabila anak dianggap tidak bertanggung jawab dan menjadi sangat cemas.22
Menurut John W shartoc Inisiatif versus Rasa Bersalah dalam tahapan Erikson,
menurut delapan tahap perkembangan Erik Erikson (1968) yang terjadi selama periode
tertentu di masa hidup manusia. Dua tahap pertama erikson, percaya versus tidak percaya
(trust versus mistrust), dan autonomi versus rasa malu dan ragu-ragu, menjelaskan apa yang
Erikson sebut sebagai tugas perkembangan utama di masa bayi. Perkembangan psikososial
Erik Erikson terkait dengan tahap inisiatif versus rasa bersalah (initiative versus guilt) di
masa kanak-kanak awal. Mulai sekarang, anak-anak menjadi lebih yakin bahwa mereka
adalah diri mereka sendiri; selam amasa kanak-kanak awal, ereka mulai menemukan pribadi
yang diinginkan. Secara intensif mereka mengidentifikasi kepada orang tuanya, yang hampir
selalu terlihat kuat dan cantik; meskipun sering kali tidak masuk akal, tidak sependapat, dan
kadangkala membahayakan. Selama kanak-kanak awal, anak-anak menggunakan
keterampilan perseptual, motorik, kognitif, dan bahasa untuk melakukan sesuatu. Mereka
memiliki kelebihan energi yang memungkinkan mereka melupakan kegagalan-kegagalannya
dengan cepat dan mendekati area-area baru yang terlihat menarik – bahkan meskipun area-
area itu terlihat berbahaya – tanpa kekurangan energi dan rasa keterarahan yang meningkat.
Pada tahap ini dengan inisiatifnya sendiri, anak-anak dengan gembira bergerak menuju dunia
22John W. Santrock, Life Span Development (Jakarta: Erlangga, 2012), 26
-
47
sosial yang lebih luas. Inisiatif ini dipimpin oleh suara hati (conscience). Inisiatif dan
antusias mereka tidak hanya memberi reward, namun juga rasa bersalah, yang dapat
menurunkan penghargaan–diri.23
Menurut bukunya Penney upton Prasekolah (3 hingga 5 tahun), Konflik dasar
inisiatif versus rasa bersalah, peristiwa penting eksplorasi, hasil anak-anak perlu mulai
menunjukkan kendali dan kekuasaan atas lingkungan. Keberhasilan dalam tahap ini akan
mendorong rasa bertujuan. Anak-anak yang berusaha menunjukkan kekuasaan berlebihan
akan mengalami penolakan, yang menimbulkan rasa bersalah.24
Menurut bukunya William CarainTahap umum: Inisiatif vs Rasa BersalahInisiatif,
seperti instrusi, berarti pergerakan ke depan. Lewat inisiatif , anak membuat rencana,
menetapkan tujuan dan mempunyai semangat untuk mencapainya. Saya mencatat contohnya,
sejumlah aktivitas salah satu putra kami waktu berusia 5 tahun. Suatu hari dia memutuskan
untuk melihat seberapa tinggi bisa menyusun mainan baloknya, kemudian menemukan
permainan lain untuk seberapa tinggi dia bisa melompat dari tempat tidur orang tuanya, dan
akhirnya mendorong anggota keluarga yang lain untuk melihat sebuah film baru yang
kebanyakan berisi aksi dan kekerasan. Tingkah laku ini dia lakukan berdasarkan tujuan,
hasrat persaingan dan kualitas imajinatif tertentu.
Di titik ini, krisis datang ketika anak mulai menyadari bahwa rencana-rencana
terbesar mereka dan harapan-harapan terdalamnya hancur berantakan. Ambisi-ambisi ini
tentunya ambisi odipal – keinginan untuk memiliki salah satu orang dan bersaing dengan
yang satunya. Lalu anak menemukan kalau harapan-harapan ini melanggar tabu sosial dan
23John W. Santrock, Life Span Development (Jakarta: Erlangga, 2012) p.278-279. 24Penney Upton. Psikologi Perkembangan. (Jakarta: Erlangga, 2012), 22-23
-
48
amat berbahaya dari yang bisa dia bayangkan. Karena itu, anak mulai menginternalisasikan
larangan-larangan sosial – sebuah rasa bersalah pembentuk superego – demi menjaga impuls
dan fantasi berbaya tetap terkendali.
Namun Erikson tidak pesimis dengan hal ini. Di amalah mengamati kalau anak-anak
yang berusia 3-6 tahun, lebih dari periode waktu mana pun, sudah siap untuk belajar dengan
cepat dan gigih, dan bersedia mencari cara untuk menghubungkan ambisi mereka dengan
tujuan-tujuan yang berguna secara sosial (1963, h.258). orang tua bisa membantu proses ini
dengan mempelunak otoritas dan memperbolehkan anak berpartisipasi dengan setara untuk
menghadapi proyek-proyek kehidupan yang menarik. Lewat cara inilah, orang tua bisa
membantu anak keluar dari krisis tahapan ini dengan pengertian penuh mengenai tujuan –
“keberanian untuk memimpikan dan mengejar tujuan-tujuan yang bernilai” – yang tidak akan
bisa dirusak oleh rasa bersalah maupun larangan.25
Menurut Jeast dan greogry Inisiatif versus Rasa Bersalah insiatif tak terkekang bisa
maengarah kepada khaos dan pelemahan prinsip-prinsip moral. Di sisi lain, jika rasa bersalah
menjadi elemen dominan, anak bisa menjadi moralistik yang kompulsif atau terlalu banyak
mereka dilarang. Pelarangan/penghambatan (inhibition), yang merupakan antipati tujuan,
melandasi patologi inti paa usia bermain.
Tujuan: Kekuatan Dasar Usia Bermain
Konflik inisiatif versus rasa bersalah menghasilkan kekuatan dasar berupa tujuan
(purpose). Anak-anak sekarang bermain dengan suatu tujuan, bersaing di setiap permainan
untuk menang atua menjadi nomor satu ketertarikan genital mereka memiliki sebuah arah,
dengan ibu atau ayah yang menjadi objek hasrat-hasrat seksual mereka. Anak-anak
menetapkan sasaran-sasaran mereka. Anak-anak menetapkan sasaran-sasaran dan
25William Crain. Teori Perkembangan.(Yogyakarta: Pustaka Pelajar: 2007),437-438
-
49
mengejarnya dengan suatu tujuan. Usia bermain juga merupakan tahapan di mana anak-anak
mengembangkan suara hati dan mulai melekatkan pelabelan seperti benar dan salah paa
tindakan-tindakan mereka. Suara hati anak kecil inilah yang di kemudian hari menjadi “batu
penjuru moralitas” (Erikson, 1968, hlm. 199).26
Menurut Erik H erikson Inisiatif Versus Rasa Berasalah,pada setiap diri anak, di
setiap tahapnya terdapat sebuah mukjizat baru dari pembentangan yang penuh semangat,
yang berupa sebuah harapan baru dan sebuah tanggung jawab baru bagi semua orang. Itu
adalah perasaan dan kualitas inisiatif yang menyebar. Kriteria untuk semua perasaan dan
kualitas sama: sebuah krisis, yang sedikit banyak disertai dengan meraba-raba dan ketakutan,
diatasi, dala arti bahwa kepribadian dan tubuh anak tiba-tiba tampak “tumbuh bersamaan”. Ia
tampak “lebih menjadi dirinya sendiri”, lebih penyayang, rileks dan lebih cerdas dalam
membuat penilaian, lebih aktif dan mengaktifkan. Ia dirasuki oleh surplus energi yang
memungkinkannya untuk melupakan kegagalan dengan cepat dan mendekati hal-hal yang
tampak diinginkan (meskipun hal itu tampak tidak pasti dan bahkan berbahaya) dengan arah
yang tidak dikurangi dan lebih akurat. Inisiatif menambahkan pada otonomi kualitas
menjalankan, merencanakan dan “menyerbu” sebuah tugas demi menjadi aktif dan bergerak,
yang sebelumnya kemauan sendirilah yang lebih sering menginspirasi tindakan-tindakan
menentang atau memprotes independensi.
“Inisiatif” memiliki konotasi Amerika dan industri. Namun, inisiatif adalah bagian
yang dibutuhkan pada setiap tindakan, dan orang membutuhkan perasaan inisiatif untuk apa
pun yang dipelajari dan dikerjakannya, mulai dari masa mengumpulkan makanan sampai
masa sistem perusahaan.
26Jess Feist dan Gregory J. Feist. Theories of Personalitiy. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), 222
-
50
Bahaya di dalam tahap tersebut adalah perasaan bersalah atas tujuan-tujuan yang
dipikirkan dan tindakan-tindakan yang dilakukan di tengah kegembiraan yang meluap-luap
karena merasa memiliki kekuatan lokomotor dan mental baru: tindakan-tindakan yang berupa
manipulasi agresif dan pemaksaan yang dengan cepat melampaui kapasitas eksekutif
organisme dan pikiran, oleh karenanya membutuhkan penghentian yang harus dilakukan
dengan banyak tenaga atas inisiatif yang dipikirkannya.27
Menurut John . W shartok Inisiatif versus Rasa Bersalahdalam mempelajari delapan
tahap perkembangan Erik Erikson (1968) yang terjadi selama periode tertentu di masa hidup
manusia. Dua tahap pertama erikson, percaya versus tidak percaya (trust versus mistrust),
dan autonomi versus rasa malu dan ragu-ragu, menjelaskan apa yang Erikson sebut sebagai
tugas perkembangan utama di masa bayi. Perkembangan psikososial Erik Erikson terkait
dengan tahap inisiatif versus rasa bersalah (initiative versus guilt) di masa kanak-kanak awal.
Mulai sekarang, anak-anak menjadi lebih yakin bahwa mereka adalah diri mereka sendiri;
selam amasa kanak-kanak awal, ereka mulai menemukan pribadi yang diinginkan. Secara
intensif mereka mengidentifikasi kepada orang tuanya, yang hampir selalu terlihat kuat dan
cantik; meskipun sering kali tidak masuk akal, tidak sependapat, dan kadangkala
membahayakan. Selama kanak-kanak awal, anak-anak menggunakan keterampilan
perseptual, motorik, kognitif, dan bahasa untuk melakukan sesuatu. Mereka memiliki
kelebihan energi yang memungkinkan mereka melupakan kegagalan-kegagalannya dengan
cepat dan mendekati area-area baru yang terlihat menarik – bahkan meskipun area-area itu
terlihat berbahaya – tanpa kekurangan energi dan rasa keterarahan yang meningkat. Pada
tahap ini dengan inisiatifnya sendiri, anak-anak dengan gembira bergerak menuju dunia
sosial yang lebih luas. Inisiatif ini dipimpin oleh suara hati (conscience). Inisiatif dan
27 Erik H. Erikson, Childhood and Society, (Pustaka Pelajar, Yogyakarta: 2010), 301-302
-
51
antusias mereka tidak hanya memberi reward, namun juga rasa bersalah, yang dapat
menurunkan penghargaan–diri.28
4. Usia Sekolah: Kegigihan versus Inferioritas
Menurut Matthew ,tahap ini berlangsung sejak usia 6 tahun hingga sekitar 11
tahunan, berkorelasi dengan tahap latensi perkembangan psikoseksual Freud. Umumnya
sebagian besar anak sibuk bersekolah di usia-usia ini, dan di tahap ini anak belajar banyak
keterampilan yang dibutuhkan bagi kelangsungan ekonomi, keterampilan-keterampilan
teknologis yang akan memampukan mereka menjadi anggota yang produktif dalam budaya
mereka:
Panggung batin seperti dipersiapkan bagi ‘pintu masuk menuju kehidupan’, kecuali
hidup itu pertama-tama haruslah berada di dalam kehidupan sekolah, entah sekolahnya di
lapangan atau hutan atau ruang kelas. Anak harus melupakan harapan dan keinginan di masa
lalu, sedangkan imajinasinya yang dinamis harus dijinakkan dan ditundukkan pada hukum-
hukum tentang benda-benda yang tak bernyawa – bahkan ca-lis-tung. Karena sebelum anak
secara psikologis siap menjadi orangtua beneran dapat menjadi orangtua biologis lebih dulu,
namun dia tetap harus mulai menjadi seorang pekerja dan penyedia yang potensial. (Erikson,
1985, hlm. 258-259).
Sekolah adalah tempat anak dilatih bagi pekerjaan di masa depan dan penyesuaian
dengan budayanya. Karena kelangsungan hidup mensyaratkan kemampuan untuk bekerja
sama dengan orang lain, keterampilan sosial termasuk di antara pelajaran yang penting
diajarkan sekolah. Namun, pelajaran yang paling penting yang dipelajari anak di tahap ini
adalah “kesenangan menyelesaikan tugas lewat perhatian yang terus-menerus dan
memelihara kerajinan” (Erikson, 1985, hlm. 259). Dari pelajaran ini datanglah rasa
28John W. Santrock, Life Span Development (Jakarta: Erlangga, 2012) p.278-279.
-
52
kegigihan, yang menyiapkan anak untuk mencari dengan penuh kepercayaan diri tempat-
tempat yang produktif di dalam masyarakat di antara individu-individu lainnya.
Jika anak tidak mengembangkan rasa kegigihan, mereka akan mengembangkan
perasaan inferioritas, menyebabkan mereka hilang keyakinan akan kemampuan diri mereka
untuk bisa menjadi anggota masyarakat yang memberikan sebuah kontribusi. Anak-anak
yang seperti ini cenderung mengembangkan sebuah ‘identitas negatif’, sebuah konsep yang
akan dijelaskan di dalam diskusi kita terkait tahap berikutnya.
Bahaya lain yang muncul di tahap ini adalah anak di kemudian hari terlalu
melebihkan nilai dari posisi mereka di tempat kerja. Untuk orang yang seperti ini, kerja
disamakan dengan hidup, dan karenanya dibutakan dari banyak aspek penting lain eksistensi
manusia. “Jika ia menerima kerja sebagai satu-satunya kewajibannya, dan ‘kerja apa’ sebagai
satu-satunya kriterianya tentang keberhargaan, dia dapat menjadi seorang pendukung dan
budak yang tidak berpikir jernih tentang teknologi yang dikuasainya dan mereka-mereka
yang berada suatu posisi yang mengeksploitasi dirinya” (Erikson, 1985, hlm. 261). Menurut
Erikson, keterampilan yang dibutuhkan bagi pekerjaan di masa depan memang harus
diperkuat di tahap ini namun bukan dengan mengabaikan atribut-atribut lain yang penting
dari manusia.
Jika rasa kegigihan anak lebih besar daripada rasa inferioritasnya, mereka akan
meninggalkan tahap ini dengan kebajikan berupa kompetensi. “Kopetensi ... adalah latihan
bebas ketahanan dan kecerdasan dalam menyelesaikan tugas-tugas, tidak terhalang oleh
inferiortias infantil” (Erikson, 1964, hlm. 124). Perasaan inferioritas sebaliknya, datang dari
-
53
olok-olok atau kurangnya perhatian dari individu-individu yang dianggap paling penting oleh
anak-anak.29
Semangat versus rasa rendah diri (industry versus inferiority) adalah tahap keempat
dari perkembangan menurut Erikson dan berlangsung di masa sekolah dasar. Prakarsa anak-
anak membawa mereka terlibat dalam kontak dengan pengalaman-pengalaman baru yang
kaya. Ketika mereka beralih ke masa kanak-kanak pertengahan dan akhir, mereka
mengarahkan energinya untuk menguasai pengetahuan dan keterampilan intelektual. Tidak
ada saat lain yang lebih penuh semangat atau antusiasme untuk belajar dibandingkan pada
akhir periode pengembangan imajinasi pada masa kanak-kanak awal. Bahaya yang dihadapi
di masa sekolah dasar adalah anak dapat mengembangkan rasa rendah diri – merasa tidak
kompeten dan tidak produktif.30
Industri versus Inferioritas menjelaskan delapan tahap perkembangan manusia milik
Erik Erikson (1968). Tahap keempatnya, industri versus inferioritas, terjadi selama masa
kanak-kanak pertengahan dan akhir. Istilah industri menunjukkan tema dominan periode ini:
Anak-anak tertarik pada asal mula sebuah benda dan cara kerjanya. Ketika anak-anak
didorong untuk berusaha membuat, membangun, dan menjadikan benda itu bekerja –
membuat pesawat mainan, membangun rumah pohon, memperbaiki sepeda, menyelesaikan
masalah, atau memasak – perasaan mereka terhadap industri meningkat. Meskipun demikian,
orang tua yang menganggap usaha anak mereka dalam menciptakan sesuatu itu sebagia
“kenakalan” atau “membuat kekacauan” akan memberikan rasa interioritas pada anak.
Dunia sosial anak di luar keluarga mereka pun berkontribusi terhadap rasa industri.
Sekolah menjadi sangat penting dalam hal ini. Misalkan saja anak-anak yang kecerdasannya
29 Matthew H. Olson B.R. Hergenhahn, Pengantar Teori-Teori Kepribadian, Edisi Kedelapan (Pustaka Pelajar,
Yogyakarta: 2013), 296-297 30John W. Santrock, Life Span Development (Jakarta: Erlangga, 2012), 26
-
54
sedikit di bawah rata-rata. Anak-anak tersebut terlalu pandai bagi sekolah luar biasa namun
kurang cerdas untuk kelas anak-anak jenius. Anak-anak tersebut sering kali tidak bagus
nilainya, sehingga menimbulkan rasa inferioritas. Sebaliknya, perhatikan anak-anak yang
rasa industrinya diciutkan di rumah. Guru-guru yang sensitif dan berkomitmen mungkin akan
membantu mengembalikan rasa industri tersebut di sekolah (Elkind, 1970).31
Menurut penney upton,usia sekolah (6 hingga 11 tahu) Konflik dasar indistri versus
inferioritas, peristiwa penting sekolah, hasil anak-anak perlu mengatasi tuntutan-tuntutan
sosial dan akaemik baru. Keberhasilan memunculkan rasa berkemampuan, sedang kegagalan
memunculkan peraana inferioritas.32
Tahap Latensi menurut William Crain, bahaya di tahapan ini adalah perasaan
berlebih-lebihan ketidaktepatan dan inferioritas. Kebanyakan dari kita mungkin masih ingat
rasa sakit dari kegagalan di kelas atau diperolok-olok di taman bermain. Namun perasaan
inferior yang terlalu mendalam memiliki akar yang sangat beragam. Bisa jadi anak menemui
kesulitan di tahap ini karena tidak berhasil menyelesaikan konflik di tahap-tahap sebelumnya.
Contohnya, di tahap kedua seorang gadis kecil mungkin lebih banyak mengembangkan
keraguan daripada otonomi, sehingga dia tidak merasa pasti akan dirinya sendiri saat
berusaha menguasai tugas-tugas baru. Namun bisa juga sikap sekolah dan komunitas
menghalangi perkembangan anak untuk memahami kegigihan.
Erikson (1959, h.87) berulang kali menemukan bahwa di dalam kehidupan orang-
orang yang penuh inspirasi besar dan bertalenta tinggi, ternyata gurulah yang dulu sudah
membuat dia merasa berbeda dan unik, dengan mendukung talenta-talentanya sewaktu dia
masih kecil. Dan keberhasilan memecahkan masalah di tahap ini akan membawa anak
31John W. Santrock, Life Span Development (Jakarta: Erlangga, 2012) p.364. 32Penney Upton. Psikologi Perkembangan. (Jakarta: Erlangga, 2012), p.254-255
-
55
kepada penguatan ego yang disebut Erikson kompetensi – sebuah latihan intelegensia dan
kemampuan secara bebas dalam menyelesaikan tugas-tugas, tanpa diganggu perasaan
inferioritas y ang berlebihan (1964, h.124).33
Produktivitas versus Inferioritas (Industry vs Inferiority)
Ketidakaekuatan di tahap-tahap sebelumnya juga dapat memberikan kontribusi bagi
perasaan inferioritas anak anak. Contohnya, jika anak mendapatkan terlalu banyak rasa
bersalah dan terlalu sedikit tujuan selama usia bermain, mereka tampaknya akan merasa
inferior gitu, kegagalan tidak bisa dielakkan. Erikson cukup optimis bahwa setiap orang akan
berhasil mengatasi krisis di tahap mana pun meskipun mereka belum berhasil penuh di tahap
sebelumnya.
Proporsi antara produktivitas dan inferioritas mestinya lebih mendukung kepada
produktivitas. Namun inferioritas, seperti kualitas-kualitas distonik lainnya, tidak bisa
dihindari. Seperti yang dikatakan Alfred Adler (Bab 3), inferioritas bisa berfungsi sebagai
motivasi untuk manusia melakukan yang terbaik. Sebaliknya, terlalu tenggelam dalam
inferioritas dapat memblokir aktivitas produktif dan melemahkan perasaan kompetensi
manusia.
Komptensi: Kekuatan Dasar Usia Sekolah
Dari konflik produktivitas versus inferioritas, anak-anak usia sekolah
mengembangkan kekuatan dasar kompetensi-yaitu kepercayaan diri menggunakan
kemampuan fisik dan kognitif untuk menyelesaikan masalah-masalah yang muncul di usia
sekolah.
Jika perjuangan antara produktivitas dan inferioritas terlalu mengarah kepada
inferioritas atas produktivitas yang berlebihan, anak-anak akan cenderung mudah menyerah
33William Crain. Teori Perkembangan.(Yogyakarta: Pustaka Pelajar: 2007), 439-441
-
56
dan mundur ke tahap perkembangan sebelumnya. Mereka bisa jadi terlalu asyik dengan
fantasi-fantasi genital dan Oedipal infantilnya, dan menghabiskan banyak waktu dalam
permainan yang tidak produktif. Regresi ini disebut kelembaman/inersia (inertia), antitesis
dari kompetensi dan menjadi patologi inti usia sekolah.34
Menurut pendapat Erik H Erikson produktivitas versus inferioritas, tahap batin ini
tampaknya semua merupakan persiapan untuk “memasuki kehidupan”, kecuali bahwa
kehidupan yang pertama haruslah kehidupan sekolah, terlepas apakah sekolah adalah sebuah
ladang atau hutan atau ruang kelas. Anak harus melupakan harapan-harapan dan keinginan-
keinginannya di masa lalu, sementara imajinasi mereka yang tumbuh subur dijinakkan dan
diikatkan pada hukum benda-benda yagn bersifat umum – Three R’s (Tiga R, Reading,
wRiting, aRithmetics, membaca, menulis, berhitung). Hal ini karena sebelum anak, yang
secara psikologis sudah menjadi orangtua yang belum sempurna, dapat menjadi seorang
orangtua biologis, ia harus mulai dengan menjadi seorang pekerja dan penyedia potensial.
Di semua budaya, anak-anak pada tahap ini menerima instruksi sistematik tertentu,
meskipun, seperti yang kita lihat di bab tentang orang-orang Indian Amerika, belum tentu
selalu dalam bentuk sekolah yang oleh orang-orang yang melek huruf harus diorganisasikan
di seputar guru-guru khusus yang harus belajar tentang bagaimana cara mengajarkan melek
huruf.
Bahaya anak, pada tahap ini, terletak pada perasaan tidak adekuat dan inferioritas.
Kalau ia putus asa dengan alat-alat dan keterampilan-keterampilannya atau statusnya di
antara partner-partner alatnya, ia mungkin kehilangan semangat untuk mengidentifikasikan
diri dengan mereka dan dengan salah satu bagian dunia alat. Kehilangan harapan akan
asosiasi “industrial” seperti itu dapat mendorongnya kembali ke persaingan familiar yang
34Jess Feist dan Gregory J. Feist. Theories of Personalitiy. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008),223
-
57
lebih terisolasi dan kurang sadar alat seperti masa oedipalnya dulu. Keputusasaan anak atas
perlengkapannya di dunia alat dan di dalam anatomi, dan menganggap dirinya dijebloskan ke
keadaan yang sedang-sedang saja atau tidak adekuat.
Di bagian sebelumnya kami telah menyebutkan tentang bahaya yang mengancam
individu dan masyarakat ketika anak sekolah mulai merasa bahwa warna kulitnya, latar
belakang orangtuanya, atau gaya pakaiannya, dan bukan keinginan dan kemauannya utnuk
belajar, yang akan menentukan harga dirinya sebagai pelajar, perasaan identitas dirinya.35
Menurut John W. Sartock Industri versus Inferioritas, menjelaskan delapan tahap
perkembangan manusia milik Erik Erikson (1968). Tahap keempatnya, industri versus
inferioritas, terjadi selama masa kanak-kanak pertengahan dan akhir. Istilah industri
menunjukkan tema dominan periode ini: Anak-anak tertarik pada asal mula sebuah benda
dan cara kerjanya. Ketika anak-anak didorong untuk berusaha membuat, membangun, dan
menjadikan benda itu bekerja – membuat pesawat mainan, membangun rumah pohon,
memperbaiki sepeda, menyelesaikan masalah, atau memasak – perasaan mereka terhadap
industri meningkat. Meskipun demikian, orang tua yang menganggap usaha anak mereka
dalam menciptakan sesuatu itu sebagia “kenakalan” atau “membuat kekacauan” akan
memberikan rasa interioritas pada anak.
Dunia sosial anak di luar keluarga mereka pun berkontribusi terhadap rasa industri.
Sekolah menjadi sangat penting dalam hal ini. Misalkan saja anak-anak yang kecerdasannya
sedikit di bawah rata-rata. Anak-anak tersebut terlalu pandai bagi sekolah luar biasa namun
kurang cerdas untuk kelas anak-anak jenius. Anak-anak tersebut sering kali tidak bagus
nilainya, sehingga menimbulkan rasa inferioritas. Sebaliknya, perhatikan anak-anak yang
35 Erik H. Erikson, Childhood and Society, (Pustaka Pelajar, Yogyakarta: 2010), 306-308
-
58
rasa industrinya diciutkan di rumah. Guru-guru yang sensitif dan berkomitmen mungkin akan
membantu mengembalikan rasa industri tersebut di sekolah (Elkind, 1970).36
5. Remaja: Identitas versus kebingungan Peran
Menurut Matthew dalam teori erikson,tahap ini muncul antara usia 12 sampai 20
tahun, berkorelasi dengan tahap genital perkembangan psikoseksual Freud. Erikson menjadi
terkenal lantaran deskripsinya tentang tahap psikososial yang ini, persisnya karena di
dalamnya mengandung konsepnya yang paling terkenal, krisis identitas.
Erikson yakin tahap ini merepresentasikan periode transisi antara masa kanak-kanak
dan masa dewasa. Di tahap-tahap sebelumnya, anak belajar siapa diri mereka dan apa yang
dapat mereka lakukan, yaitu berbagai peran yang tersedia bagi mereka. Di tahap ini anak
harus hati-hati mempertimbangkan semua informasi yang sudah dikumpulkan tentang diri
dan masyarakat mereka, dan akhirnya mengikatkan diri mereka pada komitmen sejumlah
strategi untuk menjalani hidup. Meraih sebuah identitas namun bukan seperti yang sudah
dimilikinya. Erikson menyebut interval antara remaja sampai dewasa ini moratorium
psikososial. Erikson (1964) mendeskripsikan dengan gamblang apa persisnya periode antara
kanak-kanak dan dewasa ini seperti berikut:
Seperti pemain trapeze, anak muda berada di tengah gerakan yang berisiko,
melepaskan pegangannya terhadap kanak-kanak dan melompat untuk meraih suatu pegangan
yang kukuh di masa dewasa, bergantung interval napasnya antara masa lalu dan masa depan,
dan bergantung reliabilitas hal-hal yang harus dilepaskan dan orang-orang yang akan
‘menerima’ mereka di ujung sana. (hlm. 90).
Karena identigas adalah sebuah konsep yang sangat kompleks, ia menganggap
memang harus didekati dari banyak sudut.
36John W. Santrock, Life Span Development (Jakarta: Erlangga, 2012) p.364.
-
59
Jika seorang dewasa muda tidak meninggalkan tahap ini dengan sebuah identitas,
mereka akan meninggalkannya dengan sebuah kebingungan peran, bahkan mungkin dengan
sebuah identitas negatif. Kebingungan peran dicirikan oleh ketidakmampuan memilih suatu
peran di dalam hidup, karenanya memperpanjang moratorium psikologis hingga waktu tak
terhingga, atau melakukan sejumlah komitmen yang dibuat-buat yang segera ditinggalkannya
untuk membuat komitmen lain yang juga direka-reka. Sedangkan Erikson mendefinisikan
identitas negatif sebagai “identitas yang dibelokkan dari semua identifikasi dan peran yang,
di tahap kritis perkembangan, sudah dinilainya tidak diinginkan atau berbahaya namun
menjadi yang paling nyata untuk dikejarnya” (1959, hlm. 131).
Jika anak-anak muda muncul dari tahap ini dengan identitas positif lebih daripada
kebingungan peran atau identitas negatif, mereka juga akan muncul dengan kebajikan yang
disebut kesetiaan. Erikson mendefinisikan kesetiaan sebagai “kemampuan untuk
mempertahankan loyalitas dengan janji yang bebas diberikannya tak peduli kotnradiksi tak
terelakkan dari sistem-sistem nilai tertentu” (1964, hlm. 125).
Tahap-tahap yang mendahului tahap ini menyediakan bagi anak kualitas-kualitas di
mana sebuah identitas dapat diperoleh. Di tahap ini, seseorang harus mensintesis informasi
ini. Berkembangnya sebuah identitas menandai akhir dari masa kanak-kanak dan dimulainya
masa dewasa. Dari titik ini ke depan, hidup tak lebih dari bertindak sesuai identitas tersebut.
Sekarang karena seseorang ‘tahu siapa dirinya’, tugas di dalam hidup adalah
mengembangkan ‘diri’ itu seoptimal mungkin di sisa hidupnya.
Ideologi versus Totalisme. Ritualisasi yang terdapat di tahap ini adalah ideologi.
Remaja mencari sebuah ideologi yang dapat mensintesiskan semua perkembangan ego di
tahap-tahap perkembangan sebelumnya. Ideologi membangkitkan sebuah rancangan
-
60
permainan bagi hidup, ia memberikan makna hidupnya. Sebuah identitas tidak dapat muncul
sampai sebuah ideologi memampukan integrasi yang seperti itu. Sebuah ideologi yang dipilih
bisa bersifat religius, politis atau filosofis. Satu-satunya syarat adalah bertindak sesuai
ideologi ini lebih jauh entah dalam tujuan pribadi maupun budayanya.
Ritualisasi yang berlebihan atas ideologi akan menghasilkan ritualisme totalisme.
Totalisme melibatkan sebuah komitmen yang mutlak terhadap ideologi-ideologi yang terlalu
simplistik. Contohnya, para remaja mungkin menerima nilai-nilai yang disuarakan oleh
berbagai ‘pahlawan’ di pemujaan religius, kelompok musik, kultur narkoba, para atlet, para
gangster, aktor film, atau kelompok-kelompok politik. Menurut Erikson, ketika para remaja
terlalu mengidentifikasi diri dengan kelompok atau individu tersebut, ini karena sepertinya
mereka bisa menyediakan jawaban bagi pertanyaan-pertanyaan hidup yang paling mereka
rasakan sulit.
Penting untuk diingat bahwa menurut prinsip epigenetik, semua krisis muncul di
semua tahap perkembangan. Contohnya, krisis identitas eksis pada anak muda seperti juga
pada orang dewasa, namun yang membedakan adalah tingkat kematangannya mencari
resolusi. Karena alasan-alasan biologis, psikologis dan sosial, hanya di masa remaja krisis
identitas muncul di titik krisisnya.37
Menurut Laura Berk diambil dari teori Erikson: Identitas vs. Kegamangan Peran.
Erikson (1950, 1968) adalah orang pertama yang menganggap identitas (identity) sebagai
pencapaian pribadi utama di usia remaja dan sebagai langkah penting menuju sosok dewasa
yang produktif dan berguna. Pembentukan identitas melibatkan pendefinisian tentang siapa
diri Anda, apa yang Anda hargai, dan arah yang Anda pilihan dalam menjalani hidup.
37 Matthew H. Olson B.R. Hergenhahn, Pengantar Teori-Teori Kepribadian, Edisi Kedelapan (Pustaka Pelajar,
Yogyakarta: 2013), 298-301
-
61
Seorang pakar menggambarkan pembentukan identitas sebagai satu teori tegas tentang diri
sendiri sebagai satu teori tegas tentang diri sendiri sebagai agen rasional – pribadi yang
bertindak atas dasar alasan, bertanggung jawab atas tindakan tersebut, dan dapat
menjelaskannya (Moshman, 2005. Pencarian jati diri yang sebenarnya ini memunculkan
banyak pilihan – pekerjaan, hubungan antarpribadi, keterlibatan dalam masyarakat,
keanggotaan kelompok etnik, ekspresi orientasi seksual seseorang, dan cita-cita moral,
politik, dan keagamaan.
Meskipun benih pembentukan identitas sudah tertanam dari awal, remaja baru benar-
benar bergelut dengan tugas ini saat memasuki masa remaja akhir dan masa dewasa awal.
Menurut Erikson, dalam masyarakat yang kompleks, remaja mengalami krisis identitas
(identity crisis) – masa periode menderita sementara karena mereka bereksperimen dengan
banyak alternatif sebelum menetapkan pilihan nilai dan tujuan. Mereka melalui sebuah
proses pencarian batin, memilah-milah karakteristik yang mendefinisikan diri di masa
kanak-kanak dan memadukannya dengan watak, kemampuan, dan komitmen yang muncul.
Kemudian, mereka mematri semua watak ini menjadi sebuah inti batin yang memberikan
suatu identitas matang –rasa kesinambungan diri saat mereka melangkah melalui berbagai
peran dalam kehidupan sehari-hari. Setelah terbentuk, identitas terus disempurnakan di masa
dewasa saat orang menilai kembali komitmen dan pilihan terdahulu.
Erikson menyebut konflik psikologis di masa remaja sebagia konflik identitas vs.
kegamangan peran (identity versus role confusion). Bila konflik yang dihadapi oleh remaja
sebelumnya diselesaikan dalam cara negatif atau bila masyarakat membatasi pilihan mereka
pada pilihan-pilihan yang tidak sejalan dengan kemampuan dan kemauan mereka, mereka
terkesan picik, tanpa arah, dan tidak siap menghadapi tantangan masa dewasa.
-
62
Para teoretisi saat ini mengamini pendapat Erikson bahwa mempertanyakan nilai,
rencana, dan prioritas penting bagi identitas dewasa, tetapi mereka tidak lagi
menggambarkan proses ini sebagia sebuah “krisis” (Grotevant, 1998; Korger, 2005).
Kebanyakan anak muda tidak menganggap perkembangan identitas itu sebagai traumatis dan
mengganggu, melainkan sebagai sebuah proses eksplorasi (exploration) yang diikuti dengan
komitmen (commitment). Ketika remaja mencoba-coba segala peluang hidup, mereka
mengumpulkan informasi penting mengenai diri dan lingkungan mereka dan teurs
menlangkah mengambil keputusan-keputusan yang bertahan lama. Dalam melakukan hal itu,
mereka menempa sebuah struktur diri yang terorganisasi (Arnett, 2000, 2006; Moshman,
2005). Dalam bagian berikut, kita akan melihat bahwa remaja menjalankan tugas
pendefinisian diri dalam cara yang mirip dengan deskripsi Erikson.38
Menurut singgih gunarsa Kepribadian yang belum matang (immature
personality), pada masa ini. menurut pandangan Erik Erikson (Papalia et al., 1998), remaja
memasuki masa pencarian dan pembentukan identitas dir (self identity). Dalam hal ini
kepribadian remaja belum mencapai kematangan (immaturity). Menurut para ahli psikologi
perkembangan, pribadi yang tidak matang ditandai oleh sifat keragu-raguan (indecisiveness)
dalam mengambil sesuatu keputusan (Elkind dlm. Papalia et al., 1998), kurang percaya diri
atau harga diri rendah (Thomburg, 1982), kurang mampu mengontrol emosi dan perilaku
(Santrock, 1999). Keadaan ini memungkinkan remaja untuk mudah dipengaruhi hal-hal yang
positif maupun negatif oleh lingkungan eksternal. Bila ia memperoleh pengaruh positif, hal
ini akan menguntungkan bagi perkembangan kepribadiannya, misalnya mengembangkan
kegiatan ilmiah dalam Lomba Karya Ilmiah Remaja. Sebaliknya, ia pun akan dapat
38Laura E. Berk. Develepment Through The Lifespan. Buku 1 Edisi Kelima Transisi Menjelang Dewasa
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012) p.554
-
63
memperoleh pengaruh negatif, sehingga remaja akan mudah terjerumus pada tindakan yang
negatif pula, misalnya ikut terlibat dalam penyalahgunaan narkoba.39
Menurut Pan