ANTARA HARAPAN DAN REALITA: IMPLEMENTASI KEBIJAKAN ...

14
Antara Harapan dan Realita: Implementasi Kebijakan Organisasi Perangkat Daerah :: Zulpikar dan Haris Faozan 230 Jurnal Ilmu Administrasi Volume VII No. 3 September 2010 A. LATAR BELAKANG Organisasi Perangkat Daerah yang efektif, efisien dan rasional merupakan salah satu pilar dalam menapaki reformasi penyelenggaraan pemerintahan daerah. Atas dasar itulah, Peraturan Pemerintah (PP) No. 41 Tahun 2007 ditetapkan sebagai pengganti PP No. 84 Tahun 2000 dan PP No. 8 Tahun 2003 tentang Organisasi Perangkat Daerah. Penggantian kedua PP dimaksud, karena dianggap tidak memenuhi harapan antara Pemerintah dan Daerah, dimana terjadi berbagai permasalahan sejak ditetapkannya kebijakan tersebut. Penerapan PP No. 84 Tahun 2000 menyebabkan kurang harmonisnya hubungan kerja pemerintahan antara Provinsi dan Kabupaten/Kota (antara lain disebabkan intepretasi dari pasal 4 ayat 2 UU No. 22 Tahun 1999) 1 dan pembentukan organisasi perangkat daerah yang cenderung gemuk, karena di dalam PP No. 84 Tahun 2000, tidak ada kriteria yang jelas dan tegas sebagai parameter dan indikator yang dapat dijadikan pedoman. Fenomena tersebut, menjadi pertimbangan Pemerintah untk menetapkan PP No. 8 Tahun 2003 tentang Pedoman Organisasi Perangkat Daerah sebagai upaya penyempurnaan dan sekaligus pengganti PP No. 84 Tahun 2000. Dalam PP No. 8 Tahun 2003, selain ditetapkan pertimbangan pembentukan (pasal 2 ayat 1), juga ditetapkan kriteria pembentukan (pasal 3) dan kejelasan struktur/ besaran organisasi (pasal 15 dan 16). Pada Tabel 1 berikut, pengaturan besaran dan/susunan organisasi perangkat daerah (OPD) berdasarkan PP 8 Tahun 2003, yaitu: ANTARA HARAPAN DAN REALITA: IMPLEMENTASI KEBIJAKAN ORGANISASI PERANGKAT DAERAH Zulpikar; Haris Faozan PKP2A I Lembaga Administrasi Negara, Jl. Kiara Payung, Sumedang Telp. (022) 7790044, Fax. (022) 7790055 Email: [email protected] Expectation and Reality: Implementation of Government Regulation Number 41 Year 2007 on Local Government Agencies Abstract This study intends to describe the policy performance of the Government Regulation Number 41 Year 2007 on Local Government Agencies through five indicators: effectiveness, efficiency, sufficiency, accuracy, and responsiveness. This is a descriptive case study conducted in the District of Konawe and the Muncipality of Kendari. Primary data are collected through open and closed questions, whereas the secondary ones are collected from some relevant documents. Every head of Local Government Agencies in each locus becomes the respondents of this research. Data are analyzed by triangulation method, and the results are measured by the achievement level of policy implementation based on five indicators above. After that, all results are categorized into three levels: Low Level (ranging from 0 to 1.00), Modest Level (ranging from 1.01 to 2.00), and High Level (ranging from 2.01 to 3.00). This study shows that the achievement level of policy performance in the District of Konawe and Muncipality of Kendari lies at the Modest Level. Furthermore, the study reveals some critical issues in the implementation of the policy: need for surveillance program from central government, political interests, administrative constraints, lack of resources (financial, apparatus, infrastructure), and cultural constrictions. To solve the problems, collaboration among central, provincial and local governments becomes a necessity in aligning the policy. Keywords: local government, policy performance, regional apparatus organization. 1. Daerah-daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), masing-masing berdiri sendiri dan tidak mempunyai hubungan hierarki satu sama lain. Selanjutnya dalam penjelasan pasal 4(2) bahwa Daerah Propinsi tidak membawahkan Daerah Kabupaten dan Daerah Kota. Tabel 1: Besaran Organisasi Perangkat Daerah Berdasarkan PP No. 8 Tahun 2003 Perangkat Daerah 1. Sekretariat Daerah 2. Asisten Sekretaris Daerah 3. Dinas Daerah 4. Lembaga Teknis Daerah 5. Kecamatan 6. Satuan Polisi Pamong Praja Kab/Kota 1 3 14 8 - 1 Pengaturan sebagaimana Tabel 1 menjadi ketetapan bagi setiap Pemerintah Daerah dalam membentuk OPD. Jika dibandingkan antara OPD yang dibentuk berdasarkan PP No. 84/2000 dengan PP No. 8/2003, diketahui terjadinya fenomena proliferasi (peningkatan besaran organisasi) perangkat daerah yang disinyalir berbagai pihak terjadi di Daerah. Disamping itu, masih terdapat

Transcript of ANTARA HARAPAN DAN REALITA: IMPLEMENTASI KEBIJAKAN ...

Page 1: ANTARA HARAPAN DAN REALITA: IMPLEMENTASI KEBIJAKAN ...

Antara Harapan dan Realita: Implementasi Kebijakan Organisasi Perangkat Daerah

:: Zulpikar dan Haris Faozan

230 Jurnal Ilmu Administrasi Volume VII No. 3 September 2010

A. LATAR BELAKANGOrganisasi Perangkat Daerah yang efektif, efisien

dan rasional merupakan salah satu pilar dalammenapaki reformasi penyelenggaraan pemerintahandaerah. Atas dasar itulah, Peraturan Pemerintah (PP)No. 41 Tahun 2007 ditetapkan sebagai pengganti PPNo. 84 Tahun 2000 dan PP No. 8 Tahun 2003 tentangOrganisasi Perangkat Daerah. Penggantian kedua PPdimaksud, karena dianggap tidak memenuhiharapan antara Pemerintah dan Daerah, dimanaterjadi berbagai permasalahan sejak ditetapkannyakebijakan tersebut.

Penerapan PP No. 84 Tahun 2000 menyebabkankurang harmonisnya hubungan kerja pemerintahanantara Provinsi dan Kabupaten/Kota (antara laindisebabkan intepretasi dari pasal 4 ayat 2 UU No. 22Tahun 1999)1 dan pembentukan organisasi perangkatdaerah yang cenderung gemuk, karena di dalam PPNo. 84 Tahun 2000, tidak ada kriteria yang jelas dantegas sebagai parameter dan indikator yang dapatdijadikan pedoman.

Fenomena tersebut, menjadi pertimbanganPemerintah untk menetapkan PP No. 8 Tahun 2003tentang Pedoman Organisasi Perangkat Daerahsebagai upaya penyempurnaan dan sekaliguspengganti PP No. 84 Tahun 2000. Dalam PP No. 8Tahun 2003, selain ditetapkan pertimbangan

pembentukan (pasal 2 ayat 1), juga ditetapkan kriteriapembentukan (pasal 3) dan kejelasan struktur/besaran organisasi (pasal 15 dan 16). Pada Tabel 1berikut, pengaturan besaran dan/susunan organisasiperangkat daerah (OPD) berdasarkan PP 8 Tahun2003, yaitu:

ANTARA HARAPAN DAN REALITA:IMPLEMENTASI KEBIJAKAN ORGANISASI PERANGKAT DAERAH

Zulpikar; Haris FaozanPKP2A I Lembaga Administrasi Negara, Jl. Kiara Payung, Sumedang

Telp. (022) 7790044, Fax. (022) 7790055Email: [email protected]

Expectation and Reality: Implementation of Government Regulation Number 41 Year 2007 on LocalGovernment Agencies

AbstractThis study intends to describe the policy performance of the Government Regulation Number 41 Year 2007 on Local

Government Agencies through five indicators: effectiveness, efficiency, sufficiency, accuracy, and responsiveness.This is a descriptive case study conducted in the District of Konawe and the Muncipality of Kendari. Primary data are

collected through open and closed questions, whereas the secondary ones are collected from some relevant documents. Everyhead of Local Government Agencies in each locus becomes the respondents of this research. Data are analyzed by triangulationmethod, and the results are measured by the achievement level of policy implementation based on five indicators above. Afterthat, all results are categorized into three levels: Low Level (ranging from 0 to 1.00), Modest Level (ranging from 1.01 to 2.00),and High Level (ranging from 2.01 to 3.00).

This study shows that the achievement level of policy performance in the District of Konawe and Muncipality of Kendari liesat the Modest Level. Furthermore, the study reveals some critical issues in the implementation of the policy: need for surveillanceprogram from central government, political interests, administrative constraints, lack of resources (financial, apparatus,infrastructure), and cultural constrictions. To solve the problems, collaboration among central, provincial and local governmentsbecomes a necessity in aligning the policy.

Keywords: local government, policy performance, regional apparatus organization.

1. Daerah-daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), masing-masing berdiri sendiri dan tidak mempunyai hubungan hierarki satu sama

lain. Selanjutnya dalam penjelasan pasal 4(2) bahwa Daerah Propinsi tidak membawahkan Daerah Kabupaten dan Daerah Kota.

Tabel 1: Besaran Organisasi Perangkat DaerahBerdasarkan PP No. 8 Tahun 2003

Perangkat Daerah

1. Sekretariat Daerah2. Asisten Sekretaris Daerah3. Dinas Daerah4. Lembaga Teknis Daerah5. Kecamatan6. Satuan Polisi Pamong Praja

Kab/Kota

13148-

1

Pengaturan sebagaimana Tabel 1 menjadiketetapan bagi setiap Pemerintah Daerah dalammembentuk OPD. Jika dibandingkan antara OPDyang dibentuk berdasarkan PP No. 84/2000 denganPP No. 8/2003, diketahui terjadinya fenomenaproliferasi (peningkatan besaran organisasi)perangkat daerah yang disinyalir berbagai pihakterjadi di Daerah. Disamping itu, masih terdapat

Page 2: ANTARA HARAPAN DAN REALITA: IMPLEMENTASI KEBIJAKAN ...

Antara Harapan dan Realita: Implementasi Kebijakan Organisasi Perangkat Daerah

:: Zulpikar dan Haris Faozan

231Jurnal Ilmu Administrasi Volume VII No. 3 September 2010

suatu keputusan perlu diikuti langkah tindakanpelaksanaan yang bersasaran untuk mencapaitujuan yang dimaksudkan.

Kebijakan sebagai suatu konsep meliputi beberapahal sebagai berikut:a) Ketetapan, suatu kebijakan di dalamnya

mengandung ketentuan-ketentuan tertentu yangmemiliki pengaruh mengikat baik ke dalammaupun keluar dari pembuat kebijakan.

b) Maksud, adanya kebijakan adalah untukmencapai tujuan-tujuan tertentu atau mengatasipermasalahan tertentu.

c) Keputusan, untuk melakukan atau pun untuktidak melakukan sesuatu.

d) Suatu proses pelaksanaan dari apa yang telahditetapkan.

Berkaitan dengan hal itu, Mustopadidjaja (1992)menyatakan bahwa masalah “dengan atau tanpa”pelaksanaan, suatu keputusan agar dapat disebutsebagai suatu kebijakan, perlu dilihat dalam konteks“sistem kebijakan” yang lebih luas, seperti tingkatketerlibatan organisasi pengambil keputusan dalamproses pelaksanaan kebijakannya. Khusus dalamkaitannya dengan konsep kebijakan publik, makarumusan definisi tersebut dilengkapi bahwakeputusan dimaksud diambil oleh pemerintahsebagai pihak yang berwenang dalam rangkapenyelenggaraan pemerintahan negara danpembangunan.

Adapun bentuk keputusan yang diterbitkan suatuorganisasi, lazimnya dituangkan secara formal dalamberbagai bentuk “aturan/ketentuan perundangan”sehingga dengan demikian mempunyai kekuatanhukum yang mengikat baik terhadap obyek maupunsubyek kebijakan. Kebijakan tersebut tersusunberdasarkan strata tertentu sesuai dengan hirarkiatau posisi dan kewenangan yang dimiliki organisasiatau unit organisasi yang menerbitkannya.

Hal ini selaras dengan Jones (1996) yangmenyatakan bahwa kebijakan publik merujuk padaunsur-unsur formal atau ekspresi-ekspresi legal dariprogram-program atau keputusan. Oleh karenanyadapat kita jumpai kebijakan dalam bentuk legislasi,hukum, anggaran, perintah-perintah eksekutif,peraturan-peraturan serta opini-opini absah yangditerbitkan organisasi. Sehubungan dengan hal itu,dapat dipahami apabila House & Coleman (1980)mengartikan kebijakan sebagai “a governmentprinciple, plan, or course of action as a series of goal orientedactivities”. Hal ini mengandung makna bahwarencana, program, proyek, maupun berbagaikeputusan lain yang diterbitkan pemerintah termasukdi dalamnya Undang-undang, PeraturanPemerintah, Peraturan Pemerintah PenggantiUndang-undang, Keputusan Presiden, InstruksiPresiden, Keputusan Menteri, Peraturan Daerah danproduk perundangan lainnya dapat diartikan secaraumum sebagai Kebijakan.

sejumlah permasalahan dalam penerapan PP No. 8Tahun 2003, sebagaimana temuan yang didapat darihasil kajian Kementerian Negara PendayagunaanAparatur Negara pada tahun 2005 yang berjudulEvaluasi Kelembagaan Perangkat Daerah, dengan 11sampel penelitian di Pemerintah Provinsi dan pada14 sampel Kabupaten/Kota, bahwa:a) Kondisi existing kelembagaan perangkat daerah

yang besar sebagai dampak pelaksanaanPeraturan Pemerintah Nomor 84 Tahun 2000 danpenerapan otonomi menyulitkan untukmenerapkan Peraturan Pemerintah Nomor 8Tahun 2003;

b) Penataan kelembagaan perangkat daerahberdampak pada penataan pegawai. Dalampenerapan Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun2003 berdampak pada terjadinya rasionalisasipegawai dan hilangnya jabatan struktural, akantetapi ternyata hal ini tidak diantisipasi olehPemerintah sehingga di daerah terjadi chaos, dantidak ada solusi yang diberikan oleh Pemerintah;

c) Pegawai dan pejabat yang terkena dampakrasionalisasi menurun kinerjanya sehinggamenimbulkan instabilitas dalam jalannyapemerintahan;

d) Kriteria-kriteria dalam Peraturan PemerintahNomor 8 Tahun 2003 dirasakan sangat kakudalam mengatur kelembagaan perangkat daerahsehingga tidak mampu menggali potensi-potensispesifik yang dimiliki oleh daerah;

e) Kriteria-kriteria dalam Peraturan PemerintahNomor 8 Tahun 2003 belum mencerminkankebutuhan riil daerah;

f) Kriteria-kriteria dalam Peraturan PemerintahNomor 8 Tahun 2003 sulit dipahami dandiimplementasikan;

g) Kriteria-kriteria dalam Peraturan PemerintahNomor 8 Tahun 2003 membatasi daerah sehinggasulit mengembangkan diri dan membagi tugas;

h) Masih adanya perbedaan pemahaman danpersepsi dalam tugas pokok dan fungsi dari suatuunit kerja; dan

i) Masih adanya intervensi politis dalam penataankelembagaan perangkat daerah.

Fenomena yang terjadi terkait pembentukan OPDsejak penerapan PP No. 84/2000, yang kemudiandiganti dengan PP No. 8/2003, sebagaimana ulasandi atas, menjadi dasar dalam penulisan ini yang akanmendeskripsikan tingkat ketercapaian tujuan PP No.41 Tahun 2007 sebagai pedoman menyeluruh bagipenyusunan Organisasi Perangkat Daerah.

B. KONSEPTUALISASI KEBIJAKAN PUBLIKKebijakan adalah apa pun yang dipilih, termasuk

keputusan untuk tidak melakukan sesuatu (Dye,1978). Dari perspektif yang lain, menurut Bullock etal. (1983) bahwa untuk bisa disebut sebagai kebijakan,

Page 3: ANTARA HARAPAN DAN REALITA: IMPLEMENTASI KEBIJAKAN ...

Antara Harapan dan Realita: Implementasi Kebijakan Organisasi Perangkat Daerah

:: Zulpikar dan Haris Faozan

232 Jurnal Ilmu Administrasi Volume VII No. 3 September 2010

Kebijakan publik merupakan produk dari institusipemerintah sebagai tanggapan atas dinamika yangterjadi pada lingkungan kebijakan. KebijakanPendayagunaan Aparatur Negara adalah satubagian kecil dari keseluruhan public policy yang ada.Kebijakan Pendayagunaan Aparatur Negara dalamprosesnya bukanlah sederhana, di dalamnyaterdapat banyak pelaku (stakeholders) yang terlibat.Dalam keterlibatannya, masing-masing stakeholdersmembawa premis nilai-nilai atau kepentingan-kepentingan sendiri.

Perlu diketahui bahwa perhatian terhadap posisi,peran, dan kondisi kelompok sasaran dalam proseskebijakan adalah penting karena akanmempengaruhi ketepatan, efisiensi, efektivitas, dankinerja kebijakan (Mustopadidjaja, 1999). Hal ini punsama bagi kebijakan Pendayagunaan AparaturNegara. Dalam kondisi seperti ini pemerintah danaparatur pemerintah dapat dipandang sebagaistakeholder yang diberikan kewenangan dan tanggungjawab untuk mengambil keputusan terbaik bagikepentingan aparatur negara.

Mustopadidjaja (1999) mendefinisikan kebijakanpublik sebagai suatu keputusan yang dimaksudkanuntuk mengatasi permasalahan tertentu, untukmelakukan kegiatan tertentu, atau untuk mencapaitujuan tertentu, yang dilakukan oleh instansi yangberkewenangan dalam rangka penyelenggaraanpemerintahan negara dan pembangunan. Padakegiatan teknis-teknokratis suatu kebijakan,persoalan mendasar biasanya muncul pada saatperumusan masalah kebijakan. Hal demikian dapatdipahami karena masalah kebijakan merupakanfenomena yang sangat kompleks dan tidakterstruktur, karenanya dalam tahapan ini analis atauperumus kebijakan harus memiliki kapasitas yangmemadai, kekayaan informasi, dan ketajaman intuisiuntuk dapat melihat permasalahan kebijakan secarajernih.

Kesalahan dalam perumusan masalah akanberakibat pada kegagalan secara total pada setiapkebijakan yang ditawarkan. Dalam kaitan ini,kegagalan kebijakan bisa jadi tidak pada prosesimplementasi, tetapi pada kesalahan dalammerumuskan permasalahan. Kondisi demikiandisebabkan oleh karena memberikan alternatif yangsalah pada permasalahan yang salah. Hal ini sejalandengan pendapat Ackoff (1974) : “Successful problemsolving requires finding the right solution to the rightproblem. We fail more often because we solve the wrongproblem then because we get the wrong solution to the rightproblem”.

Pemikiran sebagaimana tersebut di atas dapatpula dikaitkan dengan bagaimana kebijakanPendayagunaan Aparatur Negara diformulasikan.Artinya bahwa pros and cons kebijakanPendayagunaan Aparatur Negara saat ini dapatdiawali dengan mencermati perumusanpermasalahannya. Perumusan masalah dalam

kenyataannya bukanlah hal yang sederhana. Ketikamasalah kebijakan telah dirumuskan, tidak berartikebijakan yang ditetapkan akan selalu merupakanjawaban atas permasalahan tersebut. Pengembanganalternatif kebijakan dan pilihan atas sebuah alternatifyang dinilai paling feasible, sangat dipengaruhi olehkemampuan dan wawasan perumus kebijakandalam mencermati dinamika dalam lingkungankebijakan.

Selain itu ia harus melihat bahwa banyak aktoryang sangat berkepentingan dengan kebijakan yangakan ditetapkan. Pada kondisi ini seorang perumuskebijakan masuk dalam penghitung nilai-nilai. Iaharus menetapkan nilai-nilai tertentu yang lebihdikedepankan dibandingkan nilai yang lain, dan inipula yang kemudian dijadikan ukuran penilaian atasseluruh alternatif kebijakan yang ada.

Berkaitan dengan proses tersebut, Dunn (1981)kemudian merumuskan adanya tiga elemen pentingdalam sistem kebijakan publik, yang meliputi:1. Lingkungan Kebijakan (policy environments), yaitu

keadaan yang melatarbelakangi atau peristiwayang menyebabkan timbulnya sesuatu “isu(masalah) kebijakan”, yang mempengaruhi dandipengaruhi oleh para pelaku kebijakan dankebijakan itu sendiri.

2. Kebijakan publik (public policies) itu sendiri, yaitukeputusan atas sejumlah atau serangkaianpilihan yang kurang lebih berhubungan satu samalain (termasuk keputusan untuk tidak berbuat)yang dibuat oleh badan-badan atau kantor-kantorpemerintah dan dimaksudkan untuk mencapaitujuan tertentu.

3. Pelaku Kebijakan (policy stakeholders), yaituindividu-individu atau kelompok-kelompok yangmempengaruhi dan dipengaruhi oleh keputusan-keputusan pemerintah.

Adapun untuk menyusun kebijakan, Jones (1976)memberikan beberapa variabel yang perludiperhatikan dalam menyusun kebijakan, ada diTabel 2.

Kebijakan dapat diklasifikasikan dengan berbagaicara. Smith (2002) mengkategorisasikan kebijakanberdasarkan efek/dampak terhadap publik danmembaginya menjadi 4 kategori, yaitu KebijakanDistributif, Pengaturan, Konstituen dan KebijakanLain-Lain. Sejalan dengan pendapat Smith, menurutTjokroamidjojo (2000) bentuk-bentuk KebijakanPublik adalah sebagai berikut:a. Berupa aturan atau ketentuan yang mengatur

kehidupan masyarakat (regulasi). Undang-undang, Peraturan Pemerintah dan KeputusanPresiden dapat digolongkan dalam bentuk ini.Sebagai aturan, bentuk kebijakan ini harus selaludisesuaikan dengan perubahan yang terjadimasyarakat.

b. Distribusi atau alokasi sumber daya, Kebijakanini bermula pada tindakan pemerintah untuk

Page 4: ANTARA HARAPAN DAN REALITA: IMPLEMENTASI KEBIJAKAN ...

Antara Harapan dan Realita: Implementasi Kebijakan Organisasi Perangkat Daerah

:: Zulpikar dan Haris Faozan

233Jurnal Ilmu Administrasi Volume VII No. 3 September 2010

Tabel 2: Variabel-variabel dalam Menyusun Kebijakan

Beberapa Variabel yang Perlu Diperhatikan dalam Menyusun Kebijakan

1. Persepsi/definisi. Deskripsi tentang substansi/materi kebijakan perlu diuraikan secara jelas, termasuk berbagaihal yang mendorong perlunya mengangkat gagasan kebijakan tersebut.

2. Agregasi. Identifikasi ruang lingkup dan kuantitas berbagai pihak yang akan terkena dampak sebuah kebijakan.3. Organisasi/Lembaga. Dalam hal ini perlu dicermati tentang record para pelaku (policy maker) yang terlibat dalam

pengusulan sebuah kebijakan.4. Agenda Setting. Tata cara atau prosedur yang ditempuh dalam mencapai status agenda (dari gagasan hingga

mencapai status agenda).5. Formulasi. Dalam hal ini beberapa hal yang perlu diperhatikan adalah lembaga yang mengusulkan sebuah

kebijakan, sumber data/informasi termasuk ketersediaan anggaran, dasar hukum yang dijadikan acuan, danprosedur penetapan kebijakan tersebut.

Sumber: Jones, Charles O. Policy Analysis: Academic Utility for Practical Rhetoric, Policy Studies Journal Vol. 4, 1976.

membantu golongan ekonomi lemah yangumumnya tidak dapat memanfaatkan fasilitasyang disediakan secara umum. Dalamperkembangan lebih lanjut, kebijakan iniditujukan untuk mengimbangi berbagaikesenjangan antara daerah dalam suatu negara.

c. Redistribusi atau Realokasi. Kebijakan inimerupakan usaha perbaikan kepincangan sebagaiakibat dari kesalahan kebijakan industrisebelumnya. Sasarannya adalah padapemerataan ekonomi dalam masyarakat, untukitu kegiatan ekonomi golongan maju sedikit lebihdibebani untuk memberi fasilitas bagiperkembangan golongan yang lemah.

d. Pembekalan atau Pemberdayaan. Dimaksudkansebagai modal atau melengkapi masyarakatdengan keahlian dan keterampilan yang perludimiliki agar dapat berdiri sendiri. Tujuan darikebijakan ini mirip dengan tujuan dari keduakebijakan diatas, yakni untuk pemerataan, akantetapi lebih ditekankan pada pemerataankemampuan agar kemudian dapatmengembangkan diri sendiri.

e. Etika, Aturan-aturan moral berdasarkan kaidahyang berlaku, baik berupa aturan agama ataupunadat yang dapat dijadikan arahan atau pedomanbagi tindakan-tindakan pemerintah. Kebijakanpemerintah untuk memberlakukan aturan-aturantersebut merupakan kebijakan pelaksanaan.Suatu hal yang perlu dicatat dalam kajiankebijakan ini adalah pemahaman masyarakattentang suatu kebijakan.

Sedangkan menurut Riant Nugroho D. dalambukunya Public Policy (2009: 92), secara sederhanakebijakan publik dapat dikelompokkan menjadi tiga,yaitu :1. Kebijakan publik yang bersifat makro atau umum,

atau mendasar, yaitu kelima peraturan yangdisebut sebelumnya.

2. Kebijakan publik yang bersifat messo ataumenengah, atau penjelas pelaksanaan. Kebijakanini dapat berbentuk Peraturan Menteri, SuratEdaran Menteri, Peraturan Gubernur, Peraturan

Bupati, Peraturan Walikota, Surat KeputusanBersama atau SKB antar menteri, gubernur, danbupati atau walikota.

3. Kebijakan publik yang bersifat mikro adalahkebijakan yang mengatur pelaksanaan atauimplementasi kebijakan di atasnya. Bentukkebijakannya adalah peraturan yang dikeluarkanoleh aparat publik di bawah menteri, gubernur,bupati, dan walikota.

Kebijakan publik itu dinamis, tidak hanyamerupakan daftar tujuan atau aturan yang statis.Blueprint (rencana/outline) kebijakan harusdiimplementasikan, dan sering memberikan hasilyang tidak terduga. Kebijakan sosial adalah apa yangterjadi di masyarakat ketika kebijakan itudiimplementasikan, dan juga apa yang terjadi padaproses pengambilan keputusan oleh legislatif.

Berdasarkan Undang-Undang No. 10/2004 Pasal7 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan saat ini adalah sebagai berikut :a. Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945).b. Undang-Undang (UU)/Peraturan Pemerintah

Pengganti Undang-Undangc. Peraturan Pemerintah (PP)d. Peraturan Presiden (PerPres)e. Peraturan Daerah (Perda)

Dalam proses kebijakan publik, tahap yangpenting selanjutnya setelah formulasi kebijakanadalah implementasi dan evaluasi kebijakan.

1. Implementasi kebijakanTahapan pelaksanaan kebijakan harus sudah

dipertimbangkan pada tahap formulasi kebijakan.Pelaksanaan kebijakan tidak hanya meliputipenjabaran keputusan kebijakan ke dalam prosedurrutin atau kemampuan teknis, namun juga terkaitdengan nuansa proses politik yangmempengaruhinya. Kondisi vacum tidak dikenaldalam pelaksanaan kebijakan karena akanmenimbulkan reaksi berantai dalam masyarakat.

Page 5: ANTARA HARAPAN DAN REALITA: IMPLEMENTASI KEBIJAKAN ...

Antara Harapan dan Realita: Implementasi Kebijakan Organisasi Perangkat Daerah

:: Zulpikar dan Haris Faozan

234 Jurnal Ilmu Administrasi Volume VII No. 3 September 2010

Ketetapan pelaksanaan kebijakan oleh aspek lainseperti konsistensi dan efektivitas pelaksanaan, sertaada tidaknya perkembangan di luar perkiraan.

Implementasi kebijakan memerlukan berbagaikegiatan operasional yang rinci, melekat, danterintegrasikan dalam kehidupan administrasi sehari-hari. Sehingga dapat dikatakan bahwa implementasikebijakan merupakan kegiatan yang bersifatkompleks sekaligus kritis. Oleh karena itu diperlukankesadaran dan pemahaman terhadap kompleksitasimplementasi kebijakan sehingga dapat dirumuskandan dilaksanakan upaya sistematis dan terencana.

Efektivitas pelaksanaan kebijakan dapat dilihatantara lain, dari : (1) output kebijakan oleh badan/pihak pelaksana; (2) pemenuhan/ketaatan kelompoksasaran kebijakan terhadap output kebijakan; (3)dampak nyata output kebijakan; (4) dampak outputkebijakan berdasarkan persepsi kelompok sasaran;(5) penyempurnaan terhadap kebijakan. Berbagaifaktor yang mempengaruhi signifikan terhadapefektivitas implementasi kebijakan antara lain : (1)komunikasi yang didalamnya termasuk ketepatandalam hal interprestasi isi kebijakan; (2) ketersediaanberbagai sumberdaya yang memadai yang antara lainmencakup sumberdaya manusia, informasi, danwaktu; (3) sikap dari para pelaku implementasi,khususnya terhadap kebijakan, dan termasukdidalamnya berbagai masalah agensi, dan (4) strukturbirokrasi/organisasi yang mencakup antara lainpembagian dan desain pekerjaan, strukturwewenang, dan pengawasan.

2. Evaluasi Kinerja KebijakanProses akhir dari proses kebijakan adalah evaluasi

kinerja. Evaluasi kebijakan mempunyai kedudukandan peran yang sama pentingnya dengan tahapansiklus kebijakan lainnya. Evaluasi kinerja kebijakanmerupakan penilaian yang bersifat sistematisterhadap kebijakan/program dalam rangka membuatpenetapan tentang efek/dampak kebijakan/program, baik untuk jangka waktu pendek maupunpanjang.

Esensi dari evaluasi adalah untuk menyediakanumpan balik (feedback), yang mengarah pada hasilyang baik (successful outcomes) menurut ukuran nyatadan obyektif. Pada hakekatnya, tujuan evaluasiadalah untuk perbaikan (bila perlu), bukan dalamrangka pembuktian. Dua hal yang ingin diungkapmelalui evaluasi adalah : (1) keluaran kebijakan(policy outputs) yaitu apa yang dihasilkan denganadanya perumusan kebijakan; dan (2) hasil/dampakkebijakan (policy outcomes) yaitu akibat darikonsekwensi yang ditimbulkan dengan diterbitkandan diimplementasikannya suatu kebijakan. Adapuntujuan evaluasi untuk perbaikan mengandungimplikasi diperlukannya langkah berupa penilaian(judgement). Dengan kata lain, evaluasi dilakukandalam rangka menilai tingkat efektivitas dari suatukebijakan. Hasil evaluasi bermanfaat dalam rangka

perbaikan terhadap rumusan kebijakan dan/atauimplementasi kebijakan.

Evaluasi kebijakan dapat dilakukan denganmenggunakan teknik yang bersifat : (1) impresionistikdengan metode observasi dan pemanfaatan datakualitatif, dan (2) ilmiah dengan metode kajian ataupenelitian. Teknik ilmiah dapat memberikan hasilevaluasi yang lebih akurat, obyektif, dan lebihmeyakinkan.

Sedangkan jenis-jenis evaluasi kinerja kebijakandapat dikelompokkan kedalam 2 (dua) kategori besar,yaitu : (A) Evaluasi proses, yang meliputi : (a) evaluasiimplementasi, memusatkan perhatian pada : 1) upayamengidentifikasi kesenjangan/perbedaan yang adaantara hal-hal yang telah direncanakan dan realita;2) upaya menjaga agar kebijakan/program dankegiatan-kegiatan sesuai dengan rencana dan biladiperlukan dapat dilakukan modifikasi dalam rangkapenyesuaian dan penyempurnaan; (b) evaluasikemajuan, memfokuskan pada kegiatan pemantauanindikator-indikator dari kemajuan pencapaian tujuankebijakan. (B) Evaluasi hasil, dilakukan dalam rangkamenetapkan tingkat pencapaian tujuan kebijakan.Evaluasi hasil seringkali termasuk didalamnyaanalisis terhadap kekuatan/kelebihan dankelemahan/kekurangan, termasuk pula rekomendasiuntuk perbaikan dimasa yang akan datang.

Standar yang dijadikan dasar dalam evaluasikebijakan, meliputi : (1) ketaatan (compliance),berkaitan dengan upaya audit denganmempertanyakan sejauhmana transaksi olehpemerintah telah sejalan/sesuai dengan ketentuanhukum/peraturan perundangan; (2) efisiensi(efficiency), sejauhmana institusi pemerintah telahmencapai tingkat produktivitas optimum atas dasarsumberdaya yang telah digunakan; dan (3) efektivitas(effectiveness), sejauhmana tingkat pencapaian tujuankebijakan atas dasar pemanfaatan sumberdayapublik.

Evaluasi kebijakan publik harus dipahami sebagaisesuatu yang bersifat positif. Evaluasi bertujuan untukmencari kekurangan dan menutupi kekurangan. Ciridari evaluasi adalah :1. Tujuannya menemukan hal-hal yang strategis

untuk meningkatkan kinerja kebijakan2. Evaluator mampu mengambil jarak dari pembuat

kebijakan, pelaksana kebijakan dan targetkebijakan

3. Prosedur dapat dipertanggunjawabkan secarametodologi

4. Dilaksanakan tidak dalam suasana permusuhanatau kebencian

5. Mencakup rumusan, implementasi, lingkungandan kinerja kebijakan

Adapun manfaat dan kegunaan evaluasikebijakan menurut Dunn (2000) adalah (a) evaluasimemberi informasi yang valid dan dapat dipercayamengenai kinerja kebijakan; (b) evaluasi memberi

Page 6: ANTARA HARAPAN DAN REALITA: IMPLEMENTASI KEBIJAKAN ...

Antara Harapan dan Realita: Implementasi Kebijakan Organisasi Perangkat Daerah

:: Zulpikar dan Haris Faozan

235Jurnal Ilmu Administrasi Volume VII No. 3 September 2010

sumbangan pada klarifikasi dan kritik terhadap nilai-nilai yang mendasari pemilihan tujuan dan target;dan (c) evaluasi memberi sumbangan pada aplikasimetode-metode analisis kebijakan lainnya, termasukperumusan masalah dan rekomendasi. Selanjutnya,Dunn menetapakan kriteria-kriteria berikut untukmengevaluasi kebijakan (Tabel 3).

Secara garis besar permasalahan kebijakanPendayagunaan Aparatur Negara dapatdipengaruhi oleh beberapa hal mendasar,diantaranya yaitu:1. Intensitas keterlibatan pihak-pihak terkait

(beneficiaries) belum maksimal. Artinya bahwadalam proses formulasi kebijakanPendayagunaan Aparatur Negara di Indonesiasudah saatnya dibuka lebar-lebar akses partisipasidari pihak-pihak terkait utama. Disadari memang,bahwa dibukanya intensitas yang semakin besarkepada pihak-pihak terkait utama akan memakanwaktu lebih panjang dan biaya yang lebih besar.Memang demikian proses kebijakan padakenyataannya.

2. Perumusan permasalahan dari suatu kebijakanharus memfokuskan pada hal-hal yang jelas batas-batasnya. Sebelum rumusan permasalahanditetapkan, perlu dilakukan riset terlebih dahulumengenai obyek yang akan dijadikan bahasan.Riset seperti ini penting dilakukan agarpenyusunan permasalahan bukan dilatar-belakangi oleh common sense semata dimana halseperti ini bisa sangat menyesatkan danberpotensi gagalnya kinerja kebijakan Rule of Lawyang tidak tegas semakin mengaburkan esensikebijakan itu sendiri. Maksudnya bahwakebijakan yang sudah ditetapkan tidak didukungdengan law enforcement yang memadai.

C. METODE PENELITIANMetode yang digunakan dalam studi ini adalah

studi kasus (case study). Studi kasus adalah deskripsitertulis secara mendalam mengenai suatu masalah.

Tabel 3: Kriteria-kriteria Evaluasi Kebijakan

Tipe KriteriaEfektivitasEfisiensi

Kecukupan

Perataan

Responsivitas

Ketepatan

Sumber: Dunn, (2000: 610), Pengantar Analisis Kebijakan Publik, 2nd ed.

Pertanyaan

Apakah hasil yang diinginkan telah dicapai?Seberapa banyak usaha diperlukan untukmencapai hasil yang diinginkan?

Seberapa jauh pencapaian hasil yang diinginkanmemecahkan masalah?Apakah biaya dan manfaat didistribusikan denganmerata kepada kelompok-kelompok yang berbeda?

Apakah hasil kebijakan memuaskan kebutuhan,preferensi atau nilai kelompok-kelompok tertentu?Apakah hasil (tujuan) yang diinginkan benar-benarberguna atau bernilai?

Ilustrasi

Unit pelayananUnit biayaManfaat bersihRasio biaya-manfaatBiaya tetap (masalah tipe 1)Efektivitas tetap (masalah tipe 2)Kriteria ParetoKriteria Kaldor-HicksKriteria RawisKonsistensi dengan survei warganegaraProgram publik harus merata danefisiensi

Adapun secara umum studi ini bertujuan untukmengungkap kenyataan dalam kaitannya dengankinerja Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007.Berdasarkan tujuan umum tersebut, maka strategiyang digunakan dalam studi ini adalah strategideskriptif. Dengan demikian studi ini merupakanstudi kasus deskriptif (descriptive case study).Descriptive case study dalam konteks ini bertujuanuntuk mendeskripsikan kinerja Peraturan PemerintahNomor 41 Tahun 2007 secara obyektif melaluiserangkaian langkah-langkah pengumpulan data,pengelolaan data dan analisisnya.

Data yang digunakan dalam studi ini meliputidata primer dan sekunder, dimana untuk data primerdiperoleh melalui kuesioner yang disebarkan kepadaseluruh pimpinan Satuan Kerja Perangkat Daerah dilingkungan Pemerintah Daerah Kabupaten Konawedan Kota Kendari, dan focussed group discussiondengan key informans dari Lembaga AdministrasiNegara. Sedangkan pengumpulan data sekunderdiperoleh melalui hasil-hasil penelitian, peraturanperundangan dan dokumen-dokumen yang relevan,seperti Peraturan daerah mengenai OrganisasiPerangkat Daerah atau Susunan Organisasi dan TataKerja, Prosedur-prosedur Tata Hubungan yangsudah dikembangkan dan diimplementasikan.

Analisis data kajian mengarah pada 5 (lima)dimensi kinerja kebijakan. Kelima dimensi tersebutadalah efektivitas (effectiveness), efisiensi (efficiency),kecukupan (sufficiency), ketepatan (accuracy) dandimensi responsivitas (responsiveness). Tingkatcapaian kinerja kebijakan merupakan rata-rata hitungdari tingkat capaian kelima dimensi tersebut.

Untuk memperoleh nilai tingkat capaian kinerjakebijakan di suatu daerah digunakan langkah-langkah sebagai berikut:1. Pembobotan Jawaban

Setiap jawaban dari butir-butir pernyataandiberikan bobot yang berbeda. Jawaban SangatTidak Setuju (STS) diberi bobot 0, jawaban TidakSetuju diberi bobot 1, jawaban Setuju diberi bobot2 dan jawaban Sangat Setuju diberi bobot 3.

Page 7: ANTARA HARAPAN DAN REALITA: IMPLEMENTASI KEBIJAKAN ...

Antara Harapan dan Realita: Implementasi Kebijakan Organisasi Perangkat Daerah

:: Zulpikar dan Haris Faozan

236 Jurnal Ilmu Administrasi Volume VII No. 3 September 2010

Selanjutnya setiap bobot jawaban dikalikandengan banyaknya responden yang menjawab.

2. Rata-rata Setiap Butir Pernyataan (Rp i), dimana iadalah pernyataan ke iRata-rata setiap butir pertanyaan merupakanrata-rata jawaban dari seluruh SKPD yangmenjawab. Nilai ini diperoleh dari jumlahperkalian antara bobot dengan responden padalangkah pertama dibagi dengan banyaknya SKPDyang menjadi responden.

3. Tingkat Capaian Dimensi (TCD j)Tingkat capaian dimensi diperoleh dengan caramembagi jumlah dari rata-rata setiap butirpertanyaan dengan banyaknya pertanyaan padadimensi tersebut. Secara matematis dapatmenggunakan formula:

TCD j = Rp i

n

4. Tingkat Capaian Kinerja Kebijakan (TCKK)Tingkat capaian kinerja kebijakan diperolehdengan merata-ratakan tingkat capaian seluruhdimensi. Secara matematis dapat menggunakanformula sebagai berikut:

Tabel 4: Kategori untuk Tingkat Capaian Dimensi

Kategori

Rendah

Sedang

Tinggi

Nilai Capaian

0 < TCD j < 1,00

1,01 < TCD j < 2,00

2,01 < TCD j < 3,00

Interpretasi

Dimensi kinerja PP No. 41 Tahun 2007 dinilai tidak memadai

sehinggga membutuhkan perubahan secara menyeluruh

terhadap muatan substansi materi dan pelaksanaannya.

Dimensi kinerja PP No. 41 Tahun 2007 dinilai cukup memadai

tetapi masih membutuhkan fasilitasi dan pengawasan secara

intensif dalam pelaksanaannya.

Dimensi kinerja PP No. 41 Tahun 2007 dinilai memadai tetapi

membutuhkan evaluasi secara periodik dan menyeluruh dalam

rangka mengantisipasi perubahan lingkungan.

Tabel 5: Kriteria untuk Tingkat Capaian Kinerja PP No. 41 Tahun 2007

Kategori

Rendah

Sedang

Tinggi

Nilai Capaian

0 < TCKK j < 1,00

1,01 < TCKK j < 2,00

2,01 < TCD j < 3,00

Interpretasi

Kinerja PP No. 41 Tahun 2007 dinilai tidak memadai sehinggga

membutuhkan perubahan secara menyeluruh terhadap muatan

substansi materi dan pelaksanaannya.

Kinerja PP No. 41 Tahun 2007 dinilai cukup memadai dan

membutuhkan fasilitasi dan pengawasan secara intensif dalam

pelaksanaannya.

Kinerja PP No. 41 Tahun 2007 dinilai memadai tetapi

membutuhkan evaluasi secara periodik dan menyeluruh dalam

rangka mengantisipasi perubahan lingkungan.

TCKK j = TCD j

5

D. IMPLEMENTASI PERATURAN PEME-RINTAH NOMOR 41 TAHUN 2007Kebijakan PP No. 41 Tahun 2007 dimaksudkan

untuk memberikan arah dan pedoman yang jelaskepada Daerah dalam menata organisasi yangefisien, efektif, dan rasional sesuai dengankebutuhan dan kemampuan daerah masing-masing serta adanya koordinasi, integrasi,sinkronisasi dan simplifikasi serta komunikasikelembagaan antara Pusat dan Daerah.

Untuk mengetahui kinerja kebijakan PP 41Tahun 2007, apakah kinerja kebijakannyatergolong tinggi, sedang ataupun rendah dinilaiberdasarkan lima dimensi yang dijadikan patokanatau standar. Kelima dimensi tersebut adalahefektivitas (effectiveness), efisiensi (efficiency),

Page 8: ANTARA HARAPAN DAN REALITA: IMPLEMENTASI KEBIJAKAN ...

Antara Harapan dan Realita: Implementasi Kebijakan Organisasi Perangkat Daerah

:: Zulpikar dan Haris Faozan

237Jurnal Ilmu Administrasi Volume VII No. 3 September 2010

kecukupan (sufficiency), ketepatan (accuracy) danresponsivitas (responsiveness).

Dimensi efektivitas (effectiveness) melihatseberapa besar implementasi kebijakan dapatmencapai tujuan yang diinginkan. Dimensiefisiensi (efficiency) melihat seberapa besarimplementasi kebijakan membutuhkan input lebihkecil dibandingkan dengan output yangdihasilkan. Dimensi kecukupan (sufficiency)melihat seberapa besar implementasi kebijakantidak menimbulkan masalah baru yang lebih besardaripada masalah yang seharusnya dipecahkan.Dimensi ketepatan (accuracy) melihat seberapa besarimplementasi kebijakan memberikan manfaatdalam peningkatan kapasitas pegawai dilingkungan Pemda. Dimensi responsivitas(responsiveness) melihat seberapa besarimplementasi kebijakan memberikan kepuasankerja bagi pegawai di lingkungan Pemda.

Analisis atas tingkat capaian kinerja kebijakanyang diperinci berdasarkan capaian per dimensidari lokus yang dikaji ada pada Tabel 6.

Dari Tabel 6, memperlihatkan kinerja kebijakanPP No. 41 Tahun 2007 berada pada rentang kategori“sedang”. Namun demikian, jika dilihat dari nilaicapaian kinerja kebijakan, Pemerintah Kota Kendarimemiliki nilai tertinggi. Berikut gambaran kinerjakebijakan pada setiap lokus.

KABUPATEN KONAWEKabupaten Konawe dengan ibukota Unahaa

merupakan salah satu daerah otonom di ProvinsiSulawesi Tenggara yang terletak 70 km dari pusatibukota provinsi, Kendari. Luas wilayah Kab. Konawesekira 6.666,52 km2 atau 24,24% dari luas wilayahdaratan Sulawesi Tenggara, dengan pembagianwilayah administratif, (kondisi tahun 2007) terdiridari 26 Kecamatan; 52 Kelurahan dan 286 desa2.Berdasarkan hasil Supas dan Susenas Kor tahun2007, jumlah penduduk sebanyak 224.345 jiwa.

Efektivitas

Efisiensi

Kecukupan

Ketepatan

Responsivitas

TINGKAT CAPAIAN KINERJA KEBIJAKAN

Nilai

1,70

1,87

1,79

1,86

1,80

1,80

Kategori

Sedang

Sedang

Sedang

Sedang

Sedang

SEDANG

Nilai

2,02

2,02

1,72

2,05

1,93

1,95

Kategori

Tinggi

Tinggi

Sedang

Tinggi

Sedang

SEDANG

KONAWE KENDARI

TINGKAT CAPAIAN DIMENSI

DIMENSI

Tabel 6: Tingkat Capaian Dimensi (TCD) Kinerja Kebijakan PP No. 41 Tahun 2007 di Pemerintah Daerah KabupatenKonawe dan Kota Kendari

Adapun total pendapatan kabupaten Konawe adalahsebesar Rp. 512.131.453.000,36.

Tingkat capaian kinerja kebijakan sebesar 1,80yang masuk dalam rentang kategori sedang. Nilaicapaian tersebut merupakan akumulasi daripenilaian per dimensi (Tabel 6). Respondenmemberikan penilaian terendah pada dimensiefektivitas dengan nilai sebesar 1,70. Hal inimengindikasikan bahwa PP 41 Tahun 2007 belumsepenuhnya efektif sebagai pedoman kebijakan dalammelakukan penataan yang menyeluruh bagiorganisasi perangkat daerah di lingkunganPemerintah Kabupaten Konawe.

PP 41 Tahun 2007 telah memberikan kejelasandalam penetapan besaran organisasi (OPD) danperumpunan urusan pemerintahan dalampembentukan perangkat daerah. Hal ini dapatdiketahui dari Peraturan Daerah (Perda) No. 11Tahun 2007, No. 12 Tahun 2007 dan No. 13 Tahun2008 yang mengatur pembentukan OPD. Atas dasarPerda tersebut, Pemerintah Kabupaten Konawemelakukan pengurangan besaran organisasi,penyesuaian jenis dan nomenklatur OPD. Namundemikian, PP No. 41 Tahun 2007 belum dapatdijadikan pedoman dalam perumusan tugas pokokdan fungsi OPD. Hal tersebut berakibat, masihterjadinya tumpang tindih dalam perumusan tugasdan fungsi perangkat daerah di lingkunganPemerintah Kabupaten Konawe.

Kendala lainnya dalam menerapkan PP No. 41Tahun 2007 adalah belum optimalnya pembinaandan pengendalian yang dilakukan oleh Gubernur3,yaitu dalam memberikan fasilitasi terhadaprancangan peraturan daerah tentang OPD4.Disamping itu, masih terjadinya intervensiPemerintah (Kementerian teknis) dalam penetapanjenis dan eselonering OPD yang harus dibentukwalaupun tidak sesuai dengan beban kerja dankebutuhan Daerah dalam penanganan urusanpemerintahan tersebut. Permasalahan ini juga yang

2. Konawe dalam Angka 2008.3. Pasal 38 ayat 2.4. Pasal 39 ayat 2.

Page 9: ANTARA HARAPAN DAN REALITA: IMPLEMENTASI KEBIJAKAN ...

Antara Harapan dan Realita: Implementasi Kebijakan Organisasi Perangkat Daerah

:: Zulpikar dan Haris Faozan

238 Jurnal Ilmu Administrasi Volume VII No. 3 September 2010

Gambar 1 : Tingkat Capaian Dimensi (TCD) Kinerja Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 di Pemerintah Kabupaten Konawe

Tingkat Capaian

Kinerja Kebijakan

Responsivitas

Ketepatan

Kecukupan

Efisiensi

Efektivitas

1.60 1.65 1.70 1.75 1.80 1.85 1.90

Nilai Capaian Kinerja Kebijaan

Dimensi Kinerja Kebijakan

mempengaruhi penilaian dalam dimensi efisiensiyang berada dalam kategori sedang dengan nilai 1,87.

Penilaian tertinggi terhadap dimensi efisiensitersebut atas dasar terjadinya pengurangan besaranorganisasi sehingga mengurangi pembiayaan dalamsisi input sumberdaya administrasi pemerintahandaerah. Pengaruh positif terhadap dimensi efisiensiberbanding terbalik dengan dimensi kecukupan.

Dimensi kecukupan diberikan nilai 1,79 yangwalaupun masuk dalam kategori sedang, namunpada posisi terendah kedua dibandingkan dimensiefektivitas. Hal ini mengindikasikan, bahwapenerapan PP No. 41 Tahun 2007 menimbulkanpermasalahan baru, yaitu terkait dengan pengelolaankepegawaian. Pengurangan besaran organisasi danpenyesuaian jenis perangkat daerah berdampak padaberkurangnya formasi jabatan yang tersediadibandingkan dengan jumlah dan kompetensipegawai. Permasalahan inipun berpengaruhterhadap penilaian dimensi ketepatan.

Dimensi ketepatan dinilai tertinggi kedua setelahdimensi efektivitas dengan nilai 1,86. Bahwa, PP No.41 Tahun 2007 telah mampu memotivasipeningkatan kapasitas pegawai di lingkunganPemda. Motivasi tersebut didasarkan ataspertimbangan kompetensi pegawai selain syaratnormatif (merit system) dalam penempatan pegawaiuntuk menduduki formasi suatu jabatan pada suatuOPD. Namun demikian, syarat normatif, yaitukepangkatan memiliki proporsi lebih besardibandingkan dengan kompetensi, baik dalammenduduki formasi jabatan maupun dalampelaksanaan fungsi pengembangan kepegawaianlainnya. Kondisi inilah antara lain yang

menyebabkan kepuasan pegawai relatif rendah yangterlihat dari penilaian dalam dimensi responsivitasyang hanya selisih 0,01 dengan dimensi kecukupan.Akumulasi terhadap permasalahan yang masihdihadapi dalam penerapan PP No. 41 Tahun 2007adalah belum adanya perubahan yang signifikanterhadap pelayanan masyarakat, sebagaimana hasilpengamatan terbatas dan wawancara secarainsidentil yang dilakukan peneliti.

KOTA KENDARIKota Kendari merupakan salah satu dari 2

Pemerintah Kota yang terletak dan berkedudukansebagai pusat ibukota Provinsi Sulawesi Tenggara.Luas wilayah daratan Kota Kendari 295,89 Km2 atau0,70% dari luas daratan Propinsi Sulawesi Tenggara,dengan jumlah penduduk pada tahun 2007 sebesar251.477 jiwa yang tersebar di 10 (sepuluh) Kecamatan.Adapun total pendapatan kota Kendari pada tahun2007 adalah sebesar 391.667.713.991,14. Sumbernyaadalah dari Pendapatan Asli Daerah sebesar28.159.253.500,82, Dana Perimbangan sebesar351.473.004.434,00 dan Pendapatan lain-lain yangsah sebesar 12.035.456.056,32. Atas dasar kondisidaerah tersebut, Kota Kendari telah menataorganisasi perangkat daerahnya melalui PeraturanDaerah (Perda) No. 08, 09, 10 dan No. 11 Tahun2008 dengan berpedoman pada PP No. 41 tahun2007.

Berdasarkan hasil penataan organisasi tersebut,Pemerintah Kota Kendari menilai kinerja PP No. 41Tahun 2007 berada pada kategori sedang menujutinggi dengan bobot nilai 1,95. Tingkat capaian kinerja

Page 10: ANTARA HARAPAN DAN REALITA: IMPLEMENTASI KEBIJAKAN ...

Antara Harapan dan Realita: Implementasi Kebijakan Organisasi Perangkat Daerah

:: Zulpikar dan Haris Faozan

239Jurnal Ilmu Administrasi Volume VII No. 3 September 2010

itu mengindikasikan, bahwa PP No. 41 Tahun 2007hampir mencapai tujuan ditetapkannya kebijakantersebut, yaitu sebagai pedoman yang menyeluruhuntuk menata organisasi perangkat daerah yangefisien, efektif, dan rasional sesuai dengan kebutuhandan kemampuan daerah.

Penilaian yang termasuk kategori tinggi atas 3 dari5 dimensi yang dijadikan faktor penilaian kinerjakebijakan, yaitu dimensi efektivitas dan efisiensidengan nilai 2,02 dan dimensi ketepatan dengan nilai2,05, merupakan bukti atas ketercapaian sebagiantujuan penetapan kebijakan PP No. 41 Tahun 2007.

Pengaturan terhadap kedudukan, tugas danfungsi perangkat daerah; kriteria yang jelas dalampenetapan besaran organisasi dan perumpunanperangkat daerah menjadi petunjuk yangmemberikan kejelasan arah dalam membentuk OPDyang dilakukan oleh Kota Kendari. Disamping itu,Pemerintah Kota telah melakukan penataan OPDberdasarkan PP No. 8 Tahun 2003 sebelumditetapkannya PP No. 41 Tahun 2007. Olehkarenanya, besaran organisasi yang dibentuk telahsesuai bahkan kurang dari batas maksimal yangditetapkan dalam PP No. 41 Tahun 2007. Hal iniberpengaruh secara positif terhadap penilaian dalamdimensi efisiensi, bahwa dengan pembentukan OPDyang rasional maka pengelolaan sumberdaya inputdapat dilakukan secara proporsional sehingga dapatmendorong efisiensi.

Pembentukan OPD yang rasional jugaberhubungan dengan selektivitas dalam penempatanpegawai dalam menduduki formasi jabatan.Ketersediaan formasi jabatan yang terbatas sebagaiakibat dari rightsizing dan downsizing yang dilakukansejalan dengan penerapan PP No. 41 Tahun 2007,

Tingkat CapaianKinerja Kebijakan

Responsivitas

Ketepatan

Kecukupan

Efisiensi

Efektivitas

1.50 1.60 1.70 1.80 1.90 2.00 2.10

Nilai Capaian Kinerja Kebijaan

Dimensi Kinerja Kebijakan

Gambar 2 : Tingkat Capaian Dimensi (TCD) Kinerja Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007di Pemerintah Kota Kendari

mendorong pejabat pembina kepegawaian daerahuntuk secara selektif dalam menempatkan pegawaiyang sebelumnya hanya menekankan pada syaratnormatif, kepangkatan tetapi jugamempertimbangkan kompetensi. Penempatanpegawai yang menerapkan merit system inimendorong pegawai untuk meningkatkan knowledgedan skills mereka agar memiliki kesempatan untukmenduduki suatu jabatan. Hal inilah yangmenjadikan penilaian dimensi ketepatan diberikannilai tertinggi dibandingkan dimensi-dimensilainnya. Disamping itu, secara empirik masihdirasakan inkonsistensi dalam penerapan meritsystem dan pemberian kesempatan dalampengembangan pegawai menyebabkan tingkatkepuasan pegawai sebagai kriteria dalam dimensiresponsivitas memiliki nilai relatif lebih rendahdibandingkan dimensi efektivitas, efisiensi danketepatan.

Berdasarkan deskripsi atas 4 dimensi di atas, PPNo. 41 Tahun 2007 dapat dianggap mencapai tujuanditerbitkannya kebijakan tersebut, namun tidakdemikian, jika dilihat dari dimensi kecukupan.Bahwa, masih dirasakannya berbagai potensi danpermasalahan dalam penerapan kebijakan itu.Permasalahan dimaksud antara lain:• Perumusan tugas dan fungsi bagi OPD yang

mewadahi beberapa urusan pemerintahan;• Penetapan nomenklatur dan jenis perangkat

daerah yang dibentuk dari perumpunan urusandan/atau gabungan dari urusan wajib danurusan pilihan;

• Pengaturan terhadap kelembagaan Kecamatandan Kelurahan sebagai perangkat daerah;

Page 11: ANTARA HARAPAN DAN REALITA: IMPLEMENTASI KEBIJAKAN ...

Antara Harapan dan Realita: Implementasi Kebijakan Organisasi Perangkat Daerah

:: Zulpikar dan Haris Faozan

240 Jurnal Ilmu Administrasi Volume VII No. 3 September 2010

Berbagai permasalahan tersebut menjadi dasaratas rendahnya penilaian terhadap dimensikecukupan dibandingkan 4 dimensi lainnya.

Berdasarkan deskripsi atas tingkat capaian kinerjakebijakan PP No. 41 Tahun 2007 di PemerintahDaerah Kabupaten Konawe dan Kota Kendari yangmasuk kategori sedang mengindikasikan, bahwatujuan peraturan tersebut belum sepenuhnyatercapai. PP No. 41 Tahun 2007 belum memberikanarah dan pedoman (guidance) yang jelas kepadaPemerintah Daerah dalam menata organisasi yangefisien, efektif dan rasional sesuai kebutuhan dankemampuan daerah massing-masing. Selain itu,peraturan ini pula belum dapat mencapai harapantercipta koordinasi, integrasi, sinkronisasi, dansimplifikasi serta jembatan komunikasi yang lebihbaik antara Pemerintah Pusat dengan PemerintahDaerah.

PP No. 41 Tahun 2007 merupakan kebijakanPemerintah yang dimaksudkan untuk mengatasipermasalahan organisasi perangkat daerah yangberdasarkan hasil evaluasi pemerintah dan masukandari pemangku kepentingan (stakeholders) belumsepenuhnya berhasil dalam mencapai tujuanditetapkannya kebijakan tersebut karena masihmenghadapi berbagai permasalahan.

Permasalahan yang dihadapi Daerah (khususnyadi lokus penelitian) dalam penerapan implementasikebijakan organisasi perangkat daerah, yaitu:1. Dilema Kebijakan Publik.

Suatu kebijakan merupakan bagian dan/ataumemiliki keterkaitan dengan kebijakan lainnya(kebijakan publik dalam konteks kesisteman).Sebagaimana dinyatakan oleh Dunn (ibid) dalamkonteks bagian dari sistem kebijakan publik terdapat3 elemen penting yang perlu dipertimbangkan secaraseksama, yaitu: policy environments, public policies andpolicy stakeholders. Bahwa, kebijakan publik yangditetapkan merujuk dari keadaan yangmelatarbelakanginya (policy environments), keterkaitandengan kebijakan lainnya (public policies) dan parapelaku yang terkena dampak dari kebijakan tersebut(policy stakeholders).

Dalam unsur policy environments, ditetapkannyaPP No. 41 Tahun 2007, - sudah tepat – sebagai solusiatas fenomena permasalahan yang muncul darikebijakan PP No. 84 Tahun 2000 dan PP No. 8 Tahun2003, Namun demikian, dengan berbagai fenomena-fenomena empiris (khususnya di lokus penelitian)terkait interpretasi atas materi pengaturan dalam PPNo. 41 Tahun 2007 mengindikasikan analisiskebijakan sebagai salah satu proses dari kebijakanpublik belum dilakukan secara komprehensif, mulaidari penstrukturan masalah, identifikasi alternatif,seleksi alternatif, dan pengusulan alternatif terbaikuntuk diimplementasikan (Keban, 2008:67-76)sehingga semua permasalahan terkait penataanorganisasi perangkat daerah belum terindentifikasiyang diatur dalam pasal-pasal / ketentuan kebijakan.

Oleh karenanya terdapat ketentuan-ketentuan yangmengandung interpretasi ganda (multitafsir), yangberpotensi memunculkan permasalahan baru, seperti:

Penjelasan umum tentang “….Beberapa perangkatdaerah yaitu yang menangani fungsi pengawasan,kepegawaian, rumah sakit, dan keuangan, mengingat tugasdan fungsinya merupakan amanat peraturanperundangundangan, maka perangkat daerah tersebuttidak mengurangi jumlah perangkat daerah yangditetapkan dalam Peraturan Pemerintah ini, dan pedomanteknis mengenai organisasi dan tata kerja diaturtersendiri…..”

Pernyataan tersebut menjadikan pembatasanmengenai besaran organisasi menjadi bias, dan antarpemangku kepentingan mungkin menginterpre-tasikan secara berbeda terhadap klausul ini.Kemudian jika ditinjau dari unsur public policies,adanya klausul-klausul yang membutuhkanpengaturan lebih lanjut dan/atau sinergitas dengankebijakan publik lainnya.

Adapun klausul yang membutuhkan pengaturanlebih lanjut, antara lain berkaitan dengan petunjukpelaksanaan (JUKLAK) dan petunjuk teknis (JUKNIS)pengaturan kelembagaan Unit Pelaksana TeknisDinas/Badan (UPTD/B); perumusan tugas danfungsi, pengkajian analisis kebutuhan potensi daerahuntuk membentuk perangkat daerah. Disamping itu,adanya kebijakan yang secara partial mengatur suatukelembagaan yang menjadi bagian dari organisasiperangkat daerah, seperti pengaturan Satuan PolisiPamong Praja (Satpol PP), Kecamatan, Kelurahan,Badan Narkotika, Komisi Penyiaran IndonesiaDaerah, Badan Koordinasi Penyuluhan Pertanian,Perikanan dan Kehutanan, Badan PenanggulanganBencana Daerah, Sekretariat KORPRI. Selanjutnyakebijakan lain yang terkait dan dapat mempengaruhiefektivitas kebijakan PP No. 41 Tahun 2007, adalahkebijakan kedudukan dan kewenangan KepalaDaerah (Gubernur/Bupati/Walikota) sebagaiPembina Kepegawaian Daerah yang berwenangmengangkat Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS),mengangkat dan memberhentikan PNS dalam suatujabatan (struktural). Keterkaitannya dengankebijakan OPD adalah adanya fenomena Bupati/Walikota/Gubernur membentuk suatu OPD untukmendudukan orang yang loyal dan/atau menjadi timsukses mereka dalam Pemilukada, walaupunsebenarnya unit organisasi tersebut, tidak sesuaidengan kebutuhan Daerah dan berpotensi melanggarkebijakan. Selanjutnya elemen penting terakhir yangseharusnya dipertimbangkan dari kebijakan publikdalam konteks kesisteman adalah policy stakeholders.

Dalam materi kebijakan PP No. 41 Tahun 2007,terdapat perubahan eselonisasi berupa degradasi,dari eselon III a menjadi III b, yaitu Kepala Bidangpada Dinas dan Badan. Kebijakan aturan ini dapatberdampak (negatif) secara psikologis bagi parapejabat struktural tersebut yang pada akhirnyaberpengaruh terhadap kinerja organisasi.

Page 12: ANTARA HARAPAN DAN REALITA: IMPLEMENTASI KEBIJAKAN ...

Antara Harapan dan Realita: Implementasi Kebijakan Organisasi Perangkat Daerah

:: Zulpikar dan Haris Faozan

241Jurnal Ilmu Administrasi Volume VII No. 3 September 2010

2. Keinginan Pemerintah untuk tetap mengaturdan mengendalikan.Reformasi penyelenggaraan pemerintahan sejak

era desentralisasi berdampak terhadap harmonisasihubungan kerja antara Pemerintah (Kementerian/Lembaga non-Kementerian) dengan PemerintahanDaerah. Bahwa, desentralisasi dimaknai olehsebagian Daerah sebagai tidak diperlukannya“campur tangan” Pemerintah dalam pengaturanrumah tangga Daerah.

Atas dasar tersebut dan sejumlah fenomena mis-management Pemerintah Daerah, menimbulkanpersepsi dan mendorong Pemerintah untukmenetapkan kebijakan internal dan sektoral dalamrangka mengatur dan mengendalikan program dan/atau anggaran yang diberikannya kepada Daerah.Sebagai contoh kasus, misalnya suatu Kementerianmempunyai program yang akan diserahkan/dapatdiserap Daerah, maka Kementerian tersebutmempersyaratkan jenis perangkat daerah (Dinas/Badan) dengan kedudukan dan eselon tertentu. Jikatidak memenuhi syarat dimaksud, maka programdan/atau anggaran tersebut tidak dapat diberikan,walaupun Daerah membutuhkannya.

Terkadang, dalam menghadapi permasalahantersebut, bagi Daerah yang tidak memenuhipersyaratan normatif dalam aspek kelembagaandimaksud, mengambil solusi dengan membentukOPD yang dipersyaratkan, baik dengan carapemisahan/pemekaran organisasi yang sudah adaatau membentuk organisasi yang baru, walaupunsebenarnya jika ditinjau dari potensi dan beban kerjatidak harus dibentuk OPD seperti yangdipersyaratkan.

3. Faktor Politik.Hal ini berkaitan dengan politisasi dalam berbagai

kebijakan, termasuk kebijakan terkait OPD danmanajemen pemerintahan. Berdasarkan UU No. 32Tahun 2004 yang menjadi landasan hukumditetapkannya PP No. 41 Tahun 2007, dalam Pasal 1poin 2, 3 dan 4, menyebutkan:1. Pemerintahan daerah adalah penyelenggaraan

urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah danDPRD menurut asas otonomi dan tugaspembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip NegaraKesatuan Republik Indonesia sebagaimanadimaksud dalam Undang-Undang Dasar NegaraRepublik Indonesia Tahun 1945.

2. Pemerintah daerah adalah Gubernur, Bupati, atauWalikota, dan perangkat daerah sebagai unsurpenyelenggara pemerintahan daerah.

3. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yangselanjutnya disebut DPRD adalah lembagaperwakilan rakyat daerah sebagai unsurpenyelenggara pemerintahan daerah.

Atas dasar klausul tersebut, kedudukanPemerintah daerah dan DPRD adalah sejajar dalamkonteks manajemen pemerintahan daerah. Bahwamasing-masing pihak memiliki kepentingan (vestedinterest) dalam pelaksanaan tugas dan fungsi mereka(termasuk kepentingan pribadi/golongan). Dalamkaitan inilah terkadang terjadi politisasi organisasi,bahwa kebijakan yang dihasilkan bukan didasarkanatas pertimbangan efektivitas kebijakan namun lebihpada tawar menawar politik antar elit politik atasdasar kepentingannya, yang disebut Tullock (Wijaya,2009:19) sebagai rent-seeking behaviour. Kebijakanpenciutan dan/atau pemekaran OPD, penunjukanseseorang utk menduduki jabatan (struktural), danpengesahan program serta pembiayaan seringkalimenjadi bagian dalam politisasi organisasi tersebut.

4. Hambatan Administratif; terkait denganpermasalahan administratif yang terjadi dalamproses mengimplementasikan kebijakan.

Merujuk kepada PP No. 41 Tahun 2007 pasal 38(1 dan 2), menetapkan:(1) Pembinaan dan pengendalian organisasi

perangkat daerah provinsi dilakukan olehPemerintah.

(2) Pembinaan dan pengendalian organisasiperangkat daerah kabupaten/kota dilakukan olehgubernur.

Bentuk pembinaan dan pengendalian dimaksudberupa fasilitasi Rancangan Peraturan Daerah(Raperda) tentang OPD yang seharusnya dilakukandalam kurun waktu 15 (lima belas) hari kerja setelahditerimanya Raperda. Jika dalam kurun waktutersebut tidak ada feed back, maka Raperda dimaksuddapat disyahkan menjadi peraturan daerah (pasal39 dan 40).

Berkaitan dengan hal di atas, fasilitasi yangdilakukan oleh Menteri sebagai (Pemerintah) danGubernur kepada Pemerintah Daerah (Provinsi,Kabupaten dan Kota) dalam proses perumusankebijakan penataan OPD, belum dilaksanakan secaraoptimal yang antara lain disebabkan karenaketerbatasan waktu yang telah ditetapkan.Permasalahan waktu yang terbatas menjadi krusialkarena masih terdapatnya pengaturan-pengaturanyang menimbulkan perbedaan persepsi(multiinterpretasi) sehingga membutuhkan waktuyang relatif lama dalam proses pembahasan;keterbatasan sumber daya dan berbagai kompleksitasorganisasional yang dihadapi fasilitator (Menteriatau Gubernur).

Permasalahan lainnya terkait dengan waktuadalah ketentuan pasal 51, yang menyebutkan:“Pelaksanaan penataan organisasi perangkat daerahberdasarkan Peraturan Pemerintah ini dilakukanpaling lama 1 (satu) tahun sejak Peraturan Pemerintahini diundangkan.” Aturan tersebut, cenderung

Page 13: ANTARA HARAPAN DAN REALITA: IMPLEMENTASI KEBIJAKAN ...

Antara Harapan dan Realita: Implementasi Kebijakan Organisasi Perangkat Daerah

:: Zulpikar dan Haris Faozan

242 Jurnal Ilmu Administrasi Volume VII No. 3 September 2010

dirasakan memberatkan Pemerintah Daerah dengansegala keterbatasan sumber daya yang dimiliki dandengan masih belum tersedianya berbagai kebijakanyang bersifat teknis operasional sebagai rujukandalam menjabarkan pasal-pasal yang diatur dalamPP tersebut.

5. Keterbatasan Sumber Daya.Penataan organisasi berkaitan dengan

pengelolaan sumber daya (input) yang terdiri daripegawai, pendanaan, peralatan dan saranaprasarana. Berdasarkan fenomena yang terjadi diDaerah, penataan organisasi yang dilakukan kurangdidukung dengan kemampuan sumberdaya yangdimiliki dan hanya merujuk kepada kebijakan yangada. Hal tersebut dapat dilihat dari indikasi adanyasejumlah “kotak-kotak” jabatan pada suatu OPD yangtidak terisi karena tidak memenuhi syarat jabatan dankompetensi; PAD yang defisit akibat sebagian besardialokasikan untuk pembayaran gaji pegawai;peralatan dan sarana prasarana yang kurangmemadai.

6. Persoalan budaya.Hal ini terkait dengan perilaku dan kebiasaan

birokrasi yang dipengaruhi oleh sosialkemasyarakatan (social culture) dan metode kerja(administrative culture).

Penataan organisasi dapat dimaknai denganpembentukan organisasi dan penempatan seseorangdalam jabatan. Terkait dengan hal tersebut, sistemsosial kemasyarakatan yang mengedepankankekerabatan (kroni) dan metode kerja yang birokratismekanis sebagai warisan dari budaya kolonial dancenderung dilestarikan pada era orde baru,sebagaimana dilansir Nordholt (dalam Wijaya, ibid)“decentralisation of corruption, collusion and politicalviolence that one belonged to the centralised regime of theNew Order and is now molded in existing patrimonialpatterns at the regional level” berakibat padaketidakefektifan penataan organisasi. Kecenderunganfenomena yang terjadi antara lain penempatanseseorang dalam suatu jabatan struktural didasarkanatas kekeluargaan (hubungan keluarga) ataukekerabatan (kroni).

E. KESIMPULAN DAN REKOMENDASIKinerja Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun

2007 pada Pemerintah Daerah Kabupaten Konawedan Kota Kendari berada pada kategori “sedang”.Kategori “sedang” mengandung pengertian, bahwaKinerja PP No. 41 Tahun 2007 dinilai “cukupmemadai” sehingga masih membutuhkan fasilitasidan pengawasan secara intensif dalampelaksanaannya. Konteks fasilitasi dan pengawasandalam hal ini meliputi seluruh pelaksanaan dimensikinerja PP No. 41 Tahun 2007, yaitu efektivitas,

efisiensi, kecukupan, ketepatan, danresponsivitasnya.

Berdasarkan temuan dan pembahasansebagaimana telah diuraikan, maka pada dasarnyakinerja PP No. 41 Tahun 2007 masih belum mencapaitujuan yang diharapkan. Oleh karena itu, untukmendukung keberhasilan pencapaian tujuankebijakan tersebut,iperlu nya political will dan politicalaction dari setiap komponen pemerintahan. Politicalwill dimaksud, adalah reformulasi kebijakan yangkontradiktif dan kurang mendukung terhadapkebijakan OPD, penetapan berbagai kebijakan yangbersifat teknis oleh Pemerintah (khususnyaKementerian yang berwenang dalamPendayagunaan Aparatur Negara dan PemerintahanDalam Negeri), dan kebijakan Kepala Daerah(Peraturan Daerah, Peraturan dan Keputusan Bupati/Walikota). Adapun untuk political action; Pemerintah(Kementerian Dalam Negeri dan Pemerintah DaerahProvinsi) melakukan asistensi, bimbingan, supervisi,dan pelatihan terkait implementasi PP No. 41 Tahun2007 dan Kepala Daerah mengurangi/bahkanmengeliminasi intervensi politis dalam teknisoperasional manajemen pemerintahan daerah, sepertipembentukan OPD yang tidak sesuai dengankebutuhan Daerah, pengangkatan pegawai yangtidak berdasarkan kompetensi jabatan, pengalokasiananggaran secara proporsional dan berorientasipelayanan publik dan peningkatan kapasitasaparatur.

REFERENSIBuku:Ackoff, Rusell L. 1974. Redesigning the Future: System

Approach to Societal Problems. New York: John Wiley.Bullock III, Charles S., James E. Anderson and David W.

Brady. 1983. Public Policy in the Eighties. Monterery,CA: Brooks/Cole Publishing Company.

Dunn, William N. 1981. An Introduction to Public Policy,Analysis, Englewood Cliffs, N.J: Prentice Hall. Inc.

__________. 2000. Pengantar Analisis Kebijakan Publik, Edisikedua. Diterjemahkan oleh Samodra Wibawa, DiahAsitadani, Agus Heruanto Hadna, Erwan AgusPurwanto. Penyunting: Muhadjir Darwin,Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Dye, Thomas R. 1978. Understanding Public Policy,Englewood Cliffs, N.J: Prentice Hall. Inc.

House, Peter and Joseph Coleman. 1980. “Realities of PublicPolicy Analysis” dalam Stuart S. Negel (ed) ImprovingPolicy Analysis, Beverly Hills: Sage Publication, 1980.

Jones, Charles O. 1976. Policy Analysis: Academic Utility forPractical Rhetoric, Policy Studies Journal Vol. 4, 1976.

__________. Public Policy, 1996. Diterjemahkan oleh NasirBudiman, Pengantar Kebijaksanaan Publik, Jakarta:PT Raja Grafindo Persada, 1996

Mustopadidjaja AR. 1992. Studi Kebijaksanaan, Perkembangandan Penerapannya dalam rangka Administrasi danManajemen Pembangunan. Jakarta: Lembaga PenerbitFEUI.

Page 14: ANTARA HARAPAN DAN REALITA: IMPLEMENTASI KEBIJAKAN ...

Antara Harapan dan Realita: Implementasi Kebijakan Organisasi Perangkat Daerah

:: Zulpikar dan Haris Faozan

243Jurnal Ilmu Administrasi Volume VII No. 3 September 2010

__________. 1999. Manajemen Proses Kebijakan (BahanKuliah Diklat SPAMEN dan SPATI), LembagaAdministrasi Negara, Jakarta. 1999.

Organization for Economic Cooperation and Development Report(OECD, 1995)

Suaib, Eka. 1998. Proses Kebijaksanaan Publik di Indonesia,Manajemen Pembangunan, No. 24/VII, Agustus 1998.

Wijaya, Andy Fefta. 2009. “Strengthening Governance ofWater Service Delivery (The Indonesian Case Study)”dalam Sharif As-Saber, Amita Singh, Raza Ahmaddan Jennifer Jalal (Editor), Strengthening Governancein Asia – Pasific; Myths, Realities and Paradoxes (hal. 17-34). India: Macmillan Publishers India.

Dokumen Peraturan:Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang

Pemerintahan Daerah.Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 84

Tahun 2000 Tentang Pedoman Organisasi PerangkatDaerah.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 8Tahun 2003 Tentang Pedoman Organisasi PerangkatDaerah.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 41Tahun 2007 Tentang Organisasi Perangkat Daerah.

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 57 Tahun 2007Tentang Petunjuk Teknis Penataan OrganisasiPerangkat Daerah.

Peraturan Daerah Kota Kendari Tahun 2008 yangmengatur tentang organisasi dan tata kerjaperangkat daerah Pemerintah Kota Kendari.

Peraturan Daerah Kabupaten Konawe Tahun 2008 dan2009 yang mengatur tentang organisasi dan tatakerja perangkat daerah Pemerintah KabupatenKonawe.

Kementerian Negara Pendayagunaan Aparatur Negara.2005. Evaluasi Kelembagaan Perangkat Daerah.

Pusat Kajian Kinerja Kelembagaan-LembagaAdministrasi Negara. 2006. Laporan Kajian Efisiensidan Efektivitas Kelembagaan Pemerintah, Jakarta:PKKK-LAN.

Pusat Kajian dan Pendidikan dan Pelatihan Aparatur I(PKP2A I)-Lembaga Administrasi Negara. 2009.Kajian Evaluasi Kinerja Kebijakan PendayagunaanAparatur Negara Pada Era Kabinet Indonesia Bersatu;Peraturan Pemerintah No. 41 Tahun 2007 TentangOrganisasi Perangkat Daerah. Jatinangor - Sumedang.