Hipotiroid Kemensos Info

68
Informasi Permasalahan Dan Usaha Kesejahteraan Sosial ISSN 2086 - 3084 Daftar Isi Masalah Dan Pelayanan Retardasi Mental Di Temanggung: Suatu Analisis Deskriptif Mujiyadi & Setyo Sumarno Kata Pengantar 1 - 12 13 - 19 20 - 28 29 - 35 36 - 47 i Fenomena Bunuh Diri Di Gunung Kidul: Catatan Tersisa Dari Lapangan Adi Fahrudin Demokrasi Dan Kesejahteraan Agus Budi Purwanto dan Mochamad Syawie Kemiskinan Dan Kesejahteraan: Sebuah Kajian Konsep Mochamad Syawie dan Hemat Sitepu Model Kemitraan Pemerintah Dengan Perusahaan Dalam Mengelola CSR; Studi Kasus Di Kota Cilegon Rahmatullah Karakteristik Keluarga Menurut Peringkat Kemiskinan: Studi Pendahuluan Untuk Perumusan Kriteria Fakir Miskin Anwar Sitepu 48 - 63 Vol. 17, No. 01, Januari - April 2012

Transcript of Hipotiroid Kemensos Info

Page 1: Hipotiroid Kemensos Info

InformasiPermasalahan Dan Usaha Kesejahteraan Sosial

ISSN2086 - 3084

Daftar Isi

Masalah Dan Pelayanan Retardasi Mental Di Temanggung: Suatu Analisis Deskriptif Mujiyadi & Setyo Sumarno

Kata Pengantar

1 - 12

13 - 19

20 - 28

29 - 35

36 - 47

i

Fenomena Bunuh Diri Di Gunung Kidul: Catatan Tersisa Dari LapanganAdi Fahrudin

Demokrasi Dan KesejahteraanAgus Budi Purwanto dan Mochamad Syawie

Kemiskinan Dan Kesejahteraan:Sebuah Kajian KonsepMochamad Syawie dan Hemat Sitepu

Model Kemitraan Pemerintah Dengan Perusahaan Dalam Mengelola CSR; Studi Kasus Di Kota Cilegon Rahmatullah

Karakteristik Keluarga Menurut Peringkat Kemiskinan: Studi Pendahuluan Untuk Perumusan Kriteria Fakir Miskin

Anwar Sitepu

48 - 63

Vol. 17, No. 01, Januari - April 2012

Page 2: Hipotiroid Kemensos Info
Page 3: Hipotiroid Kemensos Info

Informasi, Vol. 17, No. 01 Tahun 2012 i

PENGANTAR REDAKSI

Informasi Permasalahan dan Usaha Kesejahteraan Sosial terbitan Volume 17 Nomor. 01 tahun 2012 ini menyajikan berbagai artikel yang ditulis oleh para peneliti, akademisi dan praktisi dibidang kesejahteraan sosial

Mengaitkan demokrasi dengan kesejahteraan cenderung tidak pernah putus dari beragam perdebatan. Persoalannya apakah demokrasi menjadi pemicu kesejahteraan masyarakat atau sebaliknya kesejahteraanlah yang memampukan demokrasi berjalan dengan baik.Laporan Pembangunan Manusia (Human Development Report/HDR) 2011 yang belum lama diterbitkan untuk program Pembangunan PBB (UNDP) kembali mengingatkan akan beberapa fakta dan pengharapan tentang kemiskinan dan kesejahteraan di Indonesia. Tulisan tentang Kemiskinan dan Kesejahteraan mencoba mengungkap perihal tersebut.Karakteristik keluarga menurut peringkat kemiskinan tidak selalu dapat dijadikan ukuran secara tunggal dan berlaku di seluruh lokasi. Masing-masing lokasi cenderung memiliki kekhasan. Hal ini terungkap dari hasil penelitian pada dua desa di Kabupen Grobogan, Jawa Tengah.

Menarik dicermati Fenomena Bunuh Diri di Gunung Kidul. Kajian fenomena ini bertujuan melihat keterkaitan antara faktor-faktor mitos, kemiskinan dan perilaku belajar berpengaruh terhadap fenomena bunuh diri yang terjadi selama ini. Hasil kajian ini memberi implikasi terhadap program pencegahan perilaku bunuh diri berbasis masyarakat lokal.Selain fenomena bunuh diri, terdapat juga fenomena menarik di wilayah Kabupaten Temanggung, yaitu populasi penyandang disabilitas intelektual atau lebih dikenal dengan tunagrahita yang relatif cukup besar. Belum diketahui pasti penyebab utama dari fenomena dimaksud. Atas dasar fenomena ini perlu diadakan penelitian menyeluruh dengan melibatkan berbagai disiplin ilmu dan profesi agar penaggulangannya lebih memadai.Tak kalah pentingnya tentang usaha kesejahteraan sosial di Kota Cilegon yaitu model Kemitraan Pemerintah Daerah dan Pengusaha dalam mengelola Cilegon Corporate Responponsibility (CCSR). Hasil kajian ini menyarankan agar status hukum CCSR ditingkatkan dari Peraturan Walikota (Perwal) menjadi Peraturan Daerah (Perda), lembaga ini perlu memaksimalkan sosialisasi, agar bertambahnya jumlah perusahaan yang menjadi anggota CCSR, membuat basis data, dan memiliki program prioritas sendiri, serta perlunya pelibatan masyarakat dalam seluruh tahapan program.

Redaksi mengucapkan terimakasih kepada mitra bestari yang telah membrikan kritik dan koreksi terhadap keseluruh naskah dalam majalah informasi ini: 1) Prof.Agus Suradika;2) Binahayati Rusyidi, MSW, PHd.; 3) DR.Adi Fahrudin;4) DR.Yusnar Yusuf; 5) Drs.Basori Imron.

Redaksi

Page 4: Hipotiroid Kemensos Info
Page 5: Hipotiroid Kemensos Info

Informasi, Vol. 17, No. 01 Tahun 2012 1

MASALAH DAN PELAYANAN RETARDASI MENTAL DI TEMANGGUNG:SUATU ANALISIS DESKRIPTIF

(Problem And Mental Retarded Srevices In Temanggung: A Descriptive Analysis)

B Mujiyadi Pusat Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial Kementerian Sosial RI

Email : [email protected]

Setyo SumarnoPusat Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial Kementerian Sosial RI

Email: [email protected]

Abstrak

Ditemukan fenomena menarik dan memerlukan perhatian dari berbagai profesi dan disiplin ilmu di Temanggung. Di wilayah kabupaten tersebut ditemukan populasi penyandang disabilitas intelektual atau lebih dikenal dengan istilah tuna grahita yang cukup banyak. Belum diketahui secara pasti apa penyebab utama dari fenomena dimaksud. Apakah iklim, mineral atau jenis tanaman tertentu yang membawa dampak bagi kondisi ini? Sebagai telaah awal, diketahui bahwa Pemerintah Kolonial Belanda telah melihat fenomena ini dan bahkan telah mendirikan sebuah tempat pelayanan yang diperuntukkan bagi tuna grahita dimaksud pada tahun 1908 (BBRSBG, 2010). Sebagai upaya untuk menanggulangi masalah ini telah terdapat Balai Besar Rehabilitasi Tuna Grahita dengan sistem pendekatan melalui tiga model yakni layanan dalam panti, day care services dan layanan melalui pemberdayaan orang tua dari penyandang tuna grahita dimaksud. Demikian juga Dinas Sosial telah melakukan berbagai upaya penanggulangan sejak pendataan hingga pelayanan melalui pemberdayaan orang tua penyandang tuna grahita. Atas dasar fenomena ini, disarankan untuk diadakan telaah menyeluruh dengan melibatkan berbagai disiplin dan profesi agar penanggulangan lebih memadai.

Kata kunci: retardasi mental, berbagai kategori disabilitas intelektual, pelayanan sosial

Abstract

There is a certain case in Temanggung, that invite varies discipline to committed to those case. The case is related to mental retardation existention. As psycholog state that mental retardation includes debil, embisil and idiot. up to recently, there is no answer yet about what the main cause of those problem, why does Temanggung has had quite a lot of people that suffered of those kind of disability. Does it caused by a certain of diseases? Or maybe climate that impacts on human life? Or maybe lack of certain mineral such iodione? Or maybe any kind of plant that brought the diseases? Based on these question, writer have tried to studied then the result has published in this media. As an early information, the Dutch colony have built up a kind of services since 1908. It means it has already more than a hundred years the problem of mental retardation in Temanggung had been recognized. In order to responce the problem, there are various models of methods. Balai Besar Rehabilitasi Tuna Grahita, for example, set up at least three kinds of model, called in house services, day care services and family based services. The Social Institution in Temanggung has also conducted family based services and data base of the cases. However, those all models and aproach has not covered all of who suffer from the mental retardation. Thats why this writer conduct a study since the main cause, till the model of services conducted in order to overcome the problems.

Keywords: mental retardation, varies of mental disabilities, social services

Page 6: Hipotiroid Kemensos Info

2 Informasi, Vol. 17, No. 01 Tahun 2012

PENDAHULUAN

Kabupaten Temanggung merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Jawa Tengah. Sebagian besar wilayah di Kabupaten ini merupakan daerah dataran tinggi cukup memiliki sumber daya yang melimpah. Potensi yang ada, baik sumber daya manusia maupun alam teramat menjanjikan bagi perkembangan kabupaten ini. Dari wilayah ini dikenal banyak tokoh yang pernah memiliki “posisi” penting di Republik Indonesia, dari yang tingkat menteri, pimpinan polisi, gubernur, pengusaha hingga tokoh berskala nasional lainnya. Sedangkan dari sumber daya alam yang ada, seperti tembakau telah memberikan sumbangan yang cukup besar bagi negeri ini dalam menghasilkan devisa serta melibatkan berbagai pihak untuk dapat mengais nafkah dengan produk jenis ini, dari petaninya sendiri, kaum pedagang, pengangkut, buruh pabrik, hingga pengusaha pupuk, bahkan pabrik rokok yang berkecimpung dalam dunia usaha yang cukup besar.

Namun demikian, di balik semua capaian sukses dimaksud, terdapat sekelompok manusia yang kurang beruntung. Sekelompok manusia ini adalah para penyandang cacat mental atau tuna grahita atau retardasi mental atau yang sekarang disebut dengan istilah disabilitas intelektual yang memerlukan perhatian bagi kita semua.

Di Temanggung jumlah penyandang tuna grahita sebanyak 209 orang, terdiri laki-laki 96 orang dan perempuan 113 orang. Sedangkan untuk anak yang mengalami tuna grahita berjumlah 322 orang, laki-laki 179 orang dan perempuan 143 orang. Penyandang tuna grahita tersebut tersebar di hampir seluruh desa yang ada di Kabupaten Temanggung. Sebaran penyandang tuna grahita tersebut meliputi, desa Krajegan, Sragan, Genayan, Bagusan, Plumbon, Kebon Agung, Bumiayu, Gambasan, Kemiri, Kliwonan, Karangwuni, Kebumen, Suropadan, Badran, Kranggan, Menggoro, Tawangsari, Greges, Tanjungsari, Sriwungu, Candimulyo, Ngibrang, Caruban, Ternas, Kemiri, Geblok dan masih banyak desa-desa lain.

Penulis tertarik untuk mengkaji persoalan di atas; mengapa kondisi ini terjadi? Bagaimana populasi dan pro l tuna grahita di Temanggung? Apakah faktor-faktor yang mempengaruhi sehingga populasi tuna grahita relatif banyak populasinya di wilayah ini? Pelayanan apa yang disediakan bagi tuna grahita?

Penulis mencoba melihat kondisi ini dari beberapa aspek, baik dari dalam maupun dari luar diri si penyandang disabilitas intelektual dimaksud. Untuk mendalami masalah ini dilakukan kajian yang bersifat deskriptif-historis dengan fokus kondisi penyandang disabilitas intelektual dan masalahnya, populasi dan persebarannya, hingga penanganan yang dilakukan oleh berbagai pihak yang peduli terhadap masalah ini. Kajian ini lebih bersifat kualitatif. Selain menggunakan data primer yang didapat di lapangan, penulis menggunakan data sekunder dengan maksud lebih mendalami masalah yang ada serta potensi yang dapat dikembangkan dalam upaya penanganan masalah yang ada.

Kondisi Geora s Kabupaten TemanggungKabupaten Temanggung terletak di bagian

tengah provinsi Jawa Tengah. Secara geogra s, kabupaten ini terletak di 110o23’ - 110o46’30” Bujur Timur dan 7o14’ - 7o32’35” Lintang Selatan. Secara administratif, kabupaten ini berbatasan dengan wilayah sebagai berikut:• Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten

Wonosobo• Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten

Semarang dan Kabupaten Magelang• Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten

Kendal dan Kabupaten Semarang• Sebelah Selatan berbatasan dengan

Kabupaten MagelangJarak yang terjauh dari Barat ke Timur

adalah: 43,437 Km dan jarak yang terjauh dari Utara ke Selatan adalah : 34,375 Km.

Jumlah penduduk menurut Sensus Penduduk 2010 mencapai 708.109 jiwa yang terdiri dari 355.568 laki-laki dan 352.541 perempuan. Laju perkembangan penduduk, Kabupaten

Masalah dan Pelayanan Retardasi Mental di Temanggung: Suatu Analisis Deskriptif

Page 7: Hipotiroid Kemensos Info

Informasi, Vol. 17, No. 01 Tahun 2012 3

Temanggung selama 10 tahun terakhir sekitar 0,68 persen. Adapun jumlah rumah tangga menurut hasil sensus penduduk 2010 terdapat 185.244 rumah tangga, artinya, setiap rumah tangga rata-rata terdiri dari 3,82 orang.

Adapun keadaan alam kabupaten Temanggung adalah sebagai berikut:

Bentuk Kabupaten Temanggung secara makro merupakan cekungan atau depresi, artinya rendah di bagian tengah, sedangkan sekelilingnya berbentuk pegunungan, bukit atau gunung. Oleh karena itu geologi Kabupaten Temanggung tersusun dari batuan beku, yaitu sedimen dari piroklastik gunung api Sindoro-Sumbing dan sekitarnya. Piroklastik ini ukurannya bervariasi antara blek, gragal, krikil, pasir debu dan lempung sebagai akibat dari muntahan materi piroklastik gunung api yang mengendap kemudian membentuk daerah aluvial atau sedimen sehingga terjadi berlapis dimana butiran besar terletak di bawah. Lapisan atas mudah sekali dipengaruhi oleh tenaga eksogen dan mampu menyerap atau menahan air. Marfologi Kabupaten Temanggung pada dasarnya dibedakan dataran rendah dan dataran tinggi. Dataran rendah dibentuk oleh sedimen atau aluvial, sedang dataran tinggi dibentuk oleh pegunungan perbukitan yang keadaannya bergelombang.

Wilayah Kabupaten Temanggung sebagian besar merupakan dataran dengan ketinggian antara 500 -1450 m di atas permukaan air laut. Dengan keadaan tanah sekitar 50 persen dataran tingi dan 50 persen dataran rendah. Adapun jenis tanahnya sebagai berikut: (a) Latosol Coklat seluas 26.563,47 Ha (32,13 %) membentang di tengah-tengah wilayah Kabupaten Temanggung dari arah barat laut ke tenggara; (b) Latosol Coklat Kemerahan seluas 7.879,93 Ha ( 9,53 %) membentang sebagian besar di bagian timur–tenggara; (c) Latosol Merah Kekuningan seluas 29.209,08 Ha (35,33 %) membentang di bagian timur dan barat; d) Regosol seluas 16.873,97 Ha (20,14 %) membentang sebagian di sekitar kali Progo dan lereng-lereng terjal; dan (e) Andosol

seluas 2.149,55 Ha (2,60 % ) membentang di aluvial antar bukit.

Kondisi Dan Populasi Tuna Grahita Di Temanggung

Data yang ada pada Bidang Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial, Dinas Sosial Kabupaten Temanggung menyebutkan bahwa penyandang tuna grahita, cacat mental, retardasi mental sejumlah 327 orang. Sedangkan cacat mental eks psikotik sebanyak 68 orang. Dan anak cacat ganda (cacat sik dan mental) sebanyak 167 penderita. Data dimaksud bahkan tercatat lengkap dengan alamat lengkap berikut orang tua, dusun, desa hinggá kecamatan. Dengan demikian, data ini cukup valid dan dapat digunakan untuk penelusuran lebih lanjut, siapa sebenarnya penderita tuna grahita ini, siapa orang tuanya, apa yang terjadi pada keluarga dimaksud, kenapa anak tenderita tuna grahita, bagaimana kondisi lingkungannya, serta upaya apa saja yang pernah dilakukan terhadap tuna grahita dimaksud. Tentu saja ini memerlukan kepedulian dan komitmen dari banyak pihak, sentuhan dari berbagai pihak, berbagai disiplin ilmu serta berbagai sumber.

Untuk mengetahui secara jelas, rinci dan komprehensif, tentunya perlu dilakukan kajian yang sangat mendalam baik si penderita, keluarganya, maupun lingkungan di mana si penderita cacat grahita ini tinggal. Untuk ini kiranya kerjasama yang sinergis antar berbagai disiplin perlu dilakukan, sejak unsur sosial, psikologis, kesehatan hinggá lingkungan. Semua perlu keterpaduan yang saling mendukung untuk mendapatkan gambaran akar masalah yang jelas dan langkah yang tepat untuk mengatasinya, atau bahkan untuk langkah pencegahan.

Faktor Penyebab Tuna Grahita di Temanggung

Penulis berpraduga, penyebab kelainan mental ini adalah faktor keturunan (genetik) atau tak jelas sebabnya (simpleks). Keduanya disebut Retardasi Mental Primer. Sedangkan Faktor Sekunder disebabkan oleh faktor luar

Masalah dan Pelayanan Retardasi Mental di Temanggung: Suatu Analisis Deskriptif

Page 8: Hipotiroid Kemensos Info

4 Informasi, Vol. 17, No. 01 Tahun 2012

Akibat kelainan pada kromosomKelainan ini bisa diartikan dengan kesalahan

pada jumlah Kromosom (Sindroma Down), defek pada Kromosom (sindroma X yang rapuh, sindroma Angelman, sindroma Prader-Willi), dan Translokasi Kromosom.

Akibat kelainan genetik dan kelainan metabolik yang diturunkanSeperti Galaktosemia, Penyakit Tay-Sachs,

Fenilketonuria, Sindroma Hunter, Sindroma Hurler, Sindroma San lippo, Leukodistro metakromatik, Adrenoleukodistro , Sindroma Lesch-Nyhan, Sindroma Rett, Sklerosis tuberose.

Akibat penyakit otak yang nyata (Postnatal)Dalam kelompok ini termasuk tuna grahita

akibat Neoplasma (tidak termasuk pertumbuhan sekunder karena rudapaksa atau peradangan) dan beberapa reaksi sel-sel otak yang nyata, tetapi yang belum diketahui betul etiologinya (diduga herediter). Reaksi sel-sel otak ini dapat bersifat degeneratif, in ltratif, radang, proliferatif, sklerotik atau reparatif.

Akibat penyakit/pengaruh pranatal yang tidak jelas.Keadaan ini diketahui sudah ada sejak

sebelum lahir, tetapi tidak diketahui etiologinya, termasuk Anomali Kranial Primer dan Defek Kogenital yang tidak diketahui sebabnya.

Akibat prematuritas dan kehamilan wanita diatas 40 tahun.Kelompok ini termasuk tuna grahita yang

berhubungan dengan keadaan bayi pada waktu lahir berat badannya kurang dari 2500 gram dan/atau dengan masa hamil kurang dari 38 minggu. Serta behubungan pula dengan kehamilan anak pertama pada wanita Adolesen dan diatas 40 tahun.

Akibat gangguan jiwa beratUntuk membuat diagnosa ini harus jelas

telah terjadi gangguan jiwa yang berat itu, dan tidak terdapat tanda-tanda patologi otak.

Masalah dan Pelayanan Retardasi Mental di Temanggung: Suatu Analisis Deskriptif

yang berpengaruh terhadap otak bayi dalam kandungan, setelah lahir atau terhadap anak-anak.

Didapatkan informasi bahwa penyebab tuna grahita atau retardasi mental antara lain: akibat Infeksi dan/atau Intoksikasi, akibat Rudapaksa dan atau sebab sik lain, akibat gangguan metabolisme, pertumbuhan atau gizi, akibat kelainan pada kromosom, akibat kelainan genetik dan kelainan metabolik yang diturunkan, akibat penyakit Otak yang nyata (Postnatal), akibat penyakit/pengaruh Pranatal yang tidak jelas, akibat Prematuritas dan Kehamilan Wanita di atas 40 tahun, akibat Gangguan Jiwa Berat, dan akibat Deprivasi Psikososial dan Lingkungan.

Akibat infeksi dan/atau intoksikasi.Dalam Kelompok ini termasuk keadaan tuna

grahita karena kerusakan jaringan otak akibat infeksi Intrakranial, cedera Hipoksia (kekurangan oksigen), cedera pada bagian kepala yang cukup berat, Infeksi sitomegalovirus bawaan, Ensefalitis, Toksoplasmosis kongenitalis, Listeriosis, Infeksi HIV, karena serum, obat atau zat toksik lainnya.

Akibat rudapaksa dan atau sebab sik lain.Rudapaksa sebelum lahir serta juga trauma

lain, seperti sinar X, bahan kontrasepsi dan usaha melakukan abortus dapat mengakibatkan kelainan mental. Selain itu pemakaian alkohol, kokain, amfetamin dan obat lainnya pada ibu hamil, keracunan metilmerkuri, serta keracunan timah hitam juga dapat mengakibatkan tuna grahita.

Akibat gangguan metabolisme, pertumbuhan atau gizi.Semua tuna grahita yang langsung

disebabkan oleh gangguan metabolisme (misalnya gangguan metabolime lemak, karbohidrat dan protein), Sindroma Reye, Dehidrasi hipernatremik, Hipotiroid kongenital, Hipoglikemia (diabetes melitus yang tidak terkontrol dengan baik), pertumbuhan atau gizi termasuk dalam kelompok ini hal-hal seperti Kwashiorkor, Marasmus, Malnutrisi dapat mengakibatkan tuna grahita.

Page 9: Hipotiroid Kemensos Info

Informasi, Vol. 17, No. 01 Tahun 2012 5

Akibat deprivasi psikososial dan lingkunganTuna grahita dapat disebabkan oleh

fakor-faktor Biomedik maupun Sosiobudaya seperti Kemiskinan, Status ekonomi rendah, Sindroma deprivasi. Contohnya Gangguan gizi yang tergolong berat dan berlangsung lama di bawah dan sebelum umur 4 tahun sangat memepengaruhi perkembangan otak dan dapat mengakibatkan tuna grahita. Namun keadaan gangguan gizi ini dapat diperbaiki dengan memperbaiki gizi sebelum usia menginjak umur 6 tahun, namun tetap saja intelegensi yang rendah itu sudah sukar ditingkatkan walaupun anak itu dibanjiri dengan makanan bergizi.

Untuk mendiagnosa tuna grahita atau retardasi mental pada seseorang dengan tepat, perlu diambil Anamnesa dari orang tua dengan sangat teliti mengenai kehamilan, persalinan dan perkembangan anak. Bila mungkin dilakukan juga pemeriksaan Psikologik, bila perlu diperiksa juga di laboratorium, diadakan evaluasi pendengaran dan bicara. Observasi Psikiatrik dikerjakan untuk mengetahui adanya gangguan Psikiatrik disamping tuna grahita itu sendiri.

Selain itu perlu diadakan tinjauan dari aspek lingkungan. Sebagai analogi, apabila suatu daerah yang memiliki kandungan mineral yang bersifat kapur serta kurang zat yodium, di daerah dimaksud ada kecenderungan bahwa orang yang tinggal di sana akan sakit gondok. Mengapa demikian, karena air yang dikonsumsi orang di sekitar itu kurang membantu kebutuhan tubuh akan zat yodium. Penyakit gondok disebabkan oleh membesarnya kelenjar tiroid pada daerah leher. Penyebab penyakit gondok ini bisa diakibatkan makanan yang terlalu gurih karena kebanyakan penyedap atau sejenis vetchin. Seperti dikutip koleksi-web dari chem-is-try bahwa hubungan antara penyakit ini dengan kurangnya konsumsi yodium telah diketahui lebih dari 130 tahun yang lalu. Beberapa abad sebelumnya, penyakit gondok ditangani dengan mengkonsumsikan pasien benda yang kaya akan yodium seperti karang laut yang dibakar. Yodium berinteraksi dengan protein yang disebut

dengan thyroglobulin, dan cincin aromatik dari protein ter-iodinisasi. Dua dari molekul yang ter-iodinisasi tersebut berinteraksi, membentuk suatu unit thyroxine yang berikatan dengan protein. Unit aromatik ini kemudian lepas dan menghasilkan suatu hormon tiroid thyroxine yang sangat kuat.

J. Addison (1977) dalam Jurnal of the Geography Students mengatakan bahwa penyakit gondok disebabkan oleh faktor lingkungan dimana wilayah dengan kondisi geogra s pegunungan sulit untuk mendapatkan air, kalau ada airpun tidak mengandung zat yodium atau bahkan sedikit mengandung zat yodium. Sulitnya mendapatkan air akan berpengaruh pula pada tingkat kebersihan lingkungan. Dengan demikian ada hubungan yang signi kan antara kebersihan lingkungan dengan penyakit gondok (hasil survei di beberapa Negara). Kandungan yodium yang terdapat di dalam air sangat penting untuk mineral nutrisi, dan kelangsungan hidup manusia terutama untuk pertumbuhan. Tanpa teroit gland fungsi organ tubuh tidak akan normal dan mengakibatkan tubuh seseorang menjadi pendek. Kekurangan yodium di dalam teroit gland dapat mengakibatkan pula terhambatnya perkembangan sik bahkan terhambatnya perkembangan mental untuk generasi berikutnya. Penderita penyakit gondok akan melahirkan pula anak yang menderita penyakit gondok, karena janin yang dikandungnya akan merampas yodium ibunya yang juga kekurangan yodium dengan sendirinya anak yang dilahirkan kekurangan yodium. Ibu-ibu yang hamil muda sangat membutuhkan Thyoroxim. Apabila hal tersebut tidak terpenuhi maka akan berdampak pada janin dan anak yang dilahirkan akan kerdil. Menurut J. Adison dalam tulisan ini, penyakit gondok awal mulanya muncul dari daerah Sumatera ke kemudian ke daerah Timor dan menyebar di kepulauan Indonesia. Di daerah pegunungan Sumatera Utara penyakit gondok menyerang 80% wanita dan 60% pria. Di daerah Sumatera Utara tepatnya dikaki gunung, ditemukan banyak orang kerdil dan bisu tuli. Penyakit tersebut berkembang pesat di lingkungan orang-orang batak.

Masalah dan Pelayanan Retardasi Mental di Temanggung: Suatu Analisis Deskriptif

Page 10: Hipotiroid Kemensos Info

6 Informasi, Vol. 17, No. 01 Tahun 2012

Terkait dengan penyakit gondok, manusia maupun hewan mamalia muda memerlukan hormon tiroid untuk pertumbuhan dan perkembangan yang normal. Kekurangan dari hormon tiroid pada saat kandungan berakibat penurunan mental dan daya pikir anak tersebut. Kekurangan hormon tiroid pada tingkat rendah pada orang dewasa mengakibatkan hypotiroidism, atau sering kita sebut dengan istilah gondok, dengan gejala-gejala seperti malas bergerak, kegemukan, dan kulit yang mengering. Yodium yang kita dapatkan dari mengkonsumsi makanan dan minuman berada dalam bentuk ion yodium, dan besarnya bergantung dari kadar yodium dalam tanah. Tanah dengan kadar yodium rendah mengakibatkan banyak pasien menderita penyakit gondok dan dapat ditanggulangi dengan mengkomsumsi garam yang ber-iodinisasi NaI (100 mg iyodium per gram garam).

Adakah cacat mental berkaitan dengan kadar mineral yang ada di daerah kabupaten Temanggung? Apakah zat-zat yang ada dalam jenis tanaman yang ada mempengaruhi kondisi tubuh? Hal ini perlu dilakukan kajian yang mendalam dan komprehensif untuk mengetahui secara pasti akar masalah dari kondisi ini.

Demikian juga, perlu dilakukan tinjauan dari aspek biologi manusia. Apabila terdapat pasangan sedarah (saudara dekat, masih ada hubungan keluarga dekat) yang membangun perkawinan (incest), maka cenderung memiliki keturunan yang debil, embisil bahkan idiot. Hubungan sedarah diketahui berpotensi tinggi menghasilkan keturunan yang secara biologis lemah, baik sik maupun mental (cacat), atau bahkan letal (mematikan).

Akibat hal-hal dimaksud, hubungan sumbang tidak dikehendaki pada hampir semua masyarakat dunia. Semua agama besar dunia melarang hubungan sumbang. Di dalam aturan agama Islam ( qih), misalnya, dikenal konsep muhrim yang mengatur hubungan sosial di antara individu-individu yang masih sekerabat. Bagi seseorang tidak diperkenankan menjalin hubungan percintaan atau perkawinan dengan

orang tua, kakek atau nenek, saudara kandung, saudara tiri (bukan saudara angkat), saudara dari orang tua, kemenakan, serta cucu.

Tingkatan tuna grahita dapat diklasi kasikan ke dalam tiga golongan yakni debil, embisil dan idiot. Debil atau disederhanakan menjadi “mampu didik” adalah orang yang berintelegensi antara sekitar 50-55 sampai 70. Sekitar 85 % dari tuna grahita tingkat ini, tidak dapat dikenali sampai anak tersebut menginjak tingkat pertama atau kedua di sekolah. Sedangkan embisil atau ”mampu latih” adalah orang yang memiliki tingkatan intelegensi atau IQ sekitar 35-40 sampai 50-55. Orang embisil ini juga sering disebut dengan tunagrahita kategori ”sedang”. Adapun idiot atau ”mampu rawat” adalah orang yang berkemampuan intelegensia di bawah 20 atau 25. Tuna grahita tingkatan ini sering disebut sebagai ”tuna grahita sangat berat”.

Upaya dan Pelayanan yang telah dilakukanUntuk menanggapi kondisi ini, terdapat

beberapa potensi yang sudah dikembangkan sebagai media penanganan.

Dinas Sosial Kabupaten Temanggung. Dinas Sosial telah melaksanakan berbagai

upaya dan langkah dalam menangani keberadaan masalah tuna grahita ini, baik kepada si penderita, keluarga maupun pengembangan kemampuan tenaga yang bersangkutan dengan pelayanan dan rehabilitasi sosial tuna grahita.

Bagi penderita tuna grahita, Dinas Sosial memberikan layanan dengan memberikan bantuan pemenuhan kebutuhan pokok berupa santunan bahan pangan setiap bulannya. Santunan ini diberikan dalam bentuk bahan makan berupa beras dan tambahan gizi. Selain itu, penderita tuna grahita ini diupayakan untuk dapat dimasukkan dalam Balai Besar agar mendapatkan pelayanan dan rehabilitasi di Balai ini.

Sedangkan pelayanan dan rehabilitasi sosial melalui keluarga, Dinas Sosial memberikan bantuan usaha ekonomis produktif dengan maksud agar keluarga dapat mendapatkan penghasilan dan lebih lanjut dapat memberikan

Masalah dan Pelayanan Retardasi Mental di Temanggung: Suatu Analisis Deskriptif

Page 11: Hipotiroid Kemensos Info

Informasi, Vol. 17, No. 01 Tahun 2012 7

nafkah bagi anggota keluarganya yang menderita tuna grahita. Kebijakan ini diambil mengingat bahwa sebagian besar tuna grahita ini berasal dari keluarga miskin.

Adapun untuk pengembangan kemampuan tenaga yang bersangkutan dengan pelayanan dan rehabilitasi tuna grahita, Dinas Sosial membentuk satuan tugas yang disebut Kader RBM (Rehabilitasi Berbasis Masyarakat). Kader RBM ini berasal dari warga setempat, baik tokoh agama, tokoh masyarakat dan bahkan aparat desa setempat. Para kader ini diberikan pelatihan sebelumnya tentang bagaimana memberikan pelayanan dan rehabilitasi sosial bagi tuna grahita. Para kader ini diberikan kemampuan sedemikian rupa agar mampu memberikan layanan yang optimal. Kepada para kader ini diberikan sekedar stimulans uang saku yang besarnya hanya Rp 50.000,- setiap bulannya. Selain itu setiap bulan difasilitasi untuk mengadakan pertemuan. Bahkan dirancang setiap tahun diadakan kunjungan wisata kerja ke berbagai tempat pelayanan dan rehabilitasi bagi penderita cacat, seperti ke Balai Besar Rehabilitasi dan Pelayanan Sosial Tuna Daksa ”Dr Suharso” Solo, serta panti lain di wilayah Jawa Tengah.

Balai Besar Rehabilitasi Sosial Bina Grahita ”Kartini” Temanggung. Balai Besar ini telah melaksanakan

pelayanan dan rehabilitasi sosial bagi tuna grahita. Dalam uraian tugas dan fungsinya dinyatakan bahwa Balai Besar ini mempunyai tugas melaksanakan pelayanan dan rehabilitasi sosial, resosialisasi, penyaluran serta bimbingan lanjut bagi penyandang tuna grahita agar mampu berperan dalam kehidupan bermasyarakat, rujukan nasional, pengkajian dan penyiapan standar pelayanan, pemberian iinformasi dan koordinasi dengan instansi terkait sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Adapun fungsi yang diselenggarakan meliputi: (1) pelaksanaan penyusunan rencana dan program, evaluasi serta penyusunan laporan; (2) pelaksanaan registrasi, observasi, identi kasi, penyelenggaraan asrama dan pemeliharaan

jasmani serta penetapan diagnosa sosial dan perawatan; (3) pelaksanaan bimbingan sosial, mental, keterampilan dan sik; (4) pelaksanaan resosialisasi, penyaluran dan bimbingan lanjut; (5) pemberian informasi dan advokasi; (6) pengkajian dan penyiapan standar pelayanan dan rehabilitasi sosial; serta (7) pengelolaan urusan tata usaha.

Di samping fungsi-fungsi tersebut, BBRSBG “Kartini” Temanggung mempunyai fungsi:• Sebagai pusat pelayanan kesejahteraan

sosial penyandang tuna grahita;• Sebagai pusat informasi kesejahteraan

sosial;• Sebagai pusat penelitian dan pengembangan

metode pelayanan rehabilitasi sosial; dan• Sebagai pusat pelatihan kader rehabilitasi

sosial

Seperti dikemukakan di atas bahwa penerima manfaat di BBRSBG ini berasal dari seluruh Indonesia. Namun demikian, dari 225 penerima manfaat yang ada pada saat ini, terdapat 170 orang berasal dari kabupaten Temanggung. Para penerima manfaat ini dapat diterima di BBRSBG setelah melalui proses penerimaan yang cukup panjang.

Secara eksplisit disebutkan bahwa sasaran program pelayanan dan rehabilitasi sosial bagi penyandang tuna grahita adalah:1. Penyandang tuna grahita yang mempunyai

masalah sosial dengan kriteria sebagai berikut:a. Memiliki hambatan sik dan atau

mobilitas dalam melaksanakan kegiatan sehari-hari;

b. Memiliki hambatan mental psikologis yang menimbulkan rasa rendah diri, isolatif dan kurang percaya diri;

c. Memiliki hambatan dalam melaksanakan keterampilan usaha/kerja produktif;

d. Memiliki hambatan dalam melaksanakan kegiatan sosial;

e. Usia sekolah sampai usia produktif (15-35 tahun); dan

Masalah dan Pelayanan Retardasi Mental di Temanggung: Suatu Analisis Deskriptif

Page 12: Hipotiroid Kemensos Info

8 Informasi, Vol. 17, No. 01 Tahun 2012

f. Rawan kondisi sosial ekonomi2. Keluarga dan masyarakat

a. Keluarga dari penyandang tuna grahitab. Masyarakat

1) Lingkungan sosial penyandang tuna grahita

2) Persatuan Penyandang Cacat, organisasi sosial, perusahaan dan lembaga ekonomi keluarga

3) Sumber daya masyarakat lainnya.

Pada awalnya BBRSBG ”Kartini” melakukan pendekatan awal dengan pihak-pihak terkait seperti: Keluarga yang memiliki tuna grahita, Tokoh Masyarakat serta instansi terkait. Kemudian langkah berikutnya adalah mengirim brosur dan buku panduan ke berbagai daerah/wilayah baik melalui keluarga/kerabat bagi penyandang tuna grahita maupun mengirim langsung ke kantor Bupati dan Dinas Sosial Kota dan Kabupaten.

Setelah itu dilaksanakan sosialisasi ke daerah-daerah bekerjasama dengan petugas UPRSK pada Kantor Dinas Sosial Provinsi, tentang keberadaan pelayanan dan rehabilitasi sosial di BBRSBG “Kartini” Temanggung. Langkah tersebut kemudian ditindaklanjuti dengan menyebarluaskan informasi melalui media cetak dan elektronika, penyelenggaraan pameran tentang keberadaan BBRSBG Temanggung.

Pada gilirannya, setelah para calon penerima manfaat berdatangan, kemudian dilaksanakan motivasi dan seleksi hingga penerimaan penerima manfaat, pengungkapan masalah dan kebutuhan, penempatan ke dalam program, pelaksanaan pelayanan dan bimbingan serta pelatihan kerja, resosialisasi, bimbingan lanjut hingga terminasi. Langkah dimaksud merupakan langkah layanan standar dan bersifat reguler. Tentu saja berapa lama penerima manfaat dilayani di Balai Besar ini akan sangat tergantung dari kondisi anak yang bersangkutan. Bagi yang tingkat mampu didik mungkin akan dilayani tiga hingga empat tahun. Untuk tingkat mampu latih ditangani

antara tiga hingga lima tahun. Sedangkan anak yang mampu rawat dilayani hingga lima tahun. Namun, tentu saja akan selalu dilihat bagaimana kondisi psiko-sosial penerima manfaat setiap saat. Dengan selalu terpantaunya anak dalam perkembangannya maka akan ditentukan langkah berikutnya untuk diberikan layanan dan rehabilitasi sosial jenis apa. Dengan demikian tidak ada generalisasi layanan bagi setiap penerima manfaat. Masing-masing penerima manfaat akan dilayani sesuai kondisinya.

Pada saat yang sama, pihak Balai Besar juga terus berkomunikasi dengan orang tua si penerima manfaat, dalam rangka pembinaan tidak langsung dan penyiapan orang tua untuk menerima dan melanjutkan pelayanan di tempat tinggal mereka setelah anak selesai mengikuti pelayanan dan rehabilitasi di Balai Besar. Disadari bahwa pada dasarnya tuna grahita tidak dapat tersembuhkan secara komprehensif. Dengan demikian, layanan dan rehabilitasi tetap akan berjalan hingga usia lanjut, sesuai dengan kondisi dan derajat ketunaannya.

Selain itu di Balai Besar ini melaksanakan outreaching dengan melaksanakan multi-layanan. Multilayanan di BBRSBG “Kartini” Temanggung menjangkau penerima manfaat dengan jenis kecacatan tuna grahita, seperti sasaran yang merupakan penerima manfaat di Balai Besar secara reguler. Balai Besar ini berargumentasi bahwa penyandang tuna grahita masih cukup banyak populasinya dan lembaga yang menanganinya relatif terbatas. Di samping itu, apabila menangani sasaran penerima manfaat kategori kecacatan yang lain diperlukan tenaga dengan keahlian dan keterampilan khusus serta sarana yang lebih memadai. Dengan demikian Balai Besar ini melaksanakan multilayanan dalam bentuk pengembangan metode pendekatan. Apabila pelayanan reguler dilaksanakan sepenuhnya di dalam Balai Besar, maka untuk pelayanan pengembangan dilaksanakan dengan basis keluarga dan penerima manfaat tetap tinggal pada keluarga/orang tuanya. Demikian juga untuk layanan sifatnya layanan harian (day care

Masalah dan Pelayanan Retardasi Mental di Temanggung: Suatu Analisis Deskriptif

Page 13: Hipotiroid Kemensos Info

Informasi, Vol. 17, No. 01 Tahun 2012 9

services), penerima manfaat hanya datang pada pagi hari dan ikut pelayanan hingga siang/sore hari dan selanjutnya anak dimaksud pulang ke rumahnya.

Untuk tahun 2010 ini, di Balai Besar ini melaksanakan dua jenis multilayanan yakni PRSBK (Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Berbasis Keluarga) dan Day Care Services. Berikut ini diuraikan masing-masing jenis layanan dimaksud.1. Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial

Berbasis Keluarga (PRSBK)

Dasar pelaksanaan multilayanan berbasis masyarakat adalah Surat Keputusan Kepala Balai Besar Rehabilitasi Sosial Bina Grahita “Kartini” Temanggung Nomor: 61/KEP/V/2010 tentang penetapan penerima manfaat program rehabilitasi sosial berbasis keluarga Balai Besar RSBG “Kartini” Temanggung.

Jumlah penerima manfaat yang mendapat pelayanan dari Program Rehabilitasi Sosial Berbasis Keluarga sebanyak 30 orang terdiri dari: laki-laki 22 orang dan perempuan 8 orang. Mereka tersebar di berbagai desa termasuk dalam cakupan wilayah kecamatan Karanggan, Pringsurat, Selopampang, Tembarak, Tlogomulyo, Kedu, Bulu, Kandangan, Kaloran, Kabupaten Temanggung.

Bantuan yang diberikan BBRSBG adalah bantuan modal usaha dan bantuan pemenuhan kebutuhan dasar. Bantuan modal usaha diberikan dalam bentuk uang dengan index per penerima manfaat sebesar Rp 1.000.000,- agar dapat dimanfaatkan untuk pengembangan usaha sesuai dengan ketrampilan yang dimiliki

Adapun paket kebutuhan dasar yang diberikan BBRSBG kepada penerima manfaat per anak meliputi : a. Kebutuhan dasar: beras, gula pasir, terigu,

telor, minyak goreng kemasan, kecap, ikan asin, susu kental manis, teh celup, mie telor, biskuit, garam halus dan tas plastik

b. Kebersihan: sabun mandi, pasta gigi, sampho sachet dan sikat gigi

c. Alat ketrampilan ternak kambing : sabit, caping, keranjang, batu asah, ekrak dan ember

d. Alat ketrampilan ternak ayam: tempat telor, tempat minum, tempat makan ekrak.

Bantuan modal usaha yang diberikan dalam bentuk uang tersebut, umumnya dibelikan kambing jenis gembel seharga Rp 1.000.000,- per pasang, sedangkan penerima manfaat yang lainnya bantuan tersebut dibelikan ayam kampung, itik ataupun bebek untuk dikembangbiakkan.

Hasil ternak kambing yang dikembangkan penerima manfaat mengalami perkembangan yang cukup bagus, ini dapat dilihat dalam waktu 18 bulan kambing yang semula hanya sepasang dapat berkembang rata-rata menjadi 7 - 9 ekor. Alasan mereka lebih cenderung mengembangkan ternak kambing adalah mudah mencari bibit, makanan ternak tersedia dan penjualannyapun mudah. Berkembangnya usaha ini tidak lepas dari upaya yang dilakukan keluarga untuk selalu membimbing penerima manfaat dan kerja keras dari kader pendamping setempat yang selalu berpartisipasi dalam pengembangan usaha.

PRSBK ini sudah dirintis sejak tahun 2007. Tahun 2008 sebanyak 20 orang, kemudian tahun 2009 melayani 10 orang, dan tahun 2010 sebanyak 30 orang. Dengan demikian yang masih dilayani pada saat ini sejumlah 40 orang. Pelayanan ini ditargetkan untuk waktu dua tahun. Jadi yang masih dilayani hingga saat ini adalah meliputi 2009 dan 2010. Seperti ketetapan yang ada, Balai Besar mempunyai ketetapan bahwa masa layan untuk anak basis keluarga dilaksanakan dalam tenggang waktu dua tahun. Adapun pembimbing dalam kegiatan ini dilaksanakan oleh Kader RBM (Rehabilitasi Berbasis Masyarakat). Kader ini adalah tokoh masyarakat dan tokoh agama serta perangkat desa yang peduli terhadap masalah sosial di sekitarnya dan telah dilatih sebelumnya. Selain itu Balai Besar memanfaatkan PSD (Petugas Sosial Desa), yang status keberadaannya adalah Pegawai Negeri Sipil pada Dinas Sosial Kabupaten Temanggung yang ditempatkan di

Masalah dan Pelayanan Retardasi Mental di Temanggung: Suatu Analisis Deskriptif

Page 14: Hipotiroid Kemensos Info

10 Informasi, Vol. 17, No. 01 Tahun 2012

kecamatan-kecamatan. Hingga tahun 2010 ini, PRSBK baru menjangkau 8 dari 20 kecamatan yang ada di kabupaten Temanggung.

Sebagai informasi, Dinas Sosial Kabupaten Temanggung sangat mendukung adanya PRSBK ini. Pada tahun ini telah menyelaraskan kegiatan rehabilitasi dengan sentuhan kegiatan rehabilitasi rumah tidak layak huni (RTLH). RTLH ini dialokasikan dana Rp 3.250.000,- per keluarga. Adapun pelaksanaan rehabilitasi rumah dilaksanakan secara gotong royong, yang melibatkan para pegawai BBRSBG, pegawai Pemda, Kader RBM, serta Pemerintah desa setempat. Dengan demikian terdapat semacam ”sharing” dalam pelayanan tuna grahita melalui basis keluarga. Seperti yang terungkap dari Kepala Bidang Rehabilitasi Sosial Dinas Sosial Kabupaten Temanggung, di wilayah kabupaten ini terdapat 1048 tuna grahita. Dengan demikian upaya ini akan mempercepat pelayanan bagi para tuna grahita.

Dinas Sosial menyatakan bahwa PRSBK ini 99% berhasil, karena dapat langsung menyentuh permasalahan keluarga dengan anak tuna grahita. Selain meningkatkan ekonomi keluarga, si tuna grahita penerima manfaat merasa bangga dan memiliki terhadap perkembangan bantuan stimulans yang didapatkan. Si anak lebih bersemangat untuk mencari rumput untuk ternaknya. Selain itu, melalui penjualan sebagian hasil, anak telah dibelikan sepeda serta beberapa lembar pakaian. Dengan demikian anak merasakan dan menikmati atas hasil jerih payahnya. Menurut Dinas Sosial, penerima manfaat tuna grahita ini sebagai seorang yang mempunyai keterbatasan pikir, merasa bahagia dan bangga dengan bantuan yang ada. Selain itu multi layanan ini selain bermanfaat bagi yang bersangkutan, juga bagi keluarga, masyarakat serta Pemerintah Daerah setempat.

Akan halnya keberadaan kader RBM, Dinas Sosial menyatakan bahwa hingga tahun ini telah terbentuk 30 kader. Menurut Dinas Sosial, idealnya terdapat 5 kader setiap kecamatan. Sebagai upaya dukungan terhadap kader, Dinas Sosial telah memfasilitasi Paguyuban Kader

dengan dana Rp 5.000.000,- per tahun sebagai dana operasional. Para kader ini mengadakan pertemuan rutin setiap bulan. Selain itu, Dinas Sosial pernah mengajak para kader studi banding ke Balai Besar Rehabilitasi Sosial Bina Daksa Dr Soeharso di Solo. Untuk rencana tahun 2011, Paguyuban ini dialokasikan dana sebesar Rp 15.000.000,-. Rencana ini sudah disetujui oleh DPPKAD (Dinas Pendapatan dan Pengelolaan Keuangan dan Asset Daerah).

Selain itu Dinas Sosial menyarankan agar sasaran penerima manfaat jangan hanya 15-35 tahun, dan kalau bisa hingga mencapai 40 tahun. 2. Day Care Sevices

Pelaksanaan day care services didasarkan pada Surat Keputusan Balai Besar Rehabilitasi Sosial Bina Grahita ”Kartini” Temanggung Nomor : 46/KEP/II/2010 tentang penunjukkan penerima manfaat Day Care BBRSBG ”Kartini” Temanggung tahun 2010.

Pelayanan melalui day care services diberikan kepada lima belas orang terdiri dari laki-laki 10 orang dan perempuan 5 orang dengan tingkat kecacatan debil (mampu didik) dan embisil (mampu latih). Jenis pelayanan yang diberikan kepada penerima manfaat sama dengan pelayanan yang diberikan di dalam BBRSBG, hanya perbedaaannya pelayanan melalui day care services setiap hari mereka pulang ke rumah dengan dibekali uang transport dari BBRSBG sebesar Rp 6.000,- per anak dan makan setiap hari selama mengikuti kegiatan ketrampilan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Mereka berasal dari beberapa desa/kelurahan di wilayah Kabupaten Temanggung, antara lain: kelurahan Kertosari, desa Kasanan, desa Ngempon lor, Jampiroso Selatan, Jengkeling, Temanggung, Waduk Geblok, Brojolan Timur, Karang Wetan, Kliwonan dan Desa Bangsari. Bila dilihat dari latar belakang pekerjaan orang tua, ada sebagian buruh, pensiunan, swasta, petani/buruh tani, wiraswasta dan terdapat pula orang tua bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil.

Masalah dan Pelayanan Retardasi Mental di Temanggung: Suatu Analisis Deskriptif

Page 15: Hipotiroid Kemensos Info

Informasi, Vol. 17, No. 01 Tahun 2012 11

Masalah dan Pelayanan Retardasi Mental di Temanggung: Suatu Analisis Deskriptif

Pada dasarnya kandungan zat yodium yang terdapat di dalam air sangat penting untuk mineral nutrisi dan kelangsungan hidup manusia, terutama untuk pertumbuhan. Karena tanpa adanya teroit gland, fungsi organ tubuh manusia tidak akan normal dan mengakibatkan tubuh seseorang menjadi kerdil, bisu tuli, bahkan dapat mengalami keterbelakangan mental. Bahkan penderita penyakit gondok akan melahirkan pula anak yang menderita penyakit gondok, karena janin yang dikandungnya akan merampas zat yodium ibunya yang juga kekurangan yodium dengan sendirinya anak yang dilahirkan kekurangan zat yodium. Kondisi seperti ini pernah ditemukan di kaki gunung Sibayak wilayah Sumatera Utara.

Bila kita mencermati kondisi masyarakat yang terdapat di Kabupaten Temanggung, nampak tidak jauh berbeda dengan kondisi masyarakat di kaki gunung wilayah Sumatera Utara tersebut. Masyarakat di daerah kaki gunung wilayah Sumatera Utara dimaksud banyak yang mengalami kelainan baik sik maupun mental akibat kurang mengkonsumsi zat yodium. Tidak menutup kemungkinan persoalan tuna grahita yang terjadi di Kabupaten Temanggung juga mengalami hal yang sama seperti yang terjadi di wilayah Sumatera Utara.

Persoalan ini sebenarnya sudah terpantau sejak jaman Belanda, pada saat itu bangsa Belanda sudah peduli terhadap sekelompok manusia yang kurang beruntung (penderita tuna grahita). Kemudian sejak ratusan tahun lalu di wilayah tersebut juga sudah dibangun pula wahana panti penyantunan untuk manusia kurang beruntung, yang sekarang menjadi Balai Besar Rehabilitasi Sosial Bina Grahita ”Kartini” Temanggung.

Menyimak pesoalan yang demikian kompleks di atas, berbagai upaya penanganan telah dilakukan dari sejak jaman dulu hingga sekarang ini. Balai Besar Rehabilitasi Sosial Bina Grahita salah satu balai yang melaksanakan multilayanan dalam bentuk pengembangan metode pendekatan. Pelayanan reguler dilaksanakan sepenuhnya di dalam Balai

Besar melalui sistem Panti yang menempatkan penerima manfaat sepenuhnya berada dan dilayani di dalam Balai, sedangkan pelayanan pengembangan dilaksanakan dengan basis keluarga (penerima manfaat tetap tinggal pada keluarga/orang tuanya) dan layanan harian (day care services), penerima manfaat hanya datang pada pagi hari dan ikut pelayanan hingga siang/sore hari pulang ke rumahnya.

Kemudian Dinas Sosial Kabupaten Temanggung juga melaksanakan upaya penanganan, baik kepada si penderita, keluarga maupun pengembangan kemampuan tenaga yang bersangkutan dengan pelayanan dan rehabilitasi sosial tuna grahita. Bagi penderita tuna grahita, santunan bahan pangan setiap bulan dalam bentuk beras dan tambahan gizi. Sedangkan pelayanan dan rehabilitasi sosial melalui keluarga, diberikan bantuan usaha ekonomis produktif. Untuk pengembangan kemampuan tenaga yang bersangkutan dengan pelayanan dan rehabilitasi tuna grahita, dibentuk satuan tugas yang disebut Kader RBM (Rehabilitasi Berbasis Masyarakat). Kader RBM ini berasal dari warga setempat, baik tokoh agama, tokoh masyarakat dan bahkan aparat desa setempat. Para kader ini diberikan pelatihan tentang bagaimana memberikan pelayanan dan rehabilitasi sosial bagi tuna grahita. Selain itu setiap bulan difasilitasi untuk mengadakan pertemuan.

Namun demikian, dalam penanganan tersebut terlihat hanya sebatas penanganan terhadap permasalahan yang muncul, untuk akar masalahnya nampak belum tersentuh. Melihat pengalaman dan membaca dari berbagai sumber bacaan, akar masalah dari persoalan tersebut antara lain adalah kurangnya zat yodium pada masyarakat yang tinggal di daerah pegunungan. Namun demikian, melihat besarnya populasi penderita serta beratnya kualitas penyandang, maka perlu kajian lebih mendalam mengenai kondisi wilayah ini. Kiranya telaah air dan mineral yang terkandung di wilayah ini, cuaca dan iklim yang mewarnai, jenis tanaman yang mungkin mempunyai dampak terhadap

Page 16: Hipotiroid Kemensos Info

12 Informasi, Vol. 17, No. 01 Tahun 2012

Masalah dan Pelayanan Retardasi Mental di Temanggung: Suatu Analisis Deskriptif

kehidupan, serta telaah psikologis perlu dilakukan sebelum melakukan langkah yang lebih responsif terhadap masalah dimaksud.

Pertanyaan yang perlu didapatkan jawaban yang lengkap adalah mengapa kondisi ini terjadi? Pernahkah dari Dinas Kesehatan melakukan penelitian terhadap persoalan tersebut? Pernahkah dilakukan penelitian dari Dinas Pertanian yang berkaitan dengan kondisi tanaman yang mungkin berpengaruh terhadap kesehatan manusia? Pernahkah dari Perguruan Tinggi (seperti Fakultas Biologi, Kesehatan Masyarakat atau jurusan lain) melakukan hal yang serupa, atau mungkin dari Dinas-Dinas lain terkait dengan masalah tersebut. Sehubungan dengan hal tersebut untuk menangani masalah ini perlu dilakukan secara terpadu dan koordinatif dengan instansi lain. Hal ini dimaksudkan agar dalam penanganan masalah tersebut tidak hanya sebatas rehabilitatif tetapi tercakup di dalamnya upaya preventif dan kuratif.

KESIMPULAN

Sesuai amanat UU 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial, bahwa pada dasarnya semua orang perlu mendapatkan perlindungan sosial, maka para tuna grahita ini pun perlu mendapatkan sentuhan yang memadahi. Sentuhan ini sejak pencegahan, penanganan penderita baik secara langsung maupun melalui keluarganya, hingga aktualisasi potensi yang dimiliki para penderita serta penguatan bagi pihak yang melakukan pelayanan kepada tuna grahita, baik secara kelembagaan maupun perorangan.

Kiranya kerjasama yang sinergis antar berbagai disiplin serta berbagai pendekatan perlu dilakukan, sejak unsur sosial, psikologis, kesehatan hinggá lingkungan. Semua perlu keterpaduan yang saling mendukung untuk mendapatkan gambaran akar masalah yang jelas dan langkah yang tepat untuk mengatasinya, atau bahkan untuk langkah pencegahan.

***

DAFTAR PUSTAKA

Balai Besar Rehabilitasi Sosial Bina Grahita “Kartini” Temanggung, (2010). Upaya Pelaksanaan Rehabilitasi Sosial Tuna Grahita. Temanggung.

Departemen Sosial RI. (1997). Laporan Penyuluhan Hukum yang berkaitan dengan Undang Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat. Jakarta, Biro Hukum.

Departemen Sosial RI. (1998). Peraturan Pemerintah Nomor 43 tahun 1998 tentang Upaya Peningkatan Kesejahteraan Sosial Penyandang Cacat. Jakarta. Biro Hukum.

Direktorat Jenderal Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial. (2007). Buku Pedoman Pelaksanaan Pemberian Bantuan Dana Jaminan untuk Penyandan Cacat Berat. Jakarta. Depsos RI.

Direktorat Jenderal Bantuan dan Jaminan Sosial. (2007). Panduan Umum Program Jaminan Sosial. Jakarta. Depsos RI.

Addison, J. (1977). Journal of the Geography Students. Vol 2, No. 1, April 1977. University of New England,

Karen M. Sowers Catherine N. Dulmus, Comprehensive Handbook of Social Work and Social Welfare, Human Behavior in the Social Environment, JohnWiley & Sons, Inc .

Suharsini Arikunto & Cepi SAJ, 2008, Evaluasi Program Pendidikan, Bumi Aksara.

Page 17: Hipotiroid Kemensos Info

Informasi, Vol. 17, No. 01 Tahun 2012 13

PENDAHULUAN

Bunuh diri memang bukan kisah baru dalam masyarakat modern. Kesediaan Socrates untuk minum racun, misalnya, merupakan tindakan bunuh diri yang dilakukannya secara sadar; walau ada hubungan dengan hukuman mati yang dijatuhkan padanya. Dia pilih mati dengan cara minum racun daripada mencabut ajaran

FENOMENA BUNUH DIRI DI GUNUNG KIDUL: CATATAN TERSISA DARI LAPANGAN

(Suicide phenomena in Gunung Kidul: Remaining record from the eld)

Adi FahrudinFakultas Ilmu Sosial dan Ilmu PolitikUniversitas Muhammadiyah Jakarta

Email: [email protected]

Abstrak

Artikel ini merupakan catatan dari lapangan mengenai fenomena bunuh diri di Daerah Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta, Indonesia. Tujuan utama penelitian adalah mengkaji keterkaitan antara faktor-faktor mitos, kemiskinan dan perilaku belajar berpengaruh terhadap fenomena bunuh diri yang terjadi selama ini. Penelitian ini dijalankan menggunakan data sekunder dari tahun 1990-2006. Data diperoleh dari Polres Gunung Kidul, Rumah Sakit Umum Daerah, dan Kantor Dinas Sosial. Hasil penelitian menunjukkan bahwa fenomena bunuh diri yang terjadi berkaitan dengan perilaku belajar yang salah mengenai mekanisme mengatasi masalah kehidupan. Pada awalnya perilaku bunuh diri itu berhubungan dengan mitos palung gantung dan kemiskinan, namun kemudian fenomena bunuh diri ini begeser dan lebih disebabkan oleh faktor perilaku koping yang dipelajari secara keliru dari satu generasi ke generasi berikutnya. Bunuh diri dianggap sebagai mekanisme koping dalam mengatasi permasalahan yang dihadapi. Hasil penelitian ini memberi implikasi terhadap program pencegahan perilaku bunuh diri berbasis masyarakat lokal.

Kata Kunci: bunuh diri, perilaku bunuh diri, pencegahan, perilaku koping

Abstract

This article is a record of eld research on the phenomenon of suicide in Gunung Kidul, Special Region of Yogyakarta, Indonesia. The main purpose of research is to examine the relationship between myth factors, poverty and learning behaviors affect the phenomenon of suicide that occurred during this time. The research was carried out using secondary data from the years 1990-2006. Data obtained from the Gunung Kidul Police Of ce, Regional General Hospital, and the Of ce of Social Service. The results showed that the phenomenon of suicide is associated with learning the wrong behavior of the mechanism to overcome the problem of life. At the beginning of suicidal behavior was associated with a trough hanging myths and poverty, but then the phenomenon of suicide is moving and more are caused by coping behavioral factors erroneously from one generation to the next. Considered suicide as a coping mechanism in addressing the problems faced. The results of this study provide implications for suicidal behavior prevention programs based on local communities.

Keywords: suicide, suicidal behavior, prevention, coping behavior

kebenaran yang dia diberikan kepada anak-anak muda. Dalam cerita wayang yang bersumber dari Kitab Ramayana dan Mahabharata, kita dapat menemukan tokoh Kumbokarno yang mati bunuh diri dengan cara nekat berperang. Dalam tradisi bangsa Jepang, kita juga mengenal tradisi harakiri, yaitu bunuh diri dengan menusukkan pisau ke perut dan mengeluarkan seluruh isinya,

Page 18: Hipotiroid Kemensos Info

14 Informasi, Vol. 17, No. 01 Tahun 2012

sebagai bentuk kesatriaan dalam penebusan dosa.

Pada masyarakat modern sekarang, cara yang digunakan dan tujuan bunuh diripun beragam. Ada bunuh diri dengan membakar tubuh sebagai aksi protes, seperti yang dilakukan oleh Chen Guo, penganut sekte meditasi Falun Gong di Beijing. Bersama tujuh orang lainnya, dia membakar tubuhnya di Lapangan Tiananmen sebagai aksi protes terhadap pelarangan Sekte Falun Gong. Ada juga yang dengan upacara ritual karena keyakinan akan kenikmatan abadi, seperti bunuh diri massal yang dilakukan oleh sekte Heaven’s Gate (Pintu Surga) di Amerika Serikat, pada tanggal 28 Maret 1997. Pemimpin Sekte ini, Marshall Applewhite, percaya bahwa sebuah UFO (unidenti ed ying object) memang ada dan akan membawa anggotanya ke surga begitu mereka membuang wadah (tubuh) mereka.

Tujuan penelitianTujuan penelitian adalah untuk memperoleh

informasi mengenai fenomena bunuh diri di Gunung Kidul. Tujuan selanjutnya adalah untuk menganalisis keterkaitan fenomena bunuh diri dengan kemiskinan, mitos dan perilaku koping yang dipelajari dari lingkungannya.

Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan memberi

konstribusi positif bagi perkembangan wacana ilmiah dalam pekerjaan sosial mengenai bunuh diri dan mekanisme pencegahan bunuh diri menggunakan pendekatan pekerjaan sosial berbasis masyarakat lokal.

Metode PenelitianPenelitian ini dilakukan dengan

menggabungkan hasil penelitian lapangan dengan analisis data sekunder. Sumber data bagi penelitian lapangan adalah pihak-pihak yang memiliki kewenangan dalam memberikan informasi mengenai perbuatan bunuh diri seperti Kepolisian, Rumah Sakit, Kepala Wilayah Kecamatan dan lain-lain. Bagi melengkapi

penelitian lapangan, peneliti mengumpulkan dan menganalisis data sekunder berupa data statistik yang bersumber dari Kepolisian.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kemiskinan Dan Bunuh DiriTeori ada mengatakan bahwa bunuh diri

berhubungan dengan kemiskinan. Namun demikian, berbeda dengan bunuh diri yang terjadi di berbagai negara, seperti di Amerika, Cina, dan Jepang, di mana penyebabnya lebih pada persoalan ideologi, keyakinan, atau sebagai bentuk aksi protes terhadap suatu rezim yang menindas, maka menurut Darmaningtyas (2002) bunuh diri di masyarakat Gunung Kidul disebabkan oleh keputusasaan yang mendalam dan akut dalam menghadapi sulitnya hidup. Lanjutnya bahwa bunuh diri di Gunung Kidul terkait dengan kondisi wilayah tersebut yang gersang, tandus, serta kemiskinan yang diderita oleh masyarakatnya.

Menurut analisis saya dalam konteks bunuh diri di Gunung Kidul, faktor kemiskinan tidak bisa dijadikan faktor penyebab utama sehingga seseorang mengambil keputusan untuk mengakhiri hidupnya. Data dari Polres Gunung Kidul tahun 2003 sampai tahun 2006 menunjukkan bahwa 85 persen dari jumlah orang yang bunuh diri bekerja sebagai petani (data tahun 2000-2002 tidak tersedia). Tidak ada penjelasan apakah petani tersebut masuk dalam kategori petani miskin, ambang miskin atau tidak miskin (lihat tabel 1). Tabel 1.Data bunuh diri berdasarkan pekerjaanPekerjaan 2003 2004 2005 2006Petani 24 21 27 27Swasta 3 2 3 1Pensiunan 1 0 0 0PNS 1 0 0 0Supir 1 0 0 0Pelajar 0 1 0 0Polisi 0 1 0 0Buruh 0 0 0 1Eks Dukuh/Pamong desa 0 1 0 0

Jumlah 30 26 30 29Sumber: Kasatreskrim Polres Gunung Kidul, 2007

Fenomena Bunuh Diri di Gunung Kidul: Catatan Tersisah Dari Lapangan

Page 19: Hipotiroid Kemensos Info

Informasi, Vol. 17, No. 01 Tahun 2012 15

Hasil pengamatan saya menunjukkan bahwa benar jika majoritas petani Gunung Kidul hanya mengusahakan budidaya tanaman semusim (padi dan palawija). Namun menyalahkan faktor alam yang gersang sehingga masyarakatnya menjadi miskin sebagai penyebab bunuh diri agak sukar diterima. Gunung Kidul sekarang ini tidak lagi gersang seperti dahulu, dan kehidupan sosio-ekonomi masyarakat Gunung Kidul sudah jauh lebih baik dari era tahun-tahun sebelumnya. Fakta memang menunjukkan bahwa hingga akhir dekade 1960-an masyarakat Gunung Kidul masih banyak yang mengalami kekurangan makan. Bahkan, pada tahun 1963-1964 pernah terjadi kelaparan massal dan wabah penyakit HO yang mematikan. Namun kondisi sekarang sudah mengalami perubahan dan kelaparan bukan masalah lagi bagi masyarakat Gunung Kidul. Masyarakat Gunung Kidul sudah mulai mengalami masa perbaikan ekonomi terutama menyangkut kecukupan kebutuhan bahan makan, sekitar tahun 1978, bersamaan dengan mulai berhasilnya program penghijauan yang digalakkan pemerintah pusat maupun daerah. Persoalannya adalah mengapa fenomena bunuh diri masih tetap bahkan cenderung meningkat dari tahun ke tahun sebagaimana terlihat pada tabel 2 berikut ini.

Tabel 2. Data bunuh diri di Gunungkidul dariTahun 2000-2006

Tahun/Bulan 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006

Januari 1 2 3 2 2 0 5Februari 3 2 0 0 0 2 2Maret 2 2 0 3 2 6 4April 4 1 0 6 4 3 2Mei 1 3 2 2 3 5 2Juni 2 2 3 0 1 1 0Juli 3 1 9 2 1 1 2Agustus 2 2 3 2 7 0 3September 1 1 3 4 1 3 5Oktober 1 1 2 3 3 2 1November 3 1 1 2 6 2 4Desember 5 0 0 3 1 2 0Jumlah 28 18 26 29 29 27 30Sumber: Kasatreskrim Polres Gunung Kidul, 2007

Berdasarkan data pada tabel 2 di atas tentu menyangkal sinyalemen banyak pihak bahwa kemiskinan sebagai faktor utama penyebab bunuh diri di Gunung Kidul.

Tabel 3.Data bunuh diri berdasarkan jenis kelamin

TahunJenis Kelamin 2003 2004 2005 2006

Laki-laki 25 22 17 20Perempuan 4 9 10 10

Jumlah 29 31 27 30

Sumber: Kasatreskrim Polres Gunung Kidul, 2007

Bunuh Diri dan Isu GenderData hasil penelitian menunjukkan bahwa

laki-laki merupakan jumlah terbanyak yang melakukan bunuh diri. Darmaningtyas (2002) menyinggung soal korelasi laki-laki dengan masyarakat patriarkal, di mana kaum laki-laki berperan penting dan punya tanggung jawab besar dalam keluarga dan masyarakat.

Berdasarkan data pada tabel 3 di atas terlihat kecenderunga dari tahun ke tahun pelaku bunuh diri terbanyak adalah laki-laki. Jika isu peran gender yang dimunculkan maka persoalannya adalah mengapa di daerah lain di mana laki-laki dituntut dengan peranan dan tanggungjawab yang besar namun fenomena bunuh diri tidak sefenomenal seperti yang terjadi di Gunung Kidul.

Bunuh Diri dan Lanjut UsiaData memang menunjukkan usia rata-rata

pelaku bunuh diri di atas 40 tahun dan majoritas mereka berjenis kelamin laki-laki (lihat tabel 3 dan 4). Laki-laki pada usia seperti ini sudah kurang produktif lagi apalagi majoritas dari mereka bekerja sebagai petani yang memerlukan tenaga dan ketahanan sik yang kuat. Banyak juga diantara mereka ini yang melakukan bunuh diri karena sebab penyakit kronis yang diderita. Namun mengkaitkan usia di atas 40 tahun dan jenis kelamin laki-laki dalam konteks kemiskinan sebagai faktor penyebab bunuh diri juga dirasakan kurang tepat.

Fenomena Bunuh Diri di Gunung Kidul: Catatan Tersisah Dari Lapangan

Page 20: Hipotiroid Kemensos Info

16 Informasi, Vol. 17, No. 01 Tahun 2012

Fenomena Bunuh Diri di Gunung Kidul: Catatan Tersisah Dari Lapangan

Tabel 4 Data bunuh diri di Gunungkidul berdasarkan usia

Kategori Usia Jumlah % < 50 tahun 45 38,551-55 tahun 8 6,856-60 tahun 30 25,661-65 tahun 34 29,1

Jumlah 117 100

Sumber: Kasatreskrim Polres Gunung Kidul, 2007

Namun demikian jika mencermati secara mendalam data pada tabel 4 di atas, dalam isu bunuh diri di Gunung Kidul perlu dicatat bahwa pelaku bunuh diri masuk kategori lanjut usia. Dengan demikian hasil penelitian ini sejalan dengan berbagai penelitian dalam bidang gerontologi yang menunjukkan orang lanjut usia memiliki kecenderungan untuk bunuh diri karena berbagai penyebab diantaranya depresi, kesepian, putus asa karena penyakit dan ketiadaan dukungan sosial dari keluarga (Fahrudin, 2000).

Bunuh Diri Dan Mitos Pulung GantungDi Gunung Kidul ada keyakinan bahwa

bunuh diri terjadi disebabkan oleh adanya Pulung Gantung. Menurut penduduk setempat, pulung gantung merupakan isyarat langit tentang akan terjadinya bunuh diri dengan cara menggantung. Mereka menggambarkan pulung gantung itu sebagai sinar merah kebiru-biruan di waktu malam yang melintas di langit dengan cepat. Bila suatu saat benda itu muncul dan jatuh di suatu tempat, tak lama di tempat itu akan terjadi peristiwa bunuh diri. Mitos semacam itu hingga kini masih diyakini oleh sebagian masyarakat Gunung Kidul. Munculnya mitos ini sebetulnya bermula dari perjalanan orang-orang Majapahit melawan Demak pada abad ke-15, banyak putra Majapahit yang lari menyelamatkan diri ke Gunungkidul yang ketika itu masih hutan belantara. Ada yang mampu bertahan dan ada juga yang tidak mampu bertahan. Mereka yang tidak mampu bertahan di hutan belantara memilih mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri (Hadisumarto, dipetik dari Darmaningtyas, 2002). Kisah bunuh diri ini masih melekat dan

diyakini orang-orang tua sambil mengkaitkannya dengan mitos Pulung Gantung. Mitos ini sampai hari ini masih diyakini oleh sebagian masyarakat Gunungkidul yang kental dengan cerita-cerita mistis. Berdasarkan wawancara dengan pihak terkait mereka tidak pernah tahu secara pasti sejak kapan kisah tentang Pulung Gantung itu muncul dan dalam waktu kapan ia muncul, meskipun bunuh diri di Gunungkidul selalu dikaitkan dengan mitos Pulung Gantung. Hal ini mungkin karena angka bunuh diri cukup tinggi juga modus bunuh diri hampir semua dengan cara menggantung sehingga bunuh diri dalam masyarakat dikaitkan dengan Pulung Gantung (lihat tabel 3). Data dari tahun 2003 sampai tahun 2006 menunjukkan modus bunuh diri yang paling banyak adalah dengan cara gantung diri. Menariknya lagi modus gantung diri tersebut menggunakan peralatan yang sederhana seperti kain kemban, tali dan tempat menggantung diri di pohon dan palang rumah.

Tabel 5Modus bunuh diri di Gunung KidulTahun 2000-2006

TahunModus

2003 2004 2005 2006

Gantung diri 28 30 26 26Bakar diri 0 0 0 1Minum racun 0 0 1 1Jebur sumur 0 0 0 1Menyayat urat nadi 0 0 0 0Jatuh luweng 0 1 0 0

Jumlah 28 31 27 30Sumber: Kasatreskrim Polres Gunung Kidul, 2007

Bunuh Diri dan Perilaku Koping yang Dipelajari

Fungsi sosialisasi, tata nilai, dan relasi-relasi personal tak lagi mendalam. Manusia dihargai bukan oleh nilai-nilai kemanusiaan, melainkan oleh kedudukan, kekayaan, martabat dan status sosial. Lunturnya penghargan individu menjadi pemicu orang tidak lagi berharga di mata orang lain. Selain itu, tatanan sosial dalam tingkatan yang lebih global dianggap sangat kacau dan malahan cenderung tanpa moralitas, yang mendorong tindakan bunuh diri sebagai pilihan terbaik dalam penyelesaian masalah kehidupan.

Page 21: Hipotiroid Kemensos Info

Informasi, Vol. 17, No. 01 Tahun 2012 17

Dalam bahasa yang lain, corak kapitalisme global yang memarjinalkan mereka yang lemah dan terus memperkaya mereka yang berdaya agaknya semakin membuat mereka menjadi kelompok sosial yang termarjinalisasikan. Nilai-nilai kejujuran dan keutamaan etis seolah-olah mengalami peminggiran.

Dalam keadaan begini hidup dirasakan begitu absurd, mustahil, dan tak masuk akal, Bahkan realitas absurd itu pada akhirnya menjadi semacam irasionalitas. Sebabnya adalah keputusan yang dianggap terbaik justru tidak mempunyai kesesuaian dengan tuntutan serta situasi yang tersedia. Apa yang dipikirkan serta dinilai secara moral sebagai kebaikan justru tidak ditemukan dalam ketidakteraturan sosial semacam ini.

Tekanan hidup bersumber dari banyaknya beban hidup. Hal ini karena hidup sebagian besar orang kian berorientasi pada materi. Malangnya, individu dan masyarakat tidak pernah dididik emotional intelligence, padahal dari pendidikan kecerdasan emosi itulah diharapkan tumbuh dan berkembangnya life skills, tahan dari rapuh jiwanya, sehingga tidak mudah terguncang. Di sisi lain, masyarakat mestinya mempunyai katup pengaman masalah sosial, yakni keluarga. Akan tetapi, konsep ini tidak berjalan maksimal karena keluarga sudah tidak lagi dapat berfungsi sebagai tempat yang aman. Penderitaan hidup sepertinya ditanggung sendiri. Fungsi sosialisasi dengan masyarakat dan tetangga juga mengalami kemacetan. Mestinya, jika ada orang dewasa yang yang mengalami problem psikologis, tetangga-tetangganyalah yang menolong. Namun, pola inipun macet. Baik di perkotaan dengan masyarakat individualis maupun pedesaan yang sama-sama orang miskin, solidaritas semacam ini sudah menghilang. Ketidakpedualian sosial bisa disebabkan; takut dianggap mencampuri masalah rumah tangga orang lain, atau mereka sendiri bermasalah. Terbatasnya ruang publik yang dapat menjadi sarana hiburan murah, membuat masalah ini makin kronis karena jarang ada keluarga yang dapat mengonsolidasikan kehidupan keluarganya.

Manajemen hidup bermasyarakat seharusnya dapat dan perlu dikelola lebih baik. Pada sisi ini, juga lunturnya keteladanan sosial dalam masyarakat merupakan salah satu penyebab mengapa bunuh diri kian marak termasuk apa yang terjadi di Gunungkidul. Disamping itu, terjadi kemerosotan lembaga keluarga. Sebagai unit sosial terkecil, lembaga keluarga tak bisa memberikan rasa aman. Masyarakat tak memiliki tempat berlabuh dalam menghadapi himpitan sosial. Pada sisi lain, fungsi sosialisasi dalam keluarga tak berjalan efektif. Banyak orang kehilangan pegangan tata nilai. Juga terjadi anomali dalam lingkungan sosial. individualisme, korupsi, hedonisme, materialisme, dan merosotnya keteladanan hidup semakin menyuburkan bunuh diri.

Dewasa ini, bunuh diri dipandang oleh sebagian masyarakat sebagai salah satu jalan keluar mengatasi masalah yang dihadapinya. Berdasarkan analisis terhadap fenomena bunuh diri di Gunungkidul, saya percaya bahwa akar masalah bunuh diri boleh jadi kemiskinan dan kepercayaan pada mitos palung gantung, namun perilaku bunuh diri dengan cara menggantung menurut saya lebih di sebabkan perilaku belajar dari persekitaran mereka. Seseorang bunuh diri karena mereka telah mempelajari cara atau mekanisme penyelesaian masalah yang diwariskan secara tidak langsung oleh lingkungan sosial mereka bahwa bunuh diri dengan cara gantung diri merupakan solusi atas setiap masalah yang mereka hadapi. Pengalaman-pengalaman sebelumnya membuktikan bahwa bunuh diri merupakan mekanisme yang efektif untuk terbebas dari masalah yang membelit pelakunya. Sebagai contoh, seseorang yang terjerat hutang mengambil jalan pintas dengan cara menggantung diri dan karena pelaku sudah mati maka hutangnya dianggap impas oleh pihak yang memberi hutang.

Dalam teori psikologi dikenali teori belajar sosial dimana manusia bertingkah laku karena pembelajaran dari lingkungan sosialnya. Kebanyakan tingkah laku manusia sama ada positif atau negatif diperoleh dengan cara memperhatikan tingkah laku orang lain. Sistem sosial yang termasuk dalam ruang

Fenomena Bunuh Diri di Gunung Kidul: Catatan Tersisah Dari Lapangan

Page 22: Hipotiroid Kemensos Info

18 Informasi, Vol. 17, No. 01 Tahun 2012

Fenomena Bunuh Diri di Gunung Kidul: Catatan Tersisah Dari Lapangan

hidup seseorang senantiasa memberi kesan ke atas tingkah lakunya (Habibah Elias & Noran Fauziah Yaakub, 2002). Oleh sebab itu, mekanisme penyelesaian masalah melalui bunuh diri dengan cara menggantung diri yang terjadi pada masyarakat Gunungkidul menurut hemat saya lebih disebabkan perilaku yang dipelajari melalui pengamatan dan peniruan, bukan karena mitos Palung Gantung atau karena kemiskinan. Sebaliknya mitos Palung Gantung yang berkembang dalam masyarakat atau faktor kemiskinan boleh jadi hanya sebagai precipitating factors.

KESIMPULAN

Dalam menangani kasus bunuh diri, banyak intervensi krisis yang bisa digunakan tergantung kasus per kasus. Dalam hal pencegahan terutama pencegahan primer, tentu harus memahami lebih dulu faktor-faktor umum apa saja yang dapat memperkecil risiko tindak bunuh diri. Pencegahan primer dalam aspek psycho-education amat penting karena merupakan sarana meletakkan dasar-dasar perkembangan kognitif, kemampuan penalaran, mekanisme adaptasi, melalui pola pendidikan yang terkait nilai-nilai kehidupan, falsafah hidup, dan ajaran agama. Berbagai hal itu yang disertai bimbingan budi pekerti serta disiplin, seharusnya menjadi bagian strategi dari pendidikan dasar. Contoh peran dalam kehidupan sosial (termasuk di sini budaya, agama, lingkungan hidup baik lingkungan sik maupun lingkungan sosial lain baik yang bersifat keluarga, kehidupan masyarakat, kehidupan sosial-politik-ekonomi), tentunya merupakan bagian penting yang tak terpisahkan dari pendidikan itu.

Perbaikan kehidupan masyarakat (ekonomi, keamanan, perbaikan jaminan, dan pelayanan sosial) langsung atau tidak, merupakan pencegahan primer untuk bunuh diri (terutama tipe anomik). Cukup banyak dan luas hal yang dapat dilakukan untuk membantu mencegah peningkatan bunuh diri. Dalam hal pencegahan sekunder, pengadaan pelayanan melalui pusat krisis (crisis center), merupakan hal yang amat bermanfaat untuk menampung kondisi-kondisi

kritis, termasuk masalah bunuh diri. Data menunjukkan angka bunuh diri di Gunungkidul menunjukkan peningkatan dari waktu ke waktu. Kenaikan angka bunuh diri ini mengingatkan adanya kemunduran dalam kualitas kehidupan sosial. Angka bunuh diri yang akurat penting untuk menentukan strategi yang lebih realistis dalam menyusun prioritas berbagai program pencegahan bunuh diri yang berdasarkan potensi dan sumber-sumber masyarakat setempat.

***

DAFTAR PUSTAKACanine. J. D. (1996). The Psychosocial aspects

of death and dying. United States: Apleton and Lange.

Corr, C. A., Nabe, C. M. , Corr, D. M. (1996). Death and dying, life and living (3rd ed.). Wadworth, California: Brook and Cole Publishing.

Darmaningtyas. (2002). Pulung Gantung: Menyingkap tragedi bunuh diri di Gunungkidul. Yogyakarta. Salwa Press.

Fahrudin.A. (2007). Bunuh diri di pedesaan Jawa: Kemiskinan dan perilaku belajar. Dalam Proceeding of International Conference on Social and Humanities (ICOSH). Bangi, Universiti Kebangsaan Malaysia.

Fahrudin.A. (2002). Sikap dan kebimbangan terhadap kematian. Buletin Psikologi Bil.07. Kota Kinabalu: Sekolah Psikologi dan Kerja Sosial, Universiti Malaysia Sabah.

Fahrudin.A. (2000). Gerontologi; Perkhidmatan sosial kepada warga tua. Laporan Skim Penyelidik Muda. Kota Kinabalu: Sekolah Psikologi dan Kerja Sosial, Universiti Malaysia Sabah

Fulton, G. B & Metress, E. K. (1995). Perspectives on Death and Dying. Boston: Jones and Bartlett Publishers.

Kepolisian Resor Gunungkidul. (2006). Data kasus bunuh diri di Wilayah Gunungkidul. Wonosari: Kasatreskrim.

Page 23: Hipotiroid Kemensos Info

Informasi, Vol. 17, No. 01 Tahun 2012 19

Fenomena Bunuh Diri di Gunung Kidul: Catatan Tersisah Dari Lapangan

Kubler-Ross, E. (1998). On death and dying: Kematian sebagai bagian kehidupan (terjemahan Wanti Anugrahani) Jakarta:Gramedia.

Rando, T. A. (1994). Grief, Dying, and Death: Clinical Interventions for Caregivers. Research Publisher.

Zastrow, C. (2000). Social problems: Issues and solutions (Fifth Edition). Belmont, CA: Wadsworth/Thompson Learning

Page 24: Hipotiroid Kemensos Info

20 Informasi, Vol. 17, No. 01 Tahun 2012

DEMOKRASI DAN KESEJAHTERAAN(Democracy and Welfare)

Agus Budi PurwantoPusat Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial

Kementerian Sosial Repubik IndonesiaEmail: [email protected]

Dan

Mochamad SyawiePusat Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial

Kementerian Sosial Repubik IndonesiaEmail: [email protected]

Abstrak

Teori yang menyatakan bahwa faktor-faktor ekonomis suatu Negara sangat mempengaruhi kepolitikannya terdiri dari dua versi yang berbeda. Pertama, adalah hipotesis rezim (regime hypothesis) yang berpendapat bahwa kestabilan institusi-institusi demokrasi di suatu negara dipengaruhi atau dikondisikan oleh tingkat kelimpahannya. Rezim demokrasi hanya bertahan di negara-negara kaya, sehingga GDP per kapita, menurut hipotesis ini, menentukan kelanggengan demokrasi. Kedua adalah hipotesis kebijakan (policy hypothesis) yang menegaskan pro l kebijakan publik dari suatu negara ditentukan oleh tingkat kekayaannya. Jadi, apa yang disebut sebagai negara kesejahteraan itu hanya akan muncul di negara-negara yang perekonomiannya sudah mapan dan makmur, jadi di sini GDP per kapita dianggap menentukan kualitas maupun kon gurasi kebijakan suatu negara. Studi tentang sistem-sistem politik atau negara-negara demokrasi merupakan bagian dari bidang studi ilmu politik komparatif (comparative politics) yang semakin diminati sejak dekade ini.

Kata kunci: demokrasi, kesejahteraan

Abstract

The theory that economic factors affect a country political consists of two different versions. First, the hypothesis of regime (regime hypothesis) who argued that the stability of democratic institutions in a country affected or conditioned by the level of abundance. Democratic regimes survive only in rich countries, so that GDP per capita, according to this hypothesis, determine the continuity of democracy. The second is a hypothetical policy (policy hypothesis) that de ne the pro le of publik policy of a country is determined by the level of wealth. So, that so-called welfare state will only appear in countries whose economies are already well established and prosperous, so here’s GDP per capita is considered to determine the quality and con guration of a country’s policies. The study of political sistems or democratic countries are part of the eld of comparative studies of political science (comparative politics) are increasingly in demand since the decade.

Keywords: democratic, welfare

PENDAHULUAN

Mengaitkan demokrasi dengan kesejahteraan tidak pernah putus dari beragam perdebatan. Persoalannya, apakah demokrasi menjadi faktor pemicu kesejahteraan masyarakat atau sebaliknya justru kesejahteraanlah yang

memampukan demokrasi berjalan dengan baik? Misalnya, apakah benar demokrasi menjadi satu-satunya prasyarat bakal terciptanya kesejahteraan, atau sebaliknya kesejahteraan menjadi syarat penentu?

Page 25: Hipotiroid Kemensos Info

Informasi, Vol. 17, No. 01 Tahun 2012 21

Terdapat indikasi bahwa hubungan antara demokrasi dan kesejahteraan mulai dapat terbaca. Hasil pengujian kuatitatif terhadap kedua variabel tersebut menunjukkan kecenderungan adanya korelasi positif yang cukup signi kan. Artinya, keduanya dapat dipersandingkan dan saling terkait satu sama lain. Dalam hal ini, semakin tinggi indeks demokrasi suatu wilayah, ada kecenderungan semakin tinggi pula indeks kesejahteraan atau kemakmurannya. Begitu juga sebaliknya, semakin tinggi indeks kesejahteraan suatu wilayah, kecenderungan indeks demokrasinya juga semakin tinggi (Nainggolan, 2011). Selain itu, pola hubungan yang terbentuk menunjukkan pula kausalitas di antara keduanya. Yang tampak menonjol, kesejahteraan menjadi faktor determinan yang memungkinkan kualitas demokrasi yang terbentuk. Hanya, model kausalitas demikian tidak serta-merta menjadi suatu pijakan yang akurat lantaran terindikasi pula faktor-faktor lain yang seharusnya hadir dalam pembentukan kualitas demokrasi.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Perihal Kesejahteraan Perspektif PolitikDalam kajian ini, indeks demokrasi yang

dimaksud mengacu pada pada hasil rumusan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional bersama Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nations Development Programme/UNDP). Setelah tidak kurang tiga tahun bereksperimen dalam peramuan indikator ini, tahun 2011 lembaga tersebut mempublikasikan Indeks Demokrasi Indonesia (IDI). Indeks ini dihasilkan dari berbagai indikator pengukuran aspek kebebasan sipil, pemenuhan hak-hak politik, dan kelembagaan politik pada 33 provinsi Indonesia. Hasilnya, skor nasional IDI mencapai 67,3 (lihat Nainggolan, 2011). Dengan skor sebesar itu, tergolong tinggikah kualitas demokrasi demokrasi di negeri ini? Masih serba relatif. Jika mengacu pada skor tertinggi indeks sebesar 100, yang kurang lebih menjadi acuan situasi demokrasi yang sempurna, perolehan nilai indeks nasional

Masih banyak lagi yang dapat diperdebatkan dari keduanya. Akan tetapi, pertanyaan-pertanyan “mana yang lebih dahulu” di antara variabel demokrasi dan kesejahteraan belakangan ini menjadi semakin krusial dipersoalkan, terutama bagi negara-negara yang pada satu sisi kini berubah struktur politiknya, sementara di sisi lain negara tersebut tengah pula bergulat dalam pemakmuran masyarakatnya (baca: Bestian Nainggolan, 2011).

Mengutip gagasan Kevin Olson (2006) dalam karyanya, Re exive democracy: Political Equality and the Welfare State , pemikiran politik kontemporer mengalami krisis ketika dimensi kesejahteraan absen dalam pembicaraan demokrasi. Ia menguraikan, untuk mengintegrasikan kesejahteraan dalam pembicaraan demokrasi maka pertama-tama penting kiranya menggeser cara pandang kita tentang kesejahteraan. Kesejahteraan rakyat bukanlah istlah yang secara sempit dimaknai dalam konteks sosial-ekonomi, melainkan lebih luas lagi di dalam dimensi politiknya pula (Olson, dalam Airlangga Pribadi, 2011).

Bagi Indonesia, pertanyaan semacam tersebut di atas menjadi semakin relevan, terutama tatkala kedua persoalan itu dihadapkan pada realitas yang berkembang di masyarakat saat ini. Mencermati berbagai hasil pengumpulan opini publik yang dilakukan (Kompas, 19/12/2011,h.5) sepanjang tahun ini, misalnya, terlihat benar adanya kecenderungan ketidakpuasan publik yang cukup terhadap berbagai kondisi politik, sosial, ataupun ekonomi yang mereka rasakan. Sebagian besar di antara mereka berpandangan bahwa reformasi politik yang 12 tahun terakhir mampu melembagakan demokrasi di negeri ini sayangnya dianggap belum juga mampu menjawab harapan mereka. Kinerja sejumlah institusi politik demokratik, baik partai politik, DPR, maupun pemerintahan, yang hadir selama kurun waktu tersebut , dinilai tidak memuaskan. Semakin mengecewakan tatkala kesejahteraan masyarakat yang menjadi tujuan dari perubahan struktur politik tidak juga banyak dirasakan sebgaimana yang mereka harapkan.

Demokrasi dan Kesejahteraan

Page 26: Hipotiroid Kemensos Info

22 Informasi, Vol. 17, No. 01 Tahun 2012

Demokrasi dan Kesejahteraan

ini, menentukan kelanggengan demokrasi. Yang kedua adalah hipotesis kebijakan (policy hypothesis) yang menegaskan pro l kebijakan publik dari suatu negara ditentukan oleh tingkat kekayaannya. Jadi, apa yang disebut sebagai negara kesejahteraan itu hanya akan muncul di negara-negara yang perekonomiannya sudah mapan dan makmur, jadi di sini GDP per kapita dianggap menentukan kualitas maupun kon gurasi kebijakan suatu negara (baca: Jan-Erik Lane dan Svante Ersson, 1994).

Tidak heran dalam situasi semacam ini, bibit-bibit frustrasi sosial merekah. Terdapat kalangan yang memandang ketika kesejahteraan yang diekspektasikan tidak juga kunjung dirasakan, jalan demokrasi yang sebelumnya telah dipilih diragukan manfaatnya. Bahkan, diantaranya tampak ada kesan, adanya kerinduan mereka pada masa ‘kegemilangan” Orde baru. Terdapat pula sebagian kalangan lainnya yang mulai merasakan bahwa kesejahteraanlah yang sepatutnya terlebih dahulu dicapai. Dalam kondisi sejahtera, mewujudkan demokrasi tidak lagi menjadi masalah.

Perihal DemokrasiManusia ada pada sifatnya yang terbaik

apabila: tidak ada di antara kita yang miskin, tetapi juga tidak ada yang ingin menjadi menjadi lebih kaya. Juga tidak ada alas an merasa takut akan terdesak karena yang lainnya ingin maju ….” Ungkapan ini disampaikan John Staurt Mill (1806-1873) dalam Principles of Political Economy, sebagaimana dikutip Toeti Prahas Adhitama (2011). Dia juga mengakui tidak pernah tertarik pada kehidupan ideal yang dicanangkan oleh mereka yang mengira bahwa wajar kalau kita berjuang keras untuk untuk maju, dan bahwa saling menindas, saling menghancurkan, saling menyikut dan saling menginjak yang mencirikan perilaku masyarakat sekarang - memang takdir yang kita kehendaki. Mereka rupanya tidak menganggap gejala-gejala itu sebagai salah satu tahap perkembangan industrialisasi yang menjijikan.

yang sebesar itu tergolong tidak buruk. Namun, skor sebesar itu tidak juga tersimpulkan tinggi. Sebenarnya, cukup banyak gugatan yang dapat dialamatkan kepada sistem pengukuran indeks semacam ini. Akan tetapi, tidak dapat diingkari , sejauh ini indeks politik demikian cukup layak digunakan dalam memenuhi kebutuhan analisis.

Berbeda dengan IDI, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang dipublikasikan Badan Pusat Statistik (BPS) menyarikan kinerja pembangunan suatu kawasan yang didasarkan pada tiga dimensi dasar. Ketiganya merupakan kapasitas dasar penduduk, yaitu berupa besar umur panjang dan kesehatan, pengetahuan, dan kehidupan manusia yang layak. Dalam perhitungannya, masing-masing dimensi tersebut diturunkan dalam berbagai indikator, seperti angka harapan hidup, angka melek huruf, lama rata-rata sekolah, dan kemampuan daya beli. Berbagai indikator tersebut, sekalipun tidak sepenuhnya identik dengan segenap aspek kesejahteraan manusia, cukup memadai dijadikan rujukan.

Berdasarkan pengukuran tahun 2009, skor IPM Indonesia sebesar 71,76. Dengan mengaitkan kedua indeks IDI dan IPM inilah, relasi antara demokrasi dan kesejahteraan terbentuk. Di sisi lain, berdasarkan pola hubungan yang terbentuk, dapat pula dipetakan antara demokrasi dan kesejahteraan pada setiap provinsi di negeri ini. Masih banyak celah guggatan memang. Namun, pengelompokan semacam ini sedikit banyak dapat menguak kon gurasi masing-masing provinsi dalam kehidupan demokrasi ataupun kesejahteraan masyarakatnya.

Dalam kaitan ini, terdapat suatu teori yang menyatakan bahwa faktor-faktor ekonomi suatu negara sangat mempengaruhi kepolitikannya. Terdapat dua versi yang berbeda, pertama, adalah hipotesis rezim (regime hypothesis) yang berpendapat bahwa kestabilan institusi-institusi demokrasi di suatu negara dipengaruhi atau dikondisikan oleh tingkat kelimpahannya. Rezim demokrasi hanya bertahan di negara-negara kaya, sehingga GDP per kapita, menurut hipotesis

Page 27: Hipotiroid Kemensos Info

Informasi, Vol. 17, No. 01 Tahun 2012 23

Dengan kecepatan dan derajat yang berbeda, proses industrialisasi menyusup dalam gerak pemabangunan setiap negara di dunia. Persoalannya kemudian, kehadirannya sering menimbulkan masalah sosial-politik yang tidak selalu stabil dan positif (Nurimansjah Hasibuan, 1989). Untuk itu, melihat berbagai pemikiran ekonomi dan kemudian menelaahnya dalam kasus-kasus empiris mungkin bisa membuka mata kita terhadap ekses-ekses yang muncul. Sejarah pembangunan ekonomi telah menunjukkan bukti bahwa dengan berlangsungnya proses industrialisasi, pendapatan perkapita meningkat, dan pada struktur ekonomi terjadi pula pendalaman. Pendapatan yang meningkat menyebabkan komposisi permintaan berubah sehingga secara relatif permintaan terhadap pangan dan sandang cenderung menurun.

Ada dua permasalahan pembangunan utama yang pada saat ini dihadapi oleh negara-negara berkembang. Kedua masalah itu adalah kemiskinan yang diderita oleh sebagian besar rakyat negara-negara itu, dan beban hutang luar negeri yang harus mereka tanggung. Untuk mengatasi masalah ini biasanya para perencana pembangunan di negara-negara tersebut menyususn suatu model pembangunan yang disusun atas dua asumsi. Asumsi pertama adalah bahwa kemiskinan dan hutang luar negeri itu bisa diatasi dengan cara capital transfer dari negara-negara maju ke negara-negara berkembang. Asumsi kedua adalah bahwa kedua masalah itu dapat dipecahkan apabila pemerintah menjadi pengelola tunggal dana-dana pembangunan itu (Loekman Soetrisno, 1988).

Dua asumsi teoritik yang menjadi dasar dari model pembangunan di negara-negara yang sedang berkembang dapat dikatakan gagal dalam memecahkan dua masalah pokok dalam pembangunan negara-negara itu, yakni kemiskinan dan hutang luar negeri yang membengkak (Loekman Sutrisno 1988). Salah satu sebab kegagalan itu terkait erat dengan kenyataan bahwa model pembangunan yang dikembangkan atas dasar asumsi itu meletakan

negara dan aparatnya sebagai penanggung jawab tunggal pembangunan dan pengelola tunggal dana serta sumber daya pembangunan yang ada di negara-negara itu (Soetrisno, 1988). Keadaan seperti ini menimbulkan suatu masalah pembangunan baru di negara-negara sedang berkembang, yakni gejala enggannya masyarakat untuk aktif berpatisipasi dalam proses pembangunan. Apabila kita kaji rencana pembangunan yang ditulis para perencana pembangunan di negara yang sedang berkembang maka satu kesimpulan yang dapat kita ambil adalah bahwa semua perencana pembangunan itu melihat bahwa industrialisasi adalah dewa penyelamat dari masalah pembangunan yang dihadapi negara-negara itu. Menjadi negara industri dalam artian membangunan industri-industri berat seperti halnya yang dibangun negara-negara Barat dianggap sebagai tujuan akhir dari proses pembangunan yang mereka rencanakan. Sekali lagi suatu ironi yang terjadi dalam sejarah pembangunan di negara sedang berkembang yaitu bahwa ternyata industri yang bermunculan di negara-negara tersebut tidak berhasil memecahkan masalah pemebangunan yang mereka hadapi.

Pengangguran tetap menjadi masalah dan struktur ekonomi negara-negara itu tetap seperti apa yang diwariskan para penguasa kolonial kepada negara-negara itu, yakni struktur ekonomi yang dualistik. Bahkan yang memprihatinkan adalah justru proses industrialisasi yang berlangsung di negara berkembang justru membuat negara-negara tersebut jatuh dalam hutang luar negeri yang membengkak. Utang bagi sejumlah negara, pada saat-saat tertentu, menjadi penolong. Namun, utang bisa berubah menjadi bencana. Jumlah utang negara ini terus menggunung, sudah mencapai Rp 1.768 triliun. Padahal, sepuluh tahun yang lalu, utang negeri ini masih sekitar Rp 1.273 triliun. Itu berarti, tiap tahun jumlah utang negeri ini naik rata-rata sekitar Rp 50 triliun (Media Indonesia, 25/11/2011,h.1, dalam Kolom Editorial “Utang Kian Menggunung”). Bahkan, dalam setahun terakhir tren penambahan utang meningkat. Data Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang

Demokrasi dan Kesejahteraan

Page 28: Hipotiroid Kemensos Info

24 Informasi, Vol. 17, No. 01 Tahun 2012

Demokrasi dan Kesejahteraan

Kementerian Keuangan menunjukkan pada 2010 jumlah utang pemerintah Rp 1.676 triliun. Artinya, dalam kurun waktu setahun terakhir utang bertambah sebesar Rp 1,19 triliun.

Menurut Atistoteles, dalam Politics, sebagaimana dikutip Aditama (2011), “Orang yang baik akan mampu bertahan dalam kemiskinan, kondisi sakit, atau kemalangan-kemalangan lain. Namun, tentu dia hanya akan bahagia kalau keadaan menjadi sebaliknya. Itu yang membuat berilusi bahwa kekayaan lahiriah adalah sumber kebahagiaan” pendapat dua lusuf masa lalu itu membuktikan, masyarakat tidak pernah bebas dari keserakahan orang-orang yang tega mengelabui lingkungannya. Itulah yang sedang kita saksikan, sekalipun slogan-slogan dan genderang demokrasi berbunyi nyaring.

Keruwetan dalam sistem demokrasi kita akhir-akhir ini membuat segolongan orang tanpa ragu-ragu mengatakan bahwa sistem otoriter Orde Baru (Orba) cenderung lebih berhasil untuk kita. Lalu mereka menyebut tentang kesuksesan Orba dalam meningkatkan GDP per kapita, yang dalam tiga dasawarsa naik dari US$70 (1968) menjadi sekitar 22 kali lipat pada akhir Orba. Keamanan dalam negeri terjamin. Kesuksesan juga dicapai dalam usaha KB, transmigrasi, swasembada pangan, dan mengurangi jumlah pengangguran. Gerakan wajib belajar berjalan lancar, begitu juga usaha mengembangkan nasionalisme. Padahal, semua orang pada hakikatnya ingin meningkatkan kesejahteraan lahir dan batin. Sistem demokrasi dibayangkan bisa menjadi jawabannya. Diasumsikan, masyarakat di negara demokrasi lebih bahagia daripada masyarakat di negara otoriter.

Ada beberapa indeks pengukuran/kriteria yang cukup lazim diterapkan pada beberapa negara demokrasi (Lane dan Ersson, 1994, h.173), berikut indeks-indeks tersebut:1). Indeks Pembangunan Politik karya Cutright. Indeks ini mengukur keberadaan, kebebasan dan fungsi lembaga legislatif serta eksekutif di suatu Negara. 2). Indeks Pembangunan

Politik Demokratis karya Neubauer. Indeks ini mengukur persentase penduduk dewasa yang sudah memiliki hak memilih, tingkat persamaan perwakilan politik, persamaan atau pemerataan perolehan informasi serta persaingan perebutan suara dalam pemlihan umum. 3). Indeks Kinerja Demokrasi karya Jacman. Indeks ini mengukur jumlah penduduk yang memiliki dan menggunakan hak memilih, tingkat persaingan yang terdapat dalam sistem kepartaian (persaingan antar partai politik), keteraturan atau ketidakaturan dilangsungkannya pemilihan umum, serta tingkat kebebasan media massa. 4). Indeks Demokrasi Politik karya Bollen. Indeks ini mengukur tingkat kebebasan media massa, kebebasan kelompok oposan, berat ringannya sanksi pemerintah, kejujuran proses pemilihan umum, kelancaran proses seleksi eksekutif (pengisian jabatan-jabatan eksekutif), serta kelancaran proses seleksi legislatif. 5) Indeks demokratisasi karya Vanhanen. Ia mengukur tingkat persaingan sistem kepartaian dan partisipasi rakyat dalam pemilihan umum. 6). Indeks Hak Asasi Manusia karya Humana yang khusus mengukur keberadaan dan tingkat pengakuan penguasa terhadap hak asasi manusia warganya secara keseluruhan, dan 7). Indeks kebebasan karya Gastil. Indeks ini mengukur tingkat pengakuan terhadap hak-hak politik, hak-hak sipil, serta sejauh mana kebebasan di suatu Negara terpelihara (Jan-erik Lane dan Svante Ersson, 1994, hal 173-174).

Secara kodrati, demokrasi yang bersendikan kebebasan, persamaan dan persaudaraan harus dibangun berdasarkan nalar dan hati nurani. Dengan hanya kekuatan nalar akan melahirkan sistem demokrasi yang rasional. Noam Chomsky sebagaimana dikutip Wiranto (2011) berpendapat bahwa ideologi pasar bebas yang tak berhati nurani hanya meningkatkan keserakahan korporasi, yang diwujudkan dalam bentuk demokrasi elektoral nominal. Namun perlu diwaspadai pandangan Larry Diamond, yang mengabarkan adanya kecenderungan kontradiktif di satu pihak terjadi pertumbuhan demokrasi elektoral (atau demokrasi formal),

Page 29: Hipotiroid Kemensos Info

Informasi, Vol. 17, No. 01 Tahun 2012 25

di pihak lain terjadi stagnasi dalam pemenuhan kebebasan dan kesejahteraan warga. Menurut Diamond (dalam Wiranto, 2011), kecenderungan tersebut merupakan petunjuk terjadinya “kedangkalan demokratisasi”. Situasi kontradiktif seperti itu ditunjukkan dengan kian banyak negara yang cenderung gagal memetik keuntungan dari demokrasi electoral. Mereka malah menghasilan pemerintahan yang-sekalipun punya legitimasi tinggi- tak e sien, korup, tidak akuntabel dan didominasi kepentingan jangka pendek.

Keberhasilan reformasi politik di Indonesia sejak 1998 memang telah diakui dunia. Sistem demokrasi elektoral telah dijalankan melalui pemilihan umum yang kompetetif untuk tujuan memperoleh kekuasaan efektif. Paling tidak Indonesia sudah melakukan pemilu tiga kali, yakni pada tahun 1999,2004 dan 2009, yang menghasilakn pemerintahan uang cukup legitimate.Namun, kenyataannya, Indonesia pun harus mengalami akibat dari demokrasi tanpa hati (cenderung bersifat demokrasi prosedural) itu dengan adanya kontradiksi antara keberhasilan mengembangkan demokrasi politik di satu pihak dan penurunan kesejahteraan di pihak lain.

Berdasarkan data Bank Pembangunan Asia, dalam tiga tahun terakhir jumlah orang miskin di Indonesia meningkat dari 40,4 jta tahun 2008 menjadi 43,1 juta orang tahun 2010, meningkat sekitar 2,7 juta orang (lihat Wiranto, 2011). Ironisnya, saat yang sama juga terjadi peningktan pendapatan per kapita dari Rp 23,1 juta tahun 2009 menjadi Rp 27 juta tahun 2010 (BPS, 27 Februari, 2010). Adanya peningkatan jumlah orang miskin di satu sisi dan pendapatan per kapita di sisi lain menunjukkan terjadi ketimpangan sosial-ekonomi yang cukup mencolok.

Kenyataan ini menunjukkan, demokrasi elektoral tak berbanding lurus dengan peningkatan kesejahteraan rakyat. Demokrasi elektoral, yang merupakan instrument bagi sistem ekonomi pasar bebas, terbukti hanya memfasilitasi kepentingan korporasi yang bertujuan untuk meraih keuntungan nansial

dan mengakumulasi kapital semata-mata. Dalam pandangan Chomsky, demokrasi elektoral hanya memfasilitasi keserakahan korporasi. Sejalan dengan rasionalisasi ekonomi, demokrasi elektotal yang mengadalkan kalkulasi rasional akhirnya berkembang kea rah bentuk politik transaksional. Proses-proses politik akhirnya dikendalikan oleh kapital atau uang. Akibatnya, rakyat hanya jadi obyek transaksi dalam proses demokrasi. Dalam situasi seperti ini, sistem demokrasi berkembang menjadi sistem oligarkis yang hanya dinikmati oleh segelintir elite.

Kapital adalah bagian dari kekayaan demi produksi berjenis-jenis kekayaan lain yang menghasilkan capital lagi dalam siklus tanpa batas uang menghasilakan uang, dan kaum kapitalis mulai beternak uang dan bukan lagi memproduksi barang, goods. Sedemikian perkembangan itu sehingga capital tidak lagi bersentuhan langsung dengan produksi nyata, dan dunia kerja. Kapital bekerja dengan dirinya, menjual dirinya, dan menjadi dirinya. Modal menghasilkan modal, dan uang berbunga uang sampai ada campur tangan legalitas dan keadilan (Daniel Dhakidae, 2009).

Intervensi legalitas adalah wewenang negra yang diberikan tugas oleh para warganya. Sedangkan intervensi keadilan adalah ideology. Dua-duanya hidup dan menjadi inti demokrasi, yaitu apa yang disebut oleh Alain Badieu hasrat egaliter, dan ide tentang keadilan. Bangsa ini dalam masa-masa terakhir terombang-ambing di anatra ketiga hal di atas- kekayaan, capital dan demokrasi. Hubungan ketiganya harus dicarikan jalan keluar. Tanah yang kaya sudah melegenda, akan tetapi tidak semua kekayaan itu menjadi kapital. Kapital yang tidak terkendalikan hanya berarti ada yang salah dengan demokrasi. Hidup ideal adalah campuran manusiawi antara kekayaan, kapital dan demokrasi.

Keadaan seperti itu menyadarkan kita untuk mengembalikan demokrasi agar tidak mengutamakan akal semata, tetapi harus diimbangi pertimbangan moral dan etika yang bersumber pada hati nurani. Hal ini bukan saja merupakan kewajiban etis yang bersifat

Demokrasi dan Kesejahteraan

Page 30: Hipotiroid Kemensos Info

26 Informasi, Vol. 17, No. 01 Tahun 2012

Demokrasi dan Kesejahteraan

sosio-demokrasi. Dalam sistem demokrasi seperti itu, kedaulatan rakyat tidak hanya ditegakkan dalam bidang politik, tetapi juga dalam bidang ekonomi. Bung Hatta pernah mengemukakan,”Jika di sebelah demokrasi politik belum terdapat demokrasi ekonomi, rakyat belum merdeka” (Revrisond Baswir, 2012).

Amanat melembagakan demokrasi ekonomi dijabarkan melalui ketiga ayat asli dalam Pasal 33 UUD 1945: 1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan, 2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara, serta 3) Bumi, air, dan segala kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Namun, sebagaimana berlangsung sejak 17 Agustus 1945, amanat melembagakan sistem demokrasi sosial itu terus- menerus ditentang pihak colonial dan kaki tangannya. Dalam rangka itu, selama 67 tahun belakangan ini, pihak colonial telah melancarkan berbagai subversi untuk menelikung amanat UUD 1945 itu. Transformasi yang dialami Indonesia dalam 67 tahun sesungguhnya tidak lebih dari transformasi dari kolonialisme menuju neokolonialisme.

Menurut Baswir, sebagaimana berlangsung di sejumlah Negara yang melembagakan sistem demokrasi korporasi, fungsi partai politik di Indonesia cenderung berubah dari penyalur aspirasi rakyat menjadi pembela kapitalisme. Karena Negara diurus para petinggi partai politik, fungsi Negara turut berubah dari memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa menjadi memajukan akumulasi capital dan menjongoskan kehidupan bangsa.

Dengan latar seperti itu, mudah dipahami jika berbagai kebijakan ekonomi-politik nasional cenderung bertentangan dengan aspirasi rakyat banyak. Hal itu tidak hanya tampak secara mencolok dalam penyelenggaraan sector strategis, seperti keuangan dan pertambangan,

universal, melainkan juga memiliki rujukan normatif dalam UUD 1945.

Demokrasi Dan KesejahteraanKita hidup dalam sebuah pemerintahan dan

masyarakat yang penuh paradoks. Pada awalnya demokrasi dirumuskan dan diperjuangkan untuk menciptakan pemerintahan yang bersih melalui mekanisme control yang melekat dan transparan untuk menyejahterakan rakyat. Yang terjadi sebaliknya, demokrasi diselenggarakan melalui korupsi yang menyengsarakan rakyat. Kita masih ingat, suasana batin yang mendorong lahirnya reformasi adalah mengakhiri korupsi dan sentralisme kekuasaan yang menindas. Maka, reformasi pun melahirkan dua agenda utama: demokratisasi dan otonomi daerah setelah mengubah UUD 1945. Maka, kini berita yang dominan adalh gegap gempita sepak terjang partai politik di pusat ataupun daerah dan menguatnya pasar bebas yang dimanfaatkan oleh modal asing (baca: Komaruddin Hidayat, 2012).

Demokrasi berari kebebasan. Namun, kebebasan tanpa penegakan hukum dan pemerintahan yang bersih sama halnya menyerahkan panggung reformasi dan demokrasi kepada koruptor yang berlindung di balik jubah parpol dan pada komprador kapitalisme global amat rakus. Berdasarkan konstitusi negara, sebuah pemerintahan dibentuk untuk melindungi, melayani, dan menyejahterakan rakyat. Lewat mekanisme demokrasi, berbagai lapisa pemerintahan, baik di pusat maupun di daerah, terbentuk melalui pemilihan langsung. Problemnya adalah para kandidat yang memenangi pemilu dan pilkada itu lebih karena ditopang oleh kekuatan uang, bukan oleh integritas dan kapabilitas. Jadi, panggung demokrasi yang dihasilkan reformasi telah berubah menjadi ajang bisnis kekuasaan sebagai bagian dari paradigma pasar bebas, sebagai antithesis terhadap sentralisasi dan hegemoni negara semasa Orde Baru.

Undang-Undang Dasar 1945 telah mengamantkan kepada bangsa Indonesia untuk melembagakan sistem demokrasi sosial atau

Page 31: Hipotiroid Kemensos Info

Informasi, Vol. 17, No. 01 Tahun 2012 27

tetapi mulai menyelinap pula ke sector-sektor yang selama ini menjadi tumpuan hidup rakyat banyak, seperti pertanian dan perdagangan.

Bagaimana masyarakat dan pemerintah Indonesia akan menjawab berbagai masalah sosial yang akan semakin berkembang menyusul ekspansi liberalisasi ekonomi dunia dewasa ini. Apakah sistem kesejahteraan sosial tradisional masih akan dapat berfungsi efektif untuk memecahkan masalah-masalah sosial di dalam konteks ekonomi pasar yang akan semakin marak. Bagaimana sistem kesejahteraan nasional harus menanggapi ketegangan-ketegangan yang akan tejadi semakin keras antara tuntutan sistem kesejahteraan sosial “residual” dan sistem kesejahteraan sosial “institusional” di hadapan persaingan pasar bebas yang akan semakin keras (Nasikun, 1999). Apa implikasi semua itu bagi perumusan kebijakan dan program-program pembangunan kesejahteraan sosial di masa mendatang. Itulah beberapa pertanyaan sangat mendasar yang akan kita hadapi semakin nyata memasuki era dewasa ini dan yang akan datang. Selanjutnya perlu diberi perhatian juga bagaimana suatu sitem kesejahteraan sosial nasional harus dirumuskan untuk menjawab proses produksi dan reproduksi masalah-masalah sosial yang akan semakin “inheren” di dalam masyarakat di hadapan dinamika ekonomi pasar bebas yang akan semakin keras. Akhirnya diperlukan untuk meletakkan perhatian awal bagi pemahaman tentang dinamika produksi dan reproduksi masalah-masalah sosial di masa mendatang, perumusan “arah dasar” pengembangan kebijakan dan program-program kesejahteraan sosial menghadapai era liberalisasi ekonomi dunia dewasa ini, dan yang tidak kalah pentingnya, implikasi perumusan kebijakan pengembangan sumberdaya manusia yang diperlukan untuk mendukung pengelolaannya.

Pembangunan kesejahteraan sosial mendatang ini sebaiknya memperhitungkan perkembangan bergulirnya globalisasi yang ditandai dengan demokratisasi politik, liberalisasi pasar, dan universalisasi kultural. Demokratisasi politis menghendaki

pembangunan kesejahteraan sosial oleh rakyat, dari rakyat, dan untuk rakyat (Sumarno, 1999). Pemberdayaan masyarakat menjadi suatu kebutuhan agar supaya terwujud masyarakat yang mandiri, mengerti hak dan kewajibannya secara tepat dan mampu berperan aktif dalam pergaulan nasional dan internasional. Liberalisasi pasar menuntut terjadinya ketahanan sosial dan ekonomi rakyat sehingga tidak tergusur oleh gelombang pasangnya pasar bebas. Ekonomi kerakyatan tidak hanya sebagai slogan, akan tetapi perlu diaktualisasikan untuk memberdayakan kemampuan ekonomi masyarakat lapisan bawah. Sementara itu, universalisasi cultural menantang kita untuk tidak kehilangan identitas dan jatidiri dan kebanggaan sebagai suatu bangsa, setiap bantuan yang berdampak ketergantungan dan apalagi hubungan yang opresif harus dihindari oleh karena bantuan yang demikian cenderung melunturkan martabat dan harkat masyarakat.

KESIMPULAN

Sebuah penelitian memperlihatkan, dalam satu abad terakhir jumlah negara yang memadai disebut demokratis melonjak sepuluh kali lipat menjadi seratus negara (Inoguchi dkk, 1998, dalam Budiarto Danujaya, 2011). Ada kecenderungan bahwa dewasa ini semakin sedikit negara yang masih bertahan dengan sistem totaliter. Setidaknya dalam konteks terbatas, demokrasi telah menjadi semacam jargon keberadaban sistem dan perilaku politik, semacam prasyarat untuk legitimasi dalam pergaulan global.

Barangkali yang menggelitik tinggallah mengpa nilai-nilai demokrasi tiba lebih dahulu sebagai keniscayaan sejarah mendahului keadilan dan kesejahteraan bersama yang diusung kebanyakan narasi besar termasuk sosialisme. Barangkali, seperti ditandaskan Amartya Sen, “Keadilan tunadebat boleh jadi sebuah gagasan terpasung”. Kiranya, seturut konteks itulah peraih Nobel mEkonomi 1998 ini dalam berbagai bukunya selalu menekankan kembali ‘pembangunan sebagai kebebasan”.

Demokrasi dan Kesejahteraan

Page 32: Hipotiroid Kemensos Info

28 Informasi, Vol. 17, No. 01 Tahun 2012

Demokrasi dan Kesejahteraan

Demokrasi, dengan kebebasan dan kesetaraannya mendatangkan kapabilitas untuk senantiasa menyempurnakan bahkan merekonstruksi prosedur dan proses pemerintahan dan politik (Danujaya, 2011). Jadi, selain nilai-nilai intrisiknya demokrasi mempunyai kapasitas informative, deleberatif, protektif, formtif, dan rekontruktif, termasuk bagi artikulasi maupun praksis keadilan dan kesejahteraan.

Sekarang terbukti, kelemahan-kelemahan dalam sistem sebelumnya terulang lagi. Banyak yang merasa tidak mendapatkan kesempatan berpatisipasi dalam demokrasi. Malahan korupsi semakin merajalela, dilakukan oleh mereka yang mengaku mewakili rakyat. Sejauh ini belum ada lembaga-lembaga survey yang mencoba meneliti seberapa jauh keterlibatan rakyat umum dalam sistem demokrasi yang sedang berjalan ini, serta apa yang menimbulkan rasa ketidakpuasan dan keresahan mereka. Berapa besar keinginan mereka untuk menyempurnakan sistem ini dan bagaimana caranya, mengingat sistem penegakan hukum dan perwakilan rakyat cenderung tidak berjalan sesuai harapan. Pertanyaan-pertanyaan klise yang belum terjawab (Adhitama, 2011). Meminjam ungkapan Chomsky, perimbangan etis dalam kehidupan politik dan ekonomi yang bersumber pada hati nurani akan membentuk sistem demokrasi partisiaptif yang cenderung dapat mewujudkan keadilan sosial.

***

DAFTAR PUSTAKA

Bestian, N. (2011, 19 Desember). Jajak Pendapat “Kompas” Demokrasi dan Kesejahteraan. Harian Kompas.

Budiarto. D. (2011, 30 Desember). Demokrasi, Keniscayaan Sejarah. Harian Kompas.

Daniel. D. (2009). Mengolah Kekayaan, Kapital dan Demokrasi. Prisma No. 1, Vol 28, Juni 2009. LP3ES. Jakarta.

Jan-Erik, L. dan Svante, E. (1994). Ekonomi Politik Komparatif. Jakarta. Raja Gra ndo Persada.

Komaruddin, H. (2012, 26 Mei). Korupsi untuk Demokrasi. Harian Kompas.

Loekman, S. (1988), Pembangunan ekonomi dan Demokratisasi Ekonomi: Satu Perspektif Sosiologis. Prisma, No. 6. LP3ES. Jakarta

Nasikun. (1999). Menuju Suatu Sistem Kesejahteraan Sosial Institusional Melalui Pengembangan SDM Pekerja Sosial. Makalah pada Rapat Dinas Badan Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial BDPTS. Departemen Sosial. Yogyakarta.

Nurimansjah, H. (1989). Pemerataan, Pertumbuhan dan Konsentrasi Ekonomi dalam Proses Industrialisasi. Prisma No.9. LP3ES. Jakarta

Revrison, B. (2012, 21 Mei). Demokrasi Terjajah. Harian Kompas.

Sumarno. (1999). Peranan Masyarakat Dalam Pembangunan Kesejahteraan Sosial. Makalah Seminar. B2P3KS. Yogyakarta.

Toeti, P.A. (2011, 23 Desember). Sumber Kebahagian dalam Demokrasi. Media Indonesia.

Wiranto. (2011, 29 Desember). Demokrasi Yang Kehilangan Hati. Harian Kompas.

Page 33: Hipotiroid Kemensos Info

Informasi, Vol. 17, No. 01 Tahun 2012 29

KEMISKINAN DAN KESEJAHTERAAN: SEBUAH KAJIAN KONSEP(Poverty and welfare: a study of the concept)

Mochamad Syawie Pusat Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial

Kementerian Sosial Republik IndonesiaEmail:[email protected]

dan

Hemat SitepuPusat Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial

Kementerian Sosial Republik Indonesia

AbstrakTulisan ini bermaksud mengulas korelasi antara persoalan kemiskinan dengan konsep karakteristik negara kesejahteraan. Jika yang dimaksud dengan “negara kesejahteraan’ adalah tata kenegaraan, di mana tugas pemerintah menyediakan atau menyelenggarakan/mengelola seluruh atau sebagian pelaksanaan kesejahteraan semua atau sebagian warganya, sudah jelas bahwa tugas sentral tata kenegaraan Indonesia, menurut pasal 34 UUD 1945, adalah negara kesejahteran. Berdasarkan human development Report (HDR) terungkap bahwa di Indonesia terdapat orang miskin multidemensi yakni yang diukur menurut indikator pendidikan, kesehatan dan kesejahteraan ekonomi.Karakteristik negara kesejahteraan ditandai oleh empat hal pokok. Pertama, komitmen negara dalam menciptakan peluang lapangan pekerjaan untuk mengakomodasi melimpahnya angkatan kerja aktif-produktif. Kedua, adanya jaminan asuransi sosial yang berlaku bagi semua warga negara yang meliputi seluruh aspek kehidupan, terutama kesehatan dan bila terjadi kecelakaan. Ketiga, terselenggaranya pendidikan murah bermutu bagi rakyat, termasuk jaminan beasiswa bagi mereka yang berprestasi, tetapi berasal dari kalangan ekonomi lemah. Keempat, kebijakan sosial sebagai upaya redistribusi kekayaan.

Kata Kunci: kemiskinan, kesejahteraan

Abstract

This paper intends to review the correlation between poverty problems with the concept of the welfare state characteristics. If the term “welfare state” is an ordinance of the state, where the government’s duty to provide or organize / manage all or part of the implementation of well-being of all or part of its citizens, it is clear that the central task of governance of state of Indonesia, according to Article 34 UUD 1945, is the welfare state. Based on the Human Development Report (HDR) revealed that there are poor people in Indonesia that is multidimensional as measured by indikators of education, health and welfare ekonomi.Karakteristik welfare state is characterized by four main things. First, the commitment of countries in creating employment opportunities to accommodate the abundance of active, productive workforce. Secondly, the existence of social insurance that applies to all citizens who cover all aspects of life, especially in health and in the event of an accident. Third, the implementation of low-quality education for the people, including a guarantee scholarship for high achievers, but come from the weak economy. Fourth, social policy as a means of wealth redistribution.

Keywords: poverty, welfare

PENDAHULUAN

Laporan Pembangunan Manusia (Human Development Report/HDR) 2011 yang belum lama diterbitkan untuk Program Pembangunan

PBB (UNDP) kembali mengingatkan kita akan beberapa fakta, ilusi, dan pengharapan tentang kemiskinan, pemiskinan, dan kesejahteraan di Indonesia. Kesadaran akan kenyataan konkret

Page 34: Hipotiroid Kemensos Info

30 Informasi, Vol. 17, No. 01 Tahun 2012

dan cita-cita kebangsaan ini sangat menentukan sikap kita menanggapi beragam umbaran para politikus sekarang tentang penghidupan rakyat banyak dan kebijakan ekonomi yang diberlakukan dan ditawarkan (Samsudin Berlian, 2011,h.7).

Human Development Report (HRD) menunjukkan bahwa di Indonesia terdapat 48,35 juta (20,8 persen) orang miskin multidemensi, yakni yang diukur menurut indikator penghasilan, pendidikan, dan usia harapan hidup. Walaupun ini angka besar, jumlah orang miskin sebenarnya cenderung terus berkurang dari tahun ke tahun. Indeks Pembangunan Manusia Indonesia meningkat dari 0,423 pada tahun 1980 menjadi 0,617 pada 2011, hampir 50 persen dalam 30 tahun, suatu pencapaian yang cukup signi kan dibandingkan dengan banyak negara lain. Bank Dunia menyatakan, jumlah orang yang hidup di bawah 2 dollar AS (paritas daya beli) per hari pada 1984 adalah 88,4 persen, dibandingkan dengan 50,6 persen pada 2009, dan yang hidup di bawah 1,25 dollar AS pada 1984 adalah 62,8 persen, dibandingkan dengan 18,9 persen pada 2009. Persentase orang sangat miskin saat ini menurut BPS lebih kecil lagi, 13,33 persen, tetapi dengan garis kemiskinan yang terlalu rendah (2011).

Mengutip Berlian, bahwa data ini membuktikan tiga hal dalam satu generasi terakhir ini. Pertama, orang Indonesia pada umumnya cenderung makin sejahtera secara substansial. Kedua, telah terjadi pengurangan kemiskinan yang besar. Ketiga, separuh rakyat Indonesia masih sangat miskin. Pemerintah pada umumnya berusaha membesar-besarkan peningkatan kesejahteraan dan pengurangan kemiskinan itu dengan angka-angka statistik, tetapi cenderung mengecil-ngecilkan keberadaan orang miskin yang masih besar. Sebaliknya, politikus oposisi serta pejuang dan pembela orang miskin biasanya cenderung menekankan kenyataan kemiskinan dan menyorot kesenjangan dengan cara mendramatisasi kepahitan hidup orang miskin dibandingkan dengan kemewahan orang kaya.

Tentang IPM yang tersebut di atas jika dilihat dari rentang waktu (1980 - 2011) memang ada pencapaian yang cukup signifkan. Tapi persoalannya untuk tahun 2011 Indonesia hanya 0.617 atau berada di peringkat kelima di ASEAN. Kalau demikian halnya, peringkat indeks pembangunan manusia (IPM) Indonesia melorot. Indonesia berada di peringkat 124 dari 187 negara pada 2011. Itu artinya peringkat Indonesia turun sebab pada 2010 masih berada di posisi 108 dari 169 negara (Media Indonesia, 4/11/2011).

Indeks Pembangunan Manusia (IPM) tertinggi di kawasan ASEAN dipegang oleh Singapura yang duduk di peringkat 26 dari 187 negara dengan angka indeks 0,866. Brunei berada di urutan 33 (0,838), disusul Malaysia di urutan 61 (0,761), Thailand di urutan 103 (0,682), dan Filipina di urtan 112 (0,644). Posisi Indonesia sedikit lebih baik daripada Vietnam yang berada di urutan 128 (0,583), Laos di urutan 138 (0,524), Kamboja di urutan 139 (0,523), dan Myanmar di urutan 149 (0,483). IPM adalah alat untuk mengukur kualitas sumber daya manusia suatu negara. Yang diukur ialah pendidikan, kesehatan dan kesejahteraan ekonomi. IPM itulah yang menjadi dasar klasi kasi sebuah negara menjadi negara maju, Negara berkembang, atau negara terbelakang. Ironisnya, IPM Indonesia melorot justru di bidang pendidikan, padahal bidang itulah yang mendapatkan kucuran dana paling banyak dari APBN. Dalam APBN 2011 tercatat Rp. 2,46 triliun atau 20 persen dari total belanja Negara Rp. 1.229,6 triliun dialokasikan untuk pendidikan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Persoalan Kemiskinan Dan PembangunanSecara konseptual terdapat indikasi bila

negara malaksanakan perspektif negara kesejahteraan, warga masyarakatnya cenderung kemiskinannya akan berkurang tidak seperti yang ada sekarang ini. Dari data Badan Pusat Statistik, jumlah penduduk per Maret 2011 adalah 237.556.363 jiwa dengan angka

Kemiskinan dan Kesejahteraan: Sebuah Kajian Konsep

Page 35: Hipotiroid Kemensos Info

Informasi, Vol. 17, No. 01 Tahun 2012 31

Pengangguran dihitung dengan ukuran bekerja kurang dari satu jam dalam seminggu, yang jauh dari standar Internasional 35 jam perminggu.

Dalam hal ini pemerintah memaksakan anggapan bahwa dengan bekerja satu jam seminggu orang sudah dapat hidup layak. Sementara itu, kemiskinan diukur dengan garis kemiskinan yang nilainya kurang dari Rp 8.000 sehari. Dengan penghasilan kurang dari Rp 8.000 per hari, orang dianggap bisa makan kenyang dan memenuhi kebutuhan sandang, papan, pendidikan, kesehatan, dan transportasi (Palupi, 2011). Selain tak logis, penggunaan indikator seperti itu juga tak manusiawi dan berpotensi melanggar HAM. Jutaan orang miskin bisa kehilangan akses mendapatkan intervensi dari pemerintah hanya karena kondisi mereka berada sedikit di atas kriteria yang ditetapkan pemerintah. Padahal, dalam perspektif hak asasi, kemiskinan bukanlah sekadar perkara kurangnya pendapatan, tetapi juga perkara hilangnya kapabilitas dan peluang hidup bermartabat, rentan, dan tak berdaya. Kemiskinan adalah kondisi tak terpenuhinya hak asasi. Karena itu, dalam mengatasi kemiskinan dalam perspektif HAM, kelompok miskin tak dipandang sebgai korban yang tak punya daya, tetapi sebagai subyek hukum sekaligus aktor yang memiliki hak berpatisiapsi dalam pengambilan keputusan (Palupi, 2011).

Komnas Perempuan memahami benar bahwa wajah kemiskinan adalah perempuan, baik dalam memenuhi kebutuhan hidup keluarga maupun menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga, sedangkan KPAI mengikuti dari dekat anak-anak yang selalu menjadi korban dari keluarga miskin. KPK juga menyadari bahwa dana yang dikorupsi mengurangi anggaran yang tersedia untuk penaggulaangan kemiskinanan. Sementara itu, bagi Ombudsman, kualitas pelayanan pemerintahan sekaligus menjadi penyebab kemiskinan, dan akibat ketidakberdayaan orang miskin memperjuangkan hak-hak kewargaannya keluar dari kemiskinan. Dengan tampil bersama seperti ini, komisi nasional mengaktualkan perannya menyumbang terhadap penguatan

kemiskinan 12,5 persen atau sebanyak 29,7 juta jiwa.

Mengutip pendapat Carunia M Firdausy (2011), bahwa penjelasan perbedaan antara penurunan angka statistik dan kenyataan kemiskinan bukanlah sesuatu yang sulit. Paling tidak terdapat argumentasi utama mengapa demikian. Pertama, angka statistik bukan indikator “hidup” yang mampu untuk menjelaskan potret nyata kemiskinan. Angka statistik hanya indikator penunjuk suatu keadaan dengan batasan metode tertentu yang dipakai. Kedua, konsep dan de nisi garis kemiskinan yang dipkai pemerintah selama ini yang bermasalah dan ketinggalan zaman. Dikatakan demikian karena, pertama, garis kemiskinan (GK) yang dipakai adalah GK absolut berdasarkan ukuran pengeluaran dari hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional oleh BPS. Kedua, GK tersebut hanya mere eksikan ketidakcukupan pemenuhan kebutuhan hidup yang paling dasar manusia. Ketiga, GK absolute tersebut tak memperhitungkan zat nutrisi lain seperti protein yang diperlukan penduduk miskin. Akibatnya, tak mengherankan jika angka statistik dan kenyataan kemiskinan tak pernah nyambung.

Sri Palupi (2011) menyebutkan dalam banyak kasus terkait kemiskinan dan pembangunan, pemerintah cenderung menolak hak ekonomi, sosial, dan budaya. Penolakan terhadap hak ekonomi, sosial dan budaya sudah dimulai sejak pemerintah menetapkan pertumbuhan ekonomi dan produk domestik bruto (PDB) sebagai indikator pembangunan. Dengan memilih indikator ini, pemerintah menyadari konsekuensinya: kebijakan dan program pembangunan bias pada kalangan atas yang meski jumlanya kecil, berkontribusi tinggi terhadap PDB. Pemerintah mengesampingkan soal ketidakadilan. Dalam pemerintahan yang mengedepankan citra, ketakadilan tentu saja tak boleh terkuak secara telanjang. Perlu ada mekanisme mengaburkannya melalui, misalnya, penetapan indikator kemiskinan dan pengangguran yang terlalu rendah.

Kemiskinan dan Kesejahteraan: Sebuah Kajian Konsep

Page 36: Hipotiroid Kemensos Info

32 Informasi, Vol. 17, No. 01 Tahun 2012

Kemiskinan dan Kesejahteraan: Sebuah Kajian Konsep

negara, dan kehadiran publik untuk lebih memastikan efekti tas tindakan kebijakan lanjutan memecahkan masalah kolektif kemiskinan. Memang, berbicara tentang kesenjangan dalam hubungannya dengan kebijakan yang salah arah bukanlah hal baru bagi kita. Semua memaklumi bahwa kesengsaraan rakyat yang demikian lamanya itu merupakan warisan feodalisme dan kolonialisme. Bung Karno, dalam pidato lahirnya Pancasila pada 1 Juni 1945, mengemukakan bahwa prinsip kesejahteraan atau keadilan sosial bermakna sebagai “prinsip tidak akan ada kemiskinan di dalam Indonesia merdeka”. Karena itu, mengenyahkan kemiskinan dari bumi persada Indonesia sesungguhnya merupakan kewajiban dasar bagi negara dan bangsa (Dilon, 2011).

Sementara itu, terkesan bahwa arah kebijakan pembangunan memang sudah disandera elite sehingga tidak lagi ditujukan pada sektor-sektor ekonomi produktif tempat mayoritas rakyat menggantungkan nasibnya. Bangun ekonomi yang lebih ekstraktif bukan hanya tidak membawa nilai tambah, tapi malah semakin meminggirkan rakyat. Inilah penyebab utama langgengnya kesenjangan, dimulai dari kesenjangan antar dan intra sektor, antar dan intra-daerah, hingga antar dan intra-kawasan. Akibat kebijakan agraria dan perkreditan yang diskriminatif, warisan kesenjangan penadapatan dan derajat sosial antara si kaya dan si miskin itu terlihat semakin mencolok.

Sejak akhir Perang Dunia, kita telah menyaksikan kemajuan luar biasa sistem kapitalis. Perekonomian Amerika Utara, Eropa dan Jepang mengalami kemujuan luar biasa ke tingkat yang pernah terjadi, dan jutaan orang menjadi sangat kaya. Akan tetapi bersamaan dengan itu, miliaran orang di bumi yang sama tertinggal.

Dengan mengurangi kesenjangan tragis antara Belahan Bumi Utaradan Belahan Bumi Selatan, perwakilan semua bangsa di dunia berkumpul di Perserikatan Bangsa-Bangsa di New York pada tahun 2000. Mereka setuju untuk menetapkan delapan sasaran penting yang

ingin dicapai pada tahun 2015, yang kemudian disebut Sasaran Pembangunan Milenium. Yang paling penting dalam kesepakatan ini adalah mengurangi angka kemiskinan sampai setengahnya.

Bangladesh adalah sebuah Negara yang telah mengalami kemajuan pesat dalam rangka pencapaian Sasaran Milenium itu. Angka kemiskinannya telah turun dari 57 persen yang diprakirakan di tahun 1991 menjadi 40 persen di tahun 2005. Walaupun masih terlalu tinggi, angka tersebut terus turun sekitar dua persen per tahun, dengan tiap persentase mencerminkan perbaikan yang bermakna dalam kehidupan jutaan penduduk Bangladesh. Negeri itu telah berada di jalur yang benar menuju sasaran mengurangi kemiskinan sampai setengah jumlah semula pada tahun 2015 (Muhammad Yunus, 2011, hal: 219). Yang lebih menakjubkan, pertumbuhan perekonomian Bangladesh yang pesat telah disertai sedikit perbaikan dalam hal kesenjangan antara warga kaya dan warga miskin (sebagaimana diungkapkan oleh indikator-indikator statistik seperti koofesien Gini, sebuah ukuran untuk “disperse statistic” yang lazim digunakan untuk mende nisikan tingkat kesenjangan pendapatan dalam suatu populasi).

Untuk beberapa tahun, banyak negara lain di Asia menunjukkan keberhasilan yang sama seperti Bangladesh. Secara umum, di banyak negara seluruh dunia, pelan-pelan keadaan mulai membaik. Jumlah penduduk yang hidup dengan dengan pendapatan kurang dari 1,25 dolar per hari berkurang dari taksiran semula 1,8 miliar menjadi 1,4 miliar dari 1990 sampai 2005 - walaupun ini baru mewakili sekitar 25 persen penduduk dunia.

Namun sejak itu, angin segar yang ditiupkan oleh pencanangan Sasaran Milenium telah dipadamkan oleh sebuah krisis global yang kompleks dalam bidang ekonomi, keuangan, pertanian, lingkungan dan sosial. Taksiran baru-baru ini menyiratkan sekitar 55 juta hingga 90 juta orang telah bergabung ke dalam kelompok warga sangat miskin, semuanya akibat krisis global yang jelas bukan dipicu oleh mereka.

Page 37: Hipotiroid Kemensos Info

Informasi, Vol. 17, No. 01 Tahun 2012 33

Perihal KesejahteraanMenurut Kompas (19/6/2012), jika yang

dimaksud dengan “negara kesejahteraan “adalah tata kenegaraan, di mana pemerintah menyediakan atau menyelenggarakan/mengelola seluruh atau sebagian pelaksanaan kesejahteraan semua atau sebagian warganya, sudah jelas bahwa tugas sentral tata kenegaraan Indonesia, menurut Pasal 34 UUD 1945, adalah negara kesejahteraan. Jelasnya Pasal 34 itu menyatakan 1) fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh Negara; 2) Negara mengembangkan sistem jaringan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan; dan 3) Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak.

Betapapun konstitusi dengan jelas mengamanatkan sistem negara kesejahteraan, realitas republik sekarang ini justru kian menjauh dari ciat-cita. Meski konstitusi merupakan pedoman bagi penyelenggara pemerintahan dan dalam pembuatan kebijakan, pemerintahan cenderung kehilangan orientasi (Kompas, 19/06/2012, h.6). Di tengah sistem ekonomi politik yang menumbuhsuburkan korupsi dan kekerasan, bicara tentang negara kesejahteraan sesuai mandat konstitusi terasa seperti terlempar kembali ke zaman rimba. Betapa tidak. Ketika hidup manusia keluar dari rimba, maka kata, data, dan argument menjadi indikator penting dari peradaban. Sesuatu bisa diubah dengan kekuatan kata, data dan argumen, demikian kesimpulan pakar ekonomi politik, hasil diskusi Kompas (19/6/2012) tentang “Konstitusi dan Negara Kesejahteraan: Dari Cita-cita Menuju Realita”. Meski konstitusi menegaskan cita-cita Negara kesejahteraan, menagih terwujudnya Negara kesejahteraan dengan bersenjatakan konstitusi saja tidak akan menggerakkan penguasa. Konstitusi membutuhkan konstituen.

Bagaimana potret kehidupan dan kesejahteraan rakyat Indonesia memasuki usia kemerdekaannya yang ke-66 tahun ini? Kendati

Kemiskinan dan Kesejahteraan: Sebuah Kajian Konsep

selalu ada angka-angka yang menghibur, penderitaan masih terus saja mewarnai kehidupan para petani gurem, buruh tani, buruh pabrik, nelayan gurem, buruh nelayan, pedagang kaki lima, pengangguran, dan kaum terpinggirkan lainnya. Sehari-hari begitu banyak terekam kisah nestap orang-orang miskin yang mengusik rasa kemanusiaan kita di negeri yang katanya merdeka ini dan kaya akan sumber daya alam yang melimpah.

Melihat kenyataan pahit kehidupan rakyat seperti ini, timbul pertanyaan mendasar, apakah kita masih mewarisi kepekaan, kepedulian, semangat, dan keberanian berkorban para pendiri republik. Bagaimana sesungguhnya suasana batin penyelenggara Negara dalam melihat penderitaan rakyat. Apakah “roh kebangsaan” kita sudah benar-benar mati (baca: Dilon, 2011).

Marciano Vidal sebagaimana dikutip Aloys Budi Purnomo (2011) mengungkapkan, karakteristik negara kesejahteraan ditandai oleh empat hal pokok. Pertama, komitmen Negara dalam menciptakan peluang lapangan pekerjaan untuk mengakomodasi melimpahnya angkatan kerja aktif-produktif. Kedua, adanya jaminan asuransi sosialyang berlaku bagi semua warga Negara yang meliputi seluruh aspek kehidupan, terutama kesehatan dan bila terjadi kecelakaan. Ketiga, terselenggaranya pendidikan murah bermutu bagi rakyat, termasuk jaminan beasiswa bagi mereka yang berprestasi, tetapi berasal dari kalngan ekonomi lemah. Keempat, kebijakan sosial sebagai upaya redistribusi kekayaan. Untuk yang terakhir ini, upaya itu sungguh-sungguh cerminan wajah solidaritas baru dari yang kuat kepada yang lemah, bukan sekadar obat untuk menyembuhkan kesenjangan social.

Mewujudkan karakteristik negara kesejahteraan adalah tugas para pemimpin bangsa. Mereka bertanggung jawab memenuhi kebutuhan hidup warganya sehingga terciptalah tatanan hidup bersama yang lebih baik, adil, dan sejahtera. Negara dan penyelenggara negara bertanggung jawab menyelenggarakan semua pelayanan publik sehingga standar kesejahteraan masyarakat terjamin, terpenuhi,

Page 38: Hipotiroid Kemensos Info

34 Informasi, Vol. 17, No. 01 Tahun 2012

Kemiskinan dan Kesejahteraan: Sebuah Kajian Konsep

tanpa mengecualikan seorang pun. Kegagalan para pemimpin memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar masyarakat meruapakan kegagalan mereka dalam menyelenggarakan amanahnya. Selama ini ada kecenderungan yang terjadi, bukannya masyarakat mencontoh para pemimpinnya dalam hal saling melindungi antar warga, melainkan justru rakyatlah yang memberikan contoh kepada para pemimpin dalam mengembangkan antusiasme solidaritas kewarganegaraan. apparatus Negara selalu terlambat mewujudkan solidaritas dibandingkan masyarakat warga merespon berbagai persoalan di tingkat akar rumput. Adalah kewajiban dan tanggung jawab negara, apparatus negara dan para pemimpinnya, untuk mewujudkan keempat karakteristik negara kesejahteraan tersebut.

KomitmenKomitmen untuk menciptakan lapangan

kerja demi menekan angka pengangguran secara domestik belum maksimal. Terkait dengan kewajiban kedua, menyediakan asuransi sosial untuk semua warga di bidang kesehatan, negara pun belum maksimal memberikannya. Alih-alih memberikan jaminan asuransi sosial bagi warganya, biaya pengobatan begitu tinggi di negeri ini. Akibatnya muncul ungkapan peyoratif orang miskin dilarang sakit karena pasti akan kesulitan menanggung biaya kesehatan. Bahkan, masyarakat kelas menengah pun mendadak bisa “jatuh miskin” gara-gara biaya kesehatan (baca Purnomo, 2011). Alih-alih memberikan fasilitas publik yang nyaman dan aman, kecelakaan lalu lintas, baik darat, laut, maupun udara, sering terjadi. Ujung-ujungnya, negara kurang bertanggung jawab dan mempersalahkan oknum bawahan di lapangan, misalnya dalam kasus kecelakaan kereta api. Pendidikan murah? Masih jauh panggang dari api. Sudah gitu, mutu pendidikan juga masih bisa diperdebatkan, terutama untuk sekolah dasar dan menengah yang dikelola negara.

Kewajiban negara untuk menyejahterakan rakyatnya cenderung masih jauh dari harapan. Jangankan mengatur redistribusi kekayaan untuk mengatasi kesenjangan sosial, negara

justru cenderung menciptakan ruang-ruang dan jarak yang kian jauh antara yang kaya dan miskin. Pajak yang disetor, yang mestinya diimplimentasikan untuk kesejahteraan rakyat, justru dikorupsi oleh ma a pajak yang berkolaborasi dengan apratus negara. Perhatian terhadap daerah-daerah tertinggal masih sangat kurang sehingga sejumlah daerah di republik ini masih berada dalam kondisi yang mengenaskan.

Oleh karena itu, sudah saatnya para pemimpin negara ini menghadirkan solidaritas bangsa dengan mewujudkan karateristik negara kesejahteraan bagi rakyatnya.

KESIMPULAN

Menurut pandangan Dudley Seers,tokoh utama pendukung indikator nonekonomi ini, sebagaimana dikutip Moeljarto (1987), menegaskan bahwa ada tiga hal yang perlu ditanyakan tentang pembangunan suatu Negara, yaitu apa yang tengah terjadi dengan kemiskinan; apa yang tengah terjadi dengan pengangguran; dan apa yang tengah terjadi dengan ketimpangan. Apabila jawaban atas ketiga hal tersebut adalah “penurunan secara substansial” maka tidak diragukan lagi bahwa negara tersebut baru mengalami periode pembangunan.

Benar apa yang dikatakan Oliveir de Schutter (2011), sebagaimana dikutip Imam Cahyono (2011), bahwa kelaparan, rawan pangan lebih sebagai persoalan politik ketimbang masalah pertanian. Sumber utama kelaparan bukan kelangkaan melainkan kebijakan. Bencana kelaparan bukanlah takdir yang tak dapat dielakkan, melainkan bergantung pada bagaimana pemimpin politik mengatasi skandal tersebut.

Orchestra tata kelola pangan global tak lepas dari campur tangan Bank Dunia, IMF, dan WTO. Liberalisasi ekonomi memaksa negara berkembang membuka pasar, sementara negara maju memproteksi dan mensubsidi petaninya. Hampir semua yang kelaparan adalah warga miskin, petani gurem di pedesaan yang menjadi pembeli produksi pangan. Sementara korporasi

Page 39: Hipotiroid Kemensos Info

Informasi, Vol. 17, No. 01 Tahun 2012 35

Kemiskinan dan Kesejahteraan: Sebuah Kajian Konsep

dan tuan tanah dianakemaskan dengan berbagai fasilitas dan bantuan.

Dibanding China dan India, Indonesia negara berkembang sangat liberal. Indeks Keterbuakaan Ekonomi AS hanya 54 persen, sementara Indonesia mencapai 80 persen. Tatkala kita bangga mencapai swasembada pangan, pada saat bersamaan diiringi banjirnya barang impor. Setidaknya 65 persen kebutuhan pangan kita masih bergantung pada impor, seperti gandum, kedelai, susu, gula , daging sapi dan garam.

Seperti kaset rusak diputar kembali, Indonesia merupakan negeri kaya yang rawan pangan. Peta ancaman kelaparan dan rawan pangan nyari tak beranjak. Tahun 2009, 214 kabupaten dengan tingkat kemiskinan rata-rata dan 65 kabupaten dengan kemiskinan lebih dari 30 persen tersebar di provinsi Papua, Maluku, NTT, NTB dan Aceh. Dari total penduduk 237,6 juta jiwa, setidaknya 65,34 juta jiwa rentan rawan pangan atau 27,5 persen penduduk (Cahyono, 2011). Tak banyak inovasi ditorehkan pemerintah. Paling banter kebijakan reaktif ala pemadam kebakaran.

Sebaliknya, kebijakan pemerintah yang amat dibanggakan seperti Program Food Estate dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia secara kasatmata memihak korporasi besar. Investor lebih diprioritaskan pemerintah ketimbang petani. Bagiamanapun, persoalan global harus dipecahkan secara global. Semangat liberalisasi kebablasan dalam kebijakan domestik tentu kontrakdiktif dengan agenda diplomasi Indonesia di kancah internasional. Ironis, sebagai inisiator dan koordinator kelompok Negara G-33, kebijakandalam negerinya justru mengikis ketahanan pangan dan menyengsarakan petani domestik dan kaum miskin lainnya.

***

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, E.Y. (2009). Ekonomi Politik Kajian Teoritis dan Analisis Empiris. Pustaka Pelajar. Yogjakarta.

Aloys, B.P. (2011, 7 Nopember). Solidarisme dan Negara Kesejahteraan. Harian Kompas.

Dillon, H.S. (2011, 16 September). Cukup Sudah Pembiaran Kemiskinan. Majalah Tempo.

Imam, C. (2011, 14 Nopember). Ancaman Geopolitik Pangan. Harian Kompas.

Muhammad, Y.(2011). Bisnis Sosial Sistem Kapitalisme Baru Yang Memihak Kaum Miskin. Jakarta. Gramedia Pustaka Utama.

Samsudin, B. (2011, 7 Desember). Kemiskinan dan Kesejahteraan. Harian Kompas.

Sri, P. (2011, 9 Desember). Abai Sejak Dalam Pikiran. Harian Kompas.

Page 40: Hipotiroid Kemensos Info

36 Informasi, Vol. 17, No. 01 Tahun 2012

MODEL KEMITRAAN PEMERINTAH DENGAN PERUSAHAAN DALAM MENGELOLA CSR: STUDI KASUS DI KOTA CILEGON

(Model with government partnerships in managing its CSR: A case study in the City Cilegon)

Rahmatullah Dinas Sosial Kota Serang, Provinsi Banten

Email: [email protected]

Abstrak

Artikel ini membahas kemitraan antara Pemerintah Kota dengan Perusahaan di wilayah Kota Cilegon dalam melaksanakan program Corporate Social Responsibility (CSR) melalui Lembaga Cilegon Corporate Social Responsibility (CCSR). Jenis kajian ini deskriptif, menggunakan pendekatan kualitatif. Hasil kajian ini menyarankan agar status hukum CCSR ditingkatkan dari Peraturan Walikota (Perwal) menjadi Peraturan Daerah (Perda), lembaga CCSR perlu memaksimalkan sosialisasi, agar bertambahnya jumlah perusahaan yang menjadi anggota CCSR, CCSR perlu membuat basis data dan memiliki program prioritas sendiri, serta perlunya pelibatan masyarakat dalam seluruh tahapan program.

Kata kunci: Kemitraan, pemerintah kota, perusahaan, corporate social responsibility

Abstract

This article is about partnership between local government and companies in Cilegon City in the implementation of corporate social responsibility program. The research is descriptive using qualitative. These results suggest that enhanced CCSR legal status of Major Regulation to Local Government Regulation, more socialization and information about CCSR to grab new members, CCSR must make its own data base and have program priorities and citizens should be involved more in all phases of the program.

Key words: Partnership, local government, company, corporate social responsibility

PENDAHULUAN

Kota Cilegon merupakan salah satu kota industri penting di Indonesia, karena terkategorikan kedalam kawasan andalan industri nasional. Berdasarkan data Badan Koordinasi Penanaman Modal Daerah (BKPMD), di Kota Cilegon, terdapat industri berskala besar meliputi investasi Penanaman Modal Asing (PMA), Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN), Badan Usaha Milik Swasta (BUMS), dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

Tabel 1.Klasi kasi Penanaman Modal di Kota Cilegon

No. Penanaman Modal Jumlah1. Penanaman Modal Asing (PMA) 752. Penanaman Modal Dalam Negeri

(PMDN)34

3. Badan Usaha Milik Swasta 44. Badan Usaha Milik daerah 2

Sumber : BKPMD Kota Cilegon, 2010

Kota Cilegon juga merupakan simpul sistem jaringan utilitas dan pergerakan jawa-sumatera, melalui posisi ini Kota Cilegon turut menentukan pertumbuhan dan perkembangan

Page 41: Hipotiroid Kemensos Info

Informasi, Vol. 17, No. 01 Tahun 2012 37

Selain itu sejak sembilan bulan didirikan, baru sepuluh perusahaan yang menjadi anggota CCSR, padahal berdasarkan data BKPMD Kota Cilegon, terdapat 115 perusahaan berskala besar yang berinvestasi di Kota Cilegon. Dalam advertorial Harian Kabar Banten (13 Januari, 2011), Walikota Cilegon memberikan bantuan beasiswa dan pengobatan gratis melalui lembaga CCSR pada saat 100 hari pemerintahan Walikota, peristiwa tersebut seakan menyiratkan bahwa CCSR telah menjadi bagian dari agenda pemerintah walaupun dalam Perwal disebutkan bahwa CCSR merupakan lembaga non pemerintah.

Terkait pentingnya tanggungjawab sosial perusahaan dalam mendukung program pemerintah, dikemukakan oleh Supranoto (2007) , bahwa CSR memiliki pengaruh yang luas dalam membantu pemerintah meringankan upaya penanggulangan kemiskinan, serta peningkatan kesejahteraan masyarakat. Alokasi dana pemerintah untuk penanggulangan kemiskinan masih terbatas, dengan kondisi tersebut memerlukan dukungan dan keterlibatan aktif dunia usaha. Kegiatan CSR tentunya dapat membidik kelompok masyarakat yang belum tersentuh program penanggulangan kemiskinan, sehingga kualitas hidup yang lebih baik dapat dirasakan masyarakat secara merata.

Kelompok masyarakat atau pihak yang terkait dampak operasional perusahaan dikenal dengan istilah stakeholders. Menurut Freeman (1984) de nisi stakeholders merupakan individu atau kelompok yang bisa mempengaruhi dan/ atau dipengaruhi oleh organisasi sebagai dampak dari aktivitas-aktivitasnya. Menurut Utama (2010), tanggung jawab perusahaan tidak hanya terhadap pemiliknya atau pemegang saham saja, tetapi juga terhadap stakeholders yang terkait dan/atau terkena dampak operasional perusahaan. Keberadaan perusahaan selain untuk memaksimumkan kekayaan pemilik perusahaan/pemegang saham, namun juga untuk melayani kepentingan stakeholders perusahaan, seperti karyawan, pemasok, pemerintah, dan masyarakat.

Model Kemitraan Pemerintah dengan Perusahaan Dalam Mengelola CSR; Studi Kasus di Kota Cilegon

wilayah di kedua pulau besar tersebut. Selain itu Kota Cilegon sebagai potensi inlet-outlet terhadap lokasi pasar dunia, secara geogra s Kota Cilegon memiliki akses langsung terhadap Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) I yang didukung oleh keberadaan 21 pelabuhan umum dan khusus.

Berbagai potensi diatas belum berkorelasi langsung pada meningkatnya kesejahteraan masyarakat, karena saat ini jumlah keluarga miskin di Kota Cilegon mencapai 15.961 Kepala Keluarga (KK) atau 14,38%, dari 110.922 KK, dan angka pengangguran mencapai 35.286 jiwa atau 18,26%. Memahami besarnya potensi dan aneka permasalahan yang ada, Pemkot Cilegon berupaya melibatkan pihak perusahaan dengan mensinergikan program yang beririsan, melalui lembaga CCSR sebagai pengelola kegiatan, sehingga diharapkan akselerasi peningkatan kesejahteraan masyarakat dapat segera tercapai.

Kemitraan antara program CSR perusahaan dengan program pembangunan pemerintah, yang ditetapkan berdasarkan Peraturan Walikota Cilegon Nomor 3 tahun 2011, tentang Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Cilegon Corporate Social Responsibility (CCSR) di Kota Cilegon. CCSR merupakan lembaga independen non pemerintah yang mensinkronisasikan dan mengintegrasikan program dan kegiatan CSR dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kota Cilegon.

Saat ini baru terdapat 10 (sepuluh) perusahaan yang telah mensinergikan program CSR melalui lembaga CCSR, diantaranya: PT. Buana Centra Swakarsa (BCS), PT. Krakatau Steel (KS), PT. Chandra Asri, PT. BNI 46, PT. Amoco Mitsui Indonesia, PD. Pelabuhan Cigading Mandiri (PCM), PT. Bayer Indonesia, PT. Oil Tanking Merak, PT. Indonesia Power, dan PT. Bank Jabar Banten (BJB).

Penetapan CCSR melalui Peraturan Walikota (Perwal), menjadi kajian mengenai alasan penggunaan payung hukum tersebut, mengingat lembaga CCSR merupakan representasi dari perusahaan yang ada di Kota Cilegon, memiliki kedudukan yang independen.

Page 42: Hipotiroid Kemensos Info

38 Informasi, Vol. 17, No. 01 Tahun 2012

Model Kemitraan Pemerintah dengan Perusahaan Dalam Mengelola CSR; Studi Kasus di Kota Cilegon

Agar terwujudnya CSR yang terintegrasi, diperlukan komitmen dalam bentuk kemitraan antar stakeholders, khususnya antara pemerintah dan perusahaan. Sebagaimana diungkapkan Tenyson dalam Utama (2010), kemitraan merupakan kesepakatan antar sektor dimana individu, kelompok atau organisasi sepakat bekerjasama untuk memenuhi sebuah kewajiban atau melaksanakan kegiatan tertentu, bersama-sama menanggung resiko maupun keuntungan dan secara berkala meninjau kembali hubungan kerjasama.

Dalam proses kemitraan, terdapat prinsip dasar yang harus dilaksanakan, sebagaimana dikemukakan Wibisono (2007, hal.103), prinsip dalam proses kemitraan, meliputi: Pertama, kesetaraan atau keseimbangan (equity). Pendekatannya bukan top down atau bottom up, bukan juga berdasarkan kekuasaan semata, namun hubungan yang saling menghormati, saling menghargai dan saling percaya. Kedua, Transparansi, hal ini diperlukan untuk menghindari rasa saling curiga antar mitra kerja. Ketiga, saling menguntungkan, suatu kemitraan harus membawa manfaat bagi semua pihak yang terlibat.

Penetapan CCSR melalui Peraturan Walikota (Perwal), menarik untuk dikaji karena menggunakan paying hukum tersebut sebagai landasan penetapan CCSR,Selain itu karena lembaga CCSR merupakan representasi dari perusahaan yang ada di Kota Cilegon, memiliki kedudukan yang independen. Selain itu sejak sembilan bulan didirikan, baru sepuluh perusahaan yang menjadi anggota CCSR. Kesepuluhperusahaan tersebut telah mensinergikan program CSR melalui lembaga CCSR, diantaranya: PT. Buana Centra Swakarsa (BCS), PT. Krakatau Steel (KS), PT. Chandra Asri, PT. BNI 46, PT. Amoco Mitsui Indonesia, PD. Pelabuhan Cigading Mandiri (PCM), PT. Bayer Indonesia, PT. Oil Tanking Merak, PT. Indonesia Power, dan PT. Bank Jabar Banten (BJB). Hal ini sangat kontradiktif mengingat data data BKPMD Kota Cilegon, terdapat 115 perusahaan berskala besar yang berinvestasi di

Kota Cilegon ( Harian Kabar Banten, 13 Januari 2011).

Berdasarkan latar belakang di atas, kajian ini mencoba membahas tiga tema utama yaitu;Latar belakang kemitraan antara pemerintah dan perusahaan di wilayah Kota Cilegon melalui lembaga CCSR, proses dan pelaksanaan kemitraan dalam lembaga CCSR, dan membahas Faktor pendorong dan penghambat kemitraan antara pemerintah dan perusahaan melalui lembaga CCSR.

Tinjauan Pustaka

Corporate Social Responsibility (CSR)Corporate Social Responsibility (CSR)

merupakan suatu komitmen berkelanjutan oleh dunia usaha untuk bertindak etis dan memberikan kontribusi kepada pengembangan ekonomi dari komunitas setempat ataupun masyarakat luas, bersaman dengan peningkatan taraf hidup pekerja beserta keluarganya (Wibisono, 2007). Suharto (2006) menyatakan bahwa CSR adalah operasi bisnis yang berkomitmen tidak hanya untuk meningkatkan keuntungan perusahaan secara nansial, melainkan pula untuk membangun sosial-ekonomi kawasan secara holistik, melembaga dan berkelanjutan

Terdapat manfaat yang didapatkan dari pelaksanaan tanggunggjawab sosial perusahaan, baik bagi perusahaan, masyarakat, pemerintah dan pemangku kepentingan lainnya, sebagaimana dikemukakan Wibisono (2007, hal 99): 1. Bagi Perusahaan. Terdapat empat

manfaat yang diperoleh dengan mengimplementasikan CSR. Pertama, keberadaan perusahaan dapat tumbuh dan berkelanjutan, serta mendapatkan citra positif dari masyarakat luas. Kedua, perusahaan lebih mudah memperoleh akses terhadap modal. Ketiga, perusahaan dapat mempertahankan sumber daya manusia yang berkualitas. Keempat, perusahaan dapat meningkatkan pengambilan keputusan pada hal-hal yang kritis dan mempermudah pengelolaan manajemen risiko.

Page 43: Hipotiroid Kemensos Info

Informasi, Vol. 17, No. 01 Tahun 2012 39

Peraturan Hukum Terkait CSRTerdapat 4 (empat) peraturan yang

mewajibkan perusahaan tertentu untuk menjalankan tanggungjawab sosial perusahaan dan satu acuan (guidance) ISO 26000 sebagai referensi dalam menjalankan CSR, sebagaimana diuraikan Rahmatullah (2011, hal.14)1. Keputusan Menteri BUMN tentang Program

Kemitraan Bina Lingkungan (PKBL).Berdasarkan Peraturan Menteri Negara BUMN, Per-05/MBU/2007 Pasal 1 ayat (6) dijelaskan bahwa Program Kemitraan BUMN dengan Usaha Kecil, yang selanjutnya disebut Program Kemitraan, adalah program untuk meningkatkan kemampuan usaha kecil agar menjadi tangguh dan mandiri melalui pemanfaatan dana dari bagian laba BUMN. Sedangkan pada pasal 1 ayat (7) dijelaskan bahwa Program Bina Lingkungan, yang selanjutnya disebut Program BL, adalah program pemberdayaan kondisi sosial masyarakat oleh BUMN melalui pemanfaatan dana dari bagian laba BUMN.

Model Kemitraan Pemerintah dengan Perusahaan Dalam Mengelola CSR; Studi Kasus di Kota Cilegon

2. Bagi masyarakat, Keberadaan perusahaan di suatu daerah akan menyerap tenaga kerja, dan meningkatkan kualitas sosial di daerah tersebut.

3. Bagi lingkungan, praktik CSR akan mencegah eksploitasi berlebihan atas sumber daya alam, dan menjaga kualitas lingkungan.

4. Bagi negara, praktik CSR yang baik akan mencegah apa yang disebut Corporate Misconduct atau malpraktik bisnis seperti

penyuapan pada aparat negara atau aparat hukum yang memicu korupsi.

Keterlibatan perusahaan dalam program CSR dilatarbelakangi beberapa kepentingan. Menurut Mulyadi (2003, hal 4), setidaknya bisa diidenti kasi tiga motif keterlibatan perusahaan, yaitu: motif menjaga keamanan fasilitas produksi, motif mematuhi kesepakatan kontrak kerja, dan motif moral untuk memberikan pelayanan sosial pada masyarakat lokal.

2. Undang-Undang Perseroan Terbatas Nomor 40 Tahun 2007 Selain BUMN, saat ini Perseroan Terbatas (PT) yang mengelola atau operasionalnya terkait dengan Sumber Daya Alam (SDA) diwajibkan melaksanakan program CSR, sebagaimana diatur dalam UU Perseroan Terbatas Nomor 40 Tahun 2007, pasal 74.

3. Undang-Undang Penanaman Modal Nomor 25 Tahun 2007Dalam Pasal 15 (b) dinyatakan bahwa setiap penanam modal berkewajiban melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan.

4. Undang-Undang Minyak dan Gas Bumi Nomor 22 Tahun 2001Khusus bagi perusahaan yang operasionalnya mengelola minyak dan gas bumi, terikat oleh Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001, tentang Minyak dan Gas Bumi, disebutkan dalam Pasal 13 ayat 3 (p).

5. Guidance ISO 26000ISO 26000 merupakan standar dan panduan, tidak menggunakan mekanisme serti kasi, dan tidak hanya diperuntukkan

Tabel 2. Motif Perusahaan dalam Menjalankan Program CSR

Motif Keamanan Motif memenuhiKewajiban Kontraktual Komitmen Moral

Program dilakukan setelah ada tuntutan masyarakat yang biasanya diwujudkan melalui demonstrasi

Pertanggungjawaban program CSR kepada pemerintah daerah dan pemerintah pusat

Wacana CSR

Program tidak dilakukan setelah kontrak ditandatangani. Kecenderungan program dilakukan ketika kebebasan masyarakat sipilsemakin besar paska desentralisasi

Propaganda kegiatan CSR melalui media massa.

Propaganda kegiatan CSR melakukan media massa.

Sumber : Mulyadi (2003, hal 4)

Page 44: Hipotiroid Kemensos Info

40 Informasi, Vol. 17, No. 01 Tahun 2012

bagi Corporate (perusahaan) melainkan juga untuk semua sektor publik dan privat. Tanggung jawab sosial dapat dilakukan oleh institusi pemerintah, Non governmental Organisation (NGO) dan tentunya sektor bisnis, hal itu dikarenakan setiap organisasi dapat memberikan akibat bagi lingkungan sosial maupun alam. ISO 26000 membantu organisasi dalam pelaksanaan Social Responsibility, dengan cara memberikan pedoman praktis, serta memperluas pemahaman publik.

Tahapan Pelaksanaan CSRMenurut Hurairah (2008), terdapat 6 (enam)

tahapan dalam pengembangan masyarakat, yaitu: assessment, plan of treatment, treatment action, monitoring and evaluation, termination dan after care. Dari keenam tahapan tersebut, kajian ini hanya membahas tiga tahapan awal, dikarenakan lembaga CCSR baru berdiri satu tahun, meliputi:1. Asssessment. Proses mengidenti kasi

masalah (kebutuhan yang dirasakan atau felt needs) ataupun kebutuhan yang diekspresikan (ekspressed needs) dan juga sumber daya yang dimiliki komunitas sasaran.

2. Plant of Treatment. Merupakan rencana tindakan yang dirumuskan seharusnya, berkenaan dengan upaya pemenuhan kebutuhan-kebutuhan dan penanganan-penanganan masalah yang dirasakan masyarakat.

3. Treatment action. Tahap pelaksanaan merupakan fase paling krusial dalam kegiatan CSR.

StakeholdersStakeholders menurut Freeman (1984)

merupakan individu atau kelompok yang bisa mempengaruhi dan/atau dipengaruhi oleh organisasi sebagai dampak dari aktivitas-aktivitasnya. Sedangkan Chariri dan Ghazali (2007, hal.32) mengatakan bahwa perusahaan bukanlah entitas yang hanya beroperasi

untuk kepentingannya sendiri namun harus memberikan manfaat bagi stakeholders-nya. Mengacu pada pengertian diatas, maka dapat ditarik suatu penjelasan bahwa dalam suatu aktivitas perusahaan dipengaruhi oleh faktor-faktor dari luar dan dari dalam, yang kesemuanya dapat disebut sebagai stakeholders. Menurut Hill (1996, hal 129), Stakeholders dalam pelayanan sosial meliputi negara, sektor privat, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), dan masyarakat, dalam kasus program CSR keseluruhan entitas tersebut terlibat secara bersama-sama.

Menurut Utama (2010), tanggung sosial jawab perusahaan tidak hanya terhadap pemiliknya atau pemegang saham saja tetapi juga terhadap para stakeholders yang terkait dan/atau terkena dampak dari keberadaan perusahaan. Dalam menetapkan dan menjalankan strategi bisnisnya, perusahaan yang menjalankan CSR akan memperhatikan dampaknya terhadap kondisi sosial dan lingkungan, dan berupaya agar memberikan dampak positif.

Kemitraan Pemerintah Dan Dunia UsahaMenurut Tenyson dalam Utama (2010),

kemitraan adalah kesepakatan antar sektor dimana individu, kelompok atau organisasi sepakat bekerjasama untuk memenuhi sebuah kewajiban atau melaksanakan kegiatan tertentu, bersama-sama menanggung resiko maupun keuntungan dan secara berkala meninjau kembali hubungan kerjasama.

Kemitraan memiliki prinsip-prinsip dalam pelaksanaannya. Wibisono (2007, hal. 103) merumuskan tiga prinsip penting dalam kemitraan, yaitu:1. Kesetaraan atau keseimbangan (equity).

Pendekatannya bukan top down atau bottom up, bukan juga berdasarkan kekuasaan semata, namun hubungan yang saling menghormati, saling menghargai dan saling percaya.

2. Transparansi. Transparansi diperlukan untuk menghindari rasa saling curiga antar mitra kerja. Meliputi transparansi pengelolaan informasi dan pengelolaan keuangan.

Model Kemitraan Pemerintah dengan Perusahaan Dalam Mengelola CSR; Studi Kasus di Kota Cilegon

Page 45: Hipotiroid Kemensos Info

Informasi, Vol. 17, No. 01 Tahun 2012 41

Gambar 1. Alur Proses Sinergi Program

Sumber: Gambar diolah sendiri

Pemerintah mengakui adanya kendala dalam menangani dua masalah tersebut, yaitu keterbatasan dalam anggaran. Dilain pihak, perusahaan dinilai memiliki potensi dalam membantu pemerintah, melalui program tanggungjawab sosial perusahaan atau CSR. Bila dikaitkan dengan de nisi CSR menurut Suharto, maka perusahaan diharapkan dapat berkomitmen tidak hanya untuk meningkatkan keuntungan perusahaan secara nansial, melainkan juga membangun sosial ekonomi kawasan secara holistik, melembaga dan berkelanjutan.

Pemkot menganggap sinkronisasi program sebagai bagian penting, dikarenakan dalam melakukan pembangunan perlu adanya kerjasama dan partisipasi berbagai pihak, khususnya swasta. Pemerintah selaku penanggungjawab pembangunan, perlu mengatur bagaimana sinkronisasi program bisa berjalan dengan baik, tertib, dikelola profesional, dan berangkat dari basis data yang menggambarkan kebutuhan masyarakat. Bila dikaitkan dengan konsep stakeholders menurut Chariri dan Ghazali, bahwa perusahaan bukanlah entitas yang hanya beroperasi untuk kepentingannya sendiri namun harus memberikan manfaat bagi stakeholders-

Model Kemitraan Pemerintah dengan Perusahaan Dalam Mengelola CSR; Studi Kasus di Kota Cilegon

3. Saling menguntungkan. Kemitraan harus bermanfaat bagi semua pihak yang terlibat.

Dalam implementasinya, kemitraan yang dijalankan tidak selamanya ideal, karena terkadang didasarkan pada kepentingan pihak yang bermitra. Menurut Wibisono (2007, hal.104), Kemitraan yang dilakukan antara perusahaan dengan pemerintah maupun komunitas/masyarakat dapat mengarah pada tiga sekenario, diantaranya:1. Pola kemitraan kontra produktif. Hal ini

terjadi jika perusahaan masih berpijak pada pola konvensional, hanya mengutamakan kepentingan shareholders atau mengejar pro t sebesar-besarnya.

2. Pola Kemitraan Semiproduktif. Pemerintah dan komunitas atau masyarakat dianggap sebagai obyek dan masalah diluar perusahaan.

3. Pola Kemitraan Produktif. Menempatkan mitra sebagai subyek, dan terlaksananya simbiosis mutualisme. Perusahaan mempunyai kepedulian sosial dan lingkungan yang tinggi, pemerintah memberikan iklim yang kondusif bagi dunia usaha dan masyarakat memberikan dukungan positif kepada perusahaan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Latar Belakang Kemitraan Antara Pemerintah dan Perusahaan di Wilayah Kota Cilegon

Lahirnya lembaga Cilegon Corporate Social Responsibility (CCSR) berawal dari gagasan Walikota Cilegon pada saat memaparkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) 2010-2015 di depan pimpinan perusahaan se Kota Cilegon, mengenai program prioritas pemerintah dalam mengurangi angka kemiskinan dan pengangguran, sesuai target MDG’s sebesar 50% di akhir tahun 2015. Bila dikaitkan dengan konsep implementasi CSR yang dikemukakan Wibisono bahwa faktor yang mempengaruhi berjalannya CSR salah satunya adalah faktor kepemimpinan. Faktor kepemimpinan dalam hal ini, baik dalam

kepemimpinan walikota yang memiliki gagasan sinkronisasi program, maupun pemimpin perusahaan yang mendukung gagasan tersebut.

Page 46: Hipotiroid Kemensos Info

42 Informasi, Vol. 17, No. 01 Tahun 2012

nya (shareholders, kreditor, konsumen, supplier, pemerintah, masyarakat, analis dan pihak lain). Pemkot Cilegon memiliki harapan agar perusahaan yang ada di Kota Cilegon berpartisipasi dalam mensukseskan program pemerintah, dengan memberikan manfaat kepada masyarakat melalui sinergi program CSR.

Konsep kemitraan antara perusahaan dengan pemerintah merupakan upaya pelayanan terhadap masyarakat dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat, dilakukan secara bersama antara pemerintah dengan perusahaan melalui sinergi program yang beririsan. Sebagaimana pandangan Hill bahwa Stakeholders dalam pelayanan sosial meliputi negara, sektor privat, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), dan masyarakat, dalam kasus program CSR keseluruhan entitas tersebut terlibat secara bersama-sama.

Penetapan CCSR melalui Peraturan Walikota (Perwal) Nomor 3 tahun 2011, menjadi tonggak legalitas kemitraan pemerintah Kota Cilegon dan Perusahaan di wilayah Kota Cilegon melalui wadah CCSR. Namun, kedudukan hukum Perwal memiliki kelemahan, karena dianggap hanya mewakili kepentingan pemerintah dalam hal ini walikota, bukan atas mandat masyarakat yang ditetapkan DPRD melalui Peraturan Daerah (Perda). Jika periode pemerintahan walikota selesai, Perwal bisa dibatalkan oleh Walikota terpilih berikutnya, kondisi tersebut bisa berpengaruh pada keberlanjutan lembaga CCSR itu sendiri.

Dalam pembentukan lembaga CCSR terdapat perusahaan yang tidak sepakat dibentuknya lembaga CCSR, berdasarkan data sekretariat CCSR baru 10 perusahaan yang menjadi anggota CCSR dari 115 perusahaan skala besar di Kota Cilegon. Salah satu alasannya, peraturan hukum CSR yang ada saat ini, baru wajib pada BUMN dan perusahaan pengelola Sumber Daya Alam (SDA). Asumsi tersebut berdasarkan pada peraturan hukum mengenai CSR di Indonesia yang wajib pada perusahaan tertentu, sebagaimana dikemukakan Rahmatullah,

Model Kemitraan Pemerintah dengan Perusahaan Dalam Mengelola CSR; Studi Kasus di Kota Cilegon

diantaranya: Pertama, bagi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) diatur dalam Peraturan Menteri Negara BUMN, Per-05/MBU/2007 Pasal 1. Kedua, bagi Perseroan Terbatas (PT) yang mengelola atau operasionalnya terkait dengan Sumber Daya Alam, diatur dalam Undang-Undang Perseroan Terbatas Nomor 40 Tahun 2007, pasal 74. Ketiga, bagi perusahaan Penanaman Modal, diatur dalam Undang-Undang Penanaman Modal Nomor 25 Tahun 2007, pasal 15 (b). Keempat, bagi perusahaan pengelola minyak dan gas bumi, diatur dalam Undang-Undang Minyak dan Gas Bumi Nomor 22 Tahun 2001, Pasal 13 ayat 3 (p).

Dengan demikian, CSR tidak wajib pada perusahaan yang tidak terkategorikan dalam peraturan diatas. Wajar jika ada perusahaan di Kota Cilegon menolak berdirinya lembaga CCSR. Bagi perusahaan yang tidak terkategori dalam regulasi pemerintah, bisa menjadikan ISO 26000 sebagai acuan. ISO 26000 merupakan standar atau panduan, yang tidak hanya diperuntukkan bagi perusahaan melainkan juga untuk semua sektor publik dan privat dalam melaksanakan Social Responsibility.

Bagi perusahaan yang telah menjadi anggota CCSR, memiliki pandangan berbeda, bahwa perusahaan mendukung sinkronisasi program, karena pihak yang mengetahui dan memiliki data mengenai kondisi masyarakat adalah pemerintah, serta yang mengetahui apa yang menjadi prioritas juga pemerintah. Dengan sinkronisasi, bantuan yang ada di perusahaan baik dalam bentuk uang, barang maupun program bisa tepat sasaran dan menjawab kebutuhan masyarakat.

Perusahaan yang mensinkronisasikan program CSR-nya dengan program pemerintah, sejalan dengan de nisi CSR menurut Moseley, yaitu manajemen perusahaan menyusun kebijakan dan membuat keputusan mengikuti atau sejalan dengan hukum serta nilai yang berlaku dalam suatu masyarakat. Sebagai contoh, Bank Jabar Banten (BJB) Cabang Kota Cilegon yang memiliki fokus CSR dalam bidang pendidikan, membuat kebijakan

Page 47: Hipotiroid Kemensos Info

Informasi, Vol. 17, No. 01 Tahun 2012 43

mendukung program prioritas CCSR melalalui bantuan buku paket bagi pelajar SMP, dan SMA sederajat se-Kota Cilegon dengan nilai bantuan Rp.475 juta. Sedangkan PT. Krakatau steel (PT.KS) dan PT. Chandra Asri, memililki kebijakan, mensinkronkan programnya dengan CCSR terkait program kesehatan, dengan mendanai pembangunan 140 jamban keluarga senilai Rp 350 juta. Sinkronisasi yang dilakukan merupakan upaya mengikuti aturan pemerintah dalam hal ini Perwal No. 3 dan mewujudkan harapan masyarakat.

Peran pemerintah dan perusahaan dalam mensinergikan program yang beririsan, sesuai dengan pendapat Utama, bahwa perlunya pemerintah duduk bersama dengan pelaku usaha, untuk mengkomunikasikan apa yang dibutuhkan masyarakat secara bersama, memberikan gambaran rencana kerja pemerintah yang terkait dengan kepentingan publik. Dengan demikian ada komunikasi dua arah, sehingga kemungkinan adanya kerjasama antara pemerintah dengan perusahaan menjadi semakin terbuka, sehingga tidak terjadi overlapping program antara pemerintah dan perusahaan.

Tujuan didirikannya lembaga CCSR adalah tercapainya target MDG’s pada tahun 2015, yaitu berkurangnya angka keluarga miskin di Kota Cilegon dari 15.961 Kepala Keluarga (KK), berkurang setengahnya menjadi 8.000 KK. Upaya mewujudkan target tersebut perlu melibatkan multi pihak khususnya perusahaan agar akselerasi pengurangan angka kemiskinan dapat tercapai. Pemerintah memiliki pertimbangan tersendiri, mengapa mengikutsertakan pihak perusahaan untuk bermitra, karena perusahaan memiliki program CSR, yang jika disinergikan dengan program pemerintah akan menjadi potensi yang besar untuk mewujudkan tujuan tersebut. Pandangan diatas menggambarkan pentingnya hubungan antara perusahaan dengan pemerintah, sebagaimana dikemukakan Wibisono, bahwa dunia usaha merupakan mitra pemerintah untuk mengelola sumber daya yang mustahil bila seluruhnya bisa dikelola oleh pemerintah.

Model Kemitraan Pemerintah dengan Perusahaan Dalam Mengelola CSR; Studi Kasus di Kota Cilegon

Dunia usaha membantu pemerintah dalam memutar roda perekonomian dan menggerakkan pembangunan.

Bila dikaitkan dengan motif melaksanakan CSR, perusahaan yang mensinergikan programnya dengan pemerintah, menginginkan terwujudnya harapan, sebagaimana diungkapkan Wibisono, diantaranya: mempertahankan dan mendongkrak reputasi perusahaan, memperbaiki hubungan dengan stakeholders, dan memperbaiki hubungan dengan regulator. Bank Jabar Banten (BJB) mengakui bahwa salah satu keuntungan yang didapatkan dalam mensponsori penerbitan buku adalah digunakannya logo BJB dalam setiap eksemplar buku, menjadikan BJB lebih dikenal kepeduliannya oleh masyarakat. Sedangkan PT. KS yang memiliki aset perusahaan tersebar mengharapkan adanya hubungan yang baik dengan masyarakat, agar aset perusahaan tetap aman dan terjaga.

Proses Dan Pelaksanaan Kemitraan Dalam Lembaga CCSR

Pembentukan lembaga CCSR yang diinisasi pemerintah Kota Cilegon merupakan bentuk penghargaan atas potensi CSR yang dimiliki perusahaan. Pemerintah berupaya membuat koridor agar potensi sosial yang dimiliki perusahaan bisa dirasakan manfaatnya bagi masyarakat. Bentuk saling menghargai lainnya, pemerintah menjaga independensi perusahaan, dimana kepengurusan CCSR sepenuhnya berasal dari perwakilan perusahaan. Sedangkan bentuk penghargaan perusahaan terhadap pemerintah, yaitu dengan mendukung Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kota Cilegon, turut aktif dalam pendirian lembaga CCSR dan mensinergikan program CSR melalui lembaga CCSR.

Walaupun dalam kepengurusan CCSR pemerintah tidak terlibat, namun pemerintah memiliki kewajiban dalam membiayai operasional lembaga CCSR melalui APBD sebesar Rp 197 juta. Bentuk kewajiban ini merupakan salah satu jawaban atas skeptisme

Page 48: Hipotiroid Kemensos Info

44 Informasi, Vol. 17, No. 01 Tahun 2012

Model Kemitraan Pemerintah dengan Perusahaan Dalam Mengelola CSR; Studi Kasus di Kota Cilegon

beberapa perusahaan yang berasumsi bahwa pemkot memanfaatkan perusahaan dengan mengalihkan beban tanggungjawabnya dalam mensejahterakan masyarakat. Sedangkan perusahaan yang telah menjadi anggota CCSR berkewajiban dalam mengintegrasikan programnya. Selama kurun Bulan Maret hingga November Tahun 2011, nilai kontribusi perusahaan melalui program CSR yang dikelola lembaga CCSR mencapai Rp.9,8 miliar.

Baik pemerintah maupun perusahaan memiliki komitmen terhadap lembaga CCSR. Bentuk komitmen pemerintah adalah dengan memberikan kemudahan dalam perizinan kegiatan, fasilitasi tempat dan melakukan pengawasan jalannya kegiatan CCSR. Kedudukan pemerintah sebagai dewan pengawas berfungsi menjalankan monitoring walaupun tidak memiliki hak dalam memberikan hukuman terhadap pengurus CCSR. Pemerintah hanya mengawal agar tujuan ideal dibentuknya lembaga CCSR dapat terwujud. Perusahaan memiliki komitmen dengan mensinergikan program yang betul-betul disesuaikan dengan prioritas pemerintah, sehingga tujuan akselerasi berkurangnya keluarga miskin di akhir tahun 2015 dapat tercapai.

Dalam kurun waktu 9 bulan kepengurusan CCSR terbentuk, telah dilaksanakan dua program prioritas yaitu bantuan buku sebanyak 129.450 eksemplar dan pembangunan 140 unit jamban keluarga, beserta 13 program non prioritas. Implementasi CSR yang dilakukan perusahaan dipengaruhi faktor regulasi dan sistem perpajakan. Semakin kondusif regulasi, akan lebih berpotensi memberi semangat kepada perusahaan untuk berkontribusi kepada masyarakat, hal tersebut dikemukakan Wibisono.

Dasar ikatan antara pemerintah dengan perusahaan adalah diterbitkannya Perwal nomor 3 tahun 2011, tentang Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Cilegon Corporate Social Responsibility (CCSR). Bentuk ikatan perusahaan, dengan manjadi pengurus CCSR yang berwenang dan bertanggungjawab

penuh atas pengelolan CCSR. Sedangkan ikatan pemerintah adalah menjadi dewan penasihat bersama stakeholders lain yaitu tokoh masyarakat, dan akademisi dalam membantu memberikan arahan, nasehat, gagasan, dan saran kepada CCSR.

Jika dilihat dalam aspek politik, ditetapkannya CCSR melalui Perwal, pelantikan pengurus oleh walikota dan posisi pemerintah dalam struktur organisasi CCSR sebagai dewan penasihat, seakan menunjukkan kedudukan CCSR yang tidak independen dimana pemerintah berada dalam posisi superordinat. Kondisi tersebut terjadi dikarenakan belum meningkatnya status peraturan hukum CCSR dari Perwal menjadi Perda sehingga dalam keputusan-keputusannya ditetapkan oleh walikota. Secara operasional dalam kedudukannya sebagai dewan penasihat, Pemda tidak memiliki hak dalam memberikan intervensi dalam bentuk apapun terhadap CCSR, melainkan sekedar memberikan saran dan masukan. Hal tersebut dikemukakan oleh informan perusahaan anggota CCSR, bahwa masing-masing pihak menghargai peran dan kedudukannya, dan selama satu tahun berjalan tidak ada intervensi antar kedua belah pihak, melainkan melakukan bekerjasama mensinergikan potensi yang ada.

Lembaga CCSR tidak melakukan proses kajian kebutuhan dalam menentukan prioritas programnya. 5 (lima) program prioritas, yaitu: pemberian bantuan buku paket sekolah, pembuatan jamban keluarga, pemugaran Rumah Tidak Layak Huni (RTLH), Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat (1 miliar per kecamatan), dan listrik masuk desa, merupakan hasil adopsi dari RPJMD Kota Cilegon tahun 2010-2015. CCSR menggunakan program prioritas yang dibuat oleh pemerintah, karena merupakan hasil kajian dalam Musyawarah Rencana Pembangunan (Musrenbang) yang kemudian dipetakan oleh Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) menjadi program prioritas.

Akan tetapi program prioritas yang lahir dari Musrenbang hanyalah bentuk akumulasi

Page 49: Hipotiroid Kemensos Info

Informasi, Vol. 17, No. 01 Tahun 2012 45

Model Kemitraan Pemerintah dengan Perusahaan Dalam Mengelola CSR; Studi Kasus di Kota Cilegon

yang belum tentu tiap wilayah memiliki permasalahan yang sama, sehingga penentuan 5 prioritas belum tentu mewakili kebutuhan masyarakat pada wilayah lainnya. Hal tersebut tidak sesuai dengan konsep kajian kebutuhan menurut Hurairah yaitu proses mengidenti kasi masalah terkait kebutuhan masyarakat, dan juga sumber daya yang dimiliki sasaran. Dalam kajian kebutuhan, idealnya masyarakat dilibatkan secara aktif agar dapat merasakan bahwa permasalahan yang dibicarakan benar-benar permasalahan yang keluar dari pandangan masyarakat sendiri.

Basis data yang saat ini digunakan CCSR juga merupakan hasil kajian dari dinas terkait. Sebagai contoh data kebutuhan buku bagi pelajar, CCSR dapatkan dari Dinas Pendidikan, data menganai masyarakat yang belum memilki jamban, didapatkan dari Dinas Kesehatan, data mengenai Rumah Tidak Layak Huni (RTLH) didapatkan dari Dinas Sosial, data mengenai usaha kecil yang membutuhkan permodalan didapatkan dari BPMKP dan dinas Koperasi Usaha Kecil Menengah, data mengenai rumah tanpa sambungan listrik, didapatkan dari BAPPEDA.

Terdapat 3 (tiga) model program dalam lembaga CCSR, diantaranya: Pertama, perusahaan memiliki program yang secara langsung dilaksanakan di masyarakat tanpa keterlibatan perencanaan masyarakat, peran CCSR hanyalah mencatat dan mempublikasikan. Kedua, perusahaan menitipkan programnya melalui CCSR, kemudian CCSR memfasilitasi dan melaksanakan di masyarakat. Ketiga, masyarakat mengusulkan program kepada CCSR, kemudian CCSR mengajukannya kepada perusahaan, lalu CCSR memfasilitasi terlaksananya program.

Model yang saat ini dijalankan lembaga CCSR adalah model pertama dan kedua. Bentuk sinergi antara perusahaan dengan pemerintah berada di model kedua, dimana perusahaan menitipkan dana, barang maupun kegiatan, yang kemudian CCSR mendesain program sesuai prioritas yang sudah ada.

Perencanaan program berbasis masyarakat pada dasarnya berada dalam model ketiga, dimana metode perencanaan dari bawah dilaksanakan, masyarakat merumuskan kegiatan apa yang mereka butuhkan, yang kemudian disampaikan kepada lembaga CCSR, dan ditindak lanjuti oleh perusahaan yang mampu merealisasikannya kepada masyarakat. Model ketiga menjamin adanya keterlibatan masyarakat mulai dari perencanaan, pelaksanaan hingga memelihara program yang telah terlaksana.

Faktor Pendukung Dan Penghambat Kemitraan

Terdapat beberapa faktor pendukung dalam melaksanakan sinergi program antara pemerintah dengan perusahaan, diantaranya: komitmen pemerintah dalam mengurangi angka kemiskinan dan pengangguran yang di dukung oleh perusahaan. Perusahaan diuntungkan dari adanya kerjasama dengan pemerintah, dimana program CSR lebih tepat sasaran, pencitraan juga didapatkan, selain itu perusahaan merasa terbantu dalam melaksanakan CSR-nya.

Kontribusi masing-masing pihak yang bermitra, menjadi pendorong bagi berjalannya roda organisasi dan program-program CCSR. Pemerintah memiliki komitmen dalam membiayai operasional lembaga CCSR, dengan menganggarkan melalui APBD, sedangkan perusahaan membiayai program CSR yang disinergikan.

Faktor-faktor pendukung kemitraan menunjukkan pola kemitraan dalam lembaga CCSR mengarah pada kemitraan produktif, dimana perusahaan mempunyai kepedulian sosial dan lingkungan yang tinggi, sedangkan pemerintah memberikan iklim yang kondusif bagi berjalannya kerjasama.

Faktor-faktor penghambat yang muncul, diantaranya: status CCSR yang ditetapkan melalui Perwal, seharusnya ditingkatkan menjadi Perda, agar memiliki kekuatan hukum yang lebih mengikat, menjadi dasar bagi perusahaan lain untuk menjadi anggota CCSR, serta kelembagaan CCSR tetap berkelanjutan

Page 50: Hipotiroid Kemensos Info

46 Informasi, Vol. 17, No. 01 Tahun 2012

Model Kemitraan Pemerintah dengan Perusahaan Dalam Mengelola CSR; Studi Kasus di Kota Cilegon

walaupun kedepannya terjadi pergantian walikota.

Sedangkan hambatan menurut pandangan perusahaan yang belum menjadi anggota CCSR, dikarenakan asumsi perusahaan bahwa tanggungjawab pembangunan dan peningkatan kesejahteraan merupakan tanggungjawab pemerintah, bukan perusahaan. Selain juga perusahaan merasa sudah berkontribusi kepada daerah melalui pajak dan retribusi.

KESIMPULAN DAN SARAN

Dari hasil kajian ditemukan beberapa hal antara lain:

Pertama, mengenai latar belakang berdirinya lembaga CCSR, menunjukkan bahwa CCSR lahir atas prakarsa pemerintah yang menginginkan adanya sinergi antara RPJMD dengan program CSR perusahaan yang ada di Kota Cilegon, ditetapkan melalui Peraturan Walikota Nomor 3 tahun 2011. Perwal menjadi tonggak legalitas kemitraan pemerintah Kota Cilegon dan Perusahaan di wilayah Kota Cilegon melalui wadah CCSR. Dasar keanggotaan CCSR adalah sukarela, tidak ada paksaan atau intervensi bagi perusahaan untuk mensinergikan program.

Kedua, dalam pembentukan lembaga CCSR terdapat dinamika antara perusahaan yang sepakat dan tidak sepakat. Bagi perusahaan yang tidak sepakat dibentuknya lembaga pengelola CSR, dengan alasan peraturan hukum CSR yang ada, baru wajib pada perusahaan tertentu. Bagi perusahaan yang menjadi anggota CCSR, memiliki pandangan, bahwa perusahaan mendukung sinkronisasi program, karena yang mengetahui dan memiliki data mengenai kondisi masyarakat adalah pemerintah

Ketiga, proses kemitraan yang meliputi: kesepakatan, kerjasama, kewajiban, menanggung keuntungan/ resiko, dan mengevaluasi hubungan kerjasama telah dijalankan dengan baik oleh pemerintah maupun perusahaan dalam lembaga CCSR. Selain itu, kemitraan yang dijalankan lembaga CCSR sudah memenuhi tiga prinsip, dasar, yaitu: kesetaraan atau keseimbangan,

transparansi dan saling menguntungkan. Dalam aspek kesetaraan, meliputi adanya rasa menghargai antara pemerintah dengan perusahaan sebagai pihak yang bermitra, adanya kewajiban yang dijalankan baik oleh pemerintah maupun perusahaan. Selain itu baik pemerintah maupun perusahaan memiliki komitmen dalam mensukseskan program-program CCSR. Aspek lain kesetaraan adalah adanya ikatan diantara pemerintah dengan perusahaan dalam mengawal tercapainya tujuan CCSR yaitu menuju terwujudnya akselerasi kesejahteraan masyarakat Cilegon.

Keempat, dalam aspek transparansi, baik pemerintah maupun perusahaan memaparkan secara terbuka dana yang di kelola melalui lembaga CCSR dan mempublikasikan kegiatan yang akan, sedang dan telah dilaksanakan melalui media massa lokal. Dalam aspek keuntungan, kedua belah pihak mendapatkan keuntungan dari kemitraan melalui lembaga CCSR. Bagi pemerintah dari kemitraan adalah berkurangnya angka kemiskinan dan pengangguran. Bagi perusahaan, adanya lembaga CCSR, telah memberikan kemudahan, karena teknis pelaksanaan program sepenuhnya dikerjakan oleh lembaga CCSR.

Kelima, sinkronisasi program CSR, secara kuantitatif telah memberikan hasil signi kan, dalam kurun waktu antara Bulan Maret hingga November 2011, telah terdistribusikan 129.450 eksemplar buku untuk pelajar SMP dan SMA sederajat se-Kota Cilegon bantuan dari Bank Jabar Banten (BJB), PT. Krakatau Steel, PT.Chandra Asri, dan Forum BUMD. Dibangunnya 140 unit jamban keluarga bantuan dari PT. Krakatau Steel dan PT.Chandra Asri, serta program lain senilai Rp 9,860 miliar.

Keenam, terdapat kekurangan dalam implementasi pelaksanaan program CCSR,diantaranya: 1) lembaga CCSR belum memiliki konsep kajian kebutuhan, karena lima program prioritas yang ada merupakan hasil adopsi dari RPJMD Kota Cilegon melalui proses Musrenbang. Sedangkan program prioritas yang lahir dari Musrenbang hanyalah

Page 51: Hipotiroid Kemensos Info

Informasi, Vol. 17, No. 01 Tahun 2012 47

bentuk akumulasi yang belum tentu tiap wilayah memiliki permasalahan yang sama. 2) CCSR belum memiliki basis data mengenai kondisi masyarakat, karena basis data yang saat ini digunakan CCSR merupakan hasil kajian dari dinas terkait, CCSR hanya mengadopsi data yang dimiliki dari dinas. 3) Dalam perencanaan pembuatan program, masih belum diikutsertakannya masyarakat, dikarenakan program prioritas lebih mengarah pada pola program yang sudah ditentukan sebelumnya

Berdasarkan temuan diatas, terdapat beberapa saran sebagai bahan pertimbangan bagi pihak terkait, dalam hal ini lembaga CCSR, Pemerintah Kota Cilegon, dan Perusahaan di wilayah Kota Cilegon, diantaranya:• Penetapan CCSR perlu ditingkatkan menjadi

Peraturan Daerah (Perda). Kedudukan Perda lebih tinggi dari Perwal, yang ditetapkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Selain itu Perda menjadi dasar yang kuat bagi perusahaan lainnya untuk menjadi anggota CCSR.

• Mendorong pemerintah pusat segera menerbitkan Peraturan Pemerintah Tentang Tanggungjawab Sosial Perusahaan. Untuk saat ini dasar yang bisa digunakan agar perusahaan mensinergikan program melalui ISO 26000.

• Perlu dilaksanakan sosialisasi mengenai kelembagaan CCSR yang intensif kepada perusahaan dan forum perusahaan yang belum menjadi anggota CCSR, dengan memaparkan program CCSR, aspek transparansi, dan signi kasi keberhasilan melalui kemitraan CCSR.

• CCSR perlu melaksanakan kajian kebutuhan, agar CCSR memiliki dasar dalam menentukan program prioritas.

• CCSR perlu memiliki basis data sendiri, tujuannya sebagai pembanding dalam mengoreksi data pemerintah.

***

DAFTAR PUSTAKA

Badan Pusat Statistik. (Mei, 2011). Berita Resmi Statistik.

Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) Kota Cilegon. 2011. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kota Cilegon Tahun 2011.

Chariri, A.,& Ghazali, I. (2007). Teori Akuntansi, Semarang: Badan Penerbit UNDIP

Freeman, R. E., (1984). Strategic Management: A Stakeholder Approach, Boston: Pitman Publishing

Gagas CSR, Dongkrak Pendidikan. Harian Kabar Banten, 13 Januari 2011

Hurairah, Abu. (2008). Pengorganisasian dan Pengembangan Masyarakat. Bandung: Humaniora

Rahmatullah & Kurniati, Trianita. (2011). Panduan Praktis Pengelolaan CSR (Corporate Social Responsibility). Yogyakarta: Samudra Biru.

Sekretaris Daerah Kota Cilegon (Januari 2011). Peraturan Walikota Cilegon Nomor 3 Tahun 2011, Tentang Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Cilegon Corporate Social Responsibility (CCSR) di Kota Cilegon.

Suharto, Edi. (2006). Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat Kajian Strategis Pembangunan Kesejahteraan Sosial dan Pekerjaan Sosial. Bandung : Aditama.

Supranoto. Semua Untung. Majalah Bisnis dan CSR. Edisi Oktober 2007

Wibisono, Yusuf.(2007) Membedah Konsep dan Aplikasi CSR. Gresik: Fascho Publishing.

Mulyadi (2003): Pengelolan Program Corporate Social Responsibility: Pendekatan, Keberpihakan dan Keberlanjutannya. Center for Populaton Studies, UGM

Utama, Sidharta (2010). Evaluasi Infrastruktur Pendukung Pelaporan Tanggungjawab Sosial dan Lingkungan di Indonesia.

Model Kemitraan Pemerintah dengan Perusahaan Dalam Mengelola CSR; Studi Kasus di Kota Cilegon

Page 52: Hipotiroid Kemensos Info

48 Informasi, Vol. 17, No. 01 Tahun 2012

KARAKTERISTIK KELUARGA MENURUT PERINGKAT KEMISKINAN: STUDI PENDAHULUAN UNTUK PERUMUSAN KRITERIA FAKIR MISKIN

(Family characteristics ratings by poverty: preliminary studies for the formulation of criteria for poor people)

Anwar SitepuPusat Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial

Kementerian Sosial Republik IndonesiaEmail: [email protected]

Abstrak

Tujuan studi ini adalah mendiskripsikan ciri-ciri keluarga miskin, sangat miskin dan keluarga tidak miskin, menurut ukuran masyarakat setempat, sebagai masukan bagi perumusan kriteria fakir miskin. Berdasarkan temuan lapangan, aspek-aspek sosial ekonomi yang diidenti kasi menjadi ciri yang cenderung dapat membedakan keluarga menjadi beberapa peringkat menurut kemiskinannya adalah: a) Keutuhan dan banyaknya anggota keluarga; b) Besarnya atau kecilnya penghasilan dan pengeluaran; c) Kepastian sumber nafkah atau pekerjaan; d) Banyaknya keluarga dalam satu rumah; e) Kondisi sik rumah (bahan: atap, lantai, dinding); luas; fasilitas, seperti: MCK, perabotan, dapur); f) Kemampuan membeli pakaian. Namun harus diwaspadai aspek-aspek tersebut tidak selalu dapat dijadikan ukuran secara tunggal dan berlaku di seluruh lokasi. Masing-masing lokasi cenderung memiliki kekhasan. Di Desa Menduran misalnya air bersih menjadi masalah umum, baik bagi keluarga tidak miskin maupun miskin. Sementara di Desa Kurung Dahu air bersih berlimpah dan dengan mudah dapat diakses oleh keluarga paling miskin sekali pun. Kondisi rumah juga tidak selalu mencerminkan kemampuan riil keluarga untuk memenuhi kebutuhan dasar. Di Kurung Dahu rumah misalnya biasanya dibangun dengan menjual tanah warisan, sehingga relatif lebih baik, dinding dari bata, lantai dari semen.

Kata kunci: kriteria, kemiskinan dan fakir miskin

Abstract

The objective of this study is to describe the characteristics of poor, very poor and non-poor family according to the local community standards, as input for the formulation of the poor family criteria. Based on the eld research, the socio - economic aspects that identi ed as characteristic that tends to distinguish family into poverty rate are: a) Wholeness and number of the family members; b) The amount of the family income and expenditure; c) Certainty of the sources of income or employment; d) The number of families in one house; e) Physical condition of the house: materials (roof, oor, wall), width, facilities (toilet, furniture, kitchen, etc); and f) the ability to buy clothes. However, should be noted that these characteristic can not be measure in a single, and may be varied depend on the location. Each location tends to have their owned criteria. For example in Desa Menduran clean water is a common problem for both non-poor and poor family. While in Desa Kurung Dahu clean water is abundant and accessible easily, even to the poorest family. Housing conditions also do not always re ect the family real ability to meet their basic needs. In Desa Kurung Dahu, for example, most of their house was built by selling their inherited land, so that their house relati y good (made from brick walls, and cement oor).

Keywords: criteria, poverty and poor family

Page 53: Hipotiroid Kemensos Info

Informasi, Vol. 17, No. 01 Tahun 2012 49

PENDAHULUAN

Hingga sejauh ini kemiskinan masih merupakan permasalahan serius bagi bangsa Indonesia, jumlah penduduk miskin masih banyak. Salah satu persoalan dalam upaya penanganan kemiskinan adalah data. Akurasi data dan ukuran kemiskinan yang digunakan kerap dipertanyakan. Sebagai contoh beberapa waktu yang lalu, sejumlah tokoh lintas agama (ht tp: //kebi jakansosial .wordpress.com) bahkan menuduh pemerintah berbohong. Mereka mengatakan pada satu sisi pemerintah mengklaim jumlah penduduk miskin sebanyak 31,02 juta jiwa atau 13,33 persen dari keseluruhan penduduk Indonesia pada tahun 2010. Pada sisi lain pemerintah menyalurkan beras untuk rakyat miskin (popular dikenal dengan “raskin”) kepada sebanyak 70 juta jiwa penduduk dan penerima jaminan kesehatan bagi orang miskin (Jamkesmas) mencapai sebanyak 76,4 juta jiwa pada tahun yang sama. Beberapa tahun sebelumnya, kasus lain yang sempat “ramai” adalah penyaluran Bantuan Langsung Tunai (BLT). Program ini menjadi “ramai” antara lain karena di banyak daerah muncul protes, orang yang merasa miskin tidak memperoleh BLT, sementara yang dipandang tidak miskin justeru memperoleh.

Dalam upaya meningkatkan efekti tas penanganan masalah kemiskinan, khususnya fakir miskin beberapa waktu yang lalu telah disahkan Undang-Undang nomor 13 Tahun 2011 tentang Penanganan Fakir Miskin. Dalam UU tersebut selain dimuat ketentuan penanganan juga dimuat ketentuan pendataan dan penetapan fakir miskin. Dalam UU tersebut Kementerian Sosial (Kemsos) memiliki peran strategis, salah satunya adalah berwenang menetapkan kriteria fakir miskin. Kriteria tersebut akan digunakan sebagai dasar pendataan oleh lembaga pemerintah yang bertugas dalam bidang statistik. Pasal 8 ayat (1), berbunyi: “Menteri menetapkan kriteria fakir miskin sebagai dasar untuk melaksanakan penanganan fakir miskin. Ayat (2), Dalam menetapkan kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri

berkoordinasi dengan kementerian dan lembaga terkait. (3) Kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi dasar bagi lembaga yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kegiatan statistik untuk melakukan pendataan.

Mengingat bahwa sebelum pengumpulan data terlebih dahulu ditetapkan kriterianya maka Kemsos harus segera merumuskan kriteria dimaksud. Hal ini penting mengingat bahwa kriteria fakir miskin (FM) yang digunakan selama ini cenderung bersifat sektoral. Sehubungan dengan hal tersebut Pusat Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial, bermaksud mengumpulkan informasi sebagai bahan perumuskan kriteria FM. Kegiatan ini merupakan studi pendahuluan dalam rangka perumusan kriteria dimaksud. Pertanyaan pokok penelitian adalah: “Apa saja kriteria fakir miskin?” Melalui studi ini akan diidenti kasi sejumlah kriteria yang harus dipenuhi oleh seseorang atau suatu keluarga untuk dapat dikategorikan sebagai orang atau keluarga fakir miskin. Pertanyaan tersebut akan dijawab melalui serangkaian penelitian. Studi pendahuluan ini belum akan menjawab pertanyaan pokok tersebut. Pertanyaan yang akan dijawab melalui studi pendahuluan ini adalah: “Bagaimana ciri-ciri keluarga miskin, keluarga sangat miskin dan keluarga tidak miskin menurut ukuran masyarakat setempat?” Tujuan akhir studi pendahuluan ini adalah: mendiskripsikan ciri-ciri keluarga miskin, sangat miskin dan keluarga tidak miskin, menurut ukuran masyarakat setempat. Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat sebagai masukan awal untuk pengkajian dan perumusan kriteria keluarga fakir miskin.

MetodologiPenelitian ini dilakukan dengan

menggunakan pendekatan kualitatif. Lokasi penelitian terdiri dari dua desa yang ditentukan dengan sengaja, yaitu: 1) Desa Kurung Dahu di Kecamatan Cadas Sari, Kabupaten Pandeglang, Banten dan 2) Desa Menduran di Kecamatan

Karakteristik Keluarga Menurut Peringkat Kemiskinan : Studi Pendahuluan untuk Perumusan Kriteria fakir miskin

Page 54: Hipotiroid Kemensos Info

50 Informasi, Vol. 17, No. 01 Tahun 2012

Brati, Kabupaten Grobogan, Jawa Timur. Kurung Dahu dipilih untuk memperoleh potret keluarga di desa dalam kategori “desa tertinggal” di kabupaten tertinggal. Menduran dipilih untuk memperoleh potret keluarga di desa ketegori “desa umum” di kebupaten dengan prensentase penduduk miskin tinggi. Informan di setiap lokasi meliputi sebanyak 20 orang, kriteria utama adalah mengenal warga setempat.

TujuanTujuan penelitian mendiskripsikan ciri-

ciri keluarga miskin menurut ukuran setempat dilakukan melalui proses sebagai berikut: 1. Diskusi ciri-ciri keluarga miskin, sangat

miskin dan tidak miskin. Tujuannya : selain mengidenti kasi kriteria setempat sekaligus sebagai pengantar pemeringkatan.

2. Pemeringkatan keluarga dengan teknik Participatory Wealth Ranking (PWR). Teknik ini menempatkan masyarakat setempat (informan) sebagai subjek, asumsinya, mereka lebih tahu konndisi sesamanya, mereka memiliki ukuran kemiskinan sendiri yang perlu dijadikan masukan dalam perumusan kriteria secara nasional. Seluruh kegiatan penggalian informasi dilakukan dalam forum diskusi informan, dipandu peneliti. Pada tahap ini, semua kepala keluarga didaftar dalam form yang sudah disiapkan. Kemudian dinilai dengan melakukan pengelompokan. Semua keluarga dikelompokkan menjadi 4 kelompok di Desa Kurung Dahu dan menjadi 5 kelompok di Desa Menduran. Pengelompokan didasarkan atas status sosial ekonomi menurut ukuran setempat, kelompok I merupakan keluarga terbaik, kelompok II (dibawahnya) keluarga dengan kondisi sosial ekonomi yang lebih buruk, demikian juga kelompok III, lebih buruk dari kelompok II, hingga keluarga terburuk di kelompok berikutnya, di Kurung Dahu kelompok IV, di Menduran hingga kelompok V. Masing-masing keluarga diberi nilai, yaitu 100 untuk setiap keluarga termiskin. Artinya 100 persen miskin menurut ukuran setempat. Di Kurung Dahu keluarga di

kelompok III mendapat nilai 75, kelompok II dengan nilai 50 dan kelompok I nilai 25. Di Menduran kelompok V merupakan keluarga termiskin mendapat nilai 100, kemudian kelompok IV : 80, III: 60, IV: 40 dan I : 20. Nilai diperoleh dengan rumus 100 dibagi jumlah kelompok dikali nomor kelompok. Proses penilaian ini dilakukan oleh Tim Penilai (3 sampai 4 orang) yang terdiri dari warga setempat. Untuk cross chek, penilaian dilakukan sebanyak tiga kali oleh tim penilai berbeda. Hasil penilaian dicatat pada kolom tersendiri pada form 1, lihat lampiran 1. Peringkat akhir setiap keluarga ditentukan dengan nilai rata-rata, dengan range seperti pada table 1 dan table 2.

3. Wawancara mendalam. Setelah diketahui peringkat setiap keluarga,dilakukan wawancara mendalam terhadap 9 keluarga sebagai sampel dari peringkat termiskin pertama sampai termiskin ke-3, lihat table 1 dan 2. Hasil wawancara dituangkan dalam bentuk narasi, kasus demi kasus. Tujuannya memperoleh gambaran sosial ekonomi keluarga setempat pada semua peringkat secara utuh. Kemudian dibandingkan dengan kriteria yang sudah dirumuskan sebelumnya.

4. Wawancara Ketua RW sebagai tokoh masyarakat setempat. Tujuannya memperoleh tanggaban (masukan) atas kriteria keluarga miskin hasil diskusi warga.

5. Focus Group Discuss (FGD) dengan pemangku kepentingan. Tujuannya memperoleh taggaban atas kriteria hasil diskusi warga.

6. Analisis. Dari diskripsi kasus-kasus keluarga diidenti kasi sejumlah variabel yang dapat menjadi ciri yang membedakan keluarga antar peringkat satu dengan peringkat lainnya.

Tinjauan Pustaka

KriteriaKriteria adalah ukuran yang menjadi dasar

penilaian atau penetapan sesuatu (Kamus Besar Bahasa Indonesia, BP, 1990). Contoh dalam bidang ekonomi “criteria delisting” ukuran

Karakteristik Keluarga Menurut Peringkat Kemiskinan : Studi Pendahuluan untuk Perumusan Kriteria fakir miskin

Page 55: Hipotiroid Kemensos Info

Informasi, Vol. 17, No. 01 Tahun 2012 51

yang menjadi dasar penilaian atau penetapan dicoretnya (dikeluarkannya) suatu lembaga atau badan dari papan bursa efek. Menurut Mistiani (2011) maksud diadakannya kriteria adalah untuk memudahkan sebuah kegiatan dalam rangka mengkategorikan /mengklasi kasi sesuatu hal sehingga pada akhirnya dapat menghasilkan bahan untuk pengambilan keputusan yang terbaik. Tujuan akhir dari penggunaan kriteria adalah agar pengambilan keputusan yang dilakukan oleh seseorang/sekelompok orang dapat lebih tepat, lebih baik dan lebih cepat berdasarkan perbandingan satu atau lebih alternatif penyelesaian yang dihasilkannya. Mengacu kepada pengertian di atas maka kriteria FM yang dimaksud adalah ukuran yang menjadi dasar penilaian atau penetapan seseorang atau suatu keluarga sebagai fakir miskin atau bukan fakir miskin. Dengan menggunakan kriteria FM, orang atau keluarga dapat diklasi kasikan termasuk dalam kategori FM atau bukan.

Konsep KemiskinanMasalah fakir miskin merupakan bagian

dari masalah kemiskinan pada umumnya. Kemiskinan bersifat sangat kompleks, terkait dengan berbagai aspek kehidupan manusia dan masyarakatnya. Menurut substansinya kemiskinan dibedakan menjadi kemiskinan absolut dan kemiskinan relatif. Kemiskinan absolut ditentukan berdasarkan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar. BPS (2008), menjelaskan kebutuhan pokok (disebut juga kebutuhan dasar) minimum seperti pangan, sandang, kesehatan, perumahan dan pendidikan yang diperlukan untuk bisa hidup dan bekerja diterjemahkan menjadi ukuran nansial dalam bentuk uang. Nilai kebutuhan minimum kebutuhan dasar tersebut dikenal dengan istilah garis kemiskinan (GK). Penduduk yang pendapatannya di bawah GK digolongkan sebagai penduduk miskin. Garis kemiskinan absolut tetap, tidak berubah dari tahun ke tahun, dalam hal standar hidup.

Hingga saat ini, dengan menggunakan pendekatan kebutuhan dasar/garis Skemiskinan maka data yang diperoleh hanya data agregasi

saja yaitu berupa informasi jumlah dan persentase penduduk miskin namun tidak didukung dengan identitas orang miskin (nama dan alamat si miskin), yang disebut disebut juga data kemiskinan makro. Jumlah penduduk miskin Indonesia yang dipublikasikan setiap tahun adalah data makro. Tahun 2010 misalnya, penduduk miskin Indonesia sebanyak 31,02 juta jiwa,13,33 persen dan tahun 2011 turun menjadi 30,02 juta atau 12,49%.dari total penduduk (Kecuk Suhariyanto, 2010).

Sedangkan kemiskinan relatif menurut, BPS (2008), merupakan kondisi miskin karena pengaruh kebijakan pembangunan yang belum mampu menjangkau seluruh lapisan masyarakat sehingga menyebabkan ketimpangan distribusi pendapatan. Standar minimum disusun berdasarkan kondisi hidup suatu negara pada waktu tertentu dan perhatian terfokus pada golongan penduduk “termiskin”, misalnya 20 persen atau 40 persen lapisan terendah dari total penduduk yang telah diurutkan menurut pendapatan/pengeluaran. Kelompok ini merupakan penduduk relatif miskin. Ukuran kemiskinan relatif sangat tergantung pada distribusi pendapatan/pengeluaran penduduk dan dengan demikian berarti “orang miskin selalu hadir bersama kita”.

Dalam Dictionary of Social Work, 2005, kemiskinan relatif dijelaskan dalam arti lebih sempit, dalam konteks masyarakat setempat. Kemiskinan relatif adalah kondisi dimana orang kekurangan sumber-sumber untuk memperoleh kebutuhan makanan, berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan, dan memiliki kondisi serta fasilitas-fasilitas yang umum berlaku di masyarakat (yang secara umum dipandang masyarakat wajib dimiliki). Sumber-sumber yang dimiliki orang tersebut sangat kurang dibandingkan dengan rata-rata rumah tangga atau perorangan di masyarakat sehingga orang tersebut berada di luar pola-pola kehidupan yang biasa serta di luar aktivitas dan kebiasaan yang berlaku di masyarakat.

Soemardjan, seperti dikutip Suradi dan Mujiadi (2010), memberi penjelasan yang

Karakteristik Keluarga Menurut Peringkat Kemiskinan : Studi Pendahuluan untuk Perumusan Kriteria fakir miskin

Page 56: Hipotiroid Kemensos Info

52 Informasi, Vol. 17, No. 01 Tahun 2012

serupa. Kemiskinan relatif merupakan pengertian sosiologis yang disebut dengan Socio-Economic-Status (SES). Untuk menentukan SES biasanya diadakan perbandingan antara taraf kekayaan material dari keluarga-keluarga di dalam suatu komunitas teritorial. Dengan perbandingan itu dapat disusun pandangan masyarakat mengenai mereka yang tergolong kaya dan relatif miskin dalam suatu komunitas. Ukuran yang dipakai adalah ukuran setempat (local).

Berbeda dengan GK absolute, GK relatif tidak dapat dipakai untuk membandingkan tingkat kemiskinan antar negara dan antar waktu karena tidak mencerminkan tingkat kesejahteraan yang sama. Dalam hal mengidenti kasi dan menentukan sasaran penduduk miskin, maka GK relatif cukup untuk digunakan, dan perlu disesuaikan terhadap tingkat pembangunan negara secara keseluruhan (BPS,2008) .

Pengumpulan data kemiskinan mikro cukup didasarkan pada ciri-ciri rumah tangga miskin supaya pendataan bisa cepat dan hemat, sedangkan penghitungan data makro dilakukan dengan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar sehingga dibutuhkan suatu batas yang disebut batas kemiskinan/garis kemiskinan. Pengumpulan data mikro dilakukan melalui sensus sedangkan data makro merupakan estimasi dari sampel. Mengacu kepada uraian di atas, dapat dipahami bahwa FM yang dimaksud dalam UU No.13/2011 adalah kemiskinan dalam arti relatif.

Fakir MiskinIstilah “fakir miskin” bagi bangsa Indonesia

bukan sesuatu yang asing, bahkan dapat dikatakan memiliki posisi istimewa. Istilah ini menjadi istimewa karena bersama istilah “anak terlantar” tercantum dalam Undang Undang Dasar 1945. Namun demikian, istilah “fakir miskin” tidak umum digunakan. Badan Pusat Statistik (BPS) sebagai lembaga pemerintah yang memiliki tugas dan fungsi dalam bidang statistik dasar, termasuk data statistik penduduk miskin, nyaris tidak pernah menggunakan istilah FM.

Dalam Undang-undang No.13/2011 yang baru disyahkan dinyatakan: “Fakir miskin adalah orang yang sama sekali tidak mempunyai sumber mata pencaharian dan/atau mempunyai sumber mata pencaharian tetapi tidak mempunyai kemampuan memenuhi kebutuhan dasar yang layak bagi kehidupan dirinya dan/atau keluarganya”. Sedangkan kebutuhan dasar yang dimaksud adalah kebutuhan pangan, sandang, perumahan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, dan atau pelayanan sosial (UU no.13/2011 ttg FM pasal 1, ayat 3).

Pengertian fakir miskin tidak dapat dipisahkan dari kesejahteraan sosial. Di Indonesia, Founding fathers negara menempatkan pasal 34 sebagai bagian dari bab XIV yang berjudul “Kesejahteraan Sosial” bersama pasal lain tentang perekonomian. Dalam sejarah ”dunia” pekerjaan/kesejahteraan sosial, fakir miskin sebagai masalah kemiskinan, merupakan pemicu lahirnya ilmu kesejahteraan sosial. Ilmu kesejahteraan sosial mulai berkembang di Inggris pada saat dibentuk Komisi Undang-Undang Kemiskinan, tahun 1905. Ketika itu disadari bahwa dalam penanganan orang miskin, prinsif repressif tidak memberi hasil. Karena itu harus diganti dangan prinsip kuratif, rehabilitatif dan mengadakan sumber daya. Muncul kesadaran, bahwa orang yang dibantu tidaklah tepat hanya diperlakukan sebagai objek tetapi seharusnya lebih diperlakukan sebagai subjek pelayanan. Berangkat dari pemikiran tersebut, maka tahun 1930-an, gerakan “menolong diri sendiri” tidak saja mewarnai pelayanan pekerjaan sosial (PS) tetapi prinsip self-help telah diterima sebagai falsafah utama pelayanan PS (Paulus, 1991) .

Pengertian kesejahteraan sosial secara formal di Indonesia dimuat dalam Undang No 11 tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial. Dalam Undang-undang tersebut kesejahteraan sosial yang dimaksud adalah kondisi terpenuhinya kebutuhan material, spiritual, dan sosial warga negara agar dapat hidup layak dan mampu mengembangkan diri, sehingga dapat melaksanakan fungsi sosialnya. Dengan uraian di atas, hendak ditegaskan bahwa substansi

Karakteristik Keluarga Menurut Peringkat Kemiskinan : Studi Pendahuluan untuk Perumusan Kriteria fakir miskin

Page 57: Hipotiroid Kemensos Info

Informasi, Vol. 17, No. 01 Tahun 2012 53

“fakir miskin” adalah bagian dari masalah kesejahteraan sosial. Secara ekstrim istilah “fakir miskin” dapat dibaca atau dipahami sebagai orang atau keluarga yang hidup dalam penderitaan, orang atau keluarga tidak berdaya, belum sejahtera.

Implikasi dari batasan konsep demikian maka FM akan meliputi penduduk dalam rentang yang semakin luas atau lebih lebar dibanding dengan menggunakan konsep lama. Sesuai fungsi suatu kriteria, maka kriteria FM yang akan dirumuskan semestinya akan mengkomodasi semua orang yang kebutuhan dasarnya tidak terpenuhi dengan layak. Kriteria yang sama semestinya akan dapat “memisahkan” orang yang kebutuhan dasarnya tidak terpenuhi dari orang yang kebutuhan dasarnya terpenuhi dengan layak.

Indikator Kemiskinan MikroSampai sejauh ini BPS sudah tiga kali

melakukan pengumpulan data mikro secara nasional, pertama tahun 2005 (disebut PSE 2005), kemudian tahun 2008, disebut Program Perlindungan Sosial (disingkat PPLS 2008) dan diperbaharui tahun 2011 (disebut PPLS 2011) yang lalu. Indikator yang digunakan tahun 2005 meliputi sebanyak 14 variabel, yaitu:1. Luas lantai bangunan tempat tinggal kurang

dari 8 m2 per-orang. 2. Jenis lantai bangunan tempat tinggal terbuat

dari tanah/bambu/kayu murahan3. Jenis dinding tempat tinggal terbuat dari

bambu/rumbia/kayu berkualitas rendah/tembok tanpa plester.

4. Tidak memiliki fasilitas buang air besar/bersama-sama dengan rumah tangga lain.

5. Sumber penerangan rumah tanggga tidak menggunakan listrik.

6. Sumber air minum berasal dari sumur/mata air tidak terlindungi/sungai/air hujan.

7. Bahan bakar untuk memasak sehari-hari adalah kayu bakar/arang/minyak tanah.

8. Hanya mengkonsumsi daging/ayam/susu satu kali dalam seminggu

9. Hanya membeli 1 (satu) stel pakaian baru dalam setahun.

10. Hanya sanggup makan sebanyak 1 (satu)/2 (dua) kali dalam sehari.

11. Tidak sanggup membayar biaya pengobatan di Puskesmas/Poliklinik

12. Sumber penghasilan kepala rumah tangga adalah petani dengan luas lahan 0,5 ha, buruh tani, nelayan, buruh perkebunan atau pekerjaan lainnya dengan pendapatan dibawah Rp. 600.000/per bulan.

13. Pendidikan tertinggi kepala rumah tangga; tidak sekolah/tidak tamat SD/hanya SD.

14. Tidak memiliki tabungan/barang yang mudah di jual dengan nilai Rp. 500.000,- seperti: sepeda motor (kredit/non kredit), emas, ternak, kapal motor atau barang modal lainnya.

Pada PPLS-08, kriteria nomor 8,9,10, dan 11 dihilangkan dengan alasan tidak “kasat mata”, sehingga sulit diketahui kejujuran responden, kemudian ditambah dua kriteria lain, sehingga menjadi 12 variabel. Dua kriteria yang ditambah adalah: 1. Atap bangunan tempat tinggal terluas adalah

sirap/ genteng/ seng/ asbes dengan kondisi jelek/ kualitas rendah atau ijuk/ rumbia/lainnya;

2. Sering berhutang untuk memenuhi kebutuhan makan sehari-hari.

Program Perlindungan Sosial (PPLS) tahun 2011, BPS lebih menyederhanakan formulasi kriteria yang digunakan, menjadi 13 variabel, lihat tabel 1.

Karakteristik Keluarga Menurut Peringkat Kemiskinan : Studi Pendahuluan untuk Perumusan Kriteria fakir miskin

Page 58: Hipotiroid Kemensos Info

54 Informasi, Vol. 17, No. 01 Tahun 2012

Sumber : BPS, 20011

Tabel 1.Kriteria Rumah Tangga Miskin Versi PPLS Tahun 2011

Mencermati kriteria yang dirumuskan dan digunakan BPS untuk mengumpulkan data mikro rumah tangga miskin tahun 2005, 2008 dan 2011 tampak didasarkan pada konsep ”akses terhadap pemenuhan kebutuhan dasar”. Perubahan yang terjadi dari waktu ke waktu cenderung untuk semakin sederhana dan kasatmata. ”Kemampuan rumah tangga mengakses” diasumsikan terwakili atau dicerminkan oleh penguasaan, bahan bangunan dan fasilitas rumah tempat tinggal dan asset dalam bentuk benda tertentu.

Karakteristik Keluarga Menurut Peringkat Kemiskinan : Studi Pendahuluan untuk Perumusan Kriteria fakir miskin

No Kriteria Variabel1 Status penguasaan bangunan

tempat tinggal yang ditempati

1. Milik sendiri 2. Kontrak 3. Sewa 4. Bebas sewa 5. Dinas 6. Milik orang tua/ sanak/saudara 7. Lainnya

2 Luas lantai ....... m2 ......... m2

3 Jenis lantai terluas 1. Bukan tanah/bambu 2. Tanah 3. Bambu4 a. Jenis dinding terluas

b. jika 4 a berkode 1 atau 2, kondisi dinding

1. Tembok 2. Kayu 3. Bambu 4. Lainnya

1. Bagus/kualitas tinggi 2. Jelek/kualitas rendah5 a. Jenis atap terluas

b. Jika 5a berkode 1,2,3,4, atau 5 kondisi atap:

1. Beton 2. Genteng 3. Sirap 4. Seng, 5. Asbes 6. Ijuk/ rumbia 7. Lainnya

1. Bagus/kualitas tinggi 2. Jelek/kualitas rendah6 Sumber air minum 1. Air kemasan bermerk 2. Air isi ulang, 3. Leding meteran 4. Leding eceran 5.

Sumur bor/pompa 6. Sumur terlindungi 7. Sumur tak terlindung 8. Mata air terlindung 9. Mata air tak terlindung 10. Air sungai 11. Air Hujan 12. Lainnya

7 Cara memperoleh air minum 1. Membeli 2. Tidak membeli8 a. Sumber penerangan utama

b. Jika listrik PLN (R.8a=1), daya terpasang

1. Listrik PLN 2. Listrik non PLN 3. Petromak/ aladin 4. Pelita/ sentir / obor 5. Lainnya1. 450 watt 2. 900 watt 3. 1.300 watt 4. 2.200 watt 5. > 2.200 watt 6. Tanpa meteran

9 Bahan bakar/energi utama untuk memasak

1. Listrik 2. Gas/elpiji 3. Minyak tanah 4. Arang/briket 5. Kayu bakar 6. Lainnya

10 Penggunaan fasilitas tempat buang air besar

1. Sendiri 2. Bersama 3. Umum 4. Tidak ada

11 Tempat pembuangan akhir tinja

1. Tangki/ SPAL 2. Kolam/ sawah 3. Sungai/ danau/ laut 4. Lubang tanah 5. Pantai/ tanah lapang/ kebun 6. Lainnya

12 Apakah rumah tangga memiliki sendiri asset sebagai berikut

a. Mobil : 1. Ya 2. Tidak b. Kapal Motor : 1. Ya 2. Tidakc. Perahu Motor: 1. Ya 2. Tidak d. Sepeda Motor : 1. Ya 2. Tidake. Sepeda : 1. Ya 2. Tidak f. Perahu : 1. Ya 2. Tidakg. Lemari es : 1. Ya 2. Tidak h. Tbg gas 12 kg/lebih : 1. Ya 2. Tidaki. HP : 1. Ya 2. Tidak

13 Apakah rumah tangga menjadi peserta program berikut:

a. Program Keluarga Harapan; b. Beras untuk orang miskin (Raskin) c. Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas); d. Asuransi kesehatan lainnya; e. Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek); f. Keluarga Berencana (KB)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kriteria Keluarga Miskin Di Desa Menduran, Kec. Brati, Grobokan, Jawa Tengah

Diskusi 20 orang perwakilan masyarakat menghasilkan kriteria keluarga sangat miskin, miskin dan tidak miskin menurut masyarakat setempat adalah seperti di bawah ini, meliputi 10 variabel dan 9 sub variabel khusus rumah.

Page 59: Hipotiroid Kemensos Info

Informasi, Vol. 17, No. 01 Tahun 2012 55

Tabel 2 Kriteria Keluarga Sangat Miskin, Miskin dan Tidak Miskin Dusun Menduran Desa Metuk

Sumber : Hasil Penelitian

Karakteristik Keluarga Menurut Peringkat Kemiskinan : Studi Pendahuluan untuk Perumusan Kriteria fakir miskin

No Komponen Sangat Miskin Miskin Tidak Miskin1 Rumah

Dinding Bambu, nempel di rumah orang/emperan

Bambu/Kayu kualitas rendah Tembok/kayu kualitas bagus, dinding keramik

Lantai Lantai tanah Lantai tanah Lantai keramik/diplesterAtap Genteng lama/tipis Genteng kualitas rendah/tipis Genteng asbes, press,

genteng dicorPenerangan Lampu templok/minyak

tanahListrik numpang, sentir lampu minyak tanah

Listrik sendiri

Tempat tidur Alas tikar, bahan dari bambu, kasur kualitas rendah/bekas

Alas tikar, bahan dari bambu, kasur kualitas rendah/bekas

Kasur spring bed, ruang tidur sendiri

Luas Rumah Luas rumah <= 6 m2/jiwa, belum ada pembagian ruangan

Luas rumah <= 15 m2/jiwa, belum ada pembagian ruangan

Luas rumah >= 15 m2/jiwa, sudah ada pembagian ruang

MCK Sungai, tidak punya MCK di rumah

Sungai, tidak punya MCK di rumah

Punya MCK sendiri

Perabotan rumah

Tidak punya perabot rumah Belum ada perangkat elektronik

Sudah memiliki perangkat elektronik

Sumber Air bersih

Numpang tetangga, dari sungai kalo kemarau, tak ada sumber mata air

Numpang tetangga, dari sungai kalo kemarau, tak ada sumber mata air

sudah ada pompa/ada sumber mata air/air pam

Status tanah Tanah orang numpang Tidak Jelas/ numpang Status hak milik/sudah ada serti kat/surat dari desa

2. Mata Pencaharian/Pekerjaan

Tidak punya pekerjaan, tenaga sik kurang, bantun dari orang lain

Tidak menentu, tidak tetap, serabutan

Punya pekerjaan tetap

3. Penghasilan Tidak Punya Penghasilan Tidak cukup untuk hidup sehari-hari, > = Rp.10.000/jiwa/hari

Cukup untuk hidup sehari-hari, >Rp.10.000/jiwa/hari

4 Kendaraan Tidak Punya Kendaraan Belum punya motor Punya kendaraan/motor5 Tanah/Sawah Tidak Punya Sawah Tidak Punya Sawah Punya Sawah sendiri6 Pendidikan

anakBiasanya Lansia, Anak sudah dewasa

Putus SD-SMP Tamat SMP keatas

7 Makanan Makanan dari tetangga, kalo tidak tak ada yang memberi tidak makan

Makan seadanya (tempe, tahu, sayur, daun ketela)

Makan lauk pauk lengkap, berganti-ganti

8 Pakaian Pemberian dari orang Tidak Mampu beli pakaian, lusuh/ pemberian orang, beli setahun sekali

Mampu membeli, pakain berganti-ganti

9 Hiburan Nonton TV di rumah tetangga

Nonton TV di rumah tetangga Nonton TV sendiri

10 Kesehatan Berobat ke Puskesmas gratis Berobat ke Puskesmas gratis Berobat ke Dokter

Page 60: Hipotiroid Kemensos Info

56 Informasi, Vol. 17, No. 01 Tahun 2012

Partisipasi pada kegiatan keagamaan dan gotong royong, menurut masyarakat tidak dapat dijadikan ukuran karena keluarga miskin justeru aktif berpartisipasi. “Orang miskin justeru rajin hadir dalam setiap acara” .

Memperhatikan kriteria tersebut tampak bahwa masyarakat Dusun Metuk melihat suatu keluarga merupakan keluarga miskin atau bukan, lebih banyak dari aspek tempat tinggal, baru aspek pekerjaan dan kepemilikan asset serta pemenuhan kebutuhan lain (makan. pakaian, kesehatan).

Ciri-ciri Keluarga Menurut Peringkat Kemiskinan Di Desa Menduran, Jawa Tengah

Keluarga penduduk di Dusun Metuk Desa Menduran dibagi menjadi 5 peringkat menurut kondisi sosial ekonomi, mulai dari termiskin (Peringkat I), II, III, IV hingga peringkat paling atas, paling baik (peringkat V)Tabel 3.Range Nilai Rata-rata, Banyaknya dan Persentase Keluarga Penduduk Dusun Metuk Menurut Peringkat Kemiskinan

PeringkatKemiskinan

Range Nilai Rata-rata

Banyaknya(Keluarga)

Persentase Sampel(keluarga)

I 91 < 67 24 4II 71 – 90 63 22 3III 51 – 70 71 25 2IV 31 – 50 47 17 0V > 30 35 12 0

Jumlah 283 100 9

Sumber : Hasil Penelitian 2011

Ciri keluarga yang dapat diidenti kasi pada masing-masing peringkat adalah sebagai berikut:

Keluarga Peringkat Kemiskinan I

Berdasarkan empat kasus sampel keluarga termiskin pertama di Dusun Metuk dapat ditarik kesimpulan sbb:1. Struktur keluarga: dua keluarga tidak

lengkap, janda dan wanita tidak menikah, usia tua; dua keluarga lainnya, merupakan keluarga lengkap, suami dan isteri masih

usia produktif, 50 tahun atau kurang, dengan anak satu atau dua orang.

2. Tempat tinggal: dua keluarga tidak memiliki rumah sendiri, tinggal bersama dalam satu rumah dengan keluarga lain (numpang); dua keluarga lain memiliki rumah sendiri.

3. Kondisi rumah : semua burukLantai : tanahDinding : bambuPenerangan : listrik 450 watt (sendiri);

tiga keluarga listrik tapi nyambung dari tetangga.

Atap : gentengBahan bakar : kayu bakar

4. Aset berharga keluarga: dua keluarga memiliki rumah namun sangat sederhana, diperoleh atas bantuan orang lain; dua keluarga tidak memiliki asset berharga, termasuk rumah.

5. Sumber penghasilan/pekerjaan: yang masih usia produktif bekerja sebagai buruh tidak tetap (bangunan dan tukang beca); yang sudah usia lanjut tidak bekerja atau bekerja sekedarnya, seperti memelihara ayam. Pemenuhan kebutuhan keluarga tua baik makanan maupun pakaian nyaris sepenuhnya tergantung pada pemberian orang lain, anak atau tetangga

6. Penghasilan: Keluarga yang muda rata-rata Rp 7.407 per hari/ jiwa; keluarga tua tidak memiliki penghasilan sendiri sama sekali atau kalau pun ada nilainya sangat kecil, Rp. 1.666 per hari.

7. Pengeluaran rata-rata per hari makanan dan non makanan: paling tinggi adalah sebesar Rp. 20.778 dengan 4 anggota keluarga atau Rp. 5.194 per orang.

8. Pelayanan sosial: penerima raskin (3 keluarga) menerima Jamkesmas (3 keluarga).

Ciri-ciri Keluarga Peringkat Kemiskinan II

Berdasarkan dua kasus keluarga termiskin kedua menurut ukuran Dusun Metuk di atas dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

Karakteristik Keluarga Menurut Peringkat Kemiskinan : Studi Pendahuluan untuk Perumusan Kriteria fakir miskin

Page 61: Hipotiroid Kemensos Info

Informasi, Vol. 17, No. 01 Tahun 2012 57

1. Struktur keluarga: lengkap, suami dan isteri berusia produktif di bawah lima puluh tahun; memiliki anak satu sampai tiga orang;

2. Tempat tinggal: numpang (tinggal bersama dalam satu rumah dengan keluarga lain) atau menempati sendiri rumah milik orangtua

3. Kondisi rumah: buruk• Lantai : tanah atau tanah ditutup

karpet plastik• Dinding : bambu dan atau papan• Penerangan : listrik (dengan sambungan

sendiri)• Atap : genteng kualitas rendah

yang sudah lama • Perabotan : sangat minim• Luas : satu keluarga relatif sempit,

satu keluarga lain sekitar 15 meter persegi per jiwa

• Alat masak : kompor minyak tanah dan kayu bakar

• TV : usang4. Asset yang dimiliki; sepeda motor tua yang

dipakai untuk usaha atau rumah orangtua.5. Pekerjaan (sumber penghasilan) : buruh

(penjual barang-barang kerdit, buruh bangunan; Isteri tidak bekerja. Pada salah satu keluarga, anak yang sudah besar (15 tahun) ikut bekerja.

6. Penghasilan: Rp.208.000 s/d Rp.415.000 per jiwa / bulan atau Rp.6.900 sampai Rp.13.800 per jiwa per hari

7. Pengeluaran rata-rata makan dan non makanan per hari: Rp.5.624 dan Rp. 7.181

8. Pendidikan anak: pada satu keluarga tamat SMP berhenti pada kasus lain anak usia 3 tahun, belum sekolah.

9. Pelayanan sosial: memperoleh raskin dan beasiswa miskin

Ciri-ciri Keluarga Peringkat Kemiskinan III

Berdasarkan tiga kasus peringkat ketiga dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Struktur keluarga: dua keluarga lengkap dan satu keluarga tidak lengkap (janda) usia produktif, di bawah 50 tahun, dengan anak satu hingga tiga orang.

2. Tempat tinggal: milik sendiri ditempati sendiri.

3. Kondisi rumah:• Lantai : tanah; semen• Dinding : bamboo; setengah tembok• Penerangan : listrik (sendiri)• Atap : genteng• Luas : 40 s/d 60 meter• MCK : tidak ada

4. Asset yang dimiliki: dua keluarga memiliki rumah dan sepeda motor, satu keluarga memiliki rumah

5. Pekerjaan (sumber nafkah): keluarga yang termasuk pada peringkat ini cukup bervariasi: salah satu adalah pemulung (pengumpul barang bekas atau sisa-sisa padi yang tercecer saat panen di sawah) kadang-kadang tukang cuci piring pada saat ada tetangganya yang hajatan; satu keluarga lainnya penjual tiket bis di Terminal, lain itu beternak jangkrik di rumah; keluarga ketiga suami bekerja sebagai buruh bangunan di proyek dan isteri : jualan ikan.

6. Penghasilan rata-rata: Rp.175.000 per bulan dan Rp. 407.000,- per bulan / per jiwa

7. Pengeluaran makanan dan non makanan rata-rata per hari: Rp 6.966 s/d Rp.10.732 per orang.

8. Pendidikan anak: pada satu keluarga putus setelah tamat SMP; pada satu keluarga lain anak sekolah hingga SMA; pada satu keluarga lainnya masih sekolah di SD.

9. Pelayanan sosial: ketiga keluarga menerima raskin, dua keluarga penerima beasiswa miskin. Di daerah ini belum ada PKH.

Memperhatikan ciri-ciri umum keluarga pada tiga peringkat tersebut memang tampak relatif berbeda. Keluarga peringkat pertama lebih buruk dari peringkat di bawahnya. Perbedaan terletak antara lain pada kondisi rumah tempat

Karakteristik Keluarga Menurut Peringkat Kemiskinan : Studi Pendahuluan untuk Perumusan Kriteria fakir miskin

Page 62: Hipotiroid Kemensos Info

58 Informasi, Vol. 17, No. 01 Tahun 2012

tinggal. Aspek yang membedakan adalah: penggunaan rumah (satu keluarga atau lebih); kondisi (jenis bahan bangunan dan fasilitas); sumber pemenuhan kebutuhan (pada keluarga peringkat miskin I sebagian besar kebutuhan diperoleh dari bantuan orang lain). Sumber pemenuhan kebutuhan juga berbeda dalam hal kepastian atau kesinambungan. Pada peringkat miskin I sangat tidak pasti, pada peringkat II dan III lebih pasti, mengandalkan upaya sendiri, dan sudah rutin dilakukan.

Kriteria Keluarga Miskin Di Desa Kurung Dahu, Banten

Kriteria keluarga sangat miskin, miskin dan hampir miskin di Desa Kurung Dahu, hasil diskusi 20 orang warga setempat adalah, seperti berikut :Kriteria Keluarga Sangat Miskin1. Pengetahuan dan keterampilan rendah2. Tidak memiliki pekerjaan tetap3. Tidak punya penghasilan yang memadai/

tetap4. Makan dua kali sehari5. Beli baju/pakaian sekali setahun6. Rumah (atap : genteng, dinding dari kain

atau bilik)7. Tidak punya aset yang terkait dengan

kebutuhan (tanah, rumah, tabungan)8. Kesehatan: sering sakit-sakitan dan tidak

sanggup membeli obat 9. Aspek sosial :

• Motivasi hidup rendah• Pasrah terhadap keadaan• Tidak memiliki inisiatif • Banyak keinginan tapi tidak ada usaha

10. Pasangan timpang (status sosial/keberfungsian keluarga hilang sebelah)

11. Terlalu terikat dengan Tradisi

Kriteria Keluarga Fakir Miskin1. Tidak memiliki pekerjaan tetap2. Tidak terpenuhi kebutuhan dasar (sandang,

pangan, papan)3. Pendidikan rendah (≤ SMP) dan keterampilan

rendah4. Pasangan timpang (status sosial/

keberfungsian keluarga hilang sebelah)5. Pola hidup boros6. Aspek sosial :

• motivasi hidup rendah• Pasrah terhadap keadaan• Tidak memiliki inisiatif• Banyak keinginan tapi tidak ada usaha

7. Terlalu terikat dengan Tradisi8. Kesehatan (tidak mampu berobat ke dokter)

Kriteria Keluarga Hampir Miskin1. Memiliki pekerjaan tetap2. Penghasilan pas pasan 3. Kualitas SDM rendah (Tingkat pendidikan

dan keterampilan)4. Memiliki aset yang terkait dengan kebutuhan

(membeli sandang sekali dalam satu tahun, makan kenyang 2 kali dan rumah setengah permanen)

5. Terlalu terikat dengan Tradisi6. Kesehatan (tidak mampu berobat ke dokter)

Ciri-ciri Keluarga Miskin Di Desa Kurung Dahu, Banten

Keluarga penduduk di Desa Kurung Dahu dibagi menjadi 4 peringkat menurut kondisi sosial ekonomi, mulai dari termiskin (Peringkat I), II, III, hingga peringkat paling atas, paling baik (peringkat IV). Berikut adalah ciri-ciri umum keluarga peringkat I, II dan III.

Karakteristik Keluarga Menurut Peringkat Kemiskinan : Studi Pendahuluan untuk Perumusan Kriteria fakir miskin

Page 63: Hipotiroid Kemensos Info

Informasi, Vol. 17, No. 01 Tahun 2012 59

Berikut adalah ciri-ciri keluarga pada masing-masing peringkat, yang dapat diidenti kasi dari narasi kasus.

Ciri-ciri Keluarga miskin peringkat I

Berdasarkan tiga kasus yang didalami secara khusus dapat digambarkan ciri-ciri keluarga termiskin di Desa Kurung Dahu adalah sbb:1. Anggota keluarga: lengkap, suami, isteri

masih usia produktif, 50 tahun atau kurang; mayoritas memiliki banyak anak, antara 5 sampai 9 orang, jumlah anggota keluarga yang makan dari satu dapur antara 6 sampai 9 orang.

2. Dua keluarga memiliki dan menempati rumah sendiri, satu lainnya keluarga menempati rumah milik orang lain.

3. Kondisi rumah: sangat buruk• luas : 3,6 sampai 11,6 meter persegi per

jiwa;.• lantai: semua disemen; • dinding setengah tembok;• atap: genteng; • penerangan: listrik; • rumah tidak dilengkapi dengan perabotan

berharga. • sarana hiburan: TV, • sumber air bersih: dari mata air

pegunungan. 4. Tata ruang rumah terdiri dari, ruang tamu,

kamar tidur, dapur dan kamar mandi. 5. Sumber nafkah utama dari pekerjaan KK

sebagai buruh serabutan (kuli panggul, buruh banngunan, tukang ojek). Penghasil

dari pekerjaan sampingan memelihara ternak dan atau berkebun.

6. Jumlah penghasilan rata-rata per kapita per hari antara Rp.1.851 sampai Rp.10.000, namun sangat tidak tetap.

7. Pengeluaran rata-rata per kapita per hari mulai dari Rp.4.850 sampai Rp.13.185

8. Aset yang dimiliki sangat terbatas, rata-rata memiliki rumah, sebagian memiliki lahan (kebun) sempit, dan sepeda motor tua.

9. Pakaian relatif banyak, namun bukan merupakan kemampuan membeli tetapi hasil pemberian orang lain.

10. Pelayanan sosial yang diperoleh: PKH, raskin (13 kg/bln harga Rp 2.000,-/kg), Jamkesmas.

Ciri-ciri Keluarga miskin peringkat II

Berdasarkan tiga kasus yang didalami secara khusus dapat digambarkan kondisi keluarga termiskin peringkat dua di desa Kurung Dahu adalah sbb:1. Anggota Keluarga: lengkap, terdiri dari

suami, isteri dan anak. Usia mereka berkisar 35 - 40 tahun, usia produktif. Jumlah anak antara 3 sampai 7 orang, tetapi terdapat pula anggota keluarga lain (adik ipar). jumlah anggota keluarga yang makan dari satu dapur antara 5 sampai 11 orang.

2. Rata-rata memiliki rumah sendiri3. Kondisi rumah:

• Luas bangunan rata-rata per orang 2,4 sampai 8 m2

• Lantai: semen; • Dinding : setengah tembok dan tembok; • Atap: genteng; • Penerangan: listrik 450 W; • Sumber air bersih: mata air pegunungan

yang dialirkan ke desa. • Tata ruang rumah terdiri dari, ruang tamu,

ruang tidur kamar mandi dan dapur. • Perabotan: lengkap walaupun sederhana. • Sarana hiburan: TV, radio, tape dengan

Karakteristik Keluarga Menurut Peringkat Kemiskinan : Studi Pendahuluan untuk Perumusan Kriteria fakir miskin

Tabel 4.Range Nilai Rata-rata, Banyaknya dan Persentase Keluarga Penduduk Desa Kurung Dahu Menurut Peringkat Kemiskinan

PeringkatKemiskinan

Range Nilai Rata-rata

Banyaknya (Keluarga)

Persentase Sampel (keluarga)

I 88,5 < 38 9 3II 63,5 - 87,5 344 80 3III 38,5 - 62,5 42 10 3IV > 37,5 4 1 0

Jumlah 438 100 9Sumber : Hasil Penelitian 2011

Page 64: Hipotiroid Kemensos Info

60 Informasi, Vol. 17, No. 01 Tahun 2012

kondisi sudah tua.4. Sumber nafkah utama dari pekerjaan KK

sebagai buruh tani, sedangkan pekerjaan sampingan sebagai buruh serabutan ( buruh bangunan atau tukang ojek).

5. Jumlah penghasilan rata-rata per kapita per hari Rp.8.000 namun penghasilan tersebut tidak menentu.

6. Pengeluaran rata-rata per kapita per hari Rp.10.338 sampai Rp.13.080 Tingkat pendidikan keluarga rata-rata SD.

7. Aset yang dimiliki sangat terbatas, rata-rata memiliki rumah sendiri, sebagian memiliki lahan (kebun) tetapi milik mertua dan terdapat ternak milik orang lain (sistem maro)

8. Pakaian yang dimiliki bukanlah semata-mata hasil dari pembelian sendiri tetapi lebih banyak diberi oleh orang lain.

9. Menu makanan sehari-hari: nasi + sayur + tahu + tempe + kadang-kadang ikan asin atau telor asin. Makan dua kali sehari, siang dan malam hari, pagi hari: teh manis dan gorengan singkong/ bukan karena tidak bisa membeli beras, tetapi karena sudah terbiasa sejak dahulu.

Ciri-ciri Keluarga miskin peringkat III

Berdasarkan tiga kasus peringkat ketiga yang didalami dapat disimpulan bahwa:1. Anggota keluarga: semua lengkap, terdiri

dari ayah, ibu dan anak. Usia suami dan isteri: usia produktif, antara 32 s/d 50 tahun. Pendidikan suami-isteri: bervariasi: SD, SLTP dan SLTA. Jumlah tanggungan 3 - 4 orang.

2. Rumah : milik sendiri3. Kondisi rumah:

• Luas : berkisar 85 m2 dengan kondisi permanen;

• Dinding : tembok; • Lantai: keramik; • Atap: genteng. • Penerangan: listrik 450 W;

• Sumber air : bersih dari pegunungan yang disalurkan ke desa.

• Tata ruang: teras, kamar tamu, kamar tidur, ruang makan, dapur dan kamar mandi.

• Perabotan: kondisinya sederhana karena dimakan usia.

• Sarana hiburan ; TV 21’ dan tape; 4. Jenis pekerjaan: dua KK sebagai sopir mobil

barang dan seorang lagi sebagai karyawan losmen. Sedangkan pekerjaan istri: dua orang buka warung di rumahnya dan seorang lagi beternak.

5. Aset yang dimiliki: lahan berkisar 500 hingga 2.000 m2 yang dimanfaatkan untuk tanaman produktif seperti singkong, pisang dan tanaman keras, sedangkan ternak yang dimiliki kambing dan ayam, sepeda motor, HP.

6. Penghasilan rata-rata per kapita per hari Rp. 3.333 sampai Rp.33.333 per hari

7. Pengeluaran rata-rata per kapita per hari Rp.9.566 sampai Rp.20.621

8. Kepemilikan pakaian terdiri dari pakaian harian, pakaian untuk bepergian (kondangan) dan pakaian seragam (anak sekolah) serta sepatu. Pakaian yang dimilki rata-rata untuk anak berkisar 5 s/d 10 stel bahkan ada yang lebih. Untuk pembelian pakaian khusus orang tua setahun sekali, tetapi untuk anak berkisar 3 s/d 6 bulan sekali.

9. Pemenuhan kebutuhan makan dalam sehari 3 kali dengan menu makanan nasi, sayur, tahu, tempe, ikan asin/ikan basah, kadang memakai telor tetapi hanya 1 minggu sekali.

10. Pelayanan sosial yang diterima: PKH, raskin (13 kg/bln harga Rp 2.000,-/kg), Jamkesmas dan PNPM. Salah satu keluarga peringkat ini ikut asuransi jiwa 3 bulan sekali dengan angsuran Rp 324.000,- dengan masa kontrak 15 tahun.

Mencermati kriteria keluarga sangat miskin dan miskin hasil diskusi warga dengan hasil pendalaman kasus tampak ada perbedaan. Salah satu perbedaan menonjol adalah pada kelengkapan anggota keluarga, menurut diskusi

Karakteristik Keluarga Menurut Peringkat Kemiskinan : Studi Pendahuluan untuk Perumusan Kriteria fakir miskin

Page 65: Hipotiroid Kemensos Info

Informasi, Vol. 17, No. 01 Tahun 2012 61

keluarga sangat miskin biasanya keluarga tidak lengkap. Berdasarkan pendalaman kasus, yang diambil secara acak, ternyata keluarga lengkap pun dapat masuk dalam kategori sangat miskin.

Perbedaan kondisi sosial ekonomi keluarga antar peringkat, antara lain dapat dilihat pada bahan bangunan rumah. Rumah keluarga peringkat ketiga, semua dengan dinding tembok, lantai keramik. Status kepemilikan rumah tidak selalu mencerminkan kemampuan keluarga karena hampir semua keluarga memiliki. Keluarga miskin membangun rumah dari hasil penjualan asset (tanah kebun) warisan. Perbedaan lain adalah dari sumber penghasilan. Keluarga peringkat 3, memiliki sumber relatif tetap, suami memiliki gaji tetap dan isteri bekerja sebagai pedagang. Sementara keluarga peringkat I dan II penghasilan dari pekerjaan suami yang “serabutan”. Besar penghasilan cenderung dapat membedakan namun dari pengalaman dan hasil wawancara tampak ada kesulitan menemukan besaran yang mendekati realitas.

Di Dusun Metuk, Desa Menduran, Kecamatan Brati, Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah, keluarga miskin peringkat I, II dan III nampak berbeda dalam hal kemampuan memenuhi kebutuhan dasar.(seperti rumah, makan dan pakaian). Perbedaan kemampuan antara lain dapat dilihat dalam wujud kecenderungan enam variabel, yaitu: 1) keutuhan keluarga; 2) kemampuan sik untuk bekerja, 3) penghasilan, 4) pengeluaran, 5) kondisi tempat tinggal dan 6) asset keluarga. Demikian juga di Desa Kurung Dahu, Kecamatan Cadas Sari, Kabupaten Pandeglang, keluarga miskin peringkat pertama memiliki kemampuan lebih lemah dibanding peringkat di atasnya. Perbedaan kemampuan dapat dilihat dalam enam variabel yang sama, yaitu: 1) keutuhan keluarga; 2) kemampuan sik untuk bekerja, 3) penghasilan, 4) pengeluaran, 5) kondisi tempat tinggal dan 6) asset keluarga.

Namun jika dicermati lebih seksama, setiap variabel tidak bersifat mutlak. Contohnya: keutuhan keluarga. Tidak semua keluarga tidak utuh berada pada peringkat yang sama. Demikian

juga keluarga yang strukturnya masih lengkap, tidak mutlak mencerminkan kemampuan lebih dari keluarga tidak lengkap. Namun ada kecenderungan keluarga tidak lengkap lebih banyak berada pada kategori miskin. Variabel yang tampak ikut memiliki andil adalah kondisi sik. Kasus keluarga lengkap namun miskin antara lain, tampak terjadi karena kondisi sik tokoh pencari nafkah sudah tidak prima baik karena usia lanjut atau pun sakit-sakitan. Dari diskusi di kedua lokasi tampak bahwa variabel penghasilan merupakan variabel utama yang menentukan sebuah keluarga dikategorikan miskin atau tidak, fakir miskin atau tidak. Namun masyarakat juga tidak memiliki ukuran pasti. Berdasarkan informasi yang dapat digali secara kasar dari kasus keluarga termiskin (penelitian dilakukan sangat singkat, 7 hari), di Metuk penghasil rata-rata mulai dari Rp.1.666 sampai Rp 7.407 per hari/ jiwa. Sementara di Kurung Dahu, sebesar antara Rp.1.851 sampai Rp.10.000. Sementara pengeluaran rata-rata per jiwa per hari di Menduran mulai dari Rp.4.850 sampai Rp.13.185 dan di Kurung Dahu sebesar Rp.5.194. Berdasarkan pengalaman mendalami kasus tampak bahwa agak sulit mengukur besar penghasilan secara tepat. Namun demikian variabel ini tetap penting bahkan menurut masyarakat di kedua lokasi merupakan variabel terpenting. Masyarakat di kedua lokasi menolak rumah tempat tinggal dijadikan variabel utama, bagi mereka rumah dapat mencerminkan namun tidak selalu mencermnkan kondisi sosial-ekonomi suatu keluarga.

Walaupun masyarakat menolak kondisi rumah dijadikan indikator utama menentukan tingkat kemiskinan suatu keluarga, namun mereka juga lebih banyak mengangkat variabel rumah sebagai indikator. Variabel-variabel rumah yang digunakan adalah: 1) dinding; 2) lantai; 3) atap; 4) penerangan; 5) tempat tidur; 6) luas rumah; 7) MCK; 8) perabotan; 9) sumber air bersih; 10) status tanah. Semua variabel tampak sama seperti yang digunakan BPS pada PPLS 2011, kecuali tempat tidur dan status tanah. Menurut masyarakat banyak keluarga mendirikan rumah di atas tanah milik

Karakteristik Keluarga Menurut Peringkat Kemiskinan : Studi Pendahuluan untuk Perumusan Kriteria fakir miskin

Page 66: Hipotiroid Kemensos Info

62 Informasi, Vol. 17, No. 01 Tahun 2012

orang lain dengan status sewa atau menumpang. Status kepemilikan tanah tapak rumah dinilai mencerminkan perbedaan kemampuan dan kenyamanan keluarga secara signi kan. Peneliti menemukan kasus sejenis di sejumlah tempat, termasuk Kota Manado dan Kab. Sidoarjo dalam kegiatan penelitian evaluasi dampak PKH bagi rumah tangga miskin, Juni dan Juli 2012.

Keluarga miskin peringkat satu (termiskin) menurut ukuran setempat nyaris sangat tergantung pada orang lain. Tanpa bantuan orang lain nyaris tidak dapat mempertahankan kualitas hidup seperti ada sekarang. Banyak diantara mereka sudah berusia lanjut, kemampuan kerja sudah tidak ada, sebagian lainnya masih usia produktif namun penghasilan sangat minim. Kiranya baik di Metuk maupun Kurung Dahu keluarga yang masuk dalam kategori termiskin merupakan keluarga miskin absolute seperti dimaksud BPS (2008) berada di bawah GK. Berangkat dari pengertian konsep GK, pengertian konsep FM, seperti diuraikan di atas, dan melihat realita lapangan maka dapat kemukakan bahwa sesungguhnya miskin absolute adalah FM. Persoalannya adalah data penduduk miskin tidak lengkap, hanya agregat, sementara FM merupakan terminology program, memerlukan data by name by address.

Sementara itu, keluarga miskin peringkat kedua relatif memiliki kemampuan lebih baik, walaupun belum mampu memenuhi kebutuhan dasar namun, mereka lebih berdaya. Demikian juga keluarga peringkat ketiga memiliki kemampuan lebih dari peringkat kedua.Namun kecenderungan perbedaan pada enam variabel di atas tidak mutlak. Dalam hal relasi sosial internal keluarga, maupun relasi dengan masyarakat sekitar semua peringkat relatif baik, sulit untuk dibedakan. Demikian juga dalam hal partisipasi dalam kegiatan spiritual dan kegiatan sosial masyarakat (gotong royong dan hajatan) semua pringkat cenderung aktif ambil bagian, sehingga sulit untuk dijadikan sebagai salah satu ukuran.

Perbedaan antara dua lokasi, Dusun Metuk, Desa Menduran (Jawa Tengah) dan Desa

Kurung Dahu (Banten) ini dapat dilihat pada aspek tempat tinggal dan asset. Di Kurung Dahu Banten, kecenderunannya semua keluarga memiliki rumah sendiri, termasuk peringkat termiskin, sementara di Dusun Metuk Jawa Tengah, kecenderungannya lebih rendah, nyaris semua keluarga termiskin tidak memiliki rumah sendiri. Berdasarkan pendalaman di Banten diketahui bahwa walaupun nyaris semua keluarga memiliki rumah namun hal tersebut bukan merupakan cerminan kemampuan actual keluarga. Keluarga-keluarga di masyarakat setempat biasanya menjual tanah warisan untuk membangun rumah. Dalam hal asset, khususnya tanah, keluarga di Desa Kurung Dahu relatif lebih banyak memiliki asset tanah. Namun demikian bukan berarti mereka memiliki kemampuan riil/actual lebih besar dari keluarga pada peringkat yang sama di Metuk. Oleh sebab itu dalam menetapkan kriteria fakir miskin dipandang penting mempertimbangkan kemampuan riil/actual produkti tas maupun fakta kondisi rumah secara proporsional.

KESIMPULAN

Sebagai langkah awal menuju perumusan kriteria fakir miskin, dari studi pendahuluan ini dapat ditarik kesimpulan bahwa untuk membedakan keluarga sebagai keluarga sebagai FM atau bukan dapat diidenti kasi dari 6 variabel, yaitu: 1) keutuhan keluarga; 2) kemampuan sik untuk bekerja, 3) penghasilan, 4) pengeluaran, 5) kondisi tempat tinggal dan 6) asset keluarga. Namun variabel-variabel tersebut tidak dapat digunakan secara tunggal. Merumuskan ukuran atau batas atau kriteria tidak mudah. Secara umum masyarakat menerima rumah dengan aneka aspek (variabelnya) sebagai kriteria, namun bukan sebagai variabel utama atau satu-satunya, bagi masyarakat penghasilan merupakan variabel pokok atau wajib diperhatikan. Walaupun rumah bagus jika penghasilan tidak ada atau tidak memadai maka tetap saja keluarga yang menempatinya adalah miskin. Kriteria PPLS 2011 berdasarkan hasil studi pendahuluan ini sudah mendekati harapan dan atau kriteria masyarakat di kedua

Karakteristik Keluarga Menurut Peringkat Kemiskinan : Studi Pendahuluan untuk Perumusan Kriteria fakir miskin

Page 67: Hipotiroid Kemensos Info

Informasi, Vol. 17, No. 01 Tahun 2012 63

lokasi. Satu variabel terkait rumah yang perlu dipertimbangkan adalah status kepemilikan lahan tampak rumah. Pada kriteria PPLS 2011 yang dijadikan variabel adalah status kepemilikan bangunan rumah, tanpa peduli dengan status tanahnya.

Untuk sampai pada kriteria fakir miskin, dalam arti dapat menjadi alat memisahkan mana keluarga fakir miskin dan keluarga bukan fakir miskin diperlukan kajian lebih lanjut yang lebih mendalam dan lebih cermat. Hasil studi pendahuluan ini, seperti diuraikan mulai dari bab II hingga kesimpulan di atas baru berupa bahan awal. Bahan-bahan di atas sesungguhnya dapat dan perlu dianalisa lebih detail untuk sampai pada ciri-ciri keluarga miskin sementara. Penelitian berikutnya penting dilakukan lebih rinci (cermat) dan mendalam, namun fokus kepada variabel yang dapat membedakan keluarga berdasarkan kemampuan memenuhi kebutuhan dasarnya. Menilik defenisi konsep fakir miskin dalam UU no.13 tahun 2011, maka kriteria fakir miskin yang kelak dirumuskan dan ditetapkan, sebaiknya akan mencerminkan kemampuan setiap keluarga untuk memenuhi kebutuhan dasar setiap orang anggotanya untuk menjalankan tugas-tugas sosialnya, termasuk untuk hidup sehat, tumbuh dan berkembang.

***

DAFTAR PUSTAKA

Adi, I.R. (2005). Ilmu Kesejahteraan Sosial dan Pekerjaan Sosial. Jakarta: FISIP UI Press.

Badan Pusat Statistik. (2008). Analisis dan Penghitungan Tingkat Kemiskinan Tahun 2008. Jakarta: Badan Pusat Statistik

Badan Pusat Statistik. (2005). Pendataan Sosial Ekonomi. Jakarta: Badan Pusat Statistik

Tangdilintin, P. (1991). Kesejahteraan Sosial Sebagai Suatu Disiplin Ilmu. Jakarta: dalam majalah Media Informatika Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial. No.2. Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial.

Suhariyanto, K. (2010). Jumlah Si Miskin. Jakarta: Harian Kompas, Jumat 21 Januari 2010

Thomas, M & Pierson, J (Principal Editor). (2005). Dictionary of Social Work.

Mistiani; (2011), Kriteria Penilaian Dalam Pengambilan Keputusan. Jakarta: Puslitbang Strahan Balitbang Dephan.

Segal, A Elizabeth dan Stephanie Brzuzy; (1998). Social Welfare Policy, Programs and Practictice. Illinois: FE Peacok Publishers.

Situmorang, G. (2008). Penanganan Masalah Kemiskinan di Sumatera Utara. Jakarta: Departemen Sosia RI

Sugiyono; (2010). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R & D. Bandung: Alfabeta

Sumodingrat, Gunawan; (1999). Pemberdayaan Masyarakat. Jakarta: PT Gramedia.

Suradi & Mujiadi. (2009). Pemberdayaan Masyarakat Miskin: Studi Evaluasi Penanggulangan Kemiskinan di Lima Provinsi, Jakarta: P3KS Press

Direktorat Penanggulangan Kemiskinan; (2009). Data Kemiskinan Indonesia Tahun 2009. Jakarta: Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas).

Direktorat Pemberdayaan Fakir Miskin; (2009), Pedoman Umum Program Pemberdayaan Fakir Miskin. Jakarta: Kementerian Sosial.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 tahun 2009 Tentang Kesejahteraan Sosial

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 tahun 2011 Tentang Penanganan Fakir Miskin

Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 15 tahun 2010 tentang Percepatan Penanggulangan Kemiskinan

Karakteristik Keluarga Menurut Peringkat Kemiskinan : Studi Pendahuluan untuk Perumusan Kriteria fakir miskin

Page 68: Hipotiroid Kemensos Info

64 Informasi, Vol. 17, No. 01 Tahun 2012