Hipotiroid Kongenital
-
Upload
atchiim-aif -
Category
Documents
-
view
172 -
download
5
description
Transcript of Hipotiroid Kongenital
PENDAHULUAN
Hipotiroid adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh gangguan pada salah satu tingkat dari aksis hipotalamus-hipofisis-tiroid-”end organ”, dengan akibat terjadinya defisiensi hormon tiroid, ataupun gangguan respon jaringan terhadap hormon tiroid.Menurut onsetnya, hipotiroid pada anak dibedakan menjadi 2 : Hipotiroid kongenital dan Hipotiroid dapatan.
Hipotiroid kongenital adalah kelainan bawaan dengan kadar hormon tiroid (T3 danT4) di sirkulasi darah yang kurang dengan kadar TSH yang meningkat. Kelainan ini diketahui sebagai penyebab terjadinya keterbelakangan mental dan kecacatan fisik pada anak- anak. Produksi hormon tiroid yang berkurang disebabkan karena berbagai hal antara lain: kelainan pada kelenjar pituitari, hipotalamus atau tiroid, yang menyebabkan proses metabolism karbohidrat di dalam tubuh mengalami keterlambatan. Telah diketahui bahwa hormon tiroid merupakan salah satu hormon yang sangat dibutuhkan dalam proses metabolisme yang bcrperan pada pertumbuhan dan perkembangan, termasuk perkembangan otak dan kematangan organ seks. Kebutuhan hormon tiroid pada segala tingkat usia sangat diperlukan, terutama sangat berperan pada masa bayi dan anak- anak yaitu masa dimana tumbuh kernbang sedang terjadi pada diri seseorang.4
Hipotiroid Kongenital
A. Definisi
Hipotiroid Kongenital adalah penyakit bawaan akibat kekurangan hormon
tiroid. Hormon tiroid adalah hormon yang dihasilkan kelenjar tiroid yang
mempunyai peran penting dalam pertumbuhan, metabolisme, dan pengaturan
cairan tubuh.
D. Epidemiologi
Hipotiroid kongenital merupakan kelainan endokrin kongenital yang paling
sering, dapat terjadi pada 1 dari 3000 sampai 4000 bayi baru lahir. Penyakit ini
dapat terjadi secara transient, namun lebih sering terjadi secara
permanen.9Hipotiroid, termasuk yang kongenital, paling sering terjadi karena
defisiensi iodine. Hipotiroid neonatal disebabkan oleh disgenesis pada 80-85%,
karena dishormogenesis pada 10-15%, dan antibodi TSH-R pada 5% populasi.
Kelainan ini terjadi dua kali lebih sering pada anak perempuan.9 Hipotiroid
kongenital biasanya bersifat sporadik, namun sampai 2% dari disgenesis tiroid
bersifat familial, dan hipotiroid kongenital yang disebabkan oleh defek
organifikasi biasanya diturunkan resesif. Mutasi yang menyebabkan hipotiroid
kongenital semakin banyak ditemukan, namun penyebab dari sebagian besar
populasi masih tidak diketahui.
E. Etiologi
Beberapa defek genetik dikaitkan dengan terjadinya hipotiroid kongenital
yang permanen. Diketahui bahwa faktor imunologik, lingkungan, dan iatrogenik
(tapi bukan genetik) dapat menyebabkan hipotiroid kongenital yang transient,
yang dapat sembuh secara spontan dalam bulan pertama kehidupan.
Penyebab dari hipotiroid kongenital dihubungkan dengan terjadainya defek
pada protein-protein yang berperan dalam sistesis hormon tiroid dan defek pada
faktor transkripsi yang berperan dalam pembentukan/perkembangan kelenjar
tiroid. Namun, kasus yang demikian hanya terjadi pada persentasi yang kecil dari
populasi hipotiroid kogenital, penyebab dari sebagian besar populasinya masih
tidak diketahui.
Hipotiroid kongenital yang transient dapat disebabkan oleh defisiensi iodine,
paparan terhadap iodine yang berlebih pada saat periode perinatal, atau paparan
pada fetus oleh thyriod-blocking antibodies yang diperoleh secara maternal atau
obat antitiroid yang dikonsumsi oleh wanita hamil dengan penyakit tiroid
autoimun. Disfungsi tiroid kongenital dapat juga merupakan akibat dari lahir
yang prematur, dishormogenesis tiroid ringan, atau kehilangan protein karena
nefrosis (pada kasus yang jarang).
Dosis OAT (Obat Anti Tiroid) berlebihan menyebabkan hipotiroidisme.
Dapat juga terjadi pada pemberian litium karbonat pada pasien psikosis. Hati-
hatilah menggunakan fenitoin dan fenobarbital sebab meningkatkan metabolisme
tiroksin di hepar. Kelompok kolestiramin dan kolestipol dapat mengikat hormon
tiroid di usus. Defisiensi yodium berat serta kelebihan yodium kronis
menyebabkan hipotiroidisme dan gondok, tetapi sebaliknya kelebihan akut
menyebabkan IIT (iodine induced thyrotoxcisos). Bahan farmakologis yang
menghambat sintesis hormon tiroid yaitu tionamid (MTU, PTU, karbimazol),
perklorat, sulfonamid, yodida dan yang meningkatkan katabolisme atau
penghancuran hormon tiroid yaitu fenitoin, fenobarbital, yang menghambat jalur
enterohepatik hormon tiroid yaitu kolestipol dan kolestiramin.
Obat anti tiroid yang dianjurkan ialah golongan tionamid yaitu
propilthiourasil (PTU) dan carbamizole (Neo Mercazole) . Yodida merupakan
kontraindikasi untuk diberikan karena dapat langsung melewati sawar plasenta
dan dengan demikian mudah menimbulkan keadaan hipotiroid janin. Wanita
hamil dapat mentolerir keadaan hipertiroid yang tidak terlalu berat sehingga
lebih baik memberikan dosis OAT yang kurang dari pada berlebih.
Bioavilibilitas carbamizole pada janin ± 4 kali lebih tinggi dari pada PTU
sehingga lebih mudah menyebabkan keadaan hipotiroid. Melihat hal-hal tersebut
maka pada kehamilan PTU lebih terpilih. PTU mula-mula diberikan 100-150 mg
tiap 8 jam. Setelah keadaan eutiroid tercapai (biasanya 4-6 minggu setelah
pengobatan dimulai), diturunkan menjadi 50 mg tiap 6 jam dan bila masih tetap
eutiroid dosisnya diturunkan dan dipertahankan menjadi 2 kali 50 mg/hari.
Idealnya hormon tiroid bebas dipantau setiap bulan. Kadar T4 dipertahankan
pada batas normal dengan dosis PTU ≤ 100 mg/hari. Bila tirotoksikosis timbul
lagi, biasanya pasca persalinan, PTU dinaikkan sampai 300 mg/hari. Efek OAT
terhadap janin dapat menghambat sintesa hormon tiroid. Selanjutnya hal tersebut
dapat menyebabkan hipotiroidisme sesaat dan struma pada bayi, walaupun hal
ini jarang terjadi. Pada ibu yang menyusui yang mendapat OAT, OAT dapat
keluar bersama ASI namun jumlah PTU kurang dibandingkan carbamizole dan
bahaya pengaruhnya kepada bayi sangat kecil, meskipun demikian perlu
dilakukan pemantauan pada bayi seketat mungkin.
Kelenjar tiroid bekerja di bawah pengaruh kelenjar hipofisis, tempat
diproduksi hormon tirotropik. Hormon ini mengatur produksi hormon tiroid yaitu
tiroksin dan tri-iodotironin. Kedua hormon tersebut dibentuk dari monoiodo-
tirosin dan diiodo-tirosin. Untuk ini diperlukan yodium. T3 dan T4 diperlukan
dalam proses metabolik di dalam badan, lebih-lebih pada pemakaian oksigen.
Selain itu ia merangsang sintesis protein dan mempengaruhi metabolisme
karbohidrat, lemak dan vitamin. Hormon ini juga diperlukan untuk mengolah
karoten menjadi vitamin A. Untuk pertumbuhan badan, hormon ini sangat
dibutuhkan, tetapi harus bekerja sama dengan growth hormon.
Berdasarkan pada kelainan heterogenous genetiknya terdapat dua kelompok
utama kelainan: yang menyebabkan disgenesis kelenjar tiroid, dan yang
menyebabkan dishormogenesis. Gen yang terkait dengan disgenesis kelenjar
tiroid antara lain adalah reseptor TSH pada hipotiroid kongenital tanpa gejala,
dan GSα serta faktor transkripsi tiroid (TTF-1, TTF-2, dan Pax-8). Yang
menyebabkan dishormogenesis antara lain adalah defek pada gen thyroid
peroxidase dan gen thyroglobulin, PDS (pendred syndrome), NIS (sodium iodine
symporter), dan THOX2 (thyroid oxidase 2). Ada pula bukti awal yang
mengarahkan pada kelompok ketiga dari hipotiroid kongenital yang terkait
dengan defek pada transposter iodothyronine yang terkait dengan gangguan
neurologik berat.6,8 Sedangkan menurut Genetics Home Reference bahwa Mutasi
di DUOX2 , PAX8 , SLC5A5 , TG , TPO , TSHB , dan TSHR gen menyebabkan
hipotiroidisme kongenital. mutasi gen menyebabkan hilangnya fungsi tiroid
dalam salah satu dari dua cara. Mutasi pada gen PAX8 dan beberapa mutasi pada
gen TSHR mencegah atau mengganggu perkembangan normal dari kelenjar
tiroid sebelum kelahiran. Mutasi di DUOX2, SLC5A5, TG, TPO, dan gen TSHB
mencegah atau mengurangi produksi hormon tiroid, meskipun kelenjar tiroid
hadir. Mutasi pada gen lain yang belum juga ditandai juga dapat menyebabkan
hipotiroidisme congenital.
F. Patofisiologi
Patofisiologi hipotiroidisme didasarkan atas masing-masing penyebab yang
dapat menyebabkan hipotiroidisme, yaitu :
1. Hipotiroidisme sentral (HS)
Apabila gangguan faal tiroid terjadi karena adanya kegagalan hipofisis, maka
disebut hipotiroidisme sekunder, sedangkan apabila kegagalan terletak di
hipothalamus disebut hipotiroidisme tertier. 50% HS terjadi karena tumor
hipofisis. Keluhan klinis tidak hanya karena desakan tumor, gangguan visus,
sakit kepala, tetapi juga karena produksi hormon yang berlebih (ACTH penyakit
Cushing, hormon pertumbuhan akromegali, prolaktin galaktorea pada wanita dan
impotensi pada pria). Urutan kegagalan hormon akibat desakan tumor hipofisis
lobus anterior adalah gonadotropin, ACTH, hormon hipofisis lain, dan TSH.
2. Hipotiroidisme Primer (HP)
Hipogenesis atau agenesis kelenjar tiroid. Hormon berkurang akibat anatomi
kelenjar. Jarang ditemukan, tetapi merupakan etiologi terbanyak dari
hipotiroidisme kongenital di negara barat. Umumnya ditemukan pada program
skrining massal. Kerusakan tiroid dapat terjadi karena:
1) Pascaoperasi
Strumektomi dapat parsial (hemistrumektomi atau lebih kecil), subtotal atau
total. Tanpa kelainan lain, strumektomi parsial jarang menyebabkan
hipotiroidisme. Strumektomi subtotal M. Graves sering menjadi hipotiroidisme
dan 40% mengalaminya dalam 10 tahun, baik karena jumlah jaringan dibuang
tetapi juga akibat proses autoimun yang mendasarinya.
2) Pascaradiasi
Pemberian RAI (Radioactive iodine) pada hipertiroidisme menyebabkan lebih
dari 40-50% pasien menjadi hipotiroidisme dalam 10 tahun. Tetapi pemberian
RAI pada nodus toksik hanya menyebabkan hipotiroidisme sebesar <5%. Juga
dapat terjadi pada radiasi eksternal di usia <20 tahun : 52% 20 tahun dan 67% 26
tahun pascaradiasi, namun tergantung juga dari dosis radiasi.
3) Tiroiditis autoimun.
Disini terjadi inflamasi akibat proses autoimun, di mana berperan antibodi
antitiroid, yaitu antibodi terhadap fraksi tiroglobulin (antibodi-antitiroglobulin,
Atg-Ab). Kerusakan yang luas dapat menyebabkan hipotiroidisme. Faktor
predisposisi meliputi toksin, yodium, hormon (estrogen meningkatkan respon
imun, androgen dan supresi kortikosteroid), stres mengubah interaksi sistem
imun dengan neuroendokrin. Pada kasus tiroiditis-atrofis gejala klinisnya
mencolok. Hipotiroidisme yang terjadi akibat tiroiditis Hashimoto tidak
permanen.
4) Tiroiditis Subakut.
(De Quervain) Nyeri di kelenjar/sekitar, demam, menggigil. Etiologi yaitu virus.
Akibat nekrosis jaringan, hormon merembes masuk sirkulasi dan terjadi
tirotoksikosis (bukan hipertiroidisme). Penyembuhan didahului dengan
hipotiroidisme sepintas.
5) Dishormogenesis
Ada defek pada enzim yang berperan pada langkah-langkah proses
hormogenesis. Keadaan ini diturunkan, bersifat resesif. Apabila defek berat maka
kasus sudah dapat ditemukan pada skrining hipotiroidisme neonatal, namun pada
defek ringan, baru pada usia lanjut.6) Karsinoma.
Kerusakan tiroid karena karsinoma primer atau sekunder, amat jarang.
3. Hipotiroidisme sepintas.
Hipotiroidisme sepintas (transient) adalah keadaan hipotiroidisme yang
cepat menghilang. Kasus ini sering dijumpai. Misalnya pasca pengobatan RAI,
pasca tiroidektomi subtotalis. Pada tahun pertama pasca operasi morbus Graves,
40% kasus mengalami hipotiroidisme ringan dengan TSH naik sedikit. Sesudah
setahun banyak kasus pulih kembali, sehingga jangan tergesa-gesa memberi
substitusi. Pada neonatus di daerah dengan defisiensi yodium keadaan ini banyak
ditemukan, dan mereka beresiko mengalami gangguan perkembangan saraf.
G. Tipe Hipotiroidism
Hipotiroidisme kongenital terdiri dari hipotiroidisme kongental primer dan
sekunder. Untuk hipotiroidisme kongenital primer, kerusakan terjadi pada bagian
tiroid. Untuk kondisi ini kita dapat membagi pasien dengan hipotiroidisme
kongenital primer ke dalam 4 kelompok. sebagai berikut:
1. Tidak Adanya Kelenjar Tiroid (Athyrosis)
Pada kelompok ini, kelenjar tiroid gagal terbentuk sebelum kelahiran.
Kelenjar tersebut absen dan tidak akan pernah dapat berkembang, sehingga
sebagai konsekuensinya tidak ada hormon tiroksin yang diproduksi. Kondisi ini
disebut Agenesis Tiroid atau Atirosis. Kondisi ini lebih sering ditemukan pada
perempuan dibandingkan laki-laki, sekitar 2:1. Kondisi ini ditemukan pada 1 dari
10.000 bayi lahir, dan merupakan 35% kasus yang ditemukan pada Newborn
Screening. Alasan mengapa hormon tiroid gagal berkembang belum diketahui.
Namun, beberapa penelitian menunjukkan bahwa salah satu kaskade pada gen
yang berperan dalam pembentukan kelenjar tiroid tidak teraktivasi tepat pada
waktunya.
2. Kelenjar Tiroid Ektopik
Pada bayi dengan kondisi ini, kelenjar tiroid berukuran kecil dan tidak
terletak secar normal pada posisinya di depan trakea. Seringkali kelenjar tiroid
ditemukan di bawah lidah di dekat lokasi di mana kelenjar pertama kali terbentuk
pada embrio. Tiroid ektopik memiliki derajat fungsi yang berbeda-beda.
Terkadang ukurannya sangat kecil dan tidak aktif, namun pada kondisi tertentu
masih dapat menghasilkan hormon tiroid yang jumlahnya hampir mencapai
normal, oleh karena itu ada derajat keparahan pada kondisi ini. Setelah kelahiran,
kelenjar tiroid ektopik tidak akan bertambah besar dan turun pada posisi
normalnya. Fungsinya pun akan semakin menurun seiring perjalanan waktu.
Kelenjar tiroid ektopik juga dua kali lebih sering terjadi pada wanita
dibandingkan pria. Kondisi tersebut merupakan 50% dari yang terdeteksi pada
Newborn Screening dan sedikit lebih sering terjadi dibandingkan atirosis.
Penyebab pastinya juga tidak diketahui, namun penyebab yang sama seperti pada
atirosis dapat menimbulkan kondisi ini.
3. Malformasi Kelenjar Tiroid pada Posisi Normal (Hypoplasia)
Kondisi ini terkadang disebut sebagai Hipoplasia Thyroid dan hanya terjadi
dengan persentase yang sangat kecil pada total seluruh kasus. Pada hipoplasia
tiroid, kelenjar berukuran kecil, tidak terbentuk secara optimal dan terkadang
hanya memiliki satu lobus.
4. Kelenjar Tiroid Tumbuh dengan Normal Namun Tidak Dapat Berfungsi Optimal
(Dysmorphogenesis)
Kondisi ini merupakan 15% dari kasus yang ditemukan pada Neonatal
Screening. Dismorfogenesis seringkali terjadi akibat defek enzim tertentu, yang
dapat bersifat transien maupun permanen. Pada bayi dengan dismorfogenesis,
ukuran kelenjar tiroid mengalami pembesaran dan dapat dilihat atau diraba pada
bagian depan.
H. Manifestasi Klinis
Pada neonatus, gejala khas hipotiroidisme seringkali tidak tampak dalam
beberapa minggu pertama kehidupan. Hanya 10-15% bayi baru lahir
hipotiroidisme yang datang dengan manifestasi klinik mencurigakan, yang
membuat dokter waspada akan kemungkinan hipotiroidisme.4,5,8 Salah satu tanda
yang paling khas dari hipotiroidisme kongenital pada bayi baru lahir adalah
fontanela posterior terbuka dengan sutura cranial yang terbuka lebar akibat
keterlambatan maturasi skeletal prenatal. Kelambatan maturasi tulang, dapat
dinilai dengan pemeriksaan radiologik pada daerah femoral distal lutut, tidak
hanya untuk kepentingan diagnostik, tetapi juga menggambarkan berat serta
lamanya penyakit in utero. Gejala berikutnya yang paling sering adalah hernia
umbilikalis, namun kurang spesifik. Sebagian besar pasien memiliki berat lahir
besar untuk kehamilan (di atas 3,5 kg dengan periode kehamilan lebih dari 40
minggu). Kurang dari separuh pasien didapatkan ikterus berkepanjangan pada
awal kehidupannya. Tidak terdapat perbedaan jenis kelamin untuk terjadinya
hipotiroidisme kongenital. Tanda dan gejala lain yang jarang terlihat adalah
konstipasi (Riwayat BAB pertama > 20 jam setelah lahir dan sembelit ),
hipotonia, suara tangis serak, kesulitan makan atau menyusui, bradikardi dan
kulit kering dan kasar. Selain itu, bayi dengan hipotiroidisme kongenital
memiliki insiden anomaly kongenital lain lebih tinggi, namun kemaknaannya
tidak jelas. Berbagai anomali congenital pada bayi hipotiroidisme kongenital
yang diidentifikasi melalui program skrining hipotiroidisme, antara lain penyakit
jantung bawaan, penyimpangan kromosom, kelainan tulang, dan sindrom rambut
terbelah.
Signs and Symptoms of Hypothyroidism (Descending Order of Frequency)
SymptomsTiredness, weaknessDry skinFeeling coldHair lossDifficulty concentrating and poor memoryConstipationWeight gain with poor appetiteDyspneaHoarse voiceMenorrhagia (later oligomenorrhea or amenorrhea)Paresthesia Impaired hearing
SignsDry coarse skin; cool peripheral extremitiesPuffy face, hands, and feet (myxedema)Diffuse alopeciaBradycardiaPeripheral edemaDelayed tendon reflex relaxationCarpal tunnel syndromeSerous cavity effusions
Sumber: Harrison 17th edition
Apabila keadaan hipothyroid ini tidak ditangani selama masa neonatus dan
bayi, maka akan dapat menyebabkan kelainan yang lebih berat berupa:
1. Keterlambatan Pertumbuhan
Walaupun tiroksin tampaknya tidak begitu diperlukan untuk pertembuhan
sebelum kelahiran, namun sangat esensial untuk pertumbuhan normal setelah
kelahiran. Jika seorang bayi memilki defisiensi tiroid yang tidak ditangani, ia
akan memiliki postur yang kecil pada masa bayi maupun kanak-kanak dan
berujung pada postur yang sangat pendek. Keterlambatan pertumbuhan ini
mempengaruhi seluruh bagian tubuh termasuk tulang.
2. Keterlambatan Perkembangan Mental
Retardasi intelektual dapat terjadi pada kondisi kekurangan tiroksin. Derajat
retardasi bergantung pada keparahan defisiensi hormon tiroid. Jika hanya ada
kekurangan parsial tiroksin, kelainan mental minimal dapat terjadi.4,5 Ketika
tiroksin sepenuhnya tidak ada dan bayi tidak mendapatkan penanganan, retardasi
mental yang parah mungkin dapat terjadi. Namun, kondisi ini tidak akan terjadi
jika penatalaksanaan dilakukan sejak awal.
3. Jaundice Persisten
Secara normal, kondisi jaundice adalah kondisi yang fisiologis yang dapat
terjadi pada neonatus yang berlangsung selama 1-2 minggu. Namun pada kondisi
hipotiroidisme yang tidak ditangani (untreated hypothiroidism), jaundice dapat
berlangsung lebih dari waktu yang normal.4,5,10
Enzim glukoronil teransferase merupakan enzim yang mengkatatalisis proses
konjugasi bilirubin di dalam hepatosit. Pada hipotiroid aktivitas enzim ini
menurun sehingga terjadi penurunan ekskresi bilirubin terkonjugasi dari
hepatosit ke dalam usus. Hal ini menimbulkan peningkatan kadar bilirubin tak
terkonjugasi. Peningkatan rasio klesterol-fosfolipid pada membran hepatosit
dapat mengakibatkan terjadinya gangguan pada proses pengambilan bilirubin tak
terkonjugasi oleh hepatosit. Gangguan karena penningkatan rasio kolesterol
fosfolipid ini mengganggu kelarutan bahan–bahan yang akan memasuki sel
hepatosit, salah satunya adalah bilirubin tak terkonjugasi yang berasal dari siklus
enterohepatik. Selain itu tejadi juga gangguan kerja dari enzim Na+, K+-ATPase
yang merupkan enzim yang berperan dalam proses up take bilirubin oleh hati
yang terjadi melalui suatu proses transport aktif.
I. Diagnosis
1. Anamnesis Tanpa adanya skrining pada bayi baru lahir, pasien sering datang terlambat
dengan keluhan retardasi perkembangan disertai dengan gagal tumbuh atau
perawakan pendek. Pada beberapa kasus pasien datang dengan keluhan pucat.
Pada bayi baru lahir sampai usia 8 minggu keluhan tidak spesifik. Perlu ditanya
riwayat gangguan tiroid dalam keluarga, penyakit ibu saat hamil, obat anti tiorid
yang sedang diminum dan terapi sinar.
Dari anamnesis dapat digali berbagai gejala yang mengarah kepada
hipotiroid kongenital seperti ikterus lama, letargi, konstipasi, nafsu makan
menurun dan kulit teraba dingin. Selain itu, didapat pertumbuhan anak kerdil,
ekstremitas pendek, fontanel anterior dan posterior terbuka lebih lebar, mata
tampak berjauhan dan hidung pesek. Mulut terbuka, lidah yang tebal dan besar
menonjol keluar, gigi terlambat tumbuh. Leher pendek dan tebal, tangan besar
dan jari-jari pendek, kulit kering, miksedema dan hernia
umbilikalis.perkembangan terganggu, otot hipotonik kadang dapat ditemukan
hipertrofi otot generalisata sehingga menghasilkan tampakan tubuh berotot. Perlu
pula digali adanya riwayat keluarga dengan hipothyroidisme, terutama kedua
orang tua. Penting juga mengevaluasi riwayat kehamilan untuk mengetahui
pengobatan yang mungkin didapat ibu selama hamil, terutama yang bekerja
mempengaruhi sintesis dan kerja hormon thyroid atau kelainan lainnya.
2. Gejala Klinis
Indeks hipotiroidisme kongenital merupakan ringkasan tanda dan gejala yang
paling sering terlihat pada hipotiroidisme kongenital. Dicurigai adanya hipotiroid
bila skor indeks hipothyroid kongenital > 5. Tetapi, tidak adanya gejala atau
tanda yang tampak tidak menyingkirkan kemungkinan hipotiroid kongenital.
Tabel : Skoring hipotiroid kongenital
Gejala KlinisHernia umbilicalis Kromosom Y tidak ada (wanita)Pucat, dingin, hipotermi Tipe wajah khas edematus Makroglosi Hipotoni Ikterus lebih dari 3 hari Kulit kasar, kering Fontanella posterior terbuka (>3cm)Konstipasi Berat badan lahir > 3,5 kg Kehamilan > 40 minggu
211211111111
Total 15
3. Laboratorium
Penyakit hipotiroid kongenital dapat dideteksi dengan tes skrining, yang
dilakukan dengan pemeriksaan darah pada bayi baru lahir atau berumur 3 hari
atau minimal 36 jam atau 24 jam setelah kelahiran. Tes skrining dilakukan
melalui pemeriksaan darah bayi. Darah bayi akan diambil sebelum ibu dan bayi
meninggalkan rumah sakit bersalin. Jika bayi dilahirkan di rumah, bayi
diharapkan dibawa ke rumah sakit / dokter sebelum usia 7 hari untuk dilakukan
pemeriksaan ini. Darah diambil melalui tusukan kecil pada salah satu tumit bayi,
lalu diteteskan beberapa kali pada suatu kertas saring (kertas Guthrie) dan setelah
mengering dikirim ke laboratorium. Adapun pemeriksaannya ada tiga cara, yaitu:
a) Pemeriksaan primer TSH.
b) Pemeriksaan T4 ditambah dengan pemeriksaan TSH dari sampel darah yang
sama, bila hasil T4 rendah.
c) Pemeriksaan TSH dan T4 sekaligus pada satu sampel darah.
Nilai cut-off adalah 25 mU/ml. Bila nilai TSH < 25 >50 mU/ml dianggap
abnormal dan perlu pemeriksaan klinis dan pemeriksaan TSH dan T4 plasma.
Bila kadar TSH tinggi > 40 mU/ml dan T4 rendah, Bayi dengan kadar TSH
diantara 25-50 mmU/ml, dilakukan pemeriksaan ulang 2-3 minggu kemudian.
Pemeriksaan penunjang lainnya yang penting dilakukan, antara lain:
a) Darah, air kemih, tinja, kolesterol serum.
b) T3, T4, TSH.
c) Radiologis :
1) USG atau CT scan tiroid.
2) Tiroid scintigrafi.
3) Umur tulang (bone age).
4) X-foto tengkorak .
Selain untuk mendiagnosis keadaan hipothyroid, perlu juga dilakukan evaluasi
tambahan guna menentukan etiologi dasar penyakit. Hal ini perlu dilakukan
untuk menentukan apakah HK bersifat permanent atau transient sehingga dapat
diperkirakan lama terapi dan prognosis.
1. Pengukuran kadar hormon kelenjar gondokThyroxine total (T4). Cara pemeriksaan T4 yang umum dilakukan ialah cara
competitive protein binding assay (CPBA), radioimmuno assay (RIA) dan
enzyme immuno assay (EIA). Cara CPBA dikembangkan oleh Murphy dan
Pattee (1964) dimana digunakan T4 — J125 dan thyroxine binding globulin
(TBG) untuk mengukur kadar T4 serum. Saat ini yang lebih sering digunakan
adalah cara RIA dimana digunakan antibodi spesifik terhadap T4 (anti—T4). T4
terlebih dulu dilepaskan dari ikatannya dengan TBG dengan penambahan zat
tertentu. T4 yang telah dibebaskan bersaing dengan T4 —J125 dalam berikatan
dengan anti— T4. Ikatan T4-anti T4 kemudian dipisahkan dari T4 bebas dan
salah satu fraksi diukur radioaktivitasnya. Ukuran radioaktivitas ini digunakan
untuk mendapatkan kadar T4, dengan membandingkan dengan satu seri standard
yang dikerjakan bersama bahan pemeriksaan dari pasien.
Prinsip EIA sama seperti prinsip RIA, hanya disini digunakan label ensim
sebagai pengganti label zat radioaktif. T3 UPTAKE (T3U). Pemeriksaan T3U
bukanlah pemeriksaan mengukur kadar hormon T3. Penamaan T 3 U disini
hanyalah karena reagens yang dipakai adalah T3—J125. T 3 U dipakai untuk
menilai "unsaturated thyroxine binding protein". T 3 — J 125 berlebihan
ditambahkan kedalam serum dimana ia akan mengisi unsaturated TBP. Sisa T3
—J125 diikat oleh pengikat kedua yaitu resin atau arang. Yang dimaksud dengan
T 3 U adalah persentase radioaktivitas yang diikat oleh pengikat kedua.
Selain cara diatas, dapat pula dilaporkan sebagai thyrobinding index (TBI)
yaitu persentase radioaktivitas yang diikat oleh unsaturated TBP. Kadar TBG
dapat pula diukur secara langsung dengan cara RIA.
T4 bebas
Kadar T4 bebas dapat diperkirakan dengan menghitung Free Thyroxine Index
(FTI) dengan rumus : FTI = T4 x T3U atau FTI = T4/TBG. T4 bebas (Free T4 =
FT4)Idapat pula diulcur langsung. Cara yang klasik adalah dengan cars dialysis
ekuilibrium. Cara ini sulit dan tidak praktis untuk digunakan secara rutin,
sehingga seisms ini perkiraan T4 bebas dengan menghitung FTI yang lebih
banyak digunakan. Akhir-akhir ini telah dibuat suatu tehnik pemenksaan FT4
yang lebih sederhana. Dasar dari cara ini adalah penggunaan antibody spesifilc
terhadap T4 yang dibuat sedemikian sehingga hanya bereaksi dengan T4 bebas.
Triiodothyronine (T3)
T3 dapat diukur dengan cars RIA dengan menggunakan T3-J'25 dan antibodi
spesifik terhadap T3. Prinsip pemeriksaan ini sama seperti pemeriksaan T4
dengan cara RIA. Seperti halnya T4 total, kadar T3 juga dipengaruhi kadar
protein pengikatnya dalam darah. Untuk mendapatkan gambaran kadar T3 bebas
dalam darah dapat pula diitung Free T3 Index (FT3I) dengan rumus l FT3I = T3
(ng/dl) x T3U (%)/ 1000
Disamping pemeriksaan T3 dapat pula diperiksa kadar neversed T3 (rT3)
yang juga menggunakan carai RIA. Selain pemeriksaan-pemeriksaan hormon
kelenjar gondok diatas, dilcenal pula pemeriksaan Protein bound iodine (PBI)
dan Butanol extractable iodine (BEI), akan tetapi pemeriksaan ini telah
ditinggalkanehingga tidak dibicarakan dalam tulisan ini.
2. Penlaian jalur hipotalamus — hipofisis - kelenjar gondok Thyroid
Stimulating Hormone (TSH).
TSH adalah suatu glikoprotein yang disekresi oleh kelenjar hipofisis pars
anterior. Dulu kadar TSH diperiksa dengan cant bioassay, sekarang telah dapat
digunakan cara RIA yang sensitif untuk mengukurnya. Kadar normal TSH
adalah mulai dari tidak terdeteksi sampai 10uU/ml. Tes TRH. Pengukuran kadar
TSH dilakukan sebelum, 20 menit sesudah penyuntikan S00ug TRH intravena.
3. Pemeriksaan tidak langsung.
Pemeriksaan basal metabolic rate (BMR) dan lemak darah dapat digunakan
untuk menilai faal kelenjar gondok secara tidak langsung. Padahipotiroidisme
seringkali dijumpai adanya hiperlipidemia.
4. Pemeriksaan terhadap etiologi
Autoantibodi terhadap kelenjar gondok. Pada keadaan-keadaan tertentu
mungkin dijumpai adanya antibodi terhadap komponen- komponen kelenjar
gondok seperti thyroglobulin, komponen koloid, mikrosom dan komponen
nukleus dari sal folikuler. Antibodi ini dapat diperiksa dengan cara imunologis
seperti hemaglutinasi, presipitasi, fiksasi komplemen dan imunofluoresens.
Penyakit yang dihubungkan dengan adanya autoantibodi ini antara lain
thyroiditis Hashimoto dan penyakit Grave. Long acting thyroid stimulator
(LATS). LATS adalah IgG yang bersifat antibodi terhadap komponen kelenjar
gondok yang mampu merangsang fungsi kelenjar gondok. Sekarang ini dikenal
beberapa macam thyroid stimulating immunoglobulins (TSI). Zat-zat ini dapat
diukur dengan cara bioassay, akan tetapi cara ini sulit dilakukan.
Penggunaan dan Interpretasi Pemeriksaan Laboratorium
Karena hampir seluruh T4 dalam sirkulasi darah terikat TBP, terutama TBG,
pengukuran kadar T4 total dipengaruhi oleh juinlah T4 yang dibuat oleh kelenjar
gondok dan kadar TBG. 14 bebas merupakan bentuk hormon yang dapat
mendifusi kedalam sel dan mempengaruhi metabolisme, karena itu pengukuran
FT4 lebih menggambarkan fungsi kelenjar gondok.
Kadar T4 total dan T3U dipengaruhi oleh kadar TBG seperti dapat dilihat
pada gambar dibawah.
DAFTAR PUSTAKA