HUKUM HINDU DALAM REALITA MASYARAKAT BALI

33
PENELITIAN MANDIRI KAEDAH DAN KONSEP HUKUM ADAT SEBAGAI CARA PENYELESAIAN SENGKETA OLEH : Prof. Dr. I NYOMAN SIRTHA, SH.,MS. PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS UDAYANA DESEMBER 2018

Transcript of HUKUM HINDU DALAM REALITA MASYARAKAT BALI

Page 1: HUKUM HINDU DALAM REALITA MASYARAKAT BALI

i

PENELITIAN MANDIRI

KAEDAH DAN KONSEP HUKUM ADAT

SEBAGAI CARA PENYELESAIAN SENGKETA

OLEH :

Prof. Dr. I NYOMAN SIRTHA, SH.,MS.

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS UDAYANA

DESEMBER 2018

Page 2: HUKUM HINDU DALAM REALITA MASYARAKAT BALI

ii

ABSTRAK

Di Indonesia akhir-akhir ini terjadi berbagai jenis konflik, yang dapat mengarah

pada kemerosotan tata nilai kehidupan bermasyarakat dan berbangsa. Konflik

yang terjadi dalam masyarakat, ada yang disebabkan oleh ketidak siapan

masyarakat menghadapi pesatnya perkembangan pariwisata dan arus globalisasi.

Selain itu, adanya gejala desintegrasi bangsa yang disebabkan oleh terjadinya

konflik internal yang berkepanjangan.

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis keberadaan masyarakat hukum adat,

mengetengahkan analisa mengenai potensi desa pakraman, menyajikan dinamika

konflik adat, mendeskripsikan penyelesaian sengketa menurut hukum adat serta

memberikan contoh kasus konflik tanah adat dan cara penyelesaiannya.

Penyelesaian konflik secara litigasi ada kalah menang sehingga menyisakan

penderitaan bagi yang kalah, bahkan putusan pengadilan yang sudah mempunyai

kekuatan hukum tetap ternyata ada yang tidak bisa dieksekusi, karean tidak sesuai

dengan perasaan keadilan masyarakat. Semangat perjuangan masyarakat adat

dalam penyelesaian konflik dengan pendekatan hukum adat berdasarkan prinsip

kepatutan, kerukunan, dan keselarasan bertujuan untuk mencapai harmonisasi

kehidupan bermasyarakat dan berbangsa menuju kehidupan yang adil, damai,

bahagia dan sejahtera bagi seluruh rakyat Indonesia, sesuai dengan nilai-nilai

luhur Pancasila, UUD 1945, MKRI, dan Bhineka Tunggal Ika.

Kata Kunci: Hukum adat, konflik adat, desa pakraman.

Page 3: HUKUM HINDU DALAM REALITA MASYARAKAT BALI

iii

DAFTAR ISI

JUDUL ............................................................................................................. i

ABSTRAK ....................................................................................................... ii

DAFTAR ISI .................................................................................................... iii

KATA PENGANTAR ..................................................................................... iv

BAB I PENDAHULUAN ........................................................................... 1

1.1 Latar Belakang.......................................................................... 1

1.2 Rumusan Masalah .................................................................... 3

1.3 Metodelogi Penelitian ............................................................... 3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA .................................................................. 7

2.1 Dimensi Hukum dan Kebudayaan (Law and Culture) ............. 7

2.2 Sanksi dalam Hukum ................................................................ 8

2.3 Sanksi Adat ............................................................................... 8

BAB III PEMBAHASAN .............................................................................. 10

3.1 Keberadaan Masyarakat Hukum Adat ...................................... 10

3.2 Potensi Desa Pakraman ............................................................ 15

3.3 Konflik Adat ............................................................................. 20

3.4 Penyelesaian Sengketa Menurut Hukum Adat ........................ 21

3.5 Kasus Konflik Tanah Adat dan Cara Penyelesaiannya ............ 23

BAB IV PENUTUP ....................................................................................... 26

Page 4: HUKUM HINDU DALAM REALITA MASYARAKAT BALI

iv

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami haturkan ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa karena atas

asung kertha wara nugraha-Nyalah penelitian ini dapat diselesaikan.

Penelitian ini dilakukan untuk menyajikan analisis mengenai eksistensi

masyarakat hukum adat, potensi desa pakraman di Bali, dinamika konflik adat,

penyelesaian sengketa menurut hukum adat serta contoh kasus konflik tanah adat

dan cara penyelesaiannya.

Kami menyadari bahwa penelitian ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu,

saran dan masukan dari pembaca amat kami harapkan

Denpasar, Desember 2018

Peneliti

Page 5: HUKUM HINDU DALAM REALITA MASYARAKAT BALI

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Keberadaan masyarakat hukum adat merupakan bagian dari

keberadaan Indonesia sebagai bangsa. Masyarakat hukum adat merupakan

unsur esensial masyarakat hukum Indonesia dalam lingkup Negara Kesatuan

Republik Indonesia (Nurtjahjo, 2010:2). Indonesia sebagai bangsa yang

majemuk yang terdiri dari berbagai suku bangsa dan agama, keberadaan

masyarakat hukum adat (seperti desa pakraman) memiliki nilai-nilai, norma,

dan hukum adat sendiri.

Konsep kebangsaan dilatarbelakangi oleh kesadaran para pendiri

bangsa akan keragaman bangsa Indonesia, yang terdiri dari berbagai ras,

suku, agama, dan ikatan primordial lainnya. Pengakuan para pendiri bangsa

diwujudkan dengan menetapkan semboyan Bhineka Tunggal Ika. Salah satu

bentuk keragaman adalah adanya masyarakat hukum adat (Mahfud, 2010:2).

Masyarakat hukum adat mempunyai cara-cara yang khas dalam

menyelesaikan konflik yang terjadi dalam masyatakat.

Masyarakat hukum adat atau “masyarakat adat” memiliki banyak

makna. Dalam konteks modern, adat berarti tradisi warisan yang bersifat

lokal yang menghubungkan sejarah, tanah, dan hukum, dengan otentisitas,

komunitas, ketertiban, dan keadilan. Solidaritas, kerjasama, dan stabilitas

merupakan ideal-ideal dari masyarakat adat yang memperhatikan

perlindungan hak milik bersama (Henley, 2010:26).

Masyarakat hukum adat sebagai pranata tradisional seperti nagari di

Minangkabau, desa di Jawa dan Bali. Di Bali dikenal dua istilah desa, yaitu

desa pakraman (desa adat) dan desa dinas yang mempunyai fungsi berbeda

dalam penyelenggaraan pemerintahan. Desa pakraman sebagai desa

Page 6: HUKUM HINDU DALAM REALITA MASYARAKAT BALI

2

tradisional mempunyai tugas berkaitan dengan urusan adat dan agama,

sedangkan desa dinas mempunyai tugas berkaitan dengan urusan administrasi

pemerintahan dibawah kecamatan.

Desa pakraman mempunyai kekayaan material dan imaterial seperti

tanah adat. Bagi masyarakat adat, tanah mempunyai nilai ekonomi, sosial,

dan religius. Tanah selain menjadi sumber kehidupan bagi masyarakat adat,

tetapi juga sebagai tempat untuk melakukan berbagai kegiatan sosial dan

keagamaan.

Masyarakat adat dewasa ini dilanda oleh arus globalisasi dan

pariwisata. Globalisasi merupakan fenomena yang didorong oleh kapitalisme

beserta nilai-nilai yang hidup pada negara-negara maju yang menyebar ke

negara-negara sedang berkembang dan meliputi segala aspek kehidupan,

seperti bidang ekonomi, politik, sosial, dan budaya. Negara-negara maju

mempunyai teknologi informasi, komunikasi, dan transportasi modern

sehingga mendorong mempercepat pengaruh globalisasi terhadap masyarakat

adat. Nilai-nilai baru yang berasal dari dunia maju telah merasuk ke dalam

kehidupan masyarakat adat, sehingga. antara nilai tradisi yang menjadi

identitas masyarakat adat, kini bergejolak dengan nilai-nilai modern, yang

memungkinkan terjadinya kontradiksi bahkan dapat melahirkan konflik.

Perkembangan nilai-nilai baru yang bercorak materialis menimbulkan

permasalahan bagi keberadaan nilai-nilai tradisioanl yang menjiwai

kehidupan masyarakat adat.

Perkembangan pariwisata di Bali yang membutuhkan lahan strategis

bagi pembangunan dan atraksi wisata sebagai daya tarik wisata menyebabkan

harga tanah semakin mahal. Tanah yang dibutuhkan dalam pembangunan

pariwisata tidak hanya tanah perorangan, tetapi juga tanah adat, sehingga

transaksi tanah adat dapat menjadi sumber konflik bagi kehidupan

masyarakat adat.

Page 7: HUKUM HINDU DALAM REALITA MASYARAKAT BALI

3

Dengan munculnya berbagai konflik adat dalam masyatakat, maka

perlu segera adanya upaya untuk menyelesaikannya secara adil dan

bijaksana, untuk mencegah terjadinya konflik berkepanjangan, yang

mengarah kepada perpecahan bangsa. Dengan pendekatan hukum adat yang

mengandung nilai kepatutan, kerukunan, dan keselarasan maka penyelesaian

konflik adat dilakukan secara non litigasi. Prajuru desa mempunyai peran

yang sangat besar dalam penyelesaian konflik adat secara demokratis

berdasarkan prinsip musyawarah mufakat, agar terwujud harmonisasi

kehidupan bermasyarak dan berbangsa, untuk mencapai keadilan, kedamaian,

kesejahteraan dan kebahagiaan masyarakat di tengah perkembangan dan

perubahan masyarakat yang sangat cepat.

1.2 Tujuan Penelitian

Tujuan ini bertujuan untuk menganalisis hal-hal sebagai berikut:

1. Menganalisis keberadaan masyarakat hukum adat

2. Mengetengahkan analisa mengenai potensi desa pakraman

3. Menyajikan dinamika konflik adat

4. Mendeskripsikan penyelesaian sengketa menurut hukum adat

5. Memberikan contoh kasus konflik tanah adat dan cara penyelesaiannya

1.3 Metodelogi Penelitian

1. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian sosio-legal yang meneliti

implementasi pengaturan hukum mengenai kaedah dan konsep hukum

adat sebagai cara penyelesaian sengketa. Penelitian sosio-legal berada

pada ranah hukum terapan dan bersifat interdisipliner yang

berkonsentrasi pada hukum yang nyata (law in action). (Hakim, 2016:

108)

Page 8: HUKUM HINDU DALAM REALITA MASYARAKAT BALI

4

Istilah socio-legal studies tidak dapat dilepaskan dari

perkembangan kajian tentang hukum dan masyarakat (law and society)

yang berkembang di tahun 1970–1980-an. (Lilis Mulyani, 2010: 48)

Studi sosio-legal tidaklah semata penelitian sosial tentang hukum,

melainkan kombinasi antara di satu sisi studi hukum (legal research) dan

di sisi lain studi tentang hukum (social studies of law) yang menjadikan

karakternya sebagai studi interdisipliner. (Wiratraman, 2016: 2)

2. Pendekatan Penelitian

Pendekatan sosio-legal mengadopsi baik metode kualitatif maupun

kuantitatif dari berbagai ilmu-ilmu sosial serta mencermati hukum sebagai

fenomena sosial yang karakter cakupan metodologisnya semakin sulit

untuk didefinisikan. Studi ini mencakup berbagai konteks disiplin ilmu di

bidang ilmu-ilmu sosial dan hukum serta mengkaitkan hukum dengan

dimensi sosiologis, politik dan ekonomi dari aktivitas manusia. Substansi

dari penelitian jenis ini kiranya dapat digambarkan sebagai apresiasi dari

hubungan-hubungan interdisipliner dan aplikasi berbagai perspektif

tersebut terhadap masalah yang sedang diteliti. (Hakim, 2016: 108)

Socio-legal juga tidaklah membatasi secara khusus metode yang

digunakan, terutama dalam kaitannya perspektif eksternal apa yang

hendak digunakan. Dalam studi ini, doktrin hukum, asas, prinsip,

penafsiran, serta logika dalam aturan (hirarki), tetap penting dipelajari

sebagai aspek yang tak terpisahkan dalam kajiannya untuk menjadikan

pemahaman perspektif internal hukum menjadi lebih lengkap dalam

mengurai masalah dan isu hukum yang sedang dikritisi. (Wiratraman,

2016: 8)

Page 9: HUKUM HINDU DALAM REALITA MASYARAKAT BALI

5

3. Sumber Bahan Hukum

Dalam penelitian ini, sumber bahan hukum dibedakan menjadi

bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder

Bahan hukum primer dalam penelitian ini meliputi sejumlah

instrumen hukum nasional, di antaranya :

a. Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar

Pokok-pokok Agraria.

b. Undang-undang Nomor 5 tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa

c. Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan

Daerah.

d. Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

e. Undang-undang Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa.

f. Peraturan Daerah Propinsi Bali Nomor 06 tahun 1986 tentang

Kedudukan, Fungsi Dan Peranan Desa Adat sebagai Kesatuan

Masyarakat Hukum Adat dalam Propinsi Daerah Tingkat I Bali.

g. Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 tahun 2001 tentang Desa

Pakraman.

Adapun bahan hukum sekunder dalam penelitian ini adalah

dokumen atau bahan-bahan yang memberikan penjelasan terhadap bahan

hukum primer seperti buku-buku, artikel, jurnal, hasil penelitian,

makalah dan bahan bacaan lainnya yang menunjang penelitian ini.

4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Bahan hukum primer, yakni peraturan perundang-undangan terkait

dikumpulkan melalui sumber-sumber resmi yang tersedia. Adapun bahan

hukum sekunder diperoleh melalui buku, jurnal dan makalah baik yang

berupa hard copy maupun berupa file yang didapatkan melalui

penelusuran internet.

Page 10: HUKUM HINDU DALAM REALITA MASYARAKAT BALI

6

5. Teknik Pengolahan dan Analisis Bahan Hukum

Bahan-bahan hukum yang telah dikumpulkan akan

diklasifikasikan. Selanjutnya, pembahasan dilakukan melalui penafsiran

tekstual dan kontekstual. Dengan demikian, kombinasi analisis bahan

hukum dan data akan bermuara pada kesimpulan mengenai kaedah dan

konsep hukum adat sebagai cara penyelesaian sengketa di Indonesia.

Page 11: HUKUM HINDU DALAM REALITA MASYARAKAT BALI

7

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Substansi pada bab ini dikutip dari Ni Gusti Ayu Dyah Satyawati et.al, 2018,

Harmonisasi Hukum Nasional dan Hukum Adat Dalam Perlindungan Warisan

Budaya Tak Benda di Provinsi Bali, Laporan Akhir, Penelitian Unggulan Program

Studi, Fakultas Hukum Universitas Udayana.

2.1 Dimensi Hukum dan Kebudayaan (Law and Culture)

Budaya memberikan pengaruh terhadap aturan-aturan yang mengatur

interaksi antar manusia. Hubungan hukum dan kebudayaan saling

mempengaruhi, aturan hukum mendapat pengaruh dari perkembangan budaya

yang ada di masyarakat. Di sisi lain aturran hukum memiliki peranan yang

sangat penting untuk memberikan perlindungan terhadap budaya ataupun

warisan budaya yang ada.

Menachem Mautner mengemukakan terdapat setidaknya 12 (duabelas)

pendekatan berkaitan mengenai hukum dan kebudayaan, yakni:

1. Hukum dan Antropologi (Law and Anthropology)

2. Pendekatan budaya hukum (Legal culture approach)

3. Pendekatan kesadaran hukum (Legal consciousness approach)

4. Pendekatan hukum dan budaya populer (Law and popular culture

approach)

5. Pendekatan yang memandang pada keterkaitan antara hukum dan

produksi artifak budaya (Approach that looks at the connection between

law and the production of cultural artifacts)

6. Hukum dan multikulturalisme (Law and multiculturalism)

7. Pendekatan yang memandang pada keterkaitan antara hukum dan budaya

dari perspektif cabang hukum tertentu atau doktrin (Approach that looks

at the connection between law and culture from the perspective of

particular legal branches or doctrines)

Page 12: HUKUM HINDU DALAM REALITA MASYARAKAT BALI

8

8. Hukum dan kebudayaan dalam hukum dan pembangungan (Law and

culture in law and development)

9. Hukum sebagai suatu sistem Autopoietic (Law as an Autopoietic System)

10. Kajian sejarah (Historical school)

11. Pendekatan konstitutif/perundang-undangan (Constitutive approach)

12. Pendekatan yang memandang hukum bahwa pengadilan membentuk dan

menerapkan suatu sistem budaya tertentu (Approach that views the law

that the courts create and apply as a distinct cultural system)

2.2 Sanksi dalam Hukum

Hampir setiap bidang hukum memiliki tipe sanksinya masing-masing,

sesuai dengan jenis pelanggaran hukumnya. Dalam isu yang bersifat

interdisipliner, beragam bentuk sanksi dapat diterapkan pada satu kasus

hukum tertentu. Hukum Pidana Adat misalnya, dapat mengetengahkan isu

hukum yang secara bersamaan memungkinkan pengenaan sanksi adat dan

sekaligus aspek pemidanaan. Peneliti menyadari bahwa terdapat jenis sanksi

lain, seperti misalnya sanksi pidana yang dapat dikenakan pada isu yang

sedang diteliti. Kendatipun demikian sanksi yang akan difokuskan dalam

penelitian ini hanya dibatasi pada potensi pengenaan sanksi adat dan juga

sanksi hukum administrasi, sesuai dengan latar belakang keilmuan peneliti.

2.3 Sanksi Adat

Sanksi adat adalah koreksi adat sebagai akibat adanya pelanggaran

untuk membetulkan hukum yang telah dilanggar itu. Sanksi adat merupakan

alat pemaksa yang digunakan oleh petugas hukum dalam hal ini Prajuru

Adat/Pakraman melalui Paruman Desa untuk mencapai perimbangan hukum

kembali. Jenis-jenis sanksi adat pada hukum adat Bali meliputi:

1. Prayascita, pemarisudhhan (upacara pembersihan desa adat);

2. Dedosan (Denda);

3. Mengaksama, lumaku,ngidih-olas (minta maaf);

4. Metirta Gemana/metirta yatra (sanksi adat untuk golongan pendeta);

5. Meselong (dibuang keluar kerajaan sampai ke luar Bali);

6. Merarung/mapulang kepasih (ditenggelamkan di laut);

Page 13: HUKUM HINDU DALAM REALITA MASYARAKAT BALI

9

7. Meblagbag (diikat);

8. Katundung (diusir);

9. Kerampag (barang miliknya dirampas);

10. Kasepekang (tidak diajak ngomong, tidak mendapat pemberitahuan

terhadap kegiatan masyarakat);

11. dll

Pada era dimana Desa Pakraman merupakan bagian dari Negara

Kesatuan Republik Indonesia, maka penerapan sanksi adat harus disesuaikan

dengan hukum nasional. Hal tersebut sesuai dengan ketentuan Pasal 18B ayat

92) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD

NRI Tahun 1945).

Page 14: HUKUM HINDU DALAM REALITA MASYARAKAT BALI

10

BAB III

PEMBAHASAN

3.1 Keberadaan Masyarakat Hukum Adat

Masyarakat hukum adat seperti desa pakraman di Bali menurut

peraturan perundang-undangan ada yang secara tegas mengakui

keberadaannya, namun sebaliknya ada pula peraturan yang

meminggirkannya.

Menurut penjelasan pasal 18 Undang Undang Dasart 1945 disebutkan

bahwa:

Dalam teritoir Negara Indonesia terdapat lebih kurang 250 Zelfbesturnde

landschappen dan Volksgemeenschapeen, seperti desa di Jawa dan Bali,

Nagari di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang dan sebagainya.

Daerah-daerah itu mempunyai susunan asli dan oleh karenanya dapat

dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa.

Pengertian desa yang dimaksud dalam penjelasan UUD 1945 terebut

adalah desa yang mempunyai susunan asli yang dianggap sebagai daerah

yang bersifat istimewa yakni desa dalam pengertian desa adat /desa

pakraman di Bali.

Peraturan yang menguatkan kedudukan masyarakat hukum adat antara

lain UU Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan dasar Pokok-pokok Agraria

yang mengakui keberadaan masyarakat hukum adat dan hak ulayat. Dalam

UUD Negara Republik Indonesia 1945 (hasil Amandemen !-IV) pasal 28 i

ayat (3) secara tegas menyatakan ”Identitas budaya dan hak masyarakat

tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban”.

Pada masa pemerintahan Orde Baru ada peraturan yang meminggirkan

keberadaan masyarakat hukum adat, seperti berlakunya Undang-undang No.

5 tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa, pada pasal 1 hurup a ditentukan

Page 15: HUKUM HINDU DALAM REALITA MASYARAKAT BALI

11

bahwa: Desa adalah suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk

sebagai kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai organisasi

pemerintahan terendah langsung di bawah camat dan berhak

menyelenggarakan rumah tangganya sendiri dalam ikatan Negara Kesatuan

Republik Indonesia. Undang-undang No. 5 tahun 1979 ternyata

mengukuhkan keberadaan desa dalam pengertian desa dinas dengan sebutan

“desa” saja, yang mempunyai hak untuk menyelenggarakan rumah tangganya

sendiri.

Pengertian desa menurut UUD 1945 dan menurut UU. No. 5 tahun

1979 ada perbedaan, yakni, UUD 1945 mengakui desa yang mempunyai

susunan asli sebagai desa, sedangkan UU No. 5 tahun 1979 mengakui desa

yang mempunyai organisasi pemerintahan terendah yang berada langsung di

bawah camat. UUD 1945 mengakui keanekaragaman daerah sesuai dengan

ciri khas masing-masing, sedangkan UU No 5 Tahun 1979 menyeragamkan

pemerintahan desa di seluruh Indonesia. Dengan demikian, desa pakraman

dan desa dinas berdasarkan peraturan perundang-undangan tersebut di atas,

sama-sama diakui keberadaannya, dan sama-sama mempunyai hak otonomi

untuk mengatur rumah tangganya sendiri.

Hubungan desa pakraman dan desa dinas dalam menyelenggakan

pemerintahan dapat terjadi hubungan yang harmonis, tetapi dapat juga terjadi

konflik. Kenyataan menunjukkan bahwa desa dinas sering menggunakan

fasilitas yang dimiliki oleh desa pakraman. Ketika lembaga-lembaga adat

dimanfaatkan oleh desa dinas, maka kedua desa dalam penyelenggaraan

pemerintahan tampak harmonis. Namun, kadang-kadang desa dinas lebih

dominan daripada desa pakraman dalam menyelenggarakan pembangunan

desa.

Dampak negatif keberadaan dua desa yang sama-sama mempunyai

otonomi untuk mengatur rumah tangganya sendiri, yakni ketika perhatian

Page 16: HUKUM HINDU DALAM REALITA MASYARAKAT BALI

12

pemerintah hanya menekankan pada kepentingan desa dinas saja, dan

sebaliknya desa pakraman terpinggirkan. Oleh karena itu asas keselarasan dan

kerukunan yang bersumber dari kehidupan bersama berubah menjadi

kehidupan yang berdasarkan kepentingan individual. Nilai-nilai luhur warisan

budaya bangsa yang tumbuh dan berkembang di bumi Indonesia terdesak

oleh nilai-nilai baru yang bersifat materialistis yang menjadi sumber konflik.

Dengan berlakunya Peraturan Daerah Provinsi Bali No. 06 tahun 1986

tentang Kedudukan, Fungsi dan Peranan Desa Adat dalam Provinsi Daerah

Tingkat I Bali, pada prinsipnya mengukuhkan keberadaan desa adat / desa

pakraman. Bahkan peraturan perundangan-undangan ada pula yang

memperhatikan keberadaan desa pakraman, seperti Peraturan Menteri Dalam

Negeri No. 3 Tahun 1997 tentang Pemberdayaan, Pelestarian, dan

Pengembangan Adat Istiadat, Kebiasaan–kebiasaan Masyarakat, dan

Lembaga Adat di daerah, juga memperhatikan nilai-nilai luhur warisan

budaya bangsa.

Menurut Pasal 1 huruf c Permendagri No. 3 tahun 1997 menentukan:

“bahwa adat istiadat adalah seperangkat nilai atau norma, kaedah, dan

keyakinan sosial yang tumbuh dan berkembang bersamaan dengan

pertumbuhan dan perkembangan masyarakat desa dan / atau satuan

masyarakat lainnya serta nilai atau norma lain yang masih dihayati dan

dipelihara masyarakat sebagaimana terwujud dalam berbagai pola kelakuan

yang merupakan kebiasaan-kebiasaan dalam kehidupan masyarakat

setempat”. Selanjutnya pada pasal 1 huruf d menentukan bahwa:

“Kebiasaan-kebiasaan dalam kehidupan masyarakat adalah pola-pola

kegiatan atau perbuatan yang dilakukan oleh para warga masyarakat, yang

merupakan sebuah kesatuan hukum tertentu yang pada dasarnya dapat

berumber pada hukum adat atau adat-istiadat sebagaimana diakui

keabsahannya oleh warga masyarakat tersebut dan oleh warga masyarakat

lainnya, dan masih berlaku dalam kehidupan masyarkakat tersebut”

Page 17: HUKUM HINDU DALAM REALITA MASYARAKAT BALI

13

Pasal 1 huruf e menentukan bahwa:

“Lembaga adat adalah sebuah organisasi kemasyarakatan, baik yang

sengaja dibentuk maupun yang secara wajar telah tumbuh dan

berkembang di dalam sejarah masyarakat yang bersangkutan atau di dalam

masyarakat hukum adat tertentu dengan wilayah hukum dan hak atas

harta kekayaan didalam wilayah hukum adat tersebut, serta berhak dan

berwenang untuk mengatur, mengurus dan menyelesaikan berbagai

permasalahan kehidupan yang berkaitan dengan dan mengacu pada adat

istiadat dan hukum adat yang berlaku”.

Adat istiadat, kebiasaan-kebiasaan, dan lembaga adat yang

dirumuskan dalam peraturan perundang-undangan di atas, diupayakan untuk

diberdayakan dan dilestarikan, serta dikembangkan agar berguna bagi

pembangunan Nasional. Pemberdayaan adat istiadat, kebiasaan-kebiasaan,

dan lembaga adat dimaksudkan agar kondisi dan keberadaannya dapat lestari

dan makin kukuh, sehingga hal itu berperan posisif dalam pembangunan

nasional dan berguna bagi masyarakat yang bersangkutan sesuai dengan

tingkat kemajuan dan perkembangan zaman.

Pelestarian adat istiadat, kebiasaan, dan lembaga adat berupaya untuk

menjaga dan memelihara nilai-nilai budaya masyarakat yang besangkutan,

terutama nilai-nilai etika, moral, dan adab yang merupakan inti adat istiadat,

kebiasan-kebiasaan dalam masyarakat dan lembaga adat agar keberadaannya

tetap terjaga dan berlanjut.

Pengembangan adat istiadat, kebiasaan, dan lembaga adat secara

terencana, terpadu dan terarah agar dapat berubah sehingga mampu

meningkatkan peranannya dalam pembangunan sesuai dengan perubahan

sosial dan budaya. Berdasarkan atas Peraturan Menteri No. 3 Tahun 1997

tersebut, desa pakraman sebagai lembaga adat diberdayakan dan dilestarikan

serta dikembangkan agar berperan positif dalam pembangunan sehingga

berguna bagi masyarakat, nusa dan bangsa. Dengan demikian, walaupun UU

No 5 tahun 1979 kurang memperhatikan keberadaan desa pakraman, namun

Page 18: HUKUM HINDU DALAM REALITA MASYARAKAT BALI

14

dengan berlakunya Peraturan Daerah Propinsi Bali Nomor 06 tahun 1986 dan

Peraturan Menteri No 3 tahun 1997 maka desa pakraman secara formal diakui

eksistensinya dan dapat berperan dalam pembangunan, khususnya dalam

menyelenggarakan pemerintahan desa dan dalam menyelesaikan konflik adat

yang terjadi dalam masyarakat.

Desa pakraman pada kenyataannya tetap eksis, telah terjadi beberapa

peraturan perundang-undangan yang mengukuhkan kedudukannya. Dengan

berlakunya UU.No. 22 tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah

menentukan bahwa desa sebagai kesatuan masyarakat hukum yang

mempunyai susunan asli berdasarkan hak asal usul yang bersifat istimewa,

seperti dimaksud dalam penjelasan pasal 18 UUD 1945 berhak mengatur

rumah tangganya sendiri. Pengaturan pemerintahan desa berlandaskan pada

keanekaragaman, partisipasi, otonomi asli, demokrasi, dan pemberdayaan

masyarakat.

UU No. 22 tahun 1999 kemudian digantikan dengan UU No. 32

tahun 2004 yang mengakui keberadaan desa pakraman sesuai dengan asal

usul dan adat-istiadat setempat, seperti ditentukan pada pasal 1 ayat 12 yang

berbunyi: desa atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut desa,

adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan untuk

mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-

usul dan adat-istiadat setempat yang diakui dalam sistem Pemerintahan

Nasional dan berada di Daerah Kabupaten”.

UU No. 32 tahun 2004 mengandung makna dihidupkannya kembali

nilai-nilai warisan budaya bangsa yang tumbuh dan berkembang di bumi

Indosesia sejak berabad-abad lamanya, dan telah membentuk kepribadian

bangsa Indonesia. Bagi beberapa daerah di Indonesia era berlakunya otonomi

daerah berarti kembali menata pemerintahan desa sesuai dengan kepribadian

bangsa yang selama ini telah terkubur oleh UU No. 5 tahun 1979. Bagi

Page 19: HUKUM HINDU DALAM REALITA MASYARAKAT BALI

15

Daerah Provinsi Bali dengan berlakukunya UU No. 32 Tahun 2004 berarti

desa pakraman berada pada pemantapan pelaksanaan dalam penyelenggaraan

pemerintahan desa yang sesuai dengan kepribadian bangsa.

Peraturan Daerah Provinsi Bali No. 3 Tahun 2001 tentang Desa

Pakraman yang disahkan pada tanggal 21 Maret 2001 dan diundangkan

tanggal 8 Mei 2001 menggantikan Peraturan Daerah Provinsi Bali No. 06

tahun 1986. Perda No.3 Tahun 2001 menggunakan istilah ”desa pakraman”

sebagai pengganti istilah ”desa adat”, namun substansinya sama, dan pada

prinsipnya tetap berpegang pada Falsafah Tri Hita Karana, yang mengandung

keseimbangan hubungan antara Sang Pencipta, manusia, dan alam.

3.2 Potensi Desa Pakraman

Potensi desa pakraman sesuai dengan Peraturan Daerah Provinsi Bali

No. 3 tahun 2001 tentang Desa Pakraman, meliputi berbagai aspek, yang

dapat diuraikan sebagai berikut.

1. Unsur-unsur desa pakraman:

Desa pakraman adalah kesatuan masyarakat hukum adat di Provinsi

Bali yang mempunyai satu kesatuan tradisi dan tata krama pergaulan

hidup masyarakat umat Hindu secara turun temurun dalam ikatan

kahyangan tiga atau kahyangan desa yang mempunyai wilayah

tetentu dan harta kekayaan sendiri serta berhak mengurus rumah

tangganya sendiri”

Unsur-unsur penting yang dimiliki desa pakraman antara lain;

adanya Kahyangan desa, adanya warga desa selaku umat Hindu,

wilayah tententu, kekayaan sendiri, dan otonomi asli. Desa pakraman

dalam menyelenggarakan pemerintahan desa berpedoman pada awig-

awig, baik awig-awig tidak tertulis maupun awig-awig tertulis yang

dibuat dan disahkan oleh warga desa adat di dalam paruman desa.

Page 20: HUKUM HINDU DALAM REALITA MASYARAKAT BALI

16

2. Tugas dan Kewenangan Desa Pakraman

Desa pakraman mempunyai tugas bersama-sama pemerintah

melaksanakan pembangunan disegala bidang terutama di bidang

keagamaan, kebudayaan, dan kemasyarakatan. Selain itu desa pakraman

mempunyai tugas membina dan mengembangkan nilai budaya Bali

dalam rangka memperkaya, melestarikan, dan mengembangkan

kebudayaan nasional pada umumnya dan kebudayaan daerah pada

khususnya, berdasarkan “paras paros, sagilik saguluk, salunglung

sabayantaka” (musyawarah mufakat).

Desa pakraman mempunyai wewenang menyelesaikan konflik

adat dalam lingkungan wilayahnya dengan tetap membina kerukunan

dan toleransi antar warga desa sesuai dengan awig-awig dan adat

kebiasaan setempat. Selain itu desa pakraman turut serta menentukan

setiap keputusan desa, sejak perencanaan sampai dengan pelaksanaan

pembangunan yang ada di wilayahnya.

Desa pakraman juga dapat melakukan perbuatan hukum di dalam

dan di luar desa. Hal itu menunjukan bahwa desa pakraman sebagai

subyek hukum bertanggung jawab penuh dalam mengayomi warganya.

3. Prajuru /pengurus Desa Pakraman

Prajuru/pengurus desa pakraman bersifat kolektif, yang terdiri

dari Bendesa (kepala), Penyarikan (skretaris), dan patengen (bendahara),

serta didampingi oleh perangkat desa lainnya. Pengurus desa dipilih dan

ditetapkan oleh warga desa dalam paruman desa. Struktur dan susunan

prajuru desa diatur dalam awig-awig. Prajuru desa selaku badan

eksekutif dalam penyelenggaraan pemerintahan desa berpedoman pada

awig-awig yang dibuat dan disahkan oleh warga desa. Oleh karena itu,

Page 21: HUKUM HINDU DALAM REALITA MASYARAKAT BALI

17

prajuru desa bertanggung jawab kepada warga desa, dan pertanggung

jawaban itu dikemukakan melalui paruman yang bersifat demokratis.

4. Harta Kekayaan Desa Pakraman

Harta kekayaan desa pakraman dalam bentuk harta bergerak dan

tidak bergerak, material dan immaterial, serta benda-benda religius

magis. Harta kekayaan desa selain berupa benda-benda nyata, ada pula

yang bersifat immaterial dan sosial religius. Hal itulah yang

menunjukkan adanya karakteristik desa pakraman yang bercorak sosial

religius dan komunalistik.

Pengelolaan harta kekayaan dilakukan oleh prajuru desa dan

setiap pengalihan/perubahan status harta kekayaan desa harus mendapat

persetujuan warga desa malului paruman. Oleh karena itu, warga desa

berfungsi selaku pengawas terhadap prajuru desa dalam pengelolaan

harta kekayaan desa. Pengelolaan dan pemanfaatan harta kekayaan

dimaksudkan untuk kepentingan upacara, pembangunan dan

kemakmuran warga desa.

Kekayaan desa yang berupa tanah adat, tidak dapat disertifikatkan

atas nama pribadi, melainkan atas nama lembaga, hal itu untuk mencegah

terjadinya penyalahgunaan sertifikat oleh para pejabat desa.

5. Awig-awig Desa Pakraman

Setiap desa pakraman mempunyaia wig-awig, baik yang tidak

tertulis maupun yang tertulis. Dewasa ini sebagian besar desa pakraman

telah menyuratkan awig-awig, yang dibuat dan disahkan oleh warga desa

melalui paruman, kemudian dicatatkan di kantor Bupati. Awig-awig desa

berbeda-beda antara desa yang satu dengan desa lainnya, yang

menunjukan ciri khas dari desa masing-masing. Namun setiap awig-

Page 22: HUKUM HINDU DALAM REALITA MASYARAKAT BALI

18

awig desa mengandung prinsip-prinsip Tri Hita Karana. Selain itu, setiap

awig-awig desa tidak boleh bertentangan dengan agama, Pancasila, UUD

1945, dan hak asasi manusia. Oleh karena itu, dalam menyusun awig-

awig berdasarkan sumber acuan yang pasti, antara lain berdasarkan nilai-

nilai yang hidup dalam masyarakat.

Mengingat awig-awig desa menjadi pedoman berperilaku bagi

warga desa, dan awig-awig itu mengandung keharusan dan larangan yang

mengikat seluruh warga desa, maka substansi awig-awig itu harus sesuai

dengan adat istiadat, kebiasaan-kebiasaan, dan nilai budaya masyarakat

desa yang bersangkutan.

Keefektifan bekerjanya awig-awig desa tergantung pada

pelaksananya yaitu prajuru desa. Awig-awig yang sederhana namun

dijalankan secara adil dan bijaksana, maka awig-awig itu mampu

mencapai tujuannya yaitu ketentraman dan ketertiban masyarakat.

Sebaliknya, walaupun awig-awig desa substansinya sudah cocok dengan

kepentingan masyarakat, disusun secara baik, lengkap, dan secara rinci

mengatur seluruh kebutuhan hidup masyarakat, tatapi jika prajuru desa

tidak tegas, adil, dan konsekuen melaksanakannya, maka awig-awig itu

akan sia-sia dan tidak dapat bekerja efektif.

6. Majelis Desa Pakraman

Hal-hal baru yang dipandang penting berkaitan dengan

kelembagaan, yaitu adanya Majelis Desa Pakraman (MDP) yang terdiri

dari: (1) Majelis Utama di ibu kota Provinsi, (2) Majelis Madya di

Kabupaten/Kota, dan (3) Majelis Alitan di Kecamatan. Di wilayah

Kecamatan dibentuk Paruman Alit, di dearah Kabupaten dibentuk

Paruman Madya, dan di Daerah Provinsi dibentuk Paruman Agung.

Page 23: HUKUM HINDU DALAM REALITA MASYARAKAT BALI

19

Pengurus majelis utama, majelis madya, dan majelis alitan dipilih oleh

peserta paruman masing-masing.

Majelis desa pakraman mempunyai tugas mengayomi adat-

istiadat dan melaksanakan penyuluhan adat istiadat. Wewenang majelis

desa pakraman ialah memusyawarahkan berbagai masalah adat dan

agama, dan sebagai penengah dalam menyelesaikan kasus-kasus yang

terjadi dalam masyarakat.

Majelis desa pakraman sebagai lembaga baru, telah

disosialisasikan kepada krama desa, agar memahami relevansinya dalam

penyelenggaraan pemerintahaan desa. Terbentuknya lembaga ini

diharapkan akan dapat mempercepat terwujudnya kesejahteraan

masyarakat. Selain itu, majelis ini diharapkan juga akan dapat menjadi

penengah dalam menyelesaikan konflik yang terjadi pada masyarakat

desa.

7. Pecalang

Pecalang mempunyai tugas menjaga keamanan dan ketertiban

desa, dalam hubungannya dengan pelaksanan adat dan agama. Mengingat

tugas pecalang sangat mulia, maka setiap desa pakraman menyiapkan

personalia pecalang yang tangguh, memiliki kekuatan jasmani dan

rohani, disiplin dan bertanggungjawab.

Pecalang dalam melaksanakan tugas menggunakan atribut yang

lengkap, sehingga tampak dengan jelas ciri-cirinya, antara lain warna

pakaian, yang terdiri dari tiga warna atau tridatu yaitu merah (simbul

Brahma yang berfungsi pencipta), hitam (simbul Wisnu berfungsi

sebagai pemelihara) dan putih (simbul Siwa berfungsi sebagai pelebur

kembali) yang melambangkan tiga kekuatan maha dasyat.

Page 24: HUKUM HINDU DALAM REALITA MASYARAKAT BALI

20

Persyaratan menjadi pecalang, tugas dan kewajibannya, dan

tanggung jawabnya secara tegas dipahami oleh pecalang, sehingga setiap

pecalang mempunyai tanggung jawab dan disiplin dalam melaksanakan

tugasnya dalam menjaga keamanan desa. Dengan adanya pecalang, desa

pakraman dengan hak otonominya diharapkan mampu menjaga

keamanan desanya, serta mewujudkan ketertiban dan ketenteraman

masyarakat desa.

3.3 Konflik Adat

Latar belakang terjadinya konflik adat, antara lain karena faktor

internal dan eksternal. Pesatnya perkembangan pariwisata di Bali

memerlukan lahan untuk pembangunan sarana dan prasarana pariwisata,

sehingga tanah-tanah yang strategis diincar oleh investor. Selain itu, Bali

sebagai pulau kecil dengan jumlah penduduk yang semakin padat

menyebabkan tanah semakin langka dan harga tanah semakin mahal. Ketika

warga masyarakat membutuhkan uang, mungkin untuk biaya pendidikan

anak-anaknya, maka saat itu tanah-tanah dijual. Penjualan tanah tidak terbatas

pada tanah perorangan saja, tetapi juga terjadi penjualan tanah adat.

Jenis-jenis tanah adat yang dikuasai oleh desa adat, antara lain tanah

duwe desa, tanah pekarangan desa, tanah ayahan desa, dan tanah laba pura.

Tanah duwe desa dapat berupa sawah dan tegalan yang dikelola oleh prajuru

desa dan hasilnya untuk mepentingan pembangunan dan kesejahteran

masyarakat desa. Tanah pekarangan desa, adalah tanah perumahan sebagai

tempat tinggal yang dibagikan oleh desa kepada warga desa.Tanah ayahan

desa adalah tanah berupa sawah atau tegalan yang diberikan oleh desa kepada

warga desa sebagai sumber penghidupannya. Tanah laba pura adalah tanah

berupa sawah atau tegalan yang diperuntukkan bagi pura, untuk biaya

Page 25: HUKUM HINDU DALAM REALITA MASYARAKAT BALI

21

pembangunan dan upacara. Warga desa yang mendapat hak atas tanah desa

mempunyai kewajiban terhadap kelangsungan kehidupan desanya.

Tanah adat pada prinsipnya tidak boleh dipindah tangankan atau

dijual. Namun, kenyataannya terjadi pelanggaran, sehingga menjadi sumber

konflik. Bentuk-bentuk konflik yang terjadi antara lain konflik perebutan hak

antara kelompok dengan desa, antara perorangan dengan desa, antara

perorangan dengan pengurus, bahkan antara masyarakat adat dengan orang

asing.

3.4 Penyelesaian Sengketa Menurut Hukum Adat

Menurut UUD 1945 pasal 33 disebutkan bahwa bumi, air, dan

kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan

dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Negara

mempunyai hak untuk menguasai sumber daya tanah, untuk melakukan

pengurusan dan pengelolaan, tetapi tidak melakukan pemilikan. Dengan

demikian Negara tidak dapat memiliki sumber daya tanah, karena itu semua

merupakan karunia Tuhan bagi seluruh Rakyat Indonesia.

Pada pasal 33 UUD 1945 terkandung hak dan kewajiban negara.

Pertama, negara menguasai bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung

didalamnya. Kedua negara berkewajiban agar kekayaan itu dipergunakan

untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Hak menguasai negara atas sumber daya alam dapat diartikan sebagai

keikutsertaan masyarakat secara hukum dalam pengelolaan, penguasaan, dan

pemanfaatan sumber daya alam yang berada diwilayahnya. Makna sebesar-

besarnya kemakmuran rakyat dalam perspektif hukum adat adalah sebagai

jaminan hukum atas hak sosial ekonomi rakyat agar dapat hidup yang layak

sebagai warga negara Indonesia.

Page 26: HUKUM HINDU DALAM REALITA MASYARAKAT BALI

22

Konsep hukum tanah nasional mengakui hak-hak masyarakat hukum

adat. Hak menguasai negara atas tanah sebagai pencerminan dari hak ulayat

dalam hukum adat. Namun dalam realita kehidupan masyarakat, nilai filosofis

pembentukan hukum agraria nasional tidak terlaksana secara efektif, bahkan

konflik bidang pertanahan merebak seiring sejalan dengan pesatnya arus

globalisasi dan pariwisata di Bali.

Penyelesaian konflik dibidang hukum pertanahan dapat didekati

dengan penerapan hukum agraria, hukum adat, dan hukum agama. Masing-

masing hukum itu dapat berperan dan bermakna dalam penyelesaian konflik

tanah. Dalam penyelesaian kasus dibidang hukum pertanahan ternyata dua

atau lebih sistem hukum dapat bekerja bersama-sama secara berdampingan

dalam suatu bidang kehidupan sosial yang sama dalam kelompok masyarakat.

Bila hanya menekankan hukum negara sebagai satu-satunya hukum

yang harus diterapkan dalam penyelesaian sengketa dibidang pertanahan

tentu tidak memadai. Dalam kenyataan kehidupan masyarakat khususnya

pada masyarakat Bali, selain hukum negara, ternyata hukum adat dan hukum

agama dapat berperan secara efektif.

Dalam kehidupan masyarakat Indonesia khususnya dalam

penyelesaian konflik bidang pertanahan, berlaku keanekaragaman hukum

(legal pluralism), yaitu selain berlaku hukum perundang-undangana (state

law) juga berlaku hukum yang hidup dalam masyarakat (non state law)

seperti hukum adat dan hukum agama yang dipertahankan sebagai pedoman

berperilaku. Hukum yang hidup mendominasi kehidupan masyarakat sendiri,

yang berupa kumpulan harapan normatif dan sebagai pedoman berperilaku.

Berlakunya sistem hukum yang beraneka ragam dianggap gejala

pluralisme hukum, yang mengacu pada adanya lebih dari satu sistem hukum

yang secara sama-sama berada dalam lapangan sosial yang sama. Dua atau

lebih sistem hukum bekerja secara berdampingan dalam suatu bidang

kehidupan sosial yang sama, atau untuk menjelaskan keberadaan dua atau

lebih sistem hukum (Griffiths, John: 1986).

Page 27: HUKUM HINDU DALAM REALITA MASYARAKAT BALI

23

Pandangan pluralisme hukum dapat menjelaskan hukum yang

beraneka ragam dapat berlaku secara bersama-sama dalam kehidupan

masyarakat. Melalui pandangan pluralisme hukum dapat diamati semua

sistem hukum beroperasi bersama-sama dalam kehidupan sehari-hari

(Selly.F.M.: 1988). Dalam kontek pembahasan kasus-kasus dalam bidang

pertanahan harus dipandang bahwa sistem hukum yang berlaku dalam

masyarakat saling menunjang yang satu dengan lainnya. Pengelolaan sumber

daya alam terutama tanah, selain berlaku hukum agraria juga berlaku hukum

adat dan hukum agama.

Menurut Lawrence M. Friedman (1994) dibedakan sistem hukum

menjadi tiga komponen, yaitu struktur, substansi, dan budaya hukum (legal

culture). Komponen struktur mencakup lembaga/institusi, seperti pengadilan

sebagai lembaga yang berwenang menerapkan hukum. Komponen substansi

adalah bentuk nyata yang dihasilkan oleh sistem hukum baik berupa norma,

doktrin, larangan, keharusan, sanksi, dan keabsahan hukum. Budaya hukum

mencakup sikap atau nilai-nilai dari masyarakat yang menentukan bekerjanya

sistem hukum yang bersangkutan. Budaya hukum memegang peranan penting

untuk mengarahkan perkembangan sistem hukum, yang berperngaruh

terhadap tingkah laku masyarakat, karena berkaitan dengan persepsi, nilai,

ide, dan pengharapan masyarakat terhadap hukum. Budaya hukum

menentukan bekerjanya sisrem hukum dalam masyarakat.

Dalam kehidupan nyata, orang bertidak sesuai dengan budaya hukum

yang berlaku dalam masyarakat. Orang tidak hanya harus patuh kepada

hukum nasional, tetapi juga memperhatikan aturan yang hidup dalam

masyarakat. Dalam penyelesaian konflik tanah adat, masyarakat tidak hanya

menggunakan hukum agraria, tetapi juga hukum yang hidup dalam

masyarakat, seperti hukum adat dan hukum agama.

Page 28: HUKUM HINDU DALAM REALITA MASYARAKAT BALI

24

3.5 Kasus Konflik Tanah Adat dan Cara Penyelesaiannya

Untuk dapat memahami berlakunya hukum dalam kehidupan

masyarakat, dapat diketahui dari penerapan hukum dalam penyelesaian

konflik. Uraian berikut menggambarkan jenis hukum yang diterapkan dalam

penyelesaian konflik tanah adat. Dalam tulisan ini, konflik adat bidang

pertanahan dianalisis dengan pendekatan pluralisme hukum, baik dengan

pendekatan hukum agraria, hukum adat, bahkan hukum agama, dengan tujuan

untuk menemukan makna sosial dari hukum masing-masing.

Konflik antara investor dengan Pengurus Pura di Kelurahan Intaran

Sanur. Investor PT Restu Maharani mempunyai Hak Guna Bangunan selama

30 tahun sampai tahun 2026 di Kelurahan Intaran Sanur. Diatas Hak Guna

Bangunan (HGB) itu ada dua buah pura yaitu Pura Sambiyangan dan Pura

Ketapang Kembar yang di empon (diurus) oleh keluarga I Gusti Ketut

Suparta. Fungsi pura sebagai “penepi siring” (pagar pantai).

Ketika investor melakukan pembangunan, kedua pura yang berada

diatas tanah dengan HGB tersebut dibongkar tanpa sepengetahuan

pengempon pura. Pengempon pura sangat keberatan atas pembongkaran pura

tanpa sepengetahuannya, sehingga terjadi konflik antara investor dengan

pengurus pura.

Upaya penyelesaian konflik dilakukan secara non litigasi melalui

mediasi atau penyelesaian konflik secara alternatif yang dilakukan diluar

pengadilan. Sebagai mediator adalah Bendesa Adat Intaran, yang bertugas

untuk mempertemukan Pengempon Pura dengan investor. Pada rapat yang

dipimpin oleh Bendesa Adat, terjadi musyawarah yang melahirkan mufakat

antara investor dengan pengurus pura.

Page 29: HUKUM HINDU DALAM REALITA MASYARAKAT BALI

25

Adapun hasil kesefakatan kedua pihak adalah sebagai berikut:

1. Pihak investor setuju pembangunan pura Sambiyangan yang ditempatkan

pada tempat yang baru, yaitu berlokasi di Timur Laut dengan ukuran

12,5 x 21 m di jalan Kusuma Sari.

2. Pihak investor setuju membiayai seluruh pembangunan pura dengan

bahan batu karang laut serta seluruh biaya upakara. Pelaksanaan

pembangunan diserahkan kepada Bendesa Adat Intaran, prajuru banjar,

dan pengempon pura.

3. Pura Ketapang Kembar dilestarikan, diberikan akses masuk sesuai

dengan situasi dan kondisi lingkungan pura.

Dalam proses penyelesaian konflik antara investor dengan pengempon

pura, Bendesa Adat Intaran selaku mediator telah memegang peranan yang

sangat penting, dengan memperhatikan kepentingan kedua belah pihak secara

adil. Pihak investor yang sudah memiliki Hak Guna Bangunan dapat

meneruskan pembangunan dengan syarat investor membangun kembali pura

yang sudah dibongkarnya dengan kualitas bangunan yang sejenis, serta

menanggung biaya upacaranya.

Penyelesaian konflik secara mediasi sesuai dengan cara penyelesaian

konflik menurut hukum adat dan hukum Agama Hindu bertujuan untuk

mewujudkan kedamaian. Walaupun pengempon pura semula sangat

keberatan terhadap pembongkaran pura sebagai tempat suci, namun kerena

pendekatan Bendesa Adat Intaran selaku mediator yang memperhatikan

kepentingan kedua pihak, akhirnya terjadi kesepakatan untuk mengakhiri

konflik tersebut.

Pendekatan prinsip masyarakat adat yang digunakan untuk

menyelesiakan konflik adat secara non litigasi dengan menerapkan hukum

adat berdasarkan prinsip kepatutan, kerukunan, dan keselarasan (harmoni).

Akhirnya diperolah hasil bahwa hukum adat dan hukum Agama Hindu

bermakna sosial dalam menyelesaikan konflik adat yang berkaitan dengan

kesucian pura sebagai tempat bersembahyang bagi umatnya.

Page 30: HUKUM HINDU DALAM REALITA MASYARAKAT BALI

26

BAB IV

PENUTUP

Peraturan perundangan-undangan secara formal mengakui keberadaan

kesatuan masyarakat hukum adat (desa pakraman) sebagai bagian dari keberadaan

Indonesia sebagai suatu bangsa yang majemuk. Negara melindungi segala hak-

hak masyarakat atas bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya,

serta mencegah segala tindakan yang menyebabkan masyarakat hukum adat tidak

mempunyai kesempatan dalam memanfaatkan kekayaan alam.

Dalam dinamika kehidupan masyarakat adat pada zaman modern,

kenyataan menunjukkan bahwa terjadi berbagai jenis konflik adat dalam konteks

perebutan sumber daya alam. Terjadinya konflik disebabkan oleh pengaruh

globalisasi terutama dalam kaitannya dengan perkembangan pariwisata dan

globalisasi.

Pendekatan hukum adat dalam penyelesaian konflik secara non litigasi

ada win win solution, sehingga terjadi harmonisasi bagi para pihak. Penyelesaian

konflik dengan pendekatan hukum adat yang berasaskan pada kepatutan,

kerukunan, dan keselarasan dapat mencegah terjadinya konflik berkepanjangan,

dan terwujud harmonisasi masyarakat. Harmonisasi kehidupan bermasyarakat

dan berbangsa, bermakna untuk mewujudkan cita-cita perjuangan bangsa

Indonesia yang dijiwai oleh nilai-nilai luhur Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan

Bhineka Tunggal Ika.

Page 31: HUKUM HINDU DALAM REALITA MASYARAKAT BALI

27

DAFTAR BACAAN

I. Buku

Bappeda Tingkat I Bali, 1991, Potensi Desa Adat di Bali, Denpasar.

Chatra, Emeraldy, 1999, Adat Selingkar Desa, Pengantar Alfan Miko, Padang:

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik & Pusat Studi Pembangunan dan

Perubahan Sosial Budaya Unand.

Dherana, Tjokorda Raka, 1984, Garis-garis Besar Pedoman Penulisan Awig-awig

Desa Adat, Denpasar: Lembaga Adat dan Pengembangan Museum

Subak.

, 1995, Desa Adat dan Awig-awig dalam Struktur Pemerintahan Bali,

Denpasar: Upada Sastra.

Fakultas Hukum dan Pengetahuan Masyarakat, 1979, Laporan Pembinaan Desa

Adat di Bali, Denpasar: FHPM UNUD.

Friedman, Laurence, M. 1977, The Legal System: A Social Sience Perspective,

Russel Sage Foundation, New York.

Griffiths, John.1986. “What is Legal Pluralism” dalam Jurnal of Legal Pluralism,

Number.

Henley. David dan Jamie Davidson, 2010, “Konservatisme radikal Aneka wajah

politik adat” dalam Adat Dalam Politik Indonesia, Jakarta: Yayasan

Pustaka Obor Indonesia.

Hooker, M.B, 1975. “Legal Pluralism An Introduction to Colonial and Neo-

colonial Laws”. London: Oxford University Press.

Kaler, I Gusti Ketut, 1983, Butir-butir Tercecer Tentang Adat Bali, Denpasar: Bali

Agung.

Koesnoe, H. Moh, 1992, Hukum Adat sebagai Suatu Model Hukum Bagian I

(Historis), Jakarta: Bandar Maju.

Mahfud, MD.Moh, 2010, Revitalisasi Masyarakat Hukum Adat Dalam Kerangka

UUD 1945 Menyongsong Globalisasi, Jakarta: Mahkamah Konstitusi

Republik Indonesia;

Majelis Pembinaan Lembaga Adat, 1991, Desa Adat Pusat Pembinaan

Kebudayaan Bali, Denpasar: Proyek Pemantapan Lembaga Adat.

Page 32: HUKUM HINDU DALAM REALITA MASYARAKAT BALI

28

, 1993, Desa Adat dan Kepariwisataan di Bali, Denpasar: MPLA Daerah

Tingkat I Bali.

Nurtjahjo, Hendra dan Fokky Fuad, 2010, Legal Standing Kesatuan Masyarakat

Hukum Adat, dalam Berperkara di Mahkamah Konstitusi, Jakarta:

Salemba Humanika.

Pudja, G dan Tjokorda Rai Sudharta,1973. Manawa Dharmasastra (Manu

Dharmasastra) atau Weda Smrti Compendium Hukum Hindu.

Selly F.M. 1988.”Legal Pluralism” dalam Law Society Review, Vol 22.

Suasthawa Dharmayuda. I Made, 2001. Desa Adat Kesatuan Masyarakat

Hukum di Provinsi Bali, Denpasar: Upada Sastra.

Ter Haar, B. Bzn, 1960, Asas-asas dan Susunan Hukum Adat (Beginselen en

Atelsel vab Het Adatrecht), terjemahan K. Mg. Soebakti Poesponoto,

Jakarta: Pradnya Paramita.

II. Jurnal, Makalah, Penelitian

Hakim, Muhammad Helmy, 2016, Pergeseran Orientasi Penelitian Hukum: Dari

Doktrinal Ke Sosio-Legal, SYARIAH Jurnal Hukum dan Pemikiran, Volume 16,

Nomor 2.

Mulyani, Lilis, 2010, Pendekatan Sosial Dalam Penelitian Hukum, Jurnal

Masyarakat & Budaya, Edisi Khusus.

Satyawati, Ni Gusti Ayu Dyah et.al, 2018, Harmonisasi Hukum Nasional dan Hukum

Adat Dalam Perlindungan Warisan Budaya Tak Benda di Provinsi Bali, Laporan

Akhir, Penelitian Unggulan Program Studi, Fakultas Hukum Universitas Udayana.

Wiratraman, Herlambang P. 2016. “Studi Sosio-Legal Sebagai Studi

Interdisipliner”. Makalah untuk Pelatihan Sosio-Legal, Fakultas Hukum

Universitas Pancasila dan Epistema Institute, Jakarta, 5 April 2016

III. Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok

Agraria.

Undang-undang Nomor 5 tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa

Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah.

Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

Page 33: HUKUM HINDU DALAM REALITA MASYARAKAT BALI

29

Undang-undang Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa.

Peraturan Daerah Propinsi Bali Nomor 06 tahun 1986 tentang Kedudukan, Fungsi

Dan Peranan Desa Adat sebagai Kesatuan Masyarakat Hukum Adat

dalam Propinsi Daerah Tingkat I Bali.

Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 tahun 2001 tentang Desa Pakraman.